Warning
: Jauhkan benda-benda tajam disekitar anda karena cerita ini berisi konten yang
menguras emosi. Terimakasih.
***
And it’s me you need to show how deep
is your love..how deep is your love..I really need to learn. – Michael
Buble ft. Kelly Rowland
***
Ify
lagi-lagi terjebak dalam ruangan atau mungkin lebih tepat adalah sebuah tempat
bernuansa putih. Oh Tuhan, jangan bilang kalau ini akan menjadi mimpi buruknya
lagi. Ia menepuk-nepuk pipinya dengan keras agar dirinya bisa segera terbangun.
Namun alih-alih sadar, bahkan ia tidak merasakan apapun pada pipinya. Padahal
rasanya ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menampar pipinya sendiri.
“Ify?”
Kemudian, datang sebuah suara lembut yang selalu dirindukannya, memanggil
namanya dengan lembut pula dari arah belakang. Suara yang sampai sekarang tidak
berubah dan tidak pernah ia lupakan. Suara Gina, Mamanya.
Ify
lantas membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok mamanya sedang berdiri dan
tersenyum hangat menatapnya. Ia balas tersenyum penuh rindu pada wanita itu.
Kali ini ia mungkin sudah terbiasa sehingga ia tidak lagi menitikkan air mata
haru ketika harus berjumpa lagi dengan wanita itu di dalam mimpi.
“Ikut
Mama, yuk?” ajak Gina seraya mengulurkan tangan. Ify meliriknya sebentar lalu
kemudian menyambutnya tanpa banyak bertanya.
Selangkah
demi selangkah area sekitar Ify mulai berubah. Sekarang tempat itu terlihat
sedikit lebih nyata dibandingkan saat ia pertama kali menyadari ada di sini.
Tempat tersebut persis seperti sebuah taman buatan yang tertata indah. Mereka
lalu berhenti dan duduk di sebuah kursi yang terletak di sana. Di depannya ada sebuah
pohon besar nan rindang yang disarangi seekor induk burung beserta beberapa
ekor anaknya.
“Coba
kamu perhatiin burung yang hinggap di pohon itu. Mereka lucu ya?” ujar Gina
sambil menunjuk ke dahan yang ditempati sang burung.
Ify
memperhatikan itu sejenak dan tersenyum. “Iya, mereka kelihatan bahagia. Mereka
beruntung karena masih punya ibu.” Katanya. Meski terdengar sedih, akan tetapi
ia tetap tersenyum dan tidak sedikitpun terlihat kalau ia sedih. Sekali lagi,
ia mungkin juga sudah terbiasa dan sudah bisa menerima kepergian Mamanya.
“Mereka
pun bahagia, meskipun tanpa ayah.” Sambung Gina sambil tersenyum juga. Ify
seketika menoleh pada wanita itu. Apa maksudnya ucapan itu? Kenapa tiba-tiba
menyebut-nyebut soal ayah? Apa ada hubungannya lagi dengan Papanya? Pertanda
buruk apalagi sekarang?
“Kalau
kita bisa ngerti bahasa mereka, Ify yakin kalau mereka pasti selalu nanyain
ayahnya.”
Gina
diam dan hanya balas tersenyum. Hingga kemudian, ia bersuara lagi. “Induk akan
menjaga dan mengurusi anak-anaknya hingga mereka besar. Memberi makan, menjadi
penghangat ketika tidur, mengajari cara berkicau, cara membuat sarang, hingga
terakhir mengajari bagaimana caranya terbang bebas di udara sehingga mereka
bisa menjalani hidupnya sendiri. Induk itu mirip sama Papa kamu.”
Ify
hanya diam sambil menunggu ucapan Gina selanjutnya. “Pada saat yang tepat,
semua induk pasti akan berpisah dengan anaknya. Pada akhirnya, induk akan
melepas anak-anaknya ketika mereka sudah siap. Kalau bukan induk yang
meninggalkan anak, maka anak yang akan meninggalkan induknya. Begitupun Papa
kamu. Mama yakin, ketika waktunya tiba, kamu pasti udah siap.”
Air
mata Ify satu persatu mulai turun. Sebodoh-bodohnya dirinya di sekolah, tapi ia
tidak butuh penjelasan panjang soal ucapan Mamanya yang satu ini. Ia tahu benar
apa maksudnya. Hanya saja ia tidak ingin, bahkan sekedar mengucapkannya di
dalam hati. Ia tidak mau meyakini itu yang akan terjadi. Ia tidak mau. Mamanya
salah kalau mengatakan ia siap. Sampai kapanpun ia tidak akan pernah siap.
Tidak akan. Tidak akan!
***
“HHKK..”
Ify
terbangun dalam satu tarikan napas yang dalam dan mencekat. Ia langsung
menghembusnya perlahan. Ia sudah tidak tahu lagi tadi itu ia bermimpi atau
tidak. Ia sudah tidak mengerti lagi. Sebenarnya apa pesan yang ingin Tuhan sampaikan
padanya? Kenapa selalu datang sepotong-sepotong? Kenapa tidak langsung to the
point saja? Kenapa harus membuatnya menebak-nebak? Ia bukan detektif yang
handal memecahkan misteri dan teka-teki. Jelas saja, kemampuan akademisnya kan sedikit
dibawah rata-rata.
Ify
memijit dahinya yang terasa panas dan merenyut-renyut. Persis seperti dugaannya,
ia pasti akan demam lagi. Ya jelas, baru sembuh dari sakit, keesokan harinya
langsung makan 5 es krim, tanpa disusul makan nasi ataupun jenis karbohidrat
yang lain yang dibutuhkan tubuhnya. Apalagi ia pun tidak meminum antibiotik
yang seharusnya ia habiskan. Ia lantas mendesah pelan. Bahkan napasnya saja
terasa sangat panas.
Ify
menggeser pantatnya mendekati nakas dan menghambil ponsel sekaligus memeriksa.
Ada 1 pesan masuk dari...dr. Obiet.
Ada
hal harus saya bicarakan, mengenai kondisi papamu. Kamu bisa datang ke rumah
sakit?
***
Ify
keluar kamarnya dan berjalan menuju meja makan dengan susah payah. Kakinya
rasanya lemas sekali. Makanya ia tidak terlihat seperti sedang berjalan. Ia
malah terkesan sedang menyeret-nyeret kakinya. Selain itu, mukanya juga pucat, kepalanya
sakit, flunya masih kambuh dan perutnya perih. Benar-benar keadaan yang
sempurna. Dan keadaannya yang sudah sempurna itu tampaknya makin disempurnakan
oleh sikap dingin Rio padanya.
Sudahlah,
terserah Rio mau apa. Saat ini ia sementara ingin berhenti peduli. Ia tidak
akan berusaha mencairkan es itu lagi. Karena hatinya juga diliputi kedinginan.
Bukan Rio saja yang ingin dihangatkan. Bukan Rio saja yang ingin dibujuk. Bukan
Rio saja yang ingin ditenangkan. Bukan Rio saja yang ingin dimengerti. Ia juga.
Dan Rio selama ini sering lupa akan hal itu.
Rio
benar-benar mengajak Ify perang dingin. Bahkan ke sekolah Rio tidak mengajak
Ify. Dengan sengaja pemuda itu mengatakan kalau ingin menjemput Dea dulu
sehingga berangkat lebih cepat, pada mamanya, di meja makan, yang artinya juga
di depannya. Ify sekali lagi berusaha menebalkan telinga untuk tidak mendengar
apa yang Rio katakan. Lagian ia juga tahu Rio hanya berusaha memanas-manasinya
karena dirinya yang keras kepala, menurutnya.
Selepas
kepergian Rio, Ify malah berpikir ulang hari ini ia masuk sekolah atau tidak.
Kalau sekolah juga percuma dengan kondisi tubuhnya yang seperti ini. Dalam
keadaan fit saja pelajaran belum tentu masuk ke otaknya apalagi kalau sedang
drop. Lebih baik sekalian ia tidak masuk dan bisa beristirahat. Siapa tahu
keadaannya bisa membaik, segera.
“Ma,
Ify boleh izin ga sekolah hari ini?” tanyanya dengan suara serak. Ia berdehem
pelan berusaha menormalkan suaranya.
Amanda
memperhatikan lekat-lekat dan seketika air mukanya berubah cemas. “Yaampun
kenapa mama ga sadar daritadi? Muka kamu pucet banget! Kamu sakit, Fy?” Ify
tersenyum lemah. Ia mengangguk pelan. “Dikit..”
Amanda
berdiri dari kursinya dan memutari meja menghampiri Ify. Ia meraba kening Ify
dan merasakan hangat pada kulit punggung tangannya. Ia menghela napas. “Kamu
pasti gamau dibawa ke dokter kan?” katanya kesal sekaligus cemas. Benar-benar
sikap seorang ibu. Ify tersenyum lagi. Setidaknya, Amanda bisa sedikit membantu
menghangatkan hatinya.
“Yaudah
abisin makannya trus istirahat di kamar dan minum obat ya, Fy?” tambah Amanda
kemudian. Ify tersenyum lagi. Bukannya menjawab, Ify malah memeluk orang yang
telah melahirkan Rio ke dunia itu. Amanda mengernyit bingung lalu membalas
pelukan Ify sambil mengelus kepalanya.
“Kamu
kenapa? Berantem sama Rio?” Ify sekali lagi tidak menjawab dan hanya tertawa
kecil. Amanda lantas geleng-geleng kepala. “Sampe sakit begini? Ckck, dasar
anak muda. Baru pacaran, paling-paling baru cinta monyet, rasanya udah kayak pasti
sehidup semati. Giliran berantem keadaannya udah kayak gak makan 3 hari. Baper
banget sih kalian! Ckck..” Ledeknya kemudian.
“Mama..”
cicit Ify seraya memberengut tapi tetap memeluk Amanda. Amanda terkekeh geli.
Ia kemudian melepas rangkulan tangan Ify di pinggangnya. “Udah, sekarang
habisin makannya. Ntar makin lemes lho!” Meski agak tidak rela karena masih
ingin memeluk wanita itu, Ify tersenyum dan mengangguk pada Amanda.
Setelah
di kamar, Ify merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil memainkan ponselnya.
Ketiga sahabatnya sibuk menanyakan ketidakhadirannya di sekolah, berhubung
sekarang sudah pukul 9. Setelah membalas beberapa kali, sahabat-sahabatnya
tidak lagi berkicau di ponselnya. Ponselnya hening. Ia memainkan tanpa niat.
Sejujurnya, ia sedang menunggu. Menunggu seseorang menghubunginya. Meskipun
keinginan itu ada, tapi harapannya tidak setinggi kemarin-kemarin. Mungkin
karena Rio, orang yang ia tunggu itu, sudah sangat banyak memupuskan
harapannya.
Sudah
banyak toleransi yang ia berikan hanya karena Rio meminta maaf atau bahkan
pernah dengan cuma-cuma. Mungkin kata-kata Debo waktu itu boleh sedikit ia
pikirkan. Ya, bukan salahnya kalau ia mulai ragu-lagi-dengan perasaan Rio
padanya. Ia tidak berharap muluk-muluk. Ia bersyukur jika ternyata perasaan Rio
sudah mantap padanya. Tapi jika akhirnya ia menerima fakta bahwa ia tidak
seberarti itu untuk Rio, itu juga tidak masalah. Setidaknya ia sudah punya
persiapan lebih dulu dan tahu diri dari awal.
Satu..dua..ti—teet!
*miminmainstreambanget*maapinmimin*
Tepat
saat hitungan ketiga, ponsel Ify menyala. Ada satu chat masuk. Ia mengusap
layar ponselnya dan membuka pesan tersebut.
Mario.
Mau
gue bawain apa?
Alis
Ify terangkat satu. Pertanyaan Rio itu membuatnya merasa seperti ibu hamil. Ia
kan sakit bukan sedang ngidam. Tapi diluar itu, ia cukup senang akhirnya Rio
menghubunginya juga, yah walaupun out of topic. Ia baru hendak mengetik sesuatu
sebelum ingatan beberapa waktu lalu terngiang di kepalanya. Bukannya waktu itu
Rio pernah bilang, jangan percaya pada pesan walau itu dari nomor atau akun Rio
sendiri karena bisa jadi ada lagi orang iseng yang berpura-pura menjadi pemuda
itu. Percayalah hanya jika pemuda itu menelefonnya.
Apa
jangan-jangan saat ini ponsel Rio ada pada Dea jadi Dea yang mengiriminya
pesan? Tapi..ini masih jam belajar sih, belum jam istirahat pertama apalagi
kedua. Dan, kenapa harus Dea? Aiss..ini pasti karena masalahnya yang masih
menggantung pada gadis itu. Jadi kalau diminta satu nama yang ia sebut pasti
Dea. Tidak, tidak. Tetap saja, ini pasti bukan dari Rio. Lihat saja sedingin
apa sikapnya tadi pagi. Tidak ada hujan dan badai tiba-tiba juga, kan sekarang?
Jadi tidak mungkin Rio mendadak berubah.
Ify
meletakkan asal ponselnya di bagian kasur di sebelahnya. Ia menurunkan badannya
dan menarik selimut lebih tinggi dari sebelumnya. Ia menatap langit-langit
tanpa niat. Ingin tidur tapi hatinya masih penasaran. Jangan-jangan yang tadi
memang Rio. Bisa saja kan dia lupa akan ucapannya.
Ify
mengambil kembali ponselnya. Menatapnya dengan seksama. Hingga tiba-tiba sebuah
nama berkelap-kelip dalam layar ponselnya. Jempolnya refleks mengusap benda tsb
dan menempelkannya di telinga.
“Ha-halo?”
sapanya. Suaranya tercekat karena rasa kaget bercampur panik. Sesaat kemudian
ia menyesali kebodohannya. Apalagi tiba-tiba tawa renyah Rio terdengar di
telinganya.
“Nungguin
banget, nih?” goda pemuda itu. Ify memberengut malu. Susah-susah ia membangun
image cool dari kemarin dan semua gagal dalam 3 detik, atau mungkin hanya 2
detik dibutuhkan dari ia mengusap layar sampai mengucapkan halo.
Ify
menutup speaker sebentar dan mencuri napas. Ia mencoba menenangkan dirinya lalu
menyingkirkan tangannya dari speaker. “Kenapa?” tanyanya dengan penuh
ketenangan.
“Chat
gue ga masuk?”
“Ma-suk..”
jawab Ify ragu-ragu. “Kok ga dibales?”
“Kan
udah perjanjiannya kaya gitu.”
Tiba-tiba
suasana menjadi hening. Mungkin Rio baru teringat tentang ucapannya waktu itu. Beberapa
saat kemudian baru suaranya muncul lagi.
“Udah
makan?”
“Udah.”
“Udah
minum obat?”
“Udah.”
“Udah
manggil dokter?”
Ify
memutar bola matanya malas namun tersenyum geli. “Belum.”
“Kenapa?”
Kali ini Rio yang bertanya kenapa. Ify mengedipkan mata beberapa kali lalu
menjawab seadanya. “Nanti siang mau ke rumah sakit.” Katanya jujur. Ia
mendapati Rio kembali diam lalu kemudian mengatakan sesuatu yang membuat
senyumnya melebar.
“Tunggu
gue pulang, nanti gue anter.” Entah kenapa, jantung Ify berdebar. Tapi, itu
bukan suatu hal buruk. Ia justru merasa senang. “Iya..” sahutnya pelan sebelum
Rio menyangka dirinya menolak karena diam terlalu lama.
“Lo
mau gue bawain apa?”
Ify
berpikir seraya menggigit bibirnya sambil menatap langit-langit. Dan setelah
berpikir lama, hanya satu yang terlintas di benaknya. Pemuda itu sendiri.
“Cepet
pulang.” Katanya pelan namun masih dapat didengar. Aneh memang. Ia terlihat
seperti pasangan yang berhubungan jarak jauh yang sedang rindu setengah mati.
Padahal setiap hari juga ketemu. Bodo ah! Batinnya tak peduli.
Rio
lagi-lagi diam. Sepertinya pemuda itu sedang tersenyum kini. “Gue balik ke
kelas dulu dan lo istirahat ya.”
Ify
hanya berdehem lalu mematikan sambungan dengan Rio. Ia meletakkan ponselnya di
atas nakas. Senyumnya belum lepas bahkan ketika ia menutup matanya hendak
tidur. Ia bersyukur Rio sama sekali tidak mengucapkan maaf dsb yang akan
membuat mereka kembali mendebatkan masalah yang sama dan pada akhirnya menemui
akhir yang sama pula. Rio dan dirinya saat ini mungkin sama-sama berusaha
mendinginkan kepala yang mengepul. Karena masalah juga tidak akan selesai kalau
keduanya sama-sama keras. Harus ada satu pihak yang mengalah dan akan lebih
baik lagi jika keduanya yang melakukan sehingga penyelesaian akan didapatkan
lebih cepat.
***
“Rio
belum dateng juga, Fy?” tanya Amanda yang sedang berjalan menuju sofa tempat
Ify berada. Ify menggeleng lemah. Ia bersandar pada badan sofa sambil memainkan
ponselnya. Sekolahnya punya jadwal pulang jam 1 dan sekarang sudah hampir jam
2. Memang sebelumnya Rio sudah memberitahu kalau ia akan telat karena ada
urusan mendadak. Tapi ini sudah terlalu lama. Ia tidak enak jika harus
terlambat menemui dr. Obiet. Tapi rasanya kini kecil kemungkinan ia tidak
terlambat. Waktunya hanya tinggal 5 menit sementara Rio belum juga mengabarinya
lagi.
Ting.
1
pemberitahuan muncul di beranda akun media sosial yang tengah Ify buka.
Seseorang menandainya pada satu foto yang baru saja diunggah. Foto seorang
gadis yang tengah makan siang bersama seorang pemuda di depannya. Foto Dea
dan...Rio. Rio tampak tidak sadar gambarnya diambil karena sedang menatap ke
arah lain. Dibawahnya tertulis ‘Lovely lunch with lovely person in a lovely
beginning. Appreciate someone who will always believe in you, forgive you and
stand by your side no matter right or wrong.’.
Ify
terdiam memandangi foto tersebut. Bagaimana bisa...kenapa Rio tidak bilang saja
dari awal kalau ingin pergi dengan Dea? Kenapa membuatnya menunggu? Oh ya,
mungkin salahnya tidak memberitahu kalau ia akan bertemu dr.Obiet. Rio mungkin
mengira ia hanya ingin check up biasa ke rumah sakit. Tapi, tetap saja. Rio
melupakannya. Disituasi seperti ini bisa-bisanya pemuda itu kembali membuatnya
naik darah.
Ting.
Ponsel
Ify berbunyi kembali. Ia mengira itu Rio tapi ternyata bukan, melainkan Debo.
Keningnya mengernyit sambil membuka pesan yang datang dari pemuda itu.
Debo.
Gue
di depan rumah Rio. Lo di mana? Kata temen lo, lo sakit.
Belum
sempat Ify berpikir akan membalas apa, ponselnya berdering. Kali ini
benar-benar Rio yang meneleponnya. Ia lagi-lagi mengernyit. Lengkap sudah.
Kenapa ponselnya ramai sekali sekarang? Semua ingin menghubunginya. Semuanya
membuatnya pusing.
“Halo,
Fy? Gue baru otw pulang. Tu—“ Ify memotong begitu saja ucapan Rio. Kalau ia
disuruh menunggu lagi, maaf-maaf saja. “Ga perlu. Gue udah mau pergi.”
Rio
terdengar menghela napas. Ya, bagus kalau dia merasa bersalah. “Fy, gue...Sama
siapa?”
Ify
diam sebentar. Jika ia bilang sendiri, Rio pasti ngotot menyuruhnya menunggu.
Lagipula Amanda juga pasti tidak mengizinkannya pergi. Kalau ia yang ngotot,
masalah menjadi tidak ada habisnya. Tiba-tiba nama Debo muncul di kepalanya. Mau
bagaimanapun juga, ia menunggu Rio pun, akan tetap muncul masalah. Karena Rio
sudah membuatnya kesal bersama Dea, maka bukan salahnya kalau ia juga membuat
pemuda itu kesal bersama Debo.
“Sama
Debo.”
***
“Keadaan
Papa kamu sudah stabil. Dia sudah boleh pulang. Tapi..”
“Tapi
kenapa, Dok?” Ify merasakan denyutan tak nyaman di jantungnya. Perasaannya
mengatakan hal buruk yang akan dr.Obiet sampaikan padanya terkait kondisi
Ferdi.
“Papamu
butuh donor segera. Tapi rumah sakit belum mendapatkan ginjal yang cocok.
Mencari pendonor pun sangat sulit. Papamu anak tunggal. Kedua orang tuanya
sudah meninggal. Dan kamu harapan satu-satunya juga sudah dipastikan tidak cocok.
Jadi..”
Ify
terpana mendengar penjelasan dokter. Matanya sudah berkaca-kaca. Untung ia
masih punya sedikit kesadaran untuk bicara agar Obiet melanjutkan kata-katanya.
“Ja—jadi?”
“Kita
hanya bisa menunggu sampai kapan cuci darah bisa menolong papamu.”
Setetes
air mata Ify jatuh membasahi pipinya. Ia tidak sanggup lagi menanggapi ucapan
Obiet. Jadi, inikah jawaban dari segala mimpi anehnya?
***
Ify
berjalan seperti tanpa nyawa. Pikirannya melayang entah kemana. Ternyata ia
memang belum siap. Mungkin suatu dosa dengan mendahului takdir Tuhan. Ia merasa
seperti cenayang yang bisa memprediksi hal apa yang akan terjadi nanti. Tapi,
bukankah semua tanda yang ia dapatkan itu juga asalnya dari Tuhan? Atau mungkin
itu semua hanyalah bunga tidur yang tidak sengaja saling berkesinambungan.
Semua hanya karena ketakutannya semata akan ditinggal oleh Papanya. Ya, ia
hanya butuh bersabar. Suatu saat, keajaiban itu pasti akan datang. Bukankah
sabar akan membawa kebaikan, kan?
“Mau
ngeliat bokap lo dulu atau gimana?” tanya seseorang di sebelahnya yang membuat
Ify sadar kalau ia kemari tidak seorang diri. Beruntung Debo tadi menunggu di
luar jadi tidak tahu-menahu soal Papanya. Bagaimanapun, Debo belum bisa
dipercaya. Ia tidak ingin semakin banyak orang tidak berkepentingan tahu. Ia
tidak ingin sakit kepala sama seperti ketika ia memberitahu soal Angel pada
Rio.
“Gue
mau pulang aja.” ujar Ify lemah. Kalau harus bertemu dengan papanya saat ini ia
pasti tidak akan bisa untuk tidak menangis di pelukan laki-laki itu. Dan yang
ada, ia bukannya menguatkan papanya tapi justru memperparah kondisinya. Ya,
lebih baik ia pulang saja.
“Ify!”
Ify
menegakkan kepalanya mendengar seseorang memanggil namanya. Orang itu baru saja
melewati pintu masuk rumah sakit sementara ia dan Debo langsung berhenti di
depan meja resepsionis. Rio setengah berlari menghampirinya, masih dengan
seragam sekolah. Napasnya tersengal-sengal. Mungkin dia baru saja berlari dari
parkiran menuju rumah sakit.
“Kenapa
telfon gue ga diangkat?” tanyanya tanpa tersirat amarah di dalamnya. Yang
terlihat hanya sisa-sisa kelelahan dan air muka cemas. Ify menatapnya seraya
berkedip beberapa kali. Ia merogohnya kantong dan baru menyadari ponselnya
mati.
“Lowbat.”
Jawabnya seadanya. Rio menarik napas dalam lalu menghembusnya perlahan. Ia
menoleh pada Debo yang hanya diam menyaksikan. Rio lantas tersenyum pada pemuda
itu yang cukup membuatnya kaget, bahkan Ify juga. Rio tersenyum padanya, ketika
ia membawa kabur kekasihnya? Okay, ujian pertama lulus!
“Makasih
udah nganter, Ify. Maaf ngerepotin lo.”
Beberapa
saat Debo hanya diam hingga kemudian ia mengangguk dan tersenyum seraya
mengacungkan jempolnya.
“Gue
balik duluan, Fy, Yo!” pamit Debo dan langsung angkat kaki setelah mendapat
balasan anggukan dari Rio. Sementara Ify hanya diam menatap Debo dan baru
berhenti setelah suara Rio mengintrupsinya lagi. Ck, pikirannya benar-benar
kacau.
“Udah
cek ke dokter? Dokternya bilang apa? Obat-obatnya udah ditebus?” Ify merasa
kepalanya ditusuk-tusuk ketika Rio bertanya secara beruntun. Pemuda itu meraba
keningnya yang masih terasa hangat. “Gue mau pulang..” balasnya tanpa berniat
menjawab satu-persatu pertanyaan dari Rio.
Rio
menghela napas lalu mengangguk. Ia meraih jemari Ify, menggenggamnya dan
menuntunnya berjalan keluar menuju mobilnya berada. Tidak ada ketegangan yang
sebelumnya diperkirakan akan terjadi. Keduanya sama-sama dalam keadaan tenang.
Ify sama sekali tidak menolak ketika Rio menggandengnya keluar. Keheningan
dalam mobil pun tidak terasa mencekam. Semuanya dalam kondisi terkendali.
***
Makan
malam hari ini diisi obrolan santai. Rio memandang Ify yang berada di sebelah
Amanda dan merasa sedikit lega. Gadis itu sudah menampakkan senyumnya sekarang.
Sepulang dari rumah sakit tadi Ify langsung tidur di kamarnya. Dia tampak
sangat lelah. Ingin sekali ia bertanya sekaligus meminta maaf soal tadi siang
tapi tidak tega manakala Ify sudah terlelap dalam tidurnya dalam sekejab.
Syukurlah saat ini keadaannya sudah lebih baik.
“Tante,
Om, Ify mau ngomong sesuatu.” Ujar Ify yang membuat semua orang memandang ke
arahnya. Tiba-tiba saja perasaan Rio menjadi tidak enak. Semoga saja..
“Ify
mau balik ke rumah lagi, besok..”
Prank!
Shit!
Bunyi
hantaman dasar gelas kaca pada meja terdengar bersamaan dengan umpatan Rio
dalam hatinya. Sesaat pandangan berubah haluan menuju ke arahnya. Lalu kemudian
dengan cepat kembali pada Ify karena gadis itu kembali buka suara.
“Ify—“
Belum sempat menjelaskan, tiba-tiba Rio memotong dengan berdiri pamit lebih
dulu dari meja makan. Ia tidak ingin mendengarnya dengan jelas. Semuanya pasti
karena masalah gadis itu dengan dirinya. Ia butuh sedikit ketenangan untuk bisa
mengendalikan dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ify tidak akan kemana-mana!
***
Ify
mengetuk pintu kamar Rio pelan. Tak butuh waktu lama pemuda itu langsung muncul
dari balik pintu dan membukanya lebar-lebar. Ia merasa tubuhnya ditarik masuk
ke dalam lalu duduk di atas kasur setelah pintu kembali ditutup. Ia memandang
Rio yang tinggi menjulang di hadapannya, yang terlihat mondar-mandir lalu
berhenti dan menatapnya lekat-lekat. Sumpah demi apapun, muka Rio saat ini
begitu lucu. Baru pertama kali ia melihatnya benar-benar panik.
“Fy,
kalo sebelumnya gue maksa lo maafin Dea dan itu bikin lo gak nyaman, gue minta
maaf. Gak lagi, Fy. Gue ga bakal maksa lo maafin Dea lagi. Dan soal rahasia
Angel waktu itu, gue sumpah ga sengaja. Gue bener-bener emosi. Gue cuma ga tega
liat Dea waktu itu. Bukan karena gue lebih mentingin dia atau punya perasaan
lebih ke dia, tapi lo tau, dia udah gue anggep sama kaya Ray, kaya adek gue
sendiri. Lo tau gimana perasaan kakaknya ngeliat adeknya nangis mohon-mohon
sama orang apalagi lo denger dia diancem. Dan soal tadi siang, gue—“
Sebelum
Rio berkata yang lebih menggelikan dan ia tidak bisa menahan tawanya, ia segera
buka suara. Ck, ini akibatnya jika tidak mau mendengar penjelasan terlebih
dahulu. Menerka sendiri, memutuskan sendiri, dan akhirnya pusing sendiri.
“Papa
udah bisa pulang.” Katanya singkat namun cukup untuk menjelaskan semuanya.
Cukup untuk menghilangkan segala kepanikan milik Rio. Bibir Ify berkedut menahan
tawa geli.
Rio
hanya melongo menatapnya. “Jadi, tadi siang itu..” Ify menyela lagi tapi hanya
dengan menganggukkan kepala. Rio tampak menghela napas panjang lalu menatap Ify
putus asa. “Kenapa gak bilang?”
Ify
berdiri seraya berkacak pinggang. Memasang tampang pura-pura galak meski dalam
hati tersenyum geli. “Makanya, dengerin dulu orang ngomong, jangan keburu
mendidih.”
“Lo
sih, dari tadi siang nyuekin gue..”
Mendengar
kata siang, kekesalan yang tadinya sudah hilang muncul kembali. Walau tidak
sepenuhnya. Ia tidak kesal Rio bersama Dea. Ia hanya kesal kenapa Rio tidak
memberinya kabar. “Gue cuma minta lo pulang cepet..tapi lo nya ada urusan,
yaudah.” Balas Ify berusaha santai. Ia merasa malu dan kesal dalam sekaligus.
“Tadi
ada anggota OSIS yang ulangtahun. Trus semua panitia yang ikut rapat ditraktir.
Dia baru bilang dan gue juga lupa kalo ada yang ulangtahun. Jadinya gaenak kalo
gue pergi gitu aja. Apalagi ada di antara mereka yang ga suka sama gue, gue ga
tau siapa. Gue males nanti jadi omongan panjang di belakang. Maaf ya..” jelas
Rio detail tanpa ada penyelaan dan diakhiri dengan nada menyesal. Ia memasukkan
helai rambut Ify yang mencuat keluar.
Ify
berkedip beberapa kali. Ia tak menyangka kebenarannya seperti ini. Jadi tadi
siang itu Rio tidak makan berdua dengan Dea? Lalu maksud Dea menulis kata-kata
tadi untuk apa? Dan..Rio punya haters—maksudnya, di sekolah?? Untung saja ia
tidak keburu emosi. Waaah, ternyata kesabarannya kali ini banyak manfaatnya.
Ify
mengangguk pelan. “Ada yang ga suka sama lo? Gue ga nyangka..” katanya
terperangah.
“Ada
yang suka pasti ada yang ga suka. Yang biasa aja juga ada.” Rio terkekeh kecil
lalu mengedikkan bahunya. Ia kemudian berkata kembali. “Tapi bagus deh ada
Debo, dia bisa gantiin nganterin lo.”
Ify
lagi-lagi mengedipkan mata tak percaya. Rio tadi bilang bagus?! “Lo ga marah? Debo
kan udah..” Tak sampai selesai Rio lebih dulu menggelengkan kepalanya dan
tersenyum. Pemuda itu kembali mengeluarkan kata-kata mautnya. “Kalo gue bisa
maafin Dea, kenapa gue gabisa maafin Debo?”
Ibarat
coklat, Ify sudah lumer sekarang. Ini benar-benar Rio, kan? Dan belum selesai, Rio
masih melanjutkan ucapannya. “Bisa sih gue suruh supirnya mama nganter, cuma kasian
lo ntar tambah suntuk. Udah nungguin gue lama trus gaada temen ngobrol. Apalagi
lo lagi sakit. Pak supir kan ga mungkin nemenin masuk ke dalem. Jadi, ya bagus
ada dia.”
Es-es
di kutub bakal mencair semua kalau Rio seperti ini terus. Ada apa dengan Rio? Apa
tadi dia salah makan? Dia tampak lebih..dewasa. Berhadapan dengan pemuda itu
saat ini membuatnya merasa kecil sekali. Kalau ada yang lebih kecil dari semut,
nah itu dirinya. Hmm..andai saja kabar yang didapatnya dari dr.Obiet adalah
kabar baik. Kebahagiaannya akan terasa lebih lengkap. Kalau sekarang, meskipun
ia senang, tetap saja terasa ada yang mengganjal.
Jentikan
jari di depan wajahnya membuat Ify tersadar dari lamunan. Rio menatapnya dengan
pandangan bertanya. Kedua alisnya dinaikkan dan keningnya mengernyit. Melihat itu
Ify malah bimbang. Ia harus mengatakannya bagiamana ya? Ia takut tidak kuat dan
malah menangis memalukan dihadapan Rio.
Melihat
Ify kembali diam Rio lantas mengambil inisiatif memeluk gadis itu. Ia lalu
merasakan tangan mungil gadis itu membalas pelukannya. Aaah..ini adalah posisi
kesukaannya. Ia jadi sedikit atau bahkan tidak rela besok Ify sudah harus
kembali ke rumahnya. Ify pasti membutuhkan waktu lebih bersama Ferdi. Selama
ini Ferdi dirawat di rumah sakit sehingga banyak waktu yang terlewat bagi
mereka bahkan untuk sekedar berbicara. Ia tidak tega jika datang malam-malam dan
mengganggu kebersamaan mereka. Ia pasti akan sangat merindukan gadis mungilnya
ini.
“Tentang
Om Ferdi ya?” tanyanya hati-hati. Ia merasa Ify menganggukkan kepalanya. Kalau sudah
begini, ia tidak bisa memaksa gadis itu. Pasti sesuatu yang berat yang sedang
disembunyikan olehnya. Ia paham. Ify bukannya tidak ingin bercerita, hanya
belum siap.
“Kemaren
gue mimpi buruk, lagi..”
“Terus?”
“Gue
ketemu mama. Mama bilang sesuatu yang intinya papa bakalan pergi. Tadi,
dr.Obiet bilang, kita cuma bisa nunggu sampe kapan papa bertahan sama cuci
darah.” Suara Ify terdengar pelan dan sedikit bergetar. Rio lekas mengeratkan
pelukannya pada gadis itu.
Sementara
Ify menarik napas dalam beberapa kali untuk menenangkan perasaannya. tadi siang
ia sudah bertekad tidak boleh lemah seperti ini. Papanya sudah berusaha kuat
maka ia pun harus seperti itu. Lagipula, berulangkali hatinya mengingatkan
kalau ia tidak sendirian. Ia akan selalu bersama orang-orang yang menyayanginya
termasuk mamanya di atas sana.
“Gue
cuma berharap papa gak pergi tanpa pamit.”
Tiba-tiba
Ify merasa sesak. Rio memeluknya terlalu kencang. “Rioo sempiit!” rutunya kesal.
Ia menggeliat dari dekapan Rio lalu menatapnya sambil memberengut sementara
pemuda itu hanya nyengir tanpa rasa bersalah. Ify mendengus dongkol dalam hati.
Dia masih pemuda yang sama. Selalu saja merusak suasana!
“Lo
ngomongnya ngaco sih!” balasnya santai. Dihadapannya Ify mencebikkan bibir
sehingga mukanya tampak menggemaskan. Ia tidak tahan untuk tidak merengkuhnya
kembali. “Yaudah sini peluk lagi!” katanya dengan nada manja. Namun dengan segera
gadis itu menahan tubuhnya dengan satu tangan lalu menggelengkan kepala. Ia
langsung memasang tampang kecewa. Ify tidak sadar apa kalau saat ini adalah
sisa-sisa waktu yang mereka punya dan harus sangat-sangat dimanfaatkan? Oke,
dirinya mulai berlebihan.
Ify
seketika mengangkat tangannya yang lain dan ada satu benda berbentuk petak yang
digenggamnya. Sekotak kartu remi. Rio mengernyit bingung menunggu Ify
menjelaskan perihal benda tsb. Ketika gadis itu hendak membuka mulut, pintu kamarnya
terbuka dan menyembul kepala Ray yang memasang tampang kesal.
“Bang,
lo kayak cewek dah ngambeknya lama banget. Kita udah abis sebungkus kacang nih
nungguin lo berdua! Cepetan turun atau ntar lo gue gelindingin di tangga!”
gerutu pemuda itu tanpa rasa takut. Sementara Rio hanya mencibir. Ia kembali
menatap Ify kali ini dengan nada ancaman.
“Kalo
lo kalah, hukumannya lo gue peluk sampe pagi!” katanya seraya tersenyum miring.
Ify balas menyeringai tanpa takut sedikitpun. “Dan kalo lo yang kalah, dilarang
berdekatan dalam radius 3 meter! Oh ya, gue jago lo main ginian, Agni aja kalah!”
Rio
terperangah kaget. 3 meter??!!! Waaaat??!!! Mana bisaaa! Gawat kalau begini. Ini
tidak boleh terjadi. “Yah Fy setengah meter aja deeeh?”
“Oke,
5 meter!”
“Laaah
kok malah nambaaah?!”
***
Was
it enoughhhhhhhh? Yeeeeees!!!!!! *plak *dibakarmasa
*dijadiinrendangbuatbukapuasa *
Karena
hanya segini, dan cuma pasangan ini, jadi di post disini aja ya. Inget kan
untuk menjauhkan diri dari benda tajam? Wkwkwk~
Mimin
masih uas jadi tak sempat, tapi sebentar lagi libur tapi ga panjang HIKS! Mudah-mudahan
bisa ngelanjutin lagi. Ya doakan sajalah..