TETEP DOAIN MIMIN YAAAAA! MANDIRI UNSRI LAGI LOH MANDIRI UNSRI LAGI!!!!
***
Selepas kepergian Febby, Alvin termangu di atas
tempat tidur. Ada apa dengan gadis itu? pertanyaan tersebut berulangkali
terucap dalam hatinya namun satu pun tak ada jawaban yang ia temukan. Apa gadis
itu murung karenanya? Yaampun! Apa gadis itu mulai menyerah mengejarnya?
Benarkah itu?! Dan Alvin pun mendadak bersorak-sorai dalam hati. Kalau memang
dugaannya benar, itu adalah sebuah berita bagus. Angin segar di kehidupan
suramnya akhir-akhir ini karena ulah gadis itu. Febby.
Hampir setengah jam sudah Febby tak kembali.
Alvin yang awalnya tenang dalam kegembiraan yang teramat-sangat sekarang
berubah gelisah. Ia mencoba tidur akan tetapi setiap beberapa menit sekali pasti
matanya tanpa bisa dilarang membuka dan melirik ke arah pintu mengecek apakah
Febby sudah kembali. Terakhir ia menyentak kepalanya ke bantal karena frustasi.
Harusnya ia merasa senang karena gadis pengganggu itu tidak ada. Tapi kenapa ia
malah merasa kehilangan gadis itu? apa? Kehilangan?! Oh tidak!
Alvin sedikit menegakkan tubuhnya. Ia menjengit
pada kedua kakinya yang masih diperban sebelah kiri. Ia menggerak-gerakkan
pelangkahnya itu sebentar. Kepalanya bergerak-gerak seperti sedang memikirkan
sesuatu. Tanpa tahu apa sebenarnya maksud pemuda ini, Alvin lalu menghela nafas
pasrah dan menoleh ke arah pintu untuk yang terakhir kali.
***
Febby duduk menangkup tangan sambil menutup
matanya. Ia berdoa begitu khusyuk hingga tak menyadari Alvin sudah satu jam
menungguinya di pinggiran pondok tempatnya beribadah. Febby khusyuk berdoa
sementara Alvin khusyuk memandangi tingkah laku gadis itu. Ia menghela nafas
lagi. Gadis ini pasti sedang bermasalah. Yaaah memang sih, Febby hampir bisa
dikatakan tidak pernah tidak bermasalah. Terkusus kepadanya. Tapi kali ini jauh
berbeda. Ini pasti masalah serius. Dan Alvin merasakan itu. Seolah ada mulut
yang berbicara di balik punggung Febby, mengadukan kesedihan yang tak kunjung
usai. Dan Alvin juga merasakan itu.
Dan entah untuk yang keberapa kali, Alvin
menghela nafas. Otak gue bener-bener gak waras! Batinnya mendumel. Ia lalu
berdiri dan perlahan beranjak dari tempatnya semula. Tak seharusnya ia kemari.
Hanya demi menjawab rasa penasaran, ia sampai rela memaksakan kaki berjalan dan
mencari dimana keberadaan Febby. Padahal, sebelumnya, dokter sudah berpesan untuk
tidak menjalankan kakinya lebih dari 5 langkah setiap hari. Lebih parah lagi,
itu semua hanya demi seorang Febby. Dengar itu? Febby! Gadis yang sudah ia
pental jauh-jauh namun justru ia sendiri yang mencari bahkan membawanya kembali
bersamanya. Ke dekatnya. Gila! Bener-bener gila!
“Alvin?” Suara serak milik Febby kemudian
menghentikannya. Alvin menoleh canggung ke arah gadis itu yang kini memasang
tampang bingung. Alvin mengelus tengkuknya kaku lalu menyahut singkat. “Ah?
H-hei,” Febby masih diam di tempat mencoba memperjelas pemahaman di kepalanya
kalau yang di depannya saat ini benar-benar Alvin. Alvin? Alvin? Alvin?!
Katanya berulang-ulang dalam hati masih belum percaya.
Febby melangkahkan kakinya lambat-lambat sambil
terus menyebutkan nama Alvin di kepalanya. Alvin mendadak gelagapan sendiri.
Febby terus menatapnya dan bukan seperti tatapan gadis itu biasanya. Ini beda.
Sungguh beda! Ditambah lagi gadis itu lama-lama makin dekat hingga kini entah
sejak kapan Febby sudah berdiri tepat di hadapannya.
Tk!
Sebuah jentikan jari di depan kedua matanya
menyadarkan atau mungkin mengagetkan Alvin hingga sedikit terlonjak ke
belakang. Dan malangnya tidak ia rasakan ada pijakan di belakang kakinya itu
hingga akhirnya...
“ALVIN!”
***
Via meneguk ludahnya cepat. Naik motor? Sama
Gabriel lagi? Cukup sudah jantungnya dibuat berdebar karena harus pulang dengan
naik motor apalagi justru ditambah dengan pemilik motor yang akan ditumpanginya
itu. Beberapa orang di sekitar mereka sudah memperhatikan lamat-lamat sedari tadi.
Hal itu makin memperparah stres yang melanda Via. Gabriel mendesah singkat. “Lo
mau terus-terusan jadi tontonan orang-orang? Cepetan naik!” perintahnya tanpa
meminta persetujuan.
Via menggerutu sebal dalam hati. Hari ini sudah
kesekian kalinya Gabriel membuatnya kesal. Mulai dari merebut paksa kursi Ify,
membawanya kabur dari latihan vokal sekolah pertama dan sekarang memaksanya
ikut naik di atas motor pemuda itu. “Pak Gabriel, engkau sungguh menyebalkan
hari ini!” cerocos Via. Gabriel mendesah lagi lalu menaikkan kaca penutup
helmnya. Menunjukkan wajahnya pada Via. “Lo nurut aja kenapa sih?”
“Lo gak maksa aja kenapa sih?” sewot Via. Kalau
soal adu mulut, ada kemungkinan dirinya akan menang. Ia cukup lihai dalam hal
itu. Gabriel kemudian mencoba memperlembut ajakannya. Ia tersenyum manis pada
Via. Manis sekali! Hingga Via harus cepat-cepat memalingkan wajah
menyembunyikan pipinya yang bersemu. Dan itu juga termasuk salah satu perilaku
menyebalkan dari Gabriel. Membuatnya tersipu.
“Iss iya, iya! Gue ikut! Puas lo?!” Mau tak mau
Via segera memanjat (?) mengambil posisi duduk di belakang Gabriel. Gabriel
tersenyum puas melihat itu. “Gak butuh pegangan?” tawar Gabriel seraya
menggerak-gerakkan kepala menunjuk pinggangnya. “Gak! Udah cepetan jalan!” ujar
Via jutek dan mengacungkan tatapan sangar ke arah Gabriel. Gabriel tersenyum
lalu mengedikkan bahu. “Yaudah!” serahnya.
BREMBREM!! *hahaha-_-*
Gabriel memutar gas motornya kuat sebelum
memasukkan gigi. Hal itu seketika membuat kaget Via dan refleks memeluk pinggang
Gabriel. “AA!” teriaknya histeris. Ia memeluk pinggang Gabriel erat sekali.
Gabriel tak ayal tertawa mengetahui ketakutan Via itu. “Katanya gak butuh
pegangan,” ledeknya kemudian. Via mendesis dan langsung melepas pelukannya.
Baru saja membuka mulut hendak membalas, Gabriel tiba-tiba melajukan motor
cukup kencang. Alhasil, setelah sempat terdorong ke belakang, badan Via lalu
terhuyung ke depan dan wajahnya yang malang membentur bagian belakang helm
Gabriel.
“Hidung gueee!!” pekik Via kembali histeris.
Gabriel hanya tertawa tanpa dosa. Via mendengus keras sambil mengusap-ngusap
hidungnya yang nyut-nyutan. “Kalo hidung gue tambah pesek, gue patahin hidung
lo!” ancamnya dan memasang tampang mengerikan pada Gabriel meski pemuda itu
tidak dapat melihatnya. Sekali lagi, Gabriel hanya tertawa tanpa merasa ada
salah sedikitpun.
***
“Kamu, kan sudah saya bilang, kaki kamu belum
sepenuhnya pulih. Masih membengkak di dalam. Tidak boleh dilangkahkan lebih
dari 5. Malah kamu bawa lompat-lompat.” Tegur sang dokter pada Alvin. Alvin
mendengus kesal. Dirinya terkesan idiot sekali karena dokter mengatakan dirinya
seperti sengaja berlompatan ria. “Saya gak lompat-lompat dok!” hanya itu yang
mampu ia sanggah. Malas juga berdebat dengan dokter di depannya ini.
Dokter hanya geleng-geleng kepala lalu menoleh
pada Febby. Febby sedari tadi hanya diam berdiri di seberang si dokter, di
sebelah ranjang Alvin. Pikirannya sedang kacau saat ini jadi ia lebih memilih
menjadi penonton saja. Lagipula, tidak ada yang berharap dirinya bicara, kan?
“Nah Febby, tugas kamu ngolesin salep ke kaki
Alvin lalu di perban. Kamu bisa, kan? Atau saya panggilkan suster aja?” tawar
sang dokter kemudian. Mata Alvin secara spontan langsung mendelik ke arah
dokter seperti ‘Mau apalagi dokter menyebalkan ini?’ dan membuat Febby
meringis. Tidak, tidak, macan di depannya kini sedang mengamuk. Bahaya kalau
didekati apalagi disentuh. Febby menggeleng keras menolak tawaran sang dokter.
“Eng-gak usah dok, saya ga begitu ahli
bungkus-bungkus kaki orang. Suster aja dok. Lagian, Alvinnya juga mana mau di
obatin sama saya. Yang ada saya nanti yang mesti dapet perawatan intensif,”
Mendengar itu Alvin beralih mendelik ke arahnya. Ia tidak peduli. Yang
dilakukannya benar, bukan? Seperti yang pemuda itu inginkan, kan?
Sang dokter geleng-geleng kepala lagi. Ia
kembali menatap Alvin. “Jadi, Alvin, kamu pilih Febby atau suster?” ujar sang
dokter yang terdengar –sangat– aneh di telinga Alvin. Ia jadi teringat akan
iklan di televisi yang pernah sekilas dilihatnya. Pasangan kekasih yang
bertengkar di tengah hujan lalu sang gadis bertanya antara memelas dan memaksa
‘kamu pilih dia atau aku?’. Alvin mengedipkan matanya berulang-ulang sambil
menggeleng samar. Ya ya ya, ia pastikan ia akan menemui dokter syaraf nanti.
“Febby.” Jawab Alvin singkat. Bukan tanpa alasan
ia memilih diobati oleh Febby. Selain memang tidak ada pilihan lain yang jauh
lebih baik, rasa penasarannya masih tetap ada hingga sekarang. Karena itu,
nanti ia bisa pergunakan kesempatan saat Febby mengolesi kakinya dengan salap
untuk sedikit menanyakan perihal keanehan sikap gadis itu. Febby lantas
menganga tak percaya. Sejak tadi sampai sekarang, rasanya sulit memercayai apa
saja yang dilakukan Alvin padanya. Tadi, pemuda itu menghampirinya, mungkin
juga menunggunya, sekarang meminta diobati? Astaga! Gue gak ulangtahun kan hari
ini?
“Yaudah dokter keluar sana, ngapain lagi
lama-lama disini?” usir Alvin tanpa kata pemanis. Si dokter yang malang hanya
tertawa kecil menanggapi sikap tidak sopan pasien bandelnya itu. “Iya, iya!
Taudeh yang pingin berduaan!” cicitnya dan langsung berjalan cepat keluar kamar
Alvin sebelum si pasien mencercanya keras. Alvin mengerang kesal. “Dokter
gila!”
***
Febby sudah duduk mengolesi kaki Alvin dengan
salep sesuai dengan apa yang dokter bilang. Tak sekalipun matanya melirik wajah
si pemilik kaki. Ia hanya fokus mengolesi. Sebenarnya, sekarang merupakan saat
yang paling sempurna untuk Febby mendapatkan hati Alvin. Akan tetapi, mungkin
memang Tuhan belum rela dirinya berubah menjadi iblis. Alhasil, ia sama sekali
tidak menunjukkan perhatian lebih pada Alvin seperti yang sebelumnya biasa ia
lakukan.
“Lo gak niat buka mulut?” ujar Alvin mulai gerah
dengan suasana hening di antara mereka berdua. Febby menegakkan badannya
sebentar dan tetap tidak menoleh pada Alvin. “Gue belum laper,” kata Febby
berujar sekenanya. Dahi Alvin berkerut bingung. “Siapa yang nyuruh lo makan?”
balasnya antara bingung dan sinis. Febby lagi-lagi diam tak berniat melanjutkan
pembicaraan mereka menjadi debat panjang yang memusingkan. Dan..ia ingin
menjadi Febby yang sesungguhnya hari ini. Hari ini aja..
“Tumben lo anteng,” ujar Alvin lagi. Febby masih
mengarahkan matanya pada kaki Alvin. “Tumben lo nanya,” balasnya santai. Alvin
mengernyit ke arahnya. “Yee siapa yang nanya?” Febby kesekian kalinya diam
membiarkan tanya Alvin mengambang. Tapi kemudian ia menoleh pada Alvin dan
menyahut. “Gue kan emang pendiem, Alvin.” Katanya dengan tatapan polos. Alvin
sesaat terhipnotis pada sepasang mata yang menatapnya. Dan seketika, perasaan
aneh di dalam hatinya muncul lagi. Bukan terpesona seperti ketika ia melihat
kedua mata Shilla, bukan yang seperti itu. ia yakin bukan itu. tapi ia juga
tidak tahu terpesona yang seperti apa yang saat ini ia rasakan.
“Malah bengong,” gumam Febby sama polosnya
seperti pandangan matanya. Alvin tersihir lagi. Apalagi ketika tiba-tiba saja
wajah Febby terkibas angin sopan dan membersihkan wajahnya dari rambut-rambut
yang menutupi. Nafas Alvin tercekat di tenggorokan. Semuanya tercampur aduk.
Antara terpesona, bingung, kaget dan agak merinding juga. Itu angin dari mana,
lagi?! Apa jangan-jangan sedaritadi ada ruh lain yang memasuki tubuh Febby dan
yang tadi itu tanda ruh nya sudah keluar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
spontan hadir dalam kepalanya.
“Capek..” lirih Febby pelan. Lebih kepada
bergumam sendiri. Meski begitu telinga Alvin masih bisa mendengar meskipun
kurang jelas. “Apa?” Febby tampak terkejut karena Alvin menyahut dan lantas
menggeleng samar. Mulutnya kemudian menjawab lesu. “H-ah? Enggak,” Alvin
memperhatikan lamat-lamat wajah Febby. Seperti ada yang sedang disembunyikan.
Dan bertambah pula rasa ingin tahunya akan gadis itu.
“Lo kenapa?” tanya Alvin agak lembut. Entahlah,
ia juga tidak mengerti mengapa dirinya tidak bisa bersikap baik pada Febby.
Mungkin setimpal dengan apa yang telah dilakukan gadis itu kepadanya. Pandangan
mata Febby berubah 180 derajat. Ia seketika berubah menjadi Febby yang lemah.
Menjadi Febby ketika ada Goldi di sampingnya. Selama ini, pemuda itulah yang
selalu menjadi penguatnya, tiang ketegarannya. Di dekat pemuda itu, ia merasa
leluasa menjadi dirinya sendiri. Mengadu setiap permasalahan yang berpeluang
membuatnya bunuh diri. Febby merasa ada yang mengharapkannya ketika bersama
Goldi. Dan sekarang, mungkin juga ia tidak sadar, ia menjadi seperti itu di
depan Alvin.
Alvin kemudian melihat Febby mulai terisak.
Beberapa dari tetesan air matanya jatuh ke kakinya. Alvin gelagapan sendiri
melihat itu. ada ketakutan dalam hatinya jika Febby menangis karena dirinya. Ia
menggaruk-garuk kepalanya panik. “Lo kok—lo kenapa—kok lo malah nangis, sih?”
cerocos Alvin yang justru membuat isakan Febby makin deras. Febby berniat
menghapus bekas air matanya. Ia mengucek matanya dengan telunjuk yang ia
gunakan untuk mengoles salep. Alhasil, bukannya berhenti, ia justru berteriak
perih karena matanya.
Alvin melihat itu mengerang kesal sekaligus
khawatir. “Lo sih, udah tau tangan lo kena salep dibuat ngucek-ngucek!” rutunya
tak berguna karena tak sedikitpun mengurangi rasa perih di mata Febby. “Vin
pediiih!” rintih Febby dengan kedua tangan mengipas-ngipasi wajah. “Ya ya
gimana dong? Em—lo rendem pake air dulu sana!” Febby hanya mengangguk dan
berlari menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Febby muncul dari balik
pintu dengan menutup mata. Tangannya masih setia mengibas-ngibasi wajahnya.
Alvin menggigit bibirnya cemas. Tapi ia juga
bingung harus melakukan apa. “Masih pedih emang?” Sesaat ia merutuki pertanyaan
bodohnya barusan. Jelas-jelas Febby masih terlihat kesakitan ditambah dengan
air matanya yang sedikit-sedikit masih keluar. Ia malah bertanya masih sakit
atau tidak. Perhatian macam apa itu?
Febby mengangguk dan diam di tempatnya. Alvin
lalu menyuruhnya mendekat. “Lo, cepetan kesini!” perintahnya. Febby menurut dan
melangkahkan kakinya hingga sampai di sebelah Alvin. Ia masih menutup mata.
Alvin memperhatikan sebentar lalu menghela nafas singkat. “Coba buka mata lo!”
Febby mencibir kesal. “Gabisa! Masih perih, Alvin!” rutunya sambil terisak.
Alvin ikut-ikutan kesal. “Ya makanya buka mata lo! Dan berhenti nangis!”
Febby akhirnya terpaksa menurut. Ia perlahan
mencoba membuka mata. Dan rasanya persis seperti yang ia bilang, perih. Alvin
lantas meraih lengan Febby dan menarik gadis itu lebih dekat. Tangannya bergerak
cepat menyentuh kelopak mata Febby dan kantung matanya. Ia menarik bagian
tersebut berlawanan arah, satu ke atas satu ke bawah. Membuka lebar-lebar mata
gadis itu. Wajahnya kemudian mendekat dan mulutnya mulai meniup–niup pelan.
Tes..
Air mata Febby menitik dan mengalir keluar membasahi
tangan Alvin. Alvin berhenti sebentar. “Masih pedih banget emang?” tanyanya –masih-
khawatir. Febby menggeleng lemah. “Lumayan kurang,” cicitnya dengan suara
serak. Alvin lalu kembali melanjutkan meniup. Suatu ketika, Alvin dan Febby
tanpa sengaja saling melirik dengan mulut Alvin yang senantiasa bergerak meniup.
Febby mendadak berkeringat dingin membalas tatapan sepasang mata di hadapannya.
“U-udah!” sergah Febby. Ia langsung
menyingkirkan tangan Alvin dari wajahnya dan menjauhkan diri dari pemuda itu. Alvin
masih memandangi Febby dan hal itu membuat keringat Febby makin mengucur.
Drrt..drrt..
Ponsel Febby bergetar lama. Tandanya ada telepon
masuk. Ia langsung mengucap syukur karena ponselnya itu. Ia bisa sedikit
teralihkan dari Alvin. Lantas dirogohnya ponsel penyelamat itu dari dalam rok.
Seketika pandangannya berubah datar dan lesu.
‘Ayah’
***
Gabriel terpaksa memperlambat laju motornya. Ia
tidak ingin mati karena kehabisan nafas karena Via. Setiap ia mengerem mendadak
maka Via akan sekuat tenaga menarik kerah bajunya sehingga membuatnya tercekik.
Tingkah gadis itu terkadang suka tidak manusiawi. Ah, bukan kadang, tapi
selalu! Batin Gabriel tak habis pikir. Ngomong-ngomong, terlalu sering dicekik,
jadi haus juga. Kebetulan dirinya sedang bersama Via maka hari ini akan terasa
lebih baik jika dapat menjalani waktu bersama gadis itu lebih lama.
“VI GUE LAPER, KITA MAMPIR MAKAN DULU YA?” ujar Gabriel
yang harus berbicara keras agar suaranya dapat di dengar. Tapi meskipun sudah
sekeras itu, sepertinya telinga Via masih belum bisa menangkap apa yang barusan
di ucapkannya. “APAAN? LO PENGEN PACAR? SALAH SENDIRI KEMAREN LO PUTUSIN!”
balas Via dengan berteriak pula. Gabriel mengernyit heran. Sebegitu pekaknya
kah Via? Laper ke pacar jauh banget, kali! Batinnya.
“LAPER, BUKAN PACAR, VIAKU! JAUH VI JAUH!” pekik
Gabriel lagi lebih keras seraya geleng-geleng kepala singkat. “HAH? POTONG
KUKU? TELOR PUYUH? ADUH LO MAU NGAPAIN SIH SEBENERNYA KOK MINTA YANG ANEH-ANEH?”
Sekali lagi Via salah menangkap pantulan suaranya. Tangan Gabriel rasanya sudah
gatal ingin mencubiti kedua pipi Via. Lama-lama ia gemas juga dengan gadis itu.
Ia lantas tersenyum geli.
Tiba-tiba saja beribu tetesan air jatuh dari
langit. Berawal dari rintik yang lama-kelamaan menjadi deras. Gabriel mendongak
lalu menolehkan kepala ke samping. “VI HUJAN!” ujarnya yang langsung membuat
Via mencibir. Ia juga sudah tahu kalau sedang hujan. “GUE MASIH BISA LIHAT
BEGO! KERASA LAGI!” Gabriel kembali mengernyit. Heran gue, perasaan lebih
berisik sekarang ketimbang tadi, tapi dia bisa denger. Ckckck.
“KITA BERENTI DULU!” putus Gabriel. Ia menoleh
ke kanan kiri dan terdapat hotel disana. Tanpa pikir panjang, ia langsung
membelok masuk ke halaman parkir hotel tersebut. Mereka kemudian berlari menuju
teras hotel. Gabriel tampak mengibas-ngibas bajunya bagian depan yang sempat
cukup lama terkena hujan. Via sendiri hanya menegapkan tubuhnya dan membentengi
bagian depan tubuh dengan tas. Bajunya berbahan tipis dan menjadi transparan
karena hampir seluruhnya basah. Ia tidak memakai jaket karena tidak tahu bahwa
hari ini ia akan kehujanan. Ia juga menggosok-gosok lengannya yang mulai terasa
dingin.
Cekrek! *gakbangetsih-_-*
Muncul sebuah suara seperti suara kamera dari
belakang Via dan Gabriel. Terlihat seorang wanita muda, cantik dan juga ehm
seksi berdiri sambil memegang kamera di tangannya. Wanita itu yang barusan memfoto
Via dan Gabriel. Via dan Gabriel spontan saling berpandangan bingung. Ada
perasaan tidak enak yang langsung menyergap hati Via. Akan ada sesuatu buruk
terjadi. Ah, tapi, jangan sampe, deh! Batinnya seraya berdoa.
“Selamat datang di motel kami, Motel Merona!
Sama seperti bibir saya yang merah merona! Ahahahaha” Suara wanita itu yang
awalnya ramah kemudian berubah menggoda lalu berakhir dengan sebuah tawa yang
mengerikan. Wanita itu tertawa untuk hal yang sama sekali tidak ada unsur
lucu-lucunya. Sekali lagi, mengerikan. Sangat mengerikan. Khususnya bagi Via
bahkan Gabriel. Mereka serentak menelan ludah. Apa tadi katanya? Motel?
“Motel?!” ujar Via dan Gabriel bersamaan. Mereka
berpandangan sebentar lalu sama-sama menoleh pada si wanita penyambut tamu atau
mungkin pemilik motel tempat mereka kini. Wanita itu menyeringai yang sama
mengerikan dengan tertawanya. Via dan Gabriel lantas bergidik ngeri. “Iya. Di
depan emang tulisannya hotel. Biar gak di curigai polisi sama LSM. Biasalah ya,
mereka kadang-kadang suka sok merusuh di tempat kayak gini. Padahal ada juga
anggota mereka yang pernah atau bahkan sudah menjadi langganan menginap disini.
Tentunya gak sendiri! Ahahahaha,” kembali, wanita itu menunjukkan
seringaiannya.
Bulu kuduk Via rasanya bukan sekedar tegak akan
tetapi tercabut semua. Gabriel pun tak jauh beda. Hanya disini, dirinya merasa
memiliki tanggungjawab jadi mau tak mau ia harus menyembunyikan rasa takutnya
itu. “Jadi kalian mau make kamar sampe jam berapa? Paling cepet 2 jam, tapi
bisa nambah ntar. Tenang aja, sewanya murah kok! Terus kasurnya kalian biasa
make yang mana? King, biar lebih leluasa, atau mau yang sedang-sedang aja, atau
kalian mau yang small..biar lebih rapet? ahahaha” ujar wanita itu lagi, kali
ini sambil mengedipkan mata nakal ke arah Via dan Gabriel.
Via rasanya ingin muntah ketika wanita itu
menanyakan perihal kamar. Apa itu king, medium, small? Dan, siapa lagi yang dia
bilang ‘biasa make’ itu? Memangnya muka gue ada muka ‘biasa make’? Ah, tapi
muka Gabriel ‘agak’ sih. hhh ini semua salah Gabriel! Ini sudah yang keberapa
kalinya ya? Awas aja, kalo gue udah berhasil keluar dari sini, gue bakal kutuk
lo supaya bener-bener jadi kambing! Waspadalah terhadap itu, Gabriel!
“Maaf mbak sebelumnya, kita itu datang bukan
buat nyewa kamar. Kita cum—“
“Loh kenapa? Aaa saya ngerti! Kalian pasti takut
ada yang tahu kalian kesini kan? Tenang aja, disini masalah identitas semua aman!
Orang di sebelah kamar kamu pun ga bakal tahu,” kata wanita tersebut memotong.
Gabriel dan Via saling menoleh. Keduanya menanyakan solusi satu sama lain
melalui lekuk-lekuk yang mereka buat di wajah mereka. Melihat Gabriel dan Via
yang hanya diam, wanita tadi langsung memberi kode pada 2 lelaki berbadan
besar, yang entah sejak kapan berdiri di belakang Via dan Gabriel, untuk
menyeret mereka masuk.
“Loh—eh kok—saya mau dibawa kemana?” ronta Via.
Namun, si wanita cantik dan seksi itu seperti pura-pura tidak mendengar dan
berjalan santai di depan Via dan Gabriel sebagai penunjuk jalan. Mereka
akhirnya berhenti dan memasukkan paksa Via dan Gabriel ke dalam sebuah kamar
bernuansa merah muda berukuran kecil. Sebuah ranjang dengan sebuah bantal besar
berbentuk hati di atasnya serta berkelambu terletak di tengah-tengah ruangan. Kamar
tersebut boleh dibilang bagus dan juga wangi. Tapi, sayangnya, itu sama sekali
tidak bagus untuk Via dan mungkin juga Gabriel.
“Kalian harus nyewa kamar disini. Kalo enggak,
foto ini akan dengan cepat beredar besok. Enak aja numpang-numpang berteduh!”
Lagi dan lagi wanita seksi itu menyeringai sambil mengacungkan kamera yang tadi
ia gunakan untuk memfoto Via dan Gabriel. Senyum yang ia tunjukkan juga tak
kalah mengerikan. Ia menarik gagang pintu kamar dan menutupnya. Tapi sebelum
benar-benar tertutup, ia menyembulkan kepalanya ke dalam, melirik ke arah
Gabriel. “Hei kamu! Kalo kurang puas, aku ada di depan kok! Aku selalu siap!
ahahaha” katanya seraya mengerling nakal. Ia memberikan kecupan udara singkat
sebagai salam perpisahan pada Gabriel dan menutup pintu kembali.
Sekarang hanya tinggal Via dan Gabriel. Hanya
berdua di dalam kamar. Via langsung menempel pada pintu sementara di depannya
Gabriel berdiri menunduk sambil memijak-mijat kepalanya karena stres. Via
merasa tubuhnya bergetar. Bajunya yang basah membuatnya kedinginan. Lebih parah
lagi, kamar tempatnya sekarang ini memakai AC yang seperti sengaja dibuat
sedingin mungkin.
“T-terus sekarang g-gimana?” tanya Via sambil
menggigit bibir. Ia berusaha sebisa mungkin agar suaranya tidak terbata-bata.
Gabriel mendongak dan melihat Via dari atas ke bawah. Via ikut-ikutan melihat
dirinya dari atas ke bawah. Sejurus kemudian gerakan kepalanya terhenti. Ia
mulai sadar ada yang janggal. Pertama, ia dan Gabriel berada dalam satu kamar.
Kedua, Gabriel berdiri dengan tampang stres di depannya. Ketiga, Gabriel
melihatnya dari atas ke bawah. Keempat, Gabriel duduk di kasur dan membuka satu
persatu kancing bajunya. Ap-apa? Kancing baju?!
“Heh heh lo mau ngapain?!” Cegah Via ketika
melihat tangan Gabriel menyangkut di salah satu kancing baju atasnya. Gabriel
mendongak dan mengerutkan dahi. Ia melirik tangannya yang memegang kancing lalu
melirik Via seperti berkata ‘Ini! lo gak bisa liat?’. Via menelan ludahnya cepat.
Ia tidak lagi peduli pada rasa dingin yang menderanya. Nasibnya pada Gabriel
jauh lebih penting. Gabriel kembali hendak membuka kancing baju. Matanya masih
tertuju pada Via.
“Eeeh STOP!” Via memekik cukup keras. Tangan
kanannya maju ke depan dengan kelima jari mengembang sementara tangan kiri
menahan tas di depan dada. Setelah melirik ke kanan-kiri, Via lalu berlari
cepat masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Ia bersandar di
badan pintu dan menghela nafas lega. Mau tak mau ia harus mengurung diri disini
untuk 2 jam ke depan sampai sewa kamar motel berakhir.
Via berjalan mendekati wastafel dan menaruh
tasnya di sana. Ia lalu membuka baju seragamnya yang basah dan menjemurnya di
tempat gantungan handuk. Kalau dipikir-pikir, tempat ini memang cocok disebut
sebagai hotel. Cuma, penyambut tamu di depan sanalah yang langsung menggeser
huruf h tersebut menjadi huruf m, motel. Via melirik pada bathup yang juga
berbentuk hati itu. Air panas disana sedikit menggoda Via dan seperti
memanggilnya untuk segera berendam bersama mereka.
Dalam hati kecil Via, ada terbersit niat untuk
mandi saat ini juga. Akan tetapi, seperti ada yang menyadarkannya, ia langsung
menggelengkan kepala menolak. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya bahwa ia
akan mandi di tempat seperti ini. Di motel! Dan itu tetap tidak akan terjadi!
Tidak akan! Batinnya menjerit lantang. Via kemudian berjalan mendekati wastafel
dan berdiri mematung disana. Dan dua jam kedepan mungkin akan tetap seperti
itu.
Tok tok!
Pintu kamar mandi diketuk dan itu pasti Gabriel.
Karena tidak mungkin orang lain bahkan laki-laki lain yang melakukan itu. Di
kamar ini hanya ada dirinya dan Gabriel. Karena dirinya berada di kamar mandi,
otomatis yang mengetuk Gabriel. Via kaget dan langsung menyambar bajunya yang masih
basah. Hawa dingin kembali menyelubungi tubuhnya. “Vi?” panggil Gabriel dan
terdengar ragu-ragu. Via mempercepat kegiatan mengancing seragam lalu mengambil
tas dan membuka pintu.
Gabriel sudah berdiri tepat di depan pintu dan
sudah mengganti seragamnya dengan kaos. Ia menyambut Via dengan wajah bingung.
“Lo abis ngapain?” tanyanya kemudian. Via mengernyit. “Harus gue ceritain?”
katanya balas bertanya. Gabriel lantas hanya mengedikkan bahu. Ia hendak
melangkah masuk ke dalam kamar mandi namun Via lebih dulu menahannya. “Ma-mau
ngapain lo?” ketakutan dalam diri Via masih saja muncul. Gabriel tersenyum
geli. “Harus gue ceritain?” Ia mengulang apa yang Via katanya padanya tadi
sambil terkikik. Semburat kemerahan sekilas muncul di kedua pipi Via. Malu sekali!
Ini yang dinamakan senjata makan tuan.
Setelah Gabriel masuk dan menutup pintu, Via
berjalan mendekati kasur. Ada seragam Gabriel terbentang di sana. Via langsung
mengutuki ketakutannya. Pantas saja tadi Gabriel tidak canggung melepas kancing
bajunya, pemuda itu kan pasti memakai kaos sebelum memakai seragam. Tapi, ia
bersyukur juga sih karena apa yang ia takutkan tidak akan terjadi. Via lalu
menaruh tas nya di lantai dan duduk di atas kasur sambil mengusap-ngusap
lengannya yang kembali terasa dingin.
Tak sampai 5 menit, Gabriel kemudian keluar
dengan wajah lega. Ia sudah menahan hasrat ingin buang airnya sejak tadi. Saat
Via lama mengurung diri di kamar mandi, Gabriel mondar-mandir gelisah di depan
pintu menunggu gadis itu keluar. Karena dirasa Via terlalu lama, ia akhirnya
mengetuk pintu dan memaksakan setengah mati bersikap cool di depan gadis itu.
Untungnya cukup berhasil. Dan untungnya lagi, air-air yang tadi menyesakkannya
itu sudah dikeluarkan seluruhnya.
Gabriel melihat Via duduk di atas tempat tidur
dengan tubuh bergetar. Ia melirik ke arah baju yang dipakai gadis itu. Kelihatan
masih basah. Ia lalu berjalan mendekat menuju tas nya sekaligus Via. “Buka baju
lo sana!” suruhnya tanpa menoleh. Via kaget dan seketika membeku. Ketakutannya
yang sempat hilang kembali muncul. Gabriel menunduk mengambil jaket di dalam
tas. Setelah itu, ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Via yang tak
bergerak sedikitpun. Melihat itu, ia langsung memakaikan jaketnya pada Via dan
terlihat agak kebesaran. Ada sedikit sentakan yang dilakukan gadis itu.
“Lo mau mati beku karena baju lo? Ganti sana!”
Via mendongak menatap Gabriel yang juga menatapnya. Ia buru-buru mengalihkan
pandangan dan beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi kembali. Semburat
kemerahan dipipi Via muncul lagi dan kali ini lebih jelas ketimbang tadi.
Dengan gerakan cepat ia masuk dan menutup pintu serta bersandar di badannya. Ia
lalu diam mengatur nafas sekaligus mengatur jantungnya yang dibuat marathon
oleh Gabriel.
Setelah semuanya normal, Via berjalan mendekati
wastafel dan mematut dirinya di cermin. Ia melirik jaket yang memeluk tubuhnya.
Ia dapat merasakan wangi tubuh Gabriel di sana. “Wangi,” gumamnya dan kembali
tersipu. Ia lalu tersenyum. Entahlah, saat ini ia merasa senang. Sangat senang.
Dasar Gabriel!!
***
Di dalam mobil, keduanya sama-sama diam. sudah
menjadi kebiasaan memang kalau Rio dan Ify berada dalam satu mobil. Tapi, kali
ini agak berbeda. Diamnya Rio bukan karena canggung akan tetapi karena ia
tengah kesal pada Ify. Ify sendiri menyadari hawa panas dalam diri Rio itu.
belum terlalu yakin, tapi ia menduga bahwa pemuda itu marah karena satu hal.
Karena satu orang, yaitu Tristan.
Saat latihan vokal, Tristan memang terlihat
sangat akrab dengan Ify. Pemuda itu bahkan sempat menghadiahi Ify elusan
singkat di puncak kepalanya. Pipi Ify merona jelas waktu itu. Tentu saja!
Tristan melakukannya di depan umum! Di depan teman-temannya yang lain!
Terutama, di depan Rio. Ah tapi, itu kan bukan salahnya! Ia juga tidak pernah
meminta Tristan mengelus-ngelus kepalanya. Ia juga langsung menghindar sewaktu
tangan Tristan menyentuh kepalanya. Rrr! Gue harus gimana?
Sesampainya di rumah, Rio langsung keluar dari
mobil tanpa mengucapkan apapun. Tanpa menunggu Ify keluar, ia langsung mengunci
kendaraannya itu dan masuk ke dalam rumah. Ify termangu dan masih duduk manis
di dalam mobil Rio sambil melihat pemuda itu hingga raganya hilang di balik
pintu. Ia merasa jantungnya berdetak tak wajar dan membuatnya tak nyaman. Tapi,
ada satu hal yang aneh. Selain karena Tristan, untuk alasan apa Rio marah
padanya? Kalau Tristan dekat dengan Ify terus kenapa?
Kedekatan pemuda itu dengan Dea jauh lebih
mengkhawatirkan dan Ify tidak pernah mempermasalahkan itu. Bukan tidak pernah
sih, hanya Ify yang tidak berani mengutarakan langsung. Dibanding Ify dan
Tristan yang notabenenya dua orang yang tak sengaja bertemu dan berkenalan
kemudian kembali bertemu secara tak sengaja. Garis bawahi itu, semuanya karena
tidak sengaja. Sementara Rio dan Dea?
“Rio cemburu?” gumam Ify menebak-nebak. Seulas
senyum kemudian mengembang di wajahnya. Kalau benar Rio cemburu, itu merupakan
pertanda bagus. Tapi, ia tidak terlalu berharap juga, sih. Yaaah, ia sudah
paham betul watak Rio. Saat ini, pemuda itu memang mendekatinya. Tapi nanti
jika Acha sudah kembali, tidak ada jaminan Rio akan tetap mendekatinya. Tidak
ada yang tau bahkan Rio sendiri sekalipun.
Ify berjalan lamban memasuki rumah Rio. Ia lelah
sekali hari ini, baik fisik maupun hati. Namun, langkahnya kemudian harus terhenti
saat dirinya berada beberapa meter dari kamar Rio. Sepasang kaki berdiri di
depan menghalangi jalannya. Ify yang sedaritadi menunduk refleks mendongak. Ia
buru-buru menurunkan pandangannya ketika mengetahui siapa pemilik sepasang kaki
tersebut. Rio! Tak tahu mengapa, ia agak takut untuk sekedar bertatapan dengan
pemuda itu apalagi dalam jarak yang sangat dekat seperti ini.
Ify bergeser ke kiri, Rio ikut bergeser ke kiri.
Ify bergeser ke kanan Rio pun bergeser ke arah yang sama. Mereka sama-sama
berhenti. Lalu kemudian suara dingin Rio keluar dan membuat kebersamaan mereka
berhenti saat itu juga. “Minggir!” Bulu kuduk Ify langsung berdiri tegak. Ia
jadi makin tidak berani bertemu pandang dengan Rio. Rio saat ini persis seperti
Rio yang dulu. Rio yang dingin, batu dan tidak punya hati. Ify lantas bergeser
dua langkah ke samping memberi jalan untuk Rio. Tanpa banyak bicara, Rio
mengambil jalan yang diberikan padanya.
Setelah langkah Rio terdengar menjauh, Ify
menghela nafas deras. Ia menepuk dadanya pelan menormalkan detak jantungnya.
Kakinya sudah hampir tidak bisa diajak berjalan. Ia kemudian kembali melanjutkan
berjalan. Meski harus terseok-seok, pada akhirnya ia bisa sampai di kamar Rio. Buru-buru
ia mengganti seragamnya dengan kaos rumah dan celana jeans selutut. Kemudian ia
langsung menghambur ke atas kasur. Surga duniaaaa! Batinnya berujar lega.
Ify meraba tenggorokannya yang terasa kering. Ia
duduk sebentar mengambil tas dan menarik keluar tempat air minumnya. Desahan
kecewa kemudian keluar dari mulutnya mengetahui tempat air minumnya itu sudah
tak berisi. Tenaganya ia pikir sudah tidak mencukupi untuk berjalan melewati
ruang tengah menuju dapur dan kembali ke kamar.
Ify pun memutuskan untuk tidur. Tak peduli
bagaimana posisinya, ia langsung menutup mata mencoba terlelap. Ia hampir saja
terlelap sebelum suara pintu dibuka mau tak mau membuatnya bangun kembali.
Matanya langsung tertuju pada pintu kamar Rio. Seorang pemuda, yang tak lain
adalah Rio sendiri, tampak berdiri sambil bersandar disana. Tangannya memegang
sebotol air minum yang masih penuh. Ify merasa tenggorokannya kembali kering.
Botol ditangan Rio itu benar-benar menggoda. Terlihat sangat menyegarkan.
Rio dan Ify terlihat saling menatap. Namun, Ify
lebih fokus pada botol berisi air minum di tangan Rio. Rio perlahan membuka
tutup botol tersebut lalu meneguk sedikit isinya. Matanya tak pernah lepas
menatap Ify. Dan Ify pun begitu. Matanya tak pernah lepas dari botol air minum
Rio. Ia benar-benar haus. Dalam hati ia berdoa semoga pemuda itu tidak
menghabiskan seluruh isinya dan mau berbagi dengannya.
Dan sepertinya doa Ify terkabul. Rio hanya
sekali itu meneguk dan kemudian menutup botol air minumnya. Ia berjalan santai mendekati
Ify hingga sampai di depan gadis itu. Ify masih dalam posisi tiduran walau Rio
sudah berdiri tepat di depannya. “Lo haus?” tanyanya lembut. Hati Ify berdesir
mendengar itu. Rio berkata lembut kepadanya. Apa itu artinya Rio sudah tidak
marah padanya?! Pekik Ify senang dalam hati. Ia cepat-cepat mengangguk. Rio
lalu menyodorkan botol air minumnya pada Ify. Entah mendapat tenaga darimana,
Ify langsung mendudukkan tubuhnya dan meraih botol air minum Rio. Ah, lebih
tepatnya hampir meraih sebelum pemuda itu menarik kembali minumannya.
“Ambil sendiri!” ujarnya dan seketika berubah
180 derajat dari semula. Kembali dingin. Ify mencibir kesal. Sampe masalah
minum gue di php-in juga? Astaga! Gerutunya dalam hati. “Yo..” rengek Ify. Ia
menggigit bibirnya dengan wajah memelas. Rio menatapnya sebentar lalu
merendahkan tinggi badannya sehingga kepalanya kini sejajar dengan kepala Ify.
Ify merasa pipinya memanas. Semoga saja semburatnya tidak ikut muncul ke
permukaan.
“Yang tadi siang itu siapa?” Mata Rio menyipit
saat menatap Ify. Ify merasa tubuhnya menciut. Suaranya juga. Seperti ada
sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Di samping karena haus, itu juga karena
Rio. Ia kemudian menggeleng pelan. “Baru kenal,” jawabnya takut-takut hampir
mencicit. “Bener?” Rio bertanya lagi. Ify hanya balas mengangguk. Rio
menegakkan tubuhnya kembali. Ia kemudian menyerahkan minumannya pada Ify. Ify
menyambut dengan antusias. Tidak butuh waktu lama, isi dari botol air minum
milik Rio itu sudah lenyap. Ia mendesah lega dan tersenyum pada Rio.
“Makasih,” ujarnya tulus. Rio tidak bereaksi
apapun melihat itu. Membuat Ify jadi takut sendiri. Apa Rio masih marah
padanya? Pikir Ify.
“Lo harus jaga jarak sama dia!” Rio menundukkan
kepalanya lagi agar sejajar dengan kepala Ify. “Tristan?”
“Terserah lah siapa namanya,” serah Rio tak
begitu peduli. Ia sudah terlanjur tidak suka. “Kenapa gitu? Gue gak pernah tuh
ngelarang lo deket-deket sama Dea, kenapa lo ngelarang-larang gue deket sama
orang lain? Itu namanya gak adil!” kata Ify mencoba protes. Mata Rio kembali
menyipit. “Lo...cemburu?”
“Lo sendiri, cemburu?” Ify bertanya balik. Rio
langsung mendesis tak terima. “Kan gue yang nanya!”
“Gue juga nanya!” balas Ify tidak mau mengalah. Rio
tampak memutar kedua bola matanya dan setelah itu kembali menatap Ify. Tanpa
ada tanda-tanda sebelumnya, Rio tiba-tiba menangkup wajah Ify dengan kedua
tangannya. Ia lalu menatap Ify lembut. Saat itu juga, jantung Ify rasanya ingin
meledak. Ia mencoba menarik nafas namun sialnya justru tertahan dan tak bisa ia
hembuskan keluar.
“Dengerin baik-baik! Well, gue cemburu..”
katanya menggantung. Ify hampir tak dapat menahan diri untuk berteriak. Hatinya
mencelos bahagia mendengar kata-kata magis Rio barusan. Sangat bahagia. Apa?
Rio bilang apa?! Apa itu sungguhan? Aaaaaaa!!!
“Maka dari itu, stay away from ah—siapalah itu
namanya! Ngerti?” Ify hanya bisa mengangguk. Ia tidak banyak berpikir untuk
menjawab pertanyaan Rio. Ia sudah terlanjur bahagia dan malas untuk berpikir
yang sulit-sulit. “Satu lagi. Don’t let anyone touch you! Seujung rambut pun
gak ada yang boleh. Kecuali gue. I’m the only. Deal?” Sekali lagi Rio bertanya
dan Ify dengan cepat mengangguk berikut dengan senyum manis di wajahnya.
Rio tertawa kecil dan mengelus pipi Ify dengan
ibu jarinya lembut. “Anak pintar!” ujarnya sambil mengacak-ngacak puncak kepala
Ify. Mereka sama-sama tertawa dengan perasaan yang sama pula. Perasaan lega dan
bahagia. Rio merasakan lega yang amat sangat ketika mengutarakan semua yang ada
dalam kepalanya pada Ify. Ada juga kepuasan dalam hatinya ketika menyentuh
puncak kepala gadis itu. Ia sangat-sangat kesal ketika melihat Tristan
menyentuh Ify.
Hmm, mungkin mulai saat ini, dirinya harus lebih
terang-terangan menunjukkan sikapnya pada Ify. Ia sudah terlalu banyak
menyia-nyiakan waktu untuk lebih dekat dengan gadis itu. Apalagi sekarang,
setelah Debo, saingannya sudah bertambah satu –mungkin-, yaitu Tristan. Tidak
boleh. Ify harus jatuh ke tangannya. Dan...ia juga harus bisa jatuh ke tangan
Ify.
“Lo haus? Udah makan? Mau gue ambilin?” tawar
Rio dengan suaranya yang menyejukkan. Ify tercenung. Hatinya lagi-lagi dibuat
berbunga oleh Rio. Ia tak peduli pipinya sudah semerah apa saat ini. Ia tidak
peduli. Rio benar-benar membuatnya bahagia hari ini. Rasa lelah lenyap dalam
sekejab, termakan kupu-kupu yang kini sedang menari indah di dalam tubuhnya.
Haaaaaa ini beneran Rio? Syumpah?! Batinnya masih tak percaya.
Untuk sekedar berkata tidak saja Ify tak mampu.
Akhirnya ia hanya balas menggeleng. Rio tersenyum lembut lagi dan membuat hati
Ify untuk kesekian kalinya berdesir. “Mau nemenin gue makan?” kali ini Rio
meminta. Tentu saja dengan senang hati Ify bersedia. Rio tersenyum lagi. “Yuk!”
Rio meraih tangan Ify dan menggenggamnya lembut sembari menuntunnya keluar
kamar. Ify sudah tidak tahu sekarang sudah keberapa kalinya ia berdesir. Ia
juga entah sejak kapan sudah menikmati dentuman-dentuman hebat yang dialami
jantungnya. Apapun itu, semua terasa menyenangkan. Apa yang terjadi padanya
hari ini sungguh luar biasa menyenangkan. Dan itu semua karena pemuda di
sebelahnya kini. Rio. Ia akan banyak-banyak mengucapkan terimakasih pada pemuda
itu.
Thanks Rio! Sering-sering deh ya lo kayak gini,
hehehe...
***
Malam ini tak begitu dirasa nyaman oleh Cakka.
Setelah makan malam, ia berdomisili di pinggiran kolam renang rumahnya sambil
memeluk sang gitar. Pikirannya senantiasa teringat pada pertemuan singkat dan
tidak mengesankannya dengan Agni hari ini. Ia turut pula mengutuki dirinya
sendiri karena jika bukan karena kebodohannya hubungannya dengan Agni tidak
akan seberantakan sekarang. Kalau saja ia tidak kurang kerjaan, tidak terbawa
emosi, dan tidak terhasut pikiran buruk, ia tidak akan pernah datang ke depan
kelas Agni dan melabrak gadis itu seenaknya.
Jreng.. *wkwkwk*
Cakka memetik salah satu senar gitarnya pelan
dan tanpa niat. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa ya ia seperti marah sekali
hanya karena Agni keluar dari klub basket? Dan setelah menyampaikan
kekesalannya pada Agni, ia malah merasa bersalah dan tidak rela gadis itu
lama-lama bersikap dingin padanya. Apalagi ditambah dengan satu fakta penting
yang baru ia ketahui kalau Agni adalah adik Kiki, pemuda yang punya sedikit
cerita kelam dengannya dan juga Febby.
Nah, Febby juga. Apa kabar dengan gadis itu?
Bahkan sampai sekarang, ia belum juga ada niat untuk berkomunikasi dan
sepertinya Febby juga begitu. Entahlah, ia sendiri tidak mengerti seperti apa
status hubungan mereka sekarang. Belum lagi dengan gosip antara gadis itu
dengan Alvin, sahabatnya sendiri yang bahkan sudah berstatus kekasih orang,
yaitu Shilla. Ckckck, dunia emang bener-bener udah sempit! Pikirnya.
Jreng!
Kali ini, semua senar dipetik tapi bukan oleh
Cakka, melainkan oleh gadis cantik bermata sipit yang tidak tahu sudah sejak
kapan duduk di sebelah Cakka. Cakka kaget dan menoleh sebentar lalu kembali
menengadah melihat langit malam. Langit yang polos tanpa ada cahaya-cahaya
mungil menghiasinya. Bahkan bulan pun tidak tampak oleh matanya. “Tumben lo
semedi disini!” gumam gadis itu. Namanya Chelsea, sepupu perempuan Cakka yang
berumur 5 tahun di atas Cakka. Orang yang benar-benar sudah seperti kakak
kandung bagi pemuda itu.
Cakka tetap menengadahkan kepala dan tak
menjawab. “Lo tuh ya kebiasaan! Kalo lagi galau gak pernah nyahut omongan
orang!” Chelsea terkikik menyelesaikan dumelannya. Cakka meliriknya sinis. “Siapa
yang galau?” balas Cakka akhirnya. “Yang ngerasa aja, deh,” Chelsea terkikik
lagi. Ia kemudian ikut menengadahkan kepala dan memeluk lututnya yang ditekuk. “Lo
masih sama Febby?” Chelsea kini menoleh
ke arah Cakka. Mendengar itu, kepala Cakka perlahan turun dan balas menoleh
pada Chelsea. “Kenapa emangnya?” tanyanya balik.
Chelsea menghela nafas lesu. “Enggak, cuma mau
mastiin aja. kemaren itu gue liat berita Febby sama..” katanya menggantung dan
enggan melanjutkan. Cakka tersenyum geli. “Alvin?” Chelsea menatapnya tak enak hati.
“Iya. Gue gak curiga sama Alvinnya, tapi sama Febby. Kemaren dia segitu
senengnya pas ngomongin Alvin. Sikap dia itu kayak lagi gak dimiliki orang aja,
serasa gak punya pacar gitu. Mana kecentilan lagi! Padahal kan dia masih cewek
lo,” dada Chelsea naik turun. Ia lumayan emosi membicarakan Febby. Lebih emosi
lagi jika mengingat gadis itu adalah kekasih adiknya. Sedikit bumbu penambah,
ia tidak suka gadis yang kecentilan.
“Ngomong kecentilannya pake seluruh tenaga
banget, sih, Kak! Kenapa? Lo keinget sama cewek yang dulu kecentilan sama kak
Bagas?” Cakka menyenggol bahu Chelsea seraya mengerling pada kakaknya itu.
kekesalan Chelsea makin mengubun. Kenapa jadi dirinya yang ditertawakan? Harusnya
kan Cakka. Dan juga, ia kan membela Cakka. Harusnya pemuda itu memujinya bukan
malah meledeknya. Chelsea mencipratkan air kolam di depannya pada Cakka hingga
membasahi gitar kesayangan adiknya itu.
“Kak, stop! Arrrgh gitar gueee!” Cakka menghela
tangan Chelsea yang terus mencipratinya dengan air dan tangan yang lain
menjauhkan gitarnya dari jangkauan kakaknya. Chelsea tertawa puas melihat muka
cemberut Cakka. Cakka kembali melirik sinis ke arahnya. “Yaudah, sekarang lo
jawab pertanyaan gue yang tadi!” Sahutnya tanpa peduli mata menerkam Cakka
padanya.
“Lo pengen tau banget?”
“Iya! Udah cepetan jawab!” Cakka mendesah pelan
dan mulai memetik-metik gitarnya. “Gue juga bingung gue sama dia itu gimana
sekarang. Emang sih, pas pertama kali ada berita tentang Febby sama Alvin gue
sempet marah. Sempet—ya sebutlah cemburu. Tapi makin kesini, gue jadi biasa
aja. Gue juga gak jamin perasaan gue ke Febby masih kayak dulu atau malah udah
gak ada. Udah berminggu-minggu kita gak ada komunikasi dan gue ‘sama sekali’
gak ngerasain kehilangan atau bahkan kangen sama dia. Gue justru lebih sering
mikirin cewek lain.”
Kening Chelsea mengerut mendengar Cakka menyebut
‘cewek lain’. “Cewek lain?” Cakka mengedikkan bahunya sekali dengan jemari yang
setia bergulat dengan senar gitar. “Namanya Agni. Gue nyebut dia cewek kalung.
Habisnya dia ga berenti-berenti ngurusin kalungnya. Gue itu tiba-tiba aja deket
sama dia. Gue selalu penasaran sama cerita kehidupan dia, apalagi sama
kalungnya. Nah iya! Gue juga baru sadar, kalung dia itu miriiiip banget sama
kalungnya Nia. Terus karena itu juga gue sampe mimpiin Nia waktu gue tidur.”
“Jangan-jangan dia Nia! Kalung lo berdua itu kan
design pesanan jadi gak mungkin ada duplikatnya.”
“Itu dia! Gue baru sadarnya sekarang. Padahal
gue udah nyari dia dari dulu. Tapi entah kenapa pas gue ketemu Agni, gue jadi
lupa soal pencarian gue bahkan gue gak ‘ngeh dengan bentuk kalungnya yang sama
persis dengan kalung Nia. Dan bodohnya lagi, karena ulah gue, hubungan gue sama
dia yang awalnya udah cukup deket, sekarang jadi jauh sejauh-jauhnya pluto dari
bumi. Jauh banget pokoknya jauuuh! Apalagi...”
“Apalagi?” Cakka menarik nafas dalam lalu
menghembusnya cepat. Ia menatap Febby antara serius dan tak yakin. “Gue, emm
mungkin sih...Gue suka sama dia,” Chelsea sedikitpun tidak terkejut mendengar
pengakuan adiknya itu. Ia membalas tatapan bingung ke arah Cakka kemudian
memasang tampang berpikir. “Lo mesti baikan sama dia. Kalo gak dia, ya lo yang
harus minta maaf duluan.” Cakka mengangguk-ngangguk lalu kemudian ikut memasang
tampang berpikir.
“Perasaan gue salah gak sih, Kak? Yaah, gimanapun
juga kan, gue bukan dalam kondisi boleh suka sama orang lain kecuali..”
“Kecuali siapa? Pacar lo? Siapa pacar lo? Febby?
Apa dia nganggep lo pacarnya sekarang?” potong Chelsea langsung dan berkata
sarkastis. Cakka terkekeh kecil mendengar itu. Benar juga! Pikirnya. “Yaudah,
daripada bingung-bingung mikirin masalah hati lo, mending lo bantuin bisnis
perhiasan gue!” Cakka seketika tertawa keras mendengar saran Chelsea barusan. Chelsea
mengeryit melihat itu.
“Lo tuh ya, emang dasar muka chinesse otak juga
chinesse, buka bisnis toko mas! Hahaha” Chelsea mencibir lalu segera
mencipratkan air kolam ke arah Cakka lagi. Namun, usahanya kali ini gagal
karena Cakka sudah lebih dulu angkat kaki dan berlari masuk ke dalam rumah. Chelsea
mau tak mau tertawa juga melihat tingkah aneh dari adik sepupunya itu. Ia
lantas mengikuti langkah Cakka masuk ke dalam rumah.
***
Ify menatap serius buku matematika di depannya.
Ia siap tempur mulai malam ini. Ia sudah bertekad kalau semua ulangannya kali
ini tidak akan ada yang masuk daftar perbaikan. Ganbatte! Katanya memekik
semangat dalam hati. Ify kemudian memulai dari nomor satu. Ia tiba-tiba
bergidik. Soal tersebut tampak mengerikan. Tapi, tidak salahnya dicoba. Karena
ada pepatah mengatakan, jangan menilai sesuatu dari apa yang bisa kelihatan
dari luar.
Ify mulai mengoret-ngoret buku coretannya.
Semuanya berjalan lancar hingga kemudian ujung pensilnya berhenti menari. “30!”
seru Ify ketika jawaban berhasil ia dapat. Tuh kan! Benar apa kata pepatah. Ia
lantas menyocokkan jawabannya dengan pilihan yang ada. Seketika mood gembiranya
lenyap. “Kok gak ada?” katanya datar. Sesaat ia diam memandangi soal yang
barusan ia kerjakan tersebut. Tapi karena tak mau mengambil pusing, ia kemudian
memutuskan beralih ke soal selanjutnya.
“Emm—kita coba nomer 2,” Pensil Ify kembali
berjoget ria. Ify meliukkannya kesana kemari sampai jawaban soal tersebut bisa
ia temukan. Sejurus kemudian, tangannya stuck di tempat. Keningnya
berkerut-kerut dengan mata yang memancarkan ketidakmengertian. “Habis ini terus
diapain?” tanyanya pada diri sendiri. Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan ujung
pensil. Pada akhirnya, ia kembali memilih meninggalkan soal dan lanjut ke soal
berikutnya. Dan semoga saja kali ini nasibnya berbeda.
Satu menit.. Tiga menit... Delapan menit....
“HAAH!” Ify membanting pensilnya ke atas meja.
Ia frustasi. Bukannya makin mudah, soalnya justru makin menggila dan membuat
Ify gila. Ia bersandar di kursi sambil menengadahkan kepala. “Kalo gini caranya
mana bakal ikut perbaikan terus deh gue..” Ia memijat-mijat keningnya pelan
sambil terus meringis miris.
Pada saat yang sama, pintu kamar Rio terbuka dan
muncul raga pemuda itu yang melangkah masuk kedalam berikut sebuah psp di
tangan serta headset di telinga. Ia melirik pada Ify sebentar dan kembali fokus
pada psp nya. Ia langsung mengambil posisi santai di atas kasur tanpa
memedulikan tatapan heran Ify padanya. Ify terus menatap Rio dengan pikiran
bergejolak. Sekilas mata Ify memandang miris pada Rio.
Meski hampir gak pernah bersikap ramah, Rio
tetep dipuja. Karena Rio punya pesona tersendiri. Selain karena dia ganteng, punya
suara bagus, pinter main alat musik, tapi yang paling mengesankan itu, Rio
pinter. Jarang orang ganteng otaknya bermutu. Apalagi, dia gak sembarang
pinter. Dia cerdas. Dia gak rajin. Setiap malam buku hampir gak pernah ia
sentuh. Tapi dia tetep bisa pinter. Dia gak perlu nyatet banyak-banyak karena
takut lupa dan bicara keras berulang-ulang buat ngapal. Cuma dengan baca
sekali, sebentar dan dia sudah bisa mengingat. Dia gak perlu dapet penjelasan
berkali-kali biar ngerti. Karena sebelum penjelasan berakhir, dia sudah selesai
mengerjakan simulasi soal dari materi yang sedang dijelaskan itu.
Dan itu semua gak adil. Rio gak perlu susah
payah usaha tapi tetep aja dia pinter. Nah gue? Yang udah jungkir balik baca
buku, nyatet sebisa mungkin semua yang dibilang guru meski kadang mereka
ngomong gak make titik. Belum lagi privat sana-sini, ngapal jungkat-jungkit,
keras-keras sampe telinga denger tapi tetep aja bego. Ujung-ujungnya, perbaikan
lagi perbaikan lagi!
Selain itu, gak ada satupun kelebihan fisik yang
gue punya. Gue gak cantik. Papa aja yang suka ngehibur gue dengan bilang gue
manis. Badan gue biasa aja. Bahkan bisa dibilang dibawah standar. Kurus ceking,
kulit kering kerontang dan telapak tangan gue juga kasar. Suara? Gak
bagus-bagus mata. Bisa main piano cuma di depan orang-orang terdekat aja. Itu
juga gak bagus-bagus amat. Pokoknya yang ada di diri gue gak ada yang bagus.
Semua yang bagus itu nyangkutnya di Rio. Semuanya! Ini bener-bener gak adil.
“Gue kelewat ganteng ya?” tanya Rio yang sadar
diperhatikan sedari tadi. Matanya masih melotot menatap psp ditangannya dan
belum menoleh ke arah Ify. Ify tidak kaget seperti biasanya saat dirinya
ketahuan. Ia hanya menghela nafas lesu dan beralih pada bukunya. Tangannya
bergerak menulisi bukunya asal. Hasratnya ingin belajar dalam sekejab raib.
Untuk apa belajar? Toh gue juga gak bakal bisa pinter. Sekali bego ya selamanya
bego.
“Lo emangnya ga belajar?” Entah kenapa, Ify jadi
kesal sendiri dengan Rio. Hal itu terdengar jelas dari nada suaranya. “Gue udah
pinter,” Jawab Rio santai. Sekali lagi, tanpa menoleh pada Ify yang kini
menatapnya lirih. “Iya, lo pinter. Gak kayak gue yang bego..” Ify menatap lesu
bukunya lagi. Ia menoleh ke samping dan menjatuhkan kepalanya ke atas meja
menimpa sebagian sisi buku di depannya. Tangannya masih setia menulis-nulis tak
jelas. Ia benar-benar merasa sedih saat ini.Rio berhenti memelototi psp nya dan
akhirnya menoleh pada Ify. Ia mulai sadar ada yang aneh pada gadis itu.
“Lo cakep. Lo pinter. Lo sukses. Perfect banget
ckckck,” Sama seperti tulisannya, Ify turut mengoceh tak jelas. “Enak dong, lo
gak perlu capek-capek belajar tiap malam. Lo kan dah pinter..” Rio meletakkan
pspnya di kasur dan diam sebentar. Lalu kemudian ia beranjak berjalan mendekati
Ify. Ia berdiri menyandarkan pantatnya pada meja. Salah satu headset di
telinganya ia lepas dan ia pasangkan ke telinga Ify. Ify tersentak manakala
mendengar suara yang hadir di telinganya. Ia langsung menegakkan tubuhnya
menghadap Rio dan memandang pemuda itu tak percaya.
“Siapa bilang gue gak belajar? Gue cuma gak suka
baca buku. Bikin cepet ngantuk. Waktu gue juga bakal lebih banyak kebuang
sia-sia. Gue nyari cara belajar yang lebih efisien untuk gue dan yang paling
penting, gak bakal bikin gue ngantuk. Karena itu, setiap malam gue make headset
ini. Bukan buat dengerin lagu, tapi dengerin penjelasan materi yang belum gue
ngerti atau bahkan belum gue pelajari. Nah, psp itu gunanya biar gue gak cepet
bosen. Karena mood juga gak kalah penting buat menunjang gue belajar. Terus di
sekolah, gue tinggal latihan soal aja sambil sesekali dengerin guru jelasin
materi yang masih juga belum bisa gue ngerti waktu belajar di rumah.”
Ify menganga makin tak percaya pada apa saja
yang Rio katakan. Ia sudah salah sangka. Rio tak seperti yang ia pikirkan.
Dalam hal belajar, pemuda itu sangat disiplin bahkan rajin. Rio mengatur sebisa
mungkin waktu-waktu belajarnya tidak terlewat satupun. Memang pantas kalau Rio
pintar. Iya, pantes banget! Batin Ify kagum. Rio mengambil tanpa izin pensil
yang dipegang Ify. Ia lalu mendaratkan cukup keras badan benda panjang tersebut
ke kening Ify. Ify tak ayal mengaduh kesakitan.
“AWW!” rintih Ify. Lagi-lagi Rio memukul
kepalanya. Biar ia tebak, selanjutnya Rio akan lebih sering melakukan itu
padanya. Pinter sih, cakep sih, tapi nyebelinnya itu loh! Gerutu Ify membatin.
“Tuhan itu ngasih kepintaran gak sembarangan, gak cuma-cuma. Kita mesti usaha
juga. Belajar itu tetep wajib. Sejenius-jeniusnya orang, sekuat-kuatnya ingatan
orang, yang namanya lupa itu pasti ada. Udah lumrah untuk semua manusia.
Termasuk gue.”
Ify makin tidak menyangka Rio bisa sebijak
sekarang. Gue jadi makin cinta deh! Hehe.
“Yaudah lanjutin belajar lo. Dan jangan pernah
lagi mikir kalo gue gak pernah belajar!” Baru saja Rio hendak beranjak, Ify meraih
pergelangan tangannya menahannya untuk pergi. Ia melirik tangan Ify tersebut
lalu menatap gadis itu. Ify tampak kebingungan mengutarakan maksudnya. “Emm—itu—emm
ajarin gue,” cicit Ify. Rio menaikkan alisnya lalu memasang tampang malas.
“Besok aja deh! Gue kayaknya udah ngantuk,” elaknya. Ia hendak beranjak lagi
namun Ify kembali menahannya.
“2 nomer aja!” Rio menatap Ify masih tak
semangat. “Please?” mohon Ify serta memasang wajah memelas. Rio melengos sambil
menggaruk kepalanya kesal. Meski pada akhirnya ia menuruti permintaan Ify untuk
mengajari gadis itu. baiklah, hanya dua nomor. Pikirnya sekaligus menyemangati
diri sendiri. “Yang mana?” Ify tersenyum senang mendengar itu meski Rio
mengatakannya tidak ada ikhlas-ikhlasnya sama sekali. ia mengambil buku
coretannya dan menyerahkannya pada Rio.
“Gue udah nyari tapi hasilnya ga ada.” Katanya
ketika Rio sedang membaca hasil cariannya. Ify diam-diam mengambil kesempatan
tersebut untuk menikmati lamat-lamat wajah tampan Rio. Jarang-jarang ada
kesempatan seperti ini. Sambil menyelam minum air. Ia tersenyum geli memikirkan
itu. “3 kali 3 berapa?” tanya Rio tiba-tiba. Ify yang awalnya senang kemudian
berubah jengkel. “Lo ngejek gue?” Sewot Ify.
“Jawab aja,” balas Rio tak peduli. Ify menjawab
sambil mendengus. “Sembilan!”
Pletak! *ondemande-_-*
Ify mengaduh kesakitan lagi. Tebakannya benar
kan? Rio pasti akan lebih sering memukul keningnya. Sekarang contohnya. “Disini
lo buatnya 6!” dumel Rio pada Ify. Ify memeriksa cariannya sambil
mengelus-ngelus kening. Ia lantas menyengir mengetahui kesalahannya tersebut.
Ia kemudian mengambil pensilnya yang diambil Rio dan mulai menulis lagi
memperbaiki cariannya. Ia bersorak gembira saat jawaban yang ia dapat ada dalam
pilihan yang ada. Rio melihat itu sambil mencibir.
“Yang terakhir. Gue udah nyari, tapi baru
setengah. Gue gak tahu mesti diapain lagi hehe,” ujar Ify. Rio kembali fokus.
Kali ini sedikit berbeda. Ia menambahkan tulisannya setelah tulisan Ify lalu
menyerahkan buku tersebut pada gadis itu. tak sama seperti tadi, Ify justru
kesal melihat tulisan tambahan dari Rio itu. “Kenapa lo yang ngerjain? Harusnya
lo jelasin ke gue!” Rio meliriknya sinis. Bukannya ucapan terimakasih, ia
justru kena omel gadis itu.
“Masih untung gue bantuin!” balasnya tak terima.
Ify memanyunkan bibirnya. Kalo sama Dea aja, lo ikhlas seikhlas-ikhlasnya, rela
serela-relanya, sabar sesabar-sabarnya ngajarin dia. Kalo sama gue, lo
marah-marah mulu! Mengingat Dea, Ify jadi mendadak sedih. Ada rasa sesak yang
tiba-tiba menyergap dadanya. “Makasih. Sorry ngerepotin. Gue gak bakal minta
tolong lo lagi.” katanya jutek. Kedengarannya seperti rutuan biasa. Tapi, itu
serius. Ify serius, ia tak akan lagi meminta tolong pada Rio.
“Bagus deh kalo gitu!” komentar Rio ringan dan
kemudian berjalan menuju kasur. Ia langsung mengambil posisi yang nyaman untuk
tidur dan menyelubungi tubuhnya dengan selimut. “Lo tidur disitu? Terus gue
tidur dimana?” tanya Ify selagi Rio belum tertidur. Rio memejamkan matanya dan
memiringkan tubuhnya ke arah samping, membelakangi Ify. “Di bawah. Itu sebagai
hukuman lo untuk tadi siang dan juga upah gue ngajarin lo.”
Ify mendengus tak terima. Dasar Mario! Masih
tetap menyebalkan! Masih tetap seenaknya! Ia sama sekali tidak mau mengalah
akan kasurnya dan membiarkan Ify nanti harus tergeletak seperti ikan asin di
lantai. Ini bahkan belum jamnya tidur tapi pemuda itu sudah memboikot kasur
yang ada dalam kamar. Ify menarik nafasnya berkali-kali mati-matian menahan
sabar mendapat perlakuan seperti sekarang oleh Rio.
Ify diam sebentar memikirkan nasibnya malam ini.
Cukup kemarin ia harus menderita sakit dan pegal-pegal akibat tidur di lantai.
Tidak untuk malam ini atau bahkan malam selanjutnya. “Ray udah tidur belom?”
Rio mendengar itu lantas membuka matanya. Untuk apa menanyakan Ray? “Kayaknya
sih belom. Kenapa?” katanya balas bertanya. Ify berpikir sekali lagi lalu
kemudian berdiri. Ia berjalan melewati kasur tanpa menjawab pertanyaan Rio
lebih dulu. Rio cepat-cepat bangkit dari tidurnya menjadi duduk.
“Mau kemana lo?” Ify berhenti sebentar dan
menoleh pada Rio, menatap pemuda itu datar. “Ke kamar Ray,” jawabnya singkat.
Rio mengerutkan dahi tak mengerti. “Mau ngapain?”
“Numpang tidur,” jawab Ify masih singkat dan
santai. Sementara Rio, ia mulai menunjukkan mimik muka panik. “Lo mau seranjang
sama dia?” Rio panik akan dua hal. Nasib Ify yang akan malang jika seranjang
dengan Ray dan bahaya lain jika Ify benar-benar seranjang dengan adiknya itu.
“Siapa tahu dia mau ngalah tidur di lantai dan gue tidur di kasur. Tapi kalo
dia gamau, yaudah seranjang juga gapapa. Ray juga dari kalo gue liat kayaknya
bisa bertanggungjawab,” Kalimat terakhir Ify memaksimalkan kepanikan yang
melanda Rio. Tanggungjawab?! Ulang Rio dalam hati.
Ify memang sengaja berkata seperti itu. Sesekali
memberi pelajaran pada Rio yang sudah sangat menyebalkan malam ini. Lagipula,
mana mungkin dirinya mau seranjang dengan Ray. Disamping Ray laki-laki, kata
Rio juga cara tidur anak itu tidak manusiawi kan? Pegal di badannya bisa makin
parah kalau seperti itu. Sejujurnya ia tidak akan pergi ke kamar Ray. Daripada
di lantai, lebih baik dirinya tidur di sofa ruang tengah.
“Haiss!!” Rio kemudian mengerang frustasi.
Yasudah, lebih baik dirinya tidur di lantai malam ini daripada membiarkan Ify
tidur bersama Ray. Percuma tidur di tempat yang nyaman kalau pikirannya
senantiasa diliputi rasa tak nyaman karena mengkhawatirkan Ify. “Oke, lo tidur
di kasur. biar gue yang tidur di lantai.” Rio sudah di depan Ify menghadang
gadis itu. Ify menatapnya datar. “Gak perlu,” Rio mendelik. “Jadi lo bener-bener
mau seranjang sama Ray?” tanyanya tak sabaran. Ify mengernyit ke arahnya lalu
melengos tanpa menjawab apapun.
Rio berjalan cepat mendahului Ify hingga ke
pintu. Ia lalu mengunci kamarnya dan mencabut kunci tersebut. Setelah itu ia
kembali menatap Ify. “Tidur sana!” katanya memerintah. Ify diam sebentar lalu
berbalik badan berjalan menuju sisi kiri kasur. Ia mengambil satu bantal dan
satu guling lalu meletakkannya di bawah. “Gue pinjem selimut lo ya! di bawah
dingin,” ujar Ify tanpa menoleh. Ia juga langsung membaringkan tubuhnya dan
memejamkan mata. Rio makin tidak mengerti maksud Ify. Gue suruh tidur di lantai
dia pengennya di kasur. gue suruh tidur di kasur, dia malah tidur di lantai.
Haisss!!
Rio kemudian menghampiri Ify kembali menyuruhnya
tidur di kasur. “Naik ke kasur!” perintahnya lagi. “Ini kamar lo, kasur itu hak
lo.” Rio mendadak merasa bersalah sendiri. Seketika ia berpikir, bagaimana
mungkin dirinya membiarkan seorang gadis tidur di lantai?
“Terus kenapa lo malah milih ke kamar Ray? Sampe
rela seranjang sama Ray? Kenapa lo gak bujuk gue? Kenapa lo—rr gak rela juga
seranjang sama gue?”
“Gue gak mau ngerepotin lo, Mario.” Ujar Ify
terdengar kesal. Ia jadi teringat pada percakapan mereka saat belajar tadi. Rio
bergeming. Ada yang aneh dengan gadis ini. sejak tadi memang aneh, sih. Tapi,
sepertinya ia mulai paham penyebab keanehan Ify itu. “Gue salah ngomong ya?”
Rio sedikit merendahkan volume suaranya mencoba melunakkan Ify. Ify sendiri
hanya diam enggan menjawab. “Lo kesinggung sama omongan gue?” Ify masih tetap
bergeming. Mencoba tidak peduli supaya pemuda di sampingnya itu menyingkir.
“Fy..” kali ini nada suara Rio terdengar
memohon. Ify mendesah pelan. “Gue ngantuk..” Ify balas memohon sekaligus
mengusir Rio secara tak langsung. Rio tak punya pilihan lain. Ia menyerah
membujuk Ify. Ia kemudian berjalan naik ke kasurnya dan berusaha terlelap. Tapi
sepertinya, malam ini ia tidak akan bisa tidur nyenyak. Jangankan tidur,
memejamkan mata saja tidak bisa, mungkin.
***
Haaaaai! Sebelumnya maap yak Cagni nya gak ada, cuma Cakka doang.
Itu ada Chelsea ga maksud nambah konflik baru, dia cuma muncul separt dua part
laah, tapi perannya cukup penting.
Oh iya, 10 part nya entar ya, ini baru bisa di
selesein separt doang karena tangan mimin pegel naujubilah gak ilang-ilang -_-
Maap juga kalo hasilnya ga memuaskan .__.v
TETEP DOAIN MIMIN YAAAAA! MANDIRI UNSRI LAGI LOH MANDIRI UNSRI LAGI!!!!
Maacih cemuanya muah muah muah :*
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan
penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi
belaka. Makasih =)
Aku nunggu trus ini cerbung abis seru dan asyik. Paling suka rift dan cagni'a kalau bisa diperbanyak rify dan cagni'a.jangan ngaret ya kak hehehe :D
BalasHapushehehe :3
Hapuskerennn:'''''cepet lanjut dooong, aku selalu suka yang bagian rifynyaaa.. jadi ikut nyesek juga '_'
BalasHapusudaaaah u.u
HapusKak Nita. Kapan dilanjut ini toh Kak ? Saya pensaran banget sama kelanjutannya. Cepet lanjut ya Kakak cantik :3
BalasHapusudah di lanjut tauuk u.u
HapusWkwk. Iya, KakNit. Saya baru buka blog lagi :D Next partnya jangan lama-lama ya Kak. Penasaran banget.
Hapus