Rify
How
do I breathe without you here by my side? How will I see when your love brought
me to the light? Where do I go when your heart’s where I lay my head? When
you’re not with me, how do I breathe?
***
Rio
tersenyum kecil memandang layar ponselnya sambil berbaring di sebelah Ify yang
masih tertidur. Sekarang sudah hampir jam 8 pagi tapi gadis itu belum juga
bangun. Ia juga tidak tega membangunkan karena ia tahu semalam gadis itu susah
tidur. Di hadapannya terpampang sebuah foto yang entah ke berapa dari beberapa
foto yang ia ambil. Tapi foto yang satu inilah yang paling memikat hatinya.
Sebuah foto dirinya bersama Ify yang sedang tidur dengan pose wajah mereka begitu
dekat dan hidungnya menyentuh pipi gadis itu. Wajah Ify terlihat lucu sekali
meski tetap manis.
Ify
menggeliat kecil serta mengerang pelan. Ia mencoba membuka mata perlahan dan
refleks melihat ke sebelahnya. Ia berkedip bingung beberapa kali. “Rio?”
gumamnya dengan suara serak. Sesaat ia berpikir ia sedang bermimpi saat ini
karena melihat Rio di sampingnya.
Rio
akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponsel lalu tersenyum pada Ify. Meskipun
hanya sesaat. “Morning, putri tidur.” Ify tak menjawab. Matanya terus berkedip
sambil memandang wajah Rio. “Gue pasti lagi mimpi,” gumamnya lagi.
Rio
kembali mengalihkan pandangannya lalu mengernyit. “Lo gak mimpi kok,” jawabnya
dengan nada bingung. Sesaat mereka diam dengan saling berpandangan. “Beneran
gak mimpi?” tanya Ify kemudian. Rio berdehem menyahut.
“Berarti
beneran lo yang tidur di samping gue sekarang?” Rio berdehem lagi. Ify diam
kembali selama beberapa detik hingga kemudian ia tiba-tiba terlonjak kaget. Rio
berjengit ikut-ikutan kaget. “Kok..elo?! Semalem lo balikin gue ke kamar gue
kan? Via, Shilla sama Agni mana? Kok malah elo yang tidur di sebelah gue?”
tanyanya panik.
Rio
membangunkan tubuhnya lalu duduk menghadap Ify. “Iya, gue balikin lo ke kamar
lo kok. Mereka pergi jogging. Mau ngajak lo tapi lo nya masih tidur.”
“Kenapa
gak dibangunin?”
“Gue
bilang gausah. Lo kan semalam susah tidur.”
“Terus,
lo kenapa bisa tidur di samping gue?” Ify menarik selimut menutupi
tubuhnya hingga leher. “Nungguin lo bangun.” Jawab Rio polos. Ia menghela napas
lega tanpa sadar.
“Lo pasti mikir jorok ya?” tanya Rio dengan mata menyipit curiga. Ify
terkesiap lalu memalingkan wajahnya. “Eng..gak!”
Rio memperhatikan Ify sesaat lalu tersenyum tanpa bertanya lagi.
“Yaudah, lo mandi gih. Abis itu sarapan. Gue udah kelaperan daritadi tau gak? Oh
iya, pake baju bagus ya! Gue tunggu di bawah. Gak pake lama!” pinta atau
mungkin perintahnya kemudian. Ia beranjak turun dari kasur dan berjalan ke arah
pintu tanpa menunggu jawaban dari Ify.
Sementara Ify melongo menatap Rio tanpa berkedip. Sepertinya kepalanya
kepentok saat tidur tadi. Atau mungkin kepala Rio yang kepentok. Perasaan
semalam pemuda itu begitu manis. Kenapa sekarang kembali seenaknya begitu? Apa
semalam ia juga cuma bermimpi? Ck, ini sulit dipercaya.
Ify menyingkap selimut sambil turun dari tempat tidur. Ia berjalan
menuju kamar mandi. Sementara itu, Rio yang sudah sampai di depan pintu
tiba-tiba berhenti lalu membalikkan badan. “Fy?” panggilnya pelan. Ify ikut
berhenti sambil menoleh ke arah pemuda itu.
“Gaada morning kiss?” tanya Rio dengan tampang polos memaksa. Mata Ify
melotot lebar dan kemudian mendelik. “Gak!” katanya galak. Rio menyengir ria
dan segera angkat kaki.
***
Hati Ify rasanya gondok setengah mati. Ia duduk di kursi, memakan
gulali sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang serta orang-orang yang
tengah bermain, tanpa niat. Ia pikir ia akan benar-benar menghabiskan waktu
bersama Rio hari ini. Ia sudah terlanjur membayangkan kencan romantis nan
menyenangkan yang akan ia jalani bersama pemuda itu. Tapi yang malah terjadi
bukan kencan sama sekali. Jangankan kencan, berbincang dengan pemuda itu saja
tidak bisa. Rio dengan mudah direbut begitu saja darinya. Tahu siapa yang
merebut? Dea.
Dan hal yang paling membuat hatinya gondok adalah Rio hanya pasrah
tidak menolak. Malah menatapnya dengan memohon agar ia yang mengerti.
Sebenarnya tadi mereka memang jalan bertiga, sih. Hanya saja tadi ia sudah
tidak tahan melihat Dea yang terus saja menempel layaknya perangko pada Rio.
Jadinya ia diam-diam kabur dan memilih menunggu di sini. Entah apa juga yang ia
tunggu. Menunggu Rio mungkin.
Ify sedikit banyak merasa kecewa. Kenapa Rio malah lebih memilih
bermain bersama Dea? Dan kenapa Rio membiarkan saja Dea menggelayuti lengannya?
Bukannya itu harusnya tempat untuk tangannya? Kenapa ia yang harus mengerti? Memangnya
pacarnya itu siapa? Dirinya atau Dea? Kenapa pemuda itu malah lebih menjaga
perasaan Dea daripada dirinya?
Ngomong-ngomong, Rio sadar tidak ya kalau ia menghilang? Apa pemuda
itu sedang mencarinya sekarang? Atau justru asyik bermain sehingga lupa akan
dirinya? Ck, seharusnya kemarin ia tidak secepat itu percaya kalau pemuda itu
benar-benar mencintainya. Lihat saja sekarang, antara Dea dan dirinya saja Rio
lebih memilih Dea. Apalagi kalau antara dirinya dan Acha. Sialan. Kenapa lagi
nama itu teringat-ingat disaat-saat sekarang!
Ify menarik napas dalam beberapa kali sambil menghembusnya perlahan.
Dadanya langsung berdenyut nyeri. Entah bagian apa yang berkontraksi yang pasti
Ify merasakan nyeri sesaat dalam dadanya. Ia melirik jam digital di layar
ponselnya lalu mendesah pelan. Kalau dalam lima belas menit ke depan Rio tidak
juga datang menemuinya, ia akan...
“Loh? Ify?”
Ify terpaksa menghentikan sumpah yang hendak ia ucapkan dalam
benaknya. Ia mengangkat wajahnya melihat orang yang baru saja menyebut namanya
sekaligus menggagalkan sumpahnya itu. Ia seketika mengernyit bingung. Lumayan
kaget juga meski tidak kaget-kaget benar.
“Debo?” sahutnya dengan nada ragu. Debo yang awalnya menatapnya
terkejut langsung berubah ceria. “Gue seneng ketemu lo di sini.” Ujarnya dengan
tatapan menggebu. Ify hanya tersenyum tipis lalu menggeser duduknya,
mempersilahkan kalau-kalau Debo mau duduk. Dan persis seperti dugaannya, Debo
langsung mengambil tempat yang dipersilahkannya untuknya.
“Lo sama siapa kesini?” tanya pemuda itu.
Ify menoleh sebentar lalu mengalihkan pandangannya dan menatap gulali
tanpa semangat. “Rio.” jawabnya tak kalah lesu. Debo mengernyit lalu menoleh ke
kanan-kiri sebelum memandangnya kembali. “Trus, Rio nya mana? Kok lo malah
sendirian di sini?”
“Pergi.” Ify memakan gulalinya kembali dengan pandangan tak fokus.
“Pergi? Udah lama perginya? Pergi kemana emangnya?”
“Gatau.”
“Kok gatau?” Ify mengedikkan bahu tanpa menjawab. Debo memandangnya
penuh tanda tanya. “Lo kesini berdua doang?” Ify menoleh ke arah Debo lalu
menggelengkan kepala. “Bertiga.”
“Sama siapa lagi?”
“Sama Dea.” Muka kebingungan Debo langsung berubah serius. Tampaknya
ia sedang memikirkan sesuatu. “Jangan bilang kalo Rio lagi pergi sama Dea dan
lo ditinggal sendirian di sini?”
Ify mengangguk lalu menggeleng. “Gue tadi yang kabur.”
“Kenapa kabur?”
“Udah hampir sejam gue di sini. Gaada yang dateng nyariin gue. Toh mereka
emang ga butuh-butuh gue banget juga kayaknya.”
“Itu masalahnya!” Debo berseru sambil menjentikkan jari. Seolah-olah baru
saja mendapat ide. Ify mengerutkan dahi bingung. “Masalah maksudnya?”
“Harusnya tadi lo tetep sama mereka aja. Ngapain juga lo pake
kabur-kaburan? Rugi sendiri, kan?”
Ify makin tidak mengerti. Kenapa jadi Debo yang marah-marah? “Kok lo
malah nyalahin gue, sih? Gue tuh capek jadi obat nyamuk. Mending kalo asepnya
ke mereka, ini asepnya ke gue juga. Sesek tau! Seseknya tuh disini..
*apadeeeeh*” Di akhir ucapannya Ify memegang dada dengan pandangan nanar
menerawang.
“Ini kencan pertama lo ya semenjak jadian?” tanya Debo seraya
mengerling jahil. Ify terkesiap kaget sekaligus panik. Kenapa Debo bisa tau? “Ja—jadian?
Kok...kok lo bisa tau?”
Debo berjengit memandangnya aneh. Lalu tersenyum. “Kabar Rio sama lo
jadian di twitter sama instagram lagi heboh, kali. Lo gatau?” tanyanya kaget.
Ify menggeleng dengan mulut menganga. Debo mengambil ponselnya dari saku,
memainkannya sebentar lalu menunjukkannya pada Ify. Mulut Ify langsung menganga
lebih lebar. Di hadapannya terpampang fotonya dengan Rio saat tidur tadi. Entah
kapan foto itu diambil. Yang pasti tanpa sepengetahuannya.
“Gue jadi makin yakin Rio sekarang lagi nangis-nangis nyariin lo tapi
gak ketemu-ketemu,” Ujar Debo seraya terkekeh. Ify mengatup mulut lalu mendesah
pelan. “Kalo emang nyari pasti daritadi udah ketemu lah.”
“Lo kan gatau dia lagi ngapain sekarang. Ancol gede kali, Fy. Penuh
lagi. Ga semudah itu buat nemuin orang. Mana badan lo kecil banget kek semut. Makanya
jangan kecentilan kabur!” Debo terkekeh lagi sementara Ify mencibir ke arahnya.
“Yang ngajakin lo ke sini Rio, kan?” Ify hanya berdehem menyahut. “Dia
ngajak Dea juga?”
“Enggak. Tuh anak tau-tau dateng ke rumah. Trus minta ikut pas tau gue
sama Rio mau pergi. Dan Rio setuju gitu aja. Mana abis itu mereka lengket
banget udah kayak kembar siam. Yah dari situ aja udah keliatan kalo ada atau
enggaknya gue gak akan jadi masalah buat mereka. Mereka pasti lupa deh sama
gue, yakin gue.”
Debo tiba-tiba menyentil telinga Ify. Tidak terlalu keras sih tapi
cukup membuat Ify mengaduh sakit. Ify langsung menggosok-gosok daun telinganya
yang malang dan menatap Debo kesal. “Apaan sih nyentil-nyentil? Emang gue anak
sd!” dumelnya.
“Abis lo ngeyel banget lebih-lebih dari anak sd.”
“Gue kan cuma gak mau meyakini hal yang bakal bikin gue makan hati
kalo misalnya itu gak terjadi. Apa salahnya?” Ify memberengut sebal.
Debo memutar kedua bola matanya jengah sambil mengerang pelan dan
geleng-geleng kepala. Makhluk cantik di sebelahnya ini benar-benar keras
kepala. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku lalu menoleh ke arah Ify. “Lo
itu sekarang udah ada di posisi yang harus selalu percaya sama Rio, Fy. Fy, lo
sama Rio tuh udah pacaran! Pacaran, Fy, pacaran! Itu yang lo pengenin selama
ini, kan?”
“Paling pulang ntar dia minta putus.” Sahut Ify asal sambil kembali
memakan gulalinya yang sempat terabaikan beberapa saat. “Lo jadi orang pesimis
banget, sih?” Sekali lagi Debo menggelengkan kepalanya.
“Buat apa dia, walau secara gak langsung sih, ngasih tau ke
orang-orang soal hubungan kalian kalo sehari setelah itu ngajakin lo putus?
Gini ya, secara keartisan aja, itu bakal ngerusak image dia. Rio kan udah jadi
public figur pasti jaim lah. And one you should know nih, kalo ada cowok majang
foto ceweknya apalagi sampe mamerin di depan banyak orang, dia pasti cinta
banget sama ceweknya itu. Gue gak bela Rio, tapi gue kan juga cowok, Fy. Lo bisa
percaya sama kata-kata gue.”
“Trus, kalo emang bener, kenapa Rio diem aja pas di gandeng sama Dea?”
“Ya mungkin Rio tuh cuma kaget dan gatau harus gimana. Tadi lo bilang
Dea dateng tiba-tiba, kan? Rio belum nemuin cara ngasih tau Dea soal lo dengan
cara yang gak menyakiti lo berdua, makanya dia diem aja. Diem kan banyak
artinya, Fy. Bisa aja dia lagi bingung. Apalagi yang pengen lo tanya?” Debo
menatap Ify bosan sementara Ify masih memberengut. Tapi ia juga tampak
memikirkan kata-katanya.
“Lo kenal Rio sama Dea udah lama ya?”
“Emang ke..napa?” tanya Debo ragu-ragu. Heran kenapa Ify tiba-tiba
bertanya soal itu. “Seingat gue sih gue gak pernah ngasih tau soal mereka, soal
seberapa deketnya mereka. Kok lo bisa tau banyak gitu?”
“Ya..lo kan tau gue suka sama lo. Gue pasti cari tau sendiri tentang
siapa aja orang-orang di sekitar lo. Tanpa harus lo kasih tau, gue udah harus
tau.”
Ify tertegun mendengar ucapan Debo barusan. Jadi pemuda itu masih suka
padanya? Lalu, kenapa ekspresinya setenang dan seceria itu? Terkesan
biasa-biasa saja. Padahal Debo sudah tahu kalau ia dan Rio kini resmi
berpacaran. Dan anehnya, kenapa pemuda itu malah berusaha membuatnya percaya
pada Rio? Berusaha memperbaiki hubungannya yang bahkan belum genap satu hari?
Kok dia gak ngompor-ngomporin gue soal Rio? Hebat gitu ya nih orang.
“Lo kok gak sedih sih tau gue pacaran sama Rio? Mana sekarang lo malah
belain Rio di depan gue? Ada kesempatan buat ngerusak tapi kok lo malah
berusaha nyatuin gue sama Rio? Gue aja ya, contohnya sekarang, ngeliat Dea
ngegandeng Rio aja udah uring-uringan kek gini.”
“Lo mau gue kek gitu? Manfaatin situasi sekarang buat dapetin lo?”
tanya Debo balik seraya mengerling jahil lalu tertawa. Ify meringis pelan. “Ya
enggak juga, sih. Cuma tetep aja gue heran..”
“Gue orangnya fair-fairan aja, Fy. Gue bakal berusaha ngejer lo kalo
lo belum jadi milik siapa-siapa. Kalo sekarang, Rio udah menang, jadi ya gue
harus terima lapang dada. Gue gak mau jadi garam di api unggun. Gue gak boleh
manfaatin kesempatan apapun buat bisa ngerebut lo, contohnya disaat ada masalah
gini, apalagi cuma masalah sepele. Gaada gunanya juga, toh lo cintanya sama Rio
bukan sama gue. Gue kan pengen dapet cinta lo bukan cuma lo nya doang. Ntar kalo
misalnya lo udah putus baru deh gue mau ngejer lo lagi.”
Ify memperhatikan baik-baik bagaimana ekspresi Debo saat berbicara.
Benar-benar seperti tidak ada beban. Senyumnya benar-benar terlihat tulus.
Entah itu karena ia yang tidak pintar membaca raut wajah seseorang atau Debo
memang seperti itu. Ia spontan ikut tersenyum senang.
“Gue seneng deh punya secad kayak lo, hehe.”
***
“Kak,
kita main niagara gara ya ya ya?” pinta Dea dengan muka memelas. Rio meringis
lemah sambil menggelengkan kepala. “Gak ah, ntar basah, De.” Tolaknya halus.
Dea langsung memberengut kecewa. “Ah! KakFy! KakFy mau kan ma—loh KakFy mana?”
Ia berseru semangat hendak membujuk Ify namun seketika lenyap dan wajahnya
langsung berubah bingung ketika tahu orang yang ia ajak bicara sudah tidak ada.
Rio
kaget dan langsung menoleh ke arah belakangnya. Ia menjadi lebih kaget lagi
karena tidak menemukan sosok Ify di sana. “Ify?” panggilnya dengan panik. Ia
melihat kesana-kemari tapi tidak satupun orang-orang yang ia lihat mirip dengan
Ify. Artinya, Ify benar-benar tidak ada bersamanya. Gadis itu menghilang. Atau
jangan-jangan Ify diam-diam pergi? Memang sih, daritadi ia sering curi-curi
pandang pada gadis itu dan raut wajah gadis itu selalu murung dan tampak
menahan kesal. Tidak salah lagi, Ify pasti memang sengaja kabur.
Tanpa
babibu, Rio langsung melangkahkan kaki pergi hendak mencari Ify. Dea yang
kebingungan lantas menyusulnya. “KakYo mau kemana? Kok malah pergi, sih? Kita
mainnya kan di situ, kok KakYo malah jalan ke sini?”
Rio
menghela napas lalu menghentikan langkahnya sebentar. “Kakak mau nyari Kak Ify.
Kalo kamu emang pengen banget main, kamu main sendiri aja ya. Kakak gabisa
nemenin kamu sebelum Kak Ify ketemu.” Ujarnya dan melanjutkan jalannya kembali
tanpa menunggu Dea menjawab lebih dulu. Melihat itu Dea lantas memberengut
lagi. Kesal melihat Rio sebegitu paniknya ketika kehilangan Ify.
“KakFy
paling lagi main di wahana apa gitu. KakYo gaperlu secemas itu lah sampe mau
nyari segala. Mending kita main!”
Rio
diam tidak berkomentar. Tampaknya ia sudah tidak menghiraukan apapun yang
dilakukan Dea. Yang ada di kepalanya sekarang hanya bagaimana dan dimana ia
bisa menemukan Ify. Sejujurnya ia benar-benar merasa bersalah dengan gadis itu.
Ia sudah berjanji untuk pergi menghabiskan waktu berdua tapi yang ada ia malah
mengabaikan gadis itu karena juga merasa tidak enak dengan Dea. Wajar kalau Ify
kesal. Mana ini merupakan kali pertama mereka bisa pergi berdua setelah jadian.
Tidak masalah kalau Ify akan memaki atau memukulinya, yang penting ia bisa menemukan
gadis itu.
Entah
sudah berapa menit ia berkeliling tapi tidak juga menemukan Ify. Ck, kenapa
lagi tempat ini begitu luas? Jadinya kan susah kalo nyari orang ilang!
Gerutunya dalam hati.
“Telfon
aja kali Kak, KakFy nya! Aku udah capek nih muter-muter!”
Ting!
Seperti ada yang membunyikan lonceng dalam kepalanya. Rio langsung mengambil
ponselnya di saku dan mendial nomor Ify. Ia mengerang kesal karena ponsel Ify
mati. Kemungkinan besar Ify sengaja menonaktifkan ponsel atau bisa juga ponsel
gadis itu lowbatt. Tapi kalau benar Ify sengaja, itu tandanya gadis itu
benar-benar kesal. Atau bahkan marah padanya.
“Gimana
Kak, KakFy bilang apa?” tanya Dea tak kalah kesal. “Hapenya mati.” Balas Rio
jutek. Dea mengernyit heran. “Kok KakYo jadi jutek sih sama aku? Ck, karena
KakFy, aku jadi kena imbasnya. Iss..pokoknya aku gak suka sama KakFy!”
“De,
udah ya, Kakak lagi pusing. Jangan bikin tambah pusing.” Ujar Rio lemah. Ia
kembali melanjutkan langkahnya sambil menatap kesana-kemari. “Yang bikin pusing
kan KakFy, kok KakYo malah marah-marahin aku terus, sih?” dumel Dea belum puas.
Rio hanya mendesah tanpa berniat membalas lagi.
Rio
terus berkeliling mencari Ify ditemani Dea yang tak henti-hentinya mengomel.
Padahal ia sudah mencoba mengabaikan supaya gadis itu berhenti, tapi tetap saja
Dea berceloteh ini dan itu. Dan keseluruhan isi celotehannya hanyalah ungkapan
kekesalan untuk Ify. Membuat Rio makin merasa bersalah dalam hati dan menyesal
sedalam-dalamnya karena tidak menolak keinginan Dea untuk ikut. Ify pasti sudah
berpikiran tidak-tidak tentangnya sekarang.
“KakFy?
Nah, iya, itu KakFy!” Dea memekik senang sambil menunjuk ke suatu sudut. Rio
langsung menjatuhkan pandangan ke arah yang Dea tunjuk. Rasanya ia ingin
berteriak sekencang-kencangnya karena sudah bisa melihat Ify. Apalagi melihat
Ify tengah tersenyum senang bersama Debo di sampingnya. Eh eh tunggu, ia tidak
salah kan, itu benar-benar Debo kan? Yang sedang duduk di samping Ify? Yang
telah membuat Ify-nya tersenyum? Apa, Ify tersenyum karena Debo?!
Rio
merasa perputaran dunianya berhenti hingga ia sadar kalau tubuhnya ditarik Dea dan
berjalan menghampiri Ify. Dan ia baru tersadar kembali ketika mendengar Dea lagi-lagi
menggerutu.
“KakFy!
Kakak tuh kenapa sih suka banget nyusahin KakYo? Kakak tuh selain udah bikin
kita pusing, Kakak juga bikin kita capek muter-muter nyariin kakak, tau gak?!”
Rio
diam terkaget-kaget mendengar Dea bukan lagi menggerutu tapi lebih kentara
memarahi Ify. Ini semua salahnya sehingga membuat Dea dan Ify sama-sama kesal.
Ify sendiri tampak tak kalah kaget tiba-tiba didatangi dan langsung dilabrak
seperti itu. Rasanya sudah seperti ia ketahuan membawa ganja di dalam tasnya.
“Kamu
bisa gak sih dateng dan ngomong baik-baik?” ujar Ify mencoba tetap tenang dan
mengatur emosinya.
“Gimana
bisa baik kalo udah kayak gini. Kakak tuh gatau apa yang udah kakak lakuin ya?
Rasanya aku pengen nyubitin Kakak deh. KakFy ngeselin, tau gak?”
“Emangnya
Kakak ngelakuin apa? Kamu kira disini cuma kamu yang kesel?” balas Ify tak mau
kalah. Dari tampangnya, sepertinya Ify juga sudah mulai kehilangan kesabaran.
Dirinya yang jadi korban tapi kenapa dirinya juga yang dihakimi? Ia pikir Rio
akan datang dan langsung meminta maaf padanya. Tapi, ia malah dimarahi seperti
ini. Dan pemuda itu hanya diam sambil garuk-garuk kepala!
“Karena
KakFy udah ganggu waktu aku sama KakYo. Harusnya sekarang kita lagi main tapi
malah ngabisin waktu nyariin KakFy. Eh taunya KakFy malah pacaran sama Kakak
yang aku gak tau namanya ini, di sini.”
Ify
seketika tertawa sarkastis. “Kakak? Ganggu kamu sama Rio? Kamu sadar gak sih
kamu yang udah ngerusak rencana kakak sama kak Rio?”
“A—aku?
Loh, loh, kok aku? KakYo, emangnya KakYo bikin rencana apa sama KakFy?” Dea
lantas bertanya bingung pada Rio. Rio memandangnya serba salah. “Itu..Kakak
tadinya—“
“Kakak
sama Kak Rio harusnya mau jalan berdua, tadinya..sebelum kamu tiba-tiba dateng
dan maksa buat ikut.” Potong Ify yang langsung membuat Rio mendesah frustasi.
Sementara Ify seketika menatapnya dengan pandangan ‘Kenapa? Ada yang salah
emangnya?’.
Dea
terkesiap kaget. Wajahnya langsung berubah panik. “Ja—jalan berdua? Kenapa
harus jalan berdua? Emangnya kakak ada urusan apa sampe harus jalan berdua?”
Dea memandang Rio penuh harap agar pemuda itu memberikan penjelasan. Ify pun
ikut memandang Rio, menuntut agar pemuda itu segera mengeluarkan penjelasan.
Awas saja kalau tidak, ia akan benar-benar marah.
Rio
kebingungan sendiri didesak seperti ini. Ia bingung harus menjelaskan yang
sebenarnya atau tidak. Ck, kenapa ia yang harus menjelaskan di depan Dea? Dan
kenapa situasinya memang mengharuskannya menjelaskan?
“Karena
hari ini hari pertama setelah mereka jadian.” Sela Debo tiba-tiba. Ia sendiri
sudah bosan melihat perdebatan di hadapannya. Gemas menunggu Rio yang tidak
kunjung bicara. Tak ayal semua orang langsung memandangnya walau hanya
sebentar. Ia hanya balas nyengir.
“Pacaran?
KakYo pacaran sama KakFy? Iya, Kak?” lirih Dea. Matanya terlihat mulai
berkaca-kaca. Ck, inilah yang dikhawatirkan Rio sejak tadi dan sekarang
terjadi. Ia hanya bisa mengangguk lemah. Dea mengepal tangannya kuat. Sedetik
kemudian ia berlari meninggalkan ketiga orang di hadapannya itu. Tidak peduli
dengan teriakan Rio yang memanggilnya untuk kembali.
Rio
hendak mengejar namun Debo tanpa disangka-sangka menahannya. Ia langsung
memandang pemuda itu sinis sementara Debo hanya memutar kedua bola matanya dan
menghela napas jengah. “Lo sebaiknya selesein masalah lo berdua. Biar gue yang
kejer dia.”
Rio
tampak diam berpikir lalu kemudian terpaksa setuju. Kata-kata Debo memang ada
benarnya, sih. Kalau sekarang ia pergi, Ify pasti akan makin marah padanya. Dan
ia lebih tidak menginginkan itu terjadi. “Pastiin dia sampe di rumah.” Pintanya
sunggug-sungguh. “Count on me!” Balas Debo seraya mengedikkan kepalanya dan
tersenyum tipis. Dan ia pun langsung angkat kaki setelah itu.
Sekarang
hanya tinggal Rio dan Ify saja. Rio mengalihkan pandangannya dari Debo ke Ify
yang kemungkinan sedaritadi tak berhenti menatapnya. Ify terus diam seperti
menunggunya melakukan sesuatu. Ia jadi bingung kalau ditatap seperti itu. Ia
belum berpengalaman menghadapi Ify yang sedang marah. Maklum aja, pacaran juga
baru sehari.
Ify
mendesah pelan. Daripada hari ini berjalan semakin buruk, lebih baik ia
mengalah saja, lagi. Meski memang rasanya agak kurang rela. “Mau nemenin gue
main?” tanyanya pelan.
Rio
sesaat terlihat kaget. Reaksi Ify sedikit melenceng dari perkiraannya. Tapi,
syukurlah Ify justru bersikap begitu. Ia lantas mengangguk. Ify tersenyum ke
arahnya dan berbalik badan beranjak pergi. Mereka lalu berjalan berdampingan
tanpa suara.
***
“AAAAA!!!”
Hampir
semua orang di sekitar Ify berteriak kencang saat kursi berjalan halilintar
*iturealnamenyaapasih?wkwk* mulai bergerak turun, berputar-putar sampai
akhirnya berhenti dan pengaman kursi terbuka sehingga semua orang yang berteriak
tadi turun. Termasuk Ify dan Rio. Ify berseru senang ketika sudah keluar dari
area wahana. Ia melirik orang di sebelahnya yang hanya diam dengan raut wajah
seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Ini sudah ketiga kalinya Rio seperti
itu. Sudah ada 3 wahana yang ia naiki bersama pemuda itu tapi reaksi pemuda itu
tetap sama. Padahal ia sudah berusaha membuat agar Rio terlihat bersemangat. Ia
sengaja mengajaknya bermain tornado, histeria dan terakhir halilintar. Tapi Rio
tetap saja membisu seperti itu. Paling-paling hanya tersenyum, itupun dipaksa.
Ify
sudah benar-benar hilang akal. Kencan pertamanya benar-benar sudah berantakan,
tidak bisa diperbaiki lagi bagaimanapun caranya. Tidak akan ada gunanya lagi
kalau ia terus memaksa Rio untuk tetap bersamanya, memaksa pemuda itu merasa
senang. Karena ia tahu, pikiran Rio sudah tidak untuknya, untuk saat ini. Yah,
setidaknya ia sudah mencoba dan setidaknya juga Rio sudah mau berusaha
menemaninya. Ia sudah..cukup senang.
“Pulang
yuk?” tawar Ify. Rio terkesiap lalu mengangguk ragu. Sepertinya pemuda itu tadi
sedang melamun. Ck, benar, kan?
“Tapi,
temenin gue ke rumah sakit dulu ya. Trus ke suatu tempat. Bentar doang kok,”
Sekali lagi Rio mengangguk sambil tersenyum lega. Apa Rio lega karena gue ajak
pulang? Segitu tersiksanya?
***
“Kita
mau kemana, Fy?” Rio kembali bertanya hal yang sama. Beberapa saat lalu,
setelah Ify selesai menjenguk papanya, gadis itu lalu mengajaknya pergi. Dia
bilang mau ke suatu tempat dan tidak mau bilang persis kemana. Sebegitu rahasia
sampai-sampai Ify meminta dia yang menyetir. Setiap ditanya, jawabannya selalu
sama. Termasuk untuk pertanyaannya kali ini.
“Lo
pasti bakalan seneng banget kesana, tenang aja.”
Rio
menggaruk pelipisnya tak tahu lagi harus bertanya bagaimana agar Ify mau
memberitahunya. Alhasil, ia pun memilih tidak bertanya lagi dan menunggu saja
hingga nanti mobil berhenti. Selanjutnya, perjalanan hanya diisi oleh alunan
musik dari mp3 player dalam mobilnya. Ify tidak mengajaknya bicara dan ia pun
bingung kalau disuruh mengajak bicara.
Hingga
kemudian ia sadar kalau Ify membawanya ke suatu kawasan yang sangat-sangat
tidak asing baginya. Ia memperhatikan baik-baik jalanan yang mereka lewati
untuk lebih memastikan. Ia masih menyimpan dugaannya perihal kemana Ify akan
membawanya dan sekali lagi memilih menunggu. Ia takut kalau bertanya sekarang
dan misalnya dugaannya salah, ia hanya akan menyinggung perasaan Ify. Ia tidak
ingin lagi itu terjadi. Mengingat apa saja yang sudah ia lakukan sebelumnya.
Mobil
Rio yang disetiri Ify berhenti di depan halaman sebuah rumah. Persis seperti
dugaan Rio. Ify benar-benar membawanya kemari. Ke rumah Dea. Ia masih larut
dalam keterkejutan sehingga tidak sempat berkata apapun. Ia hanya memandang Ify
dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Gue
tau penghuni rumah ini yang ada di kepala lo daritadi.” Gumam Ify datar sambil memandang rupa
terdepan rumah Dea, tanpa menatap Rio. Rio merasa ada yang menyumbat
tenggorokannya. Perasaan tidak enak menyergap hatinya menghadapi Ify yang
begitu dingin. Tapi kemudian, ia merasa ada yang menyiram dadanya dengan air
es. Ada yang berhasil mengeluarkan sumbatan dalam tenggorokannya kala Ify
tiba-tiba tersenyum lebar sampai-sampai mempertontonkan barisan gigi
berpagarnya. Ekspresi Ify tampak benar-benar tulus seperti anak kecil. Disatu
sisi ia senang tapi disisi lain ia menjadi makin merasa bersalah.
“Temuin
gih!”
“Lo
gakpapa?” tanya Rio tak yakin. Ify mengedipkan mata bingung lalu menggelengkan
kepala. “Gak, gue sehat-sehat aja. Jidat gue juga gak panas.” Jawabnya sambil
memegang dahi. Rio mendesah pelan dan tak bisa menahan senyum gemas. “Bukan
itu, Ify. Maksud gue, gapapa kalo gue nemuin Dea? Lo ga bakal marah atau
ngambek atau ngediemin gue, kan?”
“Lah,
orang tujuan gue bawa lo kesini biar lo gak ngediemin gue, lagi.” Ify menyahut
pelan sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. “Yaudah, sana masuk! Gak usah
buru-buru. Gue gak akan bawa kabur mobil lo kok.” Katanya lagi karena Rio yang
tidak kunjung bereaksi.
“Gue
maunya lo temenin,” Ify buru-buru menggelengkan kepala menolak mentah-mentah.
Ia bisa membayangkan akan terjadi pertumpahan darah jika ia ikut masuk ke dalam
sana menemui Dea.
“Kalo
lo gak mau ikut, gue gak mau masuk.” Ancam Rio sambil bersedekap. Ify memberengut
heran. “Di sini yang butuh ketemu siapa, siapa, sih? Perasaan bukan gue, deh.
Tapi kenapa malah gue yang diintimidasi?”
“Yaudah,
daripada lo bingung mikirinnya, mending temenin gue masuk.” Rio berkata sambil
tersenyum. Ify menggelengkan kepalanya lagi. Rio lantas mendecak kesal. “Fy,
gue gak mau lo diem disini, penasaran sendiri dan akhirnya mikir enggak-enggak
tentang gue. Gue gak mau ya lo kabur lagi kek tadi.”
“Aduh
Yo, gue tuh cuma gak mau bikin keributan di rumah orang. Makanya, lo masuk
sendirian aja ya? Gue janji deh gak akan kabur!” Ify membentuk tanda peace
dengan jarinya bersumpah dengan wajah memelas. Rio berdecak sambil menyipitkan
matanya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ify. Ify spontan memundurkan tubuhnya menjauh dari
Rio. “Ikut atau gue cium?” Rio kembali mengancam dengan tatapan yang mengerikan
bagi Ify. Bulu kuduknya bahkan ada yang sampai berdiri.
Ify
menggelengkan kepala, masih berusaha menolak. Rio tersenyum menggoda. “Jadi lo
milih gue cium, nih?” Ia kembali mendekatkan wajahnya. Sehingga Ify mau tidak
mau buru-buru membuka pintu dan keluar dari mobil. “I—iya! Iya, gue ikut!”
katanya memekik panik. Rio yang masih di dalam mobil tertawa geli. Ia mencabut
kunci mobil lalu kemudian menyusul keluar. Ia mengedikkan kepala mengajak Ify
masuk. Ify mendecak dan mencibir kesal sambil berjalan dengan
menghentak-hentakkan kaki.
Rio
berdiri memencet bel di depan pintu dan Ify berdiri dengan gelisah dalam hati
di balik punggungnya. Pintu kemudian dibuka dan muncul seorang wanita paruh
baya yang menyambut mereka, yang kemungkinan besar adalah mama Dea. Mama Dea
tersenyum ketika melihat Rio dan mempersilahkan mereka masuk. “Dea! Turun,
Sayang! Ada Kak Rio datang, nyariin kamu nih!” pekiknya berusaha memanggil Dea
keluar dari kamarnya di lantai atas. Tak sampai sepuluh detik, pintu kamar Dea
terbuka dan gadis itu berjalan cepat keluar.
Namun,
baru beberapa anak tangga yang dituruni, Dea berhenti. Wajahnya yang semula
tampak senang langsung berubah marah. Ia juga berbalik badan dan berlari
kembali untuk masuk ke kamarnya. Mamanya memandangnya bingung sambil mencoba
memanggilnya lagi. Namun, panggilannya itu tidak digubris karena Dea tetap
berlari masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu keras-keras.
“Tante,
boleh Rio yang ke kamar Deanya aja? Gak ngapa-ngapain, kok. Rio cuma mau ngajak
ngomong.” Mama Dea diam sebentar lalu mengangguk pasrah. Sepertinya anaknya itu
dan Rio sedang ada masalah. Rio juga sepertinya memang tidak akan berbuat
macam-macam. Pikirnya.
Tanpa
menunggu lebih lama, Rio yang juga kembali mengajak paksa Ify dengan cara
menggandeng tangan gadis itu, pergi menaiki tangga menuju kamar Dea. Ify berusaha
menahan Rio sekali lagi namun Rio malah menguatkan genggamannya menyuruh
sebaliknya. Ify lantas mendesah pasrah. Terserahlah, ia tidak tanggung jawab
kalau sampai terjadi apa-apa. Ia sudah berusaha mencegah tapi Rio sendiri yang
keras kepala.
Rio
membuka pintu kamar Dea dengan pelan lalu berjalan masuk ke dalam. Dilihatnya
Dea sedang berbaring telungkup memeluk boneka hiu besarnya di atas kasur. “Aku
gak ada bilang ngizinin siapapun itu masuk ya!” ujar Dea menggebu-gebu.
“Ini
Kak Rio, De.” Gumam Rio sambil mendesah pelan. Dea mendecak kesal lalu beranjak
duduk dengan kasar. Ia baru hendak buka mulut namun ketika melihat Ify yang
juga ikut masuk dan kini berdiri di samping Rio dengan jemari saling bertautan
seketika menyulut emosinya. Ia berdiri dari tempat tidur lalu berjalan cepat ke
arah Ify. Ia menyentak tangan Ify dengan keras hingga membuat tautan itu
terlepas dan memunculkan guratan merah di tangan gadis itu.
Inilah
yang Ify khawatirkan sejak tadi. Padahal, tidak perlu harus sekasar itu.
Diminta dengan baik-baik saja ia pasti mau melepaskan tautan jarinya dengan
Rio. Ia mencoba tetap tenang dan tidak ikut terpancing. Bagaimanapun, ia
sekarang sedang bertamu di rumah gadis itu. Meski seharusnya sebagai tamu ia
tetap tidak pantas diperlakukan begini.
Rio
langsung menyelip di antara Dea dan Ify ketika melihat Dea mengangkat tangannya
hendak mendorong Ify. Ia berhasil menangkap kedua tangan gadis itu sehingga
gadis itu langsung menyentak tangannya agar melepas genggamannya. Dea mundur
selangkah menjauh lalu membalikkan badannya membuang muka. “De, kamu gak boleh
dong kayak gini. Kita bisa ngomonginnya baik-baik tanpa harus main fisik.”
Bujuk Rio. Ia menoleh pada Ify sebentar menanyakan keadaan gadis itu. Ify
menggelengkan kepalanya menjawab ia baik-baik saja.
“KakYo
beneran pacaran sama KakFy?” tanya Dea sinis. “Iya, De.” Rio menjawab singkat
karena takut salah bicara. Efeknya akan luar biasa buruk jika itu sampai
terjadi. “Kenapa?” Suara Dea mendadak berubah lirih. Rio mendesah lagi. “Kalo
pacaran ya pasti karena cinta, De.”
“Jadi,
KakYo cinta sama KakFy? Atau jangan-jangan KakYo terpaksa karena Papanya KakFy?
Iya, kan? KakYo cuma kepaksa aja, kan? KakYo gak beneran cinta kan sama KakFy?”
Nada suara Dea mendadak berubah lagi menjadi senang. Namun, rasa senangnya itu
dalam sekejab menguap ketika mendengar jawaban dari Rio. “Enggak, De. Kakak
emang cinta sama KakFy. Ga ada paksaan dari siapapun atau apapun.”
Mata
Dea langsung berkaca-kaca. Ia berlari naik ke kasur dan duduk terisak sambil
memeluk boneka hiunya. Rio lantas berjalan perlahan menghampiri gadis itu dan
duduk berhadapan. Berhadapan dengan Dea sekaligus Ify. “KakYo jahat!” umpat Dea
sambil sesenggukan. Rio hanya diam tanpa berkomentar, membiarkan Dea lebih dulu
mengeluarkan unek-uneknya *uyakayukali*. “KakYo harusnya cinta sama KakCha
bukan KakFy! Aku maunya KakYo sama KakCha, bukan sama KakFy! Atau KakYo
harusnya kalo bukan sama KakCha, ya sama aku, bukan sama KakFy.”
“Dea
sayang, kita berdua dari dulu harusnya udah sama-sama tau. Kakak sama Kak Acha
itu emang udah gaada harapan. Kita emang ga jodohnya jadi pasangan.”
Ify
yang kini berdiri sebagai penonton merasa hatinya mencelos mendengar Rio
memanggil Dea dengan sebutan ‘Sayang’. Ia tidak bisa menampik rasa cemburu yang
tiba-tiba muncul di hatinya. Meski ia percaya panggilan itu tidaklah berarti
apa-apa tapi tetap saja rasa itu ada. Ck, lo gak seharusnya cemburu, Fy.
Batinnya berusaha menenangkan diri. Tapi kemudian, pertahanan hatinya itu retak
ketika Dea tiba-tiba memeluk Rio dan Rio membalas pelukan tersebut. Bahkan
sampai mengelus-ngelus kepala.
Ify
langsung mengalihkan pandangan agar ia masih bisa tetap menyaksikan drama yang
terjadi di hadapannya sampai akhir. Pacaran baru sehari tapi kenapa gue udah
secemburu ini, sih? Ini hari cobaan gue berasa gak abis-abis. Batinnya lagi.
“Dea
sayang banget sama KakYo.” Isak Dea sambil menguatkan pelukannya. “Kakak juga
sayang sama kamu, De.”
Ify
mengulum dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kenapa lagi Rio harus bilang
sayang-sayang segala? Haiss..rasanya kali ini ia sudah tidak tahan. Ia menoleh
ke arah pintu yang seolah memanggilnya lalu memilih pergi keluar saja. Ia
mendesah lega karena Mama Dea sudah tidak ada di ruang tamu. Ia menuruni tangga
lalu berjalan keluar rumah. Dan sekarang ia bingung harus melakukan apa. Mobil
Rio terkunci dan ia tidak memegang kuncinya. Mana tasnya juga ada di sana. Ia
menoleh ke kanan-kiri lalu memutuskan duduk di batu pinggiran kolam ikan yang
ada di ujung halaman. Lumayan, setidaknya masih ada ikan-ikan yang bisa ia lihat
sebagai hiburan.
Sementara
itu, di dalam kamar, Dea masih terisak sambil memeluk Rio. Sementara Rio duduk
dengan perasaan tidak tenang. Ia sempat melihat Ify yang berjalan keluar.
Rasanya tadi ia ingin segera melompat dan menahan gadis itu. Tapi, masalahnya
ia sedang menenangkan Dea. Ia menjadi serba salah kalau sudah begini. Aduh
Ifyyy! Kenapa kabur lagi siiiih?
“Makanya,
KakYo sama aku aja. Kan KakYo sayangnya sama aku, bukan sama KakFy.”
“Sayangnya
kakak ke kamu itu sama kayak sayangnya kakak ke Ray, De.”
“Trus,
kalo ke KakFy? Emangnya gasama kayak aku?”
“Perasaan
kakak ke kak Ify sama kayak perasaan kakak ke kak Acha.”
Dea
tiba-tiba menarik dan menegakkan tubuhnya sambil memandang Rio dengan tatapan
kaget. “Berarti kakak mau dua-duanya? KakFy sama KakCha sekaligus?”
“Enggak,
De. Kakak emang cinta sama Kak Acha, tapi itu dulu. Kakak jatuh cinta sama Kak
Ify. Dia udah berhasil bikin Kakak move on.” Rio tersenyum tipis. Tapi kemudian
tatapan matanya berubah serius. Ia menatap Dea sungguh-sungguh. “Kakak harap kamu
ngerti, De. Kakak pengen kamu bisa nerima Kak Ify. Dia orangnya baik, gak bakal
gigit kamu, kok.”
Dea
memberengut meski mau tidak mau ia tersenyum juga mendengar ucapan Rio barusan.
“Emangnya Kak Ify kucing apa gigit-gigit?” dumelnya. Rio lantas tersenyum lega
melihat Dea sepertinya sudah melunak dan mengerti. Tumben-tumbennya Dea bisa
ditenangkan secepat ini. Ia bahkan bisa mendapat rekor muri. Tapi, sudahlah,
yang penting sudah tidak ada masalah lagi dengan gadis itu.
“Yaudah,
aku restuin. Tapi, awas aja ya kalo KakFy macem-macem! Aku gak akan bolehin dia
deket-deket lagi sama Kakak!” Rio tertawa geli sambil mengacak-acak rambut anak
gadis di hadapannya. “Iya, iya. Kakak berani jamin Ify gabakal macem-macem.
Justru kakak yang mesti kamu khawatirin.” Katanya seraya mengerling jahil. Dea
mencibir ke arahnya. “Itu juga berlaku buat KakYo. Kalo KakYo macem-macem, aku
bakal ngasih hukuman berat buat KakYo.”
“Iya,
deh, iya. Akhirnya! Coba kamu kek gini daritadi. Yaudah, kalogitu sekarang
Kakak pamit pulang dulu ya. Kasian Kak Ify nunggu lama. Makasih juga, kamu udah
mau ngertiin Kakak.” Pamit Rio. Ia mulai beranjak turun dari tempat tidur dan
berjalan keluar setelah Dea mengangguk.
“KakYo!”
panggil Dea ketika ia hendak menutup pintu. “Salam buat KakFy, ya! Bilangin juga
kalo aku minta maaf soal tadi.” Rio tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya.
Sementara Dea melengos jengah. “Perintah segera dilaksanakan.”
***
“Ngeliatin
ikan mulu. Emang ikannya banyak yang ganteng?”
Ify
berjengit kaget dan langsung menoleh ke belakang. Ada Rio berdiri bersedekap
sambil memperhatikan isi dari kolam. Sejak kapan pemuda itu di situ? Ck, ia
melamun sampai-sampai tidak menyadari pemuda itu datang.
Ify
berdiri tanpa menggubris kata-kata Rio barusan. “Udah selesai?” Rio mengernyit
lalu menaikkan sebelah alisnya. “Lo bilang gak bakal kabur?”
“Gue
tadi capek bediri,” Ify menatap Rio menunggu pemuda itu bicara. Tapi, pemuda
itu hanya diam dengan terus menatapnya. Ia menggaruk pelipisnya tak mengerti.
“Kenapa?”
“Kenapa
tadi lo kabur? Lo tau secemas apa gue nyariin lo gak ketemu-ketemu? Dan lo ternyata
malah berduaan sama Debo?” Ify merasakan dadanya seperti ditusuk-tusuk oleh
tatapan mata Rio. Ada sorot kekhawatiran sekaligus rasa marah yang ditunjukkan pemuda
itu kepadanya. Ify bertanya-tanya dalam hati. Apa ia harus jujur soal kenapa ia
kabur? Nanti kalau pemuda itu malah meledeknya bagaimana? Ck, lagian, masa
pemuda itu tidak tahu alasannya kabur?
“Tadi
cuma gak sengaja ketemu Debo, ngobrol trus lo dateng. Udah, itu aja.”
“Dan,
kenapa lo kabur?”
Ify
menaikkan sebelah alisnya. “Lo masih harus nanya?” Rio bergeming seakan
menjawab iya. Ify membuka mulutnya hendak berbicara namun lekas ia urungkan.
Percuma rasanya kalau ia katakan yang sebenarnya. Toh, Rio tidak benar-benar
peduli. Sedaritadi Rio hanya memikirkan Dea, bahkan saat sedang bersama dirinya
pun. Wajar saja kalau pemuda itu masih harus bertanya kenapa ia sampai kabur.
Kalau masih satu kali sih masih bisa ditolerir. Tapi, ia kabur sudah dua kali.
Dan dua-duanya ia lakukan ketika pemuda itu sedang bersama Dea. Masa masih tidak
sadar juga?
Ck,
lagian, kurang pantas juga kalau ia cemburu. Ia sudah terlalu banyak cemburu
selama ini ketika mereka belum berstatus apapun. Dari awal ia juga sudah tahu
seberapa dekatnya Rio dan Dea. Jadi, yah, memang tidak dapat ia pungkiri kalau
Dea lebih berhak atas Rio dan Rio lebih peduli pada gadis itu ketimbang
dirinya. Siapalah dirinya. Orang yang sedari dulu mengemis-ngemis cintanya.
Tidak persis mengemis-ngemis memang. Dan hanya beruntung menjadi pacarnya kemarin
malam. Hubungan mereka bahkan belum genap satu hari. Mungkin waktu itu otak Rio
lagi konslet dan gak sengaja nembak gue.
“Lupain
ajalah..” serah Ify sambil mengibaskan tangannya. Ia lalu memandang Rio kembali
yang kelihatan kaget. “Lo udah selesai, kan? Kita bisa pulang sekarang?”
Bukannya
menjawab, Rio malah senyum-senyum sendiri tanpa jelas apa maksudnya di mata
Ify. Pemuda itu gila ya? Apa otaknya benar-benar konslet? “Lo cantik banget,
sih, hari ini.”
Tuh,
ngomong apaan lagi ni orang? Batin Ify terheran-heran. Ia baru saja mau buka
mulut sebelum Rio tiba-tiba mendekat ke arahnya dan memeluknya serta mencium
pelipisnya sesaat. Ia merasa jantungnya bocor dan terbang kemana-mana seperti
balon. Duh, ni anak ganteng-ganteng tapi tukang nyosor ya! Ckck. Senang sih
tapi coba deh lihat-lihat tempat. Ini kan di depan rumah orang. Kalau ada yang
melihat bagaimana? Kan bisa malu! Meski memang tidak separah waktu pemuda itu
mencium pipinya di sekolah.
Ify
mendorong pelan tubuh Rio sambil menatapnya kesal sementara Rio membalasnya
dengan tatapan tidak rela. “Lo tuh ya! Kalo diliat sama mamanya Dea gimana?!”
dumelnya. Meski begitu, Rio tampaknya tidak peduli dan malah memeluknya lagi. Bahkan
pelukannya lebih erat sampai tindakan merontanya pun tidak mempan. Pada
akhirnya ia hanya berdiri pasrah. Lagipula, pintu rumah Dea sudah ditutup.
Jadi, kemungkinan besar tidak akan ada yang datang dan melihat mereka.
“Tadi
Dea titip salam trus katanya dia minta maaf sama lo soal tadi,”
“Lo..gak
minta maaf?” Rio menarik tubuhnya demi bertemu pandang dengan Ify. Meski
tangannya tetap mengalung di leher Ify. “Lo kan gak marah.” Sahut Rio polos.
Ify lantas mendesis sebal dan mendorong keras tubuhnya. Mau tak mau ia terkekeh
geli melihat itu.
“Peace,
hehe..” Ia menyembulkan jari tengah dan telunjuknya. “Thanks ya..” katanya
kemudian. Kening Ify berkedut-kedut sambil menatap Rio bingung. Disuruh minta
maaf kenapa pemuda itu malah berterimakasih?
“Karena
lo gak marah sama gue apalagi Dea. Lo mau ngerti, ngalah dan rela makan hati.
Dan itu semua lo lakuin cuma biar gue gak ngediemin lo lagi. Lo itu bener-bener
ya...gue gatau harus ngomong apalagi.” Rio menatap Ify dengan rasa haru
bercampur kagum juga bahagia. Sementara Ify tetap bergeming tanpa membalas
ucapannya. Rio lantas mengernyit bingung. “Kok lo diem aja? Atau gue ada salah
ngomong ya?”
Ify
menggeleng pelan. “Gue daritadi nungguin lo minta maaf. Tadikan gue mintanya
itu doang. Lo malah bilang makasih.”
Rio
membuka mulutnya tapi kemudian tidak tahu harus bilang apalagi. Untung tidak
sampai speechless. Ia tersenyum hangat pada Ify dengan tatapan sedikit memohon
tapi lebih tepat memaksa. “Sorry ya? Mau maafin gue, kan?”
Ify
mengulum bibirnya sambil menyipitkan mata tampak menimang-nimang. Tak lama
kemudian, matanya kembali normal. Ia berjinjit sambil menumpu tangannya di
kedua bahu Rio dan mengecup pipi pemuda itu singkat. Ia memandang pemuda itu
dan tersenyum dengan sedikit tersipu. Senyumnya tak ayal menular pada Rio.
“Mau
langsung pulang?” tanya Rio kemudian. Ify mengangguk cepat. Ia lalu berjalan
menuju mobilnya sambil menggandeng tangan gadis itu. Mesin mobil menyala dan
kemudian beranjak pergi dari halaman rumah Dea.
***
Ify
menggaruk-garuk kepalanya kesal memandang buku kimia di hadapannya. Ia yang
semula berbaring telungkup lalu kemudian duduk hendak meminta bantuan pada
ketiga temannya. Namun, urung ia laksanakan melihat Via, Agni dan Shilla begitu
seriusnya menonton dvd film yang mereka beli tadi siang. Kalau sudah begitu,
mereka mana bisa diganggu barang semenit pun. Lalu kemudian, wajah Rio muncul
di benaknya. Seolah-olah menjawab kebingungannya saat ini. Ia tersenyum lebar
lalu dengan segera beranjak turun dari kasur dan berlari keluar kamarnya dengan
membawa serta buku serta setangkai pensil(?).
Dari
lantai atas ia dapat melihat Rio sedang duduk menonton siaran pertandingan
sepak bola di ruang tengah. Pemuda itu kelihatan tak kalah serius dari ketiga
temannya. Ify sempat berhenti menuruni anak tangga karena ragu untuk meminta
bantuan pemuda itu atau tidak. Tapi kemudian, ia melanjutkan langkahnya kembali
untuk tetap melaksanakan niatnya. Ia kan belum tahu bagaimana respon Rio kalau
diganggu saat sedang serius menonton. Apalagi menonton pertandingan bola. Tak
ada salahnya sekaligus ia cari tahu. *anggep aja ya ada siaran bola yang tayang
jam 8 malem wkwk*etapi kadang-kadang ada kan ya*
“Yo?”
panggil Ify yang tidak digubris Rio sama sekali. Bahkan pemuda itu mendengar
saja perlu diragukan. Ify menggigit bibirnya sambil mengambil tempat duduk di
sebelah Rio. Tiba-tiba saja Rio berseru kecewa sambil memukul dengkulnya.
Sejurus kemudian, pemuda itu kembali ke posisinya semula, duduk bersila sambil
bertumpu dagu.
“Yo?”
Ify mencoba memanggil sekali lagi. Suaranya agak dikeraskan. Untungnya ada
sedikit kemajuan. Rio berdehem pelan. Meskipun tidak sedikitpun memalingkan
wajahnya dari televisi, tapi pemuda itu setidaknya masih menunjukkan tanda
bahwa pemuda itu juga memperhatikannya. Ify tersenyum senang dan langsung
menyodorkan bukunya. “Ajarin gue dong?” pintanya dengan sangat. Rio menoleh ke
arahnya lalu bukunya lalu kembali pada televisi. Senyumnya langsung berubah
kecut.
“Minta
ajarin Via, Agni sama Shilla aja sana!” ujar Rio tak peduli.
Jutek
banget! Apa Rio selalu kek gitu kalo lagi nonton bola? Atau karena gue yang
minta ajarin? Selama ini kan dia paling ogah ngajarin gue. Batin Ify. Meski
begitu, ia masih belum kapok dan tetap berusaha agar Rio mau mengajarinya. “Apa
gue mesti jadi Dea dulu biar lo mau ngajarin gue?” Rio langsung menoleh lagi ke
arahnya. Ia langsung berteriak puas dalam hati. Berhasil!
“Lo
pernah denger gak ada pepatah bilang kalo bola itu istri ke setengah nya para
lelaki?” Rio menatapnya sedikit kesal lalu langsung mengalihkan pandangan ke
televisi kembali. Ify mencibir tak terima sambil menirukan gerakan mencakar dan
ditujukan ke arah Rio. Ia membanting tubuhnya ke badan sofa sambil bersedekap
dengan wajah kesal. Ia melirik tv lalu Rio lalu tv lalu buku kimianya. Ia harus
mencari cara lain yang benar-benar ampuh membuat Rio mau mengajarinya. Dan tak
butuh waktu lama, sebuah ide begitu saja terpintas di otaknya.
“Lo
pernah denger pepatah bilang kalo ada cowok yang rela gak nonton tim bola
kesayangannya demi ngajarin ceweknya, nikahin tuh cowok! Pernah denger?” tanya
Ify memancing. Ia melihat Rio tersenyum meremehkan. “Cewek yang nyari cowok kek
gitu pasti bakal jadi perawan tua.” sahutnya. Ify menyipitkan matanya lalu
tersenyum menantang. “Let’s see..” desisnya sambil meraih ponsel di atas meja.
“Kalo gak salah Kak Tristan suka MU, deh..” gumam Ify pelan. Telunjuknya
menari-nari mencari sebuah kontak. Dan ketika ketemu, ia langsung berseru
senang. Rio yang awalnya tenang-tenang saja mau tidak mau menjadi harap-harap
cemas juga.
Ify
mendial nomor Tristan dan menunggu beberapa detik hingga panggilannya dijawab.
“Ah, diangkat!” serunya tanpa sadar. Atau mungkin bisa juga disengaja. “Halo
Ka—“
Akan
tetapi, belum sempat Ify menyapa, Rio tiba-tiba merebut ponselnya dan langsung
mematikan sambungan telepon dengan Tristan. Pemuda itu meletakkan ponselnya
kasar lalu menatap sebal ke arahnya. Ia hanya membalas senyum tanpa dosa sambil
menyerahkan buku kimianya. Akhirnya usahanya berhasil. Walau dengan sedikit
menipu karena sebenarnya ia juga tidak tahu Tristan menyukai klub sepakbola
yang mana. Meski harus bersungut-sungut, tapi Rio tetap mengambil bukunya dan
menanyakan perihal apa yang menjadi masalah di sana.
Ify
yang awalnya senang kemudian berubah menjadi tak tega. Kasihan juga melihat Rio
begitu tersiksa harus mengajarinya sementara di hadapannya sedang berlangsung
pertandingan bola tim favoritnya. Setaunya kan pertandingan itu tidak hadir
setiap hari. Rio pasti sudah begitu menunggu dari jauh-jauh hari. Lagian, kan
besok masih libur. Masih banyak waktu dan tidak harus sekarang. Lantas, ia
mengambil pensil yang tengah Rio gunakan menulis. Sekaligus juga bukunya. Rio
menatap jengah ke arahnya seakan berkata ‘Kenapa lagi?’ dengan raut wajah
begitu menggugah hati. Khususnya Ify.
“Hehe,
lo nonton aja dulu, deh.” Ujarnya sambil nyengir bersalah. Rio mengernyit aneh
ke arahnya lalu menatapnya tajam. “Lo gak ada niatan hunting cowok buat
dinikahin lagi, kan?” Ify tak ayal tertawa lalu segera menggelengkan kepala.
Benarkah Rio sampai setakut itu?
Tiba-tiba
Rio tersenyum girang. “Tunggu sampe babak pertama selesai. Ntar baru gue
ngajarin lo.” Ify hanya menganggukkan kepalanya. Dalam sekejab Rio tenggelam
bersama televisi. Ify beranjak dari sofa dan berjalan naik ke atas menuju
kamarnya untuk mengambil cemilan. Keadaan di kamarnya masih sama seperti
terakhir ia tinggalkan. Ia lalu berjalan turun dan kembali duduk di sofa di
samping Rio sambil ikut menonton.
Ify
melirik ke arah Rio. Kalau begini ia jadi teringat kejadian tadi pagi.
Bagaimana mendungnya wajah pemuda itu ketika Dea berlari pergi setelah
mengetahui status terbaru mereka. Tapi, kenapa Rio sampai harus sepanik itu? Ia
bukan ingin mengungkit-ungkit masalah yang sudah dianggap selesai itu. Tapi, ia
hanya penasaran saja.
“Yo?”
panggilnya kemudian. Rio berdehem menyahut sama seperti tadi. Ify menelan
cemilan yang ada dalam mulutnya lalu berbicara. “Gue cuma penasaran aja, sih.
Kok lo sampe panik banget gitu pas Dea pergi gitu aja?” tanyanya lalu
memasukkan cemilan lagi ke dalam mulutnya dan menatap ke arah televisi.
“Dia
itu orangnya suka nekat kalo ada hal yang ga sesuai sama jalan pikiran dia. Dia
pernah hampir mati bunuh diri gara-gara abis putus sama pacarnya. Dan itu gak
cuma sekali. Makanya gue takut banget tadi. Gak enak sama orangtuanya kalo
sampe dia kenapa-kenapa, pas sama gue lagi. Yah, taulah kan gue udah lumayan
deket sama mereka.” Rio menjeda bicaranya untuk mengambil snack yang dibawa Ify
lalu memakannya. “Dia sebenernya baik. Cuma ya, mungkin bisa dibilang punya
kelainan emosi. Terlalu meledak-ledak.”
“Hmm..gitu.”
Ify mengangguk mengerti. Lumayan masuk akal. Setelah itu, tidak ada pembicaraan
lagi. Rio fokus pada siaran sementara Ify tidak tahu harus bertanya apalagi.
Hingga kemudian, tubuh mereka mendadak sama-sama tak bergerak dengan mata
menatap tajam tanpa berkedip. Tangan Ify yang hendak memasukkan snack ke dalam
mulut bahkan sampai berhenti membuat snack tersebut terkatung-katung di udara.
“Ball’s
on Gigs. Given to Rooney. Oww! Can it be..Rooney..Rooney..YEAY WAYNE ROONEEEEY!
Wayne Rooney scores at the last minutes of this first half and succed keeping
their chances in....” *buahaha sumpah ini ngarang banget*
Selanjutnya
Rio sudah tidak memedulikan lagi kata-kata selebrasi sang komentator karena
aksi selebrasinya sendiri. Ia berteriak sambil bertepuk tangan keras dan
spontan memeluk manusia di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah Ify. Ia
juga sempat-sempatnya mendaratkan kecupan pada pipi gadis itu lalu kembali
berjingkrakan tak jelas. Ify yang tadinya ikut merasa senang mendadak kesal
karena Rio kembali mengulangi kebiasaan nyosor sembarangannya itu. Ia langsung
mencubit keras pinggang pemuda itu yang seketika membuatnya mengaduh kesakitan.
“Kok
gue dicubit?” keluh Rio di penghujung selebrasinya. “Abis lo sembarangan pake
nyium-nyium segala. Kalo temen-temen gue liat gimana?!” balasnya galak. Rio
lantas nyengir tanpa dosa tanpa sedikitpun kehilangan corak kebahagiaan di
wajahnya. Ia lalu kembali duduk normal sambil bersandar ke badan sofa. “Yaudah,
mana yang mau gue ajarin tadi?” tanyanya dengan semangat.
Ify
menyerahkan pensil dan buku kimianya pada Rio. Rio menepuk sisi paling di
sampingnya menyuruh Ify mendekat. Ify pun menurut tanpa banyak protes. Ia duduk
bertumpu dagu melihat dan mendengarkan Rio yang mulai menjelaskan sambil
menulis di buku kimianya. Sesekali ia mengangguk, tapi ia lebih sering menyela
karena Rio berbicara terlalu cepat dan ia juga agak lamban mengerti apa yang
pemuda itu ajarkan. Tak ayal, beberapa hadiah pukulan di kening menggunakan
pensil diberikan Rio padanya.
“Oooh..gitu
doang. Ck, bilang dong daritadi..AW! Kok gue digetok lagi, sih?!” Rio menatap
Ify kesal. “Gue emang udah bilang daritadi kali. Lo nya aja yang baru ngerti.”
Sungutnya. Gantian Ify yang memajang cengiran tanpa dosa sambil melihat kembali
tulisan penjelasan Rio di bukunya. Ia tak henti-hentinya memajang senyum di
bibir. Ia bisa pintar kalau begini terus. Ia benar-benar beruntung. Punya pacar
ganteng sekaligus pintar. Bisa dijadikan sebagai guru private gratis. Meskipun
ngajarinnya galak.
Ify
menutup bukunya dengan perasaan puas lalu meletakkannya di meja. Ia menoleh ke
arah Rio dan pemuda itu sudah kembali tenggelam dalam siaran televisi. Ia
tersenyum lagi melihat itu. Ia cepat-cepat mengambil ponsel dan mengambil
kesempatan mengabadikan ekspresi Rio yang begitu serius saat ini. Belum puas ia
memandangi hasil bidikannya, ponselnya sudah berubah tangan. Rio tiba-tiba saja
merebut ponselnya, lagi.
“Curang!”
Ify mengernyit bingung. Yang dibilang curang dirinya atau wasit dalam
pertandingan bola?
“Kalo
foto ya berdua, dong!” ujar Rio sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya ke atas
ke bawah. Ify terkekeh geli dan langsung merapatkan tubuhnya kembali dengan
Rio. Rio kemudian menjadi juru kamera dengan salah satu tangan merangkul Ify.
Ada sekitar 4 foto yang diambil yang pose terakhirnya ia, sekali lagi, mencuri
kesempatan mencium pipi kekasihnya itu. Ify kali ini tidak protes. Karena
sepertinya percuma juga, Rio tidak akan menggubris.
Rio
langsung menjadikan foto terakhir tersebut sebagai walpaper hape Ify tanpa
lebih dulu menanyakan persetujuan gadis itu. “Ntar kirim ke gue ya!” ujarnya
sambil mengembalikan ponsel di tangannya pada pemiliknya.
“Enggak,
ah. Ntar lo upload lagi.” Rio menaikkan sebelah alisnya dan bertanya bingung. “Emangnya
kenapa kalo gue upload?”
“Ya
ntar pada heboh, Yo. Yang tadi pagi aja masih rame sampe sekarang.”
“Gue
kan cuma mau mamerin pacar gue. Masa gaboleh?”
“Emangnya
gue lukisan dipamerin?”
“Ck,
bukan gitu, Ify-ku-sayang! Itu kan sebagai tanda kalo gue bangga punya pacar
kayak lo. Lo emangnya gak bangga punya pacar kayak gue?”
Ify
tertawa kecil lalu tersenyum miring dan bersandar di tubuh Rio. Sekaligus
menikmati elusan pemuda itu pada kepalanya. “Siapa, sih, yang gak bangga jadi pacar
lo..” gumamnya pelan. Rio menganggukkan kepala. “Nah, makanya, kan..”
Beberapa
saat mereka saling diam. Lalu kemudian Ify bersuara lagi. “Yo, kita bakal kek
gini terus, kan?”
“Emangnya
lo mau bubaran kapan?” sahut Rio asal. Ify lantas memukul pahanya lumayan keras
dan ia hanya terkekeh singkat. “Apapun yang terjadi, lo tetep ada di belakang gue,
kan?”
“Iya,
iya!”
“Ngedukung
gue?”
“Selalu.”
“Ngebela
gue?”
“Pasti.”
“Ngelindungin
gue?”
“Wajib.”
“Dan
gak ninggalin gue?”
“Gak
akan.”
Ify
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Bagus-bagus,” gumamnya.
“Fy,
lo pernah liat peri bunga gak?” tanya Rio tiba-tiba. Ify hanya berdehem
mengiyakan. “Nah, ntar pas prom, rambut lo di bikin kek gitu ya? Gak usah
diiket atau dimacem-macem. Digerai aja, trus di atasnya ada yang dijalin
melingkar kek gini sama ada bunga-bunganya. Pas prom aja tapi, biar gue penasaran.”
Rio berkata sambil menunjuk-nunjuk bagian atas kepalanya dengan antusias. Ify
tertawa lagi lalu menganggukkan kepalanya.
“Iya,
iya. Your wish is my command, deh.” Serah Ify. Awalnya ia ingin bertanya kenapa
pemuda itu tiba-tiba mengatakan itu. Padahal acara promnight sekolah masih
lama. Tidak terlalu lama juga, sih. Tapi, yasudahlah. Tidak terlalu penting. Ia
pun jadi tidak pusing-pusing memikirkan harus bagaimana nanti ketika menghadiri
acara tersebut. Rio, Rio. Baru sehari pacaran sama lo tapi lo udah ngasih
kenangan banyak banget. Haaah...rasanya ia tidak ingin hari ini cepat-cepat
berlalu.
***
Rio
kembali harus mengikuti rapat mengenai promnight. Dan dengan sangat terpaksa
meninggalkan Ify dan menitipkan gadis itu pada ketiga temannya. Pemuda itu
sempat mengajaknya untuk ikut izin rapat bersamanya tapi ia menolak. Untuk apa
ia ikut, toh, ia tidak punya jabatan apapun. Menjadi anggota osis pun tidak.
Tidak baik dipandang murid yang lain. Alhasil jam istirahat ini, ia hanya
menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatnya di dalam kelas. Beruntungnya,
ketiga sahabatnya itu juga sedang malas kemana-mana.
Tiba-tiba
ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Rio. Jemarinya bergerak cepat
membuka pesan tersebut.
‘Gue
punya sesuatu buat lo. Gue tunggu di perpus ya! Di rak paling ujung:*’
Ify
mengerutkan dahi bingung. Merasa asing dengan pesan Rio ini. Jujur saja, ini
adalah text pertama mereka berdua setelah berpacaran. Ia lantas geleng-geleng
kepala. Itu orang hobby banget nyium ya? Sampe emot yang dipake itu juga? Ckck.
Batinnya.
“Temenin
gue ke perpus yok?” pinta Ify. Agni menoleh ke arahnya sambil menaikkan alis. “Mau
ngapain?”
“Ketemu
Rio, hehe.” katanya dengan agak tersipu. Sementara ketiga temannya menahan
senyum geli. “Paham, deh, paham. Yaudah. Tapi, ini karena lo baru jadian aja ya
makanya kita-kita mau.” Ujar Agni lagi.
“Iya,
iya.”
***
Drrt..drrt..
Ponsel
Rio bergetar. Ia mendapati sebuah pesan misterius dari nomor asing. Ia tidak
tahu itu siapa karena nomornya tidak terdaftar dalam kontaknya. Ia menatap
ponselnya bingung sekaligus penasaran setelah membaca pesan yang baru saja
masuk itu.
‘Kalo
lo mau tau siapa cewek lo sebenernya, ke perpus sekarang juga. Dia ada di rak
paling belakang.’
Rio
bimbang. Haruskah ia ke perpus sekarang ini? Kalau orang ini hanya mengerjainya
bagaimana? Atau...astaga! Jangan-jangan orang ini justru berbuat macam-macam pada
Ify. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus pergi ke sana.
***
Ify
bersama ketiga sahabatnya tersebut langsung beranjak dari kelas menuju perpus. Hampir
setiap orang melihat ke arah mereka, terutama ke arah Ify. Ify merasa seperti
lauk pauk yang sangat amat lezat karena ditatap setajam itu. Tapi, untunglah
ada Agni yang menemaninya jadi mereka sedikit banyak takut mau berbuat
macam-macam. Selain karena Agni jago bela diri, Agni juga sudah mengancam
mereka semua akan melapor ke guru BP bahkan polisi kalau sampai berbuat anarkis
lagi.
Ify
berseru senang saat sudah menginjakkan kaki di dalam perpus. Ia menyuruh ketiga
temannya untuk membiarkannya pergi sendiri ke rak yang Rio maksud sementara
mereka ke rak yang lain. Ia mendapati rak tersebut kosong. Sepertinya Rio belum
selesai rapat. Tak apa-apa kalau ia harus menunggu, daripada ia yang ditunggu.
Ify
memilih melihat buku-buku yang berjejer di depannya. Siapa tahu ada yang
menarik dibaca sembari menunggu Rio datang. Ia baru saja menjulurkan tangan
hendak mengambil salah satunya tapi kemudian ada sepasang tangan yang
memeluknya dari belakang. Pasti itu Rio! Pikirnya. Pemuda itu kan kebiasaan
memeluknya sembarangan. Untung saja sisi tempatnya berada ini adalah sisi yang
paling sepi bahkan hampir tidak terjangkau orang-orang.
Ia
mendengus pelan tapi tetap tersenyum juga. “Rio! Kan gue udah pernah bilang ja—“
Ia tidak sempat menyelesaikan kata-katanya dan hanya sempat berbalik badan
menghadap orang yang memeluknya. Karena orang tersebut dengan gerakan cepat dan
tiba-tiba mengunci mulutnya. Ia membelalakkan mata kaget. Orang tersebut
menciumnya! Tepat di bibir! Dan entah kenapa ia yakin ini bukan Rio. Ya, ini
memang bukan Rio. Ini..
“Brengsek!!”
Bug..bug..
***
Hueheeei
part 29 selesai-.- Hayolooo siapa yang nyium Ify? Ayo tebak! Yang bener ntar
mimin kasih selamat! *Ganiatbangetsihminhahaha*
Untuk
couple lain sabar yaaa, mimin mau istirahat dulu. Udah begadang berapa hari
ini-.- Mimin kan udah adil. Semuanya dibikin panjang-panjang. Gabakal lama-lama
juga kok, tenang aja. Jadi, harap sabar menunggu. Makasih juga yang masih setia
baca, ngelike, ngoment, ngadvice dan nagih haha. Muah buat kalian semuah:*