-->

Minggu, 03 September 2017

Matchmaking Part 35 (Alshill)

When you said you needed time, I heard goodbye – I Heard Goodbye (Dan + Shay)

***

Semua mengalir begitu saja, salah satu di antaranya adalah hubungan Alvin dan Febby. Semenjak Alvin menawarkan diri untuk menjadi saudara laki-lakinya, Febby tak pernah absen menggoda pemuda itu dengan selalu memanggil ‘Kak Alvin’ diiringi nada manja yang amat menyebalkan.

Meski kerap jengkel, sebenarnya dalam hati Alvin merasa senang. Jujur ia begitu menyukai kedekatannya dengan Febby, begitu pula sebaliknya. Keduanya tenggelam dalam peran baru masing-masing tanpa menyadari kalau mereka bisa saja terperangkap pada situasi yang mereka sendiri tidak ingin itu terjadi.

Suatu malam, Alvin terbangun dengan sosok Febby di sampingnya yang masih terlelap. Hari itu mereka baru saja menyelesaikan minggu yang cukup berat. Kelas mereka sedang dilanda ulangan beruntun. Semalaman mereka belajar bersama hingga lewat tengah malam. Beruntung soal ujian yang keluar tidak terlalu susah. Setidaknya bagi Febby, ia masih bisa mengerjakannya meskipun ia tidak janji nilainya bisa lebih dari 70. Kebetulan dirinya juga tidak pernah berharap mendapat skor tinggi. Yang penting lulus, pikirnya.

Setelah pulang sekolah, Alvin awalnya berniat mampir sejenak ke kamar Febby berhubung kamar Febby lebih dekat dari pintu masuk rumahnya. Tanpa disengaja mereka justru sama-sama tertidur di atas ranjang kamar Febby. Ketika lebih dulu terbangun, Alvin mencuri kesempatan untuk memperhatikan Febby tanpa sepengetahuan gadis itu.

Alvin memandang wajah lelap Febby dengan kepala dipenuhi berbagai hal. Ulasan-ulasan ketika baru pertama kali bertemu, dari yang awalnya benci setengah mati sampai terbentuk hubungan kakak-adik seperti saat ini, berputar-putar di benaknya. Kalau saja ibu Alvin tidak punya ide unik untuk membawa Febby ke rumah mereka, hari-hari pertemuannya dengan Febby sudah pasti diisi oleh perseteruan.

Mungkin hal itulah yang menjadi alasan mengapa mereka berdua merasa nyaman dengan keakraban mereka. Setidaknya, mereka akan menjalani hari demi hari dengan damai tanpa perlu menguras energi meregangkan urat-urat di wajah. Walau makin ke sini, baik Alvin maupun Febby sama-sama merasa aneh dengan rasa nyaman tersebut. Namun, keduanya memilih menyimpan hal yang ‘mengganjal’ tersebut pada diri masing-masing. Karena bila mereka saling terbuka, hal ‘mengganjal’ tersebut justru akan terasa lebih nyata.

“Kalo lo diem di sini cuma ngeliatin muka gue doang, balik sana ke kamar! Gue pengen tidur tenang.” gumam Febby dengan mata masih tertutup rapat.

Alvin menumpu sikunya ke bantal dan menyandarkan sebalah wajahnya pada telapak tangan dengan pandangan justru makin intens mengarah pada wajah Febby.

“Kenapa? Kayak lo bakal grogi aja kalo gue liatin!” ejek Alvin. Niatnya, sih, bergurau. Namun, tanpa disangka Febby membuka mata dan menatap Alvin seraya memasang air muka serius. Gadis itu bergeming dan terus menatapnya tanpa berkedip hingga membuat Alvin sadar akan situasi bahaya yang sedang terjadi.

Sumpah demi Tuhan, setelah Shilla, tatapan Febby saat ini adalah hal kedua yang membuat jantungnya berdegup tidak sabaran. Bila Shilla membuat hatinya bergetar bahagia, Febby justru membuatnya takut tujuh turunan. Ia takut kalau Febby ternyata menyukainya. Tidak, tidak. Biar ia coba perbaiki faktanya. Ia bukan takut dengan kenyataan Febby menyukainya. Namun, ia merasa takut karena dugaan Febby menyukainya membuat denyut jantungnya menjadi tidak karuan. Masalahnya, dulu Febby sudah pernah menyatakan cinta terang-terangan kepadanya, meskipun hanyalah rekayasa belaka, dan seluruh dirinya tidak bereaksi apa-apa. Tapi sekarang, ia justru berdebar.

Febby menutup matanya kembali dalam diam yang membuat fantasi Alvin menjadi semakin liar. Pikiran tentang Febby menyukainya tidak bisa ia enyahkan dari otaknya. Pada akhirnya ia memilih menyerah dan memutus jalannya drama yang sedang berlangsung. Ia tidak memerlukan pembenaran dari mulut Febby karena itu sama sekali tidak membantu menstabilkan hubungan di antara mereka yang tengah tergoncang.

Alvin menegakkan tubuhnya segera dan turun dari ranjang. Ia mulai melangkahkan kaki hendak beranjak. Akan tetapi, langkahnya yang belum seberapa itu harus berhenti karena Febby tiba-tiba bersuara.

“Ga nanya kenapa gue grogi?”

Sial. Alvin mengumpat tertahan dalam hati. Ia sungguh tidak berharap apapun keluar dari mulut Febby sekarang. Jangan bilang kalo sekarang dia mau nembak gue lagi? Mati gue. Mati.

Buk!

Tiba-tiba suasana tegang tadi sirna seketika. Bukan pernyataan cinta seperti yang sudah ia wanti-wanti sebelumnya, Alvin justru menerima lemparan bantal dari Febby. Wajah gadis itu menyeringai penuh kemenangan.

“Gue cuma ga suka tidur diliatin. Muka bantal gue kan ga manusiawi bego!” keluh gadis itu.
Saat itu juga umpatan melaju keluar begitu saja dari mulut Alvin tanpa sempat lagi di rem. “Asu! Gue kira lo mau nembak gue, ‘njing!” Ia menggerutu namun dengan ekspresi lega di wajahnya. Ia tersenyum lemah sukses terbodohi oleh trik Febby, untuk kesekian kalinya. Gadis itu benar-benar harus ia beri pelajaran kapan-kapan.

Febby terkekeh pelan di tempatnya. Alvin lantas memungut bantal ‘penyelamat’ tadi dan mengembalikannya ke kasur. Ia tidak benar-benar menaruhnya melainkan membiarkan benda tersebut sedikit melayang di udara dan akhirnya terjatuh tepat di atas muka Febby.

“Awas ya. Tunggu pembalasan gue!” Alvin memberikan peringatan yang sekaligus menjadi ucapan selamat tinggalnya sebelum keluar dari kamar Febby dan kembali menuju kamarnya. Febby hanya tersenyum miring ke arahnya.

Ketika keduanya tak lagi bertatap muka atau berada di tempat yang terjangkau oleh pandangan masing-masing, mereka sesaat membeku dan diam-diam menghela napas lega. Alvin bersandar pada pintu kamarnya yang telah tertutup lalu kemudian beranjak memasuki kamar seraya geleng-geleng kepala.

Sementara Febby tetap ditempatnya dan memilih melanjutkan tidurnya yang terpotong beberapa saat lalu.

“Selamet, selamet!” gumamnya pelan.

***

Shilla duduk di salah satu kursi kosong di dalam cafe sebuah mall sambil menunggu frappucino pesanannya selesai. Hari ini moodnya sedang kurang bersahabat. Kali ini bukan karena Alvin, walaupun pemuda itu juga mengambil porsi beberapa persen, tapi karena Ify. Ia masih kesal dengan keputusan sahabatnya untuk mundur dari jabatan kapten sekaligus tidak lagi menjadi anggota club cheers yang sudah dipimpinnya hampir setahun dan sudah mereka ikuti dari tahun pertama sekolah. *yah jadi spoiler kan*

Yang membuatnya kesal lebih tepatnya adalah karena tindakan yang Ify pilih adalah tindakan yang paling tepat. Ia kesal karena tidak ada yang bisa diperbuat agar Ify bisa bertahan. Bagaimana bisa temannya itu bertahan kalau 80% penghuni clubnya menginginkan Ify mundur? Satu suara darinya tidak akan ada gunanya. Maka dari itu ia kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu sahabatnya.

Di samping itu, seperti biasanya, ia juga terganggu dengan kekasihnya tercinta akhir-akhir ini. Entah kenapa, ia mulai merasakan keanehan pasca pembicaraan lewat ponsel waktu itu. Ia merasa sikap Alvin ikut berubah. Pemuda itu terasa tidak sehangat biasanya. Dia juga seperti berusaha menghindarinya dengan mempersingkat durasi komunikasi mereka lewat telepon. Alasannya selalu sama, yaitu Alvin harus belajar untuk ulangan susulan atau mengerjakan tugas. Ia juga cukup sering mendapati kekasihnya seperti sedang termenung sehingga tidak mendengar ucapannya. Yang paling menarik perhatiannya adalah ketika ia bercanda bertanya apakah pemuda itu mencintainya, Alvin terdengar kaget dan menjawab dengan gelagapan.

Ia tidak berani untuk bertanya langsung atau bertukar pendapat soal perubahan tersebut dengan Alvin. Ia sendiri yang waktu itu bertekad ingin berubah menjadi lebih kalem namun ia sendiri pula yang merasa tidak yakin dan was-was. Ia tidak tahu apa memang ada sesuatu yang terjadi pada Alvin atau ini hanyalah bagian dari masa transisi perubahan sikapnya sehingga hatinya menjadi jarang terasa tenang.

Lantas, itulah yang membuat kakinya melangkah menuju cafe segera setelah jam pulang sekolah. Ia butuh sedikit suasana cerah dan minuman menyegarkan untuk membersihkan noda-noda pikiran. Ia juga sengaja tidak meminta ditemani siapa pun karena ia butuh merefleksikan diri. Bagaimanapun, hal yang mengganjal benaknya berasal dari pemikirannya sendiri sehingga yang bisa menyelesaikan tentunya dirinya sendiri pula.

“Kak Shilla!” Pelayan akhirnya menyerukan namanya dan Shilla tanpa menunda lagi langsung menghampiri sang pelayan dan mengambil frappucino pesanannya.

Setelah mengucapkan terimakasih, Shilla beranjak hendak keluar dari cafe. Ketika sudah melewati pintu, mata Shilla tanpa sengaja menangkap sosok Chris duduk seorang diri di kursi luar cafe. Tampilannya rapi seperti biasa namun tetap tampak casual. Pemuda yang sebelumnya mengganggu harinya itu seperti sedang menunggu seseorang.

Setelah rutin mendatangi dan membuat hari-harinya seperti banyak masalah, Chris tiba-tiba menghilang. Setelah kejadian Chris dan Lala yang waktu itu ia lihat di sekolah, pemuda itu mendadak tidak ada kabar. Ia sebenarnya sungguh sangat tidak keberatan kalau Chris tidak lagi muncul di depan matanya. Namun, ia tidak bisa mengelak kalau ia jadi penasaran dengan pemuda itu. Bagaimana pun, ia juga butuh tahu alasan pemuda itu tiba-tiba datang dan pergi.

Kaki Shilla melangkah secara otomatis mendekat ke meja Chris bahkan duduk di salah satu kursinya tanpa menyapa. Chris tampat kaget akan kehadirannya sementara ia hanya memasang tampang penuh tanya pada pemuda itu. Tidak seperti sebelumnya, melihatnya justru membuat Chris mendengus dan melenguh pelan.

“Ganggu gue nya jangan sekarang, ya, tolong..” pinta pemuda itu dengan ekspresi agak frustasi.

Shilla menaikkan sebelah alisnya makin bingung pada Chris. Yakin? Gue? Yang ganggu dia? Pikirnya sedikit takjub.

“Shit!”

Belum sempat ia menjawab, Chris tiba-tiba menarik tangannya hingga ia berdiri dari kursi dan membawa serta menempatkannya dengan paksa pada meja di sampingnya. Chris lalu buru-buru kembali ke mejanya dan bertepatan dengan itu seorang gadis menghampiri mejanya dan duduk di salah satu kursi. Gadis itu tak lain adalah Lala, entahlah sang pacar atau sang mantan. Kemungkinan besar sih mantan karena saat pertemuan di sekolah waktu itu, Lala bersama pemuda lain. Dikarenakan meja mereka bersebelahan, Shilla dapat mencuri dengar obrolan Chris dan Lala.

“Kenapa lagi?” tanya Lala yang kedengaran agak emosi.

“Kamu mau mesen apa?” tawar Chris yang segera disambut balasan datar dari Lala. “Gue dateng bukan niat mau ngedate sama lo.”

Senyuman di wajah Chris sedikit mengendur meskipun wajahnya tetap tenang. Pemuda dengan paras bule itu menghela napas pelan. *sebenernya gue agak kurang srek gitu sama ini orang aslinya tapi karena sudah terlanjur dijadikan tokoh sebelumnya mau gimana lagi, kalo tetiba gue ganti mimi peri kan ntar pada kaget*

“Salahnya ada di aku atau kamu, sih, La?” Chris mengawali diskusi ‘hangat’ mereka dengan halus.

Shilla merasa rambut-rambut tipis di sekitar lengannya berdiri. Aura Chris dan nada bicaranya benar-benar berbeda dari yang sudah pernah ia dengar selama ini. Seramah-ramahnya Chris padanya, suaranya ketika mengajak Lala bicara benar-benar sangat lembut. Itu juga yang membuatnya berpikiran kalau pemuda itu masih menyimpan perasaan yang besar pada Lala. Umm..ia jadi sedikit simpati.

Lala mengalihkan pandangan dan memperhatikan orang-orang di sekitar sekilas sebelum menjawab pertanyaan Chris padanya. “No..no one. We’re just...not meant for each other.”

“Jangan nyoba-nyoba jadi lebih pinter dari Tuhan, La.” ujar Chris sarkastik. Ia berusaha sebisanya menahan emosi dan menjaga suaranya agar tetap terdengar bersahabat.

“Okay, then it’s me! Gue yang salah. Gue yang udah ga mau sama lo. And please stop your aku-kamu thing. It’s annoying when we’re not in a relationship anymore.” Lala belum mau menyerah.

Chris lantas kembali bertanya dengan cepat. “Then, why? What makes him better?”

“Chris, lo harus tau, ga semua hal itu harus ada alesannya. Yang perlu lo ngerti adalah kita udah selesai, udah LAMA, dan gue udah gak lagi dalam posisi bebas ngebahas hubungan gue sama lo terus-terusan. Chris, I have had a man now, yang mesti gue jaga perasaannya.”

Chris tertawa kering sekering hatinya saat ini. Mengetahui Lala begitu memikirkan pria barunya membuat mata air dalam dirinya seketika menyusut. “Like you have ever mind to take care of mine, huh?”

Lala mendengus kesal. Ia kelihatan sudah tidak tahan untuk lebih lama bersama Chris. Ia benar-benar ingin menghilang saat ini juga. “Stop. Kalo kayak gini ga bakal ada abisnya. Chris, ini terakhir kali gue bersedia lo hubungin dan lo minta temuin. Kita udah selesai dan diskusi kita hari ini gue anggap juga udah selesai. Sebelum gue ngomong yang enggak-enggak, gue permisi. Kalo lo masih mau bahas soal ‘kita’, jangan coba-coba buat hubungin atau nemuin gue lagi. Fix your mind first, please!”  

Tanpa mendengar jawaban Chris terakhir kali, Lala segera angkat kaki tanpa menolehkan kepala sedikit pun. Chris duduk pasrah tanpa melakukan sesuatu yang berarti untuk menghentikan mantan kekasihnya itu. Kebetulan memang ia tidak lagi punya sesuatu yang bisa menarik gadisnya kembali.

Shilla menyeruput sedikit frappucino miliknya untuk membasahi mulutnya yang terasa hambar. Drama nyata yang ia saksikan benar-benar seru hingga dapat membuatnya betah duduk diam dan menonton sampai habis. Bahkan sampai kedua peran utama meninggalkan tempat kejadian. Chris tak lama kemudian menyusul Lala, kurang tahu benar-benar menyusul atau tidak, meninggalkan cafe tempat mereka tadi berbicara.

Shilla kini benar-benar duduk seorang diri. Selain dirinya, tidak ada lagi orang lain yang juga sedang menempati meja cafe di bagian luar. Alhasil, Shilla akhirnya memutuskan untuk undur diri pula dari tempat tersebut. Ia sampai di depan lift yang masih tertutup dan setelah menekan tombol, ia berdiri menunggu sampai pintunya terbuka.

Ting!

Lift akhirnya terbuka dan tanpa disangka sudah ada sosok Chris di dalam sana. Pemuda itu bersandar sambil melipat kedua tangannya dan menatap Shilla datar. Shilla awalnya sempat ragu namun pada akhirnya tetap menaiki lift yang sama dengan Chris tersebut. Entah kebetulan atau tidak, tidak ada orang lain lagi yang masuk dan itu artinya mereka akan turun menggunakan lift yang sama.

Shilla hendak menekan tombol tujuan namun Chris menahannya duluan. Chris menahan tangannya dan mewakilinya menekan tombol yang akan membawa mereka menuju parkiran mall. Ia lantas memandang pemuda itu bingung.

“Biar gue anter.” tukas Chris. Ucapannya bersifat tidak terima penolakan dan kali ini Shilla memilih tidak protes. Catat ya, hanya untuk kali ini.

Setelah itu, mereka kembali membisu. Shilla diam karena mendadak merasa canggung sedangkan Chris sedang berusaha meredakan semua kepulan asap yang memenuhi kepalanya.

“Minuman lo kayaknya enak,” tiba-tiba Chris menyeletuk.

Shilla cukup kaget lantas menoleh pada Chris lalu minumannya secara bergantian. Ia kemudian menyodorkan minumannya tersebut pada pemuda itu. “Masih ada setengah,” tawarnya.

Chris tanpa babibu meraih frappuccino milik Shilla yang diberikan kepadanya dan meminumnya hingga tak bersisa. Bahkan, suara-suara tetesan terakhir begitu terdengar jelas membuat Shilla sedikit merasa geli dalam hati. Abis putus mah bawaannya aus emang. Pikirnya.

Ketika mobil Chris sudah beranjak meninggalkan mall, baik Chris maupun Shilla masih belum ada yang bersuara. Shilla mencuri pandang beberapa kali pada Chris. Hanya sekedar memastikan pikiran pemuda itu masih tersisa untuk menyetir dengan benar. Ia tidak mau mati konyol karena kecelakaan bersama pemuda jomblo nyeleneh seperti Chris.

Namun, Shilla ternyata dapat menangkap ekspresi lain yang dicetak Chris pada wajahnya. Tanpa perlu bicara pun ia tahu saat ini pemuda itu benar-benar sedih. Ia juga dapat memastikannya lewat napas pemuda itu yang sedikit tidak teratur. Kepala Shilla memikirkan sesuatu yang mesti ia lakukan namun ide tersebut amat bertentangan dengan nuraninya. Ia mencoba berpikir berulang kali hingga akhirnya ia menyerah.

Shilla tiba-tiba menyuruh Chris menepikan mobilnya ketika memasuki jalan yang sepi dan tidak ada larangan untuk parkir atau berhenti sebentar. Chris menunjukkan wajah kebingungan namun menuruti saja apa yang ia perintahkan. Setelah mobil sudah benar-benar berhenti, ia menoleh pada pemuda di sampingnya.

“Sini!” Perintah Shilla pada Chris kembali. Ia memberi isyarat lewat tangannya agar Chris mendekat.

Chris lantas menatapnya curiga. “Mau ngapain lo?”

Setelah sekian lama, baru kali ini Chris bersikap kurang ramah padanya. Namun, Shilla tidak ambil pusing karena sekarang ia justru hendak berbuat baik pada pemuda itu.

“Nurut aja!” Tegas Shilla.

Di tengah kebingungan, Chris kemudian perlahan mendekatkan dirinya pada Shilla. Tiba-tiba, tanpa sempat terpikir olehnya, Shilla mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher dan bahunya. Gadis itu memeluknya. Ajaib. Kemarin-kemarin, hanya dengan menyapa gadis itu, ia sudah mendapatkan beribu cacian. Sekarang, dengan sadar penuh dan atas inisiatif gadis itu sendiri, Shilla memeluknya.

“Jangan salah sangka. Gue cuma mau membantu atas dasar rasa kemanusiaan. Lo pasti ga mungkin bisa nangis kalo sama temen-temen cowok lo, kan? Yaudah, puas-puasin sekarang. Gue ga bakal nanya apa-apa.” jelas Shilla agar tidak timbul kesalahpahaman dari Chris, juga dirinya sendiri. Melakukan hal ini sungguh adalah pertimbangan berat baginya.

Chris sesaat bergeming tapi kemudian kedua tangannya perlahan bergerak menyambut perlakuan Shilla. Pemuda itu menjatuhkan wajahnya di bahu Shilla dan tertawa kecil. “I’m so touched.” gumamnya pelan.

Shilla mengangkat separuh bibirnya lalu memutar kedua bola matanya malas. Ia tidak membalas apapun. Hanya tangannya yang ritmis bergerak menepuk pelan punggung Chris, menjadikannya sebagai pengiring isakan pemuda itu yang akhirnya benar-benar keluar. Chris menangis tanpa suara membuat Shilla jadi merenungkan dirinya sendiri.

Putus segitu sedihnya, ya? Apa gue juga bakal kayak gini nanti?

Sekelebat bayangan tak mengenakkan seketika menghentakkan kesadaran Shilla. Ia kemudian menggelengkan kepala pelan berusaha menghalau pikiran-pikiran tidak masuk akal yang menyapa dirinya.

Mikir apa gue barusan?

***

Setelah kejadian ‘bercanda’ di kamar Febby waktu itu, Alvin sekarang justru berusaha menghindari gadis itu. Biasanya ia kerap berkunjung ke kamar Febby atau Febby yang mendatangi kamarnya. Tapi saat ini, bahkan untuk sekedar melewati area kamar Febby pun tidak. Tiap Febby datang ke kamarnya ia akan berpura-pura tidur. Ia juga jadi sering mengunci kamarnya sehingga orang lain menjadi tidak bebas masuk tanpa sepengetahuannya.

Setiap hari ia merenungi dirinya, lebih tepatnya perasaannya. Ia memikirkan Shilla dan ia juga memikirkan Febby. Dua gadis itu berhasil membuat pikirannya kelabakan sendiri. Perasaannya pada Shilla masih tetap sama dan tidak berubah sekali. Namun, yang ia tidak mengerti adalah bagaimana perasaannya pada Febby. Gadis itu tahu-tahu berhasil mencuri ‘perhatian’ yang membuatnya bingung sendiri bagaimana menerjemahkan apa yang ia rasakan.

Alvin pikir ia hanya merasa iba pada Febby namun lambat laun timbul rasa ingin melindungi yang akhirnya ia perjelas menjadi rasa sayang. Damn. Ia tidak bisa berbohong. Ia memang telah menyayangi Febby. Tapi, ia sendiri tidak yakin ke arah mana perasaan tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri kalau ia hanya menganggap gadis itu sebagai adiknya. Namun, ia sendiri tidak bisa bersikap tegas pada dirinya sendiri sehingga sampai sekarang ia masih bertanya-tanya.

Sementara itu, Febby menyadari keganjilan di antara dirinya dan Alvin. Ia sadar betul ada yang berubah pada hati masing-masing. Namun sama seperti Alvin, ia juga tidak paham dan bisa menentukan perasaan apa yang menghinggapi mereka saat ini. Ia hanya tahu kalau dirinya punya perasaan sayang pada Alvin, begitupun sebaliknya. Ia berusaha tidak mengungkit hal ini supaya hubungan mereka tidak berjarak lebih jauh lagi. Tapi, sekarang ia sudah tidak tahan. Semakin ia pendam, jarak di antara mereka justru makin renggang. Ia harus bertindak. Tidak, mereka berdua harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi ini.

Febby membuka pintu kamar Alvin yang kebetulan tidak terkunci dan masuk begitu saja tanpa permisi lebih dulu. Ia menemukan Alvin tengah berbaring bersandar di atas ranjang dengan sebuah komik di tangan. Pemuda itu menoleh ke arahnya dan kelihatan sedikit panik mendapati kedatangannya yang tiba-tiba. Itu cukup untuk membuktikan kalau Alvin selama ini memang berniat menghindarinya.

“Ketok dulu kali! Gue kirain maling tadi!” Seru Alvin. Ia berusaha mati-matian menyembunyikan perasaan groginya saat ini dengan pura-pura syok.

Febby diam dengan pandangan datar dan lurus mengarah padanya. Gadis itu lagi-lagi tanpa permisi duduk di tepi kasurnya lalu beralih menatapnya serius. Saat itu juga dunia Alvin terasa terguncang.

“We both know we do have something to talk, seriously.” Febby membuka diskusi dengan nada serius dari awal.

Alvin diam dan seketika menghela napas berat. Ia sudah tidak bisa melarikan diri lagi. Ia sungguh skak mat sekarang.

“Tapi kita juga sama-sama ga ‘ngerti’, kan?” Balas Alvin tak kalah mencekam.

Febby tak langsung menjawab melainkan menajamkan pandangannya pada Alvin membuat Alvin meriang di tempat. Matanya kemudian memicing. “No. Kita ‘ngerti’, kok. Bener-bener ngerti.”

Alvin menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Sepahit kenyataan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Febby.

“We fall for each other.”

***

Shilla menatap ponselnya datar. Ia tidak mengerti lagi apa yang sudah terjadi dengan hubungannya dengan Alvin akhir-akhir ini. Seingatnya mereka sedang tidak punya masalah besar yang membuat mereka harus berjarak beberapa saat. Ia hanya sedikit merasa ada yang berubah dari suasana dalam hubungan mereka namun itu tidak benar-benar menjadi masalah untuknya. Yang harusnya juga untuk Alvin sehingga pemuda itu tidak perlu tiba-tiba berhenti menghubunginya 4 hari belakangan.

Ya, ia benar-benar lost contact dengan Alvin selama 4 hari. Alvin pun tidak sedang ada jadwal manggung di mana pun dan ia sudah mengonfirmasi hal tersebut dengan Rio, baik langsung maupun tidak langsung lewat Ify. Alvin bukan tipe yang aktif di sosial media sehingga ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengetahu kabar pemuda itu. Rio, Cakka, dan Gabriel juga kesulitan menghubungi pemuda itu 4 harian ini.

Awalnya Shilla curiga namun sekarang ia malah jadi khawatir. Ia khawatir telah terjadi sesuatu yang buruk pada Alvin sama seperti cedera kakinya dulu. Ia sudah menunggu dan tidak mencoba menghubungi lebih dulu. Ia kan sudah bertekad ingin berubah menjadi tidak terlalu posesif. Namun, hari ini adalah batas terakhir kesabarannya. Ia harus menghubungi kekasihnya dan menanyakan langsung apa alasan masuk akal yang bisa membenarkan tindakan Alvin padanya.

Shilla mendial nomor ponsel Alvin dan menunggu sampai nada sambung berhenti, tepatnya sampai Alvin menjawab panggilannya. Percobaan pertama gagal dan ia kemudian mencoba untuk yang kedua kali. Namun, hasilnya masih tetap sama. Alvin, masih dugaan, mengabaikan teleponnya. Kalau sampai ia tetap gagal untuk yang ketiga kali, ia akan benar-benar mendatangi langsung rumah pemuda itu.

“Halo?”

Shit, suara perempuan. 4 hari tanpa kabar dan yang pertama kali ia dengar justru suara perempuan. Yang lebih menyedihkan, ia hapal betul suara tersebut. Suara serak milik Febby. Jadi...Alvin sedang bersama Febby? Alvin menghilang darinya namun tetap ada untuk Febby? Atau Alvin selama ini bersama Febby dan tidak ada waktu menghubunginya? Cih, semuanya kedengaran sama aja, sama jahatnya.

Mata Shilla mulai terasa lembab dan ia yakin mulai memerah sekarang. Ia cukup dibuat repot ketika harus menjaga nada suaranya yang tertahan. God, kelewat cepet kah kalo sekarang gue udah merasa sedih?

“Al—Alvinnya ada?” Shilla bertanya tanpa mengeluarkan nada yang bersifat konfrontir. Ia benar-benar tidak ingin mendengar suara Febby lebih lama jadi ia berusaha menyudahi dialog mereka sesegera mungkin.

Febby tidak langsung menjawab dan membuat Shilla gemas sendiri di tempatnya. Ia tampak meremas seprei kasurnya. Air matanya rasanya ingin tumpah sekarang.

“Gue mau ngomong sesuatu sama lo..tentang Alvin.” Febby akhirnya bersuara.

Jantung Shilla yang tadi sudah huru-hara sekarang semakin berdenyut tidak karuan. Sialan, yang gue butuhin Alvin! Mana Alvin, woy?!! Hatinya berteriak sekerasnya namun tak ada satu pun yang dapat mendengar selain dirinya sendiri.

“Gue tau Alvin ngilang beberapa hari ini. Tenang, dia baik-baik aja. Dia cuma..menghindar. Dia ga tau gimana harus ngadepin lo sekarang. Semuanya karena gue. Gue ga bisa diem aja. Gue ga mau makin merasa bersalah dan ngebiarin lo tersiksa dalam kebingungan karena Alvin ga juga bisa ambil tindakan yang jelas.”

Kepala Shilla terasa berputar karena Febby yang berbicara berbelit-belit. Dadanya terasa begitu sesak. Sedikit lagi, semua pertahanannya akan runtuh. Hal ini akan menjadi sangat buruk ketika semua emosinya tumpah namun Alvin tak juga muncul. Ia sungguh akan mengutuk pemuda itu nanti.

“Alvin punya perasaan yang sama kayak yang dia punya buat lo...ke gue...begitupun sebaliknya. Karena itu dia jadi ga bisa ngadepin lo. Dia merasa bersalah, termasuk gue. I’m deeply sorry..”
A—apa?

Shilla menjawab lirih dalam hati. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk mengutarakannya secara langsung. Pikirannya yang tadi penuh sekarang terasa kosong. Ia merasa sesaat menghilang dari dunia tempatnya berada. Ia terdiam dan merasa terpukul seorang diri di kamarnya. Ia bahkan tidak lagi merasakan mendarat di atas kasur yang empuk. Ia merasa seperti tengah melayang.

“Brengsek. Apa yang udah lo lakuin?!!”

Keinginan Shilla tadi untuk mendengar suara Alvin akhirnya terpenuhi. Pemuda itu tiba-tiba muncul dengan suara sedikit berteriak. Sayangnya, semuanya terlambat. Shilla sekarang tidak lagi menginginkan suara tersebut. Mendengarnya sekarang justru membuat hatinya pecah berkeping-keping. Ia merasa rindu namun suara itu juga membuatnya merasakan kesedihan mendalam di saat yang bersamaan.

“He..cheated..on me?” parau Shilla. Akhirnya ia bisa mengeluarkan suara namun terdengar bergetar hebat. Ia sekarang sudah kembali pada kenyataan. Ia merasakan pendaratan begitu keras tanpa kasihan setelah merasa melayang beberapa saat lalu.

“Shill, gue—dengerin gue dulu, ya? Please?” Suara panik Alvin kemudian menggema di telinga Shilla.

Shilla mengedipkan matanya sekali mengeluarkan air mata yang sudah menumpuk. Ia menggigit bibirnya menahan suara isakannya agar tidak ikut keluar.

“Sayang, dengerin gue. Gue—tadi itu—bukan-bukan, 4 hari ini gue ga ngehubungin lo karena gue—uhm gue...Damn, I’m so sorry..” Di seberang sana Alvin kalang kabut mencari kata-kata yang tepat. Ini benar-benar tiba-tiba dan ia tidak bisa mengarang alasan dalam waktu sesingkat ini ditambah pada situasi yang berbahaya seperti sekarang.

Benar saja, ucapannya justru membuat Shilla semakin bergeming. Sorry? Jadi emang bener adanya?

“It’s true, right? What she said is true..” Dalam satu ucapan, Shilla bertanya dan menjawabnya sendiri. Ia memang sedang tidak berbicara atau membalas omongan siapapun. Ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Alvin menghela napas berat. Kepalanya terasa berdenyut. Satu-satunya hal yang bisa dan harus ia lakukan adalah menemui kekasihnya secara langsung. “Tunggu gue ya, gue bakal dateng nemuin lo. We will talk then, babe.”

Babe? Panggilan itu terasa sangat tidak masuk akal sekarang. Sepenggal lirik dari lagu yang sewaktu keluar sangat sering Shilla nyanyikan sekarang benar-benar terjadi pada dirinya sendiri.

‘But when you call me baby, I know I’m not the only one’

Dan dia bilang mau nemuin gue? Mau ngomong? Yang bener aja! Shilla menggelengkan kepalanya keras lalu segera membalas ucapan Alvin.

“Enggak, gausah. Gue gak mau ketemu. Gue gak mau ngomong. Gue mau sendiri. Jangan coba-coba dateng.”

Sesaat setelah jawabannya selesai, Shilla lekas memutus sambungan. Ia mengakhiri begitu saja pembicaraannya dengan Alvin yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Sekarang ia justru berharap lost contact itu terus berlangsung sampai entah kapan. Kehadiran Alvin nanti tidak lagi menjadi kehadiran paling ia tunggu. Tidak ada kebahagian jungkir balik, hanya dunianya saja yang menjadi jungkir balik dan berantakan.

Gue bahkan belum putus, tapi udah sesedih ini..

***

Dududu~ Nungguin ya? HAHAHA pertanyaan paling ngeselin banget kan ya?
Alhamdulillah ya Allah, sempet juga 1 part. Berdoa lagi ya semoga part lain bisa segera menyusul.

Btw, akhirnya ify punya saingan nyesek wkwk. Gak sih, rify tiada duanya kan yak? wkwk