-->

Senin, 23 April 2012

Matchmaking Part 14 B-1

Assalamualaikum! Haha, gak ngaret kaaaan? *watadosmodeon* Ckck, likersnya makin berkurang aja. Gak papalah, saya tetap cinta pada kalian yang menjadi pembaca setia. Selama masih ada yang minta lanjut, saya lanjutkan. Tapi kalo gak ada, wah ALHAMDULILLAH! Saya bebas tugas nyahaha =D Ini part amatlah panjang. Moga gak tedious-tedious amat juga lah ya hoho.

Ya sudah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!

***

Dalam persembunyiannya, Via kemudian melihat Iel serta gadis yang bersamanya beranjak pergi. Via mengulum bibirnya bimbang. Astaga, kenapa harus muncul pertanyaan apakah gue harus mengikuti kemana Iel pergi atau enggak? Hal tersebut membuatnya seperti orang linglung. Ia sempat bolak-balik berjalan ke depan dan ke belakang. Ia melihat ke arah Iel sekali lagi sambil menimang-nimang. Baiklah Via, penyelidikan dimulai! Batinnya mantap seraya mengepalkan tangan meyakinkan diri. Ia memutuskan mengikuti Iel dari jauh. Karena memilih jalan ini, maka ia harus menerima resiko gondok melihat Iel begitu mesra menggenggam tangan sang gadis. Seakan tak ada kata risih sedikitpun.

Berjalan melewati sebuah kios yang menjual kacamata dan topi, Via pun singgah sebentar untuk membeli salah satu dari masing-masing. Ia memilih asal, yang penting bisa membuatnya tersamar dan tak dikenali khususnya oleh Iel. Ia buru-buru mengenakan kacamata ukuran cukup besar serta topi NY berwarna biru yang dibelinya. Ia juga mengenakan rambut palsu yang dibelinya pula ditoko yang sama. Ia segera keluar dari kios dan untungnya Iel belum cukup jauh berjalan. Ia bisa menyusul dan memendekkan jarak, meskipun tidak terlalu dekat juga. Yah, semuanya bisa terbongkar jika mereka berjalan beriringan.

Iel serta gadis di sebelahnya menaiki eskalator menuju lantai 2. Kalau tidak salah, disana terdapat bioskop. Hmm, pasti tuh orang berdua mau nonton. Ckck, masih jaman pacaran dalam bioskop? Batinnya seraya geleng-geleng kepala. Dan benar saja, setelah sampai di atas, Iel dan gadis tadi berbelok ke arah jalan masuk area bioskop. Dugaan Via benar kali ini. Berarti tidak salah lagi, gadis di sebelah Iel itu pacarnya. Okey, Iel, kayaknya lo bener-bener nyuruh gue ngelupain lo! Batin Via. Meski begitu, ia tetap melanjutkan penguntitan-nya pada Iel. Ia lalu melihat pemuda itu berjalan masuk ke dalam bioskop. Via mengintip sebentar dari luar. Tentu, jika ia ikut masuk, percuma ia menjadi stalker dari tadi. Sama saja terang-terangan memberi tahu jati dirinya pada pemuda itu.

Iel memesan tiket untuk 2 orang, dirinya dan gadis di sebelahnya. Tangan mereka tak lagi saling menggenggam. Jarak mereka pun tak sedekat tadi. Sekarang mereka sudah terlihat seperti 2 orang yang akrab saja. Seperti temanlah lebih tepatnya. Tanpa sadar, Via menghela nafas lega. Sedetik kemudian, ia mulai memikirkan apa yang ia lakukan tanpa sadar itu. Viaa, gak boleh! Pokoknya gak boleh! Batinnya menyangkal. Iel dan gadisnya tiba-tiba berjalan keluar. Via yang melihat buru-buru menjauh dari pintu masuk dan mencari tempat bersembunyi. Tak lama kemudian, Iel dan gadis tadi muncul. Beruntung mereka berjalan bukan ke arah dimana Via bersembunyi. Via menghela nafas lagi. Ia lekas masuk ke dalam bioskop, memesan tiket film yang sama dengan Iel serta tempat duduk tepat di sebelah pemuda itu.

Film yang dipilih Iel akan dimulai sekitar 20 menit lagi. Hmm, pantas saja Iel dan gadis itu pergi lagi. Pikir Via. Dengan sangat terpaksa, karena keputusannya mengikuti Iel hingga sampai ke bioskop ini, membuatnya harus menunggu sendirian hingga teater dibuka. Beruntung, ia sudah terbiasa dengan tindakan menunggu seperti ini. Menunggu kedatangan orang yang menjemputnya di sekolah menjadi pelatihan kesabarannya setiap hari. Bahkan dalam hal perasaan ia juga sudah terbiasa menunggu. Menunggu orang yang diinginkannya menjemput perasaan ‘lucu’ itu. Namun, mungkin sekarang sudah berubah. Ia bukan lagi menunggu orang tersebut menjemput perasaannya, tapi lebih kepada menunggu orang tersebut dijemput oleh siapa saja atau apa saja agar segera menghapus label sebagai orang yang diinginkannya.

“Teater 2 dibuka!”

Via mendongak cepat dan langsung berlari masuk ke dalam teater. Akhirnya, ia tak diharuskan menunggu lagi. Via masuk ke dalam mengikuti perempuan yang berjaga di dalam. Perempuan itu yang menunjukkan dimana tempatnya duduk. “Makasih!” Kata Via, dan kemudian meniti langkah menempati kursi. Ia menoleh ke kanan-kiri, belum ada siapapun yang menduduki kursi di sampingnya. Bahkan hingga 5 menit waktu berjalan, kedua orang yang diharapkannya belum juga muncul. Iss, kalo gini ceritanya, ngapain gue sok-sok jadi stalker, conan kw 2 atau apalah! Gak ada guna juga! Batinnya menggerutu.

“Ini film apa lagi? Horor? Astaga, ngantuk deh guee!” Via mencibir pelan berhubung penghuni teater cukup ramai. Film horor? Hmm, Via bukannya tak suka. Akan tetapi, belum ada satu film jenis itu yang mampu membuatnya berteriak histeris ketakutan. Yang ada, ketika seluruh penonton riuh, ia tetap kalem dengan mata berair karena terus-menerus menguap. Tapi, kemana Iel dan gadis itu? Seharusnya mereka bertanggung jawab karena membuatnya seperti orang bodoh mengikuti mereka diam-diam. Dan sekarang, tak ada sedikitpun hasil, yang baik saja, yang ia dapatkan. “Ya udah, gak usah datang deh sekalian! Dan gue, gue gak perlu nonton film garing kayak gini!” -_-

Via berdiri hendak berjalan keluar namun tiba-tiba Iel dan gadisnya muncul dari pintu masuk. “Hiyaa, diharepin gak dateng, gak diharepin muncul!” Ia kalang kabut sendiri dan mengambil posisi duduk kembali. Novel yang baru dibelinya lagi-lagi menjadi penyelamat penyamarannya. Ia menutupi hampir seluruh wajah dengan novel itu. “Disini!” Via cukup kenal dengan suara itu. Pasti suara perempuan penjaga yang juga menuntunnya tadi. Kabur gak yaa? Batinnya bimbang. Sementara Iel, ia langsung duduk di kursi yang ditunjukkan padanya. Sama halnya dengan gadis tadi. Iel menoleh ke samping, tepatnya ke arah Via. Perasaan tak cukup asing menderanya lagi saat mengamati gadsi itu.

Via sadar bahwa dirinya diperhatikan. “Layarnya disana mas, bukan saya.” Katanya datar. Iel tersentak dan langsung mengalihkan pandangan ke layar seraya garuk-garuk kepala. Namun, ia masih saja memikirkan Via. Memikirkan mengapa ia merasa tak asing dengan gadis itu. Ia lantas melirik sekali lagi lalu dan melihat novel yang menutupi wajah Via. Nah! Itu novel cewek yang di toko buku. Pikir Iel. Ia tiba-tiba terkikik ketika mengingat tingkah-tingkah menggelikan dari gadis di sebelahnya. “Mbak yang di toko buku tadi kan?” Tanya Iel seraya menoel lengan Via. Via menurunkan tinggi novelnya dan mengintip ke arah Iel sebentar lalu menggeleng. “Bukan!” Ia lalu menutup wajahnya kembali.

Iel hanya tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Bacanya udah gak kebalik lagi, Mbak?” Goda Iel. Bibir Via mengerucut mendengar itu. “Gak!” Jawabnya singkat. Iel mengangguk lagi. “Namanya siapa, Mbak?” Tanyanya kemudian. Kali ini bukan berniat menggoda, ia memang ingin mengajak berkenalan. Tak pada setiap orang asing ia bersikap seperti ini, hanya orang-orang ‘tertentu’ saja, orang-orang yang dapat menarik minatnya untuk mengenal satu sama lain. Termasuk Via, atau mungkin ‘Via’ saat ini. Waduh, nama? Emm nama? Siapa ya? Emm Joe? Halah, Joe pula! Waduh, gue jawab siapa nih? Kepala Via seketika gaduh karena Iel bertanya seperti itu. Nama? Ia bahkan tak memikirkan sampai kesana. Ia tak mengira bahwa Iel akan menanyakan nama-‘nya’.

“Nama? Za..Zaza! Ya, Zaza!” Sahutnya kemudian. Zaza? Udah ganti nama aja gue! Ntar pulang akekahan ulang nih! Pikirnya. Iel tersenyum senang mengetahui niat baiknya disambut baik. “Namanya Cantik, kayak Mbaknya!” Ujar Iel -mungkin- jujur dari dalam hati. Ngeeh, rambut palsu loreng-loreng kayak macan gini dengan topi dan kacamata yang gak ada nyambung-nyambungnya sama sekali dibilang cantik? Subhanallaaah! Via geleng-geleng kepala tak percaya. Bagaimana bisa Iel mengatakan ‘Zaza’ cantik? Pemuda itu bahkan tak pernah memuji dirinya, Via. Bukankah Via tampak lebih ‘baik’ dari Zaza? Ckck, sekali lagi, Via hanya bisa geleng-geleng kepala. “Jadi saya manggilnya Mbak Zaza?”

Via hanya berdehem merespon pertanyaan Iel itu. Beberapa menit saling diam, akhirnya Iel buka suara lagi. “Mbak, mbak Zaza gak nanya nama saya? -,-” Polos Iel seraya garuk-garuk kepala. Hampir saja Via terlonjak karena pertanyaan pemuda itu barusan. Bukan kaget, melainkan karena tawa yang ingin meledak saat itu juga. Beruntung ia masih bisa menahan bersamaan dengan teriakan histeris penonton. Astaga, bahkan awal mula film ini saja Via tak tahu. Tak memperhatikan sama sekali. Tentu, wajahnya tertutup novel sedari tadi. Iel kelihatannya sama saja. Ia juga tak ikut berteriak seperti yang lain. Apa dia merhatiin gue daritadi? Emm Zaza lebih tepatnya. Batin Via. Ia lalu mengintip ke arah Iel yang terlihat memasang tampang bingung ke arahnya.

“Mas gak nyuruh saya nanya.” Kata Via sok polos. Sungguh, kalau saja film tidak sedang berlangsung, kalau saja Iel tak berada di sebelahnya, ia mungkin sudah tertawa seraya melompat kesana-kemari. “Yah masa nunggu disuruh sih, Mbak?” Keluh Iel. Via memberanikan diri tak lagi menutup wajah dengan novel. Sedang novel itu sendiri di taruhnya di samping kursi. “Gak berminat.” Ujarnya, bertingkah seolah-olah serius menonton film. Helaan nafas Iel terdengar lagi dan lebih panjang. “Ya udah, kalo Mbak Zazanya gak mau. Saya aja yang ngenalin diri. Kenalin, saya Gabriel!” Iel menyodorkankan tangannya hendak berjabat. Bibirnya saling menyudut merentang sebuah senyum cukup manis pada Via.

Dalam hati, Via merutuki lengkungan tersengaja di bibir Iel itu. Lengkungan yang busurnya berhasil memantul ke dinding hatinya. Membuat benda itu sedikit bergoncang, ah bahkan mungkin sudah terjadi gempa. Ia mematut diri dan jangan sampai goncangan dalam hati itu mendemonstasikan efeknya. “Bukan muhrim!” Datarnya. Ia masih -berusaha- memandang ke arah layar. Sedang Iel, mungkin ia sudah biasa dengan penolakan seperti ini. Busur dari lengkungan di bibirnya malah semakin mengendor. Semakin manis pula wajahnya saat ini. Diliriknya Zaza -Via- yang kini diam dengan tangan berlipat di depan dada. Sulit menangkap ekspresi apa yang coba merundung gadis itu. Meski penampilannya aneh, namun sebutan ‘cantik’ masih bisa ditujukannya pada Zaza atau mungkin Via. Ah entahlah, pokoknya gadis yang sedang ditatapnya sekarang.

***

Keramaian di luar sana sepertinya tak ikut membaur di antara dua pasangan ini. Setelah acara tangis-tangisan tadi, baik Shilla maupun Alvin tak ada yang ingin berbicara lagi. Seolah-olah ada gembok yang mengunci rapat-rapat mulut mereka sehingga tak ada celah setitik pun yang bisa menjadi penyalur suara keluar. Alvin hanya menatap ke jalan raya. Sekalipun tak terlihat matanya mengerling ke arah Shilla. Sama halnya dengan Shilla. Mata sembab membuatnya malas untuk menggerakkan benda itu ke kanan-kiri. Kepala sudah berat rasanya padahal hanya menangis sebentar. Ia lantas menyender ke badan kursi dengan kepala menghadap ke arah jendela mobil.

Lima belas menit lebih keheningan merajai setiap sisi mobil Alvin. Hingga kendaraan itu menempatkan diri di depan rumah Shilla, barulah ada sebuah lantunan suara lembut dari bibir mungil Shilla keluar. “Thank’s!” Katanya tanpa menoleh. Alvin bersikukuh dalam diam dan matanya yang memaksa memandang nanar. Kemudian, terdengar suara hentakan dari pintu di sebelah kiri. Artinya Shilla sudah keluar. Hal itu seakan mengodei kapan waktunya ia harus melajukan mobil kembali. Namun, ada sesuatu yang menahannya agar tak buru-buru menginjak gas.

Shilla berjalan gontai menuju pagar kediamannya. Pagar dapat dengan mudah terbuka. Di dalam mobil, setelah Shilla keluar, barulah kepala Alvin terbebas dari regang yang sempat menghalangi keleluasaannya menoleh ke kanan-kiri. Ia mendapati punggung gadisnya yang semakin menjauh. Lantas ia menoleh ke arah depan lagi dan saat itu pula ia menghela nafas. Tangannya lalu bergerak menekan klakson mobil beberapa kali hingga Shilla tergerak untuk menoleh ke belakang, ke arahnya. Shilla mendengus. Pemuda ini begitu plin-plan hari ini. Sebentar marah, sebentar baik, sebentar cuek dan sekarang membutuhkannya kembali. Apakah hubungan jarak jauh membuat setiap pemuda seperti itu?

Alvin menurunkan kaca mobil yang sempat menjadi pelapis pandangan Shilla saat berada di dalam mobil. Nah, sekarang, pemuda ini dilanda kekeluan pula. Otaknya seolah berhenti bekerja memproduksi kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Mulutnya menganga-mengatup beberapa kali. Sekali lagi, otaknya benar-benar sedang mogok kerja. “Selamat siang!” Astaga, kata-kata terbodoh yang pernah Alvin ucapkan dalam masa ‘kebodohannya’ saat ini. Bodohnya lagi, kakinya langsung saja menginjak gas meninggalkan rumah Shilla. Tanpa peduli, gadisnya sudah seperti orang bodoh yang menunggu kata-kata berpamitan pada orang yang mendadak bodoh semacam dirinya. Shilla melengos dan berjalan cepat masuk ke rumah. Ckck, sepertinya rasa ego bercampur gengsi berhasil membodohi kedua orang ini.

BUK!

Shilla mendudukkan kasar dirinya di atas tempat tidur. Badan lentur benda itu sempat menggoyang beberapa kali. Shilla diam mengatur ritme nafas. Laju aliran darah seperti menyumbat setiap saluran respirasi dalam tubuh. Padahal, seharusnya, antara oksigen dan darah saling bekerja sama agar tepat sampai pada tujuan. Namun, kali ini, darah sedikit tidak mau berbagi jalan didukung dengan pacu jantung yang meninggi. Membuat benda itu lebih cepat memompa darah. Sementara oksigen sendiri sangat sedikit dihirupnya sejak tadi. Beruntung sekarang, keadaan sudah mulai normal dan kedua benda itu sudah ‘berbaikan’.

Baru saja badannya hendak menjungkang, deringan ponsel lantas menghentikan pergerakan merebah Shilla. Tubuhnya menegak kembali dan ponsel itu segera diraihnya. Sebuah pesan masuk menyembulkan nama sang pengirim yang ikut pula menyembulkan mata Shilla sedikit lebih keluar. Alvin?

From : Sipitunyu :*
Ntar malem, gue ada show di Maming stadion *Matchmaking**Buahahaha!!ngasalinimah* Dandan yang cantik, gue nunggu lo disana!

Hiyaa, sakura sepertinya bersemi mendahului musim dalam diri Shilla. Akhirnya, pemuda yang dikasihinya sudah bersahabat. Kembali menjadi Alvin yang ramah. Meskipun samar, tapi ada jugalah terlihat bahwa Shilla kini sedang tersenyum, bahagia. Jangan pikirkan yang lain Shilla! Jangan berandai-andai! Batinnya mengingatkan diri. Mengingatkan bahwa ia tak mesti mengkhawatirkan sikap ‘baru’ Alvin. Toh, sekarang pemuda itu sudah kembali.

***

HACHI!

“Ahelaah, gak elit banget penyakit gue!” Gadis berdagu tirus ini merutu sebal sejak tadi, sejak ia berjalan sampai dan menetap beberapa saat di tempatnya sekarang, dapur. “Yah, obatnya habis neng. Apa mau bibi beliin ke apotek?” Bi Siti yang tiba-tiba memunculkan diri dengan serbet tak teratur posisinya di pundak, datang tidak dengan kabar gembira sesuai harapan Ify, gadis tadi. Kedatangannya justru membuat Ify makin tenggelam dalam rasa kesal yang sudah mewaduk jumlahnya. Gelengan kepala lantas ditunjukkannya pada Siti yang memasang tampang tak enak hati. “Gak usah deh, bi. Hehe..” Tolaknya halus. Ia melangkah pergi meninggalkan dapur sekaligus Siti. “Neng gak papa kan?” Pekik Siti hendak memastikan.

Ify tetap melangkah, hanya kepalanya saja yang memalingkan diri ke arah Siti. “Gak..hachi!..” Bersin menjadi kendalanya berbicara lancar saat ini. Bersin, bersin, kembalilah kau ke jalan yang benar! Batinnya. “..papa kok Bi!” Sambungnya. Bi Siti memandanginya dari belakang masih dengan perasaan tak enak. Sekarang bertambah cemas pula. Tapi, apa mau dikata. Yang dicemaskan saja tidak terlihat mencemaskan apapun. Malah semakin percaya diri melenggang ke bagian depan dalam rumahnya. Tanpa mengira bahwa kepercayaan dirinya itu akan dengan mudah terciutkan jika melihat apa yang Rio lakukan sekarang.

Dan, benar kan? Pelangkah tubuh Ify mendadak berhenti. Keningnya berkerut mendapati Rio yang tak lagi sendirian. Melainkan bersama seorang gadis dan mereka terlihat berbincang hangat seperti sudah kenal cukup lama. Ify melangkahkan kakinya kembali, lebih dekat pada Rio dan gadis itu. Ah, mereka bukan sekedar berbincang rupanya. Ada buku pelajaran yang membentang di hadapan mereka. Mereka khusyuk sekali sampai-sampai tak menyadari ada dirinya disana. “Hai!” Katanya canggung. Sang gadis menoleh dan tersenyum canggung pula. “Jadi, yang tadi tamu lo?” Nada suaranya terdengar kurang bersahabat. Namun, sebenarnya, itu hanyalah efek dari keadaan tubuhnya yang sedang justru kurang bersahabat. Ify duduk di sofa perlahan.

Sang gadis yang merasa tertuduh secara tak langsung, lantas meminta maaf akan kehadirannya yang tiba-tiba. “Eh maaf Kak, kayaknya aku lancang deh.” Ujar gadis itu mulai buka suara pada Ify. Ify terlonjak dan menegakkan tubuhnya lagi. “Eh gak papa kok! Gue gak maksud apa-apa, hehe..” Cengirnya. Sang gadis hanya tersenyum dan tak menanggapi lagi. “Ckck, gak pantes lo dipanggil kakak!” Rio menyahut tiba-tiba. Dan yang pasti, sahutannya tak pernah baik. Iss, gak ada lembut-lembutnya sama sekali nih orang! Rrr, tapi nyuruh gue juga buat dia jatuh cinta? Kalo marah-marah mulu, kapan adegan cinta-cintaannya? Gerutu Ify dalam hati.

“Eh nama lo siapa? Kayaknya kita belum pernah kenalan?” Tanyanya mengabaikan Rio. Rio lantas mencibir ke arahnya. Ia sedikit merasa tak menyenangkan karena pengabaian dari Ify. Sesungguhnya, berdebat bersama gadis itu mulai menjadi suatu kegiatan yang menarik baginya akhir-akhir ini. Dan dengan Ify yang acuh tak acuh, tentu membuatnya dongkol. “Oh iya hehe, sampai lupa. Aku Dea, Kak! Aku adiknya..”

“Dia adiknya temen gue. Ya kan?” Potong Rio cepat tanggap. Berbahaya kalau Ify tahu siapa Dea. Tak masalah juga sih jika Ify pribadi yang cuek. Tapi, masalahnya Ify ini sedang tinggi-tinggi kadar ke-sensitifannya. Mm, ngomong-ngomong, sejak kapan gue peduli? Ckck, gak papalah. Seterusnya juga kayak gitu akan lebih baik nanti. Batinnya. Lantas Dea menatapnya bingung. Teman? Yakin? Begitulah kira-kira yang hendak diisyaratkan gadis itu padanya. Rio mencoba meyakinkan dan membuat Dea menurut saja pada apa yang sedang dijalankannya. “Ya kan?” Tanya Rio lagi. Dea mengangguk meski tak yakin.

Bergantian Ify mengarahkan pandangan pada dua orang di depannya, yang sedang duduk bersebelahan. “Ooh..terus, tahu rumah gue dari mana?” Tanya Ify lagi. Raut wajah Dea mendadak aneh. Tangannya bergerak menjamah bagian samping lehernya. “Emm, aku..aku ta..ah aku tahu dari Tante Amanda! Iya, Tante Amanda yang ngasih tahu aku alamat rumah kakak.” Jelasnya. Ify manggut-manggut dan tersenyum ketika melihat Dea agak grogi seperti itu. “Hehe, santai aja lagi! Lo kayak stalker yang ketahuan dan diinterogasi, tahu gak?” Dea tersenyum sebisanya. Suasana sudah mencair kembali. “Eh kalian lagi belajar ya? Gue ke atas dulu deh ambil buku sekalian ikutan!” Katanya lagi dan beranjak dari kursi menuju tangga. Meskipun badannya masih belum membaik dan kini harus dibawa berjalan lagi. Dea mengangguk sementara Rio tersenyum meremehkan. “Gue jadi pengen liat, pinteran lo apa Dea. Tapi, kayaknya gue udah tahu deh jawabannya haha..”

Jalan Ify sempat menyendat namun kemudian melancar kembali. Tak lain tak bukan, kesendatan itu akibat celetukan Rio barusan. Ia jadi takut sendiri tak tahu kenapa. Ia takut, perkiraan Rio yang meskipun mungkin hanya main-main, akan terlaksana benar adanya. Ah, pikiran buruk, segeralah berlalu! Batinnya berharap-harap cemas. Ia menaiki satu-persatu anak tangga menuju kamarnya. Sebentar-sebentar ia harus duduk akibat badannya yang terasa semakin melemah. Lidahnya pun mulai memahit. Panas dingin sudah dideranya sejak tadi. Huuaa, jangan sakit doong??!! Sekuat tenaga ia mencoba mempercepat langkah sampai di kamar.

Bukannya mengambil buku, gadis ini malah mengambil ancang-ancang untuk berbaring di kasur. Empuk nan menggiurkan badan untuk menidurinya. Ify menghempas tubuhnya begitu saja. Menempati dengan cara ‘normal’ tak bisa dilakukannya saat ini. Yang penting, rebahan sajalah dulu. Pikirnya. Tangannya tanpa sadar meraba kening dan ia pun mengetahui bahwa sekarang badannya mulai hangat, belum memanas. Astaga, benarkah ia akan sakit? Hal itu begitu menakutkannya saat ini. Karena jika ia jatuh sakit, ia kesulitan mendapatkan seseorang yang mau merawatnya sampai sembuh. Papa? Laki-laki itu saja sedang terbaring tanpa bisa apa-apa di rumah sakit. Bagaimana bisa mengurusinya?

Lalu, Siti. Ia juga punya anak yang harus diurus di rumahnya. Siti tak tinggal di rumah Ify. Setelah pukul 6 sore, perempuan pekerja keras itu pulang kembali ke rumahnya. Ya, ia hanya berkerja kurang lebih selama 18 jam. Dari pukul 5 subuh hingga menjelang maghrib. Kasihan pula jika ia ditambah kerepotan. Ia juga pasti sudah lelah bekerja selama 18 jam itu. Sekarang, ia harus mengurus Ify? Memberi makan, memberi obat tepat waktu, menjaga agar panas dibadan gadis itu tak lagi meninggi? Hmm, kelima anaknya pasti akan jauh lebih membutuhkan perhatian-perhatian tersebut dibanding Ify sendiri.

Baiklah, lo gak boleh sakit ‘Alyssa’!! Batinnya penuh keyakinan. Ia lantas menegakkan diri dan mulai memilah-milah buku mana yang akan dijadikannya sebagai panduan belajar, bersama Rio dan tentunya Dea juga. Bukankah tadi kedua orang itu sedang membahas molaritas-molaritas ya? Ah, pasti mereka sedang diskusi soal kimia. Okey, chemist book, you’re so lucky today! Haha.. Ify berjalan atau lebih tepat hampir merangkak demi menggapai pintu. Sungguh, seberapa besar usahanya agar tetap baik-baik saja, tubuh mungil itu tak mau berkooperasi dengan baik dan justru makin lunglai. Shit! Umpatnya dalam hati.

Entah bagaimana cara dan lamanya, akhirnya Ify sampai di anak tangga yang pertama. Yah meskipun baru sampai disitu, namun rasanya sudah 2 kilometer jarak yang ia tempuh. Duduk sajalah dulu! Putusnya. Lantas ia duduk di anak tangga yang sedang dipijakinya. Buku kimia yang didekap di depan dada dan lutut menekuk sempurna menemani sorotan mata keirian ketika melihat 2 insan di ruang tengah rumahnya. Rio, tangan pemuda itu sekali mengacak rambut Dea dengan menyentilkan senyuman lembut ke arah gadis itu. Sedang Dea sendiri hanya menggaruk-garuk pipi disertai cengiran ringan dari mulutnya.

Siapasih gadis itu? Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ia mendalami makna pertanyaan ‘baik’ itu baik-baik pula. Namun, kejayaan pertanyaan itu hanya beberapa detik saja. Karena, setelahnya muncul pertanyaan lain. Yang kedengarannya jauh lebih ‘baik’. Kenapa harus muncul pertanyaan itu? Seiring lamanya muatan waktu yang diperlukan Ify, bertambah pula banyaknya pertanyaan yang masih berhubungan erat dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Ya, kenapa harus ada pertanyaan itu? Dan, kenapa harus gue pikirin? Satu lagi, apa gue berhak memikirkan pertanyaan itu? Soal-soal dalam kepalanya terus beranak-pinak atau bertunas atau menggandakan diri atau apalah istilahnya.

Rutukan untuk dirinya sendiri tak terelakkan lagi. Ia merutu sebal karena lagi-lagi ia seperti ini. Penuh dengan beban pikiran yang memberatkan, menjatuhkan bahkan hampir mengeroposkan tempurung kepalanya, mungkin. Rrr, kembalilah kepada Ify yang dulu! Polos dan tanpa beban! Batinnya miris. Sudah mengira keropos, tapi ia tetap saja memukuli benda vital yang menjadi penyalur soal-soal tak terjawab olehnya itu. Kepalanya seolah pasrah dan menerima saja perlakuan tidak menyenangkan -sebenarnya- darinya.

“Tinggal dimasukin ke rumusnya aja, index kali koefisien Cl dikali Ar-nya, dibagi Mr HCL terus dikali 100%..” Jelas Rio. Butuh kesabaran yang cukup besar dalam mengajarkan gadis di sebelahnya hingga mencapai tahap mengerti. Beruntunglah, ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini, khususnya pada Dea. Mengajari Dea adalah rutinitasnya setiap berkunjung ke rumah gadis itu. Setiap ia ingin bertemu dengan..ah sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Lo lagi open heart, Yo! Ingat itu! Peringatan seperti itu langsung berkumandang dalam dirinya. Menghebohkan diri hingga dirinya mau tak mau menurut. Ngomong-ngomong, dimana gadis yang membuat ‘kehebohan’ itu?

Penglihatnya langsung bergerak mencari dimana keberadaan Ify, si gadis ‘heboh’. Bayangan sosok Ify segera jatuh di bintik kuning matanya. Dengan itu, ia dapat melihat dan mengetahui gadis itu sedang duduk di anak tangga paling atas dengan tangan memukuli kepala. Seperti sedang merutuki sesuatu dan ia tak tahu apa itu. Dan sekarang, ia menjadi sangat ingin tahu apakah hal yang membuat Ify risau seperti itu. “Bentar ya!” Katanya pada Dea. Dea hanya mengangguk dan fokus pada buku catatan di meja. Daripada memendam rasa penasaran lebih lama, Rio lantas mengambil langkah menjumpai Ify. Entahlah apa yang akan dikatakannya nanti. Yang penting, menghampiri adalah hal yang harus ia jalankan terlebih dahulu. Tapi, semoga saja organ penyeru suaranya mendengungkan nada ramah untuk gadis itu.

“Ngapain lo?”

Ify berhenti sejenak dari kegiatannya dan menoleh pada orang yang hendak mengadakan pembicaraan dengannya barusan. Orang itu tersenyum miring tapi lebih terkesan menertawai apa yang ia lakukan. “Apa lo?!” Balasnya jutek. Rasanya seharian ini, Rio, orang itu sudah berulang kali mengajaknya ribut. Tak ada itikad baik yang pemuda itu lakukan untuknya. Jauh berbeda dengan perlakuan pemuda itu pada Dea. Begitu ramah, hangat dan kebahagiaan selalu terpancar baik diwajah gadis itu maupun dirinya sendiri. Gue, Yo! Sekali-sekali! Batinnya. Sudahlah, jangan menambah kegalauan. Ia lantas berdiri, melengos dari hadapan Rio. Badannya sudah cukup bertenaga karena beristirahat sebentar di anak tangga.

Rio memandanginya dari belakang seraya geleng-geleng kepala. Aneh! Batinnya. Ia lalu mengikuti Ify yang berjalan menuju sofa lagi dan duduk. “De, lo kelas X apa ya? Gue belum pernah liat hehe.” Tanya Ify. Dea mengangkat wajahnya yang semula tertunduk ke arah buku dan tersenyum sekilas. “Aku kelas XB, Kak!” Jawabnya sopan. Kebinaran menyibak mata Ify mendengar itu. “XB? Wah, dulu kakak juga XB!” Kata Ify semangat. Rio menoleh ke arahnya dan mendengus. “Heh, orang lagi belajar lo ajak ngobrol!” Katanya. Ify mencibir lalu dengan gerakan memaksa membuka lembaran-lembaran buku cetak kimianya. “Bad mood! Bad mood!” Gumamnya beberapa kali, sepelan mungkin agar tak mengganggu kefokusan orang-orang di depannya.

“Woy, ngomel mulu! Liat tuh si Dea, belajar dari tadi. Lo ngapain? Hah?” Dea yang merasa namanya disebut menoleh ke arah Rio dan Ify bergantian lalu kemudian menunduk merasa bersalah. Sepertinya, ia menjadi penyebab pertengkaran dua muda-mudi di kanan-kirinya saat ini atau mungkin sejak tadi. Ia memberanikan diri lagi menoleh ke arah Ify, tentunya dengan tatapan tak enak hati. “Emm..Kak..maaf..” Ujar Dea sekenanya. Ify terkesiap dan lantas menggeleng. “Eh gak papa. Lo gak salah kok. Lanjutin aja! Hehe..” Cengirnya pada Dea sementara mendelik tajam Rio. Rio menerima itu dan hanya mendesah tak peduli. Yo, Yo! Gue kasih tahu ya, sesungguhnya mendengar sesuatu yang tidak diharapkan dari orang yang diharapkan itu...nyesek! Ha.ha! Batinnya melanjutkan gumaman yang tidak diperkenankan Rio tadi.

Hachi!

Bersin Ify terulang kembali. Ia melirik ke arah Rio, setidaknya memastikan apakah ada sorotan kepedulian terselubung dalam pupil mata pemuda itu. Sejauh yang ia lihat, Rio bersikap biasa saja. Bahkan hampir tidak menyadari barusan ia bersin. Pemuda itu malah beralih pada Dea dengan menanyakan apalagi yang gadis itu hendak tanyakan kepadanya. Ify diam, berpikir sebentar. Gue beli obat aja deh! Putusnya. Dan itu artinya, ia harus memaksa tubuhnya agar kuat dibawa berjalan, lagi. Apotek tak cukup jauh dari rumahnya. Tanggung jika ia menggunakan mobil menuju kesana. Jalan saja mungkin sebentar sudah sampai.

Ify kembali ke kamar mengambil sweater. Badannya agak meriang. Diluar cuaca juga sedang mendung. Akan lebih baik jika tubuhnya sedikit terhangati oleh sweater putih agak tebal yang ia kenakan. Kakinya menuruni anak tangga cukup cepat. Sampai di ruang tengah, ia melirik ke arah Rio sebentar. Ah, pemuda itu bahkan tak sadar ada dirinya yang sedang diam-diam mengamati. Sudahlah, lanjutkan perjalananmu, Nak! Pikirnya. Pelangkahnya bergerak maju kembali dan sekarang ia sudah berada di luar rumah bahkan sudah keluar pagar. Jalan ke kanan atau kiri? Karena arah kiri adalah jalan menuju sekolah sementara tujuannya ialah hendak ke apotek, jadi pilih ke arah kanan saja.

***

“Hey, Nia! Jangan lari! Kembalikan jatah permenku!” Teriak Aga melihat Nia yang sudah berlari dan dengan lancang merebut 2 permen jatahnya yang diberikan oleh Lia. Nia menoleh ke belakang dan memeletkan lidah ke arahnya. Gadis itu tetap berlari kencang. Membuat Aga harus berlari pula mengejarnya dan mengambil permennya kembali. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Penghuni panti yang lain malah bersorak-sorai menyerukan nama mereka berdua. Masing-masing menjadi pendukung salah satu di antara Nia dan Aga. Yang cowok menyerukan ‘AGA’ sekerasnya. Yang cewek tentu tak mau kalah. Balik meneriaki ‘NIA’ semelengking mungkin sesuai jenis dan kapasitas suara. Nia dan Aga sendiri hanya tertawa melihat aksi tanpa komando dari teman-temannya sekaligus menikmati kegiatan yang mereka lakukan sekarang.

Hari cerah. Mengikuti suasana hati dari masing-masing penghuni panti Minuet. Lagi-lagi, Nia dan Aga mampu membangkitkan semangat serta membuat keceriaan menyeruak dalam diri mereka. Lia sendiri hanya geleng-geleng kepala melihat itu. Biarlah, daripada mereka sibuk memikirkan nasib malang mereka. Lebih baik mereka terus menyungging senyum seperti sekarang dengan gelora kebahagiaan dalam hati mereka. Sebagai orang tua, angkat, ia justru terbantu dengan adanya tingkah-tingkah menghebohkan dari 2 anak asuhnya itu. Karena sebenarnya, yang dapat mereka senang adalah mereka sendiri. Atau orang yang sepaham dengan jalan pikiran mereka.

“AAH!!”

Sebuah batu yang tak dilihatnya, membuat Nia harus jatuh tersungkur ke tanah. Seketika, segenap penghuni panti serentak menyerukan nama yang sama. “NIAA!” Teriak mereka, bukan senang tapi panik. Termasuk Aga. Ia berlari lebih cepat demi menghampiri Agni yang kini terduduk di tanah seraya menekuk lutut. Lutut Nia lecet dan memerah. Bahkan berdarah. Ia duduk seraya meniup-niup lututnya itu. Aga sampai di hadapannya dengan nafas satu-satu. Masih ngos-ngosan. Berdiri merunduk, tangan menumpu di lutut dan mencoba mengatur ritme nafasnya pelan-pelan. “Ni..Nia..kamu..kamu gak papa? Hah?” Katanya masih dengan nafas tersengal-sengal. Nia menoleh ke arah Aga dan malah tertawa melihat air muka lucu Aga saat ini. “Aku baik-baik aja, hehe. Kamu kenapa? Kok ngos-ngosan?” Tanyanya polos.

Aga menormalkan posisi berdirinya dan menatap Nia dengan kepala sedikit dimiringkan. Itu tandanya ia sedang bingung. “Kamu beneran baik-baik aja?” Tanyanya balik. Tawa Nia terdengar lagi. “Yaiyalah, kalau aku tidak baik, pasti bu bidan sudah datang untuk menyuntikku! Hehe..” Aga ikut tertawa mendengar itu. Benar juga! Pikirnya, dalam taraf berfikirnya yang masih anak-anak. “Tapi kakimu luka. Ayo, biar kubantu berjalan masuk ke dalam! Nanti biar sekalian aku obati.” Katanya. Gantian, sekarang Nia yang bingung. Mengobatinya? Memangnya Aga dokter? Tanyanya berulang-ulang dalam hati. “Kamu bisa? Nanti kamu salah suntik, bagaimana?” Katanya yang merasa agak takut.

Aga mendengar itu lantas berkacak pinggang dan lagi-lagi tertawa. “Kamu ini! Tidak semua luka diobati dengan suntikan! Kalau luka lecet seperti ini, aku sudah biasa menanganinya. Aku kan cowok, suka gerak-gerak dan sering jatuh. Aku sudah biasa mengobati lukaku sendiri.” Katanya menggebu-gebu dengan tangan yang sedari tadi menepuk-nepuk dada. Merasa bangga dengan apa saja yang ia katakan. Nia geli sendiri melihat itu. Ia hanya manggut-manggut mendengar penuturan anak laki-laki di hadapannya. “Ayo, biar kubantu!” Tawar Aga lagi. Ia kemudian membantu Nia berdiri dan memapah gadis itu hingga sampai di teras Minuet. Teman-teman mereka yang lain sudah cemas menunggu sedari tadi.

“Nia kamu kenapa?” Tanya salah seorang dari mereka yang terlihat paling panik. “Nia lutut kamu luka!!” Kata salah seorang yang lain seraya menunjuk lutut Nia yang berdarah. Ada satu lagi dan sedikit agak aneh. “Nia..Nia..” Cuma itu yang ia katakan. Yah, mungkin, faktor umurna yang masih anak-anak. Kalau terlalu cemas kurang bisa mengutarakan maksud dan tujuan secara jelas. Nia menggeleng dan tersenyum santai pada teman-temannya. Ia sendiri agak bingung, kenapa teman-temannya sepanik itu. Padahalkan mereka pasti sudah tahu, ia bukan seperti Rina, manja dan mudah tersentuh alias cengeng. Ia bahkan tidak secentil Sarah. Sifatnya tomboy dan mandiri. Jarang merepotkan orang lain. Tidak pernah mengeluh bahkan menangis pun jarang. Hampir tidak pernah malah. “Cuma luka sedikit, ini sih keciil!” Katanya meremehkan sekaligus membuat lega perasaan orang-orang di sekitarnya.

Aga masuk sebentar mengambil kotak P3K dan membawanya keluar. Ia menggeledah isi dari kotak tersebut. Memilih 2 dari seluruh benda-benda yang ada. Kasa dan bethadine. Ia menuang sedikit bethadine di atas kasa yang diambilnya. “Tahan ya!” Katanya mewanti-wanti agar Nia tak memekik nanti. Luka baru jika ditetesi bethadine memang agak perih rasanya. Dan ia sudah sangat mengetahui hal itu. Nia diam seraya memperhatikan apa yang Aga lakukan. Sekali lagi, ia tidak seperti Rina. Karena Rina mungkin sudah berteriak-teriak tak karuan sekarang. Memang, rasanya agak perih. Tapi, apa artinya rasa perih itu bagi Nia. Hampir tak terasa apa-apa baginya. “Sakit tidak?” Tanya Aga tanpa menoleh dan fokus memandang lutut Nia. Persis seperti bidan yang sedang menangani pasien, yang sering Nia lihat di puskesmas. Nia menggeleng yakin. “Gak terasa apa-apa!” Katanya.

“Benarkah? Perasaan, dulu saat aku luka, rasanya sakit sekali!” Celetuk gadis yang menjadi perbandingan Nia tadi, Rina. Nia tentu terkekeh mendengar itu. Tentu saja, kamu kan cengeng! Batinnya. “Sudah kubilang, ini hal keciiil!” Dengan jentikan jari ia mengatakan itu. Yang lain hanya mangut-manggut namun ada pula yang menggaruk-garuk kepala bingung. Salah satunya ya itu, Rina. Haha. Kasihan juga melihatnya seperti itu. Sementara Aga, yang tingkahnya sekarang bak seorang dokter, dengan telaten membaluri luka di lutut Nia dengan kasa yang ia beri bethadine tadi. “Nah!” Serunya karena merasa telah selesai. Luka dilutut Nia berubah warna sedikit agak merah kecoklatan karena dilumuri betadhine. “Gak ditutup pakai kasa?” Tanya Nia bingung diikuti anggukan kepala yang lain.

Aga tersenyum dan memasang tampang sok tahunya. “Luka kayak gini lebih baik dibiarkan terbuka. Sering terkena udara biar cepat kering.” Katanya masih dengan sikap sok tahu. Tapi memang benar sih. Teman-temannya termasuk Nia menganggukkan kepala lagi, kali ini karena mereka mengerti bukan bingung seperti tadi. “Aku hebat kan? Haha..” Bangga Aga. “Huuu..hahaa..” Semuanya berseru serentak lalu tertawa bersama. “Eh eh lagi ada apa ini? Kok ketawa-ketawa? Hehe, nih ibu bikinin pisang goreng untuk kalian!” Lia tiba-tiba datang dengan 2 piring pisang goreng seperti katanya. Ia menaruh piring-piring itu diatas meja teras.

Tak ayal, anak-anak langsung berkerumun di depan meja untuk mengambil satu dari sekian banyak pisang goreng yang ada. Bahkan ada yang agak rakus dengan mengambilnya lebih dari satu. Tapi, tidak dengan Aga. Melihat itu, ia jadi teringat kembali dengan jatah permennya yang dibawa kabur Nia tadi. Ia menoleh cepat ke arah Nia dan tersenyum miring ke arah gadis itu. Seakan-akan mengatakan ‘Mau kemana kau?’ dalam sirat matanya. Nia yang tak membutuhkan waktu lama untuk mengerti, lekas berdiri dan menyambung pelariannya. “HEY SISAKAN SATU UNTUKKU YAA!!” Pekiknya sambil berlari menjauh. Aga terkesiap melihat itu dan ikut berlari juga  mengejar Nia lagi. “UNTUKKU JUGA!! JANGAN DIHABISKAN!!” Teriaknya ikut-ikutan.

Yang lain hanya geleng-geleng kepala dan tak jarang tertawa. Sama halnya dengan Lia. Ia tak habis pikir dengan 2 anak itu, begitu dekat dan akrab. Seringkali bertengkar namun pertengkaran itu malah menimbulkan efek menakjubkan di Minuet. Mereka bukan pelawak, tapi mereka dapat dengan mudah membuat seluruh penghuni panti terbahak habis-habisan. Mereka bukan penyanyi, tapi teman-temannya senang sekali mendengar kicauan-kicauan lucu dari mereka. Bahkan tak jarang mereka disuruh bernyanyi berdua dan teman-temannya akan menjadi pendengar setia. Mereka juga bukan motivator, tapi merekalah yang membuat teman-temannya tak lagi bersedih akan keadaan. Mereka tidak melakukan ceramah panjang lebar, hanya dengan celotehan asal dari mulut mereka, tapi mampu menumbuhkan asa baru dalam benak setiap teman-teman mereka yang mendengar.

Mereka hanya anak-anak. Tapi, mereka anak-anak yang luar biasa, dengan pikiran biasa tapi kepribadiannya luar biasa. Mampu menggebukan hasrat luar biasa dari anak-anak yang bernasib tak biasa. Tapi, sekali lagi, mereka hanyalah anak-anak. “NIA AGA HATI-HATI!!” Pekik Lia. Aga dan Nia mengacungkan jempol ke arahnya. Seperti mengatakan ‘Okey’ pada peringatannya tadi. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat itu.

***

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar