Karena udah tengah malem, tek mengetek nya besok aja ya -_-vvvv
***
“Viaaa, ngantin
yok?”
Gabriel sembari
menggelayuti lengan Via manja. Baru kali ini ia seperti itu. Via mengernyit
heran. Kerasukan lagi? Setan dalam tubuh tuh cowok ada berapa sih? Batinnya
seraya garuk-garuk kepala. Gabriel pun berjalan ke meja Via dan Ify. Ify tampak
termenung di sebelah Via, sementara Via masih sibuk mencatat beberapa meteri
yang belum sempurna tersalin di catatannya.
Set!
Gabriel merebut pena
yang Via gunakan. Kejadian ini terulang. Gabriel mengambil barang-barangnya,
membawa kabur lalu mengembalikannya kembali dan seketika mengabaikannya,
dirinya dan barang-barangnya. Sssst, tidak usah diingat lagi Via! Sangkal Via
dalam hati. Ia menutup buku dan beralih ke Ify. Hari ini gadis itu sedikit
aneh, sepanjang pelajaran tidak berbicara. Antara serius memperhatikan atau
malah melamun. Hmm, sepertinya kemungkinan kedua lebih berkemungkinan benar.
“Hoi pi! Ngantin
gak?” sentak Via dengan menyenggol dikit lengan gadis itu. Ify terkejut.
Seperti baru bangun dari fantasi yang ia jalani beberapa jam ini. “Hah? Ee..”
Ia melihat sekeliling kelas dan kosong. Hanya tinggal mereka bertiga. Ia
mencuri pandang ke arah bangku Rio. Pemuda itu juga tidak ada disana, hanya
bangku kosong dan sebuah buku tulis yang tergeletak begitu saja di meja. Ify
menghela nafas panjang.
“Kayaknya gue ke
perpus aja deh, pengen nenangin diri. Gue cabut dulu!” kata Ify lesu. Lantas
beranjak dari tempatnya dan keluar kelas. Via memandangi lekat-lekat punggung
Ify yang menghilang dibalik pintu. Fy, fy, idup lu madesu amat. Batinnya miris.
Kepalanya bergerak pelan ke kanan-kiri seirama dengan decakan ringan dari
mulutnya.
Seeet!
Tiba-tiba ada yang
menggeser arah pandangnya ke arah lain. Ke arah pelaku penggeseran. Iel!
“Astapiruloh!” Latah Via. Ia kaget. Jantungnya seperti baru saja melakukan lompat
indah mendadak dan malangnya tidak mendarat dengan mulus, yakni membentur bibir
tulang rusuk. Sehingga mengakibatkan debaran dahsyat dalam ruang jantungnya
itu. Dan hal itu cukup membuatnya sesak sesaat. Ditambah lagi saat ini,
wajahnya hanya sekitar 5 centi dari wajah Gabriel.
Gabriel seketika
manyun. “Lo ngira gue setan?” katanya protes. Via hanya nyengir seraya
garuk-garuk kepala. Walau sebenarnya dalam hati, ia masih deg degan luar biasa.
Malah semakin jadi. “Hehe maap, kelepasan dan...mirip sih,”
Gabriel menoleh
cepat. “Maksud lo?!”
“Hehe...piss,”
Sekali lagi, Via
hanya nyengir. Kali ini dibarengi dengan sembulan 2 jemarinya yang membentuk
huruf V. “Via jahat! Iel ngambek ah!” Nada suara Gabriel berubah manja, lagi.
Alis Via terangkat satu. Pipinya langsung mengembung semaksimal mungkin menahan
tawa yang ingin segera meledak itu. Akan tetapi, usahanya tersebut tidak
menunjukkan hasil yang baik. Tawanya itu dengan lancar meluncur keluar. “Dih,
ada gitu ngambek bilang-bilang?” Gabriel merengut. Sejurus kemudian, ia
memasang tampang ngambek seperti yang ia bilang tanpa membalas ledekan Via dan
memalingkan wajahnya dari gadis itu.
Via tersenyum tipis.
“Heeh, beneran ngambek?” goda Via kembali. Ia menoel dagu Gabriel beberapa
kali. Gabriel mengelak dan menjauhkan lebih jauh wajahnya dari jangkauan Via.
“Lo harus mewujudkan beberapa permintaan gue, baru ngambek gue reda.” Mata Via
membelalak lalu kemudian tersenyum geli. “Hujan kali pake reda! Dimana-mana,
jin mana aja pasti nawarin permintaan, gak ada tuan yang minta duluan. Dan,
belum tentu juga gue mau!” Gabriel menoleh datar ke arahnya. Sontak senyum Via
agak meredup. Sepertinya Gabriel serius.
Gabriel
terus-menerus menatap Via tanpa ada ucapan apapun yang keluar dari mulutnya.
Bagi Via, tatapan Gabriel begitu merisihkan. Atau lebih tepatnya, mengganggu.
Ia bisa mati salting jika terus-terusan menjadi pusat perhatian Gabriel yang
telah lancang ia jadikan sebagai orang yang mendapat perhatian paling pusat
darinya. Ada permintaan terakhir? Hati kecil Via menyahut tak sedap. Refleks,
tangannya mengepal lemah dan memukul pelan bagian yang menyahut itu agar tak
lagi berbicara yang macam-macam. “Lo ga ada objek lain gitu buat diliat? Gue
mulu...kkka..kalo gue geer bisa bahaya..”
Gabriel mendekatkan
wajahnya –yang sebelumnya memang sudah dekat– ke wajah Via. Via mundur sebanyak
centi jarak yang ditempuh wajah Gabriel ketika mendekat. Via tercenung sejenak.
Dejavu! Ia merasa pernah mengalami saat-saat seperti ini tapi tak tahu kapan.
Perasaan gue aja mungkin. Batinnya, mencoba menenangkan diri sendiri.
“NAH!” Gabriel
menyeru dikala keheningan sesaat di antara mereka. Telunjuknya mengarah ke
wajah Via. Sudut-sudut bibirnya tertarik melengkung membentuk sebuah senyuman.
Ia lalu meloncat dari kursi yang ia duduki. Mengitari meja hingga sampai di
depan Via. Kening Via mengerut-ngerut melihat tingkah Gabriel yang makin aneh.
Sebentar manja, sebentar ngambek dan sekarang tiba-tiba girang.
Gabriel
mengerlingkan mata padanya dan tersenyum misterius. “Karena lo udah bikin gue
ngambek, maka lo harus dan wajib memenuhi 3 permintaan gue!” ujarnya tanpa
berunding. “3? Banyak amat!” Via mencoba protes akan tetapi mendadak ia
disoroti dengan mata Gabriel yang kumayan menyeramkan. Sehingga ia pun
–terpaksa– menurut. “I..i..iya iya idem gue idem.” katanya pasrah. Senyum
Gabriel makin mengembang. Ia kemudian mulai menyebutkan permintaannya
satu-persatu.
“Pertama. Berdiri
lo!” Ujar Gabriel sebagai awal. Ehm, maksudnya mungkin memerintah. Via mau tak
mau berdiri tanpa protes lagi. “Kedua. Dalam hitungan ketiga, lo jawab
pertanyaan gue dengan cepat! Jangan lupa seyum. Supaya membuktikan gak ada
paksaan saat lo menjalankan apa yang gue minta.”
Lo emang maksa gue,
Nyet! Protes keras hanya mampu terlontarkan dalam hati. Karena pada
kenyataannya, Via hanya bisa menurut dan menurut pada apa yang Gabriel
perintahkan. Ia pun kemudian tersenyum. Iya, memang cuma itu yang bisa ia lakukan
sekarang. Selain menjalankan permintaan Gabriel tentunya.
“Gue belum ngitung!”
sungut Gabriel melihat Via tersenyum tanpa aba-aba. Kepala Via tak luput dari
pentungan Sekali lagi, Via hanya pamer gigi dan nyengir tak bersalah.
“Siapaaaaa...” Gabriel
menjeda sebentar bicaranya. “Siapaaa..orangyanglosuka? 123!” lanjut Gabriel
dengan sedikit mempercepat dibagian akhir.
“Hmm Gab...” Via
dengan cepat pula tersenyum dan dengan tenang hampir menjawab secara
keseluruhan. Akan tetapi refleks lidah dan otaknya cukup tanggap sehingga
beruntung nama sakral itu hanya sepertiga suku kata yang terucapkan. Sekaligus
menyelamatkan ‘mukanya’ dari Gabriel. Mata pemuda mancung di depannya itu
memicing dengan bibir menyungging senyum ‘aneh’. Tak ada yang tahu apa arti
senyumnya tersebut. Sementara itu, Via kebingungan mencari-cari jawaban lain
dari jawaban sebenarnya tadi. “Gab...Gab...Gab! Iya, Gab!” Ujar Via
“Siapa?” tanya
Gabriel memastikan, masih dengan senyum ‘aneh’nya itu. Via tersenyum senang
kemudian menjawab kembali dengan tenang. “Gab, namanya Gab. Dia..”
Cup!
Pipi bulat penuh
milik Via terlihat bergoyang sekilas. Tak lama kemudian muncul rona kemerahan
di tengah-tengahnya. Bagaimana tidak?! Iel dengan santai dan tanpa izin
mengecup pipi bulat penuhnya. Pipi kesayangan Via yang belum pernah seorang
pemuda pun diizinkan ‘mengecup’nya. Pipinya itu hanya boleh di’rasakan’ oleh
orangtua, ketiga sahabatnya dan orang yang benar-benar ia cintai serta memiliki
status sebagai pacar atau bahkan suaminya. Tapi sekarang malah..Gabriel? APA?!!
“YAAAAAAAAA
GABRIEEEEEEEL KAMBIIIIING SINI LOOOOOO!!!!” melihat Via mengamuk, Gabriel
dengan kecepatan 1000 meter per 0,000000001 sekon menghilang dari pandangan
gadis itu alias kabur. “Itu permintaan ketiga gue, hehehe.” Gabriel membawa
serta cengengesannya dalam aksi menghindar dari Via. Via lantas ikut berlari
menyusul pemuda kurang ajar yang satu itu. GABRIEL GILAAAA!!! HIHIHI!!
Meski memendam sebal
yang teramat sangat pada Gabriel, dalam pelariannya Via diam-diam mengikik. Ia
tak luput merasakan senang juga. Gabriel nyium pipi gue!! Pekiknya dalam hati.
Ia geli sendiri mengingat ketika bibir Iel menempel di pipinya. Setidaknya, ia
mencintai Gabriel dan pemuda itu cukup berhak melakukan’nya’ padanya.
Bunga-bunga kemudian
tumbuh serentak melengkapi moodnya yang mendadak meningkat baik sekarang.
Ratusan kupu-kupu berterbangan mengepakkan sayap, menyibakkan angin dalam
perutnya. Merebah dan merambat ke rongga dada. Sedikit-demi sedikit menyelinap
ke dalam. Menyentuh bagian paling sensitif, membangunkan bahkan membuatnya
berdesir untuk kesekian kalinya. Hatinya. Bagaimanapun akhir dari sikap Gabriel
hari ini, Via tidak peduli. Akankah ia hanya dipermainkan, ia pun turut tak
peduli. Sikap manja Gabriel hari ini sudah berhasil membuatnya melupakan
hal-hal menyesakkan dada seperti itu.
***
Seperti sepasang
anak kecil yang sedang bermain, Via dan Gabriel berkejaran ria melewati koridor
Parfait yang tidak sedang sepi ketika itu. Berulang kali Iel menabrak
orang-orang yang sedang berdomisili disana. Ia tidak terlalu ambil pusing. Ia
lebih mengkhawatirkan jika yang ia tabrak itu Via. Bisa gawat kalau ia lebih
dahulu tertangkap. Rencananya akan sedikit melenceng.
Dari radius 5 meter,
terlihat seorang gadis berambut sebahu, berpostur agak gemuk dan berpipi bulat
penuh yang menjadi penyebab Gabriel menabraki orang-orang tak bersalah di
sekitar koridor yang dilewati. Suara cempreng dan cablak dari gadis itu
membahana menyamai hiruk pikuk suara yang memang sudah tercipta lebih dulu.
Beragam tanggapan muncul mengiringi aksi kerjar-kejaran antara Via dan Gabriel.
Ada yang mencibir, ada yang bingung, ada yang tersenyum ‘aneh’ dan tentu saja
masih ada yang tidak peduli. Beruntungnya adalah tidak ada dari mereka yang
ikut berkejar-kejaran.
Kedua pelangkah Via
makin diburu demi menangkap pemuda gila yang juga dipendaminya rasa spesial
itu. GABRIEL! GUE JADIIN SUP LO!! Teriaknya menggebu-gebu dalam hati. Meski
begitu, sedikitpun air muka kesal tak tampak di wajahnya. Ia justru sejak dari
pertama menyeringai mengejar Iel disertai cekikikan kecil yang sesekali
terdengar. Gabriel juga tak jauh beda. Hanya saja, pemuda ini lebih banyak
mengolok-ngolok Via dibanding ikut tertawa bersama gadis itu.
Raga Gabriel
kemudian lenyap di penghujung koridor. Apakah pemuda itu masih tetap berlari
menghindarinya atau justru bersembunyi di suatu sisi, Via tidak tahu. Yang
jelas, ia tidak dapat menemukan pemuda itu lagi. Ia mempercepat –lagi–
langkahnya sampai di tempat terakhir Gabriel terlihat. Nihil. Tak terlihat
pemuda itu disana. Ia berjalan beberapa langkah lagi.
Dan ketika kepalanya
tertoleh ke kanan, tampaklah seorang pemuda yang ingin sekali ditangkapnya itu sedang
berdiri manis sambil tersenyum manis pula, di salah satu meja batu yang
bertebaran di setiap halaman Parfait. Di tempat pertama kali Gabriel membuatnya
berkejaran dengan pemuda itu. Tempat ketika Gabriel mengambil paksa tas beserta
alat tulis yang saat itu sedang ia gunakan. Via stuck di tempat, masih
terpesona akan tempat kenangan yang kini dihuni Gabriel. Gabriel melambaikan
tangan menyuruhnya mendekat. Entah disadari atau tidak, kaki Via mulai
melangkah lagi satu-satu meski tidak begitu cepat, justru sangat lambat, maju
sedikit demi sedikit ke arah dimana Gabriel berada.
Cukup lama jika
dihitung menurut satuan waktu *efekujian*, Gabriel masih setia menunggu Via
tanpa menghilangkan senyum manis dibibir yang sejak awal tadi di sunggingnya.
Terdapat dua kotak tipis dan 2 kaleng minuman yang masing-masing terletak manis
satu sama lain berhadapan. Di tengah-tengahnya diletakkan sebuah vas bunga
tanpa bunga alias vas kosong. Meja yang ditempatinya pun tidak lagi polos,
melainkan terbentang sebuah taplak yang motifnya sangat lucu -apabila yang
menilai itu seorang perempuan-. Yang jadi pertanyaan sekarang, siapa yang
menyiapkan semua itu? Gabriel? Tapi jika benar Gabriel yang menyiapkan, lalu
untuk apa?
“Akhirnyaaa sampe
juga lo!” Gabriel berjalan mendekati Via. Dihadapannya Via bergeming berikut
dengan tatapan bingung gadis itu. Ia lalu menuntun Via duduk di kursi di
depannya. Via menurut meski masih tetap bingung. Gabriel kemudian menduduki
kursi yang tersisa tepat berhadapan dengan Via. Ia mulai membuka satu dari dua
kotak berisi makanan yang ada disana. Ia tersenyum melihat isi dari kotak
tersebut. Makanan kesukaannya. Pizza timeee!
Sementara itu, Via
tak melakukan apa-apa, masih tetap bergeming. Hanya menatapi kotak pizza dan
minuman kaleng yang sepertinya disediakan khusus untuknya. Khusus? Masa sih?
“Ah!” Seru Gabriel.
Ia melupakan sesuatu. Ia lupa bahwa vas bunga yang terletak disitu masih
kosong. “Kenapa?” tanya Via bingung, lagi. Gabriel tidak menjawab. Hanya
tangannya yang bergerak mendekati lubang vas. Jemarinya mengepal dan terangkat
ke atas sambil membuka perlahan. Ketika tangannya diangkat, secara ajaib muncul
setangkai mawar dari kepalan tangannya itu. Mawar putih. Sahut Via dalam hati.
“Woaah!” kata Via
histeris sambil bertepuk tangan heboh. Didepannya Gabriel tersenyum bangga
karena uji coba hasil belajarnya selama tiga hari berhasil. “Kok lo bisa
romantis?” tanya Via polos. Atau mungkin itu bukan sebuah pertanyaan. Hanya
pernyataan kekaguman terhadap apa yang dilakukan Gabriel. Ia menumpu dagu
dengan kedua telapak tangan dengan sedikit memiringkan kepala. Lalu tersenyum
seimut-imutnya pada Gabriel. Kemudian kedua matanya mengerling ke arah pemuda
itu.
Gabriel sendiri
merasa agak aneh. Asing baginya jika Via bertingkah ke-cewek-an begitu. Apalagi
dengan sikap sehari-hari Via yang cablak, cuek dan anti dengan kelemah-lembutan
apalagi keimut-imutan. Kalau saat ini sih disebut kecibi-cibian. Kerasukan juga
nih anak! Pikrinya. Gabriel lagi-lagi cengengesan karena terlanjur salting. Ia juga
tidak tahu apa yang harus ia katakan. Sesaat senyum Via berubah menjadi senyum
yang lain. Senyum menyelidik. “Gue mencium bau-bau....” katanya menggantung,
layaknya detektif yang sedang mencurigai sesuatu dan berusaha membuat
sasarannya mati kutu.
“PIZZAAA!” teriaknya
mendadak. Bukan mati kutu, sasaran Via, Gabriel, sepertinya mati gondok. Ia
spontan menatap Via bengis seraya menggeleng-gelengkan kepala. Tak cukup untuk
dijadikan bahan pikiran, Gabriel beralih pada pizzanya. Ketika sepotong pizza hendak
dimakan, Via dengan cekatan merebut pizza tersebut dari tangannya. Iel menatap
kembali gadis yang sedang bersamanya sekarang. “Gue tebak, pasti gak
menguntungkan buat gue.” Kata Via sok tahu. Ia menggigit segigit potongan pizza
yang direbutnya tadi.
“Pasti ada!” sungut
Gabriel dengan tangan bersiap memasukkan pizza baru ke mulut. Namun, Via dengan
cepat merebut pizzanya untuk yang kedua kali. Via lekas melahap pizza rebutan
barunya itu sekaligus. “Hmm..yawkyin lwo? Ciwyius? Mwiwapwah?” balas Via dengan
mulut dipenuhi pizza. Gabriel melakukan aktivitas baru yakni garuk-garuk kepala
sambil berdecak heran melihat gadis yang pipinya terlihat lebih tembem
sekarang. “Emang gue ada tampang-tampang modus-an gitu?” Via memperhatikan
sebentar wajah Gabriel sekaligus berusaha menelan pizza yang sedang memenuhi
rongga mulutnya.
“Lo mirip kambing
-,-” kata Via polos bin tulus (?). Kelewat polos dan tentunya kelewat tulus.
Gabriel baru saja hendak memasukkan sepotong pizza ke dalam mulut. Namun
gerakannya terhenti seketika mendengar kesimpulan pengamatan Via akan wajahnya.
Dengan lebih dari sangat polos, Via merebut pizza Gabriel, lagi. Bukan hanya
merebut, ia turut pula melahap ‘curian’ itu sekaligus. Gabriel menatapnya
bengis sebengis-bengisnya. Yang ditatap hanya nyengir dan tetap melanjutkan
makan.
“Gue mau minta
bantuan lo nemenin gue nemuin Pricilla besok siang,” Gabriel akhirnya jujur.
“Uhuk!”
Mendengar Gabriel
menyebutkan nama ‘Pricilla’, tenggorokan Via langsung terasa penuh dan memaksa
untuk dikeluarkan sebagian. Gabriel segera menyodorkannya minum. Minuman kaleng
yang diberikan Gabriel tersebut dalam 3 kali teguk langsung berkurang isinya
menjadi setengah bahkan hampir habis. Via mengumpati habis-habisan dalam hati
baik Pricilla maupun Gabriel. Ia tidak habis pikir bahwa dirinya lagi-lagi
hanya sekedar dimanfaatkan, oleh pemuda yang sempat membuatnya tercenung hari
ini, Gabriel.
Tapi, salahnya juga
sih. Siapa suruh menerima permintaan Gabriel untuk menjadi pacar pura-pura?
Karena sudah menerima, dimanfaatkan itu termasuk ke dalam yang namanya ‘resiko
ditanggung pembeli’, kan? Yaudah deh.
“Gue mau lo apain?”
serah Via tanpa menatap pemuda yang ia ajak bicara. Gabriel mengadu dan
menggosokkan kedua telapak tangannya –seperti orang ketika kedinginan- dengan
air muka semangat maksimal. Mengambil ancang-ancang untuk mengutarakan apa yang
ingin ia lakukan hari ini dan tentu saja harus melibatkan Via dalam prosesnya.
“Gue mau mutusin dia
dan..” Belum lagi kalimat Gabriel selesai, Via sudah lebih dulu memotong.
“Mutusin? Kok lo mudah banget sih nyebutnya?” rutu Via. Yah, meskipun ia merasa
senang karena akhirnya Iel akan bergelar single, tapi ia juga perempuan sama
seperti Pricilla. Perasaan Pricilla turut pula bisa ia rasakan. Diputusin,
apalagi bagi seorang wanita yang mencintai, adalah hal memalukan sekaligus
menyakitkan. Terlebih sakit yang diterima setara dengan sakit ketika menghadapi
proses melahirkan (?) dan membekas tanpa pernah bisa disamarkan ataupun
dipulihkan seperti semula. Meski satupun dari hal tersebut belum pernah
dialaminya.
Gabriel hanya diam
dan berpura-pura tidak mendengar. Tatapan heran Via pun langsung terhunus
padanya. “Kapan sih lo serius?” gumam Via sambil melahap pizzanya lagi. Gabriel
melirik sekilas. “Sama lo gue serius kok, Vi.” katanya seraya tersenyum malu.
Mata Via membuka lebih lebar dan seketika tertawa. Ketika tawanya senyap, ia
menatap Gabriel datar. “Kambing lo!” Via meneguk minuman kaleng yang hanya
tinggal setengah isinya tadi. Sementara Gabriel garuk-garuk kepala. Ada yang
salah? Pikirnya, serius. Ulangi, serius.
“Gue serius Vi.”
katanya lagi mencoba membuat Via percaya. Via tak terlalu mengambil hati. Ia
segera mengembalikan topik perbincangan yang sedikit menyimpang beberapa
derajat saat ini, ke topik awal. “Jadi, gue mesti ngapain?” Gabriel kembali
bersemangat. Ia melirik ke arah Via seraya tersenyum penuh arti.
***
“ALVIIIIIIIIIIIN!!!!!!!!!!!!!!!”
Lengkingan suara
Shilla terdengar jelas di telinga Alvin bahkan teramat jelas sehingga ia harus
menjauhkan bbnya beberapa centi dari telinga. Ia mengorek-ngorek telinganya
yang bernasib sial mendadak itu. Alvin lalu menghela nafas. Shilla pasti marah
besar. Pikirnya. “I..i..iya, kenapa Cantik?” Ia menyempatkan diri mencoba
meredam amarah Shilla melalui panggilan kesayangan pada kekasihnya itu.
Namun, bukannya
redam, api dalam tubuh Shilla malah semakin meluap. “Cantik cantik, gue cekik
lo! Bisa gitu lo bilang gue cantik sementara lo lagi dua-duaan sama cewek lain!
Satu ruangan lagi! Alviiiiin cina tanggung jahat banget sih looo!!” teriak
Shilla lebih keras. Alvin terpaksa menjauhkan bbnya lebih jauh lagi. Bahkan
sampai mengurangi sampai setengah volume suara bbnya. Cewek gue belajar dari
kenek mana bisa teriak sekeras ini, astagaa..
“Shilla sayang
cantiknya Alvin, dengerin gue dulu dan...plis..plis banget, jangan
teriak...gue..”
“ALVIIIIIN!!!!!”
Ternyata pepatah itu benar adanya, bahwa sesuatu semakin dilarang maka akan
semakin dilakukan. Alvin menghela nafas jauh ke dalam.
“Shillaaaa...pliiiss..”
pasrah Alvin. Biasanya, jika Shilla sudah mengamuk, ia kehilangan ide bagaimana
cara membuat gadis itu cepat tenang. Seperti saat ini misalnya. Tapi, untunglah
Shilla langsung diam ketika Alvin bilang seperti itu. Ia benar-benar diam. tapi
beberapa saat setelah itu, terdengar isakan-isakan kecil dari speaker bb Alvin.
Alvin seketika panik. Ia tahu, Shilla pasti sedang menangis.
Mendengar itu,
kepala Alvin terasa merenyut-renyut. Ia kebingungan bagaimana menghadapi
kekasihnya. Hingga beberapa bulan berpacaran, memang Alvin belum juga bisa
menemukan cara membujuk Shilla ketika gadis itu marah ataupun ngambek apalagi
menangis. Ia paling takut jika Shilla menangis. Akan jauh lebih susah
menenangkan Shilla ketika menangis dibanding kemarahan gadis itu. Shilla akan
sulit mendengar apa yang ia katakan nanti. Ia mengulangi gelengan kepalanya.
Alvin..Alvin, lo gimanasih jadi cowok?
“Shilla jangan
nangis dooong, gue bingung kalo lo nangis gini...” Shilla tak menyaut, hanya
isakan-isakannya saja yang memberi tanda pada Alvin bahwa gadis itu masih
menyimak perkataannya. “Shillaa, udah dooong nangisnya, ntar gue nangis nih,”
Bujuk Alvin, lagi. Bukannya mereda, tangisan Shilla justru meledak. “HUAAAA
ALVIIIN!!!” teriak Shilla kencang. Alvin kemudian harus kembali menjauhkan
ponsel dari pendengarnya.
“Haduuh nangis
beneran deh gue kalo gini ceritanya,” ringis Alvin. Pelan-pelan didekatkannya
kembali ponselnya itu. Setelah menarik nafas dalam, ia kembali berusaha
membujuk Shilla. “Shilla sayaang..gue..gue sendirian kok sekarang, ga ada cewek
lain yang nemenin gue.. Cuma lo seorang kok..”
“Be..bener? Lo
sendi..sendirian?” tanya Shilla patah-patah karena habis menangis.
Berhasil! Bujukan
Alvin kali ini dapat meredakan tangisan Shilla walau sedikit. Alvin pun dapat
sedikit bernafas lega. Alvin mengangguk tanpa sadar bahwa Shilla tidak mungkin
bisa melihat anggukannya itu. “Iyaa cantiiik, cuma lo kok yang nemenin gue
sekarang! Iya, cuma lo!” ujar Alvin dengan senyum mengembang. Di seberang sana
Shilla ikut tersenyum dan juga tak menyadari Alvin takkan bisa melihat senyum
manisnya itu. Tersenyum dan terisak disaat yang bersamaan. Cuma cewek yang
bisa! Kadang-kadang cowok juga sih..
“Awas aja lo
bohong!” ancam Shilla. Keduanya kemudian tertawa kecil, menertawai tingkah
ke-anak-kecil-an mereka berdua.
Sementara itu, Febby
yang sedang duduk disofa depan tempat tidur Alvin hanya ikut geleng-geleng
kepala. Ia mau tak mau harus menyaksikan drama percintaan remaja yang agak
lebay sekarang-sekarang ini, tepatnya pada saat ini, seperti yang diceritakan
dalam televisi ataupun novel-novel romance. Haruskah gue memiripkan diri dengan
Shilla? Tanda tanya besar yang baru saja muncul dibenaknya dan seketika itu
dibencinya pula. Febby lantas beranjak dari sofa dan berjalan mendekati pintu
kamar tempat Alvin dirawat. Lama-lama menyaksikan pertunjukkan yang masih
berlangsung di hadapannya itu membuatnya bosan. Akhirnya udah ketebak!
Pikirnya.
Ketika pintu dibuka,
seketika muncul banyak orang yang berebutan ingin masuk.
“Wooaaa!”
Febby yang kaget
dengan segera serta beruntung dapat langsung menutup kembali pintu yang ia
buka. Ia berdiri dan menahan agar pintu tersebut tetap tertutup dan tak ada
satupun dari orang-orang diluar sana yang berhasil masuk. Dapat dipastikan
orang-orang tadi ialah para wartawan yang ingin meliput kondisi Alvin yang
dikabarkan sedang jatuh sakit dan dirawat dirumah sakit. Ia lantas panik dan
berteriak pada Alvin sekaligus meminta solusi dari pemuda tersebut. “Viiiin!!
Diluar banyak wartawan. Gimana nih? Gue harus ngapain? Kalo mereka tau gue
disini bisa muncul yang aneh-aneh ntar!”
Pusing yang beberapa
saat tadi menghilang dari kepala Alvin tiba-tiba berbondong-bondong hinggap
kembali di kepalanya. Ditambah dengan kehadiran para wartawan diluar ruang inap
serta yang lebih parah adalah teriakan kepanikan Febby. Bukan masalah ia ikut panik
juga karena kepanikan gadis itu, akan tetapi suara melengking Febby pasti dapat
didengar jelas oleh Shilla yang secara sekaligus merontokkan usaha-usahanya
dalam membujuk Shilla beberapa saat lalu. Shilla akan tahu bahwa kini dirinya
tidak sedang sendirian, melainkan sedang bersama Febby, orang yang menabraknya
sekaligus orang yang sangat tidak disukai kekasihnya.
Jika tingkah mereka
dikartunkan, muka Alvin pasti sudah merah padam dengan asap-asap putih
terpancar dari setiap lubang di kepalanya berikut dengan sirine tanda bahaya
yang menjadi latar belakang suara setiap gerakan Alvin. Ia juga akan ditimpa
piano besar yang entah muncul dari mana.
“HUAAAAAAA!!!”
ringis Alvin keras. Sementara dibalik ponselnya terdengar suara seorang gadis
berteriak meneriaki namanya pula dan lantas ikut meringis.
Febby garuk-garuk
kepala heran melihat pasangan muda di hadapannya. Sama-sama lebay! Pikirnya.
“Terserah lo deh mau ngapain! Lo yang ngurus deh, gue stres!!” Ujar Alvin.
Kening Febby mengerut bingung. Bagaimana pula caranya menghadapi wartawan? Yang
sering bersinggungan dengan mereka kan Alvin, bukan gue! Aiss!
Suatu ketika Febby
teringat dengan misinya. Ia terdiam sebentar. Sejurus kemudian ia tersenyum.
“Oke!” katanya mantap. Ia membenarkan posisi berdirinya dan merapikan
penampilannya. Dipasangnya senyum seramah dan seanggun mungkin agar tampaknya
dikamera akan bagus. Ia membuka perlahan pintu ruang rawat inap Alvin dan tanpa
gerakan tergesa-gesa kemudian menutupnya kembali.
Berbagai flash
kamera bersilauan dimata Febby. Wartawan-wartawan tersebut langsung mengambil
gambar wajahnya untuk dijadikan bahan liputan masing-masing. Febby makin
mengembangkan senyum di wajahnya. Sedikit rasa bersalah terbersit di hatinya.
Tapi dengan segera rasa itu menghilang. Rasa bersalah gak bisa menyelamatkan
sekaligus mengeluarkan gue dari kondisi gue sekarang. Sorry..
***
“Daaah cantiik!”
Kata-kata itu
menjadi nada intro masuknya Febby ke ruang inap Alvin setelah beberapa saat
menghadapi wartawan yang haus informasi mengenai pemuda sipit itu. febby
meliriknya sekilas dan mendesah ringan. Sekaligus lega juga, karena ia tak
harus mendengarkan dialog menjijikkan dari Alvin dan seseorang yang malas ia
sebut namanya. Yang sampai saat ini masih berstatus sebagai kekasih pemuda itu.
Febby kembali menempati tempat awal dirinya tadi. Sofa di depan ranjang yang
Alvin tiduri.
“Lo gak geli ngeliat
cewek lo?” Diantara sunyi senyap Febby tiba-tiba bersuara. Tanpa memangdang
Alvin karena perhatian Febby kini tertuju pada majalah ditangannya. Alvin
melirik sekilas ke arahnya namun secepat kilat fokusnya kembali pada ponselnya.
“Ngomong sama gue?” datar Alvin. Ia masih kepalang kesal mengingat kelakuan
Febby beberapa saat lalu. Suara cempreng gadis itu yang meluluhlantahkan segala
upayanya dalam sekejab. Seperti terjatuh dari atas tebing yang hanya tinggal
selangkah lagi mencapai puncak.
Febby memalingkan
perhatiannya sebentar dari majalah yang ia baca, akan tetapi bukan ke arah
Alvin. Hanya sebentar karena kedipan mata berikutnya, Febby kembali pada
majalahnya. “Bukan. Gue ngomong sama Alvin Jonathan.” Balas Febby cuek. Entah
bagaimana ekspresi yang ditunjukkan Alvin, Febby tidak tahu. Tapi yang pasti,
pemuda itu masih menanggapi omongannya. Terbukti beberapa detik setelah ia
bicara, Alvin menyahut. “Dia cantik.”
Perhatian Febby
sekali lagi berpaling. Kali ini ia bersedia memangdang Alvin. Ia memperhatikan
sebentar lekuk wajah yang sebagian terhalang punggung ponsel itu. “Gue gak
minta lo muji dia.” Febby tertawa sarkastis. Ia menutup majalah yang sempat
dibacanya tadi dan meletakkannya di meja tepat di sebelahnya. Ia beranjak dari
sofa dan berjalan mendekati jendela yang tirainya langsung ia buka. Ia baru
saja menyadari kalau sejak pagi tirai itu masih tertutup. Ia juga baru sadar belum
ada suster yang masuk ke ruang inap alvin. Apa merek lupa disini ada pasien?
Pikirnya.
“Sampe kapan lo
disini?” sekarang giliran Alvin yang bertanya. Pemuda itu ternyata masih belum
bisa move on dari kemulusan layar ponselnya. Febby mengintip Alvin sekilas lalu
menghadap ke depan. Pandangannya masih saja datar. “Makanya lo cepet sembuh..”
Nada suaranya tidak menunjukkan bahwa ia sudah mengakhiri bicaranya. Dan memang
benar, tak lama setelah itu ia bergumam. “Biaya rumah sakit mahal.” Antara
mengeluh, menyindir atau hanya gumaman semata.
“Biaya gue yang
tanggung jadi gu..”
“Gak bisa gitu..”
Febby menyalip omongan Alvin sebelum pemuda itu sempat menyelesaikan. Ia
menoleh agak ke arah belakang, ke arah Alvin. Alvin mengernyit dan akhirnya mau
menatap lawan bicaranya. “Gue yang nabrak lo, gue juga yang mesti tanggung
jawab, ‘semuanya’” ujar Febby dengan penekanan diakhir kata. Alvin tak
membalas. Ia diam sambil menatap gadis itu lama. Sementara Febby kembali
mengarahkan pandangannya ke depan. Melihat beberapa kendaraan keluar masuk
parkiran rumah sakit.
Ruang inap Alvin
memang tepat berada dengan muka rumah sakit. Sehingga pemandangan yang terlihat
pasti berkaitan dengan lapangan parkir, kendaraan, jalan raya dan
bangunan-bangunan yang berdiri berdampingan dengan jalan raya. “Gue seneng
disini. Ini tempat dimana gue lahir.” Kata Alvin, entah tujuannya untuk apa.
Namun, dari nada suaranya, lebih menandakan bahwa dirinya sedang bercerita.
Pada Febby. Hah?
“Kenapa gue jadi
curhat sama lo?” katanya, lebih tepat pada dirinya sendiri. Febby tersenyum
miring. “Gini-gini, gue enak diajak cerita loh!” Alvin mendengar itu lantas
mendengus kesal. Bertambah kesal. Bisa-bisanya...bahkan Shilla saja belum tahu
kalau tempat kelahirannya di rumah sakit ini. Rumah sakit Cipta Kasih.
Kedengarannya memang hanya masalah kecil. Tapi, Alvin tidak pernah bercerita
banyak bahkan sedikit pada orang yang tidak benar-benar dekatnya. Lebih parah
pada orang yang tidak ia suka.
Alvin meletakkan
ponselnya asal dan menghela nafas sejenak menenangkan pikiran. Cukup lama ia
diam tanpa melakukan apapun dan mengucapkan sepatah kata pun. Febby sepertinya
ikut-ikutan. Ia asyik memandangi pemandangan luar yang sepertinya begitu indah
baginya. Keduanya sama-sama terhipnotis kegiatan masing-masing.
“Sampe kapan lo
betah sama...cewek lebay itu?” Febby masih mempertahankan prinsip untuk tidak
menyebut nama gadis itu, kekasih Alvin. Alvin menoleh padanya dengan alis
terangkat satu. “Siapa?” tanya Alvin balik, bertingkah seolah tidak mengerti
apa yang Febby maksud. Kedua bola mata Febby berputar bersamaan. “Pacar lo!” katanya
memperjelas. Alvin tersenyum lebar mengetahui dirinya akan membahas mengenai
Shilla. Entahlah, setiap orang pasti berpikir bahwa Shilla menyebalkan, tapi
baginya, gadis itu sangat menyenangkan. Menggemaskan apalagi.
“Sampe gue capek.”
Katanya tenang. Perhatiannya terpusat kembali pada ponsel yang sempat
diletakkan asal tadi. Ia tebak, kurang lebih pasti sudah ada 2 atau 3 pesan
dari Shilla yang berisi gerutuan karena dirinya tidak kunjung membalas. Ia
tersenyum geli membayangkan itu. Di samping Alvin, Febby mengerang ngeri
melihat sikapnya yang begitu memprihatinkan. Menurut’nya’.
“Kapan lo capek?”
tanya Febby lagi. Alvin tidak menoleh padanya. Jemari pemuda itu menari lincah
diatas keypad ponsel. “Mungkin ga akan pernah.” Febby mengernyit. Ia diam
menunggu kata-kata Alvin berikutnya. “Shilla, dia buat gue ngerasa kayak main
virtual game. Ada aja rintangannya. Dan gue gak pernah bisa nebak apa yang akan
terjadi ke depan.” Febby melongo. Namun sesaat kemudian ia tertawa sarkastis.
Game? Pikirnya. “Shilla mainan lo dong?”
Alvin diam sebentar
lalu mengangguk-ngangguk. “Mungkin,” Alvin menarik nafas dan menghembusnya
santai. “Mainan dalam ‘kepala’ lo sama ‘kepala’ gue beda.” Katanya seakan tahu
apa yang Febby pikirkan saat ini. Apa bedanya? Tanya Febby dalam hati. Ia tidak
berniat bertanya langsung. Biar Alvin yang bercerita sendiri. Dan benar saja,
tanpa susah-susah bertanya, toh Alvin langsung menjelaskannya sendiri. Mereka
seperti punya ikatan batin. Ikatan batin?
“Gue maniak game dan
mainan. Gue rela ngelakuin apa aja supaya bisa ngedapetin mainan yang gue suka.
Sama kayak Shilla, gue rela ngelakuin apa aja supaya dia bisa jadi milik gue..”
“Tapi mainan yang lo
suka banyak. Artinya, kerelaan lo bukan cuma buat Shilla. Tapi juga buat
cewek-cewek yang lain.” Febby menyerobot sebelum ucapan Alvin mencapai garis
finish. Alvin tersenyum miring. “Gue emang suka banyak mainan. Tapi dari sekian
banyak itu, pasti ada satu mainan yang paling gue suka. Yang selalu gue mainin
setiap hari setidaknya sekali. Yang gue bakal nangis darah kalo sampe dia
hilang. Itulah Shilla.” Febby kelihatan belum menyerah. Badannya berbalik
menghadap Alvin. “Lo pasti bakal bosan. Dan ketika ada mainan yang lebih bagus
dari mainan lo itu, lo bakal terpikat dengan itu. Dan lo bakal ngebuang mainan
yang dulu jadi favorit lo itu.”
Alvin menatapnya
sebal. “Gak secepat itu gue bosan. Gak semudah itu juga gue move on. Dan gue
gak bakal rela ngebuang gitu aja mainan yang gue dapetin denga susah payah.
Meskipun ada yang lebih bagus, tapi tetep aja itu bukan mainan gue. Sensasinya
beda! Kecuali, gue lebih dulu ketemu mainan yang lebih bagus itu.” jelasnya
panjang lebar dan cukup membuat Febby miskin kata-kata. Ia mendengus. Matanya
menatap Alvin kesal. “Tapi tetep aja, kosakata mainan itu gak baik!” Mungkin
ini menjadi sanggahan terakhirnya untuk Alvin.
“Kepala lo itu udah
terlanjur mengartikan gak baik, makanya penjelasan gue gak bakal bisa
bersahabat dengan pemikiran lo.” Alvin tersenyum menang. Febby mendengus lagi
dan selanjutnya ia tidak peduli apa yang dikatakan Alvin. Pemuda itu tidak akan
ada habisnya menyahut sanggahan yang ia lontarkan nanti. Seketika suasana ruang
inap Alvin kembali tenang. Hanya ada terdengar suara-suara dari luar kamar dan
luar rumah sakit. Alvin dan Febby masing-masing menutup diri untuk mengajak
berbicara lagi.
Namun, belum
sepenuhnya menutup diri. Alvin kembali berujar. “Lo ngomong apa sama wartawan?”
Ia meletakkan ponselnya sebentar dan menatap Febby serius. Febby mengembangkan
senyum senang membalas tatapan Alvin.
“Lihat aja besok!”
***
Rio memilih sendiri
siang ini. Ia tahu saat ini Dea pasti mencarinya di kelas. Karena itu, tepat 5
menit sebelum bel berbunyi ia sudah berada di luar kelas. Ia ingin sejenak
mencari ketenangan. Menghindari gadis-gadis yang akhir-akhir membuatnya susah
tidur. Dea sekaligus Ify. Yang paling berpengaruh memang Ify. Tapi ia sedikit
terbantu dengan sikap menjauh yang dilakukan gadis itu. Sekarang Dea lah yang
justru sering menganggunya. Entah kenapa gadis itu menjadi rutin menemuinya di
kelas dan mengajaknya pergi ketika istirahat atau pun pulang sekolah.
Rio tidak sendirian.
Beberapa murid lain juga sama seperti dirinya. Ada yang sudah keluar sebelum
waktu mereka keluar kelas. Rio berjalan dengan kedua tangan menyelinap di saku
celana abu-abunya. Matanya memperhatikan sekeliling. Mulai dari siswa yang
bermain basket di lapangan tengah, siswa yang hanya sekedar duduk dan
berbincang-bincang dengan sesama karibnya bahkan ada sepasang siswa dan siswi
yang mengambil posisi pojok dan bercengkrama disana.
Rio menaruh
perhatian yang agak lebih lama pada sepasang siswa siswi tersebut. Ia tersenyum
tanpa sadar. Gue sama Ify kapan kek gitu? Tanpa sadar pula batinnya bertanya
seperti itu. akan tetapi, kerja sistem sarafnya cukup cepat sehingga
memperkenankannya untuk segera menyadari keanehan yang baru saja terjadi
padanya. Keningnya mengerut disusul dengan gelengan kepala singkat tanda
ketidaksetujuannya pada apa yang terlintas dipikirannya.
Tak terasa ia sudah
berkeliling hampir ke semua bagian Parfait. Ia sampai pada daerah yang agak
jauh dari kantin dan terlihat kurang menjadi tempat favorit siswa di
sekolahnya. Terbukti keadaan sekelilingnya sepi. Mungkin bisa dipastikan hanya
dirinya yang menginjakkan kaki disana. Tapi tunggu. Sepertinya Rio tidak
sendiri. Seorang gadis baru saja keluar dari toilet di sekitar keberadaannya.
Gadis itu, gadis yang waktu itu membuat Ify terduduk di lantai.
Tujuan perjalanan
Rio seketika berubah. Ia sekarang menjadi pengikut gadis yang menjadi
satu-satunya teman huninya disana. Ia berjalan sekitar tiga setengah meter di
belakang gadis itu. Gadis itu pada awalnya tidak curiga. Namun, beberapa saat
berikutnya gadis itu mulai menampakkan gerak-gerik tidak nyaman. Oleh
karenanya, gadis itu berhenti dan seperti menunggu Rio datang. Rio tersenyum.
Ia berjalan dengan tenang. Memang seperti itu yang ia inginkan. Ia lebih suka
jika gadis itulah yang mengajaknya bicara. Bukan dirinya.
Tebakan Rio
menyimpang maksimum. Ketika Rio berada cukup dekat, gadis itu menepi dan
memberi jalan pada Rio agar ia yang berjalan di depannya. Rio cukup dibuat
bingung. Ia lantas tersenyum miring. Gadis pintar. Pikirnya. Setelah dirasa
cukup jauh, gadis itu melanjutkan kembali langkahnya. Akan tetapi baru beberapa
langkah menyusul, Rio berhenti dan otomatis membuatnya berhenti pula. Melihat
Rio yang hanya diam, lantas ia melanjutkan jalannya untuk yang kedua kali.
“Jangan ganggu Ify.”
ujar Rio tepat ketika gadis itu berada di sampingnya. Langkah gadis itu
terhenti kembali dan
***
Seharian ini Ify
tidak bertemu Debo. Biasanya makhluk ajaib itu yang memunculkan diri dengan
sendirinya di hadapan Ify. Ify juga tidak bertegur sapa dengan Rio hari ini.
Pemuda itu tidak muncul tiba-tiba menjemputnya di rumah lagi. Hari ini ia untuk
pertama kalinya berangkat dengan whity, jazz putih kesayangannya, setelah
sekian lama dilarang Ferdi, ayahnya. *benergaksihwarnaputihdulu?* Ah sudahlah,
pemuda itu tak perlu diingat terlalu banyak. Harus ia lupakan sangat banyak
tepatnya.
Meski begitu, ia
bersyukur dengan ketidakbertemuannya dengan pemuda-pemuda tersebut. Ify juga
kebetulan sedang ingin sendirian hari ini. Ia sedang ada misi. Menyelidiki
Angel, sigadis sepatu pertama, yang beberapa hari lalu tak sengaja bertemu
dengannya dirumah sakit. Sebelum itu, ngomong-ngomong tentang Rio, waktu itu
Angel sempat melemparkan tatapan aneh pada Rio. Ia jadi teringat kata-kata
Obiet, dokter yang menangani papanya sekaligus dokter pribadi Angel. Bukan
dokter pribadi, dokter curhat pribadi tepatnya.
“Angel itu
sebenarnya sedang...hamil..” Ujar Obiet jujur. Nada suaranya berat dan sedih.
Ify kaget ketika pertama kali mendengar itu. Ia mati-matian menyembunyikan
hasrat ingin mengumpati Angel meski agak tak menyangka juga jika Angel sedang
hamil. Hamil? Gimana bisa masih SMA udah hamil? Hih, udah galak, gak bener
lagi! Pantesan! Gue yakin, pasti dia orang yang ngurung gue waktu itu!
Tapi...agak aneh juga sih.. pikirnya. Sedikit banyak ia merasa bersalah telah
mengumpati Angel seperti itu walaupun tidak tersampaikan secara
terang-terangan.
“Saya kenal dia
sejak kecil karena saya sahabat ibu dan ayahnya. Pertama kali saya mengenal
Angel, dia anak yang cantik, baik, hangat, aktif, susah marah dan suka sekali
tersenyum. Sekalipun belum pernah saya lihat dia ngambek ataupun menangis
bahkan ketika ayahnya meninggal. Meski saya tahu dia sangat sedih waktu itu.
Tapi, beberapa tahun setelah itu, ibunya menikah lagi. Saya tidak begitu tahu
tentang ayah tirinya. Mereka juga langsung pindah ke tempat dimana ayahnya
tinggal dan bekerja, di jakarta. Waktu itu saya masih di Surabaya. Dan
sekarang, di rumah sakit ini, saya tak sengaja menemukan Angel ketika itu
terjatuh di depan pintu toilet. Tangannya memegang test pack *benerga?* yang
hasilnya positif. Awalnya saya hanya samar-samar seperti pernah bertemu. Saya
membawa dia ke ruang perawatan. Dia mengenali saya dan akhirnya saya tau siapa
dia. Dia sangat jauh berbeda dari yang saya temui bertahun-tahun yang lalu.
Angel yang sekarang lebih pendiam dan pemurung. Saya terkejut ketika dia bilang
bahwa ibunya meninggal saat melahirkan adiknya. Dan yang lebih membuat saya
terkejut adalah ketika dia mengatakan bahwa dia....yaah begitulah. Dia tidak
pernah mau memberi tahu saya siapa ayah dari bayi yang sedang dikandungnya itu.
Ketika saya tanya, dia cuma senyum, senyum yang teramat pahit bagi saya dan
apalagi bagi dia..”
Ify
mengangguk-ngangguk dengan sesekali kaget mendengar cerita dari Dokter Obiet.
Rasa bersalahnya telah mengumpat Angel tadi semakin besar. Aduuh dosa besar nih
guee! Kak Angel, maafin gue yaaak! Khilaf kak, khilaf! Ampunnya dalam hati.
Obiet lalu meminta bantuannya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Angel,
dimana Angel tinggal, bagaimana Angel bisa...dan terutama, siapa laki-laki hina
yang telah membuat Angel mengandung pada saat yang tidak seharusnya itu.
“Terus sekarang gue
harus ngapain?” tanya Ify pada dirinya sendiri setelah Flashback panjang
pertemuan dirinya dengan Obiet selesai. Sebelumnya, ia tidak pernah menyelidiki
apapun. Atau mungkin pernah satu kali tentang si Gadis Sepatu. Itu juga belum
menampakkan bibit-bibit keberhasilan sampai saat ini. Sifatnya sendiri
sebenarnya sangat mendukung apa yang ia lakukan. Rasa curiga dan
keingintahuannya cukup besar. Akan tetapi, ia seringkali salah dalam menentukan
simpulan penyelidikannya. Dan bagian yang paling sulit adalah menentukan
langkah pertama yang harus ia lakukan.
Kakinya terus
melangkah melewati beberapa koridor tanpa komando. Ia baru sadar dirinya berada
di salah satu koridor Parfait yang sepi. Ia menoleh ke kanan-kiri dan tak ada
satupun orang yang berseragam sepertinya yang berkeliaran disana. Ketika sampai
di penghujung koridor, matanya tak sengaja menangkap 2 manusia yang cukup ia
hafal gerak-geriknya. Salah satunya ialah orang yang sedang dalam
penyelidikannya sekarang. Sementara yang satu lagi ialah pemuda yang baru-baru
ini ia coba lenyapkan dari pikirannya.
Rio berjalan di
depannya dan Angel ada di depan Rio. Mereka berjalan membentuk satu barisan
berbanjar tanpa mengetahui keberadaan masing-masing. Atau lebih tepat jika Rio
dan Angel sama-sama tidak menyadari ada Ify di belakang mereka. Sela diantara
mereka jauhnya bisa dibilang hampir sama. Masing-masing kelihatan saling
menjaga jarak satu sama lain. Dan dari pandangan Ify, ada yang aneh dengan Rio
maupun Angel.
Entah bagaimana bisa
bayangan senyum misterius Angel pada Rio waktu itu muncul di benak Ify. Seperti
sebuah kode dari entah siapa. Ia agak kurang mengerti maksud dari pemberian
kode dan kode itu sendiri. Tapi jika dipikir-pikir, keberadaan Rio dan Angel
saat ini dengan kode yang Ify terima lumayan berkaitan. Setidaknya, pelaku
dalam rekaan di benak Ify adalah orang yang sama. Rio, Ify dan Angel. Yang agak
menonjol disana hanya senyuman Angel pada Rio. Senyuman misterius yang hanya
dirinya yang tahu apa maksudnya.
Pada Rio? ulang Ify
dalam hati. Langkahnya terhambat sedikit karena otaknya sedang difokuskan
berfikir. Angel...Rio...Angel...hamil...Rio...Rio...
Deg..
Sisi sebelah kiri
dada Ify tiba-tiba bergetar hebat. Pelangkahnya berhenti tepat saat getaran itu
pertama kali muncul. Ify tercenung. Matanya mengarah pada lantai koridor dengan
pandangan kosong. Lalu pelan-pelan kepalanya terangkat melihat dua orang, atau
tepatnya hanya Rio, yang perlahan melebihkan jarak dengannya itu. Rio.. Ify
kembali mengeja nama pemuda tersebut dalam hati. Ia tercenung lagi.
“Rio...apa sejahat
itu?” mulutnya mengucap pelan dan lirih. “Gak mungkin..” mulutnya mengucap lagi
tak yakin. Kedua kakinya kemudian mulai melangkah kembali. Batinnya terus
menggumamkan hal yang sama hingga beberapa kali. Gak mungkin.
Angel dan Rio sempat
berhenti beberapa kali. Hal itu tak luput membuat Ify panik setengah mati.
Beruntung dinding-dinding disekitar koridor bisa membatu menyembunyikan raganya
tanpa ketahuan oleh Angel dan Rio. Dan di tempat persembunyian terakhirnya ini,
ia mendengar suatu hal yang lumayan membuatnya kaget. Cukup untuk dijadikan
bahan bakar bom dalam dadanya. “Jangan ganggu Ify.” Ify? Gue kan? Batinnya
terperangah tak percaya. Rio meminta Angel agar tidak mengganggunya. Itu bearti
pemuda itu khawatir akan apa yang bisa dilakukan Angel padanya. Bisa jadi,
kecurigaan mengenai gadis sepatu juga turut dirasakan Rio.
Tapi, hal itu
sekaligus memperkuat hipotesis pertamanya mengenai Rio dan Angel. Angel mungkin
mengetahui bahwa dirinya memendam sesuatu yang istimewa terhadap Rio. Maka dari
itu, Rio memintanya agar tidak menganggunya.
“Rio..” lirih Ify.
Hatinya mencelos menyebut nama pemuda yang satu itu.
***
Jam dinding kamarnya
sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang. Gadis berambut pendek yang satu ini
masih setia melakukan kegiatan yang bisa dipastikan sebagai kegiatan
terbesarnya hari ini, mondar-mandir tanpa tahu kapan ia akan berhenti. Suatu
ketika pintu kamarnya terbuka dan menyembul kepala seorang gadis lain dari
balik benda tersebut. “Hai, Vi!” cengirnya pada Via, si gadis berambut pendek
yang sedang resah gelisah tadi, tanpa rasa bersalah. Gadis itu sendiri tak lain
dan tak bukan adalah Ify.
Via menghela nafas
melihat temannya yang satu itu. Ia lantas berhenti mondar-mandir dan duduk di
atas kasur. Tangannya mengetuk-ngetuk bagian atas ponsel yang ia pegang sambil
memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya, mencemaskan sesuatu. Ify masuk tanpa
dipersilahkan. Ia kemudian ikut duduk di samping Via. Tumben temannya itu hanya
diam tanpa berkicau seperti biasa jika ia datang tiba-tiba. Pasti ada sesuatu!
Ify mulai menebak-nebak bak detektif, cita-cita yang sempat diingininya sewaktu
masih kecil dulu. Dan beberapa waktu kedepan akan dijalaninya. Orang yang
biasanya ramai dan mendadak menjadi pendiam itu ada 2 kemungkinan penyebabnya.
Dia sedang jatuh cinta atau..dia sedang patah hati. *halah*
“Hoy!” Ify bertepuk
tangan sekali tepat di depan wajah Via. Via lantas menoleh dan menatap Ify
lama, entah mengapa. Kening Ify mengerut ketika dirinya diperhatikan. Mendadak
rambut-rambut halus yang menumbuhi permukaan lengannya berdiri. Ia merinding.
Tatapan Via yang agak aneh membuat pikiran-pikiran aneh darinya pun bermunculan.
Wah, bad feeling nih...Via..lo masih setia jadi temen gue kan? Ga ada niatan
move on jadi penyuka gue kan? Tanyanya dalam hati tanpa berani mengungkapkannya
secara langsung pada Via.
Lain dengan Via.
Seketika, sebuah ide yang bisa dikatakan aneh muncul yang sekaligus mengakhiri
kekhawatiran Ify akan dirinya. Dan mungkin jika Ify tahu, dirinya akan
benar-benar aneh total dimata gadis itu.
***
“AAAAA ITU
SIAPAA!!”
Seorang pemuda
transisi (?) yang merupakan salah satu dari pegawai salon langganan Via,
tepatnya mama Via, baru saja selesai melakukan make over terhadap Ify.
“tengkis ya, ciiin!”
ujar Via sambil memberikan tip pada pemuda tadi. Pemuda transisi itu
mengedipkan mata sambil tersenyum girang dan mengambil tip dari Via. “Kalo job
ginian, panggil eyke ajyaa, okeeey!” katanya lagi sambil mengedipkan mata
sekali lagi. Ia lantas beranjak keluar dari kamar Via.
Sementara itu, Ify
masih berkutat pada kepanikan melihat sosok yang muncul dicermin dihadapannya.
Seorang gadis manis dengan rambut yang sebagiannya berwarna kuning kecoklatan.
Warna tersebut terlihat jelas terutama dihelaian rambut bagian depan. Gadis itu
ialah dirinya sendiri yang ia sendiri tidak percaya bahwa itu dirinya. Via
terheran-heran melihat tingkah teman karibnya itu. Ia tidak menyangka bahwa Ify
akan sepanik ini.
“Lo gausah lebay
bisa gak sih?” Ify tak merespon. Ia fokus meratapi nasib rambut hitamnya yang
kini sudah terkontaminasi sebagian menjadi kuning kecoklatan. “Viaaa rambut gue
lo apain?!!” Ify balas menggerutu. “kecelup urine!” jawab Via asal. Diameter
mata Ify sontak melebar. “Hah?!”
Via mendesah kesal.
Ia lebih tidak menyangka lagi bahwa Ify akan menjadi setulalit ini ketika
panik. “Ya enggaklah Piyeem! Tadi gue suruh Mince warnain rambut lo. Lo kan
udah tau sebelumnya gue bakal ngapain aja, termasuk warna rambut lo.” Ify
meringis mendengar kata-kata Via barusan. Benar juga sih, Via memang sudah
memberitahunya sejak awal dan bodohnya ia hanya menganggung-ngangguk tanpa
benar-benar memahami apa saja yang Via rencanakan. Karena pada waktu itu ia
masih curiga dengan senyuman Via yang terlihat ‘mengerikan’ kepadanya.
“Tapi kan...rambut
gue...” ujarnya putus asa. Via tidak peduli. Ia berjalan mendekati laci kecil
yang terletak di sudut kanan lemari kamarnya. Disana tersimpan segala
pernak-pernik tak terduganya dulu dan mungkin sekarang akan sering ia gunakan.
Ia mengambil kacamata hitam besar dan sebuah masker. Lalu kemudian kedua barang
tersebut diberikannya pada Ify untuk dikenakan. “Nih pake!” Ify menilik
satu-persatu barang yang disodorkan Via. Seketika ia dibuat berfikir, jika ia
diharuskan memakai kacamata hitam dan masker, lalu untuk apa softlens biru di
matanya dan riasan di wajahnya? Tidak ada yang bisa melihat juga kan?
“Buat apa lo
dandanin gue kalo ujung-ujung mesti ditutupin?” Mendengar itu Via lantas ikutan
berfikir. Sejurus kemudian ia pun meyadari bahwa....Ify lebih pintar darinya,
hari ini. “Hehehe kok lo tumben pinter sih, Yem? Sorry deh Yem, khilaf gue.”
kalau begini jadinya, Via hanya bisa nyengir dan Ify benci hal itu. Ify
langsung menatapnya sinis. Namun sejurus kemudian ia kembali menatap cermin dan
kembali meratapi nasib rambutnya.
“Kita pergi
sekarang!” Via langsung menarik Ify keluar kamar bersamanya sebelum gadis itu
mulai mengoceh. Mereka lalu menempuh perjalanan menuju tempat pertemuan Via
dengan... Gabriel!
***
Hiahahahaha apa
kabar pemirsaaaah?!!!!!!!! Masih ingat saya? Masih ingat cerita saya? Wkwkwkwk~
Well firstly secondly finally saya kembali lagi ke dunia percerbungan. Jangan
sedih duluuu, karena beberapa waktu kedepan saya akan hibernasi kembali. Saya
mau UN pemirsaaaah! dan saya stres -__- mohon atuh doaken saya semoga bisa
menjalankan UN dengan tenang, lancar dan hasilnya nanti sangat baik
*semuabilangAMIN!* Nah, dengan hibernasinya saya maka pemirsa sekalian dapat
bergembira hati kembali karena tidak akan berjumpa dengan author gagal seperti
saya ini hahahaha .-.v
Oh iya, ini
sebenernya mau lanjutin special part, cuma kasian dengan penggemar couple lain
apalagi dengan kenihilan saya melanjutkan cerita -..-v jadi campur aduk lagi
deeeh ._. dan sangat sangat meminta maaf kepada yg suka Cagni karena mereka ga
muncul disini. saya ga dapat ide haha ._____.v
Pesan-pesan terakhir
saya sebelum hibernasi, semoga cerita ini dapat mengenyangkan pemirsa-pemirsa
yang selama ini mengaku kelaparan kepada saya -_-v Dan, jangan nantikan saya
kwkwkwkwkw~
Wassalam :D:D:D
Jelek ya? Haha, saya
tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan
cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)