-->

Minggu, 31 Desember 2017

Matchmaking Part 38 (CAGNI SIVIEL, campur alshill yg kemaren)


Via berdiri menengadah menatap bangunan tinggi di depannya, memastikan kalau ia tidak salah alamat. Ia meluruskan pandangannya kembali ke depan dan mulai melangkahkan kaki melewati pintu masuk lobby tempat yang dulu pernah tidak sengaja ia sambangi bersama seseorang. Tempat tersebut tak lain adalah..

"Selam—loh kamu lagi? Kok sendiri?" Sapa wanita berpakaian seksi yang merupakan pemilik atau mungkin pengelola atau mungkin hanya resepsionis atau entahlah Via tidak peduli dan tidak berniat bertanya, dari gedung yang ia masuki.

"Ada kamar kosong?" Tanya Via tak mau basa-basi.

Wanita tadi hanya mengedikkan bahu lalu kemudian menunjukkan senyum cerianya. Baru kali ini Via merasa tak terganggu dengan lengkungan di bibir wanita itu. Tidak ada seorang pun yang tahu dirinya 'bermasalah' di sini. Tidak akan ada seorang pun yang akan memperlakukannya 'berbeda'. Itu jualah alasannya memilih melarikan diri kemari, ke motel yang pernah menjebaknya bersama Gabriel.

"Lantai paling atas masih available?" Tanya Via. Ia ingin jauh dari hiruk pikuk namun matanya tidak terhalang untuk melihat dunia.

Resepsionis laki-laki di hadapannya mengecek sebentar pada komputer di depannya lalu menegakkan kepala sambil tersenyum formal. "Masih, Miss."

Via menganggukkan kepala lega karena semua rencananya berjalan lancar sampai saat ini.

"Cash or card, Miss?" Sang resepsionis kemudian bertanya sambil mengisi formulir pemesanan kamar di komputer.

"Card."

Via menyerahkan kartu ATM miliknya pada laki-laki di hadapannya. Ia malas mengambil uang tunai terlalu banyak. Ia tidak ingin tas kecilnya bertambah berat. Tidak ada orang yang akan 'mencarinya'. Tidak akan ada juga yang berniat melacaknya. Memangnya dirinya siapa?

Gue juga bukan orang hilang.

"Ini kuncinya, Room 93, Miss. Semoga puas dengan layanan kamar kami!"

***

Gabriel melangkah cepat memasuki kantor Papanya. Napasnya memburu, kombinasi karena sesak oleh laju kakinya dengan kepanikan yang melandanya saat ini. Ia bahkan tidak menunggu sampai napasnya kembali normal untuk mengetuk pintu dan masuk ke ruangan sang ayah.

Damanik, ayahnya, menegakkan kepala dan lantas menyambutnya dengan tatapan kaget sekaligus heran karena dirinya muncul tiba-tiba. Mata tajam laki-laki itu fokus memandangnya hingga mereka benar-benar berhadapan.

Kali ini, Gabriel baru akhirnya berusaha meredam deru napas karena ia kesulitan untuk mengeluarkan suara. Sementara Damanik seperti sudah tidak sabar mengetahui alasan kedatangannya.

"Kenapa muka' mu begitu? Kenapa kau lari-lari? Si Rooney mati? Siapa yang tumbur?" Tukas Damanik dengan logat batak kental. Laki-laki itu dengan gamblang membicarakan Rooney, anjing peliharaan kesayangan Gabriel.

Kalau biasanya Gabriel akan berdecak kesal dan menimpali celetukan asal laki-laki itu, sekarang pemuda itu justru hanya diam. Pemuda itu hanya membalas dengan gelengan kepala. Hal itu lantas menjadi petunjuk pada Damanik kalau sang anak sedang tidak baik-baik saja.

"Minum dulu kau, Nak." Bujuk Damanik seketika berubah lunak. Ia menyodorkan segelas air putih yang tersaji di atas mejanya.

Gabriel maju selangkah lalu menyerahkan ponselnya dengan tangan bergetar ke hadapan Papanya. Damanik menurunkan pandangan dari wajah Gabriel ke layar ponsel anaknya itu. Ia lalu mendapati sebuah foto anak gadis perempuan yang kemungkinan besar seusia dengan Gabriel.

"Tolong aku, Pak. Dia hilang." Pinta Gabriel dengan suara tertahan dan sedikit gamang.

Damanik menautkan kedua alisnya lalu menaikkan pandangannya lagi pada wajah Gabriel. Wajah itu sekarang berubah ketakutan namun amat berharap padanya.

"Siapa?" Tanya Damanik singkat namun Gabriel paham kalau sang ayah sedang meminta identitas orang yang ia minta carikan, yang tak lain adalah Via.

"Sivia Azizah. 16 taun. Teman sekelasku.." Gabriel sesaat menjeda ucapannya.

Damanik menatap Gabriel dengan tidak puas dan mengetahui ada yang belum sempurna disampaikan oleh anaknya. Baru ketika Gabriel kembali berbicara, rasa penasaran Damanik terbayar namun kemudian berganti dengan keterkejutan luar biasa.

"Dia..anak sahnya Om Riza."

Damanik terdiam bersitatap dengan Gabriel, sekali lagi memastikan apa yang diucapkan sang anak bukanlah bualan seperti yang biasa pemuda itu ucapkan padanya. Dan memang itulah yang didapatnya dari gelagat anaknya tersebut.

"Dia gak dapat cinta dari bapaknya karena kebetulan bapaknya gak cinta sama dia dan mamaknya. Seumur hidup dia, baru sekali dia liat bapaknya senyum sama dia, itu pun gak nampak gigi dan matanya gak jadi sipit. Bapaknya gak pernah tanya soal hidupnya, apalagi tanya-tanya cowok yang pepetin dia. Dia gak protes, Pak. Dia bilang itu memang sifat bapaknya yang pendiam. Sedangkan bapaknya sama kita mintak ampun manis dan banyak cakapnya."

Mata Gabriel mulai memerah dan terasa panas. Ia tidak sedetikpun menghindar dari tatapan tajam sang ayah. Ia justru ingin laki-laki itu mengetahui semua yang ada di kepalanya. Khususnya tentang Riza. Nada bicaranya bahkan sampai mengikuti bagaimana mama dan papanya bicara. Ini selalu terjadi setiap dirinya dalam keadaan emosi berat.

"Tapi baru-baru ini, dia taulah bapaknya berkeluarga selain sama mamaknya. Aku gak tau dia udah tau sampe mana. Aku gak tau apa dia tau kalo anak simpanan bapaknya itu 'pacarku' sekarang. Semingguan lebih ini kami jauhan soalnya aku lagi kerjain dia jadi dia gak sempat cerita."

Damanik tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. Itu menjadi kode untuk Gabriel agar tetap menyuarakan isi pikirannya.

"Biasanya dia kuat, Pak. Tapi sekarang dia kabur. Dia bilang 3 hari dan gak mau dicari. Tapi aku takut, Pak."

Beruntung Gabriel dapat menguasai dirinya sehingga tidak menjadi pria cengeng hari ini. Hanya keringat dinginnya saja yang beberapa kali menetes dari pelipisnya. Tangannya mengepal menahan emosi yang mengeroyoknya sekarang.

"Dia juga 'Rooney'-nya Iel, Pak."


***

Cakka seharian bercengkrama dengan gitar elektrik kesayangannya. Sesekali ia bersenandung tak serius, hanya mengucap beberapa bait lagu yang sedang ia mainkan. Hingga Chelsea harus berjalan mencak-mencak sampai duduk di sampingnya karena mengetuk pintu sedaritadi tapi tidak dihimbau.

Chelsea memukul cukup keras lengan Cakka yang membuat pemuda itu mengaduh kesal sekaligus menyadari kehadirannya. Ia hanya memutar kedua bola matanya gemas.

"Apaan, sih, Kak? Kok mukul-mukul?" Keluh Cakka seraya mengusap lengannya sebentar lalu dengan cepat kembali menjamah senar gitarnya.

"Ih! Gue udah capek-capek ngetok pintu juga!" Dumel Chelsea balik.

Cakka tampak tidak terlalu peduli. "Lo-nya kerajinan. Kayak gue pernah ngunci pintu aja." Balasnya enteng.

Chelsea berdecak gondok. Namun, selanjutnya ia tak lagi mempermasalahkan penderitaannya. Ia tidak ingin lagi larut dalam topik lain sehingga kembali melupakan tujuannya datang seperti waktu itu. Sebelum ia benar-benar lupa, ia harus menanyakan pada Cakka.

"Gimana lo sama Agni?" Tanyanya sambil memandang Cakka ingin tahu.

Cakka tersenyum tipis dan seketika Chelsea merasa pertanyaannya sudah terjawab. Ia sesaat bersyukur dalam hati karena permasalahan adiknya dan sang gebetan tidak berlangsung lama. Ia lantas bertanya lagi.

"Jadi Agni itu beneran Nia apa bukan?"

Jemari Cakka sesaat berhenti dan pemuda itu menoleh bingung pada Chelsea. Pertanyaan tiba-tiba yang sama sekali tidak ia sangka. Ia berpikir sebentar lalu mengedikkan bahu. "Kayaknya.." Serahnya tak benar-benar yakin.

Chelsea diam memberikan tatapan menilai. "Lo suka sama Agni karena dia 'Agni' atau 'Nia'?"

Jemari Cakka yang hendak memetik seketika berhenti. Ia lagi-lagi menoleh pada Chelsea. Kali ini, tampangnya berubah serius. Ia baru terpikir tentang apa yang dikatakan Chelsea. Benar juga. Ia seketika teringat dirinya mau berusaha berdamai dengan Agni dulu kan karena curiga kalau gadis itu adalah peri masa kecilnya.

"Emang itu bisa jadi masalah, Kak?" Sekarang Cakka yang balik bertanya serius. Serius meminta pendapat sekaligus masukan.

Chelsea tersenyum lalu menggelengkan kepala. "Enggak, kok. Yang penting kan lo emang suka sama dia."

Cakka diam sesaat lalu menghela napas. Yah, semoga saja memang tidak ada masalah. Tolong ya, ia sudah cukup hatam dengan masalah akhir-akhir ini. Berbaik hati sedikit untuk tidak cepat-cepat bertamu kembali padanya.

"Tapi kalo misalnya Agni bukan Nia, lo gabakal goyah kan, Dek?" Kalau Chelsea sudah memanggilnya 'Dek', itu artinya ia benar-benar serius.

Cakka kembali menoleh namun kali ini dengan air muka was-was. Perasaannya mendadak tidak nyaman. Chelsea pun mengerti kalau ia tidak boleh membiarkan Cakka penasaran terlalu lama.

"Kayaknya gue nemuin Nia-nya lo, Dek."

***

Via keluar dari kamarnya dengan crop sweater pink dan hot pants navy melekat di tubuhnya. Ia tidak ada rencana kemana pun untuk hari pertama pelariannya ini. Seharian ia hanya berdiam diri di dalam kamar menikmati beberapa kaleng minuman bersoda dan sweet pop corn yang dibelinya di supermarket terdekat dari motel. Pekerjaannya hanyalah duduk diam menikmati film yang ia putar di laptop.

Kini sepasang kaki mungilnya yang dibungkus sepatu kets sudah membawanya sampai ke dalam bar yang ada di lantai dasar motel. Dari luar tertulis kalau tempat yang dimasukinya ini adalah bar. Tapi penampakan di dalamnya lebih tepat kalau disebut club.

Suara musik berdentum keras, dikendalikan oleh seorang DJ yang ia tidak tahu juga namanya siapa. Ruangan bar boleh dikatakan cukup luas namun nampak pengap karena terisi oleh banyak orang.

Via sekilas melirik layar ponselnya melihat jam lalu kemudian mengerti mengapa sekarang bar ini ramai dikunjungi berhubung sudah melewati pukul 11 malam. Ia tak lagi mengindahkan keramaian yang ada karena di benaknya sekarang adalah ia harus mencari spot yang sepi yang bisa ia tempati.

Sayang, satu-satunya tempat yang kelihatan 'damai' hanyalah kursi di depan meja bartender. Semua sofa yang ada sudah diduduki oleh berbagai kumpulan orang dan pasangan muda-mudi. Ia menyadari hanya dirinya sendiri yang seorang diri di sini.

"Chocolate milkshake, please!" Pesan Via dengan sedikit berteriak mengimbangi kerasnya volume musik yang mengisi ruangan. Sang bartender mengedikkan kepala menandakan kalau laki-laki itu telah mendengar pesanannya.

Via lantas kembali mengalihkan fokusnya pada sekitar. Ia memperhatikan berbagai orang yang sama-sama berkunjung di tempatnya berada sambil bertanya-tanya dalam hati. Apa mereka yang ada di sini dalam kondisi 'baik-baik saja'? Adakah di antara mereka yang sama seperti dirinya, tengah melarikan diri dan mencoba mencari kesenangan, mungkin?

Via bukan orang yang pandai membaca gelagat seseorang. Jadi yang ia lihat di matanya sekarang ini tidak ada satu orang pun yang pura-pura bahagia. Semua orang berseru keras, tersenyum lebar, bahkan ada yang tertawa dengan puasnya bersama orang-orang di sekitarnya.

Via menghela napas lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan menggunakan lengannya sebagai bantalan. Akahkah hidup akan membawanya juga pada kesenangan yang ia saksikan sekarang? Atau dirinya saja yang sedang kurang bersyukur dan terlalu percaya diri kalau Tuhan sedang mencobanya? Apa kegalauannya saat ini pantas?

Bayangan wajah Fira seketika terlintas di benaknya. Bahkan hingga kisah mengenai kucing yang perempuan itu ceritakan sekarang terputar dengan jelas di kepalanya. Ia kemudian tersenyum tipis.

I'm sorry, Mom...but I'm not that fool...Via anaknya Mika-Miko, kan?

***

"Transaksi terakhirnya dia booking kamar di hotel Mawar." *Gue lupa motel kemaren namanya apa lol*

Gabriel diam memikirkan nama hotel yang baru disebut Damanik. Setelah ia selesai berbicara sebelumnya, Damanik tidak banyak berkomentar. Pria itu menyuruhnya duduk tenang menunggu sembari dia berusaha menghubungi koneksinya di kepolisian.

Beruntung Damanik, yang meskipun seorang tentara, masih memiliki kenalan baik dalam kepolisian. Karena alasan itu juga Damanik menjadi satu-satunya harapan pasti Gabriel. Hingga ia tak sabar menunggu di rumah dan berlari kemari. Tak sampai satu jam, Damanik telah mendapat jawaban sekaligus titik terang keberadaan Via saat ini.

Gabriel lalu mendapat kembali ingatannya mengenai hotel Mawar. Hotel, atau mungkin Motel, yang bersejarah untuknya dan Via. Motel tempat mereka terjebak dulu.

Drrt.....drrt..

Di tengah-tengah pemikirannya, ponsel Gabriel berbunyi. Ia mendapati salah satu teman dalam grup chatnya mengirim pesan yang tak disangka-sangka berkaitan dengan Via.

From : D. Oka

Your good girl lagi di bar. Sendirian. Dengan milkshake nya. But she looks sad. Gabisa gue foto takut ketauan dan dia kabur.

Selain pada Damanik, Gabriel sudah menyebarkan info 'hilangnya' Via pada semua grup chatnya. Ia lebih dulu berpesan agar hal ini tetap menjadi rahasia internal dan disebarluas tanpa dibuka secara umum. Oka adalah satu dari penghuni-penghuni dalam grup tersebut.

Dada Gabriel baru benar-benar damai. Perasaannya berubah lega sekarang. Ia berdiri menghadap sang ayah, senang sekaligus berterimakasih.

"God bless you, Pak."

***

Via tengah mengaduk-aduk milkshake pesanannya tanpa ada asa untuk meminum walau seteguk. Namun, tiba-tiba saja ketenangannya diusik oleh seseorang yang baru saja datang dan dengan lancangnya mengambil alih sekaligus meminum minumannya tersebut.

Via yang sedaritadi menyandarkan kepalanya di atas meja seketika menegakkan badan menghadap si tamu kurang ajar. Ia baru akan membuka mulut mengomel panjang lebar sebelum matanya menangkap jelas wajah orang tersebut. Mulutnya secara otomatis mengatup manakala melihat dengan jelas wajah Gabriel di sampingnya.

"Bolos ajak-ajak kali!" Gerutu pemuda itu dengan senyum tengilnya seperti biasa.

Via masih diam di tempatnya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Alhasil ia juga tidak tahu harus berbicara apa pada Gabriel. Seingatnya, hubungan mereka tidak sedang dalam kondisi baik.

Sekilas ia berdecak pelan. "Din' I say I don't wanna be found?" Gumamnya pada dirinya sendiri. Suara musik yang begitu keras mendukung redamnya suaranya dari siapapun, termasuk Gabriel.

Gabriel memperhatikan diamnya Via lantas memberikan tatapan pengertian. Ia mengusap pelan kepala gadis itu tanpa mendapat penolakan atau protes dari sang empunya. Ia lalu menyungging senyum hangat pada Via.

"Pulang, Vi. Gak seharusnya lo..kita di sini." Gabriel terpaksa mendekatkan wajahnya dan berbicara tepat di telinga Via agar dirinya tidak perlu berbicara keras-keras.

Via menatapnya sambil menggigit bagian dalam bibirnya. Matanya jelas menyorotkan keraguan sekaligus keengganan. Sekali lagi Gabriel tersenyum dan kemudian mengambil tangan gadis itu untuk ia genggam. Ia menariknya sehingga dengan terpaksa membawa Via berjalan menuju keluar bar.

Via yang terlalu 'lelah' lantas dengan pasrah mengikuti kemana pun Gabriel membawanya. Hingga ketika pemuda itu meminta kunci kamarnya, ia hanya memberikan benda itu tanpa mengucap sepatah kata pun. Pikiran atau mungkin nyawanya sendiri sedang tidak menyatu dengan tubuhnya sehingga ia tidak dapat memutuskan apa-apa.

Tidak lama setelah membereskan barang-barang bawaan, Via bersama Gabriel keluar dari kamar sekaligus angkat kaki dari hotel atau motel yang telah Via pesan tadi pagi. Mereka kini bahkan sudah berada dalam perjalanan menuju rumah Ify.

Dari masih berada di hotel hingga sampai mobil Gabriel melaju, Via belum juga mengeluarkan suara. Gadis itu hanya menurunkan kaca mobil di sampingnya dan menumpu dagu dengan tangannya di sana. Matanya mengamati setiap pemandangan yang mereka lewati.

Gabriel sendiri membiarkan apapun yang dilakukan Via meski tetap memastikan keamanan gadis itu. Ia melajukan mobilnya tidak terlalu cepat agar angin yang menerpa wajah Via tidak terlalu kencang. Via bahkan tidak bertanya kemana dirinya akan membawa gadis itu.

Sehingga keputusan sekarang berada di tangan Gabriel. Ia memutuskan membawa Via ke rumah Ify karena merupakan domisili paling 'sepi' di antara yang lain. Sebenarnya Damanik sudah menawarkan untuk membawa Via ke rumah mereka namun ia menolak. Ia ingat kalau ia masih punya 'misi' terhadap Riza jadi ia tidak ingin Via tahu mengenai dirinya saat ini.

Ia juga memutuskan tidak membawa pulang Via ke rumah gadis itu. Akan aneh jika ia mengantar Via ke rumah gadis itu ketika belum lewat sehari kepergiannya. Fira pasti akan curiga dan menjadi cemas akan putrinya. Hal itu akan menambah masalah tersendiri untuk mereka.

Sampai di rumah Ify, Via sudah terlelap dalam duduknya. Kedatangannya disambut oleh Agni, Shilla, dan Ify serta Rio yang sudah lebih dulu berjaga di ruang tamu. Ia mengangkat tubuh Via dan membaringkannya di atas ranjang kamar Ify. Ia terduduk di tepi ranjang tepat di samping tubuh Via.

Ia menoleh pada tiga sekawan yang sudah menyusulnya masuk ke dalam kamar. Ia hanya diam menatapi mereka satu persatu. Ketiga gadis di depannya sontak mengerti apa maksudnya tanpa ia harus berbicara langsung.

Agni lebih dulu paham dan mengode pada kedua temannya yang lain untuk membiarkan Gabriel bersama Via. Tentunya setelah ia menjamin Gabriel tidak akan berperilaku macam-macam pada Via, setelah ia yakin Via akan aman bersama pemuda itu. Ia juga mempertimbangkan jasa pemuda itu yang sudah menemukan Via dengan sangat cepat.

Gabriel duduk bersila seraya bersidekap mengamati bagaimana Via terlelap. Ia sudah berniat akan tetap terjaga malam ini sambil mengawasi gadis di sampingnya. Ia ingin tetap stand by kalau-kalau Via terbangun dan butuh 'bantuan'. Meski alasan sebenarnya adalah ia ingin memastikan gadis itu tidak kabur lagi.

Gabriel sama sekali tidak pernah menyangka kalau kepeduliannya pada Via akan sehebat ini. Ia kaget dirinya menjadi begitu kalut mengetahui Via memutuskan minggat. Padahal jelas-jelas gadis itu menegaskan kepergiannya tidak permanen. Hanya tiga hari. Ulangi. TIGA hari. Ia sudah sampai meminta sang ayah melacak dan teman-temannya menginformasikan keberadaan Via.

"Lucu juga," gumamnya seraya tertawa kecil akan sikapnya.

***

Via sudah tidak tahu lagi tindakan pelariannya ini masih disebut berhasil atau tidak nyatanya dirinya dengan mudahnya ditemukan. Namun, ia tetap tidak hadir ke sekolahnya. Ia juga tidak tahu beban mana yang sebenarnya paling memberatkan untuk dirinya, ayahnya atau justru..Gabriel.

Sebelumnya, ia bangun tidur dan menyadari dirinya berada di rumah Ify, lengkap dengan Gabriel yang sudah duduk manis dan berpakaian rapi di hadapannya. Pemuda itu bahkan ikut tidak masuk sekolah karena dirinya, katanya. Tidak sampai di situ, Gabriel juga memaksa dirinya agar bersiap-siap untuk pergi bermain tennis.

Ya Tuhan, di saat seperti ini pemuda itu justru mengajaknya bermain tennis?!

"Lo gaakan nyesel, Vi."

Berikut pernyataan yang 'sangat' meyakinkan dari Gabriel kala itu. Ia masih terlalu malas untuk berdebat sehingga mau tidak mau ia mengiyakan permintaan, atau mungkin perintah pemuda itu.

Hingga di sinilah mereka sekarang. Hanya berdua di dalam Hall, berdiri di area lapangan masing-masing dengan saling berhadapan. Masing-masing sudah memegang raket sementara bola ada di tangan Gabriel.

"Gue ga main soft ya, Vi. FYI." Gabriel memberi ultimatum sebelum berancang-ancang memukul bola. Via hanya diam memandangnya datar, membiarkan saja apa yang mau ia lakukan.

PUNG! DUK! DUK!

Gabriel sungguh tidak main-main. Pukulannya keras menghantam lantai hingga Via yang tadi diam menjadi terkesiap. Sesaat Via merinding membayangkan seandainya bola itu mengenai wajahnya atau bagian tubuhnya yang lain.

Tapi tidak ketika Gabriel bersuara kembali.

"Segini aja kemampuan lo? Juara 3 tennis putri angkatan gue ternyata lempeng begini?"

Via tidak tersinggung. Hanya sedikit terpicu untuk meladeni Gabriel. Tennis adalah olahraga favoritnya. Ia bahkan sempat bercita-cita menjadi petennis. Hanya saja kemudian ia berpindah haluan untuk berkecimpung di dunia medis saja sesuai dengan angan-angan sang ibu.

Tidak benar-benar hanya sekedar menuruti keinginan Fira, sih. Ia tertarik setelah pernah melihat seorang dokter melakukan pertolongan pada korban kecelakaan lalu lintas. Sikap cekatan sang dokter waktu itu menggugah hatinya.

Biarpun begitu, ia tidak pernah meninggalkan tennis. Ia rutin mengajak ketiga sahabatnya secara bergilir untuk bermain tennis. Ia bahkan me-manage dirinya menjadi kebanggaan petennis nomor 3 di sekolahnya. Ia tidak tahu apa yang kecebong kering di hadapannya inginkan dengan menghinanya sembarangan.

Satu yang ia yakini. Gabriel gak ada kerjaan.

PUNG! DUK! DUK!

Via akhirnya memukul bola dengan cukup keras menuju ke arah Gabriel. Gabriel bukannya mengembalikan bola namun justru menghentikan laju benda bundar tersebut lalu memantul-mantulkannya pelan ke lantai.

"Jangan ditahan, Vi!" Katanya tersirat. Ia menguntal bola lalu memukulnya pelan ke area lapangan Via.

Via sesaat diam memandang Gabriel, belum menangkap maksud ucapan pemuda itu. Lalu kemudian, ia tertegun di tempatnya. Tangannya bergerak meremas raket yang ia pakai kuat-kuat. Ia melangkah satu-satu mengambil bola yang tergeletak tak jauh dari posisinya berdiri.

Via mulai melempar bola ke atas lalu dengan kekuatan penuh memukulnya ke tempat Gabriel. Gabriel mengangguk sambil tersenyum puas. Tujuannya membawa gadis itu kemari sudah tercapai. Walau ia harus tertatih menyambut bola dari Via.

Via tidak pakai 'hati' sama sekali. Ia memukul bola sekeras yang ia bisa, tidak peduli kalau lawan di depannya bukanlah dinding beton melainkan seonggok daging manusia, hidup, dan kini nyawanya mungkin terancam. Salah sendiri sudah nekat 'memancingnya'.

Meski sebenarnya Gabriel adalah lawan yang sangat tangguh. Pemuda itu dengan sabar dan telaten mengembalikan pukulannya serta memberi kesempatan untuknya memukul dengan keras kembali. Adu sengit itu terus berlangsung bahkan hingga Via tak lagi bekerjasama dengan pandangan dan muka datarnya. Via menangis.

Tangisan Via perlahan muncul yang justru makin membuat pukulannya 'mematikan'. Gabriel masih sempat membalas beberapa pukulan namun kemudian ia berpikir Via tak lagi 'butuh' permainan ini. Gadis itu sekarang butuh...sandaran.

Gabriel melepas raketnya begitu saja dan berjalan santai mendekati Via yang termangu di tempat tanpa menoleh ke arahnya. Via tidak mengeluarkan suara, hanya saja dari matanya tidak berhenti keluar cairan bening. Raket gadis itu pun bernasib sama dengan milknya. Teronggok nelangsa di lantai.

Tanpa kata, Gabriel meraih tubuh mungil di depannya untuk ia dekap sekaligus menuntun sang pemilik agar bersandar padanya. Ia juga menepuk-nepuk punggung Via selagi gadis itu masih terisak.

"Udah tau cengen pake sok-sok minta jauhan. Rasain kan gaada tempat curhat?" Ledek Gabriel seraya tersenyum geli. Kalau biasanya Via akan mencak-mencak, kali ini gadis itu memilih diam dan 'menikmati' isakannya. Ia justru menyamankan dirinya bersandar di bahu Gabriel.

"You're surrounded by 4 angels. 3 temen bawel lo...dan gue. Jadi buat apa lari?" Cara bicara Gabriel memang terdengar santai. Namun percayalah, ia tujuh turunan serius.

"I'm mad." Via sudah mulai bisa menenangkan dirinya walaupun masih sesenggukan sesekali.

"Kenapa?" Balas Gabriel tanpa menunggu lama. Ia merasakan Via mengambil napas panjang dan menghembusnya perlahan.

"Papa ga salah, Yel. 'Kami' yang salah.." Suara Via berubah lirih dan kembali serak.

Fvck. Om-om gila itu ga salah dia bilang? Gabriel memaki dalam hati. Rahangnya mengeras menahan emosi yang mulai menanjak.

"Tau yang lebih tragis? The fact that I wasn't born because of 'love'. Gue sedih. But the one who 'deserves' a blame is 'her' cause 'he' was the one who got forced. Kemudian gue gabisa nyalahin siapa-siapa. But it damn hurts. Then I'm mad."

Bikin anak itu kan harus ML dulu. What's even the meaning of making love if there's no love at all? Just having sex? Latihan nembak sperma? The hell, he really did nothing wrong. Dia cuma bajingan aja.

***

Satu. Agni. "Sontoloyo!"

Dua. Shilla. "Parah!"

Tiga. Ify. "Emesh aku!"

Via berusaha sebisanya memasang muka tebal di depan ketiga teman 'terbaik'nya meskipun dari matanya kelihatan tidak enak hati pada mereka. Semua orang menyesali apa yang telah ia lakukan termasuk dirinya sendiri. Ia mengutuk sejadinya setan mana yang sudah berhasil menghasutnya untuk melakukan pelarian sia-sianya kemarin.

"Lo nganggep kita apa, Vi? Lo gatau betapa merasa bodoh dan gak bergunanya kita, yang ngakunya temen lo, tapi lo bahkan ga libatin kita dalam 'fase kritis' lo, ga jadiin kita sebagai tempat paling aman buat lo 'istirahat'? Temenan udah berapa lama, sih, Vi? Apa karena gue ga pernah bilang kata-kata pasaran 'Lo gak sendiri, lo punya kita sahabat lo' sama lo jadi lo seenaknya ngilang gitu aja? Harus banget kita jadi alay kayak gitu dulu?"

FYI, Agni serius marah loh. Namun Via melihatnya justru tersenyum geli. Agni mendelik padanya yang membuatnya mau tak mau menelan lagi lengkungan di bibirnya tersebut.

"Heh, gue marah, Anjing! Shit berkah banget mulut gue!" Tegur Agni pada Via yang pada akhirnya justru menegur dirinya sendiri yang kelepasan. Ia berdiri lalu mondar-mandir sambil mengusap wajah dan rambutnya.

"Auuuu.." Via yang tak ambil pusing tahu-tahu malah mengaum. Sontak delikan ke arahnya bertambah menjadi tiga.

"ITU SRIGALA VIA BUKAN ANJING!" Dumel si tiga srikandi tak kalah kompak.

Tidak, Via tidak mampu menahannya lagi. Ia terbahak di tempat. Ketiga temannya sungguh menggemaskan pun menghibur. Ia jadi makin merasa bodoh telah kabur.

"VIA!!" Lagi oleh tiga srikandi.

Via mengatup mulutnya meski masih menyisakan senyum geli. Ia membentuk peace dengan jari kedua tangannya seraya meminta maaf dengan santai. "Peace, Sis, peace!"

Tapi kalau dipikir lagi, Via jadi merasa tidak menyesal telah kabur. Kepergiannya membuatnya menyadari banyak hal. Kesedihannya ada hanyalah karena dirinya kurang bersyukur. Ia mau-maunya membutakan diri karena satu cinta. Padahal ia punya banyak amunisi cinta yang lain dari banyak orang di sekitarnya.

Gue gak dilahirin karena cinta? The fvcking hell, who cares? I'm alive. I'm blessed.

***

Semua mengalir begitu saja, salah satu di antaranya adalah hubungan Alvin dan Febby. Semenjak Alvin menawarkan diri untuk menjadi saudara laki-lakinya, Febby tak pernah absen menggoda pemuda  itu  dengan selalu memanggil 'Kak Alvin' diiringi nada manja yang amat menyebalkan.

Meski kerap jengkel, sebenarnya dalam hati Alvin merasa senang. Jujur ia begitu menyukai kedekatannya dengan Febby, begitu pula sebaliknya. Keduanya tenggelam dalam peran baru masing-masing tanpa menyadari kalau mereka bisa saja terperangkap pada situasi yang mereka sendiri tidak ingin itu terjadi.

Suatu malam, Alvin terbangun dengan sosok Febby di sampingnya yang masih terlelap. Hari itu mereka baru saja menyelesaikan minggu yang cukup berat. Kelas mereka sedang dilanda ulangan beruntun. Semalaman mereka   belajar bersama hingga lewat tengah malam.

Beruntung soal ujian yang keluar tidak terlalu susah. Setidaknya bagi Febby, ia masih bisa mengerjakannya meskipun ia tidak janji nilainya bisa lebih dari 70. Kebetulan dirinya juga tidak pernah berharap mendapat skor tinggi. Yang penting lulus, pikirnya.

Setelah pulang sekolah, Alvin awalnya berniat mampir sejenak ke kamar Febby berhubung kamar Febby lebih dekat dari pintu masuk rumahnya. Tanpa disengaja mereka justru sama-sama tertidur di atas ranjang kamar Febby. Ketika lebih dulu terbangun, Alvin mencuri kesempatan untuk memperhatikan Febby tanpa sepengetahuan gadis itu.

Alvin memandang wajah lelap Febby dengan kepala dipenuhi berbagai hal. Ulasan-ulasan ketika baru pertama kali bertemu, dari yang awalnya benci setengah mati sampai terbentuk hubungan kakak-adik seperti saat ini, berputar-putar di benaknya. Kalau saja ibu Alvin tidak punya ide unik untuk membawa Febby ke rumah mereka, hari-hari pertemuannya dengan Febby sudah pasti diisi oleh perseteruan.

Mungkin  hal  itulah yang menjadi alasan mengapa mereka berdua merasa nyaman  dengan  keakraban mereka. Setidaknya, mereka akan menjalani hari demi  hari  dengan damai tanpa perlu menguras energi meregangkan urat-urat di  wajah.

Walau makin ke sini, baik Alvin maupun  Febby  sama-sama merasa aneh dengan rasa nyaman tersebut. Namun,  keduanya  memilih menyimpan hal yang 'mengganjal' tersebut pada diri   masing-masing. Karena bila mereka saling terbuka, hal 'mengganjal'   tersebut justru akan terasa lebih nyata.

"Kalo lo diem di sini cuma ngeliatin muka gue doang, balik sana ke kamar! Gue   pengen tidur tenang." gumam Febby dengan mata masih tertutup rapat.

Alvin   menumpu sikunya ke bantal dan menyandarkan sebalah wajahnya pada telapak tangan dengan pandangan justru makin intens mengarah pada wajah Febby.

"Kenapa? Kayak lo bakal grogi aja kalo gue liatin!" ejek Alvin. Niatnya, sih, bergurau.

Namun, tanpa disangka Febby membuka mata dan menatap Alvin seraya memasang air muka serius. Gadis itu bergeming dan terus menatapnya tanpa  berkedip  hingga membuat Alvin sadar akan situasi bahaya yang sedang  terjadi.

Sumpah  demi Tuhan, setelah Shilla,  tatapan Febby saat ini adalah hal kedua  yang membuat jantungnya  berdegup tidak sabaran. Bila Shilla membuat  hatinya bergetar bahagia,  Febby justru membuatnya takut tujuh turunan.  Ia takut kalau Febby  ternyata menyukainya.

Tidak,  tidak. Biar ia  coba perbaiki faktanya. Ia bukan takut dengan kenyataan  Febby  menyukainya. Namun, ia merasa takut karena dugaan Febby  menyukainya  membuat denyut jantungnya menjadi tidak karuan.

Masalahnya, dulu Febby sudah pernah menyatakan cinta terang-terangan kepadanya, meskipun hanyalah rekayasa belaka, dan seluruh dirinya tidak bereaksi apa-apa. Tapi sekarang, ia justru berdebar.

Febby menutup matanya kembali dalam diam yang membuat fantasi Alvin menjadi semakin liar. Pikiran tentang Febby menyukainya tidak bisa ia enyahkan dari otaknya. Pada akhirnya ia memilih menyerah dan memutus jalannya drama yang sedang berlangsung. Ia tidak memerlukan pembenaran dari mulut Febby karena itu sama sekali tidak membantu menstabilkan hubungan di antara mereka yang tengah tergoncang.

Alvin menegakkan tubuhnya segera dan turun dari ranjang. Ia mulai melangkahkan kaki hendak beranjak. Akan tetapi, langkahnya yang belum seberapa itu harus berhenti karena Febby tiba-tiba bersuara.

"Ga nanya kenapa gue grogi?"

Sial. Alvin mengumpat tertahan dalam hati. Ia sungguh tidak berharap apapun keluar dari mulut Febby sekarang. Jangan bilang kalo sekarang dia mau nembak gue lagi? Mati gue. Mati.

Buk!

Tiba-tiba suasana tegang tadi sirna seketika. Bukan pernyataan cinta seperti  yang  sudah ia wanti-wanti sebelumnya, Alvin justru menerima lemparan  bantal  dari Febby. Wajah gadis itu menyeringai penuh kemenangan.

"Gue cuma ga suka tidur diliatin. Muka bantal gue kan ga manusiawi bego!" keluh gadis itu.

Saat itu juga umpatan melaju keluar begitu saja dari mulut Alvin tanpa sempat lagi di rem. "Sial! Asu! Gue kira lo mau nembak gue, 'njing!" Ia   menggerutu namun dengan ekspresi lega di wajahnya. Ia tersenyum lemah sukses terbodohi oleh trik Febby, untuk kesekian kalinya. Gadis itu   benar-benar harus ia beri pelajaran kapan-kapan.

Febby terkekeh pelan di tempatnya. Alvin lantas memungut bantal 'penyelamat' tadi dan mengembalikannya ke kasur. Ia tidak benar-benar menaruhnya melainkan membiarkan benda tersebut sedikit melayang di udara dan akhirnya terjatuh tepat di atas muka Febby.

"Awas ya. Tunggu pembalasan gue!" Alvin memberikan peringatan yang sekaligus menjadi ucapan selamat tinggalnya sebelum keluar dari kamar Febby dan kembali menuju kamarnya. Febby hanya tersenyum miring ke arahnya.

Ketika keduanya tak lagi bertatap muka atau berada di tempat yang terjangkau oleh pandangan masing-masing, mereka sesaat membeku dan diam-diam menghela napas lega. Alvin bersandar pada pintu kamarnya yang telah   tertutup lalu kemudian beranjak memasuki kamar seraya geleng-geleng   kepala.

Sementara Febby tetap ditempatnya dan memilih melanjutkan tidurnya yang terpotong beberapa saat lalu.

"Selamet, selamet.." gumamnya pelan.

***

Agni duduk bersila pada  bangku di depan meja riasnya. Ia memandang lekat refleksi dirinya di  cermin. Ia kemudian menggelengkan kepala tidak puas dengan apa yang  dilihatnya.

Sedari tadi mencoba menirukan ucapan seorang pramugari yang ia tonton di youtube ketika  sedang memeragakan pemakaian sabuk pengaman, masker, dan baju  pelampung. Ia berusaha keras membuat wajahnya menjadi 'layak' namun yang  terlihat justru canggung luar biasa.

Ia lantas  dengan serius memperhatikan ulang video sang pramugari. Lantaran terlalu  fokus, ia jadi tidak sadar kalau di sebelahnya sudah ada Kiki yang ikut  menonton bersama dirinya. Ia baru sadar setelah merasakan hembusan  napas pemuda itu di sebelah lehernya.

"Loh?! Sejak kapan lo muncul?" Kaget Agni.

Kiki  meliriknya sekilas lalu kembali pada layar ponsel Agni seraya tersenyum  geli. "Sejak lama." Balasnya asal yang terdengar menjijikkan di telinga  Agni. Sudah seperti pujangga saja.

Kepedulian  Agni hanya sesaat karena tak lama setelahnya, gadis itu kembali fokus  pada video di ponselnya. Kiki lantas kembali meliriknya. Kali ini karena  penasaran.

"Ngapain nonton ginian?"

Agni langsung menjawab tanpa membuat Kiki menunggu. "Kepikiran cita-cita masa kecil gue."

Kiki  menegakkan tubuhnya lalu bersidekap. Ia memutar badannya dan menumpu  bokongnya pada tepi meja sehingga dirinya kini berhadapan dengan Agni  sekaligus menjadi leluasa memandang adiknya itu.

"Apaan? Jadi pramugari?" Tanyanya antusias. Agni berdehem tanpa menjawab lagi.

"Seriusan? Sampe sekarang?" Sahutnya seraya memandang Agni takjub. Kali ini gadis itu menjawabnya dengan kedikan bahu.

Ia  berseru 'waah' pelan diiringi anggukan kepala beberapa kali. Agni sama  sekali tidak terpengaruh dengan reaksinya dan tetap fokus menyimak  video. Ia kemudian bertanya untuk yang terakhir kali.

"Kok bisa pengen jadi pramugari?"

***

Nia  menyipit melihat layangannya yang terbang stabil jauh di atas sana. Ia  duduk dengan menjadikan kaleng untuk gulungan benang sebagai alas. Angin  saat ini cukup bersahabat untuk menerbangkan layang-layang.

Nia lalu memangku kedua pipinya dengan kedua tangan sambil menatap menerawang pada layangannya.

"Jadi  layang-layang enak ya, bisa liat semua orang yang ada di bawah."  Gumamnya pelan berbicara sendiri berhubung tidak ada anak lain di  dekatnya.

Nia menghela napas lalu kemudian  tersenyum tipis. Ia teringat akan Aga si kawan karibnya yang 'hilang'  serta...ibunya yang ia tidak tahu namanya. Ia tidak bisa menampik  perasaan rindu yang seketika menjalar di hatinya.

"Jadi  pramugari ah! Siapa tau bisa ketemu Aga sama Ibu." Nia mengakhiri  kalimatnya lagi-lagi dengan senyuman meski sekarang jauh lebih lebar.  Membayangkan ia bisa benar-benar bertemu dengan dua orang kesayangan  sekaligus yang ia rindukan membuat dadanya bergemuruh karena senang.

***

"Polos banget ga sih gue pas kecil?" Seru Agni seraya tertawa kecil yang membuat Kiki mengembangkan senyum terpesona.

"Iya, masih suci. Pas gede fvck-shit-jing mulu, hahaha.."

Agni  baru berancang-ancang memukul pemuda di depannya lalu lekas ia urungkan  dan beralih mengutuk dirinya sendiri. "Bangs—hais, lo bener lagi  hahaha.."

Wajah Agni kemudian mendadak berubah  antusias. Ia sedikit menggeser posisi duduknya agar tepat berhadapan  dengan Kiki. Ia memandang pemuda itu dengan fokusnya sementara Kiki diam  menunggu aba-aba.

"Coba deh liatin gue!" Serunya. Ia memulai kembali latihan ala-ala pramugarinya di depan Kiki seraya meminta pemuda itu menilai.

Permintaan  Agni sebenarnya sangat sederhana. Akan tetapi, tidak ada hal lain yang  lebih menyenangkan bagi Kiki selain menjadi tempat gadis itu mengadu.  Tidak ada hal lain yang lebih membahagiakan bagi Kiki selain menjadi  seseorang yang dibutuhkan oleh Agni. Hatinya selalu menghangat tiap kali  tahu kalau dirinya adalah tempat ternyaman Agni bersikap apa saja. That cool girl yall know is also the one who never lets my arms feel alone wherever we are.

Sayang gue sama lo, dek.

"Gimana? Awkward ga? Potensial gak gue?" Tanya Agni dengan tampang begitu menunggu.

Kiki mencebikkan bibirnya seraya memicing ke arah sang adik. "Wish I'll never take your plane later." Komentarnya kemudian dengan kurang ajar.

Agni  lantas mendengus namun tidak tersinggung. Ia justru tertawa dan setuju  dengan pemuda itu. "Kakak gue emang paling bener!" Serahnya.

Kiki  tak tahan lagi untuk menyentuh kepala sang adik. Gadis itu sungguh  menggemaskan saat ini. Tidak, sih. Sepertinya setiap saat kalau ia tidak  ingat Agni dapat berpikiran aneh padanya, ia pasti sudah mengukung  gadis itu dalam pelukannya. She's just adorable effortlessly.

"Gak deng. Bagus. Lo cantik." Puji Kiki tulus setelah tawanya redam.

Agni  seketika merespon dengan menumpu dagunya dengan kedua telapak tangan  lalu berkedip manja pada Kiki, menunjukkan tampang imut dibuat-buat.  "Beneran?" Godanya.

Kiki mendengus seraya  memutar kedua bola matanya jengah. Ia menghalau kedua tangan usil Agni  dari wajah gadis itu. Agni lantas kembali terkikik geli dan menormalkan  kembali ekspresinya.

She's not adorable. But she's so fvcking adorable. Gakuat abang, dek!

***

Shilla duduk di salah satu kursi kosong di dalam cafe sebuah mall sambil menunggu frappucino pesanannya selesai. Hari ini moodnya sedang kurang bersahabat. Kali ini bukan karena Alvin, walaupun pemuda itu juga mengambil porsi beberapa persen, tapi karena Ify.

Ia masih kesal dengan keputusan sahabatnya untuk mundur dari jabatan kapten sekaligus tidak lagi menjadi anggota club cheers yang sudah dipimpinnya hampir setahun dan sudah mereka ikuti dari tahun pertama sekolah. *Rify nanti ya*

Yang membuatnya kesal lebih tepatnya adalah karena tindakan yang Ify pilih adalah tindakan yang paling tepat. Ia kesal karena tidak ada yang bisa diperbuat agar Ify bisa bertahan. Bagaimana bisa temannya itu bertahan kalau 80% penghuni klubnya menginginkan Ify mundur? Satu suara darinya tidak akan ada gunanya. Maka dari itu ia kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu sahabatnya.

Di samping itu, seperti biasa, ia juga terganggu dengan kekasihnya tercinta akhir-akhir ini. Entah kenapa, ia mulai merasakan keanehan pasca pembicaraan lewat ponsel waktu itu. Ia merasa sikap Alvin ikut berubah.

Pemuda itu terasa tidak sehangat biasanya. Dia juga seperti berusaha menghindarinya dengan mempersingkat durasi komunikasi mereka lewat telepon. Alasannya selalu sama, yaitu Alvin harus belajar untuk ulangan susulan atau mengerjakan tugas.

Ia juga cukup sering mendapati kekasihnya seperti sedang termenung sehingga tidak mendengar ucapannya. Yang paling menarik perhatiannya adalah ketika ia bercanda bertanya apakah pemuda itu mencintainya, Alvin terdengar kaget dan menjawab dengan gelagapan.

Ia tidak berani untuk bertanya langsung atau bertukar pendapat soal perubahan tersebut dengan Alvin. Ia sendiri yang waktu itu bertekad ingin berubah menjadi lebih kalem namun ia sendiri pula yang merasa tidak yakin dan was-was. Ia tidak tahu apa memang ada sesuatu yang terjadi pada Alvin atau ini hanyalah bagian dari masa transisi perubahan sikapnya sehingga hatinya menjadi jarang terasa tenang.

Lantas, itulah yang membuat kakinya melangkah menuju cafe segera setelah jam pulang sekolah. Ia butuh sedikit suasana cerah dan minuman menyegarkan untuk membersihkan noda-noda pikiran. Ia juga sengaja tidak meminta ditemani siapa pun karena ia butuh merefleksikan diri. Bagaimanapun, hal yang mengganjal benaknya berasal dari pemikirannya sendiri sehingga yang bisa menyelesaikan tentunya dirinya sendiri pula.

"Kak Shilla!" Pelayan akhirnya menyerukan namanya dan Shilla tanpa menunda lagi langsung menghampiri sang pelayan dan mengambil frappucino pesanannya.

Setelah mengucapkan terimakasih, Shilla beranjak hendak keluar dari cafe. Ketika sudah melewati pintu, mata Shilla tanpa sengaja menangkap sosok Chris duduk seorang diri di kursi luar cafe. Tampilannya rapi seperti biasa namun tetap tampak casual. Pemuda yang sebelumnya mengganggu harinya itu seperti sedang menunggu seseorang.

Setelah rutin mendatangi dan membuat hari-harinya seperti banyak masalah, Chris tiba-tiba menghilang. Setelah kejadian Chris dan Lala yang waktu itu ia lihat di sekolah, pemuda itu mendadak tidak ada kabar. Ia sebenarnya sungguh sangat tidak keberatan kalau Chris tidak lagi muncul di depan matanya. Namun, ia tidak bisa mengelak kalau ia jadi penasaran dengan pemuda itu. Bagaimana pun, ia juga butuh tahu alasan pemuda itu tiba-tiba datang dan pergi.

Kaki Shilla melangkah secara otomatis mendekat ke meja Chris bahkan duduk di salah satu kursinya tanpa menyapa. Chris tampat kaget akan kehadirannya sementara ia hanya memasang tampang penuh tanya pada pemuda itu. Tidak seperti sebelumnya, melihatnya justru membuat Chris mendengus dan melenguh pelan.

"Ganggu gue nya jangan sekarang, ya, tolong.." pinta pemuda itu dengan ekspresi agak frustasi.

Shilla menaikkan sebelah alisnya makin bingung pada Chris. Yakin? Gue? Yang ganggu dia? Pikirnya sedikit takjub.

"Shit!"

Belum sempat ia menjawab, Chris tiba-tiba menarik tangannya hingga ia berdiri dari kursi dan membawa serta menempatkannya dengan paksa pada meja di sampingnya. Chris lalu buru-buru kembali ke mejanya dan bertepatan dengan itu seorang gadis menghampiri mejanya dan duduk di salah satu kursi. Gadis itu tak lain adalah Lala, entahlah sang pacar atau sang mantan. Kemungkinan besar sih mantan karena saat pertemuan di sekolah waktu itu, Lala bersama pemuda lain. Dikarenakan meja mereka bersebelahan, Shilla dapat mencuri dengar obrolan Chris dan Lala.

"Kenapa lagi?" tanya Lala yang kedengaran agak emosi.

"Kamu mau mesen apa?" tawar Chris yang segera disambut balasan datar dari Lala. "Gue dateng bukan niat mau ngedate sama lo."

Senyuman di wajah Chris sedikit mengendur meskipun wajahnya tetap tenang. Pemuda dengan paras bule itu menghela napas pelan. *sebenernya gue agak kurang srek gitu sama ini orang aslinya tapi karena sudah terlanjur dijadikan tokoh sebelumnya mau gimana lagi, kalo tetiba gue ganti mimi peri kan ntar pada kaget*

"Salahnya ada di aku atau kamu, sih, La?" Chris mengawali diskusi 'hangat' mereka dengan halus.

Shilla merasa rambut-rambut tipis di sekitar lengannya berdiri. Aura Chris dan nada bicaranya benar-benar berbeda dari yang sudah pernah ia dengar selama ini. Seramah-ramahnya Chris padanya, suaranya ketika mengajak Lala bicara benar-benar sangat lembut. Itu juga yang membuatnya berpikiran kalau pemuda itu masih menyimpan perasaan yang besar pada Lala. Umm..ia jadi sedikit simpati.

Lala mengalihkan pandangan dan memperhatikan orang-orang di sekitar sekilas sebelum menjawab pertanyaan Chris padanya. "No..no one. We're just...not meant for each other."

"Jangan nyoba-nyoba jadi lebih pinter dari Tuhan, La." ujar Chris sarkastik. Ia berusaha sebisanya menahan emosi dan menjaga suaranya agar tetap terdengar bersahabat.

"Okay, then it's me! Gue yang salah. Gue yang udah ga mau sama lo. And please stop your aku-kamu thing. It's annoying when we're not in a relationship anymore." Lala belum mau menyerah.

Chris lantas kembali bertanya dengan cepat. "Then, why? What makes him better?"

"Chris, lo harus tau, ga semua hal itu harus ada alesannya. Yang perlu lo ngerti adalah kita udah selesai, udah LAMA, dan gue udah gak lagi dalam posisi bebas ngebahas hubungan gue sama lo terus-terusan. Chris, I have had a man now, yang mesti gue jaga perasaannya."

Chris tertawa kering sekering hatinya saat ini. Mengetahui Lala begitu memikirkan pria barunya membuat mata air dalam dirinya seketika menyusut. "Like you have ever mind to take care of mine, huh?"

Lala mendengus kesal. Ia kelihatan sudah tidak tahan untuk lebih lama bersama Chris. Ia benar-benar ingin menghilang saat ini juga. "Stop. Kalo kayak gini ga bakal ada abisnya. Chris, ini terakhir kali gue bersedia lo hubungin dan lo minta temuin. Kita udah selesai dan diskusi kita hari ini gue anggap juga udah selesai. Sebelum gue ngomong yang enggak-enggak, gue permisi. Kalo lo masih mau bahas soal 'kita', jangan coba-coba buat hubungin atau nemuin gue lagi. Fix your mind first, please!"

Tanpa mendengar jawaban Chris terakhir kali, Lala segera angkat kaki tanpa menolehkan kepala sedikit pun. Chris duduk pasrah tanpa melakukan sesuatu yang berarti untuk menghentikan mantan kekasihnya itu. Kebetulan memang ia tidak lagi punya sesuatu yang bisa menarik gadisnya kembali.

Shilla menyeruput sedikit frappucino miliknya untuk membasahi mulutnya yang terasa hambar. Drama nyata yang ia saksikan benar-benar seru hingga dapat membuatnya betah duduk diam dan menonton sampai habis. Bahkan sampai kedua peran utama meninggalkan tempat kejadian. Chris tak lama kemudian menyusul Lala, kurang tahu benar-benar menyusul atau tidak, meninggalkan cafe tempat mereka tadi berbicara.

Shilla kini benar-benar duduk seorang diri. Selain dirinya, tidak ada lagi orang lain yang juga sedang menempati meja cafe di bagian luar. Alhasil, Shilla akhirnya memutuskan untuk undur diri pula dari tempat tersebut. Ia sampai di depan lift yang masih tertutup dan setelah menekan tombol, ia berdiri menunggu sampai pintunya terbuka.

Ting!

Lift akhirnya terbuka dan tanpa disangka sudah ada sosok Chris di dalam sana. Pemuda itu bersandar sambil melipat kedua tangannya dan menatap Shilla datar. Shilla awalnya sempat ragu namun pada akhirnya tetap menaiki lift yang sama dengan Chris tersebut. Entah kebetulan atau tidak, tidak ada orang lain lagi yang masuk dan itu artinya mereka akan turun menggunakan lift yang sama.

Shilla hendak menekan tombol tujuan namun Chris menahannya duluan. Chris menahan tangannya dan mewakilinya menekan tombol yang akan membawa mereka menuju parkiran mall. Ia lantas memandang pemuda itu bingung.

"Biar gue anter." tukas Chris. Ucapannya bersifat tidak terima penolakan dan kali ini Shilla memilih tidak protes. Catat ya, hanya untuk kali ini.

Setelah itu, mereka kembali membisu. Shilla diam karena mendadak merasa canggung sedangkan Chris sedang berusaha meredakan semua kepulan asap yang memenuhi kepalanya.

"Minuman lo kayaknya enak," tiba-tiba Chris menyeletuk.

Shilla cukup kaget lantas menoleh pada Chris lalu minumannya secara bergantian. Ia kemudian menyodorkan minumannya tersebut pada pemuda itu. "Masih ada setengah," tawarnya.

Chris tanpa babibu meraih frappuccino milik Shilla yang diberikan kepadanya dan meminumnya hingga tak bersisa. Bahkan, suara-suara tetesan terakhir begitu terdengar jelas membuat Shilla sedikit merasa geli dalam hati. Abis putus mah bawaannya aus emang. Pikirnya.

Ketika mobil Chris sudah beranjak meninggalkan mall, baik Chris maupun Shilla masih belum ada yang bersuara. Shilla mencuri pandang beberapa kali pada Chris. Hanya sekedar memastikan pikiran pemuda itu masih tersisa untuk menyetir dengan benar. Ia tidak mau mati konyol karena kecelakaan bersama pemuda jomblo nyeleneh seperti Chris.

Namun, Shilla ternyata dapat menangkap ekspresi lain yang dicetak Chris pada wajahnya. Tanpa perlu bicara pun ia tahu saat ini pemuda itu benar-benar sedih. Ia juga dapat memastikannya lewat napas pemuda itu yang sedikit tidak teratur. Kepala Shilla memikirkan sesuatu yang mesti ia lakukan namun ide tersebut amat bertentangan dengan nuraninya. Ia mencoba berpikir berulang kali hingga akhirnya ia menyerah.

Shilla tiba-tiba menyuruh Chris menepikan mobilnya ketika memasuki jalan yang sepi dan tidak ada larangan untuk parkir atau berhenti sebentar. Chris menunjukkan wajah kebingungan namun menuruti saja apa yang ia perintahkan. Setelah mobil sudah benar-benar berhenti, ia menoleh pada pemuda di sampingnya.

"Sini!" Perintah Shilla pada Chris kembali. Ia memberi isyarat lewat tangannya agar Chris mendekat.

Chris lantas menatapnya curiga. "Mau ngapain lo?"

Setelah sekian lama, baru kali ini Chris bersikap kurang ramah padanya. Namun, Shilla tidak ambil pusing karena sekarang ia justru hendak berbuat baik pada pemuda itu.

"Nurut aja!" Tegas Shilla.

Di tengah kebingungan, Chris kemudian perlahan mendekatkan dirinya pada Shilla. Tiba-tiba, tanpa sempat terpikir olehnya, Shilla mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher dan bahunya. Gadis itu memeluknya. Ajaib. Kemarin-kemarin, hanya dengan menyapa gadis itu, ia sudah mendapatkan beribu cacian. Sekarang, dengan sadar penuh dan atas inisiatif gadis itu sendiri, Shilla memeluknya.

"Jangan salah sangka. Gue cuma mau membantu atas dasar rasa kemanusiaan. Lo pasti ga mungkin bisa nangis kalo sama temen-temen cowok lo, kan? Yaudah, puas-puasin sekarang. Gue ga bakal nanya apa-apa." jelas Shilla agar tidak timbul kesalahpahaman dari Chris, juga dirinya sendiri. Melakukan hal ini sungguh adalah pertimbangan berat baginya.

Chris sesaat bergeming tapi kemudian kedua tangannya perlahan bergerak menyambut perlakuan Shilla. Pemuda itu menjatuhkan wajahnya di bahu Shilla dan tertawa kecil. "I'm so touched." gumamnya pelan.

Shilla mengangkat separuh bibirnya lalu memutar kedua bola matanya malas. Ia tidak membalas apapun. Hanya tangannya yang ritmis bergerak menepuk pelan punggung Chris, menjadikannya sebagai pengiring isakan pemuda itu yang akhirnya benar-benar keluar. Chris menangis tanpa suara membuat Shilla jadi merenungkan dirinya sendiri.

Putus segitu sedihnya, ya? Apa gue juga bakal kayak gini nanti?

Sekelebat bayangan tak mengenakkan seketika menghentakkan kesadaran Shilla. Ia kemudian menggelengkan kepala pelan berusaha menghalau pikiran-pikiran tidak masuk akal yang menyapa dirinya.

Mikir apa gue barusan?

***

Cakka duduk memainkan ponselnya sembari menunggu minuman pesanannya selesai. Sejak ucapan Chelsea tentang Nia, kepalanya tidak pernah absen memikirkan itu. Ia tidak bisa berhenti takut pada dirinya sendiri.

Hanya karena mengetahui Agni adalah Nia, sebelumnya ia bisa mengindahkan perasaannya untuk Febby. Ia dengan mudahnya berpaling pada Agni. Ia tidak tahu apakah domplengan nama 'Nia' atau memang Agni yang punya kekuatan besar dalam mempengaruhi hatinya. Kalau memang karena 'Agni', ia malah tidak keberatan.

Masalahnya adalah kalau itu karena 'Nia', ia jadi khawatir. Chelsea beberapa waktu memberitahu dirinya kalau ada seseorang yang dapat dijadikan kandidat sebagai Nia. Orang itu memesan kalung yang sama persis dengan milik Agni. Orang itu bilang kalungnya hilang saat dirinya kecil, ketika masih tinggal di panti yang sama dengan yang Cakka dan 'Nia' tinggali dulu. Panti Minuet.

Tidak logis kalau mereka menyebut ini sebagai kebetulan. Semuanya sesuai dengan pola. Itu juga membuatnya bingung. Kalau orang itu adalah Nia, lalu Agni siapa? Agni juga kan punya kalung yang sama persis. Atau Agni yang merupakan kebetulan di sini?

Di saat dirinya tengah berpikir, matanya tak sengaja menangkap sosok yang amat dikenalnya. Sepasang muda-muda baru saja masuk ke cafe tempatnya berada. Ia memperhatikan kedua sejoli itu bahkan ketika selesai memesan dan hendak mencari meja untuk ditempati. Ia kenal betul dengan si prianya. Ia tersenyum sinis manakala melihat lengan si pemuda mengalung indah di bahu si gadis.

Cakka tidak melewatkan kesempatan untuk 'menyapa' dua tamu yang menarik perhatiannya itu ketika mereka berjalan melewatinya. "Pacar baru, Bro?"

Kiki, si pria yang dibicarakan, menoleh dan seketika berhenti. Gadis di sampingnya memandang Cakka dan Kiki bergantian.

Tidak seperti biasanya, Kiki sama sekali tidak kelihatan emosi. Pemuda itu benar-benar tenang bahkan menyempatkan diri meminta gadis yang digandengnya untuk mengambil tempat lebih dulu. "Kamu duluan gapapa, kan? Aku mau ngobrol bentar."

Si gadis hanya mengedikkan bahu santai lalu kembali melanjutkan langkahnya mencari tempat sesuai dengan titah Kiki. Kiki lalu beralih menatap Cakka dan menghela napas pelan. Ia tanpa permisi kemudian menduduki kursi di depan Cakka.

Cakka menaikkan alisnya lalu kemudian tertawa sarkastis. "Ya ya ya, selama ini gue doang yang brengsek. Gue doang, kok."

"Sekarang cuma tentang lo sama Agni. Gue mundur." Ujar Kiki setelah cukup lama hanya menjadi penonton Cakka seraya mengangkat sebentar kedua tangannya.

Senyum Cakka memudar berganti dengan tampang sangsi pada pemuda di depannya. "Kenapa? Karena udah ketemu gandengan yang lebih menarik?" Tukasnya.

Kiki tersenyum tipis lalu menggelengkan kepala. Sikapnya sungguh tenang yang membuat Cakka mendadak terhenyak sendiri. "Karena gue abangnya."

Hanya satu kalimat namun sudah bisa membuat tubuh Cakka mendadak kaku. Sorot mata Kiki benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada hawa-hawa permusuhan seperti yang sudah-sudah. Senyumnya tulus dan begitu juga ucapannya. Baru kali ini Cakka merasa pemuda itu lebih tua darinya.

"Lo tau apa untungnya 'cuma' jadi abangnya? Gue ga akan punya kesempatan nyakitin dia." Ujar Kiki seraya terkekeh pelan. Wajahnya tampak benar-benar senang. Bukan senang yang bermaksud mengajak Cakka kembali bertengkar.

"So, terserah lo berdua mau apa. Gue gabakal ikut campur. Good luck." Lagi-lagi Kiki berkata dengan tenangnya.

Cakka masih belum menemukan kata-kata yang tepat diucapkan. Ini benar-benar plot twist yang tidak diduga-duga dalam hidupnya. Ia bisa mendapati Kiki mau berdamai dan mengalah padanya? Habis solat malam apa dia kemarin?

"Jangan lupa aja sebelum lo mau main-main, gue itu abangnya Agni." Kiki masih dengan sikap santainya. Namun, ucapan terakhir kali ini mengandung peringatan keras tersirat untuk Cakka. Mengatakan kalau ia yang akan pasang badan bila Cakka bersikap kurang ajar pada Agni.

Kiki pamit dengan baik-baik sama seperti kedatangannya sebelumnya. Ia juga sempat menepuk pelan sebelah pundak Cakka sebelum benar-benar berlalu.

Sementara Cakka masih terkesiap di kursinya. Ia lalu tersadar ketika pelayan memanggil namanya untuk mengambil minuman yang ia pesan. Ia geleng-geleng kepala takjub.

Sayang, mulai saat ini ia justru makin berpotensi 'mengusik' ketenangan Agni dengan kemunculan 'Nia'. Di saat Kiki sekarang justru lebih leluasa menghajarnya karena pemuda itu sudah benar-benar menjadi saudara laki-laki Agni.


***

Setelah kejadian 'bercanda' di kamar Febby waktu itu, Alvin sekarang justru berusaha menghindari gadis itu. Biasanya ia kerap berkunjung ke kamar Febby atau Febby yang mendatangi kamarnya. Tapi saat ini, bahkan untuk sekedar melewati area kamar Febby pun tidak. Tiap Febby datang ke kamarnya ia akan berpura-pura tidur. Ia juga jadi sering mengunci kamarnya sehingga orang lain menjadi tidak bebas masuk tanpa sepengetahuannya.

Setiap hari ia merenungi dirinya, lebih tepatnya perasaannya. Ia memikirkan Shilla dan ia juga memikirkan Febby. Dua gadis itu berhasil membuat pikirannya kelabakan. Perasaannya pada Shilla masih tetap sama dan tidak berubah sekali.

Namun, yang ia tidak mengerti adalah bagaimana perasaannya pada Febby. Gadis itu tahu-tahu berhasil mencuri 'perhatian' yang membuatnya bingung sendiri bagaimana menerjemahkan apa yang ia rasakan.

Alvin pikir ia hanya merasa iba pada Febby namun lambat laun timbul rasa ingin melindungi yang akhirnya ia perjelas menjadi rasa sayang. Damn. Ia tidak bisa berbohong. Ia memang telah menyayangi Febby.

Tapi, ia sendiri tidak yakin ke arah mana perasaan tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri kalau ia hanya menganggap gadis itu sebagai adiknya. Namun, ia sendiri tidak bisa bersikap tegas pada dirinya sendiri sehingga sampai sekarang ia masih bertanya-tanya.

Sementara itu, Febby menyadari keganjilan di antara dirinya dan Alvin. Ia sadar betul ada yang berubah pada hati masing-masing. Namun sama seperti Alvin, ia juga tidak paham dan bisa menentukan perasaan apa yang menghinggapi mereka saat ini. Ia hanya tahu kalau dirinya punya perasaan sayang pada Alvin, begitupun sebaliknya.

Ia berusaha tidak mengungkit hal ini supaya hubungan mereka tidak berjarak lebih jauh lagi. Tapi, sekarang ia sudah tidak tahan. Semakin ia pendam, jarak di antara mereka justru makin renggang. Ia harus bertindak. Tidak, mereka berdua harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi ini.

Febby membuka pintu kamar Alvin yang kebetulan tidak terkunci dan masuk begitu saja tanpa permisi lebih dulu. Ia menemukan Alvin tengah berbaring bersandar di atas ranjang dengan sebuah komik di tangan.

Pemuda itu menoleh ke arahnya dan kelihatan sedikit panik mendapati kedatangannya yang tiba-tiba. Itu cukup untuk membuktikan kalau Alvin selama ini memang berniat menghindarinya.

"Ketok dulu kali! Gue kirain maling tadi!" Tegur Alvin. Ia berusaha mati-matian menyembunyikan perasaan groginya saat ini dengan pura-pura syok.

Febby diam dengan pandangan datar dan lurus mengarah padanya. Gadis itu lagi-lagi tanpa permisi duduk di tepi kasurnya lalu beralih menatapnya serius. Saat itu juga dunia Alvin terasa terguncang.

"We both know we do have something to talk, seriously." Febby membuka diskusi dengan nada serius dari awal.

Alvin diam dan seketika menghela napas berat. Ia sudah tidak bisa melarikan diri lagi. Ia sungguh skak mat sekarang.

"Tapi kita juga sama-sama ga 'ngerti', kan?" Balas Alvin tak kalah mencekam.

Febby tak langsung menjawab melainkan menajamkan pandangannya pada Alvin membuat Alvin meriang di tempat. Matanya kemudian memicing. "No. Kita 'ngerti', kok. Bener-bener ngerti."

Alvin menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Sepahit kenyataan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Febby.

"We fell for each other."

***

Shilla menatap ponselnya datar. Ia tidak mengerti lagi apa yang sudah terjadi dengan hubungannya dengan Alvin akhir-akhir ini. Seingatnya mereka sedang tidak punya masalah besar yang membuat mereka harus berjarak beberapa saat.

Ia hanya sedikit merasa ada yang berubah dari suasana dalam hubungan mereka namun itu tidak benar-benar menjadi masalah untuknya. Yang harusnya juga untuk Alvin sehingga pemuda itu tidak perlu tiba-tiba berhenti menghubunginya 4 hari belakangan.

Ya, ia benar-benar lost contact dengan Alvin selama 4 hari. Alvin pun tidak sedang ada jadwal manggung di mana pun dan ia sudah mengonfirmasi hal tersebut dengan Rio, baik langsung maupun tidak langsung lewat Ify. Alvin bukan tipe yang aktif di sosial media sehingga ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengetahu kabar pemuda itu. Rio, Cakka, dan Gabriel juga kesulitan menghubungi pemuda itu 4 harian ini.

Awalnya Shilla curiga namun sekarang ia malah jadi khawatir. Ia khawatir telah terjadi sesuatu yang buruk pada Alvin sama seperti cedera kakinya dulu. Ia sudah menunggu dan tidak mencoba menghubungi lebih dulu. Ia kan sudah bertekad ingin berubah menjadi tidak terlalu posesif.

Namun, hari ini adalah batas terakhir kesabarannya. Ia harus menghubungi kekasihnya dan menanyakan langsung apa alasan masuk akal yang bisa membenarkan tindakan Alvin padanya.

Shilla mendial nomor ponsel Alvin dan menunggu sampai nada sambung berhenti, tepatnya sampai Alvin menjawab panggilannya. Percobaan pertama gagal dan ia kemudian mencoba untuk yang kedua kali. Namun, hasilnya masih tetap sama. Alvin, masih dugaan, mengabaikan teleponnya.

Kalau sampai ia tetap gagal untuk yang ketiga kali, ia akan benar-benar mendatangi langsung rumah pemuda itu.

"Halo?"

Shit, suara perempuan. 4 hari tanpa kabar dan yang pertama kali ia dengar justru suara perempuan. Yang lebih menyedihkan, ia hapal betul suara tersebut. Suara serak milik Febby.

Jadi...Alvin sedang bersama Febby? Alvin menghilang darinya namun tetap ada untuk Febby? Atau Alvin selama ini bersama Febby dan tidak ada waktu menghubunginya? Cih, semuanya kedengaran sama aja, sama jahatnya.

Mata Shilla mulai terasa lembab dan ia yakin mulai memerah sekarang. Ia cukup dibuat repot ketika harus menjaga nada suaranya yang tertahan. God, kelewat cepet kah kalo sekarang gue udah merasa sedih?

"Al—Alvinnya ada?" Shilla bertanya tanpa mengeluarkan nada yang bersifat konfrontir. Ia benar-benar tidak ingin mendengar suara Febby lebih lama jadi ia berusaha menyudahi dialog mereka sesegera mungkin.

Febby tidak langsung menjawab dan membuat Shilla gemas sendiri di tempatnya. Ia tampak meremas seprei kasurnya. Air matanya rasanya ingin tumpah sekarang.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo..tentang Alvin." Febby akhirnya bersuara.

Jantung Shilla yang tadi sudah huru-hara sekarang semakin berdenyut tidak karuan. Sialan, yang gue butuhin Alvin! Mana Alvin, woy?!! Hatinya berteriak sekerasnya namun tak ada satu pun yang dapat mendengar selain dirinya sendiri.

"Gue tau Alvin ngilang beberapa hari ini. Tenang, dia baik-baik aja. Dia cuma..menghindar. Dia ga tau gimana harus ngadepin lo sekarang. Semuanya karena gue. Gue ga bisa diem aja. Gue ga mau makin merasa bersalah dan ngebiarin lo tersiksa dalam kebingungan karena Alvin ga juga bisa ambil tindakan yang jelas."

Kepala Shilla terasa berputar karena Febby yang berbicara berbelit-belit. Dadanya terasa begitu sesak. Sedikit lagi, semua pertahanannya akan runtuh. Hal ini akan menjadi sangat buruk ketika semua emosinya tumpah namun Alvin tak juga muncul. Ia sungguh akan mengutuk pemuda itu nanti.

"Alvin punya perasaan yang sama kayak yang dia punya buat lo...ke gue...begitupun sebaliknya. Karena itu dia jadi ga bisa ngadepin lo. Dia merasa bersalah, termasuk gue. I'm deeply sorry.."

A—apa?

Shilla menjawab lirih dalam hati. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk mengutarakannya secara langsung. Pikirannya yang tadi penuh sekarang terasa kosong. Ia merasa sesaat menghilang dari dunia tempatnya berada. Ia terdiam dan merasa terpukul seorang diri di kamarnya. Ia bahkan tidak lagi merasakan mendarat di atas kasur yang empuk. Ia merasa seperti tengah melayang.

"Brengsek. Apa yang udah lo lakuin?!!"

Keinginan Shilla tadi untuk mendengar suara Alvin akhirnya terpenuhi. Pemuda itu tiba-tiba muncul dengan suara sedikit berteriak. Sayangnya, semuanya terlambat. Shilla sekarang tidak lagi menginginkan suara tersebut. Mendengarnya sekarang justru membuat hatinya pecah berkeping-keping. Ia merasa rindu namun suara itu juga membuatnya merasakan kesedihan mendalam di saat yang bersamaan.

"He..cheated..on me?" parau Shilla. Akhirnya ia bisa mengeluarkan suara namun terdengar bergetar hebat. Ia sekarang sudah kembali pada kenyataan. Ia merasakan pendaratan begitu keras tanpa kasihan setelah merasa melayang beberapa saat lalu.

"Shill, gue—dengerin gue dulu, ya? Please?" Suara panik Alvin kemudian menggema di telinga Shilla.

Shilla mengedipkan matanya sekali mengeluarkan air mata yang sudah menumpuk. Ia menggigit bibirnya menahan suara isakannya agar tidak ikut keluar.

"Sayang, dengerin gue. Gue—tadi itu—bukan-bukan, 4 hari ini gue ga ngehubungin lo karena gue—uhm gue...Damn, I'm so sorry.." Di seberang sana Alvin kalang kabut mencari kata-kata yang tepat. Ini benar-benar tiba-tiba dan ia tidak bisa mengarang alasan dalam waktu sesingkat ini ditambah pada situasi yang berbahaya seperti sekarang.

Benar saja, ucapannya justru membuat Shilla semakin bergeming. Sorry? Jadi emang bener adanya?

"It's true, right? What she said is true.." Dalam satu ucapan, Shilla bertanya dan menjawabnya sendiri. Ia memang sedang tidak berbicara atau membalas omongan siapapun. Ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Alvin menghela napas berat. Kepalanya terasa berdenyut. Satu-satunya hal yang bisa dan harus ia lakukan adalah menemui kekasihnya secara langsung. "Tunggu gue ya, gue bakal dateng nemuin lo. We will talk then, babe."

Babe? Panggilan itu terasa sangat tidak masuk akal sekarang. Sepenggal lirik dari lagu yang sewaktu keluar sangat sering Shilla nyanyikan sekarang benar-benar terjadi pada dirinya sendiri.

'But when you call me baby, I know I'm not the only one'

Dan dia bilang mau nemuin gue? Mau ngomong? Yang bener aja! Shilla menggelengkan kepalanya keras lalu segera membalas ucapan Alvin.

"Enggak, gausah. Gue gak mau ketemu. Gue gak mau ngomong. Gue mau sendiri. Jangan coba-coba dateng."

Sesaat setelah jawabannya selesai, Shilla lekas memutus sambungan. Ia mengakhiri begitu saja pembicaraannya dengan Alvin yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Sekarang ia justru berharap lost contact itu terus berlangsung sampai entah kapan. Kehadiran Alvin nanti tidak lagi menjadi kehadiran paling ia tunggu. Tidak ada kebahagian jungkir balik, hanya dunianya saja yang menjadi jungkir balik dan berantakan.

Gue bahkan belum putus, tapi udah sesedih ini..

***

Bebeb bebeb, gue ga pernah bikin target vote atau view, ga di acak, ga di private. Tapi ya kalo abis baca jangan kelupaan apalagi males vote sii wkwk~

Gadeng, yang mau vote ya vote, engga ya makasi udah baca. Next kayanya Rify sama Alshill ya.

Btw, happy new year everyone!

Rabu, 27 Desember 2017

Matchmaking Part 37 (CAGNI, SIVIEL)



Semenjak ucapan Cakka mengenai Kiki, perasaan Agni pada Kiki berubah aneh. Ia selalu merasa canggung dan grogi tiap kali Kiki ada di dekatnya, apalagi mengajaknya bicara. Sampai-sampai ia tidak memperbolehkan Kiki masuk ke dalam kamar, meski tidak secara langsung.

Ia hanya mengunci pintu saat masuk ke kamar. Alasannya ia ingin tidur dan tidak ingin diganggu. Tidak bohong memang kalau ia ingin tidur. Tapi, alih-alih tidur, menutup mata saja ia tidak bisa. Ia terus memikirkan hubungannya dengan Kiki. Ia yakin setelah ini ia pasti tidak akan bersikap seperti biasa pada Kiki.

Namun, ia tidak ingin Kiki menyadari perubahan dalam dirinya. Ia tidak ingin Kiki bertanya. Ia tidak ingin Kiki tersinggung. Ia tidak ingin Kiki juga sadar kalau mereka berdua tetaplah dua orang asing. Dan, entah firasat ini datang dari mana, ia takut Kiki akan merasakan yang lain padanya.

Jatuh cinta misalnya. Karena ia tidak akan bisa membalas perasaan pemuda itu. Ia tidak ingin Kiki merasakan kesedihan karena cinta tak terbalas. Ia akan merasa sangat bersalah dan tidak tahu diri karena Kiki dan keluarganya sudah terlalu baik padanya.

“Katanya mau tidur?” celetuk Kiki yang tiba-tiba muncul di samping tempat tidurnya.

Agni langsung bangun dari tidurnya. “Kok lo bisa masuk?” tanyanya kaget. Kiki menunjuk kamar mandi kamarnya dengan dagu. Agni lantas menepuk kepalanya. Baru ingat kalau ada connecting door di kamar mandinya dengan kamar sebelah yang tak lain kamar Kiki. Kiki pasti masuk ke dalam kamarnya dengan itu.

“Lo kenapa mendadak ngunci diri di kamar dan malah uring-uringan?” tanya Kiki yang sudah mengambil tempat di atas kasur. Agni memandang Kiki lalu menghela napas. Ia harus bilang apa? Pikirnya.

“Yee..malah bengong!” Tegur Kiki karena merasa diabaikan.

“Gue..cuma lagi mikir aja.” Agni akhirnya menjawab walau tak yakin.

Kiki mengerutkan dahi menunggu ucapannya kembali. “Gimana ya kalo misalnya di antara kita ada yang jatuh cinta?” sambungnya kemudian seraya memandang Kiki. Hanya sebentar karena setelahnya ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

Kiki terkejut bukan main mendengar itu. Kenapa Agni sampai bisa berbicara begitu? Apa Agni tahu soal perasaannya? Atau ada seseorang yang memberi tahu? Ia terus bertanya-tanya hingga tiba-tiba muncul sebuah jawaban yang menurutnya amat pasti.

Cakka!

“Cakka!” desisnya tanpa sadar.

Agni langsung menoleh penasaran. “Kenapa sama Cakka?”

“Cakka pasti ngomong aneh-aneh sama lo kan?” tanya Kiki seraya menaikkan satu alisnya curiga.

Agni berkedip cepat beberapa kali dan mengangguk jujur. “Kok lo tau?”

Tampang Kiki seketika berubah malas. “Ya kalo gak, mana mungkin lo tiba-tiba mikir gitu.”

Agni hanya meringis lalu menunduk. Tiba-tiba ia merasa malu karena sempat berpikiran ‘aneh’ setelah melihat reaksi Kiki saat ini. Jelas-jelas yang ia pikirkan itu tidak masuk akal dan tidak penting juga. “Iya, ya. Ngapain juga gue mikirin gituan? Ckckck.” Katanya seraya tergelak ringan.

“Tapi, kalo misalnya kejadian, menurut lo gimana?” tanya Kiki tiba-tiba, yang membuat jantung Agni hampir copot saat itu juga.

“Hah? Me—menurut gue gimana apanya?” Sahutnya gelagapan. Kiki tidak sedang bertanya serius, kan?

Benar saja, Kiki mendadak tertawa. Ia diam-diam mendesah lega. Yah, setidaknya saat ini Kiki tidak serius dan ia tidak harus menjawab.

“Becanda, Ni. Lo serius banget!” Tukas Kiki.

Agni mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum. “Tadi kan gue udah bilang gue lagi mikirin itu. Lo malah nanya yang enggak-enggak, ya gue panik dong!” Katanya membela diri.

“Ya gak mungkinlah di antara kita ada yang jatuh cinta. Lo itu adek gue, Ni. Gue bener-bener mencurahkan semua perasaan gue ke lo sebagai kakak ke adeknya. Gue sayang banget sama lo. Gue ga mungkin nyakitin lo dengan mendem perasaan lebih.” Ucapan Kiki diakhiri dengan tepukan pelan di kepala Agni.

Sekali lagi Agni menghela napas lega. Kata-kata Kiki bagaikan oase dalam dadanya. Ia lantas memeluk pemuda itu. “Gue lega banget dengernya, Kak. Tau gak, gue tadi berpikiran lo bakal jatuh cinta sama gue. Ckckck, aneh banget emang.”

Kiki hanya diam membalas pelukannya seraya tersenyum pahit, terutama setelah mendengar kata-kata Agni terakhir kali. Benar-benar menyakitkan hatinya. Mengetahui Agni yang dengan lantang mengatakan tidak ingin bahkan takut ia sampai jatuh cinta padanya benar-benar sebuah hal yang luar biasa menyakitkan. Lalu, harus ia apakan perasaannya saat ini?

Cakka oh Cakka!

***

Duk..duk..

Benda oranye yang sedaritadi memantul di lantai itu akhirnya melayang hingga masuk ke dalam ring dengan indah. Orang-orang yang menonton di pinggiran lapangan langsung bertepuk tangan dan berseru.

Cakka yang ikut andil dalam permainan tiba-tiba terpaksa berhenti karena ia diteriaki dari pinggir lapangan. Katanya ada seseorang yang ingin bertemu dengannya dan orang tersebut menunggunya di parkiran. Ia sedikit banyak merutu dongkol dalam hati. Kenapa lagi dirinya yang harus datang menemui orang itu? Seperti dirinya saja yang butuh. Pikirnya.

Cakka menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang yang sedang berdiri di belakang sebuah mobil sambil bersedekap ke arahnya. Ia lantas melengos malas. Kalau ia tahu dia yang ingin bertemu dengannya, mending ia tidak usah repot-repot kemari.

Kiki, orang yang hendak bertemu dengan Cakka itu, berjalan mendekat ke arah Cakka. Cakka diam tanpa mengucapkan apapun. Biar saja Kiki mengatakan sendiri maksudnya tanpa harus ia bertanya.

Tapi tiba-tiba, Kiki melayangkan tinjunya ke wajahnya yang mengakibatkan sudut bibirnya sedikit berdarah dan terasa nyeri.

“Lo lupa minum obat, huh?” Hardik Cakka sambil memegangi pipinya.

Kiki mengangkat tangannya kembali berancang-ancang melayangkan tinjunya lagi. Cakka menegakkan wajahnya memasang wajah menantang sambil menepuk pipinya. “Belum puas? Nih, belum kena, nih! Pukul aja!” katanya.

Kiki lantas dengan kesal menurunkan tangannya. Cakka tersenyum sinis padanya. “Ngomong apa lo sama Agni?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Cakka membuang ludahnya yang bercampur sedikit darah. Ia mulai merasa sedikit amis di dalam mulutnya. “Kenapa emangnya?”

“Lo pasti ngeracunin pikiran dia tentang gue, kan?” Kiki mengepal tangannya geram.

Cakka hanya menaikkan alis memandangnya. “Gue cuma gak mau ngebiarin dia dibodohin terus-terusan sama lo. Gue gak mau lo terus-terusan manfaatin status lo berdua buat kepentingan lo sendiri.”

“Agni selama ini ga pernah ngerasa gue bodohin atau manfaatin.” Bantah Kiki dengan penuh keyakinan.

Namun, Cakka tidak akan berhenti begitu saja. “Itu karena dia sayang sama lo, menghormati lo sebagai kakaknya. Tapi lo dengan picik memanfaatkan semua perlakuan dia ke elo. Lo gak pernah tulus sama dia, sebagai KAKAKnya.”

Kali ini Kiki yang tertawa sinis. “Gak tulus kata lo? Bahkan kalo dibandingin, perasaan gue ke dia jauh lebih besar daripada perasaan lo ke dia.”

Cakka tampak tidak terpengaruh. Ekspresinya tetap tenang meskipun tengah menahan kedutan di sudut bibir dan pipinya. “Gue gak ngeraguin perasaan lo. Gue cuma ngeraguin sikap lo. Selama ini Agni gak pernah ngeliat bener-bener apa arti semua sikap lo ke dia. Karena dia gak pernah curiga sama lo. Karena dia pikir lo itu bener-bener bersikap sebagai kakak buat dia. Tapi enggak kan buat lo?”

Kiki diam tanpa bisa membantah. Kata-kata Cakka memang ada benarnya dan ia tidak bisa berkata tidak untuk semua yang pemuda itu ucapkan.

Cakka melihat itu lalu mendesah pelan. “Awalnya gue respect sama lo, sama perasaan lo. Gue gak akan masalah kalo dia juga punya perasaan yang sama kayak lo. Tapi, dia gak punya perasaan yang sama. Setelah ngeliat dan tau lo manfaatin dia, manfaatin status kalian lebih tepatnya, gue rasa lo gak pantes jadi saingan gue.” Cakka berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu Kiki menanggapinya. Mudah-mudahan saja pemuda itu menyimak baik-baik kata-katanya.

Kiki masih setia dalam diam. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sambil memikirkan apa yang baru saja Cakka ucapkan. Kalau dipikir-pikir, bisakah dirinya membedakan kapan dirinya bersikap sebagai kakak dan seseorang yang menyukai gadisnya? Jawabannya sudah jelas tidak. Dan disitulah dirinya merasa menjadi laki-laki paling brengsek yang pernah ada untuk Agni.
.
***

“Nia..”

Nia tengah menggosok-gosok sepatu ketsnya yang sudah menguning dengan bros yang sudah diberi sabun. Ia tahu usahanya ini tidak akan merubah warna kuning di sepatunya. Ia hanya berusaha membuatnya tetap bersih. Maklum, sepatu ini memang sudah lama sekali ia beli. Ibu asuh mereka membelikannya sekitar 2,5 tahun lalu.

Sebenarnya ia sudah diberikan uang untuk membeli yang baru. Hanya saja ia teramat sayang dengan sepatunya, entah kenapa. Mungkin karena ini adalah sepatu kets pertama yang ia punya jadi selagi masih muat dikakinya ia tidak akan menggantinya.

“Nia, ayo berikan saja sepatu itu untukku..”

Nia berhenti menggosok dan memandang Aga sebentar seraya mencibir. Sedari tadi Aga mengganggu kegiatan mencucinya dengan merengek-rengek sambil menarik-narik ujung kausnya hanya untuk meminta sepatu buluk kesayangan yang tengah ia cuci.

Sudah beberapa hari ini Aga berlaku demikian. Sudah berulang kali pula ia menolak permintaan anak itu tapi Aga tetap bersikeras ingin meminta sepatunya. Ia sampai meminta bantuan pada ibu asuh mereka tapi tidak berhasil. Ia sampai heran kenapa Aga sampai tergila-gila dengan sepatunya ini. Meskipun ia juga, sih.

Tapi kan, sepatu ini tidak punya sejarah apa-apa untuk Aga, beda dengan dirinya. Sepatu ini juga hanyalah sepatu bekas yang sudah benar-benar usang. Sementara Aga bukannya tidak punya sepatu. Bahkan milik Aga lebih bagus dan layak dibanding miliknya. Lalu, apa sih yang sebenarnya Aga lihat dari sepatunya?

“Kamu kan sudah punya sepatu Aga!” rutu Nia dengan kata-kata yang sama untuk kesekian kalinya. Ia mulai lelah melihat Aga terus merengek sehingga kali ini nada suaranya lebih keras dan terdapat kesan bahwa ia sedang marah.

Aga memberengut lucu. Nia yang awalnya kesal malah ingin tertawa melihatnya. “Aku maunya punya kamu! Ayolah, tukar punya kamu dengan punyaku! Punyaku lebih bagus, kan? Masa kamu gak suka?” Bujuk Aga yang masih belum menyerah.

Nia menjentikkan jari di depan wajah Aga. “Nah! Kamu sendiri kan yang bilang punyamu lebih bagus! Lalu untuk apa kamu tukar lagi, Aga?!” katanya gemas. Kalau saja ditangannya tidak ada sepatu dan bros yang penuh busa, ia sudah mencubiti pipi tembam milik Aga.

Kemudian rengekan Aga makin kencang bahkan tampaknya pemuda kecil itu menangis. Nia menjadi makin tidak tega melihatnya. Tapi ia juga tidak rela menyerahkan sepatunya. Lagipula, Aga kenapa, sih?

“Kenapa kamu nangis, hei?! Aiss..apa yang kamu lihat dari sepatuku ini, sih? Ini cuma sepatu biasa, sudah usang. Cobalah kamu bandingin dengan sepatumu. Jauh lebih enak dipandang.” Nia berseru putus asa.

Aga berhenti sejenak namun tetap memberengut. “Karena sepatu itu kesayanganmu..” cicitnya kemudian yang membuat Nia mengerutkan keningnya bingung.

“Lalu?” Nia bertanya tak mengerti.

“Kalau kamu memberikan barang kesayangan kamu pada seseorang, artinya orang itu adalah orang yang paling kamu sayangi juga.” Katanya yang semakin membuat Nia bingung.

Nia menggosokkan ujung brosnya yang tidak terdapat serabut ke pelipisnya. “La—lu?” tanyanya kedua kali.

Aga tiba-tiba tersenyum. “Aku mau jadi orang itu. Aku mau kamu sayang—oh tidak, tapi aku adalah orang yang paling kamu sayangi! Makanya, berikan sepatu kamu untukku..hiks..” balasnya seraya terisak kembali meski tidak sehebat tadi.

Nia sesaat terpana menatap Aga seraya berkedip beberapa kali. Darimana Aga belajar pemikirian seperti itu? Pikirnya takjub.

“Kenapa begitu?” Sahutnya dengan tampang polos.

Aga berhenti merengek dan tersenyum lagi. “Karena kamu yang paling aku sayangi. Jadi imbalannya, kamu juga harus paling sayang denganku..” katanya dengan sedikit malu-malu. Pipinya bahkan sedikit memerah.

Nia tak ayal terkekeh geli melihat itu dan lantas membuat Aga kembali memberengut. Tapi selain itu, Nia juga terpesona pada Aga. Mungkin karena ia masih kecil jadi ia tidak mengerti perasaan seperti apa yang tengah ia rasakan. Mungkinkah sayang seperti yang Aga bilang? Entahlah, yang ia tahu ia sangat senang mendengar Aga berkata begitu.

“Kamu ini..” lirihnya seraya terkekeh pelan. Ia mencelupkan tangannya begitu saja ke dalam air untuk menghilangkan busa. Ia lalu mengusap pipi Aga dengan jari telunjuknya. “Sudah jangan menangis. Kamu boleh memiliki sepatuku.” Putus Nia yang akhirnya merelakan sepatunya untuk Aga.

“Benar boleh?” tanya Aga begitu antusias.

Nia mengangguk yakin. “Iya. Sudah, kamu masuk sana! Biar aku selesaikan cucianku.”

Aga masih belum beranjak dan tampaknya belum puas akan jawaban Nia. “Jadi artinya, aku ini orang yang paling kau sayang, kan?!” tanyanya dengan muka penuh harap.

Nia diam sebentar berpikir. Sepertinya ada yang kurang. Batinnya. “Iya..tapi sepertinya tidak adil. Lalu untukku apa? Sepatumu? Kamu bahkan tidak suka sepatu itu makanya minta ditukar.” Tuntut Nia kali ini.

Lagi-lagi Aga tersenyum. “Sepatu ini sebenarnya kesayanganku. Aku mau memberikannya padamu. Karena itu aku harus membuatmu menyerahkan sepatumu. Hehehe..”

Mau tak mau Nia ikut tersenyum. Sekali lagi ia merasa senang. “Oke, begitu baru adil.” Serunya sambil mengacungkan jempolnya ke depan wajah Aga.

“Nah, sekarang aku juga mau mencuci sepatuku sebelum kuberikan padamu!” ujar Aga seraya berlari ke dalam rumah. Mungkin dia ingin mengambil bros satu lagi.

Di tempatnya Nia hanya geleng-geleng kepala seraya memperhatikan Aga yang menjauh lalu kembali pada sepatunya.

***

Setelah hubungannya membaik, Agni memutuskan kembali menjadi anggota klub basket. Sebenarnya dipaksa Cakka, sih. Ia ingat betul bagaimana ekspresi memelas pemuda itu agar ia kembali masuk ke klub basket. Wajahnya tampak lucu dan sangat tidak Cakka sekali.

Ya, yang orang tahu, dari luar Cakka itu adalah pemuda tampan—dan ia juga mengakui itu—, cool meski kadang pecicilan, dan maco secara dia anggota inti tim basket dan dengan segenap hobi ke-cowok-an yang digelutinya. Tapi, tidak ketika pemuda itu memintanya kembali ke klub basket.

Bayangkan, seorang Cakka merengek-rengek sambil menarik-narik ujung kaus yang kala itu ia kenakan. Bajunya saat ini mungkin sudah molor akibat ulah pemuda itu. Belum lagi ancaman konyolnya kalau ia akan menangis sampai mogok makan kalau Agni tak mau menuruti permintaannya.

Agni saat itu geleng-geleng kepala putus asa sambil memegang keningnya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain berada di pinggang. Ia persis seperti seorang ibu yang sedang dimintai mainan baru oleh anaknya. Dan pada akhirnya, Agni mau tidak mau mengabulkan permintaan Cakka karena sudah tidak tahan melihat pemuda itu merengek padanya.

Kalau mengingat itu, Agni tidak dapat menahan senyumnya. Rasanya hanya padanya Cakka bisa bersikap seperti itu. Ah, atau dirinya saja yang kepedean? Ia kan belum lama dekat dengan Cakka meski sudah mengenalnya cukup lama.

Siapa yang tahu kalau pemuda itu juga pernah bahkan sering bersikap seperti itu pada orang lain..pada gadis lain. Oh iya, btw kan dia punya pacar. Dan kenyataan tersebut seketika menurunkan moodnya yang sesaat lalu sedang baik atau mungkin sangat baik.

“Woy, Ni!”

Agni menoleh pada Rico yang datang menghampirinya dan menepuk lengannya barusan. Ia memandang pemuda itu seraya mengernyit. “Liat Cakka nggak?”

Mendengar nama Cakka ia spontan mendengus kesal. Masih sensi dengan masalah tadi. “Mana gue tau!”
Gantian Rico yang mengernyit bingung karena Agni tiba-tiba sewot. “Lagi PMS lo?” Namun pertanyaannya hanya dijawab dengan berlalunya Agni dari hadapannya. Ia memperhatikan gadis itu sejenak lalu mengangkat bahu dan kembali ke lapangan.

Sementara itu, Agni melangkahkan kakinya menuju toilet terdekat. Satu-satunya hal yang efektif untuk menyegarkan pikiran hanya dengan mencuci muka. Siapa tahu dinginnya air bisa ikut mendinginkan kepalanya yang tiba-tiba berasap. Ia harus secepatnya menguasai moodnya kembali.

Untung tadi hanya Rico yang sial terkena pelampiasan rasa kesalnya. Jangan sampai nanti malah Cakka sendiri. Karena kalau Cakka pasti akan langsung bertanya kenapa dan ia akan bingung harus mengarang alasan apa. Entah mendapat ilmu darimana, Cakka mendadak menjadi manusia supertahu mengenai dirinya. Termasuk ketika ia berbohong.

Tepat ketika Agni masuk ke dalam toilet dan menutup pintu, ia mendengar pula suara pintu ditutup atau mungkin dibuka di sebelahnya, lebih tepatnya dari toilet cowok. Ia tidak terlalu peduli. Yang ada dipikirannya hanya air, air, dan air.

Sampai tiba-tiba terdengar nada dering ponsel dari arah luar. Nada dering yang sama yang pernah ia dengar dari ponsel Cakka.

“Halo..”

Suara Cakka seketika memenuhi telinga Agni yang sekaligus membuktikan pemilik ponsel yang berdering itu sesuai dengan yang ia pikirkan. Dari nada suaranya, ia dapat merasakan pemuda itu tengah gelisah.

Ia berbalik mendekati pintu dan membukanya pelan-pelan. Ia kemudian diam-diam mengamati Cakka dari celah pintu di depannya.

“Kabar aku? Kemana aja kamu?” Nada suara Cakka mendadak berubah sinis.

Agni mengamati garis rahang pemuda itu yang ikut mengeras. Pemuda itu diam untuk beberapa saat.
“Putus?” lirih Cakka. Tatapan matanya berubah sendu.

Agni melihat pemuda itu tertawa pilu. Dan hal itu membuat perasaan tidak nyaman baginya. Sudah jelas, saat ini Cakka tengah berbicara dengan kekasihnya, Febby. Ia memegang dada sebelah kirinya dan menekannya beberapa kali berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba cepat.

“Kenapa? Kamu ngerasa peluang kamu dapetin Alvin makin gede sekarang karena satu rumah sama dia?”

Bola mata Agni seketika melebar mendengar ucapan sinis Cakka barusan. Bagaimana dia tau kalau saat ini Febby tinggal di rumah Alvin? Apa Alvin yang mengatakan padanya? Kapan? Apa Alvin juga tau kalau Febby itu kekasihnya? Lalu, bagaimana dengan Cakka? Apa pemuda itu marah pada Alvin? Apa mereka berdua bertengkar sekarang?

Haiss...kenapa gue jadi kepo banget sih?!

“Apa dosa aku sama kamu? Kemaren Kiki, sekarang kamu mau ngancurin hubungan aku dengan Alvin? Huh, kamu ga akan berhasil.” Cakka sesaat diam seraya menghela napas.

“Alvin punya pacar. Jadi, jangan bikin temen aku jadi brengsek.” Cakka menjauhkan ponselnya dari telinga. Sepertinya pemuda itu sudah memutus sambungannya dengan Febby. Pemuda itu menunduk seraya berkacak pinggang. Napasnya naik turun persis seperti orang habis berlari.

Sesaat kemudian kepala Cakka terangkat diikuti erangan dari mulutnya. Ia lantas tersenyum miris. “Kenapa..kenapa gue?! Dan..kenapa harus lo, Vin?” lirih Cakka.

Sialnya telinga Agni masih bisa menangkap suaranya tersebut. Agni segera menutup pintu toilet kembali lalu berjalan sampai ke depan wastafel. Ia lantas menertawai keanehan dirinya sendiri.

No hard feeling..yeah, emang harusnya no hard feeling.” Gumamnya berbicara sendiri.

Ia lalu menatap bayangannya pada cermin. Tangannya terangkat untuk menyentuh liontin kalungnya. Ia meremas pelan benda tersebut lalu menghela napas berat. Tangannya lalu menumpu di pinggiran wastafel seraya kepalanya tertunduk dalam. Ia panik. Ia panik. Ia panik!

***

Agni termenung sambil memandang ke luar dari jendela mobil. Moodnya kelihatan makin buruk. Selepas ia kembali dari toilet, teman-temannya bilang Cakka sudah lebih dulu pulang. Pemuda itu bahkan tidak berpamitan padanya atau bahkan tidak ingat dengannya. Tidak ingat janjinya yang akan mengantar jemput Agni tiap latihan basket ketika mengajaknya kembali ke klub.

 Ia terpaksa mengarang alasan pada Kiki dan harus merepotkan pemuda itu padahal pemuda itu juga sedang latihan untuk event penting.

Apa sampai begitu besarnya pengaruh Febby pada Cakka? Selama ini perasaan Cakka pada Febby tidak berubah. Hanya sedikit lupa karena beberapa waktu ada hal yang sempat mengalihkan fokus Cakka.

Ketika waktu itu datang, semuanya kembali seperti semua. Semuanya tidak pernah berpindah tempat. Kadarnya sama tidak berkurang sama sekali. Atau mungkin sedikit. Entahlah, hanya Cakka yang tahu itu. Yang pasti, sebesar apapun yang dapat membuat pemuda itu lupa akan dirinya.

Diam-diam Kiki yang ada di sebelahnya mengamatinya lalu mengernyit heran. Pemuda itu tampak sekali ingin bertanya tapi ragu harus melakukanya atau tidak. Biasanya, kalau Agni sedang bete, tanpa ditanya pun gadis itu akan langsung bercerita panjang lebar padanya.

Namun, saat ini gadis itu hanya diam membisu sambil memasang tampang kusut. Mungkin lamanya waktu yang memisahkan mereka ikut mengubah sikap lama Agni. Tapi, ia tetap penasaran. Apa yang terjadi padanya? Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan Cakka?

For you, for you. Baby I’m not movin’ on, I love you long after you gone..

Kiki melirik nama yang berkelap-kelip pada layar ponsel Agni. Tepat sekali. Nama Cakka yang muncul di sana dan Agni hanya membiarkan ponselnya hingga berhenti berbunyi. Gadis itu bahkan kemudian mematikan ponselnya.

Kelihatan sekali kalau ia menolak berhubungan dengan Cakka. Setidaknya untuk saat ini. Yang secara jelas membenarkan dugaan Kiki kalau Agni bersikap murung seperti ini karena Cakka.

“Kenapa ga diangkat?” tanyanya tak tahan. Agni menoleh padanya lalu menggeleng pelan. ia kembali bersandar pada kaca jendela sambil memandang ke luar.

Kiki berusaha menekan rasa ingin tahunya saat ini. Mungkin Agni butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Kalau ia desak, yang ia dapati hanya dirinya menjadi bulan-bulanan pelampiasan kekesalan gadis itu padanya.

***

Cakka menghembuskan napas berkali-kali sambil memandang bersalah pada ponselnya. Ia baru saja melakukan kesalahan yang cukup besar. Bagaimana mungkin ia sampai lupa pada Agni? Hanya karena kalut memikirkan Febby? Yang benar saja!

Selama ini ia hampir tidak pernah lagi berkontak apalagi bertatap muka dengan Febby. Tapi ketika gadis itu muncul secara tiba-tiba, serta merta membuatnya menjadi kacau seperti sekarang. Bagaimana pun ia pernah punya perasaan pada gadis itu. Perasaannya tulus.

Orang-orang mungkin menyangka kalau ia sama saja seperti Gabriel. Soal perasaan tidak pernah pakai hati. Atau berhati dingin seperti Rio. Klasik sih, tapi ia dulu memang jatuh cinta pada Febby, bahkan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Cakka merebahkan tubuhnya ke kasur dan meletakkan ponselnya asal-asalan. Ia mengambil bantal lantas ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Mengingat Febby sedikit mengusik ketenangan hatinya. Ia tidak bisa mengelak kalau nama Febby masih tersangkut di salah satu sisi hatinya entah dimana setelah seharian ini ia tidak bisa menyingkirkan gadis itu dari kepalanya.

Tapi ia juga tidak bohong kalau sudah tumbuh tunas-tunas rasa untuk Agni di sisi hatinya yang lain. Masalahnya…yang benar saja, masa ia suka keduanya?

Febby, Febby. Kenapa harus muncul di saat-saat seperti ini, sih?

“Woy Cakecak!”

Tempat tidur yang ia tempati terasa bergoyang bersamaan dengan pukulan ringan di tulang keringnya. Ia mengintip dari balik bantal dan tampak Chelsea sedang duduk bersila di sampingnya seraya menatapnya heran. Ia melengos sambil menutup wajahnya kembali.

Cakka, Kak, Cakka.” Jawabnya tanpa niat.

Chelsea melipat kedua tangannya di dada seraya mengamati adik sepupunya tercinta. Kelihatannya adiknya itu tidak dalam suasana hati yang baik. “Kenapa lo? Lesu amat,” komentarnya sambil menggoyangkan salah satu kaki Cakka.

Cakka menurunkan bantal di depan wajahnya dan beralih memeluk benda itu. Matanya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. “Lo pernah ga, Kak, suka sama orang selain Kak Bagas?”

Chelsea mengernyit bingung lalu menganggukkan kepalanya. “Ya pernahlah. Bagas kan bukan pacar pertama gue.”

“Lo suka sama Kak Bagas, lo juga suka sama orang lain..disaat yang sama..” ujar Cakka entah bertanya atau hanya sebuah pernyataan.

Chelsea memandang Cakka lekat-lekat lalu kemudian menangkap maksud ucapan Cakka sekaligus membuatnya paham alasan kenapa sang adik murung seharian.

“Lo kena cinta dua hati ya?” godanya seraya mengarahkan telunjuknya ke arah Cakka. Namun, sepertinya Cakka tidak terpengaruh. Pemuda itu tetap saja melamun.

“Emang lo suka sama siapa lagi selain Agni?” tanyanya sedikit serius.

Cakka beranjak duduk dan bersandar pada kayu ranjangnya. Ia menatap Chelsea seraya memberengut. “Febby..” lirihnya.

Mata Chelsea melotot mendengar nama itu akhirnya disebut kembali oleh Cakka. “What?! Febby?!”

Cakka mengangguk seraya menghela napas. “Iya. Tadi siang dia nelpon, ngajakin putus.” Bebernya tanpa dusta.

Mata Chelsea seketika kembali normal dan ia menghela napas lega. “Bagus lah. Gue juga ga sreg lo sama dia. Tapi..dia nelpon lo cuma buat minta putus? Helooo, kemana aja tuh orang baru muncul?” Balasnya geram.

Cakka berdecak lemah. “Itu dia masalahnya. Seharusnya dia ga usah muncul lagi.”

Wait, wait. Jangan bilang lo galau karena dia?” Tukas Chelsea dengan pandangan mencemooh. Cakka mengangguk masam dan seketika membuatnyamelengos.

“Gue bahkan ninggalin Agni tadi padahal gue yang udah maksa dia dateng dan janji nganterin pulang..” Air muka Cakka makin muram mengingat kelalaiannya pada Agni. Apa Agni akan marah padanya? Yaiyalah! Telponnya saja di reject dan sekarang ponselnya tidak aktif.

Chelsea mengerang kesal sambil memegang kepalanya. Bagaimana bisa Cakka, adik sepupunya yang begitu tampan tapi punya mental kucing seperti ini? Baru mendengar gonggongan anjing saja langsung ciut di tempat dan lupa dengan sekitar.

Cakka oh Cakka. Gara-gara kebodohan adiknya ini, ia harus terancam kehilangan calon adik ipar kesayangannya. Meskipun ia belum pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Agni, tapi entah kenapa hatinya langsung terpikat dengan gadis itu.

“Baru sadar gue punya adek bego.” Gerutunya kesal. Cakka hanya menghembuskan napas pasrah. Ia memang salah dan wajar Chelsea berkata seperti itu padanya.

“Terus sekarang lo bengong doang di sini? Malah mikirin cewek ga jelas yang udah bikin Agni marah? Lo lebih mikirin cewek yang ga pantes itu daripada mikirin gimana caranya ngebujuk Agni, huh?” Chelsea melempar tatapan tajam pada Cakka. Ia benar-benar gemas. Ah, ia saja sudah seperti ini apalagi jika Agni tahu? Gadis itu pasti sudah menggantung Cakka di ring basket.

“Gue udah coba telfon tapi ga diangkat trus hapenya malah mati. Gue harus apa lagi, kan?” balas Cakka tak ingin merasa dipojokkan.

Chelsea mencibir ke arahnya. “Trus sampe disitu aja? Lo tuh ya! Lo beneran mau dijauhin sama Agni, huh?!”

“Ya enggaklah!” Cakka menjawab cepat. Ditinggal Febby saja ia sudah begini bagaimana kalau Agni? Bunuh aja gue lah!

Chelsea langsung menjentikkan jarinya di depan Cakka. “Nah itu tau. Trus kenapa lo masih disini, heh?”

Cakka mengernyit bingung lalu kemudian ia paham apa maksud ucapan Chelsea. Ia spontan menepuk jidatnya keras. Chelsea benar. Kenapa ia bukan mendatangi rumah Agni untuk meminta maaf malah berdiam diri tak jelas di kamarnya? Ia seharusnya menemui gadis itu dan membujuknya. Dan ketika membayangkan Agni mau memaafkannya mendadak hatinya merasa tenang.

Ya ampun! Kenapa ia baru sadar?! Sedari tadi ia uring-uringan karena Agni! Lihat saja, Agni bisa langsung memperbaiki moodnya yang tadi benar-benar anjlok. Semua ini karena Agni. Bukan Febby, tapi Agni.

“Oh kakak sepupu gue yang paling cantik, lo bener-bener penyelamat gue! Semoga lo langgeng ama Babang Bagas, muah!” katanya sumringah seraya meninggalkan kecupan ringan di pipi Chelsea.

Chelsea berjengit ketika Cakka mencium pipinya. Selanjutnya ia hanya geleng-geleng kepala melihat pemuda itu lari terbirit-birit meninggalkannya di dalam kamar.

Tapi kemudian ia teringat satu hal yang ia lupakan. Ada sesuatu yang seharusnya ia beritahukan pada Cakka. Dan itu jugalah yang membuatnya datang ke kamar Cakka menemui pemuda itu.

“Astaga! Sekarang malah gue yang telmi, ckck..”

***

Mobil Kiki berhenti melaju beberapa saat sampai lampu merah di sampingnya berubah menjadi hijau. Suasana di dalam mobil masih sama seperti sebelumnya. Tak ada dari mereka yang berbicara. Bahkan matinya pemutar musik di dalam mobil makin menambah ketegangan yang ada.

Kiki tidak bertanya apa-apa lagi setelah ucapannya terakhir kali. Ia membiarkan Agni menikmati ketenangannya. Ia juga memastikan tidak akan ada yang mengusik gadis itu termasuk suara dari radio mobilnya. Tidak akan ada yang menjamin benda tersebut tidak menyuarakan senandung yang isinya akan memperburuk suasana hati Agni saat ini.

Di tengah kesunyian tersebut, Agni secara ajaib berbicara. Kiki tak ayal mendengarnya dengan seksama.

“Kak..”

Kiki diam menunggu dengan sangat-sangat sabar. Agni menarik napas lalu menoleh ke arahnya. Pandangan matanya redup. Dibanding sedih, entah kenapa ia merasa Agni sekarang justru sedang ketakutan. Dadanya sangat tidak nyaman melihat itu.

Tidak, saat ini ia tidak sedang memandang Agni sebagai kekasih angan-angannya, melainkan benar-benar melihat gadis itu sebagai adiknya. Perasaan tidak nyaman ini sebagai bentuk perhatiannya sebagai kakak.

Agni menelan ludah dengan susah payah. Ia menatap Kiki dalam-dalam seolah mencari ketenangan di dalam sana. “Patah hati itu...sembuhnya lama gak?” Suaranya pun terdengar lirih.

Kiki sesaat diam lalu kemudian tersenyum hangat. Ia lantas mengusap kepala gadis itu sebagai ungkapan sayangnya sebagai kakak. Mengajak gadis itu agar mau berbagi kegundahannya padanya. Menjadikan dirinya sandaran agar tidak lelah dan kalah. Seperti biasanya. “Adek gue tersayang lagi kenapa, hmm?”

“Gue belom siap patah hati, Kak..” Agni masih berujar lirik. Ia tersenyum masam pada Kiki.

“Sebelum patah hati, lo harus lebih dulu jatuh cinta. Emang lo udah jatuh cinta?” Tanya Kiki sambil mengamati setiap perubahan di wajah Agni.

Agni sama sekali tidak berniat berbohong. Ia lantas mengangguk jujur yang disambut dengan helaan napas dari Kiki. Bukan marah, tapi mengerti.

“Cakka?” Tebak Kiki. Jawaban Agni tidak berbeda sama sekali. Ia menganggukkan kepala untuk kedua kalinya.

TIIN!!

Klakson mobil yang berada di belakang mereka mengalihkan fokus Kiki seketika. Ia memutuskan melajukan mobilnya terlebih dahulu tanpa membuat Agni merasa terabaikan.

“Bentar..” Katanya menyiratkan Agni untuk menunggu. Agni diam tak banyak protes. Hanya saja, pandangannya kembali berpindah ke arah depan.

Setelah kecepatan mobilnya stabil, barulah Kiki bersuara kembali. “Lawan perasaan lo, Ni..” Gumamnya pelan tanpa menatap Agni langsung.

Agni menoleh pada Kiki dengan tatapan menereka-nerka. Apa Kiki bermaksud menyuruhkan berhenti memendam perasaannya pada Cakka? Apa ini murni dari pikiran dewasanya atau terkontaminasi dengan ketidaksukaan sang kakak pada Cakka?

“Lawan kalo dia bukan orang yang pantes. Perjuangin kalo dia orang yang pantes...dan kalo lo ngeliat ada harapan.” Kiki berkata lagi yang sekaligus menjawab rasa penasaran Agni sebelumnya.

Agni sesaat bergeming kagum melihat Kiki. Ia tahu Kiki membenci Cakka. Namun, sekalipun pemuda itu tidak pernah mempengaruhi pikirannya tentang hal buruk mengenai Cakka. Pemuda itu bahkan tidak memberitahu sejarah mereka berdua padanya. Justru semuanya datang dari Cakka.

“Patah hati itu pasti, Ni. Justru jatuh cinta yang abstrak. Lo bakal sadar lo jatuh cinta, baru setelah lo patah hati. Udah terlambat buat lo ngerasa takut karena semuanya udah duluan terjadi.” Kiki dengan ucapan bijaksananya kembali unjuk diri.

Agni merasa tertampar oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan Kiki. Semua yang dikatakan pemuda itu adalah kebenaran. Ucapan pemuda itu menyadarkannya bahwa dirinya bodoh jika mengaku takut patah hati seolah-olah dirinya belum merasakan itu. Nyatanya sekarang hatinya sudah terbelah dua karena Cakka.

“Gue harus gimana, Kak?” Tanyanya kemudian dan berkonsentrasi penuh pada Kiki.

Sekali lagi, senyum damai di wajah Kiki kembali mengembang. “Jangan jadi pengecut. Hadapin patah hati lo. Lo cuman patah hati, bukan mati. Lagian, lo masih muda, Ni! C’mon, Man! Sayang banget kalo lo meruntuhkan semua dunia lo karena sekali patah hati.”

Agni sekali lagi tertampar oleh ucapan Kiki. Ia benar-benar sadar kalau dirinya begitu bodoh. Yakali gue jadi sekali senggol baper gini? Gak lo banget emang, Ni. Najis dah gue!

Setelah sekian lama akhirnya senyum Agni akhirnya muncul ke permukaan. Dada Kiki sontak kembali terasa lapang tidak lagi sesak seperti sebelumnya. Adiknya yang tangguh sudah kembali. Bukan. Lebih tepatnya, adiknya itu memang terlalu tangguh untuk bisa dikendalikan oleh sebuah perasaan bergelar patah hati.

Jadi pengen bawa pulang...eh iya, untung serumah, kan?

***

Kedatangan mobil Kiki disambut oleh Cakka yang sudah bertengger di depan halaman rumah sambil duduk nyaman di atas motornya. Pemuda itu tampaknya sudah menunggu sedaritadi.

Di samping Kiki, Agni berdecak malas. Tidak ada gurat-gurat kesedihan lagi di wajahnya. Ia diam-diam tersenyum melihat itu.

“Pake dateng segala..” Heran Agni.

Kiki tertawa kecil lalu menoleh ke arahnya. “Lo atau gue nih yang nemuin?” Tantangnya seraya mengerling.

Agni berdecak lagi. “Gue aja. Cewek banget keliatannya gue kalo sampe ga berani nemuin.” Sahutnya tanpa keraguan di wajahnya.

Kiki kembali tertawa riang. “Buset dah adek gue kapan nyadar kodratnya sendiri? Ya deh terserah. Jangan mewek ya. Ga pantes, hahaha..”

Agni mencibir seraya memutar kedua bola matanya namun tidak membalas cercaan Kiki padanya. Mereka kemudian keluar bersama dari mobil. Kiki memutuskan masuk lebih dulu setelah mengedikkan bahu menatap Cakka. Sementara Agni singgah sebentar untuk menghadapi sang tamu.

Cakka yang tadi duduk lekas berdiri menyambut Agni dengan tampang gugup. Ia tersenyum kaku pada gadis itu yang tampak biasa saja di depannya.

“Abis darimana lo?” Tanya Agni yang memutuskan bersikap santai dengan Cakka. Setelah dipikir ulang, tidak patut juga rasanya kalau ia marah hanya karena Cakka pergi begitu saja.

“Ni, so—sorry gue lupa janji nganterin lo pulang t—terus pergi ga bilang-bilang.” Ungkap Cakka sungguh-sungguh. Wajahnya benar-benar panik.

Agni tertawa kecil melihat Cakka yang sekarang seperti ketahuan mencuri. “Elah udah kayak gue pacar lo aja rusuh gitu. Sans, Men, sans! Gue punya hape, punya kuota, punya yang bisa dimintain jemput, gue juga belum lupa alamat rumah gue sendiri. Gue pasti pulang dengan selamet kok!” Lerai Agni.

Cakka merasa senang dan tidak senang di saat yang bersamaan. Sikap tenang Agni membuatnya senang namun tidak lega. Mendadak ia mengharapkan gadis itu marah sekarang. Kalau gadis itu marah, itu artinya gadis itu memiliki perasaan khusus padanya, kan? Tapi, yang ia dapat justru ‘kebaikan’ gadis itu.

Tapi, sudahlah. Yang penting hubungan mereka berdua tidak kembali huru hara. Ia pada akhirnya tetap menghela napas lega. “Lo beneran gak marah kan, Ni? Lo gaakan tiba-tiba ngediemin gue abis ini, kan?” Tanyanya memastikan.

Agni tersenyum simpul. Duh, baper-able banget sih Pak jadi orang?

“Iya. Sekali lagi lo nanya gue baper nih?” Wanti Agni ingin menyudahi situasi tidak penting saat ini antara dirinya dan Cakka. Situasi tidak penting namun sangat berbahaya.

Giliran Cakka sekarang yang tertawa sekaligus menutup drama roman picisan mereka beberapa saat lalu. Meski Cakka diam-diam bergumam dalam hati.

Gue udah baper kali, Ni.

***



Via turun dari motor Gabriel dan berjalan hingga ke teras rumahnya lalu berdiri menunggu Gabriel menjalankan motornya kembali. Gabriel tak henti menatapnya dengan pandangan yang ia tak mengerti. Pemuda itu mulai memundurkan motornya lalu memutar balik tanpa mengucapkan apapun. Namun, belum sempat keluar dari halaman rumahnya, motor Gabriel berhenti karena pada saat yang sama mobil Riza baru saja tiba di depan pagar.

Via langsung merasakan ketegangan dalam hatinya. Ia merasakan ada hawa aneh antara papanya dan Gabriel. Meski Gabriel membelakanginya, tapi ia yakin kalau pemuda itu pasti sedang menatap tajam Riza dan bak pinang dibelah dua, Riza pun balas melakukan hal sama. Mereka sama-sama bertahan di posisi masing-masing, belum ada yang ingin mengalah.

Via membalikkan badannya tak ingin menyaksikan perhelatan itu lebih lanjut. Ia tidak ingin nanti Riza mendatanginya dan memarahinya lagi karena keberadaan Gabriel saat ini. Ia lantas memutuskan berlari masuk ke dalam rumahnya dan segera masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu.

Sementara itu, pada akhirnya, Gabriel mengalah dan memundurkan motornya agar mobil Riza dapat berbelok masuk. Ia diam sembari menunggu Riza memajukan mobilnya sambil memalingkan wajahnya. Riza sempat berhenti dan menurunkan kaca mobilnya ketika berpapasan dengan Gabriel.

“Om ingin bicara sama kamu besok.” Titahnya dengan dingin dan tegas tanpa memandang Gabriel. Gabriel hanya diam tanpa menjawab apapun. Ia menurunkan kaca helmnya lalu mengegas motornya pergi.

***
Via menghempas tubuhnya ke kasur sambil menatapi layar ponselnya. Memandangi foto terakhirnya bersama Gabriel. Ini bahkan belum lewat satu hari. Tapi, kenapa hatinya seperti merasa menyesal? Menyesal karena sudah berusaha menendang pemuda itu jauh-jauh dari hidupnya. Ia lantas menutup matanya seraya meringis pelan dan memukul-mukul pelan keningnya dengan ujung ponsel.

“Lo mikir pendek banget, sih, Vi..” lirihnya.

Tiba-tiba gerak tubuhnya berhenti lalu ia mendadak mendudukkan dirinya. “Ya lagian, ngapain si Gabriel pake bilang mau nembak Zaza segala? Setelah dia ngasih harapan setinggi langit sama gue...maksudnya apa?! Hhh..”

Via menghempas tubuhnya lagi sambil merentangkan tangan. Ia sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa sekarang.

Sementara Via yang dilanda stres, Gabriel baru saja sampai di rumahnya. Ia berjalan memasuki rumah serta menaiki tangga menuju kamarnya dalam diam. Kedua orang tuanya sepertinya sudah berada di kamar sehingga ia tidak diharuskan mendapat introgasi sesaat dari mereka berdua. Ia pun melakukan hal yang sama setelah menutup pintu kamarnya. Ia menghempas tubuhnya ke atas kasur sambil memandangi layar ponsel.

Namun, berbeda dengan Via yang langsung menggerutu kesal, ia hanya diam hingga tiba-tiba ia tersenyum miring. Ia bahkan tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.

“Gak capek apa, Vi, lo nyuruh gue ngejauhin lo tiap gue bahas orang lain? Tapi...gue jadi penasaran. Sampe kapan lo bisa bertahan. Kayaknya seru juga.”

***

Dua laki-laki berbeda usia ini diam dengan saling memandang satu sama lain. Hingga akhirnya yang paling tua mengalah dan memulai pembicaraan di antara mereka.

“Kenapa ya harus kamu yang dicintai anak saya? Playboy kacangan kayak kamu?” Heran Riza seraya tertawa mencemooh.

Gabriel menaikkan alisnya lantas mendengus geli. “Anak Om atau anak-anak Om?” ucapnya dengan nada bangga.

Tawa Riza berhenti dan ia menatap Gabriel sambil menaikkan alis bingung. “Yaah..masih bagus anak Om cinta sama playboy kacangan kayak saya, daripada dia cinta sama playboy kelas berat kayak Om, kan?” Sambung Gabriel dengan santai, tanpa takut dengan air muka Riza yang berubah marah meski masih berusaha ditahan.

“Kita percepat obrolan ini. Kamu, sekali lagi saya liat kamu berhubungan dengan Via, saya akan—“

“Emang kenapa? Om takut Via saya mainin kayak saya mainin Prissy?” sela Gabriel sinis.

Riza berjengit memandangnya aneh lalu melengos serta tertawa sesaat. “Saya hanya memikirkan Prissy. Saya gak akan memaafkan kamu kalau sampai kamu nyakitin hati Prissy.”

Gabriel mengepal tangannya yang tersembunyi di balik meja kuat-kuat. Menyalurkan segala amarah dalam dadanya. Ingin sekali ia menghantam tinjunya itu ke wajah laki-laki tak punya hati di hadapannya.

Tapi, ia tidak ingin dirinya terlihat sama saja dengan laki-laki itu. Ia sadar saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menyuarakan semua emosinya. Ia harus banyak-banyak bersabar agar nanti ia bisa membalas semua perbuatan Riza dengan efek yang lebih menyakitkan daripada sekedar rasa nyeri di wajah.

“Om dengar baik-baik, semua ini adalah pantulan dari perbuatan Om sendiri. Om menyakiti Via maka saya akan menyakiti Prissy. Saya juga gak akan memaafkan Om kalau Om masih aja nyakitin Via, juga Tante Fira.” Gertak Gabriel tajam.

Riza tampak terdiam mendengar ucapan pemuda itu. Ia hanya memandangi pemuda itu lekat-lekat sambil memikirkan sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat Gabriel tidak bisa melawannya.

“Om akan mindahin Prissy ke sekolah kamu kalo kamu gak menuruti peringatan Om sama kamu.” Ancamnya.

Sekali lagi Gabriel mengepal tangannya kuat-kuat. Dia pikir ancamannya sehebat itu? Tunggu aja saatnya nanti, Om. Om akan memetik buah hasil perbuatan Om dengan tangan Om sendiri. Mungkin ini bukanlah balas dendam yang dahsyat. Tapi setidaknya cukup untuk ngebuat Om ngerasa pengen ngebakar muka Om sendiri.

***

Gabriel benar-benar melakukan apa yang Via minta. Pemuda itu tidak sekalipun mengajaknya bicara bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Dari penampakannya, Gabriel seperti tidak punya beban apa-apa ketika harus berjauh-jauhan dengannya.

Harus ia akui, hatinya seperti teriris-iris mendapati sikap Gabriel seperti itu. Bahkan rasanya lebih perih ketimbang mendengar pemuda itu membicarakan perasaannya terhadap gadis lain. Ternyata memang benar, sakit itu bukan kita kehilangan orangnya tapi ketika kita tidak lagi punya waktu untuk sesuatu berlabelkan kebersamaan.

Via berjalan mondar-mandir di kamarnya sendiri sambil memegang ponsel. Bibirnya berkomat-kamit merapalkan kata ‘telfon, enggak, sms, enggak, chat, enggak’ berkali-kali hingga kemudian ia berhenti dan mengerang frustasi. Ia menggigit jarinya dan tanpa sengaja menatap bayangannya di cermin.

“Enggak, Vi. Lo gak boleh nyerah dulu. Bukan lo yang harusnya nyerah, tapi Gabriel. Lo harus bisa buat dia mohon-mohon buat baikan lagi sama lo. Lo harus bisa! Atau mungkin, lo harus kuat...” rapalnya seraya mengangguk-anggukkan kepala meyakinkan dirinya sendiri. Tapi setelah itu, ia menghela napas berat.

Sementara di lain kamar, Gabriel duduk di kasurnya sambil melihat ponselnya sebentar. “Gak ada yang nelfon atau chat gue, nih? Nasib..nasib..” katanya seraya mengedikkan bahu pasrah lalu meletakkan ponselnya kembali.

***

Hampir seminggu lamanya Via merasa merana sendiri setelah sembarangan ‘mendepak’ Gabriel dengan harapan ia bisa tenang. Namun, yang terjadi justru dirinya tidak bisa berhenti untuk tidak melihat dan memikirkan pemuda itu.

Ia sudah tidak tahu lagi ini disebut kualat atau senjata makan tuan atau dua-duanya. Ia juga sudah tidak tahu ia sebenarnya mengharapkan Gabriel pergi dari hidupnya atau tidak. Tapi, mungkin sekarang ia sudah menemukan jawabannya.

Ia tidak bisa jauh-jauh dari Gabriel. Seberapa pun sakitnya bersama Gabriel, jauh lebih sakit rasanya ketika mendapati mata pemuda itu enggan untuk melihat ke arahnya lagi.

Drrt..drrt..

Kerisauan hati Via sedikit teralih pada getaran iphonenya di atas nakas. Ia berguling di kasurnya untuk mengambil benda tersebut serta mengecek apa yang terjadi di sana. Sebuah pesan masuk dari Gabriel.

Dari Gabriel.

Dari? Gabriel.

Iya, dari Gabriel. Gabri..

“IEL?!” pekiknya seolah baru sadar.

Tubuhnya langsung terduduk tegap dengan muka masih mengerjap-ngerjap. Masih percaya tidak percaya kalau Gabriel sekarang menghubunginya. Baru saja ia berdoa supaya Gabriel kembali dan Tuhan langsung mengabulkannya. Tapi...tunggu dulu. Kenapa dia chat ke Iphone? Batinnya bertanya-tanya.

Seketika itu juga, hati Via mencelos. Tidak aneh kalau Gabriel menghubunginya. Karena yang sesungguhnya dihubungi Gabriel itu adalah Zaza. Gabriel mengirim pesan ke nomor Zaza bukan nomornya. Ia spontan mendesah pelan. Ia kembali merebahkan tubuhnya sambil terus memandangi layar ponsel dengan sedih.

“Apa sih yang lo cari dari Zaza, Yel?” Ia mulai bergumam.

Tapi tiba-tiba ia terduduk lagi. Memangnya apa masalahnya kalau yang dihubungi Gabriel itu Zaza? Zaza kan dirinya juga. Yang akan terima enak juga dirinya, kan?

Via menggigit bibirnya menimang-nimang. Hingga akhirnya ia pun mengalah pada tuntutan hatinya dan mulai membalas pesan Gabriel tersebut.

Sementara di tempat lain, Gabriel mengembangkan senyumnya lebar-lebar. Setelah selama ini menahan rindunya dengan gadis itu, sekarang perasaannya sudah tidak bisa dibendung lagi. Yang lebih membahagiakan hati, gadis itu juga rupanya tidak bisa lama-lama berjauhan dengan dirinya.

***

Zaza atau mungkin Via saja, duduk di bangku yang disediakan untuk membaca di dalam toko buku tempat biasa ia menunggu Gabriel. Novel ditangannya mungkin lebih menjadi sebuah tameng untuknya agar bisa tetap berada di dalam toko. Meskipun novel itu benar-benar ia pilih dan sudah ia beli.

Tapi, untuk saat ini, hasrat dalam hatinya terbagi menjadi dua. Antara membaca dengan menanti-nanti dengan sangat tidak sabar akan kedatangan Gabriel yang sudah ia tunggu dari satu setengah jam yang lalu. Ngomong-ngomong, ini adalah kengaretan terlama dari pemuda itu sepanjang sejarah pertemuan mereka.

“Kenapa harus lama—banget, sih? Sengaja nih orang? Mentang-mentang gue udah kangen berat? Ck, awas aja ntar!” Ia berkomat-kamit dari balik halaman novel tanpa bisa mengalihkan perhatiannya pada pintu masuk toko buku. Hingga akhirnya...

Tada!

Pintu masuk terdorong ke dalam dan bersamaan dengan itu muncul lah sosok Gabriel dari balik sana. Pemuda itu memutar pandangannya mencari-cari keberadaan Via lalu kemudian tersenyum ketika melihat gadis itu.

Via meremas novelnya sembari menatap lekat-lekat Gabriel yang semakin dekat dengannya bahkan hingga sudah berdiri dan duduk di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang apalagi ketika pemuda itu tersenyum ke arahnya. Persis seperti bocah yang baru pertama kali jatuh cinta.

Via tidak tahu jantungnya ini berdebar karena ia mendadak jatuh cinta ulang atau karena rasa rindu dalam hatinya yang sudah tak tertahankan. Ingin rasanya ia meloncat ke arah Gabriel dan memeluknya erat. Kalau perlu ia bawa ke rumah dan dijadikan pajangan supaya ia bisa melihatnya bersamanya setiap saat.

Ck, rasanya sekarang ia mulai berlebihan. Mungkin ini efek ia sudah terlalu banyak melihat wajah datar Gabriel yang memandangnya setiap ada kesempatan berpapasan di sekolah atau dimana saja mereka bertemu. Sehingga melihat tatapan hangatnya merupakan hal baru lagi untuknya.

“Kamu gak mau mukul saya pake novel lagi?” tanya Gabriel sambil menaikkan alis.

Via menggeleng pelan dengan tatapan polos. “Buat apa?”

Gabriel mengedikkan bahu sekilas. “Apa aja. Pelampiasan perasaan mungkin, karena gak saya hubung-hubungin..”

Jantung Via berdebar lagi. Kenapa ia merasa saat ini Gabriel itu sedang berbicara dengan dirinya sendiri, bukan Zaza? Tapi, Gabriel kan tidak tahu kalau dirinya itu menyamar menjadi Zaza. Atau jangan-jangan Gabriel sudah tahu?

“Kamu kenapa jadi pendiem gini? Biasanya galak mulu sama saya.” Ujar Gabriel lagi.

Seketika menyadarkan Via dan menyangkal semua pemikiran dalam kepalanya. “Hari ini kamu ganteng. Saya terpesona. Sampe gak bisa ngomong.” Balas Via santai dengan senyum tulus.

Iya, Yel. Lo ganteng banget! Tapi...lo emang gak pernah gak ganteng, sih. Eh pernah deh. Lo gak ganteng kalo lagi php-in gue. hehe..

Gabriel tampak terkejut setengah mati. Pemuda itu langsung berseru sumringah. Hatinya seperti baru ditumbuhi bunga sakura setelah sebelumnya ditumbuhi kaktus karena tandus. Ia benar-benar senang. “Alhamdulillah! Akhirnya kamu sadar juga!” katanya sambil menengadahkan tangan.

Via memutar kedua bola matanya meski tetap tersenyum juga. “Baru juga saya bilang ganteng. Belum saya bilang kangen.” Katanya lagi dengan senyum menantang.

Tubuh Gabriel membeku sesaat. Ia langsung menoleh pada Via dengan tatapan tidak percaya. Hingga ia kembali tersenyum dan nyaris speechless. “Mbak..serius?”

Via pura-pura melengos. “Baru aja saya mau buka hati buat kamu, kamu malah manggil saya mbak lagi. Kapan aku nikah sama Mas-mu?” Dumelnya.

Sekali lagi Gabriel dibuat terbengong-bengong. Rasanya seperti kejatuhan duren. Mendapat banyak rezeki mendadak. Pertama, Zaza memujinya. Kedua, Zaza bilang kangen padanya. Ketiga, Zaza ingin membuka hati untuknya. Kurang lengkap apalagi?! Berarti itu artinya...

“Mbak—maksud saya, kamu mau nerima saya?” tanyanya masih dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Via menolehkan kepalanya lagi dan tersenyum geli. Ia lantas menganggukkan kepalanya.

“Haah...? Padahal saya belum nembak loh..” racau Gabriel lagi dengan pandangan takjub luar biasa.
Senyum Via meluntur mendengar itu. Wajahnya berubah sedikit kesal. “Kayaknya saya salah memutuskan buka hati buat kamu. Kalo gitu—“

Stop! Stop!” potong Gabriel cepat. Ia sudah sadar sesadar-sadarnya. Ia memandang Via dengan tajam dan dalam. Via bahkan sampai sulit bernapas.

“Kamu beneran mau jadi pacar saya—emm..aku, kan?”

Via tiba-tiba tertawa geli sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya. “Apaan sih lo pake aku-aku-an, biasa way woy juga!” Celetuknya tanpa sadar.

Gabriel tiba-tiba terdiam lagi. Saat itu juga Via ikut terdiam. Baru saja ia keceplosan menjadi dirinya sendiri. Ia merutu dalam-dalam. Bagaimana bisa ia seceroboh itu?! Semoga saja Gabriel tidak mendengar dan menjadi curiga. Meski kemungkinannya kecil melihat reaksi Gabriel seperti itu.

“Gausah aku-kamu-an lah, saya geli.” Katanya lagi berusaha menutupi kegugupan sekalian mengalihkan fokus Gabriel.

Gabriel menggaruk-garuk pelipisnya. “Masa saya-saya-an terus? Rasanya kayak lagi ngomong sama orangtua.”

Via lantas mendelik pada Gabriel. “Bilang aja kalo kamu mau bilang saya ini tua!” Sungut Via.

Gabriel mendecak pelan. “Enggak, Za. Yaampun. Kapan sih kamu gak nethink sama aku?”

“Astaga, kapan sih kamu nurut sama aku? Jangan pake aku-kamu!” kekeuh Via. Tanpa menyadari kalau ia menyebutkan panggilan yang salah.

Gabriel langsung berseru menang sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya. “Nah, kamu juga nyebut aku, kan?! Pokoknya make aku-kamu. Titik!”

Via mendesah pelan sambil memutar kedua bola matanya. Sudahlah, lebih baik mengalah. Ia sudah terlalu paham sifat Gabriel. Pemuda itu tidak bisa direvisi setiap keinginannya. Makin dilarang malah makin gencar. “Yaudah, terserah kamu.” Serahnya.

Gabriel tersenyum senang menatapnya lalu kemudian mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Jadi, kita beneran pacaran sekarang?”

Via tersenyum miring sambil menaikkan alis. “Maunya gimana?”

Senyum di wajah Gabriel pun makin mengembang. “Jadi, kamu cinta sama aku?”

Via mencibir pelan lalu menghela napas. “Iya, saya—aku cinta sama kamu.” Ia masih berusaha membiasakan diri dengan ‘adab’ bicara mereka yang baru.

Mungkin hanya inilah cara agar ia bisa merasakan benar-benar dicintai seorang Gabriel. Meski ia harus menyimpan rasa sakit di hatinya dalam-dalam karena bagaimanapun, yang dicintai Gabriel itu Zaza, bukan dirinya. Ia juga dengan teganya memanfaatkan penyamarannya untuk kepentingan hatinya sendiri. Yang secara tidak langsung membuatnya bermain-main dengan hati Gabriel.

Tapi, toh, dirinya tidak benar-benar berniat mempermainkan Gabriel. Perasaannya pada pemuda itu tulus. Tidak ada salahnya membuat Gabriel bahagia dengan terus memainkan perannya sebagai Zaza. Sambil menyelam minum air. Gabriel senang, ia juga senang.

***

Seperti malam-malam kebanyakan, Via dinner hanya berdua dengan Fira. Tapi entah mengapa, justru di saat hanya ada mereka berdua, suasana terasa ramai, penuh kehangatan. Mereka bisa bebas bersikap bagaimana dan berbicara tentang apapun. Mereka tersenyum, mereka tertawa, dan kadang terdengar gerutuan kecil dari bibir mungil Via ketika Fira menggodanya.

Suasanya benar-benar nyaman. Tidak seperti ketika meja itu lengkap diisi seorang laki-laki dewasa yang memegang kendali dalam keluarganya. Akan sangat jauh berbeda. Mereka di sana bertiga tapi pasti merasa seperti hanya seorang diri. Tidak ada ‘kegaduhan’, yang ada hanya suara dentuman piring dan sendok.

Kalau ia disuruh bicara soal Riza, Via pasti akan lebih banyak diam. Kalau ada yang bertanya siapa papanya, bagaimana keseharian papanya, apa saja yang disukai dan tidak disukai papanya, apa makanan favoritnya, apa klub sepakbola idolanya, dan hal-hal lain tentang papanya, Via pasti juga akan bungkam. Ia benar-benar asing dengan sosok laki-laki yang ia sebut papa itu. Mungkin pegawai kantor papanya bahkan lebih tahu bagaimana papanya ketimbang dirinya sendiri.

Meski begitu, entahlah..ia tetap merasa rindu pada Riza. Setiap malam, diam-diam ia selalu menunggu kedatangan papanya ke rumah di dalam kamarnya. Ia tidak bisa membohongi hatinya kalau ia juga butuh papanya.

Ia tidak bohong kalau ia membenci papanya. Tapi ia tetaplah seorang anak yang sama dengan anak-anak yang lain. Ia juga butuh figur seorang ayah. Tidak peduli bagaimana sikapnya, ia tetap menginginkan papanya. Tidak peduli kalau, misalnya pun, papanya tidak menginginkannya. Tapi itu hanya misalnya. Papanya tidak mungkin tidak menginginkannya, kan?

“Vi?” Suara Fira tiba-tiba menyisip di tengah-tengah pemikirannya tentang Riza.

Via mendongak dan melihat Fira tengah meneguk air putih di dalam gelas yang dipegangnya tanpa menatapnya. “Kenapa, Ma?”

Fira menghela napas singkat sembari menelan air dalam mulutnya dan meletakkan kembali gelas ke atas meja. Ia melipat kedua tangannya lalu telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Matanya memandang menerawang dan tidak fokus ke satu titik.

“Misalnya kamu punya peliharaan, kucing deh..kucing kamu betina. Kamu mau ngawinin kucing betina sama jantan. Trus kamu datenginlah kucing jantannya ke hadapan kucing betina. Kita namain aja yang cewek mika yang cowok miko. Tr—“

“Mama mau melihara kucing?” sela Via tak sabar.

Fira berdecak kesal. “Enggak. Dengerin aja dulu!” rutunya. Via mengernyit meski akhirnya ia diam dan memutuskan mendengarkan mamanya.

“Nah, trus, mika rupanya jatuh cinta sama miko. Tapi mikonya enggak karena miko udah lebih dulu jatuh cinta sama yang lain, namain aja mike. Miko udah lama pacaran sama mike dan tiba-tiba dipaksa kawin sama mika. Meski miko udah nolak dan ngomong sama mika, tapi mika tetep maksa. Pada akhirnya miko benci sama mika bahkan sampai mereka udah punya anak. Miko tetap melanjutkan hubungannya dengan mike bahkan sampai mereka kawin dan punya anak juga...” Fira tiba-tiba saja berhenti bicara. Suaranya pun mendadak memelan. Tatapannya berubah lirih.

Via mengernyit kembali. Mamanya ini sebenarnya kenapa? Apa mamanya benar-benar ingin memelihara kucing? Atau ini adalah kisah cinta kucing peliharaannya dulu?

“Meski begitu, mika gak peduli. Mika tetap mempertahankan miko. Berusaha meluluhkan hati miko. Tapi miko gak pernah sekalipun memandang Mika. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, mika tetap setia sama miko. Sekalipun mika gak pernah protes soal mike. Gak pernah complain soal keringnya perhatian miko sama dia. Sampai akhirnya anak mika dan miko udah besar dan mulai bertanya kenapa sikap ayahnya sedingin itu. Anaknya mulai mengeluh soal sikap miko. Mika akhirnya mikir. Ia mulai merenung, apa sikap bertahannya itu harus tetap dia laksanakan meski ia bahkan anaknya harus senantiasa menyimpan sakit di dalam hati, atau...ia sebaiknya menyerah. Menurut kamu...gimana?”

Via mengunyah cepat potongan ayam dalam mulutnya sambil menatap mamanya bingung sekaligus menyelidik. Ia lalu menancapkan lagi potongan ayam ke garpu, memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya lagi. Ia mengulanginya hingga 3 kali tanpa sekalipun melepas pandangannya ke arah lain. “Mama kenapa, sih?” tanyanya akhirnya benar-benar tak mendapat ide.

Fira kembali mendecak. “Kamu ih mama udah nungguin juga!” dumelnya.

Via balas nyengir. “Abis mama aneh. Tiba-tiba cerita kucing. Yakali ada kucing yang cuma cinta sama satu kucing lain. Kucing mah kawin sama siapa aja, Ma.” Celetuknya.

Fira yang tadinya bersedih ria sekarang berubah jengkel lalu kemudian geli sendiri. Untung ya, anaknya itu seperti Via. “Ya kan mama bilang misalnya, Vi.”

“Ya kenapa harus kucing?” sewot Via, yang tiba-tiba ikut mempermasalahkan kucing.

“Ya apa salahnya sama kucing?” balas Fira tak mau kalah. Sudahkah ia bilang kalau mereka makan bersama akan selalu ada perdebatan?

Pembicaraan yang tadinya diniatkan serius oleh Fira itu pun akhirnya gagal total. Via benar-benar pandai dalam merusak fantasi sedihnya.

***

Ify terpekur memandangi layar ponselnya. Tangannya bergetar setelah selesai membaca pesan yang baru saja masuk ke aplikasi messenger nya. Ia berusaha mengumpulkan segenap tenaga untuk mendial nomor si pengirim pesan namun yang ia dengan kemudian hanyalah suara wanita operator. Nomor yang dihubunginya tidak aktif.

“N—Ni..” lirihnya.

Agni berdehem menyahut tanpa memalingkan fokusnya pada ponsel. Ia sedang berkonsentrasi mencari benda-benda tersembunyi pada game yang ia jalankan.

“Ni..ini apaan, Ni?” Ify meracau dengan panik.

Tak hanya Agni, Shilla pun sontak mengalihkan perhatian mereka pada Ify. Keduanya mendapati sang teman dengan muka pucat pasi meratapi ponsel. Agni sedikit merasa khawatir melihat gadis itu.

“Heh heh apa? Apa yang apaan?” Tanya Agni menyadarkan Ify dari kekalutan yang melandanya.

Ify berbalik badan menghadap Agni dan Shilla lalu menunjukkan isi pesan yang ia terima. Mata Shilla melotot kaget sementara Agni tetap diam namun kepalanya berpikir keras.

From : Siviazizah
Fy, gue gak masuk 3 hari. Alesannya sakit, suratnya ada sama satpam. Nyokap taunya gue studi banding. Gausah panik. I’m fine. Jangan cari gue.’

Shilla buru-buru mencari nomor Via dan mencoba menghubungi gadis itu. Tapi sama seperti Ify sebelumnya, nomor tersebut sudah tidak aktif. Ia lantas ikut panik bersama Ify.

Sementara Agni menutup mata sambil menarik napas dan menghembusnya beberapa kali. Ia tidak boleh berpikir macam-macam. Ia sangat tahu Via. Selain dirinya, gadis itu adalah yang paling tegar di antara mereka berempat. Via juga orang yang rasional. Via tahu apa yang dia lakukan. Via tidak pernah gegabah.

Ify menelan ludah getir. Keringat dingin sudah menetes beberapa kali dari pelipisnya. Selama separuh hidupnya mengenal Via, baru kali ini gadis itu bertindak ‘sendiri’. Biasanya dia selalu melibatkan dirinya dan kedua temannya yang lain pada setiap masalahnya. Dalam artian meminta masukan tentang apa yang harus dia lakukan.

Sepanjang separuh hidupnya mengenal Via, gadis itu tidak pernah ‘kalah’ oleh persoalan yang menderanya. Dia akan tetap berdiri di tempatnya berada dan menghadapi masalah secara ‘jantan’. Via tidak pernah lari dan selalu bermain aman. Tapi, tidak sekarang. Gadis itu bahkan menghilang tiba-tiba tanpa tanda-tanda. “G—gimana sekarang? Ki—kita harus gimana? Vi—Via..Via—“

“Ssst!” Agni menghela kedua sahabatnya yang tengah gelisah itu. Ia tidak bisa berpikir jernih bila mereka terus saja meracau. “Percaya sama Via.” Putusnya.

Ify yang matanya sudah memerah mati-matian menjaga agar tangisnya tidak benar-benar pecah. Tidak lucu menangis pagi-pagi dan meraup perhatian banyak orang. Apalagi sekarang ia memang sedang menjadi fokus perhatian berbagai siswa dan siswi di sekolahnya.

Shilla berdiri seraya menyisir bagian depan rambutnya ke belakang. Ia lalu mengerang pelan. “Gue. Butuh. Minum.” katanya terengah-engah. Ia berjalan cepat meninggalkan kelas sebelum Ify dan Agni sempat memberi tanggapan.

Agni boleh saja menyuruh mereka tetap tenang. Kenyataannya tidak ada satu pun dari mereka yang berhenti barang sedetik menyebut nama Via di kepala masing-masing. Mereka tidak membuat gaduh. Mereka justru mendadak menjadi lebih ‘kalem’ dari biasanya.

Hal tersebut tak luput dari pengamatan Rio dan Gabriel yang telah kembali duduk bersama sejak Via memutuskan berjauhan. Rio yang tak tahan lantas bergerak pindah dari bangkunya menuju bangku sebelah Ify yang kosong. Gadisnya itu bahkan tidak sadar dengan kehadirannya di sampingnya.

Rio mengadukan pulpen di tangannya dengan pulpen Ify yang digenggam gadis itu tanpa asa. Ify seketika tersadar dan menoleh lalu sedikit kaget mendapati sosok Rio di sampingnya. Ia lalu menghela napas mengetahui dia melamun sejak tadi. Hanya tinggal menunggu kapan Rio akan bertanya.

“Kenapa?” Bisik Rio tanpa memandang ke arahnya melainkan mengawasi pergerakan Bu Okky di depan sana.

Tepat seperti dugaan Ify. Ify terlalu lelah sekaligus takut untuk berbicara. Alhasil ia hanya membalas lewat tulisan di post-it note miliknya. Ia lalu menyodorkan pesan tulisnya tersebut pada Rio. Rio menggeser kertas persegi berwarna kuning tersebut menjadi tepat di depannya agar lebih jelas.

‘Via kabur dan gamau dicari.’

Rio diam tanpa menunjukkan reaksi yang berarti. Ia sesaat menoleh singkat pada Ify yang memandang tak fokus ke depan lalu kembali pada post-it. Ia seketika paham dengan sikap Ify saat ini karena ia pun sekarang bingung sendiri.

Ia lantas memalingkan pandangan pada Gabriel yang memang sepertinya sudah menunggunya sedaritadi. Saat ia menoleh pada Gabriel, pemuda itu sudah lebih dulu siap melihat ke arahnya.

Sementara itu, Gabriel sudah seperti cacing kepanasan di tempatnya. Sudah sejak pagi ia menahan rasa penasarannya pada Via dan teman-temannya. Dari sejak ia masuk ke kelas ia sadar ada yang tidak beres pada Ify, Shilla, dan Agni. Apalagi mengetahui Via belum datang dan bangkunya tetap kosong ketika kelas di mulai.

Ia menunggu dengan gelisah kabar atau petunjuk dari Rio. Ia tidak sekalipun memalingkan pandangannya pada pemuda itu setelah berpindah duduk. Meski pada akhirnya ia tetap harus menunggu sampai bel istirahat berbunyi karena Rio memilih tidak kembali ke tempatnya semula.

Barulah ketika ia dan Rio dalam perjalanan mengikuti Ify, Shilla, dan Agni ke taman belakang sekolah semua rasa penasarannya terbayar. Sekarang perasaannya justru berganti cemas. Jantungnya sudah tidak usah ditanya lagi berapa kecepatan denyutnya. Hatinya pun dihantui rasa bersalah sekaligus menyesal akan kondisi ‘jauhnya’ dirinya dan Via beberapa hari ini. Akhirnya setelah 16 tahun usianya, seseorang berhasil membuatnya khawatir sepenuh hati.

Jangan kabur jauh-jauh, Vi. Gue ada..gue ada..

***


Alhamdulillah yaa Cagni sama Siviel kerja lagi ga makan gaji buta terus wkwk~