-->

Jumat, 18 Mei 2012

Matchmaking Part 16

Ass! Hello 1 2 3, bersama cerbung ini kembali. Part ini Alshill gak muncul gak papa yaa? Alshill kan udah kemarin. Part depan baru kembali seperti semula, semuanya ada. Gak papa yaaaa? Ccccc:

Ya sudah langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

“Fy..Fy..! Bangun sayang! Minum obat dulu..”

Tubuh Ify menggeliat menyambut panggilan yang tertuju padanya. Matanya mulai terbuka perlahan meski masih malu-malu. Sedikit dan mulai banyak cahaya menyiram penglihatnya itu. Pagi ini, ia sudah diganggu dengan keharusannya meminum obat. Ia masih demam. Meski panas tubuhnya tak setinggi kemarin. Amanda, orang yang memanggilnya sekaligus alarmnya pagi ini, mengambil posisi duduk di tepi kasur menunggunya agar segera bangun. Ditangannya tergenggam beberapa pil obat untuknya dan segelas air di tangan yang satu lagi.

Ify tak mengambil waktu banyak untuk rehat. Badannya lumayan mudah ditegakkan. Lumayan segar pula. Ia sudah duduk menyender pada bantal yang menjadi penopang tidurnya beberapa jam lalu. Amanda kemudian memberikan kedua jenis benda tadi. Meski rasa mual menyergap, namun apa boleh buat, ia mau tidak mau harus menelan pil-pil berwarna menarik itu, yang sesungguhnya sangat tidak menarik untuk ditelan. Sama sekali tidak membuatnya tertarik untuk menempatkan mereka lama di dalam mulut. Dibuang saja boleh tidak? Pikirnya mungkin.

“Ayo diminum, Fy? Kok bengong?” Kejut Amanda. Menyadarkan Ify bahwa ia benar-benar harus menelan habis beberapa pil obat di tangannya. Ify menyeringai kaku lalu dengan segera memasukkan sekaligus semua pil itu ke dalam mulut. Dalam sekejab, obat-obat itu menggelinding masuk melewati tenggorokan hingga terjun ke dalam perut. Kemudian, melihat air muka Ify yang mendadak aneh setelah meminum obat itu, Amanda memberikan salah satu apel yang ia bawa bersamaan dengan obat dan segelas air tadi. Ify menerimanya dengan senang hati dan langsung saja mencuil bagian paling luar dari buah itu.

“Makasih, Ma!” Ujar Ify. Ia sudah sangat biasa memanggil Amanda, Mama. Amanda sendiri tak canggung pula dipanggil anak ‘baru’nya dengan sebutan mulia itu. “Udah enakan?” Tanya Amanda halus, memastikan. Kedua tangannya bergerak mengusap-ngusap kepala dan wajah Ify, lembut. Ify mengangguk cepat dan tersenyum menenangkan Amanda. Menunjukkan pada Amanda bahwa ia sungguh sudah tidak apa-apa. Amanda cukup lega melihat itu. Tapi, masih ada juga sedikit keyakinan bahwa Ify belum sepenuhnya dalam keadaan normal.


Ify menggigit apelnya sekali lagi, sekalian matanya berkeliling memeriksa satu-satu objek dalam kamarnya. Atau mungkin berusaha memusatkan pandangan pada satu objek yang diharapkannya berada di dalam kamar. Rio. Pemuda itu dimana ya? Tanyanya hati-hati. Hati-hati, jangan sampai Amanda sadar akan apa yang sedang ia lakukan dan pikirkan. Tapi, yang namanya ibu, meski baru satu hari atau tahunan sekalipun, pasti tahu arti dari setiap gelagat anaknya sendiri atau yang dijadikan sebagai anak sendiri.

“Nyari Rio?” Tanya Amanda.

Nah! Kalau misalnya ada undian berhadiah, mungkin Amanda sudah memborong seluruh hadiah yang dijanjikan. Ujarannya tepat seratus persen. Ify menyeringai lebih kaku diikuti dengan tangan yang lain menjentil-jentil daging tebal di pipi. “Dia masih tidur di bawah, hehe... Ya udah, Mama bangunin dia dulu, nyuruh beli bubur..” Katanya. Kesempatan bagus! Pikir Ify. Ia tersenyum senang sesaat setelah Amanda selesai berbicara. “Mm..biar Ify aja yang bangunin, Ma. Boleh kan?” Tawarnya. Amanda memandangnya sebentar lalu tersenyum mengerti. “Terserah kamu deh, kalo kamu udah kuat gak papa..” Lantas ia mengangguk dan beranjak keluar kamar.

***

Ify mengurai langkahnya satu-persatu menuju kamar tamu. Satu-persatu itu mengirama serentak dengan dentuman-dentuman tak wajar dalam dadanya. Ia gugup. Terbukti dengan jemarinya yang memelintir baju kuat-kuat. Berkali-kali hempasan nafas keluar dari mulutnya. Sungguh, ia gugup sekali. Ini kali pertamanya membangunkan Rio, orang yang selama ini bahkan sudah membuatnya lebih dulu mengalami hal-hal aneh seperti yang tersebut tadi. Berdebar dan gugup. Tak hanya itu, berbagai pengalaman menguak haru bahkan tangis juga pernah diberikan pemuda itu padanya. Pokoknya, lengkap deh kalau berbicara tentang perasaan akan pemuda itu.

Ify sampai di depan pintu. Ia lalu memutar gagang pintu pelan-pelan. Jangan sampai hal itu menyegerakan Rio sadar dari lelapnya. Entahlah, ia hanya ingin melihat pemuda itu sedikit lebih lama. Kan jika pemuda itu bangun dengan cepat, otomatis waktu memperhatikannya akan lebih cepat pula. Kepalanya kemudian menyembul masuk lebih dulu ke dalam, dari balik pintu. Dapat dilihatnya dengan jelas, Rio masih terbaring santai dengan mata tertutup di atas tempat tidur. Masih bergumul bersama apa saja yang singgah dalam alam bawah sadar pemuda itu. Air mukanya tenang seakan menikmati segala apa yang dilihat.


Ify mengikik diam-diam. Menyembunyikan perasaan teramat gembira dalam kikik diam-diam itu. Sepertinya, memang itulah yang selama ini ia lakukan. Mengamati pemuda tampannya dari kejauhan dalam jarak yang sungguh dekat. Menyuarakan kecintaan dalam setiap suasana terjamu keheningan. Bersikap santai meski hati tertandas dalam ketegangan, ketegangan menghadapi perlakuan dari pemuda tampannya. Mempertahankan perasaan mendalamnya meski berkali-kali rasa itu dicoba dibuat terkubur dalam-dalam. Dan yang terpenting, semuanya diam-diam. Ia menikmati hal itu. Selalu siaga akan dampak perbuatan yang ia lakukan.

Ify melangkah masuk ke dalam kamar. Sekarang, ia sudah berdiri begitu dekat dengan tempat dimana Rio berbaring. Dadanya mendentum kian keras karena itu. Perlahan, meski takut-takut, ia duduk di pinggiran kasur. Matanya tak lepas dari sosok Rio, wajah pemuda itu. Sedekat ini dan...bebas! Batinnya berteriak kencang. Hatinya terasa tersengat-sengat. Seperti banyak lebah yang bersemayam dalam keanggunan benda istimewa itu. Senyum di wajahnya merekah begitu lebar. Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang ia inginkan, ia nantikan dan terkadang ia impikan setiap malam.

“Lucu juga, hihi..” Kikiknya lagi, tak tersembunyi dalam hati. Kali ini sedikit memunculkan suara, pelan namun bertenaga. Telapak tangan kanannya kemudian ia tempelkan tepat di atas dada Rio. Memeriksa bagaimana keadaan sesuatu yang tersembunyi di dalam sana. Ia merasakan sesuatu itu berdetak cukup cepat. Lalu kemudian tangan kiri di taruhnya di dada. Ia membandingkan mana yang lebih cepat, detak jantungnya atau jantung Rio. Dan yang lebih unggul adalah dan sudah pasti jantungnya. Jauh sekali perbedaan di antara keduanya. Kikikannya terdengar lagi. Ternyata, sebesar ini pengaruh Rio padanya? Ckck..

“Eh..”

Tanpa sengaja, salah satu tangan Rio bergerak memegang dada. Otomatis menimpa tangannya yang belum sempat berpindah tempat dari sana. Ify merasakan dadanya bergemuruh. Makin gencar saja bagian itu mendentum. Menimbulkan alunan-alunan tak stabil, tak seirama, saling berebut untuk menjadi pemusik utama. Ia lalu mencoba menjauhkan tangan Rio pelan-pelan. Sekali lagi, jangan sampai menyegerakan pemuda itu untuk bangun. Ia mengangkat satu-persatu jari-jari Rio.

Namun, usahanya mungkin hanya sebatas kelingking. Karena secara tiba-tiba, tangan Rio tak hanya menimpa tangan Ify, namun kini menggenggamnya juga cukup erat. “HIYAA INI GIMANAA?!!” Pekiknya tanpa suara. Duduknya mulai tak tenang alias gelisah. Kasur yang ditempati Rio sekaligus dirinya sendiri menjadi agak goyang karena ia yang bergerak-gerak. Tenang! Dia cuma megang tangan lo kan? Pikirnya. Tapi tetap saja, ia tidak bisa duduk diam. Terus saja bergerak hingga tiba-tiba Rio memiringkan badan ke arah kiri, arah kiri pemuda itu.

Tak masalah jika memiringnya tubuh Rio tidak berpengaruh pada Ify. Tapi ini beda, tangan pemuda itu membawa serta tangan Ify yang digenggam tadi. Hingga mampu menghuyung badan Ify ke depan dan hampir saja menindih Rio dari atas. Untung tangan Ify yang satunya cepat tanggap dan sigap menahan tubuh sekaligus mencegah aksi terjadi peristiwa dirinya memeluk Rio. Jadilah, posisinya sekarang persis seperti dirinya hendak mencium pemuda itu. Tak tahulah bagaimana perasaannya saat ini. Yang jelas, bukan suatu hal yang menyamankan. Sangat-sangat tidak nyaman. Ayolah, sampai kapan ini harus berlangsung? Rutunya dalam hati.

Aliran darah seakan terasa lebih cepat berhubung dengan sang pemompa yang mengembang dan mengempis tak kenal jeda. Dadanya dibuat naik turun seiring dengan tanjakan aktivitas dari organ penting yang tersembunyi di dalamnya. Seiring juga dengan desahan nafas yang semakin sering keluar. Semakin sesak. Pada akhirnya ia hanya menelan ludah. Ludah yang sampai sekarang masih terasa pahit akibat sakitnya. Sekarang diperparah pula dengan posisi tubuh tak wajar seperti ini. Keep..calm! Batinnya. Yup, berusahalah tetap tenang. Setidaknya itu yang harus ia coba lakukan.


 Ify menelan ludahnya sekali lagi. Perlahan tangan yang menjadi penopangnya tadi digerakkan untuk merebahkan badan Rio, merebahkan kembali pada posisi seperti saat pertama ia lihat. Aman! Pikirnya ketika mendapati Rio masih terlelap, tidak terganggu sama sekali. Ia mengelus dada sejenak. Menikmati sedikit kelegaan yang untungnya muncul. Sangat pula dinantikan kemunculannya. Tinggal satu lagi! Batinnya. Yup, ia hanya tinggal menjauhkan tangan Rio dari tangannya dan setelah itu...aman lagi.

“Ya..baik-baik yaa..” Pelan-pelan diangkatnya tangan Rio itu. Suatu keuntungan baginya karena mata Rio masih menutup. Belum ada tanda-tanda dua manik itu akan menyapanya segera. Tapi..

Plak..
Mendadak, kegiatan tak diharapkan dari dua manik itu pun terjadi. Mata Rio membuka dengan lihai dan dilihatnya ada Ify yang duduk mencondong ke arahnya, begitu dekat serta salah satu tangan gadis itu tergenggam olehnya. Lalu tangan yang lain balik menggenggam tangannya. Sketsanya begini, tangan gadis itu-tangannya-tangan gadis itu lagi. “HIYAAA!!” Mata Ify seketika menonjol layaknya ingin keluar. Ia kaget sekaget-kagetnya dan spontan menarik tangan lepas dari genggaman. Meloncat seraya bergerak menjauh, tentu saja dari Rio.

Buk!

Akibat loncatannya itu, yang tidak memperkirakan sikap awal dan akhir, ia jatuh terduduk di lantai. Bagian pinggulnya beradu cukup keras dengan lantai marmer kamar tempatnya dan Rio berada. Cukup membuatnya meringis kesakitan. Melihat itu, Rio dibuat dapat dengan mudah bangun dari tidur diiringi kikikan-kikikan ringan yang keluar dari mulutnya. “Aaa nyium lantai kan? Mana sakit lagi?” Rutu Ify yang masih duduk, terduduk mungkin. Bablas! Mau ditaruh dimana pantat gue eh muka gue maksudnya! Harga diri bablas, semuanya bablas! Ckck..

“Ngapain lo?” Tanya Rio tersenyum geli. Tak ingin banyak menjawab, Ify hanya merengut. Lebih baik dikumpulnya sisa-sisa tenaga yang ada untuk menjadi penandasnya segera keluar dari kamar ini daripada sekedar memperpanjang aksi adu mulut besama pemuda itu. Rio tak menarik lagi untuk diperhatikan. Membuatnya benar-benar melupakan keberadaan pemuda itu. Hingga tanpa ia sadari, Rio sudah berdiri dekat dengannya seraya memandanginya, masih dengan tatapan geli. Iss..pemuda ini..menyebalkan! Gerutunya dalam hati. Ia berdiri secepat yang ia bisa dan menatap jengkel pemuda di hadapannya. Bukannya membantu malah menertawakan. Apa maksudnya? Gerutunya lagi.

Kembali, gerakan tiba-tiba Rio membuatnya tersentak. Jantungnya sekarang seperti ingin meloncat dari ruas-ruas tulang rusuk yang menutupi. Badan Rio mendadak condong ke arahnya. Membuatnya agak jengah dan sedikit merebah. “A..ap..apa?” Tanyanya gugup. Tangannya spontan bergerak memelintir baju. Rio menatapnya tanpa ekspresi alias datar. “Tadi..ngapain lo?” Ujar Rio seraya bertanya balik. Ify mengulangi kegiatan menelan ludah. Kepalanya berpikir keras memikirkan jawaban yang wajar pada Rio. “Gu..em..gue disuruh ba..bangunin lo..” Jawab Ify sekenanya. Tapi, memang itu kan tujuannya datang kemari? Yah meskipun tidak ada yang menyuruh. Setidaknya dirinya tidak melakukan kebohongan total lah.

Mata Rio menyipit, menderu Ify dengan tatapan menyelidik. Lantas, dicondongkan lagi badannya itu ke arah Ify. Membuat Ify agak kesusahan merebahkan badan lebih rendah dari sebelumnya. “Bener?” Selidik Rio. Ify hampir lupa bernafas ketika merasakan nafas Rio menyapu hangat bagian wajahnya dikarenakan jarak mereka yang terbilang -sangat- dekat. “Y..ya..iya..apalagi?” Ify mencoba mengatur nafasnya baik-baik agar lebih teratur sekaligus mencoba agar tak lagi melupakan kegiatan penting bagi kelangsungan sistem kerja tubuhnya itu, bernafas. Kali ini, aksi mendadak Rio adalah menyeringai jail. Mencondongkan lagi tubuhnya tanpa peduli Ify yang sudah sangat kesusahan mengatur posisi berdiri. “Beneer?”

Biar Ify tebak, mukanya pasti memerah sekarang. Rr..memalukan! Umpatnya dalam hati. “I..iya..bene..beneran! Gue..gue gak bohong!” Sanggahnya cepat. Seringaian Rio melebar. Matanya berbinar dan kian berhasrat menggoda gadis di hadapannya lebih lanjut. “So..ngapain pegang-pegang? Lo mau nyium gue kan? Mau nyium gue diam-diam?”

Eng?! Jawab apa gue?! Batin Ify kaget. “Woaa, gak..siapa bilang?!” Bantahnya mentah-mentah. Dalam hati, Rio terbahak setengah mati menilik ragam tingkah Ify sekarang. “Bener? Gue cium nih..” Katanya menggantung. Membuat Ify turut merasa menggantung di suatu tempat yang tinggi. Bedanya, ia takut untuk melihat ke atas bukan ke bawah. Rio menyeringai jail sekali lagi. Lalu, perlahan wajahnya mulai bergerak mendekat ke wajah Ify. Lagi, Ify seakan lupa bernafas. Udara yang dihirupnya tercekat di tenggorokan. Semua saluran yang biasanya dilewati seperti menutup diri. Mungkin, bagian yang berdetak di dadanya akan benar-benar keluar sekarang.

Dirasanya tubuh Rio makin dekat. Lantas, ia menameng wajahnya dengan kedua tangan. Menutupi hampir seluruh tampak depan kepalanya itu. Menutup mata serta mengatup mulut rapat-rapat. Sungguh, jika ditunjukkan keadaan sebenarnya, Rio sudah berjingkrak tak jelas sangking terpingkalnya melihat reaksi Ify. Gadis di hadapannya begitu lucu sekaligus menggemaskan. Entahlah, ia menjadi senang menggoda gadis itu. Suatu kegiatan yang akan dibiasakannya mulai sekarang. Gadis polos, tentu saja, sasaran empuk bukan? Sudahlah, cukup untuk pagi ini. Gadis ini telah mengawali paginya hingga menjadi sedikit oh atau mungkin sangat menyenangkan. Ia harus berterimakasih padanya, tentu!

Rio menarik tubuhnya ke posisi semula. Sedikit kekehan keluar bersamaan dengan tangannya yang bergerak mengacak-ngacak rambut Ify. Ify diam mematung, masih dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesuatu asing yang mengganggu kerapian mahkotanya itu penyebabnya. Membuat raganya seolah mengambang di udara, kembali mencapai awan. Membuat liar kepakan sayap kupu-kupu spesial yang kemarin menuntunnya ke suatu tempat nan indah. “Thank’s ya!” Ujar Rio tulus. Ify memberanikan diri menjauhkan tangannya. Membiarkan wajahnya dapat dengan bebas disaksikan oleh Rio. “Hah?..eh..ya..” Kata Ify sekenanya. Rio lantas berjalan keluar, meninggalkannya yang masih dalam dunia awang-awang, ketakjuban tiada batas, perasaan melambungkan dari sesuatu yang bernama...bahagia.

“Huh?” Tangannya perlahan bergerak menyentuh bagian kepala yang tadi disentuh Rio. Seakan masih belum percaya pada apa yang pemuda itu baru saja lakukan. Benarkah? Atau itu hanya bagian dari sensasi awang-awangnya? Ah, tidak, ini nyata! Yup, ini memang nyata. So, bolehkan ia yah sedikit saja ber-euforia atas kenyataan itu? Tak urung, terbentuklah sebuah lengkungan sempurna di wajahnya, wajah Ify. Membusur begitu dalam, membuat wajahnya terlihat manis dengan semburat merah yang menguasai sisi-sisi sampingnya. Ia tersenyum, sekali lagi...bahagia.

***

...awalnya biasa sungguh ku tak menyangka...

Lagu itu terputar tanpa sengaja di ponsel Via. Ah, atau mungkin ada yang membuat benda itu mau tidak mau harus memutarnya. Siapa? Via? Hmm, sepertinya bukan. Ya, memang bukan dirinya pelaku pemaksaan pemutaran itu melainkan seseorang yang sedari tadi namanya muncul di layar ponsel Via. Nama yang pas untuk seorang laki-laki. Yap, memang seorang laki-laki atau pemuda lebih tepat. Pemuda yang sejak kemarin mendominasi setiap celah di pikirannya. Membuatnya mumet namun tidak bosan. Aneh memang, tapi yah namanya remaja, hal anehlah yang membuat mereka unik, yang membuat masa itu menjadi menarik. Benar bukan?

“Gue harus apa?! Gue harus apa?!” gumamnya berulang-ulang.

Ia sibuk mondar-mandir di samping kasurnya. Tangannya menjentik-jentik, mendukung dugaan bahwa gadis yang biasanya tenang ini sedang ‘rusuh’, sedang panik. Kalau ditelaah lebih jauh, kemungkinan kepanikan itu bersumber pada sebuah benda yang digenggamnya. Benda yang menyenandungkan sebuah lagu yang sekaligus menjadi backsound kegiataannya pagi ini, ponsel. Ia bahkan belum berganti pakaian karena itu. Masih dengan piama yang sekarang kelihatan kusut, sama seperti pemakainya, serta sandal rumah yang menjadi pengalas kakinya, kadang-kadang, ketika berada di rumah.

“Huh..”

Mendadak, ia berhenti dan diam beberapa saat. Beberapa saat yang digunakannya untuk berpikir tentang apa yang sedang ia kerjakan sekarang. “Kenapa gue katro BEGINI?!” katanya setengah memekik. Suaranya agak tertahan di tenggorokan. Mungkin, karena ia belum melakukan pemanasan vokal. Sudahlah, itu juga tidak terlalu penting dan tidak terlalu berpengaruh sebenarnya. Okey, tenang Via! Tenang! Katanya dalam hati. Ia mengepal tangannya kuat-kuat sekaligus meyakinkan diri. Sebaiknya gue angkat. Putusnya. Via menarik nafas cukup panjang lalu menghembusnya perlahan. Ia sudah cukup tenang dari sebelumnya. Tak berapa lama, ibu jarinya bergerak menekan sesuatu dan setelah itu ditempelkannya ponsel tadi ke telinga kanan. Ia diam sebentar, lalu..

“Halo..”

***

Sejak dari semalam lalu, pemuda ini terlihat resah seperti sedang menunggu sesuatu. Sesuatu yang ia inginkan. Sesuatu yang sangat besar kemungkinannya tidak akan terjadi. Tapi, ia sangat menginginkan itu terjadi. Maka, dengan keyakinan penuh dicobanya agar bisa mewujudkan keinginannya itu menjadi nyata. Meski kelihatannya ia tidak melakukan usaha apapun. Tapi, nyatanya sampai saat ini, belum ada yang berubah. Air mukanya masih dirundung kecemasan. Geregetan seraya meremas-remas rambut. Ia yang sempat mondar-mandir akhirnya merelakan dirinya untuk duduk.

Telunjuknya bergerak mengetuk-ngetuk, mengetuk kasur tempatnya duduk dan berharap Tuhan juga terketuk hasratNya untuk mewujudkan apa yang ia harapkan.

Tuut...tuut...

“Ah!!” Serunya. Ada sesuatu yang terjadi. Sebuah perubahan. Perubahan yang ia harapkan. Perkembangan dari usaha yang sejak malam lalu ia lakukan. Ponsel di telinga kirinya tak lagi menyuarakan suara perempuan operator, melainkan ringtone ketika kita mencoba menghubungi seseorang. Ia berhasil melakukan panggilan masuk. Secara tidak langsung, hal ini membuktikan bahwa ketukannya tadi berhasil sampai pada Tuhan. Berhasil membuat Sang Pemuncul keajaiban itu melancarkan satu aksiNya. Mengabulkan permintaannya.

Namun, usahanya cukup sampai disitu, setidaknya untuk saat ini. Bunyi nada ringtone yang selalu ia dengar. Tak ada suara perempuan yang ia harapkan, yang menjadi penyebabnya gelisah sepanjang malam dan sampai sekarangpun terus saja menggelisahkannya. Ayolaah! Pintanya dalam hati. Ia begitu menginginkan sesuatu terjadi lagi. Perubahan lagi. Hingga tak terdengar lagi bunyi apapun di ponselnya, ia lantas hanya memandangi benda penyalur suara itu kecewa. Apa mungkin seseorang yang dihubunginya itu tak punya niatan untuk menjawab atau malah tidak suka ia menghubunginya? Ckck..

Sekian detik dibutuhkannya untuk kembali meyakinkan diri, membulatkan tekad bahwa ia akan terus menghubungi orang itu sampai orang itu mau mengubrisnya. Memasuki panggilannya yang ke 13 kali, katanya sih angka sial, tapi semoga saja itu tidak berlaku untuk usahanya kali ini. Hingga deringan kedua belum ada tanda-tanda bahwa panggilannya akan disambut. Hmm, sepertinya memang benar, 13 itu angka sial, bagi orang-orang dan tentunya bagi dirinya juga.

Tuut..tuut..

“Halo..”

YAWN!! Persepsinya salah, besar. 13 bukanlah angka sial. Merupakan sebuah angka keberuntungan untuknya, angka yang melatarbelakangi keberhasilannya menghubungi seseorang yang sangat ia tunggu. AAAH THANK’S GOD! THANK’S GOD IT’S 13!! Katanya dalam hati bersorak-sorai, seperti ada sebuah arak-arakan pernikahan keluarga presiden di dalam sana. Dum! Dum! Dum! Begitulah kira-kira perumpamaan keadaan jantungnya saat ini. “Mbak Zaza?!” Tanyanya antusias, memastikan orang yang dihubunginya berulang-ulang tadi adalah orang yang benar. Intinya, memastikan ia tidak salah sambung.

“Yap..Yang berbicara dengan saya ini siapa ya?” Sahut seseorang di seberang sana, seorang gadis, ya memang seorang gadis. Pemuda penanti tadi tersenyum kian lebar, kian manis, berikut dengan wajahnya yang memang sudah manis. “Gabriel, Mbak! Iel! Mbak gak lupa kan?” Iel, pemuda tersebut, mengangguk-ngangguk tanpa sadar. Lupa bahwa orang yang ia hubungi takkan mungkin bisa melihat reaksinya itu. Dan sepertinya ia juga lupa pada rasa pedulinya akan kelupaan tersebut.

“Hh, kamu konsisten dong! Nama kamu itu Gabriel atau Iel? Jangan buat saya bingung!” kata gadis di seberang sana, kedengarannya mungkin lebih tepat seperti rutuan. Iel mengikik mendengar itu. Gadis yang sangat polos, pikirnya. Sangat pas untuknya, mungkin. “Hehe, Mbak cantik ini maunya yang mana?” Goda Iel tak lepas dari kikikannya tadi. Terdengar sebuah dengusan dari dalam ponselnya. Mungkin Zaza, sang gadis, yang menghunusnya. “Maaf saya sibuk!” Zaza memutus panggilan secara sepihak. Tanpa memberi kesempatan Iel untuk menunda niatnya. Iel sendiri tak masalah akan hal itu. Ia malah terkekeh makin keras. Perasaan senang dalam hatinya menggebu-gebu. Lantas dilemparnya ponsel ke atas kasur. Ia ikut merebahkan diri di atas tempat tidurnya itu. Satu hal yang diteriakannya kencang dalam hati..

13 BUKAN ANGKA SIAL!!

***

“TIK..PKN..Fis..astaga! Besok Fisika! Besok ulangan Fisika!”

Setelah beberapa waktu lalu telunjuk Ify menunjuk-nunjuk kertas bertuliskan daftar pelajarannya di sekolah selama seminggu, ia lantas berhenti dan sekarang malah kedua tangannya memegang kepala. Mendadak melupakan sesuatu, sangat penting dan mendadak pula diingatnya. “Gue belum belajar..” lirihnya. Yap, besok kelasnya akan menghadapi ulangan harian fisika. Fisika! Bukan biologi yang masih bisa dihafal. Nah kalau ini, fisika, apa yang mau dihafal? Paling hanya rumus-rumus yang justru akan mempersulit jika ia tidak mengerti dan tidak tahu dimana harus menempatkan dan mempergunakannya.

Namun, mendadak lagi, ia teringat akan seseorang. Seseorang yang bisa membantunya dalam keadaan genting -menurutnya- seperti sekarang. Bukan Via. Memang, biasanya Via yang menjadi Dewi keselamatannya setiap ulangan. Tapi, untuk yang ini, nama lain telah berhasil menggeser nama Via dari jabatan itu. Seorang pemuda. Pemuda yang tadi ia bangunkan. Pemuda yang sekarang berada satu rumah dengannya. Rio. Ya, siapa lagi? Ify dengan segera keluar kamar dengan membawa segenap peralatan yang diperlukannya untuk belajar, belajar fisika.

Dari atas, ia melihat Rio sedang berbaring di sofa ruang tengah, dengan kepala tertutup bantal. Tidur lagi? Pikirnya. Dengan langkah cepat, dituruninya anak tangga satu persatu. Tepat saat ia baru saja menginjakkan kaki di lantai bawah, Amanda datang tergesa-gesa dari dapur. Pakaiannya terlihat sudah rapi. Bisa ditebak, wanita ini pasti berniat ingin pergi ke suatu tempat. “Ify!” Panggilnya, diiringi rasa tidak enak hati yang tertuju pada Ify. Ify sendiri hanya menyungging senyum seadanya, dalam arti hanya sekedar menunjukkan bahwa ia tidak memiliki rasa tidak enak hati seperti yang ditunjukkan Amanda. “Kenapa, Ma?”

Amanda tidak menjawab. Ia hanya menuntun gadis manis di hadapannya ke ruang tengah, ke sofa, tempat Rio merebahkan diri. Ia mendudukkan gadis itu di salah satunya. “Kamu disini dulu sama Rio, gak papa kan? Mama pulang sebentar, mau ngecheck Ray sama Papa Zeth,” terang Amanda. Sekali lagi, Ify tersenyum. Melebar, lebih daripada sebelumnya. Ditambah pula anggukan kecil dari kepalanya yang menandakan dirinya tidak memiliki masalah ditinggal Amanda, ditinggal bersama Rio. Papa Zeth? Berasa jadi anak beneran gue, hihi..

“Oh gak papa kok! Mama pulang diantar siapa? Diantar Rio?” tanyanya kemudian. Amanda menggeleng seraya tersenyum sekilas. “Ya gaklah sayang, nanti yang jagain kamu siapa? Hehe..Mama pulang sama Papa, tuh dia udah nunggu di depan!” Tunjuk Amanda ke arah depan rumah, seolah-olah mengarah pada sebuah mobil yang beberapa menit lalu memarkirkan diri disana. Ify mengangguk lagi. “Ya udah deh, hati-hati ya, Ma! Salam buat Papa! Hehe..” Amanda ikut-ikutan mengangguk lalu dengan segera berlalu dari hadapan Ify, dari rumah Ify.

Dan sekarang, rumah itu hanya dihuni oleh dua orang, setelah kepamitan Amanda. Rio masih setia menutupi wajahnya dengan bantal, dengan kaki diselonjorkan ke depan dan entah matanya sedang tertutup atau tidak. Ify memandangnya ragu-ragu, ragu pada kata-kata apa yang harus ia lontarkan sebagai awal mula dari dialog yang ingin ia buka dengan pemuda itu. Ia lantas meletakkan beberapa peralatan yang ia bawa dari atas, kamarnya. Hanya pensil yang tetap ia pertahankan. Benda itu kemudian bergerak ke kanan-kiri sesuai perintah sang pemegang, sang empunya, Ify. Gadis itu sungguh sedang bingung..

“Kenapa?” sahut seseorang, tiba-tiba. Membuat Ify memental pensil yang ia pegang tadi sembarang ke atas meja. Ia kaget. Lebih-lebih karena yang menyahut itu Rio, orang yang sedari tadi ingin diajaknya bicara tapi tak kunjung terlaksana. “Hah?” Ify sedikit bergembira saat ini, karena ia tidak harus menjadi pembicara pertama dalam dialognya bersama pemuda itu.

Rio membebaskan wajahnya dari bantal kursi dan menaruh benda yang sempat menghalangi ketampanannya itu di sofa lain. Ia bangkit dan dengan cepat berubah posisi menjadi duduk, bersandar pada badan sofa. “Kenapa?” tukas Rio. Tangannya bergerak meraba kening Ify, yang secara langsung membuat Ify agak menjauhkan diri. Gerakannya itu terlalu tiba-tiba, sama seperti hal pertama yang ia lakukan tadi. Sekali lagi, Ify kaget. “Panas lagi?”

Ify menggeleng cepat setelah sebelumnya menyempatkan diri menjawil-jawil bagian belakang telinga. Dia gugup pemirsah! “Ajarin gue fisika buat besok? Lo...emm..mau gak?” Dalam hati, Ify menghembuskan nafas lega habis-habisan. Suatu pencapaian yang sangat sulit dan besar ia menyelesaikan kalimat itu, mengutarakan permintaannya kepada Rio. Yah, meskipun pengakhirannya belum cukup baik. Masih merencat. Rio memalingkan wajah ke arah depan. “Gue lagi males!” tolaknya, sangat tidak halus, dan lantas kembali merebahkan diri di sofa. Mengambil posisi seperti pertama Ify lihat.

Ify tertegun sesaat. Karena sesudahnya, ia menunduk pasrah dan mencoba meyakinkan diri bahwa Rio tidak benar-benar enggan menuruti permintaannya. Lagi males..gak menutup kemungkinan kemalesan dia raib kan? Pikirnya. Mau tak mau, ia harus belajar sendiri dulu sekarang. Lantas diambilnya buku tulis, buku catatannya yang tadi ia taruh di atas meja. Namun, aksinya tertahan sebentar karena Rio bersuara, seperti sedang berbicara dengan seseorang dan orang itu bukan Ify. Ify menoleh tak yakin. Dilihatnya Rio menempelkan ponselnya di telinga dan berbicara sepatah dua patah lalu menaruh benda itu di meja.

“Masuk aja!” suruhnya pada seseorang yang dihubungi atau mungkin menghubunginya di ponsel tadi. Ify mengernyit akan tetapi Rio belum begitu peduli. Tak lama setelah itu, seorang gadis dengan 2 buku berbeda ketebalan di tangannya, berjalan masuk ke dalam rumah, ke ruang tengah tempat Ify dan Rio. Sekarang yang ketiga kalinya Ify kaget. Jauh berbeda kadar kagetnya itu dari 2 sebelumnya. Bahkan jantungnya berdetak kencang karena kedatangan tamu seperti itu, karena kehadiran gadis tadi di antara suasana berduanya bersama Rio. Dea??

“Kak Ify! Hehe, maaf aku nyelonong, gak izin dulu sama kakak!” Dea, gadis tersebut, tersenyum canggung seakan merasa bersalah pada Ify, si pemilik rumah. Berhubung yang mempersilahkannya masuk bukan sang empunya sendiri, melainkan Rio. Orang yang notabenenya sama dengan dirinya, hanya sebagai tamu. “Oh..gak papa..ya..” sambut Ify sekenanya. Mati-matian diusahakannya seramah mungkin, mengingat keadaan hati dan otaknya sendiri yang kini bersikap tidak bersahabat.

“Duduk, De!” Rio pun angkat bicara. Ia tak lagi berbaring, akan tetapi sudah kembali duduk. Menyambut sang tamu, lebih tepat mungkin tamunya. Mempersilahkan gadis itu duduk di sampingnya. Dea mengangguk kecil lalu kemudian duduk di tempat yang disediakan untuknya. “Makasih!” ujarnya seraya meletakkan 2 buku tadi di meja. Selanjutnya, Ify diam memperhatikan dua insan di depannya itu. Diam yang tidak benar-benar diam. Banyak asumsi-asumsi yang berkecamuk dalam pikirannya. Asumsi tentang apakah Rio memang tidak ingin mengajarinya? Atau karena dirinya yang memintanya sehingga membuat Rio enggan?

Sementara yang pemuda itu lakukan sekarang ialah kegiatan mengajari, bukan dirinya tapi..yah siapa lagi kalau bukan Dea. Mereka terlihat begitu serius, Dea yang begitu antusias mendengarkan sedang Rio, yang sama sekali tak terlihat aura kemalasan dari air mukanya. Ini...apa maksudnya? Tanya Ify dalam hati, berulang-ulang. Meski sampai sebanyak apapun ia mengulang pertanyaan itu, ia juga tak mengerti akan apa yang harus dijawabnya. Okey, belajar sendiri gak terlalu buruk juga kan? Pikirnya.

Catatan di tangannya kembali menjadi pusat perhatian, atau mungkin dicoba dijadikan pusat perhatian. Karena tetap saja, mata Ify sesekali melirik ke arah Rio dan Dea. 2 orang itu seakan tidak menyadari akan adanya dirinya disana, di antara mereka juga. Namun, dalam segera digelengkannya kepala. Untuk saat ini, ia tidak diizinkan berpikir macam-macam selain ulangannya besok. Fokus Fy FOKUS!!

***

Berbicara tentang minuet. Masih ingat akan waktu-waktu menyilukan saat Aga harus pergi? Mari simak lagi bagaimana kisah haru itu terjadi. Minggu siang, saat itu matahari sedang heboh-hebohnya. Hanya tinggal 2 orang, Aga dan Nia. Maksudnya, hanya tinggal mereka yang masih membetahkan diri berada di teras panti. Menikmati sisa-sisa pisang goreng yang sebagiannya telah raib ditelan beberapa penghuni panti yang lain selain mereka. 2 pisang terakhir, yang tersisa disisa-sisa kebersamaan mereka yang terakhir. Sebelum Aga benar-benar pergi dan semoga saja akan kembali.
Senyum Aga begitu mencerahkan wajahnya senada dengan warna langit di siang itu. Gadis manis di sebelahnya, Nia, yang lututnya masih tertutupi perban, hanya diam menikmati suguhan indah yang ia lihat ketika memandang Aga. Ya, kapan lagi ia bisa melihat itu? Melihat teman tersayangnya tersenyum bahagia, karena sekali lagi, itu mungkin ialah senyum terakhir, yang tersisa disisa-sisa kebersamaan mereka yang terakhir. Sudahlah, jangan bawa-bawa kata akhir. Tak ada yang berakhir dalam kisah ini bukan?

“Aga!” panggil Nia setelah menelan habis pisang gorengnya. Tangannya yang berminyak diusap asal ke baju, tak peduli bajunya akan kotor, berminyak atau sebagainya. Aga memasukkan seluruh pisang goreng yang masih ada di tangannya ke dalam mulut. Membuat tempat pemasukan makanannya itu menggembung cukup besar. “Apwa?” sahutnya, meski terdengar agak kurang jelas karena mulutnya yang terisi penuh. Nia tak langsung menjawab. Ia berdiri lalu memandang ke arah Aga antusias. “Ikuti aku!” pintanya. Aga masih diam tak bergeming, bingung dengan arah perkataan Nia padanya. Melihat itu, Nia lantas menariknya dan membawanya pergi ke suatu tempat.

“Kau ingat? Jalan itu!” tanya Nia, sesaat setelah sampai di depan sebuah gubuk tua yang tak terurus dan tak berpenghuni. Telunjuknya menunjuk lurus ke arah depan, ke jalan setapak yang sepi tanpa terlihat seorang pun yang berlalu lalang. Kepala Aga tertoleh dan mengikuti kemana telunjuk Nia bergerak. Sejenak, ia menegun setiap sisi jalan yang dilihatnya. Mengingat-ngingat kembali masa-masa itu, karena jalan itu, dimana merupakan tempat pertama kali Nia bertemu atau mungkin menemukan Aga. “Ya, kau dengan keranjang belanjaan, menghampiriku yang sudah basah kuyub, hehe..”

Nia ikut mengekeh meski samar-samar. “Kenapa aku dibawa kemari?” tanya Aga kali ini. Nia menarik kedua ujung bibirnya, mengulas sebuah senyum manis pada Aga. “Agar kau ingat,” Aga mengernyit tak mengerti, tanpa menjawab, hanya dengan pandangan mata seperti menuntut beberapa penjelasan. Nia tersenyum lebih manis dan juga...lebih lirih. “Ada sesuatu yang bisa kau ingat ketika melewati jalan-jalan menuju rumah barumu..aku misalnya..setidaknya begitu..” Nia tersenyum lagi, menoleh ke arah Aga yang sedang memandanginya. Bukan dengan pandangan tuntutan lagi, akan tetapi persis seperti seseorang yang sedih karena akan berpisah dengan salah satu orang yang diinginkannya terus bersama. *apadeh*

***

“Pisang gorengnya satu!” kata mereka bersamaan, seorang gadis bertopi dengan seorang pemuda tampan di sebelahnya, kebetulan. Keduanya spontan menoleh satu sama lain. Masing-masing dari mereka sama-sama terkejut, bukan karena kebersamaan mereka tadi, melainkan karena..kenapa bisa bertemu disini? Pikir keduanya. “Mas sama Mbaknya, jadi beli pisang goreng?” sahutan sang penjual gorengan mengalihkan mereka dari pertanyaan besar yang menghinggapi pikiran mereka barusan. Keduanya lantas menoleh pada si penjual.

“Iya bu!” kata mereka bersamaan lagi, membuat keduanya kembali menoleh walau hanya sebentar. “Harganya berapa?” ya, ini sudah keberapa kali ya? Ah, yang ketiga, yang kali ketiga mereka berbicara dengan kompak. Mereka menoleh lagi, namun sang gadis dengan cepat memalingkan wajah. Tak perlu lah berlama-lama bertatap muka dengan pemuda di hadapannya, sesuatu yang kurang menyamankan baginya ia rasa ketika melihat pemuda itu menatapnya balik. “Hehe, seribu aja Mas, Mbak!” geli sang penjual sambil menyerahkan dua pisang goreng dengan bungkus berbeda, masing-masing pada si gadis bertopi dan kemudian si pemuda tampan di sebelah gadis itu.
“Makasih!” Astaga, mereka kembali berbicara bersamaan!

Untuk yang ini agak berbeda, mereka tak tergerak untuk kembali saling menoleh. Dengan segera sang gadis mengambil pisang yang tersodor ke arahnya lalu meraba-raba saku mencari uang pecahan kecil untuk membayar pisang goreng tersebut. Belum sempat selembar pun keluar dari sakunya, sebuah tangan lain telah tersodor duluan ke ibu-ibu penjual. Tangan pemuda yang sempat beradu tatap dengannya. Menyodorkan selembar uang 2 ribuan, membayar pisang gorengnya sekaligus pemuda itu. Sang gadis mau tak mau menoleh lagi dan tanpa berbicara sepatah katapun, namun hanya dengan pandangan mata seperti menuntut beberapa penjelasan. Keadaannya berbalik ya, dulu seorang anak laki-laki yang melakukan itu kepada gadis cilik temannya. Sekarang, dari seorang gadis kepada seorang pemuda di sebelahnya, yang mungkin temannya juga.

“Sekalian sama yang itu!” tunjuk pemuda itu pada plastik berisi pisang goreng yang dipegang si gadis. Gadis tersebut masih diam sembari menunggu pemuda itu bersuara, padanya. Pemuda itu lantas balas menatapnya jengah. Keduanya sudah saling jengah sih daritadi, sejak awal pertama mengetahui mereka bersama pagi ini.

“Cakka..”

“Agni..hai..”

***

“Jadi kak, kak Rio itu suka banget sama makanan yang ada kentangnya. Dia juga suka makanan yang asin-asin. Dia gak suka yang terlalu manis dan suka sama yang agak pedas. Dia kurang suka sama..”
Hanya sedikit yang bisa Ify tangkap dari beberapa informasi yang Dea berikan. Beberapa kata pengantarnya saja, setelahnya ia kurang begitu peduli atau mungkin ia tidak bisa bersikap peduli. Gadis yang kini mengoceh panjang lebar itu tak lagi lugu seperti yang ia bayangkan di awal pertemuan. Gadis itu malah terlihat agak menyebalkan sekarang, khususnya bagi Ify. Ia baru tahu rupanya gadis itu tipikal gadis yang cerewet. Suka bercerita panjang lebar tanpa mempedulikan kelengahan yang dirasa pendengarnya. Contohnya ya itu, Ify.

“Ah gini aja ya, kamu yang masakin sambal dengan lauk utamanya, kakak masak perkedelnya aja sama lauk pelengkap. Gimana?” tawar Ify, setengah mati berusaha menutupi kejengkelannya pada gadis yang berhadapan dengannya sekarang. Setelah beberapa jam lalu membuatnya gondok ketika harus melihat dia bersama Rio dan sekarang ditambah lagi dengan sikap sok tahu atau mungkin memang ia begitu mengetahui apa-apa saja yang disukai dan tidak disukai Rio. Yang secara tidak langsung membuat Ify sadar betapa gadis itu begitu mengetahui seluk-beluk Rio dibanding dirinya. Membuatnya agak merendah, minder pada gadis itu. “Okedeh kak!”

Hingga saat ini, 3 perkedel sudah digoreng Ify dan ia tinggal menunggu kapan perkedel-perkedel itu matang. Sementara Dea sudah selesai memasak sambal telur dan kentang serta selesai menumis kangkung. “Kak, coba deh, garamnya pas gak?” Ify menoleh sebentar dan berpindah dari kualinya ke kuali Dea. Mengambil sesendok kuah dari tumisan kangkung gadis itu dan mencicipi seperti yang diminta Dea padanya. Lidahnya mendecak beberapa kali memastikan rasa dari kuah yang dicicipinya. Agak...hambar. Batinnya menilai.

“Tambah lagi deh garamnya, sepengecapan lidah kakak sih hehe..” cengirnya, takut-takut gadis itu tersinggung. Dea mengernyit lalu mencoba sendiri hasil masakannya. “Ah kayaknya udah pas deh kak.” Selanya. Sebelah alis Ify terangkat otomatis lalu menatap gadis itu tak paham. Kalau begitu, untuk apa menanyakan pendapatnya? Pikirnya kurang lebih. “Oh..ya udah..” serahnya. Dea menyeringai girang lalu mulai menaruh tumisan kangkungnya ke dalam mangkok. Ia lantas membawa masakannya itu, dengan bahasa tubuh terkesan bangga, terlalu membanggakan menurut Ify, ke meja makan di dekat ruang tengah. Ify hanya menghela nafas pasrah seraya memandangi gadis itu dari belakang.

***

“Gimana KakYo? Tan? KakFy?” Tanya Dea antusias, memastikan berapakah nilai untuk masakannya hari ini pada Rio, Amanda dan Ify. Rio mencoba sesendok sayur yang dimasak Dea. Ia diam sebentar seperti sedang mendalami rasa makanan yang dicicipinya. Ify melihat itu sekilas dan menggeleng dalam hati. Hambar! Batinnya. Ia sudah berkali-kali mencoba masakan Dea itu dan rasanya tetap tak berubah, tidak bertambah enak dan juga tidak enak, tetap hambar. Lantas diambilnya satu perkedel hasil karyanya, yah setidaknya makanannya itu lebih memberikan sensasi rasa daripada makanan yang dimasak Dea.

“Lumayan..” ujar Rio, tersenyum manis seakan tidak ingin membuat gadis yang menanti-nanti penilainnya itu kecewa berat. Senyumnya itu lantas disambut baik oleh sang gadis. Begitu juga dengan Amanda, ia memberikan penilaian yang sama dengan Rio, sebatas ‘lumayan’, meski dari tatapan matanya, jika disadari Dea, lebih menekankan ‘kurang’ daripada ‘lumayan’. Ify menatap ketiga orang di sekitarnya bingung, khususnya pada Rio. Apa lidahnya yang salah? Apa indera pengecapnya merasakan rasa yang salah? Pikirnya berulang-ulang. Ia sempat menjulurkan lidah sekedar memeriksa bahwa pengecapnya itu dalam keadaan normal dan baik-baik saja.

Rio mengambil 1 perkedel masakan Ify. Ify tak begitu memusingkan apa yang akan dikatakan pemuda itu terhadap masakannya. Selama ia tidak merasakan ada yang aneh pada masakannya sendiri, berarti tidak ada masalah. Rio mengangguk-ngangguk ketika menikmati perkedel yang dimakannya. Sepertinya enak, itulah yang terlihat dari gerak-gerik pemuda itu. Tanpa ada yang melihat, baik Dea, Amanda bahkan Ify. Rio mengambil satu lagi perkedel yang Ify buat. Hmm, benar-benar enak ya?

“Kamu gimana, sayang? Udah sehat? Gak panas lagi kan?” tanya Amanda, memecah keheningan yang sudah meraja beberapa saat di tempat itu. Ify menoleh sekilas dan tersenyum disertai anggukan kepala yakin, menerangkan bahwa ia sudah kembali dalam keadaan baik. Ify berniat meneguk segelas air minum di depannya ketika Rio tiba-tiba bertingkah aneh. Tiba-tiba membanting sendok serta garpu yang ia gunakan. Lalu tangannya bergerak memegangi leher, tak lupa batuk hebat turut menyerangnya saat itu. Ia juga terlihat menggaruk-garuk beberapa bagian tubuhnya yang lain.

Ify, Amanda dan terlebih Dea dibuat heboh akan hal itu. Ify agak merasa bersalah dan mulai mengoreksi apa ada yang salah dari masakannya. Sedang Dea dan Amanda menghampiri Rio segera dan menanyakan perihal penyebab keanehan pemuda itu. “KakYo kenapa? Aduh apa masakan aku ada yang salah? Tapi aku gak masukin wortel sama daun bawang kok,” Dea tiba-tiba menoleh ke arah Ify, menatap Ify yang dengan berhasil membuat Ify bergidik. “KakFy, KakFy masukin apa aja di perkedel itu?” tanyanya langsung.

Ify terhenyak ditodong seperti itu. Ia menelan cepat salivanya lalu segera menjawab. “Ya..tepung sedikit, kentang, garam, bawang goreng, wortel, daun bawang..” Belum sempat menyebutkan lebih rinci satu-persatu bahan yang ia gunakan, Dea segera menyambar. “Apa?! Wortel? Daun bawang? Aduuh, KakFy gimana sih? KakYo alergi sama dua bahan itu.” rutunya kemudian. Ify tercenung mengetahui itu. Jadi, ini semua salahnya? Astaga..

“Ya..gue kan..gak tahu..” katanya takut-takut, pelan hampir tak terdengar. “Tante, KakYo harus dibawa ke RS.” Usul Dea. Tak urung, Amanda mengangguk dan langsung menyetujui apa yang Dea usulkan. Dea lantas memapah Rio berjalan. Amanda mengikutinya dari belakang. “Ma, Ify ikut!” Amanda berhenti sebentar sementara Dea melanjutkan memapah Rio hingga keluar rumah Ify. “Kamu disini aja sayang, Mama gak mau kamu sakit lagi. Mama tinggal dulu ya!”

“Tapi..”

Amanda pergi begitu saja meninggalkan Ify di ruang makan. Ify diam sebentar berpikir apa yang harus ia lakukan. Beberapa menit kemudian, ia berlari menuju kamar mengambil sweater dan mengenakannya asal. Mengambil kunci mobil yang ada di kamar Ferdi lalu berjalan keluar rumah. Ia masuk ke dalam mobilnya dan menyalakannya segera. Gerakannya tak terburu-buru mengingat sudah ada dua orang wanita yang akan menjaga Rio selain dirinya. Meskipun rasa bersalah itu masih menumpuk di dada, tapi setidaknya dua orang yang mendahuluinya lebih bisa diandalkan. Ia tidak perlu terlalu khawatir karena itu.

***

Ify diam di dalam mobil. Bimbang, apakah ia harus segera masuk dan mencari tahu dimana Rio serta bagaimana keadaan pemuda itu, atau biar ia menunggu disini, sampai ada pengabaran dari Amanda atau mungkin Dea. Ah, gue bersalah, gue juga mesti tanggung jawab. Batinnya memutuskan. Ia lalu keluar dari mobil dan melangkah perlahan menuju pintu masuk rumah sakit, Kenko. Kebetulan sekali kan? Hmm, mungkin ada baiknya ia singgah di ruang perawatan dahulu sebelum mencari keberadaan Rio.

Setengah jam lebih Ify berada di ruang perawatan demi membuka jahitan di tangannya. Beberapa kali ia terlihat meringis dan membujuk dokter untuk memperlambat proses pelepasannya. Karena itu, menyita waktu yang cukup lama. Untunglah, sekarang sudah selesai. Tangannya sudah tampak cantik kembali seperti semula meski menyisakan bekas bahwa pernah ada dilakukan jahitan disana.

Ify keluar dari ruang perawatan lalu bergerak menuju meja resepsionis menanyakan tentang dimana ruangan Rio dirawat. “Sakura, 6.” Kata sang penjaga resepsionis ramah. Ify balas tersenyum setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih. Ia kemudian pergi ke ruang yang disebutkan sang penjaga. Agak jauh karena ruang itu berada di lantai 3 dan berada agak diujung. Ify pun agak sulit mencari, ditambah lagi saat itu sepi dan tidak ada suster yang lewat. Otomatis ia harus berusaha sendiri mencari ruangan Rio, Sakura nomor 6. Ini dia! Batinnya menyeru, setelah akhirnya berhasil sampai di depan sebuah pintu, ruangan Rio.

CKLEK!

***

“Kak..huwaa!” Dea yang awalnya berniat berjalan mendekat ke ranjang Rio tiba-tiba tersandung sesuatu. Tak ayal, ia hampir saja menindih tubuh Rio dari atas. Beruntung, Rio memiliki refleks yang baik sehingga bisa mengurangi tekanan yang ia terima jika Dea benar-benar menindihnya. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka. Memunculkan sosok seorang gadis yang kelihatannya mematung begitu melihat posisinya sekarang dengan Dea. Memang tidak enak dilihat, apalagi jika gadis tersebut yang melihat. Posisinya seolah-olah seperti Dea hendak menciumnya.

Gadis itu masih diam, kemudian menunduk sebentar dan tanpa diduga tersenyum ke arahnya dan juga Dea. Seperti dipaksakan tapi tidak terlihat sedikitpun rasa terpaksa yang terpancar di wajahnya. Senyumnya juga terlihat tulus. “Maaf..nganggu..” katanya terkekeh kecil. Gadis itu berjalan masuk ke dalam. Rio dan Dea segera kembali dalam posisi normal. Dea kemudian berjalan cepat menghalau jalan gadis yang baru masuk tadi. “Kak Ify!” sentaknya. Dari wajahnya, ia terlihat agak kesal, terutama pada gadis itu, Ify.

Ify mundur selangkah lalu berhenti. Ia garuk-garuk kepala sendiri karena di segak seperti itu. “Ya?” sahut Ify sekenanya. Dea memutar kedua bola matanya malas seraya melipat kedua tangan di dada. Ify terlihat menarik nafas. Ia pasti akan diocehi lagi, tebaknya. Dan memang benar, Dea berniat mengoceh panjang lebar. Entah kenapa, entah sengaja atau tidak, tiba-tiba matanya sudah bertemu dengan mata Rio. Saling pandang sembari mendengarkan Dea ‘bernyanyi’. Baik dirinya maupun Rio saling diam dan tetap memandang satu sama lain. Ify melempar tatapan bersalah sementara Rio, agak susah mengira apa yang kini dirasa pemuda itu.

“KakFy, liat kan gimana KakYo sekarang? Kakak sih waktu aku ngomong panjang lebar gak bener-bener didengerin. Setiap omongan aku itu wajib loh kak didenger, makanya kalo aku ngomong, jangan acuh tak acuh. Sok gak peduli? Gini kan akibatnya? Udah aku bilang KakYo itu alergi sama wortel dan daun bawang. Terbukti sekarang, tadi kakak gak dengerin aku ngomong. Kakak..”

Lagi-lagi, hanya bagian awalnya saja yang Ify dengarkan baik-baik. Selanjutnya ia tidak peduli. Ia mulai merasa tubuhnya mengecil kian waktu. Suara Dea makin memperparah. Belum lagi, ia tadi disambut dengan pemandangan tidak indah dan sekarang disuguhi dengan kata-kata tidak menyenangkan pula. Ia bahkan sudah membuat Rio jatuh sakit karena alergi. Pikirannya mulai melantur kemana-mana. Yang paling jauh adalah pikiran tentang kelayakan dirinya untuk Rio. Pantaskah ia berharap bisa bersanding dengan pemuda itu? Sedang pengetahuannya akan Rio kalah jauh dari Dea. Yah, tidak usah membandingkan jauh-jauh ke Acha dulu, cukup Dea. Apa yang seharusnya diperbolehkan berharap seperti dirinya itu Dea? Apa Dea lebih layak dibanding dirinya? Ya..mungkin..

Belum selesai Dea berbicara, tiba-tiba salah satu tangan Ify bergerak memegang sebelah pundak gadis itu. Akan tetapi dengan kepala yang masih tertoleh ke arah Rio, matanya juga, masih setia beradu pandang pada pemuda itu. Bukan tatapan bersalah lagi yang ia lemparkan. Pandangannya sayu, memandang sedih ke arah Rio, tapi juga pasrah. “Maaf..” lirihnya. Hanya itu yang ia keluar, yang sanggup ia katakan. Entahlah, tapi hanya kata-kata itu yang lebih cocok ia lontarkan, menjelaskan semua yang ia rasakan dan ia inginkan.

***

Selesaaai!! Haha, ngaret abis! Next part doakan saja gak ngaret, tapi gak bisa sih kayaknya. Ya jelas, udah mau ujian semester, mana minggu depan udah mulai TO .____. Jadi, yang masih mau baca sabar menanti saja lah yaa nyahaha~ Oh ya, sekalian mau bilang makasiii banget like dan comentnya, pemacu saya agar terus melanjutkan cerbung gaje ini nyahaha~

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakjelasan cerita. Ini hanyalah fiksi belaka =D

Sabtu, 05 Mei 2012

Matchmaking Part 15

Helloo, haha maap kata sambutannya telat. Post-nya juga telat. Semuanya telat haha. Maap lah yaa, ini buatnya terburu-buru. So sorry kalo gak sesuai yang diharapkan.

Ya sudah langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

Sudah memasuki setengah 9 malam sekaligus memasuki 2 jam ketelatan Shilla. Alvin menoleh pasrah ke kanan-kiri. Dalam hati, masih begitu berharap besar sosok gadisnya menginjakkan kaki di tempatnya berada. Masih di Maming Stadion. Shilla lo dimanaaa? Berkali-kali batinnya menyeru dan mengulang-ngulang pertanyaan itu. Kalau boleh, mungkin ia sudah pergi ke bagian informasi, mengambil alih mikrofon dan menggemakan nama gadisnya. Tapi, tidak mungkin. Seorang Alvin, dengan total penggemar yang tidak bisa dibilang sedikit, mana mungkin melakukan hal sebodoh itu. Bodoh karena hal tersebut dapat dengan mudah menguak rahasia yang selama ini ia tutupi, masalah pribadinya, tentang jalinan kasih yang dipautnya bersama Shilla. Lagipula, di stadion, mana mungkin ada bagian informasi, ya kan?

Beralih pada ponsel. Layar benda itu sudah terlihat menempel di telinga kanan Alvin. Sudah sejak tadi tepatnya. Membuat hawa cukup hangat menengahi antara layar ponsel dan permukaan telinganya yang tertutupi. Tangan kirinya yang bebas, tersembunyi setengah bagiannya dalam saku celana. Sedang kaki kirinya mengetuk-ngetuk aspal tak tenang. Ini ke..ah entah sudah berapa kali ia melakukan aksi ini. Mungkin sudah puluhan panggilan tak terjawab yang masuk ke ponsel Shilla, orang yang dihubunginya. Dan sekarang, akan bertambah satu lagi. Atau mungkin 2 lagi. Ia bertekad, jika panggilan ini tak dijawab juga, maka pulang adalah sesuatu yang harus ia lakukan.

“Hallo Shilla?!” Sahut Alvin antusias. Rupanya, Tuhan masih menginginkannya untuk bersabar lebih lama di Maming. Panggilannya -akhirnya- mendapat respon alias diangkat. Tapi..

“Eh Tante...ketiduran?...gak usah tante, Alvin punya rencana!...iya, bangunin aja dianya hehe...iya, okee sip tante!!”

KLIK!

Panggilan ditutup. Mata Alvin berbinar memandang layar ponsel yang sempat diumpatnya tadi. Sebelum sesuatu merubah moodnya 180 derajat lebih menyenangkan seperti sekarang. Sudut-sudut bibirnya tertarik. Air mukanya tenang dan tidak gelisah lagi. Lega. Ya, ia dapat mengemban kata-kata itu sekarang. Akhirnyaa!!

***

“HUWAAA MAMAA SHILLA TELAAAT!!”

Bak kucing disiram air, Shilla meloncat dari kasur dan lantas mondar-mandir tak jelas. Beberapa kali telapak tangannya menepuk-nepuk dahi dan kerap pula menggaruk kepala. Yah bayangkan saja tingkah seseorang yang sedang dilanda kepanikan, besar. Tanpa memeriksa bagaimana tampaknya sekarang, Shilla berlari keluar kamar dan berteriak-teriak di sepanjang sisi dalam rumah yang ia lewati. “MAMAAAA!!” Pelangkahnya bergerak cepat hingga sampai di ruang tengah. Wiwid yang berada di dapur berlari tergopoh karena dipanggil mendadak seperti itu. Ia lalu melihat anaknya mencak-mencak tak jelas. Rambut dengan untaian tak sesuai, baju yang sudah tak jelas posisinya ditambah lagi tangan gadis itu masih setia menggaruk-garuk bagian kepala. Tingkahnya seperti seolah-olah ada kebakaran yang terjadi di rumah ini.

“Heh-heh, kamu kenapa sayang? Kok gak jelas gini? Apa masalah Alvin? Alvin mutusin kamu? Dia selingkuh?” Tanyanya beruntun. Shilla ‘berhenti’ dan menoleh ke arah Mamanya. “Huaaaa, Mama jahat ih doain kayak gitu. Huaaa!!” Rengek Shilla. Mendengar itu, Wiwid lantas merasa bersalah dan bingung harus apa. “Yah kamu juga sih. Lalu, kamu maunya gimana, sayang?” Pasrahnya. “Pokoknya, saat ini juga, anterin Shilla ke Maming. Anterin pokoknya anterin!” Desak Shilla seraya merengek tak jelas. Tak ada yang bisa diperbuat selain menuruti permintaan gadis yang satu ini. Wiwid lantas memanggil Pardi, supir keluarganya untuk mengantar Shilla ke tempat yang diinginkan gadis itu.

***

Masih dengan kepanikan gadis cantik yang satu ini. Shilla. Sedari tadi, omelan panjangnya membahana dalam tiap sudut sisi mobil. Jalanan macet dan hal itu makin memperparah keadaan. Otomatis makin memperparah kapasitas omelannya. Shilla mengomel tanpa mengenal tanda titik bahkan koma sekalipun. Membuat Pardi, sang sopir, merasa aksi mengemudinya seolah harus diusahakan mati-matian. Tak bisa fokus. Sangat sangat dan sangat sulit. Bagaimana tidak, pikirannya terbagi dua antara jalan raya dengan Shilla, omelan gadis itu tepatnya. Beberapa kali lengannya disenggol akibat Shilla yang merutuki kemacetan. “I..iya Non, sabar ya! Bentar lagi lancar kok..lancar!” Katanya, berusaha menidurkan kepanikan gadis itu.

‘ALVIIN, SO AND BIG SORRY!!! TUNGGU GUE, PLEASE!’

Shilla beralih pada ponsel. Mengetuk-ngetuk bagian ujung benda itu dengan telunjuk. Menunggu hampir puluhan pesan singkat yang ia kirimkan mendapatkan balasan. Atau mungkin, menunggu sebuah panggilan masuk, panggilan dari Alvin. Ya, siapa lagi? Beberapa menit menunggu, nama Alvin tak jua tersembul di layar BB-nya. Artinya, pemuda itu -mungkin- sengaja mengabaikan puluhan-puluhan smsnya. Pemuda itu benar-benar marah. Yah, mungkin perjuangannya belum cukup keras dibanding perjuangan Alvin meregut maafnya waktu itu. Perbandingannya mudah saja. Hanya dengan melihat total jumlah pesan dari masing-masing. Antara puluhan banding ratusan.

PING!

PING!

PING!

Sama saja, usahanya yang kedua masih mengheningkan BB di tangan. “Huaaaa, Paaak gimanaa doong? Alvin marah sama saya Paaak!! Huaaa...” Lengan Pardi kembali disenggol atau mungkin dipukul. Baju yang menutupi bagian samping tubuhnya ditarik-tarik tak karuan. “Aduh, Alvin siapa lagi?” Cicit Pardi. Sepertinya ia harus belajar bagaimana caranya menghadapi aksi panik seseorang. Khususnya Shilla. Shilla tak peduli. Kepala terpusat untuk memikirkan Alvin, bagaimana cara untuk mempercepatnya bertemu dengan pemuda itu, dengan keadaan macet seperti sekarang, dengan keadaan Alvin yang sedang marah.

“Tenang Noon, tenang. Tarik nafas..tahan..ya terus..terus..keluarkan..ulangi lagi..”

Shilla menurut. Ditariknya nafas begitu dalam, hingga otot-otot diafragmanya terangkat, perutnya mengempis, lalu setelah itu, seluruh oksigen yang dihirupnya dihempas begitu saja. “Udah tenang kan Non?” Tanya Pardi khawatir, khawatir kalau-kalau gadis itu kembali blangsak. “Huaaaa, gak bisa pak! Gak bisa! Cepetan paaaak!! Nanti Alvin tambah marah sama saya paak! Huaaa..”

“Ya Allaah..”

***

Bagi Via, hari ini benar-benar..random! Hal-hal yang ia lakukan tak ada yang benar. Mulai dari melanjutkan tugas akuntansi yang berujung pada jumlah debit dan kredit tak seimbang, jurnal penyesuaian yang malah tambah tak sesuai, belum lagi laporan keuangan yang sampai sekarang masih hanya sebatas judul. Ada lagi. Tugas matematika. Bahkan ia sampai lupa sin kuadrat x ditambah cos kuadrat x itu sama dengan 1. Sepuluh kertas HVS tercoret sia-sia karena ia yang mendadak bodoh seperti ini. Terakhir pr kimia. Ini tidak terlalu parah sih. Hanya ada satu soal yang penyelesaiannya di luar dugaan. Cukup membuat matanya menonjol keluar. Mengenai pH. Setelah mengoret-ngoret beberapa kali di kertas, sama dengan yang ditulisnya menjumlahkan angka 10 pangkat min 25. Benar-benar! Ya, mana mungkin ada pH di atas 25 kan?

“Argh, what’s the big wrong of this day, hah?!” Geramnya. Pensil yang tadi dipakainya dihempas begitu saja. Mata benda itu menitik sebuah noda hitam pada lembaran buku catatan di hadapannya akibat dilempar tepat ke arah sana. Sebaiknya..kita akhiri saja! Batinnya sok dramatis. Sangat bertolak belakang dengan suasana miris yang ia alami. Setelah menutup semua bukunya, ia lantas bersandar di tepi tempat tidur. Tangannya direntangkan seraya sedikit merelaksasi otot-otot di sekitar bagian itu. Tak sengaja, matanya melirik ke arah semua peralatan ‘stalker’-nya tadi siang yang berimpitan di atas kasur bagian samping tempatnya bersender. Sejenak, memandangi peralatan itu lalu mulai menjamahinya satu-persatu.

Saat itu pula, ia ingat pada kartu perdana yang diberikan Iel. Ya, yang sampai sekarang masih membuatnya bingung harus diapakan. Perdana itu sendiri masih duduk (?) manis di atas lemari samping kasur. Ditaruhnya peralatan tadi dan kemudian mengambil perdana dari Iel. Lagi-lagi, kegiatannya hanya sebatas memandangi. Ada sedikit kemajuan, perdana itu dikibas-kibasnya di depan wajah. Matanya nanar ke depan seraya memikirkan apa tindakan selanjutnya. “Pakai atau gak ya?”

***

Ify benar-benar tak berdaya di tempat tidur. Tenaga ditubuhnya hampir tidak ada lagi. Boleh diulang, bahwa badannya panas, pucat, hidungnya meler dan mampet, indra pengecapnya pahit, perut mual ditambah dengan pusing di kepala. Ia tak sanggup membuka mata terlalu lama. Pedih. Lantas, hanya berbaring dengan mata tertutuplah yang bisa ia lakukan. Bernafas dari mulut membuat tenggorokannya kering bahkan meradang. Bibirnya juga. Seperti tanah ketika kemarau panjang. Retak dan pecah-pecah. “HACHI!” Nah ini, bersinnya belum juga menghilang rupanya. Tapi tak papalah. Bersin membuat hidungnya agak mendingan.

Amanda, setelah mendapat pengabaran dari Rio, langsung pergi menuju rumah Ify. memastikan bagaimana keadaan gadis itu sekarang. Ia berharap sih akan baik-baik saja. Tapi, setelah menyaksikan sendiri, ia hanya bisa menghela napas. Apa yang ia temukan tak sesuai harapan. Ia bahkan masuk ke rumah Ify tanpa dipersilahkan. Dikarenakan sang empunya sudah tak punya kekuatan lagi untuk berjalan keluar kamar, turun tangga dan membukakan pintu memeriksa siapa yang datang. Sedih rasanya melihat Ify, gadis polos dan periang ini, jatuh sakit. Mana kelihatannya Ify tersiksa sekali akan penyakitnya itu.

“Fy..kamu makan dulu ya?” Bujuk Amanda. Ya, seperti yang Siti bilang, kalau Ify jatuh sakit, seperti yang terjadi sekarang, akan sangat sulit menyuruhnya makan. Minum saja tidak mau. Segelas air yang diletakkan Amanda setengah jam lalu di samping tempat tidur, masih segitulah isinya, masih penuh dan artinya belum tersentuh sama sekali oleh Ify.  Nyerah deh! Batin Amanda pasrah. Rio. Hanya tinggal pemuda itu tempatnya menaruh harapan. Harapan dapat membuat Ify melunak dan menurut apa katanya.

***

 “Ify gimana, Ma?” Tanya Rio di telepon. Tangan kanannya yang memegang stir bergerak meremas-remas. Cemas, begitulah kiranya apa yang diidapnya kini. “Ohh...ya, nanti Rio beli bubur...pasti adalah! Kalo gak ada ya dicari...iya mamaaa!!” Nada bersahabatnya semula kemudian berubah jengkel. Mamanya mulai mengoceh dan membuatnya tambah pusing. Ia memutus panggilan segera dan melempar asal ponselnya ke kursi samping. Beruntung tepat sasaran, langsung mendarat di dudukan. Kalau sempat membentur jendela kan berbahaya! Rio mencoba membuang nafas beberapa kali, menenangkan pikiran dan mengurangi kadar kecemasan yang menyeruak. Baiklah, hal yang harus ia lakukan selanjutnya adalah...membeli bubur!

“Terimakasih atas kunjungan dan pembeliannya!” Kata penjaga kasir ramah. Rio balas tersenyum. Ia agak aneh dengan perempuan penjaga ini. Perempuan itu tidak histeris seperti wanita-wanita biasanya, ketika bertatap muka dengannya, seorang Mario, REAL. Ternyata, dirinya tidak seterkenal yang dibayangkan orang-orang. Sudahlah, jangan dibahas. Rio menenteng bungkusan berisi makanan, tepatnya bubur yang dipesan Amanda untuk Ify. Ia berjalan cepat menuju mobil berhubung Amanda sudah mendesaknya agar segera sampai di rumah.

***

Sepertinya aksi meracau Shilla akan makin parah. Secara tiba-tiba, mobil yang dikemudikan Pardi merencat. Semakin lama semakin susah dilajukan. Dan pada akhirnya..

“Yah yah Pak yah mobilnya kenapaa?!” Badan Shilla sebentar-sebentar terdorong ke depan dan belakang karena laju tak normal mobilnya. Hingga kendaraan itu benar-benar merajuk dan memutuskan cuti kerja. Alias, mobilnya mogok. “Yah Pak gimana dong? Huaa, pokoknya bapak harus tanggung jawab! Huaa..” Pardi garuk-garuk kepala khawatir. Jarang-jarang mobil majikannya mogok. Sepertinya, hari ini memang ditakdirkan sebagai hari sial baik bagi Shilla maupun Pardi sendiri. “Aduh bapak harus tanggung jawab apa atuh non?  Bapak gak ngapa-ngapain non..” Katanya yang justru membuat Shilla kian meracau.

“Huaaa bukan itu Paaak! Maksud Shilla itu, bapak harus tanggung jawab gimana caranya supaya Shilla sampai di Maming saat ini juga. Tanggung jawab, tanggung jawab!” Pardi mengernyit seraya tangan yang gemetaran memegang stir. Takut-takut gadis di sebelahnya akan mengamuk. Apalagi, ia sendiri tak tahu bagaimana solusi akan masalah gadis itu. “Ya..tunggu bentar deh non, Bapak periksa dulu mesinnya.” Katanya -berusaha- menenangkan dan lantas keluar dari mobil. Bukannya tenang, Shilla kelihatan makin lasak. Ia ikut-ikutan keluar menyusul Pardi.

Di luar, jelas sekali terlihat dari gerak-geriknya bahwa Pardi tak terlalu mengerti tentang mesin, khususnya mesin mobil. Kepalanya menunduk melihat-lihat apakah ada yang tampak tidak beres. Tapi, yang namanya tak mengerti, sudah jelas, dengan mata telanjang, sekali lagi oleh mata seseorang yang tidak mengerti, semua yang dilihatnya pasti baik-baik saja. Ia lalu menoleh ke arah Shilla yang sudah berdiri di sebelahnya. Melihat apa yang akan ia lakukan, meski sampai saat ini belum ada perkembangan usahanya. Ia melempar tatapan merasa bersalah pada Shilla. “Non, naik taksi aja gimana?” Tawar Pardi. Shilla mendengus mendengar itu. Memangnya jam segini masih ada taksi? Lagipula, ia diharuskan untuk menunggu lama hingga taksi itu datang. Sementara ia membutuhkan tumpangan se-ge-ra, tanpa diizinkan ada waktu menunggu lagi.

Ia berjalan ke tengah-tengah jalanan. Sepi, seperti tak jalan buntu yang tak pernah dilewati. Berbeda dengan jalan sebelumnya yang macet dan penuh sesak. Ia meloncat seraya melambaikan tangan. Berharap dari arah yang jauh sana, kodenya terlihat dan seseorang berbaik hati memberinya tumpangan.

***

“Rio lagi di jalan..iya..hmm...iss iya mamaaa! Plis, Rio lagi nyetir, ja..”

CKIT! BUK! *Halah*

“Aw!” Ringis Rio seraya memegangi kepala yang sempat beradu dengan kemudi di depannya. Pembicaraan dalam telepon harus diputusnya mendadak karena ada seseorang yang nekat berdiri di tengah jalan. Otomatis menghalau laju mobilnya. Untung kakinya memiliki refleks yang baik. Rem dengan cepat diinjak bahkan rem tangan turut pula diangkat. Matanya melirik cepat ke bangku sebelahnya, tempat ia meletakkan bubur yang ia beli. Untunglah, bungkusan itu masih dalam posisi yang sama. Tidak terbalik ataupun terjatuh. Ia mendesah lega, setidaknya, ia tidak harus memutar balik untuk membeli bubur lagi.

Di luar, seorang gadis berharap-harap cemas menunggunya keluar. Meski penampilannya berantakan, tapi wajahnya tak asing bagi Rio. Ia seperti sudah mengenal lama gadis itu. Setelah mengamati baik-baik, barulah ia sadar. Ia tahu siapa gadis itu. Antara kaget dan bingung yang membekap wajahnya saat ini. Ia lekas keluar menghampiri gadis tadi. “Shilla? Ngapain lo?” Tanyanya langsung pada gadis itu yang rupanya Shilla. Sungguh suatu kebetulan yang sudah direncanakan sepertinya. Tapi bagi Shilla, kedatangan Rio merupakan suatu anugerah terbesarnya malam ini. Tuhan sungguh baik! Pikirnya.

“Untung lo lewat sini. Yo, plis jangan banyak tanya, anterin gue sekarang ke Maming!” Pintanya atau mungkin memaksa lebih tepat. Rio mengernyit heran. Sudah berani menghalaunya hingga membuatnya hampir menjadi pelaku penabrakan malam ini, sekarang dengan tanpa rasa bersalah menyuruhnya seolah-olah jabatannya sekarang sebagai sopir gadis itu. “Gue mesti pulang, sorry!” Tolaknya tegas. Ia berbalik badan hendak kembali masuk ke mobil. Dengan cepat Shilla berlari lalu kemudian kembali menghalaunya dari depan. Gigih juga usaha gadis ini. “Pliiiss Yoo, bantuin gue! Ini antara hidup dan kelangsungan hidup gue Yo. Pliisss!!” Mohon Shilla. Kali ini, nadanya memelas. Bukan memaksa seperti sebelumnya.

Rio mendesah kembali. Kalau sudah begini, bagaimana ia bisa menolak? Tapi, ia juga harus segera pulang ke rumah. Lalu, ia harus bagaimana? Rio terlihat diam berpikir benar-benar. Melihat itu, ceracauan Shilla meledak. “Yooo, asal lo tahu ya, semakin lama waktu yang lo butuhkan buat berpikir, maka sama aja lo mempercepat proses kematian gue. Lebih cepat lebih baik!” Rio mendesah, lagi. Ia menyerah. Memang sepertinya ia harus mendahulukan gadis tak sabaran ini lalu selanjutnya bisa melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, rumah Ify. “Ck, ya udah. Gue antar lo kesana. Ingat, cuma ngantar!” Mata Shilla berbinar haru. Akhirnya, saat-saat melegakan seperti ini tiba juga. Ia mengangguk antusias dan berjalan masuk ke mobil mengikuti Rio.

***

‘Vin, dimana?’

Rio sudah pergi setelah mengantar Shilla sampai di depan pintu masuk Maming. Shilla tentu banyak-banyak mengucapkan terimakasih pada pemuda itu. Ia berhutang budi cukup besar. Meski Rio berkata tidak masalah, namun dalam hati ia beritikad akan bersedia menyumbang jasa jika dibutuhkan. Dengan langkah cepat, Shilla mulai menjelajah bagian awal Maming. Hanya sedikit jumlah manusia yang ada. Kebanyakan sih laki-laki. Tapi ada juga terlihat gadis-gadis seusianya, berjalan cekikikan bersama rekan masing-masing. Sudahlah, apalah arti mereka semua? Ia hanya menginginkan satu orang, bukan beberapa orang yang tersebut tadi.

‘Vin, dimana?’

Shilla mengirim sekali lagi pesan singkatnya pada Alvin. Dan sekali lagi, ponselnya tetap hening. Tak ada gerangan Alvin membalas. Ia berhenti sejenak seraya memandangi tampak depan ponsel. Masih hening. Lalu, ia putuskan menghubungi kekasihnya yang satu itu dan yang pasti satu-satunya. Dengan gerakan cepat, kemudian ponsel tersebut sudah menempel di sebelah telinga. Ia menjentik-jentikkan jari cemas sembari menunggu -mudah-mudahan- panggilannya dijawab. Bertepatan dengan itu, 3 orang gadis-gadis mungkin seusianya berjalan melewati. Sebuah topik yang cukup menarik perhatian mereka perbincangkan kini. Mengapa dikatakan cukup menarik? Ya, kalau tidak, Shilla tidak mungkin teralih untuk menguping daripada mengeraskan usaha agar Alvin menyahut panggilan darinya.

Ia berbalik badan dan mengikuti ketiga gadis tadi. Diam-diam ia menguping dari belakang. “Eh Alvin tumben baik banget ya? Mau diajak fotbar!” Seru yang di tengah. Ia menunjuk-nunjuk sebuah kamera yang ia pegang, menggebu-gebu. Dua lagi tak kalah heboh, mereka kemudian sama-sama berkerumun melihat-lihat hasil foto yang dielukan gadis tengah. “YA AMPUUN GANTENG BANGET SUBHANALLAH!! MIRIP KYUHYUN SUJU!!” Gadis paling pinggir heboh kembali. Dua lainnya hanya tertawa kecil mendengar itu. Dari belakang, Shilla terlihat senyum-senyum tersipu mendapati pujian untuk kekasihnya. Yeah, that’s my boy! Batinnya.

“Eh tapi sayang loh, ganteng-ganteng gak punya cewek.” Kali ini gadis terakhir, yang belum sempat buka suara tadi. Shilla mengernyit dan bersorak dalam hati. GUE! GUE! Hehe.. Ia tersenyum lagi, lebih lepas. Namun, hanya bertahan selama beberapa detik ketika gadis tengah kembali berbicara. Mengatakan sesuatu yang sangat tidak ingin ia dengan di malam ini. “Eh dia punya pacar lagi! Lo pada gak tahu?” Sahutnya agak menyombong. Kedua gadis di sampingnya menggeleng kompak. Gadis tengah menghela nafas. “Lo ada gak update sih! Dia itu pacaran sama Febby!” Katanya yang menurut Shilla sangat-sangat sok tahu. Terlalu terlihat menyombongkan diri. Shilla mendesis ngeri dan menggelengkan kepala heran. Darimana mereka bisa mengambil kesimpulan Febby adalah pacar Alvin? Atau mungkin, bagaimana mungkin Alvin mau berpacaran dengan Febby?

“Yee, sotoy lo! Itu cuma gosip kali! Udah sering muncul berita kayak gitu mah!” Rutu gadis paling pinggir. Shilla dalam hati mengacungi jempol untuk gadis itu. Gue suka gaya lo! Batinnya. Gadis terakhir hanya mengangguk mengiyakan sementara gadis tengah melengos. “Hmm lo gak tahu. Gue udah nanya sendiri sama Alvin!” Kata gadis tengah bangga seraya menunjuk wajah kedua temannya. Shilla makin heran dan mendecak tak habis pikir. Gadis itu benar-benar percaya diri, atau mungkin terlalu percaya diri. “Emang lo nanya apa? Tentang hubungan dia sama Febby? Dia jawab iya gitu?” Tanya gadis terakhir beruntun. Tapi, terlihat tak masalah bagi gadis tengah.

“Yah meskipun gak dijawab pasti, tapi, pas gue nanya itu, dia senyum-senyum gak jelas sambil garuk-garuk leher. Kayak grogi atau salting atau apalah itu namanya. Lo udah bisa nebak kan? Tanpa harus ada jawaban ‘ya’ keluar dari mulut dia!”

Deg..

Kali ini, Shilla was-was. Degup jantung melaju cepat dalam sesaat. Benarkan itu? Pikirnya. Seketika muncul bayang-bayang akan kejadian gagal kencannya bersama Alvin tempo hari, karena Febby. Hal itu justru memperparah keadaan pemompa barah dalam tubuhnya. Shilla menelan ludah cepat-cepat lalu menggeleng. Ia sekeras mungkin tidak mempercayai apa yang gadis tengah isyaratkan tadi dan sebisa mungkin tak terlalu memikirkan hal itu. Gak, gak boleh Shillaa! Lo harus percaya sama Alvin! Batinnya bertekad. Kemudian, kakinya melangkah maju lebih cepat. Menghampiri ketiga gadis yang sedari tadi ia ikuti. “Hei!” Sapanya mencoba ramah. Menutupi rasa tidak sukanya pada gadis tengah. Gadis sok tahu!

Ketiga gadis itu berhenti dan menoleh ke arah Shilla kompak. Entah hanya bagi Shilla atau memang benar adanya, ketiga gadis itu menyinisi pandangan mereka ke arah Shilla. Sabar Shill! Sabar! Ia berkomat-kamit pelan. Ingin rasanya mengelus dada tapi ditahan dulu lah sebentar. Pikirnya. “Kalian ketemu Alvin gak? Dimana?” Tanya Shilla lebih ramah. Bukannya menjawab, ketiga gadis di hadapannya justru saling berpandangan. Lalu, dengan gerakan seirama, menatapi Shilla dari atas ke bawah. Shilla yang bingung, ikut-ikutan melihat tampak dirinya dari atas ke bawah. Memang agak berantakan sih. Pikirnya.

Ketiga gadis itu menegakkan kepala bersamaan. Dalam hitungan ketiga, masing-masing mengibaskan rambut seraya melengos dari hadapan Shilla. Ketiganya sama-sama berlaku ‘sok’ dan mengabaikan Shilla begitu saja. “HAH?” Takjub Shilla. Ia geleng-geleng kepala lagi. “Uuu, kalo bukan karena sepatu gue mahal, udah gue sumpal satu-satu lo semua! Mana pake nyinisin gue, mandang-mandang gue dari atas ke bawah. Hhh, asal lo tahu, biar berantakan gini, gue tetep lebih mempesona dari lo pada! Kibas-kibasan rambu lagi? Iiih, rambut sabun colek gitu aja bangga! Nih gue nih, rambut lurus hitam berkilau-lau! Rrr..” Shilla merutu habis-habisan mengiringi kepergian tiga gadis ajaib tadi. Ia berbalik badan dan melanjutkan berjalan dengan muka ditekuk. Aksi mencak-mencak juga turut memeriahi ketekukan di wajahnya itu.

***

Sehabis mengantar Shilla, Rio melajukan mobilnya cepat menuju rumah Ify. Sekitar 20 menit waktu yang dihabiskannya di perjalanan hingga ia akhirnya sampai. Pintu depan rumah Ify dikunci. Butuh beberapa kali ia memencet bel lalu kemudian muncul sosok Amanda membukakan pintu. Mamanya begitu lega mengetahui ia sudah pulang. “Kamu, kenapa lama sih? Katanya bentar?” Rutunya sebal. Rio menanggapi cukup santai seolah sudah terbiasa dengan tingkah Amanda yang seperti itu. “Tadi ada halangan sedikit.” Ia melengos masuk ke dalam tanpa peduli dengan hasrat mengomel dari Amanda yang masih bersisa banyak. Amanda sendiri menggantinya dengan gelengan kepala.

“Ify gimana?” Tanya Rio, dalam penitian langkahnya menuju kamar Ify di lantai atas. Amanda mendengus pasrah. “Kamu lihat sendiri deh!” Serahnya. Memasuki anak tangga terakhir dan sampailah mereka di depan pintu kamar Ify. Sengaja ditutup agar nyamuk tak masuk ke dalam. Tangan Rio bergerak percaya diri memutar gagang pintu dan..kosong. Tidak ada orang di dalam. Tempat tidur pun hanya tinggal seprei dan selimutnya saja. Sedang orang yang seharusnya berbaring disana malah menghilang. “Loh, Ify mana Yo?” Tanya Amanda bingung. Rio menoleh sama bingungnya. Justru paling bingung di antara mereka berdua. “Lah, yang daritadi disini kan Mama. Rio mana tahulah!”

Amanda mempercepat jalan masuk ke kamar Ify mendahului Rio. Gerak-geriknya tergesa-gesa. Persis seperti seorang ibu yang panik anaknya hilang. Yah mungkin Amanda sudah menganggap Ify sebagai anaknya juga, atau calon anak mungkin. “Ify! Ify!” Belum ada sahutan. Amanda menoleh singkat ke arah Rio. Rio sendiri hanya mengedikkan bahu. Saat itu juga, keluar seorang gadis mungil dari balik pintu kamar mandi, berdiri dengan tangan kanan menopang badan di dinding sementara tangan kiri memegang perut. Badannya meringkuk seperti menahan sakit. “Ify!” Kaget Amanda. Ia berhambur menghampiri Ify yang masih setia diam berdiri. Rio mengekor Amanda dari belakang. Sepertinya, ia khawatir juga.

Hkk!

Ify tiba-tiba mengatup mulut. Tingkahnya seperti tersedak sesuatu. Ia buru-buru berbalik badan dan masuk ke kamar mandi kamarnya kembali. Amanda cemas dan ikut masuk ke dalam begitu pula Rio. Ah, kalau pemuda ini agak susah ditebak. Air mukanya antara bingung, aneh dan cemas sekaligus. Bisa dibayangkan?

“HUEEK!” Oh, ternyata Ify ingin muntah bukan tersedak. Penutup closet di kamar mandi dibukanya segera. Maka tumpah-ruah lah segala unek-unek dalam perut. Tak tersisa sedikitpun, semuanya keluar. “Kamu gak papa, Fy?” Tanya Amanda khawatir. Lucunya, ia hanya memandangi Ify dari belakang. Tanpa ada ancang-ancang mendekati gadis itu. Rio mendengus dan geleng-geleng kepala. Kenapa disaat seperti ini, malah dirinya yang memiliki rasa kepekaan lebih? Biasanya kan Amanda, yang selalu berkoar-koar memaksanya melakukan ini-itu.

Lantas Rio melangkah menyalip dan duduk dengan sebelah lutut menopang badan. Tangannya kirinya terangkat dan mendarat mulus di punggung Ify. Ia menepuk-nepuk dan mengusap bagian tersebut pelan. Semoga saja bisa membantu ‘kesuksesan’ acara gadis itu. Ify ‘berhenti’ sejenak dan beralih pandang ke samping, ke Rio, pelaku penepukan yang juga tengah memandangnya. “Udah?” Tanya Rio agak halus. Meskipun masih kedengaran datar juga. Dipandang apalagi diajak berbicara seperti itu, malah menambah hasrat ingin muntah Ify. Kepalanya tertoleh kembali ke arah closet. “HUEEK!” Dalam hati, ada penyesalan terhadap apa yang ia lakukan. Ada kekhawatiran bahwa Rio akan ilfeel melihatnya seperti ini, muntah-muntah. Heleh-heleh, cintaku nyungsep di closet ini mah! Batinnya.

Nafas Ify terengah-engah. Perutnya lebih enakan dibanding tadi. Rasanya plong! Begitulah menurutnya. Hampir berjam-jam tidurnya terganggu dengan perut tak beres dan sekarang semuanya seperti menemukan arah masing-masing. Benar-benar lega! “Udah?” Tukas Rio. Tangannya masih menepuk-nepuk punggung Ify. Tepukannya itu begitu ajaib. Dapat menembus bahan baju yang Ify pakai, masuk ke daging pembungkus tulang rusuk hingga berhasil mencapai bagian yang paling dalam dan vital. Jantung! Jantung Ify seperti ikut merasakan tepukan-tepukan yang sebenarnya santai. Namun, rupanya berdampak gemuruh di dalam sana. Tepukan itu mencapai kekuatan seorang binaragawan. Begitu keras dan menghantam. Tapi masih dalam ambang yang positive. Intinya, berhasil membuatnya berdebar-debar lah.

Ify mendesah pasrah. “Mungkin..” Katanya tak bertenaga. “Cuci mulut lo dulu!” Suruh Rio seraya menyodorkan segelas air yang diberikan Amanda. Di belakang, Amanda geleng-geleng kepala. Maksudnya memberikan segelas air itu untuk diminum Ify bukan untuk kumur-kumur lalu selanjutnya dibuang begitu saja. Rio Rio! Rutunya membatin. Ify mau tak mau menurut. Ia menerima gelas dari Rio dan melakukan apa yang diperintahkan padanya terhadap isi dalam gelas tadi. Setelah selesai, dengan dipapah Amanda, Ify berjalan keluar dan mengambil posisi tidur seperti sebelumnya. Amanda begitu hati-hati memperlakukannya. Membuat Ify geli sendiri dan secara tidak langsung mengingatkannya pada Gina, Mamanya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan perhatian seperti ini, dari seorang yang notabenenya adalah seorang ibu. Dengan jelas, Ify dapat menangkap sirat-sirat kasih sayang dari mata Amanda. Bahagianya Rio memiliki ibu seperhatian itu, bukan? Pikirnya.

Diam-diam, ia tersenyum tulus sekaligus bahagia ke arah Amanda. Bahkan tingkat kebahagiannya mampu melebihi kebahagiaan yang sempat menghinggap ketika Rio menepuk-nepuk punggungnya. Tanpa sengaja, Rio menyadari binar-binar yang terpancar di mata Ify itu. Sayangnya, ia menangkap sinyal-sinyal yang berbeda dari yang sebenarnya. Ia mengira Ify merasa senang Amanda begitu memperhatikannya seperti mendapat restu untuk dapat bersanding dengannya. Ia melengos melihat itu. Rasa khawatirnya berkurang dan mulai disamarkan oleh rasa jengkel mendalam. “Tante ke belakang dulu, nyiapin bubur buat kamu.” Amanda tersenyum ramah membalas senyum diam-diam Ify tadi dan langsung melenggang keluar kamar menuju dapur seperti katanya.

Tinggalah Rio dan Ify yang masih setia pada sikap awal. Rio masih jengkel pada baik Ify maupun Amanda. Sementara Ify, senyum lebih merekah membentang di bibirnya saat ini. Ia sangat senang, benar-benar senang. “Kenapa lo senyam-senyum?” Tanya Rio heran. Tangannya bersila di depan dada diiringi pandangan tak suka darinya. Ify tak begitu peduli dan terus saja merekahkan senyum. Biarlah kesenangan menguasainya hari ini. Jangan pikirkan dulu hal-hal pencuat emosi dan penurun kadar mood. Pikirnya.

Tak lama, Amanda datang dengan semangkok bubur di tangan. Masih setia dengan senyum seperti terakhir kali Ify lihat. “Kamu mau makan sendiri atau disuapin?” Sekilas matanya mengerling ke arah Rio, menggoda baik Ify maupun pemuda itu. Rio mendengus. Lagi-lagi, ckck! Batinnya. Ify tersenyum lebih lebar. “Disuapin aja, tangan Ify lemes hehe..” Katanya yang makin mengeraskan dengusan Rio. Amanda terkekeh lalu menyerahkan mangkok bubur tadi pada Rio. Rio tak langsung menerima, ia menatap mangkok bubur itu tak ingin. “Kok..” Gantungnya. Ify melihat itu lantas buka suara. Menyerukan sesuatu yang sama sekali tak Rio duga sebelumnya. “Emm tante, kalo Tante yang nyuapin..emm..tante gak..keberatan?” Tanyanya hati-hati.

Rio melirik Ify. Ia mulai menerka-nerka apa isi dalam kepala gadis itu. Apa rencananya sekarang. Yang ia lihat, Ify bersungguh-sungguh dalam ucapannya seperti benar-benar mengharapkan Amanda menyanggupi permintaannya meski ada rasa takut dan tak enak hati dari bahasa tubuh gadis itu. Hah? Sejenak, ia harus memendam rasa ingin tahunya dalam hati. Amanda memandang Ify dan tersenyum lagi. “Tentu gak masalah, sayang! Tapi beberapa suap aja ya, soalnya tante harus ke dapur lagi. Tante lagi ngerebus air buat teh kamu.” Katanya dengan senang hati. Ify pun meresponnya dengan -sangat- senang hati pula.

Ia menggeser tubuhnya antusias setelah berhasil mencapai posisi duduk. Yap, dengan keadaan lemah, tentu ia harus berusaha extra agar dapat duduk normal dan bersandar. Amanda lalu duduk di tempat yang disediakan Ify untuknya. Ia menangkup sesendok bubur dan menghembusnya pelan. Masih ada uap yang keluar, tandanya bubur itu masih cukup panas. Setelah merasa sudah hangat, ia pun memulai kegiatan menyuapi seperti yang Ify pinta. “Aa!” Katanya pada Ify, menyuruh gadis itu untuk membuka mulut. Tak butuh waktu lama, sesendok itu dilahap Ify habis. Rio heran sendiri melihat itu. Sikap Ify sangat berbeda dengan penuturan Siti beberapa jam lalu. Ify susah makan dan hanya Ferdi yang bisa membuatnya menurut. Lalu, sekarang apa?

“Kamu disuapin Rio dulu ya, Tante mau cek air di dapur.” Kata Amanda dan menyerahkan mangkok bubur Ify pada Rio. Ify mengangguk tapi sebelum itu, ia menahan Amanda sebentar. “Tante..” Amanda menoleh dan menatapnya. Menunggunya kembali berbicara. Ify menarik nafas singkat, mempersiapkan mental untuk mengatakan sesuatu yang cukup sakral menurutnya. “Tante...jadi Mama Ify ya?” Pintanya tulus. Ia meraih kedua tangan Amanda dan menggenggamnya erat. Rio dan Amanda sama-sama kaget. Terlebih Rio. Sungguh, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Ify. Gadis itu menurutnya sudah merasa di atas angin. Seenaknya dia berkata seperti itu. Apa maksudnya? Dimatanya, Ify seakan sangat terobsesi untuk menjadi bagian dari keluarga dan hidupnya.

Amanda diam. Ia menatap dalam mata Ify. Menyelami betapa besarnya keinginan gadis itu agar ia segera mengangguk, tersenyum dan memeluknya hangat. Amanda perlahan duduk kembali dan bergantian menggenggam tangan Ify. Dilepasnya tatapan kasih sayang pada gadis itu. Yang sepertinya membuat gadis itu teramat haru. “Gak usah kamu minta, Tante tentu mau, pengen banget malah! Kamu nyolong start duluan, Tante baru mau bilang itu sama kamu, hehe..” Ify seperti melayang di atas awan. Hatinya tersapu oleh kabut-kabut lembut pembentuk benda putih itu. Diterbangkan kesana-kemari oleh kupu-kupu cantik yang lewat disana. Kupu-kupu spesial bukan seperti yang sering beterbangan di alam. Kupu-kupu tersebut seperti menuntun hatinya ke danau kebahagiaan tak bermuara. Ya, ia sangat bahagia mendengar kata-kata Amanda barusan.

“Mama..” Katanya tertahan, menahan tangis yang dapat dengan mudah pecah olehnya. Ia memeluk Amanda erat dengan senyum yang mungkin akan sulit dipudarkannya hari ini. Rio, kesekian kalinya mendengus. Gondok, sepertinya ia dianggap sama dengan lemari sekarang. Lemari transparan tapi, makanya tak terlihat. “Ehm..” Dehemannya seolah menyadarkan kedua insan yang sedang berpelukan hangat di depannya. Memecahkan suasana mengharu-biru yang diendap dua insan itu, antara Amanda dan Ify. “Aduh jadi lupa kan, ya udah tante ke dapur dulu. Yo, kamu gantian nyuapin Ify!”

“Males!” Cibir Rio pelan, namun masih terjangkau oleh telinga Amanda. Delikan wanita paruh baya itu membuatnya menurut juga. Amanda segera keluar. Lagi-lagi meninggalkan Ify dan Rio berdua, hanya berdua. Rio menatap mangkok di tangannya tak berniat. Menyuapi Ify seperti suatu hukuman baginya. Lantas ia duduk hendak melanjutkan kegiatan menyuapi gadis itu oleh Amanda tadi. mengingat jika tidak segera ia lakukan, Amanda bisa mengoceh panjang nanti. “Buka mulut!” Ketusnya. Ify membuka mulutnya segera dan menerima sesuap bubur dari Rio. Ia jadi teringat kembali masa-masa ia disuapi dulu, saat ia masih berumur 2 tahun lebih, saat Gina masih bisa bersamanya. Lalu, pikirannya berlabuh pada saat Amanda menyuapinya. Ia tersenyum lagi karena itu.

Tak urung, Rio mendesis kesal. “Kenapa lo senyam-senyum? Harus lo ingat, yang tadi Mama lakuin, gak akan ngaruh sama gue.” Katanya tegas. Sempat bibir Ify melurus namun kemudian melengkung lagi. Sekali lagi, akan sulit memudarkan senyumnya hari ini. “Gak, gue cuma seneng aja.” Sela Ify. Rio menaikkan sebelah alis. “Seneng Mama jadiin lo anaknya? Hah?” Katanya sarkastis. Ify dengan cepat mengangguk. “Gue seneng banget, Yo. Hehe..” cengir Ify. Rio tak ingin berceloteh panjang dan memilih diam. “Gue..kangen Mama.” Kata Ify tiba-tiba lirih. Tangan Rio yang tadi bergerak-gerak mengaduk mendadak berhenti. Kepalanya tertoleh pada Ify. Gadis itu tampak tertunduk. Ooh, jadi dia kangen Mamanya? So, gue salah duga lagi?

“Gue suka iri sama Via, Shilla, Agni termasuk lo..”

“Iri?” Tukas Rio. Pemuda ini mulai tertarik pada apa yang dibicarakan gadis di depannya. Ify mengangguk mantap. “Gue pengen punya Mama panikan, cerewet dan care banget kayak Mama Via. Mamanya Shilla juga, yang suka ngingetin anaknya, tenang dan bisa bikin anaknya tenang pula. Kalo Agni, gue sama irinya. Dia punya Mama yang gak peduli sama status dan hubungan darah. Sayang banget sama dia, meskipun dia bukan anaknya. Dan lo, lo tahu gak sih seberapa besar gue iri sama lo? Gue iri banget-banget-banget sama lo!”

“Hah?” Ify terkekeh kecil. Ia menyelipkan beberapa helai rambutnya yang keluar ke belakang telinga. Tiba-tiba pandangannya berubah sayu. “Mama lo mirip sama Mama gue sih..” Kata Ify..dalam. Menerawang matanya pada masa-masa paling dinantikan siaran ulangnya seumur hidup. Masa-masa kebersamaannya bersama Gina. Ia menarik keluar tangannya yang semula tersembunyi dibalik selimut. Ia pun baru sadar, seharusnya hari ini ia pergi ke rumah sakit. Selain menjenguk Ferdi, ia juga harus singgah di ruang perawatan. Jahitan di tangannya belum dibuka sampai sekarang. Dokter menyuruhnya untuk kembali 3 sampai 5 hari setelahnya. Dan ini sudah memasuki hari ketiga. Ia seharusnya datang ke rumah sakit, bukan?

TK!

Jentikan jari Rio menarik Ify dari renungan singkatnya tadi. Ia beralih menatap pemuda yang ‘menganggunya’ itu. Pemuda tersebut menatapnya kian aneh setelah tadi raut wajah yang ada sudah terlihat aneh. “Jangan diam saat gue udah memusatkan diri buat dengerin lo ngomong!” Rio menyuap kasar sesendok bubur pada Ify. Ify sendiri hanya tersenyum menerima itu. Entahlah, untuk hari ini, stok kekesalannya sedang kosong. Lihat kan? Sudah berapa kali Rio mengajaknya perang? Dan sudah berapa kali itu ia hanya diam, kalau tidak tersenyum atau mungkin lebih memilih mengabaikan saja. “Ngomong-ngomong, apa yang mirip dengan nyokap lo dari nyokap gue?” Tanya Rio kemudian.

Ify mendengar itu berpikir sebentar. Menelan pelan-pelan bubur yang bergumul di mulutnya. Ia kemudian kembali melihat tangan, tangannya yang sempat terluka kemarin. “Dulu, gue pernah keiris pisai disini..” Tunjuknya tepat di tengah-tengah. Rio masih diam, menunggu waktu yang tepat untuknya kembali bertanya. “Lucunya, gue yang luka tapi malah Mama yang keringat dingin dan panik gak jelas. Yah, kayak Mama lo sama gue hehe..” Ify menyeringai kecil seraya tetap memfokuskan lensa mata pada bayangan telapak tangannya. Tak sampai hitungan detik, senyumnya melirih. “Tapi..bekasnya gak ada lagi.. Setidaknya kan, di tubuh gue, harus ada sesuatu yang bisa buat gue selalu inget Mama. Tapi..yah..mau bilang apa..”” Katanya, pelan sekali. Ia tak cukup ikhlas menerima luka baru di tangannya itu. Karena luka itu akan memunculkan bekas baru pula. Melenyapkan bekas luka yang lama yang sama sekali tak diinginkannya untuk dilenyapkan.

Rio baru saja mengangkat sendok hendak menyuapi lagi. Kemudian geraknya merenti dan ujung sendok yang ia pegang kembali tertanam di dasar bubur. “Makanya, waktu Mama lo gak marah gue panggil Mama, itu rasanya seneeeng banget!” Dan sekarang, binar kebahagiaan kembali menyibak bagian pupil mata Ify. Bibirnya mengulum senyum lebar dan tentu saja bahagia. Rio lebih memilih menunduk seakan tak peduli padahal sejujurnya ia begitu peduli. Ia meniup-niup sesendok bubur yang ditangkupnya. “Lo harus jaga Mama lo baik-baik!” Ujar Ify seraya menepuk-nepuk sebelah pundak Rio pelan. Rio lalu menatap Ify dalam diam begitu pula Ify. Ify sendiri tanpa sadar dapat mengontrol kerja jantung dalam tubuhnya. Sedikit-sedikit, ia mulai menikmati setiap aksi tak wajar yang berlangsung di dalam sana.

“AAAA!!!”

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak histeris dari bawah. Rio dan Ify sama-sama kaget dan lebih kaget lagi dengan Amanda yang berlari panik masuk ke kamar Ify. Tangannya saling menggenggam dan bergetar. Badannya bergidik antara jijik dan ngeri. “Ma! Ma! Kenapa?” Tanya Rio bingung. Ia mengguncang pelan bahu Amanda, berusaha menyelamatkan Mamanya dari kepanikan. Untunglah, setelah melihatnya, Amanda berubah agak tenang. “Mama..kenapa?” Tanya Ify, mulai membiasakan diri memanggil Amanda dengan sebutan ‘Mama’. Amanda menarik nafas, menghembusnya, menarik nafas, menghembusnya lagi dan begitulah selanjutnya. Ia kemudian menatap Rio takut. “Ada ular! Abu-abu, gede dan..iiiih jijik pokoknya. Serem!”

Rio mengernyit tak percaya. Masa sih rumah Ify bisa kemasukan ular? Rumah Ify kan tidak berdekatan dengan hutan? Semak-belukar pun tak terlihat sepanjang penglihatannya mengamati rumah ini. Sementara Ify, gadis ini berbeda sendiri. Ia tidak bingung, tidak panik dan tidak ketakutan juga. Ia justru terkekeh akan penuturan Amanda. “Warna kulitnya abu-abu?” Tanyanya santai. Amanda mengangguk. “Badannya gede?” Amanda mengangguk lagi. “Terus, agak panjang dan Mama nemuinnya di dapur?” Tanyanya terakhir kali. Amanda mengangguk untuk ketiga kalinya. Ify menganggukkan kepala dan tersenyum. “Oh, itu Ipi..” Katanya lagi.

Amanda dan Rio menatapnya bingung sekaligus penasaran. “I..pi?” Tukas Amanda. Ify mengangguk mantap dan tersenyum kembali. “Iya, Ipi. Ular peliharaan Ify, hehe..” Cengirnya.
“HAH?!” Ify tersenyum kikuk melihat keterkejutan dua anak-beranak di depannya sambil garuk-garuk kepala. Ada yang salah? Pikirnya.

***

Tap......tap......tap.....

Langkah Shilla terlihat pelan sekali. Berkali-kali nafas dihunusnya membuat dadanya naik turun. Hatinya makin tak tenang. Jantungnya makin berisik. Pikirannya meracau. Tak bisa dibuangnya jauh-jauh bayangan-bayangan buruk akan Alvin dan Febby, lebih-lebih akan hubungannya dengan pemuda itu. Matanya begitu nanar. Pandangannya tak tentu. Bukan tak ada objek yang mampu memikat indra perhatian gadis ini. Ada. Ya, tentu saja ada. Bahkan objek itu lebih dari sekedar memikat. Ia seperti magnet yang menemukan medannya pada objek itu. Alvin. Ya, Alvin.

Dilihatnya kini pemuda itu berbeda jauh dari apa diduganya. Bukan marah, bukan sedih, bukan kecewa. Cemas apalagi. Pemuda itu tampak biasa saja, lebih dari biasa mungkin. Wajahnya cerah, senyumnya sumringah serta sesekali ia menyeringai seru kepada gadis-gadis yang mengerubunginya. Ia sedang meladeni para penggemar yang ingin meminta berfoto bersama. Ia tak segan memeluk bahu gadis-gadis itu. Dan semuanya tertampak jelas di mata Shilla. Hanya saja, bukan itu yang membuatnya semakin kacau. Ya, memang, hal-hal itu sedikit banyak menambah kegalauannya saat ini. Tapi, mungkin tidak berpengaruh cukup besar. Bukan menjadi penyebab utama.

Langkahnya terasa makin gontai. Ia teringat akan pesan Alvin yang menuntutnya datang kemari. Ia harus tampil cantik! Tapi, bagaimana sekarang? Bahkan berganti baju saja tidak, sisiran, memakai bedak, berdandan. Halah! Sekali lagi, tidak sama sekali. Rambutnya kusut dan kelihatan lumayan berantakan. Bajunya juga kusut. Jelas, bajunya ia bawa tidur. Melihat gadis-gadis yang bersama Alvin tampil begitu menawan, setidaknya ‘rapi’, makin menciutkan nyalinya untuk segera menemui kekasihnya itu saat ini juga. Astaga, apa yang harus ia lakukan?

***

Alvin masih berputar-putar alias mondar-mandir menunggu gadisnya datang, Shilla. Sekarang sudah jam 10-an lebih dan sampai saat ini belum dilihatnya wajah Shilla ada di tempatnya berada, Stadion Maming. Apa gadis itu tidak mau datang? Atau dia sudah dalam perjalanan, tapi sesuatu terjadi pada gadis itu dan...Astaga! mikir apa gue? Batin Alvin. Berulang kali pikiran buruk datang dan berulang kali pula pikiran-pikiran itu disentilnya jauh-jauh. Okey, positive thingking, gadisnya sedang dalam perjalanan, terjebak macet sehingga membutuhkan waktu lama untuk sampai.

Drrt..

From : My Shilla
Vin, dimana?

Nah! Akhirnya, dia pasti sudah sampai! Batinnya girang. Hanya menunggu beberapa menit.

Drrt..drrt..

Ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Siapa lagi kalau bukan Shilla pelakunya. Lantas dibiarkan saja benda penyalur suara itu berdering. Ia sengaja membuat gadis itu merasa terabaikan. Ada perasaan bersalah sih, tapi bolehkan ia sekali-sekali merajuk pada kekasihnya itu? hehe, selama ini, ia yang selalu membuat gadisnya kesal. Makanya, ia hanya ingin sekedar memberikan pengetahuan kepada Shilla, bagaimana perasaan ketika orang yang kita kasihi tak ingin diajak bicara. Ketika orang yang kita kasihi mengabaikan apa yang kita lakukan. Ketika orang yang kita kasihi bersikap acuh tak acuh bahkan sampai pada tingkat tidak peduli. Intinya, ia hanya ingin Shilla tahu bagaimana perasaannya saat gadis itu dalam masa ngambek.

Tring!

Tak berapa lama, muncullah sosok yang sangat ditunggu-tunggunya sedari tadi. Shilla berjalan linglung seraya menoleh ke kanan-kiri. Seperti mencari sesuatu. Dirinya. “Vin, minta foto doong!!” Sekumpulan gadis-gadis yang tak tahu darimana, kapan mereka datang, seketika berdiri melingkar menghadapnya. Cukup membuat pandangannya terhalangi untuk mengamati pergerakan gadisnya. Namun, karena mereka juga, sebuah ide jail tersirat dalam benaknya. Karena hari ini, dirinya yang -pura-pura- dalam masa ngambek, maka membuat Shilla makin gondok, merasa bersalah dan kesal adalah misi terbesarnya di malam ini. Gadis-gadis ini jalannya. Melalui gadis-gadis ini. “Boleh!” Katanya dengan senang hati.

Ia melirik ke arah Shilla yang kini sudah menyadari ada dirinya disana. Ia tersenyum senang. Ditariknya gadis yang pertama kali buka suara dan meminta berfoto dan dirangkulnya. Gadis itu tampak kaget namun akhirnya tersenyum juga. Tentu sangat beruntung mendapatkan posisi berfoto yang seperti itu. apalagi dengan seorang Alvin. “Ayo di foto!” Kata Alvin antusias. Sang fotografer alias yang menjadi tukang foto mereka mengangguk. Dalam hitungan ketiga, foto tersebut selasai diambil. Alvin melirik ke arah Shilla yang sekarang terlihat diam menatapnya. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa gadis itu cemburu? Hehe, bagus lah! Pikirnya.

Tiba-tiba saja Shilla berbalik badan. Gadis itu menunduk sebentar lalu berjalan pelan. Berjalan meninggalkannya bersama gadis-gadis tadi. Yah yah? Kok balik? Batinnya panik. “Makasih Alvin!” Kata salah satu gadis itu. Mereka langsung pamit dan bergegas pergi. Untungnya, mereka tidak berjalan ke arah dimana Shilla berada. Bisa repot nanti. Ia akan ditambah susah untuk menghampiri gadisnya sendiri. Karena di mata gadis-gadis itu, belum ada satu gadis beruntung manapun yang berhasil mendapatkan posisi teristimewa dalam hatinya. Alvin membiarkan dengan sangat ikhlas gadis-gadis tadi berlalu. Ia kemudian berlari mengejar gadis yang tidak diikhlaskannya berlalu.

***

Shilla berhenti. Apa gue balik aja? Batinnya bimbang. Diamatinya Alvin sekali lagi. Masih setia memajang senyum sumringah. Okey, pemuda itu sepertinya tidak membutuhkan dia untuk datang. Gue pulang! Putusnya. Perlahan, ia berbalik badan dan melangkah gontai ke depan. Meninggalkan Alvin dengan gadis-gadis. Selamat bersenang-senang! Batinnya lirih. Meski begitu, ia berharap besar Alvin melihatnya. Lalu kemudian mengejarnya dan tentu saja menahannya untuk pergi. Setidaknya menunjukkan sikap bahwa ia masih dibutuhkan. Aiiss, kenapa dia sekacau ini? pikirnya.

“Lo masih niat dateng?”

Suara itu..suara yang sedari tadi ingin didengarnya. Yang pemiliknya sedari tadi ingin ditemuinya. Yang sedari tadi dihubungi namun mengabaikan segala upaya apapun yang ia lakukan untuk membujuk orang itu. Alvin. Akhirnya! Batinnya. Ia berbalik badan pelan. Dilihatnya seorang pemuda berwajah oriental, tersenyum miring yang tak indah menurutnya. Ya jelas, senyum itu bukan senyum yang ia harapkan. Itu senyum tak tulus dan tak menunjukkan kebahagiaan. Pemuda itu berdiri dengan kedua tangan tersembunyi di balik saku celana. Pemuda itu berdiri sekitar beberapa meter darinya.

Tak bisa ditahan betapa leganya ia saat ini. Matanya mengilau alias berkaca-kaca. Hanya butuh waktu sebentar, dan dalam sekejab pipinya akan basah. “Alvin..” Lirihnya. Ia tak tahu harus bicara apalagi. Setelah sekian hari mengendap kekesalan, berkali-kali masalah sepele menggoyah hubungan harmonis itu dan kini mungkin akan menjadi puncaknya. Rasanya, ingin segera pemuda itu merengkuhnya, mendekapnya saat ini juga. Memeluknya hangat dan membuatnya tenang, meyakinkan bahwa setelah ini tak akan ada masalah lagi yang berani bertamu dalam hubungan mereka.

“Lo telat!” Datar Alvin. Shilla begitu kesal pada pemuda ini. Sudahlah, masihkah pemuda itu membutuhkan waktu untuk berbasa-basi? Tak tahukah dia seberapa takutnya ia sekarang? “Vin..” Kata Shilla memelas. Niatnya untuk menjelaskan panjang lebar entah kenapa lenyap. Pikirannya sekarang hanya menunggu saat Alvin untuk segera memeluknya. Ia sangat merindukan pemuda itu. Tentu saja. “Gue bilang apa sama lo, lo harus tampil cantik. Kenapa lo berani tampil urakan kayak gini di hadapan gue?” Kata Alvin kemudian. Ck, sejak kapan kecantikan menjadi pertimbangan nomor satu di pikiran lo? Hah? Batin Shilla kesal.

Shilla hanya diam. Sudah jelas, apapun yang akan ia katakan saat ini tak akan berguna. Biarkan sajalah pemuda di hadapannya puas berceloteh. Pemuda itu kemudian maju mendekat dan kini hanya berjarak sekitar 15 cm kurang dengannya. “Lo gak cantik!” Tudingnya. Shilla diam dan menunduk. Ya, cela aja gue terus! Iss..

“Sayangnya gue gak peduli..” Lanjut Alvin. Saat itu juga wajah Shilla terangkat. Benarkah apa yang ia dengar? Alvin tidak peduli ia cantik atau tidak malam ini? pliss, ulangin sekali lagi! Batinnya penuh harap. Matanya makin menyilau saja. Bahkan sudah menetes satu butir di pipinya. “Yeah, gue tetap aja mikirin lo, nungguin lo dengan cemas disini, gak peduli sampe 1 harian penuh gue nunggu lo datang. Dan ketika lo pergi, gue merasa gak ikhlas banget itu terjadi....okey, gue tetep cinta sama lo. Dalam keadaan apapun selama lo adalah milik gue.”

Tes..

Satu lagi butiran itu kembali jatuh. Pipi Shilla benar-benar basah. “Alvin..” Rengeknya manja. Alvin terkekeh geli dan langsung saja menarik tubuh mungil sang gadis. Lantas memeluknya hangat. What a beautiful night this is!

***

Naaah, gimana? Sudah saya bilang gak memuaskan. Tapi, terimakasih bagi yang sudah mau membaca =)

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)