hahaha gue lupa nge post yang ini disini maap maap x_x yowes, sok atuh dibaca dan semoga dinikmati :)
***
“Aku suka
sama kakak, hehe..”
Krek!
Seperti
bunyi sesuatu yang patah. Ya, ada yang patah, disini! Hati gue! Dan gue gak
tahu harus pake lem yang mana.. lirih Ify dalam hati. Meski baru sebaris
kalimat itu yang ia dengar, dan mungkin hanya sebaris itu yang sanggup ia
dengar nantinya, akan tetapi kekuatan penghancurannya lebih-lebih dari bom atom
nuklir di hirosima-nagasaki. Apa dengan itu tandanya...ia akan melepas Rio?
secara selama ini, meski baru beberapa hari ini ia melakukan pengamatan dan
penilaian, Dea jauh lebih baik darinya. Jauh lebih tahu siapa Rio, bagaimana
Rio dan tentunya bagaimana hati Rio.
Tapi, apa
ia sanggup melepas Rio? yang sudah berhasil ia ‘sentuh’ dengan susah payah? Apa
benar ia sanggup? Mungkin...
***
ENGGAK!
Siapa bilang dirinya yang harus melepas?! Rio sudah memberinya kebebasan dan
harapan agar pemuda itu jatuh hati padanya. Bukan Dea. Sekali lagi, bukan Dea!
Tapi Ify. Tapi gue! Dengan keyakinan yang berusaha dipenuhkan, Ify keluar dari
persembunyian yang sudah ditempatinya beberapa menit lalu. Ia muncul dari balik
rak buku menuju rak buku di depannya, tempat Dea dan Rio berada, -yang menurut
Ify- tempat dimana Dea berusaha menyatakan cinta.
“Gak
bisa!” Segera Ify menyahut. 2 orang di hadapannya kini sontak menoleh dan agak
kaget juga akan kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Rio mengernyit tak
mengerti. Gadis ini kembali berulah, pikirnya terhadap Ify. sementara Dea, air
mukanya kelihatan shock dengan adanya Ify tersebut. Nafas Ify sengal. Sebagian
keningnya dicucuri keringat. Entah kenapa, berbicara tegas di hadapan Rio dan
Dea seolah membutuhkan energi besar hingga dirinya tampak seperti orang
kelelahan saat ini. tapi, tidak masalah. Inilah yang namanya perjuangan,
perjuangan cinta! #halaah
“Ka..kakFy?”
ujar Dea terbata. Sepertinya ia agak takut. Ify tidak peduli. Justru ketakutan
Dea yang ia butuhkan. Ketakutan yang dapat membantunya membuat Dea mengerti
maksud dan tujuan dirinya muncul tiba-tiba di hadapan gadis itu. memperjuangkan
Rio. “Rio gak suka sama kamu! Rio itu..” Belum sempurna ia berbicara, tiba-tiba
Rio memotong. “Fy!” wajar pemuda hitam manis itu bersuara. Jika dibiarkan,
mulut Ify dapat dengan terbuka mengatakan apa yang tidak tepat Ify ucapkan
baginya. Ify bisa saja memberi tahu Dea hubungan sebenarnya antara dirinya
dengan gadis itu. mereka dijodohkan.
Seolah
diberi sinyal pemberitahuan, Ify lantas mengatup mulut. Namun, tekadnya muncul
kembali. Perjuangannya akan Rio belum selesai. Dea harus segera dijauhkan! Tekadnya.
“Rio ga suka sama kamu, meski dia pernah terlalu cinta sama kakak kamu, tapi
itu bukan kamu, itu tetap kakak kamu. Gak ada yang namanya turun-temurun dalam
suka-sukaan apalagi cinta-cintaan. Kak Rio sendiri udah ngaku kalau dia suka
sama kakak, dia yang nyuruh kakak buat memperdalam rasa sukanya itu ke kakak.
Dan sekali lagi, bukan kamu. Kamu gak bisa. Dan Rio juga gak bisa. Gak akan
bisa.”
Telak.
Dengan lancar Ify mengutarakan apa yang bahkan tidak ia pikirkan sama sekali.
Ia sempat tertegun sebentar menekuri kehebatannya barusan. Kata-kata Ify
-mungkin- menyadarkan Dea bahwa kata-kata itu terlalu kejam dan bahkan ikut
menyadarkan Ify bahwa memang apa yang ia katakan adalah senjata mematikan bagi
gadis –mungkin- lugu dan lembut seperti Dea. Terbukti dengan setetes air mata
yang muncul ke permukaan pipi gadis itu. bibirnya pun bergetar. Ia menutup
mulut dengan tangan sambil menoleh tidak percaya ke arah Rio maupun Ify.
“Permisi
kak..” lirih Dea, suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ia pergi begitu
saja dari hadapan Rio dan Ify. Melihat Dea yang pergi sambil menangis seperti
itu, membuat Ify merasakan perasaan separuh-separuh. Separuh dari dirinya
merasa lega, karena bisa dijamin Dea tidak akan punya minat lagi mengejar Rio.
namun, separuh lagi merasa iba, merasa bersalah bahkan menyesal sekaligus.
Menurut bagian itu, ia terlalu dini mengambil keputusan. Siapa tahu tadi Dea
bukan berniat mengungkapkan rasa cinta. Melainkan hanya bergurau ringan dengan
Rio disela-sela belajar.
Astaga! Benar
juga! Kalo Dea sebenarnya cuma lagi becanda sama Rio gimana? Tadi kan gue lihat
mereka berdua ketawa-ketawa? Ya Tuhaan!! Keringat Ify bercucuran lagi.
Ketakutan itu berbalik kepadanya. Ia takut, ia telah salah langkah. Dan
kesalahannya ini sepertinya akan menimbulkan efek yang tidak sembarangan. Tentu
saja tidak baik dan sangat-sangat tidak baik untuk serta baginya. Semua itu
terlihat jelas ketika ia bergeser pandangan ke arah Rio yang menatapnya dengan
tajam, dingin, lebih dingin dan lebih menakutkan dari Rio yang biasanya. Lebih
menyakitkan dari rasa sakit yang sudah biasa ditorehkan pemuda itu padanya.
Ify menegut
lidah susah. Ia merasa tidak punya lidah lagi sekarang. Sementara Rio, sebelah
tangannya mengepal dan lantas mendesah begitu kesal. “Lo!” umpat Rio. Badan Ify
terdorong selangkah ke belakang. Ify benar-benar dibuat takut. Tangannya
langsung memilin-milin bajunya dan jika disentuhkan keduanya terasa dingin
sekali. “Apa lo....Maksud lo apa ngomong itu?! apa sedetik sebelum lo
berbicara, gak ada peringatan dari diri lo bahwa kata-kata lo itu berbahaya? Lo
terlalu kejam dengan cewek selembut Dea. Apa sih yang ada dipikiran lo? Apa gak
ada kata-kata menyejukkan di kosakata dalam kepala lo? Hah?!”
Ify diam.
takut? Bukan, bukan lagi. Ia kembali tertegun. Dari serangkaian kalimat maut
yang dikeluarkan Rio, ada satu pernyataan yang membuatnya sulit berpikir apapun
lagi. ‘lo terlalu kejam dengan cewek selembut Dea.’ Karena itu, Ify menatap Rio
dalam dan lama. Rio bingung juga dengan Ify yang tidak bersuara setelah
kejadian tadi. “Kenapa lo diem? Udah sadar dimana letak kesalahan lo?” katanya
sarkatis. Ify tersenyum hambar dan menggeleng cepat. Ia pun tertawa kecil
setelahnya.
“Enggak,
hehe...gue cuma bingung aja...apa gue juga lembut di mata lo, Yo? Dan karena
gue lembut, apa lo juga terlalu kejam dengan cewek selembut gue? Dan...” Ify
menggaruk-garuk bagian samping kepalanya yang tak gatal. Air mukanya persis
seperti anak kecil yang sedang kebingungan. Namun juga terlihat amat sedih.
“Kalo gue kejam....lo apa?” Yang ini kedengaran lirih namun matanya menatap Rio
yakin. Rio sendiri tak bisa berkata lagi setelah Ify menanyakan tentang itu
padanya. Hmm masa-masa rumit akan dimulai.
***
Beberapa menit
lalu, Shilla menyuruh Ify segera ke lapangan belakang. Anggota Cheers sedang berlatih
disana dan karena Ify adalah kapten maka diharuskan untuk ikut serta dalam
latihan tersebut sekaligus melatih para junior yang baru saja direkrut. 2
minggu lagi turnamen basket akan dilaksanakan. Cheers diwajibkan tampil sebagai
pembuka. Dengan waktu yang begitu dekat jedanya itu, mau tidak mau 2 minggu ini
dirinya harus meletihkan diri berlatih bersama anggota lain. Karena jika
penampilan cheers tidak cukup meriah, wibawanya sebagai kapten dimata
orang-orang akan sedikit menurun.
Sebenarnya
dulu saat pemilihan dan pemutusan siapa regenerasi kapten, ia tidak berminat
sama sekali. Dulu juga ia masuk cheers karena Shilla yang memaksanya. Gadis itu
sangat berkeinginan besar dalam organisasi ini. lelah dengan rengekan Shilla
yang mengiang kupingnya setiap hari, dengan agak terpaksa ia ikut. Meski pada
akhirnya ia lumayan menyukai cheers. Tapi tetap saja, kesukaannya itu tidak
membuatnya berkeinginan menjadi kapten. Saat itu, semua anggota menunjuknya,
bahkan Shilla, orang yang memaksanya masuk dan yang menurutnya paling
bersemangat di antara yang lain pun ikut menunjuknya. Gadis itu juga tampak
lebih bersemangat menunjuknya sebagai kapten dibanding saat memaksanya masuk
dalam cheers dahulu.
Ify sudah
berada di lapangan belakang dan terlihat Shilla kini yang memandu latihan. Jika dilihat dari kegiatan yang mereka
lakukan, ia pasti sudah terlambat sekitar 15 menit lebih. Ia lantas berjalan ke
arah agak pinggir dari tempat latihan untuk melakukan pemanasan sendiri. Tanpa
berleha-leha lagi, Ify memulai gerakannya. Dimulai dari gerakan kepala ke atas,
ke bawah, kanan dan kiri. Masing-masing dibatasi sampai hitungan 2x8.
“Permisi
kak..” Ify tertegun, mendengar sekaligus melihat seseorang yang baru saja
memanggilnya itu. seorang gadis. Tidak masalah itu gadis ataupun pemuda.
Masalahnya adalah siapa gadis itu. gadis itu adalah Dea. Untuk apa Dea mendatanginya?
Apa Dea ingin menuntutnya atas kejadian kemarin? Tapi, jika begitu, kurang
kerjaan sekali gadis itu. masih banyak waktu-waktu kosong yang lain, yang tepat
untuk Dea menemuinya.
Tapi,
tunggu dulu. Shilla sempat mengatakan padanya bahwa akan ada anggota baru 1
orang, dari anak kelas sepuluh. Apa jangan-jangan...
“Kak?”
Panggil Dea lagi dikarenakan melihat Ify yang hanya melamun. Ify bergeming dan
dengan segera kembali ke masanya saat ini. “hah? Eh ya?” gagu Ify agak bingung.
Dea menatapnya canggung. “Emm aku anggota baru disini, kak Shilla nyuruh aku
ketemu kakak.” Ify diam sebentar lalu mengangguk. Tak sengaja mata Ify
menangkap keberadaan Rio. pemuda itu juga tengah melihat ke arahnya dan Dea
sambil memantul-mantulkan bola basket di tangan. Kelihatannya hari ini Club
Cheers dan Club basket mengadakan latihan disaat yang bersamaan. Kenapa ia bisa
tidak tahu begini? Ckck..
Seketika,
terbersit hasrat ingin menunjukkan diri di depan Dea sekaligus Rio. sombong
sesekali tidak masalah lah. Lagipula ini demi harga dirinya dimata kedua insan
tersebut. Setelah kejadian kemarin, ia seolah kehilangan muka jika berhadapan
dengan Dea dan Rio. Masalahnya Rio sama sekali tidak menunjukkan sikap
mendukung terhadapnya. Pemuda itu malah menatap dingin dirinya setiap waktu
mereka bertemu. Dengan itu, dimata Dea, dirinya seolah hanya seorang gadis yang
terobsesi dengan Rio dan terlalu membanggakan diri atas Rio. Istilahnya, ia
kepedean.
“Yaudah,
kita pemanasan dulu setelah itu latih gerakan.” Ujar Ify, dibilang ramah tidak
jutek juga tidak. Dengan semangat yang tiba-tiba menyeruak, Ify memimpin
pemanasan antara dirinya dan Dea. Sesekali ia melirik ke arah Rio dan terlihat
pemuda itu geleng-geleng kepala. kemungkinan merasa heran pada apa yang sedang
ia kerjakan. Kenapa? tanya Ify dalam hati. Ah sudahlah, targetnya kan bukan
Rio, tapi Dea.
Sekitar 15
menit kemudian, pemanasan selesai. Kemudian dilanjutkan dengan latihan gerakan.
“Gerakannya ga terlalu susah. Ini cheers, bukan dance. Cheers ga butuh gerakan
rumit, tapi tenaga. Perlu ketegasan setiap kali kita gerak. Dan juga, butuh
kekompakan. Kalo kamu udah bisa gerakannya, kamu tinggal ngompakin dengan yang
lain. Cheers bakal keliatan indah kalo semuanya kompak. Kamu ngerti kan?” jelas
Ify sekaligus sebagai kata pengantar latihan privatenya bersama Dea. Dea
mengangguk semangat.
Sekilas
Ify memperhatikan gadis itu. dari wajahnya sih kelihatan dia anak baik-baik dan
penurut. Semangatnya juga tinggi. Menghargai siapa saja yang dia temui, dia
sopan. Hmm, kayaknya gue emang udah salah ngomong kemarin. Tapi... dia emang
saingan berat gue sih..
“Kak?” Ify
tersadar. Dilihatnya Dea sedang memandangnya bingung sekaligus canggung. Gadis
itu masih terhanyut akan kejadian kemarin sepertinya, pikir Ify. “Gerakan
pertama..” Ify mulai bergerak-gerak mendemonstrasikan gerakan. Tangannya
bergerak menyilang dan kadang ke kanan-kiri. Kakinya juga ikut digerakkan
sesuai hitungan. Dea memperhatikan itu begitu serius. Sesekali kepala, tangan
dan kakinya ikut bergerak pelan meniru gerakan Ify.
“Seven
eight!” Hitungan terakhir, Ify berhenti. Kemudian beralih pada Dea dan menyuruh
gadis itu menirukan gerakannya perlahan-lahan. “Gausah takut salah, baru awal
latihan juga.” Ujar Ify seolah menenangkan. Terbukti dengan senyum Dea yang
jauh lebih tenang. “Five six seven eight!” Dea kemudian mulai bergerak.
Gerakannya bagus, sangat bagus. Tak ada yang salah. Dugaan Ify bahwa gadis itu
akan mengalami kesusahan salah besar. Dengan lancar meskipun belum terlihat
pede, Dea menggerak-gerakkan tangan kepala sekaligus kakinya.
“One two
three for...five.....six..” Lama-lama suara Ify menghilang. Mengingat
hitungannya tidak lagi dibutuhkan. Dea bergerak dengan hitungannya sendiri
tanpa perduli dengan komando Ify. Mendadak, nyali untuk menyombongkan diri pada
diri Ify menciut. Dea junior yang cerdas. Ah, tapi, mungkin dikarenakan gerakan
awal adalah gerakan yang sangat amat mudah, makanya Dea bisa selancar itu.
jangan menyerah Ify! Batinnya berteriak menyemangati.
Tanpa
sengaja, matanya melihat ke arah Rio. Pemuda itu tersenyum miring. Seperti
mengejek seseorang atau bisa juga senyum bangga ketika melihat seseorang. Tapi,
siapa? Sejenak ia mengikuti arah pandangan Rio yang tertuju pada gadis yang
sedang ia latih. Dea. Ck, Dea lagi! Gerutunya membatin. Namun, tiba-tiba Rio
beralih memandangnya. Masih dengan senyum yang tadi. Kali ini sambil mengangkat
alis. Setelah itu, Rio kembali bergaul dengan bola basketnya.
Ify
mengerti sekarang. Senyum Rio itu. senyum membanggakan Dea kepadanya, senyum
mengejek ke arahnya seolah pemuda itu tahu ia sedang bertindak sombong. Tangan
Ify kembali mengepal, namun sesaat kemudian melemas. “Salah gue juga sih.”
Gumam Ify pelan, pelaan sekali. Bahkan tak mengganggu konsentrasi Dea melakukan
gerakan. Sudahlah, tidak penting. Yang Ify butuhkan sekarang adalah tetap
fokus.
“Okey,
gerakan selanjutnya, agak cepet tapi mudah kok. Perhatikan!” Ify mulai bergerak
lagi. Dan benar saja, tempo gerakannya kali ini 2 kali lebih cepat dari yang
tadi. Dea makin serius memperhatikan. Tidak ingin kelewatan 1 milisekon pun
gerakan yang dilakukan Ify. Ify tersenyum senang akan hal itu. Dea pasti akan
mengalami kesulitan sekarang. Pikirnya. Tapi, entah dirinya yang terlalu senang
sehingga tidak memperhatikan pola langkahnya sendiri, atau memang Tuhan tidak mengizinkan
untuk ia menyombongkan diri, alhasil kakinya terselimpet. Pada saat berputar,
kakinya seperti tersendat dan mengakibatkan Ify terjatuh dengan nyilu kaki
yang...lumayan.
Ia
terduduk diatas tanah berumput –untungnya- tebal sehingga tidak menambah
kenyiluan tubuh. Dea yang melihat Ify ‘kecelakaan’ langsung menghampiri dan
agak panik. Ify memegangi kakinya kuat. Nyilu sekali! Disela-sela kesakitannya
itu, ia tak sengaja –lagi- melirik ke arah Rio. pemuda itu tertawa atau lebih
tepat menertawainya. Kurang ajar! Umpat Ify kesal. Pipinya menggembung menahan
amarah sekaligus sakit. Dilihatnya Dea mulai berusaha memegang kakinya yang
keserimpet itu. cepat-cepat diusahakannya berdiri. Ia tidak mau berhutang budi.
Yah, meski hanya sebatas meredakan nyeri di kakinya. Tapi, tetap saja itu
hutang budi. Bagaimana kalau nanti gadis itu meminta balasan? Bagaimana kalau
yang dimintanya adalah Rio? itu kan tidak boleh!
Aaah ify,
kenapa pikiran lo ngelantur gini sih? Ngayalnya jauh banget, issh! Ify geram
pada dirinya sendiri. Apa yang sedang ia pikirkan? Balas budi? Rio? come on!
Ini bukan drama dalam telenovela, Fy. Sadar sadar! Ify membangun keyakinannya
kembali. Ia menunduk memeriksa kakinya, memutar-mutar telapaknya beberapa kali,
semoga saja kakinya akan membaik. Merasa sudah tidak apa-apa, ia pun mengulangi
gerakan yang membuat kakinya tergelincir tadi. Agak kurang yakin sih, sebab
kakinya yang masih terasa nyeri. Aneh.
“...seven
eight!” Beruntung, kejadian keserimpetnya tadi tidak terulang. Gerakannya
berakhir cantik. Dea bahkan bertepuk tangan kagum diikuti dengan senyum
sumringah diwajahnya. Terselip lagi senyum bangga dibibir Ify, kali ini bukan
sombong, tapi ia benar-benar bangga. Kalau reaksi Dea seperti itu, dirinya
tidak perlu rendah diri dan merasa tidak pantas akan jabatannya. Ia memang
pantas menjadi kapten. Meski sebetulnya, tanpa harus melihat reaksi Dea, hanya
dengan melihat setiap gerakan yang ia lakukan dengan baik dan keren itu, ia
memang sudah pantas.
Meski
begitu, terselip juga senyum paksa di wajah Ify. Nyilu dikakinya belum
menghilang malah semakin jadi. Ia menekan kakinya yang sakit itu, berharap
dapat sekaligus menekan rasa sakit yang ada disana. tapi, hasilnya belum begitu
membaik. Ify menunduk memeriksa kakinya kembali. Disaat itulah, Shilla datang.
Sepertinya Shilla melihat aksi terjatuh Ify tadi. “Fy, lo gapapa? Kaki lo nyeri
gak atau luka gitu?” tanyanya khawatir.
Ify
segera mendongak dan menggeleng. Meyakinkan shilla bahwa ia dan kakinya
baik-baik saja. “Bener gapapa?” tanya Shilla lagi. Ify pun mengangguk dan
menyungging senyum. Mudah-mudahan. Sahut Ify dalam hati. “Yaudah, gue balik
kesana dulu ya!” Pamit Shilla dan kembali memandu latihan junior yang lain. Ify
pun kembali terfokus pada Dea. Melupakan sedikit tentang nyeri dikakinya itu.
“KakFy beneran gapapa?” tanya Dea kali ini. gadis itu juga kelihatan khawatir.
Ify tersenyum tulus seraya menggeleng. Setidaknya, Dea sudah bersikap baik
padanya, pada dirinya yang sudah kurang baik pada gadis itu. Hmm..gue jadi
merasa bersalah. Batin Ify lirih.
“Yaudah,
sekarang giliran kamu. Kamu ingat kan gerakannya apa aja tadi?” Dea mengangguk
cukup yakin. Hitungan ketiga, Dea mulai bergerak. Cepat sekali, lebih cepat
dari Ify. Gerakannya pun sangat bagus. Bisa dibilang...keren! dan bisa dibilang...lebih
keren dari Ify. Ify tertegun melihat itu. bahkan di gerakan yang cepat dan
menyukitkan seperti itu Dea dapat dengan lancar melakukannya. Tanpa ada
kesalahan, tanpa terjatuh atau keserimpet, tanpa ada keraguan dan yang
terpenting....ini kan pertama kalinya gadis itu melakukan gerakan, melihat
bagaimana gerakannya sendiri kan baru pertama kali. Bagaimana bisa?!
Dea
emang cerdas. batinnya selirih mungkin. Entah mengapa, disaat Dea sedang
melakukan gerakan, mata Ify selalu ingin melihat ke arah Rio, melihat bagaimana
ekspresi pemuda itu. Dan saat ia menoleh, Rio tengah memperhatikan Dea begitu
seksama. Bahkan sampai tidak menyadari bahwa Ify sedang memperhatikan dirinya.
Rio mengernyit namun sejurus kemudian mengangguk-anggukkan kepala. seolah
berpendapat ‘boleh juga’.
Ify
menghela nafas sedih. Sedih akan sikap Rio yang sepertinya selalu mengagumi apa
yang Dea lakukan, sekalipun tidak pernah mencerca bahkan memarahi Dea dengan
kata-kata menyakitkan jika gadis itu bersalah. Tapi jika itu dirinya, sungguh
jauuuuuuh berbeda. 720 kali lipat derajat berbeda. Contohnya tadi saat ia
terjatuh. Bukannya menghampiri untuk membantunya atau setidaknya menanyakan
bagaimana keadaannya apakah baik-baik saja atau tidak, Rio justru tertawa
nikmat tanpa melakukan apapun. Coba saja kalo yang terjatuh itu Dea....ah gue
gak berani nebak deh dia bakal ngapain!
Cepat-cepat
Ify berpaling pandangan. Ia kembali memperhatikan Dea. Gadis itu telah selesai
dan langsung menanyakan bagaimana gerakannya tadi pada Ify. Sekarang bagaimana?
Apa ia harus jujur dan mengatakan dengan sumringah ‘Deaaa!! Ahh lo keren
bangeet sumpaah lebih keren dari gue! Kok bisa sih? Lo kan baru pertama kali
ngelakuinnya? Aaah bangga banget gue sama lo!’ Apa harus seperti itu? tapi
kan...itu Dea! Aisshh..
Ify
mendesah singkat. Lalu menatap Dea datar, membuat gadis itu yang tadi tersenyum
antusias berubah menjadi agak ragu-ragu dan takut, mungkin. “Kamu kecepetan.”
Nilai Ify. datar sekali. Tidak bohong memang, tapi juga bukan yang sebenarnya.
Hati kecil Ify belum rela untuk jujur dan memuji Dea. Masih ada ego yang
berkuasa di dalam sana dan menahan semua pengakuannya akan gadis itu. Dea
tersenyum kecut.
“Kamu
bisa gabung dengan yang lain.” Ujar Ify. Dea pun menurut dan segera berlari ke
tempat anggota lain sedang latihan. Ify hanya memandangi lekat-lekat punggung
Dea. Ia benar-benar kalah dari gadis itu. seketika ada rasa sesak di dada Ify.
kata ‘kalah’ itulah penyebabnya. Bahkan rasa sesak itu menjalar sampai ke
perut. Tangannya spontan meremas-remas perutnya, berharap rasa sesak itu segera
menghilang. Namun, bukannya menghilang, perutnya malah bertambah sakit. Ify
mencoba mengatur nafasnya benar-benar sekaligus mencoba menghilangkan
pikiran-pikiran yang membuatnya terganggu. Ia menutup mata sejenak.
Tiba-tiba
ada seseorang yang menepuk pundaknya. Entah itu dari depan atau belakang. Tapi
sepertinya dari depan. Karena kaget, kakinya terdorong selangkah ke belakang.
Sial yang bergerak itu kakinya yang nyeri tadi dan sekarang bertambah nyeri.
Ify segera membuka mata, ingin mengomeli habis-habisan orang yang mengangetkannya
itu. namun, ketika membuka mata, ia justru jauh lebih kaget. Sampai-sampai tak
hanya terdorong, Ify bahkan hampir terjatuh kembali. Beruntung sebelah kakinya
yang baik-baik saja masih sanggup membuatnya tetap tegak. Namun tidak dengan
yang satunya, nyeri dibagian sana makin makin makin bertambah.
“Rio?!”
Ify mati-matian menahan mulutnya agar tidak mengeluarkan jeritan macam-macam
akibat kakinya. Dengan itu, runtuhlah semua niatnya ingin mengomeli habis-habisan
orang yang mengagetkannya itu. ia justru terdiam dan menutup mulut rapat-rapat.
Yang ia lakukan hanya menunggu Rio mengeluarkan suara dan semoga saja...tidak
menambah sakitnya. Semoga semoga..
“Lo
punya dendam sama Dea?”
Tuh
kan bener...mana pernah Rio nanya baik-baik sama gue. Ck! Ify menggeleng pelan
sambil mengadu gerahamnya kuat-kuat. Rasa sakit di perut dan kakinya mulai tak
terkendali. Sakit banget! Rintih Ify dalam hati. Dilihatnya Rio tersenyum
miring. Dalam hati, Ify juga tersenyum, tersenyum pahit. Mau apalagi sih lo? Ga
nyadar apa gue sakit? Mau nambah lagi, hah? Ify terus menggerutu hingga Rio
kembali berbicara.
“lo
lihat kan Dea tadi bagus? Kenapa lo gak jujur? Gengsi, heh?” ify tersenyum
bukan dalam hati lagi. Ia tersenyum sarkatis. Lo mau gue jujur yo? Okey!
Senyumnya kemudian menghilang, digantikan dengan anggukan singkat, mengiyakan
perkataan Rio barusan. Gue udah jujur loh yo, dan gue harap lo pergi
sekarang...daripada bikin gue tambah sakit!
Rio
mengernyit, tak menyangka bahwa Ify akan mengiyakan perkataannya. Sulit
mengerti apa-apa saja yang ada dalam kepala gadis itu. tangan Rio mengepal
keras, wajahnya terlihat kesal. “Lo maunya apa sih?” Alis Ify terangkat
sebelah. Pertanyaan bagus! Mau gue? Buat apa lo tanya? Apa lo mau ngabulin?
Pikirnya, lagi-lagi sarkatis. Ify masih diam dan terkesan tak menanggapi. Ia
justru memalingkan wajah ke arah lain, yang jelas tidak menatap Rio lagi.
Rio
ikut-ikutan membuang muka dan ada desahan kesal keluar dari mulutnya. “Gue gak
ngerti sama lo.” Ujarnya lalu berjalan melewati Ify dan meninggalkan gadis itu.
membiarkan gadis itu tetap diam. “Haaah aaawww!!!” Bukannya diam, Ify justru
mengerang kesakitan sekaligus lega. Meski yang dapat mendengar hanya dirinya
sendiri. Ia ingin melakukan itu sedari tadi namun terhalang karena Rio
menghampirinya. Ah, Rio...
Lo
nanya apa mau gue? Mau gue gak banyak. Gue cuma mau, lo ‘ngakuin’ gue dihadapan
Dea...itu aja sih...
***
Ntar sore, gue tunggu di taman deket
rumah lo. Kalo lo mau tau siapa penggemar rahasia lo ini, silahkan dateng. Gue
tunggu banget loh!! J
Bunyi
bel kini sangat-sangat dinanti Ify. Dan kini, benda kecil berbunyi nyaring itu
telah bernyanyi. Itu artinya sudah waktunya pulang. Ify tergesa-gesa memasukkan
segala buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas dan kemudian keluar kelas. Tak
dihiraukannya Via yang dengan keras memanggil-manggil namanya. Dalam pikiran
Ify sekarang hanyalah isi surat dalam amplop yang entah sejak kapan ditaruh di
laci mejanya.
Perjalanannya
sedikit tersendat ketika bertemu dengan –yang baru-baru ini dijulukinya
sebagai- si pasangan baru. Yodea. Entah mengapa kedua orang itu bisa bersamaan
di jam-jam akhir seperti ini. tapi, sudahlah. Ify berusaha tidak peduli. Karena
tidak ada juga yang ingin peduli padanya. Jalan lurus! Jangan liat kanan-kiri!
Tekad Ify dalam hati. Ia terus mengulang-ngulang kalimat tersebut. Hingga pada
akhirnya, ia berhenti. Atau lebih tepatnya ada yang membuatnya berhenti. Sang
pemuda yang dijulukinya itu memanggilnya.
“Mau
kemana?” Ify menolehkan kepalanya ke arah belakang, menghadap Rio, pemuda yang
memanggilnya. “Mau pulang,” Dalam hati, ia mengutuki benar-benar apa yang
dilakukan pemuda di depannya itu. Mana, katanya lo pinter? Juara umum? Nanyain
yang ginian. Ya jelaslah gue mau pulang! Mau kemana lagi? Coba kek lo nanya
‘Mau gue anter?’ Ck..
“Oh,”
Oh
my God! Cuma oh? Sabar..sabar..masih bagus dia mau negur kan? Pikir Ify,
sekaligus mencoba menghibur dirinya sendiri. “Gue duluan ya, pasangan baru!
Cepet-cepet jadian yaa! Daaah..” Ify melesat cepat hingga ke ujung koridor.
Mulutnya bersenandung ria. Kaki mungilnya itu dengan cepat melarikan tubuhnya
hingga ke gerbang sekolah. Namun, beberapa langkah terakhir agar benar-benar
sampai, Ify berhenti. Dari beberapa langkah tersebut, di depannya berdiri seorang
anak kecil yang berkemungkinan besar memperhatikannya sejak tadi.
Masih
ingat Fify? Ya, anak kecil itu Fify. Ify maju selangkah. Akan tetapi Fify
justru mundur, bersembunyi di balik tembok gerbang. Tiba-tiba sang kakak
datang. Dengan wajah keheranan dipandangnya adik kecilnya itu. lalu ia beralih
pada Ify, objek yang sedang ditatapi lekat-lekat oleh adiknya. Tersirat rasa
ketakutan dalam mata Fify. Dengan segera ditariknya Fify dan membawanya pergi.
Tak diperdulikannya Ify yang menatap dirinya dan adiknya dengan bingung.
Kembali
pada Ify. gadis ini lantas tidak peduli –lagi- akan sang gadis sepatu pertama
dan adiknya. Ia kembali melanjutkan langkah sampai keluar sekolah dan memilih
jalan ke arah kiri, arah rumahnya, tepatnya ke sebuah halte tempat bus
berhenti, yang akan mengantarnya sampai ke perempatan dekat rumahnya siang ini.
hidup itu harus sesekali merakyat! Hahaha! kicau Ify dalam hati.
Kurang
lebih, sudah 20 menit waktu dilewati Ify hanya menunggu sang bus datang. Dan
tepat 20 menit, bus yang diharapkan tiba-tiba berganti dengan mobil hitam
dengan kaca gelap total yang berhenti di depannya. Mobil itu tak asing sih,
setidaknya ia pernah beberapa kali menaikinya. Mobil Rio, siapa lagi kan? Ify
memalingkan wajah, pura-pura tidak tahu dan tidak melihat. Si pemilik mobil menurunkan setengah kaca
mobilnya. “Mama nyuruh lo mampir,” Katanya seraya menatap Ify canggung.
Ify
masih berpura-pura, kali ini pura-pura tidak mendengar. Namun, dalam hati,
makhluk mungil itu berulang kali berkomat-kamit agar bus segera datang. Hingga
beberapa menit berjalan, Ify tetap diam. sedikitpun tidak diarahkannya
pandangan ke arah Rio. Rio pun ikut diam di tempatnya. Sekilas mereka tampak
tenang. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, sebenarnya keduanya kelihatan
gelisah. Ify, banyak dari anggota tubuhnya bergerak liar. Ia tiba-tiba rutin
menarik nafas. Sementara Rio, pemuda itu tampak bingung. Jemarinya sedari tadi
meremas-remas stir sedang matanya bergantian menatap ke depan dan menatap Ify.
Hingga
pada akhirnya, Rio keluar dari mobilnya dan duduk di sebelah Ify. Kegiatan menarik nafas yang dilakukan Ify
sepertinya menular pada Rio. “Papa lo apa kabar?” Ia sedikit menoleh ke arah
Ify. Ify pun begitu, sedikit menoleh ke arahnya. “Belum tahu, ntar malem gue
mau jenguk.” Rio mengangguk pelan. “Mau gue anter?” Seketika Ify tercenung.
Itu..gak salah? Lo..ah palingan ntar gue di php-in lagi. Batin Ify.
“Becanda
lo! Gausah lah, ngeribetin lo ntar haha..” Jawabnya sebiasa mungkin. “Lagian, lo sama Dea aja sana, mumpung malam minggu
hehe,” katanya lagi. Rio langsung menghunuskan
tatapan tajam. Mendadak, Ify jadi takut sendiri karena Rio sampai menatapnya
seperti itu. adakah yang salah dari kata-katanya? Ah tapi..sepertinya tidak ada
unsur menyakiti. Entahlah, pemuda di depannya ini memang suka bersikap yang tak
diduga.
“Lo
kenapa tiba-tiba ngomongin dia sih?!” Sungut Rio. Ify sampai harus berpegangan
pada kursi karena kaget. “I..i..iyaa..biasa aja dong..gak perlu marah-marah..”
Balas Ify pelan dan patah-patah (?). Rio seperti tersadar dan kemudian menghela
nafas. Ify hanya geleng-geleng kepala melihat itu dan hanya berusaha
menormalkan kembali jantungnya yang tadi secara tiba-tiba dibuat bergoncang
hebat.
Dan
mereka pun diam kembali. Bergumul pada pikiran masing-masing. Ada hasrat ingin
berbicara namun keraguan melanda benak keduanya. Sampai kemudian Ify yang kembali
buka suara. “Yo, gue punya kabar baik!” Seru Ify. Rio mengernyit dan memasang
tampang bingung. “Gue bakal move on!!” Ify terlihat makin antusias sementara
Rio makin bingung. Bertepatan dengan saat itu, sebuah bus berhenti. Ify dengan
segera berdiri dan berjalan mendekati bus. “Gue gak mau ganggu lo lagi Rio!
Kalo lo mau jadian sama Dea, gue ikhlas koook! Tapi jangan lupa traktir yaaa
hehehe!” Ify berteriak di sela-sela jalannya menuju bus.
Sementara
yang ditinggal, hanya bisa mengatup mulut rapat-rapat. Atau kalau bisa, tadi,
ia ingin menutup telinga rapat-rapat agar dirinya tidak mendengar kata-kata terakhir
gadis yang beberapa menit lalu duduk bersamanya.
***
Sebuah motor ninja dengan warna hitam dan helm
yang terkait disalah satu sisinya sudah terparkir manis di halaman depan rumah
Ify. Ify yang baru saja sampai bahkan belum masuk melewati pagar sontak
bingung. Seingatnya, ia tidak punya kendaraan berjenis itu. dan juga, jika
pemilik motor tersebut ingin bertamu, kenapa hanya motornya saja yang terlihat
disana? Kenapa sang pemilik tidak menampakkan diri? Apa orang tersebut sudah
masuk ke dalam rumah? Atau jangan-jangan, maling yang bertamu ke rumahnya? Gawat!
Drrt..drrt..
Sebuah
pesan masuk dan itu dari orang yang akan ditemuinya saat ini. pengagum
rahasianya. Pengagum rahasianya itu hanya menginformasikan bahwa ia sudah
menunggu di taman dan motor yang dilihatnya saat ini adalah milik pengagumnya
tersebut. Ify mengangguk paham sekaligus lega. Karena dugaannya tentang maling
salah besar. Lantas ia berlari masuk ke dalam rumah. Menaruh tas dan lekas
berganti pakaian. Setelah selesai, ia keluar rumah kembali dan berjalan menuju
taman.
5
langkah menuju taman, Ify mendadak jantungan. Ia dag dig dug sendiri karena
akan bertemu sang pengagum rahasia. Tapi kalau dipikir-pikir, seorang seperti
dirinya memiliki pengagum rahasia memang agak tidak disangka. Lucu aja gitu,
jelek-jelek kek gue gini punya secad, hihihi..cengirnya dalam hati. Ia pun
tersenyum malu. Lantas dipercepatnya langkah hingga benar-benar sampai di
taman.
Sudah
ada seseorang disana. berdiri membelakangi Ify. Ify berjalan pelan mendekati
pemuda itu. “Halo..” Sapa Ify canggung. Pemuda tadi berbalik dan keduanya
sama-sama terkejut. “IFY?” Seru pemuda itu. “IYA?” Refleks Ify. Jantungnya
senang sekali meloncat hari ini. “Lo beneran dateng?!!” Bahu Ify diguncang
cukup keras. Pemuda itu terlalu senang. “I..Iya..” Ujar Ify semampunya.
Tiba-tiba keduanya diam. Namun, di hitungan ke 3, si pemuda itu berteriak heboh
dan kembali menggungcang bahu Ify.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.......”
“WOOY
BERISIIIIIK!!!” Ify berteriak tak kalah kencang demi membuat pemuda yang dengan
lancang menggoncang-goncang bahunya itu berhenti. Dan untungnya, pemuda
tersebut segera sadar dan langsung melepas pegangan di bahu Ify. “Eh sorry
sorry, gue kelewat seneng hehehe,” katanya cengengesan. Ify merengut kesal.
Ketertarikannya akan pertemuan saat ini menurun drastis. Astagaaaa, gue gak aneh-aneh
amat koook, tapi kenapa kebagian secad yang kayak gini??!! Batinnya miris.
“Oh
iya, gue Debo..” Kata Debo, pemuda tadi, si pengagum rahasia Ify,
memperkenalkan diri. Ify melengos. “Udah tahu!” Ia kemudian duduk menghadap ke
depan danau. “Lo anak ipa 1, pelaku pelemparan bola basket ke kepala gue dulu,
sekaligus cowok yang nyabut surat cinta gue waktu kejadian mading. Itu kan yang
mau lo bilang?” Debo menggangguk pelan dan masih cengengesan. Ia pun ikut duduk
di samping Ify. “Gue gak nyangka lo mau dateng, Fy,” Debo tersenyum lebar dan
menatap Ify penuh kagum. Ify mendadak salting ditatap seperti itu.
“Iya,
biasa aja lagi natapnya..” Debo terkekeh geli dan menurut. Ia tidak lagi
menatap sang gadis pujaan. “Gue lagi yang gak nyangka, cewek kayak gue ini
punya secad. Tapi, ga luar biasa juga sih, toh yang naksir gue orang aneh kayak
lo hahaha,” tawa Ify meledak. Debo hanya menggaruk-garuk kepalanya malu. “Gue
gak aneh kok, Fy” Ify melirik menggoda ke arahnya. “Yakiin?” Debo mengangguk
yakin. “Iya dong! Karena gue suka sama lo,” Balas Debo malu-malu.
Tawa
Ify pun makin besar. “Mual! Gue mual! Hahahaha,” sekian lama, Debo tidak
berkata apa-apa, hanya membiarkan Ify sampai puas tertawa atau lebih tepatnya
menertawainya. “Lo lucu! Sumpah, lucu banget!” Kata Ify disela-sela tawanya.
“Gue kan jujur, Fy, hehe” sahut Debo, memandang Ify polos. Seketika itu pula
Ify berhenti tertawa. Mimik wajahnya perlahan mulai menunjukkan keseriusan.
Ify
menarik nafas dalam lalu menghembusnya pelan. “Jangan terlalu berharap sama gue,
ntar lo malah kecewa.” Lirih Ify. Matanya nanar menekuri langit yang masih
segar ditemani sang matahari. Debo tersenyum penuh arti. “Lo suka sama Rio,
kan?” Godanya. Ify lantas menoleh dan kaget. Darimana Debo bisa tahu? Ah, iya,
surat cinta gue waktu itu. “Aaah cuma cinta bertepuk sebelah tangan biasa,
bentar lagi juga lupa, hahaha” Ify tertawa lagi. Tapi yang ini hambar rasanya.
Dirinya tidak sedang merasakan senang atau mendengar sesuatu yang lucu.
Debo
tersenyum lagi. “Lo gak bertepuk sebelah tangan kok.” Ujarnya tenang sekaligus
menenangkan. Ify pun menoleh. “Maksud lo?” tanyanya langsung. Gantian, Debo
yang menarik nafas. “Gue ini mr cupid yang lagi gak ada klien. Gue udah hafal
gimana ciri-ciri orang yang bakal dapat cintanya atau enggak. Dan lo itu
termasuk ke yang sangat berkemungkinan besar mendapatkan cinta yang lo kejar
itu.” Ify melongo. Debo seorang mr cupid? Ciyus? Miapa? Aneh gini bisa jadi mr
cupid?
“Ngaco
lo! Jelas-jelas Rio gasuka sama gue, liat aja sikapnya, kasar, ketus,
galak..tapi kadang-kadang baik sih..iya, dia suka baik tiba-tiba, jahat juga
tiba-tiba. Kadang disaat gue butuhin, dia selalu datang tepat waktu. Tapi kalo
udah mulai jahat lagi, dia bikin gue jadi bingung. Gue jadi ngerasa dia punya
kepribadian ganda. Dia pernah bilang sih, katanya...katanya ya...dia suka sama
gue. Dia nyuruh gue buat..buat bikin dia jatuh cinta sama dia. Sampe-sampe
dia..dia..aaaah! kenapa gue jadi ngomongin tentang dia? Sama lo lagi, gue kan
gak kenal lo. Aisssh move on Fy move on!”
Debo
terkikik geli melihat gadis pujaannya itu. tak ada sedikitpun guratan sedih di
wajah manisnya. Yang ada, ia malah tersenyum senang, senang sekali. Memang sih, menyakitkan bila sang pujaan
memuji pujaannya. Tapi bagi Debo, berada dan merasa sedekat ini dengan Ify adalah
suatu hal yang teramat melampaui bahagia. Apalagi sang pujaan dengan sukarela
berbagi cerita bersamanya. Ia merasa sangat beruntung. “Jahat banget sih, masa
lo gak kenal sama gue? Kan tadi udah kenalan,” rengek Debo. “Maksud gue bukan
kenal kayak gitu, tapi udah deket gitu looh! Masa lo ga ngerti? Katanya mr
cupid.” Sungut Ify.
Debo
cengengesan lagi. “Hehehe, iya iya, ngerti gue. Tapi, gue boleh kan jadi temen
deket lo? Kayak Via, Agni sama Shilla gitu. Temen lo berbagi apapun yang bisa
lo bagi. Sekedar temen aja, gue gak ngarep lebih kok. Boleh ya ya ya?” rengek
Debo kembali. Ify menatapnya ragu. Aneh sih, tapi dia baik, lucu, polos dan
terlalu jujur. Bisa gitu, dengan mudahnya dia ngungkapin apa yang dia rasa ke
gue? Ah, secad gue gak buruk-buruk amat kayaknya, hehehe.
“Oke!”
Ujar Ify mantap seraya tersenyum lepas. “Ciyus?! Enelan?! Miapa, Fy?!!!!” Ify
mengangguk dan langsung menutup telinga. Dalam hitungan ketiga, secad nya itu
pasti akan berteriak. 1...2...3!
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!”
***
Ify
memasuki kamar tempat Papanya dirawat. Lelaki paruh baya itu sedang asyik
membaca buku. Papa nya ini memang maniak membaca. Berbeda 180 derajat dengan
Ify. Yang bahkan komik pun sangat jarang disentuh. Ify menuruni sifat dari
mamanya, maniak memasak. Tapi ngomong-ngomong, Papanya sedang dalam keadaan
sakit, tidak baik jika duduk membaca terlalu lama seperti itu. membutuhkan
energi yang banyak sementara tubuhnya sedang kekurangan energi.
Ify
berlari masuk dan tanpa permisi mengambil buku yang sedang dipegang serta
dibaca oleh Ferdi. Ia pun melepas kacamata yang dikenakan Papanya tersebut.
“Papaaaa! Papa kan lagi sakit, gak boleh banyak duduk dulu. Ini ngapain lagi
baca-baca? Kalo papa capek trus kayak kemaren lagi gimana?” Gerutu Ify. Ia
begitu khawatir jika kondisi ayahnya akan drop lagi seperti yang lalu. Ferdi
tersenyum. Ia senang melihat wajah anaknya jika sedang menggerutu. Persis
sekali seperti Ify saat masih kecil. Ekspresinya tidak pernah berubah.
“Hihihi,
kamu kalo ngomel mukanya lucu, manyun-manyun kayak tikus lagi kelaperan
hehehe,” kikik Ferdi. Ify tak membalas apa-apa, hanya merengut menatap Papanya
itu. ia kemudian memaksa dan membantu Ferdi agar tidur kembali di kasurnya.
Ferdi mengikuti saja apa yang Ify minta. Karena memang seharusnya begitu sedari
tadi, berbaring bukan duduk. “Papa kapan sembuhnya sih?” ujar Ify lirih. Namun
juga terlihat seperti menggerutu.
Ferdi
terkikik lagi. “Tanya tuh sama Dokternya, kenapa Papa dikurung disini terus.
Papa udah sehat kok, dokternya aja tuh yang ngeyel bilang papa belum sembuh.”
Ify diam memandang ke arah Papanya. Muka pucat, mata merah. Tiduran sendiri aja
gak sanggup. Sehat darimana Pa? Katanya dalam hati. “Kamu sama Rio gimana?”
Tanya Ferdi tiba-tiba. Air mukanya tidak terlalu serius. Hanya matanya terfokus
menatap Ify. Ify sendiri justru beralih pandang. “Kita tetep temen kok, Pa.
Udah ah, gausah ngomongin Rio, Ify kan mau move on hehehe,” katanya
“Move
on? Enak aja, gak boleh, papa ga setuju!” tolak Ferdi. Ify mengernyit heran.
“Loh, kok gitu? Kan bagus Pa, jadinya kan Ify gak nyesek-nyesek terus idupnya
hehe,” gurau Ify. Akan tetapi, sepertinya Papanya itu menganggap serius. “Pokoknya
Papa ga setuju kamu sama yang lain.” Ify mengernyit lagi. Ada apa dengan
Papannya? Tanyanya dalam hati. “Ih, kok Papa yang nentuin sih? Terserah Ify
dong nanti mau sama siapa. Mau sama Rio kek, mau sama..”
“Debo?”
Sela Ferdi. Mata Ify membelalak. Darimana papanya tahu soal Debo? “Kok Papa...”
kata Ify menggantung. Papa punya indra keenam? Batinnya bingung. “Udahlah, kamu
pulang aja sana. Rio udah nunggu di luar.” Mata Ify terbelalak lagi. Rio
kesini??!! “Ma..maksudnya? Rio kesini? Kapan?” tanyanya beruntun. Ferdi
memamerkan gigi-gigi putihnya. Ia kembali terkikik setelah sebelumnya serius
sekali berbicara dengan Ify. “Kepo banget sih!” ledek Papanya. “Udah sana
pulang! Hus hus!” Ify manyun. Jadi dirinya diusir? Pikirnya. “Iya-iya. Ify
pulang. Tapi inget, Papa jangan macem-macem lagi!”
“Iyaaaa,”
Ify kemudian pamit dan segera keluar dari kamar rawat Ferdi.
Ify
hampir mencapai bagian luar Kenko. Hatinya sedikit penasaran akan kebenaran
kata-kata Ferdi bahwa Rio sudah menunggunya di luar. Dan jika itu benar,
bagaimana bisa? Kapan Rio datang? Apa Rio yang memberi tahu soal Debo pada
Papanya? Tapi, tapi, Rio tau darimana soal Debo? Aaaah kenapa ribet banget sih?
Ify mondar-mandir di depan pintu masuk dan keluar Kenko.
“Mau
pulang sekarang?” Seseorang tiba-tiba muncul di depan Ify. Otomatis Ify
berhenti mondar-mandir. Ia memperhatikan orang tersebut dari ujung kaki hingga
kepala. ketika sampai pada bagian wajah, ia berhenti. Tanpa mengatakan apapun.
Ia tetap diam. akan tetapi kepalanya bergerak pelan ke atas lalu ke bawah.
Menjawab pertanyaan orang yang membuatnya diam itu. rio didepan gue. Sekarang.
Oh my God..
“Mobil
gue di sebelah sana!” kata Rio, orang tadi. Ia tersenyum ramah ke arah Ify. Dan
Ify dibuat makin bisu. Andai sikap lo semanis senyum lo itu, Yo...
***
Tengkyuuuu yang udah bacaaa :3:3:3 <3<3