Alshill, Fevin(?)
Setelah berhari-hari libur, akhirnya hari ini
Febby bisa kembali bersua dengan sekolah tercintanya. Rindu juga rasanya
melihat suasana di sekolahnya itu, berada di antara hiruk-pikuk murid-murid
disana, berlelah-lelahan dengan tugas sekolah, merasakan makanan kantin, dan
terutama bertemu dengan Goldi. Ia berjalan cepat menuju kelasnya. Setelah itu,
ia keluar dan berjalan menuju kelas Goldi untuk bertemu pemuda itu. Pemuda itu
pasti akan sangat senang melihatnya sudah kembali masuk sekolah.
Ketika sudah berada di depan pintu, Febby
celingak-celinguk ke dalam kelas namun tak ada tanda-tanda keberadaan Goldi di
sana. Tasnya pun tidak ada. Apa pemuda itu belum datang? Febby melihat jam
tangannya dan mengetahui sekarang sudah pukul 06.48. Rasanya tidak mungkin
kalau Goldi sampai sekarang belum datang. Goldi bukan tipe cowok yang susah
bangun pagi. Dia spesies cowok paling rajin menurut Febby. Apalagi sekarang dia
memegang jabatan sebagai ketua OSIS.
Mungkin Goldi masih otw. Akhirnya Febby
memutuskan berpikiran seperti itu. Tidak ada pilihan lain. Ia tidak ingin
beranggapan pemuda itu akan datang terlambat. Selain akan terkena hukuman,
murid-murid di sekolah mereka pasti akan mencemooh Goldi karena berlaku tidak
disiplin dimana pemuda itu sering menegur para murid yang berlaku tidak
disiplin. Citra baik Goldi selama ini akan sedikit tercoreng. Itu tidak bagus
untuk pemuda itu. Citra buruk akan sangat membahayakan nasib beasiswanya yang
sudah dengan susah payah ia dapatkan.
Goldi bukanlah anak dari keluarga yang tidak
mampu. Bahkan ayahnya adalah seorang konglomerat. Akan tetapi, konglomerat
seribu selir. Dan ibu Goldi adalah satu dari sekian banyak selir itu. Namun
ibunya sedikit lebih beruntung karena berhasil menjadi istri ketiga. Meski
begitu, ayahnya begitu menyayangi ibunya dan juga dirinya. Karena hanya ibunya
yang bisa memberikan anak laki-laki. Tapi, yang paling utama bukan itu. Klise,
semuanya hanya karena cinta tulus ibunya.
Ibu Goldi hanyalah penjual kue di toko sederhana
miliknya. Akan tetapi, di toko sederhananya itulah yang membuat ayah dan ibunya
bertemu. Saat itu ayahnya mengaku sebagai seorang sales perusahaan. Sampai
akhirnya ibunya jatuh cinta dan bersedia dinikahi. Setelah beberapa bulan
menikah, barulah ibunya tau kalau ayahnya bukan seorang sales, melainkan bos
dari para sales, bahkan owner perusahaan itu sendiri. Belum lagi usaha restoran
dan hotel bintang limanya. Dan ibunya juga baru tau kalau ia dijadikan istri
ketiga. Sempat ibunya marah dan meninggalkan ayahnya beberapa minggu karena
sudah dibohongi. Namun pada akhirnya luluh dan memaafkan ayahnya ketika
laki-laki itu jatuh sakit akibat mogok makan karena ditinggal olehnya.
Sebagai anak laki-laki satu-satunya di
keluarganya dan tentunya paling dibenci oleh saudara-saudara tirinya, Goldi
tidak ingin dianggap memanfaatkan posisi. Setiap fasilitas mewah apapun yang
diberikan ayahnya, ia selalu menolak. Kecuali kalau dipaksa ibunya demi menjaga
perasaan ayahnya. Meski sebenarnya ayahnya mengerti alasannya bersikap seperti
itu. Ia lebih memilih motor vespa jadul ketika ayahnya menawari motor ninja
yang banyak dipakai para anak laki-laki lain. Ia lebih memilih hape harga dua
ratus ribuan ketika ayahnya menawari smartphone jenis blackberry atau apple.
Dan yang paling mendasar, untuk soal pendidikan, ia tidak pernah mau meminta
bantuan ayahnya. Itulah mengapa, ia selalu berusaha keras agar bisa terus
mendapatkan beasiwa.
TIIN!
Suara klakson mobil seketika membuyarkan lamunan
Febby tentang Goldi. Ia kini sudah berada di lapangan parkir sekolahnya.
Kepalanya kemudian iseng menoleh pada mobil yang klaksonnya dibunyikan tadi.
Mobil yang tidak pernah ia lihat selama ini. Ia tidak dapat melihat siapa
pemiliknya karena posisinya ada di belakang mobil itu. Untuk beberapa saat, ia
melihat mobil itu berhenti dan belum ada yang keluar dari sana.
Febby
sempat mengalihkan pandangannya ke arah gerbang. Tapi ketika terdengar suara
pintu mobil ditutup, ia kembali memandang ke arah sana. Seketika itu pula ia
mematung di tempatnya. Gol—di? Dan...Oik?!
Oik lalu diam di tempatnya menunggu hingga Goldi
berjalan di depannya. Dengan cepat ia melingkarkan tangannya ke lengan pemuda
itu. Goldi hanya melirik sebentar lalu sepertinya tidak masalah atau mungkin
tidak peduli, entahlah Febby tidak terlalu tahu. Pemuda itu tetap berjalan
santai. Beruntung ia tidak berjalan ke arah dimana ia berada. Namun, pemuda itu
pun tidak beruntung karena ia melihat apa yang terjadi sedari tadi.
Febby sempat tersihir akan apa yang dilihatnya.
Ia masih tercenung di tempatnya, masih antara percaya dengan tidak percaya
kalau tadi Goldi dan Oik baru saja keluar dari mobil yang sama dan bergandengan
tangan pula. Atau mungkin hanya Oik yang menggandeng Goldi. Tapi, tetap saja,
tetap sama anehnya. Tetap saja sama tidak benarnya. Lalu tiba-tiba saja ia
tertawa.
“Gue harap apa yang gue pikiran gak bener.
Hahaha.” Gumamnya seraya geleng-geleng kepala.
***
Alvin terbangun dari tidurnya dan mengerjap mata
beberapa kali. Ia melirik ke kanan-kiri memeriksa di sekitarnya. Ia mengambil
ponselnya dan mengetahui sekarang sudah hampir jam 8 pagi. Saat itu juga ia
teringat Shilla. Semalam ia berjanji akan menjelaskan sesuatu pada gadisnya
itu. Ia baru hendak mendial nomor Shilla sebelum ia teringat lagi kalau saat
ini gadis itu pasti sedang melakukan kegiatan sekolahnya. Ia lantas meletakkan
kembali ponselnya ke tempat semula dimana ada tas milik mamanya juga tergeletak
disana. Kemana mamanya? Tanyanya spontan dalam hati.
Secara kebetulan, mamanya tiba-tiba muncul dari
balik pintu kamar mandi dan langsung tersenyum padanya. “Akhirnya bangun juga. Kamu
udah laper belum?” tanya mamanya ketika sudah berdiri di sebelahnya. Ya,
kebetulan lagi. Ia memang terbangun karena rasa lapar di perutnya. Ia pun
mengangguk pada mamanya. Mamanya tersenyum lalu mengambil tas dan mengeluarkan
sesuatu dari sana yakni dua buah produk tupperware, satu botol minum dan
satunya lagi kotak makanan.
Saat itu juga Alvin baru sadar kalau pakaian
yang dikenakan Mamanya saat ini berbeda dengan semalam. Pasti mamanya sudah
pulang ke rumah dan kembali lagi ke rumah sakit. “Kangen masakan mama?” Mama
Alvin tersenyum lagi, kali ini sambil menaikkan salah satu alisnya. Alvin
membalas dengan senyum senang. Tentu saja ia rindu masakan mamanya. Sudah
beberapa hari ini ia terus-terusan makan makanan rumah sakit. Bosan rasanya
karena menunya selalu sama. Apalagi kalau pagi, pasti petugas dapur rumah sakit
hanya akan memberinya bubur. Ia tidak suka bubur. Enek rasanya.
“Yaudah, kamu cuci muka dulu sana. Sekalian
sikat gigi. Kamu bisa jalan sendiri atau mau mama bantuin?” tanya mama Alvin
sambil menyerahkan sikat dan pasta gigi milik Alvin yang dibawanya dari rumah.
Alvin memperhatikan kakinya sebentar lalu menimang-nimang. Ia teringat
perkataan dokter waktu itu kalau ia tidak boleh menggunakan kakinya itu dulu
untuk beberapa waktu jika ingin sembuh cepat. “Mama bantuin deh kayaknya,”
putusnya.
Kemudian pelan-pelan mama Alvin memapah Alvin
hingga masuk ke kamar mandi. “Hati-hati jangan sampe kakinya kena air!” himbau
mamanya yang berdiri memantau di depan pintu. Dengan susah payah akhirnya Alvin
selesai dan keluar dari kamar mandi. Kembali dipapah mamanya menuju tempat
tidur. Setelah itu, mamanya mengambil kotak makanan dan menyerahkan benda itu
padanya.
“Kirain mama mau nyuapin,” protes Alvin.
Wajahnya merengut seperti anak kecil yang sedang merajuk.
“Lah kan yang sakit kaki kamu bukan tangan
kamu.” Balas mamanya sambil tersenyum heran.
Alvin lantas menggelayut manja di lengan mamanya
sambil memasang tampang seimut mungkin. “Alvin maunya disuapin..” Rengeknya tak
kalah manja. Mata mamanya sempat melebar tapi kemudian tertawa geli. Mamanya
mengelus-ngelus kepalanya sebelum akhirnya mengambil kembali kotak makanan tadi.
“Yaudah-yaudah, sini dedek bayi Alvinnya biar
mama suapin!” ledek mama Alvin. Alvin hanya terkekeh mendengar itu tanpa
membalas.
Di sela-sela menyuapi Alvin, mama Alvin
tiba-tiba teringat pada gadis yang kemarin menemani Alvin sebelum dirinya. “Anak
cewek kemaren, aduh siapa namanya? Fe...Feli?”
“Febby?” Alvin mengernyit. Disaat damai tentram
seperti ini kenapa mamanya harus membahas tentang gadis pembuat ulah itu, sih?
Bikin keki aja!
“Ah iya! Febby! Dia ga dateng kesini lagi?”
Alvin baru menyadari kalau gadis itu belum
memunculkan diri hari ini. Biasanya pagi-pagi sekali sudah datang. Sekarang
sudah hampir setengah sembilan pagi tapi belum ada tanda-tanda kehadiran gadis
itu. Ah! Apa? Cewek nyebelin itu gak datang? Sumpah demi apa?!
Mama Alvin menatap Alvin bingung sekaligus aneh
karena tiba-tiba saja Alvin senyum-senyum sendiri. “Kok kamu malah
senyum-senyum gitu?”
Alvin terkesiap namun seketika merubah
ekspresinya. Ia menggelengkan kepalanya. “Gakpapa, Ma. Udahlah Alvin males
ngomongin dia. Bagus deh kalo dia ga dateng ke sini lagi.” Alvin mengibaskan
tangannya singkat.
Mama Alvin hanya menganggukkan kepala sambil
membulatkan mulutnya mengucapkan ‘ooh’. Meski diam-diam ia menyimpan kekecewaan
ketika mendengar jawaban Alvin seperti itu. Sementara Alvin berpesta ria dalam
hati.
Yes gaada Febby yes!
***
Sejak dari perjalanan pulang hingga sekarang
sudah sampai di rumah bahkan sudah berganti baju dan berbaring di kasur
kamarnya, Shilla terus saja memandang, mengecek, mengubek-ubek isi ponselnya.
Ia mengharapkan sesuatu pada benda itu tapi yang diharapkannya itu tak kunjung
terjadi. Sampai sekarang Alvin belum meneleponnya. Padahal tadi malam pemuda
itu berjanji akan menghubunginya. Tapi, sekarang mana? Mengirim pesan saja
tidak.
Shilla mendesis sebal sambil menatap layar
ponselnya. Sudah tertera nomor Alvin disana. Tapi jempolnya masih enggan untuk
menekan tombol untuk call di ponselnya itu. Ia lalu mendesah frustasi. Sejurus
kemudian ia mengetikkan beberapa kata dan langsung mengirimnya pada Alvin.
‘Hai, lo sibuk ya? Katanya mau nelfon-_-‘
Send. Shilla menghela napas dan menutup matanya.
Ia meletakkan ponselnya asal di atas kasur di sebelahnya. Melihatnya lagi lalu
meletakkan lagi. Hingga akhirnya benda itu bergetar dan Shilla dengan cepat
menyambar. Nama yang seharian ini dinantikannya pun muncul di layar ponselnya.
Meski ia amat merasa kesal karena Alvin baru menghubunginya setelah dirinya
menghubungi pemuda itu, ia juga tak dapat menangkis rasa lega dalam hatinya.
‘Astaga cantik, gue lupa-_- Padahal tadi pagi
gue udah mau nelfon lo. Maaf ya:(:* Tapi masih ada mama disini. Ntar ya gue
telfonnya. Gapapa kan? Hehe._.v’
Shilla mengernyit. Memangnya kalau ada mamanya
kenapa?
‘Emangnya kalo ada mama kenapa?._.’
Shilla menumpu ponselnya di dagu. Dadanya
berdebar. Pikirannya mulai menerka-nerka apa balasan Alvin nanti. Dan tak
berapa lama ponsenya bergetar kembali.
‘Ya gaenak aja._.’
‘Gaenak gimana?.-.’
‘Yaaaa ga enak pokoknya. Masa lo gak ngerti sih,
Cantik?.-.’
Shilla memijit-mijit keningnya tak mengerti.
Yang dimaksud Alvin ‘gak enak’ itu apa? Yang mana? Gak enak itu kan banyak
artinya. Apalagi selama ini, kalau di depan mamanya, ia tidak pernah merasa
‘gak enak’ seperti yang Alvin bilang jika pemuda itu meneleponnya.
‘Mama tau gak sih kalo lo pacaran sama gue?’
‘Tau sih. Emang kenapa?._.’
‘Ya kalo udah tau kenapa mesti
sembunyi-sembunyi?.-.’
‘Gue gak sembunyi-sembunyi, Shill-_- Kalo gue
sembunyi-sembunyi gak mungkin lah sekarang gue bisa santai chat sama lo.‘
Shill? Aneh. Akhir-akhir ini Alvin sering banget
manggil gue pake nama. Batin Shilla.
‘Ya kalo bukan sembunyi-sembunyi kenapa mesti
nunggu mama lo pulang baru lo nelfon gue?-_-‘
‘Kan gue udah bilang gak enak. Tinggal nunggu
sebentar aja kenapa sih?‘
Tanpa emoticon apapun. Tanpa embel-embel cantik
ataupun ‘Shill’. Shilla mengernyit kesal sekaligus khawatir. Mendadak ada
perasaan tak enak menyelinap di benaknya.
‘Gue gak ngerti deh gak enaknya dimana-_-‘
‘Gue juga gak ngerti gimana jelasinnya biar lo
ngerti. Karena gue kira lo bisa ngerti.’
Masih tanpa emoticon. Mungkin memang sedang tidak
diperlukan...
‘Mama gak suka ya sama gue?’
‘Hah? Kok lo bisa mikir kekgitu?-_-’
Shilla menelan ludah getir. Seketika ia
menyesali apa yang sudah ia katakan. Iya ya, kok gue bisa bilang gitu sih? Engg...dia
gak marah kan?
‘Ya abis lo gitu._.’
‘Gitu gimana? Kalo emang mama gak suka, mama pasti
ngelarang dari awal lah. Gue kan udah bilang ga enak-_- Kita kan butuh private
situation dimana cuma kita berdua yang tau apa yang kita omongin. I thought you
shouldn’t have to get long explaination first to understand hhhhh-_-‘
Oh privasi...kenapa gak ngomong itu aja dari
awal sih? Kenapa harus muter-muter di kata ‘gak enak’? Hhh!
‘Ah, privasi! Itu baru gue ngerti.-.’
Kali ini pesan Shilla tidak dibalas, hanya
sekedar dibaca. Oke, Alvin tidak pernah seperti ini. Tidak, Alvin tidak marah.
Alvin hanya...kesal, mungkin. Shilla langsung meringis panik. Bagaimana ini?
Kenapa jadi pemuda itu yang kesal?
‘Pit?’
Masih sama, tidak ada balasan. Dan masih hanya
sekedar dibaca.
‘Lo marah ya?’
‘Gak’
Bahkan titik pun gak ada. Batin Shilla resah.
Tapi, yaa..setidaknya udah dibales.
‘Kesel?’
‘Y’
Sekarang kurang huruf! Aaaa sipiiit jangan kesel
pliiiiis?!
‘Kenapa?’
‘Gtw’
Disingkat pemirsa! Disingkat! Hati Shilla makin
resah. Lama dirinya hanya diam memperhatikan ponselnya sekaligus memikirkan
balasan apa yang tepat yang bisa membuat Alvin melunak. Dan dari sekian lama
itu hanya satu kata yang terlintas di benaknya.
‘Pit, jangan kesel dooong! Ya sorry tadi kan gue
bener-bener gak ngerti._.‘
‘Sipiiiiit jangan biarin gue jual kacang dong:(‘
Kembali, Alvin tidak membalas pesannya kembali.
Bahkan pesan berikutnya pun mengalami nasib yang sama.
‘Yaudah, ntar kalo mama udah pulang jangan lupa
telfon gue ya{}’
Shilla menghela napas berat. Ia pasrah Alvin
akan membalas pesannya atau tidak. Dalam hati ia yakin kalau pemuda itu tidak
akan setega itu. Tapi..karena Alvin tidak pernah menunjukkan sikap kesalnya
seperti sekarang, sepertinya ia tidak boleh terlalu percaya diri.
***
Alvin mendengus. Moodnya yang semula
sangat-sangat baik tiba-tiba langsung berubah drastis. Entahlah, ia sendiri
juga bingung kenapa emosinya mendadak membara seperti ini. Selama riwayat
perjalanan hubungannya bersama Shilla, ini pertama kalinya ia menunjukkan rasa
kesal pada gadisnya itu. Dan sekarang ia malah dibuat bingung akan alasan
kenapa ia kesal. Ia kesal karena Shilla atau kesal pada dirinya sendiri?
Drrt..
Getaran ponsel di tangannya sejenak menghentikan
perdebatan dalam kepala Alvin. Ternyata sudah masuk beberapa pesan dari Shilla.
Ia membacanya sekilas lalu seketika kembali bingung. Ia harus membalas
bagaimana?
Alvin lalu mencoba mengetikkan beberapa kata di
layar ponselnya namun dengan cepat ia hapus. Ia mengulang mengetik lalu ia
hapus lagi. Aisssh! Kok jadi gue yang bingung sih?
Di tengah kebingungan Alvin itu, tiba-tiba
dokter wanita yang bertanggungjawab menangani kakinya muncul dari balik pintu.
Ia langsung tersenyum menatap Alvin sementara Alvin memutar kedua bola matanya
jengkel. Senyuman dokter itu selalu terasa menyebalkan baginya. “Hai, pasien
bandel. Gimana kabar kamu?” sapanya ramah. Seramah kata-katanya.
“Nama saya Alvin, Ibu Dokter.” Balas Alvin
sambil mendengus. Dokter tersebut terkekeh geli lalu tersadar kalau di ruangan
itu Alvin tidak sendirian. Ada seorang wanita yang lebih tua beberapa tahun
darinya sedang tersenyum menatapnya. “Dokter yang menangani anak saya?” tanya
wanita itu, mama Alvin. Sang dokter mengangguk tersenyum. “Gimana keadaan kaki
anak saya, Dok? Kapan dia bisa pulang?” Mama Alvin bertanya lagi.
Sang dokter kembali tersenyum. “Seharusnya sih
dua hari lalu udah bisa pulang. Tapi karena anak ibu bandel jadi harus nambah
beberapa hari. Tapi, ibu gak usah khawatir. Besok dia udah boleh pulang. Dan
ya, untuk sementara harus pake tongkat.”
Mama Alvin mendesah lega mendengar penjelasan
sang dokter. Ia langsung mengusap-usap kepala Alvin. Meski Alvin merasa kurang
setuju mamanya melakukan itu di depan dokter menyebalkan itu. Dokter itu pasti
akan meledeknya sebagai anak mami. “Terus dokter ngapain masih disini? Udah
gaada yang mau disampein lagi, kan?” sindir Alvin.
Sang dokter tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Ini kan hari terakhir kita ketemu, Alvin. Kamu harusnya gak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Ntar kamu kangen loh sama Dokter!”
Tak ayal, Alvin langsung menggerutu ketika sang
dokter selesai bicara. Bagaimana mungkin dokter semenyebalkan ini bisa menjadi
dokter paling disukai di rumah sakit ini? Kena pelet apa mereka semua? Ckckck.
Memang sih dokter ini tergolong dokter muda dan wajahnya juga cantik. Suaranya
lembut dan sering sekali tersenyum. Meski begitu, suara maupun senyumannya
entah kenapa selalu terasa menyebalkan. Apalagi dokter ini suka sekali
meledeknya.
“Yasudah, kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu.
Dan kamu, jangan nangis ya kalo dokter tinggal!” Pamit sang dokter sambil
tersenyum pada mama Alvin dan mengedipkan mata pada Alvin. Mama Alvin
mengangguk sambil tersenyum geli melihat ‘keakraban’ antara dokter itu dan
anaknya. Sementara Alvin mendelik tajam. “Gak akan!” katanya ketus.
Kekesalannya bertambah lagi sekarang.
Setelah Dokter keluar, Mama Alvin kemudian ikut berpamitan
pada Alvin. Katanya ada urusan yang mesti dikerjakan. Alvin menghela napas
ketika dirinya benar-benar sudah sendirian dalam kamarnya. Saat itu juga ia
teringat kalau ia tadi berjanji akan menghubungi Shilla. Ia menghela napas
lagi, bingung untuk benar-benar mendial nomor Shilla atau tidak.
Namun, belum sempat memutuskan apa-apa,
seseorang yang sangat diharapkan Alvin untuk tidak hadir tiba-tiba sudah masuk
ke dalam kamarnya. Siapa lagi kalau bukan Febby. Gadis itu berjalan lesu dan
kemudian duduk di sofa seperti biasa. Alvin memutar kedua bola matanya kembali.
“Lo kenapa sih datang lagi?” ketusnya.
Febby melirik Alvin sekilas lalu merogoh isi
dalam tasnya. Mengeluarkan beberapa jilid-an fotokopian dari dalam sana. Ia
berdiri dan berjalan menghampiri Alvin lalu memberikan fotokopian tadi pada
pemuda itu. “Ini catatan pelajaran selama lo gak masuk. Lo besok pulang kan?
Jadi lusa pasti udah masuk sekolah. Nah, lusa bakal ada ulangan biologi. Trus
soal tugas, ada dua praktikum kimia sama satu praktikum fisika. Karena cuma lo
sama gue yang gak masuk, jadi kita terpaksa satu kelompok. Tapi akhir bulan
depan sih dikumpul semua laporannya. Terserah lo deh ngerjainnya kapan, ntar kasih
tau aja sama gue. Gue harap gak ada pertanyaan lagi.”
Alvin melihat satu persatu fotokopian yang
diberikan padanya sambil bergantian memandang Febby. Dari penglihatannya, gadis
itu sedang tidak dalam kondisi mood yang baik. Sebelas dua belas dengan dirinya.
Kenapa bisa samaan gini? Pikirnya. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan gadis itu semalam
yang memintanya dijadikan pacar.
“Maksud omongan lo kemaren apa sih?”
Febby mengernyit bingung. “Omongan gue yang
mana?” Nada suaranya terdengar tidak antusias dan sepertinya ia juga tidak
terlalu menghiraukan Alvin.
“Yang lo minta gue jadi pacar lo. Lo tuh
sebenernya emang iya suka sama gue atau enggak sih?!” ujar Alvin kesal sendiri.
“Oh, itu. Lupain aja, udah gak penting.” Febby seraya mengibaskan tangannya. Pertanyaan
Alvin itu mengingatkannya pada hal-hal yang sedang tidak ingin ia ingat. Tentang
sepasang manusia yang...ah sudahlah, tadi kan ia sudah bilang tidak ingin
diingat.
“Ck. Kalo jawab itu yang lengkap kenapa?” Febby menghela
napas frustasi lalu menggaruk-garuk kepalanya. “Apalagi sih? Emang ada yang
belum kejawab?”
“Baru aja gue tanyain masa lo udah lupa? Ckckck.
Gue tadi nanya lo itu sebenernya beneran suka sama gue atau enggak.” Ulang
Alvin sambil bersedekap.
“Uh? O-oh itu..” Febby meringis dan memberi jeda
sesaat. “Enggak, tenang aja.” lanjutnya acuh tak acuh sambil mengedikkan bahunya.
Ia melangkah kembali ke sofa dan mengambil tasnya. Ia merasakan tatapan Alvin
yang mengawasinya. Tapi ia tidak terlalu peduli. Pikirannya sedang mumet dan ia
tidak ingin ditambah pusing jika harus seharian berdebat dengan pemuda itu.
“Udah gak ada yang mau ditanya lagi kan? Gue
permisi dulu. Oh iya, selamat ya besok udah bisa pulang.” Ujarnya tulus meski
dengan intonasi datar-datar saja. Ia tersenyum sekilas lalu berbalik badan.
“Eh tunggu!” Panggil Alvin.
Febby terpaksa berhenti sebentar dan menoleh. Jarang-jarang
Alvin menahannya pergi. “Pertanyaan gue masih ada yang belum lo jawab.” Kata
pemuda itu.
Febby mendecak malas. “Ampun deh! Yang mana
lagi?”
“Emangnya lo mau kemana, sih?” tanya Alvin
bingung.
“Kemana aja kek, yang penting gak di sini. Gue
lagi gak mood cekcok sama lo. Lagian, bukannya tadi lo maunya gue cepet-cepet
pergi?”
Alvin mendengus pelan. Hmm, berdasarkan
pengamatannya sedari tadi, sejak Febby datang memang tampak ada yang aneh
dengan gadis itu. Tapi, itu seharusnya gak masuk dalam daftar urusan gue kan?
Aiss tapi...capek juga sih rasanya musuhan terus sama ni cewek. Dia juga udah
bilang kalo dia gak suka sama gue, jadi gak ada masalah lagi seharusnya, kan?
Tapi, apa omongan dia bisa dipercaya? Jangan-jangan besok berubah lagi.
“Lo disini
aja. Untuk sekarang gue gak akan ngajak ribut, tenang aja.”
Febby menaikkan alisnya menatap Alvin dengan
sorot mata tak percaya. Tapi, selanjutnya, ia hanya mengedikkan bahu dan
menurut tanpa berkomentar. Ia kembali berjalan menuju sofa dan duduk. “Yaudah.”
Serahnya.
Alvin bersyukur karena Febby benar-benar tidak
berkomentar macam-macam seperti biasa. “Sekarang jawab pertanyaan gue yang
tadi. Kenapa lo minta gue jadi pacar lo?”
Febby yang tadinya bersandar dengan enggan
menegakkan tubuhnya dan menatap Alvin. Ia berdiri kembali dan memilih duduk di
kursi di sebelah ranjang yang Alvin tiduri. “Lo gak ember, kan?”
“Enggak.” Alvin menjawab malas. Ck, dari awal
aja udah ngeselin.
“Good.” Febby menghela napas panjang, menumpu
sikunya pada ranjang lalu mengepal tangannya dan menumpu sebelah pelipisnya
disana. Pandanga matanya lurus menerawang. “Oik, saudara tiri gue, dia yang
nyuruh gue buat ngedeketin lo.”
Alvin melepas tatapan meragukan ucapan Febby. Kelihatan
masih belum percaya. “Dan lo mau-maunya disuruh ngelakuin hal konyol kek gitu?”
katanya sarkastis.
“Ya gue ga sebego itu juga kali. Gue terpaksa
ngelakuinnya karena diancem. Dia punya sesuatu yang bisa membahayakan gue sama...”
Febby spontan memotong omongannya. Ia mendadak malas melanjutkan.
“Sama?” Alvin membeo tak sabar.
Febby mendecak lagi karena Alvin mendesaknya.
“Ck. Sama Gol-di.” Katanya penuh penekanan. Menyalurkan segala kekesalannya
dalam ucapannya. Ia lalu mendengus keras.
“Jadi lo berdua pacaran? Pantes..”
Febby tertawa sinis. “Kayaknya.”
“Kok pake kayaknya?” Alvin menaikkan salah satu
alisnya.
“You know what, kata temen-temen di sekolah,
Goldi sama Oik baru jadian seminggu lalu.” Febby berkata tanpa ekspresi. Tidak
ada kemarahan, kejengkelan, kesedihan apalagi kecemburuan. Semua datar-datar
saja. Emosinya mengenai dua sejoli itu sudah menguar habis tadi pagi saat
pertama kali mendengar berita tersebut dan sekarang tak bersisa lagi. Ya, untuk
apalagi ia menegangkan otot memikirkan mereka berdua? Toh, hal itu sebenarnya
memberikan sebuah keuntungan tersendiri untuknya.
Setidaknya, dia tidak perlu lagi menjadi budak
Oik. Selama ini dirinya berkorban untuk Goldi, demi menyelamatkan reputasi
Goldi. Kalau Goldi sendiri sekarang berpacaran dengan Oik, Oik sudah tidak bisa
mengancamnya lagi. Mana mungkin Oik tega merusak nama baik pacarnya sendiri,
kan? Kecuali, kalau dia sakit jiwa. Tapi, Oik memang sakit jiwa, sih. Ia sampai
sekarang tidak mengerti mengapa Oik menyuruhnya melakukan hal-hal yang tidak
masuk akal seperti memacari Kiki, dimana di saat yang sama ia juga harus
memacari Cakka, dan kemudian ia harus berusaha menghancurkan hubungan Alvin
dengan Shilla. Tapi, apa yang terjadi sekarang, Oik malah memacari Goldi!
Pertanyaannya, darimana sih Oik mengenal Kiki dan Cakka? Kalau Alvin sih tidak
perlu ditanya. Alvin kan artis, jadi siapa yang gak tau. Tapi, ngomong-ngomong
soal Cakka, dia apa kabar? Gue masih pacaran gak ya sama dia? Ckckck.
“Gila.” Alvin menggeleng takjub. Ucapan pemuda
itu barusan menyadarkan Febby dari lamunannya tentang Oik. “Gue?”
Alvin menggeleng lagi. “Bukan. Oik maksud gue.”
“Oh. Emang, udah lama gue pengen masukin dia ke
rsj.” Febby menyeletuk asal
“Kenapa gak lo masukin beneran?” Alvin
ikut-ikutan.
“Iya, abis itu gue masuk liang kubur gara-gara
dihajar bokap.”
“Bokap?” Alvin membeo.
“Iya. Lo gatau bokap? Bokap itu papa.”
Alvin mendengus. Sepertinya membuat orang kesal
itu sudah mendarah daging dalam tubuh gadis di sampingnya itu ya. “Gak perlu lo
kasih tau gue juga udah tau kali! Maksud gue, lo dihajar bokap itu gimana
ceritanya?”
“Oh itu, hehe. Oik itu anak emasnya bokap. Padahal
kita sama-sama anak tiri. Tapi, gatau deh. Mungkin karena Oik bisa ngasilin
duit lebih banyak. Maklum deh, dia bisa nyanyi, cantik juga. Sering jadi
model-model gitu. Apa aja yang dibilang sama Oik pasti didengerin, pasti
diturutin. Sedikit aja hal jelek yang dilaporin Oik tentang gue, bokap bakal
langsung ngasih pelajaran sama gue. Dan dia gak akan puas kalo gue belum babak
belur.”
Alvin diam sebentar mencerna ucapan Febby
sekaligus mengingat-ngingat sesuatu. “Termasuk...kaki lo yang memar-memar
kemarin itu?” Febby hanya berdehem acuh tak acuh. “Kenapa lo gak lapor polisi?”
“Yeee! Dapet duit darimana buat lapor polisi?
Bayaran gue kalo kerja kan gak segede bayaran lo kalo nyanyi. Sukur-sukur cukup
buat makan sama sekolah.”
“Bayaran? Lo cewek bayaran? Kasian banget yang
mau bayar lo.” Alvin menyeletuk spontan.
Pletak!
Sebuah jentikan jari yang cukup keras mengenai
jidat Alvin. Seketika Alvin mengaduh kesakitan dan menatap kesal Febby yang
tengah mendeliknya ke arahnya. “Enak aja!” umpat Febby. Ia lalu melihat Alvin
mendadak terdiam memandangnya. Ia mengernyit bingung lalu kemudian menjentikkan
jarinya sekali lagi. Otomatis Alvin langsung sadar dan kembali mengerang
kesakitan. “Aish apaan sih?! Sakit tau gak!” Alvin bersungut-sungut sambil
menggosok-gosok jidatnya.
“Lo aneh, sih. Kenapa malah bengong ngeliatin
gue?” Febby menjawab tanpa dosa. Alvin hanya mencibir tanpa menjawab apapun.
Febby sendiri sepertinya juga tidak terlalu peduli Alvin akan menjawab atau
tidak.
“Kenapa lo musti kerja?” tanya Alvin kemudian.
Febby tertawa sinis. “Lo gimana, sih! Kalo gak
kerja gue mau idup kek gimana? Makan? Sekolah? Beli keperluan rumah? Lo pikir
semuanya ga butuh duit? Minta bokap? Jangan harap dia mau ngasih.”
“Nyokap lo—atau mungkin, nyokap tiri lo gitu?”
“Bokap gak punya istri. Kalo cewek panggilan dia
sih banyak.”
Alvin menganggukkan kepala sambil menatap Febby
tak menentu. Rasanya lidahnya gatal untuk bertanya. Tapi masalahnya
pertanyaannya itu rasanya terlalu pribadi. Nanti bukannya menjawab, Febby malah
mengomelinya panjang lebar.
“Gue pengen nanya, tapi sebelumnya gue minta
maaf kalo pertanyaan gue nanti buat lo tersinggung. Terserah lo mau jawab atau
enggak.”
Febby diam memandang Alvin, menantikan
pertanyaannya.
“Emm—Kalo...orang tua kandung lo, gimana?” tanya
Alvin dengan sangat hati-hati. Ia benar-benar memperhatikan setiap perubahan
ekspresi di wajah Febby. Tapi, tidak seperti perkiraannya. Tak banyak perubahan
yang terjadi di wajah gadis itu. Dia terlihat biasa-biasa saja. Sedikit banyak
Alvin merasa lega dalam hati. Meski ia juga penasaran kenapa gadis itu malah
tidak bereaksi apa-apa.
“Gue gak tau, gue lupa. Gue cuma inget dulu gue
udah ada aja di rumah sakit. Katanya gue keserempet mobil terus kepala gue
kebentur. Dan lo tau lah kan kenapa gue bisa sampe lupa?”
“Amnesia?” sahut Alvin cepat. Febby
menganggukkan kepalanya. “Karena gue masih kecil, belum punya identitas,
jadinya susah mau nyari tau keluarga gue. Apalagi waktu kejadian tabrakan,
orang-orang bilang gue sendirian gak ditemenin siapa-siapa. Pihak rumah sakit
ngirim gue ke panti asuhan. Terus akhirnya gue di adopsi deh sama bokap.” Jelas
Febby.
Alvin menganggukkan kepalanya lagi. Beberapa
saat kemudian, mereka terdiam bersama pikiran masing-masing. Terutama Febby. Ia
mendadak bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia malah menceritakan semua masalah
hidupnya pada Alvin? Padahal sebelumnya ia paling tidak suka kalau ditanya soal
kehidupan pribadinya. Apalagi soal masa lalunya. Tapi, ketika Alvin yang
bertanya, kenapa ia malah merasa...senang? Ia senang saat berbagi masalahnya
pada Alvin...Hah?
“Kenapa lo gak keluar dari rumah? Kan lumayan
ngurangin beban hidup, lo gak harus ngebiayain bokap lo lagi, gak harus dihajar
bokap lo lagi. Lagian dia bokap tiri, kan? Gak dosa dong.” Tanya Alvin memecah
keheningan.
Febby menghela napas dan menggeleng pelan.
“Justru nambah beban gue lah. Gue pasti harus ngontrak. Gue mesti mikirin sewanya.
Sewa kontrakan lebih gede daripada biaya hidup dia. Dia juga lebih sering minta
duit sama Oik.”
“Kalau gitu, kamu tinggal di rumah kita aja!”
Suara merdu seorang wanita tiba-tiba terdengar
dari arah belakang Febby atau juga arah samping Alvin. Tanpa diketahui wanita
itu sudah berdiri sejak lama disana dan baik Alvin maupun Febby sama-sama tidak
ada yang menyadari. Wajahnya tersenyum cerah dan matanya berbinar penuh harap.
Febby dan Alvin serentak menoleh dan langsung mengeluarkan ekspresi yang
berbeda. Febby mengernyit bingung sementara Alvin membelalakkan mata shock.
“Mama?!” Tidak terlalu lama berkutat pada
kekagetannya akan kemunculan mamanya, ia lalu teringat pada ucapan mamanya itu
barusan.
“Eh, apa? Tinggal di rumah kita?! NOOOO!”
***
Hingga malam menjelang, i-phone Shilla tetap
bergeming. Panggilan yang diharap-harapkannya sedari tadi tak kunjung ada.
Alvin sama sekali tidak memberi kabar. Shilla sudah putus asa menunggu. Ia
memasukkan ponselnya dan berusaha menyingkirkan harapan dalam hatinya.
Mengalihkan pikirannya dari Alvin. Beruntung saat ini ia tidak sedang
sendirian. Saat ini, rumahnya bisa dibilang sedang dalam keadaan ramai.
Beberapa jam lalu, ada sanak keluarga datang
bertamu. Kedatangan mereka memang sudah diberitahu dari sejak seminggu
sebelumnya. Jadilah sekarang ia menghabiskan waktu barbeque-an dengan
keponakan-keponakannya yang rata-rata masih anak-anak. Tingkah lucu mereka
sedikit banyak menghibur Shilla dan membuatnya bisa sedikit lebih santai. Ia
duduk sambil memperhatikan apa-apa saja yang mereka lakukan. Sesekali ia
tersenyum geli bahkan tertawa mendengar celotehan-celotehan asal yang keluar
dari mulut keponakannya itu. Ia lebih suka bergumul bersama mereka ketimbang
harus ikut membantu memasak.
Don’t say
goodbye..don’t say goodbye..I need sometime for awhile before I give my heart
away...
Lamunannya mendadak buyar manakala ponselnya
berbunyi karena ia lupa merubah mode ponselnya. Ia beranjak mencari tempat yang
lebih sepi untuk menerima telepon. Tapi sepertinya tidak ada sisi sepi di
rumahnya. Ia hanya agak menjauh dari keponakan-keponakannya.
Shilla hampir saja berteriak senang ketika
melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya kalau tidak mengingat
bagaimana kondisi di sekitarnya sekarang. Nama yang sudah ditunggu-tunggu
olehnya. Nama kekasihnya, Alvin. Ia menarik napas dalam sebelum benar-benar
mengangkat panggilan dari pemudanya itu.
“H—Halo?” sapanya gugup. Ia takut kalau-kalau
Alvin masih kesal padanya.
“Hai! Belom tidur?” Suara Alvin merasuki telinga
Shilla dengan lembut. Membuat darahnya berdesir dan dadanya berdebar hebat. Ia
mau tak mau tersipu. Cara Alvin menyapanya benar-benar lembut dan menyenangkan.
Apa itu tandanya Alvin sudah tidak kesal lagi padanya?
“H—hai, Pit. Belom hehe. Lo j—juga kenapa belom
tidur?”
“Gue gabisa tidur. Belom denger suara lo sih.
Hehe.” tawa kecil Alvin terdengar di seberang sana. Shilla langsung memberengut
malu dengan wajah bersemu. Beruntung tak ada yang melihatnya saat ini. “Ss..gombal!”
rutunya pelan.
“Hehe..tapi emang bener kok, Cantik. Tadi gue
niatnya mau tidur tapi ngerasa kayak ada yang kelupaan. Ada yang kurang gitu.
Eh iya gue baru inget gue belum nelpon lo, hehe. Maaf ya gue baru nelpon
sekarang.” Alvin terdengar merasa bersalah. Lagi-lagi pipi Shilla memerah.
Rasanya pipinya itu akan terus memerah hingga pembicaraannya dengan Alvin
berakhir. Akhirnya ia dan Alvin bisa berbicara serileks ini lagi. Ehm..semesra
ini lagi, mungkin.
“Iya gakpapa, Pit. Gue gak pernah berenti nunggu
lo kok.”
Tawa kecil Alvin terdengar lagi. “Eiss cantiknya
gue udah berani gombalin gue ya, hmm?”
Tuh kan, pipi gue merah lagi. Errrr..
“Hehe. Emang gaboleh?”
“Iya-iya boleh kok, Cantik. Apasih yang gak buat
pacar gue tersayang ini?”
“Iss..jangan gombalin gue mulu kenapa?”
“Oh jadi lo gamau digombalin gue lagi ya?
Yaudah, gue gombalin cewek lain aja ah..”
“ALVIN!” Shilla memekik keras. Ia spontan
menutup mulutnya sendiri dan melihat ke sekitar. Beruntung semua orang sedang
sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan tidak ada yang kelihatan terganggu. Tidak
ada yang sadar juga kalau tadi ia berteriak. “Kalo lo berani gombalin cewek
lain, gue juga bakal gombalin cowok lain.” Lanjutnya mengancam.
“Gue bunuh cowok itu.” Jawab Alvin dingin.
Shilla sampai merasa bulu kuduknya merinding. Tapi juga bahagia setengah mati.
Ternyata Alvin kalo lagi posesif ngeri juga, hihi.
“Okey, gue bantuin.” Sahut Shilla. Mereka lalu
tertawa bersamaan.
“Yaudah, lo tidur sana gih! Udah malem loh ini.”
Shilla mengerucutkan bibirnya. “Lo ga betah
telfonan sama gue ya? Lo masih kesel?”
“Loh? Enggak, Cantik. Tapi udah jam berapa ini,
bener-bener waktu lo harus tidur. Ntar kepala lo sakit kalo begadang. Besok kan
lo sekolah.”
“Gue belum bisa tidur. Rumah gue lagi rame
soalnya.”
“Rame kenapa? Ada maling ketangkep?” Alvin menyahut
antusias.
“Iss..ya enggaklah, Sipit! Rame kan ga mesti
karena ada maling. Lo kepengen rumah gue kemalingan ya?” sungut Shilla.
“Hehehe, kan siapa tau aja. Toh gue kok salah
satu malingnya.”
“Hah? Maksudnya?”
“Iya, gue kan maling hati lo.”
Saat itu juga, Shilla menepuk keningnya sambil
geleng-geleng kepala dan tertawa kecil. “Gzz gombalan lo gak bagus.”
“Gak bagus? Woa jadi yang bagusnya gimana bebeb
darling? Ajarin aku doong!” ujar Alvin dengan suara manja dibuat-buat. Shilla
lantas tersenyum geli. “Najis banget sih lo, ih! Haha.”
“Thanks.”
“Anytime.” Lalu kemudian mereka tertawa lagi.
“Lo jadinya sendirian di rumah sakit? Mama udah pulang?”
“Iya, gue usir tadi.” Jawab Alvin dengan nada
suara jengkel. Shilla mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa?”
“Abis ngeselin. Dia ngajak Febby tinggal di
rumah. Apa gak gila?!”
Shilla menganga tanpa sadar lalu segera mengatup
mulutnya. Sejurus kemudian ia merasa sedikit nyeri di sekitar dada dan
perutnya. Kenapa sepertinya mama Alvin begitu menyukai Febby sampai-sampai
mengajak gadis itu tinggal serumah dengan mereka?
“Kenapa mama bisa tiba-tiba ngajak Febby tinggal
di rumah?”
“Jadi tadi siang pas banget abis mama pulang
Febby tiba-tiba dateng. Terus—“
Terus Shilla hanya diam dengan mata tak fokus
memperhatikan apa-apa saja yang ada di sekelilingnya meski tetap mendengarkan
Alvin dengan baik. Sesekali ia menanggapi celotehan Alvin dengan ‘iya’ ‘hmm’
atau ‘oh’ saja. Ia tidak ingin terdengar antusias tapi tidak juga ingin
terdengar tidak antusias. Ia hanya berkomentar seadanya berharap Alvin segera
merubah topik yang mereka bicarakan. Shilla menggerutu dalam hati. Kenapa jadi
bahas Febby, sih? Oh. Jadi tadi dia punya kesempatan buat nelfon gue tapi gak
dia gunain dan lebih milih ngobrol sama Febby? Oh.
Shilla ingin sekali mematikan sambungan
teleponnya dengan Alvin tapi tidak enak hati. Meski ia kesal, tapi ia tidak
ingin merusak momen. Ia tidak ingin karena rasa cemburunya membuat hubungan
mereka menjadi jauh lagi. Membuat pembicaraan hangat ini menjadi berubah dingin.
Ia lantas menghembuskan napasnya hati-hati sekaligus menahan semua emosi yang
bergejolak dalam dadanya. Sabar Shill, sabar. Shilla sabar di sayang Alvin.
“Lo ga suka sama dia kan, Vin?” lirih Shilla
sambil menggigit bibirnya. Pertanyaannya sungguh tidak ada kaitannya dengan
celotehan panjang Alvin.
“Ya enggaklah, Cantik. Gue kan udah punya yang
secantik elo, buat apalagi suka sama yang lain.” Jawab Alvin tenang. Sama
sekali tidak tersinggung karena Shilla tidak menanggapi cerita panjangnya.
Shilla bahkan merasa Alvin tersenyum meski ia tidak melihat langsung. Membuat
hatinya sedikit terasa lega.
“Bener?” tanyanya lagi.
“Iya. Selama lo percaya kalo gue suka dan cinta
sama lo yaa...then, I’m indeed so. Lo selalu percaya sama gue, kan?” *Uhuhsomeoneusedtosaidittome
*Uhuhmiminabouttodie *uhuhabaikanhuahaha*
Tiba-tiba suasana di antara mereka berubah agak
serius. Shilla kembali merasa bulu kuduknya merinding. Ia sudah benar-benar
merasa lega. Ditambah ia juga merasa sangat senang. Rasanya ia sudah lupa kalau
tadi ia tengah memendam kesal pada Alvin. Owyeah Alvin, gue suka gaya lo.
“Selalu. Hehe.”
“Iyalah, awas aja kalo enggak.” Sahut Alvin
dengan nada mengancam. Shilla menaikkan sebelah alisnya. “Kalo enggak, emang lo
bisa apa? Jalan buat nemuin gue aja gak bisa.”
“Eits jangan salah, besok gue udah boleh pulang
dari rumah sakit. Jadi, banyak yang bisa gue lakuin. Hehehe.” Alvin menyeringai
sementara Shilla mencibir. “Cie yang udah keluar.”
“Cie yang gak seneng.” Alvin balik mencibir.
“Sok tau!”
“Buktinya lo gaada teriak hore atau apa gitu
buat selebrasi keluarnya gue dari rumah sakit.”
Shilla mendesah pelan. “Pit, gak mungkin lah gue
tiba-tiba teriak sendirian, sekarang, malem-malem, pas rumah lagi rame. Yang
ada gue diledekin ntar sama orang-orang di sini.”
Alvin tertawa diujung sana. “Oh iya ya,
sorry-sorry gue lupa.”
“Emm..gue kayaknya ngantuk deh, Cantik. Boleh
gue tidur duluan? Daripada ntar gue ngomongnya ngelantur atau malah gak
ngedengerin lo ngomong.” Lanjutnya kemudian sekaligus berancang-ancang mengakhiri
pembicaraan di antara mereka.
“Iya, gapapa. Lo tidur aja. Gue juga ngerasa ga
enak ninggalin yang lain lama-lama.” Shilla memperhatikan sekelilingnya
sekilas.
“Okedeh, gue tinggal ya. Besok gue telfon lo
lagi. Jangan berenti kangenin gue ya! Bye, Cantik!”
“Iyaa, jangan sampe lupa! Kalo gak gue marah!
Gue bakal berenti kangenin lo dan ganti kangenin cowok lain! Bye, sleeptight
Sipit!”
“Jangan harap itu cowok bakal selamat! Haha. Lo
juga jangan tidur kelewat malem ya! Bye, Cantik!”
“Iya, iya Sipit. Lo udah ngucapin bye tadi.”
“Oh iya ya? Yaudah tutup telfonnya!”
“Hhh..jangan kek anak alay, plis!”
“Hahahaha. Iyadeh iya, gue tidur dulu ya. Untuk
yang terakhir, bye cantik!”
Klik. Sambungan telepon terputus. Shilla
tersenyum memandang ponselnya lalu segera memasukkannya ke dalam tas. Ia lalu
segera kembali berkumpul bersama keponakan-keponakannya dengan hati
berbunga-bunga. Senyumnya mengembang lebih lebar dan frekuensi tertawanya
meningkat. Tidak ada lagi kegelisahan dalam hatinya. Kegundahan hatinya karena
Alvin yang juga hilang karena pemuda itu. Ckckck.
***
Cagni
Agni menggaruk-garuk kepalanya jengah. Kiki
berjanji akan menjemputnya tapi sampai sekarang batang hidung pemuda itu belum
juga kelihatan. Sudah berulangkali ia mengirim pesan dan menelepon ke ponsel pemuda
itu tapi tak ada balasan, tidak pula dijawab. Agni spontan menendang kerikil
yang berserakan di dekat kakinya. Tanpa sengaja kerikil tersebut melayang tepat
ke pelipis seorang pemuda yang berada beberapa meter di depannya. Pemuda itu
mengerang sakit dan berbalik badan hingga memandangnya.
Ekspresi kesal yang awalnya menghiasi wajah
pemuda itu langsung berubah bingung ketika mengetahui orang yang melemparkan
kerikil ke arahnya adalah Agni. “Woy si—uh, Agni?”
Agni berjengit kaget tapi kemudian lega karena
orang malang itu adalah orang yang ia kenal. Kalau tidak bisa bahaya. “Cakka?
Hehe sorry ya!” ujarnya pada Cakka, pemuda malang itu, sambil membuat tanda
peace dengan jemarinya.
Cakka berjalan mendekatinya meski masih
mengusap-usap pelipisnya. Ia melirik jam tangannya sekilas lalu menatap Agni.
“Lo belum pulang?”
Agni meringis sambil menggelengkan kepalanya.
“Jemputan gue gak dateng-dateng.” Ujar Agni sebelum Cakka bertanya. Sesaat
Cakka hanya diam memperhatikan Agni. Matanya berkedip beberapa kali lalu
menoleh ke kanan-kiri. Agni menggaruk-garuk kepalanya lagi. Kali ini karena
bingung. “Yaudah gue temenin lo deh,” ujar Cakka sambil mengedikkan bahu dan
tersenyum singkat. Agni mengerutkan kening lalu mendesah dan bergumam tanpa
sadar. “Gue kirain mau nebengin pulang.”
Cakka menatapnya ragu. “Apa?”
“Hah? Apa?” Apa? Gue ngomong apa tadi? Batin
Agni panik. Karena sudah bosan menunggu sampai-sampai ia tidak sadar barusan ia
menggerutu seperti itu.
Cakka lantas tersenyum geli. “Udah ngelempar
kepala gue pake batu, lo juga protes karena gue bukan nawarin tebengan tapi
nemenin lo doang, iya?”
Agni meringis lagi dan juga menggaruk-garuk
kepalanya lagi. Untuk sekarang karena malu. “Hehe...gue bosen abisnya. Kakak
gue gak dateng-dateng. Jam berapa sekarang? Udah jadi aer nih gue gara-gara
nungguin dia disini!”
“Kakak lo? Kiki maksudnya?”
“Yaiyalah siapa lagi? Kakak gue kan cuma dia
doang!” Agni menjawab ketus, lagi-lagi tanpa ia sadari.
Cakka kembali tersenyum geli. “Lo kalo marah
cerewet ya! Akhirnya ada hal yang bisa ngeyakinin gue kalo lo itu bener-bener
cewek. Hahaha”
“Sialan!” Agni mendelik ke arahnya meski
kemudian tertawa karena ucapan Cakka barusan. “Jadi..lo emang bener-bener gak
berniat nawarin tebengan ke gue gitu?” katanya kemudian. Entah sudah keberapa
kali ia menggaruk-garuk kepalanya.
Cakka tertawa sekilas lalu menghela napas sambil
mengedikkan bahu. “Gue takut aja Kiki marah sama gue, soalnya lo harusnya balik
sama dia, kan? Kalo dia tiba-tiba dateng dan lo gaada trus dia tau kalo lo sama
gue..wah satu kampung ntar heboh gara-gara gue berantem sama dia. Lo tau lah
kan hubungan kita berdua kayak apa? Hal kecil aja bisa jadi gede nantinya.”
Agni mengatup mulutnya dan berpikir sebentar.
Benar juga sih yang pemuda itu katakan. Tapi, untuk saat ini, Kiki tidak boleh
marah. Salah pemuda itu kenapa sampai menelantarkannya berjam-jam tanpa kabar.
Artinya, meski bukan dengan Cakka pun, seharusnya tidak akan ada masalah, kan?
“Tenang aja, dia ga bakal bisa marah!” ucap Agni
yakin. Cakka menatapnya ragu. “Yakin? Ntar ga—“ Belum sempat ia menyelesaikan
kalimatnya, Agni sudah memotong dan kemudian menariknya pergi. “Udah, percaya
aja sama gue. Yaudah, ayok cepetan. Gue udah mati bosen bediri disini.” Cakka
tidak berkata apa-apa lagi dan membiarkan saja tangan Agni menggamit lengannya.
Meski ia tidak bisa menahan senyum di bibirnya.
Baru beberapa langkah berjalan, Agni kemudian
berhenti. Selain tersadar karena tangannya yang masih mengalung di lengan
Cakka, ia juga baru sadar akan satu hal.
“Kok berenti?” tanya Cakka bingung. Lagi dan
lagi Agni menggaruk kepalanya sambil nyengir ke arah Cakka. “Gue gak tau motor
lo yang mana. Hehe..”
Mau tak mau Cakka tertawa kembali. “Makanya
jangan asal gandeng aja!”
Agni merasa ada yang memasang pemanas di
pipinya. Dan ia mengutuk dalam-dalam siapapun yang memasangkan alat itu disana.
Untung saja rona merah di wajahnya tersamarkan oleh warna kulitnya yang agak
coklat.
“Yaudah, biar gue yang nuntun lo. Hahaha”
Gantian sekarang, Cakka yang menarik..ah bukan, tapi lebih tepatnya menggandeng
tangan Agni, dimana jari-jari mereka saling bertautan, menuju tempat dimana
motornya terparkir. Agni lagi-lagi merutu dalam hati karena orang kurang ajar
itu memasangkan pemanas lagi di wajahnya.
Awas aja, kalo ketemu gue hajar lo!!
***
Agni turun dari motor Cakka dan berdiri diam
sejenak di depan pintu pagar rumahnya. “Thanks yak! Ada niat mau mampir?”
Cakka melepas helmnya dan menatap Agni sambil
menaikkan sebelah alisnya. “Apa ini sama kayak pas lo minta tebengan tadi? Lo
pengen gue mampir?” tanyanya tersenyum miring. Agni mendesis mendengar itu.
“Aiss haha masih inget aja sih lo! Gak lah, yang kali ini terserah lo.”
Cakka tertawa sekilas. “Gimana kalo tawaran lo
diganti sama nonton ntar malem aja?”
Kali ini Agni yang menaikkan sebelah alisnya dan
tersenyum geli. “Sijaman ngajak nonton? Masih diangetin aja, udah basi kali.”
“Yaudah, kalo gitu ntar malem kita nyolong rumah
orang aja, mau?” balas Cakka. Agni terkekeh pelan. “Makin parah! Hahaha! Yaudah
deh nonton.”
“Beneran mau nih? Gak kepaksa kan?” Cakka
tersenyum penuh harap. Agni sempat merasa lupa cara bernapas ketika Cakka
tersenyum padanya. Selain karena senyuman itu mirip sekali dengan senyum Aga,
senyuman itu juga membuat Agni sadar kalau...YAA CAKKA LO CAKEP BANGET!
Agni menggeleng dan balas tersenyum menutupi
kegugupan dalam dirinya. Namun kemudian senyumnya berubah kecut. “Tapi jangan
film horror ya..”
Cakka sempat mengerutkan keningnya tak mengerti.
Namun sedetik kemudian terpintas sebuah ide di kepalanya. Senyum di wajahnya
langsung berubah misterius. “Oke.” Ia kemudian melihat Agni mendesah lega. Hal
itu membuatnya bertambah yakin untuk melaksanakan rencana dalam kepalanya. Ia
lantas pamit pada Agni dan melajukan motornya meninggalkan rumah gadis itu.
Dengan senyum yang tetap terkembang dan makin mengembang di wajah tampannya.
***
Tubuh Agni menegang di kursinya. Wajahnya
memucat dan ia menelan ludahnya beberapa kali. Sebelumnya, Agni masih terlihat
santai saat Cakka menjemputnya dan sekarang mereka sudah duduk manis dalam teater
bioskop. Tapi, ketika lampu sudah dimatikan dan film berputar di layar besar di
depannya, ketenangan Agni dalam sekejab sirna. Cakka sudah berbohong dan
melanggar ucapannya. Cakka mengerjainya. Sialan!
“Lo! Rese!” Agni bersungut sambil mendelik tajam
pada Cakka. Sementara Cakka hanya balas nyengir tanpa merasa bersalah
sedikitpun. Kelihatan sekali kalau pemuda itu sengaja. “Nonton aja dulu, baru
opening juga lo udah protes!”
“Gue kan udah bilang jangan film horror!”
Cakka tersenyum geli. Ia melebarkan tangannya
melewati bagian belakang kepala Agni lalu kemudian memegang rahang bawah gadis
itu. Ia menggeser arah wajah Agni yang menatapnya ke layar di depan mereka.
“Sst! Jangan berisik! Tonton aja filmnya.” Agni langsung menepis kasar tangan
Cakka yang menyentuh wajahnya. “Gak lagi-lagi gue mau nonton sama lo!” katanya
tanpa menatap Cakka. Ia melipat kedua tangannya bersedekap.
Cakka melirik sekilas lalu tertawa pelan. Ia
mendekatkan telunjuknya ke bibir Agni lalu cepat-cepat menjauhkannya. “Jangan
berisik!” Agni diam tak membalas. Pandangannya lurus ke depan. Sesaat ia merasa
aneh pada dirinya sendiri. Malu rasanya karena ia yang tomboy begini malah
takut dengan film horror. Ia lebih memilih menghadapi puluhan preman daripada
disuruh duduk diam sambil menonton aksi para penguasa alam gaib itu.
Agni kalut dalam pikirannya sendiri hingga ia akhirnya
menyadari kalau Cakka sudah tidak duduk di sebelahnya ketika tangannya tanpa
sengaja terjulur ke sebelahnya dan tidak merasakan apa-apa. Ia menoleh ke
samping dan hanya mendapati kursi kosong. “Cakka?” panggilnya dengan suara
berbisik. Namun tak ada sahutan sama sekali. Ia merasa ada peluh mengalir di
pelipisnya.
“Cakka lo dimana? Plis, ini gak lucu!” Ia
kesulitan mencari keberadaan Cakka karena ruangan tempatnya sekarang
berpenerangan rendah. Dan ketika ia sudah frustasi dan menghempas tubuhnya ke
sandaran kursi, tiba-tiba ada tepukan di kedua pundaknya. Ia terkejut setengah
mati dan spontan berteriak meski tidak terlalu keras. Tapi cukup untuk membuat
orang-orang di sebelahnya memandang aneh ke arahnya. Ia tidak terlalu peduli
dengan mereka dan mereka juga sepertinya begitu.
Agni kemudian melihat Cakka yang terkikik puas
sedang berjalan kembali ke kursinya. Tak ayal Agni langsung menghadiahi tinjuan
keras ke lengan pemuda itu. Cakka mengaduh sesaat lalu terkikik lagi. Membuat
Agni makin kesal dan lantas membuang muka. “Damn, I hate you!” umpatnya. Tawa
Cakka justru makin keras. “Yeah, damn I like you too!” balasnya santai. Agni
mendengus keras dan memilih diam. Tapi kemudian ia menoleh pada Cakka kembali karena
memandang apa yang ada di depannya ternyata tidak jauh lebih baik.
Agni lalu menggamit lengan Cakka kuat-kuat.
Tidak peduli pemuda itu akan menilainya kecentilan atau apa. Ia hanya tidak
ingin pemuda itu menghilang dan mengulang mengerjainya. Dan memang, ia selalu
seperti ini setiap diajak siapapun untuk nonton film horror. Tanya saja Kiki
atau ketiga teman karibnya, Ify Shilla Via, kalau tidak percaya.
Sudah pasti Cakka kaget melihat reaksi Agni
sampai seperti itu. Tapi, tak masalah lah. Ini justru lebih dari yang ia
harapkan. Ia mengira nanti Agni tanpa sengaja memeluknya ketika ada adegan
menyeramkan. Tapi, lihat apa yang terjadi sekarang. Gadis itu secara sadar dan
sengaja, bahkan sebelum adegan menyeramkan itu ada, sudah menggamit lengannya
seperti ini. Ia tertawa senang dalam hati. Kalau begini caranya, sering-sering
saja ia mengajak Agni nonton. Film horror pastinya. Hahaha.
“Awas aja kalo lo ngilang lagi!” Ancam Agni.
Cakka tersenyum dengan mata berbinar. “Gak, tenang aja. Gue udah terlalu betah
duduk disini.” Selanjutnya mereka tak berbicara lagi. Cakka menikmati film
dengan senyum merekah dan wajah bersinar sementara Agni menikmati film dengan
wajah muram dan pucat pasi.
***
Rify
Agni, Shilla dan Via terpaksa harus menjadi
bodyguard mendadak untuk Ify karena banyak orang tak henti-henti ingin menemui
gadis itu. Rasanya hampir semua cewek di sekolah mereka tadi datang ke kelas
untuk menemui Ify. Hal itu disebabkan oleh kejadian menghebohkan antara gadis
itu dan Rio tadi pagi. Sejak saat itu, Ify akan langsung menjadi pusat
perhatian dimanapun dirinya berada. Kalau hanya untuk bicara saja sih tidak
masalah, tapi tadi sempat ada yang ingin bertindak anarkis. Untung saja Agni
segera datang dan mengusir gadis yang kesetanan itu hingga hanya sempat
menjambak rambut Ify.
Awalnya ketiga sahabat Ify terlihat senang dan
meledeknya habis-habisan. Namun, lama-kelamaan mereka jadi kesal sendiri dan
ujung-ujungnya ikut mengomeli Ify karena mereka hanya bisa berdiam di kelas
tanpa bisa kemana-mana, apalagi Agni belum sempat sarapan. Sampai akhirnya bel
pulang sekolah berbunyi dan mereka langsung menyerahkan Ify pada Rio. Dan itu
merupakan sebuah keputusan yang sangat buruk karena Ify harus terlihat bersama
Rio lagi di depan umum. Memperbanyak aura-aura mencekam di sekitar Ify. Banyak
pandangan menusuk yang ditujukan untuk dirinya dari orang-orang di sekitarnya.
Ify tidak tahan untuk berlama-lama ada di sana.
Ia ingin cepat-cepat pergi dan sampai di rumah. Akan tetapi, Rio sepertinya
tidak merasakan kerisauan yang dirasakan Ify. Pemuda itu berjalan dengan
santainya dari keluar kelas hingga melewati koridor sekitar lapangan basket.
Bahkan dengan tangannya yang tergeletak manis di atas bahu kirinya. Ify sempat
protes agar Rio menurunkan tangannya akan tetapi pemuda itu beralasan kalau apa
yang ia lakukan adalah sebagai upah selanjutnya atas jasa-jasanya. Hhh! Ify
tidak membayangkan bagaimana jika Rio berjasa yang lebih besar kepadanya. Ia
tidak membayangkan hal apa yang akan dilakukan pemuda itu. Yang pasti jauh
lebih gila dari sekarang.
Ify tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya
pasrah dan mencoba tidak memedulikan apapun yang dilakukan orang di sekitarnya.
Hingga ia menghela napas lega ketika sudah sampai di parkiran. Namun, sebelum
sampai di mobil Rio, Ify tak sengaja melihat Angel berjalan beberapa meter di
depannya. Ia langsung memanggil-manggil nama gadis itu tapi gadis itu
sepertinya tidak mendengar. Aneh, perasaan suaranya sudah sangat-sangat keras
dan tidak mungkin Angel sampai tidak mendengarnya.
Rio yang bingung disampingnya pun bertanya. “Ada
apa sih?” Ify menoleh padanya sebentar dan hanya menyuruh pemuda itu menunggu
sementara dirinya sudah berlari mengejar Angel. Ia menahan tangan Angel dan
membuat jalan gadis itu terhenti lalu berbalik badan menatapanya. “Hai Kak
Angel!” sapa Ify terlebih dahulu sambil tersenyum ramah. Angel diam menatapnya
datar tanpa membalas senyumannya. Ify mendadak merasa ada yang aneh. Tiba-tiba
Angel menyentak tangannya yang masih di pegangnya.
Ify sempat terpaku beberapa saat lalu kemudian
bertanya kenapa gadis itu bersikap seperti itu. “Gak usah ngerasa sok deket
sama gue! Ngerti?” kata Angel tajam dan tanpa menunggu Ify menjawab ucapannya
ia langsung berlalu pergi. Ify kembali terpaku melihat Angel yang berjalan
menjauh tanpa menoleh lagi ke belakang. Kenapa tiba-tiba Angel kasar seperti
itu padanya? Apa dirinya berbuat kesalahan yang membuat gadis itu marah? Apa
semalam gadis itu dimarahi oleh ayahnya setelah memarahi Fify? Tapi, kenapa
malah marah padanya? Atau...Angel adalah salah satu dari komplotan fans Rio
yang brutal itu? Ah, rasanya tidak mungkin. Tapi...kenapa pas banget? Dulu kan
mereka pernah diem-diem ngobrol berdua. Astaga...jangan-jangan
mereka...hamilnya Kak Angel... jangan-jangan Rio...
“Lo gakpapa?” Tiba-tiba muncul sebuah suara di
sampingnya. Entah sejak kapan Rio sudah berdiri di sana. Ify termangu menatap
Rio sambil terus bertanya-tanya dalam hati. Rio mengernyit bingung karena Ify
hanya diam sambil memandangnya lekat. “Fy?” panggil Rio kemudian. Ify terkesiap
dan langsung menggelengkan kepalanya. “Enggak, gakpapa.” Katanya cepat. Rio
menganggukkan kepala lalu kemudian mengajaknya kembali ke mobil.
Hampir separuh perjalanan Rio dan Ify tidak
saling bicara. Ify masih tetap memikirkan tentang sikap Angel padanya dan juga
Rio. Berulang kali ia menepis dugaan kalau Angel menyukai Rio. Juga kemungkinan
bahwa Rio yang sudah menyisipkan nyawa lain dalam tubuh Angel. Meyakinkan diri
kalau Rio itu anak baik-baik, meski sikapnya jauh dari kata baik khususnya
kepadanya, jadi tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Meski hanya di dalam
hati, tapi Ify tidak berani menyebutkannya secara jelas. Mungkin juga ia tidak
mau. Ia lalu mencuri pandang ke arah Rio. Ia menelan ludahnya sebelum akhirnya
berbicara pada pemuda itu. “Lo tau gak siapa anak kecil kemaren?”
Rio menoleh sebentar lalu menatap ke depan.
“Anak kecil yang mana?”
“Yang tadi malem?”
Rio tampak sedang mengingat-ngingat. Lalu ia
berkata spontan. “Tadi malem? Sebelum lo meluk gue itu?”
Deg!
Jantung Ify langsung berdetak cepat dan pipinya
merah padam. Ia mendesis kesal bercampur malu. Kenapa Rio harus ikut
menyebutkan kejadian itu, sih?! Isssss!
“I—iya..” cicitnya lemah dengan kepala agak
menunduk. Beruntung Rio sepertinya tidak berniat membahas tentang pelukan itu
lebih lanjut dan memilih menanyakan tentang Fify. “Kenapa emang sama dia?”
Ify menghela napas pelan. “Dia adiknya Kak
Angel.”
“Oh..” Rio hanya menjawab singkat. Ify
memperhatikan ekspresi wajah Rio dengan seksama. Tak ada tanda-tanda kalau
pemuda itu tertarik pada ucapannya barusan.
“Lo sama Kak Angel udah kenal lama ya?” Ify
memberanikan diri bertanya. Dadanya bergemuruh menunggu jawaban dari Rio. Rio
terlihat mengerutkan keningnya. “Enggak. Cuma pernah liat beberapa kali. Tau
namanya aja dari lo.”
Bohong. Rio bohong. Jelas-jelas dia tidak hanya
pernah melihat Angel. Jelas-jelas Ify melihat mereka berbicara empat mata
secara sembunyi-sembunyi.
Ify menggigit bibirnya sembari tangannya
memuntir rok panjangnya. Ia ingin bertanya kembali akan tetapi takut untuk
mendengarkan jawaban dari Rio.
“M—menurut lo, Kak Angel itu gimana?” Pada
akhirnya, Ify sekali lagi memberanikan diri bertanya dengan sangat hati-hati.
“Gimana apanya maksudnya?”
Ify menghela napasnya kembali. “Yaa..gimana Kak
Angelnya. Mukanya, cantik atau enggak, orangnya, yang kayak gitu-gitu..”
Rio menoleh sebentar pada Ify dan memandangnya
dengan tatapan yang Ify tidak mengerti. Membuat Ify menjadi semakin
ketar-ketir. Rio menghela napas. “Ya rambutnya panjang, mukanya cantik,
kulitnya putih tapi gak terlalu putih, bentuk tubuhnya proporsional dan
badannya tinggi. Suaranya juga bagus. Apalagi ya?”
Ify hampir saja lupa menarik napas ketika
mendengar Rio mendeskripsikan Angel. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Ia
juga merasakan tangannya dingin dan bergetar. Tak ada cacat atau cela untuk
Angel yang keluar dari mulut Rio. Ify seketika menyesal telah bertanya. Dari
beberapa pernyataan Rio, hanya satu yang paling terngiang-ngiang di kepala Ify.
“Bentuk tubuhnya pro—proporsional? Uh?”
“Apa?”
“Eh? Gak, gak ada apa-apa.” Ify lalu bersadar
pada badan kursi dengan mata memandang tak tentu ke arah depan dan pikiran yang
berkecamuk. Sementara Rio, ia tetap fokus menyetir. Ekspresi wajahnya tidak
berubah, masih santai seperti sebelumnya. Bahkan dirinya tidak menyadari
perubahan sikap dari gadis di sampingnya.
***
“AAAAAAAAA!”
Bakso yang baru saja masuk ke dalam mulut Ify
tertelan paksa ketika sebuah teriakan kencang menggema di sekitarnya. Ia
menggapai-gapai gelas di sampingnya dan meminum sekali banyak. Bayangkan, bakso
yang besarnya setengah dari bola pimpong tertelan bulat-bulat olehnya.
Beruntung bakso itu tak bertahan lama di kerongkongannya. Kalau tidak, ia bisa
mati konyol tidak bisa bernapas hanya karena sebutir bakso. Ia mendecak kesal
pada siapapun yang berteriak itu.
Ify lantas beranjak dari meja makan dan naik ke
atas menuju kamarnya atau mungkin kamar Rio karena sumber suara sialan tadi
berasal dari sana. Sesampainya di depan pintu, napasnya kembali tercekat di
tenggorokan. Beruntung kali ini bukan karena bakso jadi ia tidak perlu
susah-susah untuk bisa bernapas lagi. Ia melihat Rio sudah naik ke atas kursi
meja belajar sementara di bawahnya tergeletak nyaman seekor ular yang cukup
besar yang sangat Ify kenali. Itu adalah ular pemberian dari salah satu fans
Rio dulu kepadanya. Sewaktu pindah ke rumah Rio, ia juga ikut membawa
peliharaan barunya itu. Selama ini makhluk itu adem ayem saja di kandangnya
tapi sekarang malah menampakkan diri di depan orang yang tidak tepat.
Ify meringis sekaligus tertawa geli melihat
ketakutan besar di wajah Rio. Ia berjalan mendekat dan menjulurkan tangan ke
kolong tempat tidur mengambil kandang ularnya. Ia bingung kenapa kandang itu
bisa terbuka. Ia baru hendak menyentuh Ipi, ularnya, ketika Rio berteriak lagi.
“Eh eh mau ngapain lo?! Jauh-jauh sana, ntar
digigit baru tau rasa lo!” sungut Rio dengan tingkat kepanikan 1001 persen. Ify
mau tak mau terkikik geli. Ia dengan lembut meraih dan menggendong ularnya lalu
dengan jail menyodorkannya pada Rio. “Nih! Nih! Hahaha!”
Rio mengambil buku yang tergeletak di meja,
menggulungnya lalu mengacungkannya ke arah Ify. “YAA! Jangan di deketin ke gue
bisa kali! Hush hush! Lo—lo jangan macem-macem ya!”
“Cemen lo, ah! Ular kek gini mana ada yang
gigit. Yang kayak gini jinak semua tau! Perasaan kemaren waktu pertama kali
ketemu Ipi lo gak setakut ini, deh.” Ify duduk di pinggir kasur sambil
mengelus-elus tubuh licin Ipi.
“Jadi itu ular yang ada di rumah lo waktu itu?!”
Rio memekik histeris. Ify hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab.
“Lo kurang kerjaan banget sih masukin ular ke
rumah gue!” Rio bersungut kesal. Ia menghela napas lalu geleng-geleng kepala. “Gue
heran sama kalian. Kok bisa-bisanya melihara binatang se-dangerous itu? Gak ngeri
apa? Jijik gitu? Hiiyy!” katanya lagi.
“Kalian?” Ify membeo menatapnya.
“Iya, lo sama Acha.” Sahut Rio.
Ify sempat terpaku mendengar nama terakhir yang
Rio sebut. Ngapain tiba-tiba nyebut Acha, sih? Batinnya kesal. Ia segera
menundukkan wajahnya pura-pura memperhatikan Ipi. Rio kemudian sadar kalau ia sepertinya
sudah salah bicara. “Sama Dea juga. Kalian kan cewek. Gak ada peliharaan yang
lebih imut apa? Hamster gitu atau kelinci? Atau ayam deh ayam? Ini malah ular.”
Ify mendengus malas lalu mengedikkan bahu. “Gue
juga ga bakal pernah melihara ular kalo gak dikirimin sama fans lo.” Gerutunya.
Sedetik kemudian ia menyesali ucapannya. Sepertinya kali ini ia yang salah
bicara.
“Fans gue? Kapan? Siapa? Terus, buat apa? Kenapa
dia ngirimnya sama lo?” Sesuai tebakannya, Rio pasti akan banyak bertanya. Ify
mengibaskan tangannya pelan di depan wajah. “Lupain aja!” katanya sambil
memasukkan kembali Ipi ke dalam kandangnya kembali. Rio terlihat masih belum
puas. Ia tak melepas pandangannya terhadap Ify hingga gadis itu selesai
mengunci kandang makhluk dangerous nan menjijikkan itu.
“Mau sampe kapan lo bediri di atas kursi?” tanya
Ify sambil menahan senyum geli. Rio terkesiap dan menaruh buku yang di
pegangnya ke meja lalu turun dari kursi penyelamatnya. Ify hendak beranjak
keluar kamar tapi tangannya lebih dulu ditahan Rio. “Bener itu dari fans gue?”
Pemuda itu bertanya dengan histeris sekaligus khawatir. Ify sempat tersihir
beberapa saat. Apa Rio khawatir padanya?
“K-kayaknya sih—gitu..” jawabnya dengan susah
payah. Rio yang menggenggam pergelangan tangannya saja sudah sanggup merauk
semua oksigen dalam otaknya apalagi ditatap seperti itu. Rio menggaruk-garuk
pelipisnya dengan raut wajah antara yakin tak yakin. “Masa sih, fans gue nyampe
ngirim-ngirim ular segala? Buat apa juga
mereka ngirim ular?”
Ify mengerutkan kening menatap Rio. “Lo gak
percaya sama gue?” tanyanya sarkastis. Jadi, pandangan cemas itu bukan
untuknya? Untuk fansnya?
Hilang sudah sihir yang beberapa saat lalu
berhasil menguasai Ify. Ia menyentak tangannya agar terlepas dari genggaman
Rio. Rasa kesal sedikit banyak mengendap di hatinya. “Emangnya apa yang menimpa
gue hari ini di sekolah gak cukup buat lo percaya?” tanyanya dengan mata
menyipit.
Sekali lagi Rio menggaruk pelipisnya tak mengerti
apa yang Ify katakan. Ia lantas balik bertanya bingung. “Kejadian? Kejadian apa
nih maksudnya? Lo tadi ketimpa apa emangnya?”
Ah iya, Ify baru sadar. Seharian tadi kan Rio
mengikuti rapat mengenai acara promnight mendatang di ruang OSIS. Pemuda itu pasti
tidak melihat aksi para fans-fansnya yang kesetanan itu. Pantas saja dia tidak
tahu. Ify mendengus pelan. Meski begitu, percuma juga kalau ia beritahu. Toh,
pemuda itu tidak akan percaya, kan?
“Gak ketimpa apa-apa.” Ia berbalik badan
berjalan kembali.
Namun dengan cepat Rio berjalan cepat
mendahuluinya dan berhenti tepat di depannya. “Lo kenapa?” Kekhawatiran tadi
kembali terdengar dalam suaranya. Pandangan matanya menuntut dan memaksa Ify
untuk mengatakan padanya yang sejujurnya. Ify memalingkan wajahnya tidak
berniat menjawab. Ia berusaha kabur dengan melangkah ke sebelah kiri, akan
tetapi Rio juga berjalan ke arah yang sama untuk menahannya. Ia ke kanan Rio
pun masih melakukan hal yang sama.
“Lo pikir aja sendiri! Gue keliatan sering
bareng sama lo aja dikirimin ular, apalagi kalo lo... ny—nyium gue tadi pagi di
sekolah di depan semua fans lo dan mereka bebas ngapain aja karena lo ga ada!”
Ify langsung mengambil langkah kabur sebelum Rio sempat menahannya lagi. Pemuda
itu masih terpana sambil memikirkan ucapannya barusan. Ify berlari menuruni
tangga hingga sampai dan duduk di kursinya kembali. Ia melirik kamar Rio sesaat
lalu beralih memandang baksonya yang sudah dingin. Ia mendengus dan melanjutkan
makan dengan perasaan kesal.
***
“Rio?” Suara kebingungan seorang gadis muncul
dari dalam speaker ponsel Rio.
“H-hai, Ni!” sapa Rio canggung seraya menggaruk
pelipisnya.
“Ngapain lo nelfon gue? Tumben-tumbenan.”
“Itu—gue mau nanya soal Ify.”
“Ify? Dia kenapa? Dia dihajar lagi sama
fans-fans lo? Yaampun, lo jagain dong! Semuanya kan karena ulah lo juga!”
Rio menjauhkan ponselnya sesaat karena Agni
terdengar berteriak-teriak di kupingnya. “Emang selama gue gaada tadi ada
kejadian apa, sih?”
“Oh iya lo tadi gaada ya? Nih ya gara-gara elo,
gue Via Shilla sama Ify terpaksa harus duduk diem di kelas. Mana gue tadi pagi
gak sarapan. Lo gak tau kan seberapa menderitanya gue karena perut gue
keroncongan?!”
Rio sekali lagi menjauhkan ponselnya. Ia
kemudian mendesah frustasi. Selain karena suara Agni yang memekakkan telinga,
gadis itu juga tidak menjawab dengan jelas pertanyaannya. “Kok gara-gara gue?
Aiss, lo bisa gak langsung aja gitu bilang duduk persoalannya? Jangan
muter-muter!”
“Yaiyalah gara-gara lo! Fans-fans lo itu pada
kesetanan semua abis ngeliat lo nyium Ify tadi pagi. Cewek-cewek anggota
fansclub lo itu gak berenti-berenti dateng ke kelas. Bacot doang pengen ketemu
Ify, pengen ngobrol. Tapi, taunya, mereka brutal, man! Mereka itu sakit! Really
deeply insane! They’re criminal! Untung gue ke toilet cuma bentar trus cepet
balik ke kelas. Kalo gak, bisa-bisa Ify pulang udah kayak gembel ketabrak truk!
Huh!”
Rio mengedip-ngedipkan matanya cepat beberapa
kali seraya menelan ludah. “Se—serius? Lo gak bohong?”
“Lo bisa liat rekaman cctv di ruang kepsek kalo
gak percaya. Makanya! Besok-besok, liat-liat tempat kalo mau begituan!”
“Ck. Begituan maksud lo? Gue gak segila itu
kali!”
“Yeee..lo aja yang ngeres! Iyasih lo gak gila,
tapi lo bisa mengakibatkan banyak orang jadi gila. Jadi, awas aja kalo lo
sembarangan lagi! Oh iya, untuk sementara mungkin lebih bagus kalo lo jangan
deket-deketan sama Ify dulu.”
“Loh, kenapa? Gak ah, gue gak mau. Ify mana bisa
jauh-jauh dari gue.”
“Dih, siapa lo? Elo kali yang gak bisa jauh dari
Ify! Lagian, biasanya juga lo ogah kalo harus berduaan sama Ify.”
“Yee terserah gue dong! Kok lo yang sewot?
Adilnya, gue sama dia gak bisa dijauhin walau semenit.”
“Demi apapun lo asli lebay banget pake parah! Ya
jelas lah gue sewot. Ify itu temen gue! Lo suka juga enggak kan sama dia? Duh!
Sampe kapan sih lo semua pada php-in kita-kita?!”
“Lo lagi ngomong tentang Ify atau lagi curhat,
huh?”
“Hah? Em—gue—ya gue cuma menyampaikan curhatan
temen-temen gue aja, bukan curhatan gue.”
“Tenang aja, gue sama temen lo itu bentar lagi
juga resmi.”
“Gedung kali diresmiin! Eh eh resmi?! M-maksud
lo, lo sama Ify bakal resmi?! Woaaa! Beneran nih?!”
“Iya, ntar gue ajak Gabriel sama Cakka ngadain
peresmian juga hahaha.”
“Lo semua berasa kayak pasti diterima aja.
Denger ya, kita-kita itu belum tentu mau sama lo pada!”
“Denger ya Agni, gue kan gak nyebut
ngeresmiinnya sama siapa. Jadi, siapa yang kepedean disini, hmm?”
“Hah? Emm—ah tau ah! Gue laper, mau makan. Bye!”
Tut..tut..tut..
Suara Agni tiba-tiba menghilang. Gadis itu
memutus sambungan telepon dengannya. Rio terkekeh pelan lalu geleng-geleng
kepala. Ia memasukkan benda tersebut ke saku celananya lalu terdiam. Sejenak ia
merenungkan apa-apa saja hal yang ia perbincangkan dengan Agni tadi. Lantas, ia
teringat Ify. Ya, ia harus menemui gadis itu.
Baru saja hendak melangkah, ponsel Rio berbunyi
lagi. “Mama?” Gumamnya bingung. Ia dengan cepat mengangkat panggilan tersebut.
Amanda menyuruhnya menjemput wanita itu karena mobil yang dipakainya mogok. Rio
mau tidak mau harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Ify. Ia mengambil
kunci mobilnya lalu bergegas pergi.
Sejam kemudian, ia sudah kembali ke rumah. Ia
tidak melihat Ify ada di dapur lagi. Ia langsung berlari menaiki tangga menuju
kamarnya. Dan ketika sudah sampai, ia justru melihat Ify tertidur nyenyak di
kasurnya. Untuk kedua kalinya, ia harus membatalkan niatnya terhadap gadis itu.
Tidak tega kalau harus dibangunkan. Ify pasti sudah sangat lelah hari ini
menghadapi semua orang-orang yang tidak henti menemui alias mengamuk pada gadis
itu karena dirinya.
Hingga malam tiba, Rio sudah tidak sabar lagi.
Rasanya sudah hampir setengah jam Ify tidak keluar dari kamarnya sehabis makan
malam. Ify tadi bilang kalau ia tidak boleh masuk ke kamar dahulu karena gadis
itu ingin mandi. Dan sekarang harusnya dia sudah selesai. Ia lalu pelan-pelan
membuka pintu dan masuk ke kamarnya. Ia tidak menemukan seorang pun.
“Ify?”
***
Ify membuka matanya dan tiba-tiba saja ia sudah
berdiri sendiri di tengah jalan tak berujung. Kiri-kanannya hanya ada warna
putih. Ia benar-benar sendirian. Ia berputar-putar mencoba mencari seseorang
atau bahkan sesuatu selain dirinya tapi nihil. Hanya ada dirinya di sana. Ia
mencoba untuk berbicara tapi tenggorokannya tidak bisa mengeluarkan suara sama
sekali. Ia terus mencoba tapi tidak bisa. Seperti ada yang telah mengambil pita
suara dan menghambat tenggorokannya. Ia meremas-remas bajunya takut. Ia hampir
saja menangis kalau tidak tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
“Ify?” kata orang itu. Suaranya berat namun
terdengar lembut di telinga Ify. Suara yang juga tak asing baginya. Ya, pasti
ia tidak salah. Itu pasti suara..
“Papa?” lirihnya hanya dengan gerakan bibir.
Sekali lagi, suaranya sama sekali tidak keluar. Air matanya sudah menetes deras
di pipinya. Ferdi mengusap kepalanya dan tersenyum hangat. Senyum yang biasanya
menenangkan keresahan Ify. Tapi, entah mengapa, kali ini senyum itu terasa
berbeda. Terasa menyayat-sayat hatinya. Membuatnya tak tenang.
“Papa...Papa...Ify takut!” lirihnya lagi. Ia
berharap Ferdi akan membawanya ke dalam pelukan hangat yang selalu diberikan
laki-laki itu ketika ia merasa ada sesuatu yang mengganggunya, baik perasaan
maupun pikirannya. Tapi, tidak seperti yang ia harapkan. Ferdi hanya diam dan
mengusap kepalanya serta terus saja menunjukkan senyum anehnya itu.
Ify ingin berteriak agar Ferdi berhenti
tersenyum seperti itu tapi tenggorokannya tidak juga mau diajak bekerjasama.
Hanya air mata yang semakin mengalir deras di wajahnya.
“Ify, Papa sayang sama kamu.” Ujar Ferdi lalu
akhirnya memeluk Ify seperti yang sudah gadis itu harap-harapkan sedari tadi.
Tapi...hatinya masih tidak tenang. Perasaannya justru bertambah kacau. Ada
sesuatu yang mengganjal, mendesak ingin dikeluarkan tapi tidak bisa dikeluarkan
karena Ify tidak tahu apa itu.
Ify mencengkram baju Ferdi yang bahkan ia tidak
tahu saat ini laki-laki itu bahkan dirinya memakai baju apa karena kekalutan
yang tengah menderanya. Ia menutup matanya kuat-kuat berusaha meredam tangis
dan menenangkan hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba ia
merasa tubuhnya melayang dan ia tidak bisa melihat apapun.
Lalu sebuah suara sayup-sayup terdengar di
telinganya. Bukan suara berat papanya melainkan sebuah suara halus seorang
perempuan yang sepertinya juga tidak asing baginya.
“Ify?” Suara itu makin terdengar jelas. “Ify?”
Lagi, suara itu memanggilnya kembali. Saat itu juga, badan Ify terasa terhuyung
jatuh. Dan tiba-tiba...
“HHH!”
***
Jam dinding sudah menunjuk angka 9 yang
menandakan bahwa sekarang sudah seperempat tengah malam. Hanya berselang
beberapa jam lagi menuju tengah malam yang sebenarnya. Ify baru saja keluar
dari kamar mandi. Ia baru sempat mandi karena tadi siang sehabis makan ia langsung
tidur dan ternyata kebablasan hingga hampir jam delapan malam. Itu pun karena
dibangunkan Amanda, Mama Rio. Dan juga berkat mimpi anehnya. Kalau tidak,
mungkin besok pagi ia baru akan membuka mata kembali.
Handuk yang ia gunakan masih bergelayut menutupi
kepala dan bahunya. Ia berkaca sesaat di depan cermin sambil tangannya bergerak
mencari sisir. Karena tidak melihat, ia tak sengaja menyenggol sisir yang ia
cari cukup keras dan membuat benda itu terjatuh masuk ke dalam kolong tempat
tidur. Ia mencoba menjulurkan kakinya namun tidak berhasil. Ia mendecak kesal.
Namun kemudian berlutut di lantai setelah menaruh asal handuk ke atas tempat
tidur. Ia menyurukkan tangan serta sebagian badannya ke kolong tempat tidur.
Disaat yang bersamaan, pintu kamar terbuka lalu
ditutup kembali. Terdengar derap langkah yang menandakan ada orang yang masuk.
“Ify?” Panggil orang itu. Suara seorang laki-laki. Suara yang terdengar lembut
tapi tetap maskulin. Suara Rio.
Ify baru saja menggapai sisir lalu mendengar
namanya tiba-tiba dipanggil. Ia refleks berjengit kaget. Ia lupa kalau di atas
kepalanya ada besi penyangga tepi tempat tidur. Tak ayal kepalanya langsung
terantuk dengan benda itu. Ia langsung mengaduh kesakitan.
“Adouw!” pekiknya cukup keras.
Rio langsung memandang dan berlari ke sumber
suara. Ia kaget menemukan Ify disana yang tengah mengeluarkan badannya dari
kolong tempat tidur lalu berlutut sambil menggosok-gosok belakang kepalanya.
Mukanya tampak kesakitan. “Lo—abis ngapain?” tanyanya bingung sekaligus
tersenyum geli.
Ify menatapnya kesal. Bukannya membantu malah
menanyakan hal yang tidak penting. Tapi, tidak ada yang harus dibantu juga,
sih. Namun, ternyata tidak seperti yang ia pikirkan karena Rio tiba-tiba
merunduk dan membantunya berdiri. Meski lebih tepat kalau disebut memaksanya
berdiri. Rio tidak langsung melepas pegangan terhadap bahunya yang membuat
jantung Ify mulai ketar-ketir stadium 1. Ia berdiri berhadapan dengan jarak
yang lumayan dekat untuk bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas.
“Kepala lo kejedot?” *ngertikankejedot?Hahah.-.*
Ify mengangguk dengan susah payah. Tubuhnya
mendadak kaku. Rio mendesah lalu berubah menatapnya kesal sekaligus khawatir.
“Kemaren jidat lo yang lo benjolin, sekarang kepala. Abis ular lo mau ganti
melihara benjol, huh?”
Kenapa jadi dia yang marah-marah? Harusnya kan
dirinya yang marah pada pemuda itu karena kalau tidak karena kemunculannya yang
tiba-tiba, kepalanya tidak akan berantukan dengan besi tempat tidur. Namun,
belum sempat menjawab apapun, Rio sudah berbicara kembali. “Yang kejedot bagian
mana?” tanya Rio lembut selembut tatapannya.
Yaampun! Demi dewa bujana eh neputunus saturnus
uranus dan segala planet yang ada di alam semesta ini, Ify rasanya hampir mati
diperlakukan seperti itu!
“I—ini..” lirihnya. Ia meringis menatap Rio. Ia
melihat tangan Rio bergerak menyentuh bagian kepala yang ditunjukknya. “Yang
ini?”
Ify menelan ludah gugup. “I—iya..”
Rio mengusap-ngusap pelan kepalanya itu beberapa
kali lalu menatapnya. “Udah enakan?”
“U—udah..”
Napas Ify tercekat manakala Rio tersenyum
padanya sambil memainkan rambutnya yang masih lembab. Pemuda itu membuatnya
hampir tidak merasa berpijak sekarang setelah membuatnya sempat hampir mati.
Dunia rasanya berhenti saat itu juga. Tangannya sudah gatal ingin menyentuh
wajah yang membentuk senyum indah itu. Ingin mengabadikannya sehingga ia dapat
melihatnya setiap saat nanti. Tapi untunglah masih ada secuil kesadaran yang
membuatnya menahan semua angan-angan itu.
“Tadi, lo diapain aja sama mereka, hmm?” kembali
Rio bertanya dengan lembut seraya meneruskan aktifitasnya di rambut Ify. Ia
memandang gadis itu gelisah karena merasa bersalah.
Ify menelan ludahnya lagi. Rio berbahaya. Pemuda
di hadapannya ini sangat-sangat berbahaya. Bahkan hanya dengan tatapan mata,
pemuda itu sudah bisa mematikan seluruh saraf motoriknya dan mengacak-acak
kendali organ tubuhnya.
“Emm..eng..gg..g—gu—“
Ify belum mengucapkan satu kalimat bahkan satu
kata dengan sempurna dan Rio sudah tertawa duluan. Entah tertawa karena apa,
Ify tidak tahu.
“Feeling nervous, hmm?” Rio mengerling menggoda
sambil menaikkan salah satu alisnya lalu terkekeh pelan. Kekuatan dalam diri
Ify seketika berbondong-bondong datang. Ia menepis kesal tangan Rio agar
menjauh darinya. Kenapa Rio suka sekali merusak momen? Padahal ia sudah
terlanjur berharap banyak saat ini. Ia kesal. Benar-benar kesal.
Ify menghentak kakinya dengan keras ke lantai.
Ia mengambil handuk yang ia taruh asal-asalan tadi dan melengos pergi dari
hadapan Rio. Tawa Rio mereda ketika melihat perubahan sikap Ify dan beranjak
pergi meninggalkannya. Ia dengan cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu
dan membuat gadis itu berhenti. Ify berusaha membebaskan tangannya tapi
genggaman Rio terlalu kuat. Karena tak ada pelampiasan, ia akhirnya melempar handuk
di tangannya ke wajah pemuda itu dengan kesal.
Rio menghindar tepat waktu sehingga handuk tadi
langsung mencium lantai sebelum sempat menyentuh wajahnya. Ia sedikit menarik
Ify agar kembali berdiri berhadapan dengannya. Ia melepas genggamannya ketika
gadis itu sudah tenang. “Iya-iya, sorry..”
Pandangan mata Rio adalah tatapan yang sangat
dibenci Ify. Karena tatapan tersebut, ia tidak bisa berkutik. Ia tidak bisa
berkata tidak.
Sejurus kemudian, Rio hanya diam menatap gadis
di hadapannya yang sepertinya enggan membalas tatapannya. Ngomong sekarang atau
enggak nih? Dalam hati ia bertanya ragu. Sudah sejak siang tadi ia berpikir dan
menimbang-nimbang apa yang ingin ia lakukan saat ini. Rasanya ia sudah tidak
sabar untuk segera mengatakan dan melihat bagaimana respon Ify ketika mendengar
nanti.
“Emm..Fy?” panggil Rio kemudian. Ify mengerutkan
kening bingung. “Apa?” Suaranya dibuat se-acuh-tak-acuh-nya meski dalam hati ia
lumayan penasaran.
Melihat Ify seperti itu, mendadak Rio melepas
tatapan bimbang. Ketika sedang berpikir tadi sepertinya mudah sekali. Tapi,
kenapa sekarang jadi susah begini? Ia hanya tinggal mengucapkan ‘Gue cinta sama
lo, Ify. Mau jadi pacar gue, gak?’ Just it. Rasanya kalimat itu tidak panjang.
Tidak sampai satu paragraf. Kata-katanya tidak sesusah kata-kata yang ada dalam
soal ujian bahasa prancis. Tapi kenapa tetap terasa sulit? Kalau ia tidak salah
ingat, ketika ia mengutarakan perasaannya pada Acha dulu, ia tidak segugup
sekarang.
“Apa, sih?” tanya Ify yang sudah tidak sabar. Ia
sudah tidak sanggup menghadapi detak jantungnya yang semakin lama semakin
cepat. Ia sudah tidak tahan dengan gejolak dalam dada dan perutnya. Ia harus
segera menenangkan diri. Harus segara menjauhkan Rio atau mungkin menjauhkan
diri dari Rio.
Rio menarik napas panjang. Ia kembali meraih
salah satu tangan Ify dan menggenggamnya erat. “Guecintasamapacarlomaujadigak?”
Gedubakjreng...
Tubuh Rio ibarat baru saja tertimpa piano, drum,
gitar dan alat musik lainnya secara bersamaan. Cacaaaaat!! Kenapa kalimatnya
jadi kacau begitu?! Astagaaa! Rio mengutuk dalam-dalam apa yang baru saja
terucap dari mulutnya dalam hati. Sangat memalukan untuk seorang Rio. Sudahlah
susunan katanya salah, ia pun mengucapkan dengan tidak jelas.
Sementara Ify mengernyit tak mengerti. Suara Rio
terlalu pelan dan juga pemuda itu berbicara terlalu cepat. “Hah?”
Rio mendesah lega. Syukurlah Ify tidak mendengar
ucapannya. Mungkin tadi ia seharusnya berlatih dulu sebelum mempraktekkan
langsung pada Ify. Dan mungkin ia butuh persiapan lebih. Malam ini sepertinya
bukanlah waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Rio menghela napas
panjang lalu menggelengkan kepala dan meringis lemah. Lagipula, masa gue
nembaknya begini aja? Cuma bilang, ‘Fy pacaran yuk?’ trus diterima trus—udah,
gitu aja? Gak ada keren-kerennya. Dan gaada romantis-romantisnya. Ckckck.
Ify masih tampak tidak mengerti. Selain mati
degdegan, malam ini sepertinya ia pun akan mati karena penasaran dan tidak
menutup kemungkinan juga untuk mati penasaran. “Niat ngomong gak, sih? Kalo niat
ya jangan setengah-setengah. Atau lo cuma mau ngerjain gue lagi? Ck, gak ada
capek-capeknya ya lo!” Sungutnya kesal. Ia kembali melengos pergi meski Rio pun
dengan cepat menahannya lagi.
“So—sory..Aduh! Sumpah deh, Fy, gue gak ada
maksud buat ngerjain lo. Gue cuma..ngerasa belum siap aja buat ngomong sekarang.”
Rio menggaruk-garuk pelipisnya kebingungan. Ia menatap Ify memohon agar gadis
itu mengerti.
Sementara Ify menanggapinya berbeda. Hatinya
mencelos. Jantungnya seakan diketuk dengan palu dengan cukup keras sehingga
dadanya mendadak terasa sesak. Ia menelan ludah getir. Mendengar Rio berkata
‘belum siap’ sontak mengingatkannya pada sosok Angel beserta nyawa lain dalam
perut gadis itu. Apa itu yang Rio maksud? Apa Rio hendak mengatakan kalau dia
memang—yang menyebabkan hadirnya nyawa lain itu? Batinnya bertanya-tanya. Ia
termangu seraya menatap nanar wajah pemuda tampan di depannya.
Rio bertambah bingung karena Ify tiba-tiba diam
dan terus saja menatapnya dengan tatapan yang aneh menurutnya. “Fy?” Panggilnya
yang sekaligus menyentak kesadaran Ify.
Ify terkesiap sambil mengerjapkan mata beberapa
kali. Ia ingin sekali bertanya lagi pada Rio tentang masalah itu. Memastikan apa
yang ia pikirkan itu benar atau salah. Tapi, ia tidak bisa. Dugaannya bisa saja
benar, kan? Dan masalahnya ia tidak sanggup mendengar Rio membenarkan dugaannya
itu secara langsung. Ia tidak rela. Ia berharap dugaannya salah. Tapi, kalau
pun memang benar, ia berharap Rio tidak memilih bertanggungjawab. Kedengarannya
egois, sih. Jahat malah. Tapi, ya..mau bagaimana lagi, kan? Lo semua pasti juga
tau perasaan gue sama Rio kayak apa. Segimanapun sakitnya gue selama ini karena
dia. Tapi, dia juga gak sekali dua kali kok bikin gue seneng. Iya, kan?
“Lo gakpapa?” tanya Rio lagi. Ify berusaha bernapas senormal yang ia bisa ketika
Rio memandangnya khawatir.
Bagaimana mungkin Rio bisa mengaduk-aduk perasaannya
seperti ini? Sesaat senang, kemudian kesal, terus tiba-tiba gelisah bahkan
sedih, lalu berakhir dalam sekejab dengan membuatnya berbunga-bunga alias
senang. Alat apa sih yang Rio punya sehingga bisa melakukan itu semua? Boleh ia
pinjam sebentar? Supaya ia juga bisa mengetahui bahkan ikut mengendalikan
perasaan pemuda itu bahkan perasaannya sendiri.
“G—gak papa! Iya, gakpapa..” sahut Ify. Rio
menghela napasnya lalu tiba-tiba saja memeluk Ify sambil mengelus-elus kepala
gadis itu. Mata Ify sontak membelalak lebar. Ia kaget dan hampir saja kelepasan
berteriak kalau saja mulutnya tidak menubruk bahu kanan Rio. Ia menggeliat
supaya Rio melepasnya. Tapi bukannya melepas, Rio justru makin erat memeluknya.
Pada akhirnya, ia hanya pasrah sambil berusaha setidak-tidaknya mengurangi
detak jantungya.
“Harusnya gue tadi gak nyium lo ya? Jadinya lo
ga bakal kena amuk massa. Haha. Sorry ya gue tadi malah gaada buat nolongin lo
dan..tadi gue ga percaya sama lo.”
Ify kini tengah sibuk berperang batin. Bolehkan
ia balas memeluk Rio? Bagaimanapun juga, ia tidak bisa bersikap munafik. Ia
tidak bisa menampik perasaan menginginkan dalam hatinya. Tapi, bagaimana soal
pemuda itu dan Angel? Bagaimana...bagaimana..aisss tapi...gue pengen! Huaaa papa
tolong Ify!
Ify menggigit bibir bawahnya dilema. Lama-lama,
ia pun terlena dalam pelukan Rio. Tanpa bisa dicegah lagi, ia pun membalas dengan
mengalungkan tangannya ke pinggang pemuda itu. Ia tak peduli larangan dari
otaknya. Ia tidak mengindahkan spekulasi tentang Angel dan Rio. Ia tidak bisa
tidak menuruti kata hatinya. Ia hampir tidak mendengar apa yang Rio ucapkan.
Beruntung suara pemuda itu masih sayup-sayup sampai ke telinganya dan ia bisa
menanggapi ringan. Ia mengangguk pelan. Ia sudah tidak mempermasalahkan lagi
kejadian mengerikan yang ia alami tadi siang. Rasanya ia sudah mendapat imbalan
yang cukup. Lebih dari cukup malah.
Ini kali kedua Rio memeluknya setelah malam itu.
Dan untuk kedua kalinya ia akui pelukan Rio memang benar-benar membuatnya
nyaman. Sesaat terpintas sebuah harapan kecil dalam hatinya. Ia berharap kalau
Tuhan memperuntukkan Rio bersamanya. *eeak(?)*
Menjadi pengganti tempat bersandarnya yang saat ini mungkin tengah menghilang.
Bahkan dalam mimpinya sekalipun, pelukan ayahnya tidaklah senyaman yang dulu
lagi. Justru membuatnya ketakutan entah kenapa.
Rio menghela napas lagi. “Gue janji kejadian itu
gak akan keulang lagi.”
“Gue gak mau percaya.” Ify menyahut datar. Rio
mengernyit kaget. “Kenapa?”
“Eng..gak tau. Takut aja. Terakhir gue percaya
sama orang, orang itu malah ninggalin gue.”
“Gue gak bakal ngelanggar janji sama lo kok, Fy.
Gue..gak bakal ninggalin lo.”
“Cih, lo kan plin plan.” Cibir Ify seraya
terkekeh kecil.
“Elah susah banget sih lo tinggal percaya aja?”
Ify tersenyum tipis. “Lo aja susah kan buat
percaya sama gue?”
Rio mati kutu. Ucapan Ify membuatnya kalah
telak. Ia menghela napas singkat. “Jadi siapa yang udah orang yang udah inkar
janji sama lo itu? Kenapa dia bisa ninggalin lo?” tanya kemudian.
“Mama. Dan Papa juga...mungkin. Gatau deh, firasat
gue akhir-akhir ini lagi gaenak aja.” Ify seketika merasa ada yang
mengudek-udek perutnya ketika ia menyebut papanya. Ia seketika teringat kembali
akan mimpi buruk tadi siang. “Mama bilang gak akan ninggalin gue. Taunya dia malah
pergi cepet banget. Papa juga sama.”
Saat itu juga Rio melepas pelukannya dan
mendelik pada Ify. “Mama lo pergi karena takdir, Fy, bukan karena dia emang mau
ninggalin lo. Takdir kan Tuhan yang ngatur. Batas umur siapa yang tau, kan? Dan...papa
lo masih ada, astaga Ify! Lo ngomong seakan-akan besok papa lo bakal mati aja.”
“Batas umur siapa yang tau, kan?” serah Ify
seraya mengedikkan bahu. Rio mendecak kesal. Tapi kemudian menarik Ify kembali
ke pelukannya.
“Pokoknya, mulai besok dan seterusnya, lo gak
boleh jauh-jauh dari gue!”
Ify menyatukan kedua alisnya bingung. “Kenapa
gitu?”
“Ya biar gue bisa jagain lo.” Jawab Rio santai.
“Emang gue anak ayam mesti lo jagain?”
“Terserah lo deh mau jadi anak apa.” Rio mengedikkan
bahu. Ify mengatup mulutnya berpikir sejenak. Lalu kemudian bertanya heboh. “Jadi
kemanapun gue harus sama lo?”
Rio berdehem mengiyakan.
“Kemana pun?!” tanya Ify lagi. Rio mau tak mau
tertawa geli. “Iya, Ify! Jangan sampe gue berubah jadi vampir gara-gara pengen
gigit lo ya!” katanya seraya geleng-geleng kepala.
Sementara Ify tampak tercengang-cengang. “Woaa..”
gumamnya pelan. Lalu ia tiba-tiba kembali bertanya. “Kalo gue kebelet gimana?
Lo ikut masuk toilet?”
“Ya gak ikut masuk juga kali, Fy!” Rio tertawa
lagi. Ia mengeratkan pelukannya gemas. Kalau saja Ify ini makanan pasti sudah
ia lahap dengan nikmat.
Ify mengangguk pelan dan memutuskan tidak
bertanya lagi. Lagipula, rasanya semua pertanyaannya tadi rasanya tidak terlalu
penting.
Beberapa menit terlewat dan hanya diisi kebisuan
milik mereka berdua. Hingga kemudian, Ify bersuara lagi.
“Yo?” panggilnya.
“Ya?” jawab Rio.
“Tadi sore lo gak mandi ya?” Sekali lagi, Ify
bertanya dengan polosnya. Rio berjengit lalu kemudian melonggarkan pelukannya. Menatap
Ify setengah kesal dengan sebelah alis menanjak. “I—iya..sih. Harus ya lo
tanyain itu?”
“Badan lo bau.” Ujar Ify, lebih polos lagi. Menatap
Rio sama polosnya. Seperti tidak ada yang salah dalam ucapannya.
Tangan Rio seketika lunglai dan pegangannya pada
bahu Ify langsung terlepas. Ify menatapnya bingung tapi tidak bertanya apapun.
Ia hanya menunggu Rio menjelaskan langsung. Tapi Rio sendiri blank dan tak tahu
harus berkata apa. Ini hal yang cukup memalukan. Bagaimana mungkin seorang Rio
dikatai bau? Oleh seorang gadis? Oleh Ify?! Rasanya Rio benar-benar ingin
memakan gadis itu. Ckckck.
***
Siviel
Akhirnya, setelah sekian lama Via menyimpan
barang-barang antik ini, sekarang gadis itu harus memakainya kembali. Ya,
Gabriel tidak sekedar bicara kemarin. Pemuda itu beberapa jam lalu menghubungi
dirinya, lebih tepatnya Zaza, mengajak pergi bersama. Meski sudah
terang-terangan dan sangat-sangat jelas menolak, tapi Gabriel tetap keukeh
membujuknya. Dan karena sudah lelah berdebat, ia terpaksa menerima ajakan
pemuda itu.
Dan disinilah Via sekarang. Berdiri di sebuah rak
buku bagian berbagai macam novel berada. Tangannya pun tengah memegang sebuah
novel dan pikirannya fokus membaca bagian belakang benda itu. Mendadak muncul
sepasang tangan yang dengan kurang ajar menutup kedua mata Via. Refleks, Via
langsung menyikut keras orang itu dengan siku kirinya. Terdengar suara mengaduh
dari arah belakangnya dan sudah disimpulkan kalau orang itu adalah pria.
Via membalikkan badan sudah siap untuk
menyemprot dengan berbagai umpaitan. Namun seketika bermacam kata-kata yang
sudah tersusun rapi itu buyar saat dirinya sudah mengetahui siapa orang kurang
ajar sekaligus malang itu. Seorang pemuda yang mengajaknya pergi beberapa saat
lalu dan juga sedari tadi ia tunggu. Gabriel.
“Kamu?” Gabriel hanya meringis dan memaksakan
senyum. Ia terlihat begitu kesakitan di bagian kiri perutnya. Via atau Zaza, ah
Via sajalah, sempat ikut meringis khawatir. Namun, ekspresinya langsung berubah
datar mengingat dirinya sedang menjadi siapa sekarang. “Maaf.” Ujarnya sedatar
ekspresinya. Gabriel menegakkan tubuhnya kembali dan tersenyum cerah pada Via,
atau Zaza atau..oke oke, Via.
“Pergi sekarang? Atau mbak Zazanya masih ada
yang mau dicari?” tanya Gabriel celingak-celinguk lalu menatap Via.
“Mbak, mbak! Saya gak setua tukang kasir itu!”
protes Via sambil menunjuk wanita penjaga kasir di dekat pintu keluar.
Gabriel terkekeh sambil memegang perutnya. “Jadi
maunya saya panggil apa? Babe? Honey? Atau sayang mungkin?” ujarnya sambil
memasang tampang menggoda. Via melotot dan langsung menimpuk Gabriel dengan novel
yang masih dipegangnya. “Jangan mimpi kamu!” umpatnya. “Panggil saya Zaza aja.”
ujarnya kemudian.
Gabriel tersenyum sambil menoel dagu Via yang
kontan membuat mata gadis itu melotot lagi. “Okedeh, Zaza..Sayang.”
“Kamu!” Via sudah mengambil ancang-ancang untuk
menimpuk Gabriel kembali namun digagalkan oleh teguran laki-laki penjaga toko
buku. “Permisi, maaf, mbak mau beli bukunya? Kalo enggak ditarok kembali aja,
ntar bukunya rusak, saya bisa dimarahin bos saya.”
Via meringis seraya meminta maaf dan dengan
enggan meletakkan novel ditangannya kembali ke tempatnya. Penjaga buku tadi
mengucapkan terimakasih lalu beranjak pergi. Via langsung mendelik ke arah
Gabriel. “Saya masih punya sepatu kalo kamu berani ngomong macem-macem lagi!”
ancamnya. Gabriel hanya tersenyum lagi tanpa membalas ucapan Via.
“Ya sudah, kamu mau ngajak saya kemana? Pergi
sekarang aja, saya bisa mati muda kalo lama-lama sama kamu.”
“Kenapa? Mbak jantungan terus kalo deket saya?
Mbak naksir ya sama saya?” Masih, Gabriel masih setia menggoda gadis di
depannya. Via menutup mata sambil menghela napasnya. “Saya pernah matahin gigi
orang pake sepatu saya loh, Gabriel.” Katanya sambil tersenyum manis yang
dibuat-buat.
Gabriel tertawa lalu mengedikkan bahunya. “Yaudah,
kita berangkat sekarang aja. Ayok!” Ia lantas menarik dan menggandeng tangan
Via begitu saja. Via sudah malas mendebat lagi terlihat pasrah saat Gabriel
membawanya pergi.
***
Via berdiri bengong memandang gedung besar di
depannya sementara Gabriel berkacak pinggang dan tersenyum girang. “Gab-ri-el?”
katanya terbata-bata. Gabriel menoleh padanya masih dengan senyumnya. Kali ini
senyumnya lebih lebar. “Ya? Ah akhirnya kamu nyebut nama saya juga!”
“Kita gak salah tempat?” tanya Via masih menatap
takjub ke arah depan. Gabriel menggeleng semangat. “Enggak kok, emang ini
tempatnya.”
“Emang di sini ada restoran—atau cafe—atau
warteg—uh?”
Gabriel tertawa sekilas lalu menggeleng lagi.
“Enggak ada, Zaza. Kita kan bukan mau makan.”
“Kamu gak lagi linglung, kan? Kamu sadar kan
bawa saya ke sini?”
Gabriel tampak agak bingung dan mengangguk ragu.
“Saya gak linglung dan saya sadar—kok,”
Via akhirnya menoleh pada Gabriel dan tiba-tiba
meringis. “Gabriel..ini tuh sanggar ballet..anak-anak..” cicitnya pelan.
Gabriel mengangguk lagi, masih ragu dan tentunya bingung. “Iya—emang ini
sanggar ballet anak-anak. T—trus?”
“Ya trus kita mau ngapain?! Emang kamu mau nari
ballet? Dan, ini tuh buat anak kecil, Gabriel!”
Gabriel tersenyum lagi. Tanpa menjawab
pertanyaan Via, ia begitu saja menarik gadis itu untuk masuk ke sanggar ballet
yang mereka sebut-sebut itu yang tak lain dan tak bukan adalah tempat yang
mereka datangi.
Mereka kemudian masuk ke dalam satu ruangan luas
yang berdindingkan cermin dan diisi oleh beberapa anak kecil lengkap dengan
pakaian balletnya masing-masing. Via menarik napas saat masuk dan berusaha
sekeras mungkin menyembunyikan semburat-semburat kemerahan di wajahnya. Ia malu
sekali. Saat ini ia sudah memakai kostum ballet seperti anak-anak di dalam sana
dan...Gabriel juga. Yang membuat malu adalah...Gabriel memakai kostum ballet
untuk anak perempuan! Ya Tuhan!!
Sesuai tebakannya, anak-anak di ruangan tersebut
langsung cekikikan ketika melihat Gabriel. Sementara pemuda itu cuek-cuek saja
dan bertingkah seperti tidak ada yang salah pada dirinya. Via sendiri bingung,
seharusnya Gabriel yang merasa malu bukan dirinya. Gabriel lalu membawanya
mendekat pada seorang wanita cantik yang sepertinya adalah instruktur ballet di
sana. Wanita itu menoleh dan tersenyum geli. “Gabriel? Kamu ngapain pake baju
kayak gitu?” Wanita itu tampaknya sudah mengenal Gabriel.
“Mau ikut latian lah, Tan. Oh iya, ini temen aku
namanya Zaza. Za, ini tante saya namanya Tante Eri, pemilik sekaligus pelatih
disini.” Gabriel tak henti-hentinya nyengir dan hampir saja membuat Via tidak
tahan untuk menyumpalkan sepatu balletnya ke mulut pemuda itu. Via tersenyum
sopan sambil berjabat tangan dengan Eri. Eri hanya geleng-geleng kepala melihat
Gabriel dan balas tersenyum pada Via.
“Beneran nih kalian mau ikut latihan? Gak salah
tempat? Disini kan anak-anak semua tuh! Dan kamu Yel, gak salah kostum?” tanya
Ari sambil menunjuk anak-anak di depannya lalu menunjuk Gabriel dan pakaiannya.
Gabriel menggeleng mantap tanpa pernah melepas cengiran menyebalkannya—menurut
Via. Via menghela napas singkat. Gabriel oh Gabriel!
“Yaudah, Yel, Za dan anak-anak semua baris yang
rapi. Kita pemanasan dulu ya!”
Tidak tanggung-tanggung, Gabriel mengambil
barisan paling depan. Sementara Via mencari aman dengan mengambil baris paling
belakang. Ia dapat melihat betapa antusiasnya Gabriel melakukan gerakan-gerakan
yang diinstruksikan Eri. Sesekali Gabriel menoleh ke belakang dan berteriak
menyuruh anak-anak yang ada di belakangnya untuk berhitung lebih keras.
Alhasil, meski awalnya tertawa tapi anak-anak tersebut langsung mengeraskan
volume suaranya dan melakukan gerakan dengan sama semangatnya dengan Gabriel.
Rasa malu Via sontak menghilang. Ia mau tidak mau ikut tergelak melihat
kelakuan-kelakuan ajaib Gabriel di depan sana.
“Kakak berdua pacaran ya?” tiba-tiba anak yang
berada tepat di samping Gabriel menyeletuk. Sontak semua teman-temannya disana
menyoraki Gabriel dan Via. Semburat di wajah Via muncul kembali. Ia langsung
melambai-lambaikan tangannya mencoba menyangkal apa yang baru saja anak kecil
tadi ucapkan. Ia melirik Gabriel frustasi karena pemuda itu justru hanya cengar-cengir
bahagia.
“Tenang-tenang semuanya! Buat ngejawab
pertanyaan kalian, kakak punya satu tantangan buat kakak cantik yang di sana.”
Ujar Gabriel. Anak-anak serentak menoleh pada Via. Via melirik tajam pada
Gabriel.
“Kita tanding ballet satu lawan satu. Nah,
kalian semua nanti yang nilai siapa yang paling bagus. Kakak yang ganteng
stadium akhir ini atau kakak cantik yang itu. Kalo kakak cantik kalah, kakak
cantik itu harus mau jadi pacar kakak. Gimana kakak cantik?” Gabriel
mengerlingkan matanya pada Via yang terkesiap di tempatnya. Pertandingan macam
apa itu? Kenapa poin keuntungan untuknya tidak ada? Sejurus kemudian Via
langsung mengangkat dagunya dan memasang wajah angkuh. “Oke siapa takut!”
Entah kenapa anak-anak tadi kembali menyoraki
mereka. Hingga suara Eri berhasil meredam suara mereka dan langsung mengambil
kendali yang sebelumnya dipegang Gabriel. Eri menyalakan musik dan semua
anak-anak tersebut langsung menari selaras tanpa ada yang memberi contoh di
depan. Gabriel dan Via lantas mencoba mengikuti setiap gerakan yang dilakukan
anak-anak tersebut. Gabriel yang pada dasarnya kaku dan tidak punya bakat menari
pun langsung membuat beberapa anak terkikik geli. Sekaligus membuat Via seratus
persen yakin ia tidak mungkin kalah.
Satu jam kemudian, latihan tahap satu selesai
dan semuanya diperkenankan istirahat. Tapi tidak dengan Gabriel dan Via. Sekarang
waktunya mereka diadu satu lawan satu. Yang pertama unjuk diri sudah pasti
Gabriel. Ia berdiri di tengah-tengah dan semua anak berdiri di pinggir ruangan.
Ketika musik dibunyikan, Gabriel memulai tarian—tak layak pandang—nya dengan
bangga tanpa ragu sedikitpun. Anak-anak kembali terkikik geli hingga tarian itu
berakhir dan mereka memberikan tepuk tangan meriah untuknya. Ia berdiri lalu
membungkukkan badan.
Gabriel mengedipkan mata pada Via yang berjalan
menuju tempatnya yang dibalas dengan delikan gadis itu. Ia sendiri kemudian
berjalan ke pinggir ruang dimana semua anak berdiri di sana. Ketika Via menari,
Gabriel membisikkan sesuatu pada anak kecil di kanan-kirinya. Dan kedua anak
tersebut kompak dengan estafet membisikkannya pada teman-temannya yang lain
lalu tersenyum misterius pada Gabriel. Ketika Via selesai, ia juga
membungkukkan badan sejenak dan mendapat tepuk tangan yang sama meriahnya
dengan Gabriel.
Setelah itu, Gabriel kembali mengambil alih
perhatian. Ia berdiri di samping Via. “Jadi langsung dinilai aja ya! Yang milih
Kak Zaza mana suaranya?!” Tak ada satupun yang bersuara. Ah, ada, Ari. Ia
bertepuk tangan untuk Via. Namun intensitas tepukannya langsung menurun ketika
mengetahui semua anak-anak melirik tatapan ‘membunuh’ mereka padanya. Ditambah
lagi, hanya dirinya sendiri yang bertepuk tangan.
Gabriel menyeringai senang dan melirik Via
sekilas lalu mengedipkan mata. Via sendiri mulai cemas. Kenapa tidak ada yang
bertepuk tangan untuknya? Sejelek itukah tariannya? Kalau dia jelek lalu
Gabriel apa, dong?
“Nah, sekarang yang milik kakak ganteng mana
suaranya?!” Keheningan sesaat tadi sontak berhamburan melarikan diri ketika
sorak sorai anak-anak menggema setelah Gabriel selesai berbicara. Gabriel
kembali menyeringai dan ikut bertepuk tangan untuk dirinya lalu menatap Via
penuh kemenangan. Sementara Via hanya bisa melongo speechless melihat anak-anak
semuanya bersorak-sorai untuk Gabriel.
Gabriel mengangkat kedua tangannya menyuruh
semuanya diam sejenak. “Nah, kamu bukan orang yang suka ngelanggar janji, kan?”
Ia menoleh pada Via dan memandangnya dengan mata berbinar. “Tap—tapi—kok
bisa..” Via gelagapan dan bingung sendiri harus menjawab apa.
“Yaudah, kalo gitu kakak ganti baju dulu ya!”
Gabriel tersenyum misterius dan dibalas sama misteriusnya oleh anak-anak di
hadapannya. Via memperhatikan itu dan menyipitkan mata curiga.
Setelah berganti baju, Gabriel menyuruh
anak-anak tadi keluar dan menunggu di depan sanggar. Ia dan Via pergi
menghampiri penjual es krim yang berjualan di sekitar sanggar. Via kembali
menyasarkan pandangan curiga pada Gabriel karena membeli es krim dalam jumlah
banyak. “Kamu nyogok mereka ya?” tuduhnya sambil mengacungkan telunjuknya pada
pemuda itu. Gabriel menyeringai tak menjawab.
Mereka kembali menghampiri anak-anak yang
menunggu di depan sanggar dan membagikan satu per satu es krim yang mereka beli
tadi. Tak berlama-lama setelah itu mereka langsung pamit pulang dan anak-anak
tadi kembali masuk ke dalam sanggar. Sementara mereka berjalan mendekat dan
masuk ke dalam mobil Gabriel.
“Jadi, gimana rasanya kencan sama saya?”
“Kamu curang!” Via mengumpat namun tersenyum
juga sambil menjilati es krim di tangannya. “Yah habis kalo saya menang secara
murni itu gak akan mungkin. Wong saya gak bisa nari. Haha.” Gabriel menoleh
pada Via sebentar lalu kembali menatap jalan raya di depannya. Beberapa saat
mereka sama-sama diam tak saling bicara.
“Kamu lucu.” Via tersenyum ringan pada Gabriel
lalu bercengkrama lagi dengan es krimnya. “Kamu cantik.” Gabriel menjawab
kalem. Via menahan tawa geli. “Kamu gombal.”
“Kamu cantik.” Lagi, Gabriel menjawab kalem
dengan kata-kata yang sama. Membuat Via memutar kedua bola matanya. “Err stop
gombalin saya!”
“Err stop nyuri cinta saya!” Gabriel menirukan
cara Via berbicara dan tersenyum lembut pada gadis itu. Via tak lagi membalas.
Ia hanya mencibir pelan dan langsung memalingkan wajahnya menatap jendela. Menyembunyikan
semburat merah yang untuk kesekian kalinya muncul di pipinya. Padahal yang
dipuji Gabriel itu Zaza, bukan dirinya. Ya meskipun Zaza itu sebenarnya adalah
dirinya juga. Tapi, ya, tetap saja beda.
“Kamu..beneran suka sama saya ya?” tanya Via
ragu-ragu sekaligus bingung. Ia menggaruk pelipisnya pelan. “Masih belum
percaya juga?” Gabriel menyorongkan pandangan lembutnya kembali. Membuat
jantung Via kocar-kacir. Astaga! Jauhkan tatapan berbahaya itu dari gue, plis!
“Kenapa? Kok bisa, sih?” Masih, Via
sangat-sangat tidak habis pikir apa yang Gabriel sukai dari sosok Zaza yang
diperankannya saat ini. Gabriel hanya mengedikkan bahu. “Gak tau. Emang suka
sama orang harus ada alasan?”
“Tapi kamu aneh. Jumlah waktu kita ketemu aja masih
bisa diitung pake jari. Apalagi aku..” Via mengurungkan niat melanjutkan
omongannya. Ia bingung sendiri. Tidak mungkin kan kalau dia menyebut dirinya
sendiri sebagai cewek aneh di depan Gabriel?
“Kan di quote-quote udah banyak tuh, katanya
cinta gak ngenal waktu. Bukannya kamu suka baca novel ya? Masa gak pernah baca
yang kek gitu?”
“Ya ya ya, terserah kamu deh, asal jangan nyesel
udah cinta sama saya.”
“Saya gak bakal nyesel kalo kamu juga cinta sama
saya. Kamu mau kan nerima cinta saya?”
“Kamu lagi nyatain cinta? Kok gaada
romantis-romantisnya!” cibir Via.
Mata Gabriel langsung berbinar cerah. Ia lantas
tersenyum jahil. “Jadi kamu pengen yang romantis? Berarti kamu gak akan nolak
saya, dong?”
Via merasa pipinya memerah lagi. Secepat mungkin
ia berusaha menormalkan kembali ekspresi wajahnya. Gabriel benar-benar
berbahaya. Pikirnya. “Ya belum tentu juga. Cinta kan butuh waktu. Dan quotes
kayak gitu juga banyak loh.” Via lalu mengedipkan matanya dan tersenyum pada
Gabriel karena berhasil membalikkan kata-kata pemuda itu sebelumnya padanya.
Tak ada raut kekecewaan di wajah Gabriel. Ia
tetap memajang senyum manisnya di wajahnya yang manis. “Hmm, itu tandanya kamu
bersedia untuk jalan berdua sama saya lagi.”
“Hah? Darimana asalnya saya mau diajak jalan lagi
sama kamu?” protes Via.
“Ya kan kamu bilang cinta butuh waktu. Kamu
butuh waktu buat bisa cinta sama saya. Untuk bisa jatuh cinta kan kamu harus
sering-sering ketemu sama saya. Iya kan?”
“Ya—gak—tapi..hh terserah kamu ajalah, saya gak
mau bener-bener mati muda gara-gara ngeladenin kamu.” Via akhirnya menyerah.
Gabriel hanya tertawa mendengar ucapan Via tanpa membalas lagi.
***
Via duduk bersandar pada sandaran kasurnya
sambil membaca sebuah novel di tangannya. Ia baru saja berniat menyelipkan
telunjuk di balik lembaran sebelum ponselnya terdengar berdering. Ia melirik
nakas di samping ranjangnya tapi tidak melihat ponselnya ada di sana. Matanya
berkeliling menekuri sekitarnya tapi ia tak juga menemukan ponselnya itu. Ia
mengerang kesal. Ya, sudah kebiasaan kalau benda itu mendadak menghilang. Kalau
saat dibutuhkan benda mungil itu suka sekali bersembunyi. Salahnya juga sih
yang sering sembarangan menaruhnya asal.
Via menyelipkan pembatas di novelnya dan
menaruhnya di kasur. Ia kemudian berdiri lalu bergerak mencari dimana ponselnya
berada. Deringan ponselnya tiba-tiba berhenti. Namun, tak sampai 10 detik,
benda itu kembali bernyanyi. Via mengacak-acak rambutnya kesal. Matanya lalu
menangkap pintu kamar mandi. Ia langsung berlari masuk ke dalam sana. Ia lantas
mendesah lega saat keluar dengan ponsel di tangannya. Ia baru ingat kalau tadi
sore ia ikut membawa ponselnya ke kamar mandi dan lupa membawanya kembali.
Tapi, kemudian, Via kembali mengerang jengkel
manakala mengetahui nama Gabriel yang muncul di layar ponselnya. Gara-gara
pemuda itu ia jadi kalang kabut mencari ponsel dan terpaksa menunda hasrat
membacanya. Meski ia juga harus berterimakasih karena kalau bukan karena pemuda
itu meneleponnya, ponselnya akan menginap di kamar mandi sampai besok hari. Sebagai
tambahan, ia lumayan senang...sih. Tapi juga heran kenapa Gabriel
tumben-tumbenan menghubunginya. Sekedar informasi, Gabriel menghubungi nomor
ponselnya sendiri bukan nomor Zaza.
Sepintas hati kecilnya menyuruhnya tidak usah
mengangkat. Tapi, sejurus kemudian, hati kecilnya mendesak agar ia segera
menekan yes pada ponselnya. Mengingat Gabriel terus mengulangi panggilannya
karena ia tak kunjung mengangkat.
“Ha—lo?” sapa Via tak yakin.
“Hai, Vi!” balas Gabriel yang terdengar begitu
ceria di seberang sana. Via menggaruk pelipisnya bingung. “H—hai.. Gak salah
pencet nih?”
Gabriel terkekeh pelan. “Ya enggaklah! Kenapa
harus salah pencet?”
“Ya—aneh aja..” Via mengedikkan bahu. “Aneh
kenapa?” tanya Gabriel.
“Ya—aneh! Ngapain lo malem-malem nelfon gue? Kek
gue pacar lo aja! Atau ada yang mau lo tanya? Mau nanya apaan? PR? Besok gak
ada PR kalo lo mau nanya itu.” Cerocos Via seraya berjalan menuju kasurnya dan
duduk bersandar kembali.
Gabriel tertawa geli. Yang benar saja, Gabriel
hanya bertanya dengan dua kata tapi Via menjawabnya hampir satu paragraf. “Gue
sama sekali gak niat nanya PR. Kalo ada pun gue juga ga bakal ngerjain
sekarang. Gue tuh emang lagi pengen nelfon lo aja. Ya kan kita lagi di masa
pdkt, jadi ga aneh lah kalo telfonan. Iya kan?”
Via mengernyit kaget. “Ap—apa? Pdkt?
Pe-de-ka-te-huh? Pdkt?!”
“I—iya, ada yang salah?” tanya Gabriel bingung.
Via mendesah lalu memutar kedua bola matanya
malas. “Hh! You’re so untruthful.”
“Lah, kan emang bener kita lagi pdkt Via
sayang!”
“Sayang-sayang, gue cincang lo! Baru aja tadi
siang jalan ama Zaza sekarang lo berani bilang lagi pdkt sama gue, hah?!”
“Lo..tau darimana hari ini gue jalan sama Zaza?”
Seketika itu juga mata Via melebar. Ia menepuk
keningnya seraya mengumpat ‘mati gue’ tanpa suara. Kenapa bisa keceplosan? Ia
lalu menggigit jarinya seraya berpikir keras.
“Emm—itu—gue—ah! Kan lo yang bilang kemaren pas
di rumah sakit kalo hari ini lo mau ngajak Zaza jalan.” Via mengusap-usap
dadanya lega. Untung saja kemarin Gabriel memang mengatakan padanya. Kalau
tidak bisa bahaya.
Gabriel terkekeh pelan. “Oh iya ya, hehe. Trus,
ngomong-ngomong, nyokap lo kapan bisa pulang?”
“Ya kalo udah sehat.”
“Elah, maksud gue spesifiknya kapan, Viaaa!
Berapa hari lagi gitu? Gue juga tau kali nyokap lo keluar kalo udah sehat. Itu
udah pasti lah!”
Via terkekeh tanpa semangat. “Oh itu, hehe.
Dalam minggu ini mudah-mudahan udah bisa pulang. Tergantung kondisi mama.”
“Sekarang lo dimana?” tanya Gabriel antusias.
“Di..rumah?” jawab Via dengan nada bertanya. Gabriel terdengar mendesah kecewa.
“Yaah! Gue kira lo di rumah sakit.”
“Kenapa emang kalo gue di rumah sakit?”
“Ya gue kan bisa nemuin lo. Nemenin lo lagi.
Kalo lo di rumah kan gak mungkin.” Nada suara Gabriel berubah ceria kembali.
Via mengernyit heran. Nih anak kenapa sih? Batinnya bertanya-tanya.
“Okey, terserah. Gue tanya sekali lagi. Ngapain
lo nelfon gue? Dan jangan jawab yang enggak-enggak lagi!”
“Gatau juga, sih, sebenernya. Gue mendadak
kangen sama lo. Jadi gue nelfon lo. Lo tadi lagi ngapain?”
Via mendengus dongkol dalam hati. Gimana bisa
dia nyebut kangen sesantai itu? Ck. Apa iya dia kangen sama gue? Batinnya.
Sekilas seperti ada sesuatu yang baru saja menggelitik isi perutnya.
“Lo—kangen?” Via membeo.
“Iya, Vi! Ampun deh, lo susah banget percaya
sama gue!” keluh Gabriel.
“Ya karena lo emang susah buat dipercaya! Dalam
rangka apaan lo kangen sama gue?” Via tak mau kalah.
“Salah kalo gue kangen sama lo?”
Sesuatu tadi kembali menggelitik perut Via. Kali
ini lebih terasa olehnya. Aiss, nih orang bener-bener deh!
“Lo harusnya kangen sama cewek aneh inceran lo
itu. Lo kan sukanya sama dia bukan sama gue. Jadi kalo lo bilang lo kangen sama
gue itu bohong abis!”
“Diluar masalah ini, dalam keseharian apa gue
juga susah dipercaya bagi lo?”
Via mengedikkan bahunya lagi. “Hmm, kayaknya
gitu.”
“You need to trust me, Vi. I’m trully good
enough to being trusted. Please?” Gabriel memelas. Terdengar begitu memohon
pada Via untuk percaya. Terdengar seperti ia memang bersungguh-sungguh dan
tidak berbohong.
Via menelan ludah. Nada suaranya kenapa harus
kek gitu banget, sih?! Gue kan bisa nganggepnya beneran. Aiss, sial!
“Udah deh, lo jangan bikin gue nga—emm maksud
gue, ya I know you so much well. Gue jangan ikut lo gombalin lah. Lo masih
nganggep gue temen kan? Jadi eliminasi gue dari daftar target cewek-cewek yang
mau lo taklukin dan lo bikin patah hati. Sekali lagi, inget ya gue ini temen
lo. Masa lo tega nyakitin temen lo sendiri?” sungutnya. Ia lantas merutu dalam
hati. Untung tadi dirinya tidak keceplosan lagi. Err, mulut bawelnya ini sangat
merepotkan ternyata.
“Ah! Gue bakal buat lo percaya sama gue!”
Gabriel berseru semangat. Membuat Via geleng-geleng kepala menyerah dan berdoa
dalam hati supaya keinginan Gabriel itu tidak tercapai. Ia sudah kapok
dipermainkan pemuda itu. Ia sudah cukup dipusingkan dengan harus memerankan
Zaza. Ia tidak berminat untuk menambah beban kepala lagi.
“Besok gue jemput lo ya? Iya! Okey, goodnight
princess-soon-to-be!”
Tut. Sambungan telepon langsung terputus. Via
menatap shock ponselnya dengan mulut menganga dan mata membelalak. Gabriel
bahkan mengiyakan sendiri ajakannya. Terkesan bukan seperti ajakan, tapi
perintah. Seperti biasa, pemuda itu bersikap seenaknya.
Ah, tapi mana mungkin Gabriel beneran. Paling
mau mainin gue lagi. Iya, kan? Udah deh ngaku aja! Hhh!
***
Woaaaaa! Akhirnya rampung juga part ini! Masih pada nungguin ga sih? Rencananya mau namatin nih. Jadi doakan ya bisa cepet hahahaha xD Pada ga sabar kan Acha dateng? Wkwk.-.
Ntar mimin bikin ff baru couplenya DiFy........................................(?)
Yasudah, mimin go away dulu yak. Don eper porget tu mis mimin! Daaah muah muah muah:*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar