“Udahlah
lo suka kan sama Agni....cewek gue?”
“HAH?!” Cakka
kaget, matanya membelalak bak ingin meloncat keluar. Apa dia bilang? Agni..Kiki
pacarnya Agni? Astaga!! Sekilas, Cakka tampak menggelengkan kepala. Raut
wajahnya masih diluputi oleh rasa tidak percaya. Rasa tidak percaya
bahwa...Agni sudah punya pacar??
Kiki
tersenyum miring. Atau mungkin menyinisi respon Cakka yang seperti itu. “Iya,
calon sih tepatnya..” sambung Kiki. Tanpa sadar, Cakka menghela nafas lega,
selega-leganya. Cuma calon, meeen!! Hah? Kenapa sama gue? Sekali lagi, Cakka
menggeleng. Apa yang ia dengar dan apa reaksi yang keluar darinya sama-sama
tidak bisa dipercaya. “Dan sepertinya, dia ngasih pertanda yang baik ke gue,”
kata Kiki bangga. Entah kenapa, Cakka ingin muntah mendengar kata-kata terakhir
yang ia dengar dari pemuda itu.
Sorry bro,
pertanda yang diberikan Agni jauh lebih baik ke gue! Bantah Cakka dalam hati.
Kali ini, ia tak ingin pusing-pusing memikirkan reaksi yang keluar darinya.
Biarlah, selama itu tidak terlalu mengganggu. Lagipula, bantahannya itu memang
benar bukan? “Pertanda? Hh, emang dia ngapain? Ngucapin lo selamat pagi,
selamat siang, selamat malam? Lo kira penyambut tamu apa? Haha..” Balas Cakka
balik menertawai. Anehnya, bukannya kesal, Kiki justru ikut tertawa, terkekeh
tepatnya. “Jadi..lo beneran suka sama Agni, kan? Haha..”
Telak.
Cakka diam. Nah, terus, kenapa gue diem, heh? Sementara Cakka diam, berpikir
sepertinya, diam-diam Kiki melempar bola basket yang dipegangnya tadi ke arah
Cakka. Beruntung, Cakka tak butuh waktu lama menyadarkan diri. Bola tersebut
ditangkapnya dengan mulus dan lantas dilemparkannya kembali ke arah Kiki. Sama,
sesama pemain basket ini mampu menangkap lemparan bola dengan sangat mudah.
Kiki tersenyum lagi.
“Kita
bersaing!”
***
“Zaza?
Bahaha, bagusan Zaza daripada nama lo Vi..” ledek Ify. Seharian penuh gadis ini
diculik oleh Via demi menemaninya bercerita. Apalagi kalau bukan tentang
dirinya atau mungkin sosok Zaza dalam dirinya, dengan Iel, orang yang
membuatnya memunculkan sosok Zaza itu sendiri. Ify tak henti-hentinya tertawa
sejak awal ia mendengar Via bercerita. Via melipat kedua tangan di dada serta
mendelik ke arah sahabatnya itu. “Gue gak lagi ngelawak, Yem!” rutunya.
Berhasil.
Mendadak Ify berhenti tertawa. Gadis itu justru balik mendelik ke arahnya.
“Iss, jangan panggil gue Piem kenapa?!” Via yang tertawa sekarang. 1 sama! Ujar
Via dalam hati. “Salah sendiri!” sungutnya. Lantas ia beranjak dari tempat
tidur menuju toilet kamar. Sementara Ify dibiarkan terluntang-lantung di kasur
dengan posisi amburadul. Tangan Ify dua-duanya menggenggam ponsel dengan jenis
berbeda. Yang satu I-phone sedang yang satu lagi ponsel tipe Blackberry.
Sama-sama milik Via.
Niat awal
hendak melakukan pembajakan. Namun, tiba-tiba satu di antara 2 ponsel tadi
berdering. Yang sekaligus mau tidak mau membatalkan niat jahil Ify barusan.
Seseorang baru saja melakukan panggilan ke salah satunya, ke ponsel yang
benar-benar Via gunakan setiap hari, ponsel pribadinya, BB torch miliknya. Yang
mengagetkan adalah siapa pelaku pemanggilan tersebut. Iel. Ya, aneh kan? Baru
kali ini pemuda itu menelepon, menelepon Via, di siang seperti ini lagi. Yang
lebih wajar itu jika Iel menelepon Zaza, ke I-phone Via. Nah, ini?
“Siapa
yang nelpon, Yem?” sahut Via yang tahu-tahu sudah naik ke atas tempat tidur.
Ify memperbaiki posisi tidurnya dan sekarang sudah berubah menjadi duduk.
Sejenak ia memandangi kedua ponsel Via bergantian. Bingung, kenapa ia bingung.
Via yang melihat itu mendengus, lantas direbutnya satu dari dua benda yang
dipandangi Ify bergantian. Ponsel yang ditamui oleh sebuah panggilan masuk,
dari...
“GABRIEL?!”
kaget Via. Matanya agak melotot meski masih terlihat agak sipit. Mulutnya
terbuka sedikit mengikuti alur suasana terkejut dalam hatinya. Ify menoleh dan
hanya diam. Tak ikut kaget. Karena ia masih bingung. Entahlah, gadis ini memang
terkadang suka aneh-aneh (?). “Yaudah angkat,” cicit Ify akhirnya. Terlepas
dari raut wajahnya yang masih menunjukkan tampang tak mengerti. Ia masih sempat
berpikirlah tentang apa yang harus segera Via lakukan. Via mengangguk lemah dan
tak lama setelah itu, ponsel yang ia rebut sudah menempel di telinga kanan.
“Halo..”
Via diam. Ify ikut diam. Kening Via tampat berkerut-kerut. Membuat kening Ify
juga ikut mengkert-kerut. Via yang tenggelam dalam dialog di telepon, sementara
Ify sudah terjerumus ke dalam hal berlabel ‘bingung’. “Dimana?,” Via melihat
jam tangannya sebentar lalu mendesah. “Oke!” sambungnya sekaligus menutup
perbincangan mengkerutkan kening itu. Dilihatnya Ify yang menatapnya dengan
tuntutan penuh agar ia menjelaskan apa yang terjadi. Dan sekali lagi, ia
mendesah.
***
Shilla
berjalan mondar-mandir di kamarnya. Seharian ini, perasaannya tak tenang.
Pikirannya kusut dan otomatis mood-nya juga sedang tidak baik. Ia merasakan
khawatir yang boleh dibilang besar. Dan yang membuat pikirannya mumetnya adalah
ia tidak tahu apa yang ia khawatirkan. Ia berusaha memecahkan masalah tersebut
hingga membuatnya mondar-mandir tak jelas. Dan, ya, hasilnya, ia belum
mendapatkan titik terang sedikitpun.
Sejurus
kemudian, ia memilih keluar kamar. Akan lebih baik memastikan apa-apa dan siapa
saja yang berada di sekitarnya. Dan orang pertama yang ingin ia pastikan adalah
Wiwid, Mamanya sendiri. “MA! MAMAA!!” suaranya bergema di setiap sisi rumah. Ia
berteriak kencang sekali. Sampai-sampai suaranya itu terdengar sampai halaman
depan rumahnya. Sudahlah, tidak patut dipedulikan. Yang ada dipikirannya saat
ini hanya ‘apakah mamanya baik-baik saja atau tidak’. Itu yang harus ia
pastikan.
“Maa!
Mamaaa!” panggilnya lagi. Lebih rendah volume suaranya dari yang tadi.
Dikarenakan Mamanya sudah memunculkan diri dari dapur. Mamanya mendekat
keheranan. Aneh, kenapa tiba-tiba dirinya berteriak-teriak seperti itu.
“Shilla, kenapa sih?” tanya Wiwid bingung. Bukannya menjawab, Shilla malah
mendesah. Lega tepatnya, mengetahui orang pertama yang ia pastikan, ada dalam
keadaan baik-baik saja. “Hehe, gak ada, Ma. Shilla cuma lagi badfeeling aja
tadi. Sekarang juga sih..” cicit Shilla seraya garuk-garuk kepala.
“Emangnya
ada apa?” tanya Wiwid lagi. Ia mengusap-ngusap kepala anaknya halus. Shilla
hanya mengedikkan bahu. Dikarenakan ia juga tidak tahu ada apa dengannya saat
ini. yang ia tahu, ia terus-menerus merasa khawatir. “Ya udah, kamu balik ke
kamar gih! Coba bawa tidur, siapa tahu enakan nantinya.” Saran Wiwid. Shilla
menurut dan mengangguk. Ia bergegas kembali ke kamar. Semoga saran mamanya
benar dan membuahkan hasil. Semoga rasa khawatirnya segera menghilang deh!
***
“WHAT?!
Gak, gue gak mau!” Via menolak keras. Pemuda di depannya benar-benar gila. Ya,
bagaimana mungkin Iel, pemuda tersebut, menyuruhnya ikut andil dalam proses
pemutusan hubungan pemuda itu dengan Pricilla? Apa urusannya dengan dirinya?
Dan..kenapa harus GUE? Dumel Via dalam hati. Keras-keras dan penuh emosi. Apa
maksud Iel sebenarnya? Pikir Via dalam-dalam.
“Iel
memajukan tubuhnya hingga lebih condong ke arah Via sementara Via memilih
menyandar pada badan kursi restoran tempatnya dan Iel berada sekarang. Ia
melipat kedua tangan di dada dan memalingkan wajah yang pasti bukan menghadap
Iel lagi. “Vi, tolonglah. Lo orang yang paling bisa bantu gue,” mohon Iel.
Tetap saja, Via tak terenyuh. Ia makin bebal dan makin tidak setuju dengan ide
gila si pemuda gila. “Cari cewek lain. Gue gak mau.” Tolaknya. Iel menghela
nafas berat. “Masalahnya, satu-satunya cewek yang pernah Pricill liat ada
sama-sama gue itu cuma lo..”
Via
menoleh dan menatap Iel sejenak. Gue diperalat, heh? Ck, dibayar juga kagak!
Batinnya. “Untungnya buat gue apaan?” Iel diam. kelihatannya ia sedang
berpikir. Tentu, jawaban yang akan dikeluarkannya memang harus dipikirkan
benar-benar kalau memang ia ingin Via membantunya. Jawaban penentu akhir
kelanjutan perjalanan asmaranya. *halah* “Terserah lo deh ya, yang penting lo
bantu gue. Mau kan? Ayolah Vi, tolongin gue kali ini aja..” Pinta Iel terakhir
kali. Via memiringkan kepala sedikit menatapnya. Matanya memicing, ada yang
sedang gadis itu curigai darinya.
“Ke..kenapa?”
Iel mendadak salting. Jarang-jarang ia bertingkah seperti ini di depan gadis
yang sedang menatapnya, lebih-lebih di hadapan Via. Ia menggaruk tengkuknya
jengah. “Lo..punya selingkuhan ya?” Kening Iel mengkerut. Tak ada yang salah
sih dari pertanyaan Via itu, sebenarnya. Hanya mungkin, ada yang perlu direvisi
atau barangkali ditambahkan ke dalamnya. Jika Via bertanya ‘Lo punya calon
selingkuhan ya?’. Nah, itu jauh lebih tepat.
Yup,
alasannya untuk memutus hubungan dengan Pricilla adalah karena ia sudah
berpindah ke lain hati. Ah tepatnya, ia baru menemukan hati yang benar-benar
sesuai dengan hatinya. *bahasanyaaneh-_-* Jadi, tidak bisa dikategorikan dengan
selingkuh juga. “Gue bukan selingkuh..tapi..” katanya menggantung, disambut
dengan picingan makin menajam dari Via. “Gue cuma ingin nyoba serius, sama orang
yang bikin gue punya perasaan serius..” lanjut Iel. “Sama aja artinya lo
selingkuh, kan?” sungut Via.
Iel
menarik nafas mencoba mengatasi sesak di dada yang mendadak memenuhi. “Gue gak selingkuh!” katanya, sekali lagi,
pelan namun amat sangat tegas kalau dicermati. Hal itu cukup untuk membuat Via
tersentak dan agak kaget. Tatapan Iel padanya saat ini jauh berbeda dalam
keseharian pemuda itu jika bertemu pandang dengannya. Apa pemuda itu
benar-benar dalam zona keseriusan sekarang? Pikir Via masih antara percaya dan
tidak percaya. “Gue..pengen serius Vi, gak mau main-main lagi..” Iel kembali
berujar dan kembali membuat Via tersentak kaget.
Pelan-pelan,
Via berpikir, mencoba menebak-nebak apa yang sedang merundung benak pemuda di
depannya. Sekaligus memikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap pemuda itu.
hmm...apa mungkin memang tidak ada salahnya ia menyumbang bantuan? Pikir Via
berulang-ulang. Sedang Iel, ia kembali menarik nafas. Lantas dilemparnya
tatapan memelas ke arah Via berharap gadis itu akan mengeluarkan kata-kata
indah sesuai harapannya. “Jadi..gimana?”
***
Jam
menunjukkan bahwa sekarang tepat pukul 3 sore. Alvin baru saja pulang dari
sekolah, tepatnya masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Hari ini, mood-nya
benar-benar baik. Gadis pengganggu yang beberapa waktu ini menghantuinya tidak
menampakkan diri di depannya. Kehidupannya terasa damai sekali tanpa kemunculan
gadis tersebut. Siapa lagi kalau bukan Febby. Ia benar-benar bersyukur atas
adanya hari ini. Ia bahkan hampir tidak pernah melihat gadis freak itu
dimanapun, setiap ia melangkahkan kaki menjajaki tempat-tempat di sekolahnya.
Meski
begitu, hatinya merasakan janggal juga. Ia merasa ada yang aneh dengan febby.
Seperti bukan Febby. Sorot mata gadis itupun tak kalah aneh. Dingin, datar tapi
kelihatan begitu lelah dan tersiksa. Dan juga, penampilan Febby agak sedikit
berbeda. Rambutnya diikat asal-asalan, seperti tidak disisir malah. Baju yang
dia kenakan juga agak longgar, tidak nge-pas seperti biasa. Lalu, terakhir,
Febby memakai rok panjang. Rok panjang! Bukan sesenti dua senti di bawah lutut.
Melainkan semata kaki. Terlebih memakai rok panjang merupakan hal aneh bagi
gadis-gadis yang bersekolah di sekolahnya.
Hei! Sejak
kapan Alvin memperhatikan Febby seperti ini? Sampai se-detail ini? Astaga!
Alvin menggeleng keras. Mencemooh apa yang kini berputar-putar di otaknya. Hmm..memikirkan
hal yang satu itu ternyata mampu membuatnya haus. Tapi, maklum sih. Sehabis
bermain futsal di sekolahnya tadi, ia belum meminum setetes air pun. Ia buru-buru
pamit pulang. Sejujurnya, ia takut kalau tiba-tiba banyak gadis-gadis
berdatangan mengerubunginya. Wajar dengan siapa dirinya di mata orang-orang,
khususnya gadis-gadis.
Ada sebuah
warung di pinggir jalan sebelah kanan. Kebetulan, ada pula minuman segar yang
dijajakan. Tak ada salahnya kalau ia mampir dan memberikan rezeki pada pemilik
warung tersebut dengan membeli satu dari berbagai minuman yang dijual. Alvin
kemudian memberhentikan mobilnya dan memarkir di sisi kiri jalan yang
berhadapan dengan warung. Setelah memastikan jalanan aman untuk disebrangi,
Alvin setengah berlari menuju warung. Sudah ada seorang ibu-ibu yang sepertinya
merupakan penjaga warung.
“Berapa?”
tanya Alvin sambil mengangkat sebotol air mineral dingin di tangan dan
menunjukkannya pada ibu-ibu penjaga. Si Ibu menyembulkan 3 jarinya yang
merupakan pemberitahuan pada Alvin akan harga dari air mineral yang ingin
dibelinya. 3 ribu rupiah. Begitulah maksud si ibu-ibu. Alvin merogoh sakunya
mengambil dompet. Lalu, mengeluarkan selembar uang 2 ribuan dan selembar uang
seribuan. Lantas diberikannya kepada Ibu-ibu penjaga. Ibu tersebut sempat
mengucapkan terimakasih, sesaat sebelum Alvin pergi meninggalkan warung.
Jalanan
agak lengang. Tapi, baguslah. Alvin tak perlu susah-susah menunggu hingga sepi.
“ M A S A W A S ! ! ! ”
***
“Mau pesan
minuman, mbak?” Pelayan laki-laki itu masih setia mendatangi meja tempat Ify
berada, menanyakan perihal pesanan Ify atau mungkin apakah Ify mau memesan. Ini
sudah ketiga kalinya ia datang. Dan ketiga kalinya pula Ify menggeleng,
menandakan, kali ini juga bukan waktu gadis itu memesan. Ia lantas hanya
tersenyum dan kemudian berjalan ke meja lain yang baru didatangi. Hal seperti
ini sudah teramat biasa baginya. Pengunjung yang memang hanya sebatas
berkunjung tanpa ada niat menyapa apa yang dijajakan di tempat yang
dikunjunginya.
Sekarang
hanya tinggal Ify, jika dihitung dari pelayan dan Ify saja. Kedua sikutnya
menyentuh meja dengan telapak tangan menopang dagu. Pandangan ia arahkan
sepenuhnya ke meja yang berada agak jauh di depannya. Diduduki oleh seorang
gadis seusianya dan seorang pemuda yang juga seusia dengannya. 2 orang itu terlihat
sedang mengobrol serius. Sang gadis menyilang kedua tangan di depan dada dan
memalingkan wajah. Mereka ngobrolin apaan sih? Lamaaaaa! Batin Ify menggerutu.
Sedari
tadi dengan pekerjaan memperhatikan kedua orang tersebut, rasanya bosan juga.
Itulah yang diendap benak Ify sekarang. Ia berniat berjalan-jalan sebentar dan
akan kembali jika sudah mendapat panggilan untuknya kembali dari Via, gadis yang
mengobrol bersama pemuda yang ia perhatikan. Susur-disusuri, belum ada satu
tokopun yang Ify masuki. Tangannya juga masih enteng, belum membawa satu barang
belanjaan pun. Sejadinya ia hanya melihat-lihat. Kalau kata orang-orang, biasa
menyebutnya dengan cuci mata.
Langkah
Ify terlihat satu-satu. Sambil kepalanya yang bergerak-gerak ke kanan-kiri
melihat barang-barang yang ada di mall tempatnya sekarang. Sekalipun tidak
pernah ia menoleh ke arah depan. Alhasil..
BUK!
Seorang
lelaki paruh baya, agak lebih tua dari papanya mengingat rambut lelaki itu yang
terlihat agak memutih, tak sengaja bertabrakan dengannya. Bungkusan plastik
berisi buku-buku milik lelaki tersebut terjatuh akibat aksi tabrakan tersebut.
Ify menggapai bungkusan plastik yang tergeletak di lantai itu lebih dulu.
Sedikit rasa bersalah menerpanya maka dari itu dirinyalah yang seharusnya
mengambilkan bungkusan tersebut.
Alih-alih
mengambil, tak sengaja matanya melihat sepasang kaki dengan sepasang sepatu
yang menyelubunginya. Sepasang sepatu yang kian membekas di otaknya. Yang sempat
Ify biarkan begitu saja, namun kini mulai menarik minat untuk dicari tahu. Ada
sepasang sepatu lagi yang menemani di sampingnya. Ify menegapkan badan segera
dan mengembalikan bungkusan plastik yang ia ambil kepada sang pemilik. Lelaki
tersebut menerima langsung dan kemudian pergi setelah mengucapkan kata maaf
atas insiden yang baru saja terjadi antara dirinya dan Ify.
Ify
sendiri hanya mengangguk tanpa ikut-ikutan meminta maaf. Ia dihampiri kesibukan
baru mencari-cari dimana keberadaan sepasang sepatu tadi. Karena tadi sempat
menghilang dari penglihatannya. Matanya menilik satu-persatu sepatu yang ada di
sekelilingnya. Tak ada satupun sepatu yang ia cari. Kakinya menyicit namun ada
kalanya terlihat berlari kecil. Berulang kali desahan kecewa dari mulutnya
keluar karena tak jua menemukan apa yang ingin ia temukan. Ayolaah, tadi kayaknya
udah deket banget! Pikir Ify.
Dan..ya!
Itu dia! Ify menangkap sosok pemilik sepatu tersebut adalah seorang gadis dan
kini memasuki bagian kebutuhan sehari-hari. Gadis itu jika dilihat-lihat
semakin lama semakin tidak asing. Ify merasa pernah melihat tampak belakang seseorang
yang seperti itu. Apa ia pernah bertemu? Seingatnya sih tidak pernah, tapi
sepenglihatannya pernah. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia harus mengetahui
wajah gadis itu. Kebetulan, kalau wajah, Ify agak mudah mengenali meski tidak
terlalu.
Banyak
rak-rak berbagai barang yang ia lewati. Dan tiba-tiba saja, gadis pemilik
sepatu berbelok dan raganya menghilang di balik salah satu rak. Ify buru-buru
menyusul. Tapi, tunggu dulu. Sepertinya ada yang aneh. Ia mundur beberapa
langkah dan tampaklah seorang anak kecil, perempuan, berdiri dengan pipi basah
seperti habis menangis. Bahkan sekarang masih terlihat menangis. Ify kaget,
badannya agak terdorong ke belakang karena itu. Ia bingung dengan anak kecil
tadi yang sekarang justru menatapnya dengan tatapan sendu. Menguak rasa iba Ify
untuk menghampirinya.
Ah, tapi
Ify sendiri masih harus mencari tahu perihal gadis pemilik sepatu. Bagaimana
ini? Mana yang harus didahulukannya? Gadis pemilik sepatu atau justru anak
kecil di depannya ini? Bimbang. Kaki Ify bergerak maju mundur. Hendak pergi
menyusul si gadis atau menghampiri anak perempuan tadi. Gadis tadi..ah bukannya
gue masih bisa nyari dia di sekolah? Tiba-tiba hal itu melintas di pikirannya.
Yang sangat membantu Ify menentukan keputusan saat ini. Baiklah, sepertinya
anak perempuan ini tersesat. Tidak ada salahnya untuk dibantu dicarikan dimana
keberadaan kedua orangtuanya.
Akhirnya,
Ify memutuskan menghampiri si anak kecil. Masih menangis. Apalagi dengan Ify
yang menghampiri. Anak perempuan itu seolah menemukan orang untuk mengungkapkan
segala gundah. Terbukti, saat Ify merunduk dengan salah satu tangan memegang
bahu si anak, tangisan anak tersebut malah semakin deras. “Eh kenapa nangis?”
Ify tersentak. Ia agak bingung dibuatnya. Apa anak perempuan itu menangis karena
dihampiri olehnya? Apa dirinya terlihat begitu menyeramkan? Pikir Ify polos.
Sebelah tangannya yang kosong tanpa memegang apapun mulai bergerak-gerak jemarinya
seperti memilin-milin sesuatu. Yap, perasaan takutnya mulai meningkat.
“Fify?”
tanya Ify memastikan nama pada kalung yang anak itu pakai adalah milik anak
itu. Fify, anak di depannya itu pun mengangguk mengiyakan. Ify tiba-tiba terkikik.
Bukan tanpa sebab, tapi, lucu saja karena ada seorang anak kecil yang mempunyai
kemiripan nama dengan namanya. Melihat Ify terkikik, Fify mendadak bingung.
Lalu, ia pula yang tiba-tiba terkikik. Ify yang melihat itu seketika diam. Ada
apa dengan anak ini? Tanyanya dalam hati. Karena ditatap penuh tanda tanya,
Fify lantas diam, balik menatap Ify dengan lebih dari seribu tanda tanya.
“Kenapa
ketawa?” tanya Ify masih menatap Fify bingung. Kening Fify mengkerut lalu
tersenyum polos. “Karena kakak ketawa,” Hening. Lalu tiba-tiba, keduanya
serentak tertawa. Haduh-haduh, mereka memang aneh -,-
***
Ruang
dengan nuansa serba putih. Ada sebuah tempat tidur di tengah-tengah dan
kiri-kanannya terdapat lemari kecil tempat barang-barang. Sebuah tiang
penyangga botol infus berdiri tegap di depan salah satu dari lemari kecil tadi.
Seorang pemuda, dengan beberapa luka lecet di tangan serta kakinya yang
diperban, terbaring dengan mata tertutup di tempat tidur disana. seorang gadis
seusianya berdiri bersama seorang dokter yang menanganinya, juga berdiri di
samping tempat tidur yang ia tempati. Si gadis kelihatan tidak begitu khawatir.
Meski begitu, dalam benaknya, ia juga membutuhkan informasi apakah pemuda yang
sedang terbaring itu baik-baik saja atau tidak.
“Dia tidak
apa-apa, dok?” tanyanya pada dokter. Dokter tersebut melihat lembaran-lembaran
kertas di depannya. Hasil pemeriksaan tentang kondisi si pemuda. “Lukanya tidak
parah. Hanya butuh istirahat panjang sampai proses pemulihan pada kakinya
selesai.” Jelasnya. Si gadis tak berkomentar. Ia hanya menarik nafas sambil
terus menatap si pemuda. Sorry..tapi gak ada jalan lain. Semoga berhasil!
Batinnya sekaligus berdoa.
Cklek..
Pintu
kamar terbuka. Masuk seorang pemuda lain dan dengan cepat menggapai posisi di
sebelah si gadis. “Gimana Alvin? Kapan sadarnya?” tanyanya beruntun. Si gadis
hanya mengedikkan bahu. Pandangannya masih tetap mengarah pada tempat tidur,
seseorang yang terbaring di sana. Pemuda yang baru masuk tadi menoleh ke
arahnya. Lalu, tiba-tiba, pemuda tadi merangkul serta ada sebuah bisikan yang
terdengar di telinga. “Lakukan tugas lo dengan baik. Jangan pikirin gue!”
bisikan dari pemuda tersebut membuatnya agak merinding.
Kemudian,
pemuda itu pun tersenyum ke arahnya. Si gadis menoleh dan menatap pemuda yang
merangkulnya datar. Lantas, dikedikkan bahunya sekali lagi dan kembali menatap
pemuda yang sedang terbaring. Alvin.
***
Suasana mall
agak riuh. Tidak terlalu ramai karena ini bukan hari libur. Rio merendahkan
topi yang ia kenakan hingga setengah wajahnya tertutupi. Hingga tak akan ada
satu orang pun yang sadar bahwa dia, Mario Stevano si artis, sedang berjalan
menyusuri bagian dalam mall tempatnya menginjakkan kaki. Kecuali gadis berambut
pendek di sebelahnya, Dea. Sebelumnya, tadi hingga ia bisa bersama Dea saat ini
ialah karena Dea sendiri yang mengajak. Dengan alasan, sudah cukup lama mereka
tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Sejak..
“Kak,
bentar lagi kak Acha balik loh!” seru Dea. Antusias sekali. Masih sama seperti
dulu. Memang, apapun yang berkaitan dengan Acha, kakaknya, antusiasme Dea tak
jarang terlihat. Bahkan dulu Rio sempat seantusias Dea. Dulu, sebelum..ah ia
juga tidak tahu kapan. “Oh,” Kedengaran seperti tak ada niat. Bagi Dea, tentu
aneh. Seorang Rio, yang ia tahu orang yang ingin sekali menjadi nomor satu bagi
Acha, merespon seperti itu saat Dea sedang berkata yang berkaitan dengan orang
yang juga merupakan nomor satunya itu, Acha.
“Udah lama
ya rasanya..” Sekilas Dea melirik ke arah Rio. Sedang Rio sendiri masih tampak
tak ada niat. “Hmm,” Hanya deheman yang keluar. Dea menyipitkan mata tak
mengerti. “Kangen deh kita sama-sama lagi kayak gini..” Dea masih berusaha
membuat Rio berhasrat. Namun, hasilnya masih sama. Gelora dalam hati Rio belum
terjamah. “Kita?” sahut Rio tanpa menoleh ke arah Dea. Dea mengangguk berulang
kali. “Iya, aku, kakYo dan KakCha! Semoga KakCha cepet pulang deh hehe..” ujar
Dea penuh harap.
Berbeda
seratus delapan puluh derajat dengan pemuda yang satu ini, Rio. Kalau dulu, mungkin,
ia tak segan-segan mengamini harapan Dea barusan. Akan tetapi, untuk sekarang,
jangan sampai! Akan lebih baik jika Acha terus berada bahkan menetap di
Amerika. Jika gadis itu kembali, cerita ini akan berbeda akhirnya. Hatinya akan
makin sulit. Ia pasti akan dilanda bingung besar dalam menentukan pilihan.
Meski dalam kacamata orang lain, ia bisa saja dengan mudah memilih. Namun, yang
memiliki hati adalah dirinya. Ia yang tahu mengapa ia akan merasa susah. Hanya
dia, dia yang paling tahu. Tentu saja Tuhan juga.
“Loh itu
kan..” Desis Rio. Keningnya mengkerut seiring mata yang dicoba lebih jelas
melihat ke depannya. Dea yang merasa ada yang berbicara pun menoleh. Lantas
mengikuti kemana arah mata Rio memandang. Seketika itu pula, keningnya ikut
berkerut.
***
Telunjuk Via bergerak mengetuk-ngetuk meja
yang ia tempati. Sedang Iel di depannya, menatapnya penuh harap dan agak
sedikit cemas. “Oke!”
Apa? Apa
katanya? Tanya Iel dalam hati, seolah masih belum percaya bahwa Via mengiyakan
permintaannya. “Ja..jadi lo mau, Vi?!” ujar Iel nyaris berteriak. Meski sudah
terdengar agak keras. Via langsung merutuki tingkahnya mengingat beberapa orang
di sekeliling mereka yang spontan menoleh ke arah mereka. Ada juga yang
berbisik-bisik tak jelas. Apapun itu, yang dibicarakan mereka pasti bukanlah
hal yang baik tentang mereka. “Ssst! Lo kira-kira kek kalo ngomong!” Sungut Via
kesal. Iel menoleh ke sekeliling sejenak. Namun, sepertinya ia tidak peduli.
Iel
memperbaiki posisi duduknya lalu memajukan badan serta menumpu sikut di meja.
“Le serius kan?” tukas Iel. Via hanya berdehem. Ia malas untuk berbicara lagi.
Rasanya, ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempatnya sekarang. “Aaah lo bisa
diandalkan juga, Vi. Thanks ya!” Via mengernyit heran. Kesannya kok kayak babu
ya? -,- pikir Via. Sekali lagi, ia hanya berdehem. Sudahlah, ia sudah terlanjur
bersedia membantu. Mau apalagi? Otomatis, ia memang menjadi babu. Dalam artian,
mengikuti setiap apa yang Iel rencanakan. Jadi babu dulu gapapa deh! Babu
bahagiaa hahaha..
“Tapi..satu
hal yang pengen gue tanya..” kata Via menggantung. Iel diam menunggu gadis itu
berbicara lagi sambil memperhatikan lekat-lekat lekuk wajah Via yang jika makin
lama dilihat makin..
“Gak percaya
yang namanya cinta, apalagi cinta sejati. Karena faktanya, sifat manusia labil,
suka berubah-ubah. Typical manusia itu, perasaan bisa hilang dan berganti kapan
aja..Jadi, lo udah menanggalkan prinsip lo yang satu itu? You belive in...love?”
Hah? Iya
juga, udah lama gue gak mikirin prinsip gue itu.. Batin Iel seketika. Ia
mendengut lidah agak payah. Apa ya jawabannya? Hmm, apa mungkin Via
benar...bahwa hatinya sudah mulai berubah? Entahlah, setidaknya ia tidak salah
total. Manusia labil, suka berubah-ubah, perasaan bisa hilang dan berganti
kapan saja.
***
Tuk..tuk..tuk
Satu jam
sudah dilewati Cakka dan kegiatannya hanya merebahkan diri di atas tempat
tidur. Ponselnya ia genggam erat sembari telunjuk yang mengetuk-ngetuk bagian
atas samping benda tersebut. Bibir bawahnya -jika itu makanan- habis ia gigiti
sedari tadi. Matanya tepat memandang ke arah langit-langit kamar sedang
kepalanya digerayangi berbagai hal yang membuatnya berpikir keras. Memaksanya
untuk melakukan sesuatu akan tetapi masih lumayan bertentangan dengan minat
hatinya saat ini.
Cakka
kemudian beralih fokus ke layar ponselnya. Mengeja sebuah nama yang tertera di
sana. Agni. Hanya 4 huruf, namun cukup memusingkan. Apa..apa yang harus ia
lakukan? Kembali, matanya memandang langit-langit hanya telunjuknya saja yang
berhenti mengetuk. Hanya beberapa menit, karena setelah itu ia beralih lagi ke
ponselnya.
***
Tujuan Ify
kali ini bukan lagi menemukan siapa pemilik sepatu misterius itu, akan tetapi
menemukan siapakah gerangan sang ibu dari anak kecil yang ia gandeng saat ini,
Fify. Niat Ify ingin membawa gadis kecil itu ke bagian informasi. Namun, belum
sampai setengah perjalanan, Fify menyuruhnya berhenti. Kemudian memegang-megang
perut. Meski polos, tapi mimik memelas terdapat juga di wajahnya. Ia lapar.
Akan
tetapi sepertinya Ify kurang mengerti bahasa tubuh Fify. Ia hanya
menggaruk-garuk sebelah pelipisnya dan agak kebingungan. “Hah, perut kamu
sakit?” tanyanya. Tentu saja Fify menggeleng. Jika satu jam ke depan Ify masih
tidak mengerti dan bertanya seperti itu mungkin Fify akan mengangguk mengiyakan.
Puk! Puk! Fify menepuk-nepuk perutnya lagi dan mengelusnya pelan. Kening Ify
mengkerut. Namun, sejurus kemudian ia baru mengerti. Fify lapar.
“Lapar?”
tanya Ify memastikan, menyusul dengan anggukan keras dari Fify. Ify tersenyum.
Anak di depannya itu polos sekali. “Okey, kita cari makaaan!!” Seru Ify
semangat. Lalu kemudian berjalan bergandengan dengan Fify kembali.
Tak berapa
lama, mereka sampai di resto tempat Ify menunggu Via tadi. Masih di kursi yang
sama. Terlihat pula Via dan Iel masih mengobrol panjang, mungkin. Ify lalu
mengangkat tangan mengundang seorang pelayan untuk datang. Seorang wanita
sekitar 5 tahun di atas Ify berjalan mendekat dengan buku menu di tangan. Ia
lalu menyerahkan buku tersebut pada Ify dan juga Fify. “Kamu mau makan apa?”
tanya Ify. Fify begitu serius melihat satu-persatu menu yang ada. Hingga
telunjuknya bergerak menunjuk gambar salah satu ah 2 menu dari menu-menu yang
ia lihat.
“Ya udah
mbak, pesan ini sama minumnya ini satu ya!” kata Ify. Sang pelayan mengangguk
mengerti dan mengambil kembali buku menu yang tadi ia berikan. Lantas ia
kembali ke meja tempatnya berjaga sekaligus menyerahkan catatan perihal makanan
dan minuman yang dipesan Ify.
Setelah
kepergian waitress tadi, suasana mendadak hening. Ify dan Fify saling diam. meskipun,
sejak tadi, Fify memperhatikan lekat-lekat wajah Ify. entah apa yang menarik.
Akan tetapi, sekalipun, matanya tak pernah lari kemanapun, hanya kepada Ify.
Ify sadar sih, tapi biasalah Ify. Agak kurang mengambil hati. Ia hanya membalas
dengan senyum manis ke arah Fify. Tapi, lama-kelamaan Ify bosan juga. Duduk
diam tanpa berbicara atau mengobrol apapun. Padahal ia tidak sendiri, ada Fify
di depannya.
“Kenapa
kamu bisa kesasar? Mama kamu tadi dimana?” tanya Ify basa-basi. Bukan basa-basi
sih, memang itu yang seharusnya ia tanyakan sejak tadi, sejak pertama kali ia
bertemu dengan Fify. Fify menggeleng tanpa ekspresi. Matanya terus menatap Ify.
Ify menggaruk pelipisnya lagi. Ia tiba-tiba hilang ide, kehabisan pertanyaan.
Beruntung, seorang pelayan datang mengantar pesanan. Perhatian Fify pun bukan
padanya lagi. Kini Ify yang balik memperhatikan gadis kecil itu.
Sesuap.
Dua suap. Kali ketiga, Fify menghentikannya makannya. Menjauhkan piring dan
meminum seteguk minumannya. Setelah itu ia melipat kedua tangan di meja dan
menatap Ify lagi. Ify mengernyit tak mengerti. “Kenapa ga dihabisin?” tanyanya
seraya menunjuk piring makanan yang dimakan Fify. Lagi, gadis kecil itu
menggeleng. Akan tetapi, tiba-tiba ia menoleh ke belakang sambil mengangkat
tangan memanggil pelayan. Persis seperti yang Ify lakukan tadi.
Ify masih
bengong. Setidaknya, lihat dulu apa yang mau dilakukan Fify, pikirnya. Pelayan
tersebut datang dan memberikan buku menu kembali karena Fify memintanya. Telunjuk
Fify menunjuk menu lagi, menu lain dari yang ia pesan sebelumnya. Ify makin
dibuat bengong. Tapi, masih ada sedikit kesadarannya untuk menanyakan pada Fify
nasib makanan dan minumannya yang belum ia habiskan. “Loh, makanan kamu yang
ini gak dimakan?”
Fify
menggeleng. Ia menepuk perutnya sekali. Bukan lapar. Tapi kenyang. Eh tapi...ah
sudahlah, mungkin anak kecil emang kayak gini. Batin Ify mencoba maklum.
Terpaksa ia mengangguk pada si pelayan yang sudah ketiga kalinya datang ke meja
tempatnya dan Fify. Ada rasa tidak enak, tapi ya mau apalagi? Untunglah, si
pelayan masih ramah melayani. Bisa dikategorikan dirinya sebagai pelayan ‘baik
hati’. Ia kembali ke tempat kerjanya dan menyerahkan memo pesanan Fify pada
rekannya yang lain, yang menangani hal itu.
Dalam masa
penantian makanan, Fify memandangi Ify lagi. Kali ini Ify balas menatap Fify
bingung. Tak mengerti dengan apa yang ada dalam benak gadis kecil di depannya.
“Beneran udah kenyang?” tanya Ify, sedikit memajukan tubuhnya ke arah Fify. Fify
mengangguk dan tak ada suara yang keluar. Ify terlihat belum puas. Kalau sudah
kenyang, kenapa pesan lagi?
“Terus,
kenapa pesan makanan lagi?” Pertanyaan Ify berikutnya hanya membuahkan diam.
Fify tak bergeming, hanya menatap Ify. secara bersamaan, pelayan yang sudah 3
kali datang ke tempatnya, kembali datang untuk ke 4 kali. Masih dengan makanan
pesanan di tangannya. Semua tentu disodorkan ke arah Fify. Setelah pelayan
‘baik hati’ tadi kembali, barulah Fify mulai menyantap. Ify menghitung
benar-benar suapan yang masuk ke mulut gadis kecil itu. jika tidak sampai 3
sendok, berarti ada kemungkinan Fify tidak menghabiskan makanannya lagi. Dan
kemungkinan juga..akan memesan menu baru.
Ya! sudah
memasuki suapan ke 10. Sudah, Ify sudah tenang. Fify pasti akan menghabiskan
makanannya kali ini. minumannya juga sudah tinggal setengah. Hhh..Ify menghunus
nafas lega. Ia mengambil kesempatan untuk bersender di kursi tempatnya duduk.
Tapi tiba-tiba, Fify berhenti makan. Setelah meminum seteguk, ia mengangkat
tangan lagi. Ify bangkit dari senderannya otomatis. Matanya agak melebar.
Kaget. Yang pertama masih banyak, yang kedua masih setengah, sekarang mau
tambah lagi? Yakin setiap anak-anak kayak gini?
Tanpa
sadar, Ify menggelengkan kepala takjub. Pelayan ‘baik hati’ tadi ternyata
benar-benar baik hati. Ia masih saja mengurai senyum ketika disuruh kembali
untuk ke 6 kali ke meja Ify. Ify makin tidak enak hati. Fify, gadis cilik itu
pasti mengerjainya. Kalau tidak, mana mungkin ia memesan sebanyak sekarang
tanpa dihabiskan dulu satu-persatu.
Lantas,
direbutnya buku menu yang awalnya ingin diberikan kepada Fify. Sedikit
kekesalan menyerubungi nada suaranya. “Habisin dulu yang ini, baru kamu boleh
nambah!” Larangnya tegas. Agak sedikit menggertak. Alhasil, meskipun agak, tapi
sudah mampu membuat Fify bergidik ketakutan. Wajahnya mendadak pucat dan
sejurus kemudian menangis. lalu turun dari kursi dan pergi tanpa menunggu Ify.
Ify lantas dirundung rasa bersalah karena mungkin sudah terlalu keras. Ia juga
tidak enak dengan si pelayan ‘baik hati’ karena secara tidak langsung, pelayan
tersebut bolak-balik sisa-sia.
“Emm mbak,
maaf sebelumnya. Tapi makanan ini dibungkus aja yaa. Ini sekalian uang ganti
rugi energi mbak yang udah bolak-balik ke meja saya. Makasih mbak, dan mohon maaf
yang sebesar-besarnya!” ujar Ify dan kemudian berlari menyusul Fify yang sudah
tidak kelihatan. Gadis kecil itu berlari cepat sekali. Raganya tadi menghilang
setelah berbelok ke arah kanan di sudut sana, sudut restoran. Ify sedikit lega
karena mendapat titik terang mengenai kemana arah pelarian Fify.
Mendekati
sudut ruangan, suara tangisan Fify mulai terdengar. Meski samar-samar, tapi
masih sampai di telinga Ify. Ify memperlambat tempo larinya menjadi berjalan.
Ia tak langsung berbelok melainkan mengintip dahulu apa yang sedang Fify
lakukan. Fify masih menangis. namun, gadis kecil itu tidak lagi sendirian.
Seorang gadis dan seorang pemuda di sebelahnya, kira-kira usia mereka hampir
sama dengan Ify, berada dekat dengan Fify, seperti sedang membujuk gadis cilik
ini.
Si gadis
terlihat berjongkok menyamakan posisi seraya tangannya mengelus-ngelus pipi
Fify yang basah air mata. Si pemuda tak jauh beda. Suatu ketika, ia ikut
berjongkok dan tersenyum begitu tenang, dan mampu menenangkan Fify dari apa
yang membuatnya menangis. seolah sebuah hipnotis penenang yang ia berikan
hingga Fify langsung diam dan ikut tersenyum. Ify melihat itu agak miris. Gadis
tadi dapat dengan mudah membuat Fify tenang. Sementara dirinya malah membuat
Fify menangis ketakutan.
Ia mengenal
mereka. Bukan hanya Fify, tapi ketiganya. Gadis dan pemuda itu. 2 orang yang
mulai ia hindari akhir-akhir ini. tapi, entah mengapa usahanya menghindar
selalu gagal. Toh ia akan kembali dipertemukan. Seperti sekarang misalnya.
Belum ada yang sadar ia mengintip diam-diam ketika tiba-tiba tangan Fify
menunjuk ke arahnya. Mau tak mau Ify segera berbalik, menyembunyikan diri dari
balik dinding. Lantas dilangkahkannya kaki menjauh. Tidak terlalu cepat.
Terkesan santai.
Otaknya
ikut berjalan. Dalam artian, berpikir mengenai 3 orang yang ia intip tadi. Seketika
dirinya dibuat tidak bersemangat. Sama sekali tidak. Gadis yang bersama pemuda
tadilah yang membuat semangatnya loyo. Gadis itu lebih baik. Dalam hati, Ify
mengejanya berulang-ulang. Kata-kata itu seakan rumit, lebih rumit daripada ulangan
matematikanya minggu lalu. Bahkan susah diingat layaknya hafalan sejarah. Butuh
diulang beberapa kali.
Sekian
detik ia melamun hingga sebuah panggilan berisi namanya sayup-sayup terdengar
dan sedikit banyak membuat Ify beralih dari kegiatan mengejanya. Ia berhenti
dengan kepala ditundukkan. Bukan karena takut, tapi karena ia sudah
sangat-sangat tidak bersemangat melakukan apapun. Apalagi, sekarang, mau tidak
mau ia harus melakukan sebuah pembicaraan meski singkat, dengan orang yang
memanggil namanya tadi.
Ketika ia
menghadap ke belakang, ada 3 pasang sepatu yang pertama kali ia lihat. Namun,
dari ketiga pasang tersebut, ada 1 yang menarik perhatian. Bukan karena motif
yg keren atau bermerk, tapi karena... Sepatunya!! Ini. ya. ini. eh tapi kok
gue...kayaknya..
“KakFy!”
Ya Tuhan!
Latah Ify dalam hati. Kaget sekaget-kaget umat (?) Dea, ya gadis itu Dea.
Tapi< kekagetan Ify bukanlah karena gadis itu Dea, lebih-lebih dengan
keberadaan Rio disebelahnya. Melainkan..ah mana mungkin itu Dea! Sangkal Ify
berulang-ulang. Membuatnya tak bisa menahan gelengan keras dari kepalanya
beberapa kali. “KakFy kenapa? kok geleng-geleng?” tanya Dea bingung. Rio pun
lantas ikut bingung. Ify kelihatan aneh, pikirnya. Fify yg sedang digendong tak
jauh beda.
Ify
menggeleng sekali lagi. “Kamu..gak mungkin..” kata Ify, pelan namun terbata.
Belum sempat kekagetannya terurai, muncul lagi seorang gadis yang datang dengan
air muka dingin dan sepertinya marah. “Fify!” sentak gadis lain tersebut.
Keempatnya –Ify, Dea, Rio dan tentunya Fify- menoleh serentak. Sebelum menoleh,
Fify sudah lebih dulu tahu siapa gerangan gadis itu. dibuktikan dengan dirinya
yang memutar kedua bola mata dan menoleh tidak semangat.
“Kakak..”
cicit Fify. Ia langsung bergerak turun dari gendongan Rio dan mendekati gadis
yg baru saja datan tadi, kakaknya. Gadis itu menarik Fify kuat dan agak melotot
ke arahnya. “Daritadi kakak cari, rupanya disini.” Omel gadis itu. lalu menatap
3 muda-mudi di hadapannya, yg tadi bersama dengan adiknya. Menatap dengan penuh
kekesalan. Seolah-olah menganggap bahwa ketiga orang tersebut sudah membuatnya
susah, tidak mengetahui betapa panik dan susahnya ia beberapa jam ini mencari
Fify.
“Ayo
pulang!” dingin gadis itu. fify mau tidak mau menurut, meskipun sedikit ogah
untuk beranjak. Pada akhirnya Fify dan kakaknya pergi tanpa meninggalkan kesan
sopan di akhir perjumpaan. Sementara itu, Ify mematung. Ia kembali
memperhatikan sepatu namun bukan hanya sepatu Dea, melainkan sepatu gadis tadi.
Ah ia baru ingat. Gadis itu yg beberapa malam lalu hampir ia tabrak. Dan
juga...astaga! dia gadis yg waktu itu di perpustakaan. Yg kelihatannya jutek
banget sama gue. Atau jangan-jangan...
“ah tahu
ah!” kesal Ify. ia pun ikut pergi. Tak peduli dengan Dea dan Rio, tak peduli
ada Rio orang yg disukainya berdiri disana dan terpenting tak peduli dengan
kebersamaan Dea dan Rio saat itu. ia sudah puyeng, jangan ditambah puyeng!
***
Malamnya
Ify tak dapat duduk tenang. Semuanya seperti kacau. Banyak yang menganggu,
banyak yang mengganjal dipikiran. Khususnya masalah sepatu. Sebenarnya..pemilik
sepatu yg asli siapa? Kenapa banyak tokoh baru yang ‘mengaku-ngaku’? Aisshh...
ify mengacak rambutnya sendiri. Dan kemudian bertopang dagu dengan siku dialas
bantal. Sekali lagi, ia mencoba berpikir.
Belum
sempat 2 menit memulai berpikir, ponselnya berdering. Ada 1 pesan masuk dari
nomor tak dikenal. ‘Halo KakFy!’. Begitu bunyinya. Meski nomornya asing, tapi
berdasarkan tipe sapaan yang ia baca, sepertinya Ify kenal siapa yg mengirim.
Ify membalas cepat dan tak lama kemudian sebuah balasan datang. Dan benar
dugaannya mengenai si pengirim, Dea. Namun, pesan kedua ini bunyinya aneh.
Berakhir dengan sebuah pertanyaan janggal. ‘Kak, aku boleh nanya? Tentang
kakYo...’
Rio?
kening Ify mengkerut. Untuk apa tanya-tanya Rio? pikirnya. Ia membalas lagi.
Agak lama ia menunggu lalu kemudian balasan kembali datang. Dan balasan itu
cukup menohok, menendang kesadaran Ify akan perasaannya. membuatnya harus
berpikir cepat dan mengambil keputusan yang tepat. ‘Kakak..suka sama kakYo?’
Hhh.. Ify mencoba mengatur nafas sambil bertanya-tanya dalam hati ‘apa yg harus
gue jawab? Apa? Apa?’
Kalo gue
jawab iya, itukan rahasia. Kalo misalnya enggak, berarti gue bohong dong? Terus
kalo ternyata dia suka sama Rio gimana? Gue yang ngenes...
To : Dea
:o
Kenapa
kamu tanya gitu?
Send! Ify
tak memilih menjawab. Ia harus tahu dulu alasan Dea menanyakan hal seprivate
itu. dan tak lama Dea membalas. Yang ini, paling mengagetkannya..mungkin. ‘Aku
mau jujur. Aku adeknya kakCha, Acha, cinta mati kakYo’ Nyess, jika hatinya itu
berisi banyak udara, mungkin akan mengempes. Membaca tulisan ‘..Acha, cinta
mati kakYo’ itu rasanya...hmm. ify mengatur nafas lagi. Mungkin lebih baik gue
bilang gak suka..demi kelancaran pdkt gue juga kan? Batinnya menimang-nimang.
Ya tidak ada salahnya..
‘Kakak gak
suka sama kak Rio.’ Balas Ify kemudian. Setelah mengirim, ia mengangguk yakin.
Ya, keputusannya benar. Balasan kali ini begitu cepat. Wajar, karena hanya
berisi satu kata ‘Seriuuss?!!’ ditambah dengan smile diujung. ‘ya’ balas Ify
singkat. 1 menit..2menit..bahkan sampai 5 menit Dea tak kunjung membalas. Fiuh!
Ify lega, keputusannya tidak menimbulkan efek buruk. Ia hampir beranjak dari
tempat tidur ketika sebuah deringan kembali berbunyi dari ponselnya.
‘Kak, aku
seneng banget ternyata kakak gak suka sama kakYo. Aku jadi punya kesempatan
:”D’ Dum! Seolah saat itu pula ada yang menjadikan jantung Ify sebagai drum dan
memukulnya cukup keras, cukup membuatnya bergoncang hebat. Lagi, Ify menarik
nafas, berusaha berpikir positif. Menyangkal anggapan yang menyakitkan jika
benar. Berusaha tenang, Ify lalu membalas ‘Maksudnya?’.
Benar-benar,
Ify tidak bisa tenang. Seperti cacing kepanasan, belatung dalam nangka.
Mondar-mandir kesana-kemari sembari menunggu Dea membalas. Dan inilah
puncaknya. Balasan Dea mempengaruhi kesejahteraan asmaranya esok. Tangan Ify
sampai dingin. Matanya pun tertutup saat membuka balasan tersebut. Terlalu
takut baginya membuka mata. Dan ketika ia melakukan itu, semua tenaga dalam
tubuhnya seperti menghilang terserap angin malam.
‘Aku suka
sama kakYo, cinta banget sama kakYo. Kakyo harus ada dalam kehidupan aku, jika
bukan dengan kakCha, aku yg akan mengambil alih.’ What?!!! Bisakah gue mati
hari ini, saat ini juga?!!
***
Gadis harajuku
itu kembali duduk di rerumputan taman belakang sekolah. Kesannya ia sedang
menunggu seseorang, padahal tidak. Ia sedang duduk tenang, termenung. Masih dan
mungkin akan selalu berkaitan dengan kalung. Tadi ia sempat melepas kalung
abadinya itu dan sekarang hanya menatapi benda tersebut. Terkadang ia menghela
nafas. Terkadang hatinya merutuk kadang pula terenyuh. Hmm..sampai kapan ia
seperti ini?
“Kalung
lagi kalung lagi ckck..” sahut seorang pemuda yang entah sejak kapan sudah berdiri
di depannya, dengan kedua tangan di saku celana dan menghadap membelakangi.
Gadis harajuku itu tahu siapa itu, tapi ia tidak peduli. Meski pemuda itu
sempat ia cari tahu akhir-akhir ini, sempat dicurigainya sebagai orang yang ia
cari selama ini, tapi itu semua akan ia akhiri sekarang. Pemuda itu berbeda.
Benar-benar berbeda dari orang yang ia pikirkan, yang ia inginkan.
Cakka,
pemuda tadi, berbalik badan menghadap gadis yang ia belakangi tadi, gadis
harajuku, Agni. Gadis itu menunduk, masih termenung menatap kalung. Hh, apasih
kalung itu? ia juga punya kalung, tapi tidak separah itu, menatapnya
terus-terusan. Pikir Cakka. Ia maju selangkah. “Kalung itu apa sih? Seandainya
hilang, apa lo bakal nangis darah? Hah?” rutu Cakka, kesannya ia menyalahkan
dan memarahi Agni yang terus-terusan berurusan dengan kalung.
Agni
mendongak, menatapnya geram. Masih sempat ia berpikiran bahwa pemuda di
depannya ini ingin meminta maaf. Padahal belum berlalu beberapa hari, pemuda
itu meneleponnya dan disana Cakka meminta maaf. Apa mungkin yang meneleponnya
itu orang lain? Ataukah Cakka yang memiliki sifat seorang Cakka dan orang lain?
Entahlah, ia tidak mengerti dan memang sulit untuk dimengerti.
“Gue muak
sama lo! Mulai sekarang, anggap aja kita gak pernah kenal! Puas!” Setelah
itu< agni berlari pergi. Sementara Cakka diam di tempat. Sangat tidak
diinginkannya gadis itu pergi. Ia ingin menahan Agni. Tapi, bagaimana?
Sepertinya, jika berhadapan dengan gadis itu, kesalahannya akan selalu ada dan
fatal.
***
“Viaaa,
ngantin yok?” manja Iel. Baru-barunya ia seperti itu. Via lantas mengernyit
heran. Kerasukan lagi? Setan dalam tubuh tuh cowok ada berapa sih? Batinnya
seraya garuk-garuk kepala. iel pun berjalan ke meja Via dan Ify. ify tampak
termenung di sebelah Via, sementara Via masih sibuk mencatat beberapa meteri
yang belum sempurna tersalin di catatannya.
Set! Iel
merebut pena yang Via gunakan. Kejadian ini terulang. Iel mengambil
barang-barangnya membawa kabur lalu mengembalikannya kembali dan kemudian
mengabaikannya..ia dan barang-barangnya. Sssst, tidak usah diingat lagi Via!
Sangkal Via dalam hati. Lantas, ia menutup buku dan beralih ke Ify. hari ini
gadis itu sedikit aneh, sepanjang pelajaran tidak berbicara. Antara serius
memperhatikan atau malah melamun. Mungkin yang kedua lebih besar peluang
benarnya.
“Hoi pi!
Ngantin gak?” sentak Via dengan menyenggol dikit lengan gadis itu. ify
terkejut. Seperti baru bangun dari fantasi yang ia jalani beberapa jam ini.
“Hah? Ee..” Ia melihat sekeliling kelas dan kosong. Hanya tinggal mereka
bertiga. Ia mencuri pandang ke arah bangku Rio, pemuda itu tidak ada disana,
hanya bangku kosong dan sebuah buku tulis yang ada di mejanya. Hh..ify menghela
nafas panjang.
“Kayaknya
gue ke perpus aja deh, pengen nenangin diri. Gue cabut dulu!” lesu Ify. lantas
beranjak dari tempatnya dan keluar kelas. Perpustakaan mungkin akan mulai
menjadi sasaran pelariannya disaat-saat random seperti ini.
***
“Aku suka
sama kakak, hehe..”
Krek!
Seperti
bunyi sesuatu yang patah. Ya, ada yang patah, disini! Hati gue! Dan gue gak tahu
harus pake lem yang mana.. lirih Ify dalam hati. Meski baru sebaris kalimat itu
yang ia dengar, dan mungkin hanya sebaris itu yang sanggup ia dengar nantinya,
akan tetapi kekuatan penghancurannya lebih-lebih dari bom atom nuklir di
hirosima-nagasaki. Apa dengan itu tandanya...ia akan melepas Rio? secara selama
ini, meski baru beberapa hari ini ia melakukan pengamatan dan penilaian, Dea
jauh lebih baik darinya. Jauh lebih tahu siapa Rio, bagaimana Rio dan tentunya
bagaimana hati Rio.
Tapi, apa
ia sanggup melepas Rio? yang sudah berhasil ia ‘sentuh’ dengan susah payah? Apa
benar ia sanggup? Mungkin...
***