-->

Kamis, 26 Juni 2014

Boredom (Cerpen tapi panjang huahaha)

Upload disini dulu deh, semoga terhibur.......

***

Ketika perputaran duniamu hanya itu ke itu saja, kau tidak akan mungkin berkata tidak pada bosan.

***

Tahun baru ini akan menjadi tahun ke dua belas aku dan Rio bersama. Ya, aku dan dia memang tidak terpisahkan sejak kami berteman diusia 5 tahun dulu di tk. Apalagi rumahnya pun satu komplek denganku. Meski kami selalu bersama, tapi tidak ada hubungan resmi apapun antara aku dengannya. Rio tidak pernah memastikan hubungan kami itu apa. Tapi, ia selalu bilang ia sangat menyayangiku dan akan menikahiku suatu hari nanti. Ia selalu marah ketika aku dekat dengan pemuda lain. Dan aku sangat senang membuatnya marah. Karena itu satu-satunya cara aku bisa memastikan perasaannya masih sepenuhnya untukku.
“Tidak bosan ya kerjanya hanya menemaniku?” tanyaku iseng. Entah kenapa aku ingin bertanya itu padanya. Aku memperhatikan ekspresi wajahnya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil menyipitkan matanya. “Kau pasti akan langsung ‘berkeliaran’ jika tidak ku jaga terus.”
“Kau sudah seperti anjing penjagaku saja.” Cibirku. “Kau itu yang anjing liar. Kalau tidak diikat pasti akan menghampiri orang sembarangan.” Balasnya sambil tertawa mengejekku. Ah, kalau dia tertawa dia terlihat manis sekali.
“Jahat sekali kau menyebutku anjing liar!” kataku tidak terima dan pura-pura marah. Meski tidak berhasil karena ujung-ujungnya aku malah ikut tertawa. Dan kami pun memulai aksi saling ejek satu sama lain. Hingga hariku berakhir menyenangkan seperti biasanya, bersamanya.

***
Suatu hari aku datang ke rumah Rio dan melihatnya sedang berbicara dengan seorang gadis di depan pagarnya. Aku belum pernah melihat wajahnya di sekitar sini. Ketika aku melihat ke sebelah rumah Rio, barulah aku mengerti kalau gadis itu pasti baru saja pindah ke sana. Aku senang karena setidaknya aku akan punya teman selain Rio dan aku juga baru kali ini melihat Rio mau bersosialisasi dengan orang lain.
“Ify? Kau sudah datang?” tanyanya kaget. Sepertinya mereka mengobrol sangat seru sekali sehingga tidak menyadari kedatanganku. “Baru saja. Dia memang sangat cantik sekali sampai-sampai menguasai seluruh perhatian indramu. Dia saja tadi tersenyum padaku sebelum aku sampai.” Cibirku seraya terkekeh pelan. Tetangga baru Rio itu pun ikut tersenyum. Ah, aku sudah bilang belum kalau dia cantik sekali?
Rio mengalungkan tangannya ke leherku sambil mengacak-ngacak rambutku. “Kau ini cemburuan sekali!” Aku hanya memutar kedua bola mataku malas membalas ucapannya.
“Kalian pacaran ya?” celetuk si tetangga baru dengan tatapan polos ke arah kami. Aku melirik Rio dan melihat Rio tersenyum. “Kami hanya tidak bisa dipisahkan.” Katanya dengan sangat yakin, menurutku. Dia tidak menjawab iya tidak juga tidak. Tapi aku senang dia menjawab seperti itu.
“Kau tidak ingin mengenalkanku pada gebetanmu ini?” tanyaku kemudian. Rio berseru ‘ah’ sambil menepuk keningnya. Ia kemudian bergantian menatapku dan si tetangga baru. “Ify, ini Acha dan Acha ini Ify.”
Aku bersalaman sesaat dengan Acha dan saling bertukar senyum. Dan hari itu menjadi awal kedekatan ku, Rio dan dirinya. Aku benar-benar tidak punya firasat apapun. Kupikir ini akan menjadi awal lain untuk hal menyenangkan yang lain.

***

Sejak perkenalan itu, aku tidak lagi menghabiskan waktu hanya dengan Rio, tapi juga Acha. Kemana-mana kami selalu bertiga. Tak jarang juga ketika aku sedang malas, Rio dan Acha pergi berdua. Aku tidak bisa melepas senyumku setiap kali memperhatikan mereka. Mereka begitu akur, tidak seperti ketika aku yang bersama Rio. Kami pasti selalu mencela satu sama lain. Tapi kemudian, seorang temanku, Via namanya yang juga teman sekelasku yang menjadi dekat denganku di luar Rio dan Acha ketika aku menumpang membaca buku di kursi taman yang ia duduki, berkata suatu hal yang membuat hatiku resah.
“Kau dan Rio itu pacaran atau hanya teman dekat sejak kecil saja?” tanyanya waktu itu. Aku mengangkat wajahku menatapnya. “Aku..tidak tau. Dia hanya bilang dia sangat menyayangiku setiap kami tidur bersama.”
“Apa?! Kalian tidur bersama?!”
Aku menepuk keningku sadar sudah salah bicara. “Bukan ‘tidur bersama’ yang seperti itu. Benar-benar hanya tidur.” Ralatku. Ya, aku juga masih waras untuk yang satu itu. Meskipun aku suka diam-diam ehm..menciumnya ketika ia sudah tidur.
Via menghela napas sambil mengusap dadanya. “Lalu, dia tidak pernah menyatakan cinta padamu dan memintamu menjadi pacarnya?”
Aku menggeleng pelan. “Kau mencintainya, cinta sebagai pacar maksudku?”
Kali ini aku mengangguk dan aku merasakan ada sedikit hawa panas di pipiku. Tiba-tiba Via melengos. “Kau ini! Kalau tau begitu, kenapa masih tenang-tenang membiarkan Rio berduaan dengan Acha?” sewotnya. Aku mengernyit tak mengerti maksud ucapannya dan ia sepertinya mengerti ketidakmengertianku.
“Kau tidak takut Rio akan jatuh cinta pada Acha? Apa kau tidak liat bagaimana Acha memandang Rio? Apa kau tidak sadar tatapannya berbeda?”
Tiba-tiba saja aku merasa nyilu dalam dadaku. Tidak tahu kenapa. Apa mungkin kata-kata Via harus kupikirkan? Apa mungkin aku...tidak, aku tidak boleh berprasangka apapun. Rio hanya menyimpan perasaannya padaku. Hanya untukku. Acha pun tahu aku mencintai Rio dan dia juga tidak mungkin setega itu merebut Rio dariku. Ya, dia tidak akan tega pada sahabat baiknya ini.

***

Hari ini Rio menginap di rumahku. Kedua orangtuaku sudah terbiasa dengan kehadiran Rio dan percaya kalau Rio tidak akan mungkin macam-macam padaku. Mereka bahkan sudah merencanakan sebuah perjodohan antara aku dan Rio. Aku dan Rio sama-sama tidak masalah akan hal itu. Tapi...tidak malam ini. Aku merasakan ada yang berbeda dari sikap Rio ketika orangtuaku membawa topik itu dalam perbincangan. Meski hanya untuk candaan semata dan tidak sedang untuk dibahas serius. Aku merasakan tawa terpaksa keluar dari mulutnya. Apa aku yang terlalu sensitif sejak mendapat obrolan bersama Via tempo hari atau Rio memang begitu?
Aku terus memandangi wajah Rio yang matanya sudah menutup di sampingku. Apa aku salah merasa tidak tenang saat ini ketika melihatmu Rio?
“Kenapa kau terus saja memandangi wajahku?”
Aku sedikit kaget mengetahui dia belum tidur. Ini adalah suatu kemajuan. Biasanya kalau sudah bertemu bantal, Rio akan langsung tidur. “Aku tidak bisa tidur.” Kataku jujur. Rio mengernyit lalu mengusap kepala dan memegang pipiku menatapku. “Apa yang kau pikirkan?”
“Aku sedang memikirkanmu.”
“Aku?” tanyanya bingung. Aku mengangguk pelan. “Aku memikirkan perasaanmu padaku. Sudah berubah kah?” Rio terlihat diam beberapa saat lalu kemudian menghela napas. Ia berdecak sambil mengacak pelan rambutku. “Kau ini, untuk apa itu kau pikirkan? Sudahlah, ayo tidur! Ini sudah malam. Kau tidak ingin terlambat ke sekolah kan?”
Aku hanya mengangguk lalu kemudian melihatnya kembali tidur. Kali ini dia benar-benar tertidur. Dan aku masih terus memandangi wajahnya dengan perasaan tidak tenang. Kenapa dia tidak menjawab pertanyaanku?

***

Semakin lama obrolan dengan Via waktu itu semakin menghantuiku. Aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Rio dan Acha. Mereka benar-benar makin lengket. Bahkan Rio lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Rio juga jarang menginap di rumahku dan mengirimiku pesan bahkan meneleponku. Suatu waktu aku memeriksa ponselnya dan melihat kotak masuknya penuh dengan pesan-pesannya dengan Acha. Panggilan keluarnya juga banyak terdapat nama Acha. Aku saat itu sudah tidak tahan dan lantas sedikit mengajukan protes padanya. Tapi, aku tidak menyangka dia bereaksi yang mengejutkan.
“Tadi malam aku semalaman menunggu kau menghubungiku tapi kau malah asyik dengan dia.” Kataku sambil menyerahkan ponselnya. Ada Acha juga di sana. Mereka sama-sama terkejut melihatku seperti itu.
“Kau ini kenapa tiba-tiba datang sambil marah-marah?!”
Rasanya intonasiku tidak tinggi. Aku hanya ingin mendengar penjelasannya. Kurasa dia lah yang marah-marah. “Aku hanya bertanya. Kau juga jarang memperhatikanku akhir-akhir ini.”
“Aku hanya sedang mengerjakan tugas dengan Acha. Kau ini, umurmu sudah 16 tahun dan masih saja bahas-bahas soal perhatian.”
Aku mengepal tanganku. Entah kenapa aku merasa sedih dia memarahiku seperti itu di depan Acha. Aku merasa itu melukai harga diriku. Kenapa Rio sekarang menjadi tega begitu?
“Aku tidak melihat kau membahas tugas dalam pesan kalian.”
Rio menghempas pensil yang ia pegang. Aku lagi-lagi kaget melihat itu. “Adakah aku mengizinkanmu memeriksa ponselku?” tanyanya dengan matanya tajam menyalang. Aku terdiam seakan terhipnotis. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak pernah dimarahi Rio sampai seperti ini.
“Maaf..” hanya itu yang akhirnya kuucapkan. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Rio apalagi Acha karena aku buru-buru angkat kaki dari sana. Beruntung aku juga tidak membawa apa-apa kemari. Aku juga tidak mendengar ada yang memanggil namaku apalagi mengejarku. Ya sudah, semakin jauh lah aku berlari. Diikuti semakin jauh juga hubunganku dengan Rio.

***

Ayahku menegurku karena nilai bulananku merosot drastis. Ayah tidak mempermasalahkan nilaiku turun melainkan nilai merah yang kudapat. Ayah sepertinya tahu akhir-akhir ini aku uring-uringan karena Rio. Makanya dia menyuruhku untuk menjauh sementara darinya dan memfokuskan diriku pada sekolahku. Berhubung sebentar lagi akan ada ujian nasional. Makanya, aku tidak pernah mengaktifkan bahkan menyentuh benda berlabel ponsel lagi. Sudah ku simpan di lemari. Hitung-hitung sekaligus membiasakan diri tanpa Rio.
Ya, semenjak hari itu, hubunganku dan Rio benar-benar renggang. Terakhir aku menghabiskan waktu ku bersamanya ketika aku meminta maaf ulang padanya dan juga Acha di rumahnya. Memang setelah itu mereka kembali baik kepadaku, tapi hanya sebatas itu. Rio tidak lagi mengajakku pergi berdua. Kalaupun mengajakku, pasti juga karena ada Acha. Dan...yang kulihat, hubungan Rio dan Acha semakin berkembang saja. Orang-orang bahkan sering meledek mereka itu pacaran. Masing-masing mereka tidak ada yang mengiyakan tapi juga tidak menyangkal. Rio bahkan tersenyum-senyum saja. Apalagi Acha. Dia tentu sangat senang diledeki seperti itu. Yang membuatku sakit adalah...pernah sekali aku memergoki mereka tengah berpelukan ketika aku tak sengaja mampir ke rumahnya.
Malamnya aku langsung memberanikan diri mengajak Rio bertemu dan berbicara empat mata. Aku tidak ingin terus-terusan merana sendiri memikirkan bagaimana perasaannya. Aku butuh kejelasan di antara kami, atau harus ku sebut antara diriku dan dirinya. Dan aku sudah bersiap terlebih dahulu untuk kemungkinan terburuk. Tapi...tiba-tiba saja sebuah ide menyambangi benakku. Aku teringat kata-kata Via padaku. ‘Kau tidak perlu bertanya. Kau coba saja buat dia cemburu. Kalau dia seperti itu, artinya dia masih menyayangimu.’
“Ada apa?” tanya Rio dengan sikap santainya seperti biasa. Bedanya, dia tidak lagi antusias mendengarku bicara. Ia bahkan lebih memilih memandang ponselnya ketimbang wajahku.
“Kau berubah.” Kataku pelan. Rio akhirnya meletakkan ponselnya dan memusatkan diri padaku. Aku melihatnya agak terkejut melihat air mukaku. “Maksudmu?”
Aku kemudian tertawa berpura-pura merasa lucu melihat mukanya. “Sudah lama aku tidak melihat wajah tegang mu.”
Rio mengernyit lalu berdecak heran. “Kau aneh.”
Aku mengatup mulutku dan hanya menyisakan senyum. Aku mengambil ponselku lalu menghadapkan layarnya padanya. Memperlihatkan foto 4 orang pemuda berbeda. Ia mengernyitkan kening bingung. Aku tersenyum lagi. “Mana yang kau suka?” tanyaku dengan semangat.
“Kau pikir aku homo?!” tolaknya sambil memandang ponselku dengan jijik. Aku menepuk jidatku seraya tertawa kecil. Setidaknya, dia masih belum berubah untuk menyeletuk yang tidak-tidak.
“Maksudku, yang kau suka, yang menurutmu cocok untukku, yang mana?” jelasku. Rio langsung menoleh tak percaya padaku. Dan air mukanya berubah aneh. Dan kalau pengalamanku selama 12 tahun bersamanya tidak salah, dia saat ini sedang cemburu. Hatiku tentu saja langsung berbunga melihat itu.
“Untuk apa?”
Aku lagi-lagi tersenyum. “Untuk kujadikan pacar.” Jawabku cepat. “Kupikir rugi rasanya kalau selama sma tidak pernah punya pengalaman memiliki pacar.”
“Kenapa bukan aku saja? Memangnya aku kurang tampan?! Mereka-mereka ini hanya sedikit lebih mancung saja.” Protesnya yang langsung membuat perutku keram karena tertawa. Benar-benar, celetukannya itu benar-benar ‘berbobot’.
“Memangnya kau mau jadi pacarku?” tanyaku sarkastis seraya geleng-geleng kepala. Meski dalam hati aku benar-benar menunggu jawabannya. Aku melihatnya sedikit kebingungan menjawab. “Aku..aku kan bilang akan menikahimu!”
Hatiku langsung mencelos kecewa. Kenapa begitu susah baginya untuk sekedar menyebutku pacarnya?
“Memangnya aku tidak boleh punya pacar sebelum kau menikahiku?”
“Ya tentu saja tidak boleh. Kau sama saja selingkuh namanya.”
“Lalu, kau sendiri tidak selingkuh?” Balasku yang sedikit kesal. Dia seenaknya bersama Acha sementara aku harus terus setia menunggunya. Dan dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Ya, hancur lagi hatiku. Itu tandanya dia punya perasaan spesial pada Acha sampai-sampai dia tidak bisa menjawab. Sebenarnya perasaannya itu bagaimana, sih?
“Aku tau kau sudah bosan padaku. 12 tahun pergaulanmu hanya denganku. Aku senang kau memilih Acha daripada aku.” Gumamku yang mendadak berubah serius. Bisa-bisanya aku berkata seperti itu. Aku kan kemari untuk mempertahankannya tapi sekarang aku malah mengatakan aku merelakannya.
“Aku tidak pernah bilang aku memilihnya. Tapi...mungkin kau benar, aku bosan...denganmu.”
Rasanya tidak ada ucapan yang lebih menyakitkan daripada itu. Rio tidak mau mengakui aku pacarnya tapi mau mengakui ia bosan padaku. Yah..wajar sih, siapa yang tidak bosan bertahun-tahun lamanya berkutat pada orang yang sama.
“Yaah..aku memang orang yang membosankan.” Serahku seraya menunduk. Aku takut kalau aku tidak kuat dan ia akan melihatku menangis.
“Bukan! Bukan itu, Ify! Bukan kau, tapi suasananya. Aku bosan dengan suasana yang hanya ada aku dan kau saja. Aku ingin mencoba merasakan bagaimana suasana bersama orang-orang yang lain. Aku yakin kau juga begitu.”
Yang kurasakan hanya kehilanganmu, Rio. Sayangnya aku tidak bisa mengatakannya langsung. “Lalu, bagaimana suasana barumu?”
“Sejauh ini menyenangkan.” Aku tidak tahu ia tersenyum karena ucapannya atau karena pesan dalam ponselnya.
“Apa kau merindukanku?” tanyaku, lebih tepatnya keceplosan. “Aku yakin, sih, tidak. Apalah aku, kan.” Sambungku cepat, sebelum suasana melankolis diantara aku dan dirinya kembali hadir.
“Iya, aku sudah puas melihat wajahmu selama 12 tahun. Bukan masalah kalau aku tidak melihatnya beberapa hari.” Katanya yang terdengar seperti bercanda. Tapi entahlah, itu tetap terasa menyakitkan di hatiku.
“Yasudah, jadi pilihanmu di antara 4 itu yang mana? Kalau bisa, pilih yang kelihatannya pintar, jadi sekalian bisa ku ajak belajar untuk persiapan un nanti.” Alihku. Rio tampak memasang tampang tidak terima. “Aku tidak mau memilihnya. Kau tidak pantas untuk mereka.”
“Kau ini, memangnya aku sejelek itu?!” kataku tidak terima. Sudah menghancurkan perasaanku dengan membuangku, ia juga mau menghinaku. Benar-benar tega kau, Rio. Aku cinta padamu! Eh..aku benci padamu!!!
“Awas saja kalau kau berani mengencani mereka ya!” ancam Rio. Aku mengenyit lalu melengos tak peduli. “Memangnya kau siapa bisa mengaturku? Kalau kau tidak mau memilih, aku masih bisa pilih sendiri. Yasudah, aku hanya ingin membicarakan itu padamu. Aku pulang dulu ya.” Pamitku. Baru beberapa langkah, Rio memanggilku kembali.
“Kau sungguh-sungguh akan berkencan dengan salah satu dari mereka?” tanyanya dengan tampang cemas. Aku tersenyum menang. Setidaknya, ini penghiburan untukku setelah ia memporak-porandakan hatiku beberapa saat lalu. “Tidak, tapi ke empatnya.”
“APA?!!”

***

Karena saran Via, jadinya aku memilih berkenalan dengan Tristan. Kebetulan, kita cocok. Dia enak dijadikan teman mengobrol. Kebetulan juga Tristan itu temannya Via jadi bisa dipastikan Tristan itu orang baik. Juga pintar seperti yang kuharapkan. Yang lebih membuatku senang adalah, karena kedekatanku dengan Tristan, Rio kembali. Rio selalu berusaha semaksimalnya menghalangiku berduaan dengan Tristan. Dia selalu menyelip di antara kami berdua.
Tapi...itu hanya berlangsung sesaat. Entah apa yang terjadi, Rio mendadak menghilang lagi. Dan ia malah tidak pernah menemuiku lagi untuk sekedar mengobrol. Rio benar-benar seperti menjadi milik Acha.
Hingga suatu hari, Rio tiba-tiba datang melabrakku. Menunjukkan sebuah foto yang mengesankan aku sedang mencium Tristan. Aku ingat sekali itu adalah foto ketika aku dan dia bermain piano bersama. Aku dan dia kebetulan sedang berhadapan dan foto tersebut di ambil dari arah samping. Makanya menimbulkan makna lain.
“Apa dia menciummu?” tanyanya dingin dan tajam. Bulu kudukku sampai merinding mendengarnya. Tapi, kenapa dia tiba-tiba menanyakan ini setelah sekian lama menghilang?
“Bukan urusanmu.” Kataku tak ingin menjawab. Aku hanya ingin tahu, apakah dia sanggup meyakini aku bisa melakukan itu. Dan...ya, dia sanggup.
“Kita bersama 12 tahun dan kau tidak sekalipun membiarkanku menciummu. Tapi pada orang yang baru beberapa minggu kau kenal, kau...” Ia seolah kehabisan kata-kata. Ia lantas pergi begitu saja tanpa menungguku bicara. Aku terduduk lagi di kursiku. Hatiku rasanya perih sekali. Bisa-bisanya Rio menganggapku serendah itu. 12 tahun tidak membuatnya bisa percaya padaku. Dia langsung menilaiku dengan penilaian buruk.

***

Ujian nasional sudah berlalu beberapa hari lalu. Tapi Rio tidak kunjung menghubungiku. Biasanya dulu setiap selesai ujian, ia selalu mengajakku pergi jalan-jalan untuk refreshing. Tapi sampai sekarang, bahkan sampai pengumuman snmptn keluar ia juga tidak menghubungiku. Sumpah, aku merindukannya. Meskipun pertemuan terakhir kami menyakitkan, aku tetap merindukannya.
Tidak bisa. Malam ini aku akan pindah ke Bandung karena aku diterima di universitas di sana. Jika memang Rio tidak juga mengatakan perasaannya yang sebenarnya padaku, aku akan melupakannya. Aku akan menghilang dari hidupnya, tanpa menyisakan jejak setitik pun.
Aku berjalan dengan perasaan tak karuan menuju rumah Rio. Aku terus bertanya bagaimana reaksi Rio nanti. Hingga kini aku benar-benar sampai di depan rumahnya. Aku berjalan masuk melewati halaman rumahnya hingga sampai di depan pintu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat ada Rio dan Acha sedang duduk berdekatan di sana. Dekat sekali. Bahkan kedua tangan Rio memegang wajah Acha. Apa...mereka mau apa?!
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari dan menghentak tangan Rio sehingga terlepas dari wajah Acha. Mereka tampak kaget melihatku. Aku yang sudah kalap kemudian menampar Acha. Rio langsung berteriak keras padaku.
“Ify! Apa yang kau lakukan?!”
Dengan napas tersengal-sengal aku menatapnya. “Dia ingin menciummu, Rio.” desisku tajam.
“Aku yang ingin menciumnya!” Balas Rio tak kalah tajam. Aku menganga tak percaya pada apa yang baru saja ia ucapkan. “Kau...apa?”
“Ya, aku yang ingin menciumnya.” Ujar Rio dengan penuh penekanan. Kakiku terasa bergetar mendengar itu. Untungnya aku masih sanggup berdiri. Tapi aku tidak yakin untuk beberapa saat kemudian. “Kenapa?” Suaraku bahkan juga sudah parau.
“Bukan urusanmu.” Ujar Rio. Terasa seperti ia membalas ucapanku waktu itu. “Lagian Rio itu pacarku. Kau ini, seenaknya saja menamparku.” Acha tiba-tiba menyeletuk.
“A—apa?!” Bunuh saja aku sekarang. Dengan cara apapun. Tolong. “Benar...kau dan dia...pacaran?” lirihku pada Rio. Rio memalingkan wajahnya dariku. “Ya.” jawabnya singkat dan tegas.
Air mataku sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku menangis di depan mereka berdua. Tapi aku tidak peduli. Toh, setelah ini aku tidak akan bertemu lagi dengan mereka. “12 tahun aku menunggumu memintaku menjadi pacarmu, Yo. 12 tahun aku setia menyimpan perasaanku hanya untukmu. Dan aku tidak pernah merasa bosan, seperti yang kau bilang.”
Rio memalingkan wajahnya kembali ke arahku. Kulihat ia terdiam melihatku. Aku sempat-sempatnya tertawa saat ini. Ck, aku benar-benar menyedihkan. “Seminggu lagi aku akan pergi. Dan sepertinya aku tidak perlu lagi mengucapkan kata-kata perpisahan ya.” kataku bohong. Biarlah dia mendatangiku ketika aku sudah tidak ada. Tidak ada yang artinya pergi ya maksudku. Itu pun kalau dia berniat mendatangiku.
Aku berbalik badan dan hendak pergi. Tapi, beberapa langkah aku berhenti. “Kau bertanya apa dia menciumku, kan? Ya...iya, dia menciumku.” Ujarku lalu berjalan kembali. Lebih cepat bahkan aku sampai berlari. Melarikan diriku sejauh-jauhnya. Melarikan perasaanku juga sejauh-jauhnya.
Pekerjaanku hanya menangis di bahu Via selama di dalam pesawat. Aku beruntung sempat berteman dengannya ketika bersama Rio dan Acha. Itulah satu-satunya hikmah yang bisa ku dapat manakala aku tidak bersama Rio dan Acha. Dia juga diterima di universitas yang sama denganku. Jadilah aku pergi bersamanya. Aku sudah berpesan pada kedua orangtuaku untuk tidak memberitahu kemana tujuanku pada siapapun apalagi Rio. Kuharap dengan ini, aku benar-benar bisa melupakannya. Tepatnya, aku harus bisa, kalau kata Via.

***

Satu setengah tahun sudah aku menetap di Bandung. Aku menjalani hidupku menjadi sedikit lebih baik. Setidaknya masa-masa aku menangis setiap malam memikirkan Rio sudah terlewati. Aku sudah terbiasa tanpanya. Meski aku belum merasa siap melepasnya. Ya, bayangkan lamanya aku bersamanya. Tentu tidak mudah untukku bahkan untuk sekedar melupakan namanya. Sekedar bertanya saja, bagaimana ya kabarnya sekarang? Pasti dia sudah bahagia dengan Acha.
Sampai sekarang, rasanya hatiku belum siap mendengar nama mereka berdua secara langsung. Nyeri dadakan akan langsung terasa di dalam dadaku. Kalau kata Via, aku ini belum bisa move on. Makanya dia sering menyuruhku kencan buta dengan orang-orang pilihannya. Tapi, nampaknya belum ada satu pun yang berhasil. Dia bahkan sudah menyerah untuk menyembuhkanku. Haha. Via benar-benar teman yang baik.
Ngomong-ngomong soal Via, dia malam ini pergi bersama pacarnya. Hebat sekali. Sampai di Bandung ia bertemu dengan pemuda bernama Gabriel dan hanya dalam pendekatan beberapa hari langsung memutuskan pacaran. Lebih hebat lagi, mereka bisa bertahan sampai sekarang tanpa pakai tradisi putus-sambung. Aku benar-benar kagum. Bahkan mereka tidak perlu saling mengenal selama 12 tahun. Selain baik, Via itu hidupnya selalu beruntung.
Drrt...drrrt...
Ponselku yang ada di meja berbunyi. Nama Via yang muncul di sana. Tanpa banyak berpikir aku langsung menjawab panggilannya.
“Ha—“ Belum tuntas aku menyapa, Via sudah memotong dengan berkata panjang lebar. “Maafkan aku karena tidak bisa menjagamu darinya. Tapi, kupikir kalian memang harus bertemu. Kebetulan aku pun sudah tidak bisa menahannya lagi. Apalagi Gabriel pun menyuruhku membantunya. Kau tau kan Gabriel itu jarang ikut campur masalah orang. Dan kalau ia sudah ikut campur, mungkin itu adalah suatu hal yang benar yang harus dilakukan.”
Keningku mengerut-ngerut tak mengerti dia sedang berbicara apa. Aku juga kurang-kurang menangkap ucapannya karena dia berbicara tak henti-henti dan cepat sekali. “Kau ini sedang membicarakan siapa?” tanyaku.
“Nanti juga dia datang. Kau bersiap-siaplah untuk bertemu dengannya. Jangan sampai serangan jantung ya! Bye!”
“H—hei tunggu dulu! Ckck, aneh sekali dia malam ini.” gumamku sambil meletakkan ponselku kembali. Aku sama sekali tidak mengerti satu pun ucapannya. Dia tahu sendiri aku paling tidak bisa menebak-nebak. Memang siapa yang ingin datang sampai aku dikhawatirkan terkena serangan jantung? Pak Presiden?
Bel apartemenku dan Via berbunyi. Sepertinya ia mendengar pertanyaan di dalam hatiku. Itu pasti si tamu yang Via bicarakan. Aku berdiri dan berjalan mendekati pintu. Duh..kenapa aku berdebar ya? Bahkan aku belum bertemu tapi jantungku sudah menimbulkan gejala-gejala yang berbahaya. Aku menarik napas sambil mencoba menenangkan diriku. Aku memutar gagang pintu dan menariknya ke dalam.
“KAU!”
Via benar. Aku benar-benar terkena serangan jantung sekarang. Dia...dia ada di depanku sekarang. Berdiri menatapku tajam sambil menunjuk wajahku. Kau tahu kan dia? Ya...dia...Rio maksudku. Kenapa dia tiba-tiba datang lagi? Dan kenapa dia harus bertambah tampan? Dan kenapa aku malah memperhatikan bagian yang itu?!
“Kau..” lirihku yang masih shock. Otakku benar-benar blank.
“Kenapa kau membohongiku, hah?! Kau bilang akan pergi minggu depan tapi kau malah berangkat malam hari setelah kau pulang dari rumahku. Beraninya kau!!”
Sedikitnya kesadaranku masih ada. Dan aku tidak terima dia datang jauh-jauh kemari hanya untuk memarahiku. Kupikir tadi ia akan bilang dia merindukanku dan memelukku. “Kau ini kenapa, hah? Datang-datang marah-marah! Tidak usah datang menemuiku lagi kalau kau hanya ingin melakukan itu.”
Air muka Rio langsung berubah. Ia memandangku dengan tatapan bersalah lalu menunduk. “Maaf..” katanya pelan. Bisakah aku semudah itu memaafkanmu hanya karena sudah bertemu denganmu Rio?
Aku diam dan dia juga diam. “Kau tidak menyuruhku masuk dulu?” katanya tanpa rasa bersalah. Aku lantas mendelik padanya. “Masih untung aku tidak menikammu dengan pisau sekarang.” Aku langsung masuk kembali tanpa mengajaknya. Karena dia tidak perlu ku ajak pasti akan masuk sendiri.
Kami duduk berhadapan dengan saling memandang. Tepatnya Rio yang terus memandangku sementara aku memilih memainkan ponselku. Via benar-benar keterlaluan. Kenapa tidak langsung bilang saja yang akan datang itu Rio?! Jadinya aku tidak benar-benar kena serangan jantung seperti tadi. Untung saja aku tidak pingsan atau malah mati.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Rio. Aku meliriknya sekilas lalu memandang ponselku kembali. “Seperti kau ingin tau saja!” Balasku asal. Kuyakin memang dia hanya basa-basi.
Aku mendengar dia mendengus. Apa dia akan marah lagi? “Kenapa...kenapa kau meninggalkanku?” Oh..ternyata dia tidak marah. Aku menatapnya dan mendapati dia sedang menatapku sedih. Eh..aku tidak salah lihat, kan?
“Kau kenapa sedih begitu? Ada masalah dengan Acha?” Aku jadi tidak tega sendiri. Bahkan aku sampai menyingkirkan kepedihan di hatiku ketika kembali membahas mereka berdua. Rio dan Acha maksudku.
“Maafkan aku soal pertemuan terakhir dulu.” Aku menatap matanya dan sepertinya dia benar-benar tulus meminta maaf padaku. Aku tersenyum tipis. “Sudahlah, aku baik-baik saja. Aku sudah mengikhlaskanmu.” Kataku bohong. Ya, mana mungkin aku mengikhlaskannya. Haha.
Rio mendadak diam dan memandangku seperti sedang menyelidiki sesuatu. “Kau sudah punya pacar?” tanyanya kemudian.
“Ya..” jawabku tak yakin. Aku jamin dia pasti akan tertawa kalau tahu soal pacarku. “Siapa?”
Aku diam sesaat lalu menjawab seraya menunduk. “Dayat..” jawabku pelan.
“Dayat?” Rio membeo ucapanku.
“Alvin..” jawabku makin pelan.
“Alvin?” Dia kembali membeo dengan bingung.
“Cakka..” Suaraku hampir tak terdengar.
“A-Astaga! Kau ini sebenarnya sudah pacaran dengan berapa orang?” tanya Rio yang kelihatan frustasi.
“Lima..” lirihku.
“APA?!” Aku hanya bisa menundukkan kepalaku semakin dalam. Kupikir dia akan tertawa.
“Benar kan..kau itu jika tidak kujaga akan berkeliaran sembarangan.” Cibirnya. Aku tahu dia kesal. Tapi kupikir dia tidak berhak menyalahkanku. Semua ini terjadi juga karena dirinya.
“Salahmu sendiri kenapa melepas ikatanmu di leherku!” balasku tak kalah kesal.
“Kau yang pergi meninggalkanku!” Rupanya dia masih belum mau mengalah. Dia belum sadar-sadar juga kalau dia yang paling bersalah dalam masalah ini. “Kau yang membuatku pergi!”
“Aku tidak pernah menyuruhmu pergi!”
“Apa?!” Benar-benar...aku sudah benar-benar tidak tahan. “HAH! Iya, terus saja menyalahkanku. Kau puas?! Aku sudah muak denganmu. Aku sudah tidak peduli. Terserah padamu saja lah!” Aku berdiri sambil mengacak-acak rambutku dan berjalan meninggalkan ruang tamu. Tapi tiba-tiba, ada yang memelukku dari belakang dan mengurung kedua tanganku juga. Siapa lagi kalau bukan Rio. Aku menggeliat seraya menyuruhnya melepaskanku.
“Lepaskan aku!” teriakku. Tapi dia malah menguatkan pelukannya. Sehingga aku tidak bisa apa-apa lagi. “Aku tidak akan melepasmu lagi.” katanya. Apa maksudnya?
“Kalau kau tidak juga melepasku, aku bisa mati kehabisan napas.” Rio akhirnya membebaskanku. Aku sudah tidak tahu lagi. Saat ini rasanya kepalaku ingin pecah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menangis. Aku menyeka kasar air mata yang jatuh ke pipiku. Rio sepertinya tahu aku menangis saat ini. Ia menyentuh bahuku tapi aku menepisnya. Ia memutar tubuhku hingga menghadapnya. Aku memalingkan wajahku yang pasti sekarang tampaknya benar-benar buruk.
“Jangan menangis begitu..” rajuknya. Mukanya kelihatan panik. Ia meraih wajahku dan gantian menyeka air mataku. Kali ini aku tidak menolak dan membiarkannya melakukan apapun yang bisa dia lakukan. Hitung-hitung aku bisa melepas kerinduanku terhadap wajahnya.
“Tidak bisa. Lalu kau bisa apa?” racauku.
Rio mendesah pelan. “Maafkan aku..” Lagi-lagi dia hanya minta maaf. Kalau aku minta bayaran apa dia masih akan terus berkata begitu?
“Maaf kau ucapkan berkali-kali, kalau cinta susah sekali.” Aku bersumpah sudah tidak bisa mengontrol ucapanku.
Rio sesaat kaget menatapku lalu tersenyum. “Aku mencintaimu.”
“Hah?” Dia bilang apa tadi?
“Aku mencintaimu.” Ulangnya masih dengan senyum mautnya. “Kau..aku benar-benar tidak mengerti dirimu.” Aku menampik tangannya dari wajahku. Dia hanya diam menatapku.
“Kau lapar? Biar aku siapkan makanan.” Tawarku akhirnya. Tidak tahu harus bicara apalagi. Niatku marah-marah mendadak hilang. Meski hatiku rasanya belum tenang.
“Ify, aku benar-benar mencintaimu. Aku sudah hampir gila kehilanganmu satu setengah tahun ini.” Rio berkata seperti memohon padaku untuk percaya.
“Kau kan punya Acha. Kenapa harus gila?”
“Dia selingkuh. Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya.”
“Jadi karena dia selingkuh kau datang padaku, begitu?!”
“Aiss..tidak begitu. Dia selingkuh itu juga karena kau. Karena aku terus memikirkanmu dan tidak bisa tidak memikirkanmu. Kepergianmu yang entah kemana itu seperti kiamat bagiku, kau tau?!” Tuh kan, ujung-ujungnya dia memarahiku lagi.
“Kau pikir disini aku berpesta setelah berpisah denganmu? Satu kolam renang itu akan penuh kalau semua air mata yang kukeluarkan untukmu ku kumpulkan.”
“Tapi, kau sudah pacaran lima kali selama kita berpisah!”
“Itu juga usaha untuk melupakanmu. Tapi...tidak berhasil.” Aku memalingkan wajahku menyembunyikan rasa malu. Aku baru saja mengaku padanya aku tidak bisa melupakannya.
“Apa kau memutuskan mereka karena tidak bisa melupakanku?” tanyanya dengan tersenyum bangga. Aku mencibir padanya. “Bukan.”
“Lalu?”
“Hampir semuanya selingkuh. Yang terakhir saja yang tidak.”
“Memang yang terakhir kenapa?” Rio memiringkan kepalanya ke kiri. Aku menghela napas lalu menjawab dengan pandangan menerawang. “Dia mati..”
“Mati?”
“Dia kecelakaan dan mati...bersama pacarnya.”
Mata Rio melotot mendengar ucapanku. “Berarti kalian juga berpisah karena dia selingkuh.”
“Aku kan tau soal pacar gelapnya setelah aku mendengar kabar kematiannya. Jadi aku berpisah karena dia mati bukan karena dia selingkuh.”
Rio tiba-tiba memberengut dan memeluk pinggangku. “Apa kau sedih akan kematiannya? Kau mencintainya?”
“Tidak ada kabar kematian yang membuatku bahagia, Rio. Meskipun aku tidak mencintainya dan aku juga tidak menyalahkannya karena dia berselingkuh.”
Rio langsung tersenyum senang mendengarku. Aku kembali bicara sebelum dia berbicara. “Aku heran, kenapa selalu ada gadis lain dalam setiap hubunganku. Baik itu ketika bersamamu maupun pacar-pacarku. Mungkin kalau kau aku masih bisa maklum, tapi pacar-pacarku? Mereka baru mengenalku beberapa bulan saja sudah langsung bosan.”
“Mungkin karena kau juga tidak benar-benar tulus mencintai mereka.”
Aku menatap Rio kembali. “Lalu, kurang tulus apalagi perasaanku padamu? Kau juga memilih gadis lain.” Dadaku mendadak terasa nyeri. Terbukti kan kalau aku benar-benar belum bisa mengikhlaskan Rio.
“Mungkin..Tuhan ingin menghukumku kali.” Rio berkata sambil meringis. “Darimana asalnya Tuhan ingin menghukummu?”
“Karena aku memilih gadis lain, aku jadi kehilanganmu. Dan Tuhan benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiksaku selama kau pergi.”
Mendengarnya, aku mendadak kehilangan kata-kata. Kami jadinya hanya diam saling memandang satu sama lain. Hingga akhirnya dia berbicara serius kepadaku.
“Bisakah kau memberikan kesempatan kedua untukku?” tanyanya seraya menatap mataku dalam. Aku hampir saja langsung menjawab iya. “Aku tidak akan sanggup setia padamu lagi tanpa ada kejelasan aku ini siapa dan kau siapa. Dan pada akhirnya kau akan memilih gadis lain lagi.” Ya, maaf-maaf saja kalau aku harus menjalani hubungan tanpa status lagi bersamanya. 12 tahun rasanya sudah cukup. Sudah lebih dari cukup.
Rio melepas rangkulannya dan berdiri menatapku sesaat. Kemudian dia berlutut di hadapanku sambil memegang kedua tanganku. Aku merasa seperti sedang bermain drama romantis. Jujur saja, aku tidak terlalu suka menonton adegan yang seperti ini. Aku tidak suka yang terlalu romantis apalagi dilakukan di depan banyak orang. Aku lebih suka menghabiskan waktu berdua dengan aku yang terus bisa bersandar di bahu atau dadanya. Aku tidak perlu pembuktian cinta di depan banyak orang. Dengan dia terus menggenggam tanganku kemanapun ia pergi itu pun sudah cukup.
“Kau mau menjadi tunanganku?” tembak Rio langsung. Tanpa kata-kata pengantar apapun. Ya, sepertinya memang sudah tidak dibutuhkan. Perdebatan kami sebelumnya rasanya sudah lebih dari sekedar kata pengantar.
Kalau sudah begini, aku mana bisa menolak, kan? Dia bahkan tidak hanya memintaku sebagai pacarnya, tapi sebagai tunangannya. Mungkin ini namanya berakit ke hulu berenang ke tepian. Putus dulu biar bisa balikan. Hahaha.
“Ya.” jawabku singkat seraya tersenyum padanya. Ia langsung berdiri dan menatapku dengan mata berbinar. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna merah beludru dari saku celananya. Di dalamnya ada dua cincin yang kutebak salah satunya akan ia berikan padaku. Dan benar saja, ia langsung meraih tanganku dan memasangkan cincin itu di jari manisku.
“Sekarang pasangkan ke jariku!” pintanya. Aku tersenyum lalu kemudian memasangkan cincin yang satunya ke jari manisnya tanpa banyak protes. Kami sama-sama menghela napas lega ketika cincin itu sudah benar-benar masuk ke jarinya.
“Kau ataupun diriku bisa dikira sudah menikah kalau memasangnya di tangan kanan.” Komentarku kemudian. Ia hanya mengedikkan bahu tak peduli. “Biar saja, jadi tidak akan ada yang berani merebutmu dariku.” Katanya yang langsung membuat dadaku sesak karena bahagia. Dia tidak terdengar seperti sedang menggombal padaku. Dia lebih terdengar seperti anak kecil yang sangat takut kehilangan mainannya.
“Aku sangat mencintaimu.” Kataku tanpa bisa ditahan lalu memeluknya erat. Menghirup aroma tubuhnya yang masih sama tidak berubah. Dia balas mengelus kepalaku dan juga menyandarkan dagunya di atas kepalaku.
“I’m happy for loving you again.”

***

Setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihatnya di sampingku lagi. Tidur sambil memelukku dan aku bisa memandangi wajahnya. Tapi untuk kali ini, dia masih membuka matanya dan memandangku juga. Aku merasa ada sesuatu yang sedang ia pikirkan sehingga dia terus menatapku.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku penasaran sambil mengelus pipinya. “Aku memikirkanmu.” Aku berkedip cepat beberapa kali. Rasanya seperti de javu. “Aku?”
Ia tiba-tiba menyentuh bibirku dan mengusapnya pelan. “Apa dia waktu itu benar-benar menciummu?” tanyanya dengan pandangan tidak rela. Aku memandangnya bingung. “Apa selama ini hal itu terus mengganggumu?”
“Sangat menggangguku. Aku juga gila karena memikirkan itu. Sekian tahun aku menjagamu. Menahan diri untuk tidak menyentuhmu sedikitpun ketika melihatmu tidur di sampingku. Tapi dia dengan mudahnya...hhh...apa dia benar-benar menciummu?”
“Kau sendiri, jika waktu itu aku terlambat, kau pasti sudah melakukannya dengan Acha.”
“Kau tau, aku mau melakukannya karena aku kesal padamu setelah tau dia menciummu.”
Aku terdiam beberapa saat lalu tersenyum. Kalau dipikir-pikir aku dan dia ini lucu sekali. Tapi kemudian aku terdiam lagi. “Apa kau dulu mencintai Acha?” tanyaku seraya menggigit bibir. Tak bisa kutahan, aku tetap merasa cemburu.
Rio menatapku dengan tatapan berdosa. “Sempat. Maafkan aku. Jangan marah padaku ya? Cintaku padanya pun tidak sebesar cintaku padamu.” katanya begitu memohon.
Lagi-lagi dia berkata gombal tapi tidak seperti sedang menggombal padaku. Bagaimana mungkin aku bisa marah padanya. “Iya. Sudah jangan minta maaf lagi. Aku lebih suka mendengarmu mengatakan cinta padaku.” Aku berkata seraya mendekatkan diri padanya. Dia tersenyum sebentar lalu berubah panik kembali.
“Jadi...apa dia benar-benar menciummu?”
Tampaknya hal ini memang benar-benar menjadi masalah besar untuknya. “Tidak.” Aku tersenyum geli. Dan sepertinya dia tidak menyadari aku senang karena sudah mengerjainya. Ia ikut-ikut tersenyum setelah menghela napas lega sekali. Rasanya akan seru kalau aku mengerjainya sekali lagi.
“Tapi...ada orang lain yang sudah menciumku.” Saat itu juga wajah Rio berubah. Senyum di wajahnya lenyap seketika. Aku mati-matian menahan tawaku.
“Siapa?” tanyanya dengan nada dingin. Aku memberi jeda sesaat lalu berkata. “Kau.” Kataku yang akhirnya tertawa. Rio menatapku seraya menaikkan alis. “Aku? Kapan aku menciummu?”
“Aku yang menciummu.” Suaraku memelan. Mendadak aku menyesal telah mengerjainya dengan cara ini. Rio masih diam dan belum mengerti maksud ucapanku. Astaga, ini benar-benar senjata makan tuan.
“Aku sering diam-diam menciummu ketika kau sudah tidur...” Cicitku dan kusadari ada rasa panas di pipiku. Rio tampaknya kaget akan ucapanku. Ia mengeratkan pelukannya di pinggangku.
“Kau!” desisnya. Ia seperti tengah menahan kesal. “Kau selalu menolak jika aku meminta, tapi kau malah curi-curi kesempatan ketika aku tidak sadar. Teganya kau?!”
Aku hanya nyengir ke arahnya. Dia mendecak kesal. “Yasudah, sekarang sebaiknya kau tidur.” Dia lebih kentara memaksaku tidur. Mau tidak mau aku menurut. Aku merasa bersalah karena sudah membuatnya kesal.
Baru beberapa menit rasanya aku menutup mata. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh bibirku. Sesuatu yang rasanya tidak asing untukku. Ini pasti...saat itu juga aku membuka kembali mataku dan melihat wajah Rio yang sudah begitu dekat dengan wajahku. Rio menciumku! Dia menatap mataku menyadari aku belum tidur. Bukannya berhenti, dia justru menekan leherku dan menciumku lebih dalam.
Aku merasa melayang dari ketinggian sejuta kilometer. Aku menutup mataku dan memberanikan diri membalas ciumannya. Tidak ada hasrat menggebu yang kurasakan dari kami berdua. Dia menciumku dengan sangat lembut. Mungkin ini menjadi semacam pelepas kerinduan atas perpisahan kami. Ah, sepertinya sekarang aku tidak salah kalau menyebut aku dan Rio itu kami. Hihi.
“Maaf..aku tidak akan mengulanginya lagi.” bisiknya selepas menciumku. Aku tersenyum. “Aku sudah bilang, aku lebih suka mendengar kau mengatakan cinta kepadaku.”
“Ma—“ Aku dengan cepat mengunci mulutnya kembali dengan bibirku. Menciumnya beberapa saat lalu melepasnya. “Kubilang jangan minta maaf lagi.”
Rio tiba-tiba tersenyum lalu menaikkan alisnya lagi. “Maaf..” bisiknya. Aku mengerutkan kening bingung. “Ke—“ Kali ini, dia yang dengan cepat mengunci mulutku. Lagi-lagi sepertinya aku terkena senjata makan tuan.
Kesalahan Rio waktu itu kiranya juga karena kesalahanku. Kami sama-sama menutup diri dari pergaulan dan hanya menyisakan kami berdua. Pantas saja kalau salah satu di antara kami ada yang merasa bosan. Seperti kata Rio, bukan bosan pada orangnya, tapi pada suasananya. Ketidaktegasan Rio akan hubungan kami juga menjadi penyebab masalah terjadi. Salahku juga yang tidak pernah benar-benar bertanya secara jelas agar semuanya jelas. Sehingga Rio sampai terlena bersama orang lain. Kami sama-sama butuh disadarkan. Aku tidak menyesal telah meninggalkannya. Yang kusesali adalah kenapa aku tidak meninggalkannya lebih cepat saja jadi aku tidak harus tersiksa sekian lama. Hehehe.

***

Mimin ga berharap bakal ada yang nangis baca ini. Karena mimin sama sekali gak bertujuan bikin ini jadi cerita mengharu biru. Ini tercipta akibat kebosanan mimin diem di rumah nungguin kuliah mulai makanya judulnya bosan wkwkwk. Dan ini juga tercipta karena kegalauan mimin milih presiden *pentingbangetsiiiih*. Sampe-sampe angkanya 1 sama 2 wkwkwk. Tapi yah...kalau dipikir-pikir, siapapun yang jadi nanti, gak ada pengaruhnya. Kota ditempat mimin tetep begitu-begitu aja. Mimin tetep begini-begini aja.......*eng.............abaikan* Hahaha.

MM nya ntar yah, lagi di edit. Hohoho. Bye semuah:*