'Cause, baby, we're just reckless kids, trying to find an island in the flood - Lights Down Low
***
Tangis Ify masih
berderu-deru saat Rio tiba-tiba menegakkan badannya dan duduk sedikit
menghadap gadis itu. Rio meraih wajah Ify dengan salah satu tangan
sementara tangan yang lain masih setia memegang bagian perutnya yang
tertancap pisau.
"Hey, hey, hey! Gue
gapapa, Fy. Udah jangan nangis lagi ya. Gue ga bakalan mati ini, suer
dah!" Bujuk Rio dengan lembut. Ia kemudian mengusap bagian bawah mata
Ify yang basah oleh air mata.
"Rio. Itu pisau!" Geram
Ify tertahan. Ia sedih dan panik tapi juga kesal karena Rio bisa-bisanya
bersikap santai. Selalu saja seperti itu.
Dada Rio menghangat. Ia
benar-benar lega sekarang. Akhirnya...akhirnya ia bisa menggapai
gadisnya lagi dengan tangannya. Akhirnya!
"Ini cuma pisau lipet kecil buat motong buah, Fy. Percaya deh, gue bakal baik-baik aja."
Ify diam seraya menatap
Rio mencari keyakinan. Napasnya masih tersengal-sengal karena isakannya
belum reda. Berikut air mata yang terus saja menetes dari sudut mata.
"Emang gak sakit?" Cicitnya dengan bibir mengerucut.
Rio hendak tertawa namun
seketika terhenti oleh rasa nyeri pada bagian perutnya. Ia lupa kalau
ada luka dengan pisau yang masih menancap di daerah sana. Tentu akan
terasa nyeri bila area sekitarnya digeraknya, misalnya ketika ia
tertawa.
"Akh!" Ringis Rio. Ify yang tadi sudah mulai tenang langsung kembali panik dan memberondongnya dengan pertanyaan.
Rio seolah tersadar
kemudian segera melenyapkan ekspresi kesakitan dari wajahnya. Andai saja
ia tidak butuh perawatan saat ini, ia pasti sudah membawa lari Ify
tanpa memedulikan apapun lagi. Tapi kemudian ia lega. Untung saja tadi
ia bergerak cepat. Kalau tidak, pisau sialan ini pasti sudah menancap
dengan mengerikan di perut Ify.
Rio tersenyum kemudian
meletakkan tangannya melewati kedua bahu Ify, memberi kode pada gadis
itu kalau ia hendak berdiri. "Kita mesti ke rumah sakit, Fy."
Rio menyadarkan Ify
tentang apa yang seharusnya mereka lakukan sekarang. Ify terkesiap dan
lantas mengangguk patuh. Ia kemudian dengan hati-hati membantu Rio
hingga berdiri dengan sempurna.
Debo tampak berjalan
cepat hendak menghampiri Ify dan Rio. Ia baru saja selesai memastikan
Dea benar-benar dibawa ke rumah sakit. Ia tahu Rio terluka namun ia
harus memastikan Dea lebih dulu.
Meskipun sudah banyak
orang yang mengawal gadis itu, ia tetap hanya bisa percaya pada matanya
sendiri. Ia tidak ingin kecolongan jika Dea kembali berpura-pura dan
akhirnya mengelabuhi orang-orang yang ingin membawanya.
Langkah terburu-burunya
berhenti ketika melihat dua orang yang ingin ia temui sedang berjalan
keluar area taman. Ia menghela napas lega melihat Rio yang kelihatan
baik-baik saja. Meskipun ia sedikit ngeri melihat kepala pisau
menggantung di perut sebelah kiri pemuda itu.
Ia tanpa mengucapkan
apapun kemudian berbalik kembali mendekati mobilnya. Ia membuka pintu
bagian tengah demi memudahkan Ify dan Rio masuk. Di dalam, Via langsung
menolehkan kepalanya ke belakang mencari tahu bagaimana keadaan Rio dan
Ify.
"Gue gatau ini semua
apaan tapi..lo berdua gapapa?" Via menurunkan pandangannya pada luka di
tubuh Rio dan raut wajahnya berubah sedikit khawatir.
Rio tidak menjawab
melainkan memilih merebahkan tubuhnya dengan menyandarkan kepala di paha
Ify. Ia berseru girang dalam hati. Sudah lama sekali rasanya ia tidak
sedekat ini dengan Ify. Sayang ia harus lagi-lagi bersabar menunggu
lukanya diobati.
Rasa cemas dalam dada
Via seketika lenyap. Tingkah Rio saat ini benar-benar seperti tidak
terjadi apa-apa pada pemuda itu. Seharusnya ia marah karena Rio
seenaknya menempel pada Ify, temannya yang sudah pemuda itu buat galau
berat berhari-hari hingga hari ini.
Namun entah mengapa,
hatinya lega melihat keduanya kembali bersama. Ia juga dapat melihat
lagi cahaya di wajah Ify meskipun gadis itu kelihat panik sekarang. Ia
diam-diam tersenyum senang.
Begitu pula Debo. Ia
lega sekarang semuanya sudah menemui jalan keluar. Sudah tidak ada yang
perlu dirinya khawatirkan antara Rio dan Ify. Ia senang gadisnya dapat meraih kembali bahagianya bersama dengan pemuda yang dapat menjaganya dengan baik.
Good job, Mama.
***
Rio sudah dalam
perjalanan menuju ke rumah Ify ketika gadis itu mengatakan kalau ingin
berangkat sendiri. Ia bahkan repot-repot bangun lebih pagi supaya dapat
sedikit lebih lama bersama gadisnya. Karena mulai hari ini hingga
beberapa waktu ke depan, ia akan benar-benar sibuk mengurus keperluan prom night.
Namun, apa daya kalau
Ify sudah berkeinginan. Hampir 98% ia pasti akan mewujudkan meskipun
sempat diawali perdebatan sengit dulu. 2% sisanya tidak jadi ia
laksanakan karena Ify menukar apa yang ia mau. Ia tersenyum geli kalau
mengingat sifat gadisnya yang satu itu. Ia tidak menyangka kalau ia bisa
sangat menyukai tingkah menggemaskan Ify.
Tipe gadis yang
disukainya dulu sungguh jauh dari kata menggemaskan. Acha, mungkin juga
karena gadis itu lebih tua, adalah orang yang dewasa, baik sikap maupun
pikirannya. Gadis itu juga mandiri dan tegas, tapi juga keibuan. Acha
mungkin adalah Agni versi lebih feminim. Sifat seperti itu dulu ia
puja-puja setengah mati.
Keberhasilan Ify,
membuatnya jatuh cinta pada karakter yang sama sekali tidak masuk
perhitungan baginya, tentu merupakan sebuah hal yang luar biasa. Hal itu
membuat Ify mampu terlihat lebih hebat dari siapapun gadis yang ada di
hidupnya, juga dihatinya tentu saja. Bukan cuma menyukai, ia juga
ketagihan.
Ck, sekarang Ify
justru berekspektasi ia akan rela kehilangan kesempatan berdua dengan
gadis itu. Tidak. Sama sekali tidak rela. Tapi ia tidak bisa memaksa.
Ini adalah pertama
kalinya Rio datang betul-betul pagi ke sekolah. Baru ada satu mobil yang
parkir selain dirinya. Ini adalah pemandangan yang benar-benar langka
untuknya. Biasanya ia bahkan hampir tidak pernah kebagian lahan parkir
di area dalam sekolah. Sekarang ia justru bisa memarkir 3 mobil
sekaligus.
Ia melangkah santai
memasuki koridor. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Dea yang tengah
berdiri di depan mading. Ia melirik bingung ke arah gadis itu. Tidak
biasanya juga Dea datang sepagi ini berhubung rumah gadis itu tidak
begitu jauh dari sekolah.
"Tumben kamu dateng pagi?" Tanya Rio langsung sekaligus menyapa.
Entah pengamatannya
yang salah atau memang begitu adanya, Dea seperti kelihatan kagok
melihatnya. Namun, ia kemudian hanya menganggap lalu pikirannya
tersebut.
"K—KakYo? Pagi! Iya, pagi.." Sapanya dengan senyum cerah namun tampak tidak rileks.
Rio mengamatinya
sekali lagi lalu kemudian memutuskan tidak perlu mempermasalahkan lebih
lanjut. Mungkin dia lagi kebelet pipis. Pagi ini juga kebetulan dingin.
Ah, Ify gue pasti ga pake jaket. Yah..gabisa modus meluk. Gadeng. Tiap hari juga pasti gue peluk, hehehe..
Sayangnya waktunya
untuk berdua dengan Ify harus tertunda lagi karena gadisnya harus
menghadap Bu Okky. Ia kembali sehabis mengantar Ify hingga masuk ke
ruang guru dengan muka ditekuk berlipat-lipat. Ia mendadak merasa semua
orang berkomplot untuk 'menjauhkan' dirinya dari Ify, termasuk Ify
sendiri.
Belum lama kakinya
berjalan, ia mendapati Dea menghampirinya dengan napas ngos-ngosan.
Sepertinya tadi gadis itu berlari hingga sampai di depannya, membuat
gadis itu seolah benar-benar butuh untuk menemuinya. Ia menatap Dea
dengan sebelah alis terangkat.
"Kamu kenapa?" Tanyanya bingung.
Dea mencoba mengatur
napas seraya menelan ludahnya sebelum berbicara. "T—tolongin Dea,
KakYo.." Lirihnya dengan air muka memelas.
Rio masih diam
menunggu penjelasan Dea mengenai apa yang terjadi pada gadis itu.
Khususnya lagi, ia harus menolong dalam hal apa.
"A—ada yang nempel foto K—kak Angel lagi di rumah sakit. A—aku takut.." Jelas Dea dengan terbata-bata.
Rio tak dapat
memungkiri dirinya kaget mendengar ucapan Dea. Kalau Dea sampai setakut
ini, tentu bukan gambar kunjungan ke rumah sakit biasa yang gadis itu
maksud. Pasti lebih 'spesifik' lagi.
Ia menilik ekspresi
yang ditunjukkan Dea saat ini. Ia refleks melakukan itu seolah ia sedang
mencari tahu adakah yang gadis itu sembunyikan darinya atau tidak. Ia
juga tidak tahu kenapa.
Seolah sadar, Dea lekas membantah tatapan 'menuduh' Rio padanya. "Bu—bukan aku, KakYo. Iya, bukan aku!"
Rio seketika terdiam
di tempatnya. Sangat disayangkan ia cukup mengenali gadis di hadapannya.
Mungkin ia tidak bisa selalu menebak Dea sedang berbicara jujur atau
sebaliknya. Namun, ia tahu tanda kalau gadis itu sedang membual. Gadis
itu akan memaksa ucapannya benar dibarengi dengan anggukan kepala serta
tatapan meyakinkan.
Seperti yang baru saja Dea lakukan.
Bila terjadi sesuatu
dan ia curiga dengan gadis itu, Dea justru akan tampak takut bahkan bisa
sampai menangis. Setelah itu Dea akan melakukan aksi mogok bicara
dengannya karena tersinggung telah dituduh melakukan hal yang tidak
gadis itu perbuat. Dea juga akan lebih dulu bertanya apakah dirinya
mencurigai gadis itu atau tidak, bukan langsung menjawab seperti ini.
Dugaannya semakin
kuat ketika teringat pertemuannya dengan Dea tadi pagi di depan mading.
Bagaimana gadis itu tampak begitu terkejut melihatnya. Ia bisa menjamin
kalau foto yang gadis itu sebut-sebut tak lain berasal dari gadis itu
sendiri.
For God's sake.
Perasaan Rio sungguh tidak karuan. Ia seperti terbawa ke masa-masa Dea
rutin berbuat nekat pada dirinya sendiri. Bagaimana dirinya harus
bolak-balik ke rumah sakit untuk melihat kondisi gadis itu setelah
berulang kali mencoba bunuh diri dengan bermacam cara. Mulai dari minum
cairan pembunuh serangga, menyayat urat nadi, hingga yang paling parah
dan untungnya sempat dicegah yaitu menabrakkan diri pada mobil yang
tengah melaju di jalan raya.
Sekarang ketika gadis
itu sudah melibatkan orang lain, menggunakan tindakan nekatnya untuk
mencelakai orang lain, tentu menjadi sebuah pertanda yang sangat-sangat
tidak baik melainkan genting. Ketika ia terbayang wajah Ify di benaknya,
kepala Rio mendadak terasa sakit.
"KakYo, kali ini beneran bukan aku!" Ujar Dea kembali.
"Kali ini?" Ringis Rio. Memangnya sudah berapa kali? Ya Tuhan, kepalanya seperti makin ingin meledak saja rasanya.
Belum sempat Rio
mendapat jawaban, ekspresi Dea tiba-tiba berubah ketakutan. Pandangannya
terfokus pada sesuatu di belakang pemuda itu.
Rio refleks menoleh
ke belakang dan melihat Angel tengah berjalan menuju mereka, gadis yang
menjadi topik pembicaraan mereka saat ini. Raut muka Angel sungguh tidak
bersahabat. Ia menduga akan terjadi keributan setelah ini.
Rio mendesah pasrah. Sepertinya ia memang diharuskan menghadapi perilaku nekat Dea lagi sekarang.
***
Kaki Rio melangkah
tergesa-gesa dengan mata berkeliling seperti mencari seseorang.
Pandangannya kemudian terhenti pada seorang wanita paruh baya seumuran
ibunya yang sedang memilih-milih buah apel untuk dibawanya ke tempat
penimbangan. Rio menghela napas singkat lalu kemudian kembali
menggerakkan kakinya menuju perempuan tersebut.
Wanita tadi tersenyum
mendapati Rio berdiri di sampingnya. Ia kemudian memandang bingung anak
muda di hadapannya yang tampak sedikit serius. "Jadi, apa yang mau kamu
omongin sama tante, Yo?" Tanyanya dengan nada khas keibuan.
Sekali lagi Rio
menghela napas. Ia tidak berharap apapun datang kemari ketika menemui
wanita di hadapannya. Syukur kalau wanita itu percaya pada apa yang ia
ucapkan. Kalau tidak, ia hanya ingin memberi peringatan yang
kedengarannya ringan namun ia berikan tanpa niat main-main.
"Soal Dea, Tante. Rio rasa dia perlu 'rehabilitasi', Tan." Jujur Rio tanpa ragu.
Air muka wanita yang
tak lain adalah ibu dari gadis yang Rio sebut-sebut berubah masam. Aura
bersahabat pun tak lagi menguar dari setiap permukaan tubuhnya. Wajah
mama Dea menunjukkan kalau wanita itu benar-benar tidak suka pada usulan
Rio yang menurutnya tidak masuk akal.
"Jangan lancang kamu. Kamu pikir Dea gila?!" Geramnya tertahan.
Rio sudah menduga
reaksi ini yang akan ia dapatkan. Meski begitu, ia tidak akan mundur.
"Dea bahkan udah bikin seseorang nyaris dikeluarin dari sekolah.
Meskipun gak jadi karena orangnya 'keburu' meninggal.." Gantung Rio.
Tatapannya berubah tajam. Ia berusaha menahan emosinya karena masih
menghormati wanita di depannya. "..dan itu baru yang Rio liat langsung.
Belum yang 'sembunyi-sembunyi'."
Apel yang digenggam
oleh mama Dea saat ini tampak bergetar karena si pemegang mengeratkan
cengkramannya. Wanita ini masih tidak ingin mempercayai apa yang Rio
ucapkan meskipun ada ketakutan dalam dirinya kalau yang didengarnya saat
ini adalah kenyataan. "Kamu pasti udah salah, Yo. Tante gak percaya
sama kamu. Di mata tante, Dea baik-baik aja."
Rio diam sesaat lalu
kemudian menganggukkan sekali kepalanya. "Rio gak maksa. Tapi Tante
perlu tau, kalo sampe Dea berbuat macam-macam sama orang-orang di
sekitar Rio, khususnya pacar Rio sekarang, maaf Rio gak akan
'memperlakukan' Dea sebagai adik Rio lagi. Salah tetep salah, Tan, dan
ada konsekuensinya." Peringati Rio tegas.
Wanita di hadapan Rio
tergelak sinis. Ia menatap Rio dengan mencemooh. "Jadi cuma karena satu
perempuan kamu membuang kepedulian kamu sama Dea? Ternyata begini sifat
kamu yang sebenarnya. Kamu dulu baik hanya karena Acha. Sekarang
setelah kamu menemukan pengganti, kamu memilih memberikan punggung kamu
untuk kami."
Rio memang tidak
berharap mama Dea akan menerima saran 'baik'nya. Namun ia tidak
menyangka akan timbul drama seperti ini antara dirinya dan wanita itu.
Ia benar-benar tidak punya waktu untuk ini.
Ia sungguh sibuk
dengan urusannya dengan acara sekolah. Ia sudah bersusah payah mencari
waktu dan curi-curi kesempatan untuk bertemu tanpa diketahui Dea. Tapi
malah kemarahan tidak perlu seperti ini ditambah dengan tuduhan tidak
manusiawi yang harus ia hadapi.
Rio tidak mau
mengungkit-ungkit kebaikan namun ia perlu menyebutkan itu untuk
membersihkan namanya. "Tante, Rio gaakan berkali-kali bolos sekolah
sampe disidang Papa dan nolak manggung dengan cara gak profesional sampe
harus ganti rugi demi ngurusin Dea kalo Rio cuma sok baik buat dapetin
Acha. Nyari muka juga gak seniat itu, Tan. Terserah Tante sekarang mau
mandang Rio gimana yang jelas Rio masih tetap Rio. Rio cuma gak mau
membiarkan Dea menganggap wajar kalo dia ganggu orang lain, gimana pun
kondisi jiwanya. Makasih Tante udah bersedia ketemu sama Rio. Maaf kalo
Rio ganggu waktu Tante. Rio permisi."
Rio tidak mendengar
apapun lagi keluar dari mulut mama Dea. Ia juga kurang berminat untuk
meladeninya lagi. Yang penting tujuannya memberitahu wanita itu sudah
terlaksana.
***
Rio tidak pernah
main-main dalam urusan keselamatan. Dea yang ia anggap adik saja bisa ia
jaga sebegitu ketatnya, apalagi Ify. Semenjak ia tahu Dea berbohong,
sejak itu hatinya tidak pernah sepi dari kepanikan. Kepalanya tidak
pernah absen memikirkan cara yang tepat untuk menangani Dea, terutama
membongkar apa saja yang sudah gadis itu lakukan selama ini.
Bertanya langsung
pada tersangka tentu tidak mungkin. Membicarakannya langsung pada Ify
membuatnya khawatir kalau gadisnya justru akan berubah ketakutan alias
parno. Ia ingin gadisnya tenang namun tetap terjaga.
Sudah cukup ia
menunggu mama Dea mengambil tindakan yang tepat, sesuai yang ia
sarankan. Sampai kapan pun wanita itu tidak akan berpihak padanya.
Satu-satunya jalan adalah saudara perempuan satu-satunya yang dimiliki
gadis itu...Acha.
Ia rela repot-repot
menghubungi rekan Acha di Amerika untuk meminta bantuan memberi tahu
Acha. Ia tidak bisa mengambil risiko menghubungi Acha langsung. Walau
belum pasti, namun ia mau tidak mau menaruh curiga kalau Dea pasti
memegang semua sandi akun milik Acha. Gadis itu bisa saja tahu
rencananya dan akan menggagalkannya sedari awal.
Ia akhirnya dapat
berkomunikasi dengan Acha lewat email khusus yang mereka buat untuk
masing-masing. Ia memutuskan meminta kebersediaan Acha untuk
membantunya. Karena sebenarnya hal ini tak lain untuk kebaikan sang
adik. Beruntung Acha setuju dan justru memilih pulang ke kampung
halamannya tak lama setelah Rio menghubungi.
Rio tidak tahu gosip
miring mengenai Acha adalah sebuah kesialan atau justru batu loncatan
untuk rencananya. Dengan gosip tersebut, ia jadi punya alibi yang
meyakinkan bagi Dea kalau ia masih memiliki perasaan khusus pada
kakaknya dengan selalu pasang badan untuk Acha.
Kepura-puraannya ini
menjadi lebih meyakinkan dengan menjauhnya Ify walau dengan perasaan
tidak rela yang amat besar di dalam hatinya. Ia harus jatuh bangun
menahan diri untuk tidak berlari ke arah Ify tiap kali melihat tatapan
terluka gadisnya.
Tidak hanya Acha,
sandiwaranya ini juga melibatkan orang-orang lain yang berhubungan
dengan Ify, yaitu Agni dan Debo. Tepat setelah kejadian Dea melabrak Ify
di kelas, ia membuat pertemuan diam-diam dengan dua orang tersebut. Ia
ingin memberi Agni penjelasan sehingga tidak mengutuknya dalam-dalam
karena sudah membuat teman tersayangnya terlihat tanpa aura untuk
sementara. Sekalian agar gadis itu membantunya menjaga Ify selagi ia
absen dari peredaran.
Ia juga meminta
bantuan Debo untuk menjadi supir sukarela Ify, yang tentu akan dilakukan
dengan sukarela juga oleh pemuda itu, selama ia tidak bisa menjalankan
tugas tersebut. Ia tidak ingin ambil risiko kecolongan menganggap Dea
sudah tenang karena dirinya selalu bersama Acha dan membiarkan Ify
celaka di saat ia sangat bisa mencegahnya terjadi.
Dari situ juga ia
mendapat panggilan kesayangan yang menyebalkan dari Debo. Pada hari
pertama Debo menjadi tukang antar jemput Ify, ia menghubungi pemuda itu
untuk memperingatkan agar tidak berbuat macam-macam pada gadisnya
seperti dulu, meskipun status gadisnya yang diemban Ify menjadi anulir
sementara waktu.
"Hai, Mama! Debo lagi sama ayang nih. Ngertiin dikit sih?"
Cih, ia tahu pemuda
itu sedang menggodanya. Namun tetap saja kedengarannya menyebalkan.
"Sejak kapan gue homoan ama bapak lo, Tai?! Inget ya, tujuan lo cuma
jagain cewek gue. Gausah modus."
Rio percaya diri
dengan pesonanya. Tapi tidak ada yang menjamin Ify tiba-tiba lelah
merana karena dirinya dan memutuskan merubah haluan. Ia harus menutup
semua jalan, salah satunya dengan mencegah Debo flirting pada Ify.
"Siap, Mamaku. Bakal
Babang Debo pepet ampe ga bisa lepas. Udah ya Ma? Debo mau fokus nyetir.
Gaboleh main hape ntar nabrak kucing. Daah.."
Rio menjerit kesal
mendengar ucapan Debo barusan. Seketika ia menyesal telah melibatkan
pemuda itu. Sayangnya, tidak ada orang lain yang lebih masuk akal
sekaligus membuat skema yang ia jalankan menjadi tampak lebih nyata.
Alhasil, Rio
memutuskan menghubungi Ify. Ia hanya berniat membuat Ify tetap
mengingatnya dengan mengirimkan pesan setiap malam. Ia tahu gadis itu
pasti akan kebingungan karena ia mengirim pesan namun bersikap seolah
tidak ada apa-apa di antara mereka. Ia tahu gadisnya merasa gundah namun
ia sedang tidak bisa mencegahnya demi menciptakan dunia yang damai
nantinya untuk gadis itu. Lebay memang.
Sengaja sih. Biar gue keliatan keren ae.
Meyakinkan mama Dea
memang sebuah tantangan yang sungguhan sulitnya. Bahkan sang suami juga
turut berusaha menyadarkan namun masih tidak berhasil. Hati wanita itu
benar-benar sulit diluluhkan. Keyakinannya sekeras baja.
Sebenarnya bukan
tidak percaya. Rio pikir wanita itu hanya tidak terima akan semua yang
menimpa anak-anaknya. Yang satu punya anak tanpa menikah, yang satu
gangguan jiwa. Ia mengerti wanita itu pasti berusaha keras menolak untuk
memuaskan hatinya sendiri.
Beruntung setelah
berhari-hari berusaha berbicara, mama Dea akhirnya mau diajak bekerja
sama. Jangan mengira wanita itu sudah percaya pada apa yang ia sangkakan
pada anaknya. Wanita itu justru bersedia ikut hanya untuk membuktikan
kalau apa yang diyakininya tidak salah, membuktikan pada semua orang
anaknya baik-baik saja.
Sayangnya ia justru menduga akan terjadi sesuatu yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Ia dengan sengaja
menghubungi Ify dan tidak menghapus pesan yang ia kirimkan. Kebetulan
pesan-pesan sebelumnya juga masih tersimpan tanpa pernah ia utak-atik.
Untuk mendramatisir, ia kembali merubah semua wallpaper ponselnya dengan
wajah Ify. Kemudian, Ia sengaja meninggalkan ponsel tersebut pada Dea
agar gadis itu melihat komunikasinya dengan Ify sehingga akan merasa
'dikhianati'.
Ia benar-benar puas
mengetahui pancingannya ditelan bulat-bulat oleh Dea ketika Debo
menginformasikan kalau pemuda itu dalam perjalanan mengantar Ify untuk
menemui 'dirinya'. Ia bergegas menyusul dengan membawa serta Acha dan
ibunya untuk sama-sama membuktikan keyakinan siapa yang benar selama
ini.
Rio berusaha secepat
mungkin agar ia sampai lebih dulu. Ia ingin memastikan tidak ada
benda-benda yang bisa digunakan Dea untuk mencelakai Ify. Amit-amit,
sih. Ia tidak berpikiran buruk namun ia percaya setan ada di mana saja.
Ia tetap harus waspada. Siapa tahu Dea khilaf. Ia saja sering. Gadisnya
kelewat menggemaskan, sih.
Ia kemudian
bersembunyi di balik salah satu pohon besar di dekat Dea berdiri. Tak
lama setelahnya, Ify akhirnya tiba dan sudah pasti kaget melihat orang
yang berbeda yang justru ditemuinya. Ia segera melakukan video call dengan Acha dan mengarahkan kameranya pada Ify dan Dea.
Tuhan seperti ikut
membantunya ketika membuat Ify justru membeberkan semua yang telah Dea
lakukan pada gadis itu. Emosinya nyaris tidak bisa ia tahan ketika ia
akhirnya mengetahui apa yang sudah Ify alami selama ini. Ia marah juga
merasa bersalah namun sekaligus lega karena sebentar lagi semuanya
benar-benar berakhir.
Tapi kemudian darahnya terasa mendidih melihat apa yang baru saja Dea keluarkan dari balik tubuhnya. Pisau!
"Fvck.." Desisnya tertahan. Sudah ia bilang kan akan ada sesuatu yang lebih buruk? Ini sungguh-sungguh sangat buruk.
Pisau dengan bentuk
dan warna yang lucu yang dibeli Dea ketika ia menemani gadis itu
berbelanja bersama dengan Acha, dulu sekali ia bahkan sudah lupa kapan.
Apa gadis itu akan menggunakannya dengan sungguhan?!
Tanpa sempat
menjawab, kaki Rio sudah melaju lebih dulu mendekati Ify dan mendorong
tubuh gadis itu sehingga terhindar dari arah gerakan tangan Dea. Jawaban
pertanyaannya sebelumnya sudah ia dapatkan dengan menancapnya pisau
tersebut di perut sebelah kirinya.
Ia masih dalam
kondisi syok yang membuatnya bahkan tidak merasakan apapun ketika mata
benda tajam yang dipegang Dea menembus lapisan otot perutnya. Baru
setelah ia mendengar teriakan berisi namanya, rasa sakit itu menjadi
nyata. Ia merintih seraya memegang bagian perutnya yang terluka.
Ia melihat
orang-orang dengan segera membawa Dea pergi. Barulah ketika pandangannya
jatuh pada Ify, rasa sakit di tubuhnya seolah tidak ada arti.
Mengetahui ia berhasil melindungi gadisnya hingga saat ini dan
menghindarkan celaka lebih lanjut untuk waktu ke depan, membuat dadanya
terasa sangat ringan.
Ia lega. Sangat lega.
Ia menyungging senyum
lembut pada Ify yang kini menangis ketakutan seraya memegang wajahnya.
"Udah selesai, Fy...Semuanya udah selesai.."
***
Seperti yang sudah Rio
duga sebelumnya, cedera di perutnya bukanlah cedera serius yang sampai
menembus atau melukai organ dalam. Senekat-nekatnya Dea, tetap saja
gadis itu tidak berpengalaman soal 'menggunakan' pisau. Pisaunya juga
tergolong pendek.
Ia melihat Ify duduk
dengan gelisah seraya memelintir bajunya ketika dokter yang menangani
lukanya memberikan jahitan. Meski ngeri, mata gadis itu tak pernah lepas
dari lukanya. Sementara matanya tidak pernah lepas dari wajah gadis
itu. Memandang gadisnya seperti sebuah obat bius tambahan yang
membuatnya bahkan tidak merasakan sakit dari awal.
Ify langsung menegakkan
tubuhnya dan memerintahkannya menunggu sebentar karena gadis itu hendak
menebus obat. Ia lantas mendengarkan dengan patuh, walau sebenarnya ia
tidak setidak berdaya itu sampai harus meminta orang lain mengambil obat
untuknya. Tapi seperti yang sudah pernah ia bilang, ia pasti
mengabulkan apapun yang Ify minta apalagi perintahkan.
Gadis itu akhirnya
kembali menghampirinya dengan sebungkus obat di tangan. Ia lantas
mendudukkan badannya untuk menghadap Ify. Ia meraih salah satu tangan
gadis itu untuk ia genggam. Tatapannya seketika berubah memelas. "Sama
gue ya, Fy, jangan pulang sama Via dulu?" Pintanya sungguh-sungguh.
Ify memperhatikan Rio
sebentar lalu kemudian merunduk seraya memberengut. "Di tempat lo kan
ada Kak Acha.." Cicitnya pelan. Ia memandangi dengan dada berdebar
genggaman tangan Rio padanya.
Rio benar-benar merasa
seperti seluruh beban di pundaknya terlepas begitu saja hanya karena
melihat Ify-nya cemburu. Ia tersenyum lembut namun menggoda. "Jadi lo
maunya kita berdua doang?" Bisiknya seraya mengelus dengan sayang
punggung tangan Ify.
Ify perlahan mengangkat
wajahnya kembali bertemu tatap dengan Rio. Ia sesaat diam menikmati
tatapan dalam penuh cinta pemuda itu yang beberapa hari belakangan tidak
bisa ia lihat. Ia lantas mengiyakan tanpa pikir panjang. "Hmm."
Rio sesaat tertegun,
tidak menyangka Ify justru akan menjawab jujur. Aiss..kenapa mereka
harus berada di rumah sakit sekarang? Kalau tidak, ia pasti
sudah..sudah..
Heleh, mau tau ae lo pada gue mau ngapain!
Rio menarik tirai di
belakang Ify untuk menghalau pandangan orang-orang sekitar. Untung
tempat tidur tempatnya mendapatkan jahitan juga berada di paling pojok
ruangan. Ia sudah merencanakan sejak awal sih sebenarnya. Ia tahu ia
harus membujuk Ify lebih dulu dan harus berhasil bagaimana pun caranya.
Ia lalu menarik tangan
Ify agar gadis itu mendekat ke arahnya. Ia juga menuntun kedua tangan
Ify ke bahunya sementara tangannya sendiri mengalung di pinggang gadis
itu. "Gue bareng Iel sama Cakka, kok. Acha sama mamanya dan mereka pasti
lagi di rumah sakit ngurusin Dea." Jelasnya dengan sabar.
Rio menunggu agar Ify
memahami ucapannya. Namun, ia justru mendapati mata Ify yang menatapnya
intens memerah. Gadis itu juga menggigit bibirnya seolah berusaha
menahan tangisan yang mungkin akan keluar.
Ia sedih tapi juga ikut
gemas sendiri ketika ia tahu kenapa gadis itu mendadak ingin terisak.
"Sedih ya selama gue gaada?" Tebaknya, masih dengan berbisik.
Ify mengangguk dengan lugunya. Hal itu lantas memunculkan kembali senyum di wajah Rio. "Kangen?"
"Hmm." Kali ini Ify
memberikan jawaban langsung, masih sama jujurnya dengan sebelumnya.
Gadis itu sudah lelah menahan perasaan selama beberapa hari belakangan.
Senyum Rio menjadi makin
lebar saja. "Jadi, mau ikut gue, kan?" Bujuknya terakhir kali. Tapi
kemudian ia mendapat ide. "Cium gue berarti mau. Cubit gue berarti
gamau."
Keinginan untuk menangis
oleh Ify seketika lenyap. Matanya mendelik ke arah Rio. "Kenapa nyium?
Iss..kan udah putus jadi gabisa nyium!" Rutunya benar-benar lucu. Gadis
itu tidak sedang memberi kode. Gadis itu sedang serius merutu. Merutu
karena tidak bisa menjawab iya berhubung syaratnya tidak bisa ia
lakukan.
Rio tertawa pelan. Ia
tidak tahan untuk mengusap pipi Ify. "Gue masih jadi pacar lo ya, Fy."
Katanya selembut kapas. Semanis permen kapas. Senyaman bantal yang diisi
kapas.
Dada Ify berdesir
mendapati Rio mengembalikan ucapannya pada pemuda itu waktu lalu. Pemuda
itu membalas dengan cara yang paling manis. Telinganya bahkan menuntut
untuk mendengarnya kembali. Meskipun kemudian ia menahan diri. Ia sudah
terlalu jujur bukan sejak tadi?
Ia menatap Rio yang
kelihatan sedang menunggu jawabannya. Ia lantas menyerah karena sudah
tidak memiliki alasan. "Cium di mana?"
Ify yang nawarin ya..gaboleh disia-siain..
Rio tidak menjawab
melainkan justru menurunkan pandangannya pada bibir Ify lalu kembali
bertatapan dengan gadis itu. Ia dapat melihat semburat kemerahan di
wajah gadisnya, yang sekarang sudah benar-benar resmi kembali menjadi
gadisnya.
"Rio.." Rengek Ify pelan.
"Hmm?" Dehem Rio yang
justru membuat Ify makin ketar-ketir. Padahal selama pacaran, Rio sudah
beberapa kali mencuri kecupan di bibirnya. Tapi kalau ia yang harus
memulainya, tetap saja malu.
"Woops!" Seru Via yang
tiba-tiba datang. Gadis itu sedikit kaget melihat Ify dan Rio saat ini.
Ia lantas nyengir karena mungkin telah sangat mengganggu. "Maap-maap, ga
sengaja!"
Tuhan tidak lagi
berpihak pada Rio melainkan berubah haluan pada Ify karena sudah
menggagalkan upaya modusnya pada gadis itu. Ia lantas tersenyum geli
untuk dirinya sendiri.
Babang gagal. Tenang, besok babang coba lagi.
***
Segera setelah ia
mendapat informasi keberadaan Via dari Rio, Gabriel langsung membawa
lari tubuhnya menuju mobil. Satu-satunya yang tinggal tanpa ada kegiatan
berarti di salah satu rumah milik ayah Alvin, yang selalu mereka
tempati ketika mengunjungi Alvin, hanyalah dirinya.
Cakka pergi menemui
Agni. Rio, sedari dirinya sampai, belum menunjukkan batang hidungnya.
Apalagi pemuda itu juga tidak berangkat bersama dirinya dan Cakka. Rio
beralasan hendak mengurus sesuatu. Begitu pula dengan Alvin.
Ia sedari tadi sudah
mencoba menghubungi Via. Namun seperti yang telah ia perkirakan, gadis
itu pasti tidak mau menggubrisnya. Ia juga sudah mencoba menanyakan pada
ketiga teman Via yang lain namun tak satu pun membalas pesannya.
Orang-orang di sekitarnya memang tega. Mengajaknya liburan tapi ia
justru teronggok nelangsa seorang diri di sini.
Tanpa disangka-sangka,
Rio menghubunginya dan tahu-tahu membeberkan di mana lokasi Via. Ia
langsung bergegas menuju rumah sakit tempat Rio sekaligus Via berada
saat ini. Ia tidak menanyakan kenapa mereka bisa ada di sana demi
mempercepat waktunya sampai. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan lagi.
Sekaligus, ia sudah bosan seorang diri di rumah Alvin.
Sesampainya di rumah
sakit, ia memutuskan menuggu di depan ruang IGD. Ia mengawasi satu per
satu manusia yang tampak keluar masuk sampai akhirnya ia benar-benar
menemukan Via. Gadis yang mengajaknya kucing-kucingan beberapa hari lalu
tampak berjalan keluar IGD dengan tenang. Ia kemudian melangkah
mendekat dengan senyum tipis di wajahnya.
Via menyadari keberadaan
Gabriel beberapa meter sebelum ia sampai di pintu keluar IGD. Ia
merengus dalam hati dan mengutuk siapa pun yang membocorkan
keberadaannya pada pemuda itu. Meskipun ia dapat menebak siapa
pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Rio? Ify tidak mungkin. Gadis itu saja
tidak bisa memalingkan fokusnya pada luka di tubuh Rio. Debo? Mereka
kenal saja ia ragu.
Via berusaha pura-pura
mengabaikan Gabriel yang tampak menunggunya keluar. Sayangnya pemuda itu
justru dengan terang-terangan menghalau langkahnya ketika mereka
berhadapan. Ia berjalan ke kiri, pemuda itu ke kiri. Ia ke kanan, pemuda
itu ke kanan.
Ck, ia sama sekali tidak mengharapkan adegan picisan seperti sekarang.
Via berhenti dan menatap Gabriel tidak suka, seketus nada bicaranya. "Apa?!"
Gabriel tersenyum lebih kentara. "Masih ngambek?" Tanyanya enteng.
Via mendengus keras,
kesal kemarahannya selama ini justru disepelekan. Gabriel benar-benar
tahu cara membuatnya naik pitam. "Minggir!" Usirnya tanpa mau diajak
kompromi.
Gabriel sesaat
membiarkan Via berjalan melewatinya. Ia kemudian membalikkan badan
seraya memanggil kembali gadis itu. "Diem-dieman kayak gini cuma bikin
lo kepanasan sendiri karena penasaran, Vi. Gue dengan senang hati
bersedia menjawab apapun yang lo mau tau."
Langkah Via terhenti
dengan sedikit hentakan. Ia meniup poni yang menjuntai di dahinya hingga
berterbangan ke atas sesaat. Sungguh. Ia kesal.
Via berbalik badan
hendak menjawab namun seketika semua sumpah serapahnya kembali tertelan
ke dalam mulut dikarenakan Gabriel tahu-tahu sudah berdiri sangat dekat
di depannya. Ia sampai berjengit ke belakang namun tangan Gabriel dengan
sigap menahan kedua lengannya sehingga ia tidak jadi berpindah tempat.
Harusnya Via marah atau
mencak-mencak. Namun, ia justru mendapati dirinya hanya diam memandangi
wajah tampan Gabriel di depannya.
"Kita ngobrol dulu ya,
Vi?" Tawar Gabriel tanpa diiringi nada memaksa. Meskipun ia akan terus
mendesak Via kalau gadis itu masih menolak berbicara dengannya.
Tak ada yang bisa Via
lakukan selain menghela napas. Ia bisa bersikap tegas pada papanya namun
ia masih saja mengaku kalah pada Gabriel. Ia tidak bisa menjawab apakah
sikapnya ini baik atau tidak. Hatinya hanya mengatakan agar dirinya
mengikuti alurnya saja.
"Yaudah." Serahnya.
***
"Mau minum apa, Vi?"
Tawar Gabriel, basa-basi sebelum mereka melakukan pembicaraan serius,
mungkin menurut Via. Sementara Gabriel sebenarnya merasa tidak ada
masalah besar di antara mereka yang harus dibahas dalam-dalam.
Gabriel dan Via sudah
sampai kembali ke rumah Alvin, nyaris bersamaan dengan kedatangan Rio
dan Ify. Dua sejoli itu memilih masuk ke dalam salah satu kamar karena
Rio ingin beristirahat setelah tidak tidur sehari semalam. Sekaligus
membiarkan Gabriel dan Via memiliki waktu dan tempat khusus berdua.
Karena melihat wajah ditekuk Via sudah cukup menjelaskan pada mereka
kalau ada sesuatu yang perlu dibicarakan benar-benar.
"Gue ga ada bilang
bersedia lama-lama ya." Via memberi peringatan secara tersirat kalau
Gabriel tidak perlu membuang waktu dan langsung pada tujuan utama mereka
saja.
Gabriel sama sekali
tidak tampak tersinggung. Ia hanya tersenyum maklum. Ia memang sering
dihadiahi kemarahan Via. Namun, ia tahu kemarahan Via saat ini berbeda
dari biasanya. Kalau biasanya akan lewat seperti angin, yang sekarang
justru tidak akan pernah redam kalau ia salah bicara dan tidak
memberikan pengertian yang baik pada Via.
Ia izin sesaat untuk
mengambil sesuatu di dalam kamar. Ia kemudian keluar dan menghampiri Via
yang duduk tenang di sofa. Ia menyerahkan sebuah buku ke depan gadis
itu. Sebuah novel. Yang kebetulan tidak asing di mata Via. Justru sempat
ia cari dulu sebelum ia membelinya ulang.
Via melirik novel di
depannya lalu mengernyit seraya menatap Gabriel penuh tanya. Gabriel
tidak menjawab namun hanya diam menatapnya dan justru tampak menunggu.
Ia mendesah pelan sudah tak sabar. Tidak biasanya pemuda itu bermain
kode-kodean seperti ini.
"Ini apa, Yel? Buat gue? Gue udah punya, kasih cewek lo aja." Ceplos Via asal sekalian jengah.
Gabriel yang tadinya
duduk bersandar akhirnya menegapkan kembali badannya. Ia menunjuk novel
yang dibawanya dengan dagu. "Coba lo periksa isinya." Pintanya singkat.
Via memasang tampang tak
mengerti. Namun karena tampaknya Gabriel tidak ada niatan menjelaskan
lebih lanjut, ia mau tidak mau menuruti permintaan pemuda itu. Ia
membawa ke pangkuan novel yang ditunjuk Gabriel. Ia membuka satu per
satu halaman dengan gerakan tersentak-sentak. Jangan lupa, ia masih
kesal.
"Lo orang paling banyak kerjaan yang nyuruh gue ke sini cuma buat baca nov—"
Belum sempat Via selesai menyuarakan protes, Gabriel cepat-cepat memotong. "Coba buka bagian tengahnya, Vi." Tegurnya halus.
Via menatap Gabriel
tajam tapi kemudian mendengus pelan. Nada bicara pemuda itu sama sekali
tidak memerintah namun dirinya tidak bisa menolak apa yang pemuda itu
amanatkan. Ia jadi makin kesal, terlebih pada dirinya sendiri yang tidak
konsisten.
Ia membuka halaman
tengah seperti yang Gabriel bilang. Ia baru saja hendak mendumel namun
lagi-lagi semua ocehannya harus ia telan kembali ketika melihat sebuah
tulisan yang terdapat di bagian atas halaman yang tengah terbuka.
Tulisan yang begitu mirip dengan tulisan tangannya. Bahkan nama yang
tertera di sana persis dengan nama lahirnya.
Alias, yang dia pegang sekarang ini adalah novel miliknya.
Seketika kepala Via
kembali membayangkan waktu pertama kali ia terjebak untuk menyamar
menjadi Zaza. Ia ingat sekali itu adalah hari di mana ia membeli novel
yang ada di tangannya kini. Pantas saja novel itu tidak ia temukan di
mana pun di kamarnya saat itu sehingga membuatnya memutuskan
menggantinya dengan yang baru.
Via kembali menoleh pada
Gabriel dan menatapnya tidak percaya sekaligus penasaran. Kenapa buku
ini justru berada di tangan Gabriel?
"Kok..bisa..sama lo?" Lirihnya tak yakin.
"Ketinggalan pas lo lagi
nonton, di sebelah gue." Jawab Gabriel dengan tenang. Sedari tadi,
matanya tak pernah berpaling dari wajah Via.
Seingatnya ia tidak
janjian menonton bersama Gabriel sehabis ia membeli novel ini. Waktu itu
ia kebetulan ikut menonton untuk memata-matai Gabriel. Ia juga sedang
menyamar menjadi Zaza..astaga! Apa jangan-jangan karena ini perannya
ketahuan oleh pemuda itu?
"Novel itu cuma
memastikan kalo mata gue gak salah ngenalin lo. Dari awal gue emang udah
curiga yang pake wig itu lo, Vi." Gabriel kembali menjawab seolah paham
isi otak Via saat ini.
Via mendadak merasakan
pening di kepalanya. Jadi, ia bahkan sudah dikenali sejak detik pertama?
Tapi Gabriel justru tidak mengatakan apa-apa dan memilih ikut
menjalankan drama yang dirinya buat?
"Gue kaget pas denger lo
justru ngaku jadi orang lain dan bersikap seolah gak kenal gue. Coba
deh lo pikir, siapa yang harusnya kesel. Gue, yang tetep jadi 'Iel' tapi
justru pura-pura gak lo kenal, atau lo, yang emang jadi orang lain yang
gue perlakukan juga kayak orang lain karena lo pun bersikap kayak gitu
sama gue? Kalo lo ketemu 'temen' lo yang kayak gitu, lo bakal gimana,
Vi?" Todong Gabriel tanpa disangka-sangka. Via mengingatkannya pada rasa
kesalnya dulu pada gadis itu karena bisa-bisanya berpura-pura tidak
mengenali dirinya. Ia sedikit tersinggung.
Via tertegun sambil
memegang novel di tangan. Gabriel baru saja membuka pikirannya. Ucapan
pemuda itu memang ada benarnya. Iya juga, sih. Siapa yang tidak sebal
kalau sebelumnya saling kenal namun salah satu di antaranya malah
bersikap seperti tidak pernah bertemu satu sama lain.
Kalau ia mendapati
Gabriel yang seperti itu, ia tentu akan kesal dan membalas sikap pemuda
itu dengan hal yang sama, yakni ikut-ikutan merasa tidak pernah kenal.
Tidak, tidak. Ia tidak
boleh sembrono mengiyakan ucapan Gabriel. Bisa saja pemuda itu hanya
mengarang alasan. Ia belum boleh mengalah dulu. "Dan abis itu malah lo
pacarin?" Sahutnya sarkastis.
Gabriel bersidekap
sambil mendekatkan badannya ke arah Via sementara Via tetap diam pada
posisinya. "Inget pas gue bilang lo unik? Itu sebenernya emang buat lo,
Via, bukan Zaza. Awalnya emang gue kesel lo pura-pura ga kenal sama gue.
Tapi abis itu gue justru jadi penasaran, kenapa lo sampe harus nyamar
segala. Banyak orang kalo papasan pura-pura ga kenal. Tapi baru lo yang
gue temuin justru sampe nyamar jadi orang lain. Itu bikin lo beda di
mata gue. Dan lo tau kan gue suka terlibat sama yang anti mainstream."
Sial. Gabriel lagi-lagi bisa membalikkan ucapannya. Via merasa saat ini sedang menaiki wahana roller coaster di mana jiwanya seolah terombang-ambing naik-turun mendengar twist dari Gabriel. Ia yang tadinya marah besar justru sekarang seperti tidak bernyali di depan pemuda itu.
Gabriel tidak berniat
untuk menghakimi Via. Dari awal kan sudah ia bilang, ia hanya menganggap
gadis itu sedang merajuk, bukan marah. Ia justru senang melihat
ekspresi melongo dan malu diam-diam dari Via karena sadar sudah salah
paham.
Kapan lagi bikin Via tengsin?
"Apalagi? Apalagi?"
Tanya Gabriel yang mendadak semangat. Sikap pemuda itu benar-benar
membuat obrolan mereka saat ini hanyalah cuap-cuap ringan biasa.
Via makin merasa
kepalanya berputar tak karuan. Ia pusing menghadapi Gabriel yang tidak
ada serius-seriusnya sama sekali sementara dirinya masih belum rela
berdamai dengan pemuda itu. Kalau pun nantinya hubungannya dengan
Gabriel akan membaik, bukan begini cara berbaikan yang ada di
bayangannya.
Ia menarik napas lalu
membuangnya dalam 1 kali hentakan. Ia mengangkat sebelah tangannya lalu
menggelengkan kepalanya beberapa kali setelah selesai berbicara. "Tapi
lo seserius itu pas diputusin Zaza, Bray."
Gantian Gabriel yang
mendecak sebal persis seperti anak kecil tengah merajuk. "Ya gimana ga
sedih. Via musuhin gue. Zaza pake minta putus. Trus gue bisa
sayang-sayangan sama lo nya gimana dong?"
"Sayang dari Hongkong!" Dumel Via pelan.
Gabriel sontak
menggelengkan kepala seolah 'kecewa'. "Sumpah ya, Vi. Lo gak banget. Gue
kecewa. Itu jargon udah uzur masih aja lo pake." Komentarnya yang
sangat tidak penting menurut Via.
Via menutup wajahnya
dengan kedua tangan. Ia menunduk kemudian menyisir rambutnya ke
belakang. Harusnya tidak seperti ini. Harusnya bukan begini. Rapalnya
berulang-ulang dalam hati.
Ketika Via masih sibuk
meratapi situasi nyeleneh antara dirinya dan Gabriel, tiba-tiba ia
mendengar suara bisikan memanggil namanya. Ia refleks menegakkan
badannya menoleh ke sumber suara. Ia terdiam manakala mendapati Gabriel
sudah duduk manis bersidekap di sampingnya dengan badan sedikit condong
ke arahnya.
Bukan jarak mereka yang
menjadi masalah, melainkan tatapan tajam Gabriel yang membuat Via
ketar-ketir. Ia yang sedaritadi berkoar-koar agar pemuda di depannya
serius namun sekalinya itu terjadi, ia justru kehilangan kata-kata.
"Lo mau kita ngomong
kayak gini, kan?" Ujar Gabriel.
Tidak perlu pemuda itu tekankan lewat
ucapan kalau dirinya tengah serius. Nada bicaranya saja sudah mampu
membuat mayoritas rambut-rambut halus yang melingkupi permukaan kulit
luar Via meremang. Via berkedip cepat beberapa kali masih belum terbiasa
dengan situasi yang menderanya sekarang.
Gabriel lantas kembali bertanya dengan cara bicara yang sama. "Apa lagi yang mau lo tau, Vi?"
Setelah beberapa saat,
Via kemudian dapat membuat dirinya nyaman dengan pandangan luar biasa
dari Gabriel padanya. Ia justru mulai berani membalas tatapan tersebut
sama tajamnya. "Pricilla." Gumamnya singkat namun mewakili semua rasa
penasaran dalam dirinya yang masih tersisa mengenai Gabriel.
Tidak ada ekspresi
berarti yang muncul di raut wajah Gabriel. Pemuda itu masih setia
menghunus tatapan tajam dengan pembawaan teramat tenang. "Gue dijodohin
sama dia, dulu. Gue gak tau kalo lo ternyata anaknya Om Riza. Mau ngasih
tau tapi gue bingung gimana caranya yang ga bikin lo sakit hati."
Via memilih diam
mendengarkan Gabriel menjelaskan dengan seksama. Ia memang sudah tidak
mau 'peduli' siapa dan bagaimana ayahnya. Namun, informasi perjodohan
Gabriel dan Pricilla berhadil membuatnya tidak bisa berkomentar. Dadanya
mulai terasa tidak nyaman.
Bolehkah ia tidak terima?
Gabriel menyadari
perasaan gelisah yang coba ditutupi Via lewat wajah datarnya. Ia lantas
cepat-cepat meyakinkan gadis itu agar tidak lagi berprasangka
macam-macam padanya. "Yang gue seriusin sekarang cuma lo, Vi. Jangan
pernah ambil hati apa yang gue lakuin sama Pricilla. Gue masih deketin
dia karena ada alasan. Gue lagi nyelesein sesuatu, ntar juga lo bakal
tau. Yang penting, gue ga selingkuh, Vi. Beneran!" Jelasnya dengan penuh
kesabaran.
Via tidak lagi
mementingkan isi perkataan Gabriel. Yang ada di kepalanya sekarang
justru rasa takjub karena pemuda itu bisa bersikap sebersahaja saat
ini. Sebelumnya, menurut Via, hidup Gabriel itu 90% bercanda, 10% tidak
serius. Sehingga ketika Gabriel dapat secara konsisten menjaga
ketenangan dirinya dalam berbicara, tentu menjadi sebuah hal yang sangat
luar biasa.
"Lo masih mau percaya sama gue, kan?" Tanya Gabriel penuh harap.
Via memberi jeda
beberapa saat lalu kemudian berdehem pelan. Ia tetap berusaha keras
menjaga mimik wajahnya agar tidak mencetak ekspresi yang berlebihan dan
begitu kentara. Ia tetap tidak ingin membuat Gabriel besar kepala.
Namun sepertinya mereka
memang tidak ditakdirkan berlama-lama dalam situasi tegang. Gabriel
dengan cepat menarik tubuhnya dan bertepuk tangan sekali lalu mengepal
kedua tangannya seperti sedang melakukan selebrasi.
"YES!" Serunya yang tampak amat puas.
Via hanya diam
memperhatikan dengan kerutan-kerutan di dahinya. Gabriel kemudian
menoleh kembali pada gadis di sampingnya. Sorot jenakanya sudah kembali
menguasai tatapan matanya. Membuat Via mendesah lemah tanpa bisa
dicegah.
"Kita udah fix baikan,
kan?!" Kembali Gabriel berseru antusias. Via tidak menjawab melainkan
memutar kedua bola matanya. Untung ia tidak terlena tadi dan memilih
berekspektasi tidak banyak seperti biasa.
Via menjatuhkan badannya
dan bersandar pada badan sofa di balik punggungnya. Tindakannya itu
langsung disusul oleh Gabriel yang sedikit menurunkan tubuhnya agar
kepalanya dapat bersandar di lengan Via.
Antara menikmati
sekaligus merasa percuma untuk melerai, Via membiarkan Gabriel kembali
menempel padanya tanpa protes sedikit pun. Ia kemudian melihat pemuda
itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Deliv makan yuk? Gue laper," Ajak Gabriel seraya menelusuri berbagai pilihan makanan antar pada ponselnya.
Via melirik Gabriel sebentar lalu kemudian ikut-ikutan melihat daftar tempat makan yang tengah dibuka pemuda itu. "Makan apa?"
Memilih makanan
setelahnya menjadi akhir 'perseteruan' antara Gabriel dan Via, tepatnya
menjadi ujung kemarahan Via pada Gabriel. Hubungan mereka kembali
seperti asal mulanya hanya dengan sebuah obrolan ringan yang syukur ada
isinya.
Apa yang bisa kita
harapkan dari hubungan mereka memang? Via menangis setiap malam,
menghindar dari Gabriel, menciptakan drama melankolis dengan pemuda itu?
Sementara Gabriel frustasi mengejar Via, mengemis hingga bertekuk
lutut, menangis karena tidak dimaafkan?
Sayangnya yang kita
bicarakan ini adalah Gabriel, yang kata Via 90% bercanda, 10% tidak
serius, dan Via sendiri, yang selalu menerima dengan lapang dada setiap
fenomena dalam hidupnya.
***
Tadinya mobil Chris
masih setia mengikuti diam-diam mobil yang diduga tengah menculik Febby
dan teman laki-lakinya. Namun kemudian mereka kehilangan jejak setelah
terjebak di lampu merah.
Untungnya, mereka
melihat mobil voxy tersebut berbelok ke salah satu lajur untuk masuk ke
dalam kawasan perumahan. Walau mereka tidak tahu tempatnya, namun kalau
hanya satu kawasan perumahan tentu ada harapan besar mereka akan
menemukan kembali mobil si penculik.
Mereka menghela napas
lega berbarengan ketika angka yang menunjukkan waktu menyalanya lampu
merah kembali ke nilai nol dan segera digantikan oleh angka baru untuk
lampu hijau. Chris melajukan mobilnya kembali dengan sedikit
terburu-buru.
"Gue mesti ngasih tau
Alvin ga, Kak? Atau polisi?" Tanya Shilla dengan pandangan tak menentu.
Matanya masih berkeliaran melihat-lihat rumah-rumah yang mereka lewati.
"Kalo lapor polisi
sekarang, kita pasti mesti ke sana buat ngasih keterangan sebagai saksi.
Kita udah sedekat ini sama mereka trus mau kabur gitu aja? Seenggaknya
kita tau dulu di mana cewek Alvin itu disembunyiin." Jawab Chris dengan
bijak dan terlihat mencoba tetap tenang.
Pendapat Chris sama
sekali tidak salah. Hanya saja ada dari penyampaiannya yang membuat
Shilla kesal, di saat seperti ini. "Dia bukan cewek Alvin, Kak! Ih!"
Sungutnya tak terima sekaligus cemburu.
Chris hanya diam tidak
menanggapi karena juga merasa tidak begitu perlu. Namun setelah itu, ia
kembali berbicara. "Yang bawa cew—siapa nama ceweknya tadi?" Sebelum ia
benar-benar dihajar karena salah menyebut identitas, lebih baik ia
bertanya sehingga singa di sebelahnya tetap tenang.
Shilla mendengus karena lagi-lagi ia harus mengulang nama yang membuatnya sensi. "Febby." Ketusnya.
"Oke, Febby. Yang lagi
bawa Febby sekarang pasti udah tau siapa Febby dan temen cowoknya. Yang
kita gatau, sasarannya Febby atau cowok itu. Mending sekarang lo cari
tau siapa cowok yang juga dibawa bareng Febby." Usul Chris.
Shilla tanpa protes
kemudian langsung membuka kunci ponselnya dan mulai melakukan pencarian
pada akun sosial media Febby. Akun gadis itu ternyata digembok sehingga
ia tidak bisa mengetahui isi di dalamnya.
Ia kemudian beralih pada
akun milik sekolah Alvin yang tentunya juga sekolah Febby. Siapa tahu
pemuda yang dibawa tadi juga bersekolah di tempat yang sama. Ia tidak
bisa memastikan karena tadi Febby dan Goldi mereka temukan tidak sedang
memakai seragam.
Tidak butuh menelusuri
hingga ke bagian bawah, ia sudah menemukan foto si pemuda. Ia sudah bisa
memanggil pemuda tersebut dengan sebuah nama sekarang, Goldi. Tak heran
foto pemuda itu bisa begitu mudah ia temukan di sana berhubung jabatan
pemuda itu sebagai ketua OSIS.
Ia lalu mencoba mencari
tahu siapa Goldi lewat akun sosial media pemuda itu. Sayangnya pemuda
itu sepertinya tidak punya akun apapun. Ia lantas iseng membuka laman
pencarian dan mengetik nama pemuda itu. Ia sedikit kaget ketika membaca
latar belakang pemuda yang tengah ia selidiki.
Ayah Goldi termasuk
salah satu pengusaha besar di Indonesia. Meskipun bukan nomor satu, tapi
tetap tidak menghapus kenyataan kalau pemuda itu berasal dari keluarga
kaya raya. Sebenarnya ia sudah bisa menduga dari mobil mewah yang
dikendarai pemuda itu sebelum dihadang oleh penculik.
"Bokapnya konglomerat cuy, pantesan aja.." Takjub Shilla.
Chris menganggukkan kepala ketika sudah mendapat gambaran di kepalanya tentang situasi yang kini mereka hadapi.
"Lah, dia anak bini ke-3?!" Perangah Shilla tiba-tiba ketika membaca berita terkait ayah Goldi lebih lanjut. "Wah iya, Men. Dia satu-satunya anak cowok dari bapaknya."
Chris menoleh padanya
dan seketika saling berpandangan. Penculikan ini bukan drama balas
dendam karena sakit hati dan tahta seperti yang sering difilmkan di
tv-tv, kan?
Sayangnya, mereka justru
lebih yakin dengan alasan itu dibanding penculikan untuk sekedar
meminta tebusan. Tentunya ini akan lebih mengancam keselamatan Febby dan
Goldi ketimbang diculik hanya karena uang.
"Coba lo usaha hubungin
bokapnya Goldi. Kalo lo hubungin Alvin ujung-ujungnya mereka cuma bisa
lapor polisi. Bokap Goldi pasti punya jalan keluar yang lebih efisien."
Shilla mengangguk
kemudian mencoba mencari nomor perusahaan ayah Goldi yang bisa ia
hubungi. Beruntungnya menjadi perusahaan besar sehingga nomornya dapat
dengan mudah Shilla temukan di internet.
Shilla mengetuk-ngetuk
kuku telunjuknya pada punggung ponselnya seraya menunggu panggilannya
dijawab. Ia terlonjak senang ketika sebuah suara perempuan menyapa.
"Selamat malam, ada yang bisa dibantu?"
Shilla menelan ludah
sebelum menjawab. "Perkenalkan saya Ashilla. Maaf sebelumnya, Mbak.
Ucapan saya mungkin akan kedengeran mengada-ngada. Tapi saya mau
melaporkan kemungkinan penculikan yang dialami oleh anak pemilik
perusahaan tempat mbak bekerja. Apakah memungkinkan kalo saya
dihubungkan dengan Pak Antoni langsung?" Balasnya dengan sopan.
"Saya coba sambungkan dengan sekretarisnya ya, Mbak. Terimakasih sebelumnya atas informasinya."
Shilla kembali harus menunggu nada sambung berhenti menggema dari speaker ponselnya. Ia menegapkan tubuhnya spontan setelah kembali mendengar suara seorang perempuan menyapa.
"Selamat malam, ada yang bisa dibantu?"
Shilla kemudian
mengulang apa yang sudah ia sampaikan pada wanita yang kemungkinan
adalah resepsionis di kantor ayah Goldi. Ia lagi-lagi harus menunggu
dengan sabar hingga akhirnya ia benar-benar berbicara langsung dengan
Antoni, ayah Goldi.
"Kamu yang melapor anak
saya diculik?" Tukas Antoni dengan nada menyelidik. Wajar. Kalau ia jadi
orangtua, ia juga pasti akan mengira dirinya justru komplotan dari
penculik yang ia laporkan. Apalagi kalau sang penculik juga belum
menghubungi sasaran.
"Benar, Pak. Saya
Ashilla. Mobil teman saya tidak sengaja berhenti tepat di belakang mobil
anak bapak yang waktu itu tiba-tiba dihadang oleh sebuah mobil. Ada
sekitar 5 orang laki-laki, badannya kekar, keluar kemudian membawa
dengan paksa anak bapak dan teman perempuannya. Saya dan teman saya
sudah coba menghalangi namun kita kalah jumlah. Saya dan teman saya
sedaritadi mengikuti kemana mobil tersebut membawa pergi anak bapak
namun kita kehilangan jejak karena terjebak lampu merah. Tapi kita
melihat mobil penculik itu masuk ke kawasan perumahan Nusa Indah. Kami
masih berusaha menemukan di mana anak bapak sekarang."
Shilla menjelaskan
panjang lebar dengan menjaga benar ketenangan suaranya. Aura Antoni
sungguh kuat. Nada bicaranya saja sudah membuat Shilla tahu kalau
laki-laki itu bukan orang sembarangan. Ia lantas membiarkan Antoni diam
memahami ucapannya sekaligus mendinginkan kepala.
Bagaimanapun tenangnya
laki-laki itu, saat ini dadanya pasti diliputi rasa cemas. Yang kita
bicarakan saat ini adalah anak laki-laki satu-satunya yang ia punya
tidak tahu nasibnya bagaimana, bahkan masih bernapas atau tidak pun
mereka tidak bisa dengan percaya diri menentukan.
"Maaf kalau ini justru
menyinggung anda sekeluarga. Tapi tidak ada salahnya bapak mencari tahu
apakah ada salah satu orang terdekat bapak terlibat dalam penculikan
ini. Karena itu yang justru lebih membahayakan keselamatan anak bapak.
Bapak pasti lebih tau." Saran Shilla dengan hati-hati.
Sampai kini, Shilla
belum mendengar lagi Antoni mengucapkan sesuatu kepadanya. Namun ia
dapat merasakan kalau laki-laki itu mendengarkannya dengan baik dan
sekarang tengah berpikir keras.
"Terimakasih sudah
mencoba menghubungi dan membantu saya. Saya akan mengirimkan bantuan ke
lokasi kalian berada. Saya harap sebelum mereka datang, kalian juga
berhati-hati. Tolong segera kabari kalau kalian sudah menemukan di mana
anak saya. Saya akan mengirimkan nomor yang bisa kalian hubungi."
Hanya sekali Antoni
membalas dan sambungan antara laki-laki itu dan Shilla kemudian diputus.
Shilla tidak merasa tersinggung sama sekali karena teleponnya
dihentikan secara sepihak. Justru respon Antoni jauh lebih baik dari
yang ia bayangkan. Laki-laki itu pasti memilih buru-buru mencari cara
untuk menyelamatkan sang anak ketimbang berbicara basa-basi dengannya.
Di saat yang sama ia
terbayang wajah temannya yang paling galak alias Agni. Ia langsung
menghubungi gadis itu karena merasa Agni pasti akan sangat membantu.
"Ni, jangan banyak tanya, telen aja bulet-bulet. Febby diculik, gue lagi
nyari di mana dia disekap. Lo cepetan otw ke perumahan Nusa Indah. Ntar gue sent loc."
Tak lama setelah
panggilan dengan Agni berakhir, mereka akhirnya menemukan mobil yang
mereka cari-cari terparkir di depan sebuah rumah. Rumah tersebut tampak
tidak mencurigakan sama sekali. Rumah tersebut pun tampak terurus, tidak
ada tanda-tanda dikosongkan beberapa lama.
Shilla yang kebetulan
baru saja berkomunikasi dengan Agni segera mengirimkan titik lokasinya
pada gadis itu. Ia kemudian kembali membuat panggilan agar Agni tidak
mengabaikan pesannya.
"Halo, Ni? Udah jalan belom? Gue ud—"
BRAK!!
Bunyi itu tak hanya
datang dari samping Shilla namun juga Chris. Ia mendapati kaca jendela
di samping mereka pecah berkeping-keping. Ia belum sempat mendapat ide
apa yang terjadi ketika kepalanya terasa dipukul cukup keras hingga
pandangannya seketika buram. Bukan pingsan, kepalanya hanya terasa
begitu sakit hingga ia tidak bisa membuka matanya.
***
Hari ini Cakka sudah
berhasil menempatkan dirinya sebagai pria paling brengsek yang pernah
ada. Ini bahkan lebih hina dibanding gelar playboy yang selama
ini diembannya. Selama ini ia tidak memenuhi satu pun kriteria hingga ia
harus setuju dianggap sebagai tukang main perempuan. Tapi kini ia
justru bersikap lebih pendosa ketimbang seorang pemain perempuan.
Cakka sadar betul apa
konsekuensi dari perbuatannya. Tapi, mau bagaimana lagi. Nia-nya lebih
penting dari siapa pun. Ia harus memastikan siapa Nia-nya sehingga
hatinya tidak lagi diluputi keraguan. Walau pun itu berarti ia bisa saja
melepas Agni begitu saja.
Kenyataannya tidak ada
'begitu saja' yang dirasakannya. Ia sudah menemukan Nia namun dadanya
justru terasa berat ketika Agni sendiri yang memutuskan pergi darinya
dengan membawa luka, mungkin. Ia bahkan sudah tidak lagi antusias
menyambut Nia-nya. Hatinya terasa hambar.
Tatapan kecewa Agni
terus saja berputar di kepalanya dan membuat dadanya sesak. Perasaan
tidak nyaman ini bahkan melebihi rasa kecewanya ketika mengetahui
dirinya adalah pria kedua Febby.
Ia bisa mengeluarkan
amarah sedemikian hebatnya ketika Febby muncul setelah sekian lama
menghilang karena gadis itu sudah bersama pria lain lagi. Namun emosinya
sekarang justru membuatnya tidak bisa mengatakan apapun.
Oik..atau mungkin ia harus menyebutnya Nia? Entahlah, ia sedang tidak mood peduli.
Selepas mengantar gadis itu ke rumahnya, ia justru hanya berdiam di
dalam mobilnya di tepi jalan entah di mana. Ia kebetulan melihat jalanan
sepi dan memutuskan berhenti.
Ia memandangi bandul
kalung yang selama ini begitu dipuja-puja Agni. Kalung yang dulunya
tampak sangat berarti untuk Agni namun tadi dibuang gadis itu tanpa
ragu. Seolah-olah kalung tersebut justru adalah penjangkit virus
mematikan sehingga patut dimusnahkan.
Begini ternyata rasanya
mencapai harapan dengan kehilangan harapan. Ia tidak berani
berandai-andai kalau Agni hanya sekedar tersinggung dan akan membaik
dengan sebuah kata maaf. Memangnya dia pantas mengucap maaf pada Agni?
Setelah ia bertaruh bagaimana perasaannya dengan menggunakan gadis itu.
"Maafin gue, Ni.."
***
Agni sudah kembali
tenang seperti biasa. Maksudnya, dari luar gadis itu kelihatan baik-baik
saja seperti biasa, seperti tak ada satu pun hal buruk yang menimpanya.
Padahal yang barusan ia alami seharusnya membuatnya terguncang melebihi
gempa bumi.
Sebenarnya ia masih
tidak mengerti kenapa ia semarah ini. Cakka hanya mengajaknya bertemu
dengan gadis yang pemuda itu kira adalah Nia. Kalau dipikir-pikir, bukan
salah pemuda itu untuk meragu. Oik juga memiliki kalung yang sama
dengan yang ia miliki. Gadis itu juga tampak sangat meyakinkan.
Ia yang pergi begitu
saja tanpa mendengar Cakka bicara. Memangnya apa yang ia harapkan? Cakka
akan tetap memilihnya meskipun dirinya bukan 'siapa-siapa'? Selama ini
mereka memang dekat. Tapi Cakka tidak pernah menunjukkan tanda-tanda
kalau ada yang spesial di hubungan mereka.
Kalau sedari awal pemuda
itu hanya menganggapnya teman, lalu salah kalau pemuda itu berniat
mencari siapa temannya yang lain, yang mungkin jauh lebih berarti?
Seharusnya ia juga
merasa tersanjung karena ternyata Cakka juga mencari-'nya'. Dirinya
alias Nia memiliki arti besar untuk pemuda itu, meskipun pengetahuan
Cakka sedang tersesat kini. Ia seharusnya dapat membela diri dan
membersihkan namanya.
Tapi entah kenapa, ia
tetap merasa yang dilakukan Cakka tidak benar. Cakka terlalu egois
karena hanya memikirkan Nia-nya. Itu artinya Cakka hanya menyukai Nia,
bukan dirinya seutuhnya. Eh..memang sejak kapan Cakka mengaku
menyukainya? Dan..siapa yang bilang Cakka mau memacari Nia setelah
bertemu satu sama lain?
Haiss..terserah lah. Ia tidak mau tahu lagi.
Getaran di ponselnya
berhasil menyelamatkan Agni dari rasa frustasi. Ia mendapati Shilla
menelepon dan kemudian menjawabnya tanpa pikir panjang.
"Ha—"
Belum lengkap sapaannya,
sang lawan bicara keburu bercerocos panjang lebar tanpa jeda. Ia hanya
diam mendengarkan dengan penuh kesabaran. Hari ini rasanya penuh dengan
cobaan.
"Ni, jangan banyak tanya, telen aja bulet-bulet. Febby diculik, gue lagi nyari di mana dia disekap. Lo cepetan otw ke perumahan Nusa Indah. Ntar gue sent loc."
Pinta atau mungkin perintah Shilla karena nada bicaranya benar-benar
tidak menolerir penolakan. Gadis itu bahkan langsung mematikan sambungan
sebelum Agni sempat mempertimbangkan harus mengiyakan atau tidak.
Agni, yang setengah
nyawanya sebenarnya masih berkelana entah kemana, memahami
setengah-setengah pula ucapan Shilla di telepon. Satu yang ia pastikan,
ia harus menemui sang teman. Ia samar-samar ingat Shilla menyebut
culik-menculik namun ia sendiri kurang yakin dengan pendengarannya
tersebut.
Ia hanya menghela napas lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia kemudian mengajak bicara mas-mas tukang ojek online yang kini sedang mengantarnya, tadinya hendak menuju ke rumah Chris. "Mas, perumahan Nusa Indah jauh gak dari sini?"
"Neng mau ke sana?" Tanya si tukang ojek.
"Maunya, sih. Mas bisa nganterin atau saya turun di sini aja biar pesen ojek lagi?" Tawar Agni.
"Gak jauh kok, Neng.
Lebih deket dari tujuan Neng sebelumnya malah. Gapapa saya anter aja,
Neng." Sambut mas-mas tukang ojek yang sekarang jauh lebih mengademkan
hati untuk dipandang dibanding Cakka.
Lah, kok Cakka ckck..
Tak berapa lama, bahkan
tidak sampai 10 menit, ponsel Agni lagi-lagi bergetar. Ia dapat menebak
siapa yang menghubunginya. Tidak lain tak bukan pasti Shilla.
"Apalagi?" Sahut Agni malas. Temannya sungguh tidak sabaran.
"Halo, Ni? Udah jalan belom? Gue ud—"
Agni berjengit ketika mendengar suara keras dari speaker ponselnya.
Setelah itu justru ia tidak mendengar suara apa-apa lagi dari sambungan
teleponnya bersama Shilla. Sambungan tersebut juga tiba-tiba diputus.
Seketika perasaan cemas
meliputi seluruh rongga dadanya. Dalam pikirannya, pasti ada sesuatu
yang buruk terjadi pada Shilla. Suara keras tadi semakin membuat pikiran
negatifnya menjadi nyata. Suara keras berarti ada benturan. Bisa
kecelakaan, bisa penyerangan. Apalagi tadi Shilla bicara soal
penculikan.
Ia membuka lokasi yang
baru saja dikirimkan Shilla padanya dan memberi aba-aba pada ojek yang
mengantarnya. Ia dikejutkan dengan polisi yang berjaga di portal jalan
masuk perumahan. Namun ia justru lega karena bisa meminta bantuan dan
melaporkan telah terjadi sesuatu pada temannya.
"Mas berenti bentar, Mas. Saya mau lapor polisi." Pinta Agni, yang tiba-tiba menurut laki-laki tukang ojeknya.
"Lapor kenapa, Neng? Saya gak nyulik Neng kok."
Agni melengos pelan. "Ya bukan lah, Mas. Temen saya yang diculik. Makanya saya mau lapor."
"Temen Neng diculik?! Kok bisa Neng?"
Sekali lagi Agni
melengos. Ia tidak punya banyak waktu untuk bercerita sekarang. "Ntar
aja ceritanya, Mas. Yang penting berenti dulu." Desak Agni.
Akhirnya sang tukang
ojek menepikan motornya sehingga Agni dapat turun dan menghampiri polisi
yang berjaga. Polisi tersebut memandangnya dengan bingung.
"Pak, temen saya
diculik—enggak, maksudnya, saya curiga temen saya diculik. Dia tadi
bilang lagi nyari penculik. Dia nelfon trus saya tiba-tiba denger suara
keras kayak benturan dan telfon dari dia langsung mati." Lapor Agni
dalam sekali napas. Setelahnya ia meraup banyak-banyak udara di
sekitarnya. Ia benar-benar panik.
Yaiyalah, temen gue diculik, Anjing!
"Tunggu. Kami di sini
juga karena ada laporan penculikan. Jangan-jangan dia temen kamu? Febby
atau Goldi bukan namanya?" Jawab Pak polisi.
Mata Agni membelalak
karena baru saja mengerti kenapa Shilla menyebut Febby sebelumnya. Jadi
Febby diculik, Shilla berusaha mencari keberadaan penculiknya, dan
sekarang Shilla ikut-ikutan tertangkap.
Haduh, jadi drama aksi begini. Harinya tidak hanya penuh cobaan, tapi juga penuh drama.
"Nah temen saya tadinya lagi nyari penculik Febby itu, Pak."
Polisi di depannya
mengangguk paham. "Temen kamu baru aja ngasih tau lokasi penculiknya.
Tapi dari informasinya, tempat penculikan bukan di sini. Orang-orang
kami sudah dalam perjalanan ke sana dari 10 menit yang lalu."
Informasi polisi barusan
membuat Agni kembali mengecek ponselnya. Memeriksa telepon terakhirnya
dengan Shilla. Ia lalu berdecak mengetahui kemungkinan para polisi telah
dikelabuhi sang penculik sekaligus membenarkan kalau temannya sungguhan
tertangkap.
"Temen saya ngirim
lokasi udah dari 20 menit yang lalu, Pak. Saya gak bilang rekan-rekan
bapak sudah ditipu atau enggak karena setelah telepon terakhir itu, saya
ga bisa hubungin temen saya lagi. Jadi saya ga yakin kalo alamat yang
dikirim temen saya ke bapak itu bener."
Sang polisi tampak
berpikir dan sedikit setuju dengan pendapat Agni. Agni merasa tidak
boleh berlama-lama. Ia harus segera menemukan Shilla. "Kalo gitu, bisa
bapak menemani saya ke lokasi yang dikirimkan ke saya? Saya bisa bela
diri. Tapi kalo yang saya hadapin 4 orang dan semuanya bersenjata, saya
pasti kalah."
"Yasudah, ada baiknya kita periksa ke alamat yang teman kamu kirimkan."
Agni mendesah lega lalu kemudian berlari menghampiri mas-mas tukang ojek yang sedaritadi setia menunggu.
"Jalan, Pak!"
"Siap, Neng!"
Agni dan 2 mobil polisi
yang mengikutinya kemudian berhenti di sebuah rumah bergaya minimalis
tanpa ada apapun yang parkir di depannya. Rumah tersebut juga tidak
tampak mencurigakan, sama seperti rumah-rumah yang ada di sampingnya.
Hanya saja, ruang garasinya tertutup sehingga ia tidak bisa memastikan
apakah ada mobil Chris di sana atau tidak.
Polisi yang tadi ia ajak
bicara datang menghampirinya. "Mungkin tadi memang temen kamu yang
menginformasikan pada kami. Mungkin temen kamu emang baik-baik aja."
Entah kenapa, Agni masih
merasa janggal di hatinya. Kejanggalan tersebut kemudian terjawab
ketika matanya menangkap sebuah sepatu yang terdampar di dalam selokan.
Ia mendekat memastikan bentuk sepatu tersebut dan seketika yakin kalau
itu adalah sepatu milik Shilla.
Bagaimana ia bisa lupa?
Itu adalah sepatu yang paling dibangga-bangakan Shilla, yang
disebut-sebutnya setiap saat pada hari pertama gadis itu memakainya. Hal
itu karena sepatu tersebut adalah hadiah dari Alvin.
Tidak mungkin hanya
kebetulan, kan? Sepatu itu juga tampak seperti penghuni baru, bukan yang
telah lama teronggok menyedihkan di dalam sana.
"Itu sepatu yang sama dengan yang dipakai temen saya, Pak."
Agni dan polisi-polisi
yang bersamanya, berikut mas-mas tukang ojek yang juga ingin ikut
bertarung, saling berpandangan kemudian menganggukkan kepala.
***
"Ss.."
Shilla mendesis masih
merasakan nyeri di kepalanya. Namun sekarang kondisinya sudah mendingan
dibanding sebelumnya. Setidaknya ia sudah bisa membuka mata. Sayangnya,
dibuka atau ditutup yang ia lihat sama saja.
Gelap.
Ia bahkan jadi ragu
apakah dirinya sudah sadar sepenuhnya atau belum. Tangannya terikat ke
belakang berikut dengan kakinya. Ia kesulitan bergerak untuk mencari
tahu situasi di sekitarnya.
"Shill! Shilla! Udah bangun belom?"
Sebuah suara dengan
berbisik memanggil-manggil namanya. Sepertinya orang tersebut sudah
sejak lama melakukan itu, pasti ketika dirinya masih setengah sadar.
Shilla mencoba menoleh
ke arah suara tersebut berasal, hanya berusaha menebak-nebak dari
perabaan telinganya saja. Ia tahu betul itu suara Chris. Seketika ia
ingat kalau ia dan Chris tadi tertangkap basah oleh orang-orang
yang..entah ia juga kurang tahu siapa. Yang pasti mereka jahat.
"Udah.." Lirihnya pelan.
Ia merasa tenggorokannya gatal. Ia mengamati sekelilingnya meskipun
tidak ada yang bisa ia lihat. Ia dapat memastikan kalau tidak ada
ventilasi sama sekali di ruangan tempatnya disekap.
Berbicara tentang
penyekapan membuat adrenalin Shilla mendadak terpacu. Bagaimana pun
caranya, ia harus terbebas dan keluar dari ruangan mengerikan ini.
Nyawanya tidak akan semudah itu dilenyapkan. Ia harus keluar
hidup-hidup.
"Kak, deketan sini!" Pinta Shilla dengan suara pelan. Ia dapat mendengar decakan kesal dari Chris.
"Gue ga bisa liat apa-apa, Nyet. Mau deket kemana?!" Sungut Chris dari hati yang paling dalam.
"Ikutin suara gue, Kak.
Lo masih kuat gerak, kan? Kepala gue sakit, Kak." Shilla membalas dengan
sabar penuh. Saat ini ia tidak berminat bersitegang dengan Chris.
Mereka betul-betul harus saling kerja sama kalau masih ingin selamat.
Mendengar nada bicara
Shilla yang melemah dan pengakuan derita gadis itu membuat hati Chris
teriris. Sebagai laki-laki bertanggung jawab, ia pasti tidak tega
melihat seorang gadis menderita, siapa pun itu. Apalagi Shilla yang
sudah ia anggap seperti adiknya sendiri sejak beberapa waktu lalu.
Chris seperti mendapat
kekuatan dan pencerahan secara ajaib sehingga ia bisa menemukan di mana
Shilla berada walaupun mereka tetap tidak bisa saling melihat satu sama
lain. Chris berusaha keras hingga ia berhasil membuat badannya terbangun
dengan kedua lutut sebagai tumpuan.
Ia mencoba meregangkan
tali yang mengikat kedua tangannya dan berusaha meloloskan setidaknya
salah satu. Ia mengerang tertahan merasakan ikatan ditangannya begitu
kuat. Kesakitan Shilla menjadi penguatnya agar tidak menyerah tanpa
peduli kulit tangannya mungkin sudah mengelupas karena terus bergesekan
dengan permukaan kasar dari tali.
Hingga dengan mukjizat
Tuhan, salah satu tangannya bisa bebas. Otomatis tangannya yang lain
juga bisa ikut lepas. Ia duduk dengan menumpu bokong untuk melepas
ikatan pada kakinya. Setelah ia mendekat pada Shilla dan melakukan hal
yang sama pada tangan dan kaki gadis itu.
Mereka sudah bisa
bergerak leluasa. Tanpa aba-aba mereka menyusuri seluruh sisi ruangan
mencari dua orang yang ingin mereka tolong sebelumnya. Namun hingga
keduanya kembali bertemu, tidak ada seorang pun yang mereka temukan.
Berarti yang harus
mereka pikirkan sekarang hanyalah bagaimana cara agar mereka bisa keluar
dari ruang pengap ini. Sayangnya, tidak ada celah selain pintu yang
tertutup.
"Dikunci." Info Chris
yang sama sekali tidak perlu. Shilla tentu juga sudah tahu. Masa
penculik mereka sebodoh itu memasukkan mereka di ruangan tidak terkunci?
"Berita baiknya, gue
punya jepitan. Agni selalu ingetin kita-kita buat bawa ini. Jaga-jaga
kalo kondisi darurat. Untung aja hari ini gue inget." Ungkap Shilla.
Walau kini mereka diliputi kegelapan, Chris seolah-olah dapat melihat
seluruh tubuh gadis itu memendarkan cahaya.
Tapi harapan mereka
sedikit kendor ketika Shilla kembali berbicara. "Berita buruknya, yang
berhasil buka pintu pake ginian dulu cuma Agni. Makanya kita ga selalu
inget bawa jepitan."
Chris menelan ludah yang
mulai terasa pahit. Keduanya kemudian mencoba tetap optimis. Mereka
pasti selamat. Mereka tidak seharusnya secepat ini menyerah.
The hell, buka iketan aja susahnya naujubilah. Masa abis itu mau pasrah aja?
Shilla mendekat ke arah
pintu. Ia meraba kenop bagian tempat mencantolkan kunci. Ia memasukkan
jepitan miliknya dan tangannya mulai bergerak-gerak berusaha menarik
pengunci pintu di depannya ke dalam.
"Ini makin susah karena
gelap," Keluh Shilla. Pada penerangan yang nyata saja ia gagal apalagi
kondisi hampa cahaya seperti sekarang.
Chris spontan meraba tangannya dan kemudian menepuk kening. Ia baru ingat ia punya jam. "Dasar gue si bego. Gue pake smartwatch dong daritadi ckck.." Ringisnya.
Shilla sontak melengos
kesal namun kemudian bersyukur juga Chris masih sempat teringat. Ia
akhirnya sedikit terbantu dengan pencahayaan minimal dari jam Chris.
Demi mengurangi
ketegangan, Chris justru mengajak Shilla mengobrol. Yah, siapa tahu
mereka benar-benar tidak ada harapan, amit-amit, lebih baik mereka
'pergi' dalam perasaan sedikit rileks. "Temen lo bisa serba bisa gitu
ya? Udah punya pacar belom? Boleh tuh gue deketin,"
Shilla berdecak sebal. "Kayak lo pasti bakal selamet aja dari sini!"
Chris tertawa kecil
mendengar Shilla menyeplos pesimis namun berusaha keras membuka pintu.
"Nih ya, kita taruhan. Kalo lo sampe berhasil buka pintu, lo harus
ngasih gue nomer sama ID Line Agni."
Chris membuat Shilla
menjadi serba salah berusaha membuka pintu. Kalau ia berhasil, ia harus
rela teman tersayangnya didekati pemuda menyebalkan seperti Chris. Tapi,
Chris jauh labih baik sih. Mending nyebelin ketimbang tukang selingkuh.
Eaa..Shill, sempet ae mikirin masalah hati!
Klek!
Mukjizat Tuhan sungguh
melimpah hari ini. Shilla berhasil! Shilla berhasil membuka pintu yang
terkunci. Baik gadis itu dan Chris sesaat terdiam takjub. Shilla memutar
gagar pintu di depannya dan benda tersebut benar-benar terbuka.
Seketika cahaya langsung
merasuk ke dalam ruangan, berikut udara yang langsung menyegarkan raga
Chris dan Shilla. Keduanya saling berpandangan lalu tiba-tiba melonjak
antusias namun tetap tanpa suara.
Apalagi Chris. Ia
terperangah dengan kemampuan Shilla yang tidak diduga-duga. Ia juga
senang akan mendapat sasaran baru untuk ia dekati.
Mereka kemudian
mengintip keadaan luar lewat celah pintu. Setelah memastikan di luar
aman, Chris dan Shilla berjalan mengendap-endap meninggalkan ruang
sialan yang mengurung mereka.
Shilla dan Chris
mengetahui sekarang mereka ada di lantai 2. Mereka melihat sekeliling
dan mengetahui kalau rumah tempat mereka berada belum selesai dibangun.
Dari luar saja kelihatannya sudah sempurna menjadi bangunan siap huni.
Ada 2 ruangan lain
seperti yang mereka tempati beberapa saat lalu. Satu di antaranya, yang
berada tepat di depan ruangan mereka sebelumnya sudah coba dibuka namun
tidak ada apapun di dalamnya. Ruangan yang satu lagi berada di ujung
sisi sehingga mereka harus menyebrang untuk sampai ke sana.
Di saat mereka hendak
melangkah, bel rumah berbunyi. Sontak keempat pria berbadan kekar yang
berjaga di bawah berdiri. 2 di antaranya memilih bersembunyi. 2 lainnya
tetap berada di ruang tengah untuk memeriksa tamu yang datang.
Shilla nyaris saja
memekik senang ketika melihat wajah Agni yang muncul ketika pintu depan
rumah terbuka. Ia juga melihat laki-laki paruh baya berseragam polisi
dan seseorang berseragam ojek online mendampingi gadis itu.
Ketika pandangan Agni
akhirnya bertemu dengannya, Shilla langsung memberi kode dengan
menyembulkan 4 jarinya, memberi tahu kalau ada 4 orang yang berjaga di
dalam. Agni tampak mengerti dan langsung mengalihkan tatapannya kembali
pada 2 laki-laki penjaga.
Kedua penjaga tadi
bersikukuh menahan Agni dan orang-orang yang bersamanya untuk masuk ke
dalam rumah. Agni sudah tidak tahan lagi kemudian secara tiba-tiba maju
ke depan dan meninju sekuat tenaga wajah salah satu laki-laki di
depannya hingga membuat laki-laki itu mundur karena kaget sekaligus
kesakitan.
Laki-laki yang satu lagi
baru hendak mendekat ketika Agni dengan sigap melayangkan kakinya
menuju celah di antara kedua pangkal kaki pria tersebut. Tidak sampai di
situ, dalam jeda satu kedipan, kaki Agni sudah melintang ke atas nyaris
180 derajat dan kemudian mengayun dengan sama cepatnya ke bawah memberi
tendangan keras dari arah pelipis si penculik.
Semua yang menyaksikan
atraksi Agni menyempatkan diri memberikan seruan kagum. Orang-orang yang
berada di belakang Agni bahkan mundur seolah memberi jarak yang leluasa
untuk gadis itu melakukan tindakan jantannya.
"Damn! She's hot!"
Perangah Chris yang tak bisa melepas matanya dari Agni. Di matanya,
Agni benar-benar seksi. Bodohnya ia sedari dulu justru bersusah payah
mengejar Lala.
Shilla lantas menyentil
telinga Chris dengan keras menyadarkan pemuda itu kalau mereka harus
mencari Febby dan Goldi, bukan malah mengagumi Agni. Walau ia sendiri
bangga sih memiliki temannya yang paling galak itu.
Chris awalnya protes
lalu dengan segera berubah bak anjing penurut. Mereka segera berlari
menuju kamar yang tersisa tadi dan kembali mendapati ruangan tersebut
terkunci. Hal itu justru meyakinkan mereka kalau ada Goldi dan Febby di
dalam sana.
Chris meminta Shilla
sedikit menjauh sementara dirinya mengambil ancang-ancang lalu kemudian
menendang keras pintu di depannya. Pada percobaan yang ketiga akhirnya
benda datar nan panjang tersebut menguak celah.
Mereka terbirit-birit
masuk ke dalam serta melihat Febby dan Goldi pingsan dalam kondisi
terikat di kursi. Ketika Shilla tengah berusaha melepas ikatan di kaki
Goldi, seorang penjaga masuk dan hendak mengarahkan balok kayu ke
kepalanya.
Beruntung Chris dengan
sigap menahan dengan tangannya dan menerjang laki-laki tersebut hingga
tersungkur. Ia merasakan nyeri teramat sangat di pertengahan lengan
bawahnya. Ia curiga tulang di dalamnya mengalami keretakan.
Laki-laki tadi berdiri
hendak menyerang kembali namun kalah cepat dari kaki Agni yang menggeser
kakinya sehingga ia terjatuh lagi ke lantai. Agni juga menambahkan
tinjuan beberapa kali ke muka si penjaga hingga laki-laki itu
benar-benar tidak berdaya.
Chris sekali lagi
terdiam takjub di tempatnya. Dadanya seketika berdebar bukan karena
takut melainkan terpesona. Apalagi ketika matanya bertemu dengan mata
Agni yang menatapnya cemas.
Meleleh abang, dek!
"Lo..gakpapa?" Tanya
Agni ragu. Sebenarnya ia sudah dapat melihat dari jejak kemerahan di
lengan pemuda itu. Karena pemuda itu hanya diam, ia kemudian memilih
membantu Shilla melepas tali yang mengikat Febby.
Mereka sama-sama mencoba
membangunkan Febby dan Goldi namun sepertinya mereka terlalu lama
terpajan ruangan sedikit udara. Mereka lantas segera membawa keluar
kedua korban utama penculikan itu. Ketiga penjaga sudah diamankan oleh
polisi disusul sisanya yang tengah tergeletak di dalam kamar tempat
menyekap.
Mobil yang membawa Febby
dan Goldi melaju dengan kecepatan penuh hingga sampai di rumah sakit,
diikuti mobil Chris yang kini di kendarai oleh Agni berhubung sang
empunya mengalami cedera. Mereka masih sama-sama syok meskipun semuanya
sudah dapat dipastikan baik-baik saja sehingga suasana mobil terbilang
sunyi.
Shilla dan Chris
langsung mendapat penanganan pada cedera mereka masing-masing. Shilla
beruntung hanya mendapat luka kecil di bagian keningnya sementara Chris
menerima cedera ganda, yakni di bagian pelipis dan lengan. Yang paling
parah memang bagian lengan. Dugaannya soal retak benar adanya. Ia lantas
harus rela lengannya tersebut dibebat dan memakai armsling untuk stabilisasi selama beberapa hari ke depan.
Febby dan Goldi masih
tidak sadarkan diri. Mereka segera mendapat suplai oksigen lewat selang
yang tersemat di kedua lubang hidung masing-masing dan suplai cairan
dari selang infus. Sepertinya juga tidak ada cedera serius yang dialami
oleh mereka, tidak jauh beda dengan Chris dan Shilla. Hanya saja tingkat
kekurangan oksigen mereka lebih berat.
Selagi menunggu Chris
selesai mendapat perawatan, Shilla duduk pada ranjang kosong di depan
Febby berbaring. Bagaimana pun situasi di antara dirinya dan gadis itu
sebelumnya, ia dengan berprikemanusiaan tetap mengkhawatirkan gadis itu.
Ia tentu mengharapkan gadis itu segera sadar.
Sebelumnya ia sempat
memberitahu Alvin terkait rumah sakit tempat mereka semua berada. Ia
baru hendak membuka ponselnya untuk kembali menghubungi namun pemuda itu
sudah lebih dulu memunculkan diri di depannya. Iya, di depannya, tepat
di samping Febby.
Shilla memperhatikan
tindakan Alvin di depan matanya dengan perasaan terluka. Pemuda itu
bahkan tidak menoleh ke arahnya. Matanya seolah begitu jeli menemukan
Febby. Memang dirinya jauh kelihatan baik-baik saja dibanding Febby.
Tapi apa ia tidak berhak dikhawatirkan sebegitunya, oleh yang katanya
pacar sendiri?
"Alvin." Panggil Shilla pelan namun sanggup membuat Alvin menegapkan badan dan menoleh.
Saat itu juga dada Alvin
berdebar hebat melihat gadisnya. Gadisnya tampak sedikit berantakan
dengan luka di ujung dahi. Pandangannya benar-benar sedih dan membuat
Alvin takut setengah mati. Apa yang sudah terjadi pada gadis
kesayangannya?
Dengan cepat Alvin
berpindah mendekati Shilla. Ia meraih wajah gadisnya dengan hati-hati
sambil memeriksa dari atas ke bawah, apakah ada hal tidak beres lain
yang dialami gadis itu.
Shilla menepis keras
tangan Alvin dari wajahnya. Ia berdiri dan segera melangkahkan kaki
pergi meninggalkan Alvin yang masih dirundung kaget. Setelahnya Alvin
lekas menyusul sebelum ia benar-benar tidak bisa mengejar gadisnya.
Beberapa meter dari
pintu masuk IGD, Alvin akhirnya dapat menangkap lengan Shilla dan
menahan pergerakan gadis itu. Ia menariknya pelan agar Shilla menghadap
ke arahnya. Kali ini Shilla tidak memberontak. Ia membiarkan apa yang
ingin Alvin lakukan padanya. Ia mengangkat wajahnya memandang pemuda
tampan di depannya amat kecewa.
"Cantik, kalo lo gak
ngomong, gue gaakan tau isi hati lo. Gue gaakan tau lo baik-baik aja apa
enggak." Bujuk Alvin tanpa terdengar memaksa. Ia memberikan tatapan
memohon.
Shilla menggigit
bibirnya dan merasakan matanya mulai memanas. "Shilla gak baik-baik aja,
Alvin. Shilla nyaris kecelakaan di jalan. Shilla ngeliat langsung ada
penculikan. Shilla ngelawan penjahat tapi perut Shilla ditendang. Shilla
ngikutin penjahat tapi kepala Shilla dipukul. Shilla diiket, disekap
diruangan gelap. Panas, pengap, gaada udara. Shilla takut. Shilla sakit.
Shilla hampir mati. Shilla mau ketemu Alvin. Tapi yang ada di kepala
Alvin seharian sampe sekarang malah orang lain." Ungkapnya pilu.
Perasaannya memang menyedihkan, tampak tidak ada harganya sama sekali.
Alvin nyaris tidak mampu
berkata-kata. Ia terkejut. Nyawanya terasa hampir ikut melayang
mendengar penuturan Shilla. Ia saja sampai syok seperti ini, apalagi
gadisnya yang mengalami semua kejadian mengerikan yang gadis itu
utarakan.
"Maafin Alvin..maafin Alvin..maafin Alvin.." Ulangnya berkali-kali. Jangan ditanya seberapa kalutnya perasaan Alvin sekarang.
Shilla sudah benar-benar
menangis. Rasa sakit di hatinya jelas tidak bisa dibayangkan lagi.
Dadanya seperti tertarik ke dalam sehingga rongganya terasa sangat
sempit. Ia lalu menatap Alvin tanpa harapan. Ia menggelengkan kepala
sebelum kembali berbicara.
"Shilla udah ditendang, dipukul di kepala..tapi gaada yang sesakit Alvin nyakitin Shilla." Lirihnya.
Rasanya ada berbagai
mata besi panas yang menusuk-nusuk jantung Alvin hingga berdarah-darah. Alvin telah menyakiti gadis yang dicintainya. Alvin melihat dengan mata
kepalanya sendiri gadisnya terluka dalam. Apalagi yang lebih buruk dari
itu?
"Please, maafin Alvin.." Balas Alvin parau. Ia mulai ikut-ikutan terisak seperti Shilla. Meski Shilla sudah banjir air mata sedaritadi.
Lagi-lagi Shilla
menggelengkan kepala menyampaikan penolakan. Saat itu juga seluruh tubuh
Alvin mati rasa. Ia benar-benar tamat sekarang.
"Shilla gabisa, Alvin.
Alvin terlalu jahat." Ringis Shilla apa adanya. Ia diam sejenak
melakukan persiapan minimal yang ia bisa. "Shilla gamau diduain, apalagi
jadi yang 'kedua'. Shilla mau berenti jadi Cantik-nya Alvin. Shilla
gamau berharap sama Alvin lagi. Cukup sampe di sini aja."
Alvin hampir merasa
kehilangan tempat berpijak. Pikirannya melayang entah ke mana. Ia
mendadak merasa tengah bermimpi. Perpisahan yang setengah mati ia hela
jauh dari kepalanya sekarang benar-benar terjadi. Gadis paling ia
cintai, mainan favoritnya, kepunyaannya yang paling berharga...ia
sungguh telah kehilangan.
Shilla menggeser
pandangannya pada Agni yang datang menghampiri. Ia lantas menatap sang
teman dengan sendu. "Agnii.." Rengeknya mengadu. Ia mencicit langkah
menuju gadis itu.
Agni menghela napas
kemudian mengajak Shilla pulang bersamanya. Kebetulan Chris juga sudah
lebih dulu menunggu di dalam mobil. Baru beberapa langkah, Agni kemudian
berhenti dan menyuruh Shilla menunggu. Ia berbalik untuk menghampiri
Alvin.
Tanpa kata pengantar,
Agni lantas melayangkan tinjunya ke wajah Alvin hingga membuat pemuda
itu jatuh terduduk di lantai. Beberapa orang di sekitar tiba-tiba
berubah waspada, bersiap-siap kalau sampai terjadi perkelahian.
Agni mendengus keras
seraya menatap Alvin tajam, penuh dengan intimidasi. "Awas kalo lo
nyakitin temen gue lagi, Bangsat!" Setelahnya, ia kembali mendekati
Shilla yang sedikit kagok. Ia lekas membawa gadis itu pergi.
Alvin masih duduk tidak
berdaya seraya memegang wajahnya. Nyut-nyutan di wajahnya tidak
sebanding dengan hatinya yang kini hancur menjadi puing-puing. Ia
tergelak menyedihkan, menertawai konsekuensi dari sikap bodohnya yang
sayangnya tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki. Ia mengakui
kalau dirinya hanyalah seorang pecundang yang nyata.
***
Bang Alvin sehat?
Duh, mau ngomong apa ya? Ini aja, Kevin idol bagus gengs tapi weli memang gaada duanya..garingnya(?)
Yang sudah lelah melihat
part, tenang aja. Kalian hanya tinggal membaca 4-5 part lagi kok. Kalo
itu pun melelahkan, yasudah stop sampai di sini daripada kalian keburu
disentri. Move on aja ke yang lebih membuat hati senang.
Yang masih sanggup baca, selalu sabar menanti ya. Gue ngepost kok, walau 4,5,6, atau 7 hari sekali😂
Daah~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar