-->

Senin, 23 April 2012

Matchmaking Part 14 B-2

Ini dia lanjutan yg aturannya kemarin-kemarin d post. tapi modem mimin cari masalah alias emang lagi bermasalah hiks30x ="""(( mimin lagi stres ada ulangan harian mana modem macem itu pula. heleh heleh -____- mari doakan modem mimin cepat sembuh o,o

ya sudah langsung saja yaw! semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

 “Haha..”

Tawa Agni tiba-tiba. Ia dan Kiki sudah berada di mobil sekarang. Kakinya sudah baikan dan tak terasa sakit lagi. Tapi, sakit itu malah membuka kembali memori dalam kepalanya dan membuat ia teringat akan kejadian masa kecilnya, bersama Aga. Kiki menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali fokus menyetir. “Kenapa lo? Senyam-senyum sendiri, bagi-bagi kali ke gue!” Lamunan Agni terangkat dan mengudara seketika. Ia tersadar dan lantas menoleh ke arah kakaknya. Senyum, ekspresi itu lagi yang ia lemparkan pada pemuda itu. “Gue lagi nostalgia.” Katanya dengan mata menerawang. Pasti Aga! Pikir Kiki. Membuatnya menghunuskan nafas agak tak senang. Namun, masih tertutupi dengan senyum miring di wajahnya. “Bagian yang mana?” Tanyanya kemudian.

Agni tak langsung menjawab. Keningnya tampak berkerut. Hal lain menjadi pemikirannya saat ini. “Sebelum itu, lo kenal Cakka darimana? Kok gak pernah bilang?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan. Kiki agak kaget. Ia lupa, cepat atau lambat adiknya pasti akan bertanya juga. Ia bahkan belum memikirkan jawaban jika adiknya benar-benar menanyakan hal itu dan itulah yang terjadi sekarang. Jawab jujur? Ah sepertinya asas itu tak berlaku padanya sekarang. Ia sama sekali tak menginginkan Agni tahu siapa Cakka, baginya. Dimana mereka bertemu, berkenalan dan ‘berteman’ seperti yang gadis itu pikirkan. “Emangnya kenapa? Lo minta kenalin gitu?”

Pandangan aneh pun langsung terunjuk padanya. Agni sekali lagi mengkerutkan kening. Pemuda di sebelahnya lagi-lagi bertingkah aneh. Apa menjadi menjadi imigran di negara asing selama satu bulan, membuat seseorang menambah sifat seperti itu? Maksudnya, aneh. “Ngeh, gue bukan boysholic!” Tolaknya mentah-mentah. Ia menoleh ke arah Kiki lagi dan menggelar aksi penyelidikan akan pemuda itu. “Lo aneh deh. Biasanya kalo orang mendadak aneh, pasti ada apa-apanya. Hayoo, ngaku lo? Ah, atau lo lagi..jatuh cinta yaaa?” Todong Agni yang sukses membuat tawa Kiki meledak. Jatuh cinta? Ah, tapi mungkin saja. “Gue bukan lovesholic! Siapa juga yang jatuh cinta? Adanya lo kali! Sama siapa tuh, Cakka? Cakka atau Aga? Haha..” Balasnya.

“Tuyul, dasar lo! Mengalihkan pembicaraan, berarti bener lo lagi jatuh cinta. Iya kan? Udahlah, lo gak bisa bohong sama adik lo yang manis ini! haha..” Kiki menginjak rem pelan. Sekarang lampu merah sedang menyala. Mobilnya berhenti di belakang sebuah mobil sedan hitam yang sepertinya belum dibersihkan berminggu-minggu. Kotor sekali. Ia tak menggunakan kesempatan berhenti itu untuk menoleh. Ia masih setia memadang ke depan. Yeah, i think so! Batinnya. “Silahkan menduga-duga!” Serahnya. Agni mengedikkan bahu. Dialog pun terhenti sampai disana. Masing-masing beralih pada fokus yang lain. Agni memperluas pandangan melihat daerah sekitarnya, dari balik kaca mobil. Kiki, ia masih sama. Masih memandang ke arah jalan raya. Lalu, pikirannya? Sepertinya, tak ada lagi yang ia pikirkan.

***

“Pulang dulu, Kak! Salam buat Kak Ify!” Pamit Dea. Ia melangkah masuk ke dalam taksi yang dipanggilnya beberapa menit lalu. Rio mengangguk dan tersenyum sekilas. Taksi yang Dea tumpangi pun dalam sekejab menghilang dari pandangan. Tinggallah Rio kini. Ia berlari masuk ke rumah Ify kembali. Tak lain dan tak bukan hendak memastikan dimana keberadaan gadis itu. Sebelumnya, tadi Dea hendak berpamitan juga dengan gadis itu. Tapi, setelah diteriaki namanya beberapa kali, bahkan diperiksa di seluruh ruangan di rumahnya, gadis itu tak juga memunculkan diri. Pada akhirnya, Rio menyuruh Dea pulang saja. Biar nanti, dirinya yang menyampaikan kata pamit tak sampai pada Ify.

Tapi, masalahnya sekarang adalah Ify tak ditemukan dimanapun. Kamar gadis itu kosong, ponselnya pun tertinggal di meja rias. Bahkan ia sudah -lancang- masuk ke kamar Ferdi. Tapi, tetap, tak ada Ify disana. Kakinya kemudian melangkah menuju dapur. Hanya Siti yang ia temukan. Siti menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. Apa pemuda ini minta dimasakkan sesuatu? Pikirnya. “Bi, liat Ify gak?” Tanya Rio langsung. Siti justru terlihat makin bingung. Ify? Bukannya gadis itu bersama pemuda ini sejak tadi? “Loh, bukannya sama-sama den Rio ya?” Jawabnya seraya bertanya balik.

Rio menarik nafas pelan. Skak! Ify hilang. Lagi? “Tadi. Sekarang gak tahu dimana.” Katanya pasrah. Tidak sepenuhnya pasrah, karena tersembul pula kecemasan saat mendengarnya. Siti diam, memikirkan keberadaan Ify yang paling berpeluang. “Ah, mungkin neng pergi ke apotek den!” Serunya. Ia baru ingat, tadi kan gadis itu bersin-bersin. Ditawarkan dibelikan obat tapi menolak. Mungkin saja gadis itu berniat membelinya sendiri. “Apotek?” Tukas Rio. Siti mengangguk yakin. “Iya, tadi kan neng bersin-bersin terus. Bibi tawarin dibelikan obat, dianya gak mau.”

Alis Rio terangkat sebelah. “Cuma bersin-bersin, langsung pergi ke apotek?” Tanyanya kurang yakin. Setahunya, Ify hanya bersin-bersin. Pergi ke apotek mungkin tindakan yang berlebihan menurutnya. Siti menarik nafas pelan. Sepertinya ia akan memulai penjelasan yang cukup panjang pada Rio. “Gini ya den, neng itu pertahanan tubuhnya lemah. Gampang sakit. Flu aja bisa fatal akibatnya. Awal-awal iya cuma flu, tapi habis itu badannya bisa meriang dan demam deh akhirnya. Nah, susahnya, kalo lagi sakit, neng gak mau makan. Minum obat aja dipaksa habis-habisan. Apalagi sekarang, Pak Ferdi dirawat di rumah sakit. Kasihan, nanti gak ada yang jagain neng. Cuma bapak yang bisa bikin neng nurut. Pokoknya, bahaya banget deh kalo misalnya neng jatuh sakit.”

Rio mendengus. Lalu, ia harus apa sekarang? “Tunggu aja den, kalo misalnya benar ke apotek, paling bentar lagi juga pulang.” Kata Siti sekaligus menjawab pertanyaan dalam benaknya barusan. Yah, semoga saja! Doanya dalam hati.

***

Via keluar tepat 5 menit sebelum film berakhir. Entah apa isi film itu ia pun tak tahu. Ia tak peduli. Yang penting, ia harus segera keluar dari ruangannya sekarang. Penyelidikannya sia-sia. Gagal total. Tak ada secuil pun informasi yang bisa ia rengkuh. Iel sama sekali tak mengobrol dengan gadis yang bersamanya. Pemuda itu malah sibuk mengajak Via ngobrol tak jelas. Bahkan ketika mendapatkan pengabaian, pemuda itu masih saja berusaha menariknya dalam obrolan. Gadis yang bersamanya justru diam saja dan fokus pada film yang diputar. Seakan tak peduli pada tingkah -mungkin- kekasihnya yang sedikit pecicilan.

Sementara Iel, seperti yang sudah dijelaskan, ia masih tertarik pada Zaza atau mungkin Via. Matanya tak lepas dari pergerakan gadis itu yang berjalan menuju pintu keluar. Kepalanya mendadak gatal. Kejar atau tidak? Tangannya bergerak menggaruk-garuk kepalanya yang gatal itu. Artinya ia masih bingung. Kepalanya tak sengaja tertoleh ke kursi yang sempat diduduki Zaza. Sebuah buku tergeletak manis pada bagian samping. Buku yang membuatnya mengenali Zaza, bahwa Zaza adalah gadis toko buku yang ditemuinya. Ia mengambil buku itu cepat dan menyusul Zaza keluar setelah sebelumnya memberi tahu gadis yang bersamanya untuk menunggunya sebentar, nanti.

Kepala Iel tak tenang dan bergerak ke kanan-kiri sesuai yang diperintahkan empunya. Nah, itu dia! Iel berlari ke arah yang diserunya, ke arah dimana Zaza sedang menginjakkan kaki disana. “ZAZA!” Pekiknya dari kejauhan. Zaza -Via- masih belum sadar namanya dipanggil. Atau mungkin, belum terbiasa dengan nama Zaza makanya ia tak menoleh. Iel berhasil menyamai langkah gadis itu. Lantas ia menghalaunya dari depan. Membuat Zaza benar-benar berhenti dan menatapnya. Zaza spontan menurunkan sedikit topinya agar wajahnya tak dapat dilihat dengan jelas. “Mau apalagi?” Tanyanya. Iel tersenyum senang mengingat kali ini ia tak harus memulai pembicaraan duluan. “Nomor hape, Mbak berapa?” Tanyanya balik.

Tak peduli akan gadis di hadapannya akan berpikir aneh tentangnya. Sungguh, ia benar-benar tidak peduli. Kenapa bisa ia seperti itu? Entahlah, ia pun tidak peduli. Yang penting, ada suatu cara yang bisa membuatnya tetap terhubung dengan Zaza. Ia harus mendapatkan hal itu. “Hah?” Heran Via. Jadi, beginikah seorang Gabriel? Ia tak habis pikir bahwa Iel akan bertindak segigih ini pada seorang gadis sasarannya. “Iya nomor hape Mbak berapa? Atau pin BB mungkin?” Tanya Iel antusias.

“Saya mau ganti nomor.” Elak Via, berharap Iel akan menyerah. Tentu, mana mungkin ia memberikan nomor apalagi pin BB-nya pada pemuda itu. Bisa-bisa penyamarannya terbongkar. Jika itu terjadi, mau ditaruh dimana mukanya? Ia tak akan berani masuk sekolah. Ia mendesah singkat. “Tunggu disini!” Pintanya sementara ia sendiri pergi entah kemana. Lantas, Via tak tahu harus apa. Mau pergi tapi bukankah Iel menyuruhnya menunggu? Tapi kalau ia menunggu, ia juga takut Iel akan sadar siapa dirinya jika ia bersama dengan pemuda itu lebih lama lagi. Ya sudah, pergi sajalah! Putusnya. Kakinya melangkah kembali. Berusaha keras mengabaikan apa yang Iel minta tadi.

Tak berapa lama, Iel kembali dengan membawa sebuah kartu perdana di tangan. Ia mendapati tempat terakhirnya bertemu Zaza sudah kosong. Ia mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Beruntung, matanya masih bisa menemukan sosok gadis itu yang kini menaiki eskalator yang bergerak menurun. Terpaksa, ia harus berlari lagi demi mengejar gadis itu. Ia menyelip di antara pengunjung mall hingga benar-benar berdiri berdampingan dengan Zaza. “Loh, kamu lagi?” Kaget Zaza. Ia langsung memalingkan wajah yang pastinya bukan ke arah Iel. “Si Mbaknya disuruh nunggu malah ngacir!” Zaza diam tak berkomentar. Iel lalu memberikan perdana tadi pada Zaza dan menyuruhnya menggunakan itu. “Nih, kan katanya Mbak mau ganti nomor. Pakai ini aja!”

Zaza menoleh pada perdana yang disodorkan Iel. “Nih!” Bujuk Iel karena Zaza yang hanya diam menatapi perdana di tangannya. Karena tak juga disambut, ia lantas meraih tangan Zaza dan menaruh perdana itu disana. Sekali lagi, Zaza hanya diam dan masih belum mengerti. Tepatnya, belum mengerti, perdana ini harus ia apakan. Dipakai atau dibuang? “Plis Mbak pakai ya?” Pinta Iel dengan muka memelas. Sangat amat memelas. Tak tega juga jika ia membuang perdana yang sudah repot-repot dibelikan untuknya. “Hhh, ya udahlah!” Serahnya dan mengantongi perdana tadi. Iel menyeringai begitu gembiranya. Baru kali ini ia merasa senang berlebihan. Zazalah penyebabnya. Gila, apa gue jatuh cinta sama nih cewek? Batinnya tak percaya.

“Rumah Mbak dimana? Saya antarin ya?” Via terlonjak. Pemuda di hadapannya masih belum kapok. Kepalanya menggeleng hebat karena itu. “Saya nerima perdana ini, kamu harusnya sudah sangat bersyukur!” Via mengeluarkan lagi perdana pemberian Iel dan mengangkatnya tepat di depan wajah pemuda itu. Iel tak tersinggung. Ia justru bertambah kesenangannya. Mendengar perkataan Via barusan, itu tandanya gadis itu benar-benar serius akan menggunakan perdana pemberiannya. “Eh ya udah, gak usah. Yang penting nomornya dipakai ya, Mbak cantik!” Ia mencubit gemas sebelah pipi Via dan langsung lari sebelum gadis itu mengamuk. Dan benar saja, Via langsung mencak-mencak akan pipinya yang dijamah sembarangan, tanpa izin lagi.

“HEY!!”

***

Sudah jam setengah 7 malam dan Ify belum juga pulang. Siti sudah kembali ke rumahnya setengah jam lalu. Rio mondar-mandir. Air mukanya panik tak karuan. Keringatnya mengucur. Bibirnya habis ia gigiti sedari tadi. Kemana Ify? Dimana gadis itu? Kenapa sampai sekarang belum pulang? Apa terjadi sesuatu padanya? Astaga, sejak kapan gue sestres ini? Pasti ada yang nggak beres! Gue susul ajalah. Ia lalu mengambil kunci mobil dan berlari ke luar rumah. Tak pakai acara memanasi lagi, ia langsung menginjak gas mobilnya dan melajukan kendaraan itu menuju apotek yang disebutkan Siti.

***

“Dek..Deek..”

Ify tampak lelap meski posisinya sedang duduk bukan berbaring. Kepalanya terasa begitu berat tadi, makanya ia memutuskan untuk tidur sejenak. Tapi, tanpa disangka sejenak itu tak berjalan sesuai namanya. Ia malah ketiduran bahkan sampai berjam-jam. Sang penjaga apotek mencoba membangunkannya. Badannya sedikit diguncang. Alhasil, mata Ify membuka dan mendapati seorang perempuan berdiri serta menatapnya bingung. “Adek gak pulang? Udah maghrib loh!” Kata perempuan itu. Ify terperangah dan spontan melihat ke arah jam tangannya. Astaga, maghrib? Kok bisa?! Ia segera berdiri dan berpamitan pada perempuan tadi sekaligus mengucapkan terimakasih karena sudah membiarkannya beristirahat cukup panjang.

“Hati-hati dek! Jam-jam segini, banyak preman berkeliaran!” Kata perempuan itu lagi. Ify mengangguk dan tersenyum sekilas. Dalam hati, ia berdoa semoga saja perkataan perempuan itu tak terwujud adanya. Bahaya, ia tidak memiliki latar belakang bela diri apapun. Susah mendapat pertolongan jika preman-preman itu menganggunya. Suasana sekitar sepi mengharuskannya untuk berteriak. Masalahnya, untuk buka suara saja sangat susah bagi Ify saat ini. Ada rasa sesal pula, kenapa ia tak memakai mobil tadi. Jika begitu, ia tidak perlu menghawatirkan ada atau tidaknya preman saat ini. Ckck, bodohnya dirimu naak! Pikirnya.

Ify berjalan gontai setelah keluar dari apotek hingga tempat itu tak terlihat lagi. Sudah beberapa meter perjalanan yang ia tempuh. Banyak pula waktu yang dihabiskannya. Ia tak mulus berjalan, sebenta-sebentar ia berhenti untuk beristirahat. Kepalanya justru makin berat. tidurnya selama beberapa jam tadi tak berpengaruh sama sekali. Masih ada lagi. Doanya tak terkabul. Kemalangan menimpanya hari ini. Dua orang berbadan kekar dengan bau alkohol menghalau jalannya tiba-tiba. Mereka saling berpandangan dan tersenyum licik lalu memandang Ify lagi. Ify yang menunduk lekas mendongak. Tampaklah di matanya wajah-wajah menyeramkan milik dua orang tadi. Takut, panik, pusing dan pasrah. Campur aduk dan serentak bergerumul dalam benaknya. Safe me, pleasee!! Batinnya penuh harap.

“Mau kemana cantik? Om anterin deh!” Kata salah satunya. Ify menggeleng takut dan mundur selangkah. Kedua orang di hadapannya seolah mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun silam. Saat dirinya dan Via diculik serta ia yang disiksa habis-habisan oleh sang pelaku. Hiii, jangan sampai terulang lagi! Pikirnya. Ia mundur selangkah lagi. “Eits, kok jauh-jauh sih? Om gak gigit kok, haha..” Bulu kuduk Ify terangkat semua. Tengkuknya merinding, lengannya juga. Ketakutannya bertambah besar. “Gak perlu dianter, saya tahu jalan pulang. Permisi!” Katanya seraya mencoba berjalan melewati kedua orang tadi. Mereka tentu tak membiarkannya begitu saja. Salah satu dari mereka menarik tangannya dan mengambalikannya ke posisi semula.

“Gak usah buru-buru! Main sama kita aja sebentar!” Kata yang satu itu. Ify menepis tangan orang itu kasar. Lagi-lagi ia mundur. Tepat pada saat itu, sebuah mobil muncul dari belakang dua orang itu. Dari dalam, keluar seorang pemuda yang sudah sangat dikenalnya, berjalan mendekat. Pemuda itu menarik Ify segera dan menyuruh gadis itu berlindung di belakangnya. “Wah wah anti dong! Kita duluan yang dapet!” Kata salah seorang yang lain sedikit tak terima.

“Dia milik saya!” Ujar Rio, pemuda itu. Kepala Ify menyembul dan menatap pemuda di depannya bingung. Bukan karena kata-katanya, melainkan, bisakah pemuda itu berkelahi nanti jika keadaan mengharuskannya melakukan itu? “Yo, kalo mereka ngajak berantem gimana?” Tanyanya panik. Rio menelan salivanya cepat dan menyahut tak yakin. “Ya...dilawan!” Ringisnya. Ify garuk-garuk kepala sendiri mendengar itu. “Emang lo bisa?” Tanya Ify lagi. Sekali lagi, Rio menelan saliva dan menyahut makin tak yakin. Pasrah tepatnya. “Gak juga sih..” Badan Ify rasanya benar-benar lemas. Rio saja tak bisa apalagi dirinya. “Gini aja deh, kita sama-sama lari. Dalam hitungan ketiga, lo ke kanan, gue ke kiri. Setuju?” Tawar Rio. Mau tak mau Ify mengangguk setuju.

Rio memulai hitungannya. Dan tepat pada hitungan ketiga, mereka lari ke arah yang berbeda. Sesuai dengan kesepakatan tadi. Sial, masing-masing mereka tertangkap. Ify dalam tawanan orang yang menarik lengannya tadi. Sementara Rio dihalau oleh yang satu lagi. Baik Ify maupun Rio, keduanya sama-sama panik. Terutama Rio. Ia panik kalau preman yang menghalaunya menyerang sekaligus panik jika Ify tiba-tiba dibawa kabur. Astaga, bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Tangan preman yang menghalaunya perlahan bergerak turun ke bawah, mengarah ke saku celana. Sebuah benda seperti pisau lipat dikeluarkannya dari sana.

CTEK!

Bagian paling runcing dari benda itu mengacung tepat di depan muka Rio. Membuat kepalanya sedikit terdorong ke belakang. “Kunci mobil!” Sentak preman itu seraya menengadahkan tangan agar meminta kunci mobil Rio. Rio Lagi-lagi mundur. Tapi preman itu justru maju mendekatinya. Ia menoleh ke arah Ify yang geleng-geleng kepala agar ia tak menuruti apa yang preman itu minta. “Tapi gimana?” Bisiknya hampir tak ada suara. Ify menoleh ke kanan-kiri mencari pertolongan. Ah, ada orang! Batinnya histeris. Ia menarik nafas pelan lalu berteriak. “TOLOONG ADA RAMPOOK!!” Pekik Ify sebisanya. Rio dan kedua preman tadi menoleh ke arah yang diteriakinya. Beruntung, orang-orang tersebut berbaik hati dan menghampiri mereka segera.

“WOY RAMPOK!!” Mereka lantas berlari menyerbu kedua preman tadi. Panik, preman yang menghalau Rio tadi lantas mengibas pisaunya ke lengan Rio. Dalam sekejab, lengan Rio berubah merah. Semakin lama semakin melebar bercaknya. Tangannya berdarah! “RIO!!” Ify yang sudah bebas lantas menghambur ke arah pemuda itu. “YAA, jangan disentuh!!” Ify menjauhkan tangannya segera setelah tadi sempat memegang lengan Rio yang terkena sabetan. “Kita mampir ke apotek aja, tangan lo mesti diobatin!” Paksa Ify. Rio menggeleng tak setuju. Ia meminta agar lukanya diobati di rumah saja. Tanpa pikir panjang, Ify mengambil paksa kunci mobilnya dan mendorongnya masuk ke mobil. Sedang gadis itu duduk disampingnya dan bertindak sebagai pengendali kemudi. Tak peduli badannya sudah selemah apa sekarang, yang ada dipikirannya hanya satu. Rio harus segera diobati!

***

Masih sama, Ify memaksa Rio agar buru-buru turun dari mobil. Ia menarik lengan pemuda itu dan mendudukannya di sofa. Ia sendiri pergi mengambil kotak P3K. Apa boleh buat, peralatan yang ada hanya itu. Tapi, untunglah luka Rio tidak terlalu parah. Hanya lecet sedikit. Tidak mengharuskan adanya proses jahit-menjahit seperti luka yang pernah ia alami. Luka di telapak tangannya waktu itu. Kasa, betadhine. Dua hal utama yang harus dikeluarkannya terlebih dahulu. Tangannya gemetaran. Cairan betadhine menyebar tak tahu arah. Sudahlah, yang penting kasanya terlumuri! Pikirnya. “Sini tangan lo!” Rio yang tiba-tiba gugup pun menurut. Ia membiarkan tangan Ify menggenggam pergelangannya sedang tangan yang satu lagi sibuk mengolesi lukanya dengan betadhine. “Ck, kenapa lo yang luka sih?” Gadis itu merutu pelan. Ia hanya diam, belum ada niatan untuk ikut buka suara.

Kesempatan bagus untuknya agar bisa mengamati wajah Ify dari dekat, dengan jelas. Kedua bola matanya tidak terlalu bulat. Hidungnya juga mancung. Pipi dengan ketebalan (?) biasa dan satu lagi, dagunya tirus. Wajahnya terlihat lucu kalau sedang panik begini. Namun juga terlihat agak lelah dengan pandangan matanya yang sayu. Kelenjar keringatnya sedang mengalami hipersekresi. Banyak sekali butiran-butiran yang menetes dari baik dahi maupun pelipisnya. Apa ia selelah itu? Tanya Rio dalam hati. Tapi tunggu dulu! Kenapa genggamannya agak panas? Ah, bukan agak, sangat malah! Apa jangan-jangan..Fy, lo beneran sakit? Rio menatap Ify lekat-lekat. Rupanya ia kurang memperhatikan yang satu ini, bibir gadis itu pucat sekali. Bahkan bergetar. Eh badannya juga. Eh tangannya juga. Astagaa..

Ify membuang nafas lega, lega karena tangan Rio sudah selesai ia obati. Luka pemuda itu sudah tertutup kasa. Ia memasukkan kembali segala peralatan yang digunakan. Tiba-tiba, Rio meraih pergelangannya. Menggenggamnya cukup lama. “Lo sakit?” Tanya Rio. Matanya menajam ke arah Ify, memaksa gadis itu berkata jujur. Ify sendiri kurang tahu pasti ia sakit atau tidak. Yang ia tahu, kepalanya pusing, hidungnya meler, indra pengecapnya pahit, tenggorokan sakit serta perutnya agak mual. Tak lupa, badannya masih meriang. Dengan itu, bisakah disimpulkan bahwa ia sakit? “Cuma flu..hachi!! Tuh kan!” Jawab Ify tak mau ambil pusing. “Gue mau naroh ini dulu. Kalo lo mau pulang, pulang aja. Nanti gue yang bilang sama tante Manda, jadi lo gak perlu repot-repot nginep disini.”

Rio tercenung mendengar Ify berbicara, kalimat demi kalimat. Kesannya, ia sudah jahat sekali pada gadis itu. Lantas ia menarik tangan gadis itu kembali dan memaksanya untuk duduk. Lalu, sasaran selanjutnya adalah dahi. Ia menyibak beberapa helai rambut Ify yang menutupi kening. Panas-tinggi! Telapaknya merasakan suhu yang lumayan berbahaya ketika memegang dahi gadis itu. Positif, Ify demam. Beberapa cc nafasnya terembus keluar. Peluh menghinggapi setiap helaan yang dihunusnya. “Gadis bodoh!” Tudingnya kesal. Kenapa gadis ini pintar sekali menyamarkan keadaan? Ck! Rutunya membatin. Ify yang tiba-tiba dikatai seperti itu lantas mencibir. Rio seperti tak ada habisnya membuat kekesalannya mencuat. Apa mau lo sih?!

“Jangan mulai!” Katanya malas berdebat. Rio mendecak kesal akibat itu. “Udah tahu sakit, kenapa masih nekat beli obat sendiri? Hah?” Genggamannya pada gadis itu mengerat. Urat-urat di sekitar dahinya menyembul keluar. Waw, Rio benar-benar marah! “Yah terus mau gimana lagi? Gak ada yang bisa dimintai bantuan.” Jawab Ify santai. Wajahnya berubah kemiringan menatap vas bunga di meja. “Lo nganggep gue tembok?” Sarkastis Rio. Ify mendengus karena itu. “Masih mending, lo? Lo nganggep gue makhluk halus, gak kelihatan sama sekali, tahu gak?!” Balas Ify tanpa menoleh. Kepalanya masih mengarah ke vas bunga tadi. “Gak usah ngeles!” Rio masih bersungut padanya, masih belum menerima alasannya pergi mencari obat sendiri.

Ify mendengus lagi. “Lo tadi sibuk. Gue gak mau ganggu dan..lo pasti nolak kalo gue minta tolong.” Jujur Ify akhirnya. Rio langsung diam. Kata-kata terakhir gadis itu sudah terlalu jelas. Ya, memang wajar kalau gadis itu tak memberi tahunya. Mengingat sikapnya pada Ify, setidaknya hari ini saja, sudah menjadi alasan kuat bagi gadis itu untuk sungkan meminta bantuan. Kotak P3K yang dipegang Ify lantas ditaruhnya di meja. Ia lalu menarik gadis itu dan memaksanya masuk ke kamar.

“Tidur!” Suruhnya pada Ify. Ify masih bengong, tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan pemuda di hadapannya. “Gue bilang tidur!” Suruh Rio agak keras. Karena takut, Ify akhirnya menurut dan merebahkan badannya di kasur. Pemuda itu kemudian menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Setelah itu, Rio diam. Ify bingung sendiri karena Rio hanya menatapinya tanpa berkata apapun. “Lo gue bawa ke RS!” Kata Rio pasti. Seperti melihat setan, badan Ify menjadi agak kaku dan agak merinding juga. Rumah sakit. Frase dari dua kata itu membuat ketakutannya menyeruak. Ia sangat takut dengan rumah sakit. Sudah tahu kan alasannya kenapa?

Lantas dengan segera kepalanya digerakkan ke kanan-kiri. Isyarat penolakan tertampak jelas dari reaksinya barusan. Rio mendengus. Lalu, ia harus apalagi? Tanyanya dalam hati, frustasi. “Mm, bukannya hari ini lo ada show, kenapa masih disini?” Beruntung, ada suatu hal yang bisa mengalihkan arah pembicaraan Rio sekaligus mempercepat durasi pemuda itu di rumahnya. Mata Rio menajam. Yang jagain lo siapa? Bego! Batinnya menuding. Sejurus kemudian, pandangannya berubah teduh. “Gue gak punya baju, baju yang gue pakai sobek kena pisau.” Alibinya. Ify mengutuki benar-benar alasan pemuda itu. Rio sepertinya sangat ingin membawanya ke rumah sakit. “Tinggal pulang ke rumah apa susahnya?” Katanya mencoba sekali lagi. Rio melirik ke arah jam dinding kamar Ify dan diam-diam menyembunyikan seyum leganya di pelupuk mata.

“Percuma, gue bakal telat.” Katanya. Anyel! Pemuda yang satu ini sangat menjengkelkan, khususnya bagi Ify. Kenapa pemuda itu bersikap arbiter seperti itu? Lantas apikalnya menjulur keluar dan menggerayangi bagian bawah bibirnya. Ia harus segera menemukan ide lain agar Rio mau pergi. Sepersekian menit waktu yang dibutuhkannya, hingga ia teringat bahwa ia pernah membelikan baju untuk pemuda itu. Yah, pada saat ultah Rio tahun lalu, ia ingin memberikan baju tersebut sebagai hadiah. Namun apa mau dikata, dengan nyali yang kian menyurut detik demi detik ketika bertemu dengan pemuda itu, jadilah, ia hanya menyimpannya saja di dalam lemari. Ia bangun dan berniat berjalan mendekati lemari. Namun, sebelum niatnya terlaksana benar, Rio menahan bahunya duluan dan membuatnya tak bisa bergerak dengan tetap duduk di tempat tidur.

“Jangan kemana-mana!” Larang pemuda itu. Bibirnya spontan menjadi lebih maju ke depan. Manyun, itulah tepatnya. “Gue mau ngambil baju.” Sengit Ify. Kening Rio mengernyit. Alisnya pun naik sebelah. Sorot matanya seakan-akan masih mempertanyakan kata-kata Ify barusan. “I..iya..gue ma..mau ngambil baju buat lo..” Tukas Ify yang mendadap gugup. Jelas, hanya kira-kira 10 senti jaraknya dengan Rio, yang kini menumpu tangan di kedua bahunya serta menatapnya tanpa berpaling. Syukurlah, pemuda itu langsung menjauh setelah ia selesai berujar. “Dimana?” Tanya pemuda itu kemudian. “Coba liat di lemari gue!” Tunjuk Ify pada lemari pakaian 4 pintunya (?). Rio tak banyak komentar dan langsung saja mendekat ke arah lemari yang ditunjuknya.

Tangan pemuda itu nyaris saja membuka pintu paling ujung dari lemari itu. “JANGAN DIBUKA!” Pekiknya tiba-tiba. Rio menoleh heran. Tadi gadis itu yang suruh, sekarang dicegah pula. Pikirnya. “Kenapa?” Ify menggeleng keras. Jangan sampai Rio membuka pintu itu. “Jangan dibuka, perkakas gue itu!” Katanya setengah meninggi. Pemuda di hadapannya tersenyum geli. Sudah apriorinya bahwa kejahilan pemuda itu akan menyeruak dengan pura-pura tak paham apa makna perkataannya. “Perkakas apaan?” Tanya Rio yang memasang tampang tak mengerti. Tangannya sekali lagi bergerak dan ingin membuka pintu itu kembali. “YAA JANGAN!”

Ify melompat dari kasur. Berlari mendekat dan menyentak tangan Rio. Kemudian berdiri di depan pintu lemarinya sekaligus menghadap pemuda itu. Rio sendiri hanya mengulum bibirnya geli. “Pintunya di sebelah sana!” Umpat Ify dengan matanya membulat ke arah Rio. Rio lantas bergerak ke pintu di sebelahnya. Kali ini tangannya tak dicegah lagi. Ify ikut memeriksa satu-persatu baju yang tergantung di dalam. Dan sampailah telunjuknya pada baju paling ujung, kemeja kotak-kotak biru-putih. Ia mengarih kemeja tersebut dan menyodorkannya kepada Rio. “Pakai ya?” Pintanya dengan sangat. Bibirnya membusur melengkungkan sebuah senyum manis, senyum yang diharapkan mampu membuat Rio sedikit melunak dan menuruti permintaannya itu.

“Hah? Em..e..ya..ya udah..” Napas Rio sempat berhenti mendadak sebentar ketika melihat senyum Ify tadi. Apnea istilahnya. Mau tak mau ia lekas menerima pemberian gadis itu, menutupi kegugupan. Sialnya, hal itu justru makin mengembangkan senyum di bibir Ify. Matanya berbinar dan wajahnya terlihat manis. Astaga! Umpat Rio dalam hati. Terjadi kehebohan disana. Ada partikel-partikel yang tak bisa konsisten berada di tempat melainkan bergerak mengantul ke sana-sini. Panik. Rio dibuat panik dan cukup kerepotan akan kegiatan baru dalam hatinya itu. Meski raut wajahnya tetap datar seolah tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa?” Tanya Ify bingung karena Rio yang hanya diam. Pemuda itu kaget seperti baru terbangun dari suatu lamunan panjang. “Hah? Ee..lo yang kenapa? Gue mau ganti baju, kenapa lo masih disini?” Elaknya. Ify sepertinya tidak menyadari bahwa ia sedang gugup. Gadis itu justru menggaruk-garuk pipi tak mengerti. “Ganti ya ganti aja. Apa susahnya?” Tanyanya polos. Rio mulai bisa merukunkan partikel-partikel dalam hatinya. Ia sudah bisa santai kembali. “Keluar sana!” Ify melongo dengan mulutnya yang setengah terbuka. “Kok gue?” Polosnya. Rio terkikik seraya memegangi perut. “So, lo mau ngintip?” Godanya. Ify merengus. Sudahlah, mengalah saja. Makin lama kepalanya bisa merepas bahkan rengkah.

Ck! Ia menghentak kaki kesal. Dirempuhnya jalan menuju keluar kamar. Namun, belum sampai 2 langkah, Rio menariknya kembali. Pemuda itu kemudian mendudukkannya di kasur. “Gue ganti baju di toilet kamar lo aja. Jangan ngintip!” Goda Rio lagi. Kikikannya lebih keras. Membuat Ify kesal yang sungguh dan sangat. “Iya! Ck, udah pergi sana! Hush..hush!” Rio lekas masuk ke toilet untuk berganti pakaian.

***

Sedari tadi mata Alvin tak lelah melirik kesana-kemari. Memeriksa satu-persatu orang yang memadati Maming. Dari sekian banyak wajah yang dijumpainya, tak ada satu pun yang memenuhi syarat sebagai orang yang ia cari. Shilla. Ya, Shilla yang ia cari. Lalu, kemana gadis itu? Atau mungkin dimana gadis itu? Alvin sendiri tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Tahu sendirilah, ia saja tidak menemukan gerangannya sedari tadi. Kalau sudah, mana mungkin matanya seliar ini berubah fokus ke satu-persatu orang-orang di depannya. Yang sedang menontonnya bernyanyi. Tak ada nyawa yang ia hidupkan dalam setiap untaian kata yang ia lantunkan. Senyum di wajahnya pun hanya rekaan. Palsu. Bohong dan semacamnya. Intinya, semua yang ia lakukan sekarang atas dasar dipaksakan. Meskipun tak ada satupun yang sadar akan hal itu.

Rio, haha, pemuda ini sama saja. Sama-sama merengsa. Segan-segan bekerja. Tak ada hasrat mendalam untuk terus melantunkan lagunya lebih indah lagi bersama Alvin. Ia tersenyum saja sudah sangat bersyukur. Jiwanya tak benar-benar berdiri tenang dalam tubuhnya. Melainkan sudah melanglangbuana menuju ke satu tempat. Rumah Ify terus ke kamar Ify lalu gadis itu sendiri. Ah, kira-kira gadis itu sudah sembuh atau tidak? Bagaimana keadaannya sekarang? Seperti tak ada ujung, pertanyaan-pertanyaan tersebut membuka jalur yang teramat panjang, sekali lagi tak ada ujung. Tak ada ujung hingga kinerja sistem regulasinya tak dapat merenti untuk terus mengirimkan impuls-impuls berisi pertanyaan itu sendiri.

“Makasih!” Alvin dan Rio mengakhiri lagu mereka sekaligus menjadi penghujung penampilan mereka malam ini. Seperti biasa, penggemar mereka disana tak pernah lupa meneriaki mereka sekeras mungkin. Maming benar-benar didominasi oleh resonan nama mereka berdua. Kali ini mereka tak begitu menanggapi. Tak ada lambaian tangan maupun senyum merekah yang mereka lemparkan. Turun dari panggung, Rio langsung pamit. Tak peduli pada segerombolan fans yang sudah menunggu sejak tadi untuk mengambil setidaknya satu foto bersama. Beruntung, Alvin masih memiliki kepedulian sedikit terhadap kepanaran pengagumnya. Ia membiarkan saja gadis-gadis yang menunggunya itu memuaskan hasrat berfoto dengannya.

***

There's gonna be one less lonely girl...one less lonely girl...

Beberapa kali ponsel Shilla berdering. Namun sang pemilik tak kunjung terenyuk untuk segera menyambut panggilan dalam benda itu. Bahkan untuk sekedar mengangkat sedikit tirai penutup matanya. Yap, gadis ini sedang tertidur. Lelap. Ketukan dari pintu kamar juga luput dari kepekaan indra pendengarnya saat ini. Dari luar, Wiwid lumayan cemas karena ketukannya tak memunculkan reaksi apa-apa. Jangankan pintu dibuka, ada sahutan pun tidak. Sekarang hampir jam 9 malam. Sampai sekarang Shilla belum juga keluar dari kamar untuk makan malam. Apa gadis itu sakit hingga tak sanggup lagi melangkah bahkan bersuara sedikitpun?

CKLEK!

Pintu Shilla terdorong ke dalam perlahan. Tampak Wiwid menyembulkan kepalanya dari balik benda itu. Kini terjawablah sudah kekhawatirannya sejak tadi. Anaknya sedang tidur. Hmm, pantas saja tidak mendengar bahwa ada seseorang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya begitu lama. Bahkan tidak menyadari pelaku pengetukan itu sudah lancang memasuki ruang paling private untuknya. Wiwid membungkam suara dari ponsel anaknya itu. Layar ponsel tersebut sudah menempel dekat dengan telinga kanannya. “Halo, Alvin?” Sapanya terlebih dahulu. Ia diam sebentar, sepertinya Alvin, sang penelepon, sedang berbicara. Senyumnya merekah disela-sela Alvin berbicara. Kepalanya juga terlihat dianggukkan. “Iya, tenang aja! Titip anak tante ya!” Katanya dan menutup telepon segera.

Wiwid menaruh ponsel Shilla ke tempat semula. Sekarang, tugas yang harus ia lakukan adalah membuat ruh-ruh anaknya kembali ke dalam tubuh. Intinya, membangunkan gadis itu lah. “Shill...Shillaa..” Bahu Shilla diguncang beberapa kali. Beruntung, gadis ini bukan tipikal gadis yang sulit dibangunkan. Hanya dalam hitungan detik, Shilla mengerang. Cahaya bisa merasa lega karena mendapat jalan untuk merayap ke dalam mata gadis itu. “Ngh..” Erang Shilla. Matanya agak sulit dibuka sempurna. Sipit-sipit, meski begitu, ia masih bisa mengetahui ada Wiwid di sampingnya. “Makan dulu, kamu kebiasaan deh!” Ujar Wiwid. Setelah mengatakan itu, ia lekas keluar kamar.

“Hooaam..”

Masih ngantuk. Itulah yang dirasanya kini. Ia sudah bangun dan duduk. Meski pandangannya masih buram. Tangannya bergerak mengucek bagian itu beberapa kali. Tepat pada saat itu, ponselnya berdering sekali. Untuk yang ini, bukan panggilan melainkan sebuah pesan masuk. Meski enggan, tapi tangannya tetap saja digerakkan menggapai benda penghantar suara itu.

From : Sipitunyu :*
LO TELAT!!

“Hah?” Bingungnya. Pelipis menjadi landasan penggarukan jemarinya saat ini. Ia masih diam memikirkan maksud isi pesan dari Alvin itu. Sejurus kemudian, ia baru ingat akan satu hal. Kepalanya menoleh ke arah jam weker di lemari samping. ASTAGA!! Lantas ia kembali menoleh ke depan.

“HUWAAA MAMAA SHILLA TELAAAT!!”

***

 Astaga, selesai juga part ini. heleh-heleh, gimana? Ancur banget kan? Haha, iya sih. Ini proses pembuatannya haha, 3 lembar dari pagi ampe malam gak jalan-jalan. Stuck disitu-situ aja alias tetap 3 lembar. Jadilah gini. Oh masih ada part 15 masih ada ya?  o,o Nyahaha, sabar menunggu lah yaw bagi yang masih mau baca ^o^
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Matchmaking Part 14 B-1

Assalamualaikum! Haha, gak ngaret kaaaan? *watadosmodeon* Ckck, likersnya makin berkurang aja. Gak papalah, saya tetap cinta pada kalian yang menjadi pembaca setia. Selama masih ada yang minta lanjut, saya lanjutkan. Tapi kalo gak ada, wah ALHAMDULILLAH! Saya bebas tugas nyahaha =D Ini part amatlah panjang. Moga gak tedious-tedious amat juga lah ya hoho.

Ya sudah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

Dalam persembunyiannya, Via kemudian melihat Iel serta gadis yang bersamanya beranjak pergi. Via mengulum bibirnya bimbang. Astaga, kenapa harus muncul pertanyaan apakah gue harus mengikuti kemana Iel pergi atau enggak? Hal tersebut membuatnya seperti orang linglung. Ia sempat bolak-balik berjalan ke depan dan ke belakang. Ia melihat ke arah Iel sekali lagi sambil menimang-nimang. Baiklah Via, penyelidikan dimulai! Batinnya mantap seraya mengepalkan tangan meyakinkan diri. Ia memutuskan mengikuti Iel dari jauh. Karena memilih jalan ini, maka ia harus menerima resiko gondok melihat Iel begitu mesra menggenggam tangan sang gadis. Seakan tak ada kata risih sedikitpun.

Berjalan melewati sebuah kios yang menjual kacamata dan topi, Via pun singgah sebentar untuk membeli salah satu dari masing-masing. Ia memilih asal, yang penting bisa membuatnya tersamar dan tak dikenali khususnya oleh Iel. Ia buru-buru mengenakan kacamata ukuran cukup besar serta topi NY berwarna biru yang dibelinya. Ia juga mengenakan rambut palsu yang dibelinya pula ditoko yang sama. Ia segera keluar dari kios dan untungnya Iel belum cukup jauh berjalan. Ia bisa menyusul dan memendekkan jarak, meskipun tidak terlalu dekat juga. Yah, semuanya bisa terbongkar jika mereka berjalan beriringan.

Iel serta gadis di sebelahnya menaiki eskalator menuju lantai 2. Kalau tidak salah, disana terdapat bioskop. Hmm, pasti tuh orang berdua mau nonton. Ckck, masih jaman pacaran dalam bioskop? Batinnya seraya geleng-geleng kepala. Dan benar saja, setelah sampai di atas, Iel dan gadis tadi berbelok ke arah jalan masuk area bioskop. Dugaan Via benar kali ini. Berarti tidak salah lagi, gadis di sebelah Iel itu pacarnya. Okey, Iel, kayaknya lo bener-bener nyuruh gue ngelupain lo! Batin Via. Meski begitu, ia tetap melanjutkan penguntitan-nya pada Iel. Ia lalu melihat pemuda itu berjalan masuk ke dalam bioskop. Via mengintip sebentar dari luar. Tentu, jika ia ikut masuk, percuma ia menjadi stalker dari tadi. Sama saja terang-terangan memberi tahu jati dirinya pada pemuda itu.

Iel memesan tiket untuk 2 orang, dirinya dan gadis di sebelahnya. Tangan mereka tak lagi saling menggenggam. Jarak mereka pun tak sedekat tadi. Sekarang mereka sudah terlihat seperti 2 orang yang akrab saja. Seperti temanlah lebih tepatnya. Tanpa sadar, Via menghela nafas lega. Sedetik kemudian, ia mulai memikirkan apa yang ia lakukan tanpa sadar itu. Viaa, gak boleh! Pokoknya gak boleh! Batinnya menyangkal. Iel dan gadisnya tiba-tiba berjalan keluar. Via yang melihat buru-buru menjauh dari pintu masuk dan mencari tempat bersembunyi. Tak lama kemudian, Iel dan gadis tadi muncul. Beruntung mereka berjalan bukan ke arah dimana Via bersembunyi. Via menghela nafas lagi. Ia lekas masuk ke dalam bioskop, memesan tiket film yang sama dengan Iel serta tempat duduk tepat di sebelah pemuda itu.

Film yang dipilih Iel akan dimulai sekitar 20 menit lagi. Hmm, pantas saja Iel dan gadis itu pergi lagi. Pikir Via. Dengan sangat terpaksa, karena keputusannya mengikuti Iel hingga sampai ke bioskop ini, membuatnya harus menunggu sendirian hingga teater dibuka. Beruntung, ia sudah terbiasa dengan tindakan menunggu seperti ini. Menunggu kedatangan orang yang menjemputnya di sekolah menjadi pelatihan kesabarannya setiap hari. Bahkan dalam hal perasaan ia juga sudah terbiasa menunggu. Menunggu orang yang diinginkannya menjemput perasaan ‘lucu’ itu. Namun, mungkin sekarang sudah berubah. Ia bukan lagi menunggu orang tersebut menjemput perasaannya, tapi lebih kepada menunggu orang tersebut dijemput oleh siapa saja atau apa saja agar segera menghapus label sebagai orang yang diinginkannya.

“Teater 2 dibuka!”

Via mendongak cepat dan langsung berlari masuk ke dalam teater. Akhirnya, ia tak diharuskan menunggu lagi. Via masuk ke dalam mengikuti perempuan yang berjaga di dalam. Perempuan itu yang menunjukkan dimana tempatnya duduk. “Makasih!” Kata Via, dan kemudian meniti langkah menempati kursi. Ia menoleh ke kanan-kiri, belum ada siapapun yang menduduki kursi di sampingnya. Bahkan hingga 5 menit waktu berjalan, kedua orang yang diharapkannya belum juga muncul. Iss, kalo gini ceritanya, ngapain gue sok-sok jadi stalker, conan kw 2 atau apalah! Gak ada guna juga! Batinnya menggerutu.

“Ini film apa lagi? Horor? Astaga, ngantuk deh guee!” Via mencibir pelan berhubung penghuni teater cukup ramai. Film horor? Hmm, Via bukannya tak suka. Akan tetapi, belum ada satu film jenis itu yang mampu membuatnya berteriak histeris ketakutan. Yang ada, ketika seluruh penonton riuh, ia tetap kalem dengan mata berair karena terus-menerus menguap. Tapi, kemana Iel dan gadis itu? Seharusnya mereka bertanggung jawab karena membuatnya seperti orang bodoh mengikuti mereka diam-diam. Dan sekarang, tak ada sedikitpun hasil, yang baik saja, yang ia dapatkan. “Ya udah, gak usah datang deh sekalian! Dan gue, gue gak perlu nonton film garing kayak gini!” -_-

Via berdiri hendak berjalan keluar namun tiba-tiba Iel dan gadisnya muncul dari pintu masuk. “Hiyaa, diharepin gak dateng, gak diharepin muncul!” Ia kalang kabut sendiri dan mengambil posisi duduk kembali. Novel yang baru dibelinya lagi-lagi menjadi penyelamat penyamarannya. Ia menutupi hampir seluruh wajah dengan novel itu. “Disini!” Via cukup kenal dengan suara itu. Pasti suara perempuan penjaga yang juga menuntunnya tadi. Kabur gak yaa? Batinnya bimbang. Sementara Iel, ia langsung duduk di kursi yang ditunjukkan padanya. Sama halnya dengan gadis tadi. Iel menoleh ke samping, tepatnya ke arah Via. Perasaan tak cukup asing menderanya lagi saat mengamati gadsi itu.

Via sadar bahwa dirinya diperhatikan. “Layarnya disana mas, bukan saya.” Katanya datar. Iel tersentak dan langsung mengalihkan pandangan ke layar seraya garuk-garuk kepala. Namun, ia masih saja memikirkan Via. Memikirkan mengapa ia merasa tak asing dengan gadis itu. Ia lantas melirik sekali lagi lalu dan melihat novel yang menutupi wajah Via. Nah! Itu novel cewek yang di toko buku. Pikir Iel. Ia tiba-tiba terkikik ketika mengingat tingkah-tingkah menggelikan dari gadis di sebelahnya. “Mbak yang di toko buku tadi kan?” Tanya Iel seraya menoel lengan Via. Via menurunkan tinggi novelnya dan mengintip ke arah Iel sebentar lalu menggeleng. “Bukan!” Ia lalu menutup wajahnya kembali.

Iel hanya tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Bacanya udah gak kebalik lagi, Mbak?” Goda Iel. Bibir Via mengerucut mendengar itu. “Gak!” Jawabnya singkat. Iel mengangguk lagi. “Namanya siapa, Mbak?” Tanyanya kemudian. Kali ini bukan berniat menggoda, ia memang ingin mengajak berkenalan. Tak pada setiap orang asing ia bersikap seperti ini, hanya orang-orang ‘tertentu’ saja, orang-orang yang dapat menarik minatnya untuk mengenal satu sama lain. Termasuk Via, atau mungkin ‘Via’ saat ini. Waduh, nama? Emm nama? Siapa ya? Emm Joe? Halah, Joe pula! Waduh, gue jawab siapa nih? Kepala Via seketika gaduh karena Iel bertanya seperti itu. Nama? Ia bahkan tak memikirkan sampai kesana. Ia tak mengira bahwa Iel akan menanyakan nama-‘nya’.

“Nama? Za..Zaza! Ya, Zaza!” Sahutnya kemudian. Zaza? Udah ganti nama aja gue! Ntar pulang akekahan ulang nih! Pikirnya. Iel tersenyum senang mengetahui niat baiknya disambut baik. “Namanya Cantik, kayak Mbaknya!” Ujar Iel -mungkin- jujur dari dalam hati. Ngeeh, rambut palsu loreng-loreng kayak macan gini dengan topi dan kacamata yang gak ada nyambung-nyambungnya sama sekali dibilang cantik? Subhanallaaah! Via geleng-geleng kepala tak percaya. Bagaimana bisa Iel mengatakan ‘Zaza’ cantik? Pemuda itu bahkan tak pernah memuji dirinya, Via. Bukankah Via tampak lebih ‘baik’ dari Zaza? Ckck, sekali lagi, Via hanya bisa geleng-geleng kepala. “Jadi saya manggilnya Mbak Zaza?”

Via hanya berdehem merespon pertanyaan Iel itu. Beberapa menit saling diam, akhirnya Iel buka suara lagi. “Mbak, mbak Zaza gak nanya nama saya? -,-” Polos Iel seraya garuk-garuk kepala. Hampir saja Via terlonjak karena pertanyaan pemuda itu barusan. Bukan kaget, melainkan karena tawa yang ingin meledak saat itu juga. Beruntung ia masih bisa menahan bersamaan dengan teriakan histeris penonton. Astaga, bahkan awal mula film ini saja Via tak tahu. Tak memperhatikan sama sekali. Tentu, wajahnya tertutup novel sedari tadi. Iel kelihatannya sama saja. Ia juga tak ikut berteriak seperti yang lain. Apa dia merhatiin gue daritadi? Emm Zaza lebih tepatnya. Batin Via. Ia lalu mengintip ke arah Iel yang terlihat memasang tampang bingung ke arahnya.

“Mas gak nyuruh saya nanya.” Kata Via sok polos. Sungguh, kalau saja film tidak sedang berlangsung, kalau saja Iel tak berada di sebelahnya, ia mungkin sudah tertawa seraya melompat kesana-kemari. “Yah masa nunggu disuruh sih, Mbak?” Keluh Iel. Via memberanikan diri tak lagi menutup wajah dengan novel. Sedang novel itu sendiri di taruhnya di samping kursi. “Gak berminat.” Ujarnya, bertingkah seolah-olah serius menonton film. Helaan nafas Iel terdengar lagi dan lebih panjang. “Ya udah, kalo Mbak Zazanya gak mau. Saya aja yang ngenalin diri. Kenalin, saya Gabriel!” Iel menyodorkankan tangannya hendak berjabat. Bibirnya saling menyudut merentang sebuah senyum cukup manis pada Via.

Dalam hati, Via merutuki lengkungan tersengaja di bibir Iel itu. Lengkungan yang busurnya berhasil memantul ke dinding hatinya. Membuat benda itu sedikit bergoncang, ah bahkan mungkin sudah terjadi gempa. Ia mematut diri dan jangan sampai goncangan dalam hati itu mendemonstasikan efeknya. “Bukan muhrim!” Datarnya. Ia masih -berusaha- memandang ke arah layar. Sedang Iel, mungkin ia sudah biasa dengan penolakan seperti ini. Busur dari lengkungan di bibirnya malah semakin mengendor. Semakin manis pula wajahnya saat ini. Diliriknya Zaza -Via- yang kini diam dengan tangan berlipat di depan dada. Sulit menangkap ekspresi apa yang coba merundung gadis itu. Meski penampilannya aneh, namun sebutan ‘cantik’ masih bisa ditujukannya pada Zaza atau mungkin Via. Ah entahlah, pokoknya gadis yang sedang ditatapnya sekarang.

***

Keramaian di luar sana sepertinya tak ikut membaur di antara dua pasangan ini. Setelah acara tangis-tangisan tadi, baik Shilla maupun Alvin tak ada yang ingin berbicara lagi. Seolah-olah ada gembok yang mengunci rapat-rapat mulut mereka sehingga tak ada celah setitik pun yang bisa menjadi penyalur suara keluar. Alvin hanya menatap ke jalan raya. Sekalipun tak terlihat matanya mengerling ke arah Shilla. Sama halnya dengan Shilla. Mata sembab membuatnya malas untuk menggerakkan benda itu ke kanan-kiri. Kepala sudah berat rasanya padahal hanya menangis sebentar. Ia lantas menyender ke badan kursi dengan kepala menghadap ke arah jendela mobil.

Lima belas menit lebih keheningan merajai setiap sisi mobil Alvin. Hingga kendaraan itu menempatkan diri di depan rumah Shilla, barulah ada sebuah lantunan suara lembut dari bibir mungil Shilla keluar. “Thank’s!” Katanya tanpa menoleh. Alvin bersikukuh dalam diam dan matanya yang memaksa memandang nanar. Kemudian, terdengar suara hentakan dari pintu di sebelah kiri. Artinya Shilla sudah keluar. Hal itu seakan mengodei kapan waktunya ia harus melajukan mobil kembali. Namun, ada sesuatu yang menahannya agar tak buru-buru menginjak gas.

Shilla berjalan gontai menuju pagar kediamannya. Pagar dapat dengan mudah terbuka. Di dalam mobil, setelah Shilla keluar, barulah kepala Alvin terbebas dari regang yang sempat menghalangi keleluasaannya menoleh ke kanan-kiri. Ia mendapati punggung gadisnya yang semakin menjauh. Lantas ia menoleh ke arah depan lagi dan saat itu pula ia menghela nafas. Tangannya lalu bergerak menekan klakson mobil beberapa kali hingga Shilla tergerak untuk menoleh ke belakang, ke arahnya. Shilla mendengus. Pemuda ini begitu plin-plan hari ini. Sebentar marah, sebentar baik, sebentar cuek dan sekarang membutuhkannya kembali. Apakah hubungan jarak jauh membuat setiap pemuda seperti itu?

Alvin menurunkan kaca mobil yang sempat menjadi pelapis pandangan Shilla saat berada di dalam mobil. Nah, sekarang, pemuda ini dilanda kekeluan pula. Otaknya seolah berhenti bekerja memproduksi kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Mulutnya menganga-mengatup beberapa kali. Sekali lagi, otaknya benar-benar sedang mogok kerja. “Selamat siang!” Astaga, kata-kata terbodoh yang pernah Alvin ucapkan dalam masa ‘kebodohannya’ saat ini. Bodohnya lagi, kakinya langsung saja menginjak gas meninggalkan rumah Shilla. Tanpa peduli, gadisnya sudah seperti orang bodoh yang menunggu kata-kata berpamitan pada orang yang mendadak bodoh semacam dirinya. Shilla melengos dan berjalan cepat masuk ke rumah. Ckck, sepertinya rasa ego bercampur gengsi berhasil membodohi kedua orang ini.

BUK!

Shilla mendudukkan kasar dirinya di atas tempat tidur. Badan lentur benda itu sempat menggoyang beberapa kali. Shilla diam mengatur ritme nafas. Laju aliran darah seperti menyumbat setiap saluran respirasi dalam tubuh. Padahal, seharusnya, antara oksigen dan darah saling bekerja sama agar tepat sampai pada tujuan. Namun, kali ini, darah sedikit tidak mau berbagi jalan didukung dengan pacu jantung yang meninggi. Membuat benda itu lebih cepat memompa darah. Sementara oksigen sendiri sangat sedikit dihirupnya sejak tadi. Beruntung sekarang, keadaan sudah mulai normal dan kedua benda itu sudah ‘berbaikan’.

Baru saja badannya hendak menjungkang, deringan ponsel lantas menghentikan pergerakan merebah Shilla. Tubuhnya menegak kembali dan ponsel itu segera diraihnya. Sebuah pesan masuk menyembulkan nama sang pengirim yang ikut pula menyembulkan mata Shilla sedikit lebih keluar. Alvin?

From : Sipitunyu :*
Ntar malem, gue ada show di Maming stadion *Matchmaking**Buahahaha!!ngasalinimah* Dandan yang cantik, gue nunggu lo disana!

Hiyaa, sakura sepertinya bersemi mendahului musim dalam diri Shilla. Akhirnya, pemuda yang dikasihinya sudah bersahabat. Kembali menjadi Alvin yang ramah. Meskipun samar, tapi ada jugalah terlihat bahwa Shilla kini sedang tersenyum, bahagia. Jangan pikirkan yang lain Shilla! Jangan berandai-andai! Batinnya mengingatkan diri. Mengingatkan bahwa ia tak mesti mengkhawatirkan sikap ‘baru’ Alvin. Toh, sekarang pemuda itu sudah kembali.

***

HACHI!

“Ahelaah, gak elit banget penyakit gue!” Gadis berdagu tirus ini merutu sebal sejak tadi, sejak ia berjalan sampai dan menetap beberapa saat di tempatnya sekarang, dapur. “Yah, obatnya habis neng. Apa mau bibi beliin ke apotek?” Bi Siti yang tiba-tiba memunculkan diri dengan serbet tak teratur posisinya di pundak, datang tidak dengan kabar gembira sesuai harapan Ify, gadis tadi. Kedatangannya justru membuat Ify makin tenggelam dalam rasa kesal yang sudah mewaduk jumlahnya. Gelengan kepala lantas ditunjukkannya pada Siti yang memasang tampang tak enak hati. “Gak usah deh, bi. Hehe..” Tolaknya halus. Ia melangkah pergi meninggalkan dapur sekaligus Siti. “Neng gak papa kan?” Pekik Siti hendak memastikan.

Ify tetap melangkah, hanya kepalanya saja yang memalingkan diri ke arah Siti. “Gak..hachi!..” Bersin menjadi kendalanya berbicara lancar saat ini. Bersin, bersin, kembalilah kau ke jalan yang benar! Batinnya. “..papa kok Bi!” Sambungnya. Bi Siti memandanginya dari belakang masih dengan perasaan tak enak. Sekarang bertambah cemas pula. Tapi, apa mau dikata. Yang dicemaskan saja tidak terlihat mencemaskan apapun. Malah semakin percaya diri melenggang ke bagian depan dalam rumahnya. Tanpa mengira bahwa kepercayaan dirinya itu akan dengan mudah terciutkan jika melihat apa yang Rio lakukan sekarang.

Dan, benar kan? Pelangkah tubuh Ify mendadak berhenti. Keningnya berkerut mendapati Rio yang tak lagi sendirian. Melainkan bersama seorang gadis dan mereka terlihat berbincang hangat seperti sudah kenal cukup lama. Ify melangkahkan kakinya kembali, lebih dekat pada Rio dan gadis itu. Ah, mereka bukan sekedar berbincang rupanya. Ada buku pelajaran yang membentang di hadapan mereka. Mereka khusyuk sekali sampai-sampai tak menyadari ada dirinya disana. “Hai!” Katanya canggung. Sang gadis menoleh dan tersenyum canggung pula. “Jadi, yang tadi tamu lo?” Nada suaranya terdengar kurang bersahabat. Namun, sebenarnya, itu hanyalah efek dari keadaan tubuhnya yang sedang justru kurang bersahabat. Ify duduk di sofa perlahan.

Sang gadis yang merasa tertuduh secara tak langsung, lantas meminta maaf akan kehadirannya yang tiba-tiba. “Eh maaf Kak, kayaknya aku lancang deh.” Ujar gadis itu mulai buka suara pada Ify. Ify terlonjak dan menegakkan tubuhnya lagi. “Eh gak papa kok! Gue gak maksud apa-apa, hehe..” Cengirnya. Sang gadis hanya tersenyum dan tak menanggapi lagi. “Ckck, gak pantes lo dipanggil kakak!” Rio menyahut tiba-tiba. Dan yang pasti, sahutannya tak pernah baik. Iss, gak ada lembut-lembutnya sama sekali nih orang! Rrr, tapi nyuruh gue juga buat dia jatuh cinta? Kalo marah-marah mulu, kapan adegan cinta-cintaannya? Gerutu Ify dalam hati.

“Eh nama lo siapa? Kayaknya kita belum pernah kenalan?” Tanyanya mengabaikan Rio. Rio lantas mencibir ke arahnya. Ia sedikit merasa tak menyenangkan karena pengabaian dari Ify. Sesungguhnya, berdebat bersama gadis itu mulai menjadi suatu kegiatan yang menarik baginya akhir-akhir ini. Dan dengan Ify yang acuh tak acuh, tentu membuatnya dongkol. “Oh iya hehe, sampai lupa. Aku Dea, Kak! Aku adiknya..”

“Dia adiknya temen gue. Ya kan?” Potong Rio cepat tanggap. Berbahaya kalau Ify tahu siapa Dea. Tak masalah juga sih jika Ify pribadi yang cuek. Tapi, masalahnya Ify ini sedang tinggi-tinggi kadar ke-sensitifannya. Mm, ngomong-ngomong, sejak kapan gue peduli? Ckck, gak papalah. Seterusnya juga kayak gitu akan lebih baik nanti. Batinnya. Lantas Dea menatapnya bingung. Teman? Yakin? Begitulah kira-kira yang hendak diisyaratkan gadis itu padanya. Rio mencoba meyakinkan dan membuat Dea menurut saja pada apa yang sedang dijalankannya. “Ya kan?” Tanya Rio lagi. Dea mengangguk meski tak yakin.

Bergantian Ify mengarahkan pandangan pada dua orang di depannya, yang sedang duduk bersebelahan. “Ooh..terus, tahu rumah gue dari mana?” Tanya Ify lagi. Raut wajah Dea mendadak aneh. Tangannya bergerak menjamah bagian samping lehernya. “Emm, aku..aku ta..ah aku tahu dari Tante Amanda! Iya, Tante Amanda yang ngasih tahu aku alamat rumah kakak.” Jelasnya. Ify manggut-manggut dan tersenyum ketika melihat Dea agak grogi seperti itu. “Hehe, santai aja lagi! Lo kayak stalker yang ketahuan dan diinterogasi, tahu gak?” Dea tersenyum sebisanya. Suasana sudah mencair kembali. “Eh kalian lagi belajar ya? Gue ke atas dulu deh ambil buku sekalian ikutan!” Katanya lagi dan beranjak dari kursi menuju tangga. Meskipun badannya masih belum membaik dan kini harus dibawa berjalan lagi. Dea mengangguk sementara Rio tersenyum meremehkan. “Gue jadi pengen liat, pinteran lo apa Dea. Tapi, kayaknya gue udah tahu deh jawabannya haha..”

Jalan Ify sempat menyendat namun kemudian melancar kembali. Tak lain tak bukan, kesendatan itu akibat celetukan Rio barusan. Ia jadi takut sendiri tak tahu kenapa. Ia takut, perkiraan Rio yang meskipun mungkin hanya main-main, akan terlaksana benar adanya. Ah, pikiran buruk, segeralah berlalu! Batinnya berharap-harap cemas. Ia menaiki satu-persatu anak tangga menuju kamarnya. Sebentar-sebentar ia harus duduk akibat badannya yang terasa semakin melemah. Lidahnya pun mulai memahit. Panas dingin sudah dideranya sejak tadi. Huuaa, jangan sakit doong??!! Sekuat tenaga ia mencoba mempercepat langkah sampai di kamar.

Bukannya mengambil buku, gadis ini malah mengambil ancang-ancang untuk berbaring di kasur. Empuk nan menggiurkan badan untuk menidurinya. Ify menghempas tubuhnya begitu saja. Menempati dengan cara ‘normal’ tak bisa dilakukannya saat ini. Yang penting, rebahan sajalah dulu. Pikirnya. Tangannya tanpa sadar meraba kening dan ia pun mengetahui bahwa sekarang badannya mulai hangat, belum memanas. Astaga, benarkah ia akan sakit? Hal itu begitu menakutkannya saat ini. Karena jika ia jatuh sakit, ia kesulitan mendapatkan seseorang yang mau merawatnya sampai sembuh. Papa? Laki-laki itu saja sedang terbaring tanpa bisa apa-apa di rumah sakit. Bagaimana bisa mengurusinya?

Lalu, Siti. Ia juga punya anak yang harus diurus di rumahnya. Siti tak tinggal di rumah Ify. Setelah pukul 6 sore, perempuan pekerja keras itu pulang kembali ke rumahnya. Ya, ia hanya berkerja kurang lebih selama 18 jam. Dari pukul 5 subuh hingga menjelang maghrib. Kasihan pula jika ia ditambah kerepotan. Ia juga pasti sudah lelah bekerja selama 18 jam itu. Sekarang, ia harus mengurus Ify? Memberi makan, memberi obat tepat waktu, menjaga agar panas dibadan gadis itu tak lagi meninggi? Hmm, kelima anaknya pasti akan jauh lebih membutuhkan perhatian-perhatian tersebut dibanding Ify sendiri.

Baiklah, lo gak boleh sakit ‘Alyssa’!! Batinnya penuh keyakinan. Ia lantas menegakkan diri dan mulai memilah-milah buku mana yang akan dijadikannya sebagai panduan belajar, bersama Rio dan tentunya Dea juga. Bukankah tadi kedua orang itu sedang membahas molaritas-molaritas ya? Ah, pasti mereka sedang diskusi soal kimia. Okey, chemist book, you’re so lucky today! Haha.. Ify berjalan atau lebih tepat hampir merangkak demi menggapai pintu. Sungguh, seberapa besar usahanya agar tetap baik-baik saja, tubuh mungil itu tak mau berkooperasi dengan baik dan justru makin lunglai. Shit! Umpatnya dalam hati.

Entah bagaimana cara dan lamanya, akhirnya Ify sampai di anak tangga yang pertama. Yah meskipun baru sampai disitu, namun rasanya sudah 2 kilometer jarak yang ia tempuh. Duduk sajalah dulu! Putusnya. Lantas ia duduk di anak tangga yang sedang dipijakinya. Buku kimia yang didekap di depan dada dan lutut menekuk sempurna menemani sorotan mata keirian ketika melihat 2 insan di ruang tengah rumahnya. Rio, tangan pemuda itu sekali mengacak rambut Dea dengan menyentilkan senyuman lembut ke arah gadis itu. Sedang Dea sendiri hanya menggaruk-garuk pipi disertai cengiran ringan dari mulutnya.

Siapasih gadis itu? Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ia mendalami makna pertanyaan ‘baik’ itu baik-baik pula. Namun, kejayaan pertanyaan itu hanya beberapa detik saja. Karena, setelahnya muncul pertanyaan lain. Yang kedengarannya jauh lebih ‘baik’. Kenapa harus muncul pertanyaan itu? Seiring lamanya muatan waktu yang diperlukan Ify, bertambah pula banyaknya pertanyaan yang masih berhubungan erat dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Ya, kenapa harus ada pertanyaan itu? Dan, kenapa harus gue pikirin? Satu lagi, apa gue berhak memikirkan pertanyaan itu? Soal-soal dalam kepalanya terus beranak-pinak atau bertunas atau menggandakan diri atau apalah istilahnya.

Rutukan untuk dirinya sendiri tak terelakkan lagi. Ia merutu sebal karena lagi-lagi ia seperti ini. Penuh dengan beban pikiran yang memberatkan, menjatuhkan bahkan hampir mengeroposkan tempurung kepalanya, mungkin. Rrr, kembalilah kepada Ify yang dulu! Polos dan tanpa beban! Batinnya miris. Sudah mengira keropos, tapi ia tetap saja memukuli benda vital yang menjadi penyalur soal-soal tak terjawab olehnya itu. Kepalanya seolah pasrah dan menerima saja perlakuan tidak menyenangkan -sebenarnya- darinya.

“Tinggal dimasukin ke rumusnya aja, index kali koefisien Cl dikali Ar-nya, dibagi Mr HCL terus dikali 100%..” Jelas Rio. Butuh kesabaran yang cukup besar dalam mengajarkan gadis di sebelahnya hingga mencapai tahap mengerti. Beruntunglah, ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini, khususnya pada Dea. Mengajari Dea adalah rutinitasnya setiap berkunjung ke rumah gadis itu. Setiap ia ingin bertemu dengan..ah sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Lo lagi open heart, Yo! Ingat itu! Peringatan seperti itu langsung berkumandang dalam dirinya. Menghebohkan diri hingga dirinya mau tak mau menurut. Ngomong-ngomong, dimana gadis yang membuat ‘kehebohan’ itu?

Penglihatnya langsung bergerak mencari dimana keberadaan Ify, si gadis ‘heboh’. Bayangan sosok Ify segera jatuh di bintik kuning matanya. Dengan itu, ia dapat melihat dan mengetahui gadis itu sedang duduk di anak tangga paling atas dengan tangan memukuli kepala. Seperti sedang merutuki sesuatu dan ia tak tahu apa itu. Dan sekarang, ia menjadi sangat ingin tahu apakah hal yang membuat Ify risau seperti itu. “Bentar ya!” Katanya pada Dea. Dea hanya mengangguk dan fokus pada buku catatan di meja. Daripada memendam rasa penasaran lebih lama, Rio lantas mengambil langkah menjumpai Ify. Entahlah apa yang akan dikatakannya nanti. Yang penting, menghampiri adalah hal yang harus ia jalankan terlebih dahulu. Tapi, semoga saja organ penyeru suaranya mendengungkan nada ramah untuk gadis itu.

“Ngapain lo?”

Ify berhenti sejenak dari kegiatannya dan menoleh pada orang yang hendak mengadakan pembicaraan dengannya barusan. Orang itu tersenyum miring tapi lebih terkesan menertawai apa yang ia lakukan. “Apa lo?!” Balasnya jutek. Rasanya seharian ini, Rio, orang itu sudah berulang kali mengajaknya ribut. Tak ada itikad baik yang pemuda itu lakukan untuknya. Jauh berbeda dengan perlakuan pemuda itu pada Dea. Begitu ramah, hangat dan kebahagiaan selalu terpancar baik diwajah gadis itu maupun dirinya sendiri. Gue, Yo! Sekali-sekali! Batinnya. Sudahlah, jangan menambah kegalauan. Ia lantas berdiri, melengos dari hadapan Rio. Badannya sudah cukup bertenaga karena beristirahat sebentar di anak tangga.

Rio memandanginya dari belakang seraya geleng-geleng kepala. Aneh! Batinnya. Ia lalu mengikuti Ify yang berjalan menuju sofa lagi dan duduk. “De, lo kelas X apa ya? Gue belum pernah liat hehe.” Tanya Ify. Dea mengangkat wajahnya yang semula tertunduk ke arah buku dan tersenyum sekilas. “Aku kelas XB, Kak!” Jawabnya sopan. Kebinaran menyibak mata Ify mendengar itu. “XB? Wah, dulu kakak juga XB!” Kata Ify semangat. Rio menoleh ke arahnya dan mendengus. “Heh, orang lagi belajar lo ajak ngobrol!” Katanya. Ify mencibir lalu dengan gerakan memaksa membuka lembaran-lembaran buku cetak kimianya. “Bad mood! Bad mood!” Gumamnya beberapa kali, sepelan mungkin agar tak mengganggu kefokusan orang-orang di depannya.

“Woy, ngomel mulu! Liat tuh si Dea, belajar dari tadi. Lo ngapain? Hah?” Dea yang merasa namanya disebut menoleh ke arah Rio dan Ify bergantian lalu kemudian menunduk merasa bersalah. Sepertinya, ia menjadi penyebab pertengkaran dua muda-mudi di kanan-kirinya saat ini atau mungkin sejak tadi. Ia memberanikan diri lagi menoleh ke arah Ify, tentunya dengan tatapan tak enak hati. “Emm..Kak..maaf..” Ujar Dea sekenanya. Ify terkesiap dan lantas menggeleng. “Eh gak papa. Lo gak salah kok. Lanjutin aja! Hehe..” Cengirnya pada Dea sementara mendelik tajam Rio. Rio menerima itu dan hanya mendesah tak peduli. Yo, Yo! Gue kasih tahu ya, sesungguhnya mendengar sesuatu yang tidak diharapkan dari orang yang diharapkan itu...nyesek! Ha.ha! Batinnya melanjutkan gumaman yang tidak diperkenankan Rio tadi.

Hachi!

Bersin Ify terulang kembali. Ia melirik ke arah Rio, setidaknya memastikan apakah ada sorotan kepedulian terselubung dalam pupil mata pemuda itu. Sejauh yang ia lihat, Rio bersikap biasa saja. Bahkan hampir tidak menyadari barusan ia bersin. Pemuda itu malah beralih pada Dea dengan menanyakan apalagi yang gadis itu hendak tanyakan kepadanya. Ify diam, berpikir sebentar. Gue beli obat aja deh! Putusnya. Dan itu artinya, ia harus memaksa tubuhnya agar kuat dibawa berjalan, lagi. Apotek tak cukup jauh dari rumahnya. Tanggung jika ia menggunakan mobil menuju kesana. Jalan saja mungkin sebentar sudah sampai.

Ify kembali ke kamar mengambil sweater. Badannya agak meriang. Diluar cuaca juga sedang mendung. Akan lebih baik jika tubuhnya sedikit terhangati oleh sweater putih agak tebal yang ia kenakan. Kakinya menuruni anak tangga cukup cepat. Sampai di ruang tengah, ia melirik ke arah Rio sebentar. Ah, pemuda itu bahkan tak sadar ada dirinya yang sedang diam-diam mengamati. Sudahlah, lanjutkan perjalananmu, Nak! Pikirnya. Pelangkahnya bergerak maju kembali dan sekarang ia sudah berada di luar rumah bahkan sudah keluar pagar. Jalan ke kanan atau kiri? Karena arah kiri adalah jalan menuju sekolah sementara tujuannya ialah hendak ke apotek, jadi pilih ke arah kanan saja.

***

“Hey, Nia! Jangan lari! Kembalikan jatah permenku!” Teriak Aga melihat Nia yang sudah berlari dan dengan lancang merebut 2 permen jatahnya yang diberikan oleh Lia. Nia menoleh ke belakang dan memeletkan lidah ke arahnya. Gadis itu tetap berlari kencang. Membuat Aga harus berlari pula mengejarnya dan mengambil permennya kembali. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Penghuni panti yang lain malah bersorak-sorai menyerukan nama mereka berdua. Masing-masing menjadi pendukung salah satu di antara Nia dan Aga. Yang cowok menyerukan ‘AGA’ sekerasnya. Yang cewek tentu tak mau kalah. Balik meneriaki ‘NIA’ semelengking mungkin sesuai jenis dan kapasitas suara. Nia dan Aga sendiri hanya tertawa melihat aksi tanpa komando dari teman-temannya sekaligus menikmati kegiatan yang mereka lakukan sekarang.

Hari cerah. Mengikuti suasana hati dari masing-masing penghuni panti Minuet. Lagi-lagi, Nia dan Aga mampu membangkitkan semangat serta membuat keceriaan menyeruak dalam diri mereka. Lia sendiri hanya geleng-geleng kepala melihat itu. Biarlah, daripada mereka sibuk memikirkan nasib malang mereka. Lebih baik mereka terus menyungging senyum seperti sekarang dengan gelora kebahagiaan dalam hati mereka. Sebagai orang tua, angkat, ia justru terbantu dengan adanya tingkah-tingkah menghebohkan dari 2 anak asuhnya itu. Karena sebenarnya, yang dapat mereka senang adalah mereka sendiri. Atau orang yang sepaham dengan jalan pikiran mereka.

“AAH!!”

Sebuah batu yang tak dilihatnya, membuat Nia harus jatuh tersungkur ke tanah. Seketika, segenap penghuni panti serentak menyerukan nama yang sama. “NIAA!” Teriak mereka, bukan senang tapi panik. Termasuk Aga. Ia berlari lebih cepat demi menghampiri Agni yang kini terduduk di tanah seraya menekuk lutut. Lutut Nia lecet dan memerah. Bahkan berdarah. Ia duduk seraya meniup-niup lututnya itu. Aga sampai di hadapannya dengan nafas satu-satu. Masih ngos-ngosan. Berdiri merunduk, tangan menumpu di lutut dan mencoba mengatur ritme nafasnya pelan-pelan. “Ni..Nia..kamu..kamu gak papa? Hah?” Katanya masih dengan nafas tersengal-sengal. Nia menoleh ke arah Aga dan malah tertawa melihat air muka lucu Aga saat ini. “Aku baik-baik aja, hehe. Kamu kenapa? Kok ngos-ngosan?” Tanyanya polos.

Aga menormalkan posisi berdirinya dan menatap Nia dengan kepala sedikit dimiringkan. Itu tandanya ia sedang bingung. “Kamu beneran baik-baik aja?” Tanyanya balik. Tawa Nia terdengar lagi. “Yaiyalah, kalau aku tidak baik, pasti bu bidan sudah datang untuk menyuntikku! Hehe..” Aga ikut tertawa mendengar itu. Benar juga! Pikirnya, dalam taraf berfikirnya yang masih anak-anak. “Tapi kakimu luka. Ayo, biar kubantu berjalan masuk ke dalam! Nanti biar sekalian aku obati.” Katanya. Gantian, sekarang Nia yang bingung. Mengobatinya? Memangnya Aga dokter? Tanyanya berulang-ulang dalam hati. “Kamu bisa? Nanti kamu salah suntik, bagaimana?” Katanya yang merasa agak takut.

Aga mendengar itu lantas berkacak pinggang dan lagi-lagi tertawa. “Kamu ini! Tidak semua luka diobati dengan suntikan! Kalau luka lecet seperti ini, aku sudah biasa menanganinya. Aku kan cowok, suka gerak-gerak dan sering jatuh. Aku sudah biasa mengobati lukaku sendiri.” Katanya menggebu-gebu dengan tangan yang sedari tadi menepuk-nepuk dada. Merasa bangga dengan apa saja yang ia katakan. Nia geli sendiri melihat itu. Ia hanya manggut-manggut mendengar penuturan anak laki-laki di hadapannya. “Ayo, biar kubantu!” Tawar Aga lagi. Ia kemudian membantu Nia berdiri dan memapah gadis itu hingga sampai di teras Minuet. Teman-teman mereka yang lain sudah cemas menunggu sedari tadi.

“Nia kamu kenapa?” Tanya salah seorang dari mereka yang terlihat paling panik. “Nia lutut kamu luka!!” Kata salah seorang yang lain seraya menunjuk lutut Nia yang berdarah. Ada satu lagi dan sedikit agak aneh. “Nia..Nia..” Cuma itu yang ia katakan. Yah, mungkin, faktor umurna yang masih anak-anak. Kalau terlalu cemas kurang bisa mengutarakan maksud dan tujuan secara jelas. Nia menggeleng dan tersenyum santai pada teman-temannya. Ia sendiri agak bingung, kenapa teman-temannya sepanik itu. Padahalkan mereka pasti sudah tahu, ia bukan seperti Rina, manja dan mudah tersentuh alias cengeng. Ia bahkan tidak secentil Sarah. Sifatnya tomboy dan mandiri. Jarang merepotkan orang lain. Tidak pernah mengeluh bahkan menangis pun jarang. Hampir tidak pernah malah. “Cuma luka sedikit, ini sih keciil!” Katanya meremehkan sekaligus membuat lega perasaan orang-orang di sekitarnya.

Aga masuk sebentar mengambil kotak P3K dan membawanya keluar. Ia menggeledah isi dari kotak tersebut. Memilih 2 dari seluruh benda-benda yang ada. Kasa dan bethadine. Ia menuang sedikit bethadine di atas kasa yang diambilnya. “Tahan ya!” Katanya mewanti-wanti agar Nia tak memekik nanti. Luka baru jika ditetesi bethadine memang agak perih rasanya. Dan ia sudah sangat mengetahui hal itu. Nia diam seraya memperhatikan apa yang Aga lakukan. Sekali lagi, ia tidak seperti Rina. Karena Rina mungkin sudah berteriak-teriak tak karuan sekarang. Memang, rasanya agak perih. Tapi, apa artinya rasa perih itu bagi Nia. Hampir tak terasa apa-apa baginya. “Sakit tidak?” Tanya Aga tanpa menoleh dan fokus memandang lutut Nia. Persis seperti bidan yang sedang menangani pasien, yang sering Nia lihat di puskesmas. Nia menggeleng yakin. “Gak terasa apa-apa!” Katanya.

“Benarkah? Perasaan, dulu saat aku luka, rasanya sakit sekali!” Celetuk gadis yang menjadi perbandingan Nia tadi, Rina. Nia tentu terkekeh mendengar itu. Tentu saja, kamu kan cengeng! Batinnya. “Sudah kubilang, ini hal keciiil!” Dengan jentikan jari ia mengatakan itu. Yang lain hanya mangut-manggut namun ada pula yang menggaruk-garuk kepala bingung. Salah satunya ya itu, Rina. Haha. Kasihan juga melihatnya seperti itu. Sementara Aga, yang tingkahnya sekarang bak seorang dokter, dengan telaten membaluri luka di lutut Nia dengan kasa yang ia beri bethadine tadi. “Nah!” Serunya karena merasa telah selesai. Luka dilutut Nia berubah warna sedikit agak merah kecoklatan karena dilumuri betadhine. “Gak ditutup pakai kasa?” Tanya Nia bingung diikuti anggukan kepala yang lain.

Aga tersenyum dan memasang tampang sok tahunya. “Luka kayak gini lebih baik dibiarkan terbuka. Sering terkena udara biar cepat kering.” Katanya masih dengan sikap sok tahu. Tapi memang benar sih. Teman-temannya termasuk Nia menganggukkan kepala lagi, kali ini karena mereka mengerti bukan bingung seperti tadi. “Aku hebat kan? Haha..” Bangga Aga. “Huuu..hahaa..” Semuanya berseru serentak lalu tertawa bersama. “Eh eh lagi ada apa ini? Kok ketawa-ketawa? Hehe, nih ibu bikinin pisang goreng untuk kalian!” Lia tiba-tiba datang dengan 2 piring pisang goreng seperti katanya. Ia menaruh piring-piring itu diatas meja teras.

Tak ayal, anak-anak langsung berkerumun di depan meja untuk mengambil satu dari sekian banyak pisang goreng yang ada. Bahkan ada yang agak rakus dengan mengambilnya lebih dari satu. Tapi, tidak dengan Aga. Melihat itu, ia jadi teringat kembali dengan jatah permennya yang dibawa kabur Nia tadi. Ia menoleh cepat ke arah Nia dan tersenyum miring ke arah gadis itu. Seakan-akan mengatakan ‘Mau kemana kau?’ dalam sirat matanya. Nia yang tak membutuhkan waktu lama untuk mengerti, lekas berdiri dan menyambung pelariannya. “HEY SISAKAN SATU UNTUKKU YAA!!” Pekiknya sambil berlari menjauh. Aga terkesiap melihat itu dan ikut berlari juga  mengejar Nia lagi. “UNTUKKU JUGA!! JANGAN DIHABISKAN!!” Teriaknya ikut-ikutan.

Yang lain hanya geleng-geleng kepala dan tak jarang tertawa. Sama halnya dengan Lia. Ia tak habis pikir dengan 2 anak itu, begitu dekat dan akrab. Seringkali bertengkar namun pertengkaran itu malah menimbulkan efek menakjubkan di Minuet. Mereka bukan pelawak, tapi mereka dapat dengan mudah membuat seluruh penghuni panti terbahak habis-habisan. Mereka bukan penyanyi, tapi teman-temannya senang sekali mendengar kicauan-kicauan lucu dari mereka. Bahkan tak jarang mereka disuruh bernyanyi berdua dan teman-temannya akan menjadi pendengar setia. Mereka juga bukan motivator, tapi merekalah yang membuat teman-temannya tak lagi bersedih akan keadaan. Mereka tidak melakukan ceramah panjang lebar, hanya dengan celotehan asal dari mulut mereka, tapi mampu menumbuhkan asa baru dalam benak setiap teman-teman mereka yang mendengar.

Mereka hanya anak-anak. Tapi, mereka anak-anak yang luar biasa, dengan pikiran biasa tapi kepribadiannya luar biasa. Mampu menggebukan hasrat luar biasa dari anak-anak yang bernasib tak biasa. Tapi, sekali lagi, mereka hanyalah anak-anak. “NIA AGA HATI-HATI!!” Pekik Lia. Aga dan Nia mengacungkan jempol ke arahnya. Seperti mengatakan ‘Okey’ pada peringatannya tadi. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat itu.

***

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Selasa, 17 April 2012

Matchmaking Part 14 A


Ass ICL!! Sebenarnya lagi gak mood ini karena IFC sama Shivers berantem .__. Mimin sedih, mimin kan IFC sama semi-Shivers. Yah meskipun semi, tapi kan tetep aja namanya ‘Shivers’. Huhu, mimin kan galau mau bela yang mana .__. Ayo dong damai yaa, jangan memperpanjang masalah. Mimin galau beneran ini, gak bohong, hiks!

Sudahlah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

“Balik dulu, Fy!” Pamit Agni setelah menurunkan Ify dari mobilnya, tepat di depan pagar kediaman gadis itu. “Yup, thank’s ya!” Balas Ify seraya melambaikan tangan hingga mobil Agni tak lagi memarkirkan diri di hadapannya. Ify berbalik badan hendak membuka pagar. Namun, ada sesuatu yang membuat kakinya tertahan untuk dijalankan. Ia menunduk mencari tahu apakah penyebab dari kesendatan itu. Dan ia menemukan sebuah kotak seperti kotak kado terletak begitu saja di depannya, di depan pagar rumahnya. Ia menoleh ke kanan kiri memastikan kado itu memang tertuju untuknya atau mungkin Ferdi, Papanya.

Ify berjongkok mengambil kado tersebut. Agak berat. Ia lantas membawa kado itu hingga masuk ke dalam rumah bahkan ke kamarnya. Ify duduk di atas tempat tidur dan hanya memandangi kado tersebut. Kotak besar dan agak berat yang sampai sekarang ia tak tahu apa isinya. Ia belum membuka bahkan mengintip apa yang ada di dalam. “Dari siapa?” Tanyanya bingung. Sejurus kemudian, tangannya bergerak membuka penutup atas dari kado misterius itu. “WAA!” Kaget Ify mengetahui seekor ular cukup besar melingkar di dalam sana. Ia spontan berdiri, takut-takut kalau ular tersebut berbisa. Tapi, jika dilihat-lihat, ular ini seperti ular yang sering ia lihat di televisi, yang jinak dan tak berbisa sama sekali.

Ify pelan-pelan duduk kembali dan mencoba menyentuh ular tadi. Jinak! Batinnya. Yap, ular tersebut tak agresif saat jemari Ify menyentuh dan mengusap pelan punggungnya. Bahkan sekarang ular tersebut telah melingkar di leher Ify dan Ify pun kelihatan tak takut lagi.  Ia melihat isi kado tadi sekali lagi. Ada sebuah memo yang diletakkan disana. Ia mengambil memo itu dan membacanya singkat. ‘JANGAN DEKATI RIO!’ Begitulah isi dari memo yang dibacanya. Sejenak, kegiatan Ify hanya memandangi memo itu. Ckck, jatuh cinta sama Rio kayaknya berat banget sih?! Rutunya dalam hati. Ify berdiri dan menaruh kado ‘istimewa’ itu di bawah kasurnya lalu kemudian kembali duduk seraya memandangi ‘teman’ barunya. Gue namain...Ipi aja dah ya? Biar lo ingat sama majikan, muehehe..

“Pi, lo pernah jatuh cinta gak?”

***

 Cakka uring-uringan seharian ini. Pikirannya kusut, sama sekali tak ada jalan lurus. Otaknya tak bisa berpikir jernih. Apa yang ia pikirkan benar-benar saat ini nyaris membuatnya sakit kepala lebih-lebih sakit jiwa. Agni dan Febby. Dua gadis yang menjadi penyebab kenyarisannya tersebut. Ia merasa bersalah sekali pada Agni, yang notabenenya tidak tahu apa-apa tentangnya dengan Febby. Yang notabenenya tidak melakukan kesalahan sekecil apapun hingga membuat gadis itu mendapat perintah untuk menjauhinya. Lalu, Febby. Gadis ini tak kalah memusingkan. Febby adalah orang yang membuat Cakka menyuruh Agni melakukan penjauhan. Namun bukan itu yang menjadi topik pemikirannya tentang gadis itu, melainkan karena apa yang baru saja terupdate oleh Febby dan ia tak sengaja melihatnya.

@FebbRastanty : :) @oikcahya_r : Cieeh, A siapa? Alvin yaa? Jadi beneran nih? @FebbRastanty : I love Mr. A :**

Mulutnya seakan terkunci rapat-rapat setelah membaca status tersebut. Bukan masalah statusnya, melainkan siapa orang yang dimaksud oleh Febby. Ia tahu bahwa gadis itu satu sekolah dengan Alvin yang juga sahabatnya. Tapi ia tak mau mengambil kesimpulan terlalu cepat. Gak! Itu gak mungkin! Ia berusaha menyangkal pikiran buruk yang merasuki kepalanya. Pikiran tentang ‘Alvin’ adalah Alvin sahabatnya. Namun, sekeras hati ia mencoba menyangkal, suatu bukti otentik lain membuatnya harus mengalah pada sang pikiran buruk. Ia sudah mencari informasi tentang Alvin serta Febby. Dan bukti itulah yang ia dapat. Sebuah foto ketika Febby tengah menggandeng lengan Alvin.

“ARGH!!” Geramnya. Ia benar-benar geram pada dirinya sendiri. Apa ia harus mempercayai gosip itu? Foto tadi, status Febby...ah apa mungkin berita itu memang benar? Alvin dan Febby?

***

Sama halnya dengan Cakka. Alvin juga ikut-ikutan uring-uringan. Lantai rumah mungkin lelah karena dipijaki sedari tadi dengan aksi mondar-mandirnya. Bukan Shilla yang ia pikirkan. Tapi Febby, lebih tepatnya keadaan hatinya setelah kehadiran gadis itu. Masih utuh atau sudah terpecah 2 sekarang. Ia sendiri tidak tahu. Perasaannya pada Shilla memang tidak berubah, tapi untuk Febby? Ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya dimana ia selalu mendumel pada gadis itu. Bukan cinta. Itulah anehnya. Bukan perasaan cinta yang ia rasakan. Yang pasti, ya sangat sulit dijelaskan. Lebih-lebih karena ini tak berhubungan sama sekali dengan nalar, makanya akan tambah sulit mendapatkan penjelasan yang detail.

Ah, ngomong-ngomong, Shilla masih marah gak ya sama gue? Halah, yang tabah lo, Vin! Batin Alvin kemudian. Ia mengambil ponselnya cepat dan mencari sebuah nama di kontaknya untuk dihubungi. Siapa lagi kalau bukan Shilla. Hmm, sepertinya ia harus mempersiapkan diri untuk menunggu lama. Sudah kebiasaan jika Shilla sedang marah, maka gadis itu akan sangat susah diajak berkomunikasi dan berinteraksi.

***

Drrt...drrt..
Ponsel Shilla bergetar, tak hanya bergetar tapi terdapat deringannya juga, sedari tadi. Ia tak berusaha mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya itu. Bukan karena ia tak tahu, tapi karena ia pura-pura tidak tahu. Ia sedang malas untuk berbicara ataupun berkomunikasi dengan orang yang meneleponnya, Alvin. Entahlah, yang jelas ia ingin menenangkan diri dulu untuk hari ini. Mengingat nama itu seakan mengingatkannya pada kejadian kemarin pagi. Mengingatkannya pada sosok gadis yang kelihatannya dapat dengan mudah membuat Alvin mengabaikan apapun, termasuk dirinya, kekasih pemuda itu sendiri. Terlebih gadis itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Alvin. Jadilah, ia hanya sesekali melirik ke arah ponsel yang lampunya berkedip-kedip beberapa kali.

“Shillaa?” Panggil seseorang dari balik pintu kamarnya. Sepertinya itu Wiwid, Mamanya. Ia dengan segera menoleh ke arah pintu dan menyahut. Hmm, panggilan Wiwid lebih menarik minat untuk dijawab dibanding panggilan dari Alvin, bagi Shilla, untuk saat ini. “Ya ma?” Sahut Shilla seraya berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Kenapa, Ma?” Tanyanya kemudian. “Itu, ada orang di bawah. Mau ketemu sama kamu, katanya.” Tunjuk Wiwid ke arah ruang tamu. Shiila mengikuti arah tunjukkan Wiwid dan dirinya agak kaget melihat siapa yang ada disana. Cakka? Batinnya bingung. Ia dengan segera menghampiri pemuda itu yang terlihat tersenyum ketika dihampiri olehnya.

“Cak, ngapain lo disini?” Tanya Shilla langsung. Cakka tersenyum lagi dan menggaruk tengkuknya. “Gak ngapa-ngapain sih..” Jawabnya. Shilla mengkerutkan kening seraya ikut duduk di sofa seperti Cakka, tepatnya di depan Cakka. “Lah, terus?” Tanya Shilla lagi. Cakka terlihat kembali menggaruk tengkuknya. Bingung apa yang harus dikatakan. “Lo..emm jalan yuk?” Shilla melongo mendengar ajakan Cakka padanya. Sekalipun pemuda ini belum pernah melakukan itu terhadapnya. Ya, tentu akan terlihat aneh, Cakka mengajak pergi kekasih sahabatnya sendiri. “Hah?” Hanya itu yang bisa ia katakan.

Cakka terkekeh dan mengulangi ajakannya. Ia tak bingung-bingung lagi sekarang. “Gimana?” Tanyanya memastikan. Shilla garuk-garuk kepala dan sekarang gantian ia yang bingung. “Gue mesti izin dulu sama Alvin, ntar kita disangka macam-macam.” Shilla berdiri hendak berbalik badan menuju kamar. Cakka dengan cepat menggapai pergelangan tangan Shilla sekaligus menahan langkah gadis itu. Shilla kaget dan spontan melirik ke arah pergelangan tangannya yang dipegang oleh Cakka itu. Cakka lantas melepasnya segera. “Itu..gue udah bilang sama dia tadi!” Katanya kemudian. Shilla menyipit ke arahnya. Ia kurang begitu percaya pada perkataan Cakka barusan.

“Beneran?” Tanyanya menyelidik. Cakka menggaruk tengkuk lagi dan menjawab cepat. “Emm..ya!” Shilla diam dan berfikir sejenak. Sejurus kemudian, ia menyetujui ajakan Cakka sekaligus mempercayai perkataan pemuda itu yang sempat ia sangsikan. “Gak lama kan?” Tanyanya sebelum beranjak pergi. “Setengah jam lebih lah.” Shilla mengangguk pelan dan permisi ke kamar untuk mengganti pakaian. Cakka kemudian hanya memandangi Shilla yang bergerak menjauh. Satu hal yang ia pikirkan saat ini sekaligus menjadi pertanyaan untuk dirinya sendiri. Apa yang gue lakuin? Batinnya bertanya-tanya seraya menggeleng pasrah.

***

Agni baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Ify dulu tentunya ke rumah gadis itu. Ia berjalan memasuki kediamannya seraya mengurut-ngurut lehernya yang terasa pegal sekali. Tak lupa, ia juga melakukan peregangan pada kedua tangan. Seharian dengan aksi perang bantal ternyata cukup menguras tenaga juga. Membuatnya menguap karena mengantuk. “Ni!” Panggil Kiki yang duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Agni terpaksa berhenti dan menoleh malas ke arah kakaknya itu. “Hmm?” Dehemnya menyahut panggilan Kiki. Kiki lantas berdiri dan menghampirinya yang sedang berdiri pula. “Temenin gue yuk?” Ajaknya.

Agni mengangkat sebelah alis. “Yaelah kak, baru aja nyampe gue. Mau pergi lagi?” Ujarnya yang terkesan menolak. Kiki terkekeh kecil dan mengacak-ngacak rambut Agni. Agni menepis pelan tangan kakaknya yang bergerak mengganggu kerapian mahkotanya. “Ayolah, sebagai penyambutan kepulangan gue?” Bujuk Kiki kemudian. Agni menatapnya sebentar lalu mendesah pasrah. Benar, Kiki baru saja pulang. Ia belum melakukan penyambutan khusus pada kakaknya itu. “Hh, what can i do lah!” Serahnya. Kiki tersenyum sumringah dan langsung saja menarik adiknya hingga keluar rumah dan masuk ke mobil. Agni tak bisa berontak dan membiarkan apa saja yang akan dilakukan Kiki padanya.

***

“Siap?” Tanya Kiki mengarah pada Agni. Keduanya saling memegang bola basket dan bersiap-siap memasukkan benda memantul itu ke arah ring di hadapan mereka masing-masing. Kiki mengajak Agni bermain ke area permainan dalam mall yang mereka singgahi. Basket. Hal yang sudah sangat sering mereka lakukan selama ini. Agni kemudian mengangguk menanggapi pertanyaan Kiki. Dalam hitungan ketiga, mereka langsung melemparkan bola yang mereka pegang ke arah ring sekaligus memulai perlombaan siapa yang paling banyak mencetak poin.

“WEEHEEY GUE MENANG KAN!!” Girang Kiki. Poinnya lebih tinggi daripada Agni, meskipun hanya beda tipis. Agni melengos dan geleng-geleng kepala sendiri. Jarang-jarang Kiki seheboh ini kalau menang darinya. Ya bukan kalau lagi, karena hampir disetiap perlombaan selalu kakaknya itu yang memenangkan. “Ckck, lo kayak anak TK dikasih permen tahu gak?!” Gerutu Agni. Kiki menoleh dan menyeringai lebar. “Ya gue kan udah lama gak main sama lo, adikku sayang!” Katanya sambil mengacak-ngacak lagi rambut Agni. Agni hanya terkekeh mendengar perkataan kakaknya itu. “Serah lo deh!” Ujar Agni dan geleng-geleng kepala lagi. “Lagi?” Tanya Kiki kemudian. Mulut Agni terbuka sedikit dan menatap Kiki bingung. “Hah? Bunuh gue namanya! Gue capek kali, ini aja kepaksa!”

Kiki menatap adiknya geli. Sekali-sekali mengerjai Agni itu asyik juga. Begitulah menurutnya. “Gak usah ketawa juga kali!” Ledek Kiki. Tak ayal, Agni lantas memukul lengannya pelan. “Gue gak ketawa ._. Gue nyanyi, nyahaha..” Balas Agni tak mau kalah. Ia ikut-ikutan terkekeh. Kiki hanya tersenyum menatapnya. Baguslah, ia lebih suka adiknya itu santai seperti sekarang. Yah memang akhir-akhir ini, Agni terlihat agak...boleh dibilang murung. “Dasar!” Ujar Kiki seraya mencubit kedua pipi Agni gemas. Mereka sama-sama tertawa akan hal itu. “Ya udah cari tempat lain deh. Sumpek, disini rame banget!” Pinta Agni. Kiki terlihat menoleh ke sekitar dan mau tak mau setuju akan perkataan Agni itu. Memang, hampir tak ada sisi kosong di tempat dirinya dan Agni berada.

Kiki dan Agni tak lagi berada dalam area permainan yang tadi sempat mereka singgahi. Mereka berjalan menyusuri beberapa toko yang ada. Sesekali Kiki berhenti dan menunjukkan baju ‘aneh’ pada Agni seakan-akan menyuruh gadis itu memakainya. Agni menatap baju yang ditunjukkan Kiki itu ngeri dan menolak mentah-mentah. Yap, mana mungkin ia memakai baju yang hampir tak ada lengan yang ditunjuk oleh kakaknya. Lebih-lebih karena ukuran baju itu yang tak mencapai pinggang, ketatnya tak ketulungan dengan lubang dimana-mana dan yang paling parah itu warnanya..pink! Astaga, bisa dikira barbie jawa guee? Batin Agni merinding. “Hiii, cacat parah selera lo, kak! Gue kira freaky lo bakal berkurang selama lo di Amerika! Haha..”

Kiki tertawa kecil dan meletakkan baju ‘aneh’ yang dipegangnya tadi ke tempat semula. “Tengil lo! Justru baju kayak gini yang laku disana! Haha..” Agni tak membalas lagi. Ia hanya mengedikkan bahu. “Eh gue laper, kita cari makan aja.” Kiki menautkan jemarinya dengan jemari tangan Agni. Ya, wajarlah, kan kakak-beradik. Iya kan? Meskipun Agni merasa agak aneh dengan sikap kakaknya itu. “Iya, tapi gue gak usah dituntun kayak gini juga. Berasa jadi orang buta dan lo bagian mintain duit ke orang-orang!” Keluh Agni. Kiki menoleh dan tersenyum geli. “Biar lo gak hilang!” Ujar Kiki asal. Mereka tetap berjalan dengan tangan saling menggenggam. Emm mungkin lebih tepat Kiki yang menggenggam tangan Agni.

***

Cakka dan Shilla sampai di halaman parkir mall Zalora. *emangada?o,oa* Mall yang boleh dibilang cukup besar lah di Jakarta. *Anggapajaada!* Mereka keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam mall. “Lo kenapa sih tiba-tiba ngajak gue?” Tanya Shilla bingung. Alisnya terangkat ketika menanyakan itu. Cakka menoleh sebentar lalu mengedarkan pandangan ke arah lain. “Pengen aja!” Kata Cakka sekenanya. Ia sendiri bingung dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini, bersama Shilla, kekasih Alvin. Lalu? Kenapa kalau gadis itu adalah kekasih Alvin? Pertanyaan-pertanyaan yang terus mengerubungi kepalanya sejak dari rumah Shilla hingga sekarang.

Shilla menggigit bibir bawahnya tak enak hati. Yah, siapa tahu tiba-tiba ada Agni di sekitar mall ini. Melihatnya dan langsung salah paham. Tapi, memang tidak mungkin. Seingatnya, tadi Agni mengatakan akan langsung pulang ke rumah setelah mengantar Ify. Ya, semoga saja benar seperti itu. Shilla mulai mencoba berpikir positif. Hmm, berjalan-jalan di dalam mall ini membuatnya teringat akan kejadiannya bersama Alvin waktu lalu, di mall juga. Dimana saat itu, mereka berdua bergantian merajuk satu sama lain. Awal mula ia bertemu dengan Febby. Ah, Febby. Jadi teringat gadis itu kan? Kenapa juga gue harus kepikiran lagi? Astagaa, gue pengen tenaaang! Kok susah amat kayaknya? Rrrr..

Tak ada dialog yang terjadi antara Cakka dan Shilla sepanjang mereka berjalan. Mereka sibuk akan kegalauan yang melanda pikiran masing-masing. Membuat kebersamaan mereka hari ini seolah sia-sia. Bagaimana tidak? Bersama tapi masing-masing -sebenarnya- tak ada minat sama sekali. Masih memandang ke arah sekitar, tiba-tiba pandangan Cakka berhenti pada 2 muda-mudi berlainan jenis yang berjalan di depannya. Sangat familiar! Shilla hendak buka suara namun melihat sorot mata Cakka yang tiba-tiba aneh, ia melakukan penundaan sebentar dan lantas mengikuti kemana arah mata Cakka memandang. Tampaklah olehnya Agni dan Kiki, 2 orang yang dilihat Cakka tadi, cukup jauh jaraknya dari mereka.

Shilla memekik tanpa suara. Apa yang dikhawatirkannya terjadi. Bagaimana ini? Bagaimana jika Agni menyadari ada dirinya disana bersama Cakka? Lebih parah lagi jika mereka berpapasan. Hhh, jangan sampai! Jangan sampai! Batin Shilla risau. Ia menoleh ke arah Cakka lagi dan menepuk cukup keras pundak pemuda itu. Membuat Cakka terpaksa menyadarkan diri dari pikirannya yang baru saja mulai mendongeng tentang apa yang sedang Agni lakukan dengan Kiki. Ia menoleh ke arah Shilla yang terlihat panik. “Kenapa?” Tanya Cakka, pura-pura cuek. Shilla melengos mendapati respon seperti itu. Ia tahu Cakka pura-pura dan ia benci hal itu. Ia benci orang yang berpura-pura.

Shilla hendak berujar tapi tiba-tiba saja batal. Ia baru sadar. Jika ia menyebutkan tentang Agni yang bisa salah paham, itu sama saja membuat Cakka mengetahui bahwa Agni -yang kemungkinan besar- menyimpan perasaan khusus untuknya. Shilla menggeleng cepat dan mengalihkan pandangan. Tangannya menggaruk-garuk pipi sambil memikirkan cara untuk menghindar dari Agni. Ia kemudian berhenti dan berbalik badan. Tak peduli dengan Cakka, ia berjalan begitu saja meninggalkan pemuda itu. Akan lebih baik juga ia pergi sendirian. Jika tetap mengajak Cakka, akan ada kemungkinan lain bahwa ia akan bertemu Agni lagi, di tempat lain di mall Zalora ini.

Cakka ikut-ikutan berhenti dan hanya memandangi Shilla yang berjalan meninggalkannya. Ia lantas berlari menyusul gadis itu dan dengan cepat berhasil beriringan kembali. Ia membuat gadis itu berhenti berjalan dan menghadap ke arahnya. “Eh lo kenapa nyusul gue lagi?!” Gerutu Shilla. Sesekali melirik ke arah Agni yang terus saja berjalan dan jaraknya makin dekat. “Ya lo yang ninggalin gue!” Sungut Cakka tak terima. Shilla melengos dan hendak berjalan lagi. Cakka melihat itu dan tentu saja tak membiarkan Shilla meninggalkannya untuk kedua kali. Ia meraih pergelangan Shilla dan menghadapkan gadis itu kembali padanya.

Sementara itu, Kiki tak sengaja melihat Cakka yang berada beberapa meter di hadapannya. Ia melirik ke arah Agni yang sepertinya belum sadar karena asyik memadang ke arah sekitar. Ia beralih pada Cakka kembali yang sekarang terlihat mengejar seorang gadis yang ia tebak itu Shilla. Ia tersenyum miring melihat itu. Kesempatan bagus! Batinnya senang. “CAKKA!” Pekiknya kemudian. Agni terkesiap dan langsung menoleh ke arah Kiki lalu kemudian melihat ke arah yang pemuda itu tuju. Ca..Cakka? Batin Agni kaget. Tak sampai disitu, ada Shilla juga disana, yang pergelangan tangannya sedang tergenggam oleh Cakka. Ia mulai merasa sulit bernafas. Jantungnya pun sudah melaju dengan kecepatan tinggi.

Cakka tak sempat berbicara lagi karena kalah cepat oleh seseorang yang tiba-tiba meneriaki namanya. Ia segera menoleh ke sumber suara. Kiki. Ya, rupanya pemuda itu yang melakukannya. Ia melihat Kiki berjalan cepat ke arahnya diikuti oleh Agni. Mereka masih saja saling menautkan tangan dan itu membuat Cakka sedikit bahkan sangat kesal. Entahlah kenapa. Antara tidak suka akan kehadiran Kiki atau malah tak suka dengan jemari pemuda itu yang  berselingan dengan gadis di sebelahnya. Rrr..kacau banget gue hari ini! Rutunya dalam hati. Tanpa sadar, ia terus saja menggenggam pergelangan Shilla dan Shilla sendiri pun juga tak sadar akan hal itu. Ia masih larut dalam kepanikan karena Agni yang kali ini berjalan benar-benar untuk menghampirinya dan Cakka juga tentunya.

Kiki dan Agni kini sudah berhadapan dengan Cakka dan Shilla. Keringat Shilla terlihat mengucur padahal ruangan yang sedang mereka tempati ini ber-AC. Shilla menelan salivanya sambil berharap-harap cemas bahwa sesuatu yang tidak diharapkan tidak akan terjadi. Sementara Cakka, ia hanya menatap kedua orang di hadapannya datar. Agni dan Cakka sempat beradu pandang sejenak hingga mata Agni turun ke tangan Cakka dan tangan Shilla. Hatinya agak mencelos melihat itu. Jadi, itukah alasan Cakka menyuruhnya menjauh? Karena Shilla? Astaga mikir apaan sih lo? Shilla, dia sahabat lo, Ni! Dia juga udah punya Alvin. Batin Agni berusaha mengelak.

Cakka mendapati arah pandangan Agni pada tangannya. Ia refleks menunduk melihat ke arah tangannya pula dan seakan baru sadar bahwa tangannya sedari tadi bertengger di pergelangan Shilla. Ia hendak melepas tapi kemudian ia juga melihat tangan Agni dan Kiki yang saling bertaut kian erat. Ia mendengus. Ia tidak jadi melepas genggamannya dan malah menatap Agni sinis. Agni menyadari itu dan melihat ke arah tangannya juga. Ia ingin melepaskan diri tapi Kiki malah menguatkan genggamannya. Ia mencoba sekali lagi tapi tetap saja. Tenaga Kiki lebih kuat. Ia hanya bisa menghela nafas pasrah sekarang. Sudahlah, sudah terlanjur kacau juga. Biar sekalian berantakan semuanya. Lirih Agni dalam hati.

“Ngapain lo disini?” Tanya Cakka ketus dan masih menatap Agni sinis. Agni mendesah dan malah memilih menatap kakaknya yang terlihat gusar akan sikap ketus Cakka tadi. Shilla, ia masih diam mengamati orang-orang baik di samping maupun di depannya. “Lo tadi laper kan?” Tanya Agni mengabaikan Cakka. Kiki sempat maju karena kesal namun Agni menguatkan genggamannya yang semula tak ia pedulikan. Seolah-olah melerai Kiki sehingga membuatnya tetap di tempat. Kiki menghela nafas akibat itu. Sejurus kemudian, ia tersenyum menatap Cakka. “Rencana tadi mau cari makan. Kebetulan ada lo berdua, kenapa gak bareng aja? Kan gak ada salahnya juga makan bersama dengan pacar masing-masing. Ya kan, Cakka?” Ujar Kiki yang hampir membuat mata Agni dan Shilla melompat keluar dari wadahnya karena kaget.

Pacar masing-masing? Haha, makin parah! Pikir Agni. Ia mendesah lagi. Lalu, Shilla, tentu saja ia tak terima. Ia ingin membantah namun Cakka lebih dahulu berbicara dibanding dirinya. Membuatnya benar-benar harus diam dalam situasinya sekarang. “Ide bagus. Pacar gue setuju kok! Tanya pacar lo dulu deh, kayaknya dia gak setuju tuh!” Kata Cakka sarkastis seraya melirik ke arah Agni. Mata Shilla sungguh tak dapat lagi tenang, jantungnya pun ikut-ikutan. Apaan nih?! Batinnya frustasi. “Gue setuju kok, tenang aja ‘Cakka’!” Jawab Agni dingin. Ia balas menatap Cakka datar. Melihat itu, Shilla hanya bisa menghembuskan nafas berat. Pasrah, itulah tepatnya. Kayaknya gue salah udah datang kesini. Salah besar! Batinnya lirih.

Jadilah, Cakka dan Shilla berjalan lebih dulu di depan Kiki dan Agni. Cakka sampai sekarang masih memegang pergelangan Shilla. Mungkin pergelangan itu sudah memerah akibat dipegang tak wajar sedari tadi. Agni hanya memandangi itu seraya menguatkan diri. Ia tahu Cakka berbohong. Mana mungkin Shilla selingkuh, bukan? Yang ia tahu sekarang bahwa Cakka begitu membencinya. Tapi karena apa? Apa kesalahannya pada pemuda itu sudah teramat besar? Sudah terlambat untuk meminta maaf dan dimaafkan? Perasaan, kesalahannya pada pemuda itu hanyalah kebohongannya soal basket. Ya, hanya itu. Apa mungkin masih ada lagi? Dan gue gak tahu soal itu? Oh my, siapapun yang tahu, pliss kasih tahu gue saat ini juga! Tapi, ngomong-ngomong, Cakka kenal dengan kakak gue? Hah? Sejak kapan? Terus, kenapa mere-

Agni mendadak berhenti berjalan. Bukan tanpa sebab. Bukan Cakka dan Shilla juga penyebabnya. Melainkan karena keram di betis kanannya yang muncul mendadak pula. “Ah..” Rintihnya seraya merunduk memegang betis. Kiki terlebih dahulu berhenti. Wajar, posisinya paling dekat dengan Agni. Lalu kemudian, Cakka dan Shilla ikut berhenti juga. Cakka akhirnya membebaskan pergelangan Shilla dari cengkraman. Shilla begitu lega akan hal itu. Ia meniup-niup serta mengusap pelan pergelangannya. Agni masih merunduk dan belum mengatakan apapun. “Kenapa lo?” Tanya Cakka pura-pura cuek. Meski sebenarnya ia sama khawatirnya dengan Kiki sekarang. Agni tak menoleh ke arahnya melainkan ke arah Kiki.

“Kak..kaki..kaki gue..keram..AH!” Kata Agni terbata dan merintih lagi. Kali ini ia sudah terduduk di lantai. Baik Kiki, Shilla maupun Cakka spontan ikut duduk. Cakka lekas memegang kaki Agni yang keram itu. Tak peduli lagi bahwa ia masih harus mempertahankan sikap cuek dan ketusnya pada Agni. “Tahan!” Ujar Cakka. Agni menatapnya bingung. Nih orang kenapa lagi? Apa sekarang mau berbuat baik? Hhh, gue sama sekali gak ngerti sama lo! Batin Agni menggerutu. “Hah?” Cakka melirik Agni sebentar lalu beralih pada kaki gadis itu. 1..2..3!
“YAA!!”

***

Via memilih pergi ke toko buku di dalam mall terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Sudah lama ia tak menambah koleksi novel-novelnya di lemari. Yah, karena kesibukan sekolah, ia jadi tak sempat berleha-leha apalagi membaca novel. Belum lagi, ia sudah memasuki akhir semester di kelas XI. Telunjuknya menjamahi satu persatu novel yang tersusun rapi dan berjejer ke samping di rak. Cukup lama dan belum ada juga satu pun yang berhasil menarik minatnya. Kemudian, telunjuknya berhenti pada sebuah novel, tebal dengan cover cantik berwarna merah muda dan gambar sepeda di depannya. ‘Forget about it’. Begitulah judulnya. Via lalu mengambil novel itu dan membaca sekilas tentang isi novel tersebut yang tertulis di bagian belakang.

‘Pernahkan, saat pagi-pagi membuka mata, kau berharap bangun sebagai orang yang benar-benar berbeda?’ Kata pembuka dari ringkasan isi yang ia lihat. Hmm, sepertinya menarik! Batin Via yang akhirnya memutuskan untuk membelinya. Setelah membayar ke kasir, Via kemudian duduk di salah satu kursi panjang yang di sediakan khusus untuk membaca. Tak lama setelah ia duduk, coklat hangat yang dipesannya datang. “Makasih!” Katanya pada seorang pelayan yang mengantar. Pelayan tersebut mengangguk tersenyum dan segera kembali ke tempat kerjanya. Via menyesap sedikit minumannya itu lalu mulai membuka plastik yang membungkus novel barunya. Ia lalu mengambil pena hendak memberi nama novelnya di lembaran pertengahan.

‘SIVIA AZIZAH, 26 Maret 2012’

Selesai dengan itu, Via menyimpan penanya kembali. Belum sempat membaca bab pertama dari novel tadi, dalam sekejab perhatian Via beralih pada seseorang yang baru saja menduduki kursi panjang di depannya. Bukan tepat di hadapannya melainkan agak sedikit di ujung kursi sementara Via duduk di tengah-tengah. “Gue tunggu disini aja!” Kata pemuda itu. Seorang gadis yang juga datang bersamanya mengangguk dan tersenyum lalu kemudian pergi. Mungkin hendak mencari buku seperti yang Via lakukan sebelumnya. Iel? Kok..ceweknya beda? Batin Via bertanya-tanya. Ia masih mengamati Iel, pemuda tadi, baik-baik hingga Iel sadar ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi.

Iel menoleh ke arah Via. Beruntung Via sigap dan langsung menutupi wajah dengan novel yang ia beli. “Aiss, kenapa noleh segala sih?!” Rutunya pelan. Iel melihat Via bingung. Ia masih belum tahu bahwa yang ia lihat itu Via. Ia hanya merasa tak cukup asing dengan gadis itu. Ia kemudian mendapati Via sedang mengintip ke arahnya. Ia terkekeh geli melihat itu. Jadi, memang benar. Gadis itu diam-diam memperhatikannya. “Mbak?” Panggilnya. Via terkejut setengah mati. Apakah ia ketahuan? Via makin merunduk di balik novel yang menutupinya. Kekehan Iel terdengar lagi. “Mbak, itu bukunya kebalik loh!” Ujar Iel. Mulutnya menggembung menahan tawa yang dapat dengan mudah meledak.

Via tersentak dan baru menyadari posisi novelnya salah. Astaga, kayak orang bego deh gue! Hiks! Katanya dalam hati. Ia memutar novelnya sehingga tak terbalik lagi. Iel masih terkekeh. Ia pun bergelora untuk menggoda Via lagi. “Mbak, gimana rasanya baca kebalik?” Ujar Iel. Ia menggeser duduknya dan sekarang tepat berhadapan dengan Via. Via? Panik. Grogi. Berdebar. 3 hal yang menderanya secara bersamaan. Iel jauh saja sudah membuatnya ‘susah’ apalagi sedekat sekarang. “Strawberry!” Jawabnya asal. “Mbak, mukanya kok ditutup sih? Wah jangan-jangan mbak buronan ya?” Goda Iel lagi.

Via mendengus kesal. Nih orang kenapa gak pergi juga sih?! Rrr.. “Muka saya jelek!” Jawabnya asal, lagi. Lagian, kenapa gue sembunyi kayak maling gini? Pikir Via. Iel ingin buka suara kembali, namun gadis yang bersamanya tadi datang. Membuatnya harus beralih pada gadis itu. Via mengambil kesempatan tersebut untuk kabur dan bersembunyi di balik rak buku. Ia mengintip apa yang dilakukan Iel dan gadis yang entah siapa pemuda itu, dalam persembunyiannya. Entah apa pula yang diperbincangkan oleh dua lawan jenis itu. Yang jelas, dari bahasa tubuhnya, mereka terlihat emm mesra mungkin. “Itu pacarnya...juga?” Gumam Via seraya tetap mengamati Iel dan gadis yang -sekali lagi- ia tidak tahu siapa, siapanya Iel.

***

Sehabis makan ‘bersama’, Cakka dan Shilla memutuskan langsung pulang. Keduanya sudah tidak memiliki mood lagi untuk berlama-lama di Zalora. Shilla jengkel sejengkel-jengkelnya pada pemuda yang mengajaknya ke mall ini. “Lo seneng jalan-jalannya? Hah?” Maki Shilla dan menatap Cakka sinis. Cakka hanya menoleh sekilas dan menggeleng pelan. Lidahnya terlalu kaku untuk melakukan perdebatan sekarang. Mumet di pikiran sedang booming-boomingnya (?). Sudah melebihi batas wajar. Agni-Febby-Agni-Febby. Dua gadis yang hampir berhasil membuat kepalanya melebur. Buyar segala isinya. Malah sekarang bertambah pula satu lagi. Kiki. Ya, siapa pemuda itu? Maksudnya, siapa pemuda itu bagi Agni? Kenapa mereka terlihat begitu akrab? Bahkan tadi sempat berpegangan tangan. Lalu, kenapa gue harus menanyakan hal itu? Rrr, benar-benar..

“Hai!” Sesuatu tak terduga dan yang terpenting itu sangat tidak diinginkan terjadi kembali. Seseorang ternyata sudah menunggu kedatangan mereka sejak tadi. Mata Shilla membelalak karena kaget sementara Cakka hanya menghunuskan pandangan datar pada orang itu. Mungkin lebih tepatnya lelah seperti ingin mengatakan ‘Sekarang apa lagi?’. Begitulah kira-kira. “A..Alvin?” Shilla mati langkah. Sementara Cakka, dalam hati ia berharap semoga tak akan ada masalah lagi. Alvin, orang tadi, melipat kedua tangannya di dada dan tersenyum hambar ke arah baik Shilla maupun Cakka. “So, lo sama dia selama ini?” Kata Alvin mengarah pada Shilla. Shilla masih diam, bingung harus menjelaskan bagaimana.

Cakka mengerang kesal. “Argh, gue pusing, capek! Lo urus masalah lo berdua deh, gue gak mau ikut-ikutan!” Cakka mengambil langkah cepat hendak masuk ke mobil. Namun, sebelum tangannya sempat menggapai pintu, suara Alvin menghentikan pergerakannya. “Bukannya gue yang harus bilang kayak gitu?” Ujar Alvin kali ini pada Cakka, namun pandangannya tetap pada Shilla. “Udah selesai ‘urusan’ lo berdua? Puas jalan-jalannya? Kayaknya lo berdua seneng banget ya? Sampe pegang-pegangan tangan lagi! WAW!” Lanjut Alvin. Shilla menggeleng cepat dan ingin membantah namun lagi-lagi didahului oleh Cakka. “Tolong, gue pusing! Permisi!” Cakka masuk ke dalam mobil dan melajukannya segera. Meninggalkan Shilla yang bingung ia akan pulang dengan siapa. Alvin? Hmm, masih bisakah pemuda itu diharapkan? Maksudnya, diharapkan bisa mengantarnya pulang.

“Vin..” Panggil Shilla hati-hati. Alvin membuang muka kesal. “Gue kecewa sama lo!” Shilla mendengus. Alvin benar-benar salah paham! Pikirnya. Ia maju mendekat namun Alvin melarang dan menyuruhnya tetap diam di tempat. “Vin, gue gak ada apa-apa sama Cakka..” Kata Shilla berusaha menjelaskan. Alvin menoleh dan menatap Shilla tajam. “Gak ada apa-apa? Haha, gue gak cukup bego buat lo bohongin.” Sungut Alvin. Shilla mendengus lagi, kali ini lebih keras. “Pernah gue bohong?” Tanyanya kemudian. Dalam hati, setitik kekecewaan terukir disana. Mendengar Alvin yang mengatakan bahwa dirinya berbohong..hmm sangat menusuk rasanya. Alvin udah gak percaya lagi sama gue. Hiks! Batinnya lirih.

“Mungkin aja!” Jawab Alvin cepat. Kan, sekali lagi, jawaban Alvin menusuk dalam-dalam ulu hatinya. “Lagipula, lo lebih milih jalan sama Cakka dibanding merespon panggilan gue. Hape lo mati? Oh atau lo sengaja supaya gak mengganggu ‘acara’ lo? Hah?” Lanjut Alvin yang sudah kalap. Shilla diam tak langsung menjawab. Sejenak mereka saling pandang tanpa terdapat obrolan di sela-selanya. “Sekali aja kita gak berantem bisa gak, Vin? Gue bosan, Vin! Bosan kayak gini terus!” Ujar Shilla memelas. Ia mencoba melunak dan berharap Alvin akan melakukan hal yang sama. Alvin, kepercayaan lo beneran udah berkurang? Hah? Tanya Shilla dalam hati.

Alvin melengos dan lebih memilih tetap diam. Ia berjalan hendak masuk ke mobil. Shilla masih berdiri di tempat dan hanya memandangi kekasihnya itu yang tinggal beberapa centi lagi sampai di depan pintu. Alvin membuka pintu mobilnya namun tak langsung masuk. Ia diam dan berujar kembali. “Cepetan masuk! Gue antar lo pulang.” Katanya tanpa menoleh sedikitpun. Shilla, untuk kesekian kali mengulang dengusannya. “Lo niat gak? Jangan maksain hati, gue bisa cari taksi kok!” Tanpa menunggu jawaban Alvin, Shilla berbalik badan dan mulai melangkahkan kaki pergi menjauh. Alvin gantian mendengus dan menutup kembali pintu mobilnya yang baru ia buka tadi.

“Lo bilang jangan berantem kan? Lalu, sekarang apa? Lo yang mulai!” Katanya pada Shilla. Shilla terpaksa berhenti dan berbalik badan menghadap Alvin kembali. “So, gue yang salah?” Sungut Shilla. Makin lama, Alvin makin membuatnya dongkol. Makan hati setelah sebelumnya diris-iris secara kasar dan tak karuan. Tak karuan pula rasanya bagamana. Yang pasti, namanya teriris pasti perih. “Gue cuma minta lo masuk, apa susahnya?” Shilla mendecak dan menghentakkan kaki kesal. Air matanya yang tanpa disuruh keluar sudah mendahului perintah. Alhasil pipinya dibuat basah akan hal itu. “Aiss, iya-iya! Gue masuk. Puas lo, hah?!” Gerutunya dan berjalan cepat masuk ke mobil Alvin. Alvin melihat itu dan sekarang malah merasa bersalah. Ia lalu ikut masuk ke mobil.

Shilla masih terisak dalam pandangannya ke arah jendela. Alvin diam tak berusaha menyalakan mobil. Ia menoleh ke arah Shilla lalu menghela nafas panjang. “Ya udah, jangan nangis juga!” Keluhnya berharap Shilla mendengar dan menurut. Shilla masih memandang ke arah jendela, belum tergerak untuk menoleh ke arah Alvin balik. “Jalan aja!” Katanya singkat. Rrr, ini air mata kenapa gak bisa berenti sih?! Shilla seperti sulit menahan laju bulir-bulir itu keluar. Seperti ada kebocoran hingga membuat air matanya terus-menerus mengalir. “Ya lo jangan nangis! Gue bingung jadinya,” Alvin tetap bersikukuh menyuruh Shilla agar berhenti menangis. Rasa bersalahnya kian besar dengan semakin banyaknya air mata Shilla yang tertumpah.

“Salah sendiri, lo yang bikin gue nangis!” Kata Shilla tak mau mengalah. “Berhenti dulu nangisnya, baru gue jalan!” Keukeh Alvin. Ya, mungkin ia tak akan menghidupkan mesin mobilnya sebelum Shilla menyanggupi apa yang ia minta. “Gue lagi pengen nangis,” Kata Shilla yang justru makin terisak. Alvin mendesah malas. “Gue bilang jangan nangis!” Pintanya. Memaksa mungkin lebih tepat. Shilla kali ini menoleh sebentar lalu kembali memandang ke arah jendela. “Gue gak bisa berhenti nangis!” Alvin mengerang dan mengacak-ngacak rambutnya putus asa. “Ya paksa supaya lo berhenti nangis! Argh!” Katanya. Hh, bisa ngomong baik-baik gak sih? Batin Shilla merutu. Ia lalu menatap kesal Alvin. “Kenapa jadi bahas tentang gue nangis? Jalan-jalan aja, gak usah peduli sama gue! Sebelumnya lo juga gak peduli kan?”

“Udah gue bilang, sebelum lo berhenti nangis, nih mobil gak bakal jalan!” Kata Alvin tetap keras kepala. Shilla pun sama. Tak sedikitpun kadar tangisnya berkurang, melainkan bertambah deras. “Heh, lo kenapa sih? Sok-sok peduli, lo marah-marah tujuannya buat gue nangis juga kan? Ya udah, terwujud sekarang. Apalagi?” Aduh, pasangan ini! Sepertinya kalian akan memuat waktu yang lebih panjang untuk meneruskan perdebatan. “Tentu aja gue peduli! Gue cuma minta lo jangan nangis!”
“Lo pikir semudah itu hah? Gue juga gak pengen nangis, tapi gimana? Air matanya gak mau berhenti! Udahlah, cepet jalan. Dengan itu, lo gak bakal lama-lama liat gue nangis!”
“Jangan nangis gue bilang!”
“GUE GAK BISA BERHENTI ALVIN! KENAPA LO TERUS-TERUSAN DESAK GUE?” Shilla memekik tepat di muka Alvin. Nafasnya tersengal-sengal akibat aksi pekiknya barusan. Dimana sebelumnya, ia juga sudah tersengal-sengal karena menangis. “ARRGH! KARENA GUE GAK SUKA LIAT LO NANGIS!” Shilla diam. Jika Alvin sudah memekik seperti itu, artinya pemuda itu sudah benar-benar marah. Hei, tapi seharusnya pemuda itu juga sadar. Tak hanya dirinya yang sedang marah, gadis di hadapannya juga sedang menjalankan aksi itu. “Ya..gue gak pengen liat lo nangis. Ya udah, gue minta maaf. Tapi, pliss! Jangan nangis, lo tahu kan alasannya?” Alvin pada akhirnya melunak sekaligus mengalah. Tangisan Shilla adalah senjata paling ampuh untuk mengudarakan kemarahannya. Ia paling dan sangat tidak suka melihat orang yang dicintainya menangis. Rasanya, ia sudah bersikap keterlaluan hingga membuat gadisnya sampai terisak.

Shilla sekali lagi hanya diam dan menunduk. Menangis tidak boleh, lalu harus apa lagi? Pikirnya. Alvin melihat itu dan mendengus. Ia kemudian menangkup wajah Shilla dengan tangan sekaligus mengarahkan wajah gadis itu ke arahnya. Ia terlihat menghapus bekas-bekas air mata yang merembes di wajah Shilla. Shilla masih diam dan membiarkan kekasihnya melakukan itu. “Lo kira lo cantik kalo lagi nangis? Hah?” Alvin menggerutu lagi. Antara kesal, khawatir, merasa bersalah dan tak tahu harus apa. Semuanya berunjuk rasa serentak dalam diri Alvin. “Jangan marah..” Pinta Shilla dengan nada manja. Ingin permasalahan konyol dalam hubungannya berakhir secepatnya. Tanpa perlu ada masa mediasi lebih lanjut.

Alvin hanya diam seraya melepas tangkupannya dan menghadap ke depan. Dalam waktu saling diam itu, Alvin mulai menghidupkan mesin mobil dan membuatnya melaju. Meski terlihat kesal, namun dalam hati ada helaan rasa lega menghentak ke dasar hati pemuda ini. Lega karena ia masihlah Alvin yang dulu. Masihlah dengan perasaannya dulu. Tak berubah sedikitpun. Ia masih mencintai gadis cantik di sebelahnya sedemikian besar. Terbukti, ia masih kenal dengan makhluk aneh yang menamai dirinya sebagai ‘cemburu’, teman yang sudah lama sekali tak ditemui oleh Alvin. Ia berterimakasih pada seseorang pengirim foto ‘ajaib’ yang sangat berkaitan dengan Shilla, gadisnya. Sebuah foto yang mengundang asanya untuk datang ke mall ini. Foto ketika pergelangan Shilla digenggam oleh Cakka. Sungguh, ribuan terimakasih ia julurkan pada orang itu, entah siapa.

Sementara Shilla, perasaan setengah-setengah menghinggapi benaknya saat ini. Setengah senang namun setengah sedih juga. Senang mengetahui Alvin masih setia memendam perasaan spesial untuknya dan -masih- sedih memikirkan Alvin sedikit demi sedikit mulai tidak mempercayainya, mempercayai kemantapan hatinya untuk pemuda itu. Belum banyak bukti, namun salah satunya mungkin sudah menampakkan diri. Dimulai dari Alvin yang untuk pertama kali menyangkal kejujurannya. Ah semoga saja, hanya satu itu. Hanya sampai disitu. Karena jika menyusul yang kedua kali, ketidakpercayaan itu bisa saja berbalik padanya.

***

HACHI!!
Sudah berulang kali Ify bersin. Badannya pun terasa tak enak. Padahal tadi masih baik-baik saja. Ipi sudah dialih tanggung jawabkannya kepada Bi Siti *Ehnamapembantuifykemarinsiapaya? Sayanyalupa._.* Ify terkikik melihat reaksi Bi Siti waktu itu saat menjamahi tubuh licin Ipi. Bahkan sampai naik ke atas kursi meja makan. Ify geli sendiri mengingat-ngingat kembali tingkah Bibi-nya tersebut. “Hachii!” Astagaa, flunya semakin membiang sepertinya. Ify lalu menghempas diri ke kasur dan menutupi hampir seluruh badan kecuali mukanya dengan selimut. Jangan sampai malaria gue kambuh! Hhh.. Batinnya berharap.

Belum sempat mencapai lelap, seseorang mengganggunya dengan membuka pintu kamar. Bukan bermaksud menganggu juga sih. “Neeng? Tidur ya?” Tanya orang itu yang ternyata Bi Siti *sekalilagilupanamanya*. Kepalanya menyembul dari balik badan pintu. Ify menoleh dan perlahan-lahan duduk. “Kenapa Bi?” Tanyanya balik. Ia mengusap-ngusap hidungnya yang agak gatal. Hachii! Tuh kan! “Loh neng Ify sakit?” Siti memberanikan diri masuk ke dalam dan mendekat ke arah Ify. Ify menggeleng segera, meyakinkan Siti bahwa ia baik-baik saja. “Cuma bersin doang kok! Hehe..” Elaknya. Siti manggut-manggut dan kemudian ingat kembali pada tujuannya datang ke kamar Ify. “Oh iya, ada Den Rio tuh di bawah!”

Kening Ify mengernyit. Membentuk beberapa lipatan disana. Hah? Rio? Ngapain? “Bibi permisi dulu, Neng!” Pamit Bi siti dan segera angkat kaki dari kamar. Ify sendiri masih diam memikirkan kenapa Rio tiba-tiba datang. Pada akhirnya, ia terpaksa keluar kamar dan berjalan menuruni tangga menuju ruang tengah. Meskipun badannya kini benar-benar sulit untuk dibawa berjalan kemana-mana. Bi Siti benar, sudah ada Rio dibawah. Duduk seraya menyandar ke badan sofa. Ify sedikit mempercepat langkah dan ikut duduk bersandar seperti yang Rio lakukan. Haaah, surga dunia sekali rasanya! Katanya lega, dalam hati. “Tumben lo kesini.” Ujarnya mendahului perbincangan.

Rio menoleh sekilas lalu beralih pada ponsel yang entah sejak kapan dikeluarkannya. “Nyokap yang nyuruh!” Ify lantas membalas tolehan Rio. Kebosanan terurai dalam sorotan mata pada pemuda itu. Nyokap lagi. Ckck, lo-nya kapan? Batinnya lirih. “Buat? Ada titipan makanan?” Tanya Ify. Rio menggeleng pelan. “Gue gak boleh pulang kalo gak sama lo.” Kening Ify kembali mengernyit. Tanpanya? Kenapa dirinya jadi dikait-kaitkan? “Kenapa harus sama gue?” Ify menegakkan tubuhnya begitu pula Rio. Rio mendengus. Malas sekali untuk menjelaskan secara detail kepada Ify. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Daripada ditanya lebih lanjut lebih baik diutarakan. “Pilihan lo cuma dua, dan nasib gue tergantung pilihan lo itu.” Kata Rio mengambang. (?)

Ify garuk-garuk kepala tak mengerti. Pemuda dihadapannya mengajak berteka-teki. Dan malangnya ia tak ahli dalam hal itu. “Lo tahu gue bego, jangan ngajak mikir kenapa?” Rutunya. Rio melengos dan kembali bersandar. “Pilihan pertama, lo ikut gue ke rumah dan tinggal disana sampai Papa lo sembuh. Yang kedua..” Kata Rio mengambang lagi. Ify benar-benar tak mengerti. Apalagi, kenapa harus menginap di rumah Rio? “Hachii!!” Bersin Ify muncul kembali. Ia menutup setengah wajahnya sebentar dan lantas mengipas-ngipas wajahnya itu agar rasa gatal segera melenyapkan diri. “Kalo bisa yang pilihannya gue tetep di rumah. Mager gue.” Ujarnya di sela-sela mengipas. “Ya udah, berarti lo milih yang kedua.”

Ify masih mengipas wajahnya. Air mukanya memadukan 2 ekspresi. Bingung yang sedang naik daun dan menahan gatal di hidung. “Hah? Yang kedua apaan? Gue menang gak?” Lanturnya. Gantian Rio yang bingung. “Dasar, otak judi! Ya gak lah!” Dumelnya. Ify sedikit mencibir mendengar itu. “Makanya, ngomong itu lurus-lurus. Lo mah banyak persimpangannya!” Dumel Ify balik. Setiap kata yang diucapkan pemuda di depannya itu membuatnya harus berpikir keras layaknya sedang menjalani ujian sekolah. “Hh, yang kedua itu, gue yang harus nginep di rumah lo.” Balas Rio. Nada suaranya terdengar santai namun ada kesan malas juga. “Nginep? Ooh..” Sahut Ify. Sejurus kemudian ia baru sadar arah perkataan Rio. “HAH?! HACHI!” Ify kaget dan bersin disaat yang bersamaan.

Rio mengatup mulut menahan tawa. Tingkah Ify membuatnya geli. Ia menarik banyak isi dari kotak tisu di depannya. “Lo konsisten dong, mau kaget apa bersin dulu?” Ledeknya seraya menyodorkan beberapa lembar tisu pada Ify. Ify menerimanya kasar. Dalam sekejab, tisu-tisu yang dipegangnya berlendir dan menjadi agak basah. Ify melirik tajam ke arah Rio yang mengikik ria padanya. “Apasih? Gue tembak juga lo! Mumpung senjata gue masih full nih!” Mangas Ify. Ia sudah berhenti dari kegiatan mengipas wajahnya dan sekarang malah berkacak pinggang pada Rio. Bukannya berhenti, kikikan Rio terdengar makin keras. “Jadi lo mau nembak gue nih?” Godanya yang salah mengartikan kata-kata Ify barusan. Yang maksud sebenarnya ‘menembak’ Rio dengan lendir-lendir dalam hidungnya, bukan ‘menembak’ yang seperti ‘itu’, seperti yang Rio pikirkan. Yah salah ngomong deh! Batinnya.

“Eee bukan itu maksudnya!” Sanggah Ify kemudian. Tetap saja, Rio tak peduli dan justru makin berniat menggodanya lebih lanjut. “Nembak guenya harus romantis ya! Dengan mata berbinar, muka memelas dan penuh harap! Haha..” Ujarnya membuat pipi Ify menggembung menahan kekesalan. “Iss, apa-apaan nyuruh gue nembak? Seharusnya dia bukan gue! Lagian, gue udah pernah nembak dia juga kan? Haha, ngenes. Gue ditolak! Hiks!” Cibir Ify pelan. Kemudian, tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Ia sama sekali tak ada niat menyambut tamu yang datang itu. Ia berdiri, bukan untuk membuka pintu melainkan untuk pergi ke toilet demi membasuh muka terutama hidung. “Eh mau kemana lo? Tuh, ada orang, liat sana!” Kata Rio heran sekaligus menyuruh Ify memeriksa siapa orang yang datang bertamu.

Ify berhenti sebentar dan menoleh ke belakang. “Biarin! Kalo lo mau, lo aja sana!” Sahut Ify jutek. Kekesalannya masih membara sampai sekarang. Ia lalu kembali melanjutkan berjalan ke toilet di dekat dapur. Lalu Rio, tak ada pilihan lain. Ia yang akhirnya harus membuka pintu depan rumah Ify karena sang tamu tak henti-hentinya menekan bel. Dalam beberapa langkah, Rio sampai di depan pintu dan membukanya. Tampaklah seorang gadis berambut sebahu dan berkacamata sedang berdiri menghadapnya. Gadis itu tersenyum manis. “Loh? Lo ngapain kesini?” Tanya Rio yang bahkan tak menyambut gadis itu melainkan memberi pertanyaan langsung akan kedatangannya ke rumah Ify. “Aku tadi nyari kakak ke rumah, tapi kata tante Manda, kak Rio ada di rumah kak Ify. Makanya aku datang kesini.” Jelasnya cukup panjang.

Rio membulatkan mulut tanda sudah mengerti. Namun, ia kemudian mendekat ke arah gadis tadi. Dengan sedikit berbisik ia berujar pada gadis itu. “Lo jangan ngasih tahu siapa-siapa ya kalo gue ke rumah Ify!” Kata Rio mewanti-wanti dan segera menegakkan tubuh kembali. Gadis di depannya mengangguk dan tersenyum lebih manis. Rio mendesah seraya mengajak gadis itu masuk. Membiarkannya berjalan lebih dahulu. Rio sendiri mengikuti dari belakang. Sedikit kekhawatiran menyusup dalam hatinya akan kehadiran gadis ini. Terlebih gadis ini datang menemuinya, di rumah Ify. Ify, sepertinya ia yang menjadi perkara Rio merasakan kekhawatiran. Entahlah, yang jelas, Rio merasa tak enak hati jika gadis tadi berlama-lama bersamanya, di tengah kebersamaannya dengan Ify.

***

Jiaaah, belum selesai ini. makanya akhirnya agak-agak ngambang. Sabar menunggu yaw =)
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)