-->

Sabtu, 13 Juli 2013

Matchmaking Part 23

TETEP DOAIN MIMIN YAAAAA! MANDIRI UNSRI LAGI LOH MANDIRI UNSRI LAGI!!!!

***

Selepas kepergian Febby, Alvin termangu di atas tempat tidur. Ada apa dengan gadis itu? pertanyaan tersebut berulangkali terucap dalam hatinya namun satu pun tak ada jawaban yang ia temukan. Apa gadis itu murung karenanya? Yaampun! Apa gadis itu mulai menyerah mengejarnya? Benarkah itu?! Dan Alvin pun mendadak bersorak-sorai dalam hati. Kalau memang dugaannya benar, itu adalah sebuah berita bagus. Angin segar di kehidupan suramnya akhir-akhir ini karena ulah gadis itu. Febby.

Hampir setengah jam sudah Febby tak kembali. Alvin yang awalnya tenang dalam kegembiraan yang teramat-sangat sekarang berubah gelisah. Ia mencoba tidur akan tetapi setiap beberapa menit sekali pasti matanya tanpa bisa dilarang membuka dan melirik ke arah pintu mengecek apakah Febby sudah kembali. Terakhir ia menyentak kepalanya ke bantal karena frustasi. Harusnya ia merasa senang karena gadis pengganggu itu tidak ada. Tapi kenapa ia malah merasa kehilangan gadis itu? apa? Kehilangan?! Oh tidak!

Alvin sedikit menegakkan tubuhnya. Ia menjengit pada kedua kakinya yang masih diperban sebelah kiri. Ia menggerak-gerakkan pelangkahnya itu sebentar. Kepalanya bergerak-gerak seperti sedang memikirkan sesuatu. Tanpa tahu apa sebenarnya maksud pemuda ini, Alvin lalu menghela nafas pasrah dan menoleh ke arah pintu untuk yang terakhir kali.

***

Febby duduk menangkup tangan sambil menutup matanya. Ia berdoa begitu khusyuk hingga tak menyadari Alvin sudah satu jam menungguinya di pinggiran pondok tempatnya beribadah. Febby khusyuk berdoa sementara Alvin khusyuk memandangi tingkah laku gadis itu. Ia menghela nafas lagi. Gadis ini pasti sedang bermasalah. Yaaah memang sih, Febby hampir bisa dikatakan tidak pernah tidak bermasalah. Terkusus kepadanya. Tapi kali ini jauh berbeda. Ini pasti masalah serius. Dan Alvin merasakan itu. Seolah ada mulut yang berbicara di balik punggung Febby, mengadukan kesedihan yang tak kunjung usai. Dan Alvin juga merasakan itu.

Dan entah untuk yang keberapa kali, Alvin menghela nafas. Otak gue bener-bener gak waras! Batinnya mendumel. Ia lalu berdiri dan perlahan beranjak dari tempatnya semula. Tak seharusnya ia kemari. Hanya demi menjawab rasa penasaran, ia sampai rela memaksakan kaki berjalan dan mencari dimana keberadaan Febby. Padahal, sebelumnya, dokter sudah berpesan untuk tidak menjalankan kakinya lebih dari 5 langkah setiap hari. Lebih parah lagi, itu semua hanya demi seorang Febby. Dengar itu? Febby! Gadis yang sudah ia pental jauh-jauh namun justru ia sendiri yang mencari bahkan membawanya kembali bersamanya. Ke dekatnya. Gila! Bener-bener gila!

“Alvin?” Suara serak milik Febby kemudian menghentikannya. Alvin menoleh canggung ke arah gadis itu yang kini memasang tampang bingung. Alvin mengelus tengkuknya kaku lalu menyahut singkat. “Ah? H-hei,” Febby masih diam di tempat mencoba memperjelas pemahaman di kepalanya kalau yang di depannya saat ini benar-benar Alvin. Alvin? Alvin? Alvin?! Katanya berulang-ulang dalam hati masih belum percaya.

Febby melangkahkan kakinya lambat-lambat sambil terus menyebutkan nama Alvin di kepalanya. Alvin mendadak gelagapan sendiri. Febby terus menatapnya dan bukan seperti tatapan gadis itu biasanya. Ini beda. Sungguh beda! Ditambah lagi gadis itu lama-lama makin dekat hingga kini entah sejak kapan Febby sudah berdiri tepat di hadapannya.

Tk!

Sebuah jentikan jari di depan kedua matanya menyadarkan atau mungkin mengagetkan Alvin hingga sedikit terlonjak ke belakang. Dan malangnya tidak ia rasakan ada pijakan di belakang kakinya itu hingga akhirnya...
“ALVIN!”
***
Via meneguk ludahnya cepat. Naik motor? Sama Gabriel lagi? Cukup sudah jantungnya dibuat berdebar karena harus pulang dengan naik motor apalagi justru ditambah dengan pemilik motor yang akan ditumpanginya itu. Beberapa orang di sekitar mereka sudah memperhatikan lamat-lamat sedari tadi. Hal itu makin memperparah stres yang melanda Via. Gabriel mendesah singkat. “Lo mau terus-terusan jadi tontonan orang-orang? Cepetan naik!” perintahnya tanpa meminta persetujuan.

Via menggerutu sebal dalam hati. Hari ini sudah kesekian kalinya Gabriel membuatnya kesal. Mulai dari merebut paksa kursi Ify, membawanya kabur dari latihan vokal sekolah pertama dan sekarang memaksanya ikut naik di atas motor pemuda itu. “Pak Gabriel, engkau sungguh menyebalkan hari ini!” cerocos Via. Gabriel mendesah lagi lalu menaikkan kaca penutup helmnya. Menunjukkan wajahnya pada Via. “Lo nurut aja kenapa sih?”

“Lo gak maksa aja kenapa sih?” sewot Via. Kalau soal adu mulut, ada kemungkinan dirinya akan menang. Ia cukup lihai dalam hal itu. Gabriel kemudian mencoba memperlembut ajakannya. Ia tersenyum manis pada Via. Manis sekali! Hingga Via harus cepat-cepat memalingkan wajah menyembunyikan pipinya yang bersemu. Dan itu juga termasuk salah satu perilaku menyebalkan dari Gabriel. Membuatnya tersipu.

“Iss iya, iya! Gue ikut! Puas lo?!” Mau tak mau Via segera memanjat (?) mengambil posisi duduk di belakang Gabriel. Gabriel tersenyum puas melihat itu. “Gak butuh pegangan?” tawar Gabriel seraya menggerak-gerakkan kepala menunjuk pinggangnya. “Gak! Udah cepetan jalan!” ujar Via jutek dan mengacungkan tatapan sangar ke arah Gabriel. Gabriel tersenyum lalu mengedikkan bahu. “Yaudah!” serahnya.

BREMBREM!! *hahaha-_-*

Gabriel memutar gas motornya kuat sebelum memasukkan gigi. Hal itu seketika membuat kaget Via dan refleks memeluk pinggang Gabriel. “AA!” teriaknya histeris. Ia memeluk pinggang Gabriel erat sekali. Gabriel tak ayal tertawa mengetahui ketakutan Via itu. “Katanya gak butuh pegangan,” ledeknya kemudian. Via mendesis dan langsung melepas pelukannya. Baru saja membuka mulut hendak membalas, Gabriel tiba-tiba melajukan motor cukup kencang. Alhasil, setelah sempat terdorong ke belakang, badan Via lalu terhuyung ke depan dan wajahnya yang malang membentur bagian belakang helm Gabriel.

“Hidung gueee!!” pekik Via kembali histeris. Gabriel hanya tertawa tanpa dosa. Via mendengus keras sambil mengusap-ngusap hidungnya yang nyut-nyutan. “Kalo hidung gue tambah pesek, gue patahin hidung lo!” ancamnya dan memasang tampang mengerikan pada Gabriel meski pemuda itu tidak dapat melihatnya. Sekali lagi, Gabriel hanya tertawa tanpa merasa ada salah sedikitpun.

***

“Kamu, kan sudah saya bilang, kaki kamu belum sepenuhnya pulih. Masih membengkak di dalam. Tidak boleh dilangkahkan lebih dari 5. Malah kamu bawa lompat-lompat.” Tegur sang dokter pada Alvin. Alvin mendengus kesal. Dirinya terkesan idiot sekali karena dokter mengatakan dirinya seperti sengaja berlompatan ria. “Saya gak lompat-lompat dok!” hanya itu yang mampu ia sanggah. Malas juga berdebat dengan dokter di depannya ini.

Dokter hanya geleng-geleng kepala lalu menoleh pada Febby. Febby sedari tadi hanya diam berdiri di seberang si dokter, di sebelah ranjang Alvin. Pikirannya sedang kacau saat ini jadi ia lebih memilih menjadi penonton saja. Lagipula, tidak ada yang berharap dirinya bicara, kan?

“Nah Febby, tugas kamu ngolesin salep ke kaki Alvin lalu di perban. Kamu bisa, kan? Atau saya panggilkan suster aja?” tawar sang dokter kemudian. Mata Alvin secara spontan langsung mendelik ke arah dokter seperti ‘Mau apalagi dokter menyebalkan ini?’ dan membuat Febby meringis. Tidak, tidak, macan di depannya kini sedang mengamuk. Bahaya kalau didekati apalagi disentuh. Febby menggeleng keras menolak tawaran sang dokter.

“Eng-gak usah dok, saya ga begitu ahli bungkus-bungkus kaki orang. Suster aja dok. Lagian, Alvinnya juga mana mau di obatin sama saya. Yang ada saya nanti yang mesti dapet perawatan intensif,” Mendengar itu Alvin beralih mendelik ke arahnya. Ia tidak peduli. Yang dilakukannya benar, bukan? Seperti yang pemuda itu inginkan, kan?

Sang dokter geleng-geleng kepala lagi. Ia kembali menatap Alvin. “Jadi, Alvin, kamu pilih Febby atau suster?” ujar sang dokter yang terdengar –sangat– aneh di telinga Alvin. Ia jadi teringat akan iklan di televisi yang pernah sekilas dilihatnya. Pasangan kekasih yang bertengkar di tengah hujan lalu sang gadis bertanya antara memelas dan memaksa ‘kamu pilih dia atau aku?’. Alvin mengedipkan matanya berulang-ulang sambil menggeleng samar. Ya ya ya, ia pastikan ia akan menemui dokter syaraf nanti.

“Febby.” Jawab Alvin singkat. Bukan tanpa alasan ia memilih diobati oleh Febby. Selain memang tidak ada pilihan lain yang jauh lebih baik, rasa penasarannya masih tetap ada hingga sekarang. Karena itu, nanti ia bisa pergunakan kesempatan saat Febby mengolesi kakinya dengan salap untuk sedikit menanyakan perihal keanehan sikap gadis itu. Febby lantas menganga tak percaya. Sejak tadi sampai sekarang, rasanya sulit memercayai apa saja yang dilakukan Alvin padanya. Tadi, pemuda itu menghampirinya, mungkin juga menunggunya, sekarang meminta diobati? Astaga! Gue gak ulangtahun kan hari ini?

“Yaudah dokter keluar sana, ngapain lagi lama-lama disini?” usir Alvin tanpa kata pemanis. Si dokter yang malang hanya tertawa kecil menanggapi sikap tidak sopan pasien bandelnya itu. “Iya, iya! Taudeh yang pingin berduaan!” cicitnya dan langsung berjalan cepat keluar kamar Alvin sebelum si pasien mencercanya keras. Alvin mengerang kesal. “Dokter gila!”
***
Febby sudah duduk mengolesi kaki Alvin dengan salep sesuai dengan apa yang dokter bilang. Tak sekalipun matanya melirik wajah si pemilik kaki. Ia hanya fokus mengolesi. Sebenarnya, sekarang merupakan saat yang paling sempurna untuk Febby mendapatkan hati Alvin. Akan tetapi, mungkin memang Tuhan belum rela dirinya berubah menjadi iblis. Alhasil, ia sama sekali tidak menunjukkan perhatian lebih pada Alvin seperti yang sebelumnya biasa ia lakukan.

“Lo gak niat buka mulut?” ujar Alvin mulai gerah dengan suasana hening di antara mereka berdua. Febby menegakkan badannya sebentar dan tetap tidak menoleh pada Alvin. “Gue belum laper,” kata Febby berujar sekenanya. Dahi Alvin berkerut bingung. “Siapa yang nyuruh lo makan?” balasnya antara bingung dan sinis. Febby lagi-lagi diam tak berniat melanjutkan pembicaraan mereka menjadi debat panjang yang memusingkan. Dan..ia ingin menjadi Febby yang sesungguhnya hari ini. Hari ini aja..

“Tumben lo anteng,” ujar Alvin lagi. Febby masih mengarahkan matanya pada kaki Alvin. “Tumben lo nanya,” balasnya santai. Alvin mengernyit ke arahnya. “Yee siapa yang nanya?” Febby kesekian kalinya diam membiarkan tanya Alvin mengambang. Tapi kemudian ia menoleh pada Alvin dan menyahut. “Gue kan emang pendiem, Alvin.” Katanya dengan tatapan polos. Alvin sesaat terhipnotis pada sepasang mata yang menatapnya. Dan seketika, perasaan aneh di dalam hatinya muncul lagi. Bukan terpesona seperti ketika ia melihat kedua mata Shilla, bukan yang seperti itu. ia yakin bukan itu. tapi ia juga tidak tahu terpesona yang seperti apa yang saat ini ia rasakan.

“Malah bengong,” gumam Febby sama polosnya seperti pandangan matanya. Alvin tersihir lagi. Apalagi ketika tiba-tiba saja wajah Febby terkibas angin sopan dan membersihkan wajahnya dari rambut-rambut yang menutupi. Nafas Alvin tercekat di tenggorokan. Semuanya tercampur aduk. Antara terpesona, bingung, kaget dan agak merinding juga. Itu angin dari mana, lagi?! Apa jangan-jangan sedaritadi ada ruh lain yang memasuki tubuh Febby dan yang tadi itu tanda ruh nya sudah keluar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut spontan hadir dalam kepalanya.

“Capek..” lirih Febby pelan. Lebih kepada bergumam sendiri. Meski begitu telinga Alvin masih bisa mendengar meskipun kurang jelas. “Apa?” Febby tampak terkejut karena Alvin menyahut dan lantas menggeleng samar. Mulutnya kemudian menjawab lesu. “H-ah? Enggak,” Alvin memperhatikan lamat-lamat wajah Febby. Seperti ada yang sedang disembunyikan. Dan bertambah pula rasa ingin tahunya akan gadis itu.

“Lo kenapa?” tanya Alvin agak lembut. Entahlah, ia juga tidak mengerti mengapa dirinya tidak bisa bersikap baik pada Febby. Mungkin setimpal dengan apa yang telah dilakukan gadis itu kepadanya. Pandangan mata Febby berubah 180 derajat. Ia seketika berubah menjadi Febby yang lemah. Menjadi Febby ketika ada Goldi di sampingnya. Selama ini, pemuda itulah yang selalu menjadi penguatnya, tiang ketegarannya. Di dekat pemuda itu, ia merasa leluasa menjadi dirinya sendiri. Mengadu setiap permasalahan yang berpeluang membuatnya bunuh diri. Febby merasa ada yang mengharapkannya ketika bersama Goldi. Dan sekarang, mungkin juga ia tidak sadar, ia menjadi seperti itu di depan Alvin.

Alvin kemudian melihat Febby mulai terisak. Beberapa dari tetesan air matanya jatuh ke kakinya. Alvin gelagapan sendiri melihat itu. ada ketakutan dalam hatinya jika Febby menangis karena dirinya. Ia menggaruk-garuk kepalanya panik. “Lo kok—lo kenapa—kok lo malah nangis, sih?” cerocos Alvin yang justru membuat isakan Febby makin deras. Febby berniat menghapus bekas air matanya. Ia mengucek matanya dengan telunjuk yang ia gunakan untuk mengoles salep. Alhasil, bukannya berhenti, ia justru berteriak perih karena matanya.

Alvin melihat itu mengerang kesal sekaligus khawatir. “Lo sih, udah tau tangan lo kena salep dibuat ngucek-ngucek!” rutunya tak berguna karena tak sedikitpun mengurangi rasa perih di mata Febby. “Vin pediiih!” rintih Febby dengan kedua tangan mengipas-ngipasi wajah. “Ya ya gimana dong? Em—lo rendem pake air dulu sana!” Febby hanya mengangguk dan berlari menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Febby muncul dari balik pintu dengan menutup mata. Tangannya masih setia mengibas-ngibasi wajahnya.

Alvin menggigit bibirnya cemas. Tapi ia juga bingung harus melakukan apa. “Masih pedih emang?” Sesaat ia merutuki pertanyaan bodohnya barusan. Jelas-jelas Febby masih terlihat kesakitan ditambah dengan air matanya yang sedikit-sedikit masih keluar. Ia malah bertanya masih sakit atau tidak. Perhatian macam apa itu?

Febby mengangguk dan diam di tempatnya. Alvin lalu menyuruhnya mendekat. “Lo, cepetan kesini!” perintahnya. Febby menurut dan melangkahkan kakinya hingga sampai di sebelah Alvin. Ia masih menutup mata. Alvin memperhatikan sebentar lalu menghela nafas singkat. “Coba buka mata lo!” Febby mencibir kesal. “Gabisa! Masih perih, Alvin!” rutunya sambil terisak. Alvin ikut-ikutan kesal. “Ya makanya buka mata lo! Dan berhenti nangis!”

Febby akhirnya terpaksa menurut. Ia perlahan mencoba membuka mata. Dan rasanya persis seperti yang ia bilang, perih. Alvin lantas meraih lengan Febby dan menarik gadis itu lebih dekat. Tangannya bergerak cepat menyentuh kelopak mata Febby dan kantung matanya. Ia menarik bagian tersebut berlawanan arah, satu ke atas satu ke bawah. Membuka lebar-lebar mata gadis itu. Wajahnya kemudian mendekat dan mulutnya mulai meniup–niup pelan.

Tes..

Air mata Febby menitik dan mengalir keluar membasahi tangan Alvin. Alvin berhenti sebentar. “Masih pedih banget emang?” tanyanya –masih- khawatir. Febby menggeleng lemah. “Lumayan kurang,” cicitnya dengan suara serak. Alvin lalu kembali melanjutkan meniup. Suatu ketika, Alvin dan Febby tanpa sengaja saling melirik dengan mulut Alvin yang senantiasa bergerak meniup. Febby mendadak berkeringat dingin membalas tatapan sepasang mata di hadapannya.

“U-udah!” sergah Febby. Ia langsung menyingkirkan tangan Alvin dari wajahnya dan menjauhkan diri dari pemuda itu. Alvin masih memandangi Febby dan hal itu membuat keringat Febby makin mengucur.

Drrt..drrt..

Ponsel Febby bergetar lama. Tandanya ada telepon masuk. Ia langsung mengucap syukur karena ponselnya itu. Ia bisa sedikit teralihkan dari Alvin. Lantas dirogohnya ponsel penyelamat itu dari dalam rok. Seketika pandangannya berubah datar dan lesu.

‘Ayah’

***

Gabriel terpaksa memperlambat laju motornya. Ia tidak ingin mati karena kehabisan nafas karena Via. Setiap ia mengerem mendadak maka Via akan sekuat tenaga menarik kerah bajunya sehingga membuatnya tercekik. Tingkah gadis itu terkadang suka tidak manusiawi. Ah, bukan kadang, tapi selalu! Batin Gabriel tak habis pikir. Ngomong-ngomong, terlalu sering dicekik, jadi haus juga. Kebetulan dirinya sedang bersama Via maka hari ini akan terasa lebih baik jika dapat menjalani waktu bersama gadis itu lebih lama.

“VI GUE LAPER, KITA MAMPIR MAKAN DULU YA?” ujar Gabriel yang harus berbicara keras agar suaranya dapat di dengar. Tapi meskipun sudah sekeras itu, sepertinya telinga Via masih belum bisa menangkap apa yang barusan di ucapkannya. “APAAN? LO PENGEN PACAR? SALAH SENDIRI KEMAREN LO PUTUSIN!” balas Via dengan berteriak pula. Gabriel mengernyit heran. Sebegitu pekaknya kah Via? Laper ke pacar jauh banget, kali! Batinnya.

“LAPER, BUKAN PACAR, VIAKU! JAUH VI JAUH!” pekik Gabriel lagi lebih keras seraya geleng-geleng kepala singkat. “HAH? POTONG KUKU? TELOR PUYUH? ADUH LO MAU NGAPAIN SIH SEBENERNYA KOK MINTA YANG ANEH-ANEH?” Sekali lagi Via salah menangkap pantulan suaranya. Tangan Gabriel rasanya sudah gatal ingin mencubiti kedua pipi Via. Lama-lama ia gemas juga dengan gadis itu. Ia lantas tersenyum geli.

Tiba-tiba saja beribu tetesan air jatuh dari langit. Berawal dari rintik yang lama-kelamaan menjadi deras. Gabriel mendongak lalu menolehkan kepala ke samping. “VI HUJAN!” ujarnya yang langsung membuat Via mencibir. Ia juga sudah tahu kalau sedang hujan. “GUE MASIH BISA LIHAT BEGO! KERASA LAGI!” Gabriel kembali mengernyit. Heran gue, perasaan lebih berisik sekarang ketimbang tadi, tapi dia bisa denger. Ckckck.

“KITA BERENTI DULU!” putus Gabriel. Ia menoleh ke kanan kiri dan terdapat hotel disana. Tanpa pikir panjang, ia langsung membelok masuk ke halaman parkir hotel tersebut. Mereka kemudian berlari menuju teras hotel. Gabriel tampak mengibas-ngibas bajunya bagian depan yang sempat cukup lama terkena hujan. Via sendiri hanya menegapkan tubuhnya dan membentengi bagian depan tubuh dengan tas. Bajunya berbahan tipis dan menjadi transparan karena hampir seluruhnya basah. Ia tidak memakai jaket karena tidak tahu bahwa hari ini ia akan kehujanan. Ia juga menggosok-gosok lengannya yang mulai terasa dingin.

Cekrek! *gakbangetsih-_-*

Muncul sebuah suara seperti suara kamera dari belakang Via dan Gabriel. Terlihat seorang wanita muda, cantik dan juga ehm seksi berdiri sambil memegang kamera di tangannya. Wanita itu yang barusan memfoto Via dan Gabriel. Via dan Gabriel spontan saling berpandangan bingung. Ada perasaan tidak enak yang langsung menyergap hati Via. Akan ada sesuatu buruk terjadi. Ah, tapi, jangan sampe, deh! Batinnya seraya berdoa.

“Selamat datang di motel kami, Motel Merona! Sama seperti bibir saya yang merah merona! Ahahahaha” Suara wanita itu yang awalnya ramah kemudian berubah menggoda lalu berakhir dengan sebuah tawa yang mengerikan. Wanita itu tertawa untuk hal yang sama sekali tidak ada unsur lucu-lucunya. Sekali lagi, mengerikan. Sangat mengerikan. Khususnya bagi Via bahkan Gabriel. Mereka serentak menelan ludah. Apa tadi katanya? Motel?

“Motel?!” ujar Via dan Gabriel bersamaan. Mereka berpandangan sebentar lalu sama-sama menoleh pada si wanita penyambut tamu atau mungkin pemilik motel tempat mereka kini. Wanita itu menyeringai yang sama mengerikan dengan tertawanya. Via dan Gabriel lantas bergidik ngeri. “Iya. Di depan emang tulisannya hotel. Biar gak di curigai polisi sama LSM. Biasalah ya, mereka kadang-kadang suka sok merusuh di tempat kayak gini. Padahal ada juga anggota mereka yang pernah atau bahkan sudah menjadi langganan menginap disini. Tentunya gak sendiri! Ahahahaha,” kembali, wanita itu menunjukkan seringaiannya.

Bulu kuduk Via rasanya bukan sekedar tegak akan tetapi tercabut semua. Gabriel pun tak jauh beda. Hanya disini, dirinya merasa memiliki tanggungjawab jadi mau tak mau ia harus menyembunyikan rasa takutnya itu. “Jadi kalian mau make kamar sampe jam berapa? Paling cepet 2 jam, tapi bisa nambah ntar. Tenang aja, sewanya murah kok! Terus kasurnya kalian biasa make yang mana? King, biar lebih leluasa, atau mau yang sedang-sedang aja, atau kalian mau yang small..biar lebih rapet? ahahaha” ujar wanita itu lagi, kali ini sambil mengedipkan mata nakal ke arah Via dan Gabriel.

Via rasanya ingin muntah ketika wanita itu menanyakan perihal kamar. Apa itu king, medium, small? Dan, siapa lagi yang dia bilang ‘biasa make’ itu? Memangnya muka gue ada muka ‘biasa make’? Ah, tapi muka Gabriel ‘agak’ sih. hhh ini semua salah Gabriel! Ini sudah yang keberapa kalinya ya? Awas aja, kalo gue udah berhasil keluar dari sini, gue bakal kutuk lo supaya bener-bener jadi kambing! Waspadalah terhadap itu, Gabriel!

“Maaf mbak sebelumnya, kita itu datang bukan buat nyewa kamar. Kita cum—“

“Loh kenapa? Aaa saya ngerti! Kalian pasti takut ada yang tahu kalian kesini kan? Tenang aja, disini masalah identitas semua aman! Orang di sebelah kamar kamu pun ga bakal tahu,” kata wanita tersebut memotong. Gabriel dan Via saling menoleh. Keduanya menanyakan solusi satu sama lain melalui lekuk-lekuk yang mereka buat di wajah mereka. Melihat Gabriel dan Via yang hanya diam, wanita tadi langsung memberi kode pada 2 lelaki berbadan besar, yang entah sejak kapan berdiri di belakang Via dan Gabriel, untuk menyeret mereka masuk.

“Loh—eh kok—saya mau dibawa kemana?” ronta Via. Namun, si wanita cantik dan seksi itu seperti pura-pura tidak mendengar dan berjalan santai di depan Via dan Gabriel sebagai penunjuk jalan. Mereka akhirnya berhenti dan memasukkan paksa Via dan Gabriel ke dalam sebuah kamar bernuansa merah muda berukuran kecil. Sebuah ranjang dengan sebuah bantal besar berbentuk hati di atasnya serta berkelambu terletak di tengah-tengah ruangan. Kamar tersebut boleh dibilang bagus dan juga wangi. Tapi, sayangnya, itu sama sekali tidak bagus untuk Via dan mungkin juga Gabriel.

“Kalian harus nyewa kamar disini. Kalo enggak, foto ini akan dengan cepat beredar besok. Enak aja numpang-numpang berteduh!” Lagi dan lagi wanita seksi itu menyeringai sambil mengacungkan kamera yang tadi ia gunakan untuk memfoto Via dan Gabriel. Senyum yang ia tunjukkan juga tak kalah mengerikan. Ia menarik gagang pintu kamar dan menutupnya. Tapi sebelum benar-benar tertutup, ia menyembulkan kepalanya ke dalam, melirik ke arah Gabriel. “Hei kamu! Kalo kurang puas, aku ada di depan kok! Aku selalu siap! ahahaha” katanya seraya mengerling nakal. Ia memberikan kecupan udara singkat sebagai salam perpisahan pada Gabriel dan menutup pintu kembali.

Sekarang hanya tinggal Via dan Gabriel. Hanya berdua di dalam kamar. Via langsung menempel pada pintu sementara di depannya Gabriel berdiri menunduk sambil memijak-mijat kepalanya karena stres. Via merasa tubuhnya bergetar. Bajunya yang basah membuatnya kedinginan. Lebih parah lagi, kamar tempatnya sekarang ini memakai AC yang seperti sengaja dibuat sedingin mungkin.

“T-terus sekarang g-gimana?” tanya Via sambil menggigit bibir. Ia berusaha sebisa mungkin agar suaranya tidak terbata-bata. Gabriel mendongak dan melihat Via dari atas ke bawah. Via ikut-ikutan melihat dirinya dari atas ke bawah. Sejurus kemudian gerakan kepalanya terhenti. Ia mulai sadar ada yang janggal. Pertama, ia dan Gabriel berada dalam satu kamar. Kedua, Gabriel berdiri dengan tampang stres di depannya. Ketiga, Gabriel melihatnya dari atas ke bawah. Keempat, Gabriel duduk di kasur dan membuka satu persatu kancing bajunya. Ap-apa? Kancing baju?!

“Heh heh lo mau ngapain?!” Cegah Via ketika melihat tangan Gabriel menyangkut di salah satu kancing baju atasnya. Gabriel mendongak dan mengerutkan dahi. Ia melirik tangannya yang memegang kancing lalu melirik Via seperti berkata ‘Ini! lo gak bisa liat?’. Via menelan ludahnya cepat. Ia tidak lagi peduli pada rasa dingin yang menderanya. Nasibnya pada Gabriel jauh lebih penting. Gabriel kembali hendak membuka kancing baju. Matanya masih tertuju pada Via.

“Eeeh STOP!” Via memekik cukup keras. Tangan kanannya maju ke depan dengan kelima jari mengembang sementara tangan kiri menahan tas di depan dada. Setelah melirik ke kanan-kiri, Via lalu berlari cepat masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Ia bersandar di badan pintu dan menghela nafas lega. Mau tak mau ia harus mengurung diri disini untuk 2 jam ke depan sampai sewa kamar motel berakhir.

Via berjalan mendekati wastafel dan menaruh tasnya di sana. Ia lalu membuka baju seragamnya yang basah dan menjemurnya di tempat gantungan handuk. Kalau dipikir-pikir, tempat ini memang cocok disebut sebagai hotel. Cuma, penyambut tamu di depan sanalah yang langsung menggeser huruf h tersebut menjadi huruf m, motel. Via melirik pada bathup yang juga berbentuk hati itu. Air panas disana sedikit menggoda Via dan seperti memanggilnya untuk segera berendam bersama mereka.

Dalam hati kecil Via, ada terbersit niat untuk mandi saat ini juga. Akan tetapi, seperti ada yang menyadarkannya, ia langsung menggelengkan kepala menolak. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya bahwa ia akan mandi di tempat seperti ini. Di motel! Dan itu tetap tidak akan terjadi! Tidak akan! Batinnya menjerit lantang. Via kemudian berjalan mendekati wastafel dan berdiri mematung disana. Dan dua jam kedepan mungkin akan tetap seperti itu.

Tok tok!

Pintu kamar mandi diketuk dan itu pasti Gabriel. Karena tidak mungkin orang lain bahkan laki-laki lain yang melakukan itu. Di kamar ini hanya ada dirinya dan Gabriel. Karena dirinya berada di kamar mandi, otomatis yang mengetuk Gabriel. Via kaget dan langsung menyambar bajunya yang masih basah. Hawa dingin kembali menyelubungi tubuhnya. “Vi?” panggil Gabriel dan terdengar ragu-ragu. Via mempercepat kegiatan mengancing seragam lalu mengambil tas dan membuka pintu.

Gabriel sudah berdiri tepat di depan pintu dan sudah mengganti seragamnya dengan kaos. Ia menyambut Via dengan wajah bingung. “Lo abis ngapain?” tanyanya kemudian. Via mengernyit. “Harus gue ceritain?” katanya balas bertanya. Gabriel lantas hanya mengedikkan bahu. Ia hendak melangkah masuk ke dalam kamar mandi namun Via lebih dulu menahannya. “Ma-mau ngapain lo?” ketakutan dalam diri Via masih saja muncul. Gabriel tersenyum geli. “Harus gue ceritain?” Ia mengulang apa yang Via katanya padanya tadi sambil terkikik. Semburat kemerahan sekilas muncul di kedua pipi Via. Malu sekali! Ini yang dinamakan senjata makan tuan.

Setelah Gabriel masuk dan menutup pintu, Via berjalan mendekati kasur. Ada seragam Gabriel terbentang di sana. Via langsung mengutuki ketakutannya. Pantas saja tadi Gabriel tidak canggung melepas kancing bajunya, pemuda itu kan pasti memakai kaos sebelum memakai seragam. Tapi, ia bersyukur juga sih karena apa yang ia takutkan tidak akan terjadi. Via lalu menaruh tas nya di lantai dan duduk di atas kasur sambil mengusap-ngusap lengannya yang kembali terasa dingin.

Tak sampai 5 menit, Gabriel kemudian keluar dengan wajah lega. Ia sudah menahan hasrat ingin buang airnya sejak tadi. Saat Via lama mengurung diri di kamar mandi, Gabriel mondar-mandir gelisah di depan pintu menunggu gadis itu keluar. Karena dirasa Via terlalu lama, ia akhirnya mengetuk pintu dan memaksakan setengah mati bersikap cool di depan gadis itu. Untungnya cukup berhasil. Dan untungnya lagi, air-air yang tadi menyesakkannya itu sudah dikeluarkan seluruhnya.

Gabriel melihat Via duduk di atas tempat tidur dengan tubuh bergetar. Ia melirik ke arah baju yang dipakai gadis itu. Kelihatan masih basah. Ia lalu berjalan mendekat menuju tas nya sekaligus Via. “Buka baju lo sana!” suruhnya tanpa menoleh. Via kaget dan seketika membeku. Ketakutannya yang sempat hilang kembali muncul. Gabriel menunduk mengambil jaket di dalam tas. Setelah itu, ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Via yang tak bergerak sedikitpun. Melihat itu, ia langsung memakaikan jaketnya pada Via dan terlihat agak kebesaran. Ada sedikit sentakan yang dilakukan gadis itu.

“Lo mau mati beku karena baju lo? Ganti sana!” Via mendongak menatap Gabriel yang juga menatapnya. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dan beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi kembali. Semburat kemerahan dipipi Via muncul lagi dan kali ini lebih jelas ketimbang tadi. Dengan gerakan cepat ia masuk dan menutup pintu serta bersandar di badannya. Ia lalu diam mengatur nafas sekaligus mengatur jantungnya yang dibuat marathon oleh Gabriel.

Setelah semuanya normal, Via berjalan mendekati wastafel dan mematut dirinya di cermin. Ia melirik jaket yang memeluk tubuhnya. Ia dapat merasakan wangi tubuh Gabriel di sana. “Wangi,” gumamnya dan kembali tersipu. Ia lalu tersenyum. Entahlah, saat ini ia merasa senang. Sangat senang. Dasar Gabriel!!

***

Di dalam mobil, keduanya sama-sama diam. sudah menjadi kebiasaan memang kalau Rio dan Ify berada dalam satu mobil. Tapi, kali ini agak berbeda. Diamnya Rio bukan karena canggung akan tetapi karena ia tengah kesal pada Ify. Ify sendiri menyadari hawa panas dalam diri Rio itu. belum terlalu yakin, tapi ia menduga bahwa pemuda itu marah karena satu hal. Karena satu orang, yaitu Tristan.

Saat latihan vokal, Tristan memang terlihat sangat akrab dengan Ify. Pemuda itu bahkan sempat menghadiahi Ify elusan singkat di puncak kepalanya. Pipi Ify merona jelas waktu itu. Tentu saja! Tristan melakukannya di depan umum! Di depan teman-temannya yang lain! Terutama, di depan Rio. Ah tapi, itu kan bukan salahnya! Ia juga tidak pernah meminta Tristan mengelus-ngelus kepalanya. Ia juga langsung menghindar sewaktu tangan Tristan menyentuh kepalanya. Rrr! Gue harus gimana?

Sesampainya di rumah, Rio langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan apapun. Tanpa menunggu Ify keluar, ia langsung mengunci kendaraannya itu dan masuk ke dalam rumah. Ify termangu dan masih duduk manis di dalam mobil Rio sambil melihat pemuda itu hingga raganya hilang di balik pintu. Ia merasa jantungnya berdetak tak wajar dan membuatnya tak nyaman. Tapi, ada satu hal yang aneh. Selain karena Tristan, untuk alasan apa Rio marah padanya? Kalau Tristan dekat dengan Ify terus kenapa?

Kedekatan pemuda itu dengan Dea jauh lebih mengkhawatirkan dan Ify tidak pernah mempermasalahkan itu. Bukan tidak pernah sih, hanya Ify yang tidak berani mengutarakan langsung. Dibanding Ify dan Tristan yang notabenenya dua orang yang tak sengaja bertemu dan berkenalan kemudian kembali bertemu secara tak sengaja. Garis bawahi itu, semuanya karena tidak sengaja. Sementara Rio dan Dea?

“Rio cemburu?” gumam Ify menebak-nebak. Seulas senyum kemudian mengembang di wajahnya. Kalau benar Rio cemburu, itu merupakan pertanda bagus. Tapi, ia tidak terlalu berharap juga, sih. Yaaah, ia sudah paham betul watak Rio. Saat ini, pemuda itu memang mendekatinya. Tapi nanti jika Acha sudah kembali, tidak ada jaminan Rio akan tetap mendekatinya. Tidak ada yang tau bahkan Rio sendiri sekalipun.

Ify berjalan lamban memasuki rumah Rio. Ia lelah sekali hari ini, baik fisik maupun hati. Namun, langkahnya kemudian harus terhenti saat dirinya berada beberapa meter dari kamar Rio. Sepasang kaki berdiri di depan menghalangi jalannya. Ify yang sedaritadi menunduk refleks mendongak. Ia buru-buru menurunkan pandangannya ketika mengetahui siapa pemilik sepasang kaki tersebut. Rio! Tak tahu mengapa, ia agak takut untuk sekedar bertatapan dengan pemuda itu apalagi dalam jarak yang sangat dekat seperti ini.

Ify bergeser ke kiri, Rio ikut bergeser ke kiri. Ify bergeser ke kanan Rio pun bergeser ke arah yang sama. Mereka sama-sama berhenti. Lalu kemudian suara dingin Rio keluar dan membuat kebersamaan mereka berhenti saat itu juga. “Minggir!” Bulu kuduk Ify langsung berdiri tegak. Ia jadi makin tidak berani bertemu pandang dengan Rio. Rio saat ini persis seperti Rio yang dulu. Rio yang dingin, batu dan tidak punya hati. Ify lantas bergeser dua langkah ke samping memberi jalan untuk Rio. Tanpa banyak bicara, Rio mengambil jalan yang diberikan padanya.

Setelah langkah Rio terdengar menjauh, Ify menghela nafas deras. Ia menepuk dadanya pelan menormalkan detak jantungnya. Kakinya sudah hampir tidak bisa diajak berjalan. Ia kemudian kembali melanjutkan berjalan. Meski harus terseok-seok, pada akhirnya ia bisa sampai di kamar Rio. Buru-buru ia mengganti seragamnya dengan kaos rumah dan celana jeans selutut. Kemudian ia langsung menghambur ke atas kasur. Surga duniaaaa! Batinnya berujar lega.

Ify meraba tenggorokannya yang terasa kering. Ia duduk sebentar mengambil tas dan menarik keluar tempat air minumnya. Desahan kecewa kemudian keluar dari mulutnya mengetahui tempat air minumnya itu sudah tak berisi. Tenaganya ia pikir sudah tidak mencukupi untuk berjalan melewati ruang tengah menuju dapur dan kembali ke kamar.

Ify pun memutuskan untuk tidur. Tak peduli bagaimana posisinya, ia langsung menutup mata mencoba terlelap. Ia hampir saja terlelap sebelum suara pintu dibuka mau tak mau membuatnya bangun kembali. Matanya langsung tertuju pada pintu kamar Rio. Seorang pemuda, yang tak lain adalah Rio sendiri, tampak berdiri sambil bersandar disana. Tangannya memegang sebotol air minum yang masih penuh. Ify merasa tenggorokannya kembali kering. Botol ditangan Rio itu benar-benar menggoda. Terlihat sangat menyegarkan.

Rio dan Ify terlihat saling menatap. Namun, Ify lebih fokus pada botol berisi air minum di tangan Rio. Rio perlahan membuka tutup botol tersebut lalu meneguk sedikit isinya. Matanya tak pernah lepas menatap Ify. Dan Ify pun begitu. Matanya tak pernah lepas dari botol air minum Rio. Ia benar-benar haus. Dalam hati ia berdoa semoga pemuda itu tidak menghabiskan seluruh isinya dan mau berbagi dengannya.

Dan sepertinya doa Ify terkabul. Rio hanya sekali itu meneguk dan kemudian menutup botol air minumnya. Ia berjalan santai mendekati Ify hingga sampai di depan gadis itu. Ify masih dalam posisi tiduran walau Rio sudah berdiri tepat di depannya. “Lo haus?” tanyanya lembut. Hati Ify berdesir mendengar itu. Rio berkata lembut kepadanya. Apa itu artinya Rio sudah tidak marah padanya?! Pekik Ify senang dalam hati. Ia cepat-cepat mengangguk. Rio lalu menyodorkan botol air minumnya pada Ify. Entah mendapat tenaga darimana, Ify langsung mendudukkan tubuhnya dan meraih botol air minum Rio. Ah, lebih tepatnya hampir meraih sebelum pemuda itu menarik kembali minumannya.

“Ambil sendiri!” ujarnya dan seketika berubah 180 derajat dari semula. Kembali dingin. Ify mencibir kesal. Sampe masalah minum gue di php-in juga? Astaga! Gerutunya dalam hati. “Yo..” rengek Ify. Ia menggigit bibirnya dengan wajah memelas. Rio menatapnya sebentar lalu merendahkan tinggi badannya sehingga kepalanya kini sejajar dengan kepala Ify. Ify merasa pipinya memanas. Semoga saja semburatnya tidak ikut muncul ke permukaan.

“Yang tadi siang itu siapa?” Mata Rio menyipit saat menatap Ify. Ify merasa tubuhnya menciut. Suaranya juga. Seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Di samping karena haus, itu juga karena Rio. Ia kemudian menggeleng pelan. “Baru kenal,” jawabnya takut-takut hampir mencicit. “Bener?” Rio bertanya lagi. Ify hanya balas mengangguk. Rio menegakkan tubuhnya kembali. Ia kemudian menyerahkan minumannya pada Ify. Ify menyambut dengan antusias. Tidak butuh waktu lama, isi dari botol air minum milik Rio itu sudah lenyap. Ia mendesah lega dan tersenyum pada Rio.

“Makasih,” ujarnya tulus. Rio tidak bereaksi apapun melihat itu. Membuat Ify jadi takut sendiri. Apa Rio masih marah padanya? Pikir Ify.

“Lo harus jaga jarak sama dia!” Rio menundukkan kepalanya lagi agar sejajar dengan kepala Ify. “Tristan?”

“Terserah lah siapa namanya,” serah Rio tak begitu peduli. Ia sudah terlanjur tidak suka. “Kenapa gitu? Gue gak pernah tuh ngelarang lo deket-deket sama Dea, kenapa lo ngelarang-larang gue deket sama orang lain? Itu namanya gak adil!” kata Ify mencoba protes. Mata Rio kembali menyipit. “Lo...cemburu?”

“Lo sendiri, cemburu?” Ify bertanya balik. Rio langsung mendesis tak terima. “Kan gue yang nanya!”

“Gue juga nanya!” balas Ify tidak mau mengalah. Rio tampak memutar kedua bola matanya dan setelah itu kembali menatap Ify. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, Rio tiba-tiba menangkup wajah Ify dengan kedua tangannya. Ia lalu menatap Ify lembut. Saat itu juga, jantung Ify rasanya ingin meledak. Ia mencoba menarik nafas namun sialnya justru tertahan dan tak bisa ia hembuskan keluar.

“Dengerin baik-baik! Well, gue cemburu..” katanya menggantung. Ify hampir tak dapat menahan diri untuk berteriak. Hatinya mencelos bahagia mendengar kata-kata magis Rio barusan. Sangat bahagia. Apa? Rio bilang apa?! Apa itu sungguhan? Aaaaaaa!!!

“Maka dari itu, stay away from ah—siapalah itu namanya! Ngerti?” Ify hanya bisa mengangguk. Ia tidak banyak berpikir untuk menjawab pertanyaan Rio. Ia sudah terlanjur bahagia dan malas untuk berpikir yang sulit-sulit. “Satu lagi. Don’t let anyone touch you! Seujung rambut pun gak ada yang boleh. Kecuali gue. I’m the only. Deal?” Sekali lagi Rio bertanya dan Ify dengan cepat mengangguk berikut dengan senyum manis di wajahnya.

Rio tertawa kecil dan mengelus pipi Ify dengan ibu jarinya lembut. “Anak pintar!” ujarnya sambil mengacak-ngacak puncak kepala Ify. Mereka sama-sama tertawa dengan perasaan yang sama pula. Perasaan lega dan bahagia. Rio merasakan lega yang amat sangat ketika mengutarakan semua yang ada dalam kepalanya pada Ify. Ada juga kepuasan dalam hatinya ketika menyentuh puncak kepala gadis itu. Ia sangat-sangat kesal ketika melihat Tristan menyentuh Ify.

Hmm, mungkin mulai saat ini, dirinya harus lebih terang-terangan menunjukkan sikapnya pada Ify. Ia sudah terlalu banyak menyia-nyiakan waktu untuk lebih dekat dengan gadis itu. Apalagi sekarang, setelah Debo, saingannya sudah bertambah satu –mungkin-, yaitu Tristan. Tidak boleh. Ify harus jatuh ke tangannya. Dan...ia juga harus bisa jatuh ke tangan Ify.

“Lo haus? Udah makan? Mau gue ambilin?” tawar Rio dengan suaranya yang menyejukkan. Ify tercenung. Hatinya lagi-lagi dibuat berbunga oleh Rio. Ia tak peduli pipinya sudah semerah apa saat ini. Ia tidak peduli. Rio benar-benar membuatnya bahagia hari ini. Rasa lelah lenyap dalam sekejab, termakan kupu-kupu yang kini sedang menari indah di dalam tubuhnya. Haaaaaa ini beneran Rio? Syumpah?! Batinnya masih tak percaya.

Untuk sekedar berkata tidak saja Ify tak mampu. Akhirnya ia hanya balas menggeleng. Rio tersenyum lembut lagi dan membuat hati Ify untuk kesekian kalinya berdesir. “Mau nemenin gue makan?” kali ini Rio meminta. Tentu saja dengan senang hati Ify bersedia. Rio tersenyum lagi. “Yuk!” Rio meraih tangan Ify dan menggenggamnya lembut sembari menuntunnya keluar kamar. Ify sudah tidak tahu sekarang sudah keberapa kalinya ia berdesir. Ia juga entah sejak kapan sudah menikmati dentuman-dentuman hebat yang dialami jantungnya. Apapun itu, semua terasa menyenangkan. Apa yang terjadi padanya hari ini sungguh luar biasa menyenangkan. Dan itu semua karena pemuda di sebelahnya kini. Rio. Ia akan banyak-banyak mengucapkan terimakasih pada pemuda itu.

Thanks Rio! Sering-sering deh ya lo kayak gini, hehehe...

***

Malam ini tak begitu dirasa nyaman oleh Cakka. Setelah makan malam, ia berdomisili di pinggiran kolam renang rumahnya sambil memeluk sang gitar. Pikirannya senantiasa teringat pada pertemuan singkat dan tidak mengesankannya dengan Agni hari ini. Ia turut pula mengutuki dirinya sendiri karena jika bukan karena kebodohannya hubungannya dengan Agni tidak akan seberantakan sekarang. Kalau saja ia tidak kurang kerjaan, tidak terbawa emosi, dan tidak terhasut pikiran buruk, ia tidak akan pernah datang ke depan kelas Agni dan melabrak gadis itu seenaknya.

Jreng.. *wkwkwk*

Cakka memetik salah satu senar gitarnya pelan dan tanpa niat. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa ya ia seperti marah sekali hanya karena Agni keluar dari klub basket? Dan setelah menyampaikan kekesalannya pada Agni, ia malah merasa bersalah dan tidak rela gadis itu lama-lama bersikap dingin padanya. Apalagi ditambah dengan satu fakta penting yang baru ia ketahui kalau Agni adalah adik Kiki, pemuda yang punya sedikit cerita kelam dengannya dan juga Febby.

Nah, Febby juga. Apa kabar dengan gadis itu? Bahkan sampai sekarang, ia belum juga ada niat untuk berkomunikasi dan sepertinya Febby juga begitu. Entahlah, ia sendiri tidak mengerti seperti apa status hubungan mereka sekarang. Belum lagi dengan gosip antara gadis itu dengan Alvin, sahabatnya sendiri yang bahkan sudah berstatus kekasih orang, yaitu Shilla. Ckckck, dunia emang bener-bener udah sempit! Pikirnya.

Jreng!

Kali ini, semua senar dipetik tapi bukan oleh Cakka, melainkan oleh gadis cantik bermata sipit yang tidak tahu sudah sejak kapan duduk di sebelah Cakka. Cakka kaget dan menoleh sebentar lalu kembali menengadah melihat langit malam. Langit yang polos tanpa ada cahaya-cahaya mungil menghiasinya. Bahkan bulan pun tidak tampak oleh matanya. “Tumben lo semedi disini!” gumam gadis itu. Namanya Chelsea, sepupu perempuan Cakka yang berumur 5 tahun di atas Cakka. Orang yang benar-benar sudah seperti kakak kandung bagi pemuda itu.

Cakka tetap menengadahkan kepala dan tak menjawab. “Lo tuh ya kebiasaan! Kalo lagi galau gak pernah nyahut omongan orang!” Chelsea terkikik menyelesaikan dumelannya. Cakka meliriknya sinis. “Siapa yang galau?” balas Cakka akhirnya. “Yang ngerasa aja, deh,” Chelsea terkikik lagi. Ia kemudian ikut menengadahkan kepala dan memeluk lututnya yang ditekuk. “Lo masih sama Febby?” Chelsea  kini menoleh ke arah Cakka. Mendengar itu, kepala Cakka perlahan turun dan balas menoleh pada Chelsea. “Kenapa emangnya?” tanyanya balik.

Chelsea menghela nafas lesu. “Enggak, cuma mau mastiin aja. kemaren itu gue liat berita Febby sama..” katanya menggantung dan enggan melanjutkan. Cakka tersenyum geli. “Alvin?” Chelsea menatapnya tak enak hati. “Iya. Gue gak curiga sama Alvinnya, tapi sama Febby. Kemaren dia segitu senengnya pas ngomongin Alvin. Sikap dia itu kayak lagi gak dimiliki orang aja, serasa gak punya pacar gitu. Mana kecentilan lagi! Padahal kan dia masih cewek lo,” dada Chelsea naik turun. Ia lumayan emosi membicarakan Febby. Lebih emosi lagi jika mengingat gadis itu adalah kekasih adiknya. Sedikit bumbu penambah, ia tidak suka gadis yang kecentilan.

“Ngomong kecentilannya pake seluruh tenaga banget, sih, Kak! Kenapa? Lo keinget sama cewek yang dulu kecentilan sama kak Bagas?” Cakka menyenggol bahu Chelsea seraya mengerling pada kakaknya itu. kekesalan Chelsea makin mengubun. Kenapa jadi dirinya yang ditertawakan? Harusnya kan Cakka. Dan juga, ia kan membela Cakka. Harusnya pemuda itu memujinya bukan malah meledeknya. Chelsea mencipratkan air kolam di depannya pada Cakka hingga membasahi gitar kesayangan adiknya itu.

“Kak, stop! Arrrgh gitar gueee!” Cakka menghela tangan Chelsea yang terus mencipratinya dengan air dan tangan yang lain menjauhkan gitarnya dari jangkauan kakaknya. Chelsea tertawa puas melihat muka cemberut Cakka. Cakka kembali melirik sinis ke arahnya. “Yaudah, sekarang lo jawab pertanyaan gue yang tadi!” Sahutnya tanpa peduli mata menerkam Cakka padanya.

“Lo pengen tau banget?”

“Iya! Udah cepetan jawab!” Cakka mendesah pelan dan mulai memetik-metik gitarnya. “Gue juga bingung gue sama dia itu gimana sekarang. Emang sih, pas pertama kali ada berita tentang Febby sama Alvin gue sempet marah. Sempet—ya sebutlah cemburu. Tapi makin kesini, gue jadi biasa aja. Gue juga gak jamin perasaan gue ke Febby masih kayak dulu atau malah udah gak ada. Udah berminggu-minggu kita gak ada komunikasi dan gue ‘sama sekali’ gak ngerasain kehilangan atau bahkan kangen sama dia. Gue justru lebih sering mikirin cewek lain.”

Kening Chelsea mengerut mendengar Cakka menyebut ‘cewek lain’. “Cewek lain?” Cakka mengedikkan bahunya sekali dengan jemari yang setia bergulat dengan senar gitar. “Namanya Agni. Gue nyebut dia cewek kalung. Habisnya dia ga berenti-berenti ngurusin kalungnya. Gue itu tiba-tiba aja deket sama dia. Gue selalu penasaran sama cerita kehidupan dia, apalagi sama kalungnya. Nah iya! Gue juga baru sadar, kalung dia itu miriiiip banget sama kalungnya Nia. Terus karena itu juga gue sampe mimpiin Nia waktu gue tidur.”

“Jangan-jangan dia Nia! Kalung lo berdua itu kan design pesanan jadi gak mungkin ada duplikatnya.”

“Itu dia! Gue baru sadarnya sekarang. Padahal gue udah nyari dia dari dulu. Tapi entah kenapa pas gue ketemu Agni, gue jadi lupa soal pencarian gue bahkan gue gak ‘ngeh dengan bentuk kalungnya yang sama persis dengan kalung Nia. Dan bodohnya lagi, karena ulah gue, hubungan gue sama dia yang awalnya udah cukup deket, sekarang jadi jauh sejauh-jauhnya pluto dari bumi. Jauh banget pokoknya jauuuh! Apalagi...”

“Apalagi?” Cakka menarik nafas dalam lalu menghembusnya cepat. Ia menatap Febby antara serius dan tak yakin. “Gue, emm mungkin sih...Gue suka sama dia,” Chelsea sedikitpun tidak terkejut mendengar pengakuan adiknya itu. Ia membalas tatapan bingung ke arah Cakka kemudian memasang tampang berpikir. “Lo mesti baikan sama dia. Kalo gak dia, ya lo yang harus minta maaf duluan.” Cakka mengangguk-ngangguk lalu kemudian ikut memasang tampang berpikir.

“Perasaan gue salah gak sih, Kak? Yaah, gimanapun juga kan, gue bukan dalam kondisi boleh suka sama orang lain kecuali..”

“Kecuali siapa? Pacar lo? Siapa pacar lo? Febby? Apa dia nganggep lo pacarnya sekarang?” potong Chelsea langsung dan berkata sarkastis. Cakka terkekeh kecil mendengar itu. Benar juga! Pikirnya. “Yaudah, daripada bingung-bingung mikirin masalah hati lo, mending lo bantuin bisnis perhiasan gue!” Cakka seketika tertawa keras mendengar saran Chelsea barusan. Chelsea mengeryit melihat itu.

“Lo tuh ya, emang dasar muka chinesse otak juga chinesse, buka bisnis toko mas! Hahaha” Chelsea mencibir lalu segera mencipratkan air kolam ke arah Cakka lagi. Namun, usahanya kali ini gagal karena Cakka sudah lebih dulu angkat kaki dan berlari masuk ke dalam rumah. Chelsea mau tak mau tertawa juga melihat tingkah aneh dari adik sepupunya itu. Ia lantas mengikuti langkah Cakka masuk ke dalam rumah.

***

Ify menatap serius buku matematika di depannya. Ia siap tempur mulai malam ini. Ia sudah bertekad kalau semua ulangannya kali ini tidak akan ada yang masuk daftar perbaikan. Ganbatte! Katanya memekik semangat dalam hati. Ify kemudian memulai dari nomor satu. Ia tiba-tiba bergidik. Soal tersebut tampak mengerikan. Tapi, tidak salahnya dicoba. Karena ada pepatah mengatakan, jangan menilai sesuatu dari apa yang bisa kelihatan dari luar.

Ify mulai mengoret-ngoret buku coretannya. Semuanya berjalan lancar hingga kemudian ujung pensilnya berhenti menari. “30!” seru Ify ketika jawaban berhasil ia dapat. Tuh kan! Benar apa kata pepatah. Ia lantas menyocokkan jawabannya dengan pilihan yang ada. Seketika mood gembiranya lenyap. “Kok gak ada?” katanya datar. Sesaat ia diam memandangi soal yang barusan ia kerjakan tersebut. Tapi karena tak mau mengambil pusing, ia kemudian memutuskan beralih ke soal selanjutnya.

“Emm—kita coba nomer 2,” Pensil Ify kembali berjoget ria. Ify meliukkannya kesana kemari sampai jawaban soal tersebut bisa ia temukan. Sejurus kemudian, tangannya stuck di tempat. Keningnya berkerut-kerut dengan mata yang memancarkan ketidakmengertian. “Habis ini terus diapain?” tanyanya pada diri sendiri. Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan ujung pensil. Pada akhirnya, ia kembali memilih meninggalkan soal dan lanjut ke soal berikutnya. Dan semoga saja kali ini nasibnya berbeda.

Satu menit.. Tiga menit... Delapan menit....

“HAAH!” Ify membanting pensilnya ke atas meja. Ia frustasi. Bukannya makin mudah, soalnya justru makin menggila dan membuat Ify gila. Ia bersandar di kursi sambil menengadahkan kepala. “Kalo gini caranya mana bakal ikut perbaikan terus deh gue..” Ia memijat-mijat keningnya pelan sambil terus meringis miris.

Pada saat yang sama, pintu kamar Rio terbuka dan muncul raga pemuda itu yang melangkah masuk kedalam berikut sebuah psp di tangan serta headset di telinga. Ia melirik pada Ify sebentar dan kembali fokus pada psp nya. Ia langsung mengambil posisi santai di atas kasur tanpa memedulikan tatapan heran Ify padanya. Ify terus menatap Rio dengan pikiran bergejolak. Sekilas mata Ify memandang miris pada Rio.

Meski hampir gak pernah bersikap ramah, Rio tetep dipuja. Karena Rio punya pesona tersendiri. Selain karena dia ganteng, punya suara bagus, pinter main alat musik, tapi yang paling mengesankan itu, Rio pinter. Jarang orang ganteng otaknya bermutu. Apalagi, dia gak sembarang pinter. Dia cerdas. Dia gak rajin. Setiap malam buku hampir gak pernah ia sentuh. Tapi dia tetep bisa pinter. Dia gak perlu nyatet banyak-banyak karena takut lupa dan bicara keras berulang-ulang buat ngapal. Cuma dengan baca sekali, sebentar dan dia sudah bisa mengingat. Dia gak perlu dapet penjelasan berkali-kali biar ngerti. Karena sebelum penjelasan berakhir, dia sudah selesai mengerjakan simulasi soal dari materi yang sedang dijelaskan itu.

Dan itu semua gak adil. Rio gak perlu susah payah usaha tapi tetep aja dia pinter. Nah gue? Yang udah jungkir balik baca buku, nyatet sebisa mungkin semua yang dibilang guru meski kadang mereka ngomong gak make titik. Belum lagi privat sana-sini, ngapal jungkat-jungkit, keras-keras sampe telinga denger tapi tetep aja bego. Ujung-ujungnya, perbaikan lagi perbaikan lagi!

Selain itu, gak ada satupun kelebihan fisik yang gue punya. Gue gak cantik. Papa aja yang suka ngehibur gue dengan bilang gue manis. Badan gue biasa aja. Bahkan bisa dibilang dibawah standar. Kurus ceking, kulit kering kerontang dan telapak tangan gue juga kasar. Suara? Gak bagus-bagus mata. Bisa main piano cuma di depan orang-orang terdekat aja. Itu juga gak bagus-bagus amat. Pokoknya yang ada di diri gue gak ada yang bagus. Semua yang bagus itu nyangkutnya di Rio. Semuanya! Ini bener-bener gak adil.

“Gue kelewat ganteng ya?” tanya Rio yang sadar diperhatikan sedari tadi. Matanya masih melotot menatap psp ditangannya dan belum menoleh ke arah Ify. Ify tidak kaget seperti biasanya saat dirinya ketahuan. Ia hanya menghela nafas lesu dan beralih pada bukunya. Tangannya bergerak menulisi bukunya asal. Hasratnya ingin belajar dalam sekejab raib. Untuk apa belajar? Toh gue juga gak bakal bisa pinter. Sekali bego ya selamanya bego.

“Lo emangnya ga belajar?” Entah kenapa, Ify jadi kesal sendiri dengan Rio. Hal itu terdengar jelas dari nada suaranya. “Gue udah pinter,” Jawab Rio santai. Sekali lagi, tanpa menoleh pada Ify yang kini menatapnya lirih. “Iya, lo pinter. Gak kayak gue yang bego..” Ify menatap lesu bukunya lagi. Ia menoleh ke samping dan menjatuhkan kepalanya ke atas meja menimpa sebagian sisi buku di depannya. Tangannya masih setia menulis-nulis tak jelas. Ia benar-benar merasa sedih saat ini.Rio berhenti memelototi psp nya dan akhirnya menoleh pada Ify. Ia mulai sadar ada yang aneh pada gadis itu.

“Lo cakep. Lo pinter. Lo sukses. Perfect banget ckckck,” Sama seperti tulisannya, Ify turut mengoceh tak jelas. “Enak dong, lo gak perlu capek-capek belajar tiap malam. Lo kan dah pinter..” Rio meletakkan pspnya di kasur dan diam sebentar. Lalu kemudian ia beranjak berjalan mendekati Ify. Ia berdiri menyandarkan pantatnya pada meja. Salah satu headset di telinganya ia lepas dan ia pasangkan ke telinga Ify. Ify tersentak manakala mendengar suara yang hadir di telinganya. Ia langsung menegakkan tubuhnya menghadap Rio dan memandang pemuda itu tak percaya.

“Siapa bilang gue gak belajar? Gue cuma gak suka baca buku. Bikin cepet ngantuk. Waktu gue juga bakal lebih banyak kebuang sia-sia. Gue nyari cara belajar yang lebih efisien untuk gue dan yang paling penting, gak bakal bikin gue ngantuk. Karena itu, setiap malam gue make headset ini. Bukan buat dengerin lagu, tapi dengerin penjelasan materi yang belum gue ngerti atau bahkan belum gue pelajari. Nah, psp itu gunanya biar gue gak cepet bosen. Karena mood juga gak kalah penting buat menunjang gue belajar. Terus di sekolah, gue tinggal latihan soal aja sambil sesekali dengerin guru jelasin materi yang masih juga belum bisa gue ngerti waktu belajar di rumah.”

Ify menganga makin tak percaya pada apa saja yang Rio katakan. Ia sudah salah sangka. Rio tak seperti yang ia pikirkan. Dalam hal belajar, pemuda itu sangat disiplin bahkan rajin. Rio mengatur sebisa mungkin waktu-waktu belajarnya tidak terlewat satupun. Memang pantas kalau Rio pintar. Iya, pantes banget! Batin Ify kagum. Rio mengambil tanpa izin pensil yang dipegang Ify. Ia lalu mendaratkan cukup keras badan benda panjang tersebut ke kening Ify. Ify tak ayal mengaduh kesakitan.

“AWW!” rintih Ify. Lagi-lagi Rio memukul kepalanya. Biar ia tebak, selanjutnya Rio akan lebih sering melakukan itu padanya. Pinter sih, cakep sih, tapi nyebelinnya itu loh! Gerutu Ify membatin. “Tuhan itu ngasih kepintaran gak sembarangan, gak cuma-cuma. Kita mesti usaha juga. Belajar itu tetep wajib. Sejenius-jeniusnya orang, sekuat-kuatnya ingatan orang, yang namanya lupa itu pasti ada. Udah lumrah untuk semua manusia. Termasuk gue.”

Ify makin tidak menyangka Rio bisa sebijak sekarang. Gue jadi makin cinta deh! Hehe.

“Yaudah lanjutin belajar lo. Dan jangan pernah lagi mikir kalo gue gak pernah belajar!” Baru saja Rio hendak beranjak, Ify meraih pergelangan tangannya menahannya untuk pergi. Ia melirik tangan Ify tersebut lalu menatap gadis itu. Ify tampak kebingungan mengutarakan maksudnya. “Emm—itu—emm ajarin gue,” cicit Ify. Rio menaikkan alisnya lalu memasang tampang malas. “Besok aja deh! Gue kayaknya udah ngantuk,” elaknya. Ia hendak beranjak lagi namun Ify kembali menahannya.

“2 nomer aja!” Rio menatap Ify masih tak semangat. “Please?” mohon Ify serta memasang wajah memelas. Rio melengos sambil menggaruk kepalanya kesal. Meski pada akhirnya ia menuruti permintaan Ify untuk mengajari gadis itu. baiklah, hanya dua nomor. Pikirnya sekaligus menyemangati diri sendiri. “Yang mana?” Ify tersenyum senang mendengar itu meski Rio mengatakannya tidak ada ikhlas-ikhlasnya sama sekali. ia mengambil buku coretannya dan menyerahkannya pada Rio.

“Gue udah nyari tapi hasilnya ga ada.” Katanya ketika Rio sedang membaca hasil cariannya. Ify diam-diam mengambil kesempatan tersebut untuk menikmati lamat-lamat wajah tampan Rio. Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini. Sambil menyelam minum air. Ia tersenyum geli memikirkan itu. “3 kali 3 berapa?” tanya Rio tiba-tiba. Ify yang awalnya senang kemudian berubah jengkel. “Lo ngejek gue?” Sewot Ify.

“Jawab aja,” balas Rio tak peduli. Ify menjawab sambil mendengus. “Sembilan!”

Pletak! *ondemande-_-*

Ify mengaduh kesakitan lagi. Tebakannya benar kan? Rio pasti akan lebih sering memukul keningnya. Sekarang contohnya. “Disini lo buatnya 6!” dumel Rio pada Ify. Ify memeriksa cariannya sambil mengelus-ngelus kening. Ia lantas menyengir mengetahui kesalahannya tersebut. Ia kemudian mengambil pensilnya yang diambil Rio dan mulai menulis lagi memperbaiki cariannya. Ia bersorak gembira saat jawaban yang ia dapat ada dalam pilihan yang ada. Rio melihat itu sambil mencibir.

“Yang terakhir. Gue udah nyari, tapi baru setengah. Gue gak tahu mesti diapain lagi hehe,” ujar Ify. Rio kembali fokus. Kali ini sedikit berbeda. Ia menambahkan tulisannya setelah tulisan Ify lalu menyerahkan buku tersebut pada gadis itu. tak sama seperti tadi, Ify justru kesal melihat tulisan tambahan dari Rio itu. “Kenapa lo yang ngerjain? Harusnya lo jelasin ke gue!” Rio meliriknya sinis. Bukannya ucapan terimakasih, ia justru kena omel gadis itu.

“Masih untung gue bantuin!” balasnya tak terima. Ify memanyunkan bibirnya. Kalo sama Dea aja, lo ikhlas seikhlas-ikhlasnya, rela serela-relanya, sabar sesabar-sabarnya ngajarin dia. Kalo sama gue, lo marah-marah mulu! Mengingat Dea, Ify jadi mendadak sedih. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyergap dadanya. “Makasih. Sorry ngerepotin. Gue gak bakal minta tolong lo lagi.” katanya jutek. Kedengarannya seperti rutuan biasa. Tapi, itu serius. Ify serius, ia tak akan lagi meminta tolong pada Rio.

“Bagus deh kalo gitu!” komentar Rio ringan dan kemudian berjalan menuju kasur. Ia langsung mengambil posisi yang nyaman untuk tidur dan menyelubungi tubuhnya dengan selimut. “Lo tidur disitu? Terus gue tidur dimana?” tanya Ify selagi Rio belum tertidur. Rio memejamkan matanya dan memiringkan tubuhnya ke arah samping, membelakangi Ify. “Di bawah. Itu sebagai hukuman lo untuk tadi siang dan juga upah gue ngajarin lo.”

Ify mendengus tak terima. Dasar Mario! Masih tetap menyebalkan! Masih tetap seenaknya! Ia sama sekali tidak mau mengalah akan kasurnya dan membiarkan Ify nanti harus tergeletak seperti ikan asin di lantai. Ini bahkan belum jamnya tidur tapi pemuda itu sudah memboikot kasur yang ada dalam kamar. Ify menarik nafasnya berkali-kali mati-matian menahan sabar mendapat perlakuan seperti sekarang oleh Rio.

Ify diam sebentar memikirkan nasibnya malam ini. Cukup kemarin ia harus menderita sakit dan pegal-pegal akibat tidur di lantai. Tidak untuk malam ini atau bahkan malam selanjutnya. “Ray udah tidur belom?” Rio mendengar itu lantas membuka matanya. Untuk apa menanyakan Ray? “Kayaknya sih belom. Kenapa?” katanya balas bertanya. Ify berpikir sekali lagi lalu kemudian berdiri. Ia berjalan melewati kasur tanpa menjawab pertanyaan Rio lebih dulu. Rio cepat-cepat bangkit dari tidurnya menjadi duduk.

“Mau kemana lo?” Ify berhenti sebentar dan menoleh pada Rio, menatap pemuda itu datar. “Ke kamar Ray,” jawabnya singkat. Rio mengerutkan dahi tak mengerti. “Mau ngapain?”

“Numpang tidur,” jawab Ify masih singkat dan santai. Sementara Rio, ia mulai menunjukkan mimik muka panik. “Lo mau seranjang sama dia?” Rio panik akan dua hal. Nasib Ify yang akan malang jika seranjang dengan Ray dan bahaya lain jika Ify benar-benar seranjang dengan adiknya itu. “Siapa tahu dia mau ngalah tidur di lantai dan gue tidur di kasur. Tapi kalo dia gamau, yaudah seranjang juga gapapa. Ray juga dari kalo gue liat kayaknya bisa bertanggungjawab,” Kalimat terakhir Ify memaksimalkan kepanikan yang melanda Rio. Tanggungjawab?! Ulang Rio dalam hati.

Ify memang sengaja berkata seperti itu. Sesekali memberi pelajaran pada Rio yang sudah sangat menyebalkan malam ini. Lagipula, mana mungkin dirinya mau seranjang dengan Ray. Disamping Ray laki-laki, kata Rio juga cara tidur anak itu tidak manusiawi kan? Pegal di badannya bisa makin parah kalau seperti itu. Sejujurnya ia tidak akan pergi ke kamar Ray. Daripada di lantai, lebih baik dirinya tidur di sofa ruang tengah.

“Haiss!!” Rio kemudian mengerang frustasi. Yasudah, lebih baik dirinya tidur di lantai malam ini daripada membiarkan Ify tidur bersama Ray. Percuma tidur di tempat yang nyaman kalau pikirannya senantiasa diliputi rasa tak nyaman karena mengkhawatirkan Ify. “Oke, lo tidur di kasur. biar gue yang tidur di lantai.” Rio sudah di depan Ify menghadang gadis itu. Ify menatapnya datar. “Gak perlu,” Rio mendelik. “Jadi lo bener-bener mau seranjang sama Ray?” tanyanya tak sabaran. Ify mengernyit ke arahnya lalu melengos tanpa menjawab apapun.

Rio berjalan cepat mendahului Ify hingga ke pintu. Ia lalu mengunci kamarnya dan mencabut kunci tersebut. Setelah itu ia kembali menatap Ify. “Tidur sana!” katanya memerintah. Ify diam sebentar lalu berbalik badan berjalan menuju sisi kiri kasur. Ia mengambil satu bantal dan satu guling lalu meletakkannya di bawah. “Gue pinjem selimut lo ya! di bawah dingin,” ujar Ify tanpa menoleh. Ia juga langsung membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata. Rio makin tidak mengerti maksud Ify. Gue suruh tidur di lantai dia pengennya di kasur. gue suruh tidur di kasur, dia malah tidur di lantai. Haisss!!

Rio kemudian menghampiri Ify kembali menyuruhnya tidur di kasur. “Naik ke kasur!” perintahnya lagi. “Ini kamar lo, kasur itu hak lo.” Rio mendadak merasa bersalah sendiri. Seketika ia berpikir, bagaimana mungkin dirinya membiarkan seorang gadis tidur di lantai?

“Terus kenapa lo malah milih ke kamar Ray? Sampe rela seranjang sama Ray? Kenapa lo gak bujuk gue? Kenapa lo—rr gak rela juga seranjang sama gue?”

“Gue gak mau ngerepotin lo, Mario.” Ujar Ify terdengar kesal. Ia jadi teringat pada percakapan mereka saat belajar tadi. Rio bergeming. Ada yang aneh dengan gadis ini. sejak tadi memang aneh, sih. Tapi, sepertinya ia mulai paham penyebab keanehan Ify itu. “Gue salah ngomong ya?” Rio sedikit merendahkan volume suaranya mencoba melunakkan Ify. Ify sendiri hanya diam enggan menjawab. “Lo kesinggung sama omongan gue?” Ify masih tetap bergeming. Mencoba tidak peduli supaya pemuda di sampingnya itu menyingkir.

“Fy..” kali ini nada suara Rio terdengar memohon. Ify mendesah pelan. “Gue ngantuk..” Ify balas memohon sekaligus mengusir Rio secara tak langsung. Rio tak punya pilihan lain. Ia menyerah membujuk Ify. Ia kemudian berjalan naik ke kasurnya dan berusaha terlelap. Tapi sepertinya, malam ini ia tidak akan bisa tidur nyenyak. Jangankan tidur, memejamkan mata saja tidak bisa, mungkin.

***

Haaaaai! Sebelumnya maap yak Cagni nya gak ada, cuma Cakka doang. Itu ada Chelsea ga maksud nambah konflik baru, dia cuma muncul separt dua part laah, tapi perannya cukup penting.

Oh iya, 10 part nya entar ya, ini baru bisa di selesein separt doang karena tangan mimin pegel naujubilah gak ilang-ilang -_- Maap juga kalo hasilnya ga memuaskan .__.v

TETEP DOAIN MIMIN YAAAAA! MANDIRI UNSRI LAGI LOH MANDIRI UNSRI LAGI!!!! 

Maacih cemuanya muah muah muah :*


Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

7 komentar:

  1. Aku nunggu trus ini cerbung abis seru dan asyik. Paling suka rift dan cagni'a kalau bisa diperbanyak rify dan cagni'a.jangan ngaret ya kak hehehe :D

    BalasHapus
  2. kerennn:'''''cepet lanjut dooong, aku selalu suka yang bagian rifynyaaa.. jadi ikut nyesek juga '_'

    BalasHapus
  3. Kak Nita. Kapan dilanjut ini toh Kak ? Saya pensaran banget sama kelanjutannya. Cepet lanjut ya Kakak cantik :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk. Iya, KakNit. Saya baru buka blog lagi :D Next partnya jangan lama-lama ya Kak. Penasaran banget.

      Hapus