-->

Jumat, 28 Maret 2014

Matchmaking Part 26

Akhirnya setelah bermalam-malam begadang jadi juga satu part :’) Maaf ya cuma bisa segini. Mimin tuh rasanya pengen cepet-cepet namatin tapi ya apa daya-.- Terlalu banyak ide dalam kepala mimin jadi kadang suka gak konsisten haha. Kayak part yang ini, harusnya ini jadi part nyesek-nyesekan! Tapi malah jadi romantis gini-__- Yasudah, ampunilah ketidakkonsistenan mimin ini ya. Silahkan dibaca semoga tidak mengecewakan :)

***Engingeeeng!***

Bonus pict! Sorry editannya masih amatir wkwkwk~





***

Rio keluar kamar dan hendak menuruni tangga ketika pintu depan rumahnya terbuka. Tepat saat itu, terdengar pula suara klakson dan mesin mobil dari luar. Ketika Ify melangkah masuk, Rio mencibir di tempatnya. Ia diam menunggu Ify masuk lebih dalam hingga menaiki tangga.

“Darimana aja lo?” tanya Rio ketus. Air muka Ify yang tadinya santai langsung berubah jengah. Bahkan hanya sekedar menyambutnya dengan sikap baik saja pemuda ini tidak bisa. Apa kabar dengan cinta nya? Pikirnya. Ify hanya menatap Rio sekilas lalu melengos. Rio mengernyit tak senang. Bisa-bisanya gadis itu bersikap tidak peduli seperti itu setelah apa yang sudah ia lakukan seharian ini? Dan juga, apa gadis itu tidak sadar kalau ia adalah tuan rumah? Tidak ada hormat-hormatnya sama sekali.

Tanpa disengaja bahu Ify menyentuh bahu Rio dan seketika itu pula Rio meringis. “Ah..” Rio sedikit menggerakkan bahu sekaligus seluruh tangan kanannya dan kembali meringis. Akibat tadi siang ia harus mengecat dinding, lalu memaksakan tangannya untuk membersihkan toilet ditambah harus memijiti tubuh gempal Bu Okky, sekarang tangannya itu terasa nyilu sekali. Ify berhenti dan berbalik badan bingung melihat Rio tiba-tiba meringis. Rio saat ini memakai sweater lengan panjang sehingga ia tidak bisa mengetahui apa yang terjadi pada tubuh pemuda itu. Apa pemuda itu habis berkelahi?

“Tangan lo kenapa?” Ify tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Rio menoleh ke belakang sebentar lalu melengos, melakukan apa yang sebelumnya Ify lakukan padanya. Ify meremas tali tas sekolahnya. Ia ragu-ragu untuk menahan Rio atau tidak. Ceritanya kan dirinya masih marah pada pemuda itu. Masa iya orang lagi diem-dieman malah ngajak ngobrol?

Ketika Rio mengeluarkan kunci mobilnya dan beranjak pergi, tanpa pikir panjang lagi Ify langsung berlari menyusul pemuda itu. “Lo mau kemana?” tanyanya yang saat ini berdiri di samping Rio. Rio menatap Ify dengan tatapan dingin andalannya sesaat lalu berjalan lagi tanpa menjawab pertanyaan gadis itu lebih dulu. Meski dalam hati ia girang bukan kepalang. Ini hukuman buat lo, Ify!!

Karena gemas dengan Rio yang tak kunjung memedulikannya, Ify kemudian dengan sengaja meremas pelan lengan Rio yang bermasalah tadi dan merebut kunci mobil yang digenggam pemuda itu. Rio mengerang sakit sekaligus kaget karena Ify tiba-tiba menyentuh lengannya. “Lo gila ya?!” maki Rio. Ify mendengus kesal. “Ini udah malem, tangan lo sakit kayak gitu terus mau lo pake buat megang stir? Siapa yang lebih gila disini?” *yeayifygalakyeay*
Meski semua yang dikatakan Ify adalah kebenaran, akan tetapi gengsi seorang Rio masih terlalu kuat untuk disingkirkan. “Tangan gue gak kenapa-kenapa. Gak usah sok tau lo!” Ketika Rio hendak merebut kembali kunci mobilnya, Ify malah mengayunkan benda tersebut ke lengan Rio yang baru saja ia bilang ‘gak kenapa-kenapa’ itu. Alhasil, Rio mengerang lebih keras dan mendelik ke arah Ify. Sementara Ify menatapnya tanpa dosa tanpa rasa bersalah.

“Sok ‘gak kenapa-kenapa’ sih lo.” Gumamnya seraya menirukan nada bicara Rio sebelumnya. “Mau gue gak kenapa-kenapa kek, mau gue kenapa-kenapa kek, apa peduli lo?” Sewot Rio. Ify hendak mengayunkan lagi kunci mobil ke arah lengannya jika ia tak segera menahan gadis itu dengan tangannya yang lain. “Kok sekarang jadi galakan lo sih daripada gue?” ujar Rio antara memang berniat bertanya atau hanya sekedar berucap.

Ify langsung mendelik tajam dan untuk ketiga kalinya berusaha mengayunkan kunci mobil Rio ke lengan pemuda itu. Rio pun tentu dengan sigap menahan tangannya. “Tuh kan!” ujar Rio lagi tanpa melepas terlebih dulu tangan Ify yang ia tahan tadi. Mendadak keduanya terdiam seraya menatap satu sama lain. Ify merasakan seperti ada pukulan hebat dalam dadanya yang menyebabkan kerja jantungnya terpacu seribu kali lipat dari sebelumnya. Seperti kuda yang berlari semakin cepat akibat dicambuk. Bagian depan lehernya terlihat bergerak seperti sedang menelan sesuatu.

Kondisi yang kurang menguntungkannya saat ini membuat Ify segara mengalihkan pandangan ke arah lain dan mencoba menarik tangannya dari Rio. Tapi mungkin Rio sama sekali tidak sependapat dengannya. Pemuda itu justru semakin mengeratkan genggamannya hingga membuat Ify kesulitan membebaskan tangannya. Ify terpaksa kembali menatap pemuda itu sekaligus meminta penjelasan terhadap apa yang tengah pemuda itu lakukan padanya melalui tatapannya.

“Gue buat salah ya sama lo?” tanya Rio dengan pandangan mata dalam dan serius, tidak dingin seperti sebelumnya. Ia sepertinya lupa jika saat ini sedang menghukum gadis itu atas kejadian tadi siang. “Iya, lo gak ngelepasin tangan gue. Nyeri loh itu! Lepasin gak?!” Rio mendengus jengkel. Bukan itu yang ia maksud dan yang ingin ia dengar. Gadis ini pasti sedang berlaku pura-pura tidak mengerti. Seketika itu pula Rio teringat akan niat awalnya terhadap Ify. Ia lantas melepas begitu saja genggamannya dari tangan gadis itu.

“Ganti baju lo sana!” perintah Rio kemudian. Ify mengernyit bingung. “Buat apa ganti baju?”

“Lo gak sadar apa kalo baju lo bau? Pasti banyak kumannya, gue gak mau mobil gue terkontaminasi.” Ingin rasanya Ify menyumpalkan kaos kakinya ke mulut pemuda itu, pemuda paling paling dan paling menyebalkan itu. “Iss iya iya gue ganti!” ketus Ify. Ia menghentakkan kakinya kesal lalu berlalu dari hadapan Rio, beranjak menuju kamarnya yang juga merupakan kamar milik Rio. Masih bagus gue mau bantuin! Masih bagus gue mau khawatir! Hih!

“Sekalian bawain buku cetak matematika sama fisika gue! Matematika sama fisika ya, jangan sampe salah!” Rio setengah memekik. Ify yang tengah menaiki tangga berhenti sebentar menoleh ke arah Rio lalu kemudian kembali melanjutkan menaiki tangga tanpa menjawab apalagi sekedar mengiyakan permintaan atau mungkin lebih tepat disebut perintah dari pemuda itu.

Tuh kan malah makin ngelunjak! Masih bagus gue mau sabar! Masih bagus ya masih bagus!

***

Ruangan itu masih sama, masih dihuni oleh sepasang manusia yang tidak ada akur-akurnya ini. Alvin setia berkutat pada ponsel sementara Febby tenggelam bersama kajian dalam buku biologinya. Ketika Alvin menyudahi kebersamaannya dengan ponsel dan meletakkan benda itu di meja di sampingnya, ia langsung sadar jika ia tidak sendiri di kamar inapnya ini. Gadis pemegang gelar paling menyebalkan menurutnya itu masih menungguinya. Entah benar-benar menunggunya atau hanya numpang bersantai di kamar inapnya.

“Heh lo ngapain masih disini?” galak Alvin. Febby tak mengalihkan perhatiannya dari bukunya. “Nungguin lo lah, udah mulai rabun lo?”

“Denger ya, gue gak pernah minta lo nungguin gue dan gue sama sekali gak menginginkan itu! Mending lo pulang aja sana! Lagian, ini udah malem kali. Bahaya anak cewek kayak lo berkeliaran di jalan. Dan, apa lo gak takut pulang ada yang nyamperin?”

Febby tersenyum miring. “Jadi intinya lo khawatir sama gue?” ujarnya masih enggan menatap lawan bicaranya itu. Alvin langsung mendelik. “Hah? Ngarep lo gue khawatirin!”
“Oh.” Singkat, padat dan entah apa maksudnya menurut Alvin. Sampai sekarang ia masih heran dengan kepribadian gadis itu. Kemarin bersikap manis, sekarang bersikap cuek bahkan semaunya sendiri. Kemarin suka sekali bicara hingga memengangkan telinga, sekarang mendadak pendiam. Kemarin mengejarnya lalu keesokan harinya bercanda mesra dengan pemuda lain. Ada berapa sebenarnya? Apa gadis itu sengaja mengoleksi? Terus, apa tujuannya?

“Lo tuh sebenarnya siapa sih?” tanya Alvin kemudian.

“Febby. Apa sekarang lo juga amnesia setelah kaki retak sama rabun mata?” balas Febby santai masih asyik dengan bukunya.

Astaga, kalo aja gak dosa udah gue bunuh lo!

“Gini ya, gue tuh cuma heran aja. Tiba-tiba gue di kejer-kejer sama cewek aneh trus berisik lagi. Mana pake nembak gue pula. Gue tolak eh langsung nangis-nangis biar gak gue suruh ngejauh. Lah sekarang, malah mesra-mesraan sama cowok lain di depan gue. Trus keliatan kayak gak ada suka-sukanya sama sekali sama gue. Etapi gue gak cemburu ya, inget baik-baik itu! Sebenernya gue seneng sih kalo lo gak gangguin gue lagi dan milih cowok lain. Tapi, gue cuma rada gak ngerti aja maksud dan tujuan lo bersikap gajelas kek gitu tuh apa.”

Kali ini, fokus Febby nampaknya mampu digoyahkan oleh celotehan panjang dari Alvin. Ia menutup buku cetak biologinya dan memeluknya di depan dada. Pandangan matanya langsung tertuju pada Alvin. “Lo mau bantuin gue gak?” Alvin melongo seketika. Febby malah mengajukan pertanyaan bukan menanggapi omongannya. Ia merasa sia-sia telah berkicau panjang pada gadis itu. “Lo jadi pacar gue ya?” sambung Febby yang langsung membuat mata sipit Alvin terbuka lebih lebar. Nada suara Febby terdengar memohon begitu pula dengan tatapannya.

“Apa lo sadar barusan lo nembak gue? Setelah tadi siang lo asyik berduaan sama cowok lain tanpa memedulikan gue?” balas Alvin sarkastis. Ini benar-benar tidak masuk akal.

Febby menengadahkan kepalanya sambil menutup mata dan menghela nafas beberapa kali. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin gue mesti jujur sama Alvin. Gue yakin, dia pasti mau bantuin gue. Batin Febby.

Ia kembali menurunkan pandangannya pada Alvin. “Sekarang, gue bakal jujur sama lo. Sebenarnya gue itu...”

“ALVIIIIIIN!” Belum sempat Febby menjelaskan, mendadak muncul sebuah suara nyaring dari arah pintu, diikuti munculnya seorang wanita berumur sekitar 35 tahunan yang langsung menghampiri Alvin di ranjangnya. Wanita itu diperkirakan adalah Mama Alvin. “Ya ampun nak, kamu gak papa kan? Kaki kamu? Kaki kamu gimana? Kenapa bisa sampe kek gini sih?” Ya, itu pasti Mama Alvin. Tidak akan mungkin salah.

“Mama?” Hanya itu yang terucap dari bibir Alvin. Ia masih kaget dengan kedatangan mamanya yang tiba-tiba seperti itu. “Maaf ya Vin, Mama baru bisa jenguk kamu sekarang. Papa kamu belum bisa jenguk kamu, banyak perkerjaan yang belum selesai jadi Mama yang disuruh pulang duluan buat liat kondisi kamu sekaligus jagain kamu.” Jelas Mama Alvin tanpa harus Alvin bertanya dulu.

“Iya gak papa kok, Ma. Harusnya Mama gak usah repot-repot pulang cepet demi Alvin, orang Alvinnya gak kenapa-kenapa. Trus juga udah ada ‘relawan’ yang jagain Alvin disini.” Balas Alvin seraya menunjuk seseorang yang terduduk bingung di sofa. Siapa lagi kalau bukan Febby. Mama Alvin lantas menoleh ke arah yang Alvin maksud dan memperhatikan yang ada disana cukup lama. “Kamu...” ujarnya menggantung.

Karena Alvin menunjuk ke arahnya, mau tidak mau Febby berdiri meski agak canggung sambil mengangkat tangan menyapa sekaligus memperkenalkan diri. “H—Halo Tante, aku Febby..” ujar Febby seadanya. Mama Alvin masih diam sambil memperhatikannya. Alvin yang bingung kenapa mamanya tidak bereaksi lantas mengajak mamanya bicara kembali. “Ma? Mama gak lagi kemasukan kan? Itu orang punya jiwa setan soalnya.”

Febby langsung melirik tajam ke arah Alvin atas apa yang pemuda itu katakan barusan. Namun tidak dapat membalas apapun karena kehadiran mama Alvin. Apalagi wanita itu tengah memperhatikannya saat ini. Mama Alvin kemudian perlahan berjalan mendekati Febby yang justru makin kaku di tempatnya. Apa wanita ini tahu kalau dirinya yang menyebabkan anaknya masuk rumah sakit? Dan sekarang, apakah wanita ini berniat memaki atau memukulnya sebagai pembalasan?

Febby seketika menelan ludah getir membayangkan apa saja hal buruk yang bisa menimpanya saat ini. Dan ketika mama Alvin sudah berada tepat di depannya, Febby langsung menutup mata pasrah. Dengan mata tertutup kemudian ia merasa ada sesuatu yang sedang mendekat ke wajahnya dan sekarang menyentuh wajahnya. Apa mama Alvin mau nampar gue?

“Vina..” lirih mama Alvin. Tak ayal Febby langsung membuka matanya dan melihat mama Alvin menatapnya sendu seraya mengusapi wajahnya. Febby termangu sambil mengedipkan matanya beberapa kali. Vina? Siapa Vina? Batinnya bertanya-tanya.

Sementara Alvin, mendengar sebuah nama, yang tentunya sangat tidak asing baginya terucap dari bibir mungil mamanya, seketika membuat rahangnya mengeras. Ada gejolak hebat dalam dadanya dan pandangan matanya pun langsung berubah tak suka. Kenapa mamanya harus menyebut nama itu lagi? Apalagi menyamakannya dengan gadis menyebalkan itu! Kenapa?!

“Vina..” mama Alvin menyebut nama itu sekali lagi. Dan sepertinya Alvin tidak ingin membiarkan mamanya menyebut nama itu untuk ketiga kali nanti.

“Vina udah ga ada, Ma!” Ujar Alvin penuh penekanan. Emosinya masih dapat ia kendalikan. Tapi entahlah untuk beberapa saat ke depan.

Beruntung sepertinya mama Alvin lekas sadar seperti yang diinginkan Alvin. Wanita itu menurunkan tangannya dari wajah Febby. Meski begitu, matanya tetap setia dengan tatapan yang masih sama memandangi Febby. Febby sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya diam sambil beberapa kali bergantian menatap Alvin dan mamanya. Sementara itu, Alvin menghela nafasnya sedikit lega. Setidaknya mamanya tidak menyebut-nyebut nama yang sudah sangat lama sekali tidak pernah ia dengar dari mulut wanita itu.

“Lo! Gue mohon lo pulang sekarang.” Pinta Alvin pada Febby. “Hah?” Febby menatapnya bingung. Tapi ketika mata Alvin menatapnya dengan pandangan otoriter yang menandakan apa yang ia katakan sebelumnya adalah perintah yang wajib untuk segera dijalankan, Febby kemudian mengerti. Ia mengambil tasnya dan kemudian berlalu pergi setelah berpamit singkat baik pada Alvin maupun mamanya.

Kini hanya tinggal mereka berdua di ruangan itu. Masing-masing masih bungkam di tempatnya masing-masing. Saling menatap pun tidak. Sejurus kemudian, mama Alvin berbalik mendekati Alvin yang saat ini sudah mau menatapnya kembali. Ia menghela napas pelan sejenak. “Jadi..gimana perkembangan kaki kamu, Vin? Kapan kamu bisa pulang?” tanya mama Alvin sekaligus mengalihkan pokok pikiran dan pembicaraan mereka sebelumnya.

“Mama kenapa sampe bisa nyama-nyamain Vina sama Febby, sih?” Alvin sepertinya sudah mulai melunak. Tapi, ada satu hal yang tidak bisa ia tahan untuk tidak ditanyakan. Ia merasa agak jengkel dan tidak percaya bagaimana mamanya bisa menyamakan Vina dengan Febby. Dengan Febby? Oh no!!

“Kamu tahu, Vin...gadis tadi...dia punya tatapan mata yang sama kayak...kayak...” kata-kata mama Alvin menggantung di udara karena lebih dulu tergantikan oleh butiran-butiran bening yang mulai membanjiri wajah orientalnya. Kekesalan Alvin sontak berubah menjadi perasaan tidak tega ketika melihat mamanya terduduk sembari berurai air mata. Melihat Shilla menangis saja sudah membuat dirinya kalang kabut apalagi jika mamanya yang seperti itu. Ia lantas memeluk sambil mengusap punggung demi menenangkan sang mama.

Alvin menghela napas berat beberapa kali selagi mamanya menangis. Ada sesuatu yang tengah menohok keras jantungnya dan menimbulkan rasa tidak nyaman yang luar biasa pada dirinya. Ia menghela napas sekali lagi.

Maafin Alvin, Ma. Semua karena Alvin. Karena Alvin...Vina...Vina pergi...

***

Tampaknya langit malam ini tidak jauh berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Tapi entahlah, malam ini terasa agak berbeda bagi Cakka. Agak sedikit aneh juga. Terutama pada bintang-bintang. Ada yang unik dari susunan bintang-bintang itu. Dan belum pernah Cakka sampai sedetail ini memperhatikan benda-benda langit di atas sana. Bintang-bintang itu masing-masing bersinar terang dan terlihat membentuk sebuah huruf jika dihubungkan satu sama lain melalui suatu garis. Meskipun tidak terlalu rapi. Tapi cukup jelas untuk bisa diterjemahkan.

A? Ejanya dalam hati. Cakka memiringkan kepala sambil menggembungkan pipinya. Keningnya mengerut bingung.

“Ah masa sih? Wah mata sama otak gue mulai kena nih!” Cakka mengusap kepalanya dari belakang ke depan dan kemudian sebaliknya. “Kka!” Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang yang membuatnya benar-benar kaget.

“Ey! Ah Kak Che! Astaga, lo dateng kode-kode kek!” dumel Cakka langsung. Chelsea, orang yang mengagetkannya itu hanya nyengir kuda tanpa rasa bersalah. “Eh gue minjem kalung lo bentar dong?”

“Kalung? Buat apaan?” tanya Cakka sambil membuka pengait kalung di lehernya. Ia lalu menyerahkan benda tersebut pada Chelsea sesuai permintaan. Chelsea tidak lekas menjawab. Ia lebih dulu fokus memperhatikan kalung milik Cakka dengan air muka tak menentu. Setelah selesai memperhatikan, kini gadis bermata sipit itu tampak sedang memikirkan sesuatu. “Tuh kan mirip.” Gumamnya pelan. Cakka hanya samar-samar mendengar. “Mirip? Apa yang mirip?”

Chelsea menatap Cakka masih dengan pandangan tak menentu. Ia lalu mengembalikan kalung di tangannya kepada pemiliknya. “Gak..bukan apa-apa,” Cakka mengernyit aneh. Tapi kemudian ia hanya mengedikkan bahu tanpa memikirkannya lebih lanjut. “Oh iya, lo sama si Agni itu gimana? Udah berhasil baikan?”

Wajah Cakka langsung berubah cerah. Senyumnya mengembang sempurna. “Udah dong!” ujarnya senang sekaligus bangga. “Langsung seneng gitu lo ckckck! Anak kecil kalo lagi jatuh cinta emang norak semua ya,”

“Kayak lo gak aja deh Kak pas awal-awal jadian sama Kak Bagas! ‘Kamu tutup telfon duluan gih. Kamu aja. Enggak kamu aja pokoknya. Yaudah kita tutup sama-sama ya 1..2..3. Loh kok belum ditutup juga? Iya aku belum puas nih ngomong sama kamunya.’ Hueeeek!”

Chelsea seketika melotot dan memukul keras lengan Cakka. “Aw! Jangan mukul kenapa? Pukulan lo itu pedih parah tau gak sih, Kak?!” gerutu Cakka sambil mengusap-usap lengannya yang malang. “Jadi selama ini lo nguping tiap gue telponan? Ah lo mah!” Sekali lagi, Chelsea mendaratkan pukulan mautnya ke lengan Cakka.

“AW! Kak Che! Kan gue udah bilang jangan mukul! Yang tadi belum ilang pedihnya udah lo tambah lagi!”

“Abis lo rese sih! Gue balik ke kamar aja deh kalo gitu. Awas ya kalo lo nguping lagi!” Mata Chelsea yang sudah sipit menyipit tajam mengancam Cakka lalu beranjak pergi. Cakka lumayan bergidik melihat reaksi kakak sepupunya itu dan terus saja mengusap-usap lengan kirinya. Chelsea berhenti sesaat sambil memandang Cakka dari jauh. Sejurus kemudian ia mengedikkan bahu dan berjalan kembali memasuki rumah.

“Cuma kebetulan kali,” gumamnya santai.

***

Untuk kesekian kalinya Via menempelkan muka ponselnya ke telinga. Ia menjentik-jentikkan kuku telunjuknya sembari menunggu dan berharap telfonnya diangkat. Dan ia hampir berteriak senang ketika mendengar suara Papanya di speaker ponselnya. Akan tetapi, ia langsung merubah sikapnya karena akan berbicara dengan laki-laki itu. Papanya merupakan typical orang yang super serius. Semenit pun tidak pernah ia melihat papanya menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Tertawa misalnya. Jangankan tertawa, tersenyum pun jarang. Apalagi semakin ia tumbuh dewasa, sikap yang boleh disebut dingin dari papanya semakin meningkat. Maka dari itu, di depan papanya bahkan dalam pembicaraan di telepon pun Via akan sangat menjaga dengan hati-hati setiap sikap atau kata-kata yang ia ucapkan.

“Halo, ada apa Vi?” Nada suara papanya tidak terdengar antusias tapi tidak pula menyiratkan tidak senang. Biasa-biasa saja, seperti biasanya laki-laki itu berbicara. Via menarik nafas hati-hati. Sangat hati-hati. “Via mau ngabarin kalo mama dirawat di rumah sakit, Pa. Papa sekarang dimana?”

Untuk beberapa saat, Via tidak dapat mendengar apa-apa dari speaker ponselnya. Hingga selang beberapa menit, Papanya akhirnya berbicara kembali. “Sementara kamu yang jagain Mama. Papa sekarang ada di luar kota belum bisa pulang. Gakpapa, kan?” Suaranya masih terdengar biasa-biasa saja. Gantian sekarang Via yang terdiam. Kata-kata ‘gakpapa, kan?’ dari papanya itu lebih terdengar seperti ‘bisa, kan?’ di telinganya. Tak ada intonasi sedih bahkan menyesal ketika laki-laki itu berbicara.

Dan hal itu seringkali menohok hati Via. Terkadang ia kuat dan terbiasa. Akan tetapi ada pula saat-saat dimana perasaannya lirih dan membuatnya menangis karena ia merasa papanya tidak peduli pada mamanya bahkan mungkin dirinya. Dan itulah yang terjadi sekarang. Via terisak dalam diam. Tangannya terasa dingin dan bergetar kecil. Sekuat tenaga ia berusaha menghentikan walau sebentar produksi air matanya. Setidaknya sampai ia selesai berbicara dengan papanya.

“Iya, Pa.” Ujar Via sebisanya. Tak berapa lama kemudian pembicaraan di telepon pun berakhir. Via menghela napas beberapa kali berusaha menenangkan perasaannya. Menepis semua kepiluan dalam hatinya. Ia lalu menunduk sambil menutup wajahnya. Via, Via. Kayak baru sehari kenal sama Papa lo aja deh. Batinnya. Seketika itu pula ia merasa butuh ditemani malam ini. Ia menegakkan tubuhnya dan mengambil ponselnya kembali. Ibu jarinya bergerak ke atas ke bawah mencari sebuah kontak. Ify.

“Udah gue tebak, lo pasti gak pulang-pulang.” Tiba-tiba saja sosok Gabriel sudah berdiri di sampingnya sebelum ia sempat membuat panggilan untuk Ify. Ia menoleh pada pemuda itu. Gabriel datang dengan baju berbeda dan membawa bungkusan di salah satu tangannya. “Dan juga udah gue tebak, lo pasti gak makan-makan.” Tambah Gabriel.

Via mengernyit bingung. Pas banget gitu ya, gue lagi butuh temen eh dia nongol. Tapi, boleh gak gue request temennya yang lain aja?! Astagaaa!

“Sok tau lo!” balas Via galak. Ia langsung memalingkan wajahnya. Gabriel tersenyum miring lalu duduk di sebelah Via. Ia mengambil sebotol air minum dari dalam bungkusan yang dibawanya. “Dan pastinya lo gak minum-minum, kan?” ujar Gabriel sambil menyodorkan air minum tersebut pada Via. Kali ini, Via diam tidak membalas dan menerima saja benda yang disodorkan Gabriel. Kebetulan, karena tadi ia menangis membuatnya merasa haus.

Gabriel kembali mengubek bungkusannya dan mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang berwarna putih berisi makanan. *itulohygtempatmakananygbisadisobek, miminlupaapanamanyahaha.-.* “Bayangin, di jalan tadi tukang nasi goreng ini doang yang punya wadah kek beginian, itu pun gue mesti keliling-keliling dulu. Jadi ini wajib lo makan!” Via memandang makanan yang ada di tangan Gabriel tanpa selera. “Buat lo aja deh,”

Gabriel mendesah. “Kan udah gue bilang, ini wajib lo makan.”

“Gue lagi gak pengen makan, Yel..” rengek Via. Hasrat galaknya sedang merantau saat ini.

Gabriel mendesah lagi. Ia membuka kemasan makanan di tangannya. Ia juga menyendokkan nasi goreng dan menyodorkannya ke mulut Via. Via memalingkan wajahnya menghindar. Gabriel mendekatkan lagi sendok tadi dan Via memundurkan kepalanya hingga menempel ke dinding di belakangnya. Dan keputusannya memundurkan kepala tersebut ternyata salah karena membuatnya tidak bisa bergerak lagi. “Yel..” lirih Via dengan tatapan memelas. “Tinggal buka mulut aja, Vi!” gemas Gabriel.

Pelan-pelan akhirnya Via membuka mulutnya menerima dengan terpaksa suapan Gabriel. Disaat yang sama, perutnya tiba-tiba berbunyi yang dengan langsung membuat Gabriel merasa di atas angin dan makin memaksanya makan. Via memegang perutnya dan langsung mengutuk dalam-dalam bagian tubuhnya yang tidak bisa diajak bekerja sama itu. Meski begitu, ia hanya pasrah ketika Gabriel beberapa kali menyuapinya karena moodnya sedang tidak bagus untuk melakukan pemberontakan (?). 

Sambil mengunyah nasi di mulutnya, Via memandang lekat Gabriel bahkan ketika pemuda itu balik memandangnya. “Tumben lo terang-terangan ngeliatin gue,” ledek Gabriel. Via masih setia memandanginya. “Kok lo baik sih sama gue?” Nada suara Via tenang namun cukup terasa serius. Sebelah alis Gabriel naik. “Emang salah gue baik sama lo?”

“Udah berapa cewek yang lo baikin kayak gini?” Alis Via ikut-ikutan naik.

Gabriel mengerling. “Lo cemburu?”

Via lantas mendesis sebal pada pemuda itu. “Mau gue siram lo?” Aura galaknya mulai berkumpul kembali. Gabriel terkekeh geli. Ia selalu suka ketika gadis itu kesal, mengomel dan bertindak brutal akibat ulahnya. “Emang lo pikir gue seplayboy itu?”

“Pertama, waktu lo masih pacaran sama pricill, lo deket-deket sama gue. Trus pas ketemu cewek yang dandanannya gak banget dan aneh itu, lo dengan entengnya mutusin pricill. Dan lo tetep sok deket sama gue. Jadi, jawabannya iya.”

Gabriel langsung tertawa ketika Via selesai berbicara. “Gue kasih tau sama lo, dari awal gue gak pernah cinta sama prissy. Mama gue yang maksa-maksa gue buat jadiin dia pacar gue. Yaudah, kan gak ada salahnya dijalanin dulu siapa tau cocok. Taunya enggak, dia terlalu manja terus anak kecil banget buat gue. Dan pas gue ketemu sama Zaza, gue langsung suka sama dia. Dandanan unik dia yang ngebuat gue tertarik buat ngedeketin dia. Dan lo tau kan kalo gue ini anak tunggal? Nah, dari dulu gue pengen banget punya adek cewek. Maka dari itu gue suka gangguin lo. Lo itu tipe adek ideal bagi gue.” Gabriel mengacak-ngacak puncak kepala Via di akhir kalimatnya.

Via melongo sambil memikirkan kembali sepenggal kata-kata yang Gabriel ucapkan. Gue tipe adek ideal? Batinnya heran. Sebenarnya, kata-kata itu akan sangat menyakitkan untuknya. Karena hal itu mengartikan bahwa sampai kapan pun takkan pernah ada perubahan apapun antara dirinya dan Gabriel karena pemuda itu hanya menganggapnya sebagai adik. Tapi, entahlah. Apa karena Gabriel tadi juga bilang kalau dirinya menyukai Zaza yang tidak lain adalah Via sendiri meskipun dengan penampilan yang berbeda? Mungkin saja.

Kalo gue kalah dari Pricill sih masih wajar, tapi kalo dengan Zaza? Yakin? Ckckck bener-bener aneh ini orang.

“Gue baik sama semua orang. Tapi gue gak sebaik kayak sekarang sama semua orang, apalagi sama cewek. Khusus buat orang-orang yang srek di hati gue aja. Dan itu lo sama Zaza. Jadi, sekarang lo udah punya alasan buat mikir gue gak playboy kan?”

“Ya ya ya, anggep aja iya deh.” Serah Via meski dalam hati lumayan percaya. Coba aja papa bisa kayak lo Yel, sebebas itu nunjukin perhatian. Yah meskipun nyebelin parah. Tapi setidaknya dia keliatan peduli. Batin Via mendadak miris. Tapi secepat mungkin ia menetralkan perasaannya kembali. Tidak ada gunanya bersedih saat ini.

Gabriel tiba-tiba berdiri dan hendak melangkah pergi. Via terkesiap dan tanpa pikir panjang menahan pemuda itu. “Jangan pergi!” serunya panik sambil menggenggam pergelangan Gabriel. Untuk beberapa saat ia belum sadar pada apa yang sedang ia lakukan. Hal itu langsung memunculkan keanehan di benak Gabriel. Matanya bertatapan dengan mata Via. Tatapan mata gadis itu berbeda dari biasanya. Ia tidak pernah melihat yang seperti sekarang.

“Gue cuma mau buang sampah, Vi.” Ujar Gabriel lembut seraya tersenyum menenangkan.

“Uh? Ah astaga! Sorry-sorry!” Via terkesiap lagi dan seketika sadar. Ia melepas genggamannya dan membiarkan Gabriel melakukan niatnya. Ia menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menghela napas panjang beberapa kali. Sampai Gabriel sudah kembali duduk di sampingnya dan menepuk-nepuk punggungnya. “Tenang aja, nyokap lo pasti bentar lagi sembuh.” Ujar pemuda itu yang beranggapan jika Via bersikap aneh tadi karena mengkhawatirkan mamanya. Via menoleh pada Gabriel hanya tersenyum tipis sambil mengedikkan bahunya.

Meski begitu, ada keyakinan dalam hati Gabriel kalau Via seperti ini bukan hanya karena memikirkan sang mama. Ada hal lain yang mengganggu ketenangan gadis itu. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk Gabriel bertanya. Biarlah Via menenangkan diri dan bercerita ketika dia mau nanti.

“Yel..” panggil Via pelan. Gabriel hanya menjawab dengan gumaman. “Lo keberatan gak nginep disini malam ini? Gue butuh...temen.” Via memberanikan diri memandang Gabriel. Terserah Gabriel akan menertawakannya sekarang atau tidak karena ia benar-benar butuh pemuda itu. Meski sebenarnya ia bisa meminta ketiga sahabatnya, Ify Shilla dan Agni, tapi hatinya lebih menginginkan Gabriel yang menemaninya. Untuk pertama kalinya, ia sangat ingin dibuat kesal oleh pemuda itu.

“No, I’ve no problem. Sekalian gue pengen tau gimana rasanya tidur di rumah sakit.” Ujar Gabriel seraya terkekeh kecil. Via tersenyum miring. Hatinya lega. Sangat lega.

“Gue kira lo bakal ngusir gue, taunya gue dibutuhin juga ternyata haha,” Belum ada selang satu menit, Gabriel yang tengil sudah kembali. Via memutar kedua bola matanya malas meski tetap menyungging senyum di bibirnya. Senyum tak habis pikir kalau ada makhluk Tuhan seperti yang duduk di sampingnya.

Ckckck, apa kata Tuhan?

***

Ify duduk di kursi tunggu menunggui Rio yang berdiri di depan meja apotek mengambil obat. Bau khas berbagai obat terasa menyengat di hidungnya. Di tempatnya, ia tidak sendiri. Ada beberapa pengunjung lain yang sedang duduk mengantri giliran mengambil obat seperti Rio. Ngomong-ngomong tentang Rio, pemuda itu sekarang sudah berjalan menjauh dari meja apotek. Matanya bergerak-gerak mencari Ify. Dan ketika sudah menemukan gadis itu, ia melakukan gerakan pada kepalanya mengode Ify untuk segera keluar dari apotek kembali ke mobilnya. Ify melihat itu mencibir dalam hati. Ia benar-benar diperlakukan layaknya supir oleh pemuda itu.

“Obatnya cuma itu doang?!” Ify hampir memekik histeris melihat bungkusan obat yang dibawa Rio ketika sudah berada di dalam mobil. Rio menatapnya bingung. “Iya, tangan gue kan cuma pegel-pegel.” Ify meringis miris. 4 keping obat dalam bungkusan itu tidak sepadan dengan lama penantian mereka agar bisa memperoleh benda tersebut.

“Kita ke arah kanan.”

Ify menoleh pada Rio sekilas. “Mau kemana lagi?” tanyanya. “Ikutin aja jangan banyak tanya.” Rio berbicara tanpa menatap Ify. Ify diam tidak bertanya lagi. Sudah dengar kan apa yang pemuda itu katakan tadi? Jangan banyak tanya. Ya sudah, terserah lah. Pikirnya.

Melalui arahan dari Rio, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah lumayan besar dengan pagar tinggi menjulang dan berhenti di halaman depan rumah tersebut. Lidah Ify rasanya sudah gatal untuk bertanya akan tetapi masih coba ia tahan karena gerak-gerik Rio yang tidak menunjukkan kalau ia sudah boleh bertanya. Alhasil ia hanya menatap pemuda itu menunggu apa yang harus ia lakukan.

Rio kemudian keluar lalu merunduk sebentar ke dalam mobil. “Keluar lo, sekalian bawa buku-buku gue.” katanya memerintah Ify. “Iya.” Ify hanya menjawab singkat dan masih enggan bertanya untuk apa ia ikut keluar dan terutama untuk apa mereka datang ke rumah ini. Rumah siapa lagi ia pun tak tahu.

Rio sampai duluan di depan pintu dan tanpa memencet bel, pintu di depannya sudah langsung dibuka oleh pemilik rumah. Seorang gadis berambut hampir sebahu yang sekarang berdiri di depan Rio dengan senyum sumringah. Dea. Rio hanya membalas dengan senyum seadanya.

Ify berjalan santai keluar dari mobil sambil celingak-celinguk memperhatikan sekeliling sehingga melupakan perhatian untuk apa-apa saja yang ada di depannya. Alhasil, ia tak sengaja menubruk pelan Rio dari belakang. Ify langsung berhenti dan menatap orang di depannya sekaligus orang yang ada di depan orang di depannya. *mampusapatuhhaha* “Eh maaf..” ucapnya spontan.

Senyum di wajah Dea seketika meluntur. Wajahnya berubah datar menyambut kedatangan Ify. Ify sendiri sesaat terdiam sambil berdoa dalam hati agar apapun urusan yang ingin dilakukan Rio dengan Dea bisa cepat selesai dan mereka dapat segera pergi dari sini.

“Kenapa KakYo gak dateng sendirian aja sih?” protes Dea langsung tanpa peduli kalau Ify bisa saja tersinggung karena ucapannya. Meski begitu, Ify tetap diam sambil bergantian memandang punggung Rio dan wajah Dea. “Kakak gak bisa nyetir, De.” Rio menjelaskan singkat sambil sedikit menggerakkan lengannya. Wajah Dea tampak belum puas dan masih ingin terus protes.

Rio lantas segera bicara kembali sebelum Dea mengomel yang tidak-tidak bahkan sampai memberi tahu Ify tentang apa yang ia lakukan siang tadi. Ia tidak ingin Ify tahu ketika ia dan gadis itu sedang bersama. Hal itu akan menciptakan kesan bahwa ia ingin Ify mengasihaninya. Terlebih lagi, ia tidak ingin Ify tahu kalau sikap juteknya hari ini disebabkan oleh kekesalan dirinya karena Ify menghabiskan waktu bersama orang lain. Pemuda lain tepatnya. *bilangcemburuajakenapasih?(?)*

“Yaudah, karena kita udah telat setengah jam jadi kita langsung belajar yuk. Kakak juga besok ada ujian jadi harus buru-buru.” ajak Rio sambil memutar pelan tubuh Dea dan mendorong gadis itu masuk ke rumahnya. Sikap Rio sudah seperti tuan rumah karena ia memang sudah sangat sering sekali bertamu ke rumah ini. Selain tujuannya untuk bertemu Acha, dulu, ia juga rutin mengajari Dea. Kadang-kadang Dea yang gantian datang ke rumahnya.

Rio berhenti sebentar dan menoleh ke belakang. Ada Ify disana berdiri diam dengan pandangan mata tak fokus sambil memeluk buku miliknya. Sepertinya gadis itu melamun atau mungkin sedang kebingungan. “Ngapain bengong disitu? Lo kepengen jadi satpam semalam?”

Ify langsung menatap ke arahnya dan mencibir. “Lain kali, orang yang gak diundang gak usah lo ajak.” Sindirnya ketika berjalan melewati pemuda di depannya.

Rio menutup pintu dan kemudian berjalan mendahului Ify tanpa mengacuhkan apa yang dikatakan gadis itu. Karena kekesalan gadis itulah yang diinginkannya. Rasakan pembalasan dendam gue, Ify. Hahaha! Batin Rio girang sambil tersenyum sekilas. Sesaat kemudian, Rio berbalik menghampiri Ify lagi dan membuat gadis itu kembali menatapnya bingung sekaligus kesal. Sorot matanya seolah mengatakan ‘apalagi?’.

Rio tidak lebih dulu menjawab. Ia merebut kedua buku yang dipegang Ify dan menyerahkan salah satunya yang terdapat bacaan ‘FISIKA’ di bagian depannya pada gadis itu. “Sebaiknya lo pelajarin ini selagi nunggu gue selesai ngajar. Besok bakal ulangan. Ah! Lo belajar di meja sana aja, jangan setempat sama gue. Ganggu pemandangan.”

Sekesal-kesalnya Rio pada Ify, tapi ia tetap mengkhawatirkan gadis itu. Tidak mungkin dirinya membiarkan Ify menghadapi ujian esok hari tanpa bekal apapun bahkan tidak tahu kalau akan diadakan ujian. Apalagi, ia sangat tahu jika kemampuan otak gadis itu sama sekali tidak bisa diandalkan. Tapi, khusus untuk saat ini, ia tidak ingin Ify tahu sikap pedulinya. Sikap juteknya yang hanya palsu belaka ini akan terbongkar dan balas dendamnya tidak akan berpengaruh apa-apa. Alhasil, ia menunjukkan kepeduliannya itu dengan cara yang justru makin membuat Ify kesal.

Ify mengambil buku cetak fisika Rio kasar sambil terus menggerutu dalam hati. Ia berjalan cepat menuju meja makan yang berada cukup jauh dari meja tempat Rio dan Dea akan tempati. Ia membanting tubuhnya keras ketika duduk dan membuka kasar buku fisika yang diberikan kepadanya.

Kekesalan Ify langsung bertumpuk berlipat-lipat. Yang pertama, tentu saja karena ulah Rio yang seenaknya serta tidak ada sikap berterimakasih pada dirinya karena sudah berbaik hati mau menolong pemuda itu. Yang kedua, kenapa tidak ada yang memberitahunya kalau akan ada ujian besok? Kenapa baru sekarang? Sudah tahu otaknya payah, pelajaran mana yang bisa masuk dalam waktu sesingkat ini? Apalagi dalam kondisi saat ini. Saat ia berada di antara dua sejoli menyebalkan yang sedang asyik belajar bersama di sudut sana.

Dan hal itu menyebabkan penyebab ketiga muncul, tidak ada yang bisa mengajarinya sekarang. Via tentu sedang ribet menjaga mamanya. Rio? Jangan berharap banyak jika pemuda itu mau mengajarinya. Mau tidak mau, Ify hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Lupakan masalah kepayahan otaknya. Orang bilang, jangan mengalah sebelum perang. Jangan menyerah sebelum berusaha. Baiklah, kita mulai dari menghapal rumus dasar. Ify membaca sub judul dalam halaman yang ia buka.

“Momentum, simbol p kecil. Momentum sama dengan massa kali kecepatan atau p sama dengan m kali v.” Ify mengulang apa yang dibacanya tersebut dua kali dan ia sudah dapat menghapalnya. Ia menghela napas singkat. Lancar.

“Hukum kekekalan momentum. p1 + p2 = p’1 + p’2. Ingat, p = mv. Tanda min atau plus menandakan arah bukan nilai. Tumbukan lenting sempurna e = 1, sebagian e antara 0 sampai 1, tidak sama sekali e = 0. Rumus e.. haiss panjang banget sih!” Ify mendumel sebelum selesai membaca apa yang tertulis di buku. Namun sejurus kemudian ia menggeleng cepat mengingat pentingnya waktu untuk saat ini dan mendumel hanya membuat waktunya yang sudah singkat ini, menurutnya, makin singkat dengan cuma-cuma.

Ify bersandar pada sandaran kursi sambil menyatukan telapak tangannya seperti seseorang sedang memohon dan menutup mata. Ia kembali menghapal materi yang tadi membuatnya mendumel. Kali ini, butuh beberapa kali pengulangan agar ia bisa benar-benar hapal luar kepala. Dan ketika berhasil, ia spontan menepuk keras tangannya dan memekik senang. Akan tetapi, karena suasana di sekitarnya begitu hening, hal yang baru saja dilakukannya itu sontak mengejutkan yang ada disana. Rio dan Dea langsung memandang bingung sekaligus tidak senang padanya.

Ify nyengir sambil membentuk tanda peace dengan jarinya pada dua sejoli itu. “Hehe sorry, sorry!” katanya pelan karena malu. Namun, detik berikutnya, fokus pikirannya kembali pada isi dalam buku cetak Fisika milik Rio. Mulutnya berkomat-kamit dengan cepat dengan tubuh yang tidak bisa diam meski tetap dalam keadaan duduk.

Kadang matanya tertutup kadang juga terbuka. Kadang kepalanya bersandar ke tepi atas kursi kadang sudah nyungsep di balik buku. Kadang semua jemarinya bergerak-gerak seperti sedang menekan tuts piano dengan kecepatan ekstra, kadang terkepal dan meninjukannya satu sama lain, kadang ia hanya diam sambil menangkup wajah ala cibi-cibian, kadang juga menepuk-nepuk bagian wajahnya seperti pipi dan kening serta masih banyak lagi. Ia persis seperti orang gila. Tapi terserah ia tidak peduli. Ia akan benar-benar gila jika tidak dapat menjawab satu soal pun besok.

Di tempat lain, Rio beberapa kali mencuri pandang ke arah Ify ketika Dea sibuk menulis dan mengerjakan soal. Tingkah aneh Ify menjadi hiburan tersendiri untuknya disaat rasa kesal karena terkadang Dea tidak juga memahami apa yang ia ajarkan. Meskipun ia tidak menunjukkan sikap sedang kesal itu pada Dea. Biar ia tebak, mengajari Ify sepertinya akan jauh lebih sulit dan membuat kesal daripada mengajari Dea sehingga membuatnya sering marah-marah. Meski begitu, kekesalan itu pasti akan hilang dengan sendirinya oleh tingkah aneh Ify yang membuat perut geli itu. Akan ada keseruan tersendiri. Seketika ia merasa  menyesal telah menolak mengajari gadis itu kemarin-kemarin.

Sekitar satu jam lamanya, akhirnya Rio selesai mengajari Dea. Gadis itu pergi menuju kamarnya untuk membereskan buku-bukunya. Sementara Rio pergi menuju dapur mengambil minum sendiri. Sudah dibilang kan ia terbiasa bertingkah seperti tuan rumah disini. Matanya lalu menangkap sosok Ify yang masih terlihat seperti orang gila di kursinya. Sepertinya tidak sadar jika tadi dirinya berjalan melewati gadis itu dan sekarang diperhatikan pula olehnya. Hal itu membuat Rio tersenyum lagi. Saat itu juga terpintas ide untuk menggoda gadis itu.

Rio berjalan mendekat ke arah Ify dan menyasar kursi tepat di depan gadis itu. Ify sama sekali tidak menyadari kedatangannya. Kebetulan juga matanya sedang tertutup. Rio pelan-pelan duduk tanpa menimbulkan suara lalu kemudian memuaskan matanya memandang wajah gadis itu. Senyum di wajahnya sedetik pun tak pernah lenyap. Bahkan sampai Ify tiba-tiba hendak menepuk tangannya dan berteriak serta membuka mata.

Ify tentu kaget karena mendadak sudah ada orang duduk di hadapannya, memperhatikannya pula. Seketika itu pula gerakannya terhenti. Tangannya hanya sampai menepuk angin. Ia langsung menutup mulutnya yang tadi sempat terbuka tanpa mengeluarkan suara. Dari yang tidak bisa tenang, Ify berubah menjadi sangat-sangat tenang. Layaknya orang pintar sedang belajar.

Mati-matian ia berusaha tidak memedulikan tatapan apalagi senyuman maut milik pemuda tampan di hadapannya. Lebih-lebih lagi, ia mati-matian menekan laju detak jantungnya yang menggila seiring Rio menatapnya. Ampun! Bisa-bisanya ini kerasa jauh lebih gila dibanding gak bisa jawab soal besok! Mana sifat pemberani lo beberapa jam lalu, Fy? Lo tarok dimanaaaa?!! Batinnya tak karuan.

Ify yakin dirinya terlihat sangat bodoh saat ini. Bahkan tangannya yang hendak membalik halaman saja bergetar. Cepat-cepat ia menggapai buku dan menurunkan tangannya. Satu hal yang membuatnya makin terlihat bodoh. Ia mengangkat kepalanya ragu-ragu dan mencuri pandang ke arah Rio dan yang ia lihat pemuda itu masih tersenyum memperhatikannya. Entah apa arti senyuman itu, antara mengaguminya atau menertawakannya dengan cara halus. Ia tebak sih yang kedua. Karena...mana mungkin dia ngiler liat wajah gue!

Di sisi lain, Rio ingin sekali tertawa kencang melihat Ify yang salah tingkah. Hanya saja, ia tidak ingin mempercepat durasi hiburannya. Kapan lagi ia bisa seperti ini dengan Ify karena dilain waktu hanya ada adegan pertengkaran dengan gadis itu. Ify mengangkat bukunya hingga menutupi wajahnya. Antara ia sedang menghapal atau pura-pura menghapal. Atau bahkan sedang mengatur napas diam-diam karena terus-terusan dipandangi olehnya. Sepertinya tebakan kedua yang benar. Gadis itu hanya pura-pura menghapal. Buku tersebut bergerak turun sedikit dan matanya menyembul mencuri pandang padanya.

Saat itu juga, Rio sudah tidak tahan untuk tidak tertawa. “HAHAHA!” Rio terbahak meski tetap menatap Ify. Rasa gugup Ify mendadak lenyap tergerus rasa kesal karena pemuda di depannya sengaja mempermainkannya begitu lama. Kurang ajar!

“Ngapain lo ketawa gitu?” tanyanya ketus. Rio meredam tawanya untuk menjawab. “Udah gak salting lagi lo?” Atau lebih tepatnya balik bertanya. Mata Ify melotot menatapnya. “Lo ngerjain gue ya?!” Ia kelihatan tidak terima. Rio tersenyum menang. “Lo aja yang gak kuat sama pesona gue!” katanya bangga. Ify mendesis dan berniat menimpuk Rio dengan buku di tangannya.

“KakFY!! Kakak mau ngapain?!” Tiba-tiba Dea berteriak histeris dan langsung membuat Ify mengurungkan niatnya. Ify dan Rio sama-sama melihat ke arah gadis itu. Tangan Ify perlahan turun dan kemudian naik berikut dengan cengiran terpaksanya. “Eng..m-mau ngipasin hehe..” Mendengar itu, Rio harus menutup mulutnya menahan tawa yang ingin kembali meledak. Tingkah Ify benar-benar konyol. Sementara Dea hanya menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi. Seperti antara percaya dengan tidak percaya pada Ify.

Rio kemudian berdiri dan pamit pada Dea. Dea sempat menahannya akan tetapi karena alasannya cukup kuat yaitu perihal ulangan esok hari, gadis itu akhirnya terpaksa membiarkannya pulang. Tentu hal ini menjadi suatu peristiwa menggembirakan dan yang paling ditunggu-tunggu Ify sejak tadi. Ia ikut berpamitan pada Dea meski hanya ditanggapi acuh tak acuh oleh gadis yang lebih muda darinya itu. Untung saja usia yang jauh lebih tua itu membuat kedewasaan Ify sedikit banyak muncul. Kalau tidak, ia pasti sudah menegur bahkan memarahi gadis itu karena telah berlaku tidak sopan.

Dan yang paling penting, ia tidak ingin menambah masalah di antara mereka. Sebenarnya, ia agak aneh sih mengapa Dea tiba-tiba bersikap tidak bersahabat dengannya. Kemarin-kemarin hubungan di antara mereka masih baik-baik saja. Setidaknya mereka masih saling bertukar senyum. Sekarang? Menatap wajahnya saja tidak. Entahlah, Ify tidak terlalu ingin memikirkan itu sekarang. Ada ujian fisika yang lebih penting untuk dikhawatirkan.

***

Dalam perjalanan, mobil Rio dilanda kesunyian. Dua manusia yang ada di dalamnya tidak ada yang mau buka suara. Sejujurnya mereka berdua sudah gerah dengan suasana yang ada. Akan tetapi, mereka sama-sama gengsi untuk memulai pembicaraan karena saling memendam kekesalan terhadapan satu sama lain. Rio kesal pada Ify, Ify apalagi, sangat-sangat kesal pada Rio. Hingga tiba-tiba ponsel Rio berbunyi dan langsung menjadi pusat perhatian, tidak hanya Rio tapi juga Ify.

Ify bergantian melirik ponsel Rio dan wajah pemuda itu lalu kembali berusaha fokus menyetir. Entah kenapa nada dering ponsel Rio tersebut menggerayangi pikirannya. Tak hanya nada dering, tapi juga nama siapa yang tertera di layar tersebut. Perasaannya mendadak tak enak. Dan inilah yang ia benci, setiap bad feelingnya itu belum pernah meleset dan mungkin saja tidak pernah. Semoga saja kali ini bad feelingnya kurang beruntung sehingga tidak akan ada sesuatu buruk yang terjadi.

Rio menaikkan alisnya memandang layar ponselnya. Tak ada nama, hanya ada deretan nomor yang muncul. Ia masih terus memperhatikan ponselnya tanpa berbuat apa-apa sampai benda itu berhenti menyala-nyala dan mengeluarkan bunyi. Telepon dimatikan. Rio seperti terkejut dan baru sadar kalau ia belum menerima panggilan misterius itu. Tapi ia tidak terlalu menyesal. Kalau memang penting pasti siapapun itu akan menghubunginya kembali. Dan seperti dugaannya, nomor tersebut menyembul lagi di layar ponsel Rio. Dengan jeda sekitar 2 detik, ia langsung menekan tombol yes dan menempelkan ponselnya ke telinga. “Halo?” sapanya duluan.

Sebelum Rio sempat mendengar balasan dari orang yang meneleponnya, ponselnya lebih dulu terlempar ke depan karena Ify mendadak menginjak rem keras-keras. Sebelumnya Ify mengemudi mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi karena situasi jalanan begitu sepi. Tapi, kemudian muncul seorang anak kecil yang hendak menyebrang tanpa mememeriksa jalan yang mengakibatkan dirinya hampir saja tertabrak mobil Rio kalau ia tidak cepat-cepat berlari kembali ke pinggir jalan, tempat awal dirinya sebelum menyebrang.

Badan Rio seharusnya juga terdorong ke depan jika pemuda itu tidak memakai sabuk pengaman. Sementara yang mengalami kemalangan adalah Ify. Ia tidak mengenakan sabuk yang seharusnya ia kenakan. Dan akibat aksi mengeremnya itu, badannya terdorong ke depan dan kepalanya tak dapat terhindar dari benturan dengan bagian atas kemudi. Ia langsung merasakan pusing yang hebat pada kepalanya. Ia perlahan menegakkan tubuh serta menegakkan kepalanya untuk memeriksa kondisi anak kecil yang hampir ia tabrak tadi tanpa memedulikan Rio yang sedang marah-marah di sampingnya.

Anak kecil itu terlihat berdiri sambil menatap ke arahnya. Tampaknya tidak terjadi apa-apa padanya. Perasaan lega langsung menjalar dalam dada Ify, membuatnya teralihkan dari rasa sakit di kepalanya. Ify memutuskan keluar dari mobil dan menghampiri anak kecil itu. Berkat bantuan cahaya terang milik lampu bagian depan mobil Rio, ia bisa melihat dengan jelas wajah anak kecil yang ternyata seorang anak perempuan. Di sampingnya terdapat cukup banyak belanjaan. Agak aneh untuk anak sebesar itu membawa kantong belanjaan besar sendirian, di malam hari pula.

“Kamu gak papa, kan?” tanya Ify khawatir sambil merunduk memegang anak kecil itu, memeriksa seluruh badannya. Anak kecil itu tidak langsung menjawab, melainkan memperhatikan sejenak wajah Ify. “Kak Ify?”

“Ah?” Ify berjengit kaget karena anak kecil itu mengetahui namanya. Rasanya ia sudah tidak mengenakan seragam sekolah sehingga tidak ada lagi name tag di bajunya. Bagaimana anak kecil itu bisa tahu namanya?

“Kamu tau da...eh tunggu! Kamu...” Awalnya ia berniat bertanya, namun tiba-tiba ia baru teringat sesuatu ketika sekali lagi memperhatikan wajah anak kecil itu. Mungkin karena pusing di kepalanya sudah mulai menghilang jadi ia sudah bisa berpikir lebih jernih.

“Yaampun! Fify?!” pekik Ify histeris begitu berhasil mengingat siapa anak perempuan di depannya yang hanya diam tak bereaksi ketika namanya disebut. Sejenak Ify takjub akan kehebatan daya ingat Fify yang masih bisa dengan cepat mengingatnya walah sudah lama sekali tak bertemu. Atau mungkin daya ingatnya yang memang payah. Rio yang juga menyusul Ify keluar dari mobil dan kini berdiri di belakang gadis itu hanya diam memperhatikan. Sepertinya ia juga mengenal wajah anak kecil itu. Pasti mereka pernah bertemu sebelumnya akan tetapi ia lupa dimana.

“Cepat Kakak pergi, sebelum monster datang dan menerkam kalian!” seru Fify. Wajahnya masih belum menunjukkan ekspresi apapun. Ify dan Rio sama-sama tidak mengerti dengan ucapan Fify barusan. Mereka mengira anak perempuan itu sedang berhalusinasi. Ify seketika panik. Apa tadi kepala anak perempuan ini sempat terbentur sehingga membuatnya berhalusinasi? Pikirnya. Tapi, dilihat dari tanda-tandanya sih tidak ada tanda-tanda bekas benturan.

“Hei anak pembawa sial! Siapa suruh ngobrol disitu hah?! Belum puas aku hajar?!” Suara mengerikan tiba-tiba muncul dari seberang jalan. Ify melihat seorang laki-laki bertubuh gempal dengan penampilan amat berantakan berbicara sambil berteriak. Laki-laki itu tampaknya sedang menuju ke tempat dimana ia dan Fify serta Rio berada. Ia langsung menatap cemas pada Fify. Apa lelaki itu ayahnya?

“Ayo cepat pergi! Monsternya udah datang!” Fify memekik lagi. Meski begitu, tak ada sorot ketakutan di wajahnya. Justru Ify yang memasang tampang itu. Ify menegakkan tubuhnya dan kebingungan harus bagaimana. Laki-laki itu kemudian sampai dan langsung menarik kasar tangan Fify sambil menjewer kuping gadis kecil itu. Ify melotot tak percaya dan langsung merengkuh Fify sehingga terbebas sementara dari laki-laki itu. “Maaf, tapi saya tidak bisa membiarkan Bapak melakukan kekerasan pada anak ini!” tegasnya. Bukannya berterimakasih dan berlindung di belakang Ify, Fify justru meminta Ify untuk melepaskannya dan sekali lagi menyuruhnya pergi.

Laki-laki menyeramkan tadi terlihat marah besar atas apa yang Ify lakukan. Sontak membuat Ify merinding dan agak takut. Laki-laki itu lalu dengan mudah merebut Fify kembali dan menatap tajam dirinya. “Berani-beraninya kamu ikut campur!!” garang laki-laki itu yang sudah mengangkat tangannya hendak memukul Ify. Rio yang berada tepat di belakang Ify dengan sigap menarik tangan Ify hingga membuat badan gadis itu berbalik menghadapnya lalu kemudian merengkuh gadis itu dengan tangannya yang sempat bermasalah. Dan sepertinya ia lupa kalau tangan itu sedang bermasalah. Sementara tangan yang satunya lagi menahan tangan laki-laki kasar tadi.

“Saya mohon turunkan tangan Anda atau saya laporkan Anda ke polisi atas tindakan kekerasan dan penganiayaan.” Ancam Rio. Laki-laki itu menarik tangannya dengan terpaksa. “Anda boleh kembali tapi tidak dengan menjewer anak ini seperti tadi jika tetap tidak ingin saya laporkan.” Sekali lagi Rio mengancam dan laki-laki itu mau tidak mau menurut. Ia berbalik badan dan melangkah pergi diikuti dengan Fify yang berjalan santai seperti tidak terjadi apa-apa di belakangnya. Ia menghela napas setelah dua orang berbeda usia itu sudah masuk ke rumahnya.

Sementara itu, dari sejak Rio menarik tangannya, Ify sudah tidak dapat bergerak lagi. Badannya mendadak kaku dengan napasnya yang tidak teratur. Jantungnya berdetak sangat cepat dan terasa memukul-mukul dadanya seperti ingin dikeluarkan dari tempatnya. Bagaimana tidak? Saat ini Rio setengah memeluknya! Ini benar-benar!! Padahal sebelum-sebelumnya, ia merasa sudah terbiasa jika berdekatan dengan pemuda itu. ia merasa sudah bisa mengontrol dirinya dan seluruh anggota dalam tubuhnya untuk bekerja normal. Tapi sekarang ia malah mati kutu.

Wangi tubuh Rio langsung terserap masuk oleh hidungnya. Hidungnya sepertinya menyukai aroma tersebut. Padahal ini hanya wangi sabun dan Rio tampaknya tidak menggunakan pewangi apapun. Akibatnya ia menjadi sering menarik napas. Dan napas tidak teraturnya pun perlahan menemukan ritme tetap. Entah siapa yang menyebabkannya, Ify merasa tubuhnya makin dekat dengan tubuh Rio. Bahkan kepalanya sekarang bersandar nyaman pada dada Rio. Ia dapat merasakan denyut jantung Rio yang tadinya normal tiba-tiba menyamai denyut jantungnya. Apa dirinya yang menyebabkan pemompa darah itu tiba-tiba bekerja lebih cepat?

Tapi...bisakah waktu berhenti sebentar? Ia ingin sedikit lebih lama menikmati kenyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Hanya sedikit lebih lama. Ia begitu merindukan tempat sandaran seperti ini. Sewaktu kecil ia masih punya mama yang siap memeluk dan mengelus kepalanya ketika ia sedang ada masalah. Meski anak kecil sebetulnya tidak pernah punya masalah. Namun, ketika mamanya pergi, ia sempat merasakan kehilangan tempat ternyaman untuk bisa bersandar itu. Lalu kemudian papanya yang mengambil tugas tersebut. Ify banyak menghabiskan waktu hanya untuk bersandar di pelukan papanya.

Dan sekarang laki-laki itu tergolek lemas di rumah sakit. Membuatnya harus kehilangan lagi tempat bersandarnya itu. Dimana ia sangat-sangat membutuhkan sandaran itu akibat persoalan-persoalan yang tengah ia hadapi. Sebenarnya ia bisa saja setiap hari datang ke rumah sakit hanya untuk memeluk papanya. Tapi, ia tidak ingin membebani pikiran papanya itu. Ia juga hanya akan mengganggu istirahat papanya. Mendadak, rasa rindu pada kedua orangtuanya menyergap hati Ify. Meski begitu, Ify tahu orangtuanya tidak pernah meninggalkannya. Orangtuanya akan selalu bersedia menjadi tempat ternyaman untuknya bersandar. Hanya saja, mereka sudah tidak bisa. Pelan-pelan, Ify pun mulai terisak tanpa mengeluarkan suara. Ia takut kembali kehilangan tempat sandarannya kali ini.

Rio mengalihkan pandangannya dari dua orang yang sudah masuk ke rumahnya itu pada sosok gadis yang setengah dipeluknya. Ia mengira Ify hanya diam karena ketakutan. “Mereka udah pergi.” Katanya berusaha menenangkan. Tidak ada tanggapan dari Ify. Justru gadis itu bergerak lebih mendekat padanya dan bersandar di depan dadanya. Rio sepertinya baru menyadari kalau gadis itu bukan ketakutan, melainkan teramat merasa nyaman dalam separuh dekapannya. Bibirnya menyungging senyum.

“Betah banget gue peluk?” ledek Rio. Lagi-lagi, tak ada tanggapan dari Ify. Yang ada, ia justru merasa bajunya yang dihimpit Ify agak lembab dan lama-lama basah. Rasanya ia sedang tidak berkeringat. Apa wajah Ify yang berkeringat? Tapi rasanya juga tidak mungkin. Angin berhembus sedari tadi dan udara di sekitarnya dingin. Atau Ify tertidur dan mengiler di bajunya? Tapi itu juga tidak mungkin karena tangan gadis itu yang bergerak pelan memeluknya. Tandanya dia masih sadar, tidak sedang tertidur. Lalu, apa yang membuat bajunya basah? Apa ya...apa...Ya Tuhan! Apa jangan-jangan dia..

“Lo nangis?!” tanyanya bingung, kaget sekaligus panik. Tidak mungkin kalau Ify masih ketakutan akan laki-laki yang hendak memukulnya tadi. Ify masih diam. Membuat Rio kesulitan mencari cara agar ia mau berbicara. Ia tidak mungkin melepas pelukannya dan mendorong Ify agar mau menanggapi ucapannya. Karena tidak ada cara lain yang terpintas di benaknya, alhasil Rio membiarkan saja Ify memeluknya beberapa menit. Tangannya yang lain sesekali mengelus-ngelus rambut gadis itu yang terurai bebas.

Hampir 15 menit lebih Rio dan Ify tetap dalam posisi yang sama. Hingga akan adanya ujian esok hari melintas di pikiran Rio dan membuat pemuda itu spontan berkata agak keras.

“Fisika!” ucapan Rio itu persis seperti alarm yang membangunkan kesadaran Ify kembali. Ia melotot kaget dan langsung berusaha melepaskan diri dari Rio. Akan tetapi, karena ia buru-buru menyebabkan keningnya yang terbentur stir tadi bergesekan dengan baju Rio. Keningnya seketika terasa nyeri meski tidak terlalu kuat tapi cukup untuk membuatnya meringis. “Ah..” ringisnya pelan. Bersamaan dengan Rio yang merasakan nyilu pada tangannya yang bermasalah setelah tadi sempat tidak terasa olehnya. Mereka langsung menatap satu sama lain.

“Tangan lo gakpapa?”

“Kepala lo gakpapa?”

Setelah meringis bersamaan, mereka juga bertanya disaat yang sama. Membuat keduanya terdiam sesaat. Akan tetapi, mengingat kegentingan hari esok, Rio lebih dulu menyudahi aksi tatap-tatapan mereka itu. “Lo masih bisa nyetir?” tanyanya memastikan. Ify mengangguk tanpa memandang ke arahnya. Gadis itu tanpa aba-aba langsung berjalan masuk ke dalam mobil. Rio pun menyusul. Tak lama setelah itu, mobil Rio melaju pergi kembali ke rumah pemuda itu.

***

Shilla merapikan buku-buku yang beberapa saat lalu memenuhi kasurnya sekaligus memasukkan ke dalam tas apa-apa yang yang harus ia bawa esok hari. Ia menyudahi kegiatan belajarnya untuk ulangan fisika karena merasa semua materi yang akan diujikan sudah terangkum dalam kepalanya. Ia melakukan stretching asal beberapa menit pada tubuhnya yang kaku akibat sedaritadi duduk di atas kasur. Setelah itu, ia menghempas tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya sebentar. Sepertinya matanya mulai lelah dan mengantuk.

Shilla mengambil i-phone yang ia simpan di laci meja belajarnya agak tidak terlihat saat ia belajar tadi. Bisa-bisa ia tidak fokus meskipun sudah ia matikan. Ia lantas mengaktifkan i-phone nya tersebut dan menunggu beberapa saat. Biasanya Alvin akan mengiriminya beberapa pesan baik melalui sms, bbm, line atau apa saja yang bisa menyampaikannya. Hampir sepuluh menit ia menunggu dan tidak terjadi apa-apa pada ponselnya. Ia sempat mengulang mematikan dan menghidupkan kembali ponselnya, mungkin saja i-phone nya itu error, tapi tetap sama. Alvin tidak mengirimkan apapun. Pesan yang ia kirim sesaat sebelum mulai belajar pun belum dibalas.

Shilla mengernyit dan langsung mengetik beberapa kata di layar i-phone nya.

‘Pit, lo udah tidur ya?’ berikut isi pesan yang ia kirim pada Alvin. Tak berapa lama, terdapat balasan untuk pesannya itu.

‘Enggak kok, tapi gue lagi nenangin mama. Gakpapa ya gue gak bales chat lo dulu?’

Shilla mengernyit lagi. Alvin menenangkan mamanya? Apa sedang terjadi masalah di antara mereka atau keluarganya?

‘Mama kenapa? Lagi ada masalah ya? :(‘

Tak lama kemudian, Alvin membalas lagi. ‘Besok aja gue ceritain ya, cantik. Gue lagi gak bisa megang hape lama-lama. Besok gue telfon lo ya. Gakpapa kan?:(‘

Shilla menghela napas maklum. Mungkin Alvin emang lagi ribet. Pikirnya. Ia juga kebetulan sudah mengantuk. Ia kemudian menuliskan pesan terakhirnya sebelum meletakkan benda petak itu ke atas meja belajarnya. ‘Iya gakpapa koook{} Gue juga kayaknya ngantuk hehe. Kalo gitu gue tidur duluan ya. Salam buat mama. Bye sipit:*’

I-phone  Shilla lalu bergetar kembali tak lama setelah ia mengirim pesan terakhirnya *inikokkebacanyakayakorangmaukoitya-_-“*. Shilla tak mengambil benda itu kembali untuk melihat apa balasan dari Alvin. Posisinya sudah terlalu nyaman untuk dirubah lagi. Meski begitu ia tak langsung begitu saja menutup mata dan tidur. Benaknya masih memikirkan sesuatu. Sesuatu yang cukup membuat dadanya berdenyut hampir mendekati tak wajar. Masih mengenai Alvin dan mamanya.

Tiba-tiba saja ia teringat kalau sampai sekarang Alvin belum pernah mengenalkannya pada mamanya. Memang sih, itu dikarenakan mama Alvin tidak pernah mengikuti Alvin setiap pergi ke Jakarta. Tapi, apa Alvin pernah membahas tentang dirinya dengan mamanya? Atau hanya sekedar menyebut namanya? Kalau sekarang Alvin sedang bersama mamanya, berarti mamanya sedang menjenguknya di rumah sakit. Dan itu tandanya, ada kemungkinan Febby ada disana. Kemungkinan juga kalau mama Alvin dan Febby bertemu satu sama lain.

Seketika ada sedikit rasa nyilu di dadanya. Kenapa mama Alvin harus lebih dulu bertemu Febby bukan dirinya? Ia merasa diungguli oleh Febby. Aisss kenapa gue mikirin kek ginian sih?! Batin Shilla. Ia menggelengkan kepalanya dan menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Lebih baik ia segera tidur sebelum pikirannya melanglangbuana kemana-mana lagi seperti tadi. Ia tidak ingin menciptakan masalah lagi dimana hubungannya dengan Alvin baru saja kembali menghangat. Ia harus banyak-banyak berpikiran positif seperti yang Agni perintahkan padanya.

Ya, lebih baik emang kayak gitu.

***

Setelah sampai di rumah Rio, Ify langsung berlari menuju kamar. Tidak ada lagi sisa waktu untuk berleha-leha baginya. Sudah banyak waktu terbuang sia-sia. Namun, belum sempat menaiki tangga, Rio menahan tangannya. “Makan dulu baru lo boleh belajar.” Bukan sebuah ajakan melainkan sebuah perintah yang mutlak harus dijalankan. Ify tak banyak membantah. Ia masih kikuk jika berhadapan dengan Rio akibat apa yang dilakukannya pada pemuda itu beberapa saat lalu. Ia takut jika Rio membahas masalah itu dan pastinya akan membuatnya malu besar. Dasar Ify! Bisa-bisanya lo terlena di pelukan Rio? Pake balas meluk segala lagi! Mewek pula! Oh! My! God!

Ify makan secepat kilat. Jauh lebih cepat dari biasanya. Sedangkan Rio menikmati makanannya dengan santai. Wajar saja, tidak ada yang dikhawatirkan pemuda itu. Lah, dirinya? Mau jadi apa ia besok kalau sempat-sempatnya bersantai sekarang. Meski begitu, ia merasa telah berhutang banyak pada pemuda itu. Walau hanya sebentar, tapi pengaruh bersandarnya sangatlah besar. Ia merasa lebih lega sekarang. Ibarat beban masalah yang menimpanya 100 kilo, maka sekarang hanya tinggal tiga per empat saja. Meski hanya sedikit yang hilang akan tetapi sudah cukup membuat hatinya plong dan penatnya sedikit berkurang.

Tapi, Ify tidak berani mengucapkan terimakasihnya sekarang. Bisa-bisa Rio malah meledeknya dan hanya membuatnya mempermalukan diri sendiri. Lagipula, masih ada kepentingan mendesak yang lain. Berterimakasih kan bisa kapan saja. Hehehe.

Ify menaruh piring kotornya ke wastafel dan mencucinya hingga bersih. Tidak enak juga rasanya ia hanya menumpang makan dan tidur gratis di rumah ini tanpa membantu apapun. Tak berlama-lama, ia kemudian berjalan cepat menuju kamarnya atau mungkin kamar Rio dan tidak lagi ditahan pemuda itu yang belum juga selesai dengan makanannya. Ify segera mengambil semua hal yang berkaitan dengan fisika yang ia punya. Dalam sekejab ia tenggelam bersama itu semua.

Ify tidak menyadari Rio yang sudah berdiri di sampingnya dengan membawa sesuatu di tangannya yang dibungkus dengan kain. Rio menyodorkan itu ke depan wajah Ify dan mengagetkan gadis itu. Ify memandang bingung apa yang ada di depan wajahnya lalu menatap Rio meminta penjelasan tanpa bertanya. “Cepet kompres jidat lo pake ini mumpung masih anget.” Lagi-lagi Rio memerintah. Ify mengambil benda yang diberikan Rio itu ragu-ragu. Namun kemudian melakukan apa yang Rio perintahkan tanpa protes. Ia dapat mencium aroma dari benda yang ia gunakan untuk mengompres itu.

“Nasi?” tanyanya pada Rio yang sudah duduk tenang bersandar di atas kasur di belakangnya sambil membaca buku. Rio hanya berdehem tanpa menatapnya. “Tapi kan kening gue bukan gondongan,”

“Kalo ngompres pake air anget cepet dingin jadi make itu aja. Lakuin aja gausah banyak tanya!” Makin lama Rio mirip dengan adolf hitler yang kerjanya selalu memerintah. Ify mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada benarnya juga, sih. Pikirnya. Ia lalu membuat nasi tadi ketika sudah dingin dan menggantinya dengan yang baru. Masih sama, Rio yang menyuruhnya dan ia juga masih sama, manut-manut saja. Setelah yang kedua dingin, ia kemudian mengganti untuk yang ketiga kalinya. Setelah itu, Rio menyuruhnya tidak usah mengompres lagi.

Ify fokus pada pelajarannya. Lalu tiba-tiba Rio melemparkan beberapa lembar berisi soal-soal yang berkaitan dengan materi ulangannya besok. Ia menatap Rio tak mengerti. “Itu kisi-kisi yang dikasih Bu Rita. *namagurufisikamiminhoho*” Rio tak berkata lebih banyak. Ia kembali membaca buku. Sementara Ify mulai melihat-lihat lembar-lembar yang diberikan Rio. Ia kemudian berpindah ke meja belajar karena tidak bisa menulis jika di atas kasur. Sedikit banyak ia sudah bisa menghapal semua rumus dalam bab bukunya. Kata Via, itu modal awal untuk mengerjakan soal. Selanjutnya tinggal bagaimana pengaplikasian serta kreatifitas dalam mengkonversi bla bla bla Ify lupa kata-kata selanjutnya karena ia tidak mengerti.

Sekitar satu jam lebih kemudian, Rio menutup bukunya dan memijit-mijit kepalanya sebentar. Ia berjalan mendekati meja belajar hendak menaruh buku tadi ke tempatnya. Ia kemudian melihat Ify yang sudah tertidur pulas dengan posisi kepala menghadap ke arah kiri dan tangan kanannya terkepal lemah di atas meja. Pasti dia ketiduran ketika mengerjakan soal.

Rio memeriksa sudah sampai dimana Ify mengerjakan. Dari 50 soal yang ada, gadis itu baru menjawab sepuluh. Itupun sudah banyak halaman buku coretannya yang terpakai. Rio terkekeh kecil. Otak Ify memang benar-benar kacau! Meski begitu, ia senang karena gadis itu tetap berusaha keras bahkan jauh lebih keras walaupun hanya sepuluh soal yang terjawab. Yang penting jawaban dari semuanya benar. Rio menaruh buku coretan Ify di meja dan berpaling menatap gadis itu. Ia lalu menggendong Ify dan membaringkannya di kasur. Tak lupa ia menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis itu.

Setelahnya Rio duduk di kursi meja belajar tempat Ify sebelumnya. Ia mengambil kertas kosong untuk mengerjakan soal yang diberikan guru fisikanya tadi siang. Setelah dirasa benar, ia kemudian menyalin jawabannya ke dalam buku coretan milik Ify dengan lengkap dan rapi. Rio sudah dapat menebak bagaimana kelimpungan Ify dalam mengerjakan soal-soal ini. Sayangnya tadi ia tidak melihat karena fokus membaca. Meski begitu, berkaca saat di rumah Dea, Rio sudah dapat membayangkan bagaimana tingkah lucu Ify yang membuatnya menarik sudut bibirnya dan tersenyum lagi. Ah, sudah berapa kali ya ia tersenyum karena Ify? Rasanya kekesalannya tadi siang langsung sirna begitu saja. Bagus-bagus, lo terus aja kayak gini, gue bisa bener-bener jatuh cinta kayaknya sama lo! Hehehe..

Hampir dua jam waktu yang dihabiskan Rio untuk menyelesaikan soal sekaligus menyalin jawaban ke buku coretan Ify. Ia memijit-mijit lehernya kembali. Rasanya ia sudah mengantuk. Matanya tak sengaja memandang ke arah Ify yang masih terlelap di kasurnya. Sebelum beranjak tidur, Rio terlebih dulu harus menemukan sesuatu yang bisa membuat gadis itu terbangun tanpa perlu dirinya yang melakukannya langsung. Ia tidak ingin nanti Ify meledeknya karena sudah mau membantu gadis itu.

Lantas, Rio mengambil jam beker di meja belajarnya lalu mengotak-atik jarum-jarum yang ada disana. Ia kemudian meletakkan benda tersebut tepat di sebelah telinga Ify ketika dirinya sudah berbaring di samping gadis itu dengan berbatas guling. Setelah menemukan posisi tidur yang nyaman dengan menyilangkan tangan di depan dada, Rio menutup mata mencoba terlelap. Hanya selang beberapa menit, Rio sudah tertidur pulas.

30 menit kemudian...

KRIIIIING!

Badan Ify tiba-tiba berjengit kaget setengah mati akibat bunyi keras dari sebelah telinganya. Mata Ify langsung terbuka lebar dan membuatnya tak butuh waktu lama mengumpulkan kesadaran diri. Tangannya menggapai-gapai ke samping telinganya meraih benda yang membangunkannya dengan kurang ajar tadi. “Siapa lagi yang narok beker di kuping gue?!” dumelnya kesal. Ia kemudian duduk untuk mengembalikan jam beker sialan itu ke tempat yang seharusnya.

Ketika duduk, Ify mendadak bingung dengan keberadaannya sekarang. Terakhir ia ingat kalau ia sedang duduk di atas kursi meja belajar untuk mengerjakan soal. Kenapa sekarang ia terbaring di kasur? Apa dirinya tadi tidur berjalan? Tak sengaja Ify menggerakkan salah satu kakinya dan ia merasakan kakinya menyentuh sesuatu. Ia langsung menoleh ke tempat sesuatu itu berada. Ada kaki lain selain kakinya. Dan ia pun lagi-lagi dibuat kaget ketika mengetahui Rio si pemilik kaki misterius itu.

Rio dan dirinya tidur di kasur yang sama?! Ify spontan memeriksa keadaan tubuhnya, semua yang melekat pada tubuhnya. Masih utuh. Batinnya. Ia lantas menghela napas lega. Ia turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu ia kembali ke meja belajar dan menemukan buku coretannya masih disana. Meskipun sempat kesal oleh cara membangunkannya, tapi Ify tetap berterimakasih pada jam beker tadi. Karena kalau tidak, ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya besok.

Ify kemudian duduk dan memulai belajarnya kembali. Ia mengambil soal-soal yang sebelumnya ia kerjakan dan membuka buku coretannya. Niatnya untuk mulai belajar sementara tertunda akibat tulisan asing pada halaman buku coretannya. Tulisan tersebut asing karena bukan merupakan tulisannya.

Awas aja kalo nilai lo jelek!

Begitu bunyi tulisan asing tersebut. Ify langsung menoleh pada Rio yang sedang tertidur di kasurnya lalu kembali pada buku coretannya. Ia tertawa kecil ketika membaca ulang tulisan asing yang tak lain adalah tulisan Rio di bukunya. Meski kata-kata yang tertulis disana jauh dari kata-kata yang mengenakkan, akan tetapi tetap terasa menyenangkan di hati Ify. “Ini nih, mau nyemangatin tapi gede di gengsi!” gumamnya kembali tertawa.

Di halaman berikutnya sudah tertulis jawaban beserta langkah-langkah lengkap dari soal kisi-kisi ulangannya. Sebelumnya hanya sepuluh soal saja yang bisa ia kerjakan. Dan sekarang, ia tidak perlu terlalu berpikir keras mencari cara untuk menyelesaikan soal-soal yang lain karena semuanya sudah semuanya tertulis dalam buku coretannya. Tulisannya tidak terlalu rapi, tapi itu tidak penting. Yang penting adalah tulisannya bisa dibaca. Dan yang penting lagi, Rio bersusah payah menyalin itu semua untuknya. Untuknya. Untuk gue?

Meski belum puas, akan tetapi Ify dengan segera menyingkirkan pikiran tentang semua kebaikan Rio dan kembali pada niat belajarnya. Ia mencoba memahami benar-benar apa yang sudah Rio tulis di buku coretannya. Terkadang tangannya tampak menulis sesuatu dan berhenti dengan kepala mengangguk. Kadang juga mulutnya berseru senang karena sudah dapat mengerjakan soal-soal tersebut sendiri. Belum pernah gue ngerasa sepinter ini. Hahaha. Batinnya.

Beberapa jam kemudian, Ify melepas pensil yang ia gunakan dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Sudah semua soal ia pelajari dan ia kerjakan ulang. Meski lelah, ia tetap tersenyum senang karena untuk pertama kalinya ia merasa siap untuk ulangan. Ia melihat jam beker dan mengetahui sekarang sudah jam setengah 3 pagi. Masih ada sekitar dua jam lebih untuk tidur.

Ify beranjak dari meja belajar menuju tempat tidur, mengambil bantal dan selimut. Tidak mungkin ia kembali tidur di kasur itu. Meski mereka akan berbatasan dengan guling, tetap saja rasanya kurang pantas untuk gadis seperti dirinya dan pemuda seperti Rio tidur di ranjang yang sama. Dan karena Rio sudah terlebih dulu tertidur pulas disana dan juga pemuda itu sudah sangat-sangat berjasa padanya, ia kali ini dengan sukarela tidur di lantai sebagai sikap menghargai apa yang sudah pemuda itu lakukan untuknya.

Setelah melempar bantal ke lantai, Ify berdiri sebentar menatap Rio dan posisi tidur pemuda itu. Kedua tangannya masih menyilang di dada. Ify menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Rio, memeriksa pemuda itu masih tidur atau tidak. Setelah itu ia dengan pelan dan sangat hati-hati meluruskan tangan Rio dan menaruhnya masing-masing di samping badan pemuda itu. Terakhir sebelum ia berbaring dan tertidur di lantai, Ify memberikan senyum terbaiknya pada Rio meski pemuda itu tidak melihatnya.
“Semoga lo terus-terusan kayak gini sama gue. Jangan lagi terus-terusan bikin gue ragu buat mempertahankan perasaan gue. Atau lo bisa nyuruh gue berhenti aja dari sekarang.”

***

Ify ingin sekali berteriak kencang sekarang. Sayangnya ia sedang dalam perjalanan dan ada Rio di sampingnya. Belum hilang rasa senangnya semalam, sekarang sudah bertambah lagi. Tadi pagi Rio mengajaknya untuk berangkat bersama. Mengajak bukan memerintah. Meski ini bukan yang pertama kali, tapi entah kenapa terasa berbeda dari biasanya. Apalagi, tidak ada rute menuju rumah Dea yang artinya Rio tidak ada rencana menjemput gadis itu dan ia tidak akan merasa tidak nyaman berada di antara mereka berdua.

Ify hanya bisa melampiaskan kebahagiaannya dengan tersenyum tanpa henti. “Lo senyum-senyum kek gitu pasti karena gue kan?” tanya Rio yang tepat seratus persen. Meski Ify enggan untuk mengakuinya pada pemuda itu. Ia akan diledek habis-habisan jika mengaku. “Sotoy lo!” balas Ify santai menatap pemuda itu sesaat lalu menoleh ke jendela di sampingnya.

Rio tidak mengatakan apa-apa lagi hingga mereka sudah sampai di depan sekolah. Rio dan Ify keluar bersamaan ketika mobil sudah sempurna terparkir. Rio berjalan cepat melewati koridor yang sudah mulai ramai. Ify harus berlari untuk bisa menyusul dan menahan pemuda itu sebentar. Rio berhenti ketika Ify memanggil namanya dan berbalik badan menunggu gadis itu sampai di hadapannya. “Kenapa?” tanyanya langsung tanpa menunggu Ify berhasil mengatur napasnya.

“Gue..hh..mau..hh..” Ify terpaksa berhenti untuk menghilangkan ngos-ngosannya daripada nanti Rio tidak mengerti dan ia harus mengulangi ucapannya. Setelah napasnya sudah kembali normal, Ify kembali berbicara. “Makasih ya udah bantuin gue!” ujarnya dengan senyum tulus. Ia baru bisa mengatakan itu sekarang. Tepatnya, baru berani. Ia melihat Rio mengerutkan kening lalu menaikkan sebelah alisnya. Terakhir pemuda itu tersenyum miring.

“Gue ngelakuinnya bukan buat gratisan.” Ify mendadak bengong setelah Rio mengatakan itu. “Jadi lo gak ikhlas nolongin gue?”

Rio makin memperjelas senyumnya. “Gak juga, tapi gue perlu upahnya.”

Ify mendecak tak percaya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Yaudah, lo minta berapa?” serah Ify. Rasa bahagianya yang tadi meletup-letup mendadak kering seiring sikap Rio yang makin membuatnya kesal.

Rio menyilang kedua tangannya di dada sambil menyipit menatap Ify. Tapi ia belum juga menjawab apa yang Ify tanyakan. Ify menjadi geram sendiri. “Berapa?!” Akan tetapi, Rio tak juga menjawabnya. “Lo denger gue gak, sih?”

Cup!

Tepat setelah Ify selesai berbicara, Rio dengan cepat mendaratkan kecupan singkat di pipi Ify. Air muka Ify yang tadinya kesal langsung berubah kaget.

“Segitu. Gue gak tau itu berapa.” Ujar Rio sambil mengedipkan matanya pada Ify. Ia berbalik pergi begitu saja meninggalkan Ify. Ia hanya bersiul santai sambil terus berjalan tanpa memedulikan beragam tatapan orang di sekelilingnya.

Sementara Ify, lagi-lagi ia terpaku bengong di tempatnya. Yang benar saja! Rio barusan mencium pipinya di depan teman-teman satu sekolahnya! Ify sudah tidak tahu lagi harus senang atau kesal sekarang.

Di suatu sudut, ada sepasang mata yang memancarkan kilat kemarahan melihat kejadian barusan. Tangannya mengepal keras tidak terima. “Kok jadi gini sih?! Ini gak bisa dibiarin!” Ia menghentakkan kakinya dengan sangat keras ke lantai. Sementara di sudut yang lain, sepasang mata lain hanya menatap pasrah apa yang dilakukan Rio pada Ify. Tidak ada kemarahan ataupun kebahagiaan. Ia benar-benar pasrah.


***