-->

Kamis, 19 Oktober 2017

Matchmaking Part 36 (RIFY!!)

Jangan kaget *apasih*

***

The old girl who leaves and the old girl who retuns - Kode dari yang nulis

***

Dipanggil wali kelas setelah selesai ulangan harian itu benar-benar bukan pengalaman yang indah. Apalagi masalah yang dibicarakan adalah nilai buruk pada berbagai mata pelajaran di sekolah. Sedikit banyak Ify bersyukur karena nilainya sekarang tidak sejelek tahun pertama.

Tapi, tetap saja wali kelasnya belum merasa puas dengan pencapaian yang menurutnya sudah sangat luar biasa itu. Wanita gempal itu menuntutnya lebih serius memperbaiki nilai akademis. Ia sebenarnya tidak keberatan diberi masukan seperti ini. Yang membuatnya jengkel adalah ketika dia menghakimi tingkahnya selama di sekolah dan mengkambinghitamkan hal tersebut dengan nilai tidak memuaskan yang ia peroleh.

Wali kelasnya menuduhnya yang tidak-tidak dengan mengait-ngaitkan masalahnya beberapa waktu lalu. Yang paling utama memang masalah fotonya dengan Debo di madding. Hal itu seketika mengingatkannya lagi pada Dea. Mengingatkannya lagi pada rasa tidak suka dan kecewanya pada gadis itu. Padahal ia sudah sangat berusaha untuk membuang perasaan tersebut.

Tidak sampai disitu. Semua orang sudah tahu statusnya dengan Rio. Begitu juga wali kelasnya. Masalah itu pun tidak luput dari bahasan. Ia malas menjabarkannya. Intinya, semuanya sama-sama membuatnya gondok. Sayangnya, ia tidak bisa apa-apa dan hanya bisa pasrah menelan semua sindiran menyebalkan dari wanita di hadapannya itu.

Ify menghela napas setelah menginjakkan kaki keluar dari ruang guru. Sejenak merasakan hembusan angin segar yang lumayan menyejukkan pikiran. Ya sejenak, karena selanjutnya ia dibuat penasaran ketika menangkap pergerakan dua sejoli yang berada agak jauh di depannya.

Ify mengurung langkahnya untuk maju ke depan dan memilih berhenti seraya bersembunyi di balik pilar. Ia memperhatikan interaksi antara Rio dan Dea secara diam-diam. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan perubahan dan emosi yang signifikan. Mengetahui Rio bersama Dea, terserah Rio atau Dea yang memulai lebih dulu, juga tidak memicu respon adrenalin dalam dirinya.

Kali ini, ia hanya penasaran. Hatinya hanya bertanya-tanya, yang paling utama bukan soal apa yang mereka bicarakan tapi apakah Rio akan jujur padanya kalau ia bertemu Dea hari ini? Lalu, kapan pertemuan itu direncanakan? Karena semalam mereka cukup lama menghabiskan waktu berdua dan Rio sama sekali tidak buka mulut soal ini.

Ify lantas memutuskan angkat kaki dan memilih menunggu penjelasan Rio saja. Jika Rio tidak berterus terang maka ia pun tidak akan bertanya karena menurutnya Rio punya urusan dengan Dea yang menurut Rio tidak perlu menjadi urusannya.

Tapi sepertinya Ify terpaksa kembali diam di tempat. Ketika ia berbalik badan, ia menemukan sosok Angel yang berdiri terpaku dengan pandangan lurus mengarah pada Rio dan Dea. Ify sampai beberapa kali mengganti pandangannya demi memastikan kalau Angel benar-benar tengah melihat ke arah Rio dan Dea.

Yang menarik perhatian adalah bentuk tatapannya. Keseluruhan ekspresinya jelas menunjukkan kemarahan. Matanya memerah dan agak sembab ditambah dengan kedua tangannya yang terkepal erat. Seketika Ify merasa khawatir. Perasaannya menjadi tidak enak. Pasti ada sesuatu yang sudah terjadi yang melibatkan ketiga orang tersebut. Dan apapun itu, pihak yang akan menerima dampak buruk terbanyak adalah Angel.

“Kak Angel..” Panggil Ify seraya menahan lengan Angel ketika gadis itu berjalan melewati dirinya.

Angel sesaat berhenti dan menoleh pada Ify tapi dengan cepat memalingkan wajahnya kembali pada dua tokoh utama di depannya. Ia juga menepis tangan yang menggenggam lemah lengannya agar dapat kembali berjalan.

Sementara itu, untuk kedua kalinya Ify bergeming di tempatnya. Ia bagai tidak punya tenaga untuk menyusul Angel dan lantas memilih melihat dari jauh. Tubuhnya merinding manakala ia memikirkan pikiran yang saat ini berusaha ia sangkal. Tidak, ini pasti bukan tentang rahasia Angel. Tolong, jangan.

Angel berhenti tepat di depan Rio dan Dea. Tangan kanannya yang tadi terkepal sekarang terbuka dan terlihat bergetar.

“Lo..” katanya tertahan dengan tangannya sedikit terangkat. Namun, Rio buru-buru menghalau Dea di belakangnya dan berdiri di antara gadis itu dan Angel. Dari gerak-geriknya, ia tampak berusaha melindungi Dea. Dea sendiri tampak kikuk dan takut sambil menundukkan kepalanya.

Amarah beberapa saat lalu seketika berubah menjadi sendu. Angel menghela napas berat. “Bagus semua orang udah tau. Jadi, lo ga bisa ngancem gue lagi.” Katanya dengan senyum tipis.

Rio memandang Angel tanpa ekspresi. Biasanya dia yang paling senang beradu mulut dengan kakak kelasnya itu. Tapi sekarang, pemuda itu hanya diam meski masih tetap melindungi Dea.

Angel mengangkat pandangannya pada Rio dan tersenyum kembali. “Kalo semuanya udah kebuka, jangan sampe lo ga ngelindungin dia lagi, ya! Jaga loyalitas bullshit lo itu. GOOD-LUCK!” Ia beranjak pergi setelah menepuk pelan lengan Rio.

Rio masih menunjukkan tampang datar tapi kemudian ia terkejut ketika tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Ify. Gadis itu tampak berdiri agak jauh di depannya. Ia tidak begitu jelas mengetahui air muka gadisnya saat ini tapi yang pasti dia terlihat syok.

Seluruh tubuh Ify terasa gemetar dan kakinya mendadak berubah bak jelly. Ia sangat-sangat merasa bersalah pada Angel. Walaupun ia tidak tahu bagaimana rahasia itu bocor pada orang-orang dan bukan dirinya juga yang membocorkan, ia tetap saja merasa bersalah.

“Fy—”

“Apa..lo yang..” Ify menyela ketika Rio baru saja sampai di depannya dan hendak buka suara. Namun, itu pun dengan ujaran yang tidak sempurna.

Rio menghela napas lalu menggeleng pelan. “Bukan gue.” Jawabnya pelan namun mengandung keyakinan penuh di dalamnya.

“Cuma gue yang tau dan cuma lo yang gue kasih tau. Kalo bukan lo, siapa yang..” Racauan Ify berhenti ketika ia menatap Dea. Gadis itu tengah berjalan pelan mendekat menyusul Rio.

Rio menghela napas lagi. “Lo ga seharusnya mikirin ini, Fy. Biar ini jadi urusan dia sendiri. Bukan gue atau lo pelakunya jadi kita ga usah ikut campur.”

Ify hanya diam sembari menatap Dea yang kini sudah ada di samping mereka. Gadis itu masih terlihat kikuk dan Ify benar-benar muak melihat itu.

“KakFy aku—“

“Jagain dia bener-bener. Sebelum terjadi sesuatu lagi. Entah itu gue atau justru dia sendiri yang ngelakuin.” Ify lagi-lagi menyela sebelum Dea sempat berbicara. Itu juga menjadi kata-kata terakhirnya sebelum berlalu pergi.

Entah itu gue atau orang lain yang bakal kena dampaknya...setelah Angel.

***

Ify berdiri menatap supermarket di depannya sambil menggenggam erat tali tas sekolah. Supermarket yang ia hampiri merupakan supermarket tempat Angel bekerja waktu itu. Ia memantapkan hatinya untuk masuk dan menemui gadis itu.

Sementara itu, Angel tengah fokus pada tugasnya mengepel lantai. Tiba-tiba sekotak susu dan sebungkus roti muncul di depan wajahnya. Ia mengikuti tangan yang memegang dan kemudian bertemu pandang dengan Ify. Gadis itu langsung tersenyum sumringah. Ia berkedip kaget sekaligus bingung kenapa gadis itu tiba-tiba ada di sini dan memberikannya makan dan minum.

Ify mengambil tangan Angel dan memberikan susu serta roti yang baru saja ia beli pada gadis itu. Ia juga mengambil alih gagang pel yang sebelumnya digunakan Angel dan menyandarkannya asal pada rak di sampingnya. Ia lalu menuntun paksa Angel untuk duduk di kursi.

“Biar gue yang ngepel lantainya. Lo duduk yang manis sambil makan aja di sini, oke?” Ify buru-buru beranjak meninggalkan Angel sehingga gadis itu tidak bisa menyampaikan penolakan.

Angel sendiri sebenarnya masih dirundung rasa takjub dan berusaha mencerna situasi yang terjadi saat ini. Belum selesai hiruk pikuk pikirannya oleh Rio dan Dea, sekarang ia juga harus menghadapi perlakuan tidak biasa Ify. Ia lantas memandang 2 hadiah pemberian tadi dan berakhir dengan senyum geli. Terakhir kepalanya tampak bergerak ke kanan-kiri beberapa kali. “Ga ada nyerah-nyerahnya ini anak!”

Sesuai ucapannya, Ify lekas menggantikan Angel mengepel lantai. Penjaga kasir sempat bingung dengan kehadirannya dan apa yang sedang ia kerjakan. Tapi kemudian seorang pelanggan berhasil mengalihkan fokusnya dan melupakan Ify beberapa saat.

Berhubung supermarket ini tidak besar jadi waktu yang dibutuhkan Ify untuk membersihkan segala sisi tidak lama. Walau begitu, tetap saja terasa melelahkan. Setelah selesai, ia meletakkan pel dan ember di dekat kamar mandi lalu menghampiri Angel dan ikut duduk di salah satu kursi. Ia mengibas-ngibaskan seragamnya yang lembab karena keringat.

“Capek juga,” komentar Ify.

Angel tersenyum dan gantian menyodorkan minuman kaleng dingin pada Ify. Ify menyambutnya dengan antusias.

“Keren ya, lo sama gue bisa duduk anteng haha-hihi begini.” Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Angel membalas hangat ucapan Ify.

Ify menoleh seraya meneguk minumannya. “Yang selalu galak-in gue kan lo, Kak.” Balasnya diakhiri tawa ringan. Begitu pula Angel.

Keduanya lalu diam sambil menikmati makanan dan minuman masing-masing. Ify hendak bertanya namun bingung apa yang harus ia tanyakan. Ia juga sebenarnya tidak tahu apa tujuannya datang kemari dan menemui Angel. Ia hanya merasa ikut andil bersalah ketika rahasia Angel diketahui semua orang di sekolahnya. Tapi, ia juga tidak mungkin bertanya langsung mengenai itu. Lagipula, Angel tidak tahu kalau ia salah satu orang yang sudah lebih dulu tahu tentang kondisinya.

“Lo ga perlu ngerasa bersalah. Bukan lo juga yang ngasih tau orang-orang, kan?” Angel sebagai yang lebih tua akhirnya mengambil langkah pertama.

Ify menoleh cepat ke arahnya. “Lo kok tau kalo gue..” Ify menjeda ucapannya sesaat lalu kembali melanjutkan ketika bayangan wajah Tristan muncul di pikirannya. “Ah! Kak Tristan yang ngasih tau ya?”

Angel menggeleng pelan disambut kernyitan di kening Ify. Kalo bukan Tristan lalu siapa?

“Dokter Obiet yang ngasih tau. Waktu gue pingsan di rumah sakit, dia bilang lo yang nolongin gue.”

Ify membulatkan mulutnya seraya menganggukkan kepala. Syukurlah bukan Tristan. Kalau tidak, habis dari supermarket ia akan langsung menemui pemuda itu dan membuat perhitungan. Juga kalau benar Tristan, artinya hampir semua makhluk bergender laki-laki di sekitarnya tidak ada yang loyal. Semua suka membocorkan rahasia.

“Dunia emang bener-bener sempit, ya?” ujar Angel sekaligus memulai ronde diam kedua di antara mereka.

“Lo kenapa bisa..ehm..sebenernya apa yang terjadi sama lo, sih, Kak?” Ify memberanikan diri bertanya meski dengan perasaan tidak enak yang amat besarNiatnya bukan karena sekedar ingin tahu melainkan karena dirinya amat prihatin pada gadis di sampingnya. Ia yang merasa marah terhadap apa yang terjadi pada Angel. Ia peduli, bukan kasihan.

Angel sama sekali tidak terlihat emosi mendengar pertanyaan sensitif yang diajukan Ify. Hal itu membuat Ify mengucap syukur dalam hati sedalam-dalamnya. Angel menarik napas panjang lalu menghembusnya perlahan.

“Klasik, sih. Bokap stress ditinggal nyokap. Jadi temperamen, kalo lagi apes gue kadang kena pukul. Pulang malem, balik-balik mabok. Biarpun gitu, gue harus tetep nungguin dia pulang. Soalnya kalo dia belum dateng pintu rumah gue ga dikunci. Sampe akhirnya suatu hari, gue ketiduran di sofa. Entah kesambet setan mana, dia dateng dan mukul gue sampe pingsan. Dan..yaudah.” Angel mengakhiri penjelasan singkatnya dengan kata-kata tersirat. Rasanya tidak perlu ia jabarkan secara nyata agar Ify paham.

Ify merinding membayangkan hal yang selanjutnya terjadi. Ia merasa lebih takut lagi karena saat ini Angel masih berada satu atap dengan ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu.

“Lo harusnya lapor polisi, Kak! Lo gabisa pasrah gini aja!” Ujar Ify menggebu-gebu.

Angel memandangnya sekilas lalu tersenyum. Ia mengeluarkan dompetnya dari saku celana dan mengambil salah satu foto yang ada di dalam sana. Tak lain ialah foto ibunya. Ia lalu memperlihatkan foto tersebut pada Ify.

“Cantik banget ga, sih?” tanyanya pada Ify. Ify melihat itu lekas mengangguk setuju. Wanita dalam foto yang ia lihat benar-benar cantik dan berparas keibuan.

“Nyokap gue itu dokter. Buka praktik pribadi di rumah. Tapi, yang sering jadi pasien itu laki-laki. Dari anak SMA sampe kakek-kakek rabun, banyak banget pokoknya. Nyokap juga risih karena kadang-kadang mereka ga sakit beneran tapi tetep aja dateng minta diperiksa. Udah ditolak juga masih aja dateng. Sebenernya gaada masalah, toh nyokap ga niat macem-macem dan mereka juga ga aneh-aneh. Cuma sialnya, gue itu tinggal di komplek. Tau lah kan mulut ibu-ibu komplek kaya gimana? Khususnya yang suami-suaminya ikut jadi pasien nyokap gue. Mereka ngejelekin nyokap sampe semua orang gaada yang suka sama keluarga gue.”

Ify tiba-tiba merasa pening. Satu lagi masalah Angel yang baru ia ketahui dan itu menambah panjang list masalah-masalah berat yang harus dihadapi gadis itu. Rasanya sangat tidak adil.

“Kalo gue sampe lapor polisi, semua orang tau apa yang gue alami, mereka gaakan simpati. Itu cuma bikin keluarga gue yang udah ancur jadi makin ancur. Gue sih ga masalah, tapi gue ga tega sama Fify, adek gue. Dia masih kelewat kecil buat nerima cemooh orang-orang. Gue gamau itu jadi pondasi mental dia buat berkembang jadi orang ga bener di masa depan.”

Fify mengingatkan Ify pada anak kecil yang beberapa kali ia temui. Di swalayan, di restoran, dan di rumah gadis kecil itu. Gadis itu beruntung bisa punya saudara perempuan sebaik Angel. Pantas Tristan sampai cinta mati.

“Dan lo juga harus sampe kerja sambilan gini?”

Angel lagi-lagi menggelengkan kepala. “Gue ga kekurangan uang, kok. Nyokap ninggalin tabungan dan gue juga dapet asuransi kematian yang bokap gatau. Entah kenapa, waktu itu nyokap punya firasat untuk ngerahasiain ini dari bokap. Walaupun bokap ga nanyain juga, sih. Tapi jaga-jaga aja jadi gue nitipin itu sama Tristan. Gue cuma males lama-lama di rumah. Jadi gue nyari kerja, yang sekaligus tempatnya deket sama sekolah Fify.”

Ify sedikit bisa menghela napas lega. Setidaknya kini ia tahu Angel tidak mengalami kesulitan ekonomi.

“Tenang, gue ga ada apa-apa kok sama Tristan.”

Ucapan tiba-tiba Angel itu cukup membuat Ify kaget. Ia jadi curiga kalau gadis itu salah paham. “Lo ga mikir gue sama Kak Tristan lagi PDKT, kan?”

Angel menatapnya dan sedikit kelihatan gugup walau masih dapat tertutupi dengan baik. Tapi Ify tidak bisa melewatkannya begitu saja. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu. Ia lantas tersenyum geli dalam hati. Tristan akan duduk bersimpuh di hadapannya setelah ia memberitahu berita panas ini.

“Bukannya iya?” Balas Angel dengan tampang polos. Ify saat itu juga tertawa. “Gue kan udah punya pacar, Kak. Ngapain PDKT-an sama orang lagi?”

Angel tampak membuka mulutnya karena baru saja teringat oleh ucapan Ify. Ia baru ingat tentang Ify dan Rio. “Oh iya ya. Lo kan sama Rio, ya? Gue jadi mendadak bego begini.”

Ify menatap Angel dan kembali tersenyum. “Tristan sukanya sama lo lagi, Kak. Ga berani bilang aja.”

Angel berjengit kaget berusaha percaya namun kemudian ia sadar itu tidak mungkin. “Itu ga mungkin, Fy. Kondisi gue udah beda dan dia ga mungkin punya perasaan sejauh itu.” Lirihnya. Mendadak ia jadi sedih sendiri.

“Ck, gue mesti desak Kak Tristan nih buat cepet-cepet nembak lo!” Seru Ify. Angel tak lagi menyahut. Ia hanya tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala.

“Pindah aja, sih, Kak. Lo ga takut apa nanti bokap lo kesambet setan lagi?” Ify lalu mengembalikan pokok bahasan mereka pada masalah Angel dan ayahnya.

“Gue gatau mau pindah ke mana. Hubungan sama pihak bokap ga baik karena dulu pas nikah mereka ga setuju soalnya bokap jadi pindah agama. Mana gue juga bukan anak kandung bokap. Ga mungkin gue nitipin Fify sendirian. Sedangkan keluarga nyokap itu mata duitan. Pas nyokap meninggal aja mereka malah nanyain ada uang asuransi apa engga. Yah, daripada idup gue jadi beneran separah di sinetron, gue mutusin tetep tinggal sama bokap. Lagipula, setelah kejadian itu, dia jadi agak mendingan. Jadi jarang mabok, meskipun tetep suka marah-marah.”

Ify tidak langsung menjawab. Ia sesaat berpikir kata-kata yang tepat untuk diucapkan. “Tapi cepet atau lambat lo tetep harus pindah, Kak. Gabaik juga buat Fify harus ngeliat tingkah jelek ayahnya terus.”

Kali ini Angel tampak mengangguk-anggukkan kepala. “Gue sebenernya udah lihat beberapa rumah. Ntar kalo udah nemu harga yang cocok gue bakal bawa Fify pindah.”

Ify menghela napas lega kembali. Ia berharap Angel bisa angkat kaki dari rumahnya sesegera mungkin.

***

Ify bergeming di tempatnya dengan raut muka tegang sekaligus terpukul. Matanya menatap nanar seorang gadis yang terbaring lemah di hadapannya disertai luka di beberapa tempat. Kulitnya memucat dan tubuhnya tampak kaku. Di sampingnya, terdapat Fify yang hanya diam tertunduk sambil sesekali menyeka air mata yang menetes ke pipi, tanpa suara.

Beberapa saat lalu saat menjemput Fify, Angel ditabrak sebuah mini bus yang berjalan cukup kencang, ketika hendak menyebrang jalan. Padahal jalan yang dilalui adalah area penyebrangan anak-anak yang baru pulang dari sekolah di mana sangat dilarang untuk melaju dengan kecepatan tinggi. Setelah diketahui ternyata sang sopir dalam kondisi kurang sadar alias mabuk. Ify yang kala itu memberi tumpangan lekas membawa gadis itu ke rumah sakit dan turut serta membawa Fify.

Angel sempat pingsan lalu kemudian sadarkan diri.  Tapi kemudian, gadis itu mendadak kejang dan tak lama setelah itu mengalami henti napas dan jantung. Dokter mencoba memberi pertolongan untuk mengupayakan agar denyut jantungnya kembali bahkan hingga lebih dari setengah jam. Dokter pada akhirnya menyerah dan memutuskan menghentikan pertolongan.

“Waktu kematian..”

Telinga Ify mendadak tuli manakala dokter menyatakan waktu kematian Angel. Hati dan pikirannya masih belum bisa menerima keputusan tersebut. Baru saja...astaga! Baru siang tadi ia bisa bercengkrama hangat dengan Angel. Baru saja ia benar-benar bisa duduk santai bersama dengan gadis itu.

Tristan yang berdiri di sampingnya merangkulnya erat. Pemuda yang biasanya pecicilan itu kini tidak banyak bicara. Sama seperti Ify, ia masih tidak percaya kalau tubuh gadis yang terbaring di depannya sudah tidak bernyawa. Ia masih luput dari rasa percaya jika Angel-nya sudah tiada, jika Angel-nya benar-benar sudah bersama dengan para Angel di atas sana. Ya Tuhan, ia bahkan belum kesampaian mengutarakan perasaannya yang sebenarnya.

“Hng—Monster?”

Perhatian dua sejoli yang tengah berduka cita itu langsung teralihkan pada gadis kecil di samping mereka. Seketika Ify dan Tristan teringat akan Fify yang sedari tadi berusaha tegar seorang diri. Saat itu juga mereka menjadi merasa bersalah.

“Monster..” Fify mencicit langkah beranjak dari tempatnya mendekati pasien yang baru saja masuk ke ruang UGD.

Ify hendak menahan gadis kecil itu tapi kemudian ia terdiam mengetahui siapa pasien yang dihampiri Fify tersebut. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah ayah gadis itu.

Ify dan Tristan saling berpandangan merasakan firasat yang sama. Tidak..tidak..tolong jangan..

Beeeeeeeeeeeeep…

***

“Mama.”

Fify memasang tatapan polos pada Ify yang berdiri berkacak pinggang di depannya. Saat ini mereka tengah memperdebatkan panggilan yang seharusnya digunakan Fify untuk Ify. Sebenarnya sudah jelas, Fify seharusnya memanggil Ify dengan sebutan Kakak. Tapi, entah kenapa gadis kecil itu justru kekeuh untuk menyebut Ify dengan sebutan Mama.

“Kakak, Fify. K-a-k-a-k. Kakak.” Dikte Ify masih mencoba bernegosiasi.

Sayangnya, Fify justru membalasnya dengan gelengan kepala. “Mama. M-a-m-a. Mama.” Sekali lagi Fify menyebutkan dengan lantang panggilan yang diinginkannya untuk Ify.

Ify mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. ‘Adek gue itu agak..aneh.’ Tiba-tiba kata-kata Angel saat mereka mengobrol terakhir kali terlintas di kepalanya. Sekarang ia sangat membenarkan ucapan tersebut.

“Adek lo emang aneh, Kak.” Lirihnya pasrah. Ujung-ujungnya, ia membiarkan Fify memilih panggilan sesuai keinginannya.

Mengingat Angel membuatnya kembali merasa iba pada Fify. Gadis kecil itu kini benar-benar tidak punya siapapun. Ayah, ibu, dan kakaknya sama-sama meninggal karena kecelakaan. Yang paling tidak disangka adalah ayah dan kakaknya meninggal di hari yang sama. Angel kecelakaan saat menjemputnya ke sekolah sedangkan ayahnya kecelakaan saat dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk melihat Angel.

Jauh sebelum kecelakaan ini terjadi, sebelum Ify dan Tristan kembali bertemu, sebelum Ify dan Angel saling tahu satu sama lain, Angel berpesan pada Tristan bahwa bila suatu hari terjadi sesuatu padanya, ia menitipkan Fify pada pemuda itu. Tidak ada yang menyangka bahwa ‘suatu hari’ itu begitu cepat menyapa.

Tapi, jika dipikir-pikir, semua peristiwa yang terjadi padanya memiliki keterkaitan satu sama lain. Rasanya, semuanya tidak terjadi begitu saja. Jika Ferdi tidak kolaps dan harus mendapat perawatan, sedikit peluangnya untuk bertemu kembali dengan Tristan. Jika ia tidak bertemu dengan Tristan, pemuda itu pasti sekarang bingung kepada siapa ia harus menitipkan Fify karena akan aneh kalau Fify hanya tinggal berdua dengannya, walaupun Fify hanya anak kecil.

Kalau Ferdi tidak sakit, lelaki itu tidak mungkin memiliki ide untuk menjodohkannya dengan Rio. Kalau skandal perjodohan itu tidak ada, ia akan selamanya menjadi orang dibalik layar yang sama sekali tidak disadari oleh Rio. Status di antara keduanya saat ini tidak mungkin terwujud. Kalau ia tidak menjadi kekasih Rio, ia tidak akan punya masalah dengan Dea. Kalau ia tidak punya masalah dengan Dea, ia tidak akan pernah mengenal Angel. Meskipun masalah mereka bertiga masih menjadi misteri sampai sekarang. Kalau ia tidak kenal dengan Angel, ia tidak akan pernah tahu Fify dan Tristan akan menjadi satu-satunya orang yang merasa memiliki tanggung jawab moral pada gadis kecil itu.

Sebenarnya bisa saja Fify dititipkan pada keluarga ayah dan ibunya. Tapi, berdasarkan cerita Angel waktu itu, akhirnya Ify memutuskan menampung Fify di rumahnya. Tentu setelah berdiskusi panjang dengan Ferdi, termasuk memberitahukan masalah ini pada kedua orang tua Tristan. Dan benar saja, tidak satu pun keluarga dari Fify yang protes atau pun sekedar bertanya dimana keberadaan Fify. Mereka sempat hadir ketika proses pemakaman. Tapi setelah itu mereka tidak tampak berkunjung ke rumah Angel terdahulu untuk membahas mengenai Fify.

“Non Ify?”

Panggilan Siti, pembantu di rumahnya berhasil melarikan Ify kembali kepada kenyataan. Ia menoleh melihat separuh tubuh wanita itu muncul dari balik pintu.

“Kenapa Bi?” Jawabnya pelan.

“Bibi mau ngasih tau tadi di bawah ada Nak Rio. Tapi Nak Rio keliatannya capek sama ngantuk jadi Bibi suruh istirahat di kamar Non. Gapapa kan, Non?”

Sesaat Ify merasa asing dengan nama tersebut. Sepertinya pikirannya tidak benar-benar sudah duduk pada tempatnya. Tapi kemudian ia akhirnya sadar sesadar-sadarnya kalau saat ini Rio, kekasihnya, ada di rumahnya dan bermaksud menemuinya. Beberapa hari ini memang hubungan ataupun interaksi antara mereka berdua tidak dalam kondisi intens, khususnya sejak kejadian di depan ruang guru waktu itu.

Tidak, mereka tidak bertengkar atau perang dingin atau sejenis itu. Hubungan itu tetap tenang namun sampai menjadi terlalu tenang tanpa mereka sadari. Soal Angel, mereka sama-sama memilih tutup mulut. Keduanya menyerah untuk memecahkan tantangan yang satu ini. Mereka sedang tidak bertenaga.

“Oh iya gapapa, Bi. Makasih ya, Bi.”

***

Klik. *pokoknya backsound pintu ketutup. Kalo ga setuju setel sendiri wkwk*

Ify bersandar sejenak pada pintu kamarnya dengan pandangan lurus ke arah pemuda yang sedang tidur meringkuk di atas kasur. Ia tidak tahu apakah Rio seperti itu karena kedinginan oleh suhu AC yang rendah atau memang posisi alami tidurnya seperti itu. Selama ia menginap di rumah pemuda itu, ia tidak pernah mengamati benar-benar bagaimana Rio tidur apalagi menemukan posisi-posisi unik tertentu. Yang ia tahu, pemuda itu hanya mudah sekali jatuh terlelap.

Rio tidak bergeming ketika suara pintu terbuka dan tertutup bergema dalam kamar. Alhasil Ify dengan langkah satu-satu mendekat dan duduk di tepi bagian kasur sekaligus di samping Rio. Sekedar informasi kalau Rio tidur membelakangi Ify. Ify menyentuhkan telunjuknya pelan pada lengan Rio. Seketika itu juga kepala Rio menoleh dan bergegas merebahkan tubuhnya sehingga sekarang posisinya berbaring telentang. Dari matanya ketahuan kalau pemuda itu memang lumayan mengantuk.

“Baru balik rapat?” Ify buka suara lebih dulu yang dibalas Rio dengan gelengan kepala. Kening Ify lantas mengernyit.

“Abis main bola?” Untuk kedua kalinya Ify bertanya yang juga masih dibalas Rio dengan gelengan kepala. Lipatan keningnya menjadi kian bertambah.

“Jadi darimana?” Ia menyerah bermain tebak-tebakan dan memilih bertanya langsung.

Bukannya menjawab, Rio justru hanya diam namun tatapan matanya lurus ke arah Ify yang membuatnya agak merasa salah tingkah. Respon Ify tersebut menjadi kode untuk Rio agar segera bicara. “Gaenak, kan, kepo? Gue juga gitu waktu nungguin lo nelfon nanyain gue di mana lagi apa tadi..”

Ify merasa ada yang menoel kepalanya walau sebenarnya tidak ada. Sindiran Rio sungguh tepat sasaran. Ups, ia jadi malu. Ia lantas memalingkan wajahnya ke arah lain. Mendadak corak sepreinya menjadi menarik untuk diperhatikan.

Rio menyunggingkan senyum tipis mendapati Ify yang mati kutu. Pola tingkah Ify tidak pernah membosankan untuk diamati. Semuanya menggemaskan. Kecuali ketika gadis itu mendiamkannya atau lebih parah menangis karena ulahnya. Buminya berpijak benar-benar terasa berguncang. Mohon ampun dirinya kalau itu sampai terjadi, lagi.

“Abis hunting gedung buat prom ntar,” Rio akhirnya menjawab pertanyaan Ify sedaritadi. Kalau ia terus ‘menggoda’ kekasihnya, situasi selanjutnya tidak akan bagus.

Benar saja, Ify dalam sekejab kembali menoleh pada Rio. Keningnya kembali mengerut. “Acaranya bukan di hall parfait?”

Rio kembali membalas dengan gelengan kepala. Kali ini ia segera menjawab secara langsung. “Mumpung dapet sponsor. Sekalian aja cari tempat bagus. Yang gak mahal-mahal juga, sih. Mesti nyisain buat perpisahan juga.”

Ify membulatkan mulutnya seraya mengangguk paham. Ia kemudian melihat pemuda itu menguap hingga matanya berair ketika selesai. Ia pikir ia perlu membiarkan Rio tidur sejenak menghapus rasa lelah sebelum pemuda itu mengalami sakit kepala karena menahan kantuk.

“Tidur dulu aja. Gue nunggu di luar biar gak ganggu.” Putus Ify. Ia sudah hendak beranjak namun Rio saat itu juga menarik bajunya sehingga ia terduduk kembali di tempatnya.

“Gue sabar ngantri giliran gue sama lo setelah Fify bukan buat lo tengokin bentar abis itu pergi ya!” Rio memprotes manja pada Ify. Bukan pertama kali Rio seperti ini tapi bukan berarti sering juga. Yang sekarang adalah efek lelah yang cukup berat dan rasa rindu pada Ify yang telah bertumpahan.

Ify mendesah pelan. Jelas-jelas Rio mengantuk tapi masih memaksakan untuk mengobrol dengannya. Seperti hari yang tersisa dan jam yang tersisa hanya hari dan saat ini saja. “Lo ngantuk, Yo. Lo butuh tidur bukan ngobrol!”

Rio mengambil tangan kanan Ify dan memindahkannya ke atas dada. Ia lalu menindih punggung tangan kekasihnya itu dengan tangannya sendiri. Selanjutnya ia menjawab sambil mulai menutup mata.

“Seenggaknya temenin gue sampe gue ga sadar.” Kali ini tidak ada negosiasi karena Rio tidak ingin ada penolakan.

Ify lantas pasrah dengan kemauan Rio. Memikirkan ia mungkin saja menjadi bonus yang dapat mengurangi penat di bahu Rio sudah membuat beberapa kupu-kupu tiba-tiba berterbangan dalam perutnya. Ia tersipu, selalu, kapan pun moment seperti ini terjadi, bahkan ketika hanya sedang teringat.

Rio yang dalam kondisi menutup mata membuat Ify jadi leluasa untuk memperhatikan wajah tampan pemuda itu. Memperhatikannya membuat Ify untuk kesekian kalinya mengucap syukur diam-diam dalam hati.

Namun, di tengah kekaguman Ify padanya, tiba-tiba saja Rio berujar kembali. “Gue ga sempet minta maaf..” lirih pemuda itu.

Ify dapat melihat ketulusan di wajah tampan Rio saat ini. Rasa bersalah yang terukir di wajahnya bukan dibuat-buat. Sebelumnya Ify sudah mengubur dalam-dalam rasa kecewa apalagi dendamnya pada Rio. Ya, hanya Rio. Untuk yang satu lagi ia tidak ingin memberi tahu meski semua orang pasti tahu jawabannya.

Tidak adil memang ia marah tanpa pernah bersedia mendengarkan klarifikasi pemuda itu. Bisa saja Rio justru tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang terjadi pada Angel. Untuk itu, ia sedikit berbaik hati dengan memaafkan Rio.

Ia tidak menjawab apapun melainkan hanya mengusap pelan kepala Rio seolah mengatakan kalau pemuda itu tidak usah khawatir. Rio lantas mengeratkan lagi genggamannya pada Ify. Hingga akhirnya genggaman tersebut mengendur karena Rio sudah benar-benar sudah terlelap.

Ify menghela napas pelan dan menatap Rio dengan perasaan tak menentu. Di satu sisi ia ingin dengan ‘bersih’ memaafkan pemuda itu. Tapi ia tidak bisa berhenti merasa takut mengingat kemungkinan kalau Rio terlibat adalah fakta.

***

Ify baru saja menutup pintu kamarnya dan hendak melangkah menuju tangga sebelum Fify tiba-tiba muncul dengan penampilan yang sudah rapi. Fify berdiri sambil menarik bajunya bagian bawah hendak mengutarakan sesuatu padanya. Ia mau tidak mau menunda sejenak niatnya dan mendengarkan gadis itu.

“Kenapa?” tanya Ify langsung.

Fify mengedipkan matanya beberapa kali sebelum menjawab. “Mau ikut,” cicitnya pelan. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini.

Ify memperhatikan Fify lamat-lamat dan entah kenapa ia merasa gadis kecil itu sedang kesepian. Apa mungkin dia sedang merindukan Angel atau ibunya? Kalau ayahnya kan tidak mungkin.

Ify menghela napas pelan lalu menganggukkan kepala memberi lampu hijau pada Fify. Seketika bibir Fify melengkung sempurna. Gadis itu tampak begitu senang bahkan mendahului Ify berjalan menuruni tangga.

Ify berjengit kaget sekaligus bingung namun kemudian ia hanya mengedikkan bahu. Yah, namanya juga anak-anak.

Rio yang ada di ruang tamu bersama Ferdi awalnya memandang kehadiran mereka dengan kening agak mengerut. Untunglah Rio ternyata tidak mempermasalahkan keikutsertaan Fify dalam perjalanan mereka kali ini. Mereka akhirnya berangkat menggunakan mobil Rio di mana sang empunya dan Ify menempati kursi depan sementara Fify menikmati singgasananya di kursi belakang.

Ke mana tujuan mereka sebenarnya Ify tidak tahu. Semalam Rio hanya mengajaknya untuk ke suatu tempat. Pemuda itu bilang mereka akan bertemu seseorang namun tidak menyebutkan siapa gerangan.

“Nanti biar langsung gue kenalin,” Begitu penjelasan yang tidak jelas dari Rio. Ify tidak terlalu banyak berpikir dan mengikuti saja ajakan Rio padanya.

Awalnya suasana cukup ramai karena perdebatan antara Rio dan Fify. Bukan debat yang menegangkan urat. Hanya saja Rio yang sepertinya senang mempermainkan Fify dan Fify sendiri juga tidak mau kelihatan kalah. Ify sesekali nimbrung namun lebih banyak tertawa akan ulah mereka.

Hingga akhirnya masing-masing dari mereka tidak ada yang buka suara. Hanya ada bunyi alunan musik radio yang mengisi kekosongan yang mungkin akan terjadi untuk beberapa saat yang akan datang.

Ify memilih memainkan ponselnya melihat postingan-postingan orang-orang yang ia kenal di aplikasi sosial media miliknya seraya menjelajah berita-berita terbaru. Jemarinya yang tadi lincah men-scroll isi layar ponsel mendadak berhenti. Ibu jarinya berhenti bergerak ketika terdapat sebuah judul berita yang baru saja muncul. Berita yang sanggup membuat jantungnya mendadak berdenyut tidak teratur.

‘Acha Raissa pulang ke tanah air hari ini!’

Dengan sedikit bergetar, Ify memberanikan diri menggerakkan kembali ibu jarinya dan menekan link yang akan membawanya pada berita luar biasa tersebut. Ia juga masih mengusahakan untuk menscroll ke bawah sampai ia dapat melihat foto seseorang yang dibicarakan di sana.

Ify sempat berharap Acha yang dimaksud saat ini bukan Acha yang ‘itu’ namun ia tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika ia tidak mendapati gambar lain selain gambar Acha yang ‘itu’.

Tangan Ify yang memegang ponsel perlahan jatuh ke atas pahanya. Kedua ibu jarinya bertemu dan ia mulai memilin bajunya diam-diam. Kepalanya tidak bisa berhenti berpikir tentang tujuan mereka saat ini. Ia berusaha menghalau kecurigaannya namun apa yang timbul di benaknya terlalu akurat untuk disalahkan. Jangan bilang kalau...kalau...

Drrt..

Ponsel Rio yang tergeletak di atas tempat menaruh ponsel di belakang rem tangan bergetar dan layarnya menampilkan sebuah pesan baru. Baik Ify maupun Rio sama-sama tidak ada yang sadar sementara Fify sudah memajukan tubuhnya melihat apa isi pesan tersebut. Gadis itu lantas melontarkannya tanpa pikir panjang.

“Acha. Aku udah sampe, Yo. Tapi lagi nunggu bagasi. Kamu jadi jemput?”

Ify terpaku di tempat. Ibu jarinya bahkan tidak sanggup lagi bergerak. Beberapa waktu lalu ia baik-baik saja ketika memutuskan menghindar dari Rio. Tapi, sekarang ketika ia mungkin saja harus melakukan itu lagi, kenapa ia justru takut setengah mati?

***

Alhamdulillah, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Senangnya........................