-->

Kamis, 17 Agustus 2017

Matchmaking Part 34 (Alshill)

I dont know you guys still remember this or not wkwkwk

***

Demi kegantengan Alvin yang tiada duanya, ini baru awal hari Shilla dan Chris adalah orang pertama dari daftar orang-orang yang tidak ingin ia temui. Tapi, kenapa Tuhan justru menjatuhkan copycat bule itu di hadapannya? Berani-beraninya diaberdiri tepat di pintu rumahnya, menggoda adiknya, dan yang lebih parah memonopoli ayah dan ibunya sehingga sekarang ia ter-pak-sa, benar-benar-sangat-sangat-terpaksa kalau kalian ingin tahu lebih jelas, pergi ke Parfait diantar pemuda itu.

Sekali lagi, demi kegantengan Alvin yang mengalahkan para manusia srigala *maafkan celetukan ketinggalan jaman ini karena part ini sebenernya dibuat pas lagi jaman2nya dede2 serigala di tipi dan di mana aja + mimin males ngedit pun biar cepet jadi haplum aja yah wkwk*, ia tidak sudi berada dalam mobil milik Chris. Ia tidak sudi memakai kursi yang kemungkinan pernah atau mungkin sering digunakan oleh si bule palsu alias tidak bisa bahasa inggris (fyi, ia tahu karena dulu fakta ini sudah menjadi rahasia umum di Parfait). Ia tidak sudi harus berbagi ruangan, udara, bahkan berirama napas yang sama dengan si pemuda berotot berhati sehalus kentut (sebutan ini berasal dari kejadian Chris pingsan setelah ada cicak jatuh ke atas mejanya saat pelajaran matematika). Bahkan sudah 3 kali ia mengganti menyebut Chris dengan embel-embel buruk tapi semuanya belum cukup buruk untuk mendeskripsikan betapa buruknya pemuda itu.

Shilla melirik Chris di sebelahnya dan hal itu menjadi alasannya mendengus berkali-kali. Tiap ia melakukannya,reaksi akhirnya selalu sama. Ada banyak pertanyaan yang bergentayangan di kepalanya. Tapi, hanya dua yang membuatnya begitu ingin tahu. Kenapa baru sekarang Chris datang dan mengganggu hidupnya yang sedikit terguncang karena Alvin (akhir-akhir ini)? Apa tujuan pemuda itu? Mengejar cintanya adalah jawaban paling tidak mungkin dan yang terakhir terpikir di benaknya sekaligus membuat kuduknya merinding membayangkan itu terjadi. Lalu apa? Ia bertanya-tanya dengan perasaan gondok setengah mati.

Sementara itu, Chris melihat temannya pagi ini yang terus saja melirik ke arahnya sambil menahan senyum geli. Ia suka melihat reaksi Shilla ketika panik. Ia suka membuat Shilla kalang kabut karena ulahnya. Ia bahkan menunggu saat-saat asap-asap emosi itu mengepul dari seluruh lubang yang ada di wajahnya. Semuanya tampak lucu dan menggemaskan. Meski kadang ia merasa bersalah karena ia akan menjadi alasan gadis itu bertambah tua lebih cepat. Tapi rasa sukanya lebih tinggi daripada rasa bersalahnya.

“Segitu senengnya gue anter sampe lo ga berenti ngeliatin gue?” godanya yang langsung disambut wajah sinis Shilla.

“Jangan sampe lo gue lempar keluar dari mobil bangke lo ini!” Kata-kata kejam Shilla tsb malah dibalas dengan wajah sumringah Chris. Shilla sampai berjengit heran. “Gue anggap itu sebagai ungkapan betapa bahagianya lo pagi ini berangkat sama gue.” Katanya sungguh tak tahu diri seraya mengedipkan sebelah mata.

Shilla memandang hal itu ngeri sambil mengerucutkan bibir. Ingin menangis rasanya berbicara dengan Chris. Ia frustasi. Apa yang harus ia katakan agar pemuda itu ‘mengerti’ ucapannya? Dan bagaimana ia bisa membuat pemuda itu mengerti kalau setiap kata-kata tidak menyenangkan yang ia katakan akan selalu diartikan sebaliknya?

“Terserah!” pasrah Shilla pada akhirnya. Tak ada gunanya berbicara dengan orang gila.

***

Untuk 3 hari ke depan sepertinya Alvin harus bolak-balik mencatatkan namanya di daftar tamu perpustakaan. Bagaimana tidak? Sebagai konsekuensi dari ketidakhadirannya dalam pelajaran bahasa Indonesia, dimana ia telah melewatkan 1 pengambilan nilai drama, 1 pengambilan nilai baca puisi, waktu untuk mengumpulkan tugas resensi serta 1 ulangan harian, gurunya tercinta itu memberikan banyak hadiah indah, katanya. Indah baginya berarti merepotkan untuk Alvin.

1.    Membuat 2 makalah masing-masing tentang perkembangan puisi dan teater yang sumbernya harus dari buku yang ada diperpustakaan dan tidak boleh dari internet sama sekali (ini nih yang bikin buta internet masih ngetrend di Indo, nyari referensi aja gaboleh).
2.    Membuat resensi novel angkatan 20 (buat gue yang pantun aja minta bikinin, ini bener-bener ujian berat).
3.    Semuanya dikumpulkan dalam 5 hari (bener-bener kriminal).
4.    Jangan lupa 2 hari lagi ulangan susulan (patah, otak gue patah).

Andai saja hari itu ia tidak berhenti dan menyebrang jalan. Febby tidak akan punya kesempatan untuk menabraknya dan membuat kakinya retak. Ah, mengingat itu membuatnya teringat akan kekesalannya pada Febby. Bukan, lebih tepatnya Oik karena gadis itu yang berada dibalik drama tabrak sengaja tersebut.

“Kalo kaki gue udah bener-bener sembuh, abis lo!” umpatnya dengan amarah tertahan, berhubung ia sedang berada di dalam perpustakaan.

“Lo sekarang udah mulai ngomong sama buku, Vin?” Suara serak khas milik Febby sayup-sayup terdengar di telinganya. Alvin menoleh ke samping di posisi gadis itu berada, berdiri sambil memegang dua minuman kaleng di tangannya, menatapnya bingung sekaligus ngeri. Sekedar info, perpustakaan sekolahnya memperbolehkan membawa minuman namun tidak untuk makanan. Ia menyambar salah satunya, membukanya dengan segera dan meneguknya hingga hamper setengah. Entah sejak kapan hubungannya dengan gadis itu menjadi damai seutuhnya begini.

“Gue mesti ngerjain apa? Kerangka makalahnya udah lo bikin? Udah sampe mana? Ide puisinya udah ada? Novelnya udah ketemu? Apa aja?” Pertanyaan membabi buta dari Febby membuat nafas Alvin tersendat-sendat. Ia baru sadar sudah membuang-buang waktu dengan merutuki nasib dan mempertanyakan kenapa semua itu bisa terjadi. Sementara hal itu tidak akan membuat tugas-tugasnya terselesaikan.

Alvin meringis lalu membenturkan dahinya pelan ke rak buku di depannya. Melihat itu Febby justru tersenyum geli. Mungkin Alvin harus banyak-banyak belajar darinya. Bagaimana menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat. Ia harus membuat laporan praktikum dan belajar untuk ulangan kimia esok hari sedangkan sepulang sekolah sampai malam hari ia harus bekerja di restoran. Ajaibnya semuanya dapat selesai dengan hasil yang baik. Meskipun nilai ulangannya hanya mencapai angka 7 tapi ia sudah sangat lega dan bangga dengan hasil yang ia terima. Masa-masa sulit seperti itu tidak hanya sekali dua kali terjadi. Untung ada Goldy yang bisa membantunya belajar, jadi masalah akademisnya bisa terselesaikan.

Mendadak ada denyut tidak nyaman di balik dadanya ketika menyebutkan nama Goldy. Ia sadar sampai sekarang ia tidak bisa melepas bayang-bayang pemuda itu dari pikirannya. Ia belum bisa melupakan perasaannya. Perasaan sedih, marah, kecewa…dan sayang.

Pletak!

Kepala Febby berjengit bersamaan dengan rintihan dari mulutnya. Tangannya mengusap dahinya yang mulai memerah lalu memandang Alvin kesal. Sementara Alvin hanya berdecak malas. “Apaan sih?!”

“Bantuin orang itu yang fokus! Ga pake galau di tengah-tengah. Fokus, fokus!” ujar Alvin sambil menggerakkan telapak tangannya yang tegak menyamping di tengah wajahnya maju mundur. Febby memberengut sambil mendengus pelan. Kesal sekaligus berterimakasih karena diselamatkan dari pikiran bodohnya beberapa saat lalu.

Lo selalu jadi penyelamat gue, Vin. Doain gue dapet duit ya, biar bisa traktir lo kapan-kapan hehe.

***

Shilla meremas-remas tali tasnya sambil terus berjalan menyusuri lorong sekolahnya. Mukanya bertekuk beratus kali lipat dari sebelumnya. Kata-kata Chris sebelum ia keluar dari mobilnya terus saja berputar di kepalanya.

‘Semangat sekolahnya, Cantik!’

Hanya kalimat sederhana sebenarnya. Akan tetapi, entah kenapa Shilla tetap merasa sebal dan sialnya terus saja teringat olehnya. Bahkan mendetail dari ekspresi wajah Chris, nada suaranya, gerak-gerik tubuhnya, semuanya terpatri jelas di pikiran Shilla. Oh! Ia bisa gila! Ini tidak bisa dibiarkan!

Shilla lantas berhenti berjalan. Ia harus menemui Chris dan memberi peringatan serius padanya. Benar-benar serius sampai pemuda itu mengerti untuk tidak mengganggunya lagi dan menjauh dari hidupnya yang tenang meskipun seringkali galau. Tapi, cukup. Ia hanya galau karena Alvin dan jangan ditambah dengan yang lain.

Beberapa meter sebelum ia berada di hadapan Chris, ia kembali berhenti. Ada pemandangan aneh yang sedang berlangsung di sana. Pemuda yang hendak ditemuinya itu tengah berbicara dengan seorang perempuan yang ia tahu merupakan mantan kekasih pemuda itu. Lala.

Dari mukanya, sepertinya suasana sedang tegang. Keduanya tampak tidak nyaman berhadapan satu sama lain. Atau mungkin sepertinya Lala yang paling tidak nyaman ada di sana. Matanya berkeliling ke sana kemari entah mencari apa dan tak pernah fokus menatap Chris. Sementara Chris memandangi Lala lamat-lamat. Ia mencermati tatapan Chris dan menemukan banyak hal bercampur menjadi satu. Amarah, rasa kecewa, terluka, dan..rindu? Apa mereka udah bubar?

Ah! Ia ingat saat pertama kali mereka bertemu kembali. Salah satu teman Chris sempat berbicara walau terpotong. Kata-katanya menyiratkan memang sedang ada masalah di antara Chris dan Lala. Mungkin sekarang mereka sedang membahas itu dan mencoba mencari penyelesaian. Shilla berharap penuh dalam hati semoga masalah di antara mereka selesai dan Chris tidak lagi mengganggunya.

“Lala?”

Shilla mengalihkan pandangan pada orang yang baru saja menyerukan nama Lala. Seorang pemuda yang juga bertampang bule menghampiri Lala dan Chris yang tengah bersitegang. Atau mungkin kata-katanya berlebihan. Ekspresi lega seketika mencuat di wajah Lala. Entah lega karena bertemu pemuda itu atau lega karena dapat terhindar dari Chris. Menurutnya mungkin yang kedua. Alasannya? Karena Chris itu sangat menyebalkan sehingga tidak akan ada orang yang betah di dekatnya berlama-lama. Salah satunya Shilla.

Shilla tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Lala pada Chris sebelum pergi. Ia juga tak sengaja memandang ke arah Chris yang mendadak termenung. Tatapannya kosong. Wajahnya tampak kaku dan jauh berbeda dari Chris yang ia hadapi baru-baru ini. Berhubung Shilla adalah orang yang amat sensitif jadi ia mengerti apa yang tengah dirasakan Chris. Meskipun ia tidak tahu masalahnya, tapi ia dapat melihat dengan jelas perasaan Chris pada Lala dan pemuda itu sedang sedih sekarang.

Shilla menggigit bibirnya menimbang apa yang harus ia lakukan. Kemudian kakinya lebih dulu mengambil keputusan. Ia mencicit langkah menghampiri Chris hingga sudah berada di hadapan pemuda itu. Telunjuknya bergerak ragu-ragu hendak menyentuh lengan pemuda itu.

“K-kak?” lirihnya. Chris tampaknya masih belum sadar. Ia akhirnya mendaratkan ujung jari telunjuknya yang lentik di atas lengan Chris dan sedikit memberi tekanan. Upayanya tersebut membuahkan hasil.

Chris tersentak kaget dan melihat sekelilingnya lalu menjatuhkan pandangan pada Shilla. Tapi, pikirannya masih belum kembali ke tempat semula sepenuhnya. Perasaannya amat kacau dan ia tidak mampu berpikir banyak. Ia menyentakkan tangan Shilla dan tanpa sadar berbicara cukup keras pada gadis itu.

“Minggir!” ujarnya dingin. Ia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian mobil Chris sudah melaju meninggalkan halaman parker Parfait sekaligus meninggalkan Shilla.

Shilla mengedipkan matanya beberapa kali, sedikit syok. Lalu kemudian ia kembali tersadar. Apa-apaan itu barusan? Chris bersikap keras padanya disaat ia baru saja berniat baik?! Dasar keris bengkok buluk! Gue gaakan maafin lo!! Eh—bukannya itu yang ia inginkan? Setelah ini Chris tidak akan mengganggunya lagi, bukan?

YES I LOVE U ALVIN! Ga nyambung? Bodo!

***

Mata sipit Alvin dipaksa membuka lebih lebar oleh empunya. Dahinya berkerut karena ia tengah berusaha berpikir keras. Jemarinya menggenggam erat novel angkatan 20 yang sedang ia (coba) baca dengan seksama. Pupil matanya bergerak aktif menyusuri satu per satu kata yang tertera pada halaman yang terbuka lalu mencoba memahami apa maksud dari kalimat yang terbentuk. Hasilnya…ia benar-benar tidak mengerti.

Ini lebih susah daripada mengerjakan latihan soal reading dalam ujian TOEFL. Ia bisa menggunakan aplikasi translate untuk kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris. Setidaknya bisa memberikan sedikit pencerahan. Nah, kalau kalimat teramat sastra begini ia harus men-translate pakai apa? Translatenya ya hanya dirinya sendiri. Sialnya, ia sangat-sangat lemah untuk urusan tulisan-tulisan begini.

Jemarinya yang sempat tegang seketika melemas, berikut juga saraf-saraf di otaknya. Tidak, ia belum menyerah hanya beristirahat sejenak. Menghirup udara dengan santai sejenak siapa tahu otaknya yang memang sedang kurang oksigen sehingga kerjanya menjadi kurang prima. Alhasil, ia tidak berhasil-berhasil mengerjakan tugas.

Matanya tak sengaja melihat ke jam dinding dan ia lekas tersadar kalau ia belum menghubungi Shilla hari ini. Ia pulang sekolah 3 jam yang lalu dan sudah 3 jam pula ia terlambat. Ia lantas memutuskan beralih mengerjakan tugas wajib khusus tersebut sebelum kembali pada tugas yang sebenarnya.

Alvin mengambil ponsel dan langsung mendial nomor Shilla. Tak sampai sepuluh detik, ia sudah mendengar suara Shilla mendayu-dayu di telinganya.

“Viiiiiiiiin!” Shilla berseru panjang dan seketika mengembangkan senyum di wajah Alvin. Andai semua tugasnya dapat membuatnya tersenyum senang begini. Tugas lain juga membuatnya tersenyum, sih, tersenyum miris.

“Ayaaaaang!” Alvin membalas dengan sebutan yang paling menyebalkan menurut Shilla. Shilla memang suka hal yang cute dan romantis. Akan tetapi entah kenapa ia sangat tidak suka dengan panggilan tersebut.

“Ish!” dumelnya kesal sedang Alvin malah terkekeh tanpa dosa.

“Ngapain aja, sih, daritadi? Kenapa lama banget baru nongol? Pasti main game, kan? Ckck, bukannya belajar!” Shilla masih lanjut mendumel yang sebenarnya hanya pura-pura mendumel dan bukan bermaksud marah dan mencurigai Alvin.

Akan tetapi, dengan pengaruh mood Alvin yang sudah buruk sebelumnya, ujaran Shilla barusan menjadi terdengar sinis. Ia juga sedikit tersinggung dengan tuduhan Shilla. Seharian ini tidak sekalipun ia sempat mengalihkan pikiran ke hal lain selain belajar alias mengerjakan tugas. Namun, dengan mudahnya orang lain menuduhnya hanya melakukan hal sia-sia. Ia pun teringat dengan hawa-hawa frustasinya beberapa saat lalu dan membuat ambang marahnya tercapai.

“Kenapa, sih, langsung nuduh gue gitu aja? Emangnya gue keliatan kayak orang yang isi otaknya cuman main-main doang?” Kesal Alvin dengan tanpa sadar agak meninggikan suaranya.

“Bu—bukan gitu maksudnya..” cicit Shilla namun sama sekali tidak membantu. Mood Alvin masih belum membaik dan justru makin parah.

“Kita udah bukan baru jadian lagi dan bukan hari pertama jalanin LDR. Udah bukan waktunya lagi gue harus nelfon atau chat lo tiap jam. Kita juga bukan anak SMP lagi pacaran yang dikit-dikit ngambek cuma karena telat telfonan. Kita udah mau tamat SMA, Shill.”

Shilla tidak bersuara beberapa saat entah apa alasannya Alvin tidak tahu karena saat ini pikirannya hanya dipenuhi amarah dan rasa kesal. Suara Shilla kembali muncul tak lama kemudian.

“Sorry..” kali ini dengan nada lirih.

Alvin menutup mata seraya memijat dahi serta menghela napas. Ia tengah berusaha mendinginkan kepala. “Gue tutup dulu.” Putusnya sepihak. Ia benar-benar mematikan sambungan dengan Shilla dan meletakkan ponselnya asal. Ia sadar situasinya akan menjadi lebih buruk kalau ia teruskan sehingga mau tidak mau ia harus mengakhiri chit chatnya bersama Shilla yang belum lama dimulai.

Tangan Alvin terkulai lemas diikuti dengan badannya yang tadinya bersandar sekarang perlahan merosot hingga posisinya berbaring di atas ranjang. Napasnya sedikit memburu namun berangsur-angsur reda. Matanya yang tadi tertutup kemudian terbuka. Kepalanya tanpa sengaja tertoleh dan ia kembali harus melihat novel yang menjadi biang kerok perusak moodnya tadi bahkan masih hingga sekarang.

Tubuhnya seketika tegak kembali. Air mukanya yang semula datar tiba-tiba berubah mengerikan. “ELO! Gara-gara LO! ELO!” teriaknya seraya menunjuk-nunjuk novel di hadapannya.

Di lain tempat, Shilla masih terbengong memandang ponselnya. Keningnya mengernyit dan kemudian kepalanya mengedik ke kanan-kiri. Sambungan panggilan Alvin pada ponselnya sudah dimatikan oleh pemuda itu sendiri secara tiba-tiba.

“Abis nginjek tai ni orang? Galak amat.” Celetuknya pelan.

Shilla mengangkat bahunya dan meletakkan begitu saja ponselnya di atas meja belajar. Ia memilih, mencoba, tak mau ambil pusing terhadap tingkah atau pun ucapan Alvin tadi sebelum sambungannya mati. Ia lantas kembali pada kegiatannya mengerjakan PR fisika.

Selang beberapa menit kemudian, tangan Shilla yang tengah menulis sejenak berhenti. Ia sudah berkomitmen untuk menganggap lalu namun apa mau dikata ucapan Alvin beberapa saat lalu akhirnya melintas kembali di benaknya.

Udah bukan waktunya lagi gue harus nelfon atau chat lo tiap jam. Kita juga bukan anak SMP lagi pacaran yang dikit-dikit ngambek cuma karena telat telfonan. Kita udah mau tamat SMA, Shill.

Tidak, ia tidak sedang bersedih. Ia hanya merasa perlu untuk memikirkan kata-kata Alvin tersebut. Entah kenapa ia merasa...setuju. Ucapan Alvin sepertinya ada benarnya. Sekarang bukan lagi masanya ‘lovey dovey’. Tahun ini bahkan bukan lagi anniversary pertama untuk ia dan Alvin.

“Ckckck..kok gue baru nyadar sekarang, ya?” Proses berpikirnya diakhiri dengan pertanyaan yang ia ajukan untuk dirinya sendiri.

***

Tok tok tok...

Seseorang mengetuk pintu kamar Febby ketika gadis itu masih terlelap. Ketukan tadi kembali terdengar tak lama setelah yang pertama tidak ada sambutan. Kali ini Febby sedikit tertarik dari alam bawah sadarnya. Telinganya dapat samar-samar mendengar hanya saja tubuhnya masih lebih memilih untuk melanjutkan aktivitas rehat sejenak dari dunia yang penat.

TOK TOK TOK!

Kali ini sang pelaku mengetuk tak sabaran. Hal ini serta merta menarik Febby seutuhnya menuju alam sadar tanpa rasa kasihan. Ia terbangun sekaligus terduduk di kasur dengan pandangan masih buram. Ia menguap seraya menggaruk-garuk kepala mencoba lebih menyadarkan diri. Setelahnya ia segera turun dari kasur dan berjalan mendekati pintu. Kebetulan karena sang tamu kembali mengetuk.

Pandangan Febby sudah lebih jelas sekarang sehingga ia bisa melihat sosok Alvin sedang berdiri di depannya. Pemuda itu juga yang telah berjasa membangunkannya beberapa saat lalu. Dibanding jengkel, Febby lebih merasa kaget dan bertanya-tanya. Ini adalah kali pertama Alvin menghampirinya langsung ke kamar. Bahkan pemuda itu tampak begitu tidak sabar.

“Bantuin gue.” Pinta Alvin dengan intonasi dan ekspresi datar.

Febby menguap tanpa malu sambil terus menatap Alvin. “Apaan?” tanyanya kemudian.

Senyum di wajah Alvin seketika mengembang. Ia mengangkat novel yang menjadi enemy of the day nya sehingga menjadi sejajar dengan wajahnya. Ia tidak mengatakan apa-apa hanya memberi isyarat lewat ekspresi wajahnya.

Febby menguap sekali lagi baru kemudian menanggapi permohonan Alvin. Ia lalu mengajak Alvin masuk ke kamarnya dengan menunjuk bagian dalam kamarnya menggunakan ibu jari, sama-sama tanpa bicara sepatah kata pun. Alvin tanpa pikir panjang menerima undangan Febby tersebut. Ia mengikuti langkah Febby lalu memilih duduk di kursi meja belajar di dalam kamar gadis itu.

Setelah permisi sebentar untuk mencuci muka, Febby kembali dari kamar mandi dan duduk kembali di atas kasur dan berhadapan dengan Alvin.

“Gue belom bikin tugas makalah sama laporan praktikum. Lo mau barter tugas? Lo ngerjain makalah sama laporan, gue ngerjain resensi? Itung-itung biar cepet beres semuanya,” Ia mencoba membuat kesepakatan.

Alvin diam dan berpikir sejenak. Ia kemudian kembali buka suara dengan kalimat persetujuan.

“Oke.” Katanya to the point. Makalah dan laporan bukanlah masalah besar sementara membaca novel tahun 20-an adalah mimpi buruk yang nyata. Membaca kalimat-kalimat di lembaran novel jauh lebih menguras tenaga dibandingkan harus berkutat dengan unsur-unsur senyawa dan sejarah.

Febby menyalakan laptop dan membuka file laporan yang sempat ia kerjakan sedikit sebelum ia mengantuk dan memutuskan tidur sesaat. Walau pada kenyataannya ia justru bablas dan sejujurnya merasa bersyukur Alvin datang dan membangunkannya kembali.

“Gue udah sempet ngejain beberapa. Sayang kalo dihapus. Lo lanjutin aja dulu selagi gue nyelesein baca novel. Lumayan ngurangin tugas ngetik.”

Setelah itu, keduanya tenggelam pada tugas masing-masing. Febby tenggelam dalam alur kisah dalam novel sementara Alvin asyik bercengkrama bersama laporan dan makalah.

Keduanya masih berada di tempat yang sama yang tak lain adalah kamar Febby. Ruangan benar-benar sunyi karena keduanya sama sekali tidak berkomunikasi dalam bentuk apa pun. Bahkan sekedar senandung kecil dari mulut Alvin atau Febby pun nihil.

Setengah jam kemudian Alvin berhasil menyelesaikan laporan. Ia mencoba meregangkan badan. Ia merasa kerongkongannya sedikit kering dan memutuskan mencari minuman keluar kamar. Febby tidak menyadari kepergiannya, entah karena terlalu fokus atau karena memang kebetulan ia juga tidak pamit.

Ketika telah sampai di dapur dan mengambil sebotol jus dari dalam kulkas, Alvin menuangkan isinya ke dalam gelas dan segera meminumnya hingga setengah. Ia kembali mengisi gelasnya hingga penuh dan menaruh kembali botol yang masih terisi lebih dari setengah ke dalam kulkas.

Namun sebelum pintu lemari pendingin tersebut benar-benar tertutup, Alvin tiba-tiba teringat akan Febby dan tugas yang sedang gadis itu kerjakan. Ia lalu teringat masa-masa sulitnya membaca novel yang bahasanya sulit sekali dipahami. Gadis itu sangat mungkin merasa lelah sekarang.

Alvin tidak jadi menutup pintu kulkas dan kembali mengeluarkan botol jus yang tadi ia letakkan. Ia mengambil dan mengisi gelas lain untuk Febby dengan jus tersebut. Baru setelah itu ia benar-benar mengembalikan botol tadi ke dalam kulkas dan beranjak kembali ke kamar sambil membawa dua buah gelas berisi jus.

Langkah Alvin terhenti di depan pintu kamar Febby yang sudah ia buka. Pemandangan di depannya tanpa sadar membuatnya berhenti dan menggodanya untuk memperhatikan sejenak. Saat ini ia dapat melihat sosok Febby sedang fokus membaca novel dan menulis di atas kertas secara bergantian. Rambutnya masih tercepol tidak begitu rapi namun tidak terlihat mengganggu. Sebuah kacamata berbentuk bulat berjaga di depan matanya yang justru membuat citra polos pada wajahnya. Pemandangan yang cukup indah.

“Buset, mikir apaan gue barusan?”

Alvin menggelengkan kepala seketika merasa geli dengan komentar yang barusan terbit di benaknya. Karena pikiran warasnya telah kembali, Alvin melanjutkan langkahnya masuk ke kamar. Ia berhenti untuk terakhir kali di dekat kasur yang Febby tempati seraya menyodorkan minuman yang ia bawa.

Febby sukses teralihkan dengan kemunculan tiba-tiba gelas di depan wajahnya yang sedikit merunduk. Ia mengikuti garis lengan yang memegang benda tersebut dan mendapati Alvin berdiri di sampingnya.

“Minum dulu minum!” ujar pemuda itu.

Febby melepas pulpen di tangannya begitu saja dan menerima gelas pemberian Alvin tanpa banyak protes. Ia langsung meminum jus yang ada di dalamnya sementara Alvin kembali duduk di kursi meja belajar. Meski begitu, pikirannya tak sepenuhnya beralih dari novel. Terbukti pandangannya sekarang kembali tertuju pada benda persegi panjang dengan lembar cukup tebal tersebut.

Alvin memfokuskan matanya menatap Febby sambil menyesap jus bagiannya. Dari air mukanya ia seperti ingin menanyakan sesuatu namun masih ragu-ragu. Pada akhirnya, ia memutuskan mengutarakan apa yang tersembunyi di benaknya.

“Gue kepo, nih. Lo kira-kira mau jawab gak?” pendahuluannya sebelum bertanya ke intinya.

Febby menoleh ke arahnya dengan kening mengerut. “Tentang?” Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada Alvin hari ini. Setelah bertamu ke kamarnya dan meminta bantuan, pemuda itu juga mengajaknya berbincang. Atau jangan-jangan sebenernya gue masih tidur lagi makanya alam nyata gue agak meleset gini?

“Lo pernah punya nyokap?” Tanya Alvin tanpa disangka-sangka.

Hmm, gue beneran udah bangun. Febby bergumam dalam hati. Ia meneguk sekali jus yang masih terdapat di dalam gelas pemberian Alvin. Ia menoleh kembali pada pemuda itu sekedar untuk menjawab pertanyaan.

“Mungkin,” Febby memberi jeda sejenak sementara Alvin dengan sabar menunggu, “Semua perempuan di hidup gue itu problematik. Sebelum Oik di adopsi, bokap sempet bawa perempuan ke rumah. Dia bilang itu istrinya dan bakal jadi ibu gue. Dia bilang gue mesti nurut sama perempuan itu tapi nyatanya perempuan itu sendiri ga nurut sama dia. Pulang tengah malem besok siangnya udah ilang sedangkan pagi-pagi jadi jadwal mereka berantem. Yang kena imbasnya gue. Bokap jadi makin emosian. Sampe akhirnya si ‘istri’ kabur sama selingkuhan dan ga pernah balik lagi. Gue awalnya bersyukur setidaknya bokap gaada temen berantem dan jadi kurang emosian. Tau-tau dia pulang bawa Oik. Kayaknya dia punya penyakit mental deh. Ada aja orang asing yang di bawa pulang.”

Alvin mendengarkan penjelasan panjang lebar Febby dengan seksama. Kepalanya mengangguk-angguk ketika penjelasan tersebut berakhir. Meski begitu, masih ada yang membuatnya penasaran.

“Lo pernah nyari tau kabar orangtua kandung lo?” Alvin lantas meluncurkan senjata keduanya dengan sukses.

Febby memicing menatapnya curiga. “Lo mau bantu nyariin biar gue cepet-cepet pindah? Jangan-jangan lo masih ga ikhlas gue numpang di sini?”

Alvin memutar kedua bola matanya karena menjadi yang tertuduh. Padahal ia sungguh hanya penasaran. Ia pikir mungkin akan menarik untuk mendengarkan kisah Febby setelah ia tahu beberapa kejadian luar biasa yang dialami atau ia alami karena gadis itu.

“Udah gue bilang, gue cuma kepo. Gamau jawab juga ga masalah, sih, sebenernya.” Tukasnya.

Febby tersenyum tipis. Di samping Goldi, Alvin adalah satu-satunya orang yang seingintahu itu tentang dirinya. Ia jarang bergaul saat di sekolah apalagi di rumah. Kerja paruh waktu yang ia jalani cukup membuatnya lelah dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur di perpustakaan, kadang-kadang di kelas kalau sedang tidak ada guru dan tidak boleh keluar kelas. Hal ini juga yang menjadi awal mula ia dekat dengan Goldi, si kutu buku perpustakaan di sekolahnya.

Ah, jadi bahas yang aneh-aneh..

“Ga pernah. Ga sempet.” Soal mencari keberadaan orangtua kandung, Febby memang benar-benar tidak punya waktu. Sudah ia katakan kalau untuk bergaul saja susah apalagi meluangkan banyak waktu berkeliling ke sana kemari mencari alamat, hey, hey~ *maapkeunefekstresbikinskripsi*
Alvin meminum tegukan terakhir jusnya dan kembali bertanya namun tanpa menatap Febby secara langsung. “Apa benci sama mereka masuk juga jadi alasannya?”

Febby melirik Alvin dengan sebelah alis terangkat. Bukan tersinggung, ia justru agak bingung. Memikirkan orangtua kandungnya saja ia jarang apalagi untuk menyimpan rasa benci. Otaknya hanya terisi oleh hidupnya. Bagaimana ia bisa bertahan dengan bagaimanapun keadaannya. Menanam rasa benci hanya akan membuat hatinya menjadi berat. Ia sudah cukup dengan ayah dan saudara tirinya bahkan Goldi, mungkin. Ia tidak ingin memperpanjang daftar.

“Ga salah kalo gue seandainya benci mereka. Tapi, enggak lah. Benci harus ada alasan dan gue ga punya. Ga cukup cuma dengan merasa terbuang karena gue ga tau pasti gue beneran dibuang apa enggak. Siapa yang tau waktu itu kehidupan mereka lagi susah-susahnya trus mereka ngasih gue ke yang lebih mampu. Atau barangkali gue ga sengaja ilang dari pandangan mereka dan sampe sekarang mereka justru nyariin gue sementara gue malah ga punya waktu nemuin mereka. Gue sendiri ga pernah cari tau tentang mereka jadi gue ga bisa ngeyakinin diri buat benci mereka. Gue gamau ngejudge yang ga perlu dan nantinya gue sesalin. Kalo pun misalnya gue anak yang ga diharapin, at least mereka masih punya hati buat ga ngebunuh gue.”

Febby mengakhiri ucapannya dengan helaan napas disertai senyuman hangat. Tidak di duga-duga hatinya terasa lebih ringan. Untuk orang lain, semua pertanyaan Alvin akan terdengar mengganggu. Ia bisa saja merasa tersinggung. Akan tetapi, ia justru merasa nyaman berbicara. Ia kurang tahu poinnya ada pada Alvin atau pada kesempatan berbagi cerita. Nanti kalau ia sudah punya waktu baru akan ia cari tahu.

“Nice story.” Balas Alvin santai seraya mengedikkan bahu. Rasa penasarannya sudah lumayan terbayar. Satu hal yang ia tidak bisa pungkiri dari Febby adalah optimisme gadis itu. Ia bersyukur tidak mendengar kalimat-kalimat cacian atau umpatan atau justru tangisan haus simpati keluar dari mulut Febby. Ia senang gadis itu tumbuh dengan pondasi pikiran dan raga yang kokoh.

Setelah itu, keduanya kembali tenggelam pada tugas masing-masing. Namun, tak lama Febby kembali buka suara. “Thanks ya. Sharing sama orang lain ternyata enak juga,” ujarnya tulus tanpa mengalihkan fokusnya pada novel.

Alvin mengambil gelasnya yang sudah kosong lalu berdiri menghampiri Febby. Ia menyodorkan tangan bermaksud mengambil gelas yang isinya akan habis dalam sekali teguk. “Brother. You can think of me as your brother.” Entah darimana pikiran itu tetapi ia sama sekali tidak keberatan.

Febby meminum jusnya hingga habis lalu membalas senyuman pada Alvin seraya memberikan gelas. Hari ini harus ia catat sebagai salah satu hari bersejarah dalam hidupnya. Ia punya kakak.

***

Shilla menumpu dagunya di atas lengannya yang melipat. Ia beristirahat setelah PR fisikanya selesai dikerjakan. Sebenarnya ia sedang tidak punya pikiran untuk melakukan apalagi. Ia tidak mengantuk tapi tubuhnya juga terlalu malas untuk melakukan hal lain termasuk beranjak dari kamar. Biasanya saat ini ia pasti sedang mengobrol dengan Alvin. Akan tetapi, hal itu sudah ia lakukan beberapa jam yang lalu dengan begitu singkatnya. Ia tidak berani menghubungi kekasihnya itu lagi mengingat bagaimana akhir dari telepon mereka sebelumnya.

Ditambah ia juga tidak lagi menunggu dihubungi. Kalimat penutup Alvin memang mujarab. Ia bukan kecewa atau sedih. Ia hanya merasa tertampar oleh kenyataan yang selama ini sebenarnya sudah sangat jelas namun ia masih terus menutup mata. Jadilah ia hanya menumpu wajah di atas meja belajar tanpa melakukan apapun.

Di tengah kekosongan idenya, ponsel Shilla berbunyi dan layarnya menyala-nyala menampilkan nama Alvin sang pacar. Ia menyentuh dan menggesek pelan layar ponselnya perlahan, lebih tepatnya tanpa niat. Selanjutnya ia menyapa dengan nada teramat santai.

“Haaloo?” ujarnya pelan.

“Hello sweetheart?” balas Alvin romantis.

Shilla tersenyum tipis seraya memiringkan wajahnya yang masih setia menumpu lengannya di atas meja belajar. “We’re not even in monthsarry date,”

“Emangnya romantis cuma boleh pas lagi ngerayain sesuatu doang, hm?”

“But you said we’re not in ‘that phase’ again? Wkwk,” Sungguh ini bukanlah ucapan sarkastik atau pun sindiran. Ia tidak punya maksud tertentu sama sekali.

Akan tetapi, sepertinya Alvin menganggap ucapannya serius. Pemuda itu buka suara setelah beberapa menit diam. “I-am-sorry...Aku ga bermak—“

Namun sebelum penyampaian maaf dan alibinya selesai, Shilla menyela begitu saja. “I know I know. Becanda gue mah, lo tumbenan baper?”

“Are you really sure? It’s okay?” Alvin bertanya dengan nada amat cemas tanpa bisa disembunyikan.

Shilla memandang ponselnya lalu menghela napas berat. “Sesensitif itu ya gue? Ckck,”

“No, Sayang. Marah wajar, kok. Omongan gue emang agak kelewatan.” Alvin masih setia mengaku dosa pada Shilla yang sebenarnya tidak lagi memedulikan kesalahan tersebut.

“Enggak, Vin. Omongan lo emang bener, lagi!” balas Shilla lagi yang membuat Alvin diam kembali. Kali ini bahkan lebih lama sampai-sampai ia harus kembali buka suara. “Kita pacaran udah lewat 2 tahun tapi gue masih childish aja kayak baru jadian. Sorry, hehehe..”

“Sayang, please?” Sepertinya Alvin tidak percaya kalau dirinya tidak terganggu dengan ucapannya sebelumnya. Nada suara pemuda itu masih terdengar khawatir.

Sementara Shilla belum menyerah meyakinkan Alvin. “It’s really okay. I’m really okay and 100% agree with you. Gue janji ga bakal se-annoying itu lagi.”

“Siapa yang mau lo berubah? I like your annoying acts. That makes me feel you are near.” Sekarang giliran Alvin yang menyela segera ucapan Shilla dan membuat Shilla sesaat kehilangan kata-kata.

“C—can I?” balas Shilla terbata. Suaranya menunjukkan kalau gadis itu belum lepas dari rasa takjub.

“Babe..” Alvin justru membalas dengan panggilan sayang. Shilla yang tidak mengerti hanya menyahut apa adanya. “H—huh?”

“Call me ‘babe’. Gue belum denger panggilan sayang lo hari ini.” Pinta Alvin dengan lembut dan sabar.

Shilla menegakkan kepalanya dengan kedua telapak dangan menutupi masing-masing pipinya. Ia tersipu. Sepertinya setiap saat memang terasa seperti saat pertama jadian untuknya. Ia bahkan masih tersipu dengan momen receh seperti ini.

“Pacar bisa aja!” sahut Shilla ringan.

Alvin membalas dengan perasaan puas. “That’s it!”


Sayang namun sayang, keadaan tidak benar-benar kembali seperti semula. Tanpa mereka ketahui, kerenggangan di antara mereka bermula dari ucapan jujur Alvin tersebut.

***

I know I know. Kalian mau bilang kalian bingung kan dengan akoeh? Sama, ku juga sama bingungnya. Kadang kalo dipikir-pikir, ini anak-anak yang jadi tokohnya udah pada gede semua, udah saling punya pacar, tapi ini cerita masih juga belom tamat padahal ngomong bakal tamat udah dari taun kapan.

Diriku tidak berharap banyak soal respon update-an cerita ini. Yang daku harapkan cuma satu, supaya ini bisa tamat!! Mau tamat doang susah amat:') Mana lagi nyusun skripsi lagi *tuhkanadaajaalesannyaHAHAHAHAHA*

Btw kok tumben lanjutin kopel lain biasanya Rify...Nah kebetulan nemu ide yang bisa mempercepat kopel ini tamat. So jadi agak ambisius deh langsung diketik trus di post. Mudah-mudahan kuota rajinnya belum abis jadi bisa update terus. Yah mudah-mudahan ya wkwk~

Untuk dirimu dirimu yang masih saja setia membaca, ga kapok-kapok ku nistakan *halah*, diriku mengucapkan terimakasih banyak dari lubuk hati terdalam. Semoga kalian selalu diberkati dengan hal-hal indah dalam hidup kalian setelah wasting time baca postingan ala-ala di sini. Sumpah, makasih banyak ya:'')