-->

Selasa, 17 April 2012

Matchmaking Part 14 A


Ass ICL!! Sebenarnya lagi gak mood ini karena IFC sama Shivers berantem .__. Mimin sedih, mimin kan IFC sama semi-Shivers. Yah meskipun semi, tapi kan tetep aja namanya ‘Shivers’. Huhu, mimin kan galau mau bela yang mana .__. Ayo dong damai yaa, jangan memperpanjang masalah. Mimin galau beneran ini, gak bohong, hiks!

Sudahlah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

“Balik dulu, Fy!” Pamit Agni setelah menurunkan Ify dari mobilnya, tepat di depan pagar kediaman gadis itu. “Yup, thank’s ya!” Balas Ify seraya melambaikan tangan hingga mobil Agni tak lagi memarkirkan diri di hadapannya. Ify berbalik badan hendak membuka pagar. Namun, ada sesuatu yang membuat kakinya tertahan untuk dijalankan. Ia menunduk mencari tahu apakah penyebab dari kesendatan itu. Dan ia menemukan sebuah kotak seperti kotak kado terletak begitu saja di depannya, di depan pagar rumahnya. Ia menoleh ke kanan kiri memastikan kado itu memang tertuju untuknya atau mungkin Ferdi, Papanya.

Ify berjongkok mengambil kado tersebut. Agak berat. Ia lantas membawa kado itu hingga masuk ke dalam rumah bahkan ke kamarnya. Ify duduk di atas tempat tidur dan hanya memandangi kado tersebut. Kotak besar dan agak berat yang sampai sekarang ia tak tahu apa isinya. Ia belum membuka bahkan mengintip apa yang ada di dalam. “Dari siapa?” Tanyanya bingung. Sejurus kemudian, tangannya bergerak membuka penutup atas dari kado misterius itu. “WAA!” Kaget Ify mengetahui seekor ular cukup besar melingkar di dalam sana. Ia spontan berdiri, takut-takut kalau ular tersebut berbisa. Tapi, jika dilihat-lihat, ular ini seperti ular yang sering ia lihat di televisi, yang jinak dan tak berbisa sama sekali.

Ify pelan-pelan duduk kembali dan mencoba menyentuh ular tadi. Jinak! Batinnya. Yap, ular tersebut tak agresif saat jemari Ify menyentuh dan mengusap pelan punggungnya. Bahkan sekarang ular tersebut telah melingkar di leher Ify dan Ify pun kelihatan tak takut lagi.  Ia melihat isi kado tadi sekali lagi. Ada sebuah memo yang diletakkan disana. Ia mengambil memo itu dan membacanya singkat. ‘JANGAN DEKATI RIO!’ Begitulah isi dari memo yang dibacanya. Sejenak, kegiatan Ify hanya memandangi memo itu. Ckck, jatuh cinta sama Rio kayaknya berat banget sih?! Rutunya dalam hati. Ify berdiri dan menaruh kado ‘istimewa’ itu di bawah kasurnya lalu kemudian kembali duduk seraya memandangi ‘teman’ barunya. Gue namain...Ipi aja dah ya? Biar lo ingat sama majikan, muehehe..

“Pi, lo pernah jatuh cinta gak?”

***

 Cakka uring-uringan seharian ini. Pikirannya kusut, sama sekali tak ada jalan lurus. Otaknya tak bisa berpikir jernih. Apa yang ia pikirkan benar-benar saat ini nyaris membuatnya sakit kepala lebih-lebih sakit jiwa. Agni dan Febby. Dua gadis yang menjadi penyebab kenyarisannya tersebut. Ia merasa bersalah sekali pada Agni, yang notabenenya tidak tahu apa-apa tentangnya dengan Febby. Yang notabenenya tidak melakukan kesalahan sekecil apapun hingga membuat gadis itu mendapat perintah untuk menjauhinya. Lalu, Febby. Gadis ini tak kalah memusingkan. Febby adalah orang yang membuat Cakka menyuruh Agni melakukan penjauhan. Namun bukan itu yang menjadi topik pemikirannya tentang gadis itu, melainkan karena apa yang baru saja terupdate oleh Febby dan ia tak sengaja melihatnya.

@FebbRastanty : :) @oikcahya_r : Cieeh, A siapa? Alvin yaa? Jadi beneran nih? @FebbRastanty : I love Mr. A :**

Mulutnya seakan terkunci rapat-rapat setelah membaca status tersebut. Bukan masalah statusnya, melainkan siapa orang yang dimaksud oleh Febby. Ia tahu bahwa gadis itu satu sekolah dengan Alvin yang juga sahabatnya. Tapi ia tak mau mengambil kesimpulan terlalu cepat. Gak! Itu gak mungkin! Ia berusaha menyangkal pikiran buruk yang merasuki kepalanya. Pikiran tentang ‘Alvin’ adalah Alvin sahabatnya. Namun, sekeras hati ia mencoba menyangkal, suatu bukti otentik lain membuatnya harus mengalah pada sang pikiran buruk. Ia sudah mencari informasi tentang Alvin serta Febby. Dan bukti itulah yang ia dapat. Sebuah foto ketika Febby tengah menggandeng lengan Alvin.

“ARGH!!” Geramnya. Ia benar-benar geram pada dirinya sendiri. Apa ia harus mempercayai gosip itu? Foto tadi, status Febby...ah apa mungkin berita itu memang benar? Alvin dan Febby?

***

Sama halnya dengan Cakka. Alvin juga ikut-ikutan uring-uringan. Lantai rumah mungkin lelah karena dipijaki sedari tadi dengan aksi mondar-mandirnya. Bukan Shilla yang ia pikirkan. Tapi Febby, lebih tepatnya keadaan hatinya setelah kehadiran gadis itu. Masih utuh atau sudah terpecah 2 sekarang. Ia sendiri tidak tahu. Perasaannya pada Shilla memang tidak berubah, tapi untuk Febby? Ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya dimana ia selalu mendumel pada gadis itu. Bukan cinta. Itulah anehnya. Bukan perasaan cinta yang ia rasakan. Yang pasti, ya sangat sulit dijelaskan. Lebih-lebih karena ini tak berhubungan sama sekali dengan nalar, makanya akan tambah sulit mendapatkan penjelasan yang detail.

Ah, ngomong-ngomong, Shilla masih marah gak ya sama gue? Halah, yang tabah lo, Vin! Batin Alvin kemudian. Ia mengambil ponselnya cepat dan mencari sebuah nama di kontaknya untuk dihubungi. Siapa lagi kalau bukan Shilla. Hmm, sepertinya ia harus mempersiapkan diri untuk menunggu lama. Sudah kebiasaan jika Shilla sedang marah, maka gadis itu akan sangat susah diajak berkomunikasi dan berinteraksi.

***

Drrt...drrt..
Ponsel Shilla bergetar, tak hanya bergetar tapi terdapat deringannya juga, sedari tadi. Ia tak berusaha mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya itu. Bukan karena ia tak tahu, tapi karena ia pura-pura tidak tahu. Ia sedang malas untuk berbicara ataupun berkomunikasi dengan orang yang meneleponnya, Alvin. Entahlah, yang jelas ia ingin menenangkan diri dulu untuk hari ini. Mengingat nama itu seakan mengingatkannya pada kejadian kemarin pagi. Mengingatkannya pada sosok gadis yang kelihatannya dapat dengan mudah membuat Alvin mengabaikan apapun, termasuk dirinya, kekasih pemuda itu sendiri. Terlebih gadis itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Alvin. Jadilah, ia hanya sesekali melirik ke arah ponsel yang lampunya berkedip-kedip beberapa kali.

“Shillaa?” Panggil seseorang dari balik pintu kamarnya. Sepertinya itu Wiwid, Mamanya. Ia dengan segera menoleh ke arah pintu dan menyahut. Hmm, panggilan Wiwid lebih menarik minat untuk dijawab dibanding panggilan dari Alvin, bagi Shilla, untuk saat ini. “Ya ma?” Sahut Shilla seraya berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Kenapa, Ma?” Tanyanya kemudian. “Itu, ada orang di bawah. Mau ketemu sama kamu, katanya.” Tunjuk Wiwid ke arah ruang tamu. Shiila mengikuti arah tunjukkan Wiwid dan dirinya agak kaget melihat siapa yang ada disana. Cakka? Batinnya bingung. Ia dengan segera menghampiri pemuda itu yang terlihat tersenyum ketika dihampiri olehnya.

“Cak, ngapain lo disini?” Tanya Shilla langsung. Cakka tersenyum lagi dan menggaruk tengkuknya. “Gak ngapa-ngapain sih..” Jawabnya. Shilla mengkerutkan kening seraya ikut duduk di sofa seperti Cakka, tepatnya di depan Cakka. “Lah, terus?” Tanya Shilla lagi. Cakka terlihat kembali menggaruk tengkuknya. Bingung apa yang harus dikatakan. “Lo..emm jalan yuk?” Shilla melongo mendengar ajakan Cakka padanya. Sekalipun pemuda ini belum pernah melakukan itu terhadapnya. Ya, tentu akan terlihat aneh, Cakka mengajak pergi kekasih sahabatnya sendiri. “Hah?” Hanya itu yang bisa ia katakan.

Cakka terkekeh dan mengulangi ajakannya. Ia tak bingung-bingung lagi sekarang. “Gimana?” Tanyanya memastikan. Shilla garuk-garuk kepala dan sekarang gantian ia yang bingung. “Gue mesti izin dulu sama Alvin, ntar kita disangka macam-macam.” Shilla berdiri hendak berbalik badan menuju kamar. Cakka dengan cepat menggapai pergelangan tangan Shilla sekaligus menahan langkah gadis itu. Shilla kaget dan spontan melirik ke arah pergelangan tangannya yang dipegang oleh Cakka itu. Cakka lantas melepasnya segera. “Itu..gue udah bilang sama dia tadi!” Katanya kemudian. Shilla menyipit ke arahnya. Ia kurang begitu percaya pada perkataan Cakka barusan.

“Beneran?” Tanyanya menyelidik. Cakka menggaruk tengkuk lagi dan menjawab cepat. “Emm..ya!” Shilla diam dan berfikir sejenak. Sejurus kemudian, ia menyetujui ajakan Cakka sekaligus mempercayai perkataan pemuda itu yang sempat ia sangsikan. “Gak lama kan?” Tanyanya sebelum beranjak pergi. “Setengah jam lebih lah.” Shilla mengangguk pelan dan permisi ke kamar untuk mengganti pakaian. Cakka kemudian hanya memandangi Shilla yang bergerak menjauh. Satu hal yang ia pikirkan saat ini sekaligus menjadi pertanyaan untuk dirinya sendiri. Apa yang gue lakuin? Batinnya bertanya-tanya seraya menggeleng pasrah.

***

Agni baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Ify dulu tentunya ke rumah gadis itu. Ia berjalan memasuki kediamannya seraya mengurut-ngurut lehernya yang terasa pegal sekali. Tak lupa, ia juga melakukan peregangan pada kedua tangan. Seharian dengan aksi perang bantal ternyata cukup menguras tenaga juga. Membuatnya menguap karena mengantuk. “Ni!” Panggil Kiki yang duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Agni terpaksa berhenti dan menoleh malas ke arah kakaknya itu. “Hmm?” Dehemnya menyahut panggilan Kiki. Kiki lantas berdiri dan menghampirinya yang sedang berdiri pula. “Temenin gue yuk?” Ajaknya.

Agni mengangkat sebelah alis. “Yaelah kak, baru aja nyampe gue. Mau pergi lagi?” Ujarnya yang terkesan menolak. Kiki terkekeh kecil dan mengacak-ngacak rambut Agni. Agni menepis pelan tangan kakaknya yang bergerak mengganggu kerapian mahkotanya. “Ayolah, sebagai penyambutan kepulangan gue?” Bujuk Kiki kemudian. Agni menatapnya sebentar lalu mendesah pasrah. Benar, Kiki baru saja pulang. Ia belum melakukan penyambutan khusus pada kakaknya itu. “Hh, what can i do lah!” Serahnya. Kiki tersenyum sumringah dan langsung saja menarik adiknya hingga keluar rumah dan masuk ke mobil. Agni tak bisa berontak dan membiarkan apa saja yang akan dilakukan Kiki padanya.

***

“Siap?” Tanya Kiki mengarah pada Agni. Keduanya saling memegang bola basket dan bersiap-siap memasukkan benda memantul itu ke arah ring di hadapan mereka masing-masing. Kiki mengajak Agni bermain ke area permainan dalam mall yang mereka singgahi. Basket. Hal yang sudah sangat sering mereka lakukan selama ini. Agni kemudian mengangguk menanggapi pertanyaan Kiki. Dalam hitungan ketiga, mereka langsung melemparkan bola yang mereka pegang ke arah ring sekaligus memulai perlombaan siapa yang paling banyak mencetak poin.

“WEEHEEY GUE MENANG KAN!!” Girang Kiki. Poinnya lebih tinggi daripada Agni, meskipun hanya beda tipis. Agni melengos dan geleng-geleng kepala sendiri. Jarang-jarang Kiki seheboh ini kalau menang darinya. Ya bukan kalau lagi, karena hampir disetiap perlombaan selalu kakaknya itu yang memenangkan. “Ckck, lo kayak anak TK dikasih permen tahu gak?!” Gerutu Agni. Kiki menoleh dan menyeringai lebar. “Ya gue kan udah lama gak main sama lo, adikku sayang!” Katanya sambil mengacak-ngacak lagi rambut Agni. Agni hanya terkekeh mendengar perkataan kakaknya itu. “Serah lo deh!” Ujar Agni dan geleng-geleng kepala lagi. “Lagi?” Tanya Kiki kemudian. Mulut Agni terbuka sedikit dan menatap Kiki bingung. “Hah? Bunuh gue namanya! Gue capek kali, ini aja kepaksa!”

Kiki menatap adiknya geli. Sekali-sekali mengerjai Agni itu asyik juga. Begitulah menurutnya. “Gak usah ketawa juga kali!” Ledek Kiki. Tak ayal, Agni lantas memukul lengannya pelan. “Gue gak ketawa ._. Gue nyanyi, nyahaha..” Balas Agni tak mau kalah. Ia ikut-ikutan terkekeh. Kiki hanya tersenyum menatapnya. Baguslah, ia lebih suka adiknya itu santai seperti sekarang. Yah memang akhir-akhir ini, Agni terlihat agak...boleh dibilang murung. “Dasar!” Ujar Kiki seraya mencubit kedua pipi Agni gemas. Mereka sama-sama tertawa akan hal itu. “Ya udah cari tempat lain deh. Sumpek, disini rame banget!” Pinta Agni. Kiki terlihat menoleh ke sekitar dan mau tak mau setuju akan perkataan Agni itu. Memang, hampir tak ada sisi kosong di tempat dirinya dan Agni berada.

Kiki dan Agni tak lagi berada dalam area permainan yang tadi sempat mereka singgahi. Mereka berjalan menyusuri beberapa toko yang ada. Sesekali Kiki berhenti dan menunjukkan baju ‘aneh’ pada Agni seakan-akan menyuruh gadis itu memakainya. Agni menatap baju yang ditunjukkan Kiki itu ngeri dan menolak mentah-mentah. Yap, mana mungkin ia memakai baju yang hampir tak ada lengan yang ditunjuk oleh kakaknya. Lebih-lebih karena ukuran baju itu yang tak mencapai pinggang, ketatnya tak ketulungan dengan lubang dimana-mana dan yang paling parah itu warnanya..pink! Astaga, bisa dikira barbie jawa guee? Batin Agni merinding. “Hiii, cacat parah selera lo, kak! Gue kira freaky lo bakal berkurang selama lo di Amerika! Haha..”

Kiki tertawa kecil dan meletakkan baju ‘aneh’ yang dipegangnya tadi ke tempat semula. “Tengil lo! Justru baju kayak gini yang laku disana! Haha..” Agni tak membalas lagi. Ia hanya mengedikkan bahu. “Eh gue laper, kita cari makan aja.” Kiki menautkan jemarinya dengan jemari tangan Agni. Ya, wajarlah, kan kakak-beradik. Iya kan? Meskipun Agni merasa agak aneh dengan sikap kakaknya itu. “Iya, tapi gue gak usah dituntun kayak gini juga. Berasa jadi orang buta dan lo bagian mintain duit ke orang-orang!” Keluh Agni. Kiki menoleh dan tersenyum geli. “Biar lo gak hilang!” Ujar Kiki asal. Mereka tetap berjalan dengan tangan saling menggenggam. Emm mungkin lebih tepat Kiki yang menggenggam tangan Agni.

***

Cakka dan Shilla sampai di halaman parkir mall Zalora. *emangada?o,oa* Mall yang boleh dibilang cukup besar lah di Jakarta. *Anggapajaada!* Mereka keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam mall. “Lo kenapa sih tiba-tiba ngajak gue?” Tanya Shilla bingung. Alisnya terangkat ketika menanyakan itu. Cakka menoleh sebentar lalu mengedarkan pandangan ke arah lain. “Pengen aja!” Kata Cakka sekenanya. Ia sendiri bingung dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini, bersama Shilla, kekasih Alvin. Lalu? Kenapa kalau gadis itu adalah kekasih Alvin? Pertanyaan-pertanyaan yang terus mengerubungi kepalanya sejak dari rumah Shilla hingga sekarang.

Shilla menggigit bibir bawahnya tak enak hati. Yah, siapa tahu tiba-tiba ada Agni di sekitar mall ini. Melihatnya dan langsung salah paham. Tapi, memang tidak mungkin. Seingatnya, tadi Agni mengatakan akan langsung pulang ke rumah setelah mengantar Ify. Ya, semoga saja benar seperti itu. Shilla mulai mencoba berpikir positif. Hmm, berjalan-jalan di dalam mall ini membuatnya teringat akan kejadiannya bersama Alvin waktu lalu, di mall juga. Dimana saat itu, mereka berdua bergantian merajuk satu sama lain. Awal mula ia bertemu dengan Febby. Ah, Febby. Jadi teringat gadis itu kan? Kenapa juga gue harus kepikiran lagi? Astagaa, gue pengen tenaaang! Kok susah amat kayaknya? Rrrr..

Tak ada dialog yang terjadi antara Cakka dan Shilla sepanjang mereka berjalan. Mereka sibuk akan kegalauan yang melanda pikiran masing-masing. Membuat kebersamaan mereka hari ini seolah sia-sia. Bagaimana tidak? Bersama tapi masing-masing -sebenarnya- tak ada minat sama sekali. Masih memandang ke arah sekitar, tiba-tiba pandangan Cakka berhenti pada 2 muda-mudi berlainan jenis yang berjalan di depannya. Sangat familiar! Shilla hendak buka suara namun melihat sorot mata Cakka yang tiba-tiba aneh, ia melakukan penundaan sebentar dan lantas mengikuti kemana arah mata Cakka memandang. Tampaklah olehnya Agni dan Kiki, 2 orang yang dilihat Cakka tadi, cukup jauh jaraknya dari mereka.

Shilla memekik tanpa suara. Apa yang dikhawatirkannya terjadi. Bagaimana ini? Bagaimana jika Agni menyadari ada dirinya disana bersama Cakka? Lebih parah lagi jika mereka berpapasan. Hhh, jangan sampai! Jangan sampai! Batin Shilla risau. Ia menoleh ke arah Cakka lagi dan menepuk cukup keras pundak pemuda itu. Membuat Cakka terpaksa menyadarkan diri dari pikirannya yang baru saja mulai mendongeng tentang apa yang sedang Agni lakukan dengan Kiki. Ia menoleh ke arah Shilla yang terlihat panik. “Kenapa?” Tanya Cakka, pura-pura cuek. Shilla melengos mendapati respon seperti itu. Ia tahu Cakka pura-pura dan ia benci hal itu. Ia benci orang yang berpura-pura.

Shilla hendak berujar tapi tiba-tiba saja batal. Ia baru sadar. Jika ia menyebutkan tentang Agni yang bisa salah paham, itu sama saja membuat Cakka mengetahui bahwa Agni -yang kemungkinan besar- menyimpan perasaan khusus untuknya. Shilla menggeleng cepat dan mengalihkan pandangan. Tangannya menggaruk-garuk pipi sambil memikirkan cara untuk menghindar dari Agni. Ia kemudian berhenti dan berbalik badan. Tak peduli dengan Cakka, ia berjalan begitu saja meninggalkan pemuda itu. Akan lebih baik juga ia pergi sendirian. Jika tetap mengajak Cakka, akan ada kemungkinan lain bahwa ia akan bertemu Agni lagi, di tempat lain di mall Zalora ini.

Cakka ikut-ikutan berhenti dan hanya memandangi Shilla yang berjalan meninggalkannya. Ia lantas berlari menyusul gadis itu dan dengan cepat berhasil beriringan kembali. Ia membuat gadis itu berhenti berjalan dan menghadap ke arahnya. “Eh lo kenapa nyusul gue lagi?!” Gerutu Shilla. Sesekali melirik ke arah Agni yang terus saja berjalan dan jaraknya makin dekat. “Ya lo yang ninggalin gue!” Sungut Cakka tak terima. Shilla melengos dan hendak berjalan lagi. Cakka melihat itu dan tentu saja tak membiarkan Shilla meninggalkannya untuk kedua kali. Ia meraih pergelangan Shilla dan menghadapkan gadis itu kembali padanya.

Sementara itu, Kiki tak sengaja melihat Cakka yang berada beberapa meter di hadapannya. Ia melirik ke arah Agni yang sepertinya belum sadar karena asyik memadang ke arah sekitar. Ia beralih pada Cakka kembali yang sekarang terlihat mengejar seorang gadis yang ia tebak itu Shilla. Ia tersenyum miring melihat itu. Kesempatan bagus! Batinnya senang. “CAKKA!” Pekiknya kemudian. Agni terkesiap dan langsung menoleh ke arah Kiki lalu kemudian melihat ke arah yang pemuda itu tuju. Ca..Cakka? Batin Agni kaget. Tak sampai disitu, ada Shilla juga disana, yang pergelangan tangannya sedang tergenggam oleh Cakka. Ia mulai merasa sulit bernafas. Jantungnya pun sudah melaju dengan kecepatan tinggi.

Cakka tak sempat berbicara lagi karena kalah cepat oleh seseorang yang tiba-tiba meneriaki namanya. Ia segera menoleh ke sumber suara. Kiki. Ya, rupanya pemuda itu yang melakukannya. Ia melihat Kiki berjalan cepat ke arahnya diikuti oleh Agni. Mereka masih saja saling menautkan tangan dan itu membuat Cakka sedikit bahkan sangat kesal. Entahlah kenapa. Antara tidak suka akan kehadiran Kiki atau malah tak suka dengan jemari pemuda itu yang  berselingan dengan gadis di sebelahnya. Rrr..kacau banget gue hari ini! Rutunya dalam hati. Tanpa sadar, ia terus saja menggenggam pergelangan Shilla dan Shilla sendiri pun juga tak sadar akan hal itu. Ia masih larut dalam kepanikan karena Agni yang kali ini berjalan benar-benar untuk menghampirinya dan Cakka juga tentunya.

Kiki dan Agni kini sudah berhadapan dengan Cakka dan Shilla. Keringat Shilla terlihat mengucur padahal ruangan yang sedang mereka tempati ini ber-AC. Shilla menelan salivanya sambil berharap-harap cemas bahwa sesuatu yang tidak diharapkan tidak akan terjadi. Sementara Cakka, ia hanya menatap kedua orang di hadapannya datar. Agni dan Cakka sempat beradu pandang sejenak hingga mata Agni turun ke tangan Cakka dan tangan Shilla. Hatinya agak mencelos melihat itu. Jadi, itukah alasan Cakka menyuruhnya menjauh? Karena Shilla? Astaga mikir apaan sih lo? Shilla, dia sahabat lo, Ni! Dia juga udah punya Alvin. Batin Agni berusaha mengelak.

Cakka mendapati arah pandangan Agni pada tangannya. Ia refleks menunduk melihat ke arah tangannya pula dan seakan baru sadar bahwa tangannya sedari tadi bertengger di pergelangan Shilla. Ia hendak melepas tapi kemudian ia juga melihat tangan Agni dan Kiki yang saling bertaut kian erat. Ia mendengus. Ia tidak jadi melepas genggamannya dan malah menatap Agni sinis. Agni menyadari itu dan melihat ke arah tangannya juga. Ia ingin melepaskan diri tapi Kiki malah menguatkan genggamannya. Ia mencoba sekali lagi tapi tetap saja. Tenaga Kiki lebih kuat. Ia hanya bisa menghela nafas pasrah sekarang. Sudahlah, sudah terlanjur kacau juga. Biar sekalian berantakan semuanya. Lirih Agni dalam hati.

“Ngapain lo disini?” Tanya Cakka ketus dan masih menatap Agni sinis. Agni mendesah dan malah memilih menatap kakaknya yang terlihat gusar akan sikap ketus Cakka tadi. Shilla, ia masih diam mengamati orang-orang baik di samping maupun di depannya. “Lo tadi laper kan?” Tanya Agni mengabaikan Cakka. Kiki sempat maju karena kesal namun Agni menguatkan genggamannya yang semula tak ia pedulikan. Seolah-olah melerai Kiki sehingga membuatnya tetap di tempat. Kiki menghela nafas akibat itu. Sejurus kemudian, ia tersenyum menatap Cakka. “Rencana tadi mau cari makan. Kebetulan ada lo berdua, kenapa gak bareng aja? Kan gak ada salahnya juga makan bersama dengan pacar masing-masing. Ya kan, Cakka?” Ujar Kiki yang hampir membuat mata Agni dan Shilla melompat keluar dari wadahnya karena kaget.

Pacar masing-masing? Haha, makin parah! Pikir Agni. Ia mendesah lagi. Lalu, Shilla, tentu saja ia tak terima. Ia ingin membantah namun Cakka lebih dahulu berbicara dibanding dirinya. Membuatnya benar-benar harus diam dalam situasinya sekarang. “Ide bagus. Pacar gue setuju kok! Tanya pacar lo dulu deh, kayaknya dia gak setuju tuh!” Kata Cakka sarkastis seraya melirik ke arah Agni. Mata Shilla sungguh tak dapat lagi tenang, jantungnya pun ikut-ikutan. Apaan nih?! Batinnya frustasi. “Gue setuju kok, tenang aja ‘Cakka’!” Jawab Agni dingin. Ia balas menatap Cakka datar. Melihat itu, Shilla hanya bisa menghembuskan nafas berat. Pasrah, itulah tepatnya. Kayaknya gue salah udah datang kesini. Salah besar! Batinnya lirih.

Jadilah, Cakka dan Shilla berjalan lebih dulu di depan Kiki dan Agni. Cakka sampai sekarang masih memegang pergelangan Shilla. Mungkin pergelangan itu sudah memerah akibat dipegang tak wajar sedari tadi. Agni hanya memandangi itu seraya menguatkan diri. Ia tahu Cakka berbohong. Mana mungkin Shilla selingkuh, bukan? Yang ia tahu sekarang bahwa Cakka begitu membencinya. Tapi karena apa? Apa kesalahannya pada pemuda itu sudah teramat besar? Sudah terlambat untuk meminta maaf dan dimaafkan? Perasaan, kesalahannya pada pemuda itu hanyalah kebohongannya soal basket. Ya, hanya itu. Apa mungkin masih ada lagi? Dan gue gak tahu soal itu? Oh my, siapapun yang tahu, pliss kasih tahu gue saat ini juga! Tapi, ngomong-ngomong, Cakka kenal dengan kakak gue? Hah? Sejak kapan? Terus, kenapa mere-

Agni mendadak berhenti berjalan. Bukan tanpa sebab. Bukan Cakka dan Shilla juga penyebabnya. Melainkan karena keram di betis kanannya yang muncul mendadak pula. “Ah..” Rintihnya seraya merunduk memegang betis. Kiki terlebih dahulu berhenti. Wajar, posisinya paling dekat dengan Agni. Lalu kemudian, Cakka dan Shilla ikut berhenti juga. Cakka akhirnya membebaskan pergelangan Shilla dari cengkraman. Shilla begitu lega akan hal itu. Ia meniup-niup serta mengusap pelan pergelangannya. Agni masih merunduk dan belum mengatakan apapun. “Kenapa lo?” Tanya Cakka pura-pura cuek. Meski sebenarnya ia sama khawatirnya dengan Kiki sekarang. Agni tak menoleh ke arahnya melainkan ke arah Kiki.

“Kak..kaki..kaki gue..keram..AH!” Kata Agni terbata dan merintih lagi. Kali ini ia sudah terduduk di lantai. Baik Kiki, Shilla maupun Cakka spontan ikut duduk. Cakka lekas memegang kaki Agni yang keram itu. Tak peduli lagi bahwa ia masih harus mempertahankan sikap cuek dan ketusnya pada Agni. “Tahan!” Ujar Cakka. Agni menatapnya bingung. Nih orang kenapa lagi? Apa sekarang mau berbuat baik? Hhh, gue sama sekali gak ngerti sama lo! Batin Agni menggerutu. “Hah?” Cakka melirik Agni sebentar lalu beralih pada kaki gadis itu. 1..2..3!
“YAA!!”

***

Via memilih pergi ke toko buku di dalam mall terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Sudah lama ia tak menambah koleksi novel-novelnya di lemari. Yah, karena kesibukan sekolah, ia jadi tak sempat berleha-leha apalagi membaca novel. Belum lagi, ia sudah memasuki akhir semester di kelas XI. Telunjuknya menjamahi satu persatu novel yang tersusun rapi dan berjejer ke samping di rak. Cukup lama dan belum ada juga satu pun yang berhasil menarik minatnya. Kemudian, telunjuknya berhenti pada sebuah novel, tebal dengan cover cantik berwarna merah muda dan gambar sepeda di depannya. ‘Forget about it’. Begitulah judulnya. Via lalu mengambil novel itu dan membaca sekilas tentang isi novel tersebut yang tertulis di bagian belakang.

‘Pernahkan, saat pagi-pagi membuka mata, kau berharap bangun sebagai orang yang benar-benar berbeda?’ Kata pembuka dari ringkasan isi yang ia lihat. Hmm, sepertinya menarik! Batin Via yang akhirnya memutuskan untuk membelinya. Setelah membayar ke kasir, Via kemudian duduk di salah satu kursi panjang yang di sediakan khusus untuk membaca. Tak lama setelah ia duduk, coklat hangat yang dipesannya datang. “Makasih!” Katanya pada seorang pelayan yang mengantar. Pelayan tersebut mengangguk tersenyum dan segera kembali ke tempat kerjanya. Via menyesap sedikit minumannya itu lalu mulai membuka plastik yang membungkus novel barunya. Ia lalu mengambil pena hendak memberi nama novelnya di lembaran pertengahan.

‘SIVIA AZIZAH, 26 Maret 2012’

Selesai dengan itu, Via menyimpan penanya kembali. Belum sempat membaca bab pertama dari novel tadi, dalam sekejab perhatian Via beralih pada seseorang yang baru saja menduduki kursi panjang di depannya. Bukan tepat di hadapannya melainkan agak sedikit di ujung kursi sementara Via duduk di tengah-tengah. “Gue tunggu disini aja!” Kata pemuda itu. Seorang gadis yang juga datang bersamanya mengangguk dan tersenyum lalu kemudian pergi. Mungkin hendak mencari buku seperti yang Via lakukan sebelumnya. Iel? Kok..ceweknya beda? Batin Via bertanya-tanya. Ia masih mengamati Iel, pemuda tadi, baik-baik hingga Iel sadar ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi.

Iel menoleh ke arah Via. Beruntung Via sigap dan langsung menutupi wajah dengan novel yang ia beli. “Aiss, kenapa noleh segala sih?!” Rutunya pelan. Iel melihat Via bingung. Ia masih belum tahu bahwa yang ia lihat itu Via. Ia hanya merasa tak cukup asing dengan gadis itu. Ia kemudian mendapati Via sedang mengintip ke arahnya. Ia terkekeh geli melihat itu. Jadi, memang benar. Gadis itu diam-diam memperhatikannya. “Mbak?” Panggilnya. Via terkejut setengah mati. Apakah ia ketahuan? Via makin merunduk di balik novel yang menutupinya. Kekehan Iel terdengar lagi. “Mbak, itu bukunya kebalik loh!” Ujar Iel. Mulutnya menggembung menahan tawa yang dapat dengan mudah meledak.

Via tersentak dan baru menyadari posisi novelnya salah. Astaga, kayak orang bego deh gue! Hiks! Katanya dalam hati. Ia memutar novelnya sehingga tak terbalik lagi. Iel masih terkekeh. Ia pun bergelora untuk menggoda Via lagi. “Mbak, gimana rasanya baca kebalik?” Ujar Iel. Ia menggeser duduknya dan sekarang tepat berhadapan dengan Via. Via? Panik. Grogi. Berdebar. 3 hal yang menderanya secara bersamaan. Iel jauh saja sudah membuatnya ‘susah’ apalagi sedekat sekarang. “Strawberry!” Jawabnya asal. “Mbak, mukanya kok ditutup sih? Wah jangan-jangan mbak buronan ya?” Goda Iel lagi.

Via mendengus kesal. Nih orang kenapa gak pergi juga sih?! Rrr.. “Muka saya jelek!” Jawabnya asal, lagi. Lagian, kenapa gue sembunyi kayak maling gini? Pikir Via. Iel ingin buka suara kembali, namun gadis yang bersamanya tadi datang. Membuatnya harus beralih pada gadis itu. Via mengambil kesempatan tersebut untuk kabur dan bersembunyi di balik rak buku. Ia mengintip apa yang dilakukan Iel dan gadis yang entah siapa pemuda itu, dalam persembunyiannya. Entah apa pula yang diperbincangkan oleh dua lawan jenis itu. Yang jelas, dari bahasa tubuhnya, mereka terlihat emm mesra mungkin. “Itu pacarnya...juga?” Gumam Via seraya tetap mengamati Iel dan gadis yang -sekali lagi- ia tidak tahu siapa, siapanya Iel.

***

Sehabis makan ‘bersama’, Cakka dan Shilla memutuskan langsung pulang. Keduanya sudah tidak memiliki mood lagi untuk berlama-lama di Zalora. Shilla jengkel sejengkel-jengkelnya pada pemuda yang mengajaknya ke mall ini. “Lo seneng jalan-jalannya? Hah?” Maki Shilla dan menatap Cakka sinis. Cakka hanya menoleh sekilas dan menggeleng pelan. Lidahnya terlalu kaku untuk melakukan perdebatan sekarang. Mumet di pikiran sedang booming-boomingnya (?). Sudah melebihi batas wajar. Agni-Febby-Agni-Febby. Dua gadis yang hampir berhasil membuat kepalanya melebur. Buyar segala isinya. Malah sekarang bertambah pula satu lagi. Kiki. Ya, siapa pemuda itu? Maksudnya, siapa pemuda itu bagi Agni? Kenapa mereka terlihat begitu akrab? Bahkan tadi sempat berpegangan tangan. Lalu, kenapa gue harus menanyakan hal itu? Rrr, benar-benar..

“Hai!” Sesuatu tak terduga dan yang terpenting itu sangat tidak diinginkan terjadi kembali. Seseorang ternyata sudah menunggu kedatangan mereka sejak tadi. Mata Shilla membelalak karena kaget sementara Cakka hanya menghunuskan pandangan datar pada orang itu. Mungkin lebih tepatnya lelah seperti ingin mengatakan ‘Sekarang apa lagi?’. Begitulah kira-kira. “A..Alvin?” Shilla mati langkah. Sementara Cakka, dalam hati ia berharap semoga tak akan ada masalah lagi. Alvin, orang tadi, melipat kedua tangannya di dada dan tersenyum hambar ke arah baik Shilla maupun Cakka. “So, lo sama dia selama ini?” Kata Alvin mengarah pada Shilla. Shilla masih diam, bingung harus menjelaskan bagaimana.

Cakka mengerang kesal. “Argh, gue pusing, capek! Lo urus masalah lo berdua deh, gue gak mau ikut-ikutan!” Cakka mengambil langkah cepat hendak masuk ke mobil. Namun, sebelum tangannya sempat menggapai pintu, suara Alvin menghentikan pergerakannya. “Bukannya gue yang harus bilang kayak gitu?” Ujar Alvin kali ini pada Cakka, namun pandangannya tetap pada Shilla. “Udah selesai ‘urusan’ lo berdua? Puas jalan-jalannya? Kayaknya lo berdua seneng banget ya? Sampe pegang-pegangan tangan lagi! WAW!” Lanjut Alvin. Shilla menggeleng cepat dan ingin membantah namun lagi-lagi didahului oleh Cakka. “Tolong, gue pusing! Permisi!” Cakka masuk ke dalam mobil dan melajukannya segera. Meninggalkan Shilla yang bingung ia akan pulang dengan siapa. Alvin? Hmm, masih bisakah pemuda itu diharapkan? Maksudnya, diharapkan bisa mengantarnya pulang.

“Vin..” Panggil Shilla hati-hati. Alvin membuang muka kesal. “Gue kecewa sama lo!” Shilla mendengus. Alvin benar-benar salah paham! Pikirnya. Ia maju mendekat namun Alvin melarang dan menyuruhnya tetap diam di tempat. “Vin, gue gak ada apa-apa sama Cakka..” Kata Shilla berusaha menjelaskan. Alvin menoleh dan menatap Shilla tajam. “Gak ada apa-apa? Haha, gue gak cukup bego buat lo bohongin.” Sungut Alvin. Shilla mendengus lagi, kali ini lebih keras. “Pernah gue bohong?” Tanyanya kemudian. Dalam hati, setitik kekecewaan terukir disana. Mendengar Alvin yang mengatakan bahwa dirinya berbohong..hmm sangat menusuk rasanya. Alvin udah gak percaya lagi sama gue. Hiks! Batinnya lirih.

“Mungkin aja!” Jawab Alvin cepat. Kan, sekali lagi, jawaban Alvin menusuk dalam-dalam ulu hatinya. “Lagipula, lo lebih milih jalan sama Cakka dibanding merespon panggilan gue. Hape lo mati? Oh atau lo sengaja supaya gak mengganggu ‘acara’ lo? Hah?” Lanjut Alvin yang sudah kalap. Shilla diam tak langsung menjawab. Sejenak mereka saling pandang tanpa terdapat obrolan di sela-selanya. “Sekali aja kita gak berantem bisa gak, Vin? Gue bosan, Vin! Bosan kayak gini terus!” Ujar Shilla memelas. Ia mencoba melunak dan berharap Alvin akan melakukan hal yang sama. Alvin, kepercayaan lo beneran udah berkurang? Hah? Tanya Shilla dalam hati.

Alvin melengos dan lebih memilih tetap diam. Ia berjalan hendak masuk ke mobil. Shilla masih berdiri di tempat dan hanya memandangi kekasihnya itu yang tinggal beberapa centi lagi sampai di depan pintu. Alvin membuka pintu mobilnya namun tak langsung masuk. Ia diam dan berujar kembali. “Cepetan masuk! Gue antar lo pulang.” Katanya tanpa menoleh sedikitpun. Shilla, untuk kesekian kali mengulang dengusannya. “Lo niat gak? Jangan maksain hati, gue bisa cari taksi kok!” Tanpa menunggu jawaban Alvin, Shilla berbalik badan dan mulai melangkahkan kaki pergi menjauh. Alvin gantian mendengus dan menutup kembali pintu mobilnya yang baru ia buka tadi.

“Lo bilang jangan berantem kan? Lalu, sekarang apa? Lo yang mulai!” Katanya pada Shilla. Shilla terpaksa berhenti dan berbalik badan menghadap Alvin kembali. “So, gue yang salah?” Sungut Shilla. Makin lama, Alvin makin membuatnya dongkol. Makan hati setelah sebelumnya diris-iris secara kasar dan tak karuan. Tak karuan pula rasanya bagamana. Yang pasti, namanya teriris pasti perih. “Gue cuma minta lo masuk, apa susahnya?” Shilla mendecak dan menghentakkan kaki kesal. Air matanya yang tanpa disuruh keluar sudah mendahului perintah. Alhasil pipinya dibuat basah akan hal itu. “Aiss, iya-iya! Gue masuk. Puas lo, hah?!” Gerutunya dan berjalan cepat masuk ke mobil Alvin. Alvin melihat itu dan sekarang malah merasa bersalah. Ia lalu ikut masuk ke mobil.

Shilla masih terisak dalam pandangannya ke arah jendela. Alvin diam tak berusaha menyalakan mobil. Ia menoleh ke arah Shilla lalu menghela nafas panjang. “Ya udah, jangan nangis juga!” Keluhnya berharap Shilla mendengar dan menurut. Shilla masih memandang ke arah jendela, belum tergerak untuk menoleh ke arah Alvin balik. “Jalan aja!” Katanya singkat. Rrr, ini air mata kenapa gak bisa berenti sih?! Shilla seperti sulit menahan laju bulir-bulir itu keluar. Seperti ada kebocoran hingga membuat air matanya terus-menerus mengalir. “Ya lo jangan nangis! Gue bingung jadinya,” Alvin tetap bersikukuh menyuruh Shilla agar berhenti menangis. Rasa bersalahnya kian besar dengan semakin banyaknya air mata Shilla yang tertumpah.

“Salah sendiri, lo yang bikin gue nangis!” Kata Shilla tak mau mengalah. “Berhenti dulu nangisnya, baru gue jalan!” Keukeh Alvin. Ya, mungkin ia tak akan menghidupkan mesin mobilnya sebelum Shilla menyanggupi apa yang ia minta. “Gue lagi pengen nangis,” Kata Shilla yang justru makin terisak. Alvin mendesah malas. “Gue bilang jangan nangis!” Pintanya. Memaksa mungkin lebih tepat. Shilla kali ini menoleh sebentar lalu kembali memandang ke arah jendela. “Gue gak bisa berhenti nangis!” Alvin mengerang dan mengacak-ngacak rambutnya putus asa. “Ya paksa supaya lo berhenti nangis! Argh!” Katanya. Hh, bisa ngomong baik-baik gak sih? Batin Shilla merutu. Ia lalu menatap kesal Alvin. “Kenapa jadi bahas tentang gue nangis? Jalan-jalan aja, gak usah peduli sama gue! Sebelumnya lo juga gak peduli kan?”

“Udah gue bilang, sebelum lo berhenti nangis, nih mobil gak bakal jalan!” Kata Alvin tetap keras kepala. Shilla pun sama. Tak sedikitpun kadar tangisnya berkurang, melainkan bertambah deras. “Heh, lo kenapa sih? Sok-sok peduli, lo marah-marah tujuannya buat gue nangis juga kan? Ya udah, terwujud sekarang. Apalagi?” Aduh, pasangan ini! Sepertinya kalian akan memuat waktu yang lebih panjang untuk meneruskan perdebatan. “Tentu aja gue peduli! Gue cuma minta lo jangan nangis!”
“Lo pikir semudah itu hah? Gue juga gak pengen nangis, tapi gimana? Air matanya gak mau berhenti! Udahlah, cepet jalan. Dengan itu, lo gak bakal lama-lama liat gue nangis!”
“Jangan nangis gue bilang!”
“GUE GAK BISA BERHENTI ALVIN! KENAPA LO TERUS-TERUSAN DESAK GUE?” Shilla memekik tepat di muka Alvin. Nafasnya tersengal-sengal akibat aksi pekiknya barusan. Dimana sebelumnya, ia juga sudah tersengal-sengal karena menangis. “ARRGH! KARENA GUE GAK SUKA LIAT LO NANGIS!” Shilla diam. Jika Alvin sudah memekik seperti itu, artinya pemuda itu sudah benar-benar marah. Hei, tapi seharusnya pemuda itu juga sadar. Tak hanya dirinya yang sedang marah, gadis di hadapannya juga sedang menjalankan aksi itu. “Ya..gue gak pengen liat lo nangis. Ya udah, gue minta maaf. Tapi, pliss! Jangan nangis, lo tahu kan alasannya?” Alvin pada akhirnya melunak sekaligus mengalah. Tangisan Shilla adalah senjata paling ampuh untuk mengudarakan kemarahannya. Ia paling dan sangat tidak suka melihat orang yang dicintainya menangis. Rasanya, ia sudah bersikap keterlaluan hingga membuat gadisnya sampai terisak.

Shilla sekali lagi hanya diam dan menunduk. Menangis tidak boleh, lalu harus apa lagi? Pikirnya. Alvin melihat itu dan mendengus. Ia kemudian menangkup wajah Shilla dengan tangan sekaligus mengarahkan wajah gadis itu ke arahnya. Ia terlihat menghapus bekas-bekas air mata yang merembes di wajah Shilla. Shilla masih diam dan membiarkan kekasihnya melakukan itu. “Lo kira lo cantik kalo lagi nangis? Hah?” Alvin menggerutu lagi. Antara kesal, khawatir, merasa bersalah dan tak tahu harus apa. Semuanya berunjuk rasa serentak dalam diri Alvin. “Jangan marah..” Pinta Shilla dengan nada manja. Ingin permasalahan konyol dalam hubungannya berakhir secepatnya. Tanpa perlu ada masa mediasi lebih lanjut.

Alvin hanya diam seraya melepas tangkupannya dan menghadap ke depan. Dalam waktu saling diam itu, Alvin mulai menghidupkan mesin mobil dan membuatnya melaju. Meski terlihat kesal, namun dalam hati ada helaan rasa lega menghentak ke dasar hati pemuda ini. Lega karena ia masihlah Alvin yang dulu. Masihlah dengan perasaannya dulu. Tak berubah sedikitpun. Ia masih mencintai gadis cantik di sebelahnya sedemikian besar. Terbukti, ia masih kenal dengan makhluk aneh yang menamai dirinya sebagai ‘cemburu’, teman yang sudah lama sekali tak ditemui oleh Alvin. Ia berterimakasih pada seseorang pengirim foto ‘ajaib’ yang sangat berkaitan dengan Shilla, gadisnya. Sebuah foto yang mengundang asanya untuk datang ke mall ini. Foto ketika pergelangan Shilla digenggam oleh Cakka. Sungguh, ribuan terimakasih ia julurkan pada orang itu, entah siapa.

Sementara Shilla, perasaan setengah-setengah menghinggapi benaknya saat ini. Setengah senang namun setengah sedih juga. Senang mengetahui Alvin masih setia memendam perasaan spesial untuknya dan -masih- sedih memikirkan Alvin sedikit demi sedikit mulai tidak mempercayainya, mempercayai kemantapan hatinya untuk pemuda itu. Belum banyak bukti, namun salah satunya mungkin sudah menampakkan diri. Dimulai dari Alvin yang untuk pertama kali menyangkal kejujurannya. Ah semoga saja, hanya satu itu. Hanya sampai disitu. Karena jika menyusul yang kedua kali, ketidakpercayaan itu bisa saja berbalik padanya.

***

HACHI!!
Sudah berulang kali Ify bersin. Badannya pun terasa tak enak. Padahal tadi masih baik-baik saja. Ipi sudah dialih tanggung jawabkannya kepada Bi Siti *Ehnamapembantuifykemarinsiapaya? Sayanyalupa._.* Ify terkikik melihat reaksi Bi Siti waktu itu saat menjamahi tubuh licin Ipi. Bahkan sampai naik ke atas kursi meja makan. Ify geli sendiri mengingat-ngingat kembali tingkah Bibi-nya tersebut. “Hachii!” Astagaa, flunya semakin membiang sepertinya. Ify lalu menghempas diri ke kasur dan menutupi hampir seluruh badan kecuali mukanya dengan selimut. Jangan sampai malaria gue kambuh! Hhh.. Batinnya berharap.

Belum sempat mencapai lelap, seseorang mengganggunya dengan membuka pintu kamar. Bukan bermaksud menganggu juga sih. “Neeng? Tidur ya?” Tanya orang itu yang ternyata Bi Siti *sekalilagilupanamanya*. Kepalanya menyembul dari balik badan pintu. Ify menoleh dan perlahan-lahan duduk. “Kenapa Bi?” Tanyanya balik. Ia mengusap-ngusap hidungnya yang agak gatal. Hachii! Tuh kan! “Loh neng Ify sakit?” Siti memberanikan diri masuk ke dalam dan mendekat ke arah Ify. Ify menggeleng segera, meyakinkan Siti bahwa ia baik-baik saja. “Cuma bersin doang kok! Hehe..” Elaknya. Siti manggut-manggut dan kemudian ingat kembali pada tujuannya datang ke kamar Ify. “Oh iya, ada Den Rio tuh di bawah!”

Kening Ify mengernyit. Membentuk beberapa lipatan disana. Hah? Rio? Ngapain? “Bibi permisi dulu, Neng!” Pamit Bi siti dan segera angkat kaki dari kamar. Ify sendiri masih diam memikirkan kenapa Rio tiba-tiba datang. Pada akhirnya, ia terpaksa keluar kamar dan berjalan menuruni tangga menuju ruang tengah. Meskipun badannya kini benar-benar sulit untuk dibawa berjalan kemana-mana. Bi Siti benar, sudah ada Rio dibawah. Duduk seraya menyandar ke badan sofa. Ify sedikit mempercepat langkah dan ikut duduk bersandar seperti yang Rio lakukan. Haaah, surga dunia sekali rasanya! Katanya lega, dalam hati. “Tumben lo kesini.” Ujarnya mendahului perbincangan.

Rio menoleh sekilas lalu beralih pada ponsel yang entah sejak kapan dikeluarkannya. “Nyokap yang nyuruh!” Ify lantas membalas tolehan Rio. Kebosanan terurai dalam sorotan mata pada pemuda itu. Nyokap lagi. Ckck, lo-nya kapan? Batinnya lirih. “Buat? Ada titipan makanan?” Tanya Ify. Rio menggeleng pelan. “Gue gak boleh pulang kalo gak sama lo.” Kening Ify kembali mengernyit. Tanpanya? Kenapa dirinya jadi dikait-kaitkan? “Kenapa harus sama gue?” Ify menegakkan tubuhnya begitu pula Rio. Rio mendengus. Malas sekali untuk menjelaskan secara detail kepada Ify. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Daripada ditanya lebih lanjut lebih baik diutarakan. “Pilihan lo cuma dua, dan nasib gue tergantung pilihan lo itu.” Kata Rio mengambang. (?)

Ify garuk-garuk kepala tak mengerti. Pemuda dihadapannya mengajak berteka-teki. Dan malangnya ia tak ahli dalam hal itu. “Lo tahu gue bego, jangan ngajak mikir kenapa?” Rutunya. Rio melengos dan kembali bersandar. “Pilihan pertama, lo ikut gue ke rumah dan tinggal disana sampai Papa lo sembuh. Yang kedua..” Kata Rio mengambang lagi. Ify benar-benar tak mengerti. Apalagi, kenapa harus menginap di rumah Rio? “Hachii!!” Bersin Ify muncul kembali. Ia menutup setengah wajahnya sebentar dan lantas mengipas-ngipas wajahnya itu agar rasa gatal segera melenyapkan diri. “Kalo bisa yang pilihannya gue tetep di rumah. Mager gue.” Ujarnya di sela-sela mengipas. “Ya udah, berarti lo milih yang kedua.”

Ify masih mengipas wajahnya. Air mukanya memadukan 2 ekspresi. Bingung yang sedang naik daun dan menahan gatal di hidung. “Hah? Yang kedua apaan? Gue menang gak?” Lanturnya. Gantian Rio yang bingung. “Dasar, otak judi! Ya gak lah!” Dumelnya. Ify sedikit mencibir mendengar itu. “Makanya, ngomong itu lurus-lurus. Lo mah banyak persimpangannya!” Dumel Ify balik. Setiap kata yang diucapkan pemuda di depannya itu membuatnya harus berpikir keras layaknya sedang menjalani ujian sekolah. “Hh, yang kedua itu, gue yang harus nginep di rumah lo.” Balas Rio. Nada suaranya terdengar santai namun ada kesan malas juga. “Nginep? Ooh..” Sahut Ify. Sejurus kemudian ia baru sadar arah perkataan Rio. “HAH?! HACHI!” Ify kaget dan bersin disaat yang bersamaan.

Rio mengatup mulut menahan tawa. Tingkah Ify membuatnya geli. Ia menarik banyak isi dari kotak tisu di depannya. “Lo konsisten dong, mau kaget apa bersin dulu?” Ledeknya seraya menyodorkan beberapa lembar tisu pada Ify. Ify menerimanya kasar. Dalam sekejab, tisu-tisu yang dipegangnya berlendir dan menjadi agak basah. Ify melirik tajam ke arah Rio yang mengikik ria padanya. “Apasih? Gue tembak juga lo! Mumpung senjata gue masih full nih!” Mangas Ify. Ia sudah berhenti dari kegiatan mengipas wajahnya dan sekarang malah berkacak pinggang pada Rio. Bukannya berhenti, kikikan Rio terdengar makin keras. “Jadi lo mau nembak gue nih?” Godanya yang salah mengartikan kata-kata Ify barusan. Yang maksud sebenarnya ‘menembak’ Rio dengan lendir-lendir dalam hidungnya, bukan ‘menembak’ yang seperti ‘itu’, seperti yang Rio pikirkan. Yah salah ngomong deh! Batinnya.

“Eee bukan itu maksudnya!” Sanggah Ify kemudian. Tetap saja, Rio tak peduli dan justru makin berniat menggodanya lebih lanjut. “Nembak guenya harus romantis ya! Dengan mata berbinar, muka memelas dan penuh harap! Haha..” Ujarnya membuat pipi Ify menggembung menahan kekesalan. “Iss, apa-apaan nyuruh gue nembak? Seharusnya dia bukan gue! Lagian, gue udah pernah nembak dia juga kan? Haha, ngenes. Gue ditolak! Hiks!” Cibir Ify pelan. Kemudian, tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Ia sama sekali tak ada niat menyambut tamu yang datang itu. Ia berdiri, bukan untuk membuka pintu melainkan untuk pergi ke toilet demi membasuh muka terutama hidung. “Eh mau kemana lo? Tuh, ada orang, liat sana!” Kata Rio heran sekaligus menyuruh Ify memeriksa siapa orang yang datang bertamu.

Ify berhenti sebentar dan menoleh ke belakang. “Biarin! Kalo lo mau, lo aja sana!” Sahut Ify jutek. Kekesalannya masih membara sampai sekarang. Ia lalu kembali melanjutkan berjalan ke toilet di dekat dapur. Lalu Rio, tak ada pilihan lain. Ia yang akhirnya harus membuka pintu depan rumah Ify karena sang tamu tak henti-hentinya menekan bel. Dalam beberapa langkah, Rio sampai di depan pintu dan membukanya. Tampaklah seorang gadis berambut sebahu dan berkacamata sedang berdiri menghadapnya. Gadis itu tersenyum manis. “Loh? Lo ngapain kesini?” Tanya Rio yang bahkan tak menyambut gadis itu melainkan memberi pertanyaan langsung akan kedatangannya ke rumah Ify. “Aku tadi nyari kakak ke rumah, tapi kata tante Manda, kak Rio ada di rumah kak Ify. Makanya aku datang kesini.” Jelasnya cukup panjang.

Rio membulatkan mulut tanda sudah mengerti. Namun, ia kemudian mendekat ke arah gadis tadi. Dengan sedikit berbisik ia berujar pada gadis itu. “Lo jangan ngasih tahu siapa-siapa ya kalo gue ke rumah Ify!” Kata Rio mewanti-wanti dan segera menegakkan tubuh kembali. Gadis di depannya mengangguk dan tersenyum lebih manis. Rio mendesah seraya mengajak gadis itu masuk. Membiarkannya berjalan lebih dahulu. Rio sendiri mengikuti dari belakang. Sedikit kekhawatiran menyusup dalam hatinya akan kehadiran gadis ini. Terlebih gadis ini datang menemuinya, di rumah Ify. Ify, sepertinya ia yang menjadi perkara Rio merasakan kekhawatiran. Entahlah, yang jelas, Rio merasa tak enak hati jika gadis tadi berlama-lama bersamanya, di tengah kebersamaannya dengan Ify.

***

Jiaaah, belum selesai ini. makanya akhirnya agak-agak ngambang. Sabar menunggu yaw =)
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar