-->

Minggu, 01 April 2012

Matchmaking Part 12

Ass! Hulalaa, sedikit lebih cepat kaaan? Hehe. Eh mimin mau berterimakasih loh, gak nyangka aja 100 orang lebih membaca cerbung MM ini. Harap maklum jika isi di dalamnya tidak mengesankan dan makin gaje dari part ke part. Yah, dikarenakan kesibukan sekolah, tugas-tugas yang menumpuk dan menguras otak, serta mungkin karena kehabisan ide. Haha~ Sekali lagi, makasih yaa udah mau baca =’’D

Ya sudah, langsung saja! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

Ify mendongak dan balas menatap Rio masih dalam keadaan menangis. “Papa..Papa..” Isak Ify. Rio masih belum mengerti. Kenapa gadis ini terus menggumamkan Papanya? Bukankah tadi ia bersikap dingin? “I..iya, Papa lo kenapa? Papa lo kan baik-baik aja?” Tanya Rio lagi. Ify menggeleng cepat. “Papa..Papa...Papa...” Tukas Ify. Ia lantas terduduk begitu saja di lantai. Kepalanya menunduk membuat air matanya dengan mudah terjun ke bawah. Rio masih menatap gadis di hadapannya tanpa bisa bertanya apa-apa. Percuma, ia hanya akan mendapatkan isakan gadis itu nanti.

“Kenapa bukan gue aja?” Lirih Ify seraya memukul-mukul kepalanya yang ditundukkan. Rio tentu tak membiarkan gadis itu melakukannya terus-menerus. Ia menahan kedua tangan yang bergerak menyakiti itu. “Eh lo kenapa sih?” Ujar Rio frustasi. Ify menatapnya kini dengan pandangan yang bahkan bisa membuat Rio menangis saat itu juga. Rio terpaku melihat kedua bola mata Ify yang tak jua berhenti membanjiri wajahnya. Sejenak mata mereka nyaman dengan keadaan saling memandang. Entah apa yang ada dipikiran masing-masing, yang jelas, baik Ify maupun Rio, seakan tak ingin mengubah fokus mata mereka ke arah lain.

“Kenapa?” Tanya Rio lembut. Tangannya spontan bergerak menghapus bekas-bekas air mata di pipi Ify. Ify menunduk dan tetap terisak. “Kenapa bukan gue aja, Yo? Kenapa?” Lirih Ify yang terkesan seperti sedang merutuki dirinya sendiri. Rio belum juga mengerti apa maksud Ify hingga Ify melanjutkan perkataannya. “Mama meninggal karena gagal operasi. Sekarang, Papa kena gagal ginjal. Lalu kegagalan apa lagi? Kenapa semuanya terjadi sama kedua orangtua gue, Yo? Apa karena gue udah gagal jadi anak yang baik buat mereka? Kenapa bukan gue aja? Kenapa? Kenapa Tuhan milih orangtua gue? Kenapa Tuhan milih gue untuk selalu didera rasa bersalah? Kenapa..”

Dan...Rio diam. Ia hanya melongo memandang Ify. Ia sama sekali tak berpikiran bahwa gadis ini memikirkan hal yang menurutnya begitu berat. Rasa bersalah kembali datang, mengingat ia sempat berburuk sangka terhadap Ify. Astaga..lo masih tampak begitu tegar. Batin Rio miris. Bagi Rio, Ify termasuk salah satu gadis yang kuat. Karena jika tidak, mungkin saja Ify sudah pingsan dan mungkin pula terkena serangan jantung mendadak. Matanya berubah sayu dan menatap Ify sendu. Entah mendapat ilham dari mana, Rio menyuruh Ify berdiri dan lantas memeluk gadis itu. Gadis yang sedang rapuh-rapuhnya sekarang. Ify sendiri tak terlalu memikirkan perlakuan Rio. Karena dalam kepalanya masih saja terdominasi oleh sosok Ferdi, oleh apa yang kini diidap laki-laki paruh baya itu.

Ify menggigit bibir bawah dengan tangan kanan yang memeganginya. Ia menangis hingga puas dalam dekapan Rio. Tak peduli bahwa tangisannya itu bisa saja membuat Rio harus pulang dengan baju basah di sebagian sisi. Rio pun terlihat sama tak pedulinya. Ia lebih mementingkan ketenangan Ify, setidaknya sampai gadis itu tak lagi berurai air mata. Sempat Ify tersadar dengan siapa ia berpelukan. Ia hendak menyingkir namun tangan yang merengkuhnya malah semakin mengerat. Seakan-akan tak ingin menjauhkan jarak walau semenit saja. Sudahlah, ia juga butuh ‘dihibur’. Pikir Ify.

Sementara Rio, ada sesuatu dalam dirinya, yang membuat ia menahan Ify. Ia seperti tidak ingin gadis itu cepat-cepat menjauh. Setidaknya, mendekatlah padanya untuk beberapa saat. Begitulah menurut Rio. Karena itu, ia semakin mengeratkan dekapannya terhadap Ify. Like Obama said, it’s time to change. Batin Rio seraya menutup mata sejenak. Ada sesuatu yang harus ia sebarkan ke segala sisi dalam dirinya. Sebuah keputusan yang telah berani ia cetuskan dan ia mantapkan dalam hati. Sekali lagi, ia mengeratkan pelukannya pada Ify. Saat itu pula, ada aliran yang sedikit menggelikan dan menjalar ke seluruh tubuh Rio.

***

“Kak, lo kapan pulang? Kok gak ngasih tahu gue sih?” Tanya Agni pada Kiki, kakak tirinya yang kemarin harus pergi mengikuti pelatihan di luar negeri selama 1 bulan penuh. Hingga membuatnya tak bisa berkomunikasi dengan Agni. Tentu saja, Agni teramat merindukan orang yang sudah seperti kakak kandungnya itu. Kiki menoleh dan tersenyum hangat pada adik kesayangannya. “Gak seru lah kalo lo udah tahu duluan. Ntar gak seheboh sekarang, hehe..” Cengir Kiki. Agni memukul lengannya pelan dan ikut-ikutan nyengir. “Lo tambah tinggi dan..tambah cantik!” Puji Kiki yang membuat Agni manyun seketika. “Ck..gue tahu gue gak cantik. Jangan fitnah deh!” Rutu Agni seraya melipat kedua tangan di dada.

Kiki terkekeh melihat reaksi Agni. “Lah, emang kenyataan kali? Emang gue pernah bohong?” Tantang Kiki. Agni menoleh dan tersenyum. “Hehe, jadi beneran gue cantik?” Tanya Agni. Kiki mengangguk cepat dan setia dengan senyum manisnya. “Bisa aja lo!” Tuding Agni balas tersenyum. Beberapa detik saling diam, lalu kemudian Kiki mulai membuka topik pembicaraan. “Gak punya cerita buat dikisahkan sama gue?” Tanya Kiki. Agni diam dan berpikir sebentar. “Ada!” Jawabnya mantap tanpa menoleh. Sekarang gantian Kiki yang melipat kedua tangannya di dada. Emm, sekedar informasi. Mereka sedang berhenti di sebuah jalanan sepi dan bersandar di pintu samping kanan mobil Kiki. “Baiklah, gue akan mendengarkannya baik-baik.” Ujar Kiki.

Agni menarik nafas dalam-dalam dan memandang ke arah langit dini hari. “Kak!” Panggil Agni masih menatap ke arah langit. Kiki berdehem menyahut panggilannya dan ikut-ikutan memandang ke atas. “Kira-kira..Aga masih ingat gue gak?” Tanya Agni. Membuat Kiki langsung menoleh ke arahnya dan memandanginya lama. “Kenapa?” Tanya Kiki balik. Tangannya bergerak mengusap-ngusap puncak kepala adiknya. Agni menoleh sebentar dan menunduk. Kemudian kembali menatap langit. “Gue ketemu seseorang..dan dia mirip sama Aga.” Ujar Agni tanpa menoleh. Kiki diam dan memilih mendengarkan perkataan Agni selanjutnya.

“Namanya aja ada Aga-Aga-nya. Cakka Kawekas Nuraga. Nah, ada Aganya kan?” Seketika tangan Kiki berhenti dan kaget mendengar nama itu disebut adiknya. Ia makin dibuat diam mengingat Cakka ialah orang yang Agni maksud Aga-nya. Astaga..mungkinkah ini terjadi untuk kedua kali? Pikir Kiki. “Tapi..ada hal yang buat gue ragu, dia Aga atau memang Cakka.” Lanjut Agni. Kata-kata terakhirnya terdengar lirih. Sedikit kelegaan menyeruak di hati Kiki. Ya..gue harap dia bukan Aga! Batin Kiki. “Gimana dong?” Tanya Agni di penghujung ceritanya. Kiki mengulas senyum dan berusaha menyemangati adiknya itu. Meskipun, ia agak sangsi melakukannya.

“Lo harus cari tahu lebih dalam tentang dia. Semangat!” Agni tertawa melihat Kiki yang menirukan suara perempuan demi menyemangatinya. Kiki sendiri ikut tertawa karena itu. She’s mine! No matter what happens, she’s still mine! Batin Kiki menatap Agni penuh arti.

***

Iel menerima pesan dari Rio bahwa pemuda itu sedang dalam perjalanan pulang bersama Ify. Rio menyuruhnya memberitahu yang lain untuk tidak perlu merasa khawatir, terutama khawatir pada Ify. Ia mengatakan bahwa gadis itu tadi hanya sedang dalam keadaan lelah. Iel lantas menginformasikannya pada yang lain. Ia, Via dan Cakka kemudian pamit. Mereka lekas keluar dari ruangan dimana Ferdi dirawat. Diluar, Via menatap kedua pemuda yang ada di hadapannya. Ia bingung akan nasibnya sekarang. Gue pulang sama siapaaa? Teriaknya dalam hati.

Menumpang pada Iel, ah kalau bisa jangan. Ia bisa mati gaya jika hanya berdua di dalam mobil dengan pemuda itu. Mau menumpang pada Cakka, tapi dilihat dari air muka pemuda itu yang sepertinya sedang mumet sekali, ia lantas ragu. Namun, tak ada salahnya dicoba bukan? Baru saja hendak buka mulut, Cakka sudah berbicara duluan. “Yel, Vi, kepala gue gak beres banget sekarang. Gue cabut duluan ya!” Ujar Cakka dan langsung pergi begitu saja. Sekarang hanya tinggal Via dan Iel. Benar-benar berdua.

Pada akhirnya, Via melirik Iel pasrah. “Yel?” Panggil Via. Iel menoleh seraya mengangkat sebelah alis. “Ya?” Sahutnya. Via menggigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan berbicara. “Nebeng ya?” Pinta Via setengah malas setengah berharap. Iel berpikir sebentar. Wajahnya memperlihatkan ekspresi sangsi. Menunggu jawaban Iel itu, entah kenapa membuat Via ingin buang air. Kaki kiri Via mulai bergerak-gerak tak jelas dengan matanya yang masih berharap-harap cemas menatap Iel. Sejujurnya, ia bukan cemas menunggu jawaban Iel, akan tetapi ia cemas jika ia akan lebih cepat buang air. Kan tidak lucu jika bawahannya tiba-tiba basah disertai dengan bau tidak mengenakkan?

Aduooh nih orang lama bener sih? Keponakan gue udah mau keluaar, tahu gak sih tuh orang?! Gerutu Via membatin. “Aduh, gimana ya..tapi..” Kata Iel menggantung. Ia menggaruk-garuk kepala seraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Via melihat itu dan menyimpulkan bahwa Iel pasti berniat tidak menyanggupi. “Eh ya udah kalo gak bisa. Gak masalah kok!” Ujar Via menyengir paksa. Selesai mengatakan itu, ia langsung berlari menuju toilet, meninggalkan tasnya begitu saja di kursi tunggu, di depan ruangan Ferdi. Sekaligus meninggalkan Iel yang sebenarnya masih ingin berbicara panjang lebar. Masih ada sepenggal kalimat lagi yang belum dan ingin ia sampaikan. Tapi, ia malah mendapati Via buru-buru pergi.

“Haah..lega daah!” Desah Via setelah keluar dari toilet. Ia mengibas-ngibas bagian lehernya beberapa kali. Hmm, toilet ini terasa agak panas. Ia lantas mengambil ikat rambut di kantong jeansnya dan membuat rambutnya tercepol tinggi ke atas. *rambutviamasihpanjangceritanya* Ia menatap sekilas bayangan dirinya di cermin. Dan saat itu pula ia terkikik. Ia geli sendiri menyaksikan penampilannya sekarang. “Hihi, lucu juga!” Kikiknya. Ia kemudian menggembungkan pipi karena merasa ekspresi itu sangat ‘kawin’ dengan cepolan di rambutnya. *serasimaksudnyaa*

Via berjalan santai hingga kembali ke depan ruang Ferdi. Dari jauh, Iel melihat Via berjalan mendekat. Dengan penampilan sedikit berbeda tentunya. Ia melihat itu dan dengan mudah membuat dirinya lumayan terperangah. Waw! Batinnya sumringah. Ia sedikit terpikat pada rupa Via saat ini. Membuat matanya seperti tak ingin bergeser pandangan ke objek lain di sekitar.

Begitu pula dengan Via, dari jauh ia melihat Iel masih berdiri di depan ruangan Ferdi. Sama seperti saat dimana ia meninggalkan pemuda itu. Ia agak bingung sendiri dengan keberadaan Iel itu. Untuk apalagi pemuda itu disana? Harusnya, setelah ia keluar dari toilet, pemuda itu sudah menghilang. Via sedikit memperlambat tempo berjalan seraya sesekali menggaruk-garuk kepala. Dengan pipinya yang masih setia ia gembungkan hingga sekarang. Via mengambil tas dan berniat langsung pergi. Dalam hati ia berdoa, semoga saja masih ada taksi yang lewat jam segini. Jam setengah 2 dini hari. Hmm, sangat tidak mungkin memang. Tapi, semoga saja Tuhan berbaik hati padanya.

“Vi!” Panggil Iel tiba-tiba. Membuat Via harus berbalik badan menyahut panggilannya. “Hm?” Dehem Via. Ia melihat Iel yang berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana dan menatap lurus ke arahnya. Waw! Begitulah sensasi yang dihadirkan akibat tingkah pemuda itu bagi Via. “Mau kemana?” Tanya Iel –polos–. Via melengos mendengar itu. “Pulanglah! Kemana lagi?” Rutu Via. Ia hendak berbalik badan namun Iel memanggilnya kembali. “Gue anter!” Ujarnya dan langsung menarik pergelangan Via tanpa menanyakan sebelumnya. “Lah lah lah? Kenapa nih? Kok gue ditarik-tarik?” Heboh Via yang hampir jatuh akibat ditarik Iel. Iel hanya diam dan terkekeh mendapati reaksi Via itu.

***

Rio telah melajukan mobilnya hingga sampai di depan rumah Ify. Ia melirik ke arah Ify dan mendapati gadis itu sedang tertidur, pulas. Hmm, mungkin karena kelelahan. Tentu, gadis itu belum sedetik pun sampai di rumahnya bahkan mengganti pakaian. Belum lagi, ia harus membuat kue serta mempersiapkan pesta untuk Ferdi, yang tanpa disangka-sangka akan berakhir dengan terbaringnya lelaki itu di rumah sakit. Membuat beban pikiran baru untuk Ify. Membuatnya harus menangis sedemikian deras di pelukannya tadi. Rio lalu melihat ke arah rumah Ify. Persis seperti tidak ada penghuni. Ia kembali memandang Ify. Gue bawa ke rumah aja lah! Pikir Rio. Sejurus kemudian, ia melajukan mobil menuju ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, Ify masih setia menyelubungi mata dengan kelopaknya. Membuat Rio enggan untuk berusaha membangunkan. Rio lantas membopong Ify masuk ke dalam rumah dan dibaringkan di kasur kamarnya. Amanda melihat Ify khawatir dan lantas membanjiri Rio dengan berbagai pertanyaan secara beruntun. “Yo, Ify kenapa? Dia baik-baik aja kan? Terus, Om Ferdi sakit apa? Gak parah kan?” Tanya Amanda tak sabaran. Rio mendesah. “Dia baik-baik aja, Mamaku sayang!” Jawab Rio malas. “Mama ganti bajunya gih!” Pinta Rio kemudian. Amanda mengangguk dan menyuruh Rio keluar terlebih dahulu.

Saat itu pula, Amanda dapat melihat dengan jelas, banyak bagian tubuh Ify yang membiru. Seperti bekas pukulan. Amanda melihat itu ngeri dan memasangkan badan Ify dengan pakaian baru segera yakni piyama milik Rio. Yah, tidak ada pilihan lain. Ia tidak punya anak perempuan. Selesai dengan itu, ia langsung berlari keluar menemui Rio yang sekarang malah menonton tv. Ia melengos mendapati anaknya seperti itu. “Yo! Yo!” Panggil Amanda. Rio menatapnya heran. “Ikut Mama!” Pinta Amanda. Rio masih diam tak bergeming. “Ayoo!” Desak Amanda kemudian. Rio pun menurut dan mengikuti Amanda yang berjalan ke kamarnya.

“Liat!” Suruh Amanda. Rio mengangkat alisnya bingung. Amanda menjadi gemas sendiri dan lantas menunjukkan kepada Rio beberapa bagian dari tubuh Ify yang balu. “Liat, ini, ini dan ini. Kamu tahu itu semua kenapa?” Tunjuk Amanda. Rio seketika duduk dan memperhatikan luka lebam itu baik-baik. Ah iya, ia baru ingat. Ify sempat mengeluhkan pinggangnya saat di mobil dan gadis itu mengatakan hal itu efek samping karena ditendang. Hah? Benarkah itu? Amanda keluar hendak mengambil es dan handuk untuk mengompres, sementara Rio tetap di kamar, duduk di samping kasur memandangi Ify.

Ia pun baru menyadari sebelah pipi Ify terlihat memerah. Terdapat bekas seperti jemari seseorang. Ia mengarahkan telapak tangannya ke arah Ify dan mencoba memastikan benarkah itu bentuk jari-jari tangan. Dan..ya, itu memang jejak telapak tangan seseorang. Astaga..nih anak kenapa sih? Batinnya heran. Amanda kemudian datang bersama dengan sebaskom es dan handuk di pundak sebelah kirinya. Baru saja ia duduk dan hendak mengompres, Rio lantas mengambil alih. “Biar Rio aja! Mama keluar sana!” Ujar Rio sekaligus mengusir Amanda keluar. Amanda hanya geleng-geleng kepala. Ia pun keluar dan membiarkan anaknya itu berdua dengan calon gadisnya.

Rio masih setia mengarahkan mata pada wajah Ify. Detik berikutnya ia menghela nafas dan memulai pengompresan. Ia meraih tangan kanan Ify. Ia menggulung lengan baju yang dikenakan gadis itu terlebih dahulu. Ada 3 luka lebam disana. Di bagian lengan atas dan 2 di lengan bawah. Rio mulai mengompresnya satu-persatu. Pada saat ia mengompres di bagian atas, tiba-tiba saja Ify menggengam tangan kirinya yang juga memegang tangan gadis itu. Bukan sekedar menggenggam, Ify bahkan mencengkram kuat pergelangan yang dipegangnya. “Hah?” Kaget Rio. Ia lalu melihat wajah Ify yang terlihat ketakutan serta berkeringat dingin.

Rio lantas garuk-garuk kepala bingung apa yang harus ia lakukan. Tak lama kemudian, cengkraman Ify melemah dan air mukanya kembali tenang. Rio pun dapat bernafas lega. Ia melanjutkan kegiatannya kembali. “Nghh..” Erang Ify ketika Rio mengompres lengan atasnya. Matanya perlahan terbuka dan mendapati Rio sibuk mengompres. Jarak mereka cukup dekat dengan mata saling memandang satu sama lain. Membuat setruman-setruman kecil di hati masing-masing. Rio lantas menjauhkan tubuhnya yang semula mencondong ke arah Ify. “Jangan GR! Gue disuruh Mama.” Bohong Rio. Ify menanggapinya biasa. Ia mencoba duduk dan menyender.

“Lo mau?” Tanya Ify menatap Rio datar. Rio menghela nafas singkat. “Terpaksa!” Jawab Rio. Ia hendak mengompres lagi namun ditahan Ify. “Ya udah, biar gue sendiri aja.” Ify mengambil handuk terisi es yang dipegang Rio. Rio hanya diam memandangi apa yang Ify lakukan. Membuat Ify kembali melirik ke arahnya. “Makasih!” Ujar Ify tiba-tiba. Kening Rio mengernyit bingung. “Dan..gue minta maaf!” Ujar Ify yang membuat kadar bingung Rio mencapai klimaks. “For?” Tanya Rio. Ify berhenti mengompres dan kali ini benar-benar memperhatikan Rio. “Makasih karena lo udah banyak berjasa hari ini ke gue.” Kata Ify seraya tersenyum tulus.

“Ck, udah gue bilang jangan..”

“Gue tahu!” Potong Ify. Rio sempat tertegun dan mulai berpikir bahwa Ify mungkin sudah hafal luar kepala pada apa yang akan ia katakan tadi. Jelas, boleh dibilang sudah beberapa kali ia mengulang-ngulang kalimat itu dan beberapa kali pula Ify menjawab dengan kalimat yang sama. Hmm, i’ll never tell it anymore. Batin Rio. “Setidaknya, lo udah berhasil mengurangi sepersekian dari kesedihan gue. Dan..gue minta maaf kalo semisal lo..hehe lelah karena gue. Apalagi karena perjodohan yang menurut lo pasti konyol. Gak masuk akal!” Kata Ify panjang lebar dan nyengir bersalah.

“Baru sadar lo?” Sindir Rio seraya tersenyum mengejek. Ify hanya diam dan lekas mengalihkan pandangan pada lengannya. “Yo?” Panggil Ify kembali. Rio melengos mendengar itu. “Apalagi?!” Ketus Rio dan sedikit menyentak Ify. Membuat Ify sedikit enggan mengutarakan maksudnya. “Ah gak..gak jadi..” Ujar Ify takut-takut. Ify..Ify..bisa-bisanya lo ngira Rio udah berubah baik? Ckck..gue kecolongan! Batinnya merutu. Sementara Rio, ia sedikit menyesal telah merespon seperti itu tadi. Sepertinya, ia akan sulit bersikap sepantasnya pada Ify. Lagi-lagi, Rio menghela nafas. Lebih berat kali ini. “Apa?” Tanya Rio melunak. Ia mengambil handuk yang dipegang Ify agar gadis itu menatapnya.

Butuh waktu untuk menunggu Ify mengeluarkan suara. Selama itu pula mereka kembali saling memandang. “Apa nama gue bisa diterima dihati lo?” Tanya Ify berharap banyak. Rio cukup dibuat kaget akan pertanyaannya tersebut. “Jika memang perasaan gue gak bisa lo terima, gak papalah jika lo sekedar mendaftar nama gue disana.” Lanjut Ify. Rio makin dibuat kaku akan kata-kata yang terus dikeluarkannya. “Tapi..kalo boleh, gue mau membuat lo repot sekali lagi. Yah, gue juga gak bisa janji ini yang terakhir kali. Tapi, gue bakal berusaha lah.” Pinta Ify kemudian.

“Apa?” Tanya Rio setelah beberapa waktu terlihat diam. “Setelah lo mendaftar nama gue, bisakah lo mencoba mendaftar perasaan gue juga? Setidaknya sampai Papa sembuh...Apa lo bisa?” Mohon Ify dengan sangat. Rio meletakkan handuk ke dalam baskom. Dan kemudian berdiri. “Maaf..” Ujarnya tanpa menoleh ke arah Ify. Rio langsung keluar kamar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tinggallah kini Ify yang seakan tak bisa bicara. Baginya, ia sudah terlalu merelakan harga diri untuk mengutarakan maksudnya. Ya, ia memang sudah memikirkan resiko ini. Resiko bahwa Rio tidak menyanggupi. Ia mengambil handuk untuk mengompres tadi dan mengusapnya di bagian yang membiru. “Gue kira gue kuat..ckck, nangis juga..” Gumam Ify lirih, mengomentari setetes air mata yang tanpa diinginkan keluar.

Rio tak benar-benar meninggalkan kamar. Ia berdiri di depan pintu, memperhatikan Ify dari luar. “Hh..gue maunya apa sih?!” Tanya Rio pada dirinya sendiri.

***

Via lelah menggerutu pada Iel yang sudah menariknya paksa dan sekarang tak juga mengantarnya pulang. Ia malah disuruh menunggu, menunggu seseorang yang bahkan ia tidak tahu siapa itu. Via hanya bisa duduk diam di kursi belakang. Sementara Iel berdiri di luar mobil dan duduk di bagian depannya. Karena bosan, Via mulai mengenakan headset dan memilih-milih lagu di ipod untuk diputar. Sudah menginjak lagu yang ketiga dan Iel baru saja masuk. Ah, tidak hanya Iel. Ada seorang perempuan seusianya juga ikut-ikutan. Menduduki kursi di samping Iel pula.

Dari sorot mata Via, gadis itu terlihat cantik dengan baju slebor *halah* dipadu dengan hot pants hijau, wajahnya juga cantik, kulitnya mulus dan putih, rambutnya yang panjang semakin menambah kelengkapan kecantikan gadis itu. Waw! Kagum Via dalam hati. Meskipun jantungnya dibuat berdebar dalam hal memperkirakan siapakah gerangan gadis itu. Ia jadi ingat kejadian rebut-rebutan tasnya dengan Iel dulu. Waktu itu, Iel mendapat telpon dan menyambutnya begitu ramah diikuti dengan panggilan ‘sayang’ darinya. Astaga, benarkah ini orangnya? Via menelan salivanya cepat. Nafasnya mulai naik turun. Tapi, ia masih berusaha bersikap sesantai mungkin.

5 menit waktu berjalan, Iel tak juga melajukan kendaraan. Ia asyik bercengkrama dengan gadis cantik itu. Membuat Via hampir hilang kesabaran. Hampir! Ya, berhubung karena ini dini hari dan hanya Iel yang bisa menjadi tumpuan harapan agar ia bisa segera sampai di rumah. Via meninggikan volume lagu di ipod. Daripada menambah kadar makan hati, akan lebih baik jika ia tidak mendengarkan obrolan serta kicauan manja dari gadis yang belum ia ketahui namanya itu. Kemudian, ia melihat Iel menggenggam tangan gadis itu dan menciumnya mesra seraya tersenyum hangat. Sabaar...cuma cium tangan! Tenang Viaa! Batinnya berusaha menguatkan diri.

Anehnya, ia betah memandangi apa yang dilakukan kedua sejoli di depannya. Dua orang yang sudah berhasil membuatnya gondok dan keki setengah mati. Tiba-tiba, gadis tadi menunjuk ke arah bibir. Seakan menyuruh Iel memagut bagian tersebut. Via mendapati respon Iel yang biasa saja bahkan terlihat senang. Iel terkekeh kecil mengetahu gadis yang mungkin adalah kekasihnya, memintanya melakukan itu. Iel lantas mulai bergerak maju dengan sedikit memiringkan kepala, mendekati wajah kekasihnya tanpa tahu bagaimana gejolak dalam dada gadis lain yang ada di mobil itu. Yang sedari tadi berusaha menguatkan diri, yang sedari tadi merasa terabaikan dan yang sedari tadi melihat dengan jelas apa saja yang telah Iel lakukan bersama kekasihnya dengan seonggok sesak di dada maupun di hati.

Namun, dengan hal yang satu ini, mungkin Via, gadis malang itu, sudah habis kekuatan. Dalam arti, ia sudah tidak sanggup memupuk kesabaran demi kesabaran dalam dirinya agar tetap duduk diam di belakang, memperhatikan dua orang bermesraaan di depannya. Gue nyerah! Batin Via miris. Ia segera memalingkan wajah dan langsung keluar dari mobil Iel tanpa mengatakan apapun. Ya, bagaimana mau berpamitan, berkata ah saja ia tidak bisa. Belum lagi ia harus menyusun satu-persatu klausa yang santun untuk pemuda itu. Ah, jalan singkat lebih baik. Pikirannya sudah cukup berat, ia tak mau bertambah lagi dengan hanya memikirkan ucapan berpamitan kepada Iel. Ia langsung lari dan masuk kembali ke dalam rumah sakit. Tentunya mencari tempat bersembunyi yang cocok.

Sementara Iel, wajahnya seketika berhenti melaju mendapati Via, untuk kedua kalinya mengambil langkah pergi begitu saja. Bahkan kali ini tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Ia lantas garuk-garuk kepala tidak mengerti. Kenapa tuh anak? Batin Iel bertanya-tanya. Ia menoleh pada gadis di hadapannya yang kini memasang tampang kusut. Iel hendak keluar mobil namun segera ditahan gadis di sebelahnya. “Mau kemana?” Tanyanya. Iel kembali duduk sebentar. “Lo tunggu disini sebentar.” Pinta Iel. Namun, gadis itu menolak. “Gak mau! Lo gak boleh kemana-mana!” Kata gadis itu manja. Iel tersenyum dan mengacak-ngacak rambut gadisnya pelan. “Pricilla-ku sayang, tunggu disini bentar ya?” Pinta Iel lagi. Pricilla, gadis itu, akhirnya melunak dan membiarkan Iel pergi.

***

Via sampai di kantin rumah sakit Kenko yang buka 24 jam. “Mie rebusnya satu!” Pesan Via pada seorang ibu-ibu penjaga disana. “Minumnya neng?” Tanya ibu-ibu itu. “Teh botol aja, Bu!” Selesai memesan, Via lalu menempati salah satu meja yang ada. Tak berapa lama, pesanan Via pun datang. “Makasih!” Ujar Via seraya tersenyum tipis ke arah laki-laki pengantar pesanannya. Makan adalah pelarian yang paling baik! Batin Via. Ia mengaduk-ngaduk mie seraya sesekali menghembusnya. Sebenarnya ia tidak lapar, namun karena situasi hati yang kurang menyamankan, maka dari itu timbul hasrat ingin makan dalam dirinya. Jika Ify memakan ice cream, nah kalau Via lebih memilih makan makanan yang mengenyangkan.

 Sementara itu, Iel sibuk hilir-mudik mencari keberadaan Via. Ia sudah berada di toilet wanita bahkan sempat masuk kesana. Beruntung tak ada gadis lain yang melihat. Ia juga tidak menemui Via di dalam. Ia sempat mampir kembali ke ruangan Ferdi dan ia hanya mendapati Ferdi sedang tertidur tanpa ada yang menemani. Otomatis, Via bukan berlari ke tempat itu. Iel menggaruk-garuk kepala putus asa. Ah, apa mungkin di lantai atas? Pikir Iel. Setelah lama menimbang-nimbang, ia pun memutuskan menaiki lift menuju lantai paling atas dari rumah sakit ini.

Tring!

Pintu lift terbuka. Iel berlari menuju area luar di lantai atas. Dan..hasilnya tak berbeda. Via tak juga ada disana. Iel melengos mengetahui gadis yang ia cari tak memunculkan diri. Kemana lagi ia harus mencari? Toilet sudah, kamar Ferdi pun sudah. Bahkan ia sudah repot-repot menaiki lift hingga sampai ke lantai paling atas. Lalu, selanjutnya kemana? Iel berbalik badan dan berjalan pelan memasuki lift. Ia sampai di lantai dasar kembali. Iel lalu melangkahkan kaki menuju daerah belakang Kenko. Koridor yang ia lewati cukup sepi. Jelas, ini bukan malam bahkan pagi hari. Ini lewat tengah malam sebelum memasuki pagi hari.

Via memutar-mutar garpu melilit mie agar lebih mudah dimakan. Ia lalu menyuap lilitan itu ke dalam mulut. Saat itu pula, matanya menangkap sosok laki-laki yang membuatnya melakukan pelarian seperti sekarang, berjalan menuju kantin tempatnya berada. Ck..dia lagi! Batin Via merutu. Ia lantas menunduk dan memilih berkonsentrasi makan. Via terus menunduk hingga ia menyadari ada seseorang yang membuat bagian depannya menjadi gelap. Mungkin orang itu sedang berdiri menghadapnya. Via lantas mendongak dengan mulut penuh berisi mie, melihat siapakah orang yang membuat dirinya kehilangan cahaya beberapa saat.

 “Gue cari kemana-mana rupanya lo disini!” Keluh orang itu. Ia lantas menduduki kursi di depan Via. Via hanya diam menatap Iel dari berdiri hingga duduk. Ia kemudian menunduk lagi, memusatkan diri pada mie-nya. Cukup lama saling diam, Via mendongak melihat Iel yang juga tengah melihatnya. “Makan?” Tawar Via. Iel melirik ke arah mangkok mie-nya dan menghela nafas. “Lo kenapa lari?” Tanya Iel menyelidik. Mendengar itu, Via lagi-lagi menunduk menatapi mangkok berisi mie yang sudah berkurang setengah isinya. “Laper.” Jawab Via datar. Kalau sudah begini, ia tidak bernafsu lagi untuk makan. “Laper?” Tukas Iel. Ia menatap Via aneh.

“Hmm, perut gue kembung gara-gara kebanyakan ngirup asap obat nyamuk.” Sindir Via tanpa menoleh ke arah Iel. Ia memasukkan sesendok mie ke mulutnya. “Jadi, lo ngambek karena gue cuekin?” Ujar Iel seraya tersenyum jahil. Via mendongak dan memandang Iel tak percaya. Ia lantas geleng-geleng kepala melihat tingkah Iel tersebut. Gila..masih aja nih orang! Batin Via. Ia kemudian melihat seseorang lain yang berjalan kebingungan memasuki kantin. Seorang gadis, gadis yang juga menjadi alasannya berada disini. Gadis yang ikut masuk ke dalam mobil bersama Iel tadi. Yang sampai sekarang, ia belum tahu siapa dia, siapa namanya dan yang teramat penting, siapa dia bagi Iel.

“Tuh cewek lo dateng!” Tunjuk Via dengan gerakan kepala. Iel tersentak dan langsung menoleh ke arah yang Via tunjuk. Iel melengos seketika mendapati Pricilla, gadis itu, berlari ke arahnya. “Sayaaang, lama banget sih! Gue nungguin lo tahu! Eh lo malah berduaan. Sama cewek gembul ini lagi!” Gerutu Pricilla. Via yang sedang mengunyah lantas berhenti mendengar kata-kata terakhir gadis yang baru datang itu. Sialan! Batinnya kesal. Ia mempercepat proses pengunyahan dan meminum seteguk teh botol di sampingnya. Sudah tak ada niat untuk Via lebih lama berada disana. Ia mengambil tas dan membayar biaya makan dan minum. Tanpa memperdulikan Iel dan si gadis menyebalkan. Gue bener-bener nyerah deh! Iel...gak akan lagi gue mikirin tuh orang! Gak akan! Pikir Via.

***

Pagi hari benar-benar tiba. Ify terbangun dan merasakan tubuhnya sakit semua. Ia melihat langit-langit yang bukan kamarnya. Yap, ia sekarang masih berada di kamar Rio. lalu, Rio? Hmm, entahlah pemuda itu ada dimana. Ify mendudukkan diri seraya menyender. Ia mengamati satu-persatu sisi kamar Rio. Untuk ukuran seorang cowok, boleh dibilang cukup rapi lah. Semua tertata pada tempatnya dan tidak ada yang terlihat berserak. Ify menoleh pada lemari di sampingnya dan seketika matanya terhenti pada sebuah foto yang dipajang disana. Sejenak, Ify hanya memandangi foto itu. Foto Rio bersama seorang gadis. Ah, itu cewek yang dilukis Rio di ruang lukis! Batinnya mengingat.

Perlahan tangannya bergerak mendekat dan mengambil foto tersebut. Disana terlihat Rio merangkul gadis itu seraya tersenyum lepas. Senyum yang belum pernah sekalipun Ify lihat. Sementara gadis disebelahnya, hanya tersenyum biasa layaknya orang sedang berfoto. Tunggu dulu, wajahnya terlihat begitu familiar. Ify menilik wajah gadis itu. Mario – Larissa. Begitulah yang tertulis di bawah foto itu. “Larissa..Larissa..” gumam Ify berulang-ulang. Ah! Acha! Larissa Safanah Arif! Penyanyi yang pernah digosipin sama Rio itu kan? Jadi...itu bukan sekedar gosip? Batin Ify. Dada Ify mendadak terasa sesak memikirkan itu.

Ia hendak menaruh kembali foto Rio & Acha namun tak sengaja foto itu terjatuh karena Ify yang menaruhnya terlalu di pinggir. Alhasil, penyelubung foto tersebut pecah dan menyebabkan bunyi yang cukup nyaring. Ify kemudian bangkit dari duduknya dan memunguti pecahan kaca dari foto itu. Aduuh..kalo Rio tahu gimanaa? Batin Ify panik. “Ah..” Rintih Ify ketika satu dari pecahan-pecahan kaca melukai ibu jarinya. Apa yang dikhawatikannya pun terjadi. Rio tiba-tiba masuk dan mendapati Ify sedang memunguti pecahan kaca dari fotonya. Ia menatap Ify tajam. “Apa yang lo lakuin? Hah?!” Bentak Rio kalap. Ify terkejut setengah mati. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia begitu takut dengan Rio sekarang. Semarah ini? Pikirnya.

“Gu..gue gak..gak sengaja, Yo..” Kata Ify takut-takut. Tangan Rio mengepal keras. “Minggir!” Sentak Rio yang mendorong tubuh Ify ke belakang. Ia menjauhkan foto ‘tersayangnya’ dari kaca-kaca yang sudah tak beraturan bentuknya. Tanpa menyadari, akibat dorongannya itu, telapak tangan Ify menghimpit salah satu pecahan kaca yang dipungut gadis itu. Membuat telapak itu mengoyak dan berdarah. Kali ini, Ify benar-benar merasakan sakit, beribu-ribu sakit dari sebelumnya. Baik tubuh maupun perasaan. Kadarnya seolah sama saja. Meski tak dapat dipungkiri, hati Ify mungkin jauh lebih perih dari sekedar sakit di sekujur badan dan telapak tangannya itu.

Rio berdiri dan tak menoleh sedikitpun pada Ify. “Jangan sentuh barang-barang gue!” Selesai mengatakan itu, Rio lantas angkat kaki dari kamarnya. Meninggalkan Ify yang hanya bisa terduduk lemas. Ify kemudian mencoba mencabut beling yang menancap di telapak tangannya. “Aw!” Erang Ify. Tangannya bergetar hebat menahan sakit. Ia menaruh beling itu di lantai. Ia lantas hanya memandangi telapak tangannya yang malang itu, yang masih saja mengalirkan cairan merah dari sana. Cairan itu sempat menetes dan menodai celana dari piyama yang ia pakai.

Matanya kemudian mengarah pada seragam, sepatu dan kaos kakinya yang terlihat sudah bersih. Terdapat pula tasnya di dekat sana. Ia berjalan gontai menggapai benda-benda itu. Ia menukar pakaiannya segera setelah sebelumnya menghubungi Agni untuk segera menjemputnya diam-diam dari rumah Rio. Butuh waktu cukup lama untuknya bertukar pakaian dari piyama menjadi seragam sekolah. Maklum, tubuhnya sedang tidak dalam keadaan normal. Ify meletakkan piyama yang sempat ia pakai di kasur. Ia diam seraya memandangi kamar Rio.

Ify lalu berjalan menuju pintu dan mengintip apakah ada orang berlalu lalang disana. Setelah dirasa cukup aman, ia pun keluar. Di luar, tidak ada siapapun yang ia temui. Amanda, Zeth bahkan Rio sendiri tak terlihat menampakkan batang hidung mereka disana. Baguslah, ia tidak perlu susah-susah berpamitan pada mereka semua. Beruntung kamar Rio berada di lantai paling bawah. Ia tidak diharuskan menuruni tangga karena itu. Dan juga, semakin mempermudahnya keluar dari rumah ini. Dari atas, seorang pemuda kira-kira 2 tahun di bawah Rio, melihat Ify keluar. Ia mengangkat sebelah alisnya bingung. Jelas, karena ia belum tahu siapa Ify.

Ia lantas berlari menuju kamar untuk menemui Rio, kakaknya. Yang sekarang terlihat sibuk memandangi sebuah foto di tangannya. “Kak!” Panggil pemuda tadi. Rio hanya berdehem dengan mata yang masih memusat pada fotonya. “Rumah kita kedatangan tamu?” Tanya pemuda itu. Pertanyaannya berhasil membuat Rio tergugah agar segera menoleh. “Hah?” Bingung Rio. “Iya, gue liat tadi ada di bawah.” Ujar pemuda itu lagi. Kening Rio mengernyit. Ia lantas berdiri memeriksa dan tak menemukan siapapun. “Gak ada, Ray. Lo salah liat kali!” Ujar Rio dan kembali duduk. Ray, pemuda tadi, melengos. “Tadi gue liat cewek itu di bawah, pake seragam sekolah lengkap dan nyendeng tas. Terus dia keluar rumah.” Jelas Ray.

Rio menoleh cepat. “Apa?” Kagetnya. Ia langsung berlari keluar dan turun ke bawah. Ify? Pikirnya seraya menuruni anak tangga. Ia melangkahkan kaki cepat menuju kamarnya. Kosong. Tak ada siapapun yang ia temukan. Seragam dan peralatan milik Ify lainnya pun sudah menghilang. Ia hanya menemukan pecahan-pecahan kaca tadi yang masih berserak. Ada satu yang terpisah dan terdapat noda merah disana. Layaknya darah. Darah? Rio mendekat pada kepingan kaca itu. Benar saja, itu noda merah bekas darah. Lumayan banyak. Ia juga mendapati piyama yang semula Ify pakai tergeletak di tempat tidur. Noda merah itu pun ia lihat di bagian celana piyama tersebut.

Rio baru sadar, bukankah ketika ia mendorong gadis itu, gadis itu terlihat sedang memunguti kaca? Tidak menutup kemungkinan tangannya bisa terluka. “Astagaa..bego! Betapa bodohnya gue?! Arrggh!!” Gerutu Rio seraya menggaruk-garuk kepala kesal. Ia kemudian berlari keluar kamar menuju pintu rumahnya. Ia melihat sebuah mobil yang bergerak meninggalkan halaman. Ia bisa melihat ada Ify di dalam sana, duduk di kursi depan ditemani Agni di sebelahnya. Rio hanya bisa menghela nafas pasrah.

***

 Pagi-pagi, Shilla sudah dijemput Alvin. Mereka berniat untuk menjenguk Ferdi. Shilla merasa tidak enak karena kemarin malam pulang terlebih dahulu. Namun, tiba-tiba saja ia ingin membatalkan rencana itu. Entah karena apa, hari ini, ia mendadak ingin sekali berdua bersama dengan Alvin. “Emm..Vin!” Panggil Shilla. Alvin menoleh sekilas lalu kembali menatap jalan raya. “Hmm?” Dehem Alvin. Shilla menggigit bibir bawahnya ragu-ragu. “Emm..ee..” Melihat itu, Alvin kembali menoleh. “Kenapa?” Tanya Alvin lembut.

“Kita..gak usah jenguk Om Ferdi ya?” Pinta Shilla. Alvin lantas menatapnya bingung. “Kenapa?” Tukas Alvin. Shilla menghembuskan nafasnya singkat. “Gue..gue mau lo temenin gue seharian.” Tutur Shilla seraya menatap Alvin penuh harap. Alvin melihat itu tersenyum dan mengedikkan bahu. “Gak ada salahnya!” Katanya tersenyum senang. Shilla pun menyambut persetujuan Alvin itu antusias. “Sekarang, kita kemana?” Tanya Alvin. Shilla diam dan berpikir sebentar. “Danau Aijo. Yang bisa nyewa perahu itu loh!” Ujar Shilla semangat. Alvin hanya tersenyum dan mengikuti apa yang kekasihnya inginkan.

Sampailah mereka di danau yang Shilla bilang. Danau aijo. Danau dengan mitos yang berkembang dapat membuat pasangan kekasih semakin cocok satu sama lain dan bahagia dalam hubungannya namun dapat juga membuat sebaliknya. Pasangan tersebut akan selalu didera banyak masalah dan makin lama makin terlihat ketidakcocokannya. Bisa dibilang, bisa membuat hubungan sebuah pasangan langgeng atau malah hancur berantakan. Tapi, sudahlah. Itu kan hanya sebuah mitos. Tak perlu terlalu dipusingkan sebab dan akibatnya.

Yang jelas, Shilla merasa begitu senang hari ini karena Alvin mau menemaninya. “Vin, ayo sewa perahunyaa!” Pinta Shilla manja. Alvin lagi-lagi hanya tersenyum seraya mengusap pipi kekasihnya pelan. “Iyaa, ayo!” Ajak Alvin. Mereka kemudian pergi menyewa perahu. Berhubung situasi saat itu belum begitu ramai, mereka pun dengan mudah tanpa menunggu waktu lama bisa mendapatkan satu perahu untuk dinaiki berdua. Shilla menaikinya duluan lalu kemudian disusul Alvin yang duduk di depannya. Jadilah, mereka berhadap-hadapan sambil mengayuh perahu, Shilla bagian kiri sementara Alvin bagian kanan.

Tanpa sadar, mereka sudah membuat perahu berjalan jauh dari keramaian. Shilla berhenti mengayuh dan memilih menikmati pemandangan sekitar. Begitu juga dengan Alvin. “Vin, janji ya! Hari ini lo bakal fokus nemenin gue, seharian!” Pinta Shilla seraya menyembulkan jari kelingkingnya. Alvin lalu menautkan jari kelingkingnya pula dengan jari kelingking Shilla. Tanda ia sudah berjanji pada gadis itu. Shilla kembali memamerkan senyum di depan Alvin, membuat Alvin gemas sendiri. Spontan, wajahnya ia dekatkan pada wajah Shilla. Dan..

Cup!

Ia mengecup singkat pipi Shilla. Membuat gadis itu tertegun dan diam menatapnya. Alvin tersenyum jahil. “Lo kelihatan lebih lucu kalo salting kayak gini! Haha..” Tawa Alvin. Mata Shilla seketika melotot dan memukuli Alvin meski tidak terlalu keras. “Iyy..lo tuh jahilnya gak hilang-hilang! Heran gue!” Rutu Shilla meski wajahnya terlihat tersenyum. Alvin lalu menangkap kedua tangan Shilla yang bergerak memukulinya. Ia lantas menggenggam kedua tangan tersebut seraya sesekali mengelusnya. Mereka diam dalam keadaan saling memandang satu sama lain. “Vin!” Panggil Shilla. “Apa?” Jawab Alvin seraya mengecup punggung tangan Shilla satu persatu.

“Lo cinta sama gue gak?” Tanya Shilla. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Menikmati sejuknya udara di pagi hari. Beberapa helai rambut mengibas wajahnya akibat angin yang berhembus. Alvin lantas menjauhkan helai-helai itu. Membuat wajah cantiknya dapat terlihat jelas di mata Alvin. “Bohong kalau enggak.” Jawab Alvin. Shilla pun menoleh ke arahnya. “Seberapa besar?” Tanya Shilla lagi. Alvin menatap Shilla lama sebelum menjawab. “Cinta itu gak ada batas dan ukuran. Jadi, gue gak tahu lah seberapa besar cinta gue ke lo.” Jawab Alvin kemudian.

Shilla manyun mendengar jawaban Alvin itu. “Masa lo gak tahu? Lo cuma mainin gue ya?” Ujar Shilla dan seketika menunduk. Alvin mendesah dan kemudian mengangkat wajah itu kembali menghadapnya. “Lo gak percaya sama gue?” Tanya Alvin. “Per..percaya..” Lirih Shilla. Ia memberanikan diri menatap mata Alvin yang sedang melemparkan pandangan meluluhkan ke arahnya. “Nah, gak ada masalah lagi kan?” Alvin mengusap kedua pipi Shilla lembut. Ia masih memegang wajah gadis itu. “Tapi..bisa lo beri penjelasan sedikit aja mengenai perasaan lo itu ke gue?” Pinta Shilla memelas. Alvin menghela nafas singkat.

Tangannya berpindah dari wajah kembali ke kedua tangan Shilla. “Gini ya, kalau seseorang tahu seberapa besar cintanya ke seseorang, itu tandanya dia perhitungan. Sedangkan gue, gue gak tahu seberapa besar cinta gue ke lo ya karena cinta gue meliputi lingkup yang terlalu luas untuk diukur apalagi dihitung. Gak ada acuan yang bisa membuat cinta gue itu ternilai berapa nominalnya. Intinya, kalo gue cinta sama lo, keseluruhannya itu milik lo. Gak perlu lo hitung seberapa besar, toh sudah jelas semuanya milik lo.”

Gila..cowok gue puitis! Batin Shilla takjub. Ia terpaku mendengar penuturan Alvin padanya. Ya, baginya sudah cukup jelas. Ia tidak akan lagi menanyakan seberapa besar cinta pemuda itu padanya. Alvin benar, pemuda itu mencintainya maka keseluruhan perasaan cinta itu hanya untuknya dan miliknya. Jadi, untuk apa repot-repot memikirkan total rasa itu sendiri? “Wah, gue gak nyangka lo punya koleksi kata-kata bagus kayak gitu!” Seru Shilla. Alvin hanya terkekeh pelan seraya membusungkan dadanya. “Wayadongs! Alvin gitu!” Narsis Alvin. Shilla ikut terkekeh dibuatnya. “Yee, sipit cungkring aja bangga!” *juststory* Dumel Shilla.

“Tapi cantik suka kan?” Goda Alvin seraya menjawil hidung gadisnya. “Cinta, hehe..” Cengir Shilla. Mereka kemudian tertawa bersama. Hmm, hari yang cukup cerah mengawali kembalinya hubungan baik pasangan ini. Semoga danau aijo membawa mereka ke riak kasih sayang seperti namanya. Semoga danau ini selalu mengingatkan mereka untuk saling menyayangi seperti arti dari aijo itu sendiri. Ya, cinta Alvin..keseluruhannya milik gue! Hehe.. Batin Shilla.

***

 Agni sampai di rumah sakit bersama Ify. Ia menarik lengan gadis itu menuju ruang perawatan. “Ni, gak usah lari-lari kenapa sih?” Dumel Ify. Badannya sedikit terasa sakit karena ditarik seperti itu. Agni tak memperdulikan sama sekali mengingat darah di telapak tangan Ify tak juga membeku. “Sus, tolong obati tangan temen saya. Tadi kena beling!” Ujar Agni pada suster disana. Suster tersebut mengangguk dan menyuruh Ify duduk di atas kasur. Sementara ia mengambil beberapa peralatan untuk mengobati luka di tangan Ify itu.

Sekitar 20 menit, luka ditangan Ify sudah selesai diobati bahkan terlihat sudah diperban. Beberapa kali Ify terlihat meringis saat suster mengolesi alkohol untuk membersihkan lukanya itu. Untunglah, sekarang penyiksaan itu telah selesai. Agni dan Ify keluar dari ruang perawatan dan berjalan menuju kamar Ferdi. “Lo kenapa sih sampai kena beling gitu?” Tanya Agni mengintrogasi. Ify menoleh sekilas lalu melihat ke arah tangannya yang diperban. “Gue cuma mecahin gelas.” Bohong Ify.
Sudah tahu tabiat Agni, ia mana mungkin percaya begitu saja pada keterangan Ify. “Gak mungkin sampai luka sebesar itu. Lo jujur deh sama gue, lo kenapa?” Tanya Agni lagi. Kali ini suaranya melemah agar gadis itu lebih leluasa untuk berbicara. Ify menoleh ke arah Agni lagi dan melihat ekspresi Agni yang berusaha meyakinkan dirinya. Ia lantas menghembuskan nafas berat. “Gue tadi gak sengaja menjatuhkan foto Rio. Waktu gue mungut pecahan kacanya, tiba-tiba dia masuk dan marah sama gue. Terus dia ngedorong gue dan karena itu tangan gue yang lagi megang beling berimpit sama beling-beling itu. Luka deh!” Jelas Ify panjang lebar.

Agni melongo mendengarkan Ify berbicara. Cuma karena itu, Rio dengan mudahnya mendorong Ify sampai tangannya luka begini? Dan setelah itu, pemuda itu pun seperti tidak peduli pada apa yang terjadi pada sahabatnya. Agni geleng-geleng kepala tak percaya. “Dasar manusia struk!” Tuding Agni. Ia benar-benar kesal pada kelakuan Rio khususnya terhadap Ify. “Udahlah, dia mungkin gak sengaja.” Ujar Ify yang terkesan masih saja membela Rio. “Lo masih belain dia?” Sungut Agni. Ify mendesah malas. “Gue cuma gak mau memperpanjang masalah.” Lirih Ify.

Mereka kemudian sampai di depan ruangan Ferdi. Ify diam sejenak memandangi pintu masuk ruangan itu. Membuat Agni menoleh bingung ke arahnya. “Nunggu apa, Fy?” Tanyanya. Ify dengan cepat menggeleng. Ia lantas membuka pintu dan perlahan masuk ke dalam diikuti Agni di belakangnya. Ferdi agak kaget akan kedatangan anaknya itu. Ia jadi ingat dengan sikap aneh yang ditunjukkan Ify kemarin. “Ify..” Ujar Ferdi seraya tersenyum hangat. Ify masih diam dalam perjalanannya mendekati Ferdi. Hingga mereka sudah berhadapan barulah Ify buka suara. “Papaa..” Seru Ify manja dan langsung saja memeluk lelaki paruh baya itu.

Ferdi lantas membalas pelukan Ify seraya mengusap-ngusap punggung anaknya itu. “Kamu baik-baik aja kan?” Tanya Ferdi khawatir. Ify mengangguk dalam pelukannya itu. Air matanya terlihat menitik beberapa kali. “Pa..” Panggil Ify pelan. “Apa sayang?” Sahut Ferdi dan tetap memeluk anaknya. “Papa janji ya gak akan sakit lagi!” Pinta Ify. Terdapat kesungguhan yang teramat dalam saat ia mengatakan itu. Ia berharap Ferdi akan menyanggupi permintaannya. “Papa akan selalu sehat jika memang papa diizinkan untuk itu.” Ujar Ferdi.

Ify melepas pelukannya sebentar dan menatap Ferdi. “Maafin Ify, Pa!” Ujar Ify. Ferdi balas menatapnya bingung. “Maaf? Maaf kenapa?” Tanya Ferdi kemudian. Ia mengusap kepala Ify lembut. Ify menggeleng lalu menjawab. “Ify mau minta maaf aja. Maafin Ify ya?” Ujar Ify lagi. Ferdi lantas tersenyum dan mengangguk. Ia mengusap bekas-bekas air mata Ify yang sempat mengalir. “Iya..udah jangan nangis lagi! Anak Papa gak cengeng! Hehe..” Kekeh Ferdi. Rasanya, Ify baru bisa mengembangkan senyum sekarang. Ia kembali memeluk Ferdi begitu pula Ferdi sendiri. Oh my Allah, izinkan aku bersama dengan papa dalam waktu yang lama. Amin! Doa Ify dalam hati.

Sementara itu, Agni sedari tadi hanya memandangi kehangatan yang terjalin antara anak dan ayah di depannya. Ia diam tak tahu harus apa. Sedikit keirian timbul dalam hatinya. Jadi gini punya orang tua kandung? Batin Agni lirih. Ingin sekali ia seperti Ify, disayangi dan teramat dicintai oleh ayahnya, orang tua kandungnya. Sementara dirinya sendiri, kemana mereka? Mereka malah membuangnya ke panti asuhan dulu. Sudahlah, ia tak sepatutnya kufur seperti ini. Beruntung masih ada orang sebaik Angga, mau mengadopsinya sebagai anak. Ia diperlakukan begitu baik layaknya anak kandung dari lelaki itu. Karena itu, ia juga bisa merasakan bagaimana mempunyai seorang kakak yang juga sangat menyayanginya bahkan melebihi adik kandung. Ya, ada hikmahnya juga ia ditinggalkan waktu itu. Membuatnya bisa bertemu dengan seorang Aga.

***

Hulalaaa saya senang bisa menyelesaikannya lebih cepat. Haha, maaf jika isinya garing dan tak menarik minat sama sekali. Muehehe. Berita baik, mungkin part selanjutnya gak ngaret soalnya mimin libur dari hari rabu sampai jumat. Terimakasih sudah mau membaca =D
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

2 komentar:

  1. Bagus banget part ini tapi menyedihkan juga T_T #lebay

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, sayanya waktu itu lagi galau sih o,o

      Hapus