***
Ketika
perputaran duniamu hanya itu ke itu saja, kau tidak akan mungkin berkata tidak
pada bosan.
***
Tahun baru ini
akan menjadi tahun ke dua belas aku dan Rio bersama. Ya, aku dan dia memang
tidak terpisahkan sejak kami berteman diusia 5 tahun dulu di tk. Apalagi
rumahnya pun satu komplek denganku. Meski kami selalu bersama, tapi tidak ada
hubungan resmi apapun antara aku dengannya. Rio tidak pernah memastikan
hubungan kami itu apa. Tapi, ia selalu bilang ia sangat menyayangiku dan akan menikahiku
suatu hari nanti. Ia selalu marah ketika aku dekat dengan pemuda lain. Dan aku
sangat senang membuatnya marah. Karena itu satu-satunya cara aku bisa
memastikan perasaannya masih sepenuhnya untukku.
“Tidak bosan
ya kerjanya hanya menemaniku?” tanyaku iseng. Entah kenapa aku ingin bertanya
itu padanya. Aku memperhatikan ekspresi wajahnya. Ia mendekatkan wajahnya ke
wajahku sambil menyipitkan matanya. “Kau pasti akan langsung ‘berkeliaran’ jika
tidak ku jaga terus.”
“Kau sudah
seperti anjing penjagaku saja.” Cibirku. “Kau itu yang anjing liar. Kalau tidak
diikat pasti akan menghampiri orang sembarangan.” Balasnya sambil tertawa
mengejekku. Ah, kalau dia tertawa dia terlihat manis sekali.
“Jahat sekali
kau menyebutku anjing liar!” kataku tidak terima dan pura-pura marah. Meski
tidak berhasil karena ujung-ujungnya aku malah ikut tertawa. Dan kami pun
memulai aksi saling ejek satu sama lain. Hingga hariku berakhir menyenangkan
seperti biasanya, bersamanya.
***
Suatu hari aku
datang ke rumah Rio dan melihatnya sedang berbicara dengan seorang gadis di
depan pagarnya. Aku belum pernah melihat wajahnya di sekitar sini. Ketika aku
melihat ke sebelah rumah Rio, barulah aku mengerti kalau gadis itu pasti baru
saja pindah ke sana. Aku senang karena setidaknya aku akan punya teman selain
Rio dan aku juga baru kali ini melihat Rio mau bersosialisasi dengan orang
lain.
“Ify? Kau sudah
datang?” tanyanya kaget. Sepertinya mereka mengobrol sangat seru sekali
sehingga tidak menyadari kedatanganku. “Baru saja. Dia memang sangat cantik
sekali sampai-sampai menguasai seluruh perhatian indramu. Dia saja tadi
tersenyum padaku sebelum aku sampai.” Cibirku seraya terkekeh pelan. Tetangga
baru Rio itu pun ikut tersenyum. Ah, aku sudah bilang belum kalau dia cantik
sekali?
Rio mengalungkan
tangannya ke leherku sambil mengacak-ngacak rambutku. “Kau ini cemburuan
sekali!” Aku hanya memutar kedua bola mataku malas membalas ucapannya.
“Kalian
pacaran ya?” celetuk si tetangga baru dengan tatapan polos ke arah kami. Aku
melirik Rio dan melihat Rio tersenyum. “Kami hanya tidak bisa dipisahkan.”
Katanya dengan sangat yakin, menurutku. Dia tidak menjawab iya tidak juga
tidak. Tapi aku senang dia menjawab seperti itu.
“Kau tidak
ingin mengenalkanku pada gebetanmu ini?” tanyaku kemudian. Rio berseru ‘ah’
sambil menepuk keningnya. Ia kemudian bergantian menatapku dan si tetangga
baru. “Ify, ini Acha dan Acha ini Ify.”
Aku bersalaman
sesaat dengan Acha dan saling bertukar senyum. Dan hari itu menjadi awal
kedekatan ku, Rio dan dirinya. Aku benar-benar tidak punya firasat apapun.
Kupikir ini akan menjadi awal lain untuk hal menyenangkan yang lain.
***
Sejak
perkenalan itu, aku tidak lagi menghabiskan waktu hanya dengan Rio, tapi juga
Acha. Kemana-mana kami selalu bertiga. Tak jarang juga ketika aku sedang malas,
Rio dan Acha pergi berdua. Aku tidak bisa melepas senyumku setiap kali
memperhatikan mereka. Mereka begitu akur, tidak seperti ketika aku yang bersama
Rio. Kami pasti selalu mencela satu sama lain. Tapi kemudian, seorang temanku,
Via namanya yang juga teman sekelasku yang menjadi dekat denganku di luar Rio
dan Acha ketika aku menumpang membaca buku di kursi taman yang ia duduki,
berkata suatu hal yang membuat hatiku resah.
“Kau dan Rio
itu pacaran atau hanya teman dekat sejak kecil saja?” tanyanya waktu itu. Aku
mengangkat wajahku menatapnya. “Aku..tidak tau. Dia hanya bilang dia sangat
menyayangiku setiap kami tidur bersama.”
“Apa?! Kalian
tidur bersama?!”
Aku menepuk
keningku sadar sudah salah bicara. “Bukan ‘tidur bersama’ yang seperti itu.
Benar-benar hanya tidur.” Ralatku. Ya, aku juga masih waras untuk yang satu
itu. Meskipun aku suka diam-diam ehm..menciumnya ketika ia sudah tidur.
Via menghela
napas sambil mengusap dadanya. “Lalu, dia tidak pernah menyatakan cinta padamu
dan memintamu menjadi pacarnya?”
Aku menggeleng
pelan. “Kau mencintainya, cinta sebagai pacar maksudku?”
Kali ini aku
mengangguk dan aku merasakan ada sedikit hawa panas di pipiku. Tiba-tiba Via
melengos. “Kau ini! Kalau tau begitu, kenapa masih tenang-tenang membiarkan Rio
berduaan dengan Acha?” sewotnya. Aku mengernyit tak mengerti maksud ucapannya
dan ia sepertinya mengerti ketidakmengertianku.
“Kau tidak
takut Rio akan jatuh cinta pada Acha? Apa kau tidak liat bagaimana Acha
memandang Rio? Apa kau tidak sadar tatapannya berbeda?”
Tiba-tiba saja
aku merasa nyilu dalam dadaku. Tidak tahu kenapa. Apa mungkin kata-kata Via
harus kupikirkan? Apa mungkin aku...tidak, aku tidak boleh berprasangka apapun.
Rio hanya menyimpan perasaannya padaku. Hanya untukku. Acha pun tahu aku
mencintai Rio dan dia juga tidak mungkin setega itu merebut Rio dariku. Ya, dia
tidak akan tega pada sahabat baiknya ini.
***
Hari ini Rio
menginap di rumahku. Kedua orangtuaku sudah terbiasa dengan kehadiran Rio dan
percaya kalau Rio tidak akan mungkin macam-macam padaku. Mereka bahkan sudah
merencanakan sebuah perjodohan antara aku dan Rio. Aku dan Rio sama-sama tidak
masalah akan hal itu. Tapi...tidak malam ini. Aku merasakan ada yang berbeda
dari sikap Rio ketika orangtuaku membawa topik itu dalam perbincangan. Meski
hanya untuk candaan semata dan tidak sedang untuk dibahas serius. Aku merasakan
tawa terpaksa keluar dari mulutnya. Apa aku yang terlalu sensitif sejak
mendapat obrolan bersama Via tempo hari atau Rio memang begitu?
Aku terus
memandangi wajah Rio yang matanya sudah menutup di sampingku. Apa aku salah
merasa tidak tenang saat ini ketika melihatmu Rio?
“Kenapa kau
terus saja memandangi wajahku?”
Aku sedikit
kaget mengetahui dia belum tidur. Ini adalah suatu kemajuan. Biasanya kalau sudah
bertemu bantal, Rio akan langsung tidur. “Aku tidak bisa tidur.” Kataku jujur.
Rio mengernyit lalu mengusap kepala dan memegang pipiku menatapku. “Apa yang
kau pikirkan?”
“Aku sedang
memikirkanmu.”
“Aku?”
tanyanya bingung. Aku mengangguk pelan. “Aku memikirkan perasaanmu padaku.
Sudah berubah kah?” Rio terlihat diam beberapa saat lalu kemudian menghela
napas. Ia berdecak sambil mengacak pelan rambutku. “Kau ini, untuk apa itu kau
pikirkan? Sudahlah, ayo tidur! Ini sudah malam. Kau tidak ingin terlambat ke
sekolah kan?”
Aku hanya
mengangguk lalu kemudian melihatnya kembali tidur. Kali ini dia benar-benar
tertidur. Dan aku masih terus memandangi wajahnya dengan perasaan tidak tenang.
Kenapa dia tidak menjawab pertanyaanku?
***
Semakin lama
obrolan dengan Via waktu itu semakin menghantuiku. Aku tidak bisa berhenti
mengkhawatirkan Rio dan Acha. Mereka benar-benar makin lengket. Bahkan Rio
lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Rio juga jarang menginap di rumahku
dan mengirimiku pesan bahkan meneleponku. Suatu waktu aku memeriksa ponselnya
dan melihat kotak masuknya penuh dengan pesan-pesannya dengan Acha. Panggilan
keluarnya juga banyak terdapat nama Acha. Aku saat itu sudah tidak tahan dan
lantas sedikit mengajukan protes padanya. Tapi, aku tidak menyangka dia
bereaksi yang mengejutkan.
“Tadi malam
aku semalaman menunggu kau menghubungiku tapi kau malah asyik dengan dia.”
Kataku sambil menyerahkan ponselnya. Ada Acha juga di sana. Mereka sama-sama
terkejut melihatku seperti itu.
“Kau ini
kenapa tiba-tiba datang sambil marah-marah?!”
Rasanya
intonasiku tidak tinggi. Aku hanya ingin mendengar penjelasannya. Kurasa dia
lah yang marah-marah. “Aku hanya bertanya. Kau juga jarang memperhatikanku
akhir-akhir ini.”
“Aku hanya
sedang mengerjakan tugas dengan Acha. Kau ini, umurmu sudah 16 tahun dan masih
saja bahas-bahas soal perhatian.”
Aku mengepal
tanganku. Entah kenapa aku merasa sedih dia memarahiku seperti itu di depan
Acha. Aku merasa itu melukai harga diriku. Kenapa Rio sekarang menjadi tega
begitu?
“Aku tidak
melihat kau membahas tugas dalam pesan kalian.”
Rio menghempas
pensil yang ia pegang. Aku lagi-lagi kaget melihat itu. “Adakah aku
mengizinkanmu memeriksa ponselku?” tanyanya dengan matanya tajam menyalang. Aku
terdiam seakan terhipnotis. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Aku
tidak pernah dimarahi Rio sampai seperti ini.
“Maaf..” hanya
itu yang akhirnya kuucapkan. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Rio apalagi Acha
karena aku buru-buru angkat kaki dari sana. Beruntung aku juga tidak membawa apa-apa
kemari. Aku juga tidak mendengar ada yang memanggil namaku apalagi mengejarku.
Ya sudah, semakin jauh lah aku berlari. Diikuti semakin jauh juga hubunganku
dengan Rio.
***
Ayahku
menegurku karena nilai bulananku merosot drastis. Ayah tidak mempermasalahkan
nilaiku turun melainkan nilai merah yang kudapat. Ayah sepertinya tahu
akhir-akhir ini aku uring-uringan karena Rio. Makanya dia menyuruhku untuk
menjauh sementara darinya dan memfokuskan diriku pada sekolahku. Berhubung
sebentar lagi akan ada ujian nasional. Makanya, aku tidak pernah mengaktifkan
bahkan menyentuh benda berlabel ponsel lagi. Sudah ku simpan di lemari.
Hitung-hitung sekaligus membiasakan diri tanpa Rio.
Ya, semenjak
hari itu, hubunganku dan Rio benar-benar renggang. Terakhir aku menghabiskan
waktu ku bersamanya ketika aku meminta maaf ulang padanya dan juga Acha di
rumahnya. Memang setelah itu mereka kembali baik kepadaku, tapi hanya sebatas
itu. Rio tidak lagi mengajakku pergi berdua. Kalaupun mengajakku, pasti juga
karena ada Acha. Dan...yang kulihat, hubungan Rio dan Acha semakin berkembang
saja. Orang-orang bahkan sering meledek mereka itu pacaran. Masing-masing
mereka tidak ada yang mengiyakan tapi juga tidak menyangkal. Rio bahkan
tersenyum-senyum saja. Apalagi Acha. Dia tentu sangat senang diledeki seperti
itu. Yang membuatku sakit adalah...pernah sekali aku memergoki mereka tengah
berpelukan ketika aku tak sengaja mampir ke rumahnya.
Malamnya aku
langsung memberanikan diri mengajak Rio bertemu dan berbicara empat mata. Aku
tidak ingin terus-terusan merana sendiri memikirkan bagaimana perasaannya. Aku
butuh kejelasan di antara kami, atau harus ku sebut antara diriku dan dirinya.
Dan aku sudah bersiap terlebih dahulu untuk kemungkinan terburuk.
Tapi...tiba-tiba saja sebuah ide menyambangi benakku. Aku teringat kata-kata
Via padaku. ‘Kau tidak perlu bertanya. Kau coba saja buat dia cemburu. Kalau
dia seperti itu, artinya dia masih menyayangimu.’
“Ada apa?”
tanya Rio dengan sikap santainya seperti biasa. Bedanya, dia tidak lagi antusias
mendengarku bicara. Ia bahkan lebih memilih memandang ponselnya ketimbang
wajahku.
“Kau berubah.”
Kataku pelan. Rio akhirnya meletakkan ponselnya dan memusatkan diri padaku. Aku
melihatnya agak terkejut melihat air mukaku. “Maksudmu?”
Aku kemudian tertawa
berpura-pura merasa lucu melihat mukanya. “Sudah lama aku tidak melihat wajah
tegang mu.”
Rio mengernyit
lalu berdecak heran. “Kau aneh.”
Aku mengatup
mulutku dan hanya menyisakan senyum. Aku mengambil ponselku lalu menghadapkan
layarnya padanya. Memperlihatkan foto 4 orang pemuda berbeda. Ia mengernyitkan
kening bingung. Aku tersenyum lagi. “Mana yang kau suka?” tanyaku dengan
semangat.
“Kau pikir aku
homo?!” tolaknya sambil memandang ponselku dengan jijik. Aku menepuk jidatku
seraya tertawa kecil. Setidaknya, dia masih belum berubah untuk menyeletuk yang
tidak-tidak.
“Maksudku,
yang kau suka, yang menurutmu cocok untukku, yang mana?” jelasku. Rio langsung
menoleh tak percaya padaku. Dan air mukanya berubah aneh. Dan kalau
pengalamanku selama 12 tahun bersamanya tidak salah, dia saat ini sedang
cemburu. Hatiku tentu saja langsung berbunga melihat itu.
“Untuk apa?”
Aku lagi-lagi
tersenyum. “Untuk kujadikan pacar.” Jawabku cepat. “Kupikir rugi rasanya kalau
selama sma tidak pernah punya pengalaman memiliki pacar.”
“Kenapa bukan
aku saja? Memangnya aku kurang tampan?! Mereka-mereka ini hanya sedikit lebih
mancung saja.” Protesnya yang langsung membuat perutku keram karena tertawa.
Benar-benar, celetukannya itu benar-benar ‘berbobot’.
“Memangnya kau
mau jadi pacarku?” tanyaku sarkastis seraya geleng-geleng kepala. Meski dalam
hati aku benar-benar menunggu jawabannya. Aku melihatnya sedikit kebingungan
menjawab. “Aku..aku kan bilang akan menikahimu!”
Hatiku
langsung mencelos kecewa. Kenapa begitu susah baginya untuk sekedar menyebutku
pacarnya?
“Memangnya aku
tidak boleh punya pacar sebelum kau menikahiku?”
“Ya tentu saja
tidak boleh. Kau sama saja selingkuh namanya.”
“Lalu, kau
sendiri tidak selingkuh?” Balasku yang sedikit kesal. Dia seenaknya bersama
Acha sementara aku harus terus setia menunggunya. Dan dia tidak bisa menjawab
pertanyaanku. Ya, hancur lagi hatiku. Itu tandanya dia punya perasaan spesial
pada Acha sampai-sampai dia tidak bisa menjawab. Sebenarnya perasaannya itu
bagaimana, sih?
“Aku tau kau
sudah bosan padaku. 12 tahun pergaulanmu hanya denganku. Aku senang kau memilih
Acha daripada aku.” Gumamku yang mendadak berubah serius. Bisa-bisanya aku
berkata seperti itu. Aku kan kemari untuk mempertahankannya tapi sekarang aku
malah mengatakan aku merelakannya.
“Aku tidak
pernah bilang aku memilihnya. Tapi...mungkin kau benar, aku bosan...denganmu.”
Rasanya tidak
ada ucapan yang lebih menyakitkan daripada itu. Rio tidak mau mengakui aku
pacarnya tapi mau mengakui ia bosan padaku. Yah..wajar sih, siapa yang tidak
bosan bertahun-tahun lamanya berkutat pada orang yang sama.
“Yaah..aku
memang orang yang membosankan.” Serahku seraya menunduk. Aku takut kalau aku
tidak kuat dan ia akan melihatku menangis.
“Bukan! Bukan
itu, Ify! Bukan kau, tapi suasananya. Aku bosan dengan suasana yang hanya ada
aku dan kau saja. Aku ingin mencoba merasakan bagaimana suasana bersama
orang-orang yang lain. Aku yakin kau juga begitu.”
Yang kurasakan
hanya kehilanganmu, Rio. Sayangnya aku tidak bisa mengatakannya langsung.
“Lalu, bagaimana suasana barumu?”
“Sejauh ini
menyenangkan.” Aku tidak tahu ia tersenyum karena ucapannya atau karena pesan
dalam ponselnya.
“Apa kau
merindukanku?” tanyaku, lebih tepatnya keceplosan. “Aku yakin, sih, tidak.
Apalah aku, kan.” Sambungku cepat, sebelum suasana melankolis diantara aku dan
dirinya kembali hadir.
“Iya, aku
sudah puas melihat wajahmu selama 12 tahun. Bukan masalah kalau aku tidak
melihatnya beberapa hari.” Katanya yang terdengar seperti bercanda. Tapi
entahlah, itu tetap terasa menyakitkan di hatiku.
“Yasudah, jadi
pilihanmu di antara 4 itu yang mana? Kalau bisa, pilih yang kelihatannya
pintar, jadi sekalian bisa ku ajak belajar untuk persiapan un nanti.” Alihku.
Rio tampak memasang tampang tidak terima. “Aku tidak mau memilihnya. Kau tidak
pantas untuk mereka.”
“Kau ini,
memangnya aku sejelek itu?!” kataku tidak terima. Sudah menghancurkan
perasaanku dengan membuangku, ia juga mau menghinaku. Benar-benar tega kau,
Rio. Aku cinta padamu! Eh..aku benci padamu!!!
“Awas saja
kalau kau berani mengencani mereka ya!” ancam Rio. Aku mengenyit lalu melengos
tak peduli. “Memangnya kau siapa bisa mengaturku? Kalau kau tidak mau memilih,
aku masih bisa pilih sendiri. Yasudah, aku hanya ingin membicarakan itu padamu.
Aku pulang dulu ya.” Pamitku. Baru beberapa langkah, Rio memanggilku kembali.
“Kau
sungguh-sungguh akan berkencan dengan salah satu dari mereka?” tanyanya dengan
tampang cemas. Aku tersenyum menang. Setidaknya, ini penghiburan untukku
setelah ia memporak-porandakan hatiku beberapa saat lalu. “Tidak, tapi ke
empatnya.”
“APA?!!”
***
Karena saran
Via, jadinya aku memilih berkenalan dengan Tristan. Kebetulan, kita cocok. Dia
enak dijadikan teman mengobrol. Kebetulan juga Tristan itu temannya Via jadi
bisa dipastikan Tristan itu orang baik. Juga pintar seperti yang kuharapkan.
Yang lebih membuatku senang adalah, karena kedekatanku dengan Tristan, Rio
kembali. Rio selalu berusaha semaksimalnya menghalangiku berduaan dengan
Tristan. Dia selalu menyelip di antara kami berdua.
Tapi...itu
hanya berlangsung sesaat. Entah apa yang terjadi, Rio mendadak menghilang lagi.
Dan ia malah tidak pernah menemuiku lagi untuk sekedar mengobrol. Rio
benar-benar seperti menjadi milik Acha.
Hingga suatu
hari, Rio tiba-tiba datang melabrakku. Menunjukkan sebuah foto yang mengesankan
aku sedang mencium Tristan. Aku ingat sekali itu adalah foto ketika aku dan dia
bermain piano bersama. Aku dan dia kebetulan sedang berhadapan dan foto
tersebut di ambil dari arah samping. Makanya menimbulkan makna lain.
“Apa dia
menciummu?” tanyanya dingin dan tajam. Bulu kudukku sampai merinding
mendengarnya. Tapi, kenapa dia tiba-tiba menanyakan ini setelah sekian lama
menghilang?
“Bukan
urusanmu.” Kataku tak ingin menjawab. Aku hanya ingin tahu, apakah dia sanggup meyakini
aku bisa melakukan itu. Dan...ya, dia sanggup.
“Kita bersama
12 tahun dan kau tidak sekalipun membiarkanku menciummu. Tapi pada orang yang
baru beberapa minggu kau kenal, kau...” Ia seolah kehabisan kata-kata. Ia
lantas pergi begitu saja tanpa menungguku bicara. Aku terduduk lagi di kursiku.
Hatiku rasanya perih sekali. Bisa-bisanya Rio menganggapku serendah itu. 12
tahun tidak membuatnya bisa percaya padaku. Dia langsung menilaiku dengan
penilaian buruk.
***
Ujian nasional
sudah berlalu beberapa hari lalu. Tapi Rio tidak kunjung menghubungiku.
Biasanya dulu setiap selesai ujian, ia selalu mengajakku pergi jalan-jalan
untuk refreshing. Tapi sampai sekarang, bahkan sampai pengumuman snmptn keluar
ia juga tidak menghubungiku. Sumpah, aku merindukannya. Meskipun pertemuan
terakhir kami menyakitkan, aku tetap merindukannya.
Tidak bisa. Malam
ini aku akan pindah ke Bandung karena aku diterima di universitas di sana. Jika
memang Rio tidak juga mengatakan perasaannya yang sebenarnya padaku, aku akan
melupakannya. Aku akan menghilang dari hidupnya, tanpa menyisakan jejak setitik
pun.
Aku berjalan
dengan perasaan tak karuan menuju rumah Rio. Aku terus bertanya bagaimana
reaksi Rio nanti. Hingga kini aku benar-benar sampai di depan rumahnya. Aku
berjalan masuk melewati halaman rumahnya hingga sampai di depan pintu. Betapa
terkejutnya aku ketika melihat ada Rio dan Acha sedang duduk berdekatan di
sana. Dekat sekali. Bahkan kedua tangan Rio memegang wajah Acha. Apa...mereka
mau apa?!
Tanpa pikir
panjang, aku langsung berlari dan menghentak tangan Rio sehingga terlepas dari
wajah Acha. Mereka tampak kaget melihatku. Aku yang sudah kalap kemudian
menampar Acha. Rio langsung berteriak keras padaku.
“Ify! Apa yang
kau lakukan?!”
Dengan napas
tersengal-sengal aku menatapnya. “Dia ingin menciummu, Rio.” desisku tajam.
“Aku yang
ingin menciumnya!” Balas Rio tak kalah tajam. Aku menganga tak percaya pada apa
yang baru saja ia ucapkan. “Kau...apa?”
“Ya, aku yang
ingin menciumnya.” Ujar Rio dengan penuh penekanan. Kakiku terasa bergetar
mendengar itu. Untungnya aku masih sanggup berdiri. Tapi aku tidak yakin untuk beberapa
saat kemudian. “Kenapa?” Suaraku bahkan juga sudah parau.
“Bukan
urusanmu.” Ujar Rio. Terasa seperti ia membalas ucapanku waktu itu. “Lagian Rio
itu pacarku. Kau ini, seenaknya saja menamparku.” Acha tiba-tiba menyeletuk.
“A—apa?!”
Bunuh saja aku sekarang. Dengan cara apapun. Tolong. “Benar...kau dan
dia...pacaran?” lirihku pada Rio. Rio memalingkan wajahnya dariku. “Ya.”
jawabnya singkat dan tegas.
Air mataku
sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku menangis di depan mereka berdua. Tapi aku
tidak peduli. Toh, setelah ini aku tidak akan bertemu lagi dengan mereka. “12
tahun aku menunggumu memintaku menjadi pacarmu, Yo. 12 tahun aku setia
menyimpan perasaanku hanya untukmu. Dan aku tidak pernah merasa bosan, seperti
yang kau bilang.”
Rio
memalingkan wajahnya kembali ke arahku. Kulihat ia terdiam melihatku. Aku
sempat-sempatnya tertawa saat ini. Ck, aku benar-benar menyedihkan. “Seminggu
lagi aku akan pergi. Dan sepertinya aku tidak perlu lagi mengucapkan kata-kata
perpisahan ya.” kataku bohong. Biarlah dia mendatangiku ketika aku sudah tidak
ada. Tidak ada yang artinya pergi ya maksudku. Itu pun kalau dia berniat
mendatangiku.
Aku berbalik
badan dan hendak pergi. Tapi, beberapa langkah aku berhenti. “Kau bertanya apa
dia menciumku, kan? Ya...iya, dia menciumku.” Ujarku lalu berjalan kembali. Lebih
cepat bahkan aku sampai berlari. Melarikan diriku sejauh-jauhnya. Melarikan
perasaanku juga sejauh-jauhnya.
Pekerjaanku
hanya menangis di bahu Via selama di dalam pesawat. Aku beruntung sempat
berteman dengannya ketika bersama Rio dan Acha. Itulah satu-satunya hikmah yang
bisa ku dapat manakala aku tidak bersama Rio dan Acha. Dia juga diterima di
universitas yang sama denganku. Jadilah aku pergi bersamanya. Aku sudah
berpesan pada kedua orangtuaku untuk tidak memberitahu kemana tujuanku pada
siapapun apalagi Rio. Kuharap dengan ini, aku benar-benar bisa melupakannya.
Tepatnya, aku harus bisa, kalau kata Via.
***
Satu setengah
tahun sudah aku menetap di Bandung. Aku menjalani hidupku menjadi sedikit lebih
baik. Setidaknya masa-masa aku menangis setiap malam memikirkan Rio sudah
terlewati. Aku sudah terbiasa tanpanya. Meski aku belum merasa siap melepasnya.
Ya, bayangkan lamanya aku bersamanya. Tentu tidak mudah untukku bahkan untuk
sekedar melupakan namanya. Sekedar bertanya saja, bagaimana ya kabarnya
sekarang? Pasti dia sudah bahagia dengan Acha.
Sampai
sekarang, rasanya hatiku belum siap mendengar nama mereka berdua secara langsung.
Nyeri dadakan akan langsung terasa di dalam dadaku. Kalau kata Via, aku ini
belum bisa move on. Makanya dia sering menyuruhku kencan buta dengan
orang-orang pilihannya. Tapi, nampaknya belum ada satu pun yang berhasil. Dia
bahkan sudah menyerah untuk menyembuhkanku. Haha. Via benar-benar teman yang
baik.
Ngomong-ngomong
soal Via, dia malam ini pergi bersama pacarnya. Hebat sekali. Sampai di Bandung
ia bertemu dengan pemuda bernama Gabriel dan hanya dalam pendekatan beberapa
hari langsung memutuskan pacaran. Lebih hebat lagi, mereka bisa bertahan sampai
sekarang tanpa pakai tradisi putus-sambung. Aku benar-benar kagum. Bahkan
mereka tidak perlu saling mengenal selama 12 tahun. Selain baik, Via itu
hidupnya selalu beruntung.
Drrt...drrrt...
Ponselku yang
ada di meja berbunyi. Nama Via yang muncul di sana. Tanpa banyak berpikir aku
langsung menjawab panggilannya.
“Ha—“ Belum
tuntas aku menyapa, Via sudah memotong dengan berkata panjang lebar. “Maafkan
aku karena tidak bisa menjagamu darinya. Tapi, kupikir kalian memang harus
bertemu. Kebetulan aku pun sudah tidak bisa menahannya lagi. Apalagi Gabriel
pun menyuruhku membantunya. Kau tau kan Gabriel itu jarang ikut campur masalah
orang. Dan kalau ia sudah ikut campur, mungkin itu adalah suatu hal yang benar
yang harus dilakukan.”
Keningku
mengerut-ngerut tak mengerti dia sedang berbicara apa. Aku juga kurang-kurang
menangkap ucapannya karena dia berbicara tak henti-henti dan cepat sekali. “Kau
ini sedang membicarakan siapa?” tanyaku.
“Nanti juga
dia datang. Kau bersiap-siaplah untuk bertemu dengannya. Jangan sampai serangan
jantung ya! Bye!”
“H—hei tunggu
dulu! Ckck, aneh sekali dia malam ini.” gumamku sambil meletakkan ponselku
kembali. Aku sama sekali tidak mengerti satu pun ucapannya. Dia tahu sendiri aku
paling tidak bisa menebak-nebak. Memang siapa yang ingin datang sampai aku
dikhawatirkan terkena serangan jantung? Pak Presiden?
Bel
apartemenku dan Via berbunyi. Sepertinya ia mendengar pertanyaan di dalam
hatiku. Itu pasti si tamu yang Via bicarakan. Aku berdiri dan berjalan
mendekati pintu. Duh..kenapa aku berdebar ya? Bahkan aku belum bertemu tapi
jantungku sudah menimbulkan gejala-gejala yang berbahaya. Aku menarik napas
sambil mencoba menenangkan diriku. Aku memutar gagang pintu dan menariknya ke dalam.
“KAU!”
Via benar. Aku
benar-benar terkena serangan jantung sekarang. Dia...dia ada di depanku
sekarang. Berdiri menatapku tajam sambil menunjuk wajahku. Kau tahu kan dia?
Ya...dia...Rio maksudku. Kenapa dia tiba-tiba datang lagi? Dan kenapa dia harus
bertambah tampan? Dan kenapa aku malah memperhatikan bagian yang itu?!
“Kau..”
lirihku yang masih shock. Otakku benar-benar blank.
“Kenapa kau
membohongiku, hah?! Kau bilang akan pergi minggu depan tapi kau malah berangkat
malam hari setelah kau pulang dari rumahku. Beraninya kau!!”
Sedikitnya
kesadaranku masih ada. Dan aku tidak terima dia datang jauh-jauh kemari hanya
untuk memarahiku. Kupikir tadi ia akan bilang dia merindukanku dan memelukku.
“Kau ini kenapa, hah? Datang-datang marah-marah! Tidak usah datang menemuiku
lagi kalau kau hanya ingin melakukan itu.”
Air muka Rio
langsung berubah. Ia memandangku dengan tatapan bersalah lalu menunduk.
“Maaf..” katanya pelan. Bisakah aku semudah itu memaafkanmu hanya karena sudah
bertemu denganmu Rio?
Aku diam dan
dia juga diam. “Kau tidak menyuruhku masuk dulu?” katanya tanpa rasa bersalah.
Aku lantas mendelik padanya. “Masih untung aku tidak menikammu dengan pisau
sekarang.” Aku langsung masuk kembali tanpa mengajaknya. Karena dia tidak perlu
ku ajak pasti akan masuk sendiri.
Kami duduk
berhadapan dengan saling memandang. Tepatnya Rio yang terus memandangku
sementara aku memilih memainkan ponselku. Via benar-benar keterlaluan. Kenapa
tidak langsung bilang saja yang akan datang itu Rio?! Jadinya aku tidak benar-benar
kena serangan jantung seperti tadi. Untung saja aku tidak pingsan atau malah
mati.
“Bagaimana
kabarmu?” tanya Rio. Aku meliriknya sekilas lalu memandang ponselku kembali.
“Seperti kau ingin tau saja!” Balasku asal. Kuyakin memang dia hanya basa-basi.
Aku mendengar
dia mendengus. Apa dia akan marah lagi? “Kenapa...kenapa kau meninggalkanku?”
Oh..ternyata dia tidak marah. Aku menatapnya dan mendapati dia sedang menatapku
sedih. Eh..aku tidak salah lihat, kan?
“Kau kenapa
sedih begitu? Ada masalah dengan Acha?” Aku jadi tidak tega sendiri. Bahkan aku
sampai menyingkirkan kepedihan di hatiku ketika kembali membahas mereka berdua.
Rio dan Acha maksudku.
“Maafkan aku
soal pertemuan terakhir dulu.” Aku menatap matanya dan sepertinya dia
benar-benar tulus meminta maaf padaku. Aku tersenyum tipis. “Sudahlah, aku
baik-baik saja. Aku sudah mengikhlaskanmu.” Kataku bohong. Ya, mana mungkin aku
mengikhlaskannya. Haha.
Rio mendadak
diam dan memandangku seperti sedang menyelidiki sesuatu. “Kau sudah punya
pacar?” tanyanya kemudian.
“Ya..” jawabku
tak yakin. Aku jamin dia pasti akan tertawa kalau tahu soal pacarku. “Siapa?”
Aku diam
sesaat lalu menjawab seraya menunduk. “Dayat..” jawabku pelan.
“Dayat?” Rio
membeo ucapanku.
“Alvin..”
jawabku makin pelan.
“Alvin?” Dia
kembali membeo dengan bingung.
“Cakka..”
Suaraku hampir tak terdengar.
“A-Astaga! Kau
ini sebenarnya sudah pacaran dengan berapa orang?” tanya Rio yang kelihatan
frustasi.
“Lima..”
lirihku.
“APA?!” Aku
hanya bisa menundukkan kepalaku semakin dalam. Kupikir dia akan tertawa.
“Benar
kan..kau itu jika tidak kujaga akan berkeliaran sembarangan.” Cibirnya. Aku
tahu dia kesal. Tapi kupikir dia tidak berhak menyalahkanku. Semua ini terjadi
juga karena dirinya.
“Salahmu
sendiri kenapa melepas ikatanmu di leherku!” balasku tak kalah kesal.
“Kau yang
pergi meninggalkanku!” Rupanya dia masih belum mau mengalah. Dia belum
sadar-sadar juga kalau dia yang paling bersalah dalam masalah ini. “Kau yang
membuatku pergi!”
“Aku tidak
pernah menyuruhmu pergi!”
“Apa?!” Benar-benar...aku
sudah benar-benar tidak tahan. “HAH! Iya, terus saja menyalahkanku. Kau puas?! Aku
sudah muak denganmu. Aku sudah tidak peduli. Terserah padamu saja lah!” Aku
berdiri sambil mengacak-acak rambutku dan berjalan meninggalkan ruang tamu.
Tapi tiba-tiba, ada yang memelukku dari belakang dan mengurung kedua tanganku
juga. Siapa lagi kalau bukan Rio. Aku menggeliat seraya menyuruhnya
melepaskanku.
“Lepaskan
aku!” teriakku. Tapi dia malah menguatkan pelukannya. Sehingga aku tidak bisa
apa-apa lagi. “Aku tidak akan melepasmu lagi.” katanya. Apa maksudnya?
“Kalau kau
tidak juga melepasku, aku bisa mati kehabisan napas.” Rio akhirnya
membebaskanku. Aku sudah tidak tahu lagi. Saat ini rasanya kepalaku ingin
pecah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menangis. Aku menyeka kasar
air mata yang jatuh ke pipiku. Rio sepertinya tahu aku menangis saat ini. Ia
menyentuh bahuku tapi aku menepisnya. Ia memutar tubuhku hingga menghadapnya.
Aku memalingkan wajahku yang pasti sekarang tampaknya benar-benar buruk.
“Jangan
menangis begitu..” rajuknya. Mukanya kelihatan panik. Ia meraih wajahku dan
gantian menyeka air mataku. Kali ini aku tidak menolak dan membiarkannya
melakukan apapun yang bisa dia lakukan. Hitung-hitung aku bisa melepas
kerinduanku terhadap wajahnya.
“Tidak bisa.
Lalu kau bisa apa?” racauku.
Rio mendesah
pelan. “Maafkan aku..” Lagi-lagi dia hanya minta maaf. Kalau aku minta bayaran
apa dia masih akan terus berkata begitu?
“Maaf kau
ucapkan berkali-kali, kalau cinta susah sekali.” Aku bersumpah sudah tidak bisa
mengontrol ucapanku.
Rio sesaat
kaget menatapku lalu tersenyum. “Aku mencintaimu.”
“Hah?” Dia
bilang apa tadi?
“Aku
mencintaimu.” Ulangnya masih dengan senyum mautnya. “Kau..aku benar-benar tidak
mengerti dirimu.” Aku menampik tangannya dari wajahku. Dia hanya diam
menatapku.
“Kau lapar?
Biar aku siapkan makanan.” Tawarku akhirnya. Tidak tahu harus bicara apalagi.
Niatku marah-marah mendadak hilang. Meski hatiku rasanya belum tenang.
“Ify, aku
benar-benar mencintaimu. Aku sudah hampir gila kehilanganmu satu setengah tahun
ini.” Rio berkata seperti memohon padaku untuk percaya.
“Kau kan punya
Acha. Kenapa harus gila?”
“Dia
selingkuh. Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya.”
“Jadi karena
dia selingkuh kau datang padaku, begitu?!”
“Aiss..tidak
begitu. Dia selingkuh itu juga karena kau. Karena aku terus memikirkanmu dan
tidak bisa tidak memikirkanmu. Kepergianmu yang entah kemana itu seperti kiamat
bagiku, kau tau?!” Tuh kan, ujung-ujungnya dia memarahiku lagi.
“Kau pikir
disini aku berpesta setelah berpisah denganmu? Satu kolam renang itu akan penuh
kalau semua air mata yang kukeluarkan untukmu ku kumpulkan.”
“Tapi, kau
sudah pacaran lima kali selama kita berpisah!”
“Itu juga
usaha untuk melupakanmu. Tapi...tidak berhasil.” Aku memalingkan wajahku menyembunyikan
rasa malu. Aku baru saja mengaku padanya aku tidak bisa melupakannya.
“Apa kau
memutuskan mereka karena tidak bisa melupakanku?” tanyanya dengan tersenyum
bangga. Aku mencibir padanya. “Bukan.”
“Lalu?”
“Hampir
semuanya selingkuh. Yang terakhir saja yang tidak.”
“Memang yang
terakhir kenapa?” Rio memiringkan kepalanya ke kiri. Aku menghela napas lalu
menjawab dengan pandangan menerawang. “Dia mati..”
“Mati?”
“Dia
kecelakaan dan mati...bersama pacarnya.”
Mata Rio
melotot mendengar ucapanku. “Berarti kalian juga berpisah karena dia
selingkuh.”
“Aku kan tau
soal pacar gelapnya setelah aku mendengar kabar kematiannya. Jadi aku berpisah
karena dia mati bukan karena dia selingkuh.”
Rio tiba-tiba
memberengut dan memeluk pinggangku. “Apa kau sedih akan kematiannya? Kau
mencintainya?”
“Tidak ada
kabar kematian yang membuatku bahagia, Rio. Meskipun aku tidak mencintainya dan
aku juga tidak menyalahkannya karena dia berselingkuh.”
Rio langsung
tersenyum senang mendengarku. Aku kembali bicara sebelum dia berbicara. “Aku
heran, kenapa selalu ada gadis lain dalam setiap hubunganku. Baik itu ketika
bersamamu maupun pacar-pacarku. Mungkin kalau kau aku masih bisa maklum, tapi
pacar-pacarku? Mereka baru mengenalku beberapa bulan saja sudah langsung
bosan.”
“Mungkin
karena kau juga tidak benar-benar tulus mencintai mereka.”
Aku menatap
Rio kembali. “Lalu, kurang tulus apalagi perasaanku padamu? Kau juga memilih
gadis lain.” Dadaku mendadak terasa nyeri. Terbukti kan kalau aku benar-benar
belum bisa mengikhlaskan Rio.
“Mungkin..Tuhan
ingin menghukumku kali.” Rio berkata sambil meringis. “Darimana asalnya Tuhan
ingin menghukummu?”
“Karena aku
memilih gadis lain, aku jadi kehilanganmu. Dan Tuhan benar-benar tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiksaku selama kau pergi.”
Mendengarnya,
aku mendadak kehilangan kata-kata. Kami jadinya hanya diam saling memandang
satu sama lain. Hingga akhirnya dia berbicara serius kepadaku.
“Bisakah kau
memberikan kesempatan kedua untukku?” tanyanya seraya menatap mataku dalam. Aku
hampir saja langsung menjawab iya. “Aku tidak akan sanggup setia padamu lagi
tanpa ada kejelasan aku ini siapa dan kau siapa. Dan pada akhirnya kau akan memilih
gadis lain lagi.” Ya, maaf-maaf saja kalau aku harus menjalani hubungan tanpa status
lagi bersamanya. 12 tahun rasanya sudah cukup. Sudah lebih dari cukup.
Rio melepas
rangkulannya dan berdiri menatapku sesaat. Kemudian dia berlutut di hadapanku
sambil memegang kedua tanganku. Aku merasa seperti sedang bermain drama
romantis. Jujur saja, aku tidak terlalu suka menonton adegan yang seperti ini.
Aku tidak suka yang terlalu romantis apalagi dilakukan di depan banyak orang.
Aku lebih suka menghabiskan waktu berdua dengan aku yang terus bisa bersandar
di bahu atau dadanya. Aku tidak perlu pembuktian cinta di depan banyak orang.
Dengan dia terus menggenggam tanganku kemanapun ia pergi itu pun sudah cukup.
“Kau mau
menjadi tunanganku?” tembak Rio langsung. Tanpa kata-kata pengantar apapun. Ya,
sepertinya memang sudah tidak dibutuhkan. Perdebatan kami sebelumnya rasanya
sudah lebih dari sekedar kata pengantar.
Kalau sudah
begini, aku mana bisa menolak, kan? Dia bahkan tidak hanya memintaku sebagai
pacarnya, tapi sebagai tunangannya. Mungkin ini namanya berakit ke hulu
berenang ke tepian. Putus dulu biar bisa balikan. Hahaha.
“Ya.” jawabku
singkat seraya tersenyum padanya. Ia langsung berdiri dan menatapku dengan mata
berbinar. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna merah beludru dari saku
celananya. Di dalamnya ada dua cincin yang kutebak salah satunya akan ia
berikan padaku. Dan benar saja, ia langsung meraih tanganku dan memasangkan
cincin itu di jari manisku.
“Sekarang
pasangkan ke jariku!” pintanya. Aku tersenyum lalu kemudian memasangkan cincin
yang satunya ke jari manisnya tanpa banyak protes. Kami sama-sama menghela
napas lega ketika cincin itu sudah benar-benar masuk ke jarinya.
“Kau ataupun
diriku bisa dikira sudah menikah kalau memasangnya di tangan kanan.” Komentarku
kemudian. Ia hanya mengedikkan bahu tak peduli. “Biar saja, jadi tidak akan ada
yang berani merebutmu dariku.” Katanya yang langsung membuat dadaku sesak
karena bahagia. Dia tidak terdengar seperti sedang menggombal padaku. Dia lebih
terdengar seperti anak kecil yang sangat takut kehilangan mainannya.
“Aku sangat
mencintaimu.” Kataku tanpa bisa ditahan lalu memeluknya erat. Menghirup aroma
tubuhnya yang masih sama tidak berubah. Dia balas mengelus kepalaku dan juga
menyandarkan dagunya di atas kepalaku.
“I’m happy for
loving you again.”
***
Setelah sekian
lama akhirnya aku bisa melihatnya di sampingku lagi. Tidur sambil memelukku dan
aku bisa memandangi wajahnya. Tapi untuk kali ini, dia masih membuka matanya
dan memandangku juga. Aku merasa ada sesuatu yang sedang ia pikirkan sehingga
dia terus menatapku.
“Apa yang kau
pikirkan?” tanyaku penasaran sambil mengelus pipinya. “Aku memikirkanmu.” Aku
berkedip cepat beberapa kali. Rasanya seperti de javu. “Aku?”
Ia tiba-tiba
menyentuh bibirku dan mengusapnya pelan. “Apa dia waktu itu benar-benar
menciummu?” tanyanya dengan pandangan tidak rela. Aku memandangnya bingung.
“Apa selama ini hal itu terus mengganggumu?”
“Sangat
menggangguku. Aku juga gila karena memikirkan itu. Sekian tahun aku menjagamu.
Menahan diri untuk tidak menyentuhmu sedikitpun ketika melihatmu tidur di
sampingku. Tapi dia dengan mudahnya...hhh...apa dia benar-benar menciummu?”
“Kau sendiri,
jika waktu itu aku terlambat, kau pasti sudah melakukannya dengan Acha.”
“Kau tau, aku
mau melakukannya karena aku kesal padamu setelah tau dia menciummu.”
Aku terdiam
beberapa saat lalu tersenyum. Kalau dipikir-pikir aku dan dia ini lucu sekali.
Tapi kemudian aku terdiam lagi. “Apa kau dulu mencintai Acha?” tanyaku seraya
menggigit bibir. Tak bisa kutahan, aku tetap merasa cemburu.
Rio menatapku
dengan tatapan berdosa. “Sempat. Maafkan aku. Jangan marah padaku ya? Cintaku
padanya pun tidak sebesar cintaku padamu.” katanya begitu memohon.
Lagi-lagi dia
berkata gombal tapi tidak seperti sedang menggombal padaku. Bagaimana mungkin
aku bisa marah padanya. “Iya. Sudah jangan minta maaf lagi. Aku lebih suka
mendengarmu mengatakan cinta padaku.” Aku berkata seraya mendekatkan diri
padanya. Dia tersenyum sebentar lalu berubah panik kembali.
“Jadi...apa
dia benar-benar menciummu?”
Tampaknya hal
ini memang benar-benar menjadi masalah besar untuknya. “Tidak.” Aku tersenyum
geli. Dan sepertinya dia tidak menyadari aku senang karena sudah mengerjainya.
Ia ikut-ikut tersenyum setelah menghela napas lega sekali. Rasanya akan seru
kalau aku mengerjainya sekali lagi.
“Tapi...ada
orang lain yang sudah menciumku.” Saat itu juga wajah Rio berubah. Senyum di
wajahnya lenyap seketika. Aku mati-matian menahan tawaku.
“Siapa?”
tanyanya dengan nada dingin. Aku memberi jeda sesaat lalu berkata. “Kau.”
Kataku yang akhirnya tertawa. Rio menatapku seraya menaikkan alis. “Aku? Kapan
aku menciummu?”
“Aku yang
menciummu.” Suaraku memelan. Mendadak aku menyesal telah mengerjainya dengan
cara ini. Rio masih diam dan belum mengerti maksud ucapanku. Astaga, ini
benar-benar senjata makan tuan.
“Aku sering
diam-diam menciummu ketika kau sudah tidur...” Cicitku dan kusadari ada rasa
panas di pipiku. Rio tampaknya kaget akan ucapanku. Ia mengeratkan pelukannya
di pinggangku.
“Kau!”
desisnya. Ia seperti tengah menahan kesal. “Kau selalu menolak jika aku
meminta, tapi kau malah curi-curi kesempatan ketika aku tidak sadar. Teganya
kau?!”
Aku hanya
nyengir ke arahnya. Dia mendecak kesal. “Yasudah, sekarang sebaiknya kau
tidur.” Dia lebih kentara memaksaku tidur. Mau tidak mau aku menurut. Aku
merasa bersalah karena sudah membuatnya kesal.
Baru beberapa
menit rasanya aku menutup mata. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh
bibirku. Sesuatu yang rasanya tidak asing untukku. Ini pasti...saat itu juga
aku membuka kembali mataku dan melihat wajah Rio yang sudah begitu dekat dengan
wajahku. Rio menciumku! Dia menatap mataku menyadari aku belum tidur. Bukannya
berhenti, dia justru menekan leherku dan menciumku lebih dalam.
Aku merasa
melayang dari ketinggian sejuta kilometer. Aku menutup mataku dan memberanikan
diri membalas ciumannya. Tidak ada hasrat menggebu yang kurasakan dari kami
berdua. Dia menciumku dengan sangat lembut. Mungkin ini menjadi semacam pelepas
kerinduan atas perpisahan kami. Ah, sepertinya sekarang aku tidak salah kalau
menyebut aku dan Rio itu kami. Hihi.
“Maaf..aku
tidak akan mengulanginya lagi.” bisiknya selepas menciumku. Aku tersenyum. “Aku
sudah bilang, aku lebih suka mendengar kau mengatakan cinta kepadaku.”
“Ma—“ Aku
dengan cepat mengunci mulutnya kembali dengan bibirku. Menciumnya beberapa saat
lalu melepasnya. “Kubilang jangan minta maaf lagi.”
Rio tiba-tiba
tersenyum lalu menaikkan alisnya lagi. “Maaf..” bisiknya. Aku mengerutkan
kening bingung. “Ke—“ Kali ini, dia yang dengan cepat mengunci mulutku.
Lagi-lagi sepertinya aku terkena senjata makan tuan.
Kesalahan Rio
waktu itu kiranya juga karena kesalahanku. Kami sama-sama menutup diri dari
pergaulan dan hanya menyisakan kami berdua. Pantas saja kalau salah satu di
antara kami ada yang merasa bosan. Seperti kata Rio, bukan bosan pada orangnya,
tapi pada suasananya. Ketidaktegasan Rio akan hubungan kami juga menjadi
penyebab masalah terjadi. Salahku juga yang tidak pernah benar-benar bertanya
secara jelas agar semuanya jelas. Sehingga Rio sampai terlena bersama orang
lain. Kami sama-sama butuh disadarkan. Aku tidak menyesal telah meninggalkannya.
Yang kusesali adalah kenapa aku tidak meninggalkannya lebih cepat saja jadi aku
tidak harus tersiksa sekian lama. Hehehe.
***
Mimin ga
berharap bakal ada yang nangis baca ini. Karena mimin sama sekali gak bertujuan
bikin ini jadi cerita mengharu biru. Ini tercipta akibat kebosanan mimin diem di rumah nungguin kuliah mulai makanya judulnya bosan wkwkwk. Dan ini juga tercipta karena kegalauan mimin milih
presiden *pentingbangetsiiiih*. Sampe-sampe angkanya 1 sama 2 wkwkwk. Tapi
yah...kalau dipikir-pikir, siapapun yang jadi nanti, gak ada pengaruhnya. Kota
ditempat mimin tetep begitu-begitu aja. Mimin tetep begini-begini
aja.......*eng.............abaikan* Hahaha.
MM nya ntar
yah, lagi di edit. Hohoho. Bye semuah:*