Haiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!
Gak
ngaret kaan gak ngaret kaan? muehehehehe -,-
Untuk
kesekian kalinya makasiiih yaa semuanya yang udah doain mimin :') tetep doain
mimin yaaa semoga sbmptn mimin lulus disalah satu dari 3 pilihan mimin, kalo
bisa Unand kalo enggak di dua univ lainnya juga gapapa amiiiin O:)
Oh
iya maaf Alshill nya untuk beberapa saat mendem dulu, soalnya ceritanya emang
lagi banyak di Alvin Febby, Cagni, Rify sama Siviel. Dan itu kendala dengan LDR
nya mereka berdua dan sakitnya Alvin *ceritanya* jadi agak susah munculinnya.
Kalo pun ada palingan cuma adegan telfonan. Tapi masa telfonan mulu? Dari
kemaren-kemaren juga telfonan mulu, pasti bosen kan? Nanti ada saat mereka
banyak yaaa tenang ajaaah. Jadi harap sabar sejenak -,-v
***
Cause
all I need is a beauty and a beat who can make my life complete...
Terdengar nada dering dari ponsel Dea
yang disimpannya di dalam tas. Ia membuka resleting tas dan merogoh ponsel yang
sedang asyik mendendangkan lagu milik si ganteng Justin itu. tiba-tiba Dea
bersorak heboh dengan mata berbinar. Rio dan Ify sekilas saling berpandangan
bingung. Dea dengan cepat menyambut panggilan masuk yang bertamu ke ponselnya
itu. Ia diam sebentar, menarik nafas dan bersuara dalam hitungan ketiga detik.
1...2...3...
“Kak ACHA!”
Ify termangu mendengar nama yang disebut
Dea barusan. jantungnya berdebar tak karuan. Firasat tak enak yang sempat
dirasakannya tadi makin kuat. Ia menutup matanya sejenak seraya mengatur nafas
sekaligus menenangkan diri. Tak jauh beda dengan Rio. Pemuda itu makin beku
ketika daun telinganya menangkap jelas pekikan suara gadis di sebelahnya, Dea.
Bukan pekikannya yang menjadi masalah, tapi apa yang dipekikkan gadis itu.
jantung Rio ikut-ikutan berdegup tak sabar. Firasat tak enak juga tak luput
dirasakannya, sama seperti Ify.
Berbicara tentang Ify, ia jadi teringat
gadis itu. apa yang sedang gadis itu lakukan sekarang? Bagaimana reaksinya?
Sedikit banyak, Rio merasakan keingintahuan tentang sikap gadis itu saat ini.
ia melirik kaca di samping atas kepalanya. Muncul bayangan Ify disana sedang
menutup mata dan menghela nafas agak...berat. Sontak pandangan matanya berubah
lirih. Ia tidak yakin setelah ini Ify tidak akan tersakiti olehnya. Lagi. Untuk
kesekian kali.
Sepuluh menit lebih akhirnya Dea menutup
bincang-bincangnya bersama Acha. Ia menatap layar ponselnya berseri-seri. Tanpa
merosotkan senyumnya, Dea memasukkan kembali ponselnya tersebut ke dalam tas.
Ia menatap ke depan dan kemudian berseri-seri lagi. “Kakak tau gak..” katanya
menggantung tanpa memberi tahu secara jelas siapa yang ia ajak bicara. Akan
tetapi, dua manusia yang semobil dengan gadis itu pasti tahu siapa yang di ajak
bicara. Terutama Ify. Mana mungkin Dea berbicara padanya, apalagi kalau
bahasannya tentang gadis bernama...ah gatau deh!
Sama seperti Dea, ia menyahut singkat
tanpa menoleh ke arah gadis itu. “Apa?” Dea tersenyum miring seraya memiringkan
kepala sedikit. “Kenaikan kelas...Kak Acha balik!!” Dea bersorak di penghujung
kalimatnya. Ify seketika melengserkan kepalanya hingga membentur kaca mobil Rio
pelan. Ia memandang awan-awan putih yang mobil Rio lewati. Matahari, kamu
kemana? Jangan tinggalin aku ya! Batinnya ngelantur sekaligus pasrah.
Rio meremas stirnya kuat. Ia frustasi
pada perasaannya sendiri. Apa yang ia rasakan dan yang seharusnya ia rasakan
saat ini ia tak tahu. Tak mengerti. Ketidakadilan melanda hatinya. Kenapa?
Kenapa disaat dirinya berniat melupakan malah dipancing seperti ini? Memang
sih, dirinya bukan ikan yang begitu melihat kail, apalagi yang dililitkan
cacing di busurnya, pasti langsung menyambar. Akan tetapi, dirinya juga tidak
punya kuasa menahan ego hatinya untuk suatu waktu menyambar kail yang diarahkan
padanya. Dalam hal ini, Acha. Orang yang dulu tertancap dalam di hatinya atau
mungkin masih sampai sekarang.
Arrggh!! Benar-benar...siapa, siapa si
kurang ajar yang sudah berkali-kali mengobrak-abrik jalan pikiran serta aliran
hatinya? Ayo kemari berganti posisi dengan dirinya. Coba saja rasakan menjadi
dirinya sebentar. Mari bertaruh, sampai kapan akan sanggup bertahan. Dan kalau
begitu, Rio pasti akan menang. Karena tidak akan ada yang sanggup. Dan mungkin
juga dirinya.
“Kak? KakYo?” tegur Dea karena merasa
diabaikan. Rio tersadar dan menoleh sebentar pada gadis itu. Gadis itu tampak
mengernyit kurang senang. “Kok diem aja sih? Kakak gak seneng ya kakCha balik?”
tanyanya curiga. Rio diam sebentar lalu menjawab kaku. “Hah? Se-seneng..” Di
belakangnya, Ify mendengus singkat. Bukan Rio, tapi dirinya yang tidak senang.
Lantas ia merasa bersalah dalam hati. Acha tidak melakukan sesuatu yang buruk
padanya tapi ia begitu tak ‘suka’ mendengar kabar kedatangannya. Akan segera
terjadi. Ify memijat pelan keningnya. Kepalanya mulai terasa nyut-nyutan.
Hatinya lebih lagi.
Lupakan
aku..kembali padanya..aku bukan siapa-siapa..untukmu... *nyelipdikiteaaak*
***
Siang ini, anggota ekstrakulikuler
basket latihan seperti biasa. Namun, agak sedikit berbeda. Kali ini tak sekedar
latihan, akan tetapi diadakan tanding kecil-kecilan antara senior yang sebentar
lagi hengkang dari sekolah dan para penerusnya alias junior mereka. Disitulah
kesempatan dimana para senior melatih mental para junior melalui sistem babat
habis, artinya mengalahkan junior dengan skor tak tanggung-tanggung. Sebenarnya
bukan latihan mental juga sih, lebih tepat jika aksi unjuk diri terakhir dari para
senior di depan semua junior-junior yang bergabung. Tentunya para senior tidak
menginginkan kalah sebagai salam perpisahan mereka.
Cakka berlari ke tepi lapangan dan
langsung berselonjor ria sambil meneguk habis sebotol air mineral di tangannya.
Rambutnya basah kena keringat. Maklum, dirinya habis menjamu para senior. Ia
memperhatikan sekeliling yang cukup ramai itu. memang sudah kebiasaan jika
ekskul basket mengadakan perpisahan dengan senior. Pasti akan ramai dikunjungi
dari biasanya. Tapi sepertinya ada yang kurang. Hatinya merasa ada yang kurang.
Matanya bergerak mencari seseorang akan tetapi pikirannya tidak dapat
menentukan siapa yang dicari penglihatnya tersebut.
Semua anggota basket hadir dan itulah
orang-orang yang senantiasa Cakka ketika mengikuti kegiatan ini. Baik yang
laki-laki maupun yang perempuan semuanya lengkap. Ah, ngomong-ngomong soal
perempuan, sudah berapa lama ya ia tidak berkomunikasi dengan Febby, pacarnya?
Hampir dua minggu. Ah iya, segitu. Batinnya menghitung. Akhir-akhir ini ia
merasa seperti bebas hubungan dengan Febby. statusnya memang masih sebagi
pacar, tapi ia sendiri tidak merasakan menjadi seseorang yang disebut pacar
itu. Tak ada rasa rindu menyelip dalam hatinya. Memikirkan Febby saja pun
tidak. Ia justru lebih sering kepikiran dengan si gadis kalung. Agni.
“Kok Agni?” Tanyanya pada diri sendiri.
Lumayan kaget karena entah mengapa hatinya menyebut gadis itu. Matanya bergerak
liar lagi sesaat setelah nama Agni terngiang di kepalanya. Seketika gerak
matanya berhenti dan berubah bingung. Kok...jangan-jangan dari tadi gue
nyariin.. Sedetik kemudian matanya membulat besar diikuti dengan kerutan di
beberapa bagian kening. Tak sampai lima detik, matanya kembali berubah
pandangan bingung. “Tapi kenapa?” tanyanya lagi.
Seorang rekannya ikut bingung melihat
Cakka yang beberapa kali terlihat berbicara sendiri. Ia memiringkan kepala
seraya memperhatikan lagi keanehan Cakka tersebut. Ia lalu berjalan mendekati
Cakka, mengajak pemuda itu bicara sekaligus mencari tahu apa yang sedang
terjadi. “Woy!” sentaknya. Cakka menoleh pelan masih mempertahankan tatapan
bingungnya. Lebih bingung lagi karena didatangi Riko, sang rekan. “Lo kenapa
ngomong sendiri?” tanyanya tanpa basa-basi. Cakka masih memasang tampang
bingung namun juga berpikir tentang sesuatu.
“Agni mana?” tanyanya balik tanpa
menjawab pertanyaan Riko lebih dahulu. Entahlah, yang ada di kepalanya dan yang
ingin diketahuinya sekarang hanya gadis harajuku itu. Agni. Sekarang gantian
Riko yang bingung. Tambah bingung tepatnya. “Agni?” Lagi-lagi Riko balas
bertanya. Tak ada yang mau mengalah sepertinya.
Cakka hanya diam tak berniat –lagi-
menjawab. Diam kan artinya iya. Setidaknya menurutnya begitu. “Ada yang bilang
Agni out, makanya sekarang ga dateng.” Jelas Riko akhirnya. Ia lalu beranjak
pergi ketika seseorang memanggilnya. Cakka tidak begitu acuh pada siapa yang
‘merebut’ Riko darinya tersebut. Boleh diulang, yang ingin diketahuinya
sekarang hanya Agni. “Out?” gumamnya kembali berbicara sendiri. Ia lantas
teringat pada kejadian tadi siang bersama gadis itu. mengingat dan baru
menyadari sifat tidak bersahabatnya pada Agni.
Apa karena itu Agni berniat keluar dari
basket? Karena gue? ulangnya dalam hati. Sejenak ia berdiam diri memikirkan
lagi alasan yang tepat mengapa Agni berniat keluar. Kadang-kadang matanya
memicing dan keningnya mengerut-ngerut. Suatu ketika, tatapannya berhenti di
satu titik. Bukan sedang melihat sesuatu yang menarik tapi sepertinya ia sudah
menyimpulkan satu hal. Dan seketika itu pula moodnya berubah kesal dan mendadak
menjadi dingin. “Apapun itu, dia gak bisa masuk keluar seenaknya. Emangnya
hotel apa?” Ujarnya datar dengan alis meninggi sebelah dan pandangan mata
sinis.
***
Seperempat malam berlalu dan kesunyian
di mobil Rio masih belum berubah. Ditambah lagi dengan sudah tidak adanya Dea
diantara mereka. Belum ada sepatah katapun keluar dari mulut Ify dan Rio
semenjak ditinggal gadis itu. Namun, sepertinya lebih dahulu Ify yang merasakan
tidak nyaman. Ia benci kalau sudah canggung-canggungan seperti ini. Ify mencoba
buka suara mencairkan suasana meskipun nanti hasilnya mungkin tidak berhasil.
“Aturannya lo anter gue ke rumah Via
aja, mobil gue juga ada disana. Lo kan ga perlu bolak-balik lewat rumah lo ke
rumah Dea terus balik lagi buat ke rumah gue.” Ujar Ify sesantai yang ia bisa
sambil sesekali melirik Rio melihat reaksi pemuda tersebut. Dan benar sesuai
tebakannya, usahanya pasti tidak akan berjalan mulus. Rio tetaplah fokus ke
depan menjaga laju mobilnya seakan tidak menyadari ada orang yang sedang
berbicara di sebelahnya. Ia menganggap suara Ify layaknya lagu yang ter-play di
mobilnya. Tidak menuntutnya untuk memperhatikan serta balas bicara.
Ify menggigit bibirnya bingung harus
melakukan apalagi. Ia melirik Rio terakhir kali dan seketika putus asa. Ia
menghempas badannya ke sandaran kursi yang ia duduki. Tak lagi berniat mengajak
bicara, ia hanya diam sampai mobil Rio benar-benar sampai di depan rumahnya.
Hingga saat itu terjadi, semuanya masih
diselimuti keheningan. Ify bergeming beberapa menit dalam mobil Rio menunggu
sesuatu –mudah-mudahan- keluar dari mulut pemuda itu. Cukup lama penantiannya
tersebut, ia pun akhirnya menyerah. Percuma. Semua kegiatan menunggu yang
berkaitan dengan pemuda itu pasti akan berakhir percuma. Pasti. Batinnya lebih
menekankan. Dan itu mutlak. Tambahnya sekali lagi.
“Makasih.” Salam terakhir Ify begitu
singkat. Ia membuka pintu mobil Rio dan beranjak keluar dari si putih tersebut.
Ia berdiri di depan pagar menunggu Rio menjalankan mobil dan menghilang dari
depan rumahnya alias pulang. Namun, sama seperti penantiannya akan kata-kata
pemuda itu, mobil Rio sedikitpun tak bergerak maupun bersuara. Mesinnya mati?
Pikirnya. Ify mengedikkan bahu seraya geleng-geleng kepala. Sekali lagi, tak
akan ada penantian. Lagi-lagi batinnya berbisik tegas.
Ify berbalik badan berjalan memasuki
halaman rumah. Ia tak peduli apakah Rio masih tetap diam disana atau melajukan
mobil. Ia terus berjalan menatap lurus tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Ia
berhenti tepat di depan pintu dan beralih mengubek-ngubek tasnya mencari kunci
rumah. Kasihan kalau harus membangunkan Bibi dengan membunyikan bel. Pekerjaan
wanita paruh baya itu sudah cukup keras, alangkah kejamnya jika mengganggu
istirahat wanita itu yang hanya sebentar.
Belum sempat Ify menemukan kunci
rumahnya, sebuah tangan lebih dulu memasukkan kunci ke pintu rumah Ify dan
dengan dua kali putar pintu sudah dapat terbuka. Ify terlonjak dengan tangan
misterius tersebut. Siapa itu? maling? Batinnya panik. Ia lekas menengadah
memeriksa si pemilik tangan. Matanya yang sempat melotot kaget tiba-tiba
berubah pandangan bingung. Kaget juga sih. Rio? Dia belum balik? Kunci rumah
gue kok ada sama dia? Ya Tuhan! Rio mau ngapain?
Ify seketika panik kembali. Bagaimana
Rio bisa memiliki kunci rumahnya? Pemuda itu masih waras kan? Tidak berniat
macam-macam kan? Tidak berniat melakukan apa yang ia lakukan pada Angel –masih
dugaan sih- padanya kan? Setidaknya begitulah kekhawatiran yang melanda Ify
saat ini. ia meneguk ludahnya susah. Sementara itu, pemuda di depannya tampak
tenang dengan wajah datar tanpa menoleh ke arah Ify dan melihat bagaimana
besarnya kepanikan Ify karenanya.
Ify melihat Rio dengan santai masuk ke
dalam rumahnya. Ia ikut masuk tapi hanya sekitar satu langkah. Ia lalu hanya
menempel pada pasangan pintu rumahnya yang masih tertutup. Sekali lagi ia
meneguk ludah sekaligus berdoa dalam hati agar Rio segera pergi dari
hadapannya, dari rumahnya. Rio yang akhirnya –mau- menyadari keanehan Ify lalu
berbalik badan melihat apa yang sedang dilakukan gadis itu. Ia mengerti. Gadis
itu pasti berpikiran yang tidak-tidak padanya. Wajar memang, malam-malam begini
seorang pemuda masuk ke rumah seorang gadis tanpa izin bahkan dirinya yang
lebih dulu membuka dan memasuki rumah.
Rio mendesah singkat. Tak berniat
berdebat dan berbicara panjang, ia langsung menyuruh ify mengemasi
barang-barangnya. To the point. “Kemas barang-barang lo. Yang penting-penting
aja dulu, mobil gue ga muat ngangkut semuanya.” Ify terlonjak lagi.
Barang-barang? Ya Tuhan! Rio mau nyulik gue? Gue harus gimana? Gue harus
gimana? Batinnya kembali kocar-kacir. Sementara Rio tetap saja mengarahkan
pandangan datarnya padanya.
“Disuruh Om Ferdi.” Tambah Rio langsung
agar Ify berhenti menempel pada pintu rumahnya. Setidaknya dengan begitu, Ify
akan lebih cepat menurut dan dirinya bisa segera pulang. Ia mau istirahat. Ia
sangat butuh istirahat. Sangat.
***
Rio mengumpat begitu sebal. Karena Ify,
ia harus tersisih dari kamarnya sendiri. Ia lumayan tidak suka jika ada orang
selain dirinya memakai kamar kesayangannya tersebut. Memang, sebelumnya Ify
pernah menempati ruangan itu. Tapi dulu, ia masih ada kamar kosong di rumahnya.
Sekarang, kamar tersebut sudah di tempati salah satu pembantu di rumahnya.
Alhasil, Rio mau tidak mau harus tidur bersama Ray, menumpang di kamar adik
laki-lakinya itu, yang juga menjadi alasan utama ia tidak rela kamarnya dipakai
orang lain. Bukan karena Ray keberatan untuk berbagi kasur, tapi cara tidur
pemuda itu tidak manusiawi. Rio bergidik ngeri membayangkan nanti kaki Ray akan
berada di atas perutnya, menghentak keras dan tangannya yang tidak sopan
menutupi wajah Rio. Bagaimana ia bisa tidur nyenyak?!
Dan sekarang hal yang Rio takutkan itu
terjadi. Bukan kaki atau tangan Ray menimpa badannya, dirinya justru dipeluk
oleh pemuda itu dari belakang. Ini jauuuuh lebih mengerikan. Bulu kuduknya
lekas berdiri tegap. “Gak nyangka gue punya adek homo!” gumamnya amat sangat pelan.
Ia lantas mendengus. Ini tidak bisa dibiarkan. Ray harus melepasnya. Mm, ini
terdengar sedikit aneh. Mungkin lebih baik jika Ray harus menyingkirkan
tangannya dari tubuhnya.
Dengan susah payah mengecilkan perut
lalu meringsut ke bawah keluar dari lingkaran tangan Ray, Rio akhirnya bisa
lepas dan sekarang sudah berdiri sambil bernafas lega di luar kamar Ray. Ia
langsung menatap pintu kamarnya yang tertutup. Tanpa ragu dilangkahkannya kaki
menuju kamarnya tersebut dan membuka pintunya pelan. Tampak seorang gadis duduk
bersila di atas ranjang dengan headset di telinga dan sebuah novel di tangan.
Ify belum tidur.
Kasur gueee! Batin Rio meratap. Ia
berjalan masuk tanpa peduli gadis itu mengizinkan atau tidak. Who cares? Ini
kamar gue. Pikirnya. Ify sendiri bahkan tidak menyadari kedatangan Rio dan
keberadaan pemuda itu di samping kasur yang ia duduki. Ia terlalu asyik dengan
alur cerita novel dan buaian lagu yang terdengar di telinganya. Rio mendesah
singkat. Ia lantas tanpa berdosa berbaring di samping Ify dan menyelubungi
tubuhnya dengan selimut. Akhirnyaaaa! Batinnya senang. Akhirnya ia bisa
benar-benar tidur dan semoga saja nyenyak.
Sementara itu, ify masih juga belum
sadar. Ia justru menggeser duduknya ketika lututnya tersenggol badan Rio.
Hingga matanya lelah membaca, ia melepas headset serta menaruh novelnya di
bawah bantal. Ia memegang tengkuk dan memijatnya pelan sebentar. “Capek juga,”
gumam Ify. Ia lantas mulai mencari posisi yang tepat untuk segera tidur.
Memasukkan kedua kakinya ke dalam selimut dan menariknya hingga ke dada lalu
memiringkan badan ke kanan. Matanya masih terbuka saat itu.
Satu kedipan. Dua kedipan. Sebelas
kedipan. Matanya kemudian membelalak. Siapa itu? disebelahnya?!
“Heeeh siapa lo?! Ngapain di kamar
gue?!” Ify lekas bangkit dari tidurnya dan menjadikan selimut sebagai penutup
sekaligus pelindung tubuh. “Kamar Rio. Kamar gue.” Rio hanya mencoba merevisi
kata-kata Ify tanpa menoleh ke belakang melihat gadis itu. “Eh iya, kamar Rio.
Kamar lo? Lo Rio?! lo ngapain disini?! Lo kan harusnya tidur sama Ray!” Protes
Ify yang baru mengetahui siapa penyusup di kamarnya itu. Bukan, penyusup di
kamar Rio maksudnya. Dan pelakunya adalah Rio sendiri.
“Lo aja sana!” Ujar Rio jengkel. Tidur
sama Ray? Ogah! Susul batinnya. “Mana bisa! Masa gue tidur sama cowok?” Ify
kembali protes. Karena tak ada respon dari Rio, ia menendang-nendang kaki Rio
dengan kakinya. Bukan berniat mendorong pemuda itu, akan tetapi hanya ingin
membuat Rio menoleh padanya. Bagaimanapun, ini memang kamar Rio. Ia juga tak
berhak sepenuhnya atas kamar ini.
“Gue teriak nih..” kata Ify mencoba
mengancam. Namun masih sama, Rio tak juga menoleh. Sampai akhirnya Ify menarik
nafas dalam dan melakukan apa yang ia katakan. “OOM TANTE RMmpphhhh!” Mendengar
Ify berteriak Rio langsung berbalik badan menarik Ify dan membekap mulut gadis
itu. dengan tanpa sengaja membuat jarak di antara mereka menjadi sangat dekat.
Tak ayal mata mereka bertemu dan saling tatap satu sama lain. Keduanya
sama-sama terdiam dengan posisi baru mereka tersebut.
Tangan kanan Rio menggenggam pergelangan
Ify dan tangan kirinya mengalung ke belakang tengkuk menuju mulut Ify
membekapnya agak segera diam. Ify tak dapat bernafas lancar. Ini bukan yang
pertama kali memang tapi ia sudah lama tidak seperti ini. berada dalam jarak
sedekat ini dengan Rio lagi. Kapan terakhir pun ia lupa. Begitu juga dengan
Rio. Keduanya sama-sama mendapatkan debaran keras dalam dada. Gempa mendadak
melanda organ vital yang ada disana.
Pandangan mata Rio kemudian berubah. Ia
menatap Ify dalam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, di hatinya.
Sesuatu yang sakral, melankolis dan sangat tak lazim untuknya. Sesuatu bahwa..
“I miss you.” Kata-kata itu akhirnya
dengan mulus terucap dari mulut Rio. Rio menatap Ify lembut sekaligus lirih. Ia
menyentuh pipi Ify menggunakan telunjuk kiri dan mengalirkan dari atas ke ke
bawah. Tanpa tahu manusia yang disentuhnya itu hampir mati berdesir. Apa? Rio
bilang apa?! Ify meneguk ludahnya kembali. Rasanya lebih sulit dibanding ketika
di rumahnya tadi. Banyak terjadi sengatan-sengatan di tubuhnya. Menyiksa
memang, tapi ada sensasi yang sangat disukainya dan ia tidak tahu apa itu. Yang
jelas, dirinya tak ada niatan menghindar ataupun menolak.
Meski begitu, otak Ify masih bisa
bekerja dan berpikir jernih. Berpikir rasional akan pernyataan Rio barusan.
Satu hal yang ia yakini, Rio mana mungkin merindukannya. Logikanya, ia dan
pemuda itu hampir setiap hari bertemu. Mereka satu sekolah, satu kelas lagi.
Jadi, untuk merasakan rindu itu rasanya tidak bisa diterima. Tapi, kalau
Acha...itu mungkin. Iya, benar, Rio merindukan Acha bukan dirinya, bukan Ify. Rio
pasti melihat Ify sambil membayangkan wajah Acha, makanya ia bisa dengan lancar
mengatakan kata-kata rindu. Iya, lo pasti nganggep gue Acha deh.
“Acha...you miss her, not me.” Balas Ify
pelan diikuti gelengan kepala singkat. Setelah ini, Rio pasti akan sadar,
kembali ke Rio yang sebenarnya. Pikirnya kemudian. Rio mendengar sahutan Ify
itu tidak suka. Telunjuknya berhenti mengelus. Ia mendengus jengkel. Kenapa
gadis itu malah menyebutkan gadis lain? Acha lagi. Aiss sialan! Dirinya jadi
ketularan menyebut-nyebut nama gadis itu kan!
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu
diikuti dengan suara lembut khas dari Amanda, mama Rio. Kepala Ify menjengkit
panik. Jika Amanda masuk dan menemukan Rio disini bisa bahaya. Dengan posisi
seperti ini lagi. Ia menatap Rio meminta solusi sekaligus memohon agar
melepasnya dari dekapan pemuda itu. bukannya ikut kaget ataupun panik, Rio
hanya menoleh ke belakang sekilas lalu menatap Ify. “Lo sih teriak-teriak!”
desis Rio jengkel. Ia membekap mulut Ify kembali sebelum gadis itu melakukan
protes.
“Kalo lo gak berisik, mama bakal ngira
lo cuma mimpi buruk.” Rio berdesis lagi. Mau tak mau Ify akhirnya menurut.
Kekuatan penguncian Rio lebih besar dari seluruh kekuatannya. Bernafas saja
harus hemat-hemat apalagi bergerak. Selama lebih dari lima menit posisi Ify dan
Rio terus-menerus saling pandang karena memang tidak ada hal lain yang lebih
baik yang bisa dilakukan. Derap langkah Amanda terdengar menjauh dan
lama-kelamaan hilang.
Kembali hanya ada Ify dan Rio di kamar
sekarang. Rio masih menatap dan menguncinya tanpa memedulikan ketidaknyamanan
yang dirasa Ify. Aksi hemat Ify mulai kurang membantu. Ia mulai merasa cakupan
oksigennya menjauh dari batas cukup. Hal itu diperparah dengan debaran-debaran
menyesakkan dalam dadanya. Apa pemuda itu melamun? Batin Ify bertanya heran
sekaligus kesal. Ify menggeliat pelan berusaha menyadarkan Rio untuk segera
melepas bekapannya.
Tepat seperti perkiraan Ify, Rio
sepertinya memang melamun. Antara melamun dengan terhipnotis dengan mata bening
Ify. Ify kemudian bernafas sepuas-puasnya ketika tangan Rio tak lagi ada di
wajahnya. Ia melirik Rio yang masih setia menjatuhkan pandangan padanya. Ia
memutar kedua bola matanya malas. Nyebelin! Gerutunya membatin. “Yaudah, gue
tidur di bawah. Pinjem bantal lo sekalian.”
Baru saja Ify mencoba bangkit, Rio
menarik tangannya yang masih di genggam pemuda itu. ify yang tak siap kemudian
hanya mengikuti kemana arah badannya terhuyung, yakni tepat di pelukan pemuda
itu. Tangan Rio bergerak mengeratkan pelukannya. Mata Ify sontak melebar.
Apalagi ini?!!
“Can you help me?” kata Rio nyaris
berbisik namun masih dapat didengar jelas oleh Ify. tentu saja! Bibir pemuda
itu berada tepat di sebelah kupingnya sekarang. Ify yang matanya tadi melotot
sekarang menaikkan alis bingung. Agak aneh dengan cara bicara Rio saat ini.
“L-lo kenapa jadi sok british gini?” sahutnya tak kalah pelan dari Rio. Terasa
ada hentakan nafas yang dilakukan pemuda itu. Rio pasti mendengus. “Biar gue
keliatan serius, bego.” Sungutnya. Ify mencibir tertahan. Serius sih serius,
nyela nya gausah ikut-ikutan serius juga. Nyebelin! Gerutunya dalam hati masih
sama.
“G-gak usah peluk-peluk juga” Tambah
Ify. Rio tersenyum. Gadis yang dipeluknya ini memang sangat polos. “Bukannya lo
seneng?” ujar Rio sedikit menggoda. Ify mencibir lagi, lebih keras dari
sebelumnya. Ia mendorong tubuh Rio agar menjauh meski gagal karena refleks
cepat dari tangan Rio yang langsung mengeratkan pelukannya. Gantian sekarang
Ify yang mendengus. “Ini biar lo gak lasak.” Tak ada sanggahan lagi dari Ify.
Gadis itu lebih memilih diam sembari menenangkan diri.
“Dan..” Ify tetap diam menunggu lanjutan
ucapan Rio. Sebenarnya dada Ify sudah berisik dari tadi, apalagi jantungnya.
Rio mengulur-ngulur waktu terlalu banyak. Dan itu menjengkelkan khususnya bagi
Ify. Kalo gue pingsan karena dipeluk Rio kan gak lucu!
“Gue mau lo ngerasain sesuatu..” Lagi-lagi
menggantung. Ify mengambil inisiatif menyahut demi menghentikan ulur-ulur waktu
dari Rio. “Apa?” sahutnya cepat. Bukannya menjawab, Rio malah mengeratkan
dekapannya, membuat Ify menjadi sangat dekat dengan pemuda itu. Mati gue!
“Debaran jantung gue. Dari sejak gue
natap lo sampe gue meluk lo, debarannya makin cepet.” Kata-kata Rio barusan tak
ayal menghipnotis Ify dari ujung kepala hingga ujung kaki. Semuanya
membeku sesaat. Ia kemudian merasakan apa yang Rio bilang. Debaran dalam dada
pemuda itu. Hampir menyamai kecepatan denyut jantungnya meski masih lebih cepat
dirinya. Ify mengedipkan mata lebih cepat beberapa kali. Apa Rio mau nembak
gue?
Hhhhk!
Memikirkannya saja sudah membuat nafas
Ify tercekat. Perutnya terus-menerus menggembung karena nafas yang ia hirup tak
kunjung dihembuskan. Merasa ada yang aneh, Rio melonggarkan pelukannya dan
mendorong ke belakang tubuh Ify agar bisa memandangnya. “Kenapa lo?” tanya Rio
heran. Ify menggeleng cepat lalu akhirnya membuang nafasnya yang tertahan. Itu
satu hal yang gak mungkin terjadi. Saat ini. Batinnya menjawab sendiri
pertanyaan yang ia buat barusan.
Cepat-cepat disingkirkannya tangan kanan
Rio dan mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Sementara tangan kiri Rio
dibiarkannya tetap di belakang kepala dan ia jadikan sebagai sandaran alias
bantal. Rio pun ikut tidur telentang seperti yang ia lakukan. Ia juga
menjadikan tangannya yang dibuang Ify tadi sebagai sandaran kepala. “Lo..mau
gue bantuin apaan?” tanya Ify mencoba berbicara lancar mengabaikan
sentakan-sentakan yang dilakukan organ dalam dadanya.
Rio menelengkan kepala ke kiri menatap
Ify lagi sementara Ify tetap mengarahkan kepala ke depan, ke langit-langit
kamar Rio. “Bantu gue nata hati gue..” Lirih Rio. Samar-samar terdengar nada
memohon dalam kata-katanya tersebut. Pemuda itu menatap Ify dalam dan serius.
Ify tertegun untuk yang kedua kali setelah tadi Rio berbicara masalah debaran
jantungnya. Tapi kali ini tubuhnya tidak sebeku saat itu. ia bisa jauh lebih
santai. Ia menghela nafas berat dan menyahut ringan.
“Gue bukan Tuhan, kali, bisa nata-nata
hati orang!” Seperti yang Rio duga, Ify pasti menolak. Bukan nolak, gue gak
ngerti. Batin Ify menyahut tanpa sengaja. Tiba-tiba Rio memiringkan badan dan
menjitak jidat Ify. Alhasil Ify mengerang sakit dan mengelus-ngelus kenignya
itu. ia menatap Rio heran. Dari mana pemuda itu belajar menjitak orang?
Pikirnya. “Gue kan cuma minta bantuin bukan nyuruh lo yang nata!”
Ify mendengarkan gerutuan Rio itu sambil
terus mengelus-ngelus keningnya. Rio kini sudah berganti posisi lagi menjadi
telentang. “Ya mana gue tahu! Yang punya hati, lo. Yang nyiptainnya, Tuhan.
Jadi cuma lo sama Tuhan yang bisa menatanya sedemikian rupa.” Kata Ify sok
bijak. Memang, karena sejujurnya ia pun tak terlalu paham dengan apa saja yang
ia ucapkan barusan. Itu semua hanya sebagai tameng agar Rio tidak menyadari
keengganannya menuruti permintaan pemuda itu.
Jika Ify bersedia membantu itu artinya
ia akan lebih sering bertemu dan menghadapi Rio. dan itu sangat tidak
diinginkan terjadi. Rasa yang dipendamnya pada pemuda itu bisa-bisa akan
semakin mengembang. Sangat berbahaya. Sikap Rio yang plin-plan apalagi dengan
kedatangan Acha sebentar lagi rentan membuatnya kecewa dan makan hati. Maka
dari itu, sebelum jatuh lebih dalam, alangkah baiknya Ify mulai merangkak
perlahan keluar.
“Yang paling utama, lo harus tentuin
kemana tujuan hati lo. Tetep nunggu Acha atau lo buka hati buat cewek lain
misalnya gu........em misalnya..” Hampir saja Ify keceplosan. Beruntung lidah
dan otaknya masih sinkron dan ucapannya sempat dihentikan. Meski begitu, Rio
sudah memicing ke arahnya sambil tersenyum jahil. Ia sudah lebih dulu menangkap
sinyal-sinyal aneh dari kata-kata Ify. “Misalnya?” tanya Rio ulang.
Rio bergeser mendekati Ify dan itu
justru membuat gadis itu makin gelagapan menjawab. Ify kemudian ikut bergeser
menjauh dari Rio. Tak sampai disitu, Rio menggeser tubuhnya lagi seraya tetap
mengulang pertanyaannya barusan. “Misalnya?” Rio mengerling. “Misalnya..” Ify
kehabisan akal untuk menjawab. Ia bergeser makin ke pinggir kasur. Rio bergeser
lagi. Sementara Ify yang tak tahu posisinya sudah benar-benar diujung, bergeser
lagi dan...
Gedebuk! *halah*
“Aw!” Ify jatuh terguling ke lantai dan
merasakan sakit di beberapa bagian tubuh misalnya ujung bahu, sikut, pinggang,
lutut dan pantatnya. Sementara itu, di atas kasur, Rio justru terbahak melihat
Ify jatuh. Ia menyembulkan kepalanya menengok gadis itu. “Selamat tidur!
Hahaha” Tawanya kembali. Ify mengambil guling yang jatuh lebih dulu daripada
dirinya lalu menghantamnya ke wajah Rio. Rio menghalau wajahnya dengan tangan
supaya permukaan guling itu tidak langsung mengenai wajahnya.
Ify mengambil bantal tidur di sebelah
Rio asal dan kemudian meletakkannya kasar di lantai. Ia langsung berbaring dan
memiringkan tubuhnya agar tidak menghadap Rio lagi. Rio mengjengkitkan kepala
mengintip Ify sebentar lalu terkikik lagi. Ya ya ya, tidak sepenuhnya salah. Ia
memang selalu punya waktu-waktu yang membuatnya tersenyum hari ini. Selamat
tidur! Selamat tidur, Ify! hehehe..
***
Rahang alvin mengeras. Tubuhnya menegang
menahan amarah. Matanya menatap tajam sosok gadis cantik yang ada di televisi
yang ditontonnya sekarang. Febby!
“Febby, kenapa kamu ada dalam ruang
rawat Alvin?”
“Udah berapa lama kamu nungguin Alvin di
rumah sakit?”
“Jadi selama Alvin sakit, kamu yang
nemenin dia?”
“Apa Alvin yang minta kamu nemenin dia?”
“Kamu yang nabrak Alvin?”
“Atau ada hubungan spesial antara kamu
sama Alvin?”
“Jadi kedekatan hubungan kalian itu gak
sebatas gosip?”
Para wartawan langsung berebutan
menanyai Febby. Febby belum mau menanggapi dan masih saja menebar senyum manis
yang justru terlihat menjijikkan di mata Alvin. Hingga ia akhirnya buka suara
dan mengarang kronologis kejadian tertabraknya Alvin. “Jadi, pas kecelakaan
terjadi, kebetulan saat itu aku lagi sama Alvin. Aku haus jadi aku minta dia
beliin minum. Pas Alvin nyebrang, tiba-tiba aja ada mobil jalan dari arah kiri
dan Alvin ketabrak.”
Febby tersenyum lagi ketika salah satu
wartawan menanyakan ulang mengenai hubungannya dengan Alvin. Ia menyelipkan
beberapa helai rambutnya ke telinga kanan lalu menjawab malu-malu. “Doain aja
yaa semoga jadi hehehe, makasih semuanya!” Ia segera masuk ke kamar Alvin dan
menutup pintu rapat-rapat. Para wartawan yang tadi rusuh saling berbisik dan
kemudian satu-persatu dari mereka beranjak pergi dari depan kamar Alvin.
***
Shilla menelan makanan yang dikunyahnya
dengan susah payah. Apa yang muncul dalam layar televisi di rumahnya membuat
selera makannya surut. Kerongkongannya terasa kering. Sebuah dentuman keras
terjadi dalam dadanya. Wiwid melihat ke arah televisinya sambil mengernyit.
“Alvin yang disebut itu Alvin pacar kamu?” tanya Wiwid langsung. Shilla menatap
mamanya lalu televisi dan kembali ke mamanya lagi.
“Shilla gak tau, kayaknya bukan” jawab
Shilla sekenanya. Wiwid mengernyit lagi. “Kok kayaknya?” Shilla menatap mamanya
sekilas. Ia lalu meneguk segeluk air putih di depannya sambil menyelempangkan
tasnya. Ia berdiri lalu lekas pergi keluar rumah setelah sempat mengedikkan
bahu pada mamanya dan pamit. Wiwid memiringkan kepalanya sedikit menatap
punggung anaknya yang menjauh. Lalu tak lama setelah itu ia ikut-ikutan
mengedikkan bahu dan memanggil pembantu di rumahnya untuk membereskan meja
makan.
Sementara itu, Shilla bersandar sambil
menutup mata mendengarkan lagu dari headset di telinga. Volume musik yang
maksimum sukses membuat Shilla tuli akan sekitarnya beberapa saat. Ia tenggelam
dalam alunan lagu di telinganya tersebut. Pagi-pagi udah bikin stres! Gerutunya
membatin.
***
Rio bersama kedua orangtuanya, Amanda
dan Zeth, juga Ify tengah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Tidak ada Ray
karena pemuda itu pagi-pagi sekali sudah pergi. Mau menjemput gebetan katanya.
Rio agak kaget mengetahui kini adiknya itu sudah punya incaran. Selama ini, ia
tidak pernah melihat adiknya bergelagat seperti sedang jatuh cinta. Ah tidak,
sepertinya tidak. Malam tadi, adiknya baru saja memperlihatkan gelagat itu
padanya. Saat memeluknya. Rio bergidik sendiri mengingat saat tangan Ray
mengalung pinggangnya mesra.
“Semalem tante dengar di kamar Rio ada
yang teriak-teriak. Itu kamu, Fy?” ujar Amanda memulai perbincangan. Sekaligus
menjadi saat pertama kali mereka berbincang bersama Ify saat gadis itu tinggal
bersama mereka. Ify hampir tersedak. Iya refleks melihat ke arah Rio dan
secepat mungkin mengalihkan pandangan ketika Rio membalas tatapan tajam
padanya. Rio mengaduk-ngaduk mie gorengnya dengan wajah kesal.
“Iya.” Jawab Rio datar mendahului Ify.
Amanda dan Ify sama-sama mengernyit. Kenapa malah Rio yang jawab? Begitulah
kira-kira sesuatu yang ingin diungkapkan mereka melalui kernyitan tersebut. Rio
tak acuh dan justru menyuap mie gorengnya ke mulut. Ify hanya tersenyum
mengakui. Amanda langsung memandangnya khawatir. “Kamu kenapa? Mimpi buruk?”
tanyanya lagi. Ify baru akan menjawab akan tetapi Rio lagi-lagi mengambil alih.
“Iya. Dia mimpi didatengin setan.” Mendengar itu Ify langsung melirik dongkol
ke arahnya. Sudah lancang menjawab Amanda yang jelas-jelas bertanya padanya
bukan pemuda itu lalu berbicara yang tidak-tidak lagi.
Eh tapi apa katanya? Setan? Berarti
setannya Rio dong? Pikir Ify. Ia lantas mengulum senyum geli mengetahui Rio
menyebut dirinya sendiri sebagai setan. “Iya tante, setannya gak jelek-jelek
amat. Tapi dia nyebelin! Hehe” Ify terkekeh kecil ketika menyelesaikan
kalimatnya. Ia langsung mendapat tatapan sinis dari sang setan, Rio. Ify balas
melet pada pemuda itu. sementara itu, Amanda tampak keheranan melihat tingkah
kedua anaknya itu. Meskipun Rio ketus tapi tetap kelihatan kalau Rio bersikap
bersahabat dengan Ify. Mereka berdua tampak lebih akur. Memikirkan itu langsung
membuat Amanda hati Amanda mencelos senang.
Zeth yang sedari tadi diam kemudian
memperhatikan istrinya yang senyum-senyum sendiri, “Mama kenapa senyum-senyum
sendiri?” katanya buka suara untuk pertama kali. Amanda menoleh pada Zeth
dengan senyum yang tetap tersungging di bibirnya. Ia lalu menggeleng singkat.
“Kok kamu terus sih yang jawab, Yo? Mama kan nanyanya sama Ify.” Kali ini
Amanda bertanya pada Rio sambil mengerlingkan mata jahil.
Rio melirik mamanya sekaligus menelan
mie goreng yang ada dalam mulutnya. Ia meminum seteguk jus mangga di depannya
lalu menjawab santai. “Mama bukannya nanya anak sendiri malah nanya anak
orang!” sahutnya. Amanda tersenyum geli. “Kamu emangnya mau ditanyain apa?” Rio
mendengus kesal. “Mama gak tahu sih, Rio tuh hampir sekarat gara-gara tidur
sama Ray! Masih untung hari ini Rio gak masuk rumah sakit.” Gerutu Rio sedikit
berlebihan. Amanda geleng-geleng kepala heran sambil sesekali cekikikan.
“Lebay deh kamu! Jadi kamu mau tidur
dimana? Masa tidur sama Ify?”
Ify mendadak deg degan mendengar
komentar Amanda barusan. Pipinya kemudian bersemu. Hampir, tante, hampir!
“Mama aja sana tidur sama Ray biar Rio
tidur sama Papa.”
“Gak bisa. Papa kamu mana bisa tidur
kalo gak dipeluk sama Mama, ya kan Pa?” ujar Amanda seraya menyikut pinggang
Zeth pelan. Zeth menoleh sebentar lalu hanya balas tertawa. Rio rasanya ingin
muntah. Sementara Ify hanya ikut tersenyum dan terus menyuap Mienya ke mulut.
Pagi ini ia merasa sangat lapar. “Nanti kalo kalian udah nikah pasti ngerasain
kayak gitu. Ya gak, Fy?” Amanda kembali mengiktsertakan Ify dalam kalimatnya.
Ditodong seperti itu membuat makanan di mulut Ify hampir muncrat. Ify
cepat-cepat menelan mie yang telah cukup lama dikunyahnya itu. pipinya bersemu
lagi. Ia hanya tersenyum canggung menanggapi Amanda. Sementara Rio, tak ada
reaksi spesial yang dilakukan pemuda itu.
Ify meminum setengah dari isi dalam
gelasnya. Ia menghela nafas berat. Kalau seperti ini terus kejadiannya, Ify
harus sering-sering memakai bedak agar warna merah jambu di wajahnya dapat
tertutupi.
***
Dua gadis cantik ini tampak saling
menatap. Saling berbalas tatapan tajam dan kesal hingga salah satu di antara
mereka mengalah dan memilih melihat ke arah lain. Oik menyisir rambut hitam
lurus nan tebalnya ke belakang menggunakan jari persis seperti model iklan
shampo. “Sampe sekarang Alvin gak jatuh cinta sama lo. Iya kan? Ga becus banget
sih kerja lo!” Febby meliriknya sambil menaikkan sebelah alis. “Gue gak kerja
sama lo.” Balasnya datar. Oik menghela nafas meredam emosi lalu memutar kedua
bola matanya tanpa membalas ucapan Febby.
“Alvin itu ga sembarangan ngasih hatinya
sama orang. Hatinya gak murahan, gak kayak lo..” Ujar Febby dengan nada santai
tanpa menoleh pada Oik. Wajah gadis itu kini merah padam. Tangannya sudah
terangkat ke atas dan mengarah pada sebelah wajah Febby. Febby menyadari itu
dan lantas memasang tampang menantang. “Mau ngapain lo?” tanyanya sarkastis.
Ada sedikit unsur menertawakan dalam nada bicaranya.
Mendengar itu Oik lantas menurunkan
tangannya cepat. Ia maju selangkah lebih dekat pada Febby. Ia lalu tersenyum.
Senyum licik di mata Febby. “Lo mulai berani sama gue?” ujar Oik mencoba
mengancam. Alis Febby terangkat lagi. “Sejak kapan gue takut? Perasaan udah
berkali-kali deh gue bilang sama lo,” Dahi Oik mengerut namun sesaat kemudian
ia tersenyum lagi. Bukan senyum licik. Entahlah, Febby sendiri tidak begitu
mengerti arti senyum gadis itu kali ini.
Oik menyentuh pundak Febby lalu
menepuknya pelan beberapa kali. Setelah itu, ia mundur dan berbalik badan
beranjak pergi. Langkahnya berhenti ketika dering ponselnya terdengar. Ia
menoleh sebentar ke belakang lalu mengulang senyum misteriusnya pada Febby.
Febby hanya mengerutkan dahi ketika melihat adik tirinya itu menjawab ponsel
sambil tersenyum ke arahnya lalu pergi. Aneh! Batinnya heran.
Setelah Oik tak lagi terlihat, Febby
menjatuhkan tubuhnya di kursi tunggu di sampingnya. Kepalanya menengadah
sekaligus menyender pada dinding. Berulang kali ia menarik nafas
mengeluarkannya menarik lagi mengeluarkan lagi dan begitu seterusnya. Ia tidak
habis pikir dengan hidupnya. Seorang anak yang tidak diharapkan lahir, dibuang
di keranjang sampah lalu ditemukan oleh orang yang tak kalah jahat dari
orangtua kandungnya. Ditambah lagi ketika orangtua angkatnya mengangkat seorang
gadis kecil berumur setahun di bawahnya.
Waktu itu Febby berpikir gadis berwajah
malaikat itu adalah pengganti malaikat yang dikirimkan Tuhan padanya. Yang bisa
menemaninya, menyemangatinya dan memberikan hari-hari bahagia dalam hidupnya.
Miris, malaikat itu justru berubah menjadi iblis. Dan dirinya terjebak dalam
kendali kedua iblis tersebut tanpa bisa melakukan apapun. Yang tak kalah
menyedihkan, kedua iblis tersebut hendak mengubahnya menjadi salah satu dari
mereka, manusia iblis.
Febby menghunus nafasnya kembali. Ia memijat
kepalanya yang mulai terasa merenyut-renyut. Ia lalu menoleh ke samping menatap
pintu kamar Alvin. Ia seketika teringat akan Shilla. Karena itu, kini gantian
hatinya yang terasa merenyut-renyut. Jika pekerjaannya berhasil maka ia
benar-benar sudah berubah menjadi iblis.
***
Cklek!
Pintu kamar Alvin terbuka. Seorang gadis
berperawakan ayu kemudian muncul dari balik benda tersebut. Gadis yang sedari
tadi ditunggunya. Gadis yang ingin sekali ia makan hidup-hidup karena sudah
menyampaikan yang tidak-tidak tentang dirinya dan gadis itu. Gadis nekat yang
menjadi penyebab dirinya harus terbaring tak berdaya di rumah sakit. Febby.
Gadis itu menutup pintu lalu berjalan pelan sekali hingga sampai di sofa.
Seperti ada lem yang merekatkan kakinya dengan lantai begitu kuat.
Belum sampai satu menit, Febby berdiri
dan melangkah menuju toilet dalam kamar. Alvin melihatnya heran. Tak biasanya
Febby bertingkah seperti ini. gerak tubuhnya loyo ditambah mukanya yang pucat
seperti tidak makan seminggu. Pandangan matanya juga kosong seakan tidak sadar ada
orang lain selain dirinya yang juga sedang memperhatikan dirinya. Ketika pintu
toilet terbuka, Febby keluar dengan muka basah. Saat itu pula ia baru sadar
akan Alvin. Tidak sepenuhnya sadar karena sepertinya ia hanya kaget saat tak
sengaja bertemu pandang dengan pemuda itu.
Tak dipedulikan Febby muka Alvin yang
sudah berubah sangar. Ia terus meniti langkah hingga ke dekat pintu. Namun ia
berhenti ketika Alvin mengajaknya bicara. “Mau kemana lo? Mau kabur setelah apa
yang lo lakuin sama gue?” ujar Alvin sinis. Saat ini Febby tengah kehilangan
separuh bagian pikiran normalnya. Ia melempar tatapan kosong sekaligus rasa
bersalah ke arah Alvin. Alvin tertegun sesaat. Hatinya tiba-tiba saja mencelos
pilu. Ada rasa sedih yang tersirat dari mata Febby yang ia rasakan. Ia turut
merasa bersalah pada gadis itu.
“Aku mau shalat..” lirih Febby. Sekali
lagi Alvin tertegun. Kali ini dua kali lipat dari yang pertama. Ia tertegun
mengetahui tujuan Febby dan ia sudah terlalu banyak salah sangka pada gadis
itu. Dan...sejak kapan Febby make aku-aku-an sama gue? batinnya bertanya-tanya.
Febby tersenyum sekilas lalu membuka pintu kamar Alvin dan menghilang dalam
sekejab.
Kini tinggal Alvin yang kebingungan akan
perasaan apa yang muncul di hatinya. Kenapa jadi dirinya yang bersalah?
Bukannya dirinya korban? Tapi kenapa dirinya sesedih sekarang? Ada perasaan
khawatir dan gelisah yang juga muncul dalam hatinya. Hampir menyerupai rasa
ketika Shilla dulu jatuh sakit dan tidak sadarkan diri selama tiga hari. Gak!
gak mungkin! Jangan sampe pokoknya jangan sampe!
***
Ify terpaksa harus berganti duduk di
sebelah Rio karena Gabriel begitu memaksanya agar pemuda itu bisa duduk dengan
Via. Via sendiri menolak keras dan berusaha mempertahankan Ify agar tetap diam
di tempat duduknya. Alhasil, terjadi tarik-tarikan antara Gabriel dan Via,
sama-sama menarik Ify. Via di sebelah kanan dan Gabriel di sebelah kiri. Hal
tersebut terjadi beberapa menit di dalam kelas dan untung waktu itu suasana
kelas masih sangat sepi.
Pada akhirnya, cukup mengejutkan, Rio
menghampiri keributan yang dibuat sahabat-sahabatnya, atau mungkin salah satu
sahabatnya dan menyelamatkan Ify dari sana. Ia menaruh tas Gabriel di atas meja
Ify dan membawa tas Ify beserta pemiliknya menuju kursinya. Ify mencibir pelan
karena Rio justru gantian menariknya meski perlakuan Rio lebih manusiawi
daripada yang dilakukan Via dan Gabriel.
Sementara itu, sosok lain yang ada disana,
yang juga salah satu sahabat mereka, Shilla, hanya duduk tenang memperhatikan
apa yang terjadi di depan mejanya tanpa berekspresi apapun. Hingga istirahat
pertama, Shilla tetap duduk tenang dan hampir tidak mengeluarkan suara. Agni
duduk di sebelahnya sambil menaruh pandangan khawatir. Kalau sedang bertengkar
dengan Alvin, Shilla memang sering melakukan aksi diam seperti ini.
Tapi sekarang, Agni merasa Shilla agak
berbeda. Mungkin juga bukan Shilla yang berbeda, tapi hatinya yang merasakan
keganjalan. Ada perasaan tidak enak menyergap dan ia tahu pasti dalam waktu
tidak lama akan ada sesuatu buruk terjadi. Ia lalu menggeleng keras menangkis
semua firasat buruknya.
“Ni, diluar ada orang yang nyariin lo,”
panggilan seorang teman Agni itu berhasil membuat lamunannya buyar. Agni
mengernyit. Agak aneh dengan kata-kata temannya tersebut barusan. Yaiyalah
orang! Masa kodok nyariin gue! pikir Agni. Ia hanya balas mengangguk pada
temannya itu dan beranjak keluar kelas. Ia cukup dibuat kaget dengan berdirinya
Cakka di depan kelasnya. Apa orang yang dimaksud itu Cakka? Untuk apalagi Cakka
mencarinya?
“Lo nyari gue?” tanya Agni sekedar
memastikan. Ia juga tidak terlalu berharap kalau Cakka benar-benar mencarinya.
Agni sudah menetapkan satu kesimpulan dan itu pasti menurutnya. Cakka bukan
Aga. Tidak ada lagi alasannya berharap. “Lo punya maksud apa sama gue?” tuduh
Cakka langsung. Agni memasang wajah tak mengerti lalu kemudian tidak suka
karena nada bicara Cakka yang kedengaran tidak bersahabat.
“Masuk-keluar seenaknya, lo kira ekskul
basket itu hotel?” tuduh Cakka lagi. Agni makin tidak mengerti maksud Cakka. Ia
cuma berencana keluar dari ekskul basket dan ia juga bukan orang pertama yang
melakukan itu. Apalagi ia juga belum benar-benar keluar. Lalu apa kabar anggota-anggota
yang lain yang sudah keluar? Kenapa hanya dirinya yang didatangi seperti ini?
atau mereka dulu juga mengalami hal yang sama sepertinya?
“Mau keluar atau enggak itu hak gue
dong! Gue juga ga begitu dibutuhin disana, gue bukan pemain inti dan main
basket pun gue ga terlalu bisa. Lagian gak ada peraturan yang mengikat gue
supaya gak boleh keluar kan? Ngapain lo mesti repot-repot mikirin gue? sampe
datengin gue segala kayak gak ada kerjaan aja!” ujar Agni santai sekaligus
membela diri.
Cakka sesaat hanya diam. Agni benar. Ia
memang kurang kerjaan. Untuk apa ia mendatangi Agni dan gusar sampai segininya?
Agni cuma anggota biasa bahkan baru yang jika tidak ikut serta tidak akan
berpengaruh apa-apa. Cakka mengumpat dongkol pada dirinya sendiri. Kenapa
sampai sebodoh ini? ada apa dengan dirinya? Tapi kemudian sesuatu lain
terlintas di pikirannya. Sesuatu yang mengembalikan emosinya pada Agni.
“Lo dibayar berapa sama Kiki?” lagi-lagi
Cakka menuduh Agni. Dan untuk yang ini, Agni mulai hilang kesabaran. Emosinya
turut naik seperti Cakka. “Maksud.lo?” ujar Agni penuh penekanan. Ia
masih mencoba agar emosinya tidak sampai keluar meskipun sudah meluap. Cakka
tersenyum sinis seraya melipat kedua tangannya di dada. “Lo punya tujuan lain
kan masuk basket? Dan tujuan lo itu...gue.”
Tuduhan Cakka kali ini benar-benar
menohok Agni. Cakka benar. Pemuda itu memang alasan utamanya mengapa ia
mendaftarkan diri menjadi anggota basket. Tapi, Agni kemudian sadar. Cakka
pasti menangkap maksud lain. “Apapun pikiran buruk tentang gue di kepala lo,
itu semua gak bener.” Agni tak berniat berbicara panjang lebar. Cakka tidak
perlu tahu apa tujuannya. Ia hanya perlu meluruskan pikiran pemuda itu agar
tidak selalu salah paham padanya. Akhir-akhir ini gue sama Cakka perasaan salah
paham mulu. Batinnya.
Cakka mengulang senyum sinisnya pada
Agni. “Gue tahu. Lo pacarnya kan? Ckckck, segitu cintanya lo sama dia sampe mau
diperbudak kayak gini. Ya ya ya, semuanya udah jelas sekarang. Semoga lo berdua
langgeng deh! Salam buat ayang lo itu ya!” Cakka berbalik badan begitu saja
sementara Agni termangu mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut orang
yang dulu dikiranya Aga tersebut. Kenapa pemuda itu mudah sekali untuk
berpikiran buruk padanya sekarang? Padahal dulu hubungan mereka berdua cukup
hangat. Setidaknya tidak ada acara sinis-sinisan seperti ini.
Ketika Cakka dan Agni terpisah beberapa
langkah, Agni berbicara mengejutkan, terutama Cakka. Pemuda itu seketika
berhenti mendengar kalimat beruntut yang dilontarkan Agni.
“Iya emang, masuk-keluarnya gue, itu
semua karena lo. Gue awalnya cuma mau mastiin lo itu siapa. Gue sempet yakin
kalo lo itu orang yang gue cari. Tapi, apa lo sadar sikap lo akhir-akhir ini ke
gue? Sikap lo itu berhasil buat keyakinan gue punah makanya gue mutusin keluar
karena emang gaada lagi yang harus gue kerjain. Sekarang, gue keluar tapi lo
masih aja bersikap ga baik. Gue gak ngerti ya sama lo. Emm mungkin gue punya
salah kali ya sama lo? Oke gue minta maaf, gue bener-bener minta maaf! Gue udah
capek lo tuduh-tuduh terus!” Pada akhirnya Agni memang harus berbicara panjang
agar Cakka mengerti.
Gantian Cakka yang termangu. Ia tidak
tahu harus berkomentar apa. Ia bahkan bingung hendak berbalik atau meneruskan
berjalan. Tapi Agni kemudian berbicara lagi. “Oh iya, gue harap lo gak ngomong
macem-macem lagi tentang Kiki, kakak gue.” Dan yang ini makin membuatnya tidak
bisa berkata apapun. Kakak?!!
***
“Lo kenal dia, Fy?” Debo bertanya
dengan nada berbisik pada Ify. Mereka kini sedang berbunyi di balik salah satub
rak buku yang ada di perpuustakaan. Ify kembali melakukan penyelidikan pada
Angel. Tadi saat berjalan di sekitar sekolah, ia tak sengaja bertemu dengan
Angel. Tanpa pikir panjang, Ify langsung mengekor agak jauh di belakang gadis
itu meskipun saat itu ia tengah bersama dengan Debo.
Ify memerintahkan Debo untuk tetap diam
dan berbicara ketika sudah diizinkan. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan sudah
begitu banyak mengepul di kepala Debo dan uapnya sudah keluar dengan
sendirinya. Ify menoleh sebal padanya dan menjawab singkat. “Enggak.”
Jawabannya itu justru makin membuat Debo tidak bisa menahan untuk bertanya.
“Terus, ngapain ngendap-ngendap gini? Nunggu apaan? Kenapa lo gak nyamperin
langsung?” Tanya Debo beruntun.
Ify buru-buru berbalik dan menempelkan
telunjuknya di mulut menyuruh Debo diam ata setidaknya mengecilkan volume
suara. “Sssst! Lo bisa diem gak sih?” gerutunya kelas. Debo garuk-garuk kepala
bingung. “Tapi gue masih belum ngerti. Tujuan lo nguntitin dia apa dong kalo lo
aja ga kenal sama dia?” Debo benar-benar tidak bisa dilarang. Bukan malah
mengecilkan, suara Debo justru makin kencang.
Ify berbalik cepat lagi ke arah pemuda
itu. namun, belum sempat mulutnya berujar, sebuah suara mendahuluinya dan
seketika membatnya diam. Suara Angel. “Heh lo berdua, berisik tau gak?!”
gerutunya pada Ify dan Debo. Ify masih diam membeku karena ketahuan. Ia bingung
harus menunjukkan diri keluar atau kabur ke tempat lain. Terdengar desahan dari
mulut Angel. “Keluar. Ify.” katanya santai meski agak geram juga pada Ify.
Ify kaget sekaligus bingung karena Angel
menyebut namanya. Darimana dia bisa tahu? Atau jangan-jangan, yang menyekapnya
waktu itu benar adalah Angel?
“Fy, lo disuruh keluar tuh!” ujar Debo
tak sabaran sekaligus mengganggu proses analisa dalam kepala Ify. Ify melirik
sebal lagi dan menghadiahi pijakan kaki pada salah satu kaki pemuda itu. “Lo
sih!” katanya menyalahkan Debo. Debo hanya meringis kesakitan akan kakinya. Ify
mau tak mau keluar dari persembunyiannya dan menunjukkan muka pada Angel. Ia
lantas duduk sambil menunduk di depan Angel. Debo hanya mengikuti apa yang
dilakukan Ify. Ia ikut duduk tapi tidak sambil menunduk. Ia memperhatikan Ify
dan Angel bergantian.
“Lo kayak mau dihukum aja deh, Fy!”
Angel terkikik geli melihat Ify yang langsung menyembunyikan wajahnya
dalam-dalam saat berhadapan dengannya. Ify mendongak ragu-ragu. Angel kemudian
menyodorkan tangannya ke arah Ify. Ify tak membalas. Ia hanya melihat tangan
Angel di depannya bingung. Angel tersenyum ramah pada Ify. Pada akhirnya Ify
menyambut juga sodoran tangan Angel meski masih kaku.
“Kita damai!” seru Angel seraya
tersenyum makin lebar. Untuk beberapa saat, Ify hanya diam lalu kemudian ikut
tersenyum. “Emang kalian musuhan?” Debo tiba-tiba menyeletuk. Ify dan Angel
saling berpandangan lalu tertawa dan menjawab bersamaan. “Enggak!” kata mereka
kompak dan tertawa lagi. Debo kelihatan hampir frustasi. Ify dan Angel benar-benar
membuatnya bingung. Mereka terus tertawa hingga peringatan penjaga perpus
berhasil mendiamkan Ify dan Angel.
“Dia temen lo, Fy?” tanya Angel
kemudian. Ify menoleh sekilas pada Debo lalu kembali menghadap Angel. “Enggak,
dia aja yang tiba-tiba nyamperin gue. Gue juga gatau dia siapa. Hahaha,” Ify
terkekeh lagi namun dengan volume suara yang sudah dikecilkan. Debo merengut
mendengar itu. “Emang kenapa, Kak?” tanya Ify kemudian tanpa memedulikan
ekspresi memelas Debo yang ingin diakui (?).
“Gue ngerasa pernah liat dia deh, tapi
dimana ya?” Angel memperhatikan Debo sambil mencoba mengingat-ngingat dimana ia
pernah bertemu dengan pemuda itu. “Pernah liat gue?! dimana?! Kok gue gak
pernah liat lo ya kak?!” kata Debo histeris. Penjaga perpus kembali
memperingati mereka agar tidak ribut. Sementara itu, Ify yang ada disebelahnya
langsung mengambil buku milik Angel di depannya dan menghantam permukaan buku
tersebut ke kepala Debo. Debo kembali meringis dan mengusap-nguspap kepalanya
yang malang. Tadi kaki sekarang kepala. ntar apalagi? Gerutunya dalam hati.
Angel melihat itu hanya cekikikan
sendiri. Ia lantas menyesal mengapa tidak sejak dulu ia bersikap ramah pada
Ify. gadis itu rupanya gadis yang menyenangkan. “Oh iya, selama ini, lo ngapain
nguntit gue?” Angel kembali bertanya. Ify menggaruk tengkuknya malu. Ternyata
selama ini penyelidikannya sudah ketahuan. Pantas saja ia tidak pernah
mendapatkan hasil apa-apa. “Hehe, itu gara-gara sepatu lo kak.”
Angel memasang tampang tak percaya. Jadi
gadis itu selalu menguntitnya hanya karena sepatu? “Sepatu gue? Lo naksir sama
sepatu gue?” Ify menggeleng keras lalu segera menjawab. “Bukan. Gue pernah
disekap di ruang musik. Gue gatau wajahnya gimana karena waktu itu gue setengah
pingsan. Gue cuma sempet liat sepatunya sebelum akhirnya gue pingsan beneran.
Dan sepatu itu persis sama sepatu lo, Kak. Makanya gue nguntit lo.”
Angel mengangguk mengerti sementara Debo
terbengong-bengong mendengar cerita Ify. “Terus lo ngira gue pelakunya? Gue kan
ga kenal sama sekali sama lo,”
“Ya gue juga ragu sih. Gue awalnya ngira
kan bisa aja lo salah satu fans-fans Rio yang selama ini sering ngirimin gue
hadiah.”
“Hadiah?” Ify mengangguk pasti.
Sementara di sebelahnya terlihat begitu semangat mendengarkan ceritanya. “Gue
pernah dikirimin ular gede banget terus ada tulisan warna merah gitu. Terus gue
dapet sms misterius dan disekap di ruang musik.” Muncul ekspresi ngeri di wajah
Angel. Sementara Debo geleng-geleng kepala takjub. Ify justru terkikik melihat
respon dua orang di dekatnya itu.
“Tapi, lo kok bisa tau nama gue?” kali
ini Ify gantian bertanya. Angel tersenyum geli. “Waktu ngumpet di balik tembok
emangnya lo ga denger gue sama lo ngomongin lo?” tanyanya balik. Ify membulatkan
matanya seketika dan menutup mulut. Jadi waktu itu ia dari awal sudah ketahuan?
Astaga! Gue kayaknya emang gak bakat jadi detektif. Pikir Ify. Ia lalu
menggeleng lemah. Bisa dipastikan mukanya lumayan merah sekarang. Malu-maluin!
“Dia pacar lo ya? Keliatannya dia care
banget sama lo.” Goda Angel dan berhasil membuat kemerahan di pipi Ify makin
jelas. Debo langsung mendengus tak suka. “Ifynya yang suka tapi Rio nya
enggak!” cerocos Debo tanpa kompromi terlebih dahulu. Ify langsung mendelik ke
arahnya sementara Angel menutup mulutnya menahan tawa. Teman Ify yang satu ini
kelewat polos. Pikirnya. Debo lebih dulu menutupi kepalanya waspada akan
serangan Ify.
“Ih tapi kayaknya lo berdua jodoh deh!
Dia juga sama kayak lo, dia ngira gue mau ngapa-ngapain lo makanya dia datengin
gue, bilang ke gue jangan ganggu lo. Ckckck gue yakin lo bedua jodoh! Hahaha”
Sekali lagi pipi ify memerah. Mungkin sekarang ia sudah persis seperti kepiting
rebus. Dijodohin Kak bukan jodoh!
***
Ify, Via, Shilla dan beberapa siswa lain
yang sengaja dipilih untuk harus tampil saat promnight sepuluh hari mendatang
sedang duduk menunggu orang yang akan melatih mereka di ruang musik. Agni lebih
memilih memainkan alat musik ketimbang bernyanyi makanya ia tidak tampak
bersama-sama dengan ketiga sahabat karibnya karena duduk terpisah. Namun, Agni
mendadak menyesal akan keputusannya. Ada Cakka di sana. Beruntung karena pemuda
itu sepertinya tidak menyadari mereka berada dalam satu kelompok, kelompok
pengiring.
Ify sempat ditawari untuk memainkan
piano akan tetapi ia langsung menolak mengingat pengalamannya dulu saat konser
piano pertamanya. Ditengah-tengah permainan pikirannya blank dan lupa apalagi
yang harus ia mainkan. Ia penderita nervous tingkat tinggi. Sekarang ia memang
handal memainkan piano akan tetapi tidak untuk di depan umum. Karena itu,
daripada nilai seninya anjlok, dimana selama ini seni adalah satu-satunya nilai
yang bisa ia harapkan dan banggakan, ia memilih untuk ikut serta di vocal saja.
Tapi, penyesalan sepertinya juga terjadi
pada Ify. Itu karena kemunculan Rio dari balik pintu ruang musik dan mengambil
tempat di kelompoknya, kelompok vocal. Bukan Rio yang menjadi penyebabnya akan
tetapi gadis yang mengekor di belakang pemuda itu. Dea. Pantas saja setiap jam
istirahat Rio menghilang dan kembali ke kelas dengan wajah berseri. Rupanya ia
pergi menghabiskan waktu bersama Dea. Pasti wajah berserinya itu karena Dea
memberi informasi terbaru tentang kepulangan Acha. Ify sedikit merasa sesak
dalam hati. Ga usah gue bantu juga hati lo udah ketata, Yo! Bahkan udah rapi
sejak dulu. Batin Ify lirih.
Tapi salahnya juga sih, kenapa ia mau
saja diculik Debo. Kalau tidak kan mungkin Rio yang akan menculiknya. Hehehe...
“Hai semuanya!” seorang gadis manis
berbadan tinggi diikuti seorang pemuda di belakangnya masuk dan menyapa
orang-orang yang sudah cukup lama menunggu mereka. Banyak yang saling berbisik
membicarakan orang yang baru saja datang itu terutama dari kaum hawa. Boleh
diakui kalau si pemuda itu memiliki wajah yang tampan.
Ify langsung tersenyum lebar mengetahui
siapa yang akan melatihnya itu. Kak Angel!! Batinnya bersorak gembira. Namun,
ketika pandangannya jatuh pada si pemuda yang menyebabkan para siswi menjadi
riuh itu, keningnya agak berkerut. Rasa-rasanya ia pernah bertemu dan
berkenalan. Ah iya! Yang waktu itu di cafe! Siapa ya namanya? Mm tra eh
tris..trisan..trian..tri..
“Hai Ify!” Sang pemuda yang sedang
dipikirkan Ify tersebut tiba-tiba menyapanya. Ify terlonjak kaget. Ia menoleh
ke kanan-kiri lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kenapa harus menyapanya
di depan umum seperti ini?
“H-hai emm Tri..” Ify membalas sapaan
itu canggung. Ia juga masih lupa siapa nama pemuda itu. ia hanya ingat suku
kata pertamanya saja.
“Tristan!” Potong Tristan. Ify
mengangguk dan lekas ingat.
Nah, itu namanya. Tristan!
Sementara itu, dua pemuda tampak
menunjukkan ketidaksukaan pada apa yang sedang terjadi. yang satu menaikkan
alis sinis sementara yang satu lagi mengerang geram.
***
Hehehe
maap yaa satu part dulu. Masih ada SIMAK UI menunggu ternyata. Jadi delay dulu
ya 10 part nya sampe tanggal 30. Mimin mesti belajar dulu -.-v dan kalo part
ini kurang memuaskan mohon di maklumi. Kejar tayang soalnya -.-v Dan hahahaha
mimin baru sadar kalo Alvia nya gaada -_- maap yak, udah keburu di post di fb
jadi tunggu part selanjutnya aja yaaa -,-
Jelek
ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan
ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)