-->

Selasa, 30 Juli 2013

Matchmaking Part 24

Sorry if nothing special in this part dududu~

***

 Pagi ini, Ify bangun lebih cepat dari Rio. Ia bangun ketika Rio masih terlelap. Ia melirik ke arah jam dinding dan spontan mengerutkan dahi karena saat ini bukan waktu yang terlalu awal untuk bangun. Bahkan boleh dibilang agak terlambat. Ia lalu mengedikkan bahu tak begitu peduli. Karena jika ia peduli, keterlambatannya akan menjadi lebih lama. Setelah mengambil ‘perkakas’ serta seragam sekolahnya, ia buru-buru masuk ke kamar mandi. Ia lumayan mensyukuri Rio yang masih tidur. Ia bisa mati malu kalau sampai Rio melihat barang-barang ‘pribadi’nya itu.

Hingga selesai mandi bahkan menata rambut di depan cermin lemari kamar Rio, Ify tak belum sekalipun bertemu Rio lagi. Setelah ia beres mandi dan berpakaian, pemuda itu sudah menghilang dari atas kasur dan tidak pernah kembali ke kamar. Ify mengedikkan bahu lagi. Akan jauh lebih baik kalau ia tidak bertemu dengan Rio. Sikapnya semalam sejujurnya hanya sekedar memberi pelajaran pada Rio. Akan tetapi, kalau memberi pelajaran sekali rasanya tidak cukup. Mengingat sikap-sikap menyebalkan Rio padanya sudah terjadi berulangkali. Kalau Rio bisa bersikap dingin, maka ia juga bisa. Dan akan ia lakukan mulai hari ini. Saat ini tepatnya.

Ify menguncir kuda rambutnya kesamping. Itu sudah menjadi style rambutnya sejak dulu. Hanya saja, sekarang, ia sedikit melupakan style rambut kesayangannya itu dan kembali teringat hari ini. Mungkin karena semalam ia agak gerah ketika belajar dengan rambut tergerai. Selain alasannya karena kelakuan Rio. Ify menatap cermin untuk yang terakhir kali. Ia juga mulai memakan lolipop lagi setelah beberapa waktu berhenti karena dilarang papanya. Ia lebih terlihat seperti anak sd ketimbang anak sma. Ditambah dengan wajahnya yang memang masih imut-imut. Tapi, baguslah. Ia jadi merasa lebih muda dengan usianya yang menurutnya sudah mulai tua ini.

Ify berjalan mendekati tasnya di dekat meja belajar. Ia kemudian duduk di atas kasur sambil memasukkan buku-buku yang ada di daftar pelajaran hari ini. Disaat yang bersamaan, ia mendengar suara pintu dibuka dan ada derap langkah masuk ke dalam kamar. Tak usah menoleh untuk memeriksa, Ify sudah tahu siapa yang masuk itu. Pasti Rio. Jelas sekali dari caranya melangkahkan kaki dan aroma tubuhnya. Entah sejak kapan Ify mulai memerhatikan atau bahkan hafal. Ia sempat tertegun karena sebegitu hafalnya ia akan sosok Rio. Apa Rio juga memiliki daya ingat seperti itu untuknya?

Tak tahu kenapa, pertanyaan yang baru saja merasuki kepalanya itu sanggup menyesakkan dadanya. Padahal, hal-hal seperti itu sudah sangat sering terjadi pada Ify. Tapi, kenapa untuk saat ini, hal itu terasa sangat menyakitkan sekali? Ia terpaku menatap buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas. Gerakannya juga terhenti. Tapi, tiba-tiba, angin sejuk menghampiri rongga dada Ify. Ia teringat akan aksi dirinya yang selalu saja ketahuan oleh Rio. Bahkan ketika raganya tidak bisa dikenali sewaktu menyamar menjadi Zaza. Meskipun kesal, tapi ada juga perasaan berbunga-bunga yang mengapung di hatiya. Bukan bermaksud besar kepala atau bahkan geer, tapi, sepertinya Rio jauh lebih tahu tentang dirinya ketimbang sebaliknya.

***

Rio berdiri lama di depan pintu kamarnya. Baru kali ini ia gugup untuk masuk ke kamarnya sendiri. Gagang pintu terasa sangat dingin di tangan Rio. Atau mungkin dingin itu berasal dari tangannya sediri. Setelah menarik nafas berulang-ulang, ia kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Pintu kemudian ditutup dan ia menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Matanya dengan cepat menangkap sosok Ify yang terduduk di atas kasur. gadis itu diam sebentar seperti memikirkan sesuatu lalu melanjutkan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Rio menarik nafas sekali lagi dan rasanya ia agak susah bernafas. Kenapa Ify seimut itu pagi ini?! pekiknya dalam hati. Dadanya terasa angat seperti baru dialiri air panas. Ia melangkah perlahan mendekati Ify setelah dapat mengatur rona perasaannya.

“Lo...” katanya mengambang diudara. Lidahnya kelu manakala kepala Ify tegak dan menatapnya. Dibanding tadi, sisi imut Ify lebih terlihat jelas sekarang. Kening gadis itu berkerut menunggu Rio melanjutkan omongannya. Tapi, sepertinya pemuda itu tidak kelihatan ingin melanjutkan. “Kenapa?” tanya Ify datar. Sepertinya gadis itu masih marah soal semalam. Ah, tapi, semalem itu Ify marah kenapa gue juga gak ngerti. Batin Rio.

“Lo masih marah?” tanyanya balik. Ify menatap Rio sama seperti nada suaranya. Datar. Sekali. Setelah cukup lama diam dan hanya memandangi Rio, -dan yang dipandang terlihat salah tingkah- Ify lantas menjawab. Atau lebih tepatnya balas bertanya. “Marah untuk apa?” Rio menggaruk keningnya sambil menatap Ify. “Gue baru aja mau nanya itu,” Ify tak membalas ucapannya lagi. Gadis itu juga sudah selesai mengemasi buku-bukunya. Ia lalu menyandang tas nya dan beranjak keluar kamar meninggalkan Rio tanpa berbicara apa-apa lagi. Hari ini, Ify benar-benar dingin. Pikir Rio. Apa dulu seperti ini perasaan Ify ketika ia bersikap dingin pada gadis itu? Bahkan lebih dingin dari yang Ify lakukan padanya.

***

“Emm—ntar gue mesti jemput Dea dulu,” ujar Rio tepat ketika tangan Ify menyentuh gagang pintu. Ify mematung seakan terhipnotis dengan ucapan Rio barusan. Dea lagi. Batinnya kedengarn sedih. Ia menghela nafas diam-diam tanpa sepenglihatan Rio. Sesaat Ify hanya diam di tempat tak tahu harus melakukan apa. Ia bahkan lupa apa yang sedang ia lakukan sebelum ini. Sebuah nama yang barusan berhasil menghipnotisnya hingga hampir melupakan semuanya. Hampir. Karena ia segera sadar ketika suara Rio kembali menggelitik telinganya. Hatinya apalagi.

“Fy?” panggil Rio. Ify tetap diam tak menyahut. Ia memutar gagang pintu yang sempat disentuhnya tadi lalu dengan gerakan cepat keluar dan menutup pintu. Ia lantas bersandar beberapa saat di badan tegap benda tersebut. Matanya terpejam dengan pikiran yang berkelana kemana-mana. Rio dan segelintir wanita-wanitanya kini mengeroyok kepala Ify.

Kalau dengan Dea saja Rio sepeduli itu, apa kabar dengan Acha? Pasti Rio...Rio pasti... ah sudahlah! Memikirkan Rio hanya akan menguras batin. Emang enak sakit hati? Capek tau!

***

Ini sudah ketiga hari Alvin tidak kunjung menghubungi Shilla. Memang, sih, ini bukan yang pertama kalinya Alvin berhari-hari tidak mengabari. Tapi, yang sekarang masalahnya berbeda. Kalau dulu tidak ada Febby. Sekarang masalah menjadi rumit karena keberadaan gadis itu. Febby tidak seperti gadis-gadis lain yang sempat dikabarkan ada hubungan khusus dengan Alvin. Karena tidak pernah ada bukti fisik yang bisa meyakinkan kebenaran kabar tersebut. Kalau sekarang, bahkan Alvin sendiri yang mengakui kalau ia dirawat di rumah sakit ditemani gadis itu. Alvin senantiasa bersama Febby. Kemarin di sekolah sekarang di rumah sakit. Apa yang mereka lakukan saat ini? Pertanyaan itu rasanya langsung membuat kepala Shilla pecah.

“Ini masih pagi, muka kamu udah ditekuk aja!” tegur sang mama yang sedaritadi memperhatikan kelesuan anaknya. Sejak turun dari tangga dan duduk di meja makan, sekalipun Shilla belum buka suara. Bahkan ketika papanya pamit, Shilla tidak menoleh sama sekali. Shilla sedang hobi-hobinya melamun akhir-akhir ini. Ketika mamanya mengajak bicara, barulah Shilla mendongak dan menyadari kalau penghuni meja makan sudah berkurang. “Loh? Papa sama yang lain kemana?” tanyanya bingung.

Wiwid tersenyum geli sambil meneguk air putih dalam gelas di depannya. Tapi, kemudian, ia menatap anaknya serius. Ia tahu betul penyebab anaknya murung seperti itu. Pasti karena Alvin. Ada setitik rasa jengkel dalam hati Wiwid tatkala mengingat pemuda yang satu itu. “Makanya kamu jangan melamun terus, gak baik loh!” ujarnya lembut sekaligus hati-hati. Ia takut anaknya bertambah murung jika ia salah bicara. Shilla mengedikkan bahunya pasrah.

Makanan di depannya sama sekali belum ia sentuh. Hanya ia tatap lekat-lekat karena tak tau harus ia apakan. Biasanya, ia paling tidak bisa menolak masakan mamanya. Akan tetapi, khusus hari ini, mungkin semua makanan paling enak sekalipun tidak bisa menggugah nafsu makannya. “Kalo diaduk-aduk terus, ntar kalo kamu makan bisa pusing,” tegur Wiwid lagi. Shilla melirik mamanya sekilas lalu beralih pada makanannya. “Mama percaya aja sama yang gitu-gitu!” gerutunya tanpa niat. Wiwid memasang tampang penasaran ingin mengajak anaknya bergurau. Siapa tahu muram di wajah Shilla bisa berkurang.

“Gitu-gitu gimana?” Tangan Shilla berhenti mengaduk dan menatap mamanya bingung. “Gitu? Gitu... ah gatau deh!” Usaha Wiwid sepertinya tidak berhasil. Muka Shilla sekarang justru kelihatan makin berlipat tidak beraturan. Wiwid menghela nafasnya pelan dan memandang iba anaknya. Pasti karena berita tadi. Pikirnya. “Shill?” panggil Wiwid. Nada suaranya kembali terdengar serius meski Shilla tidak benar-benar memperhatikannya. Hanya sebuah deheman singkat yang menandakan dirinya tidak sedang berbicara sendiri.

“Kamu sama Alvin lagi gak baik ya?” tanya Wiwid dengan extra hati-hati. Ia sangat sadar kalau pertanyaannya ini rentan menyinggung perasaan anaknya. Dan memang benar, ketika mendengar nama Alvin, bibir Shilla langsung mengerucut sambil menggerutu kesal. “Shilla lagi males bahas Alvin, Ma.” Terbersit nada memohon dalam ucapannya yang meski terdengar jutek. Wiwid mengulum bibirnya sambil berpikir matang-matang akan pertanyaan yang akan ia ajukan berikutnya.

“Boleh mama jujur sama kamu?” Kening Shilla mengerut. Jujur? Agak asing rasanya mendengar kata-kata itu dari mamanya. Biasanya mama tanpa perlu izin langsung mengutarakan apa yang ingin wanita paruh baya itu katakan. Shilla mau tak mau harus memusatkan diri pada mamanya meski dalam diam. Setidaknya dirinya memperhatikan, kan? Wiwid menarik nafas singkat dan menghembuskannya keluar. “Mama gak percaya sama Alvin...” cetus Wiwid. Meskipun lemah, tapi nada suaranya terdengar yakin dan tegas. Ada unsur ketidaksukaan ketika ia menyebut nama Alvin.

Shilla terpaku menatap bola mata bening mamanya yang kini terlihat menyeramkan. Mamanya tidak menatapnya garang hanya saja jantungnya terasa copot kala membalas dua manik mata itu kini. Selama ini mamanya tidak pernah berkomentar negatif akan hubungannya dengan Alvin. Bahkan, setiap ia melancarkan aksi galau dan uring-uringan karena pemuda itu, Wiwid juga tidak pernah protes dan marah. Wiwid justru menyodorkan nasihat-nasihat yang terkesan membela Alvin dan menyuruhnya lebih bersabar serta dewasa.

Shilla memejamkan matanya menahan letupan-letupan emosi dalam dadanya. Bukan emosi ingin memarahi mamanya, tapi emosi karena masalahnya akan bertambah satu setelah ini. Satu hal yang mengganggu pikirannya. Apa kali ini hubungannya akan terganjal restu orangtua? Setelah harus berusaha mempertahankan hubungannya dengan Alvin di hadapan Febby, apa ia juga harus berusaha mempertahankan hubungannya di hadapan Mamanya? Apakah seberat itu? astaga! Ia bahkan masih gadis SMA yang seharusnya belum memikirkan masalah cinta ke tahap yang sejauh itu. Gue kan belum niat nikah! Batinnya meringis.

“Kenapa?” tanyanya lesu. Hanya itu yang dapat ia katakan. Ia juga tidak tahu harus membalas ucapan Wiwid dengan kata-kata apa. “Yaaa emang sih hubungan kalian masih sebatas pacar-pacaran anak SMA. Tapi, kita kan gak tau kalo kedepannya kamu malah serius sama Alvin. Mama cuma khawatir aja sama kamu. Kamu tau kan dunia artis itu kayak apa? Dunianya orang-orang ‘gila’. Semuanya bisa terjadi disana. Kalo kita bisa jaga diri, mungkin kita bakal baik-baik aja. Tapi, kalo iya Alvin bisa. Godaan di dalam sana besar banget, Shill. Mama...mama gamau kamu sakit hati,”

Shilla mengernyit. Ia sepertinya mulai mengerti kemana arah tujuan Mama. Hal yang dikhawatirkan mamanya. Tapi, sebelum itu, jantungnya sudah berdebar kencang. Ia merasa ada rayap yang menggerogoti jantungnya. Sakit sekali! Ia tidak pernah memikirkan tentang dunia yang selama ini digeluti Alvin. Rasa percayanya pada Alvin selama ini sudah cukup bahkan sangat mampu menggeser hal-hal mengkhawatirkan seperti itu. Tapi, kini, dengan munculnya Febby, rasa takut seperti bergerombol masuk ke kepalanya. Memenuhi setiap sisi kosong dalam pikirannya. Dan seperti memaku tengkorak kepalanya hingga menembus keluar. Shilla merasakan denyut luar biasa di bagian tubuh paling atasnya itu. Ia masih punya kepala atau tidak, ia juga kurang yakin.

“Mama...Mama khawatir Alvin selingkuh?” ujarnya susah payah. Ia menekan pita suaranya agar tidak menimbulkan getaran. Wiwid tersenyum miris. “Udah berulangkali muncul berita-berita miring tentang Alvin. Dan semuanya selalu dikaitkan sama gadis-gadis dan itu bukan kamu. Bahkan Alvin gak pernah ngakuin kamu sebagai pacarnya di depan publik. Dia selalu bilang kalau dia gak pernah punya hubungan spesial sama siapapun. Terus, yang kamu jalani sama dia selama ini hubungan apa? Sampe kapan dia nyembunyiin hubungan kalian? Sampe kalian putus?”

Dada Shilla bergejolak hebat. Ia merasa tertampar mendengar fakta terakhir yang diungkapkan Mamanya. Iya, Alvin gak pernah sekalipun ngakuin gue. Dan, apa? Putus?! Memikirkannya saja rasanya sudah hampir membuat Shilla kehabisan nafas. Sekarang masalahnya sudah bergeser kemana-mana dan membuatnya makin pusing. Depresi. Frustasi. Dan apalah itu istilah yang mendukung keadaannya saat ini.

“Shill, berita Alvin dan ‘gadis-gadisnya’ itu gak sekali dua kali. Baru aja kemaren waktu..waktu.. ah siapalah itu yang katanya sekarang deket sama Alvin ngomong di depan wartawan tentang hubungan mereka, sekarang udah muncul rekaman Alvin berduaan sama dia. Dan berita tadi pagi itu susah buat disangkal kebenarannya, Shilla. Ada bukti fisiknya. Kam..”

“Apa? Be-berita tadi p-pagi? Berita yang mana lagi?” Seketika itu pula, Wiwid membeku. Jadi, anaknya belum menonton televisi hari ini? Belum melihat gosip yang baru saja muncul pagi ini? Gosip yang akan lebih baik jika Shilla tidak mengetahuinya. Ia menggeleng cepat sambil mengeluarkan kekehannya berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Mencairkan suasana. Mengalihkan fokus ucapan Shilla. Tapi, sepertinya gagal total. Shilla memandangnya lurus, datar dan dingin. Suara merdu anaknya itu seolah berganti dengan suara-suara pengiring drama horor yang membuat merinding.

“Be-ri-ta a-pa, Ma?” ujar Shilla penuh penekanan.

***

Tak seperti biasanya, suasana meja makan pagi ini banyak diisi oleh keheningan. Sangat tidak nyaman untuk Via yang tidak pelit ngomong. Bukan berarti ia ingin terus-terusan bicara. Hanya saja, pagi ini ia merasa ada yang aneh. Via memandangi wajah mamanya yang terlihat pucat. Ada lingkaran hitam dibawah matanya dan kantung matanya juga agak bengkak. Sedaritadi Fira hanya menunduk dan menyantap makanannya tanpa menegur Via. Apa makanannya seenak itu sampai-sampai mengabaikannya seperti ini? pikirnya.

Tangan Via bergerak menyentuh dahi mamanya. Mamanya tersentak dan seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjang. Ia terkejut melihat wajah anaknya sudah berada sangat dekat dengan wajahnya apalagi dengan tangan yang menempel di dahinya. Mata Via seketika melotot merasakan hawa hangat yang menjalar di punggung tangannya. Fira demam. Pantas saja wajahnya terlihat pucat dan lesu.

Fira segera menyingkirkan tangan anaknya itu dari dahinya dan memberikan senyum terbaiknya pada Via. Ia sudah tahu apa yang ada dalam benak anak semata-wayangnya *gimanasihtulisannya?* itu. “Mama cuma kurang minum,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang muncul dalam kepala Via. Via masih menatapnya khawatir dan tidak percaya pada ucapan mamanya. “Mama gausah kerja ya hari ini? Mama istirahat aja di rumah, kalo perlu Via gak sekolah buat jagain mama. Atau Mama kerumah sakit aja biar sekalian diperiksa? Ya ma?”

Fira tersenyum hangat menyaksikan kekhawatiran Via padanya. Kalau tidak ia tahan, mungkin ia sudah menangis sekarang. Hanya Via. Hanya Via yang menjadi penguatnya saat ini. Ya, hanya Via. Tidak ada lagi yang lain. Tidak ada. “Mama gak papa, kok! Nanti mama minum obat biar panasnya ilang, deh.” Katanya seraya tersenyum menenangkan Via. Via menghela nafas berat. masih ada perasaan cemas yang terlihat di wajahnya. “Mama beneran gak papa, kan? Mama..lagi gak ada masalah, kan?” Entahlah, awalnya ia hanya berniat memastikan Mamanya baik-baik saja. Tapi, pertanyaan terakhir meluncur begitu saja dari mulutnya. Tanpa ada maksud apapun atau bahkan curiga Mamanya sedang ada masalah.

Fira tercenung dan diam sesaat. Sejurus kemudian ia mengulas senyum menjawab pertanyaan Via dengan rupa ia baik-baik saja. Dalam hati, ia tersenyum lirih menatap anaknya. Mengetahui dirinya sakit seperti ini saja, Via sudah panik setengah mati. Apalagi kalau dia tahu...kalau Via tahu...Ah! Via gak seharusnya tau. Via gak boleh tau. Dadanya seperti dihujam seribu anak panah memikirkan anak gadisnya itu.

***

Cakka berjalan menyusuri koridor dengan semangat membara. Hari ini misinya harus terlaksana dengan baik. Ia akan menemui Agni. Meluruskan hubungannya yang sedang berliku dengan gadis itu. Semua kesalahpahaman terjadi karena ulahnya dan hanya dirinyalah yang bisa mengembalikan semua itu seperti semula. Dan ia juga sudah tidak sabar bercengkrama kembali dengan sahabat kecilnya. Sahabat tersayangnya. Orang yang selama ini ia cari-cari dan sempat ia lupakan meski sebenarnya ia lupa juga karena orang itu sendiri. Agni. Atau lebih tepat, Nia.

Entah kebetulan atau Tuhan mendengar doanya pagi ini, gadis yang ingin ditemuinya itu sedang berjalan beberapa meter di depannya. Cakka mempercepat langkahnya hingga berada tepat di belakang gadis itu. Ia diam sebentar mengatur nafas sebelum menyapa Agni. Tangannya sudah bergerak hampir menyentuh pundak Agni namun lekas ia urungkan. Ia menggaruk-garuk kepala belakangnya dengan wajah ragu. Tangannya bergerak lagi menyentuh pundak Agni namun ia tarik kembali. Ia lalu memijat-mijat keningnya memikirkan cara yang lebih baik dan lebih efisien untuk mengaja Agni bicara. Sudah seperti ingin mengajak presiden berbicara saja sulitnya.

Cakka lalu nekat berjalan mendahuli Agni dan menghalau langkah gadis itu dari depan. Agni yang sedari tadi tak menyadari Cakka di belakangnya dan kini berdiri di depannya otomatis kaget serta terpaksa berhenti sebentar. Ia mendongak menatap Cakka datar. Sebenarnya ia senang karena bertemu Cakka pagi ini. akan tetapi mengingat riwayat pembicaraan mereka kemarin-kemarin langsung menyurutkan perasaan berbunga dalam hatinya. Ia berpikiran Cakka akan melabraknya kembali. Sontak ia dibuat berpikir. Kira-kira, apalagi ya kesalahannya di mata pemuda ini?

“Bisa ngomong bentar?” tembak Cakka langsung. Ada rona berharap di wajah Cakka. Sebelah alis Agni naik sempurna. “Gue rasa pembicaraan kita kemaren udah cukup jelas. Lo juga bukannya gak mau berurusan sama gue lagi kan?” elak Agni. Ia langsung mengambil langkah di sebelah Cakka dan meninggalkan pemuda itu yang terlihat bergeming setelah kepergiannya. Agni berusaha tidak peduli meski hati kecilnya menyuruhnya untuk lebih lama di dekat Cakka. ia harus melatih diri mengubur rasa penasarannya pada pemuda itu. sudah tidak ada harapan karena semuanya sudah sangat jelas. Aga ya Aga. Cakka ya Cakka. Tidak ada teori Cakka adalah Aga.

“Nia!” Suara Cakka kali ini menggigit dada Agni. Ada rasa nyeri, kaget dan senang yang kompak menyerangnya. Apa tadi? Nia? Hhhh! Ini pasti karena gue udah terlalu berharap kalo Cakka itu Aga. Astaga! Agni merutuki dirinya dalam hati. Ia melangkah lebar-lebar sambil memukul-mukul kepalanya pelan. Berharap pukulannya bisa juga membuang Cakka dari kepalanya. Sementara di belakang, Cakka menatap lesu punggung Agni yang kian menjauh. Menarik Agni kembali ke sekitarnya sepertinya tidak mudah. Ia harus banyak-banyak bersabar.

“Gue mesti usaha keras kayaknya,”

***

Ify dan Rio keluar dari rumah bersamaan. Sejak berjalan dari meja makan hingga sampai di depan pintu, keduanya saling bungkam. Tidak saling bicara. Tidak ada yang mau buka suara. Baru pertama kali Rio merasakan tidak nyaman untuk mengunci mulut ketika bersama Ify. Sampai di depan pintu, Ify bahkan tak menolehnya. Ify hampir saja berjalan berbeda arah jika ia tidak segera menahan gadis itu.

“Lo gak bareng gue?” tanyanya sekaligus menawarkan. Ify berhenti dan menoleh singkat lalu menggeleng pelan. Membayangkan akan berada satu mobil dengan Rio dan Dea sudah cukup membuatnya merasa mencekik leher sendiri. Bukan Dea yang ia permasalahkan, tapi kekhawatiran Ify jika gadis itu akan kembali bercerita tentang kakaknya. Gadis yang digila-gilai seorang Mario. Siapalah itu namanya, tolong jangan disebut!

Ify mengambil ancang-ancang untuk berjalan lagi tapi kemudian Rio menahan pergelangannya dan terpaksa membuatnya mengurungkan niat berjalan. Ia menoleh malas pada pemuda itu. “Lo mau kemana?” Pertanyaan bodoh macam apa itu? Apa mesti ia jawab? Gerutu Ify seketika. Tentu saja saat ini Ify hendak menuju sekolah. Lantas, selain ke sekolah, dirinya mau kemana lagi? Ke hati Mario? Kehati lo?!

Ify hanya balas mengernyit tanpa berniat menjawab. Ia memalingkan wajah dan mulai melangkah lagi. Namun, kembali, Rio menarik pergelangannya dan kali ini lebih keras hingga erangan tak ayal muncul dari mulutnya. “Lo bikin gue frustasi, Ify.” Desis Rio pelan namun tajam. Ify sampai susah menelan ludahnya sendiri hanya karena mendengar ucapan Rio. Karisma dingin Rio emang gak pernah berubah! Pikirnya takjub. Ia mengedipkan matanya cepat beberapa kali ketika menatap pemuda di depannya itu.

Rio lalu menghela nafas. “Lo marah atau gimana, sih? Gue buat salah apa? Kenapa lo menghindar dari gue? Sejak di kamar sampe sekarang, malah sejak tadi malem.” Nada suara Rio perlahan melunak namun agak kesal juga karena Ify terus-terusan menghindari waktu kebersamaan mereka berdua. Kebersamaan dalam arti berbeda.

“Kenapa lo mesti pusing-pusing mikirin sikap gue?” tanya Ify balik. Rio mendengus karenanya. Ify membalas dengusan itu dengan tatapan datar sedatar yang ia bisa. Ify bisa menebak dirinya akan menjadi aktor paling hebat hari ini. Asal tahu saja, dadanya sudah bergemuruh tak wajar sekarang. Dan ia bisa menyembunyikan efek gemuruh dadanya itu cukup dengan santai memasang wajah datar pada Rio tanpa harus bersusah payah melakukan hal lain. Ia akan dihadiahi piala citra karena aktingnya pagi ini.

“Gue bahkan gak bisa tidur karena lo, Ify.” ujar Rio lagi-lagi tajam. Ada perasaan berbunga muncul dalam hati Ify. Sebegitu besarnya kah pengaruh dirinya pada pemuda itu? Batinnya antusias. Tapi, kemudian bahagianya lenyap. Mendengar Rio menyebut kata ‘semalem’ ‘tidur’, membuatnya kembali memasukkan Dea dalam pikirannya. Astaga, setelah kakaknya, ia juga merasakan rasa tidak suka pada adiknya? Ify mendengus dalam hati. Kenapa ia bisa sejahat sekarang? Membenci orang tanpa alasan. Bahkan Dea dan Acha jauh dari kriteria untuk bisa dibenci. Itu benar-benar bukan dirinya. “Berapa kali harus gue bilang sama lo kalo gue gak marah sama lo.” Balas Ify yang ikut-ikutan kesal. Ia segera memalingkan wajah dari Rio. Semuanya karena pemuda itu!

Ify hendak melanjutkan melangkah namun lagi-lagi tangannya ditarik Rio dan membuatnya tetap di tempat. Lama-lama Ify merasakan pergelangannya panas dan nyeri karena Rio menariknya dengan sekuat tenaga. Bahkan Rio menyeretkan hingga ke dekat mobilnya. Ify meronta meminta tangannya dilepaskan. Rio tak cuma menggenggam, tapi mencengkram tangannya hingga kuku-kukunya dirasa menusuk daerah nadi tangannya itu. Ia takut akan terjadi luka disana. “Yo—le—lepas! Sakit!” Ify meronta lagi tepat setelah sampai di mobil Rio. Rio seperti baru saja kemasukan sesuatu yang membuatnya secara tak sengaja menyakiti Ify melalui genggamannya. Ia melepas pegangannya tak enak hati dan sedikit merasa bersalah.

“So-sorry,” Ify tak mengindahkan Rio lagi. Ia hanya peduli pada tangannya yang untung saja hanya sedikit memerah, tidak sampai luka. “Kalo lo gak marah atau menghindar, kenapa lo gak mau berangkat bareng gue?” tanya Rio tak sabaran. Ify menatap heran sekaligus tak percaya. Bagaimana mungkin pemuda itu mendesaknya ketika baru saja meminta maaf padanya? Bahkan ia belum mengangguk ataupun menunjukkan sikap kalau ia sudah memaafkan pemuda itu.

Perasaan Ify kini campur aduk antara senang dan jengkel. Apa harus ia menjawab jujur? Apa Rio akan baik-baik saja padanya? Em—atau mungkin lebih tepat, apa ia akan baik-baik saja menghadapi Rio setelah ini? Entahlah! Batinnya meracau. “Lo kan mesti jemput Dea..” lirih Ify akhirnya. Sejujurnya ia tak ingin jujur mengatakan ini pada Rio. Tapi ia juga tidak mau ambil resiko dengan berada satu mobil dengan pemuda itu dan tentu saja Dea. Matanya berusaha menatap Rio sebiasa mungkin. Rio tidak perlu tahu ketidaksukaannya akan gadis itu. Ah, bukan gadis itu, tapi hubungan gadis itu dengan Rio yang selalu menyangkut-pautkan gadis lain di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan.. Oke, Acha.

Rio mengerutkan kening lalu membelalakkan mata. Jadi..jadi Ify? Jadi Ify..

“Lo cemburu sama Dea? Lo bener-bener cemburu??” katanya tak menyangka. Jadi dari semalam hingga sekarang, gadis itu bersikap dingin hanya karena Dea? *asikRiopeka(?)*

Ify bergeming menatap Rio penuh arti. Dadanya langsung digumpali rasa sesak. Matanya tiba-tiba saja memanas dan ia harus menahan mati-matian menahan agar tidak menangis di depan Rio, setidaknya saat ini. Halah, kenapa mendadak serius gini, sih?! Dumelnya dalam hati. Tapi, kapan sih memang ia tidak pernah cemburu? Perasaan gue selalu cemburu deh dan lo tau itu. Bukannya gue selalu ketauan sama lo? Atau, lo pura-pura gatau? Batin Ify meracau lagi.

“Apa...” Ify diam sejenak menggantungkan kalimatnya. Rasanya lidahnya kaku sekali hendak mengutarakan kelanjutan kata-katanya yang satu ini. Ia menarik nafas dan mengeluarkannya pelan. Menarik nafas lagi dikeluarkan lagi. Setelah dirasa cukup tenang, ia mendongak menatap Rio lirih. Selirih nada suaranya. Dan tentu saja hatinya.

“Apa lo bisa jamin Dea gak akan bahas soal Acha?” Rio tersentak masih dalam rasa tidak percaya. Yang satu ini paling mengejutkannya. Disatu sisi, ia makin tidak mengerti alasan perubahan sikap Ify. Karena Dea atau Acha, sih? batinnya berdebat *karenalo!*. Disatu sisi yang lain, ia merasa bersalah pada Ify. Benar juga, kenapa ia tidak sadar kalau Dea pasti akan setiap saat membicarakan Acha? Kenapa ia harus lebih dulu disadarkan kalau gadis mungil di depannya ini akan –sangat- terganggu dengan bahan omongan dari Dea itu? Kalau sudah menyangkut Acha, Ify pasti menjadi pihak yang akan tersakiti. Dan tak ada orang lain yang bisa disalahkan kecuali dirinya.

Ify tersenyum tipis menyembunyikan tawa yang menyeruak dalam hatinya. Tawa untuk dirinya sendiri. Untuk kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya ia menjadi mellow seperti ini. Terbawa gejolak emosi seperti ini. Ckckck..

“Gue gak siap lagi denger lo berdua ngomongin Acha, cinta mati lo..” Perlahan genggaman Rio melonggar dan memberi kesempatan Ify untuk melepaskan diri. Dengan segera ia memalingkan wajahnya dari Rio dan berjalan cepat menuju mobilnya. Ia mendapat kemudahan karena Rio tak kembali menarik tangannya demi menahan kepergiannya.

Sepanjang langkahnya, Ify terus-terusan mengulang dua kata yang tadi ia ucapkan untuk Rio. Cinta mati. Cinta mati? Cinta mati! Bagus banget, Fy! Lo udah nyadarin Rio tentang satu hal. Membuat Rio mulai memikirkan kalau Acha itu cinta mati dia dan secara otomatis ngebuat lo bakal mental jauh dari pikirannya. Bagus! Lo baru aja ngelepas orang yang udah mati-matian lo pertahanin, yang udah ngasih lo kesempatan meraih hatinya, cuma dengan sekali hembusan nafas. Bagus! Awan gelap bakal mengiringi awal nasib suram lo karena ini. Karena kebodohan lo sendiri. Lo emang bener-bener bodoh. Bagus banget, Ify!! Dan apa tadi? Cinta mati? Haha, mati aja lo sekarang!

Drrt...drrt..

Ponsel Ify bergetar berulang-ulang. Getaram itu sedikit menyelamatkannya dari makian hati kecilnya. Membuatnya sedikit berpaling dari masalahnya dengan Rio dan ‘kawan-kawan’. “IFYY!! LO DIMANA? CEPETAN KE SEKOLAH SEBELUM SHILLA NYAMPE!!” Ify langsung menjauhnya ponselnya yang baru saja ia tempelkan ke telinga itu. Suara cempreng Via langsung menggigit gendang telinganya. Ia merasa perlu memeriksakan telinganya nanti. Ia perlahan kembali mendekatkan ponselnya tersebut. “Ini gue udah mau kesana, Via! Dan plis deh jangan teriak-teriak!” Ia langsung memutus panggilan sebelum suara cempreng Via kembali menggerogoti gendang telinganya.

Ify memasukkan ponselnya cepat lalu segera masuk ke mobil. Lupakan soal Rio, ada masalah yang lebih genting!

***

Alvin sialan! Alvin sialan! Alvin sialan!

Shilla berjalan memasuki area sekolahnya, menyusuri koridor dengan muka masam dan garang. Rasanya banyak sekali asap-asap yang keluar dari setiap lubang di wajahnya. Kakinya menghentak-hentak keras ke lantai sekaligus menjadi backsound langkahnya menuju kelas serta caci maki untuk Alvin yang senantiasa ia dendangkan dalam hati. Sejenak ide untuk menghubungi Alvin terlintas di pikirannya. Ia berhenti sebentar dan mulai mendial nomor Alvin sekaligus menempelkan ponselnya ke telinga.

“Halo, kenapa Cantik?” Suara merdu Alvin terdengar di seberang sana. Namun, khusus pagi ini, suara tersebut terdengar tidak ada merdu-merdunya sama sekali. Lebih kepada bunyi kaset rusak ataupun suara kodok di malam hari. Iya, wajar, dia emang kodok! Umpat Shilla.

“Apa? Kenapa?” Shilla rasanya ingin tertawa keras mendapat pertanyaan Alvin seperti itu. Masih tanya kenapa? Setelah berhari-hari ngilang, masih juga nanya kenapa? Batinnya bertanya heran dan tak sabaran.

“Ya?” sahut Alvin yang kedengarannya agak bingung. Shilla setengah tersenyum sementara dalam hati menertawai dirinya sendiri yang masih saja merindukan pemuda yang berstatus kekasihnya itu. Bahkan ada sedikit rasa senang dalam hatinya karena bisa mendengar lagi suara Alvin, kekasihnya, yang baru saja ia katakan seperti suara kodok. Sedangkan Alvin sangat berkemungkinan besar tidak merindukannya balik atau bahkan baru teringat dirinya ketika ia menghubungi pemuda itu pagi ini. Sialan!

“Gak, gak papa, kok,” Shilla berujar bohong seraya tersenyum makin lebar. Bukan senyum bahagia, senyum akan perasaannya yang campur aduk, antara miris, kesal, sinis bahkan lelah. “Kabar gue baik, yaah ngasih tau doang, siapa tau lo pengen nanya,” ujar Shilla lagi. Alvin tak terdengar menyahut. Sepertinya pemuda itu masih tidak mengerti arah pembicaraan Shilla. Pura-pura gak ngerti kali! Pikiran buruk dalam hati Shilla tiba-tiba menyahut. Sepertinya makhluk tersebut sedang beramai-ramai menyergap relung hati dan pikiran Shilla. Tidak menyisakan tempat untuk aura positif semilipun.

“Lo—ngomong apa sih, Cantik?” Alvin memberanikan diri bertanya dari seberang sana. Suaranya pelan sekali demi menjaga agar Shilla tidak tersinggung. Sejenak keduanya diam. Shilla cukup lama bungkam dan tidak menjawab pertanyaan Alvin padanya. Sementara Alvin diam menunggu sampai Shilla mau menjawab. Shilla menutup matanya meredam emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Mendinginkan kepalanya sekaligus memberi rongga udara dalam hatinya yang kini terasa sesak.

“Posisi gue udah keganti ya..” Kali ini, nada lirih tersangkut dalam suara parau Shilla. Ia masih menutup mata. Kalimat yang baru saja ia ucapkan berpengaruh besar pada gejolak dalam dadanya. Memikirkan Alvin yang sudah mulai melupakannya dan mengalihkan seluruh perhatiannya pada gadis lain. Sensasinya seperti banyak sekali mata pisau tajam menusuk-nusuk jantungnya. Sakit beribu-ribu sakit. Beruntung ia masih bisa mengendalikan seluruh organ-organ tubuhnya sehingga ia tidak harus bercucuran air mata atau bahkan pingsan saat ini. Hanya saja, memang, kekesalannya tidak dapat ditutupi walau dengan bagaimanapun juga, sekeras apapun dirinya mencoba.

“Tunggu, tunggu! Sebenernya lo mau ngomong apa? Gue, sumpah, gak ngerti sama sekali. Cantik, lo kenapa sih?” tanya Alvin kembali yang mulai memasuki tahap awal frustasi. Shilla mendengus tertahan ketika Alvin menyebut panggilan kesayangan untuknya itu. Apa lo manggil Cantik juga ke Febby? Batinnya bertanya sembunyi-sembunyi.

“Gue boleh minta sesuatu sama lo?” Shilla balik bertanya. Dan sudah dipastikan kening Alvin akan berkerut-kerut, berlipat-lipat, melekuk-lekuk karena makin tidak mengerti maksud Shilla. Ia lantas bergeming. Setidaknya, dirinya menjawab iya dalam diam. Karena pepatah bilang diam artinya iya. Rupa Shilla kembali menampakkan kekesalan.

“BESOK-BESOK KALO NGASIH KABAR JANGAN YANG BIKIN GUE SERANGAN JANTUNG!”

Klik!

Shilla langsung memutus sambungan secara sepihak. Tak peduli dengan Alvin yang tampak tercengang di seberang sana. Dada Shilla naik-turun setelah memekik emosi mengatakan permintaannya tadi. Atau mungkin lebih tepat jika itu adalah sebuah peringatan ‘keras’ untuk Alvin. Ia meremas ponselnya dan kemudian melanjutkan berjalan. Masih dengan menghentak-hentakkan kaki. Ungkapan kekesalannya lebih terasa kali ini. Orang-orang di sekitarnya bahkan sampai menepi seperti memberi jalan khusus untuk Shilla lewat.

BRAKK!!

Pintu kelas Ify, Via, Agni serta teman-teman mereka yang lain dibuka kasar oleh seorang gadis yang juga salah satu penghuni kelas mereka. Salah satu sahabat mereka. Shilla. “Gue tebak Alvin struk sekarang,” gumam Agni sembari menghela nafas pasrah. “Kalo kata gue, Alvin dimutilasi,” timpal Via yang tampak menutupi mukanya sementara Ify mempersiapkan sebuah kipas di tangan tanpa berkomentar apapun. Melihat Shilla mengamuk seperti itu sudah cukup membekukan urat-urat lidahnya hingga tak sanggup menciptakan suara.

Shilla berjalan menuju mejanya di samping Agni. Agni merapikan kursi di sebelahnya dan menepuk-nepuk dudukan kursi tersebut. Seolah ada banyak debu yang bergumul disana. Seisi kelas memperhatikan benar kemana arah langkah Shilla. Shilla membanting tas nya ke meja dan seketika itu mata-mata yang memperhatikannya dengan segera beralih sebelum mendapat serangan macan yang menjadi pertunjukan dalam kelas mereka itu. Shilla tak luput membanting tubuhnya ketika duduk. Hari ini apapun yang ada di dekatnya mungkin akan ia banting. Pintu, tas dan sekarang tubuhnya sendiri.

Agni memijat-mijat pundak Shilla seraya berusaha menenangkan gadis itu. Ify mencicit langkah ke samping Shilla dan mulai mengipasi gadis itu. Ia memandang takut, iba sekaligus khawatir pada sahabatnya tersebut. Teman Shilla yang terakhir, yaitu Via langsung menyodorkan tupperware berisi air minum di dalamnya pada Shilla. Shilla seperti ratu mereka hari ini. “Sabar..sabar..” ujar Agni yang langsung disambut delikan oleh Shilla. “Mana bisa gue sabar!” katanya galak. Agni berjengit lalu menghela nafas. “Yaudah gausah sabar..” ujarnya sekenanya. Delikan Shilla kembali datang. Alisnya menukik. “Kenapa lagi?” heran Agni. Ia menggaruk-garuk pelipisnya sendiri bingung.

“Lo ngasih saran yang bener dikit bisa gak?”

“Yaa maap, gue bingung harus ngasih saran apa,”

“Minum dulu, minum!” Kali ini Via. Sedikit lebih baik dari Agni. Shilla meraih tupperware Via tersebut lalu meneguk banyak isinya. Setelah itu, keempat-empatnya saling diam. Tapi hanya Shilla benar-benar diam sementara teman-temannya yang lain sibuk menoleh satu sama lain menanyakan perihal Shilla yang kini diam dalam lekuk-lekukan wajah yang mereka buat. Sesekali mulut mereka berkomat-kamit menyampaikan sesuatu yang tak bisa diisyaratkan melalui lekukan wajah.

Cukup lama diam, kemudian Shilla tiba-tiba berkata lantang. “Kita ke Bandung!” Ify, Via dan Agni sesaat hanya mengangguk-anggukkan kepala. Namun, mereka kemudian sadar sesuatu yang buruk sedang terjadi dan lantas saling menatap panik satu sama lain. “APA?!!”

***

Alvin bengong memandangi ponselnya. Shilla baru saja menelepon dan ada alamat tak baik yang dirasanya setelah gadis itu memutus panggilannya secara sepihak. Apalagi dibarengi dengan salam penutup tak wajar dari kekasihnya itu. Kening Alvin boleh dikatakan tak berbentuk karena ia lekuk-lekukkan kesana kemari selama berbicara dengan Shilla. Banyak hal yang Shilla ucapkan dan hampir tak ada satupun yang ia mengerti apa maksud dan tujuannya. Ia baru saja ingin meminta maaf pada Shilla karena sempat melupakannya beberapa hari ini. Namun, Shilla sudah terlanjur memutus panggilan dan setelah itu mematikan ponselnya ketika hendak dihubungi kembali.

Alvin mengerang dalam hati. Wanita-wanita di sekitarnya saat ini banyak membuatnya sakit kepala. belum selesai Febby, sekarang sudah bertambah Shilla. Sebenarnya, apa yang terjadi pada Shilla? Apa gadis itu marah karena berminggu-minggu tidak mendapat kabar? Tapi, firasatnya mengatakan bukan itu. Apa Shilla marah karena Febby? Tapi, ia kan sudah menjelaskan yang sebenarnya pada Shilla. Meskipun berita terakhir belum sempat ia klarifikasi, tapi kan saat itu yang berbicara –seenaknya menurutnya- adalah Febby tanpa ada dirinya. Atau mungkin Shilla percaya dengan apa yang Febby katakan saat diwawancara itu?

“Ah! Gak mungkin! Gue kenal Shilla. Dia gak mungkin dengan gamblang percaya yang kayak gitu,” Alvin bergumam sendiri. Ia menyentuh ujung dagunya dan mengelusnya pelan dengan telunjuk sambil memikirkan alasan kuat apalagi yang menyebabkan kemarahan Shilla.

Cklek!

“ALVIN!” Sosok Febby muncul dengan nafas terengah-engah dari balik pintu. Membuka secara kasar, menutup pun begitu. Alvin terlonjak kaget dan tak sengaja kakinya yang masih luka terhentak ke kasur. Tak begitu keras karena yang ia hentak berpondasikan bahan empuk. Tapi, cukup juga lah membuatnya meringis kesakitan. “LO!” desis Alvin geram. Baru saja menjadi penyebab pertengkarannya dengan Shilla, sekarang malah membuat kakinya sakit. Adakah yang lebih kurang ajar dari itu?

Alvin tak terlalu ambil pusing dengan tingkah Febby. Lama-lama, ia jadi terbiasa dibuat kesal oleh gadis itu. Mungkin karena otaknya sedang tidak sehat akhir-akhir ini. Entahlah, sekali lagi ia tidak ingin ambil pusing. Febby sendiri hanya menyengir bangga seraya menampakkan barisan giginya yang rapi. Ia berjalan pincang memasuki kamar Alvin dan menaruh tasnya di sofa. Namun, kemudian, air mukanya langsung berubah panik. “Lo-lo u-udah nonton t-tv gak?”

Alvin meliriknya sekilas lalu beralih mencari remote tv. “Baru mau nonton,” balasnya tanpa menoleh. Mata Febby langsung membulat besar.

“JANGAN!” Febby melompat dari sofa ke depan tv. Tangannya terbentang menutupi pandangan Alvin. Alvin mengernyit bingung. “Kenapa?” Febby menggigit bibir bawahnya memikirkan alasan yang pas untuk ia katakan pada Alvin. “Em—lo..aiss lo cari kerjaan lain gitu asal jangan nonton tv,” Alvin diam memandangi Febby. Mencurigakan. Pikirnya. “Kenapa?” tanyanya mengintimidasi sambil menyipitkan mata sipitnya (?).

“Eng—enggaaak gak ada apa-apa!” sahut Febby cepat. Nafasnya kembali terengah-engah. Jangan..jangan sampe Alvin liat. Batinnya berujar. Mendengar itu, bukannya menurut, Alvin justru makin curiga. “Minggir!” perintah Alvin kemudian. Febby masih keukeuh berdiri menghadang di depan tv. Alvin mendeliknya tajam dan sanggup membuat bulu kuduknya berdiri tegak. “Vin—sumpah, k-kali ini bu—bukan ulah gue! S-sumpah!” ujar Febby sungguh-sungguh seraya mengacungkan dua jemarinya sejajar dengan kepala.

Alvin bergeming dan hanya balas mendelik memberi tanda agar Febby segera menyingkir. Pada akhirnya, Febby mau tak mau bergeser ke samping dan membuat Alvin leluasa menonton tv.

Klik!

Febby terlonjak kala tv sudah menyala. Ia terus berdoa dalam hati semoga Alvin tidak melihat apa yang seharusnya tidak pemuda itu lihat. Jantungnya berdetak cepat seiring gerakan lincah ibu jari Alvin menukar-nukar channel. Dan kali ini adalah channel terakhir tapi Alvin belum menemukan apapun yang aneh. Ia mengerutkan keningnya menatap Febby. “Lo nyembunyiin apaan sih?” tanya Alvin seraya garuk-garuk kepala. Febby bungkam. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Alvin memandangi Febby lamat-lamat sementara Febby memalingkan wajahnya dari pemuda itu. alhasil, ruangan yang mereka tempati mendadak hening dan hanya diisi oleh suara presenter acara gosip yang kebetulan baru saja mulai.

Gosip?!! Wajah Febby seketika memucat ditambah dengan kulitnya yang sudah putih pucat. Suara sang presenter gosip tersebut seperti menjadi malaikat maut baginya untuk saat ini. Tak butuh waktu lama, wajah Alvin kini sudah berubah tegang. Matanya menyala bergantian memandang tv dan gadis yang mematung di sebelah benda tersebut.

Lagi-lagi tentang Alvin. Pemuda tampan yang satu ini kembali membuat ramai pemberitaan. Setelah sang gadis sempat berbicara di depan kamera mengenai kabar kedekatan mereka, kini Alvin yang seolah mempertegas isyarat-isyarat yang disampaikan Febby itu sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengepul di kepala semua masyarakat yang menaruh perhatian pada mereka. Beberapa hari lalu, Alvin tertangkap kamera sedang duduk di mushalla rumah sakit tempatnya di rawat. Febby sedang beribadah kala itu. Dengan setia Alvin menunggu hingga Febby selesai. Tak sampai disitu saja, di dalam kamar, Febby membalas kebaikan Alvin yang menungguinya dengan mengolesi salap ke kaki Alvin. Tak mau kalah, Alvin kemudian membalas dengan meniupi mata Febby yang kebetulan bermasalah. Entah kelilipan atau karena yang lain. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita lihat tayangan video berikut ini!

Beberapa video kemudian menghiasi pandangan mata Alvin. Matanya tak lepas dari televisi yang ditontonnya. Setelah video tersebut selesai, Alvin mengarahkan mata garangnya pada Febby menuntut pertanggungjawaban. Ia yakin, pasti ini ulah gadis itu kembali. Ia tidak akan salah. Ini pasti ulah gadis itu. Sementara Febby hanya mengusap peluhnya sedaritadi. Ia sudah tidak berani menatap Alvin. Namun, mata Alvin terus-menerus menuntutnya untuk membalas. Mau tak mau ia menoleh meskipun takut-takut. Ia menelan ludahnya getir.

“Bukan gue v-vin..” katanya lirih, nyaris tak bersuara. Alvin mengerang kesal dan sepertinya tidak serta merta percaya akan apa yang ia ucapkan. Sedikitpun tidak.

“FE-BBY!”

***

“Bandung?” gumam Gabriel. *Alvinduludibandungataudibogoryak?.-.* Telunjuknya bergerak pelan mengelus-ngelus dagunya sambil memperhatikan 4 gadis utama di sekitarnya. Ditambah dengan orang-orang sampingan yang secara kebetulan dikumpulkan di sini. Di mejanya. Di meja yang sama dengan Ify, Agni, Via dan Shilla, si 4 gadis utama tersebut. Orang-orang sampingan tadi tak lain adalah teman-teman Gabriel seperti Rio dan Cakka. Hanya saja, ada 2 tambahan lain, yaitu Dea dan Debo. Dea duduk di sebelah Rio sementara Debo duduk di sebelah Ify.

Ify merutuki dalam-dalam posisinya. Kenapa mereka harus duduk di depan gue, sih? Kenapa gak di samping gue aja? Biar tiap gue ngangkat kepala bukan mereka yang gue liat. Isss! Sementara Rio terus-terusan menatap Ify. Menyuruh Ify membalasnya lewat tatapan matanya. Ia ingin menuntut penjelasan akan kejadian tadi pagi ketika di koridor. Ketika Ify begitu saja meninggalkannya demi seorang Debo. Bayangkan, seorang Mario dikalahkan oleh seorang Debo? Tidak mungkin! Tidak masuk akal! Terutama bagi Rio.

“Kalo Via ikut, gue ikut!” gumam Gabriel kembali dan langsung mendapat delikan maut dari gadis di sebelahnya. Via. “Heeeh! Gak ada yang ngajak lo!” sewot Via tak terima. “Bodo!” balas Gabriel santai tak mengindahkan gadis di sebelahnya yang sudah bertingkah seperti akan memakannya hidup-hidup. “Ah! Cakka sama Rio ikut juga!” kata Gabriel kembali seenaknya hingga delikan mata untuknya bertambah 2 pasang. Siapa lagi kalau bukan Cakka dan Rio. Keduanya serentak memandang ke arahnya ketika nama dari masing-masing mereka disebut.

Sementara itu, 2 gadis lain langsung menegut ludah mendengar apa yang Gabriel ucapkan barusan. Keduanya spontan saling memandang satu sama lain lalu menggeleng samar. Apalagi ketika Shilla menyahut antusias mengenai ide kurang ajar Gabriel itu. “Nah! Alvin pasti seneng kalo gue bawa lo bertiga!” tambah Shilla dengan mata berbinar.

“Em—aku b-boleh ikut gak, Kak?” Dan ketika suara ini muncul, semua pandangan, delikan atau apapun itu yang berhubungan dengan kinerja mata langsung teralihkan pada gadis berambut pendek yang satu ini. Kecuali satu. Ah tidak, dua. Ah tiga deh. Ify, Rio dan Debo.

Mati gue. Batin Ify. Matanya yang tak sengaja menatap Rio langsung ia alihkan. Cukup Rio. Kenapa sekarang bertambah Dea? Kalau begini, lebih baik ia tidak turut serta dalam rencana Shilla. Tapi, kalau ia menolak, Shilla pasti kecewa berat. Gadis itu paling tidak bisa bersenang-senang tanpa bersama dengan sahabat-sahabatnya secara lengkap. Rencana Shilla bisa batal. Dan ia tidak mau menjadi penyebab kelanjutan kemurungan sahabatnya itu. Tapi.. tapi.. aisss!

“Kak Debo juga ikut aja, biar ada yang nemenin KakFy!” Ingin sekali Ify mensteples bibir mungil Dea agar tidak mengusulkan yang macam-macam. Apalagi sekarang? Debo? Menemaninya? Lalu, maksudnya, ia tidak punya seseorang yang bisa menemani? Dan, maksudnya lagi, dia yang akan menemani Rio, gitu? Lama-lama Dea emm—ngeselin ya..

“Gak masalah, sih..” ujar Shilla meski masih terlihat menimang-nimang. Ia khawatir pada Ify. Apa Ify tidak akan masalah jika Dea ikut? Dea kan nempel mulu sama Rio.

“Gak masalah kan, KakFy?” tembak Dea langsung pada Ify. Air mukanya tampak memohon pada Ify. Ify berjengit kaget ketika Dea menyasarnya. “Kok gue..” katanya berbicara sendiri. Ia tersenyum canggung pada semua yang menatapnya. Kalau begini, mana bisa ia tolak, kan? Pikir Ify.

“Sama sekali enggak kok, De. Rio juga bakalan seneng kalo kamu ikut,” Ify tersenyum getir. Semaksimal mungkin diupayakannya agar tak bertemu pandang lagi dengan Rio.

‘Rio juga bakalan seneng kalo kamu ikut’

Secara spontan, kata-kata tersebut tercetus dari mulutnya. Ia juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba memasukkan nama Rio dalam kalimatnya. Mungkin sebagai pelampiasan kekesalannya pada gadis yang selalu menempel pada pemuda itu.

Rio sendiri mengernyit ke arah Ify. Ketika tahu Ify menyangkut-pautkan dirinya, ia tak ayal tak bisa mengalihkan diri dari gadis itu. Tingkahnya makin menit makin aneh. Ia jadi makin tidak mengerti jalan pikiran Ify. Pikiran saja tidak, apalagi soal perasaan. Soal hati.

***

Bi Sum berdiri memandang khawatir wanita paruh baya di hadapannya, yang kini sedang mengemasi baju ke dalam koper. Wajahnya pucat dan ia tahu badan wanita itu agak hangat. Sedari tadi ia berdiri memegang nampan berisi segelas air minum dan obat untuk wanita itu. Ia terus menerus membujuk agar wanita itu mau meminum obat yang dibawanya. Tapi, wanita tersebut tetap keras kepala dan selalu menolak. Selalu beralasan kalau badannya panas karena cuaca, bukan karena kondisi tubuhnya melemah.

Bi Sum pun sama keras kepalanya dengan wanita itu. Ia tetap setia menunggu di depan pintu kamar sampai majikannya mau menghampiri dan meminum obat di tangannya. Tapi, tiba-tiba wanita tersebut kehilangan keseimbangan ketika hendak berdiri menggapai lemari. Badannya terhuyung hingga ia terduduk di lantai. Bi Sum lekas menaruh nampannya di meja terdekat dan berhambur menghampiri sang majikan. Kekhawatirannya makin besar ketika wanita tadi muntah-muntah. Ia juga dapat menebak wanita tersebut sudah tidak sanggup untuk berjalan apalagi berdiri.

“Ibu, mohon maaf kalo saya lancang, tapi ibu lebih baik dibawa ke rumah sakit. Jangan menolak ya, Bu,” ujar Sang Bibi dan langsung mendapat anggukan pasrah dari majikannya yang jatuh terduduk itu. Bi Sum segera berlari keluar kamar mencari Mas Doyo, supir pribadi majikannya untuk membantunya memapah Fira, majikannya itu. setelah itu, ia mencari telepon rumahnya untuk menghubungi seseorang yang harus ia kabari.

***

Drrrt...drrrt...drrrt...

Via menatap lekat papan tulis di depannya tanpa menghiraukan ponsel dalam tasnya yang terus saja bergetar. Gabriel yang duduk di sebelah bangkunya memandangnya bingung. “I-phone lo geter-geter tuh, berisik banget!” dumelnya. Telinganya sudah cukup risih dengan suara yang ditimbulkan ponsel Via. Via tak menoleh dan tetap fokus. “Lo yang berisik!” balasnya. Via masih terlanjur kesal dengan pemuda itu karena kejadian saat istirahat tadi.

Kenapa sih pemuda itu selalu bertingkah seenaknya atas dirinya? Kenapa pemuda itu bertingkah seolah sudah sangat dekat sekali dengan dirinya? Memang, sih, dirinya adalah pacar pura-pura pemuda itu. Tapi, kan, masa tugasnya seharusnya sudah selesai. Toh, pemuda itu sudah putus hubungan dengan Pricilla. Lalu, ada hubungan apalagi? Dan yang tak kalah membuatnya kesal, gara-gara ide gila Gabriel mengajak Rio, Dea jadi ikut-ikutan mengusulkan ide gila. Keikutsertaan gadis itu pasti mengakibatkan yang tidak baik untuk Ify. Seharusnya, rencana Shilla untuk ke Bandung bisa sebagai liburan mereka berempat untuk sejenak melupakan masalah yang mendera masing-masing. Tapi, kalau sekarang, liburan apa yang bisa diharapkan? Yang ada mereka bisa makin stres.

Sementara itu, di ujung sana, Ify duduk dalam gelisah. Badannya menyandar pada kursi sementara tangannya sibuk memelintir seragam. Hatinya tidak tenang. Perasaannya tidak enak. Ia juga tidak tahu kenapa. Apa mungkin ada sesuatu terjadi sama Papa? Batinnya bertanya-tanya. Ia merogoh ponselnya dan langsung mengetik pesan singkat untuk Obiet, dokter yang menangani papanya. Selama menunggu balasan, ia mengetuk-ngetuk ujung ponselnya dengan telunjuk. Matanya terpusat pada layar ponselnya. Ia tidak peduli apa yang sedang dikatakan Bu Okky di depan sana. Ia juga tidak peduli jika Bu Okky akan mengetahui dirinya memainkan ponsel ketika wanita itu menerangkan. Ia tidak peduli jika Bu Okky akan menghukumnya. Ia hanya butuh kepastian keadaan papanya saat ini. ia hanya memikirkan papanya.

“Kenapa?” tanya Rio yang sedari tadi memperhatikan kegelisahan Ify. Ify menatapnya khawatir. Seperti lupa aksi balas dendamnya pada pemuda itu. “Perasaan gue gak enak..” katanya cemas. Rasanya Ify hampir saja menangis. Mengadu pada Rio seperti mengadu pada Ayahnya sendiri. Entahlah, saat ini, Ify ingin sekali mendapat penenangan dari pemuda itu. Ia merasa hanya pemuda itu yang bisa membuatnya tenang.

Sesuai dengan harapannya, Rio menyunggingkan senyum damai di bibirnya untuk Ify. Tangannya meraih sebelah pundak Ify dan meremasnya lembut. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya tapi usahanya sudah sangat berhasil menghapus kepanikan yang melanda Ify. Ify balas tersenyum. Sekalian mengucapkan terimakasih lewat senyumnya itu pada Rio.

“Ify!” Seruan mengerikan itu akhirnya keluar dari bibir merah merona Bu Okky. Ia menatap garang Ify dan juga Rio. Baik Ify maupun Rio sama-sama bergidik takut. Yang paling takut jelas adalah Ify. Karena hanya namanya yang terucap oleh Bu Okky. Apalagi kini ia tengah menggenggam ponsel di tangan. Tambah telak kesalahannya dan Bu Okky tak akan tanggung-tanggung memberikan hukuman. “Kamu! Bukannya mendengarkan saya menerangkan, malah asyik pacaran! Mana main hape lagi! Kamu menantang saya?!” bentak Bu Okky.

Bulu kuduk Ify rasanya tercabut semua. Sekalian dengan nyawanya mungkin. Ia seperti sudah tidak menginjak bumi. Malu bercampur takut serentak menyergapnya. Menatap Bu Okky saja ia tidak berani apalagi sekedar mengatakan ‘tidak’ untuk menjawab pertanyaan gurunya itu padanya. Rio yang sempat menjadi malaikat penenangnya kini tidak bisa banyak membantu. Pemuda itu justru kelihatan sama takutnya seperti dirinya. Hari ini benar-benar hari sial untuk Ify. benar-benar sial!

“Mm—Bu! Saya boleh izin permisi keluar? Ibu saya masuk rumah sakit, jadi saya mesti kesana sekarang,” Suara gadis di seberang sana sedikit mengalihkan perhatian. “Saya juga izin permisi menemani Via, Bu,” Pemuda di sebelah gadis itu menimpali. Ify sontak menoleh ke sumber suara dan menemukan Via dengan wajah panik melebihi dirinya. Ia mengernyit sesaat lalu membelalakkan mata. Tante Fira masuk rumah sakit?! Pekiknya dalam hati. Ia beralih pada Bu Okky. Seketika ia lupa akan semua rasa takut yang menderanya untuk menatap Bu Okky. Keberanian itu tiba-tiba datang sendiri bahkan sampai membuatnya ikut meminta izin menemani Via.

“Kalo gitu saya juga ikut permisi, Bu. Via butuh saya!” ujar Ify nekat. Bu Okky langsung memandang tajam dirinya. “Kamu mau lari dari hukuman?” balas Bu Okky enggan mengizinkan. Ify memutar kedua bola matanya malas. Bu Okky hanya mengulur-ngulur waktu menurutnya. Keadaan sekarang sangat genting. “Ibu, plis, deh! Masa Ibu membiarkan Via berdua sama Gabriel? Harus ada orang ketiga! Lagian, saya memang benar-benar mau menemani Via. Via benar-benar butuh saya!” Ify belum menyerah. Semua teman-temannya menahan nafas sembari menyaksikan adu mulut antara dirinya dan Bu Okky.

“Biar saya yang menggantikan hukuman Ify, Bu.” Suara lembut di sebelah Ify sekarang berbalik menjadi pusat perhatian. Siang ini, kelas Ify sepertinya sedang disuguhi drama menegangkan, mengharukan, mengerikan atau apapun itu yang pas yang pemeran utamanya adalah Ify sendiri. Rio? batin Ify tak percaya. Rio tersenyum sekilas padanya sambil mengedipkan mata sekali lalu menatap Bu Okky. Waktu rasanya berhenti saat itu juga bagi Ify. Kedipan mata Rio berhasil menjeda waktu di sekitarnya. Seperti ada seseorang yang melemparnya ke udara hingga dirinya melayang-layang disana. setitik rasa bahagia membuncah dalam dada Ify.

Namun, itu hanya sebentar karena sahutan menjengkelkan dari Bu Okky merusak segala angan-angan di kepalanya. “Menggantikan? Kamu kan juga kena hukuman saya, Mario!” Ujar Bu Okky lagi. Ia masih tidak rela Ify terlepas dari hukumannya begitu saja. Rio melengos malas. “Yasudah, hukuman saya ditambah hukuman Ify. Beres kan, Bu?” balas Rio enteng. Ify menganga lebar. Ia kembali terjebak dalam penghentian zona waktu di sekitarnya. Ia sulit sekali berpikir saat ini. apa yang akan ia lakukan pun sepertinya sudah lupa.

“Ibu, saya harus buru-buru!” Via kembali berujar. Air mukanya masih saja cemas. Bu Okky kelihatan hilang akal sekarang. Mau tidak mau ia menurut dan mengizinkan Via, Gabriel dan tentu saja Ify meninggalkan kelas serta jam pelajarannya. Suara Via tadi menyadarkan Ify kembali ke dunianya semula. Ketika mendapat izin dari Bu Okky, ia segera beranjak dari kursinya. “Ntar gue jemput!” Ify berhenti sebentar menatap pemuda yang mengatakan akan menjemputnya itu. Rio. Matanya menyembulkan kebingungan. Rio sepertinya sudah lebih dulu mengetahui Ify akan bingung seperti itu.

“Mobil lo udah parkir manis di rumah gue.” Kata Rio kemudian. Kening Ify makin mengerut-ngerut tak mengerti. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih lanjut, Via memanggilnya dan terpaksa mengalihkan fokusnya pada gadis itu. Ia kemudian menghilang bersama Via dan Gabriel.

***
Haloo semuanya apa kabar? ._. Mimin gatau mau ngomong apa nih, udah keseringan ngomong sih ya.-. Yaah semoga semuanya dalam keadaan sehat walafiat sehingga kita semua dapat berkumpul di fbfc tercinta ini *halah*
Tetep doain mimin aja yah *masiih* dan jangan lupa doain diri sendiri *apasih-_-* Byeeee semuanyaaah muah muah muah :*:*
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

10 komentar:

  1. keren............ cepet ya lanjutan nya jangan lama2, penasaran bgt........

    BalasHapus
  2. Akhirnya dilanjut juga. Aaaaaaaaaaa.... Saya suka banget sama penokohannya Rio-Ify, Kak. Kakak hebat banget ya ! Next partnya ditunggu loh Kak. Jangan lama-lama. Saya penasaran banget :3 Saya bakalan do'ain yang terbaik buat Kakak ;)

    BalasHapus
  3. Achanya kapan dateng? Kalau acha dateng gimana dengan ify, makin sakit hati kayaknya dech. Makin seru aja kak gak sabar nunggu lanjutanya hehehe:D

    BalasHapus
  4. Kapan dilanjut ceritanya?? Pokonya keep Alshill

    BalasHapus
  5. kak, kabarnya gimana? jangan lupa lanjutin MMnya ya! ganbatte '-')9

    BalasHapus
  6. kak lanjutannya mana? aku nyari kog gk ktemu?
    aku tunggu lanjutannya ya kak. jangan lama2, gak sbar pingin tau klanjutannya :)

    BalasHapus
  7. maaf baru balas semua -.-v udah di lanjut yaaaa, makasih udah nungguin muah muah:*

    BalasHapus
  8. kak, saya sampe lupa nih cerita sebelumnya -_-

    BalasHapus