-->

Rabu, 24 Januari 2018

Matchmaking Part 42

'Cause, baby, we're just reckless kids, trying to find an island in the flood - Lights Down Low

***

Tangis Ify masih berderu-deru saat Rio tiba-tiba menegakkan badannya dan duduk sedikit menghadap gadis itu. Rio meraih wajah Ify dengan salah satu tangan sementara tangan yang lain masih setia memegang bagian perutnya yang tertancap pisau.

"Hey, hey, hey! Gue gapapa, Fy. Udah jangan nangis lagi ya. Gue ga bakalan mati ini, suer dah!" Bujuk Rio dengan lembut. Ia kemudian mengusap bagian bawah mata Ify yang basah oleh air mata.

"Rio. Itu pisau!" Geram Ify tertahan. Ia sedih dan panik tapi juga kesal karena Rio bisa-bisanya bersikap santai. Selalu saja seperti itu.

Dada Rio menghangat. Ia benar-benar lega sekarang. Akhirnya...akhirnya ia bisa menggapai gadisnya lagi dengan tangannya. Akhirnya!

"Ini cuma pisau lipet kecil buat motong buah, Fy. Percaya deh, gue bakal baik-baik aja." 

Ify diam seraya menatap Rio mencari keyakinan. Napasnya masih tersengal-sengal karena isakannya belum reda. Berikut air mata yang terus saja menetes dari sudut mata. "Emang gak sakit?" Cicitnya dengan bibir mengerucut.

Rio hendak tertawa namun seketika terhenti oleh rasa nyeri pada bagian perutnya. Ia lupa kalau ada luka dengan pisau yang masih menancap di daerah sana. Tentu akan terasa nyeri bila area sekitarnya digeraknya, misalnya ketika ia tertawa. 

"Akh!" Ringis Rio. Ify yang tadi sudah mulai tenang langsung kembali panik dan memberondongnya dengan pertanyaan. 

Rio seolah tersadar kemudian segera melenyapkan ekspresi kesakitan dari wajahnya. Andai saja ia tidak butuh perawatan saat ini, ia pasti sudah membawa lari Ify tanpa memedulikan apapun lagi. Tapi kemudian ia lega. Untung saja tadi ia bergerak cepat. Kalau tidak, pisau sialan ini pasti sudah menancap dengan mengerikan di perut Ify. 

Rio tersenyum kemudian meletakkan tangannya melewati kedua bahu Ify, memberi kode pada gadis itu kalau ia hendak berdiri. "Kita mesti ke rumah sakit, Fy." 

Rio menyadarkan Ify tentang apa yang seharusnya mereka lakukan sekarang. Ify terkesiap dan lantas mengangguk patuh. Ia kemudian dengan hati-hati membantu Rio hingga berdiri dengan sempurna. 

Debo tampak berjalan cepat hendak menghampiri Ify dan Rio. Ia baru saja selesai memastikan Dea benar-benar dibawa ke rumah sakit. Ia tahu Rio terluka namun ia harus memastikan Dea lebih dulu.
Meskipun sudah banyak orang yang mengawal gadis itu, ia tetap hanya bisa percaya pada matanya sendiri. Ia tidak ingin kecolongan jika Dea kembali berpura-pura dan akhirnya mengelabuhi orang-orang yang ingin membawanya. 

Langkah terburu-burunya berhenti ketika melihat dua orang yang ingin ia temui sedang berjalan keluar area taman. Ia menghela napas lega melihat Rio yang kelihatan baik-baik saja. Meskipun ia sedikit ngeri melihat kepala pisau menggantung di perut sebelah kiri pemuda itu.

Ia tanpa mengucapkan apapun kemudian berbalik kembali mendekati mobilnya. Ia membuka pintu bagian tengah demi memudahkan Ify dan Rio masuk. Di dalam, Via langsung menolehkan kepalanya ke belakang mencari tahu bagaimana keadaan Rio dan Ify.

"Gue gatau ini semua apaan tapi..lo berdua gapapa?" Via menurunkan pandangannya pada luka di tubuh Rio dan raut wajahnya berubah sedikit khawatir.

Rio tidak menjawab melainkan memilih merebahkan tubuhnya dengan menyandarkan kepala di paha Ify. Ia berseru girang dalam hati. Sudah lama sekali rasanya ia tidak sedekat ini dengan Ify. Sayang ia harus lagi-lagi bersabar menunggu lukanya diobati. 

Rasa cemas dalam dada Via seketika lenyap. Tingkah Rio saat ini benar-benar seperti tidak terjadi apa-apa pada pemuda itu. Seharusnya ia marah karena Rio seenaknya menempel pada Ify, temannya yang sudah pemuda itu buat galau berat berhari-hari hingga hari ini. 

Namun entah mengapa, hatinya lega melihat keduanya kembali bersama. Ia juga dapat melihat lagi cahaya di wajah Ify meskipun gadis itu kelihat panik sekarang. Ia diam-diam tersenyum senang.

Begitu pula Debo. Ia lega sekarang semuanya sudah menemui jalan keluar. Sudah tidak ada yang perlu dirinya khawatirkan antara Rio dan Ify. Ia senang gadisnya dapat meraih kembali bahagianya bersama dengan pemuda yang dapat menjaganya dengan baik. 

Good job, Mama.

***

Rio sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Ify ketika gadis itu mengatakan kalau ingin berangkat sendiri. Ia bahkan repot-repot bangun lebih pagi supaya dapat sedikit lebih lama bersama gadisnya. Karena mulai hari ini hingga beberapa waktu ke depan, ia akan benar-benar sibuk mengurus keperluan prom night

Namun, apa daya kalau Ify sudah berkeinginan. Hampir 98% ia pasti akan mewujudkan meskipun sempat diawali perdebatan sengit dulu. 2% sisanya tidak jadi ia laksanakan karena Ify menukar apa yang ia mau. Ia tersenyum geli kalau mengingat sifat gadisnya yang satu itu. Ia tidak menyangka kalau ia bisa sangat menyukai tingkah menggemaskan Ify.

Tipe gadis yang disukainya dulu sungguh jauh dari kata menggemaskan. Acha, mungkin juga karena gadis itu lebih tua, adalah orang yang dewasa, baik sikap maupun pikirannya. Gadis itu juga mandiri dan tegas, tapi juga keibuan. Acha mungkin adalah Agni versi lebih feminim. Sifat seperti itu dulu ia puja-puja setengah mati. 

Keberhasilan Ify, membuatnya jatuh cinta pada karakter yang sama sekali tidak masuk perhitungan baginya, tentu merupakan sebuah hal yang luar biasa. Hal itu membuat Ify mampu terlihat lebih hebat dari siapapun gadis yang ada di hidupnya, juga dihatinya tentu saja. Bukan cuma menyukai, ia juga ketagihan.

Ck, sekarang Ify justru berekspektasi ia akan rela kehilangan kesempatan berdua dengan gadis itu. Tidak. Sama sekali tidak rela. Tapi ia tidak bisa memaksa.

Ini adalah pertama kalinya Rio datang betul-betul pagi ke sekolah. Baru ada satu mobil yang parkir selain dirinya. Ini adalah pemandangan yang benar-benar langka untuknya. Biasanya ia bahkan hampir tidak pernah kebagian lahan parkir di area dalam sekolah. Sekarang ia justru bisa memarkir 3 mobil sekaligus.

Ia melangkah santai memasuki koridor. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Dea yang tengah berdiri di depan mading. Ia melirik bingung ke arah gadis itu. Tidak biasanya juga Dea datang sepagi ini berhubung rumah gadis itu tidak begitu jauh dari sekolah.

"Tumben kamu dateng pagi?" Tanya Rio langsung sekaligus menyapa.

Entah pengamatannya yang salah atau memang begitu adanya, Dea seperti kelihatan kagok melihatnya. Namun, ia kemudian hanya menganggap lalu pikirannya tersebut. 

"K—KakYo? Pagi! Iya, pagi.." Sapanya dengan senyum cerah namun tampak tidak rileks. 

Rio mengamatinya sekali lagi lalu kemudian memutuskan tidak perlu mempermasalahkan lebih lanjut. Mungkin dia lagi kebelet pipis. Pagi ini juga kebetulan dingin.

Ah, Ify gue pasti ga pake jaket. Yah..gabisa modus meluk. Gadeng. Tiap hari juga pasti gue peluk, hehehe..

Sayangnya waktunya untuk berdua dengan Ify harus tertunda lagi karena gadisnya harus menghadap Bu Okky. Ia kembali sehabis mengantar Ify hingga masuk ke ruang guru dengan muka ditekuk berlipat-lipat. Ia mendadak merasa semua orang berkomplot untuk 'menjauhkan' dirinya dari Ify, termasuk Ify sendiri. 

Belum lama kakinya berjalan, ia mendapati Dea menghampirinya dengan napas ngos-ngosan. Sepertinya tadi gadis itu berlari hingga sampai di depannya, membuat gadis itu seolah benar-benar butuh untuk menemuinya. Ia menatap Dea dengan sebelah alis terangkat.

"Kamu kenapa?" Tanyanya bingung.

Dea mencoba mengatur napas seraya menelan ludahnya sebelum berbicara. "T—tolongin Dea, KakYo.." Lirihnya dengan air muka memelas.

Rio masih diam menunggu penjelasan Dea mengenai apa yang terjadi pada gadis itu. Khususnya lagi, ia harus menolong dalam hal apa.

"A—ada yang nempel foto K—kak Angel lagi di rumah sakit. A—aku takut.." Jelas Dea dengan terbata-bata.

Rio tak dapat memungkiri dirinya kaget mendengar ucapan Dea. Kalau Dea sampai setakut ini, tentu bukan gambar kunjungan ke rumah sakit biasa yang gadis itu maksud. Pasti lebih 'spesifik' lagi. 

Ia menilik ekspresi yang ditunjukkan Dea saat ini. Ia refleks melakukan itu seolah ia sedang mencari tahu adakah yang gadis itu sembunyikan darinya atau tidak. Ia juga tidak tahu kenapa.

Seolah sadar, Dea lekas membantah tatapan 'menuduh' Rio padanya. "Bu—bukan aku, KakYo. Iya, bukan aku!" 

Rio seketika terdiam di tempatnya. Sangat disayangkan ia cukup mengenali gadis di hadapannya. Mungkin ia tidak bisa selalu menebak Dea sedang berbicara jujur atau sebaliknya. Namun, ia tahu tanda kalau gadis itu sedang membual. Gadis itu akan memaksa ucapannya benar dibarengi dengan anggukan kepala serta tatapan meyakinkan.

Seperti yang baru saja Dea lakukan.

Bila terjadi sesuatu dan ia curiga dengan gadis itu, Dea justru akan tampak takut bahkan bisa sampai menangis. Setelah itu Dea akan melakukan aksi mogok bicara dengannya karena tersinggung telah dituduh melakukan hal yang tidak gadis itu perbuat. Dea juga akan lebih dulu bertanya apakah dirinya mencurigai gadis itu atau tidak, bukan langsung menjawab seperti ini. 

Dugaannya semakin kuat ketika teringat pertemuannya dengan Dea tadi pagi di depan mading. Bagaimana gadis itu tampak begitu terkejut melihatnya. Ia bisa menjamin kalau foto yang gadis itu sebut-sebut tak lain berasal dari gadis itu sendiri.

For God's sake. Perasaan Rio sungguh tidak karuan. Ia seperti terbawa ke masa-masa Dea rutin berbuat nekat pada dirinya sendiri. Bagaimana dirinya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk melihat kondisi gadis itu setelah berulang kali mencoba bunuh diri dengan bermacam cara. Mulai dari minum cairan pembunuh serangga, menyayat urat nadi, hingga yang paling parah dan untungnya sempat dicegah yaitu menabrakkan diri pada mobil yang tengah melaju di jalan raya. 

Sekarang ketika gadis itu sudah melibatkan orang lain, menggunakan tindakan nekatnya untuk mencelakai orang lain, tentu menjadi sebuah pertanda yang sangat-sangat tidak baik melainkan genting. Ketika ia terbayang wajah Ify di benaknya, kepala Rio mendadak terasa sakit.

"KakYo, kali ini beneran bukan aku!" Ujar Dea kembali.

"Kali ini?" Ringis Rio. Memangnya sudah berapa kali? Ya Tuhan, kepalanya seperti makin ingin meledak saja rasanya.

Belum sempat Rio mendapat jawaban, ekspresi Dea tiba-tiba berubah ketakutan. Pandangannya terfokus pada sesuatu di belakang pemuda itu.

Rio refleks menoleh ke belakang dan melihat Angel tengah berjalan menuju mereka, gadis yang menjadi topik pembicaraan mereka saat ini. Raut muka Angel sungguh tidak bersahabat. Ia menduga akan terjadi keributan setelah ini.

Rio mendesah pasrah. Sepertinya ia memang diharuskan menghadapi perilaku nekat Dea lagi sekarang.

***

Kaki Rio melangkah tergesa-gesa dengan mata berkeliling seperti mencari seseorang. 

Pandangannya kemudian terhenti pada seorang wanita paruh baya seumuran ibunya yang sedang memilih-milih buah apel untuk dibawanya ke tempat penimbangan. Rio menghela napas singkat lalu kemudian kembali menggerakkan kakinya menuju perempuan tersebut.

Wanita tadi tersenyum mendapati Rio berdiri di sampingnya. Ia kemudian memandang bingung anak muda di hadapannya yang tampak sedikit serius. "Jadi, apa yang mau kamu omongin sama tante, Yo?" Tanyanya dengan nada khas keibuan.

Sekali lagi Rio menghela napas. Ia tidak berharap apapun datang kemari ketika menemui wanita di hadapannya. Syukur kalau wanita itu percaya pada apa yang ia ucapkan. Kalau tidak, ia hanya ingin memberi peringatan yang kedengarannya ringan namun ia berikan tanpa niat main-main.

"Soal Dea, Tante. Rio rasa dia perlu 'rehabilitasi', Tan." Jujur Rio tanpa ragu.

Air muka wanita yang tak lain adalah ibu dari gadis yang Rio sebut-sebut berubah masam. Aura bersahabat pun tak lagi menguar dari setiap permukaan tubuhnya. Wajah mama Dea menunjukkan kalau wanita itu benar-benar tidak suka pada usulan Rio yang menurutnya tidak masuk akal.

"Jangan lancang kamu. Kamu pikir Dea gila?!" Geramnya tertahan.

Rio sudah menduga reaksi ini yang akan ia dapatkan. Meski begitu, ia tidak akan mundur. "Dea bahkan udah bikin seseorang nyaris dikeluarin dari sekolah. Meskipun gak jadi karena orangnya 'keburu' meninggal.." Gantung Rio. Tatapannya berubah tajam. Ia berusaha menahan emosinya karena masih menghormati wanita di depannya. "..dan itu baru yang Rio liat langsung. Belum yang 'sembunyi-sembunyi'."

Apel yang digenggam oleh mama Dea saat ini tampak bergetar karena si pemegang mengeratkan cengkramannya. Wanita ini masih tidak ingin mempercayai apa yang Rio ucapkan meskipun ada ketakutan dalam dirinya kalau yang didengarnya saat ini adalah kenyataan. "Kamu pasti udah salah, Yo. Tante gak percaya sama kamu. Di mata tante, Dea baik-baik aja."

Rio diam sesaat lalu kemudian menganggukkan sekali kepalanya. "Rio gak maksa. Tapi Tante perlu tau, kalo sampe Dea berbuat macam-macam sama orang-orang di sekitar Rio, khususnya pacar Rio sekarang, maaf Rio gak akan 'memperlakukan' Dea sebagai adik Rio lagi. Salah tetep salah, Tan, dan ada konsekuensinya." Peringati Rio tegas.

Wanita di hadapan Rio tergelak sinis. Ia menatap Rio dengan mencemooh. "Jadi cuma karena satu perempuan kamu membuang kepedulian kamu sama Dea? Ternyata begini sifat kamu yang sebenarnya. Kamu dulu baik hanya karena Acha. Sekarang setelah kamu menemukan pengganti, kamu memilih memberikan punggung kamu untuk kami."

Rio memang tidak berharap mama Dea akan menerima saran 'baik'nya. Namun ia tidak menyangka akan timbul drama seperti ini antara dirinya dan wanita itu. Ia benar-benar tidak punya waktu untuk ini. 

Ia sungguh sibuk dengan urusannya dengan acara sekolah. Ia sudah bersusah payah mencari waktu dan curi-curi kesempatan untuk bertemu tanpa diketahui Dea. Tapi malah kemarahan tidak perlu seperti ini ditambah dengan tuduhan tidak manusiawi yang harus ia hadapi.

Rio tidak mau mengungkit-ungkit kebaikan namun ia perlu menyebutkan itu untuk membersihkan namanya. "Tante, Rio gaakan berkali-kali bolos sekolah sampe disidang Papa dan nolak manggung dengan cara gak profesional sampe harus ganti rugi demi ngurusin Dea kalo Rio cuma sok baik buat dapetin Acha. Nyari muka juga gak seniat itu, Tan. Terserah Tante sekarang mau mandang Rio gimana yang jelas Rio masih tetap Rio. Rio cuma gak mau membiarkan Dea menganggap wajar kalo dia ganggu orang lain, gimana pun kondisi jiwanya. Makasih Tante udah bersedia ketemu sama Rio. Maaf kalo Rio ganggu waktu Tante. Rio permisi."

Rio tidak mendengar apapun lagi keluar dari mulut mama Dea. Ia juga kurang berminat untuk meladeninya lagi. Yang penting tujuannya memberitahu wanita itu sudah terlaksana.

***

Rio tidak pernah main-main dalam urusan keselamatan. Dea yang ia anggap adik saja bisa ia jaga sebegitu ketatnya, apalagi Ify. Semenjak ia tahu Dea berbohong, sejak itu hatinya tidak pernah sepi dari kepanikan. Kepalanya tidak pernah absen memikirkan cara yang tepat untuk menangani Dea, terutama membongkar apa saja yang sudah gadis itu lakukan selama ini.

Bertanya langsung pada tersangka tentu tidak mungkin. Membicarakannya langsung pada Ify membuatnya khawatir kalau gadisnya justru akan berubah ketakutan alias parno. Ia ingin gadisnya tenang namun tetap terjaga.

Sudah cukup ia menunggu mama Dea mengambil tindakan yang tepat, sesuai yang ia sarankan. Sampai kapan pun wanita itu tidak akan berpihak padanya. Satu-satunya jalan adalah saudara perempuan satu-satunya yang dimiliki gadis itu...Acha.

Ia rela repot-repot menghubungi rekan Acha di Amerika untuk meminta bantuan memberi tahu Acha. Ia tidak bisa mengambil risiko menghubungi Acha langsung. Walau belum pasti, namun ia mau tidak mau menaruh curiga kalau Dea pasti memegang semua sandi akun milik Acha. Gadis itu bisa saja tahu rencananya dan akan menggagalkannya sedari awal.

Ia akhirnya dapat berkomunikasi dengan Acha lewat email khusus yang mereka buat untuk masing-masing. Ia memutuskan meminta kebersediaan Acha untuk membantunya. Karena sebenarnya hal ini tak lain untuk kebaikan sang adik. Beruntung Acha setuju dan justru memilih pulang ke kampung halamannya tak lama setelah Rio menghubungi.

Rio tidak tahu gosip miring mengenai Acha adalah sebuah kesialan atau justru batu loncatan untuk rencananya. Dengan gosip tersebut, ia jadi punya alibi yang meyakinkan bagi Dea kalau ia masih memiliki perasaan khusus pada kakaknya dengan selalu pasang badan untuk Acha. 

Kepura-puraannya ini menjadi lebih meyakinkan dengan menjauhnya Ify walau dengan perasaan tidak rela yang amat besar di dalam hatinya. Ia harus jatuh bangun menahan diri untuk tidak berlari ke arah Ify tiap kali melihat tatapan terluka gadisnya. 

Tidak hanya Acha, sandiwaranya ini juga melibatkan orang-orang lain yang berhubungan dengan Ify, yaitu Agni dan Debo. Tepat setelah kejadian Dea melabrak Ify di kelas, ia membuat pertemuan diam-diam dengan dua orang tersebut. Ia ingin memberi Agni penjelasan sehingga tidak mengutuknya dalam-dalam karena sudah membuat teman tersayangnya terlihat tanpa aura untuk sementara. Sekalian agar gadis itu membantunya menjaga Ify selagi ia absen dari peredaran. 

Ia juga meminta bantuan Debo untuk menjadi supir sukarela Ify, yang tentu akan dilakukan dengan sukarela juga oleh pemuda itu, selama ia tidak bisa menjalankan tugas tersebut. Ia tidak ingin ambil risiko kecolongan menganggap Dea sudah tenang karena dirinya selalu bersama Acha dan membiarkan Ify celaka di saat ia sangat bisa mencegahnya terjadi.

Dari situ juga ia mendapat panggilan kesayangan yang menyebalkan dari Debo. Pada hari pertama Debo menjadi tukang antar jemput Ify, ia menghubungi pemuda itu untuk memperingatkan agar tidak berbuat macam-macam pada gadisnya seperti dulu, meskipun status gadisnya yang diemban Ify menjadi anulir sementara waktu.

"Hai, Mama! Debo lagi sama ayang nih. Ngertiin dikit sih?" 

Cih, ia tahu pemuda itu sedang menggodanya. Namun tetap saja kedengarannya menyebalkan. "Sejak kapan gue homoan ama bapak lo, Tai?! Inget ya, tujuan lo cuma jagain cewek gue. Gausah modus."

Rio percaya diri dengan pesonanya. Tapi tidak ada yang menjamin Ify tiba-tiba lelah merana karena dirinya dan memutuskan merubah haluan. Ia harus menutup semua jalan, salah satunya dengan mencegah Debo flirting pada Ify.

"Siap, Mamaku. Bakal Babang Debo pepet ampe ga bisa lepas. Udah ya Ma? Debo mau fokus nyetir. Gaboleh main hape ntar nabrak kucing. Daah.."

Rio menjerit kesal mendengar ucapan Debo barusan. Seketika ia menyesal telah melibatkan pemuda itu. Sayangnya, tidak ada orang lain yang lebih masuk akal sekaligus membuat skema yang ia jalankan menjadi tampak lebih nyata.

Alhasil, Rio memutuskan menghubungi Ify. Ia hanya berniat membuat Ify tetap mengingatnya dengan mengirimkan pesan setiap malam. Ia tahu gadis itu pasti akan kebingungan karena ia mengirim pesan namun bersikap seolah tidak ada apa-apa di antara mereka. Ia tahu gadisnya merasa gundah namun ia sedang tidak bisa mencegahnya demi menciptakan dunia yang damai nantinya untuk gadis itu. Lebay memang. 

Sengaja sih. Biar gue keliatan keren ae.

Meyakinkan mama Dea memang sebuah tantangan yang sungguhan sulitnya. Bahkan sang suami juga turut berusaha menyadarkan namun masih tidak berhasil. Hati wanita itu benar-benar sulit diluluhkan. Keyakinannya sekeras baja. 

Sebenarnya bukan tidak percaya. Rio pikir wanita itu hanya tidak terima akan semua yang menimpa anak-anaknya. Yang satu punya anak tanpa menikah, yang satu gangguan jiwa. Ia mengerti wanita itu pasti berusaha keras menolak untuk memuaskan hatinya sendiri.

Beruntung setelah berhari-hari berusaha berbicara, mama Dea akhirnya mau diajak bekerja sama. Jangan mengira wanita itu sudah percaya pada apa yang ia sangkakan pada anaknya. Wanita itu justru bersedia ikut hanya untuk membuktikan kalau apa yang diyakininya tidak salah, membuktikan pada semua orang anaknya baik-baik saja.

Sayangnya ia justru menduga akan terjadi sesuatu yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.

Ia dengan sengaja menghubungi Ify dan tidak menghapus pesan yang ia kirimkan. Kebetulan pesan-pesan sebelumnya juga masih tersimpan tanpa pernah ia utak-atik. Untuk mendramatisir, ia kembali merubah semua wallpaper ponselnya dengan wajah Ify. Kemudian, Ia sengaja meninggalkan ponsel tersebut pada Dea agar gadis itu melihat komunikasinya dengan Ify sehingga akan merasa 'dikhianati'. 

Ia benar-benar puas mengetahui pancingannya ditelan bulat-bulat oleh Dea ketika Debo menginformasikan kalau pemuda itu dalam perjalanan mengantar Ify untuk menemui 'dirinya'. Ia bergegas menyusul dengan membawa serta Acha dan ibunya untuk sama-sama membuktikan keyakinan siapa yang benar selama ini.

Rio berusaha secepat mungkin agar ia sampai lebih dulu. Ia ingin memastikan tidak ada benda-benda yang bisa digunakan Dea untuk mencelakai Ify. Amit-amit, sih. Ia tidak berpikiran buruk namun ia percaya setan ada di mana saja. Ia tetap harus waspada. Siapa tahu Dea khilaf. Ia saja sering. Gadisnya kelewat menggemaskan, sih.

Ia kemudian bersembunyi di balik salah satu pohon besar di dekat Dea berdiri. Tak lama setelahnya, Ify akhirnya tiba dan sudah pasti kaget melihat orang yang berbeda yang justru ditemuinya. Ia segera melakukan video call dengan Acha dan mengarahkan kameranya pada Ify dan Dea.

Tuhan seperti ikut membantunya ketika membuat Ify justru membeberkan semua yang telah Dea lakukan pada gadis itu. Emosinya nyaris tidak bisa ia tahan ketika ia akhirnya mengetahui apa yang sudah Ify alami selama ini. Ia marah juga merasa bersalah namun sekaligus lega karena sebentar lagi semuanya benar-benar berakhir.

Tapi kemudian darahnya terasa mendidih melihat apa yang baru saja Dea keluarkan dari balik tubuhnya. Pisau!

"Fvck.." Desisnya tertahan. Sudah ia bilang kan akan ada sesuatu yang lebih buruk? Ini sungguh-sungguh sangat buruk.

Pisau dengan bentuk dan warna yang lucu yang dibeli Dea ketika ia menemani gadis itu berbelanja bersama dengan Acha, dulu sekali ia bahkan sudah lupa kapan. Apa gadis itu akan menggunakannya dengan sungguhan?!

Tanpa sempat menjawab, kaki Rio sudah melaju lebih dulu mendekati Ify dan mendorong tubuh gadis itu sehingga terhindar dari arah gerakan tangan Dea. Jawaban pertanyaannya sebelumnya sudah ia dapatkan dengan menancapnya pisau tersebut di perut sebelah kirinya. 

Ia masih dalam kondisi syok yang membuatnya bahkan tidak merasakan apapun ketika mata benda tajam yang dipegang Dea menembus lapisan otot perutnya. Baru setelah ia mendengar teriakan berisi namanya, rasa sakit itu menjadi nyata. Ia merintih seraya memegang bagian perutnya yang terluka.

Ia melihat orang-orang dengan segera membawa Dea pergi. Barulah ketika pandangannya jatuh pada Ify, rasa sakit di tubuhnya seolah tidak ada arti. Mengetahui ia berhasil melindungi gadisnya hingga saat ini dan menghindarkan celaka lebih lanjut untuk waktu ke depan, membuat dadanya terasa sangat ringan.

Ia lega. Sangat lega.

Ia menyungging senyum lembut pada Ify yang kini menangis ketakutan seraya memegang wajahnya. "Udah selesai, Fy...Semuanya udah selesai.."

***

Seperti yang sudah Rio duga sebelumnya, cedera di perutnya bukanlah cedera serius yang sampai menembus atau melukai organ dalam. Senekat-nekatnya Dea, tetap saja gadis itu tidak berpengalaman soal 'menggunakan' pisau. Pisaunya juga tergolong pendek.

Ia melihat Ify duduk dengan gelisah seraya memelintir bajunya ketika dokter yang menangani lukanya memberikan jahitan. Meski ngeri, mata gadis itu tak pernah lepas dari lukanya. Sementara matanya tidak pernah lepas dari wajah gadis itu. Memandang gadisnya seperti sebuah obat bius tambahan yang membuatnya bahkan tidak merasakan sakit dari awal.

Ify langsung menegakkan tubuhnya dan memerintahkannya menunggu sebentar karena gadis itu hendak menebus obat. Ia lantas mendengarkan dengan patuh, walau sebenarnya ia tidak setidak berdaya itu sampai harus meminta orang lain mengambil obat untuknya. Tapi seperti yang sudah pernah ia bilang, ia pasti mengabulkan apapun yang Ify minta apalagi perintahkan.

Gadis itu akhirnya kembali menghampirinya dengan sebungkus obat di tangan. Ia lantas mendudukkan badannya untuk menghadap Ify. Ia meraih salah satu tangan gadis itu untuk ia genggam. Tatapannya seketika berubah memelas. "Sama gue ya, Fy, jangan pulang sama Via dulu?" Pintanya sungguh-sungguh.

Ify memperhatikan Rio sebentar lalu kemudian merunduk seraya memberengut. "Di tempat lo kan ada Kak Acha.." Cicitnya pelan. Ia memandangi dengan dada berdebar genggaman tangan Rio padanya.

Rio benar-benar merasa seperti seluruh beban di pundaknya terlepas begitu saja hanya karena melihat Ify-nya cemburu. Ia tersenyum lembut namun menggoda. "Jadi lo maunya kita berdua doang?" Bisiknya seraya mengelus dengan sayang punggung tangan Ify.

Ify perlahan mengangkat wajahnya kembali bertemu tatap dengan Rio. Ia sesaat diam menikmati tatapan dalam penuh cinta pemuda itu yang beberapa hari belakangan tidak bisa ia lihat. Ia lantas mengiyakan tanpa pikir panjang. "Hmm." 

Rio sesaat tertegun, tidak menyangka Ify justru akan menjawab jujur. Aiss..kenapa mereka harus berada di rumah sakit sekarang? Kalau tidak, ia pasti sudah..sudah..

Heleh, mau tau ae lo pada gue mau ngapain!

Rio menarik tirai di belakang Ify untuk menghalau pandangan orang-orang sekitar. Untung tempat tidur tempatnya mendapatkan jahitan juga berada di paling pojok ruangan. Ia sudah merencanakan sejak awal sih sebenarnya. Ia tahu ia harus membujuk Ify lebih dulu dan harus berhasil bagaimana pun caranya. 

Ia lalu menarik tangan Ify agar gadis itu mendekat ke arahnya. Ia juga menuntun kedua tangan Ify ke bahunya sementara tangannya sendiri mengalung di pinggang gadis itu. "Gue bareng Iel sama Cakka, kok. Acha sama mamanya dan mereka pasti lagi di rumah sakit ngurusin Dea." Jelasnya dengan sabar. 

Rio menunggu agar Ify memahami ucapannya. Namun, ia justru mendapati mata Ify yang menatapnya intens memerah. Gadis itu juga menggigit bibirnya seolah berusaha menahan tangisan yang mungkin akan keluar. 

Ia sedih tapi juga ikut gemas sendiri ketika ia tahu kenapa gadis itu mendadak ingin terisak. "Sedih ya selama gue gaada?" Tebaknya, masih dengan berbisik.

Ify mengangguk dengan lugunya. Hal itu lantas memunculkan kembali senyum di wajah Rio. "Kangen?"

"Hmm." Kali ini Ify memberikan jawaban langsung, masih sama jujurnya dengan sebelumnya. Gadis itu sudah lelah menahan perasaan selama beberapa hari belakangan.

Senyum Rio menjadi makin lebar saja. "Jadi, mau ikut gue, kan?" Bujuknya terakhir kali. Tapi kemudian ia mendapat ide. "Cium gue berarti mau. Cubit gue berarti gamau."

Keinginan untuk menangis oleh Ify seketika lenyap. Matanya mendelik ke arah Rio. "Kenapa nyium? Iss..kan udah putus jadi gabisa nyium!" Rutunya benar-benar lucu. Gadis itu tidak sedang memberi kode. Gadis itu sedang serius merutu. Merutu karena tidak bisa menjawab iya berhubung syaratnya tidak bisa ia lakukan.

Rio tertawa pelan. Ia tidak tahan untuk mengusap pipi Ify. "Gue masih jadi pacar lo ya, Fy." Katanya selembut kapas. Semanis permen kapas. Senyaman bantal yang diisi kapas.

Dada Ify berdesir mendapati Rio mengembalikan ucapannya pada pemuda itu waktu lalu. Pemuda itu membalas dengan cara yang paling manis. Telinganya bahkan menuntut untuk mendengarnya kembali. Meskipun kemudian ia menahan diri. Ia sudah terlalu jujur bukan sejak tadi?

Ia menatap Rio yang kelihatan sedang menunggu jawabannya. Ia lantas menyerah karena sudah tidak memiliki alasan. "Cium di mana?" 

Ify yang nawarin ya..gaboleh disia-siain..

Rio tidak menjawab melainkan justru menurunkan pandangannya pada bibir Ify lalu kembali bertatapan dengan gadis itu. Ia dapat melihat semburat kemerahan di wajah gadisnya, yang sekarang sudah benar-benar resmi kembali menjadi gadisnya. 

"Rio.." Rengek Ify pelan.

"Hmm?" Dehem Rio yang justru membuat Ify makin ketar-ketir. Padahal selama pacaran, Rio sudah beberapa kali mencuri kecupan di bibirnya. Tapi kalau ia yang harus memulainya, tetap saja malu. 

"Woops!" Seru Via yang tiba-tiba datang. Gadis itu sedikit kaget melihat Ify dan Rio saat ini. Ia lantas nyengir karena mungkin telah sangat mengganggu. "Maap-maap, ga sengaja!" 

Tuhan tidak lagi berpihak pada Rio melainkan berubah haluan pada Ify karena sudah menggagalkan upaya modusnya pada gadis itu. Ia lantas tersenyum geli untuk dirinya sendiri. 

Babang gagal. Tenang, besok babang coba lagi.

***

Segera setelah ia mendapat informasi keberadaan Via dari Rio, Gabriel langsung membawa lari tubuhnya menuju mobil. Satu-satunya yang tinggal tanpa ada kegiatan berarti di salah satu rumah milik ayah Alvin, yang selalu mereka tempati ketika mengunjungi Alvin, hanyalah dirinya. 

Cakka pergi menemui Agni. Rio, sedari dirinya sampai, belum menunjukkan batang hidungnya. Apalagi pemuda itu juga tidak berangkat bersama dirinya dan Cakka. Rio beralasan hendak mengurus sesuatu. Begitu pula dengan Alvin. 

Ia sedari tadi sudah mencoba menghubungi Via. Namun seperti yang telah ia perkirakan, gadis itu pasti tidak mau menggubrisnya. Ia juga sudah mencoba menanyakan pada ketiga teman Via yang lain namun tak satu pun membalas pesannya. Orang-orang di sekitarnya memang tega. Mengajaknya liburan tapi ia justru teronggok nelangsa seorang diri di sini.

Tanpa disangka-sangka, Rio menghubunginya dan tahu-tahu membeberkan di mana lokasi Via. Ia langsung bergegas menuju rumah sakit tempat Rio sekaligus Via berada saat ini. Ia tidak menanyakan kenapa mereka bisa ada di sana demi mempercepat waktunya sampai. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan lagi. Sekaligus, ia sudah bosan seorang diri di rumah Alvin.

Sesampainya di rumah sakit, ia memutuskan menuggu di depan ruang IGD. Ia mengawasi satu per satu manusia yang tampak keluar masuk sampai akhirnya ia benar-benar menemukan Via. Gadis yang mengajaknya kucing-kucingan beberapa hari lalu tampak berjalan keluar IGD dengan tenang. Ia kemudian melangkah mendekat dengan senyum tipis di wajahnya. 

Via menyadari keberadaan Gabriel beberapa meter sebelum ia sampai di pintu keluar IGD. Ia merengus dalam hati dan mengutuk siapa pun yang membocorkan keberadaannya pada pemuda itu. Meskipun ia dapat menebak siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Rio? Ify tidak mungkin. Gadis itu saja tidak bisa memalingkan fokusnya pada luka di tubuh Rio. Debo? Mereka kenal saja ia ragu.

Via berusaha pura-pura mengabaikan Gabriel yang tampak menunggunya keluar. Sayangnya pemuda itu justru dengan terang-terangan menghalau langkahnya ketika mereka berhadapan. Ia berjalan ke kiri, pemuda itu ke kiri. Ia ke kanan, pemuda itu ke kanan. 

Ck, ia sama sekali tidak mengharapkan adegan picisan seperti sekarang.

Via berhenti dan menatap Gabriel tidak suka, seketus nada bicaranya. "Apa?!"

Gabriel tersenyum lebih kentara. "Masih ngambek?" Tanyanya enteng.

Via mendengus keras, kesal kemarahannya selama ini justru disepelekan. Gabriel benar-benar tahu cara membuatnya naik pitam. "Minggir!" Usirnya tanpa mau diajak kompromi.

Gabriel sesaat membiarkan Via berjalan melewatinya. Ia kemudian membalikkan badan seraya memanggil kembali gadis itu. "Diem-dieman kayak gini cuma bikin lo kepanasan sendiri karena penasaran, Vi. Gue dengan senang hati bersedia menjawab apapun yang lo mau tau."

Langkah Via terhenti dengan sedikit hentakan. Ia meniup poni yang menjuntai di dahinya hingga berterbangan ke atas sesaat. Sungguh. Ia kesal. 

Via berbalik badan hendak menjawab namun seketika semua sumpah serapahnya kembali tertelan ke dalam mulut dikarenakan Gabriel tahu-tahu sudah berdiri sangat dekat di depannya. Ia sampai berjengit ke belakang namun tangan Gabriel dengan sigap menahan kedua lengannya sehingga ia tidak jadi berpindah tempat.

Harusnya Via marah atau mencak-mencak. Namun, ia justru mendapati dirinya hanya diam memandangi wajah tampan Gabriel di depannya.

"Kita ngobrol dulu ya, Vi?" Tawar Gabriel tanpa diiringi nada memaksa. Meskipun ia akan terus mendesak Via kalau gadis itu masih menolak berbicara dengannya.

Tak ada yang bisa Via lakukan selain menghela napas. Ia bisa bersikap tegas pada papanya namun ia masih saja mengaku kalah pada Gabriel. Ia tidak bisa menjawab apakah sikapnya ini baik atau tidak. Hatinya hanya mengatakan agar dirinya mengikuti alurnya saja.

"Yaudah." Serahnya.

***

"Mau minum apa, Vi?" Tawar Gabriel, basa-basi sebelum mereka melakukan pembicaraan serius, mungkin menurut Via. Sementara Gabriel sebenarnya merasa tidak ada masalah besar di antara mereka yang harus dibahas dalam-dalam.

Gabriel dan Via sudah sampai kembali ke rumah Alvin, nyaris bersamaan dengan kedatangan Rio dan Ify. Dua sejoli itu memilih masuk ke dalam salah satu kamar karena Rio ingin beristirahat setelah tidak tidur sehari semalam. Sekaligus membiarkan Gabriel dan Via memiliki waktu dan tempat khusus berdua. Karena melihat wajah ditekuk Via sudah cukup menjelaskan pada mereka kalau ada sesuatu yang perlu dibicarakan benar-benar.

"Gue ga ada bilang bersedia lama-lama ya." Via memberi peringatan secara tersirat kalau Gabriel tidak perlu membuang waktu dan langsung pada tujuan utama mereka saja.

Gabriel sama sekali tidak tampak tersinggung. Ia hanya tersenyum maklum. Ia memang sering dihadiahi kemarahan Via. Namun, ia tahu kemarahan Via saat ini berbeda dari biasanya. Kalau biasanya akan lewat seperti angin, yang sekarang justru tidak akan pernah redam kalau ia salah bicara dan tidak memberikan pengertian yang baik pada Via.

Ia izin sesaat untuk mengambil sesuatu di dalam kamar. Ia kemudian keluar dan menghampiri Via yang duduk tenang di sofa. Ia menyerahkan sebuah buku ke depan gadis itu. Sebuah novel. Yang kebetulan tidak asing di mata Via. Justru sempat ia cari dulu sebelum ia membelinya ulang.

Via melirik novel di depannya lalu mengernyit seraya menatap Gabriel penuh tanya. Gabriel tidak menjawab namun hanya diam menatapnya dan justru tampak menunggu. Ia mendesah pelan sudah tak sabar. Tidak biasanya pemuda itu bermain kode-kodean seperti ini.

"Ini apa, Yel? Buat gue? Gue udah punya, kasih cewek lo aja." Ceplos Via asal sekalian jengah. 

Gabriel yang tadinya duduk bersandar akhirnya menegapkan kembali badannya. Ia menunjuk novel yang dibawanya dengan dagu. "Coba lo periksa isinya." Pintanya singkat.

Via memasang tampang tak mengerti. Namun karena tampaknya Gabriel tidak ada niatan menjelaskan lebih lanjut, ia mau tidak mau menuruti permintaan pemuda itu. Ia membawa ke pangkuan novel yang ditunjuk Gabriel. Ia membuka satu per satu halaman dengan gerakan tersentak-sentak. Jangan lupa, ia masih kesal.

"Lo orang paling banyak kerjaan yang nyuruh gue ke sini cuma buat baca nov—"

Belum sempat Via selesai menyuarakan protes, Gabriel cepat-cepat memotong. "Coba buka bagian tengahnya, Vi." Tegurnya halus.

Via menatap Gabriel tajam tapi kemudian mendengus pelan. Nada bicara pemuda itu sama sekali tidak memerintah namun dirinya tidak bisa menolak apa yang pemuda itu amanatkan. Ia jadi makin kesal, terlebih pada dirinya sendiri yang tidak konsisten.

Ia membuka halaman tengah seperti yang Gabriel bilang. Ia baru saja hendak mendumel namun lagi-lagi semua ocehannya harus ia telan kembali ketika melihat sebuah tulisan yang terdapat di bagian atas halaman yang tengah terbuka. Tulisan yang begitu mirip dengan tulisan tangannya. Bahkan nama yang tertera di sana persis dengan nama lahirnya.

Alias, yang dia pegang sekarang ini adalah novel miliknya. 

Seketika kepala Via kembali membayangkan waktu pertama kali ia terjebak untuk menyamar menjadi Zaza. Ia ingat sekali itu adalah hari di mana ia membeli novel yang ada di tangannya kini. Pantas saja novel itu tidak ia temukan di mana pun di kamarnya saat itu sehingga membuatnya memutuskan menggantinya dengan yang baru.

Via kembali menoleh pada Gabriel dan menatapnya tidak percaya sekaligus penasaran. Kenapa buku ini justru berada di tangan Gabriel?

"Kok..bisa..sama lo?" Lirihnya tak yakin.

"Ketinggalan pas lo lagi nonton, di sebelah gue." Jawab Gabriel dengan tenang. Sedari tadi, matanya tak pernah berpaling dari wajah Via.

Seingatnya ia tidak janjian menonton bersama Gabriel sehabis ia membeli novel ini. Waktu itu ia kebetulan ikut menonton untuk memata-matai Gabriel. Ia juga sedang menyamar menjadi Zaza..astaga! Apa jangan-jangan karena ini perannya ketahuan oleh pemuda itu?

"Novel itu cuma memastikan kalo mata gue gak salah ngenalin lo. Dari awal gue emang udah curiga yang pake wig itu lo, Vi." Gabriel kembali menjawab seolah paham isi otak Via saat ini.

Via mendadak merasakan pening di kepalanya. Jadi, ia bahkan sudah dikenali sejak detik pertama? Tapi Gabriel justru tidak mengatakan apa-apa dan memilih ikut menjalankan drama yang dirinya buat?

"Gue kaget pas denger lo justru ngaku jadi orang lain dan bersikap seolah gak kenal gue. Coba deh lo pikir, siapa yang harusnya kesel. Gue, yang tetep jadi 'Iel' tapi justru pura-pura gak lo kenal, atau lo, yang emang jadi orang lain yang gue perlakukan juga kayak orang lain karena lo pun bersikap kayak gitu sama gue? Kalo lo ketemu 'temen' lo yang kayak gitu, lo bakal gimana, Vi?" Todong Gabriel tanpa disangka-sangka. Via mengingatkannya pada rasa kesalnya dulu pada gadis itu karena bisa-bisanya berpura-pura tidak mengenali dirinya. Ia sedikit tersinggung.

Via tertegun sambil memegang novel di tangan. Gabriel baru saja membuka pikirannya. Ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Iya juga, sih. Siapa yang tidak sebal kalau sebelumnya saling kenal namun salah satu di antaranya malah bersikap seperti tidak pernah bertemu satu sama lain.

Kalau ia mendapati Gabriel yang seperti itu, ia tentu akan kesal dan membalas sikap pemuda itu dengan hal yang sama, yakni ikut-ikutan merasa tidak pernah kenal.

Tidak, tidak. Ia tidak boleh sembrono mengiyakan ucapan Gabriel. Bisa saja pemuda itu hanya mengarang alasan. Ia belum boleh mengalah dulu. "Dan abis itu malah lo pacarin?" Sahutnya sarkastis.

Gabriel bersidekap sambil mendekatkan badannya ke arah Via sementara Via tetap diam pada posisinya. "Inget pas gue bilang lo unik? Itu sebenernya emang buat lo, Via, bukan Zaza. Awalnya emang gue kesel lo pura-pura ga kenal sama gue. Tapi abis itu gue justru jadi penasaran, kenapa lo sampe harus nyamar segala. Banyak orang kalo papasan pura-pura ga kenal. Tapi baru lo yang gue temuin justru sampe nyamar jadi orang lain. Itu bikin lo beda di mata gue. Dan lo tau kan gue suka terlibat sama yang anti mainstream."

Sial. Gabriel lagi-lagi bisa membalikkan ucapannya. Via merasa saat ini sedang menaiki wahana roller coaster di mana jiwanya seolah terombang-ambing naik-turun mendengar twist dari Gabriel. Ia yang tadinya marah besar justru sekarang seperti tidak bernyali di depan pemuda itu.

Gabriel tidak berniat untuk menghakimi Via. Dari awal kan sudah ia bilang, ia hanya menganggap gadis itu sedang merajuk, bukan marah. Ia justru senang melihat ekspresi melongo dan malu diam-diam dari Via karena sadar sudah salah paham. 

Kapan lagi bikin Via tengsin?

"Apalagi? Apalagi?" Tanya Gabriel yang mendadak semangat. Sikap pemuda itu benar-benar membuat obrolan mereka saat ini hanyalah cuap-cuap ringan biasa. 

Via makin merasa kepalanya berputar tak karuan. Ia pusing menghadapi Gabriel yang tidak ada serius-seriusnya sama sekali sementara dirinya masih belum rela berdamai dengan pemuda itu. Kalau pun nantinya hubungannya dengan Gabriel akan membaik, bukan begini cara berbaikan yang ada di bayangannya. 

Ia menarik napas lalu membuangnya dalam 1 kali hentakan. Ia mengangkat sebelah tangannya lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali setelah selesai berbicara. "Tapi lo seserius itu pas diputusin Zaza, Bray."

Gantian Gabriel yang mendecak sebal persis seperti anak kecil tengah merajuk. "Ya gimana ga sedih. Via musuhin gue. Zaza pake minta putus. Trus gue bisa sayang-sayangan sama lo nya gimana dong?"

"Sayang dari Hongkong!" Dumel Via pelan.

Gabriel sontak menggelengkan kepala seolah 'kecewa'. "Sumpah ya, Vi. Lo gak banget. Gue kecewa. Itu jargon udah uzur masih aja lo pake." Komentarnya yang sangat tidak penting menurut Via.

Via menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menunduk kemudian menyisir rambutnya ke belakang. Harusnya tidak seperti ini. Harusnya bukan begini. Rapalnya berulang-ulang dalam hati.

Ketika Via masih sibuk meratapi situasi nyeleneh antara dirinya dan Gabriel, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan memanggil namanya. Ia refleks menegakkan badannya menoleh ke sumber suara. Ia terdiam manakala mendapati Gabriel sudah duduk manis bersidekap di sampingnya dengan badan sedikit condong ke arahnya.

Bukan jarak mereka yang menjadi masalah, melainkan tatapan tajam Gabriel yang membuat Via ketar-ketir. Ia yang sedaritadi berkoar-koar agar pemuda di depannya serius namun sekalinya itu terjadi, ia justru kehilangan kata-kata. 

"Lo mau kita ngomong kayak gini, kan?" Ujar Gabriel. 

Tidak perlu pemuda itu tekankan lewat ucapan kalau dirinya tengah serius. Nada bicaranya saja sudah mampu membuat mayoritas rambut-rambut halus yang melingkupi permukaan kulit luar Via meremang. Via berkedip cepat beberapa kali masih belum terbiasa dengan situasi yang menderanya sekarang. 

Gabriel lantas kembali bertanya dengan cara bicara yang sama. "Apa lagi yang mau lo tau, Vi?"

Setelah beberapa saat, Via kemudian dapat membuat dirinya nyaman dengan pandangan luar biasa dari Gabriel padanya. Ia justru mulai berani membalas tatapan tersebut sama tajamnya. "Pricilla." Gumamnya singkat namun mewakili semua rasa penasaran dalam dirinya yang masih tersisa mengenai Gabriel.

Tidak ada ekspresi berarti yang muncul di raut wajah Gabriel. Pemuda itu masih setia menghunus tatapan tajam dengan pembawaan teramat tenang. "Gue dijodohin sama dia, dulu. Gue gak tau kalo lo ternyata anaknya Om Riza. Mau ngasih tau tapi gue bingung gimana caranya yang ga bikin lo sakit hati."

Via memilih diam mendengarkan Gabriel menjelaskan dengan seksama. Ia memang sudah tidak mau 'peduli' siapa dan bagaimana ayahnya. Namun, informasi perjodohan Gabriel dan Pricilla berhadil membuatnya tidak bisa berkomentar. Dadanya mulai terasa tidak nyaman.

Bolehkah ia tidak terima?

Gabriel menyadari perasaan gelisah yang coba ditutupi Via lewat wajah datarnya. Ia lantas cepat-cepat meyakinkan gadis itu agar tidak lagi berprasangka macam-macam padanya. "Yang gue seriusin sekarang cuma lo, Vi. Jangan pernah ambil hati apa yang gue lakuin sama Pricilla. Gue masih deketin dia karena ada alasan. Gue lagi nyelesein sesuatu, ntar juga lo bakal tau. Yang penting, gue ga selingkuh, Vi. Beneran!" Jelasnya dengan penuh kesabaran.

Via tidak lagi mementingkan isi perkataan Gabriel. Yang ada di kepalanya sekarang justru rasa takjub karena pemuda itu bisa bersikap sebersahaja saat ini. Sebelumnya, menurut Via, hidup Gabriel itu 90% bercanda, 10% tidak serius. Sehingga ketika Gabriel dapat secara konsisten menjaga ketenangan dirinya dalam berbicara, tentu menjadi sebuah hal yang sangat luar biasa.

"Lo masih mau percaya sama gue, kan?" Tanya Gabriel penuh harap. 

Via memberi jeda beberapa saat lalu kemudian berdehem pelan. Ia tetap berusaha keras menjaga mimik wajahnya agar tidak mencetak ekspresi yang berlebihan dan begitu kentara. Ia tetap tidak ingin membuat Gabriel besar kepala.

Namun sepertinya mereka memang tidak ditakdirkan berlama-lama dalam situasi tegang. Gabriel dengan cepat menarik tubuhnya dan bertepuk tangan sekali lalu mengepal kedua tangannya seperti sedang melakukan selebrasi.

"YES!" Serunya yang tampak amat puas. 

Via hanya diam memperhatikan dengan kerutan-kerutan di dahinya. Gabriel kemudian menoleh kembali pada gadis di sampingnya. Sorot jenakanya sudah kembali menguasai tatapan matanya. Membuat Via mendesah lemah tanpa bisa dicegah.

"Kita udah fix baikan, kan?!" Kembali Gabriel berseru antusias. Via tidak menjawab melainkan memutar kedua bola matanya. Untung ia tidak terlena tadi dan memilih berekspektasi tidak banyak seperti biasa.

Via menjatuhkan badannya dan bersandar pada badan sofa di balik punggungnya. Tindakannya itu langsung disusul oleh Gabriel yang sedikit menurunkan tubuhnya agar kepalanya dapat bersandar di lengan Via.

Antara menikmati sekaligus merasa percuma untuk melerai, Via membiarkan Gabriel kembali menempel padanya tanpa protes sedikit pun. Ia kemudian melihat pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. 

"Deliv makan yuk? Gue laper," Ajak Gabriel seraya menelusuri berbagai pilihan makanan antar pada ponselnya.

Via melirik Gabriel sebentar lalu kemudian ikut-ikutan melihat daftar tempat makan yang tengah dibuka pemuda itu. "Makan apa?"

Memilih makanan setelahnya menjadi akhir 'perseteruan' antara Gabriel dan Via, tepatnya menjadi ujung kemarahan Via pada Gabriel. Hubungan mereka kembali seperti asal mulanya hanya dengan sebuah obrolan ringan yang syukur ada isinya. 

Apa yang bisa kita harapkan dari hubungan mereka memang? Via menangis setiap malam, menghindar dari Gabriel, menciptakan drama melankolis dengan pemuda itu? Sementara Gabriel frustasi mengejar Via, mengemis hingga bertekuk lutut, menangis karena tidak dimaafkan?

Sayangnya yang kita bicarakan ini adalah Gabriel, yang kata Via 90% bercanda, 10% tidak serius, dan Via sendiri, yang selalu menerima dengan lapang dada setiap fenomena dalam hidupnya.

***

Tadinya mobil Chris masih setia mengikuti diam-diam mobil yang diduga tengah menculik Febby dan teman laki-lakinya. Namun kemudian mereka kehilangan jejak setelah terjebak di lampu merah.

Untungnya, mereka melihat mobil voxy tersebut berbelok ke salah satu lajur untuk masuk ke dalam kawasan perumahan. Walau mereka tidak tahu tempatnya, namun kalau hanya satu kawasan perumahan tentu ada harapan besar mereka akan menemukan kembali mobil si penculik.

Mereka menghela napas lega berbarengan ketika angka yang menunjukkan waktu menyalanya lampu merah kembali ke nilai nol dan segera digantikan oleh angka baru untuk lampu hijau. Chris melajukan mobilnya kembali dengan sedikit terburu-buru.

"Gue mesti ngasih tau Alvin ga, Kak? Atau polisi?" Tanya Shilla dengan pandangan tak menentu. Matanya masih berkeliaran melihat-lihat rumah-rumah yang mereka lewati.

"Kalo lapor polisi sekarang, kita pasti mesti ke sana buat ngasih keterangan sebagai saksi. Kita udah sedekat ini sama mereka trus mau kabur gitu aja? Seenggaknya kita tau dulu di mana cewek Alvin itu disembunyiin." Jawab Chris dengan bijak dan terlihat mencoba tetap tenang.

Pendapat Chris sama sekali tidak salah. Hanya saja ada dari penyampaiannya yang membuat Shilla kesal, di saat seperti ini. "Dia bukan cewek Alvin, Kak! Ih!" Sungutnya tak terima sekaligus cemburu.

Chris hanya diam tidak menanggapi karena juga merasa tidak begitu perlu. Namun setelah itu, ia kembali berbicara. "Yang bawa cew—siapa nama ceweknya tadi?" Sebelum ia benar-benar dihajar karena salah menyebut identitas, lebih baik ia bertanya sehingga singa di sebelahnya tetap tenang.

Shilla mendengus karena lagi-lagi ia harus mengulang nama yang membuatnya sensi. "Febby." Ketusnya.

"Oke, Febby. Yang lagi bawa Febby sekarang pasti udah tau siapa Febby dan temen cowoknya. Yang kita gatau, sasarannya Febby atau cowok itu. Mending sekarang lo cari tau siapa cowok yang juga dibawa bareng Febby." Usul Chris.

Shilla tanpa protes kemudian langsung membuka kunci ponselnya dan mulai melakukan pencarian pada akun sosial media Febby. Akun gadis itu ternyata digembok sehingga ia tidak bisa mengetahui isi di dalamnya. 

Ia kemudian beralih pada akun milik sekolah Alvin yang tentunya juga sekolah Febby. Siapa tahu pemuda yang dibawa tadi juga bersekolah di tempat yang sama. Ia tidak bisa memastikan karena tadi Febby dan Goldi mereka temukan tidak sedang memakai seragam.

Tidak butuh menelusuri hingga ke bagian bawah, ia sudah menemukan foto si pemuda. Ia sudah bisa memanggil pemuda tersebut dengan sebuah nama sekarang, Goldi. Tak heran foto pemuda itu bisa begitu mudah ia temukan di sana berhubung jabatan pemuda itu sebagai ketua OSIS.

Ia lalu mencoba mencari tahu siapa Goldi lewat akun sosial media pemuda itu. Sayangnya pemuda itu sepertinya tidak punya akun apapun. Ia lantas iseng membuka laman pencarian dan mengetik nama pemuda itu. Ia sedikit kaget ketika membaca latar belakang pemuda yang tengah ia selidiki.

Ayah Goldi termasuk salah satu pengusaha besar di Indonesia. Meskipun bukan nomor satu, tapi tetap tidak menghapus kenyataan kalau pemuda itu berasal dari keluarga kaya raya. Sebenarnya ia sudah bisa menduga dari mobil mewah yang dikendarai pemuda itu sebelum dihadang oleh penculik.

"Bokapnya konglomerat cuy, pantesan aja.." Takjub Shilla.

Chris menganggukkan kepala ketika sudah mendapat gambaran di kepalanya tentang situasi yang kini mereka hadapi. 

"Lah, dia anak bini ke-3?!" Perangah Shilla tiba-tiba ketika membaca berita terkait ayah Goldi lebih lanjut. "Wah iya, Men. Dia satu-satunya anak cowok dari bapaknya."

Chris menoleh padanya dan seketika saling berpandangan. Penculikan ini bukan drama balas dendam karena sakit hati dan tahta seperti yang sering difilmkan di tv-tv, kan?

Sayangnya, mereka justru lebih yakin dengan alasan itu dibanding penculikan untuk sekedar meminta tebusan. Tentunya ini akan lebih mengancam keselamatan Febby dan Goldi ketimbang diculik hanya karena uang.

"Coba lo usaha hubungin bokapnya Goldi. Kalo lo hubungin Alvin ujung-ujungnya mereka cuma bisa lapor polisi. Bokap Goldi pasti punya jalan keluar yang lebih efisien."

Shilla mengangguk kemudian mencoba mencari nomor perusahaan ayah Goldi yang bisa ia hubungi. Beruntungnya menjadi perusahaan besar sehingga nomornya dapat dengan mudah Shilla temukan di internet. 

Shilla mengetuk-ngetuk kuku telunjuknya pada punggung ponselnya seraya menunggu panggilannya dijawab. Ia terlonjak senang ketika sebuah suara perempuan menyapa.
"Selamat malam, ada yang bisa dibantu?"

Shilla menelan ludah sebelum menjawab. "Perkenalkan saya Ashilla. Maaf sebelumnya, Mbak. Ucapan saya mungkin akan kedengeran mengada-ngada. Tapi saya mau melaporkan kemungkinan penculikan yang dialami oleh anak pemilik perusahaan tempat mbak bekerja. Apakah memungkinkan kalo saya dihubungkan dengan Pak Antoni langsung?" Balasnya dengan sopan.

"Saya coba sambungkan dengan sekretarisnya ya, Mbak. Terimakasih sebelumnya atas informasinya."

Shilla kembali harus menunggu nada sambung berhenti menggema dari speaker ponselnya. Ia menegapkan tubuhnya spontan setelah kembali mendengar suara seorang perempuan menyapa.

"Selamat malam, ada yang bisa dibantu?"

Shilla kemudian mengulang apa yang sudah ia sampaikan pada wanita yang kemungkinan adalah resepsionis di kantor ayah Goldi. Ia lagi-lagi harus menunggu dengan sabar hingga akhirnya ia benar-benar berbicara langsung dengan Antoni, ayah Goldi.

"Kamu yang melapor anak saya diculik?" Tukas Antoni dengan nada menyelidik. Wajar. Kalau ia jadi orangtua, ia juga pasti akan mengira dirinya justru komplotan dari penculik yang ia laporkan. Apalagi kalau sang penculik juga belum menghubungi sasaran.

"Benar, Pak. Saya Ashilla. Mobil teman saya tidak sengaja berhenti tepat di belakang mobil anak bapak yang waktu itu tiba-tiba dihadang oleh sebuah mobil. Ada sekitar 5 orang laki-laki, badannya kekar, keluar kemudian membawa dengan paksa anak bapak dan teman perempuannya. Saya dan teman saya sudah coba menghalangi namun kita kalah jumlah. Saya dan teman saya sedaritadi mengikuti kemana mobil tersebut membawa pergi anak bapak namun kita kehilangan jejak karena terjebak lampu merah. Tapi kita melihat mobil penculik itu masuk ke kawasan perumahan Nusa Indah. Kami masih berusaha menemukan di mana anak bapak sekarang."

Shilla menjelaskan panjang lebar dengan menjaga benar ketenangan suaranya. Aura Antoni sungguh kuat. Nada bicaranya saja sudah membuat Shilla tahu kalau laki-laki itu bukan orang sembarangan. Ia lantas membiarkan Antoni diam memahami ucapannya sekaligus mendinginkan kepala. 

Bagaimanapun tenangnya laki-laki itu, saat ini dadanya pasti diliputi rasa cemas. Yang kita bicarakan saat ini adalah anak laki-laki satu-satunya yang ia punya tidak tahu nasibnya bagaimana, bahkan masih bernapas atau tidak pun mereka tidak bisa dengan percaya diri menentukan.

"Maaf kalau ini justru menyinggung anda sekeluarga. Tapi tidak ada salahnya bapak mencari tahu apakah ada salah satu orang terdekat bapak terlibat dalam penculikan ini. Karena itu yang justru lebih membahayakan keselamatan anak bapak. Bapak pasti lebih tau." Saran Shilla dengan hati-hati. 

Sampai kini, Shilla belum mendengar lagi Antoni mengucapkan sesuatu kepadanya. Namun ia dapat merasakan kalau laki-laki itu mendengarkannya dengan baik dan sekarang tengah berpikir keras. 

"Terimakasih sudah mencoba menghubungi dan membantu saya. Saya akan mengirimkan bantuan ke lokasi kalian berada. Saya harap sebelum mereka datang, kalian juga berhati-hati. Tolong segera kabari kalau kalian sudah menemukan di mana anak saya. Saya akan mengirimkan nomor yang bisa kalian hubungi."

Hanya sekali Antoni membalas dan sambungan antara laki-laki itu dan Shilla kemudian diputus. Shilla tidak merasa tersinggung sama sekali karena teleponnya dihentikan secara sepihak. Justru respon Antoni jauh lebih baik dari yang ia bayangkan. Laki-laki itu pasti memilih buru-buru mencari cara untuk menyelamatkan sang anak ketimbang berbicara basa-basi dengannya.

Di saat yang sama ia terbayang wajah temannya yang paling galak alias Agni. Ia langsung menghubungi gadis itu karena merasa Agni pasti akan sangat membantu. "Ni, jangan banyak tanya, telen aja bulet-bulet. Febby diculik, gue lagi nyari di mana dia disekap. Lo cepetan otw ke perumahan Nusa Indah. Ntar gue sent loc."

Tak lama setelah panggilan dengan Agni berakhir, mereka akhirnya menemukan mobil yang mereka cari-cari terparkir di depan sebuah rumah. Rumah tersebut tampak tidak mencurigakan sama sekali. Rumah tersebut pun tampak terurus, tidak ada tanda-tanda dikosongkan beberapa lama.

Shilla yang kebetulan baru saja berkomunikasi dengan Agni segera mengirimkan titik lokasinya pada gadis itu. Ia kemudian kembali membuat panggilan agar Agni tidak mengabaikan pesannya. 

"Halo, Ni? Udah jalan belom? Gue ud—"

BRAK!!

Bunyi itu tak hanya datang dari samping Shilla namun juga Chris. Ia mendapati kaca jendela di samping mereka pecah berkeping-keping. Ia belum sempat mendapat ide apa yang terjadi ketika kepalanya terasa dipukul cukup keras hingga pandangannya seketika buram. Bukan pingsan, kepalanya hanya terasa begitu sakit hingga ia tidak bisa membuka matanya.

***

Hari ini Cakka sudah berhasil menempatkan dirinya sebagai pria paling brengsek yang pernah ada. Ini bahkan lebih hina dibanding gelar playboy yang selama ini diembannya. Selama ini ia tidak memenuhi satu pun kriteria hingga ia harus setuju dianggap sebagai tukang main perempuan. Tapi kini ia justru bersikap lebih pendosa ketimbang seorang pemain perempuan.

Cakka sadar betul apa konsekuensi dari perbuatannya. Tapi, mau bagaimana lagi. Nia-nya lebih penting dari siapa pun. Ia harus memastikan siapa Nia-nya sehingga hatinya tidak lagi diluputi keraguan. Walau pun itu berarti ia bisa saja melepas Agni begitu saja.

Kenyataannya tidak ada 'begitu saja' yang dirasakannya. Ia sudah menemukan Nia namun dadanya justru terasa berat ketika Agni sendiri yang memutuskan pergi darinya dengan membawa luka, mungkin. Ia bahkan sudah tidak lagi antusias menyambut Nia-nya. Hatinya terasa hambar. 

Tatapan kecewa Agni terus saja berputar di kepalanya dan membuat dadanya sesak. Perasaan tidak nyaman ini bahkan melebihi rasa kecewanya ketika mengetahui dirinya adalah pria kedua Febby.
Ia bisa mengeluarkan amarah sedemikian hebatnya ketika Febby muncul setelah sekian lama menghilang karena gadis itu sudah bersama pria lain lagi. Namun emosinya sekarang justru membuatnya tidak bisa mengatakan apapun. 

Oik..atau mungkin ia harus menyebutnya Nia? Entahlah, ia sedang tidak mood peduli. Selepas mengantar gadis itu ke rumahnya, ia justru hanya berdiam di dalam mobilnya di tepi jalan entah di mana. Ia kebetulan melihat jalanan sepi dan memutuskan berhenti. 

Ia memandangi bandul kalung yang selama ini begitu dipuja-puja Agni. Kalung yang dulunya tampak sangat berarti untuk Agni namun tadi dibuang gadis itu tanpa ragu. Seolah-olah kalung tersebut justru adalah penjangkit virus mematikan sehingga patut dimusnahkan. 

Begini ternyata rasanya mencapai harapan dengan kehilangan harapan. Ia tidak berani berandai-andai kalau Agni hanya sekedar tersinggung dan akan membaik dengan sebuah kata maaf. Memangnya dia pantas mengucap maaf pada Agni? Setelah ia bertaruh bagaimana perasaannya dengan menggunakan gadis itu.

"Maafin gue, Ni.."

***

Agni sudah kembali tenang seperti biasa. Maksudnya, dari luar gadis itu kelihatan baik-baik saja seperti biasa, seperti tak ada satu pun hal buruk yang menimpanya. Padahal yang barusan ia alami seharusnya membuatnya terguncang melebihi gempa bumi.

Sebenarnya ia masih tidak mengerti kenapa ia semarah ini. Cakka hanya mengajaknya bertemu dengan gadis yang pemuda itu kira adalah Nia. Kalau dipikir-pikir, bukan salah pemuda itu untuk meragu. Oik juga memiliki kalung yang sama dengan yang ia miliki. Gadis itu juga tampak sangat meyakinkan. 

Ia yang pergi begitu saja tanpa mendengar Cakka bicara. Memangnya apa yang ia harapkan? Cakka akan tetap memilihnya meskipun dirinya bukan 'siapa-siapa'? Selama ini mereka memang dekat. Tapi Cakka tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kalau ada yang spesial di hubungan mereka. 

Kalau sedari awal pemuda itu hanya menganggapnya teman, lalu salah kalau pemuda itu berniat mencari siapa temannya yang lain, yang mungkin jauh lebih berarti?

Seharusnya ia juga merasa tersanjung karena ternyata Cakka juga mencari-'nya'. Dirinya alias Nia memiliki arti besar untuk pemuda itu, meskipun pengetahuan Cakka sedang tersesat kini. Ia seharusnya dapat membela diri dan membersihkan namanya.

Tapi entah kenapa, ia tetap merasa yang dilakukan Cakka tidak benar. Cakka terlalu egois karena hanya memikirkan Nia-nya. Itu artinya Cakka hanya menyukai Nia, bukan dirinya seutuhnya. Eh..memang sejak kapan Cakka mengaku menyukainya? Dan..siapa yang bilang Cakka mau memacari Nia setelah bertemu satu sama lain?

Haiss..terserah lah. Ia tidak mau tahu lagi.

Getaran di ponselnya berhasil menyelamatkan Agni dari rasa frustasi. Ia mendapati Shilla menelepon dan kemudian menjawabnya tanpa pikir panjang.

"Ha—"

Belum lengkap sapaannya, sang lawan bicara keburu bercerocos panjang lebar tanpa jeda. Ia hanya diam mendengarkan dengan penuh kesabaran. Hari ini rasanya penuh dengan cobaan.

"Ni, jangan banyak tanya, telen aja bulet-bulet. Febby diculik, gue lagi nyari di mana dia disekap. Lo cepetan otw ke perumahan Nusa Indah. Ntar gue sent loc." Pinta atau mungkin perintah Shilla karena nada bicaranya benar-benar tidak menolerir penolakan. Gadis itu bahkan langsung mematikan sambungan sebelum Agni sempat mempertimbangkan harus mengiyakan atau tidak.

Agni, yang setengah nyawanya sebenarnya masih berkelana entah kemana, memahami setengah-setengah pula ucapan Shilla di telepon. Satu yang ia pastikan, ia harus menemui sang teman. Ia samar-samar ingat Shilla menyebut culik-menculik namun ia sendiri kurang yakin dengan pendengarannya tersebut.

Ia hanya menghela napas lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia kemudian mengajak bicara mas-mas tukang ojek online yang kini sedang mengantarnya, tadinya hendak menuju ke rumah Chris. "Mas, perumahan Nusa Indah jauh gak dari sini?"

"Neng mau ke sana?" Tanya si tukang ojek.

"Maunya, sih. Mas bisa nganterin atau saya turun di sini aja biar pesen ojek lagi?" Tawar Agni.

"Gak jauh kok, Neng. Lebih deket dari tujuan Neng sebelumnya malah. Gapapa saya anter aja, Neng." Sambut mas-mas tukang ojek yang sekarang jauh lebih mengademkan hati untuk dipandang dibanding Cakka.

Lah, kok Cakka ckck..

Tak berapa lama, bahkan tidak sampai 10 menit, ponsel Agni lagi-lagi bergetar. Ia dapat menebak siapa yang menghubunginya. Tidak lain tak bukan pasti Shilla.

"Apalagi?" Sahut Agni malas. Temannya sungguh tidak sabaran.

"Halo, Ni? Udah jalan belom? Gue ud—"

Agni berjengit ketika mendengar suara keras dari speaker ponselnya. Setelah itu justru ia tidak mendengar suara apa-apa lagi dari sambungan teleponnya bersama Shilla. Sambungan tersebut juga tiba-tiba diputus.

Seketika perasaan cemas meliputi seluruh rongga dadanya. Dalam pikirannya, pasti ada sesuatu yang buruk terjadi pada Shilla. Suara keras tadi semakin membuat pikiran negatifnya menjadi nyata. Suara keras berarti ada benturan. Bisa kecelakaan, bisa penyerangan. Apalagi tadi Shilla bicara soal penculikan.

Ia membuka lokasi yang baru saja dikirimkan Shilla padanya dan memberi aba-aba pada ojek yang mengantarnya. Ia dikejutkan dengan polisi yang berjaga di portal jalan masuk perumahan. Namun ia justru lega karena bisa meminta bantuan dan melaporkan telah terjadi sesuatu pada temannya.

"Mas berenti bentar, Mas. Saya mau lapor polisi." Pinta Agni, yang tiba-tiba menurut laki-laki tukang ojeknya.

"Lapor kenapa, Neng? Saya gak nyulik Neng kok."

Agni melengos pelan. "Ya bukan lah, Mas. Temen saya yang diculik. Makanya saya mau lapor."

"Temen Neng diculik?! Kok bisa Neng?"

Sekali lagi Agni melengos. Ia tidak punya banyak waktu untuk bercerita sekarang. "Ntar aja ceritanya, Mas. Yang penting berenti dulu." Desak Agni.

Akhirnya sang tukang ojek menepikan motornya sehingga Agni dapat turun dan menghampiri polisi yang berjaga. Polisi tersebut memandangnya dengan bingung.

"Pak, temen saya diculik—enggak, maksudnya, saya curiga temen saya diculik. Dia tadi bilang lagi nyari penculik. Dia nelfon trus saya tiba-tiba denger suara keras kayak benturan dan telfon dari dia langsung mati." Lapor Agni dalam sekali napas. Setelahnya ia meraup banyak-banyak udara di sekitarnya. Ia benar-benar panik.

Yaiyalah, temen gue diculik, Anjing!

"Tunggu. Kami di sini juga karena ada laporan penculikan. Jangan-jangan dia temen kamu? Febby atau Goldi bukan namanya?" Jawab Pak polisi.

Mata Agni membelalak karena baru saja mengerti kenapa Shilla menyebut Febby sebelumnya. Jadi Febby diculik, Shilla berusaha mencari keberadaan penculiknya, dan sekarang Shilla ikut-ikutan tertangkap.

Haduh, jadi drama aksi begini. Harinya tidak hanya penuh cobaan, tapi juga penuh drama.

"Nah temen saya tadinya lagi nyari penculik Febby itu, Pak."

Polisi di depannya mengangguk paham. "Temen kamu baru aja ngasih tau lokasi penculiknya. Tapi dari informasinya, tempat penculikan bukan di sini. Orang-orang kami sudah dalam perjalanan ke sana dari 10 menit yang lalu."

Informasi polisi barusan membuat Agni kembali mengecek ponselnya. Memeriksa telepon terakhirnya dengan Shilla. Ia lalu berdecak mengetahui kemungkinan para polisi telah dikelabuhi sang penculik sekaligus membenarkan kalau temannya sungguhan tertangkap.

"Temen saya ngirim lokasi udah dari 20 menit yang lalu, Pak. Saya gak bilang rekan-rekan bapak sudah ditipu atau enggak karena setelah telepon terakhir itu, saya ga bisa hubungin temen saya lagi. Jadi saya ga yakin kalo alamat yang dikirim temen saya ke bapak itu bener."

Sang polisi tampak berpikir dan sedikit setuju dengan pendapat Agni. Agni merasa tidak boleh berlama-lama. Ia harus segera menemukan Shilla. "Kalo gitu, bisa bapak menemani saya ke lokasi yang dikirimkan ke saya? Saya bisa bela diri. Tapi kalo yang saya hadapin 4 orang dan semuanya bersenjata, saya pasti kalah."

"Yasudah, ada baiknya kita periksa ke alamat yang teman kamu kirimkan."

Agni mendesah lega lalu kemudian berlari menghampiri mas-mas tukang ojek yang sedaritadi setia menunggu.

"Jalan, Pak!"

"Siap, Neng!"

Agni dan 2 mobil polisi yang mengikutinya kemudian berhenti di sebuah rumah bergaya minimalis tanpa ada apapun yang parkir di depannya. Rumah tersebut juga tidak tampak mencurigakan, sama seperti rumah-rumah yang ada di sampingnya. Hanya saja, ruang garasinya tertutup sehingga ia tidak bisa memastikan apakah ada mobil Chris di sana atau tidak.

Polisi yang tadi ia ajak bicara datang menghampirinya. "Mungkin tadi memang temen kamu yang menginformasikan pada kami. Mungkin temen kamu emang baik-baik aja."

Entah kenapa, Agni masih merasa janggal di hatinya. Kejanggalan tersebut kemudian terjawab ketika matanya menangkap sebuah sepatu yang terdampar di dalam selokan. Ia mendekat memastikan bentuk sepatu tersebut dan seketika yakin kalau itu adalah sepatu milik Shilla.

Bagaimana ia bisa lupa? Itu adalah sepatu yang paling dibangga-bangakan Shilla, yang disebut-sebutnya setiap saat pada hari pertama gadis itu memakainya. Hal itu karena sepatu tersebut adalah hadiah dari Alvin.

Tidak mungkin hanya kebetulan, kan? Sepatu itu juga tampak seperti penghuni baru, bukan yang telah lama teronggok menyedihkan di dalam sana.

"Itu sepatu yang sama dengan yang dipakai temen saya, Pak."

Agni dan polisi-polisi yang bersamanya, berikut mas-mas tukang ojek yang juga ingin ikut bertarung, saling berpandangan kemudian menganggukkan kepala.

***

"Ss.."

Shilla mendesis masih merasakan nyeri di kepalanya. Namun sekarang kondisinya sudah mendingan dibanding sebelumnya. Setidaknya ia sudah bisa membuka mata. Sayangnya, dibuka atau ditutup yang ia lihat sama saja.

Gelap.

Ia bahkan jadi ragu apakah dirinya sudah sadar sepenuhnya atau belum. Tangannya terikat ke belakang berikut dengan kakinya. Ia kesulitan bergerak untuk mencari tahu situasi di sekitarnya.

"Shill! Shilla! Udah bangun belom?"

Sebuah suara dengan berbisik memanggil-manggil namanya. Sepertinya orang tersebut sudah sejak lama melakukan itu, pasti ketika dirinya masih setengah sadar.

Shilla mencoba menoleh ke arah suara tersebut berasal, hanya berusaha menebak-nebak dari perabaan telinganya saja. Ia tahu betul itu suara Chris. Seketika ia ingat kalau ia dan Chris tadi tertangkap basah oleh orang-orang yang..entah ia juga kurang tahu siapa. Yang pasti mereka jahat.

"Udah.." Lirihnya pelan. Ia merasa tenggorokannya gatal. Ia mengamati sekelilingnya meskipun tidak ada yang bisa ia lihat. Ia dapat memastikan kalau tidak ada ventilasi sama sekali di ruangan tempatnya disekap.

Berbicara tentang penyekapan membuat adrenalin Shilla mendadak terpacu. Bagaimana pun caranya, ia harus terbebas dan keluar dari ruangan mengerikan ini. Nyawanya tidak akan semudah itu dilenyapkan. Ia harus keluar hidup-hidup.

"Kak, deketan sini!" Pinta Shilla dengan suara pelan. Ia dapat mendengar decakan kesal dari Chris.

"Gue ga bisa liat apa-apa, Nyet. Mau deket kemana?!" Sungut Chris dari hati yang paling dalam.

"Ikutin suara gue, Kak. Lo masih kuat gerak, kan? Kepala gue sakit, Kak." Shilla membalas dengan sabar penuh. Saat ini ia tidak berminat bersitegang dengan Chris. Mereka betul-betul harus saling kerja sama kalau masih ingin selamat.

Mendengar nada bicara Shilla yang melemah dan pengakuan derita gadis itu membuat hati Chris teriris. Sebagai laki-laki bertanggung jawab, ia pasti tidak tega melihat seorang gadis menderita, siapa pun itu. Apalagi Shilla yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri sejak beberapa waktu lalu.

Chris seperti mendapat kekuatan dan pencerahan secara ajaib sehingga ia bisa menemukan di mana Shilla berada walaupun mereka tetap tidak bisa saling melihat satu sama lain. Chris berusaha keras hingga ia berhasil membuat badannya terbangun dengan kedua lutut sebagai tumpuan.

Ia mencoba meregangkan tali yang mengikat kedua tangannya dan berusaha meloloskan setidaknya salah satu. Ia mengerang tertahan merasakan ikatan ditangannya begitu kuat. Kesakitan Shilla menjadi penguatnya agar tidak menyerah tanpa peduli kulit tangannya mungkin sudah mengelupas karena terus bergesekan dengan permukaan kasar dari tali.

Hingga dengan mukjizat Tuhan, salah satu tangannya bisa bebas. Otomatis tangannya yang lain juga bisa ikut lepas. Ia duduk dengan menumpu bokong untuk melepas ikatan pada kakinya. Setelah ia mendekat pada Shilla dan melakukan hal yang sama pada tangan dan kaki gadis itu.

Mereka sudah bisa bergerak leluasa. Tanpa aba-aba mereka menyusuri seluruh sisi ruangan mencari dua orang yang ingin mereka tolong sebelumnya. Namun hingga keduanya kembali bertemu, tidak ada seorang pun yang mereka temukan.

Berarti yang harus mereka pikirkan sekarang hanyalah bagaimana cara agar mereka bisa keluar dari ruang pengap ini. Sayangnya, tidak ada celah selain pintu yang tertutup.

"Dikunci." Info Chris yang sama sekali tidak perlu. Shilla tentu juga sudah tahu. Masa penculik mereka sebodoh itu memasukkan mereka di ruangan tidak terkunci?

"Berita baiknya, gue punya jepitan. Agni selalu ingetin kita-kita buat bawa ini. Jaga-jaga kalo kondisi darurat. Untung aja hari ini gue inget." Ungkap Shilla. Walau kini mereka diliputi kegelapan, Chris seolah-olah dapat melihat seluruh tubuh gadis itu memendarkan cahaya.

Tapi harapan mereka sedikit kendor ketika Shilla kembali berbicara. "Berita buruknya, yang berhasil buka pintu pake ginian dulu cuma Agni. Makanya kita ga selalu inget bawa jepitan."

Chris menelan ludah yang mulai terasa pahit. Keduanya kemudian mencoba tetap optimis. Mereka pasti selamat. Mereka tidak seharusnya secepat ini menyerah.

The hell, buka iketan aja susahnya naujubilah. Masa abis itu mau pasrah aja?

Shilla mendekat ke arah pintu. Ia meraba kenop bagian tempat mencantolkan kunci. Ia memasukkan jepitan miliknya dan tangannya mulai bergerak-gerak berusaha menarik pengunci pintu di depannya ke dalam.

"Ini makin susah karena gelap," Keluh Shilla. Pada penerangan yang nyata saja ia gagal apalagi kondisi hampa cahaya seperti sekarang.

Chris spontan meraba tangannya dan kemudian menepuk kening. Ia baru ingat ia punya jam. "Dasar gue si bego. Gue pake smartwatch dong daritadi ckck.." Ringisnya.

Shilla sontak melengos kesal namun kemudian bersyukur juga Chris masih sempat teringat. Ia akhirnya sedikit terbantu dengan pencahayaan minimal dari jam Chris.

Demi mengurangi ketegangan, Chris justru mengajak Shilla mengobrol. Yah, siapa tahu mereka benar-benar tidak ada harapan, amit-amit, lebih baik mereka 'pergi' dalam perasaan sedikit rileks. "Temen lo bisa serba bisa gitu ya? Udah punya pacar belom? Boleh tuh gue deketin,"

Shilla berdecak sebal. "Kayak lo pasti bakal selamet aja dari sini!"

Chris tertawa kecil mendengar Shilla menyeplos pesimis namun berusaha keras membuka pintu. "Nih ya, kita taruhan. Kalo lo sampe berhasil buka pintu, lo harus ngasih gue nomer sama ID Line Agni."
Chris membuat Shilla menjadi serba salah berusaha membuka pintu. Kalau ia berhasil, ia harus rela teman tersayangnya didekati pemuda menyebalkan seperti Chris. Tapi, Chris jauh labih baik sih. Mending nyebelin ketimbang tukang selingkuh.

Eaa..Shill, sempet ae mikirin masalah hati!

Klek!

Mukjizat Tuhan sungguh melimpah hari ini. Shilla berhasil! Shilla berhasil membuka pintu yang terkunci. Baik gadis itu dan Chris sesaat terdiam takjub. Shilla memutar gagar pintu di depannya dan benda tersebut benar-benar terbuka.

Seketika cahaya langsung merasuk ke dalam ruangan, berikut udara yang langsung menyegarkan raga Chris dan Shilla. Keduanya saling berpandangan lalu tiba-tiba melonjak antusias namun tetap tanpa suara.

Apalagi Chris. Ia terperangah dengan kemampuan Shilla yang tidak diduga-duga. Ia juga senang akan mendapat sasaran baru untuk ia dekati.

Mereka kemudian mengintip keadaan luar lewat celah pintu. Setelah memastikan di luar aman, Chris dan Shilla berjalan mengendap-endap meninggalkan ruang sialan yang mengurung mereka.

Shilla dan Chris mengetahui sekarang mereka ada di lantai 2. Mereka melihat sekeliling dan mengetahui kalau rumah tempat mereka berada belum selesai dibangun. Dari luar saja kelihatannya sudah sempurna menjadi bangunan siap huni.

Ada 2 ruangan lain seperti yang mereka tempati beberapa saat lalu. Satu di antaranya, yang berada tepat di depan ruangan mereka sebelumnya sudah coba dibuka namun tidak ada apapun di dalamnya. Ruangan yang satu lagi berada di ujung sisi sehingga mereka harus menyebrang untuk sampai ke sana.

Di saat mereka hendak melangkah, bel rumah berbunyi. Sontak keempat pria berbadan kekar yang berjaga di bawah berdiri. 2 di antaranya memilih bersembunyi. 2 lainnya tetap berada di ruang tengah untuk memeriksa tamu yang datang.

Shilla nyaris saja memekik senang ketika melihat wajah Agni yang muncul ketika pintu depan rumah terbuka. Ia juga melihat laki-laki paruh baya berseragam polisi dan seseorang berseragam ojek online mendampingi gadis itu.

Ketika pandangan Agni akhirnya bertemu dengannya, Shilla langsung memberi kode dengan menyembulkan 4 jarinya, memberi tahu kalau ada 4 orang yang berjaga di dalam. Agni tampak mengerti dan langsung mengalihkan tatapannya kembali pada 2 laki-laki penjaga.

Kedua penjaga tadi bersikukuh menahan Agni dan orang-orang yang bersamanya untuk masuk ke dalam rumah. Agni sudah tidak tahan lagi kemudian secara tiba-tiba maju ke depan dan meninju sekuat tenaga wajah salah satu laki-laki di depannya hingga membuat laki-laki itu mundur karena kaget sekaligus kesakitan.

Laki-laki yang satu lagi baru hendak mendekat ketika Agni dengan sigap melayangkan kakinya menuju celah di antara kedua pangkal kaki pria tersebut. Tidak sampai di situ, dalam jeda satu kedipan, kaki Agni sudah melintang ke atas nyaris 180 derajat dan kemudian mengayun dengan sama cepatnya ke bawah memberi tendangan keras dari arah pelipis si penculik. 

Semua yang menyaksikan atraksi Agni menyempatkan diri memberikan seruan kagum. Orang-orang yang berada di belakang Agni bahkan mundur seolah memberi jarak yang leluasa untuk gadis itu melakukan tindakan jantannya.

"Damn! She's hot!" Perangah Chris yang tak bisa melepas matanya dari Agni. Di matanya, Agni benar-benar seksi. Bodohnya ia sedari dulu justru bersusah payah mengejar Lala.

Shilla lantas menyentil telinga Chris dengan keras menyadarkan pemuda itu kalau mereka harus mencari Febby dan Goldi, bukan malah mengagumi Agni. Walau ia sendiri bangga sih memiliki temannya yang paling galak itu.

Chris awalnya protes lalu dengan segera berubah bak anjing penurut. Mereka segera berlari menuju kamar yang tersisa tadi dan kembali mendapati ruangan tersebut terkunci. Hal itu justru meyakinkan mereka kalau ada Goldi dan Febby di dalam sana. 

Chris meminta Shilla sedikit menjauh sementara dirinya mengambil ancang-ancang lalu kemudian menendang keras pintu di depannya. Pada percobaan yang ketiga akhirnya benda datar nan panjang tersebut menguak celah. 

Mereka terbirit-birit masuk ke dalam serta melihat Febby dan Goldi pingsan dalam kondisi terikat di kursi. Ketika Shilla tengah berusaha melepas ikatan di kaki Goldi, seorang penjaga masuk dan hendak mengarahkan balok kayu ke kepalanya.

Beruntung Chris dengan sigap menahan dengan tangannya dan menerjang laki-laki tersebut hingga tersungkur. Ia merasakan nyeri teramat sangat di pertengahan lengan bawahnya. Ia curiga tulang di dalamnya mengalami keretakan. 

Laki-laki tadi berdiri hendak menyerang kembali namun kalah cepat dari kaki Agni yang menggeser kakinya sehingga ia terjatuh lagi ke lantai. Agni juga menambahkan tinjuan beberapa kali ke muka si penjaga hingga laki-laki itu benar-benar tidak berdaya. 

Chris sekali lagi terdiam takjub di tempatnya. Dadanya seketika berdebar bukan karena takut melainkan terpesona. Apalagi ketika matanya bertemu dengan mata Agni yang menatapnya cemas.
Meleleh abang, dek!

"Lo..gakpapa?" Tanya Agni ragu. Sebenarnya ia sudah dapat melihat dari jejak kemerahan di lengan pemuda itu. Karena pemuda itu hanya diam, ia kemudian memilih membantu Shilla melepas tali yang mengikat Febby.

Mereka sama-sama mencoba membangunkan Febby dan Goldi namun sepertinya mereka terlalu lama terpajan ruangan sedikit udara. Mereka lantas segera membawa keluar kedua korban utama penculikan itu. Ketiga penjaga sudah diamankan oleh polisi disusul sisanya yang tengah tergeletak di dalam kamar tempat menyekap.

Mobil yang membawa Febby dan Goldi melaju dengan kecepatan penuh hingga sampai di rumah sakit, diikuti mobil Chris yang kini di kendarai oleh Agni berhubung sang empunya mengalami cedera. Mereka masih sama-sama syok meskipun semuanya sudah dapat dipastikan baik-baik saja sehingga suasana mobil terbilang sunyi.

Shilla dan Chris langsung mendapat penanganan pada cedera mereka masing-masing. Shilla beruntung hanya mendapat luka kecil di bagian keningnya sementara Chris menerima cedera ganda, yakni di bagian pelipis dan lengan. Yang paling parah memang bagian lengan. Dugaannya soal retak benar adanya. Ia lantas harus rela lengannya tersebut dibebat dan memakai armsling untuk stabilisasi selama beberapa hari ke depan.

Febby dan Goldi masih tidak sadarkan diri. Mereka segera mendapat suplai oksigen lewat selang yang tersemat di kedua lubang hidung masing-masing dan suplai cairan dari selang infus. Sepertinya juga tidak ada cedera serius yang dialami oleh mereka, tidak jauh beda dengan Chris dan Shilla. Hanya saja tingkat kekurangan oksigen mereka lebih berat.

Selagi menunggu Chris selesai mendapat perawatan, Shilla duduk pada ranjang kosong di depan Febby berbaring. Bagaimana pun situasi di antara dirinya dan gadis itu sebelumnya, ia dengan berprikemanusiaan tetap mengkhawatirkan gadis itu. Ia tentu mengharapkan gadis itu segera sadar.

Sebelumnya ia sempat memberitahu Alvin terkait rumah sakit tempat mereka semua berada. Ia baru hendak membuka ponselnya untuk kembali menghubungi namun pemuda itu sudah lebih dulu memunculkan diri di depannya. Iya, di depannya, tepat di samping Febby.

Shilla memperhatikan tindakan Alvin di depan matanya dengan perasaan terluka. Pemuda itu bahkan tidak menoleh ke arahnya. Matanya seolah begitu jeli menemukan Febby. Memang dirinya jauh kelihatan baik-baik saja dibanding Febby. Tapi apa ia tidak berhak dikhawatirkan sebegitunya, oleh yang katanya pacar sendiri?

"Alvin." Panggil Shilla pelan namun sanggup membuat Alvin menegapkan badan dan menoleh.
Saat itu juga dada Alvin berdebar hebat melihat gadisnya. Gadisnya tampak sedikit berantakan dengan luka di ujung dahi. Pandangannya benar-benar sedih dan membuat Alvin takut setengah mati. Apa yang sudah terjadi pada gadis kesayangannya?

Dengan cepat Alvin berpindah mendekati Shilla. Ia meraih wajah gadisnya dengan hati-hati sambil memeriksa dari atas ke bawah, apakah ada hal tidak beres lain yang dialami gadis itu. 

Shilla menepis keras tangan Alvin dari wajahnya. Ia berdiri dan segera melangkahkan kaki pergi meninggalkan Alvin yang masih dirundung kaget. Setelahnya Alvin lekas menyusul sebelum ia benar-benar tidak bisa mengejar gadisnya.

Beberapa meter dari pintu masuk IGD, Alvin akhirnya dapat menangkap lengan Shilla dan menahan pergerakan gadis itu. Ia menariknya pelan agar Shilla menghadap ke arahnya. Kali ini Shilla tidak memberontak. Ia membiarkan apa yang ingin Alvin lakukan padanya. Ia mengangkat wajahnya memandang pemuda tampan di depannya amat kecewa.

"Cantik, kalo lo gak ngomong, gue gaakan tau isi hati lo. Gue gaakan tau lo baik-baik aja apa enggak." Bujuk Alvin tanpa terdengar memaksa. Ia memberikan tatapan memohon.

Shilla menggigit bibirnya dan merasakan matanya mulai memanas. "Shilla gak baik-baik aja, Alvin. Shilla nyaris kecelakaan di jalan. Shilla ngeliat langsung ada penculikan. Shilla ngelawan penjahat tapi perut Shilla ditendang. Shilla ngikutin penjahat tapi kepala Shilla dipukul. Shilla diiket, disekap diruangan gelap. Panas, pengap, gaada udara. Shilla takut. Shilla sakit. Shilla hampir mati. Shilla mau ketemu Alvin. Tapi yang ada di kepala Alvin seharian sampe sekarang malah orang lain." Ungkapnya pilu. Perasaannya memang menyedihkan, tampak tidak ada harganya sama sekali.

Alvin nyaris tidak mampu berkata-kata. Ia terkejut. Nyawanya terasa hampir ikut melayang mendengar penuturan Shilla. Ia saja sampai syok seperti ini, apalagi gadisnya yang mengalami semua kejadian mengerikan yang gadis itu utarakan.

"Maafin Alvin..maafin Alvin..maafin Alvin.." Ulangnya berkali-kali. Jangan ditanya seberapa kalutnya perasaan Alvin sekarang. 

Shilla sudah benar-benar menangis. Rasa sakit di hatinya jelas tidak bisa dibayangkan lagi. Dadanya seperti tertarik ke dalam sehingga rongganya terasa sangat sempit. Ia lalu menatap Alvin tanpa harapan. Ia menggelengkan kepala sebelum kembali berbicara. 

"Shilla udah ditendang, dipukul di kepala..tapi gaada yang sesakit Alvin nyakitin Shilla." Lirihnya.
Rasanya ada berbagai mata besi panas yang menusuk-nusuk jantung Alvin hingga berdarah-darah.  Alvin telah menyakiti gadis yang dicintainya. Alvin melihat dengan mata kepalanya sendiri gadisnya terluka dalam. Apalagi yang lebih buruk dari itu?

"Please, maafin Alvin.." Balas Alvin parau. Ia mulai ikut-ikutan terisak seperti Shilla. Meski Shilla sudah banjir air mata sedaritadi.

Lagi-lagi Shilla menggelengkan kepala menyampaikan penolakan. Saat itu juga seluruh tubuh Alvin mati rasa. Ia benar-benar tamat sekarang.

"Shilla gabisa, Alvin. Alvin terlalu jahat." Ringis Shilla apa adanya. Ia diam sejenak melakukan persiapan minimal yang ia bisa. "Shilla gamau diduain, apalagi jadi yang 'kedua'. Shilla mau berenti jadi Cantik-nya Alvin. Shilla gamau berharap sama Alvin lagi. Cukup sampe di sini aja."

Alvin hampir merasa kehilangan tempat berpijak. Pikirannya melayang entah ke mana. Ia mendadak merasa tengah bermimpi. Perpisahan yang setengah mati ia hela jauh dari kepalanya sekarang benar-benar terjadi. Gadis paling ia cintai, mainan favoritnya, kepunyaannya yang paling berharga...ia sungguh telah kehilangan. 

Shilla menggeser pandangannya pada Agni yang datang menghampiri. Ia lantas menatap sang teman dengan sendu. "Agnii.." Rengeknya mengadu. Ia mencicit langkah menuju gadis itu.

Agni menghela napas kemudian mengajak Shilla pulang bersamanya. Kebetulan Chris juga sudah lebih dulu menunggu di dalam mobil. Baru beberapa langkah, Agni kemudian berhenti dan menyuruh Shilla menunggu. Ia berbalik untuk menghampiri Alvin.

Tanpa kata pengantar, Agni lantas melayangkan tinjunya ke wajah Alvin hingga membuat pemuda itu jatuh terduduk di lantai. Beberapa orang di sekitar tiba-tiba berubah waspada, bersiap-siap kalau sampai terjadi perkelahian.

Agni mendengus keras seraya menatap Alvin tajam, penuh dengan intimidasi. "Awas kalo lo nyakitin temen gue lagi, Bangsat!" Setelahnya, ia kembali mendekati Shilla yang sedikit kagok. Ia lekas membawa gadis itu pergi.

Alvin masih duduk tidak berdaya seraya memegang wajahnya. Nyut-nyutan di wajahnya tidak sebanding dengan hatinya yang kini hancur menjadi puing-puing. Ia tergelak menyedihkan, menertawai konsekuensi dari sikap bodohnya yang sayangnya tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki. Ia mengakui kalau dirinya hanyalah seorang pecundang yang nyata.

***


Bang Alvin sehat?

Duh, mau ngomong apa ya? Ini aja, Kevin idol bagus gengs tapi weli memang gaada duanya..garingnya(?)

Yang sudah lelah melihat part, tenang aja. Kalian hanya tinggal membaca 4-5 part lagi kok. Kalo itu pun melelahkan, yasudah stop sampai di sini daripada kalian keburu disentri. Move on aja ke yang lebih membuat hati senang.

Yang masih sanggup baca, selalu sabar menanti ya. Gue ngepost kok, walau 4,5,6, atau 7 hari sekali😂

Daah~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar