-->
Tampilkan postingan dengan label 2012. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2012. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Desember 2012

Matchmaking Part 19 : Special Rify Part B



Bissmillah ajadeh. semoga gak pada kecewa ya haha -_-v

***

Dalam perjalanan pulang, keduanya lebih banyak saling mendiamkan diri. Ify terus-terusan menatap ke depan dan Rio pun begitu. “Fy..” Akhirnya Rio buka suara. Ify pun mau tidak mau menoleh dan beralih pandang ke arah pemuda di sebelahnya. “Ya?” balasnya singkat. Rio hanya menatapinya lama lalu tiba-tiba menepikan mobil. Ia menatap Ify lagi dan tanpa mengatakan apapun.

Ify memberanikan membalas tatapan Rio tersebut. Mencoba menghadapi senjata mematikan yang hampir setiap hari membunuhnya. Ayo Fy, ayo! Buktikan bahwa lo gak takut lagi sama 2 makhluk sialan itu! Lo harus berani! Lo harus kuat...setidaknya lo kuat d hari terakhir lo menyelami mata-mata itu. Buru Ify dalam hati. Ify memantapkan matanya membalas tatapan Rio. Rio pun terus saja menghunuskan senjata ampuhnya tersebut pada Ify.

“Bener..lo mau move on dari gue?” Tiba-tiba Rio bertanya, masih dengan pandangan tajam ke arah Ify. Ify menegut ludah hikmat. Pelan dan sepertinya agak susah. Kemampuan berbicaranya seakan-akan menghilang. Ify menarik nafas dalam dan menutup mata sejenak. Sejurus kemudian ia memberanikan diri menatap Rio kembali. “Iya,” jawabnya singkat. “Apa lo yakin?” tanya Rio lagi. Ify mengangguk mantap. Ia tidak boleh terpengaruh pada apa yang pemuda itu katakan. “Apa lo sanggup?” sekali lagi Rio bertanya.

Dan untuk kali ini, Ify terdiam. Hatinya dihempas benar-benar. Wajahnya seakan ditampar keras hingga pikiran normalnya kembali terbuka. Kembali difungsikan untuk berfikir dengan amat sangat matang-matang akan keputusan yang ia ambil sekarang. Apa benar ia sanggup? Setelah semua masa-masa sulit yang dialaminya sampai Rio mengakui satu hal padanya, bahwa pemuda itu menyukainya. Tapi, sampai kapan ia harus menunggu?

“Gue capek nunggu. Pait. Nusuk. Sakit.” Ify menunduk. Ia tak cukup berani menatap Rio lagi. Sejujurnya ia tak rela sih, cuma, mau bagaimana lagi? Sementara Rio makin lekat menatapnya. Dan sekarang..lo pasti nahan gue..hh lagu lama! Batin Ify sarkastik. Rio kemudian beralih pandang ke depan. Keduanya lalu saling bungkam. Atau mungkin hanya Rio yang bungkam karena mulut Ify sedari tadi berkomat-kamit bosan dengan suasana yang ada saat ini antara dirinya dan Rio.

Ify mengeluarkan ponselnya dan hanya memandangi layar dari benda berbentuk petak itu. Ibu jarinya mengusap layar sekaligus keypad *lupatulisannyax_x* yang terdapat disana. tiba-tiba mengalir bisikan dalam benaknya yang menyuruhnya menghubungi pria aneh, yang tadi sore ia temui, yang mengaku bahwa dirinya ialah orang yang selama ini diam-diam mengaguminya. Siapa lagi kalau bukan Debo, kan?

Tapi...kenapa Debo? Orang yang ia kenal dekat banyak tapi kenapa mentoknya pada pemuda itu? Aaah gue pasti udah gila nih! Stres nih! Sarap nih!
“Dulu, gue pasti nangis, sampe mata gue bengkak, sampe baju lo gue bikin basah,  karena ngelepas lo. Sekarang, tenang aja, baju lo gak akan basah, mata gue juga gak bengkak, ga akan ada air mata semili pun yang bakal jatuh dari pelupuk mata gue. Gue bakal nyiapin senyum terindah gue sebagai perpisahan kita malam ini. Bukan sebagai pasangan kekasih, tapi yaah..apa ya? hihi gue gatau deh apa, kita ga ada hubungan apa-apa juga kan ya..”

“Maksud lo?” Air muka Rio langsung berubah datar. “Yaa maksud gue, kita gaada hubungan apa-apa, temen bukan pacar apalagi haha..” jawab Ify santai.
Rio tidak terlihat ingin membalas. Ia diam dan tetap menatap Ify. Sepertinya pemuda itu telah kehabisan kata untuk melanjutkan perdebatan, mungkin. Atau bisa juga ia sedang memikirkan kata-kata apalagi yang lebih tepat ia ucapkan saat ini. Ify ikut diam. ia tidak ingin memulai pembicaraan. Karena berdasarkan riwayat pertemuan, ia-lah yang kerap kali mengajak Rio bicara, yang jelas sekali sangat tidak menginginkan diajak bicara olehnya.

“Kita dijodohin,” Rio tiba-tiba berujar, sekaligus menutup keheningan yang sedang tampil klimaks antara dirinya dan Ify. Ify sendiri kaget. Ia tidak menyangka Rio akan mengangkat lagi masalah perjodohan antara dirinya dan pemuda itu. dimana yang sudah-sudah, pemuda itu kian marah ketika dirinya menyebut-nyebut soal perjodohan. Dimana pemuda itu kian tidak ingin masalah perjodohan mereka tersebut diketahui siapapun, kecuali orang-orang yang tidak mungkin tidak mengetahuinya.

“Masih kita dijodohin? Bukannya udah batal ya? lo kan yang minta waktu itu? iya kan? Apa gue salah? Apa gue yang minta? Aduh, gue bingung deh,” katanya polos. Meski bagi Ify, Rio pun kelewat polos. Pemuda itu seperti lupa ingatan. Lupa akan apa-apa saja kesepakatan tersirat maupun lisan, bersama ataupun sepihak yang sudah terjadi antara dirinya dan pemuda itu. bukankah Rio sudah enggan untuk dijodohkan dengannya?

“Gue gak pernah bilang iya waktu lo bahas pembatalan perjodohan!” kata Rio tegas. Tatapan matanya bergulat manis dengan tatapan mata Ify yang mulai sayu. Jujur saja, Ify sedikit mengantuk. Tapi, apalah arti rasa kantuk saat ini. pasti akan dapat cepat terlupakan, terhembus oleh belaian angin malam. Namun tidak dengan rasa sesak. Rasa itu makin menghujami dada Ify. Mengisi seluruh kekosongan yang sempat hinggap hingga tidak menyisakan satu ruang pun. Gue pengen muntah rasanya..

“Tapi lo selalu desak gue buat melakukan itu!” balas Ify. Ia terpancing nada suara Rio yang mulai meninggi. Sementara Rio seperti makin ingin membuat Ify makin terpancing. “Itu karena lo yang selalu nyerah dan nyerah,”

“Siapa yang gak selalu nyerah ngejer orang yang setiap saat ngejolak kita sampai hampir ga bisa berdiri?!” Sungut Ify. Nafasnya memburu dan tidak stabil. Dadanya naik turun. Dirinya sekarang antara marah, bingung dan ingin menangis. Rio tidak jauh berbeda. Dadanya juga naik turun meski tidak sederas Ify.
“Apa kesempatan yang gue kasih sia-sia?” Ia berujar lagi. Dan ujarannya itu dengan mudah membuat Ify terpana. Takjub. Heran, namun percaya. Kapan sih Rio tidak menodongnya dengan pertanyaan aneh? Satu hal yang membuatnya bingung. Yo, cara lo mikir gimana ya? Bingung gue. Perasaan, gue gak pernah bener. Salah mulu. Batinnya bingung.

“Kesempatan apa? Buat lo jatuh cinta sama gue? Apa sikap lo nunjukkin bahwa gue masih punya kesempatan?” balas Ify. Rio bingung. Alisnya menukik sebelah. “Maksud lo?”

“Bukan kesempatan namanya kalo kemungkinannya gak ada. Itu namanya mimpi. Istilah gaulnya, ngarep.” Jawab Ify enteng. Bibirnya menyungging senyum lepas saat menatap 2 bola mata tajam Rio. Nafasnya sudah kembali teratur. Dalam hati, ia menertawai nasibnya mencintai seorang pemuda membingungkan bernama Mario. Pria batu! Sementara Rio, termangu melihat Ify, melihat senyum Ify, mungkin.

“Dan kalo kesempatan itu memang ada, mungkin sampai kapanpun cuma bakal jadi kesempatan. Gue maju, lo ga cuma mundur, tapi lo ngilang! Cepeeet banget. Ga ada kemajuan apapun yang bisa gue buat.” Tutur Ify kembali dengan tenang. Bibirnya setia mempertahankan senyum yang tadi ia sunggingkan. Rio makin termangu dibuatnya.

“Selama ini lo ngerasa kesempatan dari gue gak ada?” Rio kembali angkat bicara dan lagi-lagi menatap Ify lekat. Suaranya mulai meninggi, lagi. “Apa gue nyium lo, ga sanggup nahan lo buat tetep cinta sama gue? Gak sanggup memotivasi lo untuk terus berusaha buat gue jatuh hati sama lo?” lanjutnya.

Apa salahku..kau buat begini... *nyelipdikit*sekaliandilanjutinjugaboleh*

Ify tertegun. Jantungnya seperti dipukul begitu keras. Rio benar-benar mengorek lagi dari dasar akan hubungan mereka. Mengungkit hal-hal yang begitu sensitif. Namun terdengar begitu menyakitkan. Dan tak diduga Ify bahwa penyampaian Rio tersebut akan terasa semenyakitkan sekarang. Rio membuat hal yang ia utarakan berarti berbeda. Bahkan seakan tak berarti apa-apa bagi Rio. Berbeda jauh dengan yang diartikan ify. Membuat ify bertanya...pernahkah pemuda itu menyukainya? Apa benar? Apa dirinya dipermainkan..lagi?

Kau tarik ulur hatiku hingga...sakit yang kurasa...
“Kenapa?” suara Ify mulai kacau. Kemungkinan dan kesialan terburuknya malam ini adalah ia akan menangis. Yo..sumpah...gue nyesel cinta sama lo...sumpah...sumpah...

“Yaa maksud gue..”

“Maksud gue kenapa lo bahas masalah itu? kenapa lo dengan santai bilang ‘Apa gue nyium lo, ga sanggup nahan lo buat tetep cinta sama gue’? Kenapa lo buat seakan-akan gue cewek murahan, yang dicium sekali, bakal nempel seumur hidup? Kenapa sih lo gak pernah buat gue yakin sama lo? Kenapa sih kesan gue sama lo gak pernah bagus? Kenapa Yo, kenapa?” Ify memotong dengan cepat sebelum Rio beroceh panjang. Sedikit lagi, Ify dapat dipastikan menangis. melemah sedikit saja lagi, tersentuh sedikit saja, maka pertahan ify semuanya akan jatuh. Layaknya susunan domino yang bilamana disentuh barisan paling depannya akan menjatuhkan keseluruhan.  

Apa memang ini...yang kamu inginkan..tak ada sedikitpun niat tuk...serius kepadaku...
“Fy, bukan itu, gue..” Rio kebingungan sendiri. Ia menyadari perkataannya sebelumnya salah besar. Ia salah menyampaikan pada Ify. bukan itu yang ia maksudkan. Sedikitpun tak ada niatan membuat Ify merasa dipermainkan. Dalam lubuk hatinya yang amat sangat dalam itu, ia hanya ingin meyakinkan Ify bahwa dirinya benar-benar menginginkan gadis itu, benar-benar ingin gadis itu membuatnya jatuh hati. Karena itu, ia mengulas tentang kecupan yang dulu ia berikan pada Ify. alasannya, ia hanya ingin Ify mengetahui, bahwa ia tidak akan mungkin mengizinkan siapapun atau memberikan itu pada orang yang bukan merupakan yang paling diinginkannya. Tapi..

Katakan..yang sebenarnya..jangan mau tak mau...seperti ini...
“Masih ada yang mau lo omongin? Masih ada stok kata-kata menyakitkan buat gue?” sindir ify. Ia beralih pandang ke arah depan seraya melipat kedua tangan di dada. Rasanya tak sanggup lagi terus-menerus berdebat dengan Rio, tapi ia juga belum mendapat kepastian akan dirinya dan pemuda itu. ia belum memastikan kepada Rio bahwa dirinya akan benar-benar pamit dan lepas dari jerat pesona pemuda itu.

“Gue mau lo!” Yakin Rio. Ia tidak lagi memikirkan harga diri atau apapun itu yang biasanya menghalanginya untuk berlaku baik pada Ify, membuat gadis itu betah menghadapinya. “Basi!” Elak ify langsung. Tentu saja! Kalau dirinya dipermainkan lagi, bagaimana?

Akhirnya...kini aku mengerti...apa yang ada di fikiranmu selama ini...
Rio menarik nafas dalam. Mencoba menenangkan diri dan memahami sikap sinis Ify kepadanya. Ini hidup mati lo, Yo! Batinnya meyakinkan diri. “Lo bisa percaya sama gue, Fy!” Katanya lagi. Ify meliriknya sebentar lalu memalingkan wajah. “Males.” Elak Ify lagi. Rio harus lebih tenang sepertinya. Meski ia agak kesal juga dengan sikap ngeyel Ify. “Fy, ini pertama kali. gue. memohon. sama. lo. Plis..” Ujar Rio lembut namun penuh penekanan.

Ify melirik lagi. Keningnya mengerut. Wow lah gitu? Pikirnya. Ia kembali menghadap ke depan. “Gue gak peduli.” Katanya. Lantas kekesalan Rio memuncak. Ify tak lagi ‘jinak’. Cara yang sama. Semoga lo tetep sama. Plis. Kata Rio dalam hati. Lantas ditariknya nafas dalam. Ia diam sebentar lalu kemudian memanggil Ify.

“Fy,” panggil Rio. Ify hanya diam. ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Dalam hitungan detik ke sepuluh, gue bakal sampe J. Berikut isi dari pesan yang diterimanya. Ify kemudian hanya memandangi ponselnya itu. ia mendadak bingung. Untuk apa dirinya menyuruh Debo, orang yang mengirimkan pesan tersebut, untuk menjemputnya? Lalu, Rio, bagaimana? Ah..Rio juga gak pernah mikirin gue ya kan...

“Fy..”

“Udah malem, Yo, lanjut jalan sekarang aja..” potong Ify. Ia merasa terlalu lama menghabiskan waktu bersama pemuda di sebelahnya. Tapi, jika Rio benar-benar menuruti apa yang ia katakan, Debo bagaimana? Pemuda itu sebentar lagi sampai di tempat ia dan Rio berada sekarang.

“Fy, untuk kedua kalinya dalam hidup gue..” kata Rio menggantung. Ify hanya diam. akan tetapi kepalanya tertoleh ke arah pemuda itu, sembari menunggunya melanjutkan berbicara. Rio menghela nafas sejenak dan menghembusnya pelan. “Gue..merelakan hati gue dimiliki orang lain..” katanya kemudian, masih tetap menggantung. Ify mendadak berdebar. Ia meremas tangannya kuat-kuat agar debaran jantungnya segera menghilang.

“Dan, untuk kedua kalinya dalam hidup gue..” lanjut Rio menggantung. Ify geram sendiri. Karena Rio yang terus-terusan menggantungkan perkataannya itu, kecepatan jantungnya berdebar menjadi makin tinggi. Ia harus berulang kali menarik nafas dan menghembusnya cepat agar keadaan jantungnya kembali normal. “Gue..”

Sial! Lo ngomong langsung yang jelas-jelas aja kenapa sih, Yo?! Gerutu Ify membatin. “Apa?” tanya Ify. Rio memandangnya lekat lalu tiba-tiba sayu. Tatapannya melembut dan menenangkan. Ify tersipu karena Rio menatapnya seperti itu. Tidak sampai disitu, Rio tiba-tiba memeluknya erat. Tidak memberinya ruang untuk bergerak seinci-pun. “Yo..” Bukannya menjawab, Rio justru makin mengeratkan lagu dekapannya yang tadinya memang sudah erat.

Ify sendiri bingung harus bagaimana menghadapi Rio. Ia sangat ingin sekali pemuda itu segera melepas pelukannya. Tak dapat dipungkiri dirinya memang agak merasa senang karena jarang-jarang Rio memeluknya seperti sekarang. Tapi, ia sudah bertekad untuk melepas dan melepaskan diri dari pemuda itu. karenanya, Ify juga merasa gelisah. Sementara itu, tubuhnya tidak meyakini hal yang sama dengan apa yang ia tekadnya. Tubuhnya menolak perintahnya untuk melepaskan diri. Tubuhnya membeku, menuruti dengan ikhlas segala apa yang dilakukan Rio.

Rio kemudian melepaskan pelukannya pada Ify. Dalam hati, Ify berulang kali mengucap syukur karena terbebas dari rasa gelisah akibat pemuda itu. akan tetapi, tangan Rio masih menggenggam kedua bahunya. Karenanya rasa gelisah dalam diri Ify masih tetap ada. Bertepatan dengan itu ada sinar terang dari arah depan diiringi dengan bunyi klakson satu kali. Tampaknya ada yang datang. Keknya Debo deh. Pikir Ify. “Yo..”

Cup!!

Rio mengunci bibirnya tanpa izin. Ify menggenggam kuat ponsel di tangannya. Mendadak dirinya hilang akal. Entah apa yang sedang berkutat dalam pikiran dan hatinya saat ini, yang jelas ia tak mampu mengelak apa yang Rio perbuat padanya. Keduanya lantas bertahan dalam posisi tersebut. Tapi sejurus kemudian, mata Ify membelalak. Pikiran normalnya kembali. Ia tersadar kepasrahannya ini salah dan...Rio yang lebih salah besar!

Kau hanya ingin..permainkan perasaanku..tak ada hati...tak ada cinta...
Sekali lagi, Rio melakukan ini padanya. Sekali lagi...sekali lagi dirinya disogok agar tetap berada dibawah kuasa pemuda itu. Yo...tega lo! Batin Ify geram. Lantas didorongnya tubuh Rio keras. Pemuda itu terkesiap. Tidak menyangka Ify akan segarang itu. ia menjadi takut sendiri dan takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya, sangat tidak ia inginkan.

Mata Ify memanas dan memerah. Rio benar-benar takut melihat itu. jantungnya mendadak berdebar. Untuk pertama kalinya dirinya dibuat takut oleh gadis itu. tapi, saat ini, gadis itu memang sangat menakutkan. Siapapun yang melihat pasti akan bergidik ngeri. Seorang hamster yang tiba-tiba berubah wujud menjadi singa lapar. Begitulah kira-kira wujud Ify. “Fy, gue cuma..gue..” Rio kebingungan harus menjelaskan apa. Sementara Ify hanya diam menatapnya.

PLAK!

Dan boleh kita ulang, untuk pertama kalinya dalam hidup Rio, ada seseorang yang menamparnya meski tak begitu keras. Tapi, apa yang merasuk ke dalam hatinya jauh lebih dan sangat menyakitkan. Campur aduk antara marah dan sedih. Marah karena, ada yang sudah berani dan lancang menyentuhnya. Dan sedih yang teramat dalam karena...karena hamster itu telah berubah menjadi singa..karenanya. Karenanya...hamster kecil dan lucu yang selalu ceria itu, sekarang begitu terlukai hatinya dan begitu murung..karenanya. *halah*

“Brengsek lo!” Desis Ify dan langsung keluar dari mobil Rio. Air mata yang sedari tadi ditahannya meluruh begitu saja ke permukaan pipinya. Ia pun kini membiarkan saja, seberapa banyak air mata yang diteteskannya ia tidak peduli. Tentu saja, karena malam ini, malam terakhir dirinya meneteskan air mata, khusunya untuk Rio. Jangan harap gue bakal berharap lagi sama lo, Yo! Jangan harap!

Rio ikut keluar. Niatnya untuk menahan ify sekaligus menjelaskan apa yang barusan ia lakukan pada Ify agar gadis itu tidak salah paham. Tapi Ify berlari begitu cepat dan tiba-tiba saja masuk ke dalam sebuah mobil yang belum lama berada disana. mobil tersebut langsung melaju ketika Rio hendak mendekat. Tinggal-lah Rio kini yang berdiam diri tanpa tau apa yang bisa ia perbuat sekarang, untuk gadisnya, gadisnya yang sudah mengambil langkah pergi darinya. Dan mungkin..gadis itu sudah melangkah cukup jauh.

***

Pagi yang indah meski diselimuti langit mendung dan hawa dingin. Ify tak cukup peduli. Pagi ini, entah mengapa moodnya begitu terasa sangat baik. Terlepas dari kejadian semalam yang tidak akan diingat-ingatnya lagi. Termasuk pemuda yang membuatnya tidak ingin mengingat apa yang terjadi semalam itu. terutama ketika pemuda itu...aah sudahlah, jangan diingat-ingat kembali. Itu lembaran lama. Gue udah tutup buku dan ganti buku yang baru.

Ify keluar rumah dan seketika kaget. Sebuah mobil yang sangat dikenalnya terparkir manis di depan pagar rumahnya. Mobil milik pemuda yang semalam memberinya kenangan kurang menyenangkan. Rio! Ify mencibir melihat pemuda itu keluar dari mobilnya. Mau apa lagi sih? Rese banget ngilangin mood bagus pagi-pagi! Batinnya.

Ify berjalan mendekat menuju pagar. Tak ada senyum yang mengembang di bibirnya ketika melihat Rio. Rio merasa tidak masalah akan hal itu. wajar saja gadis itu tak ramah. Ia masih beruntung karena Ify hanya memandangnya sinis, tidak sampai memikul kayu dan memukulkan benda itu padanya dan mobilnya lalu dirinya diteriaki dan diusir dengan cara yang tidak bersahabat. Banyak-banyak sabar, Yo!

Rio kemudian berjalan ke pintu mobilnya sebelah kiri bertepatan dengan sampainya Ify di muka pagar. Ia kemudian membukakan pintu mobilnya tadi dan mengode Ify agar masuk. Akan tetapi, Ify hanya diam dan sepertinya pura-pura tidak mengerti. Gadis itu justru memalingkan wajah ke arah lain.
Tiba-tiba sebuah ninja hitam berhenti tepat di depan mobil Rio. seorang pemuda yang mengendarainya membuka kaca helm dan menyuruh ify naik. Ify dengan enteng menuruti dan mengabaikan ajakan Rio bahkan Rio sendiri. Dengan segera ninja tersebut melesat dan menghilang dari pandangan. 

Sementara Rio, ia menutup pintu mobil yang ia buka tadi dengan keras. Tangannya mengepal. Bukan karena Ify, tapi karena orang yang lancang melarikan gadisnya itu.

***

“Ifyyyy lo mesti cerita sama gue! Ada apa sama lo sama Rio? terus, yang nganter lo tadi itu siapa?” Celoteh Via ketika pada Ify ketika Ify baru saja memasuki kelas. “Enak aja sama lo doang, kita-kita juga!” sela Agni. Via hanya mengangkat bahu melihat itu dan menarik Ify ke kursinya. Ify memutar kedua bola matanya malas. Sudah ditebaknya akan seperti ini. kekepoan teman-temannya itu akan lebih besar dari seorang polisi yang sedang mengintrogasi teroris.

“Lo semua ga pada kepo bisa gak sih?” rutu Ify. ketiga temannya lantas menggeleng dan menyengir ria. Lalu kemudian kembali mendesaknya untuk bercerita. “Yaudah sih tinggal cerita aja susah amat!” balas Agni. Ify menghembus poni depannya hingga sebagian beterbangan ke atas. “Ada syaratnya..” gantung Ify. Kening Agni, Via dan Shilla mengerut. “Gue lagi gamau bahas cowok yang duduk sama pacar lo itu, Vi. Jadi jangan ada yang nyebut-nyebut dia.” Kata Ify mengultimatum. Ketiga temannya kemudian saling berpandangan. Via hanya mengedikkan bahu sementara dua lainnya menurut.

“Jadi kita bolehnya kepoin apa dong? Yang bisa di kepoin dari lo kan cuma Rio, Rio dan Rio. ga ada yang...” Tiba-tiba Shilla berhenti, ketika ketiga temannya yang lain serentak menatapnya. Tentu saja dengan tatapan tak enak. Ia menggaruk kepalanya tak mengerti. Apa ada yang salah darinya? Dari ucapannya....astaga! Rio!

“Ah bete ah!” Air muka Ify seketika berubah kecut. Ia berdiri dari kursinya dan kemudian keluar dari kelas. Agni dan Via lantas menatap Shilla datar. Menyalahkan kepolosan gadis itu. shilla hanya nyengir seraya menyembulkan kedua jarinya membentuk huruf v. “Piss hehe..” cengirnya canggung.
Sementara itu, ketika di depan kelas, secara tidak sengaja Rio baru saja memasuki kelas. Ify dan Rio sempat bertatapan sebentar. Akan tetapi kemudian ify melengos dan bertingkah seolah mereka tidak saling mengenal. Rio pun tak jauh beda. Ia tak ambil pusing dan langsung saja menuju kursi tempatnya duduk bersama Iel.

***

Bel keluar main berbunyi beberapa menit lalu. Debo tiba-tiba sudah berdiri saja di depan kelas Ify dan melarikan gadis itu. ify tidak keberatan sama sekali. kebetulan, ia sedang tidak mood menghabiskan waktu bersama Via, Agni dan Shilla. Ketiga gadis itu pasti akan meneruskan kekepoan yang tertunda mereka. Dan hal yang ditakutkan Ify, kejadiannya sama seperti tadi pagi, bahwa salah satu dari ketiga sahabatnya itu secara sengaja atau tidak sengaja akan menyebut-nyebut nama Ri....aaaah! kenapa keinget lagi sih?!!

“Fy, lo sama si Rio sekarang gimana?” kata Debo tanpa dosa. Tanpa memperhatikan bahwa hamster di sebelahnya itu belum kembali menjadi hamster, akan tetapi masih mempertahankan wujud singanya, apalagi dengan dirinya yang dengan entengnya menyebut nama orang yang menjadi penyebab utamanya gadis itu berubah menjadi singa. Sial! Umpat Ify dalam hati.

“Lo sama aja ya, bikin gue bete! RRR!!!” katanya geram dan berjalan cepat meninggalkan Debo. Debo bingung. Akan tetapi, ia sedikit menyadari apa kesalahan yang ia lakukan. Ia telah menyebut nama...Sssst! Tidak boleh disebutkan!

Ify berjalan cepat meninggalkan Debo. Tidak peduli bahwa dirinya sendirian sekarang. Moodnya makin buruk. Padahal tadi pagi ia merasa begitu baik. Shilla! Debo! Couple of the day deh lo bedua! Sama-sama bikin gue bete! Bete! Bete bete bete be..

BUK! BRAK! *halah*

Ify tak melihat-lihat arah jalannya hingga tak sengaja ada seseorang yang ditabraknya dari depan. Orang itu tengah membawa beberapa buku cetak yang tebalnya lumayan. Lumayan untuk melempar seekor anjing yang mendekat hingga pingsan. Ify sedikit banyak mengenali wajah dari orang yang ditabraknya itu. apalagi sepatunya...iya! gadis sepatu pertama! Mata Ify lumayan melebar akan tetapi sebisa mungkin dinetralisirnya dan tidak menimbulkan kecurigaan.

“Maaf gue..gak..sengaja..” ujar Ify takut-takut. Mengingat buku-buku yang dibawa gadis tersebut berserakan di lantai akibat ia tabrak. Gadis itu hanya memandangnya datar dan lumayan jengkel. Ify menggaruk tengkuknya bingung. “Gu..biar gue yang ambilin bukunya..” katanya kemudian. “Gak usah!” balas si gadis jutek. Baru saja dirinya hendak bergerak turun, Ify sudah mendahului posisi yang ingin dicapainya. Ify kemudian mengumpulkan beberapa bukunya yang berserakan tadi.

Gadis tersebut mendengus kesal lalu dengan keras mendorong Ify hingga terduduk. Ify kaget. Ia tidak menduga gadis itu akan semarah itu. horor nih cewek! Sereeem! Pikirnya. Gadis itu kemudian memunguti buku-bukunya sendiri. Dari arah depan dan belakang mereka, terlihat dua pemuda berbeda yang ingin mendekat. Hanya saja salah satu dari dua pemuda itu sudah sampai duluan dan mendekati Ify yang terduduk. Menanyakan apakah gadis itu baik-baik saja serta alasan mengapa gadis itu bisa dalam posisi seperti itu. Sementara yang satu lagi menghentikan langkahnya spontan. Ia lantas hanya memandangi dua sejoli yang sedang duduk itu, yang salah satunya ia ingin hampiri tadi.

Gadis sepatu sudah selesai dan berdiri. Lalu kemudian menatap Ify masih dengan tatapan tidak suka dan sinis. Ify menjadi takut sendiri. Jika tadi ia dijolak, apa sekarang ia akan ditendang? Pikirnya. Gadis itu kemudian menatap berurutan pada pemuda yang lebih dulu menghampiri Ify, pemuda terlambat serta gadis di sebelahnya. Ketika matanya tertuju pada pemuda terlambat, ia tersenyum miring. Entah apa arti senyumnya itu. kemudian air muka nya berubah masam ketika menatap gadis di sebelah pemuda terlambat. Entah kenapa pula itu. yang jelas, ia segera pergi ketika sudah puas menatapi orang-orang di sekelilingnya.

Kembali pada Ify yang kaget ketika melihat dua orang yang baru datang beberapa meter di depannya. Seorang pemuda dan gadis. Pemudanya ialah orang yang menjadi moodbreakernya sejak pagi hari. Dan ketika melihat gadis di sebelahnya, moodnya makin dibuat rusak. Baru aja pisah, udah makin nempel aja lo berdua! Rr! Gerutunya membatin. “Lo gak papa, Fy? Ada yang luka? Cewek tadi kenapa sih? Kok dia kayak ga senang gitu sama lo? Lo kenal? Lo ada masalah sama dia? Sejak kapan? Masalah apa?” tanya Debo, pemuda yang berhasil mendahuli pemuda terlambat tadi untuk menghampiri Ify, bertubi-tubi.

Jika saat ini tidak ada Dea dan Rio, dua sejoli yang baru datang tadi, mungkin Ify sudah menggetok (?) kepala Debo dengan sepatu dan menyumpalkan kaos kaki yang ia pakai agar pemuda itu tidak bertanya lagi. Yaolooh, apes banget sih mood guee! Ringisnya dalam hati. Ia menarik nafas panjang dan menghembusnya pelan. Ditatapnya Debo lalu kemudian tersenyum manis. “Gue gak papa lagi. Lo tuh udah kayak emak-emak kehilangan duit seribu tau gak! lucuuuuuu bangeeet!!” Kikik Ify dan tiba-tiba saja mencubit gemas pipi Debo yang lumayan berisi. Membuat masing-masing yang ada disana tercengang.

Terutama...Rio. Pemuda itu mengepal tangannya kuat, menekan apapun yang berjangkit dalam dadanya. Debo sendiri kaget. Ify mencubit pipinya tidak sembarang waktu dan setiap saat. Momen seperti ini harusnya didokumentasi. Tapi, tidak perlu sih, karena dirinya tidak akan mungkin melupakan momen se-Wow ini. Gue mesti koprol! Joget gang nam style sambil bilang cetaaar membahana! Pikir Debo asal karena teramat senang. Ify lantas berdiri dan kemudian berjalan pergi dari tempatnya semula dengan Debo yang mengekor dari belakang.

Rio yang ditinggal hanya bengong. Dea yang bingung dengan kediaman Rio kemudian menyadarkan pemuda itu. “Kak? Gak papa?” Tanyanya khawatir. Rio menoleh dan menggeleng pelan.

***

“Lo duduk disini ya, gue pesen makanan dan lo jangan kemana-mana! Inget, jangan kemana-mana!” perintah Debo. Ify tersenyum geli melihat tingkah secadnya itu. Akhirnya, setelah sedaritadi moodnya dibuat turun kini mulai naik kembali karena pemuda itu, Debo. Ngeselin sih, tapi untungnya lo bikin mood gue baik, Deb. Hehe. Batin ify. “Iya ah bawel lo!” katanya sambil menggelengkan kepala geli. Debo kemudian pergi memesan makanan dan meninggalkan Ify sendirian disana.

Pulang sekolah, Debo mengajaknya makan siang di cafe dekat sekolah. Lagi-lagi ify menurut. Sekalian mengisi waktu luang, pikirnya. Alasan basi sih, tapi memang itu adanya. Lagijuga, daripada gue ntar malah kepikiran Rio, mending ngikut Debo. Astaga! Baru aja gue bilang, kesebut lagi kan tuh orang.
“Misi, kursi penuh, boleh gue nyempil disini?” Tiba-tiba seorang pemuda seumurannya, mungkin, muncul di hadapannya dan meminta izin untuk menumpang tempat di meja yang ia tempati. Ify cengo. Ia spontan melihat sekeliling dan memang benar apa yang pemuda itu katakan. Semua meja penuh. Wajar sih, karena cafe ini tidak terlalu besar dan memang selalu ramai. Ify kemudian kembali pada pemuda yang baru datang. Setelah dipikir-pikir, tak masalah sih baginya. Toh kursi di mejanya ada 3, satu sudah ia tempati, 1 untuk Debo dan 1 lagi masih kosong.

“Oh yaudah,” ujar Ify sekenanya. Pemuda tadi tersenyum manis dan lekas duduk. Ia mengangkat tangannya menyuruh pelayan yang membawa makanannya ke meja yang ia tempati sekarang. Setelah menaruhnya di meja, pelayan tersebut pergi dan tinggal-lah kini Ify berdua dengan pemuda tesebut. Pemuda itu sibuk mengurusi makanannya yang baru datang. Sementara Ify yang bosan tidak ada kerjaan, hanya memandangi apa yang digeluti pemuda di depannya.

Ify memperhatikan wajah pemuda itu. manis, tinggi, mancung dan agak putih. Mirip Rio...Innalillahi! masiiih aja gue ingat tuh orang! Ify memukul-mukul kepalanya pelan. Dengan harapan otaknya tidak akan lagi mengingatkannya pada seorang pemuda bernama Mario. Lupakan, Fy! Lupakan! Katanya dalam hati, menyuruh diri sendiri. Pemuda yang Ify perhatikan tadi menoleh dan bingung melihat gadis itu. apa kedatangannya mengganggu hingga gadis itu memukul-mukul kepalanya sendiri?

“Lo gak papa?” tanyanya takut-takut. Ify terkejut dan freeze seketika. Menyadari apa yang ia lakukan bisa dianggap aneh oleh pemuda di depannya. “Hah? Enggak,” katanya sekenanya, lagi. Pemuda di depannya itu mengangguk pelan. “Lo gak makan? Udah mesen?” tanya pemuda itu lagi. Ify mengangguk dan enggan menjawab. Keburu salting sih. Pemuda di depannya mengangguk lagi. “Lo sekolah mana?”

“Hah?” ulang Ify. pemuda di depannya kemudian tertawa. Ify terlalu grogi menurutnya. “Ga usah kaku gitulah, santai aja, gue bukan polisi yang bakal nangkep lo kali!” ujarnya. “Iya, hehe” lagi-lagi Ify menjawab sekenanya, seadanya yang melintas di fikirannya. Tiba-tiba pemuda tadi menyodorkan tangan. Ooh mau ngajak kenalan, pikir Ify. “Gue..”

“Ify!” belum sempat pemuda tadi berbicara, Debo datang dan memotong. Debo bingung akan manusia yang menempati mejanya berkembang biak, bertambah satu orang. Seorang pemuda lagi. Gak bisa dibiarin! Katanya dalam hati. “Lo siapa?” tanyanya tak ramah. “Tempat duduk banyak kenapa lo malah kesini? Pindah sana!” katanya lagi. Kening Ify mengerut bingung dengan Debo yang tiba-tiba kesal. “Deb, tempat penuh, gak ada salahnya dia numpang.” Ujar Ify agar Debo tenang. Bukan apa-apa sih, tapi karena Debo yang menggerutu seperti itu, beberapa penghuni meja lain pada melihat ke arahnya.

“Ini kan waktu berdua gue sama lo Fy, gak boleh ada yang ganggu.” Kekeh Debo. Ify menggaruk kepalanya tak tahu harus apa. “Besok gue makan sama lo lagi deh, ribet amat. Udah ah cepetan duduk, diliatin orang-orang tau gak!” kata Ify. meski masih tidak ikhlas, Debo pun akhirnya menurut. Berhubung itu ify yang menyuruhnya. Karena lo aja nih, Fy!

“Lo siapa?” tanya Debo lagi. Nada suaranya masih sama, masih tidak bersahabat. Pemuda tadi tersenyum miring. Bukannya menjawab, ia malah menoleh pada Ify. “Dia pacar lo?” tanyanya pada Ify. Mata Ify membelalak. “Hah?!” Lalu menggeleng keras. Debo manyun. Bilang iya aja kenapa sih, Fy? Gak panjang kok.

Pemuda tadi tertawa lagi. “Lucu lo bedua, yang satu hah-hah mulu, yang satu jutek mula. Cocok deh cocok!” Debo masih saja manyun sementara Ify hanya garuk-garuk kepala. Pemuda yang menumpang itu kemudian duduk tegap seraya memperbaiki kerah baju lalu menyodorkan tangan kembali. Ingin memperkenalkan dirinya sekali lagi. “Kenalin, gue...” ia agak menjeda bicaranya karena mengubah posisi dan bergeser mendekat ke arah Ify. tepat disebelah ify. “Gue..calon pacar Ify.”

Mata Debo melotot. Sepertinya ia akan mengoceh lagi. Ify langsung menepuk jidatnya dan menatap pasrah ke arah Debo. Debo langsung berdiri dan menarik Ify menjauh dari pemuda tadi. “Calon pacar pantat lo! Ify udah punya calon dan calonnya itu gue. Bukan lo! Enak aja nikung-nikung!” protes Debo. Sontak Ify, Debo dan pemuda tersebut menjadi tontonan utama di dalam cafe. Ify duduk kembali di kursinya dan menutup muka pasrah sekaligus malu. Streees gue streeees!

“Becanda kali! Haha..Oke gue serius. Gue Tristan, dari Al-Izhar. Kalo kangen gue mampir aja kesana, haha” Ujar Tristan, pemuda yang menumpang tersebut, masih dengan canda ringannya.  

Dilain meja, ada 3 muda-mudi, 2 pemuda 1 gadis yang menghuni disana. sedari tadi, pekerjaan mereka hanya memperhatikan meja paling sudut, tempat Ify, Debo dan pemuda yang menumpang. Via, Iel dan...Rio! Pulang sekolah, Rio memerintahkan Via dan iel ikut bersamanya memantau Ify dan Debo. Hingga sampailah mereka di cafe ini dan beruntungnya belum ketahuan sampai sekarang.

Iel dan Via tersenyum geli melihat muka masam Rio. jarang-jarang Rio bertingkah seperti itu, apalagi karena seorang wanita. Itu sudah lamaaaa sekali, setelah kepergian Acha. “Cemburu ya, Yo? Acieee! Makanya, jangan gede gengsi! Haha..” Ledek iel. Rio tak menanggapi. Matanya masih fokus memperhatikan ify dan pemuda aneh di sekitarnya. Tentunya dengan perasaan tak suka. “Ify tuh buang sial, Yel. Liat aja, lepas dari Rio, yang nyantol banyak aja, haha..” timpal Via. Lantas kedua sejoli itu tertawa serentak meledeki Rio yang sedang ‘panas’.

“Rese lo pada!” Serah Rio dan berdiri dari kursi lalu kemudian pergi meninggalkan Via dan Iel berdua. Via dan Iel lantas saling berpandangan lalu tertawa lagi.

***

Malam ini Ify mengunjungi papanya kembali di rumah sakit. Namun sebelum itu, ia lebih dahulu berkunjung ke ruangan dokter Obiet untuk menanyakan perkembangan kesehatan papanya, apakah membaik atau justru memburuk. Namun baru saja masuk ke dalam Kenko, ia tidak sengaja melihat si gadis sepatu pertama sedang duduk menunggu disana. Gadis itu berpenampilan agak berbeda. Lebih dewasa sehingga dirinya terlihat bukan lagi seperti anak SMA, melainkan seorang perempuan usia 25 tahun yang baru menikah.

Lebih membuat aneh lagi adalah gadis itu duduk dibagian tunggu untuk pasien yang ingin memeriksakan kandungan. Mata Ify menyipit meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat. Dan memang benar, ia tidak salah, gadis itu si gadis sepatu pertama dan dia menunggu di bagian kandungan. Banyak pertanyaan aneh yang bermunculan dibenak Ify dan keseluruhan banyak yang mengarah ke yang tidak baik. Ify menggelengkan kepala. ia tidak ingin berpikiran negatif dahulu. Siapa tahu gadis itu hendak menemani kerabatnya. Ya, bisa saja.

Ify membuntuti kemana gadis sepatu itu pergi hingga ke ruang periksa. Ia mengintip dan menguping dari luar. Kebetulan, tempat periksa itu sepi dan tidak ada yang lewat. Ia dapat mendengar ada beberapa orang yang berbicara di dalam. Tapi ia tidak dapat mendengar jelas apa yang mereka perbincangkan. Ify makin merapatkan telinga ke pintu. Masih berusaha agar ia dapat mendengar jelas sehingga ia mengetahu apa tujuan gadis sepatu itu berkunjung kesana, ke bagian kandungan.

“Fy!” Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Ify dan mengetahui aksi mengupingnya. Orang tersebut tak lain merupakan seorang dokter yang menangani papanya sekaligus dokter yang niatnya ingin ia kunjungi tadi. Sebelum ia melihat si gadis sepatu. Dokter Obiet.

“Kamu ngapain?” tanya Obiet bingung. Ify yang kaget langsung memperbaiki posisi berdirinya menghadap Obiet. Ia menyengir menghilangkan grogi karena ketahuan oleh lelaki paruh baya itu. “Enggak dok, cuma penasaran, hehe” kata Ify ngeles seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Obiet yang bingung pun mengintip sedikit ke dalam lalu beralih pada Ify. “Kamu...siapanya Angel?” tanyanya kemudian.

Oh..jadi namanya Angel..kok serem? Batin Ify polos. “Temen...sahabatnya, Dok. Cuma..” gantung Ify. Berharap Obiet akan menyela bicaranya dan...berhasil. “Cuma?” Ify tersenyum ragu meski dalam hati senang karena pancingannya berhasil. “Dia akhir-akhir ini berubah, Dok. Jadi lebih pendiem dan...agak sensitif gitu..” ujar Ify bohong. Tak sepenuhnya bohong sih, kalo masalah sensitif itu memang benar. Buktinya, beberapa kali bertemu gadis itu, Angel, ia selalu mendapat amukan. Senyum ramah tak pernah ia terima sekali pun.

Obiet diam memandang Ify. ia tampak memikirkan sesuatu. Lalu kemudian, ia tiba-tiba menyuruh Ify mengikutinya. Ify menurut. Ia begitu penasaran akan Angel. Dan sepertinya ia akan segera menemukan jawaban akan penasarannya itu, karena Obiet.

***

Haaaaaiiiiii hahahahaha ngaret banget yak gue? Dasar admin dan author php ya gue -___-v maaf deh pemirsah, lagi sibuk ngurusin sekolah cyiiiin tugas-tugas banyak banget ulangan juga apalagi x_x makanya, kasihanilah guee jangan pada nagih mulu *peres* Okedeh cukup sekian, semoga kita masih berjumpa di part selanjutnya *kalomasihadahahaha*

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakjelasan cerita. Ini hanyalah fiksi belaka =D

Jumat, 10 Agustus 2012

Matchmaking Part 19


“Udahlah lo suka kan sama Agni....cewek gue?”
“HAH?!” Cakka kaget, matanya membelalak bak ingin meloncat keluar. Apa dia bilang? Agni..Kiki pacarnya Agni? Astaga!! Sekilas, Cakka tampak menggelengkan kepala. Raut wajahnya masih diluputi oleh rasa tidak percaya. Rasa tidak percaya bahwa...Agni sudah punya pacar??
Kiki tersenyum miring. Atau mungkin menyinisi respon Cakka yang seperti itu. “Iya, calon sih tepatnya..” sambung Kiki. Tanpa sadar, Cakka menghela nafas lega, selega-leganya. Cuma calon, meeen!! Hah? Kenapa sama gue? Sekali lagi, Cakka menggeleng. Apa yang ia dengar dan apa reaksi yang keluar darinya sama-sama tidak bisa dipercaya. “Dan sepertinya, dia ngasih pertanda yang baik ke gue,” kata Kiki bangga. Entah kenapa, Cakka ingin muntah mendengar kata-kata terakhir yang ia dengar dari pemuda itu.
Sorry bro, pertanda yang diberikan Agni jauh lebih baik ke gue! Bantah Cakka dalam hati. Kali ini, ia tak ingin pusing-pusing memikirkan reaksi yang keluar darinya. Biarlah, selama itu tidak terlalu mengganggu. Lagipula, bantahannya itu memang benar bukan? “Pertanda? Hh, emang dia ngapain? Ngucapin lo selamat pagi, selamat siang, selamat malam? Lo kira penyambut tamu apa? Haha..” Balas Cakka balik menertawai. Anehnya, bukannya kesal, Kiki justru ikut tertawa, terkekeh tepatnya. “Jadi..lo beneran suka sama Agni, kan? Haha..”
Telak. Cakka diam. Nah, terus, kenapa gue diem, heh? Sementara Cakka diam, berpikir sepertinya, diam-diam Kiki melempar bola basket yang dipegangnya tadi ke arah Cakka. Beruntung, Cakka tak butuh waktu lama menyadarkan diri. Bola tersebut ditangkapnya dengan mulus dan lantas dilemparkannya kembali ke arah Kiki. Sama, sesama pemain basket ini mampu menangkap lemparan bola dengan sangat mudah. Kiki tersenyum lagi.
“Kita bersaing!”
***
“Zaza? Bahaha, bagusan Zaza daripada nama lo Vi..” ledek Ify. Seharian penuh gadis ini diculik oleh Via demi menemaninya bercerita. Apalagi kalau bukan tentang dirinya atau mungkin sosok Zaza dalam dirinya, dengan Iel, orang yang membuatnya memunculkan sosok Zaza itu sendiri. Ify tak henti-hentinya tertawa sejak awal ia mendengar Via bercerita. Via melipat kedua tangan di dada serta mendelik ke arah sahabatnya itu. “Gue gak lagi ngelawak, Yem!” rutunya.
Berhasil. Mendadak Ify berhenti tertawa. Gadis itu justru balik mendelik ke arahnya. “Iss, jangan panggil gue Piem kenapa?!” Via yang tertawa sekarang. 1 sama! Ujar Via dalam hati. “Salah sendiri!” sungutnya. Lantas ia beranjak dari tempat tidur menuju toilet kamar. Sementara Ify dibiarkan terluntang-lantung di kasur dengan posisi amburadul. Tangan Ify dua-duanya menggenggam ponsel dengan jenis berbeda. Yang satu I-phone sedang yang satu lagi ponsel tipe Blackberry. Sama-sama milik Via.
Niat awal hendak melakukan pembajakan. Namun, tiba-tiba satu di antara 2 ponsel tadi berdering. Yang sekaligus mau tidak mau membatalkan niat jahil Ify barusan. Seseorang baru saja melakukan panggilan ke salah satunya, ke ponsel yang benar-benar Via gunakan setiap hari, ponsel pribadinya, BB torch miliknya. Yang mengagetkan adalah siapa pelaku pemanggilan tersebut. Iel. Ya, aneh kan? Baru kali ini pemuda itu menelepon, menelepon Via, di siang seperti ini lagi. Yang lebih wajar itu jika Iel menelepon Zaza, ke I-phone Via. Nah, ini?
“Siapa yang nelpon, Yem?” sahut Via yang tahu-tahu sudah naik ke atas tempat tidur. Ify memperbaiki posisi tidurnya dan sekarang sudah berubah menjadi duduk. Sejenak ia memandangi kedua ponsel Via bergantian. Bingung, kenapa ia bingung. Via yang melihat itu mendengus, lantas direbutnya satu dari dua benda yang dipandangi Ify bergantian. Ponsel yang ditamui oleh sebuah panggilan masuk, dari...
“GABRIEL?!” kaget Via. Matanya agak melotot meski masih terlihat agak sipit. Mulutnya terbuka sedikit mengikuti alur suasana terkejut dalam hatinya. Ify menoleh dan hanya diam. Tak ikut kaget. Karena ia masih bingung. Entahlah, gadis ini memang terkadang suka aneh-aneh (?). “Yaudah angkat,” cicit Ify akhirnya. Terlepas dari raut wajahnya yang masih menunjukkan tampang tak mengerti. Ia masih sempat berpikirlah tentang apa yang harus segera Via lakukan. Via mengangguk lemah dan tak lama setelah itu, ponsel yang ia rebut sudah menempel di telinga kanan.
“Halo..” Via diam. Ify ikut diam. Kening Via tampat berkerut-kerut. Membuat kening Ify juga ikut mengkert-kerut. Via yang tenggelam dalam dialog di telepon, sementara Ify sudah terjerumus ke dalam hal berlabel ‘bingung’. “Dimana?,” Via melihat jam tangannya sebentar lalu mendesah. “Oke!” sambungnya sekaligus menutup perbincangan mengkerutkan kening itu. Dilihatnya Ify yang menatapnya dengan tuntutan penuh agar ia menjelaskan apa yang terjadi. Dan sekali lagi, ia mendesah.
***
Shilla berjalan mondar-mandir di kamarnya. Seharian ini, perasaannya tak tenang. Pikirannya kusut dan otomatis mood-nya juga sedang tidak baik. Ia merasakan khawatir yang boleh dibilang besar. Dan yang membuat pikirannya mumetnya adalah ia tidak tahu apa yang ia khawatirkan. Ia berusaha memecahkan masalah tersebut hingga membuatnya mondar-mandir tak jelas. Dan, ya, hasilnya, ia belum mendapatkan titik terang sedikitpun.
Sejurus kemudian, ia memilih keluar kamar. Akan lebih baik memastikan apa-apa dan siapa saja yang berada di sekitarnya. Dan orang pertama yang ingin ia pastikan adalah Wiwid, Mamanya sendiri. “MA! MAMAA!!” suaranya bergema di setiap sisi rumah. Ia berteriak kencang sekali. Sampai-sampai suaranya itu terdengar sampai halaman depan rumahnya. Sudahlah, tidak patut dipedulikan. Yang ada dipikirannya saat ini hanya ‘apakah mamanya baik-baik saja atau tidak’. Itu yang harus ia pastikan.
“Maa! Mamaaa!” panggilnya lagi. Lebih rendah volume suaranya dari yang tadi. Dikarenakan Mamanya sudah memunculkan diri dari dapur. Mamanya mendekat keheranan. Aneh, kenapa tiba-tiba dirinya berteriak-teriak seperti itu. “Shilla, kenapa sih?” tanya Wiwid bingung. Bukannya menjawab, Shilla malah mendesah. Lega tepatnya, mengetahui orang pertama yang ia pastikan, ada dalam keadaan baik-baik saja. “Hehe, gak ada, Ma. Shilla cuma lagi badfeeling aja tadi. Sekarang juga sih..” cicit Shilla seraya garuk-garuk kepala.
“Emangnya ada apa?” tanya Wiwid lagi. Ia mengusap-ngusap kepala anaknya halus. Shilla hanya mengedikkan bahu. Dikarenakan ia juga tidak tahu ada apa dengannya saat ini. yang ia tahu, ia terus-menerus merasa khawatir. “Ya udah, kamu balik ke kamar gih! Coba bawa tidur, siapa tahu enakan nantinya.” Saran Wiwid. Shilla menurut dan mengangguk. Ia bergegas kembali ke kamar. Semoga saran mamanya benar dan membuahkan hasil. Semoga rasa khawatirnya segera menghilang deh!
***
“WHAT?! Gak, gue gak mau!” Via menolak keras. Pemuda di depannya benar-benar gila. Ya, bagaimana mungkin Iel, pemuda tersebut, menyuruhnya ikut andil dalam proses pemutusan hubungan pemuda itu dengan Pricilla? Apa urusannya dengan dirinya? Dan..kenapa harus GUE? Dumel Via dalam hati. Keras-keras dan penuh emosi. Apa maksud Iel sebenarnya? Pikir Via dalam-dalam.
“Iel memajukan tubuhnya hingga lebih condong ke arah Via sementara Via memilih menyandar pada badan kursi restoran tempatnya dan Iel berada sekarang. Ia melipat kedua tangan di dada dan memalingkan wajah yang pasti bukan menghadap Iel lagi. “Vi, tolonglah. Lo orang yang paling bisa bantu gue,” mohon Iel. Tetap saja, Via tak terenyuh. Ia makin bebal dan makin tidak setuju dengan ide gila si pemuda gila. “Cari cewek lain. Gue gak mau.” Tolaknya. Iel menghela nafas berat. “Masalahnya, satu-satunya cewek yang pernah Pricill liat ada sama-sama gue itu cuma lo..”
Via menoleh dan menatap Iel sejenak. Gue diperalat, heh? Ck, dibayar juga kagak! Batinnya. “Untungnya buat gue apaan?” Iel diam. kelihatannya ia sedang berpikir. Tentu, jawaban yang akan dikeluarkannya memang harus dipikirkan benar-benar kalau memang ia ingin Via membantunya. Jawaban penentu akhir kelanjutan perjalanan asmaranya. *halah* “Terserah lo deh ya, yang penting lo bantu gue. Mau kan? Ayolah Vi, tolongin gue kali ini aja..” Pinta Iel terakhir kali. Via memiringkan kepala sedikit menatapnya. Matanya memicing, ada yang sedang gadis itu curigai darinya.
“Ke..kenapa?” Iel mendadak salting. Jarang-jarang ia bertingkah seperti ini di depan gadis yang sedang menatapnya, lebih-lebih di hadapan Via. Ia menggaruk tengkuknya jengah. “Lo..punya selingkuhan ya?” Kening Iel mengkerut. Tak ada yang salah sih dari pertanyaan Via itu, sebenarnya. Hanya mungkin, ada yang perlu direvisi atau barangkali ditambahkan ke dalamnya. Jika Via bertanya ‘Lo punya calon selingkuhan ya?’. Nah, itu jauh lebih tepat.
Yup, alasannya untuk memutus hubungan dengan Pricilla adalah karena ia sudah berpindah ke lain hati. Ah tepatnya, ia baru menemukan hati yang benar-benar sesuai dengan hatinya. *bahasanyaaneh-_-* Jadi, tidak bisa dikategorikan dengan selingkuh juga. “Gue bukan selingkuh..tapi..” katanya menggantung, disambut dengan picingan makin menajam dari Via. “Gue cuma ingin nyoba serius, sama orang yang bikin gue punya perasaan serius..” lanjut Iel. “Sama aja artinya lo selingkuh, kan?” sungut Via.
Iel menarik nafas mencoba mengatasi sesak di dada yang mendadak memenuhi.  “Gue gak selingkuh!” katanya, sekali lagi, pelan namun amat sangat tegas kalau dicermati. Hal itu cukup untuk membuat Via tersentak dan agak kaget. Tatapan Iel padanya saat ini jauh berbeda dalam keseharian pemuda itu jika bertemu pandang dengannya. Apa pemuda itu benar-benar dalam zona keseriusan sekarang? Pikir Via masih antara percaya dan tidak percaya. “Gue..pengen serius Vi, gak mau main-main lagi..” Iel kembali berujar dan kembali membuat Via tersentak kaget.
Pelan-pelan, Via berpikir, mencoba menebak-nebak apa yang sedang merundung benak pemuda di depannya. Sekaligus memikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap pemuda itu. hmm...apa mungkin memang tidak ada salahnya ia menyumbang bantuan? Pikir Via berulang-ulang. Sedang Iel, ia kembali menarik nafas. Lantas dilemparnya tatapan memelas ke arah Via berharap gadis itu akan mengeluarkan kata-kata indah sesuai harapannya. “Jadi..gimana?”
***
Jam menunjukkan bahwa sekarang tepat pukul 3 sore. Alvin baru saja pulang dari sekolah, tepatnya masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Hari ini, mood-nya benar-benar baik. Gadis pengganggu yang beberapa waktu ini menghantuinya tidak menampakkan diri di depannya. Kehidupannya terasa damai sekali tanpa kemunculan gadis tersebut. Siapa lagi kalau bukan Febby. Ia benar-benar bersyukur atas adanya hari ini. Ia bahkan hampir tidak pernah melihat gadis freak itu dimanapun, setiap ia melangkahkan kaki menjajaki tempat-tempat di sekolahnya.
Meski begitu, hatinya merasakan janggal juga. Ia merasa ada yang aneh dengan febby. Seperti bukan Febby. Sorot mata gadis itupun tak kalah aneh. Dingin, datar tapi kelihatan begitu lelah dan tersiksa. Dan juga, penampilan Febby agak sedikit berbeda. Rambutnya diikat asal-asalan, seperti tidak disisir malah. Baju yang dia kenakan juga agak longgar, tidak nge-pas seperti biasa. Lalu, terakhir, Febby memakai rok panjang. Rok panjang! Bukan sesenti dua senti di bawah lutut. Melainkan semata kaki. Terlebih memakai rok panjang merupakan hal aneh bagi gadis-gadis yang bersekolah di sekolahnya.
Hei! Sejak kapan Alvin memperhatikan Febby seperti ini? Sampai se-detail ini? Astaga! Alvin menggeleng keras. Mencemooh apa yang kini berputar-putar di otaknya. Hmm..memikirkan hal yang satu itu ternyata mampu membuatnya haus. Tapi, maklum sih. Sehabis bermain futsal di sekolahnya tadi, ia belum meminum setetes air pun. Ia buru-buru pamit pulang. Sejujurnya, ia takut kalau tiba-tiba banyak gadis-gadis berdatangan mengerubunginya. Wajar dengan siapa dirinya di mata orang-orang, khususnya gadis-gadis.
Ada sebuah warung di pinggir jalan sebelah kanan. Kebetulan, ada pula minuman segar yang dijajakan. Tak ada salahnya kalau ia mampir dan memberikan rezeki pada pemilik warung tersebut dengan membeli satu dari berbagai minuman yang dijual. Alvin kemudian memberhentikan mobilnya dan memarkir di sisi kiri jalan yang berhadapan dengan warung. Setelah memastikan jalanan aman untuk disebrangi, Alvin setengah berlari menuju warung. Sudah ada seorang ibu-ibu yang sepertinya merupakan penjaga warung.
“Berapa?” tanya Alvin sambil mengangkat sebotol air mineral dingin di tangan dan menunjukkannya pada ibu-ibu penjaga. Si Ibu menyembulkan 3 jarinya yang merupakan pemberitahuan pada Alvin akan harga dari air mineral yang ingin dibelinya. 3 ribu rupiah. Begitulah maksud si ibu-ibu. Alvin merogoh sakunya mengambil dompet. Lalu, mengeluarkan selembar uang 2 ribuan dan selembar uang seribuan. Lantas diberikannya kepada Ibu-ibu penjaga. Ibu tersebut sempat mengucapkan terimakasih, sesaat sebelum Alvin pergi meninggalkan warung.
Jalanan agak lengang. Tapi, baguslah. Alvin tak perlu susah-susah menunggu hingga sepi.
“ M A S  A W A S ! ! ! ”
***
“Mau pesan minuman, mbak?” Pelayan laki-laki itu masih setia mendatangi meja tempat Ify berada, menanyakan perihal pesanan Ify atau mungkin apakah Ify mau memesan. Ini sudah ketiga kalinya ia datang. Dan ketiga kalinya pula Ify menggeleng, menandakan, kali ini juga bukan waktu gadis itu memesan. Ia lantas hanya tersenyum dan kemudian berjalan ke meja lain yang baru didatangi. Hal seperti ini sudah teramat biasa baginya. Pengunjung yang memang hanya sebatas berkunjung tanpa ada niat menyapa apa yang dijajakan di tempat yang dikunjunginya.
Sekarang hanya tinggal Ify, jika dihitung dari pelayan dan Ify saja. Kedua sikutnya menyentuh meja dengan telapak tangan menopang dagu. Pandangan ia arahkan sepenuhnya ke meja yang berada agak jauh di depannya. Diduduki oleh seorang gadis seusianya dan seorang pemuda yang juga seusia dengannya. 2 orang itu terlihat sedang mengobrol serius. Sang gadis menyilang kedua tangan di depan dada dan memalingkan wajah. Mereka ngobrolin apaan sih? Lamaaaaa! Batin Ify menggerutu.  
Sedari tadi dengan pekerjaan memperhatikan kedua orang tersebut, rasanya bosan juga. Itulah yang diendap benak Ify sekarang. Ia berniat berjalan-jalan sebentar dan akan kembali jika sudah mendapat panggilan untuknya kembali dari Via, gadis yang mengobrol bersama pemuda yang ia perhatikan. Susur-disusuri, belum ada satu tokopun yang Ify masuki. Tangannya juga masih enteng, belum membawa satu barang belanjaan pun. Sejadinya ia hanya melihat-lihat. Kalau kata orang-orang, biasa menyebutnya dengan cuci mata.
Langkah Ify terlihat satu-satu. Sambil kepalanya yang bergerak-gerak ke kanan-kiri melihat barang-barang yang ada di mall tempatnya sekarang. Sekalipun tidak pernah ia menoleh ke arah depan. Alhasil..
BUK!
Seorang lelaki paruh baya, agak lebih tua dari papanya mengingat rambut lelaki itu yang terlihat agak memutih, tak sengaja bertabrakan dengannya. Bungkusan plastik berisi buku-buku milik lelaki tersebut terjatuh akibat aksi tabrakan tersebut. Ify menggapai bungkusan plastik yang tergeletak di lantai itu lebih dulu. Sedikit rasa bersalah menerpanya maka dari itu dirinyalah yang seharusnya mengambilkan bungkusan tersebut.
Alih-alih mengambil, tak sengaja matanya melihat sepasang kaki dengan sepasang sepatu yang menyelubunginya. Sepasang sepatu yang kian membekas di otaknya. Yang sempat Ify biarkan begitu saja, namun kini mulai menarik minat untuk dicari tahu. Ada sepasang sepatu lagi yang menemani di sampingnya. Ify menegapkan badan segera dan mengembalikan bungkusan plastik yang ia ambil kepada sang pemilik. Lelaki tersebut menerima langsung dan kemudian pergi setelah mengucapkan kata maaf atas insiden yang baru saja terjadi antara dirinya dan Ify.
Ify sendiri hanya mengangguk tanpa ikut-ikutan meminta maaf. Ia dihampiri kesibukan baru mencari-cari dimana keberadaan sepasang sepatu tadi. Karena tadi sempat menghilang dari penglihatannya. Matanya menilik satu-persatu sepatu yang ada di sekelilingnya. Tak ada satupun sepatu yang ia cari. Kakinya menyicit namun ada kalanya terlihat berlari kecil. Berulang kali desahan kecewa dari mulutnya keluar karena tak jua menemukan apa yang ingin ia temukan. Ayolaah, tadi kayaknya udah deket banget! Pikir Ify.
Dan..ya! Itu dia! Ify menangkap sosok pemilik sepatu tersebut adalah seorang gadis dan kini memasuki bagian kebutuhan sehari-hari. Gadis itu jika dilihat-lihat semakin lama semakin tidak asing. Ify merasa pernah melihat tampak belakang seseorang yang seperti itu. Apa ia pernah bertemu? Seingatnya sih tidak pernah, tapi sepenglihatannya pernah. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia harus mengetahui wajah gadis itu. Kebetulan, kalau wajah, Ify agak mudah mengenali meski tidak terlalu.
Banyak rak-rak berbagai barang yang ia lewati. Dan tiba-tiba saja, gadis pemilik sepatu berbelok dan raganya menghilang di balik salah satu rak. Ify buru-buru menyusul. Tapi, tunggu dulu. Sepertinya ada yang aneh. Ia mundur beberapa langkah dan tampaklah seorang anak kecil, perempuan, berdiri dengan pipi basah seperti habis menangis. Bahkan sekarang masih terlihat menangis. Ify kaget, badannya agak terdorong ke belakang karena itu. Ia bingung dengan anak kecil tadi yang sekarang justru menatapnya dengan tatapan sendu. Menguak rasa iba Ify untuk menghampirinya.
Ah, tapi Ify sendiri masih harus mencari tahu perihal gadis pemilik sepatu. Bagaimana ini? Mana yang harus didahulukannya? Gadis pemilik sepatu atau justru anak kecil di depannya ini? Bimbang. Kaki Ify bergerak maju mundur. Hendak pergi menyusul si gadis atau menghampiri anak perempuan tadi. Gadis tadi..ah bukannya gue masih bisa nyari dia di sekolah? Tiba-tiba hal itu melintas di pikirannya. Yang sangat membantu Ify menentukan keputusan saat ini. Baiklah, sepertinya anak perempuan ini tersesat. Tidak ada salahnya untuk dibantu dicarikan dimana keberadaan kedua orangtuanya.
Akhirnya, Ify memutuskan menghampiri si anak kecil. Masih menangis. Apalagi dengan Ify yang menghampiri. Anak perempuan itu seolah menemukan orang untuk mengungkapkan segala gundah. Terbukti, saat Ify merunduk dengan salah satu tangan memegang bahu si anak, tangisan anak tersebut malah semakin deras. “Eh kenapa nangis?” Ify tersentak. Ia agak bingung dibuatnya. Apa anak perempuan itu menangis karena dihampiri olehnya? Apa dirinya terlihat begitu menyeramkan? Pikir Ify polos. Sebelah tangannya yang kosong tanpa memegang apapun mulai bergerak-gerak jemarinya seperti memilin-milin sesuatu. Yap, perasaan takutnya mulai meningkat.
“Fify?” tanya Ify memastikan nama pada kalung yang anak itu pakai adalah milik anak itu. Fify, anak di depannya itu pun mengangguk mengiyakan. Ify tiba-tiba terkikik. Bukan tanpa sebab, tapi, lucu saja karena ada seorang anak kecil yang mempunyai kemiripan nama dengan namanya. Melihat Ify terkikik, Fify mendadak bingung. Lalu, ia pula yang tiba-tiba terkikik. Ify yang melihat itu seketika diam. Ada apa dengan anak ini? Tanyanya dalam hati. Karena ditatap penuh tanda tanya, Fify lantas diam, balik menatap Ify dengan lebih dari seribu tanda tanya.
“Kenapa ketawa?” tanya Ify masih menatap Fify bingung. Kening Fify mengkerut lalu tersenyum polos. “Karena kakak ketawa,” Hening. Lalu tiba-tiba, keduanya serentak tertawa. Haduh-haduh, mereka memang aneh -,-
***
Ruang dengan nuansa serba putih. Ada sebuah tempat tidur di tengah-tengah dan kiri-kanannya terdapat lemari kecil tempat barang-barang. Sebuah tiang penyangga botol infus berdiri tegap di depan salah satu dari lemari kecil tadi. Seorang pemuda, dengan beberapa luka lecet di tangan serta kakinya yang diperban, terbaring dengan mata tertutup di tempat tidur disana. seorang gadis seusianya berdiri bersama seorang dokter yang menanganinya, juga berdiri di samping tempat tidur yang ia tempati. Si gadis kelihatan tidak begitu khawatir. Meski begitu, dalam benaknya, ia juga membutuhkan informasi apakah pemuda yang sedang terbaring itu baik-baik saja atau tidak.
“Dia tidak apa-apa, dok?” tanyanya pada dokter. Dokter tersebut melihat lembaran-lembaran kertas di depannya. Hasil pemeriksaan tentang kondisi si pemuda. “Lukanya tidak parah. Hanya butuh istirahat panjang sampai proses pemulihan pada kakinya selesai.” Jelasnya. Si gadis tak berkomentar. Ia hanya menarik nafas sambil terus menatap si pemuda. Sorry..tapi gak ada jalan lain. Semoga berhasil! Batinnya sekaligus berdoa.
Cklek..
Pintu kamar terbuka. Masuk seorang pemuda lain dan dengan cepat menggapai posisi di sebelah si gadis. “Gimana Alvin? Kapan sadarnya?” tanyanya beruntun. Si gadis hanya mengedikkan bahu. Pandangannya masih tetap mengarah pada tempat tidur, seseorang yang terbaring di sana. Pemuda yang baru masuk tadi menoleh ke arahnya. Lalu, tiba-tiba, pemuda tadi merangkul serta ada sebuah bisikan yang terdengar di telinga. “Lakukan tugas lo dengan baik. Jangan pikirin gue!” bisikan dari pemuda tersebut membuatnya agak merinding.
Kemudian, pemuda itu pun tersenyum ke arahnya. Si gadis menoleh dan menatap pemuda yang merangkulnya datar. Lantas, dikedikkan bahunya sekali lagi dan kembali menatap pemuda yang sedang terbaring. Alvin.
***
Suasana mall agak riuh. Tidak terlalu ramai karena ini bukan hari libur. Rio merendahkan topi yang ia kenakan hingga setengah wajahnya tertutupi. Hingga tak akan ada satu orang pun yang sadar bahwa dia, Mario Stevano si artis, sedang berjalan menyusuri bagian dalam mall tempatnya menginjakkan kaki. Kecuali gadis berambut pendek di sebelahnya, Dea. Sebelumnya, tadi hingga ia bisa bersama Dea saat ini ialah karena Dea sendiri yang mengajak. Dengan alasan, sudah cukup lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Sejak..
“Kak, bentar lagi kak Acha balik loh!” seru Dea. Antusias sekali. Masih sama seperti dulu. Memang, apapun yang berkaitan dengan Acha, kakaknya, antusiasme Dea tak jarang terlihat. Bahkan dulu Rio sempat seantusias Dea. Dulu, sebelum..ah ia juga tidak tahu kapan. “Oh,” Kedengaran seperti tak ada niat. Bagi Dea, tentu aneh. Seorang Rio, yang ia tahu orang yang ingin sekali menjadi nomor satu bagi Acha, merespon seperti itu saat Dea sedang berkata yang berkaitan dengan orang yang juga merupakan nomor satunya itu, Acha.
“Udah lama ya rasanya..” Sekilas Dea melirik ke arah Rio. Sedang Rio sendiri masih tampak tak ada niat. “Hmm,” Hanya deheman yang keluar. Dea menyipitkan mata tak mengerti. “Kangen deh kita sama-sama lagi kayak gini..” Dea masih berusaha membuat Rio berhasrat. Namun, hasilnya masih sama. Gelora dalam hati Rio belum terjamah. “Kita?” sahut Rio tanpa menoleh ke arah Dea. Dea mengangguk berulang kali. “Iya, aku, kakYo dan KakCha! Semoga KakCha cepet pulang deh hehe..” ujar Dea penuh harap.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pemuda yang satu ini, Rio. Kalau dulu, mungkin, ia tak segan-segan mengamini harapan Dea barusan. Akan tetapi, untuk sekarang, jangan sampai! Akan lebih baik jika Acha terus berada bahkan menetap di Amerika. Jika gadis itu kembali, cerita ini akan berbeda akhirnya. Hatinya akan makin sulit. Ia pasti akan dilanda bingung besar dalam menentukan pilihan. Meski dalam kacamata orang lain, ia bisa saja dengan mudah memilih. Namun, yang memiliki hati adalah dirinya. Ia yang tahu mengapa ia akan merasa susah. Hanya dia, dia yang paling tahu. Tentu saja Tuhan juga.
“Loh itu kan..” Desis Rio. Keningnya mengkerut seiring mata yang dicoba lebih jelas melihat ke depannya. Dea yang merasa ada yang berbicara pun menoleh. Lantas mengikuti kemana arah mata Rio memandang. Seketika itu pula, keningnya ikut berkerut.
***
 Telunjuk Via bergerak mengetuk-ngetuk meja yang ia tempati. Sedang Iel di depannya, menatapnya penuh harap dan agak sedikit cemas. “Oke!”
Apa? Apa katanya? Tanya Iel dalam hati, seolah masih belum percaya bahwa Via mengiyakan permintaannya. “Ja..jadi lo mau, Vi?!” ujar Iel nyaris berteriak. Meski sudah terdengar agak keras. Via langsung merutuki tingkahnya mengingat beberapa orang di sekeliling mereka yang spontan menoleh ke arah mereka. Ada juga yang berbisik-bisik tak jelas. Apapun itu, yang dibicarakan mereka pasti bukanlah hal yang baik tentang mereka. “Ssst! Lo kira-kira kek kalo ngomong!” Sungut Via kesal. Iel menoleh ke sekeliling sejenak. Namun, sepertinya ia tidak peduli.
Iel memperbaiki posisi duduknya lalu memajukan badan serta menumpu sikut di meja. “Le serius kan?” tukas Iel. Via hanya berdehem. Ia malas untuk berbicara lagi. Rasanya, ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempatnya sekarang. “Aaah lo bisa diandalkan juga, Vi. Thanks ya!” Via mengernyit heran. Kesannya kok kayak babu ya? -,- pikir Via. Sekali lagi, ia hanya berdehem. Sudahlah, ia sudah terlanjur bersedia membantu. Mau apalagi? Otomatis, ia memang menjadi babu. Dalam artian, mengikuti setiap apa yang Iel rencanakan. Jadi babu dulu gapapa deh! Babu bahagiaa hahaha..
“Tapi..satu hal yang pengen gue tanya..” kata Via menggantung. Iel diam menunggu gadis itu berbicara lagi sambil memperhatikan lekat-lekat lekuk wajah Via yang jika makin lama dilihat makin..
“Gak percaya yang namanya cinta, apalagi cinta sejati. Karena faktanya, sifat manusia labil, suka berubah-ubah. Typical manusia itu, perasaan bisa hilang dan berganti kapan aja..Jadi, lo udah menanggalkan prinsip lo yang satu itu? You belive in...love?”
Hah? Iya juga, udah lama gue gak mikirin prinsip gue itu.. Batin Iel seketika. Ia mendengut lidah agak payah. Apa ya jawabannya? Hmm, apa mungkin Via benar...bahwa hatinya sudah mulai berubah? Entahlah, setidaknya ia tidak salah total. Manusia labil, suka berubah-ubah, perasaan bisa hilang dan berganti kapan saja.
***
Tuk..tuk..tuk
Satu jam sudah dilewati Cakka dan kegiatannya hanya merebahkan diri di atas tempat tidur. Ponselnya ia genggam erat sembari telunjuk yang mengetuk-ngetuk bagian atas samping benda tersebut. Bibir bawahnya -jika itu makanan- habis ia gigiti sedari tadi. Matanya tepat memandang ke arah langit-langit kamar sedang kepalanya digerayangi berbagai hal yang membuatnya berpikir keras. Memaksanya untuk melakukan sesuatu akan tetapi masih lumayan bertentangan dengan minat hatinya saat ini.
Cakka kemudian beralih fokus ke layar ponselnya. Mengeja sebuah nama yang tertera di sana. Agni. Hanya 4 huruf, namun cukup memusingkan. Apa..apa yang harus ia lakukan? Kembali, matanya memandang langit-langit hanya telunjuknya saja yang berhenti mengetuk. Hanya beberapa menit, karena setelah itu ia beralih lagi ke ponselnya.
***
Tujuan Ify kali ini bukan lagi menemukan siapa pemilik sepatu misterius itu, akan tetapi menemukan siapakah gerangan sang ibu dari anak kecil yang ia gandeng saat ini, Fify. Niat Ify ingin membawa gadis kecil itu ke bagian informasi. Namun, belum sampai setengah perjalanan, Fify menyuruhnya berhenti. Kemudian memegang-megang perut. Meski polos, tapi mimik memelas terdapat juga di wajahnya. Ia lapar.
Akan tetapi sepertinya Ify kurang mengerti bahasa tubuh Fify. Ia hanya menggaruk-garuk sebelah pelipisnya dan agak kebingungan. “Hah, perut kamu sakit?” tanyanya. Tentu saja Fify menggeleng. Jika satu jam ke depan Ify masih tidak mengerti dan bertanya seperti itu mungkin Fify akan mengangguk mengiyakan. Puk! Puk! Fify menepuk-nepuk perutnya lagi dan mengelusnya pelan. Kening Ify mengkerut. Namun, sejurus kemudian ia baru mengerti. Fify lapar.
“Lapar?” tanya Ify memastikan, menyusul dengan anggukan keras dari Fify. Ify tersenyum. Anak di depannya itu polos sekali. “Okey, kita cari makaaan!!” Seru Ify semangat. Lalu kemudian berjalan bergandengan dengan Fify kembali.
Tak berapa lama, mereka sampai di resto tempat Ify menunggu Via tadi. Masih di kursi yang sama. Terlihat pula Via dan Iel masih mengobrol panjang, mungkin. Ify lalu mengangkat tangan mengundang seorang pelayan untuk datang. Seorang wanita sekitar 5 tahun di atas Ify berjalan mendekat dengan buku menu di tangan. Ia lalu menyerahkan buku tersebut pada Ify dan juga Fify. “Kamu mau makan apa?” tanya Ify. Fify begitu serius melihat satu-persatu menu yang ada. Hingga telunjuknya bergerak menunjuk gambar salah satu ah 2 menu dari menu-menu yang ia lihat.
“Ya udah mbak, pesan ini sama minumnya ini satu ya!” kata Ify. Sang pelayan mengangguk mengerti dan mengambil kembali buku menu yang tadi ia berikan. Lantas ia kembali ke meja tempatnya berjaga sekaligus menyerahkan catatan perihal makanan dan minuman yang dipesan Ify.
Setelah kepergian waitress tadi, suasana mendadak hening. Ify dan Fify saling diam. meskipun, sejak tadi, Fify memperhatikan lekat-lekat wajah Ify. entah apa yang menarik. Akan tetapi, sekalipun, matanya tak pernah lari kemanapun, hanya kepada Ify. Ify sadar sih, tapi biasalah Ify. Agak kurang mengambil hati. Ia hanya membalas dengan senyum manis ke arah Fify. Tapi, lama-kelamaan Ify bosan juga. Duduk diam tanpa berbicara atau mengobrol apapun. Padahal ia tidak sendiri, ada Fify di depannya.
“Kenapa kamu bisa kesasar? Mama kamu tadi dimana?” tanya Ify basa-basi. Bukan basa-basi sih, memang itu yang seharusnya ia tanyakan sejak tadi, sejak pertama kali ia bertemu dengan Fify. Fify menggeleng tanpa ekspresi. Matanya terus menatap Ify. Ify menggaruk pelipisnya lagi. Ia tiba-tiba hilang ide, kehabisan pertanyaan. Beruntung, seorang pelayan datang mengantar pesanan. Perhatian Fify pun bukan padanya lagi. Kini Ify yang balik memperhatikan gadis kecil itu.
Sesuap. Dua suap. Kali ketiga, Fify menghentikannya makannya. Menjauhkan piring dan meminum seteguk minumannya. Setelah itu ia melipat kedua tangan di meja dan menatap Ify lagi. Ify mengernyit tak mengerti. “Kenapa ga dihabisin?” tanyanya seraya menunjuk piring makanan yang dimakan Fify. Lagi, gadis kecil itu menggeleng. Akan tetapi, tiba-tiba ia menoleh ke belakang sambil mengangkat tangan memanggil pelayan. Persis seperti yang Ify lakukan tadi.
Ify masih bengong. Setidaknya, lihat dulu apa yang mau dilakukan Fify, pikirnya. Pelayan tersebut datang dan memberikan buku menu kembali karena Fify memintanya. Telunjuk Fify menunjuk menu lagi, menu lain dari yang ia pesan sebelumnya. Ify makin dibuat bengong. Tapi, masih ada sedikit kesadarannya untuk menanyakan pada Fify nasib makanan dan minumannya yang belum ia habiskan. “Loh, makanan kamu yang ini gak dimakan?”
Fify menggeleng. Ia menepuk perutnya sekali. Bukan lapar. Tapi kenyang. Eh tapi...ah sudahlah, mungkin anak kecil emang kayak gini. Batin Ify mencoba maklum. Terpaksa ia mengangguk pada si pelayan yang sudah ketiga kalinya datang ke meja tempatnya dan Fify. Ada rasa tidak enak, tapi ya mau apalagi? Untunglah, si pelayan masih ramah melayani. Bisa dikategorikan dirinya sebagai pelayan ‘baik hati’. Ia kembali ke tempat kerjanya dan menyerahkan memo pesanan Fify pada rekannya yang lain, yang menangani hal itu.
Dalam masa penantian makanan, Fify memandangi Ify lagi. Kali ini Ify balas menatap Fify bingung. Tak mengerti dengan apa yang ada dalam benak gadis kecil di depannya. “Beneran udah kenyang?” tanya Ify, sedikit memajukan tubuhnya ke arah Fify. Fify mengangguk dan tak ada suara yang keluar. Ify terlihat belum puas. Kalau sudah kenyang, kenapa pesan lagi?
“Terus, kenapa pesan makanan lagi?” Pertanyaan Ify berikutnya hanya membuahkan diam. Fify tak bergeming, hanya menatap Ify. secara bersamaan, pelayan yang sudah 3 kali datang ke tempatnya, kembali datang untuk ke 4 kali. Masih dengan makanan pesanan di tangannya. Semua tentu disodorkan ke arah Fify. Setelah pelayan ‘baik hati’ tadi kembali, barulah Fify mulai menyantap. Ify menghitung benar-benar suapan yang masuk ke mulut gadis kecil itu. jika tidak sampai 3 sendok, berarti ada kemungkinan Fify tidak menghabiskan makanannya lagi. Dan kemungkinan juga..akan memesan menu baru.
Ya! sudah memasuki suapan ke 10. Sudah, Ify sudah tenang. Fify pasti akan menghabiskan makanannya kali ini. minumannya juga sudah tinggal setengah. Hhh..Ify menghunus nafas lega. Ia mengambil kesempatan untuk bersender di kursi tempatnya duduk. Tapi tiba-tiba, Fify berhenti makan. Setelah meminum seteguk, ia mengangkat tangan lagi. Ify bangkit dari senderannya otomatis. Matanya agak melebar. Kaget. Yang pertama masih banyak, yang kedua masih setengah, sekarang mau tambah lagi? Yakin setiap anak-anak kayak gini?
Tanpa sadar, Ify menggelengkan kepala takjub. Pelayan ‘baik hati’ tadi ternyata benar-benar baik hati. Ia masih saja mengurai senyum ketika disuruh kembali untuk ke 6 kali ke meja Ify. Ify makin tidak enak hati. Fify, gadis cilik itu pasti mengerjainya. Kalau tidak, mana mungkin ia memesan sebanyak sekarang tanpa dihabiskan dulu satu-persatu.
Lantas, direbutnya buku menu yang awalnya ingin diberikan kepada Fify. Sedikit kekesalan menyerubungi nada suaranya. “Habisin dulu yang ini, baru kamu boleh nambah!” Larangnya tegas. Agak sedikit menggertak. Alhasil, meskipun agak, tapi sudah mampu membuat Fify bergidik ketakutan. Wajahnya mendadak pucat dan sejurus kemudian menangis. lalu turun dari kursi dan pergi tanpa menunggu Ify. Ify lantas dirundung rasa bersalah karena mungkin sudah terlalu keras. Ia juga tidak enak dengan si pelayan ‘baik hati’ karena secara tidak langsung, pelayan tersebut bolak-balik sisa-sia.
“Emm mbak, maaf sebelumnya. Tapi makanan ini dibungkus aja yaa. Ini sekalian uang ganti rugi energi mbak yang udah bolak-balik ke meja saya. Makasih mbak, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya!” ujar Ify dan kemudian berlari menyusul Fify yang sudah tidak kelihatan. Gadis kecil itu berlari cepat sekali. Raganya tadi menghilang setelah berbelok ke arah kanan di sudut sana, sudut restoran. Ify sedikit lega karena mendapat titik terang mengenai kemana arah pelarian Fify.
Mendekati sudut ruangan, suara tangisan Fify mulai terdengar. Meski samar-samar, tapi masih sampai di telinga Ify. Ify memperlambat tempo larinya menjadi berjalan. Ia tak langsung berbelok melainkan mengintip dahulu apa yang sedang Fify lakukan. Fify masih menangis. namun, gadis kecil itu tidak lagi sendirian. Seorang gadis dan seorang pemuda di sebelahnya, kira-kira usia mereka hampir sama dengan Ify, berada dekat dengan Fify, seperti sedang membujuk gadis cilik ini.
Si gadis terlihat berjongkok menyamakan posisi seraya tangannya mengelus-ngelus pipi Fify yang basah air mata. Si pemuda tak jauh beda. Suatu ketika, ia ikut berjongkok dan tersenyum begitu tenang, dan mampu menenangkan Fify dari apa yang membuatnya menangis. seolah sebuah hipnotis penenang yang ia berikan hingga Fify langsung diam dan ikut tersenyum. Ify melihat itu agak miris. Gadis tadi dapat dengan mudah membuat Fify tenang. Sementara dirinya malah membuat Fify menangis ketakutan.
Ia mengenal mereka. Bukan hanya Fify, tapi ketiganya. Gadis dan pemuda itu. 2 orang yang mulai ia hindari akhir-akhir ini. tapi, entah mengapa usahanya menghindar selalu gagal. Toh ia akan kembali dipertemukan. Seperti sekarang misalnya. Belum ada yang sadar ia mengintip diam-diam ketika tiba-tiba tangan Fify menunjuk ke arahnya. Mau tak mau Ify segera berbalik, menyembunyikan diri dari balik dinding. Lantas dilangkahkannya kaki menjauh. Tidak terlalu cepat. Terkesan santai.
Otaknya ikut berjalan. Dalam artian, berpikir mengenai 3 orang yang ia intip tadi. Seketika dirinya dibuat tidak bersemangat. Sama sekali tidak. Gadis yang bersama pemuda tadilah yang membuat semangatnya loyo. Gadis itu lebih baik. Dalam hati, Ify mengejanya berulang-ulang. Kata-kata itu seakan rumit, lebih rumit daripada ulangan matematikanya minggu lalu. Bahkan susah diingat layaknya hafalan sejarah. Butuh diulang beberapa kali.
Sekian detik ia melamun hingga sebuah panggilan berisi namanya sayup-sayup terdengar dan sedikit banyak membuat Ify beralih dari kegiatan mengejanya. Ia berhenti dengan kepala ditundukkan. Bukan karena takut, tapi karena ia sudah sangat-sangat tidak bersemangat melakukan apapun. Apalagi, sekarang, mau tidak mau ia harus melakukan sebuah pembicaraan meski singkat, dengan orang yang memanggil namanya tadi.
Ketika ia menghadap ke belakang, ada 3 pasang sepatu yang pertama kali ia lihat. Namun, dari ketiga pasang tersebut, ada 1 yang menarik perhatian. Bukan karena motif yg keren atau bermerk, tapi karena... Sepatunya!! Ini. ya. ini. eh tapi kok gue...kayaknya..
“KakFy!”
Ya Tuhan! Latah Ify dalam hati. Kaget sekaget-kaget umat (?) Dea, ya gadis itu Dea. Tapi< kekagetan Ify bukanlah karena gadis itu Dea, lebih-lebih dengan keberadaan Rio disebelahnya. Melainkan..ah mana mungkin itu Dea! Sangkal Ify berulang-ulang. Membuatnya tak bisa menahan gelengan keras dari kepalanya beberapa kali. “KakFy kenapa? kok geleng-geleng?” tanya Dea bingung. Rio pun lantas ikut bingung. Ify kelihatan aneh, pikirnya. Fify yg sedang digendong tak jauh beda.
Ify menggeleng sekali lagi. “Kamu..gak mungkin..” kata Ify, pelan namun terbata. Belum sempat kekagetannya terurai, muncul lagi seorang gadis yang datang dengan air muka dingin dan sepertinya marah. “Fify!” sentak gadis lain tersebut. Keempatnya –Ify, Dea, Rio dan tentunya Fify- menoleh serentak. Sebelum menoleh, Fify sudah lebih dulu tahu siapa gerangan gadis itu. dibuktikan dengan dirinya yang memutar kedua bola mata dan menoleh tidak semangat.
“Kakak..” cicit Fify. Ia langsung bergerak turun dari gendongan Rio dan mendekati gadis yg baru saja datan tadi, kakaknya. Gadis itu menarik Fify kuat dan agak melotot ke arahnya. “Daritadi kakak cari, rupanya disini.” Omel gadis itu. lalu menatap 3 muda-mudi di hadapannya, yg tadi bersama dengan adiknya. Menatap dengan penuh kekesalan. Seolah-olah menganggap bahwa ketiga orang tersebut sudah membuatnya susah, tidak mengetahui betapa panik dan susahnya ia beberapa jam ini mencari Fify.
“Ayo pulang!” dingin gadis itu. fify mau tidak mau menurut, meskipun sedikit ogah untuk beranjak. Pada akhirnya Fify dan kakaknya pergi tanpa meninggalkan kesan sopan di akhir perjumpaan. Sementara itu, Ify mematung. Ia kembali memperhatikan sepatu namun bukan hanya sepatu Dea, melainkan sepatu gadis tadi. Ah ia baru ingat. Gadis itu yg beberapa malam lalu hampir ia tabrak. Dan juga...astaga! dia gadis yg waktu itu di perpustakaan. Yg kelihatannya jutek banget sama gue. Atau jangan-jangan...
“ah tahu ah!” kesal Ify. ia pun ikut pergi. Tak peduli dengan Dea dan Rio, tak peduli ada Rio orang yg disukainya berdiri disana dan terpenting tak peduli dengan kebersamaan Dea dan Rio saat itu. ia sudah puyeng, jangan ditambah puyeng!
***
Malamnya Ify tak dapat duduk tenang. Semuanya seperti kacau. Banyak yang menganggu, banyak yang mengganjal dipikiran. Khususnya masalah sepatu. Sebenarnya..pemilik sepatu yg asli siapa? Kenapa banyak tokoh baru yang ‘mengaku-ngaku’? Aisshh... ify mengacak rambutnya sendiri. Dan kemudian bertopang dagu dengan siku dialas bantal. Sekali lagi, ia mencoba berpikir.
Belum sempat 2 menit memulai berpikir, ponselnya berdering. Ada 1 pesan masuk dari nomor tak dikenal. ‘Halo KakFy!’. Begitu bunyinya. Meski nomornya asing, tapi berdasarkan tipe sapaan yang ia baca, sepertinya Ify kenal siapa yg mengirim. Ify membalas cepat dan tak lama kemudian sebuah balasan datang. Dan benar dugaannya mengenai si pengirim, Dea. Namun, pesan kedua ini bunyinya aneh. Berakhir dengan sebuah pertanyaan janggal. ‘Kak, aku boleh nanya? Tentang kakYo...’
Rio? kening Ify mengkerut. Untuk apa tanya-tanya Rio? pikirnya. Ia membalas lagi. Agak lama ia menunggu lalu kemudian balasan kembali datang. Dan balasan itu cukup menohok, menendang kesadaran Ify akan perasaannya. membuatnya harus berpikir cepat dan mengambil keputusan yang tepat. ‘Kakak..suka sama kakYo?’ Hhh.. Ify mencoba mengatur nafas sambil bertanya-tanya dalam hati ‘apa yg harus gue jawab? Apa? Apa?’
Kalo gue jawab iya, itukan rahasia. Kalo misalnya enggak, berarti gue bohong dong? Terus kalo ternyata dia suka sama Rio gimana? Gue yang ngenes...
To : Dea :o
Kenapa kamu tanya gitu?
Send! Ify tak memilih menjawab. Ia harus tahu dulu alasan Dea menanyakan hal seprivate itu. dan tak lama Dea membalas. Yang ini, paling mengagetkannya..mungkin. ‘Aku mau jujur. Aku adeknya kakCha, Acha, cinta mati kakYo’ Nyess, jika hatinya itu berisi banyak udara, mungkin akan mengempes. Membaca tulisan ‘..Acha, cinta mati kakYo’ itu rasanya...hmm. ify mengatur nafas lagi. Mungkin lebih baik gue bilang gak suka..demi kelancaran pdkt gue juga kan? Batinnya menimang-nimang. Ya tidak ada salahnya..
‘Kakak gak suka sama kak Rio.’ Balas Ify kemudian. Setelah mengirim, ia mengangguk yakin. Ya, keputusannya benar. Balasan kali ini begitu cepat. Wajar, karena hanya berisi satu kata ‘Seriuuss?!!’ ditambah dengan smile diujung. ‘ya’ balas Ify singkat. 1 menit..2menit..bahkan sampai 5 menit Dea tak kunjung membalas. Fiuh! Ify lega, keputusannya tidak menimbulkan efek buruk. Ia hampir beranjak dari tempat tidur ketika sebuah deringan kembali berbunyi dari ponselnya.
‘Kak, aku seneng banget ternyata kakak gak suka sama kakYo. Aku jadi punya kesempatan :”D’ Dum! Seolah saat itu pula ada yang menjadikan jantung Ify sebagai drum dan memukulnya cukup keras, cukup membuatnya bergoncang hebat. Lagi, Ify menarik nafas, berusaha berpikir positif. Menyangkal anggapan yang menyakitkan jika benar. Berusaha tenang, Ify lalu membalas ‘Maksudnya?’.
Benar-benar, Ify tidak bisa tenang. Seperti cacing kepanasan, belatung dalam nangka. Mondar-mandir kesana-kemari sembari menunggu Dea membalas. Dan inilah puncaknya. Balasan Dea mempengaruhi kesejahteraan asmaranya esok. Tangan Ify sampai dingin. Matanya pun tertutup saat membuka balasan tersebut. Terlalu takut baginya membuka mata. Dan ketika ia melakukan itu, semua tenaga dalam tubuhnya seperti menghilang terserap angin malam.
‘Aku suka sama kakYo, cinta banget sama kakYo. Kakyo harus ada dalam kehidupan aku, jika bukan dengan kakCha, aku yg akan mengambil alih.’ What?!!! Bisakah gue mati hari ini, saat ini juga?!!
***
Gadis harajuku itu kembali duduk di rerumputan taman belakang sekolah. Kesannya ia sedang menunggu seseorang, padahal tidak. Ia sedang duduk tenang, termenung. Masih dan mungkin akan selalu berkaitan dengan kalung. Tadi ia sempat melepas kalung abadinya itu dan sekarang hanya menatapi benda tersebut. Terkadang ia menghela nafas. Terkadang hatinya merutuk kadang pula terenyuh. Hmm..sampai kapan ia seperti ini?
“Kalung lagi kalung lagi ckck..” sahut seorang pemuda yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya, dengan kedua tangan di saku celana dan menghadap membelakangi. Gadis harajuku itu tahu siapa itu, tapi ia tidak peduli. Meski pemuda itu sempat ia cari tahu akhir-akhir ini, sempat dicurigainya sebagai orang yang ia cari selama ini, tapi itu semua akan ia akhiri sekarang. Pemuda itu berbeda. Benar-benar berbeda dari orang yang ia pikirkan, yang ia inginkan.
Cakka, pemuda tadi, berbalik badan menghadap gadis yang ia belakangi tadi, gadis harajuku, Agni. Gadis itu menunduk, masih termenung menatap kalung. Hh, apasih kalung itu? ia juga punya kalung, tapi tidak separah itu, menatapnya terus-terusan. Pikir Cakka. Ia maju selangkah. “Kalung itu apa sih? Seandainya hilang, apa lo bakal nangis darah? Hah?” rutu Cakka, kesannya ia menyalahkan dan memarahi Agni yang terus-terusan berurusan dengan kalung.
Agni mendongak, menatapnya geram. Masih sempat ia berpikiran bahwa pemuda di depannya ini ingin meminta maaf. Padahal belum berlalu beberapa hari, pemuda itu meneleponnya dan disana Cakka meminta maaf. Apa mungkin yang meneleponnya itu orang lain? Ataukah Cakka yang memiliki sifat seorang Cakka dan orang lain? Entahlah, ia tidak mengerti dan memang sulit untuk dimengerti.
“Gue muak sama lo! Mulai sekarang, anggap aja kita gak pernah kenal! Puas!” Setelah itu< agni berlari pergi. Sementara Cakka diam di tempat. Sangat tidak diinginkannya gadis itu pergi. Ia ingin menahan Agni. Tapi, bagaimana? Sepertinya, jika berhadapan dengan gadis itu, kesalahannya akan selalu ada dan fatal.
***
“Viaaa, ngantin yok?” manja Iel. Baru-barunya ia seperti itu. Via lantas mengernyit heran. Kerasukan lagi? Setan dalam tubuh tuh cowok ada berapa sih? Batinnya seraya garuk-garuk kepala. iel pun berjalan ke meja Via dan Ify. ify tampak termenung di sebelah Via, sementara Via masih sibuk mencatat beberapa meteri yang belum sempurna tersalin di catatannya.
Set! Iel merebut pena yang Via gunakan. Kejadian ini terulang. Iel mengambil barang-barangnya membawa kabur lalu mengembalikannya kembali dan kemudian mengabaikannya..ia dan barang-barangnya. Sssst, tidak usah diingat lagi Via! Sangkal Via dalam hati. Lantas, ia menutup buku dan beralih ke Ify. hari ini gadis itu sedikit aneh, sepanjang pelajaran tidak berbicara. Antara serius memperhatikan atau malah melamun. Mungkin yang kedua lebih besar peluang benarnya.
“Hoi pi! Ngantin gak?” sentak Via dengan menyenggol dikit lengan gadis itu. ify terkejut. Seperti baru bangun dari fantasi yang ia jalani beberapa jam ini. “Hah? Ee..” Ia melihat sekeliling kelas dan kosong. Hanya tinggal mereka bertiga. Ia mencuri pandang ke arah bangku Rio, pemuda itu tidak ada disana, hanya bangku kosong dan sebuah buku tulis yang ada di mejanya. Hh..ify menghela nafas panjang.
“Kayaknya gue ke perpus aja deh, pengen nenangin diri. Gue cabut dulu!” lesu Ify. lantas beranjak dari tempatnya dan keluar kelas. Perpustakaan mungkin akan mulai menjadi sasaran pelariannya disaat-saat random seperti ini.
***
“Aku suka sama kakak, hehe..”
Krek!
Seperti bunyi sesuatu yang patah. Ya, ada yang patah, disini! Hati gue! Dan gue gak tahu harus pake lem yang mana.. lirih Ify dalam hati. Meski baru sebaris kalimat itu yang ia dengar, dan mungkin hanya sebaris itu yang sanggup ia dengar nantinya, akan tetapi kekuatan penghancurannya lebih-lebih dari bom atom nuklir di hirosima-nagasaki. Apa dengan itu tandanya...ia akan melepas Rio? secara selama ini, meski baru beberapa hari ini ia melakukan pengamatan dan penilaian, Dea jauh lebih baik darinya. Jauh lebih tahu siapa Rio, bagaimana Rio dan tentunya bagaimana hati Rio.
Tapi, apa ia sanggup melepas Rio? yang sudah berhasil ia ‘sentuh’ dengan susah payah? Apa benar ia sanggup? Mungkin...
***