Matchmaking
Part 25
***
Happy new
year!
Eh pernah
ada cerita ini loooh...tes gak ngeteg aaah....
***
Febby
menghela napas pasrah dan memilih diam. Percuma juga ia bicara dan menjelaskan,
Alvin tidak akan mau mendengarkan apalagi percaya apapun yang keluar dari
mulutnya. Lagi pula, badannya sedang lemas sekali hari ini. Kalau saja Oik
tidak memaksanya untuk menemani Alvin di rumah sakit, ia pasti akan diam di
rumah dan menikmati kasur empuk di kamarnya. Lalu tinggal mengirim surat sakit
ke sekolah. Ngomong-ngomong tentang sekolah, sudah berapa hari ia libur? Pasti
ada tugas-tugas menumpuk yang akan ia terima nanti.
Sementara
itu, Alvin yang dongkol setengah mati gara-gara Febby akhirnya memilih mencoba
menghubungi Shilla. Gadis itu perlu mendapatkan klarifikasi akan hal-hal tidak
masuk akal yang ia lihat di televisi mengenai dirinya. Jempolnya menekan angka
4 di ponselnya dan kemudian menempelkan benda itu ke telinga.
“FEBBY!
FEBBY!” Tiba-tiba dari pintu kamar inap Alvin, muncul seorang pemuda setengah
berlari sambil meneriakkan nama Febby. Baik Alvin maupun Febby sama-sama
terkejut melihat pemuda itu. Pemuda itu mendesah lega ketika melihat keberadaan
Febby yang berdiri menatapnya di dekat sofa.
“G—Goldi?”
Febby mengerutkan keningnya sekaligus membelalakkan mata. Ia kaget, panik
bercampur bingung bercampur senang juga mengetahui Goldi tiba-tiba datang
mencarinya. Setidaknya pemuda itu bisa memberitahunya dulu jika ingin datang.
Semalam dirinya berulang kali menghubungi pemuda itu tapi ponsel pemuda itu
tidak aktif. Sekarang pemuda itu malah mendadak muncul di hadapannya seperti
ini.
“K—kenapa?”
Febby mengedipkan matanya beberapa kali, terlihat masih shock. Goldi menutup
pintu dan berlari menghampiri Febby. Ia menggenggam kedua lengan Febby dan
sejenak diam menatap gadis itu. Napasnya masih terengah-engah setelah berlari
dari lapangan parkir rumah sakit sampai ke kamar inap Alvin. Goldi kemudian
menurunkan tangan sekaligus badannya menyentuh kaki Febby yang tersembunyi di
balik rok.
Alvin yang
tadinya berniat menelepon mendadak memutus panggilan dan mendelik melihat
pemandangan di depannya. “Woy woy woy, kalo mau mesum jangan disini! Lo berdua
gak malu apa, ada gue yang masih di bawah umur!” Alvin menggerutu kesal. Entah
ia masih kesal karena Febby atau karena Goldi tiba-tiba masuk ke kamar inapnya
atau bahkan karena apa yang Goldi coba lakukan pada Febby.
Febby yang
sempat tersihir akan Goldi dan melupakan sosok Alvin di sekitarnya pun
tersadar. Ia menunduk dan berteriak panik sekaligus kesakitan ketika goldi
menggenggam bagian betisnya. Ia hanya meringis ketika Goldi sudah kembali
berdiri dan menatap kesal bercampur khawatir padanya. Goldi merogoh tasnya dan
mengeluarkan sebuah benda berbentuk botol kecil. Sepertinya salap oles.
Goldi
menarik Febby ke sofa dan duduk. Alvin mencibir ketika melihat tangan Febby dan
Goldi bergandengan. Rasanya beberapa waktu ini Febby gencar mengejar cintanya
sampai menguntitnya kemana pun ia pergi. Termasuk ketika sakit seperti ini.
Bahkan, Febby lah yang menyebabkan dirinya sampai harus dirawat begini. Ia pun
ragu apa tabrakan itu murni sebuah kecelakaan atau disengaja. Tapi, sekarang,
apa ini, yang sedang ia lihat? Gadis itu bergandengan tangan dengan pemuda
lain. Dan tampaknya, mereka berdua sangat intim. Tidak mungkin itu hanya
sebatas hubungan pertemanan antara perempuan dan laki-laki, kan?
Jadi, Febby
udah punya pacar? Batin Alvin sinis. Ada bagusnya juga sih. Untuk kedepannya,
ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan gadis itu. Kalau Febby sudah punya
pacar, berita antara dirinya dan Febby akan dapat dengan mudah dimusnahkan dan
otomatis tidak ada yang akan mengganggu hubungannya dengan Shilla lagi.
Tapi...entahlah. Untuk kesekian kalinya Alvin tidak mengerti kenapa dan ada
apa. Memikirkan ini saja sudah menambah kesal. Memikirkan gadis itu memang
tidak pernah ada baiknya.
“Lukanya
pasti belum lo obatin, kan?” Goldi bertanya sambil memutar tutup botol salep
yang ia bawa. Febby mendesah malas. “Hmm.. Cuma luka kecil juga kan.” Goldi
mendelik ke arah Febby yang dibalas cengiran dari gadis itu. “Kalo udah luka
tetep harus dikasih obat lah biar cepat sembuh. Kalo iya bisa sembuh sendiri,
kalo enggak? Mau jadi ‘rumah’ sakit?.”
Febby merasa
pipinya memanas. Matanya berbinar cerah menatap Goldi. Bibirnya tertarik
membentuk sebuah senyum simpul. “Iya deh, iya calon dokter! Hehe,” sahutnya
pelan. Goldi tersenyum sembari mengelus pelan puncak kepala Febby. Wajah Febby
makin terlihat merona. Meski begitu, hatinya sangat senang. Ia seketika
bersyukur karena ayahnya menyiksanya semalam hingga sampai membuat kakinya
luka. Luka yang membuatnya memiliki waktu menyenangkan bersama Goldi. Kalo gini
akhirnya, gue rela kaki gue dicambuk tiap hari. Hehehe..
Mulai
sekarang, ia dan Goldi akan banyak menciptakan situasi-situasi seperti saat
ini. Oik atau siapapun itu ia sudah tidak peduli. Terserah Oik akan mengatakan
yang tidak-tidak pada ayahnya. Ia tidak takut kalau harus disiksa. Kalau perlu,
ia akan pergi dari rumah itu. Toh selama ini ia membiayai hidupnya sendiri
tanpa pernah meminta uang dari Oik ataupun ayahnya. Tapi, ada satu yang harus
ia lakukan sebelum mangkat dari perbudakan Oik...
Sementara
itu, makhluk malang yang terabaikan saat ini, Alvin, merasakan mual dalam
perutnya. Bagaimana bisa Goldi dan Febby sesantai itu bermesraan di hadapannya?
Apa gak liat ada orang disini?!
“Lebay!”
Alvin menyeletuk keras tanpa sadar hingga tak luput dari pendengaran dua
manusia di depannya. Baik Goldi maupun Febby lantas menoleh sekilas pada Alvin.
Alvin langsung beralih pada ponselnya pura-pura tidak memedulikan Goldi dan
Febby. Goldi dan Febby pun kemudian melakukan yang sebaliknya dengan tidak
memedulikan Alvin.
“Kek nya gue
bagusan bediri deh,” tawar Febby dan langsung berdiri sambil menyingkap roknya
sampai ke lutut. Goldi mengangguk setuju. Febby berdiri tepat menghadap Alvin
yang memandangnya. Dan sepertinya posisinya salah. “Emm—gue ngadep sini aja
deh,” Febby kemudian berbalik badan dan mendapati Goldi yang menatapnya
bingung. “Kenapa?” Febby mengedikkan bahu dan mendesah pelan. “Pemandangannya
ga enak,” Goldi tampaknya tidak mengerti maksud Febby. Namun, ketika matanya
menangkap sosok Alvin, barulah ia paham dan tersenyum geli.
Alvin yang
pendengarannya masih sangat-sangat baik pun mengerutkan keningnya kesal.
“Maksud lo apa? Apaan yang gaenak?!” gerutu Alvin. Febby dan Goldi sama-sama
tersenyum geli dan kompak diam tanpa mengacuhkan Alvin. Membiarkan Alvin
bertambah dongkol karena diabaikan. Namun, kemudian, ia tertegun melihat banyak
warna biru lebam di betis Febby dan ada beberapa yang terlihat terluka. Alvin
kemudian menaikkan pandangannya menatap wajah Febby yang hanya terlihat bagian
sampingnya itu. Gadis itu menggigit bibirnya menahan rasa perih ketika Goldi
mengolesi kakinya dengan salap.
Sesuatu yang
hangat seketika terasa menjalar di dalam dada Alvin. Apa yang gadis
menjengkelkan itu lakukan sampai-sampai menderita luka seperti itu? Apa dia
coba buat bunuh diri? Ah tapi kalo bunuh diri masa di kaki? Lagian, kenapa juga
mau bunuh diri? Apa karena ditolak gue?! Oh my God, oh my no, oh my wooow!
Pikir Alvin yang rada-radanya sedikit keluar jalur.
Ia
memperhatikan air muka Febby. Lidahnya mendesis seperti ikut merasakan perih
yang dialami gadis itu. Ia spontan meraih leher bajunya dan menggigitnya dengan
cukup keras. Tak disangka-sangka, pada saat yang sama Febby juga meraih leher
bajunya dan menggigit seperti yang Alvin lakukan. Alvin melongo seketika. Ia
kaget sekaligus heran kanapa Febby bisa melakukan hal yang sama dengannya. He?
Kok bisa? Tapi kemudian, ia dengan kasar melepas gigitan pada bajunya. Ogah gue
sama-samaan sama dia. Hih!
***
Via duduk
manis di dalam mobil Gabriel. Tidak berbicara atau mengeluh tentang keadaan
mamanya. Ia duduk diam dan tenang atau mungkin lebih tepat jika menenangkan
dirinya sendiri. Yang menandakan bahwa tetap ada kecemasan dalam dirinya ialah
dengan ia sesekali mengepal-ngepal salah satu atau kedua tangannya. Ify
memperhatikan itu sekilas dan tersenyum dalam hati. Untuk beberapa kondisi
penting, Via memang paling pandai mengendalikan diri. Tapi, memang, Via akan
menjadi lebih pendiam. Irit bicara.
Gabriel
beberapa kali mengintip lewat kaca depan. Ia bersyukur karena Via tidak
menunjukkan ekspresi cemas yang berlebihan. Yah, mungkin memang karena mamanya
tidak sedang mengidap sakit parah. Cuma demam biasa. Tapi, tetap saja, seorang
anak pasti akan cemas setengah mati apabila melihat salah satu atau kedua
orangtuanya jatuh sakit. Sementara Via, gadis itu berhasil menetralisir hatinya
untuk tetap tenang dan tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.
Seperti mendumel, mengeluh bahkan menangis.
“Bibi lo
bilang nyokap lo kenapa?” Tanya Gabriel memecah keheningan. Sekaligus
mengalihkan perhatian Via agar tidak terus-terusan dilanda cemas. “Kecapekan,
kurang istirahat, kurang darah.” Ujar Via menyebutkan satu persatu ucapan Bi
Sum ketika di telepon tanpa embel-embel. Seperti yang diperkirakan Ify, Via
mulai irit bicara . “Udah di periksa dokter? Bahaya nggak?” Kembali Gabriel.
Via menarik nafas dan menghembusnya pelan. Matanya tetap memandang ke arah
jendela di sampingnya. “Udah. Enggak.” Nada lega terdengar dalam suara Via kali
ini.
Gabriel
mengangguk-anggukan kepala dan tersenyum ringan. Lucu juga melihat Via seperti
ini. Kelihatan lebih manis meskipun terkesan jutek. “Mampir makan bentar mau
gak? Gue laper nih! Lo berdua laper gak?” Via mengernyit dan langsung mendelik
pada Gabriel. “Lo gila ya?” Gabriel tertawa dalam hati. Via, Via! Mau kek
gimana juga, sewot lo tetep keliatan ya. Ckckck..
“Ya kan
gaada salahnya kita makan dulu. Sekalian ngilangin stres. Nyokap lo kan masih
ada yang jaga. Lo juga bisa beliin makanan buat nyokap lo.”
Via
mendengus kesal. Apa pemuda itu tidak mengerti kalau ia masih akan terus cemas
sebelum bertemu dengan mama nya?
“Lo turunin
gue di sini aja, biar gue naik taksi.” Gabriel hanya membuang nafas pelan. Ia
diam tidak menjawab tetapi tetap menjalankan mobilnya tanpa menurunkan Via
seperti yang gadis itu minta. Sejujurnya, ia memang sudah sangat lapar sekali.
Pagi tadi, ia tidak sempat sarapan dan ketika istirahat sekolah pun ia tidak
sempat pergi ke kantin untuk mengisi perut. Maklum, sehabis istirahat adalah
jam pelajaran Bu Okky jadi harus ekstra membekali otak agar tidak mendapat
hadiah dari gurunya yang satu itu. Sekarang, memang kenyataan kalau waktunya
sangat tidak tepat. Tapi, ya, mau bagaimana lagi?
Sesampainya
di rumah sakit, mereka berjalan masuk menuju kamar tempat Fira dirawat. Tidak
ada kegiatan yang terburu-buru. Semuanya berjalan dengan santai. Hati Via juga
sudah lebih tenang sekarang. Di dalam kamar, Bi Sum duduk di sofa sambil
memandang iba majikannya yang kini terbaring lemah di ranjang dengan tusukan
jarum infus di punggung tangan. Baru pertama kali selama ia bekerja dengan Fira
dan ia melihat wanita itu jatuh sakit sampai separah ini. Meskipun memang
penyakitnya tidak parah, jauh dari kesan parah, tapi untuk Fira, baginya ini
sudah bisa disebut parah. Ia mendesah lega melihat kedatangan Via dari balik
pintu.
Via langsung
mengambil tempat di samping Fira dan menatap sebal bercampur sedih pada wanita
itu. “Mama, sih, ngeyel! Gini kan jadinya?!” Fira hanya balas tersenyum seperti
mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak perlu khawatir. Batin Via
mencelos. Bagaimana bisa mamanya itu bertingkah seolah dirinya baik-baik saja
sementara membuka mata saja antara sanggup dengan tidak? Via mendengus lalu
menyuruh mamanya segera tidur. Ia tahu tidak ada gunanya ‘berpidato’ panjang
pada mamanya. Tidak akan memperbaiki kesehatan mamanya. Mamanya lebih butuh
istirahat ketimbang ocehannya.
Via menghampiri
Bi Sum yang masih setia duduk di sofa. “Mama udah minum obat, Bi?” desis Via.
Bi Sum hanya mengangguk. Ia sadar volume suaranya sangat besar dan sangat susah
dikurangi. Hal itu bisa saja mengganggu istirahat Fira. Sebenarnya ada satu hal
yang ingin ia tanyakan, mengenai keberadaan Papa Via. Tapi, lekas ia urungkan.
Ia takut Fira mendengar. Ia takut membangunkan Fira. Siapa tahu majikannya itu
sedang bermasalah dengan suaminya makanya sampai jatuh sakit. Fira bisa kembali
kepikiran akan masalahnya. Dan ia tidak ingin itu terjadi.
Via kemudian
beranjak keluar kamar menemui Ify dan Gabriel yang menunggunya. Sekaligus ia
ingin menghubungi Papanya, mengabari pria itu kalau Mamanya sedang dirawat di
rumah sakit. “Gimana? Nyokap lo baik-baik aja, kan?” Niat Gabriel sebenarnya
adalah ingin menanyakan tentang keadaan Fira dan bermaksud mengharapkan semoga
wanita itu baik-baik saja. Tapi, mungkin ada sedikit kesalahan dari intonasi
bicaranya. Sehingga pertanyaannya tersebut terdengar menyebalkan–sekali— di
telinga Via.
Via merengus
dalam hati. Sekali saja pemuda itu menunjukkan perhatian yang wajar, apa tidak
bisa? Buntut-buntutnya selalu membuatnya tersulut emosi. Sabar, sabar! Batin
Via.
“Iya.” Via
menyahut singkat. Ia sedang tidak ingin berdebat dan sedang tidak ingin
lama-lama berurusan dengan Gabriel. Pemuda itu hanya bisa membuatnya keki
terus-terusan. Tidak pernah membuatnya senang sekalipun. Ada sih, tapi banyakan
yang ngeselin gue. Pikirnya.
“Makan yuk!
Gue laper nih!” Benar-benar, Gabriel serasa ingin pingsan sekarang. Ia pikir ia
sudah tidak bisa menahan tuntutan organ-organ di dalam perutnya.
Namun, hal
itu berarti lain bagi Via. Belum sembuh kekesalannya karena ucapan Gabriel
sebelumnya, sekarang sudah bertambah satu lagi. Kuku-kuku Via rasanya sudah
tidak sabar untuk mencakar muka tanpa dosa pemuda yang satu itu.
“Otak lo
kegeser ya? Lo gak liat mama gue lagi sakit? Masih berani lo ngajak gue
makan-makan, hah?!” Gabriel berjengit mengintip ke dalam melalui kaca
pintu. Ia menatap Via bingung. “Terus kenapa? Kan ada Bi Sum yang jagain,”
balasnya enteng. Sumpah, kalau bukan karena perutnya, ia tidak akan mengambil
tindakan sangat beresiko seperti ini. Via mengerang dalam hati. Ia berniat
menyahut namun tak jadi mengingat percuma menjelaskan panjang lebar padanya.
Pemuda itu pasti tetap punya amunisi kata-kata untuk membantah. Super sekali!
“Lo belum
makan siang, kan? Lo juga mesti jaga kondisi badan lo. Mau ikut-ikutan sakit
dan dirawat kayak mama lo? Setidaknya, lo mesti punya banyak tenaga buat jagain
mama lo. Iya gak, Fy?” Mungkin Ify bisa membantunya saat ini. Pikir Gabriel.
Ify yang sedari tadi duduk diam memperhatikan tersentak kaget karena namanya
disebut. Ini yang kedua kalinya seseorang menyasarkan pertanyaan untuk segera
diiyakan padanya. Kalo nanti ada orang ketiga yang melakukannya, mau gue kasih
apa yaaa?
“Kayaknya
gitu,” Saran Gabriel ada benarnya juga untuk Via. Jadi tidak ada salahnya kalau
ia ikut mengiyakan. Via mencibir kesal karena tidak ada yang berpihak padanya.
“Berisik lo! Lebih-lebih dari mak gue ngomel tau gak?!” Gabriel terkekeh
senang. “Ide bagus! Selama mama lo sakit, gue bakal jadi pengganti mama lo!”
“Heee? Gue
gak butuh babysitter! Dan gue gak mau punya babysitter kayak lo!” tolak Via
mentah-mentah. Bisa serangan jantung kalau Gabriel benar-benar menjadi ‘ibu’
pengganti untuknya. Meskipun itu hanya sementara. “Siapa bilang lo baby? Gede
gini!” kata Gabriel spontan. Dan seketika itu juga ia menyesali perkataannya.
Plis Vi, jangan ajak gue india-india-an sekarang..
Via meremas-remas
ponsel ditangannya sambil menggertakkan gigi menatap Gabriel. Tuh kan, apa gue
bilang!
“Lo tuh
sekali aja gak bikin gue kesel bisa?!” Tampang Via sudah dibuat
segalak-galaknya.
Gabriel
hanya balas nyengir dan berharap dalam hati Via tidak berniat mengamuk padanya.
Tapi, sepertinya, dewi fortuna tidak berpihak padanya. Ia mundur perlahan
selangkah demi selangkah. Dan ketika mata Via membulat besar ia pun lekas
berlari kabur dari gadis itu.
“Belum tau
rasanya ditimpuk orang gede, hah?!! Sini loo!!” Via mencopot sebelah sepatunya
dan mengangkatnya sejajar dengan kepala. Ia mengambil langkah seratus ribu
mengejar sekaligus menyusul Gabriel, meninggalkan Ify yang melongo di kursinya.
Via yang meluap-luap bertemu dengan Gabriel si pembuat ulah. Pasangan ‘serasi’.
Batin Ify takjub.
***
Kini tinggal
Shilla dan Agni setelah ditinggal Ify dan Via ke rumah sakit. Shilla sudah
lebih jinak ketimbang tadi pagi. Jauh lebih jinak sampai-sampai tak sekalipun
mengajak siapapun bicara apalagi sekedar mengeluarkan suara. Ia hanya duduk
berpangku tangan di atas meja santai di pinggiran lapangan basket dengan kedua
telunjuk mengetuk-ngetuk pipinya. Tidak peduli hiruk pikuk orang-orang di
sekitarnya. Termasuk tidak memedulikan Agni di sebelahnya yang kini sibuk memetik
senar-senar gitar yang ia pinjam dari salah satu teman sekelasnya.
Beberapa
kali ponsel Shilla tampak berbunyi termasuk saat ini tapi gadis itu tetap juga
tidak peduli. Hanya Agni yang merasa agak risih melihat benda itu
berkelap-kelip, bergetar-getar dan mengeluarkan suara. Ia mengambil dan
memeriksa apa atau lebih tepatnya siapa yang menyebabkan benda petak tersebut
agresif seperti itu. Yah meskipun ia bisa menebak dengan mudah kalau
penyebabnya tak lain dan tak bukan pasti Alvin. Dan ketika matanya berhasil
membaca nama yang tertulis di layar, ia bisa memastikan bahwa dugaannya tidak
meleset. Itu memang Alvin.
“Contact
name dia lo ganti lagi?” katanya sarkastis. Sedikit banyak ia memuji sekaligus
tidak habis pikir akan kedisiplinan Shilla mengganti contact name Alvin di
ponselnya sesuai dengan moodnya pada pemuda itu. Shilla tetap bungkam. Bahkan
matanya tak sedikitpun menoleh pada Agni. Agni melirik Shilla sekilas lalu
kemudian meletakkan ponsel gadis itu kembali.
“Kalo
dianggurin mulu ntar lo diputusin loh.” kata Agni santai sambil kembali bermain
dengan gitar di tangannya. Pancingannya membuahkan hasil. Shilla mulai buka
suara meskipun singkat. “Tinggal balikan.”
Agni
berpaling sejenak dari gitarnya mendengar Shilla menyahut seperti itu. “Dia
lagi deket sama Febby. Yakin mau ngajak balikan?” Seketika itu juga aura
mendung dari diri Shilla meluap. Dari wajahnya, ia kelihatan kesal sekaligus
was-was juga pada ucapan Agni barusan dan bahkan sebelumnya. Ia juga kelihatan
putus asa. “Iiiih lo mah ngeselin!” rutu Shilla sambil memukul-mukul lengan
Agni. Agni tertawa senang karena usahanya mengembalikan Shila berhasil.
Setidaknya, Shilla sudah mau bicara dan bereaksi.
Shilla
berhenti dan kembali duduk berpangku tangan dengan muka cemberut. Agni
tersenyum simpul sambil menyodorkan ponsel Shilla ke dekat gadis itu. “Kalian
itu LDR. Udah kepisah jarak, kepisah waktu lagi. Lo sibuk, dia apalagi. Sayang
lah kalo lagi ada waktu kek gini lo gunain buat ngambek.” Aura dewasa Agni pun
seketika menyeruak ke permukaan.
Shilla
mengacak-ngacak rambutnya karena frustasi. Ia ingin sekali membantah tapi
ucapan Agni memang benar. Tapi ia juga masih merasa kesal teramat sangat pada
Alvin dan belum puas jika ia harus mengalah sekarang. “Tapi gue kesel, Niiiiii!
Gimana dong?” katanya begitu memelas, begitu berharap Agni akan memberikan
solusi yang memihak padanya. “Inget Shill, ini bukan kejadian yang pertama
kali, lagi. Kayak baru jadian kemaren sore aja!”
“Tapi yang
sekarang itu beda..”
“Apa
bedanya? Tipenya sama kan? Intinya sama, Alvin digosipin deket sama cewek lain.
Terserah deh alurnya mau kayak gimana. Plis Shill! Kapan sih lo percaya sama
Alvin kalo lagi ada kejadian kek gini? Lo selalu marah kan sama dia?
Ujung-ujungnya mewek ke gue lagi mewek ke gue lagi. Gue direpotin mulu deh kalo
lo berdua berantem.”
Shilla
mendesis kesal. “Jadi selama ini lo gak ikhlas bantuin gue?”
“Ikhlas atau
pun gak ikhlas lo tetep aja bakal minta tolong sama gue kan?”
“Cih, pede
banget lo!”
Agni
mengernyit sesaat lalu melengos. “Oh, gitu? Yaudah, sekarang gue gak bakal
bantu lo.”
“Agniiiii!
Plis deh jangan bikin gue tambah pusing!” sergap Shilla dengan mata membelalak
sekaligus memelas. Agni hanya menghela nafas pelan. “Tuh kan, gue salah dimana
coba?” cicit Agni dengan wajah miris.
“Sekali-sekali
dia dong yang ngalah sama gue. Masa gue terus yang ngalah?”
Sekarang,
Agni yang gantian melotot pada Shilla. “Hellooo! Sadar gak sih kalo selama ini
Alvin yang ngalah sama lo? Tiap lo marah dia yang terus-terusan telpon lo, sms
lo, bm lo, line lo, wa lo, we chat lo, apa aja deh yang sejenis itu malah sampe
bolak-balik bogor-jakarta *kali ini gasalah kan b-)* buat nemuin lo sesegera
mungkin? Dan yang paling pentingnya adalah...pernah gak sekaliiii aja dia marah
sama lo? Enggak kan?”
Shilla menggaruk
pelipisnya dan tampak bingung menjawab iya atau tidak. “Emm..enggak sih...”
katanya ragu-ragu.
Agni
mendengus sebelum melanjutkan omongannya. “Tuh kan! Masih juga mau bilang lo
yang ngalah terus-terusan?” Shilla hanya diam dengan bibir mengerucut. Persis
seperti anak kecil yang meminta dibelikan es krim tapi tidak diizinkan ibunya
karena dirinya sedang flu. “Ngurusin lo aja udah ribet Shill, udah nyita semua
waktu kosong Alvin. Gimana dia mau flirting sama cewek lain?”
Petuah
terakhir Agni mengalirkan kelegaan dalam hati Shilla. “Kok..abis lo ngomong,
masalah gue sama Alvin kerasa simple terus ringan banget ya?” Seketika tercipta
senyuman yang sudah berhari-hari ini menghilang dari bibirnya. Ia juga tertawa
malu-malu sambil mengelus lehernya. Tak ayal Agni langsung mencibir keras hal
itu. Tadi pagi ngamuk-ngamuk terus merengek sama gue. Nah sekarang ketawa
sendiri. Kalo aja bukan temen gue, lo udah gue masukin rumah sakit jiwa deh,
Shill.
“Ketawa lo?”
Shilla
langsung mendelik ke arah Agni. “Ngeden! Udah ah, gue mau ngangkat telpon
dulu!” Shilla lantas pergi dengan membawa serta ponselnya. Meninggalkan Agni
yang melongo dan gondok setengah mati sambil memeluk gitar pinjamannya.
“Makasih,
Agni.” Katanya datar, mewakili Shilla, kepada dirinya sendiri.
***
Rio berjalan
santai mengekor Bu Okky hingga ke dekat gudang. Beruntung saat ini jam
pelajaran sedang berlangsung jadi ia tidak harus dipusingkan dengan pandangan
ingin tahu orang-orang jika melihatnya. Meski ketika mereka di dalam kelas pun,
dirinya tetap bisa menarik seluruh perhatian beberapa di antaranya. Terutama
para siswi. Ia jadi tersanjung pada pesona yang begitu besar yang ia miliki.
Ujung-ujung bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman kecil. Hanya sekilas.
Dan orang yang melihat itu seketika merasa orang paling beruntung di dunia.
Apalagi Rio secara tak sengaja tersenyum ketika menatapnya. Orang tersebut
langsung didera asma mendadak. Rio hanya terkikik seraya geleng-geleng kepala.
Namun,
kemudian, kesenangannya hilang ketika ia dan Bu Okky sudah sampai di depan
pintu gudang. Dari sana Rio bisa menebak seberapa amburadulnya isi gudang itu.
Ia menghela nafas berat sekaligus menyemangati diri sendiri. Oke, cuma ini kok.
Pikirnya. Ia menatap Bu Okky menunggu titah sang guru itu keluar. Ia masih
merasakan hawa kesal dari dalam diri Bu Okky. Sama sekali tidak berkurang dari
sejak berdebat dengan Ify sampai sekarang di tempat pemberian hukuman. Segitu
kesalnya Bu Okky karena gagal menghukum Ify? Apa wanita itu hobby memberi
hukuman pada murid-murid?
“Bereskan
gudang ini! Sampai semuanya terlihat rapi dan tidak ada debu yang menempel.
Kamu juga harus mengecat kembali dindingnya. Mengerti?!” Perintah Bu Okky
akhirnya. Rio tersenyum dan mengangguk kaku mendengar nada suara mengerikan
dari Bu Okky itu. Sedetikpun senyum tak terukir di bibir merah meronanya. Hanya
ada seruan galak dan sorotan mata tajam yang Rio terima. Tapi, tak apalah.
Hanya sampai disini ia berurusan dengan wanita itu. Ia akan segera bebas
sebentar lagi. Sebentar lagi!! Dan upahnya, ia bisa menghabiskan waktu bersama
Ify.
“Setelah
selesai, kamu datang ke meja saya!” kata Bu Okky kembali memerintah. “Untuk
apa, Bu? Apa saya mesti bikin laporan juga?” Rio memberanikan diri bertanya.
Entah keajaiban darimana, Bu Okky tiba-tiba saja menyungging senyum manis nan
lembut kepadanya. Ah, bukan keajaiban. Itu adalah senyuman paling buruk, paling
menakutkan sekaligus menyebalkan yang pernah Rio lihat. Bahkan lebih seram
dibanding mimpi buruknya sekalipun. Senyum voldemort atau bahkan zombie yang
bentuknya menjijikkan itu lebih terlihat indah dibanding senyum Bu Okky saat
ini kepadanya.
“Untuk
mengetahui hukuman kamu selanjutnya.” Bu Okky berkata anggun bak peserta kontes
kecantikan yang sedang menjawab pertanyaan di atas podium. Tapi lebih mirip
nenek-nenek yang tertawa dengan gigi-gigi ompong dan sirih di ujung bibirnya
bagi Rio.
“HAH?!”
***
Gabriel
merunduk memegang dadanya yang terlihat naik-turun. Diikuti Via yang berjalan
sekitar dua setengah meter di belakangnya. Gadis itu berjalan terseok-seok
dengan nafas memburu. Keduanya sama-sama ngos-ngosan setelah hampir setengah
jam berkejar-kejaran naik-turun keluar-masuk rumah sakit hingga sempat mendapat
teguran dari beberapa suster bahkan keluarga pasien. Sepertinya kali ini Via
sudah menyerah untuk berkejar-kejaran. Ia duduk berselonjoran kaki sambil
bersandar di dinding koridor. Kebetulan tidak ada orang lain di sekitar mereka
jadi dirinya tidak akan mengganggu jalan.
Gabriel
tertawa menang melihat itu. Rasa lapar yang tadi sangat menggerogotinya
mendadak hilang. Ia lalu berjalan mendekati Via dan menatap gadis itu sambil
berkacak pinggang. “Payah lo!” Via mendongak sambil mengibaskibaskan tangannya
di depan wajahnya. “Lo GILA! Hhh..” balas Via dengan napasnya yang masih
terengah-engah. Gabriel kemudian duduk di sampingnya. “Tenaga lo cuma segini
doang? Gimana lo bisa jagain nyokap lo ntar?” Gabriel bersandar sambil
menengadahkan kepala. Begitu pula Via. “Jagain mak gue kan duduk-duduk doang,
gak make maraton juga kali!”
Gabriel
mengedikkan bahunya. Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Gabriel menoleh ke
samping memandangi koridor panjang yang sepi. Sementara Via memejamkan mata
sambil menikmati kerusuhan yang terjadi pada jantungnya akibat habis berlari
dan pemuda menyebalkan di sampingnya. Masyaoloooh! Gabriel cuma duduk doang,
duduk di samping gue doang! Udah, itu aja! Titik gak pake koma! Tamat, gak pake
to be continued! Kenapa harus seheboh ini, sih! Gerutunya berperang batin. Ia
membuka matanya dan menoleh pada Gabriel. Beruntung, Gabriel tidak sedang
melihat ke arahnya. Tanpa sadar mulut Via berkali-kali mengeluarkan helaan
nafas akibat kontraksi jantungnya yang makin hebat ketika memandang wajah
Gabriel.
Lalu
mendadak Gabriel memutar haluan kepalanya menghadap Via. Napas Via tertahan
karena aksinya ketahuan. Ia langsung memutar pandangan ke arah berlawanan. Ia
mulai panik. Gabriel pasti akan..
“Lo daritadi
ngeliatin gue ya?” Ya, Gabriel tersenyum mulai kembali menggodanya. Tepat
seperti yang ia perkirakan. Via mendengus pasrah namun berusaha menormalkan
ekspresi wajahnya. “Enggak,” Jawab Via berusaha santai dan tidak terpengaruh.
Senyum Gabriel makin mengembang. Ia memajukan wajahnya beberapa senti untuk
mengamati wajah Via. Via merutuki dalam-dalam apa yang Gabriel lakukan itu. Jika
pemuda itu tak segera menjauh, ia akan menjadi mayat karena jantungnya tidak
fungsional.
“Kalo
enggak, kenapa muka lo merah?” Gabriel memicingkan mata curiga. Mata Via
berkedip cepat beberapa kali. “Ya kan tadi abis lari muter-muter, capek,
jadinya muka gue merah!” katanya mencoba mengelak. Tapi sepertinya ia tidak
akan pernah bisa ‘bersembunyi’ dari Gabriel. Sudah seperti sebuah takdir
untuknya.
Khusus untuk
kali ini, Gabriel tidak meneruskan tekanannya pada Via. Ia tahu bagaimanapun
juga gadis itu pasti masih mencemaskan Mamanya meski dari luar kelihatan
baik-baik saja.
“Lo udah
ngasih tau Bokap lo?” tanya Gabriel kemudian. Via seketika mengaduh sambil
menepuk jidatnya. “Astaga! Gue lupa!” Ia bahkan sampai lupa bahwa sebelumnya ia
hendak menghubungi Papanya. Akan tetapi, tertunda karena aksi maraton tadi. Dan
semua itu disebabkan oleh Gabriel. Lagi-lagi karena lo, Yel. Pikirnya. Via
menggali saku roknya mengambil ponsel. Dalam hitungan detik, ponsel tersebut
sudah menempel di telinganya. Dalam hitungan detik pula, panggilan itu dijawab.
“Halo?”
“Ha..” Via
hanya sempat menyebutkan setengah dari kata yang ingin ia ucapkan sebelum ia
memutus panggilannya. Suara yang menjawab teleponnya itu bukanlah suara papanya
melainkan suara seorang perempuan. Entah itu wanita atau gadis, ia kurang
begitu jelas karena tadi perempuan itu hanya sempat berbicara sedikit. Itu
siapa? Batinnya bertanya-tanya. Gabriel yang menunggu sambil memperhatikan Via
lantas bingung melihat Via menutup panggilannya dan dengan wajah bingung menatap
layar ponsel di tangannya.
“Kenapa?”
Via yang agak linglung kemudian mengalihkan pandangannya pada Gabriel. “Yang
ngangkat cewek..” katanya ragu-ragu. Gabriel mengernyit belum sepenuhnya
mengerti. “Bokap lo orang kantoran kan? Sekretarisnya mungkin,” Ia mencoba
menenangkan pikiran Via yang pastinya bertambah was-was sekarang. Via diam
memikirkan dugaan Gabriel barusan. “Tapi, kalo sekretaris Papa gue, suaranya
gak kayak gini deh.” Via kembali melihat ponselnya dan bertanya-tanya dalam
hati.
“Siapa tau
Bokap lo punya sekretaris baru.” Ujar Gabriel masih berusaha mencegah Via
berpikir yang tidak-tidak. Via menggaruk-garuk pelipisnya dan sekali lagi diam
memikirkan kata-kata Gabriel. Satu beban pikiran bertambah untuknya. Kepalanya
terasa seperti ditusuk-tusuk membayangkan satu per satu masalahnya. Hanya dua
hal tapi merepotkan juga baginya. Bagaimana tidak jika ini berkaitan dengan dua
orang yang teramat penting dalam hidupnya.
Gabriel
menghela napas melihat Via diam. Ia harus mencari cara agar masalah suara
wanita tadi segera hilang dari pikiran Via. Lantas ia ikut diam berpikir apa
yang sebaiknya ia lakukan sekarang. Tak butuh waktu lama karena sebuah ide
langsung muncul di kepalanya. “Ah! Vi, besok gue mau ngajak Zaza
ketemuan.” Dari penglihatan Gabriel, sepertinya caranya untuk mengalihkan
pikiran Via berhasil. Gadis itu terkejut dan langsung menoleh ke arahnya.
Akan tetapi,
niat baik Gabriel berakibat lain untuk Via. Hal itu justru makin memperparah
kecemasan dalam dirinya. Dan tentu saja bukan mengurangi tapi justru hanya
menambah-nambah beban pikiran Via saja. Via menatap Gabriel dengan tatapan
tidak percaya. “Apa?! Lo..” Rasanya Via sudah tidak sanggup lagi berbicara.
Sementara
itu, Gabriel membalas dengan ketidakmengertian di wajahnya lalu mengulang
kembali kata-kata yang tadi ia ucapkan. “Iya, gue mau ngajak Zaza ketemuan
besok. Ada yang salah?”
Via sekejap
tertawa. Bukan untuk hal yang menyenangkan tentu saja. Ia lalu kembali menatap
Gabriel dan berteriak kesal. “AAAAA! Lo bikin susah gue aja tau gak!” Gabriel
kaget karena Via yang justru kesal, bukan tenang seperti yang ia harapkan. Ia
juga bingung kenapa gadis itu malah marah-marah padanya.
“Kok gue?”
Via melengos
dan segera berdiri. “Lo mau kemana?” tanya Gabriel karena Via tiba-tiba berdiri
tanpa menjawab pertanyaannya lebih dulu. “Makan.” Via menjawab ketus dan
langsung berjalan tanpa menunggu Gabriel. Ia berjalan sambil
menghentak-hentakkan kaki dengan keras ke lantai koridor. Meluapkan seluruh
emosi dan kekacauan dalam otaknya.
“Katanya
tadi lo gak laper?” Gabriel harus setengah memekik karena Via sudah berada agak
jauh darinya. Via menoleh ke belakang sebentar. “Mikir bikin laper.” Jawab Via
lagi tanpa menghentikan langkahnya. Gabriel garuk-garuk kepala heran melihat
tingkah Via yang membingungkan. Ia kemudian berlari menyusul gadis itu sebelum
benar-benar jauh.
***
Cakka
mendrible bola sebentar lalu melemparnya ke ring. Namun, benda bundar itu tidak
tergiring masuk ke dalam ring. Malah memantul keluar dan ia tidak tahu kemana.
Fokusnya saat ini adalah seorang gadis yang tengah tenggelam bersama alunan
gitarnya di kursi pinggiran lapangan. Kakinya sudah sejak lama memaksanya untuk
berjalan menghampiri gadis itu. Akan tetapi, hatinya masih enggan karena takut
ia nanti hanya menerima penolakan. Sama seperti sebelum-sebelumnya sejak
kejadian ia melabrak gadis itu.
“Ngeliatin
siapa sih lo? Serius banget daritadi?” Salah satu teman bermainnya dilapangan
tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya dan mengikuti kemana arah matanya
melihat. “Samperin aja kali daripada merhatiin doang!” kata temannya itu lagi.
Cakka hanya diam sambil mendrible bola yang dibawa temannya tadi. Melihat Cakka
tak bereaksi, pemuda teman Cakka tadi lantas merebut bola yang Cakka mainkan.
Ia melempar bola tersebut cukup jauh menuju ke arah dimana Agni duduk.
Cakka
terkejut dan langsung mendelik jengkel pada temannya itu. “Lo gak mau
nyamperin? Yakin? Kalo lo gak mau biar gue aja.” mendengar itu mau tak mau
Cakka menurut. “Rese lo!” umpat Cakka sesaat sebelum kakinya mulai melangkah
berjalan ke arah Agni. Sepanjang jalan, Cakka terus menggaruk-garuk bagian
belakang kepalanya seraya memikirkan kata-kata apa yang bagus untuk ia ucapkan
pertama kali.
Sementara
Agni, ia dibuat kaget setengah mati dengan adanya bola nyasar memantul mengenai
gitar pinjamannya. Yang membuatnya kaget adalah tali senar yang putus yang
langsung mengenai wajahnya. Dan itu rasanya sakit. Sungguh sangat menyakitkan.
Ia langsung merunduk mengambil bola sialan itu. bukan bolanya sih yang sialan,
tapi pelemparnya. Bertepatan ketika tangannya menyentuh bola, ada sepasang kaki
yang berdiri di depannya. Tak lain tak bukan, itu pasti orang kurang ajar yang
sudah melempar bola ditangannya. Pikir Agni.
“Lo yang—“
Umpatannya mendadak lenyap ketika ia mengetahui dengan jelas siapa orang yang
berdiri di depannya kini. Orang yang –sebenarnya bukanlah– pelaku pelemparan
bola. Cakka. Hasrat untuk mengomel Agni seketika hilang. Entah alasannya karena
ia tidak tega mengomeli pemuda itu atau karena ia malas untuk berurusan dengan
pemuda itu.
“Iya! Gue
yang ngelempar! Sorry ya, gue gak sengaja. Lo gakpapa kan? Atau ada yang luka?”
Cakka masih belum bisa berhenti menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
Sudah menjadi kebiasaan jika ia sedang berbohong maka ia akan melakukan apa
yang ia lakukan sekarang. Dan Agni memperhatikan dengan sangat baik hal itu.
Dan ia pun tahu arti dari hal itu. Ia tahu pemuda itu bukanlah pelaku
pelemparan bola. Cakka, Cakka. Lo itu Aga atau bukan, sih? Selalu deh bikin gue
bingung.
Agni melempar
pelan bola ditangannya kepada Cakka. Pemuda itu lekas menangkap santai. “Yang
ngelempar bukan lo kan?” tebak Agni. Air muka Cakka sontak berubah panik
bercampur heran. “Kenapa lo nyimpulin kek gitu? Lo liat emang yang ngelempar
gue atau bukan?”
“Ya gue tau
lah, lo kan kalo bohong suka garuk-garuk kepala.” sahut Agni spontan. Baik
Cakka maupun Agni sendiri kemudian sama-sama terdiam. Aiss ribet deh make
keceplosan segala. Umpat Agni dalam hati. Sementara Cakka termangu seraya
memandangi Agni. Dia tau darimana? Apa jangan-jangan Agni itu bener-bener..
Cakka
menduduki kursi di depannya sekaligus di depan Agni. “Padahal gue gak pernah
ngasik tau siapa-siapa tentang kebiasaan gue itu..” gumam Cakka setelah
melempar bola di tangannya kembali ke lapangan. Nada suaranya antara ia sedang
bergumam sendiri atau membalas ucapan Agni. Agni berusaha menetralkan ekspresi
wajahnya. Jangan sampai ia terpancing hingga keceplosan seperti tadi. “Gue juga
nebak-nebak doang. Itu kan udah jadi kebiasaan banyak orang.” Ujarnya sambil
menarik senar yang putus yang juga merupakan benda pencipta garis merah di
wajahnya.
“Itu senar
putus gara-gara bola tadi?” Cakka memperhatikan senar yang sedang Agni lepaskan
itu. Agni hanya bergumam tanpa berniat menjawab langsung. Ia juga tidak menatap
lawan bicaranya itu. Suasana di antara keduanya pun langsung berubah hening.
Cakka memutar otaknya mencari cara agar bisa membuat Agni berbicara kembali.
“Itu di muka lo..” Tangan Cakka terulur hendak menyentuh wajah Agni yang
memerah akibat senar gitar. Agni yang kaget tanpa sadar menepis tangan yang
tahu-tahu sudah ada di dekat wajahnya.
Agni dan
Cakka sama-sama terkejut dengan tangan masing-masing. Agni terkejut karena
tangan Cakka sementara Cakka terkejut karena tangan Agni. “Sorry..” ujar mereka
bersamaan dan lantas dibuat terkejut kembali. “Sorry, gue gak ada maksud
apa-apa kok.” Kata Cakka mendahului, sebelum Agni salah paham. “Iya, sorry
juga. Gue tadi kaget, gak biasa digituin soalnya.” Balas Agni sama-sama supaya
Cakka tidak salah paham. Aduh-aduh, kenapa kalian kompak sekali?
Kini suasana
canggung yang datang menghampiri mereka berdua. Agni kemudian mengambil
inisiatif untuk melarikan diri dari Cakka. Memang seharusnya hal itulah yang ia
lakukan sedaritadi kan? Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pemuda itu. ia
tidak ingin timbul masalah baru di antara mereka. Sedangkan masalah kemarin
entah bagaimana nasibnya. Ia ingin melupakan pemuda itu. ingin melupakan
obsesinya mengenai Aga. Karena Cakka bukan Aga. Begitu pula sebaliknya.
“Kalo gitu
gue cabut duluan ya, mau ngelapor sama yang punya gitar kalo senarnya putus.”
Agni berdiri dan mengacungkan gitarnya pada Cakka sebelum berbalik badan. Belum
sukses berjalan satu langkah, Cakka langsung memanggilnya. “Agni! Gue kesini
sebenernya pengen minta maaf sama lo. Bukan karena bola basket.” Agni tampak
diam sebentar. Gue harus ngapain sekarang? Balik atau jalan? Aiss jalan aja
deh. Pikirnya. Agni kembali melangkahkan kakinya tanpa menanggapi ucapan Cakka
terlebih dahulu.
Cakka belum
menyerah. Ia kembali memanggil gadis itu dan mencoba mengajak bicara. “Apa kita
gak bisa damai? Gak kucing-kucingan lagi? Tau tapi gamau tau kek sekarang?”
Agni benar-benar dibuat diam di tempat. Mana mungkin ia lanjut melarikan diri.
Tapi, apakah dirinya bisa berdamai dengan pemuda itu? Bagaimana nanti jika
obsesinya terhadap Aga muncul kembali? Bagaimana kalau terjadi masalah lagi
karena obsesinya itu? Ah tapi, pemuda itu sebenarnya tidak salah sepenuhnya.
Penyebabnya ya karena dirinya sendiri. Dan mungkin tidak akan ada masalah
karena pemuda itu tidak tahu-menahu mengenai obsesinya. Lagipula, mereka hanya
berdamai. Tidak ada salahnya. Terlebih lagi karena pemuda itu adalah salah satu
sahabat Alvin. Kekasih sahabatnya. Oke, mungkin tidak salah dan tidak akan ada
masalah.
“Tunggu
bentar, gue balikin gitar ini dulu.” Sekali lagi Agni mengacungkan gitar yang
dipegangnya. Ia lantas berbalik badan dan berjalan menuju kelas menemui sang
pemilik gitar. Setelah itu, ia berjalan kembali ke tempatnya berada sebelumnya
untuk memenuhi janjinya menemui Cakka. Akan tetapi, ia dikejutkan dengan
keberadaan pemuda itu di depan kelasnya. “Heh! Lo! Ngagetin gue aja! Lo
ngikutin gue?”
Cakka
tersenyum dan mengangguk. “Gue takut lo kabur lagi.” Agni berjengit heran.
“Setakut itu? Berasa buronan deh gue! Gue tuh gak pernah ngelanggar omongan
gue.”
“So..gimana?”
Agni memperhatikan sekeliling lalu menatap Cakka. “Kita ngomonginnya sambil
berdiri gini?” tanya Agni balik. Cakka ikut-ikutan memperhatikan sekeliling.
“Bener juga. Yaudah kita ngomong di taman belakang aja.” tawar Cakka. Agni
menggeleng. Disana mungkin sedang ada Shilla. Gadis itu pasti lebih butuh
tempat sunyi seperti itu untuk menyelesaikan masalahnya. Tidak enak jika ia
menumpang. “Jangan. Shilla mungkin ada disana.”
Cakka mengernyit
bingung. “Emangnya kenapa? Shilla kan temen lo. Atau lo pengen berduaan sama
gue?” Agni langsung mendelik ke arah pemuda itu. Bagaimana bisa pemuda itu
berpikiran seperti itu?
“Dih, pede
banget lo? Gue itu cuma gaenak sama Shilla. Dia lagi butuh tempat yang tenang
buat nyelesein masalahnya. Lo taulah kan apa yang lagi kejadian sekarang ini.”
Cakka hanya nyengir seraya mengangguk beberapa kali. “Kalo gitu di kantin aja,
siapa tau ada kursi kosong. Kursi tempat kita duduk tadi udah dipake orang soalnya.
Gue traktir lo deh sebagai permintaan maaf!” Tawar Cakka lagi. Tak butuh waktu
banyak untuk berpikir, Agni langsung menyetujui. Tidak ada pilihan lain
masalahnya.
“Oke.”
***
“Jadi, apa
gue udah di maafin?” tanya Cakka ketika mereka menempati salah satu meja kosong
di kantin. “Belom, bakso traktiran lo belum juga gue makan.”Agni menatap Cakka
sambil tertawa kecil. Begitu pula Cakka. Sepertinya mereka berdua sudah
berhasil menaklukkan suasana canggung yang selama ini terjadi di antara mereka.
“Sebenernya gue agak lupa sih masalah kita berdua itu apa. Tahu-tahu udah
anjing-kucingan aja.” Kata Agni ketika menuangkan saus ke dalam mangkok
baksonya.
“Salah gue,
sih. Seingat gue kita musuhan—emm jauhan tepatnya, karena kakak lo. Kiki kakak
lo kan?”
“Ah iya gue
inget! Karena lo ngelabrak gue waktu itu kan? Iya, iya. Emang sebenernya antara
lo sama kakak gue ada masalah?” Agni meniup lalu kemudian melahap mie yang ia
sendok.
“Lo gak
pernah diceritain sama dia? Yang ada sangkut pautnya sama gue gitu?” Cakka bertanya
balik. Agni hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. Cakka mengaduk-ngaduk
isi mangkok di depannya sembari memikirkan harus memulai cerita darimana dan
bagaimana. “Ribet kalo diceritain detailnya. Intinya, hubungan kita itu
renggang karena cewek.”
“Wah, gue
baru tau Kak Kiki punya cerita semacam itu! Yang salah lo atau Kak Kiki?” Mata
Agni berbinar takjub sekaligus penasaran.
“Nah gue
bingung kalo ditanya siapa yang salah. Bukan gue, bukan juga Kiki. Mungkin
ceweknya. Itu cewek yang udah gak jujur sama kita berdua.”
“Gak jujur
soal apa?”
“Dia jadian
sama gue waktu masih jadi pacarnya Kiki. Gue gak tau kalo dia udah punya pacar
dan ternyata dia juga gak pernah mutusin Kiki. Sampai akhirnya kita bertiga
ketemu secara kebetulan. Dari situ Kiki tau kalo dia udah di selingkuhin dan
dari situ juga Kiki bersikap gak bersahabat sama gue.”
“Sekarang,
lo masih pacaran sama cewek itu?” Kali ini Agni melahap satu dari delapan bakso
miliknya.
“Gue juga
gak tau. Dibilang pacaran tapi gak pernah komunikasi. Dibilang gak pacaran tapi
kita gak pernah putus. Gimana tuh?”
Agni diam
sejenak. Ia teringat akan Febby. Apa gadis itu yang Cakka maksud? Dan apa Cakka
juga tahu kalau gadis itu sekarang sedang digosipkan dekat dengan Alvin
sahabatnya?
“Cewek yang
lo maksud itu cewek yang waktu ketemu di mall itu?” tanyanya hati-hati. Cakka
tampak sedang mengingat-ingat orang yang Agni maksud.
“Cewek yang
waktu ketemu di mall?” tampaknya Cakka sudah lupa kejadian pertemuan itu. Agni
lantas mengurungkan niatnya untuk mengetahui lebih dalam. Ia tidak ingin
dikatakan ikut campur. Ia juga tidak ingin menodai perdamaian yang baru saja
mereka berdua sepakati saat ini. Meski hati kecil Agni merasa kurang yakin
kalau Cakka tidak ingat kejadian itu. Apa dia bener-bener lupa?
“Mungkin lo
lupa. Atau mungkin waktu itu gue bukan lagi sama lo kali ya?”
Cakka hanya
mengedikkan bahu sambil menganggukkan kepala beberapa kali. “Lo sendiri udah
punya pacar, Ni?”
“Kok lari ke
gue sih topiknya? Bahas pacar lagi,” tanyanya balik dengan kening mengerut.
“Ya kan gue
udah, sekarang lo lagi. Disini cuma ada kita berdua soalnya.”
Agni
menghela napas setelah menyeruput es teh yang juga merupakan traktiran dari
Cakka. “Belom. Abisan gak ada yang mau sama gue.”
“Siapa yang
bilang gaada yang mau sama lo?” Ujar Cakka tak menyangka Agni berkata terlalu
jujur seperti itu. Biasanya kan cewek paling anti merendahkan diri sendiri.
Apalagi kalau sudah berhubungan dengan cowok. Cakka hampir saja terbahak
mendengar itu. Sekaligus juga takjub.
“Buktinya
sampe sekarang gue gak punya pacar.”
“Ya kan
bukan berarti gak ada yang mau sama lo. Sedih amat.”
“Gue gak
sedih juga kali! Biasa aja. Cuma ya, gue itu bukan kriteria cewek idaman. Gue
galak, terus gak ada sisi cewek-ceweknya. Cantik juga enggak. Jadi buat cowok
suka sama gue itu gak mungkin banget lah.” Dari caranya berbicara, Agni memang
tidak kelihatan sedih sama sekali.
“Lo jago
main gitar. Lo juga jago basket. Lo pun pinter kan? Dan lo bilang lo gak ada
sifat cewek-ceweknya? Cowok jaman sekarang lebih suka yang kayak gitu lagi! Karena
artinya lo bukan cewek manja dan gak jaim. Kalo masalah cantik sih, yah, gak
munafik lah kalo cowok nyari cewek yang tampangnya bisa dibanggain. Tapi
ujung-ujungnya balik ke personalitimya lagi. Yang penting itu lo orangnya asik.
Jadi, gak mungkin banget gaada cowok yang suka sama lo.”
Agni
berjengit heran. “Kok lo tau banget? Lo sering merhatiin gue ya? Haha”
“Iya emang,
gue sering merhatiin lo. Karena kalo gue gak punya pacar, lo pasti udah jadi
pacar gue sekarang.” Cakka tergelak. Kali ini ia tidak bisa menahan tawanya.
“Dih,
amit-amit, lo kira gue cewek apaan? Dan siapa yang bilang gue mau sama lo?”
“Ya daripada
nunggu sampe ada yang bisa suka sama lo, kan lama. Mending terima aja lo sama
gue.”
“Ih lo tuh
sebenernya niat mau muji gue apa nyela gue sih? Dasar! Haha”
Sekarang
hari apa ya? Keknya sekarang itu hari keberuntungan deh. Perlu gue catet nih!
Hahaha. Batin Agni.
***
Puk..puk...puk..*eng..?*
Alvin
sedaritadi menepuk-nepuk dadanya sambil mengatur napasnya pelan-pelan. Hatinya
sejak beberapa saat lalu digeluti perasaan gelisah. Tidak tahu kapan tepatnya
gelisah itu datang dan karena siapa gelisah itu ada. Apa karena Febby keluar
bersama Goldi? Atau karena Shilla yang tak kunjung mengaktifkan ponselnya?
Mungkin jawaban yang kedua yang benar. Karena...mana mungkin dirinya gelisah
karena Febby! Tidak, itu tidak boleh! Ah salah, tidak mungkin! Tapi, kalo
mungkin bagaimana?
Alvin
menghela napas dalam dan menghembuskannya dalam sekali hentakan sambil menutup
mata. Sesaat kemudian ia mengangkat ponselnya dan kembali mendial nomor Shilla.
Kembali mencoba menghubungi gadis itu. Dan ada sebuah kemajuan, panggilannya
kali ini tersambung. Artinya Shilla sudah mengaktifkan ponselnya kembali.
Sedikit kelegaan menjalar di hati Alvin. Gelisah dalam hatinya lenyap seketika.
Tuh kan bener, bukan karena Febby!
***
Shilla
berhenti di taman belakang sekolah, satu-satunya tempat yang sepi di
sekolahnya. Panggilan dari Alvin sampai sekarang belum ia terima. Ia mendadak
tegang dan bingung harus berbicara apa dulu nanti. Sejenak ia mengatur nafas
dan menenangkan diri. Ia kemudian melihat layar ponselnya dimana tertera nama
Alvin disana. Telunjuknya pelan-pelan menekan tombol yes dan..
“Ha—halo?”
Apa suara gue oke? Batin Shilla ngelantur. Efek ketegangan dalam dirinya.
Sementara di seberang sana Alvin berseru lega sekali karena akhirnya ia bisa
kembali berkomunikasi dengan Shilla. Dan ia pun mulai berkata tanpa henti
sebagai pelampiasan rasa cemasnya selama ini pada kekasihnya itu. Sekaligus
rasa rindunya untuk bisa mendengar suara merdu milik Shilla.
“Cantiiiiiiiiik!
Astaga akhirnyaaaa! Akhirnya gue bisa ngomong sama lo! Lo kemana aja beberapa
hari ini? Kenapa gak ngangkat-ngangkat telfon gue sih? Sms, bm, line, DM
semuanya juga gak ada yang lo bales. Hape lo malah sering lo matiin. Lo tau gak
sepuyeng apa gue selama ini mikirin lo? Mikirin gimana caranya supaya bisa
ngubungin lo? Gak bisa tidur nyenyak karena nungguin kapan lo bakal ngubungin
gue? Tiap mili otak gue itu mikirin lo. Tiap jam, tiap menit, tiap detik gue
selalu dihantui sama lo. *peres-_-* Lo tau gak sih cantik? Tau gaaaak? Hh!”
Shilla
sedaritadi hanya diam mendengarkan sambil mengusap-usap telapak kaki kanannya
ke rumput taman tempatnya berada dan berpijak. Ia bingung harus berbicara kapan
karena Alvin tidak memberikannya kesempatan untuk itu. Dan ketika pemuda itu
berhenti, ia pun malah bingung harus menanggapinya bagaimana. Kediamannya itu
lantas membuat Alvin mengira bahwa dirinya sedang tidak ingin berbicara dengan
pemuda itu.
“Halo? Lo
masih disana kan? Atau..gue ganggu ya? Lo lagi gamau ngomong sama gue?” Nada
suara Alvin terdengar sedih.
“Hah?! Masih
kok masih! Enggak kok enggak! Mau, tentu aja mau!” Shilla langsung menyahut
cepat sebelum Alvin salah paham. Meski begitu, rasa grogi dalam dirinya masih
tetap ada. Itu terlihat dari bagaimana ia menjawab. Ia hanya menjawab
pertanyaan Alvin tanpa menambahkan embel-embel apapun atau bertanya balik.
Jawabannya itu pun seadanya. Hanya yang terlintas saat itu di otaknya saja yang
ia utarakan. Kejawab aja udah syukur. Batin Shilla.
Hembusan
napas Alvin terdengar di telinga Shilla. Pemuda itu tampaknya benar-benar
frustasi. “Terus, kenapa lo diem aja daritadi?”
“Lo—lo
ngomong terus sih..” katanya takut-takut. Agak kurang pas sebenarnya. Tapi,
sekali lagi, hanya itu yang muncul di pikirannya. Lagipula, Alvin memang
sebelumnya berbicara tanpa henti, kan?
Hembusan
nafas Alvin terdengar lagi. Dan setelah itu tak ada lagi suara yang keluar.
Alvin sekarang ikut-ikutan diam. Sementara Shilla menggigit jarinya panik. Aduh
kenapa lo ikut-ikutan mingkem sih? Ngomong dong! Ngomong! Pliiiss..
“Vin, lo
ngomong dong..” ujar Shilla tanpa sadar. Ia langsung meringis pelan.
“Gue diem
supaya lo bisa ngomong. Tadi lo bilang lo gak ngomong karena gue ngomong mulu.”
Setelah itu,
hening lagi. Shilla meninju-ninju pelan keningnya sambil berkomat-kamit
‘ngomong dong ngomong dong’ berulang kali.
“Shill..?”
panggil Alvin putus asa.
“Y-ya?”
Shilla kembali menyahut dengan cepat dan singkat. Hal itu justru makin
memperparah kefrustasian Alvin. “Yaudah, gue tutup dulu aja, ntar kalo lo udah
mau ngomong sama gue, telfon gue ya atau sms gue biar gue yang nelfon lo lagi.”
“Enggak!
Jangan! Aduh..jangan ditutup dulu, Vin! Ih gue kan belum puas denger suara lo!”
rutu Shilla spontan. Dan sedetik kemudian nafasnya tercekat. Ia lantas
menyesali ucapannya barusan. Ngomong apa gue barusan?!
Sementara
itu, hawa sejuk seketika berhembus di dalam dada Alvin. Ia hampir saja berseru
bahagia kalau tidak mengingat itu akan merusak momen berharga yang sedaritadi
sangat susah terjadi dan kini sedang terjadi. Daritadi kek! Batin Alvin. “Apa
tadi?” tanyanya seraya menahan senyum geli.
“Tadi—tadi
apaan?” ujar Shilla seraya mondar-mandir tak karuan.
“Yang tadi
lo bilang, lo belum apa?” Alvin tersenyum menang. Kemudi sudah berada di bawah
penguasaannya.
“B—belum
apa? Gue gak ngomong apa-apa.” Dalam hati Shilla terus berdoa agar Alvin
berhenti menodongnya.
Alvin
menarik napas dan menghembusnya pelan. “Yaudah gue tutup deh..”
“IH ALVIN!”
pekik Shilla sekaligus menghentak kakinya karena kesal. Kali ini Alvin tidak
bisa tidak tergelak. Suara tawanya terdengar di kuping Shilla dan membuat
kekesalan gadis itu berlipat ganda. Shilla langsung memutus sambungan secara
sepihak dan memasukkan ponselnya ke kantong. Dan ia tidak akan menjawab
panggilan kembali dari Alvin.
Drrt..drrt..
Seperti yang
ia tekadkan sebelumnya, ia tidak akan menjawab panggilan yang sudah pasti dari
Alvin itu. Beberapa detik ponselnya bergetar dan ia tidak peduli. Namun
tiba-tiba saja wajah Agni dan apa yang gadis itu katakan tentang Alvin muncul
di benaknya. Muka Shilla seketika itu juga berubah panik dan ia buru-buru
menekan yes pada ponselnya.
“Halo?
Halo?”
“Halo? Lo
kenapa?”
“Ha? Kenapa?
Gak kenapa-kenapa!” Shilla menggelengkan kepala tanpa sadar.
“Emm—masalah
berita itu, gue mau jelasin sama lo..”
“Gak usah!
Gak perlu ada penjelasan!” Shilla memotong sebelum Alvin menyelesaikan maksud
perkataannya.
“Kenapa? Lo
marah ya? Apa lo percaya sama berita itu?” nada sedih di suara Alvin terdengar
lagi.
“Enggak kok,
gue gak marah. Yaa..sempet sih hehe,”
“Sempet
gimana maksudnya?” Alvin mengernyit bingung. “Gue sempet marah dan gue sempet
percaya sama berita itu. Tapi karena Agni bilang—emm maksudnya pada akhirnya
gue sadar kalo gue seharusnya percaya sama lo dan ngerti kondisi lo sekarang
kayak apa. Jadi yaa gitu..” Pada akhir ucapannya, suara Shilla melemah.
Dada Alvin
terasa makin sejuk setelah mendengar perkataan Shilla kali ini. “Pas gak
disuruh ngomong lo malah ngomong mulu haha,”
Shilla
merengut sebal. Alvin menyimak ucapannya atau tidak sih? “Ih gue lagi serius
juga! Yaudah telfonnya gue tutup aja!”
“Eee jangan
dong! Iya iya maaf, gue kan cuma becanda. Lo cepat banget sih ngambeknya! Gue
jadi kangen deh,” ujar Alvin dengan senyum simpul.
Sama! Gue
juga kangen sama lo, Vin! Kangen banget! Sahut Shilla dalam hati, tak berani
untuk ia utarakan langsung. Kalo di chat sih berani hehehe..
“Jadi gue
mesti traktir Agni nih?” sambung Alvin. Kening Shilla mengerut tak mengerti.
Kenapa Agni?
“Kok Agni?”
“Gue gak tau
apa yang dia bilang sama lo, tapi karena omongan dia lo bisa percaya lagi sama
gue, iya kan?”
“Eng—hehe
iya sih..” Shilla menjawab malu-malu. “Vin?”
“Hmm?
Kenapa?”
Shilla
menghela nafas sebelum menjawab. “Abis prom sekolah, gue ke bogor ya?”
“Loh kenapa?
Kaki gue 3 hari lagi sembuh kok. Biar gue aja yang nemuin lo di jakarta. Ntar
lo kenapa-kenapa kalo pergi sendirian. Kecapekan juga kalo harus bolak-balik
jakarta-bogor-jakarta.”
“Yaah
bolehin gue dong? Sekali ini aja? Masa lo terus yang nemuin gue? Apalagi kaki
lo baru sembuh. Ya, bolehin gue ya?”
Alvin
menghempas pelan punggungnya pada badan kasur. Berat rasanya membiarkan Shilla
yang pergi menemui dirinya. Ia takut terjadi apa-apa dengan gadis itu. Memang
ucapan Shilla ada benarnya. Tapi tetap saja, kalau terjadi apa-apa dengan
Shilla bagaimana?
“Gak, gue
gak ngijinin lo. Bahaya kalo lo pergi sendirian, Cantik!”
“Pliiiis
Sipit pliiis..” Rengekan Shilla adalah kelemahan terbesar Alvin. Ia tidak akan
bisa menolak kalau gadis itu sudah bersikap seperti itu. Ia diam berpikir
sekali lagi. Dan pada akhirnya..
“Y—yaudah
boleh..” putus Alvin dengan sangat terpaksa. Mata Shilla berbinar mendengar
itu. “Beneran?”
“Pengen gak
beneran nih?”
Shilla
menggeleng cepat. “Enggak! Hehe tengkyu cipiiiit! I do love you! Muah muah!”
Sesaat kemudian ia terdiam. Apa itu tadi yang ia ucapkan? Ngomong apa gueee?!
Alvin..plis...jangan..
“Apa?”
Seratus persen sesuai dugaan dan seratus persen tidak sesuai dengan yang Shilla
harapkan. Alvin pasti akan meledeknya.
“Makasih,
gue bilang makasih.” Jawab Shilla sok polos. “Iya, abis makasih lo bilang apa?”
Shilla merasa bobot tubuhnya menciut. Kenapa Alvin suka sekali memojokkannya,
sih?
“Iss..masa
lo gak denger, sih?” cicit Shilla dengan ekspresi kesal bercampur malu.
“I apa tadi
gak jelas gitu?”
Shilla
merengus. Benar-benar...haruskah ia katakan ulang?
“I—I do..
I..”
“I do..?”
ulang Alvin.
“I do.. I do
aiss..”
“I do apa,
Cantik?”
“IdoloveyouAlvin..”
Shilla berkata cepat sambil menutup mata. Kalau pemuda itu tidak mendengar
juga, kelewatan..
“Kayak ada
yang ketinggalan gitu perasaan gue. Apa ya? Coba deh lo ulang sekali lagi.”
Ujar Alvin pura-pura lupa.
Shilla
berteriak tanpa suara. Ia mengepal kuat tangannya. Rasanya ia ingin menelan
ponsel yang menghubungkannya dengan Alvin saat ini. “I..do..” Sebelum
menyelesaikan kalimatnya, Shilla menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Ia butuh sedikit pemanasan.
“I do love
you Alvin! Muah Muah!”
Klik!
Sambungan terputus. Shilla untuk kedua kalinya memutus panggilan dari Alvin. Ia
memperhatikan layar benda petak di tangannya sesaat. Sejurus kemudian ia
berteriak senang dan berloncatan tak karuan. Disela-sela selebrasi
kegembiraannya itu, ponselnya bergetar. Bukan panggilan, melainkan sebuah pesan
masuk. Tapi berasal dari orang yang sama.
‘Lo pasti
lagi teriak-teriak sambil loncat-loncat seneng karena gue deh;;)’
Shilla
tersipu malu membaca isi pesan dari Alvin itu. Betapa bodoh dirinya disaat ia
tidak percaya dengan pemuda itu. Lo tuh cewek yang beruntung, Shil! Paling
beruntung! Batinnya.
‘Woo
kepedean lo!:p Pit, udah bel masuk nih. Gue belajar dulu ya. Bye sipiit!’
Shilla
langsung memasukkan ponselnya ke kantong dan berlari menuju kelas dengan senyum
mengembang. Alvin benar, ia harus mentraktir Agni. Gadis itu berperan besar
hari ini. Ah ngomong-ngomong, bukannya ia belum sempat berterimakasih tadi? Oh
iya, astagaaa...
Shilla sudah
sampai di kelas dan sudah duduk bersama Agni di sebelahnya serta sudah pula mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya pada gadis itu. Ia memeriksa sebentar
ponselnya dan terdapat dua buah pesan masuk yang belum ia baca.
‘Yadeh
yadeh:p Yaudah, selamat belajar ya, Cantik! Jangan lupa doain gue biar cepet
sembuh dan bisa ikutan belajar kayak lo.’
‘Shill?’
Kening
Shilla berkerut. Tumben sekali Alvin menyebut namanya. Ia menyempatkan membalas
karena guru di kelasnya belum datang.
‘Ya?’
Tak lama
setelah pesan itu terkirim, Alvin menghubungi ponselnya. Kening Shilla makin
berkerut. Meski begitu jempolnya tetap menekan yes menerima panggilan. “Halo,
Vin? Kenapa? Gue gak bisa lama-lama, guru gue ben..”
“I do love
you, Shilla.”
Klik! Alvin
langsung memutus panggilannya. Shilla hanya diam termangu. Rasanya sudah lama
sekali ia tidak mendengar kata-kata seperti itu. Pipinya terasa sedikit
memanas.
‘Shill?’
Alvin mengirim pesan lagi. Dan Shilla pun membalasnya lagi dengan gerakan cepat
karena guru di kelasnya sudah berjalan hingga jendela samping kelas. ‘Kenapa
lagi? Guru gue udah hampir masuk.’
Sama seperti
sebelumnya, Alvin kembali melakukan panggilan ke ponsel Shilla.
“Ha—“ belum
sempat satu kata selesai terucap, Alvin langsung menyalip omongannya. “Muah
muah!”
Klik! Lagi,
Alvin langsung memutus panggilan. Shilla tak tahu lagi pipinya saat ini semerah
apa. Dan ketika gurunya berada di pintu masuk, pesan masuk dari Alvin datang
kembali. Tangan Shilla dengan sendirinya membalas tanpa bisa di cegah.
‘Shill..ada
yang ketinggalan..’
‘Apalagi?
Guru gue udah masuk nih!’
Drrt..drrtt..
Secepat
kilat Shilla menyambar ponselnya. “Apa?”
“Byeee!”
Klik!
Setelah itu tidak ada lagi panggilan. Shilla mau tak mau terkikik geli. Hanya
sebentar karena ia segera sadar sudah ada guru di kelasnya. Meski begitu, ia
merasa sangat bahagia. Semangatnya sudah kembali. It’s the best day eveeer!
Batinnya bernyanyi.
***
Hampir satu
jam lebih Ify menunggu Via dan Gabriel kembali di depan kamar Fira dirawat.
Tapi belum juga batang hidung sepasang manusia itu muncul. Ify menghela
nafasnya kesal. Ia mulai bosan. Kalau tahu begini, lebih baik ia memilih
dihukum Bu Okky saja ketimbang menunggu sendirian seperti orang bodoh begini.
Setidaknya jika terkena hukuman, ia punya sesuatu yang bisa dikerjakan.
Duduk-duduk sambil termenung seperti sekarang jauh lebih melelahkan menurutnya.
Salah satu
tulisan yang tertempel di dinding di dekatnya menyadarkan Ify akan dimana
keberadaannya sekarang. Matanya langsung berbinar cerah. Kenko! Kenapa ia baru
sadar ia sedang ada di dalam rumah sakit Kenko? Rumah sakit yang sama dengan
tempat Ferdi di rawat. Ia menepuk keningnya serta menggerutu kecil. Ia juga
teringat tadi dirinya sempat merasakan kekhawatiran akan papanya itu. Lantas
dicicitnya langkah menjauh dari kamar inap Fira dan berpindah menuju kamar inap
papanya.
Tidak perlu berjalan
jauh karena kamar papanya berada dalam satu kelompok paviliun dengan kamar
Fira. Ia sudah sampai tepat di depan pintu kamar. Pelan-pelan ia memutar kenop
agar suara decitan pintu tidak mengganggu istirahat Ferdi. Siapa tahu saat ini
Ferdi sedang tidur. Ketika sudah terkuak sedikit celah, tiba-tiba Ify merasakan
sebuah telapak tangan mendarat di bahu kirinya. Ada seseorang yang menepuknya
dari belakang. Ah, bukan, dari depan. Atau mungkin juga bisa disebut dari
samping. Terbukti dengan adanya sepasang kaki lain –yang tentu saja bukan
kakinya- berdiri tepat di sampingnya.
Ify menekuri
pandangannya dari bawah ke atas hingga dapat dengan sangat jelas melihat wajah
si pemilik tangan. Kepalanya berjengit kaget mengetahui sosok jangkung yang
berdiri di depannya itu. “T-Tristan?” Pemuda yang menepuknya itu, atau biar
kita sebut Tristan itu tersenyum ramah. “Gue pikir lo lupa sama gue,” ujarnya,
berikut dengan kekehan kecil dari mulutnya. Ify tersenyum canggung, bingung
harus ikut tertawa atau tidak. Tidak terlalu lucu, sih. Pikirnya.
“Ngapain
disini?” Ify menatap Tristan penuh tanya. Tristan tersenyum jahil. “Mau ketemu
lo, kenapa?” katanya kemudian bertanya balik. Ify merasa seseorang menempelkan
penghangat ke pipinya. Tapi, sayangnya, hawa panas itu datang dari dirinya
sendiri. Tristan terkekeh lagi melihat Ify yang salah tingkah. Ify mengerang
dalam hati. Dia sama kayak Rio. Hobby banget godain gue. Isss!
“Becandaaa!”
Tristan meralat sebelum timbul suasana tak enak di antara dirinya dan Ify. Ify
tersenyum tertahan. Lebih tepat dikatakan meringis.
“Nganterin
orangtua gue,” Ify mengangguk tak begitu ingin tahu dan bertanya lagi. Ia sudah
bisa menebak dirinya akan jadi ‘bulan-bulanan’ jika berlama-lama bersama pemuda
itu. “Lo mau masuk?” Kali ini Tristan yang bertanya duluan.
Ify hanya
mengangguk sambil tersenyum menggantikan kata permisi. Ia kemudian melangkah
masuk melalui pintu yang sudah ia buka tadi. Dan yang mengherankan, dengan
santai Tristan ikut-ikutan masuk mengekornya dari belakang. Lama-lama kesal
juga dengan pemuda itu. Apa belum puas dengan menggodanya tadi? Sekarang mau
mengintilinya kemana-mana begitu?
“Kok
berenti?” tanya Tristan sama-sama bingung. Ify mengernyit ke arahnya. “Lo
ngapain ngikutin gue?”
Tristan
menggaruk bagian belakang daun telinga kirinya dengan telunjuk. Wajahnya
mengisyaratkan ekspresi ketidakmengertian. “Mau nemuin orangtua gue lah,”
Ify
mendengus. Alasan yang kurang kreatif. Sangat tidak kreatif malah. “Tapi ini
kamar rawat inap Papa gue. Emang lo punya papa yang sama dengan gue?”
Tristan
melongo kaget. “Jadi yang dirawat disini Papa lo? Om Ferdi itu Papa lo?” Tanya
Tristan tak sabaran.
Ify
ikut-ikutan kaget. Darimana dia tau nama papa gue? “Iya..k-kok lo tau nama Papa
gue?” Ify menjawab ragu. Tapi sedetik kemudian matanya membelalak. “Lo beneran
ngintilin gue? Sampe nyari tau tentang Papa gue?” Ify nyaris saja berteriak.
Tristan belum sempat menjawab apapun karena dari pintu di belakangnya yang
masih terbuka muncul seorang wanita cantik dan langsung tersenyum gembira melihat
mereka berdua.
“Ify?”
“Y-ya?”
“Mama?”
Ketiganya
menyapa bersamaan lalu kemudian menatap bingung satu sama lain. Yang paling
bingung tentu saja adalah Ify. Tadi anaknya tau nama papa gue, sekarang mama
nya juga tau nama gue. Jangan-jangan Papanya tau nama mama gue. Mereka pada
bagi-bagi tugas buat stalking keluarga gue apa ya?
Wanita yang
dipanggil Tristan Mama itu kemudian tertawa sekilas. “Kita kompak banget, deh!”
Ify makin tidak mengerti apa yang kini terjadi di depannya. Tapi kalau diperhatikan,
Ify seperti mengenal wajah dari wanita itu. Dia..
“Kamu udah
lama dateng, Fy?” tanya wanita itu memecah konsentrasi Ify. Ify mengangguk
sembari tersenyum sekilas. Mata wanita itu beralih menatap Tristan dengan
kening berkerut. “Kamu juga, mama keliling-keliling di parkiran taunya kamu
disini. Kenapa gak ngangkat telepon Mama?” Tristan balas nyengir sebelum
berkata banyak padanya mamanya. “Hape Tristan ketinggalan di mobil kayaknya,
Ma. Lagian, Mama make nyusul ke parkiran segala. Tristan gabakalan nyasar kok!”
Wanita itu hanya geleng-geleng kepala heran.
Seperti tuan
rumah, wanita sekaligus Mama Tristan tadi mengajak masuk Ify dan tentunya
Tristan. Ferdi terlihat bersandar pada bantal sambil tergelak bersama seorang
laki-laki seumurannya. Sepertinya mereka baru saja memperbincangkan hal yang
lucu dan juga menyenangkan. Ferdi menoleh pada mereka yang baru saja datang. Ia
agak kaget dengan kedatangan Ify apalagi bersamaan dengan datangnya Tristan. Ia
dapat menangkap hawa-hawa kebingungan di wajah Ify. “Kamu kenapa, Fy?” tanya
Ferdi langsung tanpa menyambut Ify terlebih dahulu.
Ify mencicit
langkah mendekat ke samping Ferdi sambil menggaruk-garuk pelipisnya. Ia
menjawab lewat tatapan mata kebingungan ketika menatap Tristan dan mamanya
serta seorang laki-laki yang bisa jadi adalah Papa Tristan.
“Oh, ini
Ify? Wah udah nambah tinggi ya sekarang!” Kata laki-laki tadi dengan wajah
sumringah. Ify hanya tersenyum dan mengangguk. Ia digerogoti rasa grogi karena
laki-laki itu dan juga wanita tadi, semuanya sepertinya mengenal dirinya
sementara ia sendiri tidak tahu mengenai orang-orang di depannya ini. Mungkin
juga ia lupa bukannya tidak tahu. Ia hanya bisa mengenal wajah mereka saja.
Itupun hanya wajah wanita dan laki-laki itu, tidak dengan wajah Tristan. Ia sama
sekali asing dengan pemuda itu.
“Kalo aja
kamu belum dijodohin, Tristan udah Tante suruh pedekate sama kamu.” Wanita tadi
ikut berbicara dan membuat semua yang ada disana tertawa. Kecuali Ify. Ify
merasa pipinya memanas kembali. Sumpah, siapapun yang menempelkan pemanas itu
ke pipinya, akan ia cabik-cabik dengan tusuk gigi nanti!
“Ify kan
anaknya manis Pa, mana mau lah sama Tristan yang begajulan gini.” Tristan
menyahut ringan. Senyuman Ify makin kaku. Ia menunduk sebentar menyembunyikan
bercak-bercak merah jambu di wajahnya.
“Kamu lupa
sama kita ya Fy?” tanya laki-laki itu lagi karena melihat gerak-gerik Ify yang
tidak tampak menyatu dengan suasana di antara mereka. Ify tersenyum lagi. Kali
ini senyum merasa bersalah. Sementara itu, Tristan terlihat memperhatikan
dengan jeli lekuk-lekuk wajah Ify sambil menebak-nebak ‘siapa’ gadis itu.
Karena jika kedua orangtuanya mengenal Ify dengan baik, ia harusnya juga
seperti itu, kan?
“Ini Om Adi
sama Tante Sofi, yang dulu tinggal di sebelah rumah kita itu.” Ferdi
mengenalkan sekaligus berusaha membuat Ify ingat kembali pada Adi dan Sofi,
laki-laki yang tadi tergelak bersamanya dan wanita yang bertemu dengan Ify di
depan pintu. Kepala Ify masih berusaha berkenalan ulang dengan nama-nama yang
barusan disebutkan papanya. Tapi, sepertinya, hal itu belum cukup berhasil
membuatnya teringat sepenuhnya tentang Adi, Sofi apalagi Tristan.
*sorryyanamamamanyadiganti,abismemesbacanyagaenak-_-vvv*
“Kamu juga
gak ingat sama anak Tante ini, Fy? Bener-bener gak ngenalin muka jelek dia?
Kamu juga, Tristan, gak ingat siapa Ify?”
Mata Ify
bergantian memandang Sofi lalu kemudian Tristan. Memperhatikan wajah itu
lekat-lekat. Mencoba menebak-nebak kira-kira siapa pemuda di sampingnya itu.
“Gak usah dipandang segitunya, kali, Fy! Ntar lo kecanduan!” Tristan berkata
jahil. Tak ayal semua yang ada disana sekali lagi tertawa geli. Sekali lagi,
kecuali Ify. Bibirnya mengerucut kesal karena sudah keberapa kalinya Tristan
berhasil menjadikannya lelucon. Lebih parah karena sekarang pemuda itu
melakukannya di depan Ferdi dan kedua orangtuanya. Ify langsung menginjak keras
kaki Tristan yang tak berada jauh dari kakinya. Kebetulan karena bagian kaki
tidak terlihat jadi ia tidak akan dianggap tidak sopan oleh orang-orang di
sekitarnya.
Tristan mengerang
kesakitan karena Ify mengerahkan seluruh tenaganya untuk menginjak kakinya.
Tapi, sesaat ia terdiam. Seperti baru teringat atau mungkin menyadari sesuatu.
“Lo..” Kata-katanya menggantung dan juga ragu-ragu. Ia memperhatikan wajah Ify
untuk terakhir kali. Sejurus kemudian matanya terbuka lebih lebar seperti baru
saja mendapat kabar yang membahagiakan. “Lo! Iya, lo!” Telunjuk Tristan dengan
semangat menunjuk-nunjuk ke arah Ify. Sementara Ify, matanya berkedip dengan
cepat beberapa kali karena kaget dengan Tristan yang tiba-tiba histeris.
Tanpa
terlebih dulu pamit, Tristan langsung begitu saja menarik Ify keluar
bersamanya. Ada raut tidak senang bahkan sangat tidak menyenangkan di wajah
Ify. Apalagi yang ingin dilakukan pemuda ini setelah habis-habisan menggodanya?
Dan, ngapain lagi gue ditarik-tarik? Emang gue kambing? Seenaknya aja!
***
Brak!
Rio menaruh
kaleng cat yang sudah tak berisi. Nafasnya naik turun karena lelah. Kalau ia
seorang petani, ia sudah panen banyak hari ini. Peluhnya yang sebesar biji
jagung tak dapat lagi ia hitung sudah berapa butir yang keluar. Belum lagi
tambahan tetesan cat yang tak hanya menghiasi dinding tapi juga menghiasi wajah
tampannya. “Perjuangan..” lirihnya, disisa-sisa tenaga yang ada untuk sekedar
menciptakan suara. Sisa-sisa itu masih sangat dibutuhkannya untuk menjalankan
hukuman kedua. Siapa tahu masih ada yang ketiga atau bahkan kesepuluh.
“Sss..” Rio
memijat keningnya yang nyut-nyutan. Memikirkan masih banyak lagi ide untuk
menghukumnya di kepala Bu Okky langsung membuatnya migrain. Ia sejenak diam
memeriksa sekelilingnya. Semuanya sudah rapi, sudah bersih dan ruangan sudah
tampak baru. Ia bersumpah, jika suatu waktu melihat ada orang yang merusak atau
mengotori gudang ini, tak segan-segan ia pancung saat itu juga. Seluruh kerja
kerasnya ia kerahkan disini.
Rio keluar
dari gudang dengan bentuk sudah tidak karuan. Meski begitu, masih ada juga yang
terpesona akan penampilannya saat ini. Mereka bilang saat ini ia terlihat
seksi. Seksi macam apa? Rio tak habis pikir. Ada yang berteriak histeris, ada
yang terdiam di tempat bahkan ada pemuda sampai menggigit punggung tangan
gadisnya yang sedang ia pegang. Sang gadis langsung menyumpalnya dengan sepatu.
Rio merasakan bulu kuduk di lehernya berdiri. Baru kali ini ia bertemu yang
seperti itu. Masa sih yang kayak gitu fans gue juga? Batinnya bergidik ngeri.
Rio
mempercepat langkahnya ke ruang guru menuju meja ibu paling ‘baik hati’ dan
paling ‘pintar’ di sekolah ini. Bu Okky. Kelewat baik sampe bikin gue gak napak
gini! Hati kecil Rio menyahut jengkel. Mau tak mau ia memasang senyum termanis
yang ia bisa pada Bu Okky. Semoga saja Bu Okky sama terpesonanya dengan
orang-orang yang ia temui di luar sana tadi. Tapi, sepertinya itu tidak
mungkin. Sudah pasti tidak mungkin.
“Sudah
selesai?” Tanya Bu Okky ramah. Mengejek kalau ditelinga Rio.
“Sudah, Bu.”
Jawab Rio lemah. Bu Okky mengeluarkan senyum menyebalkannya lagi. Dalam hati
Rio melengos. Ini namanya polusi mata! “Kamu kayaknya semangat banget!” katanya
tiba-tiba menyeringai. Muka Rio langsung berekspresi yang susah ditentukan.
Muka udah kayak orang sakaratul maut gini dibilang semangat? Emang bener-bener
‘pinter’, deh. Salut gue salut!
“Bagus-bagus
kalo kamu semangat. Saya juga jadi semangat ngasih hukuman buat kamu!” Seringaian
Bu Okky kembali merecoki isi telinga Rio. Ia hanya bisa meringis dalam hati.
Semakin meringis maka semakin semangat dirinya di mata Bu Okky. “Hukuman saya
yang kedua apa, Bu?” tanya Rio yang sudah tidak tahan berlama-lama bersama Bu
Okky. Bu Okky tersenyum girang. “Tuh, kan, bener! Udah gak sabar banget ya Ibu
hukum?” ujar Bu Okky yang langsung membuat Rio menyesal telah buka suara. Salah
lagi. Batinnya miris.
“Oke-oke!
Hukuman kamu selanjutnya, bersihkan seluruh kamar mandi di sekolah ini. Kuras
bak nya satu per satu. Lantainya harus kamu pel sampe wangi. Bagian dalam
klosetnya juga jangan lupa di bersihkan. Mengerti?”
Glek!
Rio menegut
ludahnya sekali banyak. Apa tadi hukumannya? Ia bahkan lupa karena Bu Okky
berkata tanpa mengenal fungsi titik koma. Bunuh aja gue sekarang! Bunuh!!
“Baik, Bu!”
Rio menjawab kalem.
***
Ify
menyentak tangannya yang ditarik begitu saja oleh Tristan. Mukanya sudah
benar-benar masam karena menghadapi kelakuan pemuda yang satu ini. “Injekan gue
kurang keras ya? Apa lo kecanduan?” cerocos Ify sambil berkacak pinggang.
Tristan nyengir tanpa ada rasa takut sedikitpun di wajahnya. “Lo masih aja suka
nginjek kaki gue, Al!” Alisnya bertaut menunggu Ify mengingat siapa dirinya.
Ify termangu
mendengar nama panggilan yang disebut Tristan untuknya. Sudah lama ia tidak
mendengar orang memanggilnya dengan panggilan itu. Tak sabar menunggu, Tristan
kemudian menarik hidung Ify sampai terlihat memerah. Ify terkesiap sampai tidak
sanggup berteriak apalagi membalas. “Masih belum inget juga?” Nada suara
Tristan agak putus asa kali ini. Kesal juga karena Ify sudah melupakannya. Tapi
kemudian kesalnya itu lenyap ketika sebuah senyum girang berkembang di wajah
Ify. “Kak Tatan?!” Seru Ify masih belum percaya.
Meski kurang
srek dengan panggilan Ify, tapi ia turut tersenyum senang. Setidaknya Ify masih
mengingatnya. Awas saja kalau lupa! Kejam sekali jika Ify melupakan begitu saja
orang yang dulu tanpa jijik mengelap ingusnya yang berceceran kemana-mana di
wajahnya. Yang menggendongnya ketika terpeleset di tanah. Menjadi kuda saat
gadis itu ingin bermain kuda-kudaan. Menjadi model untuk gadis itu rias.
Menyuapinya makan ketika sakit. Menepuk-nepuk pantatnya agar segera tidur. Dan
yang terpenting, memeluknya ketika menangis, ketika mamanya membuka mata untuk
yang terakhir kali.
Ah, Tristan
merasa sesuatu yang hangat menjalari dalam dadanya ketika mengingat masa-masa
kecilnya bersama Ify, adik kesayangannya. Kalau saja ia perempuan, ia pasti
sudah menangis sekarang. “Kok masih manggil Tatan, sih? Lo kan udah bisa nyebut
huruf r, Fy. Ganti kek sama yang agak kerenan dikit!” Tristan merutu pura-pura
kesal. Ify tertawa tak peduli dan langsung memeluk pemuda itu erat. Ia
meloncat-loncat senang dalam pelukannya. “Aaaaa gue kangen banget sama lo, Kak!
Yaampun seneng gue! Seneng banget! Banget banget banget!” Tangan Tristan
tergerak membalas pelukan adiknya yang baru ditemuinya itu.
*matiloRiodordordor!*
“Gue ngerasa
kayak Iqbal coboy junior, deh. Hahaha,”
Ify bergerak
mundur serta melepas pelukannya. Matanya memicing dengan lidahnya berdecak
heran. “Narsis lo gak berkurang-kurang ya, ckckck..” ujar Ify seraya
geleng-geleng kepala. “Tapi, gue lebih seneng ketemu lo daripada Iqbal coboy
junior! Hahaha” Ify memeluk Tristan kembali. Sementara Tristan mengelus atau
lebih tepatnya mengacak pelan bagian belakang kepala Ify. “Anak pintar!”
Ify akhirnya
benar-benar melepas pelukannya. Ia kembali menatap Tristan. Kali ini dengan
tatapan misterius. “Seseorang harus traktir gue makan siang..” Sebelah alis
Tristan naik dan wajahnya tampak bingung. Namun, kemudian ia mengerti akan
maksud Ify. “Oke! Kebetulan gue laper dan belum makan siang.” Ify mengepal
tangannya dan berseru senang. Setelah pamit pada Adi, Sofi dan tentunya Ferdi,
mereka kemudian beranjak dari rumah sakit menuju ke suatu tempat dimana mereka
bisa melaksanakan makan siang sekaligus temu kangen.
“Jadi kita
mau kemana?” Ify bertanya setelah selesai memasang seatbelt dan menoleh pada
Tristan. Tristan melirik sekilas sambil memegang stir mobilnya dan tersenyum.
“Apartemen gue.”
“Apartemen?”
***
“Jadi
apartemen ini yang menjadi dinding pemisah antara kita berdua?” Ify bertanya
sambil memperhatikan isi apartemen milik Tristan sementara pemuda itu
menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Tristan menoleh dan tertawa kecil.
“Apasih bahasa lo lebay! Haha,” Ujarnya sambil tersenyum geli.
“Lo gak
tinggal dengan Om Adi sama Tante Sofi, Kak?”
“Dulu bokap
gue suka pindah-pindah dinas. Gue males kalo harus ikut-ikutan pindah-pindah
juga. Jadinya gue milih tinggal di Jakarta, biar bokap sama nyokap gue aja yang
pindah-pindah. Meskipun gue hampir gak pernah ngerasa tinggal jauh dari
orangtua gue karena mereka terutama nyokap gue sebulan sekali jenguk gue.
Padahal kita udah skype-an tiap minggu. Kadang-kadang bingung juga gue.”
Ify
tersenyum lirih. Kalau seandainya Mamanya masih hidup pasti akan melakukan hal
seperti itu juga, kan? “Namanya juga ibu, Kak. Rasa cemas dia itu bahkan lebih
super-super-duper tinggi. Gue pengen deh ngerasain kayak lo.”
“Haisss gue
gak mau sedih-sedihan sekarang. Nih, mendingan lo cobain masakan gue. Spesial
buat lo sebagai hadiah pertemuan kembali kita berdua.” Tristan langsung
meletakkan semua masakannya di atas meja makan. Ada tiga jenis masakan dan
semuanya berbahan dasar ikan. Ify yang tadinya bersendu ria langsung
membelalakkan mata melihat makanan-makanan yang rupa maupun aroma terasa sangat
lezat. Ify dengan cepat menarik kursi dan duduk. Ia dengan cepat menusuk ikan
panggang dengan garpu dan memindahkannya ke piringnya.
“Lo masih ingat
aja kalo gue suka ikan bakar, Kak.” Ujar Ify disela-sela kegiatan mencomot
daging ikan bakar miliknya. “Ya iyalah, awal kita temenan kan karena ayam
bakar. Waktu gue makan malam di rumah lo dan lo mewek karena gak kebagian ikan
bakar. Terus lo mau aja gue kasih sisa ikan gue.” Tristan mencomot ikan saus
nya seraya tertawa geli. Begitu juga dengan Ify. Mereka lantas melanjutkan
bernostalgia sampai suatu ketika mereka masuk ke topik..
“So, pacar
lo sekarang siapa, Fy?” Ify menelan makanan yang ada di mulutnya seraya
memilah-milah kata yang tepat untuk menjawab. “Hampir, tapi gatau deh ujungnya
bakal jadi atau enggak.”
Tristan
mengernyit penasaran. “Lo ngarep ditembak ceritanya?” ujarnya yang terdengar
meledek di telinga Ify. “Hih gak dibilang ngarep juga kali, Kak! Sedih banget
kesannya.”
Tristan
tertawa geli. “Trus, apa dong istilahnya?”
“Entahlah.
Lagian gue juga gak yakin dia suka sama gue atau enggak.”
“Loh? Jadi
lo cuma di friendzone-in? Mau maunya!” Tristan berkata sambil menggelengkan
kepala beberapa kali. “Ya namanya perasaan udah ketanem, kerjaan cuma ng-iyain
aja. Ibaratnya bayi dikasih apa aja nurut.”
“Iya, pas
udah ngerasain dan gaenak bisanya nangis doang, kan?” sahut Tristan
“Ya kalo
gaenak masa ketawa? Lo bukan cewek sih jadi ga ngerti.” Balas Ify.
“Hhh andalan
banget cewek bilang ‘lo bukan cewek sih’. Yadeh yadeh!” Tristan mengedikkan
bahu mengalah.
“Lo sendiri
udah punya pacar?” Ify menatap Tristan sambil meminum seteguk air putih dalam
gelas yang dipegangnya. “Belom, gue susah kalo mau pacaran.”
“Bilang aja
gaada yang mau sama lo.” Ledek Ify. Tristan menyungging senyum tipis. “Lo belum
tau pesona gue aja. Ntar juga lo kesemsem.”
“Ih, pede
banget lo, amit-amit!” Ify mengetuk jidatnya lalu mengetuk meja beberapa kali.
“Gue serius, Kak. Lo beneran belum punya pacar?” sambungnya.
“Beneran.
Yang suka sama gue banyak banget, sih. Jadinya gue susah buat milih. Otomatis
gue jadi susah buat pacaran.” Ujar Tristan santai dengan tingkat kenarsisan
akut dalam dirinya. Ify langsung menepuk kening dengan kedua tangan. “Sumpah
demi apapun lo narsis banget sih, Kak. Astagaaa!”
***
Shsh..shsh..shsh..
Suara
gesekan bros dengan lantai serta dinding-dinding toilet menjadi nada penghibur
Rio siang ini. Disaat semua siswa seharusnya sudah bersantai ria di rumah, ia
malah asyik ‘bermesraan’ dengan ruang beraroma aneka ragam di tempatnya
sekarang. Toilet wanita keadaannya lebih manusiawi sehingga pekerjaannya
lumayan terkurangi dan ia tidak butuh waktu banyak untuk membersihkan. Tapi
tidak dengan toilet laki-laki di bagian paling belakang sekolah. Keadaannya
sungguh menyedihkan. Banyak ampas rokok berserakan dimana-mana. Belum lagi bau
pesing yang nyaris membakar bulu hidung. Benar-benar menguras tenaga sekaligus
emosi.
“Lo—liat
perju—angan—gue, Fy? Hhhh..” Rio bergumam sendiri seolah-olah Ify berdiri di
sampingnya. Tangannya dengan semangat membara menggosok badan wastafel di
depannya. Bagaimanapun amburadulnya, Rio tetap harus segera menyelesaikan
hukumannya ini. Selain tidak tahan karena pengap –meskipun ruangannya sekarang
tidak kekurangan ventilasi udara–, ia juga –tak biasanya– ingin cepat-cepat
bertemu Ify. Apalagi ia tadi sudah berjanji untuk menjemput gadis itu di rumah
sakit. Ia sudah tidak tahan untuk segera bertemu dengan gadis itu. Mungkin karena
semalam gadis itu mendadak irit bicara atau mungkin juga marah padanya.
“Kakak
ngomong sama siapa?”
Rio spontan
menatap cermin dan hampir terjungkang karena kaget. Tiba-tiba Dea sudah berdiri
bersandar di dinding di belakangnya. Rio hampir mengira gadis itu adalah hantu
toilet karena muncul secara misterius. Tanpa tanda-tanda sedikitpun. Atau
mungkin Rio yang terlalu fokus sehingga tidak menyadari kapan Dea melangkah
masuk dan berdiri di belakangnya. Tapi, Dea memang cukup membuat ngeri, sih.
Dea melipat
kedua tangannya di dada dan memandangnya datar. Rio kemudian menoleh pada gadis
itu setelah yakin bahwa gadis itu benar-benar Dea dan bukan hantu. “Kamu
ngagetin Kakak aja!”
Dea hanya
diam, masih dengan pandangan datarnya pada Rio. Ia lalu menurunkan tangannya
dan berjalan mendekat ke sebelah Rio berdiri. Karena tidak ada tanda-tanda Dea
akan mengajaknya bicara lagi, Rio kemudian kembali pada kegiatannya sebelumnya.
Tapi, sekarang ia beralih mengelap kaca. Ia melirik Dea sekilas yang tampak
tenang dengan telunjuk bergerak seperti menulis-nulis di meja keramik wastafel.
Kepalanya menunduk dan ada senyum tipis mengembang di bibirnya. Rio lumayan
bingung karena Dea tiba-tiba diam seperti itu. Tapi, ia segera mengalihkan
fokus kembali membersihkan kaca. Untuk saat ini, ia tidak bisa banyak
meluangkan waktu untuk gadis itu.
“Aku denger
tadi kakak nyebut-nyebut kakFy,” ujar Dea masih menunduk. Masih dengan
kegiatannya. Ekspresi wajahnya juga tak berubah. Rio berhenti sebentar lalu
mengelap lagi. Sama-sama tak menoleh dan tetap pada fokus masing-masing. “Aku
perhatiin sekarang kakYo sering sama-sama kakFy,” kata Dea lagi tetap dengan
ekspresi yang sama. Kali ini Rio benar-benar berhenti dan menoleh pada Dea.
Kebetulan juga seluruh bagian kaca sudah di lap. Hanya sebentar. Ia memutar
keran wastafel dan mencuci kain yang ia gunakan untuk mengelap.
“Kakak
dengerin aku ngomong gak, sih?” gerutu Dea yang merasa tidak diperhatikan. Kali
ini ia menatap lawan bicaranya itu. Rio menoleh sekilas lalu menatap kain lap
yang belum sempurna bersih di tangannya. “Denger,” jawab Rio sekenanya dan
langsung mendapat cibiran dari Dea. “Terus kenapa diem aja?” Dumel gadis itu
seraya berkacak pinggang menatap Rio dari cermin. Rio sedikit merunduk sambil
menggaruk keningnya dengan kuku telunjuk. “Kamu kan gak lagi nanya sesuatu. Gak
ada yang mesti dijawab, kan?”
Dea memutar
tubuhnya menghadap Rio dan menyenderkan sebelah pinggangnya pada bibir meja
wastafel. Ia menatap Rio cemberut sementara Rio balas menatapnya dengan senyum
polos. Dea lalu melengos dan melipat kedua tangannya di depan dada. Rio
sepertinya tidak peduli. Ia mengambil sikat yang ia gunakan tadi dan
berjongkok. Ia memulai melanjutkan lagi tugasnya, kali ini membersihkan lantai.
Dea menjauh sedikit dari Rio dan kemudian mengambil posisi tubuh yang sama. Tak
enak, kan, kalau nanti ia berbicara dengan Rio, dimana dirinya berdiri dan
pemuda itu berjongkok? *emmadabahasayanglebihenakgaksih?*
Dea memeluk
lututnya sambil memperhatikan Rio bekerja. Sekalipun pemuda itu tidak tampak
menoleh ke arahnya. Meliriknya pun tidak. “Kakak mau makan? Biar aku beliin,”
tawarnya memecah kesunyian. Tangan Rio berhenti sebentar lalu bergerak kembali.
Kepalanya terangkat menoleh pada Dea. “Kamu—nawarin kakak makan—di-sini?” ujar
Rio tak yakin sambil terkikik. Dea menggaruk lengannya seraya tersenyum malu.
Benar juga! Siapa yang selera ditawari makan di dalam toilet, yang sejorok ini?
Suasana
hening kembali. Tidak sepenuhnya memang karena masih ada bunyi gesekan bros
dengan lantai. Dea tak lagi menatap Rio. Matanya beralih pada bros yang
bergoyang-goyang di tangan Rio. “Kapan KakYo ngejauh dari KakFy?” Kali ini,
tangan Rio benar-benar berhenti. Ia menatap Dea dengan kening berkerut-kerut,
tak mengerti maksud perkataan atau mungkin pertanyaan gadis itu barusan. Dea
tetap memusatkan pandangan pada bros di tangan Rio. “Katanya KakFy dititipin ke
KakYo cuma sebentar. Sekarang namanya udah kelamaan, bukan sebentar lagi!”
Rio
tiba-tiba merasa suhu di dalam toilet tempatnya berada menurun. Tubuhnya mendadak
dingin. Ucapan Dea barusan terasa seperti kumpulan salju yang kompak
mengerubunginya. Lebih baik tadi ia mengiyakan saja tawaran makan dari gadis
itu. “Kakak—gak ngerti maksud kamu..” elak Rio. Ia berdoa dalam hati semoga
saja Dea cepat-cepat melupakan topik pembicaraan antara mereka saat ini. Dea
menghela nafas dan tersenyum ringan pada Rio. “Gak jadi, deh,” Kali ini ucapan
Dea terasa seperti sinar matahari yang berhasil menyelamatkannya dari
kedinginan bahkan kebekuan. Rio ikut tersenyum sekaligus menghela nafas lega
karena Dea tidak mendesaknya.
“KakYo suka
ya sama KakFy?” Tiba-tiba Dea bertanya lagi dengan mata memicing sambil
mengarahkan telunjuknya ke wajah Rio.
Rio membisu.
Ia bisa menjawab, sih, sebenarnya. Cuma, yaaah ia akui ia masih menyimpan rasa
–yang sebesar apa sekarang ia tidak tahu- pada Acha. Sama hal nya dengan Ify.
Saat ini, ia masih dalam tahap penentuan hati. Apabila akhirnya nanti dirinya
ternyata memang tidak bisa berpaling dari Acha dan memilih gadis itu, ia tidak
akan mendapat ganjalan dari Dea yang bisa saja memblacklistnya karena
mengetahui dirinya sempat menyukai gadis lain. Disaat-saat sekarang, ia harus
lebih banyak cari aman. Egois memang, tapi ya mau bagaimana lagi? *nyiletRio*
Rio
menyunggingkan senyumnya kembali. Tak ayal, Dea menatapnya bingung. Senyumnya
bukanlah jawaban yang gadis itu harapkan. Namun, sama seperti sebelumnya, Dea
tidak bertanya lebih lanjut untuk mengetahui masa depan (?) pertanyaannya. Ada
kemungkinan ia akan bertanya hal yang lain lagi. Dan benar saja, selang
beberapa detik, dari bibir mungilnya kembali keluar pertanyaan yang tak kalah
memusingkan bagi Rio.
“Kalo nanti
KakCha udah balik, KakYo bakal milih siapa, dong? KakCha atau KakFy?” Dea
menatap Rio penuh harap. Rio menelan ludahnya getir. Ia merasa tubuhnya
berkeringat. Sinar matahari itu menghangatkannya dengan suhu tak terkendali.
Terlalu hangat bahkan sangat panas. Rio tidak mungkin menjawab pertanyaan Dea.
Bukan tidak mungkin, akan tetapi belum bisa. Ia cepat-cepat mengalihkan
pandangan pada bros di tangannya.
“Em—De, maaf
ya, kakak gak punya banyak waktu buat ngomong...” katanya tersenyum kaku.
Sepintas terlihat seperti memohon. Ia mengangkat bros di tangannya untuk
memperjelas maksudnya. Dea lantas mendengus kesal. Ada yang aneh dengan Rio
menurutnya. “Kakak buru-buru gitu mau kemana emangnya?”
“Kakak mesti
jalanan hukuman lagi abis ini. Abis itu kakak mau jemput Kak Ify di rumah
sakit.”
Mendengar
nama Ify, Dea menjadi bertambah jengkel. “Jadi semuanya gara-gara KakFy? Kakak
mau-maunya deh dijadiin supir sama KakFy. KakFy kan punya mobil sendiri dan
pastinya bisa pulang sendiri atau gak pulang sama orang lain kan bisa. Gak
harus sama Kakak. KakFy ngerepotin Kakak terus ih! Aku denger dari temen
sekelas kakak, kakak dihukum juga karena KakFy. Bener, kan? Beneran deh, aku
mulai kesel sama KakFy.”
“Bukan gitu,
De..”
“Udah gak
usah dijawab kalo isinya cuma pembelaan buat KakFy.” Dea memotong sebelum Rio
panjang berbicara. Rio menghela nafas berat dan memilih menurut untuk tidak
menjawab. Ia mempercepat tempo kerjanya. Ia makin tidak betah berlama-lama
disini. Dan sejujurnya ia pun tidak betah bersama Dea lebih lama lagi untuk
sekarang. Tapi, ia juga merasa bersalah baik pada Dea maupun Ify. Karena
dirinya, Ify seringkali tidak nyaman dengan kehadiran Dea. Gadis itu juga
banyak merana akibat dirinya dan Dea. Begitu pula sebaliknya, karena dirinya,
Dea sekarang menjadi tidak suka pada Ify. Ia tidak tahu sampai kapan Dea
bersikap seperti itu. Apa selanjutnya akan baik-baik saja?
“Kak, tau
gak sih..” Dea menggantung ucapannya, memancing Rio agar kembali mau diajak
bicara. Sementara Rio hanya menatapnya bingung tanpa bertanya.
“Apa yang
KakYo lakuin ini sia-sia..” Kembali, Dea menggantung ucapannya lagi. Dan Rio
pun kelihatan sudah tidak tahan untuk bertanya langsung. “Kamu mau ngomong apa
sebenernya?”
Dea
tersenyum menang. Pikirannya kini tengah membayangkan sebuah peristiwa
menyenangkan yang akan segera terjadi. “KakFy itu udah pulang dari rumah
sakit.” Rio berjengit. Apa Gabriel sudah kembali bersama Via dan Ify? Ya,
mungkin pemuda itu yang mengantar Ify kembali ke sekolah.
“Tadi dia
dateng sama Kak Tristan.” Seketika itu pula, tangan Rio kaku. Firasatnya
mengatakan hal buruk akan terjadi.
“Itu loh,
yang ngelatih kita buat prom. Eh KakYo inget gak, pas kita latihan kemaren itu
Kak Tristan juga nyapa KakFy kan? Kek nya mereka berdua udah kenal lama deh.
Deket juga keliatannya. Aku curiga ada sesuatu di antara mereka berdua. Apa
jangan-jangan Kak Tristan itu mantan nya kakFy? Atau..”
“De, kakak
laper.” Rio berkata dingin. Jika tidak segera dihentikan, Rio akan mendengarkan
lebih banyak dugaan-dugaan yang tidak ingin ia dengar dari mulut Dea. Sementara
Dea melebarkan senyumnya dan dengan senang hati menjauh dari Rio saat itu juga.
“Aku beli makanan dulu ya!” ujarnya sebelum pergi.
Rio
menghembus keras nafasnya ketika Dea sudah tidak lagi ada bersamanya. Matanya
lalu jatuh pada bros yang ia gunakan. Ia langsung menggosok dengan sangat keras
benda itu ke lantai. Menahan kekesalan yang sedang meluap dalam dirinya.
“I—FY.”
***
“Kemana aja
lo?”
Kini tengah
berdiri berhadapan seorang gadis yang melipat kedua tangannya di depan dada dan
seorang pemuda yang menyelipkan tangannya ke saku celana. Gadis itu menatap si
pemuda sementara si pemuda memilih menatap ke arah lain.
“Dari
toilet.” Gadis itu tahu dan pemuda itu pun tahu kalau bukan untuk hal itu yang
ia maksud. “Karena lo rencana gue ketunda lama kayak gini tau gak?!” Gadis itu
menatap sebal si pemuda sementara si pemuda hanya bersikap acuh tak acuh. “Kalo
lo gak suka, lo bisa ‘minta tolong’ sama orang lain.” Sahut pemuda itu seraya
hendak beranjak pergi. Gadis tadi memutar kedua bola matanya sambil merengus
pelan. Ia segera menghalau pemuda itu sebelum benar-benar pergi.
“Okay, okay!
Kita lupain masalah itu. Sekarang yang lebih penting, lo in atau out?”
Pemuda tadi
tampak bergeming sesaat lalu menghela nafas. “I’m in.”
*CaelahberasapelemactionajayakhahahahaXD*
Si gadis
langsung tersenyum gembira mengetahui pemuda itu mau bergabung dengannya. Hari
ini memang hari paling beruntung untuknya. Rencananya sudah menemukan titik
temu. Sudah ada jalan untuk bisa memulai itu semua. Apalagi dengan kemunculan
kembali pemuda di hadapannya yang langsung ingin bergabung bersamanya.
“Apa lo udah
dapetin caranya?” Kali ini pemuda itu mau menatap si gadis. Si gadis mengangguk
yakin. “Udah. Tuhan udah ngasih jalannya untuk gue, untuk kita juga.”
“Hh, emang
Tuhan juga join sama lo apa? Ngelakuin hal buruk jangan bawa-bawa Tuhan lah.
Muna banget!”
Lagi, gadis
itu memutar kedua bola matanya. “Ya ya terserah lo deh! Intinya gue udah tau
gimana caranya.”
“Tapi lo
harus janji, gak ada daftar buat nyakitin ‘dia’ dalam rencana lo.”
“Banyak mau
nya banget sih lo!”
“Lo mau gue
tetep in atau gue out sekarang juga?”
“Iya, iya!
Gue janji, deh! Apa perlu gue buat janji kelingking sama lo?”
Pemuda itu
memutar kedua bola matanya malas, mengulang apa yang beberapa saat lalu
dilakukan si gadis. Meski begitu, pemuda itu tak luput merasa cemas dalam
hatinya. Kembali memikirkan apakah yang ia putuskan saat ini adalah keputusan
yang benar atau salah. Asal lo tau, gue sama sekali gak tertarik sama bujuk
rayu ataupun rencana lo. Kalo soal gue bisa ngedapetin dia, ya anggep aja itu
hadiah atas jasa gue ke dia. Gue cuma pengen ngejaga dia dari lo, ngelindungin
dia supaya gak disakitin sama lo.
***
Anda
puaaaasss? Pasti tidaaaak! Hahaha..
Mimin tau
kalian tidak puas, tapi apalah daya mimin..kasihanilah mimin..sekian..