But I need you far more than I ever want you - Hard To Do
***
Satu-satunya orang yang tetap
tenang di tempatnya mungkin adalah Via. Horror memang bukan genre-nya.
Namun, yang membuat semua hal seperti hening di sekitar Via adalah perasaan
gadis itu. Mood-nya tidak sebegitu kacau. Hanya saja, ia jadi malas
untuk melakukan apapun.
Ia tidak menampik kalau sekali
lagi ia merasa kecewa. Ia bimbang apakah selama ini dirinya terlalu banyak
bersikap legowo menanggapi setiap fenomena dalam hidupnya. Ia selalu
memilih menyesuaikan diri bukan malah meminta pengertian orang lain untuk
berubah agar dirinya nyaman.
Selama ini ia tidak pernah
berontak terhadap ayahnya yang jarang bicara. Ia juga tidak pernah coba-coba
memancing agar pria itu mau berbicara panjang lebar. Ia mencari excuse dengan
menganggap Riza memang seperti itu dan dirinya juga harus mengikuti pola sikap
sang ayah. Tapi ternyata, pria itu bisa ramah pada Pricilla.
Ia tidak pernah bertanya mengapa
kedua orangtuanya tampak jarang berbicara lama berdua. Ia tidak pernah
penasaran kenapa ia tidak pernah melihat Riza sekedar mengusap kepala atau bahu
Fira. Ia pikir ayahnya memang tidak romantis dan menganggap bermesraan di
depannya adalah tabu. Nyatanya Riza bisa menggandeng erat tangan wanita yang
entah siapa.
Ia tidak pernah menganggap aneh
mengapa Riza selalu tampak tegang dan tanpa ekspresi ketika pria itu sedang
bersama dirinya dan Fira. Sekali lagi ia beralasan kalau Riza memang seperti
itu. Ia tidak pernah berpikiran buruk. Nyatanya Riza bisa menampilkan wajah
bahagia dengan senyum tanpa cela pada keluarganya.
Ia menerima kalau ayahnya berbeda
dengan ayah teman-temannya. Namun kemudian ia sadar, ia lupa kalau Riza bukan
ayahnya. Tidak, kalimatnya salah. Yang benar adalah dirinya bukan anak
pria itu. Dirinya dan Fira bukan keluarga pria itu. Makanya, Riza tidak
pernah bersikap yang seharusnya pada dirinya dan Fira.
Dirinya dan Fira tak lebih
hanyalah orang lain di hidup Riza. Ah kalau begini, dinginnya Riza pada mereka
jadi terdengar wajar. Riza bersikap dingin pada orang lain. Jadi Riza sudah
memperlakukan mereka dengan benar, selayaknya memperlakukan orang lain.
See, dirinya masih saja membenarkan
yang tidak lumrah.
Lalu, Gabriel. Sekali lagi ia
bersikap legowo terhadap apa yang pemuda itu inginkan. Ia menyayangi
Gabriel namun Gabriel tampaknya justru menyukai Zaza. Ia lalu memilih menerima
dicintai Gabriel sebagai Zaza. Ia tidak menganggap aneh tindakan pemuda itu
mendekatinya dan malah memilih melupakan fakta status Gabriel sudah dimiliki
lantaran hatinya merasa senang.
Ia membiarkan saja Gabriel mau
seperti apa atau mau 'yang mana' dari dirinya. Toh baginya Zaza atau Via itu
sama saja, sama-sama dirinya juga. Tapi sayangnya pemuda itu sekarang justru
terkesan mengerikan untuk Via.
Gabriel sebelumnya punya pacar
lalu ditinggalkan karena Zaza. Dalam waktu yang bersamaan, Gabriel juga
mendekatinya tapi kemudian memacari Zaza. Tapi setelah itu justru
terang-terangan bilang sedang melakukan pendekatan padanya. Dulu ngakunya sudah
berpisah tapi yang nampak di matanya sekarang justru pemuda itu bergandengan
layaknya pasangan dengan Pricilla.
Ia tidak mengerti ia harus
bagaimana sekarang. Haruskah ia marah? Pada Riza? Tapi bukannya sikap pria itu
sudah sewajarnya? Pada Gabriel? Memangnya dirinya sudah resmi menjadi
siapanya pemuda itu sehingga berhak marah? Toh, dirinya dari awal menerima,
kan?
Drrt...drrt..
Via merasakan getaran tas yang
terselip di antara kedua pahanya. Ia memeriksa isi dari benda tersebut dan
kemudian mengernyit bingung. Salah satu ponselnya bergetar. Namun hal itu
justru terjadi pada ponsel yang seharusnya tidak ada yang menghubungi,
kecuali..
Gabriel?
Via mengambil ponsel tersebut dan
lantas membuka pesan yang masuk. Ia sudah tidak mengerti lagi. Jelas-jelas
pemuda itu tadi melihatnya. Jelas-jelas pemuda itu menyaksikan
ketidaknyamanannya. Jelas-jelas pemuda itu menerima ajakan perang dingin
darinya. Tapi tebak siapa yang justru Gabriel hubungi?
Zaza.
***
Yang, lusa aku mau ke Bogor.
Jalan yuk sebelum aku go?
Pesan tersebut yang mengantarkan
Via sampai di toko buku bersejarah bagi Zaza dan Gabriel, saksi bisu
terjalinnya hubungan kedua sosok itu sebagai pasangan kekasih. Via hari ini
terpaksa menjadi Zaza dan mungkin akan menjadi terakhir kali dirinya bersedia
memainkan peran tersebut.
Ia sudah memutuskan untuk mencoba
menjadi seperti orang biasanya saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi apatis dan
mengikuti saja alur hidup membawanya. Kali ini ia akan menjadi penentu. Ia
sudah berbicara terus terang pada Fira kalau dirinya tahu tentang Riza.
Meskipun ia tidak meminta sang ibu melakukan apapun. Kalau itu, ia tidak akan
ikut campur. Ia hanya ingin Fira tidak khawatir saja jika dirinya tiba-tiba
lebih vokal menghadapi Riza.
Sekarang ia ingin meluruskan
semua perkara dengan Gabriel. Lebih tepatnya, menyisihkan diri dari area tempat
perputaran pemuda itu. Sebut saja, ia ingin Zaza putus dengan Gabriel.
Alasannya? Sangat mudah, Men.
Lo tau, semenjak mereka pacaran,
banyak chat-an nya aja ga sampe semua jari.
Gabriel bahkan tidak lagi meminta
bertemu setelah status mereka resmi. Itu juga yang sebelumnya membuat Via
sedikit tidak masalah jika Gabriel mendekatinya. Tapi sekarang tidak lagi. Baik
Via dan Zaza tidak pantas menerima sikap abu-abu seperti itu. Ia akan
benar-benar membebaskan diri dari semua yang berkaitan dengan Gabriel.
"Yang, udah lama?"
Via yang tengah bengong kemudian
tersadar kalau sudah ada orang lain yang duduk di depannya. Orang yang sudah
ditunggu-tunggu. Orang yang sudah sangat tidak asing namun tetap terasa tidak
terlalu ia kenal. Orang yang masih tampan dengan senyumnya seperti
biasa.
Siapa lagi kalau bukan Gabriel.
"Lumayan. 15 menit. Cukup
sih buat ngabisin mie rebus." Sindir Via halus dengan tampang santai.
Gabriel hanya nyengir dan tidak
kelihatan bersalah sama sekali. Memangnya kapan Gabriel pernah merasa bersalah?
Sudah-sudah, cukup basa-basinya.
Ia mulai pertunjukannya sekarang.
"Aku pengen ngomong sama
kamu, Gab." Tembak Via, kali ini dengan senyum di bibirnya.
Wajah Gabriel seketika berubah.
Zaza dan dirinya memanggil satu sama lain dengan cara yang sama. Zaza jarang
melakukan kesalahan ketika berbicara dengannya. Dan panggilan 'Gab' dari
gadisnya itu pasti bukanlah panggilan tanpa alasan atau bentuk kelupaan Zaza.
Apalagi kalimat pembukanya sudah serius begitu. Kata-kata paling menakutkan
didengar dalam setiap hubungan.
'Aku pengen ngomong sama kamu'.
Gabriel sudah lebih dulu
menanyakan yang Via maksud lewat ekspresinya. Via lantas tersenyum lagi namun dapat
pula dikategorikan sebagai ringisan meski tidak begitu kentara.
Via menganggukkan kepalanya pelan
sebelum benar-benar mengutarakan apa yang sudah digadang-gadangnya sejak
semalam. "Kita putus aja ya." Ujarnya dengan tenang.
Via tak bohong kalau merasa
sedih. Dengan berakhirnya drama Zaza dan Gabriel, berakhir juga kesempatannya
bisa berhubungan dengan pemuda itu. Setelah ini, benar-benar tidak ada lagi.
Ya Tuhan, ia sungguhan melepas
Gabriel. Seolah-olah Gabriel pernah dalam genggamannya saja.
Baru kali ini ia melihat Gabriel
terdiam tidak berkutik seperti ini. Baru kali ini ia melihat kepanikan dan
ketakutan di wajah pemuda itu. Baru kali ini ia melihat Gabriel terluka. Ckck,
sebegitu berartinya Zaza bagi pemuda itu.
"Hubungan kita ini ga jelas,
Gab. Aku masih ngerasa kamu tuh orang asing yang tiba-tiba jadi pacarku. Aku
masih bingung perasaanku ke kamu itu seperti apa. Aku rasa aku perlu belajar
lagi. Jadi, kita sudahin aja yang sudah berjalan." Sambung Via karena
Gabriel masih belum luput dari rasa kaget.
"Za, kita ga harus pisah
kalo cuma mau lebih kenal satu sama lain. Justru dengan pisah kita makin out
of idea tentang satu sama lain." Gabriel akhirnya bersuara. Pemuda itu
masih berusaha memperbaiki keadaan.
Via menghela napas lalu
menggelengkan kepala. "Aku rasa aku gak bisa, Gab. Di hubungan ini cuma
ada kamu, Gab. Nyawaku gak kutemuin di hubungan kita selama ini."
Sama kayak kita, Yel. Antara lo
sama gue, rasanya cuma ada gue yang stay. Sementara lo mampir-mampir ke
rumah lain.
Gabriel tampak beberapa kali
membuka dan menutup mulutnya bergantian. Bibirnya tampak berkomat-kamit namun
tak ada satu pun kata yang keluar. Ini yang disebut kehabisan kata-kata.
"Yang kamu harus ingat, aku
gak pernah mainin kamu. I've really tried but my heart didn't get excited.
Aku minta maaf." Tutup Via. Ia sejenak menunggu Gabriel namun tampaknya
pemuda itu tidak akan mengeluarkan suara untuk beberapa saat ke depan.
Via berdiri dari duduknya dan
memutuskan beranjak pergi. Namun, baru sekitar 3 langkah jauhnya, Gabriel akhirnya
menyahut.
"Gue tau kalo lo itu
sebenernya—"
Sayangnya di saat Gabriel sudah
bisa menggunakan lidahnya untuk berbicara, kata-katanya harus terpotong oleh
orang lain yang menyapa Via.
Ulangi. Menyapa V-I-A.
"Via? Iya bener, lo Via,
kan?"
Via membelalakkan mata manakala
dirinya dikenali oleh seorang gadis yang merupakan teman sekelasnya di sekolah.
Keningnya lantas terasa basah sekarang.
"L—lo kok bisa tau?"
Via terperangah hingga ucapannya menjadi terbata-bata.
Sang teman justru berjengit
heran. "Lah, muka lo jelas gini gimana bisa ga kenal? Lo ngapain pake wig
segala? Lo cosplayer emangnya?"
Via merasa jantungnya berdebar
begitu cepat hingga dadanya terasa penuh. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Bagaimana kalau Gabriel...tunggu. Jangan-jangan pemuda itu memang sudah tahu
kalau...
"Loh, Yel, lo di sini juga?
Aaa..paham gue paham. Lo lagi nyamar ya biar gaada yang tau kalian lagi jalan
berdua? Lo berdua udah jadian nih?" Gadis tadi mengangguk-anggukkan kepala
seolah sudah memahami situasi yang terjadi. Ia balik menggoda pasangan di
hadapannya.
Gabriel tahu-tahu sudah berada di
samping Via dan menyahut dengan cengiran. "Jangan disebar dulu sih. Doi
belum siap pemes nih," Candanya yang benar-benar tidak sesuai kondisi bagi
Via. Gadis tadi tertawa kecil lalu kemudian pamit dari hadapan Via dan Gabriel
untuk mencari buku karena sebenarnya sedang buru-buru.
Sepeninggal gadis itu, Via masih
termangu di tempatnya. Gabriel sesaat memperhatikan Via lalu menghela napas
pelan. "Vi?" Panggil pemuda itu.
Via tertawa hambar. Ia memandang
Gabriel tak habis pikir. "Vi? Jadi selama ini lo tau siapa gue?"
Balasnya diiringi gelengan kepala takjub. Ia menertawai dirinya sendiri yang
selama ini merasa sudah berusaha keras dan bekerja semaksimal mungkin memainkan
perannya. Nyatanya ia sudah ketahuan bahkan mungkin sejak awal.
"Iya, gue tau." Jawab
Gabriel kalem.
Via benar-benar bertepuk tangan
kagum dalam hati dengan acting Gabriel. Ia pikir dia aktrisnya selama
ini. Nyatanya dirinya yang sudah ditipu habis-habisan. Ia menatap Gabriel
dengan amat kecewa. "Lo siapa sebenernya, Yel?"
Via mengerang dalam hati.
Dianggap apa sih dirinya selama ini oleh Gabriel? Pemuda itu tahu selama ini
Zaza adalah dirinya namun Gabriel tetap bersikap seolah dirinya benar-benar
Zaza seorang. Apa diam-diam Gabriel menertawainya di belakang? Apa dirinya
hanya dijadikan sebagai bahan olok-olok?
Gabriel terlalu tahu semua
tentang dirinya sementara dirinya seperti tidak tahu apapun tentang pemuda itu.
***
Pulang dari sekolah, Ify langsung
bergegas ke rumah dan mempersiapkan beberapa pakaian untuk menginap di Bogor.
Ia juga tidak tahu ia dan teman-temannya akan stay di mana nanti. Yang
jelas kata Shilla mereka hanya tinggal mengikuti saja.
Sebelum ia keluar dari rumah,
tiba-tiba Rio menghubunginya. Ify dengan perasaan tak menentu lantas memilih
memeriksa ponselnya sebentar.
'Hati-hati, Fy.'
Pesan Rio padanya. Ia menggigit
bibirnya seraya menimang-nimang harus menggubris atau tidak. Ia pada akhirnya
menyerah pada keinginan hatinya untuk membalas pesan sang mantan tersebut.
'Iya. Lo ikut?'
Sayang namun sayang, pesannya
justru tak dibalas oleh gerangan. Ia menghela napas tak bisa mengelak dari rasa
kecewa. Ia masih saja berharap hal yang tinggi.
Ia lalu beranjak untuk pergi
menuju ke rumah Shilla, tempat dirinya dan teman-temannya janji untuk
berkumpul. Sesampainya di sana, semua orang di sana justru memandangnya bingung
karena dirinya tidak datang seorang diri melainkan bersama Debo.
Kemarin ketika dalam perjalanan
mengantarnya pulang, sebagai informasi kalau pemuda itu sudah menjadi supirnya
selama beberapa hari ini, Debo meminta izin untuk ikut serta ke Bogor bersama
dirinya dan teman-teman. Ia sebenarnya sangsi namun melihat wajah memelas
pemuda itu ia jadi tidak enak menolak.
"Lo ngapain di sini? Lo ga
mungkin ikut kita-kita, kan?" Tukas Agni was-was.
Debo melebarkan cengirannya.
"Gue mau jagain Ify." Jawabnya sedikit malu-malu.
Agni baru saja hendak protes
namun lebih dulu disalip oleh kehadiran Chris yang justru lebih membuat terkejut
dibanding Debo.
"Pada naik mobil gue
semua?" Sapa Chris seraya memandang orang-orang di depannya satu-persatu.
Agni menatap Shilla dengan
sebelah alis terangkat, mempertanyakan alasan kehadiran Chris bahkan sampai
tawaran pemuda itu pada mereka. Shilla hanya mengangkat tangan seraya
menggelengkan kepala mengisyaratkan agar Agni tidak banyak menyuarakan protes.
"Loh lo pacarnya Rio bukan?
Rionya ga nganterin lo?" Tanya Chris tanpa pikir panjang.
Seketika air muka Ify berubah
keruh. Ia memalingkan wajah ke arah Debo. "Kita pergi pake mobil lo aja
boleh ga?" Pintanya seraya memberengut yang justru tampak, selalu
sebenarnya, menggemaskan di mata Debo.
Debo menelan ludah lalu kemudian
mengangguk cepat. "Iya iya iya, pake mobil ya, Fy." Bujuknya
menenangkan sang gadis pujaan.
Ify mengambil langkah tanpa pamit
hendak beranjak menuju mobil Debo berada yang langsung disusul oleh sang
empunya.
Sementara Agni mengangkat dan
mengepal kedua tangannya seraya memandang Chris geram. Chris yang tidak tahu
apa-apa lantas memasang tampang polos sembari berharap ada satu dari mereka
yang memberikan pencerahan. Shilla lalu mengambil kendali dengan memerintahkan
mereka untuk segera berangkat.
Di dalam mobil, Ify masih
memasang wajah sendunya. Ia lesu bukan saja karena pesannya tak dibalas oleh
Rio namun juga dipicu oleh postingan terbaru Dea. Beberapa saat lalu
sebelum Chris datang, Ify tak pernah luput menaruh fokusnya pada ponsel. Ia
tidak bisa menahan untuk tetap menunggu jawaban Rio.
Ia kemudian akhirnya mendapatkan
jawaban atas pertanyaannya pada pemuda itu namun secara tidak langsung.
Pertanyaannya justru terjawab oleh gambar yang diunggah Dea ke dalam akun
sosial medianya.
'Train to Bogor!'
Berikut keterangan yang terlampir
di bawah foto Dea bersama Rio dan..Acha yang muncul di beranda akun Ify. Ify
sempat membeku beberapa saat. Ia lagi-lagi tertampar oleh angan-angan dan kali
ini baru terasa menyakitkan. Dari semua balasan-balasan pesan Rio, balasan kali
ini adalah yang paling greget dan minta ditonjok.
Benar-benar..
"Halo, Ma?"
Lamunan Ify sesaat diusik oleh
suara Debo ketika menjawab telepon. Kalau dari panggilan pemuda itu pada
penelepon, sepertinya Debo tengah berbicara dengan sang mama. Ia tak lama
kemudian kembali menghadap ke depan karena merasa tidak berhak ingin tahu
meskipun ia dapat mendengar suara pemuda itu.
"Iya, Ma, tenang aja. Debo
bakal hati-hati."
Debo diam sesaat lalu tiba-tiba
menoleh pada Ify sekilas. Ify sadar namun tidak begitu peduli. "Ify?
Tenang, Ma. Aku jagain Ify bener-bener kok. Dia butuh apa aja aku kasih. Kalo
capek, aku suruh tidur. Kalo laper, aku kasih makanan. Kalo dingin, tinggal aku
peluk."
Ucapan terakhir Debo membuat Ify
menoleh seraya mendelik tajam. Ia menggerakkan bibirnya mengucap protes tanpa
suara. "Enak aja!!" Bisiknya tak terima.
Debo hanya balas nyengir tanpa
dosa. "Oh iya, daritadi Papa lesu loh, Ma. Mama sih pake segala update sama
brondong!"
Ify mendesis sebal lalu
memutuskan mengabaikan Debo kembali karena dirinya sudah tidak lagi dijadikan
objek pembicaraan. Ia lantas kembali bergumul dengan perasaan galaunya beberapa
saat lalu.
"Yaudah, yang bener nanti
jalanin project-nya. Jangan sampe gagal. Inget lo, Mama udah bela-belain
bikin Papa senewen gegara foto ama brondong."
Ify mengedikkan bahu tak mengerti
Debo sedang berbicara apa. Ia lantas memilih mendengarkan lagu menggunakan headset
di telinga. Sementara Debo diam tak melerai apa pun yang gadis di sampingnya
ingin lakukan.
***
Rombongan Shilla cs akhirnya
sampai di rumah Chris setelah menempuh lamanya perjalanan hampir 2 jam. Maklum
mereka tidak melewati jalan tol dan terjebak macet. Kedatangan mereka disambut
oleh ibu Chris yang sudah lebih dulu berdiri di depan pintu, seperti sudah
sejak lama menunggu.
Ibu Chris tampak begitu sumringah
dengan hadirnya Shilla dan kawan-kawan. Wanita itu bahkan memandang keempat
anak gadis yang bertamu ke rumahnya dengan terkagum-kagum. Maklum selama ini,
satu-satunya gadis yang dibawa Chris ke rumah hanyalah Lala.
Hebat kan, sampai sespesial itu
Chris memperlakukan Lala.
Shilla cs mendapat dua kamar
sementara Debo yang tidak disangka-sangka ikut terpaksa harus berbagi kamar
dengan Chris. Sebagai tamu tak diundang yang tahu diri, Debo menerima apa saja
yang ditawarkan padanya.
Shilla menempati kamar bersama
Agni sementara di sebelah mereka akan diisi oleh Ify dan Via. Setelah menaruh
barang bawaan di dalam kamar, Shilla dan Agni memilih bergabung ke kamar Via
dan Ify untuk berbincang santai sekaligus mengistirahatkan badan.
"Bogor euy!" Seru Agni
seraya merebahkan diri di kasur yang sudah lebih dulu di tempati Via dan Ify
sementara Shilla menyusul kemudian. "Eh Shill, jujur deh. Lo ke sini ga
mungkin cuma sekedar nyamperin Alvin kan? Lo pasti ada maksud lain, kan?"
Tanyanya kemudian.
Shilla tersenyum seraya
mengangguk pelan. "Gue hendak menyelesaikan masalah." Jawabnya dengan
bersahaja.
Agni memutar kedua bola matanya,
Ify menggelengkan kepala, sementara Via hanya berdecak malas. Mereka sebetulnya
tidak perlu sampai repot begini dengan tujuan menemani sang teman mengunjungi pacar
kalau hanya sekedar untuk menyelesaikan masalah.
Masalah antara Alvin dan Shilla
bukannya sudah jelas? Alvin selingkuh. Tidak ada alasan yang logis untuk
tindakan menyeleweng yang satu itu. Penyelesaiannya hanya ada dua, Shilla
memaafkan atau menyudahi. Dan keduanya tidak begitu memerlukan kehadiran
Shilla.
Tapi, kalau dipikir-pikir,
perjalanan mereka bisa sekaligus liburan singkat sebelum memasuki minggu ujian.
Ada sih libur panjang ketika minggu tenang. Tapi ya, minggu tenang mana yang
benar-benar menenangkan? Dijamin mereka sama sekali tidak menikmati liburan
mereka nanti.
Agni memandang Via yang sejak
tadi sedikit kalem. Gadis itu tidak cerewet seperti biasanya. Bahkan di dalam
mobil, justru dirinya dan Shilla yang jadi lebih banyak bicara, ditimpali Chris
juga tentunya. "Lo kenapa, Vi?"
Via merebahkan dirinya dan
berbaring dengan menjadikan paha Ify sebagai alas bantal. Ify membiarkannya
tanpa protes namun hanya memandang Via penasaran.
"Gue ketemu sama istri dan
anaknya bokap.."
Oke, mereka sudah pernah dengar
cerita Riza memang memiliki istri dan anak lain selain Fira dan Via. Lalu?
"Masih inget Pricilla
mantannya Iel? Dia anaknya bokap. Kemaren gue ketemu mereka pas lagi
nonton...ada Gabriel juga."
Nah..
"Dunia bener-bener sempit, Men."
Seru Agni seraya menggelengkan kepala takjub.
"Jadi selama ini...Iel
tau?" Timpal Shilla kemudian. Ia sama tak menyangkanya dengan Agni.
"Dia bahkan tau kalo gue
nyamar jadi Zaza." Lirih Via. Bukan ia sedih. Ia sedih, sih. Cuma sekarang
ia hanya masih tidak menyangka saja apa yang sudah Gabriel lakukan padanya.
Memikirkan itu membuat perasaannya campur aduk.
Agni, Shilla, dan Ify seketika
terdiam. Mereka bingung harus mengatakan apa. Sesaat kemudian mereka bersyukur
karena Via tidak lagi memilih kabur seperti sebelumnya. Padahal, kali ini
masalah gadis itu terdengar jauh lebih berat dan membuat syok.
Ify memilih diam sembari mengelus
kepala Via. Agni dan Shilla mendesah pelan, heran mengapa hidup temannya
seberliku ini. Karena tak ingin membuat Via makin teringat dengan kesedihannya,
mereka lantas berpaling pada Ify.
"Rio masih ngehubungin lo,
Fy?" Alih Shilla.
Mendengar nama Rio lagi-lagi
membuat Ify memberengut. Iya mengangguk dengan lesu seraya mendesah pelan.
"Dia chat gue tiap malem tapi kalo ketemu kayak gak kenal."
Dari bawah, Via menjulurkan
tangannya menggapai sebelah wajah Ify dan menepuknya pelan seolah memberi
semangat tanpa kata-kata. Sementara Shilla yang bertanya menjadi kesal sendiri
mengetahui Rio kembali bersikap menyebalkan dan mempermainkan sahabatnya.
Duh, kenapa para lelaki di
sekitar mereka sialan semua?
"Yaudah, mulai sekarang
gausah lo tanggepin. Atau lo bilang aja langsung lo gamau dia hubungin
lagi." Usul Shilla.
Ify justru makin memberengut
mendengar ucapannya. Kalau ia sudah move on sih, ia juga mau benar-benar
menyingkirkan Rio dari sekitarnya. Masalahnya, ia masih dengan lugunya
mengharapkan pemuda itu.
Dering ponsel Agni menginterupsi
cuap-cuap seru mereka. Agni memeriksa siapa yang menghubunginya sebelum
menerima panggilan yang masuk tersebut.
"Halo?"
Agni diam beberapa saat sementara
ketiga temannya dengan sabar menunggunya selesai. "Baru nyampe, sih. Emang
mau ke mana?"
Agni yang tadi berbaring kemudian
mendudukkan dirinya seraya bersandar pada kepala ranjang. "Yaudah ketemuan
di sana aja biar ga ribet. Oke."
Via, Shilla, dan Ify tak putus
menatap Agni hingga gadis itu selesai dengan ponselnya dan balas memandang ke
arah mereka satu per satu. "Cakka. Ngajak ketemu." Katanya tanpa
perlu ditanya langsung.
Ify membulatkan mulutnya, Via
menganggukkan kepala, sementara Shilla mengerling jahil ke arah Agni. Shilla
juga menyenggol kaki Agni beberapa kali berniat menggoda gadis itu.
"Caelah yang langsung diajak jalan. Kayaknya yang beneran punya acara lo
deh. Gue mencium bau-bau traktiran gitu."
"Bogor penyatu cinta.."
Timpal Via dengan cara bicara dilebih-lebihkan.
Agni merasa rambut-rambut halus
di kulitnya berdiri karena merinding. Entah kenapa konsep romansa begitu
mengerikan dan menjijikkan dalam benaknya. Mengetahui kalau dirinya mungkin
saja benar-benar mengalami itu membuatnya takut sendiri.
Agni memukul pelan Shilla dan Via
dengan guling, mencegah kedua gadis itu berbicara makin aneh lagi. "Jangan
ngomongin itu deh. Mendadak geli gue." Keluhnya.
"Geli-geli enak,"
Tahu-tahu Ify menyeletuk yang tidak sesuai dengan tampang polosnya.
"Eh Ify gaboleh gitu. Stick
to your character, ya. Lo jadi Ify yang kyot-kyot aja." Halau Shilla
dengan lemah lembut.
Ify mengedipkan mata cepat seraya
bergantian menatap Shilla dan Agni. "Tapi Agni sering ngomong gitu?"
Protesnya masih sama polosnya dengan sebelumnya.
Agni menepuk keningnya mendadak
merasa bersalah nyaris menyesatkan sang teman yang teramat lurus. "Yang
konsep 'rusak' biar gue aja ya, Fy. Lo jangan ya." Gantian dirinya yang
memberi arahan dengan sabar pada Ify.
"Ah mending lo bantuin gue
minta tolong Debo nganterin gue atau kalo enggak gue minjem mobilnya bentar,
Fy!" Usul Agni kemudian.
Shilla kemudian menyahut.
"Gue juga siap-siap ketemu Alvin, deh. Lo mau ikut gue atau Agni ga,
Vi?"
Via berpikir sejenak lalu
menggelengkan kepala. Ia memilih tidur saja untuk beberapa saat ke depan.
"Gue di sini aja pengen molor." Tolaknya.
Ketiga teman-temannya serentak
menghunus tatapan was-was padanya. "Gapake tiba-tiba kabur lagi ya,
Vi?" Wanti Agni.
Via memutar kedua bola matanya
jengah namun tersenyum tipis. "Iya."
***
Febby tidak pulang sejak semalam.
Alvin tidak tahu apakah gadis itu kemarin masuk sekolah atau tidak. Yang jelas
kini ibunya merutu tak habis-habis padanya karena tidak 'memperhatikan' Febby
dengan benar.
Untuk kali ini ia tidak merasa
kesal pada ibunya ketika ditodong soal Febby. Ia justru ikut merasa khawatir.
Terlebih ia juga merasa bersalah pada Febby karena sudah menyalahkan dan
menghakimi gadis itu seenaknya. Ia jadi berpikiran kalau Febby sengaja kabur
karena dirinya.
Ia sudah mencoba menghubungi
namun tidak ada pesan yang dibalas atau panggilan yang dijawab. Bodohnya ia
masih keras kepala tidak mencari Febby tadi saat di sekolah untuk memeriksa
apakah gadis itu benar-benar hilang atau sengaja menghindarinya.
Kegundahannya tersebut harus
teralihkan sejenak ketika mendapat pesan dari Shilla. Gadisnya yang telah lama
dirindukannya tersebut akhirnya memberi kabar bahwa dia telah sampai di kota
tempatnya tinggal. Yang lebih mengejutkan, Shilla bilang kalau gadis itu sedang
dalam perjalanan ke rumahnya.
Tidak, tidak. Sekarang
benar-benar bukan saat yang tepat. Hilangnya Febby berhasil membuatnya tidak
bisa fokus. Ia takut nanti malah membuat hubungannya dengan Shilla semakin
kacau dan berakhir dengan gadisnya mengucap perpisahan.
Astaga, itu adalah gagasan paling
mengerikan yang pernah ada. Jangan sampai, jangan sampai.
Sementara itu di tempat lain,
Shilla justru mengernyit bingung karena Alvin tidak kunjung memberikan
tanggapan. Chris di sampingnya ikut-ikutan memandangnya bingung.
"Kenapa?" Tanya Chris
penasaran.
Kepala Shilla bergerak miring ke
kiri-kanan bergantian karena dirinya sedang mempertimbangkan sesuatu. "Apa
gue telfon langsung aja ya?" Tanyanya pada diri sendiri yang sekaligus
mengabaikan pertanyaan Chris. Chris hanya diam menunggu sampai Shilla mau
menjelaskan kepadanya.
Shilla akhirnya memutuskan
menghubungi Alvin langsung. Cukup lama ia harus mendengar nada sambung dari
ponselnya hingga akhirnya suara orang yang ia nanti-nanti mengalun indah di
telinganya.
"Halo, Sipit? Gue otw ke
rumah. Lo ada di rumah, kan?" Sapanya langsung tanpa basa-basi.
Di seberang sana Alvin
mondar-mandir dengan salah satu tangan berulangkali menggaruk kepala yang tidak
gatal sama sekali. "Cantik, maafin gue. Tapi..Febby ga pulang dari
semalem. Orang rumah lagi panik. Gue..uhm..gue..aduh gue—"
Tubuh Shilla seketika terasa
lunglai. Ia yang tadi duduk dengan tegap langsung begitu saja bersandar pada
badan jok. Hatinya mencelos mengetahui kalau ia memang benar-benar mewujudkan
rencana aslinya. Ia sempat berharap menemukan alasan untuk berhenti namun
nyatanya Alvin justru mendorongnya untuk segera melakukan apa yang ingin
dirinya lakukan.
Shilla mengamati pemandangan dari
jendela tanpa niat. Ia mendesah lemah berusaha menyingkirkan penat yang
mendadak menerjang. Walaupun usahanya tidak ada guna sama sekali. "Oke,
gue ngerti. Semoga cepet ketemu."
Shilla menutup sambungan telepon
tanpa menunggu respon Alvin lebih dulu. Bukannya berbicara lebih cepat lebih
baik agar dirinya tidak mengganggu kegelisahan pemuda itu?
"Kak, ada tempat bagus ga
sih di sini?"
***
Sudah hampir setengah jam lamanya
kegiatan yang dilakukan Cakka dan Agni hanya duduk diam di salah satu 'tempat
minum kopi' di dalam mall yang mereka kunjungi. Agni makin tidak mengerti
tujuan pertemuan mereka kali ini.
Sebelumnya ketika ia bertanya
untuk apa Cakka mengajak bertemu, pemuda itu tidak menjawab secara jelas malah
memintanya dengan sangat agar datang atau mau dijemput. Namun setelah sampai
kemari, Cakka tetap tidak menjelaskan apapun. Pemuda itu hanya bilang ingin
bertemu sesorang bersama dirinya.
"A—ga?"
Hingga akhirnya suara seorang
perempuan, dengan atasan kemeja sabrina berwarna putih dengan blush pleated
skirt sedikit di atas lutut, mengalihkan fokus Agni dan Cakka. Benar-benar
mengalihkan perhatian mereka karena apa yang barusan gadis itu ucapkan.
"Oik?" Sapa Cakka ragu.
"K—kamu beneran Aga? Ya
Tuhan, aku akhirnya beneran ketemu Aga?" Bicara Oik, gadis tadi, terdengar
makin antusias. Air mukanya tampak benar-benar menahan haru. Gadis itu bahkan
sampai menutup mulutnya kelihatan sangat terkesima.
Agni terdiam di tempat mencoba
memahami situasi yang tengah berlangsung di sekitarnya. Barusan gadis tadi
memanggil Cakka dengan siapa? Aga? Gadis itu memangnya siapa?
Sementara Cakka masih diliputi
rasa kalut. Ia akhirnya bertemu dengan Oik si kandidat Nia waktu itu, yang
dibicarakan Chelsea beberapa hari lalu. Ia benar-benar tidak menyangka Oik akan
langsung bereaksi seperti ini, akan langsung memanggilnya dengan Aga. Benarkah
gadis itu sungguh Nia-nya?
"Akhirnya Aga...akhirnya Nia
bisa nemuin Aga. Setelah sekian lama aku nyari kamu, Ga" Ujar Oik lagi.
Agni merasa ada yang memukul gong
dengan keras tepat di depan wajahnya. Ia sungguh kaget dengan pernyataan gadis
di hadapannya barusan. Bagaimana bisa gadis itu mengaku-ngaku sebagai Nia?
Gadis ini sebenarnya siapa? Kenapa dia bisa tahu tentang Aga dan Nia?
Ia juga terperangah dengan terkuaknya
sebuah fakta yang telah lama ia curigai. Jadi, Cakka sudah dapat dipastikan
adalah Aga.
"A—aku..kamu
Nia..k—kamu.." Cakka kelimpungan menyusun kata-kata yang ingin ia
sampaikan. Lebih tepatnya, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang.
Chelsea benar. Ia sepertinya memang telah menjadi pemicu kekacauan.
Agni sudah lepas dari kesiap. Ia
sekarang justru menghunus tatapan waspada pada dua orang di depannya, Aga dan
Nia? Wah, ini sungguh tidak masuk akal. Kalau gadis ini Nia, lalu dirinya
siapa?
Oik meraih tangan Cakka di atas
meja dan menggenggamnya erat mencoba memberi tatapan meyakinkan. Agni hanya
diam mengawasi dan justru mungkin akan coba mengikuti skema cerita yang tengah
berlangsung. Ia penasaran bagaimana akhir dari pertemuan ini.
"Aga, ini beneran Nia. Kamu
ga ngenalin aku? Apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya?" Oik
merunduk mengeluarkan kalung yang tersembunyi di balik atasan sabrinanya dengan
tergesa-gesa.
"Kalung ini! Kamu masih inget,
kan? Satu yang tersisa dari kenangan kamu sama aku. Satu yang bikin aku ga
nyerah nyari kamu. Memang ini bukan kalung yang sama dengan yang dikasih ibu.
Kalung aku hilang waktu masih di panti. Aku sempet berenti karena aku
kira..kamu udah lupa sama aku. Tapi abis itu aku pikir aku tetep harus nemuin
kamu. Aku gamau bertanya-tanya sendiri. Aku harus liat langsung apa kamu
beneran udah lupain aku atau enggak. Aku seneng ketemu Kak Chelsea yang bisa
bikin kalung yang sama persis dan aku lebih ga nyangka ternyata dia kakak kamu.
Kamu gatau betapa senengnya aku. Doa-doa aku selama ini akhirnya dijawab sama
Tuhan."
Agni diam-diam memberikan applause
sekuat dan sebanyak yang ia bisa dalam hati. Gadis yang mengaku-ngaku
sebagai Nia saat ini memainkan perannya dengan sangat apik. Kalau bukan karena
dirinya adalah Nia yang asli, ia pasti akan percaya pada semua yang dikatakan
si gadis negeri dongeng ini. Ah, mungkin kita sepakati saja memanggilnya gadis
pendongeng karena mampu mengisahkan cerita dengan sempurna.
"Aku yakin kalo kita emang
udah dijodohin sama Tuhan. Tuhan misahin kita supaya kita tau gimana rasanya
tanpa satu sama lain. Tuhan mau kita saling mencari dan akhirnya dipertemukan
supaya kita ga terpisah lagi."
"Kkk.." Agni tidak lagi
dapat menahan rasa geli dari dalam dirinya. Gadis pendongeng di hadapannya
menghayati perannya terlalu dalam hingga menyampaikan ucapan paling klise yang
pernah ia dengar. Mau menipu tapi melibatkan Tuhan.
Scene seperti ini belakangan
sering ia saksikan. Bagaimana orang-orang yang merencanakan suatu kejahatan
selalu percaya diri kalau Tuhan memihak mereka manakala yang mereka targetkan
tercapai. Tapi, apa gadis pendongeng ini bisa dikategorikan sebagai orang
jahat? Ia kan belum tahu tujuan dibalik semua bualan gadis tersebut.
Tak disangka-sangka, respon Agni
berhasil meraup perhatian sepasang teman yang baru saja melangsungkan
pertemuan haru di depannya. Gadis pendongeng alias Oik menoleh padanya lalu
kemudian merubah pandangan menjadi tidak suka. Gadis itu bergantian
memandangnya dan Cakka.
"Dia..siapa?" Lirih Oik
dengan rasa enggan yang terpancar jelas di wajah.
Sebelum Cakka menjawab, Agni
dengan cepat menyela. Kebetulan ia juga sudah bosan kalau kedatangannya kemari
hanya untuk menyaksikan dongeng si gadis dan Cakka yang bengong seperti orang
bodoh. "Sorry for interfering you, Miss and Gentleman. Tapi gue
juga ngerasa ga berkepentingan di sini. Acting lo keren tapi gue ga
berniat ngabisin waktu gue buat nyaksiin drama kalian sampe selesai. Jadi
Ca—"
"Apa kamu bilang? Siapa yang
kamu maksud lagi acting? Kamu mau bilang kalo aku daritadi lagi bohong
gitu?" Protes Oik tak terima. Napasnya terdengar sedikit kasar dari
sebelumnya.
I'm not saying, B!tch.
Agni mendesah pelan. Ia merasa tidak punya waktu untuk ini. Ia baru hendak buka
mulut namun gadis pendongeng kembali berbicara.
"Aah..jadi kamu yang
ngaku-ngaku sebagai Nia sama Cakka? Kamu punya kalung yang sama kayak kalungku,
kan? Cih, kamu bilang aku acting sementara kamu sendiri penipu."
Tukas Oik sinis.
Agni menautkan alis mendengar
semua sangkaan tak logis dari Oik. Kenapa sekarang mereka saling tuding tipu
menipu begini?
Agni memilih mengabaikan tuduhan
yang baru saja diarahkan padanya. Ia memandang Cakka tajam meminta pemuda itu
untuk memberinya 'pencerahan'. "Jadi, buat apa lo ngajak gue ketemu di
sini?" Tembaknya langsung tak mau menunggu lagi.
Cakka terkesiap dan menelan ludah
karena gugup. Ia dengan gamblangnya mengundang Agni datang tanpa mempersiapkan
penjelasan yang masuk akal. Ia lupa kalau ia berhadapan dengan Agni. Gadis yang
tidak mudah untuk dikelabuhi. Gadis yang tidak menerima alibi.
"Ni, gue—"
"Buat apalagi selain
ngebuktiin kalo kamu udah nipu Aga selama ini. Kamu udah pura-pura jadi Nia.
Aga mau nunjukin Nia yang sebenarnya di depan kamu." Potong Nia yang sebenarnya,
katanya.
Mata Cakka membelalak sempurna.
Sekarang benar-benar sakaratul maut untuknya. Ia memang ingin memastikan siapa
Nia namun bukan berarti ia menuduh Agni penipu. Ah, tapi apa bisa dirinya membela
diri sekarang? Jelas-jelas caranya mempertemukan kedua 'Nia' adalah salah.
"Gue? Nipu? Serius...gue ini
yang lagi lo omongin?" Sarkas Agni. Ia kembali tertawa merasa lucu dengan
semua yang ia dengar dan saksikan dari awal hingga sekarang.
Meski dalam lubuk hatinya yang
paling dalam, ia benar-benar merasa kecewa. Jadi kehadirannya di sini tujuannya
untuk diseleksi? Baru kali ini hatinya mencelos mengetahui Cakka mencari 'Nia'.
Sejak lama ia menunggu saat seperti ini, saat di mana Aga mengingatnya, namun
yang terjadi ternyata tidak seindah yang ia bayangkan.
Nyesek, anjing!
"Ah, sekalian aja kita
buktiin kalung kamu asli atau enggak. Aku tau toko perhiasan deket sini yang
pegawainya tau banget soal kalung." Usul Oik.
Agni dengan mulut terbuka
tersenyum takjub. "Lo bener-bener penuh persiapan, ya!"
Gumamnya. Ia sekali lagi, atau mungkin untuk yang terakhir kali, menoleh pada
Cakka. "Setelah lo nemu Nia-Nia lo itu, emangnya lo mau apa, Kka?"
Dada Agni mendadak terasa berat.
Rasanya seluruh udara yang ia hirup tertahan di dalam paru-parunya tanpa bisa
menyebar ke seluruh tubuh. Suaranya juga menjadi sedikit tertahan. Sial, ia
tidak menyangka akan sesedih ini. Tolong ya, jangan sampai apa yang paling ia
takutkan seumur hidupnya terjadi. Menangis karena laki-laki.
"Ni bukan gitu. Gue—"
Untuk kesekian kalinya, ucapan
Cakka dipotong oleh Oik yang kelihatan amat menggebu-gebu. "Ya jelas Aga
bakal milih sama aku, Nia. Dia bakal menjauh sejauh-jauhnya dari kamu karena
kamu bukan siapa-siapa buat Aga. Aku jauh lebih penting dari semua perempuan
yang Aga kenal."
Tidak, tidak, tidak. Bukan begini
yang Cakka inginkan. Semua orang sudah salah paham sekarang. 'Nia' salah paham
dengan niatnya yang kemudian membuat Agni juga salah paham padanya. Demi Tuhan,
ia bingung harus bagaimana.
"Fvck, bisa tenang
bentar ga sih?" Geram Cakka dengan nada rendah. Suaranya boleh dibilang
pelan namun cukup untuk membuat Oik terdiam meski dirinya tidak menatap siapa
pun saat berbicara.
Pandangan Agni menjadi tidak
fokus beberapa saat. Ia tidak bisa berlama-lama di sini. Ia tidak akan bertahan
untuk beberapa saat ke depan dan ia tidak ingin orang-orang tidak berkepentingan
menyaksikan dirinya yang seperti itu.
Agni tiba-tiba berdiri. Ia
menarik napas dalam dan menghembusnya dalam satu hentakan. "Congrats
lo udah nemuin Nia lo yang paling berharga, yang selama ini lo tunggu-tunggu. Sorry
because she's not me. Gue cuma..Agni. Bukan siapa pun, mulai detik ini.
Jangan ajak-ajak gue kalo mau ngadain kuis kayak gini lagi ya. Gue
duluan, btw."
Agni melangkah pergi tanpa
berbalik barang sedetik pun lagi. Ia berjalan dengan kepastian di setiap
langkah yang ia ambil. Ia meraih kalung di lehernya dan menyentaknya dengan
kuat. Ia lalu membuang begitu saja benda yang sudah tak berharga
untuknya tersebut.
Tak lama kemudian ia merasa
pandangannya buram. Bukan karena tenaganya mendadak hilang dan ia ingin pingsan
melainkan karena matanya mulai dilingkupi oleh cairan bening yang kemudian
menetes dari sudut kelopaknya.
"Goddamn, this is
just...sick."
***
Untuk pertama kalinya Febby
minggat dari sekolah, bersama Goldi lagi. Bahkan pemuda itu yang mengusung ide
nakal seperti itu. Dari pagi hingga malam pemuda itu mengajaknya berkeliling ke
tempat-tempat yang ia sukai, yang mereka sukai, dan yang belum pernah mereka
datangi. Untuk sejenak, Febby ingin menghirup udara kebebasan dunia. Dunia yang
selama ini ia lihat selalu tampak pengap dan melelahkan.
Di hari kedua kepergiannya,
tiba-tiba Oik menghubungi untuk mengajak bertemu. Gadis itu bilang ada hal
penting yang ingin gadis itu sampaikan padanya. Ia sempat berpikiran untuk
tidak menggubris sang saudari tersayang sama sekali. Namun, entah mengapa
firasatnya mengatakan ia harus bertemu gadis itu.
Ia dengan didampingi Goldi
akhirnya datang menemui Oik di sebuah cafe yang sudah mereka sepakati. Ia cukup
terkesima mendapati Oik sudah hadir lebih dulu. Dari raut wajahnya, ia dapat
melihat betapa senangnya gadis itu. Ia sesaat merasa ada yang tidak beres. Apa
gadis itu ternyata memiliki rencana jahat lagi? Apa dirinya akan dijadikan pion
lagi oleh sang adik?
"Hai kakakku yang manis.
Lama ya ga ketemu? Hai juga calon kakak ipar yang setia." Sapa Oik
basa-basi. Febby sudah seringkali mendapati Oik tersenyum padanya. Namun selama
ini senyum yang ia lihat hanya kepalsuan belaka atau rasa bahagia ketika
dirinya menderita.
Tapi entah kenapa ada yang
berbeda dengan senyum gadis itu sekarang. Senyum Oik saat ini tampak...tulus.
Hah?
"Ada apa?" Tanya Febby
tak mau berlama-lama.
Oik mengedikkan bahu memaklumi
ketidaksabaran Febby. Ia kemudian mengambil secarik kertas persegi panjang yang
merupakan potret sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dan sepasang anak
yang masih kecil. Ia lalu menyodorkannya pada Febby sekaligus Goldi.
Febby memperhatikan foto di
depannya lalu kemudian mengernyit bingung. Ia melihat mama dan papa Alvin dalam
foto tersebut. Sudah bisa ia pastikan salah satu anak kecil yang ada di sana
adalah Alvin. Gadis kecil yang satunya ia tidak tahu siapa namun ia merasa
familiar.
"Ini..keluarga Alvin?"
Gumamnya dengan nada bertanya. Ia memandang Oik dengan kening mengerut.
"Ini upah lo atas kerja
keras lo selama ini sama gue." Ujar Oik dengan senyum misterius.
Kening Febby makin berlipat
mendengar ucapannya. Upah apa? Memang ini berharga untuk apa baginya?
"Itu keluarga kandung
lo."
Deg.
Jantung Febby rasanya berhenti
bergerak. Bumi tempatnya berpijak seperti tidak lagi memiliki gaya gravitasi.
Sesaat pikirannya melayang jauh entah ke mana. Waktu di sekitarnya juga
seolah-olah tidak berjalan.
"Ap—Apa?" Lirihnya masih
belum lepas dari rasa kaget. Ia masih tidak yakin dengan apa yang ia dengar
barusan. "Se—sejak kapan?"
Oik tersenyum geli seraya memutar
kedua bola matanya jengah. "Ya sejak lo lahir lah. Gue nemu foto itu di
kamar bokap. Pas gue cari tau ternyata itu foto lo waktu kecil. Makanya, gue
nyuruh lo deketin Alvin, deketin saudara kembar lo sendiri." Jelasnya tak
kalah mengejutkan dari sebelumnya.
Jemari Febby bergetar hebat.
Pupil matanya melebar dan tampak tidak fokus. Ia tidak tahu bagaimana
perasaannya saat ini. Apakah ia harus senang atau sedih? Apakah ia harus
berterimakasih pada Oik atau tidak? Apakah ia bisa membenarkan apa yang sudah
Oik perbuat padanya selama ini atau tidak? Apakah ia senang mengetahui Alvin
ternyata saudara kembarnya atau tidak? Ia tidak bisa menjawab itu semua.
Hingga sebuah genggaman hangat
pada tangannya mengembalikan perputaran dunianya seperti semula. Genggaman
tersebut seolah memberinya patokan untuk berpijak, pegangan untuk tetap berada
di tempatnya, dan kekuatan agar ia tidak goyah. Ia melihat senyum damai Goldi
padanya dan seketika segala gundah di hatinya menghilang.
Namun sekarang berganti dengan
rasa haru. Ia tak kuasa menahan air matanya di depan pemuda itu karena merasa
punya tempat yang layak untuk mengadu. Goldi dengan sigap menariknya dalam
pelukan, tak peduli beberapa orang di sekitar cafe menjadikan mereka sebagai
objek perhatian.
Dengan luar biasanya Oik
memandangi satu per satu manusia yang coba-coba berani memperhatikan mereka dan
mendelik tajam pada mereka semua agar berhenti ingin tahu. Setelahnya ia
kembali pada Febby yang sudah tampak sedikit lebih tenang.
"See, gue gak sejahat
itu. Kalo selama ini gue berlebihan, ya sorry." Katanya dengan
teramat santai seraya mengedikkan bahu.
"Kenapa dengan cara gue
harus ngancurin hubungan Alvin, sih?" Protes Febby dengan suara serak dan
bindeng karena habis menangis.
Oik mendesah pelan dan memasang
wajah acuh tak acuh. "Karena dia bisa dengan hebatnya bahagia sama
pacarnya dan malah ngelupain adiknya yang hilang. Sebel aja liatnya jadi gue
kerjain deh!" Ia menegakkan tubuhnya bersidekap menghadap Febby.
"Lagian kan lo jadi bisa deket sama saudara lo sendiri,"
Febby benar-benar tidak mengerti
bagaimana perasaannya pada Oik. Ia tidak tahu lagi apakah yang dilakukan gadis
itu selama ini adalah sebuah kejahatan atau justru pertolongan. Ia sungguh
tidak mengerti.
Tapi satu yang membuatnya lega. God,
gue selama ini gak salah. Alvin selama ini gak salah. Perasaan mereka selama
ini tidak salah. Mereka tidak pernah menghianati siapa pun. Alvin tidak pernah
menghianati Shilla begitu pula ia terhadap Goldi, meskipun ia tetap salah
ketika mencampuri urusan asmara sang kakak atau adik, ia masih belum tahu.
Mereka diliputi suatu perasaan asing yang ternyata adalah rasa sayang antar
saudara.
"Terus Cakka sama Kiki?
Mereka ada hubungannya sama gue juga?" Tanya Febby yang tiba-tiba saja
teringat dua laki-laki itu.
Oik kembali menunjukkan senyum
misterius. "Kalo itu gue beneran gunain lo. Gue butuh gali
informasi dari mereka. Jadi pacar mereka adalah cara yang paling efisien. Itu
uhm..urusan gue. Tapi sekarang gue udah ga butuh lo. Tujuan gue udah
tercapai." Jelasnya diakhiri dengan seringai girang.
Febby merasa Oik masih punya
sebuah rencana khusus namun ia yakin gadis itu tidak akan mau berterus
terang padanya. Meskipun sekarang gadis itu sudah berbaik hati padanya.
"Gue cuma mau nyampein itu
aja. Thanks udah bantuin gue selama ini. Gue rasa kita udah gapunya
utang satu sama lain. Penderitaan lo udah kebayar kan? Gue harus pergi
ke suatu tempat. So, gue duluan. Bye, kakakku sayang!"
Febby tidak membalas apapun pada
Oik. Ia hanya memperhatikan raga gadis itu yang perlahan menjauh hingga keluar
dari area cafe. Ia kemudian dengan cepat menoleh ke arah Goldi dan tersenyum
begitu lebar. Ia meraih kedua tangan pemuda itu untuk ia genggam begitu erat.
"Goldi..aku beneran bukan
orang jahat. Aku gak nyakitin siapa pun, Di!"
***
Ify dan Debo memutuskan kembali
ke rumah Chris setelah mengantar Agni ke tempat gadis itu janjian bertemu
dengan Cakka. Sama seperti keadaan sebelum-sebelumnya, tidak banyak pembicaraan
berarti yang tercipta di antara mereka.
Hampir semua pembicaraan
diinisiasi oleh Debo yang bertanya pada Ify. Ify hanya menjawab seadanya,
sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Lama-lama Debo menyerah juga berusaha
membangkitkan mood gadis itu. Empunya hati sang gadis bukanlah lawan
yang sepadan untuknya. Perasaan yang dibangun gadis pujaannya untuk si pemuda
beruntung terlalu kokoh untuk ia robohkan.
Di saat ia sedang melamunkan Ify,
ponselnya berbunyi. Ia seketika tersenyum lebar mengetahui siapa yang
menghubunginya. "Halo Mamaku sayang!" Sapanya dengan sumringah.
Ify tertarik untuk memperhatikan
Debo. Mereka terkesan benar-benar dekat. Hingga hampir di setiap kali ia dalam
perjalanan dengan pemuda itu, ibunya tak pernah absen menghubungi. Baru kali
ini ia mendadak merasa iri dengan interaksi Debo dengan sang ibu.
"Ini bentar lagi sampe di
rumah Bang Chris. 15 menitan lagi lah, Mami." Ujar Debo lagi.
Tiap kali berbicara dengan
ibunya, Ify tidak pernah melihat senyum Debo lepas dari bibirnya. Wajahnya
kelihatan begitu antusias. Mungkin kalau Gina masih ada, ia juga bisa sesenang
ini. Ah..seketika ia merindukan rumahnya di Jakarta. Ia merindukan Ayahnya,
juga Fify.
"Ntar Debo kabarin lagi ya,
Ma. Mama ganggu waktu pacaran aku sama Ify nih!" Celetuk Debo.
Ify yang masih dirundung sendu
kemudian dalam sekejab merasa kesal. Lagi-lagi Debo berbicara yang tidak-tidak
pada mamanya. Memang ya pemuda ini sama sekali tidak bisa diberi peringatan
dengan baik-baik.
"Lo tuh ya gabisa
dibilangin!" Gerutu Ify tepat ketika Debo menyimpan kembali ponselnya.
Debo tidak membalas apapun hanya
memajang cengiran tanpa dosanya di depan Ify yang membuat gadis itu menyerah
untuk menyuarakan protes. Kemudian tanpa disangka-sangka, Ify mengajaknya
bicara.
"Lo deket banget ya sama
nyokap lo?" Tanya Ify penasaran.
Debo tersenyum lebar seperti
sebelumnya. "Enggak deket-deket juga, sih."
Ify membulatkan mulutnya seraya menganggukkan
kepala beberapa kali. Setelah itu, tidak ada lagi yang buka suara. Hingga
mereka kemudian berpisah setelah sampai di rumah Chris. Mereka lantas beranjak
menuju kamar masing-masing.
Ify mendapati Via berbaring di
atas ranjang namun tidak tampak terlelap. Gadis itu tampaknya tidak benar-benar
bisa tidur saat ini. Via yang tadi berbaring memunggungi Ify lantas merebahkan
kembali posisinya menghadap temannya yang baru saja datang.
"Kirain lo bakal nge-date
sama Debo." Ujar Via.
Ify memberengut lesu. Ia duduk
bersila sambil menunduk. "Vi, gue gagal move on.." Rengeknya
sambil menggoyang-goyangkan lengan Via.
Via mendesah berat. Memangnya
dirinya berhasil?
"Jangan dipaksa, Fy."
Katanya coba memberi saran. Yah..kalau hati belum hendak beranjak untuk apa
dipecut untuk lari? Sabar aja, ntar juga lewat, katanya.
Ify kembali mendesah tak
bersemangat. "Tapi Rio udah, Vi.." Lirihnya. Ia merasa matanya mulai
memerah.
Via memiringkan tubuhnya, menekuk
lengan, dan menyandarkan kepala pada telapak tangan. Ia menatap Ify lalu
ikut-ikutan mendesah lemah. "Ya kan kita gabisa ngatur hati orang, Fy. Mau
diapain lagi?" Balasnya sehalus yang ia bisa.
Ck, kasian bat sih kita, Fy.
Masih dirundung gundah gulana,
ponsel Ify di dalam tas berbunyi yang menandakan ada sebuah pesan masuk. Ify
masih kelewat menghayati perasaan galaunya sehingga tidak memedulikan sama
sekali apa yang terjadi pada benda pintar miliknya itu.
Via yang masih sedikit waras
akhirnya mewakili Ify memeriksa ponsel gadis itu. Kedua alisnya seketika
terangkat. "Rio bilang 'ikut Fy ini udah di Bogor'. Mau dibales gak?"
Tanyanya tanpa repot-repot memperlihatkan pesan tersebut langsung pada Ify. Ia
juga berancang-ancang mewakili gadis itu mengetik balasan.
"Mau bales apaan? Orang dia
gananya!" Sungut Ify. Rio benar-benar tega. Ia sudah menurunkan gengsi
untuk bertanya namun pemuda itu justru hanya memberi informasi yang ia sendiri
sudah tau. Bahkan seluruh dunia juga tahu.
Namun entah Rio mendengar
gerutuan Ify atau hanya sebuah kebetulan, pemuda itu kembali mengirimkan pesan.
Via dengan setia membacakan pesan sang mantan pada Ify. "Rio lagi. 'Lagi
ribet, Fy? Gue boleh ngajak jalan ga?'. Asek dah!" Seru Via mendadak
bersemangat.
Ify mendadak bengong seperti
orang bingung. Kepalanya masih berusaha mencerna ajakan Rio barusan. Rio,
akhirnya, mengajaknya pergi bersama pemuda itu?
Melihat temannya melamun, Via
lantas menarik sedikit kuat hidung mancung Ify agar gadis itu sadar.
"Giliran ditanya lo malah bengong. Ini nih mungkin kenapa Rio males nanya,"
Tegurnya tak benar-benar serius.
"Gue mesti gimana?"
Cicit Ify. Ia mau, pasti. Tapi, apa akan kelihatan bagus seperti itu? Atau
lebih baik ia tolak saja? Kalau setelah ini Rio kembali tidak mengacuhkannya
bagaimana? Nanti kalau ia makin susah lupa bagaimana?
"Tinggal jawab boleh atau
enggak, Fy." Saran Via yang sama sekali tidak membantu. Kalau pilihan itu
Ify juga tahu.
Via lantas tersenyum geli
memandang Ify. "Mana yang bikin hati lo puas aja, Fy. Gausah mikir
berat-berat."
Ify menggigit bibirnya menimang-nimang.
Hingga pada akhirnya ia untuk kesekian kalinya bertekuk lutut pada mayoritas
suara hatinya.
"Temeniiin.."
***
Mobil Chris yang tadinya melaju
dengan tenang tiba-tiba harus berhenti dengan cara yang tidak halus sama
sekali. Mobil yang melaju tepat setelah mobil Chris mengerem mendadak karena
ada sebuah mobil lain yang melintang di depannya.
Beruntung refleks Chris
benar-benar cepat sehingga kejadian tabrakan beruntun dapat terhindarkan. Meski
begitu, pemberhentian yang terjadi lumayan keras hingga membuat tubuh Chris dan
Shilla terdorong ke depan lalu menghantam jok dengan kuat. Meskipun dasar jok
tidak keras namun tetap cukup membuat badan dan khususnya kepala mereka
merasakan pegal.
Napas keduanya sama-sama memburu.
Keduanya masih syok dengan apa yang barusan terjadi. Chris melepas sabuk
pengaman yang juga telah menjadi penyelamatnya demi melapangkan gerak dadanya.
Setelah kesadarannya terkumpul, ia lekas menoleh pada Shilla dan mendapati
wajah gadis itu masih memucat.
Chris dengan sigap melepas sabuk
pengaman Shilla karena sepertinya gadis itu masih syok. Ia meraih wajah gadis
itu dan berusaha mencapai pandangannya agar gerangan sadar. "Shill! Shill!
Lo gakpapa?" Panggilnya berulang-ulang.
Suara Chris berhasil
mengembalikan pikiran Shilla. Ia menutup mata seraya menghela napas panjang
disertai dengan anggukan kepala. Chris sesaat merasa lega melihat itu.
Namun kejutan untuk mereka belum
selesai sampai di sana. Keributan terjadi di depan mereka. Chris dan Shilla
sekarang menyaksikan beberapa orang berperawakan menyeramkan layaknya preman
keluar dari sebuah mobil voxy, mobil yang melintang yang menjadi penyebab
nyaris timbulnya kecelakaan sebelumnya, menghampiri si empunya mobil di depan
mereka.
Seorang pemuda keluar dan mencoba
melakukan perlawanan namun kemudian dengan mudah ditumbangkan oleh salah satu
orang-orang yang menghampirinya. Selanjutnya dari pintu sisi kiri, seorang
gadis ditarik paksa keluar dan kemudian pingsan setelah orang yang menariknya
memukulnya di bagian leher.
Chris dan Shilla tanpa pikir
panjang keluar dan mencoba menyelamatkan dua orang yang diduga akan diculik
tersebut. Shilla dapat mencuri pandang wajah sang gadis dan seketika matanya
membelalak.
Itu Febby!
Sayangnya mereka terlambat karena
orang-orang tersebut sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan mengunci pintu.
Mobil tersebut bahkan langsung melaju dengan cepat. Chris menajamkan mata dan
berusaha mengingat nomor plat yang terdapat di bagian belakang. Ia segera
meraih ponselnya dan menyimpan nomor tersebut dalam notes.
Ia segera memanggil Shilla untuk
kembali ke mobil. Mereka tidak mungkin hanya mengandalkan polisi. Setidaknya
mereka harus mengikuti mobil sang penculik tadi sejauh mungkin.
"I—itu Febby, Kak. Itu
Febby!" Seru Shilla dengan nada panik.
Chris yang sama paniknya balas
bertanya karena tidak mengerti. "Siapa?" Sahutnya ngos-ngosan. Ketika
nyaris tabrakan tadi saja napas mereka belum kembali normal dan setelahnya
mereka harus mengejar penculik.
Shilla menelan ludah karena
tenggorokannya terasa kering karena terus-terusan dilewati udara dengan cepat.
"Dia..hh..dia cewek itu." Jawabnya tersirat.
Chris mengernyit karena
benar-benar tak berniat untuk berpikir keras. "Siapa, sih?!" Tanyanya
kesal.
Shilla mendengus keras.
"Cewek lain yang disukain sama Alvin, Kak. She's 'that' girl."
***
"Gue sama Debo nunggu di
mobil aja ya, Fy. Ntar kalo udah ketemu Rio kabarin biar gue pulang."
Aba-aba Via.
Bersama Debo dan Via, Ify
akhirnya pergi menuju taman tempat Rio akan menjemputnya. Ia mengangguk patuh
pada Via dan segera turun dari mobil. Kakinya melangkah memasuki taman yang
entah kenapa malah tampak seram di matanya.
Taman tersebut benar-benar sepi.
Mengingat ada Via dan Debo yang menunggunya menjadi satu-satunya kekuatan yang
membuatnya berani melangkahkan kaki memasuki area taman lebih dalam.
Alangkah terkejutnya ia justru
mendapati Dea berdiri menghadapnya dengan senyum sinis di wajah. Gadis itu
tampaknya sudah menunggunya sejak lama. Dea berdiri dengan kedua tangan
disilangkan di belakang badan.
"Kamu..ngapain di
sini?" Ify tidak bisa menanyakan hal lain selain kepentingan gadis di
hadapannya di tempat ia janjian bersama Rio. Astaga apa jangan-jangan yang
janjian dengannya sekarang adalah..
"Bukannya kita udah janjian
ketemu?" Balas Dea dengan seringai puas yang sumpah demi apapun begitu
menyeramkan.
Ify seketika teringat akan
kata-kata Angel dulu. Dea itu 'sakit', Fy. Lo harus hati-hati. Ya Tuhan,
ia menyesal kenapa baru mengamininya sekarang. Ludahnya mendadak menjadi lebih
sulit ditelan.
Ify hendak berbalik namun Dea
lekas menahannya dengan kembali memanggil namanya.
"KakFy..takut?" Tanya
Dea dengan suara rendah.
Ify mencoba mengatur napasnya
agar tidak memburu. Ia harus tenang. Ia tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya
pada Dea, khususnya saat ini. Ia tidak boleh membiarkan gadis itu merasa menang
atas dirinya. Gadis itu berhak tahu kalau ia bisa tidak takut. Ia justru malas
dengan gadis itu.
Ify berbalik badan dan mendengus
pelan. "Kamu mau apalagi?" Tanyanya setenang suasana ujian.
Air muka Dea dalam sekejab
berubah marah. Matanya menyala menatap Ify dengan penuh benci. "Kenapa
KakFy masih aja deketin KakYo?! KakFy ga sadar sekarang udah ada KakCha?
Harusnya KakFy pergi jauh-jauh dari KakYo!"
Ify diam-diam menarik napas
panjang dan menghembusnya perlahan. "Memangnya Kak Acha siapa? Dia cuma
masa lalu Rio. Memangnya kamu siapa? Kamu bukan siapa-siapa, De." Balasnya
tak kalah tajam namun masih tampak tenang.
Dea menghentakkan salah satu
kakinya dengan keras. Gadis itu kelihatan benar-benar kesal. Ify memutuskan
mundur satu langkah untuk berjaga-jaga.
"KakYo itu gasuka sama
KakFy. Dia cuma kasian karena papa KakFy dirawat di rumah sakit. KakFy yang
selalu mau nempel sama KakYo. KakFy terus-terusan ngehubungin KakYo tiap hari.
KakFy itu parasit tau gak?!"
Ify banyak-banyak mengucap sabar
dalam hati. Andai saja tinjunya sekuat Agni, ia tidak akan ragu-ragu
mengayunkannya ke wajah Dea. Sayangnya, tangannya terlalu ringkih. Justru
dirinya yang nanti akan merasakan sakit di tangan. Lagipula, ia juga tidak
begitu tega.
"Tapi parasit kayak kakak
yang disayang sama Rio. Kasian kamu, permata gak bernilai." Kalau saat ini
ketiga temannya menyaksikan, mereka pasti akan bertepuk tangan hingga jungkir
balik mendengar apa yang barusan ia ucapkan. Ia sendiri bahkan takjub. Apa
tempat yang didatanginya ini benar-benar berpenghuni? Dan salah satu
dari mereka sedang merasuki diri Ify?
Dea seketika histeris. "Apa
kakak bilang?!!" Pekiknya hingga membuat Ify berjengit kaget.
Ify sekali lagi mencoba mengatur
napasnya agar kembali pada ritme normal. Ia lalu menatap Dea intens.
"Selama ini yang gangguin aku itu kamu, kan? Kamu yang ngasih aku
kiriman ular, nyekap aku di sekolah, ngancem dan nyebarin rahasia Kak Angel,
ngehasut anggota Cheers buat nurunin sekaligus musuhin aku. Iya,
kan?"
Dea diam sesaat lalu kemudian
menyunggingkan senyum miring. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi seraya
menjawab dengan nada puas. "Iya. Iya! IYA! Itu semua karena aku. Karena
aku mau ngelindungin KakYo dari parasit yang terobsesi sama dia, kayak
KakFy!"
Nyaris saja tawa Ify mengudara.
Kalau ia tidak ingat situasi saat ini benar-benar riskan. Entah kenapa ia jadi
curiga apa yang disembunyikan Dea dibalik badannya. Tidak ada yang tahu. Bisa
ada, bisa juga tidak. Hanya saja, saat ini ia memilih percaya pada kemungkinan
terburuk.
Namun tak dapat ditampik kalau
Dea memang seperti tengah melucu. Bagaimana bisa gadis itu menuduhnya
terobsesi sementara gebrakan yang ia buat hanyalah sekedar membalas apa yang
Rio lakukan? Sementara gadis itu sendiri berkecimpung dalam skema-skema licik
hanya untuk menjaga Rio.
"Seenggaknya aku gak
kriminal kayak kamu." Tukas Ify telak.
Bingo!
Kata-kata Ify berhasil membuat
aura Dea berubah. Ia tidak bangga sama sekali. Ia justru menyesal kenapa terlalu
jujur seperti itu. Kini ia menjadi makin was-was pada apa yang akan Dea
lakukan.
Benar saja. Dea akhinya melepas
tautan tangannya. Ify seketika membelalak ketika ia melihat sebuah pisau kecil
tergenggam di salah satunya. Ia menelan ludah getir. Pelipisnya juga terasa
mulai lembab oleh keringat.
Dea tidak serius, kan? Dia tidak
mungkin benar-benar...
"Aku udah feeling dari
awal kalo KakFy itu gak bisa diperingatin baik-baik. KakFy masih aja
gangguin KakYo di saat KakYo sekarang udah sama KakCha lagi. Aku gaakan biarin
orang yang mau menghancurkan hubungan KakYo dan KakCha berkeliaran sesukanya.
KakFy harus bener-bener dikasih tau!"
Kombinasi antara ketakutan Ify
yang menjalar dari kepala sampai kaki dan gesitnya gerakan Dea membuatnya tidak
sempat berinisiatif apalagi memiliki gagasan untuk menghindar. Ia merasa
tubuhnya terdorong ke samping hingga terduduk di tanah berumput.
Akan tetapi, Ify sama sekali
tidak merasakan apapun menyentuh bagian tubuhnya. Ketika sebuah teriakan keras
menggema di telinganya, barulah ia sadar ada seseorang yang telah menggantikan
posisinya sebagai sasaran Dea. Dia..
"AAA! K—Kak—KAK RIO!!"
Dea berteriak histeris ketika pisau miliknya tertancap sempurna di perut Rio
sebelah kiri bagian bawah. Dea seketika berdiri kaku dengan tangan bergetar dan
wajah begitu panik. Ia berkali-kali menggelengkan kepala. Sementara Rio
menyusul jatuh terduduk di atas rerumputan di dekat Ify.
"RIO! RIO!" Kini Ify
yang memekik tak karuan. Ia terburu-buru mendekati Rio yang terbaring menahan
sakit dan memegang perutnya yang masih tertancap pisau. Air mata Ify sudah
tidak perlu diragukan kehadirannya.
Beberapa laki-laki berbaju putih
seperti perawat rumah sakit kemudian menghampiri Dea dan langsung mengasingkan
gadis itu. Gadis itu tampak tidak berontak sama sekali. Mungkin masih sama
syoknya dengan Ify.
Bibir Ify gemetaran. Jantungnya
berdenyut tak terkira. Ia memandang wajah Rio yang kini justru tersenyum
menatapnya. Tatapan lembut pemuda itu yang biasa ditujukan padanya dapat
kembali ia lihat. Hal itu justru membuat laju air mata Ify semakin deras.
"Rio.." Lirih Ify tak
kuasa. Ia meraih kepala dan tubuh bagian atas Rio agar bersandar di pahanya.
Dengan tangannya yang sudah terasa amat dingin, ia meraih sebelah wajah pemuda
yang sampai kini masih dicintainya itu.
"Udah selesai, Fy..Semuanya
udah selesai.." Bisik Rio yang tampak begitu lega.
***
Hayo, masih kesel ama babang Rio?
🙈
Ini ngetik ampe lengan pegel
kayak kena DBD, tapi words yang jadi ga seberapa. Nyesek bosque😔
Next part agak lebih sabar ya
(kalo jadi pembaca gue mah emang musti banyak-banyak sabar haha), gue kayaknya
ada presentasi jadi mesti nyiapin gitu2. Mohon dimaklumi sodara sodara. Doakan
juga semoga lancar😇
Tidak ada komentar:
Posting Komentar