-->

Kamis, 24 April 2014

Matchmaking Part 27

Alshill, Fevin(?)

Setelah berhari-hari libur, akhirnya hari ini Febby bisa kembali bersua dengan sekolah tercintanya. Rindu juga rasanya melihat suasana di sekolahnya itu, berada di antara hiruk-pikuk murid-murid disana, berlelah-lelahan dengan tugas sekolah, merasakan makanan kantin, dan terutama bertemu dengan Goldi. Ia berjalan cepat menuju kelasnya. Setelah itu, ia keluar dan berjalan menuju kelas Goldi untuk bertemu pemuda itu. Pemuda itu pasti akan sangat senang melihatnya sudah kembali masuk sekolah.
Ketika sudah berada di depan pintu, Febby celingak-celinguk ke dalam kelas namun tak ada tanda-tanda keberadaan Goldi di sana. Tasnya pun tidak ada. Apa pemuda itu belum datang? Febby melihat jam tangannya dan mengetahui sekarang sudah pukul 06.48. Rasanya tidak mungkin kalau Goldi sampai sekarang belum datang. Goldi bukan tipe cowok yang susah bangun pagi. Dia spesies cowok paling rajin menurut Febby. Apalagi sekarang dia memegang jabatan sebagai ketua OSIS.
Mungkin Goldi masih otw. Akhirnya Febby memutuskan berpikiran seperti itu. Tidak ada pilihan lain. Ia tidak ingin beranggapan pemuda itu akan datang terlambat. Selain akan terkena hukuman, murid-murid di sekolah mereka pasti akan mencemooh Goldi karena berlaku tidak disiplin dimana pemuda itu sering menegur para murid yang berlaku tidak disiplin. Citra baik Goldi selama ini akan sedikit tercoreng. Itu tidak bagus untuk pemuda itu. Citra buruk akan sangat membahayakan nasib beasiswanya yang sudah dengan susah payah ia dapatkan.
Goldi bukanlah anak dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan ayahnya adalah seorang konglomerat. Akan tetapi, konglomerat seribu selir. Dan ibu Goldi adalah satu dari sekian banyak selir itu. Namun ibunya sedikit lebih beruntung karena berhasil menjadi istri ketiga. Meski begitu, ayahnya begitu menyayangi ibunya dan juga dirinya. Karena hanya ibunya yang bisa memberikan anak laki-laki. Tapi, yang paling utama bukan itu. Klise, semuanya hanya karena cinta tulus ibunya.
Ibu Goldi hanyalah penjual kue di toko sederhana miliknya. Akan tetapi, di toko sederhananya itulah yang membuat ayah dan ibunya bertemu. Saat itu ayahnya mengaku sebagai seorang sales perusahaan. Sampai akhirnya ibunya jatuh cinta dan bersedia dinikahi. Setelah beberapa bulan menikah, barulah ibunya tau kalau ayahnya bukan seorang sales, melainkan bos dari para sales, bahkan owner perusahaan itu sendiri. Belum lagi usaha restoran dan hotel bintang limanya. Dan ibunya juga baru tau kalau ia dijadikan istri ketiga. Sempat ibunya marah dan meninggalkan ayahnya beberapa minggu karena sudah dibohongi. Namun pada akhirnya luluh dan memaafkan ayahnya ketika laki-laki itu jatuh sakit akibat mogok makan karena ditinggal olehnya.
Sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarganya dan tentunya paling dibenci oleh saudara-saudara tirinya, Goldi tidak ingin dianggap memanfaatkan posisi. Setiap fasilitas mewah apapun yang diberikan ayahnya, ia selalu menolak. Kecuali kalau dipaksa ibunya demi menjaga perasaan ayahnya. Meski sebenarnya ayahnya mengerti alasannya bersikap seperti itu. Ia lebih memilih motor vespa jadul ketika ayahnya menawari motor ninja yang banyak dipakai para anak laki-laki lain. Ia lebih memilih hape harga dua ratus ribuan ketika ayahnya menawari smartphone jenis blackberry atau apple. Dan yang paling mendasar, untuk soal pendidikan, ia tidak pernah mau meminta bantuan ayahnya. Itulah mengapa, ia selalu berusaha keras agar bisa terus mendapatkan beasiwa.
TIIN!
Suara klakson mobil seketika membuyarkan lamunan Febby tentang Goldi. Ia kini sudah berada di lapangan parkir sekolahnya. Kepalanya kemudian iseng menoleh pada mobil yang klaksonnya dibunyikan tadi. Mobil yang tidak pernah ia lihat selama ini. Ia tidak dapat melihat siapa pemiliknya karena posisinya ada di belakang mobil itu. Untuk beberapa saat, ia melihat mobil itu berhenti dan belum ada yang keluar dari sana.
 Febby sempat mengalihkan pandangannya ke arah gerbang. Tapi ketika terdengar suara pintu mobil ditutup, ia kembali memandang ke arah sana. Seketika itu pula ia mematung di tempatnya. Gol—di? Dan...Oik?!
Oik lalu diam di tempatnya menunggu hingga Goldi berjalan di depannya. Dengan cepat ia melingkarkan tangannya ke lengan pemuda itu. Goldi hanya melirik sebentar lalu sepertinya tidak masalah atau mungkin tidak peduli, entahlah Febby tidak terlalu tahu. Pemuda itu tetap berjalan santai. Beruntung ia tidak berjalan ke arah dimana ia berada. Namun, pemuda itu pun tidak beruntung karena ia melihat apa yang terjadi sedari tadi.
Febby sempat tersihir akan apa yang dilihatnya. Ia masih tercenung di tempatnya, masih antara percaya dengan tidak percaya kalau tadi Goldi dan Oik baru saja keluar dari mobil yang sama dan bergandengan tangan pula. Atau mungkin hanya Oik yang menggandeng Goldi. Tapi, tetap saja, tetap sama anehnya. Tetap saja sama tidak benarnya. Lalu tiba-tiba saja ia tertawa.
“Gue harap apa yang gue pikiran gak bener. Hahaha.” Gumamnya seraya geleng-geleng kepala.
***
Alvin terbangun dari tidurnya dan mengerjap mata beberapa kali. Ia melirik ke kanan-kiri memeriksa di sekitarnya. Ia mengambil ponselnya dan mengetahui sekarang sudah hampir jam 8 pagi. Saat itu juga ia teringat Shilla. Semalam ia berjanji akan menjelaskan sesuatu pada gadisnya itu. Ia baru hendak mendial nomor Shilla sebelum ia teringat lagi kalau saat ini gadis itu pasti sedang melakukan kegiatan sekolahnya. Ia lantas meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula dimana ada tas milik mamanya juga tergeletak disana. Kemana mamanya? Tanyanya spontan dalam hati.
Secara kebetulan, mamanya tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar mandi dan langsung tersenyum padanya. “Akhirnya bangun juga. Kamu udah laper belum?” tanya mamanya ketika sudah berdiri di sebelahnya. Ya, kebetulan lagi. Ia memang terbangun karena rasa lapar di perutnya. Ia pun mengangguk pada mamanya. Mamanya tersenyum lalu mengambil tas dan mengeluarkan sesuatu dari sana yakni dua buah produk tupperware, satu botol minum dan satunya lagi kotak makanan.
Saat itu juga Alvin baru sadar kalau pakaian yang dikenakan Mamanya saat ini berbeda dengan semalam. Pasti mamanya sudah pulang ke rumah dan kembali lagi ke rumah sakit. “Kangen masakan mama?” Mama Alvin tersenyum lagi, kali ini sambil menaikkan salah satu alisnya. Alvin membalas dengan senyum senang. Tentu saja ia rindu masakan mamanya. Sudah beberapa hari ini ia terus-terusan makan makanan rumah sakit. Bosan rasanya karena menunya selalu sama. Apalagi kalau pagi, pasti petugas dapur rumah sakit hanya akan memberinya bubur. Ia tidak suka bubur. Enek rasanya.
“Yaudah, kamu cuci muka dulu sana. Sekalian sikat gigi. Kamu bisa jalan sendiri atau mau mama bantuin?” tanya mama Alvin sambil menyerahkan sikat dan pasta gigi milik Alvin yang dibawanya dari rumah. Alvin memperhatikan kakinya sebentar lalu menimang-nimang. Ia teringat perkataan dokter waktu itu kalau ia tidak boleh menggunakan kakinya itu dulu untuk beberapa waktu jika ingin sembuh cepat. “Mama bantuin deh kayaknya,” putusnya.
Kemudian pelan-pelan mama Alvin memapah Alvin hingga masuk ke kamar mandi. “Hati-hati jangan sampe kakinya kena air!” himbau mamanya yang berdiri memantau di depan pintu. Dengan susah payah akhirnya Alvin selesai dan keluar dari kamar mandi. Kembali dipapah mamanya menuju tempat tidur. Setelah itu, mamanya mengambil kotak makanan dan menyerahkan benda itu padanya.
“Kirain mama mau nyuapin,” protes Alvin. Wajahnya merengut seperti anak kecil yang sedang merajuk.
“Lah kan yang sakit kaki kamu bukan tangan kamu.” Balas mamanya sambil tersenyum heran.
Alvin lantas menggelayut manja di lengan mamanya sambil memasang tampang seimut mungkin. “Alvin maunya disuapin..” Rengeknya tak kalah manja. Mata mamanya sempat melebar tapi kemudian tertawa geli. Mamanya mengelus-ngelus kepalanya sebelum akhirnya mengambil kembali kotak makanan tadi.
“Yaudah-yaudah, sini dedek bayi Alvinnya biar mama suapin!” ledek mama Alvin. Alvin hanya terkekeh mendengar itu tanpa membalas.
Di sela-sela menyuapi Alvin, mama Alvin tiba-tiba teringat pada gadis yang kemarin menemani Alvin sebelum dirinya. “Anak cewek kemaren, aduh siapa namanya? Fe...Feli?”
“Febby?” Alvin mengernyit. Disaat damai tentram seperti ini kenapa mamanya harus membahas tentang gadis pembuat ulah itu, sih? Bikin keki aja!
“Ah iya! Febby! Dia ga dateng kesini lagi?”
Alvin baru menyadari kalau gadis itu belum memunculkan diri hari ini. Biasanya pagi-pagi sekali sudah datang. Sekarang sudah hampir setengah sembilan pagi tapi belum ada tanda-tanda kehadiran gadis itu. Ah! Apa? Cewek nyebelin itu gak datang? Sumpah demi apa?!
Mama Alvin menatap Alvin bingung sekaligus aneh karena tiba-tiba saja Alvin senyum-senyum sendiri. “Kok kamu malah senyum-senyum gitu?”
Alvin terkesiap namun seketika merubah ekspresinya. Ia menggelengkan kepalanya. “Gakpapa, Ma. Udahlah Alvin males ngomongin dia. Bagus deh kalo dia ga dateng ke sini lagi.” Alvin mengibaskan tangannya singkat.
Mama Alvin hanya menganggukkan kepala sambil membulatkan mulutnya mengucapkan ‘ooh’. Meski diam-diam ia menyimpan kekecewaan ketika mendengar jawaban Alvin seperti itu. Sementara Alvin berpesta ria dalam hati.
Yes gaada Febby yes!
***
Sejak dari perjalanan pulang hingga sekarang sudah sampai di rumah bahkan sudah berganti baju dan berbaring di kasur kamarnya, Shilla terus saja memandang, mengecek, mengubek-ubek isi ponselnya. Ia mengharapkan sesuatu pada benda itu tapi yang diharapkannya itu tak kunjung terjadi. Sampai sekarang Alvin belum meneleponnya. Padahal tadi malam pemuda itu berjanji akan menghubunginya. Tapi, sekarang mana? Mengirim pesan saja tidak.
Shilla mendesis sebal sambil menatap layar ponselnya. Sudah tertera nomor Alvin disana. Tapi jempolnya masih enggan untuk menekan tombol untuk call di ponselnya itu. Ia lalu mendesah frustasi. Sejurus kemudian ia mengetikkan beberapa kata dan langsung mengirimnya pada Alvin.
‘Hai, lo sibuk ya? Katanya mau nelfon-_-‘
Send. Shilla menghela napas dan menutup matanya. Ia meletakkan ponselnya asal di atas kasur di sebelahnya. Melihatnya lagi lalu meletakkan lagi. Hingga akhirnya benda itu bergetar dan Shilla dengan cepat menyambar. Nama yang seharian ini dinantikannya pun muncul di layar ponselnya. Meski ia amat merasa kesal karena Alvin baru menghubunginya setelah dirinya menghubungi pemuda itu, ia juga tak dapat menangkis rasa lega dalam hatinya.
‘Astaga cantik, gue lupa-_- Padahal tadi pagi gue udah mau nelfon lo. Maaf ya:(:* Tapi masih ada mama disini. Ntar ya gue telfonnya. Gapapa kan? Hehe._.v’
Shilla mengernyit. Memangnya kalau ada mamanya kenapa?
‘Emangnya kalo ada mama kenapa?._.’
Shilla menumpu ponselnya di dagu. Dadanya berdebar. Pikirannya mulai menerka-nerka apa balasan Alvin nanti. Dan tak berapa lama ponsenya bergetar kembali.
‘Ya gaenak aja._.’
‘Gaenak gimana?.-.’
‘Yaaaa ga enak pokoknya. Masa lo gak ngerti sih, Cantik?.-.’
Shilla memijit-mijit keningnya tak mengerti. Yang dimaksud Alvin ‘gak enak’ itu apa? Yang mana? Gak enak itu kan banyak artinya. Apalagi selama ini, kalau di depan mamanya, ia tidak pernah merasa ‘gak enak’ seperti yang Alvin bilang jika pemuda itu meneleponnya.
‘Mama tau gak sih kalo lo pacaran sama gue?’
‘Tau sih. Emang kenapa?._.’
‘Ya kalo udah tau kenapa mesti sembunyi-sembunyi?.-.’
‘Gue gak sembunyi-sembunyi, Shill-_- Kalo gue sembunyi-sembunyi gak mungkin lah sekarang gue bisa santai chat sama lo.‘
Shill? Aneh. Akhir-akhir ini Alvin sering banget manggil gue pake nama. Batin Shilla.
‘Ya kalo bukan sembunyi-sembunyi kenapa mesti nunggu mama lo pulang baru lo nelfon gue?-_-‘
‘Kan gue udah bilang gak enak. Tinggal nunggu sebentar aja kenapa sih?‘
Tanpa emoticon apapun. Tanpa embel-embel cantik ataupun ‘Shill’. Shilla mengernyit kesal sekaligus khawatir. Mendadak ada perasaan tak enak menyelinap di benaknya.
‘Gue gak ngerti deh gak enaknya dimana-_-‘
‘Gue juga gak ngerti gimana jelasinnya biar lo ngerti. Karena gue kira lo bisa ngerti.’
Masih tanpa emoticon. Mungkin memang sedang tidak diperlukan...
‘Mama gak suka ya sama gue?’
‘Hah? Kok lo bisa mikir kekgitu?-_-’
Shilla menelan ludah getir. Seketika ia menyesali apa yang sudah ia katakan. Iya ya, kok gue bisa bilang gitu sih? Engg...dia gak marah kan?
‘Ya abis lo gitu._.’
‘Gitu gimana? Kalo emang mama gak suka, mama pasti ngelarang dari awal lah. Gue kan udah bilang ga enak-_- Kita kan butuh private situation dimana cuma kita berdua yang tau apa yang kita omongin. I thought you shouldn’t have to get long explaination first to understand hhhhh-_-‘
Oh privasi...kenapa gak ngomong itu aja dari awal sih? Kenapa harus muter-muter di kata ‘gak enak’? Hhh!
‘Ah, privasi! Itu baru gue ngerti.-.’
Kali ini pesan Shilla tidak dibalas, hanya sekedar dibaca. Oke, Alvin tidak pernah seperti ini. Tidak, Alvin tidak marah. Alvin hanya...kesal, mungkin. Shilla langsung meringis panik. Bagaimana ini? Kenapa jadi pemuda itu yang kesal?
‘Pit?’
Masih sama, tidak ada balasan. Dan masih hanya sekedar dibaca.
‘Lo marah ya?’
‘Gak’
Bahkan titik pun gak ada. Batin Shilla resah. Tapi, yaa..setidaknya udah dibales.
‘Kesel?’
‘Y’
Sekarang kurang huruf! Aaaa sipiiit jangan kesel pliiiiis?!
‘Kenapa?’
‘Gtw’
Disingkat pemirsa! Disingkat! Hati Shilla makin resah. Lama dirinya hanya diam memperhatikan ponselnya sekaligus memikirkan balasan apa yang tepat yang bisa membuat Alvin melunak. Dan dari sekian lama itu hanya satu kata yang terlintas di benaknya.
‘Pit, jangan kesel dooong! Ya sorry tadi kan gue bener-bener gak ngerti._.‘
‘Sipiiiiit jangan biarin gue jual kacang dong:(‘
Kembali, Alvin tidak membalas pesannya kembali. Bahkan pesan berikutnya pun mengalami nasib yang sama.
‘Yaudah, ntar kalo mama udah pulang jangan lupa telfon gue ya{}’
Shilla menghela napas berat. Ia pasrah Alvin akan membalas pesannya atau tidak. Dalam hati ia yakin kalau pemuda itu tidak akan setega itu. Tapi..karena Alvin tidak pernah menunjukkan sikap kesalnya seperti sekarang, sepertinya ia tidak boleh terlalu percaya diri.
***
Alvin mendengus. Moodnya yang semula sangat-sangat baik tiba-tiba langsung berubah drastis. Entahlah, ia sendiri juga bingung kenapa emosinya mendadak membara seperti ini. Selama riwayat perjalanan hubungannya bersama Shilla, ini pertama kalinya ia menunjukkan rasa kesal pada gadisnya itu. Dan sekarang ia malah dibuat bingung akan alasan kenapa ia kesal. Ia kesal karena Shilla atau kesal pada dirinya sendiri?
Drrt..
Getaran ponsel di tangannya sejenak menghentikan perdebatan dalam kepala Alvin. Ternyata sudah masuk beberapa pesan dari Shilla. Ia membacanya sekilas lalu seketika kembali bingung. Ia harus membalas bagaimana?
Alvin lalu mencoba mengetikkan beberapa kata di layar ponselnya namun dengan cepat ia hapus. Ia mengulang mengetik lalu ia hapus lagi. Aisssh! Kok jadi gue yang bingung sih?
Di tengah kebingungan Alvin itu, tiba-tiba dokter wanita yang bertanggungjawab menangani kakinya muncul dari balik pintu. Ia langsung tersenyum menatap Alvin sementara Alvin memutar kedua bola matanya jengkel. Senyuman dokter itu selalu terasa menyebalkan baginya. “Hai, pasien bandel. Gimana kabar kamu?” sapanya ramah. Seramah kata-katanya.
“Nama saya Alvin, Ibu Dokter.” Balas Alvin sambil mendengus. Dokter tersebut terkekeh geli lalu tersadar kalau di ruangan itu Alvin tidak sendirian. Ada seorang wanita yang lebih tua beberapa tahun darinya sedang tersenyum menatapnya. “Dokter yang menangani anak saya?” tanya wanita itu, mama Alvin. Sang dokter mengangguk tersenyum. “Gimana keadaan kaki anak saya, Dok? Kapan dia bisa pulang?” Mama Alvin bertanya lagi.
Sang dokter kembali tersenyum. “Seharusnya sih dua hari lalu udah bisa pulang. Tapi karena anak ibu bandel jadi harus nambah beberapa hari. Tapi, ibu gak usah khawatir. Besok dia udah boleh pulang. Dan ya, untuk sementara harus pake tongkat.”
Mama Alvin mendesah lega mendengar penjelasan sang dokter. Ia langsung mengusap-usap kepala Alvin. Meski Alvin merasa kurang setuju mamanya melakukan itu di depan dokter menyebalkan itu. Dokter itu pasti akan meledeknya sebagai anak mami. “Terus dokter ngapain masih disini? Udah gaada yang mau disampein lagi, kan?” sindir Alvin.
Sang dokter tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ini kan hari terakhir kita ketemu, Alvin. Kamu harusnya gak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ntar kamu kangen loh sama Dokter!”
Tak ayal, Alvin langsung menggerutu ketika sang dokter selesai bicara. Bagaimana mungkin dokter semenyebalkan ini bisa menjadi dokter paling disukai di rumah sakit ini? Kena pelet apa mereka semua? Ckckck. Memang sih dokter ini tergolong dokter muda dan wajahnya juga cantik. Suaranya lembut dan sering sekali tersenyum. Meski begitu, suara maupun senyumannya entah kenapa selalu terasa menyebalkan. Apalagi dokter ini suka sekali meledeknya.
“Yasudah, kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu. Dan kamu, jangan nangis ya kalo dokter tinggal!” Pamit sang dokter sambil tersenyum pada mama Alvin dan mengedipkan mata pada Alvin. Mama Alvin mengangguk sambil tersenyum geli melihat ‘keakraban’ antara dokter itu dan anaknya. Sementara Alvin mendelik tajam. “Gak akan!” katanya ketus. Kekesalannya bertambah lagi sekarang.
Setelah Dokter keluar, Mama Alvin kemudian ikut berpamitan pada Alvin. Katanya ada urusan yang mesti dikerjakan. Alvin menghela napas ketika dirinya benar-benar sudah sendirian dalam kamarnya. Saat itu juga ia teringat kalau ia tadi berjanji akan menghubungi Shilla. Ia menghela napas lagi, bingung untuk benar-benar mendial nomor Shilla atau tidak.
Namun, belum sempat memutuskan apa-apa, seseorang yang sangat diharapkan Alvin untuk tidak hadir tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamarnya. Siapa lagi kalau bukan Febby. Gadis itu berjalan lesu dan kemudian duduk di sofa seperti biasa. Alvin memutar kedua bola matanya kembali. “Lo kenapa sih datang lagi?” ketusnya.
Febby melirik Alvin sekilas lalu merogoh isi dalam tasnya. Mengeluarkan beberapa jilid-an fotokopian dari dalam sana. Ia berdiri dan berjalan menghampiri Alvin lalu memberikan fotokopian tadi pada pemuda itu. “Ini catatan pelajaran selama lo gak masuk. Lo besok pulang kan? Jadi lusa pasti udah masuk sekolah. Nah, lusa bakal ada ulangan biologi. Trus soal tugas, ada dua praktikum kimia sama satu praktikum fisika. Karena cuma lo sama gue yang gak masuk, jadi kita terpaksa satu kelompok. Tapi akhir bulan depan sih dikumpul semua laporannya. Terserah lo deh ngerjainnya kapan, ntar kasih tau aja sama gue. Gue harap gak ada pertanyaan lagi.”
Alvin melihat satu persatu fotokopian yang diberikan padanya sambil bergantian memandang Febby. Dari penglihatannya, gadis itu sedang tidak dalam kondisi mood yang baik. Sebelas dua belas dengan dirinya. Kenapa bisa samaan gini? Pikirnya. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan gadis itu semalam yang memintanya dijadikan pacar.
“Maksud omongan lo kemaren apa sih?”
Febby mengernyit bingung. “Omongan gue yang mana?” Nada suaranya terdengar tidak antusias dan sepertinya ia juga tidak terlalu menghiraukan Alvin.
“Yang lo minta gue jadi pacar lo. Lo tuh sebenernya emang iya suka sama gue atau enggak sih?!” ujar Alvin kesal sendiri. “Oh, itu. Lupain aja, udah gak penting.” Febby seraya mengibaskan tangannya. Pertanyaan Alvin itu mengingatkannya pada hal-hal yang sedang tidak ingin ia ingat. Tentang sepasang manusia yang...ah sudahlah, tadi kan ia sudah bilang tidak ingin diingat.
“Ck. Kalo jawab itu yang lengkap kenapa?” Febby menghela napas frustasi lalu menggaruk-garuk kepalanya. “Apalagi sih? Emang ada yang belum kejawab?”
“Baru aja gue tanyain masa lo udah lupa? Ckckck. Gue tadi nanya lo itu sebenernya beneran suka sama gue atau enggak.” Ulang Alvin sambil bersedekap.
“Uh? O-oh itu..” Febby meringis dan memberi jeda sesaat. “Enggak, tenang aja.” lanjutnya acuh tak acuh sambil mengedikkan bahunya. Ia melangkah kembali ke sofa dan mengambil tasnya. Ia merasakan tatapan Alvin yang mengawasinya. Tapi ia tidak terlalu peduli. Pikirannya sedang mumet dan ia tidak ingin ditambah pusing jika harus seharian berdebat dengan pemuda itu.
“Udah gak ada yang mau ditanya lagi kan? Gue permisi dulu. Oh iya, selamat ya besok udah bisa pulang.” Ujarnya tulus meski dengan intonasi datar-datar saja. Ia tersenyum sekilas lalu berbalik badan.
“Eh tunggu!” Panggil Alvin.
Febby terpaksa berhenti sebentar dan menoleh. Jarang-jarang Alvin menahannya pergi. “Pertanyaan gue masih ada yang belum lo jawab.” Kata pemuda itu.
Febby mendecak malas. “Ampun deh! Yang mana lagi?”
“Emangnya lo mau kemana, sih?” tanya Alvin bingung.
“Kemana aja kek, yang penting gak di sini. Gue lagi gak mood cekcok sama lo. Lagian, bukannya tadi lo maunya gue cepet-cepet pergi?”
Alvin mendengus pelan. Hmm, berdasarkan pengamatannya sedari tadi, sejak Febby datang memang tampak ada yang aneh dengan gadis itu. Tapi, itu seharusnya gak masuk dalam daftar urusan gue kan? Aiss tapi...capek juga sih rasanya musuhan terus sama ni cewek. Dia juga udah bilang kalo dia gak suka sama gue, jadi gak ada masalah lagi seharusnya, kan? Tapi, apa omongan dia bisa dipercaya? Jangan-jangan besok berubah lagi.
 “Lo disini aja. Untuk sekarang gue gak akan ngajak ribut, tenang aja.”
Febby menaikkan alisnya menatap Alvin dengan sorot mata tak percaya. Tapi, selanjutnya, ia hanya mengedikkan bahu dan menurut tanpa berkomentar. Ia kembali berjalan menuju sofa dan duduk. “Yaudah.” Serahnya.
Alvin bersyukur karena Febby benar-benar tidak berkomentar macam-macam seperti biasa. “Sekarang jawab pertanyaan gue yang tadi. Kenapa lo minta gue jadi pacar lo?”
Febby yang tadinya bersandar dengan enggan menegakkan tubuhnya dan menatap Alvin. Ia berdiri kembali dan memilih duduk di kursi di sebelah ranjang yang Alvin tiduri. “Lo gak ember, kan?”
“Enggak.” Alvin menjawab malas. Ck, dari awal aja udah ngeselin.
“Good.” Febby menghela napas panjang, menumpu sikunya pada ranjang lalu mengepal tangannya dan menumpu sebelah pelipisnya disana. Pandanga matanya lurus menerawang. “Oik, saudara tiri gue, dia yang nyuruh gue buat ngedeketin lo.”
Alvin melepas tatapan meragukan ucapan Febby. Kelihatan masih belum percaya. “Dan lo mau-maunya disuruh ngelakuin hal konyol kek gitu?” katanya sarkastis.
“Ya gue ga sebego itu juga kali. Gue terpaksa ngelakuinnya karena diancem. Dia punya sesuatu yang bisa membahayakan gue sama...” Febby spontan memotong omongannya. Ia mendadak malas melanjutkan.
“Sama?” Alvin membeo tak sabar.
Febby mendecak lagi karena Alvin mendesaknya. “Ck. Sama Gol-di.” Katanya penuh penekanan. Menyalurkan segala kekesalannya dalam ucapannya. Ia lalu mendengus keras.
“Jadi lo berdua pacaran? Pantes..”
Febby tertawa sinis. “Kayaknya.”
“Kok pake kayaknya?” Alvin menaikkan salah satu alisnya.
“You know what, kata temen-temen di sekolah, Goldi sama Oik baru jadian seminggu lalu.” Febby berkata tanpa ekspresi. Tidak ada kemarahan, kejengkelan, kesedihan apalagi kecemburuan. Semua datar-datar saja. Emosinya mengenai dua sejoli itu sudah menguar habis tadi pagi saat pertama kali mendengar berita tersebut dan sekarang tak bersisa lagi. Ya, untuk apalagi ia menegangkan otot memikirkan mereka berdua? Toh, hal itu sebenarnya memberikan sebuah keuntungan tersendiri untuknya.
Setidaknya, dia tidak perlu lagi menjadi budak Oik. Selama ini dirinya berkorban untuk Goldi, demi menyelamatkan reputasi Goldi. Kalau Goldi sendiri sekarang berpacaran dengan Oik, Oik sudah tidak bisa mengancamnya lagi. Mana mungkin Oik tega merusak nama baik pacarnya sendiri, kan? Kecuali, kalau dia sakit jiwa. Tapi, Oik memang sakit jiwa, sih. Ia sampai sekarang tidak mengerti mengapa Oik menyuruhnya melakukan hal-hal yang tidak masuk akal seperti memacari Kiki, dimana di saat yang sama ia juga harus memacari Cakka, dan kemudian ia harus berusaha menghancurkan hubungan Alvin dengan Shilla. Tapi, apa yang terjadi sekarang, Oik malah memacari Goldi! Pertanyaannya, darimana sih Oik mengenal Kiki dan Cakka? Kalau Alvin sih tidak perlu ditanya. Alvin kan artis, jadi siapa yang gak tau. Tapi, ngomong-ngomong soal Cakka, dia apa kabar? Gue masih pacaran gak ya sama dia? Ckckck.
“Gila.” Alvin menggeleng takjub. Ucapan pemuda itu barusan menyadarkan Febby dari lamunannya tentang Oik. “Gue?”
Alvin menggeleng lagi. “Bukan. Oik maksud gue.”
“Oh. Emang, udah lama gue pengen masukin dia ke rsj.” Febby menyeletuk asal
“Kenapa gak lo masukin beneran?” Alvin ikut-ikutan.
“Iya, abis itu gue masuk liang kubur gara-gara dihajar bokap.”
“Bokap?” Alvin membeo.
“Iya. Lo gatau bokap? Bokap itu papa.”
Alvin mendengus. Sepertinya membuat orang kesal itu sudah mendarah daging dalam tubuh gadis di sampingnya itu ya. “Gak perlu lo kasih tau gue juga udah tau kali! Maksud gue, lo dihajar bokap itu gimana ceritanya?”
“Oh itu, hehe. Oik itu anak emasnya bokap. Padahal kita sama-sama anak tiri. Tapi, gatau deh. Mungkin karena Oik bisa ngasilin duit lebih banyak. Maklum deh, dia bisa nyanyi, cantik juga. Sering jadi model-model gitu. Apa aja yang dibilang sama Oik pasti didengerin, pasti diturutin. Sedikit aja hal jelek yang dilaporin Oik tentang gue, bokap bakal langsung ngasih pelajaran sama gue. Dan dia gak akan puas kalo gue belum babak belur.”
Alvin diam sebentar mencerna ucapan Febby sekaligus mengingat-ngingat sesuatu. “Termasuk...kaki lo yang memar-memar kemarin itu?” Febby hanya berdehem acuh tak acuh. “Kenapa lo gak lapor polisi?”
“Yeee! Dapet duit darimana buat lapor polisi? Bayaran gue kalo kerja kan gak segede bayaran lo kalo nyanyi. Sukur-sukur cukup buat makan sama sekolah.”
“Bayaran? Lo cewek bayaran? Kasian banget yang mau bayar lo.” Alvin menyeletuk spontan.
Pletak!
Sebuah jentikan jari yang cukup keras mengenai jidat Alvin. Seketika Alvin mengaduh kesakitan dan menatap kesal Febby yang tengah mendeliknya ke arahnya. “Enak aja!” umpat Febby. Ia lalu melihat Alvin mendadak terdiam memandangnya. Ia mengernyit bingung lalu kemudian menjentikkan jarinya sekali lagi. Otomatis Alvin langsung sadar dan kembali mengerang kesakitan. “Aish apaan sih?! Sakit tau gak!” Alvin bersungut-sungut sambil menggosok-gosok jidatnya.
“Lo aneh, sih. Kenapa malah bengong ngeliatin gue?” Febby menjawab tanpa dosa. Alvin hanya mencibir tanpa menjawab apapun. Febby sendiri sepertinya juga tidak terlalu peduli Alvin akan menjawab atau tidak.
“Kenapa lo musti kerja?” tanya Alvin kemudian.
Febby tertawa sinis. “Lo gimana, sih! Kalo gak kerja gue mau idup kek gimana? Makan? Sekolah? Beli keperluan rumah? Lo pikir semuanya ga butuh duit? Minta bokap? Jangan harap dia mau ngasih.”
“Nyokap lo—atau mungkin, nyokap tiri lo gitu?”
“Bokap gak punya istri. Kalo cewek panggilan dia sih banyak.”
Alvin menganggukkan kepala sambil menatap Febby tak menentu. Rasanya lidahnya gatal untuk bertanya. Tapi masalahnya pertanyaannya itu rasanya terlalu pribadi. Nanti bukannya menjawab, Febby malah mengomelinya panjang lebar.
“Gue pengen nanya, tapi sebelumnya gue minta maaf kalo pertanyaan gue nanti buat lo tersinggung. Terserah lo mau jawab atau enggak.”
Febby diam memandang Alvin, menantikan pertanyaannya.
“Emm—Kalo...orang tua kandung lo, gimana?” tanya Alvin dengan sangat hati-hati. Ia benar-benar memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajah Febby. Tapi, tidak seperti perkiraannya. Tak banyak perubahan yang terjadi di wajah gadis itu. Dia terlihat biasa-biasa saja. Sedikit banyak Alvin merasa lega dalam hati. Meski ia juga penasaran kenapa gadis itu malah tidak bereaksi apa-apa.
“Gue gak tau, gue lupa. Gue cuma inget dulu gue udah ada aja di rumah sakit. Katanya gue keserempet mobil terus kepala gue kebentur. Dan lo tau lah kan kenapa gue bisa sampe lupa?”
“Amnesia?” sahut Alvin cepat. Febby menganggukkan kepalanya. “Karena gue masih kecil, belum punya identitas, jadinya susah mau nyari tau keluarga gue. Apalagi waktu kejadian tabrakan, orang-orang bilang gue sendirian gak ditemenin siapa-siapa. Pihak rumah sakit ngirim gue ke panti asuhan. Terus akhirnya gue di adopsi deh sama bokap.” Jelas Febby.
Alvin menganggukkan kepalanya lagi. Beberapa saat kemudian, mereka terdiam bersama pikiran masing-masing. Terutama Febby. Ia mendadak bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia malah menceritakan semua masalah hidupnya pada Alvin? Padahal sebelumnya ia paling tidak suka kalau ditanya soal kehidupan pribadinya. Apalagi soal masa lalunya. Tapi, ketika Alvin yang bertanya, kenapa ia malah merasa...senang? Ia senang saat berbagi masalahnya pada Alvin...Hah?
“Kenapa lo gak keluar dari rumah? Kan lumayan ngurangin beban hidup, lo gak harus ngebiayain bokap lo lagi, gak harus dihajar bokap lo lagi. Lagian dia bokap tiri, kan? Gak dosa dong.” Tanya Alvin memecah keheningan.
Febby menghela napas dan menggeleng pelan. “Justru nambah beban gue lah. Gue pasti harus ngontrak. Gue mesti mikirin sewanya. Sewa kontrakan lebih gede daripada biaya hidup dia. Dia juga lebih sering minta duit sama Oik.”
“Kalau gitu, kamu tinggal di rumah kita aja!”
Suara merdu seorang wanita tiba-tiba terdengar dari arah belakang Febby atau juga arah samping Alvin. Tanpa diketahui wanita itu sudah berdiri sejak lama disana dan baik Alvin maupun Febby sama-sama tidak ada yang menyadari. Wajahnya tersenyum cerah dan matanya berbinar penuh harap. Febby dan Alvin serentak menoleh dan langsung mengeluarkan ekspresi yang berbeda. Febby mengernyit bingung sementara Alvin membelalakkan mata shock.
“Mama?!” Tidak terlalu lama berkutat pada kekagetannya akan kemunculan mamanya, ia lalu teringat pada ucapan mamanya itu barusan.
“Eh, apa? Tinggal di rumah kita?! NOOOO!”
***
Hingga malam menjelang, i-phone Shilla tetap bergeming. Panggilan yang diharap-harapkannya sedari tadi tak kunjung ada. Alvin sama sekali tidak memberi kabar. Shilla sudah putus asa menunggu. Ia memasukkan ponselnya dan berusaha menyingkirkan harapan dalam hatinya. Mengalihkan pikirannya dari Alvin. Beruntung saat ini ia tidak sedang sendirian. Saat ini, rumahnya bisa dibilang sedang dalam keadaan ramai.
Beberapa jam lalu, ada sanak keluarga datang bertamu. Kedatangan mereka memang sudah diberitahu dari sejak seminggu sebelumnya. Jadilah sekarang ia menghabiskan waktu barbeque-an dengan keponakan-keponakannya yang rata-rata masih anak-anak. Tingkah lucu mereka sedikit banyak menghibur Shilla dan membuatnya bisa sedikit lebih santai. Ia duduk sambil memperhatikan apa-apa saja yang mereka lakukan. Sesekali ia tersenyum geli bahkan tertawa mendengar celotehan-celotehan asal yang keluar dari mulut keponakannya itu. Ia lebih suka bergumul bersama mereka ketimbang harus ikut membantu memasak.
Don’t say goodbye..don’t say goodbye..I need sometime for awhile before I give my heart away...
Lamunannya mendadak buyar manakala ponselnya berbunyi karena ia lupa merubah mode ponselnya. Ia beranjak mencari tempat yang lebih sepi untuk menerima telepon. Tapi sepertinya tidak ada sisi sepi di rumahnya. Ia hanya agak menjauh dari keponakan-keponakannya.
Shilla hampir saja berteriak senang ketika melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya kalau tidak mengingat bagaimana kondisi di sekitarnya sekarang. Nama yang sudah ditunggu-tunggu olehnya. Nama kekasihnya, Alvin. Ia menarik napas dalam sebelum benar-benar mengangkat panggilan dari pemudanya itu.
“H—Halo?” sapanya gugup. Ia takut kalau-kalau Alvin masih kesal padanya.
“Hai! Belom tidur?” Suara Alvin merasuki telinga Shilla dengan lembut. Membuat darahnya berdesir dan dadanya berdebar hebat. Ia mau tak mau tersipu. Cara Alvin menyapanya benar-benar lembut dan menyenangkan. Apa itu tandanya Alvin sudah tidak kesal lagi padanya?
“H—hai, Pit. Belom hehe. Lo j—juga kenapa belom tidur?”
“Gue gabisa tidur. Belom denger suara lo sih. Hehe.” tawa kecil Alvin terdengar di seberang sana. Shilla langsung memberengut malu dengan wajah bersemu. Beruntung tak ada yang melihatnya saat ini. “Ss..gombal!” rutunya pelan.
“Hehe..tapi emang bener kok, Cantik. Tadi gue niatnya mau tidur tapi ngerasa kayak ada yang kelupaan. Ada yang kurang gitu. Eh iya gue baru inget gue belum nelpon lo, hehe. Maaf ya gue baru nelpon sekarang.” Alvin terdengar merasa bersalah. Lagi-lagi pipi Shilla memerah. Rasanya pipinya itu akan terus memerah hingga pembicaraannya dengan Alvin berakhir. Akhirnya ia dan Alvin bisa berbicara serileks ini lagi. Ehm..semesra ini lagi, mungkin.
“Iya gakpapa, Pit. Gue gak pernah berenti nunggu lo kok.”
Tawa kecil Alvin terdengar lagi. “Eiss cantiknya gue udah berani gombalin gue ya, hmm?”
Tuh kan, pipi gue merah lagi. Errrr..
“Hehe. Emang gaboleh?”
“Iya-iya boleh kok, Cantik. Apasih yang gak buat pacar gue tersayang ini?”
“Iss..jangan gombalin gue mulu kenapa?”
“Oh jadi lo gamau digombalin gue lagi ya? Yaudah, gue gombalin cewek lain aja ah..”
“ALVIN!” Shilla memekik keras. Ia spontan menutup mulutnya sendiri dan melihat ke sekitar. Beruntung semua orang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan tidak ada yang kelihatan terganggu. Tidak ada yang sadar juga kalau tadi ia berteriak. “Kalo lo berani gombalin cewek lain, gue juga bakal gombalin cowok lain.” Lanjutnya mengancam.
“Gue bunuh cowok itu.” Jawab Alvin dingin. Shilla sampai merasa bulu kuduknya merinding. Tapi juga bahagia setengah mati. Ternyata Alvin kalo lagi posesif ngeri juga, hihi.
“Okey, gue bantuin.” Sahut Shilla. Mereka lalu tertawa bersamaan.
“Yaudah, lo tidur sana gih! Udah malem loh ini.”
Shilla mengerucutkan bibirnya. “Lo ga betah telfonan sama gue ya? Lo masih kesel?”
“Loh? Enggak, Cantik. Tapi udah jam berapa ini, bener-bener waktu lo harus tidur. Ntar kepala lo sakit kalo begadang. Besok kan lo sekolah.”
“Gue belum bisa tidur. Rumah gue lagi rame soalnya.”
“Rame kenapa? Ada maling ketangkep?” Alvin menyahut antusias.
“Iss..ya enggaklah, Sipit! Rame kan ga mesti karena ada maling. Lo kepengen rumah gue kemalingan ya?” sungut Shilla.
“Hehehe, kan siapa tau aja. Toh gue kok salah satu malingnya.”
“Hah? Maksudnya?”
“Iya, gue kan maling hati lo.”
Saat itu juga, Shilla menepuk keningnya sambil geleng-geleng kepala dan tertawa kecil. “Gzz gombalan lo gak bagus.”
“Gak bagus? Woa jadi yang bagusnya gimana bebeb darling? Ajarin aku doong!” ujar Alvin dengan suara manja dibuat-buat. Shilla lantas tersenyum geli. “Najis banget sih lo, ih! Haha.”
“Thanks.”
“Anytime.” Lalu kemudian mereka tertawa lagi. “Lo jadinya sendirian di rumah sakit? Mama udah pulang?”
“Iya, gue usir tadi.” Jawab Alvin dengan nada suara jengkel. Shilla mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa?”
“Abis ngeselin. Dia ngajak Febby tinggal di rumah. Apa gak gila?!”
Shilla menganga tanpa sadar lalu segera mengatup mulutnya. Sejurus kemudian ia merasa sedikit nyeri di sekitar dada dan perutnya. Kenapa sepertinya mama Alvin begitu menyukai Febby sampai-sampai mengajak gadis itu tinggal serumah dengan mereka?
“Kenapa mama bisa tiba-tiba ngajak Febby tinggal di rumah?”
“Jadi tadi siang pas banget abis mama pulang Febby tiba-tiba dateng. Terus—“
Terus Shilla hanya diam dengan mata tak fokus memperhatikan apa-apa saja yang ada di sekelilingnya meski tetap mendengarkan Alvin dengan baik. Sesekali ia menanggapi celotehan Alvin dengan ‘iya’ ‘hmm’ atau ‘oh’ saja. Ia tidak ingin terdengar antusias tapi tidak juga ingin terdengar tidak antusias. Ia hanya berkomentar seadanya berharap Alvin segera merubah topik yang mereka bicarakan. Shilla menggerutu dalam hati. Kenapa jadi bahas Febby, sih? Oh. Jadi tadi dia punya kesempatan buat nelfon gue tapi gak dia gunain dan lebih milih ngobrol sama Febby? Oh.
Shilla ingin sekali mematikan sambungan teleponnya dengan Alvin tapi tidak enak hati. Meski ia kesal, tapi ia tidak ingin merusak momen. Ia tidak ingin karena rasa cemburunya membuat hubungan mereka menjadi jauh lagi. Membuat pembicaraan hangat ini menjadi berubah dingin. Ia lantas menghembuskan napasnya hati-hati sekaligus menahan semua emosi yang bergejolak dalam dadanya. Sabar Shill, sabar. Shilla sabar di sayang Alvin.
“Lo ga suka sama dia kan, Vin?” lirih Shilla sambil menggigit bibirnya. Pertanyaannya sungguh tidak ada kaitannya dengan celotehan panjang Alvin.
“Ya enggaklah, Cantik. Gue kan udah punya yang secantik elo, buat apalagi suka sama yang lain.” Jawab Alvin tenang. Sama sekali tidak tersinggung karena Shilla tidak menanggapi cerita panjangnya. Shilla bahkan merasa Alvin tersenyum meski ia tidak melihat langsung. Membuat hatinya sedikit terasa lega.
“Bener?” tanyanya lagi.
“Iya. Selama lo percaya kalo gue suka dan cinta sama lo yaa...then, I’m indeed so. Lo selalu percaya sama gue, kan?” *Uhuhsomeoneusedtosaidittome *Uhuhmiminabouttodie *uhuhabaikanhuahaha*
Tiba-tiba suasana di antara mereka berubah agak serius. Shilla kembali merasa bulu kuduknya merinding. Ia sudah benar-benar merasa lega. Ditambah ia juga merasa sangat senang. Rasanya ia sudah lupa kalau tadi ia tengah memendam kesal pada Alvin. Owyeah Alvin, gue suka gaya lo.
“Selalu. Hehe.”
“Iyalah, awas aja kalo enggak.” Sahut Alvin dengan nada mengancam. Shilla menaikkan sebelah alisnya. “Kalo enggak, emang lo bisa apa? Jalan buat nemuin gue aja gak bisa.”
“Eits jangan salah, besok gue udah boleh pulang dari rumah sakit. Jadi, banyak yang bisa gue lakuin. Hehehe.” Alvin menyeringai sementara Shilla mencibir. “Cie yang udah keluar.”
“Cie yang gak seneng.” Alvin balik mencibir.
“Sok tau!”
“Buktinya lo gaada teriak hore atau apa gitu buat selebrasi keluarnya gue dari rumah sakit.”
Shilla mendesah pelan. “Pit, gak mungkin lah gue tiba-tiba teriak sendirian, sekarang, malem-malem, pas rumah lagi rame. Yang ada gue diledekin ntar sama orang-orang di sini.”
Alvin tertawa diujung sana. “Oh iya ya, sorry-sorry gue lupa.”
“Emm..gue kayaknya ngantuk deh, Cantik. Boleh gue tidur duluan? Daripada ntar gue ngomongnya ngelantur atau malah gak ngedengerin lo ngomong.” Lanjutnya kemudian sekaligus berancang-ancang mengakhiri pembicaraan di antara mereka.
“Iya, gapapa. Lo tidur aja. Gue juga ngerasa ga enak ninggalin yang lain lama-lama.” Shilla memperhatikan sekelilingnya sekilas.
“Okedeh, gue tinggal ya. Besok gue telfon lo lagi. Jangan berenti kangenin gue ya! Bye, Cantik!”
“Iyaa, jangan sampe lupa! Kalo gak gue marah! Gue bakal berenti kangenin lo dan ganti kangenin cowok lain! Bye, sleeptight Sipit!”
“Jangan harap itu cowok bakal selamat! Haha. Lo juga jangan tidur kelewat malem ya! Bye, Cantik!”
“Iya, iya Sipit. Lo udah ngucapin bye tadi.”
“Oh iya ya? Yaudah tutup telfonnya!”
“Hhh..jangan kek anak alay, plis!”
“Hahahaha. Iyadeh iya, gue tidur dulu ya. Untuk yang terakhir, bye cantik!”
Klik. Sambungan telepon terputus. Shilla tersenyum memandang ponselnya lalu segera memasukkannya ke dalam tas. Ia lalu segera kembali berkumpul bersama keponakan-keponakannya dengan hati berbunga-bunga. Senyumnya mengembang lebih lebar dan frekuensi tertawanya meningkat. Tidak ada lagi kegelisahan dalam hatinya. Kegundahan hatinya karena Alvin yang juga hilang karena pemuda itu. Ckckck.
***
Cagni

Agni menggaruk-garuk kepalanya jengah. Kiki berjanji akan menjemputnya tapi sampai sekarang batang hidung pemuda itu belum juga kelihatan. Sudah berulangkali ia mengirim pesan dan menelepon ke ponsel pemuda itu tapi tak ada balasan, tidak pula dijawab. Agni spontan menendang kerikil yang berserakan di dekat kakinya. Tanpa sengaja kerikil tersebut melayang tepat ke pelipis seorang pemuda yang berada beberapa meter di depannya. Pemuda itu mengerang sakit dan berbalik badan hingga memandangnya.
Ekspresi kesal yang awalnya menghiasi wajah pemuda itu langsung berubah bingung ketika mengetahui orang yang melemparkan kerikil ke arahnya adalah Agni. “Woy si—uh, Agni?”
Agni berjengit kaget tapi kemudian lega karena orang malang itu adalah orang yang ia kenal. Kalau tidak bisa bahaya. “Cakka? Hehe sorry ya!” ujarnya pada Cakka, pemuda malang itu, sambil membuat tanda peace dengan jemarinya.
Cakka berjalan mendekatinya meski masih mengusap-usap pelipisnya. Ia melirik jam tangannya sekilas lalu menatap Agni. “Lo belum pulang?”
Agni meringis sambil menggelengkan kepalanya. “Jemputan gue gak dateng-dateng.” Ujar Agni sebelum Cakka bertanya. Sesaat Cakka hanya diam memperhatikan Agni. Matanya berkedip beberapa kali lalu menoleh ke kanan-kiri. Agni menggaruk-garuk kepalanya lagi. Kali ini karena bingung. “Yaudah gue temenin lo deh,” ujar Cakka sambil mengedikkan bahu dan tersenyum singkat. Agni mengerutkan kening lalu mendesah dan bergumam tanpa sadar. “Gue kirain mau nebengin pulang.”
Cakka menatapnya ragu. “Apa?”
“Hah? Apa?” Apa? Gue ngomong apa tadi? Batin Agni panik. Karena sudah bosan menunggu sampai-sampai ia tidak sadar barusan ia menggerutu seperti itu.
Cakka lantas tersenyum geli. “Udah ngelempar kepala gue pake batu, lo juga protes karena gue bukan nawarin tebengan tapi nemenin lo doang, iya?”
Agni meringis lagi dan juga menggaruk-garuk kepalanya lagi. Untuk sekarang karena malu. “Hehe...gue bosen abisnya. Kakak gue gak dateng-dateng. Jam berapa sekarang? Udah jadi aer nih gue gara-gara nungguin dia disini!”
“Kakak lo? Kiki maksudnya?”
“Yaiyalah siapa lagi? Kakak gue kan cuma dia doang!” Agni menjawab ketus, lagi-lagi tanpa ia sadari.
Cakka kembali tersenyum geli. “Lo kalo marah cerewet ya! Akhirnya ada hal yang bisa ngeyakinin gue kalo lo itu bener-bener cewek. Hahaha”
“Sialan!” Agni mendelik ke arahnya meski kemudian tertawa karena ucapan Cakka barusan. “Jadi..lo emang bener-bener gak berniat nawarin tebengan ke gue gitu?” katanya kemudian. Entah sudah keberapa kali ia menggaruk-garuk kepalanya.
Cakka tertawa sekilas lalu menghela napas sambil mengedikkan bahu. “Gue takut aja Kiki marah sama gue, soalnya lo harusnya balik sama dia, kan? Kalo dia tiba-tiba dateng dan lo gaada trus dia tau kalo lo sama gue..wah satu kampung ntar heboh gara-gara gue berantem sama dia. Lo tau lah kan hubungan kita berdua kayak apa? Hal kecil aja bisa jadi gede nantinya.”
Agni mengatup mulutnya dan berpikir sebentar. Benar juga sih yang pemuda itu katakan. Tapi, untuk saat ini, Kiki tidak boleh marah. Salah pemuda itu kenapa sampai menelantarkannya berjam-jam tanpa kabar. Artinya, meski bukan dengan Cakka pun, seharusnya tidak akan ada masalah, kan?
“Tenang aja, dia ga bakal bisa marah!” ucap Agni yakin. Cakka menatapnya ragu. “Yakin? Ntar ga—“ Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Agni sudah memotong dan kemudian menariknya pergi. “Udah, percaya aja sama gue. Yaudah, ayok cepetan. Gue udah mati bosen bediri disini.” Cakka tidak berkata apa-apa lagi dan membiarkan saja tangan Agni menggamit lengannya. Meski ia tidak bisa menahan senyum di bibirnya.
Baru beberapa langkah berjalan, Agni kemudian berhenti. Selain tersadar karena tangannya yang masih mengalung di lengan Cakka, ia juga baru sadar akan satu hal.
“Kok berenti?” tanya Cakka bingung. Lagi dan lagi Agni menggaruk kepalanya sambil nyengir ke arah Cakka. “Gue gak tau motor lo yang mana. Hehe..”
Mau tak mau Cakka tertawa kembali. “Makanya jangan asal gandeng aja!”
Agni merasa ada yang memasang pemanas di pipinya. Dan ia mengutuk dalam-dalam siapapun yang memasangkan alat itu disana. Untung saja rona merah di wajahnya tersamarkan oleh warna kulitnya yang agak coklat.
“Yaudah, biar gue yang nuntun lo. Hahaha” Gantian sekarang, Cakka yang menarik..ah bukan, tapi lebih tepatnya menggandeng tangan Agni, dimana jari-jari mereka saling bertautan, menuju tempat dimana motornya terparkir. Agni lagi-lagi merutu dalam hati karena orang kurang ajar itu memasangkan pemanas lagi di wajahnya.
Awas aja, kalo ketemu gue hajar lo!!
***
Agni turun dari motor Cakka dan berdiri diam sejenak di depan pintu pagar rumahnya. “Thanks yak! Ada niat mau mampir?”
Cakka melepas helmnya dan menatap Agni sambil menaikkan sebelah alisnya. “Apa ini sama kayak pas lo minta tebengan tadi? Lo pengen gue mampir?” tanyanya tersenyum miring. Agni mendesis mendengar itu. “Aiss haha masih inget aja sih lo! Gak lah, yang kali ini terserah lo.”
Cakka tertawa sekilas. “Gimana kalo tawaran lo diganti sama nonton ntar malem aja?”
Kali ini Agni yang menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum geli. “Sijaman ngajak nonton? Masih diangetin aja, udah basi kali.”
“Yaudah, kalo gitu ntar malem kita nyolong rumah orang aja, mau?” balas Cakka. Agni terkekeh pelan. “Makin parah! Hahaha! Yaudah deh nonton.”
“Beneran mau nih? Gak kepaksa kan?” Cakka tersenyum penuh harap. Agni sempat merasa lupa cara bernapas ketika Cakka tersenyum padanya. Selain karena senyuman itu mirip sekali dengan senyum Aga, senyuman itu juga membuat Agni sadar kalau...YAA CAKKA LO CAKEP BANGET!
Agni menggeleng dan balas tersenyum menutupi kegugupan dalam dirinya. Namun kemudian senyumnya berubah kecut. “Tapi jangan film horror ya..”
Cakka sempat mengerutkan keningnya tak mengerti. Namun sedetik kemudian terpintas sebuah ide di kepalanya. Senyum di wajahnya langsung berubah misterius. “Oke.” Ia kemudian melihat Agni mendesah lega. Hal itu membuatnya bertambah yakin untuk melaksanakan rencana dalam kepalanya. Ia lantas pamit pada Agni dan melajukan motornya meninggalkan rumah gadis itu. Dengan senyum yang tetap terkembang dan makin mengembang di wajah tampannya.
***
Tubuh Agni menegang di kursinya. Wajahnya memucat dan ia menelan ludahnya beberapa kali. Sebelumnya, Agni masih terlihat santai saat Cakka menjemputnya dan sekarang mereka sudah duduk manis dalam teater bioskop. Tapi, ketika lampu sudah dimatikan dan film berputar di layar besar di depannya, ketenangan Agni dalam sekejab sirna. Cakka sudah berbohong dan melanggar ucapannya. Cakka mengerjainya. Sialan!
“Lo! Rese!” Agni bersungut sambil mendelik tajam pada Cakka. Sementara Cakka hanya balas nyengir tanpa merasa bersalah sedikitpun. Kelihatan sekali kalau pemuda itu sengaja. “Nonton aja dulu, baru opening juga lo udah protes!”
“Gue kan udah bilang jangan film horror!”
Cakka tersenyum geli. Ia melebarkan tangannya melewati bagian belakang kepala Agni lalu kemudian memegang rahang bawah gadis itu. Ia menggeser arah wajah Agni yang menatapnya ke layar di depan mereka. “Sst! Jangan berisik! Tonton aja filmnya.” Agni langsung menepis kasar tangan Cakka yang menyentuh wajahnya. “Gak lagi-lagi gue mau nonton sama lo!” katanya tanpa menatap Cakka. Ia melipat kedua tangannya bersedekap.
Cakka melirik sekilas lalu tertawa pelan. Ia mendekatkan telunjuknya ke bibir Agni lalu cepat-cepat menjauhkannya. “Jangan berisik!” Agni diam tak membalas. Pandangannya lurus ke depan. Sesaat ia merasa aneh pada dirinya sendiri. Malu rasanya karena ia yang tomboy begini malah takut dengan film horror. Ia lebih memilih menghadapi puluhan preman daripada disuruh duduk diam sambil menonton aksi para penguasa alam gaib itu.
Agni kalut dalam pikirannya sendiri hingga ia akhirnya menyadari kalau Cakka sudah tidak duduk di sebelahnya ketika tangannya tanpa sengaja terjulur ke sebelahnya dan tidak merasakan apa-apa. Ia menoleh ke samping dan hanya mendapati kursi kosong. “Cakka?” panggilnya dengan suara berbisik. Namun tak ada sahutan sama sekali. Ia merasa ada peluh mengalir di pelipisnya.
“Cakka lo dimana? Plis, ini gak lucu!” Ia kesulitan mencari keberadaan Cakka karena ruangan tempatnya sekarang berpenerangan rendah. Dan ketika ia sudah frustasi dan menghempas tubuhnya ke sandaran kursi, tiba-tiba ada tepukan di kedua pundaknya. Ia terkejut setengah mati dan spontan berteriak meski tidak terlalu keras. Tapi cukup untuk membuat orang-orang di sebelahnya memandang aneh ke arahnya. Ia tidak terlalu peduli dengan mereka dan mereka juga sepertinya begitu.
Agni kemudian melihat Cakka yang terkikik puas sedang berjalan kembali ke kursinya. Tak ayal Agni langsung menghadiahi tinjuan keras ke lengan pemuda itu. Cakka mengaduh sesaat lalu terkikik lagi. Membuat Agni makin kesal dan lantas membuang muka. “Damn, I hate you!” umpatnya. Tawa Cakka justru makin keras. “Yeah, damn I like you too!” balasnya santai. Agni mendengus keras dan memilih diam. Tapi kemudian ia menoleh pada Cakka kembali karena memandang apa yang ada di depannya ternyata tidak jauh lebih baik.
Agni lalu menggamit lengan Cakka kuat-kuat. Tidak peduli pemuda itu akan menilainya kecentilan atau apa. Ia hanya tidak ingin pemuda itu menghilang dan mengulang mengerjainya. Dan memang, ia selalu seperti ini setiap diajak siapapun untuk nonton film horror. Tanya saja Kiki atau ketiga teman karibnya, Ify Shilla Via, kalau tidak percaya.
Sudah pasti Cakka kaget melihat reaksi Agni sampai seperti itu. Tapi, tak masalah lah. Ini justru lebih dari yang ia harapkan. Ia mengira nanti Agni tanpa sengaja memeluknya ketika ada adegan menyeramkan. Tapi, lihat apa yang terjadi sekarang. Gadis itu secara sadar dan sengaja, bahkan sebelum adegan menyeramkan itu ada, sudah menggamit lengannya seperti ini. Ia tertawa senang dalam hati. Kalau begini caranya, sering-sering saja ia mengajak Agni nonton. Film horror pastinya. Hahaha.
“Awas aja kalo lo ngilang lagi!” Ancam Agni. Cakka tersenyum dengan mata berbinar. “Gak, tenang aja. Gue udah terlalu betah duduk disini.” Selanjutnya mereka tak berbicara lagi. Cakka menikmati film dengan senyum merekah dan wajah bersinar sementara Agni menikmati film dengan wajah muram dan pucat pasi.
***

Rify

Agni, Shilla dan Via terpaksa harus menjadi bodyguard mendadak untuk Ify karena banyak orang tak henti-henti ingin menemui gadis itu. Rasanya hampir semua cewek di sekolah mereka tadi datang ke kelas untuk menemui Ify. Hal itu disebabkan oleh kejadian menghebohkan antara gadis itu dan Rio tadi pagi. Sejak saat itu, Ify akan langsung menjadi pusat perhatian dimanapun dirinya berada. Kalau hanya untuk bicara saja sih tidak masalah, tapi tadi sempat ada yang ingin bertindak anarkis. Untung saja Agni segera datang dan mengusir gadis yang kesetanan itu hingga hanya sempat menjambak rambut Ify.
Awalnya ketiga sahabat Ify terlihat senang dan meledeknya habis-habisan. Namun, lama-kelamaan mereka jadi kesal sendiri dan ujung-ujungnya ikut mengomeli Ify karena mereka hanya bisa berdiam di kelas tanpa bisa kemana-mana, apalagi Agni belum sempat sarapan. Sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi dan mereka langsung menyerahkan Ify pada Rio. Dan itu merupakan sebuah keputusan yang sangat buruk karena Ify harus terlihat bersama Rio lagi di depan umum. Memperbanyak aura-aura mencekam di sekitar Ify. Banyak pandangan menusuk yang ditujukan untuk dirinya dari orang-orang di sekitarnya.
Ify tidak tahan untuk berlama-lama ada di sana. Ia ingin cepat-cepat pergi dan sampai di rumah. Akan tetapi, Rio sepertinya tidak merasakan kerisauan yang dirasakan Ify. Pemuda itu berjalan dengan santainya dari keluar kelas hingga melewati koridor sekitar lapangan basket. Bahkan dengan tangannya yang tergeletak manis di atas bahu kirinya. Ify sempat protes agar Rio menurunkan tangannya akan tetapi pemuda itu beralasan kalau apa yang ia lakukan adalah sebagai upah selanjutnya atas jasa-jasanya. Hhh! Ify tidak membayangkan bagaimana jika Rio berjasa yang lebih besar kepadanya. Ia tidak membayangkan hal apa yang akan dilakukan pemuda itu. Yang pasti jauh lebih gila dari sekarang.
Ify tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya pasrah dan mencoba tidak memedulikan apapun yang dilakukan orang di sekitarnya. Hingga ia menghela napas lega ketika sudah sampai di parkiran. Namun, sebelum sampai di mobil Rio, Ify tak sengaja melihat Angel berjalan beberapa meter di depannya. Ia langsung memanggil-manggil nama gadis itu tapi gadis itu sepertinya tidak mendengar. Aneh, perasaan suaranya sudah sangat-sangat keras dan tidak mungkin Angel sampai tidak mendengarnya.
Rio yang bingung disampingnya pun bertanya. “Ada apa sih?” Ify menoleh padanya sebentar dan hanya menyuruh pemuda itu menunggu sementara dirinya sudah berlari mengejar Angel. Ia menahan tangan Angel dan membuat jalan gadis itu terhenti lalu berbalik badan menatapanya. “Hai Kak Angel!” sapa Ify terlebih dahulu sambil tersenyum ramah. Angel diam menatapnya datar tanpa membalas senyumannya. Ify mendadak merasa ada yang aneh. Tiba-tiba Angel menyentak tangannya yang masih di pegangnya.
Ify sempat terpaku beberapa saat lalu kemudian bertanya kenapa gadis itu bersikap seperti itu. “Gak usah ngerasa sok deket sama gue! Ngerti?” kata Angel tajam dan tanpa menunggu Ify menjawab ucapannya ia langsung berlalu pergi. Ify kembali terpaku melihat Angel yang berjalan menjauh tanpa menoleh lagi ke belakang. Kenapa tiba-tiba Angel kasar seperti itu padanya? Apa dirinya berbuat kesalahan yang membuat gadis itu marah? Apa semalam gadis itu dimarahi oleh ayahnya setelah memarahi Fify? Tapi, kenapa malah marah padanya? Atau...Angel adalah salah satu dari komplotan fans Rio yang brutal itu? Ah, rasanya tidak mungkin. Tapi...kenapa pas banget? Dulu kan mereka pernah diem-diem ngobrol berdua. Astaga...jangan-jangan mereka...hamilnya Kak Angel... jangan-jangan Rio...
“Lo gakpapa?” Tiba-tiba muncul sebuah suara di sampingnya. Entah sejak kapan Rio sudah berdiri di sana. Ify termangu menatap Rio sambil terus bertanya-tanya dalam hati. Rio mengernyit bingung karena Ify hanya diam sambil memandangnya lekat. “Fy?” panggil Rio kemudian. Ify terkesiap dan langsung menggelengkan kepalanya. “Enggak, gakpapa.” Katanya cepat. Rio menganggukkan kepala lalu kemudian mengajaknya kembali ke mobil.
Hampir separuh perjalanan Rio dan Ify tidak saling bicara. Ify masih tetap memikirkan tentang sikap Angel padanya dan juga Rio. Berulang kali ia menepis dugaan kalau Angel menyukai Rio. Juga kemungkinan bahwa Rio yang sudah menyisipkan nyawa lain dalam tubuh Angel. Meyakinkan diri kalau Rio itu anak baik-baik, meski sikapnya jauh dari kata baik khususnya kepadanya, jadi tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Meski hanya di dalam hati, tapi Ify tidak berani menyebutkannya secara jelas. Mungkin juga ia tidak mau. Ia lalu mencuri pandang ke arah Rio. Ia menelan ludahnya sebelum akhirnya berbicara pada pemuda itu. “Lo tau gak siapa anak kecil kemaren?”
Rio menoleh sebentar lalu menatap ke depan. “Anak kecil yang mana?”
“Yang tadi malem?”
Rio tampak sedang mengingat-ngingat. Lalu ia berkata spontan. “Tadi malem? Sebelum lo meluk gue itu?”
Deg!
Jantung Ify langsung berdetak cepat dan pipinya merah padam. Ia mendesis kesal bercampur malu. Kenapa Rio harus ikut menyebutkan kejadian itu, sih?! Isssss!
“I—iya..” cicitnya lemah dengan kepala agak menunduk. Beruntung Rio sepertinya tidak berniat membahas tentang pelukan itu lebih lanjut dan memilih menanyakan tentang Fify. “Kenapa emang sama dia?”
Ify menghela napas pelan. “Dia adiknya Kak Angel.”
“Oh..” Rio hanya menjawab singkat. Ify memperhatikan ekspresi wajah Rio dengan seksama. Tak ada tanda-tanda kalau pemuda itu tertarik pada ucapannya barusan.
“Lo sama Kak Angel udah kenal lama ya?” Ify memberanikan diri bertanya. Dadanya bergemuruh menunggu jawaban dari Rio. Rio terlihat mengerutkan keningnya. “Enggak. Cuma pernah liat beberapa kali. Tau namanya aja dari lo.”
Bohong. Rio bohong. Jelas-jelas dia tidak hanya pernah melihat Angel. Jelas-jelas Ify melihat mereka berbicara empat mata secara sembunyi-sembunyi.
Ify menggigit bibirnya sembari tangannya memuntir rok panjangnya. Ia ingin bertanya kembali akan tetapi takut untuk mendengarkan jawaban dari Rio.
“M—menurut lo, Kak Angel itu gimana?” Pada akhirnya, Ify sekali lagi memberanikan diri bertanya dengan sangat hati-hati.
“Gimana apanya maksudnya?”
Ify menghela napasnya kembali. “Yaa..gimana Kak Angelnya. Mukanya, cantik atau enggak, orangnya, yang kayak gitu-gitu..”
Rio menoleh sebentar pada Ify dan memandangnya dengan tatapan yang Ify tidak mengerti. Membuat Ify menjadi semakin ketar-ketir. Rio menghela napas. “Ya rambutnya panjang, mukanya cantik, kulitnya putih tapi gak terlalu putih, bentuk tubuhnya proporsional dan badannya tinggi. Suaranya juga bagus. Apalagi ya?”
Ify hampir saja lupa menarik napas ketika mendengar Rio mendeskripsikan Angel. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Ia juga merasakan tangannya dingin dan bergetar. Tak ada cacat atau cela untuk Angel yang keluar dari mulut Rio. Ify seketika menyesal telah bertanya. Dari beberapa pernyataan Rio, hanya satu yang paling terngiang-ngiang di kepala Ify. “Bentuk tubuhnya pro—proporsional? Uh?”
“Apa?”
“Eh? Gak, gak ada apa-apa.” Ify lalu bersadar pada badan kursi dengan mata memandang tak tentu ke arah depan dan pikiran yang berkecamuk. Sementara Rio, ia tetap fokus menyetir. Ekspresi wajahnya tidak berubah, masih santai seperti sebelumnya. Bahkan dirinya tidak menyadari perubahan sikap dari gadis di sampingnya.
***
 “AAAAAAAAA!”
Bakso yang baru saja masuk ke dalam mulut Ify tertelan paksa ketika sebuah teriakan kencang menggema di sekitarnya. Ia menggapai-gapai gelas di sampingnya dan meminum sekali banyak. Bayangkan, bakso yang besarnya setengah dari bola pimpong tertelan bulat-bulat olehnya. Beruntung bakso itu tak bertahan lama di kerongkongannya. Kalau tidak, ia bisa mati konyol tidak bisa bernapas hanya karena sebutir bakso. Ia mendecak kesal pada siapapun yang berteriak itu.
Ify lantas beranjak dari meja makan dan naik ke atas menuju kamarnya atau mungkin kamar Rio karena sumber suara sialan tadi berasal dari sana. Sesampainya di depan pintu, napasnya kembali tercekat di tenggorokan. Beruntung kali ini bukan karena bakso jadi ia tidak perlu susah-susah untuk bisa bernapas lagi. Ia melihat Rio sudah naik ke atas kursi meja belajar sementara di bawahnya tergeletak nyaman seekor ular yang cukup besar yang sangat Ify kenali. Itu adalah ular pemberian dari salah satu fans Rio dulu kepadanya. Sewaktu pindah ke rumah Rio, ia juga ikut membawa peliharaan barunya itu. Selama ini makhluk itu adem ayem saja di kandangnya tapi sekarang malah menampakkan diri di depan orang yang tidak tepat.
Ify meringis sekaligus tertawa geli melihat ketakutan besar di wajah Rio. Ia berjalan mendekat dan menjulurkan tangan ke kolong tempat tidur mengambil kandang ularnya. Ia bingung kenapa kandang itu bisa terbuka. Ia baru hendak menyentuh Ipi, ularnya, ketika Rio berteriak lagi.
“Eh eh mau ngapain lo?! Jauh-jauh sana, ntar digigit baru tau rasa lo!” sungut Rio dengan tingkat kepanikan 1001 persen. Ify mau tak mau terkikik geli. Ia dengan lembut meraih dan menggendong ularnya lalu dengan jail menyodorkannya pada Rio. “Nih! Nih! Hahaha!”
Rio mengambil buku yang tergeletak di meja, menggulungnya lalu mengacungkannya ke arah Ify. “YAA! Jangan di deketin ke gue bisa kali! Hush hush! Lo—lo jangan macem-macem ya!”
“Cemen lo, ah! Ular kek gini mana ada yang gigit. Yang kayak gini jinak semua tau! Perasaan kemaren waktu pertama kali ketemu Ipi lo gak setakut ini, deh.” Ify duduk di pinggir kasur sambil mengelus-elus tubuh licin Ipi.
“Jadi itu ular yang ada di rumah lo waktu itu?!” Rio memekik histeris. Ify hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab.
“Lo kurang kerjaan banget sih masukin ular ke rumah gue!” Rio bersungut kesal. Ia menghela napas lalu geleng-geleng kepala. “Gue heran sama kalian. Kok bisa-bisanya melihara binatang se-dangerous itu? Gak ngeri apa? Jijik gitu? Hiiyy!” katanya lagi.
“Kalian?” Ify membeo menatapnya.
“Iya, lo sama Acha.” Sahut Rio.
Ify sempat terpaku mendengar nama terakhir yang Rio sebut. Ngapain tiba-tiba nyebut Acha, sih? Batinnya kesal. Ia segera menundukkan wajahnya pura-pura memperhatikan Ipi. Rio kemudian sadar kalau ia sepertinya sudah salah bicara. “Sama Dea juga. Kalian kan cewek. Gak ada peliharaan yang lebih imut apa? Hamster gitu atau kelinci? Atau ayam deh ayam? Ini malah ular.”
Ify mendengus malas lalu mengedikkan bahu. “Gue juga ga bakal pernah melihara ular kalo gak dikirimin sama fans lo.” Gerutunya. Sedetik kemudian ia menyesali ucapannya. Sepertinya kali ini ia yang salah bicara.
“Fans gue? Kapan? Siapa? Terus, buat apa? Kenapa dia ngirimnya sama lo?” Sesuai tebakannya, Rio pasti akan banyak bertanya. Ify mengibaskan tangannya pelan di depan wajah. “Lupain aja!” katanya sambil memasukkan kembali Ipi ke dalam kandangnya kembali. Rio terlihat masih belum puas. Ia tak melepas pandangannya terhadap Ify hingga gadis itu selesai mengunci kandang makhluk dangerous nan menjijikkan itu.
“Mau sampe kapan lo bediri di atas kursi?” tanya Ify sambil menahan senyum geli. Rio terkesiap dan menaruh buku yang di pegangnya ke meja lalu turun dari kursi penyelamatnya. Ify hendak beranjak keluar kamar tapi tangannya lebih dulu ditahan Rio. “Bener itu dari fans gue?” Pemuda itu bertanya dengan histeris sekaligus khawatir. Ify sempat tersihir beberapa saat. Apa Rio khawatir padanya?
“K-kayaknya sih—gitu..” jawabnya dengan susah payah. Rio yang menggenggam pergelangan tangannya saja sudah sanggup merauk semua oksigen dalam otaknya apalagi ditatap seperti itu. Rio menggaruk-garuk pelipisnya dengan raut wajah antara yakin tak yakin. “Masa sih, fans gue nyampe ngirim-ngirim ular segala? Buat apa juga  mereka ngirim ular?”
Ify mengerutkan kening menatap Rio. “Lo gak percaya sama gue?” tanyanya sarkastis. Jadi, pandangan cemas itu bukan untuknya? Untuk fansnya?
Hilang sudah sihir yang beberapa saat lalu berhasil menguasai Ify. Ia menyentak tangannya agar terlepas dari genggaman Rio. Rasa kesal sedikit banyak mengendap di hatinya. “Emangnya apa yang menimpa gue hari ini di sekolah gak cukup buat lo percaya?” tanyanya dengan mata menyipit.
Sekali lagi Rio menggaruk pelipisnya tak mengerti apa yang Ify katakan. Ia lantas balik bertanya bingung. “Kejadian? Kejadian apa nih maksudnya? Lo tadi ketimpa apa emangnya?”
Ah iya, Ify baru sadar. Seharian tadi kan Rio mengikuti rapat mengenai acara promnight mendatang di ruang OSIS. Pemuda itu pasti tidak melihat aksi para fans-fansnya yang kesetanan itu. Pantas saja dia tidak tahu. Ify mendengus pelan. Meski begitu, percuma juga kalau ia beritahu. Toh, pemuda itu tidak akan percaya, kan?
“Gak ketimpa apa-apa.” Ia berbalik badan berjalan kembali.
Namun dengan cepat Rio berjalan cepat mendahuluinya dan berhenti tepat di depannya. “Lo kenapa?” Kekhawatiran tadi kembali terdengar dalam suaranya. Pandangan matanya menuntut dan memaksa Ify untuk mengatakan padanya yang sejujurnya. Ify memalingkan wajahnya tidak berniat menjawab. Ia berusaha kabur dengan melangkah ke sebelah kiri, akan tetapi Rio juga berjalan ke arah yang sama untuk menahannya. Ia ke kanan Rio pun masih melakukan hal yang sama.
“Lo pikir aja sendiri! Gue keliatan sering bareng sama lo aja dikirimin ular, apalagi kalo lo... ny—nyium gue tadi pagi di sekolah di depan semua fans lo dan mereka bebas ngapain aja karena lo ga ada!” Ify langsung mengambil langkah kabur sebelum Rio sempat menahannya lagi. Pemuda itu masih terpana sambil memikirkan ucapannya barusan. Ify berlari menuruni tangga hingga sampai dan duduk di kursinya kembali. Ia melirik kamar Rio sesaat lalu beralih memandang baksonya yang sudah dingin. Ia mendengus dan melanjutkan makan dengan perasaan kesal.
***
“Rio?” Suara kebingungan seorang gadis muncul dari dalam speaker ponsel Rio.
“H-hai, Ni!” sapa Rio canggung seraya menggaruk pelipisnya.
“Ngapain lo nelfon gue? Tumben-tumbenan.”
“Itu—gue mau nanya soal Ify.”
“Ify? Dia kenapa? Dia dihajar lagi sama fans-fans lo? Yaampun, lo jagain dong! Semuanya kan karena ulah lo juga!”
Rio menjauhkan ponselnya sesaat karena Agni terdengar berteriak-teriak di kupingnya. “Emang selama gue gaada tadi ada kejadian apa, sih?”
“Oh iya lo tadi gaada ya? Nih ya gara-gara elo, gue Via Shilla sama Ify terpaksa harus duduk diem di kelas. Mana gue tadi pagi gak sarapan. Lo gak tau kan seberapa menderitanya gue karena perut gue keroncongan?!”
Rio sekali lagi menjauhkan ponselnya. Ia kemudian mendesah frustasi. Selain karena suara Agni yang memekakkan telinga, gadis itu juga tidak menjawab dengan jelas pertanyaannya. “Kok gara-gara gue? Aiss, lo bisa gak langsung aja gitu bilang duduk persoalannya? Jangan muter-muter!”
“Yaiyalah gara-gara lo! Fans-fans lo itu pada kesetanan semua abis ngeliat lo nyium Ify tadi pagi. Cewek-cewek anggota fansclub lo itu gak berenti-berenti dateng ke kelas. Bacot doang pengen ketemu Ify, pengen ngobrol. Tapi, taunya, mereka brutal, man! Mereka itu sakit! Really deeply insane! They’re criminal! Untung gue ke toilet cuma bentar trus cepet balik ke kelas. Kalo gak, bisa-bisa Ify pulang udah kayak gembel ketabrak truk! Huh!”
Rio mengedip-ngedipkan matanya cepat beberapa kali seraya menelan ludah. “Se—serius? Lo gak bohong?”
“Lo bisa liat rekaman cctv di ruang kepsek kalo gak percaya. Makanya! Besok-besok, liat-liat tempat kalo mau begituan!”
“Ck. Begituan maksud lo? Gue gak segila itu kali!”
“Yeee..lo aja yang ngeres! Iyasih lo gak gila, tapi lo bisa mengakibatkan banyak orang jadi gila. Jadi, awas aja kalo lo sembarangan lagi! Oh iya, untuk sementara mungkin lebih bagus kalo lo jangan deket-deketan sama Ify dulu.”
“Loh, kenapa? Gak ah, gue gak mau. Ify mana bisa jauh-jauh dari gue.”
“Dih, siapa lo? Elo kali yang gak bisa jauh dari Ify! Lagian, biasanya juga lo ogah kalo harus berduaan sama Ify.”
“Yee terserah gue dong! Kok lo yang sewot? Adilnya, gue sama dia gak bisa dijauhin walau semenit.”
“Demi apapun lo asli lebay banget pake parah! Ya jelas lah gue sewot. Ify itu temen gue! Lo suka juga enggak kan sama dia? Duh! Sampe kapan sih lo semua pada php-in kita-kita?!”
“Lo lagi ngomong tentang Ify atau lagi curhat, huh?”
“Hah? Em—gue—ya gue cuma menyampaikan curhatan temen-temen gue aja, bukan curhatan gue.”
“Tenang aja, gue sama temen lo itu bentar lagi juga resmi.”
“Gedung kali diresmiin! Eh eh resmi?! M-maksud lo, lo sama Ify bakal resmi?! Woaaa! Beneran nih?!”
“Iya, ntar gue ajak Gabriel sama Cakka ngadain peresmian juga hahaha.”
“Lo semua berasa kayak pasti diterima aja. Denger ya, kita-kita itu belum tentu mau sama lo pada!”
“Denger ya Agni, gue kan gak nyebut ngeresmiinnya sama siapa. Jadi, siapa yang kepedean disini, hmm?”
“Hah? Emm—ah tau ah! Gue laper, mau makan. Bye!”
Tut..tut..tut..
Suara Agni tiba-tiba menghilang. Gadis itu memutus sambungan telepon dengannya. Rio terkekeh pelan lalu geleng-geleng kepala. Ia memasukkan benda tersebut ke saku celananya lalu terdiam. Sejenak ia merenungkan apa-apa saja hal yang ia perbincangkan dengan Agni tadi. Lantas, ia teringat Ify. Ya, ia harus menemui gadis itu.
Baru saja hendak melangkah, ponsel Rio berbunyi lagi. “Mama?” Gumamnya bingung. Ia dengan cepat mengangkat panggilan tersebut. Amanda menyuruhnya menjemput wanita itu karena mobil yang dipakainya mogok. Rio mau tidak mau harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Ify. Ia mengambil kunci mobilnya lalu bergegas pergi.
Sejam kemudian, ia sudah kembali ke rumah. Ia tidak melihat Ify ada di dapur lagi. Ia langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Dan ketika sudah sampai, ia justru melihat Ify tertidur nyenyak di kasurnya. Untuk kedua kalinya, ia harus membatalkan niatnya terhadap gadis itu. Tidak tega kalau harus dibangunkan. Ify pasti sudah sangat lelah hari ini menghadapi semua orang-orang yang tidak henti menemui alias mengamuk pada gadis itu karena dirinya.
Hingga malam tiba, Rio sudah tidak sabar lagi. Rasanya sudah hampir setengah jam Ify tidak keluar dari kamarnya sehabis makan malam. Ify tadi bilang kalau ia tidak boleh masuk ke kamar dahulu karena gadis itu ingin mandi. Dan sekarang harusnya dia sudah selesai. Ia lalu pelan-pelan membuka pintu dan masuk ke kamarnya. Ia tidak menemukan seorang pun.
“Ify?”
***
Ify membuka matanya dan tiba-tiba saja ia sudah berdiri sendiri di tengah jalan tak berujung. Kiri-kanannya hanya ada warna putih. Ia benar-benar sendirian. Ia berputar-putar mencoba mencari seseorang atau bahkan sesuatu selain dirinya tapi nihil. Hanya ada dirinya di sana. Ia mencoba untuk berbicara tapi tenggorokannya tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali. Ia terus mencoba tapi tidak bisa. Seperti ada yang telah mengambil pita suara dan menghambat tenggorokannya. Ia meremas-remas bajunya takut. Ia hampir saja menangis kalau tidak tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
“Ify?” kata orang itu. Suaranya berat namun terdengar lembut di telinga Ify. Suara yang juga tak asing baginya. Ya, pasti ia tidak salah. Itu pasti suara..
“Papa?” lirihnya hanya dengan gerakan bibir. Sekali lagi, suaranya sama sekali tidak keluar. Air matanya sudah menetes deras di pipinya. Ferdi mengusap kepalanya dan tersenyum hangat. Senyum yang biasanya menenangkan keresahan Ify. Tapi, entah mengapa, kali ini senyum itu terasa berbeda. Terasa menyayat-sayat hatinya. Membuatnya tak tenang.
“Papa...Papa...Ify takut!” lirihnya lagi. Ia berharap Ferdi akan membawanya ke dalam pelukan hangat yang selalu diberikan laki-laki itu ketika ia merasa ada sesuatu yang mengganggunya, baik perasaan maupun pikirannya. Tapi, tidak seperti yang ia harapkan. Ferdi hanya diam dan mengusap kepalanya serta terus saja menunjukkan senyum anehnya itu.
Ify ingin berteriak agar Ferdi berhenti tersenyum seperti itu tapi tenggorokannya tidak juga mau diajak bekerjasama. Hanya air mata yang semakin mengalir deras di wajahnya.
“Ify, Papa sayang sama kamu.” Ujar Ferdi lalu akhirnya memeluk Ify seperti yang sudah gadis itu harap-harapkan sedari tadi. Tapi...hatinya masih tidak tenang. Perasaannya justru bertambah kacau. Ada sesuatu yang mengganjal, mendesak ingin dikeluarkan tapi tidak bisa dikeluarkan karena Ify tidak tahu apa itu.
Ify mencengkram baju Ferdi yang bahkan ia tidak tahu saat ini laki-laki itu bahkan dirinya memakai baju apa karena kekalutan yang tengah menderanya. Ia menutup matanya kuat-kuat berusaha meredam tangis dan menenangkan hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba ia merasa tubuhnya melayang dan ia tidak bisa melihat apapun.
Lalu sebuah suara sayup-sayup terdengar di telinganya. Bukan suara berat papanya melainkan sebuah suara halus seorang perempuan yang sepertinya juga tidak asing baginya.
“Ify?” Suara itu makin terdengar jelas. “Ify?” Lagi, suara itu memanggilnya kembali. Saat itu juga, badan Ify terasa terhuyung jatuh. Dan tiba-tiba...
“HHH!”
***
Jam dinding sudah menunjuk angka 9 yang menandakan bahwa sekarang sudah seperempat tengah malam. Hanya berselang beberapa jam lagi menuju tengah malam yang sebenarnya. Ify baru saja keluar dari kamar mandi. Ia baru sempat mandi karena tadi siang sehabis makan ia langsung tidur dan ternyata kebablasan hingga hampir jam delapan malam. Itu pun karena dibangunkan Amanda, Mama Rio. Dan juga berkat mimpi anehnya. Kalau tidak, mungkin besok pagi ia baru akan membuka mata kembali.
Handuk yang ia gunakan masih bergelayut menutupi kepala dan bahunya. Ia berkaca sesaat di depan cermin sambil tangannya bergerak mencari sisir. Karena tidak melihat, ia tak sengaja menyenggol sisir yang ia cari cukup keras dan membuat benda itu terjatuh masuk ke dalam kolong tempat tidur. Ia mencoba menjulurkan kakinya namun tidak berhasil. Ia mendecak kesal. Namun kemudian berlutut di lantai setelah menaruh asal handuk ke atas tempat tidur. Ia menyurukkan tangan serta sebagian badannya ke kolong tempat tidur.
Disaat yang bersamaan, pintu kamar terbuka lalu ditutup kembali. Terdengar derap langkah yang menandakan ada orang yang masuk. “Ify?” Panggil orang itu. Suara seorang laki-laki. Suara yang terdengar lembut tapi tetap maskulin. Suara Rio.
Ify baru saja menggapai sisir lalu mendengar namanya tiba-tiba dipanggil. Ia refleks berjengit kaget. Ia lupa kalau di atas kepalanya ada besi penyangga tepi tempat tidur. Tak ayal kepalanya langsung terantuk dengan benda itu. Ia langsung mengaduh kesakitan.
“Adouw!” pekiknya cukup keras.
Rio langsung memandang dan berlari ke sumber suara. Ia kaget menemukan Ify disana yang tengah mengeluarkan badannya dari kolong tempat tidur lalu berlutut sambil menggosok-gosok belakang kepalanya. Mukanya tampak kesakitan. “Lo—abis ngapain?” tanyanya bingung sekaligus tersenyum geli.
Ify menatapnya kesal. Bukannya membantu malah menanyakan hal yang tidak penting. Tapi, tidak ada yang harus dibantu juga, sih. Namun, ternyata tidak seperti yang ia pikirkan karena Rio tiba-tiba merunduk dan membantunya berdiri. Meski lebih tepat kalau disebut memaksanya berdiri. Rio tidak langsung melepas pegangan terhadap bahunya yang membuat jantung Ify mulai ketar-ketir stadium 1. Ia berdiri berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat untuk bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas.
“Kepala lo kejedot?” *ngertikankejedot?Hahah.-.*
Ify mengangguk dengan susah payah. Tubuhnya mendadak kaku. Rio mendesah lalu berubah menatapnya kesal sekaligus khawatir. “Kemaren jidat lo yang lo benjolin, sekarang kepala. Abis ular lo mau ganti melihara benjol, huh?”
Kenapa jadi dia yang marah-marah? Harusnya kan dirinya yang marah pada pemuda itu karena kalau tidak karena kemunculannya yang tiba-tiba, kepalanya tidak akan berantukan dengan besi tempat tidur. Namun, belum sempat menjawab apapun, Rio sudah berbicara kembali. “Yang kejedot bagian mana?” tanya Rio lembut selembut tatapannya.
Yaampun! Demi dewa bujana eh neputunus saturnus uranus dan segala planet yang ada di alam semesta ini, Ify rasanya hampir mati diperlakukan seperti itu!
“I—ini..” lirihnya. Ia meringis menatap Rio. Ia melihat tangan Rio bergerak menyentuh bagian kepala yang ditunjukknya. “Yang ini?”
Ify menelan ludah gugup. “I—iya..”
Rio mengusap-ngusap pelan kepalanya itu beberapa kali lalu menatapnya. “Udah enakan?”
“U—udah..”
Napas Ify tercekat manakala Rio tersenyum padanya sambil memainkan rambutnya yang masih lembab. Pemuda itu membuatnya hampir tidak merasa berpijak sekarang setelah membuatnya sempat hampir mati. Dunia rasanya berhenti saat itu juga. Tangannya sudah gatal ingin menyentuh wajah yang membentuk senyum indah itu. Ingin mengabadikannya sehingga ia dapat melihatnya setiap saat nanti. Tapi untunglah masih ada secuil kesadaran yang membuatnya menahan semua angan-angan itu.
“Tadi, lo diapain aja sama mereka, hmm?” kembali Rio bertanya dengan lembut seraya meneruskan aktifitasnya di rambut Ify. Ia memandang gadis itu gelisah karena merasa bersalah.
Ify menelan ludahnya lagi. Rio berbahaya. Pemuda di hadapannya ini sangat-sangat berbahaya. Bahkan hanya dengan tatapan mata, pemuda itu sudah bisa mematikan seluruh saraf motoriknya dan mengacak-acak kendali organ tubuhnya.
“Emm..eng..gg..g—gu—“
Ify belum mengucapkan satu kalimat bahkan satu kata dengan sempurna dan Rio sudah tertawa duluan. Entah tertawa karena apa, Ify tidak tahu.
“Feeling nervous, hmm?” Rio mengerling menggoda sambil menaikkan salah satu alisnya lalu terkekeh pelan. Kekuatan dalam diri Ify seketika berbondong-bondong datang. Ia menepis kesal tangan Rio agar menjauh darinya. Kenapa Rio suka sekali merusak momen? Padahal ia sudah terlanjur berharap banyak saat ini. Ia kesal. Benar-benar kesal.
Ify menghentak kakinya dengan keras ke lantai. Ia mengambil handuk yang ia taruh asal-asalan tadi dan melengos pergi dari hadapan Rio. Tawa Rio mereda ketika melihat perubahan sikap Ify dan beranjak pergi meninggalkannya. Ia dengan cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu dan membuat gadis itu berhenti. Ify berusaha membebaskan tangannya tapi genggaman Rio terlalu kuat. Karena tak ada pelampiasan, ia akhirnya melempar handuk di tangannya ke wajah pemuda itu dengan kesal.
Rio menghindar tepat waktu sehingga handuk tadi langsung mencium lantai sebelum sempat menyentuh wajahnya. Ia sedikit menarik Ify agar kembali berdiri berhadapan dengannya. Ia melepas genggamannya ketika gadis itu sudah tenang. “Iya-iya, sorry..”
Pandangan mata Rio adalah tatapan yang sangat dibenci Ify. Karena tatapan tersebut, ia tidak bisa berkutik. Ia tidak bisa berkata tidak.
Sejurus kemudian, Rio hanya diam menatap gadis di hadapannya yang sepertinya enggan membalas tatapannya. Ngomong sekarang atau enggak nih? Dalam hati ia bertanya ragu. Sudah sejak siang tadi ia berpikir dan menimbang-nimbang apa yang ingin ia lakukan saat ini. Rasanya ia sudah tidak sabar untuk segera mengatakan dan melihat bagaimana respon Ify ketika mendengar nanti.
“Emm..Fy?” panggil Rio kemudian. Ify mengerutkan kening bingung. “Apa?” Suaranya dibuat se-acuh-tak-acuh-nya meski dalam hati ia lumayan penasaran.
Melihat Ify seperti itu, mendadak Rio melepas tatapan bimbang. Ketika sedang berpikir tadi sepertinya mudah sekali. Tapi, kenapa sekarang jadi susah begini? Ia hanya tinggal mengucapkan ‘Gue cinta sama lo, Ify. Mau jadi pacar gue, gak?’ Just it. Rasanya kalimat itu tidak panjang. Tidak sampai satu paragraf. Kata-katanya tidak sesusah kata-kata yang ada dalam soal ujian bahasa prancis. Tapi kenapa tetap terasa sulit? Kalau ia tidak salah ingat, ketika ia mengutarakan perasaannya pada Acha dulu, ia tidak segugup sekarang.
“Apa, sih?” tanya Ify yang sudah tidak sabar. Ia sudah tidak sanggup menghadapi detak jantungnya yang semakin lama semakin cepat. Ia sudah tidak tahan dengan gejolak dalam dada dan perutnya. Ia harus segera menenangkan diri. Harus segara menjauhkan Rio atau mungkin menjauhkan diri dari Rio.
Rio menarik napas panjang. Ia kembali meraih salah satu tangan Ify dan menggenggamnya erat. “Guecintasamapacarlomaujadigak?”
Gedubakjreng...
Tubuh Rio ibarat baru saja tertimpa piano, drum, gitar dan alat musik lainnya secara bersamaan. Cacaaaaat!! Kenapa kalimatnya jadi kacau begitu?! Astagaaa! Rio mengutuk dalam-dalam apa yang baru saja terucap dari mulutnya dalam hati. Sangat memalukan untuk seorang Rio. Sudahlah susunan katanya salah, ia pun mengucapkan dengan tidak jelas.
Sementara Ify mengernyit tak mengerti. Suara Rio terlalu pelan dan juga pemuda itu berbicara terlalu cepat. “Hah?”
Rio mendesah lega. Syukurlah Ify tidak mendengar ucapannya. Mungkin tadi ia seharusnya berlatih dulu sebelum mempraktekkan langsung pada Ify. Dan mungkin ia butuh persiapan lebih. Malam ini sepertinya bukanlah waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Rio menghela napas panjang lalu menggelengkan kepala dan meringis lemah. Lagipula, masa gue nembaknya begini aja? Cuma bilang, ‘Fy pacaran yuk?’ trus diterima trus—udah, gitu aja? Gak ada keren-kerennya. Dan gaada romantis-romantisnya. Ckckck.
Ify masih tampak tidak mengerti. Selain mati degdegan, malam ini sepertinya ia pun akan mati karena penasaran dan tidak menutup kemungkinan juga untuk mati penasaran. “Niat ngomong gak, sih? Kalo niat ya jangan setengah-setengah. Atau lo cuma mau ngerjain gue lagi? Ck, gak ada capek-capeknya ya lo!” Sungutnya kesal. Ia kembali melengos pergi meski Rio pun dengan cepat menahannya lagi.
“So—sory..Aduh! Sumpah deh, Fy, gue gak ada maksud buat ngerjain lo. Gue cuma..ngerasa belum siap aja buat ngomong sekarang.” Rio menggaruk-garuk pelipisnya kebingungan. Ia menatap Ify memohon agar gadis itu mengerti.
Sementara Ify menanggapinya berbeda. Hatinya mencelos. Jantungnya seakan diketuk dengan palu dengan cukup keras sehingga dadanya mendadak terasa sesak. Ia menelan ludah getir. Mendengar Rio berkata ‘belum siap’ sontak mengingatkannya pada sosok Angel beserta nyawa lain dalam perut gadis itu. Apa itu yang Rio maksud? Apa Rio hendak mengatakan kalau dia memang—yang menyebabkan hadirnya nyawa lain itu? Batinnya bertanya-tanya. Ia termangu seraya menatap nanar wajah pemuda tampan di depannya.
Rio bertambah bingung karena Ify tiba-tiba diam dan terus saja menatapnya dengan tatapan yang aneh menurutnya. “Fy?” Panggilnya yang sekaligus menyentak kesadaran Ify.
Ify terkesiap sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Ia ingin sekali bertanya lagi pada Rio tentang masalah itu. Memastikan apa yang ia pikirkan itu benar atau salah. Tapi, ia tidak bisa. Dugaannya bisa saja benar, kan? Dan masalahnya ia tidak sanggup mendengar Rio membenarkan dugaannya itu secara langsung. Ia tidak rela. Ia berharap dugaannya salah. Tapi, kalau pun memang benar, ia berharap Rio tidak memilih bertanggungjawab. Kedengarannya egois, sih. Jahat malah. Tapi, ya..mau bagaimana lagi, kan? Lo semua pasti juga tau perasaan gue sama Rio kayak apa. Segimanapun sakitnya gue selama ini karena dia. Tapi, dia juga gak sekali dua kali kok bikin gue seneng. Iya, kan?
“Lo gakpapa?” tanya Rio lagi.  Ify berusaha bernapas senormal yang ia bisa ketika Rio memandangnya khawatir.
Bagaimana mungkin Rio bisa mengaduk-aduk perasaannya seperti ini? Sesaat senang, kemudian kesal, terus tiba-tiba gelisah bahkan sedih, lalu berakhir dalam sekejab dengan membuatnya berbunga-bunga alias senang. Alat apa sih yang Rio punya sehingga bisa melakukan itu semua? Boleh ia pinjam sebentar? Supaya ia juga bisa mengetahui bahkan ikut mengendalikan perasaan pemuda itu bahkan perasaannya sendiri.
“G—gak papa! Iya, gakpapa..” sahut Ify. Rio menghela napasnya lalu tiba-tiba saja memeluk Ify sambil mengelus-elus kepala gadis itu. Mata Ify sontak membelalak lebar. Ia kaget dan hampir saja kelepasan berteriak kalau saja mulutnya tidak menubruk bahu kanan Rio. Ia menggeliat supaya Rio melepasnya. Tapi bukannya melepas, Rio justru makin erat memeluknya. Pada akhirnya, ia hanya pasrah sambil berusaha setidak-tidaknya mengurangi detak jantungya.
“Harusnya gue tadi gak nyium lo ya? Jadinya lo ga bakal kena amuk massa. Haha. Sorry ya gue tadi malah gaada buat nolongin lo dan..tadi gue ga percaya sama lo.”
Ify kini tengah sibuk berperang batin. Bolehkan ia balas memeluk Rio? Bagaimanapun juga, ia tidak bisa bersikap munafik. Ia tidak bisa menampik perasaan menginginkan dalam hatinya. Tapi, bagaimana soal pemuda itu dan Angel? Bagaimana...bagaimana..aisss tapi...gue pengen! Huaaa papa tolong Ify!
Ify menggigit bibir bawahnya dilema. Lama-lama, ia pun terlena dalam pelukan Rio. Tanpa bisa dicegah lagi, ia pun membalas dengan mengalungkan tangannya ke pinggang pemuda itu. Ia tak peduli larangan dari otaknya. Ia tidak mengindahkan spekulasi tentang Angel dan Rio. Ia tidak bisa tidak menuruti kata hatinya. Ia hampir tidak mendengar apa yang Rio ucapkan. Beruntung suara pemuda itu masih sayup-sayup sampai ke telinganya dan ia bisa menanggapi ringan. Ia mengangguk pelan. Ia sudah tidak mempermasalahkan lagi kejadian mengerikan yang ia alami tadi siang. Rasanya ia sudah mendapat imbalan yang cukup. Lebih dari cukup malah.
Ini kali kedua Rio memeluknya setelah malam itu. Dan untuk kedua kalinya ia akui pelukan Rio memang benar-benar membuatnya nyaman. Sesaat terpintas sebuah harapan kecil dalam hatinya. Ia berharap kalau Tuhan memperuntukkan Rio bersamanya. *eeak(?)*  Menjadi pengganti tempat bersandarnya yang saat ini mungkin tengah menghilang. Bahkan dalam mimpinya sekalipun, pelukan ayahnya tidaklah senyaman yang dulu lagi. Justru membuatnya ketakutan entah kenapa.
Rio menghela napas lagi. “Gue janji kejadian itu gak akan keulang lagi.”
“Gue gak mau percaya.” Ify menyahut datar. Rio mengernyit kaget. “Kenapa?”
“Eng..gak tau. Takut aja. Terakhir gue percaya sama orang, orang itu malah ninggalin gue.”
“Gue gak bakal ngelanggar janji sama lo kok, Fy. Gue..gak bakal ninggalin lo.”
“Cih, lo kan plin plan.” Cibir Ify seraya terkekeh kecil.
“Elah susah banget sih lo tinggal percaya aja?”
Ify tersenyum tipis. “Lo aja susah kan buat percaya sama gue?”
Rio mati kutu. Ucapan Ify membuatnya kalah telak. Ia menghela napas singkat. “Jadi siapa yang udah orang yang udah inkar janji sama lo itu? Kenapa dia bisa ninggalin lo?” tanya kemudian.
“Mama. Dan Papa juga...mungkin. Gatau deh, firasat gue akhir-akhir ini lagi gaenak aja.” Ify seketika merasa ada yang mengudek-udek perutnya ketika ia menyebut papanya. Ia seketika teringat kembali akan mimpi buruk tadi siang. “Mama bilang gak akan ninggalin gue. Taunya dia malah pergi cepet banget. Papa juga sama.”
Saat itu juga Rio melepas pelukannya dan mendelik pada Ify. “Mama lo pergi karena takdir, Fy, bukan karena dia emang mau ninggalin lo. Takdir kan Tuhan yang ngatur. Batas umur siapa yang tau, kan? Dan...papa lo masih ada, astaga Ify! Lo ngomong seakan-akan besok papa lo bakal mati aja.”
“Batas umur siapa yang tau, kan?” serah Ify seraya mengedikkan bahu. Rio mendecak kesal. Tapi kemudian menarik Ify kembali ke pelukannya.
“Pokoknya, mulai besok dan seterusnya, lo gak boleh jauh-jauh dari gue!”
Ify menyatukan kedua alisnya bingung. “Kenapa gitu?”
“Ya biar gue bisa jagain lo.” Jawab Rio santai.
“Emang gue anak ayam mesti lo jagain?”
“Terserah lo deh mau jadi anak apa.” Rio mengedikkan bahu. Ify mengatup mulutnya berpikir sejenak. Lalu kemudian bertanya heboh. “Jadi kemanapun gue harus sama lo?”
Rio berdehem mengiyakan.
“Kemana pun?!” tanya Ify lagi. Rio mau tak mau tertawa geli. “Iya, Ify! Jangan sampe gue berubah jadi vampir gara-gara pengen gigit lo ya!” katanya seraya geleng-geleng kepala.
Sementara Ify tampak tercengang-cengang. “Woaa..” gumamnya pelan. Lalu ia tiba-tiba kembali bertanya. “Kalo gue kebelet gimana? Lo ikut masuk toilet?”
“Ya gak ikut masuk juga kali, Fy!” Rio tertawa lagi. Ia mengeratkan pelukannya gemas. Kalau saja Ify ini makanan pasti sudah ia lahap dengan nikmat.
Ify mengangguk pelan dan memutuskan tidak bertanya lagi. Lagipula, rasanya semua pertanyaannya tadi rasanya tidak terlalu penting.
Beberapa menit terlewat dan hanya diisi kebisuan milik mereka berdua. Hingga kemudian, Ify bersuara lagi.
“Yo?” panggilnya.
“Ya?” jawab Rio.
“Tadi sore lo gak mandi ya?” Sekali lagi, Ify bertanya dengan polosnya. Rio berjengit lalu kemudian melonggarkan pelukannya. Menatap Ify setengah kesal dengan sebelah alis menanjak. “I—iya..sih. Harus ya lo tanyain itu?”
“Badan lo bau.” Ujar Ify, lebih polos lagi. Menatap Rio sama polosnya. Seperti tidak ada yang salah dalam ucapannya.
Tangan Rio seketika lunglai dan pegangannya pada bahu Ify langsung terlepas. Ify menatapnya bingung tapi tidak bertanya apapun. Ia hanya menunggu Rio menjelaskan langsung. Tapi Rio sendiri blank dan tak tahu harus berkata apa. Ini hal yang cukup memalukan. Bagaimana mungkin seorang Rio dikatai bau? Oleh seorang gadis? Oleh Ify?! Rasanya Rio benar-benar ingin memakan gadis itu. Ckckck.
***
Siviel

Akhirnya, setelah sekian lama Via menyimpan barang-barang antik ini, sekarang gadis itu harus memakainya kembali. Ya, Gabriel tidak sekedar bicara kemarin. Pemuda itu beberapa jam lalu menghubungi dirinya, lebih tepatnya Zaza, mengajak pergi bersama. Meski sudah terang-terangan dan sangat-sangat jelas menolak, tapi Gabriel tetap keukeh membujuknya. Dan karena sudah lelah berdebat, ia terpaksa menerima ajakan pemuda itu.
Dan disinilah Via sekarang. Berdiri di sebuah rak buku bagian berbagai macam novel berada. Tangannya pun tengah memegang sebuah novel dan pikirannya fokus membaca bagian belakang benda itu. Mendadak muncul sepasang tangan yang dengan kurang ajar menutup kedua mata Via. Refleks, Via langsung menyikut keras orang itu dengan siku kirinya. Terdengar suara mengaduh dari arah belakangnya dan sudah disimpulkan kalau orang itu adalah pria.
Via membalikkan badan sudah siap untuk menyemprot dengan berbagai umpaitan. Namun seketika bermacam kata-kata yang sudah tersusun rapi itu buyar saat dirinya sudah mengetahui siapa orang kurang ajar sekaligus malang itu. Seorang pemuda yang mengajaknya pergi beberapa saat lalu dan juga sedari tadi ia tunggu. Gabriel.
“Kamu?” Gabriel hanya meringis dan memaksakan senyum. Ia terlihat begitu kesakitan di bagian kiri perutnya. Via atau Zaza, ah Via sajalah, sempat ikut meringis khawatir. Namun, ekspresinya langsung berubah datar mengingat dirinya sedang menjadi siapa sekarang. “Maaf.” Ujarnya sedatar ekspresinya. Gabriel menegakkan tubuhnya kembali dan tersenyum cerah pada Via, atau Zaza atau..oke oke, Via.
“Pergi sekarang? Atau mbak Zazanya masih ada yang mau dicari?” tanya Gabriel celingak-celinguk lalu menatap Via.
“Mbak, mbak! Saya gak setua tukang kasir itu!” protes Via sambil menunjuk wanita penjaga kasir di dekat pintu keluar.
Gabriel terkekeh sambil memegang perutnya. “Jadi maunya saya panggil apa? Babe? Honey? Atau sayang mungkin?” ujarnya sambil memasang tampang menggoda. Via melotot dan langsung menimpuk Gabriel dengan novel yang masih dipegangnya. “Jangan mimpi kamu!” umpatnya. “Panggil saya Zaza aja.” ujarnya kemudian.
Gabriel tersenyum sambil menoel dagu Via yang kontan membuat mata gadis itu melotot lagi. “Okedeh, Zaza..Sayang.”
“Kamu!” Via sudah mengambil ancang-ancang untuk menimpuk Gabriel kembali namun digagalkan oleh teguran laki-laki penjaga toko buku. “Permisi, maaf, mbak mau beli bukunya? Kalo enggak ditarok kembali aja, ntar bukunya rusak, saya bisa dimarahin bos saya.”
Via meringis seraya meminta maaf dan dengan enggan meletakkan novel ditangannya kembali ke tempatnya. Penjaga buku tadi mengucapkan terimakasih lalu beranjak pergi. Via langsung mendelik ke arah Gabriel. “Saya masih punya sepatu kalo kamu berani ngomong macem-macem lagi!” ancamnya. Gabriel hanya tersenyum lagi tanpa membalas ucapan Via.
“Ya sudah, kamu mau ngajak saya kemana? Pergi sekarang aja, saya bisa mati muda kalo lama-lama sama kamu.”
“Kenapa? Mbak jantungan terus kalo deket saya? Mbak naksir ya sama saya?” Masih, Gabriel masih setia menggoda gadis di depannya. Via menutup mata sambil menghela napasnya. “Saya pernah matahin gigi orang pake sepatu saya loh, Gabriel.” Katanya sambil tersenyum manis yang dibuat-buat.
Gabriel tertawa lalu mengedikkan bahunya. “Yaudah, kita berangkat sekarang aja. Ayok!” Ia lantas menarik dan menggandeng tangan Via begitu saja. Via sudah malas mendebat lagi terlihat pasrah saat Gabriel membawanya pergi.
***
Via berdiri bengong memandang gedung besar di depannya sementara Gabriel berkacak pinggang dan tersenyum girang. “Gab-ri-el?” katanya terbata-bata. Gabriel menoleh padanya masih dengan senyumnya. Kali ini senyumnya lebih lebar. “Ya? Ah akhirnya kamu nyebut nama saya juga!”
“Kita gak salah tempat?” tanya Via masih menatap takjub ke arah depan. Gabriel menggeleng semangat. “Enggak kok, emang ini tempatnya.”
“Emang di sini ada restoran—atau cafe—atau warteg—uh?”
Gabriel tertawa sekilas lalu menggeleng lagi. “Enggak ada, Zaza. Kita kan bukan mau makan.”
“Kamu gak lagi linglung, kan? Kamu sadar kan bawa saya ke sini?”
Gabriel tampak agak bingung dan mengangguk ragu. “Saya gak linglung dan saya sadar—kok,”
Via akhirnya menoleh pada Gabriel dan tiba-tiba meringis. “Gabriel..ini tuh sanggar ballet..anak-anak..” cicitnya pelan. Gabriel mengangguk lagi, masih ragu dan tentunya bingung. “Iya—emang ini sanggar ballet anak-anak. T—trus?”
“Ya trus kita mau ngapain?! Emang kamu mau nari ballet? Dan, ini tuh buat anak kecil, Gabriel!”
Gabriel tersenyum lagi. Tanpa menjawab pertanyaan Via, ia begitu saja menarik gadis itu untuk masuk ke sanggar ballet yang mereka sebut-sebut itu yang tak lain dan tak bukan adalah tempat yang mereka datangi.
Mereka kemudian masuk ke dalam satu ruangan luas yang berdindingkan cermin dan diisi oleh beberapa anak kecil lengkap dengan pakaian balletnya masing-masing. Via menarik napas saat masuk dan berusaha sekeras mungkin menyembunyikan semburat-semburat kemerahan di wajahnya. Ia malu sekali. Saat ini ia sudah memakai kostum ballet seperti anak-anak di dalam sana dan...Gabriel juga. Yang membuat malu adalah...Gabriel memakai kostum ballet untuk anak perempuan! Ya Tuhan!!
Sesuai tebakannya, anak-anak di ruangan tersebut langsung cekikikan ketika melihat Gabriel. Sementara pemuda itu cuek-cuek saja dan bertingkah seperti tidak ada yang salah pada dirinya. Via sendiri bingung, seharusnya Gabriel yang merasa malu bukan dirinya. Gabriel lalu membawanya mendekat pada seorang wanita cantik yang sepertinya adalah instruktur ballet di sana. Wanita itu menoleh dan tersenyum geli. “Gabriel? Kamu ngapain pake baju kayak gitu?” Wanita itu tampaknya sudah mengenal Gabriel.
“Mau ikut latian lah, Tan. Oh iya, ini temen aku namanya Zaza. Za, ini tante saya namanya Tante Eri, pemilik sekaligus pelatih disini.” Gabriel tak henti-hentinya nyengir dan hampir saja membuat Via tidak tahan untuk menyumpalkan sepatu balletnya ke mulut pemuda itu. Via tersenyum sopan sambil berjabat tangan dengan Eri. Eri hanya geleng-geleng kepala melihat Gabriel dan balas tersenyum pada Via.
“Beneran nih kalian mau ikut latihan? Gak salah tempat? Disini kan anak-anak semua tuh! Dan kamu Yel, gak salah kostum?” tanya Ari sambil menunjuk anak-anak di depannya lalu menunjuk Gabriel dan pakaiannya. Gabriel menggeleng mantap tanpa pernah melepas cengiran menyebalkannya—menurut Via. Via menghela napas singkat. Gabriel oh Gabriel!
“Yaudah, Yel, Za dan anak-anak semua baris yang rapi. Kita pemanasan dulu ya!”
Tidak tanggung-tanggung, Gabriel mengambil barisan paling depan. Sementara Via mencari aman dengan mengambil baris paling belakang. Ia dapat melihat betapa antusiasnya Gabriel melakukan gerakan-gerakan yang diinstruksikan Eri. Sesekali Gabriel menoleh ke belakang dan berteriak menyuruh anak-anak yang ada di belakangnya untuk berhitung lebih keras. Alhasil, meski awalnya tertawa tapi anak-anak tersebut langsung mengeraskan volume suaranya dan melakukan gerakan dengan sama semangatnya dengan Gabriel. Rasa malu Via sontak menghilang. Ia mau tidak mau ikut tergelak melihat kelakuan-kelakuan ajaib Gabriel di depan sana.
“Kakak berdua pacaran ya?” tiba-tiba anak yang berada tepat di samping Gabriel menyeletuk. Sontak semua teman-temannya disana menyoraki Gabriel dan Via. Semburat di wajah Via muncul kembali. Ia langsung melambai-lambaikan tangannya mencoba menyangkal apa yang baru saja anak kecil tadi ucapkan. Ia melirik Gabriel frustasi karena pemuda itu justru hanya cengar-cengir bahagia.
“Tenang-tenang semuanya! Buat ngejawab pertanyaan kalian, kakak punya satu tantangan buat kakak cantik yang di sana.” Ujar Gabriel. Anak-anak serentak menoleh pada Via. Via melirik tajam pada Gabriel.
“Kita tanding ballet satu lawan satu. Nah, kalian semua nanti yang nilai siapa yang paling bagus. Kakak yang ganteng stadium akhir ini atau kakak cantik yang itu. Kalo kakak cantik kalah, kakak cantik itu harus mau jadi pacar kakak. Gimana kakak cantik?” Gabriel mengerlingkan matanya pada Via yang terkesiap di tempatnya. Pertandingan macam apa itu? Kenapa poin keuntungan untuknya tidak ada? Sejurus kemudian Via langsung mengangkat dagunya dan memasang wajah angkuh. “Oke siapa takut!”
Entah kenapa anak-anak tadi kembali menyoraki mereka. Hingga suara Eri berhasil meredam suara mereka dan langsung mengambil kendali yang sebelumnya dipegang Gabriel. Eri menyalakan musik dan semua anak-anak tersebut langsung menari selaras tanpa ada yang memberi contoh di depan. Gabriel dan Via lantas mencoba mengikuti setiap gerakan yang dilakukan anak-anak tersebut. Gabriel yang pada dasarnya kaku dan tidak punya bakat menari pun langsung membuat beberapa anak terkikik geli. Sekaligus membuat Via seratus persen yakin ia tidak mungkin kalah.
Satu jam kemudian, latihan tahap satu selesai dan semuanya diperkenankan istirahat. Tapi tidak dengan Gabriel dan Via. Sekarang waktunya mereka diadu satu lawan satu. Yang pertama unjuk diri sudah pasti Gabriel. Ia berdiri di tengah-tengah dan semua anak berdiri di pinggir ruangan. Ketika musik dibunyikan, Gabriel memulai tarian—tak layak pandang—nya dengan bangga tanpa ragu sedikitpun. Anak-anak kembali terkikik geli hingga tarian itu berakhir dan mereka memberikan tepuk tangan meriah untuknya. Ia berdiri lalu membungkukkan badan.
Gabriel mengedipkan mata pada Via yang berjalan menuju tempatnya yang dibalas dengan delikan gadis itu. Ia sendiri kemudian berjalan ke pinggir ruang dimana semua anak berdiri di sana. Ketika Via menari, Gabriel membisikkan sesuatu pada anak kecil di kanan-kirinya. Dan kedua anak tersebut kompak dengan estafet membisikkannya pada teman-temannya yang lain lalu tersenyum misterius pada Gabriel. Ketika Via selesai, ia juga membungkukkan badan sejenak dan mendapat tepuk tangan yang sama meriahnya dengan Gabriel.
Setelah itu, Gabriel kembali mengambil alih perhatian. Ia berdiri di samping Via. “Jadi langsung dinilai aja ya! Yang milih Kak Zaza mana suaranya?!” Tak ada satupun yang bersuara. Ah, ada, Ari. Ia bertepuk tangan untuk Via. Namun intensitas tepukannya langsung menurun ketika mengetahui semua anak-anak melirik tatapan ‘membunuh’ mereka padanya. Ditambah lagi, hanya dirinya sendiri yang bertepuk tangan.
Gabriel menyeringai senang dan melirik Via sekilas lalu mengedipkan mata. Via sendiri mulai cemas. Kenapa tidak ada yang bertepuk tangan untuknya? Sejelek itukah tariannya? Kalau dia jelek lalu Gabriel apa, dong?
“Nah, sekarang yang milik kakak ganteng mana suaranya?!” Keheningan sesaat tadi sontak berhamburan melarikan diri ketika sorak sorai anak-anak menggema setelah Gabriel selesai berbicara. Gabriel kembali menyeringai dan ikut bertepuk tangan untuk dirinya lalu menatap Via penuh kemenangan. Sementara Via hanya bisa melongo speechless melihat anak-anak semuanya bersorak-sorai untuk Gabriel.
Gabriel mengangkat kedua tangannya menyuruh semuanya diam sejenak. “Nah, kamu bukan orang yang suka ngelanggar janji, kan?” Ia menoleh pada Via dan memandangnya dengan mata berbinar. “Tap—tapi—kok bisa..” Via gelagapan dan bingung sendiri harus menjawab apa.
“Yaudah, kalo gitu kakak ganti baju dulu ya!” Gabriel tersenyum misterius dan dibalas sama misteriusnya oleh anak-anak di hadapannya. Via memperhatikan itu dan menyipitkan mata curiga.
Setelah berganti baju, Gabriel menyuruh anak-anak tadi keluar dan menunggu di depan sanggar. Ia dan Via pergi menghampiri penjual es krim yang berjualan di sekitar sanggar. Via kembali menyasarkan pandangan curiga pada Gabriel karena membeli es krim dalam jumlah banyak. “Kamu nyogok mereka ya?” tuduhnya sambil mengacungkan telunjuknya pada pemuda itu. Gabriel menyeringai tak menjawab.
Mereka kembali menghampiri anak-anak yang menunggu di depan sanggar dan membagikan satu per satu es krim yang mereka beli tadi. Tak berlama-lama setelah itu mereka langsung pamit pulang dan anak-anak tadi kembali masuk ke dalam sanggar. Sementara mereka berjalan mendekat dan masuk ke dalam mobil Gabriel.
“Jadi, gimana rasanya kencan sama saya?”
“Kamu curang!” Via mengumpat namun tersenyum juga sambil menjilati es krim di tangannya. “Yah habis kalo saya menang secara murni itu gak akan mungkin. Wong saya gak bisa nari. Haha.” Gabriel menoleh pada Via sebentar lalu kembali menatap jalan raya di depannya. Beberapa saat mereka sama-sama diam tak saling bicara.
“Kamu lucu.” Via tersenyum ringan pada Gabriel lalu bercengkrama lagi dengan es krimnya. “Kamu cantik.” Gabriel menjawab kalem. Via menahan tawa geli. “Kamu gombal.”
“Kamu cantik.” Lagi, Gabriel menjawab kalem dengan kata-kata yang sama. Membuat Via memutar kedua bola matanya. “Err stop gombalin saya!”
“Err stop nyuri cinta saya!” Gabriel menirukan cara Via berbicara dan tersenyum lembut pada gadis itu. Via tak lagi membalas. Ia hanya mencibir pelan dan langsung memalingkan wajahnya menatap jendela. Menyembunyikan semburat merah yang untuk kesekian kalinya muncul di pipinya. Padahal yang dipuji Gabriel itu Zaza, bukan dirinya. Ya meskipun Zaza itu sebenarnya adalah dirinya juga. Tapi, ya, tetap saja beda.
“Kamu..beneran suka sama saya ya?” tanya Via ragu-ragu sekaligus bingung. Ia menggaruk pelipisnya pelan. “Masih belum percaya juga?” Gabriel menyorongkan pandangan lembutnya kembali. Membuat jantung Via kocar-kacir. Astaga! Jauhkan tatapan berbahaya itu dari gue, plis!
“Kenapa? Kok bisa, sih?” Masih, Via sangat-sangat tidak habis pikir apa yang Gabriel sukai dari sosok Zaza yang diperankannya saat ini. Gabriel hanya mengedikkan bahu. “Gak tau. Emang suka sama orang harus ada alasan?”
“Tapi kamu aneh. Jumlah waktu kita ketemu aja masih bisa diitung pake jari. Apalagi aku..” Via mengurungkan niat melanjutkan omongannya. Ia bingung sendiri. Tidak mungkin kan kalau dia menyebut dirinya sendiri sebagai cewek aneh di depan Gabriel?
“Kan di quote-quote udah banyak tuh, katanya cinta gak ngenal waktu. Bukannya kamu suka baca novel ya? Masa gak pernah baca yang kek gitu?”
“Ya ya ya, terserah kamu deh, asal jangan nyesel udah cinta sama saya.”
“Saya gak bakal nyesel kalo kamu juga cinta sama saya. Kamu mau kan nerima cinta saya?”
“Kamu lagi nyatain cinta? Kok gaada romantis-romantisnya!” cibir Via.
Mata Gabriel langsung berbinar cerah. Ia lantas tersenyum jahil. “Jadi kamu pengen yang romantis? Berarti kamu gak akan nolak saya, dong?”
Via merasa pipinya memerah lagi. Secepat mungkin ia berusaha menormalkan kembali ekspresi wajahnya. Gabriel benar-benar berbahaya. Pikirnya. “Ya belum tentu juga. Cinta kan butuh waktu. Dan quotes kayak gitu juga banyak loh.” Via lalu mengedipkan matanya dan tersenyum pada Gabriel karena berhasil membalikkan kata-kata pemuda itu sebelumnya padanya.
Tak ada raut kekecewaan di wajah Gabriel. Ia tetap memajang senyum manisnya di wajahnya yang manis. “Hmm, itu tandanya kamu bersedia untuk jalan berdua sama saya lagi.”
“Hah? Darimana asalnya saya mau diajak jalan lagi sama kamu?” protes Via.
“Ya kan kamu bilang cinta butuh waktu. Kamu butuh waktu buat bisa cinta sama saya. Untuk bisa jatuh cinta kan kamu harus sering-sering ketemu sama saya. Iya kan?”
“Ya—gak—tapi..hh terserah kamu ajalah, saya gak mau bener-bener mati muda gara-gara ngeladenin kamu.” Via akhirnya menyerah. Gabriel hanya tertawa mendengar ucapan Via tanpa membalas lagi.
***
Via duduk bersandar pada sandaran kasurnya sambil membaca sebuah novel di tangannya. Ia baru saja berniat menyelipkan telunjuk di balik lembaran sebelum ponselnya terdengar berdering. Ia melirik nakas di samping ranjangnya tapi tidak melihat ponselnya ada di sana. Matanya berkeliling menekuri sekitarnya tapi ia tak juga menemukan ponselnya itu. Ia mengerang kesal. Ya, sudah kebiasaan kalau benda itu mendadak menghilang. Kalau saat dibutuhkan benda mungil itu suka sekali bersembunyi. Salahnya juga sih yang sering sembarangan menaruhnya asal.
Via menyelipkan pembatas di novelnya dan menaruhnya di kasur. Ia kemudian berdiri lalu bergerak mencari dimana ponselnya berada. Deringan ponselnya tiba-tiba berhenti. Namun, tak sampai 10 detik, benda itu kembali bernyanyi. Via mengacak-acak rambutnya kesal. Matanya lalu menangkap pintu kamar mandi. Ia langsung berlari masuk ke dalam sana. Ia lantas mendesah lega saat keluar dengan ponsel di tangannya. Ia baru ingat kalau tadi sore ia ikut membawa ponselnya ke kamar mandi dan lupa membawanya kembali.
Tapi, kemudian, Via kembali mengerang jengkel manakala mengetahui nama Gabriel yang muncul di layar ponselnya. Gara-gara pemuda itu ia jadi kalang kabut mencari ponsel dan terpaksa menunda hasrat membacanya. Meski ia juga harus berterimakasih karena kalau bukan karena pemuda itu meneleponnya, ponselnya akan menginap di kamar mandi sampai besok hari. Sebagai tambahan, ia lumayan senang...sih. Tapi juga heran kenapa Gabriel tumben-tumbenan menghubunginya. Sekedar informasi, Gabriel menghubungi nomor ponselnya sendiri bukan nomor Zaza.
Sepintas hati kecilnya menyuruhnya tidak usah mengangkat. Tapi, sejurus kemudian, hati kecilnya mendesak agar ia segera menekan yes pada ponselnya. Mengingat Gabriel terus mengulangi panggilannya karena ia tak kunjung mengangkat.
“Ha—lo?” sapa Via tak yakin.
“Hai, Vi!” balas Gabriel yang terdengar begitu ceria di seberang sana. Via menggaruk pelipisnya bingung. “H—hai.. Gak salah pencet nih?”
Gabriel terkekeh pelan. “Ya enggaklah! Kenapa harus salah pencet?”
“Ya—aneh aja..” Via mengedikkan bahu. “Aneh kenapa?” tanya Gabriel.
“Ya—aneh! Ngapain lo malem-malem nelfon gue? Kek gue pacar lo aja! Atau ada yang mau lo tanya? Mau nanya apaan? PR? Besok gak ada PR kalo lo mau nanya itu.” Cerocos Via seraya berjalan menuju kasurnya dan duduk bersandar kembali.
Gabriel tertawa geli. Yang benar saja, Gabriel hanya bertanya dengan dua kata tapi Via menjawabnya hampir satu paragraf. “Gue sama sekali gak niat nanya PR. Kalo ada pun gue juga ga bakal ngerjain sekarang. Gue tuh emang lagi pengen nelfon lo aja. Ya kan kita lagi di masa pdkt, jadi ga aneh lah kalo telfonan. Iya kan?”
Via mengernyit kaget. “Ap—apa? Pdkt? Pe-de-ka-te-huh? Pdkt?!”
“I—iya, ada yang salah?” tanya Gabriel bingung.
Via mendesah lalu memutar kedua bola matanya malas. “Hh! You’re so untruthful.”
“Lah, kan emang bener kita lagi pdkt Via sayang!”
“Sayang-sayang, gue cincang lo! Baru aja tadi siang jalan ama Zaza sekarang lo berani bilang lagi pdkt sama gue, hah?!”
“Lo..tau darimana hari ini gue jalan sama Zaza?”
Seketika itu juga mata Via melebar. Ia menepuk keningnya seraya mengumpat ‘mati gue’ tanpa suara. Kenapa bisa keceplosan? Ia lalu menggigit jarinya seraya berpikir keras.
“Emm—itu—gue—ah! Kan lo yang bilang kemaren pas di rumah sakit kalo hari ini lo mau ngajak Zaza jalan.” Via mengusap-usap dadanya lega. Untung saja kemarin Gabriel memang mengatakan padanya. Kalau tidak bisa bahaya.
Gabriel terkekeh pelan. “Oh iya ya, hehe. Trus, ngomong-ngomong, nyokap lo kapan bisa pulang?”
“Ya kalo udah sehat.”
“Elah, maksud gue spesifiknya kapan, Viaaa! Berapa hari lagi gitu? Gue juga tau kali nyokap lo keluar kalo udah sehat. Itu udah pasti lah!”
Via terkekeh tanpa semangat. “Oh itu, hehe. Dalam minggu ini mudah-mudahan udah bisa pulang. Tergantung kondisi mama.”
“Sekarang lo dimana?” tanya Gabriel antusias. “Di..rumah?” jawab Via dengan nada bertanya. Gabriel terdengar mendesah kecewa. “Yaah! Gue kira lo di rumah sakit.”
“Kenapa emang kalo gue di rumah sakit?”
“Ya gue kan bisa nemuin lo. Nemenin lo lagi. Kalo lo di rumah kan gak mungkin.” Nada suara Gabriel berubah ceria kembali. Via mengernyit heran. Nih anak kenapa sih? Batinnya bertanya-tanya.
“Okey, terserah. Gue tanya sekali lagi. Ngapain lo nelfon gue? Dan jangan jawab yang enggak-enggak lagi!”
“Gatau juga, sih, sebenernya. Gue mendadak kangen sama lo. Jadi gue nelfon lo. Lo tadi lagi ngapain?”
Via mendengus dongkol dalam hati. Gimana bisa dia nyebut kangen sesantai itu? Ck. Apa iya dia kangen sama gue? Batinnya. Sekilas seperti ada sesuatu yang baru saja menggelitik isi perutnya.
“Lo—kangen?” Via membeo.
“Iya, Vi! Ampun deh, lo susah banget percaya sama gue!” keluh Gabriel.
“Ya karena lo emang susah buat dipercaya! Dalam rangka apaan lo kangen sama gue?” Via tak mau kalah.
“Salah kalo gue kangen sama lo?”
Sesuatu tadi kembali menggelitik perut Via. Kali ini lebih terasa olehnya. Aiss, nih orang bener-bener deh!
“Lo harusnya kangen sama cewek aneh inceran lo itu. Lo kan sukanya sama dia bukan sama gue. Jadi kalo lo bilang lo kangen sama gue itu bohong abis!”
“Diluar masalah ini, dalam keseharian apa gue juga susah dipercaya bagi lo?”
Via mengedikkan bahunya lagi. “Hmm, kayaknya gitu.”
“You need to trust me, Vi. I’m trully good enough to being trusted. Please?” Gabriel memelas. Terdengar begitu memohon pada Via untuk percaya. Terdengar seperti ia memang bersungguh-sungguh dan tidak berbohong.
Via menelan ludah. Nada suaranya kenapa harus kek gitu banget, sih?! Gue kan bisa nganggepnya beneran. Aiss, sial!
“Udah deh, lo jangan bikin gue nga—emm maksud gue, ya I know you so much well. Gue jangan ikut lo gombalin lah. Lo masih nganggep gue temen kan? Jadi eliminasi gue dari daftar target cewek-cewek yang mau lo taklukin dan lo bikin patah hati. Sekali lagi, inget ya gue ini temen lo. Masa lo tega nyakitin temen lo sendiri?” sungutnya. Ia lantas merutu dalam hati. Untung tadi dirinya tidak keceplosan lagi. Err, mulut bawelnya ini sangat merepotkan ternyata.
“Ah! Gue bakal buat lo percaya sama gue!” Gabriel berseru semangat. Membuat Via geleng-geleng kepala menyerah dan berdoa dalam hati supaya keinginan Gabriel itu tidak tercapai. Ia sudah kapok dipermainkan pemuda itu. Ia sudah cukup dipusingkan dengan harus memerankan Zaza. Ia tidak berminat untuk menambah beban kepala lagi.
“Besok gue jemput lo ya? Iya! Okey, goodnight princess-soon-to-be!”
Tut. Sambungan telepon langsung terputus. Via menatap shock ponselnya dengan mulut menganga dan mata membelalak. Gabriel bahkan mengiyakan sendiri ajakannya. Terkesan bukan seperti ajakan, tapi perintah. Seperti biasa, pemuda itu bersikap seenaknya.
Ah, tapi mana mungkin Gabriel beneran. Paling mau mainin gue lagi. Iya, kan? Udah deh ngaku aja! Hhh!

***

Woaaaaa! Akhirnya rampung juga part ini! Masih pada nungguin ga sih? Rencananya mau namatin nih. Jadi doakan ya bisa cepet hahahaha xD Pada ga sabar kan Acha dateng? Wkwk.-.
Ntar mimin bikin ff baru couplenya DiFy........................................(?)
Yasudah, mimin go away dulu yak. Don eper porget tu mis mimin! Daaah muah muah muah:*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar