-->

Kamis, 07 Juni 2012

Matchmaking Part 17

HAAAAAIIII!!! Bahahaha, mohon maaf yang sebesar-besarnya karena ketidaktepatan waktu mimin nge-post ._____.VVVV Maklumlah baru selese semesteran. Dan sekarang bebaaas! Muehehehe~ Dan mohon maaf lagi apabila hasilnya yang ini tidak memuaskan ._____.VVVVV

Yasudah langsung saja! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

“Pinjem Shilla-nya ya, Tante! Hehe..” Pamit Alvin sekaligus meminta izin pada Wiwid untuk membawa Shilla bersamanya malam ini. Wiwid tersenyum mengerti dan lantas mengangguk mengizinkan. “Hati-hati, pulangnya jangan malem-malem!” pesannya. “Aman, Tante! Hehe..” sahut Alvin. Shilla memandang kedua orang di depannya bergantian. Kedua orang itu begitu dekat, ia sampai tak habis pikir dari mana kedekatan itu berawal. Apa yang membuat mereka semakin kuat dan tak canggung satu sama lain. Benar-benar seperti ibu dan anak. Tapi, sudahlah, akan lebih baik jika mereka memiliki kedekatan bukan? Daripada bersiteru disetiap pertemuan, saling silang pendapat dan membuatnya susah.

Alvin menggandeng Shilla hingga keluar rumah, rumah Shilla. Malam ini, sebelum Alvin kembali ke Bogor, rencananya sisa-sisa waktu mereka itu dihabiskan bersama. Seperti mengadakan perpisahan kecil lah bagi keduanya. Sebelum jarak mengambil alih hubungan di antara mereka kembali, seperti biasa. Sengaja, pukul 7 kurang, Alvin sudah menghadirkan diri di rumah Shilla demi menjemput gadisnya itu untuk dibawa pergi bersama beberapa jam nanti. Jadilah, sekarang, Shilla sudah berada di bawah tanggungjawabnya, khusus malam ini. Alvin menghidupkan mesin mobilnya, dan tak lama setelah itu, kendaraannya tersebut melaju ke suatu tempat yang sudah direncanakan untuk dikunjungi.

“Bukannya besok lo ulangan Fisika?” tanya Alvin sekaligus memulai kegiatan berbicara di antara mereka. Shilla menoleh sekilas lalu mengangguk. Tersenyum manis, semanis penampilannya di malam ini. “Iya, hehe..” Alvin mengalihkan pandangan sekaligus kefokusan menyetirnya pada Shilla lalu kembali menghadap ke depan. “Terus? Lo gak belajar?” tanyanya lagi. Shilla tersenyum lagi berikut kekehan kecil yang keluar dari mulutnya. “Udah dong tadi siang! Hehe, kalo gak, mana mungkin gue mau lo culik gini,” Alvin menoleh lagi pada gadis di sebelahnya itu. Gadis yang tingkahnya makin menggemaskan. Membuatnya kesulitan untuk tak memikirkannya setiap hari, merindukan setiap ocehan gadis itu.

***

“AAA!!”

Terdengar seperti suara ban berdecit. Bergesek di aspal. Tidak cukup keras bunyinya. Kemudian, diikuti pula dengan sebuah pekikan dari seorang gadis yang berada di dalam mobil, mobil yang salah satu bannya berdecit barusan. Kepalanya beradu dengan stir yang masih ia genggam. Ia menegakkan kepalanya setelah mobilnya berhasil berhenti tepat waktu. Tepat waktu, tepat di depan seorang gadis yang kelihatannya masih shock mengetahui ia, kalau saja kurang beruntung, sudah berada di rumah sakit saat ini akibat kecelakaan tabrakan. Ia terduduk di depan mobil gadis yang pertama.

Gadis yang berada di dalam mobil keluar dari mobilnya segera. Menghampiri gadis lain yang hampir ditabraknya tadi. “Maaf..saya minta maaf. Kamu gak papa? Ada yang luka? Mau dibawa ke rumah sakit?” tanya Ify, gadis tersebut beruntun. Tidak peduli bahwa sebenarnya gadis di hadapannya inilah yang bersalah bukan dirinya. Menyebrang dengan pandangan kosong tanpa memperhatikan keadaan sekeliling, memeriksa apa masih ada kendaraan yang lewat. Apalagi, tanpa Ify ketahui, sebelumnya, malam ini juga, gadis itu hampir disrempet motor. Ya, masih dengan alasan yang sama, karena ia menyebrang dengan pandangan kosong tanpa memperhatikan keadaan sekitar.

Ify berjongkok menyamakan posisi dengan gadis itu. Ia mengulurkan tangan hendak membantunya berdiri. Gadis tersebut mendongak dan menatapnya datar. Diam sebentar seperti mengamati Ify. Ify yang dipandang seperti itu pun bingung sendiri. Kenapa dengan gadis ini? Apa tadi kepalanya terbentur sehingga menjadi agak linglung? Atau jangan-jangan dia lupa ingatan? Astaga jangan sampai! Dalam hati, Ify menggeleng keras menampik semua dugaan buruk yang bergelimpangan di benaknya.

“Pergi lo!” datar gadis itu, seperti membentak tapi nadanya terdengar santai. Air mukanya juga tidak menunjukkan adanya sirat-sirat kemarahan. Sekali lagi, hanya datar dan pandangan matanya kosong. Jiwanya seperti tidak berada bersama raganya saat mengatakan itu pada Ify. Ify mengernyit, menatapnya antara merasa bersalah, kasihan, takut sekaligus tak mengerti. Gadis di hadapannya berdiri dengan usahanya sendiri tanpa ada itikad untuk menerima bantuan dari Ify. Menjawab pertanyaannya saja tidak. Kening Ify mengerut-ngerut seraya mengamati pergerakan gadis itu.

Gadis itu tanpa disangka pergi begitu saja. Sukses membuat kening Ify layaknya kertas origami, berlipat-lipat beraturan. Kebingungannya masih belum terjawab sampai sekarang. “Hei! Kamu gak papa?!” pekik Ify dari jauh, seiring dengan menjauhnya jaraknya dengan gadis tadi. Tak ada tolehan yang Ify dapat dari gadis itu. Gadis itu tetap berjalan dengan tenang dan mungkin saja tetap mempertahankan kekosongan mengisi matanya. Ify menghela nafas singkat dan menghembusnya cepat. Ia lantas masuk lagi ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya kembali. Kali ini, dengan sangat hati-hati dibanding sebelumnya.

***

“WAW!” Shilla memekik tertahan mengiringi keterkejutannya pada suasana tempat yang ia datangi bersama Alvin. Alvin membawanya ke rumah pemuda itu yang ada di Jakarta. Rumah yang memang bisa digolongkan ke dalam kategori mewah dengan arsitekturnya yang cukup keren. Mereka kini berada di sebuah sisi, outdoor, yang bisa menghadapkan mereka ke kolam renang. Kolam renang itu pun bukan lagi berfungsi sebagai tempat untuk melakukan olahraga air. Tempat itu seperti sebuah pajangan indah yang dipastikan mampu menggugah kalbu seseorang, khususnya Shilla, orang yang dikhususkan untuk menikmati suguhan itu, malam ini.

Di tengahnya, terkumpul banyak bunga mawar yang dihimpun, disusun, kemudian ditata menjadi bentuk hati. Dikelilingi lilin-lilin kecil yang bersinar terang, menambah terang suasana disana, menegaskan bahwa itu adalah bentuk hati, cinta kalau yang sering orang bilang. Perumpaan cintanya untuk Shilla. Tak hanya itu, masih ada lilin-lilin lain yang di susun di luar mawar hati tadi. Disusun membentuk huruf-huruf yang jika disatukan dan dieja akan membuat seseorang mengucap sebuah nama, S H I L L A. Oh, tak hanya Shilla rupanya. Masih ada lilin-lilin lagi yang disusun di sisi bawah. Merangkai sebuah nama. A L V I N. Yawn! Gadis mana sih yang tidak tertegun menerima itu? Yap, seperti itulah Shilla sekarang. Sama sekali belum mengedipkan mata sejak dari pertama kali ia melihat pemandangan indah itu.

“Kapan lo buatnya?” tanya Shilla tanpa menoleh pada Alvin yang kini berdiri di sebelahnya. Matanya masih tertuju pada kolam renang. Alvin tersenyum bangga namun tak lantas menjawab. Ia menuntun Shilla menempati sebuah meja yang sengaja dipersiapkannya. Ia sendiri tak ikut duduk. Ia kembali berjalan menaiki sebuah panggung kecil yang juga terdapat disana. Lengkap dengan beberapa alat musik, yang kemungkinan akan ia mainkan salah satunya. Dan, benar saja. Ia melangkah mendekati grand piano putih dan menduduki kursi yang ada di depan benda itu. Ia memandang ke arah Shilla dan tersenyum pada gadis itu. Shilla, yang masih ‘kaget’, hanya balas tersenyum padanya.
Perlahan jemari Alvin menyentuh tuts di dalamnya. Hanya sekedar menyentuh. Ia menarik nafas singkat dan menghembusnya perlahan. Sepertinya, ia akan memulai lagunya...sekarang.

Especially for you
I wanna tell you i was feeling that way too
And if dreams were wings, you know
I would have flown to you
To be where you are no matter how far
And now that I’m next to you
No more dreaming about tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
I’ve got to say it’s all because of you
And now we’re back together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you


1..2..3

Shilla bertepuk satu-satu setelah Alvin selesai bernyanyi. Pemuda itu...sepertinya hari ini adalah jadwal untuk membuatnya kagum dan terkesima. Ia tidak bisa berkata apapun sekarang. Karena ia akan selalu berteriak jika diharuskan berbicara saat ini. Alvin berjalan lagi menghampirinya. Shilla memperhatikan lekat-lekat gerak-gerik kekasihnya itu. Alvin tersenyum tepat disaat pemuda itu sampai di hadapan Shilla. Ia mengambil mawar merah yang sengaja diletakkan di meja. Entah bagaimana caranya, ketika tangannya menekan mawar itu dari atas ke bawah, mawar tersebut hilang. Berubah menjadi sebuah kotak kecil.

Shilla tak berkedip melihat itu. Bingung, bagaimana pemuda itu melakukannya? Khususnya menyiapkan ini semua, untuknya. Alvin menyodorkan tangan ke arah Shilla. Shilla menyambut uluran tangan itu meski agak ragu. Alvin membawanya kembali melihat kolam. “Suka?” tanyanya. Shilla enggan menjawab. Ia menatap bingung pemuda di sampingnya. Yang ditatap hanya menyungging senyum tanpa sedikitpun menjawab kebingungan gadisnya. “Nih!” Alvin lalu menyerahkan kotak kecil yang merupakan perubahan wujud dari mawar tadi, pada Shilla. Lagi, Shilla menyambut kotak itu agak ragu. Sebuah kotak yang berisi..

“Gelang?” Alvin mengambil gelang dalam kotak tadi. Lalu, dengan tenang memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Shilla. ‘Sipit’, nama yang tertera di bagian tengah gelang tersebut. “Sipitnya sama lo ya, cantik sama gue.” Ujar Alvin seraya menggulung lengan baju sedikit ke atas lalu kemudian memperlihatkan sebuah gelang yang sedikit berbeda dengan yang dipakai Shilla. Sebuah nama juga tertera di bagian tengah, ‘cantik’.

Mata Shilla mulai mengilau alias berkaca-kaca. Kalau saja masih ada lagi kejutan dari Alvin, penglihatnya itu pasti akan berurai sekarang. “Gak ada lagi kan, Vin? Gue nangis nih,” Alvin lagi-lagi hanya tersenyum, mengacak-ngacak rambut kekasihnya pelan. Alvin kemudian berdiri di belakang Shilla. Menghadapkan badan gadis itu ke arah kolam. Ia mengunci tubuh gadis itu di depannya dengan menumpu kedua tangan pada pagar pembatas. Shilla diam saja diperlakukan seperti itu. Ya, memangnya dia harus apalagi?

“Vin..” panggil Shilla. Alvin menyandarkan kepalanya di bahu Shilla seraya berdehem menyahut panggilan gadis itu. “Janji ya, apapun yang terjadi, kita bakalan terus sama-sama?” ujar Shilla berharap penuh. Alvin mengangguk kecil dalam sandarannya di bahu Shilla. Tak urung, Shilla akhirnya dapat tersenyum lega dan senang sekali. Setelah beberapa menit lalu dibuat tercengang-cengang dan agak bingung. Banyak sekali bibit-bibit bunga yang berkembang cepat di dalam dadanya. Yeah, bruno said it’s a beautiful night! Pekiknya kencang dalam hati.

“Vin, kapan lo nyiapin ini?” tanya Shilla lagi. Alvin masih betah menyandar di bahu Shilla. Ia berlagak seolah sedang berpikir sesuatu, tentang pertanyaan Shilla. “Kapan ya? Hmm, lo mau tahu aja apa mau tahu banget?” godanya. Shilla mendelik meski dengan senyum merekah di wajahnya. Ia menyentil pinggang Alvin yang aksi jailnya mulai menyeruak. “Alvin!”
“Hehe..”

***
 
Now, listen this.. Let me go far from you..I know your heart is not for me
(Livvy – Kutahu hatimu bukanlah untukku)

Ify berjalan masuk ke rumahnya tak ada niat. Kakinya melangkah terseret-seret, seolah-olah ada beban 100 kg yang diikat dipergelangannya. Berat sekali. Yap, hari ini rasanya berat sekali, khususnya malam ini. Baru hari ini, belum besok, dimana ia harus menghadapi ulangan harian fisika, dimana sampai sekarang, pukul 7 lewat, belum ada satu materi pun yang ia kuasai. Hh, mana tak ada seorangpun yang bisa diandalkan untuk mengajarinya saat ini? Hmm, yah, sepertinya ia harus belajar sendiri sekarang. Okey, belajar sendiri gak buruk-buruk amat kok! Putusnya.

Ify berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Mengambil buku cetak serta catatan fisika. Ia lalu duduk di atas kasur seraya membuka satu-persatu lembar kedua buku yang diambilnya tadi. Kira-kira..Rio udah sembuh gak ya? Apa dia bisa sekolah besok? Atau jangan-jangan gak masuk lagi? Iss..gara-gara gue nih. Astaga...Rio lagi. Fy, besok tuh lo ulangan fisika! Fokus! Fokus! Ify menggeleng kuat, berusaha menghilangkan segala pikiran tentang Rio. Bukan Rio yang seharusnya ia pikirkan, melainkan dirinya sendiri, akan nasibnya besok, ulangannya besok, apa yang harus ia jawab.

Ify mencoba lebih fokus seraya mengilhami barisan kata yang terumpun dalam buku-buku di depannya. “Sigma torsi sama dengan F dikali...astaga kok panas banget sih?” Buku catatan yang tadi sempat dibacanya malah berubah fungsi menjadi pengipas sekarang. Ia mengibas kasar bukunya itu di depan wajah. Rambutnya yang terurai dan mencuat ke depan beberapa helai ikut terkibas. Sejurus kemudian, matanya menangkap suasana di luar kamar, suasana malam dan sepertinya sedang kedatangan tamu angin sejuk. Mungkin, akan lebih baik ia belajar di sana. Setidaknya, ia tidak akan kepanasan.

Yap, Ify membawa serta kedua bukunya keluar. Ke balkon kamar yang rupa-rupanya memang terasa lebih sejuk. Angin berhembus kian lembut meski malu-malu. Rambutnya terkibas lagi. Di luar tidak terlalu gelap, meski bintang tak terlihat paling bersinar malam ini. Lampu depan rumahnya lah yang kelihatan paling unggul, paling semangat menerangi sisi depan rumah. Sesaat, Ify diam. Menikmati hembusan-hembusan angin yang lewat. Memandang nanar ke depan, sejenak berusaha melupakan apa yang sudah dialaminya hari ini. Atau mungkin melupakan seseorang yang sudah ‘mengusiknya’ hari ini, oh tidak, dua orang ternyata.

Sudahlah, ia masih harus melanjutkan belajar, bukan? Ify kembali fokus membaca catatannya. Rio mikirin gue gak ya? Astaga, kenapa sama gue?!! Berulang kali ia menepis pikiran-pikiran tentang Rio, namun dengan mudah bayangan akan pemuda itu kembali muncul. Ia tidak bisa fokus kalau begini. Ify mengoret-ngoret lembar kosong catatannya kesal. Dalam hati, ia terus menggerutui kelakuannya sekarang. Bodoh! Bodoh! Umpatnya. Namun, tiba-tiba aksinya itu terhenti ketika bunyi klakson mobil seseorang menyeru, membuatnya beralih. Ia melihat ke arah depan, pagar rumahnya yang sedang ditamui oleh sebuah mobil dan kini mobil tersebut melaju masuk ke halaman rumahnya. Mobil Dea.

Rio boleh pulang? Oh..syukur deh. Lega Ify dalam hati. Terlihat seorang pemuda keluar dari pintu sebelah kiri. Diikuti oleh seorang wanita paruh baya, Amanda, yang juga keluar dari mobil tadi. Wanita itu berhenti sebentar seperti sedang mengatakan sesuatu. Pemuda tadi, Rio, berdiri diam menunggu Amanda selesai dengan urusannya. Entah ia yang salah lihat atau tidak, Rio menyadari dan melihat ada Ify di atas, sedang memperhatikan baik dirinya ataupun Amanda. Ify tersentak dan seketika berjongkok, menyembunyikan diri. Dalam hati berdoa semoga saja ia salah lihat, semoga saja Rio tidak menyadari dan melihatnya berada di atas.

Bunyi klakson mobil kembali terdengar. Mungkin, Dea sudah pergi dan Rio serta Amanda sudah masuk kembali ke rumah. Ify menghela nafas singkat. Lalu, sekarang..apa? Sekali lagi, ia menghela nafas. Mata pensil yang tadi digunakannya sekarang terlihat ia ketuk-ketukkan di lembar buku catatan. Lama-kelamaan ia tak lagi mengetuk. Ia mulai menggerak-gerakkan pensil tersebut secara teratur, tahu arah dan batasan ketebalan. Terkadang ia melakukan gerakan mengarsir. Samar-samar, terlukislah sebuah sketsa wajah, wajah manusia dan sepertinya merupakan sketsa wajah seorang laki-laki.

Dan makin tebal, makin terlihat jelas bahwa wajah yang disketsanya ialah wajah pemuda yang menjadi ‘pengusik’ pikirannya hari ini. Yang baru saja datang bersama Amanda. Yang kasarnya, sudah ia celakai. Sketsa wajah...Rio. Hah? Kenapa lagi gue gambar beginian? Batinnya seakan baru menyadari apa yang berusaha dilukisnya. Untuk yang ketiga kali, Ify menghela nafas. Pensil tadi terlepas begitu saja. Lantas dirobeknya lembar berlukiskan sketsa wajah Rio itu. Buku catatan ia letakkan sementara di lantai, di sampingnya. Sekarang, yang ia lakukan ialah mengamati hasil karyanya baik-baik. Ia bisa melukis? Batinnya tak percaya.

Ify menatap lekat-lekat lukisannya, lama. Sejurus kemudian, ia meremuk lembaran yang ia amati itu. Sambil menutup mata, ia melempar gumpalan kertas itu ke atas, mengarah ke belakangnya. Dengan kata lain, ia membuang lukisannya. Beberapa menit berjalan, ia masih setia menutup mata. Namun, tiba-tiba, penglihatnya itu terbuka. Ia kemudian berlari masuk menuju kamar, keluar kamar lalu bergerak menuruni tangga menuju ruang tengah. Sampai di pintu utama, ia terburu-buru keluar rumah. Cukup membuatnya kaget karena tanpa disangka ada Rio sedang berdiri di luar, menghadap ke arahnya. Ify berhenti sebentar, sekedar menyapa pemuda itu. Yah, mengingat ia sudah berlaku salah, setidaknya ia harus beramah-tamah padanya kan?

“Lo..gimana?” tanya Ify, diusahakan selancar mungkin. Rio, dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana, mengedikkan bahu sekaligus menjawab pertanyaan Ify padanya. “Lumayan..” katanya kemudian. Ify lantas mengangguk. Ia lalu kembali melanjutkan niatnya yang sempat terdelay sebentar, hingga membuatnya keluar rumah. Matanya menyusuri apa-apa saja yang tergeletak di dasar halaman. Berharap ia dalam segera menemukan sebuah benda yang ia cari, lembar berlukiskan sketsa wajah Rio. Memang, ia tadi sudah membuang sketsa itu. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu dalam hatinya yang tidak rela dirinya membuang begitu saja sketsa tersebut.

Tanpa ia sadari, Rio memperhatikan kegiatan yang ia lakukan. “Nyari apa?” tanya Rio, akhirnya. Ify menoleh ke arahnya sekilas dan tetap melanjutkan pencarian. “Kertas,” jawabnya singkat. Tak perlulah rasanya ia berujar panjang, toh pada akhirnya pemuda itu tidak akan peduli. “Nyari ini?” Ify menoleh lagi dan lumayan kaget melihat sebuah benda tergenggam di tangan Rio, yang ditunjukkan pemuda itu padanya. Kemungkinan besar, itu lembaran kertas yang ia cari. Ify melangkah maju mendekati Rio, hendak mengambil kertas tersebut. Niat Ify tidak berjalan mulus dikarenakan Rio yang enggan membiarkan gadis itu meraih kertas yang dipegangnya.

“Di dalamnya ada apa? Kenapa lo cari-cari?” tanyanya seraya menghalang-halangi usaha Ify merebut kertas tersebut. Ify sempat diam sebentar dan mendengus. “Bukan apa-apa. Ya udah, cepet balikin!” Rio mengernyit lalu mundur selangkah. Melonggarkan jarak antara dirinya dan Ify. Lalu tiba-tiba, ia menghadap ke belakang dan melempar jauh kertas yang berusaha dipinta Ify. Mata Ify membelalak melihat kertas yang dicarinya kembali terbuang, dibuang Rio tepatnya. “Yah, kenapa lo buang?!” gerutunya. Rio berbalik badan dan menghadap Ify kembali. Ia tersenyum miring mendapati Ify yang merengut. “Karena lo gak biarin gue tahu apa isinya,” katanya enteng.

Awalnya, Ify hendak memarahi pemuda di hadapannya itu. Namun, setelah dipikir-pikir, untuk apa ia marah? Lagipula, ia juga yang sudah membuang kertas itu pertama kali. Ya sudahlah, akan lebih baik jika kertas itu tak lagi ada di tangannya. “Hh...tapi bagus deh lo buang!” Lagi, Rio mengernyit tak paham. Atau mungkin tak menduga reaksi seperti itu yang muncul dari Ify. Tanpa mempedulikan tatapan heran dari wajahnya, Ify melengos begitu saja. Tentu, ia tak membiarkan gadis itu cepat-cepat meninggalkannya. “Kertas tadi..apa isinya?” Ify berhenti dan berbalik badan menghadapnya.

“Untuk apa lo tanya soal itu? Bukan hal penting untuk lo,” Rio maju, membuat jaraknya dengan Ify kembali dekat. “Jawab aja, kertas tadi isinya apaan?” Rio bersikeras mendorong Ify untuk berkata jujur. Ify hanya diam dan menatapnya sebentar. Gadis itu hendak berbalik badan lagi namun dengan segera diraihnya pergelangan tangan gadis itu. Menahan gadis itu agar tetap di depannya, menghadapnya. Matanya seakan menodong Ify, dengan tidak memberikan pilihan gadis itu untuk tidak menjawab pertanyaannya. Ify terkunci. Mau tak mau ia harus memenuhi keinginan Rio. Dihembusnya nafas cukup berat. Berancang-ancang sebelum menjawab. Lo! Teriaknya dalam hati.

“Orang yang mau gue lupain..” ujar Ify dingin, menatap pemuda di hadapannya dingin pula. Sesaat Rio tertegun, lalu kemudian balas menatap Ify dingin. Jadilah, kedua insan tersebut saling berbalas tatapan dingin beberapa saat. Hingga sang pemuda mengeratkan lagi genggamannya pada pergelangan sang gadis, lalu bersuara. “Kenapa...lo mau ngelupain gue?” Nafas Ify serasa tercekat. Kenapa Rio bisa tahu? Batinnya bertanya-tanya. Kalau begini, ia bingung harus menjawab apa. Apalagi..apa benar dirinya berniat melupakan Rio? Hmm, lebih baik menghindar sajalah.

Ify hendak berbalik badan lagi, namun kembali, Rio menahannya, membuatnya seperti tidak bisa lari kemana-mana. Rr..pemuda ini! Bikin pusing! “Gue..udah sampai ditingkat mana dalam hati lo?” tanya Ify balik. Terdengar santai meski hatinya berdebar-debar menunggu jawaban Rio. “Hah?” Tapi, sepertinya, jawaban itu tak akan pernah ia dengar. “Hah?” Hanya itu yang ia dengar. Hmm, ia harus memulai sikap tidak akan berharap apa-apa pada pemuda ini. “Lupakan...besok ulangan, lo mau ngajarin gue?” Rio belum menjawab hingga sekarang. Dan berdasarkan pendapat orang-orang, diam artinya iya. “Gue ambil buku dulu!” ujarnya dan kemudian benar-benar pergi tanpa ditahan-tahan Rio lagi. Entah bagaimana ekspresi pemuda itu sekarang. Terserah, ia tidak akan berharap apa-apa.

Belum sampai 3 langkah, Ify berhenti dan berbalik badan menghadap Rio. “Oh ya, kalo emang hati lo udah penuh, cepet-cepet bilang sama gue. Biar gue ‘bebas’..dan lo juga ‘bebas’ hehe..” lirihnya seraya terkekeh hambar. Lalu berbalik badan lagi dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Rio, yang mungkin setelah ini, kadar diamnya akan bertambah lebih tinggi. Kadar perasaan? Hahaha, jangan berharap apapun!

***

“To the point aja! Apa mau lo?” langsung Cakka kepada seorang pemuda di depannya. Dingin, datar, malas. Perpaduan dari ketiganya dijadikan Cakka sebagai irama bicaranya saat ini, teruntuk pemuda di hadapannya itu. Sore tadi, pemuda tersebut mengajaknya bertemu. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengannya, katanya. Ia sempat tidak menghiraukan ajakan tersebut. Hingga setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya ia menyanggupi apa yang pemuda tadi inginkan. Sekalian, sudah lama mereka tidak bertemu. Saling bertegur sapa, meski bukan didasari rasa persahabatan, didasari oleh rasa permusuhan lebih tepat. Juga, demi menyelesaikan permasalahan yang merenggangkan hubungan antara mereka.

Pemuda di hadapan Cakka tersenyum miring. Terlihat santai saja meski sudah mendapat tatapan tak suka dari Cakka. Ia geleng kepala singkat. “Suka sama Agni?”

Yawn! Benar-benar to the point pemuda ini. Cakka terenyuk. Pertanyaan itu menghentaknya, hatinya lebih tepat. Ya, pemuda di hadapannya ini, kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu? Maksudnya, Agni. Siapa dia, pemuda itu, bagi Agni? Dan lebih khusus lagi, siapa Agni, bagi Cakka, dirinya sendiri? Kenapa pertanyaan mudah itu terasa menyulitkan untuknya? Padahal, ia hanya tinggal bilang, ‘Tidak! Siapa Agni? Tidak penting!’ atau mungkin ‘Tidak! Mana mungkin! Gue udah punya Febby!’. Yap, mudah saja kan? Tapi, kenapa nyatanya tidak semudah itu? Mengatakan tidak saja itu ahh rasanya bukan susah, tapi tidak rela.

Astaga, tidak rela? Hah? Kenapa? Rrr..ada yang salah sama gue akhir-akhir ini. Cakka mengernyit ke arah pemuda tadi. “Maksud lo?” Tanya Cakka balik. Tidak ada yang spesial dari reaksi pemuda itu. Hanya senyumnya saja yang makin miring, makin sinis. “Besok...kita adu basket...gue tunggu lo di tempat biasa.” Tandasnya dan langsung angkat badan, berjalan pergi. Meninggalkan Cakka serta segelas jus yang masih setengah jumlahnya. Belum semuanya habis diminum sang empunya, pemuda itu. Cakka menatapnya tak mengerti. Kenapa, seperti dirinya tidak diberikan pilihan untuk menolak?
“KIKI!!”

***

CTAK!

Lampu ruang depan dalam rumahnya, Febby, tiba-tiba menyala. Suasana sontak menjadi lebih terang dari sebelumnya. Ia mengangkat kepala yang tadi tertunduk, melihat siapa pelaku penyalaan lampu tersebut. “Bagus! Malam-malam begini baru pulang. Darimana saja kamu?!” Bentak seseorang di depannya, beberapa meter di depannya. Berjalan mendekat dan berkacak pinggang memandangnya, bukan dengan pandangan ramah, akan tetapi penuh amarah. Seorang lelaki paruh baya yang sehari-hari ia panggil dengan sebutan ‘Papa’.

Febby mendesah pasrah. Yakin, 100%, pasti Oik berulah. Pasti! Kalau tidak, mana mungkin lelaki yang sekarang sudah ada di hadapannya ini kelihatan marah sekali. “Cari angin..” Jawab Febby datar. Alhasil, Papanya dibuat makin berapi-api. Lantas, tiba-tiba, dengan kasar tangannya ditarik dan ia diseret ke suatu tempat. Gudang. “SINI KAMU!!” Gertak sang Papa. Febby meringis tertahan menerima perlakuan yang sesungguhnya tidak menyenangkan dari Papanya itu.

CTAK! CTAK!

Kali ini, bukan suara lampu menyala. Akan tetapi suara yang diakibatkan oleh sebuah bambu kecil yang dipukulkan ke sesuatu dengan permukaan yang keras. Papa Febby menghantam kaki anaknya dengan bambu kecil itu. Febby yang dalam keadaan berdiri, hanya bisa diam, mengerjab-ngerjab menahan sakit yang teramat sangat akibat pukulan-pukulan dari Papanya. Betisnya memerah bahkan mengeluarkan darah walau sedikit. Tapi, tetap saja. Rasa sakitnya tidak sedikit. Sekuat tenaga pun diusahakannya agar tidak menangis. Okey...lo...harus...kuat...Febby!! Batinnya.

“Ini, kaki yang kamu gunakan ke tempat-tempat gak berguna! Kaki yang buat kamu lalai dengan tugas rumah! Kaki yang buat kamu menjadi seorang pembantah!” hardik Papanya sembari terus menghantam bambu kecil ke betis Febby. Febby tak bergeming. Mulutnya tetap dijaga agar terkunci rapat. Sulit untuk berbicara memang. Ia bisa menangis kalau dipaksakan berucap. Lagi, lagi dan akhirnya Papanya berhenti. Dengan nafas tersengal-sengal ia mendorong tubuh anaknya hingga terjatuh ke lantai. “Kamu...harusnya kamu contoh Oik! Dia berguna! Kamu...setidaknya, jika kamu tahu kamu tak ada guna, lakukanlah tugas yang Papa suruh dengan baik!” katanya dan kemudian pergi. Membanting bambu yang ia gunakan asal ke lantai.

Febby?  Masih diam. Lantas, ia mendesah lagi. Lebih berat seraya menatap betis malangnya. Ia kemudian berusaha bangkit. Bagaimanapun, ia tidak perlu berlama-lama di gudang. Ini bukan kamarnya. “Huhuhu, kasiaan kakakku ini! Gimana rasanya dipukul? Sakit?” Seorang gadis, yang berkemungkinan sangat besar, yang membuat Papanya semarah tadi padanya, Oik, mendadak sudah berdiri di depan pintu. Melipat kedua tangan di dada seraya menatapnya kasihan. Rrr..tentu sangat memuakkan bagi Febby. “Ini ulah lo, kan?” kata Febby sinis.

Oik menyeringai dan Febby begitu benci melihat itu. “Ini karena lo juga! Ini akibatnya kalo lo bertingkah macam-macam!” cecar Oik dan lantas pergi. Febby benar-benar sendiri. Berhubung dengan keadaan fisik yang tak mendukung, untuk saat ini, apapun yang terjadi padanya, ia akan tetap dan hanya bisa diam.

***

Kenapa perasaan gue gak enak ya? Secara tiba-tiba, firasat tidak nyaman singgah di benak Ify. Dadanya bergejolak tak tahu sebab. Tanpa pikir panjang, dan karena tak mau terlalu memikirkan juga, ia langsung keluar kamar. Menuruni tangga dan mendapati meja makannya sudah dihiasi oleh menu sarapan paginya. Amanda duduk di salah satu kursi yang ada. Ia lantas mendekat dan ikut duduk. Hari ini, ia sudah diperbolehkan sekolah. Karena itu, pagi-pagi sekali, Rio sudah pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap. Dan akan kembali lagi untuk menjemput Ify. Repot memang, tapi, apa daya, Amanda bersikeras menyuruhnya melakukan itu.

“Pagi, Ma!” sapa Ify ramah. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Amanda. Amanda tersenyum dan mengelus puncak kepalanya lembut. “Pagi, sayang! Gimana, udah baikan? Atau kamu gak usah sekolah aja hari ini?” Amanda menatapnya khawatir. Melihat itu, Ify tersenyum, membalas senyum pertama Amanda tadi sekaligus menyangkal tawaran Amanda agar ia tidak usah sekolah dulu. “Udah sehat kok, Ma! Tenang aja, Ify kan kuat! Hehe..”

“Syukurlah..” lega Amanda. 

Sampai sekarang, rasa tak nyaman itu masih bersangkutan di benaknya. Berulang kali ia membuang nafas, semoga saja tak nyaman itu ikut terbuang. Tiba-tiba terpikir olehnya untuk pergi ke sekolah sendiri. Ya, sudah lama juga ia tidak merasakan namanya tidak diantar jemput. Kangen juga! “Ma, Ify berangkat sekolah sendiri aja ya?” pintanya pada Amanda. Amanda menaikkan alis tanda bingung. Tumben? Pikirnya. “Kenapa?” Tanya Amanda. Ify mengedikkan bahu. Sejujurnya, ia juga tidak tahu mengapa. “Besok aja deh, sekarang kan kondisi kamu belum sepenuhnya normal. Rio juga udah terlanjur Mama suruh kemari jemput kamu,”

“Oh yaudah deh, hehe..” cicit Ify. Ia tak membantah lagi dan kemudian melanjutkan makan. Hingga bunyi klakson mobil dari arah depan rumah, memaksanya keluar dan menyudahi acara sarapan. Amanda mengantarnya sampai ke depan pintu. Baru saja mendapat keleluasaan pandangan ke arah luar, mendadak ia terpaku di tempat. Amanda juga kelihatan agak kaget. Bukan karena kehadiran Rio, tapi akan siapa yang ikut hadir bersamaan dengan kehadiran pemuda itu. Seorang gadis, yang kemarin menjadi pengusik kebersamaan Rio dan Ify sekaligus ikut mengusik pikiran ify. Dea.

Ya, tahu-tahu, gadis itu keluar dari pintu mobil di sebelah pintu tempat Rio keluar. Tersenyum manis, seakan-akan kehadirannya sama halnya dengan kehadiran Rio. Kasarnya, tersenyum tanpa ada rasa bersalah. Nafas Ify mendadak menjadi satu-satu. Ia berusaha bersikap biasa saja, berusaha tetap terlihat tenang. Meski kenyataannya, ia begitu jengkel. Kenapa akhir-akhir ini, Dea seakan ingin cari masalah dengannya? Atau mungkin, gadis itu membuatnya merasa ada masalah? Apa gadis itu tidak sadar, sudah dicap duluan sebagai pengganggu? Mengganggu kebersamaannya dengan Rio, mengganggu keseriusan Rio mengajarinya semalam karena beberapa kali menelepon Rio saat acara ajar-mengajar. Dan sekarang....

Oh, ini toh firasat gak enak gue. Hmm, mending pergi sendiri aja tadi rr! Keluh Ify dalam hati. “Tante, Kak Ify!” Dea tersenyum dan sekedar memberi salam. Lalu, menoleh pada Ify. “Aku bareng kak Rio sama kak Ify gak papa kan?” katanya. Ingin sekali Ify berteriak ‘TIDAK! TIDAK BOLEH!’ atau ‘TIDAK MAU!’. Tapi, yah, notabenenya dirinya juga menumpang, menumpang Rio, mana mungkin menolak. Rio sendiri juga terlihat tidak masalah. Ah, atau jangan-jangan, pemuda itu sengaja mengikutsertakan Dea karena tidak ingin bersama-sama dengannya, hanya dengannya, ke sekolah? Okey, itu alasan paling kuat untuk saat ini..sepertinya.

***

Semoga pagi ini menjadi pagi yang lebih baik! Harapan hampir oleh semua orang, terucap setiap pertama mata mereka menjamah kilau sang surya dan tersadar dari tidur yang cukup panjang. Kemudian kembali melanjutkan aktivitas keseharian seperti biasa. Alvin, contohnya pemuda ini. ia melangkah ringan memasuki kawasan sekolahnya. Meski tak sempat beristirahat panjang semalam, tapi keadaan fisiknya sekarang sudah bisalah menopangnya menjalani hari ini. Mood sedang bagus-bagusnya. Sampai kini, belum ada yang berhasil mengganggu ketenangan moodnya itu.

Tapi, sepertinya, ada juga yang berani berancang-ancang mengoyak pertahanan mood tersebut. Febby, ya gadis itu lagi, kembali menjadi seseorang paling menyebalkan dalam hari-harinya. Berjalan dari arah depan menuju ke arahnya. Dalam benak Alvin, gadis itu pasti akan berulah. Akan mengganggunya lagi. Ah, semoga saja tidak! Semoga saja obat penenang sudah diminum gadis itu pagi ini. Amin! Dan ketika sudah hampir berdekatan, pandangan mereka bertemu. Dalam arti, mereka menoleh satu sama lain.

Alvin sempat tertegun dipandang Febby. Dingin dan tidak ramah, sama sekali. Tidak berbunga-bunga seperti biasa saat gadis itu berada di dekatnya. Setelah itu pun, tak ada kata sambutan, tak ada kicauan sumbang yang keluar, hanya lengosan yang ia dapat. Febby berjalan agak terseok melewatinya begitu saja. Sekali lagi, tanpa kata sambutan dan tentu saja tak ada salam akhir jumpa. Hmm, seharusnya ia patut merasa senang, karena dapat ditarik kesimpulan bahwa gadis itu benar-benar meminum obat. Sehingga terlihat agak ‘tenang’ bahkan boleh dibilang sangat ‘tenang’.

Tapi, nyatanya berbeda. Alvin agak sangsi gadis itu bersikap seperti itu. Yah, bukan apa-apa, tapi, dari cara memandangnya, Febby terlihat berbeda. Seperti bukan Febby. Seperti ada sosok lain yang sedang merasuk dalam raga gadis cantik itu. Lagipula, ia mendapat tatapan seolah-olah telah melakukan kesalahan besar. Tapi, apa salahnya? Perasaan, gadis itu yang banyak berbuat salah. Kira-kira, Febby kenapa ya? Ah, kenapa dirinya sendiri menjadi sebegitu penasaran? Entahlah, yah, setidaknya, pagi ini masih berjalan dengan baik dan masih menjadi pagi yang baik.

***

Ify, Rio dan Dea kini berjalan menyusuri koridor. Rio dan Dea berjalan berdampingan di depan dan menyusul Ify tepat di belakang. Melihat ke arah mereka datar. Ya, suka-suka kalian lah! Pikirnya. Ia dongkol sedongkol-dongkolnya pada 2 manusia itu. Bagaimana tidak, dari perjalanan menuju sekolah tadi hingga sekarang, sepatah katapun tak keluar dari mulutnya. Alias, ia tidak diajak biacara. Tidak diajak ikut serta dalam obrolan yang kelihatannya begitu seru itu. Dianggap seperti tidak ada di antara mereka. Jadilah, ia memilih dan kebetulan memang hanya bisa berdiam diri serta banyak-banyak bersabar.

Tapi, ada yang aneh dengan PARFAIT, penghuni sekolah ini lebih tepat. Dalam setiap langkah Ify, setiap mata melemparkan tatapan sinis padanya. Masing-masing pemilik ada yang mencibir, menertawai dan sepertinya perlakuan itu ditujukan kepadanya. Kenapa semua orang? Kenapa menatapnya seperti itu? Apa mereka ingin memperburuk posisinya yang memang sudah sangat buruk ini? Astaga, apa dirinya sedang berulang tahun? Kejutan tadi pagi, apa belum cukup? Masih ada lagi kah?

“IFY!” Beberapa meter di depannya, seorang gadis perempuan berambut pendek berlari cepat menghampirinya. Air mukanya kelihatan agak lelah habis berlari. “Via, kenapa?” Tanya Ify bingung, pada Via, gadis tadi. Via mengatur nafasnya sejenak lalu tanpa banyak berkata menarik Ify kasar. “Eh eh lo kenapa sih? Tarik-tarik?” Tanya Ify lagi. Tangannya tercekal kuat oleh tangan Via. “Lo! Gawat! Skandal!” Via tanpa menoleh menjawab. Jawabannya itupun sangat-sangat tidak jelas, terutama bagi Ify. Via terkesan hanya memberi clue-clue tanpa menjelaskan lebih rinci. “Apasih?!” Tak ada jawaban lagi, Via terus menarik Ify dengan diam. Ify sendiri hanya bisa pasrah kalau begini. 

Via menarik Ify menuju mading sekolah. Disana sudah bergerumul baik siswa maupun siswi yang sepertinya sangat antusias untuk melihat informasi yang tertera. Dan..ini aneh. Tidak biasanya siswa PARFAIT peduli dengan hal-hal semacam itu, hal-hal yang ditempel di mading. Yah kan biasanya mading hanya ditempeli berbagai pengetahuan umum, info-info penting yang bukan berkaitan dengan sekolah, kata-kata motivator, karya tulis seperti puisi, cerpen dan sebagainya. Ini kejutannya? Pikir Ify. Ia menoleh ke arah Via seperti ingin bertanya ‘Lalu, untuk apa kita kemari?’ atau ‘Ini ada apa?’.

Via mendesah sambil memegang kepala dengan kedua tangan. Layaknya orang frustasi akan suatu hal yang cukup membebani. “Lo bikin skandal!” serunya. Ify terenyuk. Skandal? Hhh, kejutannya yang mana sih sebenarnya? Tatapan sinis orang-orang, bergerumulnya siswa-siswi atau skandal yang entah apa itu? Gerutu Ify membatin. “Ngomong yang jelas, Vi! Daritadi muter-muter mulu!” sungut Ify seraya menggertak gigi kesal. Via mendengus lagi. Lantas ditariknya Ify menerobos masuk ke dalam kerumunan hingga benar-benar berada di bagian paling depan, paling jelas untuk membaca mading.

Sudah ada Shilla dan Agni disana. Agni menghadap ke arah kerumunan di belakangnya dengan tatapan tajam, sementara Shilla melipat kedua tangan di dada dengan air muka kesal. Pasti ada yang gak beres! Duga Ify. Dan, seketika matanya membelalak melihat selembar kertas yang tertempel di badan mading di depannya. Berwarna merah muda dengan tulisan yang sudah tidak asing baginya, sangat tidak asing malah. Lembaran itu seperti surat, berisi pesan untuk seseorang. Seperti surat cinta, mungkin. Ia terpaku memandangi kertas itu. Terpaku melihat barisan kata yang jika dibaca akan terdengar ‘Tertanda Ifyalyssa’.

Sementara Ify diam, Agni mulai berorasi. Berteriak kencang menggertak orang-orang di depannya. Hendak mencari pelaku penempelan lembar pribadi yang rupanya adalah milik Ify itu. “Lo semua! Ngaku! Siapa yang udah lancang nempel surat ini disini?” kata Agni masih agak keras. Semua yang ada di depannya hanya diam, ada yang sibuk mengomentari surat itu adapula yang mencemooh -sepertinya- Ify serta Agni sendiri. Mencemooh Agni dengan anggapan ‘Gadis ini sok sekali’. Agni menarik nafas dalam dan menghembusnya cepat. “Kalo gue tanya tuh DIJAWAB!! SIAPA? HAH?!!” Kali ini benar-benar keras. Agni sudah kelewat emosi.

Ify berhenti dari kegiatan memandangi. Tangannya baru saja hendak mengambil suratnya yang tertempel disana. Surat yang berisi curahan kekagumannya akan sosok....Mario. Tapi, tangan lain lebih dulu mencapai itu. Sang pemilik melihat sekilas lalu melipat lembar itu menjadi 2 bagian sama panjang. Ia menyerahkannya pada Ify. “Punya lo kan? Simpan baik-baik, jangan sampai lepas dari lo lagi. Nih!” kata orang tersebut ramah seraya menyodorkan surat di tangannya pada Ify. Ify diam sebentar dan kemudian hanya mengangguk tanpa balas tersenyum. Ia masih kaget dengan apa yang sedang berlangsung, dengan semuanya, semua yang ia alami pagi ini.

Tepat pada saat itu Rio dan Dea sampai disana. Rio terlihat memandang jauh ke paling dekat dengan mading. Ke arah Ify dkk tepatnya, serta seorang pemuda yang memberikan surat Ify tadi. Alisnya terangkat sebelah. Entah apa ekspresi yang ia tunjukkan. Kemungkinan agak bingung dengan munculnya kerumunan serta keberadaan Ify dkk disana. Tak lupa pemuda tadi juga. Ify tak sengaja menoleh ke arah Rio namun hanya sebentar. Langsung ia palingkan pandangan ke arah teman-temannya disana. “Ni, udahlah gak papa. Ke kelas yok, Vi, Shill, lo juga Ni?”

Alih-alih menghindar dari kerumunan, dari pemuda tadi dan khususnya dari Rio, Ify melangkah pergi. Diikuti oleh Agni, Via dan juga Shilla. Agni sempat menunjuk-nunjuk orang-orang yang berkerumun. Seperti mengancam mereka semua, untuk siapa yang menjadi pelaku penyebab kehebohan pagi ini. Mata Rio mengikuti lekat-lekat pergerakan Ify dkk. Ada apasih? Tanyanya dalam hati.

***

Agni baru saja keluar dari toilet. Ia berjalan menyusuri salah satu koridor yang ada di sekolahnya. Koridor yang cukup membekas dalam ingatan, ingatan Agni. Tempat pertama kali yang membuatnya bertemu dengan seseorang yang berkemungkinan adalah orang yang ia kenal di masa lalu. Yang juga dicarinya sejak dulu. Sosok terkasihnya, Aga-nya. Seorang pemuda, pemuda berkalung matahari. Yap, siapa lagi kalau bukan Cakka. Ah, semoga saja kejadian itu terulang. Cakka melintas di daerah sekitar sini. Bertemu dengannya dan yang pasti akan ada penyambutan yang lebih baik darinya teruntuk pemuda itu.

Dan ya? Apa ia bermimpi? Ah, sepertinya tidak. Ia nyata. Keinginannya didengar Tuhan dan dikabulkan lebih cepat. Terlihat Cakka di depan sana, beberapa meter di depannya. Sepertinya pemuda itu belum menyadari bahwa dirinya di perhatikan. Eh, baju gue rapi kan? Agni spontan merapikan pakaian. Namun, ia kemudian mengernyit bingung, kenapa? Ya, kenapa dirinya bisa bersikap aneh emm berlebihan mungkin, seperti itu? Ckckck, biasa aja kali! Katanya dalam hati.

Hanya 1 setengah meter lagi jaraknya dengan Cakka. Dan Cakka sendiri sudah sadar ada Agni di depannya. Memandangnya agak canggung, seperti kebingungan hendak tersenyum atau menyapanya atau mengabaikan dirinya saja. Separuh hati Cakka tertawa girang melihat itu. Geli karena ternyata gadis tomboy seperti Agni bisa juga bersikap canggung. Namun, separuh lain menuntutnya agar tidak menunjukkan euforia bagian hatinya yang itu. Bagian yang menuntut itu menyuruhnya ‘stay cool’ pada Agni dan kalau bisa pandang gadis itu datar serta dingin.

Mereka kemudian berpapasan. Cakka langsung memalingkan wajah saat matanya bertemu dengan mata Agni. Agni menyimpan kebingungan amat sangat dalam hati. Ada apa sebenarnya dengan pemuda itu? Apa salahnya pada Cakka? Apa pemuda itu mengetahui akan dugaannya tentang Aga dalam dirinya? Rrr, ini tidak bisa dibiarkan! Agni yang sudah berjalan agak jauh dari Cakka kemudian berhenti. Ia berbalik badan dan menahan pemuda itu sebentar. “Cakka!” panggil Agni.

Cakka terlihat berhenti mendengar namanya dipanggil. Akan tetapi ia enggan berbalik badan untuk bertatap muka dengan orang yang memanggilnya. Sekali lagi, hati yang menuntutnya macam-macam itu kembali mengeluarkan tuntutan, kali ini untuk pura-pura enggan merespon Agni. Agni mendengus lalu berujar. “Salah gue apasih?” tanya Agni langsung. Bukannya menjawab, Cakka malah pergi. Dan, untuk yang ini, Agni tak memiliki niat untuk memanggil pemuda itu kembali. Biarkan sajalah. Percuma, hasilnya pasti akan sama seperti yang sekarang terjadi.

***

Ify berjalan memasuki ruang perpustakaan yang ada di sekolahnya. Sekilas, ia menelusuri setiap penghuni yang ada di sana. Dan, yah namanya perpustakaan, pasti akan selalu sepi. Baik suasana maupun pengunjungnya sendiri. Ia kemudian berjalan ke arah dimana berbagai buku disusun. ‘Pengetahuan Umum’. Berikut label yang tertera di rak buku yang di datanginya. Matanya sibuk mencari-cari buku mana yang menarik untuk dibaca. Dan, berhentilah pergerakan dari sepasang penglihatnya itu pada sebuah buku yang terdapat gambar seorang anak laki-laki yang sedang berpikir. Di depannya terdapat tulisan ‘Penelitian Tentang Karakter dan Sifat Seseorang yang Sesungguhnya’.

Seperti sebuah makalah hasil penelitian seseorang. Ify kemudian membawa buku tersebut bersamanya sambil mencari tempat kosong. Meskipun perpustakaan saat ini tidak ramai pembaca, akan tetapi jumlah orang yang ada disana sudah cukup untuk mengisi setidaknya 1 meja satu penghuni. Ify kemudian memilih meja yang berada agak disudut yang sudah diduduki seorang gadis lain lebih dulu. Gadis itu terlihat sedang menulis sesuatu di bukunya. Ia juga memakai headset. Dan dipastikan, ia tidak akan menyadari kedatangan Ify.

Ify sendiri juga terlihat tidak terlalu peduli. Niatnya kemari hanya untuk membaca. Menghilangkan stres. Mengurangi penat atau apalah itu sejenisnya. Tapi, kalau dipikir-pikir, sangat tidak sopan rasanya begitu saja duduk di tempat yang sudah dihuni duluan. Ify mulai memperhatikan gadis di depannya. Gadis itu agak menunduk mengerjakan yang ia tulis. Cantik. Kesan pertama yang Ify dapat setelah melakukan pengamatan singkat akan gadis tersebut. Tapi, kalau lebih lama dilihat, ia serasa tidak asing. Meski tidak sering, tapi rasanya ia pernah melihat gadis itu. baru-baru ini. ya, tapi siapa ya dia? Ify mulai bertanya-tanya dalam hati.

“Hai!” Sapa Ify. Krik-krik. Gadis itu tak merespon. Antara tidak ingin merespon dengan karena ada headset di telinganya makanya gadis itu tetap diam. ah mencoba berpikir positif saja. Mungkin gadis itu tidak mendengar. Sekali lagi, Ify mengamati wajah di depannya. Mencoba mengingat-ngingat siapakah gerangan gadis itu. kenapa rasanya tidak asing? Belum sampai ia menemukan jawaban, tiba-tiba gadis di depannya menoleh ke arahnya. Memandangnya dingin.

“Ada masalah sama gue?” Sekali lagi, benar-benar dingin. Tak kalah dengan tatapannya pada Ify. Ify sempat merinding dan agak takut. Beruntung, ia masih sanggup menetralkan air muka di wajahnya. Tak tahu kenapa, ia jadi sulit berbicara. Lantas ia menggeleng. Dan gadis itu kembali tertunduk dan melanjutkan kegiatan. Diam-diam, Ify menghela nafas lega. Ia mengamati gadis di depannya lagi. Siapa gadis ini? ia bertemu dimana? Batinnya bingung. Sorot matanya dingin. Meskipun kesan kedua tidak baik, tapi, entah kenapa lagi, Ify meyakini gadis di depannya itu sebenarnya baik.
PLAK! *Halah bunyi pensil di lempar gimana sih?*

Gadis tersebut tiba-tiba gusar. Hidungnya kembang-kempis seperti menahan amarah. Dan semua itu tertuju jelas pada Ify. Membuat ketakutan kembali melanda Ify. “Gak ada kerjaan lain apa lo?!” Dengan segera, Ify pura-pura mengalihkan diri ke arah makalah yang ia ambil tadi. Wajahnya ditundukkan sedalam mungkin demi menghindar dari amukan yang kalau-kalau akan dilancarkan sang gadis. Si gadis sendiri kemudian menghela nafas lalu lanjut menulis.

Masih, Ify mengamati gadis itu diam-diam. matanya melirik beberapa ke arah si gadis. Selanjutnya, ia benar-benar tertunduk. Berpikir lebih keras akan siapa gadis itu sebenarnya. Kenapa gadis itu galak sekali? Padahal kan ia bukan berniat mengganggu, bahkan ia bukan anak laki-laki yang ingin menggodanya. Baiklah, Fy, coba ingat-ingat siapa tahu lo ingat! Batinnya. Berkonsentrasilah Ify, bukan membaca makalah di depannya melainkan masih memikirkan dan memastikan sosok sang gadis.

Ah! Dia cewek yang waktu itu gue...

“Lo cewek yang waktu itu kan? Yang hampir gue tabrak waktu itu kan?” seru Ify seraya mengarahkan telunjuknya ke wajah si gadis. Diluar dugaan, si gadis menggebrak meja pelan. Buku ditutupnya segera. Lantas, ditatapnya Ify sebal. “Nyamuk lo!” umpatnya, masih dalam kategori pelan. Gadis itu lalu berdiri dan pergi berikut buku-buku yang sedari tadi menemaninya. Ify larut dalam rasa keterkejutan sekaligus heran. Ia hanya geleng-geleng kepala sendiri. Mungkin gadis itu sedang PMS. Pikir Ify asal.

***

Sudah beberapa hari Cakka tidak hadir dalam latihan rutin ekskul basket. Dan, hari ini, ia mulai tergerak untuk datang. Rasanya tidak bertanggungjawab mengingat ia masih punya junior untuk dilatih. Jadilah, kini ia sudah sampai di depan pintu ruang basket basecamp. Sudah ada yang terlihat memulai latihan. Ia tak langsung masuk melainkan memperhatikan satu-persatu orang yang ada di dalam. Ada seseorang yang ia cari, ingin ia pastikan apakah orang tersebut hadir dalam ruangan tersebut. Dan ternyata...

“Wey, dateng juga lo, Cak!” Sahutan seseorang itu mengalihkannya. Ia menoleh ke sumber suara. Seorang pemuda seumurannya berjalan mendekat. Ia sendiri hanya menyungging senyum membalas sahutan pemuda tadi. “Yowess, gue balik nih!” Balas Cakka agak terkekeh. “Yowess, pulang sono!” Mendengar itu, Cakka memukul bahu pemuda itu dengan tasnya pelan. Lalu, matanya terlihat mencari-cari lagi. “Si..Agni...mana?” Tanyanya, dengan air muka acuh tak acuh. Meski dalam hati, ia begitu menunggu-nunggu jawaban dari pemuda yang menyapanya.
“Ngundurin diri katanya. Dia mau berhenti di ekskul basket.”

“WHAT?!”

***

Beberapa hal menjadi pertimbangannya untuk kembali memikirkan tawaran Kiki. Dan kini, Cakka sudah menginjakkan kaki di tempat ‘biasa’ yang dimaksud pemuda itu. Ia tak langsung masuk. Sama seperti saat ia datang ke basket basecamp sekolahnya. Ia diam seraya memperhatikan seseorang yang terlihat sedang mendrible bola, Kiki. Tampaknya pemuda itu tidak menyadari bahwa dirinya diperhatikan. Seketika, bimbang dalam benak Cakka muncul kembali. Pikiran bahwa sebaiknya ia pulang saja menyeruak. Entahlah.

“So..lo emang suka Agni kan? Haha..” Tiba-tiba, Kiki bersuara. Terdengar seperti meremehkan. Tangannya masih setia melakukan drible. Cakka  mendengus. “Sotoy lo!” Elak Cakka. Ia masih diam di tempatnya berdiri. “Kehadiran lo kesini yang ngasih tahu gue,” Kiki bersuara kembali. Kali ini, ia sudah menghadap ke arah Cakka. Bola yang sedari tadi dipantulkannya sudah ia tidurkan (?) di lantai. Cakka mendengus lagi. Apa itu? memangnya kehadiran bisa berbicara? Yang namanya hadir mana? Mana?! Gue tonjok juga nih! Gerutu Cakka membatin.

“Udahlah, lo suka kan sama Agni.....cewek gue?”

“HAH?!”

***

Selesaaai!! Haha, ngaret abis! Next part doakan saja gak ngaret. Liburan niih hehe. Tapi yaa tahulah kebiasaan mimin gimana (read : ngaret) hahaha. Jadi, yang masih mau baca sabar menanti saja lah yaa nyahaha~ Oh ya, sekalian mau bilang makasiii banget like dan comentnya, pemacu saya agar terus melanjutkan cerbung gaje ini nyahaha~

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakjelasan cerita. Ini hanyalah fiksi belaka =D

9 komentar:

  1. Kereeeeennn banget!
    Haish, Alvin mah keren banget deh sayang begitu sama Shilla. Nggak kayak Cakka. Apaan tuh? Sok-sok nyuekin Agni. Kaget juga kan jadinya waktu tau Agni keluar ekskul basket? Ditambah lagi waktu Kiki bilang dia cowoknya Agni. Pasti Cakka jadi gimana gitu. Sorakin Cakka, huuuuuuu. Hahaha.

    Masih setia tentang CaGni-Kiki sama AlShil nih penasarannya. Sama Febby juga (dikit). Geregetan sama dia ih. Masih kesel sama tingkah dia yang di part-part sebelumnya sering buat AlShil berantem. Belum lagi Cakka kayaknya masih nyimpen nama dia tuh di pikirannya. Uh.

    Couple RiFy sama SivIel juga bagus banget sebenernya. Cuma karena aku lebih seneng CaGni sama AlShil, jadinya ya aku lebih seneng fokus sama kedua couple itu, hehe.

    Dilanjut yak. Udah liburan kan? Asiiikk, berarti nih cerbung bisa cepet dilanjutinnya.
    Ayo semangaaatt! Matchmaking seru banget soalnya. Ditunggu ya kelanjutannya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hulalaaaa dirimuuu u,u setia sekali membaca cerita ini , keren keren u,u makasii yaaaaa~
      muehehe liburan tidak menjamin ketepatan waktu hoho~
      btw namamu siapa sih? Jadi penasaran o,o

      Hapus
    2. Hoho, o ya dong, ceritanya seru sih, haha.

      Ecieee, namaku ditanya. Jadi malu (hedeh). Tapi panggil aja Nina. :)
      Bukan nama asli sih, tapi panggil aja gitu. Soalnya nama itu juga sering aku pake.

      Kalo emang nggak menjamin, aku doa banyak-banyak deh biar liburannya diisi penuh dengan nulis sama posting lanjutan Matchmaking, haha.

      Hapus
    3. hehehe makasiii u,u
      Jiaaah kenapa pake nama samaran?? hoho, okedeh ninaaa :))
      amiiin hahaha, lagi males sih sebenarnya hohohoho #plak

      Hapus
  2. Hahha, aku kan pemalu, makanya pake nama samaran (hedeh), haha.
    Kalo Nita emang lagi males, ya itu terserah Nita sih, hehe (walaupun emang udah penasaran banget). Yang jelas, bakal terus ditunggu kok kelanjutannya.
    Berjuang, haha.

    BalasHapus
  3. Lanjuut...
    Aku suka banget sama ni cerbung, soalnya tiap kali baca ni cerbung kayaknya udh kebayang gitu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe sabar yaaa bentar lg selesai kok, lumayan udah 5 lembar o,o

      Hapus
  4. Penasaran banget sama lanjutannya

    BalasHapus
  5. kak part 18nya belum y..?

    BalasHapus