-->

Jumat, 19 Januari 2018

Matchmaking Part 41


But I need you far more than I ever want you - Hard To Do

***

Satu-satunya orang yang tetap tenang di tempatnya mungkin adalah Via. Horror memang bukan genre-nya. Namun, yang membuat semua hal seperti hening di sekitar Via adalah perasaan gadis itu. Mood-nya tidak sebegitu kacau. Hanya saja, ia jadi malas untuk melakukan apapun.

Ia tidak menampik kalau sekali lagi ia merasa kecewa. Ia bimbang apakah selama ini dirinya terlalu banyak bersikap legowo menanggapi setiap fenomena dalam hidupnya. Ia selalu memilih menyesuaikan diri bukan malah meminta pengertian orang lain untuk berubah agar dirinya nyaman.

Selama ini ia tidak pernah berontak terhadap ayahnya yang jarang bicara. Ia juga tidak pernah coba-coba memancing agar pria itu mau berbicara panjang lebar. Ia mencari excuse dengan menganggap Riza memang seperti itu dan dirinya juga harus mengikuti pola sikap sang ayah. Tapi ternyata, pria itu bisa ramah pada Pricilla. 

Ia tidak pernah bertanya mengapa kedua orangtuanya tampak jarang berbicara lama berdua. Ia tidak pernah penasaran kenapa ia tidak pernah melihat Riza sekedar mengusap kepala atau bahu Fira. Ia pikir ayahnya memang tidak romantis dan menganggap bermesraan di depannya adalah tabu. Nyatanya Riza bisa menggandeng erat tangan wanita yang entah siapa.

Ia tidak pernah menganggap aneh mengapa Riza selalu tampak tegang dan tanpa ekspresi ketika pria itu sedang bersama dirinya dan Fira. Sekali lagi ia beralasan kalau Riza memang seperti itu. Ia tidak pernah berpikiran buruk. Nyatanya Riza bisa menampilkan wajah bahagia dengan senyum tanpa cela pada keluarganya.

Ia menerima kalau ayahnya berbeda dengan ayah teman-temannya. Namun kemudian ia sadar, ia lupa kalau Riza bukan ayahnya. Tidak, kalimatnya salah. Yang benar adalah dirinya bukan anak pria itu. Dirinya dan Fira bukan keluarga pria itu. Makanya, Riza tidak pernah bersikap yang seharusnya pada dirinya dan Fira. 

Dirinya dan Fira tak lebih hanyalah orang lain di hidup Riza. Ah kalau begini, dinginnya Riza pada mereka jadi terdengar wajar. Riza bersikap dingin pada orang lain. Jadi Riza sudah memperlakukan mereka dengan benar, selayaknya memperlakukan orang lain.

See, dirinya masih saja membenarkan yang tidak lumrah. 

Lalu, Gabriel. Sekali lagi ia bersikap legowo terhadap  apa yang pemuda itu inginkan. Ia menyayangi Gabriel namun Gabriel tampaknya justru menyukai Zaza. Ia lalu memilih menerima dicintai Gabriel sebagai Zaza. Ia tidak menganggap aneh tindakan pemuda itu mendekatinya dan malah memilih melupakan fakta status Gabriel sudah dimiliki lantaran hatinya merasa senang. 

Ia membiarkan saja Gabriel mau seperti apa atau mau 'yang mana' dari dirinya. Toh baginya Zaza atau Via itu sama saja, sama-sama dirinya juga. Tapi sayangnya pemuda itu sekarang justru terkesan mengerikan untuk Via. 

Gabriel sebelumnya punya pacar lalu ditinggalkan karena Zaza. Dalam waktu yang bersamaan, Gabriel juga mendekatinya tapi kemudian memacari Zaza. Tapi setelah itu justru terang-terangan bilang sedang melakukan pendekatan padanya. Dulu ngakunya sudah berpisah tapi yang nampak di matanya sekarang justru pemuda itu bergandengan layaknya pasangan dengan Pricilla.

Ia tidak mengerti ia harus bagaimana sekarang. Haruskah ia marah? Pada Riza? Tapi bukannya sikap pria itu sudah sewajarnya? Pada Gabriel? Memangnya dirinya sudah resmi menjadi siapanya pemuda itu sehingga berhak marah? Toh, dirinya dari awal menerima, kan?

Drrt...drrt..
 
Via merasakan getaran tas yang terselip di antara kedua pahanya. Ia memeriksa isi dari benda tersebut dan kemudian mengernyit bingung. Salah satu ponselnya bergetar. Namun hal itu justru terjadi pada ponsel yang seharusnya tidak ada yang menghubungi, kecuali..

Gabriel?

Via mengambil ponsel tersebut dan lantas membuka pesan yang masuk. Ia sudah tidak mengerti lagi. Jelas-jelas pemuda itu tadi melihatnya. Jelas-jelas pemuda itu menyaksikan ketidaknyamanannya. Jelas-jelas pemuda itu menerima ajakan perang dingin darinya. Tapi tebak siapa yang justru Gabriel hubungi?

Zaza.

***

Yang, lusa aku mau ke Bogor. Jalan yuk sebelum aku go?

Pesan tersebut yang mengantarkan Via sampai di toko buku bersejarah bagi Zaza dan Gabriel, saksi bisu terjalinnya hubungan kedua sosok itu sebagai pasangan kekasih. Via hari ini terpaksa menjadi Zaza dan mungkin akan menjadi terakhir kali dirinya bersedia memainkan peran tersebut.

Ia sudah memutuskan untuk mencoba menjadi seperti orang biasanya saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi apatis dan mengikuti saja alur hidup membawanya. Kali ini ia akan menjadi penentu. Ia sudah berbicara terus terang pada Fira kalau dirinya tahu tentang Riza. Meskipun ia tidak meminta sang ibu melakukan apapun. Kalau itu, ia tidak akan ikut campur. Ia hanya ingin Fira tidak khawatir saja jika dirinya tiba-tiba lebih vokal menghadapi Riza.

Sekarang ia ingin meluruskan semua perkara dengan Gabriel. Lebih tepatnya, menyisihkan diri dari area tempat perputaran pemuda itu. Sebut saja, ia ingin Zaza putus dengan Gabriel. Alasannya? Sangat mudah, Men

Lo tau, semenjak mereka pacaran, banyak chat-an nya aja ga sampe semua jari.

Gabriel bahkan tidak lagi meminta bertemu setelah status mereka resmi. Itu juga yang sebelumnya membuat Via sedikit tidak masalah jika Gabriel mendekatinya. Tapi sekarang tidak lagi. Baik Via dan Zaza tidak pantas menerima sikap abu-abu seperti itu. Ia akan benar-benar membebaskan diri dari semua yang berkaitan dengan Gabriel.

"Yang, udah lama?"

Via yang tengah bengong kemudian tersadar kalau sudah ada orang lain yang duduk di depannya. Orang yang sudah ditunggu-tunggu. Orang yang sudah sangat tidak asing namun tetap terasa tidak terlalu ia kenal. Orang yang masih tampan dengan senyumnya seperti biasa.
Siapa lagi kalau bukan Gabriel.

"Lumayan. 15 menit. Cukup sih buat ngabisin mie rebus." Sindir Via halus dengan tampang santai.
Gabriel hanya nyengir dan tidak kelihatan bersalah sama sekali. Memangnya kapan Gabriel pernah merasa bersalah?

Sudah-sudah, cukup basa-basinya. Ia mulai pertunjukannya sekarang.

"Aku pengen ngomong sama kamu, Gab." Tembak Via, kali ini dengan senyum di bibirnya.

Wajah Gabriel seketika berubah. Zaza dan dirinya memanggil satu sama lain dengan cara yang sama. Zaza jarang melakukan kesalahan ketika berbicara dengannya. Dan panggilan 'Gab' dari gadisnya itu pasti bukanlah panggilan tanpa alasan atau bentuk kelupaan Zaza. Apalagi kalimat pembukanya sudah serius begitu. Kata-kata paling menakutkan didengar dalam setiap hubungan.

'Aku pengen ngomong sama kamu'.

Gabriel sudah lebih dulu menanyakan yang Via maksud lewat ekspresinya. Via lantas tersenyum lagi namun dapat pula dikategorikan sebagai ringisan meski tidak begitu kentara.

Via menganggukkan kepalanya pelan sebelum benar-benar mengutarakan apa yang sudah digadang-gadangnya sejak semalam. "Kita putus aja ya." Ujarnya dengan tenang.

Via tak bohong kalau merasa sedih. Dengan berakhirnya drama Zaza dan Gabriel, berakhir juga kesempatannya bisa berhubungan dengan pemuda itu. Setelah ini, benar-benar tidak ada lagi.

Ya Tuhan, ia sungguhan melepas Gabriel. Seolah-olah Gabriel pernah dalam genggamannya saja.
Baru kali ini ia melihat Gabriel terdiam tidak berkutik seperti ini. Baru kali ini ia melihat kepanikan dan ketakutan di wajah pemuda itu. Baru kali ini ia melihat Gabriel terluka. Ckck, sebegitu berartinya Zaza bagi pemuda itu.

"Hubungan kita ini ga jelas, Gab. Aku masih ngerasa kamu tuh orang asing yang tiba-tiba jadi pacarku. Aku masih bingung perasaanku ke kamu itu seperti apa. Aku rasa aku perlu belajar lagi. Jadi, kita sudahin aja yang sudah berjalan." Sambung Via karena Gabriel masih belum luput dari rasa kaget.

"Za, kita ga harus pisah kalo cuma mau lebih kenal satu sama lain. Justru dengan pisah kita makin out of idea tentang satu sama lain." Gabriel akhirnya bersuara. Pemuda itu masih berusaha memperbaiki keadaan.

Via menghela napas lalu menggelengkan kepala. "Aku rasa aku gak bisa, Gab. Di hubungan ini cuma ada kamu, Gab. Nyawaku gak kutemuin di hubungan kita selama ini."

Sama kayak kita, Yel. Antara lo sama gue, rasanya cuma ada gue yang stay. Sementara lo mampir-mampir ke rumah lain.

Gabriel tampak beberapa kali membuka dan menutup mulutnya bergantian. Bibirnya tampak berkomat-kamit namun tak ada satu pun kata yang keluar. Ini yang disebut kehabisan kata-kata. 

"Yang kamu harus ingat, aku gak pernah mainin kamu. I've really tried but my heart didn't get excited. Aku minta maaf." Tutup Via. Ia sejenak menunggu Gabriel namun tampaknya pemuda itu tidak akan mengeluarkan suara untuk beberapa saat ke depan.

Via berdiri dari duduknya dan memutuskan beranjak pergi. Namun, baru sekitar 3 langkah jauhnya, Gabriel akhirnya menyahut.

"Gue tau kalo lo itu sebenernya—" 

Sayangnya di saat Gabriel sudah bisa menggunakan lidahnya untuk berbicara, kata-katanya harus terpotong oleh orang lain yang menyapa Via. 

Ulangi. Menyapa V-I-A.

"Via? Iya bener, lo Via, kan?" 

Via membelalakkan mata manakala dirinya dikenali oleh seorang gadis yang merupakan teman sekelasnya di sekolah. Keningnya lantas terasa basah sekarang.

"L—lo kok bisa tau?" Via terperangah hingga ucapannya menjadi terbata-bata.

Sang teman justru berjengit heran. "Lah, muka lo jelas gini gimana bisa ga kenal? Lo ngapain pake wig segala? Lo cosplayer emangnya?" 

Via merasa jantungnya berdebar begitu cepat hingga dadanya terasa penuh. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana kalau Gabriel...tunggu. Jangan-jangan pemuda itu memang sudah tahu kalau...

"Loh, Yel, lo di sini juga? Aaa..paham gue paham. Lo lagi nyamar ya biar gaada yang tau kalian lagi jalan berdua? Lo berdua udah jadian nih?" Gadis tadi mengangguk-anggukkan kepala seolah sudah memahami situasi yang terjadi. Ia balik menggoda pasangan di hadapannya.

Gabriel tahu-tahu sudah berada di samping Via dan menyahut dengan cengiran. "Jangan disebar dulu sih. Doi belum siap pemes nih," Candanya yang benar-benar tidak sesuai kondisi bagi Via. Gadis tadi tertawa kecil lalu kemudian pamit dari hadapan Via dan Gabriel untuk mencari buku karena sebenarnya sedang buru-buru.

Sepeninggal gadis itu, Via masih termangu di tempatnya. Gabriel sesaat memperhatikan Via lalu menghela napas pelan. "Vi?" Panggil pemuda itu.

Via tertawa hambar. Ia memandang Gabriel tak habis pikir. "Vi? Jadi selama ini lo tau siapa gue?" Balasnya diiringi gelengan kepala takjub. Ia menertawai dirinya sendiri yang selama ini merasa sudah berusaha keras dan bekerja semaksimal mungkin memainkan perannya. Nyatanya ia sudah ketahuan bahkan mungkin sejak awal.

"Iya, gue tau." Jawab Gabriel kalem. 

Via benar-benar bertepuk tangan kagum dalam hati dengan acting Gabriel. Ia pikir dia aktrisnya selama ini. Nyatanya dirinya yang sudah ditipu habis-habisan. Ia menatap Gabriel dengan amat kecewa. "Lo siapa sebenernya, Yel?"

Via mengerang dalam hati. Dianggap apa sih dirinya selama ini oleh Gabriel? Pemuda itu tahu selama ini Zaza adalah dirinya namun Gabriel tetap bersikap seolah dirinya benar-benar Zaza seorang. Apa diam-diam Gabriel menertawainya di belakang? Apa dirinya hanya dijadikan sebagai bahan olok-olok?

Gabriel terlalu tahu semua tentang dirinya sementara dirinya seperti tidak tahu apapun tentang pemuda itu.

***

Pulang dari sekolah, Ify langsung bergegas ke rumah dan mempersiapkan beberapa pakaian untuk menginap di Bogor. Ia juga tidak tahu ia dan teman-temannya akan stay di mana nanti. Yang jelas kata Shilla mereka hanya tinggal mengikuti saja.

Sebelum ia keluar dari rumah, tiba-tiba Rio menghubunginya. Ify dengan perasaan tak menentu lantas memilih memeriksa ponselnya sebentar.

'Hati-hati, Fy.'

Pesan Rio padanya. Ia menggigit bibirnya seraya menimang-nimang harus menggubris atau tidak. Ia pada akhirnya menyerah pada keinginan hatinya untuk membalas pesan sang mantan tersebut.

'Iya. Lo ikut?'

Sayang namun sayang, pesannya justru tak dibalas oleh gerangan. Ia menghela napas tak bisa mengelak dari rasa kecewa. Ia masih saja berharap hal yang tinggi. 

Ia lalu beranjak untuk pergi menuju ke rumah Shilla, tempat dirinya dan teman-temannya janji untuk berkumpul. Sesampainya di sana, semua orang di sana justru memandangnya bingung karena dirinya tidak datang seorang diri melainkan bersama Debo. 

Kemarin ketika dalam perjalanan mengantarnya pulang, sebagai informasi kalau pemuda itu sudah menjadi supirnya selama beberapa hari ini, Debo meminta izin untuk ikut serta ke Bogor bersama dirinya dan teman-teman. Ia sebenarnya sangsi namun melihat wajah memelas pemuda itu ia jadi tidak enak menolak. 

"Lo ngapain di sini? Lo ga mungkin ikut kita-kita, kan?" Tukas Agni was-was.

Debo melebarkan cengirannya. "Gue mau jagain Ify." Jawabnya sedikit malu-malu. 

Agni baru saja hendak protes namun lebih dulu disalip oleh kehadiran Chris yang justru lebih membuat terkejut dibanding Debo.

"Pada naik mobil gue semua?" Sapa Chris seraya memandang orang-orang di depannya satu-persatu.
Agni menatap Shilla dengan sebelah alis terangkat, mempertanyakan alasan kehadiran Chris bahkan sampai tawaran pemuda itu pada mereka. Shilla hanya mengangkat tangan seraya menggelengkan kepala mengisyaratkan agar Agni tidak banyak menyuarakan protes.

"Loh lo pacarnya Rio bukan? Rionya ga nganterin lo?" Tanya Chris tanpa pikir panjang.

Seketika air muka Ify berubah keruh. Ia memalingkan wajah ke arah Debo. "Kita pergi pake mobil lo aja boleh ga?" Pintanya seraya memberengut yang justru tampak, selalu sebenarnya, menggemaskan di mata Debo. 

Debo menelan ludah lalu kemudian mengangguk cepat. "Iya iya iya, pake mobil ya, Fy." Bujuknya menenangkan sang gadis pujaan. 

Ify mengambil langkah tanpa pamit hendak beranjak menuju mobil Debo berada yang langsung disusul oleh sang empunya. 

Sementara Agni mengangkat dan mengepal kedua tangannya seraya memandang Chris geram. Chris yang tidak tahu apa-apa lantas memasang tampang polos sembari berharap ada satu dari mereka yang memberikan pencerahan. Shilla lalu mengambil kendali dengan memerintahkan mereka untuk segera berangkat. 

Di dalam mobil, Ify masih memasang wajah sendunya. Ia lesu bukan saja karena pesannya tak dibalas oleh Rio namun juga dipicu oleh postingan terbaru Dea. Beberapa saat lalu sebelum Chris datang, Ify tak pernah luput menaruh fokusnya pada ponsel. Ia tidak bisa menahan untuk tetap menunggu jawaban Rio.

Ia kemudian akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya pada pemuda itu namun secara tidak langsung. Pertanyaannya justru terjawab oleh gambar yang diunggah Dea ke dalam akun sosial medianya.

'Train to Bogor!' 

Berikut keterangan yang terlampir di bawah foto Dea bersama Rio dan..Acha yang muncul di beranda akun Ify. Ify sempat membeku beberapa saat. Ia lagi-lagi tertampar oleh angan-angan dan kali ini baru terasa menyakitkan. Dari semua balasan-balasan pesan Rio, balasan kali ini adalah yang paling greget dan minta ditonjok.

Benar-benar..

"Halo, Ma?"

Lamunan Ify sesaat diusik oleh suara Debo ketika menjawab telepon. Kalau dari panggilan pemuda itu pada penelepon, sepertinya Debo tengah berbicara dengan sang mama. Ia tak lama kemudian kembali menghadap ke depan karena merasa tidak berhak ingin tahu meskipun ia dapat mendengar suara pemuda itu.

"Iya, Ma, tenang aja. Debo bakal hati-hati."

Debo diam sesaat lalu tiba-tiba menoleh pada Ify sekilas. Ify sadar namun tidak begitu peduli. "Ify? Tenang, Ma. Aku jagain Ify bener-bener kok. Dia butuh apa aja aku kasih. Kalo capek, aku suruh tidur. Kalo laper, aku kasih makanan. Kalo dingin, tinggal aku peluk."

Ucapan terakhir Debo membuat Ify menoleh seraya mendelik tajam. Ia menggerakkan bibirnya mengucap protes tanpa suara. "Enak aja!!" Bisiknya tak terima.

Debo hanya balas nyengir tanpa dosa. "Oh iya, daritadi Papa lesu loh, Ma. Mama sih pake segala update sama brondong!"

Ify mendesis sebal lalu memutuskan mengabaikan Debo kembali karena dirinya sudah tidak lagi dijadikan objek pembicaraan. Ia lantas kembali bergumul dengan perasaan galaunya beberapa saat lalu.

"Yaudah, yang bener nanti jalanin project-nya. Jangan sampe gagal. Inget lo, Mama udah bela-belain bikin Papa senewen gegara foto ama brondong."

Ify mengedikkan bahu tak mengerti Debo sedang berbicara apa. Ia lantas memilih mendengarkan lagu menggunakan headset di telinga. Sementara Debo diam tak melerai apa pun yang gadis di sampingnya ingin lakukan.

***

Rombongan Shilla cs akhirnya sampai di rumah Chris setelah menempuh lamanya perjalanan hampir 2 jam. Maklum mereka tidak melewati jalan tol dan terjebak macet. Kedatangan mereka disambut oleh ibu Chris yang sudah lebih dulu berdiri di depan pintu, seperti sudah sejak lama menunggu. 

Ibu Chris tampak begitu sumringah dengan hadirnya Shilla dan kawan-kawan. Wanita itu bahkan memandang keempat anak gadis yang bertamu ke rumahnya dengan terkagum-kagum. Maklum selama ini, satu-satunya gadis yang dibawa Chris ke rumah hanyalah Lala.

Hebat kan, sampai sespesial itu Chris memperlakukan Lala.

Shilla cs mendapat dua kamar sementara Debo yang tidak disangka-sangka ikut terpaksa harus berbagi kamar dengan Chris. Sebagai tamu tak diundang yang tahu diri, Debo menerima apa saja yang ditawarkan padanya.

Shilla menempati kamar bersama Agni sementara di sebelah mereka akan diisi oleh Ify dan Via. Setelah menaruh barang bawaan di dalam kamar, Shilla dan Agni memilih bergabung ke kamar Via dan Ify untuk berbincang santai sekaligus mengistirahatkan badan.

"Bogor euy!" Seru Agni seraya merebahkan diri di kasur yang sudah lebih dulu di tempati Via dan Ify sementara Shilla menyusul kemudian. "Eh Shill, jujur deh. Lo ke sini ga mungkin cuma sekedar nyamperin Alvin kan? Lo pasti ada maksud lain, kan?" Tanyanya kemudian.

Shilla tersenyum seraya mengangguk pelan. "Gue hendak menyelesaikan masalah." Jawabnya dengan bersahaja.

Agni memutar kedua bola matanya, Ify menggelengkan kepala, sementara Via hanya berdecak malas. Mereka sebetulnya tidak perlu sampai repot begini dengan tujuan menemani sang teman mengunjungi pacar kalau hanya sekedar untuk menyelesaikan masalah. 

Masalah antara Alvin dan Shilla bukannya sudah jelas? Alvin selingkuh. Tidak ada alasan yang logis untuk tindakan menyeleweng yang satu itu. Penyelesaiannya hanya ada dua, Shilla memaafkan atau menyudahi. Dan keduanya tidak begitu memerlukan kehadiran Shilla.

Tapi, kalau dipikir-pikir, perjalanan mereka bisa sekaligus liburan singkat sebelum memasuki minggu ujian. Ada sih libur panjang ketika minggu tenang. Tapi ya, minggu tenang mana yang benar-benar menenangkan? Dijamin mereka sama sekali tidak menikmati liburan mereka nanti.

Agni memandang Via yang sejak tadi sedikit kalem. Gadis itu tidak cerewet seperti biasanya. Bahkan di dalam mobil, justru dirinya dan Shilla yang jadi lebih banyak bicara, ditimpali Chris juga tentunya. "Lo kenapa, Vi?"

Via merebahkan dirinya dan berbaring dengan menjadikan paha Ify sebagai alas bantal. Ify membiarkannya tanpa protes namun hanya memandang Via penasaran.

"Gue ketemu sama istri dan anaknya bokap.." 

Oke, mereka sudah pernah dengar cerita Riza memang memiliki istri dan anak lain selain Fira dan Via. Lalu?

"Masih inget Pricilla mantannya Iel? Dia anaknya bokap. Kemaren gue ketemu mereka pas lagi nonton...ada Gabriel juga."

Nah..

"Dunia bener-bener sempit, Men." Seru Agni seraya menggelengkan kepala takjub. 

"Jadi selama ini...Iel tau?" Timpal Shilla kemudian. Ia sama tak menyangkanya dengan Agni.

"Dia bahkan tau kalo gue nyamar jadi Zaza." Lirih Via. Bukan ia sedih. Ia sedih, sih. Cuma sekarang ia hanya masih tidak menyangka saja apa yang sudah Gabriel lakukan padanya. Memikirkan itu membuat perasaannya campur aduk.

Agni, Shilla, dan Ify seketika terdiam. Mereka bingung harus mengatakan apa. Sesaat kemudian mereka bersyukur karena Via tidak lagi memilih kabur seperti sebelumnya. Padahal, kali ini masalah gadis itu terdengar jauh lebih berat dan membuat syok.

Ify memilih diam sembari mengelus kepala Via. Agni dan Shilla mendesah pelan, heran mengapa hidup temannya seberliku ini. Karena tak ingin membuat Via makin teringat dengan kesedihannya, mereka lantas berpaling pada Ify. 

"Rio masih ngehubungin lo, Fy?" Alih Shilla.

Mendengar nama Rio lagi-lagi membuat Ify memberengut. Iya mengangguk dengan lesu seraya mendesah pelan. "Dia chat gue tiap malem tapi kalo ketemu kayak gak kenal."

Dari bawah, Via menjulurkan tangannya menggapai sebelah wajah Ify dan menepuknya pelan seolah memberi semangat tanpa kata-kata. Sementara Shilla yang bertanya menjadi kesal sendiri mengetahui Rio kembali bersikap menyebalkan dan mempermainkan sahabatnya.

Duh, kenapa para lelaki di sekitar mereka sialan semua?

"Yaudah, mulai sekarang gausah lo tanggepin. Atau lo bilang aja langsung lo gamau dia hubungin lagi." Usul Shilla.

Ify justru makin memberengut mendengar ucapannya. Kalau ia sudah move on sih, ia juga mau benar-benar menyingkirkan Rio dari sekitarnya. Masalahnya, ia masih dengan lugunya mengharapkan pemuda itu. 

Dering ponsel Agni menginterupsi cuap-cuap seru mereka. Agni memeriksa siapa yang menghubunginya sebelum menerima panggilan yang masuk tersebut. 

"Halo?" 

Agni diam beberapa saat sementara ketiga temannya dengan sabar menunggunya selesai. "Baru nyampe, sih. Emang mau ke mana?"

Agni yang tadi berbaring kemudian mendudukkan dirinya seraya bersandar pada kepala ranjang. "Yaudah ketemuan di sana aja biar ga ribet. Oke."

Via, Shilla, dan Ify tak putus menatap Agni hingga gadis itu selesai dengan ponselnya dan balas memandang ke arah mereka satu per satu. "Cakka. Ngajak ketemu." Katanya tanpa perlu ditanya langsung.

Ify membulatkan mulutnya, Via menganggukkan kepala, sementara Shilla mengerling jahil ke arah Agni. Shilla juga menyenggol kaki Agni beberapa kali berniat menggoda gadis itu. "Caelah yang langsung diajak jalan. Kayaknya yang beneran punya acara lo deh. Gue mencium bau-bau traktiran gitu."

"Bogor penyatu cinta.." Timpal Via dengan cara bicara dilebih-lebihkan.

Agni merasa rambut-rambut halus di kulitnya berdiri karena merinding. Entah kenapa konsep romansa begitu mengerikan dan menjijikkan dalam benaknya. Mengetahui kalau dirinya mungkin saja benar-benar mengalami itu membuatnya takut sendiri. 

Agni memukul pelan Shilla dan Via dengan guling, mencegah kedua gadis itu berbicara makin aneh lagi. "Jangan ngomongin itu deh. Mendadak geli gue." Keluhnya. 

"Geli-geli enak," Tahu-tahu Ify menyeletuk yang tidak sesuai dengan tampang polosnya.

"Eh Ify gaboleh gitu. Stick to your character, ya. Lo jadi Ify yang kyot-kyot aja." Halau Shilla dengan lemah lembut.

Ify mengedipkan mata cepat seraya bergantian menatap Shilla dan Agni. "Tapi Agni sering ngomong gitu?" Protesnya masih sama polosnya dengan sebelumnya. 

Agni menepuk keningnya mendadak merasa bersalah nyaris menyesatkan sang teman yang teramat lurus. "Yang konsep 'rusak' biar gue aja ya, Fy. Lo jangan ya." Gantian dirinya yang memberi arahan dengan sabar pada Ify.

"Ah mending lo bantuin gue minta tolong Debo nganterin gue atau kalo enggak gue minjem mobilnya bentar, Fy!" Usul Agni kemudian. 

Shilla kemudian menyahut. "Gue juga siap-siap ketemu Alvin, deh. Lo mau ikut gue atau Agni ga, Vi?" 

Via berpikir sejenak lalu menggelengkan kepala. Ia memilih tidur saja untuk beberapa saat ke depan. "Gue di sini aja pengen molor." Tolaknya.

Ketiga teman-temannya serentak menghunus tatapan was-was padanya. "Gapake tiba-tiba kabur lagi ya, Vi?" Wanti Agni.

Via memutar kedua bola matanya jengah namun tersenyum tipis. "Iya."

***

Febby tidak pulang sejak semalam. Alvin tidak tahu apakah gadis itu kemarin masuk sekolah atau tidak. Yang jelas kini ibunya merutu tak habis-habis padanya karena tidak 'memperhatikan' Febby dengan benar. 

Untuk kali ini ia tidak merasa kesal pada ibunya ketika ditodong soal Febby. Ia justru ikut merasa khawatir. Terlebih ia juga merasa bersalah pada Febby karena sudah menyalahkan dan menghakimi gadis itu seenaknya. Ia jadi berpikiran kalau Febby sengaja kabur karena dirinya.

Ia sudah mencoba menghubungi namun tidak ada pesan yang dibalas atau panggilan yang dijawab. Bodohnya ia masih keras kepala tidak mencari Febby tadi saat di sekolah untuk memeriksa apakah gadis itu benar-benar hilang atau sengaja menghindarinya. 

Kegundahannya tersebut harus teralihkan sejenak ketika mendapat pesan dari Shilla. Gadisnya yang telah lama dirindukannya tersebut akhirnya memberi kabar bahwa dia telah sampai di kota tempatnya tinggal. Yang lebih mengejutkan, Shilla bilang kalau gadis itu sedang dalam perjalanan ke rumahnya.

Tidak, tidak. Sekarang benar-benar bukan saat yang tepat. Hilangnya Febby berhasil membuatnya tidak bisa fokus. Ia takut nanti malah membuat hubungannya dengan Shilla semakin kacau dan berakhir dengan gadisnya mengucap perpisahan.

Astaga, itu adalah gagasan paling mengerikan yang pernah ada. Jangan sampai, jangan sampai.
Sementara itu di tempat lain, Shilla justru mengernyit bingung karena Alvin tidak kunjung memberikan tanggapan. Chris di sampingnya ikut-ikutan memandangnya bingung. 

"Kenapa?" Tanya Chris penasaran.

Kepala Shilla bergerak miring ke kiri-kanan bergantian karena dirinya sedang mempertimbangkan sesuatu. "Apa gue telfon langsung aja ya?" Tanyanya pada diri sendiri yang sekaligus mengabaikan pertanyaan Chris. Chris hanya diam menunggu sampai Shilla mau menjelaskan kepadanya.

Shilla akhirnya memutuskan menghubungi Alvin langsung. Cukup lama ia harus mendengar nada sambung dari ponselnya hingga akhirnya suara orang yang ia nanti-nanti mengalun indah di telinganya.

"Halo, Sipit? Gue otw ke rumah. Lo ada di rumah, kan?" Sapanya langsung tanpa basa-basi.

Di seberang sana Alvin mondar-mandir dengan salah satu tangan berulangkali menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. "Cantik, maafin gue. Tapi..Febby ga pulang dari semalem. Orang rumah lagi panik. Gue..uhm..gue..aduh gue—"

Tubuh Shilla seketika terasa lunglai. Ia yang tadi duduk dengan tegap langsung begitu saja bersandar pada badan jok. Hatinya mencelos mengetahui kalau ia memang benar-benar mewujudkan rencana aslinya. Ia sempat berharap menemukan alasan untuk berhenti namun nyatanya Alvin justru mendorongnya untuk segera melakukan apa yang ingin dirinya lakukan. 

Shilla mengamati pemandangan dari jendela tanpa niat. Ia mendesah lemah berusaha menyingkirkan penat yang mendadak menerjang. Walaupun usahanya tidak ada guna sama sekali. "Oke, gue ngerti. Semoga cepet ketemu."

Shilla menutup sambungan telepon tanpa menunggu respon Alvin lebih dulu. Bukannya berbicara lebih cepat lebih baik agar dirinya tidak mengganggu kegelisahan pemuda itu?

"Kak, ada tempat bagus ga sih di sini?"

***

Sudah hampir setengah jam lamanya kegiatan yang dilakukan Cakka dan Agni hanya duduk diam di salah satu 'tempat minum kopi' di dalam mall yang mereka kunjungi. Agni makin tidak mengerti tujuan pertemuan mereka kali ini.

Sebelumnya ketika ia bertanya untuk apa Cakka mengajak bertemu, pemuda itu tidak menjawab secara jelas malah memintanya dengan sangat agar datang atau mau dijemput. Namun setelah sampai kemari, Cakka tetap tidak menjelaskan apapun. Pemuda itu hanya bilang ingin bertemu sesorang bersama dirinya.

"A—ga?" 

Hingga akhirnya suara seorang perempuan, dengan atasan kemeja sabrina berwarna putih dengan blush pleated skirt sedikit di atas lutut, mengalihkan fokus Agni dan Cakka. Benar-benar mengalihkan perhatian mereka karena apa yang barusan gadis itu ucapkan. 

"Oik?" Sapa Cakka ragu.

"K—kamu beneran Aga? Ya Tuhan, aku akhirnya beneran ketemu Aga?" Bicara Oik, gadis tadi, terdengar makin antusias. Air mukanya tampak benar-benar menahan haru. Gadis itu bahkan sampai menutup mulutnya kelihatan sangat terkesima.

Agni terdiam di tempat mencoba memahami situasi yang tengah berlangsung di sekitarnya. Barusan gadis tadi memanggil Cakka dengan siapa? Aga? Gadis itu memangnya siapa?

Sementara Cakka masih diliputi rasa kalut. Ia akhirnya bertemu dengan Oik si kandidat Nia waktu itu, yang dibicarakan Chelsea beberapa hari lalu. Ia benar-benar tidak menyangka Oik akan langsung bereaksi seperti ini, akan langsung memanggilnya dengan Aga. Benarkah gadis itu sungguh Nia-nya?

"Akhirnya Aga...akhirnya Nia bisa nemuin Aga. Setelah sekian lama aku nyari kamu, Ga" Ujar Oik lagi.

Agni merasa ada yang memukul gong dengan keras tepat di depan wajahnya. Ia sungguh kaget dengan pernyataan gadis di hadapannya barusan. Bagaimana bisa gadis itu mengaku-ngaku sebagai Nia? Gadis ini sebenarnya siapa? Kenapa dia bisa tahu tentang Aga dan Nia?

Ia juga terperangah dengan terkuaknya sebuah fakta yang telah lama ia curigai. Jadi, Cakka sudah dapat dipastikan adalah Aga. 

"A—aku..kamu Nia..k—kamu.." Cakka kelimpungan menyusun kata-kata yang ingin ia sampaikan. Lebih tepatnya, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Chelsea benar. Ia sepertinya memang telah menjadi pemicu kekacauan.

Agni sudah lepas dari kesiap. Ia sekarang justru menghunus tatapan waspada pada dua orang di depannya, Aga dan Nia? Wah, ini sungguh tidak masuk akal. Kalau gadis ini Nia, lalu dirinya siapa?

Oik meraih tangan Cakka di atas meja dan menggenggamnya erat mencoba memberi tatapan meyakinkan. Agni hanya diam mengawasi dan justru mungkin akan coba mengikuti skema cerita yang tengah berlangsung. Ia penasaran bagaimana akhir dari pertemuan ini.

"Aga, ini beneran Nia. Kamu ga ngenalin aku? Apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya?" Oik merunduk mengeluarkan kalung yang tersembunyi di balik atasan sabrinanya dengan tergesa-gesa. 

"Kalung ini! Kamu masih inget, kan? Satu yang tersisa dari kenangan kamu sama aku. Satu yang bikin aku ga nyerah nyari kamu. Memang ini bukan kalung yang sama dengan yang dikasih ibu. Kalung aku hilang waktu masih di panti. Aku sempet berenti karena aku kira..kamu udah lupa sama aku. Tapi abis itu aku pikir aku tetep harus nemuin kamu. Aku gamau bertanya-tanya sendiri. Aku harus liat langsung apa kamu beneran udah lupain aku atau enggak. Aku seneng ketemu Kak Chelsea yang bisa bikin kalung yang sama persis dan aku lebih ga nyangka ternyata dia kakak kamu. Kamu gatau betapa senengnya aku. Doa-doa aku selama ini akhirnya dijawab sama Tuhan." 

Agni diam-diam memberikan applause sekuat dan sebanyak yang ia bisa dalam hati. Gadis yang mengaku-ngaku sebagai Nia saat ini memainkan perannya dengan sangat apik. Kalau bukan karena dirinya adalah Nia yang asli, ia pasti akan percaya pada semua yang dikatakan si gadis negeri dongeng ini. Ah, mungkin kita sepakati saja memanggilnya gadis pendongeng karena mampu mengisahkan cerita dengan sempurna.

"Aku yakin kalo kita emang udah dijodohin sama Tuhan. Tuhan misahin kita supaya kita tau gimana rasanya tanpa satu sama lain. Tuhan mau kita saling mencari dan akhirnya dipertemukan supaya kita ga terpisah lagi."

"Kkk.." Agni tidak lagi dapat menahan rasa geli dari dalam dirinya. Gadis pendongeng di hadapannya menghayati perannya terlalu dalam hingga menyampaikan ucapan paling klise yang pernah ia dengar. Mau menipu tapi melibatkan Tuhan. 

Scene seperti ini belakangan sering ia saksikan. Bagaimana orang-orang yang merencanakan suatu kejahatan selalu percaya diri kalau Tuhan memihak mereka manakala yang mereka targetkan tercapai. Tapi, apa gadis pendongeng ini bisa dikategorikan sebagai orang jahat? Ia kan belum tahu tujuan dibalik semua bualan gadis tersebut.

Tak disangka-sangka, respon Agni berhasil meraup perhatian sepasang teman yang baru saja melangsungkan pertemuan haru di depannya. Gadis pendongeng alias Oik menoleh padanya lalu kemudian merubah pandangan menjadi tidak suka. Gadis itu bergantian memandangnya dan Cakka.

"Dia..siapa?" Lirih Oik dengan rasa enggan yang terpancar jelas di wajah. 

Sebelum Cakka menjawab, Agni dengan cepat menyela. Kebetulan ia juga sudah bosan kalau kedatangannya kemari hanya untuk menyaksikan dongeng si gadis dan Cakka yang bengong seperti orang bodoh. "Sorry for interfering you, Miss and Gentleman. Tapi gue juga ngerasa ga berkepentingan di sini. Acting lo keren tapi gue ga berniat ngabisin waktu gue buat nyaksiin drama kalian sampe selesai. Jadi Ca—"

"Apa kamu bilang? Siapa yang kamu maksud lagi acting? Kamu mau bilang kalo aku daritadi lagi bohong gitu?" Protes Oik tak terima. Napasnya terdengar sedikit kasar dari sebelumnya.

I'm not saying, B!tch. Agni mendesah pelan. Ia merasa tidak punya waktu untuk ini. Ia baru hendak buka mulut namun gadis pendongeng kembali berbicara.

"Aah..jadi kamu yang ngaku-ngaku sebagai Nia sama Cakka? Kamu punya kalung yang sama kayak kalungku, kan? Cih, kamu bilang aku acting sementara kamu sendiri penipu." Tukas Oik sinis.

Agni menautkan alis mendengar semua sangkaan tak logis dari Oik. Kenapa sekarang mereka saling tuding tipu menipu begini?

Agni memilih mengabaikan tuduhan yang baru saja diarahkan padanya. Ia memandang Cakka tajam meminta pemuda itu untuk memberinya 'pencerahan'. "Jadi, buat apa lo ngajak gue ketemu di sini?" Tembaknya langsung tak mau menunggu lagi.

Cakka terkesiap dan menelan ludah karena gugup. Ia dengan gamblangnya mengundang Agni datang tanpa mempersiapkan penjelasan yang masuk akal. Ia lupa kalau ia berhadapan dengan Agni. Gadis yang tidak mudah untuk dikelabuhi. Gadis yang tidak menerima alibi. 

"Ni, gue—"

"Buat apalagi selain ngebuktiin kalo kamu udah nipu Aga selama ini. Kamu udah pura-pura jadi Nia. Aga mau nunjukin Nia yang sebenarnya di depan kamu." Potong Nia yang sebenarnya, katanya.

Mata Cakka membelalak sempurna. Sekarang benar-benar sakaratul maut untuknya. Ia memang ingin memastikan siapa Nia namun bukan berarti ia menuduh Agni penipu. Ah, tapi apa bisa dirinya membela diri sekarang? Jelas-jelas caranya mempertemukan kedua 'Nia' adalah salah.

"Gue? Nipu? Serius...gue ini yang lagi lo omongin?" Sarkas Agni. Ia kembali tertawa merasa lucu dengan semua yang ia dengar dan saksikan dari awal hingga sekarang.

Meski dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia benar-benar merasa kecewa. Jadi kehadirannya di sini tujuannya untuk diseleksi? Baru kali ini hatinya mencelos mengetahui Cakka mencari 'Nia'. Sejak lama ia menunggu saat seperti ini, saat di mana Aga mengingatnya, namun yang terjadi ternyata tidak seindah yang ia bayangkan. 

Nyesek, anjing!

"Ah, sekalian aja kita buktiin kalung kamu asli atau enggak. Aku tau toko perhiasan deket sini yang pegawainya tau banget soal kalung." Usul Oik.

Agni dengan mulut terbuka tersenyum takjub. "Lo bener-bener penuh persiapan, ya!" Gumamnya. Ia sekali lagi, atau mungkin untuk yang terakhir kali, menoleh pada Cakka. "Setelah lo nemu Nia-Nia lo itu, emangnya lo mau apa, Kka?" 

Dada Agni mendadak terasa berat. Rasanya seluruh udara yang ia hirup tertahan di dalam paru-parunya tanpa bisa menyebar ke seluruh tubuh. Suaranya juga menjadi sedikit tertahan. Sial, ia tidak menyangka akan sesedih ini. Tolong ya, jangan sampai apa yang paling ia takutkan seumur hidupnya terjadi. Menangis karena laki-laki.

"Ni bukan gitu. Gue—"

Untuk kesekian kalinya, ucapan Cakka dipotong oleh Oik yang kelihatan amat menggebu-gebu. "Ya jelas Aga bakal milih sama aku, Nia. Dia bakal menjauh sejauh-jauhnya dari kamu karena kamu bukan siapa-siapa buat Aga. Aku jauh lebih penting dari semua perempuan yang Aga kenal."

Tidak, tidak, tidak. Bukan begini yang Cakka inginkan. Semua orang sudah salah paham sekarang. 'Nia' salah paham dengan niatnya yang kemudian membuat Agni juga salah paham padanya. Demi Tuhan, ia bingung harus bagaimana.

"Fvck, bisa tenang bentar ga sih?" Geram Cakka dengan nada rendah. Suaranya boleh dibilang pelan namun cukup untuk membuat Oik terdiam meski dirinya tidak menatap siapa pun saat berbicara. 

Pandangan Agni menjadi tidak fokus beberapa saat. Ia tidak bisa berlama-lama di sini. Ia tidak akan bertahan untuk beberapa saat ke depan dan ia tidak ingin orang-orang tidak berkepentingan menyaksikan dirinya yang seperti itu. 

Agni tiba-tiba berdiri. Ia menarik napas dalam dan menghembusnya dalam satu hentakan. "Congrats lo udah nemuin Nia lo yang paling berharga, yang selama ini lo tunggu-tunggu. Sorry because she's not me. Gue cuma..Agni. Bukan siapa pun, mulai detik ini. Jangan ajak-ajak gue kalo mau ngadain kuis kayak gini lagi ya. Gue duluan, btw."

Agni melangkah pergi tanpa berbalik barang sedetik pun lagi. Ia berjalan dengan kepastian di setiap langkah yang ia ambil. Ia meraih kalung di lehernya dan menyentaknya dengan kuat. Ia lalu membuang begitu saja benda yang sudah tak berharga untuknya tersebut. 

Tak lama kemudian ia merasa pandangannya buram. Bukan karena tenaganya mendadak hilang dan ia ingin pingsan melainkan karena matanya mulai dilingkupi oleh cairan bening yang kemudian menetes dari sudut kelopaknya. 

"Goddamn, this is just...sick.

***

Untuk pertama kalinya Febby minggat dari sekolah, bersama Goldi lagi. Bahkan pemuda itu yang mengusung ide nakal seperti itu. Dari pagi hingga malam pemuda itu mengajaknya berkeliling ke tempat-tempat yang ia sukai, yang mereka sukai, dan yang belum pernah mereka datangi. Untuk sejenak, Febby ingin menghirup udara kebebasan dunia. Dunia yang selama ini ia lihat selalu tampak pengap dan melelahkan.

Di hari kedua kepergiannya, tiba-tiba Oik menghubungi untuk mengajak bertemu. Gadis itu bilang ada hal penting yang ingin gadis itu sampaikan padanya. Ia sempat berpikiran untuk tidak menggubris sang saudari tersayang sama sekali. Namun, entah mengapa firasatnya mengatakan ia harus bertemu gadis itu.

Ia dengan didampingi Goldi akhirnya datang menemui Oik di sebuah cafe yang sudah mereka sepakati. Ia cukup terkesima mendapati Oik sudah hadir lebih dulu. Dari raut wajahnya, ia dapat melihat betapa senangnya gadis itu. Ia sesaat merasa ada yang tidak beres. Apa gadis itu ternyata memiliki rencana jahat lagi? Apa dirinya akan dijadikan pion lagi oleh sang adik?

"Hai kakakku yang manis. Lama ya ga ketemu? Hai juga calon kakak ipar yang setia." Sapa Oik basa-basi. Febby sudah seringkali mendapati Oik tersenyum padanya. Namun selama ini senyum yang ia lihat hanya kepalsuan belaka atau rasa bahagia ketika dirinya menderita.

Tapi entah kenapa ada yang berbeda dengan senyum gadis itu sekarang. Senyum Oik saat ini tampak...tulus. Hah?

"Ada apa?" Tanya Febby tak mau berlama-lama.

Oik mengedikkan bahu memaklumi ketidaksabaran Febby. Ia kemudian mengambil secarik kertas persegi panjang yang merupakan potret sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dan sepasang anak yang masih kecil. Ia lalu menyodorkannya pada Febby sekaligus Goldi.

Febby memperhatikan foto di depannya lalu kemudian mengernyit bingung. Ia melihat mama dan papa Alvin dalam foto tersebut. Sudah bisa ia pastikan salah satu anak kecil yang ada di sana adalah Alvin. Gadis kecil yang satunya ia tidak tahu siapa namun ia merasa familiar. 

"Ini..keluarga Alvin?" Gumamnya dengan nada bertanya. Ia memandang Oik dengan kening mengerut.

"Ini upah lo atas kerja keras lo selama ini sama gue." Ujar Oik dengan senyum misterius.

Kening Febby makin berlipat mendengar ucapannya. Upah apa? Memang ini berharga untuk apa baginya?

"Itu keluarga kandung lo."

Deg.

Jantung Febby rasanya berhenti bergerak. Bumi tempatnya berpijak seperti tidak lagi memiliki gaya gravitasi. Sesaat pikirannya melayang jauh entah ke mana. Waktu di sekitarnya juga seolah-olah tidak berjalan. 

"Ap—Apa?" Lirihnya masih belum lepas dari rasa kaget. Ia masih tidak yakin dengan apa yang ia dengar barusan. "Se—sejak kapan?"

Oik tersenyum geli seraya memutar kedua bola matanya jengah. "Ya sejak lo lahir lah. Gue nemu foto itu di kamar bokap. Pas gue cari tau ternyata itu foto lo waktu kecil. Makanya, gue nyuruh lo deketin Alvin, deketin saudara kembar lo sendiri." Jelasnya tak kalah mengejutkan dari sebelumnya.

Jemari Febby bergetar hebat. Pupil matanya melebar dan tampak tidak fokus. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Apakah ia harus senang atau sedih? Apakah ia harus berterimakasih pada Oik atau tidak? Apakah ia bisa membenarkan apa yang sudah Oik perbuat padanya selama ini atau tidak? Apakah ia senang mengetahui Alvin ternyata saudara kembarnya atau tidak? Ia tidak bisa menjawab itu semua.

Hingga sebuah genggaman hangat pada tangannya mengembalikan perputaran dunianya seperti semula. Genggaman tersebut seolah memberinya patokan untuk berpijak, pegangan untuk tetap berada di tempatnya, dan kekuatan agar ia tidak goyah. Ia melihat senyum damai Goldi padanya dan seketika segala gundah di hatinya menghilang.

Namun sekarang berganti dengan rasa haru. Ia tak kuasa menahan air matanya di depan pemuda itu karena merasa punya tempat yang layak untuk mengadu. Goldi dengan sigap menariknya dalam pelukan, tak peduli beberapa orang di sekitar cafe menjadikan mereka sebagai objek perhatian.
Dengan luar biasanya Oik memandangi satu per satu manusia yang coba-coba berani memperhatikan mereka dan mendelik tajam pada mereka semua agar berhenti ingin tahu. Setelahnya ia kembali pada Febby yang sudah tampak sedikit lebih tenang.

"See, gue gak sejahat itu. Kalo selama ini gue berlebihan, ya sorry." Katanya dengan teramat santai seraya mengedikkan bahu.

"Kenapa dengan cara gue harus ngancurin hubungan Alvin, sih?" Protes Febby dengan suara serak dan bindeng karena habis menangis.

Oik mendesah pelan dan memasang wajah acuh tak acuh. "Karena dia bisa dengan hebatnya bahagia sama pacarnya dan malah ngelupain adiknya yang hilang. Sebel aja liatnya jadi gue kerjain deh!" Ia menegakkan tubuhnya bersidekap menghadap Febby. "Lagian kan lo jadi bisa deket sama saudara lo sendiri,"

Febby benar-benar tidak mengerti bagaimana perasaannya pada Oik. Ia tidak tahu lagi apakah yang dilakukan gadis itu selama ini adalah sebuah kejahatan atau justru pertolongan. Ia sungguh tidak mengerti. 

Tapi satu yang membuatnya lega. God, gue selama ini gak salah. Alvin selama ini gak salah. Perasaan mereka selama ini tidak salah. Mereka tidak pernah menghianati siapa pun. Alvin tidak pernah menghianati Shilla begitu pula ia terhadap Goldi, meskipun ia tetap salah ketika mencampuri urusan asmara sang kakak atau adik, ia masih belum tahu. Mereka diliputi suatu perasaan asing yang ternyata adalah rasa sayang antar saudara.

"Terus Cakka sama Kiki? Mereka ada hubungannya sama gue juga?" Tanya Febby yang tiba-tiba saja teringat dua laki-laki itu.

Oik kembali menunjukkan senyum misterius. "Kalo itu gue beneran gunain lo. Gue butuh gali informasi dari mereka. Jadi pacar mereka adalah cara yang paling efisien. Itu uhm..urusan gue. Tapi sekarang gue udah ga butuh lo. Tujuan gue udah tercapai." Jelasnya diakhiri dengan seringai girang.

Febby merasa Oik masih punya sebuah rencana khusus namun ia yakin gadis itu tidak akan mau berterus terang padanya. Meskipun sekarang gadis itu sudah berbaik hati padanya. 

"Gue cuma mau nyampein itu aja. Thanks udah bantuin gue selama ini. Gue rasa kita udah gapunya utang satu sama lain. Penderitaan lo udah kebayar kan? Gue harus pergi ke suatu tempat. So, gue duluan. Bye, kakakku sayang!"

Febby tidak membalas apapun pada Oik. Ia hanya memperhatikan raga gadis itu yang perlahan menjauh hingga keluar dari area cafe. Ia kemudian dengan cepat menoleh ke arah Goldi dan tersenyum begitu lebar. Ia meraih kedua tangan pemuda itu untuk ia genggam begitu erat.

"Goldi..aku beneran bukan orang jahat. Aku gak nyakitin siapa pun, Di!" 

***

Ify dan Debo memutuskan kembali ke rumah Chris setelah mengantar Agni ke tempat gadis itu janjian bertemu dengan Cakka. Sama seperti keadaan sebelum-sebelumnya, tidak banyak pembicaraan berarti yang tercipta di antara mereka. 

Hampir semua pembicaraan diinisiasi oleh Debo yang bertanya pada Ify. Ify hanya menjawab seadanya, sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Lama-lama Debo menyerah juga berusaha membangkitkan mood gadis itu. Empunya hati sang gadis bukanlah lawan yang sepadan untuknya. Perasaan yang dibangun gadis pujaannya untuk si pemuda beruntung terlalu kokoh untuk ia robohkan.

Di saat ia sedang melamunkan Ify, ponselnya berbunyi. Ia seketika tersenyum lebar mengetahui siapa yang menghubunginya. "Halo Mamaku sayang!" Sapanya dengan sumringah.

Ify tertarik untuk memperhatikan Debo. Mereka terkesan benar-benar dekat. Hingga hampir di setiap kali ia dalam perjalanan dengan pemuda itu, ibunya tak pernah absen menghubungi. Baru kali ini ia mendadak merasa iri dengan interaksi Debo dengan sang ibu.

"Ini bentar lagi sampe di rumah Bang Chris. 15 menitan lagi lah, Mami." Ujar Debo lagi. 

Tiap kali berbicara dengan ibunya, Ify tidak pernah melihat senyum Debo lepas dari bibirnya. Wajahnya kelihatan begitu antusias. Mungkin kalau Gina masih ada, ia juga bisa sesenang ini. Ah..seketika ia merindukan rumahnya di Jakarta. Ia merindukan Ayahnya, juga Fify.

"Ntar Debo kabarin lagi ya, Ma. Mama ganggu waktu pacaran aku sama Ify nih!" Celetuk Debo.

Ify yang masih dirundung sendu kemudian dalam sekejab merasa kesal. Lagi-lagi Debo berbicara yang tidak-tidak pada mamanya. Memang ya pemuda ini sama sekali tidak bisa diberi peringatan dengan baik-baik. 

"Lo tuh ya gabisa dibilangin!" Gerutu Ify tepat ketika Debo menyimpan kembali ponselnya. 

Debo tidak membalas apapun hanya memajang cengiran tanpa dosanya di depan Ify yang membuat gadis itu menyerah untuk menyuarakan protes. Kemudian tanpa disangka-sangka, Ify mengajaknya bicara.

"Lo deket banget ya sama nyokap lo?" Tanya Ify penasaran.

Debo tersenyum lebar seperti sebelumnya. "Enggak deket-deket juga, sih."

Ify membulatkan mulutnya seraya menganggukkan kepala beberapa kali. Setelah itu, tidak ada lagi yang buka suara. Hingga mereka kemudian berpisah setelah sampai di rumah Chris. Mereka lantas beranjak menuju kamar masing-masing. 

Ify mendapati Via berbaring di atas ranjang namun tidak tampak terlelap. Gadis itu tampaknya tidak benar-benar bisa tidur saat ini. Via yang tadi berbaring memunggungi Ify lantas merebahkan kembali posisinya menghadap temannya yang baru saja datang. 

"Kirain lo bakal nge-date sama Debo." Ujar Via.

Ify memberengut lesu. Ia duduk bersila sambil menunduk. "Vi, gue gagal move on.." Rengeknya sambil menggoyang-goyangkan lengan Via.

Via mendesah berat. Memangnya dirinya berhasil?

"Jangan dipaksa, Fy." Katanya coba memberi saran. Yah..kalau hati belum hendak beranjak untuk apa dipecut untuk lari? Sabar aja, ntar juga lewat, katanya.

Ify kembali mendesah tak bersemangat. "Tapi Rio udah, Vi.." Lirihnya. Ia merasa matanya mulai memerah. 

Via memiringkan tubuhnya, menekuk lengan, dan menyandarkan kepala pada telapak tangan. Ia menatap Ify lalu ikut-ikutan mendesah lemah. "Ya kan kita gabisa ngatur hati orang, Fy. Mau diapain lagi?" Balasnya sehalus yang ia bisa. 

Ck, kasian bat sih kita, Fy.

Masih dirundung gundah gulana, ponsel Ify di dalam tas berbunyi yang menandakan ada sebuah pesan masuk. Ify masih kelewat menghayati perasaan galaunya sehingga tidak memedulikan sama sekali apa yang terjadi pada benda pintar miliknya itu. 

Via yang masih sedikit waras akhirnya mewakili Ify memeriksa ponsel gadis itu. Kedua alisnya seketika terangkat. "Rio bilang 'ikut Fy ini udah di Bogor'. Mau dibales gak?" Tanyanya tanpa repot-repot memperlihatkan pesan tersebut langsung pada Ify. Ia juga berancang-ancang mewakili gadis itu mengetik balasan.

"Mau bales apaan? Orang dia gananya!" Sungut Ify. Rio benar-benar tega. Ia sudah menurunkan gengsi untuk bertanya namun pemuda itu justru hanya memberi informasi yang ia sendiri sudah tau. Bahkan seluruh dunia juga tahu.

Namun entah Rio mendengar gerutuan Ify atau hanya sebuah kebetulan, pemuda itu kembali mengirimkan pesan. Via dengan setia membacakan pesan sang mantan pada Ify. "Rio lagi. 'Lagi ribet, Fy? Gue boleh ngajak jalan ga?'. Asek dah!" Seru Via mendadak bersemangat.

Ify mendadak bengong seperti orang bingung. Kepalanya masih berusaha mencerna ajakan Rio barusan. Rio, akhirnya, mengajaknya pergi bersama pemuda itu? 

Melihat temannya melamun, Via lantas menarik sedikit kuat hidung mancung Ify agar gadis itu sadar. "Giliran ditanya lo malah bengong. Ini nih mungkin kenapa Rio males nanya," Tegurnya tak benar-benar serius.

"Gue mesti gimana?" Cicit Ify. Ia mau, pasti. Tapi, apa akan kelihatan bagus seperti itu? Atau lebih baik ia tolak saja? Kalau setelah ini Rio kembali tidak mengacuhkannya bagaimana? Nanti kalau ia makin susah lupa bagaimana?

"Tinggal jawab boleh atau enggak, Fy." Saran Via yang sama sekali tidak membantu. Kalau pilihan itu Ify juga tahu. 

Via lantas tersenyum geli memandang Ify. "Mana yang bikin hati lo puas aja, Fy. Gausah mikir berat-berat." 

Ify menggigit bibirnya menimang-nimang. Hingga pada akhirnya ia untuk kesekian kalinya bertekuk lutut pada mayoritas suara hatinya.

"Temeniiin.."

***

Mobil Chris yang tadinya melaju dengan tenang tiba-tiba harus berhenti dengan cara yang tidak halus sama sekali. Mobil yang melaju tepat setelah mobil Chris mengerem mendadak karena ada sebuah mobil lain yang melintang di depannya. 

Beruntung refleks Chris benar-benar cepat sehingga kejadian tabrakan beruntun dapat terhindarkan. Meski begitu, pemberhentian yang terjadi lumayan keras hingga membuat tubuh Chris dan Shilla terdorong ke depan lalu menghantam jok dengan kuat. Meskipun dasar jok tidak keras namun tetap cukup membuat badan dan khususnya kepala mereka merasakan pegal.

Napas keduanya sama-sama memburu. Keduanya masih syok dengan apa yang barusan terjadi. Chris melepas sabuk pengaman yang juga telah menjadi penyelamatnya demi melapangkan gerak dadanya. Setelah kesadarannya terkumpul, ia lekas menoleh pada Shilla dan mendapati wajah gadis itu masih memucat.

Chris dengan sigap melepas sabuk pengaman Shilla karena sepertinya gadis itu masih syok. Ia meraih wajah gadis itu dan berusaha mencapai pandangannya agar gerangan sadar. "Shill! Shill! Lo gakpapa?" Panggilnya berulang-ulang.

Suara Chris berhasil mengembalikan pikiran Shilla. Ia menutup mata seraya menghela napas panjang disertai dengan anggukan kepala. Chris sesaat merasa lega melihat itu.

Namun kejutan untuk mereka belum selesai sampai di sana. Keributan terjadi di depan mereka. Chris dan Shilla sekarang menyaksikan beberapa orang berperawakan menyeramkan layaknya preman keluar dari sebuah mobil voxy, mobil yang melintang yang menjadi penyebab nyaris timbulnya kecelakaan sebelumnya, menghampiri si empunya mobil di depan mereka.

Seorang pemuda keluar dan mencoba melakukan perlawanan namun kemudian dengan mudah ditumbangkan oleh salah satu orang-orang yang menghampirinya. Selanjutnya dari pintu sisi kiri, seorang gadis ditarik paksa keluar dan kemudian pingsan setelah orang yang menariknya memukulnya di bagian leher.

Chris dan Shilla tanpa pikir panjang keluar dan mencoba menyelamatkan dua orang yang diduga akan diculik tersebut. Shilla dapat mencuri pandang wajah sang gadis dan seketika matanya membelalak.

Itu Febby!

Sayangnya mereka terlambat karena orang-orang tersebut sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan mengunci pintu. Mobil tersebut bahkan langsung melaju dengan cepat. Chris menajamkan mata dan berusaha mengingat nomor plat yang terdapat di bagian belakang. Ia segera meraih ponselnya dan menyimpan nomor tersebut dalam notes.

Ia segera memanggil Shilla untuk kembali ke mobil. Mereka tidak mungkin hanya mengandalkan polisi. Setidaknya mereka harus mengikuti mobil sang penculik tadi sejauh mungkin. 

"I—itu Febby, Kak. Itu Febby!" Seru Shilla dengan nada panik.

Chris yang sama paniknya balas bertanya karena tidak mengerti. "Siapa?" Sahutnya ngos-ngosan. Ketika nyaris tabrakan tadi saja napas mereka belum kembali normal dan setelahnya mereka harus mengejar penculik. 

Shilla menelan ludah karena tenggorokannya terasa kering karena terus-terusan dilewati udara dengan cepat. "Dia..hh..dia cewek itu." Jawabnya tersirat. 

Chris mengernyit karena benar-benar tak berniat untuk berpikir keras. "Siapa, sih?!" Tanyanya kesal.
Shilla mendengus keras. "Cewek lain yang disukain sama Alvin, Kak. She's 'that' girl."

***

"Gue sama Debo nunggu di mobil aja ya, Fy. Ntar kalo udah ketemu Rio kabarin biar gue pulang." Aba-aba Via.

Bersama Debo dan Via, Ify akhirnya pergi menuju taman tempat Rio akan menjemputnya. Ia mengangguk patuh pada Via dan segera turun dari mobil. Kakinya melangkah memasuki taman yang entah kenapa malah tampak seram di matanya. 

Taman tersebut benar-benar sepi. Mengingat ada Via dan Debo yang menunggunya menjadi satu-satunya kekuatan yang membuatnya berani melangkahkan kaki memasuki area taman lebih dalam.

Alangkah terkejutnya ia justru mendapati Dea berdiri menghadapnya dengan senyum sinis di wajah. Gadis itu tampaknya sudah menunggunya sejak lama. Dea berdiri dengan kedua tangan disilangkan di belakang badan. 

"Kamu..ngapain di sini?" Ify tidak bisa menanyakan hal lain selain kepentingan gadis di hadapannya di tempat ia janjian bersama Rio. Astaga apa jangan-jangan yang janjian dengannya sekarang adalah..

"Bukannya kita udah janjian ketemu?" Balas Dea dengan seringai puas yang sumpah demi apapun begitu menyeramkan.

Ify seketika teringat akan kata-kata Angel dulu. Dea itu 'sakit', Fy. Lo harus hati-hati. Ya Tuhan, ia menyesal kenapa baru mengamininya sekarang. Ludahnya mendadak menjadi lebih sulit ditelan.

Ify hendak berbalik namun Dea lekas menahannya dengan kembali memanggil namanya. 

"KakFy..takut?" Tanya Dea dengan suara rendah. 

Ify mencoba mengatur napasnya agar tidak memburu. Ia harus tenang. Ia tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya pada Dea, khususnya saat ini. Ia tidak boleh membiarkan gadis itu merasa menang atas dirinya. Gadis itu berhak tahu kalau ia bisa tidak takut. Ia justru malas dengan gadis itu.

Ify berbalik badan dan mendengus pelan. "Kamu mau apalagi?" Tanyanya setenang suasana ujian.

Air muka Dea dalam sekejab berubah marah. Matanya menyala menatap Ify dengan penuh benci. "Kenapa KakFy masih aja deketin KakYo?! KakFy ga sadar sekarang udah ada KakCha? Harusnya KakFy pergi jauh-jauh dari KakYo!"

Ify diam-diam menarik napas panjang dan menghembusnya perlahan. "Memangnya Kak Acha siapa? Dia cuma masa lalu Rio. Memangnya kamu siapa? Kamu bukan siapa-siapa, De." Balasnya tak kalah tajam namun masih tampak tenang.

Dea menghentakkan salah satu kakinya dengan keras. Gadis itu kelihatan benar-benar kesal. Ify memutuskan mundur satu langkah untuk berjaga-jaga. 

"KakYo itu gasuka sama KakFy. Dia cuma kasian karena papa KakFy dirawat di rumah sakit. KakFy yang selalu mau nempel sama KakYo. KakFy terus-terusan ngehubungin KakYo tiap hari. KakFy itu parasit tau gak?!" 

Ify banyak-banyak mengucap sabar dalam hati. Andai saja tinjunya sekuat Agni, ia tidak akan ragu-ragu mengayunkannya ke wajah Dea. Sayangnya, tangannya terlalu ringkih. Justru dirinya yang nanti akan merasakan sakit di tangan. Lagipula, ia juga tidak begitu tega.

"Tapi parasit kayak kakak yang disayang sama Rio. Kasian kamu, permata gak bernilai." Kalau saat ini ketiga temannya menyaksikan, mereka pasti akan bertepuk tangan hingga jungkir balik mendengar apa yang barusan ia ucapkan. Ia sendiri bahkan takjub. Apa tempat yang didatanginya ini benar-benar berpenghuni? Dan salah satu dari mereka sedang merasuki diri Ify?

Dea seketika histeris. "Apa kakak bilang?!!" Pekiknya hingga membuat Ify berjengit kaget.

Ify sekali lagi mencoba mengatur napasnya agar kembali pada ritme normal. Ia lalu menatap Dea intens. "Selama ini yang gangguin aku itu kamu, kan? Kamu yang ngasih aku kiriman ular, nyekap aku di sekolah, ngancem dan nyebarin rahasia Kak Angel, ngehasut anggota Cheers buat nurunin sekaligus musuhin aku. Iya, kan?"

Dea diam sesaat lalu kemudian menyunggingkan senyum miring. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi seraya menjawab dengan nada puas. "Iya. Iya! IYA! Itu semua karena aku. Karena aku mau ngelindungin KakYo dari parasit yang terobsesi sama dia, kayak KakFy!"

Nyaris saja tawa Ify mengudara. Kalau ia tidak ingat situasi saat ini benar-benar riskan. Entah kenapa ia jadi curiga apa yang disembunyikan Dea dibalik badannya. Tidak ada yang tahu. Bisa ada, bisa juga tidak. Hanya saja, saat ini ia memilih percaya pada kemungkinan terburuk.

Namun tak dapat ditampik kalau Dea memang seperti tengah melucu. Bagaimana bisa gadis itu menuduhnya terobsesi sementara gebrakan yang ia buat hanyalah sekedar membalas apa yang Rio lakukan? Sementara gadis itu sendiri berkecimpung dalam skema-skema licik hanya untuk menjaga Rio.

"Seenggaknya aku gak kriminal kayak kamu." Tukas Ify telak. 

Bingo!

Kata-kata Ify berhasil membuat aura Dea berubah. Ia tidak bangga sama sekali. Ia justru menyesal kenapa terlalu jujur seperti itu. Kini ia menjadi makin was-was pada apa yang akan Dea lakukan.

Benar saja. Dea akhinya melepas tautan tangannya. Ify seketika membelalak ketika ia melihat sebuah pisau kecil tergenggam di salah satunya. Ia menelan ludah getir. Pelipisnya juga terasa mulai lembab oleh keringat. 

Dea tidak serius, kan? Dia tidak mungkin benar-benar...

"Aku udah feeling dari awal kalo KakFy itu gak bisa diperingatin baik-baik. KakFy masih aja gangguin KakYo di saat KakYo sekarang udah sama KakCha lagi. Aku gaakan biarin orang yang mau menghancurkan hubungan KakYo dan KakCha berkeliaran sesukanya. KakFy harus bener-bener dikasih tau!"

Kombinasi antara ketakutan Ify yang menjalar dari kepala sampai kaki dan gesitnya gerakan Dea membuatnya tidak sempat berinisiatif apalagi memiliki gagasan untuk menghindar. Ia merasa tubuhnya terdorong ke samping hingga terduduk di tanah berumput.

Akan tetapi, Ify sama sekali tidak merasakan apapun menyentuh bagian tubuhnya. Ketika sebuah teriakan keras menggema di telinganya, barulah ia sadar ada seseorang yang telah menggantikan posisinya sebagai sasaran Dea. Dia..

"AAA! K—Kak—KAK RIO!!" Dea berteriak histeris ketika pisau miliknya tertancap sempurna di perut Rio sebelah kiri bagian bawah. Dea seketika berdiri kaku dengan tangan bergetar dan wajah begitu panik. Ia berkali-kali menggelengkan kepala. Sementara Rio menyusul jatuh terduduk di atas rerumputan di dekat Ify. 

"RIO! RIO!" Kini Ify yang memekik tak karuan. Ia terburu-buru mendekati Rio yang terbaring menahan sakit dan memegang perutnya yang masih tertancap pisau. Air mata Ify sudah tidak perlu diragukan kehadirannya. 

Beberapa laki-laki berbaju putih seperti perawat rumah sakit kemudian menghampiri Dea dan langsung mengasingkan gadis itu. Gadis itu tampak tidak berontak sama sekali. Mungkin masih sama syoknya dengan Ify.

Bibir Ify gemetaran. Jantungnya berdenyut tak terkira. Ia memandang wajah Rio yang kini justru tersenyum menatapnya. Tatapan lembut pemuda itu yang biasa ditujukan padanya dapat kembali ia lihat. Hal itu justru membuat laju air mata Ify semakin deras.

"Rio.." Lirih Ify tak kuasa. Ia meraih kepala dan tubuh bagian atas Rio agar bersandar di pahanya. Dengan tangannya yang sudah terasa amat dingin, ia meraih sebelah wajah pemuda yang sampai kini masih dicintainya itu.

"Udah selesai, Fy..Semuanya udah selesai.." Bisik Rio yang tampak begitu lega.

***

Hayo, masih kesel ama babang Rio? 🙈

Ini ngetik ampe lengan pegel kayak kena DBD, tapi words yang jadi ga seberapa. Nyesek bosque😔

Next part agak lebih sabar ya (kalo jadi pembaca gue mah emang musti banyak-banyak sabar haha), gue kayaknya ada presentasi jadi mesti nyiapin gitu2. Mohon dimaklumi sodara sodara. Doakan juga semoga lancar😇


Tidak ada komentar:

Posting Komentar