Sorry if nothing
special in this part dududu~
***
Pagi ini, Ify bangun lebih cepat dari Rio. Ia
bangun ketika Rio masih terlelap. Ia melirik ke arah jam dinding dan spontan
mengerutkan dahi karena saat ini bukan waktu yang terlalu awal untuk bangun.
Bahkan boleh dibilang agak terlambat. Ia lalu mengedikkan bahu tak begitu
peduli. Karena jika ia peduli, keterlambatannya akan menjadi lebih lama.
Setelah mengambil ‘perkakas’ serta seragam sekolahnya, ia buru-buru masuk ke
kamar mandi. Ia lumayan mensyukuri Rio yang masih tidur. Ia bisa mati malu
kalau sampai Rio melihat barang-barang ‘pribadi’nya itu.
Hingga selesai mandi bahkan menata rambut di
depan cermin lemari kamar Rio, Ify tak belum sekalipun bertemu Rio lagi.
Setelah ia beres mandi dan berpakaian, pemuda itu sudah menghilang dari atas
kasur dan tidak pernah kembali ke kamar. Ify mengedikkan bahu lagi. Akan jauh
lebih baik kalau ia tidak bertemu dengan Rio. Sikapnya semalam sejujurnya hanya
sekedar memberi pelajaran pada Rio. Akan tetapi, kalau memberi pelajaran sekali
rasanya tidak cukup. Mengingat sikap-sikap menyebalkan Rio padanya sudah
terjadi berulangkali. Kalau Rio bisa bersikap dingin, maka ia juga bisa. Dan
akan ia lakukan mulai hari ini. Saat ini tepatnya.
Ify menguncir kuda rambutnya kesamping. Itu
sudah menjadi style rambutnya sejak dulu. Hanya saja, sekarang, ia sedikit
melupakan style rambut kesayangannya itu dan kembali teringat hari ini. Mungkin
karena semalam ia agak gerah ketika belajar dengan rambut tergerai. Selain
alasannya karena kelakuan Rio. Ify menatap cermin untuk yang terakhir kali. Ia
juga mulai memakan lolipop lagi setelah beberapa waktu berhenti karena dilarang
papanya. Ia lebih terlihat seperti anak sd ketimbang anak sma. Ditambah dengan
wajahnya yang memang masih imut-imut. Tapi, baguslah. Ia jadi merasa lebih muda
dengan usianya yang menurutnya sudah mulai tua ini.
Ify berjalan mendekati tasnya di dekat meja
belajar. Ia kemudian duduk di atas kasur sambil memasukkan buku-buku yang ada
di daftar pelajaran hari ini. Disaat yang bersamaan, ia mendengar suara pintu
dibuka dan ada derap langkah masuk ke dalam kamar. Tak usah menoleh untuk
memeriksa, Ify sudah tahu siapa yang masuk itu. Pasti Rio. Jelas sekali dari
caranya melangkahkan kaki dan aroma tubuhnya. Entah sejak kapan Ify mulai memerhatikan
atau bahkan hafal. Ia sempat tertegun karena sebegitu hafalnya ia akan sosok
Rio. Apa Rio juga memiliki daya ingat seperti itu untuknya?
Tak tahu kenapa, pertanyaan yang baru saja
merasuki kepalanya itu sanggup menyesakkan dadanya. Padahal, hal-hal seperti
itu sudah sangat sering terjadi pada Ify. Tapi, kenapa untuk saat ini, hal itu
terasa sangat menyakitkan sekali? Ia terpaku menatap buku yang hendak ia
masukkan ke dalam tas. Gerakannya juga terhenti. Tapi, tiba-tiba, angin sejuk
menghampiri rongga dada Ify. Ia teringat akan aksi dirinya yang selalu saja
ketahuan oleh Rio. Bahkan ketika raganya tidak bisa dikenali sewaktu menyamar
menjadi Zaza. Meskipun kesal, tapi ada juga perasaan berbunga-bunga yang
mengapung di hatiya. Bukan bermaksud besar kepala atau bahkan geer, tapi,
sepertinya Rio jauh lebih tahu tentang dirinya ketimbang sebaliknya.
***
Rio berdiri lama di depan pintu kamarnya. Baru
kali ini ia gugup untuk masuk ke kamarnya sendiri. Gagang pintu terasa sangat
dingin di tangan Rio. Atau mungkin dingin itu berasal dari tangannya sediri.
Setelah menarik nafas berulang-ulang, ia kemudian melangkah masuk ke dalam
kamar. Pintu kemudian ditutup dan ia menyembunyikan kedua tangannya ke dalam
saku celana.
Matanya dengan cepat menangkap sosok Ify yang
terduduk di atas kasur. gadis itu diam sebentar seperti memikirkan sesuatu lalu
melanjutkan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Rio menarik nafas sekali lagi
dan rasanya ia agak susah bernafas. Kenapa Ify seimut itu pagi ini?! pekiknya
dalam hati. Dadanya terasa angat seperti baru dialiri air panas. Ia melangkah
perlahan mendekati Ify setelah dapat mengatur rona perasaannya.
“Lo...” katanya mengambang diudara. Lidahnya
kelu manakala kepala Ify tegak dan menatapnya. Dibanding tadi, sisi imut Ify
lebih terlihat jelas sekarang. Kening gadis itu berkerut menunggu Rio
melanjutkan omongannya. Tapi, sepertinya pemuda itu tidak kelihatan ingin
melanjutkan. “Kenapa?” tanya Ify datar. Sepertinya gadis itu masih marah soal
semalam. Ah, tapi, semalem itu Ify marah kenapa gue juga gak ngerti. Batin Rio.
“Lo masih marah?” tanyanya balik. Ify menatap
Rio sama seperti nada suaranya. Datar. Sekali. Setelah cukup lama diam dan
hanya memandangi Rio, -dan yang dipandang terlihat salah tingkah- Ify lantas
menjawab. Atau lebih tepatnya balas bertanya. “Marah untuk apa?” Rio menggaruk
keningnya sambil menatap Ify. “Gue baru aja mau nanya itu,” Ify tak membalas
ucapannya lagi. Gadis itu juga sudah selesai mengemasi buku-bukunya. Ia lalu
menyandang tas nya dan beranjak keluar kamar meninggalkan Rio tanpa berbicara
apa-apa lagi. Hari ini, Ify benar-benar dingin. Pikir Rio. Apa dulu seperti ini
perasaan Ify ketika ia bersikap dingin pada gadis itu? Bahkan lebih dingin dari
yang Ify lakukan padanya.
***
“Emm—ntar gue mesti jemput Dea dulu,” ujar Rio
tepat ketika tangan Ify menyentuh gagang pintu. Ify mematung seakan terhipnotis
dengan ucapan Rio barusan. Dea lagi. Batinnya kedengarn sedih. Ia menghela
nafas diam-diam tanpa sepenglihatan Rio. Sesaat Ify hanya diam di tempat tak
tahu harus melakukan apa. Ia bahkan lupa apa yang sedang ia lakukan sebelum
ini. Sebuah nama yang barusan berhasil menghipnotisnya hingga hampir melupakan
semuanya. Hampir. Karena ia segera sadar ketika suara Rio kembali menggelitik
telinganya. Hatinya apalagi.
“Fy?” panggil Rio. Ify tetap diam tak menyahut.
Ia memutar gagang pintu yang sempat disentuhnya tadi lalu dengan gerakan cepat
keluar dan menutup pintu. Ia lantas bersandar beberapa saat di badan tegap
benda tersebut. Matanya terpejam dengan pikiran yang berkelana kemana-mana. Rio
dan segelintir wanita-wanitanya kini mengeroyok kepala Ify.
Kalau dengan Dea saja Rio sepeduli itu, apa
kabar dengan Acha? Pasti Rio...Rio pasti... ah sudahlah! Memikirkan Rio hanya
akan menguras batin. Emang enak sakit hati? Capek tau!
***
Ini sudah ketiga hari Alvin tidak kunjung
menghubungi Shilla. Memang, sih, ini bukan yang pertama kalinya Alvin
berhari-hari tidak mengabari. Tapi, yang sekarang masalahnya berbeda. Kalau
dulu tidak ada Febby. Sekarang masalah menjadi rumit karena keberadaan gadis
itu. Febby tidak seperti gadis-gadis lain yang sempat dikabarkan ada hubungan
khusus dengan Alvin. Karena tidak pernah ada bukti fisik yang bisa meyakinkan
kebenaran kabar tersebut. Kalau sekarang, bahkan Alvin sendiri yang mengakui
kalau ia dirawat di rumah sakit ditemani gadis itu. Alvin senantiasa bersama
Febby. Kemarin di sekolah sekarang di rumah sakit. Apa yang mereka lakukan saat
ini? Pertanyaan itu rasanya langsung membuat kepala Shilla pecah.
“Ini masih pagi, muka kamu udah ditekuk aja!”
tegur sang mama yang sedaritadi memperhatikan kelesuan anaknya. Sejak turun
dari tangga dan duduk di meja makan, sekalipun Shilla belum buka suara. Bahkan
ketika papanya pamit, Shilla tidak menoleh sama sekali. Shilla sedang
hobi-hobinya melamun akhir-akhir ini. Ketika mamanya mengajak bicara, barulah
Shilla mendongak dan menyadari kalau penghuni meja makan sudah berkurang. “Loh?
Papa sama yang lain kemana?” tanyanya bingung.
Wiwid tersenyum geli sambil meneguk air putih
dalam gelas di depannya. Tapi, kemudian, ia menatap anaknya serius. Ia tahu
betul penyebab anaknya murung seperti itu. Pasti karena Alvin. Ada setitik rasa
jengkel dalam hati Wiwid tatkala mengingat pemuda yang satu itu. “Makanya kamu
jangan melamun terus, gak baik loh!” ujarnya lembut sekaligus hati-hati. Ia
takut anaknya bertambah murung jika ia salah bicara. Shilla mengedikkan bahunya
pasrah.
Makanan di depannya sama sekali belum ia sentuh.
Hanya ia tatap lekat-lekat karena tak tau harus ia apakan. Biasanya, ia paling
tidak bisa menolak masakan mamanya. Akan tetapi, khusus hari ini, mungkin semua
makanan paling enak sekalipun tidak bisa menggugah nafsu makannya. “Kalo
diaduk-aduk terus, ntar kalo kamu makan bisa pusing,” tegur Wiwid lagi. Shilla
melirik mamanya sekilas lalu beralih pada makanannya. “Mama percaya aja sama
yang gitu-gitu!” gerutunya tanpa niat. Wiwid memasang tampang penasaran ingin
mengajak anaknya bergurau. Siapa tahu muram di wajah Shilla bisa berkurang.
“Gitu-gitu gimana?” Tangan Shilla berhenti
mengaduk dan menatap mamanya bingung. “Gitu? Gitu... ah gatau deh!” Usaha Wiwid
sepertinya tidak berhasil. Muka Shilla sekarang justru kelihatan makin berlipat
tidak beraturan. Wiwid menghela nafasnya pelan dan memandang iba anaknya. Pasti
karena berita tadi. Pikirnya. “Shill?” panggil Wiwid. Nada suaranya kembali
terdengar serius meski Shilla tidak benar-benar memperhatikannya. Hanya sebuah
deheman singkat yang menandakan dirinya tidak sedang berbicara sendiri.
“Kamu sama Alvin lagi gak baik ya?” tanya Wiwid
dengan extra hati-hati. Ia sangat sadar kalau pertanyaannya ini rentan
menyinggung perasaan anaknya. Dan memang benar, ketika mendengar nama Alvin,
bibir Shilla langsung mengerucut sambil menggerutu kesal. “Shilla lagi males
bahas Alvin, Ma.” Terbersit nada memohon dalam ucapannya yang meski terdengar
jutek. Wiwid mengulum bibirnya sambil berpikir matang-matang akan pertanyaan
yang akan ia ajukan berikutnya.
“Boleh mama jujur sama kamu?” Kening Shilla
mengerut. Jujur? Agak asing rasanya mendengar kata-kata itu dari mamanya.
Biasanya mama tanpa perlu izin langsung mengutarakan apa yang ingin wanita
paruh baya itu katakan. Shilla mau tak mau harus memusatkan diri pada mamanya
meski dalam diam. Setidaknya dirinya memperhatikan, kan? Wiwid menarik nafas
singkat dan menghembuskannya keluar. “Mama gak percaya sama Alvin...” cetus
Wiwid. Meskipun lemah, tapi nada suaranya terdengar yakin dan tegas. Ada unsur
ketidaksukaan ketika ia menyebut nama Alvin.
Shilla terpaku menatap bola mata bening mamanya
yang kini terlihat menyeramkan. Mamanya tidak menatapnya garang hanya saja
jantungnya terasa copot kala membalas dua manik mata itu kini. Selama ini
mamanya tidak pernah berkomentar negatif akan hubungannya dengan Alvin. Bahkan,
setiap ia melancarkan aksi galau dan uring-uringan karena pemuda itu, Wiwid
juga tidak pernah protes dan marah. Wiwid justru menyodorkan nasihat-nasihat
yang terkesan membela Alvin dan menyuruhnya lebih bersabar serta dewasa.
Shilla memejamkan matanya menahan
letupan-letupan emosi dalam dadanya. Bukan emosi ingin memarahi mamanya, tapi
emosi karena masalahnya akan bertambah satu setelah ini. Satu hal yang
mengganggu pikirannya. Apa kali ini hubungannya akan terganjal restu orangtua?
Setelah harus berusaha mempertahankan hubungannya dengan Alvin di hadapan
Febby, apa ia juga harus berusaha mempertahankan hubungannya di hadapan
Mamanya? Apakah seberat itu? astaga! Ia bahkan masih gadis SMA yang seharusnya
belum memikirkan masalah cinta ke tahap yang sejauh itu. Gue kan belum niat
nikah! Batinnya meringis.
“Kenapa?” tanyanya lesu. Hanya itu yang dapat ia
katakan. Ia juga tidak tahu harus membalas ucapan Wiwid dengan kata-kata apa.
“Yaaa emang sih hubungan kalian masih sebatas pacar-pacaran anak SMA. Tapi,
kita kan gak tau kalo kedepannya kamu malah serius sama Alvin. Mama cuma
khawatir aja sama kamu. Kamu tau kan dunia artis itu kayak apa? Dunianya
orang-orang ‘gila’. Semuanya bisa terjadi disana. Kalo kita bisa jaga diri,
mungkin kita bakal baik-baik aja. Tapi, kalo iya Alvin bisa. Godaan di dalam
sana besar banget, Shill. Mama...mama gamau kamu sakit hati,”
Shilla mengernyit. Ia sepertinya mulai mengerti
kemana arah tujuan Mama. Hal yang dikhawatirkan mamanya. Tapi, sebelum itu,
jantungnya sudah berdebar kencang. Ia merasa ada rayap yang menggerogoti
jantungnya. Sakit sekali! Ia tidak pernah memikirkan tentang dunia yang selama
ini digeluti Alvin. Rasa percayanya pada Alvin selama ini sudah cukup bahkan
sangat mampu menggeser hal-hal mengkhawatirkan seperti itu. Tapi, kini, dengan
munculnya Febby, rasa takut seperti bergerombol masuk ke kepalanya. Memenuhi
setiap sisi kosong dalam pikirannya. Dan seperti memaku tengkorak kepalanya
hingga menembus keluar. Shilla merasakan denyut luar biasa di bagian tubuh
paling atasnya itu. Ia masih punya kepala atau tidak, ia juga kurang yakin.
“Mama...Mama khawatir Alvin selingkuh?” ujarnya
susah payah. Ia menekan pita suaranya agar tidak menimbulkan getaran. Wiwid
tersenyum miris. “Udah berulangkali muncul berita-berita miring tentang Alvin.
Dan semuanya selalu dikaitkan sama gadis-gadis dan itu bukan kamu. Bahkan Alvin
gak pernah ngakuin kamu sebagai pacarnya di depan publik. Dia selalu bilang
kalau dia gak pernah punya hubungan spesial sama siapapun. Terus, yang kamu
jalani sama dia selama ini hubungan apa? Sampe kapan dia nyembunyiin hubungan
kalian? Sampe kalian putus?”
Dada Shilla bergejolak hebat. Ia merasa
tertampar mendengar fakta terakhir yang diungkapkan Mamanya. Iya, Alvin gak
pernah sekalipun ngakuin gue. Dan, apa? Putus?! Memikirkannya saja rasanya
sudah hampir membuat Shilla kehabisan nafas. Sekarang masalahnya sudah bergeser
kemana-mana dan membuatnya makin pusing. Depresi. Frustasi. Dan apalah itu
istilah yang mendukung keadaannya saat ini.
“Shill, berita Alvin dan ‘gadis-gadisnya’ itu
gak sekali dua kali. Baru aja kemaren waktu..waktu.. ah siapalah itu yang
katanya sekarang deket sama Alvin ngomong di depan wartawan tentang hubungan
mereka, sekarang udah muncul rekaman Alvin berduaan sama dia. Dan berita tadi
pagi itu susah buat disangkal kebenarannya, Shilla. Ada bukti fisiknya. Kam..”
“Apa? Be-berita tadi p-pagi? Berita yang mana
lagi?” Seketika itu pula, Wiwid membeku. Jadi, anaknya belum menonton televisi
hari ini? Belum melihat gosip yang baru saja muncul pagi ini? Gosip yang akan
lebih baik jika Shilla tidak mengetahuinya. Ia menggeleng cepat sambil
mengeluarkan kekehannya berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Mencairkan
suasana. Mengalihkan fokus ucapan Shilla. Tapi, sepertinya gagal total. Shilla
memandangnya lurus, datar dan dingin. Suara merdu anaknya itu seolah berganti
dengan suara-suara pengiring drama horor yang membuat merinding.
“Be-ri-ta a-pa, Ma?” ujar Shilla penuh
penekanan.
***
Tak seperti biasanya, suasana meja makan pagi
ini banyak diisi oleh keheningan. Sangat tidak nyaman untuk Via yang tidak
pelit ngomong. Bukan berarti ia ingin terus-terusan bicara. Hanya saja, pagi
ini ia merasa ada yang aneh. Via memandangi wajah mamanya yang terlihat pucat.
Ada lingkaran hitam dibawah matanya dan kantung matanya juga agak bengkak.
Sedaritadi Fira hanya menunduk dan menyantap makanannya tanpa menegur Via. Apa
makanannya seenak itu sampai-sampai mengabaikannya seperti ini? pikirnya.
Tangan Via bergerak menyentuh dahi mamanya.
Mamanya tersentak dan seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjang. Ia
terkejut melihat wajah anaknya sudah berada sangat dekat dengan wajahnya
apalagi dengan tangan yang menempel di dahinya. Mata Via seketika melotot
merasakan hawa hangat yang menjalar di punggung tangannya. Fira demam. Pantas
saja wajahnya terlihat pucat dan lesu.
Fira segera menyingkirkan tangan anaknya itu
dari dahinya dan memberikan senyum terbaiknya pada Via. Ia sudah tahu apa yang
ada dalam benak anak semata-wayangnya *gimanasihtulisannya?* itu. “Mama cuma
kurang minum,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang muncul dalam kepala Via.
Via masih menatapnya khawatir dan tidak percaya pada ucapan mamanya. “Mama
gausah kerja ya hari ini? Mama istirahat aja di rumah, kalo perlu Via gak
sekolah buat jagain mama. Atau Mama kerumah sakit aja biar sekalian diperiksa?
Ya ma?”
Fira tersenyum hangat menyaksikan kekhawatiran
Via padanya. Kalau tidak ia tahan, mungkin ia sudah menangis sekarang. Hanya
Via. Hanya Via yang menjadi penguatnya saat ini. Ya, hanya Via. Tidak ada lagi
yang lain. Tidak ada. “Mama gak papa, kok! Nanti mama minum obat biar panasnya
ilang, deh.” Katanya seraya tersenyum menenangkan Via. Via menghela nafas
berat. masih ada perasaan cemas yang terlihat di wajahnya. “Mama beneran gak
papa, kan? Mama..lagi gak ada masalah, kan?” Entahlah, awalnya ia hanya berniat
memastikan Mamanya baik-baik saja. Tapi, pertanyaan terakhir meluncur begitu
saja dari mulutnya. Tanpa ada maksud apapun atau bahkan curiga Mamanya sedang
ada masalah.
Fira tercenung dan diam sesaat. Sejurus kemudian
ia mengulas senyum menjawab pertanyaan Via dengan rupa ia baik-baik saja. Dalam
hati, ia tersenyum lirih menatap anaknya. Mengetahui dirinya sakit seperti ini
saja, Via sudah panik setengah mati. Apalagi kalau dia tahu...kalau Via
tahu...Ah! Via gak seharusnya tau. Via gak boleh tau. Dadanya seperti dihujam
seribu anak panah memikirkan anak gadisnya itu.
***
Cakka berjalan menyusuri koridor dengan semangat
membara. Hari ini misinya harus terlaksana dengan baik. Ia akan menemui Agni. Meluruskan
hubungannya yang sedang berliku dengan gadis itu. Semua kesalahpahaman terjadi
karena ulahnya dan hanya dirinyalah yang bisa mengembalikan semua itu seperti
semula. Dan ia juga sudah tidak sabar bercengkrama kembali dengan sahabat
kecilnya. Sahabat tersayangnya. Orang yang selama ini ia cari-cari dan sempat
ia lupakan meski sebenarnya ia lupa juga karena orang itu sendiri. Agni. Atau lebih
tepat, Nia.
Entah kebetulan atau Tuhan mendengar doanya pagi
ini, gadis yang ingin ditemuinya itu sedang berjalan beberapa meter di
depannya. Cakka mempercepat langkahnya hingga berada tepat di belakang gadis
itu. Ia diam sebentar mengatur nafas sebelum menyapa Agni. Tangannya sudah
bergerak hampir menyentuh pundak Agni namun lekas ia urungkan. Ia menggaruk-garuk
kepala belakangnya dengan wajah ragu. Tangannya bergerak lagi menyentuh pundak
Agni namun ia tarik kembali. Ia lalu memijat-mijat keningnya memikirkan cara
yang lebih baik dan lebih efisien untuk mengaja Agni bicara. Sudah seperti
ingin mengajak presiden berbicara saja sulitnya.
Cakka lalu nekat berjalan mendahuli Agni dan
menghalau langkah gadis itu dari depan. Agni yang sedari tadi tak menyadari
Cakka di belakangnya dan kini berdiri di depannya otomatis kaget serta terpaksa
berhenti sebentar. Ia mendongak menatap Cakka datar. Sebenarnya ia senang
karena bertemu Cakka pagi ini. akan tetapi mengingat riwayat pembicaraan mereka
kemarin-kemarin langsung menyurutkan perasaan berbunga dalam hatinya. Ia
berpikiran Cakka akan melabraknya kembali. Sontak ia dibuat berpikir. Kira-kira,
apalagi ya kesalahannya di mata pemuda ini?
“Bisa ngomong bentar?” tembak Cakka langsung.
Ada rona berharap di wajah Cakka. Sebelah alis Agni naik sempurna. “Gue rasa
pembicaraan kita kemaren udah cukup jelas. Lo juga bukannya gak mau berurusan
sama gue lagi kan?” elak Agni. Ia langsung mengambil langkah di sebelah Cakka
dan meninggalkan pemuda itu yang terlihat bergeming setelah kepergiannya. Agni berusaha
tidak peduli meski hati kecilnya menyuruhnya untuk lebih lama di dekat Cakka.
ia harus melatih diri mengubur rasa penasarannya pada pemuda itu. sudah tidak
ada harapan karena semuanya sudah sangat jelas. Aga ya Aga. Cakka ya Cakka. Tidak
ada teori Cakka adalah Aga.
“Nia!” Suara Cakka kali ini menggigit dada Agni.
Ada rasa nyeri, kaget dan senang yang kompak menyerangnya. Apa tadi? Nia? Hhhh!
Ini pasti karena gue udah terlalu berharap kalo Cakka itu Aga. Astaga! Agni
merutuki dirinya dalam hati. Ia melangkah lebar-lebar sambil memukul-mukul
kepalanya pelan. Berharap pukulannya bisa juga membuang Cakka dari kepalanya.
Sementara di belakang, Cakka menatap lesu punggung Agni yang kian menjauh. Menarik
Agni kembali ke sekitarnya sepertinya tidak mudah. Ia harus banyak-banyak
bersabar.
“Gue mesti usaha keras kayaknya,”
***
Ify dan Rio keluar dari rumah bersamaan. Sejak
berjalan dari meja makan hingga sampai di depan pintu, keduanya saling bungkam.
Tidak saling bicara. Tidak ada yang mau buka suara. Baru pertama kali Rio
merasakan tidak nyaman untuk mengunci mulut ketika bersama Ify. Sampai di depan
pintu, Ify bahkan tak menolehnya. Ify hampir saja berjalan berbeda arah jika ia
tidak segera menahan gadis itu.
“Lo gak bareng gue?” tanyanya sekaligus
menawarkan. Ify berhenti dan menoleh singkat lalu menggeleng pelan.
Membayangkan akan berada satu mobil dengan Rio dan Dea sudah cukup membuatnya
merasa mencekik leher sendiri. Bukan Dea yang ia permasalahkan, tapi
kekhawatiran Ify jika gadis itu akan kembali bercerita tentang kakaknya. Gadis
yang digila-gilai seorang Mario. Siapalah itu namanya, tolong jangan disebut!
Ify mengambil ancang-ancang untuk berjalan lagi
tapi kemudian Rio menahan pergelangannya dan terpaksa membuatnya mengurungkan
niat berjalan. Ia menoleh malas pada pemuda itu. “Lo mau kemana?” Pertanyaan
bodoh macam apa itu? Apa mesti ia jawab? Gerutu Ify seketika. Tentu saja saat
ini Ify hendak menuju sekolah. Lantas, selain ke sekolah, dirinya mau kemana
lagi? Ke hati Mario? Kehati lo?!
Ify hanya balas mengernyit tanpa berniat
menjawab. Ia memalingkan wajah dan mulai melangkah lagi. Namun, kembali, Rio
menarik pergelangannya dan kali ini lebih keras hingga erangan tak ayal muncul
dari mulutnya. “Lo bikin gue frustasi, Ify.” Desis Rio pelan namun tajam. Ify
sampai susah menelan ludahnya sendiri hanya karena mendengar ucapan Rio.
Karisma dingin Rio emang gak pernah berubah! Pikirnya takjub. Ia mengedipkan
matanya cepat beberapa kali ketika menatap pemuda di depannya itu.
Rio lalu menghela nafas. “Lo marah atau gimana,
sih? Gue buat salah apa? Kenapa lo menghindar dari gue? Sejak di kamar sampe
sekarang, malah sejak tadi malem.” Nada suara Rio perlahan melunak namun agak
kesal juga karena Ify terus-terusan menghindari waktu kebersamaan mereka
berdua. Kebersamaan dalam arti berbeda.
“Kenapa lo mesti pusing-pusing mikirin sikap gue?”
tanya Ify balik. Rio mendengus karenanya. Ify membalas dengusan itu dengan
tatapan datar sedatar yang ia bisa. Ify bisa menebak dirinya akan menjadi aktor
paling hebat hari ini. Asal tahu saja, dadanya sudah bergemuruh tak wajar
sekarang. Dan ia bisa menyembunyikan efek gemuruh dadanya itu cukup dengan
santai memasang wajah datar pada Rio tanpa harus bersusah payah melakukan hal
lain. Ia akan dihadiahi piala citra karena aktingnya pagi ini.
“Gue bahkan gak bisa tidur karena lo, Ify.” ujar
Rio lagi-lagi tajam. Ada perasaan berbunga muncul dalam hati Ify. Sebegitu
besarnya kah pengaruh dirinya pada pemuda itu? Batinnya antusias. Tapi, kemudian
bahagianya lenyap. Mendengar Rio menyebut kata ‘semalem’ ‘tidur’, membuatnya
kembali memasukkan Dea dalam pikirannya. Astaga, setelah kakaknya, ia juga
merasakan rasa tidak suka pada adiknya? Ify mendengus dalam hati. Kenapa ia
bisa sejahat sekarang? Membenci orang tanpa alasan. Bahkan Dea dan Acha jauh
dari kriteria untuk bisa dibenci. Itu benar-benar bukan dirinya. “Berapa kali
harus gue bilang sama lo kalo gue gak marah sama lo.” Balas Ify yang ikut-ikutan
kesal. Ia segera memalingkan wajah dari Rio. Semuanya karena pemuda itu!
Ify hendak melanjutkan melangkah namun lagi-lagi
tangannya ditarik Rio dan membuatnya tetap di tempat. Lama-lama Ify merasakan
pergelangannya panas dan nyeri karena Rio menariknya dengan sekuat tenaga.
Bahkan Rio menyeretkan hingga ke dekat mobilnya. Ify meronta meminta tangannya
dilepaskan. Rio tak cuma menggenggam, tapi mencengkram tangannya hingga
kuku-kukunya dirasa menusuk daerah nadi tangannya itu. Ia takut akan terjadi luka
disana. “Yo—le—lepas! Sakit!” Ify meronta lagi tepat setelah sampai di mobil
Rio. Rio seperti baru saja kemasukan sesuatu yang membuatnya secara tak sengaja
menyakiti Ify melalui genggamannya. Ia melepas pegangannya tak enak hati dan
sedikit merasa bersalah.
“So-sorry,” Ify tak mengindahkan Rio lagi. Ia
hanya peduli pada tangannya yang untung saja hanya sedikit memerah, tidak
sampai luka. “Kalo lo gak marah atau menghindar, kenapa lo gak mau berangkat
bareng gue?” tanya Rio tak sabaran. Ify menatap heran sekaligus tak percaya.
Bagaimana mungkin pemuda itu mendesaknya ketika baru saja meminta maaf padanya?
Bahkan ia belum mengangguk ataupun menunjukkan sikap kalau ia sudah memaafkan
pemuda itu.
Perasaan Ify kini campur aduk antara senang dan
jengkel. Apa harus ia menjawab jujur? Apa Rio akan baik-baik saja padanya?
Em—atau mungkin lebih tepat, apa ia akan baik-baik saja menghadapi Rio setelah
ini? Entahlah! Batinnya meracau. “Lo kan mesti jemput Dea..” lirih Ify akhirnya.
Sejujurnya ia tak ingin jujur mengatakan ini pada Rio. Tapi ia juga tidak mau
ambil resiko dengan berada satu mobil dengan pemuda itu dan tentu saja Dea. Matanya
berusaha menatap Rio sebiasa mungkin. Rio tidak perlu tahu ketidaksukaannya
akan gadis itu. Ah, bukan gadis itu, tapi hubungan gadis itu dengan Rio yang
selalu menyangkut-pautkan gadis lain di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan.. Oke,
Acha.
Rio mengerutkan kening lalu membelalakkan mata.
Jadi..jadi Ify? Jadi Ify..
“Lo cemburu sama Dea? Lo bener-bener cemburu??”
katanya tak menyangka. Jadi dari semalam hingga sekarang, gadis itu bersikap
dingin hanya karena Dea? *asikRiopeka(?)*
Ify bergeming menatap Rio penuh arti. Dadanya
langsung digumpali rasa sesak. Matanya tiba-tiba saja memanas dan ia harus
menahan mati-matian menahan agar tidak menangis di depan Rio, setidaknya saat
ini. Halah, kenapa mendadak serius gini, sih?! Dumelnya dalam hati. Tapi, kapan
sih memang ia tidak pernah cemburu? Perasaan gue selalu cemburu deh dan lo tau
itu. Bukannya gue selalu ketauan sama lo? Atau, lo pura-pura gatau? Batin Ify
meracau lagi.
“Apa...” Ify diam sejenak menggantungkan
kalimatnya. Rasanya lidahnya kaku sekali hendak mengutarakan kelanjutan
kata-katanya yang satu ini. Ia menarik nafas dan mengeluarkannya pelan. Menarik
nafas lagi dikeluarkan lagi. Setelah dirasa cukup tenang, ia mendongak menatap
Rio lirih. Selirih nada suaranya. Dan tentu saja hatinya.
“Apa lo bisa jamin Dea gak akan bahas soal
Acha?” Rio tersentak masih dalam rasa tidak percaya. Yang satu ini paling
mengejutkannya. Disatu sisi, ia makin tidak mengerti alasan perubahan sikap
Ify. Karena Dea atau Acha, sih? batinnya berdebat *karenalo!*. Disatu sisi yang
lain, ia merasa bersalah pada Ify. Benar juga, kenapa ia tidak sadar kalau Dea
pasti akan setiap saat membicarakan Acha? Kenapa ia harus lebih dulu disadarkan
kalau gadis mungil di depannya ini akan –sangat- terganggu dengan bahan omongan
dari Dea itu? Kalau sudah menyangkut Acha, Ify pasti menjadi pihak yang akan
tersakiti. Dan tak ada orang lain yang bisa disalahkan kecuali dirinya.
Ify tersenyum tipis menyembunyikan tawa yang
menyeruak dalam hatinya. Tawa untuk dirinya sendiri. Untuk kebodohannya
sendiri. Bisa-bisanya ia menjadi mellow seperti ini. Terbawa gejolak emosi
seperti ini. Ckckck..
“Gue gak siap lagi denger lo berdua ngomongin
Acha, cinta mati lo..” Perlahan genggaman Rio melonggar dan memberi kesempatan
Ify untuk melepaskan diri. Dengan segera ia memalingkan wajahnya dari Rio dan
berjalan cepat menuju mobilnya. Ia mendapat kemudahan karena Rio tak kembali
menarik tangannya demi menahan kepergiannya.
Sepanjang langkahnya, Ify terus-terusan
mengulang dua kata yang tadi ia ucapkan untuk Rio. Cinta mati. Cinta mati?
Cinta mati! Bagus banget, Fy! Lo udah nyadarin Rio tentang satu hal. Membuat
Rio mulai memikirkan kalau Acha itu cinta mati dia dan secara otomatis ngebuat
lo bakal mental jauh dari pikirannya. Bagus! Lo baru aja ngelepas orang yang
udah mati-matian lo pertahanin, yang udah ngasih lo kesempatan meraih hatinya,
cuma dengan sekali hembusan nafas. Bagus! Awan gelap bakal mengiringi awal
nasib suram lo karena ini. Karena kebodohan lo sendiri. Lo emang bener-bener
bodoh. Bagus banget, Ify!! Dan apa tadi? Cinta mati? Haha, mati aja lo
sekarang!
Drrt...drrt..
Ponsel Ify bergetar berulang-ulang. Getaram itu
sedikit menyelamatkannya dari makian hati kecilnya. Membuatnya sedikit
berpaling dari masalahnya dengan Rio dan ‘kawan-kawan’. “IFYY!! LO DIMANA?
CEPETAN KE SEKOLAH SEBELUM SHILLA NYAMPE!!” Ify langsung menjauhnya ponselnya
yang baru saja ia tempelkan ke telinga itu. Suara cempreng Via langsung
menggigit gendang telinganya. Ia merasa perlu memeriksakan telinganya nanti. Ia
perlahan kembali mendekatkan ponselnya tersebut. “Ini gue udah mau kesana, Via!
Dan plis deh jangan teriak-teriak!” Ia langsung memutus panggilan sebelum suara
cempreng Via kembali menggerogoti gendang telinganya.
Ify memasukkan ponselnya cepat lalu segera masuk
ke mobil. Lupakan soal Rio, ada masalah yang lebih genting!
***
Alvin sialan! Alvin sialan! Alvin sialan!
Shilla berjalan memasuki area sekolahnya,
menyusuri koridor dengan muka masam dan garang. Rasanya banyak sekali asap-asap
yang keluar dari setiap lubang di wajahnya. Kakinya menghentak-hentak keras ke
lantai sekaligus menjadi backsound langkahnya menuju kelas serta caci maki
untuk Alvin yang senantiasa ia dendangkan dalam hati. Sejenak ide untuk
menghubungi Alvin terlintas di pikirannya. Ia berhenti sebentar dan mulai
mendial nomor Alvin sekaligus menempelkan ponselnya ke telinga.
“Halo, kenapa Cantik?” Suara merdu Alvin
terdengar di seberang sana. Namun, khusus pagi ini, suara tersebut terdengar
tidak ada merdu-merdunya sama sekali. Lebih kepada bunyi kaset rusak ataupun
suara kodok di malam hari. Iya, wajar, dia emang kodok! Umpat Shilla.
“Apa? Kenapa?” Shilla rasanya ingin tertawa
keras mendapat pertanyaan Alvin seperti itu. Masih tanya kenapa? Setelah
berhari-hari ngilang, masih juga nanya kenapa? Batinnya bertanya heran dan tak
sabaran.
“Ya?” sahut Alvin yang kedengarannya agak
bingung. Shilla setengah tersenyum sementara dalam hati menertawai dirinya
sendiri yang masih saja merindukan pemuda yang berstatus kekasihnya itu. Bahkan
ada sedikit rasa senang dalam hatinya karena bisa mendengar lagi suara Alvin,
kekasihnya, yang baru saja ia katakan seperti suara kodok. Sedangkan Alvin
sangat berkemungkinan besar tidak merindukannya balik atau bahkan baru teringat
dirinya ketika ia menghubungi pemuda itu pagi ini. Sialan!
“Gak, gak papa, kok,” Shilla berujar bohong
seraya tersenyum makin lebar. Bukan senyum bahagia, senyum akan perasaannya
yang campur aduk, antara miris, kesal, sinis bahkan lelah. “Kabar gue baik,
yaah ngasih tau doang, siapa tau lo pengen nanya,” ujar Shilla lagi. Alvin tak
terdengar menyahut. Sepertinya pemuda itu masih tidak mengerti arah pembicaraan
Shilla. Pura-pura gak ngerti kali! Pikiran buruk dalam hati Shilla tiba-tiba
menyahut. Sepertinya makhluk tersebut sedang beramai-ramai menyergap relung
hati dan pikiran Shilla. Tidak menyisakan tempat untuk aura positif semilipun.
“Lo—ngomong apa sih, Cantik?” Alvin memberanikan
diri bertanya dari seberang sana. Suaranya pelan sekali demi menjaga agar
Shilla tidak tersinggung. Sejenak keduanya diam. Shilla cukup lama bungkam dan
tidak menjawab pertanyaan Alvin padanya. Sementara Alvin diam menunggu sampai
Shilla mau menjawab. Shilla menutup matanya meredam emosi yang meluap-luap
dalam dirinya. Mendinginkan kepalanya sekaligus memberi rongga udara dalam
hatinya yang kini terasa sesak.
“Posisi gue udah keganti ya..” Kali ini, nada
lirih tersangkut dalam suara parau Shilla. Ia masih menutup mata. Kalimat yang
baru saja ia ucapkan berpengaruh besar pada gejolak dalam dadanya. Memikirkan
Alvin yang sudah mulai melupakannya dan mengalihkan seluruh perhatiannya pada
gadis lain. Sensasinya seperti banyak sekali mata pisau tajam menusuk-nusuk
jantungnya. Sakit beribu-ribu sakit. Beruntung ia masih bisa mengendalikan
seluruh organ-organ tubuhnya sehingga ia tidak harus bercucuran air mata atau
bahkan pingsan saat ini. Hanya saja, memang, kekesalannya tidak dapat ditutupi
walau dengan bagaimanapun juga, sekeras apapun dirinya mencoba.
“Tunggu, tunggu! Sebenernya lo mau ngomong apa?
Gue, sumpah, gak ngerti sama sekali. Cantik, lo kenapa sih?” tanya Alvin
kembali yang mulai memasuki tahap awal frustasi. Shilla mendengus tertahan
ketika Alvin menyebut panggilan kesayangan untuknya itu. Apa lo manggil Cantik
juga ke Febby? Batinnya bertanya sembunyi-sembunyi.
“Gue boleh minta sesuatu sama lo?” Shilla balik
bertanya. Dan sudah dipastikan kening Alvin akan berkerut-kerut,
berlipat-lipat, melekuk-lekuk karena makin tidak mengerti maksud Shilla. Ia
lantas bergeming. Setidaknya, dirinya menjawab iya dalam diam. Karena pepatah
bilang diam artinya iya. Rupa Shilla kembali menampakkan kekesalan.
“BESOK-BESOK KALO NGASIH KABAR JANGAN YANG BIKIN
GUE SERANGAN JANTUNG!”
Klik!
Shilla langsung memutus sambungan secara
sepihak. Tak peduli dengan Alvin yang tampak tercengang di seberang sana. Dada
Shilla naik-turun setelah memekik emosi mengatakan permintaannya tadi. Atau
mungkin lebih tepat jika itu adalah sebuah peringatan ‘keras’ untuk Alvin. Ia
meremas ponselnya dan kemudian melanjutkan berjalan. Masih dengan
menghentak-hentakkan kaki. Ungkapan kekesalannya lebih terasa kali ini. Orang-orang
di sekitarnya bahkan sampai menepi seperti memberi jalan khusus untuk Shilla
lewat.
BRAKK!!
Pintu kelas Ify, Via, Agni serta teman-teman
mereka yang lain dibuka kasar oleh seorang gadis yang juga salah satu penghuni
kelas mereka. Salah satu sahabat mereka. Shilla. “Gue tebak Alvin struk
sekarang,” gumam Agni sembari menghela nafas pasrah. “Kalo kata gue, Alvin
dimutilasi,” timpal Via yang tampak menutupi mukanya sementara Ify mempersiapkan
sebuah kipas di tangan tanpa berkomentar apapun. Melihat Shilla mengamuk
seperti itu sudah cukup membekukan urat-urat lidahnya hingga tak sanggup menciptakan
suara.
Shilla berjalan menuju mejanya di samping Agni.
Agni merapikan kursi di sebelahnya dan menepuk-nepuk dudukan kursi tersebut.
Seolah ada banyak debu yang bergumul disana. Seisi kelas memperhatikan benar
kemana arah langkah Shilla. Shilla membanting tas nya ke meja dan seketika itu
mata-mata yang memperhatikannya dengan segera beralih sebelum mendapat serangan
macan yang menjadi pertunjukan dalam kelas mereka itu. Shilla tak luput
membanting tubuhnya ketika duduk. Hari ini apapun yang ada di dekatnya mungkin
akan ia banting. Pintu, tas dan sekarang tubuhnya sendiri.
Agni memijat-mijat pundak Shilla seraya berusaha
menenangkan gadis itu. Ify mencicit langkah ke samping Shilla dan mulai
mengipasi gadis itu. Ia memandang takut, iba sekaligus khawatir pada sahabatnya
tersebut. Teman Shilla yang terakhir, yaitu Via langsung menyodorkan tupperware
berisi air minum di dalamnya pada Shilla. Shilla seperti ratu mereka hari ini.
“Sabar..sabar..” ujar Agni yang langsung disambut delikan oleh Shilla. “Mana
bisa gue sabar!” katanya galak. Agni berjengit lalu menghela nafas. “Yaudah
gausah sabar..” ujarnya sekenanya. Delikan Shilla kembali datang. Alisnya
menukik. “Kenapa lagi?” heran Agni. Ia menggaruk-garuk pelipisnya sendiri
bingung.
“Lo ngasih saran yang bener dikit bisa gak?”
“Yaa maap, gue bingung harus ngasih saran apa,”
“Minum dulu, minum!” Kali ini Via. Sedikit lebih
baik dari Agni. Shilla meraih tupperware Via tersebut lalu meneguk banyak
isinya. Setelah itu, keempat-empatnya saling diam. Tapi hanya Shilla
benar-benar diam sementara teman-temannya yang lain sibuk menoleh satu sama
lain menanyakan perihal Shilla yang kini diam dalam lekuk-lekukan wajah yang
mereka buat. Sesekali mulut mereka berkomat-kamit menyampaikan sesuatu yang tak
bisa diisyaratkan melalui lekukan wajah.
Cukup lama diam, kemudian Shilla tiba-tiba
berkata lantang. “Kita ke Bandung!” Ify, Via dan Agni sesaat hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Namun, mereka kemudian sadar sesuatu yang buruk
sedang terjadi dan lantas saling menatap panik satu sama lain. “APA?!!”
***
Alvin bengong memandangi ponselnya. Shilla baru
saja menelepon dan ada alamat tak baik yang dirasanya setelah gadis itu memutus
panggilannya secara sepihak. Apalagi dibarengi dengan salam penutup tak wajar
dari kekasihnya itu. Kening Alvin boleh dikatakan tak berbentuk karena ia
lekuk-lekukkan kesana kemari selama berbicara dengan Shilla. Banyak hal yang
Shilla ucapkan dan hampir tak ada satupun yang ia mengerti apa maksud dan
tujuannya. Ia baru saja ingin meminta maaf pada Shilla karena sempat
melupakannya beberapa hari ini. Namun, Shilla sudah terlanjur memutus panggilan
dan setelah itu mematikan ponselnya ketika hendak dihubungi kembali.
Alvin mengerang dalam hati. Wanita-wanita di
sekitarnya saat ini banyak membuatnya sakit kepala. belum selesai Febby,
sekarang sudah bertambah Shilla. Sebenarnya, apa yang terjadi pada Shilla? Apa
gadis itu marah karena berminggu-minggu tidak mendapat kabar? Tapi, firasatnya
mengatakan bukan itu. Apa Shilla marah karena Febby? Tapi, ia kan sudah
menjelaskan yang sebenarnya pada Shilla. Meskipun berita terakhir belum sempat
ia klarifikasi, tapi kan saat itu yang berbicara –seenaknya menurutnya- adalah
Febby tanpa ada dirinya. Atau mungkin Shilla percaya dengan apa yang Febby katakan
saat diwawancara itu?
“Ah! Gak mungkin! Gue kenal Shilla. Dia gak
mungkin dengan gamblang percaya yang kayak gitu,” Alvin bergumam sendiri. Ia
menyentuh ujung dagunya dan mengelusnya pelan dengan telunjuk sambil memikirkan
alasan kuat apalagi yang menyebabkan kemarahan Shilla.
Cklek!
“ALVIN!” Sosok Febby muncul dengan nafas
terengah-engah dari balik pintu. Membuka secara kasar, menutup pun begitu.
Alvin terlonjak kaget dan tak sengaja kakinya yang masih luka terhentak ke
kasur. Tak begitu keras karena yang ia hentak berpondasikan bahan empuk. Tapi,
cukup juga lah membuatnya meringis kesakitan. “LO!” desis Alvin geram. Baru
saja menjadi penyebab pertengkarannya dengan Shilla, sekarang malah membuat
kakinya sakit. Adakah yang lebih kurang ajar dari itu?
Alvin tak terlalu ambil pusing dengan tingkah
Febby. Lama-lama, ia jadi terbiasa dibuat kesal oleh gadis itu. Mungkin karena
otaknya sedang tidak sehat akhir-akhir ini. Entahlah, sekali lagi ia tidak
ingin ambil pusing. Febby sendiri hanya menyengir bangga seraya menampakkan
barisan giginya yang rapi. Ia berjalan pincang memasuki kamar Alvin dan menaruh
tasnya di sofa. Namun, kemudian, air mukanya langsung berubah panik. “Lo-lo
u-udah nonton t-tv gak?”
Alvin meliriknya sekilas lalu beralih mencari
remote tv. “Baru mau nonton,” balasnya tanpa menoleh. Mata Febby langsung
membulat besar.
“JANGAN!” Febby melompat dari sofa ke depan tv.
Tangannya terbentang menutupi pandangan Alvin. Alvin mengernyit bingung.
“Kenapa?” Febby menggigit bibir bawahnya memikirkan alasan yang pas untuk ia
katakan pada Alvin. “Em—lo..aiss lo cari kerjaan lain gitu asal jangan nonton
tv,” Alvin diam memandangi Febby. Mencurigakan. Pikirnya. “Kenapa?” tanyanya
mengintimidasi sambil menyipitkan mata sipitnya (?).
“Eng—enggaaak gak ada apa-apa!” sahut Febby
cepat. Nafasnya kembali terengah-engah. Jangan..jangan sampe Alvin liat.
Batinnya berujar. Mendengar itu, bukannya menurut, Alvin justru makin curiga.
“Minggir!” perintah Alvin kemudian. Febby masih keukeuh berdiri menghadang di
depan tv. Alvin mendeliknya tajam dan sanggup membuat bulu kuduknya berdiri
tegak. “Vin—sumpah, k-kali ini bu—bukan ulah gue! S-sumpah!” ujar Febby
sungguh-sungguh seraya mengacungkan dua jemarinya sejajar dengan kepala.
Alvin bergeming dan hanya balas mendelik memberi
tanda agar Febby segera menyingkir. Pada akhirnya, Febby mau tak mau bergeser
ke samping dan membuat Alvin leluasa menonton tv.
Klik!
Febby terlonjak kala tv sudah menyala. Ia terus
berdoa dalam hati semoga Alvin tidak melihat apa yang seharusnya tidak pemuda
itu lihat. Jantungnya berdetak cepat seiring gerakan lincah ibu jari Alvin
menukar-nukar channel. Dan kali ini adalah channel terakhir tapi Alvin belum
menemukan apapun yang aneh. Ia mengerutkan keningnya menatap Febby. “Lo
nyembunyiin apaan sih?” tanya Alvin seraya garuk-garuk kepala. Febby bungkam.
Ia hanya menggelengkan kepalanya. Alvin memandangi Febby lamat-lamat sementara
Febby memalingkan wajahnya dari pemuda itu. alhasil, ruangan yang mereka
tempati mendadak hening dan hanya diisi oleh suara presenter acara gosip yang
kebetulan baru saja mulai.
Gosip?!! Wajah Febby seketika memucat ditambah
dengan kulitnya yang sudah putih pucat. Suara sang presenter gosip tersebut
seperti menjadi malaikat maut baginya untuk saat ini. Tak butuh waktu lama,
wajah Alvin kini sudah berubah tegang. Matanya menyala bergantian memandang tv
dan gadis yang mematung di sebelah benda tersebut.
“Lagi-lagi
tentang Alvin. Pemuda tampan yang satu ini kembali membuat ramai pemberitaan.
Setelah sang gadis sempat berbicara di depan kamera mengenai kabar kedekatan
mereka, kini Alvin yang seolah mempertegas isyarat-isyarat yang disampaikan
Febby itu sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengepul di
kepala semua masyarakat yang menaruh perhatian pada mereka. Beberapa hari lalu,
Alvin tertangkap kamera sedang duduk di mushalla rumah sakit tempatnya di
rawat. Febby sedang beribadah kala itu. Dengan setia Alvin menunggu hingga
Febby selesai. Tak sampai disitu saja, di dalam kamar, Febby membalas kebaikan
Alvin yang menungguinya dengan mengolesi salap ke kaki Alvin. Tak mau kalah,
Alvin kemudian membalas dengan meniupi mata Febby yang kebetulan bermasalah.
Entah kelilipan atau karena yang lain. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita
lihat tayangan video berikut ini!”
Beberapa video kemudian menghiasi pandangan mata
Alvin. Matanya tak lepas dari televisi yang ditontonnya. Setelah video tersebut
selesai, Alvin mengarahkan mata garangnya pada Febby menuntut
pertanggungjawaban. Ia yakin, pasti ini ulah gadis itu kembali. Ia tidak akan
salah. Ini pasti ulah gadis itu. Sementara Febby hanya mengusap peluhnya
sedaritadi. Ia sudah tidak berani menatap Alvin. Namun, mata Alvin
terus-menerus menuntutnya untuk membalas. Mau tak mau ia menoleh meskipun
takut-takut. Ia menelan ludahnya getir.
“Bukan gue v-vin..” katanya lirih, nyaris tak
bersuara. Alvin mengerang kesal dan sepertinya tidak serta merta percaya akan
apa yang ia ucapkan. Sedikitpun tidak.
“FE-BBY!”
***
“Bandung?” gumam Gabriel.
*Alvinduludibandungataudibogoryak?.-.* Telunjuknya bergerak pelan
mengelus-ngelus dagunya sambil memperhatikan 4 gadis utama di sekitarnya.
Ditambah dengan orang-orang sampingan yang secara kebetulan dikumpulkan di
sini. Di mejanya. Di meja yang sama dengan Ify, Agni, Via dan Shilla, si 4
gadis utama tersebut. Orang-orang sampingan tadi tak lain adalah teman-teman
Gabriel seperti Rio dan Cakka. Hanya saja, ada 2 tambahan lain, yaitu Dea dan
Debo. Dea duduk di sebelah Rio sementara Debo duduk di sebelah Ify.
Ify merutuki dalam-dalam posisinya. Kenapa
mereka harus duduk di depan gue, sih? Kenapa gak di samping gue aja? Biar tiap
gue ngangkat kepala bukan mereka yang gue liat. Isss! Sementara Rio
terus-terusan menatap Ify. Menyuruh Ify membalasnya lewat tatapan matanya. Ia
ingin menuntut penjelasan akan kejadian tadi pagi ketika di koridor. Ketika Ify
begitu saja meninggalkannya demi seorang Debo. Bayangkan, seorang Mario
dikalahkan oleh seorang Debo? Tidak mungkin! Tidak masuk akal! Terutama bagi
Rio.
“Kalo Via ikut, gue ikut!” gumam Gabriel kembali
dan langsung mendapat delikan maut dari gadis di sebelahnya. Via. “Heeeh! Gak
ada yang ngajak lo!” sewot Via tak terima. “Bodo!” balas Gabriel santai tak
mengindahkan gadis di sebelahnya yang sudah bertingkah seperti akan memakannya
hidup-hidup. “Ah! Cakka sama Rio ikut juga!” kata Gabriel kembali seenaknya
hingga delikan mata untuknya bertambah 2 pasang. Siapa lagi kalau bukan Cakka
dan Rio. Keduanya serentak memandang ke arahnya ketika nama dari masing-masing
mereka disebut.
Sementara itu, 2 gadis lain langsung menegut
ludah mendengar apa yang Gabriel ucapkan barusan. Keduanya spontan saling
memandang satu sama lain lalu menggeleng samar. Apalagi ketika Shilla menyahut
antusias mengenai ide kurang ajar Gabriel itu. “Nah! Alvin pasti seneng kalo
gue bawa lo bertiga!” tambah Shilla dengan mata berbinar.
“Em—aku b-boleh ikut gak, Kak?” Dan ketika suara
ini muncul, semua pandangan, delikan atau apapun itu yang berhubungan dengan
kinerja mata langsung teralihkan pada gadis berambut pendek yang satu ini. Kecuali
satu. Ah tidak, dua. Ah tiga deh. Ify, Rio dan Debo.
Mati gue. Batin Ify. Matanya yang tak sengaja
menatap Rio langsung ia alihkan. Cukup Rio. Kenapa sekarang bertambah Dea?
Kalau begini, lebih baik ia tidak turut serta dalam rencana Shilla. Tapi, kalau
ia menolak, Shilla pasti kecewa berat. Gadis itu paling tidak bisa
bersenang-senang tanpa bersama dengan sahabat-sahabatnya secara lengkap.
Rencana Shilla bisa batal. Dan ia tidak mau menjadi penyebab kelanjutan
kemurungan sahabatnya itu. Tapi.. tapi.. aisss!
“Kak Debo juga ikut aja, biar ada yang nemenin
KakFy!” Ingin sekali Ify mensteples bibir mungil Dea agar tidak mengusulkan
yang macam-macam. Apalagi sekarang? Debo? Menemaninya? Lalu, maksudnya, ia
tidak punya seseorang yang bisa menemani? Dan, maksudnya lagi, dia yang akan
menemani Rio, gitu? Lama-lama Dea emm—ngeselin ya..
“Gak masalah, sih..” ujar Shilla meski masih
terlihat menimang-nimang. Ia khawatir pada Ify. Apa Ify tidak akan masalah jika
Dea ikut? Dea kan nempel mulu sama Rio.
“Gak masalah kan, KakFy?” tembak Dea langsung
pada Ify. Air mukanya tampak memohon pada Ify. Ify berjengit kaget ketika Dea
menyasarnya. “Kok gue..” katanya berbicara sendiri. Ia tersenyum canggung pada
semua yang menatapnya. Kalau begini, mana bisa ia tolak, kan? Pikir Ify.
“Sama sekali enggak kok, De. Rio juga bakalan
seneng kalo kamu ikut,” Ify tersenyum getir. Semaksimal mungkin diupayakannya
agar tak bertemu pandang lagi dengan Rio.
‘Rio juga bakalan seneng kalo kamu ikut’
Secara spontan, kata-kata tersebut tercetus dari
mulutnya. Ia juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba memasukkan nama Rio dalam
kalimatnya. Mungkin sebagai pelampiasan kekesalannya pada gadis yang selalu
menempel pada pemuda itu.
Rio sendiri mengernyit ke arah Ify. Ketika tahu
Ify menyangkut-pautkan dirinya, ia tak ayal tak bisa mengalihkan diri dari
gadis itu. Tingkahnya makin menit makin aneh. Ia jadi makin tidak mengerti
jalan pikiran Ify. Pikiran saja tidak, apalagi soal perasaan. Soal hati.
***
Bi Sum berdiri memandang khawatir wanita paruh
baya di hadapannya, yang kini sedang mengemasi baju ke dalam koper. Wajahnya pucat
dan ia tahu badan wanita itu agak hangat. Sedari tadi ia berdiri memegang nampan
berisi segelas air minum dan obat untuk wanita itu. Ia terus menerus membujuk
agar wanita itu mau meminum obat yang dibawanya. Tapi, wanita tersebut tetap
keras kepala dan selalu menolak. Selalu beralasan kalau badannya panas karena
cuaca, bukan karena kondisi tubuhnya melemah.
Bi Sum pun sama keras kepalanya dengan wanita
itu. Ia tetap setia menunggu di depan pintu kamar sampai majikannya mau
menghampiri dan meminum obat di tangannya. Tapi, tiba-tiba wanita tersebut
kehilangan keseimbangan ketika hendak berdiri menggapai lemari. Badannya terhuyung
hingga ia terduduk di lantai. Bi Sum lekas menaruh nampannya di meja terdekat
dan berhambur menghampiri sang majikan. Kekhawatirannya makin besar ketika
wanita tadi muntah-muntah. Ia juga dapat menebak wanita tersebut sudah tidak
sanggup untuk berjalan apalagi berdiri.
“Ibu, mohon maaf kalo saya lancang, tapi ibu
lebih baik dibawa ke rumah sakit. Jangan menolak ya, Bu,” ujar Sang Bibi dan
langsung mendapat anggukan pasrah dari majikannya yang jatuh terduduk itu. Bi
Sum segera berlari keluar kamar mencari Mas Doyo, supir pribadi majikannya
untuk membantunya memapah Fira, majikannya itu. setelah itu, ia mencari telepon
rumahnya untuk menghubungi seseorang yang harus ia kabari.
***
Drrrt...drrrt...drrrt...
Via menatap lekat papan tulis di depannya tanpa
menghiraukan ponsel dalam tasnya yang terus saja bergetar. Gabriel yang duduk
di sebelah bangkunya memandangnya bingung. “I-phone lo geter-geter tuh, berisik
banget!” dumelnya. Telinganya sudah cukup risih dengan suara yang ditimbulkan
ponsel Via. Via tak menoleh dan tetap fokus. “Lo yang berisik!” balasnya. Via
masih terlanjur kesal dengan pemuda itu karena kejadian saat istirahat tadi.
Kenapa sih pemuda itu selalu bertingkah
seenaknya atas dirinya? Kenapa pemuda itu bertingkah seolah sudah sangat dekat
sekali dengan dirinya? Memang, sih, dirinya adalah pacar pura-pura pemuda itu.
Tapi, kan, masa tugasnya seharusnya sudah selesai. Toh, pemuda itu sudah putus
hubungan dengan Pricilla. Lalu, ada hubungan apalagi? Dan yang tak kalah
membuatnya kesal, gara-gara ide gila Gabriel mengajak Rio, Dea jadi ikut-ikutan
mengusulkan ide gila. Keikutsertaan gadis itu pasti mengakibatkan yang tidak
baik untuk Ify. Seharusnya, rencana Shilla untuk ke Bandung bisa sebagai liburan
mereka berempat untuk sejenak melupakan masalah yang mendera masing-masing. Tapi,
kalau sekarang, liburan apa yang bisa diharapkan? Yang ada mereka bisa makin
stres.
Sementara itu, di ujung sana, Ify duduk dalam
gelisah. Badannya menyandar pada kursi sementara tangannya sibuk memelintir
seragam. Hatinya tidak tenang. Perasaannya tidak enak. Ia juga tidak tahu
kenapa. Apa mungkin ada sesuatu terjadi sama Papa? Batinnya bertanya-tanya. Ia merogoh
ponselnya dan langsung mengetik pesan singkat untuk Obiet, dokter yang
menangani papanya. Selama menunggu balasan, ia mengetuk-ngetuk ujung ponselnya
dengan telunjuk. Matanya terpusat pada layar ponselnya. Ia tidak peduli apa
yang sedang dikatakan Bu Okky di depan sana. Ia juga tidak peduli jika Bu Okky akan
mengetahui dirinya memainkan ponsel ketika wanita itu menerangkan. Ia tidak
peduli jika Bu Okky akan menghukumnya. Ia hanya butuh kepastian keadaan papanya
saat ini. ia hanya memikirkan papanya.
“Kenapa?” tanya Rio yang sedari tadi
memperhatikan kegelisahan Ify. Ify menatapnya khawatir. Seperti lupa aksi balas
dendamnya pada pemuda itu. “Perasaan gue gak enak..” katanya cemas. Rasanya Ify
hampir saja menangis. Mengadu pada Rio seperti mengadu pada Ayahnya sendiri. Entahlah,
saat ini, Ify ingin sekali mendapat penenangan dari pemuda itu. Ia merasa hanya
pemuda itu yang bisa membuatnya tenang.
Sesuai dengan harapannya, Rio menyunggingkan
senyum damai di bibirnya untuk Ify. Tangannya meraih sebelah pundak Ify dan
meremasnya lembut. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya tapi usahanya sudah
sangat berhasil menghapus kepanikan yang melanda Ify. Ify balas tersenyum. Sekalian
mengucapkan terimakasih lewat senyumnya itu pada Rio.
“Ify!” Seruan mengerikan itu akhirnya keluar
dari bibir merah merona Bu Okky. Ia menatap garang Ify dan juga Rio. Baik Ify
maupun Rio sama-sama bergidik takut. Yang paling takut jelas adalah Ify. Karena
hanya namanya yang terucap oleh Bu Okky. Apalagi kini ia tengah menggenggam
ponsel di tangan. Tambah telak kesalahannya dan Bu Okky tak akan
tanggung-tanggung memberikan hukuman. “Kamu! Bukannya mendengarkan saya
menerangkan, malah asyik pacaran! Mana main hape lagi! Kamu menantang saya?!”
bentak Bu Okky.
Bulu kuduk Ify rasanya tercabut semua. Sekalian dengan
nyawanya mungkin. Ia seperti sudah tidak menginjak bumi. Malu bercampur takut
serentak menyergapnya. Menatap Bu Okky saja ia tidak berani apalagi sekedar
mengatakan ‘tidak’ untuk menjawab pertanyaan gurunya itu padanya. Rio yang
sempat menjadi malaikat penenangnya kini tidak bisa banyak membantu. Pemuda itu
justru kelihatan sama takutnya seperti dirinya. Hari ini benar-benar hari sial
untuk Ify. benar-benar sial!
“Mm—Bu! Saya boleh izin permisi keluar? Ibu saya
masuk rumah sakit, jadi saya mesti kesana sekarang,” Suara gadis di seberang
sana sedikit mengalihkan perhatian. “Saya juga izin permisi menemani Via, Bu,” Pemuda
di sebelah gadis itu menimpali. Ify sontak menoleh ke sumber suara dan
menemukan Via dengan wajah panik melebihi dirinya. Ia mengernyit sesaat lalu
membelalakkan mata. Tante Fira masuk rumah sakit?! Pekiknya dalam hati. Ia beralih
pada Bu Okky. Seketika ia lupa akan semua rasa takut yang menderanya untuk
menatap Bu Okky. Keberanian itu tiba-tiba datang sendiri bahkan sampai
membuatnya ikut meminta izin menemani Via.
“Kalo gitu saya juga ikut permisi, Bu. Via butuh
saya!” ujar Ify nekat. Bu Okky langsung memandang tajam dirinya. “Kamu mau lari
dari hukuman?” balas Bu Okky enggan mengizinkan. Ify memutar kedua bola matanya
malas. Bu Okky hanya mengulur-ngulur waktu menurutnya. Keadaan sekarang sangat
genting. “Ibu, plis, deh! Masa Ibu membiarkan Via berdua sama Gabriel? Harus ada
orang ketiga! Lagian, saya memang benar-benar mau menemani Via. Via benar-benar
butuh saya!” Ify belum menyerah. Semua teman-temannya menahan nafas sembari
menyaksikan adu mulut antara dirinya dan Bu Okky.
“Biar saya yang menggantikan hukuman Ify, Bu.”
Suara lembut di sebelah Ify sekarang berbalik menjadi pusat perhatian. Siang ini,
kelas Ify sepertinya sedang disuguhi drama menegangkan, mengharukan, mengerikan
atau apapun itu yang pas yang pemeran utamanya adalah Ify sendiri. Rio? batin
Ify tak percaya. Rio tersenyum sekilas padanya sambil mengedipkan mata sekali lalu
menatap Bu Okky. Waktu rasanya berhenti saat itu juga bagi Ify. Kedipan mata
Rio berhasil menjeda waktu di sekitarnya. Seperti ada seseorang yang
melemparnya ke udara hingga dirinya melayang-layang disana. setitik rasa
bahagia membuncah dalam dada Ify.
Namun, itu hanya sebentar karena sahutan
menjengkelkan dari Bu Okky merusak segala angan-angan di kepalanya. “Menggantikan?
Kamu kan juga kena hukuman saya, Mario!” Ujar Bu Okky lagi. Ia masih tidak rela
Ify terlepas dari hukumannya begitu saja. Rio melengos malas. “Yasudah, hukuman
saya ditambah hukuman Ify. Beres kan, Bu?” balas Rio enteng. Ify menganga
lebar. Ia kembali terjebak dalam penghentian zona waktu di sekitarnya. Ia sulit
sekali berpikir saat ini. apa yang akan ia lakukan pun sepertinya sudah lupa.
“Ibu, saya harus buru-buru!” Via kembali
berujar. Air mukanya masih saja cemas. Bu Okky kelihatan hilang akal sekarang. Mau
tidak mau ia menurut dan mengizinkan Via, Gabriel dan tentu saja Ify meninggalkan
kelas serta jam pelajarannya. Suara Via tadi menyadarkan Ify kembali ke
dunianya semula. Ketika mendapat izin dari Bu Okky, ia segera beranjak dari
kursinya. “Ntar gue jemput!” Ify berhenti sebentar menatap pemuda yang
mengatakan akan menjemputnya itu. Rio. Matanya menyembulkan kebingungan. Rio
sepertinya sudah lebih dulu mengetahui Ify akan bingung seperti itu.
“Mobil lo udah parkir manis di rumah gue.” Kata
Rio kemudian. Kening Ify makin mengerut-ngerut tak mengerti. Namun, sebelum ia
sempat berpikir lebih lanjut, Via memanggilnya dan terpaksa mengalihkan
fokusnya pada gadis itu. Ia kemudian menghilang bersama Via dan Gabriel.
***
Haloo semuanya apa
kabar? ._. Mimin gatau mau ngomong apa nih, udah keseringan ngomong sih ya.-.
Yaah semoga semuanya dalam keadaan sehat walafiat sehingga kita semua dapat
berkumpul di fbfc tercinta ini *halah*
Tetep doain mimin
aja yah *masiih* dan jangan lupa doain diri sendiri *apasih-_-* Byeeee
semuanyaaah muah muah muah :*:*
Jelek ya? Haha,
saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan
cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)