-->

Rabu, 31 Januari 2018

Matchmaking - ENDING

Percayalah ini bikinnya susah, gadeng ga susah2 amat juga. Cuma kali ini gue beneran mikir, ga kayak sebelumnya😂😂😂 Good luck!!


***
Sehari sebelum promnight, kelompok paduan suara Parfait melakukan gladik resik  sebelum benar-benar tampil esok hari. Itu artinya Agni mau tidak mau mempersiapkan diri untuk menghadapi Cakka karena mereka sama-sama bagian dari pemain band pengiring.
Bukan dirinya tengah merasa percaya diri kalau Cakka akan mengajaknya bicara. Hanya saja, kemungkinan mereka tidak harus saling berbicara sangat kecil. Setidaknya mereka butuh komunikasi untuk koordinasi tempo, kunci nada, dan sejenisnya yang berkaitan dengan musik.
Dari awal Agni menginginkan dirinya dan Cakka bersikap biasa saja. Dengan begitu, keraguan di hatinya bisa sedikit dikurangi. Ia ingin menganggap Cakka seperti teman laki-lakinya yang lain. Ia ingin keluar dari obsesinya sendiri akan pemuda itu.
Ia bisa saja memberikan klarifikasi pada Cakka tentang siapa dirinya. Tapi setelah peristiwa di Bogor beberapa waktu lalu, ia jadi berpikir ulang. Apa yang mau dirinya kejar dengan mengaku siapa dirinya? Apa yang ia harapkan kalau Cakka tahu dirinya adalah Nia yang asli?
Memang suatu hal yang menyenangkan bisa berkumpul kembali dengan teman masa kecil. Tapi kalau hal itu dijadikan jaminan untuk  menentukan perasaan, esensi perasaan itu sendiri akan hilang.
Bukankah orang-orang bilang cinta tidak pernah memilih? Lalu apa bagusnya kalau kita memilih dari awal sebelum perasaan itu ada? Orang-orang juga bilang cinta tidak memiliki alasan. Lalu untuk apa dicintai hanya karena dirinya punya sejarah khusus?
Hal ini bukan berlaku untuk Cakka saja, melainkan dirinya sendiri. Ia juga harus memikirkan ketulusan perasaannya. Kisah Nia dan Aga hanyalah kisah lama. Durasinya juga tidak begitu panjang. Mereka mungkin merasa rindu. Akan tetapi, mereka telah melewati terlalu banyak waktu dalam kondisi terpisah. Selama itu, ada banyak perubahan yang bisa terjadi.
Agni memang tetaplah Nia. Cakka pun tetaplah Aga. Namun, apa mereka berdua masih Nia dan Aga yang sama bagi mereka berdua? Rasanya tidak. Buktinya, bagaimana Agni dan Nia saja berbeda.
Nia dulu gadis yang sama tangguhnya seperti Agni. Namun Nia jauh lebih feminim, Oik tentu lebih mirip daripada dirinya sendiri. Nia suka memakai dress ketimbang celana. Nia senang melihat benda-benda lucu ketika diajak ibu panti jalan-jalan ke toserba. Nia mengisi sisi kosong tempat tidurnya dengan boneka, baik yang dibeli sendiri maupun didapat dari sumbangan sosial.
Seiring berlalunya waktu, sifat tangguh Nia menjadi lebih mendominasi. Ia menguasai bela diri. Ia belajar memperbaiki sesuatu yang biasanya butuh tenaga laki-laki. Ia tidak mudah menangis karena sebal atau marah apalagi mengambil hati ucapan orang lain. Ia selalu berbicara apa adanya dan tidak bertele-tele. Celana selalu menjadi pilihan pertamanya dalam berpakaian.
Ia membentuk dirinya menjadi seseorang yang tidak tampak mudah bagi orang lain. Ia menciptakan benteng kokoh agar dirinya tetap bertahan dari apapun yang mengganggu. Bukan karena dirinya merasa sebatang kara, hanya saja wanita-wanita heroik yang ia tonton di film-film tampak lebih keren di matanya. Kuat hanya dengan diri sendiri rasanya lebih sederhana dan tidak semerepotkan ketika harus menunggu uluran tangan orang lain untuk bangkit.
Agni dan Nia nyaris 180 derajat berbeda sementara Cakka hampir tidak berubah sama sekali. Ia tetap melihat diri Aga dalam Cakka. Yang berbeda hanyalah kesukaan pemuda itu pada hujan yang dulunya adalah fenomena favoritnya namun kini selalu membawa aura negatif dalam hatinya. Apa Cakka masih akan menerima 'Nia'-nya?
"Ni?"
Tepat ketika kaki Agni baru saja menginjak bagian luar gedung setelah gladi selesai, Cakka langsung menahannya. Ia tidak menduga ini sebelumnya namun tidak pula membuatnya kaget.
Agni berbalik badan dan menoleh pada Cakka dengan tetap menjaga gelagatnya agar tampak santai. "Kenapa?" Tanyanya langsung. Ia mulai melangkahkan kembali kakinya ketika Cakka sudah berdiri sejajar. Ini cukup berguna agar keduanya tidak begitu tegang.
Cakka tahu-tahu menyodorkan kalung di tangannya pada Agni. Kalung yang tak lain adalah milik Agni sendiri, yang gadis itu buang begitu saja waktu itu.
Agni bergeming memandangi kalungnya sebentar lalu perlahan menjulurkan tangan mengambil benda tersebut. Ia kemudian mendesah pelan. "Rajin amat lo mungutin 'sampah'?" Komentarnya antara serius dan meledek.
"Kenapa jadi sampah?" Cakka justru memandang Agni penuh rasa ingin tahu.
Agni, yang tidak menyangka Cakka menanggapi benar-benar ucapannya, merasa sedikit kaget namun kemudian mengedikkan bahu. "Ini udah gue buang. Sampah itu barang yang dibuang. Jadi secara teori kalung ini juga sampah." Terangnya. Melihat Cakka yang terdiam ia pun spontan menambahkan. "Lagian ini cuma replika.." lirihnya.
"Replika?" Sahut Cakka cepat, terdengar jauh lebih penasaran dibanding sebelumnya.
Seketika Agni tersadar sudah keceplosan. Ia tersenyum tipis mengisyaratkan Cakka agar tidak perlu memikirkan ucapannya. Ia lantas mengambil ancang-ancang untuk berpamitan. "Makasih, btw. Lo mau balikin ini aja, kan? Kalo gitu gue jalan duluan ya!"
Tidak sampai 2 langkah, lengan Agni ditahan dan membuatnya harus berhenti. Ia mengikuti tangan yang menariknya dan menemukan Cakka memandangnya dengan tatapan yang sudah berbeda. Tatapan yang sama ketika ia pertama kali bertemu pemuda itu dulu. Tatapan takut ditinggalkan.
Agni sesaat merasa de javu. Dadanya terasa tidak nyaman. Ia sama sekali tidak ingin melihat Cakka kembali memandangnya seperti itu. Kenapa pemuda itu kelihatan sedih? Bukannya harusnya Cakka senang sudah kembali bersama 'Nia'?
Pandangan Agni lantas berubah, juga persis seperti bagaimana ia melihat pemuda di hadapannya dulu. Tatapan yang mengisyaratkan kalau Cakka tidak sendirian. Kalau dirinya bersedia menjadi tempat berkeluh kesah.
"Kenapa?" Tanyanya masih dengan cara bicara yang sama. Hanya saja, tatapannya membuat ucapannya terdengar lebih tulus.
"Jangan tinggalin gue, Ni.." Bisik Cakka. Ketakutan jelas tercetak di raut wajahnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Namun, hatinya mendesak agar ia memastikan Agni selalu ada di dekatnya. Tangannya meremas genggamannya pada lengan gadis itu.
Agni bergeming menilik bagian wajah Cakka satu per satu. Ia benar-benar kembali bersama Aganya. Aganya tumbuh dengan sangat baik. Baik pada pertemuan pertama dan reuni saat ini, Aga masih mengatakan hal yang sama. Aga masih memintanya untuk tidak meninggalkannya.
Hatinya menghangat meskipun hanya dirinya yang tahu jati diri masing-masing.
Agni tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Ia mengepal tangan dan melayangkan tinju ringan pada dada Cakka. "Emang gue mau mati?" Dumelnya sekalian bercanda. Ia tidak lagi peduli Cakka harus tahu atau tidak siapa dirinya. Ia juga tidak peduli kalau mereka teman masa kecil. Jika bisa membuat pemuda itu merasa tenang, itu sudah cukup.
Entah karena dirinya kurang teliti, namun untuk pertama kalinya sejak mereka tidak bertemu, ia bisa melihat tawa lepas dari mulut Cakka. Ia tidak menyangka kalau hatinya bahagia melihat itu.
"Jangan sampe gue minta tebengan balik nih!"
"Serius mau?"
***
Tiba waktunya pelaksanaan prom night. Agni, Shilla, Via, dan Ify memilih melakukan persiapan bersama-sama di rumah Via berhubung yang empunya sedang malas untuk beranjak dari kediaman setelah tadi pagi mengetahui Fira hendak mengajukan surat cerai.
Sebenarnya Via sudah dapat menduga suatu hari apa yang ia dengar saat ini akan terjadi. Ia memang tidak terkejut. Akan tetapi, perpisahan kedua orang tua tetap saja kurang pantas dijadikan alasan untuk bersuka cita.
Kalau ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat ini setelah mengetahui Fira akan mengajukan surat cerai, jawabannya hanya satu, Via lega. Ia tidak merasa begitu senang, tidak pula sedih.
Ia hanya lega karena Fira sudah menemukan cara untuk membebaskan diri dari kesakitan. Ia juga lega pertikaian tak kasat mata dalam keluarganya akan berakhir.
Berbicara soal prom night, tahun ini sekolahnya memilih tema garden party. Prom night kali ini juga tidak mengutamakan sesi dansa, seperti yang sudah-sudah. Para pengurus menginginkan acaranya lebih bersifat friendly dan kekeluargaan, bukan memberi kesan seperti lapak cari pacar. Sekalian menghemat budget dengan mengadakan acara outdoor meskipun mereka tidak sedang kekurangan dana.
Sementara untuk pakaian yang akan dikenakan, keempat sekawan tidak memiliki tema khusus. Sepulang sekolah mereka pergi bersama untuk mencari baju dan memilih yang mereka suka.
Agni tidak ingin ribet dan memutuskan mengenakan mini dress sweater lengan panjang warna krem.
Shilla memilih satin mini dress tanpa lengan berwarna hitam dan coklat muda keabu-abuan
Shilla memilih satin mini dress tanpa lengan berwarna hitam dan coklat muda keabu-abuan.
Ify, atas hasutan ketiga temannya yang baik hati, memilih coral sabrina mini dress ditambah dengan choker warna senada, yang siapa pun melihatnya akan yakin kalau Rio tidak akan berkenan minggat dari dekat gadis itu selama acara
Ify, atas hasutan ketiga temannya yang baik hati, memilih coral sabrina mini dress ditambah dengan choker warna senada, yang siapa pun melihatnya akan yakin kalau Rio tidak akan berkenan minggat dari dekat gadis itu selama acara.
Sementara Via berbeda sendiri karena terpaksa memakai long dress yang diberikan Fira walau ia merasa gaunnya sedikit berlebihan untuk acara sekelas prom night sekolah
Sementara Via berbeda sendiri karena terpaksa memakai long dress yang diberikan Fira walau ia merasa gaunnya sedikit berlebihan untuk acara sekelas prom night sekolah. Ibunya beralasan kalau nanti ia harus menghadiri acara formal khusus. Artinya, ia tidak akan mengikuti rangkaian acara sekolahnya hingga selesai.
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang akan mengantar mereka?
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang akan mengantar mereka?
Untungnya, masing-masing dari mereka sudah janjian dijemput oleh 'pasangan' masing-masing. Ify sudah pasti dengan Rio. Via pun pasti dengan Gabriel. Agni tak diduga-duga justru akan pergi bersama Cakka.
Lalu, Shilla? Gadis itu punya pasangan yang rela direpotkan kok, Chris. Chris tidak keberatan sama sekali. Pemuda itu juga mengaku ingin bernostalgia pada sekolahnya. Kebetulan senior pun diundang, niatnya agar mereka tidak asing dengan para junior. Lagian, ini Chris loh.
Pemuda yang paling pertama tiba adalah Chris. Pemuda itu menyempatkan diri untuk membujuk Agni agar mau berangkat bersamanya namun lekas digagalkan Shilla dan Agni sendiri. Tak lama kemudian, Gabriel datang. Namun, pemuda itu dan Via tak langsung berangkat karena menunggu Ify dan Agni. Tidak sopan rasanya tuan rumah kabur lebih dulu.
Rio datang dan sempat tidak berkutik beberapa saat melihat tampilan Ify. Ify-nya cantik luar biasa dan...seksi. Ia seketika menatap tajam Via dan Agni yang langsung pura-pura tidak melihat ke arahnya. Ketiga bodyguard Ify-nya yang pasti sudah meracuni kepala gadis itu untuk mengenakan apa yang kini menempel pada tubuhnya.
Cakka kemudian datang dan mereka semua akhirnya dapat beranjak dari rumah Via menuju lokasi prom night.
Rio melajukan mobilnya sedikit diburu agar mereka justru tidak perlu tergesa-gesa memasuki area acara. Maksud terselubungnya yang lain adalah agar ia bisa diam sejenak di dalam mobil bersama Ify-nya.
Ia tidak akan berhenti menambahkan sebutan kepunyaan setelah nama sang kekasih khusus untuk malam ini. Gadisnya benar-benar mempesona hingga membuatnya gemas sendiri.
"Kita gak masuk?" Tanya Ify bingung karena Rio tidak ada ancang-ancang untuk keluar dari mobil. Pemuda itu justru duduk bersandar seraya bersidekap menghadap ke arahnya. Mata pemuda itu pun tidak pernah lari dari wajahnya.
"Pengen berduaan sama cewek gue dulu bentar," Gumam Rio santai.
Ify mendesis geli namun kemudian melengkungkan senyum cerah. Walau kedengarannya jahat, ia terpaksa harus menyetujui kalau Dea memang sumber masalah dalam hubungannya. Terbukti setelah gadis itu tidak lagi 'ada' di antara mereka, hubungannya dengan Rio benar-benar lancar seperti aliran air.
Memikirkan Dea sesaat mengingatkan Ify pada luka Rio. Walaupun sudah berhari-hari berlalu, ia selalu merasa khawatir bahkan menanyakannya setiap waktu. "Perutnya beneran udah gapapa?" Tanyanya sedikit khawatir.
Rio hanya berdehem pelan, enggan mengusik aktivitasnya memandangi wajah Ify. Lingkaran bunga di kepala Ify-nya membuat gadis itu layaknya peri sekarang. Hatinya teremas dengan menyenangkan mengetahui gadis itu masih mengingat permintaan kecilnya dulu.
"Kalo dibawa salto udah ga sakit lagi?" Ify masih belum puas bertanya. Sayangnya Rio kembali hanya membalas dengan deheman yang seketika membuatnya geram.
"Ih, Rio ngomong dong jangan hm-hm aja!" Rengek Ify. Sebenarnya karena dirinya tidak tahan ditatap begitu intens oleh Rio.
Rio tersenyum tipis. Ify-nya sudah tidak lagi ragu-ragu mengucapkan sesuatu apalagi merengek manja padanya. Ia tidak tahan untuk tidak menyentuh paras yang menjadi karya terindah Tuhan baginya. Ia mengelus sebelah wajah Ify dengan ibu jarinya dengan tidak sama sekali mengalihkan pandangan.
"Kamu..cantik.." Lirih Rio penuh perasaan.
Udara yang menyuplai mereka hanyalah AC mobil yang masih menyala. Namun entah mengapa Ify merasakan sekilas hembusan angin melewati wajahnya. Rio memang bukan pertama kali memujinya. Tapi tetap saja kedengarannya selalu istimewa. Apalagi, pemuda itu juga tidak selalu ber-aku-kamu dengannya. Dadanya rasanya ingin meledak karena senang.
"Lipstik kamu nempel ga?" Tanya Rio lagi tanpa menunggu Ify memberi respon ucapannya sebelumnya.
Ify dengan polosnya menyentuhkan pelan punggung tangannya ke bibir, mengecek apakah lipstiknya sudah benar-benar kering atau belum. Ia lalu menggelengkan kepala pada Rio setelah melihat tidak ada noda yang tertinggal.
Rio mengerling sekalian menatap Ify gemas. "Ngeceknya langsung ke aku aja, Fy!" Godanya.
Seperti yang sudah diperkirakan, Ify pasti tidak menangkap maksud tersembunyi dalam ucapannya. Ify-nya berkedip cepat menatapnya dengan bingung. Ia lantas meraih wajah Ify-nya dengan kedua tangan dan mendekatkan wajah pada gadis itu. Kedipan mata Ify bahkan sampai mendadak berhenti.
Tatapan Rio kini berubah dalam meskipun sorot jenakanya sekilas masih tampak. "Kalo mau ciuman, kamu ngapain, Fy?" Tanyanya seperti memberi aba-aba tersirat.
Ify tidak menjawab namun perlahan menutup mata dengan patuhnya. Senyum di bibir Rio kembali mengembang. Ia mulai bergerak maju seraya memiringkan kepalanya. Sedikit lagi kedua bagian itu bertemu, Rio berhenti dan kembali menatap Ify.
"Ciuman di mobil kedengarannya mesum ga sih, Fy?"
Ify tak ayal membuka mata dan mendesis sebal. Ia sudah dengan lugunya mengikuti alur pemuda itu namun ujung-ujungnya tidak jadi dilaksanakan. Tapi kalau dipikir-pikir, ia tidak tahu harus kesal karena dikerjai atau Rio tidak jadi menciumnya.
Belum sempat Ify menuturkan sumpah-serapah, Rio tiba-tiba justru mewujudkan niatnya pada gadis itu. Ia mencium dahi Ify-nya sedikit lama. Hal itu layaknya hipnotis bagi Ify yang membuat gadis itu seketika lupa akan amarah ringannya. Ia juga spontan kembali menutup mata.
Setelahnya Rio kembali menatap Ify dan tersenyum hingga barisan giginya terlihat. Ia kemudian akhirnya mengajak Ify keluar dan masuk ke tempat acara. Ia meraih tangan Ify-nya untuk ia genggam.
Baru beberapa langkah berjalan, Rio tiba-tiba membisikkan sesuatu pada Ify. "I love you.."
Ify menyahut dengan tawa kecil sambil melepas tautan tangan mereka dan berganti mengalungkan tangannya di lengan Rio. "Too!" Cicitnya disambut dengan kikikan mereka berdua.
Sementara itu di mobil yang lain, Chris sibuk menggerutu pada Shilla karena lagi-lagi menggagalkan pendekatannya dengan Agni. "Lo masih tega aja misahin gue sama Agni!" Rajuknya.
Shilla melengos geli. "Kapan nyatunya emang?" Cemoohnya.
Chris tidak tersinggung. Pemuda itu justru menyengir lebar. "Oh ya ya.."
Setelahnya Shilla mendadak terdiam. Ia bergeming memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Chris menyadari itu lantas berusaha mengucap kata-kata 'penyemangat'. "Tenang. Malam ini semua cowok pasti ganteng-ganteng. Lo gaet aja atu."
Shilla menoleh lalu memasang tampang berpikir. "Yang setia kayak lo tapi bukan lo ada yang lo kenal, Kak?"
Chris lantas bersungut-sungut menjawab. "Apa salah gue, hei?! Kok gue dijadiin pengecualian?"
Shilla terkekeh pelan telah berhasil menggoda Chris. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau hubungan mereka bisa sampai sedekat sekarang. Ia seperti merasa Chris betul-betul saudaranya sendiri.
Di mobil Cakka, tidak ada yang spesial yang terjadi antara pemuda itu dan Agni. Hubungan di antara mereka benar-benar sudah kembali seperti semula. Hanya saja mereka sama-sama enggan mengungkit lagi tentang kejadian di Bogor.
Sampai akhirnya Cakka menanyakan rencana Agni selepas ujian sekolah berakhir. Agni hanya menjawab gadis itu sudah berniat mengunjungi suatu tempat namun memilih tidak memberitahu Cakka ke mana tepatnya ia akan pergi. Cakka penasaran namun tidak mau memaksa. Meskipun ia pasti akan mencari tahu lewat orang lain. Siapa lagi kalau bukan Kiki.
Terakhir di dalam mobil Gabriel dan Via, mereka juga kelihatan santai-santai saja. Hanya mungkin Gabriel menyadari kalau Via sedikit kalem dan ia tahu telah terjadi sesuatu pada gadis itu.
"Kenapa, Vi?" Tanyanya pengertian.
Mungkin karena Via sudah terlalu nyaman bersama Gabriel hingga gadis itu tidak berpikir panjang untuk menjawab dengan jujur. "Mama mau minta cerai," Gumamnya sambil memalingkan wajah ke arah Gabriel.
Gabriel memperhatikan Via sebentar memastikan gelagat gadis itu saat berbicara. Yang bisa ia pastikan, Via tidak sedih sama sekali. "Lo gak sedih. Jadi kenapa?"
Via menjentik jari karena Gabriel baru saja menyebut apa yang menjadi sumber kegundahannya. "Nah! Gue ga sedih. Salah ga, sih?"
Gabriel memberikan tatapan seolah paham pada Via. Ia menggelengkan kepala berusaha mengusir keraguan gadis di sampingnya. "Wajar-wajar aja. Karena kenyataannya lo ga 'kehilangan' siapa-siapa. Lo sama nyokap lo bakal melepas yang selama ini ga pernah 'ada'."
Ucapan Gabriel menjawab perasaan bertanya dalam hatinya. Ia khawatir karena dirinya yang tidak sedih sama sekali adalah perasaan yang salah. Akan tetapi, ia sudah tahu alasan yang tepat sekarang.
***
Suasana yang tadi tidak begitu ramai tiba-tiba berubah semarak karena Rio, pemuda yang dielu-elukan hampir satu sekolahan naik ke atas panggung membawa serta salah satu teman banyolnya alias Gabriel. Siapa yang tidak akan antusias menyaksikan 2 pemuda tampan di sekolah mereka tampil?
Keempat gadis sekawan hanya duduk dengan tenang di meja yang mereka tempati. Sementara Chris duduk di tempat lain bersama dengan teman-teman satu angkatannya yang hadir. Beruntung mereka sempat kebagian tempat dan tidak harus berdiri hingga acara selesai.
Agni dan Shilla hanya melengos malas melihat tingkah Rio dan Gabriel. "Lantaran lagi sarangek-sarangek-nya, emm?" Celetuk Shilla pada Agni. Sedikit sensi menyaksikan hal-hal berbau romantis berhubung hubungannya baru saja resmi kandas. Agni membenarkan meskipun dengan gelengan kepala.
Via tidak begitu menanggapi, hanya menyungging senyum tipis sambil memperhatikan apa yang Gabriel hendak lakukan di atas panggung. Sementara Ify hanya tersenyum malu-malu dan memilih ikut fokus melihat Rio.
"Malem semua! Ga seru kan ya kalo gue ga nyanyi? Katanya penyanyi, ya nggak?" Sapa Rio dengan senyum ramah. Penonton di depannya bersorak setuju.
"Gue sama Alvin pasti udah pada bosen. Jadi sekarang gue bawa temen duet baru." Ujar Rio lagi mengisyaratkan Gabriel untuk memperkenalkan diri. Walaupun sebenarnya warga sekolah mereka tidak sebegitu asing dengan mereka.
"Halo, I'm Gab and I'm not single."
Beberapa dari penonton mendesah kecewa namun tidak menurunkan antusiasme mereka menyaksikan Rio dan Gabriel. Ify dan kawan-kawan juga turut mendesah kecewa. Kecewa karena pemuda memalukan di depan sana adalah teman mereka.
Ify menggelengkan kepala seraya berdecak tak habis pikir. Agni langsung berdiri memilih mengambil desert yang tersedia. Shilla kembali melengos bosan sementara Via hanya tersenyum geli.
"Gue persembahkan khususnya buat temen cantik gue yang lagi lesu hari ini," Kali ini Gabriel dengan kerlingan mata jahil.
Musik menyala diawali dengan suara petikan gitar akustik yang membuat suasana menjadi lebih santai. Orang-orang yang berjajar dan berbaris di depan panggung sontak menggerakkan tangan ke kanan-kiri mengikuti tempo lagu. Gerekan mereka serentak walau tanpa ada aba-aba khusus sebelumnya.
"And it's the simple things you do..I just can't get enough of you.." Lagu diawali dengan suara lembut namun maskulin milik Rio. Mata pemuda itu nanar ke arah Ify.
Ify tersenyum malu dengan wajah tersipu. Shilla dan Agni yang sudah kembali lagi-lagi harus melengos dalam hati. Sudah mereka duga akan terjadi adegan picisan seperti saat ini. Baik dalam bayangan maupun kenyataan, keduanya sama-sama menggelikan.
"It's that perfume that you're wearing and the way you do your hair that I love you so much.." Rio tampak mengakhiri nyanyiannya dengan kedipan mata dan senyum menggoda.
Shilla sampai kesulitan menelan anggur di mulutnya karena Rio. Sementara Agni mengerang pasrah. "Masih ada biang kerok yang satu lagi, btw." Katanya seolah memperingati Shilla agar tidak 'senang' dulu.
Gabriel mengangkat mic nya dan mulai membuka mulut untuk menyambut gilirannya. "And it's the simple things you say..and how in bed we play.."
Agni seketika berdecak heboh. "Hm, bukan main. How in bed we play, Bruh!" Celetuknya antara mencela Gabriel dan meledek Via.
"Lo berdua para wanita tak terpilih diem aja," Canda Via seraya tertawa kecil. Agni dan Shilla lantas saling berpandangan nelangsa. Mereka tidak bisa membantah sama sekali.
"It's the way you kiss my cheek when you think that I'm asleep..I love it so much.."
Alunan lagu yang didendangkan Gabriel dan Rio tidak begitu lama. Mereka memang tidak berniat tampil berlama-lama. Merasa tidak enak hati pada yang lain. Durasi mereka di panggung bahkan tidak sampai 3 menit.
Setelah selesai, Rio dan Gabriel lekas turun dari atas panggung dan melangkahkan kaki dengan pasti menuju meja Ify dan kawan-kawan, menghampiri gadis mana lagu mereka dialamatkan. Via dan Gabriel kemudian mengucap pamit karena keduanya harus menghadiri acara lain.
Belum hilang rasa gerah Agni dan Shilla karena 2 pemuda yang sedang kasmaran yang kini menyambangi kediaman mereka, seseorang yang baru saja naik ke atas panggung kembali menarik perhatian mereka, tepatnya seluruh pasang mata di sekitar mereka.
"Hai semuanya! Kedatangan gue ganggu nggak?" Sapa tamu tak disangka-sangka tersebut. Pemuda yang dulunya juga siswa Parfait. Pemuda yang kini membuat suasana sama riuhnya ketika Rio tampil di depan khalayak. Pemuda yang diam-diam juga membuat dada Shilla mendadak ramai. Pemuda teman duet asli dari Rio.
"Alvin! Alvin!" Penonton lantas mengelu-elukan nama sang penampil. Alvin!
"Nah, mampus lo, Shill!" Umpat Agni pelan tanpa menoleh pada Shilla.
Sayangnya, Shilla tidak diizinkan menderita seorang diri ketika Alvin mengajak serta seorang temannya yang lain. Siapa lagi kalau bukan Cakka. Shilla lantas menoleh pada Agni dengan tatapan datar. "Mampus lo, Ni." Ujarnya mengembalikan umpatan Agni sebelumnya.
Agni cepat-cepat memalingkan pandangannya pada Shilla lalu sepiring desert yang tadi diambilnya. Ia mendekatkan piring tersebut ke tengah-tengah antara dirinya dan Shilla. "Makan, Shill, makan.." Ajaknya yang tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Jangan bilang Alvin dan Cakka terinspirasi dari 2 teman mereka dan akan melakukan hal yang sama? Ah, gak mungkinlah, ya?
"Sayang banget punya temen jago maen gitar ga dimanfaatin. Jadi kali ini kita mau akustikan dibantu sama Cakka." Terang Alvin.
Cakka sudah duduk dengan nyaman di kursi bersama gitar miliknya. "Buat siapa aja yang ngerasa, mohon didengarkan baik-baik."
Shilla dengan sengaja batuk seraya mendekatkan diri pada Agni. "Uhuk—buat lo, Ni." Ledeknya. Agni tak menggubris dan memilih fokus menikmati pudding di depannya.
Alvin mengambil giliran pertama bernyanyi. Reaksi penonton persis sama seperti ketika Rio dan Gabriel tampil sebelumnya.
"And I'm left with distance on my mind
Was it me that caused you to just pack up and leave?
When you did you took everything
I still hate seeing you without me.."
Agni akhirnya berkesempatan membalas ucapan Shilla. Ia mengembalikannya persis sama dengan bagaimana Shilla melakukannya sebelumnya. "Uhuk—buat lo, Shill."
Alvin dan Cakka kemudian bernyanyi bersama. Membuat Shilla dan Agni makin ingin mengubur diri mereka sendiri. Mereka tidak ingin percaya diri kalau lagu yang berkumandang saat ini dipersembahkan untuk mereka. Namun, menyangkal pun terasa tidak masuk akal.
"I'm better with you, you better with me
I still miss all our nights
Even fights were all better with you, you better with me
There is nobody else who can love me the way that you do, better than you
I still miss all our days and the way you would carry me through
I'll carry you too
There is nobody else who can love you the way that I do
If there's a way for us to learn to forgive
There's nothing that I wouldn't give
There's still a space that I have buried away
It's deep in my heart It's always your place
I'm better with you, You better with me"
***

Aku nunggu kamu di tempat kita ngerayain Anniv. Aku gak maksa kamu. Cuma aku ga bisa bohong kalo aku berharap kamu dateng. Aku janji ini yang terakhir kali, kalo kamu terganggu.

Napas Shilla tidak pernah teratur sejak ia mendapat pesan dari Alvin yang mengajaknya bertemu. Ia merasa belum begitu siap walau sudah menyelesaikan perkara dengan pemuda itu. Meskipun mungkin bagi Alvin mereka belum benar-benar selesai.

Shilla menjentik-jentik jarinya karena gelisah. Ia memandang kosong pemandangan yang ia lewati dari jendela mobil Chris. Menjelang akhir penampilan Alvin tadi, ia langsung meminta tolong pada Chris untuk mengantarnya pulang. Chris yang tahu ia sedang risau tentu mengiyakan tanpa banyak bertanya. Meskipun pemuda itu tetap menyempatkan diri untuk tebar pesona pada Agni.
"Yakin gamau ketemu?" Tanya Chris yang tak disangka tahu tentang ajakan Alvin.
Gerak tubuh Shilla sontak terhenti. Ia tampak kaku sesaat dan perlahan menolehkan kepala pada Chris dengan pandangan bertanya.
Chris hanya melihat ke arah Shilla sekilas lalu kembali memperhatikan jalan raya di depannya. "Alvin yang minta tolong gue buat nganterin lo pergi dan pulang, sebenernya. Selain karena gue emang pengen ketemu Agni, hehehe.." Balasnya diakhiri cengiran.
Shilla menghela napas berat. Ia tidak tahu hatinya menginginkan apa saat ini. "Gue mesti gimana, Kak?" lirihnya dengan pandangan menerawang.
"Lo udah move on?" Chris balas bertanya.
Shilla menyahut sambil berdecak kesal. "Yakali!" Sungutnya. Tidak mungkin secepat ini ia sudah melupakan Alvin. Tapi ia juga bingung kalau harus memaafkan sang mantan.
"Lo beneran nanya gue?" Chris bertanya memastikan kalau Shilla serius ingin mendengar pendapatnya. Karena ia tidak yakin jawabannya dibutuhkan gadis itu.
"Please deh, Kak!" Shilla kembali bersungut kesal. Pemuda itu sendiri melihat seberapa kacau dirinya saat ini. Sekarang malah coba main tarik ulur.
Chris diam seraya menghela napas pelan. "Gue itu terlalu sederhana kalo soal perasaan, Shill. Sesalah apapun Lala dulu, selagi hati gue masih buat dia, gue bakal stay dan narik dia balik ke gue. Pisah bikin sedih. Sama-sama bikin gue bahagia. Kalo masih ada kesempatan buat sama-sama, ngapain gue ribet-ribet pergi?"
Selesai berbicara Chris menoleh pada Shilla lalu tersenyum lembut. "Itu gue ya. Gue ga lagi ngehasut lo buat nerima atau enggak. Gue cuma sharing aja gue tipe orang yang gimana."
Shilla menggigit bibirnya bimbang. Apa yang harus ia pilih sekarang?
***
Sudah satu jam lebih Alvin terduduk diam di anak tangga depan pintu utama rumah ayahnya di Jakarta, rumah yang juga menjadi tempat dirinya merayakan hari jadi bersama Shilla, juga menjadi tempat janji bertemu mereka yang terakhir kali, mungkin.
Ia sama sekali tidak bisa berekspektasi apa pun. Sudah satu jam lebih seperti ini sebenarnya sudah menjadi tanda yang sangat jelas untuknya kalau ia tidak ada harapan. Namun hatinya masih belum bisa menerima kenyataan kalau ia dan Shilla benar-benar selesai.
Alvin menunduk menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengan yang bersandar di atas lututnya. Kedua tangannya saling berhimpitan dan menepuk-nepuk pelan kepalanya, seolah-olah hal itu bisa membantunya agar tetap tenang.
"Ehm.."
Alvin merasa seperti bermimpi dan tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan. Ia mendengar suara Shilla. Ia cepat-cepat mengangkat wajah dan benar-benar mendapati sosok gadis itu di depannya.
Ia tercenung dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya terus saja menatap Shilla tajam. Seolah-olah dirinya sedang memastikan kalau di depannya adalah orang yang nyata, bukan wujud imaginasinya seperti beberapa hari terakhir.
"Shi—Shilla?" Lirihnya terbata. Gemuruh di dadanya sedemikian hebat. Semua kata berebut ingin diucapkan hingga ia sendiri bingung harus memilih yang mana.
Shilla berdehem kembali. Kalau boleh jujur, ia sebenarnya juga sama paniknya dengan Alvin. Meskipun, ia lebih berhasil mengendalikan diri ketimbang pemuda itu.
Suhu malam hari ini cukup rendah yang membuat Shilla spontan mengusap kedua lengannya yang terbuka. "Vin, dingin." Ungkapnya.
Gue bukan minta peluk, tolong.
Ucapan Shilla barusan hanyalah sekedar untuk memperingatkan Alvin agar tidak berdiam terlalu lama dan segera berbicara ke inti permasalahan saja. Udara di luar dingin sehingga lebih cepat selesai tentu lebih baik.
Untung refleks Alvin masih sangat-sangat baik walau masih diliputi rasa kalut. Ia berdiri kemudian tanpa kata-kata melingkupi tubuh Shilla dengan jas nya yang sudah sejak tadi ia lepas.
Shilla hanya diam menerima tanpa menyuarakan protes. Matanya juga tak pernah berhenti memperhatikan Alvin. Menunggu pemuda itu benar-benar berbicara.
Mata Alvin kemudian menangkap bayangan tangan Shilla. Ada hasrat di dalam hatinya untuk menggenggam tapi ia takut ia tidak berhak.
Shilla menyadari kemana arah tatapan mata Alvin. Ia mendesah lelah dan perlahan mengangkat serta mendekatkan tangannya ke arah Alvin. Memberi isyarat kalau Alvin diperbolehkan menyentuhnya.
Alvin mengangkat kepala menatap Shilla tidak percaya. Ia memastikan kalau gadis itu serius mengizinkannya. Ia pun akhirnya menyambut uluran Shilla dengan tangan terbuka. Ia sekali lagi merunduk memperhatikan tangan Shilla yang sudah digenggamnya. Akhirnya ia bisa meraih tangan ini lagi.
"I miss this sooo much...I miss you sooo much...just so..much." Alvin berkata pelan. Ia ingin meneriakkannya sekuat tenaga agar semua orang tahu, agar Shilla percaya, tapi ia sudah terlalu lelah.
Shilla mengatup mulut menahan emosi dalam dadanya yang membuncah. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan agar tetap bisa berbicara dengan benar. "Kenapa aku harus nemuin kamu? Apa yang bikin kamu pantes ditemuin, lagi?"
Alvin memandang Shilla yang nanar menatapnya. Ia tidak berharap banyak namun hatinya sedikit merasa senang karena ia melihat ada harapan untuknya di mata Shilla. Gadis itu tidak sedang menghakimi atau mengejeknya. Gadis itu benar-benar mencari sebuah keyakinan darinya.
"Aku gak tau aku pantes jadiin ini excuse atau enggak. Tapi Febby itu adik aku, Shill. Adik kandung aku yang ilang." Jujur Alvin.
Saat kecil dulu, Alvin memiliki rasa iri yang begitu besar pada saudari kembarnya. Di matanya, perhatian kedua orang tuanya lebih besar kepada Vina alias Febby. Ayahnya selalu berbicara lembut pada Vina sementara agak keras padanya. Ayahnya selalu memberikan apapun yang Vina minta sementara dirinya harus mengerjakan sesuatu dulu baru diberi upah barang yang ia mau.
Dulu ia menganggap sikap ayahnya merupakan wujud pilih kasih. Namun, seiring berjalannya waktu, ia baru mengerti kalau sang ayah ingin mendidiknya menjadi laki-laki yang tangguh. Hanya saja, dirinya dulu masih terlalu kecil untuk mengerti dan akhirnya malah membenci Vina.
Suatu hari ketika jemputan mereka belum datang, Alvin diam-diam mengajak Vina pergi ke suatu taman lalu kemudian meninggalkan saudari kecilnya sendirian. Ia pikir Vina tidak akan pergi ke mana-mana selagi dirinya belum kembali. Ia menjadikan itu sebagai ancaman pada ayahnya agar tidak lagi mempelakukannya dengan keras.
Naas ketika ia datang menjemput, ia tidak menemukan Vina di mana pun. Taman yang dikunjunginya merupakan kawasan yang sepi sehingga tidak ada seorang pun untuk menjadi tempat bertanya.
Tanpa ia ketahui, Vina keluar taman dan berjalan mencarinya. Gadis itu kemudian tak sengaja terserempet seorang pengendara motor dan kemudian pingsan. Cedera di kepala serta syok yang menimpanya membuat Vina tidak mengingat apapun. Pengendara yang menabraknya, yang tak lain adalah ayah tiri Febby, mengambil kesempatan itu untuk mengadopsi.
Ayahnya tahu dari tampilannya kalau dirinya berasal dari keluarga berada. Ayahnya membawanya ke kampung selagi polisi masih aktif mencari keberadaannya. Ayahnya berniat menggunakannya nanti untuk merogoh uang dari orang tua kandungnya. Beruntung Vina atau Febby justru lebih dulu memutuskan kabur dari laki-laki itu.
Meski sikap orangtuanya berubah lebih lunak padanya, Alvin tetap menyimpan perasaan bersalah yang besar. Bagaimana pun rasa marahnya, ia tetap menyayangi Vina. Ia selalu menyempatkan diri melihat foto dirinya bersama Vina sebelum tidur dan diam-diam berdoa agar Tuhan mengembalikan adiknya. Ia selalu percaya Vina masih hidup.
"Aku gak pernah niat ninggalin kamu, sekalipun. Aku hilang karena lagi usaha buang perasaan aku buat Febby. Demi Tuhan, aku gamau kehilangan kamu. Perasaan aku ke Febby beda dengan yang aku rasain ke kamu. Aku gak tau itu apa tapi aku bisa yakin itu bukan cinta. Aku panik. Aku beneran gamau jadi penghianat. Aku gamau punya perasaan itu dan diam-diam ngeduain kamu. Tapi aku tolak tetep gabisa. Aku gatau lagi gimana caranya. Sampe akhirnya aku tau dia ternyata Vina. Aku akhirnya ngerti perasaan khusus aku sama dia selama ini. Itu cuma kontak batin antara kakak sama adik. Aku akhirnya bisa lega karena tau aku gak ngehianatin kamu. Tapi..kamu udah pergi."
Shilla menelan ludah dengan susah payah. Ia berusaha keras agar nyawanya tidak berkelana ke mana-mana dan fokus mendengarkan Alvin berbicara.
"Orang mungkin bisa bilang itu semua cuma alasan, aku beruntung Febby tenyata adik aku, kalo enggak perasaan aku pasti bakal berkembang buat dia. Tapi boleh ga sih aku membela diri? Yang ngedeketin aku dari yang ga keliatan sampe terang-terangan itu banyak, yang deket sampe yang ga kenal sama sekali, juga banyak. Tapi kenapa perasaan khusus aku cuma sama Febby, kalo bukan karena dia adik aku? Aku salah ga, sih?"
Alvin mendesah frustasi. Ya Tuhan, ia sungguh-sungguh masih ingin bersama Shilla, mempertahankan gadis itu sebagai miliknya. Matanya memerah akibat emosi tertahan.
Shilla berusaha menjadi jahat dan tidak menerima alibi Alvin begitu saja. Sayangnya, ia tidak tega. Ia dengan jelas melihat ketulusan di mata pemuda itu. Pemuda itu benar-benar kelihatan kacau dan itu semua karena dirinya. Pemuda itu selalu berusaha mengajaknya bicara namun ia sadar belum pernah sekalipun memberikan Alvin kesempatan.

Mereka sudah melalui banyak hal selama berpacaran. Menghadapi isu Alvin dekat dengan gadis lain sudah cukup sering ia alami. Alvin benar, orang-orang bisa menganggapnya hanya beralasan. Tapi, orang-orang tidak mengalami apa yang terjadi pada Alvin.
Alvin selalu percaya dan mendengarkan penjelasannya. Alvin tidak pernah emosi menghadapinya, walau ia salah sekali pun, walau ia sering mengungkap keraguan pada pemuda itu. Lalu kenapa sekarang ia tidak bisa melakukan hal yang sama? Alvin hanya ingin didengarkan dan butuh kesempatan.
Lagipula, ia yang paling tahu siapa Alvin. Selama ini Alvin tidak pernah berbohong padanya. Alvin selalu tulus padanya. Apa salahnya kalau ia menganggap Alvin masih pemuda yang sama? Seperti ucapan Chris, kalau bersama menghasilkan bahagia, kalau kesempatan bersama masih ada, kenapa harus repot-repot berpisah yang membuat sedih?
"Apology accepted." Gumam Shilla pelan. Ia tersenyum menenangkan pada Alvin.
Alvin yang tadinya gelisah seketika terdiam. Ia terkesiap sekaligus terpesona melihat senyum indah yang rasanya sudah lama tidak ia lihat. Air mata yang susah payah ditahannya akhirnya menetes juga walau tidak banyak.
Jemari lentik Shilla mengusap pelan pipi Alvin yang kini basah. Senyum lebar di wajahnya sudah seperti virus menular dan membuat Alvin melakukan hal yang sama. Alvin tertawa begitu bahagianya dengan air mata yang masih sesekali keluar.
Mereka menghabiskan beberapa saat hanya diam saling berpandangan dengan raut wajah sama-sama lega sekaligus senang. Alvin membiarkan jemari Shilla terus menyentuh pipinya tiap kali air matanya menetes karena ia menikmatinya. Shilla juga tak bosan mengulangi perbuatannya hingga Alvin tak lagi menangis.
Karena terlalu lama tidak berbicara satu sama lain, Shilla akhirnya buka mulut. "Gaada niatan mau meluk? Katanya kangen?"
***
Via mengisi setiap langkahnya dengan perasaan gugup. Gabriel benar-benar gila. Fira memang tidak setiap kawan. Bisa-bisanya mereka berdua menyusun rencana tanpa melibatkan dirinya.
Dari awal ia sudah curiga kenapa Fira menyuruhnya ikut dengan Gabriel. Ia lantas dibuat kaget setengah mati ketika Gabriel memberitahu bahwa mereka akan menghadiri acara perayaan hari jadi pernikahan orang tua pemuda itu.
Astaga, ia akan bertemu dengan orangtua Gabriel!
"I hate you, Yel, really." Protesnya seraya berbisik pada Gabriel. Meski begitu, tangannya tetap mengalung dengan eratnya pada lengan Gabriel.
Gabriel tertawa kecil di samping Via dan memilih tidak mengambil hati ucapan sang gadis. "I love you too, Princess."
Berhubung Via sedang setengah kesal, ia kali ini menganggap lalu pernyataan Gabriel barusan padanya. Ia tahu pemuda itu hanya berniat meledeknya dan tidak sedang serius. Ia serius, pemuda itu tidak serius dengan ucapannya.
"Pak!" Panggil Gabriel ketika dirinya dan Via hanya tinggal beberapa langkah sampai di hadapan kedua orangtuanya, yang kini sedang berkumpul bersama beberapa rekan-rekannya sesama angkatan dan juga Fira.
Damanik menoleh dan berseru senang melihat anak laki-laki kesayangannya sudah muncul di peredaran. Sedaritadi memang hampir semua orang sudah menanyakan keberadaan pemuda itu.
"Malam Om, Tante. Saya Gabriel. Anak tirinya Pak Damanik." Ujarnya tanpa rasa berdosa.
Damanik tertawa seraya geleng-geleng kepala. "Sudah pernah kita tes DNA. Masih juga gak kau akui bapakmu ini?"
"Tapi muka gak bisa bohong. Gantengan aku daripada bapaknya. Jadi aku curiga."
Gabriel memang selalu seperti itu dengan Damanik. Tidak jauh-jauh dari debat yang saling 'menjatuhkan'. Saat ini Gabriel yang tidak 'mengakui' sang Ayah. Kemarin atau mungkin lain hari, sang ayah yang bersikap seolah menolak 'mengakui' Gabriel.
"Sudah kau resmikan belum si cantik ini?" Tanya Damanik sambil menunjuk Via yang berdiri kikuk di samping Gabriel.
Gabriel tersenyum lebar hingga giginya dapat terlihat cukup jelas. "Jangan buru-buru lah, Pak. Yang penting udah mau sama mau. Ya nggak, Vi?" Balasnya santai tanpa peduli Via makin canggung di sebelahnya.
Via mencoba tersenyum walau usahanya justru membuahkan ringisan. Fira tersenyum maklum, memahami perasaan belum terbiasa dari Via. Ia tahu anaknya pasti masih kaget sekarang. "Anak saya nggak tau sama sekali kalau mau dibawa ke acara orangtua Gabriel. Makanya keliatan agak bingung."
Via makin meringis dalam-dalam karena semua orang di sekitarnya memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu harus berbicara apa saat ini. Alhasil ia hanya balas merunduk sekilas hendak meminta pengertian.
"Papanya gak ke sini juga?" Tanya salah satu dari rekan Damanik sebelumnya.
Fira tersenyum misterius. "Bentar lagi nyusul kok."
Obrolan yang sempat terhenti kemudian kembali berlanjut. Gabriel menyahut sesekali sementara Via lebih banyak menyimak dalam diam.
"Damanik?"
Seseorang yang baru saja datang kemudian menyapa Damanik dengan antusias. Semua orang menoleh ke arah si pendatang baru. Seketika antusiasme orang tersebut surut manakala melihat ada Fira dan Via di sana. Raut wajahnya seketika berubah tidak nyaman.
"Riza? Akhirnya yang ditunggu datang juga." Sambut Damanik sama antusiasnya dengan Riza sebelumnya.
Riza mendekat dengan ragu, disusul dua orang perempuan yang melangkah agak kikuk, yang satu sepantaran dengannya sedang yang satu lagi mungkin sebaya dengan Via dan Gabriel alias Merry dan Pricilla. Ia melihat Fira dan mendapatkan senyum sinis dari sang istri.
"Tadi kalian nyari bapaknya si cantik, kan? Ini dia bapaknya." Seru Damanik yang tentunya tidak disangka-sangka oleh Riza. Laki-laki itu tentu begitu terkejut mengetahui Damanik tahu tentang hubungannya dengan Fira dan Via.
Riza sekali lagi melihat ke arah Fira dan ia masih mendapati rupa yang sama. Wanita itu justru tersenyum makin sinis. Perasaannya seketika menjadi tidak enak. Ia kini juga menyadari Merry mulai pucat sementara Pricilla berdiri kebingungan sekaligus terluka karena baru saja mengetahui rahasianya dan di saat yang sama harus menyaksikan Gabriel menempel pada Via.
"Yang dateng bareng Pak Riza siapa? Kok gak bareng Bu Fira?" Cetus salah satu rekan Damanik yang berada di sana sejak tadi.
"Papa Via tadi ada kerjaan sedikit. Kalau orang-orang yang datang bersama suami saya itu, mereka—"
Fira dari awal sudah berencana untuk membeberkan rahasia Riza di depan semua orang. Ia, setelah bekerja sama dengan Gabriel, ingin sedikit memberikan pelajaran pada Riza.
Walau Via tidak tahu keseluruhan rencana Fira, tapi ia bisa menebak apa maksud kedatangan mereka di acara ini. Fira semata-mata hanya ingin balas dendam. Ia juga kecewa dan mungkin sempat marah pada Riza. Sayangnya, ia masih tidak ingin menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin kehidupannya menarik untuk orang lain. Ia masih mencintai hidupnya yang tenang.
"Sepupu! Iya, sepupu. Tante ini adiknya Mama." Sela Via. Ia berusaha menyungging senyum santai kepada semua orang yang kini memandang ke arahnya. Ia lalu bertemu tatap dengan Fira dan menggeleng samar ke arah sang ibu, meminta wanita itu mengurungkan niatnya.
Fira sedikit terkesiap dengan respon Via. Namun ketika melihat tatapan memelas sang anak, ia menjadi tidak tega. Ia mendesah pelan diam-diam, memilih menuruti apa yang Via minta. Perasaan anaknya jauh di atas segalanya, melebihi hasrat menggebu-gebu dalam dadanya.
Gabriel yang memang ikut dalam rencana Fira tak luput merasa kaget. Namun kemudian dadanya menghangat oleh sikap Via, oleh kebesaran hati gadis itu yang tidak ingin membalas perbuatan keji sang ayah dengan hal yang sama. Gadis itu sungguh-sungguh spesial.
Gabriel menurunkan tangan Via yang menggamit lengannya. Sebagai gantinya, ia kemudian meraih pinggang gadis itu dan membawanya mendekat. Tak lupa ia juga menyematkan kecupan singkat pada pelipis si gadis cantik.
Sontak perbuatannya mengundang respon dari Damanik. Tentu. Ia tidak akan sekalipun melewatkan kesempatan untuk mem-bully sang anak. "Heh mulut cocor bebekmu gak tau malu, pake cium-cium si cantik, di depan mamak bapaknya pula!"
Muka Via sedikit memerah karena tersipu, tersipu karena perbuatan Gabriel serta karena lagi-lagi menyorot perhatian padahal ia tidak berbuat apa-apa.
"Baru sadar aku, Pak, kalo sayang kali sama dia."
Gabriel benar-benar merasa puas. Walaupun aksi balas dendam yang ia dan Fira rencanakan tidak begitu sukses, setidaknya Riza kini tahu bagaimana rasanya bila istri dan anaknya tidak diakui di depan orang lain. Bagaimana kejamnya laki-laki itu selama ini pada Fira dan Via, apapun sejarahnya.
***
Sehari setelah UAS selesai dilaksanakan, Agni langsung berangkat menuju tempat yang sudah ia rencanakan sejak jauh hari. Panti Minuet.
Tidak ada maksud apa-apa dari kedatangannya. Hanya saja, ia mendadak merindukan rumah yang dulu menjadi tempat berlindungnya. Ia bukan jarang mengunjungi. Setiap bulan ia justru pasti datang. Akan tetapi, ini baru pertama kalinya ia datang lebih dari 1 kali pada 1 bulan.
Kehadirannya biasanya hanya disambut dengan anak-anak penghuni dan ibu panti. Kali ini ia dikejutkan dengan bertenggernya mobil Cakka di halaman depan. Ia sudah sangat sering menaiki kendaraan roda empat tersebut sehingga ia tidak mungkin salah.
Ia memasuki ruang tamu panti dengan perasaan was-was. Ia kemudian dibuat lebih terkejut mengetahui Cakka tidak datang seorang diri, melainkan bersama 'Nia'-nya.
"Bisa kebetulan gini," Gumamnya pelan. Walau sebenarnya ia kurang percaya kalau saat ini benar-benar kebetulan. Entah kenapa.
"Nak Agni baru sampai? Atau udah daritadi? Ibu buatin minum dulu mau?" Tawar tuan rumah.
Agni terkekeh pelan seraya menggelengkan kepala. "Yaelah ibu kayak sama siapa aja. Aku ambil sendiri aja di dapur. Haus juga sih kebetulan." Katanya dan memilih cepat-cepat melenyapkan diri dari hadapan Cakka, juga 'Nia'.
Sesampainya di dapur, ia mengambil gelas pada rak dan mengisinya dengan air dari dalam kulkas. Setelahnya, ia bersandar pada pintu lemarin pendingin tersebut, kebingungan akan apa yang harus ia lakukan.
"Ni?"
Tiba-tiba Lia sudah berada di sampingnya. Panggilan wanita itu seketika menariknya kembali dari lamunan. Ia segera melenyapkan keraguan di wajahnya menjadi sebuah senyum ramah. "Iya, kenapa, Bu?"
"Bentar lagi kan jam nya anak-anak makan. Ibu lupa beli sayur. Boleh ibu minta tolong belikan sama kamu?" Tanya Lia dengan tangan bertaut. Wanita itu tampak meremas-remas jarinya dan wajahnya kelihatan tidak enak hati. Wanita itu mungkin berpikir Agni saat ini masih lelah karena baru saja sampai.
Agni segera menegapkan tubuhnya dan memberi hormat sekilas pada Lia, tanda kalau dirinya sama sekali tidak keberatan. "Beres itu mah, Bu. Agni jalan dulu kalo gitu."
Lia tersenyum dan mendesah pelan meskipun tidak benar-benar lega. "Uangnya—"
Agni berbalik dan langsung menyela ucapan Lia. "Pake uang aku aja, Bu."
Lia sekali lagi tersenyum melihat sang anak yang begitu baik hati. Dari sejak gadis itu masih menjadi penghuni pantinya hingga diadopsi oleh orang tua yang baru, Agni tidak pernah sekali pun melupakan asal-usulnya.
Dari semua anak yang sudah pindah karena diadopsi, Agni lah yang paling rajin mengunjungi panti. Gadis itu juga tidak pernah absen memberikan bantuan, baik moril maupun materil. Agni tidak pernah berubah dan akan selalu membuatnya bangga. Ia juga terharu karena sampai kapanpun tidak akan pernah kehilangan Agni, kehilangan Nia-nya, Nia semua orang.
***
Lia memperhatikan sosok gadis yang bertamu ke rumahnya dan mengaku sebagai Nia. Ia berusaha mengingat-ngingat siapa gadis itu sebenarnya. Ia tidak tahu kenapa gadis itu rela sampai berbohong seperti ini. Akan tetapi, ia tidak ingin semena-mena menghakimi gadis itu.
"Kamu Nia?" Tanyanya, mencoba mengikuti skema yang dijalankan 'Nia'.
'Nia' atau mungkin lebih tepatnya Oik, mengangguk dengan semangat berikut senyum sumringah di wajahnya. Gadis itu langsung meraih tangan Lia untuk digenggam dengan erat. "Iya, Bu. Ini Nia. Ibu masih inget sama Nia, kan?"
Cakka hanya diam memperhatikan reuni anak dan ibu di depannya. Ia tidak tahu harus ikut andil memperkenalkan Oik atau tidak. Ia sudah dengar dari gadis itu kalau dia adalah Nia. Tapi, entah kenapa hatinya masih merasa sangsi untuk mengakui.
Lia tersenyum hangat kemudian mengusap sebelah wajah Oik dengan sentuhan keibuannya. Walaupun akan selalu terjadi pergantian penghuni panti, ia tidak akan pernah lupa pada anak-anaknya. Senyum Oik sudah cukup untuk membuatnya mengenali siapa gadis itu sebenarnya.
Dia Rani.
Rani dulunya juga adalah penghuni Minuet. Gadis itu juga berteman dengan Nia, juga Aga. Sedari Aga datang untuk pertama kalinya ke Minuet, ia tahu kalau Rani sangat menyukai pemuda itu. Hanya saja, dulu Rani tipe yang pasif. Tidak ada yang tahu kalau Rani sebenarnya ingin selalu bermain dan berdekatan dengan Aga, kecuali Lia tentu saja.
Ia selalu melihat sorot kecewa dan kecil hati di mata gadis itu tiap kali Aga lebih memilih bermain bersama Nia, mendapati Aga selalu mencari Nia, kepatuhan tinggi Aga pada Nia. Ketika Aga pergi, gadis itu pergi bersembunyi di pohon taman yang agak jauh dari panti.
Ia tahu karena tak sengaja melihat gadis itu terburu-buru berlari keluar Minuet seorang diri. Ia kemudian melihat gadis kecil itu menangis seorang diri, tersedu-sedu, sampai ia tidak tega sendiri. Ia akhirnya memutuskan menghampiri gadis itu dan menjadi temannya mengadu kesedihan.
Meski begitu, ia tidak pernah sekalipun melihat Rani membuat masalah dengan temannya yang lain. Gadis itu mau bermain dengan semua orang, bahkan dengan Nia. Ia juga tidak melihat sorot iri atau benci di mata gadis itu untuk Nia.
Ketika sekarang ia mendapati gadis itu justru berusaha membohongi semua orang dengan mengaku sebagai Nia, apalagi melihat Aga di sampingnya, ia seketika mengerti kenapa gadis itu melakukan itu. Rani hanya tidak bisa melupakan Aganya.
Hatinya iba namun ia tidak bisa mengamini kebohongan. Bagaimana pun, dusta adalah dosa. Ia tidak ingin ada anak-anaknya yang melakukan tindakan tidak baik yang nantinya justru akan menyakiti mereka sendiri. Anaknya yang satu ini hanya sedang tersesat dan ia dengan sukarela menjadi penunjuk jalan, sama seperti dulu.
Lia memandang kalung yang tersemat di leher Oik, Rani-nya. Ia kemudian kembali mempertemukan kedua matanya dengan gadis itu. "Itu kalung kamu?"
Oik menjulurkan kalungnya keluar agar terlihat lebih jelas. Ia kembali menganggukkan kepala dengan cepat. "Iya, Bu. Ibu ingat, kan? Kalung aku dulu pernah hilang di panti. Trus aku bikin ulang kalungnya supaya Aga bisa ngenalin aku, juga Ibu." Jelasnya dengan penuh keyakinan.
Lia memberi jeda beberapa saat untuk kembali memperhatikan Oik. Ia kemudian tersenyum lembut sambil menggelengkan kepala pelan. "Kalung Nia gak pernah hilang, Nak."
Oik sekilas tampak kaget kemudian membalas dengan sedikit tersendat. "G-gak pernah hilang?"
Lia kini menganggukkan kepala dengan mempertahankan lengkungan halus di bibirnya. "Iya. Nia juga tau kok. Sebentar ya Ibu coba ambilkan."
Lia berdiri dari kursinya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia kemudian keluar dengan membawa sebuah kotak persegi kecil terbuat dari kayu. Ia kembali duduk dan mendekatkan kotak yang ia bawa ke hadapan Oik dan Cakka. Kotak tersebut berisi kalung asli milik Agni alias Nia.
"Meskipun semua anak panti waktu itu melihat Nia baik-baik aja, ibu tau Nia begitu sedih ketika Aga dijemput orangtuanya. Nia tidak secepat itu lupa sama Aga. Nia sering keceplosan menyebut nama Aga. Setiap dia sadar Aga udah pergi, wajahnya keliatan sedih walaupun dia berusaha keras menyembunyikan dari teman-temannya, termasuk ibu. Tiap malam, Nia gak cuma ngigau tentang ibunya, tapi juga Aga. Nia selalu bilang 'Aga jangan pergi' tiap kali dia mimpi. Ibu gamau Nia terus-terusan bersedih dan memikirkan Aga. Sampai akhirnya ibu diam-diam mengambil kalung Nia waktu dia kebetulan lagi ngelepas kalungnya. Kenyataannya usaha ibu berhasil. Sejak kalungnya hilang, Nia gak pernah lagi keinget-inget Aga. Senggaknya dia ga mimpiin Aga lagi. Dia juga udah bisa ketawa lepas. Dia jadi lebih senang main sama anak-anak lain."
Lia merasakan matanya berair karena terharu mengingat kenangannya dengan Nia dulu. Ia mengusap halus bandul khas dari kalung Nia. "Waktu Nia diadopsi, ibu akhirnya jujur. Nia gak marah. Nia justru berterimakasih karena ibu sudah berjasa bantuin dia lepas dari kesedihan. Pas ibu mau balikin kalungnya, Nia justru minta tolong ibu simpankan. Katanya, siapa tau Aga dateng ke panti, kalo Aga lupa, ibu bisa ingetin dia pake kalung ini. Nia juga takut kalungnya rusak dan hilang jadi biar dia bikin duplikatnya aja. Apalagi Nia juga rutin ke panti. Jadi gamasalah kalo dia gapake kalungnya."
Mulut Oik terkunci rapat ketika kebohongannya terbongkar tanpa bisa diperjuangkan. Ia tidak menyangka kalau ia langsung tertangkap basah seperti ini. Ia tidak tahu ada sejarah lain antara Lia dan Nia. Ia bahkan tidak yakin kalau Lia tidak tahu sama sekali siapa dirinya.
Di samping Oik, Cakka juga tidak terdengar bersuara. Hanya saja, entah kenapa pemuda itu justru tidak marah mengetahui dirinya telah dibohongi. Ia justru merasa begitu lega setelah mendapat titik terang tentang semua keraguannya selama ini soal Nia.
"Maafin Aga, Bu, baru sekarang datang ke sini." Cakka akhirnya buka mulut. Ia sama sekali tidak ingin membahas apa yang dilakukan Oik. Ia ingin dengan tulus meminta maaf sudah berlaku sebagai anak yang lupa pada orangtuanya.
Lia menggeleng cepat. "Gak perlu, Nak. Kalian masih inget Ibu aja, Ibu udah sangat senang. Anak-anak Ibu udah besar-besar."
"Bu, Aga boleh permisi ke pasar sekarang nggak?" Izin Cakka.
Lia menautkan alisnya bingung. "Mau ngapain ke pasar?"
Cakka tersenyum lugu. "Mau ketemu Nia, Bu."
***
Sepanjang jalan, mata Agni berkeliling menatap satu-persatu area yang ia lewati. Ia memang rutin mengunjungi Minuet. Tapi rasanya baru kali ini ia benar-benar memperhatikan wilayah masa kecilnya. Ia bahkan berkeliling ke seluruh kios pasar guna memuaskan dahaga dalam hatinya untuk bernostalgia.
Sekembalinya dari pasar, ia tetap melambatkan langkahnya dan tak bosan kembali memperhatikan tempat-tempat yang ia lewati. Hingga kemudian dirinya sampai pada suatu tempat yang memiliki makna khusus untuknya. Tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Aga. Sebuah gubuk reot namun kini sudah digantikan oleh bangunan air mancur yang indah.
Langkahnya terhenti dan ia membiarkan dirinya diam berdiri menatap lamat-lamat aliran air mancur di depannya. Belum lama ia berdiri, ia merasakan rintik-rintik hujan berjatuhan ke kepala dan wajahnya. Ia menengadah dan baru sadar sedari tadi awan tampak mendung.
Ia meluruskan pandangannya kembali. Tangannya terulur ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke atas, hendak menampung tetesan malu-malu dari langit yang melingkupi buminya berpijak.
Mengingat dirinya tidak membawa payung dan kecepatan turunnya hujan semakin cepat, ia akhirnya harus rela menyudahi kegiatan 'reuni'nya dan kembali melangkahkan kakinya pulang ke panti. Kebetulan ia juga belum berdamai dengan hujan, di samping karena tubuhnya memang ringkih dan mudah terjangkit flu.
Ketika tubuhnya menghadap ke samping dan kakinya baru hendak beranjak, niatnya mau tak mau harus ditunda karena kehadiran manusia lain di depannya, tepatnya seorang pemuda yang sangat ia kenal. Pemuda yang menjadi alasannya berhenti memandangi air mancur.
Pemuda itu tanpa diduga sudah berdiri dengan sebuah payung yang mengembang di atasnya. Pemuda itu menatapnya seolah sudah menunggu Agni menyadari keberadannya sedari tadi. Ketika pandangan mereka akhirnya bertemu, pemuda itu seketika tersenyum dengan lebarnya.
Agni tidak menggerakkan sedikit pun tubuhnya. Ia mendadak terdiam dan tak tahu harus bagaimana. Entah kenapa ia merasa seperti maling yang ketahuan oleh warga, khususnya oleh pemuda yang dilihatnya, oleh Cakka yang tak lain adalah Aga.
Cakka mendekat hingga berhadapan dengan Agni. Ia memajukan sedikit payungnya agar Agni dapat ikut terlindungi. Tangannya yang bebas kemudian terangkat untuk mengusap rambut Agni yang lembab karena terpajan rintik hujan.
Agni segera tersadar saat merasakan sentuhan di kepalanya. Ia dengan pelan menyingkirkan tangan yang tadinya bergerak-gerak mengelus tersebut dan memandang sang empunya dengan penuh tanya. "Lo mau ke mana? Kalo mau balik ke panti, gue nebeng. Kalo enggak, berarti gue mesti cepet-cepet jalan sebelum ujannya gede." Tanyanya tanpa basa-basi.
"Gue emang mau jemput lo kok. Gue udah duga lo ga bawa payung."
Agni hanya membulatkan mulutnya, enggan memperkarakan lebih lanjut tentang kehadiran Cakka. Ia akhirnya bisa melangkahkan kakinya lagi diikuti oleh Cakka yang berjalan beriringan di sampingnya.
Cakka tidak mengatakan apapun tapi Agni mendadak merasa terintimidasi. Ia merasa seperti diintrogasi secara tersirat. Ketika biasanya Cakka dengan sengaja ingin membuatnya tersipu namun tidak berhasil, kini pemuda itu justru membuatnya tidak berkutik tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
"Deja Vu ga sih, Ni? Lo dateng bawa belanjaan, ketemu gue di sini pas lagi hujan, bedanya sekarang gue yang bawain lo payung." Ujar Cakka seraya menerawang masa lalu.
Agni refleks menyahut begitu cepat bahkan tak sampai sedetik setelah ucapan Cakka berlalu. "Gue bukan Nia. Lo salah orang buat flashback."
Bukannya kecewa, Cakka justru menyeringai puas. Kailnya baru saja berhasil disangkuti ikan besar. "Cuma Nia yang tau kalo gue lagi ngomongin kisah gue sama dia."
Agni seperti merasa terjatuh ke sebuah lubang yang dalam dan terpental kembali ke tempat asalnya ketika ia belum siap. Ia benar-benar adalah seorang maling yang tertangkap basah, bahkan sampai 2 kali. Ia lantas mendesah pelan. "Ups, ketauan." Serahnya acuh tak acuh.
Agni kemudian menoleh pada Cakka dan memasang tampang curiga. "Kita sama-sama ke panti ga mungkin 'cuma kebetulan', kan?"
Bibir Cakka melengkung sempurna. Pemuda itu jelas sekali kelihatan senang. Sangat-sangat berbeda dengan Cakka yang beberapa waktu lalu berbicara dengan Agni. Pemuda itu menggeleng pelan. "Aga mau ketemu Nia." Jawabnya dengan lugu.
Bukannya tersanjung, Agni justru melengos malas. "Pasti ibu yang ngasih tau?" Tukasnya.
Cakka menggelengkan kepala menyangkal meskipun ucapan Agni tidak sepenuhnya salah. Tatapan matanya kemudian berubah sendu. "Kenapa lo ga jujur sih, Ni?"
"You got your 'Nia'. Apalagi?"
Raut muka Cakka sedikit mengeras. Ia menggelengkan kepala seraya memandang Agni intens. Langkah kaki mereka bahkan sampai terhenti. "No, I lost her, nyaris."
"She's...dedicated. Lo ga mungkin ditinggalin." Agni menyahut seolah-olah ingin menenangkan. Namun kemudian ia merasa geli ketika teringat Oik, mengetahui gadis itu telah berusaha maksimal berpura-pura menjadi dirinya. Bibirnya berkedut menahan tawa sebisanya.
Cakka lantas menatap Agni dramatis. "Kalo bukan lo buat apa, Ni?"
Dibanding Oik, Cakka justru sekarang jauh menggelikan atau lebih tepatnya menjijikkan. Agni kembali melengos dan berjalan begitu saja tanpa menunggu Cakka. Pemuda itu lekas menyusul dengan senyum lagi-lagi mengembang di wajahnya.
Cakka meraih lengan Agni demi menahan gadis itu untuk mengajaknya bicara lagi. Agni tidak tampak hendak mengelak dan mengikuti saja apa yang diinginkan Cakka. Ia menunggu dengan sabar seraya menatap pemuda itu.
"Udah ya basa-basinya." Cakka menarik napas dan menghembusnya perlahan, berusaha membuat dirinya menjadi lebih tenang meskipun dadanya bergemuruh karena hasrat menggebu. "Kenapa lo ga coba ngeyakinin gue, Ni?"
"Dan ngebiarin gue rebutan laki-laki? I'm so sorry I love my pride more, dude." Sahut Agni cepat.
"Dan maka dari itu lo juga pergi?" Balas Cakka tak mau kalah.
Agni mengerang gemas. Ia mendengus dengan mata menutup lalu kemudian terbuka untuk memandang Cakka kembali. "Gue ga ke mana-mana, Kka, astaga! Yang berenti ngehubungin gue emangnya siapa?" Sungutnya sedikit meninggikan suara tanpa sengaja.
Cakka melihat peluang besar di depan mata. Ia sama sekali tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. "Jadi selama ini lo nunggu buat gue hubungin?" Tanyanya dengan seringai puas.
Agni sesaat merasa malu sendiri. Ia memalingkan wajah kemudian melirik Cakka sebal. Ia lagi-lagi berjalan hendak meninggalkan pemuda itu walau sudah pasti Cakka lekas menyusul sekaligus menahannya.
"Ni, gue capek kucing-kucingan. Gue capek kita pura-pura gaada masalah. Gue capek jauhan. Kita butuh solusi supaya semuanya kelar dan jelas." Tutur Cakka, kali ini seratus persen gelagatnya menunjukkan keseriusan.
Agni berusaha tetap tenang dan sabar menghadapi Cakka. Meski ia merasakan panik tak beralasan saat ini. "Solusi kayak gimana lagi, Kka? Kita kan baik-baik aja!"
Cakka menggeleng pelan. Ia sesaat diam dengan pandangan lurus ke wajah Agni. Tatapannya kemudian berubah lembut dengan diselingi sedikit sorot jenaka. Bibirnya yang sempat lurus kini kembali meliuk dengan indahnya. "Pacaran yuk?"
Dalam sepersekian detik Agni spontan menghela napas keras lalu membalas tatapan Cakka dengan frustasi. "Bangsat. Siapa yang ngajarin lo ngomong jorok, hah?" Sungutnya sarkastis. Jadi ini alasan kenapa ia mendadak panik sebelumnya.
"Gue bukan ngomong jorok, Ni. Gue lagi nembak." Polos Cakka, seolah ucapannya tidak memiliki pesona magis apapun. Padahal di hadapannya Agni sudah merasa seperti dipanggang di atas bara karena kepanasan.
Agni berusaha menenangkan diri dan tetap memfungsikan otaknya dengan seharusnya. "Okay, let's clarify our situation first. Yang lo cari itu Nia. Yang, mungkin, lo suka itu Nia. Yang lo pikir harus lo jadiin someone special itu Nia. Tapi sorry, men. Gue Agni. Gue bukan 'Nia' lo lagi."
Cakka baru hendak buka mulut namun Agni cepat-cepat menahan dengan mengangkat salah satu tangannya, mengisyaratkan kalau ia belum selesai berbicara. "Honestly, gue sebenernya cukup tersinggung. Lo deketin gue karena Nia. Lo juga 'hilang' karena gue 'bukan' Nia. Tapi kemudian gue sadar gue gaada bedanya. Gue juga deketin lo karena lo Aga. Sangat mungkin gue bersikap yang sama kalo seandainya di satu saat gue nemu Aga yang lumayan meyakinkan selain lo. Our feelings are misunderstandings, for fvcking real. Kita tuh cuma terobsesi sama kisah lama. Kita gak tulus. Gue gamau gitu lagi, Kka."
"Then let me clarify me. Emang bener, kita berdua saling deket karena punya 'misi' masing-masing. Gue pernah bertekad bakal tetep milih Nia dari siapa pun termasuk lo. Tapi setelah gue dapet Nia, apa yang terjadi? Hati gue kosong, Ni. Siapa yang justru gue cari? Lo, Ni. Bahkan sebelum gue tau lo sebenernya siapa. Kenyataannya gue gabisa kehilangan lo, Agni. Kenyataannya lo sebagai Agni yang berhasil bikin dada gue berdebar jauh sebelum gue curiga lo itu Nia. Gue ke panti bukan mau nyari Nia, tapi Agni. Agni yang bikin gue ke sini. Nia? I Don't. Fvcking. A$s. Care. Since the day you gone." Cakka berkata panjang lebar. Ia berusaha keras menegaskan sekalian meluruskan kesalahpahaman yang sebenarnya, menurutnya, di antara mereka bedua.
Mulut Agni terbuka ingin mengatakan sesuatu namun lidahnya terasa kelu. Cakka akhirnya berhasil membuatnya mati kutu setelah selama ini ia di atas baik-baik saja menghadapi sikap manis terang-terangan dari pemuda itu.
Raut wajah Cakka kembali mengendur. Matanya dalam menatap Agni tanpa sedetikpun berpaling. Senyum lembutnya lagi-lagi tercipta di bibirnya. "Jadi, mau ya jadi pacar Gue, Ni?" Tanyanya sedikit memelas sedikit mendesak. Ia berbicara sambil memegang erat salah satu tangan gadis di depannya.
Dada Agni bergetar hebat. Ini adalah pengalaman pertama sepanjang dirinya hidup. Ia diam-diam merasa takjub karena tidak menyangka momen seperti ini dapat terjadi padanya. Ia tidak buru-buru menjawab tawaran Cakka. Kepalanya berpikir keras berusaha lagi-lagi mencerna situasi di antara mereka, menilai apakah mereka sudah saatnya berjalan selangkah lebih maju atau tetap jalan di tempat.
Setelah merasa cukup, ia kemudian membalas dengan gelengan kepala. "I admit that your words really comfort me. Tapi kita tetep belum pantes ke tahap 'itu', Kka. Yang lebih banyak jalanin peran selama ini itu Aga sama Nia, bukan Cakka sama Agni. Sementara yang diperluin di tahap 'itu', Cakka sama Agni. You know what I mean."
Agni tidak munafik kalau ia senang Cakka akhirnya tahu siapa dirinya. Ia juga tidak menampik rasa haru karena ucapan manis Cakka sebelumnya. Tapi ia merasa mereka masih terlalu cepat untuk menambah status lain di antara mereka. Walaupun sekarang keyakinan sudah terbentuk, mereka tetap perlu waktu tambahan untuk memikirkan ulang apa yang mereka rasakan.
Selama hidupnya, Agni tidak pernah punya pengalaman soal asmara. Sudah tahu kan kalau hidupnya bisa dibilang lebih banyak diisi oleh pencariannya pada Aga. Orang lain mungkin menganggapnya berlebihan dan memperumit keadaan.
Tapi, ia tidak suka memburu perasaannya sendiri. Rasanya akan lebih baik kalau semua hal yang melibatkan perasaan dipertimbangkan secara matang dan dibiarkan berjalan pelan-pelan.
"Kalo gitu gue ganti tawarannya." Usul Cakka akhirnya. Agni menautkan alisnya tidak mengerti.
"Lo bersedia gue perjuangin ga, Ni?"
***
Rasanya waktu berlalu sungguh cepat. Sudah lama sejak Ify dkk merayakan pesta kelulusan SMA hingga kini masing-masing sibuk mendaftar ulang ke universitas yang menerima mereka. Semuanya berjalan apa adanya sebagaimana mestinya sedari awal.
Nyaris tidak ada kendala yang menghampiri. Hubungan Agni dan Cakka serta Via dan Gabriel berkembang baik sesuai dengan cara mereka meskipun tak ada status resmi apapun. Shilla tidak lagi menjadi gadis galau di antara ketiga temannya. Hubungannya dengan Alvin hampir tidak pernah bermasalah.
Tapi ternyata, yang kelihatan sempurna kenyataannya tidak benar-benar miskin cela. Hubungan Rio dan Ify tidak semulus 3 pasangan yang lain. Sebenarnya Rio tidak merasakan ada yang salah antara dirinya dan sang kekasih, tapi tidak dengan Ify sendiri.
Ify pikir Dea adalah rintangan satu-satunya sekaligus terakhir dalam hubungannya bersama Rio. Nyatanya Rio sendiri adalah sumber masalah. Solidaritas sekaligus kepedulian tingkat tinggi pemuda itu lama-lama membuatnya jengah.
Rio memang tidak lagi punya perasaan khusus pada Acha. Akan tetapi, pemuda itu merasa seolah-olah bertanggung jawab pada sang mantan gebetan. Semenjak Acha memutuskan menetap di Indonesia, sejak itu juga Rio menjadi penjaga sukarela untuk gadis itu dan Sara.
Rio seolah menggantikan sosok ayah yang tidak dimiliki Sara agar gadis kecil itu tidak merasakan kekurangan kasih sayang. Rio rutin berkunjung ke rumah Acha untuk mengajak Sara bermain, rutin membawa gadis kecil itu pergi jalan-jalan, merawat ketika sakit bahkan ikut berjaga ketika pernah sekali Sara harus di rawat di rumah sakit.
Meskipun Rio selalu mengajaknya dan tidak pernah sembunyi-sembunyi untuk bertemu Acha dan Sara, Ify tetap merasa tidak nyaman. Ify tidak bisa mengelak pikirian kalau Rio sudah berlebihan. Puncaknya adalah ketika ayah kandung Sara muncul.
Rio menjadi semakin posesif pada Acha dan Sara. Pemuda itu berusaha maksimal menghindarkan kedua orang tersebut dari Septian, mantan pacar Acha sekaligus ayah kandung Sara yang dulu menolak bertanggung jawab dan memilih menghilang.
"Lo kelewatan, Yo." Keluh Ify yang sudah tidak tahan. Bagaimana tidak, Rio melupakan hari jadi tahun pertama mereka dan justru merayakan ulang tahun Sara di sekolahnya.
Rio terbirit-birit menjalankan mobilnya menuju rumah Ify ketika menerima pesan berisi kekecewaan gadis itu padanya, ketika gadis itu mengingatkannya tentang hari spesial yang seharusnya mereka rayakan sekarang. 
"Fy, maafin gue, gue salah, bener-bener salah. Lo tau kan apa yang gue lakuin ke mereka semata-mata ngebantu atas dasar kemanusiaan, ga lebih. Lo percaya sama gue, kan?" Bujuk Rio sungguh-sungguh.
Ify bahkan menunggu di kursi luar di depan rumahnya. Ia sudah mengira Rio akan datang karena ini bukan pertama kali dirinya menyampaikan keberatan. Rio pasti selalu menghampirinya dan membujuknya untuk berbaikan. 
Tapi semua orang juga tahu kalau sabar itu ada batasnya. Ify sendiri tidak yakin masih bisa menolerir atau tidak. "I trust your action more." Balasnya.
Rio hendak buka mulut namun niatnya harus ia urungkan karena Ify tiba-tiba berdiri dari duduknya. Ia yang tadinya berlutut di depan Ify ikut-ikutan menegakkan tubuhnya. Dirinya merasakan sakit berlipat-lipat menerima sorot kecewa di mata Ify.
"Kita break dulu aja, ya?" Tawar Ify dengan senyum memohon pengertian. 
Rio sontak panik, sangat. Ify ingin berjauhan dengannya? Itu benar-benar mimpi buruk. "No, no, babe, listen. Gue bener-bener salah, gue bener-bener minta maaf. Oke, gue gaakan sering-sering nemuin Sara lagi. It will be only the two of us from now. Gue beneran janji, Fy."
Ify menggelengkan kepala yang membuat wajah Rio pucat pasi. Ia meraih kedua tangan gadisnya untuk ia genggam. "Sayang, jangan gini dong?" Lirihnya amat memelas. 
"Gue ngelakuin ini buka sekedar karena kecewa sama lo. Gue belum keterima di mana-mana, Yo. Gue cuma pengen fokus belajar buat SBMPTN. Gapapa ya?"
Rio tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sungguhan merasa bersalah namun ia juga tidak mau memaksakan kehendak. Gadisnya perlu waktu untuk menenangkan diri. Tangannya terangkat dan gantian menangkup wajah Ify dengan penuh perasaan.
"Jangan lama-lama. Kabarin kalo lo udah siap 'pulang', gue selalu siap jemput. I love you."
Ify tidak membalas. Ia berjinjit agar bibirnya dapat mencapai sebelah pipi Rio untuk ia kecup sebagai pengganti ucapan pamit darinya.
Sudah hampir 3 minggu Ify tidak bertemu dengan Rio. Mereka tetap berkomunikasi lewat pesan, tidak pernah lewat telepon langsung.
Suatu hari, Ify dihubungi oleh orang tak dikenal. Akan tetapi, orang tersebut memiliki kaitan khusus pada seseorang yang dikenalnya. Orang itu menjadi seseorang yang tak disangka-sangka akan menghubungi Ify.
Dia Septian.
Septian mengajak Ify bertemu diam-diam tanpa sepengetahuan Rio. Rio pasti dengan keras tidak mengizinkan kalau pemuda itu tahu, seberapa pun usahanya membujuk. Masalahnya beberapa waktu lalu dengan Rio menjadi pertimbangan besar untuk Ify menerima ajakan Septian tersebut.
Septian memintanya untuk mempertemukan pemuda itu dengan Acha, juga Sara. Ify tidak begitu saja bersedia. Bagaimana pun, sikap Septian sebelumnya benar-benar jahat. Akan tetapi, ia melihat ketulusan di mata Septian sehingga Ify menjadi tergugah.
Ketika Ify akhirnya mewujudkan keinginan sejak lama Septian, saat itu kemudian justru membuat hubungannya dengan Rio benar-benar terancam. Tindakannya memunculkan masalah besar di antara mereka. Rio sungguh tidak mengapresiasi niat baik Ify.
"Kenapa lo segegabah itu, Fy?! Lo tau betapa kerasnya usaha gue jauhin Septian dari Acha sama Sara." Emosi Rio. Nada bicaranya sedikit tinggi namun ia berusaha keras tidak membentak Ify.
Ify menatap nanar Rio. Ia sedikit terperangah mengetahui Rio semarah ini. "Lo ga bertanggung jawab apa pun atas mereka, Yo!" 
"Karena kita, semua orang tau tentang Sara. Karena semua orang tau, akhirnya Septian bisa nemuin Acha sama Sara. Semua salah kita, Fy. Tentu kita juga punya tanggung jawab buat melindungi." Jelas Rio.
Ify dengan bergetar menggelengkan kepalanya. "Enggak, gue yang bikin Sara dikenal. Semua salah gue. Gue yang harusnya bertanggung jawab. Dan mempertemukan mereka sama Septian adalah salah satu bentuk tanggung jawab gue. Septian butuh kesempatan kedua. Septian sama Acha butuh dikasih kesempatan buat 'mereka'."
"Septian udah ninggalin mereka, Fy! Dia bikin Acha berenti dari pekerjaan impian dia dan harus ngungsi supaya ga diganggu orang-orang. Dia udah bikin hidup Acha jadi berat!" Rio sama sekali tidak menerima alasan Ify. Baginya, Septian tetaplah pria brengsek yang menghilang setelah kekasihnya mengabarkan soal kehamilan.
"Mereka yang berhak milih jalan hidup mereka. Lo ga punya hak buat ikut campur, Yo!" 
"Ify!" Tegur Rio tanpa sengaja. Napasnya memburu karena emosi. Ia menutup mata berusaha meredam semua amarah dalam dirinya. Ia tidak ingin bertindak keras pada Ify.
"Mungkin lo bener, kita emang butuh break."
Kerenggangan antara Ify dan Rio menjadi semakin jelas. Rio tidak setiap malam menghubungi. Pemuda itu sepertinya masih kecewa dan tidak rela. Sementara Ify hanya pasrah dan tidak berniat melakukan usaha untuk memperbaiki keadaan karena menurutnya keputusannya mempertemukan Acha dan Septian sudah benar.

Sampai akhirnya mimpi buruk terbesar Ify selama ini terjadi. Ferdi ditemukan tidak sadarkan diri di ruangannya di kantor. Setelah sampai di rumah sakit, diketahui kalau Ferdi mengalami serangan jantung. Laki-laki itu tidak pernah memberitahu Ify soal penyakitnya yang satu itu. Selama ini Ify hanya tahu kalau sang ayah menderita gagal ginjal.

Dokter menyatakan Ferdi sudah tidak bernyawa sebelum dibawa oleh ambulans. Ify merasa dunianya porak poranda. Ia merasakan sesak dalam diri karena tidak menjaga dengan benar sang ayah. Ia sungguhan ditinggalkan seorang diri sekarang, tanpa kata-kata.

Rio kembali muncul dan mendampingi penuh dirinya, khususnya selama proses pemakaman dan pengajian. Pemuda itu juga memintanya melupakan masalah di antara mereka bahkan menganggap mereka tidak pernah punya masalah.

Kepergian Ferdi membuatnya memikirkan dirinya, memikirkan masa depannya. Ferdi tahu kalau dirinya memiliki kendala terkait perkuliahan. Laki-laki itu menawarkannya untuk menuntut ilmu dari kegiatan yang paling ia sukai, memasak. Ferdi menawarinya untuk kuliah memasak dan bisnis di Sydney.

Tawaran tersebut sangat-sangat menggiurkan. Akan tetapi kalau dirinya bersedia, tandanya ia akan berpisah cukup lama dari Rio. Sangat tidak masuk akal kalau ia meminta Rio menunggunya dan tetap setia padanya selama bertahun-tahun. Mereka masih muda. Mereka punya begitu banyak kesempatan untuk mengembangkan diri.

Bermalam-malam Ify berpikir tentang kelanjutan nasibnya. Buruknya hubungan dirinya dan Rio sebelumnya memiliki pengaruh besar dalam keputusan yang ia ambil. Setelah berdebat keras dengan dirinya sendiri, ia akhirnya memutuskan.

Ia akan pergi dan menyelesaikan antara dirinya dan Rio.

"I want a break up." Lirih Ify pada Rio di depannya ketika mereka baru selesai makan dan sedang menurunkan isi perut. Tindakannya benar-benar tiba-tiba karena sebelumnya hubungan mereka sudah sedikit ada perbaikan.

Rio termangu sesaat kemudian wajahnya mengeras meskipun coba ditahan sebisanya. "Kamu becanda, huh?" Seringainya sinis. Ia sedang sangat serius jika menggunakan panggilan aku-kamu pada Ify. 
 
Rio benar-benar tidak suka ide perpisahan. Apalagi ia menganggap mereka sudah mulai kembali seperti biasa. Mereka juga tidak ada masalah lagi sebelumnya. 

Ify menjaga agar dirinya tetap tenang meski dadanya bergemuruh hebat. Ia tidak boleh goyah. Ini juga untuk kebaikan mereka berdua. "Aku serius, Yo. Banyak hal yang terjadi di hidup aku. Aku butuh sendiri buat bangun hidup aku lagi. Kamu mungkin rela tapi aku gamau jadi beban buat kamu. Aku gamau kamu bertahan sama aku yang gabisa ngasih hati aku sepenuhnya kayak dulu. Kamu berhak dapet yang lebih baik. Aku minta maaf."

"Shut up!" Sentak Rio dengan nada rendah. Tangannya di bawah meja mengepal. Dadanya naik turun tidak beraturan. Pemuda itu menutup matanya berusaha meredam amarah sekaligus ketakutan yang melanda.

"Aku gak mau denger kamu ngomong. Aku anggap aku ga pernah dengar 'omong kosong' kamu tadi. Aku antar kamu pulang."

Kenyataannya, dengan atau tanpa persetujuan Rio, Ify tetap memilih pergi bahkan tanpa berusaha mengucap pamit atau salam perpisahan yang lebih baik.

"Bye Rio."

***



Eiy, tamat beneran ini? Aku terbelalak kawan😂🙈
Tapi seriusan kok, ini ending. Gue kemaren bilang bakal ada 4-5 part lagi tapi taunya cuma 1 part. Konfliknya udah banyak. Partnya udah terlalu panjang. Gak bagus aja rasanya kalo harus gue panjangin lagi. Gue juga sengaja endingnya ga 'ribet' soalnya gue gamau cerita ini jadi cerita 'berat'. Gue pengen cerita ini tetep di area masuk di akal, ga fiktif2 banget gitu.
Jangan panik soalnya bakal ada epilog😍
Ngomong2 soal epilog, gue berencana masukin beberapa adult content (ga sekedar kisseu-kisseu loh ya maksud gue) buat nyesuain umur tokohnya, meskipun ga adult banget juga haha. Gue warning dari awal biar adek2ku sekalian ga merasa terjebak dan bisa mempertimbangkan buat baca atau enggak.
Semoga endingnya ga mengecewakan. Thanks a lot for everything❤️