-->

Selasa, 17 April 2012

Matchmaking Part 13

Ass! Hai-hai penikmat cerbung sekalian. Bagaimana part kemarin-kemarin? Sudah cukup membuat kalian semua menghabiskan satu bungkus tissu? Atau malah tertidur sangking garingnya? Haha, saya juga kasihan sama si Ify nyesek terus. Kita kasih pencerahan lah ya untuk neng ini? Eh, tapi kayaknya nyeseknya sekarang nular deh ke temen-temennya yang lain. Muehehe~ *Dasarpenulisplinplan**PLAK*.  Warning : Part ini sangaatlah panjang dan semoga tidak membosankan dan teramat tak berkesan -_____-
Ya sudah langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah! =D
***
Jam setengah 7 pagi. Begitulah yang berusaha diberi tahu oleh jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri Via. Akhirnyaa sampai di rumah jugaa! Batinnya lega. Saat ini, kakinya sudah berhasil menginjak bagian depan kediamannya setelah semalaman ia terpaksa menginap di kamar Ferdi. Ia sangat bersyukur Iel tak lagi mengejarnya setelah kejadian di kantin Kenko. Ia dapat dengan mudah membuka pintu rumah yang kebetulan tidak di kunci. Tak ayal, Fira langsung menghambur ke arahnya serta menanyakan perihal keadaan dirinya maupun Ferdi, Papa Ify. “Viaa, kamu pulang juga! Kamu baik-baik aja kan? Eh lalu, Om Ferdi, dia sakit apa? Kok bisa sampai masuk rumah sakit?” Tanya Fira tak sabaran.

“Via sehat, Ma. Kalo Om Ferdi, kata dokter sih cuma kelelahan.” Jawab Via tak semangat. Ia mengantuk sekali sekarang. Jadi, tak heran jika suaranya terdengar kurang jelas karena terselingi oleh aksi menguap darinya. “Hmm..eh kamu udah sarapan?” Tanya Fira lagi. Via memandang ke arah Mamanya sebentar. “Hoam, Via ngantuk, Ma. Via juga baru makan jam 2 tadi, masih kenyang. Via ke kamar dulu deh!” Ujar Via dan lantas berlalu dari hadapan Fira. Kakinya bergerak menaiki anak tangga satu-persatu menuju kamarnya. 

Sesampainya di kamar, Via menyempatkan diri melihat ke cermin, memastikan bagaimana penampilannya saat ini. Ia baru sadar rambutnya masih tercepol hingga sekarang. Via kemudian melepas ikatan di rambut sehingga rambutnya itu dapat merasakan kebebasan setelah sekian lama. Ia melangkah mendekati meja rias hendak mengambil sisir. Setidaknya ia harus merapikan untaian rambutnya agar tak terlalu berantakan saat bangun tidur yang kedua kali nanti. Namun, melihat rambut panjangnya yang tergerai, entah kenapa ia teringat akan gadis yang mengganggu ketenangan hati dan pikirannya semalam.

Gadis yang sudah ia ambil kesimpulan adalah kekasih dari Iel. Orang yang emm dikaguminya. Entahlah sekarang sudah menanjak ke batas yang mana. Yang jelas, mulai saat ini, apapun perasaan yang awalnya ia persembahkan untuk pemuda itu, akan segera disimpannya dalam-dalam lalu kemudian ia buang jauh-jauh dari dasar hatinya. Ia menyisir rambutnya menggunakan jari seraya memperhatikannya lekat-lekat di kaca. “Rrrr!!!” Geramnya seketika. Tangan Via bergerak cepat mengacak-ngacak isi laci meja riasnya. Ia hendak mencari gunting. Gunting? Untuk apa? Hmm, lihat saja apa yang akan gadis ini lakukan. Tak butuh waktu lama, Via akhirnya menemukan benda pemotong itu. Ia menatap sekali lagi bayangan dirinya di cermin. 1...2...3...

SREET!

***

CKLEK!
Pintu ruangan Ferdi dibuka. 2 orang pemuda dengan wajah memikat berjalan masuk ke dalam. Ify tak begitu mengacuhkan. Ia masih setia memeluk Ferdi. Sementara Agni, ia menoleh ke belakang memastikan siapa kedua pemuda itu. Ia melihat Cakka dan Rio lah yang sedang berjalan mendekat. Ia tersenyum sekilas pada Cakka sementara menatap Rio dingin. Ia melengos ketika bertukar pandang dengan pemuda itu. Membuat Cakka agak bingung melihat sikap mereka berdua. Agni lantas berjalan mendekati Rio dan menarik paksa pemuda itu keluar. Lagi-lagi, Cakka memasang tampang bingung. Ia kemudian mengikuti kedua orang tersebut.

“Apaan sih?!” Sentak Rio pada Agni setelah benar-benar berada di luar. Agni menatapnya datar dan kemudian tertawa mengejek. “Hh, ngapain lagi lo kesini?” Sindir Agni seraya melipat kedua tangan di dada. Rio memalingkan wajahnya mendengar itu. “Bukan urusan lo!” Kata Rio datar. Ia memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. “Kenapa? Merasa bersalah?” Sindir Agni lagi. Sungguh tak bisa terbaca sedikitpun apa yang ada di pikiran pemuda di hadapannya. “Harus?” Sungut Rio. Mulut Agni menganga seketika. Ia menggelengkan kepala tak percaya bahwa Rio akan berkata seperti itu. Harus? Tepatkah kata itu dilontarkan oleh seseorang yang telah banyak melukai seseorang lain?

“Lo...karena lo, Ify nahan sakit karena jaitan ditangan. Dan lo tahu, apa yang dia bilang saat gue maki-maki lo karena luka itu?! ‘Lo gak sengaja’. Ya, dia bilang ‘lo gak sengaja’..dengan tampang polos dan tanpa beban! Sebegitu relanya dia ngebelain lo! Apa lo pernah ngebayangin hal itu? Sekarang lo nanya ‘Harus’? Hh, percuma lo dapat gelar juara umum. Hal kayak gitu aja lo tanyain! Percuma lo punya otak jenius. Sedangkan pikiran lo gak terbuka sama sekali untuk memahami perasaan orang lain. Percuma lo punya suara merdu. Suara merdu yang bahkan hanya lo gunakan untuk membuat sumbang perasaan orang lain, Ify, sahabat gue! Sampai kapan sih lo nyiksa temen gue?!” Ucap Agni penuh penekanan. Beberapa kali telunjuknya terlihat mengarah kasar pada Rio. Pemuda itu menurutnya pantas mendapat perlakuan kurang pantas darinya.

Cakka tertegun mendengarkan setiap ucapan Agni. Meskipun ia hanya mendapat gambaran-gambaran masalah yang diperdebatkan Rio dan Agni, namun ia lantas memilih berpihak kepada Agni. Luka hingga harus mendapat jaitan itu bukanlah sebuah jokes segar di pagi hari. Bukan sebuah lelucon yang bisa dianggap lalu begitu saja. Tak berbeda jauh dengan Rio. Orang yang notabenenya merupakan sumber masalah dalam hal ini. Ia masih tidak percaya dengan luka jaitan yang disebut-sebut Agni. Benarkah sampai separah itu? Jika iya, betapa berdosanya ia pada Ify. Ify yang bahkan sudah ia bentak hanya karena menjatuhkan sebuah foto yang mungkin tak perlu dipajangnya lagi.

Rio akhirnya hanya menghembuskan nafas panjang. “Hhh, okey..gue minta maaf!” Ujar Rio yang kedengarannya seperti malas-malasan. Agni melengos mendapati itu. “Lo gak pernah mengenal kata ‘tulus’? Semestinya lo belajar dari Ify. Mata lo buta? Apa lo gak pernah sekalipun memperhatikan Ify? Bahkan dia tetap menggunakan asas itu saat membela lo. Ckck..” Sindir Agni untuk ketiga kalinya. Kali ini Rio yang melengos. “Udahlah, gak usah kultum pagi-pagi! Biar gue yang menyelesaikan masalah gue. Gak perlu lo ikut campur terlalu jauh!” Sanggah Rio. Ia mendekat ke arah pintu dan membukanya namun ditahan Agni.

Agni membuat pintu ruangan Ferdi tertutup. Membuat pintu itu berbunyi beberapa kali dan mungkin saja mengundang keheranan bagi orang yang berada di dalam. “Enak aja! Lo pikir lo dapat izin gitu?” Sungut Agni tak mau kalah. Ia menatap Rio tajam. “Lo siapa? Hah?” Balas Rio yang mulai kesal sedari tadi disuguhi suara dan kata-kata ‘syahdu’ dari Agni. “Setidaknya gue bukan orang yang akan menyakiti Ify terus-terusan.” Rio tak bisa berbicara apa-apa lagi. Kata-kata Agni barusan seperti mengunci mulut dan pikirannya untuk melanjutkan perdebatan. Ya, kata-kata yang lumayan membuat batinnya tertusuk.

Disaat yang bersamaan, pintu dibuka seseorang dari dalam. Seorang gadis tampak memunculkan diri dari balik benda tersebut. Ia memandang orang-orang di depannya heran seraya menggaruk-garuk pelipis. “Kalian..mau masuk? Masuk aja gih, kalo keberatan ada gue, gue udah selesai kok.” Ujar Ify seraya mengulas senyum ramah di wajahnya. Agni menatap Rio lalu Ify dan kemudian menghela nafas. “Gue langsung pulang deh. Tiba-tiba Papa nelpon. Gue balik ya, Fy!” Pamit Agni. Ia memandang Rio sejenak. “Satu kesempatan.” Bisik Agni ketika melewati Rio. Rio diam tanpa membalas.

Sementara Ify, tentu saja kadar kebingungannya bertambah. Ia heran kenapa Agni pergi begitu saja. Lalu, siapa yang akan mengantarnya pulang? Pikir Ify. Cakka pun terlihat ikut-ikutan. Padahal pemuda itu baru saja datang. “NI, GUE PULANG SAMA SIAPA?” Teriak Ify ketika Agni sudah berjalan cukup jauh. “SAMA RIO!” Balas Agni berteriak pula. Ia tetap melanjutkan berjalan tanpa peduli dengan tatapan tidak setuju dari Ify. Ify hanya bisa menghembuskan nafas berat. Naik taksi deh! Batinnya pasrah. Ia melirik ke arah Rio yang terlihat sedikit canggung menatapnya. “Lo..lo masuk gih! Ditunggu Papa tadi.” Suruh Ify mencoba bersikap tenang.

“Tunggu disini!” Pinta Rio sedikit ramah. Ia kemudian masuk ke dalam untuk bertemu Ferdi. Meninggalkan Ify yang tak tahu harus apa sekarang. Ia kembali direpotkan oleh sikap Rio yang seolah baik kembali. Ia bahkan tidak mengenali siapa Rio sebenarnya. Pemuda itu seperti 2 orang yang berada dalam satu tubuh. Seorang Rio dan seorang Mario. Rio yang ia kenal selalu ketus dan dingin terhadapnya. Sementara Mario, sosok yang ia tahu selalu ramah pada setiap orang yang mengaguminya. Lelah sekali bagi Ify memikirkan hal tersebut. Padahal hanya satu hal yang tak terlalu berat. Ah, apa mungkin karena apa yang ada di pikirannya sudah teramat berat? Entahlah, ia tak bisa lagi menambahkan pertanyaan itu untuk menjadi topik pemikiran selanjutnya.

***

Cakka masih berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Agni yang berjalan begitu cepat. “Ni, pelan-pelan dikit kenapa? Gue capek juga nih ngejar lo.” Keluh Cakka yang terlihat memang agak sedikit ngos-ngosan. Agni baru sadar ada Cakka yang sedari tadi hendak berjalan beriringan dengannya. Ia lantas memperlambat tempo penapakan telapak kakinya ke lantai. Ia kini berjalan seraya memandang ke arah Cakka. “Lah, lo ngikutin gue? Kok gue gak sadar ya?” Ujar Agni –polos– seraya menggaruk-garuk pelipis. “Ahelah, masa iya lo gak ngeh dari tadi?” Heran Cakka.

“Hehe, sorry. Habis gue kelewat kesel sih sama temen lo itu!” Ujar Agni balik mengeluh. Mereka sudah berjalan beriringan sekarang. “Emang ada apasih? Kok sampai jahit-jahitan segala?” Tanya Cakka akhirnya setelah cukup lama mengidap ketidaktahuan. Agni menghembuskan nafasnya singkat lalu menceritakan apa yang terjadi antara Rio dan Ify dari A sampai Z tanpa bumbu-bumbu penyulut emosi. Dalam arti tidak melebih-lebihkan. Yah meskipun kekesalan itu mengubun ketika melihat Rio tapi membuat seseorang seperti tersangka berat itu bukanlah tipikal Agni dalam bercerita. Cakka terlihat diam beberapa detik setelah Agni selesai berbicara. Ia lalu ikut-ikutan menghela nafas.

“Rio emang kayak gitu.” Serah Cakka. Air mukanya mendadak serius meskipun masih ada guratan-guratan santai disana. Agni menoleh cepat ke arahnya dan mengkerutkan kening bingung. “Suka buat orang makan hati?” Tanya Agni mengejek. Cakka menggeleng lemah dan sepertinya akan mulai menjelaskan. “Mungkin, foto yang Ify jatuhin itu, foto terakhir dia sama Acha.” Kata Cakka memulai. “Acha? Siapa tuh?” Tanya Agni lagi. Sebelum-sebelumnya ia memang tidak pernah mendengar nama itu bersandingan dengan nama Rio. “Larissa Safanah Arif. Lo gak tahu?” Tanya Cakka balik. Agni mencoba mengingat-ngingat nama itu beberapa saat.

“Larissa..Larissaa..” Gumam Agni masih berusaha mengingat-ngingat. Namun, sedetik kemudian... “Astaga! Larissa penyanyi itu? Yang...yang...sama...Rio...yang...” Seru Agni yang kesulitan berbicara. Ia tidak ingin mempercayai apa yang ia pikirkan. Sungguh tidak ingin ia percayai. Bagaimana tidak? Hal itu bisa membuat Ify lebih sakit hati. Ia tidak bisa membayangkan seberapa jatuh lagi sahabatnya itu jika mengetahui hal tersebut. Emm tapi, ada kemungkinan juga Ify sudah mengetahuinya lebih dulu. “Ya Allaah, Ify kenapa jatuh cintanya sama Rio sih? Kasihan banget sobat guee..” Keluh Agni. “Udahlah, biar mereka selesaikan sendiri. Eh lo gak ada kerjaan kan?” Tanya Cakka kemudian. Ia menggaruk-garuk kepala canggung saat bertanya seperti itu pada Agni.

Agni lagi-lagi memasang tampang tak mengerti. “Gak ada sih. Kenapa?” Jawab Agni seraya balik bertanya. Cakka menarik nafas dalam-dalam seraya mulai menyusun kata-kata yang tepat untuk disampaikan. “2 hari lagi sepupu gue yang cewek ulang tahun. Nah, lo sebagai cewek juga kan setidaknya bisa bantuin gue milih kado apa yang bagus. Lo bisa gak? Bisalah ya?” Jelas Cakka. Seketika sebelah alis Agni terangkat. Apa? Bantu milih kado? Milih kertas kado aja gue ngasal malah pake kertas koran. Sekarang disuruh milih kado? Haha, ngelawak nih orang! Batin Agni tak habis pikir. Ia lantas memegang kening Cakka. Ia hanya ingin memastikan apakah pemuda itu dalam keadaan normal atau tidak. Normal! Pikirnya.

“Lo..serius minta tolong sama gue?” Tanya Agni memastikan. Masa sih Cakka mau meminta tolong padanya? Hei, apa pemuda itu tidak bisa lihat tampak luar Agni? Gadis maco begini mana mungkin tahu apa yang para gadis normal gemari. Seleranya berbeda jauh dengan mereka. “Ya..kalo lo mau.” Serah Cakka. Agni lalu menghela nafas seraya menimang-nimang. “Kapan?” Tanya Agni lagi. Cakka melengos mendengarnya. “Sekarang lah! Masa lusa? Dia udah ulang tahun kali!” Agni hanya menyengir seraya menggaruk-garuk pelipisnya kembali. “Ya udah gue balikin mobil ke rumah dulu.”
“Ah kelamaan! Mobil lo biar disini aja, ntar gue antar lo kesini lagi.” Cakka lantas menarik Agni hingga keluar Kenko. Sementara Agni, ia hanya diam dan mengikuti saja apa yang Cakka katakan. Ia mendadak agak sulit berbicara sekarang. Mengingat Cakka yang masih menggenggam pergelangan tangannya hingga sampai di dekat mobil. Anjirr, dia narik tangan gue?! My heart’s beating so fast! Damn!! Heboh Agni dalam hati.

***

Rio masuk dan segera disambut ramah oleh Ferdi. “Om..” Sapa Rio sopan membalas senyum yang begitu saja mengembang di wajah Ferdi saat awal melihatnya hari ini. “Kamu ini, ngapain sih repot-repot datang untuk jenguk Om? Om kan gak sakit parah.” Bohong Ferdi. Ah, sampai kapan laki-laki ini menekuni sikap seorang pinokio? Pikir Rio. “Gak repot kok, Om.” Balas Rio seraya terkekeh kecil. “Om kapan keluar dari rumah sakit?” Tanya Rio basa-basi. Ferdi terlihat menerawang sebentar. “Emm..kata dokter sampai trombosit om naik dan normal kembali. Kira-kira 2 hari lagi lah.” Ujar Ferdi yang lagi-lagi berbohong.

Rio hanya tersenyum dengan tak tahu apa yang ia senyumkan. Sebeginikah tindakan seorang ayah agar tak membuat anaknya khawatir? Ify, Om Ferdi...benar-benar mirip. Batin Rio. “Om, beneran nitip Ify sama Rio?” Tanya Rio lagi, tiba-tiba. Kali ini, ia lebih serius akan pertanyaannya dibanding yang tadi. Ferdi mengkerutkan kening menatap Rio. “Kenapa? Apa itu memberatkan kamu?” Tanya Ferdi balik. Rio menggeleng cepat. “Ah, untuk saat ini gak. Tapi..Rio gak bisa janji lebih lama, Om.” Ujar Rio hati-hati. Ferdi seketika tertawa mendengar sahutan Rio itu. “Kamu ini, haha. Om juga sudah janji gak bakal lama kan? Jadi tenang aja!” Rio tersenyum bersalah mendengar pernyataan Ferdi. Ia lantas bingung sendiri kenapa ia berkata seperti tadi.

“Sudahlah, jangan dipikirin terlalu gimana. Tuh, Ify udah nunggu. Kasihan kalau terlalu lama.” Kata Ferdi lagi seperti mengusir Rio dengan cara halus. Rio lantas tersenyum dan mengangguk. Ia berbalik badan hendak pergi setelah berpamitan. Namun, langkahnya mendadak tersendat. Ia berbalik badan kembali menghadap Ferdi. “Om..cepat sembuh ya!” Ujarnya. Ferdi tersenyum dan mengangguk. “Ify udah nunggu. Kasihan kalau terlalu lama.” Tukas Rio. Ia mengulang apa yang Ferdi katakan namun dengan maksud yang berbeda. Lagi-lagi, Ferdi hanya tersenyum dan mengangguk. Rio balas tersenyum dan sekarang hatinya terasa lebih lega untuk melangkah pergi dari ruangan Ferdi.

***

Waktu sudah berjalan 5 menit semenjak Rio masuk ke ruangan Papa Ify. Selama itu pula Ify menunggu dengan pikiran campur aduk. Masih punya muka-kah ia bertemu bahkan bertegur sapa dengan Rio? Masih sanggupkah ia memandang wajah tampan pemuda yang katakanlah sudah menolaknya semalam? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkali-kali diulangnya selama 5 menit ia menunggu. Ify menatap pintu kamar Ferdi lama. Gue menghindar aja deh! Putusnya. Berhubung dirinya lapar, ia lantas memutuskan melakukan pelarian kesana. Sama seperti yang sudah Via lakukan sebelumnya.

Sementara itu, tak lama setelah Ify pergi, Rio baru saja keluar. Ia tak mendapati siapapun. Tak ada sosok gadis yang tadi ia suruh menunggu disana. Rio mendengus mengatahui itu. Kenapa gadis itu suka sekali menghilang? Pikir Rio. Ia kemudian mengambil ponsel di saku celana dan menghubungi Ify segera. Hingga deringan itu berhenti, Ify belum juga mengangkat panggilannya. Apa dia sengaja? Tanyanya dalam hati. Tak menutup peluang memang bahwa gadis itu sengaja tak menyahut panggilan darinya. Jelas, sebagai gadis normal bahkan mungkin sudah melebihi kadar normal, Ify pasti akan bertindak menghindar dari Rio.

Banyak alasan yang dapat memperkuat Ify melakukan hal tersebut. Mungkin yang paling telak adalah karena Rio telah ‘menolaknya’ semalam. Seakan-akan Rio tak memperdulikan bagaimana susahnya Ify menguatkan diri meminta dirinya membuka hati untuk gadis itu. Ditambah dengan ia yang kembali membuat gadis itu terluka dengan rasa yang berlipat-lipat. Rio menghembuskan nafasnya mencoba menenangkan diri sejenak. Rio kemudian melangkahkan kaki keluar dari Kenko. Ia berpikiran bahwa Ify pasti berniat menyetop taksi. Namun, sepertinya dugaan Rio salah. Yap, ia tak menemukan gadis itu disana.

Rio lantas kembali masuk ke dalam rumah sakit Kenko. Bagian depan sudah disusurinya dan masih belum menemukan titik terang perihal keberadaan Ify. Sampailah ia di bagian belakang bertepatan dengan arah masuk kantin. Dengan mudah, matanya menangkap raga seseorang yang dicarinya sejak tadi. Ia melihat Ify sedang duduk mungkin sedang menunggu pesanan datang. Untunglah, ia bisa bernafas begitu lega sekarang. “Makasih, Mas!” Ujar Ify saat salah seorang pelayan mengantarkan makanan yang ia pesan. Saat itu pula, ia mendapati Rio sedang berdiri di depannya, menatapnya cukup serius dengan kedua tangan yang disembunyikan di balik saku celana.

Ify mendesah dalam tundukannya. Ia tak berniat membalas tatapan nanar Rio itu. Entah kenapa, tangan kanannya ia gerakkan ke belakang. Seolah-olah ingin menyembunyikan tangannya yang terluka itu. Terluka akibat pemuda yang berdiri menatapnya sekarang. Rio lalu menduduki kursi di depan Ify. Matanya masih betah menjadikan gadis itu sebagai objek pandangan. Ify mencoba mengaduk-ngaduk mie-nya dengan sendok tanpa garpu. Tentu saja, tangan yang bisa ia fungsikan sekarang hanya satu. Sebenarnya, bisa keduanya. Tapi, ia belum mau menunjukkan keadaan baru dari tangannya yang satu lagi, lebih-lebih pada Rio. Akan lebih baik jika pemuda itu tidak tahu dan tidak peduli. Sehingga membuatnya semakin mudah menjauhkan diri.

Tapi, yang namanya satu tangan pasti tidak akan jauh lebih baik dibanding dengan memfungsikan keduanya. Apalagi yang digunakan tangan kiri. Ify terlihat canggung akan tangan yang tak biasa ia gunakan untuk makan itu. Melihat itu, Rio lantas mengambil mangkok berisi mie rebus milik Ify dan mengaduknya. Tingkah baiknya mulai muncul. Kali ini, Ify tak bingung-bingung lagi. Ia malah kesal akan kebaikan Rio itu. Kebaikan yang berdampak sebaliknya di hati Ify. Ify memilih diam tanpa berkomentar seraya menarik mie-nya kembali. Ia hendak mengulang adukannya tapi kalah cepat dengan tangan Rio yang juga mengambil mangkok tersebut, lagi.

Ify masih diam dan menarik pula mie-nya. Rio mendengus dan hendak mengambilnya sekali lagi. Kali ini, Ify tak membiarkan usahanya berjalan mulus. Tanpa sengaja, tangan kanan Ify, yang semula hendak ia sembunyikan, malah ia gunakan untuk menahan tangan Rio. “Jangan!” Tahan Ify tanpa menoleh. Rio seketika berhenti dan beralih pada tangan Ify yang terlihat diperban. Pelan-pelan tangannya bergerak meraih pergelangan dari tangan Ify itu. Ify yang sadar bahwa ia sudah ketahuan, buru-buru menjauhkan tangannya. Namun, usaha tersebut gagal karena tangan Rio sudah menjangkaunya duluan

Ify melirik sekilas pada tangannya yang dipegang Rio namun tak sedikitpun menoleh pada pemuda itu. “Maaf..” Ujar Rio. Ify sejenak terdiam namun ia cepat-cepat bersikap normal. Entah apa ekspresi Rio saat berkata ‘maaf’ padanya. Ia tak ingin menganalisa. Ify menjauhkan tangannya itu dan mendapat pembiaran dari Rio. “Lo gak salah..” Balas Ify datar. Ia hendak memasukkan satu suapan ke mulutnya tapi mie itu begitu susah untuk ditangkup. Selalu bergerak-gerak dan terjatuh kembali ke dalam mangkok. Melihat itu, Rio, untuk kesekian kalinya, mengambil mie Ify. Ia melilitkan badan mie itu di garpu dan hendak menyuapinya ke Ify.

Bukannya senang, kekesalan Ify justru makin memuncak mendapat perlakuan tersebut. Ia berdiri, menggeser kursinya kasar dan menatap Rio kesal. “Berhenti berpura-pura baik sama gue!” Kata Ify dingin. Ia kemudian berjalan cepat meninggalkan kantin. Rio melengos dan menaruh kembali garpu yang dipegangnya. Ia hendak menyusul Ify namun harus tertunda sedikit akibat pelayan yang menyuruhnya membayar telebih dahulu. Rio menyerahkan selembar uang 20ribuan dan langsung berlari menyusul Ify.

“Jangan nangis..jangan nangis!” Gumam Ify seraya  mencoba mentransfer makna dari gumamannya itu ke pusat pengendali air mata di otak. Ia berjalan cepat meninggalkan kantin, berharap Rio tak akan mencarinya lagi. “IFY!” Pekik seseorang yang Ify tahu itu pasti Rio. Hmm, ia hafal betul suara lembut khas Rio itu. Secara, sudah lama sekali ia memendam kekaguman dan pengharapan besar pada pemuda yang memanggilnya. Tentu saja, ia banyak mengetahui seluk-beluk ciri-ciri dari Rio. Tapi, bukankah itu tidak berpengaruh sekarang? Nyatanya, ia bertekad untuk mundur dari semua angan-angan yang ingin ia capai terhadap Rio. Ify lantas tak menghiraukan panggilan untuknya.

Ify masih setia berjalan cepat hingga tiba-tiba seseorang berhasil menghentikan laju melangkahnya itu dan membalikkan badannya tepat berhadapan dengan orang tersebut. Siapa lagi kalau bukan Rio? Ify melengos dan memilih memalingkan wajah ke arah lain. Rio melihat sekeliling dan merasa tempatnya sekarang kurang tepat untuk mereka berbicara. Rio kemudian menarik Ify ke taman rumah sakit Kenko yang masih terlihat sepi. Tentu saja, sekarang masih jam 7 pagi. Belum banyak orang yang berdatangan untuk menjenguk siapa saja yang dirawat di rumah sakit ini. “Mau kemana?” Tanya Rio halus. Ify tak menyahut dengan diam tanpa berkomentar. “Fy..” Panggil Rio lagi. Kelihatan lebih putus asa. Ify mendengus. Mau tak mau, ia harus menatap Rio juga.

“Apa mau lo, hah?! Okey, gue bakal mundur. Mungkin sudah seharusnya gue berpaling sejak dulu. Tapi, ya gue baru sadarnya sekarang. Karena itu, lo bisa hidup tenang mulai detik ini. Sorry, gue mau pergi!” Ify berbalik badan dan mulai meniti langkah meninggalkan Rio yang masih diam di tempat. “Jangan mundur! Jangan berpaling dari gue!” Kata Rio serius. Ify tertegun mendengar pernyataan itu keluar dari orang yang sampai sekarang masih teramat diinginkannya. Apa? Jangan mundur? Jangan berpaling? So, dengan itu, gue akan senantiasa sakit hati? Ah, gue bukan keledai! Batin Ify mengelak. Ia melangkah kembali dan tak memperdulikan perintah Rio barusan.

Sesaat kemudian, ia benar-benar dibuat berhenti oleh perkataan Rio. “Gue suka sama lo!” Kata Rio penuh keyakinan. Setetes air mata Ify tiba-tiba keluar yang secara tidak langsung telah berhasil mengoyak dinding pertahanan di mata dan hatinya. Sungguh, kata-kata itu mampu membuatnya melunak. Kata-kata yang sudah sekian lama ia harapkan untuk keluar dari mulut Rio dan ia pun dapat mendengarnya sendiri. Melihat Ify diam, Rio mempergunakan kesempatan itu untuk mendekat dan kembali menghadapkan badan Ify ke arahnya. Ia dapat melihat pipi Ify sedikit basah. Mungkin karena gadis itu menangis. Ya, wajar saja. Wajar jika Ify menjadi seorang yang sangat mudah mengeluarkan air mata.

Tangan Rio bergerak menghapus basahan-basahan di pipi Ify. Ia lalu berniat membawa gadis itu ke pelukannya. Tapi, Ify malah menangkis tangan Rio. Ify mulai memberanikan diri bertukar pandang dengannya. “Gue harus apa sama lo, Yo? Gue harus apa?  Gue..gue capek..” Lirih Ify seraya memukul-mukul dada Rio pelan, beberapa kali. Ia benar-benar menangis. Tak ada lagi dinding yang bisa menyekat agar air matanya tidak keluar begitu deras. Rio membiarkan Ify hingga gadis itu merasa puas memukulnya. Hingga gadis itu terlihat menunduk dan masih terisak. Kaki Rio melangkah satu kali, membuat jaraknya dengan Ify lebih dekat. Rio mengangkat wajah Ify dan kembali menghapus aliran-aliran air mata di pipinya.

Cup!
Rio mengecup lembut mata kanan dan berlanjut ke mata kiri Ify. Ify hanya diam dan masih sesenggukan. Meski hatinya lumayan tersengat menerima perlakuan Rio itu. Rio mengusap-ngusap pipi Ify dengan ibu jarinya seraya menatap sendu gadis itu. “Gue mau..” Kata Rio menggantung. Sedetik kemudian, perlahan tapi pasti, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ify. Ify memilih menutup mata. Ia sudah pasrah pada apa yang akan Rio lakukan padanya. Otak Ify berjalan tak selaras dengan tekadnya semula. Jadilah, Rio makin mendekat dan pada akhirnya, untuk pertama kali dalam hidup Rio, ia mencium seorang gadis. Bahkan pada gadis yang baru sampai tahap suka belum cinta.

Ify merasakan ada sesuatu, lembut dan sedikit basah menempel lama di bibirnya. Yap, bibir Rio. Saat itu pula, sengatan-sengatan itu kembali menjalar hampir di seluruh tubuh baik Ify maupun Rio sendiri. Sengatan itu terasa lebih menggetarkan dibanding tadi. Cukup lama Rio dan Ify bertahan dalam keadaan tersebut. Hingga akhirnya Rio ‘selesai’ dan menatap Ify lagi. Kemudian wajahnya ia dekatkan ke arah telinga kiri Ify, seperti ingin membisikkan sesuatu pada gadis itu. “Berusahalah menjadi orang terakhir di hati gue...” Bisik Rio lalu kemudian menegakkan tubuhnya seperti semula.

Ify sudah berhenti menangis. Ia balas menatap Rio yang juga menatapnya. Benarkah ini Rio? Benarkah tadi Rio telah..Benarkah Rio mengatakan hal itu padanya? Apa ia hanya mendapat penghiburan dari lelaki itu? Apa ia masih punya cukup kekuatan untuk sekali lagi mempercayai dan mempertahankan perasaannya pada Rio? Bertambah lagi pertanyaan-pertanyaan di luar dugaan dan mungkin akan semakin membuat berat kepalanya. “Boleh..gue meluk lo?” Tanya Ify memelas. Rio tersenyum lembut dan justru memeluk Ify lebih dulu. Ify tak pikir panjang dan lekas membalas pelukan Rio padanya. Hmm, damai sekali.. Batin Ify.

***

Alvin dan Shilla masih betah berlama-lama di atas perahu. Meski suasana sudah mulai ramai, mengingat hari ini akhir pekan dan waktunya libur. Beberapa pasangan muda-mudi lainnya pun satu-persatu mulai memadati area danau aijo. “Vin, udahan yuk? Rame nih, gak seru!” Ujar Shilla seraya memandang sekeliling. Alvin tersenyum jahil mendengar itu. “Lo pengen ke tempat sepi?” Kata Alvin yang bergerak mendekat ke arah Shilla. Shilla melihat itu ngeri dan lantas menjauhkan badannya dari Alvin. “Ih, mikir apaan lo? Awas ya, kalo macem-macem gue tenggelemin nih perahu?” Ancam Shilla. Alvin masih tak peduli dan mendekatkan lagi badannya ke arah Shilla.

“Ya udah, di dalam air lebih asyik!” Balas Alvin. Alvin lantas mendorong tubuh Shilla hingga bersandar di tepi perahu. “Lo..lo mau ngapain?” Panik Shilla melihat Alvin yang mulai mendekatkan wajahnya. Alvin tersenyum nakal. “Gue kangeeen!” Kata Alvin manja. Uu, ni anak kenapa mendadak mesum gini?!! Batin Shilla heran. Ia beberapa kali menggelengkan kepalanya dan spontan menutup mata. Beberapa lama kemudian, Shilla tak merasakan ada perubahan. “Kenapa tutup mata segala?” Tanya Alvin polos. Mata Shilla seketika membelalak mendengar pertanyaan Alvin itu. Sial, gue dikerjain! Pikir Shilla.

Shilla mendorong kasar tubuh Alvin. Ia segera menegakkan kembali tubuhnya yang tadi dibuat bersender oleh Alvin. Saat itu pula tawa Alvin meledak. Shilla langsung menghunuskan tatapan kesal ke arahnya. “Iiiiyyy, lo bener-bener deh jahilnya gak ketulungan! Udah kayak rabiesan lo tahu gak!” Gerundel Shilla. Alvin masih terbahak ketika Shilla mulai mengomel. “Haha, emang lo mikir gue mau ngapain? Lo pasti mikir macem-macem yaa?” Goda Alvin seraya menoel dagu gadisnya. Shilla menepis kasar tangan Alvin itu seraya memalingkan wajah. “Iiih, siapa juga yang mikir macem-macem? Gue itu..gue..”

“Gue apa, hah? Udah ngaku aja, lo pengen gue cium kan?” Goda Alvin lagi. Hasrat jahilnya semakin meninggi melihat wajah salting Shilla. “Gue..gu..” Shilla melirik ke arah Alvin. Ia lantas menggembungkan pipi karena pemuda itu tak habis-habis mengerjainya hari ini. “Rrr tahu ah!” Serah Shilla seraya melipat kedua tangan di dada. Alvin hendak buka suara namun getaran di ponsel mendahului niat awalnya itu. Ia lekas memeriksa apa yang terjadi pada benda itu. Ada satu panggilan masuk dari seseorang yang dengan mudah membuat moodnya berubah kusut. “Halo?!” Ketus Alvin menyambut panggilan di ponselnya.

Shilla melirik Alvin sekilas, melihat pemuda itu malah asyik menelepon dan seakan lupa bahwa dia ada disana. “Apa?!” Kaget Alvin dengan suara setengah berbisik. Ia tidak ingin Shilla mengetahui kekagetannya itu. Ia lantas memutus panggilan dan menoleh pada Shilla yang masih setia melipat kedua tangan di dada. Ditambah sekarang, bibir gadis itu sedikit dimajukan. Jelas sekali bahwa Shilla sedang kesal. “Emm..udahan yuk?” Ajak Alvin. Shilla melirik sekilas –lagi– lalu mengayuh kembali tanpa berbicara apapun. Alvin hanya menghela nafas dan ikut-ikutan mengayuh. Lebih cepat sampai itu lebih baik.

***

Shilla masih mendiamkan Alvin sejak tadi hingga mereka berada di dalam mobil. Alvin menoleh ke arah gadisnya dan menggaruk-garuk kepala bingung. “Emm..kita ke suatu tempat dulu ya? Sebentar aja, lo gak papa kan?” Bujuk Alvin. Shilla hanya melirik sekilas lalu kembali menatap ke jendela mobil setelah sebelumnya berdehem mengiyakan permintaan Alvin. Alvin sedikit lega mendengar itu. Tak menunggu waktu lama, Alvin menginjak gas dan segera melajukan mobil ke suatu tempat yang ia bilang tadi.

Alvin memperlambat kecepatan laju mobilnya di suatu jalan sepi yang terdapat supermarket ‘Mama’ di pinggirnya. Kepala Alvin celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Melihat itu, Shilla jadi ikutan melihat kesana-kemari memeriksa apa yang sebenarnya dicari oleh Alvin. Ingin sekali ia bertanya secara langsung, tapi mengingat ia sedang menjalani masa ‘ngambek’, jadilah ia hanya bisa memendam rasa penasarannya dalam hati. Dalam-dalam. “Nah!” Seru Alvin sesaat setelah menemukan apa yang ia cari. Ia melihat seorang gadis cantik terduduk lemas di pinggir jalan dan kelihatan sekali gadis itu sedang menahan sakit. Shilla mengikuti kemana arah pandangan Alvin dan saat itu pula matanya membelalak. Itu..i..itu..Febby? Batin Shilla kaget.

Shilla kembali menoleh ke arah Alvin yang terlihat tidak memperdulikan rasa keterkejutannya akan Febby, gadis itu. Sekarang Alvin menoleh ke arahnya dan malah menyuruhnya menunggu sebentar di mobil. Alvin lantas keluar tanpa menunggu jawaban dari Shilla lagi. Dengan perasaan yang semakin sulit diungkapkan, Shilla memutuskan ikut keluar melihat Alvin yang berjalan mendekati Febby dari pintu samping mobil. Shilla berdiri dan memandang lekat-lekat ke arah Alvin dan Febby. Alvin kemudian berjongkok seraya menyamakan posisi dengan Febby.

“Kenapa lo?” Ketus Alvin. Meskipun ia senantiasa bersikap ketus, tapi ada sesuatu yang aneh dalam hatinya ketika melihat gadis di hadapannya sekarang ini terluka. Seperti perasaan khawatir dan sejenisnya lah. “Tadi gue mau nyebrang. Tiba-tiba ada motor lewat. Kayak ginilah jadinya.” Jelas Febby seraya memegangi pergelangan kaki kanannya. “Terus, lo kenapa bisa disini?” Tanya Alvin kemudian. Ya, untuk apa gadis ini disini? Seharusnya kan ia berada di Bogor. “Gue ngunjungin keluarga gue yang lagi sakit.” Jawab Febby. Alvin membulatkan mulutnya tanda sudah mengerti.

“Cepet masuk mobil gue! Gue anter lo sampai rumah!” Suruh Alvin. Ia berdiri dan berbalik badan. “Ah..” Rintih Febby. Ia kembali memegangi pergelangan kaki kanannya. Sementara Alvin, ia lantas berbalik badan menghadap Febby, lagi. Ia melengos mendapati Febby seperti itu. “Hah, manja banget sih!” Tuding Alvin. Ia kemudian berjongkok dan membantu Febby berdiri. Tak hanya berdiri, ia juga memapah Febby hingga masuk ke mobil dan mendudukkannya di kursi belakang. Shilla masih diam berdiri di luar mobil hingga tiba-tiba mobil Alvin melaju tanpa mengikutsertakan dirinya. Tanpa menyadari Shilla ada di luar, melihatnya dan melihat kendaraannya yang bergerak mengecil di lensa mata. “Hah? Gue ditinggal?” Cengo Shilla. Ia hanya melongo menatap mobil Alvin yang semakin menjauh.

***

Alvin mengantarkan Febby tepat di depan pagar sebuah rumah yang tidak terlalu mewah kelihatannya. Alvin langsung pergi setelah Febby turun dari mobil. Sementara Febby, ia hanya memandangi kepergian Alvin, tentunya dengan pandangan bersalah. Entahlah, ia seperti merasa begitu berdosa pada Alvin. Ia sudah berdosa karena akan membuat hubungan antara pemuda itu dengan kekasihnya merenggang bahkan mungkin memisah. Febby menghembuskan nafas berat ketika memikirkan itu. “Heh, ngapain lo berdiri disitu? Tugas lo belum selesai, kakakku yang cantik!” Sentak seseorang di belakangnya. Oik.

Febby menghunuskan nafasnya lagi seraya berbalik badan malas. “Bawel lo!” Serah Febby dan berjalan –normal– mendekati sebuah mobil yang terparkir mengarah ke luar pagar. Oik melipat kedua tangannya di dada seraya tetap fokus mengawasi gerak-gerik dari Febby. Febby kemudian masuk ke mobil tadi dan melajukannya segera. Tuhan..maafkan aku. Sekali lagi..ya karena aku akan berdosa sekali lagi..  Batin Febby lirih.

***

Cakka mengajak Agni berkeliling mall dan menjajaki beberapa kios yang terdapat disana. Beberapa kali Cakka memperlihatkan baju ‘perempuan’ kepada Agni, meminta penilaian dari gadis itu. Beberapa kali pula Agni hanya garuk-garuk kepala tak tahu apa yang harus ia nilai. Jelas, baju yang diperlihatkan Cakka padanya itu terlalu feminin. Sementara seleranya itu berbeda 180 derajat. Bahkan sampai bumi berotasi 10 detik sekali pun, seleranya akan tetap berbeda dengan gadis-gadis feminin mana saja, seperti Shilla misalnya.

“Em..Cak, gue nyerah deh ya? Lo mending ngajak cewek lain deh yang bisa lebih membantu lo! Yang jelas dan yang pasti bukan gue.” Ujar Agni putus asa. Putus asa karena Cakka masih saja menunjukkan padanya baju-baju yang bukan ‘bajunya’. Cakka menarik nafas panjang dan menoleh pada Agni. “Hhhh, ya udah. Kita makan aja dulu. Lo laper gak?” Tawar Cakka. Agni sedikit menimang-nimang lalu mengangguk. Mereka akhirnya memutuskan menunda pencarian kado untuk sepupu Cakka. Beberapa meter berjalan, mereka sempat mengobrol ria mengenai apa saja yang bisa diperbincangkan. Bahkan Cakka lebih memilih tetap mengobrol ketika ada sebuah panggilan masuk di ponselnya.

“Cakka!” Panggil seorang gadis di hadapan mereka. Cakka kaget melihat gadis itu memanggilnya terlebih karena gadis itu berada di depannya sekarang. “Fe..Febby?” Kaget Cakka. Ia tak menduga sama sekali bahwa gadis itu akan menemuinya saat ini, disaat seperti ini. Tak jauh berbeda dengan Cakka karena Agni juga terlihat sama kagetnya dengan pemuda itu. Ia kaget karena untuk pertama kalinya ia melihat gadis yang sempat menjadi biang kerok dari keretakan hubungan Shilla dan Alvin, sahabatnya. Ditambah lagi, gadis itu ternyata mengenal Cakka. Hah? Mereka ada hubungan apa? Tanya Agni dalam hati.

“Hape lo mati ya?” Sindir Febby, gadis itu. Ia tersenyum sinis ke arah Cakka. Tanpa menunggu lagi reaksi pemuda itu, Febby lantas pergi begitu saja. Ia berlari agar Cakka tak bisa mengejarnya dengan mudah. Cakka masih diam. Sejurus kemudian, ia menyusul Febby setelah sebelumnya menyuruh Agni menunggu sebentar. Agni mau tak mau menurut apa yang Cakka suruh. Seraya menunggu, ia memilih masuk dan menduduki salah satu meja di restoran yang ada. Bukan untuk makan, tapi hanya memesan minuman, duduk seraya menunggu Cakka kembali.

Cakka harus berlari cukup cepat agar bisa menyusul Febby dan membuat gadis itu berhenti menghindarinya. “Lepasin!” Ronta Febby ketika pergelangan tangannya dicengkram Cakka. Cakka tentu tak langsung mengiyakan permintaan Febby itu. Ia malah semakin kuat menggenggam pergelangan tangan gadisnya. “Dengerin dulu penjelasan gue!” Sungut Cakka. Febby pun akhirnya melunak dan membiarkan Cakka mengutarakan apa yang ingin ia utarakan. “Gue cuma minta bantuan dia nyari kado buat sepupu gue. Gak ada maksud lain.” Jelas Cakka. Febby diam beberapa saat dengan mata yang menatap dingin ke arah Cakka. Cakka pun memilih diam karena tak ada lagi yang harus ia jelaskan.

“Jauhin dia!” Pinta Febby datar namun tegas. Cakka mengkerutkan kening tak mengerti. Dalam hati, ada penolakan terlalu besar terhadap permintaan Febby barusan. “Kenapa?” Tanya Cakka bingung. Sekaligus menanyakan pada dirinya sendiri, kenapa ada penolakan seperti itu dalam dirinya. Febby mendengus. “Masih tanya kenapa? Gue gak suka lo deket-deket sama dia! Jauhin dia! Atau lo sama gue..” Kata Febby menggantung. Ia menarik kasar tangannya dan kembali menatap Cakka dingin. “Lo bisa jawab sendiri!” Sambungnya dan kemudian pergi. Cakka tak lagi mengejar Febby. Ia tahu betul bagaimana tipikal gadis itu. Keras kepala melebihi batu. Gadis itu hanya ingin dipenuhi keinginannya baru akan kembali normal seperti semula.

Cakka berjalan pelan menemui Agni kembali. Ia melihat Agni duduk di salah satu meja di restoran yang awalnya ingin ia masuki tadi. “Kita pulang.” Kata Cakka datar tanpa duduk terlebih dahulu. “Loh? Kenapa buru-buru? Bukannya lo ngajak rehat dulu tadi? Gue ud..”

“Gue bilang pulang ya pulang!” Sentak Cakka sekaligus memotong omongan Agni. Agni terkesiap. Maklum, baru pertama kalinya Cakka menyentaknya seperti itu. “I..i..ya udah!” Kata Agni mengiyakan. Cakka berjalan lebih dulu sementara Agni memilih mengikutinya dari belakang. Tak ada keinginan untuk kembali mengajak Cakka mengobrol. Percuma juga, pemuda itu sepertinya tidak akan menanggapinya sekarang. Jelas, air mukanya terlihat keruh sekali. Entah apa yang sedang pemuda itu pikirkan, tapi sekali lagi tak ada niatan Agni untuk menanyakan hal yang satu itu. Ia sudah bisa menebak apa yang akan Cakka jawab, ‘Gue gak papa’ atau mungkin ‘Gak ada apa-apa’. Yah, begitulah.

***

Shilla berdiri memandang kosong ke arah jalan raya. Tepatnya ke arah jalan tempat Alvin menepikan mobil tadi. Tempat Alvin meninggalkannya begitu saja hanya karena bertemu seseorang bahkan gadis lain. Dan sampai sekarang, pemuda itu tak juga datang untuk menjemputnya kembali. Pembohong! Lirih Shilla dalam hati. Yap, Alvin telah ingkar janji padanya. Janji bahwa pemuda itu akan menemaninya seharian penuh. Shilla kemudian merogoh ponselnya dan mencari sebuah nama di kontak. “Ni, jemput gue..tolong!” Pintanya pada Agni, orang yang ia pilih untuk dimintai bantuan. Ya, ia memang paling sering mengandalkan sahabatnya yang satu itu. Meskipun paling cuek, tapi Shilla merasa Agni orang pertama yang paling mengerti akan perasaannya, seperti sekarang.

Sementara Alvin, sedari tadi ia gelisah. Ia merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Tapi apa itu? Kenapa ia mendadak pelupa seperti ini? Alvin mencoba mengingat-ngingat kembali hal terlupakan itu seraya tetap fokus menyetir. “Tadi pagi, gue jemput Shill..Shilla?!” Kaget Alvin dan refleks melihat ke samping. Kosong. Yap, ia baru ingat sekarang. Mungkin lebih tepatnya baru menyadari tak ada orang yang menduduki kursi di sebelahnya. Shilla-lah yang telah ia lupakan dan Shilla pula yang seharusnya menduduki kursi itu. Astagaa, bego! Kenapa hal sepenting ini gue lupakan? Bego lo, Vin! Rutu Alvin pada dirinya sendiri. Dengan segera ia menginjak gas, mempercepat laju mobilnya. Berharap Shilla masih menunggu di tempat ia menemui Febby tadi.

***

 Cakka menurunkan Agni di halaman parkir rumah sakit. Tak ada sepatah katapun terlontar dari mulut Cakka untuk menyuruh Agni keluar dari mobilnya. Hingga Agni sadar sendiri dan keluar tanpa berpamitan pula. Agni melongo melihat mobil Cakka yang langsung pergi setelah ia turun. Namun, ia tak ingin berlama-lama memikirkan sikap aneh pemuda itu dulu. Ia harus menjemput Shilla sekarang. Agni kemudian berlari masuk ke dalam mobil dan menghidupkan kendaraannnya segera. Tak banyak waktu dihabiskan, Agni segera melaju ke tempat dimana Shilla berada.

Dalam waktu 13 menit lebih, Agni telah sampai dan mendapati Shilla sedang berdiri bengong di pinggir jalan. Ia segera keluar hendak menghampiri gadis itu. Pada saat yang sama, mobil Alvin datang dan berhenti tepat di depan Shilla berdiri. Melihat itu, Agni lantas mengurungkan niat hendak menghampiri duluan. Biarlah pasangan ini menyelesaikan masalah mereka terlebih dahulu. Pikirnya. Alvin terburu-buru turun dari mobil dan menghambur mendekati Shilla. Sementara Shilla sendiri, pandangannya masih nanar dan tak menoleh baik ke arah Alvin maupun kendaraan pemuda itu. “Shill..” Panggil Alvin berusaha menyadarkan.

Memang Shilla tersadar, namun matanya tetap tak mengarah pada Alvin. Gadis itu malah menoleh ke samping kirinya melihat Agni yang sedang berdiri melihat ke arah mereka. Shilla tersenyum lirih lalu akhirnya menoleh ke arah Alvin. “Eh Agni udah jemput gue!” Seru Shilla. Ia hendak berlari menghampiri Agni namun tertahan sebentar karena Alvin yang menggenggam tangannya. “Shill..” Panggil Alvin lagi, kali ini berusaha agar Shilla mau diajak bicara. Sekali lagi, Shilla tak menoleh ke arah Alvin melainkan ke arah tangannya yang di pegang Alvin. Ia lantas menjauhkan tangan Alvin itu lalu kemudian berlari ke arah Agni. Alvin diam tak berusaha mencegah lagi. Ia hanya memandangi pergerakan gadis itu yang semakin menjarak.

“Antar gue pulang!” Pinta Shilla pada Agni, masih setia mengulas senyum. Agni mengangguk pelan dan menyuruh Shilla masuk ke mobil terlebih dahulu. Ia menyempatkan diri melihat ke arah Alvin dan mendengus ke arah pemuda itu. Hmm, dasar! Kalau sudah begini, pasti gue yang kena getahnya! Rrr.. Gerutu Agni membatin. Ia lekas masuk ke mobil dan membuat kendaraannya mulai bergerak meninggalkan tempatnya semula. Meninggalkan Alvin yang masih terdiam di tempatnya berdiri karena tak tahu apalagi yang harus ia lakukan.
“Lagipula, gue sama Febby..ada rasa apa sih?” Gumam Alvin.

***

“Lo kenapa lagi sama Alvin?” Tanya Agni seraya menoleh sekilas lalu kembali memandang jalan raya. Shilla pun sama, ia menoleh sekilas lalu kembali menatap nanar ke depan. “Alvin ninggalin gue..” Ujar Shilla. Agni menaikkan sebelah alisnya bingung. “Kok bisa?” Tanya Agni, lagi. Shilla menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan berbicara. “Tadi, dia nyamperin cewek. Cewek itu duduk di trotoar, kelihatannya sih kakinya terkilir. Alvin bawa dia ke mobil dan...pergi. Ninggalin gue yang berdiri di luar. Gitu deh!” Jelas Shilla. Ia lalu menoleh ke arah Agni dan tersenyum. “Lo mau tahu gak siapa ceweknya?” Tanya Shilla kemudian.

“Siapa?” Ujar Agni lumayan penasaran. Penasaran akan sosok gadis yang bisa membuat sahabatnya ini terabaikan bahkan terlupakan oleh Alvin. “Febby. Febby Rastanty! Haha..” Shilla tertawa lirih dan mengarahkan pandangan ke depan kembali. Agni lumayan kaget mendengar nama itu. Tentu, ia baru beberapa menit lalu bertemu dengan gadis yang Shilla sebut. Dan sepertinya, gadis itu baik-baik saja. Ia berjalan dengan kaki yang bisa dibilang dalam keadaan biasa, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi pada organ itu, yang mengganggu kinerja organ itu. “Fe..Febby?” Bingung Agni. Shilla mengangguk cepat. Hening. Tak ada lagi yang buka suara setelah itu. Mereka sama-sama larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Sebenarnya..Febby itu siapa? Batin Agni bertanya-tanya.

***

 Hari baru, tampilan baru. Setidaknya, itulah yang dialami Via sekarang. Ia menatap bayangan dirinya di cermin. Tampak cukup berbeda saat ini. Rambutnya tak lagi terurai melebihi batas pinggang, melainkan hanya sebatas bahu agak lebih sedikit. Yap, ia baru saja memotongnya kemarin. Secara manual. Artinya, ia sendiri yang melakukan tanpa dibantu orang lain bahkan Fira pun belum tahu akan keadaan terbarunya. Beruntung, potongannya rapi tidak terdapat miring di sebagian sisi. Wajar, karena ia hanya memotong lurus tanpa sisi-sisi dengan panjang yang berbeda.

Via keluar kamar seraya menuruni anak tangga rumahnya satu-persatu. Fira sudah duduk di meja makan. Ia lekas menoleh dan terkejut melihat Via, tepatnya rambut Via. “Loh, kamu potong rambut? Kapan? Kok Mama gak tahu?” Tanya Fira beruntun. Via mendesah malas mendapati Mamanya banyak bertanya. “Kemarin. Via motong sendiri.” Jawab Via malas dan langsung menduduki kursi di sebelah Fira. Fira lantas tersenyum mendengar jawaban dari anaknya itu. “Hmm, dulu keras kepala gak mau dipotong. Nih, sekarang apa?” Ledek Fira seraya terkekeh pelan.

Via menoleh dan nyengir. “Hehe, ada sedikit promblem sih.” Cengir Via. Fira menoleh cepat ke arahnya. “Problem?” Tukasnya seakan meminta Via menjelaskan lebih lanjut. “Ah, urusan anak muda. Mama gak bakalan ngerti! Hehe..” Cengir Via lagi. Fira hanya geleng-geleng kepala. Dan setelah itu, mereka saling diam. Saling menikmati sarapan yang cukup mengenyangkan di pagi ini.

***

Sama seperti Via, sebelum keluar kamar Ify menyempatkan diri mengecek penampilannya di cermin. Rambut yang ia ikat cukup tinggi ke samping kanan dan poni yang dimiringkan sama-sama ke arah kanan. Ia lalu menatap kedua telunjuknya yang ia sembulkan. Kedua telunjuk tersebut kemudian bergerak masing-masing ke sudut bibir kanan dan kiri. Jari-jari itu seolah menuntun kedua ujung bibirnya untuk menarik diri ke samping atas memperlihatkan sebuah senyum manis yang ia janjikan mulai hari ini akan selalu terlihat di wajahnya. Tak akan ada lagi raut wajah keruh yang akan ia pasang. Semua akan berubah cerah. Tak ingin lagi ada kesedihan-kesedihan yang mendalam karena ia akan menjalani hidup yang lebih baik mulai hari ini. Yang pasti, hidup dengan rekahan senyum dan menjadi hal yang akan ia banggakan setiap waktu.

 Ify keluar rumah dan agak kaget melihat seorang pemuda hitam manis berdiri menyender di pintu mobil membelakangi dirinya. Pemuda itu diam dan tiba-tiba menegakkan tubuh seraya berbalik badan menghadap Ify ketika mendengar pintu rumah terbuka. “Rio..” Gumam Ify setengah percaya namun kurang yakin. Ia belum bisa meyakini bahwa pemuda itu adalah Rio, lebih-lebih jika pemuda itu berdiri disana dan sengaja menunggunya keluar. Rio menyuruhnya masuk ke mobil dengan gerakan kepala. “Hah?” Ify masih bingung dan belum menggerakkan kakinya selangkah pun untuk mendekat ke arah Rio. Rio melengos menerima respon seperti itu.

“Cepetan masuk! Kalo lama-lama, kita bisa telat!” Suruh Rio kemudian. Masih belum berubah, Ify tetap diam di tempatnya berdiri. Karena tak juga mengiyakan, Rio sendiri yang akhirnya harus menarik Ify agar masuk ke mobil. “Tinggal masuk aja, apa susahnya sih?” Dumel Rio saat mendudukkan Ify di kursi sebelahnya dan lekas menutup pintu lalu berjalan ikut masuk ke mobil. Hingga detik ini, Ify masih diam seraya melemparkan tatapan percaya tidak percaya ke arah pemuda di sebelahnya. Rio tak terlalu mengacuhkan Ify yang menatapnya terus-terusan. Ia tetap fokus menyetir dan memilih mengarahkan pandangan ke jalan raya.

“Yo..yang kemarin..apa lo serius?” Tanya Ify hati-hati. Ia khawatir bahwa kemarin itu, Rio hanya berusaha menghiburnya dan mengucapkan kata-kata ‘itu’ tanpa ada niatan dari dalam hati. Intinya, itu hanya sebuah kebohongan dan akan kembali membuatnya mengurung diri dalam kesedihan. Akan membuat tekadnya yang baru ia proklamirkan pagi ini tidak berjalan mulus bahkan tidak terlaksana sama sekali. Rio tetap diam dan seperti tak ingin menjawab pertanyaan Ify padanya. Ify lantas menghela nafas dan tersenyum lepas. Yah, mungkin memang Rio hanya berpura-pura saat itu. Mungkin memang ia tak diberi kesempatan untuk berangan-angan bersama pemuda disampingnya.

“Gak usah dijawab deh, gue juga udah tahu jawabannya. Hehe..” Cengir Ify dan akhirnya berhenti dengan aksi menatap Rio. Ia mengalihkan pandangan ke kaca jendela mobil seraya bersenandung kecil. Tiba-tiba Rio menepikan mobil. Ify agak kaget dan langsung menoleh ke arah Rio yang kini juga menoleh ke arahnya. “Kalau gue main-main, gak akan ada acara cium-ciuman waktu itu!” Kata Rio, santai, datar namun teramat tegas. Matanya menatap lurus ke arah kedua bola mata Ify. Membuat rona kemerahan menghinggap segera di wajah Ify. Ify refleks menyentuh bibirnya dan kejadian kemarin bersama Rio pun berputar cepat di otaknya.

***

Agni, Shilla dan Via kebetulan sampai bersamaan di sekolah. Jadilah, mereka melanjutkan berjalan menuju kelas bersama pula. Tanpa sengaja, karena terlalu larut dalam obrolan menghebohkan akibat memendeknya rambut Via, Agni berjalan tanpa melihat ke arah depan. Tiba-tiba saja ia bertabrakan dengan seseorang yang mengakibatkan beberapa buku paket yang dipegangnya berjatuhan ke lantai. Keduanya spontan berjongkok untuk mengambil buku tersebut. “Sorry!” Ujar Agni seraya menoleh pada orang tersebut. “So..” Kata orang itu pada saat yang sama, namun tak lantas ia lanjutkan mengetahui dengan siapa ia bertabrakan. Ekspresinya berubah datar, tidak santai seperti tadi.

Agni mengangkat sebelah alis bingung karena Cakka, orang tadi, tiba-tiba diam dan menatapnya aneh. Cakka segera berdiri dan meninggalkan Agni serta Shilla. Tanpa membantu Agni mengambil buku-bukunya terlebih dahulu. Agni diam seraya memandangi Cakka yang berjalan pergi. Sementara Shilla, ia ikut berjongkok menyamakan posisi dengan Agni dan bertanya mengenai sikap aneh Cakka. Via ikut mendengarkan dengan posisinya yang sedang berdiri. “Ni, si Cakka kenapa? Dingin gitu, ada masalah sama lo?” Tanya Shilla heran. Mereka kembali berdiri karena buku-buku Agni, satu-persatu sudah diambil. “Gue juga gak tahu. Dari kemarin dia kayak gitu. Abis dia ketemu sama Fe..” Agni langsung berhenti tanpa melanjutkan perkataannya. Hampir saja ia keceplosan bahwa kemarin dirinya bertemu Febby di mall.

“Abis ketemu sama Fe..?” Tukas Shilla seperti menyuruh Agni melanjutkan omongannya yang menggantung. “Fe apalah gitu gue lupa siapa nama tuh cowok!” Bohong Agni berusaha mengelak agar Shilla tak curiga. “Cowok?” Tanya Shilla lagi. Agni mengangguk. “Ya udahlah, gak usah dibahas!” Serah Agni. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan itu, Agni tak bisa fokus mendengarkan Shilla dan Via berbicara. Sejujurnya, ia masih memikirkan tentang penyebab Cakka yang mendadak bersikap dingin. Apa ada hubungannya sama Febby? Terus kalo iya, kenapa bisa? Apa hubungan dia sama gue, Shilla dan lebih-lebih Cakka? Kenapa semuanya seolah-olah bersumber sama tuh cewek? Arrghh, siapa sih dia? Mau apa dia sama gue...dan Shilla? Batin Agni.

***

“Alyssa Saufika Umari!” Panggil Bu Okky, sang wali kelas yang sedang membagikan lapor mid semester siswa. Ify melangkahkan kaki perlahan ke depan mengambil lapornya. “5 tidak tuntas!” Ujar Bu Okky lagi. Ify meringis mendengar itu. Ia meringis begitu mengetahui tak ada berita baik yang bisa ia sampaikan pada Ferdi, Papanya. Ify duduk kembali di kursinya dan menatapi kertas hasil uts-nya yang sama sekali tak mencatatkan angka-angka membanggakan. Bagaimana tidak? Ada 5 mata pelajaran yang tidak tuntas. Huff, padahal ini permintaan Papa waktu itu. Memintanya agar tak lagi mengikuti perbaikan. Tuh kan, gue gagal! Ck.. Batin Ify miris.

Sementara ketiga teman Ify yang lain, Via, Shilla dan Agni, air muka mereka terlihat santai. Jelas, nilai mereka kan selalu lebih baik dibanding dirinya. Ify mencoba bersikap tenang dan tersenyum seperti biasa ke arah mereka. Meskipun, muncul rasa iri yang teramat besar dalam hatinya. Bu Okky selesai dengan tugasnya dan keluar kelas. Itu berarti pelajaran sudah selesai dan sekarang waktunya pulang. Di tengah-tengah kesibukan siswa mengemas buku-buku mereka, tiba-tiba muncul sebuah suara dari speaker kelas. Sepertinya akan ada sebuah pengumuman. Namun, beberapa detik menunggu, speaker itu tak memunculkan suara lagi.

Baru saja Ify dkk berdiri dari kursi, speaker itu tiba-tiba bersuara. “Hai, Rio, Mario Stevano Aditya Haling. Haha, panjang banget!” Suara tersebut menggelegar ke seluruh kelas di Parfait. Semua siswa lantas berpandangan bingung akan siapakah gerangan orang yang bercakap-cakap dalam speaker. Rio hanya melengos. Sementara Ify, ia dibuat tak bisa bergerak bahkan berkomentar akibat suara itu. Suara yang ia yakini bahwa itu adalah suaranya. Ya, ia yakin sekali itu suaranya. Ia pernah merekam lagu ciptaannya untuk Rio dan kata-kata pertama yang diucapkannya sama seperti yang ia dengar di speaker.

“Okelah, langsung aja. Nama gue..Ify, Alyssa Saufika Umari. Muehehe, lo pasti gak kenal sama gue. Ya udah salam kenal aja ya!” Kali ini semua sontak menoleh ke arah Ify, termasuk Rio sendiri. Tak sedikit orang yang langsung tertawa mendengar suaranya di speaker itu. Rio pun terlihat tersenyum sekilas. Pliss..jangan dilanjutin! Mohon Ify dalam hati. Ia masih diam dengan mata yang nanar ke depan. “Eh lo tahu gak sih, gue itu udah suka sama lo dari dulu. Sayangnya lo gak sadar. Gue suka sama lo, suara lo, sikap ramah lo dan yah gue akui wajah lo cukup tampan, hehe..”

Seet, pupuslah harapan Ify agar speaker itu tak lagi mengeluarkan suara. Sekali lagi, ia mendengar seisi kelasnya tertawa. Bahkan lebih keras dari yang tadi. Ia hanya bisa menunduk dan menghembuskan nafas berat. Ify memberanikan diri melihat ke sekeliling yang juga kebanyakan melihat ke arahnya. Kemudian, matanya berhenti pada sosok pemuda yang terdengar dielu-elukannya dalam speaker kelas itu. Ia melihat Rio kini ikut-ikutan tertawa. Meski tidak terlalu terbahak, tapi tetap saja pemuda itu tertawa, menertawainya, menertawai perasaannya yang terungkap melalui speaker. Ia mendengus mengetahui perilaku Rio itu. Lo nganggap perasaan gue lelucon, hah? Batinnya menggerutu.

Sudahlah, hal ini tak terlalu penting. Ify mulai tak peduli akan pengakuan rahasianya itu yang kini sudah menjadi rahasia umum. Ia tidak peduli siapa yang sudah menjahilinya sampai segininya. Ia tidak ingin menambah pikiran. Nilai uts sudah cukup memberatkan. Sudah cukup membuatnya kehilangan senyum untuk hari ini. Ia menoleh ke arah ke-3 temannya. Via menatapnya iba begitu pula dengan Shilla. Sementara Agni, ia melemparkan tatapan tajam ke satu-persatu orang yang menertawai sahabatnya. Terakhir ia melemparkan tatapan itu pada Rio. Ia tak habis pikir, kenapa pemuda itu malah ikut tertawa bersama yang lain. Astaga, padahal baru saja ia memberikan kesempatan pada pemuda itu kemarin. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala dan kembali menoleh pada Ify.

“Fy, lo gak papa?” Tanya Via khawatir. Ia kasihan melihat sahabatnya yang satu ini, selalu saja ditimpa berbagai masalah yang dapat dengan mudah menohok hati. Ify menggeleng dan tersenyum menunjukkan bahwa ia memang tidak apa-apa. “Gue duluan ya!” Pamit Ify dan langsung mengambil langkah pergi meninggalkan Via, Agni dan Shilla duluan. “Fy, gue anter?” Tawar Agni dengan sedikit berteriak. Ify menoleh dan menggeleng kembali. Ia melanjutkan berjalan dan akhirnya benar-benar meninggalkan kelas. Rio yang baru sadar kemudian buru-buru keluar kelas hendak menyusul kemana Ify pergi.

***

Seperti biasa, Via menunggu jemputan cukup lama. Ia berjalan-jalan menyusuri koridor, memperlambat tempo berjalan agar tak terlalu terasa penantiannya menunggu sang sopir datang. Agni pamit untuk latihan basket, sementara Shilla, yang kelihatan galau-nya hari ini sudah dijemput lebih dahulu dibanding dirinya. Hmm, mungkin beginilah nasib menjadi seorang yang masih bergantung pada kendaraan orangtua. Via sama seperti Ify, belum diperbolehkan mengendarai sendiri ke sekolah. So, otomatis ia harus diantar jemput.

Langkah tenangnya tiba-tiba tersendat melihat seorang gadis yang berdiri beberapa meter di depannya. Matanya membelalak melihat siapa dan rupa gadis itu. “Woaa, rambut..rambut dia, kok..” Katanya terbata. Ia terkejut melihat rambut gadis itu yang sekarang panjangnya sama dengan rambutnya. Ini kebetulan atau dia yang ngikutin gue? Pikir Via seakan tak percaya. Baru dua hari yang lalu ia bertemu gadis itu dengan rambutnya yang masih panjang. Dan sekarang, ukurannya tak lagi sepanjang dua hari lalu itu bahkan sama dengan ukuran rambutnya. Ia spontan memegang ke arah kepala seraya menggeleng pelan.

Pricilla, gadis itu, berjalan mendekat. Matanya mendelik tajam ke arah Via. Sama halnya dengan Via, ia tak mau kalah dan balas menatap tajam gadis itu. “PLAGIAT!” Tuding mereka secara bersamaan. Baik Via maupun Pricilla, mereka refleks mengatup mulut dan saling pandang tak percaya. “LO..NGIKUTIN GUE?” Kata mereka lagi. Via dan Pricilla balas-membalas tatapan menilik. “Apa?” Jutek Via. Ia melengos. Bagaimana tidak, tujuannya memotong setengah dari rambutnya, ya untuk apalagi selain melupakan tentang gadis di hadapannya. Gadis yang sudah menghina bahkan telah berhasil terlebih dahulu meluluhkan hati Iel. Gue botakin juga nih! Batinnya menggerutu.

Karena tak ada sahutan, Via mulai meniti langkah untuk pergi meninggalkan Pricilla. “Heh, jangan pergi lo!” Sentak Pricilla dari belakang. Via terpaksa berhenti dan mendesah malas. Jaga emosimu, nak! Batin Via menahan diri. Ia berbalik badan dan kembali berhadapan dengan Pricilla. “Apa?” Tukas Via, masih dengan sikat jutek. Ia tak menoleh ke arah Pricilla. Pohon besar yang menjadi peneduh sekolahnya seperti kelihatan lebih menarik bagi Via. “Lo suka sama Iel?” Tanya Pricilla dengan nada mengejek. Seolah meremehkan Via jika ternyata benar Via menyukai Iel. Kening Via dibuat berkerut akan pertanyaannya itu. Iya! Batin Via. “Gak!” Bohongnya dan kali ini menatap Pricilla datar.

 “Denger ya, gue ini pacarnya Iel! So, don’t give some special feeling for him! Remember, he’s mine, al-rea-dy-mine!” Pricilla melipat kedua tangannya di dada. Sesekali telunjuknya mengarah ke arah Via. Via terkekeh pelan dan tak menyangka gadis di hadapannya seambisius ini. Gak usah pamer bisa kali! Gerutu Via dalam hati. Ia hanya geleng-geleng kepala dan hendak berjalan kembali. Saat itu pula, Pricilla maju menjadi di hadapannya lagi dan mendorong keras tubuhnya. Via terjatuh hingga duduk di lantai. Buku-buku paket yang dipegangnya ikut berjatuhan. “Ah!” Ringis Via pada bagian pantat. Wajar, menubruk lantai meen! Ia geram juga melihat tingkah Pricilla dan menatapnya jengkel.

Hey, gue gak ngapa-ngapain dan gak salah apa-apa! Ck.. Gerutu Via lagi, dalam hati. “PRICILLA!” Panggil seseorang yang memekiki nama gadis dengan genus kekanak-kanakan dan spesies menyebalkan menurut Via itu. Via dan Pricilla sama-sama menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang pemuda tampan, juga merupakan orang yang menyebabkan Via terdorong seperti sekarang oleh Pricilla, memandang ke arah mereka dengan pandangan aneh. Pricilla tersenyum girang setelah sebelumnya tersenyum sinis ke arah Via. Via bergantian melihat ke arah Pricilla dan pemuda tadi lalu seketika melengos. Ia masih bertahan dengan posisi duduk hingga pemuda itu sampai di depan mereka berdua.

“Iel-ku sayang, lo lama banget sih!” Keluh Pricilla manja dan pura-pura ngambek. Iel hanya menyengir dan mengacak-ngacak rambut kekasihnya lembut lalu menoleh ke arah Via. Gadis yang kini merasa bagian dadanya sedikit memanas. “Lo kenapa, Vi?” Tanya Iel polos. Ia memang tidak tahu-menahu mengenai pertengkaran yang terjadi antara Pricilla dan Via tadi. Via menatap Iel sebentar dan kemudian mendesah. Gak ada guna gue jelasin! Batin Via lirih. Ia beralih pada buku-buku paketnya yang berserakan dan mengambilnya satu-persatu. Ia cepat-cepat berdiri dan melenggang pergi dari hadapan Priciel. Kebetulan, sopirnya sudah datang menjemput. Via mengelus-ngelus dada lega dan juga mencoba berusaha lega.

“Pak, kita ke salon bentar ya!” Ujar Via pada sopir yang sudah bertahun-tahun mengabdi dalam keluarganya. “Okedeh, Mbak!” Sahut sang sopir. Mbak? Yap, Via kurang suka jika dipanggil ‘Non’. Maka dari itu, ia menyuruh semua orang yang bekerja di rumahnya, memanggil dirinya dengan sebutan ‘Mbak’ ataupun ‘Mbak Via’. Sama sajalah. Ketiga temannya kerap kali memelesetkannya menjadi ‘Bakpia’. Namun, ia sudah lazim dengan hal itu. Yah, daripada dipanggil gajah ataupun kebo, lebih baik bakpia kan? Lebih lembut dan manis. Haha, meskipun berbeda jauh dengan sikap aslinya. Cablak dan setipe dengan Agni kalau masalah gak ‘cewek’nya.

Via memasuki salon ‘Fuji’, salon langganannya dan Fira. Meskipun yang paling sering berkunjung adalah Fira. Ia datang kesini jika ingin memotong rambut saja. Tapi, ia tidak suka rambutnya dipotong. So, tahukan berapa lama Via tidak menghadirkan diri di salon ini? Via duduk di kursi pelanggan dan menatap bayangannya yang terpantul ke cermin. “Mau dipotong kayak apa, Vi?” Tanya Rara, sang pegawai salon yang sudah akrab dengannya. “Terserah aja, Kak. Yang penting pendek!” Serah Via. Ia lantas memfokuskan perhatian ke arah ponsel. Bertwitter ria adalah hal yang paling asyik untuk dilakukan disaat seperti ini. Rara memperhatikan rambut dan wajah Via bergantian. Okey, sepertinya ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Pemotongan dimulai!

SREET!

***

“Loh bukannya yang ngajarin gue Cakka?” Tanya Agni bingung karena tiba-tiba orang yang akan mengajarinya berbeda dari sebelumnya, alias bukan Cakka lagi. Melainkan senior lain yang satu tingkat di atas Cakka. “Cakka minta tukeran.” Ujar seniornya itu. Agni kaget mendengar kata-kata seniornya. Tukeran? Kenapa? Batin Agni. Mau tidak mau, ia harus menjalani latihan selama 1 setengah jam bersama guru barunya. Ia beberapa kali terlihat saling pandang dengan Cakka. Namun, pemuda itu seperti tak betah berlama-lama menatapnya dan dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah lain.

Agni merasa waktu kali ini terasa lebih lama dan membuatnya lebih lelah. Sekarang, jam latihan sudah selesai dan sudah waktunya beristirahat bahkan diperkenankan pulang. Agni yang melihat Cakka sedang santai dan sendirian di pinggir lapangan, lantas menghampiri pemuda itu hendak mengajaknya bicara sekaligus mempertanyakan perihal keanehan pemuda itu selama 2 hari ini padanya. “Cak, bisa ngomong bentar?” Tanya Agni tak biasanya meminta izin seperti ini. Maklum, sikap Cakka yang memaksanya melakukan itu terlebih dahulu. “Hmm..” Cakka hanya berdehem singkat tanda mengiyakan pertanyaan Agni. Ia tak menoleh ke arah Agni melainkan lebih memilih memainkan ponselnya. “Gue ada salah sama lo?” Tanya Agni langsung.

Cakka diam dan sedikit teralihkan dari ponselnya. “Gak.” Jawab Cakka singkat dan..datar. Agni mendesah mendengar itu. “So, kenapa sikap lo aneh?” Tanya Agni lagi. Cakka masih menatap ke arah ponsel ketika menjawab. “Biasa aja, gak ada yang aneh!” Bantahnya. Agni mendengus mendengar itu. “Lo ngejauhin gue?” Kali ini, Cakka tak hanya teralihkan. Ia bahkan berdiri menghadap Agni dan tersenyum seperti senyum mengejek. “Emang lo merasa gue deket sama lo? Hh, jangan salah sangka!” Kata Cakka kemudian. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Hah?” Agni tak mengira Cakka akan berkata seperti itu. “Lo itu cuma junior gue. Lagipula, kita gak sekelas kan? Jadi, kita bukan teman juga, apalagi dekat.” Kata-kata Cakka semakin membuat Agni melongo dan diam dalam ketidakmengertian. Benarkah Cakka yang ia kenal, berkata seperti itu padanya? Pikir Agni.

Mereka terlihat saling diam sebentar. “So?” Hanya itu yang bisa Agni katakan saat ini. Ia masih teramat shock pada kata-kata yang diucapkan oleh Cakka di bagian ujung. “Menjauhlah dari gue. Gue gak suka lo ada di sekitar gue!” Kata Cakka terakhir kali. Karena setelah itu, ia pergi meninggalkan Agni yang makin diam di tempat seolah ada paku yang menancap dan menempelkan telapak kakinya dengan lantai. Begitu kuat bahkan sakit akibat tancapan itu pun berlebih-lebih kuat rasanya. Bukan di kaki, tapi di bagian dada tepatnya di ulu hati. Jantungnya pun berdebar, bukan karena ia jatuh cinta, tapi lebih karena menahan sesak yang entah kenapa menghinggap rongga paru-parunya secara mendadak. Emm mungkin sesaat setelah mendengar katakatanlah kata perpisahan dari Cakka untuknya. “Apa?” Lirih Agni.

***

Rio menyodorkan capuccino *ehgimanayatulisannya**lupamendadak* hangat pada Ify. Mereka kini berada dalam sebuah cafe di pinggiran jalan yang terdapat area terbuka di dalamnya. Area yang bisa menghadapkan pengunjung dengan sebuah danau. Danau Aijo. Danau yang kalian semua pasti sudah tahu apa filosofi namanya. Aijo. Sejauh mata memandang, tak ada sampah mengapung di atas danau itu. Meskipun tak sedikit orang yang mengunjunginya, namun danau itu masih saja terlihat bersih. Mungkin karena namanya Aijo. Mungkin karena setiap hari, danau ini tak hanya dibanjiri oleh air dan pengunjung, tapi juga perasaan-perasaan murni dan tulus dari orang-orang yang melihat dan berada disana. Yah, seperti itulah danau Aijo. Danau kasih sayang.

 Ify menerima saja capuccino *sekalilagilupatulisannya* yang disodorkan padanya. “Makasih!” Ujar Ify pelan seraya mengambil secangkir minuman hangat itu dengan kedua tangan yang salah satu di antaranya masih terlihat diperban. Ify menyesap capuccino di tangannya lalu kemudian menatap ke arah danau yang gerakan airnya terlihat tenang sekali. Ia lagi-lagi merasa iri. Iri karena ia tak bisa merasakan ketenangan seperti itu. Ia merasa hidupnya rumit. Terlalu banyak masalah yang datang silih berganti. Apa karena sikapnya yang selalu membuat masalah? Entahlah, hal itu pun mungkin sudah menjadi salah satu masalah dalam hidupnya.

Suasana agak mendung dan menyemilirkan angin-angin yang suhunya tidak normal. Angin-angin yang dapat dengan mudah membuat bulu kuduk yang dilewatinya menegak karena terlalu dingin. Termasuk Ify. Tapi, gadis ini sepertinya tidak perduli. Ia tetap asyik menatap danau dan termenung memikirkan keadaannya, kebodohannya, nilainya, Papanya, apa yang sedang mengidap dalam diri laki-laki itu, belum lagi perasaan dan percintaannya serta yang terakhir adalah..hidupnya. Apa saja yang telah terjadi dalam hidupnya sampai hari ini. Hmm, gue hidup berapa lama lagi ya? Lantur Ify dalam hati. Saat itu pula, ia kembali teringat akan hal aneh yang dikatakan Mamanya saat ia bermimpi.

‘Ada seseorang yang jauh lebih merindukan, Papa’. Ify memikirkan kata-kata itu baik-baik. Detik-detik berikutnya, ia terpaku. Ia –mungkin– berhasil menemukan apa makna dari perkataan Gina itu dan hampir berhasil membuat nyawanya melarikan diri. Ia tidak ingin percaya, tapi bagaimana jika penyimpulannya itu benar? Tolong...gue gak mau semakin merasa sendirian. Gue gak mau.. Batin Ify lirih. Matanya sudah menyilau. Intinya, hanya 1 kali kedipan, akan ada setetes bahkan dua tetes air mata yang bisa dikeluarkan Ify. Kedua tangannya mencengkram kuat cangkir berisi capuccino yang sekarang sudah berkurang suhunya, walaupun sedikit.

Kemudian, tangan lain tiba-tiba menggeser arah kepala Ify. Menghadap si pemilik tangan itu. Rio. Yap, pemuda itu menuntun wajah Ify agar melihat wajahnya. Ify menatap Rio dengan mata berkaca-kaca. Sementara Rio, ia tertegun melihat Ify menatapnya seperti itu. Bukan kebahagiaan maupun kesedihan yang terpancar disana. Gadis ini terlihat ketakutan. Sangat ketakutan. Bibir gadis itu bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu tapi dalam keadaanya yang ingin menangis. Rio masih diam dan pandangannya menelusup dalam ke mata Ify. Mencoba menelaah perasaan apakah yang ada disana? Benarkah itu, tatapan seorang gadis yang sedang ketakutan? Lalu, ketakutan untuk apa? Dalam hal apa? Sss..angin kembali berhembus dan menyibak wajah Ify.

Saat itu pula, 2 tetes air mata yang sempat tertahan tadi, sekarang mengaliri kedua pipinya. Rio kaget bukan main. Kenapa lagi gadis ini? Tadi ketakutan, sekarang menangis? Ah, apa mungkin karena kejadian di sekolah tadi siang? Hmm, ternyata lo gak sekuat yang gue bayangkan. Lo lemah, Fy. Lo lemah dengan tangisan lo ini! Lo nangis hanya karena masalah yang..yang terlalu sepele. Batin Rio. Namun, dalam sekejab, ia menarik kata-kata tersembunyinya itu mendengar Ify buka suara. “Pa..Papa..Pp..Papa..” Kata Ify terbata. Bibirnya makin dibuat bergetar. Hei, sekarang apa? Jadi, bukan karena kejadian tadi siang? Papa? Kenapa lagi dengan laki-laki itu? Apa ada sesuatu yang lebih kronis mendera organ tubuh Ferdi? Astagaa..jangan sampai! Jangan sampai, ya Tuhan! Pikir Rio.

“Heh heh lo kenapa nangis?” Rio sedikit mengguncang bahu Ify. Rio garuk-garuk kepala sendiri melihat Ify yang tak henti menatapnya tanpa berusaha mengajaknya bicara. “Lo kenapa sih? Nangisin yang tadi siang?” Frustasi Rio. Ify akhirnya menggeleng dan sedikit memajukan bibirnya. Ia beralih pandangan segera ke arah bawah alias menunduk. Ia menghapus bekas-bekas air mata di pipinya. Halah, malah berhenti pula sekarang? Batin Rio lagi. “Lo jelek kalo nangis!” Ledek Rio dan mulai menyesap minumannya. Ify melirik sekilas dan kembali menunduk. “Gue jelek atau cantik sekalipun, lo juga gak bakalan tertarik!” Cibir Ify pelan. Mendengar itu, Rio mendengus dan menatap kesal gadis di hadapannya.

“Gue kan udah bilang suka sama lo!” Sungutnya. Ify masih setia menunduk dan memilih memandang ke arah cangkir. “Suka sama gue? Yakin lo?” Kata Ify santai. Ia menghembus-hembus capuccinonya. Rio diam tak membalas. Baginya percuma, gadis ini sedang tinggi kadar keras kepalanya. Ify lalu meminum seteguk capuccino dan menaruh cangkir minumannya di meja kembali. “Seberapa besar rasa suka lo, kalo sedikitpun gak ada yang buat lo tertarik sama gue, lama-lama juga bakal hilang. Tinggal tunggu waktunya aja. Ya kan?” Lanjut Ify. Kali ini ia menoleh pada Rio. “Sebegitu pentingnya ketertarikan menurut lo?” Tanya Rio. Ia memajukan sedikit tubuhnya agar dapat melihat wajah Ify lebih jelas.

“Hmm, kayak permen karet! Habis manis, sepah dibuang. Rasa tertarik habis, rasa suka menghilang.” Jawab Ify yang ikut-ikutan maju. Air mukanya seolah menantang pertanyaan Rio tadi. Akibatnya, satu toyoran terjun sempurna di keningnya oleh Rio. Ia lantas mengaduh dan mengelus-ngelus keningnya itu. “Cetek banget sih pikiran lo! Ckck..” Dumel Rio dan mendecak heran. “Heh, lo pikir perasaan gue sesederhana itu?” Lanjut Rio tetap menggerundel. Ify masih mengelus-ngelus kening sambil mengarahkan pandangan sesekali ke arah Rio. “Apaan sih? Gak usah noyor-noyor bisa kali!” Kata Ify balik mendumel. Bibirnya kembali mengerucut.

Rio terkikik mendadak. Ekspresi Ify saat ini membuat Rio tak bisa menahan kikikannya. Lucu banget sih! Batin Rio geli. Ia lantas menyingkirkan tangan Ify yang sedang mengelus kening dan menggantikan tangan itu dengan tangannya. “Lo kelihatan lucu kalo kayak gini..Cha!” Ujar Rio tanpa sadar. Baru saja kesenangan itu muncul, baru saja bibirnya hendak mengulas senyum, dalam sekejab luapan-luapan kebahagiaan itu tertahan dan sekarang terlapisi oleh luapan-luapan kekecewaan. Kecewa karena Rio salah menyebut nama dan mungkin saja pujiannya barusan bukan diperuntukkan baginya. Hey, namanya Ify! Seharusnya pemuda itu menyebutkan Fy bukan Cha. Begitulah kira-kira. Ify kemudian balik menyingkirkan tangan Rio yang sedang mengelus bagian depan kepalanya dan mendengus pelan. “Gue Ify, bukan Acha...Mario!” Datarnya.

Ify berdiri tanpa menoleh ke arah Rio lagi. Ia langsung mengambil langkah berjalan meninggalkan meja yang ia tempati tadi bersama Rio. Rio sendiri terlihat diam sebentar. Acha? Astaga...nama itu? Masih aja! Pikirnya. Sejurus kemudian, ia langsung menyusul Ify yang sudah beranjak duluan. Hmm, dari penglihatan yang masih bisa dijangkaunya, Ify semakin lama semakin cepat bergerak. Bahkan boleh dibilang berlari. Rio tak langsung memanggil Ify. Bahaya jika ada yang sadar ada dirinya di cafe tempatnya bersinggah. Hal itu bisa memperlambat durasinya mengejar Ify. Rio sudah sampai di luar. Ia tak menemukan Ify disana, bahkan di dalam mobil juga tak ada. Ia menoleh ke kanan kiri dan akhirnya di arah kiri, ia melihat gadis itu masih saja bergerak menghindar. Bedanya, Ify tak berlari seperti tadi. Langkahnya terlihat santai seolah menikmati satu persatu langkah yang gadis itu jalankan. 

Sementara itu, Ify, kekesalannya mengubun. Bukan kesal dengan Rio yang salah menyebutkan namanya, melainkan kesal pada dirinya sendiri. Kesal karena ia merasa benar-benar menjadi seekor keledai sekarang. Kesal akan kebodohannya dalam mengendalikan perasaan, perasaannya untuk Rio. Kalau sudah begini, seharusnya ia tak begitu saja mengiyakan perkataan Rio waktu itu. Seharusnya ia tak cepat-cepat mengambil kesimpulan bahwa Rio memang menyukai dan menyuruhnya berusaha membuat pemuda itu jatuh cinta padanya. Seharusnya, ia menolak dan memilih mundur. Percuma saja, hati Rio bukan roda yang bergerak dan setiap waktu dapat berubah posisi. Nama yang melekat pertama kali disana terlalu kuat untuk dijadikan tandingan. Ya, memang seharusnya–

Seet! Ada sesuatu yang membuat badannya berputar dan menjadi berhadapan dengan seseorang. Seseorang yang sedari tadi menjadi permasalahan yang didiskusikannya dalam otak. Yap, Rio. Rio menahan rasa bersalah di matanya selama ia menatap Ify sekaligus menahan salah satu tangannya di bahu gadis itu. Ia menghembuskan nafas singkat sebelum berbicara. “Maaf..” Kata Rio bersungguh-sungguh dan memang tulus dari dalam hati. Ify diam lalu menghembuskan nafas pula. Lagi? Hmm..yah memang lo salah kali ini. Batin Ify. “Hmm..” Dehem Ify. Ia malas berbicara panjang. Satu deheman rasanya sudah cukup. Namun, Rio menangkap makna yang berbeda. Ia merasa Ify masih belum ikhlas memaafkannya. Karena itu, ia mengulangi permintaan maafnya sekali lagi.

“Gue minta maaf..” Ujar Rio, sedikit lebih panjang dari yang tadi. Ify sadar akan salah mengartikan Rio itu. “Iya!” Sahut Ify. Ia dengan terpaksa mengeluarkan kata-kata agar Rio tak salah paham lagi. Rio terlihat belum puas dan untuk ketiga kalinya ia meminta maaf pada Ify. “Fy, gue minta maaf..” Tukas Rio yang sudah tak salah menyebut nama Ify. Ify yang sudah kesal, bertambah lagi kesalnya karena Rio yang tak juga mengerti. Mengerti bahwa ia sudah memaafkan pemuda itu. “Iss, lo denger gak sih apa yang gue bilang?! Gue bilang iya ya iya! Tandanya gue udah maafin lo dan tandanya lo gak perlu ngulang-ngulang kata maaf lo itu ke gue!” Kesal Ify. Rio diam tanpa berkomentar. Ia membiarkan Ify mengeluarkan keluh kesahnya terlebih dahulu.

“Apa? Mau minta maaf lagi? Ma..”

Bosan menjadi pendengar, Rio dengan segera mengunci mulut Ify. Ia bergerak cepat ke wajah Ify dan mengecup pipi sebelah kanan gadis itu. Usahanya lumayan berhasil. Ia berhasil membuatnya diam namun tanpa ia tahu malah hati gadis itu yang sekarang berkoar-koar. Rio terkikik lagi melihat reaksi Ify. “Diem kan lo, haha!” Ia lantas menautkan tangannya dengan Ify dan menuntun Ify kembali ke mobil. Ify hanya menggembungkan pipi, kesal karena dirinya yang seakan mati kutu sekarang. Kesal kenapa ia tidak bisa mengelak dari pesona pemuda yang sedang menggenggam erat tangannya. Kesal kenapa hatinya begitu plin-plan memutuskan kelanjutan perasaannya. Baru kira-kira 2 menit yang lalu ia ingin mundur, namun sekarang keinginan untuk kembali berusaha membuat Rio takluk semakin menjadi. Papaaaa, Ify pusiiing!!!

***

Ify, Agni serta Shilla mengulang kegiatan berkumpul ria mereka, kali ini bertempat di kamar sekaligus rumah Shilla. Agni duduk bersandar di bawah dan Shilla di sebelahnya. Ify berbaring di atas tempat tidur Shilla dan seperti biasa menatap ke arah langit-langit sembari menunggu Via datang. Beberapa menit berjalan tanpa kehadiran Via, beberapa menit itu pun keheningan mendominasi suasana di kamar Shilla. Masing-masing saling diam dan tak menoleh satu sama lain karena sibuk memikirkan permasalahan yang mereka alami. Permasalahan yang berbeda, dengan orang yang berbeda namun masih terdapat kesamaan pada siapa yang mereka pikirkan. Yap, sama-sama memikirkan masalah pemuda. Pemuda-pemuda yang meskipun berbeda tapi masing-masing memiliki hubungan keterkaitan, keterkaitan dalam sesuatu yang disebut-sebut dengan..CRAG.

Siapa lagi kalau bukan Cakka, Rio dan Alvin. Mungkin setelah Via datang, maka akan termasuklah keempat-empatnya. Agni pada Cakka, Ify pada Rio sementara Shilla pada Alvin. Apa yang dipikirkan Agni hampir mirip dengan apa yang dipikirkan Ify. Sama-sama memikirkan permintaan yang diajukan Cakka dan Rio pada mereka. Bedanya, Ify memikirkan apakah Rio benar-benar memintanya agar membuat pemuda itu jatuh cinta padanya sementara Agni memikirkan apakah Cakka benar-benar menyuruhnya menjauh dari pemuda itu. Shilla berbeda lagi. Ia tak hanya memikirkan Alvin, tapi juga Febby. Kenapa Alvin waktu itu mau repot-repot menghampiri gadis itu? Padahal pemuda itu tahu, Shilla masih sangat sensitif akan adanya Febby. Perasaan apakah yang hinggap di hati Alvin untuk gadis itu? Bukan seperti perasaan yang dimiliki pemuda itu padanya kan?

CKLEK!
Pintu kamar Shilla terbuka dan seorang gadis masuk menambah jumlah orang yang ada di dalam. Gadis yang lumayan ditunggu oleh Agni, Ify dan tentu saja Shilla. Mereka sama-sama menoleh ke gadis itu dan seketika membelalakkan mata karena gadis itu kembali datang dengan rupa yang berbeda. Padahal baru tadi pagi mereka melihat rambut gadis itu memendek tapi sekarang sudah bertambah lebih pendek lagi. “VIA?” Kata mereka kompak. Yang dipanggil hanya menyengir dan segera mendekat ke arah mereka. Via, gadis tersebut, mengambil posisi duduk di sebelah Ify. Shilla dan Agni ikut-ikutan naik ke atas tempat tidur. Jadilah, mereka berempat duduk saling memandang satu sama lain di atas kasur milik Shilla.

“Lo apain tuh rambut? Kok mendek mulu?” Tanya Agni diikuti anggukan persetujuan dari Shilla dan Ify. “Lo gak kankeran kan, Yem?” Kali ini Ify, air mukanya terlihat panik. Mendengar itu, Via mencibir dan memukul pelan lengan Ify. “Gue gak penyakitan, kali!” Rutu Via. Ify menghela nafas lega setelah sebelumnya mengelus-ngelus lengan yang dipukul oleh Via. “Ada masalah lo?” Tanya Agni lagi. Ia mengambil bantal dan menaruhnya di paha lalu kemudian menumpu tangan disana. “Enggak!” Jawab Via singkat. Ketiga temannya melengos mendengar jawabannya. Tentu saja, ia dikenal paling anti yang namanya potong rambut. Jadi, sekarang dengan rambutnya yang sependek ini, mana mungkin tak ada alasan tertentu yang membuat Via akhirnya mau melakukan itu.

“Bohong banget!” Tuduh Shilla. Via memandangi ketiga temannya satu-persatu lalu gantian melengos. Ia merasa sudah salah menjadikan mereka objek-objek untuk dibohongi. Mereka terlalu mengenalnya dan memahami perubahan sikapnya. “Lo bertiga pura-pura gak tahu aja kenapa sih?” Gerutunya. “Woops, tidak bisa! Udah, ceritain sama kita-kita. Lo kenapa?” Sungut Shilla. Via menarik nafas singkat dan menghembuskannya perlahan. “Gue sedang dalam proses melupakan seseorang..eh 2 orang deh! Hehe..” Cengir Via. Agni, Ify dan Shilla saling berpandangan bingung. “Cowok? Emang lo pernah suka sama cowok? *<<ambigu,tpambilygpositivsajayaa* Kok gue gak tahu?” Tanya Ify seraya menggaruk pelipis. Via refleks menutup mulut. Ops, ketahuan! Batinnya.

“Siapa?” Tanya Agni langsung. Via menggeleng tak ingin menjawab. Namun melihat delikan-delikan teman-temannya, ia tak bisa mengelak. “Iel..” Kata Via pelan sekaligus pasrah. “Hah?!” Kaget Agni, Ify dan Shilla kembali. Sejurus kemudian mereka sama-sama tersenyum. “Ciee, akhirnya temen gue normal juga!” Goda Agni seraya menoel dagu Via. Via menepisnya kasar dan menatap kesal kedua temannya yang lain yang ikut-ikutan meledeknya. “Yee, lo bertiga apaan sih? Itu udah basi lagi, kan udah gue bilang. Gue lagi dalam proses melupakan!” Rutu Via. Agni, Ify dan Shilla tersenyum dan geleng-geleng kepala melihatnya. “Terus, satu orang lagi siapa?” Tanya Ify kemudian. Mood Via sedikit merosot mendengar Ify menanyakan itu. Yang secara tidak langsung mengingatkannya kembali pada si gadis genus kekanak-kanakan dengan spesies menyebalkan, Pricilla. *juststoryguys*

“Pacarnya lah!” Jawab Via cepat. IAS berpandangan bingung lagi. “Pacar?” Tukas Agni. Via, untuk ketiga kalinya melengos. “Ck, gak usah bahas mereka deh! Lo sendiri juga lagi mikirin cowok yang lo suka kan?” Tunjuk Via pada Agni. Muka Agni sedikit memerah. Ia tentu saja membantah keras tudingan Via padanya. “Eh kok gue? Eng..ya gak lah! Mana mungkin gue mikirin kayak gituan!” Bohong Agni berusaha menyembunyikan kadar saltingnya yang mendadak meningkat. “Bohong tuh Vi, Fy! Agni itu pasti lagi mikirin Ca..mpff!” Agni dengan cepat membekap mulut Shilla agar tidak berbicara macam-macam. Ify dan Via tertawa melihat kedua temannya itu.

“Haha, udah deh ngaku aja, Ag! Lagian, lo kok gak cerita sama kita berdua? Jahat lo!” Ujar Ify pura-pura ngambek. Agni melepas bekapan tangannya di mulut Shilla. Shilla mencoba menormalkan laju nafasnya dan mengusap-ngusap mulut. “Gue juga gak diceritain sih sebenarnya. Nebak-nebak aja! Hehe..” Cengir Shilla. Agni mencibir mendengar itu. Ia kira Shilla sudah tahu, ternyata hanya menduga-duga saja. Kalau begitu, untuk apa ia membekap mulut gadis itu? Hal tersebut malah menambah kecurigaan kedua temannya yang lain. “Ayolaah, Ag! Gantian, lo lagi yang cerita! Kan gue udah?” Pinta Via. Sudahlah, mungkin tidak ada salahnya ia mengeluarkan keluh kesah pada teman-temannya ini. Pikir Agni.

“Lo bertiga tahu Cakka kan?” Tanya Agni terlebih dahulu. Sebenarnya tak perlu ditanyakan juga, karena ketiga temannya tidak mungkin tidak mengenal pemuda yang satu itu. Pemuda yang juga kerabat dari orang-orang yang mereka sukai. “Ya tahu lah, Ni!” Keluh Via. Begitu pula dengan Ify dan Shilla. Agni menarik nafas dalam sebelum memulai berbicara kembali. “Dia punya kalung yang sama kayak punya Aga. Makanya gue mau nyelidikin dia, siapa dia, Aga atau cuma Cakka. Eh, pas udah deket-deketnya, dia malah nyuruh gue jauhin dia. Ngenes gak sih?” Agni meninju pelan bantal yang menutupi pahanya. Ify, Shilla dan Via diam sebentar lalu tiba-tiba tersenyum. “Lo suka gak sama dia?” Goda Shilla. Agni terkesiap dan mukanya seakan memerah kembali. Ia sekeras mungkin mengelak meski ketiga temannya itu terus-terusan memojokkannya.

“Udah deh, sampai kapan sih lo semua mojokin gue?” Keluh Agni. Ify, Shilla dan Via pun akhirnya berhenti menggodanya. Dan sekarang, Shilla mengambil giliran untuk lebih dahulu bercerita. Ia lalu menceritakan kejadiannya kemarin bersama Alvin dan juga Febby. Agni hanya ikut mendengarkan tanpa berkomentar. Ia ingat kembali akan sosok Febby. Hmm, ingin sekali ia memberitahu pada Shilla tentang gadis itu. Tapi, yah mungkin lebih baik untuk sementara ditahannya dulu. Lagipula, ia juga belum terlalu tahu siapa sebenarnya Febby itu.

“Gue lagi kan?” Tanya Ify mengingat sekarang gilirannya bercerita. Agni, Shilla dan Via melengos bersama mendengar Ify bertanya seperti itu. Tak usah diceritakan, mereka juga sudah tahu apa yang akan gadis itu utarakan. Tak pernah lari dari seorang Mario. “Masalah idup lo palingan muter-muter di Rio doang!” Ujar Agni tak berniat mendengarkan. “Eeh dengerin dulu!” Dumel Ify melihat teman-temannya tidak bersemangat. “Tahu gak?” Katanya memulai. “Gak..” Sahut ketiga temannya cepat. Ify mencibir. “Iss..lo pada beneran gak mau denger cerita gue? Kemarin itu Rio bilang dia suka sama gue, tahu!” Kata Ify lagi. Dalam sekejab, hasrat malas dari Agni, Via dan Shilla menghilang dan langsung menoleh antusias ke Ify. Gantian Ify yang melengos. “Beneran? Lo bohong ya?” Tuduh Agni tak percaya. “Huu, tadi gak mau. Sekarang semangat 45 gini!”

“Rrr jawab aja Fy!” Sungut Agni. “Iss..iya-iya. Mana mungkin gue bohong! Orang dia nyium gue habis ngomong gitu! Disini!” Ujar Ify seraya menunjuk ke arah bibirnya. “HAH?!” Agni, Shilla dan juga Via menggeleng lebih tak percaya. Ify berdiri seraya berkacak pinggang. Ia mengambil bantal yang digunakan Agni tadi. “Hah-hah! Nafas lo amis tahu! Haha..” Ledek Ify. BUK! Ia mendaratkan satu pukulan dengan bantal pada ketiga temannya. Merasa tak terima, mereka lalu balik memukul Ify membalas perlakuan gadis itu. Alhasil, perang bantal pun terjadi. Mereka saling balas-membalas dan tak jarang tertawa lepas. Melupakan sejenak masalah yang mendera masing-masing. Tak peduli akan seprei kasur Shilla yang sudah tak berbentuk seprei lagi akibat aksi pukul-pukulan mereka itu.

***

“Haah, capek ya? haha..” Ujar Shilla setelah lelah dengan aksi perang-perangan bersama ketiga teman-temannya. Ify, Via dan Agni hanya berdehem merespon omongannya. Mereka sudah dalam posisi berbaring dan melakukan apa yang biasa Ify lakukan dalam posisi seperti ini. Yap, menatap langit-langit. “Kalo dipikir-pikir, kita itu kayak udah dijodohin deh!” Seru Ify. Agni menoleh sekilas dan kembali menatap langit-langit. “Tahu deh yang berpengalaman jodoh-jodohan!” Ledek Agni seraya menyenggol lengan Ify yang kebetulan berbaring di sebelahnya. Shilla dan Via hanya terkekeh belum berniat berkomentar. “Yee, yang gue bilang bener tahu! Kayaknya emang kita udah berjodoh untuk bertemu satu sama lain dan temenan kayak gini!” Lanjut Ify.

Agni kali ini diam dan memilih mendengarkan seperti Shilla dan Via. “Gue sama Via yang udah temenan dari kecil, terus ketemu sama lo berdua waktu MOS SMP dan akhirnya temenan juga sama lo berdua. Masuk SMA, gue baru kenal sama makhluk 2 kepribadian kayak Rio, yang karena itu Alvin jadi kenal sama Shilla terus jadian deh. Hehe, meskipun gue dapat bagian ngenesnya. Dan sekarang, yang semula gak pernah gue duga, Via suka sama Iel dan lo, Ni, curiga kalo Cakka itu Aga. Dan mereka berdua itu juga temen akrabnya Rio sama Alvin. CRAG...SISA. Apa lo semua ngerasa ini kebetulan? Menurut gue sih gak. Gak mungkin kebetulan setelak ini. Gue rasa, there’s a matchmaking for us, for them!”

Agni, Via, Shilla menoleh ke arah Ify. Ify balas menoleh ke arah mereka. 1..2..3 detik kemudian...“HAHAHAA!!” Mereka kembali tertawa bersama. Entahlah karena apa, apa karena perkataan Ify benar atau malah ngawur, mereka hanya ingin tertawa saat ini.

***

Hulalaa, akhirnya bisa di post. Maaf ya, ngaret dari jadwal semula. Banyak kendala sih, modem abis pulsa, itu yang paling fatal. Salahkan pulsanya jangan salahkan miminnya *eh* Belum lagi mimin harus muter otak buat naskah film bahasa inggris, buat naskah drama musikal, buat naskah drama bahasa indonesia muehehe bagian naskah mimin mulu sih .___.”. Nah nambah lagi harus kerja keras melanjutkan cerbung gaje ini. Jadi, harap maklum jika hasilnya tidak memuaskan .___.VV
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar