Semenjak
ucapan Cakka mengenai Kiki, perasaan Agni pada Kiki berubah aneh. Ia selalu
merasa canggung dan grogi tiap kali Kiki ada di dekatnya, apalagi mengajaknya
bicara. Sampai-sampai ia tidak memperbolehkan Kiki masuk ke dalam kamar, meski
tidak secara langsung.
Ia hanya
mengunci pintu saat masuk ke kamar. Alasannya ia ingin tidur dan tidak ingin
diganggu. Tidak bohong memang kalau ia ingin tidur. Tapi, alih-alih tidur,
menutup mata saja ia tidak bisa. Ia terus memikirkan hubungannya dengan Kiki.
Ia yakin setelah ini ia pasti tidak akan bersikap seperti biasa pada Kiki.
Namun, ia
tidak ingin Kiki menyadari perubahan dalam dirinya. Ia tidak ingin Kiki
bertanya. Ia tidak ingin Kiki tersinggung. Ia tidak ingin Kiki juga sadar kalau
mereka berdua tetaplah dua orang asing. Dan, entah firasat ini datang dari
mana, ia takut Kiki akan merasakan yang lain padanya.
Jatuh
cinta misalnya. Karena ia tidak akan bisa membalas perasaan pemuda itu. Ia
tidak ingin Kiki merasakan kesedihan karena cinta tak terbalas. Ia akan merasa
sangat bersalah dan tidak tahu diri karena Kiki dan keluarganya sudah terlalu
baik padanya.
“Katanya
mau tidur?” celetuk Kiki yang tiba-tiba muncul di samping tempat tidurnya.
Agni
langsung bangun dari tidurnya. “Kok lo bisa masuk?” tanyanya kaget. Kiki
menunjuk kamar mandi kamarnya dengan dagu. Agni lantas menepuk kepalanya. Baru
ingat kalau ada connecting door di
kamar mandinya dengan kamar sebelah yang tak lain kamar Kiki. Kiki pasti masuk
ke dalam kamarnya dengan itu.
“Lo kenapa
mendadak ngunci diri di kamar dan malah uring-uringan?” tanya Kiki yang sudah
mengambil tempat di atas kasur. Agni memandang Kiki lalu menghela napas. Ia
harus bilang apa? Pikirnya.
“Yee..malah
bengong!” Tegur Kiki karena merasa diabaikan.
“Gue..cuma
lagi mikir aja.” Agni akhirnya menjawab walau tak yakin.
Kiki
mengerutkan dahi menunggu ucapannya kembali. “Gimana ya kalo misalnya di antara
kita ada yang jatuh cinta?” sambungnya kemudian seraya memandang Kiki. Hanya
sebentar karena setelahnya ia memalingkan wajahnya ke arah lain.
Kiki
terkejut bukan main mendengar itu. Kenapa Agni sampai bisa berbicara begitu?
Apa Agni tahu soal perasaannya? Atau ada seseorang yang memberi tahu? Ia terus
bertanya-tanya hingga tiba-tiba muncul sebuah jawaban yang menurutnya amat
pasti.
Cakka!
“Cakka!”
desisnya tanpa sadar.
Agni
langsung menoleh penasaran. “Kenapa sama Cakka?”
“Cakka
pasti ngomong aneh-aneh sama lo kan?” tanya Kiki seraya menaikkan satu alisnya
curiga.
Agni
berkedip cepat beberapa kali dan mengangguk jujur. “Kok lo tau?”
Tampang
Kiki seketika berubah malas. “Ya kalo gak, mana mungkin lo tiba-tiba mikir gitu.”
Agni hanya
meringis lalu menunduk. Tiba-tiba ia merasa malu karena sempat berpikiran ‘aneh’
setelah melihat reaksi Kiki saat ini. Jelas-jelas yang ia pikirkan itu tidak
masuk akal dan tidak penting juga. “Iya, ya. Ngapain juga gue mikirin gituan? Ckckck.”
Katanya seraya tergelak ringan.
“Tapi,
kalo misalnya kejadian, menurut lo gimana?” tanya Kiki tiba-tiba, yang membuat
jantung Agni hampir copot saat itu juga.
“Hah?
Me—menurut gue gimana apanya?” Sahutnya gelagapan. Kiki tidak sedang bertanya
serius, kan?
Benar
saja, Kiki mendadak tertawa. Ia diam-diam mendesah lega. Yah, setidaknya saat
ini Kiki tidak serius dan ia tidak harus menjawab.
“Becanda,
Ni. Lo serius banget!” Tukas Kiki.
Agni
mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum. “Tadi kan gue udah bilang gue lagi
mikirin itu. Lo malah nanya yang enggak-enggak, ya gue panik dong!” Katanya
membela diri.
“Ya gak
mungkinlah di antara kita ada yang jatuh cinta. Lo itu adek gue, Ni. Gue
bener-bener mencurahkan semua perasaan gue ke lo sebagai kakak ke adeknya. Gue
sayang banget sama lo. Gue ga mungkin nyakitin lo dengan mendem perasaan
lebih.” Ucapan Kiki diakhiri dengan tepukan pelan di kepala Agni.
Sekali
lagi Agni menghela napas lega. Kata-kata Kiki bagaikan oase dalam dadanya. Ia
lantas memeluk pemuda itu. “Gue lega banget dengernya, Kak. Tau gak, gue tadi
berpikiran lo bakal jatuh cinta sama gue. Ckckck, aneh banget emang.”
Kiki hanya
diam membalas pelukannya seraya tersenyum pahit, terutama setelah mendengar
kata-kata Agni terakhir kali. Benar-benar menyakitkan hatinya. Mengetahui Agni
yang dengan lantang mengatakan tidak ingin bahkan takut ia sampai jatuh cinta
padanya benar-benar sebuah hal yang luar biasa menyakitkan. Lalu, harus ia
apakan perasaannya saat ini?
Cakka oh
Cakka!
***
Duk..duk..
Benda
oranye yang sedaritadi memantul di lantai itu akhirnya melayang hingga masuk ke
dalam ring dengan indah. Orang-orang yang menonton di pinggiran lapangan
langsung bertepuk tangan dan berseru.
Cakka yang
ikut andil dalam permainan tiba-tiba terpaksa berhenti karena ia diteriaki dari
pinggir lapangan. Katanya ada seseorang yang ingin bertemu dengannya dan orang
tersebut menunggunya di parkiran. Ia sedikit banyak merutu dongkol dalam hati.
Kenapa lagi dirinya yang harus datang menemui orang itu? Seperti dirinya saja
yang butuh. Pikirnya.
Cakka
menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang yang sedang berdiri di
belakang sebuah mobil sambil bersedekap ke arahnya. Ia lantas melengos malas.
Kalau ia tahu dia yang ingin bertemu dengannya, mending ia tidak usah
repot-repot kemari.
Kiki,
orang yang hendak bertemu dengan Cakka itu, berjalan mendekat ke arah Cakka.
Cakka diam tanpa mengucapkan apapun. Biar saja Kiki mengatakan sendiri
maksudnya tanpa harus ia bertanya.
Tapi
tiba-tiba, Kiki melayangkan tinjunya ke wajahnya yang mengakibatkan sudut
bibirnya sedikit berdarah dan terasa nyeri.
“Lo lupa
minum obat, huh?” Hardik Cakka sambil memegangi pipinya.
Kiki
mengangkat tangannya kembali berancang-ancang melayangkan tinjunya lagi. Cakka
menegakkan wajahnya memasang wajah menantang sambil menepuk pipinya. “Belum
puas? Nih, belum kena, nih! Pukul aja!” katanya.
Kiki
lantas dengan kesal menurunkan tangannya. Cakka tersenyum sinis padanya.
“Ngomong apa lo sama Agni?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Cakka
membuang ludahnya yang bercampur sedikit darah. Ia mulai merasa sedikit amis di
dalam mulutnya. “Kenapa emangnya?”
“Lo pasti
ngeracunin pikiran dia tentang gue, kan?” Kiki mengepal tangannya geram.
Cakka
hanya menaikkan alis memandangnya. “Gue cuma gak mau ngebiarin dia dibodohin
terus-terusan sama lo. Gue gak mau lo terus-terusan manfaatin status lo berdua
buat kepentingan lo sendiri.”
“Agni
selama ini ga pernah ngerasa gue bodohin atau manfaatin.” Bantah Kiki dengan
penuh keyakinan.
Namun,
Cakka tidak akan berhenti begitu saja. “Itu karena dia sayang sama lo,
menghormati lo sebagai kakaknya. Tapi lo dengan picik memanfaatkan semua
perlakuan dia ke elo. Lo gak pernah tulus sama dia, sebagai KAKAKnya.”
Kali ini
Kiki yang tertawa sinis. “Gak tulus kata lo? Bahkan kalo dibandingin, perasaan
gue ke dia jauh lebih besar daripada perasaan lo ke dia.”
Cakka
tampak tidak terpengaruh. Ekspresinya tetap tenang meskipun tengah menahan
kedutan di sudut bibir dan pipinya. “Gue gak ngeraguin perasaan lo. Gue cuma
ngeraguin sikap lo. Selama ini Agni gak pernah ngeliat bener-bener apa arti
semua sikap lo ke dia. Karena dia gak pernah curiga sama lo. Karena dia pikir
lo itu bener-bener bersikap sebagai kakak buat dia. Tapi enggak kan buat lo?”
Kiki diam
tanpa bisa membantah. Kata-kata Cakka memang ada benarnya dan ia tidak bisa
berkata tidak untuk semua yang pemuda itu ucapkan.
Cakka
melihat itu lalu mendesah pelan. “Awalnya gue respect sama lo, sama perasaan lo. Gue gak akan masalah kalo dia
juga punya perasaan yang sama kayak lo. Tapi, dia gak punya perasaan yang sama.
Setelah ngeliat dan tau lo manfaatin dia, manfaatin status kalian lebih
tepatnya, gue rasa lo gak pantes jadi saingan gue.” Cakka berbalik dan berjalan
pergi tanpa menunggu Kiki menanggapinya. Mudah-mudahan saja pemuda itu menyimak
baik-baik kata-katanya.
Kiki masih
setia dalam diam. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sambil memikirkan apa
yang baru saja Cakka ucapkan. Kalau dipikir-pikir, bisakah dirinya membedakan
kapan dirinya bersikap sebagai kakak dan seseorang yang menyukai gadisnya?
Jawabannya sudah jelas tidak. Dan disitulah dirinya merasa menjadi laki-laki
paling brengsek yang pernah ada untuk Agni.
.
***
“Nia..”
Nia tengah menggosok-gosok sepatu
ketsnya yang sudah menguning dengan bros yang sudah diberi sabun. Ia tahu
usahanya ini tidak akan merubah warna kuning di sepatunya. Ia hanya berusaha
membuatnya tetap bersih. Maklum, sepatu ini memang sudah lama sekali ia beli.
Ibu asuh mereka membelikannya sekitar 2,5 tahun lalu.
Sebenarnya ia sudah diberikan
uang untuk membeli yang baru. Hanya saja ia teramat sayang dengan sepatunya,
entah kenapa. Mungkin karena ini adalah sepatu kets pertama yang ia punya jadi
selagi masih muat dikakinya ia tidak akan menggantinya.
“Nia, ayo berikan saja sepatu itu
untukku..”
Nia berhenti menggosok dan
memandang Aga sebentar seraya mencibir. Sedari tadi Aga mengganggu kegiatan
mencucinya dengan merengek-rengek sambil menarik-narik ujung kausnya hanya
untuk meminta sepatu buluk kesayangan yang tengah ia cuci.
Sudah beberapa hari ini Aga
berlaku demikian. Sudah berulang kali pula ia menolak permintaan anak itu tapi
Aga tetap bersikeras ingin meminta sepatunya. Ia sampai meminta bantuan pada
ibu asuh mereka tapi tidak berhasil. Ia sampai heran kenapa Aga sampai
tergila-gila dengan sepatunya ini. Meskipun ia juga, sih.
Tapi kan, sepatu ini tidak punya
sejarah apa-apa untuk Aga, beda dengan dirinya. Sepatu ini juga hanyalah sepatu
bekas yang sudah benar-benar usang. Sementara Aga bukannya tidak punya sepatu.
Bahkan milik Aga lebih bagus dan layak dibanding miliknya. Lalu, apa sih yang
sebenarnya Aga lihat dari sepatunya?
“Kamu kan sudah punya sepatu
Aga!” rutu Nia dengan kata-kata yang sama untuk kesekian kalinya. Ia mulai
lelah melihat Aga terus merengek sehingga kali ini nada suaranya lebih keras
dan terdapat kesan bahwa ia sedang marah.
Aga memberengut lucu. Nia yang
awalnya kesal malah ingin tertawa melihatnya. “Aku maunya punya kamu! Ayolah,
tukar punya kamu dengan punyaku! Punyaku lebih bagus, kan? Masa kamu gak suka?”
Bujuk Aga yang masih belum menyerah.
Nia menjentikkan jari di depan
wajah Aga. “Nah! Kamu sendiri kan yang bilang punyamu lebih bagus! Lalu untuk
apa kamu tukar lagi, Aga?!” katanya gemas. Kalau saja ditangannya tidak ada
sepatu dan bros yang penuh busa, ia sudah mencubiti pipi tembam milik Aga.
Kemudian rengekan Aga makin
kencang bahkan tampaknya pemuda kecil itu menangis. Nia menjadi makin tidak
tega melihatnya. Tapi ia juga tidak rela menyerahkan sepatunya. Lagipula, Aga
kenapa, sih?
“Kenapa kamu nangis, hei?!
Aiss..apa yang kamu lihat dari sepatuku ini, sih? Ini cuma sepatu biasa, sudah
usang. Cobalah kamu bandingin dengan sepatumu. Jauh lebih enak dipandang.” Nia
berseru putus asa.
Aga berhenti sejenak namun tetap
memberengut. “Karena sepatu itu kesayanganmu..” cicitnya kemudian yang membuat
Nia mengerutkan keningnya bingung.
“Lalu?” Nia bertanya tak
mengerti.
“Kalau kamu memberikan barang
kesayangan kamu pada seseorang, artinya orang itu adalah orang yang paling kamu
sayangi juga.” Katanya yang semakin membuat Nia bingung.
Nia menggosokkan ujung brosnya
yang tidak terdapat serabut ke pelipisnya. “La—lu?” tanyanya kedua kali.
Aga tiba-tiba tersenyum. “Aku mau
jadi orang itu. Aku mau kamu sayang—oh tidak, tapi aku adalah orang yang paling
kamu sayangi! Makanya, berikan sepatu kamu untukku..hiks..” balasnya seraya
terisak kembali meski tidak sehebat tadi.
Nia sesaat terpana menatap Aga
seraya berkedip beberapa kali. Darimana Aga belajar pemikirian seperti itu?
Pikirnya takjub.
“Kenapa begitu?” Sahutnya dengan
tampang polos.
Aga berhenti merengek dan
tersenyum lagi. “Karena kamu yang paling aku sayangi. Jadi imbalannya, kamu juga
harus paling sayang denganku..” katanya dengan sedikit malu-malu. Pipinya
bahkan sedikit memerah.
Nia tak ayal terkekeh geli
melihat itu dan lantas membuat Aga kembali memberengut. Tapi selain itu, Nia
juga terpesona pada Aga. Mungkin karena ia masih kecil jadi ia tidak mengerti
perasaan seperti apa yang tengah ia rasakan. Mungkinkah sayang seperti yang Aga
bilang? Entahlah, yang ia tahu ia sangat senang mendengar Aga berkata begitu.
“Kamu ini..” lirihnya seraya
terkekeh pelan. Ia mencelupkan tangannya begitu saja ke dalam air untuk
menghilangkan busa. Ia lalu mengusap pipi Aga dengan jari telunjuknya. “Sudah
jangan menangis. Kamu boleh memiliki sepatuku.” Putus Nia yang akhirnya
merelakan sepatunya untuk Aga.
“Benar boleh?” tanya Aga begitu
antusias.
Nia mengangguk yakin. “Iya.
Sudah, kamu masuk sana! Biar aku selesaikan cucianku.”
Aga masih belum beranjak dan
tampaknya belum puas akan jawaban Nia. “Jadi artinya, aku ini orang yang paling
kau sayang, kan?!” tanyanya dengan muka penuh harap.
Nia diam sebentar berpikir.
Sepertinya ada yang kurang. Batinnya. “Iya..tapi sepertinya tidak adil. Lalu untukku
apa? Sepatumu? Kamu bahkan tidak suka sepatu itu makanya minta ditukar.” Tuntut
Nia kali ini.
Lagi-lagi Aga tersenyum. “Sepatu
ini sebenarnya kesayanganku. Aku mau memberikannya padamu. Karena itu aku harus
membuatmu menyerahkan sepatumu. Hehehe..”
Mau tak mau Nia ikut tersenyum.
Sekali lagi ia merasa senang. “Oke, begitu baru adil.” Serunya sambil
mengacungkan jempolnya ke depan wajah Aga.
“Nah, sekarang aku juga mau
mencuci sepatuku sebelum kuberikan padamu!” ujar Aga seraya berlari ke dalam
rumah. Mungkin dia ingin mengambil bros satu lagi.
Di tempatnya Nia hanya
geleng-geleng kepala seraya memperhatikan Aga yang menjauh lalu kembali pada
sepatunya.
***
Setelah hubungannya membaik, Agni
memutuskan kembali menjadi anggota klub basket. Sebenarnya dipaksa Cakka, sih.
Ia ingat betul bagaimana ekspresi memelas pemuda itu agar ia kembali masuk ke
klub basket. Wajahnya tampak lucu dan sangat tidak Cakka sekali.
Ya, yang orang tahu, dari luar
Cakka itu adalah pemuda tampan—dan ia juga mengakui itu—, cool meski kadang pecicilan, dan maco secara dia anggota inti tim
basket dan dengan segenap hobi ke-cowok-an yang digelutinya. Tapi, tidak ketika
pemuda itu memintanya kembali ke klub basket.
Bayangkan, seorang Cakka
merengek-rengek sambil menarik-narik ujung kaus yang kala itu ia kenakan.
Bajunya saat ini mungkin sudah molor akibat ulah pemuda itu. Belum lagi ancaman
konyolnya kalau ia akan menangis sampai mogok makan kalau Agni tak mau menuruti
permintaannya.
Agni saat itu geleng-geleng
kepala putus asa sambil memegang keningnya dengan satu tangan sementara
tangannya yang lain berada di pinggang. Ia persis seperti seorang ibu yang
sedang dimintai mainan baru oleh anaknya. Dan pada akhirnya, Agni mau tidak mau
mengabulkan permintaan Cakka karena sudah tidak tahan melihat pemuda itu
merengek padanya.
Kalau mengingat itu, Agni tidak
dapat menahan senyumnya. Rasanya hanya padanya Cakka bisa bersikap seperti itu.
Ah, atau dirinya saja yang kepedean? Ia kan belum lama dekat dengan Cakka meski
sudah mengenalnya cukup lama.
Siapa yang tahu kalau pemuda itu
juga pernah bahkan sering bersikap seperti itu pada orang lain..pada gadis
lain. Oh iya, btw kan dia punya pacar. Dan kenyataan tersebut seketika
menurunkan moodnya yang sesaat lalu
sedang baik atau mungkin sangat baik.
“Woy, Ni!”
Agni menoleh pada Rico yang
datang menghampirinya dan menepuk lengannya barusan. Ia memandang pemuda itu
seraya mengernyit. “Liat Cakka nggak?”
Mendengar nama Cakka ia spontan
mendengus kesal. Masih sensi dengan masalah tadi. “Mana gue tau!”
Gantian Rico yang mengernyit
bingung karena Agni tiba-tiba sewot. “Lagi PMS lo?” Namun pertanyaannya hanya
dijawab dengan berlalunya Agni dari hadapannya. Ia memperhatikan gadis itu
sejenak lalu mengangkat bahu dan kembali ke lapangan.
Sementara itu, Agni melangkahkan
kakinya menuju toilet terdekat. Satu-satunya hal yang efektif untuk menyegarkan
pikiran hanya dengan mencuci muka. Siapa tahu dinginnya air bisa ikut
mendinginkan kepalanya yang tiba-tiba berasap. Ia harus secepatnya menguasai moodnya kembali.
Untung tadi hanya Rico yang sial
terkena pelampiasan rasa kesalnya. Jangan sampai nanti malah Cakka sendiri.
Karena kalau Cakka pasti akan langsung bertanya kenapa dan ia akan bingung
harus mengarang alasan apa. Entah mendapat ilmu darimana, Cakka mendadak
menjadi manusia supertahu mengenai dirinya. Termasuk ketika ia berbohong.
Tepat ketika Agni masuk ke dalam
toilet dan menutup pintu, ia mendengar pula suara pintu ditutup atau mungkin
dibuka di sebelahnya, lebih tepatnya dari toilet cowok. Ia tidak terlalu
peduli. Yang ada dipikirannya hanya air, air, dan air.
Sampai tiba-tiba terdengar nada dering
ponsel dari arah luar. Nada dering yang sama yang pernah ia dengar dari ponsel
Cakka.
“Halo..”
Suara Cakka seketika memenuhi
telinga Agni yang sekaligus membuktikan pemilik ponsel yang berdering itu
sesuai dengan yang ia pikirkan. Dari nada suaranya, ia dapat merasakan pemuda
itu tengah gelisah.
Ia berbalik mendekati pintu dan
membukanya pelan-pelan. Ia kemudian diam-diam mengamati Cakka dari celah pintu
di depannya.
“Kabar aku? Kemana aja kamu?”
Nada suara Cakka mendadak berubah sinis.
Agni mengamati garis rahang
pemuda itu yang ikut mengeras. Pemuda itu diam untuk beberapa saat.
“Putus?” lirih Cakka. Tatapan
matanya berubah sendu.
Agni melihat pemuda itu tertawa
pilu. Dan hal itu membuat perasaan tidak nyaman baginya. Sudah jelas, saat ini
Cakka tengah berbicara dengan kekasihnya, Febby. Ia memegang dada sebelah
kirinya dan menekannya beberapa kali berusaha menenangkan debaran jantungnya
yang tiba-tiba cepat.
“Kenapa? Kamu ngerasa peluang
kamu dapetin Alvin makin gede sekarang karena satu rumah sama dia?”
Bola mata Agni seketika melebar
mendengar ucapan sinis Cakka barusan. Bagaimana dia tau kalau saat ini Febby
tinggal di rumah Alvin? Apa Alvin yang mengatakan padanya? Kapan? Apa Alvin
juga tau kalau Febby itu kekasihnya? Lalu, bagaimana dengan Cakka? Apa pemuda
itu marah pada Alvin? Apa mereka berdua bertengkar sekarang?
Haiss...kenapa gue jadi kepo
banget sih?!
“Apa dosa aku sama kamu? Kemaren
Kiki, sekarang kamu mau ngancurin hubungan aku dengan Alvin? Huh, kamu ga akan
berhasil.” Cakka sesaat diam seraya menghela napas.
“Alvin punya pacar. Jadi, jangan
bikin temen aku jadi brengsek.” Cakka menjauhkan ponselnya dari telinga.
Sepertinya pemuda itu sudah memutus sambungannya dengan Febby. Pemuda itu
menunduk seraya berkacak pinggang. Napasnya naik turun persis seperti orang
habis berlari.
Sesaat kemudian kepala Cakka terangkat
diikuti erangan dari mulutnya. Ia lantas tersenyum miris. “Kenapa..kenapa gue?!
Dan..kenapa harus lo, Vin?” lirih Cakka.
Sialnya telinga Agni masih bisa
menangkap suaranya tersebut. Agni segera menutup pintu toilet kembali lalu
berjalan sampai ke depan wastafel. Ia lantas menertawai keanehan dirinya
sendiri.
“No hard feeling..yeah, emang harusnya no hard feeling.” Gumamnya berbicara sendiri.
Ia lalu menatap bayangannya pada
cermin. Tangannya terangkat untuk menyentuh liontin kalungnya. Ia meremas pelan
benda tersebut lalu menghela napas berat. Tangannya lalu menumpu di pinggiran
wastafel seraya kepalanya tertunduk dalam. Ia panik. Ia panik. Ia panik!
***
Agni termenung sambil memandang
ke luar dari jendela mobil. Moodnya
kelihatan makin buruk. Selepas ia kembali dari toilet, teman-temannya bilang
Cakka sudah lebih dulu pulang. Pemuda itu bahkan tidak berpamitan padanya atau
bahkan tidak ingat dengannya. Tidak ingat janjinya yang akan mengantar jemput
Agni tiap latihan basket ketika mengajaknya kembali ke klub.
Ia terpaksa mengarang alasan pada Kiki dan
harus merepotkan pemuda itu padahal pemuda itu juga sedang latihan untuk event
penting.
Apa sampai begitu besarnya
pengaruh Febby pada Cakka? Selama ini perasaan Cakka pada Febby tidak berubah.
Hanya sedikit lupa karena beberapa waktu ada hal yang sempat mengalihkan fokus
Cakka.
Ketika waktu itu datang, semuanya
kembali seperti semua. Semuanya tidak pernah berpindah tempat. Kadarnya sama
tidak berkurang sama sekali. Atau mungkin sedikit. Entahlah, hanya Cakka yang
tahu itu. Yang pasti, sebesar apapun yang dapat membuat pemuda itu lupa akan
dirinya.
Diam-diam Kiki yang ada di
sebelahnya mengamatinya lalu mengernyit heran. Pemuda itu tampak sekali ingin
bertanya tapi ragu harus melakukanya atau tidak. Biasanya, kalau Agni sedang
bete, tanpa ditanya pun gadis itu akan langsung bercerita panjang lebar
padanya.
Namun, saat ini gadis itu hanya
diam membisu sambil memasang tampang kusut. Mungkin lamanya waktu yang memisahkan
mereka ikut mengubah sikap lama Agni. Tapi, ia tetap penasaran. Apa yang
terjadi padanya? Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan Cakka?
For you, for you. Baby I’m not movin’ on, I love you long after you gone..
Kiki melirik nama yang berkelap-kelip
pada layar ponsel Agni. Tepat sekali. Nama Cakka yang muncul di sana dan Agni hanya membiarkan
ponselnya hingga berhenti berbunyi. Gadis itu bahkan kemudian mematikan
ponselnya.
Kelihatan sekali kalau ia menolak
berhubungan dengan Cakka. Setidaknya untuk saat ini. Yang secara jelas
membenarkan dugaan Kiki kalau Agni bersikap murung seperti ini karena Cakka.
“Kenapa ga diangkat?” tanyanya
tak tahan. Agni menoleh padanya lalu menggeleng pelan. ia kembali bersandar
pada kaca jendela sambil memandang ke luar.
Kiki berusaha menekan rasa ingin
tahunya saat ini. Mungkin
Agni butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Kalau ia desak, yang ia dapati
hanya dirinya menjadi bulan-bulanan pelampiasan kekesalan gadis itu padanya.
***
Cakka menghembuskan napas
berkali-kali sambil memandang bersalah pada ponselnya. Ia baru saja melakukan
kesalahan yang cukup besar.
Bagaimana mungkin ia sampai lupa pada Agni? Hanya karena kalut memikirkan Febby? Yang benar
saja!
Selama ini ia hampir tidak pernah
lagi berkontak apalagi bertatap muka dengan Febby. Tapi ketika gadis itu muncul
secara tiba-tiba, serta merta membuatnya menjadi kacau seperti sekarang.
Bagaimana pun ia pernah punya perasaan pada gadis itu. Perasaannya tulus.
Orang-orang mungkin menyangka kalau ia sama saja seperti
Gabriel. Soal perasaan tidak pernah pakai hati. Atau berhati dingin seperti
Rio. Klasik sih, tapi ia dulu memang jatuh cinta pada Febby, bahkan jatuh cinta
pada pandangan pertama.
Cakka merebahkan tubuhnya ke kasur dan
meletakkan ponselnya asal-asalan. Ia mengambil bantal lantas ia gunakan untuk
menutupi wajahnya. Mengingat Febby sedikit mengusik ketenangan hatinya. Ia
tidak bisa mengelak kalau nama Febby masih tersangkut di salah satu sisi
hatinya entah dimana setelah seharian ini ia tidak bisa menyingkirkan gadis itu
dari kepalanya.
Tapi ia juga tidak bohong kalau sudah tumbuh tunas-tunas
rasa untuk Agni di sisi
hatinya yang lain. Masalahnya…yang benar saja, masa ia suka keduanya?
Febby, Febby. Kenapa harus muncul di saat-saat
seperti ini, sih?
“Woy Cakecak!”
Tempat tidur yang ia tempati terasa bergoyang
bersamaan dengan pukulan ringan di tulang keringnya. Ia mengintip dari balik
bantal dan tampak Chelsea sedang duduk bersila di sampingnya seraya menatapnya
heran. Ia melengos sambil menutup wajahnya kembali.
“Cakka, Kak, Cakka.” Jawabnya tanpa niat.
Chelsea melipat kedua tangannya di dada seraya
mengamati adik sepupunya tercinta. Kelihatannya adiknya itu tidak dalam suasana
hati yang baik. “Kenapa lo? Lesu amat,” komentarnya sambil menggoyangkan salah satu kaki Cakka.
Cakka menurunkan bantal di depan wajahnya dan
beralih memeluk benda itu. Matanya menatap langit-langit kamarnya dengan
pandangan menerawang. “Lo pernah ga, Kak, suka sama orang selain Kak Bagas?”
Chelsea mengernyit bingung lalu menganggukkan
kepalanya. “Ya pernahlah. Bagas kan bukan pacar pertama gue.”
“Lo suka sama Kak Bagas, lo juga suka sama
orang lain..disaat yang sama..” ujar Cakka entah bertanya atau hanya sebuah
pernyataan.
Chelsea memandang Cakka lekat-lekat lalu kemudian
menangkap maksud ucapan Cakka sekaligus membuatnya paham alasan kenapa sang
adik murung seharian.
“Lo kena cinta dua hati ya?” godanya seraya
mengarahkan telunjuknya ke arah Cakka. Namun, sepertinya Cakka tidak
terpengaruh. Pemuda itu tetap saja melamun.
“Emang lo suka sama siapa lagi selain Agni?”
tanyanya sedikit serius.
Cakka beranjak duduk dan bersandar pada kayu
ranjangnya. Ia menatap Chelsea seraya memberengut. “Febby..” lirihnya.
Mata Chelsea melotot mendengar nama itu
akhirnya disebut kembali oleh Cakka. “What?!
Febby?!”
Cakka mengangguk seraya menghela napas. “Iya.
Tadi siang dia nelpon, ngajakin putus.” Bebernya tanpa dusta.
Mata Chelsea seketika kembali normal dan ia
menghela napas lega. “Bagus lah. Gue juga ga sreg lo sama dia. Tapi..dia nelpon
lo cuma buat minta putus? Helooo, kemana aja tuh orang baru muncul?”
Balasnya geram.
Cakka berdecak lemah. “Itu dia masalahnya. Seharusnya dia
ga usah muncul lagi.”
“Wait,
wait. Jangan bilang lo galau karena dia?” Tukas Chelsea dengan
pandangan mencemooh. Cakka
mengangguk masam dan seketika membuatnyamelengos.
“Gue bahkan ninggalin Agni tadi padahal gue
yang udah maksa dia dateng
dan janji nganterin pulang..” Air muka Cakka makin muram mengingat kelalaiannya
pada Agni. Apa Agni akan marah
padanya? Yaiyalah! Telponnya saja di reject
dan sekarang ponselnya tidak aktif.
Chelsea mengerang kesal sambil memegang
kepalanya. Bagaimana bisa Cakka, adik sepupunya yang begitu tampan tapi punya
mental kucing seperti
ini? Baru mendengar gonggongan anjing saja langsung ciut di tempat dan lupa dengan sekitar.
Cakka oh Cakka. Gara-gara kebodohan adiknya
ini, ia harus terancam kehilangan calon adik ipar kesayangannya. Meskipun ia
belum pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Agni, tapi entah kenapa
hatinya langsung terpikat dengan gadis itu.
“Baru sadar gue punya adek bego.” Gerutunya kesal.
Cakka hanya menghembuskan napas pasrah. Ia memang salah dan wajar Chelsea berkata seperti itu padanya.
“Terus sekarang lo bengong doang di sini? Malah mikirin
cewek ga jelas yang udah bikin Agni marah? Lo lebih mikirin cewek yang ga pantes itu daripada
mikirin gimana caranya ngebujuk Agni, huh?” Chelsea
melempar tatapan tajam pada Cakka. Ia benar-benar gemas. Ah, ia saja sudah seperti ini apalagi jika
Agni tahu? Gadis itu pasti sudah menggantung Cakka di ring basket.
“Gue udah coba telfon tapi ga diangkat trus
hapenya malah mati. Gue harus apa lagi, kan?” balas Cakka tak ingin merasa
dipojokkan.
Chelsea mencibir ke arahnya. “Trus sampe disitu
aja? Lo tuh ya! Lo beneran mau dijauhin sama Agni, huh?!”
“Ya enggaklah!” Cakka menjawab cepat. Ditinggal
Febby saja ia sudah begini bagaimana kalau Agni? Bunuh aja gue lah!
Chelsea langsung menjentikkan
jarinya di depan Cakka. “Nah
itu tau. Trus kenapa lo masih disini, heh?”
Cakka mengernyit bingung lalu kemudian ia paham
apa maksud ucapan Chelsea. Ia spontan menepuk jidatnya keras. Chelsea benar. Kenapa ia bukan mendatangi rumah
Agni untuk meminta maaf malah berdiam diri tak jelas di kamarnya? Ia seharusnya
menemui gadis itu dan membujuknya. Dan ketika membayangkan Agni mau
memaafkannya mendadak hatinya merasa tenang.
Ya ampun! Kenapa ia baru sadar?! Sedari tadi ia
uring-uringan karena Agni! Lihat saja, Agni bisa langsung memperbaiki moodnya yang tadi benar-benar anjlok.
Semua ini karena Agni. Bukan Febby, tapi Agni.
“Oh kakak sepupu gue yang paling cantik, lo
bener-bener penyelamat gue! Semoga lo langgeng ama Babang Bagas, muah!” katanya
sumringah seraya meninggalkan kecupan ringan di pipi Chelsea.
Chelsea berjengit ketika Cakka mencium pipinya.
Selanjutnya ia hanya geleng-geleng kepala melihat pemuda itu lari
terbirit-birit meninggalkannya di dalam kamar.
Tapi kemudian ia teringat satu hal yang ia
lupakan. Ada sesuatu yang seharusnya ia beritahukan pada Cakka. Dan itu jugalah
yang membuatnya datang
ke kamar Cakka menemui pemuda itu.
“Astaga! Sekarang malah gue yang telmi, ckck..”
***
Mobil Kiki berhenti melaju
beberapa saat sampai lampu merah di sampingnya berubah menjadi hijau. Suasana
di dalam mobil masih sama seperti sebelumnya. Tak ada dari mereka yang berbicara.
Bahkan matinya pemutar musik di dalam mobil makin menambah ketegangan yang ada.
Kiki tidak bertanya apa-apa lagi
setelah ucapannya terakhir kali. Ia membiarkan Agni menikmati ketenangannya. Ia
juga memastikan tidak akan ada yang mengusik gadis itu termasuk suara dari
radio mobilnya. Tidak akan ada yang menjamin benda tersebut tidak menyuarakan
senandung yang isinya akan memperburuk suasana hati Agni saat ini.
Di tengah kesunyian tersebut,
Agni secara ajaib berbicara. Kiki tak ayal mendengarnya dengan seksama.
“Kak..”
Kiki diam menunggu dengan
sangat-sangat sabar. Agni menarik napas lalu menoleh ke arahnya. Pandangan
matanya redup. Dibanding sedih, entah kenapa ia merasa Agni sekarang justru
sedang ketakutan. Dadanya sangat tidak nyaman melihat itu.
Tidak, saat ini ia tidak sedang
memandang Agni sebagai kekasih angan-angannya, melainkan benar-benar melihat
gadis itu sebagai adiknya. Perasaan tidak nyaman ini sebagai bentuk
perhatiannya sebagai kakak.
Agni menelan ludah dengan susah
payah. Ia menatap Kiki dalam-dalam seolah mencari ketenangan di dalam sana. “Patah
hati itu...sembuhnya lama gak?” Suaranya pun terdengar lirih.
Kiki sesaat diam lalu kemudian
tersenyum hangat. Ia lantas mengusap kepala gadis itu sebagai ungkapan
sayangnya sebagai kakak. Mengajak gadis itu agar mau berbagi kegundahannya
padanya. Menjadikan dirinya sandaran agar tidak lelah dan kalah. Seperti
biasanya. “Adek gue tersayang lagi kenapa, hmm?”
“Gue belom siap patah hati, Kak..”
Agni masih berujar lirik. Ia tersenyum masam pada Kiki.
“Sebelum patah hati, lo harus lebih
dulu jatuh cinta. Emang lo udah jatuh cinta?” Tanya Kiki sambil mengamati
setiap perubahan di wajah Agni.
Agni sama sekali tidak berniat
berbohong. Ia lantas mengangguk jujur yang disambut dengan helaan napas dari
Kiki. Bukan marah, tapi mengerti.
“Cakka?” Tebak Kiki. Jawaban Agni
tidak berbeda sama sekali. Ia menganggukkan kepala untuk kedua kalinya.
TIIN!!
Klakson mobil yang berada di
belakang mereka mengalihkan fokus Kiki seketika. Ia memutuskan melajukan
mobilnya terlebih dahulu tanpa membuat Agni merasa terabaikan.
“Bentar..” Katanya menyiratkan
Agni untuk menunggu. Agni diam tak banyak protes. Hanya saja, pandangannya
kembali berpindah ke arah depan.
Setelah kecepatan mobilnya
stabil, barulah Kiki bersuara kembali. “Lawan perasaan lo, Ni..” Gumamnya pelan
tanpa menatap Agni langsung.
Agni menoleh pada Kiki dengan
tatapan menereka-nerka. Apa Kiki bermaksud menyuruhkan berhenti memendam
perasaannya pada Cakka? Apa ini murni dari pikiran dewasanya atau
terkontaminasi dengan ketidaksukaan sang kakak pada Cakka?
“Lawan kalo dia bukan orang yang
pantes. Perjuangin kalo dia orang yang pantes...dan kalo lo ngeliat ada
harapan.” Kiki berkata lagi yang sekaligus menjawab rasa penasaran Agni
sebelumnya.
Agni sesaat bergeming kagum
melihat Kiki. Ia tahu Kiki membenci Cakka. Namun, sekalipun pemuda itu tidak
pernah mempengaruhi pikirannya tentang hal buruk mengenai Cakka. Pemuda itu
bahkan tidak memberitahu sejarah mereka berdua padanya. Justru semuanya datang
dari Cakka.
“Patah hati itu pasti, Ni. Justru
jatuh cinta yang abstrak. Lo bakal sadar lo jatuh cinta, baru setelah lo patah
hati. Udah terlambat buat lo ngerasa takut karena semuanya udah duluan terjadi.”
Kiki dengan ucapan bijaksananya kembali unjuk diri.
Agni merasa tertampar oleh
kalimat-kalimat yang dilontarkan Kiki. Semua yang dikatakan pemuda itu adalah
kebenaran. Ucapan pemuda itu menyadarkannya bahwa dirinya bodoh jika mengaku
takut patah hati seolah-olah dirinya belum merasakan itu. Nyatanya sekarang
hatinya sudah terbelah dua karena Cakka.
“Gue harus gimana, Kak?” Tanyanya
kemudian dan berkonsentrasi penuh pada Kiki.
Sekali lagi, senyum damai di
wajah Kiki kembali mengembang. “Jangan jadi pengecut. Hadapin patah hati lo. Lo
cuman patah hati, bukan mati. Lagian, lo masih muda, Ni! C’mon, Man! Sayang banget kalo lo meruntuhkan semua dunia lo karena
sekali patah hati.”
Agni sekali lagi tertampar oleh
ucapan Kiki. Ia benar-benar sadar kalau dirinya begitu bodoh. Yakali gue jadi
sekali senggol baper gini? Gak lo banget emang, Ni. Najis dah gue!
Setelah sekian lama akhirnya
senyum Agni akhirnya muncul ke permukaan. Dada Kiki sontak kembali terasa
lapang tidak lagi sesak seperti sebelumnya. Adiknya yang tangguh sudah kembali.
Bukan. Lebih tepatnya, adiknya itu memang terlalu tangguh untuk bisa
dikendalikan oleh sebuah perasaan bergelar patah hati.
Jadi pengen bawa pulang...eh iya,
untung serumah, kan?
***
Kedatangan mobil Kiki disambut
oleh Cakka yang sudah bertengger di depan halaman rumah sambil duduk nyaman di
atas motornya. Pemuda itu tampaknya sudah menunggu sedaritadi.
Di samping Kiki, Agni berdecak
malas. Tidak ada gurat-gurat kesedihan lagi di wajahnya. Ia diam-diam tersenyum
melihat itu.
“Pake dateng segala..” Heran
Agni.
Kiki tertawa kecil lalu menoleh
ke arahnya. “Lo atau gue nih yang nemuin?” Tantangnya seraya mengerling.
Agni berdecak lagi. “Gue aja.
Cewek banget keliatannya gue kalo sampe ga berani nemuin.” Sahutnya tanpa
keraguan di wajahnya.
Kiki kembali tertawa riang. “Buset
dah adek gue kapan nyadar kodratnya sendiri? Ya deh terserah. Jangan mewek ya. Ga
pantes, hahaha..”
Agni mencibir seraya memutar
kedua bola matanya namun tidak membalas cercaan Kiki padanya. Mereka kemudian
keluar bersama dari mobil. Kiki memutuskan masuk lebih dulu setelah mengedikkan
bahu menatap Cakka. Sementara Agni singgah sebentar untuk menghadapi sang tamu.
Cakka yang tadi duduk lekas
berdiri menyambut Agni dengan tampang gugup. Ia tersenyum kaku pada gadis itu
yang tampak biasa saja di depannya.
“Abis darimana lo?” Tanya Agni
yang memutuskan bersikap santai dengan Cakka. Setelah dipikir ulang, tidak
patut juga rasanya kalau ia marah hanya karena Cakka pergi begitu saja.
“Ni, so—sorry gue lupa janji nganterin lo pulang t—terus pergi ga
bilang-bilang.” Ungkap Cakka sungguh-sungguh. Wajahnya benar-benar panik.
Agni tertawa kecil melihat Cakka
yang sekarang seperti ketahuan mencuri. “Elah udah kayak gue pacar lo aja rusuh
gitu. Sans, Men, sans! Gue punya
hape, punya kuota, punya yang bisa dimintain jemput, gue juga belum lupa alamat
rumah gue sendiri. Gue pasti pulang dengan selamet kok!” Lerai Agni.
Cakka merasa senang dan tidak
senang di saat yang bersamaan. Sikap tenang Agni membuatnya senang namun tidak
lega. Mendadak ia mengharapkan gadis itu marah sekarang. Kalau gadis itu marah,
itu artinya gadis itu memiliki perasaan khusus padanya, kan? Tapi, yang ia
dapat justru ‘kebaikan’ gadis itu.
Tapi, sudahlah. Yang penting
hubungan mereka berdua tidak kembali huru hara. Ia pada akhirnya tetap menghela
napas lega. “Lo beneran gak marah kan, Ni? Lo gaakan tiba-tiba ngediemin gue
abis ini, kan?” Tanyanya memastikan.
Agni tersenyum simpul. Duh,
baper-able banget sih Pak jadi orang?
“Iya. Sekali lagi lo nanya gue
baper nih?” Wanti Agni ingin menyudahi situasi tidak penting saat ini antara
dirinya dan Cakka. Situasi tidak penting namun sangat berbahaya.
Giliran Cakka sekarang yang tertawa
sekaligus menutup drama roman picisan mereka beberapa saat lalu. Meski Cakka
diam-diam bergumam dalam hati.
Gue udah baper kali, Ni.
***
Via turun
dari motor Gabriel dan berjalan hingga ke teras rumahnya lalu berdiri menunggu
Gabriel menjalankan motornya kembali. Gabriel tak henti menatapnya dengan pandangan
yang ia tak mengerti. Pemuda itu mulai memundurkan motornya lalu memutar balik
tanpa mengucapkan apapun. Namun, belum sempat keluar dari halaman rumahnya,
motor Gabriel berhenti karena pada saat yang sama mobil Riza baru saja tiba di
depan pagar.
Via
langsung merasakan ketegangan dalam hatinya. Ia merasakan ada hawa aneh antara
papanya dan Gabriel. Meski Gabriel membelakanginya, tapi ia yakin kalau pemuda
itu pasti sedang menatap tajam Riza dan bak pinang dibelah dua, Riza pun balas
melakukan hal sama. Mereka sama-sama bertahan di posisi masing-masing, belum
ada yang ingin mengalah.
Via
membalikkan badannya tak ingin menyaksikan perhelatan itu lebih lanjut. Ia
tidak ingin nanti Riza mendatanginya dan memarahinya lagi karena keberadaan
Gabriel saat ini. Ia lantas memutuskan berlari masuk ke dalam rumahnya dan
segera masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu.
Sementara
itu, pada akhirnya, Gabriel mengalah dan memundurkan motornya agar mobil Riza
dapat berbelok masuk. Ia diam sembari menunggu Riza memajukan mobilnya sambil
memalingkan wajahnya. Riza sempat berhenti dan menurunkan kaca mobilnya ketika
berpapasan dengan Gabriel.
“Om ingin
bicara sama kamu besok.” Titahnya dengan dingin dan tegas tanpa memandang
Gabriel. Gabriel hanya diam tanpa menjawab apapun. Ia menurunkan kaca helmnya
lalu mengegas motornya pergi.
***
Via
menghempas tubuhnya ke kasur sambil menatapi layar ponselnya. Memandangi foto
terakhirnya bersama Gabriel. Ini bahkan belum lewat satu hari. Tapi, kenapa
hatinya seperti merasa menyesal? Menyesal karena sudah berusaha menendang
pemuda itu jauh-jauh dari hidupnya. Ia lantas menutup matanya seraya meringis
pelan dan memukul-mukul pelan keningnya dengan ujung ponsel.
“Lo mikir
pendek banget, sih, Vi..” lirihnya.
Tiba-tiba
gerak tubuhnya berhenti lalu ia mendadak mendudukkan dirinya. “Ya lagian,
ngapain si Gabriel pake bilang mau nembak Zaza segala? Setelah dia ngasih
harapan setinggi langit sama gue...maksudnya apa?! Hhh..”
Via
menghempas tubuhnya lagi sambil merentangkan tangan. Ia sudah tidak tahu lagi
harus melakukan apa sekarang.
Sementara
Via yang dilanda stres, Gabriel baru saja sampai di rumahnya. Ia berjalan
memasuki rumah serta menaiki tangga menuju kamarnya dalam diam. Kedua orang
tuanya sepertinya sudah berada di kamar sehingga ia tidak diharuskan mendapat
introgasi sesaat dari mereka berdua. Ia pun melakukan hal yang sama setelah
menutup pintu kamarnya. Ia menghempas tubuhnya ke atas kasur sambil memandangi
layar ponsel.
Namun,
berbeda dengan Via yang langsung menggerutu kesal, ia hanya diam hingga
tiba-tiba ia tersenyum miring. Ia bahkan tertawa kecil sambil menggelengkan
kepalanya.
“Gak capek
apa, Vi, lo nyuruh gue ngejauhin lo tiap gue bahas orang lain? Tapi...gue jadi
penasaran. Sampe kapan lo bisa bertahan. Kayaknya seru juga.”
***
Dua
laki-laki berbeda usia ini diam dengan saling memandang satu sama lain. Hingga
akhirnya yang paling tua mengalah dan memulai pembicaraan di antara mereka.
“Kenapa ya
harus kamu yang dicintai anak saya? Playboy
kacangan kayak kamu?” Heran Riza seraya tertawa mencemooh.
Gabriel
menaikkan alisnya lantas mendengus geli. “Anak Om atau anak-anak Om?” ucapnya
dengan nada bangga.
Tawa Riza
berhenti dan ia menatap Gabriel sambil menaikkan alis bingung. “Yaah..masih
bagus anak Om cinta sama playboy
kacangan kayak saya, daripada dia cinta sama playboy kelas berat kayak Om, kan?” Sambung Gabriel dengan santai,
tanpa takut dengan air muka Riza yang berubah marah meski masih berusaha
ditahan.
“Kita
percepat obrolan ini. Kamu, sekali lagi saya liat kamu berhubungan dengan Via,
saya akan—“
“Emang
kenapa? Om takut Via saya mainin kayak saya mainin Prissy?” sela Gabriel sinis.
Riza
berjengit memandangnya aneh lalu melengos serta tertawa sesaat. “Saya hanya
memikirkan Prissy. Saya gak akan memaafkan kamu kalau sampai kamu nyakitin hati
Prissy.”
Gabriel
mengepal tangannya yang tersembunyi di balik meja kuat-kuat. Menyalurkan segala
amarah dalam dadanya. Ingin sekali ia menghantam tinjunya itu ke wajah
laki-laki tak punya hati di hadapannya.
Tapi, ia
tidak ingin dirinya terlihat sama saja dengan laki-laki itu. Ia sadar saat ini
bukanlah waktu yang tepat untuk menyuarakan semua emosinya. Ia harus
banyak-banyak bersabar agar nanti ia bisa membalas semua perbuatan Riza dengan
efek yang lebih menyakitkan daripada sekedar rasa nyeri di wajah.
“Om dengar
baik-baik, semua ini adalah pantulan dari perbuatan Om sendiri. Om menyakiti
Via maka saya akan menyakiti Prissy. Saya juga gak akan memaafkan Om kalau Om
masih aja nyakitin Via, juga Tante Fira.” Gertak Gabriel tajam.
Riza
tampak terdiam mendengar ucapan pemuda itu. Ia hanya memandangi pemuda itu
lekat-lekat sambil memikirkan sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat Gabriel tidak
bisa melawannya.
“Om akan
mindahin Prissy ke sekolah kamu kalo kamu gak menuruti peringatan Om sama
kamu.” Ancamnya.
Sekali
lagi Gabriel mengepal tangannya kuat-kuat. Dia pikir ancamannya sehebat itu? Tunggu
aja saatnya nanti, Om. Om akan memetik buah hasil perbuatan Om dengan tangan Om
sendiri. Mungkin ini bukanlah balas dendam yang dahsyat. Tapi setidaknya cukup
untuk ngebuat Om ngerasa pengen ngebakar muka Om sendiri.
***
Gabriel
benar-benar melakukan apa yang Via minta. Pemuda itu tidak sekalipun
mengajaknya bicara bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Dari penampakannya,
Gabriel seperti tidak punya beban apa-apa ketika harus berjauh-jauhan
dengannya.
Harus ia
akui, hatinya seperti teriris-iris mendapati sikap Gabriel seperti itu. Bahkan
rasanya lebih perih ketimbang mendengar pemuda itu membicarakan perasaannya
terhadap gadis lain. Ternyata memang benar, sakit itu bukan kita kehilangan
orangnya tapi ketika kita tidak lagi punya waktu untuk sesuatu berlabelkan
kebersamaan.
Via
berjalan mondar-mandir di kamarnya sendiri sambil memegang ponsel. Bibirnya
berkomat-kamit merapalkan kata ‘telfon, enggak, sms, enggak, chat, enggak’ berkali-kali hingga
kemudian ia berhenti dan mengerang frustasi. Ia menggigit jarinya dan tanpa
sengaja menatap bayangannya di cermin.
“Enggak,
Vi. Lo gak boleh nyerah dulu. Bukan lo yang harusnya nyerah, tapi Gabriel. Lo
harus bisa buat dia mohon-mohon buat baikan lagi sama lo. Lo harus bisa! Atau
mungkin, lo harus kuat...” rapalnya seraya mengangguk-anggukkan kepala
meyakinkan dirinya sendiri. Tapi setelah itu, ia menghela napas berat.
Sementara
di lain kamar, Gabriel duduk di kasurnya sambil melihat ponselnya sebentar.
“Gak ada yang nelfon atau chat gue,
nih? Nasib..nasib..” katanya seraya mengedikkan bahu pasrah lalu meletakkan
ponselnya kembali.
***
Hampir
seminggu lamanya Via merasa merana sendiri setelah sembarangan ‘mendepak’
Gabriel dengan harapan ia bisa tenang. Namun, yang terjadi justru dirinya tidak
bisa berhenti untuk tidak melihat dan memikirkan pemuda itu.
Ia sudah
tidak tahu lagi ini disebut kualat atau senjata makan tuan atau dua-duanya. Ia
juga sudah tidak tahu ia sebenarnya mengharapkan Gabriel pergi dari hidupnya
atau tidak. Tapi, mungkin sekarang ia sudah menemukan jawabannya.
Ia tidak
bisa jauh-jauh dari Gabriel. Seberapa pun sakitnya bersama Gabriel, jauh lebih
sakit rasanya ketika mendapati mata pemuda itu enggan untuk melihat ke arahnya
lagi.
Drrt..drrt..
Kerisauan
hati Via sedikit teralih pada getaran iphonenya
di atas nakas. Ia berguling di kasurnya untuk mengambil benda tersebut serta
mengecek apa yang terjadi di sana. Sebuah pesan masuk dari Gabriel.
Dari
Gabriel.
Dari?
Gabriel.
Iya, dari
Gabriel. Gabri..
“IEL?!”
pekiknya seolah baru sadar.
Tubuhnya
langsung terduduk tegap dengan muka masih mengerjap-ngerjap. Masih percaya
tidak percaya kalau Gabriel sekarang menghubunginya. Baru saja ia berdoa supaya
Gabriel kembali dan Tuhan langsung mengabulkannya. Tapi...tunggu dulu. Kenapa
dia chat ke Iphone? Batinnya bertanya-tanya.
Seketika
itu juga, hati Via mencelos. Tidak aneh kalau Gabriel menghubunginya. Karena
yang sesungguhnya dihubungi Gabriel itu adalah Zaza. Gabriel mengirim pesan ke
nomor Zaza bukan nomornya. Ia spontan mendesah pelan. Ia kembali merebahkan
tubuhnya sambil terus memandangi layar ponsel dengan sedih.
“Apa sih
yang lo cari dari Zaza, Yel?” Ia mulai bergumam.
Tapi
tiba-tiba ia terduduk lagi. Memangnya apa masalahnya kalau yang dihubungi
Gabriel itu Zaza? Zaza kan dirinya juga. Yang akan terima enak juga dirinya,
kan?
Via
menggigit bibirnya menimang-nimang. Hingga akhirnya ia pun mengalah pada
tuntutan hatinya dan mulai membalas pesan Gabriel tersebut.
Sementara
di tempat lain, Gabriel mengembangkan senyumnya lebar-lebar. Setelah selama ini
menahan rindunya dengan gadis itu, sekarang perasaannya sudah tidak bisa dibendung
lagi. Yang lebih membahagiakan hati, gadis itu juga rupanya tidak bisa
lama-lama berjauhan dengan dirinya.
***
Zaza atau
mungkin Via saja, duduk di bangku yang disediakan untuk membaca di dalam toko
buku tempat biasa ia menunggu Gabriel. Novel ditangannya mungkin lebih menjadi
sebuah tameng untuknya agar bisa tetap berada di dalam toko. Meskipun novel itu
benar-benar ia pilih dan sudah ia beli.
Tapi,
untuk saat ini, hasrat dalam hatinya terbagi menjadi dua. Antara membaca dengan
menanti-nanti dengan sangat tidak sabar akan kedatangan Gabriel yang sudah ia
tunggu dari satu setengah jam yang lalu. Ngomong-ngomong, ini adalah kengaretan
terlama dari pemuda itu sepanjang sejarah pertemuan mereka.
“Kenapa
harus lama—banget, sih? Sengaja nih orang? Mentang-mentang gue udah kangen
berat? Ck, awas aja ntar!” Ia berkomat-kamit dari balik halaman novel tanpa
bisa mengalihkan perhatiannya pada pintu masuk toko buku. Hingga akhirnya...
Tada!
Pintu
masuk terdorong ke dalam dan bersamaan dengan itu muncul lah sosok Gabriel dari
balik sana. Pemuda itu memutar pandangannya mencari-cari keberadaan Via lalu
kemudian tersenyum ketika melihat gadis itu.
Via
meremas novelnya sembari menatap lekat-lekat Gabriel yang semakin dekat
dengannya bahkan hingga sudah berdiri dan duduk di hadapannya. Jantungnya
berdebar kencang apalagi ketika pemuda itu tersenyum ke arahnya. Persis seperti
bocah yang baru pertama kali jatuh cinta.
Via tidak
tahu jantungnya ini berdebar karena ia mendadak jatuh cinta ulang atau karena
rasa rindu dalam hatinya yang sudah tak tertahankan. Ingin rasanya ia meloncat
ke arah Gabriel dan memeluknya erat. Kalau perlu ia bawa ke rumah dan dijadikan
pajangan supaya ia bisa melihatnya bersamanya setiap saat.
Ck,
rasanya sekarang ia mulai berlebihan. Mungkin ini efek ia sudah terlalu banyak
melihat wajah datar Gabriel yang memandangnya setiap ada kesempatan berpapasan
di sekolah atau dimana saja mereka bertemu. Sehingga melihat tatapan hangatnya
merupakan hal baru lagi untuknya.
“Kamu gak
mau mukul saya pake novel lagi?” tanya Gabriel sambil menaikkan alis.
Via
menggeleng pelan dengan tatapan polos. “Buat apa?”
Gabriel
mengedikkan bahu sekilas. “Apa aja. Pelampiasan perasaan mungkin, karena gak
saya hubung-hubungin..”
Jantung
Via berdebar lagi. Kenapa ia merasa saat ini Gabriel itu sedang berbicara
dengan dirinya sendiri, bukan Zaza? Tapi, Gabriel kan tidak tahu kalau dirinya
itu menyamar menjadi Zaza. Atau jangan-jangan Gabriel sudah tahu?
“Kamu
kenapa jadi pendiem gini? Biasanya galak mulu sama saya.” Ujar Gabriel lagi.
Seketika
menyadarkan Via dan menyangkal semua pemikiran dalam kepalanya. “Hari ini kamu
ganteng. Saya terpesona. Sampe gak bisa ngomong.” Balas Via santai dengan
senyum tulus.
Iya, Yel.
Lo ganteng banget! Tapi...lo emang gak pernah gak ganteng, sih. Eh pernah deh.
Lo gak ganteng kalo lagi php-in gue. hehe..
Gabriel
tampak terkejut setengah mati. Pemuda itu langsung berseru sumringah. Hatinya
seperti baru ditumbuhi bunga sakura setelah sebelumnya ditumbuhi kaktus karena
tandus. Ia benar-benar senang. “Alhamdulillah! Akhirnya kamu sadar juga!”
katanya sambil menengadahkan tangan.
Via
memutar kedua bola matanya meski tetap tersenyum juga. “Baru juga saya bilang
ganteng. Belum saya bilang kangen.” Katanya lagi dengan senyum menantang.
Tubuh
Gabriel membeku sesaat. Ia langsung menoleh pada Via dengan tatapan tidak
percaya. Hingga ia kembali tersenyum dan nyaris speechless. “Mbak..serius?”
Via pura-pura melengos. “Baru aja saya
mau buka hati buat kamu, kamu malah manggil saya mbak lagi. Kapan aku nikah
sama Mas-mu?” Dumelnya.
Sekali lagi Gabriel dibuat
terbengong-bengong. Rasanya seperti kejatuhan duren. Mendapat banyak rezeki
mendadak. Pertama, Zaza memujinya. Kedua, Zaza bilang kangen padanya. Ketiga,
Zaza ingin membuka hati untuknya. Kurang lengkap apalagi?! Berarti itu
artinya...
“Mbak—maksud saya, kamu mau nerima
saya?” tanyanya masih dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Via menolehkan
kepalanya lagi dan tersenyum geli. Ia lantas menganggukkan kepalanya.
“Haah...? Padahal saya belum
nembak loh..” racau Gabriel lagi dengan pandangan takjub luar biasa.
Senyum Via meluntur mendengar itu.
Wajahnya berubah sedikit kesal. “Kayaknya saya salah memutuskan buka hati buat
kamu. Kalo gitu—“
“Stop! Stop!” potong
Gabriel cepat. Ia sudah sadar sesadar-sadarnya. Ia memandang Via dengan tajam
dan dalam. Via bahkan sampai sulit bernapas.
“Kamu beneran mau jadi pacar
saya—emm..aku, kan?”
Via tiba-tiba tertawa geli sambil
mengibaskan tangannya di depan wajahnya. “Apaan sih lo pake aku-aku-an, biasa
way woy juga!” Celetuknya tanpa sadar.
Gabriel tiba-tiba terdiam lagi.
Saat itu juga Via ikut terdiam. Baru saja ia keceplosan menjadi dirinya sendiri.
Ia merutu dalam-dalam. Bagaimana bisa ia seceroboh itu?! Semoga saja Gabriel
tidak mendengar dan menjadi curiga. Meski kemungkinannya kecil melihat reaksi
Gabriel seperti itu.
“Gausah aku-kamu-an lah, saya
geli.” Katanya lagi berusaha menutupi kegugupan sekalian mengalihkan fokus
Gabriel.
Gabriel menggaruk-garuk pelipisnya.
“Masa saya-saya-an terus? Rasanya kayak lagi ngomong sama orangtua.”
Via lantas mendelik pada Gabriel.
“Bilang aja kalo kamu mau bilang saya ini tua!” Sungut Via.
Gabriel mendecak pelan. “Enggak,
Za. Yaampun. Kapan sih kamu gak nethink
sama aku?”
“Astaga, kapan sih kamu nurut sama
aku? Jangan pake aku-kamu!” kekeuh Via. Tanpa menyadari kalau ia menyebutkan
panggilan yang salah.
Gabriel langsung berseru menang
sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya. “Nah, kamu juga nyebut aku, kan?!
Pokoknya make aku-kamu. Titik!”
Via mendesah pelan sambil memutar
kedua bola matanya. Sudahlah, lebih baik mengalah. Ia sudah terlalu paham sifat
Gabriel. Pemuda itu tidak bisa direvisi setiap keinginannya. Makin dilarang
malah makin gencar. “Yaudah, terserah kamu.” Serahnya.
Gabriel tersenyum senang
menatapnya lalu kemudian mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Jadi, kita beneran
pacaran sekarang?”
Via tersenyum miring sambil
menaikkan alis. “Maunya gimana?”
Senyum di wajah Gabriel pun makin
mengembang. “Jadi, kamu cinta sama aku?”
Via mencibir pelan lalu menghela
napas. “Iya, saya—aku cinta sama kamu.” Ia masih berusaha membiasakan diri
dengan ‘adab’ bicara mereka yang baru.
Mungkin hanya inilah cara agar ia
bisa merasakan benar-benar dicintai seorang Gabriel. Meski ia harus menyimpan
rasa sakit di hatinya dalam-dalam karena bagaimanapun, yang dicintai Gabriel
itu Zaza, bukan dirinya. Ia juga dengan teganya memanfaatkan penyamarannya
untuk kepentingan hatinya sendiri. Yang secara tidak langsung membuatnya bermain-main
dengan hati Gabriel.
Tapi, toh, dirinya tidak
benar-benar berniat mempermainkan Gabriel. Perasaannya pada pemuda itu tulus.
Tidak ada salahnya membuat Gabriel bahagia dengan terus memainkan perannya
sebagai Zaza. Sambil menyelam minum air. Gabriel senang, ia juga senang.
***
Seperti malam-malam kebanyakan,
Via dinner hanya berdua dengan Fira.
Tapi entah mengapa, justru di saat hanya ada mereka berdua, suasana terasa
ramai, penuh kehangatan. Mereka bisa bebas bersikap bagaimana dan berbicara
tentang apapun. Mereka tersenyum, mereka tertawa, dan kadang terdengar gerutuan
kecil dari bibir mungil Via ketika Fira menggodanya.
Suasanya benar-benar nyaman. Tidak
seperti ketika meja itu lengkap diisi seorang laki-laki dewasa yang memegang
kendali dalam keluarganya. Akan sangat jauh berbeda. Mereka di sana bertiga
tapi pasti merasa seperti hanya seorang diri. Tidak ada ‘kegaduhan’, yang ada
hanya suara dentuman piring dan sendok.
Kalau ia disuruh bicara soal Riza,
Via pasti akan lebih banyak diam. Kalau ada yang bertanya siapa papanya,
bagaimana keseharian papanya, apa saja yang disukai dan tidak disukai papanya,
apa makanan favoritnya, apa klub sepakbola idolanya, dan hal-hal lain tentang
papanya, Via pasti juga akan bungkam. Ia benar-benar asing dengan sosok
laki-laki yang ia sebut papa itu. Mungkin pegawai kantor papanya bahkan lebih
tahu bagaimana papanya ketimbang dirinya sendiri.
Meski begitu, entahlah..ia tetap
merasa rindu pada Riza. Setiap malam, diam-diam ia selalu menunggu kedatangan papanya
ke rumah di dalam kamarnya. Ia tidak bisa membohongi hatinya kalau ia juga
butuh papanya.
Ia tidak bohong kalau ia membenci
papanya. Tapi ia tetaplah seorang anak yang sama dengan anak-anak yang lain. Ia
juga butuh figur seorang ayah. Tidak peduli bagaimana sikapnya, ia tetap
menginginkan papanya. Tidak peduli kalau, misalnya pun, papanya tidak
menginginkannya. Tapi itu hanya misalnya. Papanya tidak mungkin tidak
menginginkannya, kan?
“Vi?” Suara Fira tiba-tiba
menyisip di tengah-tengah pemikirannya tentang Riza.
Via mendongak dan melihat Fira
tengah meneguk air putih di dalam gelas yang dipegangnya tanpa menatapnya. “Kenapa,
Ma?”
Fira menghela napas singkat
sembari menelan air dalam mulutnya dan meletakkan kembali gelas ke atas meja.
Ia melipat kedua tangannya lalu telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk permukaan
meja. Matanya memandang menerawang dan tidak fokus ke satu titik.
“Misalnya kamu punya peliharaan,
kucing deh..kucing kamu betina. Kamu mau ngawinin kucing betina sama jantan. Trus
kamu datenginlah kucing jantannya ke hadapan kucing betina. Kita namain aja
yang cewek mika yang cowok miko. Tr—“
“Mama mau melihara kucing?” sela
Via tak sabar.
Fira berdecak kesal. “Enggak.
Dengerin aja dulu!” rutunya. Via mengernyit meski akhirnya ia diam dan
memutuskan mendengarkan mamanya.
“Nah, trus, mika rupanya jatuh
cinta sama miko. Tapi mikonya enggak karena miko udah lebih dulu jatuh cinta
sama yang lain, namain aja mike. Miko udah lama pacaran sama mike dan tiba-tiba
dipaksa kawin sama mika. Meski miko udah nolak dan ngomong sama mika, tapi mika
tetep maksa. Pada akhirnya miko benci sama mika bahkan sampai mereka udah punya
anak. Miko tetap melanjutkan hubungannya dengan mike bahkan sampai mereka kawin
dan punya anak juga...” Fira tiba-tiba saja berhenti bicara. Suaranya pun
mendadak memelan. Tatapannya berubah lirih.
Via mengernyit kembali. Mamanya
ini sebenarnya kenapa? Apa mamanya benar-benar ingin memelihara kucing? Atau
ini adalah kisah cinta kucing peliharaannya dulu?
“Meski begitu, mika gak peduli.
Mika tetap mempertahankan miko. Berusaha meluluhkan hati miko. Tapi miko gak
pernah sekalipun memandang Mika. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,
mika tetap setia sama miko. Sekalipun mika gak pernah protes soal mike. Gak
pernah complain soal keringnya
perhatian miko sama dia. Sampai akhirnya anak mika dan miko udah besar dan
mulai bertanya kenapa sikap ayahnya sedingin itu. Anaknya mulai mengeluh soal
sikap miko. Mika akhirnya mikir. Ia mulai merenung, apa sikap bertahannya itu
harus tetap dia laksanakan meski ia bahkan anaknya harus senantiasa menyimpan
sakit di dalam hati, atau...ia sebaiknya menyerah. Menurut kamu...gimana?”
Via mengunyah cepat potongan ayam
dalam mulutnya sambil menatap mamanya bingung sekaligus menyelidik. Ia lalu
menancapkan lagi potongan ayam ke garpu, memasukkannya ke dalam mulut dan
mengunyahnya lagi. Ia mengulanginya hingga 3 kali tanpa sekalipun melepas
pandangannya ke arah lain. “Mama kenapa, sih?” tanyanya akhirnya benar-benar
tak mendapat ide.
Fira kembali mendecak. “Kamu ih
mama udah nungguin juga!” dumelnya.
Via balas nyengir. “Abis mama aneh.
Tiba-tiba cerita kucing. Yakali ada kucing yang cuma cinta sama satu kucing
lain. Kucing mah kawin sama siapa aja, Ma.” Celetuknya.
Fira yang tadinya bersedih ria
sekarang berubah jengkel lalu kemudian geli sendiri. Untung ya, anaknya itu
seperti Via. “Ya kan mama bilang misalnya, Vi.”
“Ya kenapa harus kucing?” sewot
Via, yang tiba-tiba ikut mempermasalahkan kucing.
“Ya apa salahnya sama kucing?”
balas Fira tak mau kalah. Sudahkah ia bilang kalau mereka makan bersama akan
selalu ada perdebatan?
Pembicaraan yang tadinya diniatkan
serius oleh Fira itu pun akhirnya gagal total. Via benar-benar pandai dalam
merusak fantasi sedihnya.
***
Ify terpekur memandangi layar
ponselnya. Tangannya bergetar setelah selesai membaca pesan yang baru saja
masuk ke aplikasi messenger nya. Ia
berusaha mengumpulkan segenap tenaga untuk mendial nomor si pengirim pesan
namun yang ia dengan kemudian hanyalah suara wanita operator. Nomor yang
dihubunginya tidak aktif.
“N—Ni..” lirihnya.
Agni berdehem menyahut tanpa
memalingkan fokusnya pada ponsel. Ia sedang berkonsentrasi mencari benda-benda
tersembunyi pada game yang ia
jalankan.
“Ni..ini apaan, Ni?” Ify meracau
dengan panik.
Tak hanya Agni, Shilla pun sontak
mengalihkan perhatian mereka pada Ify. Keduanya mendapati sang teman dengan
muka pucat pasi meratapi ponsel. Agni sedikit merasa khawatir melihat gadis
itu.
“Heh heh apa? Apa yang apaan?”
Tanya Agni menyadarkan Ify dari kekalutan yang melandanya.
Ify berbalik badan menghadap Agni
dan Shilla lalu menunjukkan isi pesan yang ia terima. Mata Shilla melotot kaget
sementara Agni tetap diam namun kepalanya berpikir keras.
From : Siviazizah
Fy, gue gak masuk 3 hari.
Alesannya sakit, suratnya ada sama satpam. Nyokap taunya gue studi banding.
Gausah panik. I’m fine. Jangan cari
gue.’
Shilla buru-buru mencari nomor Via
dan mencoba menghubungi gadis itu. Tapi sama seperti Ify sebelumnya, nomor
tersebut sudah tidak aktif. Ia lantas ikut panik bersama Ify.
Sementara Agni menutup mata sambil
menarik napas dan menghembusnya beberapa kali. Ia tidak boleh berpikir
macam-macam. Ia sangat tahu Via. Selain dirinya, gadis itu adalah yang paling
tegar di antara mereka berempat. Via juga orang yang rasional. Via tahu apa
yang dia lakukan. Via tidak pernah gegabah.
Ify menelan ludah getir. Keringat
dingin sudah menetes beberapa kali dari pelipisnya. Selama separuh hidupnya
mengenal Via, baru kali ini gadis itu bertindak ‘sendiri’. Biasanya dia selalu
melibatkan dirinya dan kedua temannya yang lain pada setiap masalahnya. Dalam
artian meminta masukan tentang apa yang harus dia lakukan.
Sepanjang separuh hidupnya
mengenal Via, gadis itu tidak pernah ‘kalah’ oleh persoalan yang menderanya.
Dia akan tetap berdiri di tempatnya berada dan menghadapi masalah secara
‘jantan’. Via tidak pernah lari dan selalu bermain aman. Tapi, tidak sekarang.
Gadis itu bahkan menghilang tiba-tiba tanpa tanda-tanda. “G—gimana sekarang?
Ki—kita harus gimana? Vi—Via..Via—“
“Ssst!” Agni menghela kedua
sahabatnya yang tengah gelisah itu. Ia tidak bisa berpikir jernih bila mereka
terus saja meracau. “Percaya sama Via.” Putusnya.
Ify yang matanya sudah memerah
mati-matian menjaga agar tangisnya tidak benar-benar pecah. Tidak lucu menangis
pagi-pagi dan meraup perhatian banyak orang. Apalagi sekarang ia memang sedang
menjadi fokus perhatian berbagai siswa dan siswi di sekolahnya.
Shilla berdiri seraya menyisir
bagian depan rambutnya ke belakang. Ia lalu mengerang pelan. “Gue. Butuh.
Minum.” katanya terengah-engah. Ia berjalan cepat meninggalkan kelas sebelum
Ify dan Agni sempat memberi tanggapan.
Agni boleh saja menyuruh mereka
tetap tenang. Kenyataannya tidak ada satu pun dari mereka yang berhenti barang
sedetik menyebut nama Via di kepala masing-masing. Mereka tidak membuat gaduh.
Mereka justru mendadak menjadi lebih ‘kalem’ dari biasanya.
Hal tersebut tak luput dari
pengamatan Rio dan Gabriel yang telah kembali duduk bersama sejak Via
memutuskan berjauhan. Rio yang tak tahan lantas bergerak pindah dari bangkunya
menuju bangku sebelah Ify yang kosong. Gadisnya itu bahkan tidak sadar dengan
kehadirannya di sampingnya.
Rio mengadukan pulpen di tangannya
dengan pulpen Ify yang digenggam gadis itu tanpa asa. Ify seketika tersadar dan
menoleh lalu sedikit kaget mendapati sosok Rio di sampingnya. Ia lalu menghela
napas mengetahui dia melamun sejak tadi. Hanya tinggal menunggu kapan Rio akan
bertanya.
“Kenapa?” Bisik Rio tanpa
memandang ke arahnya melainkan mengawasi pergerakan Bu Okky di depan sana.
Tepat seperti dugaan Ify. Ify
terlalu lelah sekaligus takut untuk berbicara. Alhasil ia hanya membalas lewat
tulisan di post-it note miliknya. Ia
lalu menyodorkan pesan tulisnya tersebut pada Rio. Rio menggeser kertas persegi
berwarna kuning tersebut menjadi tepat di depannya agar lebih jelas.
‘Via kabur dan gamau dicari.’
Rio diam tanpa menunjukkan reaksi
yang berarti. Ia sesaat menoleh singkat pada Ify yang memandang tak fokus ke
depan lalu kembali pada post-it. Ia
seketika paham dengan sikap Ify saat ini karena ia pun sekarang bingung
sendiri.
Ia lantas memalingkan pandangan
pada Gabriel yang memang sepertinya sudah menunggunya sedaritadi. Saat ia
menoleh pada Gabriel, pemuda itu sudah lebih dulu siap melihat ke arahnya.
Sementara itu, Gabriel sudah
seperti cacing kepanasan di tempatnya. Sudah sejak pagi ia menahan rasa
penasarannya pada Via dan teman-temannya. Dari sejak ia masuk ke kelas ia sadar
ada yang tidak beres pada Ify, Shilla, dan Agni. Apalagi mengetahui Via belum
datang dan bangkunya tetap kosong ketika kelas di mulai.
Ia menunggu dengan gelisah kabar
atau petunjuk dari Rio. Ia tidak sekalipun memalingkan pandangannya pada pemuda
itu setelah berpindah duduk. Meski pada akhirnya ia tetap harus menunggu sampai
bel istirahat berbunyi karena Rio memilih tidak kembali ke tempatnya semula.
Barulah ketika ia dan Rio dalam
perjalanan mengikuti Ify, Shilla, dan Agni ke taman belakang sekolah semua rasa
penasarannya terbayar. Sekarang perasaannya justru berganti cemas. Jantungnya
sudah tidak usah ditanya lagi berapa kecepatan denyutnya. Hatinya pun dihantui
rasa bersalah sekaligus menyesal akan kondisi ‘jauhnya’ dirinya dan Via
beberapa hari ini. Akhirnya setelah 16 tahun usianya, seseorang berhasil
membuatnya khawatir sepenuh hati.
Jangan kabur jauh-jauh, Vi. Gue
ada..gue ada..
***
Alhamdulillah yaa Cagni sama
Siviel kerja lagi ga makan gaji buta terus wkwk~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar