Penulis : Kim Eun Jeong
Cast :
1. Ify Chae alias Yoo Chae
2. Yoon Rio alias So Yoon Pyo
3. Ashilla Rong alias Oh Hye Rong
4. Dae Alvin alias Dae Joon
5. Sivia Yeong alias So Yeong
6. Cakka Jae alias Kang He Jae
7. Dokter Gabriel alias Dokter Park
Sejauh ini baru itu...
***
BAB 1 : ALASANNYA PERGI KE DOKTER KANDUNGAN
Orang-orang menyebutnya takdir, yang sebenarnya merupakan gabungan dari kesalahan tiap individu. - Oliver Herford
***
JADWAL tugas yang baru telah diumumkan.
Ify Chae menenangkan hatinya yang berdebar-debar dan
menatap jadwal pembagian tugas baru yang ditempel di papan pengumuman di ruang
presenter. Tidak ada yang berbeda. Seandainya ia mendapat tugas sebagai
presenter tetap, ia pasti sudah diberitahu sebelumnya. Sementara, Ify sama
sekali tidak mendapat tawaran untuk program apa pn. Jadi, ia tahu sekali kalau
pengumuman ini sama sekali bukan untuk dirinya. Meskipun demikian, sekedar
'siapa tahu' saja... dan 'ternyata' memang sesuai dugaannya.
Ia pun tidak bisa menundukkan kepalanya. Ia seharsnya
memasang wajah seolah melihat pengumuman itu karena rasa penasaran saja dan
pergi meninggalkan ruangan itu. Lagi pula, tidak ada orang lain yang
memedulikan bagaimana perasaannya saat itu. Namun karena merasa harga dirinya
jatuh, kepalanya yang terangkat tegak pun terlihat kaku. Rasa kesal perlahan
mulai merasuki dadanya. Beginilah jadinya bila terlalu banyak memikirkan
sesuatu.
"Oh, tidak ada apa-apa rupanya," Ify
bergumam seorang diri dan berusaha mengangkat ujung bibirnya. Ia lantas
membalikkan badan. Saat itulah ia bertatapan dengan Cakka Jae yang sejak tadi
memandangnya dengan tatapan kasihan. Si br*ngs*k yang selungkuh dengan wanita
lain ketika dinas ke luar negeri!
"Aku tidak serius dengan senior wanita itu. Kami
hanya minum bersama dan terbawa suasana saja..."
Alasan para lelaki yang berselingkuh memang memiliki
stereotip yang sama. Mengaku sudah melakukan kesalahan yang fatal, atau
menyangkal bahwa itu bukan kesalahan mereka. Awalnya, laki-laki ini juga
termasuk kelompok yang kedua, yang sama sekali tidak berniat untuk
berselingkuh.
"Memangnya kau minum sampai lupa batasan? Lalu,
kalau aku berbuat seperti itu, apa kau mau memahamiku?"
"Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Seperti itu apanya? Memangnya laki-laki saja
yang boleh terbawa suasana dan wanita tidak boleh? Maksudmu kau hanya main-main
dengan wanita itu, dengan senior wanita rekan kerjamu itu?"
Cakka dan Ify bukanlah topstar dan orang-orang pun tak
tertarik dengan kisah percintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang
presenter, Ify juga tidak bisa heboh mengumumkan hubungannya kepada orang lain
sehingga selama ini, tidak banyak orang yang mengetahui hubungan mereka. Namun,
senior wanita yang diajak Cakka "bermain-main" itu adalah seorang PD
(Program Director) di kantor stasiun tv yang sama tempat mereka bekerja
sehingga Ify mulai khawatir bagaimana jika ia harus bekerja sama dengan wanita
itu. Meskipun senior wanita itu tidak tahu, tetapi Ify tahu bahwa hubungannya
dengan Cakka hancur karena senior wanita itu. Namun, semakin besar amarah Ify,
laki-laki itu malah mulai melemparkan alasannya berselingkuh pada senior wanita
itu.
"Kita ini hanya namanya saja 'pacaran', tetapi
sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa kan?"
Omong kosong macam apa lagi ini?
"Kau tidak pernah mengizinkanku memegang ujung
tanganmu walau sebentar, kan? Apa sih mahalnya dan hebatnya kau ini sampai
tidak ada kemajuan dalam hubungan kita selama satu tahun ini?"
Ini bukan saja sekedar amarah, tetapi ia memang sudah
melewati batas.
"Lalu kenapa? Apa aku harus mengikuti tahap-tahap
pacaran seperti orang lain pada umumnya? Kalau begitu, lakukan saja dengan
wanita lain!"
"Makanya aku menemui wanita itu kan!" Riko
berteriak putus asa.
"Ya sudah!"
"Ya sudah apanya?!" Riko menarik tangan Ify
yang hendak pergi meninggalkannya.
"Kalau saja kau tidak memperlakukanku seperti
itu, kejadian ini tidak akan terjadi. Menurutmu ini semua karena
kesalahanku?"
"Apa maksudmu? Jangan asal bicara ya! Laki-laki
memang menyebalkan!"
Rasanya kini ia tahu mengapa Sivia Yeong sangat
membenci laki-laki. Via, seorang eonni yang tinggal di sekitar rumahnya, hamil
seorang diri dan muak terhadap laki-laki.
"Kau yang terlalu tertutup juga menyebalkan, tahu
tidak! Memangnya sekarang ini zaman Kerajaan Joseon apa?"
Memangnya selama ini ia memakai pakaian tertutup seperti
pakaian besi prajurit? Mereka kan belum menikah, dan ia tidak ingin menuruti
permintaan laki-laki itu begitu saja. Ibunya telah meninggal, dan walaupun ia
hanya dididik dan dibesarkan oleh ayahnya, ia tidak ingin dikenal sebagai anak
yang tidak tahu aturan. Ia tidak ingin disamakan dengan adiknya yang
ugal-ugalan. Meskipun keluarganya tidak mampu dan ia hanya dibesarkan oleh
ayahnya, ia ingin ayahnya mendapat pujian karena dapat membesarkan putrinya
dengan baik. itu saja. Menurutnya, pemikiran bahwa kemajuan suatu hubungan yang
ditentukan oleh ukuran skinship adalah salah.
"Karena otakku ini bukan made ini Korea, tapi
made in Joseon. Kau puas?"
Awalnya ia berpikir Cakka berbeda dengan laki-laki
pada umumnya. Namun ternyata, ia sama saja. Ify menatapnya dengan tatapan muak.
"Ify, aku mohon. Maafkan aku sekali ini saja. Aku
benar-benar menyesal saat ini. Kejadian itu benar-benar di luar kendaliku.”
“Sudahlah. Tidak usah banyak alasan. Sekarang
kuberitahu ya. lebih baik kita putus!”
“Semudah itu?” Riko bertanya dengan putus asa.
“Kau sendiri, memangnya tidak mudah bagimu?” Ify
berkata dengan dingin dan menatapnya tajam.
Ify
sebenarnya tidak senang menerima tatapan kasihan dari laki-laki itu, apalagi di
depan papan pengumuman kantor. Setidaknya, laki-laki itu mendapat satu program
tetap. Mungkin ia mengumpulkan banyak rezeki sambil selingkuh. Begitu kembali
dari dinas, ia langsung memegang dua acara, bahkan salah satunya sebagai
program tetap. Atau mungkin, laki-laki itu bukan mengumpulkan rezeki sambil berselingkuh,
melainkan keberuntungan tiba-tiba datang menghampirinya karena putus dengan
dirinya. Begitulah Ify. ia merasa dirinya benar-benar sial dan malang. Kalau
tidak, mana mungkin selama lebih dari dua tahun bekerja sebagai presenter, ia
belum pernah mendapat program tetap sekali pun. Ia tidak menyangka hidupnya di
usia 27 tahun harus dilewati layaknya seorang pengangguran di kantor. Namun,
meskipun menyadari bahwa dirinya sangat tidak beruntung, yang muncul dalam
dirinya adalah semangat untuk menang dan semangat ‘fighting’.
Ify
mengacuhkan Cakka yang menatapnya dalam-dalam dan kembali ke tempat duduknya.
Kemudian, ia pura-pura sibuk mengetik di komputernya. Sebenarnya tidak ada
situs jejaring yang ia buka, tidak ada data yang ia cari. Yah, paling tidak ia
harus punya tugas supaya setidaknya bisa mencari data di internet. Namun, ia
tidak ingin terlihat duduk diam dengan wajah bosan setengah mati di ruang kerja
presenter yang terlihat sibuk itu. Ify lantas membuka situs jejaring kantor
stasiun TV mereka dengan malas. Setelah beberapa saat keluar masuk tanpa tujuan
ke berbagai menu yang ada disana, gerakan tangannya terhenti pada salah satu
kolom ‘pertanyaan dan keluhan’. Kolom ‘keluhan’...
Awalnya
Ify ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mulai menulis huruf demi huruf di bagian
kolom ‘keluhan’ itu untuk menghilangkan rasa bosan.
Kang Cakka Jae, presenter yang suka selingkuh...
Tiba-tiba
tangannya mengetik dengan kecepatan semakin tinggi. Tanpa disadari, satu kolom
‘keluhan’ sudah terisi penuh dengan makian yang ditujukan kepada Cakka. Setelah
menulis satu kolom, barulah Ify merasa tenang kembali. Ia mengarahkan kursor
mouse-nya ke tombol ‘unggah’ dan terdiam sejenak. Suasana hatinya sedang buruk
sehingga tulisannya pun terlihat kasar dan asal-asalan. Lagi pula, sepertinya
tidak masuk akal jika ia menggugah tulisan seperti ini di situs jejaring
kantornya.
Ify
menghela nafas dan mengklik tombol ‘hapus’. Namun, tidak terjadi respons
apa-apa di layar komputernya. Ify mengerutkan dahi dengan wajah panik dan mulai
mengklik terus-menerus. Tampilan di layar komputernya tetap tidak bergeming.
Sepertinya eror. Sama seperti pemiliknya.
Baru saja
ia hendak mematikan komputernya, telepon genggamnya berbunyi. Telepon itu dari
seorang eonni yang tinggal di dekat rumahnya, seorang fashion designer
terkenal, yang memasukkan laki-laki ke kelompok ‘bukan makhluk hidup’, Sivia
Yeong.
“Oh,
Eonni. Ada apa?”
Ify
menjepit telepon genggamnya di antara bahu dan telinganya, kemudian
membungkukkan badannya untuk menekan tombol ‘power’ di komputernya.
“Aku
harus pergi ke dokter kandungan hari ini. temani aku ya!”
“Huh,
mentang-mentang kau tidak menikah, lantas tidak bisa pergi ke dokter kandungan
sendirian?” Ify tertawa sambil mendengus pelan.
“Aku
bosan kalau sendirian. Aku pun lapar, nanti aku traktir makan siang.”
Begitu
Via selesai bicara, layar komputer Ify mati dan ia tersenyum lebar.
“Baiklah!”
***
Suasana pagi itu sangat sibuk. Baru saja terjadi kasus
kecelakaan beruntun dari lima kendaraan dan salah satu korbannya adalah seorang
ibu hamil. Seorang suami yang kepalanya berlumuran darah tetap berlari
mengikuti istrinya yang terbaring di tempat tidur periksa dan dibawa menuju
kamar operasi. Sang suami tetap menempel disisi istrinya, seolah tidak ingin
meninggalkannya sedikit pun. Menyedihkan sekali melihat pemandangan seperti
itu.
“Air ketbannya sudah pecah saat kecelakaannya terjadi,
dan ketika sampai di ruang UGD, detak jantung bayi tidak terdeteksi!” seorang
perawat berkata kepada Yoon Rio yang berjalan dengan tergesa begitu mendapat
panggilan.
“Kondisi ibunya?” Rio bertanya sambil ikut berlari ke
arah ruang operasi dan memegangi pinggir tempat tidur pasiennya.
“Detak jantungnya sangat lemah! Pendarahannya juga
parah!”
“Golongan darahnya?”
Begitu Rio bertanya, suami yang sejak tadi meratap
memanggil nama istrinya seketika berteriak, “Golongan darahnya O! Saya juga O!
Ambil saja darah saya!”
“Tidak bisa, anda juga mengalami pendarahan!” Rio
balik berteriak kepada suami pasien itu dan segera memerintahkan perawatnya,
“Cepat cari golongan darah O!”
Namun suami itu tidak menyerah dan memegang lengan Rio
erat-erat.
“Tidak apa-apa! Ambil saja darah saya! Saya tidak
merokok, tidak pernah minum alkohol!”
“Anda kan sedang berlumuran darah seperti ini!
seandainya terjadi apa-apa, bukankah setidaknya anda harus sehat untuk menjaga
bayi ini nanti? Sebaiknya anda obati dulu luka anda!” Rio berteriak dengan
tegas. Ia paham sepenuhnya perasaan suami pasien itu. meskipun hatinya sakit
berada dalam situasi seperti ini, tetapi maaf saja...apa boleh buat. Ia hars
dapat menyelamatkan ibu dan bayinya, meskipun demi si suami itu.
Rio keluar dari ruang operasi mengenakan baju operasi
yang penuh keringat. Suasana di luar operasi cukup tenang, berbeda dengan saat
ia masuk tadi.
“Suami pasien mana?”
Langkah Rio terhenti di depan ruang operasi. Ia
melepas salah satu ujung maskernya dan menoleh ke arah perawat yang berjalan
mengikutinya.
“Baru saja mendapat delapan jahitan di dahinya,
sekarang sedang transfusi darah untuk didonorkan.”
Tersungging senyum di wajah Rio mendengar betapa
hebatnya ikatan keluarga itu.
“Hebat sekali. Ibu dan bayi yang jantungnya berdetak
kembali, dan ayah yang mendonorkan darahnya dengan jahitan di kepalanya. Semoga
anak itu kelak berbakti kepala orangtuanya.”
Kembali muncul di benar Rio saat jantung bayi itu
berdetak kembali, saat bayi itu menangis untuk pertama kalinya di dunia ini.
meskipun badannya terasa letik, tetapi perasaannya seolah melayang ke angkasa.
“Masih ada satu pasien lagi yang sedang menunggu.”
“Oh, ya?”
Rio melirik jam tangannya mendengar perkataan perawat
itu. kemudian, ia memberikan masker yang ia pakai kepada perawat itu dan
bergegas melangkahkan kakinya.
Begitu selesai melakukan tes USG pada pasiennya, Rio
keluar dari ruang periksa, mencuci tangannya, dan melihat kembali grafik hasil
tes tersebut. Sementara itu, seorang pasien wanita keluar dari ruang periksa
sambil merapikan bajunya. Ia duduk di kursi yang terletaj di hadapan Rio dan
menatap wajah Rio dengan cemas.
“Untuk pemeriksaan berikutnya, anda bisa datang
bersama ayah bayinya kan?” Rio bertanya sambil memperhatikan ekspresi wanita
itu.
“Ya? Ba...bayi?”
Wajahnya terlihat terkejut. Rio sudah menduganya.
Perlahan tekanan darahnya mulai meningkat. Di awal tahun ini, memasuki usianya
yang ke-31, ia sudah berjanji untuk tidak marah dalam menghadapi ibu-ibu hamil
seperti ini. meskipun ia tahu hal itu tidak mudah, apalagi di musim gugur
seperti ini, tetapi ia tetap berusaha setidaknya sampai tahun ini berakhir.
Lalu, ia akan membuat janji itu lagi. Janji untuk lebih bersabar lagi di tahun
depan.
“Situasi anda cukup sulit rupanya. Anda belum menikah
ya?”
Entah apakah karena wanita itu takut melihat Rio yang
bertanya padanya sambil mengernyitkan dahi, ia langsung mengangguk dengan wajah
yang hampir menangis.
“apa anda akan menikah dengannya?”
Ekspresi wajah Rio semakin serius. Mendengar perkataan
itu, barulah wanita itu berhasil menenangkan dirinya di tengah situasi yang
kalut itu dan menarik kursinya mendekati meja di hadapannya.
“Apa maksud anda dengan ‘situasi yang sulit’? toh usia
janin ini juga masih sangat dini.”
Seketika itu juga, tekanan darah Rio seolah menanjak
tajam, menembus ubun-ubunnya, dan
membuat kepalanya panas. Ia benar-benar merasa kesal di saat-saat seperti ini.
“Kalau anda bisa menghitung bahwa usia janin itu masih
dini, apa anda sama sekali tidak pernah memperhitungkan kalau anda bisa saja
hamil karena perbuatan anda?”
Ia sudah berusaha untuk menahan amarahnya, tetaoi
tekanan darahnya yang semakin meningkat membatnya melontarkan perkataan itu
begitu saja.
“Apa?” wanita itu terkejut.
“Anda tahu apa yang benar-benar sulit? Orang-orang
yang ‘membuat anak’ tanpa pikir panjang seperti anda ini. itulah masalah yang
paling sulit di zaman sekarang ini!”
Rio yang tadinya bersabar akhirnya meluapkan rasa
kesalnya pada wanita itu. Seketika itu juga, wanita itu gemetar dan mulai
menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Pedih rasanya melihat
seseorang menangisi kehidupan baru yang sangat berharga yang ada di dalam
tubuhnya. Rio menghela napas perlahan dan membuka mulutnya kembali.
“Pada dasarnya, hadirnya sebuah kehidupan baru
memiliki makna yang sangat penting. Anda tidak boleh menyambut kehidupan janin
di tubuh anda dengan rasa panik dan kalut seperti ini. Tidak baik untuk janin
di dalam perut anda.”
Di luar dugaan, wanita itu menganggukkan kepalanya
sambil tetap tertunduk. Untung saja wanita itu tidak menangis terus-menerus.
“Anda tahu tidak, berapa jumlah pasien saya yang
mandul? Mereka ingin sekali mendengar kabar bahwa mereka hamil, meskipun hanya
di dalam angan-angan mereka. Tetapi anda malah bingung dan kalut saat
mengetahui anda hamil. Dunia ini memang tidak adil ya,” Rio berdecak pahit.
“Saya tahu apa yang menjadi beban pikiran para ibu
hamil.”
“I...ibu hamil?” wanita itu terkejut mendengar
panggilan baru yang belum pernah ia dengar seumur hidupnya.
“Wanita yang sudah pernah melahirkan atau belum,
asalkan ada bayi di dalam perutnya, itu ibu hamil namanya. Itu adalah panggilan
yang bisa didapatkan oleh wanita yang memuat tanggung jawab tinggi. Sebaiknya
anda pikirkan kembali baik-baik dan datanglah dengan ayah dari janin ini saat
pemeriksaan berikutnya. Jangan mendengar perkataan seperti ini seorang diri.”
Wanita itu diam terpaku selama beberapa saat dan
kehilangan kata-kata sebelum akhirnya menyahut pelan, “Baiklah....”
Raut wajah wanita itu terlihat semakin serius. Ia lalu
membungkuk mengucapkan salam pada Rio dan meninggalkan ruang konsultasi dokter.
Setelah wanita itu keluar, Rio membereskan data
grafiknya dan keluar dari ruangannya.
“Aku akan melahirkannya! Aku tetap akan melahirkannya,
terserah apa katamu!”
Dari ujung lobi bagian kandungan, di depan pintu
darurat, terdengar suara teriakan seorang wanita. Langkah Rio terhenti dan ia
sekilah melihat ke arah pintu darurat itu. Di luar sana, terlihat wanita yang
baru saja berkonsultasi dengannya sedang berteriak di telepon.
“Iya! Meskipun aku bekum pernah melihatnya, tapi aku
akan mempertahankan nyawa janin di perutku ini! awas kalau kau menyuruhku
menggugurkannya! Tidak baik bagi bayi ini!”
Mendengar suara wanita yang berbicara dengan tegas
itu, Rio tersenyum pahit. Masalah memang biasanya ada pada pihak laki-laki. Rio
merasa salut pada jiwa keibuan yang dimiliki setiap wanita dan juga hewan
betina yang ada di dunia ini.
“Kadang aku geram melihat kebutuhan biologis para
laki-laki,” Rio bersandar di pagar teras sebuah coffeeshop dan berkata pada
Ashilla Rong *engg..agakanehya* sambil menghela napas pelan.
“Pada dasarnya, dulu manusia hidup di masyarakat
matriarkal. Berbeda dengan makhluk lainnya, banyak wanita yang meninggal karena
melahirkan anak sehingga para lelaki harus melindungi wanita demi memenuhi
kebutuhan reproduksi mereka. Oleh sebab itu, wanita yang memegang kuasa.
Seiring berjalannya waktu, karena alasan perbedaan kekuatan fisik laki-laki dan
perempuan, posisi perempuan memang sempat ditekan kembali, tetapi sepertinya
sekarang sudah tidak lagi ya?”
Shilla memandang Rio dan tersenyum penuh arti, seolah
tidak lama lagi masa kehidupan suku Amazon kembali datang.
“Tadi pagi katanya ada kondisi gawat darurat ya?”
“Hampir saja berakhir dengan tragedi. Ada seorang
suami yang tidak mau meninggalkan istrinya meskipun dahinya bercucuran darah...
Untung saja tidak berakhir dengan tragedi.”
Rio mengambil cangkir kopi Shilla dan meneguknya.
“Biasanya, dokter laki-laki di bagian kandungan tidak
memiliki penggemar. Aneh juga ya?”
Shilla menatap Rio dengan tatapan kosong yang
membuatnya tersenyum kecil.
“Selain karena kemampuan dan penampilanku, pasti juga
karena rasa sayang dan perhatianku yang mendalam pada anak-anak, kan?”
Rio mengangkat dagunya dan membentuk huruf ‘V’
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk di bawah dagunya. Melihat Rio seperti
itu, Shilla hanya mendecakkan lidah.
“Kalau saja kata-kata itu tidak keluar dari mulutmu
sendiri, pasti tidak akan terdengar menyebalkan. Mereka belum tahu saja kalau
kau ini tidak sabaran dan menyebalkan seperti itu.”
Rio tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tidak
jarang tangannya tersiram kopi panas dari mesin penjual kopi karena tidak sabar
menunggu kopi itu selesai ditang.
“Cuaca musim gugur ini enak sekali. aku jadi ingin
pergi ke Gunung Jiri dengan cuaca seperti ini,” Rio membalikkan badan dan
memandang ke arah langit.
“Benar. Kau dulu anggota klub pendaki gunung di kampus
kan? Sekarang juga sering mendaki gunung?”
“Tidak, aku tidak punya waktu. Oh ya, omong-omong
tentang Dokter Gabriel, dia sedang apa di Jerman sekarang?”
Di langit terlihat awan putih yang memanjang seperti
garis, menyerupai jejak sebuah pesawat jet.
“Pasti sedang mengurusi bayi-bayi yang baru lahir di
Jerman.”
Shilla mengikuti Rio menyandarkan lengannya di pagar
teras dan memandang langit. Wajahnya terlihat bosan. Ia lalu menegakkan
badannya yang tadi bersandar di pagar itu.
“Aku harus pergi melihat pasien yang dulu dititipkan
oleh Dokter Gabriel.”
“Masih ada pasien?” Rio pun ikut menegakkan tubuhnya.
“Ya,” Shilla menganggukkan kepalanya lalu berjalan
menju pintu teras. Rio dan Shilla berjalan beriringan di koridor rumah sakit
itu. Rio melirik sekilas ke arah wajah Shilla yang sejajar dengan pundaknya,
kemudian merentangkan tangannya di belakang punggung Shilla dan memegang
sebelah tangan Shilla yang jauh dari dirinya.
*romantisngetzihcowoknya!maudongsatu.-.* Shilla yang terkejut kemudian menatap
punggung tangan Rio yang memegang tangannya dan memukulnya pelan. Kemudian ia
menoleh pada Rio dan tertawa.
“Kemarin ibumu menyuruhku untuk main ke rumah. Kau
sudah cerita tentang aku?”
Wajah Rio yang tadinya penuh canda mendadak menjadi
serius. Hubungannya dengan Shilla masih terbilang baru, namun pasti ibunya
sudah diam-diam mulai memperhatikan Shilla. Tidak salah lagi. Ia tidak ingin
hubungannya dengan Shilla berubah menjadi hubungan yang kaku, hubungan yang
terlalu diarahkan oleh kemauan ibunya. Ia ingin memiliki hubungan yang normal
dan wajar dengan Shilla, tanpa ada campur tangan ibunya.
“Aku kan sudah kenal denganmu sejak kuliah, ibuku
bilang kau ini cantik. Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan. Paling ia
hanya iseng saja.”
Kalau sudah membicarakan tentang ibunya, nada suaranya
mendadak dingin. Rio selalu merasa tidak nyaman. Mendengar sebutan ‘ibu’ saja
bisa membuat darahnya terasa dingin. Ia tidak ingin terlihat tidak nyaman
seperti ini, tetapi sepertinya sulit.
“Wah, berarti aku sudah diperhatikan oleh ibumu ya?
Dan harus lebih menjaga sikap?”
Shilla membuka matanya lebar dan memasang senyum
dengan gaya imut andalannya. Seolah memahami raut wajah Rio yang murung, ia
kemudian menepuk-nepuk pundak Rio. Ia lantas mengedipkan mata kepada Rio
sembari membuka pintu ruang praktiknya. Itulah sebabnya Rio suka dan merasa
nyaman dengan wanita ini. Sewaktu kuliah, ketika Rio tanpa sadar bercerita
tentang dirinya sendiri pada Shilla, wanita itu menanggapinya dengan santai dan
tenang. Ia dapat merasakan sosok seorang ibu dari diri wanita itu.
“Ya, begitulah.”
Rio tersenyum pada Shilla. Shilla melemparkan seulas
senyum hangat pada Rio kemudian memasuki ruang praktiknya. Begitu wanita itu
menutup pintu ruangannya, Rio berjalan beberapa langkah menuju ke ruang
praktiknya yang berada di sebelah ruang praktik Shilla. Tiba-tiba, dari pintu
darurat di ujung koridor itu, kembali terdengar suara seorang perempuan.
“Aku tidak akan menghapusnya!”
Suaranya terdengar tinggi dan melengking seolah
seperti orang yang tersambar listrik tegangan tinggi. Rupanya ada lagi seorang
wanita yang menjadi korban keegoisan laki-laki. Rio memandang wanita yang sibuk
berbicara di telepon itu dengan tatapan prihatin.
“Aku tidak mau! Lantas kenapa?”
Dilihat dari penampilannya, wanita itu sepertinya
berwatak keras.
“Itu kan kesalahanmu. Aku tidak akan melakukannya! Kau
juga harus ikut bertanggung jawab kan? Memangnya kau saja yang punya urusan di
kantor?”
Apa suaminya tidak boleh punya anak oleh kantornya?
Laki-laki egois seperti itu memang harus ditangkap dan diberi pelajaran. Seperti
kata Shilla, seandainya ini masyarakat matriarkal, pasti sudah banyak laki-laki
seperti itu yang ditahan.
“Memangnya cinta itu ditulis dengan pensil, bisa
dihapus seenaknya? Memangnya bayi itu ‘coretan’, bisa dihapus?” Rio bergumam
seorang diri, menggelengkan kepalanya, dan memasuki ruang praktiknya. Sebagai
sesama laki-laki, ia pun ikut merasa malu dan prihatin.
***
Ify yang berbicara sambil menempelkan telepon
genggamnya ke telinganya akhirnya mendekatkan telepon itu ke depan mulutnya dan
berteriak kencang.
“Siapa suruh kau selingkuh dariku! Dasar laki-laki
br*ngs*k!”
Kemudian ia buru-buru menutup teleponnya. Amarah
seolah menyeruak dari dadanya. Begitu pula dari kepalanya. Tadinya ia pikir
komputer itu eror, tetapi ternyata malah memproses tombol ‘unggah’ yang tidak
sengaja ia klik tadi. Pasti tadi ia tidak sengaja mengklik tombol ‘hapus’
berkali-kali ketika berusaha menghapus tulisannya. Padahal ia tidak bermaksud
menyebarkan tulisan itu di internet, tetapi ternyata komputernya ‘berulah’ dan
menyusahkan pemiliknya.
Komputer yang sepertinya lebih licik dari pemiliknya
itu seakan ikut berkata ‘laki-laki br*ngs*k tukang selingkuh’ kepada Cakka, dan
memenuhi kolom situs jejaring itu sebanyak jumlah klik yang ditekan oleh
pemiliknya. Begitu mengetahu hal ini, Cakka langsung meneleponnya tanpa henti
dan berteriak-teriak menyuruhnya untuk menghapus tulisan tersebut. Entah apakah
orang itu sebenarnya menyadari kesalahannya atau tidak. Jelas-jelas kali ini ia
yang salah, berani-beraninya ia seenaknya menyuruhku untuk menghapus tulisan
itu? Ify pun sebenarnya tidak bermaksud melakukan hal itu, namun Cakka
terlanjur meluapkan emosinya tanpa mendengarkan penjelasan Ify terlebih dahulu
dan hal ini membuat Ify ikut kesal dan berteriak keras pada laki-laki itu. yah,
mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Seharusnya paling tidak hatinya
puas.
Akan tetapi, hatinya tidak merasa puas sama sekali. Ia
malah merasa aneh dan tidak tenang, karena ia memang tidak ingin melakukan hal
ini. Sebenarnya ia ingin segera berlari dan menghapus tulsian itu sebelum ada
kepala bagiannya, direktur kantornya, atau siapa pun yang melihat tulisan itu.
Namun, ia pun sudah terlanjur marah-marah pada Cakka, sehingga ia tidak bisa
segera menghapus tulisan itu. Ify yang mendadak diserang panik dan khawatir
hanya bisa menggigit-gigit bibirnya dengan cemas sampai kemudian ia menyerah. Ah,
terserahlah! Biarlah orang-orang melihat tulisannya itu.
Masih merasa tidak nyaman, Ify mengembuskan napas ke
dahinya yang menerbangkan poninya, kemudian melemparkan telepon genggam ke
dalam tasnya dan memasuki ruang tunggu di bagian spesialis kandungan. Di salah
satu kursi panjang di ruang tunggu itu, terlihat Via yang tengah hamil tua
dengan perutnya yang besar. Ia terlihat asyik merajut. Ify melangkah dengan
gontai dan mengempaskan dirinya duduk di sebelah Via. Via sedang menggulung
benang rajut. Sekilas ia melirik Ify dan kembali melanjutkan rajutannya. Siapa
saja yang sudah melihat tulisannya? Yang pasti, orang-orang yang masuk ke kolom
situs jejaring itu sudah melihatnya kan?
Sebagai orang dengan golongan darah triple A, tulisan
yang tidak sengaja tersebar di internet itu benar-benar mengusik pikirannya. Ify
menggigit-gigit kuku tangannya, kemudian menghela napas panjang dan mulai
memainkan benang rajut yang sedang dipakai oleh Via. Saat itu, barulah Via
bertanya padanya.
“Cakka?”
“Ya,” Ify menyahut dengan nada menggerutu.
“Ada masalah apa lagi?”
“Aku baru saja menyebarkan tulisan di situs jejaring
persahaan kalau dia itu tukang selingkuh.”
Setelah berkata seperti itu, barulah ia menyadari
bahwa tindakannya itu keterlaluan. Seharusnya ia tidak melampiaskan
kekesalannya disitus jejaring kantor seperti itu. harusnya ia menulis di buku
catatan atau diari saja. Entah mengapa tadi kolom di situs jejaring itu
terlihat begitu menggoda.
“Itu saja?”
Via melirik Ify dengan tatapan ‘tidak mungkin kau
hanya berbuat seperti itu”. Ify tertunduk.
“Aku bilang dia itu tukang selingkuh br*ngs*k dan...”
Sesaat, gerakat tangan Via yang sedang merajut
terhenti.
“Jadi, kau memaki-makinya melalui situs jejaring
kantor?”
Melihat Via yang terkejut dan mulai emosi, Ify merasa
seolah disiram air selokan. Ia pun berteriak dengan kesal.
“Lalu apa yang harus kulakukan?!”
Seketika itu juga, para ibu hamil yang berada di ruang
tunggu dan para perawat yang berada di balik meja pendaftaran terkejut dan
saling berpandangan. Ify merasa panik dan segera menundukkan kepalanya meminta
maaf kepada mereka. Lalu, ia berbisik pada Via, “Ada kesalahan kecil. Aku tidak
tahu kalau tulisan itu akan tersebar di internet. Padahal aku sudah mengklik
tombol ‘hapus’. Entah kenapa, saat itu komputerku tiba-tiba eror... Tapi,
laki-laki itu lebih kurang ajar lagi. Dia malah menyuruhku menghapus tulisan
itu, sama sekali tidak sadar kalau dia sebenarnya yang bersalah. Biar tahu rasa
dia.”
Ify mengepalkan tangannya dengan marah dan
menghantamkannya pada gulungan benang rajut yang ia pegang. Via pun segera
mengambil gulungan benar itu dari tangan Ify.
“Sekarang ini sudah tahun 2013, kau bisa tidak sih
hidup lebih tenang sedikit di abad ke-21 ini? Kau ini terlalu mudah kesal dan
marah di setiap masalah,” Via memperhatikan sekelilingnya dan memarahi Ify
dengan suara pelan.
“Jadi selama ini Eonni juga hidup tenang sambil
diam-diam membuat anak?”
“Memang kenapa?” Via berlagak tenang seolah hal itu
memang sudah ia rencanakan dari awal.
“Kau kan juga sama. Setelah melihat pria baik-baik
seperti Cakka berselingkuh, lantas langsung mengelompokkan laki-laki sebagai
bukan makhluk hidup.”
Mau bagaimana lahi. Di hari ketika Ify tahu bahwa
Cakka selingkuh darinya, ia langsung mencari Via, meminum alkohol yang tidak
pernah ia minum, dan saat ini marah-marah di depan para ibu hamil.
“Coba kau pikirkan lagi.”
“Apanya?” Ify menyahut seenaknya karena kesal.
“Mengurus satu anak dengan sepenuh hati saja sudah
susah, apalagi kalau sampi harus mengurus laki-laki yang ibaratnya bisa berubah
menjadi serigala kalau bulan purnama. *naaaah(?)* Apa perlu hidup seperti itu?”
“Jadi maksud Eonni, aku juga harus mengikuti Eonni
menjadi wanita single selamanya? Eonni mau membuat perkumpulan single mom lalu
mau jadi ketuanya?”
“Kau ini. kalau iya, memang kenapa? Aku akan
membesarkan anak ini dengan bangga, lalu pergi jalan-jalan berdua, makan
makanan yang enak, dan hidup dengan menyenangkan bersama anak ini. Perkumpulan?
Hm, ide yang bagus. Bagaimanapun, pasti lebih baik jika ada tempat untuk saling
berbagi cerita tentang membesarkan anak seorang diri.”
Mendengar nada suaranya, rasanya seolah perempuan itu
benar-benar akan mendirikan perkumpulan single mom dan menjadi ketua
perkumpulannya.
“Semoga saja hal itu tidak menjadi keinginan Eonni
semata. Anak di dalam perut itu, meskipun Eonni bisa membuatnya seenaknya, tapi
anak itu pasti nanti ingin punya kehidupan sendiri,” Ify berdecak pelan. Via
menggerakkan jarumnya kuat-kuat seolah akan menjahit bibir Ify.
Kemudian ia berbisik pelan sambil membelalakkan
matanya, “Kalau sampai ketahuan, bisa gawat. Ini adalah hadiah spesial dari
Dokter Gabriel karena ia dikirim ke Jerman. Kalau sampai ia dipanggil ke Korea
kembali karena hal ini, aku bisa mati.”
Via memasang wajah ketakutan dan membuat gerakan
memotong lehernya sendiri dengan tangannya, seandainya hal itu benar-benar
terjadi.
“Jujur saja, apa itu bisa dikatakan sebagai hadiah? Itu
sama saja tindak kriminal yang disertai ancaman.”
Suatu hari, Via baru saja selesai menonton film
berjudul Mama bersama Ify, lalu memutuskan untuk melahirkan seorang anak. Saat
itu, Ify mengira bahwa Via sedang hamil.
“Jadi siapa ayahnya?” tanya Ify yang ditanggapi Via
dengan santai.
“Entahlah, aku baru akan memikirkannya.”
Meskipun melahirkan anak itu butuh perencanaan,
bagaimana mungkin orang yang tidak menikah bisa memutuskan untuk melahirkan
anak? Menurut Ify, keputusan Via yang kesannya mengharukan itu adalah efek
samping dari film yang baru saja mereka tonton, dan setelah menonton beberapa
film perang atau action, keinginan itu pasti akan hilang. Namun, keinginan Via
itu ternyata sangat kuat, ia bahkan sampai menyusun strategi yang matang. Ia
tidak akan membuat pria dengan gen berkualitas mabuk lantas menidurinya,
melainkan mengatakan terus terang bahwa ia ingin menerima donor sperma dari gen
yang berkualitas.
“Ada salah seorang kenalanku yang bekerja sebagai
dokter kandungan. Entah apakah ia bekerja di bagian bank sperma atau apa, tapi
begitu aku menceritakan rencanaku, ia terlihat sangat antusias. Aku disuruh
datang ke rumah sakit tempatnya bekerja. Katanya ia akan memberiku gen
berkualitas dari para dokter itu. bayangkan saja, aku bisa mendapat gen salah
satu dokter yang pintar dan cerdas itu. belum lagi kalau sifatnya bagus,
benar-benar sempurna,” Via bercerita dengan antusias.
“Sebelumnya kau membat dokter itu mabuk kan?”
“Tentu saja. Mana ada dokter yang mau berkata seperti
itu kalau sepenuhnya sadar.”
Via sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Dia
bukannya membuat mabuk pria dengan gen yang baik, melainkan membuat mabuk
dokter yang bisa menyeleksi gen yang baik.
“Dasar penjahat.”
Via hanya menanggapi perkataan Ify dengan polos,
“Penjahat apanya? Aku ini hanya ingin memilih gen yang baik untuk anakku,
anggap saja ini hadiah kecil dari Dokter Gabriel untukku.”
Via kemudian melanjutkan rajutannya dengan santai.
“Kalau nanti ketahuan pun, paling Dokter Gabriel saja
yang hancur. Iya kan?”
Dunia memang semakin aneh. Benar-benar ‘bangga’
rasanya bisa akrab dengan orang seperti ini.
“Ah entahlah. Semoga saja tidak ketahuan. Toh aku juga
tidak akan meminta orang itu untuk bertanggung jawab atas anak ini. Aku hanya
ingin melahirkan anak dengan gen yang aku inginkan.”
Via seperti kehilangan konsentrasinya, ia membuka
kembali rajutannya beberapa senti, lalu mengulanginya lagi.
“Kalau begitu, harusnya sekalian saja memutuskan mau
anak laki-laki atau perempuan.”
“Memangnya...bisa?” Via terkejut dan terdiam mendengar
perkataan Ify. Wajahnya terlihat sangat serius dan menyesal karena tidak
melakukan hal itu.
“Memangnya apa yang akan kau pilih? Anak laki-laki
sempurna seperti ayahnya, atau anak perempuan seperti Eonni?”
“Ah, tapi kalau anak perempuan sepertinya biasa saja,”
Via berkata sambil mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala.
“Aku tidak mau membicarakan hal ini lagi, tidak baik
untuk anak di dalam perut ini.”
Barulah muncul sikap keibuannya yang luar biasa. Ify
memandang Via dengan heran sambil mendecakkan lidah lalu melirik ke arah
rajutannya. Benar-benar jauh dari sempurna.
“Masa buatan seorang fashion designer seperti itu?”
Ify berkata prihatin sambil menatap hasil rajutan Via. Tidak jelas apakah itu
gendongan bayi atau hanya selimut bayi.
“Warna-warna dasar seperti ini baik untuk bayi. Supaya
mata mereka ‘ddarr!’ terbuka lebar dan daya kreativitas mereka pun ‘ddarr!’
ikut berkembang,” Via menggoyang-goyangkan hasil karyanya di depan Ify dan
menjelaskan padanya sambil membelalakkan matanya. Kemudian ia berbalik menatap
Ify dengan prihatin.
“Kau ini, bagaimana mau menjadi presenter kalau
pengetahuanmu sempit seperti itu? Pantas saja karirmu tetap begitu-begitu
saja.”
Setelah aku mengkritiknya, rupanya sekarang ia balas
dendam padaku.
“Eonni! Mulai besok aku tidak mau menemanimu lagi!”
Ify akhirnya berteriak kesal pada Via.
Via berbaring dengan gugup di tempat tidur di ruang
USG. ‘Deg deg’ suara degup jantung janin itu terdengar di ruangan itu.
“Kelihatan kan bayinya?”
Dokter Gabriel yang tadinya menangani Via sedang
menghadiri pelatihan di sebuah rumah sakit di Jerman sehingga sekarang ia
ditangani oleh Dokter Oh Shilla Rong yang kini menunjuk ke layar monitor. Via
menatap layar monitor itu tajam-tajam dengan wajah penuh harap.
“Suara degup jantungnya normal, perkembangannya juga
normal. Lalu, apa ada masalah dengan makanan?”
Mendengar pertanyaan dokter itu, Via menjawab dengan
cemas, “Saya mengalami sembelit.”
Sontak dokter itu tersenyum kecil mendengarnya.
“Wanita hamil memang seperti itu. Mengonsumsi serat
akan sangat membantu. Apa ada keluhan lain?”
“Sampai saat ini masih baik-baik saja. Ibu saya dul
mengalami mual yang parah di pagi hari, tapi untungnya saya baik-baik saja.”
Apa jadinya kalau wanita sensitif itu juga mual-mual
di pagi hari? Ify tanpa sadar menggelengkan kepalanya.
“Sebenarnya itu pengaruh dari kondisi fisik, bukan
gen. Sebaiknya anda makan dengan baik,” dokter wanita itu menjelaskan dengan
ramah. Mendengar penjelasan dokter itu, Via yang tadinya menatap monitor dengan
wajah bahagia kini memandang ke arah Ify yang sejak tadi mengawasinya dari
balik dokter itu.
“Ify, anak ini cantik sekali kan? Iya kan?”
Bagaimana aku harus menjawabnya? Ify kemudian menatap
monitor itu tajam-tajam dan berkata dengan suara gemetar, “Eonni... bisa
melihatnya? Bagiku itu hanya kelihatan seperti layar buram saja. Mukanya yang
mana? Yang itu?” Ify menunjuk ke bagian yang berwarna putih di layar itu.
Seketika Via menyahut dengan sebal, “Itu pantatnya,
dasar kau ini.”
“Oh~” Barulah Ify mengangguk-anggukkan kepalanya
dengan serius.
“Kau ini bagaimana sih? sudah setiap hari melihat
kamer, tapi tetap saja tidak bisa membedakan mana pantat dan mana muka bayi.
Nanti ka mau mencium pantat bayi?” Via menggerutu pada Ify begitu keluar dari
ruang periksa.
“Memangnya aku memakai kamera untuk USG? Memang di
mana letak perbedaannya?”
Benar-benar perempuan ini.
Ify tetap menggeleng-gelengkan kepalanya di depan
pintu ruang periksa yang memiliki papan nama dokter tergantung di depannya.
Tiba-tiba, sekelompok dokter lewat di samping mereka dan berjalan menuju ke
meja perawat. Melihat hal itu, langkah Via terhenti dan memandang mereka dengan
wajah puas.
“Ada kenalanmu?” Ify memandang datar wajah Via yang
terpana melihat dokter-dokter itu.
“Entahlah......” Via memicingkan matanya dan menatap
mereka dengan wajah penuh kagum dan rasa ingin tahu.
“Mau kuberitahu satu rahasia?”
Wajahnya terlihat tidak sabar ingin segera membagi
rahasianya itu. Tanpa kujawab juga ia akan membuka mulut terlebih dahulu.
“Di antara dokter-dokter itu....”
“Dokter-dokter itu...” Ify meniru ucapan Via sambil
perlahan mengalihkan pandangannya kepada para dokter itu. Mereka terlihat
sedang mendiskusikan satu masalah yang sepertinya cukup serius. Di
tengah-tengah mereka, terlihat seorang pria yang mencuri perhatiannya. Padahal
ia berada di tengah-tengah sama seperti dokter yang lain, padahal ia mendapat
cahaya lampu yang sama dan tingginya pun tidak menonjol dari yang lainnya,
tetapi entah kenapa, pria itu terlihat paling jelas di mata Ify dan benar-benar
mencuri perhatiannya. Kalau pria setampan itu menjadi dokter kandungan, apa
para ibu hamil itu bisa tenang saat diperiksa olehnya?
Memang sih tidak ada aturan khusus yang mengatakan
bahwa dokter kandungan harus jelek, tetapi mungkin dokter tampan seperti itu
perlu juga untuk mengatur adrenalin para ibu hamil yang diperlukan untuk
menghasilkan hormon-hormon tertentu. Penampilannya membuat Ify berpikir seperti
itu dan sesaat ia tersihir melihat pria itu.
“Dokter Gabriel yang mengatakan ini padaku, katanya
yang memberiku donor sperma ini salah satu dari mereka.”
“Benarkan?” Tanpa sadar Ify bertanya sambil setengah
berteriak. Via segera menutup mulut Ify dengan tangannya.
“Ini benar-benar rahasia. Karena aku sangat penasaran
dengan orang yang menjadi donorku, jadi Dokter Gabriel memberitahuku hal ini.
Kau tidak boleh bicara sembarangan tentang hal ini,” Via meletakkan jari
telunjuk di depan mulutnya dan membelalakkan matanya.
Saat itu, dokter-dokter yang berkumpul di meja perawat
mengangguk-anggukkan kepalanya seolah telah mengambil keputusan dan kembali
berjalan mendekat ke arah Via dan Ify berdiri. Begitu para dokter itu melewati
mereka, Via segera menyembunyikan wajahnya di balik punggung Ify. Ketika para
dokter itu masuk ke ruangan mereka masing-masing, Ify melihat dokter yang tadi
mencuri perhatiannya itu masuk ke sebuah ruangan dengan papan nama “So Yoon
Rio”.
“Toh tidak ada yang tahu perbuatan Eonni, kenapa
sembunyi seperti itu?” Ify menatap Via yang sembunyi di balik punggungnya.
“Entahlah, kenapa ya? Tanpa kusadari, gerak refleks?”
Ify berdecak pelan dengan wajah kaku.
“Itulah psikologis seorang kriminal.”
“Begitukah?”
Via kembali melangkahkan kakinya dengan berat.
Tiba-tiba, ‘ugh!’ Via memegangi perutnya.
“Setelah tiga hari, sepertinya ‘keinginan’ ini datang
juga. Tunggu ya, aku mungkin agak lama.”
Via memberikan tasnya kepada Ify dan bergegas menuju
toilet. Ify menatap wanita itu menjauh sambil mengerutkan dahi.
“Memangnya simpanan yang ada di perutnya selama tiga
hari itu tidak tertangkah oleh USG ya?”
Kemudian ia menatap perutnya sendiri. Coba juga? Ify
mengelus perutnya yang berat karena belum ke belakang itu dan mengangkat
kepalanya. Kemudian, ia menatap pintu ruang-ruang periksa yang dimasuki oleh
para dokter itu.
“Saat menjadi donor, apa mereka sadar bahwa bisa saja
anak mereka tumbuh besar tanpa sepengetahuan mereka? Yah, laki-laki seperti itu
memang bukan satu dua saja.”
Karena Cakka, kini pandangan Ify mengenai laki-laki
menjadi buruk, sesuai dengan pendapat Via. Saat itu, seorang dokter bersin
ketika lewat di belakang Ify. Ify mengerutkan keningnya. Jangan-jangan
bersinnya itu menempel di bajunya, pikirnya. Kemudian ia bergegas menuju
toilet.
***
Rio keluar dari ruangannya setelah menulis sesuatu di
catatannya. Ia bersin di depan pintu dan berpapasan dengan Dae Alvin.
“Hai, So Doc!” (Dalam bahasa korea So = Sapi. ‘Doc’
[ddak] singkatan dari ‘doctor’. Dalam bahasa korea, ‘ddak’ artinya ayam.)
“Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu kan?”
Rio menatap Alvin tajam sambil berjalan ke arah meja perawat.
“Margamu kan So, jadinya ya Dokter So kan?” Alvin
mengelus hidungnya lalu merangkulkan tangannya di pundak Rio.
“Kau sebenarnya hanya ingin mengolokku kan?”
Ini bukan hanya masalah marga, namun panggilan antara
marga So dan Dokter terdengar seperti sapi dan ayam. Ketika jari tangan Alvin
mulai mencengkram pundak Rio, ia melirik tangan Alvin dan menatapnya dengan
pandangan prihatin. Kemudian ia memberikan papan catatan yang dari tadi ia
pegang kepada salah satu perawat di meja perawat itu.
“Tadi kalian berdua bergandengan tangan kan di koridor
rumah sakit?” Alvin mendekatkan wajahnya
ke telingan Rio dan berbisik pelan. Mendengar hal itu, Rio seketika
memperhatikan sekelilingnya lalu menatap Alvin tajam.
“Siapa yang berkata seperti itu?”
“Siapa lagi. Meskipun kau tidak mau mengaku, yang
pasti ada yang melihatnya.”
Rio kemudian menatap ke arah para perawat yang ada
disana. para perawat itu bersikap seolah tidak tah dan menghindari tatapan mata
Rio. Padahal selama ini ia sudah merahasiakannya rapat-rapat, apa kini semua
orang sudah tahu? Alvin tersenyum pas melihat Rio panik.
“Kau tahu kan kalau Shilla itu lumayan banyak
penggemarnya di rumah sakit ini? bahkan pernah ada adik laki-laki dari salah
satu ibu hamil yang mengajaknya berkencan?”
Orang ini benar-benar ma mempermainkanku rupanya. Rio
mengambil papan catatannya kembali dengan kasar dan mengalihkan pandangannya.
“Gosip itu masih ada juga? Padahal aku tidak
berpacaran dengannya.”
“Kau pikir hanya itu saja? Dokter Sion dari bagian
bedah, Direktur Rizki dari bagian sekretariat, lalu Dokter Gabriel yang sedang
pergi ke Jerman....”
Seketika itu juga, Rio meletakkan papan catatannya
dengan keras, seolah menggebrak meja itu. Alvin terkejut dan terdiam.
“Jadi maksudmu, aku ini tidak lebih baik daripada
mereka? Atau, kau menyuruhku untuk mundur dan mengalah?” Rio menatap Alvin
seolah menunggu kesempatan.
“Apa maksudmu! Siapa lagi yang lebih cocok dengan
Shilla di dunia ini daripada So Yoon Rio? Tentu saja tidak ada!”
Alvin tiba-tiba langsung memijat-mijat bahu Rio dengan
gerakan berlebihan.
“Kau mau Green Tea Latte? Mau aku traktir? Atau kau
yang mentraktirku?”
Melihat wajah Alvin yang tersenyum riang it, Rio
akhirnya mengalah dan berjalan ke arah teras.
“Aku yang traktir. Sini kau.”
Rio melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri,
diikuti Alvin yang menempel di belakangnya.
“Ah..... apa aku pindah departemen ya?” Alvin yang
sedang berdiri di teras tiba-tiba menghela napas dan menyandarkan dirinya di
pagar teras itu.
“Kenapa? Katanya kau menikmati sekali perasaan ketika
memegang bayi yang baru lahir di bumi ini, yang terasa lembut dan menakjubkan
itu.”
Rio menyandarkan punggungnya pada Alvin yang berdiri
di sampingnya dan menyedot habis minuman latte-nya.
“Memangnya aku terdengar seperti orang cabul ya?”
tiba-tiba Alvin langsung bediri tegak dan berkata dengan kesal.
“Yah, mungkin saja kau memang terharu dan berseru
‘waaah’ ketika memegang bayi yang baru lahir itu,” Rio menyahut sambil tetap
menggigit sedotan minumannya.
“Bukan begitu maksudku, waktu itu aku hanya ingin
menjelaskan dengan tenang kepada seorang ibu yang takut melahirkan dan
membesarkan anak, bagaimana rasanya pertama kali menyentuh kulit bayi, memegang
kepalanya. Makanya begitu kujelaskan, ia langsung minta ganti dokter yang
menanganinya kan?” Alvin beralasan karena merasa tidak adil.
“Menjelaskan dengan tenang?”
Entah apakah orang ini tahu arti kata ‘tenang’ atau
tidak.
“Jelas-jelas ekspresimu tadi seperti orang yang baru
mendapat hadiah game terbaru. Atau seperti orang yang sudah lama mencari
senjata rahasia di dalam game dan akhirnya berhasil menemukannya. Aku pun
percaya kalau kau berseru ‘waaah’ dengan heboh di depan ibu hamil itu.”
Orang ini adalah orang yang menganggap bayi yang lahir
sama dengan game terbaru edisi terbatas. Tanpa melihatnya pun, terbayang
bagaimana ekspresi ibu-ibu hamil itu saat pertama melihat orang ini. Malah bisa
saja mereka langsung menyumpah ‘dasar dokter cabul’.
“Masa... aku seperti itu?”
Barulah saat itu Alvin terlihat seolah larut dalam
pikirannya sendiri, seolah sedang mengintropeksi dirinya sendiri saat sedang
berbicara dengan para ibu hamil yang menjadi pasiennya. Rio hanya tertawa kecil
meluhat Alvin seperti itu. Ia tahu pasti bagaimana rasanya memegang bayi yang
baru lahir, bagaimana aromanya yang sedikit amis namun wangi. Hanya orang aneh
yang mengatakan tidak suka dengan hal itu.
Bayi....
Sesaat, di kepala Rio terlintas bayangan seorang ibu yang tidak pernah
memeluk anaknya, tidak pernah menyentuh jemari anaknya. Ternyata.... ada juga,
seorang ibu yang seperti itu.
***
Yaaak gak ngaret kaaaan? ;;) Karena ini novel padet tulisannya, jadi mimin post dua hari sekali yaa. Tepar deh mimin kalo separt sehari. Selagi MM belum muncul ke permukaan, nikmatilah ini terlebih dahulu yaaa hohohoho~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar