I dont know you guys still remember this or not wkwkwk
***
Demi kegantengan
Alvin yang tiada duanya, ini baru awal hari
Shilla dan Chris adalah orang pertama dari daftar orang-orang yang tidak ingin ia temui. Tapi, kenapa Tuhan justru
menjatuhkan copycat bule itu di hadapannya? Berani-beraninya diaberdiri
tepat di pintu rumahnya, menggoda adiknya, dan yang lebih parah memonopoli ayah
dan ibunya sehingga sekarang ia ter-pak-sa, benar-benar-sangat-sangat-terpaksa
kalau kalian ingin tahu lebih jelas, pergi ke Parfait diantar pemuda itu.
Sekali
lagi, demi kegantengan Alvin yang mengalahkan para manusia srigala *maafkan celetukan ketinggalan jaman ini karena part
ini sebenernya dibuat pas lagi jaman2nya dede2 serigala di tipi dan di mana aja
+ mimin males ngedit pun biar cepet jadi haplum aja yah wkwk*, ia tidak
sudi berada dalam mobil milik Chris. Ia tidak sudi memakai kursi yang kemungkinan
pernah atau mungkin sering digunakan oleh si bule palsu alias tidak bisa bahasa inggris (fyi, ia tahu karena dulu
fakta ini sudah menjadi rahasia umum di Parfait). Ia tidak sudi harus berbagi ruangan, udara, bahkan berirama napas yang sama
dengan si pemuda berotot berhati sehalus kentut
(sebutan ini berasal dari kejadian Chris pingsan setelah ada cicak jatuh ke
atas mejanya saat pelajaran matematika). Bahkan sudah 3 kali ia mengganti
menyebut Chris dengan embel-embel buruk tapi semuanya belum cukup buruk untuk
mendeskripsikan betapa buruknya pemuda itu.
Shilla
melirik Chris di sebelahnya dan hal itu menjadi alasannya
mendengus berkali-kali. Tiap ia melakukannya,reaksi akhirnya selalu sama. Ada banyak pertanyaan yang
bergentayangan di kepalanya. Tapi, hanya dua
yang membuatnya begitu ingin tahu. Kenapa baru sekarang Chris datang dan
mengganggu hidupnya yang sedikit
terguncang karena Alvin (akhir-akhir ini)? Apa tujuan pemuda itu? Mengejar
cintanya adalah jawaban paling tidak mungkin dan yang terakhir terpikir di
benaknya sekaligus membuat kuduknya merinding
membayangkan itu terjadi. Lalu apa? Ia bertanya-tanya dengan perasaan gondok setengah mati.
Sementara
itu, Chris melihat temannya pagi ini yang terus saja melirik ke arahnya sambil
menahan senyum geli. Ia suka melihat reaksi Shilla ketika panik. Ia suka
membuat Shilla kalang kabut karena ulahnya. Ia bahkan menunggu saat-saat
asap-asap emosi itu mengepul dari seluruh lubang yang ada di wajahnya. Semuanya
tampak lucu dan menggemaskan. Meski kadang ia merasa bersalah karena ia akan
menjadi alasan gadis itu bertambah tua lebih cepat. Tapi rasa sukanya lebih
tinggi daripada rasa bersalahnya.
“Segitu
senengnya gue anter sampe lo ga berenti ngeliatin gue?” godanya yang langsung
disambut wajah sinis Shilla.
“Jangan
sampe lo gue lempar keluar dari mobil bangke lo ini!” Kata-kata kejam Shilla
tsb malah dibalas dengan wajah sumringah Chris. Shilla sampai berjengit heran. “Gue anggap itu sebagai ungkapan betapa
bahagianya lo pagi ini berangkat sama gue.” Katanya sungguh tak tahu diri seraya mengedipkan sebelah mata.
Shilla memandang
hal itu ngeri sambil mengerucutkan bibir. Ingin menangis rasanya berbicara
dengan Chris. Ia frustasi. Apa yang
harus ia katakan agar pemuda itu ‘mengerti’ ucapannya? Dan bagaimana ia bisa
membuat pemuda itu mengerti kalau setiap kata-kata tidak menyenangkan yang ia
katakan akan selalu diartikan sebaliknya?
“Terserah!”
pasrah Shilla pada akhirnya. Tak ada
gunanya berbicara dengan orang gila.
***
Untuk 3
hari ke depan sepertinya Alvin harus bolak-balik mencatatkan namanya di daftar
tamu perpustakaan. Bagaimana tidak? Sebagai konsekuensi dari ketidakhadirannya
dalam pelajaran bahasa Indonesia, dimana ia telah melewatkan 1 pengambilan
nilai drama, 1 pengambilan nilai baca puisi, waktu untuk mengumpulkan tugas
resensi serta 1 ulangan harian, gurunya tercinta itu memberikan banyak hadiah
indah, katanya. Indah baginya berarti merepotkan untuk Alvin.
1.
Membuat 2 makalah masing-masing tentang
perkembangan puisi dan teater yang sumbernya harus dari buku yang ada
diperpustakaan dan tidak boleh dari internet sama sekali (ini nih yang bikin buta internet masih ngetrend di
Indo, nyari referensi aja gaboleh).
2.
Membuat resensi novel angkatan 20 (buat gue yang pantun aja minta bikinin, ini
bener-bener ujian berat).
3.
Semuanya dikumpulkan dalam 5 hari (bener-bener kriminal).
4.
Jangan lupa 2 hari lagi ulangan susulan (patah, otak gue patah).
Andai saja hari itu ia tidak berhenti dan menyebrang
jalan. Febby tidak akan punya kesempatan untuk menabraknya dan membuat kakinya
retak. Ah, mengingat itu membuatnya teringat akan kekesalannya pada Febby.
Bukan, lebih tepatnya Oik karena gadis itu yang berada dibalik drama tabrak
sengaja tersebut.
“Kalo kaki gue udah bener-bener sembuh, abis lo!”
umpatnya dengan amarah tertahan, berhubung ia sedang berada di dalam
perpustakaan.
“Lo sekarang udah mulai ngomong sama buku, Vin?” Suara
serak khas milik Febby sayup-sayup terdengar di telinganya. Alvin menoleh ke
samping di posisi gadis itu berada, berdiri sambil memegang dua minuman kaleng
di tangannya, menatapnya bingung sekaligus ngeri. Sekedar info, perpustakaan
sekolahnya memperbolehkan membawa minuman namun tidak untuk makanan. Ia
menyambar salah satunya, membukanya dengan segera dan meneguknya hingga hamper
setengah. Entah sejak kapan hubungannya dengan gadis itu menjadi damai
seutuhnya begini.
“Gue mesti ngerjain apa? Kerangka makalahnya udah lo
bikin? Udah sampe mana? Ide puisinya udah ada? Novelnya udah ketemu? Apa aja?”
Pertanyaan membabi buta dari Febby membuat nafas Alvin tersendat-sendat. Ia baru
sadar sudah membuang-buang waktu dengan merutuki nasib dan mempertanyakan kenapa
semua itu bisa terjadi. Sementara hal itu tidak akan membuat tugas-tugasnya
terselesaikan.
Alvin meringis lalu membenturkan dahinya pelan ke rak
buku di depannya. Melihat itu Febby justru tersenyum geli. Mungkin Alvin harus
banyak-banyak belajar darinya. Bagaimana menyelesaikan banyak hal dalam waktu
singkat. Ia harus membuat laporan praktikum dan belajar untuk ulangan kimia
esok hari sedangkan sepulang sekolah sampai malam hari ia harus bekerja di
restoran. Ajaibnya semuanya dapat selesai dengan hasil yang baik. Meskipun
nilai ulangannya hanya mencapai angka 7 tapi ia sudah sangat lega dan bangga
dengan hasil yang ia terima. Masa-masa sulit seperti itu tidak hanya sekali dua
kali terjadi. Untung ada Goldy yang bisa membantunya belajar, jadi masalah akademisnya
bisa terselesaikan.
Mendadak ada denyut tidak nyaman di balik dadanya ketika
menyebutkan nama Goldy. Ia sadar sampai sekarang ia tidak bisa melepas bayang-bayang
pemuda itu dari pikirannya. Ia belum bisa melupakan perasaannya. Perasaan
sedih, marah, kecewa…dan sayang.
Pletak!
Kepala Febby berjengit bersamaan dengan rintihan dari
mulutnya. Tangannya mengusap dahinya yang mulai memerah lalu memandang Alvin
kesal. Sementara Alvin hanya berdecak malas. “Apaan sih?!”
“Bantuin orang itu yang fokus! Ga pake galau di
tengah-tengah. Fokus, fokus!” ujar Alvin sambil menggerakkan telapak tangannya
yang tegak menyamping di tengah wajahnya maju mundur. Febby memberengut sambil
mendengus pelan. Kesal sekaligus berterimakasih karena diselamatkan dari
pikiran bodohnya beberapa saat lalu.
Lo selalu jadi penyelamat gue, Vin. Doain gue dapet
duit ya, biar bisa traktir lo kapan-kapan hehe.
***
Shilla meremas-remas tali tasnya sambil terus berjalan
menyusuri lorong sekolahnya. Mukanya bertekuk beratus kali lipat dari
sebelumnya. Kata-kata Chris sebelum ia keluar dari mobilnya terus saja berputar
di kepalanya.
‘Semangat sekolahnya, Cantik!’
Hanya kalimat sederhana sebenarnya. Akan tetapi, entah
kenapa Shilla tetap merasa sebal dan sialnya terus saja teringat olehnya.
Bahkan mendetail dari ekspresi wajah Chris, nada suaranya, gerak-gerik
tubuhnya, semuanya terpatri jelas di pikiran Shilla. Oh! Ia bisa gila! Ini
tidak bisa dibiarkan!
Shilla lantas berhenti berjalan. Ia harus menemui
Chris dan memberi peringatan serius padanya. Benar-benar serius sampai pemuda
itu mengerti untuk tidak mengganggunya lagi dan menjauh dari hidupnya yang
tenang meskipun seringkali galau. Tapi, cukup. Ia hanya galau karena Alvin dan
jangan ditambah dengan yang lain.
Beberapa meter sebelum ia berada di hadapan Chris, ia
kembali berhenti. Ada pemandangan aneh yang sedang berlangsung di sana. Pemuda
yang hendak ditemuinya itu tengah berbicara dengan seorang perempuan yang ia
tahu merupakan mantan kekasih pemuda itu. Lala.
Dari mukanya, sepertinya suasana sedang tegang.
Keduanya tampak tidak nyaman berhadapan satu sama lain. Atau mungkin sepertinya
Lala yang paling tidak nyaman ada di sana. Matanya berkeliling ke sana kemari
entah mencari apa dan tak pernah fokus menatap Chris. Sementara Chris memandangi
Lala lamat-lamat. Ia mencermati tatapan Chris dan menemukan banyak hal bercampur
menjadi satu. Amarah, rasa kecewa, terluka, dan..rindu? Apa mereka udah bubar?
Ah! Ia ingat saat pertama kali mereka bertemu kembali.
Salah satu teman Chris sempat berbicara walau terpotong. Kata-katanya
menyiratkan memang sedang ada masalah di antara Chris dan Lala. Mungkin
sekarang mereka sedang membahas itu dan mencoba mencari penyelesaian. Shilla
berharap penuh dalam hati semoga masalah di antara mereka selesai dan Chris
tidak lagi mengganggunya.
“Lala?”
Shilla mengalihkan pandangan pada orang yang baru saja
menyerukan nama Lala. Seorang pemuda yang juga bertampang bule menghampiri Lala
dan Chris yang tengah bersitegang. Atau mungkin kata-katanya berlebihan. Ekspresi
lega seketika mencuat di wajah Lala. Entah lega karena bertemu pemuda itu atau
lega karena dapat terhindar dari Chris. Menurutnya mungkin yang kedua.
Alasannya? Karena Chris itu sangat menyebalkan sehingga tidak akan ada orang
yang betah di dekatnya berlama-lama. Salah satunya Shilla.
Shilla tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Lala
pada Chris sebelum pergi. Ia juga tak sengaja memandang ke arah Chris yang
mendadak termenung. Tatapannya kosong. Wajahnya tampak kaku dan jauh berbeda
dari Chris yang ia hadapi baru-baru ini. Berhubung Shilla adalah orang yang
amat sensitif jadi ia mengerti apa yang tengah dirasakan Chris. Meskipun ia
tidak tahu masalahnya, tapi ia dapat melihat dengan jelas perasaan Chris pada Lala
dan pemuda itu sedang sedih sekarang.
Shilla menggigit bibirnya menimbang apa yang harus ia
lakukan. Kemudian kakinya lebih dulu mengambil keputusan. Ia mencicit langkah
menghampiri Chris hingga sudah berada di hadapan pemuda itu. Telunjuknya
bergerak ragu-ragu hendak menyentuh lengan pemuda itu.
“K-kak?” lirihnya. Chris tampaknya masih belum sadar.
Ia akhirnya mendaratkan ujung jari telunjuknya yang lentik di atas lengan Chris
dan sedikit memberi tekanan. Upayanya tersebut membuahkan hasil.
Chris tersentak kaget dan melihat sekelilingnya lalu
menjatuhkan pandangan pada Shilla. Tapi, pikirannya masih belum kembali ke
tempat semula sepenuhnya. Perasaannya amat kacau dan ia tidak mampu berpikir banyak.
Ia menyentakkan tangan Shilla dan tanpa sadar berbicara cukup keras pada gadis
itu.
“Minggir!” ujarnya dingin. Ia membuka pintu mobilnya
dan masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian mobil Chris sudah melaju
meninggalkan halaman parker Parfait sekaligus meninggalkan Shilla.
Shilla mengedipkan matanya beberapa kali, sedikit
syok. Lalu kemudian ia kembali tersadar. Apa-apaan itu barusan? Chris bersikap
keras padanya disaat ia baru saja berniat baik?! Dasar keris bengkok buluk! Gue
gaakan maafin lo!! Eh—bukannya itu yang ia inginkan? Setelah ini Chris tidak
akan mengganggunya lagi, bukan?
YES I LOVE U ALVIN! Ga nyambung? Bodo!
***
Mata sipit Alvin dipaksa membuka lebih lebar oleh
empunya. Dahinya berkerut karena ia tengah berusaha berpikir keras. Jemarinya
menggenggam erat novel angkatan 20 yang sedang ia (coba) baca dengan seksama.
Pupil matanya bergerak aktif menyusuri satu per satu kata yang tertera pada
halaman yang terbuka lalu mencoba memahami apa maksud dari kalimat yang
terbentuk. Hasilnya…ia benar-benar tidak mengerti.
Ini lebih susah daripada mengerjakan latihan soal
reading dalam ujian TOEFL. Ia bisa menggunakan aplikasi translate untuk
kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris. Setidaknya bisa memberikan sedikit
pencerahan. Nah, kalau kalimat teramat sastra begini ia harus men-translate
pakai apa? Translatenya ya hanya dirinya sendiri. Sialnya, ia sangat-sangat
lemah untuk urusan tulisan-tulisan begini.
Jemarinya yang sempat tegang seketika melemas, berikut
juga saraf-saraf di otaknya. Tidak, ia belum menyerah hanya beristirahat
sejenak. Menghirup udara dengan santai sejenak siapa tahu otaknya yang memang
sedang kurang oksigen sehingga kerjanya menjadi kurang prima. Alhasil, ia tidak
berhasil-berhasil mengerjakan tugas.
Matanya tak sengaja melihat ke jam dinding dan ia
lekas tersadar kalau ia belum menghubungi Shilla hari ini. Ia pulang sekolah 3
jam yang lalu dan sudah 3 jam pula ia terlambat. Ia lantas memutuskan beralih
mengerjakan tugas wajib khusus tersebut sebelum kembali pada tugas yang
sebenarnya.
Alvin mengambil ponsel dan langsung mendial nomor
Shilla. Tak sampai sepuluh detik, ia sudah mendengar suara Shilla mendayu-dayu
di telinganya.
“Viiiiiiiiin!” Shilla berseru panjang dan seketika
mengembangkan senyum di wajah Alvin. Andai semua tugasnya dapat membuatnya
tersenyum senang begini. Tugas lain juga membuatnya tersenyum, sih, tersenyum
miris.
“Ayaaaaang!” Alvin membalas dengan sebutan yang paling
menyebalkan menurut Shilla. Shilla memang suka hal yang cute dan romantis. Akan
tetapi entah kenapa ia sangat tidak suka dengan panggilan tersebut.
“Ish!” dumelnya kesal sedang Alvin malah terkekeh
tanpa dosa.
“Ngapain aja, sih, daritadi? Kenapa lama banget baru
nongol? Pasti main game, kan? Ckck, bukannya belajar!” Shilla masih lanjut
mendumel yang sebenarnya hanya pura-pura mendumel dan bukan bermaksud marah dan
mencurigai Alvin.
Akan tetapi, dengan pengaruh mood Alvin yang sudah
buruk sebelumnya, ujaran Shilla barusan menjadi terdengar sinis. Ia juga
sedikit tersinggung dengan tuduhan Shilla. Seharian ini tidak sekalipun ia
sempat mengalihkan pikiran ke hal lain selain belajar alias mengerjakan tugas.
Namun, dengan mudahnya orang lain menuduhnya hanya melakukan hal sia-sia. Ia
pun teringat dengan hawa-hawa frustasinya beberapa saat lalu dan membuat ambang
marahnya tercapai.
“Kenapa, sih, langsung nuduh gue gitu aja? Emangnya
gue keliatan kayak orang yang isi otaknya cuman main-main doang?” Kesal Alvin
dengan tanpa sadar agak meninggikan suaranya.
“Bu—bukan gitu maksudnya..” cicit Shilla namun sama
sekali tidak membantu. Mood Alvin masih belum membaik dan justru makin parah.
“Kita udah bukan baru jadian lagi dan bukan hari pertama
jalanin LDR. Udah bukan waktunya lagi gue harus nelfon atau chat lo tiap jam.
Kita juga bukan anak SMP lagi pacaran yang dikit-dikit ngambek cuma karena
telat telfonan. Kita udah mau tamat SMA, Shill.”
Shilla tidak bersuara beberapa saat entah apa alasannya
Alvin tidak tahu karena saat ini pikirannya hanya dipenuhi amarah dan rasa
kesal. Suara Shilla kembali muncul tak lama kemudian.
“Sorry..” kali ini dengan nada lirih.
Alvin menutup mata seraya memijat dahi serta menghela
napas. Ia tengah berusaha mendinginkan kepala. “Gue tutup dulu.” Putusnya
sepihak. Ia benar-benar mematikan sambungan dengan Shilla dan meletakkan
ponselnya asal. Ia sadar situasinya akan menjadi lebih buruk kalau ia teruskan
sehingga mau tidak mau ia harus mengakhiri chit chatnya bersama Shilla yang
belum lama dimulai.
Tangan Alvin terkulai lemas diikuti dengan badannya
yang tadinya bersandar sekarang perlahan merosot hingga posisinya berbaring di
atas ranjang. Napasnya sedikit memburu namun berangsur-angsur reda. Matanya
yang tadi tertutup kemudian terbuka. Kepalanya tanpa sengaja tertoleh dan ia
kembali harus melihat novel yang menjadi biang kerok perusak moodnya tadi
bahkan masih hingga sekarang.
Tubuhnya seketika tegak kembali. Air mukanya yang semula datar
tiba-tiba berubah mengerikan. “ELO! Gara-gara LO! ELO!” teriaknya seraya
menunjuk-nunjuk novel di hadapannya.
Di lain
tempat, Shilla masih terbengong memandang ponselnya. Keningnya mengernyit dan
kemudian kepalanya mengedik ke kanan-kiri. Sambungan panggilan Alvin pada
ponselnya sudah dimatikan oleh pemuda itu sendiri secara tiba-tiba.
“Abis
nginjek tai ni orang? Galak amat.” Celetuknya pelan.
Shilla
mengangkat bahunya dan meletakkan begitu saja ponselnya di atas meja belajar.
Ia memilih, mencoba, tak mau ambil pusing terhadap tingkah atau pun ucapan
Alvin tadi sebelum sambungannya mati. Ia lantas kembali pada kegiatannya
mengerjakan PR fisika.
Selang
beberapa menit kemudian, tangan Shilla yang tengah menulis sejenak berhenti. Ia
sudah berkomitmen untuk menganggap lalu namun apa mau dikata ucapan Alvin
beberapa saat lalu akhirnya melintas kembali di benaknya.
‘Udah bukan waktunya lagi gue harus nelfon atau chat lo
tiap jam. Kita juga bukan anak SMP lagi pacaran yang dikit-dikit ngambek cuma
karena telat telfonan. Kita udah mau tamat SMA, Shill.’
Tidak, ia
tidak sedang bersedih. Ia hanya merasa perlu untuk memikirkan kata-kata Alvin
tersebut. Entah kenapa ia merasa...setuju. Ucapan Alvin sepertinya ada
benarnya. Sekarang bukan lagi masanya ‘lovey dovey’. Tahun ini bahkan bukan lagi
anniversary pertama untuk ia dan Alvin.
“Ckckck..kok
gue baru nyadar sekarang, ya?” Proses berpikirnya diakhiri dengan pertanyaan
yang ia ajukan untuk dirinya sendiri.
***
Tok tok
tok...
Seseorang
mengetuk pintu kamar Febby ketika gadis itu masih terlelap. Ketukan tadi
kembali terdengar tak lama setelah yang pertama tidak ada sambutan. Kali ini
Febby sedikit tertarik dari alam bawah sadarnya. Telinganya dapat samar-samar
mendengar hanya saja tubuhnya masih lebih memilih untuk melanjutkan aktivitas
rehat sejenak dari dunia yang penat.
TOK TOK
TOK!
Kali ini
sang pelaku mengetuk tak sabaran. Hal ini serta merta menarik Febby seutuhnya
menuju alam sadar tanpa rasa kasihan. Ia terbangun sekaligus terduduk di kasur
dengan pandangan masih buram. Ia menguap seraya menggaruk-garuk kepala mencoba
lebih menyadarkan diri. Setelahnya ia segera turun dari kasur dan berjalan
mendekati pintu. Kebetulan karena sang tamu kembali mengetuk.
Pandangan
Febby sudah lebih jelas sekarang sehingga ia bisa melihat sosok Alvin sedang
berdiri di depannya. Pemuda itu juga yang telah berjasa membangunkannya
beberapa saat lalu. Dibanding jengkel, Febby lebih merasa kaget dan
bertanya-tanya. Ini adalah kali pertama Alvin menghampirinya langsung ke kamar.
Bahkan pemuda itu tampak begitu tidak sabar.
“Bantuin
gue.” Pinta Alvin dengan intonasi dan ekspresi datar.
Febby
menguap tanpa malu sambil terus menatap Alvin. “Apaan?” tanyanya kemudian.
Senyum di
wajah Alvin seketika mengembang. Ia mengangkat novel yang menjadi enemy of the
day nya sehingga menjadi sejajar dengan wajahnya. Ia tidak mengatakan apa-apa
hanya memberi isyarat lewat ekspresi wajahnya.
Febby
menguap sekali lagi baru kemudian menanggapi permohonan Alvin. Ia lalu mengajak
Alvin masuk ke kamarnya dengan menunjuk bagian dalam kamarnya menggunakan ibu
jari, sama-sama tanpa bicara sepatah kata pun. Alvin tanpa pikir panjang
menerima undangan Febby tersebut. Ia mengikuti langkah Febby lalu memilih duduk
di kursi meja belajar di dalam kamar gadis itu.
Setelah
permisi sebentar untuk mencuci muka, Febby kembali dari kamar mandi dan duduk
kembali di atas kasur dan berhadapan dengan Alvin.
“Gue belom
bikin tugas makalah sama laporan praktikum. Lo mau barter tugas? Lo ngerjain
makalah sama laporan, gue ngerjain resensi? Itung-itung biar cepet beres
semuanya,” Ia mencoba membuat kesepakatan.
Alvin diam
dan berpikir sejenak. Ia kemudian kembali buka suara dengan kalimat
persetujuan.
“Oke.”
Katanya to the point. Makalah dan laporan bukanlah masalah besar sementara
membaca novel tahun 20-an adalah mimpi buruk yang nyata. Membaca
kalimat-kalimat di lembaran novel jauh lebih menguras tenaga dibandingkan harus
berkutat dengan unsur-unsur senyawa dan sejarah.
Febby
menyalakan laptop dan membuka file laporan yang sempat ia kerjakan sedikit sebelum
ia mengantuk dan memutuskan tidur sesaat. Walau pada kenyataannya ia justru
bablas dan sejujurnya merasa bersyukur Alvin datang dan membangunkannya
kembali.
“Gue udah
sempet ngejain beberapa. Sayang kalo dihapus. Lo lanjutin aja dulu selagi gue
nyelesein baca novel. Lumayan ngurangin tugas ngetik.”
Setelah
itu, keduanya tenggelam pada tugas masing-masing. Febby tenggelam dalam alur
kisah dalam novel sementara Alvin asyik bercengkrama bersama laporan dan
makalah.
Keduanya
masih berada di tempat yang sama yang tak lain adalah kamar Febby. Ruangan
benar-benar sunyi karena keduanya sama sekali tidak berkomunikasi dalam bentuk
apa pun. Bahkan sekedar senandung kecil dari mulut Alvin atau Febby pun nihil.
Setengah
jam kemudian Alvin berhasil menyelesaikan laporan. Ia mencoba meregangkan
badan. Ia merasa kerongkongannya sedikit kering dan memutuskan mencari minuman
keluar kamar. Febby tidak menyadari kepergiannya, entah karena terlalu fokus
atau karena memang kebetulan ia juga tidak pamit.
Ketika
telah sampai di dapur dan mengambil sebotol jus dari dalam kulkas, Alvin
menuangkan isinya ke dalam gelas dan segera meminumnya hingga setengah. Ia
kembali mengisi gelasnya hingga penuh dan menaruh kembali botol yang masih
terisi lebih dari setengah ke dalam kulkas.
Namun
sebelum pintu lemari pendingin tersebut benar-benar tertutup, Alvin tiba-tiba
teringat akan Febby dan tugas yang sedang gadis itu kerjakan. Ia lalu teringat
masa-masa sulitnya membaca novel yang bahasanya sulit sekali dipahami. Gadis
itu sangat mungkin merasa lelah sekarang.
Alvin
tidak jadi menutup pintu kulkas dan kembali mengeluarkan botol jus yang tadi ia
letakkan. Ia mengambil dan mengisi gelas lain untuk Febby dengan jus tersebut.
Baru setelah itu ia benar-benar mengembalikan botol tadi ke dalam kulkas dan
beranjak kembali ke kamar sambil membawa dua buah gelas berisi jus.
Langkah
Alvin terhenti di depan pintu kamar Febby yang sudah ia buka. Pemandangan di
depannya tanpa sadar membuatnya berhenti dan menggodanya untuk memperhatikan
sejenak. Saat ini ia dapat melihat sosok Febby sedang fokus membaca novel dan
menulis di atas kertas secara bergantian. Rambutnya masih tercepol tidak begitu
rapi namun tidak terlihat mengganggu. Sebuah kacamata berbentuk bulat berjaga
di depan matanya yang justru membuat citra polos pada wajahnya. Pemandangan
yang cukup indah.
“Buset,
mikir apaan gue barusan?”
Alvin
menggelengkan kepala seketika merasa geli dengan komentar yang barusan terbit
di benaknya. Karena pikiran warasnya telah kembali, Alvin melanjutkan langkahnya
masuk ke kamar. Ia berhenti untuk terakhir kali di dekat kasur yang Febby
tempati seraya menyodorkan minuman yang ia bawa.
Febby
sukses teralihkan dengan kemunculan tiba-tiba gelas di depan wajahnya yang
sedikit merunduk. Ia mengikuti garis lengan yang memegang benda tersebut dan
mendapati Alvin berdiri di sampingnya.
“Minum
dulu minum!” ujar pemuda itu.
Febby
melepas pulpen di tangannya begitu saja dan menerima gelas pemberian Alvin
tanpa banyak protes. Ia langsung meminum jus yang ada di dalamnya sementara
Alvin kembali duduk di kursi meja belajar. Meski begitu, pikirannya tak
sepenuhnya beralih dari novel. Terbukti pandangannya sekarang kembali tertuju
pada benda persegi panjang dengan lembar cukup tebal tersebut.
Alvin
memfokuskan matanya menatap Febby sambil menyesap jus bagiannya. Dari air
mukanya ia seperti ingin menanyakan sesuatu namun masih ragu-ragu. Pada
akhirnya, ia memutuskan mengutarakan apa yang tersembunyi di benaknya.
“Gue kepo,
nih. Lo kira-kira mau jawab gak?” pendahuluannya sebelum bertanya ke intinya.
Febby
menoleh ke arahnya dengan kening mengerut. “Tentang?” Dalam hati ia
bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada Alvin hari ini. Setelah bertamu ke
kamarnya dan meminta bantuan, pemuda itu juga mengajaknya berbincang. Atau
jangan-jangan sebenernya gue masih tidur lagi makanya alam nyata gue agak
meleset gini?
“Lo pernah
punya nyokap?” Tanya Alvin tanpa disangka-sangka.
Hmm, gue
beneran udah bangun. Febby bergumam dalam hati. Ia meneguk sekali jus yang
masih terdapat di dalam gelas pemberian Alvin. Ia menoleh kembali pada pemuda
itu sekedar untuk menjawab pertanyaan.
“Mungkin,”
Febby memberi jeda sejenak sementara Alvin dengan sabar menunggu, “Semua
perempuan di hidup gue itu problematik. Sebelum Oik di adopsi, bokap sempet
bawa perempuan ke rumah. Dia bilang itu istrinya dan bakal jadi ibu gue. Dia
bilang gue mesti nurut sama perempuan itu tapi nyatanya perempuan itu sendiri
ga nurut sama dia. Pulang tengah malem besok siangnya udah ilang sedangkan
pagi-pagi jadi jadwal mereka berantem. Yang kena imbasnya gue. Bokap jadi makin
emosian. Sampe akhirnya si ‘istri’ kabur sama selingkuhan dan ga pernah balik
lagi. Gue awalnya bersyukur setidaknya bokap gaada temen berantem dan jadi
kurang emosian. Tau-tau dia pulang bawa Oik. Kayaknya dia punya penyakit mental
deh. Ada aja orang asing yang di bawa pulang.”
Alvin
mendengarkan penjelasan panjang lebar Febby dengan seksama. Kepalanya
mengangguk-angguk ketika penjelasan tersebut berakhir. Meski begitu, masih ada
yang membuatnya penasaran.
“Lo pernah
nyari tau kabar orangtua kandung lo?” Alvin lantas meluncurkan senjata keduanya
dengan sukses.
Febby
memicing menatapnya curiga. “Lo mau bantu nyariin biar gue cepet-cepet pindah?
Jangan-jangan lo masih ga ikhlas gue numpang di sini?”
Alvin
memutar kedua bola matanya karena menjadi yang tertuduh. Padahal ia sungguh
hanya penasaran. Ia pikir mungkin akan menarik untuk mendengarkan kisah Febby
setelah ia tahu beberapa kejadian luar biasa yang dialami atau ia alami karena
gadis itu.
“Udah gue
bilang, gue cuma kepo. Gamau jawab juga ga masalah, sih, sebenernya.” Tukasnya.
Febby
tersenyum tipis. Di samping Goldi, Alvin adalah satu-satunya orang yang
seingintahu itu tentang dirinya. Ia jarang bergaul saat di sekolah apalagi di
rumah. Kerja paruh waktu yang ia jalani cukup membuatnya lelah dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk tidur di perpustakaan, kadang-kadang di kelas kalau
sedang tidak ada guru dan tidak boleh keluar kelas. Hal ini juga yang menjadi
awal mula ia dekat dengan Goldi, si kutu buku perpustakaan di sekolahnya.
Ah, jadi
bahas yang aneh-aneh..
“Ga
pernah. Ga sempet.” Soal mencari keberadaan orangtua kandung, Febby memang
benar-benar tidak punya waktu. Sudah ia katakan kalau untuk bergaul saja susah
apalagi meluangkan banyak waktu berkeliling ke sana kemari mencari alamat, hey,
hey~ *maapkeunefekstresbikinskripsi*
Alvin
meminum tegukan terakhir jusnya dan kembali bertanya namun tanpa menatap Febby
secara langsung. “Apa benci sama mereka masuk juga jadi alasannya?”
Febby
melirik Alvin dengan sebelah alis terangkat. Bukan tersinggung, ia justru agak
bingung. Memikirkan orangtua kandungnya saja ia jarang apalagi untuk menyimpan
rasa benci. Otaknya hanya terisi oleh hidupnya. Bagaimana ia bisa bertahan
dengan bagaimanapun keadaannya. Menanam rasa benci hanya akan membuat hatinya
menjadi berat. Ia sudah cukup dengan ayah dan saudara tirinya bahkan Goldi,
mungkin. Ia tidak ingin memperpanjang daftar.
“Ga salah
kalo gue seandainya benci mereka. Tapi, enggak lah. Benci harus ada alasan dan
gue ga punya. Ga cukup cuma dengan merasa terbuang karena gue ga tau pasti gue
beneran dibuang apa enggak. Siapa yang tau waktu itu kehidupan mereka lagi
susah-susahnya trus mereka ngasih gue ke yang lebih mampu. Atau barangkali gue
ga sengaja ilang dari pandangan mereka dan sampe sekarang mereka justru nyariin
gue sementara gue malah ga punya waktu nemuin mereka. Gue sendiri ga pernah
cari tau tentang mereka jadi gue ga bisa ngeyakinin diri buat benci mereka. Gue
gamau ngejudge yang ga perlu dan nantinya gue sesalin. Kalo pun misalnya gue
anak yang ga diharapin, at least mereka masih punya hati buat ga ngebunuh gue.”
Febby
mengakhiri ucapannya dengan helaan napas disertai senyuman hangat. Tidak di
duga-duga hatinya terasa lebih ringan. Untuk orang lain, semua pertanyaan Alvin
akan terdengar mengganggu. Ia bisa saja merasa tersinggung. Akan tetapi, ia
justru merasa nyaman berbicara. Ia kurang tahu poinnya ada pada Alvin atau pada
kesempatan berbagi cerita. Nanti kalau ia sudah punya waktu baru akan ia cari
tahu.
“Nice story.”
Balas Alvin santai seraya mengedikkan bahu. Rasa penasarannya sudah lumayan
terbayar. Satu hal yang ia tidak bisa pungkiri dari Febby adalah optimisme
gadis itu. Ia bersyukur tidak mendengar kalimat-kalimat cacian atau umpatan
atau justru tangisan haus simpati keluar dari mulut Febby. Ia senang gadis itu
tumbuh dengan pondasi pikiran dan raga yang kokoh.
Setelah
itu, keduanya kembali tenggelam pada tugas masing-masing. Namun, tak lama Febby
kembali buka suara. “Thanks ya. Sharing sama orang lain ternyata enak juga,”
ujarnya tulus tanpa mengalihkan fokusnya pada novel.
Alvin
mengambil gelasnya yang sudah kosong lalu berdiri menghampiri Febby. Ia
menyodorkan tangan bermaksud mengambil gelas yang isinya akan habis dalam
sekali teguk. “Brother. You can think of me as your brother.” Entah darimana
pikiran itu tetapi ia sama sekali tidak keberatan.
Febby
meminum jusnya hingga habis lalu membalas senyuman pada Alvin seraya memberikan
gelas. Hari ini harus ia catat sebagai salah satu hari bersejarah dalam hidupnya.
Ia punya kakak.
***
Shilla
menumpu dagunya di atas lengannya yang melipat. Ia beristirahat setelah PR
fisikanya selesai dikerjakan. Sebenarnya ia sedang tidak punya pikiran untuk
melakukan apalagi. Ia tidak mengantuk tapi tubuhnya juga terlalu malas untuk
melakukan hal lain termasuk beranjak dari kamar. Biasanya saat ini ia pasti
sedang mengobrol dengan Alvin. Akan tetapi, hal itu sudah ia lakukan beberapa
jam yang lalu dengan begitu singkatnya. Ia tidak berani menghubungi kekasihnya
itu lagi mengingat bagaimana akhir dari telepon mereka sebelumnya.
Ditambah
ia juga tidak lagi menunggu dihubungi. Kalimat penutup Alvin memang mujarab. Ia
bukan kecewa atau sedih. Ia hanya merasa tertampar oleh kenyataan yang selama
ini sebenarnya sudah sangat jelas namun ia masih terus menutup mata. Jadilah ia
hanya menumpu wajah di atas meja belajar tanpa melakukan apapun.
Di tengah
kekosongan idenya, ponsel Shilla berbunyi dan layarnya menyala-nyala
menampilkan nama Alvin sang pacar. Ia menyentuh dan menggesek pelan layar
ponselnya perlahan, lebih tepatnya tanpa niat. Selanjutnya ia menyapa dengan
nada teramat santai.
“Haaloo?”
ujarnya pelan.
“Hello
sweetheart?” balas Alvin romantis.
Shilla
tersenyum tipis seraya memiringkan wajahnya yang masih setia menumpu lengannya
di atas meja belajar. “We’re not even in monthsarry date,”
“Emangnya
romantis cuma boleh pas lagi ngerayain sesuatu doang, hm?”
“But you
said we’re not in ‘that phase’ again? Wkwk,” Sungguh ini bukanlah ucapan
sarkastik atau pun sindiran. Ia tidak punya maksud tertentu sama sekali.
Akan
tetapi, sepertinya Alvin menganggap ucapannya serius. Pemuda itu buka suara
setelah beberapa menit diam. “I-am-sorry...Aku ga bermak—“
Namun
sebelum penyampaian maaf dan alibinya selesai, Shilla menyela begitu saja. “I
know I know. Becanda gue mah, lo tumbenan baper?”
“Are you
really sure? It’s okay?” Alvin bertanya dengan nada amat cemas tanpa bisa
disembunyikan.
Shilla
memandang ponselnya lalu menghela napas berat. “Sesensitif itu ya gue? Ckck,”
“No,
Sayang. Marah wajar, kok. Omongan gue emang agak kelewatan.” Alvin masih setia
mengaku dosa pada Shilla yang sebenarnya tidak lagi memedulikan kesalahan
tersebut.
“Enggak,
Vin. Omongan lo emang bener, lagi!” balas Shilla lagi yang membuat Alvin diam
kembali. Kali ini bahkan lebih lama sampai-sampai ia harus kembali buka suara.
“Kita pacaran udah lewat 2 tahun tapi gue masih childish aja kayak baru jadian.
Sorry, hehehe..”
“Sayang,
please?” Sepertinya Alvin tidak percaya kalau dirinya tidak terganggu dengan
ucapannya sebelumnya. Nada suara pemuda itu masih terdengar khawatir.
Sementara
Shilla belum menyerah meyakinkan Alvin. “It’s really okay. I’m really okay and
100% agree with you. Gue janji ga bakal se-annoying itu lagi.”
“Siapa
yang mau lo berubah? I like your annoying acts. That makes me feel you are
near.” Sekarang giliran Alvin yang menyela segera ucapan Shilla dan membuat
Shilla sesaat kehilangan kata-kata.
“C—can I?”
balas Shilla terbata. Suaranya menunjukkan kalau gadis itu belum lepas dari
rasa takjub.
“Babe..”
Alvin justru membalas dengan panggilan sayang. Shilla yang tidak mengerti hanya
menyahut apa adanya. “H—huh?”
“Call me
‘babe’. Gue belum denger panggilan sayang lo hari ini.” Pinta Alvin dengan
lembut dan sabar.
Shilla
menegakkan kepalanya dengan kedua telapak dangan menutupi masing-masing
pipinya. Ia tersipu. Sepertinya setiap saat memang terasa seperti saat pertama
jadian untuknya. Ia bahkan masih tersipu dengan momen receh seperti ini.
“Pacar
bisa aja!” sahut Shilla ringan.
Alvin
membalas dengan perasaan puas. “That’s it!”
Sayang
namun sayang, keadaan tidak benar-benar kembali seperti semula. Tanpa mereka
ketahui, kerenggangan di antara mereka bermula dari ucapan jujur Alvin
tersebut.
***
I know I know. Kalian mau bilang kalian bingung kan dengan akoeh? Sama, ku juga sama bingungnya. Kadang kalo dipikir-pikir, ini anak-anak yang jadi tokohnya udah pada gede semua, udah saling punya pacar, tapi ini cerita masih juga belom tamat padahal ngomong bakal tamat udah dari taun kapan.
Diriku tidak berharap banyak soal respon update-an cerita ini. Yang daku harapkan cuma satu, supaya ini bisa tamat!! Mau tamat doang susah amat:') Mana lagi nyusun skripsi lagi *tuhkanadaajaalesannyaHAHAHAHAHA*
Btw kok tumben lanjutin kopel lain biasanya Rify...Nah kebetulan nemu ide yang bisa mempercepat kopel ini tamat. So jadi agak ambisius deh langsung diketik trus di post. Mudah-mudahan kuota rajinnya belum abis jadi bisa update terus. Yah mudah-mudahan ya wkwk~
Untuk dirimu dirimu yang masih saja setia membaca, ga kapok-kapok ku nistakan *halah*, diriku mengucapkan terimakasih banyak dari lubuk hati terdalam. Semoga kalian selalu diberkati dengan hal-hal indah dalam hidup kalian setelah wasting time baca postingan ala-ala di sini. Sumpah, makasih banyak ya:'')