-->

Jumat, 04 Juli 2014

Matchmaking Part 31 (Rify)

Said I wouldn’t come but I lost of control and I need you now. And I don’t know I can do without, I just need you now.

***

Ify mematut dirinya di cermin. Mukanya tampak sangat kacau. Kantong mata yang membesar dan mata yang memerah akibat kurang tidur karena semalam ia sulit sekali tidur. Ia terus saja menunggu Rio yang tak kunjung datang bahkan hingga sekarang. Pemuda itu sangat-sangat membuatnya kecewa. Ia lantas mengolesi bedak ke kelopak bawah matanya. Berharap mata pandanya bisa sedikit tersamarkan. Rasanya ia tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Kepalanya terasa berat dan pusing. Tapi, apa daya. Ia tidak ingin membuat kedua orangtua Rio khawatir.
Ify melihat bayangannya di cermin sekali lagi lalu mendesah pelan. Setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Ia berjalan sambil menenteng tasnya menuju pintu kamar Rio. Saat ia membuka dan menariknya ke dalam, ia menemukan Rio berdiri di depannya. Tampaknya pemuda itu tadi juga ingin membuka pintu tapi didahului olehnya. Ia hanya diam menatap pemuda itu yang juga menatapnya.
“Ma—Mama ngajak sarapan..” ujar Rio gugup. Ia tersenyum sebaik yang ia mampu pada Ify. Ify masih bergeming. Pemuda itu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa semalam. Ia kemudian melengos begitu saja setelah menutup pintu tanpa membalas ucapan Rio. Rio melihat itu hanya bisa menghela napas dan bersabar dalam hati. Bukan salah Ify kalau gadis itu marah memang. 

***

Ify terus saja bungkam bahkan hingga mereka sudah tiba di sekolah. Tak sekalipun Ify menoleh ke arah Rio. Ini bukan lagi akhir yang buruk, tapi sangat buruk. Sebenarnya tidak akan lebih buruk kalau ia bisa mengajak gadis itu bicara baik-baik. Tapi, keberanian dalam dirinya belum terhimpun sampai sekarang. Ia bingung harus menjelaskannya bagaimana agar Ify tidak tersinggung. Ia tidak ingin terlihat membela salah satu kubu.
Mereka kemudian berjalan bersisian masih tidak saling bicara. Ify hanya menatap lurus ke depan sementara Rio tak bisa berhenti mencuri-curi pandang padanya. Ia tidak terlalu memedulikan apa yang sedang pemuda itu lakukan. Kepalanya yang terasa makin berat membuatnya tak bisa mengacuhkan apapun. Ia lebih peduli ia bisa sampai di kelas tanpa digotong atau tidak.
Ketika mereka sudah berjalan menyusuri hampir setengah koridor sekolah dan tinggal beberapa langkah lagi sampai di kelas, Ify tiba-tiba berhenti. Ia mencengkram lengan Rio sekaligus mencari pegangan agar ia tidak jatuh. Ia menutup mata dan mendesis pelan ketika pusing di kepalanya semakin menjadi. Rio lantas memandangnya khawatir.
“Lo kenapa, Fy?” tanyanya panik. Ia meletakkan punggung tangannya di kening Ify memeriksa suhu tubuh gadis itu. Tangannya terasa panas. Tidak begitu panas tapi tetap saja suhunya tidak normal. Badan gadis itu juga hangat. Mau tidak mau Ify harus segera di opname. Pikirnya.
“Lo masih kuat jalan?” tanya Rio lagi. Ify mengangguk pelan meski kurang yakin. Tapi setidaknya, ia masih sanggup berdiri sekarang.
“Ikut gue! Ntar bilang kalo misalnya lo udah gak kuat jalan.” Ia langsung menarik tangan Ify, memutar balik arah jalan mereka kembali ke parkiran. Ify meliriknya sekilas. “Kita mau kemana? Kelasnya kan di situ..” lirihnya.
“Kita mau ke rumah sakit.”
Ify menaikkan sebelah alisnya. “Tapi gue kan gak..sss..sakit..” Rio sepertinya menulikan telinganya saat ini. Yang ia pikirkan hanya bagaimana agar mereka bisa cepat sampai di rumah sakit.

***

Ify sudah tak sadarkan diri sejak dalam perjalanan hingga sampai di rumah sakit. Bukan pingsan, tapi gadis itu tertidur. Hanya sekali rintihannya terdengar saat tangannya ditancapkan jarum infus. Rio mendesah lega saat mendengar penjelasan dokter. Dokter bilang Ify hanya dehidrasi dan kurang tidur. Bisa dibilang juga kelelahan. Tapi, nanti sudah bisa langsung dibawa pulang kalau cairan infusnya sudah habis dan panas tubuhnya hilang. Sekali lagi Rio menghela napas lega.
Ia duduk di tepi ranjang sambil memangku dan menggenggam tangan Ify yang tidak terpasang infus. Kalau dihitung mungkin sudah hampir 2 jam Ify tidur. Harusnya ia sudah membangunkan gadis itu agar minum obat tapi ia tidak tega. Ify tidur lelap sekali seperti tidak tidur berhari-hari. Kira-kira kenapa ya gadis itu bisa sampai jatuh sakit begini? Apa jangan-jangan benar kalau semalam gadis itu menunggunya? Atau malah Ify semalaman menangis karena dirinya? Ck, harusnya ia datang saja malam tadi jadi ia tidak bertanya-tanya seperti ini.
Tangan Ify dalam genggaman Rio bergerak-gerak. Rio memalingkan pandangannya ke wajah Ify. Gadis itu sedang berusaha membuka matanya lalu kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mengenali di mana keberadaannya saat ini. Pandangannya terakhir jatuh pada Rio.
“Lo pasti bolos lagi, kan?” tanyanya dengan suara serak. Rio berdiri mengambil beberapa butir obat di atas lemari di samping ranjang serta segelas air. Ia kembali duduk di samping ranjang.
“Lo mesti minum obat dulu. Mau gue bantu duduk?” tanyanya balik tanpa menggubris pertanyaan Ify sebelumnya. Ify menggeleng lalu berusaha duduk dan bersandar pada bantal sendiri. Setelah itu, Rio mendekatkan dirinya dengan Ify sambil menyodorkan kedua tangannya yang masing-masing memegang obat dan segelas air. Ify mengambil gelas dan obat serta menelan semuanya sekaligus dalam diam. Ia lalu mengembalikan gelas tadi pada Rio dan Rio lekas menaruhnya lagi di atas lemari.
Sekarang sudah tidak ada hal lagi yang bisa dijadikan untuk basa-basi. Ify masih saja mendiamkan Rio dan juga tidak memandang pemuda itu. “Lo balik ke sekolah aja, gue udah gak perlu dijaga.”
“Semalam lo begadang?” tanya Rio lagi-lagi mengabaikan ucapan Ify. Ify diam enggan menjawab. Rio menggigit bibirnya bingung dan sedikit panik. “Lo gak nangis semalaman karena gue, kan?”
Ify masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Rio mendesah pelan lalu menggenggam tangan Ify. “Fy, masalahnya gak akan selesai kalo lo cuma diem kek gini.”
Ify untuk pertama kalinya menoleh pada Rio. “Lo sendiri yang udah ngebuang kesempatan lo bicara semalem.”
“Semalem itu...gue takut lo gak nerima gue, Fy. Gue pikir lo mau nenangin diri dulu dan gak mau ngomong sama gue.”
Ify mengernyit. “Kenapa mesti takut? Lo bahkan dulu nolak gue terang-terangan, Yo. Tapi apa? Gue tetep berusaha mendekatkan diri sama lo. Dan lo, bahkan cuma hal kecil kayak gini aja lo udah nyerah buat gue. Sebenernya yang nenangin diri itu gue atau elo?”
Kata-kata Ify terasa bagai paku yang menancapkan lidah Rio hingga tidak bisa berkata apa-apa. Sekali lagi ia menyesal malah membiarkan Ify sendiri malam tadi. Mereka lalu terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Gue nyembunyiin itu semua karena gue cuma pengen ngejaga perasaan lo, Fy.” Rio buka suara lagi.
“Trus, apa sekarang perasaan gue terjaga? Lo harusnya lebih dulu nanya sama hati lo, lo pengen ngejaga perasaan siapa. Karena gue gak ngerasa perasaan gue dijaga sama lo. Lo sama sekali gak mikirin gue, Yo.”
“Gue sangat mikirin lo, Fy. Gue gak mau akhirnya kalian berdua saling benci. Gue gak mau peristiwa kayak kemaren terulang lagi bahkan jadi lebih parah.”
Ify tersenyum lirih sambil memalingkan wajahnya kembali. “Emangnya gue gak boleh benci sama Dea? Cuma Dea yang boleh benci sama gue? Cuma Dea yang boleh ngelakuin hal-hal buruk sama gue sedangkan gue harus senantiasa baik sama dia? Kenapa lo bisa semudah itu maafin dia? Gue juga harus ngejaga perasaan dia dan gak mikirin perasaan gue? Gue harus memperlakukan dia sebagai ratu setiap saat? Coba lo pikir lagi, selama ini dia udah banyak bikin gue sakit hati. Tapi apa? Lo gak pernah serius nanggepin perlakuan dia ke gue. Lo gak pernah mikirin sakit hati yang selama ini gue rasain, Yo.”
Rio merasa makin tidak sanggup bicara. Sepertinya apapun yang ia ucapkan selalu menjadi pisau tajam yang langsung menyakiti hati Ify.
“Pantes aja lo ngelarang gue nyari tau. Gue pikir lo bener-bener marah karena Debo nyium gue. Tapi ternyata itu cuma hiburan semu untuk gue. Yang gue rasain sekarang lo cuma mau ngelindungin dia. Lo cuma gamau dia kenapa-kenapa kalo sampe gue tau. Bahkan lo sampe berusaha deketin dia sama gue. Buat gue sayang sama dia supaya bisa maafin dia dengan mudah kayak lo. Lo itu gamau nyusahin diri lo sendiri. Lo juga gak mau bikin Dea susah. Lo cuma ngebiarin gue yang susah sendirian. Kali ini lo bener-bener ngebuat gue ngerasa gak lebih berarti dari Dea, Yo.”
“FY!” ujar Rio tiba-tiba. Sejurus kemudian, ia langsung menghela napas menyesal. Ucapan terakhir Ify begitu memancing emosinya. “Oke, gue sadar gue salah. Gue salah udah nyembunyiin semuanya dari lo. Gue...minta maaf.”
Ify kembali diam. Untuk saat ini, memaafkan Rio bukan perkara yang mudah. Terlebih ia harus percaya kalau pemuda itu tidak akan mengulangi kesalahannya. Tidak lagi bersikap tidak adil padanya dan Dea. Bisa memperlakukan ia dan Dea sesuai kapasitas yang mereka masing-masing miliki.
Rio menyentuh dagu Ify dan menggeser pandangan gadis itu ke arahnya. “Fy, gue minta maaf. Maaf kalo selama ini gue udah buat lo ngerasa gue gak pernah mikirin lo. Gue bener-bener nyesel gak ngasih tau semuanya dari awal. Mungkin gak akan bikin lo sesakit ini dan gue gak bakal liat lo hampir pingsan kayak gini.”
Rasanya Ify ingin menangis saat ini juga. Tapi matanya sudah lelah. Ia sudah menangis semalaman. Sumber air matanya pasti mengalami kekeringan.
“Gue harus apa supaya lo bisa bener-bener maafin gue, hmm?” tanya Rio lagi karena Ify terus saja diam.
“Memangnya lo bisa ngelakuin apa yang gue minta?” Ify tertawa meremehkan. Rio mungkin akan berpikir ulang kalau sampai tahu apa yang ada dibenaknya saat ini. Mengenai apa yang ia ingin pemuda itu lakukan.
Rio tersenyum menatapnya. “Lo nyuruh gue terjun dari tingkat paling atas rumah sakit ini juga gue sanggup, Fy.”
Ify balas menatapnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Gue pengen tau, bakal lebih susah mana antara terjun bebas dari lantai atas atau permintaan kecil gue ini.  Batinnya.
“Yakin?”
Rio meringis pelan. “Tapi, lo gak akan beneran nyuruh gue terjun juga, kan?”
Ify kembali tertawa lalu menggelengkan kepalanya. Rio tampak menghembuskan napas lega. “Kalo gitu, apa lo sanggup...ngejauhin Dea? Gak peduli sama dia lagi dan gak nanggepin dia lagi. Bisa?” katanya sambil menaikkan alis.
Senyum Rio sedikit mengendur. Ini seperti buah simalakama untuknya. Sebenarnya ia bisa saja melakukannya. Tapi, apa memang harus ia lakukan? Apa tidak ada cara lain?
Rio menghela napas sejenak. “Apa gak ada cara lain buat nyeleseinnya? Apa gaada jalan perdamaian tanpa harus ada pihak yang menjauh dari pihak lain, ada pihak yang memusuhi pihak lain? Lo gak seneng ya semuanya kembali normal, baik-baik aja, hidup berdampingan, mendukung satu sama lain..gitu?”
Ify sekali lagi tertawa. “Gue gak maksa lo kok, Yo. Gue juga udah nebak kalo lo pasti bakal no—“
“Oke, oke!” potong Rio cepat sebelum Ify kembali salah paham padanya. Lebih baik ia mengalah dan menuruti apapun yang diminta gadis itu supaya masalahnya tidak kembali panjang. Ia menarik napasnya sekali lagi. “Iya, gue bakal jauhin Dea. Gue bakal lakuin apa aja yang lo minta tadi. Janji! Sudah puas, Tuan Putri?” ujar Rio lembut seraya menaikkan alis dan tersenyum.
Ify mendesah sambil mengedikkan bahu. “Kita liat aja nanti!”

***

Ify hanya sampai beberapa jam saja di rumah sakit. Dokter sudah memperbolehkannya pulang karena suhu badannya sudah kembali normal. Hanya saja ia harus membawa pulang beberapa obat untuk ia minum beberapa hari ke depan. Rio tidak langsung mengantarnya ke rumah. Pemuda itu berhenti dan singgah di depan penjaja bubur pinggir jalan yang mereka lewati. Pemuda itu beralasan ia harus banyak makan untuk menaikkan darahnya sesuai yang dokter katakan. Ify sendiri tak banyak protes berhubung ia hanya penumpang dan juga saat ini belum jamnya pulang sekolah. Sekarang bahkan masih waktu pagi. Amanda pasti akan bingung kenapa mereka bisa kembali ke rumah lebih cepat.
Rio mengaduk-aduk bubur di tangannya lalu mulai menyuapkannya pada Ify. Ify hanya tersenyum seraya geleng-geleng kepala ketika pemuda itu memaksa untuk menyuapinya. Saat ini hatinya sudah sedikit lega dibandingkan semalam apalagi saat di rumah sakit. Ia sedikit banyak sudah mulai bisa menikmati kebersamaannya bersama Rio lagi.
Seet...
Rio tiba-tiba menarik pita rambutnya hingga terlepas. Membuat rambutnya tergerai dan berayun-ayun terhembus angin beberapa helai. Ify melotot tak terima sementara Rio hanya terkekeh tanpa merasa bersalah.
“Iketan rambut lo udah berantakan, Fy. Sekalian dilepas aja.” katanya santai.
“Yang ada rambut gue malah makin berantakan kena angin, Rio. Cepetan balikin iket rambut gue!” pinta Ify bersungut-sungut sambil mencoba menggapai pita rambutnya di tangan Rio. Rio malah meninggikan tangannya sehingga membuat Ify kesulitan mencapainya. “Gue tau kok lo itu tinggi, Yo. Jadi, balikin iket rambut gue! Sekarang!”
“Gak mau.” Tolak Rio. Ify mencibir kesal dan kembali berusaha menggapai pita rambutnya. Alhasil, terjadi aksi rebut-rebutan pita rambut hingga membuat meja yang mereka tempati bergoyang dan sedikit gaduh. Beruntung pelanggan di sana baru mereka berdua. Sang penjual bubur pun datang untuk memperingati mereka. Mau tidak mau Ify berhenti sebentar supaya sang penjual bubur tidak marah atau bahkan mengusirnya.
Saat sang penjual bubur pergi, mereka lantas memulai aksi rebut-rebutan lagi. Hingga kemudian ponsel Rio yang menjadi penjeda kegiatan mereka. Ify mendengus sambil bersedekap. Rio meraih ponselnya yang ada di saku memeriksa apa yang menyebabkan ponselnya berbunyi. Ketika ia buka, terdapat satu pesan masuk dari Dea. Ia menurunkan tangannya dan spontan menyerahkan pita rambut Ify kembali lalu kemudian membalas pesan tersebut.
Ify menaikkan alis bingung kenapa Rio tiba-tiba mengembalikan pita rambutnya. Ia lalu menguncir rambutnya seraya mengintip apa yang sedang Rio lakukan dengan ponselnya. Saat matanya menangkap nama ‘Dea’, ia langsung mengalihkan pandangannya dan tidak mau tahu lagi. Ia sudah terlanjur kesal. Baru saja pemuda itu berjanji akan menjauhi Dea, tapi langsung dilanggar. Katanya akan melakukan apapun yang ia minta. Nah, lalu sekarang apa?
Ify menggeser mangkok buburnya yang ada di depan Rio dengan kasar setelah selesai menguncir rambutnya walau asal-asalan. Ia juga ikut menggeser duduknya dari dekat Rio dan memberikan jarak kira-kira satu meter dari pemuda itu. Ia memilih menyantap buburnya dalam diam. Ia tidak ingin bertanya ataupun protes. Ia sudah capek berbicara dengan pemuda itu.
Rio selesai membalas pesan dari Dea dan memasukkan ponselnya kembali. Tangannya spontan menyentuh sisi sampingnya. Ia kaget mendapati sisi di sebelahnya kosong. Ia menoleh dan baru menyadari kalau Ify duduk menjauh. Bubur yang tadi ada di depannya pun sudah berpindah ke depan gadis itu. Isinya juga sudah lenyap. Ia mengernyit tak mengerti. Apa ia tadi membalas pesan selama itu sampai-sampai Ify sempat menghabiskan buburnya?
“Buburnya lo abisin semua?” tanyanya takjub. Ify mendecak kesal. “Yaiyalah gue abisin. Masa gue buang!” balasnya sewot. Rio mengernyit heran. Kenapa Ify mendadak jadi marah-marah lagi?
“Lo gakpapa?” tanyanya sedikit khawatir. Ia mendekatkan dirinya pada Ify lalu menyentuh bahu gadis itu. Ify langsung menepis tangannya dengan kasar. Tuh, kan, Ify benar-benar marah. Ia mendesah pelan. “Kenapa lagi, sih, Fy?” bujuknya dengan sabar.
“Gue mau pulang.” Ujar Ify tanpa menjawab pertanyaannya. Gadis itu langsung angkat kaki dan berjalan menuju mobilnya. Ia menggaruk pelipisnya bingung. Ia lantas menyusul gadis itu yang sudah masuk ke dalam mobil setelah membayar bubur yang Ify makan pada sang penjual.
Rio menyalakan mesin tapi tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia menyalakan mesin supaya ac mobilnya hidup. Setidaknya mereka tidak akan mati konyol karena kehabisan napas kalau-kalau pembicaraan mereka nanti berlangsung panjang. “Jangan marah-marah gak jelas lagi, dong? Tadi kita udah sepakat, kan?”
“Kesepakatan di antara kita udah gak ada karena lo udah lebih dulu ngelanggar.” Ify menjawab tanpa menatap Rio dan memilih melihat ke arah jendela.
“Gue ngelanggar apa? Gue gak ngapa-ngapain, Fy. Daritadi kan gue sama lo.”
Ify akhirnya menoleh ke arahnya. “Trus, yang barusan lo sms siapa? Apa namanya kalo bukan ngelanggar?”
“Yang barusan gue sms?” gumam Rio seraya mengerutkan kening. Sedetik kemudian ia berseru ah sambil membanting pelan tubuhnya ke badan jok. “Ya ampuuun..” desahnya. Ia mengambil kembali ponselnya dari kantong dan membuka pesan dari Dea tadi. Ia lalu menyerahkan ponselnya itu pada Ify.
“Nih, lo periksa, deh!” Serah Rio. Ify hanya menatap ponselnya tanpa ada niat untuk mengambil. “Gak perlu. Ngapain juga gue baca isi text lo berdua!”
“Coba lo baca dulu, Fy! Gue jamin lo gak bakal nyesel.” Ify pun mau tidak mau akhirnya mengambil ponsel tersebut dan memeriksa apa yang ada di sana. Detik itu juga, rasa kesal dalam hatinya hilang dan berganti menjadi rasa bersalah.
From : Deacha
KakYo sama KakFy kemana? Kok gak masuk? KakFy gakpapa, kan? :(

To : Deacha
De, maaf ya, tapi mungkin untuk saat ini kamu jangan hubungin kakak dulu apalagi nemuin kakak. Kak Ify tadi masuk rumah sakit karena kecapekan mikirin semalem. Kakak gak mau sampe kak Ify sakit lagi karena kakak dan kamu juga. Sekarang Kak Ify masih shock sama semuanya. Kakak mohon supaya kita jaga jarak sampe Kak Ify mau maafin kamu. Please, ngertiin keadaannya. Kakak gak mau ada masalah lagi. Biar semuanya tenang dulu, biar Kak Ify juga tenang jadi semuanya bisa cepat diselesein.
Ify memandang Rio dan ponselnya bergantian sambil menggigit bibir. Sementara Rio sedaritadi menunggu reaksinya sambil menaikkan alis. “Gimana? Gak nyesel, kan?” ujar pemuda itu.
“Lo gak bohongin gue lagi, kan?” rajuk Ify. Rio menggelengkan kepalanya dengan pandangan meyakinkan. Saat itu juga, Ify langsung nyengir seraya mengembalikan ponsel di tangannya pada pemiliknya. “Hehe..sorry..”
Rio mencibir seraya mengambil ponselnya dengan kesal atau bisa juga pura-pura kesal. “Lo marah ya?” Ify lalu bertanya meski agak takut. Rio hanya meliriknya sekilas namun tidak menjawab. Ify menggigit bibirnya lagi. “Gue mesti apa biar lo maafin gue?”
Rio kembali melirik Ify. Ia lalu mendekatkan wajahnya dengan mata menyipit. Seperti menimang-nimang perihal apa yang harus Ify lakukan untuknya. Sesaat kemudian ia tersenyum sambil memalingkan wajahnya. Ia mengetuk pipi kirinya dengan telunjuk beberapa kali. Menyuruh Ify melakukan sesuatu di sana.
Ify memberengut. Rio selalu saja curi-curi kesempatan. “Dasar!” cibir Ify pelan. Ia lantas mendekatkan wajahnya lalu mengecup singkat pipi Rio yang sudah disodorkan pemuda itu lebih dulu. Rio langsung tersenyum puas.
“I love you!” katanya dengan kerlingan jahil di matanya. Ify memutar kedua bola matanya sambil geleng-geleng kepala meski tetap tersenyum juga.

***

“KakFy, aku mohon maafin aku. Aku bener-bener udah nyesel, KakFy.” Ujar Dea dengan begitu memelas. Ify berdiri di depan pintu rumah Rio ditemani Rio di sampingnya. Ia melihat Dea dengan pandangan kesal sekaligus iba. Melihat kegigihan Dea meminta maaf padanya seperti itu sedikit membuat hatinya terenyuh. Tapi, ia tidak bisa membohongi perasaannya kalau ia belum bisa memaafkan kesalahan gadis itu begitu saja. Apa yang sudah dilakukan Dea masih selalu terngiang-ngiang dibenaknya.
Untung saja sekarang Amanda sedang tidur sementara Zeth belum pulang dari kantor dan Ray belum pulang dari sekolah. Jadi masalah ini tidak akan menyebar lagi dan tidak akan ada yang ikut campur selain mereka bertiga. Ify mundur selangkah menjauh lalu memalingkan wajahnya. “Gak akan bisa semudah itu, De. Kakak masih belum bisa nerima semua kesalahan kamu.”
“KakFy, tiap hari aku selalu dihantui rasa berdosa yang besar sama KakFy. Aku harus gimana lagi supaya KakFy bisa maafin aku?”
“Kalo kamu memang merasa berdosa, biarin Kakak nenangin diri, nenangin hati yang udah kamu buat hancur, De. Kamu gaboleh desak Kakak kayak gini terus. Kakak pasti akan maafin kamu. Semua ada waktunya. Tapi sekarang bukan waktunya Kakak bisa maafin kamu. Tolong, jangan ganggu Kakak dulu. Kamu ngertiin dong?”
Tiba-tiba Dea menjatuhkan dirinya dan duduk bersimpuh di depan Ify. Ify terkesiap dan sesaat tak bisa berkata apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya menyuruh Dea berdiri namun Dea menggelengkan kepala dan keukeuh meminta maaf padanya. Ify menghela napas frustasi tak mengerti harus berbicara bagaimana lagi pada gadis ini.
“KakFy, aku minta maaf. Aku sadar kesalahan aku teramat besar buat KakFy. Tapi, aku juga udah sadar kalo apa yang aku perbuat itu salah. Aku mohon maafin aku, KakFy?” Dea menunduk dan berbicara dengan terisak.
Ify pun tidak bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Melihat seseorang sampai seperti itu untuk memohon maaf darinya. Hatinya juga ikut teriris. Tapi, apa daya. Ia memang belum bisa memberi maaf meski ia ingin. Ia lantas mundur lagi dan memilih bersembunyi di belakang Rio. Memohon bantuan pemuda itu untuk bisa memberi pengertian pada Dea. Siapa tahu kalau dia yang berbicara, Dea akan mendengar.
Rio sedaritadi hanya diam tidak ingin ikut campur pada apa yang sedang diselesaikan oleh dua gadis yang sangat ia kenal itu. Namun, sekarang sepertinya ia juga harus turun tangan menjadi penengah antara mereka berdua. Ia mendekat pada Dea dan memegang kedua lengan gadis itu, mengisyaratkan agar gadis itu segera berdiri. Dea mau tidak mau mengikuti apa yang Rio inginkan. Rio menatap Dea sedih seraya menghela napas.
“Kakak juga bilang apa sama kamu? Jangan ganggu Kak Ify dulu, kan? Kenapa kamu susah banget dengerin omongan Kakak, sih?” ujar Rio lembut, berusaha bersikap lebih dewasa dan lebih netral di antara mereka bertiga. “Gak akan ada gunanya kalo kamu terus maksa Kak Ify. Yang ada dia malah makin susah maafin kamu. Mulai sekarang, kamu mulailah bersikap baik sama Kak Ify tanpa perlu dapet maaf dari Kak Ify lebih dulu. Kalo kamu selalu baik sama Kak Ify, tulus, gak mungkin Kak Ify gak maafin kamu nantinya, kan?”
Dea menganggukkan kepala dan masih terus terisak. Ia hanya diam tak menyahut. Rio lalu berbicara kembali. “Sekarang, mending kamu pulang. Biar kalian bisa sama-sama nenangin diri. Percaya sama Kakak, De. Kak Ify pasti mau maafin kamu, cuma gak sekarang aja.”
Sekali lagi Dea menganggukkan kepalanya. Gadis itu tanpa menunggu lagi langsung pamit. Rio bersama Ify menunggu hingga mobil Dea melenggang pergi dari halaman rumahnya. Rio beralih pada Ify yang juga masih menangis sendiri tanpa suara.
“Apa lo gamau mikir ulang buat maafin dia?”
Ify mengangkat wajahnya dan memberengut. “Emangnya salah kalo gue belum bisa maafin dia?” sahutnya sedikit meninggi.
“Gue cuma gamau lo berubah jadi orang yang hatinya sempit, Fy. Jadi orang yang susah maafin orang lain, gak mempertimbangkan sikap baik yang udah mereka lakuin sama lo.”
Ify tiba-tiba mendengus. “Gue butuh waktu, Yo. Gak mungkin bisa semudah itu. Kenapa lo sama Dea gak bisa ngerti, sih? Emang kalian kira nyimpen amarah lama-lama itu enak?”
Ify menghentakkan kakinya kesal. Ia melengos masuk ke dalam rumah meninggalkan Rio yang masih berdiri di luar.
“Ya kalo gak enak kenapa gak dimaafin aja, kan? Hhh..” gumam Rio bingung sendiri. Ia memegang kepalanya sambil menghela napas pasrah lalu menyusul Ify masuk ke dalam rumahnya.

***

Tonenoneeeet..*yaanggepajabunyitelponyak*plak*
Ponsel Rio yang ada di atas meja belajar di kamar Ray berbunyi. Rio memakai baju kaosnya segera lalu beranjak mendekati meja dan memeriksa ponselnya. Keningnya mengerut ketika melihat nama Dea yang muncul. Tadi siang bahkan gadis itu baru saja dari rumahnya. Gadis itu baru juga diberitahu agar tidak menghubunginya atau Ify dulu sebelum Ify bisa menerimanya kembali. Tapi sekarang, gadis itu malah menelepon. Kalau Ify tahu ia menjawab panggilan Dea ini, gadis itu pasti marah lagi.
“Ckck, Dea, Dea. Kamu kok gak kapok-kapok, sih?” gumamnya. Ia lalu menekan tombol yes di ponselnya dan berbicara sambil berbisik agar tidak sampai terdengar ke kamarnya yang kini ditempati Ify.
“Halo?”
“KakYo, aku mohon kali ini aja. Aku janji ini yang terakhir aku ganggu KakYo.”
Rio menghela napas. “Yaudah, apa?”
“Besok temuin aku di taman belakang sekolah setelah sekolah sepi. Aku mau ngasih tau yang sebenernya sama KakYo dan KakFy. Aku mohon sama KakYo untuk kali ini aja. Please?”
Rio memijat keningnya menimang-nimang. “Emangnya gak bisa langsung kamu omongin sekarang aja? Harus pake ketemu? Kakak takut Kak Ify gak mau dan ujung-ujungnya marah lagi.”
“Gak bisa, KakYo. KakYo gak bakal percaya. Jangan bilang sama KakFy kalo KakYo mau ketemu aku. Bilang aja KakYo mau ketemu temen KakYo atau siapa gitu. Please KakYo?”
Rio berjalan mondar-mandiri beberapa saat lalu kemudian berhenti. “Oke, KakYo sama KakFy bakal temuin kamu.”

***

Ify mengikuti langkah Rio dengan berjalan berdampingan dengan pemuda itu. Tadi Rio bilang dia ingin bertemu salah satu anggota osis untuk membicarakan keperluan promnight. Tapi yang membuatnya bingung, kenapa mereka harus bertemunya di taman? Kenapa bukan di ruang osis saja sekalian? Dan kenapa harus ketika sekolah sudah sepi? Memangnya hal yang ingin mereka bicarakan itu sangat rahasia sampai-sampai harus sembunyi-sembunyi begitu? Bahkan ruang osis dianggap masih belum cukup aman?
Tiba-tiba langkah Rio dan Ify sama-sama berhenti ketika mereka melihat Dea bersama Angel, gadis yang kemarin menumpahkan kuah baksonya ke baju Ify. Dea dan Angel tampak sedang berbicara serius. Tepatnya Dea yang berbicara sementara Angel hanya diam mendengarkan sambil bersedekap. Awalnya gadis itu memalingkan wajahnya tapi kemudian mendadak ia memandang Dea sambil mengernyit. Dea berbicara lumayan keras sehingga Rio dan Ify dapat mendengarkan dengan sangat jelas.
“Stop nyuruh-nyuruh aku lagi buat nyelakain KakFy. Aku gak mau nambah dosa aku sama KakFy. KakFy salah apa sih sama kakak sampe kakak terus aja mau ganggu KakFy?”
Angel tampak diam sambil terus mengernyit melihat Dea. Wajahnya kelihatan bingung. Dea lalu tiba-tiba bersimpuh di depan Angel sambil memegang tangan gadis itu.
“Kak, aku mohon bebasin aku?” pinta Dea dengan mata berkaca-kaca. Angel menarik tangannya dan membuat keseimbangan Dea goyang. Ia terduduk di dasar taman yang berumput.
Melihat itu, Rio hendak berlari menghampiri akan tetapi Ify menahannya. Gadis itu menatapnya seolah melarangnya pergi. “Lo mau ngapain?” tanya Ify tajam.
“Apa lo mau masih mau diem aja ngeliat Dea kek gitu? Setelah lo denger semuanya?” balas Rio tak kalah tajam.
“Tapi—“ Rio menarik tangannya yang dipegang Ify dan berlari meninggalkan Ify sebelum gadis itu selesai berbicara. Ify sesaat termangu dan terpaku di tempatnya memandang punggung Rio yang menjauh. Meski akhirnya pelan-pelan ia melangkah menyusul pemuda itu.
Rio mendorong Angel hingga gadis itu mundur beberapa langkah sambil memegangi perutnya seperti melindungi apa yang ada di dalamnya. Gadis itu tampak kaget akan kedatangannya dan juga dorongan pada tubuhnya. “Lo apa-apaan sih dorong-dorong orang sembarangan?!” pekiknya tak terima.
Rio membantu Dea berdiri. Ia lalu mengepal tangannya menatap Angel geram. “Seharusnya gue yang nanya sama lo. Jadi selama ini lo pelakunya? Maksud lo apa ngelakuin itu semua ke Ify, hah?!”
Ify hanya diam memperhatikan pergulatan di hadapannya. Ia menatap Angel dengan pandangan tak menentu. Hatinya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Ia tidak percaya kalau Angel adalah dalang dari semua kesialannya. Apalagi Angel sampai mengancam Dea untuk menjadi perantara niatnya. Ia masih belum bisa percaya itu.
Angel melihat kedatangan Ify sama kagetnya ketika ia melihat Rio. Ia memandangi orang-orang di depannya dengan pandangan heran. “Lo semua mau ngeroyok gue? Apalagi maksud lo sekarang, hah?” Angel menatap Dea jengah.
“Kakak gak usah pura-pura. KakYo sama KakFy udah denger semuanya. Mereka udah tau kalo selama ini Kakak yang nyuruh aku ganggu KakFy.”
“Apa?!” Angel menyahut dengan nada tak percaya. Ia memperhatikan ketiga orang di hadapannya lalu terakhir menjatuhkan pandangannya pada Dea. Ia mengerang marah pada gadis itu. Ia hendak maju tapi Rio langsung menahannya.
“Lo—“
“Stop!” tahan Rio. Angel berhenti lalu menatap pemuda itu. “Kalo lo berani macem-macem lagi sama Dea, gue bakal bongkar rahasia lo yang ada di sana.” Rio mengacungkan telunjuknya ke wajah Angel lalu turun ke perut gadis itu.
Angel dan Ify sama-sama terkejut dan terbelalak mendengar itu. Angel terkesiap tanpa sanggup berkata-kata lagi. Matanya mulai memerah. Tidak menyangka Rio mengetahui soal kehamilannya. Sementara Ify menatap Rio kecewa. “Rio!” katanya memperingati. Tapi sepertinya Rio tidak peduli.
“Lo semua emang bener-bener gak punya hati!” Angel berteriak keras lalu langsung angkat kaki dari hadapan mereka semua.
Sekarang hanya tinggal Ify, Rio dan juga Dea. Rio memegang bahu Dea sambil menanyakan keadaan gadis itu. “Kamu gakpapa?”
Bukannya menjawab, Dea malah menangis dan memeluk Rio. Ify meremas roknya kuat-kuat apalagi ketika Rio ikut membalas memeluk Dea.
“Kenapa kamu mau aja disuruh-suruh sama dia, De?”
Dea menjawab sambil sesenggukan. “Aku takut, KakYo. Dia ngancem aku. Aku sekarang udah gapunya seseorang yang bisa ngelindungin aku lagi. KakCha di amerika, KakYo udah sibuk sama KakFy. Aku sendirian.”
Rio mendesah pelan sambil mengelus kepala Dea menenangkan gadis itu. “Kamu tetep masih bisa ngandelin Kakak, De. Kakak gak pernah lupa sama kamu.”
Ify yang sudah tidak tahan kemudian memisah paksa Rio dan Dea. Ia berdiri di depan Rio menghadap Dea tapi tidak menatap gadis itu. “Kita pulang sekarang.” Katanya dingin.
“Fy?!” sahut Rio tak percaya. Dea hendak menyentuh lengan Ify tapi Ify langsung menampiknya pelan. Dea kembali menitikkan air mata melihat itu. “Apa KakFy gak bisa maafin aku juga?” lirihnya.
“Kakak...gak tau.” Jawab Ify sekenanya. Saat ini perasaannya kacau. Ia tidak tahu harus mempercayai yang mana. Karena baik Dea maupun Angel sebelumnya sama-sama memiliki catatan baik dengannya.
“Lo perlu bukti apalagi, Fy? Apa yang tadi itu belum cukup ngebuka mata lo buat ngeliat kebenarannya?” Kali ini Rio menyela.
Ify sepertinya enggan menjawab pertanyaan Rio tersebut. Lebih tepatnya ia tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Biar Kakak antar kamu pulang.” Putus Rio dikala keheningan terus menguasai mereka.
“Lo mau nganter dia pulang?” tanya Ify yang kelihatan tidak setuju. Rio diam tidak menjawab. Pemuda itu bahkan melengos pergi tanpa menoleh ke arahnya lagi. Dea pun langsung menyusul Rio dan lantas meninggalkan dirinya sendiri di sana.
Sekali lagi Ify terpaku di tempatnya dan hanya diam memandangi Rio yang tak juga menoleh ke arahnya. Rasanya dunia di sekitarnya mengecil. Ada rasa sesak yang tak tertahankan di dalam dadanya hingga membuat air matanya turun tanpa bisa dicegah. Terlalu banyak hal yang sulit untuk dipercaya terjadi. Hatinya benar-benar tidak tahu ia harus percaya dan berpegangan pada siapa saat ini.

***

Rio mengendari mobilnya dengan perasaan kacau balau. Ia merasa kecewa pada Ify yang masih saja keras kepala. Ia tidak mengerti kenapa Ify masih saja belum bisa memaafkan Dea. Mungkin sebelumnya Ify perlu waktu. Tapi sekarang kan kejadiannya berbeda. Mereka sudah sama-sama tahu kalau Dea tidak bersalah. Jadi, untuk apa lagi menunggu? Apa pembicaraan tadi kurang meyakinkan? Apalagi yang bisa menjelaskan padanya?
“KakYo gak mau puter balik jemput KakFy? Kasian KakFy harus pulang sendiri. Aku tau KakYo kecewa, tapi KakYo gak boleh ninggalin KakFy kayak gini. KakFy juga pasti masih shock makanya dia belum bisa maafin aku.” Ujar Dea lembut.
Rio menoleh sebentar lalu menghela napas. Lihat kan, Dea sudah sebaik ini dan Ify masih belum juga bisa memaafkannya. Ia tidak habis pikir dengan gadis itu.

***

Ify lagi-lagi hanya menemukan dirinya sendiri di parkiran. Mobil Rio sudah tidak ada di tempat. Pemuda itu benar-benar meninggalkannya dan lebih memilih pergi bersama Dea. Ify menghela napas pasrah. Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Ia harus marah pada dirinya sendiri yang keras kepala atau pada Rio yang meninggalkannya begitu saja.
Tanpa sengaja Ify melihat Angel baru saja berjalan keluar pagar sekolah. Ia tanpa pikir panjang langsung berlari untuk menyusul gadis itu.
“Kak Angel! Tunggu!” Angel berhenti dan menoleh sebentar. Ia hendak melangkah lagi namun Ify lebih dulu sampai di depannya. Melihat gadis itu tersengal-sengal, ia jadi tidak tega.
“Gue..hh..bisa tolong lo jelasin ulang apa yang terjadi?” pinta Ify seraya mengatur napasnya. Angel menatapnya sebentar lalu mendesah. “Sejujurnya gue juga gak ngerti kalian tadi ngomong apa. Jadi gue gak bisa jelasin apa-apa sama lo.”
Ify mengernyit bingung kenapa Angel malah bilang tidak mengerti. Angel kemudian berkata lagi. “Gue harap kalian gak nambah-nambah masalah di hidup gue lagi. Gue capek, Fy.”
Ify kali ini membiarkan Angel berlalu dari hadapannya. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Angel tidak mengerti masalahnya dan ia juga ia tidak mengerti masalah gadis itu. Jadi akan percuma kalau ia terus bertanya padanya. Yang ia yakini sekarang, pasti ada sesuatu yang tidak beres yang saat ini terjadi. Termasuk Angel.

***

“Ada apa kamu tiba-tiba datang menemui saya?” tanya Obiet langsung ketika sudah duduk berhadapan dengan Ify. Ify mengatup bibirnya sambil menautkan jari-jarinya.
“Beberapa waktu lalu, saya gak sengaja lewat di depan rumahnya Kak Angel. Tapi saya gak ketemu sama dia, melainkan Fify, adiknya. Sebenernya udah beberapa kali juga saya ketemu sama mereka berdua. Saya ketemu Fify malam hari, sendirian sambil bawa barang belanjaan. Pas saya samperin, dia malah nyuruh saya pergi. Dia bilang ada monster yang bakal dateng. Tapi dia sama sekali gak keliatan takut. Malah saya yang takut, hehe..”
Ify terkekeh kecil mengingat kejadian waktu itu. Namun, melihat Obiet yang hanya diam melihatnya, ia lekas berhenti dan melanjutkan berbicara. “Lalu tiba-tiba ada bapak-bapak dateng sambil marah-marah malah hampir mukul saya. Untung aja waktu itu ada..”
Ify berhenti berbicara. Lidahnya hampir saja menyebutkan nama Rio. Sebenarnya tidak ada masalah kalau pun ia menyebutnya. Hanya saja saat ini ia sedang tidak ingin mengingat pemuda itu meski sudah terlanjur teringat.
“Ada siapa?” tanya Obiet ketika melihat Ify diam. Ify menggeleng cepat. “Gak ada siapa-siapa, Dok. Saya kira bapak-bapak itu ayahnya Fify atau ayah tirinya Kak Angel. Tapi, itulah yang ngebuat saya khawatir. Sikap bapak-bapak itu kasar banget. Saya takut ada sesuatu yang gak beres di sana.”
Obiet menganggukkan kepala tampak sedang berpikir. Mereka lalu terdiam dan kemudian saling berpandangan. “Apa dokter memikirkan apa yang saya pikirin?” tanya Ify seraya meringis.

***

Ify membuka bungkus es krim terakhir yang belum ia makan dari 5 es krim yang ia beli. Satu-satunya yang bisa mendinginkan kepalanya hanya ini. Setelah selesai berbicara dengan Obiet, ia memilih beristirahat sejenak di kantin rumah sakit. Ia tidak peduli kalau kemarin ia pun baru saja masuk rumah sakit. Ia tidak peduli kalau ia akan terkena flu berat karena memakan es krim sebanyak ini dan harus dirawat lagi. Ia sedang butuh penenang.
Ify memandang ponselnya yang dari sejak ia masih di sekolah sampai sekarang tetap bergeming. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rio sama sekali tidak menghubunginya. Apa pemuda itu tidak tahu kalau sekarang ia merasa ingin memenggal kepalanya sendiri karena stres? Ia pusing memikirkan orang-orang di sekitarnya. Rio, Dea, Angel, Debo...tunggu dulu. Apa ia harus menghubungi pemuda itu dan meminta penjelasannya? Bagaimanapun, pemuda itu juga terlibat dalam kejadian perpus beberapa waktu lalu. Pasti pemuda itu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ify meraih ponselnya namun tiba-tiba ia meletakkannya kembali. Tapi...apa ia sudah siap bertemu dengan Debo? Bagaimana kalau nanti ia kelepasan dan malah menghajarnya habis-habisan? Atau Debo mencuri-curi kesempatan lagi dan berbuat yang tidak-tidak padanya?
“Aiss..” desis Ify seraya geleng-geleng kepala. Ia harus bisa menguatkan dirinya kalau ingin semua masalah ini cepat selesai dan menemui titik terang. Ia mengambil ponselnya kembali dan langsung mendial nomor Debo. Tak butuh waktu lama hingga panggilannya di jawab.
“Apa lo bisa temuin gue sekarang?”

***

“Dia bilang gitu?” ujar Debo sarkastis sambil menaikkan alis. Ify mengangguk pelan sambil menatapnya lekat-lekat. Debo tiba-tiba saja tertawa lalu terakhir ia berdecak sambil geleng-geleng kepala.
“Gak habis pikir gue..” gumamnya. Ify lantas menyahut. “Gak habis pikir apa?”
Debo menatapnya lalu menggelengkan kepala lagi. Gelagatnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ia mengernyit curiga. “Jadi, apa ada yang lo bisa jelasin ke gue soal semua ini? Klarifikasi atau apa kek?”
Debo menegakkan tubuhnya dan memasang tampang serius. “Gue mau minta maaf sebesar-besarnya sama lo. Maaf kalo gue udah ngelanggar omongan gue sendiri. Dan maaf kalo gue udah...”
Ify terkesiap lalu memalingkan wajahnya. Pipinya mendadak terasa panas. “Udah, jangan dilanjutin. Gue gak mau nginget-nginget itu lagi.”
Debo mengangguk paham sambil menghembus napasnya karena tiba-tiba merasa grogi. “Sebelumnya gue mau tanya, apa setelah kejadian perpus, ada kejadian buruk lain yang menimpa lo?”
Ify mengerutkan kening seraya mengingat-ngingat lalu kemudian menggelengkan kepalanya. Debo lantas menghela napas lega. “Gue gak bisa ngomong apa-apa sekarang selain minta maaf sama lo. Tapi kalo saatnya udah pas, gue akan kasih tau semuanya sama lo.”
Ify mendengus kesal. Kenapa Debo harus pakai rahasia-rahasiaan segala? Ia sedang tidak ingin dibuat penasaran. “Apa ada yang lebih gak jelas dari omongan lo barusan?” serahnya.
“Sekali lagi gue cuma bisa bilang maaf sama lo soal kejadian perpus dan karena gue gak bisa ngomong apa-apa sama lo.”
Ify menutup mukanya dengan kedua tangannya frustasi. Sementara Debo hanya meringis memandangnya.
Gue cuma mau tau, seberapa sanggup Rio mempertahankan lo, Fy.

***

Ify berdiri berkacak pinggang menatap gedung tinggi di hadapannya. Gedung apartemen Tristan. Dia adalah orang terakhir yang bisa ia mintai bantuan. Semoga saja orang ini dapat, walau sedikit saja, merapikan barisan pikirannya yang sudah ruwet.
“Lo satu-satunya harapan gue, Kak.” Gumamnya pasrah. Ia merogoh ponselnya di kantong dan langsung menghubungi Tristan. Sama seperti sebelumnya, panggilannya langsung diangkat oleh pemuda itu.
“Kak, ada hal yang pengen gue omongin. Penting. Gue udah di lobby apartemen lo. Jemput gue sekarang juga ya! Please, gak pake lama.”
Klik.
Ify langsung memutus sambungan tanpa menyempatkan Tristan berbicara bahkan sekedar menyapanya. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya dan kemudian berjalan sampai di depan pintu masuk lobby untuk menunggu Tristan menjemputnya.

***

“Lo serius?!” tanya Tristan kaget tak percaya. Ify baru saja menceritakan apa yang sudah terjadi padanya. Semuanya tanpa terkecuali. Soal Rio, soal Dea, soal Debo dan terutama soal Angel. Ia meneguk habis segelas jusnya karena kehausan selepas berbicara panjang lebar.
Tristan mengelus-ngelus dagunya dan mendecak pelan. “Ckck, warga sekolah lo pada horror semua. Di sekolah gue gak ada loh yang kayak gitu.”
Ify menghantam badannya ke sofa dan menutup mata sejenak. “Gue bukan anggota sensus penduduk yang mau ngomongin masalah warga sekolah lo, Kak.”
“Oke, oke.” Ujar Tristan sambil mengangkat kedua tangannya.
Ify menegakkan tubuhnya kembali lalu menatap Tristan lekat-lekat. “Jadi, menurut lo, apa iya Kak Angel pelakunya? Kak Angel yang udah ngerjain gue dan pake nyuruh sambil ngancem Dea segala?”
“Gue kenal Angel itu udah hampir 5 taunan. Kita pertama kali ketemu di tempat les musik waktu kita masih sama-sama smp. Dan sepanjang perjalanan hubungan kami berdua, gue gak pernah ngeliat atau ngerasa gelagat buruk dari dia. Kalo boleh gue bilang, dia itu malah cewek yang baik banget. Dia penyabar, gak pernah marah kalo ada yang jahat sama dia. Dia juga gak pendendam dan gak pernah sirik apalagi mau tau urusan orang. Pikirannya terbuka dan enak diajak ngobrol. Jadi, kalo lo tanya gue, gue pastinya gak percaya.”
Ify diam sembari memikirkan kata-kata Tristan. Meski dari sekian kata yang pemuda itu ucapkan, ada satu yang begitu teringat-ingat di benaknya. “Emang hubungan lo sama Kak Angel apaan?” tanyanya spontan.
Wajah Tristan langsung berubah gugup. Ia menjadi agak gelagapan ditanya seperti itu. “Gak..gak ada apa-apa. Kita..kita cuma temen baik aja.”
Ify lantas menyipitkan mata curiga lalu tersenyum menggoda Tristan. “Tapi lo ngarep lebih, kaaaan?” ledeknya.
Tristan tertawa hambar. Ia berusaha mengelak namun pada akhirnya ia mengakui apa yang dikatakan Ify itu benar. Wajahnya tiba-tiba berubah muram. “Gue cinta banget sama Angel, Fy.” Gumamnya pelan dengan pandangan menerawang.
Ify mengerutkan kening penasaran mengapa ekspresi Tristan mendadak murung begitu. “Trus, dianya gimana? Lo udah pernah nembak dia?”
Tristan menggeleng dan tersenyum miris. “Mungkin lo gak percaya, tapi gue gak pernah berani. Gue selalu speechless tiap gue mau nembak dia. Udah berkali-kali gue coba tapi tetep aja.”
Ify menganga tak percaya lalu kemudian tertawa keras. “Orang ternarsis dari seluruh umat kayak lo gak berani nembak cewek?! Pfft...hahahaha!”
Tristan hanya mencibir pelan dan tidak terlalu menghiraukan ejekannya. Pemuda itu masih larut dalam pikirannya. Melihat itu, Ify lantas diam secara otomatis. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sehingga Tristan tumben-tumbennya berwajah sedih seperti itu.
“Di saat gue udah bener-bener yakin buat nembak dia, tiba-tiba...sesuatu terjadi...dan seketika mengubur angan-angan gue untuk merajut kasih dengan dia. Semenjak itu pun dia jadi berubah sikapnya sama orang-orang. Tapi untungnya, sikapnya gak berubah ke gue.”
Kedengarannya memang agak berlebihan. Apalagi Tristan memakai kata-kata ‘merajut kasih’ yang terasa seperti pemuda itu sedang membacakan puisi sastra romantis. Tapi, ekspresi di wajahnya membuatnya terlihat benar-benar serius dan kata-katanya menjadi terdengar sangat menyentuh. Terutama bagi Ify.
Tiba-tiba Ify teringat akan kondisi Angel saat ini. Apa jangan-jangan ‘sesuatu terjadi’ yang dimaksud Tristan adalah soal kehamilan Angel? Apa Tristan ‘ilfeel’ karena Angel hamil di luar nikah?
“Kak, apa lo udah tau soal keadaan Angel sekarang ini?” tanya Ify hati-hati. Bahaya juga kalau ia malah sampai membocorkan rahasia orang. Ia tidak ingin lagi mempercayakan orang lain untuk menjaga rahasia Angel. Cukup Rio, yang malah hampir saja membeberkan semuanya di depan Dea.
Tristan mengangkat wajahnya dan menatap Ify lekat-lekat. “Jangan-jangan lo tau kalo Angel itu...”
Mereka saling berpandangan dan seketika...
“Astaga...” desah mereka berdua. Mereka tak melepas pandangan dari masing-masing dan sama-sama terperangah. Mereka sempat terdiam beberapa saat hingga akhirnya Ify sadar lebih dulu. “Jadi..lo gak suka lagi sama Kak Angel karena dia...hamil?”
Tristan menggeleng lemah. “Dia itu cewek paling sempurna yang pernah gue temuin. Kalo sekarang ada yang nyuruh gue nikahin dia, gak akan gue tolak. Gue cuma gak mau nambah beban dia dengan perasaan gue, Fy. Dia udah cukup menderita dengan keadaannya sekarang. Apalagi ditambah masalah yang lo ceritain tadi. Saat ini, cuma gue sandaran dia satu-satunya. Gue gak mau ngancurin persahabatan kita dan pada akhirnya membuat dia harus berjuang sendiri dengan hidupnya. Gue gak mau, Fy.”
Ify menatap Tristan tanpa berkedip. Ia dibuat terkagum-kagum oleh pemuda itu. Ternyata dibalik sikapnya yang pecicilan, Tristan adalah tipe cowok yang penyayang dan setia. Ia bahkan sampai menitikkan air matanya. “Jadi cowok gue yuk, Kak?” sahutnya asal.
Tristan tertawa kecil. Ify sedikit merasa senang dalam hatinya. Setidaknya ia sudah bisa membangkitkan semangat pemuda itu.
“Lo tau darimana Angel itu hamil, Kak? Trus, apa lo juga tau siapa...ehm ayahnya?”
Air muka Tristan berubah lagi. Kali ini terlihat ada pancaran kemarahan di matanya. “Ayah tirinya.”
Ify lantas terdiam. Ayah tirinya? Laki-laki yang bersikap kasar padanya waktu itu? Si monster itu? Jadi dugaannya dan dokter Obiet benar?

***

Ify kembali ke rumah Rio ketika hari sudah benar-benar gelap. Tepat pukul delapan malam. Ia sempat bertemu dengan Amanda dan Zeth di ruang tengah dan mereka sama-sama menanyakan perihal keterlambatannya. Ia hanya menjawab ia sedang mengerjakan tugas dan diajak makan malam sebelum pulang sehingga ia terlambat sampai di rumah. Untunglah setelah itu Amanda dan Zeth sama-sama tidak bertanya lagi. Meski ia telah sangat-sangat berbohong. Bahkan dari siang ia belum makan. Ia sama sekali tidak berselera melihat makanan. Hanya 5 batang es krim tadi saja yang masuk ke perutnya. Ia hanya rindu pada kasur dan ingin segera merebahkan diri di sana.
Ia masuk ke dalam kamar Rio dan menutup pintunya pelan. Ia menemukan Rio sedang berdiri di depan meja belajar memilah-milah buku. Gerakan pemuda itu sempat berhenti ketika mendengar suara pintu tapi kemudian melanjutkan kegiatannya kembali. Rio benar-benar tidak memedulikan kehadirannya. Jadi sudah pasti sejak tadi siang pemuda itu tidak mencari atau bahkan sekedar mencemaskan keberadaannya. Ingin rasanya Ify membelah hatinya dan membuangnya ke tong sampah supaya ia tidak merasakan sesak yang teramat sangat. Tapi apa daya, Tuhan sudah menganugerahkan hati yang mudah terenyuh, mudah down jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, padanya.
Ify berhenti berjalan dan hanya diam berdiri memperhatikan apa yang Rio lakukan. Rio sendiri tampaknya masih pura-pura tidak mengacuhkannya. Ia mendesah pelan.
“Gue tau kok muka gue gak seseksi Angelina Jolie atau seanggun Kristen Stewart atau setegas Emma Roberts *iyaguetaukok..(?)*iykwimhaha* atau—”
Brak! Brak!
Rio menyusun kembali buku-buku sambil menghentakkannya keras-keras. Ify berjengit kaget lalu mengelus-ngelus dadanya. Meski begitu, Rio masih saja tidak menoleh ke arahnya.
“Atau secantik Acha.” Sambung Ify. Ia berhasil membuat Rio menoleh padanya walau sesaat. Jadi kesimpulannya, gue harus ganti nama jadi Acha biar dia mau nolehin kepalanya ke gue.
Ify meletakkan tasnya di lantai lalu menyandarkan badannya ke dinding. “Ternyata dia masih punya peran besar buat lo..” gumamnya sangat pelan. Ia tidak lagi menatap Rio.
Rio menenteng bukunya lalu berhenti di hadapannya. Pemuda itu seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. “Terserah lo, deh!” katanya jengah dan hendak melangkah pergi.
“Makanya waktu itu gue gak mau lo janji sama gue, Yo.” Rio berhenti mendengar ucapan Ify. Ia untuk pertama kalinya atau mungkin kedua kalinya menoleh pada gadis itu. Gantian sekarang Ify yang tidak menoleh ke arahnya.
“Apa bisa lo sebutin janji yang mana yang masih lo tepatin sekarang?” Ify tersenyum miris. “Gak ada..” sambungnya kemudian.
“Lo terusin aja pikiran buruk tentang gue di kepala lo.” Balas Rio dingin. “Gue kecewa sama lo. Lo menutup hati lo buat Dea bukan karena kesalahan dia lagi, tapi karena lo dendam sama dia. Sampe-sampe ketika dia udah dipihak yang benar pun lo anggep salah.”
“Memangnya gue bilang kalo gue gak bakal bisa maafin Dea? Gue cuma bilang gak tau. Gak tau bukan berarti gue gak mau. Lo cuma menilai dari sisi perasaannya Dea, selalu Dea ke Dea. Lo nganggep gue ini penjahatnya. Sementara korban sebenernya itu gue, Yo. Apa lo gak sadar itu? Lo pun sepertinya menutup hati lo untuk nyari tau apa yang gue rasain.”
Rio hanya diam tidak menjawab. Ify lantas menoleh ke arahnya. “Lo bilang lo ga akan ngebongkar rahasia Kak Angel, kan? Tapi kenapa dengan mudahnya lo beberin semuanya di depan Dea? Kenapa gak sekalian satu sekolah lo kasih tau, huh?! Apa lo gak mikir betapa merasa berdosanya gue? Lagi-lagi lo gak mikirin perasaan gue.”
“Fy, buka mata lo, Fy! Buka! Liat apa yang udah Angel lakuin. Dia udah ngancem dan memperalat Dea buat ganggu lo. Apa gue harus diem aja ngeliat dia bersikap seenaknya kek gitu? Sukur-sukur gak gue langsung beberin.”
“Lo!” Ify menggeram. “Lo tetep gak berhak gunain ‘pengetahuan’ lo soal itu. Lo yang seharusnya buka mata dan pikiran lo. Kenapa lo bisa secepat itu percaya apa aja yang dibilang sama Dea? Apa lo gak mikir Dea selalu gak konsisten sama kata-katanya sendiri? Kemaren dia bilang nerima gue, tapi dia malah ngerjain gue. Kemaren dia bilang dia yang ngerjain gue, tapi besoknya dia bilang dia cuma disuruh. Apa lo gak ngerasa ada yang janggal?”
“Jadi, maksud lo Dea bohong gitu?” tanya Rio sarkastis. “Iya.” Jawab Ify tegas dan menantang. Rio terperangah tak percaya dan hampir tidak bisa berkata apa-apa. “Gue lebih tau siapa Dea daripada lo.”
Ify tersenyum miris. Teganya Rio berkata seperti itu. Dia begitu membela Dea sementara pemuda itu peduli padanya saja tidak. “Gue pun lebih tau siapa Kak Angel daripada lo.”
Mereka kemudian saling diam. Lalu kemudian Ify berbicara kembali. “Kalo pada saat lo ninggalin gue tadi adalah saat terakhir lo bisa ngeliat gue, gimana, Yo? Kalo misalnya gue saat ini gak balik-balik lagi ke sini, apa lo lega? Karena lo udah memilih ninggalin gue lebih dulu jadi lo gak akan ngerasa di tinggalin? Ck..padahal baru aja lo bilang bakal selau jagain gue, bakal mikir dua kali buat ninggalin gue.”
Rio sepertinya mati kutu. Melihat itu Ify hanya menghela napas. Ia lantas berjalan ke dekat lemari pakaian. “Boleh lo keluar? Gue mau ganti baju.” Pintanya sekalian mengalihkan pembicaraan atau mungkin juga mengakhiri pembicaraan di antara mereka. Rio tanpa banyak berkomentar kemudian berbalik badan dan beranjak keluar dari kamarnya.
Ify tanpa sadar menahan napasnya selagi Rio masih ada di dalam kamar hingga akhirnya terdengar suara pintu di tutup dan ia bisa bernapas lega. Rasanya seperti de javu. Perasaan sakit seperti ini, rasanya ia sudah pernah merasakannya sebelumnya. Ck, tidak disangka-sangka ia akan mengalaminya kembali.

***

Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaah! Akhirnya bisa posted juga. Tadinya sih mau bikin Rify langsung berantem tapi gajadi. Karena udah musim banget kan wkwk-.- Ini gak nyesek-nyesek amat sih kayaknya. Beloooom wkwkwk....


Terimakasih anime kritik saran dan pujiannya muah muah muah :*

Matchmaking Part 30 (Rify)

Rify

Percayalah padaku meski di gelap malam, kamu tak sendirian. Dan semua bintang yang kutinggalkan, temani kau sampai akhir malam. *berasanostalgiasd*

***

“Brengsek!!”
Bug..bug..
Ify terpaku diam di tempatnya mendapati dua orang pemuda yang amat ia kenal sedang bergulat di lantai. Sesaat kemudian ia tersadar akan keberadaan mereka sekarang. Adalah tempat yang tidak tepat untuk melakukan adu jotos semacam itu. Mereka pasti akan terlibat masalah lain. Ia lantas menarik Rio yang tengah berada di atas Debo sambil menarik kerah bajunya.
“Rio stop! Kalian bisa kena skors!” jeritnya tertahan. Jika ia berteriak maka seisi perpustakaan akan tahu kalau sedang terjadi perkelahian di tempatnya. Ia menatap Rio dengan ekspresi campur aduk. Antara kaget, panik, takut sekaligus kecewa. Ia benar-benar tidak bisa percaya pada apa yang baru saja terjadi padanya. Ia tidak percaya kalau tadi Debo menciumnya. Ia tidak percaya kalau orang itu Debo. Beberapa hari lalu ia baru saja bertemu dengan pemuda itu dan tertawa bersama pemuda itu. Beberapa hari lalu Debo meyakinkannya kalau dia tidak akan macam-macam selama ia masih menjalin hubungan dengan Rio. Pemuda itu bersikap seolah-olah mendukung hubungannya dengan Rio. Tapi, apa yang terjadi saat ini?
Rio tersadar dari amarahnya ketika mendengar suara Ify dan melihat wajah pucat pasi gadisnya itu. Ia langsung menarik gadis itu pergi tanpa memedulikan Debo yang masih terbaring menahan sakit di lantai. Napasnya naik turun seiring emosinya yang makin meninggi. Ia kemudian berhenti di depan toilet belakang sekolah yang jarang didatangi. Salah satu tempat sepi di sekolahnya. Ia menghempas tangan Ify yang sempat ia genggam. Ia berjalan mondar-mandir sambil meremas-remas kepalanya.
Ingin sekali ia membelah dadanya supaya semua sesak yang ada hilang. Masih kentara di benaknya bagaimana pemandangan Debo dan Ify tadi. Rasanya begitu menyakitkan melihat ada orang lain yang menyentuh gadisnya. Di tempat sepi seperti itu lagi. Diperparah dengan pesan misterius yang ia dapatkan. Ia marah. Marah sekali. Masalahnya ia bingung harus marah pada siapa. Pada Ify? Haruskah ia marah padanya? Apa Ify datang ke sana karena Debo? Apa mereka hanya tidak sengaja bertemu lagi seperti kemarin? Atau memang ada sesuatu di antara mereka? Apa si pengirim pesan misterius ingin memberitahunya soal itu?
“Arrggh!!” Rio mengerang kesal karena pemikirannya. Ia lalu beralih pada Ify yang hanya membisu sedaritadi. Gadis itu hanya diam dengan pandangan kosong. Seketika itu juga hasrat ingin marahnya hilang, berubah menjadi rasa cemas pada Ify. Ify pasti shock. Bodoh sekali jika ia berpikiran Ify selingkuh. Ify tidak mungkin bisa mencintai orang lain selain dirinya. Selama ini satu-satunya pemuda yang selalu dikejarnya hanya dirinya. Tidak mungkin Ify bisa secepat itu melupakannya dan beralih pada orang lain. Pasti ada sesuatu yang salah yang sudah terjadi.
Rio perlahan mendekat pada Ify. Ia menyentuh bahu gadis itu berniat menenangkan. Tapi tiba-tiba, Ify menepis tangannya dan langsung memeluk tubuhnya sendiri. Wajah Ify terlihat ketakutan. Kecemasannya semakin menjadi melihat Ify seperti itu. Ini pasti karena kejadian tadi. Ify benar-benar shock berat.
“Fy, lo gakpapa?” tanyanya khawatir. Ia hendak memegang kedua bahu Ify tapi Ify kembali menepis tangannya. “Jangan sentuh gue!” pekik Ify. Ia terisak sambil menundukkan wajahnya.
“Fy, ini gue, Fy! Ini gue!” kata Rio berusaha membuat Ify sadar. Namun sepertinya Ify masih kalut dalam pikirannya. Gadis itu masih meringkuk dan berusaha menjauhkan diri darinya. Bahkan kini Ify menyeka-nyeka bibirnya dengan kasar. Rio panik setengah mati. Ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Debo nanti.
Rio meraih lengan Ify dan menggoncang tubuh gadis itu. “Fy, tenang! Ada gue, Fy! Ini gue Rio!” Ia menangkup wajah Ify agar Ify bisa melihatnya. Siapa tahu Ify bisa sadar dari ketakutannya.
“Gue mau pulang..gue takut..gue mau pulang..” racau gadis itu. Rio setidaknya bisa sedikit bernapas  lega karena Ify tidak lagi meronta padanya. “Iya, kita pulang, Fy.” Katanya dan langsung membawa gadis itu kembali ke kelas. Ia meletakkan surat izin untuk mereka berdua lalu kemudian beranjak pergi menuju rumah Ify. Ify saat ini butuh ketenangan dan rumah Ify sepertinya lebih tepat. Ia takut papa dan mamanya ada di rumah dan akan panik melihat Ify nanti. Makanya lebih baik ia membawa Ify pulang ke rumahnya saja.

***

Rio membopong Ify dan membaringkannya di kasur kamar gadis itu. Ify tidur saat dalam perjalanan pulang tadi. Wajahnya benar-benar kelihatan lelah. Ini adalah hari yang berat untuk Ify.
Rio mengamati air muka Ify yang sudah tampak lebih tenang. Napasnya juga teratur tidak lagi sesenggukan. Ia membelai kepala gadis itu dengan lembut. Berharap belaiannya bisa membuat Ify semakin tenang dan tidak ketakutan lagi. Dua kali ia meninggalkan Ify dan dua-duanya sama-sama membuat Ify celaka. Nanti ia pasti akan berpikir ulang jika ada kesempatan untuknya meninggalkan kekasihnya itu lagi.
Rio baru hendak meraih tangan Ify ketika Ify tiba-tiba menggeliat dan mengigau gelisah. Ia langsung mengusap wajah Ify dan berusaha menenangkan gadis itu. Mata Ify terbuka dengan pandangan ketakutan lagi. Ia terduduk lalu menoleh ke kanan-kiri masih dalam ekspresi takut. Rio menangkup wajahnya lagi menyadarkannya dari mimpi buruk yang mungkin baru ia alami.
“Rio?” gumamnya dengan napas tersengal. Rio menghela napas lega lalu menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Iya, ini gue.”
Ify lalu mendesah lega sama sepertinya. “Gue dimana?” tanyanya dengan suara sengau dan serak. “Kita sekarang di rumah lo.”
“Tadi gue pingsan ya?” tanya Ify lagi. “Emangnya lo terakhir inget lo lagi ngapain?”
Ify mengernyit seraya mengingat-ingat. “Gue keluar perpus trus..gue gatau lagi.” ringisnya kemudian.
“Tadi lo cuma ketiduran pas di jalan pulang.”
“Pulang?” beo Ify. Ia spontan memeriksa jam tangannya dan mendapati sekarang belum masuk jam pulang sekolah. “Lo pasti bolos gara-gara gue ya?” tanyanya dengan tatapan tak enak hati.
“Itu gak penting. Sekali bolos gak akan bikin gue bego juga.” Jawab Rio santai seraya terkekeh pelan. Ify spontan mencibir ke arahnya. Masih sempat-sempatnya Rio menyombongkan diri di depannya kala ia tengah sakit begini. Eh, tapi ia tidak benar-benar sakit, sih.
“Sekarang, apa yang lo rasain?” tanya Rio kembali. Ify menatap Rio dan spontan menjawab. “Laper..”
Rio sesaat diam lalu tersenyum geli. Tapi melihat wajah linglung Ify ia jadi cemas sendiri. Sepertinya kejadian di perpus itu masih menimbulkan efek sampai sekarang. “Lo tunggu di sini. Gue mau ngambil makan lo dulu.” Pintanya. Ia hendak berdiri namun tiba-tiba Ify memegang tangannya.
“Lo mau ninggalin gue sendirian?” Ify menoleh ke kanan-kiri sesaat lalu kembali pada Rio. “Gue takut..” cicitnya kemudian.
Rio mengernyit lalu duduk kembali. Ia memegang puncak kepala Ify dan mengacak rambutnya pelan. “Kita kan di rumah lo, Fy. Gak akan ada yang gangguin lo. Jadi lo gak perlu takut.” Sekali lagi Ify melihat ke kanan-kirinya memastikan apakah kata-katanya benar.  “Sekarang lo tiduran dan tutup mata. Biar lo gak takut.”
Ify menurut tanpa banyak komentar. Ia merebahkan dirinya ke kasur dan menutupi dirinya dengan selimut sampai ke leher. “Gue tinggal bentar ya!” ujar Rio. Ify hanya menganggukkan kepala.
Rio berjalan keluar kamar. Ia berhenti ketika hendak menutup pintu untuk melihat keadaan Ify sebentar. Gadis itu masih celingak-celinguk seperti orang linglung. Ia menghela napas berat. Semoga Ify tidak akan lama-lama seperti itu.

***

* Coba puter lagu sweet love atau wait for you chris brown. Atau juga wherever you go nya a rocket to the moon. Tapi jangan perhatiin liriknya kalo yang sweet love, kalian bisa gila nanti wkwkwk(?)*
Rio meletakkan piring di atas nakas dan mengambil segelas air putih lalu memberikannya pada Ify. Ify meneguk habis air dalam gelas tersebut dan kemudian menaruhnya kembali. Rio melihatnya lalu tersenyum. Ia merasa seperti sedang mengurusi anak bayi.
Ada sisa makanan di sudut bibir Ify. Rio baru mengangkat tangan hendak membersihkan tapi tiba-tiba Ify menepis tangannya dengan kasar. Wajahnya juga seketika berubah ketakutan. Astaga...apa sampai sekarang pun efek kejadian di perpus masih ada? Pikirnya.
Mata Ify menangkap siluet wajah Rio dan seketika tersadar dari ketakutannya. Ia menghela napas lega lalu memandang Rio dengan tatapan bersalah. “Sorry, tadi gue..parno..” lirihnya sambil menunduk. Saat ketika Debo tiba-tiba menciumnya itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Membuatnya takut pada siapa saja yang mencoba menyentuhnya. Ia terus merutuki diri karena tidak bisa menjaga dirinya dengan baik. Kalau Rio sampai terlambat datang, mungkin Debo akan melakukan hal yang lebih parah dari sekedar menciumnya.
Rio menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Ify. Ify mengangkat wajahnya dan mendapati Rio sedang menatapnya begitu intens. Hingga kemudian Rio menarik tubuhnya dan memeluknya. Pemuda itu juga mengelus-ngelus punggungnya. Ia memejamkan mata sambil menenggelamkan wajahnya di leher pemuda itu. Kalau bisa ia ingin setiap saat seperti ini. Ini cukup untuk menenangkan perasaannya.
“Apa lo udah siap cerita soal tadi?” tanya Rio lembut. Ia tidak ingin terdengar seperti memaksa Ify. Tapi, ia juga ingin Ify berbicara dan bercerita supaya hatinya lega. Tidak ada lagi yang mengganggu hati dan pikirannya.
Ify mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang dan menghembusnya perlahan. “Tadi gue dapet sms dari lo, lo nyuruh gue ke perpus. Lo bilang lo nunggu gue di sana.” Ify berhenti dan menarik napas lagi lalu melanjutkan bicaranya. “Trus..pas gue udah di perpus, lo gak ada. Gue mutusin nunggu lo sambil baca buku. Pas gue lagi nyari buku tiba-tiba..tiba-tiba..” Ify kembali berhenti untuk menarik napas. Dadanya langsung terasa sesak. Ia mencengkram baju seragam Rio kuat-kuat. “Ada orang yang meluk gue dari belakang. Gue pikir itu elo. Tapi pas gue balik, tiba-tiba dia langsung nyium gue. Dan gue sadar itu bukan lo. Dan..dan gue takut, Yo. Gue takut..”
Rio mengusap punggung Ify lebih keras berusaha mengurangi tekanan yang dirasakannya. “Tapi..gue gak ada ngirim sms atau apapun sama lo, Fy.” Gumam Rio. Badan Ify terasa kaku sesaat. Sepertinya gadis itu kaget mendengar ucapan orang yang tengah memeluknya itu. Ia menarik tubuhnya memandang Rio dengan kaget, bingung sekaligus masih tidak percaya. Ia mengeluarkan ponselnya yang ada di sakunya dan mencoba mengecek kembali pesan dari ‘Rio’ tersebut. Mengecek siapa tahu ia tadi salah baca atau bagaimana.
Tapi kenyataannya, matanya tidak salah membaca siapa pengirim pesan tersebut. Pesan tersebut benar-benar dikirim dari nomor Rio. Benar-benar nomor Rio. Ia lantas menunjukkannya pada Rio untuk membuktikan ucapannya tidak salah. Rio mengernyit tak mengerti pada apa yang sedang terjadi. Bagaimana mungkin nomornya bisa mengirimkan pesan sementara selama di ruang rapat tadi ia tidak sekalipun memainkan ponselnya. Kecuali....hhh, udah gue duga. Gak mungkin bisa secepat itu Ify diterima. Batinnya.
“Terus, kenapa lo bisa dateng ke perpus? Waktunya pas banget lagi.”
“Gue dapet sms juga gatau dari siapa. Dia nyuruh gue kesana buat ngasih tau gue siapa lo yang sebenernya, katanya.”
Ify diam sambil memandang Rio lama. Rio membalasnya dengan tatapan bertanya. “Apa lo ke sana karena lo berpikiran buruk tentang gue gara-gara sms itu?”
Rio cepat-cepat menggelengkan kepala sebelum Ify salah paham. “Enggak, Sayang. Gue kesana justru karena gue khawatir sesuatu yang buruk terjadi sama lo. Dan...ternyata bener, kan?” Nada suara Rio terdengar sedikit ketus di akhir ucapannya. Ia benar-benar masih tidak rela Debo telah berhasil mencuri kesempatan mencium Ify-nya.
Mata Ify kembali memerah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Maaf ya...gue udah bikin lo malu dan susah. Gue gak bisa jaga diri gue baik-baik. Gue emang be—”
“Jangan sekali-kali lo ngerendahin diri lo sendiri. Gue gak suka.” Sela Rio tajam. Tapi kemudian ia menghela napas merasa bersalah. Semua ini terjadi juga karena dirinya. Kalau saja ia tidak ceroboh, maka Ify tidak akan pernah datang ke perpustakaan dan bertemu dengan Debo.
Sementara Ify, ia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika mendapati sikap dingin Rio itu. Ia merasa Rio marah padanya dan ia juga merasa benar-benar tidak pantas mendapat pengampunan dari kekasihnya itu. Ia tidak akan menyalahkan Rio jika Rio membencinya ataupun menghinanya saat ini. Cercaan itu memang pantas untuknya. Untuk dirinya yang terlalu bodoh. Ia tidak pernah mengambil pelajaran dari semua hal yang sudah terjadi padanya.
Dahulu hanya karena nama ‘Rio’ tercantum dalam pesan, ia langsung percaya kalau itu Rio. Dan yang akhirnya terjadi, ia terkurung di dalam ruang musik dan membuat semua orang pusing mencarinya. Terutama Rio yang sudah repot-repot berkeliling sekolah malam-malam untuk mencarinya. Sekarang modus yang sama terjadi lagi dan ia masih juga percaya begitu saja. Bagaimana ia bisa jatuh ke lubang yang sama untuk yang kedua kali? Kalau ada peringkat yang lebih rendah daripada bodoh, itulah dirinya.
“Gue yang harusnya minta maaf karena gue teledor jagain lo. Pelakunya pasti orang yang gak suka atau mungkin juga suka sama gue. Semuanya terjadi pasti ada sangkut pautnya sama gue.” Rio mendesah pelan sambil mengelus-ngelus punggung tangan Ify. “Mau maafin gue, kan?” tanyanya kemudian seraya tersenyum hangat.
“Lo juga gak marah sama gue, kan?” tanya Ify balik. Rio tersenyum makin lebar lalu menggelengkan kepala. Ia menyeka pipi Ify dari bias air mata yang sempat turun beberapa. Ify tak ayal merasa lega dalam hati. Tadinya ia pikir ini akan menjadi akhir kisahnya dengan Rio. Tapi yang sebaliknya terjadi, ini merupakan peristiwa yang justru menguatkan rajutan cinta mereka berdua. Ia tidak menyesali ia sudah datang ke perpustakaan. Meski ia tetap tidak bisa menerima perlakukan lancang Debo kepadanya.
“Mulai sekarang, jangan percaya pesan apapun yang mengatasnamakan gue, sekalipun itu dari nomer gue sendiri. Karena gue gak akan pernah lagi ngirim lo sms atau sejenisnya. Gue bakal ngehubungin lo cuma dengan cara nelfon. Selain itu, berarti bukan gue. Begitu juga elo. Deal?” Rio memiringkan kepalanya meminta persetujuan sambil menaikkan alis. Ify hanya menganggukkan kepala. Rio kembali tersenyum.

***

Rio meremas kemudinya sambil memandang bangunan rumah bertingkat yang ada di depannya. Ia mengatur napasnya berkali-kali sekaligus mengontrol emosinya agar tidak meninggi. Ia lalu turun dari mobilnya dan berjalan menuju pintu depan rumah tersebut. Sesampainya, ia lantas memencet bel dan menunggu hingga pintu di buka oleh seorang wanita yang sudah tak asing lagi di matanya. Mama Dea.
“Eh, Rio? Ayok masuk!” sapa wanita itu. Rio tersenyum sopan seraya mengangguk. “Siang, Tante.” Ia bersama Mama Dea kemudian duduk di sofa.
“Kamu mau Tante buatin minum atau nanti kamu yang buat sendiri?” tanya Mama Dea lagi dengan tersenyum ramah. “Gak usah repot-repot, Tante. Kayak Rio baru sekali ke sini aja!” jawabnya seraya terkekeh kecil. Mama Dea hanya mengedikkan bahu.
“Yaudah kalo gitu. Tante tinggal ya, Dea nya ada di atas.”
“Iya, Tante.” Mama Dea berlalu pergi meninggalkan Rio sendiri di ruang tamu. Rio lantas berdiri dan beranjak naik ke lantai atas menuju kamar Dea. Ia mengetuk pintu dan langsung disahut oleh suara Dea dari dalam.
“Masuk!” katanya. Rio menekan kenop dan membuka pintu. Tampak Dea sedang merebahkan diri, bertelungkup dengan laptop yang menyala di hadapannya. “Siapa?” tanya gadis itu tanpa menoleh ke arahnya.
Rio mendesah pelan. “Kak Rio.” jawabnya singkat. Mendengar namanya, Dea langsung memutar kepalanya untuk melihatnya. Ia kemudian bangun dari posisinya menjadi duduk menghadap ke arahnya.
“Kak Rio? Mau ngapain ke sini? Pasti kangen sama aku, iya kan?” Ia berseru sambil mengacungkan telunjuk pada Rio. Rio berjalan mendekati kasur namun tidak memilih duduk di atasnya. Ia berdiri menatap Dea seraya bersedekap. Dea mengernyit melihat sikap Rio itu.
“Kamu, kan, pelakunya?” tembak Rio langsung. Dea mengernyit lagi tak mengerti. “Pelaku apa?”
“Kamu tadi minjem hape kakak trus sms Kak Ify dan nyuruh dia dateng ke perpus, iya kan?” Rio mati-matian menahan agar suaranya tidak meninggi. Rasanya ia ingin memaki habis-habisan gadis yang ada di hadapannya ini. Gadis yang tega-teganya menjebak Ifynya ke tangan Debo. Tapi, ia tidak bisa. Ia tidak ingin ketakutan Ify malah akan menular pada Dea kalau ia melabrak dengan keras. Kalau pada Dea, efeknya pasti akan jauh lebih parah. Dea bisa-bisa frustasi karena ia marahi dan bisa-bisa dia berbuat nekat seperti yang sudah-sudah.
Dea terdiam terpaku tak menjawab. Gadis itu membalikkan badannya sehingga duduk membelakangi dirinya. Rio menebak kalau tuduhannya pasti tidak salah, jika melihat reaksinya seperti itu. “Kenapa harus ke Kak Ify, De? Kalo kamu marah sama Kakak, kamu gak boleh ngelampiasinnya ke Kak Ify.”
Dea masih saja diam tanpa membalas ucapannya. Membuat lidahnya gatal untuk kembali berbicara. “Untuk kali ini, Kakak bener-bener kecewa sama kamu. Tindakan kamu udah sangat keluar jalur. Gak seharusnya anak sma kayak kamu ngerencanain hal buruk ke orang lain kayak gitu. Kamu tau? Kak Ify hampir jadi orang gila gara-gara ketakutan. Apa kamu seneng ngeliat Kak Ify kayak gitu? Itu yang kamu mau? Itu bikin hati kamu puas?”
Dea menggeleng pelan lalu menundukkan wajahnya. Bahunya mulai bergetar, tanda kalau gadis itu mulai terisak. Sekali lagi Rio mendesah. Kalau begini, ia juga merasa bersalah. Lagi-lagi ia harus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak ada yang lebih pantas disalahkan selain dirinya. “Kakak harus apa supaya kamu gak ganggu Kak Ify lagi?”
“Aku mau KakYo..” rajuk Dea. Rasanya Rio ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding sampai pecah. “De, kamu ngertiin Kakak, doooong? Jangan bikin Kakak serba salah..” katanya pasrah.
Dea kembali diam. Rio mengerang pelan sambil mengacak-ngacak rambutnya. Ia berkacak pinggang memandang Dea kesal. “Kakak udah gatau lagi gimana caranya buat kamu ngerti. Kamu gatau kan seberapa marahnya Kakak ngeliat pacar Kakak sembarangan dicium cowok lain? Kamu anggap Kak Ify itu apa, De? Sampe sekarang hati Kakak rasanya belum ikhlas, gak akan pernah ikhlas. Kalo aja Kakak gak mandang kamu itu adek Kakak, Kakak pasti udah maki-maki kamu atau bahkan nampar kamu. Kamu nyakitin Kak Ify sama aja kayak kamu nyakitin Kakak, De.”
Rio menghembus napasnya keras-keras lalu melanjutkan berbicara. “Kakak rasa Kak Ify gak pernah ganggu kamu separah yang kamu ganggu dia. Kamu inget gak, waktu kamu bersikap gak hormat sama dia pas Kakak dateng ngajarin kamu? Ada gak Kak Ify ngebales sikap kamu? Dan kejadian yang baru banget kemaren waktu kita ke ancol. Kakak nyuekin bahkan ngelupain dia demi kamu. Apa Kak Ify juga ada ngebalesnya sama kamu? Enggak, kan?”
Dea menggelengkan kepalanya namun masih tetap bergeming. Seakan-akan ada semen yang mengeratkan kedua bibirnya menjadi sangat kaku. Untuk kesekian kalinya Rio menghela napasnya. “Kakak mau kamu jangan ngomong apa-apa soal ini sama Kak Ify. Kakak gamau dia tau kalo pelakunya kamu. Kak Ify pasti ga bakal terima lagi sikap kamu yang satu ini. Kakak gak mau hubungan kalian makin kacau. Kakak gamau kebencian antara kalian jadi timbal balik. Cukup kamu aja yang dendam sama Kak Ify, Kak Ify jangan sampe ikut dendam sama kamu. Kakak bisa mati gila, De! Kakak harap kamu bisa berhenti ganggu Kak Ify. Kakak gak akan maafin kamu dan mau kenal kamu lagi kalo sampe kejadian kayak gini terulang. Kakak serius.”
Rio berbalik badan dan berjalan keluar tanpa mengucap pamit lebih dulu. Semakin lama berada di sana semakin mengepul emosinya. Ia ingin marah tapi tidak bisa marah. Semuanya harus tertahan dan pada akhirnya membuatnya sesak sendiri. Tapi setidaknya hatinya bisa sedikit lega karena sudah memberi Dea peringatan keras. Hanya tinggal satu orang lagi yang ingin ia minta tanggung jawab. Pemuda kurang ajar yang sudah mencium kekasihnya tercinta. Si beruang berkulit penguin itu. Siapa lagi kalau bukan Debo.

***

Ify keluar dari kamar mandi sambil menyisir-nyisir rambutnya dengan jari. Ia berjalan ke dekat kaca di atas nakas. Maklum, ini kamar laki-laki jadi tidak mungkin ada meja rias, kan? Ia dan Rio sudah kembali ke rumah pemuda itu sehabis makan tadi. Ia kembali tertidur dan terbangun sudah ada di dalam kamar Rio. Pemuda itu sendiri tak tahu rimbanya ke mana. Saat terbangun tadi ia hanya menemukan dirinya sendiri. Ia mencari ke kamar sebelah dan terakhir bertanya pada Amanda, wanita itu bilang Rio pergi tapi tidak bilang mau kemana.
Ify ingin menghubungi pemuda itu tapi tidak jadi. Ia takut Rio menganggapnya posesif. Mereka kan selalu bertemu setiap hari, baik di rumah maupun di sekolah. Bahkan baru saja bertemu beberapa saat lalu. Apalagi Rio sampai harus repot mengurusinya saat ia masih shock. Membopongnya dua kali, menyuapinya makan, menenangkan ia yang kalut sampai-sampai harus ikut bolos. Tidak ada salahnya kalau ia ditinggal sebentar. Rio kan juga punya urusannya sendiri bukan cuma mengurusinya. Toh, sekarang ia sudah ada di rumah Rio dan tidak akan ada hal buruk yang bakal terjadi lagi.
Ify menaburkan bedak bayi miliknya dan menggosok kedua tangannya. Ia lantas menepukkan telapak tangannya ke wajahnya. Setelah itu, ia mengambil lotion yang juga miliknya dan mengolesnya ke leher, tangan dan kakinya. Ia lalu menciumi aroma tubuhnya dan tersenyum puas karena tubuhnya tecium sudah wangi. Tanpa sengaja matanya menangkap refleksi wajahnya di cermin. Seketika itu juga senyumnya luntur, terlebih ketika menatap bibir mungilnya. Ia benar-benar tidak bisa terima kalau Debo telah dengan lancang menciumnya. Dengan kesal ia menggosok-gosok bibirnya dengan punggung tangannya. Ia merasa banyak sekali kotoran yang menempel di sana.
Karena terlalu terbawa kesal dan menjadikannya fokus pada kegiatan menggosoknya, ia sampai tidak sadar kalau Rio baru saja membuka pintu dan berjalan mendekatinya. Rio tersenyum geli melihat tingkahnya. Ify kemudian merasa ada aroma lain di indra penciumannya. Aroma yang tak mungkin tidak ia kenali. Aroma tubuh Rio. Tangannya spontan berhenti lalu kepalanya menoleh ke samping, tempat di mana Rio berdiri sambil bersandar di dinding dan bersedekap.
“Lo kapan datangnya?” tanyanya polos. Rio terkekeh pelan. Ia lantas mengerling pada Ify. “Mau gue bantu bersihin?” tanyanya menggoda. Ify mengerutkan kening bingung, namun sejurus kemudian ia memberengut.
“Enggak!” tolaknya. Meski begitu ia merasa pipinya merona dan jantungnya berdebar. Ia langsung menurunkan tangannya dari wajahnya sebelum Rio kembali menggodanya karena itu.
Tiba-tiba Ify teringat pada perkataan Rio tentang pesan misterius. Ia menoleh lagi pada pemuda itu. “Pinjem hape lo, dong?”
Rio memasang tampang bingung meski tetap memberikan ponselnya pada Ify. Ify lalu duduk di atas kasur setelah mengambil ponsel Rio dan ponselnya sendiri. Ia membuka kotak masuk pesan Rio mencari sms misterius yang Rio maksud. Ia menyalin nomor pengirim pesan tersebut ke dalam ponselnya. Ia belum sempat menekan tombol save karena tiba-tiba merasa ada sesuatu yang berhembus di lehernya dan membuatnya geli. Ia refleks menoleh ke samping dan kaget melihat wajah Rio yang begitu dekat. Pemuda itu sedang menyandarkan dagunya di bahunya sambil menutup mata.
“Lo abis mandi ya?” tanya Rio. Ify mengangguk pelan dan sedikit gugup. “Iya..kenapa? Badan gue masih bau ya?”
Rio tersenyum dan membuka matanya. “Enggak, kok. Lo wangi, wangi banget.” Ia menegakkan badannya dan merangkul leher Ify seraya mencium pelipis gadis itu cukup lama. Terakhir ia menumpu dagunya di atas kepala Ify dan menghela napas.
“Hhh..kenapa gue pengen meluk lo terus ya?” tanya Rio seperti bergumam pada dirinya sendiri. Hati Ify rasanya berbunga-bunga. Ia tak bisa tidak tersenyum karena itu. Namun, helaan napas Rio sedikit mengusik hatinya. Rio terdengar seperti lelah sekali. Pasti karena mengurusinya tadi.
“Lo capek ya?” tanya Ify pelan. Rio hanya berdehem sambil memejamkan mata lagi. Entah kenapa saat ini ia merasa Ify akan pergi jauh darinya sehingga membuatnya tak ingin sedetik pun melepaskan gadis itu dari dekapannya. Ia baru sadar kalau ia benar-benar jatuh cinta pada Ify. Sampai-sampai membayangkan gadis itu menghilang saja tidak sanggup.
Ify menggeliat dan sedikit mendorong badan Rio. Rio merenggangkan tangannya dan merajuk menatapnya. “Kenapa?” protesnya pelan. Ify terlebih dulu meletakkan ponsel mereka di sampingnya lalu menoleh pada Rio. Ia menepuk pahanya sendiri menyuruh Rio menyandarkan kepalanya di sana. Rio memandang tangannya lalu kembali ke wajahnya. Pemuda itu tersenyum seraya menaikkan alis.
“Paha lo kan kurus, Fy, minim daging. Ntar kepala gue malah sakit nidurin tulang doang.”
Wajah damai Ify langsung berubah kesal. “Gue udah manis-manis nawarinnya, lo malah ngeledek. Yaudah kalo gamau!”
Rio tertawa tanpa dosa tak peduli Ify makin keki melihatnya. Ia kemudian berbaring dengan paha Ify sebagai bantal. Ia memiringkan tubuhnya supaya ia tetap bisa memeluk gadis itu. Ify tak ayal mencibir meski akhirnya tersenyum juga.
“Perut lo mau gue bikin berisi gak?” tanyanya jahil. Ify langsung menjewer kupingnya meski tidak kuat. “Dasar mesum!” gumam gadis itu.
“Gue booking buat anak gue nanti ya, Fy.” Sekali lagi Ify menjewer kupingnya. “Rio!” balas Ify memperingati. Mereka lantas sama-sama tertawa.
“Yaudah, gue numpang tidur bentar ya..” ujar Rio yang langsung menutup matanya sambil menepuk-nepuk punggung Ify pelan. Sepertinya ia memang butuh istirahat.
Ify hanya balas berdehem. Ia lebih memilih mengelus-ngelus kepala Rio membantu pemuda itu tidur lebih cepat. Perlahan-lahan tepukan di punggungnya terasa makin pelan hingga akhirnya benar-benar hilang. Rio sudah terlelap. Ia tersenyum senang. Ia benar-benar bersyukur akan kejadian hari ini. Tapi ya tetap sekali lagi, ia tidak akan bisa menerima apa yang sudah Debo lakukan padanya. Ia sudah tidak percaya lagi pada pemuda itu. Ia menarik kata-katanya beberapa hari lalu kalau ia senang punya secad seperti pemuda itu. Ia benar-benar menyesal bisa disukai olehnya. Sangat-sangat menyesal.

***

Ify berjalan melewati koridor sekolahnya dengan menunduk sedalam-dalamnya. Entah kenapa tatapan orang-orang kali ini begitu menusuk hatinya. Tatapan orang-orang saat ini terasa berbeda dan janggal. Ia sudah biasa merasakan tatapan iri ketika ia berjalan dengan Rio di sampingnya, tapi kali ini berbeda. Mereka semua seperti sedang menertawakannya. Ia seperti baru saja ketahuan mencuri sehingga ditatap seperti itu. Dan itu membuat hatinya ciut dan tidak berani menegakkan wajahnya dan berjalan biasa. Untung saja Rio ada di sampingnya menemaninya. Kalau tidak, ia pasti lebih memilih pulang ke rumah daripadanya disuruh melangkah di depan mereka.
Rio mengetahui benar ketidakpedean Ify saat ini. Ia mengeratkan tautan jemarinya bersama gadis itu. Seolah memberi tahu gadisnya tersebut kalau akan selalu ada dirinya mendampingi di sampingnya sehingga ia tidak perlu takut. Memberi sedikit kekuatan pada Ify.
“Perasaan gue gak enak, Yo. Cara mereka ngeliat gue itu loh..” cicit Ify. Ia tersenyum hangat pada gadis itu. “Lo cuma grogi. Gak ada apa-apa kok. Kan gue udah bilang, lo harus biasa diliatin banyak orang kalo mau jadi pacar gue.” katanya seraya terkekeh kecil.
Namun, tampaknya hati Ify masih saja gelisah. Gadis itu memberengut dan mendesah pelan. “Tapi, cara mereka ngeliatin gue yang kali ini itu beda, Yo. Kayak—”
Rio lekas memotong ucapan Ify, mencegah gadis itu berpikiran yang tidak-tidak. “Jangan nethink gitu, Fy. Semuanya baik-baik aja. Gak usah peduliin apa yang mereka lakuin atau pikirin tentang lo.”
Ify menggigit bibirnya menimang-nimang apa ia bisa percaya pada kata-katanya. “Gitu ya?” gumam Ify pelan.
“Iyaa..” balas Rio seraya melepas sesaat genggaman mereka untuk mengelus kepala Ify lalu kembali berjalan bergandengan.

***

Ify duduk dengan gelisah di dalam hati sambil memelintir seragamnya. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam ruangan ini. Ruangan yang menjadi aib bagi semua siswa. Ruang BK. Tidak juga, sih, sebenarnya. Ruangan ini banyak juga didatangi murid untuk curhat. Tapi memang, kalau sudah masuk ke ruangan ini, selalu ada kesan ‘murid bermasalah’ yang akan dibawa keluar. Seperti sebuah stempel yang langsung tertancap di dahi dan permanen. Di sanalah ia sekarang.
“A—ada apa ya, Bu, sampai saya dipanggil? Pagi ini saya gak telat, kok.” Tanyanya panik.
Bu Anne tersenyum melihatnya. “Tenang, Ify. Ibu hanya ingin ngobrol sama kamu.” Jawabnya lembut. Ia mengambil sebuah amplop kuning di sebelahnya dan menyodorkannya ke depan Ify. Ify memandangnya dan amplop tersebut bergantian dengan bingung. “Ibu hanya ingin denger penjelasan kamu soal ini. Silahkan, boleh kamu buka.” Lanjutnya.
Ify mengambil amplop tersebut dan membukanya dengan ragu-ragu. Matanya melotot dan jantungnya serasa meledak manakala ia mengetahui apa isi dari amplop itu. Dua buah foto yang pasti diambil saat ia berada di perpustakaan. Saat ia bersama Debo. Saat Debo sedang memeluknya dan saat Debo sedang...
“Kenapa...” Ify sudah tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia ingin pingsan saja. Ia tidak kuat memikirkan nasibnya nanti di tangan Bu Anne. Ia pasti akan kena hukuman. Selama ini ia mati-matian menjaga citranya sebagai anak baik-baik. Ia tahu diri kalau ia tidak bisa berprestasi di bidang akademik. Untuk itu, setidak-tidaknya perilakunya di mata guru-guru dan semuanya selalu terjaga. Tapi kini, upayanya itu benar-benar sia-sia. Namanya sudah tercoreng. Semoga saja foto ini tidak tersebar kemana-mana.
“Ada yang menempel foto itu tadi pagi di mading. Untung Ibu cepat dateng jadi bisa mencabutnya dari sana. Ibu harap anak-anak yang udah liat gak bakal ngomongin ini ke yang lain, ke yang belum liat.” Bu Anne mendesah berat. Doanya sedikit susah untuk terkabul.
Tadi jantungnya, sekarang kepala Ify yang terasa ingin meledak. Pupus sudah harapannya. Mana mungkin siswa yang sudah melihat tidak membicarakan ini. Foto ini pasti sudah tersebar luas. Hancur sudah reputasinya.
Ify menelan ludah menahan air mata yang tak sabar menghujani pipinya. “Tapi, saya gak pernah minta Debo nyium saya, Bu. Saya bahkan gaada hubungan apa-apa sama dia. Dia tiba-tiba nyamperin saya dan melakukan apa yang tercetak di foto ini.” Kalau membicarakan Debo, rasanya hatinya makin panas. Ia sangat-sangat kecewa pada pemuda itu. Ia tidak menyangka Debo akan sampai hati padanya seperti ini. Dan juga pengirim sms misterius itu. Entah kenapa ia merasa pelakunya sama dengan orang yang menculiknya dulu.
“Sudah Ibu duga! Kamu gak mungkin sengaja melakukan ini. Pasti ada orang yang mau ngerjain kamu dan mempermalukan kamu. Ckck, dasar anak-anak!” Bu Anne tiba-tiba berseru. Mukanya tampak begitu bersemangat membelanya. Begitu tidak suka pada orang yang sudah mengerjainya. Sedikitnya, Ify bisa merasa lega. Kalau Bu Anne membelanya, itu tandanya ada kemungkinan ia akan bebas dari hukuman. Satu masalah terlewati.
“Kalau Ibu bertanya pada saya, saya ga akan bisa jawab apa-apa, Bu. Karena saya juga gak ngerti kenapa ini bisa terjadi. Ibu lebih baik langsung tanya sama Debo. Dia kunci semua kejadian ini. Tapi, kalau dia sampai bilang ini kesengajaan saya sama dia, saya berani bersumpah kalau dia bohong.” Ify mencoba memberanikan diri dan berkata dengan yakin pada Bu Anne. Bu Anne menganggukkan kepalanya mengerti.
“Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati. Di dunia ini, gak semua yang suka kamu, apalagi yang gak suka sama kamu, bakal bersikap pasif sama kamu. Dunia udah dipenuhi sama orang-orang nekat. Kamu dituntut untuk selalu waspada dan gak gampang percaya sama orang yang mendekati kamu. Tapi kamu juga gak boleh mudah berpikiran negatif sama mereka. Haah..kedengarannya aja susah ya, membingungkan. Tapi itu yang harus kamu lakukan. Ibu cuma bisa bilang itu sama kamu, Fy.”
Ify mengangguk dengan tatapan penuh berterimakasih. Ia tidak sanggup membayangkan kalau ia dihukum. Ia tidak tega melihat betapa kecewa Papanya, apalagi laki-laki itu sedang terbaring di rumah sakit dengan penyakit yang tidak ringan. Lalu, kedua orang tua Rio juga Ray, mereka pasti tak kalah kecewanya kalau sampai mendengar hal ini. Meskipun ini bukan murni kesalahannya, ia tetap merasa malu dan ikut kecewa pada dirinya sendiri.
“Yaudah, sekarang kamu boleh kembali ke kelas.” Ujar Bu Anne ramah. Ify mengangguk lagi seraya tersenyum. “Makasih, Bu. Makasih sudah percaya sama saya.” Ucap Ify tulus. Bu Anne hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

***

Rio mengajak Ify duduk di rerumputan taman Parfait setelah Ify keluar dari ruang BK. Ditangannya terdapat dua mangkok pop mie untuk mereka berdua sementara Ify memegang dua botol air minum. Ia meletakkan salah satu pop mie di depan Ify. Ify melihat itu tanpa semangat dan memilih memandang pemandangan di depannya. Atau lebih tepatnya melamun.
Rio menyeruput mienya dengan lahap sementara Ify hanya diam di tempatnya. Rio melihat itu lantas menghembus mienya dan menyuapkannya pada Ify. Ify berjengit menghindar. “Gue gak laper.” Bukan Rio namanya kalau ditolak sekali langsung menyerah. Ia mengurung Ify dengan tangannya, mengalungkan tangannya sehingga gadis itu tidak bisa bergerak kemana-mana.
“Buka mulut!” perintahnya. Ify memberengut. “Riooo..” rengeknya. Rio menaikkan alis tetap memaksa Ify agar mau menerima suapannya. Mau tidak mau Ify terpaksa membuka mulutnya. Rio langsung tersenyum puas dan menarik tangannya membebaskan ruang gerak Ify lagi.
Ia baru hendak menyuap untuk dirinya sendiri kembali sebelum ia mendengar isakan-isakan kecil dari sampingnya. Ia menoleh dan mendapati Ify sedang menangis tanpa suara. Ia meletakkan pop mienya di depannya dan meminum air minum yang mereka beli di kantin. Setelah itu ia kembali pada Ify. Ia menyeka air mata Ify di pipinya dan menyelipkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahnya dari samping.
Ify meraih tangan Rio dan menjauhkannya pelan. “Ntar tangan lo kotor..” katanya dengan suara bindeng. “Emangnya air mata lo asalnya dari got bisa bikin tangan gue kotor?” balas Rio berusaha membuat Ify ceria lagi. Tapi, sepertinya belum berhasil.
“Gue bikin lo nangis mulu. Lo gak bahagia ya sama gue?” ujarnya pura-pura sedih. Ify langsung menggelengkan kepalanya dan memegang lengannya. “Bukan itu!” rengeknya lagi. Rio lantas tersenyum. Kali ini usahanya sedikit membuahkan hasil.
“Kalo gitu senyum dong, jangan nangis lagi. Ntar idung lo pesek kek gue, loh, ngelap ingus mulu.” Ify memukul tangannya merengut namun kemudian tersenyum. “Udah cetakannya idung gue begini, mana bisa gitu aja berubah gara-gara ngelap ingus!” Rio tersenyum senang sambil mengacak-ngacak rambut Ify. Ify mengambil botol air minum yang sudah dibuka Rio lalu meminumnya beberapa teguk.
“Kira-kira siapa ya..orang yang udah ngerjain gue?” tanya Ify dengan pandangan menerawang.
Rio sesaat terdiam. Cepat atau lambat Ify pasti ingin tahu siapa pelaku dibalik ini semua. Dan ia tidak menginginkan itu terjadi. Ia tidak ingin Ify tahu kalau pelakunya Dea. Sekali lagi, ia tidak ingin mereka berdua bermusuhan. Satu alasan lagi. Ia tidak ingin Ify terus mengingat kejadian ini karena ia sendiri tidak ingin diingatkan oleh kejadian itu. Ia tidak ingin lagi mengingat bagaimana Debo dengan lancang mencium Ify di depan matanya. Ia tidak bisa menghilangkan amarahnya kalau terus mengingat itu. Ia tidak ingin memperpanjang masalah jika ia tiba-tiba kalap. Ia sudah memutuskan untuk berusaha memaafkan pemuda itu. Jadi upayanya akan sia-sia jika masalah ini terus saja dibahas.
“Lo gak perlu mikirin itu. Gue pengen lo gak usah inget-inget lagi apa yang sudah terjadi sebelumnya.” Gumamnya sambil kembali memakan pop mie.
Ify menoleh ke arahnya lalu kembali memandang nanar ke depan. “Mana bisa gue lupain gitu aja, Yo. Gue udah dijebak dan dilecehakan, terakhir gue juga dipermalukan. Ini tuh peristiwa berat buat gue. Mungkin seumur hidup gue bakal tetep inget.”
“Makanya sekarang lo coba untuk lupa. Jangan lo bahas-bahas lagi. Hilangin semua rasa penasaran lo soal si pelaku. Itu cuma bikin lo capek sendiri kalo terus lo cari tau, Fy.”
“Gue punya 3 sahabat yang bisa bantu gue dan..gue juga punya lo..berikut Iel sama Cakka. Iya, kan?”
Rio mengerang dalam hati. “Gue mau lo lupain semuanya, Fy.” Balasnya dingin dan tajam. Berharap Ify akan tunduk pada kata-katanya. Tapi, sepertinya Ify tidak menyadari sama sekali kalau ia sedang menekan gadis itu. Gadis itu masih santai memandang ke depan.
“Gue gak bisa, Yo.” Sahutnya ringan. Rio tiba-tiba meletakkan pop mie nya dengan kasar yang membuat air di dalamnya sedikit memercik dan juga membuat Ify kaget. Ify menoleh ke arahnya dengan bingung dan sedikit takut. “Gue gak mau lo terus nginget itu, Fy. Kenapa sih lo gamau dengerin kata gue? Gue tau emang gak mudah, tapi kalo niat pasti lo bisa. Pelan-pelan pasti lo bisa, kan?”
Ify mengernyit memandang Rio. “Lo kenapa jadi marah-marah, sih?” tanyanya mencoba tenang. “Karena lo gamau denger omongan gue. Gue gak mau pelakunya malah makin dendam sama lo kalo sampe lo ngebongkar kesalahan dia.”
“Lo kayak tau pelakunya aja!” balas Ify asal. Rio hampir saja terpancing akan kata-kata gadis itu. Ia mendesah pelan. “Gue mohon, Fy?” lirihnya dengan tatapan memelas. Ify balas menatap sama memelasnya. “Hati gue rasanya gak puas, Yo.”
“Fy, please!” Nada suara Rio meninggi. Ify berjengit kaget. “Lo kenapa sih, Yo? Apa yang salah kalo gue tetep nyari tau? Kalo ketemu pun gue gak bakal sampe nyakar-nyakar dia. Gue cuma mau ngomong dari hati ke hati. Gue mau berdamai sama dia sekaligus hati gue sendiri.”
“Karena gue gak mau terus inget kalo gue pernah liat dengan mata kepala gue sendiri ada cowok lain nyentuh cewek gue! Gue gak mau inget-inget lagi gimana Debo nyium lo! Gue gak mau naruh jejak tangan gue di muka dia lagi! Hah!” Rio mendengus sambil melengos.
Kali ini Ify baru mengerti kenapa Rio keras melarangnya mencari tahu. Ify baru mengerti bagaimana perasaan Rio. Ia merasa ingin menangis karena terharu. Ia baru tahu kalau Rio begitu berjiwa besar seperti ini. Ia baru sadar kalau ia sudah egois beberapa saat lalu. Kejadian perpus tidak hanya menyakitinya, tapi juga menyakiti Rio. Kalau saja ia tahu, memang Rio yang sebenarnya banyak memendam sakit. Ia harus menahan untuk tidak balas dendam pada Debo. Ia juga harus merasa bersalah sedalam-dalamnya karena tidak bisa menjaganya. Terlebih ia harus menyaksikan orang lain menyentuhnya sembarangan. Ia juga harus bisa menahan rasa marah pada Dea.
Ify lantas mencabut selembar tisu dari sebungkus tisu yang ia beli di kantin sebelum datang kemari. Ia meraih tangan Rio lalu membersihkan tangan pemuda itu dari air mie yang memercik ke sana. Rio menoleh pada tangannya lalu hanya diam sambil memandang Ify. Ify mengangkat wajahnya karena menyadari Rio sedang menatapnya.
“I love you!” ujar Ify seraya tersenyum manja. Emosi Rio seketika luntur. Ia mendesis sebal meski tidak dapat menahan senyumnya juga. “Emangnya dengan lo bilang gitu gue bakal maafin lo?” sahutnya pura-pura galak.
Ify merengut dan lantas bersandar sambil memeluk lengan Rio. “Gue lagi gak punya permen buat nyogok lo. Jadi langsung maafin gue aja ya?”
Rio tertawa lalu kemudian mendecak sambil geleng-geleng kepala. “Janji ya, lo gak akan inget-inget itu lagi?” tanyanya sambil menyembulkan kelingkingnya. Ify tersenyum sambil menyambut uluran kelingking(?)nya.
“Iya.” Rio akhirnya dapat bernapas lega. Ia lantas membalikkan tangannya dan menggenggam tangan Ify.

***

Rio mengeratkan genggamannya pada tangan Ify. Ia gugup. Hari ini ia berencana untuk mempertemukan Ify dan Dea. Ia ingin mereka berdua bisa akrab. Mungkin dengan cara ini Dea bisa mendekatkan diri pada Ify terlebih menyukai Ify sehingga gadis itu tidak lagi mengganggu kekasihnya itu. Semoga saja semuanya berjalan seperti yang ia harapkan. Ify sendiri hanya berjalan santai sambil memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya.
Mereka kini mulai menaiki eskalator. Mall tampaknya ramai dipadati pengunjung. Sampai-sampai eskalator pun penuh. Rio melepas genggamannya dan memilih memeluk pinggang Ify. Merapatkan gadis itu padanya supaya tidak hilang di kerumunan. Ataupun supaya tidak ada orang yang berani mengganggu gadis itu. Ify sedikit kaget karena Rio tiba-tiba memeluk pinggangnya, di keramaian seperti ini lagi. Ify melihat sekitarnya lalu melihat Rio lalu kemudian tersenyum tipis seraya menunduk.
“Fy, kalo kita nanti nontonnya gak berdua gakpapa, kan?” tanya Rio tiba-tiba. Air mukanya terlihat seperti tidak enak hati. Takut-takut kalau Ify malah tidak suka. Namun untungnya, Ify tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Gakpapa, as long as I’m with you, Yo. Hehe..” Rio tertawa kecil mendengar itu lantas mengelus sesaat kepala Ify sambil merangkul lehernya.
 Ify tak bisa melepas senyum dari wajahnya. Hingga kemudian senyumnya sedikit pudar manakala mengetahui siapa orang yang akan menemaninya dan Rio nonton. Seorang gadis yang sudah menempati meja yang akan mereka tempati lebih dulu. Gadis berambut sebahu lebih yang kini tengah tersenyum menyambut kedatangannya dengan Rio. Dea. Ia menoleh pada Rio seolah bertanya apa Dea yang benar-benar akan ikut bersama mereka. Dan senyum Rio pun seolah menjawab pertanyaan tersiratnya.
“Kamu udah lama nunggunya?” tanya Rio setelah duduk di kursi di depan Dea diikuti Ify yang memilih duduk di sebelahnya yang otomatis di sebelah Dea juga. Dea menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Enggak kok, KakYo.” Ujarnya. Ia menoleh pada Ify yang hanya diam. “KakFy..gaksuka ya aku ikut? KakYo tadi minta banget sama aku buat ikut jadinya aku ikut. Aku gakpapa kok kalo KakFy nyuruh aku pulang. Aku juga ga enak gangguin acara KakFy sama KakYo terus.”
Ify tak ayal langsung menoleh pada Rio dan bertanya ‘maksudnya minta banget?’ melalui tatapannya. Rio terkesiap dan langsung menjawab atau mungkin meralat ucapan Dea. “Lo jangan salah paham dulu. Gue itu mau memperbaiki hubungan kita bertiga yang sedikit kacau akhir-akhir ini makanya gue ngajak Dea ikut sama kita.” Jelasnya.
Ify diam mencermati apa yang Rio katakan. Berhubung ia sedang tidak ingin berpikir yang berat-berat, ia lantas hanya menjawab ‘Oh’ sambil menganggukkan kepala beberapa kali. Ia juga tidak ingin membuatnya menjadi masalah besar yang harus diributkan dan diperdebatkan. Ia tidak ingin merusak harinya yang sudah berangsur damai.
“Jadi aku boleh ikut?” tanya Dea dengan mata berbinar. Ify tersenyum tipis. “Boleh..boleh, kok.” Jawabnya sekenanya. Dea berseru senang sambil memeluk lengannya. “KakFy cantik, deh!”
Sekali lagi Ify hanya diam dan balas tersenyum. Entahlah, ada yang aneh dengan perasaannya. Ia masih kaget setiap melihat sikap Dea yang berubah-ubah. Ia belum bisa percaya padanya. Mungkin juga ini karena Debo yang sudah ‘mengkhianati’nya. Meski begitu, ia tidak akan menutup hatinya untuk menghargai sikap baik Dea. Semoga saja gadis itu benar-benar berubah.

***

Hari ke hari, hati Ify sepertinya sedikit demi sedikit mulai terbuka untuk menerima Dea. Rasanya Dea benar-benar sudah berubah. Gadis itu ramah sekali. Selalu menegurnya dengan ceria setiap bertemu. Kalau sedang bersamanya dan Rio, Dea malah lebih lengket padanya daripada Rio sendiri. Sampa-sampai Rio pernah berkata ‘cemburu’. Tak jarang ketika istirahat sekolah mereka makan di kantin bersama. Seperti saat ini. Mereka berjalan menuju kantin dengan Dea yang memeluk lengannya.
Sekarang adalah gilirannya untuk memesan makanan. Ya, karena Dea, mereka jadi punya jadwal giliran untuk memesan makanan. Gadis itu bilang ‘biar seru aja’ waktu itu. Sebenarnya Dea memang gadis yang lucu dan hangat. Sikapnya bahkan boleh dikatakan belum cocok untuk disebut anak sma. Ia dibuat merasa seperti punya adik yang masih sd.
“Pesenannya masih sama, kan?” tanyanya sesaat sebelum melangkah pergi. Rio dan Dea mengiyakan bersamaan. Mereka tak ayal serentak tertawa.
Tapi sepertinya, prahara untuk Ify belum habis. Hari Ify belum benar-benar damai seperti yang ia kira. Masalah itu rupanya belum kapok mendatanginya. Ketika ia baru hendak membalikkan badan, di saat yang bersamaan seseorang hendak berjalan melewatinya. Mereka sama-sama tidak melihat keberadaan satu sama lain. Alhasil tabrakan tak dapat terelakkan. Sialnya, baju Ify terkena tumpahan kuah bakso rekan tabrakannya tersebut. Tapi Ify lega, setidaknya bajunya yang kena bukan baju sang rekan.
“Maaf gue gak hati-hati..” kata Ify langsung sambil mengangkat wajahnya. Ia berjengit kaget mengetahui siapa gerangan yang sudah ditabraknya tadi. Gadis yang ditemuinya di toilet yang memohon-mohon padanya untuk menjauhi Rio waktu itu. Ya, gadis itu adalah Angel. Angel menatapnya datar bahkan bisa dibilang agak sinis.
“Ya, lo pantes dapet siraman kuah bakso di baju lo akibat ke-gak-hati-hati-an lo itu.”
Ify terpana beberapa saat. Angel sudah 180 derajat berubah. Gadis itu benar-benar bersikap memusuhinya. Ia sangat tidak mengerti mengapa dia sampai sebegitunya membencinya. Tapi entah kenapa, sejahat apapun gadis itu, ia tidak bisa membalas membenci Angel. Sama seperti ia tidak pernah membenci Rio ketika pemuda itu menyakitinya. Tapi kalau Rio kan ia tahu alasannya, karena ia mencintai pemuda itu. Nah, kalau Angel? Kan gak mungkin gue jatuh cinta sama Angel.
“Sekali lagi gue minta maaf ya, Kak.” Ujarnya berusaha tetap sopan. Tak peduli pada ketidakramahan Angel padanya.
“Trus lo pikir, maaf lo bisa gantiin bakso gue yang udah dimakan sama baju lo?” Bentak Angel tiba-tiba. Ify sampai mundur karena kaget. Sontak hal itu membuat mereka benar-benar menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Rio hendak berdiri tapi didahului Dea. Dea maju ke depan Ify seolah ingin melindungi gadis itu dari Angel. Angel hanya menaikkan alis dengan ekspresi yang kembali datar.
Dea baru membuka mulut ketika Angel menyentaknya. Tidak cukup keras tapi cukup membuatnya takut dan mundur. Mau tidak mau Rio akhirnya berdiri juga dan menggantikan Dea berdiri di depan Ify. “Bakso lo harganya berapa, sih? Masih lebih mahal seragam Ify yang udah kotor karena bakso lo. Dia juga udah minta maaf, kan? Kenapa harus marah-marah?” Rio menekan semua emosinya dan mencoba berbicara tenang sambil menyembunyikan tangannya yang terkepal di saku.
Angel hanya diam memandang Rio. Ia kemudian meletakkan mangkok baksonya ke meja asal-asalan lalu melengos pergi tanpa mengatakan apapun. Rio mengernyit menatapnya tak terima diabaikan. Ia hendak menahan gadis itu tapi tangannya lebih dulu ditahan Ify. Ify menggelengkan kepalanya mengisyaratkan agar ia membiarkan Angel pergi. Ia lantas mendengus pelan.
“Kakak itu siapa, sih? Galak banget!” celetuk Dea. Namun, satupun dari Rio dan Ify tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Ia lantas hanya mengedikkan bahu. Ia kemudian mengikuti Rio dan Ify yang hendak pergi ke uks meminta baju ganti.

***

Ify keluar dari uks dengan menenteng seragamnya yang kotor. Ia hanya menemukan Rio seorang diri. Ia menoleh mencari Dea dan bertanya melalui tatapan matanya pada Rio.
“Lo gak seneng gue yang nungguin lo? Lo udah mulai selingkuh sama Dea?” tanya Rio yang langsung membuatnya mencubit pinggang pemuda itu. Mereka lantas tertawa. “Dia udah balik ke kelas. Ada tugas kelompok katanya.” Jawab Rio setelah tawanya meredam.
Ify hanya menganggukkan kepala. Rio diam menatapnya lalu menghela napas. Ia lantas mengernyit bingung. “Kenapa?”
“Bahkan waktu gue ada pun lo tetep kena masalah. Apa mungkin gue pembawa sial untuk lo ya?”
Sekali lagi Ify mencubit pinggang Rio, bahkan lebih keras hingga Rio sampai mengaduh sakit. “Ini udah 2014 lo masih aja percaya gituan, ckckck!”
Meski begitu, Rio tetap memberengut. “Gue beneran sedih loh, Fy.”
“I’m okay, Rio! Lagian kejadian tadi itu murni musibah. Gak ada unsur kesengajaan dari Angel buat nyiram gue pake kuah bakso.” sahut Ify gemas. Rio menghela napas. “Gitu ya?” serahnya. Ify mengangguk cepat dengan semangat. Rio diam tidak menjawab lagi.
Ify kemudian mengangkat tangannya dan melentik-lentikkan jari di depan wajah Rio. Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang membaca mantra. Rio melihat itu sambil mengerutkan kening.
“Wahai Tuhan, dengarlah beberapa permintaan kecil dari gadis lemah tak berdaya seperti hambamu ini. Jagalah selalu pemuda ini, jangan pudarkan senyum di wajah pemuda ini, jangan lunturkan kebahagiaan di hati pemuda ini. Semikan selalu cintanya untuk hambamu ini. Satukan selalu kami ketika masalah datang memisahkan kami. Hadirkan kepercayaan selalu di hati kami ketika salah paham terjadi memecah kami....amin. Sshhh! Sshhh!” Ify menjentikkan jarinya seperti sedang menyipratkan air ke wajah Rio lalu menurunkan tangannya kembali.
Rio hanya tersenyum geli menatap Ify yang juga tersenyum padanya sambil menepuk-nepuk kepala gadis itu.

***

Malam ini Rio kembali harus mengajari Dea. Berbeda dengan sebelumnya, sekarang Dea yang bertandang ke rumah Rio. Lantas ruang tengah pun diisi oleh Rio, Dea dan juga Ify. Sebenarnya Ify ingin berdiam diri di kamar. Akan tetapi, Rio yang menyuruhnya menemaninya. Hitung-hitung Ify bisa ikut sekalian mengulang pelajaran, katanya. Meski sebenarnya ia tahu kenapa pemuda itu memaksanya. Rio tidak ingin ia berpikir yang tidak-tidak. Padahal ia sudah tidak lagi berpikiran macam-macam tentang Rio dan Dea. Mereka kan sudah berbaikan jadi apa yang harus ia khawatirkan, kan?
Karena bosan hanya menjadi penonton Rio dan Dea, ia lantas memilih memainkan ponselnya. Sekedar iseng mencari berita tentang Rio. Ia mengetik ‘Rio Real 2014’ di mesin pencari sebagai kata kunci. Dan berbagai artikel tentang Rio pun langsung bermunculan. Dari sekian banyak tersebut, ada satu yang menarik perhatian Ify, yaitu artikel yang berjudulkan ‘Rio Punya Pacar, Anda Patah Hati?’. Ia langsung menekan judul artikel tersebut dan kemudian membaca apa yang tertulis di dalamnya.
‘Beberapa saat lalu, media sosial instagram sempat dihebohkan dengan foto yang diupload Rio Real diakunnya. Foto tersebut menunjukkan dirinya dan seorang gadis di sampingnya dengan mata tertutup. Berdasarkan info yang didapat, gadis manis itu bernama Alyssa Saufika Umari atau Ify yang juga merupakan teman sekelas Rio di sekolah. Dari foto tersebut, banyak orang yang menyimpulkan ada hubungan spesial yang terjalin di antara mereka berdua. Beragam reaksi yang dikeluarkan para penggemarnya terutama para wanita. Cukup banyak yang mendukung hubungan antara Rio dan Ify ini sampai-sampai terbentuk sebuah grup penggemar mereka berdua yang menamakan diri sebagai RFM (RiFy Maniacs) *eaaag*. Namun jumlahnya mungkin belum sebanyak para remaja putri yang mengaku patah hati setelah mendengar kabar ini. Lalu, masuk di bagian manakah anda? Apakah anda juga patah hati?’
Ify terlihat beberapa kali tersenyum saat membaca isi dari artikel itu. Terutama saat membaca baris kalimat yang menyebutnya ‘manis’, juga tentang grup penggemar dirinya dan Rio. Ia menggerakkan jempolnya ke atas untuk menggeser laman ke bawah dimana merupakan tempat orang-orang berkomentar.
‘AQo3h mao m4ti3e aj4chhhhh!!’
Ify terkekeh geli membaca komentar yang satu itu. “Untung Rio alaynya gak separah ini..”
‘I love them<3<3 Jangan sampe putus yaaaa!’
Ify tersenyum senang seraya menyahut pelan. “I love you too!”
‘Kenapa kenyataan hidup harus sesakit ini? :’’)’
Ify kembali tersenyum. Tapi kemudian, senyumnya tiba-tiba lenyap.
‘Itu ceweknya abis ditidurin? Ewh..’
“Sembarangan!” Ify spontan menyeru tak terima. Hal itu lantas membuat Rio dan Dea memandangnya bingung dan heran.
“Lo kenapa?” tanya Rio dengan pandangan aneh. Ify balas nyengir. “Gak..gakpapa, hehe..”
Rio menatapnya sebentar lalu mengedikkan bahu. “Lo bikinin minum gih!” katanya tanpa menoleh.
“O—oh iya, bentar..” Ify meletakkan ponselnya di meja dan langsung beranjak ke dapur. Satu alasan lagi kenapa Rio memaksanya menemaninya, yaitu agar pemuda itu bisa menyuruhnya seenaknya. Ckck, untung gue cinta sama lo, Yo, Yo.
Ify kembali dengan membawa tiga gelas orange syrup dingin di tangannya. Ia meletakkan masing-masing di depan Dea, Rio dan dirinya sendiri. Rio dan Dea sepertinya sudah selesai belajar.
“Kamu ke sini sendiri, De?” tanya Ify sambil menyesap orange syrupnya. Dea mengangguk seraya tersenyum. “Pake apa? Gak takut?” tanya Ify lagi.
Dea kali ini menggeleng. “Mobil. Jam segini jalanan masih rame, jadi aku gak terlalu takut.”
“Sejak kapan kamu bisa nyetir mobil?” celetuk Rio yang nampak kaget. Ify bergantian memandang Rio dan Dea. “Baru sih, KakYo. Belajar sama Pak Anto.”
“Pak Anto siapa?” kembali Ify yang bertanya. “Supir aku, KakFy.” Ify mengangguk dan hanya menjawab ‘Oh’.
Mereka sesaat sama-sama diam. Ify kembali memainkan ponselnya, Rio bersandar pada sofa seraya melepas penat sementara Dea diam dengan terus menatap Ify. “KakFy?” panggilnya kemudian.
Ify berdehem menyahut tanpa melepas pandangannya ke layar ponsel. “Kalo misalnya aku minta maaf, apa KakFy mau maafin aku?” tanyanya dengan nada serius.
Ify memalingkan wajahnya menatap Dea sambil mengernyit. Rio pun langsung menegapkan badannya mendengar ucapan gadis itu. Ify melihat ke arah Rio yang menatap Dea aneh.
“Emang kamu kenapa?”  tanyanya.  “Aku tau KakYo gak ngebolehin aku ngomong soal ini sama KakFy, tapi—“
“De!” sela Rio tiba-tiba. Dea hanya meliriknya sekilas dan kembali bicara tanpa memedulikan ‘alarm’ darinya. “Aku gak bisa nyimpen ini terus-terusan. Aku selalu dihantui rasa berdosa dan bersalah sama KakFy. Makanya sekarang aku mau jujur sama KakFy. Aku mau jujur soal perpus.”
“Fy, sebaiknya lo balik ke kamar. Sekarang.” Perintah Rio tegas. Ify menoleh ke arahnya makin tidak mengerti. “KakFy jangan pergi! Aku mohon dengerin apa yang mau aku bilang ke KakFy!” tahan Dea cepat.
“Fy, lo gak denger gue bilang apa?!” kata Rio dengan nada suara meninggi. “KakYo, please?!”
“Kalian kenapa, sih? Kamu sebenernya mau ngomong apa, De? Jangan bikin Kakak pusing.”
Dea meraih kedua tangannya dan menatapnya penuh rasa bersalah. Bahkan hampir menangis. “Aku..aku yang udah sms KakFy waktu itu. Aku yang udah minjem hape KakYo waktu itu dan nyuruh KakFy datang ke perpus.”
Saat itu juga rasanya seperti ada petir yang menyambar jantungnya. Ia merasa sedang bermimpi buruk.
“De, udah!” Rio kembali menyuruh Dea berhenti melihat Ify bergeming. Namun kemudian, Ify bersuara yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa menghela napas dan berdoa semoga saja hal ini tidak berakhir buruk.
“Lanjutin..” lirih Ify. Dea menarik napas dalam lalu melanjutkan ucapannya seperti yang Ify minta. “Kak Debo yang sms KakYo buat dateng ke perpus. Aku dan Kak Debo pelakunya. Termasuk yang nempel foto di mading.”
Ify termangu tanpa bisa berkata apa-apa. Disaat ia sudah mulai percaya, dalam sekejab kepercayaannya tersebut kembali terbuang sia-sia. Dan yang lebih menyakitkan, Rio juga tega menyembunyikan kebenaran ini darinya. Jadi inikah alasan sebenarnya Rio melarangnya mencari tahu? Pemuda itu hanya ingin melindungi Dea?
“Aku minta maaf, KakFy. Aku bener-bener minta maaf. Aku nyesel udah melakukan itu semua sama KakFy.”
Ify masih diam menatap Dea tak percaya. Air matanya satu persatu mulai turun. Lalu kemudian pandangannya beralih pada Rio. Ia benar-benar kecewa pada pemuda itu. Ia tidak habis pikir kenapa pemuda itu tega membohonginya. Ia menarik tangannya dari genggaman Dea. Ia berdiri dan berlari pergi masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan apapun. 
Rio mendengus frustasi. Ia membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dan terulang sampai dua kali. Hingga akhirnya ia mengerang kesal sendiri.
“KakYo, aku minta maaf. Aku gak maksud bikin kakak sama Kakfy—“
“Pulang..kamu pulang sekarang..pulang!” potong Rio sambil menutup mata.
“Tapi—“
“Kamu gak mau kan Kakak makin marah sama kamu?”
Dea terdiam tak bisa apa-apa lagi. Mau tidak mau ia menuruti kata-kata Rio untuk pulang saat ini juga. Ia membereskan buku-bukunya yang ada di meja dan berdiri mengucap pamit sekaligus memohon maaf kembali untuk yang terakhir kali.
“Sekali lagi aku minta maaf, KakYo. Aku pulang dulu.”
Rio memalingkan wajahnya dan hanya diam. Ia membiarkan Dea pergi hingga kemudian terdengar suara pintu di tutup. Ia menghela napas berat. Matanya beralih pada pintu kamarnya yang tertutup rapat. Lalu sekarang bagaimana?

***

Ify duduk menekuk lutut dengan menyangga dagunya sambil terus menatap lekat-lekat pintu kamar Rio. Menunggu seseorang segera membukanya dari luar. Hatinya sedaritadi memanggil-manggil nama orang tersebut dan berharap suara hatinya itu bisa terdengar. Tapi rupanya, sampai sekarang pintu itu masih bergeming tak bergerak sedikitpun. Ia masih saja meringkuk sendiri di dalam kamar tanpa ada seseorang yang datang menenangkan atau bahkan sekedar menemani.
Saat ini Ify hanya berharap Rio segera datang dan memberinya penjelasan. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia malah menginginkan kehadiran pemuda itu setelah kebohongan pemuda itu terbongkar. Padahal ia tahu kalau ia sudah begitu kecewa padanya. Tapi memikirkan Rio yang tidak salah paham padanya ketika melihat ia dan Debo di perpustakaan, hatinya langsung melunak. Mungkin tak ada salahnya juga kalau ia terlebih dahulu mendengar penjelasan pemuda itu baru memutuskan sikap mana yang harus ia ambil.
Yang jadi masalah sekarang, kenapa Rio tidak juga menampakkan batang hidungnya di hadapannya? Ini bahkan sudah lebih dari satu jam setelah ia meninggalkannya dengan Dea di ruang tengah. Apa pemuda itu benar-benar menginginkan kemarahannya?
Sementara itu, di luar Rio berdiri dengan bimbang apa ia harus masuk menemui Ify atau tidak. Ada dua kemungkinan yang ada dalam benaknya. Yang pertama, saat ini Ify sedang menenangkan diri setelah mengetahui fakta yang berusaha ia sembunyikan. Karena itu, Ify mungkin tidak akan menerima kehadirannya dan tidak akan mengacuhkannya. Bahkan bisa saja gadis itu malah memaki-makinya habis-habisan karena merasa sudah dibohongi. Yang kedua, Ify ingin ia masuk dan menjelaskan semuanya, apa yang sudah terjadi sekarang. Tapi, ia tidak yakin akan kemungkinan kedua ini. Yang ia tahu, saat ini Ify begitu kecewa padanya.
Rio mendesah pelan sambil memijit-mijit keningnya yang terasa merenyut-renyut. Ia menyandarkan lengan dan kepalanya pada dinding sambil memandang nanar pintu kamarnya. Ia menyentuh permukaan benda tersebut dan mengusapnya pelan. Seolah-olah sekarang ia sedang mengusap kepala dan punggung Ify.

“Jangan marah sama gue ya, Fy.”

***

Haaaaaaaaaiiiii! *cling*ceritanyangilang*