-->

Jumat, 30 Maret 2012

Matchmaking Part 11

Udah part 11 aja??? Ckck, saya pikir angkanya nanti cuma satu aja gak nyampe dua o,o Tamatin aja lah ya? Setuju gak? Haha~
Ya sudah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

“Ify hilang!” Pasrah Agni. Kata-katanya barusan sontak membuat orang-orang di sekelilingnya terperangah. Ify..hilang? Jangan main-main! Batin Rio berusaha tidak mempercayai perkataan Agni itu. Jelas-jelas Ify telah menginformasikan padanya, bahwa ia sudah ada di rumah tadi siang. Sekarang, Agni mengatakan gadis itu hilang, tidak masuk akal bukan? “Jangan becanda deh, Ni! Ini, sumpah, bener-bener dan gak lucu, sama sekali!” Keluh Shilla. Ia juga terlihat bersikeras menolak kesimpulan Agni.

“Tadi dia sms gue dan bilang dia udah ada di rumah.” Ujar Rio untuk pertama kalinya. Shilla dkk termasuk Alvin serentak mengalihkan pandangan ke arahnya. “Lo telpon balik gak?” Tanya Agni khawatir. Ia benar-benar tidak enak hati jika Ify benar-benar hilang. Ferdi sudah menaruh kepercayaan padanya dan ia pun sudah terlanjur mengiyakan. Ini merupakan satu-satunya kebohongan paling fatal yang pernah Agni lakukan. “Gak.” Jawab Rio singkat. Dalam hati, ia memikirkan baik-baik pertanyaan Agni itu. Rasa sesal menyergapnya segera. Benar juga, kenapa gue gak nelpon dia dulu? Batinnya menggerutu.

“Teruus lo percaya gitu aja?” Tanya Via kali ini, dari nada bicaranya, ia terlihat agak kesal. Rio lantas menggaruk-garuk kepala bingung harus menjawab. “Ya..iya..” Seketika Via, Agni dan Shilla melengos. Pemuda ini...benar-benar berpikiran pendek. “Gue coba hubungi dia dulu deh!” Ujar Agni. Ia mengetik beberapa kata di layar ponselnya dan kemudian menempelkan benda itu ke telinga. Firasatnya sudah benar-benar tak enak. Sedikitpun pikiran positif tak ada yang terlintas di benaknya sekarang.

***

Ruangan ini sungguh gelap, ditambah dengan suasana di luar yang memang sudah cukup menggulitakan. Terbuka maupun tertutup, pandangan seolah sama saja. Hanya warna hitam yang bisa terlihat, jelas. Yah, namanya juga warna hitam. Gadis malang di ruangan itu masih dalam keadaan pingsan. Mungkin lebih tepatnya antara terlelap dan pingsan. 1..2..3..akhirnya indra penglihat gadis itu terbebas dari selimut kelopaknya. Yap, ia sudah bangun. Tapi, percuma. Hal yang dilihatnya tak jauh beda dengan yang ia lihat ketika matanya tertutup tadi. Gelap. Itulah kesan pertama yang didapatinya.

Ify, gadis malang tersebut, masih diam dengan posisi badan terbaring menyamping ke sebelah kanan. Gelap banget sih? Batinnya. Ia menguap dan membuat tangannya mengatup mulut. Dan karena itu, ia merasakan tangannya sedikit sakit. Ia diam lagi seraya mengedip-ngedipkan mata memperjelas pandangan. ASTAGA! Batin Ify teringat. Ada sesuatu yang telah ia lupakan. Ify lantas terburu-buru untuk bangun. Akibatnya, ia merasakan rasa nyeri di berbagai bagian tubuhnya. “Ah..” Rintih Ify. Suaranya pun boleh dibilang tidak bervolume.

Ify bahkan hampir tidak bisa menentukan bagian tubuh yang mana saja yang terasa sakit. Dari ujung kepala sampai ujung kaki seperti sakit semua. Meski begitu, ia tetap berusaha bangun dan cukup baik. Tak puas bangun, ia kemudian mencoba berdiri. Pergelangan kakinya sampai kini belum juga membaik. Yah, mau tidak mau rasa sakit tersebut harus benar-benar ia tahan. Ify lalu berjalan tanpa bisa melihat apapun. Hmm, kayak gini rasanya jadi orang buta? Pikirnya. Yang ia tahu, ruangan ini memiliki aroma seperti aroma alat-alat musik.

Hingga setelah beberapa lama, Ify dapat menemukan dimana letak dinding. Ia meraba-raba permukaan dinding itu berusaha mencari sakelar. Setidaknya, harus ada lampu yang menyala di ruang ini. Nah! Batin Ify setelah tangannya berhasil menyentuh benda penghubung sekaligus pemutus aliran listik itu. Ctek! *halah* Akhirnya, ruang ini mendapat pencahayaan juga. Ify pun dapat mengetahui sekarang ia berada dimana, di ruang musik, SMA PARFAIT, sekolahnya. Hah? Gue masih di sekolah? Batin Ify tak percaya.

Ia melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benda mungil nan berguna itu sekarang telah memposisikan jarum pendeknya di antara angka 8 dan 9. Matanya membelalak melihat jarum-jarum itu. Jam setengah sembilan malam? Ify seketika terlihat panik. Ferdi. Ya, pikirannya langsung dirasuki oleh laki-laki itu, Papanya. “Gimana ini?! Gue belum nyiapin apa-apa!” Ify meraba bagian kantongnya. Rata. Tak ada apapun yang bisa ia keluarkan. Ia lantas berlari mendekati pintu. Tak peduli bahwa ia harus terpincang-pincang hingga sampai disana.

“TOLOONG! SIAPAPUN, GUE TERKUNCI DISINI!!” Ify berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan suara. Alhasil, tenggorokannya sakit setelah melakukan aksi pekik ria itu. Tak bisa dengan suara, Ify mencoba menggedor pintu ruang musik keras-keras. Berharap akan ada orang yang lewat, mendengar dan berbaik hati membebaskannya dari sana. Namun, usahanya mendapati kesia-siaan. Tak ada perubahan. Pintu itu tetap diam, berdiri kokoh dalam keadaan terkunci. “Tolong!” Kata Ify yang terakhir kali. Ia putus asa untuk kembali menggedor benda dari kayu di hadapannya.
Ify kembali mendekat ke dinding, duduk seraya menekuk lutut dan lantas memeluknya. Samar-samar isakannya mulai menggericik. Yap, ia menangis. Ia menangis seraya membenamkan wajah. Sekarang gimana? Batinnya lirih. Ia begitu takut jika dirinya benar-benar tidak bisa merayakan hari ulang tahun Ferdi sesuai rencana. Membuat kue, menghias rumah, bagaimana mungkin ia melakukan hal tersebut sementara raganya saja terkurung dalam ruangan ini. Badannya pun tidak bertenaga. Masih bisakah ia melaksanakan itu semua?

***

“Gimana?” Tanya Via cemas sesaat setelah Agni memutus panggilan. Agni menggeleng lemah. Itu tanda bahwa Ify masih belum menjawab telpon. Agni menghembuskan nafas berat. Kali ini, ia benar-benar khawatir pada Ify. Ya, kalau sampai sesuatu tidak diinginkan terjadi pada gadis itu bagaimana? Ify polos, penakut, bahkan dibentak saja gadis itu bisa langsung menangis. “Yooong, lo dimana sih?” Ujar Shilla putus asa. Alvin pun tak tahu harus membantu apa. Ia hanya menepuk-nepuk punggung Shilla, semoga saja bisa sedikit membuat gadisnya tenang.

Tiba-tiba Rio berdiri dan pergi begitu saja dari perkumpulan itu. Semua lantas menoleh ke arahnya bingung. “Yo, mau kemana?” Pekik Alvin pada Rio yang sudah sampai di depan pintu rumah Agni. Rio diam tak menyahut. Ia tetap melangkahkan kaki hingga raganya tak lagi terlihat dalam rumah itu. “Tuh orang bener-bener patung! Mati rasa!” Tuding Via seraya geleng-geleng kepala. Sementara yang lain hanya mengedikkan bahu masing-masing.

***

Astaga..gue harus cari kemana? Tanya Rio dalam hati. Ia sudah masuk ke mobil dan bahkan sudah membuat kendaraan itu melaju, tanpa arah tentunya. Otaknya berpikir keras menentukan tempat yang memiliki peluang besar untuk Ify berada disana. Rumah, ah sudah jelas bukan. Jika gadis itu disana, bukan hilang namanya. Lalu dimana? Rio tak punya cukup pengetahuan tentang tempat-tempat kesukaan Ify. Terang saja, sikapnya saja selama ini selalu ketus pada gadis itu. Mengobrol pun jarang. Ia hanya bertemu Ify jika tidak di rumah ya di sekolah. Tunggu, di sekolah?

“Hah? Apa tuh anak masih di sekolah?” Rio mencoba berpikir jernih. Terakhir memang ia bertemu Ify disana. Tetapi, setelah itu, ia tak lagi bertatap muka dengan gadis itu. Ia hanya menemukan kekosongan kelas dengan tasnya yang tergeletak di salah satu kursi. Hmm, tidak ada salahnya dicoba! Pikir Rio. Ia lalu menekan gas kuat-kuat. Mobilnya sudah punya tujuan untuk dilajukan kali ini. Sekolah.
Sekitar 10 menit tak sampai, Rio kini sudah menginjakkan kaki di PARFAIT. Bagian depan cukup terang meski hanya diberi pencahayaan oleh satu lampu yang tak besar dayanya. Setidaknya, ia tidak akan merasa buta jika berjalan memasuki sekolahnya ini. Tak ada seorang pun yang Rio temukan sepanjang ia menyusuri koridor. Lampu-lampu kelas sudah dimatikan semua. Dengan terpaksa ia mengetuk satu-persatu pintu yang ia lewati. Berharap ada respon yang timbul dari balik benda tersebut.

Rio merogoh kantong dan mencoba menghubungi Ify. Berkali-kali ia mengulangi panggilannya itu karena Ify yang tak juga mengangkat. Sudah hampir 10 kelas ia lewati dan belum ada tanda-tanda ada Ify disana. Ia mendesah pelan dan berhenti sejenak. Kakinya cukup pegal akibat berjalan begitu lama. Lo dimana? Batin Rio. Untuk pertama kalinya ia merasakan khawatir yang teramat sangat, apalagi pada seorang gadis. Gadis yang telah berhasil membuatnya sedikit membuka mata, hati. Terbukti dengan ia yang sudah tidak lagi menyangkal rasa sukanya pada Ify.

Kaki Rio mulai bergerak kembali. Telinganya tetap ditempeli sebuah benda yang diharapkan bisa menghubungkan dirinya dengan Ify. Ia kini memasuki area belakang. Tempat ruang-ruang non akademik, dalam arti bukan ruang yang digunakan untuk belajar. Seperti, ruang lukis, ruang musik, perpustakaan, auditorium dan masih ada beberapa lagi. Suasananya tak jauh beda dengan yang terdapat di bagian depan. Masih sepi.

But how do you expect me? To live alone with just me..

Hmm, ternyata masih ada orang. Orang itu mungkin sedang mendengarkan musik. Samar-samar Rio mendengar bait-bait lagu yang diputar orang tersebut. Apa? Lagu? Hei, disini kan tidak ada orang! Apa jangan-jangan itu..

Rio segera berlari mencari sumber suara. Dan sampailah kini ia di dekat ruang musik. Lagu itu terdengar jelas sekali sekarang. Ia melihat ke sekeliling tempat itu. Sejurus kemudian, matanya menangkap sesuatu yang begitu familiar baginya, berada dalam tong sampah dengan letak seperti asal-asalan ketika menaruhnya disana. Sesuatu yang mungkin bisa membantunya menemukan jalan keluar. Ini..tas Ify, kan? Tanya Rio dalam hati. Ia tak begitu yakin, tapi seingatnya Ify selalu mengenakan tas seperti yang kini dipegangnya.

Ada sesuatu yang berdering lama dari dalam sana. Rio lalu membuka isi dalam tas itu dan menemukan sebuah ponsel yang berkedip-kedip memunculkan sebuah nama, namanya. Tak salah lagi, ini memang tas Ify. Rio menoleh ke arah pintu di sampingnya dan mendapati benda itu dibuat terkunci dari luar. Tak menunggu waktu lagi, ia dengan segera membebaskkan benda tersebut dari penguncian dan lantas membukanya. Ia lalu mendapati seorang gadis yang masih mengenakan seragam, sedang berjongkok seraya menekuk lutut. Kelihatannya gadis itu menangis. Haah, kelegaan besar menguasai hati Rio sekarang. Ia menghembuskan nafas setelah mengetahui siapa gadis itu. Itu Ify.

Sementara Ify sendiri, ia masih belum menyadari ia tidak lagi sendirian di dalam. Ia lalu merasakan ada sesuatu yang menyelimuti bagian belakang tubuhnya, membuat Ify sedikit tersentak akibat itu. Ia lantas mengangkat kepala. Rio? Ia melihat Rio sibuk membungkusi badannya dengan jaket. Jarak mereka cukup dekat dan cukup pula membuat dirinya merasa berdebar. Isakannya berhenti. Ia terus menatap ke arah Rio. Menunggu kata-kata yang –mungkin– akan dikeluarkan pemuda itu. Rio telah ‘selesai’ dan kini menatapnya balik.

“Bisa jalan?” Tanya Rio singkat. Ia menatap Ify –sedikit– lembut. Ify hanya mengedikkan bahu. Ia lalu mencoba berdiri dan membawa kakinya berjalan. “Aw..” Rintih Ify pelan. Ia hanya menatap miris pergelangan kaki kirinya. Melihat itu, Rio kembali mendesah. Ia memberikan tas yang ia pegang kepada pemiliknya. Ify menerima tas itu ragu-ragu dan memakainya pula. Rio kemudian maju ke depan gadis itu dan berjongkok. Ify hanya memandang heran ke arah Rio. “Naik!” Perintah Rio. Ify mengernyit bingung. “Hah?” Hanya itu yang bisa ia katakan. Rio mendesah untuk yang ketiga kalinya. “Cepet! Sebelum gue berubah pikiran!” Kata Rio lagi.

Ify pun menurut saja dengan apa yang pemuda di hadapannya katakan. Pelan-pelan tangannya bergerak mengalung ke leher Rio dari belakang. Tuhan..kenapa dia kembali baik? Lirih Ify dalam hati ketika Rio menggendongnya. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin diungkapkan oleh kedua manusia ini. Rio ingin sekali menanyakan sebab apakah sehingga gadis yang ia gendong ini terkunci bahkan sampai menangis seperti tadi. Ia sendiri heran akan bagian kiri dadanya yang tak bisa diam sejak ia menggendong Ify. Bagian itu dirasakannya seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari sana.
Sementara Ify, ia makin dibuat frustasi pada sikap tak konsisten Rio padanya. Baik, jahat, ia semakin sulit membedakan kedua hal itu khusus untuk Rio. Apa lagi maksud pemuda ini? Kenapa ia kembali baik padanya? Apa setelah itu hatinya akan dibuat longsor kembali? Apa sebenarnya yang Rio inginkan darinya? Ia sudah berusaha mundur tapi kenapa malah pemuda itu sendiri yang memancing perasaannya untuk mengapung kembali? Rrr..ia benar-benar tak habis pertanyaan akan Rio ini. “Kenapa?” Tanya Rio yang merasa dirinya diperhatikan sejak tadi.

Ify tak begitu kaget mendengarnya. Ia malah makin memfokuskan pandangan ke arah Rio. “Apa lo..khawatir sama gue?” Tanya Ify balik. Ia menatap Rio penuh harap, berharap bahwa pemuda itu memang mencemaskannya. Rio terlihat tersenyum sekilas. “Lo mau gue jujur atau bohong?” Ify mendengus mendapati respon Rio itu. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain, yang jelas bukan ke arah Rio lagi. Kejadian bahwa Rio bersikap baik padanya itu memang sama layaknya dengan fatamorgana. Hal yang bersifat khayal dan tak mungkin dicapai. “Lo bohong aja kalo gitu..” Serah Ify. Mereka lantas diam dan tak bicara lagi.

***

Ify duduk tak tenang sedari tadi di dalam mobil. Jamnya mungkin sudah merasa bosan akibat dilihat terus-terusan. Membuat Rio garuk-garuk kepala bingung. “Lo kenapa sih?” Tanya Rio akhirnya. Ify menoleh dan menghela nafas singkat. “Sekarang udah jam setengah 10 dan gue belum nyiapin apapun..” Ujar Ify. Raut mukanya terlihat begitu sedih. Bahkan suaranya tadi sempat bergetar. Dari sorot matanya, ia dapat dengan mudah mengulangi tangisnya kembali. “Buat apaan?” Tanya Rio lagi yang mulai penasaran. “Papa..Papa besok ulang tahun..” Bibir Ify mengerucut mengatakan itu.
Rio agak kaget mendengar itu. Jadi, besok Om Ferdi ulang tahun? Tanyanya dalam hati. “Ya udah, tinggal beli kue, kan?” Ify menoleh ke arah Rio lagi dan mengulangi hembusan nafasnya. “Kalau semudah itu, gue gak bakalan nangis mikirinnya dari tadi..” Ujar Ify. “Jadi?” Kesekian kalinya Rio bertanya pada Ify. “Gue mau bikin kue tart buat Papa. Lalu ngias rumah dan ngerayainnya tepat jam 12 malam, rame-rame. Tapi..gimana mau ngerayain kalau keadaannya kayak gini..” Pasrah Ify. Rio baru mengerti apa yang hendak Ify lakukan, sekarang.

Ia terlihat berpikir. Sejurus kemudian, ia kembali menoleh ke arah Ify. “Lo..beneran mau bikin kue tart?” Tanya Rio memastikan. Ify mengangguk meski kepalanya terlihat menunduk. Dalam sedetik, Rio langsung menambah kecepatan mobilnya. Ia berniat mampir ke sebuah supermarket. Untuk apalagi selain membeli bahan-bahan membuat kue tart dan pernak-pernik ulang tahun. Ify sempat terdorong ke belakang karena Rio menekan gas mendadak. “Ah..” Rintih Ify pada bagian pinggangnya. Bagian itu sedikit terasa nyeri. Rio menoleh cepat dan agak panik. “Kenapa pinggang lo?” Tanya Rio. Matanya bergantian memandang Ify dan jalan raya.

“Hah? Gak tahu..mungkin efek samping ditendang tadi..” Jelas Ify yang masih mengelus-ngelus pinggangnya. Mata Rio bertambah sedikit besar bulatannya mendengar penuturan Ify itu. “Ditendang?” Tukas Rio. Ditendang..hah?! Batinnya. “Iss..lo nanya mulu. Gue berasa jadi tersangka pencurian lah!” Keluh Ify seraya menatap Rio kesal. Rio melengos mendengarnya. Ia lantas merogoh ponsel kembali dan mencari beberapa nama di dalam kontak namun tetap fokus menyetir. Ia lalu mengetik beberapa kata dan mengirimkannya pada nama-nama yang ia pilih di kontak tadi.

***

Drrt..
BB Agni bergetar. Hmm, tak hanya Agni. Alvin juga. Shilla dan Via pun sama. Ponsel-ponsel mereka bergetar hampir disaat yang bersamaan. Tak hanya itu, isi pesan yang masuk pun identik. Dari orang yang sama dengan perintah yang sama pula. Sama-sama menyuruh mereka untuk hadir di rumah orang tersebut. Sesaat mereka saling berpandang sejenak. “Rio nyuruh lo juga?” Tanya Shilla kepada 3 orang di sekitarnya. Mereka mengangguk pasti. Tak perlu waktu lama bagi mereka yang akhirnya memutuskan pergi bersama-sama untuk berkumpul di rumah Rio, si pengirim pesan tersebut.

***

Tak mudah bagi Rio dan Ify menemukan supermarket yang masih buka. Sudah 3 supermarket mereka datangi dan ketiga-tiganya tutup. “Udahlah, kalo gak bisa..kita pulang aja..” Kata Ify putus asa. Ia merasa tahun ini, keberuntungan tak berpihak padanya untuk melaksanakan pesta ulang tahun Ferdi sesuai rencana. Rio pun ikut terbawa akan kehilang-asaan Ify itu. Sedetik kemudian ia menggeleng. “Sebelum ketemu, kita gak bakal pulang!” Tegas Rio kemudian. Ify menoleh ke arah Rio seakan tidak percaya pemuda tersebut mengatakan itu. Lo..Rio? Batin Ify bertanya-tanya.

Beberapa meter dari tempat mereka tadi, akhirnya ada satu supermarket yang hampir saja tutup jika mereka datang terlambat sedikit saja. “MBAK-MBAK JANGAN TUTUP DULU!!” Pekik Rio seraya menyembulkan kepalanya dari jendela mobil. Perempuan penjaga supermarket menoleh ke belakang dan menunda sebentar niatnya untuk membungkam garasi yang menjadi penutup bagian depan tempat itu. Rio menarik kembali kepalanya ke dalam dan menoleh pada Ify. “Lo bisa jalan?” Tanyanya. Ify berpikir sebentar lalu mengedikkan bahu. “Bisa gak bisa deh!” Putusnya.

Mereka lalu keluar dari mobil. Tak peduli pergelangan kakinya yang semakin sakit, Ify tetap berlari dan menghampiri perempuan tadi. Sementara Rio mengikutinya dari belakang seraya berharap-harap cemas dalam hati melihat gadis yang –baru– disukainya itu. “Kenapa ya?” Tanya perempuan itu. Ia bingung karena tiba-tiba didatangi dua orang muda-mudi berlainan jenis yang menyuruhnya untuk tidak menutup supermarket. Ditambah lagi dengan Ify yang masih memakai seragam. “Mbak, jangan di tutup dong? Ya ya ya? Buka bentar aja?” Bujuk Ify seraya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, memohon kepada si perempuan penjaga.

“Yah..gimana ya? Semua peralatan udah dimatikan, gak mungkin saya hidupin lagi?” Ujar perempuan tadi berusaha menolak. Melihat itu Rio pun angkat bicara. “Mm..dia ini tunangan saya. Nah, besok calon mertua saya itu ulang tahun. Kita belum nyiapin apa-apa, Mbak. Ntar kalo saya ditolak, Mbak mau tanggung jawab?” Kata Rio asal, membuat Ify mendelik ke arahnya. Heh? Tunangan? Cih..dijodohin aja gak mau! Gerutu Ify dalam hati. Ia tak habis pikir dengan 1001 tingkah aneh pemuda di sampingnya.

Perempuan tadi garuk-garuk kepala. Ia bingung kenapa ia dibuat seolah yang membutuhkan kedua sejoli ini? Mau tidak mau, ia pun menurut. Ia membuka garasi supermarket yang dijaganya, kembali. Ify tak henti mengucapkan terimakasih pada perempuan itu. Dengan cepat Ify bergerak kesana-kemari mengambil semua bahan yang ia perlukan sementara Rio memegangi keranjang belanjaan. Ify seolah lupa akan semua rasa nyeri yang mendera tubuhnya saat ini. Sementara Rio, ia hanya bisa menatap gadis itu yang terlihat bersemangat sekali. Ia tidak menyangka, hanya sebuah hari ulang tahun, hanya sebuah hari dimana terjadi peranjakan usia, dimana terjadi penambahan satu angka dalam umur seseorang, bisa berdampak sebesar ini pada Ify. Benar-benar...anak yang berbakti pada orang tua.
Sekitar 15 menit mereka berada dalam supermarket itu dan akhirnya pencarian bahan-bahan sudah selesai. Lagi-lagi Ify mengucapkan banyak terimakasih pada si perempuan penjaga. Begitu juga Rio. Namun, kadarnya masih lebih normal daripada Ify. “Ayo, cepat!” Seru Ify pada Rio yang terlihat agak kerepotan membawa beberapa barang. Sementara Ify sudah berlari begitu saja dan masuk ke dalam mobil. Rio hanya bisa geleng-geleng kepala seraya terkekeh kecil melihat tingkah polos gadis itu. Setelah menaruh barang-barang tersebut di kursi belakang, Rio pun ikut masuk ke dalam mobil. “Yo..makasih ya!” Ucap Ify seraya tersenyum tulus. Ia menepuk pundak Rio pelan.

Rio tersihir beberapa saat oleh senyum Ify itu. Membuatnya sedikit..grogi. “Gak usah GR!” Datarnya sebisa mungkin. Ia beberapa kali menghela nafas berusaha beradaptasi pada detak jantung yang mendapat genjotan mendadak. Astaga!! Batin Rio. Ify tak tersentak akan perkataan Rio padanya. Ia mulai terbiasa pada segala sikap dingin, ketus bahkan baik dari Rio. Ia memutuskan tak akan salah mengartikan sikap-sikap tersebut. Hanya satu kata kuncinya. Rio gak suka gue! Batinnya mantap. Ya, ia sudah meresapi makna kata-kata itu baik-baik. Memang sedikit tersiksa rasanya, tapi tak ada masalah jika ia rela bahkan menikmati sensasi yang diakibatkan rasa sakit itu. Itu resiko. Lagipula, tak ada pekerjaan yang tidak menuai kepahitan dalam hati bukan? Pasti ada!

“Iya, gue tahu diri kok! Hehe..” Cengir Ify. Ia lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela. Mengamati keriuhan kota Jakarta di malam minggu. Sementara itu, malah Rio yang sepertinya tertohok oleh reaksi Ify barusan. Reaksi yang tidak disangka-sangka akan dilancarkan oleh Ify. Kata-kata yang diucapkan gadis itu sontak membuat hatinya merasa khawatir. Entahlah, yang jelas ia tidak ingin Ify merespon seperti itu padanya. Ia ingin respon gadis itu seperti kemarin-kemarin, yang akan sedih jika ia bersikap dingin bahkan ketus terhadapnya. Diam-diam ia melirik ke arah Ify sebentar lalu kemudian kembali menatap jalan raya di depannya.

***

Amanda menyambut baik teman-teman Rio –Agni dkk– yang datang ke rumahnya. Ia sudah diberi konfirmasi dari Rio bahwa mereka akan segera hadir di rumahnya untuk membantu surprise party Ferdy. Agni agak kaget melihat ada Iel duduk di sova, lebih-lebih sudah ada Cakka pula disana. Via, Shilla dan Alvin pun sama bingungnya dengan Agni. Apalagi Iel dan Cakka yang notabenenya tak tahu ‘apa-apa’ sama sekali. “Lo semua kok pada datang kesini? Kayak lebaran aja?” Tanya Iel bingung. Cakka hanya diam melihat 4 orang yang baru saja datang itu. “Tahu! Disuruh Rio tadi.” Jawab Agni malas seraya mengambil posisi duduk di sova layaknya yang Iel dan Cakka lakukan. Begitu juga dengan Via, Shilla serta Alvin.

Tak lama kemudian, Rio datang bersama Ify dan ‘anak-anaknya’. Shilla, Via dan Agni lekas merasa lega melihat Ify sudah berada disana dan dalam keadaan...yah cukup baik lah. “Astagaa! Lo akhirnya muncul juga!” Ujar Shilla seraya menghembuskan nafas lega. “Heh, asal lo tahu ya, gue hampir mati khawatir mikirin lo! Kemana aja sih?” Keluh Agni. Sementara Via hanya manggut-manggut sedari tadi. Lalu, Cakka dan Iel? Hoho, kalian bisa tebak sendiri bagaimana ekspresi mereka sekarang.
Ify hanya nyengir ditodong seperti itu. “Hehe, ntar aja deh gue jelasin. Eh bantuin gue dong ngias rumah Rio? Gue mau bikin kue dulu di belakang!” Ujar Ify. Ia lantas beranjak menuju dapur sambil membawa bahan-bahan yang dibutuhkannya disana. Yang lain pun mengerjakan apa yang Ify pinta. “Gue ke belakang dulu!” Ujar Rio tanpa ekspresi. Seperti biasa. Yang lain sempat saling pandang lalu serentak mengedikkan bahu. “Gue sama Shilla ngias bagian tengah di atas!” Pilih Alvin terlebih dahulu. “Lo sama Agni dan lo sama Via deh biar adil!” Tunjuk Alvin pada Cakka dan Iel berurutan. Agni dan Via sedikit menolak di awal. Tentu saja, mereka bisa tidak fokus kalau begini caranya!
“Loh loh kok gue sama Iel? Gue sama Agni aja apa susahnya?” Gerundel Via seraya melipat kedua tangan di dada. Agni masih diam sambil memandang ke arah Alvin. “Kan gue bilang biar adil!” Balas Alvin santai. Ia dan Shilla lekas menaiki tangga setelah sebelumnya memilih-milih bahan apa yang akan mereka jadikan untuk hiasan. Via dan Agni saling pandang sejenak lalu melengos. Ya sudahlah. Pasrah mereka berdua. Mereka juga naik ke atas bersama partner masing-masing. Siviel ke bagian kanan sementara Cagni ke bagian kiri.

***

CPLOK!
Ify memecah satu persatu dari keenam telur yang ada di depannya. Setelah semuanya terpecah dan dimasukkan ke wadah yang agak besar, ia lalu memasukkan mentega serta pengemulsi ke dalamnya. Ia lantas mengocok campuran itu. Lengan atasnya sedikit sakit ah bukan sedikit, sangat malah. Ia mengaduk campuran itu seraya memegangi lengannya itu. Tiba-tiba tubuhnya tergeser ke samping dan pengaduk serta baskom yang ia gunakan tadi sudah berada di tangan Rio. HH, kapan nih orang datangya? Batin Ify yang tidak menyadari kapan pemuda itu menempatkan diri di sebelahnya. “Eh..?” Kaget Ify.

Rio yang sekarang terlihat mengocok adonan hanya diam tanpa menoleh sedikitpun. “Diaduk sampe kapan nih?” Tanya Rio masih belum menoleh. Ify tersadar dan langsung melihat ke adonan. “Ah..ee..aduk aja dulu sampe dia ngembang..” Jelas Ify. Rio diam tak berkomentar. Sementara Ify, ia masih memperhatikan wajah pemuda itu dan lantas garuk-garuk kepala heran. Pemuda ini...ahli sekali melambungkan perasaan seseorang, ckckck..

***

Shilla meniup balon berwarna biru di mulutnya. Matanya terlihat menyipit dan pipinya pun menggembung. Begitu lucu jika dipandang. Setidaknya, begitulah menurut Alvin. Ia lantas terkekeh melihat raut wajah kekasihnya sekarang. Mata Shilla melotot melihat itu seolah-olah hendak menanyakan ‘Apa yang lucu?’. Alvin hanya menggelengkan kepala seraya tetap menyerukan kekehannya. Shilla berhenti meniup balon karena merasa bundarannya sudah terlalu besar. Bahaya jika benda bundar itu meletus di mulutnya.

Shilla lantas kebingungan bagaimana cara mengikat balon tersebut. Masa iya, dia harus memeganginya terus-menerus? Ia lantas menggaruk-garuk kepala mencoba mencari jalan keluar. Alvin melihat itu seraya mengerutkan keningnya. “Kenapa?” Tanya Alvin yang melihat air muka kebingungan dari Shilla. “Ngiketnya gimana?” Polos Shilla. Ia mengangkat sedikit balon yang ada di tangannya ke arah Alvin. Alvin tersenyum dan mengambil alih balon itu. “Liat ini!” Ujar Alvin seraya mendemonstrasikan cara ia membuat udara dalam balon tersebut terkunci.

“Nah, simple kan?” Ujar Alvin lagi setelah selesai mengikat. Shilla membulatkan mulutnya dan kemudian mengangguk tersenyum. Alvin terkekeh lagi dan kali ini ia juga mengacak-ngacak pelan puncak kepala gadisnya. “Lagian lo kenapa jadi bego gini sih?” Tuding Alvin yang dengan mudahnya meluruskan lengkungan di bibir Shilla. Shilla menatapnya datar sekaligus sinis. “Maksud lo?” Ujarnya tak terima. “Iya, biasanya kan lo jago dalam hal ikat-mengikat?” Ujar Alvin yang sekali lagi membuat lengkungan bibir Shilla semakin rata.

“Lo kalo mau ngehina to the point aja! Sejak kapan gue ahli ngikat-ngikat segala macam? Ngikat tali sepatu aja bisanya pas masuk SMA.” Dumel Shilla. Ia tak habis pikir akan pemuda satu ini. Jika disekolahkan, mungkin Alvin sudah menjadi sarjana S3 dalam bidang study membuatnya kesal. Kok bisaa gitu gue jatuh cinta sama orang semenjengkelkan kayak dia? Pikirnya. Melihat itu Alvin lantas terkekeh lagi. “Haha, lo aja yang lupa. Tuh, buktinya lo berhasil ngikat hati gue agar selalu deket hati lo! Lo gimana sih?” Goda Alvin.

Tak ayal, pipi Shilla bersemu mendengar itu. Hmm, lagi dan lagi, pemuda ini berhasil menghapus rasa kesal di hati Shilla dalam sekejab. Shilla kemudian mengambil balon berikutnya yang belum terisi udara sama sekali dan menyodorkannya pada Alvin. “Nih, tiup!” Suruhnya. Alvin masih diam menatap Shilla. “Capeek!” Kata Shilla manja. Alvin terus dibuat terkekeh akan tingkah gadis itu. Aiss..bagaimana mungkin ia bisa meminta putus dengan gadis semenggemaskan ini? Hehe..

***

Rio masih sibuk mengaduk adonan yang tadi sudah ditambahkan dengan beberapa bahan lain. Sementara Ify, ia kini sedang mengolesi loyang dengan margarin. Perutnya sudah tak ‘tenang’ dari tadi. Rasa seperti ditusuk-tusuk kembali muncul. Membuatnya berkali-kali memegangi perut. Badannya juga berkeringat dingin serta bibirnya yang menjadi sedikit pucat. “A..” Rio lantas menunda aksi buka suaranya melihat perubahan sikap Ify. Tangan kiri yang mencengkram kuat bibir meja sementara tangan kanan memegangi perut. Air mukanya seperti seseorang yang sedang merasakan sakit. “Kenapa lo?” Tanya Rio.

Ify agak kaget dan menoleh. Detik selanjutnya ia menggeleng seolah memberitahu Rio bahwa ia tidak apa-apa. Tapi tetap saja, hal itu justru membuat Rio sadar bahwa ia tidak sedang dalam keadaan baik. “Dari kapan lo belum makan?” Tanya Rio lagi. Ia menatap Ify lekat-lekat agar gadis itu bisa menjawab dengan jujur. Ify menoleh lagi. Ia masih bersikeras bahwa ia tidak apa-apa. Namun, melihat Rio yang menatapnya tanpa berkedip itu pun akhirnya membuat Ify tak bisa mengelak. Ia menghela nafas singkat seraya menjawab, “Emm, dari semalem hehe..” Jawabnya pura-pura nyengir. Rio mendengus mendengar itu. Bodoh! Batin Rio menuding. “Kenapa ketawa?!” Ketus Rio.

Rio benar-benar kesal pada gadis ini. Dia hanya orang baru dalam kehidupan Rio tapi kenapa bisa membuat hatinya ‘serepot’ ini? Ify tersentak mendapati sikap ketus Rio barusan. Yah..jahat lagi deh! Batinnya lirih. Ia tak berani menatap Rio lagi dan lantas memanyunkan bibirnya. “Ikut gue!” Paksa Rio tanpa menunggu persetujuan dari Ify. Ia langsung menarik lengan gadis itu dan membawanya pergi ke luar rumah, tepatnya masuk ke dalam mobil. “Eh eh kuenya gimana?” Kaget Ify yang merasa tubuhnya ditarik tiba-tiba. Jemarinya pun masih terlumuri oleh bekas-belas mentega yang ia gunakan untuk mengoles. “Gak lucu kalo lo pingsan disaat kue itu udah jadi!” Ketus Rio lagi dan langsung menginjak gas melajukan mobilnya.

Sementara itu, di ruang tengah, masing-masing hanya mengedikkan bahu melihat apa yang dilakukan Rio dan Ify itu. Mereka kembali fokus menghias. “GESER KE KANAN!” Pekik Via dari bawah. Sementara Cakka dan Agni memegang spanduk dari atas mengikuti arahan dari Via. “EH GESER DIKIT KE KIRI!” Pekik Via lagi. Cakka dan Agni pun menggesernya sedikit ke arah kiri. “Loh kok ke arah situ sih?! KIRI WOY KIRI!” Gerutu Via. Yang ia lihat, Cagni malah menggeser spanduk itu ke kanan. “INI UDAH KE KIRI VIAAA!!” Sungut Agni dan Cakka kompak. Mereka berpandangan sejenak lalu melengos. Agni sudah mulai lelah. Pasalnya, sudah setengah jam Via mengarahi mereka tapi tak juga mencapai kata ‘pas’.

“Ahelah..maksud gue arah kiri gue!” Sahut Via kemudian seraya garuk-garuk kepala. Agni melengos lagi mendengar itu sementara Cakka malah ikut garuk-garuk kepala. “Yaelah, bilang kek!” Rutu Agni. Mereka pun bergerak ke arah kanan. “Eh itu malah tambah miring. Lo gimana sih? CAK, KE KANAN!” Kali ini Iel yang memberikan instruksi. Cagni lantas bergerak ke kiri kembali. Via sontak mendelik ke arah Iel. “KE KIRI AAAG!” Pekiknya kemudian. Lagi-lagi Cagni menurut. Mereka pun bergerak ke kanan. “EH GUE BILANG KE KANAN!” Ujar Iel tak mau kalah. Baru saja Cagni hendak bergerak, Via kembali berteriak. “POKOKNYA KE KIRI!” Sungut Via.

“KANAN!” Balas Iel. Ia tetap keukeh bahwa Cagni harus bergerak ke kanannya. “KIRI!” Desak Via. Ia menatap kesal Iel dan sebaliknya. Sementara Cakka dan Agni, sejujurnya merekalah yang lebih berhak untuk merasa kesal sekarang. Dua manusia di bawah sana benar-benar...”VIA!”
“IEL!”

***

Rio dan Ify, masing-masing berdiam diri di dalam mobil. Tak ada yang berusaha memancing obrolan. Mobil Rio kemudian berhenti di sebuah kedai yang menjual beberapa jenis makanan. Salah satunya bubur. Hmm, jarang-jarang memang ada toko yang menjual bubur di malam hari. Tapi, karena itulah, kedai ini selalu terlihat ramai dikunjungi. Dan sekarang, Rio dan Ify menjadi 2 dari sekian banyak pengunjung disana. Ify masih diam di mobil saat Rio sudah keluar. Rio lantas membuka pintu mobil dan menariknya ikut keluar. Ia membawa Ify masuk dengan tetap memegang pergelangan tangan gadis itu. Seperti biasa, ada sesuatu yang bereaksi tak wajar ketika mendapati perlakuan Rio tersebut dalam diri Ify. Ia hanya pasrah mengikuti kemana dirinya dibawa.

Rio dan Ify sampai di meja lesehan bernomor 6. “Duduk!” Perintah Rio pada Ify. Ify lagi-lagi hanya menurut dan duduk seperti yang Rio perintahkan. Rio kemudian pergi memesan bubur. Beberapa menit kemudian, Rio kembali dan kali ini tidak sendirian. Tentu saja bersama seorang pelayan yang mengantarkan bubur pesanannya. “Makasih, Mas!” Kata Rio setelah mengambil posisi duduk berhadapan dengan Ify. Ia lalu menyodorkan mangkok berisi bubur tadi pada Ify. Ify tak langsung menerima melainkan hanya diam seraya memandangi mangkok tersebut. “Makan!” Lagi-lagi Rio memaksanya.

“Aduuh..kita pulang aja yok?” Bujuk Ify. Ia menggosokkan telapak tangannya memohon pada Rio seperti yang ia lakukan kepada perempuan penjaga supermarket. Bukannya mengabulkan, Rio malah mendengus dan semakin kesal pada gadis itu. Ia mengambil kembali mangkok bubur tadi seraya mengaduk-ngaduk isinya. Ia menangkup sesendok bubur tersebut dan menghembusnya pelan. “Buka mulut!” Kata Rio lagi yang kali ini menyodorkan sesendok bubur pada Ify. Kepala Ify sedikit terdorong ke belakang karena kaget. Ya, benarkah Rio melakukan itu? Untuknya?

“Buka mulut!!” Perintah Rio lebih keras. Spontan, Ify langsung membuka mulutnya dan menerima suapan Rio. Sungguh suatu hal yang di luar akal dan pemikiran Ify. Rio menyuapinya? Haha, lelucon apalagi ini? Begitulah menurut Ify. Makanan yang ada di mulutnya tak bergerak sedikitpun. Ia masih setengah tidak percaya dengan apa yang ia alami sekarang. Ia terus menatap Rio mencari sebuah kejelasan mengenai alasan pemuda itu melakukannya. “Kenapa?” Tanya Rio yang dalam keadaan menunduk. Intonasinya benar-benar lembut saat mengatakan itu. Mengakibatkan sebuah desiran hebat di bagian dada Ify.

“Uhukk!!” Ify tersedak bertepatan dengan saat munculnya desiran itu. Ia lantas menepuk-nepuk dadanya berharap tenggorokannya normal kembali. Rio lumayan terkejut dan langsung menyodorkan segelas air putih pada Ify. Ify tak menolak seperti sebelumnya. Air dalam gelas tersebut dalam sekejab raib. Ia akhirnya dapat merasakan lega karena tak lagi merasa tersedak. “Lo..gak papa?” Tanya Rio memastikan. Aduuh..mata lo, Yooo!! Teriak Ify dalam hati. “Emm..gue makan sendiri aja, hehe..” Cengir Ify dan mengambil mangkok berisi bubur yang tadi dikembalikannya.

Rio membiarkan saja mangkuk itu diambil. Lagipula, hal itu jauh lebih baik bukan? Karena denganbegitu, Rio bisa dengan leluasa memperhatikan Ify yang sekarang terlihat agak gelisah. Hmm, mungkin efek dari Rio yang memandanginya terus-menerus. Sesekali ia terlihat melirikkan mata ke arah pemuda itu. Iss..kapan sih lo bikin gue normal, Yo? Rutu Ify dalam hati. Seulas senyum tipis, sangat tipis bahkan hampir tak terlihat, membias di wajah Rio.

***

Sekarang sudah hampir memasuki jam 12 alias tengah malam. Ferdi tak juga menemukan asa untuk segera terlelap dalam tidur. Bagaimana mungkin ia bisa tidur? Pinggangnya terasa sakit beribu-ribu kali dari sebelumnya. Ia pun sudah merubah-rubah posisi tidur dari telentang, menyamping kiri, menyamping kanan, telentang lagi bahkan sampai menelungkup. Tapi, usaha itu masih belum ada hasilnya. Malah rasa sakit itu semakin bertambah jumlahnya. Masih dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada seseorang yang ingin melakukan pembicaraan dengannya melalui benda itu.

Tangannya bergerak hendak menjawab panggilan tersebut. Sebuah nama yang tak cukup asing bagi Ferdi terpampang di layar. “Hallo..” Sapa Ferdi pada si penelepon. Ia diam sejenak mendengar apa yang dikatakan orang itu. Saat itu pula, raut wajahnya tiba-tiba terlihat panik. Ia tergesa-gesa menegakkan tubuhnya, mengambil kunci mobil dan langsung keluar kamar. Pinggangnya? Sudahlah, ia tak lagi peduli. Ada yang lebih penting daripada sekedar memikirkan bagaimana cara mengurangi rasa sakit di bagian badannya itu.

Dalam waktu 15 menit, Ferdi telah sampai di sebuah rumah yang boleh dibilang cukup megah. Rumah yang pernah ia datangi bersama anaknya, Ify. Yap, dimana lagi kalau bukan di rumah Rio. Sampai di pintu, ia tak langsung mengetuk bahkan membukanya. Ia sempat mencengkram kuat gagang pintu tersebut. Sakit yang menderanya, terasa begitu mematikan. Ia dapat dengan mudah roboh sekarang. Tapi, ia kemudian ingat apa tujuan sebenarnya ia datang ke tempat ini. Memastikan keadaan anaknya. Memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja bukan seperti yang dikatakan orang yang meneleponnya bahwa Ify mengalami kecelakaan dan dibawa ke tempat ini.

Ferdi membuka pintu tersebut yang anehnya tidak terkunci. Gelap. Suasana itu yang pertama kali ditemuinya di dalam sana. Ia mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam, mencari siapa saja yang bisa ia ajak bicara. “Hellooo? Ifyy?” Suaranya menggema dalam ruangan besar yang di jajakinya. Sedetik kemudian, tiba-tiba lampu menyala terang disertai dengan letusan-letusan balon dan bunyi terompet, yang dalam sekejab menguasai seluruh bunyi yang ada. Tak lupa, ada sebuah spanduk besar yang terbentang di atasnya, di depannya. Spanduk bertuliskan ‘HAPPY BIRTHDAY PAPA’. Itu yang ia lihat.

“HAPPY BIRTHDAY OOOM!!” Seru seluruh manusia yang ada disana. Ferdi masih diam, terperangah akan kejutan yang tak disangka-sangka. Namun, di kepalanya masih saja terus memikirkan dimana Ify. Ia mengedarkan pandangan ke berbagai arah berharap matanya segera menangkap sosok gadis itu. Dan..matanya pun berhenti pada 4 orang berbeda usia yang sedang bergerak menuruni anak tangga. Salah satu dari mereka terlihat memegang sebuah kue tart cukup besar dengan ditancapkan lilin dengan angka 46 di atasnya. Salah satu dari mereka juga merupakan orang yang sedari tadi ingin ditemui sekaligus dipastikan keadaannya oleh Ferdi. Hatinya sedikit lega mengetahui bahwa anaknya baik-baik saja.

Keempat orang tersebut kini sudah berada di hadapan Ferdi. Seorang pemuda di antaranya yang memegang kue sementara gadis di sebalahnya yang mendesak Ferdi agar segera meniup lilin yang menyala di atas kue itu. “Ayoo ditiup, Papaa!” Pinta gadis itu manja, yang tak lain adalah Ify. Karena gadis itu Ify, maka dapat disimpulkan dengan mudah bahwa Rio adalah si pemuda pemegang kue. Mereka sama-sama tersenyum senang melihat Ferdi, begitu pula dengan Ferdi sendiri. Perasaan bahagianya seolah menjadi berlipat ganda. Bahagia mendapati anaknya baik-baik saja sekaligus dengan kejutan yang memang sukses membuatnya terkejut seperti sekarang.

Sebelum meniup lilin, Ferdi menutup matanya sejenak. Entah kenapa, ia ingin sekali berdoa. Benar-benar fokus ia berdoa hingga bisa melupakan kenyiluan yang bersemayam di pinggangnya. Firasat Ferdi mengatakan bahwa akan susah baginya mengulang kejadian seperti ini lagi, di waktu-waktu berikutnya dan di tahun-tahun selanjutnya. Ia pun tak tahu darimana firasat itu berasal. Yang jelas, ia hanya ingin berdoa, mendoakan semoga anaknya, Ify, dapat selalu merasa bahagia dan tak kesepian. Bagi Ferdi, mungkin memang itulah yang paling diidam-idamkannya sebagai seorang ayah. Melihat sang anak dapat leluasa menjalani keseharian sudah termasuk dalam deretan daftar yang bisa membuatnya ikut merasa bahagia, sangat bahagia.

Tak lama, mata Ferdi kembali terbuka. Ia lekas meniup lilin seperti yang Ify pinta. “Yeee!!” Seru Ify seraya bertepuk tangan. Ia benar-benar senang saat ini. “AARGH!” Ferdi kembali mengerang kesakitan. Kali ini, sakit di pinggangnya sudah tidak bisa di tolerir. Suasana yang tadi cerah, dalam hitungan detik berubah menjadi tegang. Agni dan semua yang berada di atas lekas turun menghampiri Ify dan Ferdi. Ferdi akhirnya benar-benar roboh dan jatuh pingsan. “Loh, Papa! Papa! Papa bangun! Jangan bikin Ify khawatir dong! Papaa!” Ify berusaha membuat Ferdi bangun kembali, setidaknya membuka mata. Tapi, percuma. Ferdi memang sudah tak sadarkan diri.

***

Mobil Rio sampai di depan rumah sakit. Para perawat segera membawa Ferdi ke UGD untuk ditangani. Ify dan yang lain hanya bisa menunggu di luar. Tentu saja Ify yang paling terlihat tidak tenang meski ia hanya dengan berdiri diam. Sejujurnya, ia sangat takut berada di rumah sakit. Setiap berada di tempat ini, ia selalu teringat akan Gina, Mamanya. Singkatnya, ia trauma akan rumah sakit. Tempat yang notabenenya menjadi saksi terenggutnya nyawa Gina. Ify lagi-lagi hanya bisa menunduk seraya memulai aksi memelintir baju. Air matanya mengkristal setetes demi setetes dan perlahan berjatuhan. Dengan kata lain, ia menangis meski tidak mengeluarkan suara. Beberapa kali ia pun terlihat menyeka air mata yang tak bisa ia tahan kelajuannya itu.

Ify sendiri yang terlihat berdiri menghadap ke pintu UGD. Sementara yang lain, sudah duduk di kursi yang tersedia. Ia sudah beberapa kali dibujuk bahkan oleh Amanda dan Zeth untuk duduk tenang sebentar. Tapi, ia tetap keras kepala ingin menunggui Ferdi selesai diperiksa. Ini pertama kalinya ia terlihat begitu khawatir. Dulu saat Gina meninggal, usianya masih terlalu muda. Masih terlalu dini untuknya memahami situasi yang terjadi pada saat itu. “Papa..” Lirih Ify pelan. Tak cukup terjangkau oleh telinga yang lain. Kecuali jika mereka berada di dekat Ify. Seperti pemuda yang kini berada di sebelahnya. Pemuda itu pasti bisa mendengar gumaman Ify tadi.

Ify masih setia menunduk. Sementara Rio, pemuda tersebut, berkali-kali melirik ke arahnya dan berkali-kali pula ia menghela nafas. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Ia kini telah sadar, menghadapi orang yang diam itu ternyata jauh lebih sulit dibandingkan orang yang aktif sepanjang hari. Apalagi ia pribadi yang tak termasuk ‘ramah’ pada setiap orang. Hmm, ia lantas dibuat berpikir, betapa susahnya Ify menghadapi bahkan menyesuaikan diri akan sikapnya selama ini. Ckck, kasihan juga. Pikirnya. “Tenanglah! Papa lo baik-baik aja!” Ujar Rio mencoba menenangkan. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak ada reaksi yang spesial karena Ify masih saja diam. “Lo gak capek?” Tanya Rio kemudian. Kali ini, sedikit ada perkembangan. Ify menggeleng meskipun belum mengeluarkan suara. Yah, setidaknya ia tidak membiarkan Rio berbicara sendirian.

Rio menepuk-nepuk punggung Ify pelan. Lagi-lagi, ia berusaha membuat gadis itu tenang. “Jangan nangis! Jangan mikir yang gak seharusnya!” Kata Rio tanpa menoleh ke arah Ify. Ify mengangkat kepalanya perlahan dan melihat Rio. Ia semakin tidak mempercayai semua yang telah dilakukan pemuda itu hari ini, untuknya dan kepadanya. Menurut Ify, itu sama sekali bukan Rio. Lalu..lo siapa? Tanya Ify dalam hati seraya terus menatap ke arah Rio. Merasa dirinya di perhatikan, Rio pun menoleh. Ia mendapati Ify tengah melihatnya dengan ekspresi yang..emm boleh dibilang ada banyak maknanya. Ify menatap Rio seperti ingin memastikan dapatkah perkataan pemuda itu dipercaya atau juga bisa diartikan ia seperti belum mempercayai baik yang Rio katakan maupun lakukan.

Rio kembali menghela nafas lalu menatap Ify hangat. “Duduk sana!” Suruh Rio. Ify lantas mengalihkan pandangan dan sekilas menunduk kembali. Ia lalu menurut dan mulai melangkah mangkir dari hadapan pintu UGD serta duduk di sebelah Via. Hmm, mungkin Rio benar. Ia jangan terlalu khawatir dan memikirkan hal-hal yang tidak diinginkan. Ferdi baik-baik saja. Ya, Papanya akan baik-baik saja. Papanya itu pasti akan normal dan sehat kembali. Ya..semoga saja.

***

Ferdi sudah sadar. Beberapa peralatan medis seperti yang paling familiar adalah infus sudah terpasang di tubuhnya. Laju aliran cairan infus ke dalam tubuhnya pun ditinggikan. Ferdi sangat butuh cairan itu sekarang. Sementara itu, seorang laki-laki seumurannya, dengan baju khas dokter di rumah sakit itu, berdiri dan menatapnya bosan. Bosan menghadapi sikap Ferdi yang menurutnya sangat keras kepala. Ferdi melihat itu pun merasa sudah biasa. Reaksi yang bahkan sudah terlalu biasa baginya. “Sudahlah, jangan menatapku seperti itu.” Ujar Ferdi yang jika ditinjau dari kata-kata yang ia utarakan, mereka berdua pasti sudah begitu akrab.

Sang dokter melengos mendengarnya. “Sampai kapan kau merentang tirai menutupi penyakitmu ini? Hah?” Kesal sang dokter, yang terdapat nama ‘OBIET PANGGRAHITO’ di bajunya. Hmm, sudah pasti namanya Obiet. Ferdi hanya tersenyum dan tak lantas menanggapi. “Kau harus tahu, tirai tak selalu dapat menutupi apa yang ada di baliknya. Karena setiap tirai memiliki ketebalan yang berbeda. Dan nyatanya, kau mempunyai tirai dengan ketebalan yang hanya bisa berfungsi untuk menyamarkan bukan menyembunyikan. Alias, tirai yang kau pakai itu terlalu tipis!” Obiet mulai mengoceh. Berharap Ferdi mau, sedikit saja memaknai baik-baik apa saja yang ia katakan barusan.

Tapi, ia salah. Ferdi bahkan semakin percaya diri untuk tersenyum. “Sudahlah, jangan memamerkan sastra-isme mu padaku. Aku tidak akan mengerti! Haha..” Tawa Ferdi. Obiet lantas menggeleng-gelengkan kepalanya heran. “Kau yang tidak mau mengerti!” Sungut Obiet. “Meskipun tipis, setidaknya tirai itu masih memperjuangkan dirinya hingga saat ini. Sudahlah, jangan berpuitis dengan kata-kata indah. Kata-kata indah juga tak akan membuatku merasakan keindahan akan keadaan.” Kata Ferdi dan tersenyum enteng. Obiet hampir tidak tahu lagi bagaimana cara ‘berbicara’ dengan laki-laki paruh baya di hadapannya.

“Oh ya, jangan beritahu penyakitku pada Ify. Aku tidak ingin dia..” Belum selesai Ferdi berbicara, lantas disalip begitu saja oleh Obiet. “Khawatir? Hh, kau pikir, dengan umurmu yang nyaris setengah abad ini, masih pantas mengatakan itu? Apa kau ingin puber kedua? Hanya remaja labil yang menggunakan alasan kuno seperti itu. Alasan tidak beralasan yang diputuskan berdasarkan hati nurani tanpa pemikiran logis sebelumnya!” Potong Obiet tak sabaran. Lagi-lagi, Ferdi tersenyum. “Bukannya setiap orang melakukan sesuatu berdasarkan hati nurani? Dulu kau sering mengatakan itu padaku?” Sanggah Ferdi.

“Apa kau lupa? Aku juga mengatakan bahwa hati nurani akan bekerja seperti seharusnya jika kau pandai mengkoordinasinya dalam hal yang seharusnya pula. Tak ada hasil positif yang akan kau dapat jika terus mengandalkan hati nurani. Sekali-kali, kau juga harus memfungsikan otak. Jangan menjadi orang yang pilih kasih bahkan pilih fungsi!” Kata Obiet lagi. Ia benar-benar gemas mendapati sikap bebal Ferdi. “Ah kau ini! Sudah kubilang, jangan teramat berpuitis. Aku tidak mengerti!” Elak Ferdi hendak mengalihkan pembicaraan. “Kau benar-benar ingin puber kedua. Kau labil, tak dapat berpikir jernih dan selalu mengelak. Persis seperti remaja.” Tuding Obiet seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Kau ini, panjang lebar menutur kata-kata, pada akhirnya kau hanya ingin mengejekku dengan hal itu, dibalik puitisme yang kau punya. Dasar!” Tawa Ferdi lagi. Membuat Obiet kembali menoleh. “Kenapa kau tidak ingin aku memberitahu Ify?” Tanya Obiet sedikit mengarah serius. “Bukankah kau sudah tahu?” Ferdi malah bertanya balik. Obiet menghela nafas singkat dan menatap Ferdi jemu. “Tak ingin membuatnya khawatir? Justru dengan kau yang sering ambruk seperti ini, tanpa ia tahu apa penyebabnya, tanpa ia tahu apa yang kau sembunyikan dari barisan kalimat ‘baik-baik saja’ padanya, akan membuat setiap malam anakmu digeluti kecemasan, kau tahu?”

“Ini akan menjadi saat terakhir kali aku ambruk. Kau ini, terlalu berlebihan!” Obiet hanya bisa geleng-geleng kepala, ia sudah kehabisan susunan kosakata yang bisa ia sampaikan untuk Ferdi. “Kau telah meragukan kemampuanku. Aku seorang dokter, orang yang dari awal menanganimu, aku yang lebih tahu apakah saat ini akan menjadi terakhir kali aku melihat kau terbaring di tempat tidur ini atau bahkan awal mula kau akan menjadi penghuni tetap di tempat ini.” Balas Obiet tak terima. “Sudahlah, aku hanya tidak ingin anakku merasakan kekhawatiran ganda. Cukup ia merasa khawatir ketika aku sudah tak diberi izin melihat dan dilihatnya. Alias, ketika Tuhan menghentikan pergerakan jantung yang aku punya. Yang sekaligus membuatku tak perlu lagi susah payah merentang tirai serta didera sakit menjengkelkan ini!” Lantur Ferdi. Hal itu lantas membuatnya mendapat sorotan tajam dari mata Obiet.

***

 Suasana di luar rumah sakit masih sama. Semua saling diam. Ify masih menunduk dengan Via yang merangkulnya. Via hanya menatap sendu ke arah temannya itu. Ia tak ingin banyak bicara. Karena sesungguhnya, orang yang bersedih itu tak membutuhkan uraian kata sama sekali. Mereka perlu diberikan waktu untuk menyendiri. Kita hanya bisa berbicara ketika ia ingin kita berbicara. Begitulah menurut Via. “Mama sama Papa pulang aja, biar Rio yang nunggu Ify disini.” Bisik Rio pada kedua orangtuanya. Amanda sempat enggan namun melihat kedua laki-laki yang sama-sama menatapnya, menunggu ia melakukan persetujuan, ia akhirnya menurut.

“Ify, Tante dan Om permisi pulang ya? Kamu gak papa kan sama Rio disini?” Tanya Amanda lembut sekaligus pamit pada Ify. Ify mendongak sebentar dan mengangguk seraya memaksakan diri tersenyum, meski terlihat tipis. Amanda menghembuskan nafas berat. Ia masih tidak rela meninggalkan Ify disana. Tapi, sudahlah. Ada Rio. Ya, anaknya itu pasti lebih bisa menenangkan Ify. Mereka pun segera undur diri dari sana. Tinggallah kini, Agni, Shilla, Via, Cakka, Alvin, Iel dan tentu saja Rio serta Ify. Alvin duduk sudah pasti di sebelah Shilla. Kepala gadisnya sudah beberapa kali menjatuhkan diri karena mengantuk.

Alvin kemudian menyenderkan kepala Shilla di bahunya. Shilla hanya menurut dan mulai tertidur. Sementara Alvin, mengusap-ngusap rambut kekasihnya, lembut. “Emm..gue sama Shilla cabut duluan ya? Nih, kasihan dia udah ngantuk.” Ujar Alvin hendak menyusul Amanda dan Zeth. Yang lain pun tak merasa keberatan terutama Ify. Ify justru akan lebih keberatan jika teman-temannya itu menemaninya saat ini. Hari ini, ia sudah terlalu banyak merepotkan mereka semua. Setelah pamit, Alvin dan Shilla pun juga undur diri dari sana. Tersisa Via, Agni, Ify, Iel, Rio dan Cakka yang tadi permisi ke toilet.

Drrt..
Ponsel Agni bergetar cukup lama. Ia melirik ke nama yang dimunculkan di layar. Alisnya terangkat sebelah mengetahui nama siapa yang tertera disana. Ia lalu mengangkat panggilan yang baru saja masuk ke ponsel itu. “Hallo?” Sapa Agni. Ia diam sebentar. Sejurus kemudian, mulutnya menganga seperti tidak percaya pada apa yang dikatakan si penelepon. Ia lantas memutus panggilan dan menimang-nimang apa yang harus ia lakukan. Pada akhirnya, ia pun pamit dan pergi dari sana. Ia berjalan tergesa-gesa keluar rumah sakit menuju parkiran.

Cakka baru saja keluar dari toilet. Beberapa meter ia berjalan, ia melihat Agni yang setengah berlari ke arah luar. Awalnya ia berniat memanggil. Namun, melihat sikap terburu-buru Agni, ia pun mengurungkan niatnya menghambat jalan gadis itu. Ia mengikuti kemana Agni pergi. Dari kejauhan ia melihat gadis itu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu atau mungkin seseorang. Sesekali ia terlihat garuk-garuk kepala kebingungan. Cakka masih berdiam diri di depan pintu masuk sekaligus keluar rumah sakit tempat ia berada, seraya memperhatikan setiap perkembangan apa saja yang dilakukan Agni.

Mata Agni kemudian berhenti pada seorang pemuda yang berdiri di depan sebuah mobil seraya melipat kedua tangannya di dada. Agni setengah tidak percaya pada apa yang dilihatnya sekarang. Pemuda itu tampak tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Agni. Seolah-olah menyuruh gadis itu mendekat. Agni, lagi-lagi setengah berlari hingga sampai di hadapan pemuda itu. “Astaga..lo, kak?!” Seru Agni masih tak percaya. Pemuda yang dipanggilnya ‘Kak’ itu tersenyum lagi seraya mengacak-ngacak puncak kepala Agni lembut. “HUAAA GUE KANGEN BANGEET SAMA LOO!!” Seru Agni lagi dan langsung memeluk pemuda manis di hadapannya seraya mengalungkan tangannya ke leher pemuda itu.

Tanpa sadar ia meloncat kegirangan. Yap, tak dapat dipungkiri. Ia memang sudah memendam rasa rindu akut pada pemuda yang ia sebut kakak ini. Sementara ‘Kakak’ Agni, hanya terkekeh dan sama senangnya dengan Agni. Namun, tak sengaja ia melihat sosok pemuda yang ia tahu seumuran dengan Agni. Kadar kesenangannya sempat menurun karena pemuda itu, Cakka. Ya, itu Cakka. Sementara Cakka sendiri, ia pun tak jauh beda. Awalnya, ia hanya merasa kesal pada pemuda yang juga sedang melihatnya. Tapi, melihat Agni terlihat begitu bahagia bahkan sampai memeluk pemuda itu..argh ia benar-benar tidak suka melihat itu.

Astaga..gue kenapa? Batin Cakka bingung. Ia jauh lebih kesal ketika tangan Agni mengalung seperti itu. Jujur saja, hatinya mencelos mendapati apa yang Agni lakukan. Bahkan ketika bersamanya, ia tidak pernah melihat Agni sebahagia itu. Cakka masih diam melihat pemandangan ‘menarik’ di depannya. Ia berdiri seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ia kini melihat Agni masuk terlebih dahulu ke dalam mobil sementara ‘Kakaknya’ terlihat seperti sedikit memperlambat tempo berjalan. Kakaknya itu sempat saling melempar tatapan dengan Cakka. Tentunya bukan tatapan bersahabat. Malah terkesan dingin. Kakaknya kemudian ikut masuk ke mobil.

“Kiki..” Gumam Cakka pelan. Ia menghembuskan nafas panjang setelah menyebut nama itu. Nama pemuda yang menatapnya dingin barusan, sekaligus pemuda yang bersama Agni, yang Agni panggil Kakak itu. “Yeah, we meet again!” Gumamnya lagi.

***

CKLEK!
Pintu ruang UGD akhirnya terbuka. Obiet telah selesai memeriksa. Ify dan yang lain langsung menghampiri serta menanyakan perihal keadaan Ferdi. “Dok, Papa saya gimana? Papa...baik-baik aja kan?” Tanya Ify hati-hati. Jantungnya berdebar menunggu apa yang akan dikatakan Obiet, sang dokter. Obiet menatap muda-mudi di hadapannya satu persatu secara bergantian. Terakhir matanya kembali terfokus pada Ify. Ia menatap gadis itu lama. “Papa kamu cuma kecapaian. Trombositnya menurun makanya dia lemah dan jatuh pingsan.” Bohong Obiet. Jelas-jelas Ferdi mengidap penyakit serius. Tapi apa mau dikata, ia tidak bisa berkata jujur.

“Benar begitu?” Tanya Ify memastikan. Ia masih belum bisa terlihat tenang. Ada sesuatu yang ia rasa mengganjal dalam hati. Obiet memaksakan diri tersenyum ke arah Ify. Berusaha meyakinkan bahwa Ferdi memang baik-baik saja. Obiet hendak permisi dari perkumpulan itu namun Ify kembali memanggilnya. “Dok!” Panggil Ify. Obiet agak kaget mendengar namanya dipanggil. Ia pun terpaksa menoleh ke belakang. “Ya?” Sahut Obiet. Dalam hati, ia berharap Ify tak menanyakan lebih lanjut tentang Papanya. “Ada hal yang mau saya tanyakan sama dokter, bisa?” Mohon Ify. Raut wajahnya terlihat sedikit memelas. Obiet tak ada pilihan lain. Ia menghela nafas dan setelah itu menyuruh Ify ke ruangannya.

Ify masuk ditemani Via dan Rio, sementara Iel dan Cakka menunggu di luar. Pikiran Cakka sedang kusut, maka dari itu ia setuju saja menunggu Ify dan dua orang yang menemaninya keluar. “Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?” Tanya Obiet ramah. Dalam hati, ia cemas bukan main. Bahkan ia terlihat agak gugup sekarang. “Emm..sebelumnya saya cuma mau memastikan, Papa bener-bener baik kan?” Tanya Ify balik. Obiet mengangguk dan tetap tersenyum. Ify menghela nafas lega singkat. Sejurus kemudian, ia meraba sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.

Seperti kertas, namun permukaannya banyak ditempeli selotip dengan warna bening. Terlihat pula bekas-bekas sobekan disana. Ia lalu menyerahkan itu pada Obiet. Obiet menerimanya bingung. “Ini..apa?” Tanya Obiet. Ify menarik nafas dalam-dalam sebelum kembali berbicara. “Saya menemukan ini di kamar teman saya. Saya khawatir, teman saya itu menyembunyikan sesuatu yang sepertinya tidak baik. Bisa dokter jelaskan, apa maksud tulisan-tulisan di kertas itu?” Jelas Ify panjang lebar. Tangannya tak berhenti bergerak memelintir baju. Ia menggigit bibir bawahnya sembari menunggu penjelasan Obiet.

Obiet lalu mengamati baik-baik isi dari kertas yang diterimanya dari Ify. Tak lama, keningnya mengkerut saat mengetahui apa yang berusaha diberi tahu kertas itu. “Gimana..Dok?” Tanya Ify hati-hati. Obiet menoleh ke arah Ify dan menatapnya kurang yakin. “Temen kamu...gagal ginjal?” Ujar Obiet agak tidak tega saat mengatakan itu. Sementara Ify, gadis itu seketika diam. Gagal ginjal. Dua kata yang dalam sesaat membuat jantungnya hampir berhenti mendetakkan diri. Pandangannya tiba-tiba kosong. Otaknya benar-benar..ah kacau sekali. “Gagal...ginjal?” Tukas Ify lirih, tanpa menoleh ke Obiet. Obiet, Via dan juga Rio hanya bisa kebingungan melihat reaksi Ify itu.

***

Ify masih tak bergeming. Ia belum mengeluarkan sepatah katapun sejak keluar dari ruangan dokter Obiet. Entah apa yang dipikirkan gadis ini. Ia duduk dan Via kembali merangkul serta tak sedetikpun memindahkan pandangan ke arah lain, hanya padanya. Sementara Rio, ia berdiri tepat di depan Ify. Menatap gadis itu lekat-lekat, menatap mata gadis itu dalam. Mencoba mencari tahu apa yang sedang dirasakan serta gadis itu fikirkan. Kemudian, pandangannya berubah sayu. Antara sok tahu atau dugaannya memang benar bahwa Ify sedang terpuruk. Tuhan, dia...menyedihkan. Batin Rio lirih.

Tiba-tiba, Ify menatap Rio. Membuat Rio dapat melihat jelas seberapa menyedihkan perasaan gadis itu. Dan yang ia dapati, Ify lebih dari sangat menyedihkan. “Kue..lo bawa kan?” Tanya Ify pelan. “Hah..iya!” Rio menjawab cepat. Ya, ia tidak mungkin berketus ria pada Ify sekarang. “Dimana?” Tanya Ify lagi. Matanya belum berkedip sejak pertama menatap Rio tadi. “Ada di mobil.” Jawab Rio. Ify kemudian berdiri dan sedikit membuat Via kaget. “Bisa..lo temenin gue..ngambil kue itu?” Tawar Ify seraya menatap Rio penuh harap. Rio langsung mengiyakan tanpa protes sebelumnya.

***

Ify memeluk erat kotak berisi kue yang dipegangnya. Papa, Papa dan Papa. Lelaki itu yang sedari tadi bergerayangan di kepalanya. Matanya nanar dan menatap lurus ke depan. Tak ada satu objekpun yang dipandangnya, alias pandangannya kosong. Rio yang setelah sekian lama dilanda kebingungan akhirnya memberanikan diri bertanya. “Fy..lo kenapa?” Tanya Rio berusaha sedikit ramah. Mengurangi kadar datar dan ketusnya pada gadis ini. Mereka sudah sampai di ruang dimana Ferdi baru saja dipindahkan kesana. Ify menoleh sebentar dan tersenyum lalu menggeleng.

Ify dan teman-temannya yang lain pun masuk dan mendapati Ferdi sedang terbaring dengan jarum infus di tangannya. Ify menatap Ferdi datar. Sejak masuk ruangan itu, ia tak pernah sedikitpun mengulas senyum. Ferdi lantas bingung melihat sikap anaknya itu, begitu juga dengan yang lain. “Om..udah baikan?” Tanya Rio basa-basi dan tersenyum ramah. Ferdi membalas senyum Rio itu seraya tertawa kecil. “Haha, emang kamu kira Om sakit parah?” Tawa Ferdi diikuti dengan senyum lega yang lain, kecuali Ify. Ia diam dan terus melemparkan pandangan ke arah Ferdi. Datar dan dingin. Sama seperti yang sering Rio lakukan padanya.

“Kalian berdua teman Ify?” Tunjuk Ferdi pada Cakka dan Iel. Cakka dan Iel mengangguk kompak. “Saya Iel Om, temennya Rio sekaligus teman sekelas Ify.” Ujar Iel. Cakka pun ikut-ikutan memperkenalkan diri. Ferdi mengangguk mendengarkan mereka. “Kalo Via, udah kenal kan Om? Hehe..” Cengir Via. Suasana sedikit mencair karena Via. Terbukti dengan tawa kecil mereka semua yang menyeruak ketika mendengar celetukannya. Tapi, lagi-lagi..Ify hanya diam tanpa ekspresi. Rio pun mulai menyadari ada yang aneh pada gadis itu.

Ify lalu menaruh kotak yang ia pegang di lemari di sebelah kasur yang ditiduri Ferdi. Ia mengeluarkan kue yang tersembunyi di dalamnya. Ia mengambil piring kecil yang ada di dalam laci lemari tersebut. Tangannya bergerak memotong kue yang ia buat bersama Rio beberapa jam lalu. Kemudian menaruh sepotong di atas piring kecil yang ia ambil. Ia lantas memberikan itu pada Ferdi, Papanya. Seperti menyuruh pria itu memakannya. “Em..Fy?” Bingung Via. Yang lain pun tak jauh beda, termasuk Ferdi sendiri.

“Makan!” Dingin Ify yang terkesan memaksa. Ferdi terkesiap dan mendadak menelan salivanya cepat. “Ify, lo apa-apaan? Papa lo belum diperbolehkan makan kue kayak gitu.” Bisik Rio. Tapi, Ify sepertinya tidak peduli. Matanya terus mengarah pada Ferdi. “Apa? Gak mau makan?” Ify masih saja bersikap dingin. Membuat Ferdi seketika gugup. Rio baru saja hendak mengambil piring yang Ify pegang, namun dengan cepat Ify menangkis tangannya itu. “Jangan ikut campur!” Ujar Ify. Ia menoleh kembali ke arah Ferdi. “Ayo makan?!” Desak Ify.

Ferdi bertambah gugup. Bagaimana mungkin ia bisa memakan kue itu? Ia bisa merasakan sakit kembali di pinggangnya. “Ify dan Rio udah susah payah bikinnya. Kenapa Papa gak mau makan? Apa Papa gak sayang lagi sama Ify? Hah?” Ujar Ify. Intonasinya santai namun terdengar begitu menusuk bagi Ferdi. Rio sudah kalap dan menyentak gadis di sebelahnya. “Ify!” Katanya mulai meninggi. Sekali lagi, Ify terkesan tidak peduli. Menghindari ketegangan, Ferdi pun pura-pura senang menerima potongan kue itu dan hendak memakannya. Baru saja ia hendak memasukkan ke dalam mulut, secara tiba-tiba Ify mendorong kue beserta piringnya ke arah samping. Alhasil kue dan piring itu terjatuh ke lantai.

Semua yang ada disana kaget dan menoleh ke arahnya. “IFY!” Kali ini, Rio benar-benar marah. Gadis ini menurutnya sudah begitu keterlaluan. Tangan Ify sudah mengepal. Matanya pun memerah. Kristal-kristal bening itu mulai menampakkan diri. Ify lantas berbalik badan dan keluar dari ruangan itu. “Ify..” Ujar Ferdi tak percaya. Ia tidak marah. Ia justru khawatir pada anaknya itu. “Biar gue yang kejar.” Rio pun menyusul Ify keluar.

Ia kemudian mendapati Ify berdiri mematung menghadap ke pintu. Rio melengos dan mendengus kesal. Ia menatap gadis itu tajam. “Lo gila, hah?!” Bentak Rio. Ify hanya diam. Namun, tiba-tiba saja ia berjongkok dan menangis seraya memelintir baju. Rio terlonjak dan seketika merasa bersalah. Apa bentakannya terlalu keras? Pikirnya. Ia ikut berjongkok menghadap gadis yang sedang tersedu itu. “Eh..gu..maaf..” Gagu Rio. Ia garuk-garuk kepala sendiri karena Ify masih saja menangis. “Fy, kenapa nangis?” Tanya Rio lembut. Ia memegang pundak Ify dan menatapnya khawatir.

Ify mendongak dan balas menatap Rio masih dalam keadaan menangis. “Papa..Papa..” Isak Ify. Rio masih belum mengerti. Kenapa gadis ini terus menggumamkan Papanya? Bukankah tadi ia bersikap dingin? “I..iya, Papa lo kenapa? Papa lo kan baik-baik aja?” Tanya Rio lagi. Ify menggeleng cepat. “Papa..Papa...”

***

 Hulalaa akhirnya terselesaikan. Nah, part ini panjang sebagai permintaan maaf atas pengaretan saya. Maaf jika tidak terlalu mengesankan karena saya terburu-buru membuatnya hehe =D
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 10

Helloo? Bagaimana kabarnya? Masih ingin membaca cerbung inikah? Haha =D
Ya sudah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!
***
(Irva – No Air -Cover- on)
I’m here alone, didn’t wanna leave
My heart won’t move, it’s incomplete
Wish there was a way that i can make you understand..
Ify meresapi bait lagu yang sedang didengarnya itu baik-baik, dalam-dalam hingga hal lain satupun tak ada yang bisa menggeser kalimat-kalimat itu dari pikirannya. Ia duduk seraya menekuk lutut di atas tempat tidur. Matanya terbuka tapi tak ada yang dilihatnya. Pandangannya benar-benar kosong. Mata seolah difungsikan untuk ikut mendengarkan lagu yang diputar, merasakan apa yang terpendam jauh di dalam hatinya. Mata itu juga menjadi proyeksi akan kejadian-kejadian yang baru ia alami hari ini.
Sudah malam. Ify masih enggan untuk beranjak dari kamar bahkan bergerak mengubah posisi tubuh. Ia tidak berselera untuk makan, tanpa peduli dengan keriuhan yang terjadi di dalam perutnya. Gue gak laper! Batinnya menguatkan diri. Penggalan-penggalan lagu tadi masih saja berputar-putar di kepala, bahkan tak perlu lagi melihat teks. Lagu itu sudah dihafalnya dalam waktu sekejab. Jelas, sudah lebih dari 10 kali lagu itu mendengungkan diri di telinga Ify. Sedikitpun tak ada rasa bosan baginya akan lagu itu. Hmm, mungkin karena suasana hati yang sangat mendukung.
Ferdi yang baru saja pulang kebingungan karena panggilannya tak mendapat sahutan dari Ify. Ia lalu bergerak menuju kamar anaknya itu. Pelan-pelan ia membuka pintu takut-takut kalau Ify sudah tidur. Ia lalu mendapati anak gadisnya sedang duduk termenung di atas tempat tidur. Dari sorot matanya, ia tahu ada sesuatu yang mengusik ‘kebaikan’ gadis itu. Cukup lama ia melihat Ify, namun keadaannya masih sama. Tak berubah sedikitpun. Masih diam, matanya nanar dan tangannya memeluk lutut yang sengaja ditekuk. Ia hanya bisa menghela nafas dan yang pasti ikut merasakan ketidakbaikan yang diidap Ify. Ia kemudian menutup pintu kamar anaknya kembali. Ia membiarkan gadis itu mencoba mencapai ketenangan sendiri tanpa harus ia yang membantunya.
***
Shilla masih terlelap, meski waktu sudah beranjak dari siang menuju malam. Bahkan sudah jam 10 malam. Sang Mama dengan terpaksa membangunkan gadis ini. Mana mungkin ia membiarkan anaknya tidak makan. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Shilla agar raga itu membangun rohnya kembali. “Shillaa..Shillaa..” Panggil Wiwid, Mama Shilla. Shilla masih belum menampakkan pupil matanya. Wiwid berusaha lebih keras membangunkan anaknya itu. Beruntung, usahanya yang kedua kali berhasil membangkitkan kesadaran Shilla. Sebagai bukti, Shilla sekarang sudah mulai membuka mata dan mencoba membuatnya berfungsi dengan normal.
Shilla terburu-buru bangkit hingga menyebabkan keburaman melanda matanya. Ia lalu merasa pusing di bagian kepala. “Pusing? Tuh kan, sana makan dulu! Abis itu jangan lupa Shalat Isha!” Ujar Wiwid. Ia mengacak-ngacak rambut anaknya seraya geleng-geleng kepala tersenyum. Ia keluar duluan dan memberikan waktu sedikit untuk Shilla berdiam di kamar. Jam berapa nih? Tanya Shilla dalam hati. Ia merogoh ponselnya segera. Ia melihat layar benda itu dan seketika mengaduh. “Astaga, lupa gue idupin!” Kata Shilla. Ia melirik jam dinding dan mendapati jarum pendek benda itu menunjuk ke angka 10.
Shilla agak kaget mengetahuinya. Jika dihitung-hitung, ia tadi tidur sekitar jam setengah 3 siang, maka dapat disimpulkan ia sudah tidur kurang lebih tujuh setengah jam. Cukup lama, bukan? Dengan segera Shilla mengembalikan nyawa BB-nya. Belum 5 detik, benda itu tiba-tiba mengalami getaran hebat. Dalam arti, getaran yang berulang-ulang tanpa henti. Berpuluh-puluh sms masuk ke dalam sana. Entah siapa orang yang rajin melakukannya pada benda itu, ia juga tidak tahu.
Bagaimana bisa ia memeriksa satu-persatu jika BB-nya tak berhenti menambahkan angka dari 1 pesan masuk, 21, 56 dan hingga ke angka hampir mencapai 100, benda itu belum juga diam. Shilla garuk-garuk kepala bingung. Ia langsung menghempas BB-nya ke kasur dan membiarkan benda itu bergetar sepuasnya. Yang jelas, ia mau makan. Kepalanya sudah tidak bisa bernegosiasi apalagi perutnya. Bagian itu sudah menggelar konser daritadi. Ia berlari keluar kamar dan melupakan sejenak tentang masalah BB-nya.
Beberapa menit kemudian, Shilla sudah tenang. Konser dalam perutnya sudah dibubarkan. Tak ada lagi pusing yang mendera. Keadaannya sudah benar-benar nyaman. Shilla masuk ke kamar dan duduk kembali di atas tempat tidur. Ia melirik ke BB-nya. Benda itu dalam keadaan redup dan tidak lagi memunculkan getaran. Ia meraihnya segera. Baru saja sinar di ponsel itu menyala, Shilla langsung dibuat kaget dengan apa yang termuat di layarnya. “WHAT?! 539 SMS?!” Histeris Shilla. Mulutnya dengan mudah membuka lebar. Ia menggeleng tak percaya melihat angka-angka itu. Bahkan bukan 100 lagi, melebihi 500! Bayangkan, 500! Hanya dalam beberapa menit.
Ia membuka pesan-pesan tersebut. Dan kagetnya lagi, semua itu ialah ulah seseorang yang tadi siang sempat membuat mood-nya merosot drastis. Sekaligus penyebab ia tidur selama ini. Alvin. Ya, pelakunya Alvin. Isi sms-sms itu pun tak jauh beda satu sama lain. ‘Oh myshillaaa, aktif dooong!’, ‘Sayangkuu, marah ya? Maaf!!’ atau ‘Shillakuu, jangan marah dong? Ya ya ya??’. Dari sekian banyak sms yang pemuda itu kirim, hanya satu yang menarik perhatian Shilla. Bukan sekedar menarik, Shilla bahkan tak berhenti melihat apa yang dikatakan Alvin dalam sms itu. Ia benar-benar kesal. “Cantiiik?? Huh, masih berani lo nyebut itu ke gue?!” Gerutu Shilla.
Tak ada niatan untuk membalas semua sms-sms dari Alvin. Biarkan saja, sekali-kali memang harus diberi pelajaran. Pikir Shilla. Ia malas melihat BB-nya lagi. Ia kembali membiarkan benda itu anggun di samping tempat tidur. Ia kemudian melihat daftar pelajarannya besok. Berhubung dirinya sudah tidak mengantuk, maka apa salahnya waktu ia pergunakan untuk belajar. Mumpung mood-nya sedang giat-giatnya membangun. Dua jam berikutnya ia habiskan dan ia benar-benar belajar. Ia lalu tidur kembali setelah sebelumnya melaksanakan shalat isha seperti yang dipesan Wiwid, mengingat sekarang sudah pukul setengah satu, lewat tengah malam.
***
 Semalaman Ify tidak tidur. Bagian bawah matanya terlihat menghitam. Meski tidak terlalu jelas. Berkali-kali ia menguap. Sebenarnya ia sudah berusaha untuk tidur, matanya sudah memejam. Tapi tetap saja, otaknya tidak mengirimkan perintah agar ia segera tidur. Alhasil, rasa kantuk itu terasa sekali sekarang. Dengan susah payah ia mandi, berpakaian hingga berjalan keluar kamar. Untung ia hanya harus menuruni tangga. Akan lebih parah jika ia diharuskan untuk menaiki anaknya satu-persatu, bukan? Ia berjalan menunduk dengan mata yang sebentar-sebentar terbuka, sebentar-sebentar tertutup.
Pada anak tangga terakhir, ia berusaha keras untuk menegakkan kepala. Tepat pada saat itu, ia melihat seorang pemuda masuk dan kaget melihatnya. Begitu pula Ify. Mereka satu sama lain hanya saling memandang seraya diam di tempat. Ify mengedip-ngedipkan mata beberapa kali dan menggeleng pelan. Rio? Masih aja tuh orang muncul di fikiran gue, ckck.. Batinnya mengira. Ia tak memperdulikan sosok pemuda itu, yang ternyata Rio. Ia tidak benar-benar mempercayai apa yang ia lihat. Yang ia rasakan sekarang, ia seperti berada di antara 2 alam, alam nyata dan alam mimpi saat tidur. Ia melangkah lamban menuju meja makan dan duduk di kursi asal-asalan. Bukannya sarapan, kepalanya ia jatuhkan ke atas meja dan tertidur. Ia sangat mengantuk.
“Ify!” Seseorang tiba-tiba memanggil sekaligus mengagetkannya. Ify refleks mengangkat kepalanya lagi dan mencoba membuka mata. Ia menyipit memandang orang di sebelahnya. “Eh Papa, hehe..” Cengirnya. Ferdi hanya geleng-geleng kepala melihat anaknya itu. “Duduk disini buat makan bukan buat tidur.” Ujar Ferdi. Ify hanya tersenyum menanggapi itu. “Kamu udah sarapan?” Tanya Ferdi lembut. “Papa sendiri?” Tanya Ify balik. Kesadarannya sudah lumayan dari yang tadi. Ferdi seketika gugup saat ditanya seperti itu. “Hah? Papa..ee Papa sarapan di kantor. Gak sempet kalo sekarang.” Jawab Ferdi gelagapan.
“Ya udah, ayo kita berangkat!” Ajak Ify. Ia sudah berdiri dan hendak berjalan duluan. Ferdi menahannya sebentar. “Eeh, kamu berangkat sama Rio ya, bukan sama Papa!” Kata Ferdi. Ify mengernyit bingung. “Iss..Ify maunya sama Papa!” Pinta Ify manja. Ferdi menggeleng lalu menjawab. “Rio udah nunggu!” Tegasnya. Ify menghentakkan kaki kesal. Ferdi lalu memapahnya ke luar rumah. Rio, yang memang benar-benar ada di rumah itu mengikuti mereka. Ia bergerak menuju mobil dan membuka pintunya yang terkunci. Ferdi membuat Ify masuk ke mobil Rio dan mendudukkannya di dalam bagian depan. Setelah itu, ia mengajak Rio mengobrol sebentar.
“Jangan nguping!” Perintah Ferdi pada Ify. “Kok Ify gak boleh tahu? Gak, Ify gak mau!” Tolak Ify. Ia hendak membuka pintu mobil tetapi ditahan Ferdi. Mau tidak mau, Ify harus mengikuti apa yang Papanya katakan. Rio kemudian menghampiri Ferdi. “Emm..ada apa ya, Om?” Tanya Rio sopan. Ferdi tersenyum menatap pemuda di hadapannya. “Jaga Ify, ya?” Pinta Ferdi lembut. Rio dibuat bingung akan kata-katanya barusan. Ferdi lantas terkekeh melihat reaksi Rio itu. “Om tahu kamu gak suka sama Ify..” Ujarnya. Ia tak lagi menatap Rio, melainkan ke arah lain. Rio tersentak mendengar itu. Ia diam, tak tahu harus berkomentar apa. “Om..sedang tidak baik. Om cuma mau minta tolong..” Lanjut Ferdi.
Ia kembali melihat ke arah Rio dan tersenyum. Rio masih menunggu apa yang akan dikatakan Ferdi selanjutnya. “Om..nitip Ify ya? Cuma sebentar...Kamu, bisa bantu Om?” Pinta Ferdi lagi. Ia menatap Rio penuh harap. Sementara Rio, tak tahu kenapa, yang jelas hatinya tidak memunculkan penolakan. Ia juga sedikit merasa bersalah pada keluarga ini. Baiklah, ia akan mencoba memenuhi permintaan Ferdi. Lagipula kan Ferdi mengatakan hanya sebentar. Begitulah menurutnya. “Bisa, Om.” Kata Rio menyanggupi. Ferdi tersenyum senang mendengar itu. Ia merasakan sedikit kelegaan dalam hatinya. Ia lalu menyuruh Rio segera berangkat. Rio pamit dan masuk ke dalam mobil. Ia lalu melajukan benda itu segera.
Di dalam, Ify tak dapat menahan rasa kantuk sama sekali. Kepalanya beberapa kali terbentur akibat tidur ayamnya. Rio sempat terkekeh pelan melihat itu. Ify menyandarkan tubuhnya di kursi. Rio berhenti melajukan mobil dan menepikannya di pinggir jalan. Ify masih belum sadar akan hal itu. “Lo gak tidur semaleman?” Tanya Rio datar sambil memandang ke arah gadis di sebelahnya. Ify yang masih sedikit sadar hanya berdehem menjawab itu. Ia tidak terlalu peduli dimana dan dengan siapa dirinya sekarang. Ia mengantuk! Mau itu Rio kek, atau siapalah, tidak penting.
Rio memandang Ify lama. Sedetik kemudian, Rio merendahkan sandaran gadis itu, membuatnya sedikit lebih nyaman. Ify sendiri kaget karena badan kursinya merendah tiba-tiba. Matanya seketika terbuka. Ia menoleh ke kanan kiri linglung. Rio langsung mendorong tubuh Ify agar merebah kembali. “Tidur!” Suruhnya. Ify menatap Rio aneh. “Kok berhenti? Kalo kita telat gimana?” Tanya Ify. Masih dengan posisi Rio memegang bahu Ify. Ify kemudian melirik tangan pemuda itu. Rio dengan segera melepas genggamannya dan duduk normal kembali. “Lo lupa? Hari ini guru rapat, kita masuk jam 9.” Jelas Rio. Ify hanya membulatkan mulutnya mendengar itu. Berhubung Ify ngantuk berat, ia pun menurut. Ia lalu menutup mata dan dalam sekejab tertidur.
Rio terus menatap Ify selama gadis itu tidur. Ify terlihat sangat manis sekarang, di mata Rio. Rio entah kenapa tak bisa membantah hal itu. Tangan kirinya pelan-pelan bergerak menyentuh wajah Ify. Ia memegang sebelah pipi gadis itu dan mengusapnya pelan. Jantungnya berdesir saat awal pertama ia menyentuhnya. Hmm, sepertinya ia sudah bisa menetapkan satu kesimpulan mengenai ketidaknyamanan hatinya selama ini, selama bersama gadis ini. Okey...gue suka sama lo. Batin Rio mengaku. Ya, Rio tidak bisa mengelak lagi. Ia kini mulai menyukai Ify. Yah, untuk saat ini, mungkin hanya sebatas itu. Ify, gadis ini telah berhasil membuka lapisan paling pertama dalam hati Rio yang semula merekat erat dan sulit dilepaskan satu dengan yang lain. Selamat!
***
Shilla berhasil bangun pagi hari ini tanpa bantuan Mamanya. Oh mungkin lebih tepat, ia berhasil dibangunkan oleh orang lain, bahkan benda lain. Ia dibangunkan oleh suara deringan BB-nya yang berbunyi tanpa meminta persetujuan. Meski sudah sedikit sadar, mata Shilla masih saja terpejam. Ia meraba-raba sebelah kanannya hendak membungkan speaker BB itu. Ia mengangkat sembarangan panggilan masuk dalam BB-nya. “Halo?” Sapanya malas-malasan. Ia masih belum mengetahui siapakah yang meneleponnya sepagi ini, pada jam setengah 5 subuh. “Cantiiik! Akhirnya lo aktif jugaa!!” Heboh di seberang sana.
Mata Shilla berhasil menguak sedikit celah akibat seruan itu. Ia lantas menjauhkan BB-nya dari telinga seraya melihat ke layar benda itu, melihat siapa sebenarnya orang itu. Saat itu pula matanya dapat membuka sempurna. Alisnya naik sebelah dan sesaat kemudian ia melengos kesal. Alvin? Arrghh! Ini masih setengah 5. SUBUH! Punya otak gak sih tuh orang?!! Gerutu Shilla dalam hati. Ia lantas memutus panggilan. Tidak peduli sesusah apa Alvin hingga bisa meneleponnya tadi. Bahkan ia sudah membuat BB Shilla hampir saja rusak dalam semalam akibat terlalu banyak menampung pesan-pesan dari Alvin yang datang sekaligus.
Shilla menaruh BB nya lagi di kasur. Ia ingin kembali tidur. Setidaknya ia bisa tidur untuk setengah jam lagi. Namun, bukan Alvin namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Pemuda itu kembali menelepon Shilla, membuat Shilla harus kembali dilanda kebisingan. Ia mengerang dan menggaruk-garuk kepalanya kesal. Ia bangun dan duduk seraya mengambil BB nya lagi. Layar itu masih memunculkan nama yang sama. Ia lalu menekan yes menjawab panggilan itu kembali. “Gue mau tidur!!” Pekik Shilla dan memutus panggilan dari Alvin untuk yang kedua kalinya. Ia menghempas lagi benda itu di kasur dan kembali berbaring.
***
 Alvin hanya bisa pasrah seraya memandangi layar ponselnya. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan agar Shilla mau merespon dirinya kembali. Dia bener-bener marah. Batin Alvin miris. Tangannya sudah teramat pegal untuk dibuat menari-nari lagi di atas keypad BB-nya. Ia menghembuskan nafas berat dan menaruh benda itu di sebelah. Namun, belum lama, BB Alvin berdering. Dengan cepat ia mengambil kembali BB-nya dan memeriksa siapakah gerangan si penelepon. Ia memiliki harapan besar bahwa itu adalah Shilla. Dan..seketika dengan cepat pula kehangusan melanda harapan tersebut. Yap, bukan Shilla. Tapi malah..Febby?
Astaga, nih orang masih punya nyali nelpon gue?! Geramnya membatin. Meski begitu, ia tetap menjawab panggilan itu. Yah, kasihan juga kalau diabaikan. “ALVIIIN!!” Suara teriakan gadis itu menggelegar dari dalam BB-nya. Ia langsung menjauhkan benda itu dari telinga. Ia geleng-geleng kepala sendiri karena tingkah Febby. “Gue mau tidur!!” Ujar Alvin, sama seperti yang Shilla katakan padanya. Ia juga memutus panggilan dari Febby dan menaruh BB nya asal. 5 menit berselang, benda itu kembali mengeluarkan suara. Alvin mengeceknya kembali dan pelakunya masih sama. Ia me-reject panggilan itu langsung dan mencoba kembali tidur.
Namun, sepertinya ia tidak bisa tidur tenang selama 20 menit terakhir. Setiap 5 bahkan mungkin 3 menit sekali, Febby mengulang panggilannya. Ia mana bisa tenang jika seperti ini terus. Panggilan terakhir Febby hanya terdengar sebentar. Setelah itu, BB Alvin tak berbunyi lagi. Benar-benar, benda itu tenang dalam posisinya. Alvin pun sedikit bernafas lega. Ia mencoba menutup mata sejenak sekaligus mengatur ritme nafasnya yang sempat tak beraturan. Namun, lagi-lagi ia tidak dibiarkan berlama-lama dalam ketenangan. Karena beberapa menit kemudian, BB Alvin kembali ditamui oleh nomor seseorang yang ia tebak masih oleh orang yang sama. Alvin, tanpa memeriksa lagi, menjawab panggilan yang entah sudah ke berapa kali.
 “Arrghh, lo bisa gak sih sehari aja gak ganggu gue?! Jangan hubungi gue dan jangan ganggu gue lagi!!” Bentak Alvin pada si penelepon. Ia belum mendengar sahutan dari orang itu. Sedetik kemudian orang tersebut bersuara. “Oh..okey..” Kata orang itu lirih. Nada suaranya terdengar seperti kaget, sedih, kecewa, saling bercampur menjadi satu. Dan..itu bukanlah suara Febby! Itu suara..itu suara.. “SHILLA?!” Kaget Alvin. Ia lalu memeriksa apa yang muncul di layar dan benar saja, ada nama Shilla terpampang disana. “Shill..Shilla?” Ujar Alvin kemudian tak menyangka. “Gue gak akan ganggu lo...lagi..” Lirih Shilla, orang tersebut diakhir pembicaraannya karena setelah mengatakan itu ia langsung memutus panggilan. Alvin tak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri akan kecerobohannya barusan. Ya, ia kembali melakukan kesalahan, besar.
***
Shilla menaruh ponselnya tanpa tenaga. Tangannya terjatuh begitu saja ke kasur. Ia hanya menatap miris BB-nya. Vin, itu beneran untuk gue? Tanya Shilla dalam hati. Ia masih setengah percaya akan apa yang barusan Alvin lakukan padanya. Alvin..Alvin membentaknya. Ditambah lagi, Alvin menyuruhnya untuk tidak mengganggu pemuda itu lagi. Apa maksudnya? Apa maksud pemuda itu mengatakan itu? Jadi, 500 lebih pesan-pesan dari Alvin yang masuk ke ponsel Shilla sama sekali tak ada arti baginya?
Hati Shilla awalnya sudah terlanjur tersanjung akan usaha Alvin yang semula ia kira sebagai permintaan maaf. Dan sekarang, pemuda itu dapat dengan mudah membuatnya terjungkang kembali. Shilla menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia lalu menggeleng pelan, mencoba mendinginkan hati dan kepala sejenak. Oh my Allah, masa pagi-pagi udah galau sih? Batin Shilla. Tak berapa lama, Alvin meneleponnya balik. Shilla hanya melirik layar BB-nya sebentar. Ia lantas menaruh BB itu di kasur membiarkan benda itu berdering lama. Sementara ia sendiri beranjak menuju kamar mandi. Baiklah, lupakan soal Alvin untuk hari ini. Pikirnya.
***
“Telpon dia lagi!” Perintah seorang gadis pada gadis lain di hadapannya. Gadis di hadapannya mendengus. “Oh Oik-ku sayang, lo bisa liat sendiri kan dia gak mau ngangkat?” Kata gadis itu kesal pada gadis yang ia sebut Oik. Oik, si gadis pertama, melipat kedua tangannya di depan dada. “Gue bilang telpon dia!” Oik tetap bersikukuh menyuruh gadis tadi menghubungi orang yang mereka maksud. Gadis di hadapannya kembali mendengus. “Lo bisa sopan dikit gak sih? Gue ini kakak lo!” Ujar gadis itu.
Oik memutar kedua bola matanya malas. “What ever!” Tolak Oik. Ia kemudian menatap gadis tadi yang juga merupakan kakaknya, kembali. Sang kakak balas menatapnya dingin. “Gue capek! Gue capek lo peralat terus-menerus!” Keluhnya. Ia berdiri menyamakan posisi dengan Oik. Oik kini tersenyum licik ke arahnya. “Febby Rastanty, lo gak bakal bisa lepas dari gue!” Ujarnya seraya memegang sebelah pipi Febby, kakaknya. Febby menepis tangan Oik kasar. “Siapa bilang?” Tantang Febby. Ia balas tersenyum ke arah Oik.
PLAK!
Sebelah pipi Febby itu kini memerah. Oik tiba-tiba menamparnya keras. Jejak-jejak jari Oik pun terlihat sedikit membekas disana. “Berani lo sama gue?!” Bentak Oik. Febby menoleh seraya memegangi pipinya. “Hh, sejak kapan gue takut?” Sungut Febby. Tangan Oik sudah bergerak hendak menamparnya sekali lagi. Kali ini Febby tidak membiarkan pipinya menjadi sandaran empuk bagi tangan Oik. Ia pun berhasil membuat tangan itu berhenti di tengah jalan. “Lo yang seharusnya takut sama gue.” Kata Febby datar. Ia mendorong tubuh Oik hingga terjatuh dan terbaring di atas tempat tidur. “PA..” Baru saja Oik buka suara, Febby langsung memotong tanpa permisi.
“Dasar pengadu! Silahkan lo lapor Papa. Gue udah gak takut. Gue siap mati kapanpun!”  Potongnya. Mereka saling diam untuk beberapa saat. Lalu kemudian, Oik tiba-tiba tertawa membuat Febby seketika mengangkat alis bingung. “Haha, lo pikir semudah itu? Dasar kakakku bodoh!” Kata Oik dan berusaha bangun dari tempat tidur. Tangan Febby sudah mengepal. Ingin rasanya ia membungkam mulut gadis di hadapannya ini. Beruntung ia masih dapat mengendalikan diri. “Ah! Gue punya kejutan buat lo!” Seru Oik. Febby masih diam menunggu apa yang akan dilakukan gadis itu.
Oik disibukkan dengan ponselnya sebentar. “Lo pasti seneng liat video ini!” Ujarnya seraya tersenyum licik. Ia kemudian memperlihatkan layar benda itu ke Febby. Seketika mata Febby melotot. Tangannya menghalau mulutnya yang kini sedikit terbuka. Oik lagi-lagi tersenyum melihat reaksi Febby. “Lo..” Kata Febby tertahan. Oik menarik ponselnya kembali dan pura-pura memainkan benda itu. “Gimana ya kalo video ini gue sebar? Hmm, biar gue tebak. Jabatan sebagai ketua Osis bakal dicabut. Oh ya gue lupa, Goldi anak beasiswa kan? Wah itu kayaknya bakal dicabut juga deh, haha..” Ujar Oik menakut-nakuti.
PLAK!
Kali ini Febby yang menampar Oik. Tak kalah keras dari yang Oik lakukan sebelumnya. Matanya memerah dan menatap tajam Oik. “Jangan ganggu Goldi!” Sentaknya. Oik menanggapi itu santai. Ia malah lebih leluasa memamerkan senyum di depan kakaknya. “Uu, you’re so sweet! Pacar yang baik!” Kata Oik mengejek. Febby semakin mengeratkan kepalan tangannya. “Oik!” Sentak Febby lagi. Oik langsung diam dan berjalan keluar dari kamar Febby. Sampai di pintu, Oik berbalik badan dan memanggil kakaknya kembali. “Hei, gimana rasanya ciuman sama Goldi? Sepertinya lo menikmatinya banget ya? 4 menit loh durasinya! Itupun gue telat datang dan gue juga terburu-buru ngerekamnya. Hmm, coba aja gue disana lebih lama. Pasti lo sama Goldi udah..”
“OIK!!”
***
Via memandang sekilas penampilannya di cermin. Entah kenapa ia ingin berdandan hari ini. Emm, bukan berdandan dengan bedak dan riasan seperti itu. Ia hanya ingin dirinya setidaknya berpenampilan baik hari ini, lebih rapi dari sebelumnya. Okey! Batinnya menilai. Ia keluar kamar dengan seragam batik sekolah. Baru satu anak tangga yang ia turuni, kakinya seketika tersendat melihat siapa yang sudah berada di ruang tamu. Seorang pemuda yang jika ia ingat, merupakan orang yang membuatnya harus terbaring di tempat tidur 2 hari lalu. Itu..Iel? Batin Via tak percaya.
Ia lalu kembali bergerak turun hingga benar-benar berada di lantai paling bawah rumahnya. Ia memberanikan diri menghampiri Iel meski diiringi dengan konser rock dalam jantung. “Iel? Lo..lo ngapain disini?” Tanya Via langsung. Iel tersenyum seraya menggaruk-garuk tengkuknya. “Gue..gue mau ngantar lo ke sekolah lah hehe..” Jawab Iel. Via kaget mendengar itu. Ada angin apa sehingga pemuda ini mau repot-repot datang untuk mengantarnya pagi ini? Hal itu menjadi topik pemikiran dalam otak Via sekarang.
Iel kemudian melihat seragam yang di pakai Via. Seragam yang berbeda dengan yang ia pakai saat ini. Ia memakai seragam pramuka sementara Via memakai baju batik. “Mm..Vi, lo gak salah kostum?” Tanya Iel kemudian. Via melihat ke arah seragamnya dan baru sadar apa yang ia pakai berbeda dengan Iel. “Hah? Bukannya ini hari kamis ya?” Ujar Via seraya garuk-garuk kepala bingung. Mukanya terlihat lucu saat ini. Membuat kekehan Iel keluar tanpa sadar. “Ini hari sabtu, Viaa!” Katanya seraya berdiri dan mencubit pipi Via yang sedikit berisi.
Mata Via membulat besar. Ia dengan segera menepis tangan Iel dari wajahnya. Pipinya pasti sudah memerah alias bersemu. Ia sedikit salting. “Masa sih?” Tanya Via lagi mencoba bersikap sebiasa mungkin. “Yaiyalah, nih gue pake baju pramuka!” Jawab Iel yang masih terkekeh melihat Via. Via memanyunkan bibirnya mendengar itu. “Rrr..terpaksa ganti deh!” Rutu Via. Ia berbalik badan dan kembali menaiki tangga menuju kamar. Saat itu pula, Fira keluar kamar dan langsung bingung melihat anaknya menaiki tangga. Bukankah seharusnya gadis itu bergerak menurun? Pikir Fira.
“Eh Via kenapa naik lagi, Yel?” Tanya Fira yang kemarin sudah sempat berkenalan dengan Iel. “Oh dia salah pakai seragam, Tante.” Jawab Iel sopan. Fira lantas geleng-geleng kepala melihat anaknya itu. Ia menoleh kembali ke arah Iel dan tersenyum. “Kamu udah sarapan? Ayo kita sarapan sama-sama!” Ajak Fira ramah. Iel mengangguk saja dan mengikuti kemana Fira melangkah. Tak menunggu waktu lama,Via turun kembali dan menghampiri Fira dan Iel yang sudah berada di meja makan. Ia menduduki kursi yang ada di depan Iel dan mengambil roti yang baru saja diberi selai oleh Mamanya. Sekali lagi, Fira hanya geleng-geleng kepala melihat itu dan tersenyum.
“Kalian berdua..pacaran?” Tanya Fira tiba-tiba. Pluk! Roti yang baru segigit di mulut Via terdorong begitu saja keluar. Iel pun tak jauh beda. Ia tersedak mendengar pertanyaan Mama Via tadi. Mata mereka saling bertemu tanpa sengaja. Sekarang malah Via yang tersedak. Fira bingung dan langsung memberikan segelas air untuknya. Via meminum itu tak sabaran dan dalam sekejab volumenya berkurang menjadi setengah. “Kalian kenapa?” Bingung Fira. Tangannya masih bergerak-gerak menyelai roti. “Mama yang kenapa? Ngapain nanya kayak gitu? Via sama Iel itu temenan, temen sekelas.” Dumel Via. Ia kembali memakan roti ditangannya.
Iel hanya ikut mengangguk mengiyakan perkataan Via. Fira tersenyum geli mendapati reaksi Via yang seperti itu. “Yah kan siapa tahu aja..” Goda Fira. Baik Via maupun Iel tidak berniat menanggapinya lagi. Mereka saling diam. Via berusaha keras agar matanya tak lagi menangkap sosok pemuda di hadapannya. Sementara Iel, matanya beberapa kali melirik ke arah Via. Seulas senyum tipis kemudian tertata di wajahnya. Gadis berambut pendek ini yang menjadi penyebab semua itu. Ia menggeleng pelan dan tetap saja tersenyum. Ia lalu memakan roti yang diberikan Fira.
***
Agni mendrible bola seraya mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat siapa anggota timnya yang bebas dari penjagaan lawan. “IFY SHOOTING!!” Pekik Agni kemudian. Ia melambungkan bola basket ke arah Ify yang terlihat paling ‘tenang’. Ify, dengan rasa kantuk yang masih saja mendera, kaget mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan mendapati sebuah bola sedang bergerak menuju ke arahnya. Meski tidak siap, ia masih bisa menangkap bola itu dan memantul-mantulkannya ke lantai. Ia garuk-garuk kepala sendiri, bingung apa yang harus ia lakukan.
Agni melengos dan kembali berteriak. “SHOOTING!!” Pekiknya lagi. Ify yang mendengar itu kemudian langsung melemparnya ke arah ring. Ajaib! Masuk! Threepoint! Ketiga temannya melongo melihat itu termasuk dirinya sendiri. Selama ini, jika mereka bermain, Ify selalu gagal melakukan tembakan. Dan tiba-tiba kali ini ia berhasil. Tak ayal, ia langsung berjingkrak kegirangan. “WOAAH MASUK!!” Hebohnya. Ia melompat-lompat seraya bertepuk tangan tak jelas. Agni, Shilla dan Via cuma bisa geleng-geleng kepala.
Ify terus melompat hingga tak sengaja kakinya jatuh pada posisi yang salah. Ia terduduk akibat itu dan merasakan nyeri pada pergelangan kaki kirinya. “AWW!” Erang Ify seraya memegangi pergelangan kakinya itu. Agni, Shilla serta Via serentak menoleh kembali dan mendapati salah satu teman mereka itu terduduk dan meringis kesakitan. “Fy, lo kenapa?” Panik Via sesaat setelah sampai di hadapan Ify. Ify menoleh. “Hehe, keseleo kayaknya..” Cengir Ify. Agni dan Shilla mendesah malas. “Ahelah, bisa jalan gak?” Tanya Agni. Ify mengedikkan bahu seraya berusaha berdiri.
Ify merasakan nyeri di pergelangan kakinya kembali. Padahal ia hanya menapakinya ke lantai, belum dibawa berjalan. “Aw!” Rintihnya. Melihat itu, Agni lantas menyuruh Via memapah Ify ke kantin. Kebetulan pelajaran olahraga saat itu sudah selesai jadi mereka boleh beristirahat. Ify didudukkan di kursi panjang yang terdapat disana. Agni dan Shilla mengambil tempat duduk bersebelahan, di depan Ify dan Via. Via kemudian berdiri dan pergi memesan minuman. Tinggalah Agni, Shilla dan Ify yang saling diam di kursi itu.
Tak ada yang mau memulai topik perbincangan. Masing-masing malas untuk buka suara. Ify sibuk mengurusi kakinya, Shilla menatap layar ponsel tanpa tahu apa yang ingin ia lihat dari sana sementara Agni, ia masih setia memikirkan perkataan Cakka kemarin. Kata-kata yang dalam sekejab menggoyahkan dugaannya mengenai sosok lain dalam diri Cakka. “ASTAGA!” Ujar Ify tiba-tiba sekaligus mengagetkan Shilla dan Agni. Mereka serentak mengelus dada seraya menghela nafas singkat. “Lo tuh ya kalo ngomong kasih kode kek!” Rutu Shilla diikuti dengan tatapan persetujuan Agni. “Hehe, maap-maap gak sengaja..” Cengir Ify.
“Ada apaan sih? Heboh banget?” Tanya Agni. Air muka Ify berubah panik. “Besok Papa ulang tahun!” Serunya. Bertepatan dengan itu, Via baru kembali dengan membawa beberapa minuman. Ia lalu duduk dan memberikan minuman-minuman itu pada ketiga temannya. “Papa lo ulang tahun? Bukannya seminggu lagi ya? Sekarang kan masih tanggal 17?” Ujar Via bingung. Agni, Shilla dan Ify saling berpandangan bingung. “Vi..sekarang tanggal 24.” Kata Shilla. Via makin tak mengerti. Ia merasa ada yang aneh. Mulai dari tadi pagi, Iel datang untuk mengantarnya, ia salah memakai seragam dan sekarang bertambah lagi dengan ia yang salah mengira tanggal.
Via lantas mengedikkan bahu dan tak mau memikirkannya lebih lanjut. “Terus, rencana lo apa?” Tanya Agni lagi. “Yah seperti biasa. Gue bakal bikinin Papa kue tart.” Jawab Ify seraya tersenyum menerawang. Agni mendengus mendengar itu. “Terus kenapa lo heboh kalo cuma itu doang?!” Keluhnya. Ify menoleh ke arah Agni lagi. “Gue belum selesai! Gue juga mau ngasih Papa kejutan. Gue pengen ngasih kue tartnya tepat jam 12 malam. Dan karena itu gue mau minta bantuan sama lo semua. Lo pada bisa bantu gue kan?” Tanya Ify penuh harap.
“Bantu apa dulu nih?” Kali ini Shilla yang angkat bicara. Agni dan Via hanya ikut mengangguk. “Lo semua nginep ya di rumah gue? Ya ya ya? Besok kan libur?” Pinta Ify. Shilla dan yang lain saling berpandangan belum mengerti maksud Ify. “Trus kita ngapain?” Tanya Shilla lagi. Ify menghela nafas singkat sebelum kembali menjawab. “Lo semua bantuin ngias rumah gue. Lagi juga Papa gue kan gak pernah ulang tahunnya dirayain rame-rame. Jadi lo semua bantu gue ya?” Pinta Ify yang terakhir kali. Ketiga temannya saling berpandangan lagi dan serentak mengedikkan bahu. “Okedeh gue juga gak ada kerjaan di rumah..” Ujar Shilla menyanggupi diikuti dengan persetujuan Via dan Agni.
***
Waktu sudah hampir menunjuk ke angka 3. Itu berarti sudah hampir 2 jam Ify menunggui Rio selesai rapat. Dan sampai sekarang pun belum jua kembali menemuinya di kelas. Asal tahu saja, perut Ify sudah seperti ditusuk-tusuk dari tadi. Jelas, dari tadi malam hingga sekarang esofagusnya belum juga dilewati seonggok nasi bahkan satu butir pun. Badannya sudah lemas untuk dibawa berjalan kesana-kemari. Apalagi kakinya masih belum membaik. Belum lagi rasa kantuk yang terus saja mengusik ketenangan mata. Benar-benar lengkap penyakit Ify hari ini.
Tiba-tiba, ia merasakan ponselnya bergetar. Hanya satu kali. Ia segera mengecek ponselnya itu dan mendapati satu sms masuk ke dalam sana. Sebuah nomor tak di kenal. Dalam pesan itu, ia disuruh pergi ke ruang musik untuk menemui si pengirim yang mengaku bahwa dia Rio. Kening Ify berkerut setelah membaca pesan itu. Ia bingung, jika ini Rio, untuk apa menyuruhnya pergi ke ruang musik? Jelas-jelas pemuda itu sendiri yang menyuruhnya menunggu di kelas, tadi. Dan satu lagi, untuk apa Rio mengirim pesan padanya dengan memakai nomor lain?
Setelah lama mengingat, menimbang *halah* dan ia akhirnya memutuskan pergi juga memenuhi tuntutan dalam sms itu. Ia berjalan seraya memegangi dinding karena takut akan terjatuh. Langkahnya pun tak selalu mulus, beberapa kali ia berhenti seraya memegangi perutnya. Ia berjalan gontai hingga sampai di depan pintu ruang musik. Ify dengan mudah membuka pintu karena memang tidak dikunci. Ia melihat ke dalam dan tak ada siapapun yang ia temukan. Tiba-tiba, ia merasakan seperti ada benda tumpul menghujam cukup keras ke bagian punggungnya.
Badan Ify terhuyung begitu saja ke lantai. Ia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi. Kesadarannya pun hampir bisa dibilang sudah mencapai nol. Sedikit-sedikit pendengarannya masih bisa diandalkan. Ada 2 orang yang membawanya masuk ke ruang musik lalu kemudian menguncinya dari luar. Ify merasakan salah seorang dari mereka menampar serta menendang beberapa bagian tubuhnya. Sebelum mereka benar-benar meninggalkan Ify disana, mata Ify terbuka sedikit. Ia bisa mengetahui kedua-duanya perempuan. Ia masih dapat melihat sepatu apa yang dipakai oleh salah satu di antaranya. Hanya sampai disitu, karena detik selanjutnya, tingkat kesadaran Ify sudah ada pada posisi nol.
***
Tak berapa lama setelah Ify pergi ke ruang musik, Rio kembali ke kelas dan mendapati ruangan itu kosong. Hanya tinggal tasnya yang tergeletak di kursi. Ia agak kaget karena Ify sudah tak menempatkan diri disana. Baru saja ia hendak menghubungi gadis itu, ponselnya tiba-tiba dimasuki sebuah pesan dan sangat kebetulan pesan itu Ify yang mengirimnya. Dalam pesan tersebut, Ify menginformasikan bahwa ia sudah terlebih dahulu pulang ke rumah.
 Rio berdiam diri sejenak seraya memandangi layar BB-nya, tepatnya memandangi tulisan-tulisan dalam pesan tadi. Ia lalu mendesah pelan dan memasukkan BB-nya ke kantong. Setelah mengambil tas, ia pun beranjak dari sana. Sempat terlintas perasaan tidak menenangkan dalam hati Rio. Entah apa dan untuk hal apa itu, ia juga tidak tahu. Ia terlihat beberapa kali menghela nafas seraya mencoba membuat pikirannya kembali dalam kesejukan.
***
Agni terpaksa datang kembali ke sekolah untuk latihan basket. Tidak seperti biasa, hari ini ia menjalani latihan pada jam 4 sore dikarenakan ada rapat tadi. Agni sudah sampai di sekolahnya dengan tak lagi memakai seragam. Kaos berwarna hijau bertuliskan ‘I’m not a girl, but i’m a female’, celana olahraga yang sedikit di atas lutut serta sepatu sport ‘Nike’ putih kini menempel di tubuhnya. Ia terus melangkahkan kaki menelusuri bagian depan hingga hampir sampai di tengah-tengah SMA PARFAIT.
Sedikit lagi menuju lapangan sekolah, kakinya berhenti seketika. Ia menjadi ragu untuk ikut latihan atau tidak. Apa lagi yang lo cari, Ag? Cakka bukan Aga..Ya, Cakka bukan Aga. Batinnya lirih. Sekian lama ia hanya berdiam diri sambil memandang ke arah lapangan. Melihat beberapa anggota lain sudah memulai bermain. Matanya menilik satu-persatu orang-orang disana. Ia tak mendapati adanya sosok Cakka. Okey..gue berhenti! Tegasnya dalam hati.
Agni memutar balik badannya. Ia sudah memutuskan tak akan lagi menyelidiki siapa Cakka. Toh, sudah jelas Cakka dan Aga itu dua sosok yang berbeda kegemaran. Dibuktikan dengan keterangan dari Cakka bahwa pemuda itu suka hujan. Bagi Agni, itu sudah cukup menunjukkan bahwa Cakka ya memang Cakka. Tak ada pribadi lain dalam diri pemuda itu. Saat berbalik badan, tanpa disangka orang yang menjadi objek perdebatan dalam otak Agni tadi berdiri tepat di hadapannya. Melihatnya dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Cakka, orang tersebut, terlihat menggembungkan sebelah pipinya seraya menatap Agni dan lapangan basket secara bergantian. Agni diam melihat sikap Cakka itu. Sikap yang membuatnya bimbang kembali akan kesimpulan mengenai siapa sebenarnya pemuda ini. Menggembungkan sebelah pipi? Itu kan kebiasaan yang sering Aga lakukan jika ia sedang tidak mengerti atau kebingungan. Cakka membuang udara yang ada di mulutnya, membuat pipinya kembali dalam ukuran normal. “Lo ngapain berdiri disini?” Tanya Cakka heran. Agni masih diam dan terus memandang ke arahnya. Cakka balas menatap Agni seraya memiringkan kepala.
Agni seketika tersentak melihat itu. Satu lagi, yang Cakka lakukan ini juga sama dengan apa yang akan dilakukan Aga ketika ada seseorang memandanginya terus-terusan. Cakka..LO SIAPA?! Agni berteriak sepuasnya dalam hati. Ia dilanda kegalauan *halah* luar biasa akibat pemuda di hadapannya ini. Siapa dia? Aga..Cakka..atau malah Aga yang berusaha menjadi seorang Cakka, ia benar-benar bingung harus menjawab apa dalam pertanyaan itu.
***
Sudah hampir jam 8 malam. Ify belum juga pulang ke rumah. Ferdi sedari tadi mondar-mandir tak jelas. Tak peduli dengan rasa nyeri yang teramat sangat di bagian pinggangnya. Pikiran Ferdi hanya terfokus pada anaknya itu. Air mukanya terlihat begitu cemas dan khawatir. Tidak biasanya Ify pulang –terlalu– telat seperti ini. Apalagi gadis itu tak memberikan informasi apapun padanya. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ify, tapi tak juga diangkat. Putus asa menelepon Ify, Ferdi lantas beralih pada Agni, teman anaknya.
“Hallo, Agni?”
***
“Hallo..Om. Ada apa ya?” Tanya Agni sopan saat menjawab panggilan dari Ferdi, Papa Ify. ia agak bingung kenapa laki-laki itu meneleponnya tiba-tiba. “Sampai sekarang Ify belum pulang. Kamu tahu dia dimana?” Sahut Ferdi seraya bertanya balik. Kening Agni berkerut mendengar itu. Ify? Tanyanya dalam hati. Jelas saja, Agni bahkan baru saja hendak pergi ke rumah Ify. Sekarang Ferdi malah menanyakan soal keberadaan gadis itu. Tentu ia tidak tahu. “Ah dia ada di rumah Agni, Om. Tadi dia lupa ngasih tahu.” Bohong Agni. Ia tidak ingin membuat laki-laki yang meneleponnya ini khawatir. “Bener? Dia ada di rumah kamu? Dia baik-baik aja kan?” Tanya Ferdi memastikan. Agni menelan salivanya cepat. Ada rasa tidak enak dengan ia yang berbohong seperti ini.
“I..iya, Om.” Jawab Agni sekenanya. Helaan nafas lega terdengar disana. “Hhh, baguslah. Ya sudah, Om titip Ify sama kamu ya?” Kata Ferdi lagi. Rasa tak enak Agni kembali bertambah mendengar perkataan Ferdi barusan. “Iya, Om.” Jawab Agni, lagi. Suaranya entah kenapa menjadi pelan. Setelah itu, Ferdi menutup teleponnya dengan Agni. Agni menghembuskan nafas perlahan. Ia kemudian segera mengirim pesan pada Via dan Shilla untuk menanyakan perihal Ify. Tak perlu menunggu waktu lama, pesannya pun dibalas oleh kedua gadis itu.
Kedua-duanya sama-sama tidak tahu-menahu dimana Ify sekarang. Gadis itu tidak bersama mereka saat ini. Agni diam, berfikir apa yang dapat ia simpulkan. Sebelum itu, ia juga mengirim pesan pada Rio dengan menanyakan hal yang sama seperti yang ia tanyakan pada Via dan Shilla. Tak jauh beda, pemuda itu juga tidak mengetahui dimana Ify. Terakhir, Rio mendapatkan sms dari gadis itu yang menyebutkan bahwa ia sudah berada di rumah. Perasaan Agni sudah tak enak. Ia sudah mendapatkan satu dugaan tapi ia belum berani mencetuskan itu sekarang. Ia masih berharap besar bahwa dugaannya itu salah. Agni kemudian menyuruh ketiga orang yang ia kirimi pesan tadi agar segera menghadirkan diri di rumahnya.
Via dan Shilla tentu tidak masalah dan mengiyakan begitu saja. Berbeda dengan Rio. Pemuda ini pasti akan mencari alasan untuk menolak. Maka dari itu, bunyi sms-nya untuk Rio sedikit berbeda dari Via dan Shilla. Terkesan sedikit memaksa dan tidak memberi pilihan pada pemuda itu untuk tidak datang.
To : Riostev
Ke rumah gue sekarang. Penting! Gue gak main-main!
Send!
***
(Antique – Satu bintang on. Enak loh =D)
“Maa, Shilla ke rumah Agni diantar siapa??” Teriak Shilla dari lantai bawah rumahnya. Wiwid, Mamanya, balas berteriak pula. “Orangnya udah nunggu di luar!!” Seru Wiwid. Setelah pamit, Shilla pun langsung berlari keluar rumah. Sebuah mobil asing terparkir di halaman rumah itu. Tidak bisa disebut asing juga karena mobil itu sangat familiar dan ia sangat tahu siapa pemilik dari kendaraan tersebut. Seorang pemuda bersandar di samping salah satu pintunya. Dalam sekejab, jantung Shilla dibuat menggeletar karena sosok pemuda itu.
Shilla tetap diam dan tak bergerak sedikitpun. Ia terus menatap pemuda yang kini tengah menatapnya balik. Selama seharian penuh, ia tak berkomunikasi dengan pemuda itu. Orang yang telah membuatnya kesal sejak kemarin. Namun, ia juga sangat-sangat menantikan kehadiran orang ini. Alvin? Batin Shilla. Yap, pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Alvin. Alvin tersenyum canggung seraya menggaruk-garuk tengkuknya. Untuk kedua kalinya, setelah sekian lama ia tak merasa gugup seperti sekarang pada Shilla. Yang pertama terjadi saat ia menyatakan perasaannya dulu pada gadis ini. Dan sekarang, sepertinya kejadian itu terulang kembali.
“Emm..mau gue anter?” Tanya Alvin akhirnya. “Hah? Ee..ya..ya udah..” Jawab Shilla yang ikut canggung. Ia sendiri bingung kenapa rasa kesalnya sama sekali tak terluapkan saat ini. Ia berjalan perlahan menuju mobil Alvin. Alvin terlebih dahulu membukakan pintu untuk gadis ini seraya melemparkan senyum padanya. Setelah itu, ia ikut masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya segera.
Suasana tak bersahabat itu masih setia menyelinap di antara pasangan kekasih ini. Mereka tak saling bicara dan sibuk dengan pikiran serta perasaan masing-masing. Beberapa kali mereka terlihat saling melirik lalu kemudian mengalihkan pandangan segera. “Mm..kita berhenti sebentar disana ya?” Bujuk Alvin seraya menunjuk salah satu sisi jalan yang cukup sepi tapi masih terlihat terang. Shilla menoleh sebentar lalu kemudian menunduk. “Eh..iya..” Serah Shilla. Ia sepertinya sulit untuk berbicara panjang lebar.
Alvin pun lantas menepikan mobil. Ia melirik Shilla sekali lagi. Ia ragu untuk mengajak gadis itu bicara. Shilla juga sama. Ada satu hal yang ingin mereka tanyakan satu sama lain. Tapi, keduanya tak punya cukup keberanian melakukan itu. Alvin kemudian turun dari mobil diikuti Shilla yang kebingungan harus melakukan apa. Mereka duduk di sisi depan mobil Alvin dan masih saling diam. “Shill..”
“Vin..” Kata mereka bersamaan. Mereka menoleh sebentar dan sontak menggaruk pelipis masing-masing. “Lo aja duluan!” Serah Alvin seraya tersenyum lembut ke arah Shilla. Membuat pipi Shilla sedikit merona melihat itu. “Ah..okey..” Shilla menarik nafas dalam-dalam sebelum kembali buka suara. “Gue..gue mau minta maaf..” Ujar Shilla pelan. Kekesalannya pada Alvin entah kenapa raib begitu saja. Ia malah meminta maaf sekarang. Tak ayal, Alvin menatapnya bingung. “Maaf buat apa?” Tanya Alvin kembali lembut. Jantung Shilla semakin berdebar dibuatnya. Aduh..suaranyaa, ckck. Kata Shilla dalam hati. Ia menggaruk-garuk pelipisnya lagi dan memandang Alvin takut-takut.
“Emm..ya kan lo bilang gue selalu ganggu lo. Emang sih kayaknya gue jadi cewek sering banget buat lo kesal, jengkel, nyebelin, berisik, ribet emm apalagi ya?” Alvin masih diam namun tetap mengarahkan matanya pada Shilla. Shilla jadi gagu sendiri dilihat seperti itu. “Mm..kalo lo mau minta putus..ya..ya udah gak masalah. Gue juga gak mau nyiksa lo lama-lama, hehe..” Shilla mati-matian berusaha bersikap sebiasa mungkin. Meskipun hatinya agak mencelos saat mengutarakan kata-katanya barusan. Jelas, bohong jika ia merasa tidak masalah. Ia begitu mencintai sosok pemuda yang ada di sebelahnya ini. Ia hanya bisa menunduk menyembunyikan apa yang sesungguhnya ia rasakan sekarang.
Sedetik kemudian, Alvin terkekeh. Shilla lantas menoleh ke arah Alvin dengan pandangan tak mengerti. Tangan Alvin kemudian bergerak mengacak-ngacak puncak kepala orang yang masih menjadi kekasihnya itu. “Yang mau minta putus siapa?” Tanya Alvin tetap lembut seperti sebelumnya. Shilla kembali menunduk. “Abis..lo ngomongnya gitu kemarin..” Jawab Shilla manja. Alvin meraih wajah Shilla dan membuatnya terangkat. “Ngomong gimana?” Tanya Alvin lagi. Ibu jarinya bergerak mengusap-ngusap kedua pipi Shilla. Shilla hendak menurunkan tangan Alvin namun malah tangannya yang kini digenggam oleh pemuda itu.
Alvin lalu menempelkan telapak tangan kanan Shilla di dadanya. “Jantung gue berdebar kuat loh! Terasa?” Shilla melirik ke tangannya itu sebentar lalu mengangguk pelan. “Kuat banget kan?” Tanya Alvin seraya tersenyum sumringah. Shilla mengangguk lagi. Alvin kemudian menatap Shilla hangat. “Sekuat itu juga cinta gue ke lo. Lebih kuat malah!” Ujarnya. Shilla terpaku mendengar pernyataan Alvin padanya. Kata-kata itu secara otomatis membuatnya meluluhlantahkan kekesalan apa saja yang diakibatkan oleh kekasihnya itu. Tangan Alvin yang satunya kembali mengusap pipi Shilla, meski hanya sebelah. “Lo percaya?” Untuk ketiga kalinya, Shilla hanya bisa mengangguk.
Kelegaan menguap di hati masing-masing. Sudahlah, lupakan saja apa yang terjadi kemarin. Jika kemarin membuat hati menjadi dingin, maka lebih baik menyambut matahari hari ini yang dengan tangan terbuka serta lebih bisa memperhangat suasana di dalam sana. Pikir Shilla. Beberapa detik berjalan, Alvin dan Shilla masih betah mempertahankan posisi seperti tadi. Detik berikutnya, tak lagi sama. Alvin mulai bergerak maju mendekati wajah Shilla seraya memiringkan kepala sedikit. Shilla merasa tubuhnya makin kaku dan tak bisa bergerak sama sekali.
Pada akhirnya, untuk yang pertama kali, Alvin serta Shilla membiarkan tak ada lagi jarak yang menghalangi mereka. Hanya untuk malam ini, biarkan kehangatan itu benar-benar menyelimuti mereka berdua. Biarkan rasa tidak percaya yang sempat menghampiri lenyap seiring menipisnya jarak itu sendiri. Biarkan rasa rindu menguasai hati dan pikiran mereka khusus untuk sekarang. Setidaknya, setelah malam ini, tidak akan ada lagi keraguan dalam diri masing-masing terhadap perasaan satu sama lain.
***
Via terlebih dahulu sampai di rumah Agni. Mereka hanya diam sembari menunggu kedatangan beberapa orang selanjutnya. Tak berapa lama, secara kebetulan, Shilla yang tiba-tiba bersama Alvin sampai bersamaan dengan Rio. Sesaat, baik Shilla, Alvin maupun Rio sendiri saling memandang satu sama lain. “Rio? Lo ngapain disini?” Tanya Shilla bingung. Rio kemudian melirik ke arah Alvin sebentar. “Terus, nih anak ngapain tiba-tiba disini?” Tunjuk Rio pada Alvin. Alvin memukul bahu Rio pelan. “Dasar lo! Gue nemenin cewek gue lah!” Kata Alvin. Rio hanya tersenyum miring menanggapi hal itu. “So, lo ngapain?” Tanya Alvin kemudian. “Agni yang nyuruh. Katanya penting.” Jelas Rio.
Mereka lalu masuk bersama ke dalam rumah Agni tepatnya ke ruang tengah. “Nah, lo berdua datang juga!” Sambut Agni. Sementara Via, ia melihat ke arah Alvin bingung kenapa pemuda itu bisa disini sekarang. “Vin, kok lo tiba-tiba disini?” Tanya Via. Alvin melengos mendengar itu. “Emang gue jin apa muncul tiba-tiba? Gue punya proses kali sampe bisa datang kesini!” Sungutnya. Via hanya membulatkan mulut tanpa bertanya lebih lanjut. “Jadi ngapain lo nyuruh kita semua datang kesini? Sampe nyuruh Rio segala lagi?” Tembak Shilla langsung ke pokok masalah. “Lo beneran gak tahu dimana Ify?” Agni malah balik bertanya. Yang lain pun menggeleng termasuk Rio sendiri, yang biasanya hanya diam sambil ikut mendengarkan. Agni menarik nafas dalam dan membuangnya begitu saja.
“Ify hilang!” Pasrah Agni.
***
Hulalaa terselesaikan juga. Sedikit lebih cepat bukaan? Haha~ Silahkan caci maki saya kembali karena saya akui ceritanya semakin amat sangat jeleknya =D
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)