-->

Sabtu, 05 Mei 2012

Matchmaking Part 15

Helloo, haha maap kata sambutannya telat. Post-nya juga telat. Semuanya telat haha. Maap lah yaa, ini buatnya terburu-buru. So sorry kalo gak sesuai yang diharapkan.

Ya sudah langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

Sudah memasuki setengah 9 malam sekaligus memasuki 2 jam ketelatan Shilla. Alvin menoleh pasrah ke kanan-kiri. Dalam hati, masih begitu berharap besar sosok gadisnya menginjakkan kaki di tempatnya berada. Masih di Maming Stadion. Shilla lo dimanaaa? Berkali-kali batinnya menyeru dan mengulang-ngulang pertanyaan itu. Kalau boleh, mungkin ia sudah pergi ke bagian informasi, mengambil alih mikrofon dan menggemakan nama gadisnya. Tapi, tidak mungkin. Seorang Alvin, dengan total penggemar yang tidak bisa dibilang sedikit, mana mungkin melakukan hal sebodoh itu. Bodoh karena hal tersebut dapat dengan mudah menguak rahasia yang selama ini ia tutupi, masalah pribadinya, tentang jalinan kasih yang dipautnya bersama Shilla. Lagipula, di stadion, mana mungkin ada bagian informasi, ya kan?

Beralih pada ponsel. Layar benda itu sudah terlihat menempel di telinga kanan Alvin. Sudah sejak tadi tepatnya. Membuat hawa cukup hangat menengahi antara layar ponsel dan permukaan telinganya yang tertutupi. Tangan kirinya yang bebas, tersembunyi setengah bagiannya dalam saku celana. Sedang kaki kirinya mengetuk-ngetuk aspal tak tenang. Ini ke..ah entah sudah berapa kali ia melakukan aksi ini. Mungkin sudah puluhan panggilan tak terjawab yang masuk ke ponsel Shilla, orang yang dihubunginya. Dan sekarang, akan bertambah satu lagi. Atau mungkin 2 lagi. Ia bertekad, jika panggilan ini tak dijawab juga, maka pulang adalah sesuatu yang harus ia lakukan.

“Hallo Shilla?!” Sahut Alvin antusias. Rupanya, Tuhan masih menginginkannya untuk bersabar lebih lama di Maming. Panggilannya -akhirnya- mendapat respon alias diangkat. Tapi..

“Eh Tante...ketiduran?...gak usah tante, Alvin punya rencana!...iya, bangunin aja dianya hehe...iya, okee sip tante!!”

KLIK!

Panggilan ditutup. Mata Alvin berbinar memandang layar ponsel yang sempat diumpatnya tadi. Sebelum sesuatu merubah moodnya 180 derajat lebih menyenangkan seperti sekarang. Sudut-sudut bibirnya tertarik. Air mukanya tenang dan tidak gelisah lagi. Lega. Ya, ia dapat mengemban kata-kata itu sekarang. Akhirnyaa!!

***

“HUWAAA MAMAA SHILLA TELAAAT!!”

Bak kucing disiram air, Shilla meloncat dari kasur dan lantas mondar-mandir tak jelas. Beberapa kali telapak tangannya menepuk-nepuk dahi dan kerap pula menggaruk kepala. Yah bayangkan saja tingkah seseorang yang sedang dilanda kepanikan, besar. Tanpa memeriksa bagaimana tampaknya sekarang, Shilla berlari keluar kamar dan berteriak-teriak di sepanjang sisi dalam rumah yang ia lewati. “MAMAAAA!!” Pelangkahnya bergerak cepat hingga sampai di ruang tengah. Wiwid yang berada di dapur berlari tergopoh karena dipanggil mendadak seperti itu. Ia lalu melihat anaknya mencak-mencak tak jelas. Rambut dengan untaian tak sesuai, baju yang sudah tak jelas posisinya ditambah lagi tangan gadis itu masih setia menggaruk-garuk bagian kepala. Tingkahnya seperti seolah-olah ada kebakaran yang terjadi di rumah ini.

“Heh-heh, kamu kenapa sayang? Kok gak jelas gini? Apa masalah Alvin? Alvin mutusin kamu? Dia selingkuh?” Tanyanya beruntun. Shilla ‘berhenti’ dan menoleh ke arah Mamanya. “Huaaaa, Mama jahat ih doain kayak gitu. Huaaa!!” Rengek Shilla. Mendengar itu, Wiwid lantas merasa bersalah dan bingung harus apa. “Yah kamu juga sih. Lalu, kamu maunya gimana, sayang?” Pasrahnya. “Pokoknya, saat ini juga, anterin Shilla ke Maming. Anterin pokoknya anterin!” Desak Shilla seraya merengek tak jelas. Tak ada yang bisa diperbuat selain menuruti permintaan gadis yang satu ini. Wiwid lantas memanggil Pardi, supir keluarganya untuk mengantar Shilla ke tempat yang diinginkan gadis itu.

***

Masih dengan kepanikan gadis cantik yang satu ini. Shilla. Sedari tadi, omelan panjangnya membahana dalam tiap sudut sisi mobil. Jalanan macet dan hal itu makin memperparah keadaan. Otomatis makin memperparah kapasitas omelannya. Shilla mengomel tanpa mengenal tanda titik bahkan koma sekalipun. Membuat Pardi, sang sopir, merasa aksi mengemudinya seolah harus diusahakan mati-matian. Tak bisa fokus. Sangat sangat dan sangat sulit. Bagaimana tidak, pikirannya terbagi dua antara jalan raya dengan Shilla, omelan gadis itu tepatnya. Beberapa kali lengannya disenggol akibat Shilla yang merutuki kemacetan. “I..iya Non, sabar ya! Bentar lagi lancar kok..lancar!” Katanya, berusaha menidurkan kepanikan gadis itu.

‘ALVIIN, SO AND BIG SORRY!!! TUNGGU GUE, PLEASE!’

Shilla beralih pada ponsel. Mengetuk-ngetuk bagian ujung benda itu dengan telunjuk. Menunggu hampir puluhan pesan singkat yang ia kirimkan mendapatkan balasan. Atau mungkin, menunggu sebuah panggilan masuk, panggilan dari Alvin. Ya, siapa lagi? Beberapa menit menunggu, nama Alvin tak jua tersembul di layar BB-nya. Artinya, pemuda itu -mungkin- sengaja mengabaikan puluhan-puluhan smsnya. Pemuda itu benar-benar marah. Yah, mungkin perjuangannya belum cukup keras dibanding perjuangan Alvin meregut maafnya waktu itu. Perbandingannya mudah saja. Hanya dengan melihat total jumlah pesan dari masing-masing. Antara puluhan banding ratusan.

PING!

PING!

PING!

Sama saja, usahanya yang kedua masih mengheningkan BB di tangan. “Huaaaa, Paaak gimanaa doong? Alvin marah sama saya Paaak!! Huaaa...” Lengan Pardi kembali disenggol atau mungkin dipukul. Baju yang menutupi bagian samping tubuhnya ditarik-tarik tak karuan. “Aduh, Alvin siapa lagi?” Cicit Pardi. Sepertinya ia harus belajar bagaimana caranya menghadapi aksi panik seseorang. Khususnya Shilla. Shilla tak peduli. Kepala terpusat untuk memikirkan Alvin, bagaimana cara untuk mempercepatnya bertemu dengan pemuda itu, dengan keadaan macet seperti sekarang, dengan keadaan Alvin yang sedang marah.

“Tenang Noon, tenang. Tarik nafas..tahan..ya terus..terus..keluarkan..ulangi lagi..”

Shilla menurut. Ditariknya nafas begitu dalam, hingga otot-otot diafragmanya terangkat, perutnya mengempis, lalu setelah itu, seluruh oksigen yang dihirupnya dihempas begitu saja. “Udah tenang kan Non?” Tanya Pardi khawatir, khawatir kalau-kalau gadis itu kembali blangsak. “Huaaaa, gak bisa pak! Gak bisa! Cepetan paaaak!! Nanti Alvin tambah marah sama saya paak! Huaaa..”

“Ya Allaah..”

***

Bagi Via, hari ini benar-benar..random! Hal-hal yang ia lakukan tak ada yang benar. Mulai dari melanjutkan tugas akuntansi yang berujung pada jumlah debit dan kredit tak seimbang, jurnal penyesuaian yang malah tambah tak sesuai, belum lagi laporan keuangan yang sampai sekarang masih hanya sebatas judul. Ada lagi. Tugas matematika. Bahkan ia sampai lupa sin kuadrat x ditambah cos kuadrat x itu sama dengan 1. Sepuluh kertas HVS tercoret sia-sia karena ia yang mendadak bodoh seperti ini. Terakhir pr kimia. Ini tidak terlalu parah sih. Hanya ada satu soal yang penyelesaiannya di luar dugaan. Cukup membuat matanya menonjol keluar. Mengenai pH. Setelah mengoret-ngoret beberapa kali di kertas, sama dengan yang ditulisnya menjumlahkan angka 10 pangkat min 25. Benar-benar! Ya, mana mungkin ada pH di atas 25 kan?

“Argh, what’s the big wrong of this day, hah?!” Geramnya. Pensil yang tadi dipakainya dihempas begitu saja. Mata benda itu menitik sebuah noda hitam pada lembaran buku catatan di hadapannya akibat dilempar tepat ke arah sana. Sebaiknya..kita akhiri saja! Batinnya sok dramatis. Sangat bertolak belakang dengan suasana miris yang ia alami. Setelah menutup semua bukunya, ia lantas bersandar di tepi tempat tidur. Tangannya direntangkan seraya sedikit merelaksasi otot-otot di sekitar bagian itu. Tak sengaja, matanya melirik ke arah semua peralatan ‘stalker’-nya tadi siang yang berimpitan di atas kasur bagian samping tempatnya bersender. Sejenak, memandangi peralatan itu lalu mulai menjamahinya satu-persatu.

Saat itu pula, ia ingat pada kartu perdana yang diberikan Iel. Ya, yang sampai sekarang masih membuatnya bingung harus diapakan. Perdana itu sendiri masih duduk (?) manis di atas lemari samping kasur. Ditaruhnya peralatan tadi dan kemudian mengambil perdana dari Iel. Lagi-lagi, kegiatannya hanya sebatas memandangi. Ada sedikit kemajuan, perdana itu dikibas-kibasnya di depan wajah. Matanya nanar ke depan seraya memikirkan apa tindakan selanjutnya. “Pakai atau gak ya?”

***

Ify benar-benar tak berdaya di tempat tidur. Tenaga ditubuhnya hampir tidak ada lagi. Boleh diulang, bahwa badannya panas, pucat, hidungnya meler dan mampet, indra pengecapnya pahit, perut mual ditambah dengan pusing di kepala. Ia tak sanggup membuka mata terlalu lama. Pedih. Lantas, hanya berbaring dengan mata tertutuplah yang bisa ia lakukan. Bernafas dari mulut membuat tenggorokannya kering bahkan meradang. Bibirnya juga. Seperti tanah ketika kemarau panjang. Retak dan pecah-pecah. “HACHI!” Nah ini, bersinnya belum juga menghilang rupanya. Tapi tak papalah. Bersin membuat hidungnya agak mendingan.

Amanda, setelah mendapat pengabaran dari Rio, langsung pergi menuju rumah Ify. memastikan bagaimana keadaan gadis itu sekarang. Ia berharap sih akan baik-baik saja. Tapi, setelah menyaksikan sendiri, ia hanya bisa menghela napas. Apa yang ia temukan tak sesuai harapan. Ia bahkan masuk ke rumah Ify tanpa dipersilahkan. Dikarenakan sang empunya sudah tak punya kekuatan lagi untuk berjalan keluar kamar, turun tangga dan membukakan pintu memeriksa siapa yang datang. Sedih rasanya melihat Ify, gadis polos dan periang ini, jatuh sakit. Mana kelihatannya Ify tersiksa sekali akan penyakitnya itu.

“Fy..kamu makan dulu ya?” Bujuk Amanda. Ya, seperti yang Siti bilang, kalau Ify jatuh sakit, seperti yang terjadi sekarang, akan sangat sulit menyuruhnya makan. Minum saja tidak mau. Segelas air yang diletakkan Amanda setengah jam lalu di samping tempat tidur, masih segitulah isinya, masih penuh dan artinya belum tersentuh sama sekali oleh Ify.  Nyerah deh! Batin Amanda pasrah. Rio. Hanya tinggal pemuda itu tempatnya menaruh harapan. Harapan dapat membuat Ify melunak dan menurut apa katanya.

***

 “Ify gimana, Ma?” Tanya Rio di telepon. Tangan kanannya yang memegang stir bergerak meremas-remas. Cemas, begitulah kiranya apa yang diidapnya kini. “Ohh...ya, nanti Rio beli bubur...pasti adalah! Kalo gak ada ya dicari...iya mamaaa!!” Nada bersahabatnya semula kemudian berubah jengkel. Mamanya mulai mengoceh dan membuatnya tambah pusing. Ia memutus panggilan segera dan melempar asal ponselnya ke kursi samping. Beruntung tepat sasaran, langsung mendarat di dudukan. Kalau sempat membentur jendela kan berbahaya! Rio mencoba membuang nafas beberapa kali, menenangkan pikiran dan mengurangi kadar kecemasan yang menyeruak. Baiklah, hal yang harus ia lakukan selanjutnya adalah...membeli bubur!

“Terimakasih atas kunjungan dan pembeliannya!” Kata penjaga kasir ramah. Rio balas tersenyum. Ia agak aneh dengan perempuan penjaga ini. Perempuan itu tidak histeris seperti wanita-wanita biasanya, ketika bertatap muka dengannya, seorang Mario, REAL. Ternyata, dirinya tidak seterkenal yang dibayangkan orang-orang. Sudahlah, jangan dibahas. Rio menenteng bungkusan berisi makanan, tepatnya bubur yang dipesan Amanda untuk Ify. Ia berjalan cepat menuju mobil berhubung Amanda sudah mendesaknya agar segera sampai di rumah.

***

Sepertinya aksi meracau Shilla akan makin parah. Secara tiba-tiba, mobil yang dikemudikan Pardi merencat. Semakin lama semakin susah dilajukan. Dan pada akhirnya..

“Yah yah Pak yah mobilnya kenapaa?!” Badan Shilla sebentar-sebentar terdorong ke depan dan belakang karena laju tak normal mobilnya. Hingga kendaraan itu benar-benar merajuk dan memutuskan cuti kerja. Alias, mobilnya mogok. “Yah Pak gimana dong? Huaa, pokoknya bapak harus tanggung jawab! Huaa..” Pardi garuk-garuk kepala khawatir. Jarang-jarang mobil majikannya mogok. Sepertinya, hari ini memang ditakdirkan sebagai hari sial baik bagi Shilla maupun Pardi sendiri. “Aduh bapak harus tanggung jawab apa atuh non?  Bapak gak ngapa-ngapain non..” Katanya yang justru membuat Shilla kian meracau.

“Huaaa bukan itu Paaak! Maksud Shilla itu, bapak harus tanggung jawab gimana caranya supaya Shilla sampai di Maming saat ini juga. Tanggung jawab, tanggung jawab!” Pardi mengernyit seraya tangan yang gemetaran memegang stir. Takut-takut gadis di sebelahnya akan mengamuk. Apalagi, ia sendiri tak tahu bagaimana solusi akan masalah gadis itu. “Ya..tunggu bentar deh non, Bapak periksa dulu mesinnya.” Katanya -berusaha- menenangkan dan lantas keluar dari mobil. Bukannya tenang, Shilla kelihatan makin lasak. Ia ikut-ikutan keluar menyusul Pardi.

Di luar, jelas sekali terlihat dari gerak-geriknya bahwa Pardi tak terlalu mengerti tentang mesin, khususnya mesin mobil. Kepalanya menunduk melihat-lihat apakah ada yang tampak tidak beres. Tapi, yang namanya tak mengerti, sudah jelas, dengan mata telanjang, sekali lagi oleh mata seseorang yang tidak mengerti, semua yang dilihatnya pasti baik-baik saja. Ia lalu menoleh ke arah Shilla yang sudah berdiri di sebelahnya. Melihat apa yang akan ia lakukan, meski sampai saat ini belum ada perkembangan usahanya. Ia melempar tatapan merasa bersalah pada Shilla. “Non, naik taksi aja gimana?” Tawar Pardi. Shilla mendengus mendengar itu. Memangnya jam segini masih ada taksi? Lagipula, ia diharuskan untuk menunggu lama hingga taksi itu datang. Sementara ia membutuhkan tumpangan se-ge-ra, tanpa diizinkan ada waktu menunggu lagi.

Ia berjalan ke tengah-tengah jalanan. Sepi, seperti tak jalan buntu yang tak pernah dilewati. Berbeda dengan jalan sebelumnya yang macet dan penuh sesak. Ia meloncat seraya melambaikan tangan. Berharap dari arah yang jauh sana, kodenya terlihat dan seseorang berbaik hati memberinya tumpangan.

***

“Rio lagi di jalan..iya..hmm...iss iya mamaaa! Plis, Rio lagi nyetir, ja..”

CKIT! BUK! *Halah*

“Aw!” Ringis Rio seraya memegangi kepala yang sempat beradu dengan kemudi di depannya. Pembicaraan dalam telepon harus diputusnya mendadak karena ada seseorang yang nekat berdiri di tengah jalan. Otomatis menghalau laju mobilnya. Untung kakinya memiliki refleks yang baik. Rem dengan cepat diinjak bahkan rem tangan turut pula diangkat. Matanya melirik cepat ke bangku sebelahnya, tempat ia meletakkan bubur yang ia beli. Untunglah, bungkusan itu masih dalam posisi yang sama. Tidak terbalik ataupun terjatuh. Ia mendesah lega, setidaknya, ia tidak harus memutar balik untuk membeli bubur lagi.

Di luar, seorang gadis berharap-harap cemas menunggunya keluar. Meski penampilannya berantakan, tapi wajahnya tak asing bagi Rio. Ia seperti sudah mengenal lama gadis itu. Setelah mengamati baik-baik, barulah ia sadar. Ia tahu siapa gadis itu. Antara kaget dan bingung yang membekap wajahnya saat ini. Ia lekas keluar menghampiri gadis tadi. “Shilla? Ngapain lo?” Tanyanya langsung pada gadis itu yang rupanya Shilla. Sungguh suatu kebetulan yang sudah direncanakan sepertinya. Tapi bagi Shilla, kedatangan Rio merupakan suatu anugerah terbesarnya malam ini. Tuhan sungguh baik! Pikirnya.

“Untung lo lewat sini. Yo, plis jangan banyak tanya, anterin gue sekarang ke Maming!” Pintanya atau mungkin memaksa lebih tepat. Rio mengernyit heran. Sudah berani menghalaunya hingga membuatnya hampir menjadi pelaku penabrakan malam ini, sekarang dengan tanpa rasa bersalah menyuruhnya seolah-olah jabatannya sekarang sebagai sopir gadis itu. “Gue mesti pulang, sorry!” Tolaknya tegas. Ia berbalik badan hendak kembali masuk ke mobil. Dengan cepat Shilla berlari lalu kemudian kembali menghalaunya dari depan. Gigih juga usaha gadis ini. “Pliiiss Yoo, bantuin gue! Ini antara hidup dan kelangsungan hidup gue Yo. Pliisss!!” Mohon Shilla. Kali ini, nadanya memelas. Bukan memaksa seperti sebelumnya.

Rio mendesah kembali. Kalau sudah begini, bagaimana ia bisa menolak? Tapi, ia juga harus segera pulang ke rumah. Lalu, ia harus bagaimana? Rio terlihat diam berpikir benar-benar. Melihat itu, ceracauan Shilla meledak. “Yooo, asal lo tahu ya, semakin lama waktu yang lo butuhkan buat berpikir, maka sama aja lo mempercepat proses kematian gue. Lebih cepat lebih baik!” Rio mendesah, lagi. Ia menyerah. Memang sepertinya ia harus mendahulukan gadis tak sabaran ini lalu selanjutnya bisa melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, rumah Ify. “Ck, ya udah. Gue antar lo kesana. Ingat, cuma ngantar!” Mata Shilla berbinar haru. Akhirnya, saat-saat melegakan seperti ini tiba juga. Ia mengangguk antusias dan berjalan masuk ke mobil mengikuti Rio.

***

‘Vin, dimana?’

Rio sudah pergi setelah mengantar Shilla sampai di depan pintu masuk Maming. Shilla tentu banyak-banyak mengucapkan terimakasih pada pemuda itu. Ia berhutang budi cukup besar. Meski Rio berkata tidak masalah, namun dalam hati ia beritikad akan bersedia menyumbang jasa jika dibutuhkan. Dengan langkah cepat, Shilla mulai menjelajah bagian awal Maming. Hanya sedikit jumlah manusia yang ada. Kebanyakan sih laki-laki. Tapi ada juga terlihat gadis-gadis seusianya, berjalan cekikikan bersama rekan masing-masing. Sudahlah, apalah arti mereka semua? Ia hanya menginginkan satu orang, bukan beberapa orang yang tersebut tadi.

‘Vin, dimana?’

Shilla mengirim sekali lagi pesan singkatnya pada Alvin. Dan sekali lagi, ponselnya tetap hening. Tak ada gerangan Alvin membalas. Ia berhenti sejenak seraya memandangi tampak depan ponsel. Masih hening. Lalu, ia putuskan menghubungi kekasihnya yang satu itu dan yang pasti satu-satunya. Dengan gerakan cepat, kemudian ponsel tersebut sudah menempel di sebelah telinga. Ia menjentik-jentikkan jari cemas sembari menunggu -mudah-mudahan- panggilannya dijawab. Bertepatan dengan itu, 3 orang gadis-gadis mungkin seusianya berjalan melewati. Sebuah topik yang cukup menarik perhatian mereka perbincangkan kini. Mengapa dikatakan cukup menarik? Ya, kalau tidak, Shilla tidak mungkin teralih untuk menguping daripada mengeraskan usaha agar Alvin menyahut panggilan darinya.

Ia berbalik badan dan mengikuti ketiga gadis tadi. Diam-diam ia menguping dari belakang. “Eh Alvin tumben baik banget ya? Mau diajak fotbar!” Seru yang di tengah. Ia menunjuk-nunjuk sebuah kamera yang ia pegang, menggebu-gebu. Dua lagi tak kalah heboh, mereka kemudian sama-sama berkerumun melihat-lihat hasil foto yang dielukan gadis tengah. “YA AMPUUN GANTENG BANGET SUBHANALLAH!! MIRIP KYUHYUN SUJU!!” Gadis paling pinggir heboh kembali. Dua lainnya hanya tertawa kecil mendengar itu. Dari belakang, Shilla terlihat senyum-senyum tersipu mendapati pujian untuk kekasihnya. Yeah, that’s my boy! Batinnya.

“Eh tapi sayang loh, ganteng-ganteng gak punya cewek.” Kali ini gadis terakhir, yang belum sempat buka suara tadi. Shilla mengernyit dan bersorak dalam hati. GUE! GUE! Hehe.. Ia tersenyum lagi, lebih lepas. Namun, hanya bertahan selama beberapa detik ketika gadis tengah kembali berbicara. Mengatakan sesuatu yang sangat tidak ingin ia dengan di malam ini. “Eh dia punya pacar lagi! Lo pada gak tahu?” Sahutnya agak menyombong. Kedua gadis di sampingnya menggeleng kompak. Gadis tengah menghela nafas. “Lo ada gak update sih! Dia itu pacaran sama Febby!” Katanya yang menurut Shilla sangat-sangat sok tahu. Terlalu terlihat menyombongkan diri. Shilla mendesis ngeri dan menggelengkan kepala heran. Darimana mereka bisa mengambil kesimpulan Febby adalah pacar Alvin? Atau mungkin, bagaimana mungkin Alvin mau berpacaran dengan Febby?

“Yee, sotoy lo! Itu cuma gosip kali! Udah sering muncul berita kayak gitu mah!” Rutu gadis paling pinggir. Shilla dalam hati mengacungi jempol untuk gadis itu. Gue suka gaya lo! Batinnya. Gadis terakhir hanya mengangguk mengiyakan sementara gadis tengah melengos. “Hmm lo gak tahu. Gue udah nanya sendiri sama Alvin!” Kata gadis tengah bangga seraya menunjuk wajah kedua temannya. Shilla makin heran dan mendecak tak habis pikir. Gadis itu benar-benar percaya diri, atau mungkin terlalu percaya diri. “Emang lo nanya apa? Tentang hubungan dia sama Febby? Dia jawab iya gitu?” Tanya gadis terakhir beruntun. Tapi, terlihat tak masalah bagi gadis tengah.

“Yah meskipun gak dijawab pasti, tapi, pas gue nanya itu, dia senyum-senyum gak jelas sambil garuk-garuk leher. Kayak grogi atau salting atau apalah itu namanya. Lo udah bisa nebak kan? Tanpa harus ada jawaban ‘ya’ keluar dari mulut dia!”

Deg..

Kali ini, Shilla was-was. Degup jantung melaju cepat dalam sesaat. Benarkan itu? Pikirnya. Seketika muncul bayang-bayang akan kejadian gagal kencannya bersama Alvin tempo hari, karena Febby. Hal itu justru memperparah keadaan pemompa barah dalam tubuhnya. Shilla menelan ludah cepat-cepat lalu menggeleng. Ia sekeras mungkin tidak mempercayai apa yang gadis tengah isyaratkan tadi dan sebisa mungkin tak terlalu memikirkan hal itu. Gak, gak boleh Shillaa! Lo harus percaya sama Alvin! Batinnya bertekad. Kemudian, kakinya melangkah maju lebih cepat. Menghampiri ketiga gadis yang sedari tadi ia ikuti. “Hei!” Sapanya mencoba ramah. Menutupi rasa tidak sukanya pada gadis tengah. Gadis sok tahu!

Ketiga gadis itu berhenti dan menoleh ke arah Shilla kompak. Entah hanya bagi Shilla atau memang benar adanya, ketiga gadis itu menyinisi pandangan mereka ke arah Shilla. Sabar Shill! Sabar! Ia berkomat-kamit pelan. Ingin rasanya mengelus dada tapi ditahan dulu lah sebentar. Pikirnya. “Kalian ketemu Alvin gak? Dimana?” Tanya Shilla lebih ramah. Bukannya menjawab, ketiga gadis di hadapannya justru saling berpandangan. Lalu, dengan gerakan seirama, menatapi Shilla dari atas ke bawah. Shilla yang bingung, ikut-ikutan melihat tampak dirinya dari atas ke bawah. Memang agak berantakan sih. Pikirnya.

Ketiga gadis itu menegakkan kepala bersamaan. Dalam hitungan ketiga, masing-masing mengibaskan rambut seraya melengos dari hadapan Shilla. Ketiganya sama-sama berlaku ‘sok’ dan mengabaikan Shilla begitu saja. “HAH?” Takjub Shilla. Ia geleng-geleng kepala lagi. “Uuu, kalo bukan karena sepatu gue mahal, udah gue sumpal satu-satu lo semua! Mana pake nyinisin gue, mandang-mandang gue dari atas ke bawah. Hhh, asal lo tahu, biar berantakan gini, gue tetep lebih mempesona dari lo pada! Kibas-kibasan rambu lagi? Iiih, rambut sabun colek gitu aja bangga! Nih gue nih, rambut lurus hitam berkilau-lau! Rrr..” Shilla merutu habis-habisan mengiringi kepergian tiga gadis ajaib tadi. Ia berbalik badan dan melanjutkan berjalan dengan muka ditekuk. Aksi mencak-mencak juga turut memeriahi ketekukan di wajahnya itu.

***

Sehabis mengantar Shilla, Rio melajukan mobilnya cepat menuju rumah Ify. Sekitar 20 menit waktu yang dihabiskannya di perjalanan hingga ia akhirnya sampai. Pintu depan rumah Ify dikunci. Butuh beberapa kali ia memencet bel lalu kemudian muncul sosok Amanda membukakan pintu. Mamanya begitu lega mengetahui ia sudah pulang. “Kamu, kenapa lama sih? Katanya bentar?” Rutunya sebal. Rio menanggapi cukup santai seolah sudah terbiasa dengan tingkah Amanda yang seperti itu. “Tadi ada halangan sedikit.” Ia melengos masuk ke dalam tanpa peduli dengan hasrat mengomel dari Amanda yang masih bersisa banyak. Amanda sendiri menggantinya dengan gelengan kepala.

“Ify gimana?” Tanya Rio, dalam penitian langkahnya menuju kamar Ify di lantai atas. Amanda mendengus pasrah. “Kamu lihat sendiri deh!” Serahnya. Memasuki anak tangga terakhir dan sampailah mereka di depan pintu kamar Ify. Sengaja ditutup agar nyamuk tak masuk ke dalam. Tangan Rio bergerak percaya diri memutar gagang pintu dan..kosong. Tidak ada orang di dalam. Tempat tidur pun hanya tinggal seprei dan selimutnya saja. Sedang orang yang seharusnya berbaring disana malah menghilang. “Loh, Ify mana Yo?” Tanya Amanda bingung. Rio menoleh sama bingungnya. Justru paling bingung di antara mereka berdua. “Lah, yang daritadi disini kan Mama. Rio mana tahulah!”

Amanda mempercepat jalan masuk ke kamar Ify mendahului Rio. Gerak-geriknya tergesa-gesa. Persis seperti seorang ibu yang panik anaknya hilang. Yah mungkin Amanda sudah menganggap Ify sebagai anaknya juga, atau calon anak mungkin. “Ify! Ify!” Belum ada sahutan. Amanda menoleh singkat ke arah Rio. Rio sendiri hanya mengedikkan bahu. Saat itu juga, keluar seorang gadis mungil dari balik pintu kamar mandi, berdiri dengan tangan kanan menopang badan di dinding sementara tangan kiri memegang perut. Badannya meringkuk seperti menahan sakit. “Ify!” Kaget Amanda. Ia berhambur menghampiri Ify yang masih setia diam berdiri. Rio mengekor Amanda dari belakang. Sepertinya, ia khawatir juga.

Hkk!

Ify tiba-tiba mengatup mulut. Tingkahnya seperti tersedak sesuatu. Ia buru-buru berbalik badan dan masuk ke kamar mandi kamarnya kembali. Amanda cemas dan ikut masuk ke dalam begitu pula Rio. Ah, kalau pemuda ini agak susah ditebak. Air mukanya antara bingung, aneh dan cemas sekaligus. Bisa dibayangkan?

“HUEEK!” Oh, ternyata Ify ingin muntah bukan tersedak. Penutup closet di kamar mandi dibukanya segera. Maka tumpah-ruah lah segala unek-unek dalam perut. Tak tersisa sedikitpun, semuanya keluar. “Kamu gak papa, Fy?” Tanya Amanda khawatir. Lucunya, ia hanya memandangi Ify dari belakang. Tanpa ada ancang-ancang mendekati gadis itu. Rio mendengus dan geleng-geleng kepala. Kenapa disaat seperti ini, malah dirinya yang memiliki rasa kepekaan lebih? Biasanya kan Amanda, yang selalu berkoar-koar memaksanya melakukan ini-itu.

Lantas Rio melangkah menyalip dan duduk dengan sebelah lutut menopang badan. Tangannya kirinya terangkat dan mendarat mulus di punggung Ify. Ia menepuk-nepuk dan mengusap bagian tersebut pelan. Semoga saja bisa membantu ‘kesuksesan’ acara gadis itu. Ify ‘berhenti’ sejenak dan beralih pandang ke samping, ke Rio, pelaku penepukan yang juga tengah memandangnya. “Udah?” Tanya Rio agak halus. Meskipun masih kedengaran datar juga. Dipandang apalagi diajak berbicara seperti itu, malah menambah hasrat ingin muntah Ify. Kepalanya tertoleh kembali ke arah closet. “HUEEK!” Dalam hati, ada penyesalan terhadap apa yang ia lakukan. Ada kekhawatiran bahwa Rio akan ilfeel melihatnya seperti ini, muntah-muntah. Heleh-heleh, cintaku nyungsep di closet ini mah! Batinnya.

Nafas Ify terengah-engah. Perutnya lebih enakan dibanding tadi. Rasanya plong! Begitulah menurutnya. Hampir berjam-jam tidurnya terganggu dengan perut tak beres dan sekarang semuanya seperti menemukan arah masing-masing. Benar-benar lega! “Udah?” Tukas Rio. Tangannya masih menepuk-nepuk punggung Ify. Tepukannya itu begitu ajaib. Dapat menembus bahan baju yang Ify pakai, masuk ke daging pembungkus tulang rusuk hingga berhasil mencapai bagian yang paling dalam dan vital. Jantung! Jantung Ify seperti ikut merasakan tepukan-tepukan yang sebenarnya santai. Namun, rupanya berdampak gemuruh di dalam sana. Tepukan itu mencapai kekuatan seorang binaragawan. Begitu keras dan menghantam. Tapi masih dalam ambang yang positive. Intinya, berhasil membuatnya berdebar-debar lah.

Ify mendesah pasrah. “Mungkin..” Katanya tak bertenaga. “Cuci mulut lo dulu!” Suruh Rio seraya menyodorkan segelas air yang diberikan Amanda. Di belakang, Amanda geleng-geleng kepala. Maksudnya memberikan segelas air itu untuk diminum Ify bukan untuk kumur-kumur lalu selanjutnya dibuang begitu saja. Rio Rio! Rutunya membatin. Ify mau tak mau menurut. Ia menerima gelas dari Rio dan melakukan apa yang diperintahkan padanya terhadap isi dalam gelas tadi. Setelah selesai, dengan dipapah Amanda, Ify berjalan keluar dan mengambil posisi tidur seperti sebelumnya. Amanda begitu hati-hati memperlakukannya. Membuat Ify geli sendiri dan secara tidak langsung mengingatkannya pada Gina, Mamanya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan perhatian seperti ini, dari seorang yang notabenenya adalah seorang ibu. Dengan jelas, Ify dapat menangkap sirat-sirat kasih sayang dari mata Amanda. Bahagianya Rio memiliki ibu seperhatian itu, bukan? Pikirnya.

Diam-diam, ia tersenyum tulus sekaligus bahagia ke arah Amanda. Bahkan tingkat kebahagiannya mampu melebihi kebahagiaan yang sempat menghinggap ketika Rio menepuk-nepuk punggungnya. Tanpa sengaja, Rio menyadari binar-binar yang terpancar di mata Ify itu. Sayangnya, ia menangkap sinyal-sinyal yang berbeda dari yang sebenarnya. Ia mengira Ify merasa senang Amanda begitu memperhatikannya seperti mendapat restu untuk dapat bersanding dengannya. Ia melengos melihat itu. Rasa khawatirnya berkurang dan mulai disamarkan oleh rasa jengkel mendalam. “Tante ke belakang dulu, nyiapin bubur buat kamu.” Amanda tersenyum ramah membalas senyum diam-diam Ify tadi dan langsung melenggang keluar kamar menuju dapur seperti katanya.

Tinggalah Rio dan Ify yang masih setia pada sikap awal. Rio masih jengkel pada baik Ify maupun Amanda. Sementara Ify, senyum lebih merekah membentang di bibirnya saat ini. Ia sangat senang, benar-benar senang. “Kenapa lo senyam-senyum?” Tanya Rio heran. Tangannya bersila di depan dada diiringi pandangan tak suka darinya. Ify tak begitu peduli dan terus saja merekahkan senyum. Biarlah kesenangan menguasainya hari ini. Jangan pikirkan dulu hal-hal pencuat emosi dan penurun kadar mood. Pikirnya.

Tak lama, Amanda datang dengan semangkok bubur di tangan. Masih setia dengan senyum seperti terakhir kali Ify lihat. “Kamu mau makan sendiri atau disuapin?” Sekilas matanya mengerling ke arah Rio, menggoda baik Ify maupun pemuda itu. Rio mendengus. Lagi-lagi, ckck! Batinnya. Ify tersenyum lebih lebar. “Disuapin aja, tangan Ify lemes hehe..” Katanya yang makin mengeraskan dengusan Rio. Amanda terkekeh lalu menyerahkan mangkok bubur tadi pada Rio. Rio tak langsung menerima, ia menatap mangkok bubur itu tak ingin. “Kok..” Gantungnya. Ify melihat itu lantas buka suara. Menyerukan sesuatu yang sama sekali tak Rio duga sebelumnya. “Emm tante, kalo Tante yang nyuapin..emm..tante gak..keberatan?” Tanyanya hati-hati.

Rio melirik Ify. Ia mulai menerka-nerka apa isi dalam kepala gadis itu. Apa rencananya sekarang. Yang ia lihat, Ify bersungguh-sungguh dalam ucapannya seperti benar-benar mengharapkan Amanda menyanggupi permintaannya meski ada rasa takut dan tak enak hati dari bahasa tubuh gadis itu. Hah? Sejenak, ia harus memendam rasa ingin tahunya dalam hati. Amanda memandang Ify dan tersenyum lagi. “Tentu gak masalah, sayang! Tapi beberapa suap aja ya, soalnya tante harus ke dapur lagi. Tante lagi ngerebus air buat teh kamu.” Katanya dengan senang hati. Ify pun meresponnya dengan -sangat- senang hati pula.

Ia menggeser tubuhnya antusias setelah berhasil mencapai posisi duduk. Yap, dengan keadaan lemah, tentu ia harus berusaha extra agar dapat duduk normal dan bersandar. Amanda lalu duduk di tempat yang disediakan Ify untuknya. Ia menangkup sesendok bubur dan menghembusnya pelan. Masih ada uap yang keluar, tandanya bubur itu masih cukup panas. Setelah merasa sudah hangat, ia pun memulai kegiatan menyuapi seperti yang Ify pinta. “Aa!” Katanya pada Ify, menyuruh gadis itu untuk membuka mulut. Tak butuh waktu lama, sesendok itu dilahap Ify habis. Rio heran sendiri melihat itu. Sikap Ify sangat berbeda dengan penuturan Siti beberapa jam lalu. Ify susah makan dan hanya Ferdi yang bisa membuatnya menurut. Lalu, sekarang apa?

“Kamu disuapin Rio dulu ya, Tante mau cek air di dapur.” Kata Amanda dan menyerahkan mangkok bubur Ify pada Rio. Ify mengangguk tapi sebelum itu, ia menahan Amanda sebentar. “Tante..” Amanda menoleh dan menatapnya. Menunggunya kembali berbicara. Ify menarik nafas singkat, mempersiapkan mental untuk mengatakan sesuatu yang cukup sakral menurutnya. “Tante...jadi Mama Ify ya?” Pintanya tulus. Ia meraih kedua tangan Amanda dan menggenggamnya erat. Rio dan Amanda sama-sama kaget. Terlebih Rio. Sungguh, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Ify. Gadis itu menurutnya sudah merasa di atas angin. Seenaknya dia berkata seperti itu. Apa maksudnya? Dimatanya, Ify seakan sangat terobsesi untuk menjadi bagian dari keluarga dan hidupnya.

Amanda diam. Ia menatap dalam mata Ify. Menyelami betapa besarnya keinginan gadis itu agar ia segera mengangguk, tersenyum dan memeluknya hangat. Amanda perlahan duduk kembali dan bergantian menggenggam tangan Ify. Dilepasnya tatapan kasih sayang pada gadis itu. Yang sepertinya membuat gadis itu teramat haru. “Gak usah kamu minta, Tante tentu mau, pengen banget malah! Kamu nyolong start duluan, Tante baru mau bilang itu sama kamu, hehe..” Ify seperti melayang di atas awan. Hatinya tersapu oleh kabut-kabut lembut pembentuk benda putih itu. Diterbangkan kesana-kemari oleh kupu-kupu cantik yang lewat disana. Kupu-kupu spesial bukan seperti yang sering beterbangan di alam. Kupu-kupu tersebut seperti menuntun hatinya ke danau kebahagiaan tak bermuara. Ya, ia sangat bahagia mendengar kata-kata Amanda barusan.

“Mama..” Katanya tertahan, menahan tangis yang dapat dengan mudah pecah olehnya. Ia memeluk Amanda erat dengan senyum yang mungkin akan sulit dipudarkannya hari ini. Rio, kesekian kalinya mendengus. Gondok, sepertinya ia dianggap sama dengan lemari sekarang. Lemari transparan tapi, makanya tak terlihat. “Ehm..” Dehemannya seolah menyadarkan kedua insan yang sedang berpelukan hangat di depannya. Memecahkan suasana mengharu-biru yang diendap dua insan itu, antara Amanda dan Ify. “Aduh jadi lupa kan, ya udah tante ke dapur dulu. Yo, kamu gantian nyuapin Ify!”

“Males!” Cibir Rio pelan, namun masih terjangkau oleh telinga Amanda. Delikan wanita paruh baya itu membuatnya menurut juga. Amanda segera keluar. Lagi-lagi meninggalkan Ify dan Rio berdua, hanya berdua. Rio menatap mangkok di tangannya tak berniat. Menyuapi Ify seperti suatu hukuman baginya. Lantas ia duduk hendak melanjutkan kegiatan menyuapi gadis itu oleh Amanda tadi. mengingat jika tidak segera ia lakukan, Amanda bisa mengoceh panjang nanti. “Buka mulut!” Ketusnya. Ify membuka mulutnya segera dan menerima sesuap bubur dari Rio. Ia jadi teringat kembali masa-masa ia disuapi dulu, saat ia masih berumur 2 tahun lebih, saat Gina masih bisa bersamanya. Lalu, pikirannya berlabuh pada saat Amanda menyuapinya. Ia tersenyum lagi karena itu.

Tak urung, Rio mendesis kesal. “Kenapa lo senyam-senyum? Harus lo ingat, yang tadi Mama lakuin, gak akan ngaruh sama gue.” Katanya tegas. Sempat bibir Ify melurus namun kemudian melengkung lagi. Sekali lagi, akan sulit memudarkan senyumnya hari ini. “Gak, gue cuma seneng aja.” Sela Ify. Rio menaikkan sebelah alis. “Seneng Mama jadiin lo anaknya? Hah?” Katanya sarkastis. Ify dengan cepat mengangguk. “Gue seneng banget, Yo. Hehe..” cengir Ify. Rio tak ingin berceloteh panjang dan memilih diam. “Gue..kangen Mama.” Kata Ify tiba-tiba lirih. Tangan Rio yang tadi bergerak-gerak mengaduk mendadak berhenti. Kepalanya tertoleh pada Ify. Gadis itu tampak tertunduk. Ooh, jadi dia kangen Mamanya? So, gue salah duga lagi?

“Gue suka iri sama Via, Shilla, Agni termasuk lo..”

“Iri?” Tukas Rio. Pemuda ini mulai tertarik pada apa yang dibicarakan gadis di depannya. Ify mengangguk mantap. “Gue pengen punya Mama panikan, cerewet dan care banget kayak Mama Via. Mamanya Shilla juga, yang suka ngingetin anaknya, tenang dan bisa bikin anaknya tenang pula. Kalo Agni, gue sama irinya. Dia punya Mama yang gak peduli sama status dan hubungan darah. Sayang banget sama dia, meskipun dia bukan anaknya. Dan lo, lo tahu gak sih seberapa besar gue iri sama lo? Gue iri banget-banget-banget sama lo!”

“Hah?” Ify terkekeh kecil. Ia menyelipkan beberapa helai rambutnya yang keluar ke belakang telinga. Tiba-tiba pandangannya berubah sayu. “Mama lo mirip sama Mama gue sih..” Kata Ify..dalam. Menerawang matanya pada masa-masa paling dinantikan siaran ulangnya seumur hidup. Masa-masa kebersamaannya bersama Gina. Ia menarik keluar tangannya yang semula tersembunyi dibalik selimut. Ia pun baru sadar, seharusnya hari ini ia pergi ke rumah sakit. Selain menjenguk Ferdi, ia juga harus singgah di ruang perawatan. Jahitan di tangannya belum dibuka sampai sekarang. Dokter menyuruhnya untuk kembali 3 sampai 5 hari setelahnya. Dan ini sudah memasuki hari ketiga. Ia seharusnya datang ke rumah sakit, bukan?

TK!

Jentikan jari Rio menarik Ify dari renungan singkatnya tadi. Ia beralih menatap pemuda yang ‘menganggunya’ itu. Pemuda tersebut menatapnya kian aneh setelah tadi raut wajah yang ada sudah terlihat aneh. “Jangan diam saat gue udah memusatkan diri buat dengerin lo ngomong!” Rio menyuap kasar sesendok bubur pada Ify. Ify sendiri hanya tersenyum menerima itu. Entahlah, untuk hari ini, stok kekesalannya sedang kosong. Lihat kan? Sudah berapa kali Rio mengajaknya perang? Dan sudah berapa kali itu ia hanya diam, kalau tidak tersenyum atau mungkin lebih memilih mengabaikan saja. “Ngomong-ngomong, apa yang mirip dengan nyokap lo dari nyokap gue?” Tanya Rio kemudian.

Ify mendengar itu berpikir sebentar. Menelan pelan-pelan bubur yang bergumul di mulutnya. Ia kemudian kembali melihat tangan, tangannya yang sempat terluka kemarin. “Dulu, gue pernah keiris pisai disini..” Tunjuknya tepat di tengah-tengah. Rio masih diam, menunggu waktu yang tepat untuknya kembali bertanya. “Lucunya, gue yang luka tapi malah Mama yang keringat dingin dan panik gak jelas. Yah, kayak Mama lo sama gue hehe..” Ify menyeringai kecil seraya tetap memfokuskan lensa mata pada bayangan telapak tangannya. Tak sampai hitungan detik, senyumnya melirih. “Tapi..bekasnya gak ada lagi.. Setidaknya kan, di tubuh gue, harus ada sesuatu yang bisa buat gue selalu inget Mama. Tapi..yah..mau bilang apa..”” Katanya, pelan sekali. Ia tak cukup ikhlas menerima luka baru di tangannya itu. Karena luka itu akan memunculkan bekas baru pula. Melenyapkan bekas luka yang lama yang sama sekali tak diinginkannya untuk dilenyapkan.

Rio baru saja mengangkat sendok hendak menyuapi lagi. Kemudian geraknya merenti dan ujung sendok yang ia pegang kembali tertanam di dasar bubur. “Makanya, waktu Mama lo gak marah gue panggil Mama, itu rasanya seneeeng banget!” Dan sekarang, binar kebahagiaan kembali menyibak bagian pupil mata Ify. Bibirnya mengulum senyum lebar dan tentu saja bahagia. Rio lebih memilih menunduk seakan tak peduli padahal sejujurnya ia begitu peduli. Ia meniup-niup sesendok bubur yang ditangkupnya. “Lo harus jaga Mama lo baik-baik!” Ujar Ify seraya menepuk-nepuk sebelah pundak Rio pelan. Rio lalu menatap Ify dalam diam begitu pula Ify. Ify sendiri tanpa sadar dapat mengontrol kerja jantung dalam tubuhnya. Sedikit-sedikit, ia mulai menikmati setiap aksi tak wajar yang berlangsung di dalam sana.

“AAAA!!!”

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak histeris dari bawah. Rio dan Ify sama-sama kaget dan lebih kaget lagi dengan Amanda yang berlari panik masuk ke kamar Ify. Tangannya saling menggenggam dan bergetar. Badannya bergidik antara jijik dan ngeri. “Ma! Ma! Kenapa?” Tanya Rio bingung. Ia mengguncang pelan bahu Amanda, berusaha menyelamatkan Mamanya dari kepanikan. Untunglah, setelah melihatnya, Amanda berubah agak tenang. “Mama..kenapa?” Tanya Ify, mulai membiasakan diri memanggil Amanda dengan sebutan ‘Mama’. Amanda menarik nafas, menghembusnya, menarik nafas, menghembusnya lagi dan begitulah selanjutnya. Ia kemudian menatap Rio takut. “Ada ular! Abu-abu, gede dan..iiiih jijik pokoknya. Serem!”

Rio mengernyit tak percaya. Masa sih rumah Ify bisa kemasukan ular? Rumah Ify kan tidak berdekatan dengan hutan? Semak-belukar pun tak terlihat sepanjang penglihatannya mengamati rumah ini. Sementara Ify, gadis ini berbeda sendiri. Ia tidak bingung, tidak panik dan tidak ketakutan juga. Ia justru terkekeh akan penuturan Amanda. “Warna kulitnya abu-abu?” Tanyanya santai. Amanda mengangguk. “Badannya gede?” Amanda mengangguk lagi. “Terus, agak panjang dan Mama nemuinnya di dapur?” Tanyanya terakhir kali. Amanda mengangguk untuk ketiga kalinya. Ify menganggukkan kepala dan tersenyum. “Oh, itu Ipi..” Katanya lagi.

Amanda dan Rio menatapnya bingung sekaligus penasaran. “I..pi?” Tukas Amanda. Ify mengangguk mantap dan tersenyum kembali. “Iya, Ipi. Ular peliharaan Ify, hehe..” Cengirnya.
“HAH?!” Ify tersenyum kikuk melihat keterkejutan dua anak-beranak di depannya sambil garuk-garuk kepala. Ada yang salah? Pikirnya.

***

Tap......tap......tap.....

Langkah Shilla terlihat pelan sekali. Berkali-kali nafas dihunusnya membuat dadanya naik turun. Hatinya makin tak tenang. Jantungnya makin berisik. Pikirannya meracau. Tak bisa dibuangnya jauh-jauh bayangan-bayangan buruk akan Alvin dan Febby, lebih-lebih akan hubungannya dengan pemuda itu. Matanya begitu nanar. Pandangannya tak tentu. Bukan tak ada objek yang mampu memikat indra perhatian gadis ini. Ada. Ya, tentu saja ada. Bahkan objek itu lebih dari sekedar memikat. Ia seperti magnet yang menemukan medannya pada objek itu. Alvin. Ya, Alvin.

Dilihatnya kini pemuda itu berbeda jauh dari apa diduganya. Bukan marah, bukan sedih, bukan kecewa. Cemas apalagi. Pemuda itu tampak biasa saja, lebih dari biasa mungkin. Wajahnya cerah, senyumnya sumringah serta sesekali ia menyeringai seru kepada gadis-gadis yang mengerubunginya. Ia sedang meladeni para penggemar yang ingin meminta berfoto bersama. Ia tak segan memeluk bahu gadis-gadis itu. Dan semuanya tertampak jelas di mata Shilla. Hanya saja, bukan itu yang membuatnya semakin kacau. Ya, memang, hal-hal itu sedikit banyak menambah kegalauannya saat ini. Tapi, mungkin tidak berpengaruh cukup besar. Bukan menjadi penyebab utama.

Langkahnya terasa makin gontai. Ia teringat akan pesan Alvin yang menuntutnya datang kemari. Ia harus tampil cantik! Tapi, bagaimana sekarang? Bahkan berganti baju saja tidak, sisiran, memakai bedak, berdandan. Halah! Sekali lagi, tidak sama sekali. Rambutnya kusut dan kelihatan lumayan berantakan. Bajunya juga kusut. Jelas, bajunya ia bawa tidur. Melihat gadis-gadis yang bersama Alvin tampil begitu menawan, setidaknya ‘rapi’, makin menciutkan nyalinya untuk segera menemui kekasihnya itu saat ini juga. Astaga, apa yang harus ia lakukan?

***

Alvin masih berputar-putar alias mondar-mandir menunggu gadisnya datang, Shilla. Sekarang sudah jam 10-an lebih dan sampai saat ini belum dilihatnya wajah Shilla ada di tempatnya berada, Stadion Maming. Apa gadis itu tidak mau datang? Atau dia sudah dalam perjalanan, tapi sesuatu terjadi pada gadis itu dan...Astaga! mikir apa gue? Batin Alvin. Berulang kali pikiran buruk datang dan berulang kali pula pikiran-pikiran itu disentilnya jauh-jauh. Okey, positive thingking, gadisnya sedang dalam perjalanan, terjebak macet sehingga membutuhkan waktu lama untuk sampai.

Drrt..

From : My Shilla
Vin, dimana?

Nah! Akhirnya, dia pasti sudah sampai! Batinnya girang. Hanya menunggu beberapa menit.

Drrt..drrt..

Ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Siapa lagi kalau bukan Shilla pelakunya. Lantas dibiarkan saja benda penyalur suara itu berdering. Ia sengaja membuat gadis itu merasa terabaikan. Ada perasaan bersalah sih, tapi bolehkan ia sekali-sekali merajuk pada kekasihnya itu? hehe, selama ini, ia yang selalu membuat gadisnya kesal. Makanya, ia hanya ingin sekedar memberikan pengetahuan kepada Shilla, bagaimana perasaan ketika orang yang kita kasihi tak ingin diajak bicara. Ketika orang yang kita kasihi mengabaikan apa yang kita lakukan. Ketika orang yang kita kasihi bersikap acuh tak acuh bahkan sampai pada tingkat tidak peduli. Intinya, ia hanya ingin Shilla tahu bagaimana perasaannya saat gadis itu dalam masa ngambek.

Tring!

Tak berapa lama, muncullah sosok yang sangat ditunggu-tunggunya sedari tadi. Shilla berjalan linglung seraya menoleh ke kanan-kiri. Seperti mencari sesuatu. Dirinya. “Vin, minta foto doong!!” Sekumpulan gadis-gadis yang tak tahu darimana, kapan mereka datang, seketika berdiri melingkar menghadapnya. Cukup membuat pandangannya terhalangi untuk mengamati pergerakan gadisnya. Namun, karena mereka juga, sebuah ide jail tersirat dalam benaknya. Karena hari ini, dirinya yang -pura-pura- dalam masa ngambek, maka membuat Shilla makin gondok, merasa bersalah dan kesal adalah misi terbesarnya di malam ini. Gadis-gadis ini jalannya. Melalui gadis-gadis ini. “Boleh!” Katanya dengan senang hati.

Ia melirik ke arah Shilla yang kini sudah menyadari ada dirinya disana. Ia tersenyum senang. Ditariknya gadis yang pertama kali buka suara dan meminta berfoto dan dirangkulnya. Gadis itu tampak kaget namun akhirnya tersenyum juga. Tentu sangat beruntung mendapatkan posisi berfoto yang seperti itu. apalagi dengan seorang Alvin. “Ayo di foto!” Kata Alvin antusias. Sang fotografer alias yang menjadi tukang foto mereka mengangguk. Dalam hitungan ketiga, foto tersebut selasai diambil. Alvin melirik ke arah Shilla yang sekarang terlihat diam menatapnya. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa gadis itu cemburu? Hehe, bagus lah! Pikirnya.

Tiba-tiba saja Shilla berbalik badan. Gadis itu menunduk sebentar lalu berjalan pelan. Berjalan meninggalkannya bersama gadis-gadis tadi. Yah yah? Kok balik? Batinnya panik. “Makasih Alvin!” Kata salah satu gadis itu. Mereka langsung pamit dan bergegas pergi. Untungnya, mereka tidak berjalan ke arah dimana Shilla berada. Bisa repot nanti. Ia akan ditambah susah untuk menghampiri gadisnya sendiri. Karena di mata gadis-gadis itu, belum ada satu gadis beruntung manapun yang berhasil mendapatkan posisi teristimewa dalam hatinya. Alvin membiarkan dengan sangat ikhlas gadis-gadis tadi berlalu. Ia kemudian berlari mengejar gadis yang tidak diikhlaskannya berlalu.

***

Shilla berhenti. Apa gue balik aja? Batinnya bimbang. Diamatinya Alvin sekali lagi. Masih setia memajang senyum sumringah. Okey, pemuda itu sepertinya tidak membutuhkan dia untuk datang. Gue pulang! Putusnya. Perlahan, ia berbalik badan dan melangkah gontai ke depan. Meninggalkan Alvin dengan gadis-gadis. Selamat bersenang-senang! Batinnya lirih. Meski begitu, ia berharap besar Alvin melihatnya. Lalu kemudian mengejarnya dan tentu saja menahannya untuk pergi. Setidaknya menunjukkan sikap bahwa ia masih dibutuhkan. Aiiss, kenapa dia sekacau ini? pikirnya.

“Lo masih niat dateng?”

Suara itu..suara yang sedari tadi ingin didengarnya. Yang pemiliknya sedari tadi ingin ditemuinya. Yang sedari tadi dihubungi namun mengabaikan segala upaya apapun yang ia lakukan untuk membujuk orang itu. Alvin. Akhirnya! Batinnya. Ia berbalik badan pelan. Dilihatnya seorang pemuda berwajah oriental, tersenyum miring yang tak indah menurutnya. Ya jelas, senyum itu bukan senyum yang ia harapkan. Itu senyum tak tulus dan tak menunjukkan kebahagiaan. Pemuda itu berdiri dengan kedua tangan tersembunyi di balik saku celana. Pemuda itu berdiri sekitar beberapa meter darinya.

Tak bisa ditahan betapa leganya ia saat ini. Matanya mengilau alias berkaca-kaca. Hanya butuh waktu sebentar, dan dalam sekejab pipinya akan basah. “Alvin..” Lirihnya. Ia tak tahu harus bicara apalagi. Setelah sekian hari mengendap kekesalan, berkali-kali masalah sepele menggoyah hubungan harmonis itu dan kini mungkin akan menjadi puncaknya. Rasanya, ingin segera pemuda itu merengkuhnya, mendekapnya saat ini juga. Memeluknya hangat dan membuatnya tenang, meyakinkan bahwa setelah ini tak akan ada masalah lagi yang berani bertamu dalam hubungan mereka.

“Lo telat!” Datar Alvin. Shilla begitu kesal pada pemuda ini. Sudahlah, masihkah pemuda itu membutuhkan waktu untuk berbasa-basi? Tak tahukah dia seberapa takutnya ia sekarang? “Vin..” Kata Shilla memelas. Niatnya untuk menjelaskan panjang lebar entah kenapa lenyap. Pikirannya sekarang hanya menunggu saat Alvin untuk segera memeluknya. Ia sangat merindukan pemuda itu. Tentu saja. “Gue bilang apa sama lo, lo harus tampil cantik. Kenapa lo berani tampil urakan kayak gini di hadapan gue?” Kata Alvin kemudian. Ck, sejak kapan kecantikan menjadi pertimbangan nomor satu di pikiran lo? Hah? Batin Shilla kesal.

Shilla hanya diam. Sudah jelas, apapun yang akan ia katakan saat ini tak akan berguna. Biarkan sajalah pemuda di hadapannya puas berceloteh. Pemuda itu kemudian maju mendekat dan kini hanya berjarak sekitar 15 cm kurang dengannya. “Lo gak cantik!” Tudingnya. Shilla diam dan menunduk. Ya, cela aja gue terus! Iss..

“Sayangnya gue gak peduli..” Lanjut Alvin. Saat itu juga wajah Shilla terangkat. Benarkah apa yang ia dengar? Alvin tidak peduli ia cantik atau tidak malam ini? pliss, ulangin sekali lagi! Batinnya penuh harap. Matanya makin menyilau saja. Bahkan sudah menetes satu butir di pipinya. “Yeah, gue tetap aja mikirin lo, nungguin lo dengan cemas disini, gak peduli sampe 1 harian penuh gue nunggu lo datang. Dan ketika lo pergi, gue merasa gak ikhlas banget itu terjadi....okey, gue tetep cinta sama lo. Dalam keadaan apapun selama lo adalah milik gue.”

Tes..

Satu lagi butiran itu kembali jatuh. Pipi Shilla benar-benar basah. “Alvin..” Rengeknya manja. Alvin terkekeh geli dan langsung saja menarik tubuh mungil sang gadis. Lantas memeluknya hangat. What a beautiful night this is!

***

Naaah, gimana? Sudah saya bilang gak memuaskan. Tapi, terimakasih bagi yang sudah mau membaca =)

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

6 komentar:

  1. KEREEEEEEEEEEEEEEENNNNNN. :)
    Tapi masih nunggu bagian Agni-nya nih.
    Dilanjut yak, keren banget lho.

    BalasHapus
  2. Kereeeen. Ditunggu lanjutannya. :)

    BalasHapus
  3. Haha, oke, mantap.

    BalasHapus
  4. Keren banget,apalagi bagian alshil,bikin deg-degan nih hehe

    BalasHapus