-->

Sabtu, 27 Juni 2015

Matchmaking Part 32 (Rify)

Warning : Jauhkan benda-benda tajam disekitar anda karena cerita ini berisi konten yang menguras emosi. Terimakasih.

***

And it’s me you need to show how deep is your love..how deep is your love..I really need to learn. – Michael Buble ft. Kelly Rowland

***

Ify lagi-lagi terjebak dalam ruangan atau mungkin lebih tepat adalah sebuah tempat bernuansa putih. Oh Tuhan, jangan bilang kalau ini akan menjadi mimpi buruknya lagi. Ia menepuk-nepuk pipinya dengan keras agar dirinya bisa segera terbangun. Namun alih-alih sadar, bahkan ia tidak merasakan apapun pada pipinya. Padahal rasanya ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menampar pipinya sendiri.
“Ify?” Kemudian, datang sebuah suara lembut yang selalu dirindukannya, memanggil namanya dengan lembut pula dari arah belakang. Suara yang sampai sekarang tidak berubah dan tidak pernah ia lupakan. Suara Gina, Mamanya.
Ify lantas membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok mamanya sedang berdiri dan tersenyum hangat menatapnya. Ia balas tersenyum penuh rindu pada wanita itu. Kali ini ia mungkin sudah terbiasa sehingga ia tidak lagi menitikkan air mata haru ketika harus berjumpa lagi dengan wanita itu di dalam mimpi.
“Ikut Mama, yuk?” ajak Gina seraya mengulurkan tangan. Ify meliriknya sebentar lalu kemudian menyambutnya tanpa banyak bertanya.
Selangkah demi selangkah area sekitar Ify mulai berubah. Sekarang tempat itu terlihat sedikit lebih nyata dibandingkan saat ia pertama kali menyadari ada di sini. Tempat tersebut persis seperti sebuah taman buatan yang tertata indah. Mereka lalu berhenti dan duduk di sebuah kursi yang terletak di sana. Di depannya ada sebuah pohon besar nan rindang yang disarangi seekor induk burung beserta beberapa ekor anaknya.
“Coba kamu perhatiin burung yang hinggap di pohon itu. Mereka lucu ya?” ujar Gina sambil menunjuk ke dahan yang ditempati sang burung.
Ify memperhatikan itu sejenak dan tersenyum. “Iya, mereka kelihatan bahagia. Mereka beruntung karena masih punya ibu.” Katanya. Meski terdengar sedih, akan tetapi ia tetap tersenyum dan tidak sedikitpun terlihat kalau ia sedih. Sekali lagi, ia mungkin juga sudah terbiasa dan sudah bisa menerima kepergian Mamanya.
“Mereka pun bahagia, meskipun tanpa ayah.” Sambung Gina sambil tersenyum juga. Ify seketika menoleh pada wanita itu. Apa maksudnya ucapan itu? Kenapa tiba-tiba menyebut-nyebut soal ayah? Apa ada hubungannya lagi dengan Papanya? Pertanda buruk apalagi sekarang?
“Kalau kita bisa ngerti bahasa mereka, Ify yakin kalau mereka pasti selalu nanyain ayahnya.”
Gina diam dan hanya balas tersenyum. Hingga kemudian, ia bersuara lagi. “Induk akan menjaga dan mengurusi anak-anaknya hingga mereka besar. Memberi makan, menjadi penghangat ketika tidur, mengajari cara berkicau, cara membuat sarang, hingga terakhir mengajari bagaimana caranya terbang bebas di udara sehingga mereka bisa menjalani hidupnya sendiri. Induk itu mirip sama Papa kamu.”
Ify hanya diam sambil menunggu ucapan Gina selanjutnya. “Pada saat yang tepat, semua induk pasti akan berpisah dengan anaknya. Pada akhirnya, induk akan melepas anak-anaknya ketika mereka sudah siap. Kalau bukan induk yang meninggalkan anak, maka anak yang akan meninggalkan induknya. Begitupun Papa kamu. Mama yakin, ketika waktunya tiba, kamu pasti udah siap.”
Air mata Ify satu persatu mulai turun. Sebodoh-bodohnya dirinya di sekolah, tapi ia tidak butuh penjelasan panjang soal ucapan Mamanya yang satu ini. Ia tahu benar apa maksudnya. Hanya saja ia tidak ingin, bahkan sekedar mengucapkannya di dalam hati. Ia tidak mau meyakini itu yang akan terjadi. Ia tidak mau. Mamanya salah kalau mengatakan ia siap. Sampai kapanpun ia tidak akan pernah siap. Tidak akan. Tidak akan!

***

“HHKK..”
Ify terbangun dalam satu tarikan napas yang dalam dan mencekat. Ia langsung menghembusnya perlahan. Ia sudah tidak tahu lagi tadi itu ia bermimpi atau tidak. Ia sudah tidak mengerti lagi. Sebenarnya apa pesan yang ingin Tuhan sampaikan padanya? Kenapa selalu datang sepotong-sepotong? Kenapa tidak langsung to the point saja? Kenapa harus membuatnya menebak-nebak? Ia bukan detektif yang handal memecahkan misteri dan teka-teki. Jelas saja, kemampuan akademisnya kan sedikit dibawah rata-rata.
Ify memijit dahinya yang terasa panas dan merenyut-renyut. Persis seperti dugaannya, ia pasti akan demam lagi. Ya jelas, baru sembuh dari sakit, keesokan harinya langsung makan 5 es krim, tanpa disusul makan nasi ataupun jenis karbohidrat yang lain yang dibutuhkan tubuhnya. Apalagi ia pun tidak meminum antibiotik yang seharusnya ia habiskan. Ia lantas mendesah pelan. Bahkan napasnya saja terasa sangat panas.
Ify menggeser pantatnya mendekati nakas dan menghambil ponsel sekaligus memeriksa. Ada 1 pesan masuk dari...dr. Obiet.
Ada hal harus saya bicarakan, mengenai kondisi papamu. Kamu bisa datang ke rumah sakit?

***

Ify keluar kamarnya dan berjalan menuju meja makan dengan susah payah. Kakinya rasanya lemas sekali. Makanya ia tidak terlihat seperti sedang berjalan. Ia malah terkesan sedang menyeret-nyeret kakinya. Selain itu, mukanya juga pucat, kepalanya sakit, flunya masih kambuh dan perutnya perih. Benar-benar keadaan yang sempurna. Dan keadaannya yang sudah sempurna itu tampaknya makin disempurnakan oleh sikap dingin Rio padanya.
Sudahlah, terserah Rio mau apa. Saat ini ia sementara ingin berhenti peduli. Ia tidak akan berusaha mencairkan es itu lagi. Karena hatinya juga diliputi kedinginan. Bukan Rio saja yang ingin dihangatkan. Bukan Rio saja yang ingin dibujuk. Bukan Rio saja yang ingin ditenangkan. Bukan Rio saja yang ingin dimengerti. Ia juga. Dan Rio selama ini sering lupa akan hal itu.
Rio benar-benar mengajak Ify perang dingin. Bahkan ke sekolah Rio tidak mengajak Ify. Dengan sengaja pemuda itu mengatakan kalau ingin menjemput Dea dulu sehingga berangkat lebih cepat, pada mamanya, di meja makan, yang artinya juga di depannya. Ify sekali lagi berusaha menebalkan telinga untuk tidak mendengar apa yang Rio katakan. Lagian ia juga tahu Rio hanya berusaha memanas-manasinya karena dirinya yang keras kepala, menurutnya.
Selepas kepergian Rio, Ify malah berpikir ulang hari ini ia masuk sekolah atau tidak. Kalau sekolah juga percuma dengan kondisi tubuhnya yang seperti ini. Dalam keadaan fit saja pelajaran belum tentu masuk ke otaknya apalagi kalau sedang drop. Lebih baik sekalian ia tidak masuk dan bisa beristirahat. Siapa tahu keadaannya bisa membaik, segera.
“Ma, Ify boleh izin ga sekolah hari ini?” tanyanya dengan suara serak. Ia berdehem pelan berusaha menormalkan suaranya.
Amanda memperhatikan lekat-lekat dan seketika air mukanya berubah cemas. “Yaampun kenapa mama ga sadar daritadi? Muka kamu pucet banget! Kamu sakit, Fy?” Ify tersenyum lemah. Ia mengangguk pelan. “Dikit..”
Amanda berdiri dari kursinya dan memutari meja menghampiri Ify. Ia meraba kening Ify dan merasakan hangat pada kulit punggung tangannya. Ia menghela napas. “Kamu pasti gamau dibawa ke dokter kan?” katanya kesal sekaligus cemas. Benar-benar sikap seorang ibu. Ify tersenyum lagi. Setidaknya, Amanda bisa sedikit membantu menghangatkan hatinya.
“Yaudah abisin makannya trus istirahat di kamar dan minum obat ya, Fy?” tambah Amanda kemudian. Ify tersenyum lagi. Bukannya menjawab, Ify malah memeluk orang yang telah melahirkan Rio ke dunia itu. Amanda mengernyit bingung lalu membalas pelukan Ify sambil mengelus kepalanya.
“Kamu kenapa? Berantem sama Rio?” Ify sekali lagi tidak menjawab dan hanya tertawa kecil. Amanda lantas geleng-geleng kepala. “Sampe sakit begini? Ckck, dasar anak muda. Baru pacaran, paling-paling baru cinta monyet, rasanya udah kayak pasti sehidup semati. Giliran berantem keadaannya udah kayak gak makan 3 hari. Baper banget sih kalian! Ckck..” Ledeknya kemudian.
“Mama..” cicit Ify seraya memberengut tapi tetap memeluk Amanda. Amanda terkekeh geli. Ia kemudian melepas rangkulan tangan Ify di pinggangnya. “Udah, sekarang habisin makannya. Ntar makin lemes lho!” Meski agak tidak rela karena masih ingin memeluk wanita itu, Ify tersenyum dan mengangguk pada Amanda.
Setelah di kamar, Ify merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Ketiga sahabatnya sibuk menanyakan ketidakhadirannya di sekolah, berhubung sekarang sudah pukul 9. Setelah membalas beberapa kali, sahabat-sahabatnya tidak lagi berkicau di ponselnya. Ponselnya hening. Ia memainkan tanpa niat. Sejujurnya, ia sedang menunggu. Menunggu seseorang menghubunginya. Meskipun keinginan itu ada, tapi harapannya tidak setinggi kemarin-kemarin. Mungkin karena Rio, orang yang ia tunggu itu, sudah sangat banyak memupuskan harapannya.
Sudah banyak toleransi yang ia berikan hanya karena Rio meminta maaf atau bahkan pernah dengan cuma-cuma. Mungkin kata-kata Debo waktu itu boleh sedikit ia pikirkan. Ya, bukan salahnya kalau ia mulai ragu-lagi-dengan perasaan Rio padanya. Ia tidak berharap muluk-muluk. Ia bersyukur jika ternyata perasaan Rio sudah mantap padanya. Tapi jika akhirnya ia menerima fakta bahwa ia tidak seberarti itu untuk Rio, itu juga tidak masalah. Setidaknya ia sudah punya persiapan lebih dulu dan tahu diri dari awal. 
Satu..dua..ti—teet! *miminmainstreambanget*maapinmimin*
Tepat saat hitungan ketiga, ponsel Ify menyala. Ada satu chat masuk. Ia mengusap layar ponselnya dan membuka pesan tersebut.
Mario.
Mau gue bawain apa?
Alis Ify terangkat satu. Pertanyaan Rio itu membuatnya merasa seperti ibu hamil. Ia kan sakit bukan sedang ngidam. Tapi diluar itu, ia cukup senang akhirnya Rio menghubunginya juga, yah walaupun out of topic. Ia baru hendak mengetik sesuatu sebelum ingatan beberapa waktu lalu terngiang di kepalanya. Bukannya waktu itu Rio pernah bilang, jangan percaya pada pesan walau itu dari nomor atau akun Rio sendiri karena bisa jadi ada lagi orang iseng yang berpura-pura menjadi pemuda itu. Percayalah hanya jika pemuda itu menelefonnya.
Apa jangan-jangan saat ini ponsel Rio ada pada Dea jadi Dea yang mengiriminya pesan? Tapi..ini masih jam belajar sih, belum jam istirahat pertama apalagi kedua. Dan, kenapa harus Dea? Aiss..ini pasti karena masalahnya yang masih menggantung pada gadis itu. Jadi kalau diminta satu nama yang ia sebut pasti Dea. Tidak, tidak. Tetap saja, ini pasti bukan dari Rio. Lihat saja sedingin apa sikapnya tadi pagi. Tidak ada hujan dan badai tiba-tiba juga, kan sekarang? Jadi tidak mungkin Rio mendadak berubah.
Ify meletakkan asal ponselnya di bagian kasur di sebelahnya. Ia menurunkan badannya dan menarik selimut lebih tinggi dari sebelumnya. Ia menatap langit-langit tanpa niat. Ingin tidur tapi hatinya masih penasaran. Jangan-jangan yang tadi memang Rio. Bisa saja kan dia lupa akan ucapannya.
Ify mengambil kembali ponselnya. Menatapnya dengan seksama. Hingga tiba-tiba sebuah nama berkelap-kelip dalam layar ponselnya. Jempolnya refleks mengusap benda tsb dan menempelkannya di telinga.
“Ha-halo?” sapanya. Suaranya tercekat karena rasa kaget bercampur panik. Sesaat kemudian ia menyesali kebodohannya. Apalagi tiba-tiba tawa renyah Rio terdengar di telinganya.
“Nungguin banget, nih?” goda pemuda itu. Ify memberengut malu. Susah-susah ia membangun image cool dari kemarin dan semua gagal dalam 3 detik, atau mungkin hanya 2 detik dibutuhkan dari ia mengusap layar sampai mengucapkan halo.
Ify menutup speaker sebentar dan mencuri napas. Ia mencoba menenangkan dirinya lalu menyingkirkan tangannya dari speaker. “Kenapa?” tanyanya dengan penuh ketenangan.
“Chat gue ga masuk?”
“Ma-suk..” jawab Ify ragu-ragu. “Kok ga dibales?”
“Kan udah perjanjiannya kaya gitu.”
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Mungkin Rio baru teringat tentang ucapannya waktu itu. Beberapa saat kemudian baru suaranya muncul lagi.
“Udah makan?”
“Udah.”
“Udah minum obat?”
“Udah.”
“Udah manggil dokter?”
Ify memutar bola matanya malas namun tersenyum geli. “Belum.”
“Kenapa?” Kali ini Rio yang bertanya kenapa. Ify mengedipkan mata beberapa kali lalu menjawab seadanya. “Nanti siang mau ke rumah sakit.” Katanya jujur. Ia mendapati Rio kembali diam lalu kemudian mengatakan sesuatu yang membuat senyumnya melebar.
“Tunggu gue pulang, nanti gue anter.” Entah kenapa, jantung Ify berdebar. Tapi, itu bukan suatu hal buruk. Ia justru merasa senang. “Iya..” sahutnya pelan sebelum Rio menyangka dirinya menolak karena diam terlalu lama.
“Lo mau gue bawain apa?”
Ify berpikir seraya menggigit bibirnya sambil menatap langit-langit. Dan setelah berpikir lama, hanya satu yang terlintas di benaknya. Pemuda itu sendiri.
“Cepet pulang.” Katanya pelan namun masih dapat didengar. Aneh memang. Ia terlihat seperti pasangan yang berhubungan jarak jauh yang sedang rindu setengah mati. Padahal setiap hari juga ketemu. Bodo ah! Batinnya tak peduli.
Rio lagi-lagi diam. Sepertinya pemuda itu sedang tersenyum kini. “Gue balik ke kelas dulu dan lo istirahat ya.”
Ify hanya berdehem lalu mematikan sambungan dengan Rio. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas. Senyumnya belum lepas bahkan ketika ia menutup matanya hendak tidur. Ia bersyukur Rio sama sekali tidak mengucapkan maaf dsb yang akan membuat mereka kembali mendebatkan masalah yang sama dan pada akhirnya menemui akhir yang sama pula. Rio dan dirinya saat ini mungkin sama-sama berusaha mendinginkan kepala yang mengepul. Karena masalah juga tidak akan selesai kalau keduanya sama-sama keras. Harus ada satu pihak yang mengalah dan akan lebih baik lagi jika keduanya yang melakukan sehingga penyelesaian akan didapatkan lebih cepat.

***

“Rio belum dateng juga, Fy?” tanya Amanda yang sedang berjalan menuju sofa tempat Ify berada. Ify menggeleng lemah. Ia bersandar pada badan sofa sambil memainkan ponselnya. Sekolahnya punya jadwal pulang jam 1 dan sekarang sudah hampir jam 2. Memang sebelumnya Rio sudah memberitahu kalau ia akan telat karena ada urusan mendadak. Tapi ini sudah terlalu lama. Ia tidak enak jika harus terlambat menemui dr. Obiet. Tapi rasanya kini kecil kemungkinan ia tidak terlambat. Waktunya hanya tinggal 5 menit sementara Rio belum juga mengabarinya lagi.
Ting.
1 pemberitahuan muncul di beranda akun media sosial yang tengah Ify buka. Seseorang menandainya pada satu foto yang baru saja diunggah. Foto seorang gadis yang tengah makan siang bersama seorang pemuda di depannya. Foto Dea dan...Rio. Rio tampak tidak sadar gambarnya diambil karena sedang menatap ke arah lain. Dibawahnya tertulis ‘Lovely lunch with lovely person in a lovely beginning. Appreciate someone who will always believe in you, forgive you and stand by your side no matter right or wrong.’.
Ify terdiam memandangi foto tersebut. Bagaimana bisa...kenapa Rio tidak bilang saja dari awal kalau ingin pergi dengan Dea? Kenapa membuatnya menunggu? Oh ya, mungkin salahnya tidak memberitahu kalau ia akan bertemu dr.Obiet. Rio mungkin mengira ia hanya ingin check up biasa ke rumah sakit. Tapi, tetap saja. Rio melupakannya. Disituasi seperti ini bisa-bisanya pemuda itu kembali membuatnya naik darah.
Ting.
Ponsel Ify berbunyi kembali. Ia mengira itu Rio tapi ternyata bukan, melainkan Debo. Keningnya mengernyit sambil membuka pesan yang datang dari pemuda itu.
Debo.
Gue di depan rumah Rio. Lo di mana? Kata temen lo, lo sakit.
Belum sempat Ify berpikir akan membalas apa, ponselnya berdering. Kali ini benar-benar Rio yang meneleponnya. Ia lagi-lagi mengernyit. Lengkap sudah. Kenapa ponselnya ramai sekali sekarang? Semua ingin menghubunginya. Semuanya membuatnya pusing.
“Halo, Fy? Gue baru otw pulang. Tu—“ Ify memotong begitu saja ucapan Rio. Kalau ia disuruh menunggu lagi, maaf-maaf saja. “Ga perlu. Gue udah mau pergi.”
Rio terdengar menghela napas. Ya, bagus kalau dia merasa bersalah. “Fy, gue...Sama siapa?”
Ify diam sebentar. Jika ia bilang sendiri, Rio pasti ngotot menyuruhnya menunggu. Lagipula Amanda juga pasti tidak mengizinkannya pergi. Kalau ia yang ngotot, masalah menjadi tidak ada habisnya. Tiba-tiba nama Debo muncul di kepalanya. Mau bagaimanapun juga, ia menunggu Rio pun, akan tetap muncul masalah. Karena Rio sudah membuatnya kesal bersama Dea, maka bukan salahnya kalau ia juga membuat pemuda itu kesal bersama Debo.
“Sama Debo.”

***

“Keadaan Papa kamu sudah stabil. Dia sudah boleh pulang. Tapi..”
“Tapi kenapa, Dok?” Ify merasakan denyutan tak nyaman di jantungnya. Perasaannya mengatakan hal buruk yang akan dr.Obiet sampaikan padanya terkait kondisi Ferdi.
“Papamu butuh donor segera. Tapi rumah sakit belum mendapatkan ginjal yang cocok. Mencari pendonor pun sangat sulit. Papamu anak tunggal. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Dan kamu harapan satu-satunya juga sudah dipastikan tidak cocok. Jadi..”
Ify terpana mendengar penjelasan dokter. Matanya sudah berkaca-kaca. Untung ia masih punya sedikit kesadaran untuk bicara agar Obiet melanjutkan kata-katanya. “Ja—jadi?”
“Kita hanya bisa menunggu sampai kapan cuci darah bisa menolong papamu.”
Setetes air mata Ify jatuh membasahi pipinya. Ia tidak sanggup lagi menanggapi ucapan Obiet. Jadi, inikah jawaban dari segala mimpi anehnya?

***

Ify berjalan seperti tanpa nyawa. Pikirannya melayang entah kemana. Ternyata ia memang belum siap. Mungkin suatu dosa dengan mendahului takdir Tuhan. Ia merasa seperti cenayang yang bisa memprediksi hal apa yang akan terjadi nanti. Tapi, bukankah semua tanda yang ia dapatkan itu juga asalnya dari Tuhan? Atau mungkin itu semua hanyalah bunga tidur yang tidak sengaja saling berkesinambungan. Semua hanya karena ketakutannya semata akan ditinggal oleh Papanya. Ya, ia hanya butuh bersabar. Suatu saat, keajaiban itu pasti akan datang. Bukankah sabar akan membawa kebaikan, kan?
“Mau ngeliat bokap lo dulu atau gimana?” tanya seseorang di sebelahnya yang membuat Ify sadar kalau ia kemari tidak seorang diri. Beruntung Debo tadi menunggu di luar jadi tidak tahu-menahu soal Papanya. Bagaimanapun, Debo belum bisa dipercaya. Ia tidak ingin semakin banyak orang tidak berkepentingan tahu. Ia tidak ingin sakit kepala sama seperti ketika ia memberitahu soal Angel pada Rio.
“Gue mau pulang aja.” ujar Ify lemah. Kalau harus bertemu dengan papanya saat ini ia pasti tidak akan bisa untuk tidak menangis di pelukan laki-laki itu. Dan yang ada, ia bukannya menguatkan papanya tapi justru memperparah kondisinya. Ya, lebih baik ia pulang saja.
“Ify!”
Ify menegakkan kepalanya mendengar seseorang memanggil namanya. Orang itu baru saja melewati pintu masuk rumah sakit sementara ia dan Debo langsung berhenti di depan meja resepsionis. Rio setengah berlari menghampirinya, masih dengan seragam sekolah. Napasnya tersengal-sengal. Mungkin dia baru saja berlari dari parkiran menuju rumah sakit.
“Kenapa telfon gue ga diangkat?” tanyanya tanpa tersirat amarah di dalamnya. Yang terlihat hanya sisa-sisa kelelahan dan air muka cemas. Ify menatapnya seraya berkedip beberapa kali. Ia merogohnya kantong dan baru menyadari ponselnya mati.
“Lowbat.” Jawabnya seadanya. Rio menarik napas dalam lalu menghembusnya perlahan. Ia menoleh pada Debo yang hanya diam menyaksikan. Rio lantas tersenyum pada pemuda itu yang cukup membuatnya kaget, bahkan Ify juga. Rio tersenyum padanya, ketika ia membawa kabur kekasihnya? Okay, ujian pertama lulus!
“Makasih udah nganter, Ify. Maaf ngerepotin lo.”
Beberapa saat Debo hanya diam hingga kemudian ia mengangguk dan tersenyum seraya mengacungkan jempolnya.
“Gue balik duluan, Fy, Yo!” pamit Debo dan langsung angkat kaki setelah mendapat balasan anggukan dari Rio. Sementara Ify hanya diam menatap Debo dan baru berhenti setelah suara Rio mengintrupsinya lagi. Ck, pikirannya benar-benar kacau.
“Udah cek ke dokter? Dokternya bilang apa? Obat-obatnya udah ditebus?” Ify merasa kepalanya ditusuk-tusuk ketika Rio bertanya secara beruntun. Pemuda itu meraba keningnya yang masih terasa hangat. “Gue mau pulang..” balasnya tanpa berniat menjawab satu-persatu pertanyaan dari Rio.
Rio menghela napas lalu mengangguk. Ia meraih jemari Ify, menggenggamnya dan menuntunnya berjalan keluar menuju mobilnya berada. Tidak ada ketegangan yang sebelumnya diperkirakan akan terjadi. Keduanya sama-sama dalam keadaan tenang. Ify sama sekali tidak menolak ketika Rio menggandengnya keluar. Keheningan dalam mobil pun tidak terasa mencekam. Semuanya dalam kondisi terkendali.

***

Makan malam hari ini diisi obrolan santai. Rio memandang Ify yang berada di sebelah Amanda dan merasa sedikit lega. Gadis itu sudah menampakkan senyumnya sekarang. Sepulang dari rumah sakit tadi Ify langsung tidur di kamarnya. Dia tampak sangat lelah. Ingin sekali ia bertanya sekaligus meminta maaf soal tadi siang tapi tidak tega manakala Ify sudah terlelap dalam tidurnya dalam sekejab. Syukurlah saat ini keadaannya sudah lebih baik.
“Tante, Om, Ify mau ngomong sesuatu.” Ujar Ify yang membuat semua orang memandang ke arahnya. Tiba-tiba saja perasaan Rio menjadi tidak enak. Semoga saja..
“Ify mau balik ke rumah lagi, besok..”
Prank!
Shit!
Bunyi hantaman dasar gelas kaca pada meja terdengar bersamaan dengan umpatan Rio dalam hatinya. Sesaat pandangan berubah haluan menuju ke arahnya. Lalu kemudian dengan cepat kembali pada Ify karena gadis itu kembali buka suara.
“Ify—“ Belum sempat menjelaskan, tiba-tiba Rio memotong dengan berdiri pamit lebih dulu dari meja makan. Ia tidak ingin mendengarnya dengan jelas. Semuanya pasti karena masalah gadis itu dengan dirinya. Ia butuh sedikit ketenangan untuk bisa mengendalikan dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ify tidak akan kemana-mana!

***

Ify mengetuk pintu kamar Rio pelan. Tak butuh waktu lama pemuda itu langsung muncul dari balik pintu dan membukanya lebar-lebar. Ia merasa tubuhnya ditarik masuk ke dalam lalu duduk di atas kasur setelah pintu kembali ditutup. Ia memandang Rio yang tinggi menjulang di hadapannya, yang terlihat mondar-mandir lalu berhenti dan menatapnya lekat-lekat. Sumpah demi apapun, muka Rio saat ini begitu lucu. Baru pertama kali ia melihatnya benar-benar panik.
“Fy, kalo sebelumnya gue maksa lo maafin Dea dan itu bikin lo gak nyaman, gue minta maaf. Gak lagi, Fy. Gue ga bakal maksa lo maafin Dea lagi. Dan soal rahasia Angel waktu itu, gue sumpah ga sengaja. Gue bener-bener emosi. Gue cuma ga tega liat Dea waktu itu. Bukan karena gue lebih mentingin dia atau punya perasaan lebih ke dia, tapi lo tau, dia udah gue anggep sama kaya Ray, kaya adek gue sendiri. Lo tau gimana perasaan kakaknya ngeliat adeknya nangis mohon-mohon sama orang apalagi lo denger dia diancem. Dan soal tadi siang, gue—“
Sebelum Rio berkata yang lebih menggelikan dan ia tidak bisa menahan tawanya, ia segera buka suara. Ck, ini akibatnya jika tidak mau mendengar penjelasan terlebih dahulu. Menerka sendiri, memutuskan sendiri, dan akhirnya pusing sendiri.
“Papa udah bisa pulang.” Katanya singkat namun cukup untuk menjelaskan semuanya. Cukup untuk menghilangkan segala kepanikan milik Rio. Bibir Ify berkedut menahan tawa geli.
Rio hanya melongo menatapnya. “Jadi, tadi siang itu..” Ify menyela lagi tapi hanya dengan menganggukkan kepala. Rio tampak menghela napas panjang lalu menatap Ify putus asa. “Kenapa gak bilang?”
Ify berdiri seraya berkacak pinggang. Memasang tampang pura-pura galak meski dalam hati tersenyum geli. “Makanya, dengerin dulu orang ngomong, jangan keburu mendidih.”
“Lo sih, dari tadi siang nyuekin gue..”
Mendengar kata siang, kekesalan yang tadinya sudah hilang muncul kembali. Walau tidak sepenuhnya. Ia tidak kesal Rio bersama Dea. Ia hanya kesal kenapa Rio tidak memberinya kabar. “Gue cuma minta lo pulang cepet..tapi lo nya ada urusan, yaudah.” Balas Ify berusaha santai. Ia merasa malu dan kesal dalam sekaligus.
“Tadi ada anggota OSIS yang ulangtahun. Trus semua panitia yang ikut rapat ditraktir. Dia baru bilang dan gue juga lupa kalo ada yang ulangtahun. Jadinya gaenak kalo gue pergi gitu aja. Apalagi ada di antara mereka yang ga suka sama gue, gue ga tau siapa. Gue males nanti jadi omongan panjang di belakang. Maaf ya..” jelas Rio detail tanpa ada penyelaan dan diakhiri dengan nada menyesal. Ia memasukkan helai rambut Ify yang mencuat keluar.
Ify berkedip beberapa kali. Ia tak menyangka kebenarannya seperti ini. Jadi tadi siang itu Rio tidak makan berdua dengan Dea? Lalu maksud Dea menulis kata-kata tadi untuk apa? Dan..Rio punya haters—maksudnya, di sekolah?? Untung saja ia tidak keburu emosi. Waaah, ternyata kesabarannya kali ini banyak manfaatnya.
Ify mengangguk pelan. “Ada yang ga suka sama lo? Gue ga nyangka..” katanya terperangah.
“Ada yang suka pasti ada yang ga suka. Yang biasa aja juga ada.” Rio terkekeh kecil lalu mengedikkan bahunya. Ia kemudian berkata kembali. “Tapi bagus deh ada Debo, dia bisa gantiin nganterin lo.”
Ify lagi-lagi mengedipkan mata tak percaya. Rio tadi bilang bagus?! “Lo ga marah? Debo kan udah..” Tak sampai selesai Rio lebih dulu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Pemuda itu kembali mengeluarkan kata-kata mautnya. “Kalo gue bisa maafin Dea, kenapa gue gabisa maafin Debo?”
Ibarat coklat, Ify sudah lumer sekarang. Ini benar-benar Rio, kan? Dan belum selesai, Rio masih melanjutkan ucapannya. “Bisa sih gue suruh supirnya mama nganter, cuma kasian lo ntar tambah suntuk. Udah nungguin gue lama trus gaada temen ngobrol. Apalagi lo lagi sakit. Pak supir kan ga mungkin nemenin masuk ke dalem. Jadi, ya bagus ada dia.”
Es-es di kutub bakal mencair semua kalau Rio seperti ini terus. Ada apa dengan Rio? Apa tadi dia salah makan? Dia tampak lebih..dewasa. Berhadapan dengan pemuda itu saat ini membuatnya merasa kecil sekali. Kalau ada yang lebih kecil dari semut, nah itu dirinya. Hmm..andai saja kabar yang didapatnya dari dr.Obiet adalah kabar baik. Kebahagiaannya akan terasa lebih lengkap. Kalau sekarang, meskipun ia senang, tetap saja terasa ada yang mengganjal.
Jentikan jari di depan wajahnya membuat Ify tersadar dari lamunan. Rio menatapnya dengan pandangan bertanya. Kedua alisnya dinaikkan dan keningnya mengernyit. Melihat itu Ify malah bimbang. Ia harus mengatakannya bagiamana ya? Ia takut tidak kuat dan malah menangis memalukan dihadapan Rio.
Melihat Ify kembali diam Rio lantas mengambil inisiatif memeluk gadis itu. Ia lalu merasakan tangan mungil gadis itu membalas pelukannya. Aaah..ini adalah posisi kesukaannya. Ia jadi sedikit atau bahkan tidak rela besok Ify sudah harus kembali ke rumahnya. Ify pasti membutuhkan waktu lebih bersama Ferdi. Selama ini Ferdi dirawat di rumah sakit sehingga banyak waktu yang terlewat bagi mereka bahkan untuk sekedar berbicara. Ia tidak tega jika datang malam-malam dan mengganggu kebersamaan mereka. Ia pasti akan sangat merindukan gadis mungilnya ini.
“Tentang Om Ferdi ya?” tanyanya hati-hati. Ia merasa Ify menganggukkan kepalanya. Kalau sudah begini, ia tidak bisa memaksa gadis itu. Pasti sesuatu yang berat yang sedang disembunyikan olehnya. Ia paham. Ify bukannya tidak ingin bercerita, hanya belum siap.
“Kemaren gue mimpi buruk, lagi..”
“Terus?”
“Gue ketemu mama. Mama bilang sesuatu yang intinya papa bakalan pergi. Tadi, dr.Obiet bilang, kita cuma bisa nunggu sampe kapan papa bertahan sama cuci darah.” Suara Ify terdengar pelan dan sedikit bergetar. Rio lekas mengeratkan pelukannya pada gadis itu.
Sementara Ify menarik napas dalam beberapa kali untuk menenangkan perasaannya. tadi siang ia sudah bertekad tidak boleh lemah seperti ini. Papanya sudah berusaha kuat maka ia pun harus seperti itu. Lagipula, berulangkali hatinya mengingatkan kalau ia tidak sendirian. Ia akan selalu bersama orang-orang yang menyayanginya termasuk mamanya di atas sana.
“Gue cuma berharap papa gak pergi tanpa pamit.”
Tiba-tiba Ify merasa sesak. Rio memeluknya terlalu kencang. “Rioo sempiit!” rutunya kesal. Ia menggeliat dari dekapan Rio lalu menatapnya sambil memberengut sementara pemuda itu hanya nyengir tanpa rasa bersalah. Ify mendengus dongkol dalam hati. Dia masih pemuda yang sama. Selalu saja merusak suasana!
“Lo ngomongnya ngaco sih!” balasnya santai. Dihadapannya Ify mencebikkan bibir sehingga mukanya tampak menggemaskan. Ia tidak tahan untuk tidak merengkuhnya kembali. “Yaudah sini peluk lagi!” katanya dengan nada manja. Namun dengan segera gadis itu menahan tubuhnya dengan satu tangan lalu menggelengkan kepala. Ia langsung memasang tampang kecewa. Ify tidak sadar apa kalau saat ini adalah sisa-sisa waktu yang mereka punya dan harus sangat-sangat dimanfaatkan? Oke, dirinya mulai berlebihan.
Ify seketika mengangkat tangannya yang lain dan ada satu benda berbentuk petak yang digenggamnya. Sekotak kartu remi. Rio mengernyit bingung menunggu Ify menjelaskan perihal benda tsb. Ketika gadis itu hendak membuka mulut, pintu kamarnya terbuka dan menyembul kepala Ray yang memasang tampang kesal.
“Bang, lo kayak cewek dah ngambeknya lama banget. Kita udah abis sebungkus kacang nih nungguin lo berdua! Cepetan turun atau ntar lo gue gelindingin di tangga!” gerutu pemuda itu tanpa rasa takut. Sementara Rio hanya mencibir. Ia kembali menatap Ify kali ini dengan nada ancaman.
“Kalo lo kalah, hukumannya lo gue peluk sampe pagi!” katanya seraya tersenyum miring. Ify balas menyeringai tanpa takut sedikitpun. “Dan kalo lo yang kalah, dilarang berdekatan dalam radius 3 meter! Oh ya, gue jago lo main ginian, Agni aja kalah!”
Rio terperangah kaget. 3 meter??!!! Waaaat??!!! Mana bisaaa! Gawat kalau begini. Ini tidak boleh terjadi. “Yah Fy setengah meter aja deeeh?”
“Oke, 5 meter!”
“Laaah kok malah nambaaah?!”

***

Was it enoughhhhhhhh? Yeeeeees!!!!!! *plak *dibakarmasa *dijadiinrendangbuatbukapuasa *
Karena hanya segini, dan cuma pasangan ini, jadi di post disini aja ya. Inget kan untuk menjauhkan diri dari benda tajam? Wkwkwk~

Mimin masih uas jadi tak sempat, tapi sebentar lagi libur tapi ga panjang HIKS! Mudah-mudahan bisa ngelanjutin lagi. Ya doakan sajalah..