Buset-buset ngetik ampe tangan copot...gadeng lebay. Gue ngerjain di
sela-sela nyusun skripsi. Kalo tetiba gue ngepost seminggu sekali harap maklum
ya sodara-sodara.
***
Ify baru saja menutup pintu kamarnya dan hendak melangkah menuju tangga
sebelum Fify tiba-tiba muncul dengan penampilan yang sudah rapi. Fify berdiri
sambil menarik bajunya bagian bawah hendak mengutarakan sesuatu padanya. Ia mau
tidak mau menunda sejenak niatnya dan mendengarkan gadis itu.
"Kenapa?" tanya Ify langsung.
Fify mengedipkan matanya beberapa kali sebelum menjawab. "Mau
ikut.." cicitnya pelan. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini.
Ify memperhatikan Fify lamat-lamat dan entah kenapa ia merasa gadis kecil
itu sedang kesepian. Apa mungkin dia sedang merindukan Angel atau ibunya? Kalau
ayahnya ia agak ragu, sih.
Ify menghela napas pelan lalu menganggukkan kepala memberi lampu hijau
pada Fify. Seketika bibir Fify melengkung sempurna. Gadis itu tampak begitu
senang bahkan mendahului Ify berjalan menuruni tangga.
Ify berjengit kaget sekaligus bingung namun kemudian ia hanya mengedikkan
bahu. Yah, namanya juga anak-anak.
Rio yang ada di ruang tamu bersama Ferdi awalnya memandang kehadiran mereka
dengan kening mengerut. Untunglah Rio ternyata tidak mempermasalahkan
keikutsertaan Fify dalam perjalanan mereka kali ini.
Mereka akhirnya berangkat menggunakan mobil Rio di mana sang empunya dan
Ify menempati kursi depan sementara Fify menikmati singgasananya di kursi
belakang. Ke mana tujuan mereka sebenarnya, Ify pun tidak tahu. Semalam Rio
hanya mengajaknya untuk ke suatu tempat. Pemuda itu bilang mereka akan bertemu
seseorang namun tidak menyebutkan siapa gerangan.
"Nanti biar langsung gue kenalin," Begitu penjelasan yang tidak
jelas dari Rio. Ify tidak terlalu banyak berpikir dan mengikuti saja ajakan Rio
padanya.
Awalnya suasana cukup ramai karena perdebatan antara Rio dan Fify. Bukan
debat yang menegangkan urat. Hanya saja Rio yang sepertinya senang
mempermainkan Fify dan Fify sendiri juga tidak mau kelihatan kalah. Ify
sesekali nimbrung namun lebih banyak tertawa akan ulah mereka.
Hingga akhirnya masing-masing dari mereka tidak ada yang buka suara.
Hanya ada bunyi alunan lagu dari pemutar musik dalam mobil yang mengisi
kekosongan. Hal ini kemungkinan akan berlangsung hingga beberapa saat yang akan
datang.
Ify memilih memainkan ponsel, melihat postingan orang-orang yang ia kenal
di aplikasi sosial media miliknya seraya menjelajah berita-berita terbaru. Tapi
kemudian, jemarinya yang tadi lincah men-scroll isi layar ponsel, mendadak
berhenti. Ibu jarinya berhenti pada sebuah headline berita yang baru saja
muncul. Berita yang sanggup membuat jantungnya nyaris bisu.
'Acha Raissa pulang ke tanah air hari ini!'
Dengan sedikit gemetar, Ify memberanikan diri menggerakkan kembali ibu
jarinya dan menekan link yang akan membawanya pada berita luar biasa tersebut.
Ia juga masih mengusahakan untuk men-scroll ke bawah sampai ia dapat melihat
foto seseorang yang dibicarakan di sana.
Ify sempat berharap Acha yang dimaksud saat ini bukan Acha yang 'itu'.
Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika ia tidak mendapati gambar lain
selain gambar Acha yang 'itu'.
Tangan Ify yang memegang ponsel perlahan jatuh ke atas pahanya. Kedua ibu
jarinya bertemu dan ia mulai memilin bajunya diam-diam. Kepalanya tidak bisa
berhenti berpikir tentang tujuan mereka saat ini. Ia berusaha menghalau
kecurigaannya namun apa yang timbul di benaknya terlalu akurat untuk
disalahkan. Jangan bilang kalau...kalau...
Drrt..
Ponsel Rio yang tergeletak di sisi kosong di belakang rem tangan bergetar
dan layarnya menampilkan sebuah pesan baru. Baik Ify maupun Rio sama-sama tidak
ada yang sadar sementara Fify sudah memajukan tubuhnya melihat apa isi pesan
tersebut. Gadis itu lantas melontarkannya tanpa pikir panjang.
"Acha Raissa. Aku udah sampe, Yo. Tapi lagi nunggu bagasi. Kamu jadi
jemput?" Eja gadis itu.
Ify terpaku di tempat. Ibu jarinya bahkan tidak sanggup lagi bergerak.
Beberapa waktu lalu ia baik-baik saja ketika memutuskan menghindar dari Rio.
Tapi, sekarang ketika ia mungkin saja harus melakukan itu lagi, kenapa ia
justru takut setengah mati?
***
Suasana di dalam mobil Rio masih sama tenangnya seperti sebelumnya.
Tenang alias hening. Keheningan itu juga yang membuat Ify makin lama makin
menjauh dari dunia sekitarnya padahal ia tidak bergerak seincipun dari
posisinya.
Rio sendiri tampak tidak terusik sama sekali. Pemuda itu menyetir dengan
santainya seolah tidak terjadi apapun. Telunjuknya bahkan bergerak-gerak
mengikuti tempo lagu yang sedang diputar.
Tepat ketika mobilnya berhenti setelah memasuki dan menemukan tempat
kosong di parkiran bandara, Rio akhirnya menoleh pada Ify. Ia menyandarkan
kepalanya ke kepala jok seraya tetap mengarahkan pandangan pada kekasihnya
tersayang.
Ify menyadari tatapan Rio ke arahnya namun ia terlalu takut bertanya
bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara. Ia bahkan menjaga benar cara
bernapasnya saat ini. Ia pun lebih memilih pemandangan di sekitar jendela
ketimbang wajah tampan Rio.
Ia sebenarnya tidak tahu apa yang ia inginkan. Ia penasaran namun ia juga
tidak siap bila Rio bicara. Di saat yang bersamaan ia juga menunggu pemuda itu
mengucapkan sesuatu.
Bukannya bicara, Rio justru menoel pipi Ify, seperti mencari perhatian.
Gadis itu sedikit bergeser seolah ingin menjauh darinya dan menempel pada kaca
jendela. Tangannya masih beberapa senti dari wajah gadis itu sehingga ia dapat
mengulang perlakuannya barusan karena sebelumnya diabaikan.
Pada sentuhan ketiga, Ify baru benar-benar menolehkan kepala menghadap
Rio. Sebenarnya, saat itu kebetulan keberanian dalam dirinya sudah terkumpul
cukup untuk menghadapi pemuda itu. Ia berusaha menjaga betul mimik wajahnya
agar tetap santai.
Rio diam mengamati sekaligus menikmati paras indah yang dimiliki Ify.
Matanya yang bulat, tidak besar namun terlihat pas, bulu mata yang panjang dan
lentik alami, hidung yang mancung, tak lupa bibir merah muda mungil yang
membuat semuanya menjadi sempurna.
Hebatnya, Ify tidak datang kepadanya dengan memamerkan kecantikan. Gadis
itu terlalu apa adanya untuk dituduh berusaha terlihat bagus di matanya. Ify
memang menyukainya sejak awal namun gadis itu tidak pernah mengejarnya. Takdir
yang memaksa mereka saling terlibat hingga akhirnya juga tunduk pada keinginan
hati masing-masing untuk menyatu satu sama lain.
Hatinya selalu menghangat menakala memikirkan itu semua. Sebuah ide jahil
lalu terlintas di benaknya. Ia segera mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu
lalu mengirimnya pada Ify.
Ify mengernyit bingung kenapa Rio tiba-tiba mengambil ponselnya. Ia
lantas berpikir pemuda itu sedang membalas pesan dari Acha beberapa saat lalu.
Pikiran tersebut membuat hatinya agak 'tersenggol'.
Tanpa diduga-duga, justru ponsel Ify yang berbunyi dan ada sebuah pesan
baru yang datang dari...
Rio?
Ify mengedipkan mata menajamkan pandangannya ketika membaca ulang nama
sang tamu. Hasilnya sama saja. Tidak ada nama lain selain nama Rio yang muncul
di layar ponselnya.
'Pake lipstik apa hari ini?'
Berikut isi pesan dari Rio padanya. Ify menoleh mempertanyakan maksud Rio
mengirimkan pesan tersebut padanya lewat tatapan mata. Bukannya menjawab, Rio
justru kembali mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Tak lama setelah itu, ponsel
Ify kembali berbunyi.
'Kalo gue cium, bakal susah diapus ga?'
Tak sampai dua detik setelah membaca pesan Rio, Ify refleks memukul dada
pemuda itu agak keras walau tidak sampai membuat pemuda itu mengeluh sakit. Rio
sungguh tidak waras. Bisa-bisanya dia berpikiran asusila di situasi genting
seperti sekarang?! Bukan, sih. Perasaannya sendiri saja yang menganggap ini
genting, sebenarnya.
Rio tertawa kecil lalu kemudian menggunakan amukan Ify sebagai kesempatan
untuk menggapai tangan gadis itu. Ify berusaha menarik tangannya dari
genggamannya namun ia dengan mudah menahan sampai gadis itu menyerah sendiri.
"Udah bikin rencana kabur kayak di dufan?" Rio menyeringai yang
membuat Ify mendengus keras.
Ify mencoba menyentak tangannya agar terlepas dari genggaman Rio namun
percuma. Pemuda itu terlalu tangguh dan 'keras kepala' untuk ia lawan. Ia
lantas mendesis kesal. "Udah!" Ketusnya seraya memalingkan wajahnya
menghadap jendela kembali.
Rio mengendurkan bibirnya membentuk senyum lembut pada Ify. Ia sekilas
menoleh pada Fify yang kebetulan sedang menatapnya. Ia mengedipkan sebelah
matanya memberi pesan tersirat pada gadis kecil itu. Fify perlahan mengangkat
tangannya hendak menutup kedua telinga lalu kemudian merebahkan badannya
bersandar sambil menutup mata.
Rio kembali menoleh pada Ify yang masih dalam posisi yang sama. Ia tanpa
aba-aba langsung menarik kencang tangan Ify. Badan Ify sontak terhuyung ke
arahnya karena tak sempat menghindar. Ia perlu berterima kasih atas
keterkejutan Ify sehingga membolehkannya dengan mudah mendekap gadis itu,
memegang sebelah wajahnya agar memandang fokus padanya.
"Dea baru ngasih tau tadi malem. Dia minta tolong, banget, buat
jemput kakaknya. Mau nolak ga enak karena gimana pun gue deket sama mereka dan
ga lagi ada masalah juga." Jujur Rio akhirnya. Ibu jarinya mengusap pelan
pipi gadis yang ada dalam kungkungannya.
Ify menunduk seraya memberengut. "Kenapa ga langsung bilang.."
Cicitnya pelan.
Ify tidak tahu seberapa gemas Rio saat ini melihatnya. Kalau saja tidak
ada Fify, Rio pasti sudah mengecup bibir yang sedang mengerucut miliknya itu.
Biarpun Fify mungkin tidak sedang mendengar atau melihat, tetap saja bagi Rio
tidak pantas dilakukan saat ini.
"Gue bingung. Takut lo marah trus ngediemin bahkan ngejauhin gue.
Gakuat gue, Fy." Rio meringis mengingat lagi masa-masa renggang di
hubungan mereka beberapa waktu lalu.
Entah Rio sadari atau tidak, Ify merasa pipinya sedikit memanas karena
tersipu. Meski begitu, kejanggalan di hatinya masih belum hilang.
"Gue juga gamau lo nolak dan akhirnya selalu insecure sama Acha. Biar semuanya clear dan fair buat lo,
lo harus liat gue sama dia."
Ify diam antara mencermati ucapan Rio dengan menyelami tatapan pemuda itu
yang sudah melebihi dalamnya sumur di rumahnya. "Janji ya lo gak bakal
baper lagi?"
Rio terkekeh geli seraya memicingkan mata. "Bukannya lo yang udah
baper duluan?" Godanya.
"Ish..Rio!" Gusar Ify. Ia hendak bangkit dari dekapan Rio namun
segera ditahan pemuda itu. Ia lantas merutu sekali lagi.
Bukannya berusaha membuat Ify tenang, Rio justru tanpa permisi mencuri
kecupan di dahi gadis itu. Ia tidak tahu kalau tindakannya sekarang membuat
gejolak di dada Ify kembali hadir. Meskipun sekarang rasanya menyenangkan.
"Udah belom?" Fify yang telah lama terabaikan tiba-tiba
menyela. Hal ini sekaligus menjadi bel selesainya kegiatan lovey dovey Ify dan Rio.
***
"Yo?"
Seseorang memanggil Rio pelan dari arah sampingnya. Rio lantas menoleh
dan mendapati seorang perempuan berpakaian serba hitam mulai dari topi,
kacamata, baju, dan celana. Hanya masker dan sepatunya saja yang berwarna
putih. Perempuan itu adalah orang yang ia tunggu sedaritadi.
Siapa lagi kalau bukan Acha.
Rio melirik pada seorang bapak yang memegang trolly dorong berisi koper
dan barang-barang bawaan Acha. Ia lantas mengambil alih trolly tersebut dengan
sopan disusul Acha yang memberikan selembaran uang 50 ribu pada laki-laki tadi.
Acha melepas topinya dan memakaikannya
begitu saja pada Rio yang membuat pemuda itu memandangnya bingung.
"Ada wartawan." Jelasnya seraya memberi kode lewat gerakan dagu.
Rio curi-curi pandang ke arah belakangnya dan mengetahui sekumpulan
wartawan tengah bersiap-siap meliput. Meliput kedatangan Acha yang untuk saat
ini telah mereka lewatkan.
"Mobil kamu di mana?" Tanya Acha lagi sebelum Rio sempat
berbicara.
"Aku telfon bentar." Jawab Rio sambil mulai melangkahkan kaki
menyebrangi jalan menuju tempat mobil atau angkutan berhenti.
Acha mengawasi ketat pergerakan wartawan yang telah berkumpul tadi.
Mereka masih dalam posisi yang sama dan belum menyadari keberadaan dirinya dan
Rio. Ia tidak tahu bagaimana berita kepulangannya bisa tersebar. Ia bahkan baru
memberitahu keluarganya pada malam keberangkatan.
Ia bukannya sombong tak ingin diliput apalagi diwawancara. Hanya saja, ia
saat ini tidak seorang diri. Ia membawa serta orang lain. Bukan Rio, melainkan
Sara...anaknya. Tidak ada hal positif yang akan anaknya terima dengan
membiarkan dunia tahu keberadaannya. Bukan karena ia tidak mau mengakui, ia
hanya mencegah orang-orang menyakiti anaknya.
Dan keterlambatan hadirnya mobil Rio saat ini benar-benar tidak membantu
situasinya.
"Gimana, Yo?" Tanyanya lagi mulai kurang sabar.
Rio berdecak kesal. Ia menghubungi Ify tapi tak jua dijawab. Ia sudah
berpesan untuk stand by. Sekarang justru tidak ada kabar. Ia refleks memeriksa
para wartawan yang menunggu tadi. Sialnya, salah seorang dari mereka menoleh ke
arahnya.
Ia cepat-cepat memalingkan wajah ke arah depan. Ia berharap wartawan
tersebut tidak sempat melihat wajahnya. Ia melirik Acha di sampingnya dan tanpa
aba-aba merangkul gadis itu, menariknya hingga berdiri di depannya demi
menyembunyikan gadis itu dari pandangan orang di belakang.
"Jangan bilang kamu ketauan, Yo?" Tukas Acha mulai berubah
panik. Ia mengeratkan pelukannya pada Sara.
Rio mendesah putus asa. "Semoga enggak...Lagi kenapa koper kakak
banyak amat, sih? Susah mau didorong ini!" Ia lantas balik menggerutu.
Acha memutar kedua bola matanya jengah. Rio masih sama menjengkelkannya
dari terakhir mereka bertemu. Haruskah mereka bertengkar di saat begini?
"Yang sok nyetopin bapak tadi siapa?" Delik Acha. "Yo,
berantem kita sekarang ini ga penting. Mobil kamu di mana?"
***
Ify dan Fify baru saja keluar dari toilet. Fify sebelumnya mengeluh ingin
buang air. Ia sudah coba membujuk gadis kecil itu untuk menunggu sampai Rio
memberi kabar. Tapi tahu sendiri, Fify adalah anak yang pikirannya tidak bisa
ditebak namun juga tidak bisa dibantah. Ia akhirnya menuruti permintaan gadis
itu.
Selama menunggu dalam toilet, ia benar-benar tak tenang. Ia baru sadar
meninggalkan tasnya yang sama juga ia tidak membawa ponsel. Hanya kunci mobil
yang di bawanya. Setelah Fify selesai, ia sedikit menarik gadis itu untuk
berlari. Ia takut Rio sudah menghubunginya beberapa kali.
Tanpa disangka, dalam perjalanannya ia melihat Rio beberapa meter dari
tempatnya berada sedang...merangkul perempuan di depannya yang 99% ia yakin itu
Acha. Ia mendadak berhenti menatap 'pemandangan' tersebut dengan kaku. Ia seketika
kesulitan menelan ludahnya sendiri.
Tidak. Tidak. Ia tidak boleh buruk sangka. Mungkin Acha lagi lemes. Kalo
ga dirangkul ntar nggelinding.
Ify melangkahkan kakinya kembali satu-satu sambil berusaha semaksimal
mungkin menendang semua pikiran buruk yang masuk dalam kepalanya. Meskipun
rasanya luar biasa susah. Tangannya bahkan bergetar ketika memutar kunci hendak
menyalakan mobil. Entah bagaimana, ia sendiri juga takjub, ia bisa sampai di
depan Rio dan Acha.
Yang lebih takjub lagi, posisi dua sejoli itu sudah berubah. Bahkan
sekarang penampakannya jauh lebih manis. Rio mendekap Acha yang bersandar di
dadanya. Pikiran Ify sesaat kosong. Namun kemudian menjadi kacau manakala
melihat ada beberapa orang yang mengelilingi dua insan yang membuatnya ketar-ketir
itu.
Wartawan!
Rio menerobos wartawan yang menghalanginya dan mendudukkan Acha di kursi
depan tanpa sempat berpikir lagi. Yang ia tahu, ia harus mengamankan Acha
secepatnya. Setelah itu, ia tergesa-gesa memasukkan barang bawaan Acha ke jok belakang
mobilnya tanpa sekalipun menjawab pertanyaan yang dilontarkan para wartawan.
Badan Ify rasanya makin kaku saja. Kalau Acha duduk di depan, berarti
dalam perjalanan nanti gadis itu akan berdampingan dengan Rio sementara ia
terjengkal duduk di kursi belakang. Sial. Boleh kah ia merasa kesal dengan
kenyataan konyol dan tidak penting ini?
Belum sempat ia menentukan perasaannya sekarang benar atau salah, Rio
menyela pikirannya dengan membuka pintu di sampingnya.
"Pindah, Fy!" Ujar pemuda itu dengan begitu ketusnya.
Ify lantas beranjak dengan bingung. Ia bahkan belum sempat berbicara
ketika Rio sudah kembali menutup pintu mobil. Ia buru-buru menyusul masuk ke
dalam dan duduk bersama dengan Fify. Mobil dengan cepat berlalu menuju gerbang
keluar bandara.
"Lo kemana aja, sih? Kenapa ga ngangkat telfon gue?" Nada
bicara Rio masih sama. Sama ketusnya dengan sebelumnya.
"Da—dari t—toilet..Hape gue keting..galan.." Jelas Ify terbata.
Rio mendengus keras. Ia sungguh frustasi saat ini. "Lo gatau masalah
apa yang bakal terjadi abis ini.." Serahnya.
Di samping Rio, Acha spontan menyentuh dan meremas pelan lengan pemuda
itu. "Kamu tenang dulu, Yo." Tegurnya dengan sabar.
Sementara di belakang sana, Ify diam-diam merana melihat interaksi dua
orang di depannya hingga saat ini. Dari rangkul, peluk, sampe upgrade ke
aku-kamu. Bukankah semua itu adalah hal-hal yang seharusnya Rio lakukan bersama
dirinya?
"Kak, kalo sampe mereka bikin berita tentang Sara gimana? Aku..sorry..seharusnya tadi aku langsung
nyamperin Kakak aja." Sesal Rio. Ia marah sekaligus merasa bersalah.
Di saat yang sama, Ify merasa sudah berpindah dunia. Ia tidak lagi mau
memperhatikan Acha dan Rio. Ia tidak tahu apa masalahnya namun ia sadar kalau
keterlambatannya berakibat fatal. Ia pun merasa bersalah. Namun, melihat Acha
dan Rio saat ini juga tak kalah menyakitkan.
***
'Kepulangan Acha Raissa yang Diam-Diam'
'Acha Raissa Tidak Ingin Diwawancara'
'Menghindar dari Wartawan, Acha Raissa Kepergok Bersama Mario 'Real' dan
Seorang Anak Kecil'
'Acha Raissa dan Si Kecil Misterius'
'Acha Raissa Punya Anak?'
Ify mematikan layar ponselnya dan berganti menggenggam tangannya yang
terkepal. Ia menggigit bibirnya merasa benar-benar bersalah. Berita 'miring'
mengenai Acha akhirnya keluar. Berita yang sebelumnya telah diwanti-wanti oleh
gadis itu dan Rio. Terimakasih pada dirinya yang sudah memberi jalan pada
wartawan.
Ify bersama Fify dan Rio kini sedang dalam perjalanan pulang menuju
rumahnya setelah selesai mengantar Acha. Ify sempat meminta maaf pada Acha yang
dibalas senyum hangat gadis itu. Sementara dari sejak berada di rumah Acha
hingga di dalam mobil, Rio masih setia bungkam.
Air muka Rio tidak sekeras sebelumnya. Bahkan sebenarnya tidak ada
ekspresi apapun di wajahnya saat ini. Pemuda itu tampaknya hanya enggan
berbicara. Kepala Ify rasanya mulai cekit-cekit. Ia tidak tahu lagi harus
bagaimana kalau Rio hanya diam seperti ini.
Bahkan ketika mereka sampai, Rio hanya berpamitan singkat. Pemuda itu
walaupun akhirnya berbicara namun tidak sekali pun menatapnya. Seolah-olah akan
ada bencana datang saat melihatnya. Iya, sih. Ia sudah membuat satu kekacauan.
Tarikan baju yang dilakukan Fify sesaat mengalihkan perhatian Ify pada
gadis itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat gadis kecil itu meringis takut.
Matanya memerah dan mulai berkaca-kaca. Ify sesaat kaget namun cepat-cepat
berjongkok menyamakan kedudukan dengan gadis itu.
Ify membawa Fify dalam pelukannya sambil dengan lembut menepuk punggung
gadis itu. "Sst..sst..udah gapapa." Bujuknya ketika anak yang
dipeluknya mulai terisak lucu.
"Mama jadi berantem.." Cicit Fify seraya memeluk erat leher
Ify.
Ify memutar kedua bola matanya seraya tersenyum geli. Sekarang ia kembali
menjadi 'Mama' gadis itu?
"Mama?!" Delik Ify pura-pura, hendak mengalihkan kesedihan
Fify.
Fify tak lantas menjawab. Ia sejenak fokus pada tangisannya. Hingga
kemudian ia akhirnya bersuara yang seketika membuat dada Ify menghangat.
"Mamaku gaboleh sedih.."
Ify sesaat terpana lalu kemudian terkekeh kecil. Gadis yang tengah
menangis di bahunya ini sungguh lucu. Melarangnya bersedih sementara lihat
siapa yang bercucuran air mata sekarang?
"Iya. Anaknya mama juga gaboleh sedih kalo gitu. Gaadil dong kamu
nangis sendiri?"
Suara isakan Fify berhenti hanya napasnya saja yang sesekali tersendat.
Ia perlahan bergerak mundur dan membebaskan leher Ify walau tidak benar-benar
lepas. Ia mendapati sang 'mama' sedang tersenyum lebar ke arahnya, menunggunya
berbicara. Karena ia masih sulit berucap, ia lantas hanya menganggukkan kepala.
Ify mengerling puas dan langsung kembali berdiri tegap. Ia meraih tangan
Fify untuk ia genggam dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Baru kali ini ia
merasa amat bersyukur dengan keberadaan Fify di rumahnya.
***
"MINGGIR!"
Kelas Ify dan kawan-kawan tiba-tiba diintervensi secara paksa oleh
seorang gadis yang tiba-tiba datang dengan rupa kesetanan alias marah-marah.
Semua orang yang berada di dalam sontak menghentikan kegiatan mereka dan
memperhatikan gadis itu dengan heran. Gadis itu melangkah lurus dengan cepat
hingga sampai di meja Ify.
Gadis yang merupakan salah satu junior 'tak dikenal' di sekolah mereka.
Sayangnya Ify apalagi Rio sangat mengenal dalam gadis itu. Coba tebak siapa?
"Dea? Ka—AAH!"
Ify yang masih belum luput dalam keterkejutan kembali terperangah dengan
aksi Dea, si gadis kesetanan, selanjutnya padanya. Dea menjambak rambutnya!
Seketika, kelas yang tadi hening berubah ramai. Banyak di antaranya
berseru khawatir sekaligus menyemprot sinis tindakan tidak sopan bin anarkis
Dea. Agni yang berada tepat di belakang tempat kejadian perkara dengan segara
berdiri dan berusaha melerai pergulatan Ify dan Dea. Lebih tepatnya sih
berusaha menghentikan Dea.
"Hitungan ketiga ga lo lepas, gue gunting tangan lo!" Peringati
Agni tajam. Matanya menatap dingin sosok kurang ajar di depannya.
Dea balas menatap Agni jengah, menganggap remeh peringatan yang
menurutnya asal-asalan itu. Agni lantas tertawa sinis. Gadis ini tidak tahu
arti main-main? Karena jelas ucapannya tidak termasuk.
"Vi, gunting." Pinta Agni tanpa repot-repot menoleh pada Via.
Via dengan senang hati menyambut keinginan temannya yang perkasa itu.
"Cutter aja, Ni. Lebih lama
putusnya, lebih sakit." Dea sungguh salah memilih lawan. Apalagi saat ini,
kebetulan Via, Agni, dan Shilla sedang sama-sama 'gila'. Via dengan masalah
kedua orangtuanya, Agni dengan dilema perasaannya pada Cakka, dan Shilla dengan
masalah 'hilang'nya Alvin.
Dea menelan ludahnya ngeri melihat 3 macan betina di depannya pada
akhirnya menyerah dan membebaskan mahkota kepala Ify. Ify melangkah mundur,
mengambil sikap waspada pada gadis menyebalkan di depannya.
Sudah ya, kita jujur-jujuran saja sekarang. Biarkan dirinya menyebut
dengan lantang betapa menyebalkan Dea baginya. Nyebelin rasanya ga cukup.
"Kamu..kenapa, sih?" Tanya Ify jengah. Ia sudah benar-benar muak
dan tidak berniat lagi bersikap bak ibu peri pada Dea.
"Ini semua rencana KakFy, kan? KakFy sengaja ngelakuin ini semua
kan?" Tuduh Dea yang sudah kembali emosi.
Ify mengernyit was-was sekaligus tidak mengerti kemana arah pembicaraan
Dea. "Apasih?" Ketusnya walau pelan. Ia tidak benar-benar bertanya
maksud gadis itu. Ia justru sedang mencemooh tindakan berlebihan Dea saat ini.
"KakFy sengaja kan lama-lamain jemput Kak Acha? KakFy sengaja kan
biar Kak Acha bisa diliput sama wartawan?!" Nada suara Dea semakin tinggi
yang nyaris membuat ketiga teman karib Ify, terutama Agni, naik pitam. Agni
mencoba mengatur napas menurunkan amper dalam kepalanya agar tidak melewati
batas ambang.
"Kamu pikir kakak sama kayak kamu?" Sinis Ify. Untuk pertama
kali dalam hidupnya ia menyinisi seseorang. Agni dan kedua temannya yang lain,
bahkan satu kelas sesaat terpana melihat sikapnya. Tapi kemudian kembali fokus
pada silat lidah yang terjadi.
"Fy!" Tegur Rio yang tiba-tiba saja sudah hadir. Bertepatan
dengan selesainya Ify berbicara sebelumnya.
Agni, Via, dan Shilla serentak melenguh dalam hati. Ini nih, malaikat
pelindungnya dateng.
Gantian sekarang Ify yang merasa terpana dengan kehadiran Rio. Setelah 2
harian ini mereka sama sekali tidak berbicara, lewat apapun, akhirnya Rio
berkenan kembali mengucap namanya. Waw, senang sekali ya. Ia akhirnya
benar-benar di'tegur'.
"Ini emang maunya KakFy kan?"
Ify, apalagi ketiga temannya, benar-benar sudah malas menghadapi Dea.
Tapi gadis itu masih saja tidak to the point. Semua ini maunya..semua ini
maunya..Memang apa maunya? Tidak sadar kah Dea kalau kemauannya justru perginya
gadis itu dari hadapannya sekarang?
"Jangan muter-muter. Kamu udah bikin rusuh kelas orang, kakak kelas
kamu, kamu tau?" Ify mati-matian menahan suaranya agar tidak meninggi.
Bukan karena sekarang ada Rio. Ia hanya tidak ingin suasanya bertambah ricuh
dan akhirnya sampai ke telinga guru. Walau ia sebenarnya tidak yakin sekarang
belum ada siswa yang melaporkan kejadian di dalam kelasnya.
Rio mendadak maju dan berdiri di antara Ify dan Dea. Entah kenapa, Ify
justru merasa tidak nyaman di dekat pemuda itu. Ia malah sedikit mundur dan
merapat pada Agni. Rio menyadari itu namun berusaha mengeyahkannya sebentar.
"Kamu kenapa dateng ke sini marah-marah, De? Ngomong baik-baik, yang
jelas, ga ribut." Rio membujuk dengan nada sabarnya.
Gaboleh dikatain, tapi minta dikatain. Rapal Agni dalam hati. Percayalah,
sekali lagi Dea menuduh Ify macam-macam, jangan percaya kalau ia hanya
mengumpat dengan nama binatang nanti.
"KakFy sengaja kan bikin Kak Acha dapet berita jelek? KakFy gamau
Kak Acha lama-lama di sini, kan? KakFy takut KakYo suka lagi sama Ka Acha,
kan?"
Catat, Dea sudah memilih. Salahkan pilihannya sendiri.
"Heh klakson metromini, lo yang minta mulut kasar gue ya jadi PASANG
kuping lo bener-bener! Kakak tersayang lo bukan dapet berita jelek, tapi dia
cuma ketauan BUNTING dan punya anak DI LUAR NIKAH. Kalo menurut lo itu berita jelek,
salahin kakak lo kenapa kelakuannya RUSAK, bukan Ify! Cih, sekeluarga rusak kok
beraninya nuduh-nuduh orang?" Hardik Agni lebih-lebih dari kejam. Semua
yang berada di kelas seketika menelan ludah ngeri. *Gue yang ngetik pun ga
tega, topiknya sensitif, tapi ini bukan doktrin terselubung, bukan generalisasi
kaum, please ya jangan salah paham, ini cuma mengikuti karakter tokoh dlm
cerita aja*
Ify baru hendak melerai Agni namun kalah cepat dari Rio. Ia memandang
pemuda itu yang sekarang sudah sama berapi-apinya dengan Agni.
"AGNI! Jaga mulut kotor lo! Lo siapa seenaknya nge-judge Acha, hah? Lo siapa sembarangan
nilai keluarga mereka? Lo pikir lo suci? Anak pungut aja gausah belagu!"
Balas Rio sama kejamnya.
Ify memekik tertahan. Tangannya bergetar menutup mulutnya sendiri. Ia
tidak menyangka masalahnya akan jadi besar seperti ini. Ini hanya permasalahan
antara dirinya dan Dea, yang sebenarnya gadis itu saja yang membuat masalah
dengannya, tapi sekarang justru melibatkan Rio dan Agni. Agni mungkin terlalu
kejam, tapi Rio tidak sepatutnya membicarakan hal yang sama sekali tidak
berkaitan.
Agni berjengit seraya tertawa heran. Dalem kitab agama mane woy jadi anak
pungut itu dosa besar? Namun ia tidak perlu susah-susah mengutarakan apa yang
ada di dalam hatinya karena kehadiran Cakka. Pemuda itu sama misteriusnya
dengan Rio ketika datang. Tiba-tiba hadir dan langsung terjun ke lapangan.
"Salahnya anak pungut di mana, Yo? Lo lupa, temen lo ini juga calon
anak pungut dulunya?" Sambar Cakka.
Ify merasa kepalanya cenat-cenut. Suasana saat ini benar-benar kacau. Apa
yang mereka bicarakan saat ini seharusnya menjadi obrolan pribadi, tidak
menjadi rahasia umum seperti ini. Ia tidak bisa membiarkan ini berlangsung
lebih lama. Tapi bagaimana caranya?
"Kalian gatau yang sebenarnya. Kalian ga seharusnya segampang itu
mandang buruk aku sama Kak Acha!" Dea menyahut sangat tidak tepat waktu.
Gadis itu tidak pernah belajar untuk diam saja sepertinya.
Emosi Agni kembali tersulut. "Lo yang mulai, Anjing! Gue colok juga
nih mulut lo! Gamau dijelekin tapi lo nuduh temen gue seenak jidat. Gausah sok play victim, deh!"
Dea terdiam tidak bisa membantah. Agni lantas mengambil ancang-ancang
maju. Cakka sempat memegang bahu gadis itu demi menahannya namun ia tidak
peduli dan menepisnya begitu saja. Junior kurang ajar di depannya saat ini
butuh diberi tahu apa yang disebut bikin perhitungan.
Agni menaikkan kedua lengan bajunya lalu berdiri sambil berkacak
pinggang. Rio menghalau tangannya di depan Dea seolah hendak melindungi gadis
itu. "Gue tanya sekarang. Itu anak kakak lo bukan?! Anak hasil di luar
nikah apa bukan?!" Tantang Agni seraya menaikkan dagu.
Dea diam tak berkutik. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Agni. Saat itu
juga semua orang berubah haluan berpihak pada Agni dkk. Banyak di antara mereka
sekarang bersidekap memandang sinis Dea. Setelah ini, Dea akan menjadi adik
kelas paling dikenal di sekolah ini.
"Junior sekarang songong-songong ya. Kelas berapa, sih, lo?"
Seseorang selain Agni dan Rio dkk tiba-tiba menyeletuk kesal. Hal ini lantas
menjadi pemicu yang lain untuk saling menimpali.
"Wah lo junior? Yang jalan nabrak gue ga pake minta maaf tadi junior
gue?"
"Dek, Dek. Kalo gue jahat, udah gue sebarin nama sama muka lo ke
angkatan gue."
"Masih lama ga sih bacot lo? Punya masalah tuh selesein sendiri.
Jangan bikin rusuh tempat orang!"
Dan terjadilah aksi sahut-menyahut di kelas Ify. Meskipun semuanya
seolah-olah membela dirinya, Ify tidak sepicik itu. Ia sekarang justru iba
dengan Dea yang terpojok. Meskipun rasa ibanya sedikit berkurang mengingat
gadis itu punya malaikat pelindung paling setia yang pernah ada. Rio.
"Kakak anter kamu ke kelas, sekarang." Perintah Rio mutlak. Dea
tentu tidak dapat menolak. Keadaannya sudah tidak lagi menguntungkannya seperti
awal-awal. Ia sama saja ingin mengubur hidup-hidup dirinya jika terus berusaha
membentuk perlawanan pada Ify.
***
Ini adalah rekor terpanjang perang dingin Rio dan Ify semenjak pacaran. 1
MINGGU! 1 minggu sudah mereka benar-benar menghindar. Tidak seorang pun
berinisiatif mengalah dan mencoba berbicara satu sama lain untuk menyelesaikan
masalah yang ada. Dua-duanya memilih berkeras kepala. Padahal keduanya
sama-sama merindukan kehadiran masing-masing.
Sayangnya, untuk Ify, rasa rindunya makin hari making berkurang kadarnya.
Justru rasa jengahnya yang kian berkembang. 1 minggu Rio tidak bersamanya,
selama itu pemuda itu dengan setia mendampingi Acha dengan segala problema yang
dihadapi.
Ia tidak tahu lagi kalau sekarang ia sudah atau belum boleh menyimpan
perasaan tidak suka dengan kebersamaan sang kekasih dan mantan gebetan jika
mengingat masalah yang menghinggapi Acha adalah hasil keteledorannya. Salahkah
kalau ia merasa bentuk 'solidaritas' Rio berlebihan?
Seminggu ini kemudian menjadi waktu untuknya berpikir tentang langkah apa
yang harus ia pilih. Sejak insiden Dea mengamuk, tidak hanya yang membela tapi
orang yang membencinya juga semakin banyak. Sudah pasti mereka dari kalangan
penggemar Rio.
Semua termakan dengan ucapan Dea yang menuduhnya sengaja menciptakan
masalah untuk Acha. Semua mengecapnya pembuka aib dan terobsesi pada Rio.
Mereka meyakini kalau perasaannya pada Rio sebenarnya bertepuk sebelah tangan.
Ia berkali lipat bersyukur akan kehadiran ketiga teman setianya, ditambah
Gabriel dan Cakka. Mereka tidak pernah meninggalkannya ketika berada di
sekolah. Mereka sudah seperti pengawal presiden yang begitu ketat menjaganya.
Rio? Bukannya tadi sudah ia beritahu?
Sudah cukup ia membiarkan dirinya ikut terjebak dalam masalah yang
sebenarnya tidak terlalu berkaitan dengannya. Masalah ini sebenarnya milik Rio,
Acha, dan Dea. Ia memutuskan akan mengakhiri semuanya hari ini, siang ini.
Pada jam istirahat kedua, ia mengumpulkan seluruh anggota cheers aktif
saat ini. Walau sudah berulangkali dibujuk oleh Shilla, ia tetap pada
pendiriannya. Ia akan mundur dari jabatannya sekarang. Ia melepas label kapten
yang diembannya dan menyerahkannya pada Dea secara baik-baik. Sekaligus juga
memilih tidak lagi menjadi anggota dalam klub tersebut.
Jangan kurang ajar menyebut alasannya turun semata-mata karena Dea. Ia
melakukan ini karena memikirkan nilai akademisnya. Ia ingin fokus mengupayakan
nilainya di sekolah. Lagipula, mayoritas anggota menginginkan dirinya lepas
jabatan. Untuk apa dirinya berusaha keras bertahan?
Nah, sekarang kita masuk ke pertunjukkan utama. Hal yang menurut Ify
paling berat namun juga sudah waktunya ia lakukan. Menyelesaikan masalahnya
dengan Rio. Mereka tidak bisa hanya diam membiarkan semua hal terjadi. Mereka
harus tahu kekacauan dalam hubungan mereka. Mereka harus membuat semuanya
jelas.
Ketika bel pulang berbunyi, Ify diam-diam dengan tangan bertaut di
belakang mengikuti langkah Rio dari balik tubuh pemuda itu dengan tetap menjaga
jarak di antara mereka. Ia tidak ingin buru-buru. Ia ingin khusyuk memandangi
punggung tegap di depannya. Punggung yang menjadi sandarannya beberapa waktu
ini. Pemiliknya adalah orang yang sama yang menggenggam erat tangannya beberapa
waktu ini. Orang yang sama yang juga selalu rutin menyanyikan lagu pengantar
tidur untuk mencegahnya bermimpi buruk.
Rindu? Sangat, sudah ia bilang kan? Tapi..mau bagaimana lagi?
Ify menarik napas dalam dan menghembusnya perlahan. Ia sesaat melakukan
persiapan diri sebelum terjun ke 'medan perang'. Ia akhirnya mempercepat
langkah mendekati Rio yang baru saja menekan remote untuk membuka kunci
mobilnya.
"Yo?" Panggilnya lembut. Haah..sudah lama ia tidak memanggil
nama itu seperti ini.
Rio tampaknya sedikit kaget dengan langkahnya yang terhenti mendadak.
Pemuda itu tidak langsung membalikkan badan melainkan berdiri kaku di depan
Ify. Ify dengan sabar menunggu sampai pemuda itu berpaling. Sama seperti
dirinya, Rio juga butuh persiapan.
Ify langsung mengembang senyum terbaiknya ketika Rio membalikkan badan
dan memandangnya. Pemuda itu masih sama tampannya. Tidak. Rio memang selalu
tampan. Hanya tidak bisa dipungkiri kalau wajahnya tampak lelah. Ia jadi merasa
bersalah tidak bisa berbuat apa-apa.
"Gue minta waktu lo bentar, boleh?" Mereka tidak benar-benar
dekat. Masih ada sekitar 3 langkah jarak yang memisahkan mereka.
Rio menghela napas singkat lalu akhirnya bersuara. "Kenapa lo tambah
kurus? Mimpi buruk lagi ya akhir-akhir ini?" Suaranya menyiratkan perasaan
amat bersalah.
Ify meremas tangannya yang menyilang di belakang diam-diam. Kalau dulu ia
tertatih-tatih menghadapi Rio yang dingin, sekarang ia justru hampir tersungkur
mendapati Rio yang perhatian. "Enggak, kok. Gue udah ga mimpi buruk
lagi."
Toh yang nyata sekarang lebih serem, Yo. Sambung Ify dalam hati.
Rio diam tak membalas lagi. Mungkin hanya sedang bingung harus berbicara
apa pada Ify. Ify lantas berinisiatif mengambil kendali situasi. "Yo, gue
udah berenti dari cheers." Ujarnya berterus terang.
"Lo ga berpikiran ini ulah Dea, kan?" Tahu-tahu Rio malah
menyahut yang sifatnya berat sebelah.
Sudah kuduga.
Ify menjeda ucapannya sejenak. Sesaat menikmati perasaan tidak nyaman
mengetahui Rio masih saja membela si adik kesayangan. Biar dirinya sampaikan
sebuah cerita.
"Kalo gue emang mikir gitu gimana?"
***
Kepergian Ata diikuti oleh
gerombolan yang tadi berniat menggulirkan Ify dari jabatannya. Mereka juga
bersikap sama seperti Ify pada Ata. Tidak ada rasa hormat atau segan sama
sekali. Meskipun Ify tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Mereka pergi
tanpa permisi seraya mengangkat wajah dengan angkuh.
Tersisa beberapa anggota yang
tinggal, termasuk Dea. Gadis itu menghampirinya dengan wajah tak enak hati.
"Maaf ya, Kak.."
Ia tersenyum tipis. Ia masih tidak
nyaman bertemu dengannya apalagi berbicara seperti ini. Tapi, ia mau tidak mau
harus mengesampingkan masalah mereka waktu lalu. "Gapapa. Bukan salah
kamu." Balasnya seraya tersenyum tipis. Itu adalah usaha terbaik yang bisa
ia lakukan. Dea lantas pamit lebih dulu.
Setelahnya, ia mendapati Shilla
mencak-mencak di tempatnya. Ia tahu dia sudah menahan emosi daritadi.
"Sumpah ya, pengen gue jahit mulutnya satu-satu. Nyalahin orang tapi
gasadar diri! Itu juga senior baru. Sok banget! Kerajinan banget ngurusin
junior. Kita butuh juga enggak, hih!"
Mendapat pembelaan seperti itu
membuat Ify mengucap syukur dalam hati. Di saat ada masalah baru yang akan
segera menghantuinya, Tuhan masih memberikan keringanan. Ia punya pendukung
yang siap menyediakan pelipur lara kapan saja.
Belum puas Ify bersenang ria karena
Shilla, ia sudah kembali dihampiri oleh beberapa anggota yang tersisa yang juga
adalah adik kelasnya. Ia menunggu seraya memperhatikan satu persatu wajah
mereka. Semuanya tampak ingin mengatakan sesuatu namun saling tunjuk satu sama
lain, siapa yang bertanggung jawab menjadi juru bicara.
"Kenapa? Mau minta izin
pulang? Udah boleh kok!" Sela Ify seraya tersenyum ramah.
Salah satu di antara junior di
depan Ify akhirnya maju dan berbicara. "Kak, kita mau ngasih tau sesuatu
sama kakak. Ada kaitannya sama masalah kakak turun jabatan." Cicitnya
takut-takut sekaligus tak enak hati.
Ify dan Shilla berpandangan sesaat
lalu memperhatikan kembali adik-adiknya. "Lo-lo pada pengen temen gue
turun juga, hah?" Galak Shilla tiba-tiba.
Keempat junior tersebut serentak
menggelengkan kepala. Ify lantas menyikut Shilla agar tidak membuat takut
adik-adik di hadapan mereka. "Kenapa? Cerita aja. Gue ga akan marahin
kalian kok." Bujuknya berusaha menenangkan.
Salah satu di antara junior tadi
mengambil ponsel dan menunjukkannya pada Ify. Ify memeriksanya dengan seksama
dan sesaat kaget lalu kembali memandang juniornya menanti penjelasan.
"Dea bikin grup buat anggota
Cheers tapi ga masukin kakak sama kak Shilla. Gue juga bingung awalnya ini grup
buat apa. Tapi ternyata Dea justru ngehasut yang lain buat nurunin kakak. Ide
ganti kapten itu sebenernya Dea yang inisiasi. Tapi dia mau seolah-olah ide itu
kita yang buat, gaada sangkut pautnya sama dia. Trus akhirnya pura-pura nunjuk
dia jadi kandidat."
Ucapan salah satu junior tersebut
kemudian disambut dengan anggukan sesama mereka yang lain. Ify sama sekali
tidak melihat kebohongan di mata mereka semua. Apalagi junior tersebut juga
menunjukkan isi pesan dalam grup tersebut.
"Busuk, sumpah baru tau gue
ada manusia sebusuk ini!" Kesal Shilla. Gadis itu kembali berkacak
pinggang. Sebelum sempat mencak-mencak kembali, Ify lekas menahan demi tidak
membuat Rio, yang sedang mengawasi mereka, curiga.
Ify kembali fokus pada juniornya
tadi. "Kenapa yang lain bisa setuju?" Tanyanya sedikit serius.
"Dia manfaatin nama Kak Rio,
Kak. Dia bilang bakal ngasih nomer sama ID line Kak Rio kalo mereka mau jadiin
dia kapten. Dia juga ngehasut kita soal Kakak. Dia bilang Kak Ify yang ehm..kecentilan
deketin Kak Rio. Dia bilang Kak Ify maksa Kak Rio buat nerima perjodohan Kakak
sama Kak Rio."
Shilla lebih dulu mendengus keras.
Sementara Ify berusaha menenangkan diri. Ia tidak tahu ini hari apa tapi
meskipun ia sempat dibuat pusing, ia juga berterimakasih dengan adanya hari
ini. Hari di mana ia bisa tahu bagaimana seorang Dea sebenarnya. Hari di mana
ia bisa menentukan bagaimana perasaannya seharusnya pada gadis itu.
"Kenapa kalian bocorin ini
sama gue?" Tanya Ify kembali.
"Soalnya kita ga ngefans sama
Rio, Kak. Kalo yang dia jual itu Kak Alvin mungkin bakal kita pertimbangin,
hehehe.."
"Heh!" Sentak Shilla
spontan. Junior di hadapannya sesaat memandangnya bingung. Ia lekas menyuarakan
alibi sebelum mereka semua curiga dan ikut-ikutan seperti Dea berkonspirasi
untuk menjatuhkannya. "Gak tulus dong lo-lo pada!"
Barulah setelah itu keempat gadis
lugu itu menyengir. "Becanda, Kak. Kita gamau serendah itu cuma karena
ngefans sama seseorang. Emangnya kalo dapet nomer sama ID line, Kak Rio mau
ngeladenin kita? Bukannya dia justru bakal jadi kesel karena ganggu privasi
dia? Lagian, emangnya Kak Rio bakal terima gitu aja informasi pribadi dia
disebar seenaknya? Kita juga gamau Kak Ify turun. Kak Ify udah sebertanggung
jawab dan seberjuang itu ngidupin klub kita. Dasar merekanya aja yang gatau
diri."
Ify terperangah tidak percaya kalau
sang junior akan berkata seperti ini untuknya. Ia benar-benar terharu karena
mereka dengan tulus membelanya. Mereka mengakui kerja keras dan kemampuannya.
"Duh, Dek. Jadi pengen mewek." Candanya akhirnya.
Ify lantas mengucap banyak-banyak
terimakasih pada juniornya yang setia itu. Tak lupa ia juga menitip pesan pada
mereka untuk bersikap seolah-olah dirinya belum tahu ini semua ulah Dea, begitu
juga pada Shilla. Ia tidak ingin terburu-buru. Akan ada saatnya nanti ia
mengungkap semua ini.
***
"Jangan nambah-nambahin masalah, Fy." Tegur Rio pelan.
Ify lagi-lagi diam menatap pemuda di depannya. "Kita emang lagi
bermasalah, Yo. Tapi gue gatau apa." Jujur Ify pada akhirnya.
Sekarang gantian Rio yang terdiam. Perasaannya mendadak tidak enak. Entah
kenapa ia teringat saat 'perpisahan' pertama mereka dulu sebelum berpacaran,
ketika mereka hanya sebatas pasangan yang dijodohkan. Ia berusaha keras
mengelak semua pikiran buruk yang hinggap di benaknya.
"Gue orang baru di hidup lo, Yo. Jadi kayaknya bukan gue yang berhak
nuntut ini-itu. Gue yang harusnya menyesuaikan diri sama lo, Dea, dan Acha.
Tapi kayaknya gue masih belum bisa.."
"Fy—" Sumpah, firasat buruknya sungguh benar?
"Dunia lo bertiga kacau gara-gara gue. Makanya sekarang gue mau
milih ga berurusan sama kalian."
Ify mendesah lega setelah berhasil mengutarakan maksudnya. Maksudnya
memilih berbicara dengan Rio. Maksudnya memandangi Rio lama. Maksudnya mendadak
mengenang kebersamaan mereka. Maksudnya mengingatkan kembali dirinya siapa Rio.
Adalah karena ia ingin..
"Seminggu udah cukup buat adaptasi tanpa satu sama lain kan ya? Jadi
sekarang kita adain yang benerannya aja. Gue bukan pacar lo lagi ya, Yo."
Putus Ify dengan menyakitkan.
Mungkin Ify kekanakan namun biarlah ia bersikap tinggi sekali ini pada
Rio. Percaya diri kalau ia bisa menyakiti pemuda itu dengan tidak mengucap
putus, melainkan memberi peringatan kalau dirinya bukan lagi milik pemuda itu.
Cukup menyakitkan tidak? Atau dirinya masih tetap gagal?
Ify masih bergumul dengan pikirannya ketika merasa tubuhnya didekap erat.
Aroma yang terhidu oleh hidungnya memberitahunya siapa gerangan yang kini
mendekapnya dengan hangat. Tak lain tak bukan adalah Rio.
Pemuda itu tidak mengucap apapun hanya terus saja memeluknya. Ia tidak
tahan untuk tidak membalas perlakuan pemuda itu. Kapan lagi, kan?
Cih, padahal tadi ia bilang mau balas dendam.
"Jangan sakit. Soalnya bukan gue yang lagi jagain lo." Ujar Rio
lembut.
Ify menggigit bibirnya menahan matanya yang mulai memerah. Tahan, tahan.
Tangisan akan mengurangi kemagisan suasana saat ini. Ia tidak ingin
perpisahannya menjadi menyedihkan walaupun tetap menyakitkan. Ia ingin
perpisahan ini menjadi berarti.
Ify menganggukkan kepala menjawab ucapan Rio sekaligus mengawali sesi
keheningan di antara mereka berdua. Hingga kemudian Rio kembali berbicara yang
membuat Ify nyaris saja tidak jadi merelakan pemuda itu.
"Gue sempet bikin lo bahagia kan, Fy?"
Ada gak sih yang lebih bahagia selain pas lo minta gue jadi cewek lo?
"Hmm."
***
Alvin membanting ponselnya ke kasur dan membalikkan badan menghadap Febby
yang berdiri kaku dengan pandangan tak menentu. Gadis itu tidak berani
mengarahkan pandangannya langsung ke arahnya. Tangannya melipat di depan dada
dan menjadi pelampiasan rasa gelisah yang menerpa.
"Anjing! Lo pikir lo siapa, hah?!" Hardik Alvin kejam. Sungguh,
gadis di depannya benar-benar lancang. Meskipun benar kalau ia punya perasaan
khusus padanya, itu tidak serta merta membuat Febby berhak mengambil tindakan
dalam hubungannya dengan Shilla.
Demi Tuhan, apa yang ada dipikiran gadis itu dengan mengatakan yang
sebenarnya pada gadisnya? Kondisinya tidaklah ia menginginkan perpisahan.
Sumpah demi apapun ia tidak ingin kehilangan Shilla. Tanamkan dalam pikiran
kalian kalau rasa cintanya untuk Shilla tidak pernah berubah walau ia
kedatangan perasaan asing sekalipun.
"Gue..." Febby ingin membalas tapi rasanya ia tidak pantas
berbicara lagi. Bicara dengan Shilla sudah cukup menguras pikiran dan tenaga.
Sekarang, ia tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat yang harus ia
ucapkan pada Alvin. Ditambah sekarang ia malah merasa takut dan malu dengan
tindakan gegabahnya beberapa saat lalu. Baru sekarang ia sadar kalau sikap yang
ia ambil sama sekali bukan jalan keluar dan justru mengurung mereka pada
masalah baru yang jauh lebih besar. Apa sih yang gue pikirin?
"Iya gue mulai ada perasaan aneh sama lo. Tapi itu gak cukup bikin
lo berhak turun tangan dalam urusan di hidup gue." Racau Alvin.
Febby diam mendapati hatinya tertohok dengan ucapan Alvin yang tidak
salah sama sekali. Rasa malunya makin-makin berlipat ganda.
"Gue ngilang bukan berarti gue niat mau selesai sama Shilla. Justru
gue lagi berusaha gimana caranya ngebuang perasaan gue sama lo. Tapi lo dengan
hebatnya beberin semuanya. Congrats,
b*tch! You did it! Lo berhasil
bantu gue jadi orang paling brengsek di mata Shilla." Alvin tersenyum
sinis lalu mendengus keras. Kepalanya sakit memikirkan banyak hal. Ia berharap
ini mimpi namun sayangnya semuanya terlalu nyata untuk sebuah khayalan.
Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah berbicara dengan Shilla.
Namun, rasanya sangat mustahil mengingat bagaimana kecewanya gadis itu
sekarang. Ia yakin Shilla sudah terisak hebat di tempatnya. Membayangkan wajah
murung Shilla saja sudah membuat hatinya merasa bersalah apalagi kalau gadis
itu menangis. Tuhan, masihkah ia bisa tertolong sekarang?
"Sorry.." lirih Febby
yang akhirnya melepas bungkam. Gadis itu menggigit bibirnya menahan air mata
yang sudah mewaduk agar tidak keluar.
Alvin duduk di tepi ranjang seraya menundukkan kepala. Bahunya terasa
kaku dan berat. Tidak ada hari seburuk hari yang ia rasakan saat ini. Ia
seketika menyesal mengapa ia lebih memilih menghindar dari Shilla ketika niat
awalnya ingin 'menyucikan' hatinya kembali.
Seharusnya ia banyak menghabiskan waktu dengan Shilla. Satu-satunya orang
yang bisa membuatnya percaya diri mengaku cinta hanya Shilla. Maka seharusnya
hanya Shilla pula satu-satunya penenang untuk hatinya yang gamang.
Seharusnya..seharusnya..ah..penyesalan memang selalu datang belakangan.
"Gue pikir gue udah berhak egois sekarang, tapi ternyata enggak sama
sekali.." Febby tertawa hambar yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Sebelumnya, ia sudah terlanjur antusias dengan pengakuan Alvin tentang
perasaannya. Meskipun pemuda itu belum benar-benar yakin jenis perasaannya, ia
sudah cukup merasa bahagia. Bahagianya kali ini tidak sama seperti dulu ketika
mengetahui Goldi menyukainya. Ia hanya merasa lega karena sekarang ia sudah
punya seseorang yang bisa ia jadikan sandaran.
Setelah ia menendang keluar Goldi dari hidupnya, ia benar-benar tidak
punya siapa-siapa lagi disisinya. Alvin datang di saat yang tepat. Mendapat
tawaran menjadi adik-adikannya saja sudah membuatnya senang bukan kepalang.
Apalagi melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak ketika ditodong soal
perasaan.
Namun, beberapa hari ini Alvin menghindarinya. Benar-benar
menghindarinya. Pemuda itu bahkan memberikan ultimatum langsung kalau mereka
harus menjaga jarak untuk beberapa waktu. Setiap malam, waktu Febby tersita
oleh ketakutan kalau ia akan kembali menjadi satu-satunya orang yang membela
dirinya sendiri. Ia khawatir akan sendirian lagi.
Alvin berhasil membuatnya merasa bebas bergantung pada orang lain, pada
pemuda itu tepatnya. Dulu ia seperti itu pada Goldi. Namun, sejak mereka
berpisah, ia mulai kembali terbiasa menyendiri. Lalu Alvin dengan rendah hati
mau memberinya tempat yang sangat-sangat nyaman yang membuatnya menjadi tidak
rela kehilangan.
Karena itu, ia yang tahu Alvin tidak hanya menghindarinya tapi juga
menghindar dari Shilla memilih maju ke baris depan mewakili Alvin dan
mengatakan sejujurnya pada Shilla. Alvin benar kalau dirinya sudah salah paham.
Ia mengira Alvin sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungannya tapi
ternyata hilangnya pemuda itu justru sebagai usaha agar dia bisa menjaga
keberlangsungan hubungannya.
Ia gondok setengah mati sekarang. Ia sungguh merasa menjadi orang paling
bodoh dan lancang seperti yang Alvin sangkakan.
Berani-beraninya ia beranggapan Alvin mempertimbangkan dirinya?
Dari logika mana pun juga sebenarnya sudah jelas kalau orang yang paling
masuk akal untuk dienyahkan ya tentu dirinya, bukan Shilla. Ia mencoba bersikap
egois tapi semuanya malah jadi seperti ini. Ia bukan menarik Alvin ke sisinya
namun sikapnya malah menjadi angin puyuh yang menerbangkan pemuda itu lebih
jauh.
Terlebih lagi, ia baru saja memutuskan menjadi perusak hubungan orang
lain yang mana dulu ia hujat habis-habisan.
"You've turned me into a
dependent one, for the second time of my life. And i was like..panic..cause
you're suddenly gone. Tapi gue tau, gue udah salah paham. I just realized it. Seharusnya gue emang
ngebuka mata lebih lebar lagi dan sadar kalo dari awal lo ga bener-bener
nginjekin kaki di tempat gue. Lo cuma sedikit lebih dekat tapi tetep belum bisa
gue gapai. I'm not in the right mind so..gue
minta maaf."
Febby menghela napas setelah selesai mengutarakan keluh kesah. Ia
berbicara tanpa menatap langsung wajah Alvin. Ia tidak berani, melihat pemuda
itu dari mata ke mata. Ia takut jadi berekspektasi lagi, yang pada akhirnya
membuat perasaannya terbanting keras.
Alvin yang tadi merunduk sesaat menegakkan kepalanya. Ia melihat Febby
yang berdiri ringkih di hadapannya, berjuang tetap berdiri dengan sisa
tenaganya sendiri. Saat itu juga ia jadi merasa bersalah telah melaknat gadis
itu dengan kejam.
Yang salah di sini adalah dirinya sendiri bukan orang lain, bukan Shilla
bukan juga Febby. Ia yang tidak tegas pada mereka. Seharusnya ia yang tidak
berhak menyalahkan siapa pun ketika orang lain salah menafsirkan perasaannya
dengan pola tingkahnya yang ambigu.
***
Tidak ada hari yang lebih beruntung selain hari libur setelah hari
perpisahan. Um..mungkin kurang tepat juga kalau ditetapkan sebagai hari
perpisahan. Kenyataannya keputusan atau sekedar gagasan tentang berpisah belum
sempat terucap dari mulut Shilla maupun Alvin. Keduanya sama-sama masih syok
dan berusaha mencerna baik-baik situasi yang sedang terjadi di antara mereka.
Sebelah mata Shilla menyipit mengintip cahaya matahari yang dengan
percaya diri menembus ke dalam dan menyalip kekuatan terang lampu kamarnya. Ia
lantas merapatkan mata kembali dan memiringkan tubuh memunggungi kaca jendela
yang sekarang menjadi sumber lentera utama kamar. Indra penglihatan sekaligus
kulit-kulit yang menutupinya masih terasa berat. Hari ini ia hanya ingin
memuaskan hasrat untuk tidak melakukan apapun dan menghabiskan seharian di
kasurnya tersayang.
Kemarin rasanya seperti baru saja terjadi gempa yang begitu dahsyat
hingga semua terasa benar-benar gelap bagi Shilla. Ia terkurung dalam suatu
tempat di mana semua pandangannya kosong dan ia tidak dapat mencari jalan
keluar.
Ia benar-benar tidak bisa berpikir apapun. Sayangnya, pikirannya terus
saja terasa penuh. Kepalanya makin berat mendekati ambang ledak. Mungkin
semuanya terdengar berlebihan. Kalau kalian tidak bisa menggambarkan kondisinya
saat ini, sebenarnya sederhana saja. Ia hanya...galau.
Galau bukanlah kosakata langka untuk Shilla. Setiap minggu juga ia pasti
punya fase-fase galau. Tapi kali ini, kegundahan yang ia rasakan berkali-kali
lipat jumlahnya. Mungkin bisa dibilang perasaannya saat ini sama dengan
akumulasi keseluruhan dari galau-galau yang telah ia rasakan. Benar-benar berat
dan menyedihkan.
Ia bisa berkata tidak ingin ditemui. Ironisnya, rasa rindunya pada Alvin
justru ikut berlipat ganda. Ia melarang Alvin menemuinya tapi sekarang dirinya
sendiri yang meringis ingin Alvin muncul di hadapannya dalam satu kedipan mata.
Ia dengan gamblang melarang Alvin bicara tapi semalaman ia memutar
berulang kali voice note yang pernah dikirimkan oleh pemuda itu padanya.
Kata-kata cinta Alvin untuk pertama kalinya di awal-awal masa pacaran, ucapan
perayaan monthsarry bodoh mereka yang pertama kali, ucapan selamat ulang tahun
untuknya, voice note random Alvin yang hanya berisi ujaran kecintaan pemuda itu
padanya, ungkapan rindu, dan masih banyak lagi.
Shilla memutar ulang semua kenangan yang tercipta bersama Alvin.
Semuanya, baik yang indah maupun yang menyakitkan sekalipun. Sialnya, apapun
jenisnya, semuanya hanya menambah deras pengeluaran air matanya sampai-sampai
setengah tong sampah terisi oleh tumpukan tisu yang ia pakai.
Ia menangis habis-habisan di dalam kamarnya, seorang diri, dengan
berusaha semampunya menahan suaranya agar tidak ikut menggema. Biasanya ia akan
mendatangi atau mengundang seseorang untuk dijadikannya sandaran dan berbagi
semua kesakitan. Tapi saat ini, kesedihannya benar-benar dalam hingga ia tidak
sanggup menghadapi siapapun apalagi meminta bantuan.
Bukanlah fakta bahwa Alvin menghianatinya atau kemungkinan perpisahan,
perasaan tidak rela dan cintanya yang begitu besar pada Alvin lah yang
membuatnya merasa amat merana. Ia dengan bodohnya menginginkan Alvin bertahan
dan tetap seterusnya memilihnya ketika secara sadar pemuda itu sudah lebih dulu
mengambil tindakan mengabaikan dan menghindarinya. Pemuda itu bahkan memberikan
keleluasaan penuh pada Febby, si gadis 'pendatang baru', menggunakan ponselnya
dan mewakili dirinya berbicara alasan keanehan sikapnya beberapa hari terakhir.
Tak pelak Shilla makin merasa seperti terkubur jauh sampai ke inti bumi
tanpa berani mencoba-coba merangkak keluar. Serangan yang ia terima teramat
tiba-tiba tanpa membiarkannya sekedar memasang kuda-kuda sebelumnya.
Ditambah lagi, kekuatan serangannya benar-benar luas biasa sampai-sampai
ia tidak lagi bisa melihat apalagi mengingat tempat awal ia berdiri. Dua
manusia itu benar-benar kejam. Alvin adalah makhluk paling jahat yang sialnya
menjadi satu-satunya pemilik hatinya.
Tok tok tok!
Meskipun tadi Shilla berniat untuk terlelap kembali, sampai sekarang
kesadarannya masih terjaga. Setelah terbangun tadi, ia sama sekali tidak bisa
tidur lagi. Baru kali ini ia ingin tidur di saat tubuhnya menghendaki ia
bangun. Belum lagi ia mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu dan ia yakin
itu bukan salah satu anggota keluarga yang ada di rumahnya.
Shanin bukan tipe yang sopan santun. Gadis itu kalau mau menemuinya akan
langsung membuka pintu dan masuk begitu saja ke dalam kamar. Ibunya tipe yang
menjadikan ketukan pintu hanya formalitas. Wanita itu akan mengetuk dan membuka
pintu di saat yang bersamaan. Ayahnya akan mengumandangkan namanya dari
jauh-jauh langkah dan kemudian menemuinya di kamar.
Sementara pengetuk saat ini benar-benar hanya mengetuk berulang kali
tanpa ada niat membuka pintu. Jadi sudah pasti itu bukan keluarganya.
Shilla meminta maaf karena untuk kali ini ia akan bersikap sebagai tuan
kamar tidak sopan dengan membiarkan saja orang yang ingin menemuinya itu.
Walaupun kesadarannya optimal, badannya tetap saja lelah. Tubuhnya benar-benar
enggan untuk digerakkan.
Sudah ia bilang kan kalau ia hanya ingin merebahkan diri di kasur saja
hari ini?
"Gue masuk ya!"
Dari luar, seorang pemuda yang diduga kuat adalah orang yang sama yang
mengetuk pintunya meminta izin atau lebih tepatnya memberi aba-aba dari balik
pintu. Shilla masih bisa membedakan mana yang nyata mana khayalan sehingga ia
yakin kalau suara orang tersebut benar-benar suara laki-laki. Ia mengernyitkan
dahi bingung.
Selama ini belum pernah ada seorang pun teman atau kenalan laki-lakinya
yang diperbolehkan oleh ibunya untuk masuk ke kamar, termasuk Alvin. Ia juga
tidak punya sepupu atau keponakan berjenis kelamin laki-laki yang benar-benar
dekat dengan dirinya. Sehingga sekarang ia jadi menerka-nerka siapakah
gerangan.
Shilla merebahkan badannya kembali dan menatap ke arah pintu yang
terbuka. Saat itu juga ia melihat seorang pemuda yang sangat-sangat ia kenal
berdiri memandangnya dengan muka begitu cerah.
"Morning dedek
cantik!"
Chris.
Pemuda itulah yang sekarang bertamu ke dalam kamarnya. Bahkan sebelum ia
menyatakan persetujuan, Chris sudah lebih dulu melangkah masuk dan mendekat
bahkan duduk di tepi kasurnya.
Sungguh ajaib!
Tidak sekali pun terbayangkan olehnya kalau Chris adalah orang pertama
yang menyaksikan dirinya pada kondisi di titik terbawah seperti sekarang. Ia
seketika merasa dirinyalah penghianat sebenarnya dari orang-orang terdekatnya
selama ini. Ia mendadak kesal pada dirinya sendiri namun juga merasa jengkel
seubun-ubun pada Chris.
"Kok lo..ehm—"
Sialnya, hasratnya berceloteh harus tertahan oleh karena tenggorokannya
yang terasa tidak enak ketika berbicara. Selain karena ia baru bangun dan belum
berbicara sepatah katapun sebelumnya, tenggorokannya itu juga agak nyeri karena
ia menangis tertahan semalam. Ia refleks memegang lehernya yang juga teraba
sedikit nyeri dari luar.
Wajah cerah Chris berangsur surut dan berubah menjadi curiga sekaligus
khawatir. Ia tertarik untuk memperhatikan lamat-lamat gadis di hadapannya
secara keseluruhan dan menangkap sesuatu yang tidak biasa. Meskipun tetap
menunjukkan ketidaksukaan, namun sikap tidak ramah tampak lebih lemah dari
sebelum-sebelumnya.
Kalau Shilla dalam pikiran yang normal, gadis itu pasti sudah
menerjangnya dari tempat tidur sampai tersungkur ke lantai bahkan mungkin
menggelinding di tangga. Tapi, dari awal ia masuk, gadis itu hanya diam dan
justru tampak menunggu sampai ia benar-benar duduk di hadapannya.
Chris menyingkap selimut yang saat ini Shilla gunakan untuk menutup
kepala dan wajahnya. Karenanya, sekarang ia sudah bisa melihat dengan jelas
wajah gadis itu yang sembab dan sedikit tidak berwarna. Bagian putih matanya
tampak agak memerah dan seperti ada bekas-bekas air mata di kedua sisi
wajahnya. Suaranya juga tadi terdengar serak dan dirinya sendiri tampak tidak
nyaman. Ia tahu benar kalau gadis itu pasti habis menangis semalam dan tidak
akan bisa membantah fakta tersebut.
Setelah mengenal dekat Shilla beberapa waktu terakhir, ia paham betul
kalau gadis itu bukan gadis lemah. Walaupun sering meledak, Shilla tahu batas
dirinya dan bisa menempatkan dirinya pada situasi apapun.
Shilla bisa tenang jika dibutuhkan. Buktinya, gadis itu lah yang
menghiburnya kemarin ketika ia pada akhirnya menyerah untuk mengejar kembali
gadis pujaannya. Gadis itu sampai rela meminjamkan bahunya untuk bersandar
sementara dirinya mungkin adalah makhluk Tuhan yang paling sering gadis itu
kutuk selama hidup.
Kemungkinan masalah yang sedang Shilla hadapi bukanlah berasal dari
keluarga karena keluarganya tampak sangat baik-baik saja, tadi saat ia temui di
luar kamar, sebelum akhirnya ia meminta izin menemui Shilla secara langsung.
Masalah dengan teman tidak akan membuat gadis ini menangis bombay akut.
Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah masalah asmara. Ia sangat yakin
telah terjadi masalah besar antara gadis itu dan kekasihnya.
Seketika Chris merasa simpati sekaligus empati. Sebagai seseorang yang
juga sering menemui kendala dalam percintaan, ia paham betul mengapa keadaan
Shilla benar-benar buruk sekarang.
Cinta adalah masalah sederhana yang tidak tanggung-tanggung dalam
menjerumuskan seseorang. Contoh yang paling nyata adalah dirinya sendiri. Di
fase beranjak dewasa usianya, baru cinta yang bisa membuatnya menangis banci di
bahu perempuan.
"Seems like I came in the
right time, huh?" Goda Chris diiringi senyum hangat.
Shilla mendadak terpana menyaksikan senyum hangat yang baru pertama kali
dilihatnya tersebut. Ia menyayangkan hatinya yang ikut-ikutan terasa hangat
karena itu malah membuat kesedihannya kembali melonjak. Ia tidak punya kakak
laki-laki dan Chris membuatnya mendadak bisa merasakan perasaan seperti ia
punya satu di antaranya.
"Pergi sana!" Usir Shilla pelan. Ia memiringkan tubuhnya
menghadap Chris lalu kembali menutup kepala dan wajahnya dengan selimut. Ia
memilih menghindar dan menunda keinginan untuk mendebat Chris karena ia tidak
bisa menahan perasaannya. Ia bahkan sudah kembali menangis sekarang.
Chris menghembuskan napas pelan dan menatap Shilla prihatin. Meskipun
Shilla berniat menyembunyikan tangisnya di balik selimut, ia sudah tahu kalau
gadis itu tengah berurai air mata lagi sekarang.
Ia kembali menyingkap pelan selimut yang menghalanginya untuk bisa
melihat wajah gadis itu. Dan benar saja, mata Shilla telah basah dan gadis itu
tampak menggigit bibirnya cukup kuat. Dia juga tidak lagi protes ketika ia
mengeluarkannya dari persembunyian.
Tanpa banyak bicara, Chris menjulurkan tangannya ke atas lengan dengan
sebagian besar porsi telapak tangannya berada pada bagian belakang badan
Shilla. Tanpa aba-aba pula tangannya bergerak teratur menepuk punggung gadis
itu berusaha menyalurkan ketenangan sama seperti yang pernah gadis itu lakukan
padanya dulu.
Shilla tidak mengelak dan tetap berkonsentrasi pada isakan dan
kesedihannya. Sementara Chris tidak buru-buru bertanya dan memilih menunggu
sampai gadis itu bercerita kalau memang mau bercerita. Bertanya hanya membuat
gadis itu merasa semakin sulit.
"He has another girl...in his
heart.." lirih Shilla akhirnya.
Mengetahui orang yang dicintai
juga menyimpan perasaan pada orang lain tentu lebih menyakitkan ketimbang
mendengar kabar perselingkuhan. Selingkuh dapat dilakukan tanpa perasaan dan
tidak akan sesedih saat mendengar si tercinta mencintai orang lain.
Karena prinsipnya, yang membuat seseorang tinggal dan bertahan adalah
perasaannya. Maka itu juga yang akan membawa orang tersebut pergi.
***
"Sebagai pakarnya putus, gue
tau sekarang lo pasti pengen maki-maki orang, kan? Gue tau tempat pelampiasan
yang bagus!"
Shilla tidak pernah berpikir kalau ia akan menuruti saran Chris dan
merelakan diri 'terjebak' bersama pemuda itu. Padahal sebelumnya ia sudah
seperti mayat hidup di atas kasur. Saat ini, ia bahkan sudah menaiki semua
wahana 'scream-able' yang ada di dufan dan baru saja selesai berenang setelah
sebelumnya sempat beberapa kali naik waterboom.
"Upah karena lo udah ngehibur
gue kemaren."
Chris bilang ini sebagai pelunasan hutang dari jasanya beberapa waktu
lalu ketika pemuda itu menangis di bahunya. Ia sebenarnya tidak menganggap itu
spesial. Ia hanya menjalankan sikap berprikemanusiaan, membantu seseorang yang
sedang terpuruk.
Namun berhubung ia juga sedang mumet, ia lantas menganggukkan kepala saja
ketika Chris mengajaknya pergi. Ia tidak tahu racun atau pelet apa yang telah
diberikan pemuda itu pada semua anggota keluarganya. Nyatanya ketika ia dan
Chris keluar kamar, semua menyambut dengan sumringah tanpa satu pun yang
bertanya tentang tampangnya yang amburadul.
Saat ini, Shilla dan Chris sedang menunggu pesanan makanan datang. Mereka
sudah puas dan lelah bermain dalam air. Lagipula, keduanya sama-sama belum
sarapan.
Shilla menilik satu persatu makanan dan minuman yang tersedia dalam buku
menu. Ia terdengar berdecak seraya geleng-geleng kepala takjub beberapa kali.
Chris sampai menautkan alis melihatnya.
"Ngapain sih?" Tanya Chris penasaran.
Shilla menggeser buku menu agar Chris juga dapat melihatnya, tanpa
sekalipun mengalihkan pandangan pada tulisan di dalamnya. "Gila, gila. Lo
beneran traktir gue, kan?"
Chris bergantian melihat buku menu dan wajah Shilla heran. Ia masih belum
menangkap maksud gelagat Shilla.
Shilla akhirnya memandang ke arah Chris. "Coba. Es teh manis doang
20 ribu?!" Pekik Shilla tertahan. "Ckck..ini kalo di rumah makan
padang udah dapet 7 bungkus!" Tambahnya lagi.
Chris tak tahan untuk tidak tertawa. Ia baru sadar kalau Shilla begitu
lucu dan menggemaskan. Tidak, sih. Memang dari dulu, maksudnya setelah beberapa
waktu ini dekat, gadis itu memang menggemaskan. Celetukannya ajaib. Apalagi
umpatannya, mengalir deras begitu saja bak air dari pipa paralon.
Saudara sekalian, tolong jangan sangka. Gue beneran muji, bukan baper.
Jangan ngebaperin semua hal.
"Medit bat lo!" Ledek Chris.
Shilla menghela napas singkat. "Pernah gak lo mikirin gimana es teh
manis dibuat? Seduh air, celupin bubuk teh sampe coklat, tambah gula sampe
manis, aduk sampe rata, trus masukin gelas, sisain buat diisi es batu. Mau
segala aer lo pakek, tetep aja rasanya rasa teh manis. Where did that many thousands come from? Apa coba beda rasanya 'es
teh manis' harga 50 ribu, 20 ribu, sama 5 ribu? Lo buang-buang duit buat es teh
manis, Man. Agak bodoh gitu gak dengernya?" Gerutunya panjang lebar dengan
semangat '45. Tidak tahu kenapa saat ini rasanya ia harus membahas dalam
perkara es teh manis.
Sekali lagi Chris tertawa. Ucapan Shilla memang tidak salah.
Cuma...sepenting itukah mereka harus merenungkan segelas es teh manis? Ia tidak
tahu Shilla seperti ini karena sedang galau atau normalnya gadis itu memang
seperti ini.
"Wah-wah, yang kayak lo nih yang dicari buat dijadiin bini. Yuk lah
abang nikahin abis adek lulus!" Seru Chris memasang tampang pura-pura
serius.
Shilla mendesis sinis ke arah Chris sesuai dengan dugaan pemuda itu.
"Masa perbendaharaan cowok di hidup gue sepi amat? Lo-Alvin, lo-Alvin
lagi."
Chris langsung mengangkat sebalah tangannya menyuarakan ketidaksetujuan.
"Sorry, I'm not a cheater. Kasta
gue lebih tinggi."
Shilla mendelik tajam tidak terima. "Maksud lo Alvin rendahan? Enak
aja!" Protesnya.
Chris lantas mengulum senyum geli. Ia mengerling menggoda pada Shilla.
"Cie yang masih bela calon mantan?" Ledeknya kembali.
Shilla terkesiap seketika mengatup mulut malu. Ia tertangkah basah. Ya
menurut lo aja gue udah move on!
"Ga temenan ah!" Shilla melipat kedua tangannya di atas meja
seraya memalingkan wajahnya. Ia tidak tahu cara melarikan diri yang lebih
elegan.
Chris hanya terkekeh pelan sekarang. Ia tidak tega juga meledek Shilla
terus-terusan. Meskipun sekarang penampakan gadis itu jauh di atas luar biasa,
Shilla tidak benar-benar baik-baik saja. Shilla masih menyimpan rasa sakit yang
dalam di hatinya.
Sudah ia bilang kan kalau Shilla itu pandai mengendalikan dirinya? Kalo
ngutuk gue aja yang gaada remnya dia.
Beruntung sang pelayang akhirnya datang membawa pesanan mereka sehingga
Shilla dan Chris tidak perlu repot-repot mencari cara keluar dari situasi yang
sebenarnya menyenangkan itu. Keduanya sesaat terlena pada makanan
masing-masing.
Hingga karena tak tahan hanya diam, Chris kembali berbicara.
"Shill?" Panggilnya.
"Nikmatnya es teh manis 20 ribu ini!" Seru Shilla setelah
menyeruput minuman yang beberapa saat lalu dan sampai sekarang masih
dipermasalahkannya. Ia lalu menatap Chris menjawab panggilan pemuda itu.
Chris ikut-ikutan tergoda menyeruput minumannya sebelum mengutarakan
maksudnya. "Pernah mikir kenapa gue tiba-tiba 'deketin' lo?"
Shilla tidak memilih basa-basi. Ia lantas balik bertanya dengan pasti.
"Nih sekarang aja gue tanya. Kenapa jadinya?"
Chris tersenyum puas dengan reaksi Shilla. Kalau dipikir-pikir, ia dan
Shilla punya pikiran yang sejalan. Tentunya harus melewati fase-fase saling
bertikai, tidak, tepatnya fase-fase Shilla masih menodongkan pisau kalau berada
di dekatnya, mereka sekarang seolah bisa mengerti satu sama lain.
Ia akhirnya tahu bagaimana rasanya punya teman dekat seorang perempuan.
Selama ini, satu-satunya perempuan yang dekat dengannya hanya Lala. Itu pun
karena mereka sempat berpacaran. Ia tidak punya sahabat perempuan. Semua
sahabatnya berjenis kelamin sama dengannya. Makanya, ia tidak bohong kalau ia
terharu ketika Shilla menawarkan 'bantuan' kala itu.
Berbicara mengenai pertanyaan Shilla, ia lantas menatap hiruk pikuk di
dalam dan sekitar kolam renang yang bertempat tepat di samping mereka dengan
pandangan menerawang. Menerawang asal-usul dirinya mendapat ide menemui Shilla.
Semua karena...
"Lala." Gumamnya pelan. Masih ada secuil rasa tidak nyaman
dalam dadanya manakala menyebut kembali nama sang mantan.
Shilla menatap Chris tidak mengerti sekaligus penasaran. "Kenapa
sama dia? Gak mungkin dia nyuruh lo deketin gue, kan?"
Iya, dari semua cewek di dunia ini, masa iya yang keinget sama Lala cuma
gue?
Chris menggelengkan kepala membenarkan ucapan Shilla. Ia kembali
memalingkan wajahnya menatap gadis itu. Ia tertawa sekilas sebelum mulai
bercerita. "Gue sayang banget sama Lala, Shill. Tapi dia selingkuh.
Sekali..dua kali..berkali-kali..gue ga pernah masalahin itu. Tapi enggak pas
yang terakhir kali. Sebelumnya gue cuma nganggep lalu karena gue tau dia cuma
'main-main'. Tapi yang terakhir itu...gue tau dia udah jatuh cinta. Sampe
akhirnya dia minta putus. Bayangin, yang seharusnya minta putus siapa, kan?
Justru gue yang minta dia stay."
Ia mengakhiri ucapannya dengan senyum lirih.
Shilla merasakan sesak dalam dadanya. Dirinya dan Chris sungguh tidak ada
bedanya. Mereka yang sama-sama dikhianati tapi mereka juga yang menyesal dan
mengharapkan sang kekasih tidak pergi. Mungkin kasus Chris lebih berat dari apa
yang terjadi padanya. Setidaknya Alvin hanya selingkuh sekali.
Cih...selingkuh kok pake setidaknya.
"We're just two fools, too
fool." Lirih Shilla menambahkan. Ia tersenyum miris pada Chris.
Chris mengangguk setuju tanpa ada niat mengajukan pembelaan diri. Lari
terlalu melelahkan, jadi terima dan jalani saja. "Percaya ga, gue sampe
mikir mungkin gue pernah berdosa sama orang jadi sekarang gue dilaknat. Dan
ketika gue mikirin itu, yang muncul di kepala gue itu.."
"Gue?" Tebak Shilla.
Chris menjentikkan jari puas. "Bingo!"
Shilla memberikan tatapan menilai pada Chris. Dia benar. Omongan pemuda
itu memang sulit dipercaya, sih. "Dari semua cewek yang pernah suka sama
lo? Gue?"
Chris menganggukkan kepala mengiyakan. Ia memajukan tubuhnya seraya
melipat kedua tangannya di atas meja sambil memandang lekat Shilla.
"Soalnya yang pernah nemuin gue secara langsung cuma lo. Trus yang punya
kenangan 'berkesan' dengan gue cuma lo." Jelasnya diakhiri dengan kedikan
bahu sementara Shilla membulatkan mulutnya mengucapkan 'Oh'.
"Maafin gue ya? Udah sewajarnya gue minta maaf, bahkan seharusnya
dari dulu. Bukan biar Tuhan kasian sama gue dan ngembaliin Lala. Gue minta maaf
karena gue bersalah."
Saat ini adalah titik balik penilaian Shilla terhadap Chris atau mungkin
membuatnya sadar kalau ia tidak semestinya menilai orang sembarangan tanpa
berusaha mencari tahu lebih dulu. Karena ternyata, ia akhirnya mendapati ada
pemuda yang lebih sempurna hatinya selain Alvin. Yaitu Chris.
Chris yang begitu menyayangi Lala. Chris yang menolerir pengkhianatan
Lala. Chris yang tidak menghakimi Lala karena meninggalkannya dan memilih
pemuda lain. Chris yang justru melakukan refleksi diri mencari tahu
kesalahannya pada orang lain. Chris yang mau merendahkan hati dan bersikap
jantan menemuinya bahkan meminta maaf atas kesalahannya. Chris yang akhirnya
merelakan Lala mengemban bahagianya. Chris yang gentle tidak membiarkannya
pulang sendiri dari cafe. Chris yang menangis tulus untuk cintanya. Dan..Chris
yang mengerti cara memperlakukan orang patah hati seperti dirinya.
Tapi sejatinya tetap tidak ada yang benar-benar sempurna. Kalau Chris
begitu sempurna, Lala tidak akan meninggalkannya berkali-kali untuk pemuda
lain. Kalau Alvin begitu sempurna, ia tidak akan mengkhianati perasaannya
sendiri.
"Kak, temenan yuk?"
***
"Heh ganjen. Kita udah sampe rumah lo. Lo di mana? Jangan sengaja
dilambat-lambatin!"
Suara galak Agni menggelegar di speaker ponsel Shilla. Shilla mendesah
malas seraya geleng-geleng kepala.
Ia saat ini masih bersama Chris namun sudah dalam perjalanan pulang. Tak
sampai 10 menit, ia akan sampai kembali di rumahnya. Agni, Ify, dan Via sudah
lebih dulu menunggunya di kamar dan kini gadis yang paling galak di antara
mereka sudah menuntutnya pulang.
Sikap Agni tersebut disebabkan karena postingan dirinya beberapa saat
lalu di media sosial miliknya. Postingan tersebut berisakan fotonya bersama
Chris ketika sedang makan. Itu juga sebagai tanda kesepakatan pertemanan di
antara mereka. Chris pun membuat postingan yang sama.
Ketiga temannya lantas memborbardirnya dengan berbagai pesan. Karena
malas menjelaskan satu per satu, alhasil ia menyuruh ketiganya untuk datang ke
rumah. Sekalian ada yang ingin dirinya sampaikan.
Reaksi ketiga temannya sesuai dengan apa yang ia prediksi. Ia tidak perlu
memutar kenop karena Agni lebih dulu membuka pintu dan menariknya masuk ke
dalam serta mendudukkannya di atas tempat tidur untuk mereka interogasi. Persis
seperti Via beberapa waktu lalu.
"Gercep amat lo pagi-pagi udah nge-date ama tuh bule? Pake posting samaan lagi. Lo bilang kemaren
kesel tujuh turunan!" Masih Agni. Ify dan Via hanya menimpali dengan anggukan
kepala.
Shilla mengangkat tangannya mengisyaratkan agar tiga gadis di hadapannya
tidak kelabakan. "Tenang, guys,
tenang. Gue ga nge-date elah!"
Demi mencegah respon yang lebih anarkis, Shilla kemudian segera
menceritakan perihal kondisi hubungannya dengan Alvin. Namun bukannya berubah
kalem, Ify, Via, dan Agni justru makin histeris.
"Bangs—Ah! Sial gue gabisa ngomong jorok di sini!" Kalian tahulah
siapa.
"Gila, gila, gila. Alvin, cowok yang paling lurus yang gue kenal,
taunya gakuat godaan juga!" Via akhirnya menimpali lewat ucapan.
Sementara Ify hanya bergumam pelan. "Jadi pada mendadak jomblo
gini,"
"Gue belom putus, ya!" Elak Shilla. Meskipun ia sendiri tidak
bangga dengan statusnya sekarang.
Tapi, tunggu. Ada yang aneh dengan ucapan Ify. Yang dimaksud jomblo oleh
Ify itu siapa? Hanya Shilla atau...
Seketika Shilla, Via, dan Agni saling berpandangan. Tanpa perlu
mengucapkan secara langsung ketiganya sudah secara sinkron mendudukkan Ify di
kasur sementara kini Shilla yang berdiri.
"Lo putus?" Tembak Agni.
Ify berkedip beberapa kali lalu kemudian menganggukkan kepala seraya
memberengut. Tidak perlu ia sembunyikan juga. Tanpa diduga-duga, ketiga gadis
di depannya justru berseru lega dan berpelukan bahagia mendengar kabar terbaru
terkait hubungannya tersebut.
"Alhamdulillah! Doa kita akhirnya dikabulin!" Seru Shilla.
"Alhamdulillah temen gue ga kesesat lagi!" Sahut Agni.
"Alhamdulillah! Alhamdulillah!" Via yang sudah kehabisan
kosakata.
Ify mendecak kesal menyaksikan Shilla, Agni, dan Via justru berjingkrak
kegirangan. Bukannya berusaha menghibur, mereka malah menunjukkan sikap suka
cita. Teman macam apa ini?
"Aaaaa..gue juga mau ikutan!" Rengek Ify tiba-tiba.
Shilla, Via, dan Agni tak ayal merasa gemas. Ify mereka telah kembali
menjadi milik mereka seutuhnya.
"Ify gue yang kyot ini udah balik!" Agni menghambur ke arah
Ify, mendorong gadis itu hingga terbaring di atas kasur.
"Rintangan datang!!" Seru Via memperingati sebelum ia melompat
dan membiarkan badannya terhempas ke kasur. Membuat badan empuk benda itu
terguncang hebat, termasuk Agni dan Ify yang berada di atasnya. Mereka seketika
tertawa.
Shilla terkekeh geli menyaksikan tingkah konyol teman-temannya. Ia tidak
ikut bergulat di atas tempat tidur melainkan mendudukkan pantatnya di kursi
meja rias, hendak menyisir ulang rambutnya yang tadi diikat sembarangan. Ia
juga sekaligus membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalam sebelum ia
memulai adegan tangis mengharu-birunya.
"Gengs, kita ke Bogor ya minggu depan!"
Tanpa aba-aba, Ify, Via, dan Agni serentak bangun dari tidurnya.
"Beneran jadi?!"
***
semngat buat ceritanya, aku nungguin loh.
BalasHapus