-->

Kamis, 26 September 2013

Cheeky Romance : Bab 1

Penulis : Kim Eun Jeong

Cast :
1.       Ify Chae alias Yoo Chae
2.       Yoon Rio alias So Yoon Pyo
3.       Ashilla Rong alias Oh Hye Rong
4.       Dae Alvin alias Dae Joon
5.       Sivia Yeong alias So Yeong
6.       Cakka Jae alias Kang He Jae
7.       Dokter Gabriel alias Dokter Park

Sejauh ini baru itu...

*** 

BAB 1 : ALASANNYA PERGI KE DOKTER KANDUNGAN

Orang-orang menyebutnya takdir, yang sebenarnya merupakan gabungan dari kesalahan tiap individu. - Oliver Herford

***

JADWAL tugas yang baru telah diumumkan.
Ify Chae menenangkan hatinya yang berdebar-debar dan menatap jadwal pembagian tugas baru yang ditempel di papan pengumuman di ruang presenter. Tidak ada yang berbeda. Seandainya ia mendapat tugas sebagai presenter tetap, ia pasti sudah diberitahu sebelumnya. Sementara, Ify sama sekali tidak mendapat tawaran untuk program apa pn. Jadi, ia tahu sekali kalau pengumuman ini sama sekali bukan untuk dirinya. Meskipun demikian, sekedar 'siapa tahu' saja... dan 'ternyata' memang sesuai dugaannya.

Ia pun tidak bisa menundukkan kepalanya. Ia seharsnya memasang wajah seolah melihat pengumuman itu karena rasa penasaran saja dan pergi meninggalkan ruangan itu. Lagi pula, tidak ada orang lain yang memedulikan bagaimana perasaannya saat itu. Namun karena merasa harga dirinya jatuh, kepalanya yang terangkat tegak pun terlihat kaku. Rasa kesal perlahan mulai merasuki dadanya. Beginilah jadinya bila terlalu banyak memikirkan sesuatu.

"Oh, tidak ada apa-apa rupanya," Ify bergumam seorang diri dan berusaha mengangkat ujung bibirnya. Ia lantas membalikkan badan. Saat itulah ia bertatapan dengan Cakka Jae yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan kasihan. Si br*ngs*k yang selungkuh dengan wanita lain ketika dinas ke luar negeri!

"Aku tidak serius dengan senior wanita itu. Kami hanya minum bersama dan terbawa suasana saja..."

Alasan para lelaki yang berselingkuh memang memiliki stereotip yang sama. Mengaku sudah melakukan kesalahan yang fatal, atau menyangkal bahwa itu bukan kesalahan mereka. Awalnya, laki-laki ini juga termasuk kelompok yang kedua, yang sama sekali tidak berniat untuk berselingkuh.

"Memangnya kau minum sampai lupa batasan? Lalu, kalau aku berbuat seperti itu, apa kau mau memahamiku?"
"Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Seperti itu apanya? Memangnya laki-laki saja yang boleh terbawa suasana dan wanita tidak boleh? Maksudmu kau hanya main-main dengan wanita itu, dengan senior wanita rekan kerjamu itu?"

Cakka dan Ify bukanlah topstar dan orang-orang pun tak tertarik dengan kisah percintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang presenter, Ify juga tidak bisa heboh mengumumkan hubungannya kepada orang lain sehingga selama ini, tidak banyak orang yang mengetahui hubungan mereka. Namun, senior wanita yang diajak Cakka "bermain-main" itu adalah seorang PD (Program Director) di kantor stasiun tv yang sama tempat mereka bekerja sehingga Ify mulai khawatir bagaimana jika ia harus bekerja sama dengan wanita itu. Meskipun senior wanita itu tidak tahu, tetapi Ify tahu bahwa hubungannya dengan Cakka hancur karena senior wanita itu. Namun, semakin besar amarah Ify, laki-laki itu malah mulai melemparkan alasannya berselingkuh pada senior wanita itu.

"Kita ini hanya namanya saja 'pacaran', tetapi sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa kan?"

Omong kosong macam apa lagi ini?

"Kau tidak pernah mengizinkanku memegang ujung tanganmu walau sebentar, kan? Apa sih mahalnya dan hebatnya kau ini sampai tidak ada kemajuan dalam hubungan kita selama satu tahun ini?"

Ini bukan saja sekedar amarah, tetapi ia memang sudah melewati batas.

"Lalu kenapa? Apa aku harus mengikuti tahap-tahap pacaran seperti orang lain pada umumnya? Kalau begitu, lakukan saja dengan wanita lain!"
"Makanya aku menemui wanita itu kan!" Riko berteriak putus asa.
"Ya sudah!"
"Ya sudah apanya?!" Riko menarik tangan Ify yang hendak pergi meninggalkannya.
"Kalau saja kau tidak memperlakukanku seperti itu, kejadian ini tidak akan terjadi. Menurutmu ini semua karena kesalahanku?"
"Apa maksudmu? Jangan asal bicara ya! Laki-laki memang menyebalkan!"

Rasanya kini ia tahu mengapa Sivia Yeong sangat membenci laki-laki. Via, seorang eonni yang tinggal di sekitar rumahnya, hamil seorang diri dan muak terhadap laki-laki.

"Kau yang terlalu tertutup juga menyebalkan, tahu tidak! Memangnya sekarang ini zaman Kerajaan Joseon apa?"

Memangnya selama ini ia memakai pakaian tertutup seperti pakaian besi prajurit? Mereka kan belum menikah, dan ia tidak ingin menuruti permintaan laki-laki itu begitu saja. Ibunya telah meninggal, dan walaupun ia hanya dididik dan dibesarkan oleh ayahnya, ia tidak ingin dikenal sebagai anak yang tidak tahu aturan. Ia tidak ingin disamakan dengan adiknya yang ugal-ugalan. Meskipun keluarganya tidak mampu dan ia hanya dibesarkan oleh ayahnya, ia ingin ayahnya mendapat pujian karena dapat membesarkan putrinya dengan baik. itu saja. Menurutnya, pemikiran bahwa kemajuan suatu hubungan yang ditentukan oleh ukuran skinship adalah salah.

"Karena otakku ini bukan made ini Korea, tapi made in Joseon. Kau puas?"

Awalnya ia berpikir Cakka berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Namun ternyata, ia sama saja. Ify menatapnya dengan tatapan muak.

"Ify, aku mohon. Maafkan aku sekali ini saja. Aku benar-benar menyesal saat ini. Kejadian itu benar-benar di luar kendaliku.”
“Sudahlah. Tidak usah banyak alasan. Sekarang kuberitahu ya. lebih baik kita putus!”
“Semudah itu?” Riko bertanya dengan putus asa.
“Kau sendiri, memangnya tidak mudah bagimu?” Ify berkata dengan dingin dan menatapnya tajam.

Ify sebenarnya tidak senang menerima tatapan kasihan dari laki-laki itu, apalagi di depan papan pengumuman kantor. Setidaknya, laki-laki itu mendapat satu program tetap. Mungkin ia mengumpulkan banyak rezeki sambil selingkuh. Begitu kembali dari dinas, ia langsung memegang dua acara, bahkan salah satunya sebagai program tetap. Atau mungkin, laki-laki itu bukan mengumpulkan rezeki sambil berselingkuh, melainkan keberuntungan tiba-tiba datang menghampirinya karena putus dengan dirinya. Begitulah Ify. ia merasa dirinya benar-benar sial dan malang. Kalau tidak, mana mungkin selama lebih dari dua tahun bekerja sebagai presenter, ia belum pernah mendapat program tetap sekali pun. Ia tidak menyangka hidupnya di usia 27 tahun harus dilewati layaknya seorang pengangguran di kantor. Namun, meskipun menyadari bahwa dirinya sangat tidak beruntung, yang muncul dalam dirinya adalah semangat untuk menang dan semangat ‘fighting’.

Ify mengacuhkan Cakka yang menatapnya dalam-dalam dan kembali ke tempat duduknya. Kemudian, ia pura-pura sibuk mengetik di komputernya. Sebenarnya tidak ada situs jejaring yang ia buka, tidak ada data yang ia cari. Yah, paling tidak ia harus punya tugas supaya setidaknya bisa mencari data di internet. Namun, ia tidak ingin terlihat duduk diam dengan wajah bosan setengah mati di ruang kerja presenter yang terlihat sibuk itu. Ify lantas membuka situs jejaring kantor stasiun TV mereka dengan malas. Setelah beberapa saat keluar masuk tanpa tujuan ke berbagai menu yang ada disana, gerakan tangannya terhenti pada salah satu kolom ‘pertanyaan dan keluhan’. Kolom ‘keluhan’...

Awalnya Ify ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mulai menulis huruf demi huruf di bagian kolom ‘keluhan’ itu untuk menghilangkan rasa bosan.

Kang Cakka Jae, presenter yang suka selingkuh...

Tiba-tiba tangannya mengetik dengan kecepatan semakin tinggi. Tanpa disadari, satu kolom ‘keluhan’ sudah terisi penuh dengan makian yang ditujukan kepada Cakka. Setelah menulis satu kolom, barulah Ify merasa tenang kembali. Ia mengarahkan kursor mouse-nya ke tombol ‘unggah’ dan terdiam sejenak. Suasana hatinya sedang buruk sehingga tulisannya pun terlihat kasar dan asal-asalan. Lagi pula, sepertinya tidak masuk akal jika ia menggugah tulisan seperti ini di situs jejaring kantornya.

Ify menghela nafas dan mengklik tombol ‘hapus’. Namun, tidak terjadi respons apa-apa di layar komputernya. Ify mengerutkan dahi dengan wajah panik dan mulai mengklik terus-menerus. Tampilan di layar komputernya tetap tidak bergeming. Sepertinya eror. Sama seperti pemiliknya.

Baru saja ia hendak mematikan komputernya, telepon genggamnya berbunyi. Telepon itu dari seorang eonni yang tinggal di dekat rumahnya, seorang fashion designer terkenal, yang memasukkan laki-laki ke kelompok ‘bukan makhluk hidup’, Sivia Yeong.

“Oh, Eonni. Ada apa?”

Ify menjepit telepon genggamnya di antara bahu dan telinganya, kemudian membungkukkan badannya untuk menekan tombol ‘power’ di komputernya.

“Aku harus pergi ke dokter kandungan hari ini. temani aku ya!”
“Huh, mentang-mentang kau tidak menikah, lantas tidak bisa pergi ke dokter kandungan sendirian?” Ify tertawa sambil mendengus pelan.
“Aku bosan kalau sendirian. Aku pun lapar, nanti aku traktir makan siang.”

Begitu Via selesai bicara, layar komputer Ify mati dan ia tersenyum lebar.

“Baiklah!”


***

Suasana pagi itu sangat sibuk. Baru saja terjadi kasus kecelakaan beruntun dari lima kendaraan dan salah satu korbannya adalah seorang ibu hamil. Seorang suami yang kepalanya berlumuran darah tetap berlari mengikuti istrinya yang terbaring di tempat tidur periksa dan dibawa menuju kamar operasi. Sang suami tetap menempel disisi istrinya, seolah tidak ingin meninggalkannya sedikit pun. Menyedihkan sekali melihat pemandangan seperti itu.
“Air ketbannya sudah pecah saat kecelakaannya terjadi, dan ketika sampai di ruang UGD, detak jantung bayi tidak terdeteksi!” seorang perawat berkata kepada Yoon Rio yang berjalan dengan tergesa begitu mendapat panggilan.
“Kondisi ibunya?” Rio bertanya sambil ikut berlari ke arah ruang operasi dan memegangi pinggir tempat tidur pasiennya.
“Detak jantungnya sangat lemah! Pendarahannya juga parah!”
“Golongan darahnya?”
Begitu Rio bertanya, suami yang sejak tadi meratap memanggil nama istrinya seketika berteriak, “Golongan darahnya O! Saya juga O! Ambil saja darah saya!”
“Tidak bisa, anda juga mengalami pendarahan!” Rio balik berteriak kepada suami pasien itu dan segera memerintahkan perawatnya, “Cepat cari golongan darah O!”
Namun suami itu tidak menyerah dan memegang lengan Rio erat-erat.
“Tidak apa-apa! Ambil saja darah saya! Saya tidak merokok, tidak pernah minum alkohol!”
“Anda kan sedang berlumuran darah seperti ini! seandainya terjadi apa-apa, bukankah setidaknya anda harus sehat untuk menjaga bayi ini nanti? Sebaiknya anda obati dulu luka anda!” Rio berteriak dengan tegas. Ia paham sepenuhnya perasaan suami pasien itu. meskipun hatinya sakit berada dalam situasi seperti ini, tetapi maaf saja...apa boleh buat. Ia hars dapat menyelamatkan ibu dan bayinya, meskipun demi si suami itu.


Rio keluar dari ruang operasi mengenakan baju operasi yang penuh keringat. Suasana di luar operasi cukup tenang, berbeda dengan saat ia masuk tadi.
“Suami pasien mana?”
Langkah Rio terhenti di depan ruang operasi. Ia melepas salah satu ujung maskernya dan menoleh ke arah perawat yang berjalan mengikutinya.
“Baru saja mendapat delapan jahitan di dahinya, sekarang sedang transfusi darah untuk didonorkan.”
Tersungging senyum di wajah Rio mendengar betapa hebatnya ikatan keluarga itu.
“Hebat sekali. Ibu dan bayi yang jantungnya berdetak kembali, dan ayah yang mendonorkan darahnya dengan jahitan di kepalanya. Semoga anak itu kelak berbakti kepala orangtuanya.”

Kembali muncul di benar Rio saat jantung bayi itu berdetak kembali, saat bayi itu menangis untuk pertama kalinya di dunia ini. meskipun badannya terasa letik, tetapi perasaannya seolah melayang ke angkasa.

“Masih ada satu pasien lagi yang sedang menunggu.”
“Oh, ya?”
Rio melirik jam tangannya mendengar perkataan perawat itu. kemudian, ia memberikan masker yang ia pakai kepada perawat itu dan bergegas melangkahkan kakinya.


Begitu selesai melakukan tes USG pada pasiennya, Rio keluar dari ruang periksa, mencuci tangannya, dan melihat kembali grafik hasil tes tersebut. Sementara itu, seorang pasien wanita keluar dari ruang periksa sambil merapikan bajunya. Ia duduk di kursi yang terletaj di hadapan Rio dan menatap wajah Rio dengan cemas.
“Untuk pemeriksaan berikutnya, anda bisa datang bersama ayah bayinya kan?” Rio bertanya sambil memperhatikan ekspresi wanita itu.
“Ya? Ba...bayi?”
Wajahnya terlihat terkejut. Rio sudah menduganya. Perlahan tekanan darahnya mulai meningkat. Di awal tahun ini, memasuki usianya yang ke-31, ia sudah berjanji untuk tidak marah dalam menghadapi ibu-ibu hamil seperti ini. meskipun ia tahu hal itu tidak mudah, apalagi di musim gugur seperti ini, tetapi ia tetap berusaha setidaknya sampai tahun ini berakhir. Lalu, ia akan membuat janji itu lagi. Janji untuk lebih bersabar lagi di tahun depan.
“Situasi anda cukup sulit rupanya. Anda belum menikah ya?”
Entah apakah karena wanita itu takut melihat Rio yang bertanya padanya sambil mengernyitkan dahi, ia langsung mengangguk dengan wajah yang hampir menangis.
“apa anda akan menikah dengannya?”
Ekspresi wajah Rio semakin serius. Mendengar perkataan itu, barulah wanita itu berhasil menenangkan dirinya di tengah situasi yang kalut itu dan menarik kursinya mendekati meja di hadapannya.
“Apa maksud anda dengan ‘situasi yang sulit’? toh usia janin ini juga masih sangat dini.”

Seketika itu juga, tekanan darah Rio seolah menanjak tajam,  menembus ubun-ubunnya, dan membuat kepalanya panas. Ia benar-benar merasa kesal di saat-saat seperti ini.
“Kalau anda bisa menghitung bahwa usia janin itu masih dini, apa anda sama sekali tidak pernah memperhitungkan kalau anda bisa saja hamil karena perbuatan anda?”
Ia sudah berusaha untuk menahan amarahnya, tetaoi tekanan darahnya yang semakin meningkat membatnya melontarkan perkataan itu begitu saja.
“Apa?” wanita itu terkejut.
“Anda tahu apa yang benar-benar sulit? Orang-orang yang ‘membuat anak’ tanpa pikir panjang seperti anda ini. itulah masalah yang paling sulit di zaman sekarang ini!”
Rio yang tadinya bersabar akhirnya meluapkan rasa kesalnya pada wanita itu. Seketika itu juga, wanita itu gemetar dan mulai menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Pedih rasanya melihat seseorang menangisi kehidupan baru yang sangat berharga yang ada di dalam tubuhnya. Rio menghela napas perlahan dan membuka mulutnya kembali.
“Pada dasarnya, hadirnya sebuah kehidupan baru memiliki makna yang sangat penting. Anda tidak boleh menyambut kehidupan janin di tubuh anda dengan rasa panik dan kalut seperti ini. Tidak baik untuk janin di dalam perut anda.”

Di luar dugaan, wanita itu menganggukkan kepalanya sambil tetap tertunduk. Untung saja wanita itu tidak menangis terus-menerus.
“Anda tahu tidak, berapa jumlah pasien saya yang mandul? Mereka ingin sekali mendengar kabar bahwa mereka hamil, meskipun hanya di dalam angan-angan mereka. Tetapi anda malah bingung dan kalut saat mengetahui anda hamil. Dunia ini memang tidak adil ya,” Rio berdecak pahit.
“Saya tahu apa yang menjadi beban pikiran para ibu hamil.”
“I...ibu hamil?” wanita itu terkejut mendengar panggilan baru yang belum pernah ia dengar seumur hidupnya.
“Wanita yang sudah pernah melahirkan atau belum, asalkan ada bayi di dalam perutnya, itu ibu hamil namanya. Itu adalah panggilan yang bisa didapatkan oleh wanita yang memuat tanggung jawab tinggi. Sebaiknya anda pikirkan kembali baik-baik dan datanglah dengan ayah dari janin ini saat pemeriksaan berikutnya. Jangan mendengar perkataan seperti ini seorang diri.”
Wanita itu diam terpaku selama beberapa saat dan kehilangan kata-kata sebelum akhirnya menyahut pelan, “Baiklah....”
Raut wajah wanita itu terlihat semakin serius. Ia lalu membungkuk mengucapkan salam pada Rio dan meninggalkan ruang konsultasi dokter.

Setelah wanita itu keluar, Rio membereskan data grafiknya dan keluar dari ruangannya.
“Aku akan melahirkannya! Aku tetap akan melahirkannya, terserah apa katamu!”
Dari ujung lobi bagian kandungan, di depan pintu darurat, terdengar suara teriakan seorang wanita. Langkah Rio terhenti dan ia sekilah melihat ke arah pintu darurat itu. Di luar sana, terlihat wanita yang baru saja berkonsultasi dengannya sedang berteriak di telepon.
“Iya! Meskipun aku bekum pernah melihatnya, tapi aku akan mempertahankan nyawa janin di perutku ini! awas kalau kau menyuruhku menggugurkannya! Tidak baik bagi bayi ini!”
Mendengar suara wanita yang berbicara dengan tegas itu, Rio tersenyum pahit. Masalah memang biasanya ada pada pihak laki-laki. Rio merasa salut pada jiwa keibuan yang dimiliki setiap wanita dan juga hewan betina yang ada di dunia ini.


“Kadang aku geram melihat kebutuhan biologis para laki-laki,” Rio bersandar di pagar teras sebuah coffeeshop dan berkata pada Ashilla Rong *engg..agakanehya* sambil menghela napas pelan.
“Pada dasarnya, dulu manusia hidup di masyarakat matriarkal. Berbeda dengan makhluk lainnya, banyak wanita yang meninggal karena melahirkan anak sehingga para lelaki harus melindungi wanita demi memenuhi kebutuhan reproduksi mereka. Oleh sebab itu, wanita yang memegang kuasa. Seiring berjalannya waktu, karena alasan perbedaan kekuatan fisik laki-laki dan perempuan, posisi perempuan memang sempat ditekan kembali, tetapi sepertinya sekarang sudah tidak lagi ya?”

Shilla memandang Rio dan tersenyum penuh arti, seolah tidak lama lagi masa kehidupan suku Amazon kembali datang.
“Tadi pagi katanya ada kondisi gawat darurat ya?”
“Hampir saja berakhir dengan tragedi. Ada seorang suami yang tidak mau meninggalkan istrinya meskipun dahinya bercucuran darah... Untung saja tidak berakhir dengan tragedi.”
Rio mengambil cangkir kopi Shilla dan meneguknya.
“Biasanya, dokter laki-laki di bagian kandungan tidak memiliki penggemar. Aneh juga ya?”
Shilla menatap Rio dengan tatapan kosong yang membuatnya tersenyum kecil.
“Selain karena kemampuan dan penampilanku, pasti juga karena rasa sayang dan perhatianku yang mendalam pada anak-anak, kan?”
Rio mengangkat dagunya dan membentuk huruf ‘V’ menggunakan ibu jari dan jari telunjuk di bawah dagunya. Melihat Rio seperti itu, Shilla hanya mendecakkan lidah.

“Kalau saja kata-kata itu tidak keluar dari mulutmu sendiri, pasti tidak akan terdengar menyebalkan. Mereka belum tahu saja kalau kau ini tidak sabaran dan menyebalkan seperti itu.”
Rio tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tidak jarang tangannya tersiram kopi panas dari mesin penjual kopi karena tidak sabar menunggu kopi itu selesai ditang.
“Cuaca musim gugur ini enak sekali. aku jadi ingin pergi ke Gunung Jiri dengan cuaca seperti ini,” Rio membalikkan badan dan memandang ke arah langit.
“Benar. Kau dulu anggota klub pendaki gunung di kampus kan? Sekarang juga sering mendaki gunung?”
“Tidak, aku tidak punya waktu. Oh ya, omong-omong tentang Dokter Gabriel, dia sedang apa di Jerman sekarang?”

Di langit terlihat awan putih yang memanjang seperti garis, menyerupai jejak sebuah pesawat jet.
“Pasti sedang mengurusi bayi-bayi yang baru lahir di Jerman.”
Shilla mengikuti Rio menyandarkan lengannya di pagar teras dan memandang langit. Wajahnya terlihat bosan. Ia lalu menegakkan badannya yang tadi bersandar di pagar itu.
“Aku harus pergi melihat pasien yang dulu dititipkan oleh Dokter Gabriel.”
“Masih ada pasien?” Rio pun ikut menegakkan tubuhnya.
“Ya,” Shilla menganggukkan kepalanya lalu berjalan menju pintu teras. Rio dan Shilla berjalan beriringan di koridor rumah sakit itu. Rio melirik sekilas ke arah wajah Shilla yang sejajar dengan pundaknya, kemudian merentangkan tangannya di belakang punggung Shilla dan memegang sebelah tangan Shilla yang jauh dari dirinya. *romantisngetzihcowoknya!maudongsatu.-.* Shilla yang terkejut kemudian menatap punggung tangan Rio yang memegang tangannya dan memukulnya pelan. Kemudian ia menoleh pada Rio dan tertawa.

“Kemarin ibumu menyuruhku untuk main ke rumah. Kau sudah cerita tentang aku?”
Wajah Rio yang tadinya penuh canda mendadak menjadi serius. Hubungannya dengan Shilla masih terbilang baru, namun pasti ibunya sudah diam-diam mulai memperhatikan Shilla. Tidak salah lagi. Ia tidak ingin hubungannya dengan Shilla berubah menjadi hubungan yang kaku, hubungan yang terlalu diarahkan oleh kemauan ibunya. Ia ingin memiliki hubungan yang normal dan wajar dengan Shilla, tanpa ada campur tangan ibunya.
“Aku kan sudah kenal denganmu sejak kuliah, ibuku bilang kau ini cantik. Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan. Paling ia hanya iseng saja.”
Kalau sudah membicarakan tentang ibunya, nada suaranya mendadak dingin. Rio selalu merasa tidak nyaman. Mendengar sebutan ‘ibu’ saja bisa membuat darahnya terasa dingin. Ia tidak ingin terlihat tidak nyaman seperti ini, tetapi sepertinya sulit.

“Wah, berarti aku sudah diperhatikan oleh ibumu ya? Dan harus lebih menjaga sikap?”
Shilla membuka matanya lebar dan memasang senyum dengan gaya imut andalannya. Seolah memahami raut wajah Rio yang murung, ia kemudian menepuk-nepuk pundak Rio. Ia lantas mengedipkan mata kepada Rio sembari membuka pintu ruang praktiknya. Itulah sebabnya Rio suka dan merasa nyaman dengan wanita ini. Sewaktu kuliah, ketika Rio tanpa sadar bercerita tentang dirinya sendiri pada Shilla, wanita itu menanggapinya dengan santai dan tenang. Ia dapat merasakan sosok seorang ibu dari diri wanita itu.
“Ya, begitulah.”
Rio tersenyum pada Shilla. Shilla melemparkan seulas senyum hangat pada Rio kemudian memasuki ruang praktiknya. Begitu wanita itu menutup pintu ruangannya, Rio berjalan beberapa langkah menuju ke ruang praktiknya yang berada di sebelah ruang praktik Shilla. Tiba-tiba, dari pintu darurat di ujung koridor itu, kembali terdengar suara seorang perempuan.

“Aku tidak akan menghapusnya!”
Suaranya terdengar tinggi dan melengking seolah seperti orang yang tersambar listrik tegangan tinggi. Rupanya ada lagi seorang wanita yang menjadi korban keegoisan laki-laki. Rio memandang wanita yang sibuk berbicara di telepon itu dengan tatapan prihatin.
“Aku tidak mau! Lantas kenapa?”
Dilihat dari penampilannya, wanita itu sepertinya berwatak keras.
“Itu kan kesalahanmu. Aku tidak akan melakukannya! Kau juga harus ikut bertanggung jawab kan? Memangnya kau saja yang punya urusan di kantor?”
Apa suaminya tidak boleh punya anak oleh kantornya? Laki-laki egois seperti itu memang harus ditangkap dan diberi pelajaran. Seperti kata Shilla, seandainya ini masyarakat matriarkal, pasti sudah banyak laki-laki seperti itu yang ditahan.
“Memangnya cinta itu ditulis dengan pensil, bisa dihapus seenaknya? Memangnya bayi itu ‘coretan’, bisa dihapus?” Rio bergumam seorang diri, menggelengkan kepalanya, dan memasuki ruang praktiknya. Sebagai sesama laki-laki, ia pun ikut merasa malu dan prihatin.


***

Ify yang berbicara sambil menempelkan telepon genggamnya ke telinganya akhirnya mendekatkan telepon itu ke depan mulutnya dan berteriak kencang.
“Siapa suruh kau selingkuh dariku! Dasar laki-laki br*ngs*k!”
Kemudian ia buru-buru menutup teleponnya. Amarah seolah menyeruak dari dadanya. Begitu pula dari kepalanya. Tadinya ia pikir komputer itu eror, tetapi ternyata malah memproses tombol ‘unggah’ yang tidak sengaja ia klik tadi. Pasti tadi ia tidak sengaja mengklik tombol ‘hapus’ berkali-kali ketika berusaha menghapus tulisannya. Padahal ia tidak bermaksud menyebarkan tulisan itu di internet, tetapi ternyata komputernya ‘berulah’ dan menyusahkan pemiliknya.

Komputer yang sepertinya lebih licik dari pemiliknya itu seakan ikut berkata ‘laki-laki br*ngs*k tukang selingkuh’ kepada Cakka, dan memenuhi kolom situs jejaring itu sebanyak jumlah klik yang ditekan oleh pemiliknya. Begitu mengetahu hal ini, Cakka langsung meneleponnya tanpa henti dan berteriak-teriak menyuruhnya untuk menghapus tulisan tersebut. Entah apakah orang itu sebenarnya menyadari kesalahannya atau tidak. Jelas-jelas kali ini ia yang salah, berani-beraninya ia seenaknya menyuruhku untuk menghapus tulisan itu? Ify pun sebenarnya tidak bermaksud melakukan hal itu, namun Cakka terlanjur meluapkan emosinya tanpa mendengarkan penjelasan Ify terlebih dahulu dan hal ini membuat Ify ikut kesal dan berteriak keras pada laki-laki itu. yah, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Seharusnya paling tidak hatinya puas.

Akan tetapi, hatinya tidak merasa puas sama sekali. Ia malah merasa aneh dan tidak tenang, karena ia memang tidak ingin melakukan hal ini. Sebenarnya ia ingin segera berlari dan menghapus tulsian itu sebelum ada kepala bagiannya, direktur kantornya, atau siapa pun yang melihat tulisan itu. Namun, ia pun sudah terlanjur marah-marah pada Cakka, sehingga ia tidak bisa segera menghapus tulisan itu. Ify yang mendadak diserang panik dan khawatir hanya bisa menggigit-gigit bibirnya dengan cemas sampai kemudian ia menyerah. Ah, terserahlah! Biarlah orang-orang melihat tulisannya itu.

Masih merasa tidak nyaman, Ify mengembuskan napas ke dahinya yang menerbangkan poninya, kemudian melemparkan telepon genggam ke dalam tasnya dan memasuki ruang tunggu di bagian spesialis kandungan. Di salah satu kursi panjang di ruang tunggu itu, terlihat Via yang tengah hamil tua dengan perutnya yang besar. Ia terlihat asyik merajut. Ify melangkah dengan gontai dan mengempaskan dirinya duduk di sebelah Via. Via sedang menggulung benang rajut. Sekilas ia melirik Ify dan kembali melanjutkan rajutannya. Siapa saja yang sudah melihat tulisannya? Yang pasti, orang-orang yang masuk ke kolom situs jejaring itu sudah melihatnya kan?

Sebagai orang dengan golongan darah triple A, tulisan yang tidak sengaja tersebar di internet itu benar-benar mengusik pikirannya. Ify menggigit-gigit kuku tangannya, kemudian menghela napas panjang dan mulai memainkan benang rajut yang sedang dipakai oleh Via. Saat itu, barulah Via bertanya padanya.
“Cakka?”
“Ya,” Ify menyahut dengan nada menggerutu.
“Ada masalah apa lagi?”
“Aku baru saja menyebarkan tulisan di situs jejaring persahaan kalau dia itu tukang selingkuh.”

Setelah berkata seperti itu, barulah ia menyadari bahwa tindakannya itu keterlaluan. Seharusnya ia tidak melampiaskan kekesalannya disitus jejaring kantor seperti itu. harusnya ia menulis di buku catatan atau diari saja. Entah mengapa tadi kolom di situs jejaring itu terlihat begitu menggoda.
“Itu saja?”
Via melirik Ify dengan tatapan ‘tidak mungkin kau hanya berbuat seperti itu”. Ify tertunduk.
“Aku bilang dia itu tukang selingkuh br*ngs*k dan...”
Sesaat, gerakat tangan Via yang sedang merajut terhenti.
“Jadi, kau memaki-makinya melalui situs jejaring kantor?”
Melihat Via yang terkejut dan mulai emosi, Ify merasa seolah disiram air selokan. Ia pun berteriak dengan kesal.
“Lalu apa yang harus kulakukan?!”

Seketika itu juga, para ibu hamil yang berada di ruang tunggu dan para perawat yang berada di balik meja pendaftaran terkejut dan saling berpandangan. Ify merasa panik dan segera menundukkan kepalanya meminta maaf kepada mereka. Lalu, ia berbisik pada Via, “Ada kesalahan kecil. Aku tidak tahu kalau tulisan itu akan tersebar di internet. Padahal aku sudah mengklik tombol ‘hapus’. Entah kenapa, saat itu komputerku tiba-tiba eror... Tapi, laki-laki itu lebih kurang ajar lagi. Dia malah menyuruhku menghapus tulisan itu, sama sekali tidak sadar kalau dia sebenarnya yang bersalah. Biar tahu rasa dia.”
Ify mengepalkan tangannya dengan marah dan menghantamkannya pada gulungan benang rajut yang ia pegang. Via pun segera mengambil gulungan benar itu dari tangan Ify.
“Sekarang ini sudah tahun 2013, kau bisa tidak sih hidup lebih tenang sedikit di abad ke-21 ini? Kau ini terlalu mudah kesal dan marah di setiap masalah,” Via memperhatikan sekelilingnya dan memarahi Ify dengan suara pelan.

“Jadi selama ini Eonni juga hidup tenang sambil diam-diam membuat anak?”
“Memang kenapa?” Via berlagak tenang seolah hal itu memang sudah ia rencanakan dari awal.
“Kau kan juga sama. Setelah melihat pria baik-baik seperti Cakka berselingkuh, lantas langsung mengelompokkan laki-laki sebagai bukan makhluk hidup.”
Mau bagaimana lahi. Di hari ketika Ify tahu bahwa Cakka selingkuh darinya, ia langsung mencari Via, meminum alkohol yang tidak pernah ia minum, dan saat ini marah-marah di depan para ibu hamil.
“Coba kau pikirkan lagi.”
“Apanya?” Ify menyahut seenaknya karena kesal.
“Mengurus satu anak dengan sepenuh hati saja sudah susah, apalagi kalau sampi harus mengurus laki-laki yang ibaratnya bisa berubah menjadi serigala kalau bulan purnama. *naaaah(?)* Apa perlu hidup seperti itu?”
“Jadi maksud Eonni, aku juga harus mengikuti Eonni menjadi wanita single selamanya? Eonni mau membuat perkumpulan single mom lalu mau jadi ketuanya?”
“Kau ini. kalau iya, memang kenapa? Aku akan membesarkan anak ini dengan bangga, lalu pergi jalan-jalan berdua, makan makanan yang enak, dan hidup dengan menyenangkan bersama anak ini. Perkumpulan? Hm, ide yang bagus. Bagaimanapun, pasti lebih baik jika ada tempat untuk saling berbagi cerita tentang membesarkan anak seorang diri.”

Mendengar nada suaranya, rasanya seolah perempuan itu benar-benar akan mendirikan perkumpulan single mom dan menjadi ketua perkumpulannya.
“Semoga saja hal itu tidak menjadi keinginan Eonni semata. Anak di dalam perut itu, meskipun Eonni bisa membuatnya seenaknya, tapi anak itu pasti nanti ingin punya kehidupan sendiri,” Ify berdecak pelan. Via menggerakkan jarumnya kuat-kuat seolah akan menjahit bibir Ify.
Kemudian ia berbisik pelan sambil membelalakkan matanya, “Kalau sampai ketahuan, bisa gawat. Ini adalah hadiah spesial dari Dokter Gabriel karena ia dikirim ke Jerman. Kalau sampai ia dipanggil ke Korea kembali karena hal ini, aku bisa mati.”
Via memasang wajah ketakutan dan membuat gerakan memotong lehernya sendiri dengan tangannya, seandainya hal itu benar-benar terjadi.
“Jujur saja, apa itu bisa dikatakan sebagai hadiah? Itu sama saja tindak kriminal yang disertai ancaman.”

Suatu hari, Via baru saja selesai menonton film berjudul Mama bersama Ify, lalu memutuskan untuk melahirkan seorang anak. Saat itu, Ify mengira bahwa Via sedang hamil.
“Jadi siapa ayahnya?” tanya Ify yang ditanggapi Via dengan santai.
“Entahlah, aku baru akan memikirkannya.”
Meskipun melahirkan anak itu butuh perencanaan, bagaimana mungkin orang yang tidak menikah bisa memutuskan untuk melahirkan anak? Menurut Ify, keputusan Via yang kesannya mengharukan itu adalah efek samping dari film yang baru saja mereka tonton, dan setelah menonton beberapa film perang atau action, keinginan itu pasti akan hilang. Namun, keinginan Via itu ternyata sangat kuat, ia bahkan sampai menyusun strategi yang matang. Ia tidak akan membuat pria dengan gen berkualitas mabuk lantas menidurinya, melainkan mengatakan terus terang bahwa ia ingin menerima donor sperma dari gen yang berkualitas.
“Ada salah seorang kenalanku yang bekerja sebagai dokter kandungan. Entah apakah ia bekerja di bagian bank sperma atau apa, tapi begitu aku menceritakan rencanaku, ia terlihat sangat antusias. Aku disuruh datang ke rumah sakit tempatnya bekerja. Katanya ia akan memberiku gen berkualitas dari para dokter itu. bayangkan saja, aku bisa mendapat gen salah satu dokter yang pintar dan cerdas itu. belum lagi kalau sifatnya bagus, benar-benar sempurna,” Via bercerita dengan antusias.

“Sebelumnya kau membat dokter itu mabuk kan?”
“Tentu saja. Mana ada dokter yang mau berkata seperti itu kalau sepenuhnya sadar.”
Via sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Dia bukannya membuat mabuk pria dengan gen yang baik, melainkan membuat mabuk dokter yang bisa menyeleksi gen yang baik.
“Dasar penjahat.”
Via hanya menanggapi perkataan Ify dengan polos, “Penjahat apanya? Aku ini hanya ingin memilih gen yang baik untuk anakku, anggap saja ini hadiah kecil dari Dokter Gabriel untukku.”
Via kemudian melanjutkan rajutannya dengan santai.
“Kalau nanti ketahuan pun, paling Dokter Gabriel saja yang hancur. Iya kan?”
Dunia memang semakin aneh. Benar-benar ‘bangga’ rasanya bisa akrab dengan orang seperti ini.
“Ah entahlah. Semoga saja tidak ketahuan. Toh aku juga tidak akan meminta orang itu untuk bertanggung jawab atas anak ini. Aku hanya ingin melahirkan anak dengan gen yang aku inginkan.”

Via seperti kehilangan konsentrasinya, ia membuka kembali rajutannya beberapa senti, lalu mengulanginya lagi.
“Kalau begitu, harusnya sekalian saja memutuskan mau anak laki-laki atau perempuan.”
“Memangnya...bisa?” Via terkejut dan terdiam mendengar perkataan Ify. Wajahnya terlihat sangat serius dan menyesal karena tidak melakukan hal itu.
“Memangnya apa yang akan kau pilih? Anak laki-laki sempurna seperti ayahnya, atau anak perempuan seperti Eonni?”
“Ah, tapi kalau anak perempuan sepertinya biasa saja,” Via berkata sambil mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala.
“Aku tidak mau membicarakan hal ini lagi, tidak baik untuk anak di dalam perut ini.”

Barulah muncul sikap keibuannya yang luar biasa. Ify memandang Via dengan heran sambil mendecakkan lidah lalu melirik ke arah rajutannya. Benar-benar jauh dari sempurna.
“Masa buatan seorang fashion designer seperti itu?” Ify berkata prihatin sambil menatap hasil rajutan Via. Tidak jelas apakah itu gendongan bayi atau hanya selimut bayi.
“Warna-warna dasar seperti ini baik untuk bayi. Supaya mata mereka ‘ddarr!’ terbuka lebar dan daya kreativitas mereka pun ‘ddarr!’ ikut berkembang,” Via menggoyang-goyangkan hasil karyanya di depan Ify dan menjelaskan padanya sambil membelalakkan matanya. Kemudian ia berbalik menatap Ify dengan prihatin.
“Kau ini, bagaimana mau menjadi presenter kalau pengetahuanmu sempit seperti itu? Pantas saja karirmu tetap begitu-begitu saja.”
Setelah aku mengkritiknya, rupanya sekarang ia balas dendam padaku.
“Eonni! Mulai besok aku tidak mau menemanimu lagi!” Ify akhirnya berteriak kesal pada Via.


Via berbaring dengan gugup di tempat tidur di ruang USG. ‘Deg deg’ suara degup jantung janin itu terdengar di ruangan itu.
“Kelihatan kan bayinya?”
Dokter Gabriel yang tadinya menangani Via sedang menghadiri pelatihan di sebuah rumah sakit di Jerman sehingga sekarang ia ditangani oleh Dokter Oh Shilla Rong yang kini menunjuk ke layar monitor. Via menatap layar monitor itu tajam-tajam dengan wajah penuh harap.
“Suara degup jantungnya normal, perkembangannya juga normal. Lalu, apa ada masalah dengan makanan?”
Mendengar pertanyaan dokter itu, Via menjawab dengan cemas, “Saya mengalami sembelit.”
Sontak dokter itu tersenyum kecil mendengarnya.

“Wanita hamil memang seperti itu. Mengonsumsi serat akan sangat membantu. Apa ada keluhan lain?”
“Sampai saat ini masih baik-baik saja. Ibu saya dul mengalami mual yang parah di pagi hari, tapi untungnya saya baik-baik saja.”
Apa jadinya kalau wanita sensitif itu juga mual-mual di pagi hari? Ify tanpa sadar menggelengkan kepalanya.
“Sebenarnya itu pengaruh dari kondisi fisik, bukan gen. Sebaiknya anda makan dengan baik,” dokter wanita itu menjelaskan dengan ramah. Mendengar penjelasan dokter itu, Via yang tadinya menatap monitor dengan wajah bahagia kini memandang ke arah Ify yang sejak tadi mengawasinya dari balik dokter itu.
“Ify, anak ini cantik sekali kan? Iya kan?”

Bagaimana aku harus menjawabnya? Ify kemudian menatap monitor itu tajam-tajam dan berkata dengan suara gemetar, “Eonni... bisa melihatnya? Bagiku itu hanya kelihatan seperti layar buram saja. Mukanya yang mana? Yang itu?” Ify menunjuk ke bagian yang berwarna putih di layar itu.
Seketika Via menyahut dengan sebal, “Itu pantatnya, dasar kau ini.”
“Oh~” Barulah Ify mengangguk-anggukkan kepalanya dengan serius.
“Kau ini bagaimana sih? sudah setiap hari melihat kamer, tapi tetap saja tidak bisa membedakan mana pantat dan mana muka bayi. Nanti ka mau mencium pantat bayi?” Via menggerutu pada Ify begitu keluar dari ruang periksa.
“Memangnya aku memakai kamera untuk USG? Memang di mana letak perbedaannya?”
Benar-benar perempuan ini.

Ify tetap menggeleng-gelengkan kepalanya di depan pintu ruang periksa yang memiliki papan nama dokter tergantung di depannya. Tiba-tiba, sekelompok dokter lewat di samping mereka dan berjalan menuju ke meja perawat. Melihat hal itu, langkah Via terhenti dan memandang mereka dengan wajah puas.
“Ada kenalanmu?” Ify memandang datar wajah Via yang terpana melihat dokter-dokter itu.
“Entahlah......” Via memicingkan matanya dan menatap mereka dengan wajah penuh kagum dan rasa ingin tahu.
“Mau kuberitahu satu rahasia?”
Wajahnya terlihat tidak sabar ingin segera membagi rahasianya itu. Tanpa kujawab juga ia akan membuka mulut terlebih dahulu.
“Di antara dokter-dokter itu....”

“Dokter-dokter itu...” Ify meniru ucapan Via sambil perlahan mengalihkan pandangannya kepada para dokter itu. Mereka terlihat sedang mendiskusikan satu masalah yang sepertinya cukup serius. Di tengah-tengah mereka, terlihat seorang pria yang mencuri perhatiannya. Padahal ia berada di tengah-tengah sama seperti dokter yang lain, padahal ia mendapat cahaya lampu yang sama dan tingginya pun tidak menonjol dari yang lainnya, tetapi entah kenapa, pria itu terlihat paling jelas di mata Ify dan benar-benar mencuri perhatiannya. Kalau pria setampan itu menjadi dokter kandungan, apa para ibu hamil itu bisa tenang saat diperiksa olehnya?

Memang sih tidak ada aturan khusus yang mengatakan bahwa dokter kandungan harus jelek, tetapi mungkin dokter tampan seperti itu perlu juga untuk mengatur adrenalin para ibu hamil yang diperlukan untuk menghasilkan hormon-hormon tertentu. Penampilannya membuat Ify berpikir seperti itu dan sesaat ia tersihir melihat pria itu.
“Dokter Gabriel yang mengatakan ini padaku, katanya yang memberiku donor sperma ini salah satu dari mereka.”
“Benarkan?” Tanpa sadar Ify bertanya sambil setengah berteriak. Via segera menutup mulut Ify dengan tangannya.
“Ini benar-benar rahasia. Karena aku sangat penasaran dengan orang yang menjadi donorku, jadi Dokter Gabriel memberitahuku hal ini. Kau tidak boleh bicara sembarangan tentang hal ini,” Via meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya dan membelalakkan matanya.

Saat itu, dokter-dokter yang berkumpul di meja perawat mengangguk-anggukkan kepalanya seolah telah mengambil keputusan dan kembali berjalan mendekat ke arah Via dan Ify berdiri. Begitu para dokter itu melewati mereka, Via segera menyembunyikan wajahnya di balik punggung Ify. Ketika para dokter itu masuk ke ruangan mereka masing-masing, Ify melihat dokter yang tadi mencuri perhatiannya itu masuk ke sebuah ruangan dengan papan nama “So Yoon Rio”.
“Toh tidak ada yang tahu perbuatan Eonni, kenapa sembunyi seperti itu?” Ify menatap Via yang sembunyi di balik punggungnya.
“Entahlah, kenapa ya? Tanpa kusadari, gerak refleks?” Ify berdecak pelan dengan wajah kaku.
“Itulah psikologis seorang kriminal.”
“Begitukah?”
Via kembali melangkahkan kakinya dengan berat. Tiba-tiba, ‘ugh!’ Via memegangi perutnya.
“Setelah tiga hari, sepertinya ‘keinginan’ ini datang juga. Tunggu ya, aku mungkin agak lama.”

Via memberikan tasnya kepada Ify dan bergegas menuju toilet. Ify menatap wanita itu menjauh sambil mengerutkan dahi.
“Memangnya simpanan yang ada di perutnya selama tiga hari itu tidak tertangkah oleh USG ya?”
Kemudian ia menatap perutnya sendiri. Coba juga? Ify mengelus perutnya yang berat karena belum ke belakang itu dan mengangkat kepalanya. Kemudian, ia menatap pintu ruang-ruang periksa yang dimasuki oleh para dokter itu.
“Saat menjadi donor, apa mereka sadar bahwa bisa saja anak mereka tumbuh besar tanpa sepengetahuan mereka? Yah, laki-laki seperti itu memang bukan satu dua saja.”
Karena Cakka, kini pandangan Ify mengenai laki-laki menjadi buruk, sesuai dengan pendapat Via. Saat itu, seorang dokter bersin ketika lewat di belakang Ify. Ify mengerutkan keningnya. Jangan-jangan bersinnya itu menempel di bajunya, pikirnya. Kemudian ia bergegas menuju toilet.


***

Rio keluar dari ruangannya setelah menulis sesuatu di catatannya. Ia bersin di depan pintu dan berpapasan dengan Dae Alvin.

“Hai, So Doc!” (Dalam bahasa korea So = Sapi. ‘Doc’ [ddak] singkatan dari ‘doctor’. Dalam bahasa korea, ‘ddak’ artinya ayam.)

“Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu kan?” Rio menatap Alvin tajam sambil berjalan ke arah meja perawat.
“Margamu kan So, jadinya ya Dokter So kan?” Alvin mengelus hidungnya lalu merangkulkan tangannya di pundak Rio.
“Kau sebenarnya hanya ingin mengolokku kan?”

Ini bukan hanya masalah marga, namun panggilan antara marga So dan Dokter terdengar seperti sapi dan ayam. Ketika jari tangan Alvin mulai mencengkram pundak Rio, ia melirik tangan Alvin dan menatapnya dengan pandangan prihatin. Kemudian ia memberikan papan catatan yang dari tadi ia pegang kepada salah satu perawat di meja perawat itu.
“Tadi kalian berdua bergandengan tangan kan di koridor rumah sakit?”  Alvin mendekatkan wajahnya ke telingan Rio dan berbisik pelan. Mendengar hal itu, Rio seketika memperhatikan sekelilingnya lalu menatap Alvin tajam.
“Siapa yang berkata seperti itu?”
“Siapa lagi. Meskipun kau tidak mau mengaku, yang pasti ada yang melihatnya.”

Rio kemudian menatap ke arah para perawat yang ada disana. para perawat itu bersikap seolah tidak tah dan menghindari tatapan mata Rio. Padahal selama ini ia sudah merahasiakannya rapat-rapat, apa kini semua orang sudah tahu? Alvin tersenyum pas melihat Rio panik.
“Kau tahu kan kalau Shilla itu lumayan banyak penggemarnya di rumah sakit ini? bahkan pernah ada adik laki-laki dari salah satu ibu hamil yang mengajaknya berkencan?”
Orang ini benar-benar ma mempermainkanku rupanya. Rio mengambil papan catatannya kembali dengan kasar dan mengalihkan pandangannya.
“Gosip itu masih ada juga? Padahal aku tidak berpacaran dengannya.”
“Kau pikir hanya itu saja? Dokter Sion dari bagian bedah, Direktur Rizki dari bagian sekretariat, lalu Dokter Gabriel yang sedang pergi ke Jerman....”

Seketika itu juga, Rio meletakkan papan catatannya dengan keras, seolah menggebrak meja itu. Alvin terkejut dan terdiam.
“Jadi maksudmu, aku ini tidak lebih baik daripada mereka? Atau, kau menyuruhku untuk mundur dan mengalah?” Rio menatap Alvin seolah menunggu kesempatan.
“Apa maksudmu! Siapa lagi yang lebih cocok dengan Shilla di dunia ini daripada So Yoon Rio? Tentu saja tidak ada!”
Alvin tiba-tiba langsung memijat-mijat bahu Rio dengan gerakan berlebihan.
“Kau mau Green Tea Latte? Mau aku traktir? Atau kau yang mentraktirku?”
Melihat wajah Alvin yang tersenyum riang it, Rio akhirnya mengalah dan berjalan ke arah teras.
“Aku yang traktir. Sini kau.”
Rio melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri, diikuti Alvin yang menempel di belakangnya.


“Ah..... apa aku pindah departemen ya?” Alvin yang sedang berdiri di teras tiba-tiba menghela napas dan menyandarkan dirinya di pagar teras itu.
“Kenapa? Katanya kau menikmati sekali perasaan ketika memegang bayi yang baru lahir di bumi ini, yang terasa lembut dan menakjubkan itu.”
Rio menyandarkan punggungnya pada Alvin yang berdiri di sampingnya dan menyedot habis minuman latte-nya.
“Memangnya aku terdengar seperti orang cabul ya?” tiba-tiba Alvin langsung bediri tegak dan berkata dengan kesal.
“Yah, mungkin saja kau memang terharu dan berseru ‘waaah’ ketika memegang bayi yang baru lahir itu,” Rio menyahut sambil tetap menggigit sedotan minumannya.

“Bukan begitu maksudku, waktu itu aku hanya ingin menjelaskan dengan tenang kepada seorang ibu yang takut melahirkan dan membesarkan anak, bagaimana rasanya pertama kali menyentuh kulit bayi, memegang kepalanya. Makanya begitu kujelaskan, ia langsung minta ganti dokter yang menanganinya kan?” Alvin beralasan karena merasa tidak adil.
“Menjelaskan dengan tenang?”
Entah apakah orang ini tahu arti kata ‘tenang’ atau tidak.
“Jelas-jelas ekspresimu tadi seperti orang yang baru mendapat hadiah game terbaru. Atau seperti orang yang sudah lama mencari senjata rahasia di dalam game dan akhirnya berhasil menemukannya. Aku pun percaya kalau kau berseru ‘waaah’ dengan heboh di depan ibu hamil itu.”

Orang ini adalah orang yang menganggap bayi yang lahir sama dengan game terbaru edisi terbatas. Tanpa melihatnya pun, terbayang bagaimana ekspresi ibu-ibu hamil itu saat pertama melihat orang ini. Malah bisa saja mereka langsung menyumpah ‘dasar dokter cabul’.
“Masa... aku seperti itu?”
Barulah saat itu Alvin terlihat seolah larut dalam pikirannya sendiri, seolah sedang mengintropeksi dirinya sendiri saat sedang berbicara dengan para ibu hamil yang menjadi pasiennya. Rio hanya tertawa kecil meluhat Alvin seperti itu. Ia tahu pasti bagaimana rasanya memegang bayi yang baru lahir, bagaimana aromanya yang sedikit amis namun wangi. Hanya orang aneh yang mengatakan tidak suka dengan hal itu.

Bayi....
Sesaat, di kepala Rio terlintas bayangan seorang ibu yang tidak pernah memeluk anaknya, tidak pernah menyentuh jemari anaknya. Ternyata.... ada juga, seorang ibu yang seperti itu.

***

Fiuuuuh fiuuuuh ternyata mengetik terus-terusan itu melelahkan pemirsah! 
Yaaak gak ngaret kaaaan? ;;) Karena ini novel padet tulisannya, jadi mimin post dua hari sekali yaa. Tepar deh mimin kalo separt sehari. Selagi MM belum muncul ke permukaan, nikmatilah ini terlebih dahulu yaaa hohohoho~