-->

Sabtu, 20 Agustus 2016

Matchmaking Part 33 (Rify)


“Gaada lagi yang ketinggalan kan, Bi?” Tanya Ify memastikan sambil memperhatikan sekeliling ruang rawat inap Ferdi, untuk yang terakhir kali. Semoga saja.
Ify lalu memandang ke arah Ferdi yang masih duduk di atas tempat tidur. Ia tersenyum hangat, begitu pula sebaliknya.
Masih terekam jelas di benaknya apa yang dikatakan oleh dr Obiet padanya. “Satu-satunya hal yang akan sangat membantu menstabilkan kondisi papa kamu adalah kamu sendiri. Dukungan dari kamu akan sangat bermakna buat papa kamu dalam menghadapi masa-masa sulitnya setelah ini. Penyakitnya, kondisinya, peraturan yang harus ia ikuti untuk menjaga agar tubuhnya tetap stabil, menjadi beban buat orang di sekitarnya, pasti akan menjadi pikiran berat bagi Ferdi. Tugas kamu adalah mencegah itu.”
Ify tersenyum makin lebar mengingat itu. Pa, Ify gaakan ngeluh sama Tuhan. Ify cuma berharap semoga waktu kita berdua masih banyak. Juga, Papa jangan pergi tanpa pamit.
Sementara itu, Ferdi berusaha keras bersikap tegar dan hangat di hadapan Ify. Meski terasa amat susah baginya. Ia sadar betul limit tubuhnya. Ia hanya masih belum sanggup membayangkan kalau ia bisa tiba-tiba saja meninggalkan gadis kecil kesayangannya itu sendirian. Ia belum percaya pada siapapun bahwa mereka akan menjaga Ify-nya dengan baik, seperti dirinya menjaganya.
Juluran tangan Ify membuat Ferdi sekali lagi memandang lamat-lamat wajah anaknya. Ah..semoga waktu kita berdua masih banyak, nak.
“Kita pulang sekarang?” Muka Ify kelihatan bersinar. Ia tampak sangat senang saat ini. Ferdi sesaat diam lalu kemudian mengembang senyum di wajahnya.
“Iya, kita pulang.”

***

Ify menatap nanar pengacara pribadi Ferdi yang diundang Ferdi untuk ke rumahnya. Ia marah tapi tidak bisa mengungkapkan. Ia juga merasa dongkol karena menyadari penyebabnya adalah Ferdi, Papanya. Astaga, mereka bahkan baru sampai ke rumah setelah dari rumah sakit!
Ia berdiri dan beranjak tanpa pamit bahkan sekedar menoleh sebentar pada Ferdi apalagi si pengacara sialan. Biar. Biarkan ia mengumpatnya karena ia tidak mungkin mengumpat Papanya sendiri.
Sampai di dapur, Ify membuka pintu freezer kulkas dan mengambil sekotak berisi ice cream persediannya. Ia butuh makanan manis itu untuk mendinginkan kepalanya yang mendidih.
Ia meletakkan kotak tersebut di atas meja pantry dan membuka tutupnya dengan tergesa-gesa. Belum sempat ia menyendok ice cream, ia lebih dulu merasakan remasan lembut di kedua bahunya. Tangannya otomatis berhenti dan lantas menghela asal ice cream yang tadi ingin ia makan. Ia membalikkan badannya seraya menghela napas.
Kehadiran Rio saat ini justru membuatnya tak bisa menahan tangis. Ia merasa punya tempat mengadu. Air matanya satu persatu keluar dan ia mulai menangis walau tanpa suara. Gigitan di bibirnya terasa percuma karena toh air bening itu tetap saja berjatuhan ke pipinya.
Rio menyodorkan bungkus tissue ke hadapannya. Ia mendongak melihat wajahnya seraya memasang tatapan bertanya. Ia agak heran kenapa tissue itu ada padanya. Rio hanya tersenyum polos.
“Feeling.” Balasnya. Ify lantas menerima bungkusan tissue dengan pasrah. Kebetulan benda itu cukup atau mungkin sangat berguna. 
Rio memilih berdiri di sebelahnya sambil melingkarkan tangan di sekitar bahunya. Ia merasakan elusan jari pemuda itu di sana. Saat itu juga ia mulai meracau.
“Kita baru sampe. Gue akhirnya bisa liat Papa lagi di rumah. Gue bisa bawa Papa pulang. Tapi, kenapa…kenapa Papa malah bikin semuanya keliatan jelas?!”
Rio hanya diam membiarkan Ify meluapkan semua perasaannya, berharap rasa sedihnya ikut terbuang. Ia juga bingung harus memberikan masukan apa.
“Di saat gue mau berusaha bersikap seakan-akan semuanya normal, Papa baik-baik aja, dan gaada hal buruk yang mengancam dalam waktu dekat. Astaga! Kasih tau gue gimana caranya gue ga nethink kalo Papa mendadak ngomongin warisan?! Coba, gimana caranya?!”
Srooot~
Rio menoleh pada Ify yang kelihatan puas mengeluarkan ingus dari hidungnya. Bibirnya berkedut menahan tawa geli. Di sebelahnya, Ify mengangkat kepala melihat ke arahnya dan menyadari apa yang berusaha ia sembunyikan itu. Gadis itu mendelik kesal.
“Jauh-jauh sana!” usir Ify seraya menepis tangannya yang melingkari tubuh mungil gadis itu.
Bukannya merasa bersalah, Rio malah melepas tawanya bahkan hampir terbahak. Tapi, melihat ekspresi wajah Ify yang bertambah menyeramkan, ia cepat-cepat menelan kembali tawa tersebut dan hanya berani menyisakan senyum di wajah.
“Sekarang kasih tau gue gimana caranya gue ga ketawa ngeliat lo mewek-mewek, marah-marah, eh trus tiba-tiba nyemprot ingus? Hayo, ga lucunya di mana coba?”
Ify memberengut sedih sekaligus malu. “Muka gue pasti jelek banget ya?” Ringisnya.
Rio mengambil selembar tissue yang di pegang Ify. “Gapapa. Biar gue ada motivasi.” Balasnya seraya menghapus bekas air mata di wajah kekasihnya.
“Motivasi?” Kening Ify mengerut bingung. Rio kemudian menepuk-nepuk kepalanya pelan. “Motivasi supaya ga pernah bikin lo nangis kayak gini lagi. Soalnya muka lo jelek.” Katanya diakhiri kekehan tanpa dosa.
Ify merasa senang sekaligus jengkel. Ia menepis tangan Rio dari tangannya sambil mencibir pelan. “Rakus banget, sih? Gombal-gombal aja, nyela-nyela aja!”  Rio kembali tertawa walau hanya sekilas.
“Gue lagi sedih, Rio.” Ify menghela napas berat. Membawa hawa kesedihan beberapa saat lalu. “Kok diketawain, sih?” rutunya, entah pada siapa.
Rio memasukkan tangannya ke saku celana lalu memandang Ify. “Tadi katanya mau bikin semuanya keliatan biasa aja? Gue udah biasa aja, nih! Eh, malah lo yang baper.”
“Ya Papa bagi warisan gitu siapa yang tenang coba?!” Ify masih ngotot. Ia mengeluarkan ingusnya sekuat tenaga ke dalam tissue. Rio membantu membuang tissue malang tersebut ke dalam tong sampah tanpa banyak protes.
“Jangan dipikirin macem-macem makanya! Lupain kalo Om Ferdi lagi sakit parah. Dia sekarang udah pulang. Artinya, dia udah sehat. Jadi, gaada alasan yang bikin ngomongin warisan sama lo jadi salah.” Kedengarannya memang Rio tengah berbicara santai. Namun, dari matanya Ify tahu pemuda itu sedang serius dan tidak ada keinginan lain selain ia menuruti apa yang dia ucapkan.
Ify menghela napas lalu mengangguk sebagai balasan dan disambut senyum senang Rio. Hati Ify menghangat setiap kali melihat Rio tersenyum seperti itu. Setiap kali Rio melakukannya, ia langsung takjub sendiri. Ia masih tidak percaya kalau pemuda itu tersenyum karenanya. Pemuda itu kini adalah kekasihnya. Pemuda itu bukan cinta sepihaknya lagi. Pemuda itu menyimpan cinta yang sama untuknya.
“Terpesona, hm? Emang, sih. Kegantengan gue bertambah beratus kali lipat kalo lagi senyum. Hehe,” kata Rio pede. Ify tak ayal meninju pelan lengan pemuda itu lalu tertawa.
Keduanya lalu sama-sama diam. Ify kemudian merasa ada yang melingkupi tangan dan jemarinya. Ia melirik ke bawah melihat tangannya dan Rio saling bertautan. Hatinya menghangat lagi. Itu adalah hal kedua yang ia anggap mustahil selama ini. Alangkah senangnya karena itu menjadi kenyataan sekarang.
“Gue pacar lo..masih kerasa gak masuk akal.” Ujar Ify pelan dengan nada keheranan, membuat Rio menoleh.
“Setelah apa yang udah gue perbuat sama lo dan lo masih mau nerima gue. Gak masuk akal emang.” Rio menjawab dengan sama herannya.
Tidak ada kata-kata yang lebih manis menurut Ify dari apa yang baru saja Rio ucapkan. Ia merasa begitu tersanjung dan makin meningkatkan rasa takjub dalam hatinya.
Yah, semoga saja ini akan tetap menjadi kenyataan untuk seterusnya, tidak benar-benar menjadi hal mustahil seperti yang ia pikirkan.
“Fy..”
Ify menoleh karena Rio tiba-tiba memanggil. “Hm?”
Rio memberi jeda sesaat lalu berkata dengan tampang polos. Sementara Ify merasa dunianya runtuh saat itu juga setelah mendengar apa yang ia ucapkan. “Besok ulangan fisika.”
“Mampus. Ngapain aja gue seminggu ini?!! Huwaaa, gimana dong? Nilai gue bakal telor rebus Iagi, dong?”
Rio menyungging senyum senang di wajahnya. “Lebay. Kan ada gue!”
Ify hanya menoleh sebentar lalu meringis sambil menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Mengapa sekedar menghafal rumus rasanya lebih susah dibandingkan menghafal not-not dalam sheet pianonya yang berlembar-lembar?
“Kita kan duduk sebelahan. Soalnya kan beda. Dan juga..astaga, ibunya kan galak banget! Bikin orang mau ngedip aja sangsi. Nah, gimana gue mau nyontek lo, Yo?” Ify terus berceloteh sementara Rio memasang wajah datar padanya. Pemuda itu setengah kesal setengah gemas karena ia tidak menangkap arti ucapannya sebelumnya.
“Lo tuh ya! Pacar lo ini kan pinter, Sayaang..”
Ify tergagap akibat bingung bercampur malu. Sampai sekarang ia belum terbiasa setiap kali Rio memanggilnya dengan sebutan khusus. Sebutan yang ehm..romantis.
“Yang pinter kan pacar gue bukan gue nya, Rio!” katanya pura-pura bersungut. Sesungguhnya ia hanya menutupi dirinya yang kini sedang salah tingkah.
“Maksud gue, gue nginep di sini buat ngajarin lo, bukan jadi tempat contekan buat besok. Ck, padahal gue pengennya lo yang request.”
Ify mengangkat kepala melihat Rio yang memberengut. Ia memikirkan kata-kata pemuda itu sejenak lalu berseru paham.
“Oh iya ya! Gue kan bisa minta diajarin, hehe..” Ify menyengir polos membuat Rio susah untuk pura-pura merajuk.
“Punya pacar pinter kok lupa cara makenya.”
Ify membalasnya dengan senyuman lugu di wajahnya. “Gue tuh cuma masih ga percaya kalo lo, Rio, orang paling pinter seangkatan, paling cakep satu sekolahan, artis idola gue..beneran pacar gue yang otaknya lebih kecil daripada upil ini.”
Rio terdiam sambil menatap mata Ify yang terlihat indah saat ini. Seindah kata-kata yang barusan dia ucapkan. Ia merona.

***

Ify berdiri bingung melihat Rio yang ikut turun dari mobil. Mereka kini ada di sekolah. Seharusnya ia saja yang punya urusan. Beberapa saat lalu, senior cheers sekolahnya, yang juga alumni Parfait, meminta semua anggota berkumpul secara tiba-tiba. Biasanya kalau begini, pasti ada suatu masalah penting yang harus dibahas. Dan sebagai kapten, ini bukan pertanda baik untuknya.
Ia sudah menolak ditemani tapi Rio memaksa ingin ikut. Sebenarnya pemuda itu sudah melarangnya datang. Pemuda itu memperingatinya bahwa ada ulangan esok hari. Tapi dengan kemampuannya meyakinkan seseorang, atau mungkin Rio saja yang tidak bisa benar-benar menolak keinginannya, mereka akhirnya sampai di sini.
“Lo mau ngapain?”
“Nemenin lo ke dalem.” Jawab Rio kalem.
Ify mengernyit lalu menggelengkan kepala tak setuju. Di perjalanan, Shilla terus-terusan membujuknya agar tidak usah datang. Sahabatnya itu tidak menjawab saat ia tanya apa alasannya. Itu justru membuatnya penasaran dan semakin ingin datang. Tapi, juga sekaligus membuat firasat tak enaknya makin kuat.
Dengan posisinya yang kemungkinan besar tidak baik ini, ia malah muncul bersama Rio…yang benar saja!
“Enggak. Lo jangan kemana-mana!” titahnya seraya menghalau jalan Rio. Sayangnya Rio bukanlah sosok pacar yang penurut.
“Iya, gue gak kemana-mana, kok. Gue bakal selalu ada dimanapun lo berada.” Jawabnya seraya tersenyum lebar.
Kalau situasinya normal-normal saja, Ify seratus persen akan tersipu. Tapi sekarang, ucapan Rio justru terdengar menyebalkan.
“Plis, Yo, gue gamau jadi pusat perhatian.” Pintanya dengan raut muka memelas.
Rio menghela napas dan menatapnya datar. “Telat. We already got people attention. Lo aja yang gak perhatian.” Rio mengalihkan pandangannya pada orang sekitar. Ify tak ayal ikut-ikutan memutar kepala dan menyadari keluputannya tersebut.
Memang tidak begitu ramai. Tapi, kebanyakan orang yang ada di sana memang sedang asyik menjadikan mereka bahan tontonan. Hanya saja, mereka buru-buru memalingkan wajah saat aksi mereka ketahuan.
Nyali Ify mendadak ciut. Ia menjadi takut sendiri dan rasanya ingin pulang saat itu juga. Tapi, itu belum seberapa dibandingkan suara dingin yang muncul dari belakangnya. Suara Rio. Mengingatkannya pada awal pertemuan mereka yang sama sekali tidak menyenangkan. Walau kini terasa berharga untuk dikenang.
“Takut?” tanya Rio dengan tatapannya yang mengintimidasi.
Ify bergeming menatapnya. Nada suaranya seperti udara dingin yang membekukan sehingga Ify tampat tidak bergerak semili pun.
“Gue juga. Gue takut lo kenapa-kenapa. Gue udah kecolongan satu no—dua kali di sekolah ini. Jadi, menurut gue, sekolah ini gak aman buat lo kalo sendirian, lagi. Gue gamau jadi orang bodoh yang ngasih peluang buat ketiga kali.”
Ify merasakan emosi yang coba ditahan Rio. Ia segera paham kekalutan pemuda itu yang bahkan melebihi rasa takutnya saat ini. Tatapan dingin itu sekarang justru membuat hatinya menghangat. Ia terharu Rio bisa mengkhawatirkannya sebesar itu.
“Gue ga nganterin sampe di tempat, kok. Gue ntar nunggu di tempat orang-orang ga bakal ngeliat gue, bahkan ga sadar lo dateng sama gue. Tapi, gue bisa ngeliat lo setiap saat. Deal?”
Tak ada hal lain yang lebih tepat selain menyetujui apa yang Rio katakan. Lagipula, ia sama sekali tidak rugi.

***

‘Kita merasa club kita terbengkalai.’
Terbengkalai bagaimana? Bukannya mereka yang justru susah untuk diajak berkumpul?
‘Ga pernah kumpul. Ga pernah latihan. Beda banget sama yang dulu.’
Kan sudah mendekati waktu ujian sekolah. Mana mungkin kegiatan masih diaktifkan! Lagipula, selama ini mereka tidak pernah menagih apa-apa padanya. Ya, seperti yang ia bilang tadi. Mereka sendiri yang malas untuk datang.
‘Koreonya gini-gini aja. Pantes aja kita udah ga pernah menang di mana-mana.’
Sembarangan! Semalam suntuk ia bersama Shilla membuat gerakan. Ia selalu bersungguh-sungguh tapi mereka terlalu banyak mau. Diberi yang mudah, protes. Diberi yang susah, malah makin jadi. Diberi yang energik, katanya kurang menantang. Lantas diberi yang seksi, mereka bilang tidak sesuai umur.
Karena sudah menyerah, ia akhirnya menawarkan memakai jasa koreografer. Mereka akhirnya tidak menuntut apa-apa lagi. Tapi, yah, kalau latihan saja jarang, mau koreografer sebagus apapun mana mungkin bisa menang.
‘Kita sering gagal ikut event. Turnamen basket kemaren aja gagal. Keseringan karena kurang dana. Padahal kita selalu bayar iuran rutin. Sponsor juga ga ada. Ya gimana mau dapet sponsor kalo menang aja ga pernah.”
Gundulmu! Turnamen basket kemaren bukan gagal, tapi memang karena turnamennya batal dilaksanakan. Lalu, kalau tidak ada yang bertanding, mau menari di hadapan siapa? Penjaga gedung? Menyemangatinya saat membersihkan gedung?
Terus…mereka menuduhnya macam-macam dengan uang kas club? Demi betisnya yang lebih banyak tulang ini, mereka sendiri yang jarang membayar. Mulutnya sampai berbusa membantu bendahara menagih mereka yang menunggak.
Lagipula, sebenarnya clubnya tidak pernah kekurangan dana kalau cuma ingin mendaftar event. Tapi, untuk memakai kostum baru setiap kali ikut lomba memang tidak selalu bisa. Selain menghemat, juga, masa ingin ganti baju terus? Kostum-kostum mereka bukan sembarang kostum yang sehari jadi. Kostum yang ia pilih selalu punya kualitas yang sebanding dengan harganya. Makanya, sangat sayang kalau hanya dipakai untuk satu waktu.
Masalah sponsor. Sponsor sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Mereka tidak berniat menjadi tuan rumah suatu acara sehingga butuh dana besar. Tapi, ia bukan tidak pernah mencari. Ia dan Shilla selalu berkeliling mencari sampai dapat apabila memang dibutuhkan. Misalnya, ketika kas defisit dan ia sudah lelah menutupi kekurangan yang ada. Sedangkan mereka butuh uang untuk pendaftaran, transportasi, uang makan, dan uang kostum serta upah koreografer.
Dan benar apa yang mereka katakan. Bagaimana mau dapat sponsor kalau tidak ada prestasi? Bagaimana mau dapat prestasi kalau usahanya minim?
Ify memperhatikan satu persatu anggotanya yang mengajukan perlawanan. Ditambah seniornya yang entah kenapa sudah berubah haluan dan tidak memihaknya lagi seperti dulu. Semua jawabannya terus saja disanggah. Apapun yang ia katakan, seberapapun nyatanya kebenaran yang ia katakan, mereka tidak mau terima. Mereka terus mencari hal yang bisa dijadikan kesalahan dari dirinya.
Ia menatap Shilla yang sudah berdiri dengan muka masam di sampingnya. Untung dia bukan Agni. Kalau sampai Agni yang mendampinginya sekarang, ia khawatir keesokan harinya semua orang yang menentangnya sekarang tidak lagi dapat berbicara. Akan tetapi, keahlian bela diri yang diwariskan Agni padanya sedikit banyak membuatnya khawatir.
“Sekarang lo udah tau unek-unek anggota lo. So, kalian semua, sekarang maunya gimana?” Ata, seniornya itu, bertanya pada semua anggota yang berkumpul.
Hebat sekali. Anggotanya bisa hadir lengkap. Ia merasa sepertinya mereka sudah merencanakan ini sejak awal. Tapi, ia tidak tahu apakah Ata ikut terlibat atau tidak.
“Kita mau pemilihan kapten baru.” Regu yang berkonfrontasi dengannya tiba-tiba menjawab serentak. Ify sampai berjengit kaget. Tapi kemudian, ia hanya diam. Menunggu apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
“Karena udah 50% yang setuju jadi keputusannya kita akan milih ulang kapten. Ify calon pertama, berikutnya siapa?”
Regu itu diam sebentar. Mereka tampak sedang berdiskusi. Hingga kemudian salah satu dari mereka menjawab.
“Dea.” Ucapnya dengan suara bulat.
Membuat hati Ify mencelos. Ia menoleh pada gadis yang dicalonkan itu. Sedaritadi dia memang tidak banyak bergelagat. Dia hanya menjadi penonton. Ketika namanya disebut, raut wajahnya sontak terlihat bingung.
Ify mengerang dalam hati. Dia tampak bingung. Tapi..kenapa ia tidak bisa percaya? Ini tidak boleh. Ia tidak boleh terus berprasangka begini. Tapi..
“Gu—gue? Kok gue?” raut wajahnya kini menunjukkan penolakan. Ia menoleh pada Ata lalu seketika menunduk segan.
“O—oke.” Katanya pelan. Dia juga menghela napas.
Apa dia benar-benar tidak terlibat kali ini? Ify terus bertanya-tanya dalam hati.
“Oke. Gue kasih waktu satu hari buat mikirin siapa yang mau kalian pilih. Besok kita voting. Dan gue harap kapten baru nanti ga bikin masalah lagi. Lo tau, gue jadi telat nemuin dosen karena masih harus ngurusin kalian. Yaudah, itu aja kan? Gue balik dulu. Kalian silahkan mau balik juga atau mau latihan.”
Ify sama sekali tidak takut atau terganggu dengan nada sinis dari seniornya itu. Rasa hormatnya sudah hilang. Ia tidak terlalu peduli apa yang dia katakan.
Kepergian Ata diikuti oleh gerombolan yang tadi berniat menggulirkan Ify dari jabatannya. Mereka juga bersikap sama seperti Ify pada Ata. Tidak ada rasa hormat atau segan sama sekali. Meskipun Ify tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Mereka pergi tanpa permisi seraya mengangkat wajah dengan angkuh.
Tersisa beberapa anggota yang tinggal, termasuk Dea. Gadis itu menghampirinya dengan wajah tak enak hati. “Maaf ya, Kak..”
Ia tersenyum tipis. Ia masih tidak nyaman bertemu dengannya apalagi berbicara seperti ini. Tapi, ia mau tidak mau harus mengesampingkan masalah mereka waktu lalu. “Gapapa. Bukan salah kamu.” Balasnya seraya tersenyum tipis. Itu adalah usaha terbaik yang bisa ia lakukan. Dea lantas pamit lebih dulu.
Setelahnya, ia mendapati Shilla mencak-mencak di tempatnya. Ia tahu dia sudah menahan emosi daritadi. “Sumpah ya, pengen gue jahit mulutnya satu-satu. Nyalahin orang tapi gasadar diri! Itu juga senior baru. Sok banget! Kerajinan banget ngurusin junior. Kita butuh juga enggak, hih!”
Mendapat pembelaan seperti itu membuat Ify mengucap syukur dalam hati. Di saat ada masalah baru yang akan segera menghantuinya, Tuhan masih memberikan keringanan. Ia punya pendukung yang siap menyediakan pelipur lara kapan saja.
Kepalanya tanpa sengaja terangkat dan membuatnya bertatapan langsung dengan Rio. Pemuda itu juga sedang melihat ke arahnya. Mulutnya lalu bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu.
“Pulang sekarang?” Tanyanya, kalau Ify tidak salah menerjemahkan.
Ia menghela napas. Semoga Rio juga tetap menjadi pelipur lara untuknya. Ia lantas menganggukkan kepala sebagai jawaban untuk pertanyaan Rio padanya.

***

Duk! Duk! Prang! *apadeh*
Ify menoleh mendengar suara benda terjatuh di sampingnya. Ia sebelumnya sempat melihat ada seorang karyawati supermart yang ia datangi sedang menyusun barang. Ia tidak terlalu memperhatikan benar wajahnya hingga bunyi nyaring seperti kaleng jatuh itu terdengar.
Ia membelalak kaget ketika mengetahui siapa wanita tersebut. Dia Angel. Ia sampai meneliti pada label baju yang dia kenakan untuk lebih memastikan yang ia lihat benar-benar Angel seniornya di sekolah. Kakak kelasnya yang sangat penuh misteri itu.
Yang membuatnya bertanya miris dalam hati adalah apakah dia juga harus sampai seperti ini? Setelah semua hal buruk yang menimpanya, sekarang dia juga harus bekerja sebagai karyawan di supermart. Apa selama ini dia membiayai hidupnya, dan mungkin juga adiknya, seorang diri? Kalau benar, ayah tiri gadis itu benar-benar tidak bisa diampuni.
Angel menghela napas mengetahui dirinya harus menyusun ulang lagi barang-barang yang tadi sempat tertata. Salah satu kaleng permen yang jatuh menggelinding hingga berhenti di depan kaki Ify.
Ify merunduk mengambil kaleng tersebut lalu beranjak mendekat untuk menyerahkan benda tersebut. Angel mengangkat wajahnya dan geraknya berhenti sesaat. Ia menerima barang yang disodorkan itu dengan muka datar. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia melanjutkan tugasnya tadi dalam diam tanpa menggubris keberadaan Ify.
Rio berdecak di belakang Ify. Ia berjalan menghampiri gadis itu sekaligus Angel. Ia bersidekap sambil menatap Angel sengit. “Perlu gue ajarin cara ngomong makasih gak? Udah dibantuin juga!”
Lagi-lagi Angel bergeming. Dia justru mempercepat geraknya menyusun barang hingga semuanya sudah tertata sesuai tempatnya. Dia buru-buru berbalik badan dan beranjak pergi.
Tapi, Rio tidak begitu saja membiarkannya dengan tenang. “Heh, cewek rusak!” Kata-kata kejam itu spontan keluar dari mulut Rio. Sudah tabiatnya dari dulu. Kalau sedang marah, ia banyak mengucapkan kalimat-kalimat tidak menyenangkan dan bisa membuat orang kena serangan jantung. Salah satunya Ify saat ini, mungkin juga Angel. Ify berjengit dengan mata melotot sementara Angel menghentikan langkahnya.
“Yo..” gumam Ify masih diliputi rasa terpana. Rio masih sama seperti tadi. Dia tidak peduli. Dia masih ingin menjadikan Angel sebagai sasaran emosinya. Berhubung hal yang dilakukan gadis itu memang sangat-sangat memancing emosi.
Sebenarnya amarahnya saat ini hanya puncak dari rasa tidak terimanya beberapa saat lalu. Ia tidak bodoh. Ia punya mata dan telinga untuk bisa melihat dan mendengar dengan jelas bagaimana kekasihnya tercinta diadili dengan semena-mena. Ia benci harus melihat langsung orang-orang menyakiti Ify. Dan yang lebih membuatnya marah pada diri sendiri adalah firasatnya yang mengatakan kalau apa yang terjadi pada Ify tadi juga ada kaitannya dengan dirinya.
Dengan mendadak bertemu Angel di sini, amarahnya itu menguap lagi. Di mana sebelumnya sudah hampir berhasil ia redam perlahan. Sikap tak acuh gadis itu menjadi rangsangan terbesar baginya.
“Gue gak akan minta maaf atas ucapan gue tadi karena itu emang pastes buat lo. Sekali lagi lo—“
Namun, kali ini, aksi kejam Rio itu harus terhenti sampai di sini. Mendadak muncul seorang pemuda dari arah belakangnya dan juga Ify yang menyelanya begitu saja. Ia menoleh dan sedikit bingung seraya mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu pemuda itu.
Sementara itu, Tristan, pemuda yang menyela Rio itu, menatap makhluk di depannya dengan dingin.
Ify yang sudah hafal tingkah Tristan merasa keadaan ini tidak boleh terus dipertahankan. Ini amat sangat berbahaya. Khususnya, untuk Rio.
“Jangan sekali-kali lo ulangin omongan lo barusan.” Ujar Tristan dengan tatapan menusuk.
Rio memicing masih mencoba mengingat-ngingat siapa pemuda yang berkata dingin barusan. Ia lalu ingat kalau pernah bertemu Tristan di restoran bersama Ify dan Debo. Ia lantas menormalkan kembali ekspresi wajahnya. Tapi, tidak dengan suasana hatinya. Kepalanya justru terasa makin panas mengingat pemuda ini adalah salah satu saingannya selain Debo perihal Ify. Walaupun kenyataannya di sini ia lah pemenangnya.
“Oh lo pacarnya? Wah, pas banget. Rusak ketemu rusak. Aha! Jangan-jangan dia bunting sama lo ya?”
“Astaga Rio..” Ify merasa ada yang mencekiknya sehingga ia kesulitan berbicara. Rasa takjubnya berkali-kali lipat dibandingkan sebelumnya. Di samping itu, ia benar-benar marah. Lebih-lebih merasa kecewa. Ini kedua kalinya Rio membuka rahasia Angel pada orang lain. Dan..di sini bukan hanya ada mereka berempat. Mereka mulai jadi pusat perhatian orang sekitar. Terutama saat…
Plak!
Hk...sekarang apa?!
Angel baru saja menampar keras pipi Rio. Rio sendiri sesaat tercengang lalu perlahan rasa nyeri merambat di pipinya yang malang.
Tristan menyadari salah seorang remaja putri di belakang Angel sudah menyalakan ponselnya dan mengarahkannya pada Angel dan Rio, mungkin juga padanya dan Ify. Dia merekam apa yang mereka lakukan. Khususnya bagian yang paling menakjubkan barusan. Bagian saat Angel menampar Rio.
Ia berjalan cepat ke arah gadis itu dan merebut ponselnya dengan mudah karena gadis itu tidak menduga dan belum siap menghindar. Ia cepat menghapus, bukan, tapi memformat semua file yang ada dalam benda itu.
“Sorry ke format. Sengaja.” Katanya sinis. Gadis di hadapannya tidak protes melainkan menunduk takut.
Setelah itu, Tristan berjalan dan kemudian berdiri di samping Angel. Ia berbicara pada Ify sementara tatapannya tajam terhunus pada Rio. Rio merasa tertantang dan malah mengangkat dagu setinggi-tingginya.
“Bawa dia pergi, Fy. Sebelum gue abisin sekarang juga.”
Ify yang paling tahu kalau itu bukanlah ancaman kosong. Seperti yang sudah ia bilang, ia tahu benar siapa Tristan.
“Yo, ayo pulang. Sekarang. Kalo gak, gue naik taksi.”
Ify beranjak lebih dulu di saat Rio belum sempat menjawab apa-apa. Rio mengerang kesal dan mau tidak mau pergi menyusul Ify sebelum dia benar-benar pulang dengan taksi.
Rio berhasil mengejar Ify dan langsung menangkap pergelangan tangan gadis itu. Itu berhasil membuat Ify berhenti dan menghadap ke arahnya. Saat itu juga, ia melihat ada yang tidak beres dengan Ify. Dia menangis.
“lo—nangis?! Ma—maaf Fy, gue salah ya? Maafin gue, Fy, maafin gue!” ujarnya panik. Ia membuat nada suaranya selembut mungkin berharap kelembutan itu berhasil membuat Ify berhenti dari tangisnya.
Tapi, hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Isakan Ify justru makin hebat. Ia mengusap pipi gadis itu dengan setumpuk rasa bersalah dalam hati.
“Iya, gue salah—salah banget. Maafin gue, maafin gue! Fy, jangan nangis dong. Gue bingung..” bujuknya yang lama-lama terdengar frustasi.
Ify mengarahkan pandangannya pada Rio lalu melengos. “Gue mau pulang.” Katanya ketus seraya berjalan meninggalkan Rio kembali menuju mobil.
Rio menggaruk-garuk kepalanya benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan. “Baru juga baikan, hadeuuh..”

***

Ify tertunduk lesu di atas meja belajarnya. Ia sudah satu jam mengurung diri di kamar dan belum ada materi yang bisa ia terima dalam kepalanya. Selalu saja ada pertanyaan muncul dan ia juga tidak bisa menjawab dengan tepat.
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya. “Bodoh.” Umpatnya untuk diri sendiri. Ia kembali menyandarkan kepala ke atas meja dengan tatapan nelangsa. “Salah lo, Fy, sok-sok ngambek. Lupa besok ujian, hah?!”
Apa gue minta ajarin aja?
Tak sampai satu detik setelah pemikiran itu muncul, Ify menegakkan badannya dan berdiri. Ia bergegas mengambil buku dan pensilnya lalu beranjak keluar kamar.
Namun, ketika sudah di luar dan menutup pintu, ia kembali meragu. Ia melongokkan kepalanya ke bawah dan melihat Rio tengah membaca buku dengan santai disertai headset menyantol di telinga. Benar-benar berbeda dengan perguncangan jiwa yang dialaminya selama satu jam belakangan.
Rasa kesal Ify datang lagi. Kalau santai begitu kenapa tidak diam di kamar saja? Ia kan jadi..iri. Atau jangan-jangan Rio memang sengaja mau pamer padanya? Cih..ia juga bisa belajar sendiri!
Ify hendak membuka pintu kamarnya tapi kemudian ia urungkan. Bukannya tadi ia memang sudah belajar seorang diri dan tidak berhasil? Masih mau mengulangi kegagalan untuk kedua kali?
“Haish..”
Sementara itu, dari bawah Rio diam-diam memperhatikan gelagat Ify. Sejak pintu kamarnya terbuka, Rio sebenarnya sudah tahu. Ia hanya pura-pura fokus pada bukunya dan sesekali mencuri pandang ketika Ify sedang tidak menoleh ke arahnya. Beberapa kali ia tersenyum geli mengetahui Ify yang kebingungan dan bolak-balik naik-turun tangga. Gadis itu pasti sedang butuh bantuannya. Hanya saja, dia gengsi karena sebelumnya mereka sedang perang dingin. Lebih tepatnya, Ify yang marah padanya.
Terakhir, Ify berhenti dan tampangnya benar-benar kacau. Gadis itu memilih masuk kembali ke kamarnya. Dalam hati Rio berhitung. Ia yakin sebentar lagi Ify pasti akan keluar.
Satu..dua..ti—
Ceklek.
“Yeah!” Rio mengerang tertahan demi mempertahankan sandiwaranya di depan Ify. Meski dalam hati, ia bersorak gembira karena dugaannya benar.
Ia dapat mendengar langkah Ify yang semakin dekat ke arahnya. Pandangan turun ketika Ify sudah duduk di sampingnya di bawah sofa. Ia pura-pura memasang tampang bingung meski dalam hati ia tersenyum senang.
Rio ikut-ikutan duduk di bawah sofa seraya menunggu Ify mengatakan sesuatu. Tapi, gadis itu tidak juga berbicara. Ify kemudian menyodorkan bukunya ke hadapan Rio.
“Yang—yang ini gimana ngerjainnya?” Dari luar tampang Ify kelihatan datar-datar saja meski ia sebenarnya menahan gugup setengah mati. Ia merasa ada bedak yang cukup tebal yang menutupi wajahnya. Tapi, apa boleh buat. Daripada ditanya macam-macam dan ia tidak jadi belajar, mending ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Kali ini Rio akhirnya mempertontonkan senyum di wajahnya. Ia menepuk-nepuk tepat di sebelahnya meminta Ify berpindah. Ify kelihatan agak keberatan tapi kemudian mau tidak mau melakukan berpindah juga ke sisi Rio.
“Yang ini emang agak ribet, sih.”
Ify memandang buku di depannya lamat-lamat. Rasa gugup yang menerpanya sudah lenyap. Ia benar-benar fokus mendengarkan penjelasan Rio.
Hal itu kemudian menjadi awal kegiatan belajar bersama mereka selama hampir 2 jam. Setiap menitnya berlangsung tidak mudah bagi Ify. Beberapa kali Rio harus dengan sabar mengulangi penjelasannya padanya karena ia belum juga mengerti dengan penjelasan sebelumnya.
Berbeda dengan belajar bersama yang pernah mereka lakukan sebelumnya, Rio sangat-sangat menikmati waktu-waktunya mengajari Ify. Ia senang ketika harus merendahkan suaranya apabila Ify terlihat kebingungan atau mengelus kepala gadis itu ketika kesal karena tidak bisa mengerjakan soal.
Ify berkedip beberapa kali sambil menggerakkan kepalanya mencoba mengusir rasa kantuk. Elusan Rio pada kepalanya hanya menambah berat rasa kantuk yang di deranya. Tapi, ia tidak berani melarang. Bukan, lebih tepatnya ia sendiri menolak menghentikan karena ia menyukainya. Hehehe.
“Berenti aja, Fy..” Rio tiba-tiba bergumam.
“Tanggung.”
“..dari cheers.”
Komat-kamit di bibir Ify seketika berhenti. Ia menoleh pada Rio sebentar lalu kembali pada hafalannya setelah mengeluarkan jawaban yang sama. “Tanggung.”
“Kalo gue berenti sekarang, gue bakal jadi satu-satunya kapten yang ga nyumbang prestasi apa-apa dari cheers buat sekolah.” Sambungnya disela-sela hafalan.
“Emangnya kalo lo masih mau bertahan, lo yakin bisa gerakin mereka-mereka yang sama sekali gak dukung lo?”
Jadi, intinya Rio juga sama seperti anggota cheers yang menghakiminya siang tadi. Mereka sama-sama tidak percaya dengan kemampuannya. Sepayah itukah dirinya? Dengan semua yang telah ia perjuangkan selama ini?
Atau…sekarang masih tentang Dea?
Rio memperhatikan Ify yang sepertinya memikirkan ucapannya. Ia sungguh-sungguh berharap Ify berhenti saja dari club yang berisi orang-orang terkutuk itu, yang beraninya bergerombol menyerang kelinci kecil tak berdaya. Ia benar-benar benci melihat Ify terpojok sementara ia hanya bisa berdiam diri menunggu kapan hal itu berakhir. Menyadari kejadian itu terjadi karena dirinya, ia merasa makin bersalah lagi.
Ify menyandarkan punggungnya pada sofa dan menatap lurus ke depan. Tangannya masih memegang pensil dan ia mainkan di depan wajahnya.
“Gue gak meyakinkan banget, ya? Sampe-sampe cuma Shilla yang ngedukung gue. Atau mungkin karena dia temen gue aja?”
Rio menarik Ify mendekat dan mengarahkan gadis itu agar bersandar padanya. Ia tanpa sengaja meremas pelan lengan Ify yang membuat gadis itu paham kalau ia sedang gelisah memikirkannya.
“Justru karena gue tau seberapa keras usaha lo selama ini dan gue tau mereka gak akan menghargai sedikitpun perjuangan lo itu…karena gue.” Rio mengakhiri ucapannya dengan senyum sedih. Demi apapun ia sangat-sangat merasa bersalah.
Hari ini sudah dua kali Rio membuat hati Ify menghangat karena memikirkannya. Setelah dipikir-pikir, kejadian di supermart tadi bukan salah Rio sepenuhnya. Rio hanya bersalah karena mengeluarkan reaksi yang berlebihan dan membuat semua orang gemas. Termasuk dirinya.
“Gini amat pacaran ama artis.” Ify menyeletuk mencoba mengurangi rasa cemas yang melanda Rio kini. Rio tersenyum kecil dan bukan karena ia bersedih lagi. Meski perasaan bersalah itu masih tetap ada.
“Gue bingung..sama Dea.” Gumam Ify pelan yang seketika membuat Rio ketar-ketir.
“Jangan bilang lo curiga ini ulah dia lagi?” Tanya Rio was-was. Ify dengan cepat menggelengkan kepala.
“Bukan..” balasnya spontan. Atau mungkin juga tidak. Ia menarik napas dan menghembusnya pelan. “Gue bingung gimana gue sama dia sekarang. Gimana ngadepin dia. Gue jadi gaenak sama dia karena buat nurunin gue, dia jadi tiba-tiba dicalonin. Mungkin kali ini dia ga salah apa-apa tapi dia malah ikut merasa bersalah. Dia minta maaf, disaat masalah kemaren belum selesai. Gue bingung harus gimana..”
Rio merasa lega dalam hati. Ia bersyukur meski Ify masih belum bisa melupakan kesalahan Dea yang kemarin, setidaknya dia tidak lagi berpikiran negatif pada Dea. Ia bukan pihak pendukung Dea. Ia hanya ingin Ify menjadi tenang dan tidak selalu merasa cemas dengan kejadian kemarin.
“Makanya..berenti aja, ya?” Bujuk Rio seraya melembutkan nada suaranya.
Ify tidak tahu kenapa tapi ia merasa pipinya panas. Suara lembut Rio entah kenapa membuatnya tersipu.
“Gue pikir-pikir dulu, deh.”
Setelah itu, Ify hanya menatap nanar pensil yang sampai saat ini masih dipegangnya. Ia diam sementara ada perasaan lain yang berkecamuk dalam hatinya. Perasaan yang entah kenapa ia pikir harus disembunyikan. Bisa jadi ia hanya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya pada Rio.
Lo ga akan percaya, Yo. Kemarin ataupun sekarang..semuanya emang masih tentang Dea.


***

Ku tak bisa berkata-kata..