-->

Rabu, 27 Desember 2017

Matchmaking Part 37 (CAGNI, SIVIEL)



Semenjak ucapan Cakka mengenai Kiki, perasaan Agni pada Kiki berubah aneh. Ia selalu merasa canggung dan grogi tiap kali Kiki ada di dekatnya, apalagi mengajaknya bicara. Sampai-sampai ia tidak memperbolehkan Kiki masuk ke dalam kamar, meski tidak secara langsung.

Ia hanya mengunci pintu saat masuk ke kamar. Alasannya ia ingin tidur dan tidak ingin diganggu. Tidak bohong memang kalau ia ingin tidur. Tapi, alih-alih tidur, menutup mata saja ia tidak bisa. Ia terus memikirkan hubungannya dengan Kiki. Ia yakin setelah ini ia pasti tidak akan bersikap seperti biasa pada Kiki.

Namun, ia tidak ingin Kiki menyadari perubahan dalam dirinya. Ia tidak ingin Kiki bertanya. Ia tidak ingin Kiki tersinggung. Ia tidak ingin Kiki juga sadar kalau mereka berdua tetaplah dua orang asing. Dan, entah firasat ini datang dari mana, ia takut Kiki akan merasakan yang lain padanya.

Jatuh cinta misalnya. Karena ia tidak akan bisa membalas perasaan pemuda itu. Ia tidak ingin Kiki merasakan kesedihan karena cinta tak terbalas. Ia akan merasa sangat bersalah dan tidak tahu diri karena Kiki dan keluarganya sudah terlalu baik padanya.

“Katanya mau tidur?” celetuk Kiki yang tiba-tiba muncul di samping tempat tidurnya.

Agni langsung bangun dari tidurnya. “Kok lo bisa masuk?” tanyanya kaget. Kiki menunjuk kamar mandi kamarnya dengan dagu. Agni lantas menepuk kepalanya. Baru ingat kalau ada connecting door di kamar mandinya dengan kamar sebelah yang tak lain kamar Kiki. Kiki pasti masuk ke dalam kamarnya dengan itu.

“Lo kenapa mendadak ngunci diri di kamar dan malah uring-uringan?” tanya Kiki yang sudah mengambil tempat di atas kasur. Agni memandang Kiki lalu menghela napas. Ia harus bilang apa? Pikirnya.

“Yee..malah bengong!” Tegur Kiki karena merasa diabaikan.

“Gue..cuma lagi mikir aja.” Agni akhirnya menjawab walau tak yakin.

Kiki mengerutkan dahi menunggu ucapannya kembali. “Gimana ya kalo misalnya di antara kita ada yang jatuh cinta?” sambungnya kemudian seraya memandang Kiki. Hanya sebentar karena setelahnya ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

Kiki terkejut bukan main mendengar itu. Kenapa Agni sampai bisa berbicara begitu? Apa Agni tahu soal perasaannya? Atau ada seseorang yang memberi tahu? Ia terus bertanya-tanya hingga tiba-tiba muncul sebuah jawaban yang menurutnya amat pasti.

Cakka!

“Cakka!” desisnya tanpa sadar.

Agni langsung menoleh penasaran. “Kenapa sama Cakka?”

“Cakka pasti ngomong aneh-aneh sama lo kan?” tanya Kiki seraya menaikkan satu alisnya curiga.

Agni berkedip cepat beberapa kali dan mengangguk jujur. “Kok lo tau?”

Tampang Kiki seketika berubah malas. “Ya kalo gak, mana mungkin lo tiba-tiba mikir gitu.”

Agni hanya meringis lalu menunduk. Tiba-tiba ia merasa malu karena sempat berpikiran ‘aneh’ setelah melihat reaksi Kiki saat ini. Jelas-jelas yang ia pikirkan itu tidak masuk akal dan tidak penting juga. “Iya, ya. Ngapain juga gue mikirin gituan? Ckckck.” Katanya seraya tergelak ringan.

“Tapi, kalo misalnya kejadian, menurut lo gimana?” tanya Kiki tiba-tiba, yang membuat jantung Agni hampir copot saat itu juga.

“Hah? Me—menurut gue gimana apanya?” Sahutnya gelagapan. Kiki tidak sedang bertanya serius, kan?

Benar saja, Kiki mendadak tertawa. Ia diam-diam mendesah lega. Yah, setidaknya saat ini Kiki tidak serius dan ia tidak harus menjawab.

“Becanda, Ni. Lo serius banget!” Tukas Kiki.

Agni mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum. “Tadi kan gue udah bilang gue lagi mikirin itu. Lo malah nanya yang enggak-enggak, ya gue panik dong!” Katanya membela diri.

“Ya gak mungkinlah di antara kita ada yang jatuh cinta. Lo itu adek gue, Ni. Gue bener-bener mencurahkan semua perasaan gue ke lo sebagai kakak ke adeknya. Gue sayang banget sama lo. Gue ga mungkin nyakitin lo dengan mendem perasaan lebih.” Ucapan Kiki diakhiri dengan tepukan pelan di kepala Agni.

Sekali lagi Agni menghela napas lega. Kata-kata Kiki bagaikan oase dalam dadanya. Ia lantas memeluk pemuda itu. “Gue lega banget dengernya, Kak. Tau gak, gue tadi berpikiran lo bakal jatuh cinta sama gue. Ckckck, aneh banget emang.”

Kiki hanya diam membalas pelukannya seraya tersenyum pahit, terutama setelah mendengar kata-kata Agni terakhir kali. Benar-benar menyakitkan hatinya. Mengetahui Agni yang dengan lantang mengatakan tidak ingin bahkan takut ia sampai jatuh cinta padanya benar-benar sebuah hal yang luar biasa menyakitkan. Lalu, harus ia apakan perasaannya saat ini?

Cakka oh Cakka!

***

Duk..duk..

Benda oranye yang sedaritadi memantul di lantai itu akhirnya melayang hingga masuk ke dalam ring dengan indah. Orang-orang yang menonton di pinggiran lapangan langsung bertepuk tangan dan berseru.

Cakka yang ikut andil dalam permainan tiba-tiba terpaksa berhenti karena ia diteriaki dari pinggir lapangan. Katanya ada seseorang yang ingin bertemu dengannya dan orang tersebut menunggunya di parkiran. Ia sedikit banyak merutu dongkol dalam hati. Kenapa lagi dirinya yang harus datang menemui orang itu? Seperti dirinya saja yang butuh. Pikirnya.

Cakka menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang yang sedang berdiri di belakang sebuah mobil sambil bersedekap ke arahnya. Ia lantas melengos malas. Kalau ia tahu dia yang ingin bertemu dengannya, mending ia tidak usah repot-repot kemari.

Kiki, orang yang hendak bertemu dengan Cakka itu, berjalan mendekat ke arah Cakka. Cakka diam tanpa mengucapkan apapun. Biar saja Kiki mengatakan sendiri maksudnya tanpa harus ia bertanya.

Tapi tiba-tiba, Kiki melayangkan tinjunya ke wajahnya yang mengakibatkan sudut bibirnya sedikit berdarah dan terasa nyeri.

“Lo lupa minum obat, huh?” Hardik Cakka sambil memegangi pipinya.

Kiki mengangkat tangannya kembali berancang-ancang melayangkan tinjunya lagi. Cakka menegakkan wajahnya memasang wajah menantang sambil menepuk pipinya. “Belum puas? Nih, belum kena, nih! Pukul aja!” katanya.

Kiki lantas dengan kesal menurunkan tangannya. Cakka tersenyum sinis padanya. “Ngomong apa lo sama Agni?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Cakka membuang ludahnya yang bercampur sedikit darah. Ia mulai merasa sedikit amis di dalam mulutnya. “Kenapa emangnya?”

“Lo pasti ngeracunin pikiran dia tentang gue, kan?” Kiki mengepal tangannya geram.

Cakka hanya menaikkan alis memandangnya. “Gue cuma gak mau ngebiarin dia dibodohin terus-terusan sama lo. Gue gak mau lo terus-terusan manfaatin status lo berdua buat kepentingan lo sendiri.”

“Agni selama ini ga pernah ngerasa gue bodohin atau manfaatin.” Bantah Kiki dengan penuh keyakinan.

Namun, Cakka tidak akan berhenti begitu saja. “Itu karena dia sayang sama lo, menghormati lo sebagai kakaknya. Tapi lo dengan picik memanfaatkan semua perlakuan dia ke elo. Lo gak pernah tulus sama dia, sebagai KAKAKnya.”

Kali ini Kiki yang tertawa sinis. “Gak tulus kata lo? Bahkan kalo dibandingin, perasaan gue ke dia jauh lebih besar daripada perasaan lo ke dia.”

Cakka tampak tidak terpengaruh. Ekspresinya tetap tenang meskipun tengah menahan kedutan di sudut bibir dan pipinya. “Gue gak ngeraguin perasaan lo. Gue cuma ngeraguin sikap lo. Selama ini Agni gak pernah ngeliat bener-bener apa arti semua sikap lo ke dia. Karena dia gak pernah curiga sama lo. Karena dia pikir lo itu bener-bener bersikap sebagai kakak buat dia. Tapi enggak kan buat lo?”

Kiki diam tanpa bisa membantah. Kata-kata Cakka memang ada benarnya dan ia tidak bisa berkata tidak untuk semua yang pemuda itu ucapkan.

Cakka melihat itu lalu mendesah pelan. “Awalnya gue respect sama lo, sama perasaan lo. Gue gak akan masalah kalo dia juga punya perasaan yang sama kayak lo. Tapi, dia gak punya perasaan yang sama. Setelah ngeliat dan tau lo manfaatin dia, manfaatin status kalian lebih tepatnya, gue rasa lo gak pantes jadi saingan gue.” Cakka berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu Kiki menanggapinya. Mudah-mudahan saja pemuda itu menyimak baik-baik kata-katanya.

Kiki masih setia dalam diam. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sambil memikirkan apa yang baru saja Cakka ucapkan. Kalau dipikir-pikir, bisakah dirinya membedakan kapan dirinya bersikap sebagai kakak dan seseorang yang menyukai gadisnya? Jawabannya sudah jelas tidak. Dan disitulah dirinya merasa menjadi laki-laki paling brengsek yang pernah ada untuk Agni.
.
***

“Nia..”

Nia tengah menggosok-gosok sepatu ketsnya yang sudah menguning dengan bros yang sudah diberi sabun. Ia tahu usahanya ini tidak akan merubah warna kuning di sepatunya. Ia hanya berusaha membuatnya tetap bersih. Maklum, sepatu ini memang sudah lama sekali ia beli. Ibu asuh mereka membelikannya sekitar 2,5 tahun lalu.

Sebenarnya ia sudah diberikan uang untuk membeli yang baru. Hanya saja ia teramat sayang dengan sepatunya, entah kenapa. Mungkin karena ini adalah sepatu kets pertama yang ia punya jadi selagi masih muat dikakinya ia tidak akan menggantinya.

“Nia, ayo berikan saja sepatu itu untukku..”

Nia berhenti menggosok dan memandang Aga sebentar seraya mencibir. Sedari tadi Aga mengganggu kegiatan mencucinya dengan merengek-rengek sambil menarik-narik ujung kausnya hanya untuk meminta sepatu buluk kesayangan yang tengah ia cuci.

Sudah beberapa hari ini Aga berlaku demikian. Sudah berulang kali pula ia menolak permintaan anak itu tapi Aga tetap bersikeras ingin meminta sepatunya. Ia sampai meminta bantuan pada ibu asuh mereka tapi tidak berhasil. Ia sampai heran kenapa Aga sampai tergila-gila dengan sepatunya ini. Meskipun ia juga, sih.

Tapi kan, sepatu ini tidak punya sejarah apa-apa untuk Aga, beda dengan dirinya. Sepatu ini juga hanyalah sepatu bekas yang sudah benar-benar usang. Sementara Aga bukannya tidak punya sepatu. Bahkan milik Aga lebih bagus dan layak dibanding miliknya. Lalu, apa sih yang sebenarnya Aga lihat dari sepatunya?

“Kamu kan sudah punya sepatu Aga!” rutu Nia dengan kata-kata yang sama untuk kesekian kalinya. Ia mulai lelah melihat Aga terus merengek sehingga kali ini nada suaranya lebih keras dan terdapat kesan bahwa ia sedang marah.

Aga memberengut lucu. Nia yang awalnya kesal malah ingin tertawa melihatnya. “Aku maunya punya kamu! Ayolah, tukar punya kamu dengan punyaku! Punyaku lebih bagus, kan? Masa kamu gak suka?” Bujuk Aga yang masih belum menyerah.

Nia menjentikkan jari di depan wajah Aga. “Nah! Kamu sendiri kan yang bilang punyamu lebih bagus! Lalu untuk apa kamu tukar lagi, Aga?!” katanya gemas. Kalau saja ditangannya tidak ada sepatu dan bros yang penuh busa, ia sudah mencubiti pipi tembam milik Aga.

Kemudian rengekan Aga makin kencang bahkan tampaknya pemuda kecil itu menangis. Nia menjadi makin tidak tega melihatnya. Tapi ia juga tidak rela menyerahkan sepatunya. Lagipula, Aga kenapa, sih?

“Kenapa kamu nangis, hei?! Aiss..apa yang kamu lihat dari sepatuku ini, sih? Ini cuma sepatu biasa, sudah usang. Cobalah kamu bandingin dengan sepatumu. Jauh lebih enak dipandang.” Nia berseru putus asa.

Aga berhenti sejenak namun tetap memberengut. “Karena sepatu itu kesayanganmu..” cicitnya kemudian yang membuat Nia mengerutkan keningnya bingung.

“Lalu?” Nia bertanya tak mengerti.

“Kalau kamu memberikan barang kesayangan kamu pada seseorang, artinya orang itu adalah orang yang paling kamu sayangi juga.” Katanya yang semakin membuat Nia bingung.

Nia menggosokkan ujung brosnya yang tidak terdapat serabut ke pelipisnya. “La—lu?” tanyanya kedua kali.

Aga tiba-tiba tersenyum. “Aku mau jadi orang itu. Aku mau kamu sayang—oh tidak, tapi aku adalah orang yang paling kamu sayangi! Makanya, berikan sepatu kamu untukku..hiks..” balasnya seraya terisak kembali meski tidak sehebat tadi.

Nia sesaat terpana menatap Aga seraya berkedip beberapa kali. Darimana Aga belajar pemikirian seperti itu? Pikirnya takjub.

“Kenapa begitu?” Sahutnya dengan tampang polos.

Aga berhenti merengek dan tersenyum lagi. “Karena kamu yang paling aku sayangi. Jadi imbalannya, kamu juga harus paling sayang denganku..” katanya dengan sedikit malu-malu. Pipinya bahkan sedikit memerah.

Nia tak ayal terkekeh geli melihat itu dan lantas membuat Aga kembali memberengut. Tapi selain itu, Nia juga terpesona pada Aga. Mungkin karena ia masih kecil jadi ia tidak mengerti perasaan seperti apa yang tengah ia rasakan. Mungkinkah sayang seperti yang Aga bilang? Entahlah, yang ia tahu ia sangat senang mendengar Aga berkata begitu.

“Kamu ini..” lirihnya seraya terkekeh pelan. Ia mencelupkan tangannya begitu saja ke dalam air untuk menghilangkan busa. Ia lalu mengusap pipi Aga dengan jari telunjuknya. “Sudah jangan menangis. Kamu boleh memiliki sepatuku.” Putus Nia yang akhirnya merelakan sepatunya untuk Aga.

“Benar boleh?” tanya Aga begitu antusias.

Nia mengangguk yakin. “Iya. Sudah, kamu masuk sana! Biar aku selesaikan cucianku.”

Aga masih belum beranjak dan tampaknya belum puas akan jawaban Nia. “Jadi artinya, aku ini orang yang paling kau sayang, kan?!” tanyanya dengan muka penuh harap.

Nia diam sebentar berpikir. Sepertinya ada yang kurang. Batinnya. “Iya..tapi sepertinya tidak adil. Lalu untukku apa? Sepatumu? Kamu bahkan tidak suka sepatu itu makanya minta ditukar.” Tuntut Nia kali ini.

Lagi-lagi Aga tersenyum. “Sepatu ini sebenarnya kesayanganku. Aku mau memberikannya padamu. Karena itu aku harus membuatmu menyerahkan sepatumu. Hehehe..”

Mau tak mau Nia ikut tersenyum. Sekali lagi ia merasa senang. “Oke, begitu baru adil.” Serunya sambil mengacungkan jempolnya ke depan wajah Aga.

“Nah, sekarang aku juga mau mencuci sepatuku sebelum kuberikan padamu!” ujar Aga seraya berlari ke dalam rumah. Mungkin dia ingin mengambil bros satu lagi.

Di tempatnya Nia hanya geleng-geleng kepala seraya memperhatikan Aga yang menjauh lalu kembali pada sepatunya.

***

Setelah hubungannya membaik, Agni memutuskan kembali menjadi anggota klub basket. Sebenarnya dipaksa Cakka, sih. Ia ingat betul bagaimana ekspresi memelas pemuda itu agar ia kembali masuk ke klub basket. Wajahnya tampak lucu dan sangat tidak Cakka sekali.

Ya, yang orang tahu, dari luar Cakka itu adalah pemuda tampan—dan ia juga mengakui itu—, cool meski kadang pecicilan, dan maco secara dia anggota inti tim basket dan dengan segenap hobi ke-cowok-an yang digelutinya. Tapi, tidak ketika pemuda itu memintanya kembali ke klub basket.

Bayangkan, seorang Cakka merengek-rengek sambil menarik-narik ujung kaus yang kala itu ia kenakan. Bajunya saat ini mungkin sudah molor akibat ulah pemuda itu. Belum lagi ancaman konyolnya kalau ia akan menangis sampai mogok makan kalau Agni tak mau menuruti permintaannya.

Agni saat itu geleng-geleng kepala putus asa sambil memegang keningnya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain berada di pinggang. Ia persis seperti seorang ibu yang sedang dimintai mainan baru oleh anaknya. Dan pada akhirnya, Agni mau tidak mau mengabulkan permintaan Cakka karena sudah tidak tahan melihat pemuda itu merengek padanya.

Kalau mengingat itu, Agni tidak dapat menahan senyumnya. Rasanya hanya padanya Cakka bisa bersikap seperti itu. Ah, atau dirinya saja yang kepedean? Ia kan belum lama dekat dengan Cakka meski sudah mengenalnya cukup lama.

Siapa yang tahu kalau pemuda itu juga pernah bahkan sering bersikap seperti itu pada orang lain..pada gadis lain. Oh iya, btw kan dia punya pacar. Dan kenyataan tersebut seketika menurunkan moodnya yang sesaat lalu sedang baik atau mungkin sangat baik.

“Woy, Ni!”

Agni menoleh pada Rico yang datang menghampirinya dan menepuk lengannya barusan. Ia memandang pemuda itu seraya mengernyit. “Liat Cakka nggak?”

Mendengar nama Cakka ia spontan mendengus kesal. Masih sensi dengan masalah tadi. “Mana gue tau!”
Gantian Rico yang mengernyit bingung karena Agni tiba-tiba sewot. “Lagi PMS lo?” Namun pertanyaannya hanya dijawab dengan berlalunya Agni dari hadapannya. Ia memperhatikan gadis itu sejenak lalu mengangkat bahu dan kembali ke lapangan.

Sementara itu, Agni melangkahkan kakinya menuju toilet terdekat. Satu-satunya hal yang efektif untuk menyegarkan pikiran hanya dengan mencuci muka. Siapa tahu dinginnya air bisa ikut mendinginkan kepalanya yang tiba-tiba berasap. Ia harus secepatnya menguasai moodnya kembali.

Untung tadi hanya Rico yang sial terkena pelampiasan rasa kesalnya. Jangan sampai nanti malah Cakka sendiri. Karena kalau Cakka pasti akan langsung bertanya kenapa dan ia akan bingung harus mengarang alasan apa. Entah mendapat ilmu darimana, Cakka mendadak menjadi manusia supertahu mengenai dirinya. Termasuk ketika ia berbohong.

Tepat ketika Agni masuk ke dalam toilet dan menutup pintu, ia mendengar pula suara pintu ditutup atau mungkin dibuka di sebelahnya, lebih tepatnya dari toilet cowok. Ia tidak terlalu peduli. Yang ada dipikirannya hanya air, air, dan air.

Sampai tiba-tiba terdengar nada dering ponsel dari arah luar. Nada dering yang sama yang pernah ia dengar dari ponsel Cakka.

“Halo..”

Suara Cakka seketika memenuhi telinga Agni yang sekaligus membuktikan pemilik ponsel yang berdering itu sesuai dengan yang ia pikirkan. Dari nada suaranya, ia dapat merasakan pemuda itu tengah gelisah.

Ia berbalik mendekati pintu dan membukanya pelan-pelan. Ia kemudian diam-diam mengamati Cakka dari celah pintu di depannya.

“Kabar aku? Kemana aja kamu?” Nada suara Cakka mendadak berubah sinis.

Agni mengamati garis rahang pemuda itu yang ikut mengeras. Pemuda itu diam untuk beberapa saat.
“Putus?” lirih Cakka. Tatapan matanya berubah sendu.

Agni melihat pemuda itu tertawa pilu. Dan hal itu membuat perasaan tidak nyaman baginya. Sudah jelas, saat ini Cakka tengah berbicara dengan kekasihnya, Febby. Ia memegang dada sebelah kirinya dan menekannya beberapa kali berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba cepat.

“Kenapa? Kamu ngerasa peluang kamu dapetin Alvin makin gede sekarang karena satu rumah sama dia?”

Bola mata Agni seketika melebar mendengar ucapan sinis Cakka barusan. Bagaimana dia tau kalau saat ini Febby tinggal di rumah Alvin? Apa Alvin yang mengatakan padanya? Kapan? Apa Alvin juga tau kalau Febby itu kekasihnya? Lalu, bagaimana dengan Cakka? Apa pemuda itu marah pada Alvin? Apa mereka berdua bertengkar sekarang?

Haiss...kenapa gue jadi kepo banget sih?!

“Apa dosa aku sama kamu? Kemaren Kiki, sekarang kamu mau ngancurin hubungan aku dengan Alvin? Huh, kamu ga akan berhasil.” Cakka sesaat diam seraya menghela napas.

“Alvin punya pacar. Jadi, jangan bikin temen aku jadi brengsek.” Cakka menjauhkan ponselnya dari telinga. Sepertinya pemuda itu sudah memutus sambungannya dengan Febby. Pemuda itu menunduk seraya berkacak pinggang. Napasnya naik turun persis seperti orang habis berlari.

Sesaat kemudian kepala Cakka terangkat diikuti erangan dari mulutnya. Ia lantas tersenyum miris. “Kenapa..kenapa gue?! Dan..kenapa harus lo, Vin?” lirih Cakka.

Sialnya telinga Agni masih bisa menangkap suaranya tersebut. Agni segera menutup pintu toilet kembali lalu berjalan sampai ke depan wastafel. Ia lantas menertawai keanehan dirinya sendiri.

No hard feeling..yeah, emang harusnya no hard feeling.” Gumamnya berbicara sendiri.

Ia lalu menatap bayangannya pada cermin. Tangannya terangkat untuk menyentuh liontin kalungnya. Ia meremas pelan benda tersebut lalu menghela napas berat. Tangannya lalu menumpu di pinggiran wastafel seraya kepalanya tertunduk dalam. Ia panik. Ia panik. Ia panik!

***

Agni termenung sambil memandang ke luar dari jendela mobil. Moodnya kelihatan makin buruk. Selepas ia kembali dari toilet, teman-temannya bilang Cakka sudah lebih dulu pulang. Pemuda itu bahkan tidak berpamitan padanya atau bahkan tidak ingat dengannya. Tidak ingat janjinya yang akan mengantar jemput Agni tiap latihan basket ketika mengajaknya kembali ke klub.

 Ia terpaksa mengarang alasan pada Kiki dan harus merepotkan pemuda itu padahal pemuda itu juga sedang latihan untuk event penting.

Apa sampai begitu besarnya pengaruh Febby pada Cakka? Selama ini perasaan Cakka pada Febby tidak berubah. Hanya sedikit lupa karena beberapa waktu ada hal yang sempat mengalihkan fokus Cakka.

Ketika waktu itu datang, semuanya kembali seperti semua. Semuanya tidak pernah berpindah tempat. Kadarnya sama tidak berkurang sama sekali. Atau mungkin sedikit. Entahlah, hanya Cakka yang tahu itu. Yang pasti, sebesar apapun yang dapat membuat pemuda itu lupa akan dirinya.

Diam-diam Kiki yang ada di sebelahnya mengamatinya lalu mengernyit heran. Pemuda itu tampak sekali ingin bertanya tapi ragu harus melakukanya atau tidak. Biasanya, kalau Agni sedang bete, tanpa ditanya pun gadis itu akan langsung bercerita panjang lebar padanya.

Namun, saat ini gadis itu hanya diam membisu sambil memasang tampang kusut. Mungkin lamanya waktu yang memisahkan mereka ikut mengubah sikap lama Agni. Tapi, ia tetap penasaran. Apa yang terjadi padanya? Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan Cakka?

For you, for you. Baby I’m not movin’ on, I love you long after you gone..

Kiki melirik nama yang berkelap-kelip pada layar ponsel Agni. Tepat sekali. Nama Cakka yang muncul di sana dan Agni hanya membiarkan ponselnya hingga berhenti berbunyi. Gadis itu bahkan kemudian mematikan ponselnya.

Kelihatan sekali kalau ia menolak berhubungan dengan Cakka. Setidaknya untuk saat ini. Yang secara jelas membenarkan dugaan Kiki kalau Agni bersikap murung seperti ini karena Cakka.

“Kenapa ga diangkat?” tanyanya tak tahan. Agni menoleh padanya lalu menggeleng pelan. ia kembali bersandar pada kaca jendela sambil memandang ke luar.

Kiki berusaha menekan rasa ingin tahunya saat ini. Mungkin Agni butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Kalau ia desak, yang ia dapati hanya dirinya menjadi bulan-bulanan pelampiasan kekesalan gadis itu padanya.

***

Cakka menghembuskan napas berkali-kali sambil memandang bersalah pada ponselnya. Ia baru saja melakukan kesalahan yang cukup besar. Bagaimana mungkin ia sampai lupa pada Agni? Hanya karena kalut memikirkan Febby? Yang benar saja!

Selama ini ia hampir tidak pernah lagi berkontak apalagi bertatap muka dengan Febby. Tapi ketika gadis itu muncul secara tiba-tiba, serta merta membuatnya menjadi kacau seperti sekarang. Bagaimana pun ia pernah punya perasaan pada gadis itu. Perasaannya tulus.

Orang-orang mungkin menyangka kalau ia sama saja seperti Gabriel. Soal perasaan tidak pernah pakai hati. Atau berhati dingin seperti Rio. Klasik sih, tapi ia dulu memang jatuh cinta pada Febby, bahkan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Cakka merebahkan tubuhnya ke kasur dan meletakkan ponselnya asal-asalan. Ia mengambil bantal lantas ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Mengingat Febby sedikit mengusik ketenangan hatinya. Ia tidak bisa mengelak kalau nama Febby masih tersangkut di salah satu sisi hatinya entah dimana setelah seharian ini ia tidak bisa menyingkirkan gadis itu dari kepalanya.

Tapi ia juga tidak bohong kalau sudah tumbuh tunas-tunas rasa untuk Agni di sisi hatinya yang lain. Masalahnya…yang benar saja, masa ia suka keduanya?

Febby, Febby. Kenapa harus muncul di saat-saat seperti ini, sih?

“Woy Cakecak!”

Tempat tidur yang ia tempati terasa bergoyang bersamaan dengan pukulan ringan di tulang keringnya. Ia mengintip dari balik bantal dan tampak Chelsea sedang duduk bersila di sampingnya seraya menatapnya heran. Ia melengos sambil menutup wajahnya kembali.

Cakka, Kak, Cakka.” Jawabnya tanpa niat.

Chelsea melipat kedua tangannya di dada seraya mengamati adik sepupunya tercinta. Kelihatannya adiknya itu tidak dalam suasana hati yang baik. “Kenapa lo? Lesu amat,” komentarnya sambil menggoyangkan salah satu kaki Cakka.

Cakka menurunkan bantal di depan wajahnya dan beralih memeluk benda itu. Matanya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. “Lo pernah ga, Kak, suka sama orang selain Kak Bagas?”

Chelsea mengernyit bingung lalu menganggukkan kepalanya. “Ya pernahlah. Bagas kan bukan pacar pertama gue.”

“Lo suka sama Kak Bagas, lo juga suka sama orang lain..disaat yang sama..” ujar Cakka entah bertanya atau hanya sebuah pernyataan.

Chelsea memandang Cakka lekat-lekat lalu kemudian menangkap maksud ucapan Cakka sekaligus membuatnya paham alasan kenapa sang adik murung seharian.

“Lo kena cinta dua hati ya?” godanya seraya mengarahkan telunjuknya ke arah Cakka. Namun, sepertinya Cakka tidak terpengaruh. Pemuda itu tetap saja melamun.

“Emang lo suka sama siapa lagi selain Agni?” tanyanya sedikit serius.

Cakka beranjak duduk dan bersandar pada kayu ranjangnya. Ia menatap Chelsea seraya memberengut. “Febby..” lirihnya.

Mata Chelsea melotot mendengar nama itu akhirnya disebut kembali oleh Cakka. “What?! Febby?!”

Cakka mengangguk seraya menghela napas. “Iya. Tadi siang dia nelpon, ngajakin putus.” Bebernya tanpa dusta.

Mata Chelsea seketika kembali normal dan ia menghela napas lega. “Bagus lah. Gue juga ga sreg lo sama dia. Tapi..dia nelpon lo cuma buat minta putus? Helooo, kemana aja tuh orang baru muncul?” Balasnya geram.

Cakka berdecak lemah. “Itu dia masalahnya. Seharusnya dia ga usah muncul lagi.”

Wait, wait. Jangan bilang lo galau karena dia?” Tukas Chelsea dengan pandangan mencemooh. Cakka mengangguk masam dan seketika membuatnyamelengos.

“Gue bahkan ninggalin Agni tadi padahal gue yang udah maksa dia dateng dan janji nganterin pulang..” Air muka Cakka makin muram mengingat kelalaiannya pada Agni. Apa Agni akan marah padanya? Yaiyalah! Telponnya saja di reject dan sekarang ponselnya tidak aktif.

Chelsea mengerang kesal sambil memegang kepalanya. Bagaimana bisa Cakka, adik sepupunya yang begitu tampan tapi punya mental kucing seperti ini? Baru mendengar gonggongan anjing saja langsung ciut di tempat dan lupa dengan sekitar.

Cakka oh Cakka. Gara-gara kebodohan adiknya ini, ia harus terancam kehilangan calon adik ipar kesayangannya. Meskipun ia belum pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Agni, tapi entah kenapa hatinya langsung terpikat dengan gadis itu.

“Baru sadar gue punya adek bego.” Gerutunya kesal. Cakka hanya menghembuskan napas pasrah. Ia memang salah dan wajar Chelsea berkata seperti itu padanya.

“Terus sekarang lo bengong doang di sini? Malah mikirin cewek ga jelas yang udah bikin Agni marah? Lo lebih mikirin cewek yang ga pantes itu daripada mikirin gimana caranya ngebujuk Agni, huh?” Chelsea melempar tatapan tajam pada Cakka. Ia benar-benar gemas. Ah, ia saja sudah seperti ini apalagi jika Agni tahu? Gadis itu pasti sudah menggantung Cakka di ring basket.

“Gue udah coba telfon tapi ga diangkat trus hapenya malah mati. Gue harus apa lagi, kan?” balas Cakka tak ingin merasa dipojokkan.

Chelsea mencibir ke arahnya. “Trus sampe disitu aja? Lo tuh ya! Lo beneran mau dijauhin sama Agni, huh?!”

“Ya enggaklah!” Cakka menjawab cepat. Ditinggal Febby saja ia sudah begini bagaimana kalau Agni? Bunuh aja gue lah!

Chelsea langsung menjentikkan jarinya di depan Cakka. “Nah itu tau. Trus kenapa lo masih disini, heh?”

Cakka mengernyit bingung lalu kemudian ia paham apa maksud ucapan Chelsea. Ia spontan menepuk jidatnya keras. Chelsea benar. Kenapa ia bukan mendatangi rumah Agni untuk meminta maaf malah berdiam diri tak jelas di kamarnya? Ia seharusnya menemui gadis itu dan membujuknya. Dan ketika membayangkan Agni mau memaafkannya mendadak hatinya merasa tenang.

Ya ampun! Kenapa ia baru sadar?! Sedari tadi ia uring-uringan karena Agni! Lihat saja, Agni bisa langsung memperbaiki moodnya yang tadi benar-benar anjlok. Semua ini karena Agni. Bukan Febby, tapi Agni.

“Oh kakak sepupu gue yang paling cantik, lo bener-bener penyelamat gue! Semoga lo langgeng ama Babang Bagas, muah!” katanya sumringah seraya meninggalkan kecupan ringan di pipi Chelsea.

Chelsea berjengit ketika Cakka mencium pipinya. Selanjutnya ia hanya geleng-geleng kepala melihat pemuda itu lari terbirit-birit meninggalkannya di dalam kamar.

Tapi kemudian ia teringat satu hal yang ia lupakan. Ada sesuatu yang seharusnya ia beritahukan pada Cakka. Dan itu jugalah yang membuatnya datang ke kamar Cakka menemui pemuda itu.

“Astaga! Sekarang malah gue yang telmi, ckck..”

***

Mobil Kiki berhenti melaju beberapa saat sampai lampu merah di sampingnya berubah menjadi hijau. Suasana di dalam mobil masih sama seperti sebelumnya. Tak ada dari mereka yang berbicara. Bahkan matinya pemutar musik di dalam mobil makin menambah ketegangan yang ada.

Kiki tidak bertanya apa-apa lagi setelah ucapannya terakhir kali. Ia membiarkan Agni menikmati ketenangannya. Ia juga memastikan tidak akan ada yang mengusik gadis itu termasuk suara dari radio mobilnya. Tidak akan ada yang menjamin benda tersebut tidak menyuarakan senandung yang isinya akan memperburuk suasana hati Agni saat ini.

Di tengah kesunyian tersebut, Agni secara ajaib berbicara. Kiki tak ayal mendengarnya dengan seksama.

“Kak..”

Kiki diam menunggu dengan sangat-sangat sabar. Agni menarik napas lalu menoleh ke arahnya. Pandangan matanya redup. Dibanding sedih, entah kenapa ia merasa Agni sekarang justru sedang ketakutan. Dadanya sangat tidak nyaman melihat itu.

Tidak, saat ini ia tidak sedang memandang Agni sebagai kekasih angan-angannya, melainkan benar-benar melihat gadis itu sebagai adiknya. Perasaan tidak nyaman ini sebagai bentuk perhatiannya sebagai kakak.

Agni menelan ludah dengan susah payah. Ia menatap Kiki dalam-dalam seolah mencari ketenangan di dalam sana. “Patah hati itu...sembuhnya lama gak?” Suaranya pun terdengar lirih.

Kiki sesaat diam lalu kemudian tersenyum hangat. Ia lantas mengusap kepala gadis itu sebagai ungkapan sayangnya sebagai kakak. Mengajak gadis itu agar mau berbagi kegundahannya padanya. Menjadikan dirinya sandaran agar tidak lelah dan kalah. Seperti biasanya. “Adek gue tersayang lagi kenapa, hmm?”

“Gue belom siap patah hati, Kak..” Agni masih berujar lirik. Ia tersenyum masam pada Kiki.

“Sebelum patah hati, lo harus lebih dulu jatuh cinta. Emang lo udah jatuh cinta?” Tanya Kiki sambil mengamati setiap perubahan di wajah Agni.

Agni sama sekali tidak berniat berbohong. Ia lantas mengangguk jujur yang disambut dengan helaan napas dari Kiki. Bukan marah, tapi mengerti.

“Cakka?” Tebak Kiki. Jawaban Agni tidak berbeda sama sekali. Ia menganggukkan kepala untuk kedua kalinya.

TIIN!!

Klakson mobil yang berada di belakang mereka mengalihkan fokus Kiki seketika. Ia memutuskan melajukan mobilnya terlebih dahulu tanpa membuat Agni merasa terabaikan.

“Bentar..” Katanya menyiratkan Agni untuk menunggu. Agni diam tak banyak protes. Hanya saja, pandangannya kembali berpindah ke arah depan.

Setelah kecepatan mobilnya stabil, barulah Kiki bersuara kembali. “Lawan perasaan lo, Ni..” Gumamnya pelan tanpa menatap Agni langsung.

Agni menoleh pada Kiki dengan tatapan menereka-nerka. Apa Kiki bermaksud menyuruhkan berhenti memendam perasaannya pada Cakka? Apa ini murni dari pikiran dewasanya atau terkontaminasi dengan ketidaksukaan sang kakak pada Cakka?

“Lawan kalo dia bukan orang yang pantes. Perjuangin kalo dia orang yang pantes...dan kalo lo ngeliat ada harapan.” Kiki berkata lagi yang sekaligus menjawab rasa penasaran Agni sebelumnya.

Agni sesaat bergeming kagum melihat Kiki. Ia tahu Kiki membenci Cakka. Namun, sekalipun pemuda itu tidak pernah mempengaruhi pikirannya tentang hal buruk mengenai Cakka. Pemuda itu bahkan tidak memberitahu sejarah mereka berdua padanya. Justru semuanya datang dari Cakka.

“Patah hati itu pasti, Ni. Justru jatuh cinta yang abstrak. Lo bakal sadar lo jatuh cinta, baru setelah lo patah hati. Udah terlambat buat lo ngerasa takut karena semuanya udah duluan terjadi.” Kiki dengan ucapan bijaksananya kembali unjuk diri.

Agni merasa tertampar oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan Kiki. Semua yang dikatakan pemuda itu adalah kebenaran. Ucapan pemuda itu menyadarkannya bahwa dirinya bodoh jika mengaku takut patah hati seolah-olah dirinya belum merasakan itu. Nyatanya sekarang hatinya sudah terbelah dua karena Cakka.

“Gue harus gimana, Kak?” Tanyanya kemudian dan berkonsentrasi penuh pada Kiki.

Sekali lagi, senyum damai di wajah Kiki kembali mengembang. “Jangan jadi pengecut. Hadapin patah hati lo. Lo cuman patah hati, bukan mati. Lagian, lo masih muda, Ni! C’mon, Man! Sayang banget kalo lo meruntuhkan semua dunia lo karena sekali patah hati.”

Agni sekali lagi tertampar oleh ucapan Kiki. Ia benar-benar sadar kalau dirinya begitu bodoh. Yakali gue jadi sekali senggol baper gini? Gak lo banget emang, Ni. Najis dah gue!

Setelah sekian lama akhirnya senyum Agni akhirnya muncul ke permukaan. Dada Kiki sontak kembali terasa lapang tidak lagi sesak seperti sebelumnya. Adiknya yang tangguh sudah kembali. Bukan. Lebih tepatnya, adiknya itu memang terlalu tangguh untuk bisa dikendalikan oleh sebuah perasaan bergelar patah hati.

Jadi pengen bawa pulang...eh iya, untung serumah, kan?

***

Kedatangan mobil Kiki disambut oleh Cakka yang sudah bertengger di depan halaman rumah sambil duduk nyaman di atas motornya. Pemuda itu tampaknya sudah menunggu sedaritadi.

Di samping Kiki, Agni berdecak malas. Tidak ada gurat-gurat kesedihan lagi di wajahnya. Ia diam-diam tersenyum melihat itu.

“Pake dateng segala..” Heran Agni.

Kiki tertawa kecil lalu menoleh ke arahnya. “Lo atau gue nih yang nemuin?” Tantangnya seraya mengerling.

Agni berdecak lagi. “Gue aja. Cewek banget keliatannya gue kalo sampe ga berani nemuin.” Sahutnya tanpa keraguan di wajahnya.

Kiki kembali tertawa riang. “Buset dah adek gue kapan nyadar kodratnya sendiri? Ya deh terserah. Jangan mewek ya. Ga pantes, hahaha..”

Agni mencibir seraya memutar kedua bola matanya namun tidak membalas cercaan Kiki padanya. Mereka kemudian keluar bersama dari mobil. Kiki memutuskan masuk lebih dulu setelah mengedikkan bahu menatap Cakka. Sementara Agni singgah sebentar untuk menghadapi sang tamu.

Cakka yang tadi duduk lekas berdiri menyambut Agni dengan tampang gugup. Ia tersenyum kaku pada gadis itu yang tampak biasa saja di depannya.

“Abis darimana lo?” Tanya Agni yang memutuskan bersikap santai dengan Cakka. Setelah dipikir ulang, tidak patut juga rasanya kalau ia marah hanya karena Cakka pergi begitu saja.

“Ni, so—sorry gue lupa janji nganterin lo pulang t—terus pergi ga bilang-bilang.” Ungkap Cakka sungguh-sungguh. Wajahnya benar-benar panik.

Agni tertawa kecil melihat Cakka yang sekarang seperti ketahuan mencuri. “Elah udah kayak gue pacar lo aja rusuh gitu. Sans, Men, sans! Gue punya hape, punya kuota, punya yang bisa dimintain jemput, gue juga belum lupa alamat rumah gue sendiri. Gue pasti pulang dengan selamet kok!” Lerai Agni.

Cakka merasa senang dan tidak senang di saat yang bersamaan. Sikap tenang Agni membuatnya senang namun tidak lega. Mendadak ia mengharapkan gadis itu marah sekarang. Kalau gadis itu marah, itu artinya gadis itu memiliki perasaan khusus padanya, kan? Tapi, yang ia dapat justru ‘kebaikan’ gadis itu.

Tapi, sudahlah. Yang penting hubungan mereka berdua tidak kembali huru hara. Ia pada akhirnya tetap menghela napas lega. “Lo beneran gak marah kan, Ni? Lo gaakan tiba-tiba ngediemin gue abis ini, kan?” Tanyanya memastikan.

Agni tersenyum simpul. Duh, baper-able banget sih Pak jadi orang?

“Iya. Sekali lagi lo nanya gue baper nih?” Wanti Agni ingin menyudahi situasi tidak penting saat ini antara dirinya dan Cakka. Situasi tidak penting namun sangat berbahaya.

Giliran Cakka sekarang yang tertawa sekaligus menutup drama roman picisan mereka beberapa saat lalu. Meski Cakka diam-diam bergumam dalam hati.

Gue udah baper kali, Ni.

***



Via turun dari motor Gabriel dan berjalan hingga ke teras rumahnya lalu berdiri menunggu Gabriel menjalankan motornya kembali. Gabriel tak henti menatapnya dengan pandangan yang ia tak mengerti. Pemuda itu mulai memundurkan motornya lalu memutar balik tanpa mengucapkan apapun. Namun, belum sempat keluar dari halaman rumahnya, motor Gabriel berhenti karena pada saat yang sama mobil Riza baru saja tiba di depan pagar.

Via langsung merasakan ketegangan dalam hatinya. Ia merasakan ada hawa aneh antara papanya dan Gabriel. Meski Gabriel membelakanginya, tapi ia yakin kalau pemuda itu pasti sedang menatap tajam Riza dan bak pinang dibelah dua, Riza pun balas melakukan hal sama. Mereka sama-sama bertahan di posisi masing-masing, belum ada yang ingin mengalah.

Via membalikkan badannya tak ingin menyaksikan perhelatan itu lebih lanjut. Ia tidak ingin nanti Riza mendatanginya dan memarahinya lagi karena keberadaan Gabriel saat ini. Ia lantas memutuskan berlari masuk ke dalam rumahnya dan segera masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu.

Sementara itu, pada akhirnya, Gabriel mengalah dan memundurkan motornya agar mobil Riza dapat berbelok masuk. Ia diam sembari menunggu Riza memajukan mobilnya sambil memalingkan wajahnya. Riza sempat berhenti dan menurunkan kaca mobilnya ketika berpapasan dengan Gabriel.

“Om ingin bicara sama kamu besok.” Titahnya dengan dingin dan tegas tanpa memandang Gabriel. Gabriel hanya diam tanpa menjawab apapun. Ia menurunkan kaca helmnya lalu mengegas motornya pergi.

***
Via menghempas tubuhnya ke kasur sambil menatapi layar ponselnya. Memandangi foto terakhirnya bersama Gabriel. Ini bahkan belum lewat satu hari. Tapi, kenapa hatinya seperti merasa menyesal? Menyesal karena sudah berusaha menendang pemuda itu jauh-jauh dari hidupnya. Ia lantas menutup matanya seraya meringis pelan dan memukul-mukul pelan keningnya dengan ujung ponsel.

“Lo mikir pendek banget, sih, Vi..” lirihnya.

Tiba-tiba gerak tubuhnya berhenti lalu ia mendadak mendudukkan dirinya. “Ya lagian, ngapain si Gabriel pake bilang mau nembak Zaza segala? Setelah dia ngasih harapan setinggi langit sama gue...maksudnya apa?! Hhh..”

Via menghempas tubuhnya lagi sambil merentangkan tangan. Ia sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa sekarang.

Sementara Via yang dilanda stres, Gabriel baru saja sampai di rumahnya. Ia berjalan memasuki rumah serta menaiki tangga menuju kamarnya dalam diam. Kedua orang tuanya sepertinya sudah berada di kamar sehingga ia tidak diharuskan mendapat introgasi sesaat dari mereka berdua. Ia pun melakukan hal yang sama setelah menutup pintu kamarnya. Ia menghempas tubuhnya ke atas kasur sambil memandangi layar ponsel.

Namun, berbeda dengan Via yang langsung menggerutu kesal, ia hanya diam hingga tiba-tiba ia tersenyum miring. Ia bahkan tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.

“Gak capek apa, Vi, lo nyuruh gue ngejauhin lo tiap gue bahas orang lain? Tapi...gue jadi penasaran. Sampe kapan lo bisa bertahan. Kayaknya seru juga.”

***

Dua laki-laki berbeda usia ini diam dengan saling memandang satu sama lain. Hingga akhirnya yang paling tua mengalah dan memulai pembicaraan di antara mereka.

“Kenapa ya harus kamu yang dicintai anak saya? Playboy kacangan kayak kamu?” Heran Riza seraya tertawa mencemooh.

Gabriel menaikkan alisnya lantas mendengus geli. “Anak Om atau anak-anak Om?” ucapnya dengan nada bangga.

Tawa Riza berhenti dan ia menatap Gabriel sambil menaikkan alis bingung. “Yaah..masih bagus anak Om cinta sama playboy kacangan kayak saya, daripada dia cinta sama playboy kelas berat kayak Om, kan?” Sambung Gabriel dengan santai, tanpa takut dengan air muka Riza yang berubah marah meski masih berusaha ditahan.

“Kita percepat obrolan ini. Kamu, sekali lagi saya liat kamu berhubungan dengan Via, saya akan—“

“Emang kenapa? Om takut Via saya mainin kayak saya mainin Prissy?” sela Gabriel sinis.

Riza berjengit memandangnya aneh lalu melengos serta tertawa sesaat. “Saya hanya memikirkan Prissy. Saya gak akan memaafkan kamu kalau sampai kamu nyakitin hati Prissy.”

Gabriel mengepal tangannya yang tersembunyi di balik meja kuat-kuat. Menyalurkan segala amarah dalam dadanya. Ingin sekali ia menghantam tinjunya itu ke wajah laki-laki tak punya hati di hadapannya.

Tapi, ia tidak ingin dirinya terlihat sama saja dengan laki-laki itu. Ia sadar saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menyuarakan semua emosinya. Ia harus banyak-banyak bersabar agar nanti ia bisa membalas semua perbuatan Riza dengan efek yang lebih menyakitkan daripada sekedar rasa nyeri di wajah.

“Om dengar baik-baik, semua ini adalah pantulan dari perbuatan Om sendiri. Om menyakiti Via maka saya akan menyakiti Prissy. Saya juga gak akan memaafkan Om kalau Om masih aja nyakitin Via, juga Tante Fira.” Gertak Gabriel tajam.

Riza tampak terdiam mendengar ucapan pemuda itu. Ia hanya memandangi pemuda itu lekat-lekat sambil memikirkan sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat Gabriel tidak bisa melawannya.

“Om akan mindahin Prissy ke sekolah kamu kalo kamu gak menuruti peringatan Om sama kamu.” Ancamnya.

Sekali lagi Gabriel mengepal tangannya kuat-kuat. Dia pikir ancamannya sehebat itu? Tunggu aja saatnya nanti, Om. Om akan memetik buah hasil perbuatan Om dengan tangan Om sendiri. Mungkin ini bukanlah balas dendam yang dahsyat. Tapi setidaknya cukup untuk ngebuat Om ngerasa pengen ngebakar muka Om sendiri.

***

Gabriel benar-benar melakukan apa yang Via minta. Pemuda itu tidak sekalipun mengajaknya bicara bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Dari penampakannya, Gabriel seperti tidak punya beban apa-apa ketika harus berjauh-jauhan dengannya.

Harus ia akui, hatinya seperti teriris-iris mendapati sikap Gabriel seperti itu. Bahkan rasanya lebih perih ketimbang mendengar pemuda itu membicarakan perasaannya terhadap gadis lain. Ternyata memang benar, sakit itu bukan kita kehilangan orangnya tapi ketika kita tidak lagi punya waktu untuk sesuatu berlabelkan kebersamaan.

Via berjalan mondar-mandir di kamarnya sendiri sambil memegang ponsel. Bibirnya berkomat-kamit merapalkan kata ‘telfon, enggak, sms, enggak, chat, enggak’ berkali-kali hingga kemudian ia berhenti dan mengerang frustasi. Ia menggigit jarinya dan tanpa sengaja menatap bayangannya di cermin.

“Enggak, Vi. Lo gak boleh nyerah dulu. Bukan lo yang harusnya nyerah, tapi Gabriel. Lo harus bisa buat dia mohon-mohon buat baikan lagi sama lo. Lo harus bisa! Atau mungkin, lo harus kuat...” rapalnya seraya mengangguk-anggukkan kepala meyakinkan dirinya sendiri. Tapi setelah itu, ia menghela napas berat.

Sementara di lain kamar, Gabriel duduk di kasurnya sambil melihat ponselnya sebentar. “Gak ada yang nelfon atau chat gue, nih? Nasib..nasib..” katanya seraya mengedikkan bahu pasrah lalu meletakkan ponselnya kembali.

***

Hampir seminggu lamanya Via merasa merana sendiri setelah sembarangan ‘mendepak’ Gabriel dengan harapan ia bisa tenang. Namun, yang terjadi justru dirinya tidak bisa berhenti untuk tidak melihat dan memikirkan pemuda itu.

Ia sudah tidak tahu lagi ini disebut kualat atau senjata makan tuan atau dua-duanya. Ia juga sudah tidak tahu ia sebenarnya mengharapkan Gabriel pergi dari hidupnya atau tidak. Tapi, mungkin sekarang ia sudah menemukan jawabannya.

Ia tidak bisa jauh-jauh dari Gabriel. Seberapa pun sakitnya bersama Gabriel, jauh lebih sakit rasanya ketika mendapati mata pemuda itu enggan untuk melihat ke arahnya lagi.

Drrt..drrt..

Kerisauan hati Via sedikit teralih pada getaran iphonenya di atas nakas. Ia berguling di kasurnya untuk mengambil benda tersebut serta mengecek apa yang terjadi di sana. Sebuah pesan masuk dari Gabriel.

Dari Gabriel.

Dari? Gabriel.

Iya, dari Gabriel. Gabri..

“IEL?!” pekiknya seolah baru sadar.

Tubuhnya langsung terduduk tegap dengan muka masih mengerjap-ngerjap. Masih percaya tidak percaya kalau Gabriel sekarang menghubunginya. Baru saja ia berdoa supaya Gabriel kembali dan Tuhan langsung mengabulkannya. Tapi...tunggu dulu. Kenapa dia chat ke Iphone? Batinnya bertanya-tanya.

Seketika itu juga, hati Via mencelos. Tidak aneh kalau Gabriel menghubunginya. Karena yang sesungguhnya dihubungi Gabriel itu adalah Zaza. Gabriel mengirim pesan ke nomor Zaza bukan nomornya. Ia spontan mendesah pelan. Ia kembali merebahkan tubuhnya sambil terus memandangi layar ponsel dengan sedih.

“Apa sih yang lo cari dari Zaza, Yel?” Ia mulai bergumam.

Tapi tiba-tiba ia terduduk lagi. Memangnya apa masalahnya kalau yang dihubungi Gabriel itu Zaza? Zaza kan dirinya juga. Yang akan terima enak juga dirinya, kan?

Via menggigit bibirnya menimang-nimang. Hingga akhirnya ia pun mengalah pada tuntutan hatinya dan mulai membalas pesan Gabriel tersebut.

Sementara di tempat lain, Gabriel mengembangkan senyumnya lebar-lebar. Setelah selama ini menahan rindunya dengan gadis itu, sekarang perasaannya sudah tidak bisa dibendung lagi. Yang lebih membahagiakan hati, gadis itu juga rupanya tidak bisa lama-lama berjauhan dengan dirinya.

***

Zaza atau mungkin Via saja, duduk di bangku yang disediakan untuk membaca di dalam toko buku tempat biasa ia menunggu Gabriel. Novel ditangannya mungkin lebih menjadi sebuah tameng untuknya agar bisa tetap berada di dalam toko. Meskipun novel itu benar-benar ia pilih dan sudah ia beli.

Tapi, untuk saat ini, hasrat dalam hatinya terbagi menjadi dua. Antara membaca dengan menanti-nanti dengan sangat tidak sabar akan kedatangan Gabriel yang sudah ia tunggu dari satu setengah jam yang lalu. Ngomong-ngomong, ini adalah kengaretan terlama dari pemuda itu sepanjang sejarah pertemuan mereka.

“Kenapa harus lama—banget, sih? Sengaja nih orang? Mentang-mentang gue udah kangen berat? Ck, awas aja ntar!” Ia berkomat-kamit dari balik halaman novel tanpa bisa mengalihkan perhatiannya pada pintu masuk toko buku. Hingga akhirnya...

Tada!

Pintu masuk terdorong ke dalam dan bersamaan dengan itu muncul lah sosok Gabriel dari balik sana. Pemuda itu memutar pandangannya mencari-cari keberadaan Via lalu kemudian tersenyum ketika melihat gadis itu.

Via meremas novelnya sembari menatap lekat-lekat Gabriel yang semakin dekat dengannya bahkan hingga sudah berdiri dan duduk di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang apalagi ketika pemuda itu tersenyum ke arahnya. Persis seperti bocah yang baru pertama kali jatuh cinta.

Via tidak tahu jantungnya ini berdebar karena ia mendadak jatuh cinta ulang atau karena rasa rindu dalam hatinya yang sudah tak tertahankan. Ingin rasanya ia meloncat ke arah Gabriel dan memeluknya erat. Kalau perlu ia bawa ke rumah dan dijadikan pajangan supaya ia bisa melihatnya bersamanya setiap saat.

Ck, rasanya sekarang ia mulai berlebihan. Mungkin ini efek ia sudah terlalu banyak melihat wajah datar Gabriel yang memandangnya setiap ada kesempatan berpapasan di sekolah atau dimana saja mereka bertemu. Sehingga melihat tatapan hangatnya merupakan hal baru lagi untuknya.

“Kamu gak mau mukul saya pake novel lagi?” tanya Gabriel sambil menaikkan alis.

Via menggeleng pelan dengan tatapan polos. “Buat apa?”

Gabriel mengedikkan bahu sekilas. “Apa aja. Pelampiasan perasaan mungkin, karena gak saya hubung-hubungin..”

Jantung Via berdebar lagi. Kenapa ia merasa saat ini Gabriel itu sedang berbicara dengan dirinya sendiri, bukan Zaza? Tapi, Gabriel kan tidak tahu kalau dirinya itu menyamar menjadi Zaza. Atau jangan-jangan Gabriel sudah tahu?

“Kamu kenapa jadi pendiem gini? Biasanya galak mulu sama saya.” Ujar Gabriel lagi.

Seketika menyadarkan Via dan menyangkal semua pemikiran dalam kepalanya. “Hari ini kamu ganteng. Saya terpesona. Sampe gak bisa ngomong.” Balas Via santai dengan senyum tulus.

Iya, Yel. Lo ganteng banget! Tapi...lo emang gak pernah gak ganteng, sih. Eh pernah deh. Lo gak ganteng kalo lagi php-in gue. hehe..

Gabriel tampak terkejut setengah mati. Pemuda itu langsung berseru sumringah. Hatinya seperti baru ditumbuhi bunga sakura setelah sebelumnya ditumbuhi kaktus karena tandus. Ia benar-benar senang. “Alhamdulillah! Akhirnya kamu sadar juga!” katanya sambil menengadahkan tangan.

Via memutar kedua bola matanya meski tetap tersenyum juga. “Baru juga saya bilang ganteng. Belum saya bilang kangen.” Katanya lagi dengan senyum menantang.

Tubuh Gabriel membeku sesaat. Ia langsung menoleh pada Via dengan tatapan tidak percaya. Hingga ia kembali tersenyum dan nyaris speechless. “Mbak..serius?”

Via pura-pura melengos. “Baru aja saya mau buka hati buat kamu, kamu malah manggil saya mbak lagi. Kapan aku nikah sama Mas-mu?” Dumelnya.

Sekali lagi Gabriel dibuat terbengong-bengong. Rasanya seperti kejatuhan duren. Mendapat banyak rezeki mendadak. Pertama, Zaza memujinya. Kedua, Zaza bilang kangen padanya. Ketiga, Zaza ingin membuka hati untuknya. Kurang lengkap apalagi?! Berarti itu artinya...

“Mbak—maksud saya, kamu mau nerima saya?” tanyanya masih dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Via menolehkan kepalanya lagi dan tersenyum geli. Ia lantas menganggukkan kepalanya.

“Haah...? Padahal saya belum nembak loh..” racau Gabriel lagi dengan pandangan takjub luar biasa.
Senyum Via meluntur mendengar itu. Wajahnya berubah sedikit kesal. “Kayaknya saya salah memutuskan buka hati buat kamu. Kalo gitu—“

Stop! Stop!” potong Gabriel cepat. Ia sudah sadar sesadar-sadarnya. Ia memandang Via dengan tajam dan dalam. Via bahkan sampai sulit bernapas.

“Kamu beneran mau jadi pacar saya—emm..aku, kan?”

Via tiba-tiba tertawa geli sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya. “Apaan sih lo pake aku-aku-an, biasa way woy juga!” Celetuknya tanpa sadar.

Gabriel tiba-tiba terdiam lagi. Saat itu juga Via ikut terdiam. Baru saja ia keceplosan menjadi dirinya sendiri. Ia merutu dalam-dalam. Bagaimana bisa ia seceroboh itu?! Semoga saja Gabriel tidak mendengar dan menjadi curiga. Meski kemungkinannya kecil melihat reaksi Gabriel seperti itu.

“Gausah aku-kamu-an lah, saya geli.” Katanya lagi berusaha menutupi kegugupan sekalian mengalihkan fokus Gabriel.

Gabriel menggaruk-garuk pelipisnya. “Masa saya-saya-an terus? Rasanya kayak lagi ngomong sama orangtua.”

Via lantas mendelik pada Gabriel. “Bilang aja kalo kamu mau bilang saya ini tua!” Sungut Via.

Gabriel mendecak pelan. “Enggak, Za. Yaampun. Kapan sih kamu gak nethink sama aku?”

“Astaga, kapan sih kamu nurut sama aku? Jangan pake aku-kamu!” kekeuh Via. Tanpa menyadari kalau ia menyebutkan panggilan yang salah.

Gabriel langsung berseru menang sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya. “Nah, kamu juga nyebut aku, kan?! Pokoknya make aku-kamu. Titik!”

Via mendesah pelan sambil memutar kedua bola matanya. Sudahlah, lebih baik mengalah. Ia sudah terlalu paham sifat Gabriel. Pemuda itu tidak bisa direvisi setiap keinginannya. Makin dilarang malah makin gencar. “Yaudah, terserah kamu.” Serahnya.

Gabriel tersenyum senang menatapnya lalu kemudian mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Jadi, kita beneran pacaran sekarang?”

Via tersenyum miring sambil menaikkan alis. “Maunya gimana?”

Senyum di wajah Gabriel pun makin mengembang. “Jadi, kamu cinta sama aku?”

Via mencibir pelan lalu menghela napas. “Iya, saya—aku cinta sama kamu.” Ia masih berusaha membiasakan diri dengan ‘adab’ bicara mereka yang baru.

Mungkin hanya inilah cara agar ia bisa merasakan benar-benar dicintai seorang Gabriel. Meski ia harus menyimpan rasa sakit di hatinya dalam-dalam karena bagaimanapun, yang dicintai Gabriel itu Zaza, bukan dirinya. Ia juga dengan teganya memanfaatkan penyamarannya untuk kepentingan hatinya sendiri. Yang secara tidak langsung membuatnya bermain-main dengan hati Gabriel.

Tapi, toh, dirinya tidak benar-benar berniat mempermainkan Gabriel. Perasaannya pada pemuda itu tulus. Tidak ada salahnya membuat Gabriel bahagia dengan terus memainkan perannya sebagai Zaza. Sambil menyelam minum air. Gabriel senang, ia juga senang.

***

Seperti malam-malam kebanyakan, Via dinner hanya berdua dengan Fira. Tapi entah mengapa, justru di saat hanya ada mereka berdua, suasana terasa ramai, penuh kehangatan. Mereka bisa bebas bersikap bagaimana dan berbicara tentang apapun. Mereka tersenyum, mereka tertawa, dan kadang terdengar gerutuan kecil dari bibir mungil Via ketika Fira menggodanya.

Suasanya benar-benar nyaman. Tidak seperti ketika meja itu lengkap diisi seorang laki-laki dewasa yang memegang kendali dalam keluarganya. Akan sangat jauh berbeda. Mereka di sana bertiga tapi pasti merasa seperti hanya seorang diri. Tidak ada ‘kegaduhan’, yang ada hanya suara dentuman piring dan sendok.

Kalau ia disuruh bicara soal Riza, Via pasti akan lebih banyak diam. Kalau ada yang bertanya siapa papanya, bagaimana keseharian papanya, apa saja yang disukai dan tidak disukai papanya, apa makanan favoritnya, apa klub sepakbola idolanya, dan hal-hal lain tentang papanya, Via pasti juga akan bungkam. Ia benar-benar asing dengan sosok laki-laki yang ia sebut papa itu. Mungkin pegawai kantor papanya bahkan lebih tahu bagaimana papanya ketimbang dirinya sendiri.

Meski begitu, entahlah..ia tetap merasa rindu pada Riza. Setiap malam, diam-diam ia selalu menunggu kedatangan papanya ke rumah di dalam kamarnya. Ia tidak bisa membohongi hatinya kalau ia juga butuh papanya.

Ia tidak bohong kalau ia membenci papanya. Tapi ia tetaplah seorang anak yang sama dengan anak-anak yang lain. Ia juga butuh figur seorang ayah. Tidak peduli bagaimana sikapnya, ia tetap menginginkan papanya. Tidak peduli kalau, misalnya pun, papanya tidak menginginkannya. Tapi itu hanya misalnya. Papanya tidak mungkin tidak menginginkannya, kan?

“Vi?” Suara Fira tiba-tiba menyisip di tengah-tengah pemikirannya tentang Riza.

Via mendongak dan melihat Fira tengah meneguk air putih di dalam gelas yang dipegangnya tanpa menatapnya. “Kenapa, Ma?”

Fira menghela napas singkat sembari menelan air dalam mulutnya dan meletakkan kembali gelas ke atas meja. Ia melipat kedua tangannya lalu telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Matanya memandang menerawang dan tidak fokus ke satu titik.

“Misalnya kamu punya peliharaan, kucing deh..kucing kamu betina. Kamu mau ngawinin kucing betina sama jantan. Trus kamu datenginlah kucing jantannya ke hadapan kucing betina. Kita namain aja yang cewek mika yang cowok miko. Tr—“

“Mama mau melihara kucing?” sela Via tak sabar.

Fira berdecak kesal. “Enggak. Dengerin aja dulu!” rutunya. Via mengernyit meski akhirnya ia diam dan memutuskan mendengarkan mamanya.

“Nah, trus, mika rupanya jatuh cinta sama miko. Tapi mikonya enggak karena miko udah lebih dulu jatuh cinta sama yang lain, namain aja mike. Miko udah lama pacaran sama mike dan tiba-tiba dipaksa kawin sama mika. Meski miko udah nolak dan ngomong sama mika, tapi mika tetep maksa. Pada akhirnya miko benci sama mika bahkan sampai mereka udah punya anak. Miko tetap melanjutkan hubungannya dengan mike bahkan sampai mereka kawin dan punya anak juga...” Fira tiba-tiba saja berhenti bicara. Suaranya pun mendadak memelan. Tatapannya berubah lirih.

Via mengernyit kembali. Mamanya ini sebenarnya kenapa? Apa mamanya benar-benar ingin memelihara kucing? Atau ini adalah kisah cinta kucing peliharaannya dulu?

“Meski begitu, mika gak peduli. Mika tetap mempertahankan miko. Berusaha meluluhkan hati miko. Tapi miko gak pernah sekalipun memandang Mika. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, mika tetap setia sama miko. Sekalipun mika gak pernah protes soal mike. Gak pernah complain soal keringnya perhatian miko sama dia. Sampai akhirnya anak mika dan miko udah besar dan mulai bertanya kenapa sikap ayahnya sedingin itu. Anaknya mulai mengeluh soal sikap miko. Mika akhirnya mikir. Ia mulai merenung, apa sikap bertahannya itu harus tetap dia laksanakan meski ia bahkan anaknya harus senantiasa menyimpan sakit di dalam hati, atau...ia sebaiknya menyerah. Menurut kamu...gimana?”

Via mengunyah cepat potongan ayam dalam mulutnya sambil menatap mamanya bingung sekaligus menyelidik. Ia lalu menancapkan lagi potongan ayam ke garpu, memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya lagi. Ia mengulanginya hingga 3 kali tanpa sekalipun melepas pandangannya ke arah lain. “Mama kenapa, sih?” tanyanya akhirnya benar-benar tak mendapat ide.

Fira kembali mendecak. “Kamu ih mama udah nungguin juga!” dumelnya.

Via balas nyengir. “Abis mama aneh. Tiba-tiba cerita kucing. Yakali ada kucing yang cuma cinta sama satu kucing lain. Kucing mah kawin sama siapa aja, Ma.” Celetuknya.

Fira yang tadinya bersedih ria sekarang berubah jengkel lalu kemudian geli sendiri. Untung ya, anaknya itu seperti Via. “Ya kan mama bilang misalnya, Vi.”

“Ya kenapa harus kucing?” sewot Via, yang tiba-tiba ikut mempermasalahkan kucing.

“Ya apa salahnya sama kucing?” balas Fira tak mau kalah. Sudahkah ia bilang kalau mereka makan bersama akan selalu ada perdebatan?

Pembicaraan yang tadinya diniatkan serius oleh Fira itu pun akhirnya gagal total. Via benar-benar pandai dalam merusak fantasi sedihnya.

***

Ify terpekur memandangi layar ponselnya. Tangannya bergetar setelah selesai membaca pesan yang baru saja masuk ke aplikasi messenger nya. Ia berusaha mengumpulkan segenap tenaga untuk mendial nomor si pengirim pesan namun yang ia dengan kemudian hanyalah suara wanita operator. Nomor yang dihubunginya tidak aktif.

“N—Ni..” lirihnya.

Agni berdehem menyahut tanpa memalingkan fokusnya pada ponsel. Ia sedang berkonsentrasi mencari benda-benda tersembunyi pada game yang ia jalankan.

“Ni..ini apaan, Ni?” Ify meracau dengan panik.

Tak hanya Agni, Shilla pun sontak mengalihkan perhatian mereka pada Ify. Keduanya mendapati sang teman dengan muka pucat pasi meratapi ponsel. Agni sedikit merasa khawatir melihat gadis itu.

“Heh heh apa? Apa yang apaan?” Tanya Agni menyadarkan Ify dari kekalutan yang melandanya.

Ify berbalik badan menghadap Agni dan Shilla lalu menunjukkan isi pesan yang ia terima. Mata Shilla melotot kaget sementara Agni tetap diam namun kepalanya berpikir keras.

From : Siviazizah
Fy, gue gak masuk 3 hari. Alesannya sakit, suratnya ada sama satpam. Nyokap taunya gue studi banding. Gausah panik. I’m fine. Jangan cari gue.’

Shilla buru-buru mencari nomor Via dan mencoba menghubungi gadis itu. Tapi sama seperti Ify sebelumnya, nomor tersebut sudah tidak aktif. Ia lantas ikut panik bersama Ify.

Sementara Agni menutup mata sambil menarik napas dan menghembusnya beberapa kali. Ia tidak boleh berpikir macam-macam. Ia sangat tahu Via. Selain dirinya, gadis itu adalah yang paling tegar di antara mereka berempat. Via juga orang yang rasional. Via tahu apa yang dia lakukan. Via tidak pernah gegabah.

Ify menelan ludah getir. Keringat dingin sudah menetes beberapa kali dari pelipisnya. Selama separuh hidupnya mengenal Via, baru kali ini gadis itu bertindak ‘sendiri’. Biasanya dia selalu melibatkan dirinya dan kedua temannya yang lain pada setiap masalahnya. Dalam artian meminta masukan tentang apa yang harus dia lakukan.

Sepanjang separuh hidupnya mengenal Via, gadis itu tidak pernah ‘kalah’ oleh persoalan yang menderanya. Dia akan tetap berdiri di tempatnya berada dan menghadapi masalah secara ‘jantan’. Via tidak pernah lari dan selalu bermain aman. Tapi, tidak sekarang. Gadis itu bahkan menghilang tiba-tiba tanpa tanda-tanda. “G—gimana sekarang? Ki—kita harus gimana? Vi—Via..Via—“

“Ssst!” Agni menghela kedua sahabatnya yang tengah gelisah itu. Ia tidak bisa berpikir jernih bila mereka terus saja meracau. “Percaya sama Via.” Putusnya.

Ify yang matanya sudah memerah mati-matian menjaga agar tangisnya tidak benar-benar pecah. Tidak lucu menangis pagi-pagi dan meraup perhatian banyak orang. Apalagi sekarang ia memang sedang menjadi fokus perhatian berbagai siswa dan siswi di sekolahnya.

Shilla berdiri seraya menyisir bagian depan rambutnya ke belakang. Ia lalu mengerang pelan. “Gue. Butuh. Minum.” katanya terengah-engah. Ia berjalan cepat meninggalkan kelas sebelum Ify dan Agni sempat memberi tanggapan.

Agni boleh saja menyuruh mereka tetap tenang. Kenyataannya tidak ada satu pun dari mereka yang berhenti barang sedetik menyebut nama Via di kepala masing-masing. Mereka tidak membuat gaduh. Mereka justru mendadak menjadi lebih ‘kalem’ dari biasanya.

Hal tersebut tak luput dari pengamatan Rio dan Gabriel yang telah kembali duduk bersama sejak Via memutuskan berjauhan. Rio yang tak tahan lantas bergerak pindah dari bangkunya menuju bangku sebelah Ify yang kosong. Gadisnya itu bahkan tidak sadar dengan kehadirannya di sampingnya.

Rio mengadukan pulpen di tangannya dengan pulpen Ify yang digenggam gadis itu tanpa asa. Ify seketika tersadar dan menoleh lalu sedikit kaget mendapati sosok Rio di sampingnya. Ia lalu menghela napas mengetahui dia melamun sejak tadi. Hanya tinggal menunggu kapan Rio akan bertanya.

“Kenapa?” Bisik Rio tanpa memandang ke arahnya melainkan mengawasi pergerakan Bu Okky di depan sana.

Tepat seperti dugaan Ify. Ify terlalu lelah sekaligus takut untuk berbicara. Alhasil ia hanya membalas lewat tulisan di post-it note miliknya. Ia lalu menyodorkan pesan tulisnya tersebut pada Rio. Rio menggeser kertas persegi berwarna kuning tersebut menjadi tepat di depannya agar lebih jelas.

‘Via kabur dan gamau dicari.’

Rio diam tanpa menunjukkan reaksi yang berarti. Ia sesaat menoleh singkat pada Ify yang memandang tak fokus ke depan lalu kembali pada post-it. Ia seketika paham dengan sikap Ify saat ini karena ia pun sekarang bingung sendiri.

Ia lantas memalingkan pandangan pada Gabriel yang memang sepertinya sudah menunggunya sedaritadi. Saat ia menoleh pada Gabriel, pemuda itu sudah lebih dulu siap melihat ke arahnya.

Sementara itu, Gabriel sudah seperti cacing kepanasan di tempatnya. Sudah sejak pagi ia menahan rasa penasarannya pada Via dan teman-temannya. Dari sejak ia masuk ke kelas ia sadar ada yang tidak beres pada Ify, Shilla, dan Agni. Apalagi mengetahui Via belum datang dan bangkunya tetap kosong ketika kelas di mulai.

Ia menunggu dengan gelisah kabar atau petunjuk dari Rio. Ia tidak sekalipun memalingkan pandangannya pada pemuda itu setelah berpindah duduk. Meski pada akhirnya ia tetap harus menunggu sampai bel istirahat berbunyi karena Rio memilih tidak kembali ke tempatnya semula.

Barulah ketika ia dan Rio dalam perjalanan mengikuti Ify, Shilla, dan Agni ke taman belakang sekolah semua rasa penasarannya terbayar. Sekarang perasaannya justru berganti cemas. Jantungnya sudah tidak usah ditanya lagi berapa kecepatan denyutnya. Hatinya pun dihantui rasa bersalah sekaligus menyesal akan kondisi ‘jauhnya’ dirinya dan Via beberapa hari ini. Akhirnya setelah 16 tahun usianya, seseorang berhasil membuatnya khawatir sepenuh hati.

Jangan kabur jauh-jauh, Vi. Gue ada..gue ada..

***


Alhamdulillah yaa Cagni sama Siviel kerja lagi ga makan gaji buta terus wkwk~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar