When you
said you needed time, I heard goodbye – I Heard Goodbye (Dan + Shay)
***
Semua
mengalir begitu saja, salah satu di antaranya adalah hubungan Alvin dan Febby.
Semenjak Alvin menawarkan diri untuk menjadi saudara laki-lakinya, Febby tak
pernah absen menggoda pemuda itu dengan selalu memanggil ‘Kak Alvin’ diiringi
nada manja yang amat menyebalkan.
Meski
kerap jengkel, sebenarnya dalam hati Alvin merasa senang. Jujur ia begitu
menyukai kedekatannya dengan Febby, begitu pula sebaliknya. Keduanya tenggelam
dalam peran baru masing-masing tanpa menyadari kalau mereka bisa saja
terperangkap pada situasi yang mereka sendiri tidak ingin itu terjadi.
Suatu
malam, Alvin terbangun dengan sosok Febby di sampingnya yang masih terlelap.
Hari itu mereka baru saja menyelesaikan minggu yang cukup berat. Kelas mereka
sedang dilanda ulangan beruntun. Semalaman mereka belajar bersama hingga lewat
tengah malam. Beruntung soal ujian yang keluar tidak terlalu susah. Setidaknya
bagi Febby, ia masih bisa mengerjakannya meskipun ia tidak janji nilainya bisa
lebih dari 70. Kebetulan dirinya juga tidak pernah berharap mendapat skor
tinggi. Yang penting lulus, pikirnya.
Setelah
pulang sekolah, Alvin awalnya berniat mampir sejenak ke kamar Febby berhubung
kamar Febby lebih dekat dari pintu masuk rumahnya. Tanpa disengaja mereka
justru sama-sama tertidur di atas ranjang kamar Febby. Ketika lebih dulu
terbangun, Alvin mencuri kesempatan untuk memperhatikan Febby tanpa
sepengetahuan gadis itu.
Alvin
memandang wajah lelap Febby dengan kepala dipenuhi berbagai hal. Ulasan-ulasan ketika
baru pertama kali bertemu, dari yang awalnya benci setengah mati sampai
terbentuk hubungan kakak-adik seperti saat ini, berputar-putar di benaknya. Kalau
saja ibu Alvin tidak punya ide unik untuk membawa Febby ke rumah mereka,
hari-hari pertemuannya dengan Febby sudah pasti diisi oleh perseteruan.
Mungkin
hal itulah yang menjadi alasan mengapa mereka berdua merasa nyaman dengan
keakraban mereka. Setidaknya, mereka akan menjalani hari demi hari dengan damai
tanpa perlu menguras energi meregangkan urat-urat di wajah. Walau makin ke
sini, baik Alvin maupun Febby sama-sama merasa aneh dengan rasa nyaman
tersebut. Namun, keduanya memilih menyimpan hal yang ‘mengganjal’ tersebut pada
diri masing-masing. Karena bila mereka saling terbuka, hal ‘mengganjal’
tersebut justru akan terasa lebih nyata.
“Kalo lo
diem di sini cuma ngeliatin muka gue doang, balik sana ke kamar! Gue pengen
tidur tenang.” gumam Febby dengan mata masih tertutup rapat.
Alvin
menumpu sikunya ke bantal dan menyandarkan sebalah wajahnya pada telapak tangan
dengan pandangan justru makin intens mengarah pada wajah Febby.
“Kenapa?
Kayak lo bakal grogi aja kalo gue liatin!” ejek Alvin. Niatnya, sih, bergurau.
Namun, tanpa disangka Febby membuka mata dan menatap Alvin seraya memasang air
muka serius. Gadis itu bergeming dan terus menatapnya tanpa berkedip hingga
membuat Alvin sadar akan situasi bahaya yang sedang terjadi.
Sumpah
demi Tuhan, setelah Shilla, tatapan Febby saat ini adalah hal kedua yang
membuat jantungnya berdegup tidak sabaran. Bila Shilla membuat hatinya bergetar
bahagia, Febby justru membuatnya takut tujuh turunan. Ia takut kalau Febby
ternyata menyukainya. Tidak, tidak. Biar ia coba perbaiki faktanya. Ia bukan
takut dengan kenyataan Febby menyukainya. Namun, ia merasa takut karena dugaan
Febby menyukainya membuat denyut jantungnya menjadi tidak karuan. Masalahnya,
dulu Febby sudah pernah menyatakan cinta terang-terangan kepadanya, meskipun
hanyalah rekayasa belaka, dan seluruh dirinya tidak bereaksi apa-apa. Tapi
sekarang, ia justru berdebar.
Febby
menutup matanya kembali dalam diam yang membuat fantasi Alvin menjadi semakin
liar. Pikiran tentang Febby menyukainya tidak bisa ia enyahkan dari otaknya.
Pada akhirnya ia memilih menyerah dan memutus jalannya drama yang sedang
berlangsung. Ia tidak memerlukan pembenaran dari mulut Febby karena itu sama
sekali tidak membantu menstabilkan hubungan di antara mereka yang tengah
tergoncang.
Alvin
menegakkan tubuhnya segera dan turun dari ranjang. Ia mulai melangkahkan kaki hendak
beranjak. Akan tetapi, langkahnya yang belum seberapa itu harus berhenti karena
Febby tiba-tiba bersuara.
“Ga nanya
kenapa gue grogi?”
Sial.
Alvin mengumpat tertahan dalam hati. Ia sungguh tidak berharap apapun keluar
dari mulut Febby sekarang. Jangan bilang kalo sekarang dia mau nembak gue lagi?
Mati gue. Mati.
Buk!
Tiba-tiba
suasana tegang tadi sirna seketika. Bukan pernyataan cinta seperti yang sudah
ia wanti-wanti sebelumnya, Alvin justru menerima lemparan bantal dari Febby.
Wajah gadis itu menyeringai penuh kemenangan.
“Gue cuma
ga suka tidur diliatin. Muka bantal gue kan ga manusiawi bego!” keluh gadis
itu.
Saat itu
juga umpatan melaju keluar begitu saja dari mulut Alvin tanpa sempat lagi di
rem. “Asu! Gue kira lo mau nembak gue, ‘njing!” Ia menggerutu namun dengan
ekspresi lega di wajahnya. Ia tersenyum lemah sukses terbodohi oleh trik Febby,
untuk kesekian kalinya. Gadis itu benar-benar harus ia beri pelajaran
kapan-kapan.
Febby terkekeh
pelan di tempatnya. Alvin lantas memungut bantal ‘penyelamat’ tadi dan
mengembalikannya ke kasur. Ia tidak benar-benar menaruhnya melainkan membiarkan
benda tersebut sedikit melayang di udara dan akhirnya terjatuh tepat di atas
muka Febby.
“Awas ya.
Tunggu pembalasan gue!” Alvin memberikan peringatan yang sekaligus menjadi
ucapan selamat tinggalnya sebelum keluar dari kamar Febby dan kembali menuju
kamarnya. Febby hanya tersenyum miring ke arahnya.
Ketika
keduanya tak lagi bertatap muka atau berada di tempat yang terjangkau oleh
pandangan masing-masing, mereka sesaat membeku dan diam-diam menghela napas
lega. Alvin bersandar pada pintu kamarnya yang telah tertutup lalu kemudian
beranjak memasuki kamar seraya geleng-geleng kepala.
Sementara
Febby tetap ditempatnya dan memilih melanjutkan tidurnya yang terpotong
beberapa saat lalu.
“Selamet,
selamet!” gumamnya pelan.
***
Shilla
duduk di salah satu kursi kosong di dalam cafe sebuah mall sambil menunggu
frappucino pesanannya selesai. Hari ini moodnya sedang kurang bersahabat. Kali
ini bukan karena Alvin, walaupun pemuda itu juga mengambil porsi beberapa
persen, tapi karena Ify. Ia masih kesal dengan keputusan sahabatnya untuk
mundur dari jabatan kapten sekaligus tidak lagi menjadi anggota club cheers
yang sudah dipimpinnya hampir setahun dan sudah mereka ikuti dari tahun pertama
sekolah. *yah jadi spoiler kan*
Yang
membuatnya kesal lebih tepatnya adalah karena tindakan yang Ify pilih adalah
tindakan yang paling tepat. Ia kesal karena tidak ada yang bisa diperbuat agar
Ify bisa bertahan. Bagaimana bisa temannya itu bertahan kalau 80% penghuni
clubnya menginginkan Ify mundur? Satu suara darinya tidak akan ada gunanya.
Maka dari itu ia kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu
sahabatnya.
Di samping
itu, seperti biasanya, ia juga terganggu dengan kekasihnya tercinta akhir-akhir
ini. Entah kenapa, ia mulai merasakan keanehan pasca pembicaraan lewat ponsel
waktu itu. Ia merasa sikap Alvin ikut berubah. Pemuda itu terasa tidak sehangat
biasanya. Dia juga seperti berusaha menghindarinya dengan mempersingkat durasi
komunikasi mereka lewat telepon. Alasannya selalu sama, yaitu Alvin harus
belajar untuk ulangan susulan atau mengerjakan tugas. Ia juga cukup sering
mendapati kekasihnya seperti sedang termenung sehingga tidak mendengar ucapannya.
Yang paling menarik perhatiannya adalah ketika ia bercanda bertanya apakah
pemuda itu mencintainya, Alvin terdengar kaget dan menjawab dengan gelagapan.
Ia tidak
berani untuk bertanya langsung atau bertukar pendapat soal perubahan tersebut
dengan Alvin. Ia sendiri yang waktu itu bertekad ingin berubah menjadi lebih
kalem namun ia sendiri pula yang merasa tidak yakin dan was-was. Ia tidak tahu
apa memang ada sesuatu yang terjadi pada Alvin atau ini hanyalah bagian dari masa
transisi perubahan sikapnya sehingga hatinya menjadi jarang terasa tenang.
Lantas,
itulah yang membuat kakinya melangkah menuju cafe segera setelah jam pulang
sekolah. Ia butuh sedikit suasana cerah dan minuman menyegarkan untuk
membersihkan noda-noda pikiran. Ia juga sengaja tidak meminta ditemani siapa
pun karena ia butuh merefleksikan diri. Bagaimanapun, hal yang mengganjal benaknya
berasal dari pemikirannya sendiri sehingga yang bisa menyelesaikan tentunya
dirinya sendiri pula.
“Kak Shilla!”
Pelayan akhirnya menyerukan namanya dan Shilla tanpa menunda lagi langsung menghampiri
sang pelayan dan mengambil frappucino pesanannya.
Setelah mengucapkan
terimakasih, Shilla beranjak hendak keluar dari cafe. Ketika sudah melewati
pintu, mata Shilla tanpa sengaja menangkap sosok Chris duduk seorang diri di
kursi luar cafe. Tampilannya rapi seperti biasa namun tetap tampak casual.
Pemuda yang sebelumnya mengganggu harinya itu seperti sedang menunggu
seseorang.
Setelah
rutin mendatangi dan membuat hari-harinya seperti banyak masalah, Chris
tiba-tiba menghilang. Setelah kejadian Chris dan Lala yang waktu itu ia lihat
di sekolah, pemuda itu mendadak tidak ada kabar. Ia sebenarnya sungguh sangat
tidak keberatan kalau Chris tidak lagi muncul di depan matanya. Namun, ia tidak
bisa mengelak kalau ia jadi penasaran dengan pemuda itu. Bagaimana pun, ia juga
butuh tahu alasan pemuda itu tiba-tiba datang dan pergi.
Kaki
Shilla melangkah secara otomatis mendekat ke meja Chris bahkan duduk di salah
satu kursinya tanpa menyapa. Chris tampat kaget akan kehadirannya sementara ia
hanya memasang tampang penuh tanya pada pemuda itu. Tidak seperti sebelumnya,
melihatnya justru membuat Chris mendengus dan melenguh pelan.
“Ganggu
gue nya jangan sekarang, ya, tolong..” pinta pemuda itu dengan ekspresi agak
frustasi.
Shilla
menaikkan sebelah alisnya makin bingung pada Chris. Yakin? Gue? Yang ganggu
dia? Pikirnya sedikit takjub.
“Shit!”
Belum
sempat ia menjawab, Chris tiba-tiba menarik tangannya hingga ia berdiri dari
kursi dan membawa serta menempatkannya dengan paksa pada meja di sampingnya.
Chris lalu buru-buru kembali ke mejanya dan bertepatan dengan itu seorang gadis
menghampiri mejanya dan duduk di salah satu kursi. Gadis itu tak lain adalah
Lala, entahlah sang pacar atau sang mantan. Kemungkinan besar sih mantan karena
saat pertemuan di sekolah waktu itu, Lala bersama pemuda lain. Dikarenakan meja
mereka bersebelahan, Shilla dapat mencuri dengar obrolan Chris dan Lala.
“Kenapa
lagi?” tanya Lala yang kedengaran agak emosi.
“Kamu mau
mesen apa?” tawar Chris yang segera disambut balasan datar dari Lala. “Gue
dateng bukan niat mau ngedate sama lo.”
Senyuman
di wajah Chris sedikit mengendur meskipun wajahnya tetap tenang. Pemuda dengan
paras bule itu menghela napas pelan. *sebenernya gue agak kurang srek gitu sama
ini orang aslinya tapi karena sudah terlanjur dijadikan tokoh sebelumnya mau
gimana lagi, kalo tetiba gue ganti mimi peri kan ntar pada kaget*
“Salahnya
ada di aku atau kamu, sih, La?” Chris mengawali diskusi ‘hangat’ mereka dengan
halus.
Shilla
merasa rambut-rambut tipis di sekitar lengannya berdiri. Aura Chris dan nada
bicaranya benar-benar berbeda dari yang sudah pernah ia dengar selama ini.
Seramah-ramahnya Chris padanya, suaranya ketika mengajak Lala bicara
benar-benar sangat lembut. Itu juga yang membuatnya berpikiran kalau pemuda itu
masih menyimpan perasaan yang besar pada Lala. Umm..ia jadi sedikit simpati.
Lala
mengalihkan pandangan dan memperhatikan orang-orang di sekitar sekilas sebelum
menjawab pertanyaan Chris padanya. “No..no one. We’re just...not meant for each
other.”
“Jangan
nyoba-nyoba jadi lebih pinter dari Tuhan, La.” ujar Chris sarkastik. Ia
berusaha sebisanya menahan emosi dan menjaga suaranya agar tetap terdengar
bersahabat.
“Okay,
then it’s me! Gue yang salah. Gue yang udah ga mau sama lo. And please stop
your aku-kamu thing. It’s annoying when we’re not in a relationship anymore.”
Lala belum mau menyerah.
Chris
lantas kembali bertanya dengan cepat. “Then, why? What makes him better?”
“Chris, lo
harus tau, ga semua hal itu harus ada alesannya. Yang perlu lo ngerti adalah
kita udah selesai, udah LAMA, dan gue udah gak lagi dalam posisi bebas ngebahas
hubungan gue sama lo terus-terusan. Chris, I have had a man now, yang mesti gue
jaga perasaannya.”
Chris tertawa
kering sekering hatinya saat ini. Mengetahui Lala begitu memikirkan pria
barunya membuat mata air dalam dirinya seketika menyusut. “Like you have ever
mind to take care of mine, huh?”
Lala
mendengus kesal. Ia kelihatan sudah tidak tahan untuk lebih lama bersama Chris.
Ia benar-benar ingin menghilang saat ini juga. “Stop. Kalo kayak gini ga bakal
ada abisnya. Chris, ini terakhir kali gue bersedia lo hubungin dan lo minta
temuin. Kita udah selesai dan diskusi kita hari ini gue anggap juga udah
selesai. Sebelum gue ngomong yang enggak-enggak, gue permisi. Kalo lo masih mau
bahas soal ‘kita’, jangan coba-coba buat hubungin atau nemuin gue lagi. Fix
your mind first, please!”
Tanpa
mendengar jawaban Chris terakhir kali, Lala segera angkat kaki tanpa menolehkan
kepala sedikit pun. Chris duduk pasrah tanpa melakukan sesuatu yang berarti
untuk menghentikan mantan kekasihnya itu. Kebetulan memang ia tidak lagi punya
sesuatu yang bisa menarik gadisnya kembali.
Shilla
menyeruput sedikit frappucino miliknya untuk membasahi mulutnya yang terasa
hambar. Drama nyata yang ia saksikan benar-benar seru hingga dapat membuatnya
betah duduk diam dan menonton sampai habis. Bahkan sampai kedua peran utama
meninggalkan tempat kejadian. Chris tak lama kemudian menyusul Lala, kurang
tahu benar-benar menyusul atau tidak, meninggalkan cafe tempat mereka tadi
berbicara.
Shilla
kini benar-benar duduk seorang diri. Selain dirinya, tidak ada lagi orang lain
yang juga sedang menempati meja cafe di bagian luar. Alhasil, Shilla akhirnya
memutuskan untuk undur diri pula dari tempat tersebut. Ia sampai di depan lift
yang masih tertutup dan setelah menekan tombol, ia berdiri menunggu sampai
pintunya terbuka.
Ting!
Lift
akhirnya terbuka dan tanpa disangka sudah ada sosok Chris di dalam sana. Pemuda
itu bersandar sambil melipat kedua tangannya dan menatap Shilla datar. Shilla
awalnya sempat ragu namun pada akhirnya tetap menaiki lift yang sama dengan
Chris tersebut. Entah kebetulan atau tidak, tidak ada orang lain lagi yang
masuk dan itu artinya mereka akan turun menggunakan lift yang sama.
Shilla
hendak menekan tombol tujuan namun Chris menahannya duluan. Chris menahan
tangannya dan mewakilinya menekan tombol yang akan membawa mereka menuju
parkiran mall. Ia lantas memandang pemuda itu bingung.
“Biar gue
anter.” tukas Chris. Ucapannya bersifat tidak terima penolakan dan kali ini
Shilla memilih tidak protes. Catat ya, hanya untuk kali ini.
Setelah
itu, mereka kembali membisu. Shilla diam karena mendadak merasa canggung
sedangkan Chris sedang berusaha meredakan semua kepulan asap yang memenuhi
kepalanya.
“Minuman
lo kayaknya enak,” tiba-tiba Chris menyeletuk.
Shilla
cukup kaget lantas menoleh pada Chris lalu minumannya secara bergantian. Ia kemudian
menyodorkan minumannya tersebut pada pemuda itu. “Masih ada setengah,”
tawarnya.
Chris
tanpa babibu meraih frappuccino milik Shilla yang diberikan kepadanya dan
meminumnya hingga tak bersisa. Bahkan, suara-suara tetesan terakhir begitu
terdengar jelas membuat Shilla sedikit merasa geli dalam hati. Abis putus mah
bawaannya aus emang. Pikirnya.
Ketika
mobil Chris sudah beranjak meninggalkan mall, baik Chris maupun Shilla masih
belum ada yang bersuara. Shilla mencuri pandang beberapa kali pada Chris. Hanya
sekedar memastikan pikiran pemuda itu masih tersisa untuk menyetir dengan
benar. Ia tidak mau mati konyol karena kecelakaan bersama pemuda jomblo
nyeleneh seperti Chris.
Namun,
Shilla ternyata dapat menangkap ekspresi lain yang dicetak Chris pada wajahnya.
Tanpa perlu bicara pun ia tahu saat ini pemuda itu benar-benar sedih. Ia juga
dapat memastikannya lewat napas pemuda itu yang sedikit tidak teratur. Kepala
Shilla memikirkan sesuatu yang mesti ia lakukan namun ide tersebut amat
bertentangan dengan nuraninya. Ia mencoba berpikir berulang kali hingga
akhirnya ia menyerah.
Shilla
tiba-tiba menyuruh Chris menepikan mobilnya ketika memasuki jalan yang sepi dan
tidak ada larangan untuk parkir atau berhenti sebentar. Chris menunjukkan wajah
kebingungan namun menuruti saja apa yang ia perintahkan. Setelah mobil sudah
benar-benar berhenti, ia menoleh pada pemuda di sampingnya.
“Sini!”
Perintah Shilla pada Chris kembali. Ia memberi isyarat lewat tangannya agar
Chris mendekat.
Chris
lantas menatapnya curiga. “Mau ngapain lo?”
Setelah
sekian lama, baru kali ini Chris bersikap kurang ramah padanya. Namun, Shilla
tidak ambil pusing karena sekarang ia justru hendak berbuat baik pada pemuda
itu.
“Nurut
aja!” Tegas Shilla.
Di tengah
kebingungan, Chris kemudian perlahan mendekatkan dirinya pada Shilla. Tiba-tiba,
tanpa sempat terpikir olehnya, Shilla mengalungkan kedua lengannya di sekitar
leher dan bahunya. Gadis itu memeluknya. Ajaib. Kemarin-kemarin, hanya dengan
menyapa gadis itu, ia sudah mendapatkan beribu cacian. Sekarang, dengan sadar
penuh dan atas inisiatif gadis itu sendiri, Shilla memeluknya.
“Jangan
salah sangka. Gue cuma mau membantu atas dasar rasa kemanusiaan. Lo pasti ga
mungkin bisa nangis kalo sama temen-temen cowok lo, kan? Yaudah, puas-puasin sekarang.
Gue ga bakal nanya apa-apa.” jelas Shilla agar tidak timbul kesalahpahaman dari
Chris, juga dirinya sendiri. Melakukan hal ini sungguh adalah pertimbangan
berat baginya.
Chris
sesaat bergeming tapi kemudian kedua tangannya perlahan bergerak menyambut
perlakuan Shilla. Pemuda itu menjatuhkan wajahnya di bahu Shilla dan tertawa
kecil. “I’m so touched.” gumamnya pelan.
Shilla
mengangkat separuh bibirnya lalu memutar kedua bola matanya malas. Ia tidak
membalas apapun. Hanya tangannya yang ritmis bergerak menepuk pelan punggung
Chris, menjadikannya sebagai pengiring isakan pemuda itu yang akhirnya
benar-benar keluar. Chris menangis tanpa suara membuat Shilla jadi merenungkan
dirinya sendiri.
Putus
segitu sedihnya, ya? Apa gue juga bakal kayak gini nanti?
Sekelebat
bayangan tak mengenakkan seketika menghentakkan kesadaran Shilla. Ia kemudian
menggelengkan kepala pelan berusaha menghalau pikiran-pikiran tidak masuk akal yang
menyapa dirinya.
Mikir apa
gue barusan?
***
Setelah
kejadian ‘bercanda’ di kamar Febby waktu itu, Alvin sekarang justru berusaha
menghindari gadis itu. Biasanya ia kerap berkunjung ke kamar Febby atau Febby
yang mendatangi kamarnya. Tapi saat ini, bahkan untuk sekedar melewati area
kamar Febby pun tidak. Tiap Febby datang ke kamarnya ia akan berpura-pura
tidur. Ia juga jadi sering mengunci kamarnya sehingga orang lain menjadi tidak
bebas masuk tanpa sepengetahuannya.
Setiap
hari ia merenungi dirinya, lebih tepatnya perasaannya. Ia memikirkan Shilla dan
ia juga memikirkan Febby. Dua gadis itu berhasil membuat pikirannya kelabakan
sendiri. Perasaannya pada Shilla masih tetap sama dan tidak berubah sekali.
Namun, yang ia tidak mengerti adalah bagaimana perasaannya pada Febby. Gadis
itu tahu-tahu berhasil mencuri ‘perhatian’ yang membuatnya bingung sendiri
bagaimana menerjemahkan apa yang ia rasakan.
Alvin
pikir ia hanya merasa iba pada Febby namun lambat laun timbul rasa ingin
melindungi yang akhirnya ia perjelas menjadi rasa sayang. Damn. Ia tidak bisa
berbohong. Ia memang telah menyayangi Febby. Tapi, ia sendiri tidak yakin ke
arah mana perasaan tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri kalau ia hanya
menganggap gadis itu sebagai adiknya. Namun, ia sendiri tidak bisa bersikap
tegas pada dirinya sendiri sehingga sampai sekarang ia masih bertanya-tanya.
Sementara
itu, Febby menyadari keganjilan di antara dirinya dan Alvin. Ia sadar betul ada
yang berubah pada hati masing-masing. Namun sama seperti Alvin, ia juga tidak
paham dan bisa menentukan perasaan apa yang menghinggapi mereka saat ini. Ia
hanya tahu kalau dirinya punya perasaan sayang pada Alvin, begitupun
sebaliknya. Ia berusaha tidak mengungkit hal ini supaya hubungan mereka tidak
berjarak lebih jauh lagi. Tapi, sekarang ia sudah tidak tahan. Semakin ia
pendam, jarak di antara mereka justru makin renggang. Ia harus bertindak.
Tidak, mereka berdua harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi ini.
Febby
membuka pintu kamar Alvin yang kebetulan tidak terkunci dan masuk begitu saja
tanpa permisi lebih dulu. Ia menemukan Alvin tengah berbaring bersandar di atas
ranjang dengan sebuah komik di tangan. Pemuda itu menoleh ke arahnya dan
kelihatan sedikit panik mendapati kedatangannya yang tiba-tiba. Itu cukup untuk
membuktikan kalau Alvin selama ini memang berniat menghindarinya.
“Ketok
dulu kali! Gue kirain maling tadi!” Seru Alvin. Ia berusaha mati-matian
menyembunyikan perasaan groginya saat ini dengan pura-pura syok.
Febby diam
dengan pandangan datar dan lurus mengarah padanya. Gadis itu lagi-lagi tanpa
permisi duduk di tepi kasurnya lalu beralih menatapnya serius. Saat itu juga dunia
Alvin terasa terguncang.
“We both
know we do have something to talk, seriously.” Febby membuka diskusi dengan
nada serius dari awal.
Alvin diam
dan seketika menghela napas berat. Ia sudah tidak bisa melarikan diri lagi. Ia
sungguh skak mat sekarang.
“Tapi kita
juga sama-sama ga ‘ngerti’, kan?” Balas Alvin tak kalah mencekam.
Febby tak
langsung menjawab melainkan menajamkan pandangannya pada Alvin membuat Alvin
meriang di tempat. Matanya kemudian memicing. “No. Kita ‘ngerti’, kok.
Bener-bener ngerti.”
Alvin
menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Sepahit kenyataan yang tiba-tiba
dilontarkan oleh Febby.
“We fall
for each other.”
***
Shilla
menatap ponselnya datar. Ia tidak mengerti lagi apa yang sudah terjadi dengan
hubungannya dengan Alvin akhir-akhir ini. Seingatnya mereka sedang tidak punya
masalah besar yang membuat mereka harus berjarak beberapa saat. Ia hanya
sedikit merasa ada yang berubah dari suasana dalam hubungan mereka namun itu
tidak benar-benar menjadi masalah untuknya. Yang harusnya juga untuk Alvin
sehingga pemuda itu tidak perlu tiba-tiba berhenti menghubunginya 4 hari
belakangan.
Ya, ia
benar-benar lost contact dengan Alvin
selama 4 hari. Alvin pun tidak sedang ada jadwal manggung di mana pun dan ia
sudah mengonfirmasi hal tersebut dengan Rio, baik langsung maupun tidak
langsung lewat Ify. Alvin bukan tipe yang aktif di sosial media sehingga ia
benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengetahu kabar pemuda itu. Rio, Cakka,
dan Gabriel juga kesulitan menghubungi pemuda itu 4 harian ini.
Awalnya
Shilla curiga namun sekarang ia malah jadi khawatir. Ia khawatir telah terjadi
sesuatu yang buruk pada Alvin sama seperti cedera kakinya dulu. Ia sudah
menunggu dan tidak mencoba menghubungi lebih dulu. Ia kan sudah bertekad ingin
berubah menjadi tidak terlalu posesif. Namun, hari ini adalah batas terakhir
kesabarannya. Ia harus menghubungi kekasihnya dan menanyakan langsung apa
alasan masuk akal yang bisa membenarkan tindakan Alvin padanya.
Shilla
mendial nomor ponsel Alvin dan menunggu sampai nada sambung berhenti, tepatnya
sampai Alvin menjawab panggilannya. Percobaan pertama gagal dan ia kemudian
mencoba untuk yang kedua kali. Namun, hasilnya masih tetap sama. Alvin, masih
dugaan, mengabaikan teleponnya. Kalau sampai ia tetap gagal untuk yang ketiga
kali, ia akan benar-benar mendatangi langsung rumah pemuda itu.
“Halo?”
Shit,
suara perempuan. 4 hari tanpa kabar dan yang pertama kali ia dengar justru
suara perempuan. Yang lebih menyedihkan, ia hapal betul suara tersebut. Suara
serak milik Febby. Jadi...Alvin sedang bersama Febby? Alvin menghilang darinya
namun tetap ada untuk Febby? Atau Alvin selama ini bersama Febby dan tidak ada
waktu menghubunginya? Cih, semuanya kedengaran sama aja, sama jahatnya.
Mata
Shilla mulai terasa lembab dan ia yakin mulai memerah sekarang. Ia cukup dibuat
repot ketika harus menjaga nada suaranya yang tertahan. God, kelewat cepet kah
kalo sekarang gue udah merasa sedih?
“Al—Alvinnya
ada?” Shilla bertanya tanpa mengeluarkan nada yang bersifat konfrontir. Ia
benar-benar tidak ingin mendengar suara Febby lebih lama jadi ia berusaha
menyudahi dialog mereka sesegera mungkin.
Febby
tidak langsung menjawab dan membuat Shilla gemas sendiri di tempatnya. Ia
tampak meremas seprei kasurnya. Air matanya rasanya ingin tumpah sekarang.
“Gue mau
ngomong sesuatu sama lo..tentang Alvin.” Febby akhirnya bersuara.
Jantung
Shilla yang tadi sudah huru-hara sekarang semakin berdenyut tidak karuan. Sialan,
yang gue butuhin Alvin! Mana Alvin, woy?!! Hatinya berteriak sekerasnya namun
tak ada satu pun yang dapat mendengar selain dirinya sendiri.
“Gue tau
Alvin ngilang beberapa hari ini. Tenang, dia baik-baik aja. Dia cuma..menghindar.
Dia ga tau gimana harus ngadepin lo sekarang. Semuanya karena gue. Gue ga bisa diem
aja. Gue ga mau makin merasa bersalah dan ngebiarin lo tersiksa dalam
kebingungan karena Alvin ga juga bisa ambil tindakan yang jelas.”
Kepala Shilla
terasa berputar karena Febby yang berbicara berbelit-belit. Dadanya terasa
begitu sesak. Sedikit lagi, semua pertahanannya akan runtuh. Hal ini akan
menjadi sangat buruk ketika semua emosinya tumpah namun Alvin tak juga muncul.
Ia sungguh akan mengutuk pemuda itu nanti.
“Alvin
punya perasaan yang sama kayak yang dia punya buat lo...ke gue...begitupun
sebaliknya. Karena itu dia jadi ga bisa ngadepin lo. Dia merasa bersalah,
termasuk gue. I’m deeply sorry..”
A—apa?
Shilla
menjawab lirih dalam hati. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk mengutarakannya
secara langsung. Pikirannya yang tadi penuh sekarang terasa kosong. Ia merasa
sesaat menghilang dari dunia tempatnya berada. Ia terdiam dan merasa terpukul
seorang diri di kamarnya. Ia bahkan tidak lagi merasakan mendarat di atas kasur
yang empuk. Ia merasa seperti tengah melayang.
“Brengsek.
Apa yang udah lo lakuin?!!”
Keinginan
Shilla tadi untuk mendengar suara Alvin akhirnya terpenuhi. Pemuda itu
tiba-tiba muncul dengan suara sedikit berteriak. Sayangnya, semuanya terlambat.
Shilla sekarang tidak lagi menginginkan suara tersebut. Mendengarnya sekarang
justru membuat hatinya pecah berkeping-keping. Ia merasa rindu namun suara itu
juga membuatnya merasakan kesedihan mendalam di saat yang bersamaan.
“He..cheated..on
me?” parau Shilla. Akhirnya ia bisa mengeluarkan suara namun terdengar bergetar
hebat. Ia sekarang sudah kembali pada kenyataan. Ia merasakan pendaratan begitu
keras tanpa kasihan setelah merasa melayang beberapa saat lalu.
“Shill,
gue—dengerin gue dulu, ya? Please?” Suara panik Alvin kemudian menggema di
telinga Shilla.
Shilla
mengedipkan matanya sekali mengeluarkan air mata yang sudah menumpuk. Ia
menggigit bibirnya menahan suara isakannya agar tidak ikut keluar.
“Sayang,
dengerin gue. Gue—tadi itu—bukan-bukan, 4 hari ini gue ga ngehubungin lo karena
gue—uhm gue...Damn, I’m so sorry..” Di seberang sana Alvin kalang kabut mencari
kata-kata yang tepat. Ini benar-benar tiba-tiba dan ia tidak bisa mengarang
alasan dalam waktu sesingkat ini ditambah pada situasi yang berbahaya seperti
sekarang.
Benar
saja, ucapannya justru membuat Shilla semakin bergeming. Sorry? Jadi emang
bener adanya?
“It’s
true, right? What she said is true..” Dalam satu ucapan, Shilla bertanya dan
menjawabnya sendiri. Ia memang sedang tidak berbicara atau membalas omongan
siapapun. Ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia sedang meyakinkan dirinya
sendiri.
Alvin
menghela napas berat. Kepalanya terasa berdenyut. Satu-satunya hal yang bisa
dan harus ia lakukan adalah menemui kekasihnya secara langsung. “Tunggu gue ya,
gue bakal dateng nemuin lo. We will talk then, babe.”
Babe?
Panggilan itu terasa sangat tidak masuk akal sekarang. Sepenggal lirik dari
lagu yang sewaktu keluar sangat sering Shilla nyanyikan sekarang benar-benar
terjadi pada dirinya sendiri.
‘But when
you call me baby, I know I’m not the only one’
Dan dia
bilang mau nemuin gue? Mau ngomong? Yang bener aja! Shilla menggelengkan
kepalanya keras lalu segera membalas ucapan Alvin.
“Enggak,
gausah. Gue gak mau ketemu. Gue gak mau ngomong. Gue mau sendiri. Jangan
coba-coba dateng.”
Sesaat
setelah jawabannya selesai, Shilla lekas memutus sambungan. Ia mengakhiri
begitu saja pembicaraannya dengan Alvin yang sudah lama ia tunggu-tunggu.
Sekarang ia justru berharap lost contact
itu terus berlangsung sampai entah kapan. Kehadiran Alvin nanti tidak lagi
menjadi kehadiran paling ia tunggu. Tidak ada kebahagian jungkir balik, hanya
dunianya saja yang menjadi jungkir balik dan berantakan.
Gue bahkan
belum putus, tapi udah sesedih ini..
***
Dududu~
Nungguin ya? HAHAHA pertanyaan paling ngeselin banget kan ya?
Alhamdulillah
ya Allah, sempet juga 1 part. Berdoa lagi ya semoga part lain bisa segera
menyusul.
Btw,
akhirnya ify punya saingan nyesek wkwk. Gak sih, rify tiada duanya kan yak?
wkwk