-->

Senin, 23 April 2012

Matchmaking Part 14 B-2

Ini dia lanjutan yg aturannya kemarin-kemarin d post. tapi modem mimin cari masalah alias emang lagi bermasalah hiks30x ="""(( mimin lagi stres ada ulangan harian mana modem macem itu pula. heleh heleh -____- mari doakan modem mimin cepat sembuh o,o

ya sudah langsung saja yaw! semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

 “Haha..”

Tawa Agni tiba-tiba. Ia dan Kiki sudah berada di mobil sekarang. Kakinya sudah baikan dan tak terasa sakit lagi. Tapi, sakit itu malah membuka kembali memori dalam kepalanya dan membuat ia teringat akan kejadian masa kecilnya, bersama Aga. Kiki menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali fokus menyetir. “Kenapa lo? Senyam-senyum sendiri, bagi-bagi kali ke gue!” Lamunan Agni terangkat dan mengudara seketika. Ia tersadar dan lantas menoleh ke arah kakaknya. Senyum, ekspresi itu lagi yang ia lemparkan pada pemuda itu. “Gue lagi nostalgia.” Katanya dengan mata menerawang. Pasti Aga! Pikir Kiki. Membuatnya menghunuskan nafas agak tak senang. Namun, masih tertutupi dengan senyum miring di wajahnya. “Bagian yang mana?” Tanyanya kemudian.

Agni tak langsung menjawab. Keningnya tampak berkerut. Hal lain menjadi pemikirannya saat ini. “Sebelum itu, lo kenal Cakka darimana? Kok gak pernah bilang?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan. Kiki agak kaget. Ia lupa, cepat atau lambat adiknya pasti akan bertanya juga. Ia bahkan belum memikirkan jawaban jika adiknya benar-benar menanyakan hal itu dan itulah yang terjadi sekarang. Jawab jujur? Ah sepertinya asas itu tak berlaku padanya sekarang. Ia sama sekali tak menginginkan Agni tahu siapa Cakka, baginya. Dimana mereka bertemu, berkenalan dan ‘berteman’ seperti yang gadis itu pikirkan. “Emangnya kenapa? Lo minta kenalin gitu?”

Pandangan aneh pun langsung terunjuk padanya. Agni sekali lagi mengkerutkan kening. Pemuda di sebelahnya lagi-lagi bertingkah aneh. Apa menjadi menjadi imigran di negara asing selama satu bulan, membuat seseorang menambah sifat seperti itu? Maksudnya, aneh. “Ngeh, gue bukan boysholic!” Tolaknya mentah-mentah. Ia menoleh ke arah Kiki lagi dan menggelar aksi penyelidikan akan pemuda itu. “Lo aneh deh. Biasanya kalo orang mendadak aneh, pasti ada apa-apanya. Hayoo, ngaku lo? Ah, atau lo lagi..jatuh cinta yaaa?” Todong Agni yang sukses membuat tawa Kiki meledak. Jatuh cinta? Ah, tapi mungkin saja. “Gue bukan lovesholic! Siapa juga yang jatuh cinta? Adanya lo kali! Sama siapa tuh, Cakka? Cakka atau Aga? Haha..” Balasnya.

“Tuyul, dasar lo! Mengalihkan pembicaraan, berarti bener lo lagi jatuh cinta. Iya kan? Udahlah, lo gak bisa bohong sama adik lo yang manis ini! haha..” Kiki menginjak rem pelan. Sekarang lampu merah sedang menyala. Mobilnya berhenti di belakang sebuah mobil sedan hitam yang sepertinya belum dibersihkan berminggu-minggu. Kotor sekali. Ia tak menggunakan kesempatan berhenti itu untuk menoleh. Ia masih setia memadang ke depan. Yeah, i think so! Batinnya. “Silahkan menduga-duga!” Serahnya. Agni mengedikkan bahu. Dialog pun terhenti sampai disana. Masing-masing beralih pada fokus yang lain. Agni memperluas pandangan melihat daerah sekitarnya, dari balik kaca mobil. Kiki, ia masih sama. Masih memandang ke arah jalan raya. Lalu, pikirannya? Sepertinya, tak ada lagi yang ia pikirkan.

***

“Pulang dulu, Kak! Salam buat Kak Ify!” Pamit Dea. Ia melangkah masuk ke dalam taksi yang dipanggilnya beberapa menit lalu. Rio mengangguk dan tersenyum sekilas. Taksi yang Dea tumpangi pun dalam sekejab menghilang dari pandangan. Tinggallah Rio kini. Ia berlari masuk ke rumah Ify kembali. Tak lain dan tak bukan hendak memastikan dimana keberadaan gadis itu. Sebelumnya, tadi Dea hendak berpamitan juga dengan gadis itu. Tapi, setelah diteriaki namanya beberapa kali, bahkan diperiksa di seluruh ruangan di rumahnya, gadis itu tak juga memunculkan diri. Pada akhirnya, Rio menyuruh Dea pulang saja. Biar nanti, dirinya yang menyampaikan kata pamit tak sampai pada Ify.

Tapi, masalahnya sekarang adalah Ify tak ditemukan dimanapun. Kamar gadis itu kosong, ponselnya pun tertinggal di meja rias. Bahkan ia sudah -lancang- masuk ke kamar Ferdi. Tapi, tetap, tak ada Ify disana. Kakinya kemudian melangkah menuju dapur. Hanya Siti yang ia temukan. Siti menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. Apa pemuda ini minta dimasakkan sesuatu? Pikirnya. “Bi, liat Ify gak?” Tanya Rio langsung. Siti justru terlihat makin bingung. Ify? Bukannya gadis itu bersama pemuda ini sejak tadi? “Loh, bukannya sama-sama den Rio ya?” Jawabnya seraya bertanya balik.

Rio menarik nafas pelan. Skak! Ify hilang. Lagi? “Tadi. Sekarang gak tahu dimana.” Katanya pasrah. Tidak sepenuhnya pasrah, karena tersembul pula kecemasan saat mendengarnya. Siti diam, memikirkan keberadaan Ify yang paling berpeluang. “Ah, mungkin neng pergi ke apotek den!” Serunya. Ia baru ingat, tadi kan gadis itu bersin-bersin. Ditawarkan dibelikan obat tapi menolak. Mungkin saja gadis itu berniat membelinya sendiri. “Apotek?” Tukas Rio. Siti mengangguk yakin. “Iya, tadi kan neng bersin-bersin terus. Bibi tawarin dibelikan obat, dianya gak mau.”

Alis Rio terangkat sebelah. “Cuma bersin-bersin, langsung pergi ke apotek?” Tanyanya kurang yakin. Setahunya, Ify hanya bersin-bersin. Pergi ke apotek mungkin tindakan yang berlebihan menurutnya. Siti menarik nafas pelan. Sepertinya ia akan memulai penjelasan yang cukup panjang pada Rio. “Gini ya den, neng itu pertahanan tubuhnya lemah. Gampang sakit. Flu aja bisa fatal akibatnya. Awal-awal iya cuma flu, tapi habis itu badannya bisa meriang dan demam deh akhirnya. Nah, susahnya, kalo lagi sakit, neng gak mau makan. Minum obat aja dipaksa habis-habisan. Apalagi sekarang, Pak Ferdi dirawat di rumah sakit. Kasihan, nanti gak ada yang jagain neng. Cuma bapak yang bisa bikin neng nurut. Pokoknya, bahaya banget deh kalo misalnya neng jatuh sakit.”

Rio mendengus. Lalu, ia harus apa sekarang? “Tunggu aja den, kalo misalnya benar ke apotek, paling bentar lagi juga pulang.” Kata Siti sekaligus menjawab pertanyaan dalam benaknya barusan. Yah, semoga saja! Doanya dalam hati.

***

Via keluar tepat 5 menit sebelum film berakhir. Entah apa isi film itu ia pun tak tahu. Ia tak peduli. Yang penting, ia harus segera keluar dari ruangannya sekarang. Penyelidikannya sia-sia. Gagal total. Tak ada secuil pun informasi yang bisa ia rengkuh. Iel sama sekali tak mengobrol dengan gadis yang bersamanya. Pemuda itu malah sibuk mengajak Via ngobrol tak jelas. Bahkan ketika mendapatkan pengabaian, pemuda itu masih saja berusaha menariknya dalam obrolan. Gadis yang bersamanya justru diam saja dan fokus pada film yang diputar. Seakan tak peduli pada tingkah -mungkin- kekasihnya yang sedikit pecicilan.

Sementara Iel, seperti yang sudah dijelaskan, ia masih tertarik pada Zaza atau mungkin Via. Matanya tak lepas dari pergerakan gadis itu yang berjalan menuju pintu keluar. Kepalanya mendadak gatal. Kejar atau tidak? Tangannya bergerak menggaruk-garuk kepalanya yang gatal itu. Artinya ia masih bingung. Kepalanya tak sengaja tertoleh ke kursi yang sempat diduduki Zaza. Sebuah buku tergeletak manis pada bagian samping. Buku yang membuatnya mengenali Zaza, bahwa Zaza adalah gadis toko buku yang ditemuinya. Ia mengambil buku itu cepat dan menyusul Zaza keluar setelah sebelumnya memberi tahu gadis yang bersamanya untuk menunggunya sebentar, nanti.

Kepala Iel tak tenang dan bergerak ke kanan-kiri sesuai yang diperintahkan empunya. Nah, itu dia! Iel berlari ke arah yang diserunya, ke arah dimana Zaza sedang menginjakkan kaki disana. “ZAZA!” Pekiknya dari kejauhan. Zaza -Via- masih belum sadar namanya dipanggil. Atau mungkin, belum terbiasa dengan nama Zaza makanya ia tak menoleh. Iel berhasil menyamai langkah gadis itu. Lantas ia menghalaunya dari depan. Membuat Zaza benar-benar berhenti dan menatapnya. Zaza spontan menurunkan sedikit topinya agar wajahnya tak dapat dilihat dengan jelas. “Mau apalagi?” Tanyanya. Iel tersenyum senang mengingat kali ini ia tak harus memulai pembicaraan duluan. “Nomor hape, Mbak berapa?” Tanyanya balik.

Tak peduli akan gadis di hadapannya akan berpikir aneh tentangnya. Sungguh, ia benar-benar tidak peduli. Kenapa bisa ia seperti itu? Entahlah, ia pun tidak peduli. Yang penting, ada suatu cara yang bisa membuatnya tetap terhubung dengan Zaza. Ia harus mendapatkan hal itu. “Hah?” Heran Via. Jadi, beginikah seorang Gabriel? Ia tak habis pikir bahwa Iel akan bertindak segigih ini pada seorang gadis sasarannya. “Iya nomor hape Mbak berapa? Atau pin BB mungkin?” Tanya Iel antusias.

“Saya mau ganti nomor.” Elak Via, berharap Iel akan menyerah. Tentu, mana mungkin ia memberikan nomor apalagi pin BB-nya pada pemuda itu. Bisa-bisa penyamarannya terbongkar. Jika itu terjadi, mau ditaruh dimana mukanya? Ia tak akan berani masuk sekolah. Ia mendesah singkat. “Tunggu disini!” Pintanya sementara ia sendiri pergi entah kemana. Lantas, Via tak tahu harus apa. Mau pergi tapi bukankah Iel menyuruhnya menunggu? Tapi kalau ia menunggu, ia juga takut Iel akan sadar siapa dirinya jika ia bersama dengan pemuda itu lebih lama lagi. Ya sudah, pergi sajalah! Putusnya. Kakinya melangkah kembali. Berusaha keras mengabaikan apa yang Iel minta tadi.

Tak berapa lama, Iel kembali dengan membawa sebuah kartu perdana di tangan. Ia mendapati tempat terakhirnya bertemu Zaza sudah kosong. Ia mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Beruntung, matanya masih bisa menemukan sosok gadis itu yang kini menaiki eskalator yang bergerak menurun. Terpaksa, ia harus berlari lagi demi mengejar gadis itu. Ia menyelip di antara pengunjung mall hingga benar-benar berdiri berdampingan dengan Zaza. “Loh, kamu lagi?” Kaget Zaza. Ia langsung memalingkan wajah yang pastinya bukan ke arah Iel. “Si Mbaknya disuruh nunggu malah ngacir!” Zaza diam tak berkomentar. Iel lalu memberikan perdana tadi pada Zaza dan menyuruhnya menggunakan itu. “Nih, kan katanya Mbak mau ganti nomor. Pakai ini aja!”

Zaza menoleh pada perdana yang disodorkan Iel. “Nih!” Bujuk Iel karena Zaza yang hanya diam menatapi perdana di tangannya. Karena tak juga disambut, ia lantas meraih tangan Zaza dan menaruh perdana itu disana. Sekali lagi, Zaza hanya diam dan masih belum mengerti. Tepatnya, belum mengerti, perdana ini harus ia apakan. Dipakai atau dibuang? “Plis Mbak pakai ya?” Pinta Iel dengan muka memelas. Sangat amat memelas. Tak tega juga jika ia membuang perdana yang sudah repot-repot dibelikan untuknya. “Hhh, ya udahlah!” Serahnya dan mengantongi perdana tadi. Iel menyeringai begitu gembiranya. Baru kali ini ia merasa senang berlebihan. Zazalah penyebabnya. Gila, apa gue jatuh cinta sama nih cewek? Batinnya tak percaya.

“Rumah Mbak dimana? Saya antarin ya?” Via terlonjak. Pemuda di hadapannya masih belum kapok. Kepalanya menggeleng hebat karena itu. “Saya nerima perdana ini, kamu harusnya sudah sangat bersyukur!” Via mengeluarkan lagi perdana pemberian Iel dan mengangkatnya tepat di depan wajah pemuda itu. Iel tak tersinggung. Ia justru bertambah kesenangannya. Mendengar perkataan Via barusan, itu tandanya gadis itu benar-benar serius akan menggunakan perdana pemberiannya. “Eh ya udah, gak usah. Yang penting nomornya dipakai ya, Mbak cantik!” Ia mencubit gemas sebelah pipi Via dan langsung lari sebelum gadis itu mengamuk. Dan benar saja, Via langsung mencak-mencak akan pipinya yang dijamah sembarangan, tanpa izin lagi.

“HEY!!”

***

Sudah jam setengah 7 malam dan Ify belum juga pulang. Siti sudah kembali ke rumahnya setengah jam lalu. Rio mondar-mandir. Air mukanya panik tak karuan. Keringatnya mengucur. Bibirnya habis ia gigiti sedari tadi. Kemana Ify? Dimana gadis itu? Kenapa sampai sekarang belum pulang? Apa terjadi sesuatu padanya? Astaga, sejak kapan gue sestres ini? Pasti ada yang nggak beres! Gue susul ajalah. Ia lalu mengambil kunci mobil dan berlari ke luar rumah. Tak pakai acara memanasi lagi, ia langsung menginjak gas mobilnya dan melajukan kendaraan itu menuju apotek yang disebutkan Siti.

***

“Dek..Deek..”

Ify tampak lelap meski posisinya sedang duduk bukan berbaring. Kepalanya terasa begitu berat tadi, makanya ia memutuskan untuk tidur sejenak. Tapi, tanpa disangka sejenak itu tak berjalan sesuai namanya. Ia malah ketiduran bahkan sampai berjam-jam. Sang penjaga apotek mencoba membangunkannya. Badannya sedikit diguncang. Alhasil, mata Ify membuka dan mendapati seorang perempuan berdiri serta menatapnya bingung. “Adek gak pulang? Udah maghrib loh!” Kata perempuan itu. Ify terperangah dan spontan melihat ke arah jam tangannya. Astaga, maghrib? Kok bisa?! Ia segera berdiri dan berpamitan pada perempuan tadi sekaligus mengucapkan terimakasih karena sudah membiarkannya beristirahat cukup panjang.

“Hati-hati dek! Jam-jam segini, banyak preman berkeliaran!” Kata perempuan itu lagi. Ify mengangguk dan tersenyum sekilas. Dalam hati, ia berdoa semoga saja perkataan perempuan itu tak terwujud adanya. Bahaya, ia tidak memiliki latar belakang bela diri apapun. Susah mendapat pertolongan jika preman-preman itu menganggunya. Suasana sekitar sepi mengharuskannya untuk berteriak. Masalahnya, untuk buka suara saja sangat susah bagi Ify saat ini. Ada rasa sesal pula, kenapa ia tak memakai mobil tadi. Jika begitu, ia tidak perlu menghawatirkan ada atau tidaknya preman saat ini. Ckck, bodohnya dirimu naak! Pikirnya.

Ify berjalan gontai setelah keluar dari apotek hingga tempat itu tak terlihat lagi. Sudah beberapa meter perjalanan yang ia tempuh. Banyak pula waktu yang dihabiskannya. Ia tak mulus berjalan, sebenta-sebentar ia berhenti untuk beristirahat. Kepalanya justru makin berat. tidurnya selama beberapa jam tadi tak berpengaruh sama sekali. Masih ada lagi. Doanya tak terkabul. Kemalangan menimpanya hari ini. Dua orang berbadan kekar dengan bau alkohol menghalau jalannya tiba-tiba. Mereka saling berpandangan dan tersenyum licik lalu memandang Ify lagi. Ify yang menunduk lekas mendongak. Tampaklah di matanya wajah-wajah menyeramkan milik dua orang tadi. Takut, panik, pusing dan pasrah. Campur aduk dan serentak bergerumul dalam benaknya. Safe me, pleasee!! Batinnya penuh harap.

“Mau kemana cantik? Om anterin deh!” Kata salah satunya. Ify menggeleng takut dan mundur selangkah. Kedua orang di hadapannya seolah mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun silam. Saat dirinya dan Via diculik serta ia yang disiksa habis-habisan oleh sang pelaku. Hiii, jangan sampai terulang lagi! Pikirnya. Ia mundur selangkah lagi. “Eits, kok jauh-jauh sih? Om gak gigit kok, haha..” Bulu kuduk Ify terangkat semua. Tengkuknya merinding, lengannya juga. Ketakutannya bertambah besar. “Gak perlu dianter, saya tahu jalan pulang. Permisi!” Katanya seraya mencoba berjalan melewati kedua orang tadi. Mereka tentu tak membiarkannya begitu saja. Salah satu dari mereka menarik tangannya dan mengambalikannya ke posisi semula.

“Gak usah buru-buru! Main sama kita aja sebentar!” Kata yang satu itu. Ify menepis tangan orang itu kasar. Lagi-lagi ia mundur. Tepat pada saat itu, sebuah mobil muncul dari belakang dua orang itu. Dari dalam, keluar seorang pemuda yang sudah sangat dikenalnya, berjalan mendekat. Pemuda itu menarik Ify segera dan menyuruh gadis itu berlindung di belakangnya. “Wah wah anti dong! Kita duluan yang dapet!” Kata salah seorang yang lain sedikit tak terima.

“Dia milik saya!” Ujar Rio, pemuda itu. Kepala Ify menyembul dan menatap pemuda di depannya bingung. Bukan karena kata-katanya, melainkan, bisakah pemuda itu berkelahi nanti jika keadaan mengharuskannya melakukan itu? “Yo, kalo mereka ngajak berantem gimana?” Tanyanya panik. Rio menelan salivanya cepat dan menyahut tak yakin. “Ya...dilawan!” Ringisnya. Ify garuk-garuk kepala sendiri mendengar itu. “Emang lo bisa?” Tanya Ify lagi. Sekali lagi, Rio menelan saliva dan menyahut makin tak yakin. Pasrah tepatnya. “Gak juga sih..” Badan Ify rasanya benar-benar lemas. Rio saja tak bisa apalagi dirinya. “Gini aja deh, kita sama-sama lari. Dalam hitungan ketiga, lo ke kanan, gue ke kiri. Setuju?” Tawar Rio. Mau tak mau Ify mengangguk setuju.

Rio memulai hitungannya. Dan tepat pada hitungan ketiga, mereka lari ke arah yang berbeda. Sesuai dengan kesepakatan tadi. Sial, masing-masing mereka tertangkap. Ify dalam tawanan orang yang menarik lengannya tadi. Sementara Rio dihalau oleh yang satu lagi. Baik Ify maupun Rio, keduanya sama-sama panik. Terutama Rio. Ia panik kalau preman yang menghalaunya menyerang sekaligus panik jika Ify tiba-tiba dibawa kabur. Astaga, bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Tangan preman yang menghalaunya perlahan bergerak turun ke bawah, mengarah ke saku celana. Sebuah benda seperti pisau lipat dikeluarkannya dari sana.

CTEK!

Bagian paling runcing dari benda itu mengacung tepat di depan muka Rio. Membuat kepalanya sedikit terdorong ke belakang. “Kunci mobil!” Sentak preman itu seraya menengadahkan tangan agar meminta kunci mobil Rio. Rio Lagi-lagi mundur. Tapi preman itu justru maju mendekatinya. Ia menoleh ke arah Ify yang geleng-geleng kepala agar ia tak menuruti apa yang preman itu minta. “Tapi gimana?” Bisiknya hampir tak ada suara. Ify menoleh ke kanan-kiri mencari pertolongan. Ah, ada orang! Batinnya histeris. Ia menarik nafas pelan lalu berteriak. “TOLOONG ADA RAMPOOK!!” Pekik Ify sebisanya. Rio dan kedua preman tadi menoleh ke arah yang diteriakinya. Beruntung, orang-orang tersebut berbaik hati dan menghampiri mereka segera.

“WOY RAMPOK!!” Mereka lantas berlari menyerbu kedua preman tadi. Panik, preman yang menghalau Rio tadi lantas mengibas pisaunya ke lengan Rio. Dalam sekejab, lengan Rio berubah merah. Semakin lama semakin melebar bercaknya. Tangannya berdarah! “RIO!!” Ify yang sudah bebas lantas menghambur ke arah pemuda itu. “YAA, jangan disentuh!!” Ify menjauhkan tangannya segera setelah tadi sempat memegang lengan Rio yang terkena sabetan. “Kita mampir ke apotek aja, tangan lo mesti diobatin!” Paksa Ify. Rio menggeleng tak setuju. Ia meminta agar lukanya diobati di rumah saja. Tanpa pikir panjang, Ify mengambil paksa kunci mobilnya dan mendorongnya masuk ke mobil. Sedang gadis itu duduk disampingnya dan bertindak sebagai pengendali kemudi. Tak peduli badannya sudah selemah apa sekarang, yang ada dipikirannya hanya satu. Rio harus segera diobati!

***

Masih sama, Ify memaksa Rio agar buru-buru turun dari mobil. Ia menarik lengan pemuda itu dan mendudukannya di sofa. Ia sendiri pergi mengambil kotak P3K. Apa boleh buat, peralatan yang ada hanya itu. Tapi, untunglah luka Rio tidak terlalu parah. Hanya lecet sedikit. Tidak mengharuskan adanya proses jahit-menjahit seperti luka yang pernah ia alami. Luka di telapak tangannya waktu itu. Kasa, betadhine. Dua hal utama yang harus dikeluarkannya terlebih dahulu. Tangannya gemetaran. Cairan betadhine menyebar tak tahu arah. Sudahlah, yang penting kasanya terlumuri! Pikirnya. “Sini tangan lo!” Rio yang tiba-tiba gugup pun menurut. Ia membiarkan tangan Ify menggenggam pergelangannya sedang tangan yang satu lagi sibuk mengolesi lukanya dengan betadhine. “Ck, kenapa lo yang luka sih?” Gadis itu merutu pelan. Ia hanya diam, belum ada niatan untuk ikut buka suara.

Kesempatan bagus untuknya agar bisa mengamati wajah Ify dari dekat, dengan jelas. Kedua bola matanya tidak terlalu bulat. Hidungnya juga mancung. Pipi dengan ketebalan (?) biasa dan satu lagi, dagunya tirus. Wajahnya terlihat lucu kalau sedang panik begini. Namun juga terlihat agak lelah dengan pandangan matanya yang sayu. Kelenjar keringatnya sedang mengalami hipersekresi. Banyak sekali butiran-butiran yang menetes dari baik dahi maupun pelipisnya. Apa ia selelah itu? Tanya Rio dalam hati. Tapi tunggu dulu! Kenapa genggamannya agak panas? Ah, bukan agak, sangat malah! Apa jangan-jangan..Fy, lo beneran sakit? Rio menatap Ify lekat-lekat. Rupanya ia kurang memperhatikan yang satu ini, bibir gadis itu pucat sekali. Bahkan bergetar. Eh badannya juga. Eh tangannya juga. Astagaa..

Ify membuang nafas lega, lega karena tangan Rio sudah selesai ia obati. Luka pemuda itu sudah tertutup kasa. Ia memasukkan kembali segala peralatan yang digunakan. Tiba-tiba, Rio meraih pergelangannya. Menggenggamnya cukup lama. “Lo sakit?” Tanya Rio. Matanya menajam ke arah Ify, memaksa gadis itu berkata jujur. Ify sendiri kurang tahu pasti ia sakit atau tidak. Yang ia tahu, kepalanya pusing, hidungnya meler, indra pengecapnya pahit, tenggorokan sakit serta perutnya agak mual. Tak lupa, badannya masih meriang. Dengan itu, bisakah disimpulkan bahwa ia sakit? “Cuma flu..hachi!! Tuh kan!” Jawab Ify tak mau ambil pusing. “Gue mau naroh ini dulu. Kalo lo mau pulang, pulang aja. Nanti gue yang bilang sama tante Manda, jadi lo gak perlu repot-repot nginep disini.”

Rio tercenung mendengar Ify berbicara, kalimat demi kalimat. Kesannya, ia sudah jahat sekali pada gadis itu. Lantas ia menarik tangan gadis itu kembali dan memaksanya untuk duduk. Lalu, sasaran selanjutnya adalah dahi. Ia menyibak beberapa helai rambut Ify yang menutupi kening. Panas-tinggi! Telapaknya merasakan suhu yang lumayan berbahaya ketika memegang dahi gadis itu. Positif, Ify demam. Beberapa cc nafasnya terembus keluar. Peluh menghinggapi setiap helaan yang dihunusnya. “Gadis bodoh!” Tudingnya kesal. Kenapa gadis ini pintar sekali menyamarkan keadaan? Ck! Rutunya membatin. Ify yang tiba-tiba dikatai seperti itu lantas mencibir. Rio seperti tak ada habisnya membuat kekesalannya mencuat. Apa mau lo sih?!

“Jangan mulai!” Katanya malas berdebat. Rio mendecak kesal akibat itu. “Udah tahu sakit, kenapa masih nekat beli obat sendiri? Hah?” Genggamannya pada gadis itu mengerat. Urat-urat di sekitar dahinya menyembul keluar. Waw, Rio benar-benar marah! “Yah terus mau gimana lagi? Gak ada yang bisa dimintai bantuan.” Jawab Ify santai. Wajahnya berubah kemiringan menatap vas bunga di meja. “Lo nganggep gue tembok?” Sarkastis Rio. Ify mendengus karena itu. “Masih mending, lo? Lo nganggep gue makhluk halus, gak kelihatan sama sekali, tahu gak?!” Balas Ify tanpa menoleh. Kepalanya masih mengarah ke vas bunga tadi. “Gak usah ngeles!” Rio masih bersungut padanya, masih belum menerima alasannya pergi mencari obat sendiri.

Ify mendengus lagi. “Lo tadi sibuk. Gue gak mau ganggu dan..lo pasti nolak kalo gue minta tolong.” Jujur Ify akhirnya. Rio langsung diam. Kata-kata terakhir gadis itu sudah terlalu jelas. Ya, memang wajar kalau gadis itu tak memberi tahunya. Mengingat sikapnya pada Ify, setidaknya hari ini saja, sudah menjadi alasan kuat bagi gadis itu untuk sungkan meminta bantuan. Kotak P3K yang dipegang Ify lantas ditaruhnya di meja. Ia lalu menarik gadis itu dan memaksanya masuk ke kamar.

“Tidur!” Suruhnya pada Ify. Ify masih bengong, tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan pemuda di hadapannya. “Gue bilang tidur!” Suruh Rio agak keras. Karena takut, Ify akhirnya menurut dan merebahkan badannya di kasur. Pemuda itu kemudian menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Setelah itu, Rio diam. Ify bingung sendiri karena Rio hanya menatapinya tanpa berkata apapun. “Lo gue bawa ke RS!” Kata Rio pasti. Seperti melihat setan, badan Ify menjadi agak kaku dan agak merinding juga. Rumah sakit. Frase dari dua kata itu membuat ketakutannya menyeruak. Ia sangat takut dengan rumah sakit. Sudah tahu kan alasannya kenapa?

Lantas dengan segera kepalanya digerakkan ke kanan-kiri. Isyarat penolakan tertampak jelas dari reaksinya barusan. Rio mendengus. Lalu, ia harus apalagi? Tanyanya dalam hati, frustasi. “Mm, bukannya hari ini lo ada show, kenapa masih disini?” Beruntung, ada suatu hal yang bisa mengalihkan arah pembicaraan Rio sekaligus mempercepat durasi pemuda itu di rumahnya. Mata Rio menajam. Yang jagain lo siapa? Bego! Batinnya menuding. Sejurus kemudian, pandangannya berubah teduh. “Gue gak punya baju, baju yang gue pakai sobek kena pisau.” Alibinya. Ify mengutuki benar-benar alasan pemuda itu. Rio sepertinya sangat ingin membawanya ke rumah sakit. “Tinggal pulang ke rumah apa susahnya?” Katanya mencoba sekali lagi. Rio melirik ke arah jam dinding kamar Ify dan diam-diam menyembunyikan seyum leganya di pelupuk mata.

“Percuma, gue bakal telat.” Katanya. Anyel! Pemuda yang satu ini sangat menjengkelkan, khususnya bagi Ify. Kenapa pemuda itu bersikap arbiter seperti itu? Lantas apikalnya menjulur keluar dan menggerayangi bagian bawah bibirnya. Ia harus segera menemukan ide lain agar Rio mau pergi. Sepersekian menit waktu yang dibutuhkannya, hingga ia teringat bahwa ia pernah membelikan baju untuk pemuda itu. Yah, pada saat ultah Rio tahun lalu, ia ingin memberikan baju tersebut sebagai hadiah. Namun apa mau dikata, dengan nyali yang kian menyurut detik demi detik ketika bertemu dengan pemuda itu, jadilah, ia hanya menyimpannya saja di dalam lemari. Ia bangun dan berniat berjalan mendekati lemari. Namun, sebelum niatnya terlaksana benar, Rio menahan bahunya duluan dan membuatnya tak bisa bergerak dengan tetap duduk di tempat tidur.

“Jangan kemana-mana!” Larang pemuda itu. Bibirnya spontan menjadi lebih maju ke depan. Manyun, itulah tepatnya. “Gue mau ngambil baju.” Sengit Ify. Kening Rio mengernyit. Alisnya pun naik sebelah. Sorot matanya seakan-akan masih mempertanyakan kata-kata Ify barusan. “I..iya..gue ma..mau ngambil baju buat lo..” Tukas Ify yang mendadap gugup. Jelas, hanya kira-kira 10 senti jaraknya dengan Rio, yang kini menumpu tangan di kedua bahunya serta menatapnya tanpa berpaling. Syukurlah, pemuda itu langsung menjauh setelah ia selesai berujar. “Dimana?” Tanya pemuda itu kemudian. “Coba liat di lemari gue!” Tunjuk Ify pada lemari pakaian 4 pintunya (?). Rio tak banyak komentar dan langsung saja mendekat ke arah lemari yang ditunjuknya.

Tangan pemuda itu nyaris saja membuka pintu paling ujung dari lemari itu. “JANGAN DIBUKA!” Pekiknya tiba-tiba. Rio menoleh heran. Tadi gadis itu yang suruh, sekarang dicegah pula. Pikirnya. “Kenapa?” Ify menggeleng keras. Jangan sampai Rio membuka pintu itu. “Jangan dibuka, perkakas gue itu!” Katanya setengah meninggi. Pemuda di hadapannya tersenyum geli. Sudah apriorinya bahwa kejahilan pemuda itu akan menyeruak dengan pura-pura tak paham apa makna perkataannya. “Perkakas apaan?” Tanya Rio yang memasang tampang tak mengerti. Tangannya sekali lagi bergerak dan ingin membuka pintu itu kembali. “YAA JANGAN!”

Ify melompat dari kasur. Berlari mendekat dan menyentak tangan Rio. Kemudian berdiri di depan pintu lemarinya sekaligus menghadap pemuda itu. Rio sendiri hanya mengulum bibirnya geli. “Pintunya di sebelah sana!” Umpat Ify dengan matanya membulat ke arah Rio. Rio lantas bergerak ke pintu di sebelahnya. Kali ini tangannya tak dicegah lagi. Ify ikut memeriksa satu-persatu baju yang tergantung di dalam. Dan sampailah telunjuknya pada baju paling ujung, kemeja kotak-kotak biru-putih. Ia mengarih kemeja tersebut dan menyodorkannya kepada Rio. “Pakai ya?” Pintanya dengan sangat. Bibirnya membusur melengkungkan sebuah senyum manis, senyum yang diharapkan mampu membuat Rio sedikit melunak dan menuruti permintaannya itu.

“Hah? Em..e..ya..ya udah..” Napas Rio sempat berhenti mendadak sebentar ketika melihat senyum Ify tadi. Apnea istilahnya. Mau tak mau ia lekas menerima pemberian gadis itu, menutupi kegugupan. Sialnya, hal itu justru makin mengembangkan senyum di bibir Ify. Matanya berbinar dan wajahnya terlihat manis. Astaga! Umpat Rio dalam hati. Terjadi kehebohan disana. Ada partikel-partikel yang tak bisa konsisten berada di tempat melainkan bergerak mengantul ke sana-sini. Panik. Rio dibuat panik dan cukup kerepotan akan kegiatan baru dalam hatinya itu. Meski raut wajahnya tetap datar seolah tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa?” Tanya Ify bingung karena Rio yang hanya diam. Pemuda itu kaget seperti baru terbangun dari suatu lamunan panjang. “Hah? Ee..lo yang kenapa? Gue mau ganti baju, kenapa lo masih disini?” Elaknya. Ify sepertinya tidak menyadari bahwa ia sedang gugup. Gadis itu justru menggaruk-garuk pipi tak mengerti. “Ganti ya ganti aja. Apa susahnya?” Tanyanya polos. Rio mulai bisa merukunkan partikel-partikel dalam hatinya. Ia sudah bisa santai kembali. “Keluar sana!” Ify melongo dengan mulutnya yang setengah terbuka. “Kok gue?” Polosnya. Rio terkikik seraya memegangi perut. “So, lo mau ngintip?” Godanya. Ify merengus. Sudahlah, mengalah saja. Makin lama kepalanya bisa merepas bahkan rengkah.

Ck! Ia menghentak kaki kesal. Dirempuhnya jalan menuju keluar kamar. Namun, belum sampai 2 langkah, Rio menariknya kembali. Pemuda itu kemudian mendudukkannya di kasur. “Gue ganti baju di toilet kamar lo aja. Jangan ngintip!” Goda Rio lagi. Kikikannya lebih keras. Membuat Ify kesal yang sungguh dan sangat. “Iya! Ck, udah pergi sana! Hush..hush!” Rio lekas masuk ke toilet untuk berganti pakaian.

***

Sedari tadi mata Alvin tak lelah melirik kesana-kemari. Memeriksa satu-persatu orang yang memadati Maming. Dari sekian banyak wajah yang dijumpainya, tak ada satu pun yang memenuhi syarat sebagai orang yang ia cari. Shilla. Ya, Shilla yang ia cari. Lalu, kemana gadis itu? Atau mungkin dimana gadis itu? Alvin sendiri tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Tahu sendirilah, ia saja tidak menemukan gerangannya sedari tadi. Kalau sudah, mana mungkin matanya seliar ini berubah fokus ke satu-persatu orang-orang di depannya. Yang sedang menontonnya bernyanyi. Tak ada nyawa yang ia hidupkan dalam setiap untaian kata yang ia lantunkan. Senyum di wajahnya pun hanya rekaan. Palsu. Bohong dan semacamnya. Intinya, semua yang ia lakukan sekarang atas dasar dipaksakan. Meskipun tak ada satupun yang sadar akan hal itu.

Rio, haha, pemuda ini sama saja. Sama-sama merengsa. Segan-segan bekerja. Tak ada hasrat mendalam untuk terus melantunkan lagunya lebih indah lagi bersama Alvin. Ia tersenyum saja sudah sangat bersyukur. Jiwanya tak benar-benar berdiri tenang dalam tubuhnya. Melainkan sudah melanglangbuana menuju ke satu tempat. Rumah Ify terus ke kamar Ify lalu gadis itu sendiri. Ah, kira-kira gadis itu sudah sembuh atau tidak? Bagaimana keadaannya sekarang? Seperti tak ada ujung, pertanyaan-pertanyaan tersebut membuka jalur yang teramat panjang, sekali lagi tak ada ujung. Tak ada ujung hingga kinerja sistem regulasinya tak dapat merenti untuk terus mengirimkan impuls-impuls berisi pertanyaan itu sendiri.

“Makasih!” Alvin dan Rio mengakhiri lagu mereka sekaligus menjadi penghujung penampilan mereka malam ini. Seperti biasa, penggemar mereka disana tak pernah lupa meneriaki mereka sekeras mungkin. Maming benar-benar didominasi oleh resonan nama mereka berdua. Kali ini mereka tak begitu menanggapi. Tak ada lambaian tangan maupun senyum merekah yang mereka lemparkan. Turun dari panggung, Rio langsung pamit. Tak peduli pada segerombolan fans yang sudah menunggu sejak tadi untuk mengambil setidaknya satu foto bersama. Beruntung, Alvin masih memiliki kepedulian sedikit terhadap kepanaran pengagumnya. Ia membiarkan saja gadis-gadis yang menunggunya itu memuaskan hasrat berfoto dengannya.

***

There's gonna be one less lonely girl...one less lonely girl...

Beberapa kali ponsel Shilla berdering. Namun sang pemilik tak kunjung terenyuk untuk segera menyambut panggilan dalam benda itu. Bahkan untuk sekedar mengangkat sedikit tirai penutup matanya. Yap, gadis ini sedang tertidur. Lelap. Ketukan dari pintu kamar juga luput dari kepekaan indra pendengarnya saat ini. Dari luar, Wiwid lumayan cemas karena ketukannya tak memunculkan reaksi apa-apa. Jangankan pintu dibuka, ada sahutan pun tidak. Sekarang hampir jam 9 malam. Sampai sekarang Shilla belum juga keluar dari kamar untuk makan malam. Apa gadis itu sakit hingga tak sanggup lagi melangkah bahkan bersuara sedikitpun?

CKLEK!

Pintu Shilla terdorong ke dalam perlahan. Tampak Wiwid menyembulkan kepalanya dari balik benda itu. Kini terjawablah sudah kekhawatirannya sejak tadi. Anaknya sedang tidur. Hmm, pantas saja tidak mendengar bahwa ada seseorang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya begitu lama. Bahkan tidak menyadari pelaku pengetukan itu sudah lancang memasuki ruang paling private untuknya. Wiwid membungkam suara dari ponsel anaknya itu. Layar ponsel tersebut sudah menempel dekat dengan telinga kanannya. “Halo, Alvin?” Sapanya terlebih dahulu. Ia diam sebentar, sepertinya Alvin, sang penelepon, sedang berbicara. Senyumnya merekah disela-sela Alvin berbicara. Kepalanya juga terlihat dianggukkan. “Iya, tenang aja! Titip anak tante ya!” Katanya dan menutup telepon segera.

Wiwid menaruh ponsel Shilla ke tempat semula. Sekarang, tugas yang harus ia lakukan adalah membuat ruh-ruh anaknya kembali ke dalam tubuh. Intinya, membangunkan gadis itu lah. “Shill...Shillaa..” Bahu Shilla diguncang beberapa kali. Beruntung, gadis ini bukan tipikal gadis yang sulit dibangunkan. Hanya dalam hitungan detik, Shilla mengerang. Cahaya bisa merasa lega karena mendapat jalan untuk merayap ke dalam mata gadis itu. “Ngh..” Erang Shilla. Matanya agak sulit dibuka sempurna. Sipit-sipit, meski begitu, ia masih bisa mengetahui ada Wiwid di sampingnya. “Makan dulu, kamu kebiasaan deh!” Ujar Wiwid. Setelah mengatakan itu, ia lekas keluar kamar.

“Hooaam..”

Masih ngantuk. Itulah yang dirasanya kini. Ia sudah bangun dan duduk. Meski pandangannya masih buram. Tangannya bergerak mengucek bagian itu beberapa kali. Tepat pada saat itu, ponselnya berdering sekali. Untuk yang ini, bukan panggilan melainkan sebuah pesan masuk. Meski enggan, tapi tangannya tetap saja digerakkan menggapai benda penghantar suara itu.

From : Sipitunyu :*
LO TELAT!!

“Hah?” Bingungnya. Pelipis menjadi landasan penggarukan jemarinya saat ini. Ia masih diam memikirkan maksud isi pesan dari Alvin itu. Sejurus kemudian, ia baru ingat akan satu hal. Kepalanya menoleh ke arah jam weker di lemari samping. ASTAGA!! Lantas ia kembali menoleh ke depan.

“HUWAAA MAMAA SHILLA TELAAAT!!”

***

 Astaga, selesai juga part ini. heleh-heleh, gimana? Ancur banget kan? Haha, iya sih. Ini proses pembuatannya haha, 3 lembar dari pagi ampe malam gak jalan-jalan. Stuck disitu-situ aja alias tetap 3 lembar. Jadilah gini. Oh masih ada part 15 masih ada ya?  o,o Nyahaha, sabar menunggu lah yaw bagi yang masih mau baca ^o^
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

9 komentar:

  1. Nggak gaje kok. Bagus banget malah. Aku paling seneng sama CAGNI sama ALSHILL. Eh, pas banget di Matchmaking ini kisahnya juga aku paling suka tentang dua pasangan itu. :)
    Tiap hari selalu nunggu kelanjutannya. Tapi saking udah nggak sabarnya (sampe udah seminggu buat next partnya), makanya aku komen, hehe.
    Dilanjutin dong, bagus kok, serius.
    Mau minta berapa jempol? Aku kasih deh.

    BalasHapus
  2. Hulalaaaaa dirimuu bkn geer ini mah u,u tp makasii yaa udh mw bca :") masih bnyk tgas n ulgn d skolah, jd fokus k situ dulu. Hehe , sabaar yaw ^,^v

    BalasHapus
  3. Haha, aku nggak niat bikin geer lho. Orang emang bagus banget kok. Serius.
    Oke, ditunggu yaaa, kalo bisa secepatnya.
    Tau nggak sih, ini tiap internetan selalu ngecek blog Nita saking penasarannya? Haha.
    Paling penasaran tentang Agni, Cakka, sama Kiki nih. Aku malah jadi ngira-ngira sendiri lanjutannya. Gimana Nia sama Aga nanti, Cakka sama Kiki perselisihannya gimana, atau perkiraan lain. Tapi kalo dipikir-pikir, kan nggak seru. Mending nunggu penulisnya aja, hehe.

    Oh ya, mau ngeluapin keselnya aku nih. Kalo seandainya cowok kayak Alvin beneran ada di dunia, bakal aku cincang tu orang, haha. Lagian Shilla juga sih, udah tau Alvin begitu, masih aja betah. Emang dasar gara-gara Febby nih, haha.

    Ya udah deh, aku tunggu yaaaaaaa... :)
    Ku berikan jempol-jempolku untukmu.
    Next partnya jangan lupa masukin kisah dua couple itu ya. Hehe, cuma permintaan kok. Nita mau ngabulin atau nggak, ia itu hak Nita. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iiiii makasii yaa =)))))
      hehehee, gak papalah di tebak-tebak siapa tahu malah lebih seru dari yang aku bikin haha~
      okedeeeh kan tokohnya CRAGSISA pasti dimasukin lah hoho =DDDDDDD

      Hapus
  4. Haha, tapi ngerasa ngeduluin penulis aja gitu kalo udah nebak-nebak sendiri, sementara tulisannya belum dilanjutin sama penulisnya. Kan nggak enak sendiri.

    (Ya Tuhaaann, selesaikanlah secepatnya segala tugas dan ujian Nita supaya cerbungnya cepet selese, aamiin).
    Hahha, ditunggu ya Nitaaaa. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehehe, AMIIIINNN!!!
      Tapi udah di post koook =))))

      Hapus
  5. Okeeeeeeeeeee, akan dibacaaaaa. :)

    BalasHapus
  6. keren bgus bgt aku suka bgt lho Hahaa

    BalasHapus
  7. Keren bgt, aku boleh copas gak ?? Klo boleh makasih..... bgt. Cerbungnya bagus bgt tau !!

    BalasHapus