-->

Selasa, 20 Mei 2014

Matchmaking Part 29 (Rify)

Rify

How do I breathe without you here by my side? How will I see when your love brought me to the light? Where do I go when your heart’s where I lay my head? When you’re not with me, how do I breathe?

***

Rio tersenyum kecil memandang layar ponselnya sambil berbaring di sebelah Ify yang masih tertidur. Sekarang sudah hampir jam 8 pagi tapi gadis itu belum juga bangun. Ia juga tidak tega membangunkan karena ia tahu semalam gadis itu susah tidur. Di hadapannya terpampang sebuah foto yang entah ke berapa dari beberapa foto yang ia ambil. Tapi foto yang satu inilah yang paling memikat hatinya. Sebuah foto dirinya bersama Ify yang sedang tidur dengan pose wajah mereka begitu dekat dan hidungnya menyentuh pipi gadis itu. Wajah Ify terlihat lucu sekali meski tetap manis.
Ify menggeliat kecil serta mengerang pelan. Ia mencoba membuka mata perlahan dan refleks melihat ke sebelahnya. Ia berkedip bingung beberapa kali. “Rio?” gumamnya dengan suara serak. Sesaat ia berpikir ia sedang bermimpi saat ini karena melihat Rio di sampingnya.
Rio akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponsel lalu tersenyum pada Ify. Meskipun hanya sesaat. “Morning, putri tidur.” Ify tak menjawab. Matanya terus berkedip sambil memandang wajah Rio. “Gue pasti lagi mimpi,” gumamnya lagi.
Rio kembali mengalihkan pandangannya lalu mengernyit. “Lo gak mimpi kok,” jawabnya dengan nada bingung. Sesaat mereka diam dengan saling berpandangan. “Beneran gak mimpi?” tanya Ify kemudian. Rio berdehem menyahut.
“Berarti beneran lo yang tidur di samping gue sekarang?” Rio berdehem lagi. Ify diam kembali selama beberapa detik hingga kemudian ia tiba-tiba terlonjak kaget. Rio berjengit ikut-ikutan kaget. “Kok..elo?! Semalem lo balikin gue ke kamar gue kan? Via, Shilla sama Agni mana? Kok malah elo yang tidur di sebelah gue?” tanyanya panik.
Rio membangunkan tubuhnya lalu duduk menghadap Ify. “Iya, gue balikin lo ke kamar lo kok. Mereka pergi jogging. Mau ngajak lo tapi lo nya masih tidur.”
“Kenapa gak dibangunin?”
“Gue bilang gausah. Lo kan semalam susah tidur.”
“Terus, lo kenapa bisa tidur di samping gue?” Ify menarik selimut menutupi tubuhnya hingga leher. “Nungguin lo bangun.” Jawab Rio polos. Ia menghela napas lega tanpa sadar.
“Lo pasti mikir jorok ya?” tanya Rio dengan mata menyipit curiga. Ify terkesiap lalu memalingkan wajahnya. “Eng..gak!”
Rio memperhatikan Ify sesaat lalu tersenyum tanpa bertanya lagi. “Yaudah, lo mandi gih. Abis itu sarapan. Gue udah kelaperan daritadi tau gak? Oh iya, pake baju bagus ya! Gue tunggu di bawah. Gak pake lama!” pinta atau mungkin perintahnya kemudian. Ia beranjak turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu tanpa menunggu jawaban dari Ify.
Sementara Ify melongo menatap Rio tanpa berkedip. Sepertinya kepalanya kepentok saat tidur tadi. Atau mungkin kepala Rio yang kepentok. Perasaan semalam pemuda itu begitu manis. Kenapa sekarang kembali seenaknya begitu? Apa semalam ia juga cuma bermimpi? Ck, ini sulit dipercaya.
Ify menyingkap selimut sambil turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Rio yang sudah sampai di depan pintu tiba-tiba berhenti lalu membalikkan badan. “Fy?” panggilnya pelan. Ify ikut berhenti sambil menoleh ke arah pemuda itu.
“Gaada morning kiss?” tanya Rio dengan tampang polos memaksa. Mata Ify melotot lebar dan kemudian mendelik. “Gak!” katanya galak. Rio menyengir ria dan segera angkat kaki.

***

Hati Ify rasanya gondok setengah mati. Ia duduk di kursi, memakan gulali sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang serta orang-orang yang tengah bermain, tanpa niat. Ia pikir ia akan benar-benar menghabiskan waktu bersama Rio hari ini. Ia sudah terlanjur membayangkan kencan romantis nan menyenangkan yang akan ia jalani bersama pemuda itu. Tapi yang malah terjadi bukan kencan sama sekali. Jangankan kencan, berbincang dengan pemuda itu saja tidak bisa. Rio dengan mudah direbut begitu saja darinya. Tahu siapa yang merebut? Dea.
Dan hal yang paling membuat hatinya gondok adalah Rio hanya pasrah tidak menolak. Malah menatapnya dengan memohon agar ia yang mengerti. Sebenarnya tadi mereka memang jalan bertiga, sih. Hanya saja tadi ia sudah tidak tahan melihat Dea yang terus saja menempel layaknya perangko pada Rio. Jadinya ia diam-diam kabur dan memilih menunggu di sini. Entah apa juga yang ia tunggu. Menunggu Rio mungkin.
Ify sedikit banyak merasa kecewa. Kenapa Rio malah lebih memilih bermain bersama Dea? Dan kenapa Rio membiarkan saja Dea menggelayuti lengannya? Bukannya itu harusnya tempat untuk tangannya? Kenapa ia yang harus mengerti? Memangnya pacarnya itu siapa? Dirinya atau Dea? Kenapa pemuda itu malah lebih menjaga perasaan Dea daripada dirinya?
Ngomong-ngomong, Rio sadar tidak ya kalau ia menghilang? Apa pemuda itu sedang mencarinya sekarang? Atau justru asyik bermain sehingga lupa akan dirinya? Ck, seharusnya kemarin ia tidak secepat itu percaya kalau pemuda itu benar-benar mencintainya. Lihat saja sekarang, antara Dea dan dirinya saja Rio lebih memilih Dea. Apalagi kalau antara dirinya dan Acha. Sialan. Kenapa lagi nama itu teringat-ingat disaat-saat sekarang!
Ify menarik napas dalam beberapa kali sambil menghembusnya perlahan. Dadanya langsung berdenyut nyeri. Entah bagian apa yang berkontraksi yang pasti Ify merasakan nyeri sesaat dalam dadanya. Ia melirik jam digital di layar ponselnya lalu mendesah pelan. Kalau dalam lima belas menit ke depan Rio tidak juga datang menemuinya, ia akan...
“Loh? Ify?”
Ify terpaksa menghentikan sumpah yang hendak ia ucapkan dalam benaknya. Ia mengangkat wajahnya melihat orang yang baru saja menyebut namanya sekaligus menggagalkan sumpahnya itu. Ia seketika mengernyit bingung. Lumayan kaget juga meski tidak kaget-kaget benar.
“Debo?” sahutnya dengan nada ragu. Debo yang awalnya menatapnya terkejut langsung berubah ceria. “Gue seneng ketemu lo di sini.” Ujarnya dengan tatapan menggebu. Ify hanya tersenyum tipis lalu menggeser duduknya, mempersilahkan kalau-kalau Debo mau duduk. Dan persis seperti dugaannya, Debo langsung mengambil tempat yang dipersilahkannya untuknya.
“Lo sama siapa kesini?” tanya pemuda itu.
Ify menoleh sebentar lalu mengalihkan pandangannya dan menatap gulali tanpa semangat. “Rio.” jawabnya tak kalah lesu. Debo mengernyit lalu menoleh ke kanan-kiri sebelum memandangnya kembali. “Trus, Rio nya mana? Kok lo malah sendirian di sini?”
“Pergi.” Ify memakan gulalinya kembali dengan pandangan tak fokus. “Pergi? Udah lama perginya? Pergi kemana emangnya?”
“Gatau.”
“Kok gatau?” Ify mengedikkan bahu tanpa menjawab. Debo memandangnya penuh tanda tanya. “Lo kesini berdua doang?” Ify menoleh ke arah Debo lalu menggelengkan kepala. “Bertiga.”
“Sama siapa lagi?”
“Sama Dea.” Muka kebingungan Debo langsung berubah serius. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. “Jangan bilang kalo Rio lagi pergi sama Dea dan lo ditinggal sendirian di sini?”
Ify mengangguk lalu menggeleng. “Gue tadi yang kabur.”
“Kenapa kabur?”
“Udah hampir sejam gue di sini. Gaada yang dateng nyariin gue. Toh mereka emang ga butuh-butuh gue banget juga kayaknya.”
“Itu masalahnya!” Debo berseru sambil menjentikkan jari. Seolah-olah baru saja mendapat ide. Ify mengerutkan dahi bingung. “Masalah maksudnya?”
“Harusnya tadi lo tetep sama mereka aja. Ngapain juga lo pake kabur-kaburan? Rugi sendiri, kan?”
Ify makin tidak mengerti. Kenapa jadi Debo yang marah-marah? “Kok lo malah nyalahin gue, sih? Gue tuh capek jadi obat nyamuk. Mending kalo asepnya ke mereka, ini asepnya ke gue juga. Sesek tau! Seseknya tuh disini.. *apadeeeeh*” Di akhir ucapannya Ify memegang dada dengan pandangan nanar menerawang.
“Ini kencan pertama lo ya semenjak jadian?” tanya Debo seraya mengerling jahil. Ify terkesiap kaget sekaligus panik. Kenapa Debo bisa tau? “Ja—jadian? Kok...kok lo bisa tau?”
Debo berjengit memandangnya aneh. Lalu tersenyum. “Kabar Rio sama lo jadian di twitter sama instagram lagi heboh, kali. Lo gatau?” tanyanya kaget. Ify menggeleng dengan mulut menganga. Debo mengambil ponselnya dari saku, memainkannya sebentar lalu menunjukkannya pada Ify. Mulut Ify langsung menganga lebih lebar. Di hadapannya terpampang fotonya dengan Rio saat tidur tadi. Entah kapan foto itu diambil. Yang pasti tanpa sepengetahuannya.
“Gue jadi makin yakin Rio sekarang lagi nangis-nangis nyariin lo tapi gak ketemu-ketemu,” Ujar Debo seraya terkekeh. Ify mengatup mulut lalu mendesah pelan. “Kalo emang nyari pasti daritadi udah ketemu lah.”
“Lo kan gatau dia lagi ngapain sekarang. Ancol gede kali, Fy. Penuh lagi. Ga semudah itu buat nemuin orang. Mana badan lo kecil banget kek semut. Makanya jangan kecentilan kabur!” Debo terkekeh lagi sementara Ify mencibir ke arahnya.
“Yang ngajakin lo ke sini Rio, kan?” Ify hanya berdehem menyahut. “Dia ngajak Dea juga?”
“Enggak. Tuh anak tau-tau dateng ke rumah. Trus minta ikut pas tau gue sama Rio mau pergi. Dan Rio setuju gitu aja. Mana abis itu mereka lengket banget udah kayak kembar siam. Yah dari situ aja udah keliatan kalo ada atau enggaknya gue gak akan jadi masalah buat mereka. Mereka pasti lupa deh sama gue, yakin gue.”
Debo tiba-tiba menyentil telinga Ify. Tidak terlalu keras sih tapi cukup membuat Ify mengaduh sakit. Ify langsung menggosok-gosok daun telinganya yang malang dan menatap Debo kesal. “Apaan sih nyentil-nyentil? Emang gue anak sd!” dumelnya.
“Abis lo ngeyel banget lebih-lebih dari anak sd.”
“Gue kan cuma gak mau meyakini hal yang bakal bikin gue makan hati kalo misalnya itu gak terjadi. Apa salahnya?” Ify memberengut sebal.
Debo memutar kedua bola matanya jengah sambil mengerang pelan dan geleng-geleng kepala. Makhluk cantik di sebelahnya ini benar-benar keras kepala. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku lalu menoleh ke arah Ify. “Lo itu sekarang udah ada di posisi yang harus selalu percaya sama Rio, Fy. Fy, lo sama Rio tuh udah pacaran! Pacaran, Fy, pacaran! Itu yang lo pengenin selama ini, kan?”
“Paling pulang ntar dia minta putus.” Sahut Ify asal sambil kembali memakan gulalinya yang sempat terabaikan beberapa saat. “Lo jadi orang pesimis banget, sih?” Sekali lagi Debo menggelengkan kepalanya.
“Buat apa dia, walau secara gak langsung sih, ngasih tau ke orang-orang soal hubungan kalian kalo sehari setelah itu ngajakin lo putus? Gini ya, secara keartisan aja, itu bakal ngerusak image dia. Rio kan udah jadi public figur pasti jaim lah. And one you should know nih, kalo ada cowok majang foto ceweknya apalagi sampe mamerin di depan banyak orang, dia pasti cinta banget sama ceweknya itu. Gue gak bela Rio, tapi gue kan juga cowok, Fy. Lo bisa percaya sama kata-kata gue.”
“Trus, kalo emang bener, kenapa Rio diem aja pas di gandeng sama Dea?”
“Ya mungkin Rio tuh cuma kaget dan gatau harus gimana. Tadi lo bilang Dea dateng tiba-tiba, kan? Rio belum nemuin cara ngasih tau Dea soal lo dengan cara yang gak menyakiti lo berdua, makanya dia diem aja. Diem kan banyak artinya, Fy. Bisa aja dia lagi bingung. Apalagi yang pengen lo tanya?” Debo menatap Ify bosan sementara Ify masih memberengut. Tapi ia juga tampak memikirkan kata-katanya.
“Lo kenal Rio sama Dea udah lama ya?”
“Emang ke..napa?” tanya Debo ragu-ragu. Heran kenapa Ify tiba-tiba bertanya soal itu. “Seingat gue sih gue gak pernah ngasih tau soal mereka, soal seberapa deketnya mereka. Kok lo bisa tau banyak gitu?”
“Ya..lo kan tau gue suka sama lo. Gue pasti cari tau sendiri tentang siapa aja orang-orang di sekitar lo. Tanpa harus lo kasih tau, gue udah harus tau.”
Ify tertegun mendengar ucapan Debo barusan. Jadi pemuda itu masih suka padanya? Lalu, kenapa ekspresinya setenang dan seceria itu? Terkesan biasa-biasa saja. Padahal Debo sudah tahu kalau ia dan Rio kini resmi berpacaran. Dan anehnya, kenapa pemuda itu malah berusaha membuatnya percaya pada Rio? Berusaha memperbaiki hubungannya yang bahkan belum genap satu hari? Kok dia gak ngompor-ngomporin gue soal Rio? Hebat gitu ya nih orang.
“Lo kok gak sedih sih tau gue pacaran sama Rio? Mana sekarang lo malah belain Rio di depan gue? Ada kesempatan buat ngerusak tapi kok lo malah berusaha nyatuin gue sama Rio? Gue aja ya, contohnya sekarang, ngeliat Dea ngegandeng Rio aja udah uring-uringan kek gini.”
“Lo mau gue kek gitu? Manfaatin situasi sekarang buat dapetin lo?” tanya Debo balik seraya mengerling jahil lalu tertawa. Ify meringis pelan. “Ya enggak juga, sih. Cuma tetep aja gue heran..”
“Gue orangnya fair-fairan aja, Fy. Gue bakal berusaha ngejer lo kalo lo belum jadi milik siapa-siapa. Kalo sekarang, Rio udah menang, jadi ya gue harus terima lapang dada. Gue gak mau jadi garam di api unggun. Gue gak boleh manfaatin kesempatan apapun buat bisa ngerebut lo, contohnya disaat ada masalah gini, apalagi cuma masalah sepele. Gaada gunanya juga, toh lo cintanya sama Rio bukan sama gue. Gue kan pengen dapet cinta lo bukan cuma lo nya doang. Ntar kalo misalnya lo udah putus baru deh gue mau ngejer lo lagi.”
Ify memperhatikan baik-baik bagaimana ekspresi Debo saat berbicara. Benar-benar seperti tidak ada beban. Senyumnya benar-benar terlihat tulus. Entah itu karena ia yang tidak pintar membaca raut wajah seseorang atau Debo memang seperti itu. Ia spontan ikut tersenyum senang.
“Gue seneng deh punya secad kayak lo, hehe.”

***

“Kak, kita main niagara gara ya ya ya?” pinta Dea dengan muka memelas. Rio meringis lemah sambil menggelengkan kepala. “Gak ah, ntar basah, De.” Tolaknya halus. Dea langsung memberengut kecewa. “Ah! KakFy! KakFy mau kan ma—loh KakFy mana?” Ia berseru semangat hendak membujuk Ify namun seketika lenyap dan wajahnya langsung berubah bingung ketika tahu orang yang ia ajak bicara sudah tidak ada.
Rio kaget dan langsung menoleh ke arah belakangnya. Ia menjadi lebih kaget lagi karena tidak menemukan sosok Ify di sana. “Ify?” panggilnya dengan panik. Ia melihat kesana-kemari tapi tidak satupun orang-orang yang ia lihat mirip dengan Ify. Artinya, Ify benar-benar tidak ada bersamanya. Gadis itu menghilang. Atau jangan-jangan Ify diam-diam pergi? Memang sih, daritadi ia sering curi-curi pandang pada gadis itu dan raut wajah gadis itu selalu murung dan tampak menahan kesal. Tidak salah lagi, Ify pasti memang sengaja kabur.
Tanpa babibu, Rio langsung melangkahkan kaki pergi hendak mencari Ify. Dea yang kebingungan lantas menyusulnya. “KakYo mau kemana? Kok malah pergi, sih? Kita mainnya kan di situ, kok KakYo malah jalan ke sini?”
Rio menghela napas lalu menghentikan langkahnya sebentar. “Kakak mau nyari Kak Ify. Kalo kamu emang pengen banget main, kamu main sendiri aja ya. Kakak gabisa nemenin kamu sebelum Kak Ify ketemu.” Ujarnya dan melanjutkan jalannya kembali tanpa menunggu Dea menjawab lebih dulu. Melihat itu Dea lantas memberengut lagi. Kesal melihat Rio sebegitu paniknya ketika kehilangan Ify.
“KakFy paling lagi main di wahana apa gitu. KakYo gaperlu secemas itu lah sampe mau nyari segala. Mending kita main!”
Rio diam tidak berkomentar. Tampaknya ia sudah tidak menghiraukan apapun yang dilakukan Dea. Yang ada di kepalanya sekarang hanya bagaimana dan dimana ia bisa menemukan Ify. Sejujurnya ia benar-benar merasa bersalah dengan gadis itu. Ia sudah berjanji untuk pergi menghabiskan waktu berdua tapi yang ada ia malah mengabaikan gadis itu karena juga merasa tidak enak dengan Dea. Wajar kalau Ify kesal. Mana ini merupakan kali pertama mereka bisa pergi berdua setelah jadian. Tidak masalah kalau Ify akan memaki atau memukulinya, yang penting ia bisa menemukan gadis itu.
Entah sudah berapa menit ia berkeliling tapi tidak juga menemukan Ify. Ck, kenapa lagi tempat ini begitu luas? Jadinya kan susah kalo nyari orang ilang! Gerutunya dalam hati.
“Telfon aja kali Kak, KakFy nya! Aku udah capek nih muter-muter!”
Ting! Seperti ada yang membunyikan lonceng dalam kepalanya. Rio langsung mengambil ponselnya di saku dan mendial nomor Ify. Ia mengerang kesal karena ponsel Ify mati. Kemungkinan besar Ify sengaja menonaktifkan ponsel atau bisa juga ponsel gadis itu lowbatt. Tapi kalau benar Ify sengaja, itu tandanya gadis itu benar-benar kesal. Atau bahkan marah padanya.
“Gimana Kak, KakFy bilang apa?” tanya Dea tak kalah kesal. “Hapenya mati.” Balas Rio jutek. Dea mengernyit heran. “Kok KakYo jadi jutek sih sama aku? Ck, karena KakFy, aku jadi kena imbasnya. Iss..pokoknya aku gak suka sama KakFy!”
“De, udah ya, Kakak lagi pusing. Jangan bikin tambah pusing.” Ujar Rio lemah. Ia kembali melanjutkan langkahnya sambil menatap kesana-kemari. “Yang bikin pusing kan KakFy, kok KakYo malah marah-marahin aku terus, sih?” dumel Dea belum puas. Rio hanya mendesah tanpa berniat membalas lagi.
Rio terus berkeliling mencari Ify ditemani Dea yang tak henti-hentinya mengomel. Padahal ia sudah mencoba mengabaikan supaya gadis itu berhenti, tapi tetap saja Dea berceloteh ini dan itu. Dan keseluruhan isi celotehannya hanyalah ungkapan kekesalan untuk Ify. Membuat Rio makin merasa bersalah dalam hati dan menyesal sedalam-dalamnya karena tidak menolak keinginan Dea untuk ikut. Ify pasti sudah berpikiran tidak-tidak tentangnya sekarang.
“KakFy? Nah, iya, itu KakFy!” Dea memekik senang sambil menunjuk ke suatu sudut. Rio langsung menjatuhkan pandangan ke arah yang Dea tunjuk. Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya karena sudah bisa melihat Ify. Apalagi melihat Ify tengah tersenyum senang bersama Debo di sampingnya. Eh eh tunggu, ia tidak salah kan, itu benar-benar Debo kan? Yang sedang duduk di samping Ify? Yang telah membuat Ify-nya tersenyum? Apa, Ify tersenyum karena Debo?!
Rio merasa perputaran dunianya berhenti hingga ia sadar kalau tubuhnya ditarik Dea dan berjalan menghampiri Ify. Dan ia baru tersadar kembali ketika mendengar Dea lagi-lagi menggerutu.
“KakFy! Kakak tuh kenapa sih suka banget nyusahin KakYo? Kakak tuh selain udah bikin kita pusing, Kakak juga bikin kita capek muter-muter nyariin kakak, tau gak?!”
Rio diam terkaget-kaget mendengar Dea bukan lagi menggerutu tapi lebih kentara memarahi Ify. Ini semua salahnya sehingga membuat Dea dan Ify sama-sama kesal. Ify sendiri tampak tak kalah kaget tiba-tiba didatangi dan langsung dilabrak seperti itu. Rasanya sudah seperti ia ketahuan membawa ganja di dalam tasnya.
“Kamu bisa gak sih dateng dan ngomong baik-baik?” ujar Ify mencoba tetap tenang dan mengatur emosinya.
“Gimana bisa baik kalo udah kayak gini. Kakak tuh gatau apa yang udah kakak lakuin ya? Rasanya aku pengen nyubitin Kakak deh. KakFy ngeselin, tau gak?”
“Emangnya Kakak ngelakuin apa? Kamu kira disini cuma kamu yang kesel?” balas Ify tak mau kalah. Dari tampangnya, sepertinya Ify juga sudah mulai kehilangan kesabaran. Dirinya yang jadi korban tapi kenapa dirinya juga yang dihakimi? Ia pikir Rio akan datang dan langsung meminta maaf padanya. Tapi, ia malah dimarahi seperti ini. Dan pemuda itu hanya diam sambil garuk-garuk kepala!
“Karena KakFy udah ganggu waktu aku sama KakYo. Harusnya sekarang kita lagi main tapi malah ngabisin waktu nyariin KakFy. Eh taunya KakFy malah pacaran sama Kakak yang aku gak tau namanya ini, di sini.”
Ify seketika tertawa sarkastis. “Kakak? Ganggu kamu sama Rio? Kamu sadar gak sih kamu yang udah ngerusak rencana kakak sama kak Rio?”
“A—aku? Loh, loh, kok aku? KakYo, emangnya KakYo bikin rencana apa sama KakFy?” Dea lantas bertanya bingung pada Rio. Rio memandangnya serba salah. “Itu..Kakak tadinya—“
“Kakak sama Kak Rio harusnya mau jalan berdua, tadinya..sebelum kamu tiba-tiba dateng dan maksa buat ikut.” Potong Ify yang langsung membuat Rio mendesah frustasi. Sementara Ify seketika menatapnya dengan pandangan ‘Kenapa? Ada yang salah emangnya?’.
Dea terkesiap kaget. Wajahnya langsung berubah panik. “Ja—jalan berdua? Kenapa harus jalan berdua? Emangnya kakak ada urusan apa sampe harus jalan berdua?” Dea memandang Rio penuh harap agar pemuda itu memberikan penjelasan. Ify pun ikut memandang Rio, menuntut agar pemuda itu segera mengeluarkan penjelasan. Awas saja kalau tidak, ia akan benar-benar marah.
Rio kebingungan sendiri didesak seperti ini. Ia bingung harus menjelaskan yang sebenarnya atau tidak. Ck, kenapa ia yang harus menjelaskan di depan Dea? Dan kenapa situasinya memang mengharuskannya menjelaskan?
“Karena hari ini hari pertama setelah mereka jadian.” Sela Debo tiba-tiba. Ia sendiri sudah bosan melihat perdebatan di hadapannya. Gemas menunggu Rio yang tidak kunjung bicara. Tak ayal semua orang langsung memandangnya walau hanya sebentar. Ia hanya balas nyengir.
“Pacaran? KakYo pacaran sama KakFy? Iya, Kak?” lirih Dea. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Ck, inilah yang dikhawatirkan Rio sejak tadi dan sekarang terjadi. Ia hanya bisa mengangguk lemah. Dea mengepal tangannya kuat. Sedetik kemudian ia berlari meninggalkan ketiga orang di hadapannya itu. Tidak peduli dengan teriakan Rio yang memanggilnya untuk kembali.
Rio hendak mengejar namun Debo tanpa disangka-sangka menahannya. Ia langsung memandang pemuda itu sinis sementara Debo hanya memutar kedua bola matanya dan menghela napas jengah. “Lo sebaiknya selesein masalah lo berdua. Biar gue yang kejer dia.”
Rio tampak diam berpikir lalu kemudian terpaksa setuju. Kata-kata Debo memang ada benarnya, sih. Kalau sekarang ia pergi, Ify pasti akan makin marah padanya. Dan ia lebih tidak menginginkan itu terjadi. “Pastiin dia sampe di rumah.” Pintanya sunggug-sungguh. “Count on me!” Balas Debo seraya mengedikkan kepalanya dan tersenyum tipis. Dan ia pun langsung angkat kaki setelah itu.
Sekarang hanya tinggal Rio dan Ify saja. Rio mengalihkan pandangannya dari Debo ke Ify yang kemungkinan sedaritadi tak berhenti menatapnya. Ify terus diam seperti menunggunya melakukan sesuatu. Ia jadi bingung kalau ditatap seperti itu. Ia belum berpengalaman menghadapi Ify yang sedang marah. Maklum aja, pacaran juga baru sehari.
Ify mendesah pelan. Daripada hari ini berjalan semakin buruk, lebih baik ia mengalah saja, lagi. Meski memang rasanya agak kurang rela. “Mau nemenin gue main?” tanyanya pelan.
Rio sesaat terlihat kaget. Reaksi Ify sedikit melenceng dari perkiraannya. Tapi, syukurlah Ify justru bersikap begitu. Ia lantas mengangguk. Ify tersenyum ke arahnya dan berbalik badan beranjak pergi. Mereka lalu berjalan berdampingan tanpa suara.

***

“AAAAA!!!”
Hampir semua orang di sekitar Ify berteriak kencang saat kursi berjalan halilintar *iturealnamenyaapasih?wkwk* mulai bergerak turun, berputar-putar sampai akhirnya berhenti dan pengaman kursi terbuka sehingga semua orang yang berteriak tadi turun. Termasuk Ify dan Rio. Ify berseru senang ketika sudah keluar dari area wahana. Ia melirik orang di sebelahnya yang hanya diam dengan raut wajah seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Ini sudah ketiga kalinya Rio seperti itu. Sudah ada 3 wahana yang ia naiki bersama pemuda itu tapi reaksi pemuda itu tetap sama. Padahal ia sudah berusaha membuat agar Rio terlihat bersemangat. Ia sengaja mengajaknya bermain tornado, histeria dan terakhir halilintar. Tapi Rio tetap saja membisu seperti itu. Paling-paling hanya tersenyum, itupun dipaksa.
Ify sudah benar-benar hilang akal. Kencan pertamanya benar-benar sudah berantakan, tidak bisa diperbaiki lagi bagaimanapun caranya. Tidak akan ada gunanya lagi kalau ia terus memaksa Rio untuk tetap bersamanya, memaksa pemuda itu merasa senang. Karena ia tahu, pikiran Rio sudah tidak untuknya, untuk saat ini. Yah, setidaknya ia sudah mencoba dan setidaknya juga Rio sudah mau berusaha menemaninya. Ia sudah..cukup senang.
“Pulang yuk?” tawar Ify. Rio terkesiap lalu mengangguk ragu. Sepertinya pemuda itu tadi sedang melamun. Ck, benar, kan?
“Tapi, temenin gue ke rumah sakit dulu ya. Trus ke suatu tempat. Bentar doang kok,” Sekali lagi Rio mengangguk sambil tersenyum lega. Apa Rio lega karena gue ajak pulang? Segitu tersiksanya?
***
“Kita mau kemana, Fy?” Rio kembali bertanya hal yang sama. Beberapa saat lalu, setelah Ify selesai menjenguk papanya, gadis itu lalu mengajaknya pergi. Dia bilang mau ke suatu tempat dan tidak mau bilang persis kemana. Sebegitu rahasia sampai-sampai Ify meminta dia yang menyetir. Setiap ditanya, jawabannya selalu sama. Termasuk untuk pertanyaannya kali ini.
“Lo pasti bakalan seneng banget kesana, tenang aja.”
Rio menggaruk pelipisnya tak tahu lagi harus bertanya bagaimana agar Ify mau memberitahunya. Alhasil, ia pun memilih tidak bertanya lagi dan menunggu saja hingga nanti mobil berhenti. Selanjutnya, perjalanan hanya diisi oleh alunan musik dari mp3 player dalam mobilnya. Ify tidak mengajaknya bicara dan ia pun bingung kalau disuruh mengajak bicara.
Hingga kemudian ia sadar kalau Ify membawanya ke suatu kawasan yang sangat-sangat tidak asing baginya. Ia memperhatikan baik-baik jalanan yang mereka lewati untuk lebih memastikan. Ia masih menyimpan dugaannya perihal kemana Ify akan membawanya dan sekali lagi memilih menunggu. Ia takut kalau bertanya sekarang dan misalnya dugaannya salah, ia hanya akan menyinggung perasaan Ify. Ia tidak ingin lagi itu terjadi. Mengingat apa saja yang sudah ia lakukan sebelumnya.
Mobil Rio yang disetiri Ify berhenti di depan halaman sebuah rumah. Persis seperti dugaan Rio. Ify benar-benar membawanya kemari. Ke rumah Dea. Ia masih larut dalam keterkejutan sehingga tidak sempat berkata apapun. Ia hanya memandang Ify dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Gue tau penghuni rumah ini yang ada di kepala lo daritadi.”  Gumam Ify datar sambil memandang rupa terdepan rumah Dea, tanpa menatap Rio. Rio merasa ada yang menyumbat tenggorokannya. Perasaan tidak enak menyergap hatinya menghadapi Ify yang begitu dingin. Tapi kemudian, ia merasa ada yang menyiram dadanya dengan air es. Ada yang berhasil mengeluarkan sumbatan dalam tenggorokannya kala Ify tiba-tiba tersenyum lebar sampai-sampai mempertontonkan barisan gigi berpagarnya. Ekspresi Ify tampak benar-benar tulus seperti anak kecil. Disatu sisi ia senang tapi disisi lain ia menjadi makin merasa bersalah.
“Temuin gih!”
“Lo gakpapa?” tanya Rio tak yakin. Ify mengedipkan mata bingung lalu menggelengkan kepala. “Gak, gue sehat-sehat aja. Jidat gue juga gak panas.” Jawabnya sambil memegang dahi. Rio mendesah pelan dan tak bisa menahan senyum gemas. “Bukan itu, Ify. Maksud gue, gapapa kalo gue nemuin Dea? Lo ga bakal marah atau ngambek atau ngediemin gue, kan?”
“Lah, orang tujuan gue bawa lo kesini biar lo gak ngediemin gue, lagi.” Ify menyahut pelan sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. “Yaudah, sana masuk! Gak usah buru-buru. Gue gak akan bawa kabur mobil lo kok.” Katanya lagi karena Rio yang tidak kunjung bereaksi.
“Gue maunya lo temenin,” Ify buru-buru menggelengkan kepala menolak mentah-mentah. Ia bisa membayangkan akan terjadi pertumpahan darah jika ia ikut masuk ke dalam sana menemui Dea.
“Kalo lo gak mau ikut, gue gak mau masuk.” Ancam Rio sambil bersedekap. Ify memberengut heran. “Di sini yang butuh ketemu siapa, siapa, sih? Perasaan bukan gue, deh. Tapi kenapa malah gue yang diintimidasi?”
“Yaudah, daripada lo bingung mikirinnya, mending temenin gue masuk.” Rio berkata sambil tersenyum. Ify menggelengkan kepalanya lagi. Rio lantas mendecak kesal. “Fy, gue gak mau lo diem disini, penasaran sendiri dan akhirnya mikir enggak-enggak tentang gue. Gue gak mau ya lo kabur lagi kek tadi.”
“Aduh Yo, gue tuh cuma gak mau bikin keributan di rumah orang. Makanya, lo masuk sendirian aja ya? Gue janji deh gak akan kabur!” Ify membentuk tanda peace dengan jarinya bersumpah dengan wajah memelas. Rio berdecak sambil menyipitkan matanya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ify.  Ify spontan memundurkan tubuhnya menjauh dari Rio. “Ikut atau gue cium?” Rio kembali mengancam dengan tatapan yang mengerikan bagi Ify. Bulu kuduknya bahkan ada yang sampai berdiri.
Ify menggelengkan kepala, masih berusaha menolak. Rio tersenyum menggoda. “Jadi lo milih gue cium, nih?” Ia kembali mendekatkan wajahnya. Sehingga Ify mau tidak mau buru-buru membuka pintu dan keluar dari mobil. “I—iya! Iya, gue ikut!” katanya memekik panik. Rio yang masih di dalam mobil tertawa geli. Ia mencabut kunci mobil lalu kemudian menyusul keluar. Ia mengedikkan kepala mengajak Ify masuk. Ify mendecak dan mencibir kesal sambil berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki.
Rio berdiri memencet bel di depan pintu dan Ify berdiri dengan gelisah dalam hati di balik punggungnya. Pintu kemudian dibuka dan muncul seorang wanita paruh baya yang menyambut mereka, yang kemungkinan besar adalah mama Dea. Mama Dea tersenyum ketika melihat Rio dan mempersilahkan mereka masuk. “Dea! Turun, Sayang! Ada Kak Rio datang, nyariin kamu nih!” pekiknya berusaha memanggil Dea keluar dari kamarnya di lantai atas. Tak sampai sepuluh detik, pintu kamar Dea terbuka dan gadis itu berjalan cepat keluar.
Namun, baru beberapa anak tangga yang dituruni, Dea berhenti. Wajahnya yang semula tampak senang langsung berubah marah. Ia juga berbalik badan dan berlari kembali untuk masuk ke kamarnya. Mamanya memandangnya bingung sambil mencoba memanggilnya lagi. Namun, panggilannya itu tidak digubris karena Dea tetap berlari masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu keras-keras.
“Tante, boleh Rio yang ke kamar Deanya aja? Gak ngapa-ngapain, kok. Rio cuma mau ngajak ngomong.” Mama Dea diam sebentar lalu mengangguk pasrah. Sepertinya anaknya itu dan Rio sedang ada masalah. Rio juga sepertinya memang tidak akan berbuat macam-macam. Pikirnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Rio yang juga kembali mengajak paksa Ify dengan cara menggandeng tangan gadis itu, pergi menaiki tangga menuju kamar Dea. Ify berusaha menahan Rio sekali lagi namun Rio malah menguatkan genggamannya menyuruh sebaliknya. Ify lantas mendesah pasrah. Terserahlah, ia tidak tanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa. Ia sudah berusaha mencegah tapi Rio sendiri yang keras kepala.
Rio membuka pintu kamar Dea dengan pelan lalu berjalan masuk ke dalam. Dilihatnya Dea sedang berbaring telungkup memeluk boneka hiu besarnya di atas kasur. “Aku gak ada bilang ngizinin siapapun itu masuk ya!” ujar Dea menggebu-gebu.
“Ini Kak Rio, De.” Gumam Rio sambil mendesah pelan. Dea mendecak kesal lalu beranjak duduk dengan kasar. Ia baru hendak buka mulut namun ketika melihat Ify yang juga ikut masuk dan kini berdiri di samping Rio dengan jemari saling bertautan seketika menyulut emosinya. Ia berdiri dari tempat tidur lalu berjalan cepat ke arah Ify. Ia menyentak tangan Ify dengan keras hingga membuat tautan itu terlepas dan memunculkan guratan merah di tangan gadis itu.
Inilah yang Ify khawatirkan sejak tadi. Padahal, tidak perlu harus sekasar itu. Diminta dengan baik-baik saja ia pasti mau melepaskan tautan jarinya dengan Rio. Ia mencoba tetap tenang dan tidak ikut terpancing. Bagaimanapun, ia sekarang sedang bertamu di rumah gadis itu. Meski seharusnya sebagai tamu ia tetap tidak pantas diperlakukan begini.
Rio langsung menyelip di antara Dea dan Ify ketika melihat Dea mengangkat tangannya hendak mendorong Ify. Ia berhasil menangkap kedua tangan gadis itu sehingga gadis itu langsung menyentak tangannya agar melepas genggamannya. Dea mundur selangkah menjauh lalu membalikkan badannya membuang muka. “De, kamu gak boleh dong kayak gini. Kita bisa ngomonginnya baik-baik tanpa harus main fisik.” Bujuk Rio. Ia menoleh pada Ify sebentar menanyakan keadaan gadis itu. Ify menggelengkan kepalanya menjawab ia baik-baik saja.
“KakYo beneran pacaran sama KakFy?” tanya Dea sinis. “Iya, De.” Rio menjawab singkat karena takut salah bicara. Efeknya akan luar biasa buruk jika itu sampai terjadi. “Kenapa?” Suara Dea mendadak berubah lirih. Rio mendesah lagi. “Kalo pacaran ya pasti karena cinta, De.”
“Jadi, KakYo cinta sama KakFy? Atau jangan-jangan KakYo terpaksa karena Papanya KakFy? Iya, kan? KakYo cuma kepaksa aja, kan? KakYo gak beneran cinta kan sama KakFy?” Nada suara Dea mendadak berubah lagi menjadi senang. Namun, rasa senangnya itu dalam sekejab menguap ketika mendengar jawaban dari Rio. “Enggak, De. Kakak emang cinta sama KakFy. Ga ada paksaan dari siapapun atau apapun.”
Mata Dea langsung berkaca-kaca. Ia berlari naik ke kasur dan duduk terisak sambil memeluk boneka hiunya. Rio lantas berjalan perlahan menghampiri gadis itu dan duduk berhadapan. Berhadapan dengan Dea sekaligus Ify. “KakYo jahat!” umpat Dea sambil sesenggukan. Rio hanya diam tanpa berkomentar, membiarkan Dea lebih dulu mengeluarkan unek-uneknya *uyakayukali*. “KakYo harusnya cinta sama KakCha bukan KakFy! Aku maunya KakYo sama KakCha, bukan sama KakFy! Atau KakYo harusnya kalo bukan sama KakCha, ya sama aku, bukan sama KakFy.”
“Dea sayang, kita berdua dari dulu harusnya udah sama-sama tau. Kakak sama Kak Acha itu emang udah gaada harapan. Kita emang ga jodohnya jadi pasangan.”
Ify yang kini berdiri sebagai penonton merasa hatinya mencelos mendengar Rio memanggil Dea dengan sebutan ‘Sayang’. Ia tidak bisa menampik rasa cemburu yang tiba-tiba muncul di hatinya. Meski ia percaya panggilan itu tidaklah berarti apa-apa tapi tetap saja rasa itu ada. Ck, lo gak seharusnya cemburu, Fy. Batinnya berusaha menenangkan diri. Tapi kemudian, pertahanan hatinya itu retak ketika Dea tiba-tiba memeluk Rio dan Rio membalas pelukan tersebut. Bahkan sampai mengelus-ngelus kepala.
Ify langsung mengalihkan pandangan agar ia masih bisa tetap menyaksikan drama yang terjadi di hadapannya sampai akhir. Pacaran baru sehari tapi kenapa gue udah secemburu ini, sih? Ini hari cobaan gue berasa gak abis-abis. Batinnya lagi.
“Dea sayang banget sama KakYo.” Isak Dea sambil menguatkan pelukannya. “Kakak juga sayang sama kamu, De.”
Ify mengulum dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kenapa lagi Rio harus bilang sayang-sayang segala? Haiss..rasanya kali ini ia sudah tidak tahan. Ia menoleh ke arah pintu yang seolah memanggilnya lalu memilih pergi keluar saja. Ia mendesah lega karena Mama Dea sudah tidak ada di ruang tamu. Ia menuruni tangga lalu berjalan keluar rumah. Dan sekarang ia bingung harus melakukan apa. Mobil Rio terkunci dan ia tidak memegang kuncinya. Mana tasnya juga ada di sana. Ia menoleh ke kanan-kiri lalu memutuskan duduk di batu pinggiran kolam ikan yang ada di ujung halaman. Lumayan, setidaknya masih ada ikan-ikan yang bisa ia lihat sebagai hiburan.
Sementara itu, di dalam kamar, Dea masih terisak sambil memeluk Rio. Sementara Rio duduk dengan perasaan tidak tenang. Ia sempat melihat Ify yang berjalan keluar. Rasanya tadi ia ingin segera melompat dan menahan gadis itu. Tapi, masalahnya ia sedang menenangkan Dea. Ia menjadi serba salah kalau sudah begini. Aduh Ifyyy! Kenapa kabur lagi siiiih?
“Makanya, KakYo sama aku aja. Kan KakYo sayangnya sama aku, bukan sama KakFy.”
“Sayangnya kakak ke kamu itu sama kayak sayangnya kakak ke Ray, De.”
“Trus, kalo ke KakFy? Emangnya gasama kayak aku?”
“Perasaan kakak ke kak Ify sama kayak perasaan kakak ke kak Acha.”
Dea tiba-tiba menarik dan menegakkan tubuhnya sambil memandang Rio dengan tatapan kaget. “Berarti kakak mau dua-duanya? KakFy sama KakCha sekaligus?”
“Enggak, De. Kakak emang cinta sama Kak Acha, tapi itu dulu. Kakak jatuh cinta sama Kak Ify. Dia udah berhasil bikin Kakak move on.” Rio tersenyum tipis. Tapi kemudian tatapan matanya berubah serius. Ia menatap Dea sungguh-sungguh. “Kakak harap kamu ngerti, De. Kakak pengen kamu bisa nerima Kak Ify. Dia orangnya baik, gak bakal gigit kamu, kok.”
Dea memberengut meski mau tidak mau ia tersenyum juga mendengar ucapan Rio barusan. “Emangnya Kak Ify kucing apa gigit-gigit?” dumelnya. Rio lantas tersenyum lega melihat Dea sepertinya sudah melunak dan mengerti. Tumben-tumbennya Dea bisa ditenangkan secepat ini. Ia bahkan bisa mendapat rekor muri. Tapi, sudahlah, yang penting sudah tidak ada masalah lagi dengan gadis itu.  
“Yaudah, aku restuin. Tapi, awas aja ya kalo KakFy macem-macem! Aku gak akan bolehin dia deket-deket lagi sama Kakak!” Rio tertawa geli sambil mengacak-acak rambut anak gadis di hadapannya. “Iya, iya. Kakak berani jamin Ify gabakal macem-macem. Justru kakak yang mesti kamu khawatirin.” Katanya seraya mengerling jahil. Dea mencibir ke arahnya. “Itu juga berlaku buat KakYo. Kalo KakYo macem-macem, aku bakal ngasih hukuman berat buat KakYo.”
“Iya, deh, iya. Akhirnya! Coba kamu kek gini daritadi. Yaudah, kalogitu sekarang Kakak pamit pulang dulu ya. Kasian Kak Ify nunggu lama. Makasih juga, kamu udah mau ngertiin Kakak.” Pamit Rio. Ia mulai beranjak turun dari tempat tidur dan berjalan keluar setelah Dea mengangguk.
“KakYo!” panggil Dea ketika ia hendak menutup pintu. “Salam buat KakFy, ya! Bilangin juga kalo aku minta maaf soal tadi.” Rio tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya. Sementara Dea melengos jengah. “Perintah segera dilaksanakan.”

***

“Ngeliatin ikan mulu. Emang ikannya banyak yang ganteng?”
Ify berjengit kaget dan langsung menoleh ke belakang. Ada Rio berdiri bersedekap sambil memperhatikan isi dari kolam. Sejak kapan pemuda itu di situ? Ck, ia melamun sampai-sampai tidak menyadari pemuda itu datang.
Ify berdiri tanpa menggubris kata-kata Rio barusan. “Udah selesai?” Rio mengernyit lalu menaikkan sebelah alisnya. “Lo bilang gak bakal kabur?”
“Gue tadi capek bediri,” Ify menatap Rio menunggu pemuda itu bicara. Tapi, pemuda itu hanya diam dengan terus menatapnya. Ia menggaruk pelipisnya tak mengerti. “Kenapa?”
“Kenapa tadi lo kabur? Lo tau secemas apa gue nyariin lo gak ketemu-ketemu? Dan lo ternyata malah berduaan sama Debo?” Ify merasakan dadanya seperti ditusuk-tusuk oleh tatapan mata Rio. Ada sorot kekhawatiran sekaligus rasa marah yang ditunjukkan pemuda itu kepadanya. Ify bertanya-tanya dalam hati. Apa ia harus jujur soal kenapa ia kabur? Nanti kalau pemuda itu malah meledeknya bagaimana? Ck, lagian, masa pemuda itu tidak tahu alasannya kabur?
“Tadi cuma gak sengaja ketemu Debo, ngobrol trus lo dateng. Udah, itu aja.”
“Dan, kenapa lo kabur?”
Ify menaikkan sebelah alisnya. “Lo masih harus nanya?” Rio bergeming seakan menjawab iya. Ify membuka mulutnya hendak berbicara namun lekas ia urungkan. Percuma rasanya kalau ia katakan yang sebenarnya. Toh, Rio tidak benar-benar peduli. Sedaritadi Rio hanya memikirkan Dea, bahkan saat sedang bersama dirinya pun. Wajar saja kalau pemuda itu masih harus bertanya kenapa ia sampai kabur. Kalau masih satu kali sih masih bisa ditolerir. Tapi, ia kabur sudah dua kali. Dan dua-duanya ia lakukan ketika pemuda itu sedang bersama Dea. Masa masih tidak sadar juga?
Ck, lagian, kurang pantas juga kalau ia cemburu. Ia sudah terlalu banyak cemburu selama ini ketika mereka belum berstatus apapun. Dari awal ia juga sudah tahu seberapa dekatnya Rio dan Dea. Jadi, yah, memang tidak dapat ia pungkiri kalau Dea lebih berhak atas Rio dan Rio lebih peduli pada gadis itu ketimbang dirinya. Siapalah dirinya. Orang yang sedari dulu mengemis-ngemis cintanya. Tidak persis mengemis-ngemis memang. Dan hanya beruntung menjadi pacarnya kemarin malam. Hubungan mereka bahkan belum genap satu hari. Mungkin waktu itu otak Rio lagi konslet dan gak sengaja nembak gue.
“Lupain ajalah..” serah Ify sambil mengibaskan tangannya. Ia lalu memandang Rio kembali yang kelihatan kaget. “Lo udah selesai, kan? Kita bisa pulang sekarang?”
Bukannya menjawab, Rio malah senyum-senyum sendiri tanpa jelas apa maksudnya di mata Ify. Pemuda itu gila ya? Apa otaknya benar-benar konslet? “Lo cantik banget, sih, hari ini.”
Tuh, ngomong apaan lagi ni orang? Batin Ify terheran-heran. Ia baru saja mau buka mulut sebelum Rio tiba-tiba mendekat ke arahnya dan memeluknya serta mencium pelipisnya sesaat. Ia merasa jantungnya bocor dan terbang kemana-mana seperti balon. Duh, ni anak ganteng-ganteng tapi tukang nyosor ya! Ckck. Senang sih tapi coba deh lihat-lihat tempat. Ini kan di depan rumah orang. Kalau ada yang melihat bagaimana? Kan bisa malu! Meski memang tidak separah waktu pemuda itu mencium pipinya di sekolah.
Ify mendorong pelan tubuh Rio sambil menatapnya kesal sementara Rio membalasnya dengan tatapan tidak rela. “Lo tuh ya! Kalo diliat sama mamanya Dea gimana?!” dumelnya. Meski begitu, Rio tampaknya tidak peduli dan malah memeluknya lagi. Bahkan pelukannya lebih erat sampai tindakan merontanya pun tidak mempan. Pada akhirnya ia hanya berdiri pasrah. Lagipula, pintu rumah Dea sudah ditutup. Jadi, kemungkinan besar tidak akan ada yang datang dan melihat mereka.
“Tadi Dea titip salam trus katanya dia minta maaf sama lo soal tadi,”
“Lo..gak minta maaf?” Rio menarik tubuhnya demi bertemu pandang dengan Ify. Meski tangannya tetap mengalung di leher Ify. “Lo kan gak marah.” Sahut Rio polos. Ify lantas mendesis sebal dan mendorong keras tubuhnya. Mau tak mau ia terkekeh geli melihat itu.
“Peace, hehe..” Ia menyembulkan jari tengah dan telunjuknya. “Thanks ya..” katanya kemudian. Kening Ify berkedut-kedut sambil menatap Rio bingung. Disuruh minta maaf kenapa pemuda itu malah berterimakasih?
“Karena lo gak marah sama gue apalagi Dea. Lo mau ngerti, ngalah dan rela makan hati. Dan itu semua lo lakuin cuma biar gue gak ngediemin lo lagi. Lo itu bener-bener ya...gue gatau harus ngomong apalagi.” Rio menatap Ify dengan rasa haru bercampur kagum juga bahagia. Sementara Ify tetap bergeming tanpa membalas ucapannya. Rio lantas mengernyit bingung. “Kok lo diem aja? Atau gue ada salah ngomong ya?”
Ify menggeleng pelan. “Gue daritadi nungguin lo minta maaf. Tadikan gue mintanya itu doang. Lo malah bilang makasih.”
Rio membuka mulutnya tapi kemudian tidak tahu harus bilang apalagi. Untung tidak sampai speechless. Ia tersenyum hangat pada Ify dengan tatapan sedikit memohon tapi lebih tepat memaksa. “Sorry ya? Mau maafin gue, kan?”
Ify mengulum bibirnya sambil menyipitkan mata tampak menimang-nimang. Tak lama kemudian, matanya kembali normal. Ia berjinjit sambil menumpu tangannya di kedua bahu Rio dan mengecup pipi pemuda itu singkat. Ia memandang pemuda itu dan tersenyum dengan sedikit tersipu. Senyumnya tak ayal menular pada Rio.
“Mau langsung pulang?” tanya Rio kemudian. Ify mengangguk cepat. Ia lalu berjalan menuju mobilnya sambil menggandeng tangan gadis itu. Mesin mobil menyala dan kemudian beranjak pergi dari halaman rumah Dea.

***

Ify menggaruk-garuk kepalanya kesal memandang buku kimia di hadapannya. Ia yang semula berbaring telungkup lalu kemudian duduk hendak meminta bantuan pada ketiga temannya. Namun, urung ia laksanakan melihat Via, Agni dan Shilla begitu seriusnya menonton dvd film yang mereka beli tadi siang. Kalau sudah begitu, mereka mana bisa diganggu barang semenit pun. Lalu kemudian, wajah Rio muncul di benaknya. Seolah-olah menjawab kebingungannya saat ini. Ia tersenyum lebar lalu dengan segera beranjak turun dari kasur dan berlari keluar kamarnya dengan membawa serta buku serta setangkai pensil(?).
Dari lantai atas ia dapat melihat Rio sedang duduk menonton siaran pertandingan sepak bola di ruang tengah. Pemuda itu kelihatan tak kalah serius dari ketiga temannya. Ify sempat berhenti menuruni anak tangga karena ragu untuk meminta bantuan pemuda itu atau tidak. Tapi kemudian, ia melanjutkan langkahnya kembali untuk tetap melaksanakan niatnya. Ia kan belum tahu bagaimana respon Rio kalau diganggu saat sedang serius menonton. Apalagi menonton pertandingan bola. Tak ada salahnya sekaligus ia cari tahu. *anggep aja ya ada siaran bola yang tayang jam 8 malem wkwk*etapi kadang-kadang ada kan ya*
“Yo?” panggil Ify yang tidak digubris Rio sama sekali. Bahkan pemuda itu mendengar saja perlu diragukan. Ify menggigit bibirnya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rio. Tiba-tiba saja Rio berseru kecewa sambil memukul dengkulnya. Sejurus kemudian, pemuda itu kembali ke posisinya semula, duduk bersila sambil bertumpu dagu.
“Yo?” Ify mencoba memanggil sekali lagi. Suaranya agak dikeraskan. Untungnya ada sedikit kemajuan. Rio berdehem pelan. Meskipun tidak sedikitpun memalingkan wajahnya dari televisi, tapi pemuda itu setidaknya masih menunjukkan tanda bahwa pemuda itu juga memperhatikannya. Ify tersenyum senang dan langsung menyodorkan bukunya. “Ajarin gue dong?” pintanya dengan sangat. Rio menoleh ke arahnya lalu bukunya lalu kembali pada televisi. Senyumnya langsung berubah kecut.
“Minta ajarin Via, Agni sama Shilla aja sana!” ujar Rio tak peduli.
Jutek banget! Apa Rio selalu kek gitu kalo lagi nonton bola? Atau karena gue yang minta ajarin? Selama ini kan dia paling ogah ngajarin gue. Batin Ify. Meski begitu, ia masih belum kapok dan tetap berusaha agar Rio mau mengajarinya. “Apa gue mesti jadi Dea dulu biar lo mau ngajarin gue?” Rio langsung menoleh lagi ke arahnya. Ia langsung berteriak puas dalam hati. Berhasil!
“Lo pernah denger gak ada pepatah bilang kalo bola itu istri ke setengah nya para lelaki?” Rio menatapnya sedikit kesal lalu langsung mengalihkan pandangan ke televisi kembali. Ify mencibir tak terima sambil menirukan gerakan mencakar dan ditujukan ke arah Rio. Ia membanting tubuhnya ke badan sofa sambil bersedekap dengan wajah kesal. Ia melirik tv lalu Rio lalu tv lalu buku kimianya. Ia harus mencari cara lain yang benar-benar ampuh membuat Rio mau mengajarinya. Dan tak butuh waktu lama, sebuah ide begitu saja terpintas di otaknya.
“Lo pernah denger pepatah bilang kalo ada cowok yang rela gak nonton tim bola kesayangannya demi ngajarin ceweknya, nikahin tuh cowok! Pernah denger?” tanya Ify memancing. Ia melihat Rio tersenyum meremehkan. “Cewek yang nyari cowok kek gitu pasti bakal jadi perawan tua.” sahutnya. Ify menyipitkan matanya lalu tersenyum menantang. “Let’s see..” desisnya sambil meraih ponsel di atas meja. “Kalo gak salah Kak Tristan suka MU, deh..” gumam Ify pelan. Telunjuknya menari-nari mencari sebuah kontak. Dan ketika ketemu, ia langsung berseru senang. Rio yang awalnya tenang-tenang saja mau tidak mau menjadi harap-harap cemas juga.
Ify mendial nomor Tristan dan menunggu beberapa detik hingga panggilannya dijawab. “Ah, diangkat!” serunya tanpa sadar. Atau mungkin bisa juga disengaja. “Halo Ka—“
Akan tetapi, belum sempat Ify menyapa, Rio tiba-tiba merebut ponselnya dan langsung mematikan sambungan telepon dengan Tristan. Pemuda itu meletakkan ponselnya kasar lalu menatap sebal ke arahnya. Ia hanya membalas senyum tanpa dosa sambil menyerahkan buku kimianya. Akhirnya usahanya berhasil. Walau dengan sedikit menipu karena sebenarnya ia juga tidak tahu Tristan menyukai klub sepakbola yang mana. Meski harus bersungut-sungut, tapi Rio tetap mengambil bukunya dan menanyakan perihal apa yang menjadi masalah di sana.
Ify yang awalnya senang kemudian berubah menjadi tak tega. Kasihan juga melihat Rio begitu tersiksa harus mengajarinya sementara di hadapannya sedang berlangsung pertandingan bola tim favoritnya. Setaunya kan pertandingan itu tidak hadir setiap hari. Rio pasti sudah begitu menunggu dari jauh-jauh hari. Lagian, kan besok masih libur. Masih banyak waktu dan tidak harus sekarang. Lantas, ia mengambil pensil yang tengah Rio gunakan menulis. Sekaligus juga bukunya. Rio menatap jengah ke arahnya seakan berkata ‘Kenapa lagi?’ dengan raut wajah begitu menggugah hati. Khususnya Ify.
“Hehe, lo nonton aja dulu, deh.” Ujarnya sambil nyengir bersalah. Rio mengernyit aneh ke arahnya lalu menatapnya tajam. “Lo gak ada niatan hunting cowok buat dinikahin lagi, kan?” Ify tak ayal tertawa lalu segera menggelengkan kepala. Benarkah Rio sampai setakut itu?
Tiba-tiba Rio tersenyum girang. “Tunggu sampe babak pertama selesai. Ntar baru gue ngajarin lo.” Ify hanya menganggukkan kepalanya. Dalam sekejab Rio tenggelam bersama televisi. Ify beranjak dari sofa dan berjalan naik ke atas menuju kamarnya untuk mengambil cemilan. Keadaan di kamarnya masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Ia lalu berjalan turun dan kembali duduk di sofa di samping Rio sambil ikut menonton.
Ify melirik ke arah Rio. Kalau begini ia jadi teringat kejadian tadi pagi. Bagaimana mendungnya wajah pemuda itu ketika Dea berlari pergi setelah mengetahui status terbaru mereka. Tapi, kenapa Rio sampai harus sepanik itu? Ia bukan ingin mengungkit-ungkit masalah yang sudah dianggap selesai itu. Tapi, ia hanya penasaran saja.
“Yo?” panggilnya kemudian. Rio berdehem menyahut sama seperti tadi. Ify menelan cemilan yang ada dalam mulutnya lalu berbicara. “Gue cuma penasaran aja, sih. Kok lo sampe panik banget gitu pas Dea pergi gitu aja?” tanyanya lalu memasukkan cemilan lagi ke dalam mulutnya dan menatap ke arah televisi.
“Dia itu orangnya suka nekat kalo ada hal yang ga sesuai sama jalan pikiran dia. Dia pernah hampir mati bunuh diri gara-gara abis putus sama pacarnya. Dan itu gak cuma sekali. Makanya gue takut banget tadi. Gak enak sama orangtuanya kalo sampe dia kenapa-kenapa, pas sama gue lagi. Yah, taulah kan gue udah lumayan deket sama mereka.” Rio menjeda bicaranya untuk mengambil snack yang dibawa Ify lalu memakannya. “Dia sebenernya baik. Cuma ya, mungkin bisa dibilang punya kelainan emosi. Terlalu meledak-ledak.”
“Hmm..gitu.” Ify mengangguk mengerti. Lumayan masuk akal. Setelah itu, tidak ada pembicaraan lagi. Rio fokus pada siaran sementara Ify tidak tahu harus bertanya apalagi. Hingga kemudian, tubuh mereka mendadak sama-sama tak bergerak dengan mata menatap tajam tanpa berkedip. Tangan Ify yang hendak memasukkan snack ke dalam mulut bahkan sampai berhenti membuat snack tersebut terkatung-katung di udara.
“Ball’s on Gigs. Given to Rooney. Oww! Can it be..Rooney..Rooney..YEAY WAYNE ROONEEEEY! Wayne Rooney scores at the last minutes of this first half and succed keeping their chances in....” *buahaha sumpah ini ngarang banget*
Selanjutnya Rio sudah tidak memedulikan lagi kata-kata selebrasi sang komentator karena aksi selebrasinya sendiri. Ia berteriak sambil bertepuk tangan keras dan spontan memeluk manusia di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah Ify. Ia juga sempat-sempatnya mendaratkan kecupan pada pipi gadis itu lalu kembali berjingkrakan tak jelas. Ify yang tadinya ikut merasa senang mendadak kesal karena Rio kembali mengulangi kebiasaan nyosor sembarangannya itu. Ia langsung mencubit keras pinggang pemuda itu yang seketika membuatnya mengaduh kesakitan.
“Kok gue dicubit?” keluh Rio di penghujung selebrasinya. “Abis lo sembarangan pake nyium-nyium segala. Kalo temen-temen gue liat gimana?!” balasnya galak. Rio lantas nyengir tanpa dosa tanpa sedikitpun kehilangan corak kebahagiaan di wajahnya. Ia lalu kembali duduk normal sambil bersandar ke badan sofa. “Yaudah, mana yang mau gue ajarin tadi?” tanyanya dengan semangat.
Ify menyerahkan pensil dan buku kimianya pada Rio. Rio menepuk sisi paling di sampingnya menyuruh Ify mendekat. Ify pun menurut tanpa banyak protes. Ia duduk bertumpu dagu melihat dan mendengarkan Rio yang mulai menjelaskan sambil menulis di buku kimianya. Sesekali ia mengangguk, tapi ia lebih sering menyela karena Rio berbicara terlalu cepat dan ia juga agak lamban mengerti apa yang pemuda itu ajarkan. Tak ayal, beberapa hadiah pukulan di kening menggunakan pensil diberikan Rio padanya.
“Oooh..gitu doang. Ck, bilang dong daritadi..AW! Kok gue digetok lagi, sih?!” Rio menatap Ify kesal. “Gue emang udah bilang daritadi kali. Lo nya aja yang baru ngerti.” Sungutnya. Gantian Ify yang memajang cengiran tanpa dosa sambil melihat kembali tulisan penjelasan Rio di bukunya. Ia tak henti-hentinya memajang senyum di bibir. Ia bisa pintar kalau begini terus. Ia benar-benar beruntung. Punya pacar ganteng sekaligus pintar. Bisa dijadikan sebagai guru private gratis. Meskipun ngajarinnya galak.
Ify menutup bukunya dengan perasaan puas lalu meletakkannya di meja. Ia menoleh ke arah Rio dan pemuda itu sudah kembali tenggelam dalam siaran televisi. Ia tersenyum lagi melihat itu. Ia cepat-cepat mengambil ponsel dan mengambil kesempatan mengabadikan ekspresi Rio yang begitu serius saat ini. Belum puas ia memandangi hasil bidikannya, ponselnya sudah berubah tangan. Rio tiba-tiba saja merebut ponselnya, lagi.
“Curang!” Ify mengernyit bingung. Yang dibilang curang dirinya atau wasit dalam pertandingan bola?
“Kalo foto ya berdua, dong!” ujar Rio sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya ke atas ke bawah. Ify terkekeh geli dan langsung merapatkan tubuhnya kembali dengan Rio. Rio kemudian menjadi juru kamera dengan salah satu tangan merangkul Ify. Ada sekitar 4 foto yang diambil yang pose terakhirnya ia, sekali lagi, mencuri kesempatan mencium pipi kekasihnya itu. Ify kali ini tidak protes. Karena sepertinya percuma juga, Rio tidak akan menggubris.
Rio langsung menjadikan foto terakhir tersebut sebagai walpaper hape Ify tanpa lebih dulu menanyakan persetujuan gadis itu. “Ntar kirim ke gue ya!” ujarnya sambil mengembalikan ponsel di tangannya pada pemiliknya.
“Enggak, ah. Ntar lo upload lagi.” Rio menaikkan sebelah alisnya dan bertanya bingung. “Emangnya kenapa kalo gue upload?”
“Ya ntar pada heboh, Yo. Yang tadi pagi aja masih rame sampe sekarang.”
“Gue kan cuma mau mamerin pacar gue. Masa gaboleh?”
“Emangnya gue lukisan dipamerin?”
“Ck, bukan gitu, Ify-ku-sayang! Itu kan sebagai tanda kalo gue bangga punya pacar kayak lo. Lo emangnya gak bangga punya pacar kayak gue?”
Ify tertawa kecil lalu tersenyum miring dan bersandar di tubuh Rio. Sekaligus menikmati elusan pemuda itu pada kepalanya. “Siapa, sih, yang gak bangga jadi pacar lo..” gumamnya pelan. Rio menganggukkan kepala. “Nah, makanya, kan..”
Beberapa saat mereka saling diam. Lalu kemudian Ify bersuara lagi. “Yo, kita bakal kek gini terus, kan?”
“Emangnya lo mau bubaran kapan?” sahut Rio asal. Ify lantas memukul pahanya lumayan keras dan ia hanya terkekeh singkat. “Apapun yang terjadi, lo tetep ada di belakang gue, kan?”
“Iya, iya!”
“Ngedukung gue?”
“Selalu.”
“Ngebela gue?”
“Pasti.”
“Ngelindungin gue?”
“Wajib.”
“Dan gak ninggalin gue?”
“Gak akan.”
Ify tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Bagus-bagus,” gumamnya.
“Fy, lo pernah liat peri bunga gak?” tanya Rio tiba-tiba. Ify hanya berdehem mengiyakan. “Nah, ntar pas prom, rambut lo di bikin kek gitu ya? Gak usah diiket atau dimacem-macem. Digerai aja, trus di atasnya ada yang dijalin melingkar kek gini sama ada bunga-bunganya. Pas prom aja tapi, biar gue penasaran.” Rio berkata sambil menunjuk-nunjuk bagian atas kepalanya dengan antusias. Ify tertawa lagi lalu menganggukkan kepalanya.
“Iya, iya. Your wish is my command, deh.” Serah Ify. Awalnya ia ingin bertanya kenapa pemuda itu tiba-tiba mengatakan itu. Padahal acara promnight sekolah masih lama. Tidak terlalu lama juga, sih. Tapi, yasudahlah. Tidak terlalu penting. Ia pun jadi tidak pusing-pusing memikirkan harus bagaimana nanti ketika menghadiri acara tersebut. Rio, Rio. Baru sehari pacaran sama lo tapi lo udah ngasih kenangan banyak banget. Haaah...rasanya ia tidak ingin hari ini cepat-cepat berlalu.

***

Rio kembali harus mengikuti rapat mengenai promnight. Dan dengan sangat terpaksa meninggalkan Ify dan menitipkan gadis itu pada ketiga temannya. Pemuda itu sempat mengajaknya untuk ikut izin rapat bersamanya tapi ia menolak. Untuk apa ia ikut, toh, ia tidak punya jabatan apapun. Menjadi anggota osis pun tidak. Tidak baik dipandang murid yang lain. Alhasil jam istirahat ini, ia hanya menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatnya di dalam kelas. Beruntungnya, ketiga sahabatnya itu juga sedang malas kemana-mana.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Rio. Jemarinya bergerak cepat membuka pesan tersebut.
‘Gue punya sesuatu buat lo. Gue tunggu di perpus ya! Di rak paling ujung:*’
Ify mengerutkan dahi bingung. Merasa asing dengan pesan Rio ini. Jujur saja, ini adalah text pertama mereka berdua setelah berpacaran. Ia lantas geleng-geleng kepala. Itu orang hobby banget nyium ya? Sampe emot yang dipake itu juga? Ckck. Batinnya.
“Temenin gue ke perpus yok?” pinta Ify. Agni menoleh ke arahnya sambil menaikkan alis. “Mau ngapain?”
“Ketemu Rio, hehe.” katanya dengan agak tersipu. Sementara ketiga temannya menahan senyum geli. “Paham, deh, paham. Yaudah. Tapi, ini karena lo baru jadian aja ya makanya kita-kita mau.” Ujar Agni lagi.
“Iya, iya.”

***

Drrt..drrt..
Ponsel Rio bergetar. Ia mendapati sebuah pesan misterius dari nomor asing. Ia tidak tahu itu siapa karena nomornya tidak terdaftar dalam kontaknya. Ia menatap ponselnya bingung sekaligus penasaran setelah membaca pesan yang baru saja masuk itu.
‘Kalo lo mau tau siapa cewek lo sebenernya, ke perpus sekarang juga. Dia ada di rak paling belakang.’
Rio bimbang. Haruskah ia ke perpus sekarang ini? Kalau orang ini hanya mengerjainya bagaimana? Atau...astaga! Jangan-jangan orang ini justru berbuat macam-macam pada Ify. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus pergi ke sana.

***

Ify bersama ketiga sahabatnya tersebut langsung beranjak dari kelas menuju perpus. Hampir setiap orang melihat ke arah mereka, terutama ke arah Ify. Ify merasa seperti lauk pauk yang sangat amat lezat karena ditatap setajam itu. Tapi, untunglah ada Agni yang menemaninya jadi mereka sedikit banyak takut mau berbuat macam-macam. Selain karena Agni jago bela diri, Agni juga sudah mengancam mereka semua akan melapor ke guru BP bahkan polisi kalau sampai berbuat anarkis lagi.
Ify berseru senang saat sudah menginjakkan kaki di dalam perpus. Ia menyuruh ketiga temannya untuk membiarkannya pergi sendiri ke rak yang Rio maksud sementara mereka ke rak yang lain. Ia mendapati rak tersebut kosong. Sepertinya Rio belum selesai rapat. Tak apa-apa kalau ia harus menunggu, daripada ia yang ditunggu.
Ify memilih melihat buku-buku yang berjejer di depannya. Siapa tahu ada yang menarik dibaca sembari menunggu Rio datang. Ia baru saja menjulurkan tangan hendak mengambil salah satunya tapi kemudian ada sepasang tangan yang memeluknya dari belakang. Pasti itu Rio! Pikirnya. Pemuda itu kan kebiasaan memeluknya sembarangan. Untung saja sisi tempatnya berada ini adalah sisi yang paling sepi bahkan hampir tidak terjangkau orang-orang.
Ia mendengus pelan tapi tetap tersenyum juga. “Rio! Kan gue udah pernah bilang ja—“ Ia tidak sempat menyelesaikan kata-katanya dan hanya sempat berbalik badan menghadap orang yang memeluknya. Karena orang tersebut dengan gerakan cepat dan tiba-tiba mengunci mulutnya. Ia membelalakkan mata kaget. Orang tersebut menciumnya! Tepat di bibir! Dan entah kenapa ia yakin ini bukan Rio. Ya, ini memang bukan Rio. Ini..
“Brengsek!!”
Bug..bug..

***

Hueheeei part 29 selesai-.- Hayolooo siapa yang nyium Ify? Ayo tebak! Yang bener ntar mimin kasih selamat! *Ganiatbangetsihminhahaha*

Untuk couple lain sabar yaaa, mimin mau istirahat dulu. Udah begadang berapa hari ini-.- Mimin kan udah adil. Semuanya dibikin panjang-panjang. Gabakal lama-lama juga kok, tenang aja. Jadi, harap sabar menunggu. Makasih juga yang masih setia baca, ngelike, ngoment, ngadvice dan nagih haha. Muah buat kalian semuah:*

Matchmaking Part 28 (Alshill, Cagni)

Alshill
Trying to resist but I can’t refuse. I’m feeling feeling that I never knew.
***
“Gak. Alvin gak setuju dia tinggal di rumah kita. Mama gak takut bawa orang asing ke rumah? Kalo dia ntar niat jahat sama kita gimana?” tolak Alvin mentah-mentah. Ia bersikeras menolak permintaan gila Fara, Mamanya, dengan mengajak Febby tinggal di rumah. Tapi, sepertinya, Mamanya itu tidak peduli pada apapun yang ia katakan dan lebih memilih mendengar pendapat Febby ketimbang protesnya.
Febby mendelik kesal pada Alvin. Emangnya gue maling?! Batinnya agak tak terima. Ia lalu memandang Fara dengan tak enak hati. “Emm..sebelumnya makasih banget karena Tante udah berbaik hati nawarin Febby tinggal di rumah tante. Tapi, kayaknya untuk saat ini Febby gabisa, Tante.” Katanya pelan. Hatinya mencelos manakala melihat air muka Fara yang begitu sedih mendengar penolakannya.
“Kenapa gabisa?” tanya Fara kecewa. Febby menggaruk-garuk pelipisnya. Ia bingung kalau sudah begini. “Gimana ya..rasanya gabaik aja kalo Febby pergi gitu aja dari rumah. Febby juga gamau nimbulin masalah baru di keluarga Tante.” Ia melirik Alvin sekilas lalu tersenyum miris pada Fara. Alvin mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu.
“Mungkin kamu perlu waktu buat mikir. Kamu gaperlu jawab sekarang. Tapi, Tante akan nunggu kamu sampe kamu mau tinggal sama Tante, di rumah Tante.” Ujar Fara sungguh-sungguh. Ia menggenggam salah satu tangan Febby lalu menepuknya pelan. Febby lagi-lagi hanya tersenyum miris. Bisa gitu ya, nyokapnya baik minta ampun tapi anaknya nyebelin parah. Moga aja gak tujuh turunan. Ckckck.
“Emm..kalo gitu, Febby kayaknya mesti pamit dulu. Udah kesorean.”
“Mau Tante anter?” tawar Fara semangat. Febby tersenyum seraya menggeleng pelan. “Gak usah, Tante. Ntar malah ngerepotin. Lagian, Alvin gaada yang jagain, kan?”
Fara tidak bisa berkata lagi dan dengan berat hati membiarkan Febby pulang sendiri.
“Alvin pokoknya tetep ga setuju Febby tinggal di rumah kita.” Ujar Alvin tegas setelah Febby keluar dari kamar inapnya. Mamanya menoleh sesaat padanya.
“Kalo kamu memang bener-bener ngerasa bersalah dengan perginya Vina, Mama mohon kamu gak nolak. Mama ga bermaksud menghakimi kamu soal Vina, tapi kali ini Mama bener-bener mohon sama kamu. Tolong ngertiin perasaan Mama.” Lirih Fara. Wanita itu ikut-ikutan pamit dan beranjak keluar dari kamarnya meninggalkannya kembali. Sehingga ia benar-benar sendirian di kamar itu. Ucapan terakhir Mamanya membuatnya tidak bisa membantah lagi. Ia lantas mendesah pelan.
***
Febby banyak merenung selama perjalannya pulang ke rumah. Entah kenapa ada perasaan menyesal dalam hatinya sudah menolak tawaran Fara padanya. Setidaknya kalau di rumah Alvin, hidupnya akan sedikit lebih baik. Tanggungan hidupnya soal ayah tirinya dan makan akan hilang. Ia tidak harus bekerja hingga larut malam lagi karena ia hanya harus membiayai sekolahnya saja. Tapi, ia tetap merasa khawatir.
Kalau saja Alvin tidak menolak sekeras itu, ia mungkin akan setuju. Tapi, Alvin saja seperti itu apalagi ayah pemuda itu nanti. Jangan-jangan malah lebih kejam dari ayah tirinya. Ia sudah parno dengan yang namanya laki-laki karena laki-laki di sekelilingnya semuanya membuatnya kecewa. Bahkan Goldi juga sama mengecewakan. Bahkan paling mengecewakan menurutnya. Ia sudah terlanjur menganggap Goldi sebagai malaikatnya dan percaya kalau pemuda itu sekalipun tidak akan pernah menyakitinya tapi akan selalu melindunginya. Dan kenyataan rupanya berkata lain.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Febby tersadar dan langsung memeriksa apa yang membuat benda itu bergetar. Ia memainkan ponselnya sembari berjalan kaki memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Langkahnya tiba-tiba berhenti manakala ia sudah mengetahui penyebab getaran di ponselnya itu. Ada sebuah misscall dan satu pesan masuk. Dan dua-duanya berasal dari orang yang sama. Goldi. Goldi?
Ia berjengit heran. Ia membaca isi pesan Goldi tersebut lalu mendesah malas. “’Lo dimana?’ Ih, basi banget, sih.” gumamnya datar. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya tanpa membalas terlebih dahulu pesan Goldi padanya. Untuk saat ini, ia sedang tidak ingin berurusan atau mengungkit-ungkit urusan di antara mereka berdua. Bertemu pun rasanya malas. Ia tahu bagaimanapun ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Goldi, mengenai hubungannya dengan pemuda itu yang sekarang menjadi tidak jelas statusnya. Tapi, nanti-nanti sajalah ia selesaikan. Kalau tidak sengaja bertemu saja.
Febby berhenti setelah beberapa langkah masuk ke halaman rumahnya. Ia dibuat bingung dengan adanya mobil tambahan yang bertengger di sana selain mobil Oik. Rasanya ia pernah melihat mobil itu. Ah, tapi kan mobil seperti itu diproduksi banyak tentu saja ia merasa tidak asing. Ia mengedikkan bahu tak begitu peduli lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Langkahnya kembali terhenti ketika ia berpapasan dengan seseorang di depan pintu. Untung ia berhenti di saat yang tepat. Kalau tidak ia pasti akan menabrak orang itu.
Febby yang tengah menunduk lalu mendongak dan sontak berjengit kaget mengetahui sesosok pemuda di depannya. Yang baru saja ia bilang tidak ingin ia temui tapi malah langsung dipertemukan seperti ini. Jantungnya tiba-tiba saja berdetak begitu cepat. Goldi? Batinnya. Aneh, kenapa ia jadi degdegan sekarang? Rasanya tadi ia sudah berikrar untuk melupakan segala hal tentang pemuda itu. Melupakan sakit hatinya atas perbuatan pemuda itu. Dan terutama, ia sudah melepaskan semua perasaannya untuk pemuda itu. Tapi sekarang, kenapa reaksi tubuhnya sangat berbeda? Malah menunjukkan yang sebaliknya. Oh, ini tidak boleh terjadi!
Goldi sesaat juga terlihat kaget lalu kemudian air mukanya berubah cemas. “Lo darimana? Kenapa telfon gue gak diangkat? Sms juga gak lo bales. Dari semalam lo gaada kabar. Lo tau seberapa cemasnya gue?” cerocosnya panjang lebar. Persis seperti ibu yang baru menemukan anaknya yang sudah hilang 3 hari. Sementara Febby hanya melongo mendengar pemuda itu berceloteh. Ia heran, bagaimana bisa Goldi masih bersikap biasa seperti ini? Apa pemuda itu tidak sadar sudah melakukan apa padanya? Ah, atau Goldi tidak tahu kalau ia masuk sekolah tadi pagi dan ia sudah tahu apa yang pemuda itu lakukan di belakangnya?
“Dari sekolah.” Balas Febby singkat. Saat itu juga mata Goldi melebar dan kelihatan sangat terkejut sekali. Ada sedikit kepanikan juga. Febby berusaha memasang tampang sedatar mungkin lalu melangkah ke samping pemuda itu, tidak berniat ingin berlama-lama mengobrol. Ia ingin segera masuk ke kamarnya, mengunci pintu lalu tidur dengan nyaman dan melupakan semua hal yang terjadi pada hari ini.
Goldi langsung tersadar kembali saat Febby beranjak pergi dari hadapannya. Ia mundur dengan cepat dan langsung menghalau jalan Febby. “Lo—tadi—sekolah?” tanyanya terbata-bata. Ia terlihat gugup. Ditambah dengan tatapan datar Febby padanya. Sangat tidak biasa dibanding tatapan gadis itu biasanya. Ia tidak melihat sorot matanya yang selalu tersenyum pada dirinya apapun yang terjadi, apalagi saat bibirnya sedang tidak dapat melakukan itu. Ia justru hanya melihat rasa marah yang terpancar di dalam sana.
Febby hanya berdehem singkat lalu hendak melangkah lagi. Akan tetapi, Goldi tidak juga membiarkannya pergi dengan terus menghalau kemanapun arah tujuannya berjalan. “Gue capek. Plis, gue butuh istirahat.” Ujar Febby tegas seraya mendengus pelan. Goldi mendesah lesu sambil menatapnya memelas. Memohonnya untuk berbicara sebentar saja dengan pemuda itu. Ck, tatapan yang berbahaya. Sangat berbahaya. Karena ia hampir tidak bisa menolak setiap kali pemuda itu menatapnya seperti itu. Ia harus cepat-cepat pergi.
Febby mengalihkan pandangannya bersikap seolah tak peduli. “Kalo emang ada yang pengen lo omongin sama gue, besok aja. Gue lagi ga pengen ngomongin apapun sekarang. Apalagi sama lo.” Ia kembali menoleh pada Goldi. “Jadi, bisa gak jangan halangin jalan gue lagi?”
Goldi mendesah lagi. “Apapun yang lo mau.” Katanya pasrah. Ia menggeser tubuhnya mempersilahkan Febby lewat. Namun belum jauh Febby berjalan, Goldi kembali berbicara. “Sebelum tidur, jangan lupa makan. Abis makan jangan langsung tidur supaya pencernaan lo lancar. Abis itu jangan lupa solat. Jangan lupa doa sebelum tidur dan doa buat semua orang yang lo sayang. Gue berharap salah satunya gue. Karena gue selalu berdoa buat lo. Lo tau kenapa, kan?”
Febby meremas tas sekolahnya kuat-kuat. Matanya sudah memerah menahan bulir-bulir air mata yang ingin segera keluar. Ia marah tapi juga sedih sekaligus bahagia. Meski rasa bahagianya mungkin tak lebih dari satu detik. Can’t he just leave and ignore me? Akan lebih mudah rasanya jika pemuda itu mencampakkannya saja dan tidak usah memedulikannyanya apalagi menemuinya lagi daripada seperti ini. Sudahlah, dia sudah punya Oik, untuk apa lagi sok-sok memperhatikannya?
Sudah tahu benar kalau selama ini ia menganggap hanya punya pemuda itu di dunia ini dan  sekarang dia ingin memanfaatkan itu sebagai senjata untuk menyakitinya? Kenapa? Untuk apa? Apa salahnya? Oke, sudah, pemuda itu sudah berhasil meremukkan hatinya tadi pagi. Tapi, apa itu belum cukup? Apa pemuda itu belum puas dan tidak akan berhenti sebelum melihatnya berurai air mata sambil mengemis-ngemis padanya? Ck, sorry-sorry aja!
Febby berjalan cepat meninggalkan Goldi begitu saja tanpa berkata apapun. Kalau ia tidak pandai menahan dirinya, tadi pasti ia sudah berbalik badan dan memeluk pemuda itu. Tapi, untunglah sinyal otaknya masih waras dan segera menyuruhnya cepat-cepat angkat kaki. Ia tidak ingin pemuda itu merasa di atas angin mengetahui dirinya menangis. Ia tidak ingin terlihat seperti anak kucing kecil yang lemah dan begitu hampa karena ditinggal sang induk sesaat setelah ia baru dilahirkan ke dunia.
Febby menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci diri di sana. Napasnya berhembus tidak beraturan karena habis berlari. Apalagi ia juga menangis tadi dan sekarang pun masih. Ia melepas tali tasnya lalu meletakkannya asal. Tubuhnya lalu merosot perlahan ke lantai sambil tangannya memegang dada.
Ia tidak boleh seperti ini. Ia tidak boleh terus menangisi orang yang tidak pantas ia tangisi itu. Ia menelan ludahnya lalu menarik napas dalam beberapa kali. Berusaha meredam tangis dan menenangkan diri. Ia menghapus bias-bias air mata di pipinya lalu berdiri dan beranjak mendekati lemari pakaian untuk berganti baju. Setelah itu ia memilih merebahkan tubuhnya di kasur dan langsung tidur. Ia benar-benar butuh istirahat.
***
Febby terbangun sebelum magrib. Ia lekas beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Seberat apapun yang terjadi padanya beberapa jam lalu, ia tidak bisa tetap melanjutkan tidur meskipun ia sangat menginginkan itu. Malam ini ia mesti pergi bekerja. Tidak mungkin ia bolos. Ia sudah beberapa kali libur dan akibatnya gajinya dipotong. Ia tidak ingin jumlah gajinya terus berkurang karena aksi bolosnya.
Sejam kemudian, Febby telah selesai bersiap-siap. Ia memakai baju seragam kerjanya dan sementara memakai celana karena bawahan seragamnya berupa rok yang lumayan pendek. Akan berbahaya jika ia berpakaian seperti itu dari rumah. Ia juga memakai jaket menghindari kedinginan yang akan menempa akibat angin malam. Setelah menguncir kuda rambutnya, ia lalu beranjak keluar kamar.
Ketika sampai di ruang tamu, ia tak sengaja bertemu dengan ayah tirinya yang berjalan sempoyongan dari pintu depan. Sepertinya ayahnya itu baru pulang dari minum-minum. Ayahnya mengangkat wajahnya dan berseru menatapnya. “Hah, kamu! Minta duit dong?! Malam ini si Seli mau dateng. Papa gaada duit buat bayar. Duit Papa udah abiiiis,” katanya sambil menirukan gerakan memotong leher di akhir ucapannya.
Febby mengernyit lalu memutar kedua bola matanya malas. “Ga bisa satu-satu aja gitu ya? Kan tadi udah puas mabuk-mabukan. Hari ini cukup itu aja dong! Aku gamau ngasih duit buat bayar pel4cu12. Minta sama Oik aja sana!” tolak Febby. Kening Papanya mengerut lalu memberengut sebal. “Dasar pelit!” rutunya lalu kembali berjalan dengan masih sempoyongan. Sesaat ia berhenti lalu kembali menatap Febby. “Kamu mau kemana?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Febby memutar kedua bola matanya lagi. “Ya kerjalah, kayak gatau aja.” Ia langsung kembali berjalan sebelum ayahnya mengajak bicara lagi.
“Tunggu!” sela ayahnya. Febby mau tak mau berhenti lalu berbalik badan memandang ayahnya. Ia menunggu ayahnya bicara tapi tak kunjung keluar sepatah katapun. “Apa lagi?” tanyanya geram. Ayahnya tak menjawab. Laki-laki itu malah menatapnya lamat-lamat dari ujung kepala sampai kaki lalu kembali memandang wajahnya. Tiba-tiba sebuah firasat buruk merasuki hatinya. Apalagi ketika pandangan mata ayahnya berubah aneh. Tatapan ‘menginginkan’ dan ‘kelaparan’. Persis seperti ketika laki-laki itu melihat wanita-wanita panggilannya.
Febby seketika memucat. Ia mundur selangkah demi selangkah saat ayahnya mulai melangkahkan kaki ke arahnya. “A—ada apa, sih, Pa? A—aku udah telat kerja!” katanya dengan ekspresi senormal yang ia bisa. Ia menelan ludah panik saat ayahnya tetap diam lalu tiba-tiba tersenyum mengerikan. “Gaada apa-apa. Papa baru sadar aja kalo sekarang kamu udah..gede!” katanya tak kalah mengerikan. Entah bagaimana bisa, tubuh laki-laki itu sudah normal dan tidak sempoyongan seperti tadi.
Febby tak mau berlama-lama lagi dan memilih lari ke arah pintu. Namun sial, Papanya lebih dulu meraih tangannya dan mendorong tubuhnya hingga ambruk ke lantai. “Papa jangan macem-macem! Sadar Pa, aku ini anak Papa!” pekik Febby berusaha menyadarkan. Tapi, Papanya justru tertawa mendengar ucapannya. “Papa itu cuma status. Setetes pun gaada darah yang sama yang mengalir di tubuh kita berdua. Kamu bahkan bisa jadi istri Papa, Sayang.” Kata ayahnya dengan nada menggoda.
Febby langsung menendang bagian tengah antara kedua paha ayahnya ketika laki-laki itu hendak menindih tubuhnya. Laki-laki itu mengaduh begitu kesakitan dan menatapnya garang. Febby langsung berdiri dan lekas berlari kembali. Ia berhasil keluar dari rumahnya lalu meneruskan lari sejauh mungkin hingga Papanya tidak bisa mengejarnya. Ia sampai keluar komplek lalu langsung menyetop taksi. Tidak papalah ia berongkos banyak malam ini yang penting ia bisa selamat dari ayahnya yang mendadak gila seperti itu.
Astaga, bertambah lagi satu kejadian mengerikan yang terjadi padanya. Ini paling mengerikan! Untung saja tadi ayah tirinya tidak sepenuhnya sadar dan masih dalam kondisi mabuk jadi bisa cepat dilumpuhkan dan ia bisa kabur. Saat itu juga ia teringat akan tawaran Fara. Dan dengan adanya kejadian tadi..aduuuh, kenapa rasanya pas banget gini? Apa ini kebetulan semata atau memang benar-benar takdir dari Tuhan? Apa sekarang ia harus menerima tawaran itu?
***
Febby menarik napas lalu menghembuskannya berkali-kali. Ia memutuskan kembali ke rumahnya. Ia berusaha menganggap kejadian sebelum pergi kerja tadi adalah hanya karena ayahnya sedang mabuk jadi tidak sadar akan apa yang ia lakukan. Ia lalu berjalan mengendap-ngendap menuju bagian belakang rumahnya tanpa melepas sepatu kets yang ia pakai. Meski ia sudah mencoba berpikiran positif, tapi antisipasi tetap harus ada. Jaga-jaga kalau-kalau—meskipun jangan sampai—kembali berulah seperti tadi, ia bisa langsung kabur.
Ada pintu masuk yang biasanya tidak dikunci jam segini karena ia yang selalu menguncinya. Semoga saja tidak ada yang kebetulan lewat dan tergerak hatinya untuk mengunci. Sesuai dengan harapannya, pintu belakang bisa dibuka karena tidak terkunci. Ia melangkah masuk dengan tetap mengendap-ngendap setelah menutup pintu dengan sangat pelan. Ia mengintip keadaan di ruang tengah dari balik dinding dapur. Lampunya masih hidup tapi tidak ada siapapun di sana. Ia menghela napas lega lalu perlahan keluar dari persembunyian dan mulai melangkah kembali menuju kamarnya.
“Akh!” pekik Febby kaget ketika merasakan ada seseorang yang menangkap dan memeluk tubuhnya dari belakang. Orang itu juga berbicara tepat di telinganya sambil mengendus-endus lehernya. “Akhirnya kamu pulang juga!” desis orang itu yang tak lain dan tak bukan pasti masih pelaku yang sama. Ayah tirinya.
Febby langsung merinding ngeri. Mukanya langsung memucat dan berkeringat dingin karena panik. Sudah jelas sekarang, ayahnya memang sudah benar-benar gila! Yang terjadi saat ia hendak pergi bekerja tadi ternyata bukan karena efek mabuk. Tapi, laki-laki itu memang berniat melakukannya. Ya ampun! Bagaimana kalau sekarang? Sekarang ayahnya sudah lepas dari pengaruh minuman tidak seperti tadi. Tenaga ayahnya lebih besar dari yang ia punya. Bagaimana ia bisa melumpuhkan laki-laki itu? Bagaimana ia bisa menyelamatkan diri?
My greatest God, save me! Batin Febby. Ia mulai meronta dan berusaha melepas cengkraman pada tubuhnya. Namun, belum berhasil. Tenaga ayahnya masih cukup besar untuk menahan. “Sst..sst! Kalo kamu agresif gini Papa jadi lebih ‘gasabar’, deh!” ujar laki-laki itu dengan nada menggoda. Febby rasanya ingin muntah saat itu juga. Tanpa pikir panjang ia langsung menginjak satu per satu kedua kaki ayahnya dengan tenaga penuh lalu menyikut perut ayahnya dengan kedua siku tangannya.
Berhasil! Ayahnya langsung mengaduh kesakitan dan dekapan di tubuhnya langsung terlepas. Ia berlari ke arah dapur mengambil kukuran kelapa lalu menghantam balok kayunya ke tubuh ayahnya. Saat itu juga tubuh ayahnya limbung dan tersungkur ke lantai. Tidak sampai pingsan. Ayahnya masih bergerak-gerak dengan air muka seperti menahan sakit.
Febby meletakkan kembali kukuran kelapa tadi lalu segera berlari menuju pintu belakang. Ia mengambil kunci lalu mengunci pintu tersebut dari luar. Ia lekas berlari kembali menjauh sejauh-jauhnya dari rumahnya. Untungnya kawasan sekitar komplek perumahannya adalah kawasan bebas dari para preman. Kalau tidak, lepas dari ayahnya, ia malah terperangkap oleh preman-preman itu.
Lalu, sekarang bagaimana? Ia harus kemana? Ia harus tidur di mana malam ini? di rumahnya? Jangan harap! Ia bersumpah tidak akan pernah mendatangi neraka itu lagi. Ia sudah mengambil banyak-banyak pelajaran dari dua kejadian yang menimpanya.
Tapi, ia tidak punya tempat lain selain rumahnya. Ia tidak punya teman dekat yang rumahnya bisa ia tumpangi menginap setidaknya malam ini saja. Ia memang tidak pernah mengenal terlalu dekat teman-teman di sekolahnya. Ia terlalu takut untuk percaya pada mereka. Sikap ayahnya dan Oik membuatnya trauma untuk percaya pada orang lain. Ia takut mereka bersikap baik di awal namun pada akhirnya menyakitinya saja. Baru Goldi yang bisa membuatnya percaya lagi. Namun, setelah apa yang ia ketahui sekarang, Goldi ternyata sama mengecewakannya dengan Oik dan ayahnya. Rasanya bahkan jauh lebih menyakitkan.
Aissh..sudahlah jangan bahas-bahas lagi soal pemuda itu. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Yang harus ia pikirkan adalah dimana ia bisa numpang menginap malam ini. Di saat ia sedang berpikir, tiba-tiba muncul sebuah nama dalam kepalanya yang langsung memberikan jalan keluar untuk masalahnya sekarang.
Alvin!
***
Alvin meletakkan ponselnya dengan perasaan bahagia di atas nakas. Shilla berhasil membuat moodnya kembali baik malam ini setelah kejadian tadi siang. Ah, ia jadi rindu pada kekasihnya itu. Rasanya ia ingin kakinya cepat-cepat sembuh dan bisa digunakan berjalan lagi supaya ia bisa segera menemui gadis itu di Jakarta.
Alvin memejamkan mata mulai mencoba tidur. Ia tidak bohong. Ia memang benar-benar sudah mengantuk. Tak perlu banyak menghitung, Alvin kemudian sudah terlelap. Namun, entah mimpi atau tidak, ia merasa melihat Febby ada bersamanya. Ia mengernyit tak suka. Tapi, kemudian, wajahnya kembali rileks. Mungkin sekarang ia sedang bermimpi. Meski agak kurang suka juga mimpinya didatangi gadis itu. Kenapa bukan Shilla saja, kan? Ia kan sedang merindukan Shilla bukan Febby. Alvin kemudian benar-benar terlelap tanpa memikirkan masalah mimpinya itu benar-benar mimpi atau tidak.
Karena nyatanya, apa yang dilihatnya itu bukanlah sebuah bunga tidur melainkan suatu kejadian nyata. Febby benar-benar ada di kamar inapnya. Febby membuka pintu dan menutupnya begitu pelan karena melihat Alvin yang sedang tidur. Ia berjalan sama pelannya agar tidak menimbulkan suara apapun yang bisa membangunkan Alvin. Karena jika Alvin bangun dan tahu dirinya ada di sini, pemuda itu bisa mengamuk dan mengusirnya. Ia bisa membuat gaduh rumah sakit dan dikira ingin macam-macam.
Febby melihat mata Alvin terbuka sedikit melihatnya lalu pemuda itu mengigaukan namanya. Sepertinya Alvin sekarang masih berada di awang batas antara menuju terlelap dan sudah terlelap. Antara sadar dengan tidak sadar. Ia tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala geli. Ia lantas memilih tidak memedulikannya lagi dan kembali memedulikan dirinya sendiri. Ia juga butuh tidur seperti Alvin. Setelah dua kali kejadian berbahaya yang ia alami karena ulah ayah tirinya, ia tentu butuh istirahat untuk menenangkan seluruh fisik dan psikisnya.
Febby berbaring di sofa sambil mencari posisi tidur yang nyaman. Setelah itu ia langsung menutup matanya mencoba terlelap seperti Alvin. Dan masih sama seperti Alvin, ia juga tidak butuh banyak menghitung untuk bisa tertidur pulas. Mereka dalam sekejab langsung disibukkan oleh mimpi masing-masing.
***
Cklek..
Shilla keluar dari kamar mandi dengan berseragam lengkap. Ia beranjak menuju meja riasnya lalu melepas gulungan handuk yang membungkus rambutnya. Ia mengeringkan rambutnya sekali lagi lalu melempar handuk tersebut asal ke atas tempat tidur. Ponselnya kemudian tiba-tiba berbunyi ketika ia hendak mencari sisir. Ia mengambil sisir lalu berjalan mendekati nakas di samping tempat tidurnya. Wajahnya seketika berseri sesaat setelah ia sudah mengambil ponselnya itu.
“Halo?”
“Morning, Cantik!” sahut sebuah suara serak di seberang sana. Pipi Shilla langsung bersemu mendengar itu. Ia lalu berdiri dan berjalan kembali ke meja rias sambil menyisir rambutnya. “Morning, Sipit! Cie yang gak lupa nelfon!”
Alvin terkekeh pelan. “Hehe. Hebat kan gue? Sorry ya telat, gue baru bangun soalnya. Haha.”
“Yaelah, pagi-pagi udah minta maaf aja, sih. Iss..semalam lo begadang? Lo bohong sama gue ya?” Shilla menyipitkan mata curiga sambil menunjuk bayangannya sendiri di cermin.
“Enggak, abis gue nelfon lo gue langsung tidur, kok. Beneran deh!”
“Sumpe lo?!” ujar Shilla dengan intonasi ala-ala fitri tropica.
“Pinky swear kitty swear banana cherry strawberry swear!” balas Alvin. Mereka lalu serentak tertawa.
“Terus kenapa lo telat bangun?” tanya Shilla setelah tawanya reda. “Kan lagi sakit. Gapapa dong bangunnya telat.”
“Lah bukannya hari ini lo keluar dari rumah sakit? Berarti harusnya udah gasakit dong?”
“Ya kan sekarang belum keluar. Jam 8 ntar pulangnya. Berarti gue masih sakit.”
Shilla memutar kedua bola matanya seraya mendesah gemas. “Ya ya ya! Yang waras ngalah,”
“Cie yang waras!” ledek Alvin.
“Cie yang gak waras!” Shilla mengaktifkan loadspeaker ponselnya dan meletakkan benda tersebut di meja rias sementara ia mulai menguncir rambutnya.
“Cie yang mau-maunya pacaran sama orang gak waras!”
“Cie biarin!”
“Cie cinta banget ya sama gue? Walaupun gak waras gini tetep aja mau,”
“Enggak tuh.”
“Kok gitu?!” Pekik Alvin tak terima. Shilla terkikik pelan lalu berdiri dari kursi dan berjalan ke samping tempat tidur mengambil tas sekolahnya. Ia berhenti sebentar lalu berbicara keras agar suaranya sampai ke speaker ponsel. “Karena gue cinta pake double bangetnya! Hahaha!”
Tawa renyah Alvin kembali terdengar. “Iss..bikin gue panik aja, deh. Awas aja ntar kalo ketemu, gue bawa pulang!”
“Emang gue oleh-oleh?” Shilla mengambil ponselnya lalu menonaktifkan loadspeaker ponselnya seperti semula. “Kalo aja ada yang jual dipinggir jalan pasti udah gue borong semuanya.”
“Segitu kangennya sama gue ya?” Shilla melangkah ke arah pintu dan beranjak keluar kamar. “Just imagine it, Sayang! Kita udah gak ketemu berapa minggu coba? Kangen gue sama lo itu udah numpuk semua. Tinggi banget sampe gue gak bisa ngegapainya lagi.”
“Lebay, deh!” ujar Shilla pelan karena malu. Untung saja Alvin tidak melihat rona pipinya yang sudah seperti tomat. “Ih gak asik ah gak percaya!”
“Haha. Iya, iya. Tapi, sabar ya, bentar lagi kita pasti ketemu, kok. Pokoknya lo jangan nekat nemuin gue. Kaki lo belum sembuh. Gue gak mau kaki lo makin parah. Tunggu aja kedatangan gue ke sana. Oke?”
“Iya, iya, Cantik punya gue seorang. Duh, tambah cinta deh aku sama kamu.”
“Ih tambah gombal deh kamu!” cibir Shilla. “Yaudah gue mau sarapan dulu ya, Sipit. Lo juga ntar jangan lupa sarapan, yang banyak biar makin cepet sembuh kakinya.”
“Iya, Cantik. Happy breakfast! Wish you a great day! Ntar gue telfon lagi ya. Byeee!”
“You too. Bye, Sipit!”
Shilla memandang layar ponselnya dengan senyum cerah sambil menuruni tangga. Ia memasukkan ponsel tersebut ke saku rok lalu berjalan menuju meja makan dan duduk. Sudah ada Papa dan Mamanya serta adik satu-satunya, Shanin.
“Muka kamu kayaknya ceria banget,” gumam Papanya. “Biasa, abis telfonan sama pacar.” Sahut Shanin. Shilla menoleh ke arah adiknya itu sesaat lalu mengambil segelas air minum di depannya.“Kamu tau aja. Pasti tadi kamu nguping, kan?” ujarnya seraya meneguk seteguk air dalam gelas yang ia pegang.
Shanin hanya nyengir tanpa menjawab. Sementara itu, Wiwit tersenyum seraya geleng-geleng kepala melihatnya. “Masih aja kamu sama Alvin,” gumamnya.
Shilla ikut-ikutan nyengir seperti Shanin. Tepatnya karena ia tidak tahu harus menjawab apa. Agak takut juga melihat reaksi mamanya itu nanti. Mengingat beberapa hari yang lalu, wanita itu menampakkan sikap yang kurang bersahabat untuk Alvin. Tapi kemudian, ia diam-diam bisa bernapas lega melihat mamanya tersenyum dan tidak menunjukkan keberatan akan Alvin lagi.
“Mama gak tanggung jawab kalo kamu mewek lagi ntar ya!” ujar Wiwit seraya tertawa kecil. Diikuti Papa dan adiknya. Ia sendiri hanya pura-pura merengut.
Dengan hilangnya sikap keberatan Wiwit, itu artinya masalahnya dengan Alvin sudah benar-benar selesai. Ia sekarang dan seterusnya hanya akan menjalani hari-hari menyenangkan tanpa ada apapun yang mengganjal. Sekali lagi ia bisa bernapas lega sekarang.
***
Sesuai perkataan dokter kemarin, hari ini Alvin sudah bisa keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumahnya. Ia pulang ditemani Mamanya yang kelihatan begitu ceria saat itu. Ia sendiri terheran-heran kenapa Mamanya ceria sekali pagi ini. Wanita itu senang karena dirinya keluar dari rumah sakit atau ada alasan lain, sih? Awas saja kalau sampai ada alasan lain. Benar-benar tega!
“Mama kok seneng banget gitu? Pake cengar-cengir sana-sini lagi! Gak biasanya deh,”
Fara menoleh padanya lalu tersenyum sumringah. “Ya seneng aja. Masa gaboleh? Kamu ga seneng liat mama seneng?”
“Kalo senengnya bukan karena Alvin ya Alvin ga seneng lah,” Fara tertawa sesaat dan membuat Alvin makin heran. Apa gitu yang lucu?
“Ya tentunya salah satunya karena kamu lah, Sayang. Kamu kan udah bisa pulang ke rumah lagi. Tandanya kamu udah sembuh. Tentu mama seneng banget!”
“Terus, alasan lain yang bikin Mama seneng apa?”
“Karena...anak gadis yang kemaren. Siapa..Febby kan namanya?”
Alvin berjengit lalu mengernyit tak suka. Mamanya senang bukan karena dirinya saja itu sudah membuatnya tidak suka apalagi kalau alasannya karena Febby!
“Tau’ deh! Ngapain juga Mama seneng karena dia?” Alvin melengos kesal.
“Karena dia bakal tinggal di rumah kita.”
Alvin mengernyit kembali. “Darimana asalnya? Mama gadenger kemaren dia bilang apa? Dia udah bilang gamau.”
“Mama yakin aja dia bakal mau tinggal di rumah kita.”
“Kenapa Mama bisa yakin? Dapet wangsit semalem? Dari gunung mana?” tanya Alvin sarkastis. Ia tertawa sambil geleng-geleng kepala. Mamanya tampak tidak peduli. Sedikitpun senyum di wajah Mamanya tidak berkurang.
“Yaudah, kamu udah siap? Bisa jalan sendiri pake tongkat atau mau Mama ‘papah?” alih Fara. Alvin mengambil tongkatnya lalu berdiri. Ia mencoba melangkah sekali lalu memandang Fara. “Pake tongkat aja kayaknya.” Jawabnya. Fara mengangguk lalu mengajaknya berjalan keluar pelan-pelan. Berhubung ia belum benar-benar terbiasa menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Alvin nyaris saja menjatuhkan tongkatnya ketika melihat seseorang yang paling tidak ia nantikan kehadirannya di rumah sakit ini, kini tengah berdiri menghadapnya dan Mamanya ketika di depan pintu. Dengan sekoper besar di sampinya dan ransel berukuran sedang yang tampak berisi penuh. Orang itu tersenyum atau lebih tepat meringis memandangnya dan Mamanya sambil menggaruk-garuk leher canggung.
Alvin menoleh ke arah Fara dan melihat wanita itu setia memajang senyumnya. Namun, kali ini senyumnya lebih bermakna sebagai senyum kepuasan. Seperti baru saja menang undian atau semalam bermain togel dan nomor yang ia pasang keluar. *jamanbatukalimaintogel* *yakalimasihada(?)hahaha* Muka Alvin langsung berubah panik. Ia menatap tajam ke arah Febby menuntut ‘kenapa lo disini? Bawa koper segala lagi!’. Ia lantas mendengus mengetahui Fara mendekati gadis itu.
“Emm—tawaran Tante kemaren..ma—masih berlaku nggak?” cicit Febby seraya menatapnya dengan tatapan diberani-beranikan. Saat itu, Alvin merasa dunianya jungkir balik sehingga ia terjatuh dan kepalanya terbentur dek rumah sakit. Dan ia tidak sadarkan diri, mungkin.
***
Febby terbangun pagi-pagi sekali sekitar jam 5 lebih. Padahal ia tidak memasang alarm tadi malam dan ia tidak tidur terlalu cepat. Yah mungkin karena memang ia sudah terbiasa terbangun jam segini. Baguslah, lebih bagus memang ia terbangun sebelum Alvin bangun bukan malah sebaliknya.
Febby merapikan bajunya yang sedikit amburadul lalu mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Ia berhenti untuk mengamati Alvin sebentar. Muka polos pemuda itu saat tidur. Dengan rambut yang sedikit acak-acakan tapi justru membuatnya terlihat..seksi. Seketika itu juga Febby menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu bergidik. Mikir apa sih gue? Batinnya heran. Ia lantas kembali melanjutkan tujuannya sebelum ia berpikiran macam-macam lagi.
Untuk kali ini Febby harus melanggar sumpahnya semalam kalau ia tidak akan kembali ke rumahnya. Nyatanya ia diharuskan menginjak nerakanya itu lagi meski tidak sedikitpun berniatan untuk kembali menetap. Ia hanya ingin membereskan barang-barangnya yang ada di rumah. Ia benar-benar sudah memantapkan diri untuk keluar dari sana. Alasannya? Banyak alasan yang mendorongnya melakukan itu. Yang paling berpengaruh tentu ayah tiri dan saudara tirinya. Beruntung saat ia datang kembali, kedua orang tersebut masih terlelap di kamar masing-masing.
Menetap di rumah ayahnya itu sama saja melakukan bunuh diri. Selama ini ia bersabar kerab dijadikan bank uang oleh ayah tirinya dan budak oleh Oik. Tapi, ia tidak pernah sepakat untuk menerima perlakuan ‘mengerikan’ yang hampir saja terjadi tadi malam oleh ayahnya. Bayangkan, ayahnya hampir saja memperkosanya! Ayahnya, loh, ayahnya! Bahkan sampai bilang mau menjadikannya istri. Dasar gila! Sampai mati pun ia tidak akan pernah rela! Ayah macam apa itu? Ah, memang laki-laki itu tidak sekalipun bersikap layaknya seorang ayah padanya, sih.
Febby memasukkan semua bajunya yang tidak banyak jumlahnya dan semua buku-buku pelajarannya serta apapun yang harus ia bawa. Setelah semua terkunci rapi, ia menarik pelan-pelan kopernya dan menggendong ransel keluar kamarnya. Ia mengintip keadaan di luar terlebih dahulu sebelum beranjak dari kamarnya itu. Keadaannya masih sama seperti saat ia baru datang. Demi mempercepat tanpa menimbulkan keributan, ia mengangkat kopernya yang tidak terlalu berat hingga berhasil keluar dari rumah. Ia menghembus napas lega sesaat setelah sudah berada di luar. Ia menyerahkan barang-barangnya pada sopir taksi yang ia suruh menunggu untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Setelahnya, ia sudah berada di dalam taksi dan sopir mulai menjalankan mobil meninggalkan komplek perumahan tempat tinggalnya itu.
Untuk yang terakhir kali, Febby menoleh ke belakang melihat kembali rumah ayah tirinya. Karena setelahnya, ia yakin tidak akan pernah melihat tempat itu lagi.
***
Rasanya semalam Alvin tidak bermimpi buruk. Tapi kenapa pagi harinya ia langsung ketiban sial begini? Febby yang tiba-tiba muncul di rumah sakit dan mendadak pula menyetujui ajakan mamanya untuk tinggal di rumahnya. Kenapa sih dengan gadis itu? Kenapa semua hal yang gadis itu katakan selalu berlainan akhirnya? Mulai dari dia yang ngotot ingin jadi pacarnya lalu ternyata dia sudah punya pacar. Lah sekarang, kemarin bilang tidak mau sekarang tau-tau sudah muncul dan bilang setuju. Selanjutnya apalagi?
Dan yang lebih membuatnya kesal, karena kehadiran Febby, Mamanya jadi mengabaikan keberadaannya. Kan harusnya dirinya yang lebih diperhatikan karena baru saja pulang dari rumah sakit. Ini malah Febby. “Heran deh, Mama lebih bahagia kedatangan anak orang dibanding kepulangan anak sendiri!” omelnya.
Fara menoleh lalu tersenyum geli. “Kamu tuh bawaannya ngomeeel mulu daritadi. Kayak ibu-ibu!” ledeknya. Alvin hanya melengos tanpa membalas.
“Nah, kamar ini akan jadi kamar kamu sekarang!” seru Fara kemudian. Alvin terbelalak tak percaya melihat kamar tersebut. Itu dulunya merupakan salah satu dari tiga ruangan kosong di rumahnya yang kini sudah disulap menjadi sebuah kamar untuk anak perempuan. Dengan walpaper berwarna putih susu bercorakkan bunga-bunga kecil nan lucu berwarna pink. Perabotan yang ada di dalamnya semuanya berwarna yang sesuai dan saling melengkapi masing-masing. Benar-benar cantik dan...dan kapan Mamanya menyiapkan ini semua?
Fara tersenyum sumringah menunjukkan kamar untuk Febby. Febby terdiam di tempatnya mengagumi ruangan yang katanya akan menjadi miliknya itu. Ini terlalu bagus. Terlalu bagus untuk dirinya yang bahkan bukan siapa-siapa di keluarga Alvin, untuk seseorang yang hanya ingin menumpang tinggal. Ia bahkan berpikir kalau ia akan tidur di kamar pembantu. Ia sama sekali tidak berharap diberikan kamar sendiri. Dikasi numpang aja udah sukur! Kalo jadinya dikasi kamar yang bagus banget kek gini, gede lagi, ini mah gue harus motong kambing bikin sukuran!
“Kamu kok diem? Kamarnya gak bagus ya? Maaf ya soalnya nyiapinnya buru-buru banget, cuma sehari doang. Tapi, tenang aja. Nanti kamu boleh dekor ulang sesuai yang kamu mau!” ujar Fara dengan nada kecewa di awal namun kemudian kembali berubah ceria. Febby langsung menggeleng keras. Gila! Secantik ini dibilang ga bagus? Ga mungkin lah. Batinnya.
“Enggak! Enggak sama sekali kok! Ini malah kelewat bagus. Febby tadi cuma terpesona aja dan...kaget.”
“Kaget kenapa?”
“Tante—“ Fara memotong sambil menegakkan dan menggerak-gerakkan telunjuk ke kanan kiri. “No Tante-tante! Emangnya Tante girang?” selanya seraya tertawa kecil. “Mulai sekarang kamu manggilnya Ma—ma!” sambungnya kemudian.
“H-ah?” Febby menyahut bingung sekaligus kaget.
“No Mama! Masa Alvin sama dia sama-sama manggil Mama? No pokoknya no!” giliran Alvin yang menyela protes. Fara langsung memandangnya merengut dan memelas. Membuat Alvin langsung melengos kesal. Kalau sudah seperti itu, ia mana bisa menolak. “Ya masa panggilannya sama? Bedain dong! Dia manggil nyonya kek atau apa yang penting jangan ‘mama’.”
Fara langsung mencubit pelan pinggangnya. “Kamu ini, masa nyuruh manggil nyonya? Emang kamu pikir dia pembantu?”
“Ya kan harusnya gitu,” sahut Alvin asal yang sekali lagi membuatnya harus menerima cubitan dari sang mama.
“Pokoknya mulai sekarang kamu harus manggil Mama! Kamu mau kan, Sayang?” Fara beralih pada Febby. Febby yang masih dalam suasana kaget langsung mengangguk kaku. “I—iya..Ma.” jawabnya belum terbiasa. Meski begitu, Fara tetap tersenyum puas mendengarnya. Ia lalu mengajak Febby masuk ke dalam kamar untuk melihat lebih dekat.
Sementara itu, Alvin yang merasa terabaikan di belakang tak henti-hentinya mencibir. Ia lantas memilih kembali ke kamarnya sendiri karena sudah sangat-sangat bosan menunggu. Melihat Mamanya begitu bahagia berbicara bersama Febby malah menambah kesalnya saja. Meski sebenarnya ia juga bersyukur karena kehadiran Febby, Mamanya bisa melepas kesedihannya akan kepergian Vina. Mamanya seperti telah menemukan Vina yang baru, bukan pengganti Vina tapi memang benar-benar Vina.
Berbicara tentang Vina lantas menarik hati Alvin untuk berhenti dan kembali berdiri mengamati dua manusia yang ada di dalam kamar. Ia kembali bersandar di kusen pintu sambil memandang lamat-lamat wajah Febby yang terlihat dari samping. Mencari tahu kenapa Mamanya sampai bilang kalau dia mirip dengan Vina bahkan sampai ngotot mengajak tinggal bersama. Kalau dilihat-lihat, bentuk matanya memang mirip, sih. Ia sangat ingat betul bagaimana bentuk mata Vina dulu, apalagi disaat mata itu menatapnya untuk yang terakhir kali.
Lalu..apalagi ya? Ah, mungkin dagunya juga. Bentuk dagunya mirip dengan miliknya atau boleh dikatakan sama. Itu juga yang membuat orang-orang dahulu bilang kalau ia memiliki kemiripan wajah dengan Vina. Yang membuat mereka percaya kalau mereka...
Singg...*adasuaraanginbunyinyasing?.-.*
Entah hanya hati Alvin yang merasa dihembusi angin atau memang ada angin yang berhembus melewatinya ketika menatap wajah Febby, ia kurang begitu paham. Yang pasti, akibat angin sialan itu, ia mendadak merasa berdebar apalagi ketika manik mata itu memancarkan sorot bahagia kala melihat mamanya. Saat itu juga, tak sengaja Febby mengalihkan pandangannya yang mengakibatkan pertemuan antara matanya dengan mata Alvin. Sesaat mereka sama-sama terdiam dengan gemuruh aneh di dada masing-masing hingga akhirnya Alvin memilih memalingkan wajahnya dan beranjak pergi.
Beruntung Fara tadi tidak menyadari apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Alvin. Ia diam-diam menarik napas menenangkan dirinya sambil mencoba tetap menyimak apa yang diucapkan wanita itu.
Ada apa dengan dirinya? Kenapa perasaannya tiba-tiba aneh begini ketika melihat Alvin? Dan kalau ia tidak salah dan kalau ia tidak kepedean, tadi Alvin juga memunculkan gerak-gerik yang sama-sama aneh sepertinya. Itu cukup terbukti karena Alvin tiumben-tumbennya mau bersitatap seperti itu dengannya. Kalau biasanya kan melihatnya saja langsung melengos. Aiss..ia berpikir macam-macam lagi, kan! Kalo gitu ada bagusnya kalo lo stop mikir sekarang, Febby! Stop mikir, apapun itu! Hhhh!
Di tempat lain, Alvin merebahkan tubuhnya di kasur setelah sampai di kamarnya. Ia memegang dadanya sambil melongo heran dan tak percaya. Tadi gue kenapa sih? Gue tadi degdegan bukan karena Febby, kan? Ah pasti bukan lah, kan? Pikirnya berulang-ulang. Ia menggeleng takjub lalu mengangkat bahu seraya mencoba melupakan saja apa yang barusan terjadi antara dirinya dan Febby.
***
Empat sekawan itu sekarang hanya bertiga karena yang satu sedang dalam ‘masa siaga’. Intinya yang satu sedang tidak bisa bersama-sama dengan tiga yang lain. Agni, Shilla dan Via memutuskan untuk menghabiskan jam istirahat kedua di kantin. Masing-masing pun sudah menyantap makanannya sendiri di depan meja masing-masing.
“Lo yakin Ify ‘aman’ sama Rio?” tanya Shilla lalu menyesap jus jeruknya. Agni menelan bakso dalam mulutnya lalu berbicara. “Fans-fansnya Rio ga mungkin anarkis depan Rio sendiri, kan? Mereka pasti jaim lah. Jadi, Ify pasti aman.”
“Ntar kalo tiba-tiba mereka dateng keroyokan trus ngerubungin Rio pura-pura pengen wawancara trus Ify diem-diem dibawa kabur dan Rio galiat itu gimana?” tanya Shilla lagi. Agni mendengus keras. “Gue kulitin si Rio kalo sampe kejadian.”
Shilla menganggukkan kepalanya dan tidak bertanya lagi. Ia memperhatikan sekelilingnya lalu tiba-tiba saja ia tersedak bakso dalam mulutnya ketika melihat beberapa pemuda yang baru saja masuk ke dalam kantin. Agni dan Via sama-sama menyernyit tak mengerti. Ia langsung meneguk banyak-banyak jus jeruk miliknya hingga tenggorokannya terasa lega. Ia melirik ke arah yang membuatnya tersedak tadi sekali lagi guna memastikan lalu segera mengalihkan pandangan.
“Lo kenapa, sih?” tanya Agni heran. Shilla menghela napas. “Arah jam sembilan.” Ujarnya. Agni dan Via serentak menoleh ke arah yang Shilla tunjuk. Agni berjengit kaget sambil menaikkan sebelah alisnya sementara Via menahan napas sambil menutup mulutnya.
“Itu—“
“Kak Chris...dan teman-temannya.” Potong Shilla acuh tak acuh.
“Cinta bertepuk sebelah tangan lo itu, kan?” sahut Via yang akhirnya berbicara setelah hanya menyimak daritadi. Shilla langsung mendelik ke arahnya. “Lo kenapa ingetnya bagian itu doang, sih?” gerutunya kesal. Via hanya nyengir sambil menyembulkan simbol peace dengan jarinya.
“Lo gak clbk sama cowok sok kegantengan itu, kan?” tanya Agni sambil memandang sesosok pemuda lumayan tinggi berkulit putih dan berwajah indo, yang mereka sebut dengan Chris itu, sinis. Shilla ikut-ikutan memperhatikan pemuda itu dengan mata menyipit.
***
Hari ini adalah hari terakhir MOS dan sekarang sudah masuk jam pulang untuk para murid baru. Suasana sekolah pun sudah lumayan sepi. Shilla berjalan mengendap-endap menuju tempat loker salah satu kakak kelasnya berada. Senior yang sudah memikat hatinya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di sekolah barunya ini, Parfait SHS. Seniornya yang telah ia ketahui bernama Chris itu yang kini sudah ia temukan dimana letak lokernya.
Shilla tersenyum senang melihat salah satu loker di hadapannya lalu sebuah surat berwarna pink lucu dan wangi yang ia pegang. Poni yang menutupi seluruh dahinya bahkan sampai bergoyang-goyang. Ia menutup mata sejenak berdoa supaya Chris membaca surat darinya ini yang ia tulis sepenuh hati sampai begadang tiga hari demi menemukan kata-kata yang pas untuk dituliskan. Ia membuka matanya dan tersenyum yakin. Setelah melihat keadaan sekitar yang kosong ia langsung menyelipkan surat cintanya itu ke dalam loker milik Chris. Ia tersenyum puas lalu memilih cepat-cepat pergi sebelum ada yang melihatnya disini.
Esok harinya saat upacara bendera sudah selesai dan yang lain sudah pada berhamburan bubar, Shilla masih diam di tempat sambil celingak-celinguk sana-sini. Agni yang sudah menjadi temannya sejak SMP ini *ehbenergasih?hahalupadeheke* menatapnya bingung sekaligus kesal. “Lo nyari siapa, sih? Balik ke kelas yok, panas tau disini!” gerutunya. Shilla menggigit bibirnya sambil memperbaiki letak kacamatanya lalu memandang Agni sama bingungnya. “Gue lagi nyari Kak Chris. Temenin gue yuk nemuin dia?”
Agni berjengit lalu membelalakkan mata kaget. “Lo jadi ngirimin dia surat cinta?!” katanya berbisik histeris. Shilla hanya nyengir menunjukkan barisan giginya yang dilapisi kawat. Agni langsung menepuk dahinya lalu mendesah keras. “Lo kok ngeyel banget, sih?! Kan gue udah bilang jangan.”
“Udah terlanjur, gimana dong?” jawab Shilla polos. Agni langsung mencibir geram ke arahnya. “Terserah lo deh, tanggung sendiri akibatnya. Gue gak mau lo repotin!”
“Iya, iya. Yaudah, ayok cepetan! Bentar lagi masuk,” ujar Shilla dan langsung menarik Agni pergi. Agni memutar kedua bola matanya pasrah.
Shilla tersenyum antusias kala melihat Chris sedang berdiri di depan lokernya bersama beberapa temannya yang lain dan seorang gadis cantik yang juga seniornya. Kalau tidak salah namanya Lareina, tapi seringnya dipanggil Lala. Gadis itu memang luar biasa cantik. Kulitnya putih dengan wajah indo arab-portugal. *bisadibayanginkanmancungnyakayakapa(?)* Dan berdasarkan gosip yang beredar, Lala adalah gebetan Chris dibuktikan dengan selalu hadirnya ia dimanapun Chris berada.
Hati Shilla sedikit ciut melihat banyak orang disana apalagi melihat Lala. Agni sudah berusaha menahannya sedaritadi tapi keyakinan dalam hatinya tetap menyuruhnya untuk singgah kesana menemui Chris. Ia lalu menyuruh Agni menunggu sementara ia pergi menemui Chris seorang diri. Ia berjalan sambil mengepalkan tangan menguatkan tekad. Hingga ia benar-benar sampai di depan Chris serta teman-temannya. Serta Lala.
“Kak..Chris?” cicitnya. Chris menoleh ke arahnya dan tersenyum. Shilla merasa ada angin yang berhembus ke arah wajahnya sesaat. “Ya?”
“Kemaren aku ngirim surat buat kakak. Udah kakak baca?”
“Surat? Ah iya!” Chris tiba-tiba berseru senang. “Kamu ngirim pake nama siapa?” tanyanya kemudian. “A—Ashilla.” Shilla melirik teman-teman Chris yang ikut-ikutan tersenyum. Tapi, entah kenapa senyum itu kelihatan aneh dimatanya.
“Oh kalo gitu, Ashilla, thanks ya karena kamu dan beberapa teman kamu yang juga ngirimin Kakak surat, udah ngebantu Kakak dan temen-temen Kakak disini nyelesein tugas bahasa Indonesia. Tolong sampein rasa terimakasih Kakak sama yang lain juga ya.”
Shilla melongo tak percaya. Hatinya sakit tapi ia lebih merasa jengkel pada pemuda di hadapannya itu yang dengan tanpa izin mengacak-acak rambutnya. Ia menahan Chris yang hendak berjalan pergi. “Tunggu, Kak!”
Chris berhenti dan menoleh kembali padanya dengan pandangan bertanya. Shilla menghela napas lalu menatapnya datar. “Boleh aku minta surat aku balik?”
Chris mengernyit bingung. “Ambil aja di loker kalo masih ada, gak dikunci kok. Kakak lupa udah narok di situ lagi atau enggak.”
“Boleh tolong Kakak aja gak yang ngambil? Aku gamau ntar dituduh maling kalo-kalo ada barang yang ilang.” Ujar Shilla masih datar. Chris mengernyit lagi namun kelihatannya mulai agak kesal. Ia mau tak mau berjalan kembali ke lokernya dan mencari surat yang bernamakan Ashilla. Untungnya surat itu ada di sana. Ia lalu memberikannya pada Shilla.
Shilla melirik sekilas surat yang disodorkan padanya, suratnya sendiri, lalu menatap Chris kembali. Ia mengambil surat tersebut lalu dengan gerakan cepat meraih tangan Chris dan memelintirnya hingga badan pemuda itu ikut berputar dan jatuh menghantam lantai. Chris langsung mengeluh kesakitan sementara orang-orang di sekitarnya terdiam memandangnya. Shilla tersenyum sinis sekaligus puas.
“Itu bayaran buat surat gue dan temen-temen yang lain. Tau gak seberapa susah kita-kita bikinnya? Enak aja make karya orang gratisan!” dumelnya kesal. “Dan satu lagi, jangan sembarangan megang-megang anak orang!” tambahnya sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti sedang membersihkan sesuatu dari sana. Ia lalu berbalik dan berjalan kembali ke arah Agni melewati teman-teman Chris yang masih melongo memandangnya.
Berbeda dengan Agni yang tidak kaget sama sekali. Ia justru kelihatan menahan tawa. “Yoa da man, Shil!” gumamnya lalu benar-benar tertawa. Tidak sia-sia ia mengajari salah satu jurus andalannya pada Shilla. Tanpa sengaja ia melirik ke sebelahnya dan ia dibuat kaget karena tau-tau sudah ada seorang pemuda berdiri menemaninya. Muka pemuda itu juga tampak sangat-sangat takjub pada apa yang terjadi di depan mereka. Agni tertawa lagi melihat itu. “Baru pertama kali liat cewek cupu ngehajar cowok kece—ehm cowok ‘sok’ kece maksudnya?”
Pemuda di sebelahnya menoleh padanya dengan mulut menganga lalu menggeleng dan kemudian mengangguk. Agni mengernyit tak mengerti lalu geleng-geleng kepala heran. Shilla kemudian datang menghampirinya dengan muka puas. Gadis itu lalu menaikkan alisnya bingung melihat seorang pemuda asing yang berdiri di sebelah Agni. Agni menggaruk lehernya sambil memandang pemuda di sebelahnya bingung. “Gue juga gatau, sih. Tiba-tiba udah nongol di sebelah gue.”
Pemuda itu sudah bisa mengembalikan ekspresinya menjadi normal seperti biasa. Ia lalu tersenyum miring. “Keknya gue baru nemu lo berdua yang gak tau siapa gue. Ternyata gue ga seterkenal itu di sekolah.”
Agni dan Shilla hanya diam sambil mengerutkan kening menatapnya aneh. Berani-beraninya pemuda ini bertingkah narsis di hadapan mereka berdua setelah kejadian tadi. Ckckck. Mau cari mati?
Pemuda tadi kemudian sadar kalau ia sudah salah bicara. Ia langsung berdehem menghilangkan kegugupannya yang mendadak muncul. “Gue Alvin. Kalo ga salah kita sekelas. Gue liat lo berdua ada di barisan gue tadi pas upacara.”
“Gue Agni,” sahut Agni lalu kemudian Shilla menyusul. “Gue Shilla. Salam kenal.” Ujarnya memaksakan senyum lalu langsung mengajak Agni pergi dari sana. Ia sudah gerah lama-lama berada di dekat Chris dan teman-temannya yang sok kegantengan itu. Hilang sudah rasa kagumnya pada pemuda itu. Ia justru menyesal kenapa sempat kagum pada orang seperti Chris.
“Eh lo berdua mau ke kelas, kan? Barengan aja!” ujar Alvin sambil berlari menyusul.
***
“HAHAHAHA! Gue gak ngebayangin itu si Chris sama temen-temennya ekspresinya kek gimana!” komentar Via. Diikuti tawa Agni sementara Shilla sedaritadi senyum-senyum sendiri manakala mengingat kejadian surat cinta tersebut yang sekaligus menjadi awal perkenalan pertamanya dengan Alvin.
“Heh, lo senyam-senyum karena Chris atau Alvin? Awas aja lo macem-macem!” kata Agni sinis. Shilla langsung mencibir ke arahnya. “Yaelah, gue udah ga demen bule kali! Gue mah udah cinta mati sama asia,” katanya lalu menangkup wajahnya ala cibi-cibian dengan wajah berseri.
“Habis lo dulu culun, sih. Lah si Chris keren kek gitu, bule lagi, mana fansnya di semua penjuru sekolah ada. Pasti gamau lah sama lo.” Komentar Via kembali. Agni tertawa lagi mengingat bagaimana penampilan Shilla dulu yang dijulukinya sebagai another betty.
“Yee..dasar dia nya aja yang sok kegantengan. Alvin mau aja tuh sama gue, seculun-culunnya gue dulu. Waktu itu kan Alvin juga gak kalah terkenal sama Kak Chris.” Ujar Shilla membela diri lalu tersenyum lagi kala membicarakan tentang Alvin.
“Kalo lagi edisi baikan begini nih. Alvin disebut-sebut plus dipuji-puji mulu. Coba kalo edisi berantem, hmm...ada yang nyebut Alvin aja, pasti langsung muntah.” Sahut Agni.
“Gak sampe muntah juga kali!” Shilla membalas tak terima. Agni tersenyum miring memandangnya. “Iya, tapi cuma ngamuk sampe-sampe hampir ngebunuh orang.”
Shilla baru saja buka mulut ingin membalas lagi tapi kemudian ucapannya terpotong sebuah suara asing tapi tidak begitu asing yang tiba-tiba muncul sambil menyebut namanya. Shilla menoleh sebentar lalu langsung membuang muka mengetahui siapa yang memanggilnya. Chris.
“Shilla? Kamu Shilla, kan?” sapa Chris antusias sambil menunjuk ke arah wajah Shilla. Shilla berdehem cuek. “Iya, lo siapa ya?” tanyanya pura-pura tidak kenal.
“Dia Shilla yang dulu ngirim surat cinta sama lo itu, kan? Yang culun itu? Kok sekarang...cantik banget?” salah satu teman Chris berbicara nyaris berbisik dengan pandangan kaget sekaligus terpesona meski masih bisa didengar jelas oleh Agni, Via dan Shilla.
“Yang dulu nge-jungkir-balik-in lo itu, kan? Haha,” sahut temannya yang lain yang mau tak mau membuat yang lain tertawa meski hanya sebentar. Rasanya Shilla juga ingin ikut tertawa. Tapi, ia sudah terlanjur bersikap pura-pura tidak mengenal Chris jadi akan aneh jika ia ikut tertawa bersama mereka.
“Ck, sial banget sih lo, Chris! Udah kehilangan kesempatan dapetin cewek cantik begini eh malah dapet si Lala yang—“
“Lo lanjutin, gue potong lidah lo!” potong Chris dengan nada mengancam. Temannya itu langsung diam sambil melengos.
“Boleh gue minta nomor hape lo?”
Shilla menaikkan alisnya bingung. “Hah?”
***
Tararadadamtamtadamtam~ hiyahahaha part ini adalah ide tak terduga. Entah kenapa si Chris tiba-tiba menggentayangi mimin minta peran(?) Yowes lah, rasanya juga gaadil cuma Alvin doang yang punya orang ketiga. Shilla juga harus punya dong!(?) Sebenernya mau di tambah scene Fevin pas serumah sih tapi ini aja udah panjaaaaaaang beeeeuuuudhhhh. Ntar ribet nguploadnya. Jadi segini aja ya. Maaf kalo Alshillnya dikit, maklum tuntutan cerita-.-
Btw, mimin baru liat coveran Gab sm Rio. Dan seketika mimin galau kangen icil diadain lagi:’) Enggak sih, lebih pengen ngeliat icil reuni sebenernya:’) Denger dealova nya Sion sm Via aja sampe mau nangis yaampun-.- Ayo dong, kan udah banyak yg pada di pulau jawa kan, yang sering aktif di media sosial dan sering muncul di tipi(?) Ngumpul dong cover lagu sama-sama-.- Angel, Ify, Shilla, Via, Irva, Agni, Gab, Rio, Kiki, Ray, Alvin, Cakka, Dayat, Sion, duh siapa lagi ya. Atau setidak-tidaknya yang paling deketan skrg aja. Ify, Via, Rio, Gab gitu cover lagu bareng *modus ini mah hahahahaxD* mumpung sama-sama jomblo juga kan *gaada hubungan* *bodo amat hajar terooos(?)* Kan pas tuh, Ify piano, Rio bass, Gab gitar dan Via krenceng-krencengan(?)
Yah sudahlah, semoga mereka semua membaca curhatan mimin ini lah. Seriusan ih, mimin bener-bener kangen asli banget-bangetan~ So see you babay muah muah :*
***
Cagni
Bila rindu ini masih milikmu kuhadirkan sebuah tanya untukmu. Harus berapa lama aku menunggumu? Aku menunggumu.
***
“Mau nonton lagi?” tanya Cakka seraya menahan tawa. Agni langsung mendelik ke arahnya. “Enggak!” katanya galak. Mereka baru saja keluar dari theater bioskop dan kini sudah turun menggunakan eskalator menuju lantai bawah.
“Kok gue gak digandeng lagi?” tanya Cakka pelan sambil memandang Agni dengan tatapan yang hampir sukses membuat Agni salah tingkah. Agni harus mati-matian berusaha bersikap normal dan menjaga-jaga agar pipinya tidak merona. Ampun deh, jadi gini rasanya jalan sama cowok cakep? Ckckck, kenapa jiwa maskulin gue gak keluar disaat kek gini? Sialan. Batinnya.
“Jangan geer ya! Gue itu udah kebiasaan gandeng siapa aja yang duduk di sebelah gue kalo lagi nonton film horror. Bukan karena gue emang niat gandeng lo.”
Cakka mengedikkan bahunya. “Yah..gue udah terlanjur geer, gimana dong?” ujarnya dengan senyum kecewa. Agni merasa di sekelilingnya berputar-putar. Ia memegang pegangan eskalator kuat-kuat menjaga tubuhnya agar tidak jatuh. Itu dia gak serius kan? Batinnya lagi.
“Ya..gak gimana-gimana. Ngomong apa sih lo?” elak Agni sambil mengibas-kibaskan tangannya. Cakka hanya balas tersenyum lalu mengedikkan bahu lagi. “Lo mau gue anter pulang atau mau ikut gue dulu?”
Agni melihat jam tangannya. Belum terlalu malam. “Ikut lo kemana? Kalo tempatnya serem mending gue pulang aja.”
“Hehe, takut banget lo gue kerjain. Gak kok, gue mau liat temen-temen freestyle gue. Katanya sih anak-anak biker lagi maen. Lo mau ikut liat?”
Agni mengernyit berpikir sebentar lalu mengangguk setuju.  “Awas aja kalo lo malah bawa gue ke kuburan!”
Cakka tertawa kecil. “Iya, iya, gue janji, deh.”
***
“Aaah..”
Orang-orang serentak berseru kecewa saat salah satu bikers gagal mendarat. Ada juga yang tertawa termasuk dia yang gagal mendarat tersebut. Pemuda itu mengambil sepedanya lalu menggiringnya kembali ke belakang untuk kembali mencoba melakukan atraksi. Sementara itu, pemuda lain kini tengah melambung di udara sambil menggoyang-goyang sepedanya lalu kemudian mendarat mulus. Sekali lagi membuat seluruh orang yang ada di sana berseru. Namun kali ini mereka semua berseru kagum akan atraksinya.
Agni ikut bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala berdecak tak kalah kagum. Cakka yang berdiri di sebelahnya hanya tersenyum sambil berkacak pinggang. “Mereka semua pernah ada yang patah kaki gak, sih? Ini kan maenan yang ekstrim banget.” Tanya Agni tanpa melepas pandangan pada atraksi yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Ada sih beberapa, pas awal-awal belajar. Tapi yang paling sering sih luka lecet kegesek aspal doang.” Jawab Cakka santai sementara Agni mendelik ke arahnya. “Kalo kegesek aspal itu bukan lecet doang kali! Ckck, gak pada kapok tuh?”
Cakka tertawa lalu menoleh pada Agni. “Selagi mereka masih punya kaki sih mana ada kata kapok.”
“Pada gila!” sahut Agni sambil geleng-geleng kepala lalu kemudian berdecak kagum lagi ketika salah satu bikers berhasil melakukan atraksi.
“Namanya juga udah hobby.”
“Lo sendiri ikut maen beginian?”
“Ikut tapi gak terlalu sering, sih. Gue lebih suka basket kalo gak skateboard.”
“Jadi lo bisa maen beginian juga dong? Serius?” Agni menyahut kaget. Cakka tersenyum miring memandangnya. “Lo nantangin? Gue lumayan jago loh!” Belum sempat Agni menjawab, Cakka lebih dulu berbicara kembali. “Lo tunggu di sini. Gue akan buktiin sama lo. Keep your eyes on me, okay?!” ujarnya sambil menunjuk kedua bola mata Agni dan bola matanya bergantian lalu langsung pergi meninggalkan gadis itu.
“Cakka! Lo mau ngapain? Jangan macem-macem ya! Cakka!” katanya nyarik berteriak. Ia seketika panik karena Cakka pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilannya lagi. Apa yang akan pemuda itu lakukan? Pikirnya.
Agni menggigit jari dan sebelah tangannya memegang pinggang kembali menonton atraksi sepeda di depannya dengan perasaan cemas. Ini hampir sepuluh menit dan Cakka tak tahu ada di mana. Hingga tiba-tiba ia melihat Cakka berjalan menenteng sepeda ke beberapa meter di belakang tanjakan tempat para bikers tadi melambung ria. Agni langsung membelalakkan matanya tak percaya. Mau apa Cakka disana?
Cakka lalu menoleh pada Agni dan tersenyum lagi. Ia menaiki dan dengan yakin mengayuh sepedanya. Agni sampai menahan napas sambil berdoa dalam hati semoga Cakka tidak berniat mengayuh menaiki tanjakan. Tapi, sepertinya doanya tersebut sudah terlambat karena sekarang Cakka malah sudah melambung di udara. Cakka melompatkan tubuhnya ke samping kanan dan kiri dengan cepat lalu kembali ke posisi semula. Agni menggigit bibirnya hingga ban sepeda Cakka benar-benar menyentuh lantai dan mendarat dengan cukup baik. Tak ayal ia langsung menghela napas lega diikuti tepukan serta teriakan riuh dari orang sekitarnya.
Cakka tersenyum puas sambil menenteng sepeda dan mengembalikannya pada sang pemilik. Setelah itu ia berlari kembali menghampiri Agni yang masih kelihatan shock di tempatnya.
“Gimana? Gue jago, kan?” katanya bangga. Sementara Agni langsung mencibir dan meninju lengannya pelan. “Gila iya lo mah!” gerutu gadis itu. Ia lantas tertawa sambil memegang lengannya.
“Kenapa? Lo khawatir gue kenapa-kenapa?” tanyanya menggoda sambil bersedekap dan mendekatkan wajahnya ke wajah Agni. Agni spontan berjengit dan langsung memalingkan wajahnya. “Ya—iya, lo kan temen gue. Ya gamasalah dong gue khawatir temen gue kenapa-kenapa! Lagian, ga aneh juga kalo gue khawatir. Lo liat aja sendiri lo ngapain barusan. Maenan lo itu bahaya banget tau gak, sih? Siapapun juga bakal khawatir lah sama lo.”
Sekali lagi Cakka tertawa lalu menjauhkan kembali wajahnya. “Ternyata lo cerewet gak pas lagi kesel doang, tapi kalo lagi nervous juga.”
“Si—siapa yang nervous? Gue gak nervous tuh!” elak Agni sambil bersedekap.
“Trus kenapa lo mendadak gagap kek gitu?”
“Hah? Enggak, gue gak ga—gagap..” Agni seketika meringis mendengar ucapannya sendiri. Kenapa juga ia harus gagap ketika menyebut kata gagap? Malu-maluin banget, sih, gue malem ini! Ampun, deh.
Cakka kali ini hanya tersenyum geli dan tidak memilih melanjutkan menggoda Agni. Takut-takut gadis itu malah jadi kesal karena malu. “Yaudah, balik yuk. Udah hampir jam sepuluh. Bokap lo ntar marah lagi sama gue dan bisa-bisa dipenggal kepala gue ntar sama Kiki kalo mulangin lo telat.”
Agni mendesah lega lalu tersenyum senang. Ia langsung mengangguk setuju. Daripada disini terus-terusan dan ia juga terus-terusan salting karena Cakka, lebih baik sekarang ia pulang, kan?
***
Mobil Cakka akhirnya sampai di depan rumah Agni. Agni segera turun dan berjalan mengitari mobil dan berhenti tepat di depan pagarnya sambil menunggu mobil Cakka pergi.
“Lo gak kapok kan jalan sama gue?” tanya Cakka sambil tersenyum ke arah Agni. Agni balas tersenyum sambil memutar kedua bola matanya. “Yah maybe yes maybe no lah.” Mereka lalu sama-sama tertawa.
“Thanks buat hari ini. Honestly, gue seneng banget.”
“Peres lo ah! Yaudah, sama-sama. Gue juga seneng.” Agni bersyukur lampu jalan di dekat rumahnya tidak terlalu terang sehingga mukanya yang memerah dapat tersamarkan. Cakka mengerling jahil. “Lo gak peres dong ya?”
“Damn it.” Umpat Agni melengos seraya tersenyum tipis. “Ntar jangan nolak kalo gue ajak pergi lagi, oke?”
“Kita liat aja nanti,” balas Agni.
“Yadeh, terserah lo. Kalo gitu, gue pulang ya. Goodnight, Agni!” pamit Cakka sambil mengedipkan mata jahil ke arah Agni. Agni langsung mendesis dan merinding geli. Mobil Cakka kemudian melaju pergi meninggalkan rumahnya. Agni lantas tersenyum tipis. “Goodnight, Cakka.” Gumamnya lalu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ia membuka pagar dan melangkah masuk ke halaman rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam rumah karena garasi yang belum di kunci. Ketika baru saja menginjakkan kaki ke ruang tengah, mamanya langsung menariknya duduk di sofa dan ada papanya juga di sana. Ia menatap kedua orangtua angkatnya itu dengan bingung.
“Ayo, ngaku sama Mama, Cakka itu pacar kamu, kan?” tanya Mamanya antusias. Ia menoleh ke arah Papanya dan laki-laki itu memandangnya sama antusias dengan Mamanya. “Apa, sih, Ma! Bukan, kok. Cakka itu temen satu sekolah aku. Bukan pacar. Ngaco deh!” bantahnya sambil mengibas-kibaskan tangan di depan wajah.
“Lagi pedekate nih mungkin, Ma.” Sahut Papanya sok serius pada sang Mama. Mamanya langsung tersenyum senang lalu memegang wajahnya.
“Akhirnya anak Mama bisa ada yang suka juga!”
Agni langsung mengernyit tak suka. “Emangnya aku sejelek itu apa sampe ada yang suka Mama langsung takjub kek gitu?”
“Hehe, abis kamu dandannya kek gitu, sih. Mama kan jadi agak khawatir. Harusnya kamu dengerin kata-kata Mama dong, Sayang! Gaya pakaian kamu tuh laki banget! Coba deh mulai besok kamu dandan jadi sedikit feminim. Dikiiiit aja,”
“Yang penting kan aku masih pake anting, Ma.” Balas Agni cuek. Sementara Mamanya merengut. “Yaudah, Agni ke kamar dulu ya, Ma, Pa. Pengen tidur. Udah malem kan, takutnya besok telat bangun.”
“Yaudah, tapi jangan lupa cuci muka dulu sebelum tidur. Belum solat juga, kan?”
“Iya Mamaku sayang, muah!” katanya sambil mengecup bibir Mama dan Papanya sekilas. Ia kemudian langsung berlari menuju kamarnya.
***
Baru saja hendak menutup mata, tiba-tiba pintu kamar Agni terbuka. Ia menoleh dengan mata menyipit.
“Lo udah tidur?” tanya Kiki yang kepalanya menyembul dari balik pintu. Ia lantas masuk setelah menutup pintu tanpa di persilahkan. Agni mencibir kedatangannya. Pura-pura kesal pada pemuda itu karena tadi siang tidak menjemputnya. “Harusnya sih udah, kalo lo gak tiba-tiba dateng.”
Kiki tersenyum lalu duduk di atas kasur di samping Agni berbaring. “Lo masih marah ya?”
“Menurut lo? Gue udah kayak ikan asin dijemur karena nungguin lo tau nggak? Emang tadi lo kemana sih? Mana gak ngasih kabar! Hape lo pake mati segala lagi! Iss kesel gue sama lo! Kesel kesel kesel!”
Kiki tertawa geli. Agni masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Sama sekali tidak berubah cerewetnya jika sedang kesal atau marah. “Tadi abis reunian gue tiba-tiba ada latian basket dadakan. Hape gue low gak sempet gue cas. Dan gue lupa harus jemput lo. Hehe.Sorry ya.”
“Ya lupain aja adek lo ini terus. Lupain aja. Akurapopo!”
“Ck, sensitif banget, siiiih adekku ini?” Kiki menjawil hidung Agni pelan. Agni langsung menampik tangannya kesal.
“Trus lo pulang sama siapa tadi? Gak kenapa-kenapa kan di jalan? Gak ada yang mau nyulik lo atau macem-macem sama lo, kan?”
“Gue nebeng sama Cakka. Alhamdulillah enggak, gue pulang dengan badan utuh kok.”
“Lo pulang bareng Cakka? Pake motor apa mobil?” Kiki menyahut kaget. Agni lantas mengernyit bingung. “Iya, kan udah gue bilang tadi! Pake motor. Emang penting banget pake apa? Yang penting kan gue bisa sampe di rumah dengan selamat.”
“Berarti pas di jalan lo meluk dia dong?” Kiki mencibir sinis. “Ya gak meluk juga kali, Kak. Ih, lo kenapa sih nanyanya kek begitu?”
“Dan tadi lo habis jalan sama dia juga?” tanya Kiki lagi. Nada suaranya masih terdengar sinis. “I—ya..” balas Agni tak yakin. “Ih lo belum jawab pertanyaan gue!”
“Ck..udah ambil start aja tuh anak! Kecolongan deh gue!” gumam Kiki sambil mengepalkan tangan kanannya dan meninjukannya ke telapak kiri.
“Hah? Maksudnya?” Agni memandang Kiki makin tidak mengerti. Kiki lantas menyingkap selimut seraya berbaring di samping Agni. “Malem ini gue tidur sama lo ya!” pintanya sambil tersenyum lebar hingga menampakkan gigi.
Agni yang awalnya bingung lantas hanya mengedikkan bahu. “Yaudah, gue juga kangen tidur bareng sama lo. Udah lama banget kan ya?”
“Lo gak pernah tidur sama cowok lain selain gue, kan?” tanya Kiki sambil menyipit curiga dan menunjuk tepat di hidung Agni menggunakan telunjuk. Sekali lagi Agni menampik tangannya. “Emang lo pikir gue cewek apaan sembarangan tidur sama cowok?”
Kiki kembali tersenyum meski tidak selebar tadi. Ia baru hendak membuka mulut sebelum Agni tiba-tiba mengecup bibirnya sekilas. Ia lantas termangu seraya memandang Agni dalam. “Udah ya, Kak. Jangan ngajak gue ngomong lagi. Gue udah ngantuk banget. Goodnight ya, Kak.” ujar Agni sambil menguap menunjukkan kalau ia benar-benar mengantuk. Ia menepuk pelan pipi Kiki sebentar lalu membalikkan badan dan tidur membelakangi Kiki. Tak butuh waktu lama untuknya agar bisa terlelap.
Sementara itu, Kiki masih membeku menatapnya. Lalu kemudian ia tersenyum tipis dan menarik Agni ke dalam pelukannya. Bagaimana bisa ia melupakan kebiasaan sejak kecil mereka sebelum tidur itu? Bahkan tidak hanya sebelum tidur, kapan ketika hendak pamit atau baru saja bertemu mereka pasti melakukan itu. Termasuk pada papa dan mama mereka. Ckckck, tubuhnya benar-benar bereaksi berlebihan, terutama jantungnya. Jantungnya tadi langsung berdetak sebegitu cepatnya. Beruntunglah sekarang semuanya bisa sedikit menormal.
“Ni, lo beneran tidur ya?” Agni berdehem pelan. Sepertinya gadis itu masih setengah sadar. Kiki tersenyum tipis. “Kita bisa kek gini terus gak ya?” tanyanya lagi dan masih dijawab dengan cara yang sama oleh Agni. Suara gadis itu bahkan lebih pelan dari sebelumnya.
Kiki terdiam dengan pandangan mata menerawang. Ia lalu bertanya kembali dengan nada suara yang pelan sekali. “Lo gak suka sama Cakka kan, Ni?” Pertanyaan terakhirnya itu sepertinya sudah tidak terdengar lagi oleh Agni. Gadis itu sudah benar-benar tidur. Ia lantas menutup mata mencoba terlelap seperti Agni dengan tetap mendekap tubuh gadis itu.
Andai aja lo tau perasaan gue sama lo, Ni. Kapan ya gue bisa ngasih tau sama lo? Salah gak sih perasaan gue ini? Apa lo juga ngerasain hal yang sama ke gue? Karena kalo enggak, gue takut malah bakal ngerusak semuanya. Gue takut bakal ngebuat jarak di antara kita. Lebih-lebih, gue takut kehilangan lo, Ni.
***
Cakka memarkir motornya di halaman rumah Agni. Rencananya sih ia ingin pergi ke sekolah bareng. Ia tidak sempat memberi tahu gadis itu semalam. Atau mungkin lebih tepatnya ia lupa. Jelas saja karena niatnya saja baru muncul tadi pagi. Ia sedikit merasa cemas kalau-kalau rencananya ini gagal. Ada Kiki di dalam sana yang bisa dengan mudah menghalanginya untuk pergi bersama Agni. Tapi, yah, nekat sajalah. Lagian, sudah sampai di sini juga, kan? Kalau pun memang tidak bisa pergi bersama, toh ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Agni di sekolah.
Cakka melangkahkan kaki menuju pintu depan rumah Agni dan langsung memencet bel. Butuh sekitar beberapa menit untuknya menunggu hingga pintu di buka. Terlihat seorang wanita paruh baya yang bisa dibilang seumuran dengan Mamanya berdiri menyambutnya dengan senyum merekah. Wanita yang sudah ia ketahui adalah Mama Agni karena semalam saat meminta izin pergi mereka sempat berkenalan.
“Pagi, Tante.” Sapanya sopan. Mama Agni langsung berseru senang sambil memegang kedua lengannya. “Aaah Cakka, kan? Pasti mau ngajak Agni pergi ke sekolah bareng, kan?”
Cakka meringis pelan. “Hehe, iya, Tante. Kalo boleh,”
“Tentu aja boleh!” Mama Agni langsung menyahut. “Yaudah, kalo gitu kamu tunggu di sini bentar ya!”
Cakka tersenyum tipis sambil mengangguk pelan. Mama Agni kemudian masuk ke dalam meninggalkannya sendiri di depan pintu. Selang beberapa menit, wanita itu datang kembali bersama dengan Papa Agni dan Agni sendiri. Terakhir, orang yang ia khawatirkan menyusul, yakni, Kiki. Air muka pemuda itu langsung berubah datar ketika melihatnya. Ia hanya mengalihkan pandangan pura-pura mengabaikan pemuda itu. Ia tidak ingin menimbulkan masalah saat ini. Ia hanya ingin pergi bersama Agni. Sudah, itu saja.
“Lo..kok..?” ujar Agni terbata-bata kebingungan sambil menunjuk ke arah Cakka. Sementara tubuhnya terus di dorong-dorong oleh Mamanya ke dekat Cakka.
“Cakka mau ngajak kamu ke sekolah bareng, Sayang.” Mamanya menjawab pertanyaan tersiratnya mewakili Cakka. “Yaudah, sana berangkat! Ntar telat lo!” ujar wanita itu lagi.
Agni lantas mengedikkan bahu pasrah. Yang penting ia bisa sampai di sekolah. Ia lumayan kaget, sih sebenarnya dengan Cakka yang tiba-tiba sudah muncul di depan rumahnya. Tapi, tidak dapat ia pungkiri kalau hatinya merasa senang dan ehm..berbunga. Haha.
“Kalo gitu Agni berangkat dulu ya Ma, Pa, Kak!” ujarnya sambil menyalami serta mencium Mama dan Papanya serta Kiki bergantian. Ada suasana berbeda yang tercipta ketika ia mencium Kiki meski ia tidak menyadari itu. Tepatnya, hanya Kiki dan Cakka saja yang merasakan atmosfir aneh tersebut.
Kiki diam-diam melirik ke arah Cakka sambil tersenyum menang setelah Agni menciumnya. Cakka sendiri terdiam melihat adegan itu. Letupan-letupan aneh seketika terjadi dalam dadanya. Ia tahu Agni melakukan itu murni atas rasa sayang antara kakak dan adik. Tapi, tidak dengan Kiki. Ada yang lain yang terpancar di matanya saat bahkan hanya sekedar memandang Agni. Sesuatu yang lain yang kini juga tengah ia rasakan. Ck, jadi, kata-kata tuh orang waktu itu beneran? Dia bener-bener suka sama Agni? Ralat. Dia cinta sama Agni. Adeknya sendiri. Adek angkat, sih, emang.
***
Cakka dan Agni kemudian sampai di sekolah. Perjalanan dari rumah Agni hingga ke sekolah lebih banyak diisi oleh hembusan angin dan hiruk pikuk jalan raya. Bahkan bisa dibilang mereka tidak berbicara sama sekali. Mungkin karena mereka berangkat menggunakan motor jadi kalau berbicara pun pasti akan sulit terdengar. Sekaligus mood Cakka yang mendadak tidak enak. Entah kenapa ada rasa kesal yang terus mengendap di hatinya sejak tadi Agni mencium Kiki di rumahnya. Ia sendiri bingung ia kesal pada Agni atau Kiki atau malah dua-duanya. Tapi yang pasti, ia memang kesal pada Kiki.
“Thanks, Cakka.” Ujar Agni seraya tersenyum miring lalu mengembalikan helm pada Cakka. Cakka hanya balas tersenyum tipis sambil menggangguk pelan tanpa mengucapkan apapun. Kening Agni mengerut dengan wajahnya yang tampak bingung memandang ke arah Cakka. Ini perasaannya saja atau memang ada yang aneh dengan pemuda itu? Pikirnya.
Mereka lalu berjalan bersisian memasuki koridor sekolah. Agni melirik manusia yang mendadak bisu di sampingnya itu. Ia menggaruk pelipisnya heran. Cakka kenapa, sih?
“Gue tadi ada salah ngomong ya?” tanyanya sudah tak tahan. “Hm?” Cakka menoleh ke arahnya seperti baru sadar kalau ia sedang tidak berjalan sendirian.
“Gue nanya, tadi gue ada salah ngomong ya sama lo?” ulang Agni seraya mendesah pelan. Gantian, sekarang Cakka yang menggaruk-garuk pelipisnya kebingungan dan menjawab dengan canggung. “Eng—engak, sih. Kenapa?”
“Lo aneh, deh.”
“A—aneh gimana?” Cakka bertanya pura-pura tidak mengerti.
“Daritadi lo belum ada ngajak gue ngomong. Lo jadi lebih pendiem, deh. Kenapa?”
“H—ah? Masa, sih? Gak, gue gakpapa, kok.” Cakka memaksakan senyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Agni diam memperhatikan pemuda itu sambil menyipit curiga. Pasti ada sesuatu yang tengah disembunyikan pemuda itu. Ia lantas mengedikkan bahu. Kalau memang Cakka tidak ingin bercerita ya sebaiknya ia tidak usah bertanya. Takut-takut nanti ia dikira ikut campur dan sok dekat dengan pemuda itu. Ya meskipun semalam mereka sudah ehm..jalan berdua tapi tetap saja ia tidak bisa menyimpulkan apapun mengenai hubungan mereka berdua. Cakka kan tidak pernah bilang apapun padanya. Eh pernah sih, baru saja semalam. Saat Cakka bilang kalau dia senang digandeng olehnya. Dan terakhir, pemuda itu bilang kalau dia senang pergi bersamanya. Ah tapi yang terakhir itu paling cuma basa-basi, kan?
“Lo sama Kiki sering ya kek gitu?” tanya Cakka tiba-tiba. Agni sampai berjengit karena kaget. Maklum, tadi ia sedang melamun. Melamunkan pemuda itu juga sebenarnya. “Kek gitu gimana?”
“Ya—kek yang lo lakuin tadi pagi sebelum berangkat..” jawab Cakka pelan. Lidahnya agak kelu mengutarakan maksud ucapannya pada Agni. Untungnya tanpa harus ia sebutkan jelas, Agni sudah mengerti ucapannya. “Oh, itu. Udah kebiasaan,” Agni tersenyum tipis sambil memandang sekitarnya.
“Keb—kebiasaan?!” Cakka bertanya shock. Agni langsung menoleh ke arahnya dengan bingung kembali. “Iya, emang kenapa, sih? Kok kek nya lo kaget gitu?”
“Ya gue ngerasa aneh aja..”
“Kok gitu?” Cakka menoleh pada Agni dan memperhatikan ada yang agak berubah dalam ekspresi gadis itu. “Ya..aneh aja.” jawabnya sekenanya. Berharap pembahasan ini segera dihentikan. Tapi, sepertinya Agni tidak sependapat dengannya. Salahnya sendiri yang mengangkat topik ini tadi, kan?
“Emang apa anehnya nyium kakak sendiri?” tanya Agni sambil menaikkan alis.
“Ya..lo sama Kiki kan bukan..saudara kandung. Bukan apa-apa sih, tapi gue aneh aja ngeliatnya.” Cakka menjawab pelan dan sangat hati-hati.
Tiba-tiba saja Agni berhenti dan berdiri menghadapnya. Memandangnya dengan pandangan yang sangat tidak ia harapkan. Gadis itu seperti sedang menahan kesal.
“Emangnya salah kalo gue memperlakukan dia kayak kakak kandung gue? Salah kalo gue memperlakukan mereka kayak keluarga gue beneran sama seperti yang mereka lakuin ke gue?”
Cakka menelan ludah bingung harus menjawab apa. Nanti kalau ia malah salah bicara lagi, bisa gawat. “Gue gak—“
“Bisa gak sih lo gak usah bawa-bawa status? Oh, gue tau maksud lo. Tenang aja kali, gue sadar diri kok siapa gue di keluarga Kak Kiki. Sampe kapan pun gue tetep orang asing. Thanks udah ngingetin gue soal itu. Bakal gue inget-inget terus kok. Puas, kan?”
Agni langsung pergi begitu saja meninggalkan Cakka yang terdiam di tempatnya. Dan Cakka langsung mengutuki kebodohannya tersebut. Kenapa disaat seperti ini ia malah melongo? Bukannya mengejar Agni yang sekarang sudah percuma kalau ia susul pun tidak akan bisa. Raga gadis itu menghilang secepat kilat. Ia mendecak kesal bertepatan dengan bel masuk yang berbunyi. Ia lantas memilih pergi menuju kelasnya. Ia tidak ingin menciptakan masalah lagi untuk dirinya sendiri. Setelah membuat Agni marah, ia tidak mau terlambat masuk ke kelas dan membuat gurunya marah juga padanya.
***
Agni melangkah cepat hingga sampai di depan kelasnya. Ada seseorang yang tidak sengaja ia tabrak dan ia hanya meminta maaf cuek tanpa menoleh. Ia langsung masuk begitu saja dan duduk dengan kasar di kursinya. Shilla yang berada di sebelahnya dan Via di depannya saling berpandangan bingung lalu memandangnya kembali. Via mengambil botol minumnya dan langsung menyerahkannya pada Agni.
“Minum dulu, minum!” bujuknya berusaha menenangkan. Agni meraih botol minumannya itu dan minum tanpa semangat lalu menyerahkannya kembali padanya. “Lo kenapa, sih? Pagi-pagi udah kesetanan gini?” tanyanya kemudian.
“Tau, tuh orang bikin bete aja!”
“Tuh orang siapa?”
“Auk deh siapa!”
Via menggaruk-garuk pelipisnya tidak mengerti. Ia menoleh ke arah Shilla dan gadis itu hanya mengedikkan bahu ke arahnya. Ify yang baru saja datang pun lantas memandang mereka dengan pandangan bertanya-tanya. Ia dan Shilla kompak mengedikkan bahu menjawab bahwa mereka juga tidak tahu.
Agni tampaknya tidak terlalu menghiraukan keheranan dari ketiga sahabatnya. Perasaannya masih kesal karena Cakka. Kenapa juga pemuda itu tiba-tiba membahas soal statusnya? Jadinya kan ia juga baru kepikiran kalau ia dan Kiki itu bagaimanapun tetap dua orang asing. Dan semalam mereka malah tidur bersama. Memang hanya tidur ya, tidak melakukan apa-apa selain itu. Itu juga karena mereka sudah terbiasa sejak kecil. Mana ia juga mencium Kiki sebelum tidur. Astaga! Cakka! Lo udah ngerusak pikiran gue!
Etapi, tunggu dulu! Darimana Cakka tau kalau ia dan Kiki bukan saudara kandung? Atau tadi Cakka bukan bermaksud membahas soal statusnya dan Cakka sebenarnya tidak tahu perkara hubungannya dan Kiki? Atau Cakka memang tahu? Astaga, kalo Cakka emang tau...aiss! Harus sampe kapan sih lo nyimpen obsesi lo itu, Ni? You’ve already known the truth, right?
***
Bel istirahat sudah beberapa menit lalu berbunyi. Lapangan tengah juga sudah mulai di penuhi para siswa yang ingin bermain basket. Berbeda dengan biasanya, Cakka memilih berdiri menonton di pinggir lapangan. Ia sedang tidak berhasrat ikut main tapi ia juga tidak tahu kemana selain tempat ini. Ia juga tumben-tumbennya malas berkumpul bersama Rio dan Gabriel. Jadilah ia hanya diam di sini. Kebetulan juga ia sedang menunggu Agni kembali dari kantin. Tadi saat ia cari di kelasnya, gadis itu sudah tidak ada.
Entah sudah berapa lama Cakka berdiri, orang yang sedaritadi ditunggunya kemudian muncul bersama dengan dua temannya lain. Siapa lagi kalau bukan Shilla dan Via. Gadis itu tampak sedang tertawa senang yang secara otomatis menambah manis wajahnya di mata Cakka. Untuk beberapa saat, Cakka masih diam di tempatnya memperhatikan setiap tingkah Agni.
Ada sesuatu yang tiba-tiba teringat di memorinya. Kenangan akan masa kecilnya bersama Nia. Ia teringat akan saat pertama kali ia terpesona pada gelak tawa gadis kecil itu. Rambut seginya yang sepanjang setengah pinggang yang selalu tergerai dan poni panjangnya bergoyang-goyang indah. Ditambah barisan gigi yang rapi meski saat itu ada satu yang ompong, tapi tetap saja terlihat manis.
Itu adalah saat ia bersama anak-anak minuet pergi memancing dan ia berhasil menangkap satu ikan. Ia tidak akan lupa bagaimana senangnya dan betapa bangganya Nia saat itu padanya. Dan mau tak mau ia ikut-ikutan bangga akan dirinya sendiri. Mungkin saat itu ia masih tidak mengerti perasaan seperti apa yang ia rasakan berhubung karena mereka masih sama-sama kecil. Yang ia tahu, ia selalu senang kalau bersama Nia. Ia sangat suka memandangi wajah gadis itu dan apapun ekspresi yang tercipta disana. Ya kecuali menangis. Meski Nia memang tidak pernah menangis. Kecuali saat ia diambil kedua orangtuanya kembali.
Kalau diperhatikan, Agni dan Nia memang berbeda. Tapi sepintas mereka terlihat seperti orang yang sama. Dari cara bicaranya, cara jalannya serta mimik wajah yang ditunjukkan, semuanya hampir sama. Yang berbeda hanyalah Nia adalah anak kecil yang agak feminim secara penampilan meski sikapnya tidak sementara Agni sangat jauh dari feminim. Nia rambutnya selalu digerai sementara Agni, ia belum pernah melihat gadis itu melepas kunciran pada rambutnya. Tapi, itu menjadi tidak terlalu penting sekarang. Toh, Agni punya kalung yang sama dengan yang Nia punya. Bukankah itu sudah jelas?
Bibir Cakka tertarik dan ia tersenyum kecil. Kakinya kemudian melangkah tanpa diperintah menuju dimana Agni berada. Sesampainya di depan Agni, senyum gadis itu sedikit mengendur kala melihatnya. Tapi, gadis itu tidak menunjukkan rasa tidak senang juga. Shilla dan Via yang tahu diri pun langsung meninggalkan mereka berdua.
“Kalo mau ngomong, sambil jalan aja.” ujar Agni. Ia menoleh pada gadis itu yang memilih tidak memandangnya. Gadis itu tampak memperhatikan sekeliling.
“Ni?” panggilnya pelan. Agni menoleh ragu-ragu padanya dengan pandangan bertanya tanpa mengucapkan apapun. Ia lalu menghela napas pelan. “Sorry ya?”
“Hm?”
“Sorry ya kalo gue udah bikin lo kesinggung. Gue gak ada maksud kek gitu, sama sekali gak ada.”
Agni mengeryitkan kening lalu kemudian tersenyum canggung lalu menganggukkan kepala. “Ya—udah gak ada masalah kok buat gue. Gue aja yang kelewat sensitif. Ya biasalah cewek, kan?” katanya seraya tertawa kecil.
Cakka mau tak mau sedikit banyak menghembuskan napas lega dan ikut tersenyum senang. Setidaknya hal ini tidak akan menjadi masalah berkepanjangan untuk mereka seperti waktu itu.
“Tadi itu gue—“
“Udalah, lupain aja yang tadi. Gue males bahas itu.” potong Agni seraya tersenyum tipis ke arahnya lalu mengalihkan pandangan kembali. Cakka yang baru buka mulut langsung mengurungkan niat melihat sikap Agni yang seperti itu. Beberapa langkah berjalan mereka sama-sama diam dan sama-sama bingung mau bicara apa.
“Gue tadi bilang aneh karena gue gak suka ngeliatnya, Ni.” Ujar Cakka cepat tanpa bisa ditahan lagi seraya memandang Agni lekat.
“Gak s—suka?” jawab Agni gelagapan.
“Iya.”
Agni menarik napas sedalam yang ia bisa. Mendadak asupan oksigen dalam tubuhnya meningkat drastis. Duh, bisa gak sih gak main kembang api di jantung gue? Lo kenapa jadi alay gini sih, Ni?!
“Kenapa?” tanyanya sekenanya. Cakka berjengit dan seketika gelagapan sendiri ditanya seperti itu. “Eng..itu karena..” Ia menggaruk-garuk kepala sembari berpikir harus menjawab apa pada Agni. Mesti jujur atau bohong nih? Batinnya.
“Itu...gue pikir lo tau lah kenapa kalo misalnya ada cowok yang gak suka ngeliat cewek disentuh sama cowok lain. Jangankan disentuh, sekedar diliatin doang pun tetep ga rela.”
Itu maksudnya apa lagi? Ck, tau gak sih gue gak ngerti kode-kode-an, isyarat-isyarat-an, umpama-umpamaan atau apalah terserah?! Mana kata-katanya gitu banget lagi. Ntar kalo gue salah translate gimana? Kan bahaya! Batin Agni bergejolak.
“Lo harus tau kalo gue paling payah dalam pelajaran mengartikan pribahasa. Jadi seratus persen gue gabakal ngerti lo ngomong apa barusan.” Ujarnya berusaha jujur seraya mengangkat kedua tangannya.
Teeeet... *Gakusahprotesdengansuarabelnya*daripadamiminbuatlaguninabobokan(?)*
Agni dan Cakka serentak berhenti sambil berpandangan satu sama lain. Sedetik kemudian mereka tertawa bersamaan. “Pas banget bel bunyi pas gue sampe di depan kelas.” Ujar Agni seraya geleng-geleng kepala.
“Kebetulan gitu ya, dua kali kita ngobrol pasti selalu disalip sama bel.” Cakka ikut-ikutan geleng-geleng kepala. “Yaudah, gue balik ke kelas ya, Ni.” Pamitnya kemudian yang dibalas anggukan senyum dari Agni. Baru beberapa langkah berjalan ia berhenti dan berbalik badan lalu berjalan mundur.
“Pulang bareng?” tawarnya penuh harap. Agni diam sebentar lalu kemudian tersenyum lagi sambil mengedikkan kepalanya. “Okelah.”
Cakka menyeringai senang. “Ntar gue tunggu di parkiran!” katanya lalu membalikkan badannya dan berjalan normal kembali.
Agni masih diam di depan pintu memperhatikan punggung Cakka yang makin menjauh. Ia lalu menghela napas beberapa kali. “No, I’m not blushing, I’m not blushing!” Ia berkomat-kamit panik. Ia kemudian menyentuh kedua pipinya pelan lalu menghela napas lagi. “Yes, I’m blushing.” Katanya pasrah. Ia melengos masuk ke kelasnya. Tapi kemudian ia berhenti dan berjalan keluar kelas kembali.
“Ca..kka.” Ia berniat berteriak memanggil Cakka kembali namun lekas ia urungkan karena raga Cakka yang sudah tak terlihat lagi. “Gue lupa kan nanya dia tau status gue darimana, ckckck.” Ia menghela napas untuk yang terakhir kali lalu memilih masuk kembali ke dalam kelasnya.
***
Agni turun dari motor Cakka lalu berdiri sekitar semeter di samping pemuda itu sambil mencoba melepas helmnya. Cakka menoleh padanya lalu membuka kaca penutup helmnya. “Lo kancingin ya klep nya?” tanyanya yang terdengar kaget. Agni hanya meringis lalu mengangguk lemah. Ia lupa kalau helm Cakka yang dipakainya itu bermasalah di bagian klepnya. *taukan?mimingataunamaspesifiknya* Dan ketika sampai di rumah, ia baru ingat kalau klep itu akan susah dibuka kalau sudah dikancingkan. Cakka lantas melepas helem dan meletakkannya di atas jok. Ia berjalan mendekati Agni untuk membantu gadis itu melepaskan helmnya.
Sementara itu, dari dalam rumah, Kiki yang sedang menonton tv mendengar ada suara motor yang masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Ia mengintip jam dan seketika menepuk keningnya. Ia lupa harus menjemput Agni sekarang. Ia langsung berdiri dari sofa mengambil kunci mobilnya lalu kemudian berlari ke arah pintu. Namun, baru ketika sampai di teras, ia dikejutkan oleh pemandangan yang ada di depannya. Ia kaget karena melihat Agni sudah pulang, apalagi ada Cakka juga di sana. Dari sisinya berdiri, yang juga paling membuatnya kaget setengah mati, ia melihat Cakka dan Agni berdiri berhadapan dengan kepala Cakka yang sedikit menunduk dan mendekat ke wajah Agni. Mana tangannya juga menyentuh wajah gadis itu. Kurang ajar! Pikirnya.
Kiki langsung berlari mendekat dan menarik tubuh Cakka menjauh sekaligus menghadiahi tinjuan keras ke wajah pemuda itu. Tubuh Cakka terhuyung beberapa langkah ke belakang dan ada bercak darah terlihat di sudut bibirnya. Ia meraba bibirnya yang mulai terasa nyeri lalu menatap tajam Kiki. Bingung kenapa pemuda itu tiba-tiba memukulnya.
Sementara Agni langsung berteriak histeris melihat Kiki meninju Cakka dengan keras. Ketika Kiki hendak menghuyung tinjunya sekali lagi, ia langsung berlari dan berdiri menghalau di depan Cakka sambil merentangkan tangan. “Kak! Apaan sih lo?! Cakka, lo gakpapa, huh?!” teriaknya panik. Cakka menggeleng pelan padanya. Sementara Kiki mengepalkan tangan masih tetap ingin menghuyungkan tinjunya. Ia langsung mendorong tubuh kakaknya itu menjauh.
“Kak! Stop!” teriaknya lagi. Kiki lalu menurunkan tangannya sambil mendengus keras. “Mau ngapain lo, hah? Berani-beraninya lo nyentuh adek gue!”
“Lo pikir gue mau ngapain, hah? Nyentuh apaan?” Cakka tertawa sarkastis. “Jangan belaga bego lo! Lo tau maksud gue apa. Lo mau ngambil kesempatan, kan? Kalo tadi gue gak cepet datang, lo pasti udah—“
“Segitu takutnya lo? Lo gak punya kaca? Lo sendiri, tadi pagi lo ngapain, hah? Siapa yang nyuri kesempatan? Gue atau elo?”
“Woy woy stop! Lo pada ngomongin apaan, sih?” Agni kembali berteriak. Namun, kali ini ia kesal karena meresa diabaikan sementara dua pemuda di hadapannya ini asyik sendiri membicarakan hal yang tidak ia mengerti. Kesempatan? Kesempatan apaan, sih? Emang mereka menang undian? Pikirnya. Namun hatinya makin gondok saat ucapannya pun juga tidak diacuhkan.
“Itu beda.” Jawab Kiki pelan dan tegas. Cakka tersenyum sinis. “Yakin beda? No hard feeling? Oh no, Man. It shows in your eyes.”
Kiki lantas ikut tersenyum sinis. “Oke, emang, gue akuin yang itu. Dan tadi lo pengen balas dendam, kan?”
Cakka kembali tertawa sarkastis. “You think? Gak lah, gila lo. Gue gak kayak lo. Gak sekalipun terlintas di pikiran gue apa yang terlintas di pikiran lo.”
Kiki berjengit kaget sambil memandang Cakka tidak percaya. “Klep helmnya nyangkut, gue cuma mau bantuin bukain. Gak—lebih.” Ujar Cakka lagi, dengan penekanan di akhir ucapannya.
“Emang klep helm lo nyangkut, Ni?” tanya Kiki mengalihkan pandangannya pada Agni. Agni hanya berdehem cuek. Ia masih kesal karena diabaikan. Kiki menoleh lagi pada Cakka.
“Apa gue tadi keliatannya mau nyium lo, Ni?” Kali ini Cakka yang bertanya pada Agni. Agni seketika gelagapan kaget sekaligus bingung. Kenapa Cakka bertanya seperti itu? Dan kenapa lagi mereka berdua melihatnya segitunya seperti itu? Gue berasa jadi bella swan deh, direbutin Edward sama Jacob. Etapi, emang mereka ngerebutin gue? Pede banget gue. Lagian, masa Kak Kiki yang jadi lawannya? Kak Kiki mana mungkin suka sama adeknya sendiri.
“Apaan, sih? Lo mikirnya gitu, Kak? Ya ampun, tadi itu Cakka pure ngebantu ngebuka ini doang!” jawab Agni sambil menunjuk klep di lehernya sebagai bukti.
“Oke, gue percaya. Tapi, awas kalo lo coba-coba macem-macem sama Agni. Abis lo!” Ujar Kiki seraya menatap Cakka tajam yang dibalas sama tajamnya dengan pemuda itu. “Harusnya lo bilang itu ke diri lo sendiri! Disini, lo lah yang paling berpotensi macem-macem sama Agni. Lo yang udah ngambil kesempatan. Lo itu ancaman sebenernya. Bukan gue.”
Agni mengernyit makin tak mengerti. Mereka sebenarnya membahas apa, sih? Kenapa sampai berperat urat begitu? Kenapa serius sekali? Mereka sedang membicarakan dirinya bukan? Atau sedang membicarakan permasalahan yang belum selesai di antara mereka berdua? Mereka sedang membicarakan Febby? Tadi, daritadi ia tidak mendengar nama itu disebut. Justru namanya yang eksis. Jadi, mereka lagi ngomongin gue nih?
“Lo berdua lagi ngomongin gue ya?” tanyanya yang sekali lagi mendapat pengabaian dari Kiki dan Cakka. Benar-benar menyebalkan. Mana helm di kepalanya sudah membuat pengap, sekarang ia merasa makin pengap menahan emosi karena diabaikan begini.
“Gue tau apa yang gue lakuin. Gue gak akan mungkin nyakitin apalagi sampe ngerusak dia. Gue bakal selalu jadi pelindung buat dia. Terutama dari lo. Untuk yang satu ini, gue gak akan ngebiarin dia buat lo. Gak akan gue biarin dia jadi mainan lo selanjutnya.”
“Yang lo harus tau dan harus lo cam kan dalam kepala lo, gue gak pernah mainin siapapun. Lo juga harusnya udah tau, dulu kita bedua yang udah dimainin, bukan salah satu di antara kita mainin yang lain.”
“Bullshit, lo!” umpat Kiki sambil melengos. Cakka tersenyum miring. “Lo tuh cuma gengsi buat ngakuinnya.”
“Hh, sok tau banget lo? What you have to do is just stay away from her.” Ujar Kiki sambil bersedekap.
“Sorry, gue gak bisa. Gue udah jatuh cinta sama dia.”
“Cinta? Secepat itu lo jatuh cinta? Yang lama lo kemanain? Lo masukin museum koleksi lo?”
“Emangnya lo enggak?”
“Jelas enggak. Gue lebih lama kenal dia daripada lo.” Kali ini Kiki balas tersenyum sinis. Namun, Cakka kelihatan tak gentar. Sedikitpun senyum di wajahnya tidak memudar. “Gue yang duluan jatuh cinta sama dia. Gue juga yang duluan kenal sama dia.”
Saat itu juga Kiki terdiam kaku. “Jadi..lo..udah—“
“Lo berdua, gue tau lo berdua keknya lagi kangen banget ngobrol. Tapi, bisa gak ngobrolnya abis ngelepasin nih helm aja? Taukah seberapa pengapnya gue sekarang? Gak ada kasian apa sama gue?” potong Agni yang sudah habis kesabaran baik dengan helm maupun dengan Kiki dan Cakka. Kepalanya terasa sudah sangat panas dan gatal karena berkeringat. Kalau saja helmnya ini bukan milik Cakka, dan kalau saja yang terkurung di dalamnya bukan kepalanya, pasti sudah ia benturkan ke dinding sampai pecah.
***
Akhirrrrrnya rampung juga part 28. Dari aroma-aromanya, Via yang ngenes sendiri yak wkwkwk-.- Gapapalah, sabar aja ya Vi, semua akan indah pada waktunya(?)
Okelah, tengkyu yang udah mau baca, see you in the next part muah muah:*