-->

Jumat, 10 Agustus 2012

Matchmaking Part 19


“Udahlah lo suka kan sama Agni....cewek gue?”
“HAH?!” Cakka kaget, matanya membelalak bak ingin meloncat keluar. Apa dia bilang? Agni..Kiki pacarnya Agni? Astaga!! Sekilas, Cakka tampak menggelengkan kepala. Raut wajahnya masih diluputi oleh rasa tidak percaya. Rasa tidak percaya bahwa...Agni sudah punya pacar??
Kiki tersenyum miring. Atau mungkin menyinisi respon Cakka yang seperti itu. “Iya, calon sih tepatnya..” sambung Kiki. Tanpa sadar, Cakka menghela nafas lega, selega-leganya. Cuma calon, meeen!! Hah? Kenapa sama gue? Sekali lagi, Cakka menggeleng. Apa yang ia dengar dan apa reaksi yang keluar darinya sama-sama tidak bisa dipercaya. “Dan sepertinya, dia ngasih pertanda yang baik ke gue,” kata Kiki bangga. Entah kenapa, Cakka ingin muntah mendengar kata-kata terakhir yang ia dengar dari pemuda itu.
Sorry bro, pertanda yang diberikan Agni jauh lebih baik ke gue! Bantah Cakka dalam hati. Kali ini, ia tak ingin pusing-pusing memikirkan reaksi yang keluar darinya. Biarlah, selama itu tidak terlalu mengganggu. Lagipula, bantahannya itu memang benar bukan? “Pertanda? Hh, emang dia ngapain? Ngucapin lo selamat pagi, selamat siang, selamat malam? Lo kira penyambut tamu apa? Haha..” Balas Cakka balik menertawai. Anehnya, bukannya kesal, Kiki justru ikut tertawa, terkekeh tepatnya. “Jadi..lo beneran suka sama Agni, kan? Haha..”
Telak. Cakka diam. Nah, terus, kenapa gue diem, heh? Sementara Cakka diam, berpikir sepertinya, diam-diam Kiki melempar bola basket yang dipegangnya tadi ke arah Cakka. Beruntung, Cakka tak butuh waktu lama menyadarkan diri. Bola tersebut ditangkapnya dengan mulus dan lantas dilemparkannya kembali ke arah Kiki. Sama, sesama pemain basket ini mampu menangkap lemparan bola dengan sangat mudah. Kiki tersenyum lagi.
“Kita bersaing!”
***
“Zaza? Bahaha, bagusan Zaza daripada nama lo Vi..” ledek Ify. Seharian penuh gadis ini diculik oleh Via demi menemaninya bercerita. Apalagi kalau bukan tentang dirinya atau mungkin sosok Zaza dalam dirinya, dengan Iel, orang yang membuatnya memunculkan sosok Zaza itu sendiri. Ify tak henti-hentinya tertawa sejak awal ia mendengar Via bercerita. Via melipat kedua tangan di dada serta mendelik ke arah sahabatnya itu. “Gue gak lagi ngelawak, Yem!” rutunya.
Berhasil. Mendadak Ify berhenti tertawa. Gadis itu justru balik mendelik ke arahnya. “Iss, jangan panggil gue Piem kenapa?!” Via yang tertawa sekarang. 1 sama! Ujar Via dalam hati. “Salah sendiri!” sungutnya. Lantas ia beranjak dari tempat tidur menuju toilet kamar. Sementara Ify dibiarkan terluntang-lantung di kasur dengan posisi amburadul. Tangan Ify dua-duanya menggenggam ponsel dengan jenis berbeda. Yang satu I-phone sedang yang satu lagi ponsel tipe Blackberry. Sama-sama milik Via.
Niat awal hendak melakukan pembajakan. Namun, tiba-tiba satu di antara 2 ponsel tadi berdering. Yang sekaligus mau tidak mau membatalkan niat jahil Ify barusan. Seseorang baru saja melakukan panggilan ke salah satunya, ke ponsel yang benar-benar Via gunakan setiap hari, ponsel pribadinya, BB torch miliknya. Yang mengagetkan adalah siapa pelaku pemanggilan tersebut. Iel. Ya, aneh kan? Baru kali ini pemuda itu menelepon, menelepon Via, di siang seperti ini lagi. Yang lebih wajar itu jika Iel menelepon Zaza, ke I-phone Via. Nah, ini?
“Siapa yang nelpon, Yem?” sahut Via yang tahu-tahu sudah naik ke atas tempat tidur. Ify memperbaiki posisi tidurnya dan sekarang sudah berubah menjadi duduk. Sejenak ia memandangi kedua ponsel Via bergantian. Bingung, kenapa ia bingung. Via yang melihat itu mendengus, lantas direbutnya satu dari dua benda yang dipandangi Ify bergantian. Ponsel yang ditamui oleh sebuah panggilan masuk, dari...
“GABRIEL?!” kaget Via. Matanya agak melotot meski masih terlihat agak sipit. Mulutnya terbuka sedikit mengikuti alur suasana terkejut dalam hatinya. Ify menoleh dan hanya diam. Tak ikut kaget. Karena ia masih bingung. Entahlah, gadis ini memang terkadang suka aneh-aneh (?). “Yaudah angkat,” cicit Ify akhirnya. Terlepas dari raut wajahnya yang masih menunjukkan tampang tak mengerti. Ia masih sempat berpikirlah tentang apa yang harus segera Via lakukan. Via mengangguk lemah dan tak lama setelah itu, ponsel yang ia rebut sudah menempel di telinga kanan.
“Halo..” Via diam. Ify ikut diam. Kening Via tampat berkerut-kerut. Membuat kening Ify juga ikut mengkert-kerut. Via yang tenggelam dalam dialog di telepon, sementara Ify sudah terjerumus ke dalam hal berlabel ‘bingung’. “Dimana?,” Via melihat jam tangannya sebentar lalu mendesah. “Oke!” sambungnya sekaligus menutup perbincangan mengkerutkan kening itu. Dilihatnya Ify yang menatapnya dengan tuntutan penuh agar ia menjelaskan apa yang terjadi. Dan sekali lagi, ia mendesah.
***
Shilla berjalan mondar-mandir di kamarnya. Seharian ini, perasaannya tak tenang. Pikirannya kusut dan otomatis mood-nya juga sedang tidak baik. Ia merasakan khawatir yang boleh dibilang besar. Dan yang membuat pikirannya mumetnya adalah ia tidak tahu apa yang ia khawatirkan. Ia berusaha memecahkan masalah tersebut hingga membuatnya mondar-mandir tak jelas. Dan, ya, hasilnya, ia belum mendapatkan titik terang sedikitpun.
Sejurus kemudian, ia memilih keluar kamar. Akan lebih baik memastikan apa-apa dan siapa saja yang berada di sekitarnya. Dan orang pertama yang ingin ia pastikan adalah Wiwid, Mamanya sendiri. “MA! MAMAA!!” suaranya bergema di setiap sisi rumah. Ia berteriak kencang sekali. Sampai-sampai suaranya itu terdengar sampai halaman depan rumahnya. Sudahlah, tidak patut dipedulikan. Yang ada dipikirannya saat ini hanya ‘apakah mamanya baik-baik saja atau tidak’. Itu yang harus ia pastikan.
“Maa! Mamaaa!” panggilnya lagi. Lebih rendah volume suaranya dari yang tadi. Dikarenakan Mamanya sudah memunculkan diri dari dapur. Mamanya mendekat keheranan. Aneh, kenapa tiba-tiba dirinya berteriak-teriak seperti itu. “Shilla, kenapa sih?” tanya Wiwid bingung. Bukannya menjawab, Shilla malah mendesah. Lega tepatnya, mengetahui orang pertama yang ia pastikan, ada dalam keadaan baik-baik saja. “Hehe, gak ada, Ma. Shilla cuma lagi badfeeling aja tadi. Sekarang juga sih..” cicit Shilla seraya garuk-garuk kepala.
“Emangnya ada apa?” tanya Wiwid lagi. Ia mengusap-ngusap kepala anaknya halus. Shilla hanya mengedikkan bahu. Dikarenakan ia juga tidak tahu ada apa dengannya saat ini. yang ia tahu, ia terus-menerus merasa khawatir. “Ya udah, kamu balik ke kamar gih! Coba bawa tidur, siapa tahu enakan nantinya.” Saran Wiwid. Shilla menurut dan mengangguk. Ia bergegas kembali ke kamar. Semoga saran mamanya benar dan membuahkan hasil. Semoga rasa khawatirnya segera menghilang deh!
***
“WHAT?! Gak, gue gak mau!” Via menolak keras. Pemuda di depannya benar-benar gila. Ya, bagaimana mungkin Iel, pemuda tersebut, menyuruhnya ikut andil dalam proses pemutusan hubungan pemuda itu dengan Pricilla? Apa urusannya dengan dirinya? Dan..kenapa harus GUE? Dumel Via dalam hati. Keras-keras dan penuh emosi. Apa maksud Iel sebenarnya? Pikir Via dalam-dalam.
“Iel memajukan tubuhnya hingga lebih condong ke arah Via sementara Via memilih menyandar pada badan kursi restoran tempatnya dan Iel berada sekarang. Ia melipat kedua tangan di dada dan memalingkan wajah yang pasti bukan menghadap Iel lagi. “Vi, tolonglah. Lo orang yang paling bisa bantu gue,” mohon Iel. Tetap saja, Via tak terenyuh. Ia makin bebal dan makin tidak setuju dengan ide gila si pemuda gila. “Cari cewek lain. Gue gak mau.” Tolaknya. Iel menghela nafas berat. “Masalahnya, satu-satunya cewek yang pernah Pricill liat ada sama-sama gue itu cuma lo..”
Via menoleh dan menatap Iel sejenak. Gue diperalat, heh? Ck, dibayar juga kagak! Batinnya. “Untungnya buat gue apaan?” Iel diam. kelihatannya ia sedang berpikir. Tentu, jawaban yang akan dikeluarkannya memang harus dipikirkan benar-benar kalau memang ia ingin Via membantunya. Jawaban penentu akhir kelanjutan perjalanan asmaranya. *halah* “Terserah lo deh ya, yang penting lo bantu gue. Mau kan? Ayolah Vi, tolongin gue kali ini aja..” Pinta Iel terakhir kali. Via memiringkan kepala sedikit menatapnya. Matanya memicing, ada yang sedang gadis itu curigai darinya.
“Ke..kenapa?” Iel mendadak salting. Jarang-jarang ia bertingkah seperti ini di depan gadis yang sedang menatapnya, lebih-lebih di hadapan Via. Ia menggaruk tengkuknya jengah. “Lo..punya selingkuhan ya?” Kening Iel mengkerut. Tak ada yang salah sih dari pertanyaan Via itu, sebenarnya. Hanya mungkin, ada yang perlu direvisi atau barangkali ditambahkan ke dalamnya. Jika Via bertanya ‘Lo punya calon selingkuhan ya?’. Nah, itu jauh lebih tepat.
Yup, alasannya untuk memutus hubungan dengan Pricilla adalah karena ia sudah berpindah ke lain hati. Ah tepatnya, ia baru menemukan hati yang benar-benar sesuai dengan hatinya. *bahasanyaaneh-_-* Jadi, tidak bisa dikategorikan dengan selingkuh juga. “Gue bukan selingkuh..tapi..” katanya menggantung, disambut dengan picingan makin menajam dari Via. “Gue cuma ingin nyoba serius, sama orang yang bikin gue punya perasaan serius..” lanjut Iel. “Sama aja artinya lo selingkuh, kan?” sungut Via.
Iel menarik nafas mencoba mengatasi sesak di dada yang mendadak memenuhi.  “Gue gak selingkuh!” katanya, sekali lagi, pelan namun amat sangat tegas kalau dicermati. Hal itu cukup untuk membuat Via tersentak dan agak kaget. Tatapan Iel padanya saat ini jauh berbeda dalam keseharian pemuda itu jika bertemu pandang dengannya. Apa pemuda itu benar-benar dalam zona keseriusan sekarang? Pikir Via masih antara percaya dan tidak percaya. “Gue..pengen serius Vi, gak mau main-main lagi..” Iel kembali berujar dan kembali membuat Via tersentak kaget.
Pelan-pelan, Via berpikir, mencoba menebak-nebak apa yang sedang merundung benak pemuda di depannya. Sekaligus memikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap pemuda itu. hmm...apa mungkin memang tidak ada salahnya ia menyumbang bantuan? Pikir Via berulang-ulang. Sedang Iel, ia kembali menarik nafas. Lantas dilemparnya tatapan memelas ke arah Via berharap gadis itu akan mengeluarkan kata-kata indah sesuai harapannya. “Jadi..gimana?”
***
Jam menunjukkan bahwa sekarang tepat pukul 3 sore. Alvin baru saja pulang dari sekolah, tepatnya masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Hari ini, mood-nya benar-benar baik. Gadis pengganggu yang beberapa waktu ini menghantuinya tidak menampakkan diri di depannya. Kehidupannya terasa damai sekali tanpa kemunculan gadis tersebut. Siapa lagi kalau bukan Febby. Ia benar-benar bersyukur atas adanya hari ini. Ia bahkan hampir tidak pernah melihat gadis freak itu dimanapun, setiap ia melangkahkan kaki menjajaki tempat-tempat di sekolahnya.
Meski begitu, hatinya merasakan janggal juga. Ia merasa ada yang aneh dengan febby. Seperti bukan Febby. Sorot mata gadis itupun tak kalah aneh. Dingin, datar tapi kelihatan begitu lelah dan tersiksa. Dan juga, penampilan Febby agak sedikit berbeda. Rambutnya diikat asal-asalan, seperti tidak disisir malah. Baju yang dia kenakan juga agak longgar, tidak nge-pas seperti biasa. Lalu, terakhir, Febby memakai rok panjang. Rok panjang! Bukan sesenti dua senti di bawah lutut. Melainkan semata kaki. Terlebih memakai rok panjang merupakan hal aneh bagi gadis-gadis yang bersekolah di sekolahnya.
Hei! Sejak kapan Alvin memperhatikan Febby seperti ini? Sampai se-detail ini? Astaga! Alvin menggeleng keras. Mencemooh apa yang kini berputar-putar di otaknya. Hmm..memikirkan hal yang satu itu ternyata mampu membuatnya haus. Tapi, maklum sih. Sehabis bermain futsal di sekolahnya tadi, ia belum meminum setetes air pun. Ia buru-buru pamit pulang. Sejujurnya, ia takut kalau tiba-tiba banyak gadis-gadis berdatangan mengerubunginya. Wajar dengan siapa dirinya di mata orang-orang, khususnya gadis-gadis.
Ada sebuah warung di pinggir jalan sebelah kanan. Kebetulan, ada pula minuman segar yang dijajakan. Tak ada salahnya kalau ia mampir dan memberikan rezeki pada pemilik warung tersebut dengan membeli satu dari berbagai minuman yang dijual. Alvin kemudian memberhentikan mobilnya dan memarkir di sisi kiri jalan yang berhadapan dengan warung. Setelah memastikan jalanan aman untuk disebrangi, Alvin setengah berlari menuju warung. Sudah ada seorang ibu-ibu yang sepertinya merupakan penjaga warung.
“Berapa?” tanya Alvin sambil mengangkat sebotol air mineral dingin di tangan dan menunjukkannya pada ibu-ibu penjaga. Si Ibu menyembulkan 3 jarinya yang merupakan pemberitahuan pada Alvin akan harga dari air mineral yang ingin dibelinya. 3 ribu rupiah. Begitulah maksud si ibu-ibu. Alvin merogoh sakunya mengambil dompet. Lalu, mengeluarkan selembar uang 2 ribuan dan selembar uang seribuan. Lantas diberikannya kepada Ibu-ibu penjaga. Ibu tersebut sempat mengucapkan terimakasih, sesaat sebelum Alvin pergi meninggalkan warung.
Jalanan agak lengang. Tapi, baguslah. Alvin tak perlu susah-susah menunggu hingga sepi.
“ M A S  A W A S ! ! ! ”
***
“Mau pesan minuman, mbak?” Pelayan laki-laki itu masih setia mendatangi meja tempat Ify berada, menanyakan perihal pesanan Ify atau mungkin apakah Ify mau memesan. Ini sudah ketiga kalinya ia datang. Dan ketiga kalinya pula Ify menggeleng, menandakan, kali ini juga bukan waktu gadis itu memesan. Ia lantas hanya tersenyum dan kemudian berjalan ke meja lain yang baru didatangi. Hal seperti ini sudah teramat biasa baginya. Pengunjung yang memang hanya sebatas berkunjung tanpa ada niat menyapa apa yang dijajakan di tempat yang dikunjunginya.
Sekarang hanya tinggal Ify, jika dihitung dari pelayan dan Ify saja. Kedua sikutnya menyentuh meja dengan telapak tangan menopang dagu. Pandangan ia arahkan sepenuhnya ke meja yang berada agak jauh di depannya. Diduduki oleh seorang gadis seusianya dan seorang pemuda yang juga seusia dengannya. 2 orang itu terlihat sedang mengobrol serius. Sang gadis menyilang kedua tangan di depan dada dan memalingkan wajah. Mereka ngobrolin apaan sih? Lamaaaaa! Batin Ify menggerutu.  
Sedari tadi dengan pekerjaan memperhatikan kedua orang tersebut, rasanya bosan juga. Itulah yang diendap benak Ify sekarang. Ia berniat berjalan-jalan sebentar dan akan kembali jika sudah mendapat panggilan untuknya kembali dari Via, gadis yang mengobrol bersama pemuda yang ia perhatikan. Susur-disusuri, belum ada satu tokopun yang Ify masuki. Tangannya juga masih enteng, belum membawa satu barang belanjaan pun. Sejadinya ia hanya melihat-lihat. Kalau kata orang-orang, biasa menyebutnya dengan cuci mata.
Langkah Ify terlihat satu-satu. Sambil kepalanya yang bergerak-gerak ke kanan-kiri melihat barang-barang yang ada di mall tempatnya sekarang. Sekalipun tidak pernah ia menoleh ke arah depan. Alhasil..
BUK!
Seorang lelaki paruh baya, agak lebih tua dari papanya mengingat rambut lelaki itu yang terlihat agak memutih, tak sengaja bertabrakan dengannya. Bungkusan plastik berisi buku-buku milik lelaki tersebut terjatuh akibat aksi tabrakan tersebut. Ify menggapai bungkusan plastik yang tergeletak di lantai itu lebih dulu. Sedikit rasa bersalah menerpanya maka dari itu dirinyalah yang seharusnya mengambilkan bungkusan tersebut.
Alih-alih mengambil, tak sengaja matanya melihat sepasang kaki dengan sepasang sepatu yang menyelubunginya. Sepasang sepatu yang kian membekas di otaknya. Yang sempat Ify biarkan begitu saja, namun kini mulai menarik minat untuk dicari tahu. Ada sepasang sepatu lagi yang menemani di sampingnya. Ify menegapkan badan segera dan mengembalikan bungkusan plastik yang ia ambil kepada sang pemilik. Lelaki tersebut menerima langsung dan kemudian pergi setelah mengucapkan kata maaf atas insiden yang baru saja terjadi antara dirinya dan Ify.
Ify sendiri hanya mengangguk tanpa ikut-ikutan meminta maaf. Ia dihampiri kesibukan baru mencari-cari dimana keberadaan sepasang sepatu tadi. Karena tadi sempat menghilang dari penglihatannya. Matanya menilik satu-persatu sepatu yang ada di sekelilingnya. Tak ada satupun sepatu yang ia cari. Kakinya menyicit namun ada kalanya terlihat berlari kecil. Berulang kali desahan kecewa dari mulutnya keluar karena tak jua menemukan apa yang ingin ia temukan. Ayolaah, tadi kayaknya udah deket banget! Pikir Ify.
Dan..ya! Itu dia! Ify menangkap sosok pemilik sepatu tersebut adalah seorang gadis dan kini memasuki bagian kebutuhan sehari-hari. Gadis itu jika dilihat-lihat semakin lama semakin tidak asing. Ify merasa pernah melihat tampak belakang seseorang yang seperti itu. Apa ia pernah bertemu? Seingatnya sih tidak pernah, tapi sepenglihatannya pernah. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia harus mengetahui wajah gadis itu. Kebetulan, kalau wajah, Ify agak mudah mengenali meski tidak terlalu.
Banyak rak-rak berbagai barang yang ia lewati. Dan tiba-tiba saja, gadis pemilik sepatu berbelok dan raganya menghilang di balik salah satu rak. Ify buru-buru menyusul. Tapi, tunggu dulu. Sepertinya ada yang aneh. Ia mundur beberapa langkah dan tampaklah seorang anak kecil, perempuan, berdiri dengan pipi basah seperti habis menangis. Bahkan sekarang masih terlihat menangis. Ify kaget, badannya agak terdorong ke belakang karena itu. Ia bingung dengan anak kecil tadi yang sekarang justru menatapnya dengan tatapan sendu. Menguak rasa iba Ify untuk menghampirinya.
Ah, tapi Ify sendiri masih harus mencari tahu perihal gadis pemilik sepatu. Bagaimana ini? Mana yang harus didahulukannya? Gadis pemilik sepatu atau justru anak kecil di depannya ini? Bimbang. Kaki Ify bergerak maju mundur. Hendak pergi menyusul si gadis atau menghampiri anak perempuan tadi. Gadis tadi..ah bukannya gue masih bisa nyari dia di sekolah? Tiba-tiba hal itu melintas di pikirannya. Yang sangat membantu Ify menentukan keputusan saat ini. Baiklah, sepertinya anak perempuan ini tersesat. Tidak ada salahnya untuk dibantu dicarikan dimana keberadaan kedua orangtuanya.
Akhirnya, Ify memutuskan menghampiri si anak kecil. Masih menangis. Apalagi dengan Ify yang menghampiri. Anak perempuan itu seolah menemukan orang untuk mengungkapkan segala gundah. Terbukti, saat Ify merunduk dengan salah satu tangan memegang bahu si anak, tangisan anak tersebut malah semakin deras. “Eh kenapa nangis?” Ify tersentak. Ia agak bingung dibuatnya. Apa anak perempuan itu menangis karena dihampiri olehnya? Apa dirinya terlihat begitu menyeramkan? Pikir Ify polos. Sebelah tangannya yang kosong tanpa memegang apapun mulai bergerak-gerak jemarinya seperti memilin-milin sesuatu. Yap, perasaan takutnya mulai meningkat.
“Fify?” tanya Ify memastikan nama pada kalung yang anak itu pakai adalah milik anak itu. Fify, anak di depannya itu pun mengangguk mengiyakan. Ify tiba-tiba terkikik. Bukan tanpa sebab, tapi, lucu saja karena ada seorang anak kecil yang mempunyai kemiripan nama dengan namanya. Melihat Ify terkikik, Fify mendadak bingung. Lalu, ia pula yang tiba-tiba terkikik. Ify yang melihat itu seketika diam. Ada apa dengan anak ini? Tanyanya dalam hati. Karena ditatap penuh tanda tanya, Fify lantas diam, balik menatap Ify dengan lebih dari seribu tanda tanya.
“Kenapa ketawa?” tanya Ify masih menatap Fify bingung. Kening Fify mengkerut lalu tersenyum polos. “Karena kakak ketawa,” Hening. Lalu tiba-tiba, keduanya serentak tertawa. Haduh-haduh, mereka memang aneh -,-
***
Ruang dengan nuansa serba putih. Ada sebuah tempat tidur di tengah-tengah dan kiri-kanannya terdapat lemari kecil tempat barang-barang. Sebuah tiang penyangga botol infus berdiri tegap di depan salah satu dari lemari kecil tadi. Seorang pemuda, dengan beberapa luka lecet di tangan serta kakinya yang diperban, terbaring dengan mata tertutup di tempat tidur disana. seorang gadis seusianya berdiri bersama seorang dokter yang menanganinya, juga berdiri di samping tempat tidur yang ia tempati. Si gadis kelihatan tidak begitu khawatir. Meski begitu, dalam benaknya, ia juga membutuhkan informasi apakah pemuda yang sedang terbaring itu baik-baik saja atau tidak.
“Dia tidak apa-apa, dok?” tanyanya pada dokter. Dokter tersebut melihat lembaran-lembaran kertas di depannya. Hasil pemeriksaan tentang kondisi si pemuda. “Lukanya tidak parah. Hanya butuh istirahat panjang sampai proses pemulihan pada kakinya selesai.” Jelasnya. Si gadis tak berkomentar. Ia hanya menarik nafas sambil terus menatap si pemuda. Sorry..tapi gak ada jalan lain. Semoga berhasil! Batinnya sekaligus berdoa.
Cklek..
Pintu kamar terbuka. Masuk seorang pemuda lain dan dengan cepat menggapai posisi di sebelah si gadis. “Gimana Alvin? Kapan sadarnya?” tanyanya beruntun. Si gadis hanya mengedikkan bahu. Pandangannya masih tetap mengarah pada tempat tidur, seseorang yang terbaring di sana. Pemuda yang baru masuk tadi menoleh ke arahnya. Lalu, tiba-tiba, pemuda tadi merangkul serta ada sebuah bisikan yang terdengar di telinga. “Lakukan tugas lo dengan baik. Jangan pikirin gue!” bisikan dari pemuda tersebut membuatnya agak merinding.
Kemudian, pemuda itu pun tersenyum ke arahnya. Si gadis menoleh dan menatap pemuda yang merangkulnya datar. Lantas, dikedikkan bahunya sekali lagi dan kembali menatap pemuda yang sedang terbaring. Alvin.
***
Suasana mall agak riuh. Tidak terlalu ramai karena ini bukan hari libur. Rio merendahkan topi yang ia kenakan hingga setengah wajahnya tertutupi. Hingga tak akan ada satu orang pun yang sadar bahwa dia, Mario Stevano si artis, sedang berjalan menyusuri bagian dalam mall tempatnya menginjakkan kaki. Kecuali gadis berambut pendek di sebelahnya, Dea. Sebelumnya, tadi hingga ia bisa bersama Dea saat ini ialah karena Dea sendiri yang mengajak. Dengan alasan, sudah cukup lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Sejak..
“Kak, bentar lagi kak Acha balik loh!” seru Dea. Antusias sekali. Masih sama seperti dulu. Memang, apapun yang berkaitan dengan Acha, kakaknya, antusiasme Dea tak jarang terlihat. Bahkan dulu Rio sempat seantusias Dea. Dulu, sebelum..ah ia juga tidak tahu kapan. “Oh,” Kedengaran seperti tak ada niat. Bagi Dea, tentu aneh. Seorang Rio, yang ia tahu orang yang ingin sekali menjadi nomor satu bagi Acha, merespon seperti itu saat Dea sedang berkata yang berkaitan dengan orang yang juga merupakan nomor satunya itu, Acha.
“Udah lama ya rasanya..” Sekilas Dea melirik ke arah Rio. Sedang Rio sendiri masih tampak tak ada niat. “Hmm,” Hanya deheman yang keluar. Dea menyipitkan mata tak mengerti. “Kangen deh kita sama-sama lagi kayak gini..” Dea masih berusaha membuat Rio berhasrat. Namun, hasilnya masih sama. Gelora dalam hati Rio belum terjamah. “Kita?” sahut Rio tanpa menoleh ke arah Dea. Dea mengangguk berulang kali. “Iya, aku, kakYo dan KakCha! Semoga KakCha cepet pulang deh hehe..” ujar Dea penuh harap.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pemuda yang satu ini, Rio. Kalau dulu, mungkin, ia tak segan-segan mengamini harapan Dea barusan. Akan tetapi, untuk sekarang, jangan sampai! Akan lebih baik jika Acha terus berada bahkan menetap di Amerika. Jika gadis itu kembali, cerita ini akan berbeda akhirnya. Hatinya akan makin sulit. Ia pasti akan dilanda bingung besar dalam menentukan pilihan. Meski dalam kacamata orang lain, ia bisa saja dengan mudah memilih. Namun, yang memiliki hati adalah dirinya. Ia yang tahu mengapa ia akan merasa susah. Hanya dia, dia yang paling tahu. Tentu saja Tuhan juga.
“Loh itu kan..” Desis Rio. Keningnya mengkerut seiring mata yang dicoba lebih jelas melihat ke depannya. Dea yang merasa ada yang berbicara pun menoleh. Lantas mengikuti kemana arah mata Rio memandang. Seketika itu pula, keningnya ikut berkerut.
***
 Telunjuk Via bergerak mengetuk-ngetuk meja yang ia tempati. Sedang Iel di depannya, menatapnya penuh harap dan agak sedikit cemas. “Oke!”
Apa? Apa katanya? Tanya Iel dalam hati, seolah masih belum percaya bahwa Via mengiyakan permintaannya. “Ja..jadi lo mau, Vi?!” ujar Iel nyaris berteriak. Meski sudah terdengar agak keras. Via langsung merutuki tingkahnya mengingat beberapa orang di sekeliling mereka yang spontan menoleh ke arah mereka. Ada juga yang berbisik-bisik tak jelas. Apapun itu, yang dibicarakan mereka pasti bukanlah hal yang baik tentang mereka. “Ssst! Lo kira-kira kek kalo ngomong!” Sungut Via kesal. Iel menoleh ke sekeliling sejenak. Namun, sepertinya ia tidak peduli.
Iel memperbaiki posisi duduknya lalu memajukan badan serta menumpu sikut di meja. “Le serius kan?” tukas Iel. Via hanya berdehem. Ia malas untuk berbicara lagi. Rasanya, ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempatnya sekarang. “Aaah lo bisa diandalkan juga, Vi. Thanks ya!” Via mengernyit heran. Kesannya kok kayak babu ya? -,- pikir Via. Sekali lagi, ia hanya berdehem. Sudahlah, ia sudah terlanjur bersedia membantu. Mau apalagi? Otomatis, ia memang menjadi babu. Dalam artian, mengikuti setiap apa yang Iel rencanakan. Jadi babu dulu gapapa deh! Babu bahagiaa hahaha..
“Tapi..satu hal yang pengen gue tanya..” kata Via menggantung. Iel diam menunggu gadis itu berbicara lagi sambil memperhatikan lekat-lekat lekuk wajah Via yang jika makin lama dilihat makin..
“Gak percaya yang namanya cinta, apalagi cinta sejati. Karena faktanya, sifat manusia labil, suka berubah-ubah. Typical manusia itu, perasaan bisa hilang dan berganti kapan aja..Jadi, lo udah menanggalkan prinsip lo yang satu itu? You belive in...love?”
Hah? Iya juga, udah lama gue gak mikirin prinsip gue itu.. Batin Iel seketika. Ia mendengut lidah agak payah. Apa ya jawabannya? Hmm, apa mungkin Via benar...bahwa hatinya sudah mulai berubah? Entahlah, setidaknya ia tidak salah total. Manusia labil, suka berubah-ubah, perasaan bisa hilang dan berganti kapan saja.
***
Tuk..tuk..tuk
Satu jam sudah dilewati Cakka dan kegiatannya hanya merebahkan diri di atas tempat tidur. Ponselnya ia genggam erat sembari telunjuk yang mengetuk-ngetuk bagian atas samping benda tersebut. Bibir bawahnya -jika itu makanan- habis ia gigiti sedari tadi. Matanya tepat memandang ke arah langit-langit kamar sedang kepalanya digerayangi berbagai hal yang membuatnya berpikir keras. Memaksanya untuk melakukan sesuatu akan tetapi masih lumayan bertentangan dengan minat hatinya saat ini.
Cakka kemudian beralih fokus ke layar ponselnya. Mengeja sebuah nama yang tertera di sana. Agni. Hanya 4 huruf, namun cukup memusingkan. Apa..apa yang harus ia lakukan? Kembali, matanya memandang langit-langit hanya telunjuknya saja yang berhenti mengetuk. Hanya beberapa menit, karena setelah itu ia beralih lagi ke ponselnya.
***
Tujuan Ify kali ini bukan lagi menemukan siapa pemilik sepatu misterius itu, akan tetapi menemukan siapakah gerangan sang ibu dari anak kecil yang ia gandeng saat ini, Fify. Niat Ify ingin membawa gadis kecil itu ke bagian informasi. Namun, belum sampai setengah perjalanan, Fify menyuruhnya berhenti. Kemudian memegang-megang perut. Meski polos, tapi mimik memelas terdapat juga di wajahnya. Ia lapar.
Akan tetapi sepertinya Ify kurang mengerti bahasa tubuh Fify. Ia hanya menggaruk-garuk sebelah pelipisnya dan agak kebingungan. “Hah, perut kamu sakit?” tanyanya. Tentu saja Fify menggeleng. Jika satu jam ke depan Ify masih tidak mengerti dan bertanya seperti itu mungkin Fify akan mengangguk mengiyakan. Puk! Puk! Fify menepuk-nepuk perutnya lagi dan mengelusnya pelan. Kening Ify mengkerut. Namun, sejurus kemudian ia baru mengerti. Fify lapar.
“Lapar?” tanya Ify memastikan, menyusul dengan anggukan keras dari Fify. Ify tersenyum. Anak di depannya itu polos sekali. “Okey, kita cari makaaan!!” Seru Ify semangat. Lalu kemudian berjalan bergandengan dengan Fify kembali.
Tak berapa lama, mereka sampai di resto tempat Ify menunggu Via tadi. Masih di kursi yang sama. Terlihat pula Via dan Iel masih mengobrol panjang, mungkin. Ify lalu mengangkat tangan mengundang seorang pelayan untuk datang. Seorang wanita sekitar 5 tahun di atas Ify berjalan mendekat dengan buku menu di tangan. Ia lalu menyerahkan buku tersebut pada Ify dan juga Fify. “Kamu mau makan apa?” tanya Ify. Fify begitu serius melihat satu-persatu menu yang ada. Hingga telunjuknya bergerak menunjuk gambar salah satu ah 2 menu dari menu-menu yang ia lihat.
“Ya udah mbak, pesan ini sama minumnya ini satu ya!” kata Ify. Sang pelayan mengangguk mengerti dan mengambil kembali buku menu yang tadi ia berikan. Lantas ia kembali ke meja tempatnya berjaga sekaligus menyerahkan catatan perihal makanan dan minuman yang dipesan Ify.
Setelah kepergian waitress tadi, suasana mendadak hening. Ify dan Fify saling diam. meskipun, sejak tadi, Fify memperhatikan lekat-lekat wajah Ify. entah apa yang menarik. Akan tetapi, sekalipun, matanya tak pernah lari kemanapun, hanya kepada Ify. Ify sadar sih, tapi biasalah Ify. Agak kurang mengambil hati. Ia hanya membalas dengan senyum manis ke arah Fify. Tapi, lama-kelamaan Ify bosan juga. Duduk diam tanpa berbicara atau mengobrol apapun. Padahal ia tidak sendiri, ada Fify di depannya.
“Kenapa kamu bisa kesasar? Mama kamu tadi dimana?” tanya Ify basa-basi. Bukan basa-basi sih, memang itu yang seharusnya ia tanyakan sejak tadi, sejak pertama kali ia bertemu dengan Fify. Fify menggeleng tanpa ekspresi. Matanya terus menatap Ify. Ify menggaruk pelipisnya lagi. Ia tiba-tiba hilang ide, kehabisan pertanyaan. Beruntung, seorang pelayan datang mengantar pesanan. Perhatian Fify pun bukan padanya lagi. Kini Ify yang balik memperhatikan gadis kecil itu.
Sesuap. Dua suap. Kali ketiga, Fify menghentikannya makannya. Menjauhkan piring dan meminum seteguk minumannya. Setelah itu ia melipat kedua tangan di meja dan menatap Ify lagi. Ify mengernyit tak mengerti. “Kenapa ga dihabisin?” tanyanya seraya menunjuk piring makanan yang dimakan Fify. Lagi, gadis kecil itu menggeleng. Akan tetapi, tiba-tiba ia menoleh ke belakang sambil mengangkat tangan memanggil pelayan. Persis seperti yang Ify lakukan tadi.
Ify masih bengong. Setidaknya, lihat dulu apa yang mau dilakukan Fify, pikirnya. Pelayan tersebut datang dan memberikan buku menu kembali karena Fify memintanya. Telunjuk Fify menunjuk menu lagi, menu lain dari yang ia pesan sebelumnya. Ify makin dibuat bengong. Tapi, masih ada sedikit kesadarannya untuk menanyakan pada Fify nasib makanan dan minumannya yang belum ia habiskan. “Loh, makanan kamu yang ini gak dimakan?”
Fify menggeleng. Ia menepuk perutnya sekali. Bukan lapar. Tapi kenyang. Eh tapi...ah sudahlah, mungkin anak kecil emang kayak gini. Batin Ify mencoba maklum. Terpaksa ia mengangguk pada si pelayan yang sudah ketiga kalinya datang ke meja tempatnya dan Fify. Ada rasa tidak enak, tapi ya mau apalagi? Untunglah, si pelayan masih ramah melayani. Bisa dikategorikan dirinya sebagai pelayan ‘baik hati’. Ia kembali ke tempat kerjanya dan menyerahkan memo pesanan Fify pada rekannya yang lain, yang menangani hal itu.
Dalam masa penantian makanan, Fify memandangi Ify lagi. Kali ini Ify balas menatap Fify bingung. Tak mengerti dengan apa yang ada dalam benak gadis kecil di depannya. “Beneran udah kenyang?” tanya Ify, sedikit memajukan tubuhnya ke arah Fify. Fify mengangguk dan tak ada suara yang keluar. Ify terlihat belum puas. Kalau sudah kenyang, kenapa pesan lagi?
“Terus, kenapa pesan makanan lagi?” Pertanyaan Ify berikutnya hanya membuahkan diam. Fify tak bergeming, hanya menatap Ify. secara bersamaan, pelayan yang sudah 3 kali datang ke tempatnya, kembali datang untuk ke 4 kali. Masih dengan makanan pesanan di tangannya. Semua tentu disodorkan ke arah Fify. Setelah pelayan ‘baik hati’ tadi kembali, barulah Fify mulai menyantap. Ify menghitung benar-benar suapan yang masuk ke mulut gadis kecil itu. jika tidak sampai 3 sendok, berarti ada kemungkinan Fify tidak menghabiskan makanannya lagi. Dan kemungkinan juga..akan memesan menu baru.
Ya! sudah memasuki suapan ke 10. Sudah, Ify sudah tenang. Fify pasti akan menghabiskan makanannya kali ini. minumannya juga sudah tinggal setengah. Hhh..Ify menghunus nafas lega. Ia mengambil kesempatan untuk bersender di kursi tempatnya duduk. Tapi tiba-tiba, Fify berhenti makan. Setelah meminum seteguk, ia mengangkat tangan lagi. Ify bangkit dari senderannya otomatis. Matanya agak melebar. Kaget. Yang pertama masih banyak, yang kedua masih setengah, sekarang mau tambah lagi? Yakin setiap anak-anak kayak gini?
Tanpa sadar, Ify menggelengkan kepala takjub. Pelayan ‘baik hati’ tadi ternyata benar-benar baik hati. Ia masih saja mengurai senyum ketika disuruh kembali untuk ke 6 kali ke meja Ify. Ify makin tidak enak hati. Fify, gadis cilik itu pasti mengerjainya. Kalau tidak, mana mungkin ia memesan sebanyak sekarang tanpa dihabiskan dulu satu-persatu.
Lantas, direbutnya buku menu yang awalnya ingin diberikan kepada Fify. Sedikit kekesalan menyerubungi nada suaranya. “Habisin dulu yang ini, baru kamu boleh nambah!” Larangnya tegas. Agak sedikit menggertak. Alhasil, meskipun agak, tapi sudah mampu membuat Fify bergidik ketakutan. Wajahnya mendadak pucat dan sejurus kemudian menangis. lalu turun dari kursi dan pergi tanpa menunggu Ify. Ify lantas dirundung rasa bersalah karena mungkin sudah terlalu keras. Ia juga tidak enak dengan si pelayan ‘baik hati’ karena secara tidak langsung, pelayan tersebut bolak-balik sisa-sia.
“Emm mbak, maaf sebelumnya. Tapi makanan ini dibungkus aja yaa. Ini sekalian uang ganti rugi energi mbak yang udah bolak-balik ke meja saya. Makasih mbak, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya!” ujar Ify dan kemudian berlari menyusul Fify yang sudah tidak kelihatan. Gadis kecil itu berlari cepat sekali. Raganya tadi menghilang setelah berbelok ke arah kanan di sudut sana, sudut restoran. Ify sedikit lega karena mendapat titik terang mengenai kemana arah pelarian Fify.
Mendekati sudut ruangan, suara tangisan Fify mulai terdengar. Meski samar-samar, tapi masih sampai di telinga Ify. Ify memperlambat tempo larinya menjadi berjalan. Ia tak langsung berbelok melainkan mengintip dahulu apa yang sedang Fify lakukan. Fify masih menangis. namun, gadis kecil itu tidak lagi sendirian. Seorang gadis dan seorang pemuda di sebelahnya, kira-kira usia mereka hampir sama dengan Ify, berada dekat dengan Fify, seperti sedang membujuk gadis cilik ini.
Si gadis terlihat berjongkok menyamakan posisi seraya tangannya mengelus-ngelus pipi Fify yang basah air mata. Si pemuda tak jauh beda. Suatu ketika, ia ikut berjongkok dan tersenyum begitu tenang, dan mampu menenangkan Fify dari apa yang membuatnya menangis. seolah sebuah hipnotis penenang yang ia berikan hingga Fify langsung diam dan ikut tersenyum. Ify melihat itu agak miris. Gadis tadi dapat dengan mudah membuat Fify tenang. Sementara dirinya malah membuat Fify menangis ketakutan.
Ia mengenal mereka. Bukan hanya Fify, tapi ketiganya. Gadis dan pemuda itu. 2 orang yang mulai ia hindari akhir-akhir ini. tapi, entah mengapa usahanya menghindar selalu gagal. Toh ia akan kembali dipertemukan. Seperti sekarang misalnya. Belum ada yang sadar ia mengintip diam-diam ketika tiba-tiba tangan Fify menunjuk ke arahnya. Mau tak mau Ify segera berbalik, menyembunyikan diri dari balik dinding. Lantas dilangkahkannya kaki menjauh. Tidak terlalu cepat. Terkesan santai.
Otaknya ikut berjalan. Dalam artian, berpikir mengenai 3 orang yang ia intip tadi. Seketika dirinya dibuat tidak bersemangat. Sama sekali tidak. Gadis yang bersama pemuda tadilah yang membuat semangatnya loyo. Gadis itu lebih baik. Dalam hati, Ify mengejanya berulang-ulang. Kata-kata itu seakan rumit, lebih rumit daripada ulangan matematikanya minggu lalu. Bahkan susah diingat layaknya hafalan sejarah. Butuh diulang beberapa kali.
Sekian detik ia melamun hingga sebuah panggilan berisi namanya sayup-sayup terdengar dan sedikit banyak membuat Ify beralih dari kegiatan mengejanya. Ia berhenti dengan kepala ditundukkan. Bukan karena takut, tapi karena ia sudah sangat-sangat tidak bersemangat melakukan apapun. Apalagi, sekarang, mau tidak mau ia harus melakukan sebuah pembicaraan meski singkat, dengan orang yang memanggil namanya tadi.
Ketika ia menghadap ke belakang, ada 3 pasang sepatu yang pertama kali ia lihat. Namun, dari ketiga pasang tersebut, ada 1 yang menarik perhatian. Bukan karena motif yg keren atau bermerk, tapi karena... Sepatunya!! Ini. ya. ini. eh tapi kok gue...kayaknya..
“KakFy!”
Ya Tuhan! Latah Ify dalam hati. Kaget sekaget-kaget umat (?) Dea, ya gadis itu Dea. Tapi< kekagetan Ify bukanlah karena gadis itu Dea, lebih-lebih dengan keberadaan Rio disebelahnya. Melainkan..ah mana mungkin itu Dea! Sangkal Ify berulang-ulang. Membuatnya tak bisa menahan gelengan keras dari kepalanya beberapa kali. “KakFy kenapa? kok geleng-geleng?” tanya Dea bingung. Rio pun lantas ikut bingung. Ify kelihatan aneh, pikirnya. Fify yg sedang digendong tak jauh beda.
Ify menggeleng sekali lagi. “Kamu..gak mungkin..” kata Ify, pelan namun terbata. Belum sempat kekagetannya terurai, muncul lagi seorang gadis yang datang dengan air muka dingin dan sepertinya marah. “Fify!” sentak gadis lain tersebut. Keempatnya –Ify, Dea, Rio dan tentunya Fify- menoleh serentak. Sebelum menoleh, Fify sudah lebih dulu tahu siapa gerangan gadis itu. dibuktikan dengan dirinya yang memutar kedua bola mata dan menoleh tidak semangat.
“Kakak..” cicit Fify. Ia langsung bergerak turun dari gendongan Rio dan mendekati gadis yg baru saja datan tadi, kakaknya. Gadis itu menarik Fify kuat dan agak melotot ke arahnya. “Daritadi kakak cari, rupanya disini.” Omel gadis itu. lalu menatap 3 muda-mudi di hadapannya, yg tadi bersama dengan adiknya. Menatap dengan penuh kekesalan. Seolah-olah menganggap bahwa ketiga orang tersebut sudah membuatnya susah, tidak mengetahui betapa panik dan susahnya ia beberapa jam ini mencari Fify.
“Ayo pulang!” dingin gadis itu. fify mau tidak mau menurut, meskipun sedikit ogah untuk beranjak. Pada akhirnya Fify dan kakaknya pergi tanpa meninggalkan kesan sopan di akhir perjumpaan. Sementara itu, Ify mematung. Ia kembali memperhatikan sepatu namun bukan hanya sepatu Dea, melainkan sepatu gadis tadi. Ah ia baru ingat. Gadis itu yg beberapa malam lalu hampir ia tabrak. Dan juga...astaga! dia gadis yg waktu itu di perpustakaan. Yg kelihatannya jutek banget sama gue. Atau jangan-jangan...
“ah tahu ah!” kesal Ify. ia pun ikut pergi. Tak peduli dengan Dea dan Rio, tak peduli ada Rio orang yg disukainya berdiri disana dan terpenting tak peduli dengan kebersamaan Dea dan Rio saat itu. ia sudah puyeng, jangan ditambah puyeng!
***
Malamnya Ify tak dapat duduk tenang. Semuanya seperti kacau. Banyak yang menganggu, banyak yang mengganjal dipikiran. Khususnya masalah sepatu. Sebenarnya..pemilik sepatu yg asli siapa? Kenapa banyak tokoh baru yang ‘mengaku-ngaku’? Aisshh... ify mengacak rambutnya sendiri. Dan kemudian bertopang dagu dengan siku dialas bantal. Sekali lagi, ia mencoba berpikir.
Belum sempat 2 menit memulai berpikir, ponselnya berdering. Ada 1 pesan masuk dari nomor tak dikenal. ‘Halo KakFy!’. Begitu bunyinya. Meski nomornya asing, tapi berdasarkan tipe sapaan yang ia baca, sepertinya Ify kenal siapa yg mengirim. Ify membalas cepat dan tak lama kemudian sebuah balasan datang. Dan benar dugaannya mengenai si pengirim, Dea. Namun, pesan kedua ini bunyinya aneh. Berakhir dengan sebuah pertanyaan janggal. ‘Kak, aku boleh nanya? Tentang kakYo...’
Rio? kening Ify mengkerut. Untuk apa tanya-tanya Rio? pikirnya. Ia membalas lagi. Agak lama ia menunggu lalu kemudian balasan kembali datang. Dan balasan itu cukup menohok, menendang kesadaran Ify akan perasaannya. membuatnya harus berpikir cepat dan mengambil keputusan yang tepat. ‘Kakak..suka sama kakYo?’ Hhh.. Ify mencoba mengatur nafas sambil bertanya-tanya dalam hati ‘apa yg harus gue jawab? Apa? Apa?’
Kalo gue jawab iya, itukan rahasia. Kalo misalnya enggak, berarti gue bohong dong? Terus kalo ternyata dia suka sama Rio gimana? Gue yang ngenes...
To : Dea :o
Kenapa kamu tanya gitu?
Send! Ify tak memilih menjawab. Ia harus tahu dulu alasan Dea menanyakan hal seprivate itu. dan tak lama Dea membalas. Yang ini, paling mengagetkannya..mungkin. ‘Aku mau jujur. Aku adeknya kakCha, Acha, cinta mati kakYo’ Nyess, jika hatinya itu berisi banyak udara, mungkin akan mengempes. Membaca tulisan ‘..Acha, cinta mati kakYo’ itu rasanya...hmm. ify mengatur nafas lagi. Mungkin lebih baik gue bilang gak suka..demi kelancaran pdkt gue juga kan? Batinnya menimang-nimang. Ya tidak ada salahnya..
‘Kakak gak suka sama kak Rio.’ Balas Ify kemudian. Setelah mengirim, ia mengangguk yakin. Ya, keputusannya benar. Balasan kali ini begitu cepat. Wajar, karena hanya berisi satu kata ‘Seriuuss?!!’ ditambah dengan smile diujung. ‘ya’ balas Ify singkat. 1 menit..2menit..bahkan sampai 5 menit Dea tak kunjung membalas. Fiuh! Ify lega, keputusannya tidak menimbulkan efek buruk. Ia hampir beranjak dari tempat tidur ketika sebuah deringan kembali berbunyi dari ponselnya.
‘Kak, aku seneng banget ternyata kakak gak suka sama kakYo. Aku jadi punya kesempatan :”D’ Dum! Seolah saat itu pula ada yang menjadikan jantung Ify sebagai drum dan memukulnya cukup keras, cukup membuatnya bergoncang hebat. Lagi, Ify menarik nafas, berusaha berpikir positif. Menyangkal anggapan yang menyakitkan jika benar. Berusaha tenang, Ify lalu membalas ‘Maksudnya?’.
Benar-benar, Ify tidak bisa tenang. Seperti cacing kepanasan, belatung dalam nangka. Mondar-mandir kesana-kemari sembari menunggu Dea membalas. Dan inilah puncaknya. Balasan Dea mempengaruhi kesejahteraan asmaranya esok. Tangan Ify sampai dingin. Matanya pun tertutup saat membuka balasan tersebut. Terlalu takut baginya membuka mata. Dan ketika ia melakukan itu, semua tenaga dalam tubuhnya seperti menghilang terserap angin malam.
‘Aku suka sama kakYo, cinta banget sama kakYo. Kakyo harus ada dalam kehidupan aku, jika bukan dengan kakCha, aku yg akan mengambil alih.’ What?!!! Bisakah gue mati hari ini, saat ini juga?!!
***
Gadis harajuku itu kembali duduk di rerumputan taman belakang sekolah. Kesannya ia sedang menunggu seseorang, padahal tidak. Ia sedang duduk tenang, termenung. Masih dan mungkin akan selalu berkaitan dengan kalung. Tadi ia sempat melepas kalung abadinya itu dan sekarang hanya menatapi benda tersebut. Terkadang ia menghela nafas. Terkadang hatinya merutuk kadang pula terenyuh. Hmm..sampai kapan ia seperti ini?
“Kalung lagi kalung lagi ckck..” sahut seorang pemuda yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya, dengan kedua tangan di saku celana dan menghadap membelakangi. Gadis harajuku itu tahu siapa itu, tapi ia tidak peduli. Meski pemuda itu sempat ia cari tahu akhir-akhir ini, sempat dicurigainya sebagai orang yang ia cari selama ini, tapi itu semua akan ia akhiri sekarang. Pemuda itu berbeda. Benar-benar berbeda dari orang yang ia pikirkan, yang ia inginkan.
Cakka, pemuda tadi, berbalik badan menghadap gadis yang ia belakangi tadi, gadis harajuku, Agni. Gadis itu menunduk, masih termenung menatap kalung. Hh, apasih kalung itu? ia juga punya kalung, tapi tidak separah itu, menatapnya terus-terusan. Pikir Cakka. Ia maju selangkah. “Kalung itu apa sih? Seandainya hilang, apa lo bakal nangis darah? Hah?” rutu Cakka, kesannya ia menyalahkan dan memarahi Agni yang terus-terusan berurusan dengan kalung.
Agni mendongak, menatapnya geram. Masih sempat ia berpikiran bahwa pemuda di depannya ini ingin meminta maaf. Padahal belum berlalu beberapa hari, pemuda itu meneleponnya dan disana Cakka meminta maaf. Apa mungkin yang meneleponnya itu orang lain? Ataukah Cakka yang memiliki sifat seorang Cakka dan orang lain? Entahlah, ia tidak mengerti dan memang sulit untuk dimengerti.
“Gue muak sama lo! Mulai sekarang, anggap aja kita gak pernah kenal! Puas!” Setelah itu< agni berlari pergi. Sementara Cakka diam di tempat. Sangat tidak diinginkannya gadis itu pergi. Ia ingin menahan Agni. Tapi, bagaimana? Sepertinya, jika berhadapan dengan gadis itu, kesalahannya akan selalu ada dan fatal.
***
“Viaaa, ngantin yok?” manja Iel. Baru-barunya ia seperti itu. Via lantas mengernyit heran. Kerasukan lagi? Setan dalam tubuh tuh cowok ada berapa sih? Batinnya seraya garuk-garuk kepala. iel pun berjalan ke meja Via dan Ify. ify tampak termenung di sebelah Via, sementara Via masih sibuk mencatat beberapa meteri yang belum sempurna tersalin di catatannya.
Set! Iel merebut pena yang Via gunakan. Kejadian ini terulang. Iel mengambil barang-barangnya membawa kabur lalu mengembalikannya kembali dan kemudian mengabaikannya..ia dan barang-barangnya. Sssst, tidak usah diingat lagi Via! Sangkal Via dalam hati. Lantas, ia menutup buku dan beralih ke Ify. hari ini gadis itu sedikit aneh, sepanjang pelajaran tidak berbicara. Antara serius memperhatikan atau malah melamun. Mungkin yang kedua lebih besar peluang benarnya.
“Hoi pi! Ngantin gak?” sentak Via dengan menyenggol dikit lengan gadis itu. ify terkejut. Seperti baru bangun dari fantasi yang ia jalani beberapa jam ini. “Hah? Ee..” Ia melihat sekeliling kelas dan kosong. Hanya tinggal mereka bertiga. Ia mencuri pandang ke arah bangku Rio, pemuda itu tidak ada disana, hanya bangku kosong dan sebuah buku tulis yang ada di mejanya. Hh..ify menghela nafas panjang.
“Kayaknya gue ke perpus aja deh, pengen nenangin diri. Gue cabut dulu!” lesu Ify. lantas beranjak dari tempatnya dan keluar kelas. Perpustakaan mungkin akan mulai menjadi sasaran pelariannya disaat-saat random seperti ini.
***
“Aku suka sama kakak, hehe..”
Krek!
Seperti bunyi sesuatu yang patah. Ya, ada yang patah, disini! Hati gue! Dan gue gak tahu harus pake lem yang mana.. lirih Ify dalam hati. Meski baru sebaris kalimat itu yang ia dengar, dan mungkin hanya sebaris itu yang sanggup ia dengar nantinya, akan tetapi kekuatan penghancurannya lebih-lebih dari bom atom nuklir di hirosima-nagasaki. Apa dengan itu tandanya...ia akan melepas Rio? secara selama ini, meski baru beberapa hari ini ia melakukan pengamatan dan penilaian, Dea jauh lebih baik darinya. Jauh lebih tahu siapa Rio, bagaimana Rio dan tentunya bagaimana hati Rio.
Tapi, apa ia sanggup melepas Rio? yang sudah berhasil ia ‘sentuh’ dengan susah payah? Apa benar ia sanggup? Mungkin...
***

Matchmaking Part 18


“Udahlah lo suka kan sama Agni....cewek gue?”
“HAH?!” Cakka kaget, matanya membelalak bak ingin meloncat keluar. Apa dia bilang? Agni..Kiki pacarnya Agni? Astaga!! Sekilas, Cakka tampak menggelengkan kepala. Raut wajahnya masih diluputi oleh rasa tidak percaya. Rasa tidak percaya bahwa...Agni sudah punya pacar??
Kiki tersenyum miring. Atau mungkin menyinisi respon Cakka yang seperti itu. “Iya, calon sih tepatnya..” sambung Kiki. Tanpa sadar, Cakka menghela nafas lega, selega-leganya. Cuma calon, meeen!! Hah? Kenapa sama gue? Sekali lagi, Cakka menggeleng. Apa yang ia dengar dan apa reaksi yang keluar darinya sama-sama tidak bisa dipercaya. “Dan sepertinya, dia ngasih pertanda yang baik ke gue,” kata Kiki bangga. Entah kenapa, Cakka ingin muntah mendengar kata-kata terakhir yang ia dengar dari pemuda itu.
Sorry bro, pertanda yang diberikan Agni jauh lebih baik ke gue! Bantah Cakka dalam hati. Kali ini, ia tak ingin pusing-pusing memikirkan reaksi yang keluar darinya. Biarlah, selama itu tidak terlalu mengganggu. Lagipula, bantahannya itu memang benar bukan? “Pertanda? Hh, emang dia ngapain? Ngucapin lo selamat pagi, selamat siang, selamat malam? Lo kira penyambut tamu apa? Haha..” Balas Cakka balik menertawai. Anehnya, bukannya kesal, Kiki justru ikut tertawa, terkekeh tepatnya. “Jadi..lo beneran suka sama Agni, kan? Haha..”
Telak. Cakka diam. Nah, terus, kenapa gue diem, heh? Sementara Cakka diam, berpikir sepertinya, diam-diam Kiki melempar bola basket yang dipegangnya tadi ke arah Cakka. Beruntung, Cakka tak butuh waktu lama menyadarkan diri. Bola tersebut ditangkapnya dengan mulus dan lantas dilemparkannya kembali ke arah Kiki. Sama, sesama pemain basket ini mampu menangkap lemparan bola dengan sangat mudah. Kiki tersenyum lagi.
“Kita bersaing!”
***
“Zaza? Bahaha, bagusan Zaza daripada nama lo Vi..” ledek Ify. Seharian penuh gadis ini diculik oleh Via demi menemaninya bercerita. Apalagi kalau bukan tentang dirinya atau mungkin sosok Zaza dalam dirinya, dengan Iel, orang yang membuatnya memunculkan sosok Zaza itu sendiri. Ify tak henti-hentinya tertawa sejak awal ia mendengar Via bercerita. Via melipat kedua tangan di dada serta mendelik ke arah sahabatnya itu. “Gue gak lagi ngelawak, Yem!” rutunya.
Berhasil. Mendadak Ify berhenti tertawa. Gadis itu justru balik mendelik ke arahnya. “Iss, jangan panggil gue Piem kenapa?!” Via yang tertawa sekarang. 1 sama! Ujar Via dalam hati. “Salah sendiri!” sungutnya. Lantas ia beranjak dari tempat tidur menuju toilet kamar. Sementara Ify dibiarkan terluntang-lantung di kasur dengan posisi amburadul. Tangan Ify dua-duanya menggenggam ponsel dengan jenis berbeda. Yang satu I-phone sedang yang satu lagi ponsel tipe Blackberry. Sama-sama milik Via.
Niat awal hendak melakukan pembajakan. Namun, tiba-tiba satu di antara 2 ponsel tadi berdering. Yang sekaligus mau tidak mau membatalkan niat jahil Ify barusan. Seseorang baru saja melakukan panggilan ke salah satunya, ke ponsel yang benar-benar Via gunakan setiap hari, ponsel pribadinya, BB torch miliknya. Yang mengagetkan adalah siapa pelaku pemanggilan tersebut. Iel. Ya, aneh kan? Baru kali ini pemuda itu menelepon, menelepon Via, di siang seperti ini lagi. Yang lebih wajar itu jika Iel menelepon Zaza, ke I-phone Via. Nah, ini?
“Siapa yang nelpon, Yem?” sahut Via yang tahu-tahu sudah naik ke atas tempat tidur. Ify memperbaiki posisi tidurnya dan sekarang sudah berubah menjadi duduk. Sejenak ia memandangi kedua ponsel Via bergantian. Bingung, kenapa ia bingung. Via yang melihat itu mendengus, lantas direbutnya satu dari dua benda yang dipandangi Ify bergantian. Ponsel yang ditamui oleh sebuah panggilan masuk, dari...
“GABRIEL?!” kaget Via. Matanya agak melotot meski masih terlihat agak sipit. Mulutnya terbuka sedikit mengikuti alur suasana terkejut dalam hatinya. Ify menoleh dan hanya diam. Tak ikut kaget. Karena ia masih bingung. Entahlah, gadis ini memang terkadang suka aneh-aneh (?). “Yaudah angkat,” cicit Ify akhirnya. Terlepas dari raut wajahnya yang masih menunjukkan tampang tak mengerti. Ia masih sempat berpikirlah tentang apa yang harus segera Via lakukan. Via mengangguk lemah dan tak lama setelah itu, ponsel yang ia rebut sudah menempel di telinga kanan.
“Halo..” Via diam. Ify ikut diam. Kening Via tampat berkerut-kerut. Membuat kening Ify juga ikut mengkert-kerut. Via yang tenggelam dalam dialog di telepon, sementara Ify sudah terjerumus ke dalam hal berlabel ‘bingung’. “Dimana?,” Via melihat jam tangannya sebentar lalu mendesah. “Oke!” sambungnya sekaligus menutup perbincangan mengkerutkan kening itu. Dilihatnya Ify yang menatapnya dengan tuntutan penuh agar ia menjelaskan apa yang terjadi. Dan sekali lagi, ia mendesah.
***
Shilla berjalan mondar-mandir di kamarnya. Seharian ini, perasaannya tak tenang. Pikirannya kusut dan otomatis mood-nya juga sedang tidak baik. Ia merasakan khawatir yang boleh dibilang besar. Dan yang membuat pikirannya mumetnya adalah ia tidak tahu apa yang ia khawatirkan. Ia berusaha memecahkan masalah tersebut hingga membuatnya mondar-mandir tak jelas. Dan, ya, hasilnya, ia belum mendapatkan titik terang sedikitpun.
Sejurus kemudian, ia memilih keluar kamar. Akan lebih baik memastikan apa-apa dan siapa saja yang berada di sekitarnya. Dan orang pertama yang ingin ia pastikan adalah Wiwid, Mamanya sendiri. “MA! MAMAA!!” suaranya bergema di setiap sisi rumah. Ia berteriak kencang sekali. Sampai-sampai suaranya itu terdengar sampai halaman depan rumahnya. Sudahlah, tidak patut dipedulikan. Yang ada dipikirannya saat ini hanya ‘apakah mamanya baik-baik saja atau tidak’. Itu yang harus ia pastikan.
“Maa! Mamaaa!” panggilnya lagi. Lebih rendah volume suaranya dari yang tadi. Dikarenakan Mamanya sudah memunculkan diri dari dapur. Mamanya mendekat keheranan. Aneh, kenapa tiba-tiba dirinya berteriak-teriak seperti itu. “Shilla, kenapa sih?” tanya Wiwid bingung. Bukannya menjawab, Shilla malah mendesah. Lega tepatnya, mengetahui orang pertama yang ia pastikan, ada dalam keadaan baik-baik saja. “Hehe, gak ada, Ma. Shilla cuma lagi badfeeling aja tadi. Sekarang juga sih..” cicit Shilla seraya garuk-garuk kepala.
“Emangnya ada apa?” tanya Wiwid lagi. Ia mengusap-ngusap kepala anaknya halus. Shilla hanya mengedikkan bahu. Dikarenakan ia juga tidak tahu ada apa dengannya saat ini. yang ia tahu, ia terus-menerus merasa khawatir. “Ya udah, kamu balik ke kamar gih! Coba bawa tidur, siapa tahu enakan nantinya.” Saran Wiwid. Shilla menurut dan mengangguk. Ia bergegas kembali ke kamar. Semoga saran mamanya benar dan membuahkan hasil. Semoga rasa khawatirnya segera menghilang deh!
***
“WHAT?! Gak, gue gak mau!” Via menolak keras. Pemuda di depannya benar-benar gila. Ya, bagaimana mungkin Iel, pemuda tersebut, menyuruhnya ikut andil dalam proses pemutusan hubungan pemuda itu dengan Pricilla? Apa urusannya dengan dirinya? Dan..kenapa harus GUE? Dumel Via dalam hati. Keras-keras dan penuh emosi. Apa maksud Iel sebenarnya? Pikir Via dalam-dalam.
“Iel memajukan tubuhnya hingga lebih condong ke arah Via sementara Via memilih menyandar pada badan kursi restoran tempatnya dan Iel berada sekarang. Ia melipat kedua tangan di dada dan memalingkan wajah yang pasti bukan menghadap Iel lagi. “Vi, tolonglah. Lo orang yang paling bisa bantu gue,” mohon Iel. Tetap saja, Via tak terenyuh. Ia makin bebal dan makin tidak setuju dengan ide gila si pemuda gila. “Cari cewek lain. Gue gak mau.” Tolaknya. Iel menghela nafas berat. “Masalahnya, satu-satunya cewek yang pernah Pricill liat ada sama-sama gue itu cuma lo..”
Via menoleh dan menatap Iel sejenak. Gue diperalat, heh? Ck, dibayar juga kagak! Batinnya. “Untungnya buat gue apaan?” Iel diam. kelihatannya ia sedang berpikir. Tentu, jawaban yang akan dikeluarkannya memang harus dipikirkan benar-benar kalau memang ia ingin Via membantunya. Jawaban penentu akhir kelanjutan perjalanan asmaranya. *halah* “Terserah lo deh ya, yang penting lo bantu gue. Mau kan? Ayolah Vi, tolongin gue kali ini aja..” Pinta Iel terakhir kali. Via memiringkan kepala sedikit menatapnya. Matanya memicing, ada yang sedang gadis itu curigai darinya.
“Ke..kenapa?” Iel mendadak salting. Jarang-jarang ia bertingkah seperti ini di depan gadis yang sedang menatapnya, lebih-lebih di hadapan Via. Ia menggaruk tengkuknya jengah. “Lo..punya selingkuhan ya?” Kening Iel mengkerut. Tak ada yang salah sih dari pertanyaan Via itu, sebenarnya. Hanya mungkin, ada yang perlu direvisi atau barangkali ditambahkan ke dalamnya. Jika Via bertanya ‘Lo punya calon selingkuhan ya?’. Nah, itu jauh lebih tepat.
Yup, alasannya untuk memutus hubungan dengan Pricilla adalah karena ia sudah berpindah ke lain hati. Ah tepatnya, ia baru menemukan hati yang benar-benar sesuai dengan hatinya. *bahasanyaaneh-_-* Jadi, tidak bisa dikategorikan dengan selingkuh juga. “Gue bukan selingkuh..tapi..” katanya menggantung, disambut dengan picingan makin menajam dari Via. “Gue cuma ingin nyoba serius, sama orang yang bikin gue punya perasaan serius..” lanjut Iel. “Sama aja artinya lo selingkuh, kan?” sungut Via.
Iel menarik nafas mencoba mengatasi sesak di dada yang mendadak memenuhi.  “Gue gak selingkuh!” katanya, sekali lagi, pelan namun amat sangat tegas kalau dicermati. Hal itu cukup untuk membuat Via tersentak dan agak kaget. Tatapan Iel padanya saat ini jauh berbeda dalam keseharian pemuda itu jika bertemu pandang dengannya. Apa pemuda itu benar-benar dalam zona keseriusan sekarang? Pikir Via masih antara percaya dan tidak percaya. “Gue..pengen serius Vi, gak mau main-main lagi..” Iel kembali berujar dan kembali membuat Via tersentak kaget.
Pelan-pelan, Via berpikir, mencoba menebak-nebak apa yang sedang merundung benak pemuda di depannya. Sekaligus memikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap pemuda itu. hmm...apa mungkin memang tidak ada salahnya ia menyumbang bantuan? Pikir Via berulang-ulang. Sedang Iel, ia kembali menarik nafas. Lantas dilemparnya tatapan memelas ke arah Via berharap gadis itu akan mengeluarkan kata-kata indah sesuai harapannya. “Jadi..gimana?”
***
Jam menunjukkan bahwa sekarang tepat pukul 3 sore. Alvin baru saja pulang dari sekolah, tepatnya masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Hari ini, mood-nya benar-benar baik. Gadis pengganggu yang beberapa waktu ini menghantuinya tidak menampakkan diri di depannya. Kehidupannya terasa damai sekali tanpa kemunculan gadis tersebut. Siapa lagi kalau bukan Febby. Ia benar-benar bersyukur atas adanya hari ini. Ia bahkan hampir tidak pernah melihat gadis freak itu dimanapun, setiap ia melangkahkan kaki menjajaki tempat-tempat di sekolahnya.
Meski begitu, hatinya merasakan janggal juga. Ia merasa ada yang aneh dengan febby. Seperti bukan Febby. Sorot mata gadis itupun tak kalah aneh. Dingin, datar tapi kelihatan begitu lelah dan tersiksa. Dan juga, penampilan Febby agak sedikit berbeda. Rambutnya diikat asal-asalan, seperti tidak disisir malah. Baju yang dia kenakan juga agak longgar, tidak nge-pas seperti biasa. Lalu, terakhir, Febby memakai rok panjang. Rok panjang! Bukan sesenti dua senti di bawah lutut. Melainkan semata kaki. Terlebih memakai rok panjang merupakan hal aneh bagi gadis-gadis yang bersekolah di sekolahnya.
Hei! Sejak kapan Alvin memperhatikan Febby seperti ini? Sampai se-detail ini? Astaga! Alvin menggeleng keras. Mencemooh apa yang kini berputar-putar di otaknya. Hmm..memikirkan hal yang satu itu ternyata mampu membuatnya haus. Tapi, maklum sih. Sehabis bermain futsal di sekolahnya tadi, ia belum meminum setetes air pun. Ia buru-buru pamit pulang. Sejujurnya, ia takut kalau tiba-tiba banyak gadis-gadis berdatangan mengerubunginya. Wajar dengan siapa dirinya di mata orang-orang, khususnya gadis-gadis.
Ada sebuah warung di pinggir jalan sebelah kanan. Kebetulan, ada pula minuman segar yang dijajakan. Tak ada salahnya kalau ia mampir dan memberikan rezeki pada pemilik warung tersebut dengan membeli satu dari berbagai minuman yang dijual. Alvin kemudian memberhentikan mobilnya dan memarkir di sisi kiri jalan yang berhadapan dengan warung. Setelah memastikan jalanan aman untuk disebrangi, Alvin setengah berlari menuju warung. Sudah ada seorang ibu-ibu yang sepertinya merupakan penjaga warung.
“Berapa?” tanya Alvin sambil mengangkat sebotol air mineral dingin di tangan dan menunjukkannya pada ibu-ibu penjaga. Si Ibu menyembulkan 3 jarinya yang merupakan pemberitahuan pada Alvin akan harga dari air mineral yang ingin dibelinya. 3 ribu rupiah. Begitulah maksud si ibu-ibu. Alvin merogoh sakunya mengambil dompet. Lalu, mengeluarkan selembar uang 2 ribuan dan selembar uang seribuan. Lantas diberikannya kepada Ibu-ibu penjaga. Ibu tersebut sempat mengucapkan terimakasih, sesaat sebelum Alvin pergi meninggalkan warung.
Jalanan agak lengang. Tapi, baguslah. Alvin tak perlu susah-susah menunggu hingga sepi.
“ M A S  A W A S ! ! ! ”
***
“Mau pesan minuman, mbak?” Pelayan laki-laki itu masih setia mendatangi meja tempat Ify berada, menanyakan perihal pesanan Ify atau mungkin apakah Ify mau memesan. Ini sudah ketiga kalinya ia datang. Dan ketiga kalinya pula Ify menggeleng, menandakan, kali ini juga bukan waktu gadis itu memesan. Ia lantas hanya tersenyum dan kemudian berjalan ke meja lain yang baru didatangi. Hal seperti ini sudah teramat biasa baginya. Pengunjung yang memang hanya sebatas berkunjung tanpa ada niat menyapa apa yang dijajakan di tempat yang dikunjunginya.
Sekarang hanya tinggal Ify, jika dihitung dari pelayan dan Ify saja. Kedua sikutnya menyentuh meja dengan telapak tangan menopang dagu. Pandangan ia arahkan sepenuhnya ke meja yang berada agak jauh di depannya. Diduduki oleh seorang gadis seusianya dan seorang pemuda yang juga seusia dengannya. 2 orang itu terlihat sedang mengobrol serius. Sang gadis menyilang kedua tangan di depan dada dan memalingkan wajah. Mereka ngobrolin apaan sih? Lamaaaaa! Batin Ify menggerutu.  
Sedari tadi dengan pekerjaan memperhatikan kedua orang tersebut, rasanya bosan juga. Itulah yang diendap benak Ify sekarang. Ia berniat berjalan-jalan sebentar dan akan kembali jika sudah mendapat panggilan untuknya kembali dari Via, gadis yang mengobrol bersama pemuda yang ia perhatikan. Susur-disusuri, belum ada satu tokopun yang Ify masuki. Tangannya juga masih enteng, belum membawa satu barang belanjaan pun. Sejadinya ia hanya melihat-lihat. Kalau kata orang-orang, biasa menyebutnya dengan cuci mata.
Langkah Ify terlihat satu-satu. Sambil kepalanya yang bergerak-gerak ke kanan-kiri melihat barang-barang yang ada di mall tempatnya sekarang. Sekalipun tidak pernah ia menoleh ke arah depan. Alhasil..
BUK!
Seorang lelaki paruh baya, agak lebih tua dari papanya mengingat rambut lelaki itu yang terlihat agak memutih, tak sengaja bertabrakan dengannya. Bungkusan plastik berisi buku-buku milik lelaki tersebut terjatuh akibat aksi tabrakan tersebut. Ify menggapai bungkusan plastik yang tergeletak di lantai itu lebih dulu. Sedikit rasa bersalah menerpanya maka dari itu dirinyalah yang seharusnya mengambilkan bungkusan tersebut.
Alih-alih mengambil, tak sengaja matanya melihat sepasang kaki dengan sepasang sepatu yang menyelubunginya. Sepasang sepatu yang kian membekas di otaknya. Yang sempat Ify biarkan begitu saja, namun kini mulai menarik minat untuk dicari tahu. Ada sepasang sepatu lagi yang menemani di sampingnya. Ify menegapkan badan segera dan mengembalikan bungkusan plastik yang ia ambil kepada sang pemilik. Lelaki tersebut menerima langsung dan kemudian pergi setelah mengucapkan kata maaf atas insiden yang baru saja terjadi antara dirinya dan Ify.
Ify sendiri hanya mengangguk tanpa ikut-ikutan meminta maaf. Ia dihampiri kesibukan baru mencari-cari dimana keberadaan sepasang sepatu tadi. Karena tadi sempat menghilang dari penglihatannya. Matanya menilik satu-persatu sepatu yang ada di sekelilingnya. Tak ada satupun sepatu yang ia cari. Kakinya menyicit namun ada kalanya terlihat berlari kecil. Berulang kali desahan kecewa dari mulutnya keluar karena tak jua menemukan apa yang ingin ia temukan. Ayolaah, tadi kayaknya udah deket banget! Pikir Ify.
Dan..ya! Itu dia! Ify menangkap sosok pemilik sepatu tersebut adalah seorang gadis dan kini memasuki bagian kebutuhan sehari-hari. Gadis itu jika dilihat-lihat semakin lama semakin tidak asing. Ify merasa pernah melihat tampak belakang seseorang yang seperti itu. Apa ia pernah bertemu? Seingatnya sih tidak pernah, tapi sepenglihatannya pernah. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia harus mengetahui wajah gadis itu. Kebetulan, kalau wajah, Ify agak mudah mengenali meski tidak terlalu.
Banyak rak-rak berbagai barang yang ia lewati. Dan tiba-tiba saja, gadis pemilik sepatu berbelok dan raganya menghilang di balik salah satu rak. Ify buru-buru menyusul. Tapi, tunggu dulu. Sepertinya ada yang aneh. Ia mundur beberapa langkah dan tampaklah seorang anak kecil, perempuan, berdiri dengan pipi basah seperti habis menangis. Bahkan sekarang masih terlihat menangis. Ify kaget, badannya agak terdorong ke belakang karena itu. Ia bingung dengan anak kecil tadi yang sekarang justru menatapnya dengan tatapan sendu. Menguak rasa iba Ify untuk menghampirinya.
Ah, tapi Ify sendiri masih harus mencari tahu perihal gadis pemilik sepatu. Bagaimana ini? Mana yang harus didahulukannya? Gadis pemilik sepatu atau justru anak kecil di depannya ini? Bimbang. Kaki Ify bergerak maju mundur. Hendak pergi menyusul si gadis atau menghampiri anak perempuan tadi. Gadis tadi..ah bukannya gue masih bisa nyari dia di sekolah? Tiba-tiba hal itu melintas di pikirannya. Yang sangat membantu Ify menentukan keputusan saat ini. Baiklah, sepertinya anak perempuan ini tersesat. Tidak ada salahnya untuk dibantu dicarikan dimana keberadaan kedua orangtuanya.
Akhirnya, Ify memutuskan menghampiri si anak kecil. Masih menangis. Apalagi dengan Ify yang menghampiri. Anak perempuan itu seolah menemukan orang untuk mengungkapkan segala gundah. Terbukti, saat Ify merunduk dengan salah satu tangan memegang bahu si anak, tangisan anak tersebut malah semakin deras. “Eh kenapa nangis?” Ify tersentak. Ia agak bingung dibuatnya. Apa anak perempuan itu menangis karena dihampiri olehnya? Apa dirinya terlihat begitu menyeramkan? Pikir Ify polos. Sebelah tangannya yang kosong tanpa memegang apapun mulai bergerak-gerak jemarinya seperti memilin-milin sesuatu. Yap, perasaan takutnya mulai meningkat.
“Fify?” tanya Ify memastikan nama pada kalung yang anak itu pakai adalah milik anak itu. Fify, anak di depannya itu pun mengangguk mengiyakan. Ify tiba-tiba terkikik. Bukan tanpa sebab, tapi, lucu saja karena ada seorang anak kecil yang mempunyai kemiripan nama dengan namanya. Melihat Ify terkikik, Fify mendadak bingung. Lalu, ia pula yang tiba-tiba terkikik. Ify yang melihat itu seketika diam. Ada apa dengan anak ini? Tanyanya dalam hati. Karena ditatap penuh tanda tanya, Fify lantas diam, balik menatap Ify dengan lebih dari seribu tanda tanya.
“Kenapa ketawa?” tanya Ify masih menatap Fify bingung. Kening Fify mengkerut lalu tersenyum polos. “Karena kakak ketawa,” Hening. Lalu tiba-tiba, keduanya serentak tertawa. Haduh-haduh, mereka memang aneh -,-
***
Ruang dengan nuansa serba putih. Ada sebuah tempat tidur di tengah-tengah dan kiri-kanannya terdapat lemari kecil tempat barang-barang. Sebuah tiang penyangga botol infus berdiri tegap di depan salah satu dari lemari kecil tadi. Seorang pemuda, dengan beberapa luka lecet di tangan serta kakinya yang diperban, terbaring dengan mata tertutup di tempat tidur disana. seorang gadis seusianya berdiri bersama seorang dokter yang menanganinya, juga berdiri di samping tempat tidur yang ia tempati. Si gadis kelihatan tidak begitu khawatir. Meski begitu, dalam benaknya, ia juga membutuhkan informasi apakah pemuda yang sedang terbaring itu baik-baik saja atau tidak.
“Dia tidak apa-apa, dok?” tanyanya pada dokter. Dokter tersebut melihat lembaran-lembaran kertas di depannya. Hasil pemeriksaan tentang kondisi si pemuda. “Lukanya tidak parah. Hanya butuh istirahat panjang sampai proses pemulihan pada kakinya selesai.” Jelasnya. Si gadis tak berkomentar. Ia hanya menarik nafas sambil terus menatap si pemuda. Sorry..tapi gak ada jalan lain. Semoga berhasil! Batinnya sekaligus berdoa.
Cklek..
Pintu kamar terbuka. Masuk seorang pemuda lain dan dengan cepat menggapai posisi di sebelah si gadis. “Gimana Alvin? Kapan sadarnya?” tanyanya beruntun. Si gadis hanya mengedikkan bahu. Pandangannya masih tetap mengarah pada tempat tidur, seseorang yang terbaring di sana. Pemuda yang baru masuk tadi menoleh ke arahnya. Lalu, tiba-tiba, pemuda tadi merangkul serta ada sebuah bisikan yang terdengar di telinga. “Lakukan tugas lo dengan baik. Jangan pikirin gue!” bisikan dari pemuda tersebut membuatnya agak merinding.
Kemudian, pemuda itu pun tersenyum ke arahnya. Si gadis menoleh dan menatap pemuda yang merangkulnya datar. Lantas, dikedikkan bahunya sekali lagi dan kembali menatap pemuda yang sedang terbaring. Alvin.
***
Suasana mall agak riuh. Tidak terlalu ramai karena ini bukan hari libur. Rio merendahkan topi yang ia kenakan hingga setengah wajahnya tertutupi. Hingga tak akan ada satu orang pun yang sadar bahwa dia, Mario Stevano si artis, sedang berjalan menyusuri bagian dalam mall tempatnya menginjakkan kaki. Kecuali gadis berambut pendek di sebelahnya, Dea. Sebelumnya, tadi hingga ia bisa bersama Dea saat ini ialah karena Dea sendiri yang mengajak. Dengan alasan, sudah cukup lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Sejak..
“Kak, bentar lagi kak Acha balik loh!” seru Dea. Antusias sekali. Masih sama seperti dulu. Memang, apapun yang berkaitan dengan Acha, kakaknya, antusiasme Dea tak jarang terlihat. Bahkan dulu Rio sempat seantusias Dea. Dulu, sebelum..ah ia juga tidak tahu kapan. “Oh,” Kedengaran seperti tak ada niat. Bagi Dea, tentu aneh. Seorang Rio, yang ia tahu orang yang ingin sekali menjadi nomor satu bagi Acha, merespon seperti itu saat Dea sedang berkata yang berkaitan dengan orang yang juga merupakan nomor satunya itu, Acha.
“Udah lama ya rasanya..” Sekilas Dea melirik ke arah Rio. Sedang Rio sendiri masih tampak tak ada niat. “Hmm,” Hanya deheman yang keluar. Dea menyipitkan mata tak mengerti. “Kangen deh kita sama-sama lagi kayak gini..” Dea masih berusaha membuat Rio berhasrat. Namun, hasilnya masih sama. Gelora dalam hati Rio belum terjamah. “Kita?” sahut Rio tanpa menoleh ke arah Dea. Dea mengangguk berulang kali. “Iya, aku, kakYo dan KakCha! Semoga KakCha cepet pulang deh hehe..” ujar Dea penuh harap.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pemuda yang satu ini, Rio. Kalau dulu, mungkin, ia tak segan-segan mengamini harapan Dea barusan. Akan tetapi, untuk sekarang, jangan sampai! Akan lebih baik jika Acha terus berada bahkan menetap di Amerika. Jika gadis itu kembali, cerita ini akan berbeda akhirnya. Hatinya akan makin sulit. Ia pasti akan dilanda bingung besar dalam menentukan pilihan. Meski dalam kacamata orang lain, ia bisa saja dengan mudah memilih. Namun, yang memiliki hati adalah dirinya. Ia yang tahu mengapa ia akan merasa susah. Hanya dia, dia yang paling tahu. Tentu saja Tuhan juga.
“Loh itu kan..” Desis Rio. Keningnya mengkerut seiring mata yang dicoba lebih jelas melihat ke depannya. Dea yang merasa ada yang berbicara pun menoleh. Lantas mengikuti kemana arah mata Rio memandang. Seketika itu pula, keningnya ikut berkerut.
***
 Telunjuk Via bergerak mengetuk-ngetuk meja yang ia tempati. Sedang Iel di depannya, menatapnya penuh harap dan agak sedikit cemas. “Oke!”
Apa? Apa katanya? Tanya Iel dalam hati, seolah masih belum percaya bahwa Via mengiyakan permintaannya. “Ja..jadi lo mau, Vi?!” ujar Iel nyaris berteriak. Meski sudah terdengar agak keras. Via langsung merutuki tingkahnya mengingat beberapa orang di sekeliling mereka yang spontan menoleh ke arah mereka. Ada juga yang berbisik-bisik tak jelas. Apapun itu, yang dibicarakan mereka pasti bukanlah hal yang baik tentang mereka. “Ssst! Lo kira-kira kek kalo ngomong!” Sungut Via kesal. Iel menoleh ke sekeliling sejenak. Namun, sepertinya ia tidak peduli.
Iel memperbaiki posisi duduknya lalu memajukan badan serta menumpu sikut di meja. “Le serius kan?” tukas Iel. Via hanya berdehem. Ia malas untuk berbicara lagi. Rasanya, ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempatnya sekarang. “Aaah lo bisa diandalkan juga, Vi. Thanks ya!” Via mengernyit heran. Kesannya kok kayak babu ya? -,- pikir Via. Sekali lagi, ia hanya berdehem. Sudahlah, ia sudah terlanjur bersedia membantu. Mau apalagi? Otomatis, ia memang menjadi babu. Dalam artian, mengikuti setiap apa yang Iel rencanakan. Jadi babu dulu gapapa deh! Babu bahagiaa hahaha..
“Tapi..satu hal yang pengen gue tanya..” kata Via menggantung. Iel diam menunggu gadis itu berbicara lagi sambil memperhatikan lekat-lekat lekuk wajah Via yang jika makin lama dilihat makin..
“Gak percaya yang namanya cinta, apalagi cinta sejati. Karena faktanya, sifat manusia labil, suka berubah-ubah. Typical manusia itu, perasaan bisa hilang dan berganti kapan aja..Jadi, lo udah menanggalkan prinsip lo yang satu itu? You belive in...love?”
Hah? Iya juga, udah lama gue gak mikirin prinsip gue itu.. Batin Iel seketika. Ia mendengut lidah agak payah. Apa ya jawabannya? Hmm, apa mungkin Via benar...bahwa hatinya sudah mulai berubah? Entahlah, setidaknya ia tidak salah total. Manusia labil, suka berubah-ubah, perasaan bisa hilang dan berganti kapan saja.
***
Tuk..tuk..tuk
Satu jam sudah dilewati Cakka dan kegiatannya hanya merebahkan diri di atas tempat tidur. Ponselnya ia genggam erat sembari telunjuk yang mengetuk-ngetuk bagian atas samping benda tersebut. Bibir bawahnya -jika itu makanan- habis ia gigiti sedari tadi. Matanya tepat memandang ke arah langit-langit kamar sedang kepalanya digerayangi berbagai hal yang membuatnya berpikir keras. Memaksanya untuk melakukan sesuatu akan tetapi masih lumayan bertentangan dengan minat hatinya saat ini.
Cakka kemudian beralih fokus ke layar ponselnya. Mengeja sebuah nama yang tertera di sana. Agni. Hanya 4 huruf, namun cukup memusingkan. Apa..apa yang harus ia lakukan? Kembali, matanya memandang langit-langit hanya telunjuknya saja yang berhenti mengetuk. Hanya beberapa menit, karena setelah itu ia beralih lagi ke ponselnya.
***
Tujuan Ify kali ini bukan lagi menemukan siapa pemilik sepatu misterius itu, akan tetapi menemukan siapakah gerangan sang ibu dari anak kecil yang ia gandeng saat ini, Fify. Niat Ify ingin membawa gadis kecil itu ke bagian informasi. Namun, belum sampai setengah perjalanan, Fify menyuruhnya berhenti. Kemudian memegang-megang perut. Meski polos, tapi mimik memelas terdapat juga di wajahnya. Ia lapar.
Akan tetapi sepertinya Ify kurang mengerti bahasa tubuh Fify. Ia hanya menggaruk-garuk sebelah pelipisnya dan agak kebingungan. “Hah, perut kamu sakit?” tanyanya. Tentu saja Fify menggeleng. Jika satu jam ke depan Ify masih tidak mengerti dan bertanya seperti itu mungkin Fify akan mengangguk mengiyakan. Puk! Puk! Fify menepuk-nepuk perutnya lagi dan mengelusnya pelan. Kening Ify mengkerut. Namun, sejurus kemudian ia baru mengerti. Fify lapar.
“Lapar?” tanya Ify memastikan, menyusul dengan anggukan keras dari Fify. Ify tersenyum. Anak di depannya itu polos sekali. “Okey, kita cari makaaan!!” Seru Ify semangat. Lalu kemudian berjalan bergandengan dengan Fify kembali.
Tak berapa lama, mereka sampai di resto tempat Ify menunggu Via tadi. Masih di kursi yang sama. Terlihat pula Via dan Iel masih mengobrol panjang, mungkin. Ify lalu mengangkat tangan mengundang seorang pelayan untuk datang. Seorang wanita sekitar 5 tahun di atas Ify berjalan mendekat dengan buku menu di tangan. Ia lalu menyerahkan buku tersebut pada Ify dan juga Fify. “Kamu mau makan apa?” tanya Ify. Fify begitu serius melihat satu-persatu menu yang ada. Hingga telunjuknya bergerak menunjuk gambar salah satu ah 2 menu dari menu-menu yang ia lihat.
“Ya udah mbak, pesan ini sama minumnya ini satu ya!” kata Ify. Sang pelayan mengangguk mengerti dan mengambil kembali buku menu yang tadi ia berikan. Lantas ia kembali ke meja tempatnya berjaga sekaligus menyerahkan catatan perihal makanan dan minuman yang dipesan Ify.
Setelah kepergian waitress tadi, suasana mendadak hening. Ify dan Fify saling diam. meskipun, sejak tadi, Fify memperhatikan lekat-lekat wajah Ify. entah apa yang menarik. Akan tetapi, sekalipun, matanya tak pernah lari kemanapun, hanya kepada Ify. Ify sadar sih, tapi biasalah Ify. Agak kurang mengambil hati. Ia hanya membalas dengan senyum manis ke arah Fify. Tapi, lama-kelamaan Ify bosan juga. Duduk diam tanpa berbicara atau mengobrol apapun. Padahal ia tidak sendiri, ada Fify di depannya.
“Kenapa kamu bisa kesasar? Mama kamu tadi dimana?” tanya Ify basa-basi. Bukan basa-basi sih, memang itu yang seharusnya ia tanyakan sejak tadi, sejak pertama kali ia bertemu dengan Fify. Fify menggeleng tanpa ekspresi. Matanya terus menatap Ify. Ify menggaruk pelipisnya lagi. Ia tiba-tiba hilang ide, kehabisan pertanyaan. Beruntung, seorang pelayan datang mengantar pesanan. Perhatian Fify pun bukan padanya lagi. Kini Ify yang balik memperhatikan gadis kecil itu.
Sesuap. Dua suap. Kali ketiga, Fify menghentikannya makannya. Menjauhkan piring dan meminum seteguk minumannya. Setelah itu ia melipat kedua tangan di meja dan menatap Ify lagi. Ify mengernyit tak mengerti. “Kenapa ga dihabisin?” tanyanya seraya menunjuk piring makanan yang dimakan Fify. Lagi, gadis kecil itu menggeleng. Akan tetapi, tiba-tiba ia menoleh ke belakang sambil mengangkat tangan memanggil pelayan. Persis seperti yang Ify lakukan tadi.
Ify masih bengong. Setidaknya, lihat dulu apa yang mau dilakukan Fify, pikirnya. Pelayan tersebut datang dan memberikan buku menu kembali karena Fify memintanya. Telunjuk Fify menunjuk menu lagi, menu lain dari yang ia pesan sebelumnya. Ify makin dibuat bengong. Tapi, masih ada sedikit kesadarannya untuk menanyakan pada Fify nasib makanan dan minumannya yang belum ia habiskan. “Loh, makanan kamu yang ini gak dimakan?”
Fify menggeleng. Ia menepuk perutnya sekali. Bukan lapar. Tapi kenyang. Eh tapi...ah sudahlah, mungkin anak kecil emang kayak gini. Batin Ify mencoba maklum. Terpaksa ia mengangguk pada si pelayan yang sudah ketiga kalinya datang ke meja tempatnya dan Fify. Ada rasa tidak enak, tapi ya mau apalagi? Untunglah, si pelayan masih ramah melayani. Bisa dikategorikan dirinya sebagai pelayan ‘baik hati’. Ia kembali ke tempat kerjanya dan menyerahkan memo pesanan Fify pada rekannya yang lain, yang menangani hal itu.
Dalam masa penantian makanan, Fify memandangi Ify lagi. Kali ini Ify balas menatap Fify bingung. Tak mengerti dengan apa yang ada dalam benak gadis kecil di depannya. “Beneran udah kenyang?” tanya Ify, sedikit memajukan tubuhnya ke arah Fify. Fify mengangguk dan tak ada suara yang keluar. Ify terlihat belum puas. Kalau sudah kenyang, kenapa pesan lagi?
“Terus, kenapa pesan makanan lagi?” Pertanyaan Ify berikutnya hanya membuahkan diam. Fify tak bergeming, hanya menatap Ify. secara bersamaan, pelayan yang sudah 3 kali datang ke tempatnya, kembali datang untuk ke 4 kali. Masih dengan makanan pesanan di tangannya. Semua tentu disodorkan ke arah Fify. Setelah pelayan ‘baik hati’ tadi kembali, barulah Fify mulai menyantap. Ify menghitung benar-benar suapan yang masuk ke mulut gadis kecil itu. jika tidak sampai 3 sendok, berarti ada kemungkinan Fify tidak menghabiskan makanannya lagi. Dan kemungkinan juga..akan memesan menu baru.
Ya! sudah memasuki suapan ke 10. Sudah, Ify sudah tenang. Fify pasti akan menghabiskan makanannya kali ini. minumannya juga sudah tinggal setengah. Hhh..Ify menghunus nafas lega. Ia mengambil kesempatan untuk bersender di kursi tempatnya duduk. Tapi tiba-tiba, Fify berhenti makan. Setelah meminum seteguk, ia mengangkat tangan lagi. Ify bangkit dari senderannya otomatis. Matanya agak melebar. Kaget. Yang pertama masih banyak, yang kedua masih setengah, sekarang mau tambah lagi? Yakin setiap anak-anak kayak gini?
Tanpa sadar, Ify menggelengkan kepala takjub. Pelayan ‘baik hati’ tadi ternyata benar-benar baik hati. Ia masih saja mengurai senyum ketika disuruh kembali untuk ke 6 kali ke meja Ify. Ify makin tidak enak hati. Fify, gadis cilik itu pasti mengerjainya. Kalau tidak, mana mungkin ia memesan sebanyak sekarang tanpa dihabiskan dulu satu-persatu.
Lantas, direbutnya buku menu yang awalnya ingin diberikan kepada Fify. Sedikit kekesalan menyerubungi nada suaranya. “Habisin dulu yang ini, baru kamu boleh nambah!” Larangnya tegas. Agak sedikit menggertak. Alhasil, meskipun agak, tapi sudah mampu membuat Fify bergidik ketakutan. Wajahnya mendadak pucat dan sejurus kemudian menangis. lalu turun dari kursi dan pergi tanpa menunggu Ify. Ify lantas dirundung rasa bersalah karena mungkin sudah terlalu keras. Ia juga tidak enak dengan si pelayan ‘baik hati’ karena secara tidak langsung, pelayan tersebut bolak-balik sisa-sia.
“Emm mbak, maaf sebelumnya. Tapi makanan ini dibungkus aja yaa. Ini sekalian uang ganti rugi energi mbak yang udah bolak-balik ke meja saya. Makasih mbak, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya!” ujar Ify dan kemudian berlari menyusul Fify yang sudah tidak kelihatan. Gadis kecil itu berlari cepat sekali. Raganya tadi menghilang setelah berbelok ke arah kanan di sudut sana, sudut restoran. Ify sedikit lega karena mendapat titik terang mengenai kemana arah pelarian Fify.
Mendekati sudut ruangan, suara tangisan Fify mulai terdengar. Meski samar-samar, tapi masih sampai di telinga Ify. Ify memperlambat tempo larinya menjadi berjalan. Ia tak langsung berbelok melainkan mengintip dahulu apa yang sedang Fify lakukan. Fify masih menangis. namun, gadis kecil itu tidak lagi sendirian. Seorang gadis dan seorang pemuda di sebelahnya, kira-kira usia mereka hampir sama dengan Ify, berada dekat dengan Fify, seperti sedang membujuk gadis cilik ini.
Si gadis terlihat berjongkok menyamakan posisi seraya tangannya mengelus-ngelus pipi Fify yang basah air mata. Si pemuda tak jauh beda. Suatu ketika, ia ikut berjongkok dan tersenyum begitu tenang, dan mampu menenangkan Fify dari apa yang membuatnya menangis. seolah sebuah hipnotis penenang yang ia berikan hingga Fify langsung diam dan ikut tersenyum. Ify melihat itu agak miris. Gadis tadi dapat dengan mudah membuat Fify tenang. Sementara dirinya malah membuat Fify menangis ketakutan.
Ia mengenal mereka. Bukan hanya Fify, tapi ketiganya. Gadis dan pemuda itu. 2 orang yang mulai ia hindari akhir-akhir ini. tapi, entah mengapa usahanya menghindar selalu gagal. Toh ia akan kembali dipertemukan. Seperti sekarang misalnya. Belum ada yang sadar ia mengintip diam-diam ketika tiba-tiba tangan Fify menunjuk ke arahnya. Mau tak mau Ify segera berbalik, menyembunyikan diri dari balik dinding. Lantas dilangkahkannya kaki menjauh. Tidak terlalu cepat. Terkesan santai.
Otaknya ikut berjalan. Dalam artian, berpikir mengenai 3 orang yang ia intip tadi. Seketika dirinya dibuat tidak bersemangat. Sama sekali tidak. Gadis yang bersama pemuda tadilah yang membuat semangatnya loyo. Gadis itu lebih baik. Dalam hati, Ify mengejanya berulang-ulang. Kata-kata itu seakan rumit, lebih rumit daripada ulangan matematikanya minggu lalu. Bahkan susah diingat layaknya hafalan sejarah. Butuh diulang beberapa kali.
Sekian detik ia melamun hingga sebuah panggilan berisi namanya sayup-sayup terdengar dan sedikit banyak membuat Ify beralih dari kegiatan mengejanya. Ia berhenti dengan kepala ditundukkan. Bukan karena takut, tapi karena ia sudah sangat-sangat tidak bersemangat melakukan apapun. Apalagi, sekarang, mau tidak mau ia harus melakukan sebuah pembicaraan meski singkat, dengan orang yang memanggil namanya tadi.
Ketika ia menghadap ke belakang, ada 3 pasang sepatu yang pertama kali ia lihat. Namun, dari ketiga pasang tersebut, ada 1 yang menarik perhatian. Bukan karena motif yg keren atau bermerk, tapi karena... Sepatunya!! Ini. ya. ini. eh tapi kok gue...kayaknya..
“KakFy!”
Ya Tuhan! Latah Ify dalam hati. Kaget sekaget-kaget umat (?) Dea, ya gadis itu Dea. Tapi< kekagetan Ify bukanlah karena gadis itu Dea, lebih-lebih dengan keberadaan Rio disebelahnya. Melainkan..ah mana mungkin itu Dea! Sangkal Ify berulang-ulang. Membuatnya tak bisa menahan gelengan keras dari kepalanya beberapa kali. “KakFy kenapa? kok geleng-geleng?” tanya Dea bingung. Rio pun lantas ikut bingung. Ify kelihatan aneh, pikirnya. Fify yg sedang digendong tak jauh beda.
Ify menggeleng sekali lagi. “Kamu..gak mungkin..” kata Ify, pelan namun terbata. Belum sempat kekagetannya terurai, muncul lagi seorang gadis yang datang dengan air muka dingin dan sepertinya marah. “Fify!” sentak gadis lain tersebut. Keempatnya –Ify, Dea, Rio dan tentunya Fify- menoleh serentak. Sebelum menoleh, Fify sudah lebih dulu tahu siapa gerangan gadis itu. dibuktikan dengan dirinya yang memutar kedua bola mata dan menoleh tidak semangat.
“Kakak..” cicit Fify. Ia langsung bergerak turun dari gendongan Rio dan mendekati gadis yg baru saja datan tadi, kakaknya. Gadis itu menarik Fify kuat dan agak melotot ke arahnya. “Daritadi kakak cari, rupanya disini.” Omel gadis itu. lalu menatap 3 muda-mudi di hadapannya, yg tadi bersama dengan adiknya. Menatap dengan penuh kekesalan. Seolah-olah menganggap bahwa ketiga orang tersebut sudah membuatnya susah, tidak mengetahui betapa panik dan susahnya ia beberapa jam ini mencari Fify.
“Ayo pulang!” dingin gadis itu. fify mau tidak mau menurut, meskipun sedikit ogah untuk beranjak. Pada akhirnya Fify dan kakaknya pergi tanpa meninggalkan kesan sopan di akhir perjumpaan. Sementara itu, Ify mematung. Ia kembali memperhatikan sepatu namun bukan hanya sepatu Dea, melainkan sepatu gadis tadi. Ah ia baru ingat. Gadis itu yg beberapa malam lalu hampir ia tabrak. Dan juga...astaga! dia gadis yg waktu itu di perpustakaan. Yg kelihatannya jutek banget sama gue. Atau jangan-jangan...
“ah tahu ah!” kesal Ify. ia pun ikut pergi. Tak peduli dengan Dea dan Rio, tak peduli ada Rio orang yg disukainya berdiri disana dan terpenting tak peduli dengan kebersamaan Dea dan Rio saat itu. ia sudah puyeng, jangan ditambah puyeng!
***
Malamnya Ify tak dapat duduk tenang. Semuanya seperti kacau. Banyak yang menganggu, banyak yang mengganjal dipikiran. Khususnya masalah sepatu. Sebenarnya..pemilik sepatu yg asli siapa? Kenapa banyak tokoh baru yang ‘mengaku-ngaku’? Aisshh... ify mengacak rambutnya sendiri. Dan kemudian bertopang dagu dengan siku dialas bantal. Sekali lagi, ia mencoba berpikir.
Belum sempat 2 menit memulai berpikir, ponselnya berdering. Ada 1 pesan masuk dari nomor tak dikenal. ‘Halo KakFy!’. Begitu bunyinya. Meski nomornya asing, tapi berdasarkan tipe sapaan yang ia baca, sepertinya Ify kenal siapa yg mengirim. Ify membalas cepat dan tak lama kemudian sebuah balasan datang. Dan benar dugaannya mengenai si pengirim, Dea. Namun, pesan kedua ini bunyinya aneh. Berakhir dengan sebuah pertanyaan janggal. ‘Kak, aku boleh nanya? Tentang kakYo...’
Rio? kening Ify mengkerut. Untuk apa tanya-tanya Rio? pikirnya. Ia membalas lagi. Agak lama ia menunggu lalu kemudian balasan kembali datang. Dan balasan itu cukup menohok, menendang kesadaran Ify akan perasaannya. membuatnya harus berpikir cepat dan mengambil keputusan yang tepat. ‘Kakak..suka sama kakYo?’ Hhh.. Ify mencoba mengatur nafas sambil bertanya-tanya dalam hati ‘apa yg harus gue jawab? Apa? Apa?’
Kalo gue jawab iya, itukan rahasia. Kalo misalnya enggak, berarti gue bohong dong? Terus kalo ternyata dia suka sama Rio gimana? Gue yang ngenes...
To : Dea :o
Kenapa kamu tanya gitu?
Send! Ify tak memilih menjawab. Ia harus tahu dulu alasan Dea menanyakan hal seprivate itu. dan tak lama Dea membalas. Yang ini, paling mengagetkannya..mungkin. ‘Aku mau jujur. Aku adeknya kakCha, Acha, cinta mati kakYo’ Nyess, jika hatinya itu berisi banyak udara, mungkin akan mengempes. Membaca tulisan ‘..Acha, cinta mati kakYo’ itu rasanya...hmm. ify mengatur nafas lagi. Mungkin lebih baik gue bilang gak suka..demi kelancaran pdkt gue juga kan? Batinnya menimang-nimang. Ya tidak ada salahnya..
‘Kakak gak suka sama kak Rio.’ Balas Ify kemudian. Setelah mengirim, ia mengangguk yakin. Ya, keputusannya benar. Balasan kali ini begitu cepat. Wajar, karena hanya berisi satu kata ‘Seriuuss?!!’ ditambah dengan smile diujung. ‘ya’ balas Ify singkat. 1 menit..2menit..bahkan sampai 5 menit Dea tak kunjung membalas. Fiuh! Ify lega, keputusannya tidak menimbulkan efek buruk. Ia hampir beranjak dari tempat tidur ketika sebuah deringan kembali berbunyi dari ponselnya.
‘Kak, aku seneng banget ternyata kakak gak suka sama kakYo. Aku jadi punya kesempatan :”D’ Dum! Seolah saat itu pula ada yang menjadikan jantung Ify sebagai drum dan memukulnya cukup keras, cukup membuatnya bergoncang hebat. Lagi, Ify menarik nafas, berusaha berpikir positif. Menyangkal anggapan yang menyakitkan jika benar. Berusaha tenang, Ify lalu membalas ‘Maksudnya?’.
Benar-benar, Ify tidak bisa tenang. Seperti cacing kepanasan, belatung dalam nangka. Mondar-mandir kesana-kemari sembari menunggu Dea membalas. Dan inilah puncaknya. Balasan Dea mempengaruhi kesejahteraan asmaranya esok. Tangan Ify sampai dingin. Matanya pun tertutup saat membuka balasan tersebut. Terlalu takut baginya membuka mata. Dan ketika ia melakukan itu, semua tenaga dalam tubuhnya seperti menghilang terserap angin malam.
‘Aku suka sama kakYo, cinta banget sama kakYo. Kakyo harus ada dalam kehidupan aku, jika bukan dengan kakCha, aku yg akan mengambil alih.’ What?!!! Bisakah gue mati hari ini, saat ini juga?!!
***
Gadis harajuku itu kembali duduk di rerumputan taman belakang sekolah. Kesannya ia sedang menunggu seseorang, padahal tidak. Ia sedang duduk tenang, termenung. Masih dan mungkin akan selalu berkaitan dengan kalung. Tadi ia sempat melepas kalung abadinya itu dan sekarang hanya menatapi benda tersebut. Terkadang ia menghela nafas. Terkadang hatinya merutuk kadang pula terenyuh. Hmm..sampai kapan ia seperti ini?
“Kalung lagi kalung lagi ckck..” sahut seorang pemuda yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya, dengan kedua tangan di saku celana dan menghadap membelakangi. Gadis harajuku itu tahu siapa itu, tapi ia tidak peduli. Meski pemuda itu sempat ia cari tahu akhir-akhir ini, sempat dicurigainya sebagai orang yang ia cari selama ini, tapi itu semua akan ia akhiri sekarang. Pemuda itu berbeda. Benar-benar berbeda dari orang yang ia pikirkan, yang ia inginkan.
Cakka, pemuda tadi, berbalik badan menghadap gadis yang ia belakangi tadi, gadis harajuku, Agni. Gadis itu menunduk, masih termenung menatap kalung. Hh, apasih kalung itu? ia juga punya kalung, tapi tidak separah itu, menatapnya terus-terusan. Pikir Cakka. Ia maju selangkah. “Kalung itu apa sih? Seandainya hilang, apa lo bakal nangis darah? Hah?” rutu Cakka, kesannya ia menyalahkan dan memarahi Agni yang terus-terusan berurusan dengan kalung.
Agni mendongak, menatapnya geram. Masih sempat ia berpikiran bahwa pemuda di depannya ini ingin meminta maaf. Padahal belum berlalu beberapa hari, pemuda itu meneleponnya dan disana Cakka meminta maaf. Apa mungkin yang meneleponnya itu orang lain? Ataukah Cakka yang memiliki sifat seorang Cakka dan orang lain? Entahlah, ia tidak mengerti dan memang sulit untuk dimengerti.
“Gue muak sama lo! Mulai sekarang, anggap aja kita gak pernah kenal! Puas!” Setelah itu< agni berlari pergi. Sementara Cakka diam di tempat. Sangat tidak diinginkannya gadis itu pergi. Ia ingin menahan Agni. Tapi, bagaimana? Sepertinya, jika berhadapan dengan gadis itu, kesalahannya akan selalu ada dan fatal.
***
“Viaaa, ngantin yok?” manja Iel. Baru-barunya ia seperti itu. Via lantas mengernyit heran. Kerasukan lagi? Setan dalam tubuh tuh cowok ada berapa sih? Batinnya seraya garuk-garuk kepala. iel pun berjalan ke meja Via dan Ify. ify tampak termenung di sebelah Via, sementara Via masih sibuk mencatat beberapa meteri yang belum sempurna tersalin di catatannya.
Set! Iel merebut pena yang Via gunakan. Kejadian ini terulang. Iel mengambil barang-barangnya membawa kabur lalu mengembalikannya kembali dan kemudian mengabaikannya..ia dan barang-barangnya. Sssst, tidak usah diingat lagi Via! Sangkal Via dalam hati. Lantas, ia menutup buku dan beralih ke Ify. hari ini gadis itu sedikit aneh, sepanjang pelajaran tidak berbicara. Antara serius memperhatikan atau malah melamun. Mungkin yang kedua lebih besar peluang benarnya.
“Hoi pi! Ngantin gak?” sentak Via dengan menyenggol dikit lengan gadis itu. ify terkejut. Seperti baru bangun dari fantasi yang ia jalani beberapa jam ini. “Hah? Ee..” Ia melihat sekeliling kelas dan kosong. Hanya tinggal mereka bertiga. Ia mencuri pandang ke arah bangku Rio, pemuda itu tidak ada disana, hanya bangku kosong dan sebuah buku tulis yang ada di mejanya. Hh..ify menghela nafas panjang.
“Kayaknya gue ke perpus aja deh, pengen nenangin diri. Gue cabut dulu!” lesu Ify. lantas beranjak dari tempatnya dan keluar kelas. Perpustakaan mungkin akan mulai menjadi sasaran pelariannya disaat-saat random seperti ini.
***
“Aku suka sama kakak, hehe..”
Krek!
Seperti bunyi sesuatu yang patah. Ya, ada yang patah, disini! Hati gue! Dan gue gak tahu harus pake lem yang mana.. lirih Ify dalam hati. Meski baru sebaris kalimat itu yang ia dengar, dan mungkin hanya sebaris itu yang sanggup ia dengar nantinya, akan tetapi kekuatan penghancurannya lebih-lebih dari bom atom nuklir di hirosima-nagasaki. Apa dengan itu tandanya...ia akan melepas Rio? secara selama ini, meski baru beberapa hari ini ia melakukan pengamatan dan penilaian, Dea jauh lebih baik darinya. Jauh lebih tahu siapa Rio, bagaimana Rio dan tentunya bagaimana hati Rio.
Tapi, apa ia sanggup melepas Rio? yang sudah berhasil ia ‘sentuh’ dengan susah payah? Apa benar ia sanggup? Mungkin...
***