Said
I wouldn’t come but I lost of control and I need you now. And I don’t know I
can do without, I just need you now.
***
Ify
mematut dirinya di cermin. Mukanya tampak sangat kacau. Kantong mata yang
membesar dan mata yang memerah akibat kurang tidur karena semalam ia sulit
sekali tidur. Ia terus saja menunggu Rio yang tak kunjung datang bahkan hingga
sekarang. Pemuda itu sangat-sangat membuatnya kecewa. Ia lantas mengolesi bedak
ke kelopak bawah matanya. Berharap mata pandanya bisa sedikit tersamarkan.
Rasanya ia tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Kepalanya terasa berat dan
pusing. Tapi, apa daya. Ia tidak ingin membuat kedua orangtua Rio khawatir.
Ify
melihat bayangannya di cermin sekali lagi lalu mendesah pelan. Setidaknya lebih
baik dari sebelumnya. Ia berjalan sambil menenteng tasnya menuju pintu kamar
Rio. Saat ia membuka dan menariknya ke dalam, ia menemukan Rio berdiri di
depannya. Tampaknya pemuda itu tadi juga ingin membuka pintu tapi didahului
olehnya. Ia hanya diam menatap pemuda itu yang juga menatapnya.
“Ma—Mama
ngajak sarapan..” ujar Rio gugup. Ia tersenyum sebaik yang ia mampu pada Ify.
Ify masih bergeming. Pemuda itu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa
semalam. Ia kemudian melengos begitu saja setelah menutup pintu tanpa membalas
ucapan Rio. Rio melihat itu hanya bisa menghela napas dan bersabar dalam hati.
Bukan salah Ify kalau gadis itu marah memang.
***
Ify
terus saja bungkam bahkan hingga mereka sudah tiba di sekolah. Tak sekalipun
Ify menoleh ke arah Rio. Ini bukan lagi akhir yang buruk, tapi sangat buruk.
Sebenarnya tidak akan lebih buruk kalau ia bisa mengajak gadis itu bicara
baik-baik. Tapi, keberanian dalam dirinya belum terhimpun sampai sekarang. Ia
bingung harus menjelaskannya bagaimana agar Ify tidak tersinggung. Ia tidak
ingin terlihat membela salah satu kubu.
Mereka
kemudian berjalan bersisian masih tidak saling bicara. Ify hanya menatap lurus
ke depan sementara Rio tak bisa berhenti mencuri-curi pandang padanya. Ia tidak
terlalu memedulikan apa yang sedang pemuda itu lakukan. Kepalanya yang terasa
makin berat membuatnya tak bisa mengacuhkan apapun. Ia lebih peduli ia bisa
sampai di kelas tanpa digotong atau tidak.
Ketika
mereka sudah berjalan menyusuri hampir setengah koridor sekolah dan tinggal
beberapa langkah lagi sampai di kelas, Ify tiba-tiba berhenti. Ia mencengkram
lengan Rio sekaligus mencari pegangan agar ia tidak jatuh. Ia menutup mata dan
mendesis pelan ketika pusing di kepalanya semakin menjadi. Rio lantas
memandangnya khawatir.
“Lo
kenapa, Fy?” tanyanya panik. Ia meletakkan punggung tangannya di kening Ify
memeriksa suhu tubuh gadis itu. Tangannya terasa panas. Tidak begitu panas tapi
tetap saja suhunya tidak normal. Badan gadis itu juga hangat. Mau tidak mau Ify
harus segera di opname. Pikirnya.
“Lo
masih kuat jalan?” tanya Rio lagi. Ify mengangguk pelan meski kurang yakin.
Tapi setidaknya, ia masih sanggup berdiri sekarang.
“Ikut
gue! Ntar bilang kalo misalnya lo udah gak kuat jalan.” Ia langsung menarik
tangan Ify, memutar balik arah jalan mereka kembali ke parkiran. Ify meliriknya
sekilas. “Kita mau kemana? Kelasnya kan di situ..” lirihnya.
“Kita
mau ke rumah sakit.”
Ify
menaikkan sebelah alisnya. “Tapi gue kan gak..sss..sakit..” Rio sepertinya
menulikan telinganya saat ini. Yang ia pikirkan hanya bagaimana agar mereka
bisa cepat sampai di rumah sakit.
***
Ify
sudah tak sadarkan diri sejak dalam perjalanan hingga sampai di rumah sakit.
Bukan pingsan, tapi gadis itu tertidur. Hanya sekali rintihannya terdengar saat
tangannya ditancapkan jarum infus. Rio mendesah lega saat mendengar penjelasan
dokter. Dokter bilang Ify hanya dehidrasi dan kurang tidur. Bisa dibilang juga kelelahan.
Tapi, nanti sudah bisa langsung dibawa pulang kalau cairan infusnya sudah habis
dan panas tubuhnya hilang. Sekali lagi Rio menghela napas lega.
Ia
duduk di tepi ranjang sambil memangku dan menggenggam tangan Ify yang tidak
terpasang infus. Kalau dihitung mungkin sudah hampir 2 jam Ify tidur. Harusnya
ia sudah membangunkan gadis itu agar minum obat tapi ia tidak tega. Ify tidur
lelap sekali seperti tidak tidur berhari-hari. Kira-kira kenapa ya gadis itu
bisa sampai jatuh sakit begini? Apa jangan-jangan benar kalau semalam gadis itu
menunggunya? Atau malah Ify semalaman menangis karena dirinya? Ck, harusnya ia
datang saja malam tadi jadi ia tidak bertanya-tanya seperti ini.
Tangan
Ify dalam genggaman Rio bergerak-gerak. Rio memalingkan pandangannya ke wajah
Ify. Gadis itu sedang berusaha membuka matanya lalu kemudian mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Mengenali di mana keberadaannya saat ini.
Pandangannya terakhir jatuh pada Rio.
“Lo
pasti bolos lagi, kan?” tanyanya dengan suara serak. Rio berdiri mengambil
beberapa butir obat di atas lemari di samping ranjang serta segelas air. Ia
kembali duduk di samping ranjang.
“Lo
mesti minum obat dulu. Mau gue bantu duduk?” tanyanya balik tanpa menggubris
pertanyaan Ify sebelumnya. Ify menggeleng lalu berusaha duduk dan bersandar
pada bantal sendiri. Setelah itu, Rio mendekatkan dirinya dengan Ify sambil
menyodorkan kedua tangannya yang masing-masing memegang obat dan segelas air.
Ify mengambil gelas dan obat serta menelan semuanya sekaligus dalam diam. Ia lalu
mengembalikan gelas tadi pada Rio dan Rio lekas menaruhnya lagi di atas lemari.
Sekarang
sudah tidak ada hal lagi yang bisa dijadikan untuk basa-basi. Ify masih saja
mendiamkan Rio dan juga tidak memandang pemuda itu. “Lo balik ke sekolah aja,
gue udah gak perlu dijaga.”
“Semalam
lo begadang?” tanya Rio lagi-lagi mengabaikan ucapan Ify. Ify diam enggan
menjawab. Rio menggigit bibirnya bingung dan sedikit panik. “Lo gak nangis
semalaman karena gue, kan?”
Ify
masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Rio mendesah pelan lalu menggenggam tangan
Ify. “Fy, masalahnya gak akan selesai kalo lo cuma diem kek gini.”
Ify
untuk pertama kalinya menoleh pada Rio. “Lo sendiri yang udah ngebuang
kesempatan lo bicara semalem.”
“Semalem
itu...gue takut lo gak nerima gue, Fy. Gue pikir lo mau nenangin diri dulu dan
gak mau ngomong sama gue.”
Ify
mengernyit. “Kenapa mesti takut? Lo bahkan dulu nolak gue terang-terangan, Yo.
Tapi apa? Gue tetep berusaha mendekatkan diri sama lo. Dan lo, bahkan cuma hal
kecil kayak gini aja lo udah nyerah buat gue. Sebenernya yang nenangin diri itu
gue atau elo?”
Kata-kata
Ify terasa bagai paku yang menancapkan lidah Rio hingga tidak bisa berkata
apa-apa. Sekali lagi ia menyesal malah membiarkan Ify sendiri malam tadi.
Mereka lalu terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Gue
nyembunyiin itu semua karena gue cuma pengen ngejaga perasaan lo, Fy.” Rio buka
suara lagi.
“Trus,
apa sekarang perasaan gue terjaga? Lo harusnya lebih dulu nanya sama hati lo,
lo pengen ngejaga perasaan siapa. Karena gue gak ngerasa perasaan gue dijaga
sama lo. Lo sama sekali gak mikirin gue, Yo.”
“Gue
sangat mikirin lo, Fy. Gue gak mau akhirnya kalian berdua saling benci. Gue gak
mau peristiwa kayak kemaren terulang lagi bahkan jadi lebih parah.”
Ify
tersenyum lirih sambil memalingkan wajahnya kembali. “Emangnya gue gak boleh
benci sama Dea? Cuma Dea yang boleh benci sama gue? Cuma Dea yang boleh
ngelakuin hal-hal buruk sama gue sedangkan gue harus senantiasa baik sama dia?
Kenapa lo bisa semudah itu maafin dia? Gue juga harus ngejaga perasaan dia dan
gak mikirin perasaan gue? Gue harus memperlakukan dia sebagai ratu setiap saat?
Coba lo pikir lagi, selama ini dia udah banyak bikin gue sakit hati. Tapi apa?
Lo gak pernah serius nanggepin perlakuan dia ke gue. Lo gak pernah mikirin sakit
hati yang selama ini gue rasain, Yo.”
Rio
merasa makin tidak sanggup bicara. Sepertinya apapun yang ia ucapkan selalu
menjadi pisau tajam yang langsung menyakiti hati Ify.
“Pantes
aja lo ngelarang gue nyari tau. Gue pikir lo bener-bener marah karena Debo
nyium gue. Tapi ternyata itu cuma hiburan semu untuk gue. Yang gue rasain
sekarang lo cuma mau ngelindungin dia. Lo cuma gamau dia kenapa-kenapa kalo
sampe gue tau. Bahkan lo sampe berusaha deketin dia sama gue. Buat gue sayang
sama dia supaya bisa maafin dia dengan mudah kayak lo. Lo itu gamau nyusahin
diri lo sendiri. Lo juga gak mau bikin Dea susah. Lo cuma ngebiarin gue yang
susah sendirian. Kali ini lo bener-bener ngebuat gue ngerasa gak lebih berarti
dari Dea, Yo.”
“FY!”
ujar Rio tiba-tiba. Sejurus kemudian, ia langsung menghela napas menyesal.
Ucapan terakhir Ify begitu memancing emosinya. “Oke, gue sadar gue salah. Gue
salah udah nyembunyiin semuanya dari lo. Gue...minta maaf.”
Ify
kembali diam. Untuk saat ini, memaafkan Rio bukan perkara yang mudah. Terlebih
ia harus percaya kalau pemuda itu tidak akan mengulangi kesalahannya. Tidak
lagi bersikap tidak adil padanya dan Dea. Bisa memperlakukan ia dan Dea sesuai
kapasitas yang mereka masing-masing miliki.
Rio
menyentuh dagu Ify dan menggeser pandangan gadis itu ke arahnya. “Fy, gue minta
maaf. Maaf kalo selama ini gue udah buat lo ngerasa gue gak pernah mikirin lo.
Gue bener-bener nyesel gak ngasih tau semuanya dari awal. Mungkin gak akan
bikin lo sesakit ini dan gue gak bakal liat lo hampir pingsan kayak gini.”
Rasanya
Ify ingin menangis saat ini juga. Tapi matanya sudah lelah. Ia sudah menangis
semalaman. Sumber air matanya pasti mengalami kekeringan.
“Gue
harus apa supaya lo bisa bener-bener maafin gue, hmm?” tanya Rio lagi karena
Ify terus saja diam.
“Memangnya
lo bisa ngelakuin apa yang gue minta?” Ify tertawa meremehkan. Rio mungkin akan
berpikir ulang kalau sampai tahu apa yang ada dibenaknya saat ini. Mengenai apa
yang ia ingin pemuda itu lakukan.
Rio
tersenyum menatapnya. “Lo nyuruh gue terjun dari tingkat paling atas rumah
sakit ini juga gue sanggup, Fy.”
Ify
balas menatapnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Gue pengen tau, bakal lebih
susah mana antara terjun bebas dari lantai atas atau permintaan kecil gue
ini. Batinnya.
“Yakin?”
Rio
meringis pelan. “Tapi, lo gak akan beneran nyuruh gue terjun juga, kan?”
Ify
kembali tertawa lalu menggelengkan kepalanya. Rio tampak menghembuskan napas
lega. “Kalo gitu, apa lo sanggup...ngejauhin Dea? Gak peduli sama dia lagi dan gak
nanggepin dia lagi. Bisa?” katanya sambil menaikkan alis.
Senyum
Rio sedikit mengendur. Ini seperti buah simalakama untuknya. Sebenarnya ia bisa
saja melakukannya. Tapi, apa memang harus ia lakukan? Apa tidak ada cara lain?
Rio
menghela napas sejenak. “Apa gak ada cara lain buat nyeleseinnya? Apa gaada
jalan perdamaian tanpa harus ada pihak yang menjauh dari pihak lain, ada pihak
yang memusuhi pihak lain? Lo gak seneng ya semuanya kembali normal, baik-baik
aja, hidup berdampingan, mendukung satu sama lain..gitu?”
Ify
sekali lagi tertawa. “Gue gak maksa lo kok, Yo. Gue juga udah nebak kalo lo pasti
bakal no—“
“Oke,
oke!” potong Rio cepat sebelum Ify kembali salah paham padanya. Lebih baik ia
mengalah dan menuruti apapun yang diminta gadis itu supaya masalahnya tidak
kembali panjang. Ia menarik napasnya sekali lagi. “Iya, gue bakal jauhin Dea.
Gue bakal lakuin apa aja yang lo minta tadi. Janji! Sudah puas, Tuan Putri?”
ujar Rio lembut seraya menaikkan alis dan tersenyum.
Ify
mendesah sambil mengedikkan bahu. “Kita liat aja nanti!”
***
Ify
hanya sampai beberapa jam saja di rumah sakit. Dokter sudah memperbolehkannya
pulang karena suhu badannya sudah kembali normal. Hanya saja ia harus membawa
pulang beberapa obat untuk ia minum beberapa hari ke depan. Rio tidak langsung
mengantarnya ke rumah. Pemuda itu berhenti dan singgah di depan penjaja bubur
pinggir jalan yang mereka lewati. Pemuda itu beralasan ia harus banyak makan
untuk menaikkan darahnya sesuai yang dokter katakan. Ify sendiri tak banyak
protes berhubung ia hanya penumpang dan juga saat ini belum jamnya pulang
sekolah. Sekarang bahkan masih waktu pagi. Amanda pasti akan bingung kenapa
mereka bisa kembali ke rumah lebih cepat.
Rio
mengaduk-aduk bubur di tangannya lalu mulai menyuapkannya pada Ify. Ify hanya
tersenyum seraya geleng-geleng kepala ketika pemuda itu memaksa untuk
menyuapinya. Saat ini hatinya sudah sedikit lega dibandingkan semalam apalagi
saat di rumah sakit. Ia sedikit banyak sudah mulai bisa menikmati
kebersamaannya bersama Rio lagi.
Seet...
Rio
tiba-tiba menarik pita rambutnya hingga terlepas. Membuat rambutnya tergerai
dan berayun-ayun terhembus angin beberapa helai. Ify melotot tak terima
sementara Rio hanya terkekeh tanpa merasa bersalah.
“Iketan
rambut lo udah berantakan, Fy. Sekalian dilepas aja.” katanya santai.
“Yang
ada rambut gue malah makin berantakan kena angin, Rio. Cepetan balikin iket
rambut gue!” pinta Ify bersungut-sungut sambil mencoba menggapai pita rambutnya
di tangan Rio. Rio malah meninggikan tangannya sehingga membuat Ify kesulitan
mencapainya. “Gue tau kok lo itu tinggi, Yo. Jadi, balikin iket rambut gue!
Sekarang!”
“Gak
mau.” Tolak Rio. Ify mencibir kesal dan kembali berusaha menggapai pita
rambutnya. Alhasil, terjadi aksi rebut-rebutan pita rambut hingga membuat meja
yang mereka tempati bergoyang dan sedikit gaduh. Beruntung pelanggan di sana
baru mereka berdua. Sang penjual bubur pun datang untuk memperingati mereka.
Mau tidak mau Ify berhenti sebentar supaya sang penjual bubur tidak marah atau
bahkan mengusirnya.
Saat
sang penjual bubur pergi, mereka lantas memulai aksi rebut-rebutan lagi. Hingga
kemudian ponsel Rio yang menjadi penjeda kegiatan mereka. Ify mendengus sambil
bersedekap. Rio meraih ponselnya yang ada di saku memeriksa apa yang
menyebabkan ponselnya berbunyi. Ketika ia buka, terdapat satu pesan masuk dari
Dea. Ia menurunkan tangannya dan spontan menyerahkan pita rambut Ify kembali
lalu kemudian membalas pesan tersebut.
Ify
menaikkan alis bingung kenapa Rio tiba-tiba mengembalikan pita rambutnya. Ia
lalu menguncir rambutnya seraya mengintip apa yang sedang Rio lakukan dengan
ponselnya. Saat matanya menangkap nama ‘Dea’, ia langsung mengalihkan
pandangannya dan tidak mau tahu lagi. Ia sudah terlanjur kesal. Baru saja
pemuda itu berjanji akan menjauhi Dea, tapi langsung dilanggar. Katanya akan
melakukan apapun yang ia minta. Nah, lalu sekarang apa?
Ify
menggeser mangkok buburnya yang ada di depan Rio dengan kasar setelah selesai
menguncir rambutnya walau asal-asalan. Ia juga ikut menggeser duduknya dari
dekat Rio dan memberikan jarak kira-kira satu meter dari pemuda itu. Ia memilih
menyantap buburnya dalam diam. Ia tidak ingin bertanya ataupun protes. Ia sudah
capek berbicara dengan pemuda itu.
Rio
selesai membalas pesan dari Dea dan memasukkan ponselnya kembali. Tangannya
spontan menyentuh sisi sampingnya. Ia kaget mendapati sisi di sebelahnya
kosong. Ia menoleh dan baru menyadari kalau Ify duduk menjauh. Bubur yang tadi
ada di depannya pun sudah berpindah ke depan gadis itu. Isinya juga sudah
lenyap. Ia mengernyit tak mengerti. Apa ia tadi membalas pesan selama itu
sampai-sampai Ify sempat menghabiskan buburnya?
“Buburnya
lo abisin semua?” tanyanya takjub. Ify mendecak kesal. “Yaiyalah gue abisin.
Masa gue buang!” balasnya sewot. Rio mengernyit heran. Kenapa Ify mendadak jadi
marah-marah lagi?
“Lo
gakpapa?” tanyanya sedikit khawatir. Ia mendekatkan dirinya pada Ify lalu
menyentuh bahu gadis itu. Ify langsung menepis tangannya dengan kasar. Tuh,
kan, Ify benar-benar marah. Ia mendesah pelan. “Kenapa lagi, sih, Fy?” bujuknya
dengan sabar.
“Gue
mau pulang.” Ujar Ify tanpa menjawab pertanyaannya. Gadis itu langsung angkat
kaki dan berjalan menuju mobilnya. Ia menggaruk pelipisnya bingung. Ia lantas
menyusul gadis itu yang sudah masuk ke dalam mobil setelah membayar bubur yang
Ify makan pada sang penjual.
Rio
menyalakan mesin tapi tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia menyalakan mesin
supaya ac mobilnya hidup. Setidaknya mereka tidak akan mati konyol karena
kehabisan napas kalau-kalau pembicaraan mereka nanti berlangsung panjang.
“Jangan marah-marah gak jelas lagi, dong? Tadi kita udah sepakat, kan?”
“Kesepakatan
di antara kita udah gak ada karena lo udah lebih dulu ngelanggar.” Ify menjawab
tanpa menatap Rio dan memilih melihat ke arah jendela.
“Gue
ngelanggar apa? Gue gak ngapa-ngapain, Fy. Daritadi kan gue sama lo.”
Ify
akhirnya menoleh ke arahnya. “Trus, yang barusan lo sms siapa? Apa namanya kalo
bukan ngelanggar?”
“Yang
barusan gue sms?” gumam Rio seraya mengerutkan kening. Sedetik kemudian ia
berseru ah sambil membanting pelan tubuhnya ke badan jok. “Ya ampuuun..”
desahnya. Ia mengambil kembali ponselnya dari kantong dan membuka pesan dari
Dea tadi. Ia lalu menyerahkan ponselnya itu pada Ify.
“Nih,
lo periksa, deh!” Serah Rio. Ify hanya menatap ponselnya tanpa ada niat untuk
mengambil. “Gak perlu. Ngapain juga gue baca isi text lo berdua!”
“Coba
lo baca dulu, Fy! Gue jamin lo gak bakal nyesel.” Ify pun mau tidak mau
akhirnya mengambil ponsel tersebut dan memeriksa apa yang ada di sana. Detik
itu juga, rasa kesal dalam hatinya hilang dan berganti menjadi rasa bersalah.
From
: Deacha
KakYo
sama KakFy kemana? Kok gak masuk? KakFy gakpapa, kan? :(
To
: Deacha
De,
maaf ya, tapi mungkin untuk saat ini kamu jangan hubungin kakak dulu apalagi
nemuin kakak. Kak Ify tadi masuk rumah sakit karena kecapekan mikirin semalem.
Kakak gak mau sampe kak Ify sakit lagi karena kakak dan kamu juga. Sekarang Kak
Ify masih shock sama semuanya. Kakak mohon supaya kita jaga jarak sampe Kak Ify
mau maafin kamu. Please, ngertiin keadaannya. Kakak gak mau ada masalah lagi.
Biar semuanya tenang dulu, biar Kak Ify juga tenang jadi semuanya bisa cepat
diselesein.
Ify
memandang Rio dan ponselnya bergantian sambil menggigit bibir. Sementara Rio
sedaritadi menunggu reaksinya sambil menaikkan alis. “Gimana? Gak nyesel, kan?”
ujar pemuda itu.
“Lo
gak bohongin gue lagi, kan?” rajuk Ify. Rio menggelengkan kepalanya dengan
pandangan meyakinkan. Saat itu juga, Ify langsung nyengir seraya mengembalikan
ponsel di tangannya pada pemiliknya. “Hehe..sorry..”
Rio
mencibir seraya mengambil ponselnya dengan kesal atau bisa juga pura-pura
kesal. “Lo marah ya?” Ify lalu bertanya meski agak takut. Rio hanya meliriknya
sekilas namun tidak menjawab. Ify menggigit bibirnya lagi. “Gue mesti apa biar
lo maafin gue?”
Rio
kembali melirik Ify. Ia lalu mendekatkan wajahnya dengan mata menyipit. Seperti
menimang-nimang perihal apa yang harus Ify lakukan untuknya. Sesaat kemudian ia
tersenyum sambil memalingkan wajahnya. Ia mengetuk pipi kirinya dengan telunjuk
beberapa kali. Menyuruh Ify melakukan sesuatu di sana.
Ify
memberengut. Rio selalu saja curi-curi kesempatan. “Dasar!” cibir Ify pelan. Ia
lantas mendekatkan wajahnya lalu mengecup singkat pipi Rio yang sudah
disodorkan pemuda itu lebih dulu. Rio langsung tersenyum puas.
“I
love you!” katanya dengan kerlingan jahil di matanya. Ify memutar kedua bola
matanya sambil geleng-geleng kepala meski tetap tersenyum juga.
***
“KakFy,
aku mohon maafin aku. Aku bener-bener udah nyesel, KakFy.” Ujar Dea dengan
begitu memelas. Ify berdiri di depan pintu rumah Rio ditemani Rio di
sampingnya. Ia melihat Dea dengan pandangan kesal sekaligus iba. Melihat
kegigihan Dea meminta maaf padanya seperti itu sedikit membuat hatinya terenyuh.
Tapi, ia tidak bisa membohongi perasaannya kalau ia belum bisa memaafkan
kesalahan gadis itu begitu saja. Apa yang sudah dilakukan Dea masih selalu
terngiang-ngiang dibenaknya.
Untung
saja sekarang Amanda sedang tidur sementara Zeth belum pulang dari kantor dan
Ray belum pulang dari sekolah. Jadi masalah ini tidak akan menyebar lagi dan
tidak akan ada yang ikut campur selain mereka bertiga. Ify mundur selangkah
menjauh lalu memalingkan wajahnya. “Gak akan bisa semudah itu, De. Kakak masih
belum bisa nerima semua kesalahan kamu.”
“KakFy,
tiap hari aku selalu dihantui rasa berdosa yang besar sama KakFy. Aku harus
gimana lagi supaya KakFy bisa maafin aku?”
“Kalo
kamu memang merasa berdosa, biarin Kakak nenangin diri, nenangin hati yang udah
kamu buat hancur, De. Kamu gaboleh desak Kakak kayak gini terus. Kakak pasti
akan maafin kamu. Semua ada waktunya. Tapi sekarang bukan waktunya Kakak bisa
maafin kamu. Tolong, jangan ganggu Kakak dulu. Kamu ngertiin dong?”
Tiba-tiba
Dea menjatuhkan dirinya dan duduk bersimpuh di depan Ify. Ify terkesiap dan
sesaat tak bisa berkata apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya menyuruh Dea
berdiri namun Dea menggelengkan kepala dan keukeuh meminta maaf padanya. Ify
menghela napas frustasi tak mengerti harus berbicara bagaimana lagi pada gadis
ini.
“KakFy,
aku minta maaf. Aku sadar kesalahan aku teramat besar buat KakFy. Tapi, aku
juga udah sadar kalo apa yang aku perbuat itu salah. Aku mohon maafin aku,
KakFy?” Dea menunduk dan berbicara dengan terisak.
Ify
pun tidak bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Melihat seseorang sampai
seperti itu untuk memohon maaf darinya. Hatinya juga ikut teriris. Tapi, apa
daya. Ia memang belum bisa memberi maaf meski ia ingin. Ia lantas mundur lagi
dan memilih bersembunyi di belakang Rio. Memohon bantuan pemuda itu untuk bisa
memberi pengertian pada Dea. Siapa tahu kalau dia yang berbicara, Dea akan
mendengar.
Rio
sedaritadi hanya diam tidak ingin ikut campur pada apa yang sedang diselesaikan
oleh dua gadis yang sangat ia kenal itu. Namun, sekarang sepertinya ia juga
harus turun tangan menjadi penengah antara mereka berdua. Ia mendekat pada Dea
dan memegang kedua lengan gadis itu, mengisyaratkan agar gadis itu segera
berdiri. Dea mau tidak mau mengikuti apa yang Rio inginkan. Rio menatap Dea sedih
seraya menghela napas.
“Kakak
juga bilang apa sama kamu? Jangan ganggu Kak Ify dulu, kan? Kenapa kamu susah
banget dengerin omongan Kakak, sih?” ujar Rio lembut, berusaha bersikap lebih
dewasa dan lebih netral di antara mereka bertiga. “Gak akan ada gunanya kalo
kamu terus maksa Kak Ify. Yang ada dia malah makin susah maafin kamu. Mulai
sekarang, kamu mulailah bersikap baik sama Kak Ify tanpa perlu dapet maaf dari
Kak Ify lebih dulu. Kalo kamu selalu baik sama Kak Ify, tulus, gak mungkin Kak
Ify gak maafin kamu nantinya, kan?”
Dea
menganggukkan kepala dan masih terus terisak. Ia hanya diam tak menyahut. Rio
lalu berbicara kembali. “Sekarang, mending kamu pulang. Biar kalian bisa
sama-sama nenangin diri. Percaya sama Kakak, De. Kak Ify pasti mau maafin kamu,
cuma gak sekarang aja.”
Sekali
lagi Dea menganggukkan kepalanya. Gadis itu tanpa menunggu lagi langsung pamit.
Rio bersama Ify menunggu hingga mobil Dea melenggang pergi dari halaman
rumahnya. Rio beralih pada Ify yang juga masih menangis sendiri tanpa suara.
“Apa
lo gamau mikir ulang buat maafin dia?”
Ify
mengangkat wajahnya dan memberengut. “Emangnya salah kalo gue belum bisa maafin
dia?” sahutnya sedikit meninggi.
“Gue
cuma gamau lo berubah jadi orang yang hatinya sempit, Fy. Jadi orang yang susah
maafin orang lain, gak mempertimbangkan sikap baik yang udah mereka lakuin sama
lo.”
Ify
tiba-tiba mendengus. “Gue butuh waktu, Yo. Gak mungkin bisa semudah itu. Kenapa
lo sama Dea gak bisa ngerti, sih? Emang kalian kira nyimpen amarah lama-lama
itu enak?”
Ify
menghentakkan kakinya kesal. Ia melengos masuk ke dalam rumah meninggalkan Rio
yang masih berdiri di luar.
“Ya
kalo gak enak kenapa gak dimaafin aja, kan? Hhh..” gumam Rio bingung sendiri.
Ia memegang kepalanya sambil menghela napas pasrah lalu menyusul Ify masuk ke
dalam rumahnya.
***
Tonenoneeeet..*yaanggepajabunyitelponyak*plak*
Ponsel
Rio yang ada di atas meja belajar di kamar Ray berbunyi. Rio memakai baju
kaosnya segera lalu beranjak mendekati meja dan memeriksa ponselnya. Keningnya
mengerut ketika melihat nama Dea yang muncul. Tadi siang bahkan gadis itu baru
saja dari rumahnya. Gadis itu baru juga diberitahu agar tidak menghubunginya
atau Ify dulu sebelum Ify bisa menerimanya kembali. Tapi sekarang, gadis itu
malah menelepon. Kalau Ify tahu ia menjawab panggilan Dea ini, gadis itu pasti
marah lagi.
“Ckck,
Dea, Dea. Kamu kok gak kapok-kapok, sih?” gumamnya. Ia lalu menekan tombol yes
di ponselnya dan berbicara sambil berbisik agar tidak sampai terdengar ke
kamarnya yang kini ditempati Ify.
“Halo?”
“KakYo,
aku mohon kali ini aja. Aku janji ini yang terakhir aku ganggu KakYo.”
Rio
menghela napas. “Yaudah, apa?”
“Besok
temuin aku di taman belakang sekolah setelah sekolah sepi. Aku mau ngasih tau
yang sebenernya sama KakYo dan KakFy. Aku mohon sama KakYo untuk kali ini aja.
Please?”
Rio
memijat keningnya menimang-nimang. “Emangnya gak bisa langsung kamu omongin
sekarang aja? Harus pake ketemu? Kakak takut Kak Ify gak mau dan ujung-ujungnya
marah lagi.”
“Gak
bisa, KakYo. KakYo gak bakal percaya. Jangan bilang sama KakFy kalo KakYo mau ketemu
aku. Bilang aja KakYo mau ketemu temen KakYo atau siapa gitu. Please KakYo?”
Rio
berjalan mondar-mandiri beberapa saat lalu kemudian berhenti. “Oke, KakYo sama
KakFy bakal temuin kamu.”
***
Ify
mengikuti langkah Rio dengan berjalan berdampingan dengan pemuda itu. Tadi Rio
bilang dia ingin bertemu salah satu anggota osis untuk membicarakan keperluan
promnight. Tapi yang membuatnya bingung, kenapa mereka harus bertemunya di
taman? Kenapa bukan di ruang osis saja sekalian? Dan kenapa harus ketika
sekolah sudah sepi? Memangnya hal yang ingin mereka bicarakan itu sangat
rahasia sampai-sampai harus sembunyi-sembunyi begitu? Bahkan ruang osis
dianggap masih belum cukup aman?
Tiba-tiba
langkah Rio dan Ify sama-sama berhenti ketika mereka melihat Dea bersama Angel,
gadis yang kemarin menumpahkan kuah baksonya ke baju Ify. Dea dan Angel tampak
sedang berbicara serius. Tepatnya Dea yang berbicara sementara Angel hanya diam
mendengarkan sambil bersedekap. Awalnya gadis itu memalingkan wajahnya tapi
kemudian mendadak ia memandang Dea sambil mengernyit. Dea berbicara lumayan
keras sehingga Rio dan Ify dapat mendengarkan dengan sangat jelas.
“Stop
nyuruh-nyuruh aku lagi buat nyelakain KakFy. Aku gak mau nambah dosa aku sama
KakFy. KakFy salah apa sih sama kakak sampe kakak terus aja mau ganggu KakFy?”
Angel
tampak diam sambil terus mengernyit melihat Dea. Wajahnya kelihatan bingung.
Dea lalu tiba-tiba bersimpuh di depan Angel sambil memegang tangan gadis itu.
“Kak,
aku mohon bebasin aku?” pinta Dea dengan mata berkaca-kaca. Angel menarik
tangannya dan membuat keseimbangan Dea goyang. Ia terduduk di dasar taman yang
berumput.
Melihat
itu, Rio hendak berlari menghampiri akan tetapi Ify menahannya. Gadis itu menatapnya
seolah melarangnya pergi. “Lo mau ngapain?” tanya Ify tajam.
“Apa
lo mau masih mau diem aja ngeliat Dea kek gitu? Setelah lo denger semuanya?”
balas Rio tak kalah tajam.
“Tapi—“
Rio menarik tangannya yang dipegang Ify dan berlari meninggalkan Ify sebelum
gadis itu selesai berbicara. Ify sesaat termangu dan terpaku di tempatnya
memandang punggung Rio yang menjauh. Meski akhirnya pelan-pelan ia melangkah
menyusul pemuda itu.
Rio
mendorong Angel hingga gadis itu mundur beberapa langkah sambil memegangi
perutnya seperti melindungi apa yang ada di dalamnya. Gadis itu tampak kaget
akan kedatangannya dan juga dorongan pada tubuhnya. “Lo apa-apaan sih
dorong-dorong orang sembarangan?!” pekiknya tak terima.
Rio
membantu Dea berdiri. Ia lalu mengepal tangannya menatap Angel geram.
“Seharusnya gue yang nanya sama lo. Jadi selama ini lo pelakunya? Maksud lo apa
ngelakuin itu semua ke Ify, hah?!”
Ify
hanya diam memperhatikan pergulatan di hadapannya. Ia menatap Angel dengan
pandangan tak menentu. Hatinya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja
didengarnya. Ia tidak percaya kalau Angel adalah dalang dari semua kesialannya.
Apalagi Angel sampai mengancam Dea untuk menjadi perantara niatnya. Ia masih
belum bisa percaya itu.
Angel
melihat kedatangan Ify sama kagetnya ketika ia melihat Rio. Ia memandangi
orang-orang di depannya dengan pandangan heran. “Lo semua mau ngeroyok gue?
Apalagi maksud lo sekarang, hah?” Angel menatap Dea jengah.
“Kakak
gak usah pura-pura. KakYo sama KakFy udah denger semuanya. Mereka udah tau kalo
selama ini Kakak yang nyuruh aku ganggu KakFy.”
“Apa?!”
Angel menyahut dengan nada tak percaya. Ia memperhatikan ketiga orang di
hadapannya lalu terakhir menjatuhkan pandangannya pada Dea. Ia mengerang marah
pada gadis itu. Ia hendak maju tapi Rio langsung menahannya.
“Lo—“
“Stop!”
tahan Rio. Angel berhenti lalu menatap pemuda itu. “Kalo lo berani macem-macem
lagi sama Dea, gue bakal bongkar rahasia lo yang ada di sana.” Rio mengacungkan
telunjuknya ke wajah Angel lalu turun ke perut gadis itu.
Angel
dan Ify sama-sama terkejut dan terbelalak mendengar itu. Angel terkesiap tanpa
sanggup berkata-kata lagi. Matanya mulai memerah. Tidak menyangka Rio
mengetahui soal kehamilannya. Sementara Ify menatap Rio kecewa. “Rio!” katanya
memperingati. Tapi sepertinya Rio tidak peduli.
“Lo
semua emang bener-bener gak punya hati!” Angel berteriak keras lalu langsung
angkat kaki dari hadapan mereka semua.
Sekarang
hanya tinggal Ify, Rio dan juga Dea. Rio memegang bahu Dea sambil menanyakan
keadaan gadis itu. “Kamu gakpapa?”
Bukannya
menjawab, Dea malah menangis dan memeluk Rio. Ify meremas roknya kuat-kuat
apalagi ketika Rio ikut membalas memeluk Dea.
“Kenapa
kamu mau aja disuruh-suruh sama dia, De?”
Dea
menjawab sambil sesenggukan. “Aku takut, KakYo. Dia ngancem aku. Aku sekarang
udah gapunya seseorang yang bisa ngelindungin aku lagi. KakCha di amerika,
KakYo udah sibuk sama KakFy. Aku sendirian.”
Rio
mendesah pelan sambil mengelus kepala Dea menenangkan gadis itu. “Kamu tetep
masih bisa ngandelin Kakak, De. Kakak gak pernah lupa sama kamu.”
Ify
yang sudah tidak tahan kemudian memisah paksa Rio dan Dea. Ia berdiri di depan
Rio menghadap Dea tapi tidak menatap gadis itu. “Kita pulang sekarang.” Katanya
dingin.
“Fy?!”
sahut Rio tak percaya. Dea hendak menyentuh lengan Ify tapi Ify langsung
menampiknya pelan. Dea kembali menitikkan air mata melihat itu. “Apa KakFy gak
bisa maafin aku juga?” lirihnya.
“Kakak...gak
tau.” Jawab Ify sekenanya. Saat ini perasaannya kacau. Ia tidak tahu harus
mempercayai yang mana. Karena baik Dea maupun Angel sebelumnya sama-sama memiliki
catatan baik dengannya.
“Lo
perlu bukti apalagi, Fy? Apa yang tadi itu belum cukup ngebuka mata lo buat
ngeliat kebenarannya?” Kali ini Rio menyela.
Ify
sepertinya enggan menjawab pertanyaan Rio tersebut. Lebih tepatnya ia tidak
tahu harus menjawab bagaimana.
“Biar
Kakak antar kamu pulang.” Putus Rio dikala keheningan terus menguasai mereka.
“Lo
mau nganter dia pulang?” tanya Ify yang kelihatan tidak setuju. Rio diam tidak
menjawab. Pemuda itu bahkan melengos pergi tanpa menoleh ke arahnya lagi. Dea
pun langsung menyusul Rio dan lantas meninggalkan dirinya sendiri di sana.
Sekali
lagi Ify terpaku di tempatnya dan hanya diam memandangi Rio yang tak juga
menoleh ke arahnya. Rasanya dunia di sekitarnya mengecil. Ada rasa sesak yang
tak tertahankan di dalam dadanya hingga membuat air matanya turun tanpa bisa
dicegah. Terlalu banyak hal yang sulit untuk dipercaya terjadi. Hatinya
benar-benar tidak tahu ia harus percaya dan berpegangan pada siapa saat ini.
***
Rio
mengendari mobilnya dengan perasaan kacau balau. Ia merasa kecewa pada Ify yang
masih saja keras kepala. Ia tidak mengerti kenapa Ify masih saja belum bisa
memaafkan Dea. Mungkin sebelumnya Ify perlu waktu. Tapi sekarang kan
kejadiannya berbeda. Mereka sudah sama-sama tahu kalau Dea tidak bersalah.
Jadi, untuk apa lagi menunggu? Apa pembicaraan tadi kurang meyakinkan? Apalagi
yang bisa menjelaskan padanya?
“KakYo
gak mau puter balik jemput KakFy? Kasian KakFy harus pulang sendiri. Aku tau
KakYo kecewa, tapi KakYo gak boleh ninggalin KakFy kayak gini. KakFy juga pasti
masih shock makanya dia belum bisa maafin aku.” Ujar Dea lembut.
Rio
menoleh sebentar lalu menghela napas. Lihat kan, Dea sudah sebaik ini dan Ify
masih belum juga bisa memaafkannya. Ia tidak habis pikir dengan gadis itu.
***
Ify
lagi-lagi hanya menemukan dirinya sendiri di parkiran. Mobil Rio sudah tidak
ada di tempat. Pemuda itu benar-benar meninggalkannya dan lebih memilih pergi
bersama Dea. Ify menghela napas pasrah. Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa.
Ia harus marah pada dirinya sendiri yang keras kepala atau pada Rio yang
meninggalkannya begitu saja.
Tanpa
sengaja Ify melihat Angel baru saja berjalan keluar pagar sekolah. Ia tanpa
pikir panjang langsung berlari untuk menyusul gadis itu.
“Kak
Angel! Tunggu!” Angel berhenti dan menoleh sebentar. Ia hendak melangkah lagi
namun Ify lebih dulu sampai di depannya. Melihat gadis itu tersengal-sengal, ia
jadi tidak tega.
“Gue..hh..bisa
tolong lo jelasin ulang apa yang terjadi?” pinta Ify seraya mengatur napasnya.
Angel menatapnya sebentar lalu mendesah. “Sejujurnya gue juga gak ngerti kalian
tadi ngomong apa. Jadi gue gak bisa jelasin apa-apa sama lo.”
Ify
mengernyit bingung kenapa Angel malah bilang tidak mengerti. Angel kemudian
berkata lagi. “Gue harap kalian gak nambah-nambah masalah di hidup gue lagi.
Gue capek, Fy.”
Ify
kali ini membiarkan Angel berlalu dari hadapannya. Ia tidak tahu harus
berkomentar apa. Angel tidak mengerti masalahnya dan ia juga ia tidak mengerti
masalah gadis itu. Jadi akan percuma kalau ia terus bertanya padanya. Yang ia
yakini sekarang, pasti ada sesuatu yang tidak beres yang saat ini terjadi.
Termasuk Angel.
***
“Ada
apa kamu tiba-tiba datang menemui saya?” tanya Obiet langsung ketika sudah
duduk berhadapan dengan Ify. Ify mengatup bibirnya sambil menautkan
jari-jarinya.
“Beberapa
waktu lalu, saya gak sengaja lewat di depan rumahnya Kak Angel. Tapi saya gak
ketemu sama dia, melainkan Fify, adiknya. Sebenernya udah beberapa kali juga
saya ketemu sama mereka berdua. Saya ketemu Fify malam hari, sendirian sambil
bawa barang belanjaan. Pas saya samperin, dia malah nyuruh saya pergi. Dia
bilang ada monster yang bakal dateng. Tapi dia sama sekali gak keliatan takut.
Malah saya yang takut, hehe..”
Ify
terkekeh kecil mengingat kejadian waktu itu. Namun, melihat Obiet yang hanya
diam melihatnya, ia lekas berhenti dan melanjutkan berbicara. “Lalu tiba-tiba
ada bapak-bapak dateng sambil marah-marah malah hampir mukul saya. Untung aja
waktu itu ada..”
Ify
berhenti berbicara. Lidahnya hampir saja menyebutkan nama Rio. Sebenarnya tidak
ada masalah kalau pun ia menyebutnya. Hanya saja saat ini ia sedang tidak ingin
mengingat pemuda itu meski sudah terlanjur teringat.
“Ada
siapa?” tanya Obiet ketika melihat Ify diam. Ify menggeleng cepat. “Gak ada
siapa-siapa, Dok. Saya kira bapak-bapak itu ayahnya Fify atau ayah tirinya Kak
Angel. Tapi, itulah yang ngebuat saya khawatir. Sikap bapak-bapak itu kasar
banget. Saya takut ada sesuatu yang gak beres di sana.”
Obiet
menganggukkan kepala tampak sedang berpikir. Mereka lalu terdiam dan kemudian
saling berpandangan. “Apa dokter memikirkan apa yang saya pikirin?” tanya Ify
seraya meringis.
***
Ify
membuka bungkus es krim terakhir yang belum ia makan dari 5 es krim yang ia
beli. Satu-satunya yang bisa mendinginkan kepalanya hanya ini. Setelah selesai
berbicara dengan Obiet, ia memilih beristirahat sejenak di kantin rumah sakit.
Ia tidak peduli kalau kemarin ia pun baru saja masuk rumah sakit. Ia tidak
peduli kalau ia akan terkena flu berat karena memakan es krim sebanyak ini dan
harus dirawat lagi. Ia sedang butuh penenang.
Ify
memandang ponselnya yang dari sejak ia masih di sekolah sampai sekarang tetap
bergeming. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rio sama sekali tidak
menghubunginya. Apa pemuda itu tidak tahu kalau sekarang ia merasa ingin
memenggal kepalanya sendiri karena stres? Ia pusing memikirkan orang-orang di
sekitarnya. Rio, Dea, Angel, Debo...tunggu dulu. Apa ia harus menghubungi
pemuda itu dan meminta penjelasannya? Bagaimanapun, pemuda itu juga terlibat
dalam kejadian perpus beberapa waktu lalu. Pasti pemuda itu tahu apa yang
sebenarnya terjadi.
Ify
meraih ponselnya namun tiba-tiba ia meletakkannya kembali. Tapi...apa ia sudah
siap bertemu dengan Debo? Bagaimana kalau nanti ia kelepasan dan malah
menghajarnya habis-habisan? Atau Debo mencuri-curi kesempatan lagi dan berbuat
yang tidak-tidak padanya?
“Aiss..”
desis Ify seraya geleng-geleng kepala. Ia harus bisa menguatkan dirinya kalau
ingin semua masalah ini cepat selesai dan menemui titik terang. Ia mengambil
ponselnya kembali dan langsung mendial nomor Debo. Tak butuh waktu lama hingga
panggilannya di jawab.
“Apa
lo bisa temuin gue sekarang?”
***
“Dia
bilang gitu?” ujar Debo sarkastis sambil menaikkan alis. Ify mengangguk pelan
sambil menatapnya lekat-lekat. Debo tiba-tiba saja tertawa lalu terakhir ia
berdecak sambil geleng-geleng kepala.
“Gak
habis pikir gue..” gumamnya. Ify lantas menyahut. “Gak habis pikir apa?”
Debo
menatapnya lalu menggelengkan kepala lagi. Gelagatnya seperti sedang
menyembunyikan sesuatu darinya. Ia mengernyit curiga. “Jadi, apa ada yang lo
bisa jelasin ke gue soal semua ini? Klarifikasi atau apa kek?”
Debo
menegakkan tubuhnya dan memasang tampang serius. “Gue mau minta maaf
sebesar-besarnya sama lo. Maaf kalo gue udah ngelanggar omongan gue sendiri.
Dan maaf kalo gue udah...”
Ify
terkesiap lalu memalingkan wajahnya. Pipinya mendadak terasa panas. “Udah,
jangan dilanjutin. Gue gak mau nginget-nginget itu lagi.”
Debo
mengangguk paham sambil menghembus napasnya karena tiba-tiba merasa grogi.
“Sebelumnya gue mau tanya, apa setelah kejadian perpus, ada kejadian buruk lain
yang menimpa lo?”
Ify
mengerutkan kening seraya mengingat-ngingat lalu kemudian menggelengkan
kepalanya. Debo lantas menghela napas lega. “Gue gak bisa ngomong apa-apa
sekarang selain minta maaf sama lo. Tapi kalo saatnya udah pas, gue akan kasih
tau semuanya sama lo.”
Ify
mendengus kesal. Kenapa Debo harus pakai rahasia-rahasiaan segala? Ia sedang
tidak ingin dibuat penasaran. “Apa ada yang lebih gak jelas dari omongan lo
barusan?” serahnya.
“Sekali
lagi gue cuma bisa bilang maaf sama lo soal kejadian perpus dan karena gue gak
bisa ngomong apa-apa sama lo.”
Ify
menutup mukanya dengan kedua tangannya frustasi. Sementara Debo hanya meringis
memandangnya.
Gue
cuma mau tau, seberapa sanggup Rio mempertahankan lo, Fy.
***
Ify
berdiri berkacak pinggang menatap gedung tinggi di hadapannya. Gedung apartemen
Tristan. Dia adalah orang terakhir yang bisa ia mintai bantuan. Semoga saja
orang ini dapat, walau sedikit saja, merapikan barisan pikirannya yang sudah
ruwet.
“Lo
satu-satunya harapan gue, Kak.” Gumamnya pasrah. Ia merogoh ponselnya di
kantong dan langsung menghubungi Tristan. Sama seperti sebelumnya, panggilannya
langsung diangkat oleh pemuda itu.
“Kak,
ada hal yang pengen gue omongin. Penting. Gue udah di lobby apartemen lo.
Jemput gue sekarang juga ya! Please, gak pake lama.”
Klik.
Ify
langsung memutus sambungan tanpa menyempatkan Tristan berbicara bahkan sekedar
menyapanya. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya dan kemudian
berjalan sampai di depan pintu masuk lobby untuk menunggu Tristan menjemputnya.
***
“Lo
serius?!” tanya Tristan kaget tak percaya. Ify baru saja menceritakan apa yang
sudah terjadi padanya. Semuanya tanpa terkecuali. Soal Rio, soal Dea, soal Debo
dan terutama soal Angel. Ia meneguk habis segelas jusnya karena kehausan
selepas berbicara panjang lebar.
Tristan
mengelus-ngelus dagunya dan mendecak pelan. “Ckck, warga sekolah lo pada horror
semua. Di sekolah gue gak ada loh yang kayak gitu.”
Ify
menghantam badannya ke sofa dan menutup mata sejenak. “Gue bukan anggota sensus
penduduk yang mau ngomongin masalah warga sekolah lo, Kak.”
“Oke,
oke.” Ujar Tristan sambil mengangkat kedua tangannya.
Ify
menegakkan tubuhnya kembali lalu menatap Tristan lekat-lekat. “Jadi, menurut
lo, apa iya Kak Angel pelakunya? Kak Angel yang udah ngerjain gue dan pake
nyuruh sambil ngancem Dea segala?”
“Gue
kenal Angel itu udah hampir 5 taunan. Kita pertama kali ketemu di tempat les
musik waktu kita masih sama-sama smp. Dan sepanjang perjalanan hubungan kami
berdua, gue gak pernah ngeliat atau ngerasa gelagat buruk dari dia. Kalo boleh
gue bilang, dia itu malah cewek yang baik banget. Dia penyabar, gak pernah
marah kalo ada yang jahat sama dia. Dia juga gak pendendam dan gak pernah sirik
apalagi mau tau urusan orang. Pikirannya terbuka dan enak diajak ngobrol. Jadi,
kalo lo tanya gue, gue pastinya gak percaya.”
Ify
diam sembari memikirkan kata-kata Tristan. Meski dari sekian kata yang pemuda
itu ucapkan, ada satu yang begitu teringat-ingat di benaknya. “Emang hubungan
lo sama Kak Angel apaan?” tanyanya spontan.
Wajah
Tristan langsung berubah gugup. Ia menjadi agak gelagapan ditanya seperti itu.
“Gak..gak ada apa-apa. Kita..kita cuma temen baik aja.”
Ify
lantas menyipitkan mata curiga lalu tersenyum menggoda Tristan. “Tapi lo ngarep
lebih, kaaaan?” ledeknya.
Tristan
tertawa hambar. Ia berusaha mengelak namun pada akhirnya ia mengakui apa yang
dikatakan Ify itu benar. Wajahnya tiba-tiba berubah muram. “Gue cinta banget
sama Angel, Fy.” Gumamnya pelan dengan pandangan menerawang.
Ify
mengerutkan kening penasaran mengapa ekspresi Tristan mendadak murung begitu.
“Trus, dianya gimana? Lo udah pernah nembak dia?”
Tristan
menggeleng dan tersenyum miris. “Mungkin lo gak percaya, tapi gue gak pernah
berani. Gue selalu speechless tiap gue mau nembak dia. Udah berkali-kali gue
coba tapi tetep aja.”
Ify
menganga tak percaya lalu kemudian tertawa keras. “Orang ternarsis dari seluruh
umat kayak lo gak berani nembak cewek?! Pfft...hahahaha!”
Tristan
hanya mencibir pelan dan tidak terlalu menghiraukan ejekannya. Pemuda itu masih
larut dalam pikirannya. Melihat itu, Ify lantas diam secara otomatis. Pasti ada
sesuatu yang tidak beres sehingga Tristan tumben-tumbennya berwajah sedih
seperti itu.
“Di
saat gue udah bener-bener yakin buat nembak dia, tiba-tiba...sesuatu terjadi...dan
seketika mengubur angan-angan gue untuk merajut kasih dengan dia. Semenjak itu
pun dia jadi berubah sikapnya sama orang-orang. Tapi untungnya, sikapnya gak
berubah ke gue.”
Kedengarannya
memang agak berlebihan. Apalagi Tristan memakai kata-kata ‘merajut kasih’ yang
terasa seperti pemuda itu sedang membacakan puisi sastra romantis. Tapi,
ekspresi di wajahnya membuatnya terlihat benar-benar serius dan kata-katanya
menjadi terdengar sangat menyentuh. Terutama bagi Ify.
Tiba-tiba
Ify teringat akan kondisi Angel saat ini. Apa jangan-jangan ‘sesuatu terjadi’
yang dimaksud Tristan adalah soal kehamilan Angel? Apa Tristan ‘ilfeel’ karena
Angel hamil di luar nikah?
“Kak,
apa lo udah tau soal keadaan Angel sekarang ini?” tanya Ify hati-hati. Bahaya juga
kalau ia malah sampai membocorkan rahasia orang. Ia tidak ingin lagi
mempercayakan orang lain untuk menjaga rahasia Angel. Cukup Rio, yang malah
hampir saja membeberkan semuanya di depan Dea.
Tristan
mengangkat wajahnya dan menatap Ify lekat-lekat. “Jangan-jangan lo tau kalo
Angel itu...”
Mereka
saling berpandangan dan seketika...
“Astaga...”
desah mereka berdua. Mereka tak melepas pandangan dari masing-masing dan
sama-sama terperangah. Mereka sempat terdiam beberapa saat hingga akhirnya Ify sadar
lebih dulu. “Jadi..lo gak suka lagi sama Kak Angel karena dia...hamil?”
Tristan
menggeleng lemah. “Dia itu cewek paling sempurna yang pernah gue temuin. Kalo
sekarang ada yang nyuruh gue nikahin dia, gak akan gue tolak. Gue cuma gak mau
nambah beban dia dengan perasaan gue, Fy. Dia udah cukup menderita dengan
keadaannya sekarang. Apalagi ditambah masalah yang lo ceritain tadi. Saat ini,
cuma gue sandaran dia satu-satunya. Gue gak mau ngancurin persahabatan kita dan
pada akhirnya membuat dia harus berjuang sendiri dengan hidupnya. Gue gak mau,
Fy.”
Ify
menatap Tristan tanpa berkedip. Ia dibuat terkagum-kagum oleh pemuda itu.
Ternyata dibalik sikapnya yang pecicilan, Tristan adalah tipe cowok yang
penyayang dan setia. Ia bahkan sampai menitikkan air matanya. “Jadi cowok gue
yuk, Kak?” sahutnya asal.
Tristan
tertawa kecil. Ify sedikit merasa senang dalam hatinya. Setidaknya ia sudah
bisa membangkitkan semangat pemuda itu.
“Lo
tau darimana Angel itu hamil, Kak? Trus, apa lo juga tau siapa...ehm ayahnya?”
Air
muka Tristan berubah lagi. Kali ini terlihat ada pancaran kemarahan di matanya.
“Ayah tirinya.”
Ify
lantas terdiam. Ayah tirinya? Laki-laki yang bersikap kasar padanya waktu itu?
Si monster itu? Jadi dugaannya dan dokter Obiet benar?
***
Ify
kembali ke rumah Rio ketika hari sudah benar-benar gelap. Tepat pukul delapan
malam. Ia sempat bertemu dengan Amanda dan Zeth di ruang tengah dan mereka
sama-sama menanyakan perihal keterlambatannya. Ia hanya menjawab ia sedang
mengerjakan tugas dan diajak makan malam sebelum pulang sehingga ia terlambat
sampai di rumah. Untunglah setelah itu Amanda dan Zeth sama-sama tidak bertanya
lagi. Meski ia telah sangat-sangat berbohong. Bahkan dari siang ia belum makan.
Ia sama sekali tidak berselera melihat makanan. Hanya 5 batang es krim tadi
saja yang masuk ke perutnya. Ia hanya rindu pada kasur dan ingin segera
merebahkan diri di sana.
Ia
masuk ke dalam kamar Rio dan menutup pintunya pelan. Ia menemukan Rio sedang
berdiri di depan meja belajar memilah-milah buku. Gerakan pemuda itu sempat
berhenti ketika mendengar suara pintu tapi kemudian melanjutkan kegiatannya
kembali. Rio benar-benar tidak memedulikan kehadirannya. Jadi sudah pasti sejak
tadi siang pemuda itu tidak mencari atau bahkan sekedar mencemaskan
keberadaannya. Ingin rasanya Ify membelah hatinya dan membuangnya ke tong
sampah supaya ia tidak merasakan sesak yang teramat sangat. Tapi apa daya,
Tuhan sudah menganugerahkan hati yang mudah terenyuh, mudah down jika terjadi sesuatu
yang tidak diharapkan, padanya.
Ify
berhenti berjalan dan hanya diam berdiri memperhatikan apa yang Rio lakukan.
Rio sendiri tampaknya masih pura-pura tidak mengacuhkannya. Ia mendesah pelan.
“Gue
tau kok muka gue gak seseksi Angelina Jolie atau seanggun Kristen Stewart atau
setegas Emma Roberts *iyaguetaukok..(?)*iykwimhaha* atau—”
Brak!
Brak!
Rio
menyusun kembali buku-buku sambil menghentakkannya keras-keras. Ify berjengit
kaget lalu mengelus-ngelus dadanya. Meski begitu, Rio masih saja tidak menoleh
ke arahnya.
“Atau
secantik Acha.” Sambung Ify. Ia berhasil membuat Rio menoleh padanya walau
sesaat. Jadi kesimpulannya, gue harus ganti nama jadi Acha biar dia mau nolehin
kepalanya ke gue.
Ify
meletakkan tasnya di lantai lalu menyandarkan badannya ke dinding. “Ternyata
dia masih punya peran besar buat lo..” gumamnya sangat pelan. Ia tidak lagi
menatap Rio.
Rio
menenteng bukunya lalu berhenti di hadapannya. Pemuda itu seperti ingin
mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. “Terserah lo, deh!” katanya jengah dan
hendak melangkah pergi.
“Makanya
waktu itu gue gak mau lo janji sama gue, Yo.” Rio berhenti mendengar ucapan
Ify. Ia untuk pertama kalinya atau mungkin kedua kalinya menoleh pada gadis
itu. Gantian sekarang Ify yang tidak menoleh ke arahnya.
“Apa
bisa lo sebutin janji yang mana yang masih lo tepatin sekarang?” Ify tersenyum
miris. “Gak ada..” sambungnya kemudian.
“Lo
terusin aja pikiran buruk tentang gue di kepala lo.” Balas Rio dingin. “Gue
kecewa sama lo. Lo menutup hati lo buat Dea bukan karena kesalahan dia lagi,
tapi karena lo dendam sama dia. Sampe-sampe ketika dia udah dipihak yang benar
pun lo anggep salah.”
“Memangnya
gue bilang kalo gue gak bakal bisa maafin Dea? Gue cuma bilang gak tau. Gak tau
bukan berarti gue gak mau. Lo cuma menilai dari sisi perasaannya Dea, selalu
Dea ke Dea. Lo nganggep gue ini penjahatnya. Sementara korban sebenernya itu
gue, Yo. Apa lo gak sadar itu? Lo pun sepertinya menutup hati lo untuk nyari
tau apa yang gue rasain.”
Rio
hanya diam tidak menjawab. Ify lantas menoleh ke arahnya. “Lo bilang lo ga akan
ngebongkar rahasia Kak Angel, kan? Tapi kenapa dengan mudahnya lo beberin
semuanya di depan Dea? Kenapa gak sekalian satu sekolah lo kasih tau, huh?! Apa
lo gak mikir betapa merasa berdosanya gue? Lagi-lagi lo gak mikirin perasaan
gue.”
“Fy,
buka mata lo, Fy! Buka! Liat apa yang udah Angel lakuin. Dia udah ngancem dan
memperalat Dea buat ganggu lo. Apa gue harus diem aja ngeliat dia bersikap
seenaknya kek gitu? Sukur-sukur gak gue langsung beberin.”
“Lo!”
Ify menggeram. “Lo tetep gak berhak gunain ‘pengetahuan’ lo soal itu. Lo yang
seharusnya buka mata dan pikiran lo. Kenapa lo bisa secepat itu percaya apa aja
yang dibilang sama Dea? Apa lo gak mikir Dea selalu gak konsisten sama
kata-katanya sendiri? Kemaren dia bilang nerima gue, tapi dia malah ngerjain
gue. Kemaren dia bilang dia yang ngerjain gue, tapi besoknya dia bilang dia
cuma disuruh. Apa lo gak ngerasa ada yang janggal?”
“Jadi,
maksud lo Dea bohong gitu?” tanya Rio sarkastis. “Iya.” Jawab Ify tegas dan
menantang. Rio terperangah tak percaya dan hampir tidak bisa berkata apa-apa.
“Gue lebih tau siapa Dea daripada lo.”
Ify
tersenyum miris. Teganya Rio berkata seperti itu. Dia begitu membela Dea
sementara pemuda itu peduli padanya saja tidak. “Gue pun lebih tau siapa Kak
Angel daripada lo.”
Mereka
kemudian saling diam. Lalu kemudian Ify berbicara kembali. “Kalo pada saat lo
ninggalin gue tadi adalah saat terakhir lo bisa ngeliat gue, gimana, Yo? Kalo
misalnya gue saat ini gak balik-balik lagi ke sini, apa lo lega? Karena lo udah
memilih ninggalin gue lebih dulu jadi lo gak akan ngerasa di tinggalin?
Ck..padahal baru aja lo bilang bakal selau jagain gue, bakal mikir dua kali
buat ninggalin gue.”
Rio
sepertinya mati kutu. Melihat itu Ify hanya menghela napas. Ia lantas berjalan
ke dekat lemari pakaian. “Boleh lo keluar? Gue mau ganti baju.” Pintanya
sekalian mengalihkan pembicaraan atau mungkin juga mengakhiri pembicaraan di
antara mereka. Rio tanpa banyak berkomentar kemudian berbalik badan dan
beranjak keluar dari kamarnya.
Ify
tanpa sadar menahan napasnya selagi Rio masih ada di dalam kamar hingga
akhirnya terdengar suara pintu di tutup dan ia bisa bernapas lega. Rasanya
seperti de javu. Perasaan sakit seperti ini, rasanya ia sudah pernah
merasakannya sebelumnya. Ck, tidak disangka-sangka ia akan mengalaminya
kembali.
***
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!
Akhirnya bisa posted juga. Tadinya sih mau bikin Rify langsung berantem tapi
gajadi. Karena udah musim banget kan wkwk-.- Ini gak nyesek-nyesek amat sih
kayaknya. Beloooom wkwkwk....
Terimakasih
anime kritik saran dan pujiannya muah muah muah :*