Percayalah ini bikinnya susah, gadeng ga susah2 amat juga. Cuma kali ini gue beneran mikir, ga kayak sebelumnyaπππ Good luck!!
***
Sehari sebelum promnight,
kelompok paduan suara Parfait melakukan gladik resik sebelum
benar-benar tampil esok hari. Itu artinya Agni mau tidak mau
mempersiapkan diri untuk menghadapi Cakka karena mereka sama-sama bagian
dari pemain band pengiring.
Bukan dirinya tengah
merasa percaya diri kalau Cakka akan mengajaknya bicara. Hanya saja,
kemungkinan mereka tidak harus saling berbicara sangat kecil. Setidaknya
mereka butuh komunikasi untuk koordinasi tempo, kunci nada, dan
sejenisnya yang berkaitan dengan musik.
Dari awal Agni
menginginkan dirinya dan Cakka bersikap biasa saja. Dengan begitu,
keraguan di hatinya bisa sedikit dikurangi. Ia ingin menganggap Cakka
seperti teman laki-lakinya yang lain. Ia ingin keluar dari obsesinya
sendiri akan pemuda itu.
Ia bisa saja memberikan
klarifikasi pada Cakka tentang siapa dirinya. Tapi setelah peristiwa di
Bogor beberapa waktu lalu, ia jadi berpikir ulang. Apa yang mau dirinya
kejar dengan mengaku siapa dirinya? Apa yang ia harapkan kalau Cakka
tahu dirinya adalah Nia yang asli?
Memang suatu hal yang
menyenangkan bisa berkumpul kembali dengan teman masa kecil. Tapi kalau
hal itu dijadikan jaminan untuk menentukan perasaan, esensi perasaan
itu sendiri akan hilang.
Bukankah orang-orang
bilang cinta tidak pernah memilih? Lalu apa bagusnya kalau kita memilih
dari awal sebelum perasaan itu ada? Orang-orang juga bilang cinta tidak
memiliki alasan. Lalu untuk apa dicintai hanya karena dirinya punya
sejarah khusus?
Hal ini bukan berlaku
untuk Cakka saja, melainkan dirinya sendiri. Ia juga harus memikirkan
ketulusan perasaannya. Kisah Nia dan Aga hanyalah kisah lama. Durasinya
juga tidak begitu panjang. Mereka mungkin merasa rindu. Akan tetapi,
mereka telah melewati terlalu banyak waktu dalam kondisi terpisah.
Selama itu, ada banyak perubahan yang bisa terjadi.
Agni memang tetaplah
Nia. Cakka pun tetaplah Aga. Namun, apa mereka berdua masih Nia dan Aga
yang sama bagi mereka berdua? Rasanya tidak. Buktinya, bagaimana Agni
dan Nia saja berbeda.
Nia dulu gadis yang sama
tangguhnya seperti Agni. Namun Nia jauh lebih feminim, Oik tentu lebih
mirip daripada dirinya sendiri. Nia suka memakai dress ketimbang
celana. Nia senang melihat benda-benda lucu ketika diajak ibu panti
jalan-jalan ke toserba. Nia mengisi sisi kosong tempat tidurnya dengan
boneka, baik yang dibeli sendiri maupun didapat dari sumbangan sosial.
Seiring berlalunya
waktu, sifat tangguh Nia menjadi lebih mendominasi. Ia menguasai bela
diri. Ia belajar memperbaiki sesuatu yang biasanya butuh tenaga
laki-laki. Ia tidak mudah menangis karena sebal atau marah apalagi
mengambil hati ucapan orang lain. Ia selalu berbicara apa adanya dan
tidak bertele-tele. Celana selalu menjadi pilihan pertamanya dalam
berpakaian.
Ia membentuk dirinya
menjadi seseorang yang tidak tampak mudah bagi orang lain. Ia
menciptakan benteng kokoh agar dirinya tetap bertahan dari apapun yang
mengganggu. Bukan karena dirinya merasa sebatang kara, hanya saja
wanita-wanita heroik yang ia tonton di film-film tampak lebih keren di
matanya. Kuat hanya dengan diri sendiri rasanya lebih sederhana dan
tidak semerepotkan ketika harus menunggu uluran tangan orang lain untuk
bangkit.
Agni dan Nia nyaris 180
derajat berbeda sementara Cakka hampir tidak berubah sama sekali. Ia
tetap melihat diri Aga dalam Cakka. Yang berbeda hanyalah kesukaan
pemuda itu pada hujan yang dulunya adalah fenomena favoritnya namun kini
selalu membawa aura negatif dalam hatinya. Apa Cakka masih akan
menerima 'Nia'-nya?
"Ni?"
Tepat ketika kaki Agni
baru saja menginjak bagian luar gedung setelah gladi selesai, Cakka
langsung menahannya. Ia tidak menduga ini sebelumnya namun tidak pula
membuatnya kaget.
Agni berbalik badan dan
menoleh pada Cakka dengan tetap menjaga gelagatnya agar tampak santai.
"Kenapa?" Tanyanya langsung. Ia mulai melangkahkan kembali kakinya
ketika Cakka sudah berdiri sejajar. Ini cukup berguna agar keduanya
tidak begitu tegang.
Cakka tahu-tahu
menyodorkan kalung di tangannya pada Agni. Kalung yang tak lain adalah
milik Agni sendiri, yang gadis itu buang begitu saja waktu itu.
Agni bergeming
memandangi kalungnya sebentar lalu perlahan menjulurkan tangan mengambil
benda tersebut. Ia kemudian mendesah pelan. "Rajin amat lo mungutin
'sampah'?" Komentarnya antara serius dan meledek.
"Kenapa jadi sampah?" Cakka justru memandang Agni penuh rasa ingin tahu.
Agni, yang tidak
menyangka Cakka menanggapi benar-benar ucapannya, merasa sedikit kaget
namun kemudian mengedikkan bahu. "Ini udah gue buang. Sampah itu barang
yang dibuang. Jadi secara teori kalung ini juga sampah." Terangnya.
Melihat Cakka yang terdiam ia pun spontan menambahkan. "Lagian ini cuma
replika.." lirihnya.
"Replika?" Sahut Cakka cepat, terdengar jauh lebih penasaran dibanding sebelumnya.
Seketika Agni tersadar
sudah keceplosan. Ia tersenyum tipis mengisyaratkan Cakka agar tidak
perlu memikirkan ucapannya. Ia lantas mengambil ancang-ancang untuk
berpamitan. "Makasih, btw. Lo mau balikin ini aja, kan? Kalo gitu gue jalan duluan ya!"
Tidak sampai 2 langkah,
lengan Agni ditahan dan membuatnya harus berhenti. Ia mengikuti tangan
yang menariknya dan menemukan Cakka memandangnya dengan tatapan yang
sudah berbeda. Tatapan yang sama ketika ia pertama kali bertemu pemuda
itu dulu. Tatapan takut ditinggalkan.
Agni sesaat merasa de javu.
Dadanya terasa tidak nyaman. Ia sama sekali tidak ingin melihat Cakka
kembali memandangnya seperti itu. Kenapa pemuda itu kelihatan sedih?
Bukannya harusnya Cakka senang sudah kembali bersama 'Nia'?
Pandangan Agni lantas
berubah, juga persis seperti bagaimana ia melihat pemuda di hadapannya
dulu. Tatapan yang mengisyaratkan kalau Cakka tidak sendirian. Kalau
dirinya bersedia menjadi tempat berkeluh kesah.
"Kenapa?" Tanyanya masih dengan cara bicara yang sama. Hanya saja, tatapannya membuat ucapannya terdengar lebih tulus.
"Jangan tinggalin gue,
Ni.." Bisik Cakka. Ketakutan jelas tercetak di raut wajahnya. Ia tidak
tahu apa yang terjadi padanya. Namun, hatinya mendesak agar ia
memastikan Agni selalu ada di dekatnya. Tangannya meremas genggamannya
pada lengan gadis itu.
Agni bergeming menilik
bagian wajah Cakka satu per satu. Ia benar-benar kembali bersama Aganya.
Aganya tumbuh dengan sangat baik. Baik pada pertemuan pertama dan reuni
saat ini, Aga masih mengatakan hal yang sama. Aga masih memintanya
untuk tidak meninggalkannya.
Hatinya menghangat meskipun hanya dirinya yang tahu jati diri masing-masing.
Agni tersenyum lebar
hingga matanya menyipit. Ia mengepal tangan dan melayangkan tinju ringan
pada dada Cakka. "Emang gue mau mati?" Dumelnya sekalian bercanda. Ia
tidak lagi peduli Cakka harus tahu atau tidak siapa dirinya. Ia juga
tidak peduli kalau mereka teman masa kecil. Jika bisa membuat pemuda itu
merasa tenang, itu sudah cukup.
Entah karena dirinya
kurang teliti, namun untuk pertama kalinya sejak mereka tidak bertemu,
ia bisa melihat tawa lepas dari mulut Cakka. Ia tidak menyangka kalau
hatinya bahagia melihat itu.
"Jangan sampe gue minta tebengan balik nih!"
"Serius mau?"
***
Tiba waktunya pelaksanaan prom night.
Agni, Shilla, Via, dan Ify memilih melakukan persiapan bersama-sama di
rumah Via berhubung yang empunya sedang malas untuk beranjak dari
kediaman setelah tadi pagi mengetahui Fira hendak mengajukan surat
cerai.
Sebenarnya Via sudah
dapat menduga suatu hari apa yang ia dengar saat ini akan terjadi. Ia
memang tidak terkejut. Akan tetapi, perpisahan kedua orang tua tetap
saja kurang pantas dijadikan alasan untuk bersuka cita.
Kalau ada yang bertanya
bagaimana perasaannya saat ini setelah mengetahui Fira akan mengajukan
surat cerai, jawabannya hanya satu, Via lega. Ia tidak merasa begitu
senang, tidak pula sedih.
Ia hanya lega karena
Fira sudah menemukan cara untuk membebaskan diri dari kesakitan. Ia juga
lega pertikaian tak kasat mata dalam keluarganya akan berakhir.
Berbicara soal prom night, tahun ini sekolahnya memilih tema garden party. Prom night kali ini juga tidak mengutamakan sesi dansa, seperti yang sudah-sudah. Para pengurus menginginkan acaranya lebih bersifat friendly dan kekeluargaan, bukan memberi kesan seperti lapak cari pacar. Sekalian menghemat budget dengan mengadakan acara outdoor meskipun mereka tidak sedang kekurangan dana.
Sementara untuk pakaian
yang akan dikenakan, keempat sekawan tidak memiliki tema khusus.
Sepulang sekolah mereka pergi bersama untuk mencari baju dan memilih
yang mereka suka.
Agni tidak ingin ribet dan memutuskan mengenakan mini dress sweater lengan panjang warna krem.
Shilla memilih satin mini dress tanpa lengan berwarna hitam dan coklat muda keabu-abuan.
Ify, atas hasutan ketiga temannya yang baik hati, memilih coral sabrina mini dress ditambah dengan choker warna senada, yang siapa pun melihatnya akan yakin kalau Rio tidak akan berkenan minggat dari dekat gadis itu selama acara.
Sementara Via berbeda sendiri karena terpaksa memakai long dress yang diberikan Fira walau ia merasa gaunnya sedikit berlebihan untuk acara sekelas prom night sekolah.
Ibunya beralasan kalau nanti ia harus menghadiri acara formal khusus.
Artinya, ia tidak akan mengikuti rangkaian acara sekolahnya hingga
selesai.
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang akan mengantar mereka?
Untungnya, masing-masing
dari mereka sudah janjian dijemput oleh 'pasangan' masing-masing. Ify
sudah pasti dengan Rio. Via pun pasti dengan Gabriel. Agni tak
diduga-duga justru akan pergi bersama Cakka.
Lalu, Shilla? Gadis itu
punya pasangan yang rela direpotkan kok, Chris. Chris tidak keberatan
sama sekali. Pemuda itu juga mengaku ingin bernostalgia pada sekolahnya.
Kebetulan senior pun diundang, niatnya agar mereka tidak asing dengan
para junior. Lagian, ini Chris loh.
Pemuda yang paling
pertama tiba adalah Chris. Pemuda itu menyempatkan diri untuk membujuk
Agni agar mau berangkat bersamanya namun lekas digagalkan Shilla dan
Agni sendiri. Tak lama kemudian, Gabriel datang. Namun, pemuda itu dan
Via tak langsung berangkat karena menunggu Ify dan Agni. Tidak sopan
rasanya tuan rumah kabur lebih dulu.
Rio datang dan sempat
tidak berkutik beberapa saat melihat tampilan Ify. Ify-nya cantik luar
biasa dan...seksi. Ia seketika menatap tajam Via dan Agni yang langsung
pura-pura tidak melihat ke arahnya. Ketiga bodyguard Ify-nya yang pasti sudah meracuni kepala gadis itu untuk mengenakan apa yang kini menempel pada tubuhnya.
Cakka kemudian datang dan mereka semua akhirnya dapat beranjak dari rumah Via menuju lokasi prom night.
Rio melajukan mobilnya
sedikit diburu agar mereka justru tidak perlu tergesa-gesa memasuki area
acara. Maksud terselubungnya yang lain adalah agar ia bisa diam sejenak
di dalam mobil bersama Ify-nya.
Ia tidak akan berhenti
menambahkan sebutan kepunyaan setelah nama sang kekasih khusus untuk
malam ini. Gadisnya benar-benar mempesona hingga membuatnya gemas
sendiri.
"Kita gak masuk?" Tanya
Ify bingung karena Rio tidak ada ancang-ancang untuk keluar dari mobil. Pemuda itu justru duduk bersandar seraya bersidekap menghadap ke
arahnya. Mata pemuda itu pun tidak pernah lari dari wajahnya.
"Pengen berduaan sama cewek gue dulu bentar," Gumam Rio santai.
Ify mendesis geli namun
kemudian melengkungkan senyum cerah. Walau kedengarannya jahat, ia
terpaksa harus menyetujui kalau Dea memang sumber masalah dalam
hubungannya. Terbukti setelah gadis itu tidak lagi 'ada' di antara
mereka, hubungannya dengan Rio benar-benar lancar seperti aliran air.
Memikirkan Dea sesaat
mengingatkan Ify pada luka Rio. Walaupun sudah berhari-hari berlalu, ia
selalu merasa khawatir bahkan menanyakannya setiap waktu. "Perutnya
beneran udah gapapa?" Tanyanya sedikit khawatir.
Rio hanya berdehem
pelan, enggan mengusik aktivitasnya memandangi wajah Ify. Lingkaran
bunga di kepala Ify-nya membuat gadis itu layaknya peri sekarang.
Hatinya teremas dengan menyenangkan mengetahui gadis itu masih mengingat
permintaan kecilnya dulu.
"Kalo dibawa salto udah
ga sakit lagi?" Ify masih belum puas bertanya. Sayangnya Rio kembali
hanya membalas dengan deheman yang seketika membuatnya geram.
"Ih, Rio ngomong dong jangan hm-hm aja!" Rengek Ify. Sebenarnya karena dirinya tidak tahan ditatap begitu intens oleh Rio.
Rio tersenyum tipis.
Ify-nya sudah tidak lagi ragu-ragu mengucapkan sesuatu apalagi merengek
manja padanya. Ia tidak tahan untuk tidak menyentuh paras yang menjadi
karya terindah Tuhan baginya. Ia mengelus sebelah wajah Ify dengan ibu
jarinya dengan tidak sama sekali mengalihkan pandangan.
"Kamu..cantik.." Lirih Rio penuh perasaan.
Udara yang menyuplai
mereka hanyalah AC mobil yang masih menyala. Namun entah mengapa Ify
merasakan sekilas hembusan angin melewati wajahnya. Rio memang bukan
pertama kali memujinya. Tapi tetap saja kedengarannya selalu istimewa.
Apalagi, pemuda itu juga tidak selalu ber-aku-kamu dengannya. Dadanya
rasanya ingin meledak karena senang.
"Lipstik kamu nempel ga?" Tanya Rio lagi tanpa menunggu Ify memberi respon ucapannya sebelumnya.
Ify dengan polosnya
menyentuhkan pelan punggung tangannya ke bibir, mengecek apakah
lipstiknya sudah benar-benar kering atau belum. Ia lalu menggelengkan
kepala pada Rio setelah melihat tidak ada noda yang tertinggal.
Rio mengerling sekalian menatap Ify gemas. "Ngeceknya langsung ke aku aja, Fy!" Godanya.
Seperti yang sudah
diperkirakan, Ify pasti tidak menangkap maksud tersembunyi dalam
ucapannya. Ify-nya berkedip cepat menatapnya dengan bingung. Ia lantas
meraih wajah Ify-nya dengan kedua tangan dan mendekatkan wajah pada
gadis itu. Kedipan mata Ify bahkan sampai mendadak berhenti.
Tatapan Rio kini berubah
dalam meskipun sorot jenakanya sekilas masih tampak. "Kalo mau ciuman,
kamu ngapain, Fy?" Tanyanya seperti memberi aba-aba tersirat.
Ify tidak menjawab namun
perlahan menutup mata dengan patuhnya. Senyum di bibir Rio kembali
mengembang. Ia mulai bergerak maju seraya memiringkan kepalanya. Sedikit
lagi kedua bagian itu bertemu, Rio berhenti dan kembali menatap Ify.
"Ciuman di mobil kedengarannya mesum ga sih, Fy?"
Ify tak ayal membuka
mata dan mendesis sebal. Ia sudah dengan lugunya mengikuti alur pemuda
itu namun ujung-ujungnya tidak jadi dilaksanakan. Tapi kalau
dipikir-pikir, ia tidak tahu harus kesal karena dikerjai atau Rio tidak
jadi menciumnya.
Belum sempat Ify
menuturkan sumpah-serapah, Rio tiba-tiba justru mewujudkan niatnya pada
gadis itu. Ia mencium dahi Ify-nya sedikit lama. Hal itu layaknya
hipnotis bagi Ify yang membuat gadis itu seketika lupa akan amarah
ringannya. Ia juga spontan kembali menutup mata.
Setelahnya Rio kembali
menatap Ify dan tersenyum hingga barisan giginya terlihat. Ia kemudian
akhirnya mengajak Ify keluar dan masuk ke tempat acara. Ia meraih tangan
Ify-nya untuk ia genggam.
Baru beberapa langkah berjalan, Rio tiba-tiba membisikkan sesuatu pada Ify. "I love you.."
Ify menyahut dengan tawa kecil sambil melepas tautan tangan mereka dan berganti mengalungkan tangannya di lengan Rio. "Too!" Cicitnya disambut dengan kikikan mereka berdua.
Sementara itu di mobil
yang lain, Chris sibuk menggerutu pada Shilla karena lagi-lagi
menggagalkan pendekatannya dengan Agni. "Lo masih tega aja misahin gue
sama Agni!" Rajuknya.
Shilla melengos geli. "Kapan nyatunya emang?" Cemoohnya.
Chris tidak tersinggung. Pemuda itu justru menyengir lebar. "Oh ya ya.."
Setelahnya Shilla
mendadak terdiam. Ia bergeming memperhatikan jalanan yang mereka lewati.
Chris menyadari itu lantas berusaha mengucap kata-kata 'penyemangat'.
"Tenang. Malam ini semua cowok pasti ganteng-ganteng. Lo gaet aja atu."
Shilla menoleh lalu memasang tampang berpikir. "Yang setia kayak lo tapi bukan lo ada yang lo kenal, Kak?"
Chris lantas bersungut-sungut menjawab. "Apa salah gue, hei?! Kok gue dijadiin pengecualian?"
Shilla terkekeh pelan
telah berhasil menggoda Chris. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau
hubungan mereka bisa sampai sedekat sekarang. Ia seperti merasa Chris
betul-betul saudaranya sendiri.
Di mobil Cakka, tidak
ada yang spesial yang terjadi antara pemuda itu dan Agni. Hubungan di
antara mereka benar-benar sudah kembali seperti semula. Hanya saja
mereka sama-sama enggan mengungkit lagi tentang kejadian di Bogor.
Sampai akhirnya Cakka
menanyakan rencana Agni selepas ujian sekolah berakhir. Agni hanya
menjawab gadis itu sudah berniat mengunjungi suatu tempat namun memilih
tidak memberitahu Cakka ke mana tepatnya ia akan pergi. Cakka penasaran
namun tidak mau memaksa. Meskipun ia pasti akan mencari tahu lewat orang
lain. Siapa lagi kalau bukan Kiki.
Terakhir di dalam mobil
Gabriel dan Via, mereka juga kelihatan santai-santai saja. Hanya mungkin
Gabriel menyadari kalau Via sedikit kalem dan ia tahu telah terjadi
sesuatu pada gadis itu.
"Kenapa, Vi?" Tanyanya pengertian.
Mungkin karena Via sudah
terlalu nyaman bersama Gabriel hingga gadis itu tidak berpikir panjang
untuk menjawab dengan jujur. "Mama mau minta cerai," Gumamnya sambil
memalingkan wajah ke arah Gabriel.
Gabriel memperhatikan
Via sebentar memastikan gelagat gadis itu saat berbicara. Yang bisa ia
pastikan, Via tidak sedih sama sekali. "Lo gak sedih. Jadi kenapa?"
Via menjentik jari karena Gabriel baru saja menyebut apa yang menjadi sumber kegundahannya. "Nah! Gue ga sedih. Salah ga, sih?"
Gabriel memberikan
tatapan seolah paham pada Via. Ia menggelengkan kepala berusaha mengusir
keraguan gadis di sampingnya. "Wajar-wajar aja. Karena kenyataannya lo
ga 'kehilangan' siapa-siapa. Lo sama nyokap lo bakal melepas yang selama
ini ga pernah 'ada'."
Ucapan Gabriel menjawab
perasaan bertanya dalam hatinya. Ia khawatir karena dirinya yang tidak
sedih sama sekali adalah perasaan yang salah. Akan tetapi, ia sudah tahu
alasan yang tepat sekarang.
***
Suasana yang tadi tidak
begitu ramai tiba-tiba berubah semarak karena Rio, pemuda yang
dielu-elukan hampir satu sekolahan naik ke atas panggung membawa serta
salah satu teman banyolnya alias Gabriel. Siapa yang tidak akan antusias
menyaksikan 2 pemuda tampan di sekolah mereka tampil?
Keempat gadis sekawan
hanya duduk dengan tenang di meja yang mereka tempati. Sementara Chris
duduk di tempat lain bersama dengan teman-teman satu angkatannya yang
hadir. Beruntung mereka sempat kebagian tempat dan tidak harus berdiri
hingga acara selesai.
Agni dan Shilla hanya
melengos malas melihat tingkah Rio dan Gabriel. "Lantaran lagi
sarangek-sarangek-nya, emm?" Celetuk Shilla pada Agni. Sedikit sensi
menyaksikan hal-hal berbau romantis berhubung hubungannya baru saja
resmi kandas. Agni membenarkan meskipun dengan gelengan kepala.
Via tidak begitu
menanggapi, hanya menyungging senyum tipis sambil memperhatikan apa yang
Gabriel hendak lakukan di atas panggung. Sementara Ify hanya tersenyum
malu-malu dan memilih ikut fokus melihat Rio.
"Malem semua! Ga seru
kan ya kalo gue ga nyanyi? Katanya penyanyi, ya nggak?" Sapa Rio dengan
senyum ramah. Penonton di depannya bersorak setuju.
"Gue sama Alvin pasti
udah pada bosen. Jadi sekarang gue bawa temen duet baru." Ujar Rio lagi
mengisyaratkan Gabriel untuk memperkenalkan diri. Walaupun sebenarnya
warga sekolah mereka tidak sebegitu asing dengan mereka.
"Halo, I'm Gab and I'm not single."
Beberapa dari penonton
mendesah kecewa namun tidak menurunkan antusiasme mereka menyaksikan Rio
dan Gabriel. Ify dan kawan-kawan juga turut mendesah kecewa. Kecewa
karena pemuda memalukan di depan sana adalah teman mereka.
Ify menggelengkan kepala seraya berdecak tak habis pikir. Agni langsung berdiri memilih mengambil desert yang tersedia. Shilla kembali melengos bosan sementara Via hanya tersenyum geli.
"Gue persembahkan khususnya buat temen cantik gue yang lagi lesu hari ini," Kali ini Gabriel dengan kerlingan mata jahil.
Musik menyala diawali
dengan suara petikan gitar akustik yang membuat suasana menjadi lebih
santai. Orang-orang yang berjajar dan berbaris di depan panggung sontak
menggerakkan tangan ke kanan-kiri mengikuti tempo lagu. Gerekan mereka
serentak walau tanpa ada aba-aba khusus sebelumnya.
"And it's the simple things you do..I just can't get enough of you.." Lagu diawali dengan suara lembut namun maskulin milik Rio. Mata pemuda itu nanar ke arah Ify.
Ify tersenyum malu
dengan wajah tersipu. Shilla dan Agni yang sudah kembali lagi-lagi harus
melengos dalam hati. Sudah mereka duga akan terjadi adegan picisan
seperti saat ini. Baik dalam bayangan maupun kenyataan, keduanya
sama-sama menggelikan.
"It's that perfume that you're wearing and the way you do your hair that I love you so much.." Rio tampak mengakhiri nyanyiannya dengan kedipan mata dan senyum menggoda.
Shilla sampai kesulitan
menelan anggur di mulutnya karena Rio. Sementara Agni mengerang pasrah.
"Masih ada biang kerok yang satu lagi, btw." Katanya seolah memperingati Shilla agar tidak 'senang' dulu.
Gabriel mengangkat mic nya dan mulai membuka mulut untuk menyambut gilirannya. "And it's the simple things you say..and how in bed we play.."
Agni seketika berdecak heboh. "Hm, bukan main. How in bed we play, Bruh!" Celetuknya antara mencela Gabriel dan meledek Via.
"Lo berdua para wanita
tak terpilih diem aja," Canda Via seraya tertawa kecil. Agni dan Shilla
lantas saling berpandangan nelangsa. Mereka tidak bisa membantah sama
sekali.
"It's the way you kiss my cheek when you think that I'm asleep..I love it so much.."
Alunan lagu yang
didendangkan Gabriel dan Rio tidak begitu lama. Mereka memang tidak
berniat tampil berlama-lama. Merasa tidak enak hati pada yang lain.
Durasi mereka di panggung bahkan tidak sampai 3 menit.
Setelah selesai, Rio dan
Gabriel lekas turun dari atas panggung dan melangkahkan kaki dengan
pasti menuju meja Ify dan kawan-kawan, menghampiri gadis mana lagu
mereka dialamatkan. Via dan Gabriel kemudian mengucap pamit karena
keduanya harus menghadiri acara lain.
Belum hilang rasa gerah
Agni dan Shilla karena 2 pemuda yang sedang kasmaran yang kini
menyambangi kediaman mereka, seseorang yang baru saja naik ke atas
panggung kembali menarik perhatian mereka, tepatnya seluruh pasang mata
di sekitar mereka.
"Hai semuanya!
Kedatangan gue ganggu nggak?" Sapa tamu tak disangka-sangka tersebut.
Pemuda yang dulunya juga siswa Parfait. Pemuda yang kini membuat suasana
sama riuhnya ketika Rio tampil di depan khalayak. Pemuda yang diam-diam
juga membuat dada Shilla mendadak ramai. Pemuda teman duet asli dari
Rio.
"Alvin! Alvin!" Penonton lantas mengelu-elukan nama sang penampil. Alvin!
"Nah, mampus lo, Shill!" Umpat Agni pelan tanpa menoleh pada Shilla.
Sayangnya, Shilla tidak
diizinkan menderita seorang diri ketika Alvin mengajak serta seorang
temannya yang lain. Siapa lagi kalau bukan Cakka. Shilla lantas menoleh
pada Agni dengan tatapan datar. "Mampus lo, Ni." Ujarnya mengembalikan
umpatan Agni sebelumnya.
Agni cepat-cepat memalingkan pandangannya pada Shilla lalu sepiring desert
yang tadi diambilnya. Ia mendekatkan piring tersebut ke tengah-tengah
antara dirinya dan Shilla. "Makan, Shill, makan.." Ajaknya yang tidak
tahu lagi harus berbuat apa.
Jangan bilang Alvin dan Cakka terinspirasi dari 2 teman mereka dan akan melakukan hal yang sama? Ah, gak mungkinlah, ya?
"Sayang banget punya temen jago maen gitar ga dimanfaatin. Jadi kali ini kita mau akustikan dibantu sama Cakka." Terang Alvin.
Cakka sudah duduk dengan nyaman di kursi bersama gitar miliknya. "Buat siapa aja yang ngerasa, mohon didengarkan baik-baik."
Shilla dengan sengaja
batuk seraya mendekatkan diri pada Agni. "Uhuk—buat lo, Ni." Ledeknya.
Agni tak menggubris dan memilih fokus menikmati pudding di depannya.
Alvin mengambil giliran pertama bernyanyi. Reaksi penonton persis sama seperti ketika Rio dan Gabriel tampil sebelumnya.
"And I'm left with distance on my mind
Was it me that caused you to just pack up and leave?
When you did you took everything
I still hate seeing you without me.."
Agni akhirnya
berkesempatan membalas ucapan Shilla. Ia mengembalikannya persis sama
dengan bagaimana Shilla melakukannya sebelumnya. "Uhuk—buat lo, Shill."
Alvin dan Cakka kemudian
bernyanyi bersama. Membuat Shilla dan Agni makin ingin mengubur diri
mereka sendiri. Mereka tidak ingin percaya diri kalau lagu yang
berkumandang saat ini dipersembahkan untuk mereka. Namun, menyangkal pun
terasa tidak masuk akal.
"I'm better with you, you better with me
I still miss all our nights
Even fights were all better with you, you better with me
There is nobody else who can love me the way that you do, better than you
I still miss all our days and the way you would carry me through
I'll carry you too
There is nobody else who can love you the way that I do
If there's a way for us to learn to forgive
There's nothing that I wouldn't give
There's still a space that I have buried away
It's deep in my heart It's always your place
I'm better with you, You better with me"
***
Aku nunggu kamu di tempat kita ngerayain Anniv. Aku gak maksa kamu. Cuma aku ga bisa bohong kalo aku berharap kamu dateng. Aku janji ini yang terakhir kali, kalo kamu terganggu.
Napas Shilla tidak pernah teratur sejak ia mendapat pesan dari Alvin yang mengajaknya bertemu. Ia merasa belum begitu siap walau sudah menyelesaikan perkara dengan pemuda itu. Meskipun mungkin bagi Alvin mereka belum benar-benar selesai.
Shilla menjentik-jentik jarinya karena gelisah. Ia memandang kosong pemandangan yang ia lewati dari jendela mobil Chris. Menjelang akhir penampilan Alvin tadi, ia langsung meminta tolong pada Chris untuk mengantarnya pulang. Chris yang tahu ia sedang risau tentu mengiyakan tanpa banyak bertanya. Meskipun pemuda itu tetap menyempatkan diri untuk tebar pesona pada Agni.
"Yakin gamau ketemu?" Tanya Chris yang tak disangka tahu tentang ajakan Alvin.
Gerak tubuh Shilla sontak terhenti. Ia tampak kaku sesaat dan perlahan menolehkan kepala pada Chris dengan pandangan bertanya.
Chris hanya melihat ke
arah Shilla sekilas lalu kembali memperhatikan jalan raya di depannya. "Alvin yang minta tolong gue buat nganterin lo pergi dan pulang,
sebenernya. Selain karena gue emang pengen ketemu Agni, hehehe.."
Balasnya diakhiri cengiran.
Shilla menghela napas
berat. Ia tidak tahu hatinya menginginkan apa saat ini. "Gue mesti
gimana, Kak?" lirihnya dengan pandangan menerawang.
"Lo udah move on?" Chris balas bertanya.
Shilla menyahut sambil
berdecak kesal. "Yakali!" Sungutnya. Tidak mungkin secepat ini ia sudah
melupakan Alvin. Tapi ia juga bingung kalau harus memaafkan sang mantan.
"Lo beneran nanya gue?"
Chris bertanya memastikan kalau Shilla serius ingin mendengar
pendapatnya. Karena ia tidak yakin jawabannya dibutuhkan gadis itu.
"Please deh,
Kak!" Shilla kembali bersungut kesal. Pemuda itu sendiri melihat
seberapa kacau dirinya saat ini. Sekarang malah coba main tarik ulur.
Chris diam seraya
menghela napas pelan. "Gue itu terlalu sederhana kalo soal perasaan,
Shill. Sesalah apapun Lala dulu, selagi hati gue masih buat dia, gue
bakal stay dan narik dia balik ke gue. Pisah bikin sedih.
Sama-sama bikin gue bahagia. Kalo masih ada kesempatan buat sama-sama,
ngapain gue ribet-ribet pergi?"
Selesai berbicara Chris
menoleh pada Shilla lalu tersenyum lembut. "Itu gue ya. Gue ga lagi
ngehasut lo buat nerima atau enggak. Gue cuma sharing aja gue tipe orang yang gimana."
Shilla menggigit bibirnya bimbang. Apa yang harus ia pilih sekarang?
***
Sudah satu jam lebih
Alvin terduduk diam di anak tangga depan pintu utama rumah ayahnya di
Jakarta, rumah yang juga menjadi tempat dirinya merayakan hari jadi
bersama Shilla, juga menjadi tempat janji bertemu mereka yang terakhir
kali, mungkin.
Ia sama sekali tidak
bisa berekspektasi apa pun. Sudah satu jam lebih seperti ini sebenarnya
sudah menjadi tanda yang sangat jelas untuknya kalau ia tidak ada
harapan. Namun hatinya masih belum bisa menerima kenyataan kalau ia dan
Shilla benar-benar selesai.
Alvin menunduk
menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengan yang bersandar di atas
lututnya. Kedua tangannya saling berhimpitan dan menepuk-nepuk pelan
kepalanya, seolah-olah hal itu bisa membantunya agar tetap tenang.
"Ehm.."
Alvin merasa seperti
bermimpi dan tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan. Ia
mendengar suara Shilla. Ia cepat-cepat mengangkat wajah dan benar-benar
mendapati sosok gadis itu di depannya.
Ia tercenung dan tidak
bisa berkata apa-apa. Ia hanya terus saja menatap Shilla tajam.
Seolah-olah dirinya sedang memastikan kalau di depannya adalah orang
yang nyata, bukan wujud imaginasinya seperti beberapa hari terakhir.
"Shi—Shilla?" Lirihnya
terbata. Gemuruh di dadanya sedemikian hebat. Semua kata berebut ingin
diucapkan hingga ia sendiri bingung harus memilih yang mana.
Shilla berdehem kembali.
Kalau boleh jujur, ia sebenarnya juga sama paniknya dengan Alvin.
Meskipun, ia lebih berhasil mengendalikan diri ketimbang pemuda itu.
Suhu malam hari ini cukup rendah yang membuat Shilla spontan mengusap kedua lengannya yang terbuka. "Vin, dingin." Ungkapnya.
Gue bukan minta peluk, tolong.
Ucapan Shilla barusan
hanyalah sekedar untuk memperingatkan Alvin agar tidak berdiam terlalu
lama dan segera berbicara ke inti permasalahan saja. Udara di luar
dingin sehingga lebih cepat selesai tentu lebih baik.
Untung refleks Alvin
masih sangat-sangat baik walau masih diliputi rasa kalut. Ia berdiri
kemudian tanpa kata-kata melingkupi tubuh Shilla dengan jas nya yang
sudah sejak tadi ia lepas.
Shilla hanya diam
menerima tanpa menyuarakan protes. Matanya juga tak pernah berhenti
memperhatikan Alvin. Menunggu pemuda itu benar-benar berbicara.
Mata Alvin kemudian
menangkap bayangan tangan Shilla. Ada hasrat di dalam hatinya untuk
menggenggam tapi ia takut ia tidak berhak.
Shilla menyadari kemana
arah tatapan mata Alvin. Ia mendesah lelah dan perlahan mengangkat serta
mendekatkan tangannya ke arah Alvin. Memberi isyarat kalau Alvin
diperbolehkan menyentuhnya.
Alvin mengangkat kepala
menatap Shilla tidak percaya. Ia memastikan kalau gadis itu serius
mengizinkannya. Ia pun akhirnya menyambut uluran Shilla dengan tangan
terbuka. Ia sekali lagi merunduk memperhatikan tangan Shilla yang sudah
digenggamnya. Akhirnya ia bisa meraih tangan ini lagi.
"I miss this sooo much...I miss you sooo much...just so..much." Alvin
berkata pelan. Ia ingin meneriakkannya sekuat tenaga agar semua orang
tahu, agar Shilla percaya, tapi ia sudah terlalu lelah.
Shilla mengatup mulut
menahan emosi dalam dadanya yang membuncah. Ia berusaha mengumpulkan
kekuatan agar tetap bisa berbicara dengan benar. "Kenapa aku harus
nemuin kamu? Apa yang bikin kamu pantes ditemuin, lagi?"
Alvin memandang Shilla
yang nanar menatapnya. Ia tidak berharap banyak namun hatinya sedikit
merasa senang karena ia melihat ada harapan untuknya di mata Shilla.
Gadis itu tidak sedang menghakimi atau mengejeknya. Gadis itu
benar-benar mencari sebuah keyakinan darinya.
"Aku gak tau aku pantes jadiin ini excuse atau enggak. Tapi Febby itu adik aku, Shill. Adik kandung aku yang ilang." Jujur Alvin.
Saat kecil dulu, Alvin
memiliki rasa iri yang begitu besar pada saudari kembarnya. Di matanya,
perhatian kedua orang tuanya lebih besar kepada Vina alias Febby.
Ayahnya selalu berbicara lembut pada Vina sementara agak keras padanya.
Ayahnya selalu memberikan apapun yang Vina minta sementara dirinya harus
mengerjakan sesuatu dulu baru diberi upah barang yang ia mau.
Dulu ia menganggap sikap
ayahnya merupakan wujud pilih kasih. Namun, seiring berjalannya waktu,
ia baru mengerti kalau sang ayah ingin mendidiknya menjadi laki-laki
yang tangguh. Hanya saja, dirinya dulu masih terlalu kecil untuk
mengerti dan akhirnya malah membenci Vina.
Suatu hari ketika
jemputan mereka belum datang, Alvin diam-diam mengajak Vina pergi ke
suatu taman lalu kemudian meninggalkan saudari kecilnya sendirian. Ia
pikir Vina tidak akan pergi ke mana-mana selagi dirinya belum kembali.
Ia menjadikan itu sebagai ancaman pada ayahnya agar tidak lagi
mempelakukannya dengan keras.
Naas ketika ia datang
menjemput, ia tidak menemukan Vina di mana pun. Taman yang dikunjunginya
merupakan kawasan yang sepi sehingga tidak ada seorang pun untuk
menjadi tempat bertanya.
Tanpa ia ketahui, Vina
keluar taman dan berjalan mencarinya. Gadis itu kemudian tak sengaja
terserempet seorang pengendara motor dan kemudian pingsan. Cedera di
kepala serta syok yang menimpanya membuat Vina tidak mengingat apapun.
Pengendara yang menabraknya, yang tak lain adalah ayah tiri Febby,
mengambil kesempatan itu untuk mengadopsi.
Ayahnya tahu dari
tampilannya kalau dirinya berasal dari keluarga berada. Ayahnya
membawanya ke kampung selagi polisi masih aktif mencari keberadaannya.
Ayahnya berniat menggunakannya nanti untuk merogoh uang dari orang tua
kandungnya. Beruntung Vina atau Febby justru lebih dulu memutuskan kabur
dari laki-laki itu.
Meski sikap orangtuanya
berubah lebih lunak padanya, Alvin tetap menyimpan perasaan bersalah
yang besar. Bagaimana pun rasa marahnya, ia tetap menyayangi Vina. Ia
selalu menyempatkan diri melihat foto dirinya bersama Vina sebelum tidur
dan diam-diam berdoa agar Tuhan mengembalikan adiknya. Ia selalu
percaya Vina masih hidup.
"Aku gak pernah niat
ninggalin kamu, sekalipun. Aku hilang karena lagi usaha buang perasaan
aku buat Febby. Demi Tuhan, aku gamau kehilangan kamu. Perasaan aku ke
Febby beda dengan yang aku rasain ke kamu. Aku gak tau itu apa tapi aku
bisa yakin itu bukan cinta. Aku panik. Aku beneran gamau jadi
penghianat. Aku gamau punya perasaan itu dan diam-diam ngeduain kamu.
Tapi aku tolak tetep gabisa. Aku gatau lagi gimana caranya. Sampe
akhirnya aku tau dia ternyata Vina. Aku akhirnya ngerti perasaan khusus
aku sama dia selama ini. Itu cuma kontak batin antara kakak sama adik.
Aku akhirnya bisa lega karena tau aku gak ngehianatin kamu. Tapi..kamu
udah pergi."
Shilla menelan ludah
dengan susah payah. Ia berusaha keras agar nyawanya tidak berkelana ke
mana-mana dan fokus mendengarkan Alvin berbicara.
"Orang mungkin bisa
bilang itu semua cuma alasan, aku beruntung Febby tenyata adik aku, kalo
enggak perasaan aku pasti bakal berkembang buat dia. Tapi boleh ga sih
aku membela diri? Yang ngedeketin aku dari yang ga keliatan sampe
terang-terangan itu banyak, yang deket sampe yang ga kenal sama sekali,
juga banyak. Tapi kenapa perasaan khusus aku cuma sama Febby, kalo bukan
karena dia adik aku? Aku salah ga, sih?"
Alvin mendesah frustasi.
Ya Tuhan, ia sungguh-sungguh masih ingin bersama Shilla, mempertahankan
gadis itu sebagai miliknya. Matanya memerah akibat emosi tertahan.
Shilla berusaha menjadi
jahat dan tidak menerima alibi Alvin begitu saja. Sayangnya, ia tidak
tega. Ia dengan jelas melihat ketulusan di mata pemuda itu. Pemuda itu
benar-benar kelihatan kacau dan itu semua karena dirinya. Pemuda itu
selalu berusaha mengajaknya bicara namun ia sadar belum pernah sekalipun
memberikan Alvin kesempatan.
Mereka sudah melalui banyak hal selama berpacaran. Menghadapi isu Alvin dekat dengan gadis lain sudah cukup sering ia alami. Alvin benar, orang-orang bisa menganggapnya hanya beralasan. Tapi, orang-orang tidak mengalami apa yang terjadi pada Alvin.
Mereka sudah melalui banyak hal selama berpacaran. Menghadapi isu Alvin dekat dengan gadis lain sudah cukup sering ia alami. Alvin benar, orang-orang bisa menganggapnya hanya beralasan. Tapi, orang-orang tidak mengalami apa yang terjadi pada Alvin.
Alvin selalu percaya dan
mendengarkan penjelasannya. Alvin tidak pernah emosi menghadapinya,
walau ia salah sekali pun, walau ia sering mengungkap keraguan pada
pemuda itu. Lalu kenapa sekarang ia tidak bisa melakukan hal yang sama?
Alvin hanya ingin didengarkan dan butuh kesempatan.
Lagipula, ia yang paling
tahu siapa Alvin. Selama ini Alvin tidak pernah berbohong padanya.
Alvin selalu tulus padanya. Apa salahnya kalau ia menganggap Alvin masih
pemuda yang sama? Seperti ucapan Chris, kalau bersama menghasilkan
bahagia, kalau kesempatan bersama masih ada, kenapa harus repot-repot
berpisah yang membuat sedih?
"Apology accepted." Gumam Shilla pelan. Ia tersenyum menenangkan pada Alvin.
Alvin yang tadinya
gelisah seketika terdiam. Ia terkesiap sekaligus terpesona melihat
senyum indah yang rasanya sudah lama tidak ia lihat. Air mata yang susah
payah ditahannya akhirnya menetes juga walau tidak banyak.
Jemari lentik Shilla
mengusap pelan pipi Alvin yang kini basah. Senyum lebar di wajahnya
sudah seperti virus menular dan membuat Alvin melakukan hal yang sama.
Alvin tertawa begitu bahagianya dengan air mata yang masih sesekali
keluar.
Mereka menghabiskan
beberapa saat hanya diam saling berpandangan dengan raut wajah sama-sama
lega sekaligus senang. Alvin membiarkan jemari Shilla terus menyentuh
pipinya tiap kali air matanya menetes karena ia menikmatinya. Shilla
juga tak bosan mengulangi perbuatannya hingga Alvin tak lagi menangis.
Karena terlalu lama tidak berbicara satu sama lain, Shilla akhirnya buka mulut. "Gaada niatan mau meluk? Katanya kangen?"
***
Via mengisi setiap
langkahnya dengan perasaan gugup. Gabriel benar-benar gila. Fira memang
tidak setiap kawan. Bisa-bisanya mereka berdua menyusun rencana tanpa
melibatkan dirinya.
Dari awal ia sudah
curiga kenapa Fira menyuruhnya ikut dengan Gabriel. Ia lantas dibuat
kaget setengah mati ketika Gabriel memberitahu bahwa mereka akan
menghadiri acara perayaan hari jadi pernikahan orang tua pemuda itu.
Astaga, ia akan bertemu dengan orangtua Gabriel!
"I hate you, Yel, really." Protesnya seraya berbisik pada Gabriel. Meski begitu, tangannya tetap mengalung dengan eratnya pada lengan Gabriel.
Gabriel tertawa kecil di samping Via dan memilih tidak mengambil hati ucapan sang gadis. "I love you too, Princess."
Berhubung Via sedang
setengah kesal, ia kali ini menganggap lalu pernyataan Gabriel barusan
padanya. Ia tahu pemuda itu hanya berniat meledeknya dan tidak sedang
serius. Ia serius, pemuda itu tidak serius dengan ucapannya.
"Pak!" Panggil Gabriel
ketika dirinya dan Via hanya tinggal beberapa langkah sampai di hadapan
kedua orangtuanya, yang kini sedang berkumpul bersama beberapa
rekan-rekannya sesama angkatan dan juga Fira.
Damanik menoleh dan
berseru senang melihat anak laki-laki kesayangannya sudah muncul di
peredaran. Sedaritadi memang hampir semua orang sudah menanyakan
keberadaan pemuda itu.
"Malam Om, Tante. Saya Gabriel. Anak tirinya Pak Damanik." Ujarnya tanpa rasa berdosa.
Damanik tertawa seraya geleng-geleng kepala. "Sudah pernah kita tes DNA. Masih juga gak kau akui bapakmu ini?"
"Tapi muka gak bisa bohong. Gantengan aku daripada bapaknya. Jadi aku curiga."
Gabriel memang selalu
seperti itu dengan Damanik. Tidak jauh-jauh dari debat yang saling
'menjatuhkan'. Saat ini Gabriel yang tidak 'mengakui' sang Ayah. Kemarin
atau mungkin lain hari, sang ayah yang bersikap seolah menolak
'mengakui' Gabriel.
"Sudah kau resmikan belum si cantik ini?" Tanya Damanik sambil menunjuk Via yang berdiri kikuk di samping Gabriel.
Gabriel tersenyum lebar
hingga giginya dapat terlihat cukup jelas. "Jangan buru-buru lah, Pak.
Yang penting udah mau sama mau. Ya nggak, Vi?" Balasnya santai tanpa
peduli Via makin canggung di sebelahnya.
Via mencoba tersenyum
walau usahanya justru membuahkan ringisan. Fira tersenyum maklum,
memahami perasaan belum terbiasa dari Via. Ia tahu anaknya pasti masih
kaget sekarang. "Anak saya nggak tau sama sekali kalau mau dibawa ke
acara orangtua Gabriel. Makanya keliatan agak bingung."
Via makin meringis
dalam-dalam karena semua orang di sekitarnya memperhatikan dirinya. Ia
tidak tahu harus berbicara apa saat ini. Alhasil ia hanya balas merunduk
sekilas hendak meminta pengertian.
"Papanya gak ke sini juga?" Tanya salah satu dari rekan Damanik sebelumnya.
Fira tersenyum misterius. "Bentar lagi nyusul kok."
Obrolan yang sempat
terhenti kemudian kembali berlanjut. Gabriel menyahut sesekali sementara
Via lebih banyak menyimak dalam diam.
"Damanik?"
Seseorang yang baru saja
datang kemudian menyapa Damanik dengan antusias. Semua orang menoleh ke
arah si pendatang baru. Seketika antusiasme orang tersebut surut
manakala melihat ada Fira dan Via di sana. Raut wajahnya seketika
berubah tidak nyaman.
"Riza? Akhirnya yang ditunggu datang juga." Sambut Damanik sama antusiasnya dengan Riza sebelumnya.
Riza mendekat dengan
ragu, disusul dua orang perempuan yang melangkah agak kikuk, yang satu
sepantaran dengannya sedang yang satu lagi mungkin sebaya dengan Via dan
Gabriel alias Merry dan Pricilla. Ia melihat Fira dan mendapatkan
senyum sinis dari sang istri.
"Tadi kalian nyari
bapaknya si cantik, kan? Ini dia bapaknya." Seru Damanik yang tentunya
tidak disangka-sangka oleh Riza. Laki-laki itu tentu begitu terkejut
mengetahui Damanik tahu tentang hubungannya dengan Fira dan Via.
Riza sekali lagi melihat
ke arah Fira dan ia masih mendapati rupa yang sama. Wanita itu justru
tersenyum makin sinis. Perasaannya seketika menjadi tidak enak. Ia kini
juga menyadari Merry mulai pucat sementara Pricilla berdiri kebingungan
sekaligus terluka karena baru saja mengetahui rahasianya dan di saat
yang sama harus menyaksikan Gabriel menempel pada Via.
"Yang dateng bareng Pak Riza siapa? Kok gak bareng Bu Fira?" Cetus salah satu rekan Damanik yang berada di sana sejak tadi.
"Papa Via tadi ada kerjaan sedikit. Kalau orang-orang yang datang bersama suami saya itu, mereka—"
Fira dari awal sudah
berencana untuk membeberkan rahasia Riza di depan semua orang. Ia,
setelah bekerja sama dengan Gabriel, ingin sedikit memberikan pelajaran
pada Riza.
Walau Via tidak tahu
keseluruhan rencana Fira, tapi ia bisa menebak apa maksud kedatangan
mereka di acara ini. Fira semata-mata hanya ingin balas dendam. Ia juga
kecewa dan mungkin sempat marah pada Riza. Sayangnya, ia masih tidak
ingin menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin kehidupannya menarik untuk
orang lain. Ia masih mencintai hidupnya yang tenang.
"Sepupu! Iya, sepupu.
Tante ini adiknya Mama." Sela Via. Ia berusaha menyungging senyum santai
kepada semua orang yang kini memandang ke arahnya. Ia lalu bertemu
tatap dengan Fira dan menggeleng samar ke arah sang ibu, meminta wanita
itu mengurungkan niatnya.
Fira sedikit terkesiap
dengan respon Via. Namun ketika melihat tatapan memelas sang anak, ia
menjadi tidak tega. Ia mendesah pelan diam-diam, memilih menuruti apa
yang Via minta. Perasaan anaknya jauh di atas segalanya, melebihi hasrat
menggebu-gebu dalam dadanya.
Gabriel yang memang ikut
dalam rencana Fira tak luput merasa kaget. Namun kemudian dadanya
menghangat oleh sikap Via, oleh kebesaran hati gadis itu yang tidak
ingin membalas perbuatan keji sang ayah dengan hal yang sama. Gadis itu
sungguh-sungguh spesial.
Gabriel menurunkan
tangan Via yang menggamit lengannya. Sebagai gantinya, ia kemudian
meraih pinggang gadis itu dan membawanya mendekat. Tak lupa ia juga
menyematkan kecupan singkat pada pelipis si gadis cantik.
Sontak perbuatannya mengundang respon dari Damanik. Tentu. Ia tidak akan sekalipun melewatkan kesempatan untuk mem-bully sang anak. "Heh mulut cocor bebekmu gak tau malu, pake cium-cium si cantik, di depan mamak bapaknya pula!"
Muka Via sedikit memerah
karena tersipu, tersipu karena perbuatan Gabriel serta karena lagi-lagi
menyorot perhatian padahal ia tidak berbuat apa-apa.
"Baru sadar aku, Pak, kalo sayang kali sama dia."
Gabriel benar-benar
merasa puas. Walaupun aksi balas dendam yang ia dan Fira rencanakan
tidak begitu sukses, setidaknya Riza kini tahu bagaimana rasanya bila
istri dan anaknya tidak diakui di depan orang lain. Bagaimana kejamnya
laki-laki itu selama ini pada Fira dan Via, apapun sejarahnya.
***
Sehari setelah UAS
selesai dilaksanakan, Agni langsung berangkat menuju tempat yang sudah
ia rencanakan sejak jauh hari. Panti Minuet.
Tidak ada maksud apa-apa
dari kedatangannya. Hanya saja, ia mendadak merindukan rumah yang dulu
menjadi tempat berlindungnya. Ia bukan jarang mengunjungi. Setiap bulan
ia justru pasti datang. Akan tetapi, ini baru pertama kalinya ia datang
lebih dari 1 kali pada 1 bulan.
Kehadirannya biasanya
hanya disambut dengan anak-anak penghuni dan ibu panti. Kali ini ia
dikejutkan dengan bertenggernya mobil Cakka di halaman depan. Ia sudah
sangat sering menaiki kendaraan roda empat tersebut sehingga ia tidak
mungkin salah.
Ia memasuki ruang tamu
panti dengan perasaan was-was. Ia kemudian dibuat lebih terkejut
mengetahui Cakka tidak datang seorang diri, melainkan bersama 'Nia'-nya.
"Bisa kebetulan gini," Gumamnya pelan. Walau sebenarnya ia kurang percaya kalau saat ini benar-benar kebetulan. Entah kenapa.
"Nak Agni baru sampai? Atau udah daritadi? Ibu buatin minum dulu mau?" Tawar tuan rumah.
Agni terkekeh pelan
seraya menggelengkan kepala. "Yaelah ibu kayak sama siapa aja. Aku ambil
sendiri aja di dapur. Haus juga sih kebetulan." Katanya dan memilih
cepat-cepat melenyapkan diri dari hadapan Cakka, juga 'Nia'.
Sesampainya di dapur, ia
mengambil gelas pada rak dan mengisinya dengan air dari dalam kulkas.
Setelahnya, ia bersandar pada pintu lemarin pendingin tersebut,
kebingungan akan apa yang harus ia lakukan.
"Ni?"
Tiba-tiba Lia sudah
berada di sampingnya. Panggilan wanita itu seketika menariknya kembali
dari lamunan. Ia segera melenyapkan keraguan di wajahnya menjadi sebuah
senyum ramah. "Iya, kenapa, Bu?"
"Bentar lagi kan jam nya
anak-anak makan. Ibu lupa beli sayur. Boleh ibu minta tolong belikan
sama kamu?" Tanya Lia dengan tangan bertaut. Wanita itu tampak
meremas-remas jarinya dan wajahnya kelihatan tidak enak hati. Wanita itu
mungkin berpikir Agni saat ini masih lelah karena baru saja sampai.
Agni segera menegapkan
tubuhnya dan memberi hormat sekilas pada Lia, tanda kalau dirinya sama
sekali tidak keberatan. "Beres itu mah, Bu. Agni jalan dulu kalo gitu."
Lia tersenyum dan mendesah pelan meskipun tidak benar-benar lega. "Uangnya—"
Agni berbalik dan langsung menyela ucapan Lia. "Pake uang aku aja, Bu."
Lia sekali lagi
tersenyum melihat sang anak yang begitu baik hati. Dari sejak gadis itu
masih menjadi penghuni pantinya hingga diadopsi oleh orang tua yang
baru, Agni tidak pernah sekali pun melupakan asal-usulnya.
Dari semua anak yang
sudah pindah karena diadopsi, Agni lah yang paling rajin mengunjungi
panti. Gadis itu juga tidak pernah absen memberikan bantuan, baik moril
maupun materil. Agni tidak pernah berubah dan akan selalu membuatnya
bangga. Ia juga terharu karena sampai kapanpun tidak akan pernah
kehilangan Agni, kehilangan Nia-nya, Nia semua orang.
***
Lia memperhatikan sosok
gadis yang bertamu ke rumahnya dan mengaku sebagai Nia. Ia berusaha
mengingat-ngingat siapa gadis itu sebenarnya. Ia tidak tahu kenapa gadis
itu rela sampai berbohong seperti ini. Akan tetapi, ia tidak ingin
semena-mena menghakimi gadis itu.
"Kamu Nia?" Tanyanya, mencoba mengikuti skema yang dijalankan 'Nia'.
'Nia' atau mungkin lebih
tepatnya Oik, mengangguk dengan semangat berikut senyum sumringah di
wajahnya. Gadis itu langsung meraih tangan Lia untuk digenggam dengan
erat. "Iya, Bu. Ini Nia. Ibu masih inget sama Nia, kan?"
Cakka hanya diam
memperhatikan reuni anak dan ibu di depannya. Ia tidak tahu harus ikut
andil memperkenalkan Oik atau tidak. Ia sudah dengar dari gadis itu
kalau dia adalah Nia. Tapi, entah kenapa hatinya masih merasa sangsi
untuk mengakui.
Lia tersenyum hangat
kemudian mengusap sebelah wajah Oik dengan sentuhan keibuannya. Walaupun
akan selalu terjadi pergantian penghuni panti, ia tidak akan pernah
lupa pada anak-anaknya. Senyum Oik sudah cukup untuk membuatnya
mengenali siapa gadis itu sebenarnya.
Dia Rani.
Rani dulunya juga adalah
penghuni Minuet. Gadis itu juga berteman dengan Nia, juga Aga. Sedari
Aga datang untuk pertama kalinya ke Minuet, ia tahu kalau Rani sangat
menyukai pemuda itu. Hanya saja, dulu Rani tipe yang pasif. Tidak ada
yang tahu kalau Rani sebenarnya ingin selalu bermain dan berdekatan
dengan Aga, kecuali Lia tentu saja.
Ia selalu melihat sorot
kecewa dan kecil hati di mata gadis itu tiap kali Aga lebih memilih
bermain bersama Nia, mendapati Aga selalu mencari Nia, kepatuhan tinggi
Aga pada Nia. Ketika Aga pergi, gadis itu pergi bersembunyi di pohon
taman yang agak jauh dari panti.
Ia tahu karena tak
sengaja melihat gadis itu terburu-buru berlari keluar Minuet seorang
diri. Ia kemudian melihat gadis kecil itu menangis seorang diri,
tersedu-sedu, sampai ia tidak tega sendiri. Ia akhirnya memutuskan
menghampiri gadis itu dan menjadi temannya mengadu kesedihan.
Meski begitu, ia tidak
pernah sekalipun melihat Rani membuat masalah dengan temannya yang lain.
Gadis itu mau bermain dengan semua orang, bahkan dengan Nia. Ia juga
tidak melihat sorot iri atau benci di mata gadis itu untuk Nia.
Ketika sekarang ia
mendapati gadis itu justru berusaha membohongi semua orang dengan
mengaku sebagai Nia, apalagi melihat Aga di sampingnya, ia seketika
mengerti kenapa gadis itu melakukan itu. Rani hanya tidak bisa melupakan
Aganya.
Hatinya iba namun ia
tidak bisa mengamini kebohongan. Bagaimana pun, dusta adalah dosa. Ia
tidak ingin ada anak-anaknya yang melakukan tindakan tidak baik yang
nantinya justru akan menyakiti mereka sendiri. Anaknya yang satu ini
hanya sedang tersesat dan ia dengan sukarela menjadi penunjuk jalan,
sama seperti dulu.
Lia memandang kalung
yang tersemat di leher Oik, Rani-nya. Ia kemudian kembali mempertemukan
kedua matanya dengan gadis itu. "Itu kalung kamu?"
Oik menjulurkan
kalungnya keluar agar terlihat lebih jelas. Ia kembali menganggukkan
kepala dengan cepat. "Iya, Bu. Ibu ingat, kan? Kalung aku dulu pernah
hilang di panti. Trus aku bikin ulang kalungnya supaya Aga bisa ngenalin
aku, juga Ibu." Jelasnya dengan penuh keyakinan.
Lia memberi jeda
beberapa saat untuk kembali memperhatikan Oik. Ia kemudian tersenyum
lembut sambil menggelengkan kepala pelan. "Kalung Nia gak pernah hilang,
Nak."
Oik sekilas tampak kaget kemudian membalas dengan sedikit tersendat. "G-gak pernah hilang?"
Lia kini menganggukkan
kepala dengan mempertahankan lengkungan halus di bibirnya. "Iya. Nia
juga tau kok. Sebentar ya Ibu coba ambilkan."
Lia berdiri dari
kursinya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia kemudian keluar dengan
membawa sebuah kotak persegi kecil terbuat dari kayu. Ia kembali duduk
dan mendekatkan kotak yang ia bawa ke hadapan Oik dan Cakka. Kotak
tersebut berisi kalung asli milik Agni alias Nia.
"Meskipun semua anak
panti waktu itu melihat Nia baik-baik aja, ibu tau Nia begitu sedih
ketika Aga dijemput orangtuanya. Nia tidak secepat itu lupa sama Aga.
Nia sering keceplosan menyebut nama Aga. Setiap dia sadar Aga udah
pergi, wajahnya keliatan sedih walaupun dia berusaha keras
menyembunyikan dari teman-temannya, termasuk ibu. Tiap malam, Nia gak
cuma ngigau tentang ibunya, tapi juga Aga. Nia selalu bilang 'Aga jangan
pergi' tiap kali dia mimpi. Ibu gamau Nia terus-terusan bersedih dan
memikirkan Aga. Sampai akhirnya ibu diam-diam mengambil kalung Nia waktu
dia kebetulan lagi ngelepas kalungnya. Kenyataannya usaha ibu berhasil.
Sejak kalungnya hilang, Nia gak pernah lagi keinget-inget Aga.
Senggaknya dia ga mimpiin Aga lagi. Dia juga udah bisa ketawa lepas. Dia
jadi lebih senang main sama anak-anak lain."
Lia merasakan matanya
berair karena terharu mengingat kenangannya dengan Nia dulu. Ia mengusap
halus bandul khas dari kalung Nia. "Waktu Nia diadopsi, ibu akhirnya
jujur. Nia gak marah. Nia justru berterimakasih karena ibu sudah berjasa
bantuin dia lepas dari kesedihan. Pas ibu mau balikin kalungnya, Nia
justru minta tolong ibu simpankan. Katanya, siapa tau Aga dateng ke
panti, kalo Aga lupa, ibu bisa ingetin dia pake kalung ini. Nia juga
takut kalungnya rusak dan hilang jadi biar dia bikin duplikatnya aja.
Apalagi Nia juga rutin ke panti. Jadi gamasalah kalo dia gapake
kalungnya."
Mulut Oik terkunci rapat
ketika kebohongannya terbongkar tanpa bisa diperjuangkan. Ia tidak
menyangka kalau ia langsung tertangkap basah seperti ini. Ia tidak tahu
ada sejarah lain antara Lia dan Nia. Ia bahkan tidak yakin kalau Lia
tidak tahu sama sekali siapa dirinya.
Di samping Oik, Cakka
juga tidak terdengar bersuara. Hanya saja, entah kenapa pemuda itu
justru tidak marah mengetahui dirinya telah dibohongi. Ia justru merasa
begitu lega setelah mendapat titik terang tentang semua keraguannya
selama ini soal Nia.
"Maafin Aga, Bu, baru
sekarang datang ke sini." Cakka akhirnya buka mulut. Ia sama sekali
tidak ingin membahas apa yang dilakukan Oik. Ia ingin dengan tulus
meminta maaf sudah berlaku sebagai anak yang lupa pada orangtuanya.
Lia menggeleng cepat. "Gak perlu, Nak. Kalian masih inget Ibu aja, Ibu udah sangat senang. Anak-anak Ibu udah besar-besar."
"Bu, Aga boleh permisi ke pasar sekarang nggak?" Izin Cakka.
Lia menautkan alisnya bingung. "Mau ngapain ke pasar?"
Cakka tersenyum lugu. "Mau ketemu Nia, Bu."
***
Sepanjang jalan, mata
Agni berkeliling menatap satu-persatu area yang ia lewati. Ia memang
rutin mengunjungi Minuet. Tapi rasanya baru kali ini ia benar-benar
memperhatikan wilayah masa kecilnya. Ia bahkan berkeliling ke seluruh
kios pasar guna memuaskan dahaga dalam hatinya untuk bernostalgia.
Sekembalinya dari pasar,
ia tetap melambatkan langkahnya dan tak bosan kembali memperhatikan
tempat-tempat yang ia lewati. Hingga kemudian dirinya sampai pada suatu
tempat yang memiliki makna khusus untuknya. Tempat pertama kali dirinya
bertemu dengan Aga. Sebuah gubuk reot namun kini sudah digantikan oleh
bangunan air mancur yang indah.
Langkahnya terhenti dan
ia membiarkan dirinya diam berdiri menatap lamat-lamat aliran air mancur
di depannya. Belum lama ia berdiri, ia merasakan rintik-rintik hujan
berjatuhan ke kepala dan wajahnya. Ia menengadah dan baru sadar sedari
tadi awan tampak mendung.
Ia meluruskan
pandangannya kembali. Tangannya terulur ke depan dengan telapak tangan
terbuka menghadap ke atas, hendak menampung tetesan malu-malu dari
langit yang melingkupi buminya berpijak.
Mengingat dirinya tidak
membawa payung dan kecepatan turunnya hujan semakin cepat, ia akhirnya
harus rela menyudahi kegiatan 'reuni'nya dan kembali melangkahkan
kakinya pulang ke panti. Kebetulan ia juga belum berdamai dengan hujan,
di samping karena tubuhnya memang ringkih dan mudah terjangkit flu.
Ketika tubuhnya
menghadap ke samping dan kakinya baru hendak beranjak, niatnya mau tak
mau harus ditunda karena kehadiran manusia lain di depannya, tepatnya
seorang pemuda yang sangat ia kenal. Pemuda yang menjadi alasannya
berhenti memandangi air mancur.
Pemuda itu tanpa diduga
sudah berdiri dengan sebuah payung yang mengembang di atasnya. Pemuda
itu menatapnya seolah sudah menunggu Agni menyadari keberadannya sedari
tadi. Ketika pandangan mereka akhirnya bertemu, pemuda itu seketika
tersenyum dengan lebarnya.
Agni tidak menggerakkan
sedikit pun tubuhnya. Ia mendadak terdiam dan tak tahu harus bagaimana.
Entah kenapa ia merasa seperti maling yang ketahuan oleh warga,
khususnya oleh pemuda yang dilihatnya, oleh Cakka yang tak lain adalah
Aga.
Cakka mendekat hingga
berhadapan dengan Agni. Ia memajukan sedikit payungnya agar Agni dapat
ikut terlindungi. Tangannya yang bebas kemudian terangkat untuk mengusap
rambut Agni yang lembab karena terpajan rintik hujan.
Agni segera tersadar
saat merasakan sentuhan di kepalanya. Ia dengan pelan menyingkirkan
tangan yang tadinya bergerak-gerak mengelus tersebut dan memandang sang
empunya dengan penuh tanya. "Lo mau ke mana? Kalo mau balik ke panti,
gue nebeng. Kalo enggak, berarti gue mesti cepet-cepet jalan sebelum
ujannya gede." Tanyanya tanpa basa-basi.
"Gue emang mau jemput lo kok. Gue udah duga lo ga bawa payung."
Agni hanya membulatkan
mulutnya, enggan memperkarakan lebih lanjut tentang kehadiran Cakka. Ia
akhirnya bisa melangkahkan kakinya lagi diikuti oleh Cakka yang berjalan
beriringan di sampingnya.
Cakka tidak mengatakan
apapun tapi Agni mendadak merasa terintimidasi. Ia merasa seperti
diintrogasi secara tersirat. Ketika biasanya Cakka dengan sengaja ingin
membuatnya tersipu namun tidak berhasil, kini pemuda itu justru
membuatnya tidak berkutik tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
"Deja Vu ga sih,
Ni? Lo dateng bawa belanjaan, ketemu gue di sini pas lagi hujan, bedanya
sekarang gue yang bawain lo payung." Ujar Cakka seraya menerawang masa
lalu.
Agni refleks menyahut begitu cepat bahkan tak sampai sedetik setelah ucapan Cakka berlalu. "Gue bukan Nia. Lo salah orang buat flashback."
Bukannya kecewa, Cakka
justru menyeringai puas. Kailnya baru saja berhasil disangkuti ikan
besar. "Cuma Nia yang tau kalo gue lagi ngomongin kisah gue sama dia."
Agni seperti merasa
terjatuh ke sebuah lubang yang dalam dan terpental kembali ke tempat
asalnya ketika ia belum siap. Ia benar-benar adalah seorang maling yang
tertangkap basah, bahkan sampai 2 kali. Ia lantas mendesah pelan. "Ups,
ketauan." Serahnya acuh tak acuh.
Agni kemudian menoleh pada Cakka dan memasang tampang curiga. "Kita sama-sama ke panti ga mungkin 'cuma kebetulan', kan?"
Bibir Cakka melengkung
sempurna. Pemuda itu jelas sekali kelihatan senang. Sangat-sangat
berbeda dengan Cakka yang beberapa waktu lalu berbicara dengan Agni.
Pemuda itu menggeleng pelan. "Aga mau ketemu Nia." Jawabnya dengan lugu.
Bukannya tersanjung, Agni justru melengos malas. "Pasti ibu yang ngasih tau?" Tukasnya.
Cakka menggelengkan
kepala menyangkal meskipun ucapan Agni tidak sepenuhnya salah. Tatapan
matanya kemudian berubah sendu. "Kenapa lo ga jujur sih, Ni?"
"You got your 'Nia'. Apalagi?"
Raut muka Cakka sedikit
mengeras. Ia menggelengkan kepala seraya memandang Agni intens. Langkah
kaki mereka bahkan sampai terhenti. "No, I lost her, nyaris."
"She's...dedicated. Lo
ga mungkin ditinggalin." Agni menyahut seolah-olah ingin menenangkan.
Namun kemudian ia merasa geli ketika teringat Oik, mengetahui gadis itu
telah berusaha maksimal berpura-pura menjadi dirinya. Bibirnya berkedut
menahan tawa sebisanya.
Cakka lantas menatap Agni dramatis. "Kalo bukan lo buat apa, Ni?"
Dibanding Oik, Cakka
justru sekarang jauh menggelikan atau lebih tepatnya menjijikkan. Agni
kembali melengos dan berjalan begitu saja tanpa menunggu Cakka. Pemuda
itu lekas menyusul dengan senyum lagi-lagi mengembang di wajahnya.
Cakka meraih lengan Agni
demi menahan gadis itu untuk mengajaknya bicara lagi. Agni tidak tampak
hendak mengelak dan mengikuti saja apa yang diinginkan Cakka. Ia
menunggu dengan sabar seraya menatap pemuda itu.
"Udah ya basa-basinya."
Cakka menarik napas dan menghembusnya perlahan, berusaha membuat dirinya
menjadi lebih tenang meskipun dadanya bergemuruh karena hasrat
menggebu. "Kenapa lo ga coba ngeyakinin gue, Ni?"
"Dan ngebiarin gue rebutan laki-laki? I'm so sorry I love my pride more, dude." Sahut Agni cepat.
"Dan maka dari itu lo juga pergi?" Balas Cakka tak mau kalah.
Agni mengerang gemas. Ia
mendengus dengan mata menutup lalu kemudian terbuka untuk memandang
Cakka kembali. "Gue ga ke mana-mana, Kka, astaga! Yang berenti
ngehubungin gue emangnya siapa?" Sungutnya sedikit meninggikan suara
tanpa sengaja.
Cakka melihat peluang
besar di depan mata. Ia sama sekali tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan. "Jadi selama ini lo nunggu buat gue hubungin?" Tanyanya
dengan seringai puas.
Agni sesaat merasa malu
sendiri. Ia memalingkan wajah kemudian melirik Cakka sebal. Ia lagi-lagi
berjalan hendak meninggalkan pemuda itu walau sudah pasti Cakka lekas
menyusul sekaligus menahannya.
"Ni, gue capek
kucing-kucingan. Gue capek kita pura-pura gaada masalah. Gue capek
jauhan. Kita butuh solusi supaya semuanya kelar dan jelas." Tutur Cakka,
kali ini seratus persen gelagatnya menunjukkan keseriusan.
Agni berusaha tetap
tenang dan sabar menghadapi Cakka. Meski ia merasakan panik tak
beralasan saat ini. "Solusi kayak gimana lagi, Kka? Kita kan baik-baik
aja!"
Cakka menggeleng pelan.
Ia sesaat diam dengan pandangan lurus ke wajah Agni. Tatapannya kemudian
berubah lembut dengan diselingi sedikit sorot jenaka. Bibirnya yang
sempat lurus kini kembali meliuk dengan indahnya. "Pacaran yuk?"
Dalam sepersekian detik
Agni spontan menghela napas keras lalu membalas tatapan Cakka dengan
frustasi. "Bangsat. Siapa yang ngajarin lo ngomong jorok, hah?"
Sungutnya sarkastis. Jadi ini alasan kenapa ia mendadak panik
sebelumnya.
"Gue bukan ngomong
jorok, Ni. Gue lagi nembak." Polos Cakka, seolah ucapannya tidak
memiliki pesona magis apapun. Padahal di hadapannya Agni sudah merasa
seperti dipanggang di atas bara karena kepanasan.
Agni berusaha menenangkan diri dan tetap memfungsikan otaknya dengan seharusnya. "Okay, let's clarify our situation first. Yang lo cari itu Nia. Yang, mungkin, lo suka itu Nia. Yang lo pikir harus lo jadiin someone special itu Nia. Tapi sorry, men. Gue Agni. Gue bukan 'Nia' lo lagi."
Cakka baru hendak buka
mulut namun Agni cepat-cepat menahan dengan mengangkat salah satu
tangannya, mengisyaratkan kalau ia belum selesai berbicara. "Honestly,
gue sebenernya cukup tersinggung. Lo deketin gue karena Nia. Lo juga
'hilang' karena gue 'bukan' Nia. Tapi kemudian gue sadar gue gaada
bedanya. Gue juga deketin lo karena lo Aga. Sangat mungkin gue bersikap
yang sama kalo seandainya di satu saat gue nemu Aga yang lumayan
meyakinkan selain lo. Our feelings are misunderstandings, for fvcking real. Kita tuh cuma terobsesi sama kisah lama. Kita gak tulus. Gue gamau gitu lagi, Kka."
"Then let me clarify me. Emang
bener, kita berdua saling deket karena punya 'misi' masing-masing. Gue
pernah bertekad bakal tetep milih Nia dari siapa pun termasuk lo. Tapi
setelah gue dapet Nia, apa yang terjadi? Hati gue kosong, Ni. Siapa yang
justru gue cari? Lo, Ni. Bahkan sebelum gue tau lo sebenernya siapa.
Kenyataannya gue gabisa kehilangan lo, Agni. Kenyataannya lo sebagai
Agni yang berhasil bikin dada gue berdebar jauh sebelum gue curiga lo
itu Nia. Gue ke panti bukan mau nyari Nia, tapi Agni. Agni yang bikin
gue ke sini. Nia? I Don't. Fvcking. A$s. Care. Since the day you gone."
Cakka berkata panjang lebar. Ia berusaha keras menegaskan sekalian
meluruskan kesalahpahaman yang sebenarnya, menurutnya, di antara mereka
bedua.
Mulut Agni terbuka ingin
mengatakan sesuatu namun lidahnya terasa kelu. Cakka akhirnya berhasil
membuatnya mati kutu setelah selama ini ia di atas baik-baik saja
menghadapi sikap manis terang-terangan dari pemuda itu.
Raut wajah Cakka kembali
mengendur. Matanya dalam menatap Agni tanpa sedetikpun berpaling.
Senyum lembutnya lagi-lagi tercipta di bibirnya. "Jadi, mau ya jadi
pacar Gue, Ni?" Tanyanya sedikit memelas sedikit mendesak. Ia berbicara
sambil memegang erat salah satu tangan gadis di depannya.
Dada Agni bergetar
hebat. Ini adalah pengalaman pertama sepanjang dirinya hidup. Ia
diam-diam merasa takjub karena tidak menyangka momen seperti ini dapat
terjadi padanya. Ia tidak buru-buru menjawab tawaran Cakka. Kepalanya
berpikir keras berusaha lagi-lagi mencerna situasi di antara mereka,
menilai apakah mereka sudah saatnya berjalan selangkah lebih maju atau
tetap jalan di tempat.
Setelah merasa cukup, ia kemudian membalas dengan gelengan kepala. "I admit that your words really comfort me. Tapi
kita tetep belum pantes ke tahap 'itu', Kka. Yang lebih banyak jalanin
peran selama ini itu Aga sama Nia, bukan Cakka sama Agni. Sementara yang
diperluin di tahap 'itu', Cakka sama Agni. You know what I mean."
Agni tidak munafik kalau
ia senang Cakka akhirnya tahu siapa dirinya. Ia juga tidak menampik
rasa haru karena ucapan manis Cakka sebelumnya. Tapi ia merasa mereka
masih terlalu cepat untuk menambah status lain di antara mereka.
Walaupun sekarang keyakinan sudah terbentuk, mereka tetap perlu waktu
tambahan untuk memikirkan ulang apa yang mereka rasakan.
Selama hidupnya, Agni
tidak pernah punya pengalaman soal asmara. Sudah tahu kan kalau hidupnya
bisa dibilang lebih banyak diisi oleh pencariannya pada Aga. Orang lain
mungkin menganggapnya berlebihan dan memperumit keadaan.
Tapi, ia tidak suka
memburu perasaannya sendiri. Rasanya akan lebih baik kalau semua hal
yang melibatkan perasaan dipertimbangkan secara matang dan dibiarkan
berjalan pelan-pelan.
"Kalo gitu gue ganti tawarannya." Usul Cakka akhirnya. Agni menautkan alisnya tidak mengerti.
"Lo bersedia gue perjuangin ga, Ni?"
***
Rasanya waktu berlalu
sungguh cepat. Sudah lama sejak Ify dkk merayakan pesta kelulusan SMA
hingga kini masing-masing sibuk mendaftar ulang ke universitas yang
menerima mereka. Semuanya berjalan apa adanya sebagaimana mestinya
sedari awal.
Nyaris tidak ada kendala
yang menghampiri. Hubungan Agni dan Cakka serta Via dan Gabriel
berkembang baik sesuai dengan cara mereka meskipun tak ada status resmi
apapun. Shilla tidak lagi menjadi gadis galau di antara ketiga temannya.
Hubungannya dengan Alvin hampir tidak pernah bermasalah.
Tapi ternyata, yang
kelihatan sempurna kenyataannya tidak benar-benar miskin cela. Hubungan
Rio dan Ify tidak semulus 3 pasangan yang lain. Sebenarnya Rio tidak
merasakan ada yang salah antara dirinya dan sang kekasih, tapi tidak
dengan Ify sendiri.
Ify pikir Dea adalah
rintangan satu-satunya sekaligus terakhir dalam hubungannya bersama Rio.
Nyatanya Rio sendiri adalah sumber masalah. Solidaritas sekaligus
kepedulian tingkat tinggi pemuda itu lama-lama membuatnya jengah.
Rio memang tidak lagi
punya perasaan khusus pada Acha. Akan tetapi, pemuda itu merasa
seolah-olah bertanggung jawab pada sang mantan gebetan. Semenjak Acha
memutuskan menetap di Indonesia, sejak itu juga Rio menjadi penjaga
sukarela untuk gadis itu dan Sara.
Rio seolah menggantikan
sosok ayah yang tidak dimiliki Sara agar gadis kecil itu tidak merasakan
kekurangan kasih sayang. Rio rutin berkunjung ke rumah Acha untuk
mengajak Sara bermain, rutin membawa gadis kecil itu pergi jalan-jalan,
merawat ketika sakit bahkan ikut berjaga ketika pernah sekali Sara harus
di rawat di rumah sakit.
Meskipun Rio selalu
mengajaknya dan tidak pernah sembunyi-sembunyi untuk bertemu Acha dan
Sara, Ify tetap merasa tidak nyaman. Ify tidak bisa mengelak pikirian
kalau Rio sudah berlebihan. Puncaknya adalah ketika ayah kandung Sara
muncul.
Rio menjadi semakin
posesif pada Acha dan Sara. Pemuda itu berusaha maksimal menghindarkan
kedua orang tersebut dari Septian, mantan pacar Acha sekaligus ayah
kandung Sara yang dulu menolak bertanggung jawab dan memilih menghilang.
"Lo kelewatan, Yo."
Keluh Ify yang sudah tidak tahan. Bagaimana tidak, Rio melupakan hari
jadi tahun pertama mereka dan justru merayakan ulang tahun Sara di
sekolahnya.
Rio terbirit-birit
menjalankan mobilnya menuju rumah Ify ketika menerima pesan berisi
kekecewaan gadis itu padanya, ketika gadis itu mengingatkannya tentang
hari spesial yang seharusnya mereka rayakan sekarang.
"Fy, maafin gue, gue salah,
bener-bener salah. Lo tau kan apa yang gue lakuin ke mereka semata-mata
ngebantu atas dasar kemanusiaan, ga lebih. Lo percaya sama gue, kan?"
Bujuk Rio sungguh-sungguh.
Ify bahkan menunggu di kursi luar di depan rumahnya. Ia sudah mengira Rio akan datang karena ini bukan pertama kali dirinya menyampaikan keberatan. Rio pasti selalu menghampirinya dan membujuknya untuk berbaikan.
Tapi semua orang juga tahu kalau sabar itu ada batasnya. Ify sendiri tidak yakin masih bisa menolerir atau tidak. "I trust your action more." Balasnya.
Rio hendak buka mulut
namun niatnya harus ia urungkan karena Ify tiba-tiba berdiri dari
duduknya. Ia yang tadinya berlutut di depan Ify ikut-ikutan menegakkan
tubuhnya. Dirinya merasakan sakit berlipat-lipat menerima sorot kecewa
di mata Ify.
"Kita break dulu aja, ya?" Tawar Ify dengan senyum memohon pengertian.
Rio sontak panik, sangat. Ify ingin berjauhan dengannya? Itu benar-benar mimpi buruk. "No, no, babe, listen. Gue bener-bener salah, gue bener-bener minta maaf. Oke, gue gaakan sering-sering nemuin Sara lagi. It will be only the two of us from now. Gue beneran janji, Fy."
Ify menggelengkan
kepala yang membuat wajah Rio pucat pasi. Ia meraih kedua tangan
gadisnya untuk ia genggam. "Sayang, jangan gini dong?" Lirihnya amat
memelas.
"Gue ngelakuin ini
buka sekedar karena kecewa sama lo. Gue belum keterima di mana-mana, Yo.
Gue cuma pengen fokus belajar buat SBMPTN. Gapapa ya?"
Rio tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Ia sungguhan merasa bersalah namun ia juga tidak
mau memaksakan kehendak. Gadisnya perlu waktu untuk menenangkan diri.
Tangannya terangkat dan gantian menangkup wajah Ify dengan penuh
perasaan.
"Jangan lama-lama. Kabarin kalo lo udah siap 'pulang', gue selalu siap jemput. I love you."
Ify tidak membalas. Ia berjinjit agar bibirnya dapat mencapai sebelah pipi Rio untuk ia kecup sebagai pengganti ucapan pamit darinya.
Sudah hampir 3 minggu
Ify tidak bertemu dengan Rio. Mereka tetap berkomunikasi lewat pesan,
tidak pernah lewat telepon langsung.
Suatu hari, Ify
dihubungi oleh orang tak dikenal. Akan tetapi, orang tersebut memiliki
kaitan khusus pada seseorang yang dikenalnya. Orang itu menjadi
seseorang yang tak disangka-sangka akan menghubungi Ify.
Dia Septian.
Septian mengajak Ify
bertemu diam-diam tanpa sepengetahuan Rio. Rio pasti dengan keras tidak
mengizinkan kalau pemuda itu tahu, seberapa pun usahanya membujuk.
Masalahnya beberapa waktu lalu dengan Rio menjadi pertimbangan besar
untuk Ify menerima ajakan Septian tersebut.
Septian memintanya untuk
mempertemukan pemuda itu dengan Acha, juga Sara. Ify tidak begitu saja
bersedia. Bagaimana pun, sikap Septian sebelumnya benar-benar jahat.
Akan tetapi, ia melihat ketulusan di mata Septian sehingga Ify menjadi
tergugah.
Ketika Ify akhirnya
mewujudkan keinginan sejak lama Septian, saat itu kemudian justru
membuat hubungannya dengan Rio benar-benar terancam. Tindakannya
memunculkan masalah besar di antara mereka. Rio sungguh tidak
mengapresiasi niat baik Ify.
"Kenapa lo segegabah
itu, Fy?! Lo tau betapa kerasnya usaha gue jauhin Septian dari Acha sama
Sara." Emosi Rio. Nada bicaranya sedikit tinggi namun ia berusaha keras
tidak membentak Ify.
Ify menatap nanar Rio. Ia sedikit terperangah mengetahui Rio semarah ini. "Lo ga bertanggung jawab apa pun atas mereka, Yo!"
"Karena kita, semua orang tau tentang Sara. Karena semua orang tau,
akhirnya Septian bisa nemuin Acha sama Sara. Semua salah kita, Fy.
Tentu kita juga punya tanggung jawab buat melindungi." Jelas Rio.
Ify dengan bergetar
menggelengkan kepalanya. "Enggak, gue yang bikin Sara dikenal. Semua
salah gue. Gue yang harusnya bertanggung jawab. Dan mempertemukan mereka
sama Septian adalah salah satu bentuk tanggung jawab gue. Septian butuh
kesempatan kedua. Septian sama Acha butuh dikasih kesempatan buat
'mereka'."
"Septian udah
ninggalin mereka, Fy! Dia bikin Acha berenti dari pekerjaan impian dia
dan harus ngungsi supaya ga diganggu orang-orang. Dia udah bikin hidup
Acha jadi berat!" Rio sama sekali tidak menerima alasan
Ify. Baginya, Septian tetaplah pria brengsek yang menghilang setelah
kekasihnya mengabarkan soal kehamilan.
"Mereka yang berhak milih jalan hidup mereka. Lo ga punya hak buat ikut campur, Yo!"
"Ify!" Tegur Rio
tanpa sengaja. Napasnya memburu karena emosi. Ia menutup mata berusaha
meredam semua amarah dalam dirinya. Ia tidak ingin bertindak keras pada
Ify.
"Mungkin lo bener, kita emang butuh break."
Kerenggangan antara Ify
dan Rio menjadi semakin jelas. Rio tidak setiap malam menghubungi.
Pemuda itu sepertinya masih kecewa dan tidak rela. Sementara Ify hanya
pasrah dan tidak berniat melakukan usaha untuk memperbaiki keadaan
karena menurutnya keputusannya mempertemukan Acha dan Septian sudah
benar.
Sampai akhirnya mimpi
buruk terbesar Ify selama ini terjadi. Ferdi ditemukan tidak sadarkan
diri di ruangannya di kantor. Setelah sampai di rumah sakit, diketahui
kalau Ferdi mengalami serangan jantung. Laki-laki itu tidak pernah
memberitahu Ify soal penyakitnya yang satu itu. Selama ini Ify hanya
tahu kalau sang ayah menderita gagal ginjal.
Dokter menyatakan Ferdi
sudah tidak bernyawa sebelum dibawa oleh ambulans. Ify merasa dunianya
porak poranda. Ia merasakan sesak dalam diri karena tidak menjaga dengan
benar sang ayah. Ia sungguhan ditinggalkan seorang diri sekarang, tanpa
kata-kata.
Rio kembali muncul dan
mendampingi penuh dirinya, khususnya selama proses pemakaman dan
pengajian. Pemuda itu juga memintanya melupakan masalah di antara mereka
bahkan menganggap mereka tidak pernah punya masalah.
Kepergian Ferdi
membuatnya memikirkan dirinya, memikirkan masa depannya. Ferdi tahu
kalau dirinya memiliki kendala terkait perkuliahan. Laki-laki itu
menawarkannya untuk menuntut ilmu dari kegiatan yang paling ia sukai,
memasak. Ferdi menawarinya untuk kuliah memasak dan bisnis di Sydney.
Tawaran tersebut
sangat-sangat menggiurkan. Akan tetapi kalau dirinya bersedia, tandanya
ia akan berpisah cukup lama dari Rio. Sangat tidak masuk akal kalau ia
meminta Rio menunggunya dan tetap setia padanya selama bertahun-tahun.
Mereka masih muda. Mereka punya begitu banyak kesempatan untuk
mengembangkan diri.
Bermalam-malam Ify
berpikir tentang kelanjutan nasibnya. Buruknya hubungan dirinya dan Rio
sebelumnya memiliki pengaruh besar dalam keputusan yang ia ambil.
Setelah berdebat keras dengan dirinya sendiri, ia akhirnya memutuskan.
Ia akan pergi dan menyelesaikan antara dirinya dan Rio.
"I want a break up."
Lirih Ify pada Rio di depannya ketika mereka baru selesai makan dan
sedang menurunkan isi perut. Tindakannya benar-benar tiba-tiba karena
sebelumnya hubungan mereka sudah sedikit ada perbaikan.
Rio termangu sesaat
kemudian wajahnya mengeras meskipun coba ditahan sebisanya. "Kamu
becanda, huh?" Seringainya sinis. Ia sedang sangat serius jika
menggunakan panggilan aku-kamu pada Ify.
Rio benar-benar tidak
suka ide perpisahan. Apalagi ia menganggap mereka sudah mulai kembali
seperti biasa. Mereka juga tidak ada masalah lagi sebelumnya.
Ify menjaga agar
dirinya tetap tenang meski dadanya bergemuruh hebat. Ia tidak boleh
goyah. Ini juga untuk kebaikan mereka berdua. "Aku serius, Yo. Banyak
hal yang terjadi di hidup aku. Aku butuh sendiri buat bangun hidup aku
lagi. Kamu mungkin rela tapi aku gamau jadi beban buat kamu. Aku gamau
kamu bertahan sama aku yang gabisa ngasih hati aku sepenuhnya kayak dulu. Kamu berhak dapet yang lebih baik. Aku minta maaf."
"Shut up!" Sentak Rio
dengan nada rendah. Tangannya di bawah meja mengepal. Dadanya naik
turun tidak beraturan. Pemuda itu menutup matanya berusaha meredam
amarah sekaligus ketakutan yang melanda.
"Aku gak mau denger kamu ngomong. Aku anggap aku ga pernah dengar 'omong kosong' kamu tadi. Aku antar kamu pulang."
Kenyataannya, dengan
atau tanpa persetujuan Rio, Ify tetap memilih pergi bahkan tanpa
berusaha mengucap pamit atau salam perpisahan yang lebih baik.
"Bye Rio."
***
Eiy, tamat beneran ini? Aku terbelalak kawanππ
Tapi seriusan kok, ini ending. Gue kemaren bilang bakal ada 4-5 part lagi tapi taunya cuma 1 part. Konfliknya udah banyak. Partnya udah terlalu panjang. Gak bagus aja rasanya kalo harus gue panjangin lagi. Gue juga sengaja endingnya ga 'ribet' soalnya gue gamau cerita ini jadi cerita 'berat'. Gue pengen cerita ini tetep di area masuk di akal, ga fiktif2 banget gitu.
Tapi seriusan kok, ini ending. Gue kemaren bilang bakal ada 4-5 part lagi tapi taunya cuma 1 part. Konfliknya udah banyak. Partnya udah terlalu panjang. Gak bagus aja rasanya kalo harus gue panjangin lagi. Gue juga sengaja endingnya ga 'ribet' soalnya gue gamau cerita ini jadi cerita 'berat'. Gue pengen cerita ini tetep di area masuk di akal, ga fiktif2 banget gitu.
Jangan panik soalnya bakal ada epilogπ
Ngomong2
soal epilog, gue berencana masukin beberapa adult content (ga sekedar
kisseu-kisseu loh ya maksud gue) buat nyesuain umur tokohnya, meskipun
ga adult banget juga haha. Gue warning dari awal biar adek2ku sekalian
ga merasa terjebak dan bisa mempertimbangkan buat baca atau enggak.
Semoga endingnya ga mengecewakan. Thanks a lot for everything❤️
KOK GANTUNG:(
BalasHapusepilognya ada di wattpad ay. Mau post di sini ga enak, soalnya rate nya 19+ wakakak
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusKak buat sequelnya atau apa gituπ☺️. Suka ceritanyaπ❤️π. Tapi endingnya jangan sedih donk kakππ€§π
BalasHapusudah tauuu epilog sama sekuelnyaa
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus