-->

Minggu, 23 Juni 2013

Matchmaking Part 22

Haiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!
Gak ngaret kaan gak ngaret kaan? muehehehehe -,-
Untuk kesekian kalinya makasiiih yaa semuanya yang udah doain mimin :') tetep doain mimin yaaa semoga sbmptn mimin lulus disalah satu dari 3 pilihan mimin, kalo bisa Unand kalo enggak di dua univ lainnya juga gapapa amiiiin O:)

Oh iya maaf Alshill nya untuk beberapa saat mendem dulu, soalnya ceritanya emang lagi banyak di Alvin Febby, Cagni, Rify sama Siviel. Dan itu kendala dengan LDR nya mereka berdua dan sakitnya Alvin *ceritanya* jadi agak susah munculinnya. Kalo pun ada palingan cuma adegan telfonan. Tapi masa telfonan mulu? Dari kemaren-kemaren juga telfonan mulu, pasti bosen kan? Nanti ada saat mereka banyak yaaa tenang ajaaah. Jadi harap sabar sejenak -,-v

***

Cause all I need is a beauty and a beat who can make my life complete...
Terdengar nada dering dari ponsel Dea yang disimpannya di dalam tas. Ia membuka resleting tas dan merogoh ponsel yang sedang asyik mendendangkan lagu milik si ganteng Justin itu. tiba-tiba Dea bersorak heboh dengan mata berbinar. Rio dan Ify sekilas saling berpandangan bingung. Dea dengan cepat menyambut panggilan masuk yang bertamu ke ponselnya itu. Ia diam sebentar, menarik nafas dan bersuara dalam hitungan ketiga detik.

1...2...3...

“Kak ACHA!”

Ify termangu mendengar nama yang disebut Dea barusan. jantungnya berdebar tak karuan. Firasat tak enak yang sempat dirasakannya tadi makin kuat. Ia menutup matanya sejenak seraya mengatur nafas sekaligus menenangkan diri. Tak jauh beda dengan Rio. Pemuda itu makin beku ketika daun telinganya menangkap jelas pekikan suara gadis di sebelahnya, Dea. Bukan pekikannya yang menjadi masalah, tapi apa yang dipekikkan gadis itu. jantung Rio ikut-ikutan berdegup tak sabar. Firasat tak enak juga tak luput dirasakannya, sama seperti Ify.

Berbicara tentang Ify, ia jadi teringat gadis itu. apa yang sedang gadis itu lakukan sekarang? Bagaimana reaksinya? Sedikit banyak, Rio merasakan keingintahuan tentang sikap gadis itu saat ini. ia melirik kaca di samping atas kepalanya. Muncul bayangan Ify disana sedang menutup mata dan menghela nafas agak...berat. Sontak pandangan matanya berubah lirih. Ia tidak yakin setelah ini Ify tidak akan tersakiti olehnya. Lagi. Untuk kesekian kali.

Sepuluh menit lebih akhirnya Dea menutup bincang-bincangnya bersama Acha. Ia menatap layar ponselnya berseri-seri. Tanpa merosotkan senyumnya, Dea memasukkan kembali ponselnya tersebut ke dalam tas. Ia menatap ke depan dan kemudian berseri-seri lagi. “Kakak tau gak..” katanya menggantung tanpa memberi tahu secara jelas siapa yang ia ajak bicara. Akan tetapi, dua manusia yang semobil dengan gadis itu pasti tahu siapa yang di ajak bicara. Terutama Ify. Mana mungkin Dea berbicara padanya, apalagi kalau bahasannya tentang gadis bernama...ah gatau deh!

Sama seperti Dea, ia menyahut singkat tanpa menoleh ke arah gadis itu. “Apa?” Dea tersenyum miring seraya memiringkan kepala sedikit. “Kenaikan kelas...Kak Acha balik!!” Dea bersorak di penghujung kalimatnya. Ify seketika melengserkan kepalanya hingga membentur kaca mobil Rio pelan. Ia memandang awan-awan putih yang mobil Rio lewati. Matahari, kamu kemana? Jangan tinggalin aku ya! Batinnya ngelantur sekaligus pasrah.

Rio meremas stirnya kuat. Ia frustasi pada perasaannya sendiri. Apa yang ia rasakan dan yang seharusnya ia rasakan saat ini ia tak tahu. Tak mengerti. Ketidakadilan melanda hatinya. Kenapa? Kenapa disaat dirinya berniat melupakan malah dipancing seperti ini? Memang sih, dirinya bukan ikan yang begitu melihat kail, apalagi yang dililitkan cacing di busurnya, pasti langsung menyambar. Akan tetapi, dirinya juga tidak punya kuasa menahan ego hatinya untuk suatu waktu menyambar kail yang diarahkan padanya. Dalam hal ini, Acha. Orang yang dulu tertancap dalam di hatinya atau mungkin masih sampai sekarang.

Arrggh!! Benar-benar...siapa, siapa si kurang ajar yang sudah berkali-kali mengobrak-abrik jalan pikiran serta aliran hatinya? Ayo kemari berganti posisi dengan dirinya. Coba saja rasakan menjadi dirinya sebentar. Mari bertaruh, sampai kapan akan sanggup bertahan. Dan kalau begitu, Rio pasti akan menang. Karena tidak akan ada yang sanggup. Dan mungkin juga dirinya.

“Kak? KakYo?” tegur Dea karena merasa diabaikan. Rio tersadar dan menoleh sebentar pada gadis itu. Gadis itu tampak mengernyit kurang senang. “Kok diem aja sih? Kakak gak seneng ya kakCha balik?” tanyanya curiga. Rio diam sebentar lalu menjawab kaku. “Hah? Se-seneng..” Di belakangnya, Ify mendengus singkat. Bukan Rio, tapi dirinya yang tidak senang. Lantas ia merasa bersalah dalam hati. Acha tidak melakukan sesuatu yang buruk padanya tapi ia begitu tak ‘suka’ mendengar kabar kedatangannya. Akan segera terjadi. Ify memijat pelan keningnya. Kepalanya mulai terasa nyut-nyutan. Hatinya lebih lagi.

Lupakan aku..kembali padanya..aku bukan siapa-siapa..untukmu... *nyelipdikiteaaak*

***

Siang ini, anggota ekstrakulikuler basket latihan seperti biasa. Namun, agak sedikit berbeda. Kali ini tak sekedar latihan, akan tetapi diadakan tanding kecil-kecilan antara senior yang sebentar lagi hengkang dari sekolah dan para penerusnya alias junior mereka. Disitulah kesempatan dimana para senior melatih mental para junior melalui sistem babat habis, artinya mengalahkan junior dengan skor tak tanggung-tanggung. Sebenarnya bukan latihan mental juga sih, lebih tepat jika aksi unjuk diri terakhir dari para senior di depan semua junior-junior yang bergabung. Tentunya para senior tidak menginginkan kalah sebagai salam perpisahan mereka.

Cakka berlari ke tepi lapangan dan langsung berselonjor ria sambil meneguk habis sebotol air mineral di tangannya. Rambutnya basah kena keringat. Maklum, dirinya habis menjamu para senior. Ia memperhatikan sekeliling yang cukup ramai itu. memang sudah kebiasaan jika ekskul basket mengadakan perpisahan dengan senior. Pasti akan ramai dikunjungi dari biasanya. Tapi sepertinya ada yang kurang. Hatinya merasa ada yang kurang. Matanya bergerak mencari seseorang akan tetapi pikirannya tidak dapat menentukan siapa yang dicari penglihatnya tersebut.

Semua anggota basket hadir dan itulah orang-orang yang senantiasa Cakka ketika mengikuti kegiatan ini. Baik yang laki-laki maupun yang perempuan semuanya lengkap. Ah, ngomong-ngomong soal perempuan, sudah berapa lama ya ia tidak berkomunikasi dengan Febby, pacarnya? Hampir dua minggu. Ah iya, segitu. Batinnya menghitung. Akhir-akhir ini ia merasa seperti bebas hubungan dengan Febby. statusnya memang masih sebagi pacar, tapi ia sendiri tidak merasakan menjadi seseorang yang disebut pacar itu. Tak ada rasa rindu menyelip dalam hatinya. Memikirkan Febby saja pun tidak. Ia justru lebih sering kepikiran dengan si gadis kalung. Agni.

“Kok Agni?” Tanyanya pada diri sendiri. Lumayan kaget karena entah mengapa hatinya menyebut gadis itu. Matanya bergerak liar lagi sesaat setelah nama Agni terngiang di kepalanya. Seketika gerak matanya berhenti dan berubah bingung. Kok...jangan-jangan dari tadi gue nyariin.. Sedetik kemudian matanya membulat besar diikuti dengan kerutan di beberapa bagian kening. Tak sampai lima detik, matanya kembali berubah pandangan bingung. “Tapi kenapa?” tanyanya lagi.

Seorang rekannya ikut bingung melihat Cakka yang beberapa kali terlihat berbicara sendiri. Ia memiringkan kepala seraya memperhatikan lagi keanehan Cakka tersebut. Ia lalu berjalan mendekati Cakka, mengajak pemuda itu bicara sekaligus mencari tahu apa yang sedang terjadi. “Woy!” sentaknya. Cakka menoleh pelan masih mempertahankan tatapan bingungnya. Lebih bingung lagi karena didatangi Riko, sang rekan. “Lo kenapa ngomong sendiri?” tanyanya tanpa basa-basi. Cakka masih memasang tampang bingung namun juga berpikir tentang sesuatu.

“Agni mana?” tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaan Riko lebih dahulu. Entahlah, yang ada di kepalanya dan yang ingin diketahuinya sekarang hanya gadis harajuku itu. Agni. Sekarang gantian Riko yang bingung. Tambah bingung tepatnya. “Agni?” Lagi-lagi Riko balas bertanya. Tak ada yang mau mengalah sepertinya.

Cakka hanya diam tak berniat –lagi- menjawab. Diam kan artinya iya. Setidaknya menurutnya begitu. “Ada yang bilang Agni out, makanya sekarang ga dateng.” Jelas Riko akhirnya. Ia lalu beranjak pergi ketika seseorang memanggilnya. Cakka tidak begitu acuh pada siapa yang ‘merebut’ Riko darinya tersebut. Boleh diulang, yang ingin diketahuinya sekarang hanya Agni. “Out?” gumamnya kembali berbicara sendiri. Ia lantas teringat pada kejadian tadi siang bersama gadis itu. mengingat dan baru menyadari sifat tidak bersahabatnya pada Agni.

Apa karena itu Agni berniat keluar dari basket? Karena gue? ulangnya dalam hati. Sejenak ia berdiam diri memikirkan lagi alasan yang tepat mengapa Agni berniat keluar. Kadang-kadang matanya memicing dan keningnya mengerut-ngerut. Suatu ketika, tatapannya berhenti di satu titik. Bukan sedang melihat sesuatu yang menarik tapi sepertinya ia sudah menyimpulkan satu hal. Dan seketika itu pula moodnya berubah kesal dan mendadak menjadi dingin. “Apapun itu, dia gak bisa masuk keluar seenaknya. Emangnya hotel apa?” Ujarnya datar dengan alis meninggi sebelah dan pandangan mata sinis.

***

Seperempat malam berlalu dan kesunyian di mobil Rio masih belum berubah. Ditambah lagi dengan sudah tidak adanya Dea diantara mereka. Belum ada sepatah katapun keluar dari mulut Ify dan Rio semenjak ditinggal gadis itu. Namun, sepertinya lebih dahulu Ify yang merasakan tidak nyaman. Ia benci kalau sudah canggung-canggungan seperti ini. Ify mencoba buka suara mencairkan suasana meskipun nanti hasilnya mungkin tidak berhasil.

“Aturannya lo anter gue ke rumah Via aja, mobil gue juga ada disana. Lo kan ga perlu bolak-balik lewat rumah lo ke rumah Dea terus balik lagi buat ke rumah gue.” Ujar Ify sesantai yang ia bisa sambil sesekali melirik Rio melihat reaksi pemuda tersebut. Dan benar sesuai tebakannya, usahanya pasti tidak akan berjalan mulus. Rio tetaplah fokus ke depan menjaga laju mobilnya seakan tidak menyadari ada orang yang sedang berbicara di sebelahnya. Ia menganggap suara Ify layaknya lagu yang ter-play di mobilnya. Tidak menuntutnya untuk memperhatikan serta balas bicara.

Ify menggigit bibirnya bingung harus melakukan apalagi. Ia melirik Rio terakhir kali dan seketika putus asa. Ia menghempas badannya ke sandaran kursi yang ia duduki. Tak lagi berniat mengajak bicara, ia hanya diam sampai mobil Rio benar-benar sampai di depan rumahnya.

Hingga saat itu terjadi, semuanya masih diselimuti keheningan. Ify bergeming beberapa menit dalam mobil Rio menunggu sesuatu –mudah-mudahan- keluar dari mulut pemuda itu. Cukup lama penantiannya tersebut, ia pun akhirnya menyerah. Percuma. Semua kegiatan menunggu yang berkaitan dengan pemuda itu pasti akan berakhir percuma. Pasti. Batinnya lebih menekankan. Dan itu mutlak. Tambahnya sekali lagi.

“Makasih.” Salam terakhir Ify begitu singkat. Ia membuka pintu mobil Rio dan beranjak keluar dari si putih tersebut. Ia berdiri di depan pagar menunggu Rio menjalankan mobil dan menghilang dari depan rumahnya alias pulang. Namun, sama seperti penantiannya akan kata-kata pemuda itu, mobil Rio sedikitpun tak bergerak maupun bersuara. Mesinnya mati? Pikirnya. Ify mengedikkan bahu seraya geleng-geleng kepala. Sekali lagi, tak akan ada penantian. Lagi-lagi batinnya berbisik tegas.

Ify berbalik badan berjalan memasuki halaman rumah. Ia tak peduli apakah Rio masih tetap diam disana atau melajukan mobil. Ia terus berjalan menatap lurus tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Ia berhenti tepat di depan pintu dan beralih mengubek-ngubek tasnya mencari kunci rumah. Kasihan kalau harus membangunkan Bibi dengan membunyikan bel. Pekerjaan wanita paruh baya itu sudah cukup keras, alangkah kejamnya jika mengganggu istirahat wanita itu yang hanya sebentar.

Belum sempat Ify menemukan kunci rumahnya, sebuah tangan lebih dulu memasukkan kunci ke pintu rumah Ify dan dengan dua kali putar pintu sudah dapat terbuka. Ify terlonjak dengan tangan misterius tersebut. Siapa itu? maling? Batinnya panik. Ia lekas menengadah memeriksa si pemilik tangan. Matanya yang sempat melotot kaget tiba-tiba berubah pandangan bingung. Kaget juga sih. Rio? Dia belum balik? Kunci rumah gue kok ada sama dia? Ya Tuhan! Rio mau ngapain?

Ify seketika panik kembali. Bagaimana Rio bisa memiliki kunci rumahnya? Pemuda itu masih waras kan? Tidak berniat macam-macam kan? Tidak berniat melakukan apa yang ia lakukan pada Angel –masih dugaan sih- padanya kan? Setidaknya begitulah kekhawatiran yang melanda Ify saat ini. ia meneguk ludahnya susah. Sementara itu, pemuda di depannya tampak tenang dengan wajah datar tanpa menoleh ke arah Ify dan melihat bagaimana besarnya kepanikan Ify karenanya.

Ify melihat Rio dengan santai masuk ke dalam rumahnya. Ia ikut masuk tapi hanya sekitar satu langkah. Ia lalu hanya menempel pada pasangan pintu rumahnya yang masih tertutup. Sekali lagi ia meneguk ludah sekaligus berdoa dalam hati agar Rio segera pergi dari hadapannya, dari rumahnya. Rio yang akhirnya –mau- menyadari keanehan Ify lalu berbalik badan melihat apa yang sedang dilakukan gadis itu. Ia mengerti. Gadis itu pasti berpikiran yang tidak-tidak padanya. Wajar memang, malam-malam begini seorang pemuda masuk ke rumah seorang gadis tanpa izin bahkan dirinya yang lebih dulu membuka dan memasuki rumah.

Rio mendesah singkat. Tak berniat berdebat dan berbicara panjang, ia langsung menyuruh ify mengemasi barang-barangnya. To the point. “Kemas barang-barang lo. Yang penting-penting aja dulu, mobil gue ga muat ngangkut semuanya.” Ify terlonjak lagi. Barang-barang? Ya Tuhan! Rio mau nyulik gue? Gue harus gimana? Gue harus gimana? Batinnya kembali kocar-kacir. Sementara Rio tetap saja mengarahkan pandangan datarnya padanya.

“Disuruh Om Ferdi.” Tambah Rio langsung agar Ify berhenti menempel pada pintu rumahnya. Setidaknya dengan begitu, Ify akan lebih cepat menurut dan dirinya bisa segera pulang. Ia mau istirahat. Ia sangat butuh istirahat. Sangat.

***

Rio mengumpat begitu sebal. Karena Ify, ia harus tersisih dari kamarnya sendiri. Ia lumayan tidak suka jika ada orang selain dirinya memakai kamar kesayangannya tersebut. Memang, sebelumnya Ify pernah menempati ruangan itu. Tapi dulu, ia masih ada kamar kosong di rumahnya. Sekarang, kamar tersebut sudah di tempati salah satu pembantu di rumahnya. Alhasil, Rio mau tidak mau harus tidur bersama Ray, menumpang di kamar adik laki-lakinya itu, yang juga menjadi alasan utama ia tidak rela kamarnya dipakai orang lain. Bukan karena Ray keberatan untuk berbagi kasur, tapi cara tidur pemuda itu tidak manusiawi. Rio bergidik ngeri membayangkan nanti kaki Ray akan berada di atas perutnya, menghentak keras dan tangannya yang tidak sopan menutupi wajah Rio. Bagaimana ia bisa tidur nyenyak?!

Dan sekarang hal yang Rio takutkan itu terjadi. Bukan kaki atau tangan Ray menimpa badannya, dirinya justru dipeluk oleh pemuda itu dari belakang. Ini jauuuuh lebih mengerikan. Bulu kuduknya lekas berdiri tegap. “Gak nyangka gue punya adek homo!” gumamnya amat sangat pelan. Ia lantas mendengus. Ini tidak bisa dibiarkan. Ray harus melepasnya. Mm, ini terdengar sedikit aneh. Mungkin lebih baik jika Ray harus menyingkirkan tangannya dari tubuhnya.

Dengan susah payah mengecilkan perut lalu meringsut ke bawah keluar dari lingkaran tangan Ray, Rio akhirnya bisa lepas dan sekarang sudah berdiri sambil bernafas lega di luar kamar Ray. Ia langsung menatap pintu kamarnya yang tertutup. Tanpa ragu dilangkahkannya kaki menuju kamarnya tersebut dan membuka pintunya pelan. Tampak seorang gadis duduk bersila di atas ranjang dengan headset di telinga dan sebuah novel di tangan. Ify belum tidur.  

Kasur gueee! Batin Rio meratap. Ia berjalan masuk tanpa peduli gadis itu mengizinkan atau tidak. Who cares? Ini kamar gue. Pikirnya. Ify sendiri bahkan tidak menyadari kedatangan Rio dan keberadaan pemuda itu di samping kasur yang ia duduki. Ia terlalu asyik dengan alur cerita novel dan buaian lagu yang terdengar di telinganya. Rio mendesah singkat. Ia lantas tanpa berdosa berbaring di samping Ify dan menyelubungi tubuhnya dengan selimut. Akhirnyaaaa! Batinnya senang. Akhirnya ia bisa benar-benar tidur dan semoga saja nyenyak.

Sementara itu, ify masih juga belum sadar. Ia justru menggeser duduknya ketika lututnya tersenggol badan Rio. Hingga matanya lelah membaca, ia melepas headset serta menaruh novelnya di bawah bantal. Ia memegang tengkuk dan memijatnya pelan sebentar. “Capek juga,” gumam Ify. Ia lantas mulai mencari posisi yang tepat untuk segera tidur. Memasukkan kedua kakinya ke dalam selimut dan menariknya hingga ke dada lalu memiringkan badan ke kanan. Matanya masih terbuka saat itu.

Satu kedipan. Dua kedipan. Sebelas kedipan. Matanya kemudian membelalak. Siapa itu? disebelahnya?!
“Heeeh siapa lo?! Ngapain di kamar gue?!” Ify lekas bangkit dari tidurnya dan menjadikan selimut sebagai penutup sekaligus pelindung tubuh. “Kamar Rio. Kamar gue.” Rio hanya mencoba merevisi kata-kata Ify tanpa menoleh ke belakang melihat gadis itu. “Eh iya, kamar Rio. Kamar lo? Lo Rio?! lo ngapain disini?! Lo kan harusnya tidur sama Ray!” Protes Ify yang baru mengetahui siapa penyusup di kamarnya itu. Bukan, penyusup di kamar Rio maksudnya. Dan pelakunya adalah Rio sendiri.

“Lo aja sana!” Ujar Rio jengkel. Tidur sama Ray? Ogah! Susul batinnya. “Mana bisa! Masa gue tidur sama cowok?” Ify kembali protes. Karena tak ada respon dari Rio, ia menendang-nendang kaki Rio dengan kakinya. Bukan berniat mendorong pemuda itu, akan tetapi hanya ingin membuat Rio menoleh padanya. Bagaimanapun, ini memang kamar Rio. Ia juga tak berhak sepenuhnya atas kamar ini.

“Gue teriak nih..” kata Ify mencoba mengancam. Namun masih sama, Rio tak juga menoleh. Sampai akhirnya Ify menarik nafas dalam dan melakukan apa yang ia katakan. “OOM TANTE RMmpphhhh!” Mendengar Ify berteriak Rio langsung berbalik badan menarik Ify dan membekap mulut gadis itu. dengan tanpa sengaja membuat jarak di antara mereka menjadi sangat dekat. Tak ayal mata mereka bertemu dan saling tatap satu sama lain. Keduanya sama-sama terdiam dengan posisi baru mereka tersebut.

Tangan kanan Rio menggenggam pergelangan Ify dan tangan kirinya mengalung ke belakang tengkuk menuju mulut Ify membekapnya agak segera diam. Ify tak dapat bernafas lancar. Ini bukan yang pertama kali memang tapi ia sudah lama tidak seperti ini. berada dalam jarak sedekat ini dengan Rio lagi. Kapan terakhir pun ia lupa. Begitu juga dengan Rio. Keduanya sama-sama mendapatkan debaran keras dalam dada. Gempa mendadak melanda organ vital yang ada disana.

Pandangan mata Rio kemudian berubah. Ia menatap Ify dalam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, di hatinya. Sesuatu yang sakral, melankolis dan sangat tak lazim untuknya. Sesuatu bahwa..

“I miss you.” Kata-kata itu akhirnya dengan mulus terucap dari mulut Rio. Rio menatap Ify lembut sekaligus lirih. Ia menyentuh pipi Ify menggunakan telunjuk kiri dan mengalirkan dari atas ke ke bawah. Tanpa tahu manusia yang disentuhnya itu hampir mati berdesir. Apa? Rio bilang apa?! Ify meneguk ludahnya kembali. Rasanya lebih sulit dibanding ketika di rumahnya tadi. Banyak terjadi sengatan-sengatan di tubuhnya. Menyiksa memang, tapi ada sensasi yang sangat disukainya dan ia tidak tahu apa itu. Yang jelas, dirinya tak ada niatan menghindar ataupun menolak.

Meski begitu, otak Ify masih bisa bekerja dan berpikir jernih. Berpikir rasional akan pernyataan Rio barusan. Satu hal yang ia yakini, Rio mana mungkin merindukannya. Logikanya, ia dan pemuda itu hampir setiap hari bertemu. Mereka satu sekolah, satu kelas lagi. Jadi, untuk merasakan rindu itu rasanya tidak bisa diterima. Tapi, kalau Acha...itu mungkin. Iya, benar, Rio merindukan Acha bukan dirinya, bukan Ify. Rio pasti melihat Ify sambil membayangkan wajah Acha, makanya ia bisa dengan lancar mengatakan kata-kata rindu. Iya, lo pasti nganggep gue Acha deh.
“Acha...you miss her, not me.” Balas Ify pelan diikuti gelengan kepala singkat. Setelah ini, Rio pasti akan sadar, kembali ke Rio yang sebenarnya. Pikirnya kemudian. Rio mendengar sahutan Ify itu tidak suka. Telunjuknya berhenti mengelus. Ia mendengus jengkel. Kenapa gadis itu malah menyebutkan gadis lain? Acha lagi. Aiss sialan! Dirinya jadi ketularan menyebut-nyebut nama gadis itu kan!

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu diikuti dengan suara lembut khas dari Amanda, mama Rio. Kepala Ify menjengkit panik. Jika Amanda masuk dan menemukan Rio disini bisa bahaya. Dengan posisi seperti ini lagi. Ia menatap Rio meminta solusi sekaligus memohon agar melepasnya dari dekapan pemuda itu. bukannya ikut kaget ataupun panik, Rio hanya menoleh ke belakang sekilas lalu menatap Ify. “Lo sih teriak-teriak!” desis Rio jengkel. Ia membekap mulut Ify kembali sebelum gadis itu melakukan protes.

“Kalo lo gak berisik, mama bakal ngira lo cuma mimpi buruk.” Rio berdesis lagi. Mau tak mau Ify akhirnya menurut. Kekuatan penguncian Rio lebih besar dari seluruh kekuatannya. Bernafas saja harus hemat-hemat apalagi bergerak. Selama lebih dari lima menit posisi Ify dan Rio terus-menerus saling pandang karena memang tidak ada hal lain yang lebih baik yang bisa dilakukan. Derap langkah Amanda terdengar menjauh dan lama-kelamaan hilang.

Kembali hanya ada Ify dan Rio di kamar sekarang. Rio masih menatap dan menguncinya tanpa memedulikan ketidaknyamanan yang dirasa Ify. Aksi hemat Ify mulai kurang membantu. Ia mulai merasa cakupan oksigennya menjauh dari batas cukup. Hal itu diperparah dengan debaran-debaran menyesakkan dalam dadanya. Apa pemuda itu melamun? Batin Ify bertanya heran sekaligus kesal. Ify menggeliat pelan berusaha menyadarkan Rio untuk segera melepas bekapannya.

Tepat seperti perkiraan Ify, Rio sepertinya memang melamun. Antara melamun dengan terhipnotis dengan mata bening Ify. Ify kemudian bernafas sepuas-puasnya ketika tangan Rio tak lagi ada di wajahnya. Ia melirik Rio yang masih setia menjatuhkan pandangan padanya. Ia memutar kedua bola matanya malas. Nyebelin! Gerutunya membatin. “Yaudah, gue tidur di bawah. Pinjem bantal lo sekalian.”

Baru saja Ify mencoba bangkit, Rio menarik tangannya yang masih di genggam pemuda itu. ify yang tak siap kemudian hanya mengikuti kemana arah badannya terhuyung, yakni tepat di pelukan pemuda itu. Tangan Rio bergerak mengeratkan pelukannya. Mata Ify sontak melebar. Apalagi ini?!!

“Can you help me?” kata Rio nyaris berbisik namun masih dapat didengar jelas oleh Ify. tentu saja! Bibir pemuda itu berada tepat di sebelah kupingnya sekarang. Ify yang matanya tadi melotot sekarang menaikkan alis bingung. Agak aneh dengan cara bicara Rio saat ini. “L-lo kenapa jadi sok british gini?” sahutnya tak kalah pelan dari Rio. Terasa ada hentakan nafas yang dilakukan pemuda itu. Rio pasti mendengus. “Biar gue keliatan serius, bego.” Sungutnya. Ify mencibir tertahan. Serius sih serius, nyela nya gausah ikut-ikutan serius juga. Nyebelin! Gerutunya dalam hati masih sama.

“G-gak usah peluk-peluk juga” Tambah Ify. Rio tersenyum. Gadis yang dipeluknya ini memang sangat polos. “Bukannya lo seneng?” ujar Rio sedikit menggoda. Ify mencibir lagi, lebih keras dari sebelumnya. Ia mendorong tubuh Rio agar menjauh meski gagal karena refleks cepat dari tangan Rio yang langsung mengeratkan pelukannya. Gantian sekarang Ify yang mendengus. “Ini biar lo gak lasak.” Tak ada sanggahan lagi dari Ify. Gadis itu lebih memilih diam sembari menenangkan diri.

“Dan..” Ify tetap diam menunggu lanjutan ucapan Rio. Sebenarnya dada Ify sudah berisik dari tadi, apalagi jantungnya. Rio mengulur-ngulur waktu terlalu banyak. Dan itu menjengkelkan khususnya bagi Ify. Kalo gue pingsan karena dipeluk Rio kan gak lucu!

“Gue mau lo ngerasain sesuatu..” Lagi-lagi menggantung. Ify mengambil inisiatif menyahut demi menghentikan ulur-ulur waktu dari Rio. “Apa?” sahutnya cepat. Bukannya menjawab, Rio malah mengeratkan dekapannya, membuat Ify menjadi sangat dekat dengan pemuda itu. Mati gue!

“Debaran jantung gue. Dari sejak gue natap lo sampe gue meluk lo, debarannya makin cepet.” Kata-kata Rio barusan tak ayal menghipnotis Ify  dari ujung kepala hingga ujung kaki. Semuanya membeku sesaat. Ia kemudian merasakan apa yang Rio bilang. Debaran dalam dada pemuda itu. Hampir menyamai kecepatan denyut jantungnya meski masih lebih cepat dirinya. Ify mengedipkan mata lebih cepat beberapa kali. Apa Rio mau nembak gue?

Hhhhk!

Memikirkannya saja sudah membuat nafas Ify tercekat. Perutnya terus-menerus menggembung karena nafas yang ia hirup tak kunjung dihembuskan. Merasa ada yang aneh, Rio melonggarkan pelukannya dan mendorong ke belakang tubuh Ify agar bisa memandangnya. “Kenapa lo?” tanya Rio heran. Ify menggeleng cepat lalu akhirnya membuang nafasnya yang tertahan. Itu satu hal yang gak mungkin terjadi. Saat ini. Batinnya menjawab sendiri pertanyaan yang ia buat barusan.

Cepat-cepat disingkirkannya tangan kanan Rio dan mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Sementara tangan kiri Rio dibiarkannya tetap di belakang kepala dan ia jadikan sebagai sandaran alias bantal. Rio pun ikut tidur telentang seperti yang ia lakukan. Ia juga menjadikan tangannya yang dibuang Ify tadi sebagai sandaran kepala. “Lo..mau gue bantuin apaan?” tanya Ify mencoba berbicara lancar mengabaikan sentakan-sentakan yang dilakukan organ dalam dadanya.

Rio menelengkan kepala ke kiri menatap Ify lagi sementara Ify tetap mengarahkan kepala ke depan, ke langit-langit kamar Rio. “Bantu gue nata hati gue..” Lirih Rio. Samar-samar terdengar nada memohon dalam kata-katanya tersebut. Pemuda itu menatap Ify dalam dan serius. Ify tertegun untuk yang kedua kali setelah tadi Rio berbicara masalah debaran jantungnya. Tapi kali ini tubuhnya tidak sebeku saat itu. ia bisa jauh lebih santai. Ia menghela nafas berat dan menyahut ringan.

“Gue bukan Tuhan, kali, bisa nata-nata hati orang!” Seperti yang Rio duga, Ify pasti menolak. Bukan nolak, gue gak ngerti. Batin Ify menyahut tanpa sengaja. Tiba-tiba Rio memiringkan badan dan menjitak jidat Ify. Alhasil Ify mengerang sakit dan mengelus-ngelus kenignya itu. ia menatap Rio heran. Dari mana pemuda itu belajar menjitak orang? Pikirnya. “Gue kan cuma minta bantuin bukan nyuruh lo yang nata!”

Ify mendengarkan gerutuan Rio itu sambil terus mengelus-ngelus keningnya. Rio kini sudah berganti posisi lagi menjadi telentang. “Ya mana gue tahu! Yang punya hati, lo. Yang nyiptainnya, Tuhan. Jadi cuma lo sama Tuhan yang bisa menatanya sedemikian rupa.” Kata Ify sok bijak. Memang, karena sejujurnya ia pun tak terlalu paham dengan apa saja yang ia ucapkan barusan. Itu semua hanya sebagai tameng agar Rio tidak menyadari keengganannya menuruti permintaan pemuda itu.

Jika Ify bersedia membantu itu artinya ia akan lebih sering bertemu dan menghadapi Rio. dan itu sangat tidak diinginkan terjadi. Rasa yang dipendamnya pada pemuda itu bisa-bisa akan semakin mengembang. Sangat berbahaya. Sikap Rio yang plin-plan apalagi dengan kedatangan Acha sebentar lagi rentan membuatnya kecewa dan makan hati. Maka dari itu, sebelum jatuh lebih dalam, alangkah baiknya Ify mulai merangkak perlahan keluar.

“Yang paling utama, lo harus tentuin kemana tujuan hati lo. Tetep nunggu Acha atau lo buka hati buat cewek lain misalnya gu........em misalnya..” Hampir saja Ify keceplosan. Beruntung lidah dan otaknya masih sinkron dan ucapannya sempat dihentikan. Meski begitu, Rio sudah memicing ke arahnya sambil tersenyum jahil. Ia sudah lebih dulu menangkap sinyal-sinyal aneh dari kata-kata Ify. “Misalnya?” tanya Rio ulang.

Rio bergeser mendekati Ify dan itu justru membuat gadis itu makin gelagapan menjawab. Ify kemudian ikut bergeser menjauh dari Rio. Tak sampai disitu, Rio menggeser tubuhnya lagi seraya tetap mengulang pertanyaannya barusan. “Misalnya?” Rio mengerling. “Misalnya..” Ify kehabisan akal untuk menjawab. Ia bergeser makin ke pinggir kasur. Rio bergeser lagi. Sementara Ify yang tak tahu posisinya sudah benar-benar diujung, bergeser lagi dan...

Gedebuk! *halah*

“Aw!” Ify jatuh terguling ke lantai dan merasakan sakit di beberapa bagian tubuh misalnya ujung bahu, sikut, pinggang, lutut dan pantatnya. Sementara itu, di atas kasur, Rio justru terbahak melihat Ify jatuh. Ia menyembulkan kepalanya menengok gadis itu. “Selamat tidur! Hahaha” Tawanya kembali. Ify mengambil guling yang jatuh lebih dulu daripada dirinya lalu menghantamnya ke wajah Rio. Rio menghalau wajahnya dengan tangan supaya permukaan guling itu tidak langsung mengenai wajahnya.

Ify mengambil bantal tidur di sebelah Rio asal dan kemudian meletakkannya kasar di lantai. Ia langsung berbaring dan memiringkan tubuhnya agar tidak menghadap Rio lagi. Rio mengjengkitkan kepala mengintip Ify sebentar lalu terkikik lagi. Ya ya ya, tidak sepenuhnya salah. Ia memang selalu punya waktu-waktu yang membuatnya tersenyum hari ini. Selamat tidur! Selamat tidur, Ify! hehehe..

***

Rahang alvin mengeras. Tubuhnya menegang menahan amarah. Matanya menatap tajam sosok gadis cantik yang ada di televisi yang ditontonnya sekarang. Febby!

“Febby, kenapa kamu ada dalam ruang rawat Alvin?”

“Udah berapa lama kamu nungguin Alvin di rumah sakit?”

“Jadi selama Alvin sakit, kamu yang nemenin dia?”

“Apa Alvin yang minta kamu nemenin dia?”

“Kamu yang nabrak Alvin?”

“Atau ada hubungan spesial antara kamu sama Alvin?”

“Jadi kedekatan hubungan kalian itu gak sebatas gosip?”

Para wartawan langsung berebutan menanyai Febby. Febby belum mau menanggapi dan masih saja menebar senyum manis yang justru terlihat menjijikkan di mata Alvin. Hingga ia akhirnya buka suara dan mengarang kronologis kejadian tertabraknya Alvin. “Jadi, pas kecelakaan terjadi, kebetulan saat itu aku lagi sama Alvin. Aku haus jadi aku minta dia beliin minum. Pas Alvin nyebrang, tiba-tiba aja ada mobil jalan dari arah kiri dan Alvin ketabrak.”

Febby tersenyum lagi ketika salah satu wartawan menanyakan ulang mengenai hubungannya dengan Alvin. Ia menyelipkan beberapa helai rambutnya ke telinga kanan lalu menjawab malu-malu. “Doain aja yaa semoga jadi hehehe, makasih semuanya!” Ia segera masuk ke kamar Alvin dan menutup pintu rapat-rapat. Para wartawan yang tadi rusuh saling berbisik dan kemudian satu-persatu dari mereka beranjak pergi dari depan kamar Alvin.

***

Shilla menelan makanan yang dikunyahnya dengan susah payah. Apa yang muncul dalam layar televisi di rumahnya membuat selera makannya surut. Kerongkongannya terasa kering. Sebuah dentuman keras terjadi dalam dadanya. Wiwid melihat ke arah televisinya sambil mengernyit. “Alvin yang disebut itu Alvin pacar kamu?” tanya Wiwid langsung. Shilla menatap mamanya lalu televisi dan kembali ke mamanya lagi.

“Shilla gak tau, kayaknya bukan” jawab Shilla sekenanya. Wiwid mengernyit lagi. “Kok kayaknya?” Shilla menatap mamanya sekilas. Ia lalu meneguk segeluk air putih di depannya sambil menyelempangkan tasnya. Ia berdiri lalu lekas pergi keluar rumah setelah sempat mengedikkan bahu pada mamanya dan pamit. Wiwid memiringkan kepalanya sedikit menatap punggung anaknya yang menjauh. Lalu tak lama setelah itu ia ikut-ikutan mengedikkan bahu dan memanggil pembantu di rumahnya untuk membereskan meja makan.

Sementara itu, Shilla bersandar sambil menutup mata mendengarkan lagu dari headset di telinga. Volume musik yang maksimum sukses membuat Shilla tuli akan sekitarnya beberapa saat. Ia tenggelam dalam alunan lagu di telinganya tersebut. Pagi-pagi udah bikin stres! Gerutunya membatin.

***

Rio bersama kedua orangtuanya, Amanda dan Zeth, juga Ify tengah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Tidak ada Ray karena pemuda itu pagi-pagi sekali sudah pergi. Mau menjemput gebetan katanya. Rio agak kaget mengetahui kini adiknya itu sudah punya incaran. Selama ini, ia tidak pernah melihat adiknya bergelagat seperti sedang jatuh cinta. Ah tidak, sepertinya tidak. Malam tadi, adiknya baru saja memperlihatkan gelagat itu padanya. Saat memeluknya. Rio bergidik sendiri mengingat saat tangan Ray mengalung pinggangnya mesra.

“Semalem tante dengar di kamar Rio ada yang teriak-teriak. Itu kamu, Fy?” ujar Amanda memulai perbincangan. Sekaligus menjadi saat pertama kali mereka berbincang bersama Ify saat gadis itu tinggal bersama mereka. Ify hampir tersedak. Iya refleks melihat ke arah Rio dan secepat mungkin mengalihkan pandangan ketika Rio membalas tatapan tajam padanya. Rio mengaduk-ngaduk mie gorengnya dengan wajah kesal.

“Iya.” Jawab Rio datar mendahului Ify. Amanda dan Ify sama-sama mengernyit. Kenapa malah Rio yang jawab? Begitulah kira-kira sesuatu yang ingin diungkapkan mereka melalui kernyitan tersebut. Rio tak acuh dan justru menyuap mie gorengnya ke mulut. Ify hanya tersenyum mengakui. Amanda langsung memandangnya khawatir. “Kamu kenapa? Mimpi buruk?” tanyanya lagi. Ify baru akan menjawab akan tetapi Rio lagi-lagi mengambil alih. “Iya. Dia mimpi didatengin setan.” Mendengar itu Ify langsung melirik dongkol ke arahnya. Sudah lancang menjawab Amanda yang jelas-jelas bertanya padanya bukan pemuda itu lalu berbicara yang tidak-tidak lagi.

Eh tapi apa katanya? Setan? Berarti setannya Rio dong? Pikir Ify. Ia lantas mengulum senyum geli mengetahui Rio menyebut dirinya sendiri sebagai setan. “Iya tante, setannya gak jelek-jelek amat. Tapi dia nyebelin! Hehe” Ify terkekeh kecil ketika menyelesaikan kalimatnya. Ia langsung mendapat tatapan sinis dari sang setan, Rio. Ify balas melet pada pemuda itu. sementara itu, Amanda tampak keheranan melihat tingkah kedua anaknya itu. Meskipun Rio ketus tapi tetap kelihatan kalau Rio bersikap bersahabat dengan Ify. Mereka berdua tampak lebih akur. Memikirkan itu langsung membuat Amanda hati Amanda mencelos senang.

Zeth yang sedari tadi diam kemudian memperhatikan istrinya yang senyum-senyum sendiri, “Mama kenapa senyum-senyum sendiri?” katanya buka suara untuk pertama kali. Amanda menoleh pada Zeth dengan senyum yang tetap tersungging di bibirnya. Ia lalu menggeleng singkat. “Kok kamu terus sih yang jawab, Yo? Mama kan nanyanya sama Ify.” Kali ini Amanda bertanya pada Rio sambil mengerlingkan mata jahil.

Rio melirik mamanya sekaligus menelan mie goreng yang ada dalam mulutnya. Ia meminum seteguk jus mangga di depannya lalu menjawab santai. “Mama bukannya nanya anak sendiri malah nanya anak orang!” sahutnya. Amanda tersenyum geli. “Kamu emangnya mau ditanyain apa?” Rio mendengus kesal. “Mama gak tahu sih, Rio tuh hampir sekarat gara-gara tidur sama Ray! Masih untung hari ini Rio gak masuk rumah sakit.” Gerutu Rio sedikit berlebihan. Amanda geleng-geleng kepala heran sambil sesekali cekikikan.

“Lebay deh kamu! Jadi kamu mau tidur dimana? Masa tidur sama Ify?”

Ify mendadak deg degan mendengar komentar Amanda barusan. Pipinya kemudian bersemu. Hampir, tante, hampir!
“Mama aja sana tidur sama Ray biar Rio tidur sama Papa.”

“Gak bisa. Papa kamu mana bisa tidur kalo gak dipeluk sama Mama, ya kan Pa?” ujar Amanda seraya menyikut pinggang Zeth pelan. Zeth menoleh sebentar lalu hanya balas tertawa. Rio rasanya ingin muntah. Sementara Ify hanya ikut tersenyum dan terus menyuap Mienya ke mulut. Pagi ini ia merasa sangat lapar. “Nanti kalo kalian udah nikah pasti ngerasain kayak gitu. Ya gak, Fy?” Amanda kembali mengiktsertakan Ify dalam kalimatnya. Ditodong seperti itu membuat makanan di mulut Ify hampir muncrat. Ify cepat-cepat menelan mie yang telah cukup lama dikunyahnya itu. pipinya bersemu lagi. Ia hanya tersenyum canggung menanggapi Amanda. Sementara Rio, tak ada reaksi spesial yang dilakukan pemuda itu.

Ify meminum setengah dari isi dalam gelasnya. Ia menghela nafas berat. Kalau seperti ini terus kejadiannya, Ify harus sering-sering memakai bedak agar warna merah jambu di wajahnya dapat tertutupi.

***

Dua gadis cantik ini tampak saling menatap. Saling berbalas tatapan tajam dan kesal hingga salah satu di antara mereka mengalah dan memilih melihat ke arah lain. Oik menyisir rambut hitam lurus nan tebalnya ke belakang menggunakan jari persis seperti model iklan shampo. “Sampe sekarang Alvin gak jatuh cinta sama lo. Iya kan? Ga becus banget sih kerja lo!” Febby meliriknya sambil menaikkan sebelah alis. “Gue gak kerja sama lo.” Balasnya datar. Oik menghela nafas meredam emosi lalu memutar kedua bola matanya tanpa membalas ucapan Febby.

“Alvin itu ga sembarangan ngasih hatinya sama orang. Hatinya gak murahan, gak kayak lo..” Ujar Febby dengan nada santai tanpa menoleh pada Oik. Wajah gadis itu kini merah padam. Tangannya sudah terangkat ke atas dan mengarah pada sebelah wajah Febby. Febby menyadari itu dan lantas memasang tampang menantang. “Mau ngapain lo?” tanyanya sarkastis. Ada sedikit unsur menertawakan dalam nada bicaranya.

Mendengar itu Oik lantas menurunkan tangannya cepat. Ia maju selangkah lebih dekat pada Febby. Ia lalu tersenyum. Senyum licik di mata Febby. “Lo mulai berani sama gue?” ujar Oik mencoba mengancam. Alis Febby terangkat lagi. “Sejak kapan gue takut? Perasaan udah berkali-kali deh gue bilang sama lo,” Dahi Oik mengerut namun sesaat kemudian ia tersenyum lagi. Bukan senyum licik. Entahlah, Febby sendiri tidak begitu mengerti arti senyum gadis itu kali ini.

Oik menyentuh pundak Febby lalu menepuknya pelan beberapa kali. Setelah itu, ia mundur dan berbalik badan beranjak pergi. Langkahnya berhenti ketika dering ponselnya terdengar. Ia menoleh sebentar ke belakang lalu mengulang senyum misteriusnya pada Febby. Febby hanya mengerutkan dahi ketika melihat adik tirinya itu menjawab ponsel sambil tersenyum ke arahnya lalu pergi. Aneh! Batinnya heran.

Setelah Oik tak lagi terlihat, Febby menjatuhkan tubuhnya di kursi tunggu di sampingnya. Kepalanya menengadah sekaligus menyender pada dinding. Berulang kali ia menarik nafas mengeluarkannya menarik lagi mengeluarkan lagi dan begitu seterusnya. Ia tidak habis pikir dengan hidupnya. Seorang anak yang tidak diharapkan lahir, dibuang di keranjang sampah lalu ditemukan oleh orang yang tak kalah jahat dari orangtua kandungnya. Ditambah lagi ketika orangtua angkatnya mengangkat seorang gadis kecil berumur setahun di bawahnya.

Waktu itu Febby berpikir gadis berwajah malaikat itu adalah pengganti malaikat yang dikirimkan Tuhan padanya. Yang bisa menemaninya, menyemangatinya dan memberikan hari-hari bahagia dalam hidupnya. Miris, malaikat itu justru berubah menjadi iblis. Dan dirinya terjebak dalam kendali kedua iblis tersebut tanpa bisa melakukan apapun. Yang tak kalah menyedihkan, kedua iblis tersebut hendak mengubahnya menjadi salah satu dari mereka, manusia iblis.
Febby menghunus nafasnya kembali. Ia memijat kepalanya yang mulai terasa merenyut-renyut. Ia lalu menoleh ke samping menatap pintu kamar Alvin. Ia seketika teringat akan Shilla. Karena itu, kini gantian hatinya yang terasa merenyut-renyut. Jika pekerjaannya berhasil maka ia benar-benar sudah berubah menjadi iblis.

***

Cklek!

Pintu kamar Alvin terbuka. Seorang gadis berperawakan ayu kemudian muncul dari balik benda tersebut. Gadis yang sedari tadi ditunggunya. Gadis yang ingin sekali ia makan hidup-hidup karena sudah menyampaikan yang tidak-tidak tentang dirinya dan gadis itu. Gadis nekat yang menjadi penyebab dirinya harus terbaring tak berdaya di rumah sakit. Febby. Gadis itu menutup pintu lalu berjalan pelan sekali hingga sampai di sofa. Seperti ada lem yang merekatkan kakinya dengan lantai begitu kuat.

Belum sampai satu menit, Febby berdiri dan melangkah menuju toilet dalam kamar. Alvin melihatnya heran. Tak biasanya Febby bertingkah seperti ini. gerak tubuhnya loyo ditambah mukanya yang pucat seperti tidak makan seminggu. Pandangan matanya juga kosong seakan tidak sadar ada orang lain selain dirinya yang juga sedang memperhatikan dirinya. Ketika pintu toilet terbuka, Febby keluar dengan muka basah. Saat itu pula ia baru sadar akan Alvin. Tidak sepenuhnya sadar karena sepertinya ia hanya kaget saat tak sengaja bertemu pandang dengan pemuda itu.

Tak dipedulikan Febby muka Alvin yang sudah berubah sangar. Ia terus meniti langkah hingga ke dekat pintu. Namun ia berhenti ketika Alvin mengajaknya bicara. “Mau kemana lo? Mau kabur setelah apa yang lo lakuin sama gue?” ujar Alvin sinis. Saat ini Febby tengah kehilangan separuh bagian pikiran normalnya. Ia melempar tatapan kosong sekaligus rasa bersalah ke arah Alvin. Alvin tertegun sesaat. Hatinya tiba-tiba saja mencelos pilu. Ada rasa sedih yang tersirat dari mata Febby yang ia rasakan. Ia turut merasa bersalah pada gadis itu.

“Aku mau shalat..” lirih Febby. Sekali lagi Alvin tertegun. Kali ini dua kali lipat dari yang pertama. Ia tertegun mengetahui tujuan Febby dan ia sudah terlalu banyak salah sangka pada gadis itu. Dan...sejak kapan Febby make aku-aku-an sama gue? batinnya bertanya-tanya. Febby tersenyum sekilas lalu membuka pintu kamar Alvin dan menghilang dalam sekejab.

Kini tinggal Alvin yang kebingungan akan perasaan apa yang muncul di hatinya. Kenapa jadi dirinya yang bersalah? Bukannya dirinya korban? Tapi kenapa dirinya sesedih sekarang? Ada perasaan khawatir dan gelisah yang juga muncul dalam hatinya. Hampir menyerupai rasa ketika Shilla dulu jatuh sakit dan tidak sadarkan diri selama tiga hari. Gak! gak mungkin! Jangan sampe pokoknya jangan sampe!

***

Ify terpaksa harus berganti duduk di sebelah Rio karena Gabriel begitu memaksanya agar pemuda itu bisa duduk dengan Via. Via sendiri menolak keras dan berusaha mempertahankan Ify agar tetap diam di tempat duduknya. Alhasil, terjadi tarik-tarikan antara Gabriel dan Via, sama-sama menarik Ify. Via di sebelah kanan dan Gabriel di sebelah kiri. Hal tersebut terjadi beberapa menit di dalam kelas dan untung waktu itu suasana kelas masih sangat sepi.

Pada akhirnya, cukup mengejutkan, Rio menghampiri keributan yang dibuat sahabat-sahabatnya, atau mungkin salah satu sahabatnya dan menyelamatkan Ify dari sana. Ia menaruh tas Gabriel di atas meja Ify dan membawa tas Ify beserta pemiliknya menuju kursinya. Ify mencibir pelan karena Rio justru gantian menariknya meski perlakuan Rio lebih manusiawi daripada yang dilakukan Via dan Gabriel. 

Sementara itu, sosok lain yang ada disana, yang juga salah satu sahabat mereka, Shilla, hanya duduk tenang memperhatikan apa yang terjadi di depan mejanya tanpa berekspresi apapun. Hingga istirahat pertama, Shilla tetap duduk tenang dan hampir tidak mengeluarkan suara. Agni duduk di sebelahnya sambil menaruh pandangan khawatir. Kalau sedang bertengkar dengan Alvin, Shilla memang sering melakukan aksi diam seperti ini.
Tapi sekarang, Agni merasa Shilla agak berbeda. Mungkin juga bukan Shilla yang berbeda, tapi hatinya yang merasakan keganjalan. Ada perasaan tidak enak menyergap dan ia tahu pasti dalam waktu tidak lama akan ada sesuatu buruk terjadi. Ia lalu menggeleng keras menangkis semua firasat buruknya.

“Ni, diluar ada orang yang nyariin lo,” panggilan seorang teman Agni itu berhasil membuat lamunannya buyar. Agni mengernyit. Agak aneh dengan kata-kata temannya tersebut barusan. Yaiyalah orang! Masa kodok nyariin gue! pikir Agni. Ia hanya balas mengangguk pada temannya itu dan beranjak keluar kelas. Ia cukup dibuat kaget dengan berdirinya Cakka di depan kelasnya. Apa orang yang dimaksud itu Cakka? Untuk apalagi Cakka mencarinya?

“Lo nyari gue?” tanya Agni sekedar memastikan. Ia juga tidak terlalu berharap kalau Cakka benar-benar mencarinya. Agni sudah menetapkan satu kesimpulan dan itu pasti menurutnya. Cakka bukan Aga. Tidak ada lagi alasannya berharap. “Lo punya maksud apa sama gue?” tuduh Cakka langsung. Agni memasang wajah tak mengerti lalu kemudian tidak suka karena nada bicara Cakka yang kedengaran tidak bersahabat.

“Masuk-keluar seenaknya, lo kira ekskul basket itu hotel?” tuduh Cakka lagi. Agni makin tidak mengerti maksud Cakka. Ia cuma berencana keluar dari ekskul basket dan ia juga bukan orang pertama yang melakukan itu. Apalagi ia juga belum benar-benar keluar. Lalu apa kabar anggota-anggota yang lain yang sudah keluar? Kenapa hanya dirinya yang didatangi seperti ini? atau mereka dulu juga mengalami hal yang sama sepertinya?

“Mau keluar atau enggak itu hak gue dong! Gue juga ga begitu dibutuhin disana, gue bukan pemain inti dan main basket pun gue ga terlalu bisa. Lagian gak ada peraturan yang mengikat gue supaya gak boleh keluar kan? Ngapain lo mesti repot-repot mikirin gue? sampe datengin gue segala kayak gak ada kerjaan aja!” ujar Agni santai sekaligus membela diri.

Cakka sesaat hanya diam. Agni benar. Ia memang kurang kerjaan. Untuk apa ia mendatangi Agni dan gusar sampai segininya? Agni cuma anggota biasa bahkan baru yang jika tidak ikut serta tidak akan berpengaruh apa-apa. Cakka mengumpat dongkol pada dirinya sendiri. Kenapa sampai sebodoh ini? ada apa dengan dirinya? Tapi kemudian sesuatu lain terlintas di pikirannya. Sesuatu yang mengembalikan emosinya pada Agni.

“Lo dibayar berapa sama Kiki?” lagi-lagi Cakka menuduh Agni. Dan untuk yang ini, Agni mulai hilang kesabaran. Emosinya turut naik seperti Cakka. “Maksud.lo?”  ujar Agni penuh penekanan. Ia masih mencoba agar emosinya tidak sampai keluar meskipun sudah meluap. Cakka tersenyum sinis seraya melipat kedua tangannya di dada. “Lo punya tujuan lain kan masuk basket? Dan tujuan lo itu...gue.”

Tuduhan Cakka kali ini benar-benar menohok Agni. Cakka benar. Pemuda itu memang alasan utamanya mengapa ia mendaftarkan diri menjadi anggota basket. Tapi, Agni kemudian sadar. Cakka pasti menangkap maksud lain. “Apapun pikiran buruk tentang gue di kepala lo, itu semua gak bener.” Agni tak berniat berbicara panjang lebar. Cakka tidak perlu tahu apa tujuannya. Ia hanya perlu meluruskan pikiran pemuda itu agar tidak selalu salah paham padanya. Akhir-akhir ini gue sama Cakka perasaan salah paham mulu. Batinnya.

Cakka mengulang senyum sinisnya pada Agni. “Gue tahu. Lo pacarnya kan? Ckckck, segitu cintanya lo sama dia sampe mau diperbudak kayak gini. Ya ya ya, semuanya udah jelas sekarang. Semoga lo berdua langgeng deh! Salam buat ayang lo itu ya!” Cakka berbalik badan begitu saja sementara Agni termangu mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut orang yang dulu dikiranya Aga tersebut. Kenapa pemuda itu mudah sekali untuk berpikiran buruk padanya sekarang? Padahal dulu hubungan mereka berdua cukup hangat. Setidaknya tidak ada acara sinis-sinisan seperti ini.

Ketika Cakka dan Agni terpisah beberapa langkah, Agni berbicara mengejutkan, terutama Cakka. Pemuda itu seketika berhenti mendengar kalimat beruntut yang dilontarkan Agni.

“Iya emang, masuk-keluarnya gue, itu semua karena lo. Gue awalnya cuma mau mastiin lo itu siapa. Gue sempet yakin kalo lo itu orang yang gue cari. Tapi, apa lo sadar sikap lo akhir-akhir ini ke gue? Sikap lo itu berhasil buat keyakinan gue punah makanya gue mutusin keluar karena emang gaada lagi yang harus gue kerjain. Sekarang, gue keluar tapi lo masih aja bersikap ga baik. Gue gak ngerti ya sama lo. Emm mungkin gue punya salah kali ya sama lo? Oke gue minta maaf, gue bener-bener minta maaf! Gue udah capek lo tuduh-tuduh terus!” Pada akhirnya Agni memang harus berbicara panjang agar Cakka mengerti.

Gantian Cakka yang termangu. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Ia bahkan bingung hendak berbalik atau meneruskan berjalan. Tapi Agni kemudian berbicara lagi. “Oh iya, gue harap lo gak ngomong macem-macem lagi tentang Kiki, kakak gue.” Dan yang ini makin membuatnya tidak bisa berkata apapun. Kakak?!!

***

“Lo kenal dia, Fy?” Debo bertanya  dengan nada berbisik pada Ify. Mereka kini sedang berbunyi di balik salah satub rak buku yang ada di perpuustakaan. Ify kembali melakukan penyelidikan pada Angel. Tadi saat berjalan di sekitar sekolah, ia tak sengaja bertemu dengan Angel. Tanpa pikir panjang, Ify langsung mengekor agak jauh di belakang gadis itu meskipun saat itu ia tengah bersama dengan Debo.

Ify memerintahkan Debo untuk tetap diam dan berbicara ketika sudah diizinkan. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan sudah begitu banyak mengepul di kepala Debo dan uapnya sudah keluar dengan sendirinya. Ify menoleh sebal padanya dan menjawab singkat. “Enggak.” Jawabannya itu justru makin membuat Debo tidak bisa menahan untuk bertanya. “Terus, ngapain ngendap-ngendap gini? Nunggu apaan? Kenapa lo gak nyamperin langsung?” Tanya Debo beruntun.

Ify buru-buru berbalik dan menempelkan telunjuknya di mulut menyuruh Debo diam ata setidaknya mengecilkan volume suara. “Sssst! Lo bisa diem gak sih?” gerutunya kelas. Debo garuk-garuk kepala bingung. “Tapi gue masih belum ngerti. Tujuan lo nguntitin dia apa dong kalo lo aja ga kenal sama dia?” Debo benar-benar tidak bisa dilarang. Bukan malah mengecilkan, suara Debo justru makin kencang.

Ify berbalik cepat lagi ke arah pemuda itu. namun, belum sempat mulutnya berujar, sebuah suara mendahuluinya dan seketika membatnya diam. Suara Angel. “Heh lo berdua, berisik tau gak?!” gerutunya pada Ify dan Debo. Ify masih diam membeku karena ketahuan. Ia bingung harus menunjukkan diri keluar atau kabur ke tempat lain. Terdengar desahan dari mulut Angel. “Keluar. Ify.” katanya santai meski agak geram juga pada Ify.

Ify kaget sekaligus bingung karena Angel menyebut namanya. Darimana dia bisa tahu? Atau jangan-jangan, yang menyekapnya waktu itu benar adalah Angel?

“Fy, lo disuruh keluar tuh!” ujar Debo tak sabaran sekaligus mengganggu proses analisa dalam kepala Ify. Ify melirik sebal lagi dan menghadiahi pijakan kaki pada salah satu kaki pemuda itu. “Lo sih!” katanya menyalahkan Debo. Debo hanya meringis kesakitan akan kakinya. Ify mau tak mau keluar dari persembunyiannya dan menunjukkan muka pada Angel. Ia lantas duduk sambil menunduk di depan Angel. Debo hanya mengikuti apa yang dilakukan Ify. Ia ikut duduk tapi tidak sambil menunduk. Ia memperhatikan Ify dan Angel bergantian.

“Lo kayak mau dihukum aja deh, Fy!” Angel terkikik geli melihat Ify yang langsung menyembunyikan wajahnya dalam-dalam saat berhadapan dengannya. Ify mendongak ragu-ragu. Angel kemudian menyodorkan tangannya ke arah Ify. Ify tak membalas. Ia hanya melihat tangan Angel di depannya bingung. Angel tersenyum ramah pada Ify. Pada akhirnya Ify menyambut juga sodoran tangan Angel meski masih kaku.

“Kita damai!” seru Angel seraya tersenyum makin lebar. Untuk beberapa saat, Ify hanya diam lalu kemudian ikut tersenyum. “Emang kalian musuhan?” Debo tiba-tiba menyeletuk. Ify dan Angel saling berpandangan lalu tertawa dan menjawab bersamaan. “Enggak!” kata mereka kompak dan tertawa lagi. Debo kelihatan hampir frustasi. Ify dan Angel benar-benar membuatnya bingung. Mereka terus tertawa hingga peringatan penjaga perpus berhasil mendiamkan Ify dan Angel.

“Dia temen lo, Fy?” tanya Angel kemudian. Ify menoleh sekilas pada Debo lalu kembali menghadap Angel. “Enggak, dia aja yang tiba-tiba nyamperin gue. Gue juga gatau dia siapa. Hahaha,” Ify terkekeh lagi namun dengan volume suara yang sudah dikecilkan. Debo merengut mendengar itu. “Emang kenapa, Kak?” tanya Ify kemudian tanpa memedulikan ekspresi memelas Debo yang ingin diakui (?).

“Gue ngerasa pernah liat dia deh, tapi dimana ya?” Angel memperhatikan Debo sambil mencoba mengingat-ngingat dimana ia pernah bertemu dengan pemuda itu. “Pernah liat gue?! dimana?! Kok gue gak pernah liat lo ya kak?!” kata Debo histeris. Penjaga perpus kembali memperingati mereka agar tidak ribut. Sementara itu, Ify yang ada disebelahnya langsung mengambil buku milik Angel di depannya dan menghantam permukaan buku tersebut ke kepala Debo. Debo kembali meringis dan mengusap-nguspap kepalanya yang malang. Tadi kaki sekarang kepala. ntar apalagi? Gerutunya dalam hati.

Angel melihat itu hanya cekikikan sendiri. Ia lantas menyesal mengapa tidak sejak dulu ia bersikap ramah pada Ify. gadis itu rupanya gadis yang menyenangkan. “Oh iya, selama ini, lo ngapain nguntit gue?” Angel kembali bertanya. Ify menggaruk tengkuknya malu. Ternyata selama ini penyelidikannya sudah ketahuan. Pantas saja ia tidak pernah mendapatkan hasil apa-apa. “Hehe, itu gara-gara sepatu lo kak.”

Angel memasang tampang tak percaya. Jadi gadis itu selalu menguntitnya hanya karena sepatu? “Sepatu gue? Lo naksir sama sepatu gue?” Ify menggeleng keras lalu segera menjawab. “Bukan. Gue pernah disekap di ruang musik. Gue gatau wajahnya gimana karena waktu itu gue setengah pingsan. Gue cuma sempet liat sepatunya sebelum akhirnya gue pingsan beneran. Dan sepatu itu persis sama sepatu lo, Kak. Makanya gue nguntit lo.”

Angel mengangguk mengerti sementara Debo terbengong-bengong mendengar cerita Ify. “Terus lo ngira gue pelakunya? Gue kan ga kenal sama sekali sama lo,”

“Ya gue juga ragu sih. Gue awalnya ngira kan bisa aja lo salah satu fans-fans Rio yang selama ini sering ngirimin gue hadiah.”

“Hadiah?” Ify mengangguk pasti. Sementara di sebelahnya terlihat begitu semangat mendengarkan ceritanya. “Gue pernah dikirimin ular gede banget terus ada tulisan warna merah gitu. Terus gue dapet sms misterius dan disekap di ruang musik.” Muncul ekspresi ngeri di wajah Angel. Sementara Debo geleng-geleng kepala takjub. Ify justru terkikik melihat respon dua orang di dekatnya itu.

“Tapi, lo kok bisa tau nama gue?” kali ini Ify gantian bertanya. Angel tersenyum geli. “Waktu ngumpet di balik tembok emangnya lo ga denger gue sama lo ngomongin lo?” tanyanya balik. Ify membulatkan matanya seketika dan menutup mulut. Jadi waktu itu ia dari awal sudah ketahuan? Astaga! Gue kayaknya emang gak bakat jadi detektif. Pikir Ify. Ia lalu menggeleng lemah. Bisa dipastikan mukanya lumayan merah sekarang. Malu-maluin!

“Dia pacar lo ya? Keliatannya dia care banget sama lo.” Goda Angel dan berhasil membuat kemerahan di pipi Ify makin jelas. Debo langsung mendengus tak suka. “Ifynya yang suka tapi Rio nya enggak!” cerocos Debo tanpa kompromi terlebih dahulu. Ify langsung mendelik ke arahnya sementara Angel menutup mulutnya menahan tawa. Teman Ify yang satu ini kelewat polos. Pikirnya. Debo lebih dulu menutupi kepalanya waspada akan serangan Ify.

“Ih tapi kayaknya lo berdua jodoh deh! Dia juga sama kayak lo, dia ngira gue mau ngapa-ngapain lo makanya dia datengin gue, bilang ke gue jangan ganggu lo. Ckckck gue yakin lo bedua jodoh! Hahaha” Sekali lagi pipi ify memerah. Mungkin sekarang ia sudah persis seperti kepiting rebus. Dijodohin Kak bukan jodoh!

***

Ify, Via, Shilla dan beberapa siswa lain yang sengaja dipilih untuk harus tampil saat promnight sepuluh hari mendatang sedang duduk menunggu orang yang akan melatih mereka di ruang musik. Agni lebih memilih memainkan alat musik ketimbang bernyanyi makanya ia tidak tampak bersama-sama dengan ketiga sahabat karibnya karena duduk terpisah. Namun, Agni mendadak menyesal akan keputusannya. Ada Cakka di sana. Beruntung karena pemuda itu sepertinya tidak menyadari mereka berada dalam satu kelompok, kelompok pengiring.

Ify sempat ditawari untuk memainkan piano akan tetapi ia langsung menolak mengingat pengalamannya dulu saat konser piano pertamanya. Ditengah-tengah permainan pikirannya blank dan lupa apalagi yang harus ia mainkan. Ia penderita nervous tingkat tinggi. Sekarang ia memang handal memainkan piano akan tetapi tidak untuk di depan umum. Karena itu, daripada nilai seninya anjlok, dimana selama ini seni adalah satu-satunya nilai yang bisa ia harapkan dan banggakan, ia memilih untuk ikut serta di vocal saja.

Tapi, penyesalan sepertinya juga terjadi pada Ify. Itu karena kemunculan Rio dari balik pintu ruang musik dan mengambil tempat di kelompoknya, kelompok vocal. Bukan Rio yang menjadi penyebabnya akan tetapi gadis yang mengekor di belakang pemuda itu. Dea. Pantas saja setiap jam istirahat Rio menghilang dan kembali ke kelas dengan wajah berseri. Rupanya ia pergi menghabiskan waktu bersama Dea. Pasti wajah berserinya itu karena Dea memberi informasi terbaru tentang kepulangan Acha. Ify sedikit merasa sesak dalam hati. Ga usah gue bantu juga hati lo udah ketata, Yo! Bahkan udah rapi sejak dulu. Batin Ify lirih.

Tapi salahnya juga sih, kenapa ia mau saja diculik Debo. Kalau tidak kan mungkin Rio yang akan menculiknya. Hehehe...

“Hai semuanya!” seorang gadis manis berbadan tinggi diikuti seorang pemuda di belakangnya masuk dan menyapa orang-orang yang sudah cukup lama menunggu mereka. Banyak yang saling berbisik membicarakan orang yang baru saja datang itu terutama dari kaum hawa. Boleh diakui kalau si pemuda itu memiliki wajah yang tampan.
Ify langsung tersenyum lebar mengetahui siapa yang akan melatihnya itu. Kak Angel!! Batinnya bersorak gembira. Namun, ketika pandangannya jatuh pada si pemuda yang menyebabkan para siswi menjadi riuh itu, keningnya agak berkerut. Rasa-rasanya ia pernah bertemu dan berkenalan. Ah iya! Yang waktu itu di cafe! Siapa ya namanya? Mm tra eh tris..trisan..trian..tri..

“Hai Ify!” Sang pemuda yang sedang dipikirkan Ify tersebut tiba-tiba menyapanya. Ify terlonjak kaget. Ia menoleh ke kanan-kiri lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kenapa harus menyapanya di depan umum seperti ini?
“H-hai emm Tri..” Ify membalas sapaan itu canggung. Ia juga masih lupa siapa nama pemuda itu. ia hanya ingat suku kata pertamanya saja.

“Tristan!” Potong Tristan. Ify mengangguk dan lekas ingat.

Nah, itu namanya. Tristan!

Sementara itu, dua pemuda tampak menunjukkan ketidaksukaan pada apa yang sedang terjadi. yang satu menaikkan alis sinis sementara yang satu lagi mengerang geram. 

***

Hehehe maap yaa satu part dulu. Masih ada SIMAK UI menunggu ternyata. Jadi delay dulu ya 10 part nya sampe tanggal 30. Mimin mesti belajar dulu -.-v dan kalo part ini kurang memuaskan mohon di maklumi. Kejar tayang soalnya -.-v Dan hahahaha mimin baru sadar kalo Alvia nya gaada -_- maap yak, udah keburu di post di fb jadi tunggu part selanjutnya aja yaaa -,-

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)