-->

Senin, 15 Januari 2018

Matchmaking Part 40



Cause baby if I find a way, I'm sure of it this love won't stray – 3:00AM

***

Ify membenci kenyataan kalau ia akhirnya merasakan galau. Ia benar-benar menertawai kesombongannya beberapa waktu lalu yang mengira akan baik-baik saja setelah melepas Rio. Ia pikir ia sudah masuk ke dalam geng gadis tangguh seperti ketiga sahabatnya. Nyatanya ia tetap Ify mereka yang lemah.

Malam setelah mereka putus, Ify menangis dalam diam di kamarnya, walau tidak deras. Hanya beberapa kali menitikkan air mata saja. Mirisnya, kemungkinan besar yang merana hanya dirinya sendiri sementara Rio di atas kondisi baik-baik saja.

Ia benci kenyataan kalau ia sedih karena Rio tidak lagi menegurnya di sekolah. Untungnya pemuda itu tidak bersikap dingin lagi seperti dulu. Hanya saja ia menyadari kalau pemuda itu menghindar sebisanya darinya.

Cause baby if I could tell you..how much I care..I'm in despair..are you still there..

Lebih benci lagi ketika sekarang ia menaruh harapan yang tidak seharusnya ketika mendapati ponselnya berdering memunculkan sebuah nama yang ia risaukan. Rio.

Ify diam berpikir apakah ia harus menjawab atau tidak. Semenjak putus beberapa hari lalu, ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Rio. Hatinya kini bergejolak hingga ia bingung perasaan apa yang menderanya saat ini.

Pada akhirnya, ibu jarinya bergerak perlahan mengusap layar ponsel menuju opsi berwarna merah. Ya, ia menolak panggilan tersebut. Ia memilih menjaga hatinya saja agar tidak goyah. Lebih baik menghindar dari malapetaka.

Ify sadar ada sebagian kubu hatinya yang mengerang kecewa dan menginginkan Rio. Tapi, untung akal sehatnya masih bisa menyelamatkan dirinya dari kesesatan. Ia tidak bisa terus terlena menggalaukan Rio. Walau ini masih terlalu dini, ia harus mulai sedikit-sedikit melupakan setelah berhasil merelakan. Berhubungan dengan Rio sama sekali tidak membantu.

Drrt..drrt..

Ponsel Ify kembali diusik sesuatu. Ada sebuah pesan masuk dan masih dari orang yang sama dengan yang meneleponnya beberapa menit lalu. Mau tidak mau ia mengecek isinya karena bukan sesuatu yang bisa ditolak seperti sebelumnya.

'Udah mau tidur? Mau gue nyanyiin kayak biasanya?'

Kayak biasanya...Kayak biasanya...

Sayangnya menurut Ify, seharusnya sudah tidak ada lagi yang 'biasanya' di antara mereka. Semua yang biasanya dulu, sekarang akan berubah luar biasa kalau mereka ulang karena mereka bukan siapa-siapa untuk satu sama lain.

Dada Ify makin terasa tak nyaman. Sempat ia bertanya apa tujuan Rio menghubunginya seperti ini. Tapi kemudian ia berusaha mengenyahkan rasa peduli dan meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia lalu berbaring di atas ranjang dan memutuskan segera tidur. Hitung-hitung mempersingkat durasinya memikirkan Rio untuk hari ini.

***

Dunia Via sudah kembali berputar pada porosnya seperti sedia kala. Lebih tepatnya, dirinya sudah mulai bisa sedikit-sedikit menyamakan langkah dengan jalan dunia yang kejam. Setidaknya, Via tidak lagi sibuk meratapi diri karena kebagian nasib buruk. Karena sebenarnya hidupnya tidak semengenaskan itu.

Pagi ini, Via dan Fira sarapan bersama selayaknya yang selalu mereka lakukan setiap hari. Bahkan hampir menyerupai semua pagi mereka sebelumnya, di mana tidak ada Riza di tengah-tengah mereka.

Via sudah tidak ada hasrat bertanya dan Fira pun tak jauh beda. Bukan mereka sudah melupakan laki-laki itu. Mereka hanya memilih menerima kenyataan. Memangnya bermimpi tidak melelahkan? Apalagi kalau tak pernah sampai.

"Ma, minggu depan Shilla ngajak ke Bogor." Via memulai obrolan santai namun berisi mereka hari ini.

Fira menoleh padanya dengan semangat sampai mengalihkan fokusnya dari memotong omelette. Fira adalah maniaknya omelette. Via bahkan sampai heran. Apapun restorannya, wanita itu pasti akan memesan 1 omelette di samping pesanan makanan yang lain.

Hampir tidak ada rona yang lebih bahagia yang dilihatnya dari wajah Fira selain ketika memasak dan memakan omelette. Padahal...cuma telor dadar, Men. Yang di mana-mana rasanya pasti sama, rasa telor dadar.

"Berapa hari? Wah bagus-bagus. Kamu mesti ikut ya!" Seru Fira yang justru lebih antusias. Bahkan seharusnya Via yang meminta izin pergi namun wanita itu yang malah memaksanya pergi.

Via menatap Fira ragu. "Mama gapapa Via tinggal?" Tanyanya, serius khawatir. Di saat seperti ini memang kurang pas rasanya ia bersenang-senang dan membiarkan sang mama seorang diri.

Fira berdecak pelan seraya menganggukkan kepala cepat. "Gapapa, Sayang! Ck, kamu pikir mama masih bayi gabisa ditinggal?"

Via memandang sekali lagi mencari keyakinan diri hingga akhirnya ia mengedikkan bahu pasrah. Yang penting tidak memberatkan mamanya saja.

"Calon mantu Mama ikut juga, kan?" Fira kembali bertanya yang kali ini membuat kening Via mengerut.

Via mengunyah potongan omelette di mulutnya dan fokus memandang Fira seraya berpikir. "Siapa?" Ia akhirnya justru balik bertanya karena sama sekali tak punya ide. "Mama jangan ngeledek gitu. Via masih jomblo loh."

Raut bingungnya segera mendapat balasan kekehan kecil dari Fira. Wanita itu mengerling gemas ke arahnya. Ia jadi makin tidak mengerti.

"Itu loh. Gabriel yang cakep itu!" Seru Fira lagi.

Bukannya paham, Via justru makin blank. Kenapa jadi Iel? Iel calon mantu siapa? Memangnya pemuda itu pacaran dengan siapa?

"Mama punya anak selundupan selain Via?"

"Hush! Kamu ini!" Sungut Fira tidak terima. Bisa-bisanya Via menuduh yang tidak masuk akal. Wong bikin Via saja harus buat tuan demang tidak sadar dulu. Bagaimana harus menambah satu lagi?

"Emangnya mama ini papa kamu.." cicit Fira tanpa sadar karena terlalu pakai hati membayangkan Riza.

Via hanya tersenyum geli sementara Fira sesaat kemudian berubah pucat. Baru sadar ia telah membuka sebuah rahasia di depan Via. Semoga saja anaknya itu tidak menganggap serius ucapannya.

Keduanya mendadak diam. Fira duduk dengan perasaan tak karuan mengira Via terusik dengan ceplosannya sementara Via sebenarnya tidak mengambil hati sama sekali. Ia kebetulan saja ingin menikmati dengan tenang menu makanan favorit sang ibu.

"Lah, si mama pake baper.." Gumam Via akhirnya, memilih mengalah karena tidak tega juga melihat Fira yang sudah seperti domba kehilangan bulu.

Fira sedikit terperangah lalu kemudian memberengut sambil memotong omelette miliknya dengan lesu. Fenomena sekali seumur hidup. Hari ini Via berhasil mengalahkan si pemegang tahta kecintaan ibunya.

"Kamu mah.." Rengek Fira pelan. Ia mendadak sedih setelah kini akhirnya sadar kalau Via ternyata 'paham' dengan ceritanya beberapa waktu lalu. Bagaimana bisa ia menganggap Via senaif itu dengan percaya ceritanya hanyalah kisah kucing tetangga? Bagaimana ia bisa lupa kalau anak gadisnya terlalu pintar mengendalikan diri dan 'bersembunyi'? Ia juga malu dengan 'perbuatannya' sekaligus merasa bersalah.

Via memperhatikan gelagat Fira dengan santai. Ia dapat melihat mata mamanya mulai memerah. Ia tidak panik. Ia terlalu hapal bagaimana Fira. Percayalah, ini tidak akan berakhir menjadi situasi termehek-mehek seperti yang banyak orang kira. Sabar saja sedikit lagi. Fira pasti akan berbicara yang tidak disangka-sangka.

"Mama ga nangis!" Rutu Fira persis anak-anak merajuk. Bibirnya mengerucut lucu. Matanya menatap Via berusaha diyakin-yakinkan. Seolah Via baru saja menuduhnya padahal sang anak sama sekali tidak mengeluarkan suara.

"Iya, iya." Balas Via pelan, acuh tak acuh. "Nih lap dulu pake tisu. Itu ada aer bocor dari atep netes ke pipi mama." Tawarnya seraya menyodorkan kotak tisu.

Fira menerima begitu saja dan mengambil beberapa lembar. Ia langsung menggunakan itu untuk menyingkirkan bias air mata yang mengalir di pipinya. "Mama ga nangis ya!" Katanya masih tetap mengelak.

Via mengangguk santai seolah memang tidak terjadi apa-apa. Seolah saat ini Fira bukan tengah terisak melainkan berbicara sama santainya dengan dirinya seperti beberapa saat lalu.

Cara mereka berhubungan memang agak unik. Mereka tidak pernah terlalu serius dan menangis mendayu-dayu kalau sedang membahas hal yang mengusik mereka. Via akan menyeletuk tidak diduga-duga dan tanpa pikir panjang. Lalu kemudian Fira bersungut-sungut di tempatnya.

Fira tidak jarang terisak tidak mengaku seperti ini dan seperti ini juga Via menghadapinya. Situasi yang mereka ciptakan tidak pernah benar-benar menjadi serius. Kadang Via bertanya-tanya apa sikapnya selama ini ketika Fira bersedih di hadapannya terlalu 'dingin'. Tapi..entahlah. Menurutnya, berdrama juga tidak terlalu cocok untuk mereka.

***
          
Nia duduk diam di atas kasur memandang rintik hujan yang dapat dilihatnya dari jendela. Auranya tidak seantusias sebelumnya. Dulu, ia bahkan tahu bau ketika hujan akan datang dan ia akan langsung stand by duduk di sofa ruang tamu panti demi melihat rinai hujan lebih jelas. Tapi kini ia hanya bergeming di dalam kamar dan samar-samar melihat tangisan alam dari jendela kecil yang terbuka.

Air mukanya datar. Ia tidak tampak enggan tapi tidak tampak senang juga. Ia perlahan kemudian merebahkan diri dan menarik selimut untuk menutupi dirinya karena suhu sekitar mulai turun. Ia masih menatap hujan di jendela yang dari suaranya sepertinya sudah bertambah deras.

Pagi tadi ia kalang kabut karena kalungnya tiba-tiba hilang. Ia sadar kalungnya sudah tidak lagi menggantung di lehernya ketika ia tengah bermain tembakan air dengan teman-teman panti. Ia tak sengaja menyentuh lehernya yang teraba kosong. Ia lantas ingat kalau ketika mandi tadi entah kenapa ia ingin melepas sejenak kalung tersebut dan setelah itu ia belum memakaikannya kembali.

Ia berlari menuju kamar mandi namun tidak menemukan apapun. Kalungnya tidak ia lihat di semua sisi. Ia sampai meminta semua penghuni panti memeriksa barang-barang mereka siapa tahu kalungnya terselip tanpa sengaja. Namun, tak satupun dari mereka mengaku ada yang menemukan kalungnya. Kalungnya yang berharga benar-benar hilang.

Ia tidak menangis. Namun, ia hanya terdiam di tempatnya setelah menyuruh orang-orang berhenti mencari dan kembali pada kegiatan mereka masing-masing. Dan ia akhirnya memilih kamarnya sebagai tempat mengasingkan diri. Penghuni yang lain seolah mengerti kalau gadis itu ingin menenangkan diri jadi tidak ada seorang pun dari mereka yang coba 'mengganggu'.

Entah sebuah kebetulan atau tidak, di saat dirinya sedang merenung, hujan turun. Bagi orang-orang, hujan mungkin akan menjadi penghibur untuk Nia mengingat betapa maniaknya gadis kecil itu dengan fenomena alam tersebut. Sayangnya, itu justru membuat hati Nia makin kosong.

Nia sama sekali tidak merasakan kehangatan dengan datangnya hujan. Hujan yang ia rasakan sekarang ternyata sama dinginnya dengan yang biasanya orang-orang rasakan. Hujan tidak lagi spesial. Hujan saat ini hanya menegaskan kalau ia telah kehilangan semua yang disayanginya. Ibunya dan Aga.

Mata Nia memanas dan kemudian mengalir setetes air mata di pipinya. Ia terisak dalam diam dan kesendiriannya. Ia menangis bukan karena bersedih. Untuk apa ia bersedih? Ia punya ibu panti yang baik hati dan banyak teman yang senasib dengannya di tempatnya berada. Semua orang menyayanginya begitu pula dirinya.

Ia hanya sedang benar-benar rindu pada dua orang yang paling berarti di hatinya. Sayangnya kali ini, atau mungkin mulai saat ini, ia tidak akan lagi bisa melepas dahaga karena kalungnya telah hilang. Hujan turun di saat ia kehilangan ibunya. Hujan juga turun ketika ia kehilangan kalungnya. Kini hujan seolah-olah hanya mengingatkannya tentang kehilangan.

***

Bel pulang beberapa saat lalu telah berbunyi. Seluruh teman sekelasnya sudah meninggalkan kelas sementara Via baru selesai memasukkan semua buku dan peralatan tulis yang ia pakai. Ia lalu mengunci resleting dan menyandang tasnya seraya menyusul beranjak keluar kelas.

Ia sedikit kaget mendapati Gabriel sudah berdiri menyandar di dinding di samping pintu. Ia menautkan alisnya memandang heran pemuda itu. "Lo ngapain? Gak mungkin lo tiba-tiba gaada kerjaan nungguin gue." Tanyanya sambil lalu. Ia tidak menahan langkahnya menunggu jawaban pemuda itu.

Gabriel berdecak dan lantas menyusul langkah agar sejajar dengan Via. Ia berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Di sebelahnya, Via tampak tidak begitu peduli dengan keberadaannya. Gadis itu justru sekarang tengah memainkan ponsel.

Gabriel juga tidak memilih cepat-cepat menjawab. Sesaat ia ingin tenang menikmati tiap kali langkahnya beriringan dengan gerak kaki Via.

"Nonton yuk, Vi!" Ajaknya akhirnya setelah beberapa saat hanya saling diam.

Via mengangkat wajahnya dan menoleh tidak yakin pada Gabriel. Ia menelaah apakah pemuda itu barusan serius mengajaknya sekaligus memikirkan ia harus terima atau tidak. Lalu kemudian wajah Riza terbayang di benaknya.

Pagi tadi, tepat setelah ia baru selesai sarapan dengan Fira, Riza tiba-tiba datang. Laki-laki itu hanya sesaat masuk ke kamar lalu menghampiri ia dan Fira hanya untuk menawarkannya tumpangan ke sekolah. Atau mungkin lebih tepatnya perintah tersirat.

Dan Riza juga mengatakan akan menjemputnya sepulang sekolah. Ini juga alasan ia tidak buru-buru keluar kelas. Karena sudah tabiat Riza kalau menjemput pasti datang dalam waktu lama.

Ia tidak keberatan tapi juga tidak senang. Biasa saja. Mungkin sang ayah sedang tidak sibuk atau mungkin si selir sedang merajuk jadi laki-laki itu ada waktu untuknya.

Via mendesah pelan seraya memandang Gabriel pasrah. "Papa jemput." Tolaknya dengan senyum harap maklum. Ia mau, sih. Tapi yah mau bagaimana lagi?

Dua kata itu sudah cukup membuat Gabriel mengerti kalau Via benar-benar tidak bisa. Ia lantas membulatkan mulutnya dan memilih tidak membantah. Kebetulan ia sedang tidak ingin kerusuhan. Jadi ia memilih tidak mencari gara-gara dulu dengan Riza.

Tiba-tiba sebuah notifikasi muncul dari ponsel Via. Ia tidak tahu seharusnya ia senang atau kesal mendapati pesan dari Riza yang tidak jadi menjemputnya. Baik senang dan kesal, dua-duanya punya alasan. Ia bisa saja senang karena ia bisa pergi dengan Gabriel. Tapi ia juga bisa saja kesal lagi-lagi ayahnya mementingkan 'hal lain', yang ia malas pikirkan apa, dibanding dirinya.

Sayangnya...gue seneng, hehehe...

"Yuk nonton!" Gantian Via yang mengajak sekarang.

Gabriel menoleh cepat ke arahnya. "Si anying gajadi dateng?" Sahutnya tanpa sempat direvisi.

Via berdecak namun kemudian terkekah kecil seraya memukul pelan lengan pemuda di sampingnya. "Sialan. Bokap gue itu, hey. Parah sih! Awas loh ubun-ubun lo dikokop ama dia." Candanya.

Gabriel lantas tersenyum pura-pura malu-malu. Ia sedikit mendorong tubuh Via dengan lengannya walau tidak sampai membuat gadis itu bergeser bahkan berpindah. "Gue milih dikokop ama anaknya aja, Vi."

Via tanpa menunggu segera memutar kedua bola matanya. Untung ya, ia cukup sering mendapat gombalan seperti ini dari Gabriel beberapa hari ini. Tepatnya pasca pemuda itu berhasil menemukannya ketika 'hilang'. Jadi ia tidak lagi berdebar atau tersipu.

Tapi ia tetap senang. Hehehe.

Mereka kembali berjalan dalam diam. Mereka bahkan tidak mempermasalahkan posisi mereka yang mendempet satu sama lain. Mereka justru kelewat nyaman. Layaknya mereka memang begini setiap hari. Tapi ya...emang gitu.

Memang, Via tidak hanya terbiasa dengan rayuan Gabriel tapi juga ikut terbiasa dengan keberadaan pemuda itu di dekatnya. Tepatnya tingkah pemuda itu yang selalu cari kesempatan menempel padanya.

Awalnya ia memang risih-risih mau. Ia sempat berusaha memperingatkan Gabriel. Tapi akhirnya ia menyerah dan membiarkan saja pemuda itu mau bagaimana padanya.

Sudah tahu kan karena apa? Bisa nyebut bareng-bareng? Karena gue seneng.

"Vi, kalo gue mau pedekate lo jangan nolak ya?" Tiba-tiba Gabriel bersuara. Via menoleh lagi padanya dan memandangnya heran.

"Bukannya selama ini lo emang lagi pedekate? Yah..masa gue cuma baper?" Sahut gadis itu tetap dengan sikap santainya.

Gabriel tersenyum lebar mendapati jawaban Via. Ia menyukai sikap Via setelah mereka dekat beberapa waktu ini. Via tidak pernah sekalipun pura-pura menolak perlakuan manisnya. Gadis itu juga selalu jujur dengan perasaan dan apa yang ada di kepalanya. Contohnya saat ini.

Ia lantas mengusap pelan puncak kepala Via dan menatapnya dengan sayang. "Enggak, kok. Gue emang udah curi start. Memperjelas aja."

Via mengangguk acuh tak acuh seraya kembali menggeser pandangannya dari Gabriel. Gabriel itu tampan jadi tidak baik dipandang terlalu lama.

"Kita kayak gini aja dulu ya, Vi? 'Buru-buru' ntar ujungnya kayak Rio sama Ify." Lagi-lagi Gabriel berujar. Orang-orang salah kalau mengira Cakka itu playboy. Sebutan itu sebenarnya lebih cocok untuk dirinya.

Via bukanlah orang pertama yang ia sukai. Gadis beruntung itu justru adalah anak perempuan yang satu komplek dengannya. Itu terjadi pada saat ia masih kecil. Ia sebenarnya tahu bagaimana perasaan jatuh cinta. Hanya saja perasaannya tidak pernah berlangsung lama. Ia mudah menemukan alasan untuk tidak lagi menaruh rasa pada gadisnya.

Tapi Via orang pertama yang membuatnya panik dan ketakutan. Kalau dulu ia jatuh cinta untuk bersenang-senang, jatuh cinta pada Via membuatnya ingin melindungi. Sebenarnya ia belum terlalu yakin memang sudah cinta atau masih sebatas suka dan peduli. Tapi satu yang ia yakini, baru Via yang membuatnya tidak rela pergi.

Via tersenyum miring seraya kembali memutar kedua bola matanya. Ia membalas tanpa memandang Gabriel. "Dasar temen lo aja yang brengsek. Ups." Sahutnya tanpa beban.

Gabriel hanya mengedikkan bahu. "No comment, Miss." Serahnya tak mau ikut campur. Ia tidak bisa menghakimi mana yang benar mana yang salah. Yang ia tahu, saat ini Rio sedang 'bekerja keras'.

"Lo ga pengen 'cepet-cepet', kan?" Sekali lagi Gabriel bertanya. Meski kelihatannya santai, ia saat ini sedang serius menunggu Via menjawab.

Via akhirnya menoleh sekilas lalu membalas dengan deheman, membenarkan ucapan Gabriel. Bukan ia kecewa. Kali ini, ia tak disangka tersipu. Dari semua tingkah pemuda itu, ini menjadi sikap paling manis dari Gabriel menurutnya.

"Muka lo merah, Vi." Goda Gabriel beberapa saat setelah mereka untuk kesekian kalinya diam.

"Bacot lo."

***

Ify benar-benar tidak mengerti Rio saat ini. Setelah beberapa malam menghubunginya, nyatanya ketika bertemu sikap pemuda itu lempeng seperti biasa. Sama sekali tidak ada yang berubah. Seperti tidak ada yang terjadi di antara mereka.

Ia sesaat merasa malu karena masih ada sebagian hatinya yang berharap lebih. Untung hanya sebagian. Ia menghela napasnya sedikit lega dan mencoba tidak memikirkan apapun lagi, maksudnya Rio lagi.

"Lo bawa mobil, Fy?"

Ify menyandang tasnya dan berdiri lalu menoleh pada Agni yang baru saja bertanya. "Enggak."

"Trus tadi pagi lo ke sekolah sama siapa? Lo kan jomblo jadi udah gaada tebengan gratis." Tanya Agni lagi dengan entengnya.

Ify memberengut sebal. "Emangnya mesti sama pacar.." Cicitnya merajuk.

Agni lantas terkekeh senang karena sudah kembali berkesempatan untuk mencela sahabatnya yang lugu itu. Ia lantas meraih bahu gadis yang cemberut di sebelahnya. "Seneng deh gue bisa ledek-ledekan lagi kita!"

Seperti yang sudah Agni perkirakan, Ify tersenyum seraya merengek pelan yang membuat senyumnya makin lebar.

"Nii.."

"Bareng gue aja, Fy. Ni lo mau sekalian?" Tawar Shilla yang berjalan di belakang mereka.

Ify, Agni, dan Shilla kini sudah melangkah mendekati pintu. Via masih duduk di bangkunya dan meminta ketiganya duluan. Papanya mau jemput, katanya.

Tawaran Shilla barusan belum sempat terjawab dan malah tertimpa oleh tawaran lain. Debo tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kelas dan menyapa ketiganya.

"Hai!" Sapanya dengan senyum cerah.

Agni dan Shilla menaikkan alis dan memberikan tatapan menilai. Sudah lama mereka tidak melihat Debo berkeliaran lagi di sekitar Ify. Khususnya sejak insiden foto di mading. Agni langsung memasang tampang galak.

"Mau ngapain lo?" Selidiknya tanpa basa-basi.

Debo kelihatan tetap tenang dan tak gentar sama sekali. Senyumnya masih selebar sebelumnya. "Mau nganter Ify pulang." Jawabnya kalem.

"Ada urusan apaan lo nganterin temen gue? Lo mau macem-macem lagi?" Nada bicara Agni mulai tidak bersahabat. Sebenarnya, dari awal juga tidak ada ramah-ramahnya.

Debo terkekeh pelan sambil mengusap tengkuknya. Sesaat pemuda itu tampak merasa bersalah. "Enggak, Ni. Udah tobat gue. Gue beneran niat baik ini."

Shilla baru saja mau menimpali tapi lagi-lagi kesempatannya direnggut yang lain. Lebih tepatnya Ify sendiri yang kini angkat bicara.

"Gue udah janji tadi sama dia.." Ungkap Ify pelan dengan air muka tak enak hati pada Shilla.

Tadi pagi Debo tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya. Ia sudah menolak dengan beralasan akan mengantar Fify lebih dulu namun pemuda itu malah menyanggupi untuk memberi tumpangan pada mereka berdua.

Karena tidak tahu bagaimana lagi harus menolak, Ify akhirnya bersedia berangkat bersama Debo. Tak tanggung-tanggung, ia juga mengiyakan tawaran pemuda itu untuk mengantarnya pulang. Padahal, nanti mereka hanya berdua karena Fify pulang jam 11 dengan ojek online yang ia pesan. Gadis kecil yang sudah menjadi adiknya itu pulang lebih awal karena tidak ada jadwal les di sekolahnya.

"Lo beneran gapapa, Fy?" Tanya Shilla khawatir. Gadis itu mendekat pada Ify dan membisikkannya sesuatu. "Lo..ga curiga sama dia?"

Ify mengedipkan mata beberapa kali sambil memperhatikan 3 sosok di sekitarnya.

***

Setelah meminta izin pada rekan-rekannya sesama karyawan, Angel bergegas pergi hendak menjemput pulang sang adik. Hari ini ia tidak perlu meminjam motor rekannya karena Ify menawarkan tumpangan. Lumayan, ia tidak harus berperang dengan terik matahari karena Ify menggunakan mobilnya untuk menemuinya tadi.



Entah kenapa hari ini Ify mendadak merindukan mobilnya. Ia berangkat sendiri pagi ini setelah meminta Rio agar tidak menjemputnya. Rio sempat menolak namun setelah berusaha keras dibujuk akhirnya pacarnya yang tampan itu menyerah.



Ternyata nalurinya tersebut bukanlah perasaan rindu biasa melainkan sebuah firasat bahwa ia harus pulang sendiri hari ini. Ternyata itu alasan kenapa dirinya begitu keukeuh membantah Rio. Ia curiga jangan-jangan dirinya punya bakat meramal.



Hubungan Angel dan Ify benar-benar sudah mencair. Tidak ada lagi sitegang antara mereka. Tidak ada lagi sikap ketus dari Angel. Angel bersikap sama seperti bagaimana Tristan menggambarkan gadis itu dulu pada Ify.



Keduanya sempat saling diam. Saat itu, Angel tengah berperang dengan hatinya, apakah ia harus menyampaikan 'sesuatu' pada Ify atau tidak. Lalu kemudian ia memutuskan untuk berterus terang. Entah kenapa ia merasa akan sulit bertemu Ify nantinya.



"Fy, lo udah lama kenal Rio?" Tanya Angel pelan. Air mukanya masih tampak lengang.



Ify mengernyit seperti memikirkan sesuatu lalu berdehem singkat. "Hmm. Gue fansnya dari dia kelas X. Haha.." Gelaknya. Merasa malu sekaligus lucu pada dirinya sendiri.



Tapi diam-diam ia merasa dadanya tersengat nyilu karena terpaksa memikirkan Rio lagi. Padahal, ia sudah mencoba melupakan pemuda itu beberapa saat lalu. Melupakan dalam arti tidak memikirkan Rio dulu, setidaknya untuk hari ini.



"Dea siapanya Rio, sih?" Baru sekarang, suara Angel berubah sedikit serius. Ia menatap Ify penuh ingin tahu. Namun, tidak ada sirat-sirat emosi di wajahnya.



Ify menarik napas dalam sebelum berbicara. Ia mungkin tidak diizinkan menghilangkan Rio dan Dea dari kepalanya saat ini. "Rio pernah suka sama Kakaknya Dea. Mereka jadi deket. Rio udah nganggep Dea kayak adeknya sendiri. Katanya." Jelasnya acuh tak acuh. Ya daripada ia berbicara ketus, kan?



Angel manggut-manggut mengerti. "Rio pasti ga percaya kalo lo bilang 'siapa' Dea, kan?" Tukasnya dengan senyum misterius.



Ify menginjak remnya pelan menghentikan laju mobilnya karena sampai di lampu merah. Ia menoleh pada Angel dan cukup kaget karena kakak kelasnya itu 'tahu' apa yang ia sembunyikan. Apa jangan-jangan kejadian di sekolah tadi ulah orang yang sama?



Seperti bisa membaca pikiran, Angel menganggukkan kepala lalu mendesah pelan. Ify sama sekali tidak kaget. Kebetulan, ia memang sudah pernah curiga siapa pelakunya. Ia hanya perlu bukti dan sekarang ia sudah memperoleh semuanya.



"Gue rasa itu cewek 'sakit', Fy." Gumam Angel dengan nada rendah.



Setelah berkali-kali berusaha menghancurkan orang lain, ucapan Angel mungkin ada benarnya. Namun, Ify masih kurang yakin. Pasti ada dasar lain mengapa Angel berujar seperti itu.



"Gue ga kenal sama Dea sebelumnya. Dia tau-tau nyamperin gue pas gue lagi cek ke dokter kandungan. Dari awal dia ngajak gue ngomong, gue udah feeling ada yang gak beres sama ini anak. Ternyata iya. Dia mendadak ngancem bakal ngasih tau semua orang kalo gue hamil. Gue bingung kenapa dia bisa tau. Secara yang dateng ke dokter kandungan kan ga cuma orang bunting doang. Trus gue inget dia pernah mergokin gue muntah-muntah di toilet sekolah. Itu awal mula gue harus berurusan sama dia dan melibatkan lo sama Rio."



Napas Ify mulai terasa susah untuk ia raup. Kepalanya seketika nyut-nyutan. Ini bukanlah sekedar rasa terkejut dari dalam dirinya. Justru ini karena masih ada lagi fakta yang lebih dahsyat yang akan ia dengar.



"Lo pernah dikurung di ruang musik, kan?" Tunjuk Angel.



Ify menelan ludah pahit. Ia mengangguk samar. Angel lantas tersenyum sinis sekaligus miris ia harus melakukan sesuatu yang tentunya tidak pernah terpikir di benaknya. "Itu gue sama Dea pelakunya. Dia yang udah sms lo dan nyuruh lo ke sana."



Ify terperangah tak percaya. Ia tidak menyangka telah melupakan misinya mencari tahu kejadian itu. Ia lupa kalau awal mula ia menyelidiki Angel karena sepatu itu yang juga membawanya mencurigai Dea. Namun, waktu itu ia sama sekali tidak menemukan ada kaitan antara Dea dan Angel. Jadi ia seolah melupakan rasa penasarannya.



"Cuma gue yang 'ngeh kalo lo masih sempet sadar pas di ruang musik. Walaupun gue diancem, nyakitin orang bukan tabiat gue, Fy. Gue tau lo sempet nyelidikin gue. Gue emang sengaja buka jalan. Gue mau buat lo waspada dengan make sepatu yang sama kayak Dea. Kebetulan sepatu dia emang mencolok banget jadi pasti yang lo ingat cuma sepatunya dia. Apalagi, kita kayak emang udah ditakdirin gitu sering ketemu secara ga sengaja. Di mall, di jalan, di sekolah, di tempat gue kerja, di mana-mana deh kayaknya haha."



Ify tidak tahu lagi harus menyebut Angel gadis seperti apa. Hidupnya semenyeramkan itu tapi penampakan Angel terlalu santai. Coba saja perhatikan sekarang. Angel tetap bisa menjaga ketenangannya bahkan sempat menyuarakan tawa. Bukankah gadis itu tengah terancam dikeluarkan dari sekolah sekarang?



"Ular di depan pager rumah lo juga dari Dea, Fy. Gue yang naruh. Bentar.." Angel mengambil ponselnya dan memainkannya beberapa saat. Ia lalu menghadapkan layarnya pada Ify yang membuat gadis itu membelalakkan mata. "Yang ini, kan?"



Ify menutup mulutnya menahan rasa kagetnya melihat gambar yang ditunjukkan Angel. Sebuah foto Dea dengan seekor ular dalam kandang, di kamarnya. Ada untungnya juga ia sempat berkunjung ke tempat gadis itu. Ular tersebut memang mirip dengan yang ada di rumahnya.



"Sampe kayak gini? Buat apa? Gue belom jadi istrinya Rio, kok.." Ringis Ify tak habis pikir.



Angel terkekeh kecil. Ia sama tidak mengertinya dengan Ify tentang apa yang ada di pikiran Dea dengan melakukan ini semua. "Cowok yang waktu itu sama lo pas ketemu gue di perpus, siapa tuh namanya?"



Ify lekas berhenti dari perangahnya dan ganti memikirkan seseorang yang dimaksud Angel. Sebelum sempat menjawab, klakson dari mobil yang ada di belakang mereka menyela niatnya. Ia lantas lebih dulu melajukan mobil. Baru kemudian membalas dengan nada bertanya. "Debo?"



"Gue pernah bilang kan gue kayaknya pernah ketemu dia? Gue ga salah orang kok. Gue emang pernah liat dia. Sama Dea. Dea juga ngerekrut orang lain buat misahin lo sama Rio. Tapi gue tau niat Debo baik. Dia mau join supaya tau apa aja rencana Dea. Dia mau ngelindungin lo. Tapi kalo ampe nyium lo gitu, dia kurang ajar sih. Udah lo tonjok kan dia?"



Setelah berulangkali terperangah, pada akhirnya Ify merasa lega. Ia lega karena rasa penasarannya selama ini terbayar sudah. Hanya satu yang belum ia ketahui. Apakah Rio terlibat dalam terbongkarnya rahasia Angel di sekolah atau tidak.



"Pas dia datengin gue, nangis tiba-tiba, ampe berlutut segala, ngaku-ngaku diancem sama gue, nyuruh gue berenti, gue semacem...what the fvck? Lah gue emang maunya berenti kali, dianya yang nahan. Trus lo berdua dateng. Ck, bukan marah atau sedih, gue justru bingung kalian ngapain. Pas denger Rio tau kondisi gue, saat itu juga gue ga peduli sama Dea. Bodo amat kalo emang dia mau bocorin ke orang-orang. Contohnya sekarang." Angel mengakhiri penjelasan panjangnya dengan senyum pasrah.



Ify entah kenapa jadi ikut merasa bersalah. Ia tidak mengerti kenapa Angel harus berjuang keras dengan hidupnya seperti ini. Kenapa Angel tidak pernah lepas dari berbagai masalah. Padahal gadis itu hanya punya dirinya sendiri dan adiknya.



"Gue ngasih tau semuanya bukan buat bales dendam, Fy. Gue dari awal cuma mau lo lebih waspada. Lo polos-polos amat sih jadi orang!" Gemas Angel seraya menepuk lengan Ify pelan.



Ify tak membalas apapun. Lidahnya masih terasa kelu untuk berbicara. Ia justru terlihat seperti tersangkanya saat ini yang lantas membuat Angel tergelak dan memukul lengannya kembali.



"Heh, yang jahat orang lain kenapa jadi lo yang kayak pendosanya? Ckck, pantes Rio mau sama lo. Yang langgeng ya lo berdua!" Gurau Angel agar gadis di sampingnya sedikit rileks.



Ify tersipu dan memberengut malu. Angel adalah kesekian kalinya orang yang mengaku gemas akan sikapnya. Lama-lama Angel mengingatkannya pada Agni yang tidak pernah libur untuk mengusilinya.



"Kalo lo udah bebas, Dea ga bisa ngapa-ngapain lagi, kan? Debo juga gak mungkin nyelakain gue." Sahut Ify akhirnya setelah sekian lama bungkam.



Angel mengedikkan bahu seraya menghela napas. "Dia ngancem orang lain buat jadi pionnya. Dia ngasih kiriman buat nakut-nakutin. Dia pake kekerasan dan nyekap orang lain. Dia sabotase skandal buat ngerusak image orang lain. Dia nyebarin fitnah buat musuhin orang lain. Dia juga playing victim.."



Ia menoleh pada Ify sebelum kembali melanjutkan kata-katanya. "Orang normal gak kayak gitu, Fy. Gue benci sama orang tapi gak sampe gitu. Udah seharusnya lo hati-hati. Kan udah gue bilang. Dea tuh 'sakit', Fy."


***

Ify menggelengkan kepalanya seraya tersenyum demi meyakinkan kedua sahabatnya. Meski masih sangsi, Agni dan Shilla tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain membiarkan Ify pulang bersama Debo. Debo yang tahu diri lantas berpamitan dengan sopan pada kedua 'kanjeng mami'.

Tak banyak percakapan yang terjadi di dalam mobil antara Ify dan Debo. Ify masih tenggelam dalam rasa gundahnya karena Rio sementara Debo seperti memahami kondisi Ify sehingga ia membiarkan gadis itu 'tenang' di tempatnya.

"Lo pada jadi ke Bogor, Fy?" Tanya Debo akhirnya memecah keheningan.

"Hmm." Balas Ify seraya manggut-manggut beberapa kali. Gadis itu tidak sadar kalau dirinya tampak menggemaskan ketika melakukan itu yang membuat Debo berulangkali berucap dalam hati agar tidak khilaf.

"Jangan ngegemesin banget gitu dong, Fy. Ntar gue susah ga bapernya." Rutu Debo yang seketika membuat pipi Ify memanas.

Ify mendesis sebal seraya menolehkan kepala menghadap jendela. Pujian Debo tadi justru mengingatkan Ify pada tingkah konyol Rio padanya selama pacaran. Ia ingat apa yang sering pemuda itu ucapkan padanya yang tak pernah luput membuatnya tersipu.


"Lo lucu banget gini gimana gue rela ngelepasnya, hm?" Gombalan Rio sih sudah biasa. Namun Ify selalu tidak tahan ketika bertatap mata dengan pemuda itu. Tatapannya kelewat memabukkan. Tatapan jatuh cinta.



"Rioo.." Rengek Ify seraya menutup kedua pipinya dengan telapak tangan dan beringsut mencari tempat persembunyian di dada Rio. Ia malu ketahuan merona.



Rio tertawa senang dan langsung mendekap singkat gadisnya. Ia lantas meraih tangan Ify untuk ia genggam lalu kembali menuntun gadisnya berjalan.


Sekali lagi, Ify merasakan setruman tidak nyaman dalam dadanya. Sialan memang. Ini semua gara-gara Rio kembali menghubunginya setiap malam, tepat sebelum ia tidur. Sejak ia menolak panggilan pemuda itu sebelumnya, keesokan harinya dan seterusnya pemuda itu justru gencar mengiriminya pesan.


Ify mengernyit mendapati notifikasi yang masuk ke ponselnya. Ada beberapa pesan yang dikirim oleh Rio. Ia menatapinya sebentar, mempertimbangkan apakah ia harus memeriksanya atau tidak. Namun apa daya kalau hatinya yang seletoy agar-agar ini dengan mudahnya menyerah.



'Fy Fy Fy!'



'Bikinin gue kue lagi dong!'



Tanpa sadar jemari Ify bergerak membalas dan sedetik setelah pesannya terkirim ia langsung menepuk keningnya pelan. Bagaimana dirinya bisa kelepasan? Padahal ia sudah berhasil mengabaikan pemuda itu kemarin.



'Kue apa?'



Tak sampai 5 detik, balasan Rio sudah datang yang seketika membuat Ify meriang di kasurnya.



'Kuenangan bersama mantan. Sihiiiy~'



'Goodnight, Ify!'


Atau adalagi yang lebih membuat Ify geram. Ify sampai berteriak dengan muka ditutupi bantal.


'Fy, nyebelin masa.'



Ify menghela napas keras. Kali ini apalagi ulah pemuda yang satu ini?



'Mau bilang sayang tapi mantan. Acikiwiir petrus jan ampe kendor~' *Bangke emang😂*



'Babang bobo ganteng dulu ya, dadah!'



Ify melempar ponselnya asal lalu segera menyembunyikan wajahnya di dalam bantal.



"AAAAA!!"


Memang semenyebalkan itu. Pesan-pesan yang dikirimkan Rio tak jauh-jauh dari gombalan receh boleh copot dari google plus minta dibawa pulang. Sayangnya pemuda itu akan cepat-cepat kabur sebelum Ify selesai dengan euforianya.

Yang membuat Ify merasa aneh adalah sikap tidak peduli Rio selama di sekolah. Mereka benar-benar bertingkah seperti tidak pernah kenal. Mudah bagi Rio bersikap biasa saja. Sementara dirinya tidak habis-habisnya baper setiap hari karena ulah pemuda itu.

Ia sadar kalau dirinya mungkin dijadikan olok-olok tapi ia tak kuasa melarang hatinya untuk tidak merasakan apapun. Ia tidak bisa mengelak kalau ia masih menginginkan sang mantan.

Ia merindukan Rio-nya.

Mata Ify seketika memerah dan mulai berkaca-kaca. Ia tanpa memedulikan sosok di sampingnya mengambil tanpa izin tisu yang terletak di depannya untuk menghalau air mata yang segera menitik.

Debo sendiri hanya bisa pasrah melihat Ify yang diam-diam terisak di sebelahnya.

Dada abang lebar padahal, Neng. Tapi berat kalo neng maunya dada babang lain. Abang sedih.

***

Tepat pukul 4 sore, Chelsea akhirnya bisa kembali menginjakkan kaki di rumah Cakka, tempatnya menumpang sejak ia menjadi anak kuliahan. Hari ini adalah hari tersibuknya untuk bulan ini.

Berhubung kuliahnya tinggal 2 minggu lagi sebelum minggu tenang untuk UAS, jadi mulai sering terjadi penumpukan mata kuliah dalam sehari. Memang tidak terjadi setiap hari namun rasanya tetap sama. Dalam seminggu, ada 3 hari yang memiliki jadwal kuliah dari jam 8 pagi hingga 2 siang.

Kebetulan ia juga ada bimbingan untuk tugas akhir yang sebelumnya tidak ada kepastian jam berapa. Dosen pembimbing hanya membalas 'Siang ini' ketika ia bertanya. Pertanyaannya sudah terlalu spesifik sehingga ia enggan untuk bertanya lagi agar lebih jelas. Apalagi, ini bukan pertama kalinya ia mendapat jawaban seperti ini. Mau tidak mau ia harus menunggu hampir 3 jam lebih.

Chelsea meletakkan sepatunya pada rak dan memakai sandal rumahan sebelum memasuki ruang tamu rumah Cakka. Sesampainya di ruang tengah, ia mendapati sang empunya sedang berbaring di sofa sambil bermain games di ponselnya.

Kalau biasanya ia akan menghampiri, mengusik, atau sekedar mengajak pemuda itu mengobrol, kali ini ia justru melengos malas dan memilih langsung menuju kamarnya. Cakka yang menyadari kehadirannya langsung beranjak mendekat.

Sayangnya, ia terlalu lelah untuk menahan pintu lebih dulu agar Cakka tidak punya akses menemuinya di kamar. Pemuda itu bahkan yang membukakannya lebih dulu dan mempersilahkan dirinya masuk, lengkap dengan gerakan tangan menyambut dan senyum sumringah yang menyebalkan.

"Gue kan mau ganti baju, Cicak!" Protesnya.

Untuk kali ini, Cakka tidak mengambil hati pencemaran namanya yang dilakukan oleh Chelsea. Sampai kakaknya itu memberikan apa yang ia minta, ia akan semaksimal mungkin menjaga emosinya dan bersikap baik budi di depan perempuan itu.

Ia lantas begitu saja berbaring di kasur, berguling, dan membiarkan tubuhnya dalam posisi membelakangi Chelsea. "I'm waiting!" Wantinya tak peduli.

Chelsea mendesah pasrah sambil geleng-geleng kepala. Adiknya benar-benar keras kepala. Ia meletakkan tasnya di atas salah satu kursi di samping meja rias sementara ia duduk di salah satu yang terletak di depannya.

Ia tidak langsung mengganti baju namun memilih membersihkan make up nya yang tidak terlalu tebal sekalian membersihkan muka. Selain karena ia merasa wajahnya sudah lengket karena minyak, ia juga berniat berlama-lama agar Cakka bosan dan undur diri dari kamarnya.

Sayangnya, usahanya sia-sia karena Cakka dengan dedikasi tinggi menunggunya tanpa keluhan. Ia yang akhirnya telah sempurna berganti pakaian menyusul sang adik sepupu merebahkan diri di kasur. Ia juga memainkan ponselnya, menunjukkan sikap acuh tak acuh pada Cakka. Semua usaha ia coba untuk membuat Cakka menyerah.

Cakka yang merasakan pergerakan pada ranjang yang ditidurinya akhirnya berguling dan berganti posisi menjadi menghadap Chelsea. Ia lalu menahan kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada siku.

"Kak gue bakal gangguin lo terus sampe lo ngasih tau gue, fyi." Gumamnya pelan memperingati.

Chelsea bergeming dan tetap fokus pada ponselnya. "Masih inget jawaban gue kemaren kan?" Balasnya tanpa menoleh sedikitpun.

Sudah 3 harian ini Cakka terus mendesaknya untuk memberi tahu gadis yang ia sebut-sebut sebagai 'kandidat' Nia waktu itu. Alasan tersebut yang membuatnya selalu malas berhadapan dengan Cakka. Ia menghindar sebisanya dan berusaha menulikan telinga dengan semua rengekan dan pertanyaan pemuda itu setiap waktu.

Cakka terus saja mengintilinya dengan pertanyaan yang sama padahal jawaban yang akan pemuda itu dapatkan sama sekali tidak berbeda. "Kalo perasaan lo udah pasti, baru gue kasih tau."

Ia tidak ingin Cakka menjadi pemuda plin plan. Kalau Cakka punya pikiran, tindakannya saat ini sebenarnya ia lakukan untuk menyelamatkan pemuda itu dari kekacauan. Apakah yang ada dipikiran sang adik dengan mau-maunya menghadapi dua Nia sekaligus di saat hatinya belum pasti ia labuhkan pada siapa?

Ia saja sekarang jadi ragu apakah Cakka sudah benar-benar bisa melupakan Febby atau belum. Sekarang mau menambah masalah dengan menemui Nia 'baru'.

Cakka mendesis sebal. "Gue sama Agni belom juga apa-apa kali, Kak." Sungutnya tanpa pikir panjang.

Chelsea langsung mendelik tajam ke arah Cakka. Ia lantas mencubit keras area dada pemuda itu yang membuat empunya mengaduh kesakitan.

"AW! Ah lo mah nyubit tete! Ntar gedean gue daripada lo, mau?" Keluh Cakka seraya mengusap sebelah dadanya yang naas menjadi sasaran.

Chelsea sudah mengambil ancang-ancang mengulangi perbuatannya namun urung ia lakukan karena Cakka lebih dulu memasang tameng di depan dada. Ia lantas ganti dengan mendengus keras sambil mendudukkan badannya.

"Chat-an tiap hari, makan berdua, nonton berdua, jalan berdua, basketan pun berdua, cover lagu berdua, dan lo sekarang bilang belom apa-apa? Bajingan lo. Keluar dari kamar gue!" Hardiknya seraya memukul-mukul lengan pemuda di depannya.

Cakka memasang pertahanan menggunakan kedua lengannya mendapati amukan Chelsea. Ia tidak menyangka kakaknya akan seganas ini. "Ampun! Ampun! Becanda gue, Kak! Becanda!" Elaknya.

Chelsea lantas mendecak jengkel. "Gak lucu." Ketusnya. Haah..dirinya yang tadi ngantuk berat sekarang justru berapi-api. Matanya justru enggan tertutup karena emosi.

"Ini juga usaha gue mastiin hati, Kak, dengan nemuin dia. Biar gue gak bertanya-tanya gue itu suka sama Agni atau Nia. Siapapun dia nanti." Jujur Cakka akhirnya.

Tetap saja Chelsea meragukan adiknya itu. "Dulu karena lo mikir Agni itu Nia, lo jadi ngelupain Febby. Lo mikir gak sih lo bisa 'de javu' nanti? Febby ga satu kota sama lo dan gak satu inner cycle juga jadi ga bakal ada masalah. Lah Agni? Udah dia adeknya Kiki, satu sekolah, satu inner cycle, dan temen pacarnya Alvin pula. Pikirin deh ribetnya bakal kayak apa kalo lo ngerusak hubungan lo sama dia." Nasihatnya panjang lebar.

"Kak, gue gak 'semurah' itu—"

Chelsea menyela dengan helaan napas dan memutar kedua bola matanya bosan.

"Kak, gue udah lebih dulu mikirin apa yang lo takutin. Kalo misalnya dia beneran Nia, gue bisa tahu gimana perasaan gue ketemu Nia, gue bisa ngeyakinin perasaan gue ke Agni. Kalo misalnya bukan, tentu gue bakal lebih seneng lagi karena cewek yang gue suka ternyata temen gue dari kecil, yang selama ini gue cari. Seriusan."

Tidak, Cakka tidak serius. Jangan percaya. Karena dirinya sendiri tidak percaya pada dirinya. Ia berbicara meyakinkan hanya agar Chelsea memberitahunya. Bagaimana pun ia harus menemui Nia 'baru' itu. Katakan ia egois ingin memuaskan hatinya sendiri tanpa memikirkan Agni.

Tapi, ia sudah memutuskan kalau Nia-nya lebih berarti dari siapa pun. Ia tidak akan protes kalau dirinya akan dicap sebagai pria jahat nanti. Tapi lebih baik ia jujur dengan hatinya daripada ia memberi perasaan setengah-setengah, kan?

Chelsea menatap lekat-lekat sang adik sepupu, meyakinkan dirinya kalau pemuda itu tidak sedang berbohong, pemuda itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia tidak mau menjadi orang paling kejam dengan ikut andil dalam menyakiti seseorang ketika ia bisa mencegah itu terjadi.

Sampai akhirnya ia mendesah pasrah. Ia hanya berdoa semoga keputusannya tidak berakibat fatal nanti.

"Oik.." gumamnya menggantung. Kali ini tak lagi memandang Cakka.

Cakka mengernyit bingung sekaligus penasaran. "Siapa? Nama cewek itu?"

"Namanya Oik. Oik Ramadlani."

***

Fira dan Via baru saja melewati pintu masuk bioskop. Entah kenapa, akhir-akhir ini Via jadi betah menghabiskan waktu dengan Fira, begitu pun Fira. Nyaris seminggu ini Via selalu singgah di kantor Fira tiap pulang sekolah. Fira juga memutuskan pulang lebih cepat dari kantor.

Mereka tidak pulang begitu saja, melainkan mampir ke beberapa tempat. Kadang ke restoran untuk makan, ke mall untuk belanja, ke supermart untuk membeli bahan makan malam.

Jangan bayangkan mereka berubah romantis. Hubungan mereka tetap seperti biasa. Via yang suka mempermainkan Fira dan Fira yang setia menggerutu tingkah sang anak. Yang berbeda adalah mereka bahagia.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, mereka sadar kalau mereka memang bisa bahagia hanya dengan berdua saja, tanpa siapa pun lagi. Berdua yang membuat mereka tenang. Justru ketika lengkap mereka terpecah.

Malam ini kebetulan Fira ingin menonton. Wanita itu tergugah oleh karyawannya di kantor yang baru saja menonton film yang akan mereka saksikan sekarang. Film horror yang sama yang Via tonton bersama Gabriel.

Via tidak masalah. Ia juga tidak tega untuk menolak ketika Fira tampak begitu antusias. Bukan. Yang benar adalah Via tidak pernah menolak keinginan sang ibu yang memang tampak selalu bersemangat kapan pun itu, ketika bersamanya.

Setelah membeli pop corn dan minuman, Via meminta Fira masuk ke teater lebih dulu sementara ia ingin ke toilet sebentar mengosongkan perut. Ia malas kalau di pertengahan film tiba-tiba harus keluar teater karena ingin BAK walaupun yang diputar sudah pernah ia tonton sebelumnya.

Via keluar dari toilet dan merogoh isi tasnya mencari tiket. Tak disangka-sangka, ia tak sengaja menangkap dua sosok yang tidak asing baru saja melewati pintu masuk. Yang satu ia sempat merasa sangat kenal namun sekarang ia ragu, yang satu ia hanya tahu. Gabriel dan Pricilla.

Tidak ada sebutan lain selain pasangan kekasih bila melihat posisi mereka yang saling bergandengan. Bukan Pricilla yang menggelayut di lengan Gabriel melainkan Gabriel yang menggenggam erat tangan gadisnya. Dengan dirinya saja tidak pernah seperti itu.

Ck, bisa-bisaan gue malah mikirin itu.

Pertunjukan menarik untuk Via belum selesai, justru inilah atraksi utamanya. Dengan mata kepalanya sendiri sekarang ia menyaksikan kehadiran Riza dan si 'Mama' di dalam bioskop. Ia sedikit terkejut dan lantas memilih diam beberapa saat.

Namun, seluruh tubuhnya kaku ketika dua sejoli itu menghampiri Gabriel dan Pricilla. Dan tebak apa yang pertama kali keluar dari mulut Pricilla?

"Papa—"

Via tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena ia tidak bisa mendengar. Jarak mereka cukup jauh dan sulit untuk menangkap suara ketika di dalam bioskop juga diisi oleh banyak orang. Hanya kata itu yang bisa ia tangkap dari pembacaan gerak bibir Pricilla dan kebetulan memang hanya sampai disitu saja niatnya ingin tahu.

Satu fakta baru yang paling menohoknya saat ini dari semua fakta yang telah ia dapat adalah...Gabriel mengenal mereka semua. Ini alasannya Gabriel dan Riza sudah bersitegang saat pertama kali ia melihat mereka bertemu.

Gabriel mengenal ayahnya. Gabriel tahu apa yang disembunyikan ayahnya. Gabriel juga memacari anak gadis laki-laki itu, bahkan dirinya sendiri. Gabriel tahu semuanya dan pemuda itu memilih pura-pura awam di depannya sambil terus berusaha mendapatkan hatinya.

Apa terlalu gamblang kalau ia menyebut dirinya sudah dibodohi? Oh ya, jangan lupa kalau Gabriel juga memacari Zaza.

Setelah lepas dari kesiap, Via mulai melangkahkan kaki lagi namun kali ini tujuannya bertambah. Ia ingin sesaat menghampiri keluarga sekaligus pasangan-pasangan bahagia yang baru saja disaksikannya. Bukan untuk cari ribut atau bikin perhitungan, ia hanya ingin memperingatkan atau mungkin meminta sepercik 'rasa kasihan' dari orang-orang itu.

"Ehm!" Dehem Via cukup keras dengan sengaja. Beberapa langkah sebelum sampai sebenarnya kehadirannya sudah disadari. Namun, hanya oleh Gabriel yang sedikit kaget melihatnya. Setelahnya ia tidak tahu karena ia memilih tidak mengacuhkan pemuda itu.

Riza dan 'Mama' memutar kepala mereka menghadapnya. Reaksi mereka sama seperti Gabriel. Namun Riza dengan cepat memasang wajah datar namun waspada. Mungkin teringat akan kejadian di kantor, ketika Via pertama kali 'berkenalan' dengan wanita di sampingnya. Sementara sang 'Mama' sedikit memucat. Pricilla? Gadis itu hanya menatapnya dengan alis bertaut.

"Saya harap kalian gak nonton sekarang, di jam berikutnya aja. Di dalem ada mama saya. Saya gak mau mama saya menyaksikan kalian. Kalo tante emang punya malu dan bapak masih laki-laki, kalian pasti ngerti. Permisi."

Kalau Via jahat, mungkin ia sudah melabrak wanita dan anak selundupan ayahnya, seperti yang sudah viral beberapa waktu lalu. Ia sangat-sangat berkesempatan mempermalukan sekaligus menghancurkan orang-orang di hadapannya.

Hanya saja, ia tidak mau dunia tahu urusannya. Ia baru saja bisa meraup kedamaian bersama Fira. Ia tidak ingin upaya mereka sia-sia dalam semalam. Mempermalukan mereka ujung-ujungnya hanya akan membuatnya makan hati karena akan melihat Riza mati-matian membela orang-orang terkasihnya.

Jika ia membiarkan diri menjadi pusat perhatian, masalah ini akan dikupas tuntas orang lain yang tidak perlu. Orang-orang akan tahu kalau kesalahan tidak seutuhnya dari tangan Riza melainkan juga Fira. Banyak orang akan membalikkan badan gantian menyudutkan Fira. Ia tidak ingin mamanya kembali menghadapi kekacauan.

Bagaimanapun, biarkan Fira menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia tidak berhak ikut campur meskipun satu-satunya yang murni menjadi korban adalah dirinya. Ia juga tidak mau mendesak Fira bercerita dan sok bijak memberi solusi. Yang perlu ia lakukan hanya selalu siap sedia mendampingi mamanya.

Via melupakan ada sepasang mata yang kini menatapnya intens. Biarlah. Biar ia mengabaikan pemilik mata tersebut. Mari kita tidak membicarakan dia dulu hari ini.

***    

Ify dan Fify bergandengan berlari masuk menuju ruang hemodialisa tempat Ferdi kini berada. Jantung Ify rasanya hampir berhenti saat itu juga mendengar kabar kalau sang ayah jatuh pingsan di kantornya. Mengetahui Ferdi kembali ke kantor saja membuatnya kelabakan apalagi mendengar laki-laki itu tidak sadarkan diri.

Ia dengan napas tersengal mengedarkan pandangan ke seisi ruangan hingga akhirnya matanya menangkap sosok Ferdi yang terbaring sekitar 3 ranjang dari ujung ruangan. Ia lekas melangkah cepat menghampiri ayahnya itu.

Ia sedikit lega melihat Ferdi ternyata telah sadar karena laki-laki itu sedang berbincang dengan seorang pria yang tampaknya lebih muda dari Ferdi. Kemungkinan adalah karyawan di tempat Ferdi bekerja.

Melihat Ify, pria tersebut lantas dengan sopan undur diri sehingga kini hanya tersisa Ify, Fify, dan Ferdi. Ify duduk di tepi ranjang sementara Fify duduk di atas kursi yang sebelumnya di duduki oleh pria yang bersama Ferdi tadi.

"Papa kenapa udah masuk kerja aja?! Bukannya masih cuti? Papa belum sembuh total masih butuh banyak istirahat. Liat, kan sekarang! Masuk rumah sakit lagi jadinya." Gerutu Ify tak sabaran. Air mukanya benar-benar panik yang membuat Ferdi tersenyum hangat.

"Papa udah bisa langsung pulang, kok. Papa pingsan karena lupa cuci darah aja." Balas Ferdi dengan entengnya.

Mendengar ucapan Ferdi justru membuat Ify mendelik tajam. "Tuh, kan! Kerja bisa inget tapi kesehatan sendiri dilupain." Dumelnya lagi. Sesaat kemudian ia menunduk lesu. "Salah Ify juga gak becus jagain, Papa.." lirihnya.

Ferdi langsung meraih tangan anak gadisnya dan menggenggamnya dengan kedua tangan. "Papa gapapa, Nak. Jangan sedih gitu. Ini bentar lagi juga pulang."

"Papa jangan sakit. Nanti siapa yang temenin Fify ke kebun binatang?" Cicitnya Fify tiba-tiba. Mata gadis itu sudah berair walau tangisannya belum keluar.

Ify dan Ferdi serentak menoleh pada gadis kecil mereka. Ify lantas kembali melirik sebal Ferdi. "Tuh, kan! Papa bikin Fify nangis."

Ferdi justru tertawa senang. Ia sungguh bahagia diperhatikan oleh kedua anaknya yang lucu-lucu ini. Ia gantian meraih kepala Fify dan mengusapnya pelan. "Iya, Sayang. Papa udah janji sama Fify, kan?" Bujuk Ferdi. Fify mengangguk lugu seraya mengusap kedua pipinya.

"Kalo gini caranya Ify gausah ikut ke Bogor deh.." Putus Ify.

Ferdi kembali memandang ke arahnya dan kali ini memberi tatapan tidak setuju. "No. Kita udah omongin ini loh, Fy. Udah deal kan kita kemaren? Papa kan juga mau jalan-jalan berdua sama Fify. Ya nggak, Fy?"

Sekali lagi Fify mengangguk dengan lugunya yang membuat Ferdi kembali mengelus kepala gadis itu. Sementara Ify memberengut tak rela. "Papa ngeduain Ify sekarang?" Rajuknya.

Ferdi kembali tertawa dan mengerling pada Ify. "Biarin. Papa bosen sama kamu terus."

Ify mendesis pura-pura kesal lalu pada akhirnya tersenyum. Syukurlah kalau memang ayahnya baik-baik saja. Ia berdoa dalam hati semoga cengkrama hangat seperti ini antara mereka bertiga masih berlangsung sedikit lebih lama.

***

Kiki berjalan mengendap-ngendap masuk ke dalam kamar Agni mendekati sang empunya yang tidak sadar karena memakai headset. Gadis itu begitu seriusnya berkutat dengan buku-buku di depannya. Maklum, adiknya itu sudah mulai memasuki minggu dekat ujian.

"Hayolo!" Kejut Kiki.

Agni spontan melepas pensil di tangannya dan memekik tertahan. Alhamdulillah ia tidak berucap kasar seperti biasanya.

Agni memalingkan wajahnya pada Kiki dengan tampang kesal setelah melepas headset sementara Kiki cengengesan tanpa rasa bersalah. "Lo masih kurang kerjaan aja!" Sungutnya. Di kejutkan adalah hal yang paling ia benci. Sayangnya, hal itu adalah kegiatan favorit Kiki.

"Serius banget sih lo! Di seriusin juga enggak." Ledeknya.

Agni memutar kedua bola matanya malas. Belakangan Kiki jadi lebih sering membahas Cakka. Tidak selalu, sih. Tapi tiap kali mereka membicarakan pemuda itu, Kiki selalu tampak lebih antusias daripada dirinya. Padahal ya..tidak ada perkembangan apa-apa antara dirinya dan Cakka. Mereka masih..berteman?

"Kapan sih minggu tenang lo emangnya? Udah belajar aja. SKS bisa kali!" Saran Kiki yang seratus persen menyesatkan.

Agni lantas menyeringai sinis. "Pantesan lo ga pernah mau lapor lo diambilin nyokap," Sindirnya.

Bukannya tersinggung, Kiki justru balas nyengir. Tidak ada yang perlu ia bantah. Ia juga tidak malu. Memang kenyataannya isi lapornya tidak menggugah. Mau bilang apa? Lagian ia tidak butuh nilai-nilai yang terumpun di sana. Tinggal ia kumpulkan saja piagam-piagam non akademisnya, ia sudah bisa masuk universitas.

"Gimana lo sama Cakka? Udah aku-kamu-an belom?" Tembak Kiki melepas basa-basi.

Agni berjengit ngeri. Entah kenapa ia geli membayangkan kalau sampai apa yang Kiki tanyakan terjadi antara dirinya dan Cakka. Gue? Nyebut diri gue 'aku'?

"Apaan, dah. Geli gue!" Gidik Agni. Sumpah, ia sampai merinding sekarang.

Kiki tertawa geli lalu kemudian geleng-geleng kepala. "Gimana, sih? Gue aja udah jealous-jealous-an sama gebetan gue, lo masih gini-gini aja? Jangan-jangan Cakka ga beneran deketin lo lagi? Jangan-jangan lo cuma di-friendzone­-in sama dia?"

Entah kenapa, Agni kesal sendiri mendengar tebakan Kiki barusan. Dirinya dan Cakka berhubungan setiap hari. Di sekolah pemuda itu hampir tidak pernah tidak nongkrong di depan kelasnya. Sudah tidak terhitung berapa kali mereka makan dan jalan bersama. Malam minggu Agni juga tak pernah sepi karena Cakka selalu mengajaknya keluar atau pergi nonton.

Tapi semuanya memang terasa jalan di tempat. Ia tidak tahu firasatnya benar atau tidak tapi ia merasa Cakka seperti menahan diri. Ia penasaran tapi ia juga tidak tahu harus bertanya bagaimana. Terlebih lagi ia tidak yakin kalau dirinya sudah berhak bertanya.

"Maybe." Serah Agni. Ia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Kebetulan dugaan Kiki memang tidak ada salahnya. Lagipula, memangnya benar Cakka lagi pdkt? Tidak ada yang tahu.

Kiki memperhatikan ketidaknyamanan yang tersirat di wajah Agni. Ia mendengus dalam hati dan berusaha agar tidak menguar ke permukaan kalau ia sedang mengutuk Cakka diam-diam.

Sial, adek gue digantungin. Di saat gue udah terlanjur move on gini.

"Ah!" Seru Agni tiba-tiba sebelum Kiki memberi tanggapan pada ucapannya sebelumnya.

Kiki menatap Agni penasaran. "Kenapa?" Tanyanya tak sabar.

Agni merubah posisi duduknya bersila sambil menghadap Kiki yang berbaring menyamping di atas ranjang. "Lo pernah cerita sama Cakka soal gue, Kak? Maksudnya, tentang gue yang bukan adek kandung lo?"

Kiki mencoba mengingat-ngingat sebentar sementara Agni begitu menanti memandangnya. Ia lantas menggeleng pelan. "Gak pernah. Kita kan ga pernah deket. Ngapain cerita-cerita masalah sepribadi itu? Gue kira dia tau karena lo yang cerita." Ia justru bertanya balik.

Agni kembali berjengit, kali ini karena kaget. Kalau bukan Kiki, lalu Cakka tahu asal-usulnya darimana?

Ketika Agni tak sengaja menunduk, matanya kemudian menangkap bandul air kalungnya. Seketika timbul sebuah pemikiran dalam kepalanya. Apa Cakka ngenalin kalung gue? Makanya dia tau asal-usul gue?

"Jangan-jangan.." Gantung Agni.

Kiki yang tidak bisa mendapat informasi setengah-setengah lantas menggerutu sebal. "Apasih?"

"Fix. Cakka beneran Aga, Kak."

***

Febby sudah tidak ingat kapan terakhir kali ia berbicara dengan Alvin. Sejak tragedi 'itu', Febby tidak berani lagi menyambangi Alvin di mana pun pemuda itu berada. Ia bahkan sangat berhati-hati menginjakkan kaki di dalam rumah pemuda itu.

Saat ini, ia justru tengah mempertimbangkan untuk pindah dari rumah Alvin. Namun, ia merasa lancang kalau masuk-keluar seenaknya. Keluarga Alvin selama ini terlalu baik memperlakukannya sehingga ia sendiri tidak rela untuk pergi. Tapi, ia tetap merasa tidak enak. Khususnya pada Alvin.

Menyebut nama Alvin seketika kembali membuat dadanya bergemuruh gelisah. Ia kembali merasakan kesedihan yang sudah beberapa hari coba ia pendam. Ia lagi-lagi terjebak dalam perasaan ketakutan karena seorang diri.

Ia menggelengkan kepala cepat beberapa kali. Tidak semestinya ia menjadi lemah seperti ini. Sama sekali tidak cocok dengan kerasnya kehidupan yang sudah ia lalui sebelumnya. Ada kejadian yang jauh lebih mengerikan dibanding saat ini lalu kenapa sekarang ia harus terpuruk dan mengaku kalah?

"Feb.."

Febby sempat merasa dirinya berhalusinasi telah mendengar sayup-sayup suara yang diam-diam ia rindukan di sela-sela tumbuhnya perasaan lain di hatinya. Nyatanya, perasaannya yang dulu masih utuh karena saat ini jantungnya berdebar kencang.

Namun ia tidak tahu harus menyebut ini rezeki menjelang tengah hari atau musibah, ia dengan jelas melihat Goldi, orang yang dirindukannya itu, berdiri di sampingnya dengan senyum menenangkan pemuda itu seperti biasa.

Febby sesaat terdiam menikmati kesempatannya untuk memperhatikan benar-benar wajah tampan Goldi. Hingga akhirnya ia tidak bisa lagi menahan dirinya dan tertunduk menangis sambil menutup wajahnya dengan tangan. Goldi datang di saat yang tepat dan tidak tepat secara bersamaan.

Goldi yang melihat gadis yang masih amat disayanginya tiba-tiba menangis lantas mendekat dengan panik. Ia duduk bersimpuh dengan satu kaki menyentuh dasar lantai area kursi baca di halaman sekolahnya lalu meraih kedua lengan Febby. "Hey, lo kenapa? Kenapa nangis? Gue bikin lo kesel ya?"

Febby menurunkan tangan dari wajahnya namun tetap membiarkan kepalanya tertunduk. Ia mengangguk beberapa kali menjawab pertanyaan Goldi sambil terisak hebat.

Goldi merasa nyilu dalam dadanya melihat Febby menangis seperti ini. Terakhir ia melihat Febby seperti ini ketika gadis itu ketakutan dirinya akan pergi dari sisinya ketika gadis itu mendapat titah dari Oik untuk memacari Cakka, yang ia juga tidak kenal siapa.

Dan ia yakin seratus persen, alasan yang sama yang membuat Febby kembali terguncang. Gadis itu sedang ketakutan. Namun, ia tidak berani menentukan apa penyebabnya.

"Lo—lo pergi. Al—Alvin pergi. G—gue sendirian, Di.." Febby berujar dengan terbata-bata. Napas gadis itu tercekat oleh tangisannya sendiri.

Goldi jadi makin tidak tega. Namun, ia lega karena setidaknya ia masih menjadi alasan kegelisahan gadis itu. Artinya dirinya masih punya arti untuk Febby. Dirinya masih bisa menjadi alasan gadis itu ceria kembali.

"I'm still yours, By. Sejak kapan gue setuju kita putus?" Bujuk Goldi seraya mengusap pelan kepala Febby.

Febby mulai mau mengangkat wajahnya menatap Goldi. "Tapi lo sama Oik.." Ia bahkan tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

Goldi cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Gue sama dia gaada hubungan apa-apa. Gue cuma pura-pura pacaran sama dia karena dia ngancem bikin lo disiksa di rumah. Tapi pas gue tau kalian udah gak satu rumah, gue gaada urusan lagi sama dia."

Febby lega sekaligus merasa bersalah telah berburuk sangka terlalu jauh pada Goldi. Ia sesaat malu pada dirinya sendiri. Goldi bahkan percaya padanya ketika ia harus memacari Cakka bahkan mendekati Alvin. Sementara dirinya main pergi tanpa memberi sekalipun kesempatan untuk Goldi menjelaskan padanya.

Ia ingin kembali bersandar dan menggantungkan dirinya pada Goldi. Tapi ia merasa sangat tidak pantas setelah apa yang sudah ia perbuat pada pemuda itu. Apalagi ia dengan tidak punya hatinya menumbuhkan perasaan untuk orang lain.

"Jangan ragu datengin gue lagi, By. Masa aktif gue masih panjang kok!" Canda Goldi meskipun ia serius dengan ucapannya.

Febby justru makin terhujam oleh rasa bersalah. Kenapa selama ini ia malah menyia-nyiakan Goldi dan mencoba-coba cari peruntungan pada Alvin yang jelas-jelas tidak akan memilihnya?

"Maafin gue, Di, maaf.."

***

Sudah Shilla putuskan kalau dirinya tidak akan datang seperti hantu. Alias muncul begitu saja di depan Alvin. Ia juga tidak ingin pertemuan mereka nanti tidak menghasilkan apa-apa karena mereka yang tidak siap untuk berbicara.

Ia ingin Alvin mendapat ide soal kedatangannya sehingga pemuda itu sudah tahu apa yang akan dikatakan nanti. Ia tidak ingin ada excuse lagi. Ia ingin semuanya selesai dan tidak bertele-tele yang pada akhirnya membuat mereka sama-sama lelah yang sia-sia.

Alhasil ia akan menghubungi Alvin sehari sebelum perjalanannya menuju tempat Alvin berada. Walau sebenarnya tidak jauh-jauh amat, sih. Yaelah, cuma Jakarta-Bogor.

Dengan jemari bergetar, Shilla akhirnya bisa berhasil men-dial nomor Alvin lewat salah satu aplikasi chatting yang ia gunakan bersama sang pacar. Ia menarik napas berulang kali menambah ketenangan diri sembari menunggu panggilannya dijawab.

Ia tidak tahu Alvin sengaja atau tidak dengan sedikit menunda untuk menggubris panggilannya sehingga ia harus menunggu beberapa saat sampai ia akhirnya mendengar lagi suara merdu pemuda itu.

"Halo?" Sapa Alvin dengan tenangnya.

Shilla menelan ludah yang mendadak terasa pahit. Ia tertampar oleh rasa senang di hatinya karena bisa mendengar suara pemuda itu lagi yang seharusnya sudah ia hentikan sejak beberapa waktu lalu, untuk sementara. Namun, apa yang bisa ia perbuat? Hatinya tidak bisa dicegah.

"H—halo?" Balasnya malah terdengar tak yakin.

Shilla mendengar desahan lelah di seberang sana. Ia lantas ikut-ikutan menghela napas. Ia menggigit bibirnya menahan diri sekuat tenaga agar tidak menangis.

"Udah lama gue ga denger suara lo, Cantiknya gue."

Bibir Shilla mulai bergetar. Ia ternyata tidak kuat sama sekali. Ia menutup mulutnya sendiri menghalau suara yang mungkin saja keluar akibat tangisannya.

"Hk!"

Shilla refleks menjauhkan ponselnya setelah isakannya tanpa sengaja terdengar. Tanpa Shilla tahu, Alvin juga sama kacaunya dengan dirinya. Alvin terduduk di bawah tempat tidur, bertekuk lutut, dan bersandar di tepi kasur.

Pemuda itu menunduk seraya meremas-remas rambutnya lalu mengusapnya keras. Kepalanya terangkat diiringi helaan napas berat untuk kesekian kalinya dengan pandangan menerawang.

"Lo nangis ya?" Tanya Alvin kembali dengan senyum lirih. Hatinya terasa teriris membayangkan sudah berapa banyak air mata yang gadisnya keluarkan karena dirinya.

Shilla masih tidak mampu menjawab. Gadis itu masih berperang dengan tangisnya. Hal itu lantas membuat Alvin berujar kembali. "Aku harus ngapain, Sayang? Biar kamu ga sedih lagi?"

Suara lembut Alvin justru menambah deras laju air mata Shilla. Shilla benar-benar tidak bisa menahan gejolak emosinya. Ia bahkan sudah melanggar janjinya untuk tampak tegar berhadapan dengan Alvin. Hingga mulutnya tanpa sadar berucap yang tidak seharusnya.

"Vin, kangen.."

Alvin tertawa miris lalu kemudian setetes air matanya tanpa bisa ditahan keluar. Mereka akhirnya sama-sama menangisi keadaan mereka.

Alvin menelan ludah getir sebelum kembali berujar. "Aku ke sana ya? Biar ketemu kamu. Udah sembuh ini! Udah bisa salto 3 kali." Candanya berusaha sedikit meredam gundah.

Shilla menggeleng tak peduli Alvin tidak bisa melihatnya. Beruntung setelah itu ia lekas bersuara. "Aku aja. Sekalian jalan-jalan. Bareng yang lain juga. Kamu pasti pengen ketemu temen-temen kamu, kan?" Balasnya tak kalah girang dari Alvin.

Alvin tersenyum simpul. Ia menyandarkan kepalanya pada lengannya yang ditekuk. "Yang penting ada kamu." ujarnya tulus.

Tidak ada satu pun dari mereka yang tidak menginginkan kehadiran masing-masing. Matinya komunikasi mereka beberapa waktu ini sungguh membuat keduanya tersiksa.

Shilla diam, tidak tahu harus memberi respon seperti apa. Namun, ia tidak bisa berbohong kalau hatinya senang mendengar ucapan Alvin yang terakhir. Ia senang mengetahui kehadirannya dinantikan.

"Sayang?"

Alvin tidak mengerti kalau Shilla harus berkali-kali menarik napas untuk menenangkan detak jantungnya tiap kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan kesayangan. Alvin tidak tahu perbuatannya membuat Shilla harus berperang batin, antara merasa senang dan kesal.

"Hm?" Ia sudah tidak sanggup lagi berkata-kata.

"Alvin udah jahat. Maafin ya?"

Seketika itu pula Shilla ingat alasannya menghubungi Alvin bahkan hendak menemui pemuda itu nanti. Hatinya kembali terasa berat setelah sebelumnya sempat terbang ringan melewati atmosfir.

"Jangan diemin Alvin lagi ya?"

Shilla memandang seprei kasurnya dengan tatapan merana. Apa yang harus ia lakukan?

***


Jadi pada bertangisan...

Maap ya telat, aing nonton bad guys seharian terus galau prosecutor Noh nya metong. Cius sedih aq😭 Dari awal udah kasian liat dia naif sekali eh taunya dibunuh juga *malah ngomongin drama orang*

Kirain ngetik bakal bentar taunya lama, mana tokoh lelakinya lagi laqnat semua😂

Btw babang jongin ultah:')💕 

 😳🙇

1 komentar:

  1. terimakasih atas informasinya dan jangan lupa juga kunjungi kami di http://rahma-store.com/black-walet-facial-soap/

    BalasHapus