-->

Senin, 03 Juni 2013

Matchmaking Part 21 Full

Seperti biasa, tek mengeteknya ntaran yaaaa --v Silahkan dinikmati~

***

“Jangan ganggu Ify.” ujar Rio tepat ketika gadis itu berada di sampingnya. Langkah gadis itu terhenti kembali.
Meski suara Rio pelan akan tetapi masih terdengar sangat jelas di telinga Angel, gadis itu. Keduanya serentak menolehkan kepala dan menatap satu sama lain. Rio menatap Angel datar sementara Angel menatap Rio bingung. Ify? Tanyanya membatin. Selama ini, ia belum pernah mengenal seorang pun bernama Ify. Kalau Fify ia tahu karena itu adiknya. Tapi kalau Ify, siapa ya? Angel tetap diam untuk beberapa saat lamanya. Ia masih memikirkan siapa manusia bernama Ify yang dimaksud oleh pemuda di sampingnya itu, yang sejujurnya juga tak ia kenal.

Tak sengaja mata Angel menangkap keberadaan Ify yang badannya sebentar-sebentar menyembul dari balik dinding tempat gadis itu bersembunyi. Alisnya terangkat satu. Ia bergantian melirik Rio dan Ify. Rio memperhatikan gerak mata Angel yang berubah-ubah. Ia menggerakkan kepalanya hendak menghadap ke belakang, mencari tahu apa yang sedang Angel perhatikan selain dirinya. Akan tetapi gadis itu cepat tanggap dengan menahan bahu kanannya. Ia pun kembali menatap gadis misterius di depannya kini.

Tak begitu lama, karena setelah itu ia menjatuhkan pandangan pada genggaman Angel di bahu kanannya. Kode agar Angel segera menjauhkan tangannya itu dari sana. Angel pun lantas menjauhkan tangannya dari pemuda itu. Boleh dibilang kepekaan Angel cukup baik. Ia mengambil ponselnya di kantong dan menghadapkan layar benda berbentuk petak tersebut ke wajah Rio. Rio memperhatikan bayangan yang muncul dari layar ponsel Angel dan tertampak di matanya sesosok perempuan di belakang sedang melihat ke arahnya. Atau lebih tepat mengintip keberadaan dirinya dan Angel. Ify?

“Maksud lo dia?” tanya Angel sepelan mungkin agar Ify tak dapat mendengar jelas. Dan benar saja, di belakang sana, Ify kesulitan sekali menangkap suara yang dikeluarkan Angel. Bahkan sedari tadi gadis itu tidak dapat mendengar apapun. Ia hanya dapat melihat gerak-gerik dari Rio dan Angel yang tidak wajar baginya. Dan kecurigaannya menguat ketika Angel menahan bahu Rio. Sejujurnya Ify ingin buru-buru angkat kaki. Akan tetapi, berlawanan dengan keinginan hati, otaknya memerintahkan kedua pelangkahnya agar tetap diam. Jadilah, dirinya masih tetap –berusaha- menguping pembicaraan Rio dan Angel sedari tadi.

Rio bergeming. Tanpa menjawab apa-apa, Angel dapat melihat pembenaran dari ekspresi wajah Rio. Angel tersenyum miring selagi memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantong rok. “Dia cewek baik-baik,” ujar Angel. Alis Rio terangkat sebelah. Ia tidak begitu mengerti maksud Angel. Angel mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Rio seperti ingin membisikkan sesuatu dan anehnya Rio tidak menghindar.

Dan hal itu membuat dentuman keras pada jantung gadis yang bersembunyi di balik tiang beton di belakang mereka. Penafsiran yang salah banyak berkutat dalam kepala gadis itu saat ini. Angel melihat benar perubahan yang terjadi pada wajah Ify. Ia hanya tersenyum. Bukan senyum licik ataupun senyum senang diatas kepiluan seseorang. Entahlah, dirinya hanya tersenyum. “Jangan ganggu Ify...keknya cewek rambut pendek itu juga pengen denger,”

Rio makin dibuat bingung. Tolonglah, gue bukan lo yang ngerti kode-kode-an. Setidaknya itu yang ingin diutarakannya dengan air muka seperti sekarang. Dengan kurang ajarnya –bagi Rio-, Angel berlalu begitu saja tanpa menuntaskan ketidakjelasan di benak Rio. Rio berbalik badan hendak memanggil kembali. Namun, keberadaan Ify yang terekspos di matanya secara otomatis mengubur niatnya dan justru memusatkan Rio pada gadis itu.

Ify menggeser posisinya ke sisi beton yang lain demi menghindari Rio yang dirasanya makin dekat ke arahnya. Ia memanfaatkan frekuensi bunyi langkah kaki Rio yang sampai tidak terdengar sama sekali sebagai tanda bahwa pemuda itu telah menjauh darinya. Hingga beberapa lama, bunyi langkah itupun terdengar senyap alias menghilang. Ify menghunus nafas keluar. Ada sedikit rasa lega di dadanya. Hanya sedikit, tentu saja karena ada hal lain yang membuat dadanya akan kembali bergejolak hebat, yakni hubungan antara Rio dan Angel.

“Ngapain lo?” Suara itu secara tiba-tiba menggema di telinga kiri Ify. sedikit membuatnya geli. Namun, sepertinya tidak begitu berefek. Yang membuatnya tergerak justru pemilik suara tersebut. Rio, yang kini berada di sampingnya, berdiri menyandar ke tiang dengan posisi menghadapnya. Ify terlonjak kaget dan sedikit mendorong badan bagian atasnya ke belakang. “Lo?!! Kok, lo?!! Isss!” Keterkejutan Ify lantas berujung pada kekesalannya dengan pemuda di sampingnya. Kenapa sih gue selalu ketahuan sama nih anak? Batinnya menggerutu.

Ify melirik sinis ke arah Rio yang memasang tampang polos di depannya. Ia kemudian melangkah pergi dengan hentakan-hentakan keras dari kaki yang ia sengaja buat sebagai akibat kekesalannya yang mulai beranak-pinak saat ini. ia terus-menerus menggerutu, mengumpat sebal sepanjang kakinya melangkah. Sementara Rio yang kini telah dalam posisi berdiri tegap memperhatikan sejenak pergerakan Ify yang menjauh. Gadis itu terlihat lucu dengan caranya mengungkap kekesalan. Rio tak ayal tersenyum tertahan, menahan kekehan kecil dari dalam dirinya. Tak banyak menghabiskan waktu, ia lekas menyusul Ify yang sudah berjalan cukup jauh darinya.

***

Dua sejoli ini saling diam. Tidak ada saling pandang dan tidak ada balas bicara. Mereka hanya berjalan melalui jalur masing-masing bersama angin yang berhembus sopan mengirama seiring langkah Ify dan Rio. Ify malas buka suara. Takut-takut kalau pemuda di sebelahnya justru akan terganggu jika diajak bicara. Apalagi yang mengajak bicara itu dirinya. Yaah mengingat riwayat pertemuan mereka bilamana Rio selalu menunjukkan sikap kesal padanya, apapun itu yang ia lakukan. Termasuk mengajak bicara.

Sementara Rio, ia tak jauh beda. Pemuda itu ikut-ikutan juga malas buka bicara dengan alasan yang sama, karena takut Ify terganggu. Ia takut lidahnya bertindak kurang ajar sehingga mengeluarkan kata-kata tidak mengenakkan, khususnya untuk Ify seperti yang sudah biasa ia lakukan ketika bertemu pandang dengan gadis itu.
Huft..

Tanpa sengaja, Ify dan Rio menghela nafas bersamaan. Lantas, mereka pun menoleh satu sama lain. Tak lebih dari tiga detik, gelak tawa dari mereka berdua terdengar. Lucu, iya, lucu. Ketidaksengajaan yang geram akan ke-tidak-mau-mengalah-an Ify dan Rio yang akhrinya mengambil langkah pertama menyempil di antara mereka berdua. Yang sekaligus telah berjasa membuat Ify dan Rio tak perlu susah-susah menentukan siapa yang harus memulai pembicaraan duluan.

Diam-diam Ify memperhatikan Rio di sela-sela tawa ketika pemuda itu tidak melihat ke arahnya. Ia menyadari perasaannya pada pemuda itu belum sepenuhnya hilang. Bahkan sepertinya sedikitpun tak ada yang melarikan diri. Semuanya masih tertata rapi di sudut hati kecilnya. Kapaaan gue bisa ngelupain lo, Yo? Kapaaan? Desis Ify pelan dalam hati. Jangan sampai terdengar, atau lebih tepat terbaca oleh Rio. Ia sudah bosan dengan aksinya yang selalu tertangkap basah oleh pemuda itu.

“Kenapa ngeliatin gue gitu?” ujar Rio tiba-tiba. Ify terperangah dan memalingan wajah segera. Baru aja gue bilang. Ck!

“Hah? Enggak...heran aja lo ketawa pas sama gue, haha” Ify tertawa lagi. Tidak terlalu membual, karena sejujurnya ia lumayan surprise dengan Rio tertawa, bersamanya. Tolong di bold kata itu, bersamanya.
Rio menoleh ke arahnya dengan wajah menuntut penjelasan. Ify melihat itu dan lantas melanjutkan setelah menyelipkan beberapa helai rambut yang melewati daun telinganya. “Lo itu, ketika sama gue, kalo gak jutek, ya marah-marah. Mana pernah senyum apalagi ketawa,” Ia tertawa lagi, begitu pula Rio. “Lo inget yang jelek-jelek dong sih!” balas Rio setelah tawanya meredam. Ia tersenyum miring. Tak ada maksud apa-apa, ia hanya tersenyum.

“Namanya juga manusia. Yang jelek-jelek pasti cepet ketanem, paling sering di inget dalam otak!” Sahut Ify. Setelah itu, tidak ada yang bersuara. Kembali hening seperti awal perjalanan bersama mereka berdua. Beberapa langkah berjalan, Rio kemudian mengalah dan memulai pembicaraan lagi. Kali ini, ia tidak membiarkan ketidaksengajaan mengambil alih suasana. “Om Ferdi gimana? Ada perkembangan?” Nada suaranya terdengar santai namun serius.

Ify perlahan menghentikan langkahnya. Rio mau tak ikut berhenti. Sejurus kemudian Ify melangkah lagi meski lebih lambat dari langkah sebelumnya. Rio pun begitu. Ify sedikitpun tak menunjukkan air muka sedih atau khawatir. Ia tersenyum tenang seraya mengedikkan bahu. “Hmm, ga banyak yang bisa diharepin. Gue cuma bisa doa aja semoga papa bakal terus baik-baik aja.” kata Ify setenang senyumnya sembari menghela nafas ringan.

Rio memperhatikan Ify lama meski Ify tidak balik memperhatikan. Tidak memperhatikan bukan berarti tidak merasakan, kan? Ify tak langsung menoleh. Ia membiarkan Rio sejenak ‘menikmati’ wajahnya sekaligus menormalkan jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak kencang. Kenapa lagi kalau bukan karena Rio? Ia lalu merunduk dan kemudian berpaling memandang Rio. belum sempat kepalanya tertoleh, tangan Rio lebih dulu merangkulnya. Menariknya lebih dekat ke pemuda itu.

Ify tak jadi menoleh. Pipinya sedang merah-merahnya. Ia khawatir Rio akan menertawakannya jika melihat rupa wajahnya saat ini. Maka dari itu, ia jadi tak berani memalingkan wajah dan tetap merunduk. Sekali lagi, tidak memperhatikan bukan berarti tidak merasakan. Rio menyadari membekunya tubuh yang ia rangkul. Ia lantas tersenyum geli. “Lo kayak baru pertama kali gue rangkul aja!” polos Rio.

Ify membeku lagi. Namun, kali ini alasannya berbeda. Lama-lama pemuda di sebelahnya itu makin menyebalkan.  “Lo!” sentaknya pelan. Ia ‘mengusir’ kasar tangan Rio dari bahunya serta menyikut pinggang Rio pelan. Rio tak lantas menjauh. Ia memegang bahunya sebentar lalu menyusul Ify yang sudah berjalan lebih dulu. Ia kembali meletakkan tangannya di bahu gadis itu. Meski mendapat penolakan keras dari sang pemilik, akan tetapi tangannya terus lengket disana. atau mungkin sengaja dilengketkan.

Dan tampaknya, Ify tak benar-benar ingin ‘mengusir’ tangan itu dari bahunya. Ia mengulum senyum tanpa sepengetahuan Rio. Dasar nyebelin! Desis Ify dalam hati, lagi. Namun, tak sampai disitu. Rio kembali berujar sok polos. Dan kali ini benar-benar..

“Gue cium aja lo gak masalah!” bisik Rio tepat di telinga kiri Ify. Ify berhenti seketika dan memekik keras. “RIO!” Sejurus kemudian, ia menghadiahi Rio cubitan sekaligus pukulan di pinggang dan bahu pemuda itu. Rio tak menghindar hanya meletakkan kedua tangannya di depan menahan pukulan Ify yang makin lama makin ganas. Ia terkikik senang. Ia sangat-sangat menikmati pemandangan tingkah laku Ify yang sedang kesal. Sepertinya, ia sudah terlalu lama tidak menyaksikan suasana seperti ini lagi. Hhh gadis ini!

“Ify!”

“Kak Rio!”

Cengkrama hangat itu kemudian berakhir ketika sebuah suara, bukan, tapi dua buah suara memanggil nama mereka masing-masing. Gerakan tangan Ify berhenti dalam genggaman tangan Rio. keduanya menoleh ke sumber suara, menatap dua orang yang telah mengganggu ‘urusan’ mereka. Tanpa sengaja, mereka kembali menghela nafas bersamaan. Keduanya menyadari itu dan kemudian memandang satu sama lain. Ify tak berlama-lama mengambil kesempatan bertatapan dengan Rio meski ia sangat menginginkan itu. Ify menarik tangannya dan beralih merapikan seragam yang ia kenakan.

Sementara itu, Rio mendengus kesal. Ia mengutuk kedua manusia kurang ajar –menurutnya- di depan sana, Debo dan Dea. Dan yang lebih membuat kesal adalah mengapa mereka harus datang bersamaan? Kalau hanya Debo atau Dea yang datang, ia akan lebih mudah mengambil alih Ify atau mengajak Ify tetap bersamanya. Tapi kalau main keroyokan seperti ini, ia akan susah mendapatkan alasan mempertahankan Ify apalagi hubungannya dengan gadis itu sedang tidak terlalu mendukungnya saat ini.

Tapi tunggu. Kenapa dirinya begitu menginginkan Ify? Sejak kapan? Pikir Rio seketika. Namun, untuk kali ini, hembusan angin berhasil membawa lari pertanyaan yang belum terjawab itu sehingga kembali memusatkan pikirannya pada bagaimana cara agar Ify masih berada dalam ‘kuasa’nya.

“Ganggu aja sih,” gerutu Rio pelan. Samar-samar Ify mendengar orang di sebelahnya seperti mengeluarkan suara. Ia menoleh bingung. “Hah?” sahut Ify sekenanya. Rio menoleh sebentar lalu melihat ke arah Debo dan Dea lagi. Tanpa pesan dan aba-aba, Rio langsung meraih pergelangan Ify dan membawa lari Ify dan dirinya sendiri dari Debo serta Dea. Ify yang tak tahu-menahu bahwa Rio akan membawanya berlari hampir saja terjatuh. Beruntung karena tarikan Rio tidak terlalu keras sehingga ia masih mampu mengendalikan berat tubuhnya.

Di seberang sana, Debo dan Dea serentak memanggil Rio dan Ify. Entah suara mereka yang terlalu minim volume atau dua sejoli itu yang sengaja tak mengindahkan, Rio dan Ify sama-sama tidak menoleh dan terus saja bergerak menjauhi mereka. Debo dan Dea saling berpandangan sebentar, lalu kemudian berlari mengejar Rio dan Ify. Dasar anak-anak, gemar sekali bermain kejar-kejaran. Ckckck..

***

Sesosok gadis kecil manis dengan dress merah muda melekat di tubuh mungilnya berdiri sangat jauh dari Cakka. Cakka melangkah satu demi satu mendekat ke arah gadis itu. Wajahnya cukup terlihat jelas sekarang dibanding ketika pertama kali sosok itu muncul. Wajah itu tak asing. Ia merasa pernah melihat pandangan mata khas milik gadis itu. Dan, entahlah, ia juga tidak tahu. Ia tiba-tiba saja merasakan kerinduan yang tak bisa dibilang biasa –mengingat kemunculan rasa rindu itu sendiri yang sudah tidak biasa- ketika gadis itu menyerukan namanya. Bahkan kakinya tanpa perintah bergerak terburu-buru mendekat ke arah gadis itu.

Namun, sebersit perasaan takut pun kemudian mengendap di hati Cakka. Bukan karena gadis itu menakutkan, tapi karena dirinya merasa ini adalah hari terakhir untuk dapat bertemu gadis itu. Ia merasa gadis itu akan pergi meninggalkannya. Dan yang lebih menyakitkan, gadis itu melupakannya.

Ketika jaraknya dengan gadis itu cukup dekat, gadis kecil itu melambaikan tangan dan tersenyum tenang ke arahnya. Cakka terlonjak. Tak ada seorangpun yang bisa tersenyum semenenangkan itu terhadapnya. Bahkan kekasihnya, Febby. Hanya gadis ini. Dan itu mengingatkan Cakka pada seorang gadis dimasa lalu, gadis kecil yang dulu menyelamatkannya dari dingin hujan dan kesendirian. Dan setelah itu menjadi tanda keberadaan dirinya. Dimana gadis mungil itu, disitu pula lah dirinya, Cakka, si Aga kecil. Ya! Gadis itu. Pasti dia! Gadis itu, teman tersayangnya, Nia.

“Cari aku ya!” Sedikit lagi tangan Cakka bisa meraih Nia, Nia lebih dulu berlari menjauh darinya, lebih tepatnya bersembunyi. Dan dalam satu jentikan jari, Nia sudah menghilang dari pandangan. Sekeliling Cakka mendadak kosong. Tidak ada orang, tidak ada barang, hanya dirinya sendiri. Tidak! Ia tidak ingin itu terjadi. Ia tidak ingin saat ini menjadi saat terakhirnya berjumpa dengan Nia. Tidak! Tidak boleh!

“Niaaaa! Niaaaaaa!!” Cakka merunduk sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah. Sejurus kemudian ia kembali berdiri dan melihat sekeliling. Seketika, ia merasa pandangannya berputar-putar seperti sedang berdiri pada suatu lingkarang yang berputar. Namun, tak sampai hitungan ke sepuluh, tiba-tiba cahaya di tempatnya berada lenyap dan yang ia lihat hanyalah....

JDUK! (?)

Cakka refleks membuka mata ketika sebuah bola basket mengenai kepalanya di bagian samping. Bola itu bukan secara sengaja di arahkan kepadanya, melainkan akibat pantulan dari papan ketika Agni berniat memasukkannya ke ring. Rekan-rekan Agni yang lain yang juga sedang bermain disana melihat dan mengakak geli. Bisa-bisanya Cakka tertidur ketika sedang duduk dan bangun secara terpaksa karena dibangunkan dengan tidak normal. Anehnya, bukan Cakka, akan tetapi justru Agni yang meringis. Antara merasa bersalah dan ingin ikut tergelak bersama dua rekannya tadi.

Cakka menggerak-gerakkan kepalanya cepat ke kanan-kiri. Mencoba memperdalam kesadarannya. Separuh isi dalam botol air mineral di sampingnya di tumpahkan ke kepala dan seluruh bagian wajah. Lumayan menyegarkan. Ia membuang botol mineral yang sudah kosong itu asal lalu berjalan mendekati Agni beserta rekan-rekan lain setelah mengambil bola yang menciumnya tadi.

Bukannya membagi bola, Cakka hanya memainkan benda bundar itu sendiri. Ditambah lagi, sejak berkonsentrasi bermain sendirian, pemuda itu tidak bicara sama sekali. tidak bisa dibilang berkonsentrasi juga, karena Cakka hanya asal melempar bola. Alhasil, bola itu melayang tanpa arah dan lumayan merepotkan dirinya karena harus berlari mengejar, menangkap lalu melemparnya kembali, mengejar lagi, menangkap lagi serta begitulah seterusnya.

Rekan-rekannya yang lain saling berpandangan bingung. Sementara itu, Agni yang kelihatan paling cemas. Apa Cakka seperti itu karena lemparan bolanya? Apa lemparan bolanya terlalu keras hingga terdapat pergeseran di otak Cakka alias geger otak? Atau, Cakka marah padanya karena telah melempar bola sembarangan dan menganggu tidurnya? Apa tadi Cakka sedang bermimpi indah sehingga sampai begitu marahnya? Atau justru mimpi buruk? Tapi kalau mimpi buruk, harusnya Cakka berterimakasih padanya, dong?

Agni mendesah berat. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang kompak mengeroyoknya saat ini. Ia lantas garuk-garuk kepala tak mengerti. Cakka kenapa sih? Pertanyaan itu akhirnya muncul sebagai penutup dan sekaligus menghentikan keroyokan pertanyaan yang terjadi dalam benaknya. “Helooo kita tembus pandang ya? lo gak niat ngajak kita-kita?” celetuk Agni kemudian. Yang terpikir di kepalanya hanyalah mengajak Cakka bercanda. Meski ia tahu ia bukan seorang yang pandai berguyon, tapi setidaknya, mencoba itu lebih baik. Pikirnya. Terbukti, candaannya memang tidak seperti candaan sesungguhnya. Lebih tepat kalau itu disebut keluhan.

Cakka yang ketika itu posisinya hendak melompat seketika menghentikan geraknya dan mengurung niat untuk melempar bola ke ring. Ia menoleh ke arah Agni sembali memantul-mantulkan bola ke lantai semen lapangan basket. Sorotan mata Cakka kali ini tak bersahabat, jauh dari biasanya. Agni mendadak merinding. Jika tebakannya benar, pasti sekarang Cakka akan marah-marah dan bilang ‘becandaan lo garing’.

Cakka menatap Agni lama, lalu tiba-tiba saja mengoper bola basket di tangannya pada gadis itu. Agni yang kaget lantas menangkap bola semrawutan (?) meskipun bola tersebut berhasil ia raih. Ia diam menunggu Cakka bicara. Tapi, pemuda itu justru berlalu begitu saja tanpa menjelaskan maksud pemberian bola ini padanya. Sekaligus meninggalkan dugaan kebenaran atas beberapa pertanyaan yang mengeroyok Agni sebelumnya. Cakka kenapa sih? Tanyanya untuk yang kedua kali, dalam hati.

***

“Cakka! Woy! Cakka!” Entah sudah berapa kali Agni menyerukan nama Cakka namun tak kunjung pemuda itu berhenti dan berbalik badan merespon panggilannya. Jangankan berbalik badan, menoleh saja tidak. Apa mungkin suara Agni yang sudah menggema di sepanjang koridor masih belum menggetarkan gendang telinga Cakka? Agni harus menarik nafas beberapa kali. Tenaganya lumayan terkuras karena berlari sambil berteriak.
“Cakka! Berenti kenapa sih?!” kata Agni akhirnya, setelah lelah mengejar Cakka yang tak kunjung -mencoba- menyahut panggilannya. Alhasil, Cakka pun mau tak mau berhenti dan menoleh ke gadis yang kini sedang kerepotan mengatur nafasnya. Agni melangkah mendekati Cakka. Ia harus menengadahkan kepalanya agak dalam dikarenakan tinggi badan Cakka yang melebihi puncak kepalanya. “Lo pura-pura budek ya?” rutunya langsung.

Bukannya menjawab, Cakka hanya memandanginya sejenak lalu kembali berjalan. Agni melongo seketika namun tak lama karena setelah itu ia langsung menyusul Cakka sebelum sempat melangkah lebih jauh. “Cakka! Woy! Lo beneran budek ya, hah?” rutu Agni kembali. Cakka tetap bergeming. Ia melangkah seakan tak ada seseorang di sebelahnya, menemaninya atau bahkan mengajaknya bicara. “Cakka!” kata Agni belum menyerah. Ia yakin kali ini pemuda itu pasti menyahut.

Benar saja, Cakka lekas berhenti dan menoleh ke arahnya. “Apa?” Sahut Cakka tak bersemangat. Ia merasa kepalanya agak berdenyut. Mungkin karena lemparan bola basket yang mengenai kepalanya tadi. Atau, jangan-jangan karena..

“Lo kenapa sih? Lo marah sama gue?” kata Agni langsung. Ia takut jika ia mendahulukan basa-basi, maka hanya akan dianggap basi dan Cakka akan tetap tak mengacuhkannya. “Enggak.” Balas Cakka singkat. Pemuda itu lagi-lagi melanjutkan berjalan sebelum Agni memuaskan diri berbicara dengannya. Agni kembali harus mengalah dan menyusul pemuda itu. “Gue belom selesai ngomong kali! Main tinggal aja.”

Cakka diam tak membalas. Agni menatapnya bingung. Tak biasanya makhluk di sampingnya ini tenang dalam diam dan sulit diajak berbincang. Apa Cakka benar-benar geger otak? Apa efek lemparannya sampai separah itu? Batinnya bertanya-tanya. “Atau jangan-jangan kepala lo kenapa-kenapa gara-gara bola tadi? Sini gue..” Cakka menghindar dari sentuhan tangan Agni. Ia menatap Agni seakan hendak berkata ‘Gue baik-baik aja dan gaperlu sepanik itu!’

“Iyadeh, iya,” sahut Agni melunak. Mereka lalu berjalan bersama keheningan beberapa saat. Karena setelahnya, Agni mengulang kicauannya. “Diem mulu lo! Lo kerasukan ya? Ayo, ngaku! Siapa lo? Siapa? Pasti bukan Cakka kan? Ngaku lo! Ngaku!” Tuduh Agni seraya menyenggol lengan Cakka beberapa kali. Siapa tahu dengan cara ini, Cakka akan tergugah dan pemuda itu yang sesungguhnya dapat muncul kembali ke permukaan.

Tapi sepertinya, perkiraan Agni agak meleset. Cakka kelihatan tetap tidak tertarik bahkan seperti terganggu oleh sikap Agni. Ia berhenti dan memandang Agni cukup sebal. “Gue. Cakka.” Katanya datar namun tegas. Ada sedikit penekanan yang menandakan ia mulai kesal. Ia lalu berjalan lagi dan begitupun Agni. Agni menghela nafas. Ia habis ide untuk ‘menghidupkan’ Cakka. Cakka lo kenapa sih? Pertanyaan itu tak habis-habisnya mengobrak-abrik isi kepala Agni.

“Ni..” Ya! Sebuah keajaiban terjadi. Hal yang ditunggu-tunggu Agni sejak tadi. Cakka mengajaknya bicara. Gini kek daritadi! Elaah! Ujarnya dalam hati. Ia menoleh dan menatap pemuda di sampingnya. Menunggu pemuda itu melanjutkan bicara, meski tanpa balik menatap ke arahnya. “Gue lagi pengen sendiri..” Ujarnya lemah. Sedikit banyak Cakka menyadari Agni bisa saja tersinggung karena ucapannya barusan jika penyampaiannya salah. Maka dari itu, ia agak mengecilkan volume suaranya.

Agni tak langsung menjawab. Ia cukup lama hanya diam menatap Cakka. Karena tak kunjung direspon, Cakka mulai bergerak untuk melanjutkan jalannya. Namun, tak sampai satu langkah itu sukses, Agni menyahut. “Jadi, lo beneran marah sama gue?”

Dua kali. Batin Cakka. Ia mulai bosan dengan pertanyaan Agni yang satu ini. Okey, mungkin caranya menjawab sebelumnya belum bisa dipercaya gadis itu. Ya, mungkin begitu. “Enggak..sama sekali enggak.” Jawab Cakka. Agni diam dan memperhatikan lagi. Cakka tak lantas melanjutkan berjalan. Ia tahu, gadis di belakangkan belum selesai bicara. Karena itu, percuma jika ia tetap melanjutkan berjalan. Agni pasti akan menahannya.

“Lo kenapa?”

“Gak kenapa-kenapa.” Cakka masih menjawab tanpa balas memandang Agni. Dan di belakang sana, Agni masih belum menyerah. “Lagi ada masalah?” tanyanya kembali.

Kali ini, Cakka berhasil dibuat Agni menoleh. Hanya sedikit dan itupun sekilas. Ia lantas berkata datar. “Bukan urusan lo.”

Iya, bukan urusan gue. batin Agni membeo. Ia tak lama menjeda waktu, karena Cakka juga pasti tak ingin berlama-lama bersamanya. Seperti yang pemuda itu bilang, dirinya ingin sendirian. “Oh, okey. Gue juga cuma mau minta maaf doang. Sorry ya, soal bola, gue gak sengaja.” Kata Agni tenang. Cakka tak menjawab. Oke, diam artinya iya. Pikir Agni. “Gue duluan kalo gitu.” Tanpa peduli Cakka menyahut atau tidak, Agni lekas berlalu.

Ada seberkas goresan dirasa Agni dalam dirinya. Hatinya dikecewakan oleh satu kalimat yang baru saja keluar dari mulut Cakka untuknya. ‘Bukan urusan lo.’. Ternyata Cakka belum nganggap gue siapa-siapa. Gue kira dengan sikap dia yang gak jarang nyamperin gue, kepo soal kehidupan gue belum bisa buat dia nganggep gue temen dia. Ya, gue bukan siapa-siapa. Dan mungkin emang dia bukan Aga-nya Nia, Aga gue yang gue cari selama ini. Kecurigaan gue Cuma kebetulan. Agni, Agni! Kalung kayak gitu pasti di produksi lebih dari seratus, dan ada lebih dari seratus kalung imitasi kayak gitu. Yaampuuun! Betapa bodohnya gueeee!

Sementara itu, Cakka memandangi punggung Agni lekat. Ia menggeleng pelan. Akhirnya gadis itu melenggang pergi juga. Pikirnya. Dasar gadis kalung! Ia lantas kembali berjalan setelah raga Agni tak lagi bisa ia perhatikan.
Satu...Dua...Tiga...

Tepat di langkah ketiga, pemuda itu berhenti. Berdiri diam sambil memikirkan sesuatu yang baru saja terlintas dipikirannya. “Kalung?”

***

13.03. Begitulah angka yang muncul di jam tangan digital milik Rio yang tersemat di tangan kirinya. Sesuai dengan janjinya pada Ify, ia akan menjemput gadis itu disini tepat pukul satu siang. Yah meskipun telat 3 menit. Kakinya sudah melangkah memasuki Kenko yang sepertinya tidak begitu ramai siang ini. Baguslah. Tidak baik juga kalau ramai. Berisik. Kasihan pasien disini, pasti akan terganggu. Namanya juga lagi sakit, pasti butuh ketenangan. Pikirnya. Entah kenapa hari ini ia menjadi lebih peduli pada apa yang dirasakan pasien Kenko.

Rio kemudian sampai di depan pintu kamar rawat inap Ferdi, Papa Ify. Ia memutar gagang pintu tersebut pelan. Takut-takut jika Ferdi sedang tidur dan terbangun karena kedatangannya. Baru sekitar sekilan pintu terbuka, Rio berhenti seketika ketika mendengar suara dari orang-orang yang ia kenal. Bukan Ferdi apalagi Ify, akan tetapi...

“Rio?”

Ferdi agak kaget akan kemunculan Rio dari balik dinding dekat pintu kamarnya. Rio sendiri juga terlihat sama kagetnya apalagi melihat kedua Zeth dan Amanda turut pula berada disana. “Rio?” ulang Amanda. Ia menyambut anak sulungnya itu bingung sekaligus senang. Rio kemari tanpa ditemani Ify . Itu artinya, Rio datang atas keinginannya sendiri. Suatu pertanda bagus karena hal itu menunjukkan bahwa Rio sudah bersedia menerima perjodohan antara dirinya dan Ify.

Rio tersenyum memberi salam pada Ferdi lalu menatap kedua orangtuanya bingung. “Mama sama Papa kok disini?” tanyanya langsung. Zeth seketika tertawa mendengar pertanyaan anaknya itu. “Emangnya cuma kamu sama Ify doang yang boleh? Papa ini temen Om Ferdi juga!” katanya sedikit menggoda Rio. Amanda dan Ferdi ikut tertawa mendengar kata-kata Zeth barusan. Sementara Rio mengusap tengkuknya karena bingung harus bersikap bagaimana.

“Om yang ngundang Papa sama Mama kamu kesini, Yo.” Kata Ferdi menengahi. Ia memperbaiki posisi tidurnya menjadi agak tegak dan menyandar pada bantal. “Iya, Yo. Om Ferdi ini rencananya mau nitip Ify untuk sementara waktu ke Mama dan Papa soalnya pembantu di rumah Ify mau pulang kampung sebulan lebih, ibunya lagi sakit.” Amanda menambahkan dengan mata berbinar. Rio mengernyit, agak tidak mengerti maksud perkataan ibunya. Nitip? Gumamnya membatin. Tak perlu susah-susah bertanya karena Amanda kemudian mengatakannya sendiri.

“Jadi, Ify bakal tinggal di rumah kita sampai sebulan ke depan atau sampai pembantu di rumahnya balik kerja.” Rio diam tak berkomentar. Ada sesuatu yang aneh yang kini ia rasakan. Memang benar akhir-akhir ini, ia terkesan sedang memperbaiki hubungannya dengan Ify. Dan dengan tinggalnya Ify di rumahnya, akan jauh mempermudah usaha Rio agar gadis itu kembali ‘berpihak’ kepadanya. Aneh, kenapa gue mesti ngerasa kesel? Ah bukan kesel sih, tapi...entahlah.

***

Gadis tembem yang satu ini menatap cermin di depannya sekali lagi. Memeriksa penampilannya sekali lagi yang mungkin jika dihitung sudah yang ke-16 kali Pricilla melihat rupanya di cermin. Disetiap kali penglihatannya tersebut, pasti ada saja yang salah. Mulai dari poni rambutnya yang tidak berjajar rapi, kantung mata yang sedikit gelap dan matanya yang belum terlihat kecoklatan, bibir yang masih terlihat kering, kancing baju yang masih terbuka satu bahkan rok pendeknya yang menurutnya masih kepanjangan.

Bukan tanpa alasan Pricilla berdandan maksimal seperti ini. semua itu ia lakukan karena seseorang yang akan ditemuinya sebentar lagi. Gabriel! Ya, untuk pertama kalinya pemuda itu mengajaknya jalan. Kenapa bisa pertama kali? Karena yang ada selama ini hanya Pricilla-lah yang selalu memburu, membujuk bahkan memaksa Gabriel agar mau menghabiskan waktu dengannya. Maka dari itu, Pricilla mengerahkan seluruh kemampuan girly-nya agar hari ini bukan menjadi yang pertama dan terakhir kali kekasihnya, Gabriel, mengajaknya jalan.
Kalo kata Damian tuh, sempurna! Hihi! Ucap Pricilla dalam hati. Ia mengambil tas pink soft yang tergeletak di pinggir kasurnya. Untuk yang terakhir kali, ia berdiri di depan cermin. Senyumnya mengembang lebar.

“I’m ready!!!”

***

Pricilla melenggang pasti masuk ke dalam mini cafe dalam mal tempat ia berada, tempat dimana Gabriel –mungkin- sedang menantinya sekarang. Ia meremas tali tas nya pelan dan tersenyum yakin seraya menggelengkan kepala sedikit ketika kakinya baru saja melangkah melewati pintu masuk cafe tersebut. Matanya perlahan menyusuri meja-meja yang ada yang kebanyakan sudah terdapat penghuninya itu. mencari-cari tanda keberadaan Gabriel saat ini.

Sementara itu, dua sejoli yang juga berada di cafe yang sama dengan Pricilla terlihat sedang mengadakan perdebatan kecil. Si gadis yang senantiasa mempertanyakan kepastian tindakan dari si pemuda dan tak lupa membujuk pemuda itu agar segera berhenti sebelum semuanya tidak bisa lagi dihentikan. “Yel, ini yang terakhir. Gue minta lo batalin deh rencana lo. Ini ga normal Yel, sama sekali enggak!” Bujuk Via untuk kesekian kalinya.

Dan untuk kesekian kalinya pula, Gabriel bergeming dan tak mengacuhkan sedikitpun desakan-desakan gadis itu padanya. “Justru kalo gue stop sekarang, takutnya gue bakal gabisa-bisa stop kedepannya. Rela lo?” Iel membuat keningnya bergelombang seraya menantang Via. Mata Via yang lumayan sipit karena tekanan pipi seketika membesar, berikut dengan rona merah muda yang membias wajahnya. “A-apa? Rela? Ya jelas rela-lah! Apa alasan gue buat gak rela, coba? Gaada kan?” sewot Via. Lagi-lagi Gabriel bersikap tidak peduli. Terbaca dari gerakan bahunya seperti mengatakan ‘Yadeh, terserah.”. Via melipat kedua tangannya di dada dan merengut sebal.

Sementara itu, Pricilla yang beberapa menit lalu kebingungan mencari dimana keberadaan Gabriel akhirnya berhasil menemukan pemuda itu sedang duduk agak dipojok cafe. Akan tetapi, pemuda itu tidak sendirian melainkan bersama seorang gadis berambut sebahu kurang di sampingnya. Gabriel sama siapa? Tanyanya membatin. Boleh diakui, ia sedikit kecewa dengan tidak sendirinya Gabriel itu. tapi, sudahlah, yang penting ia akan menghabiskan seharian ini bersama Gabriel. Yes!

“Pris!” gabriel melambai tangan pada Pricilla yang berjalan mendekat. Gadis itu membalas dengan senyum senang. Di samping Gabriel, Via melihat gadis yang sebentar lagi menjadi mantan Gabriel itu bersalah. Setidaknya, dalam kepala Pricilla mulai nanti hingga tak tahu kapan, dirinya merupakan saksi sekaligus orang paling jahat yang telah menyebabkan perpisahan antara gadis itu dan Gabriel. Via memalingkan kepalanya cepat dan menunduk ketika Pricilla benar-benar di depannya. Ia tak punya cukup keberanian seperti Gabriel untuk menatap bahkan menyapa gadis itu.

Pricilla langsung memperlambat jalannya ketika sudah dapat melihat jelas bahkan mengetahui siapa orang yang sedang bersama Gabriel sekarang. Kecerahan yang sempat menyelimuti wajahnya itu dalam sekejab meredup. Sebisa mungkin ia bersikap biasa meski gerak canggung wajah dan tubuhnya kian terasa. “Udah lama ya? Aduh maaf ya, maaf banget yaa! Padahal tadi gue udah buru-buru kesini, tapi yaah taulah jalanan Jakarta gimana..” Jelas Pricilla panjang sekaligus melenyapkan semua rasa canggungnya tadi pada Gabriel dan terutama pada Via.

“Iya gamasalah, yang penting lo udah dateng.” Balas Gabriel sekenanya. Mendengar itu, air muka Pricilla kembali cerah. Penting? Kehadiran gue penting? Ulangnya dalam hati antusias. Sementara Via, dirinya mulai merasa mual berada di antara Pricilla dan Gabriel sekarang. Bukan karena cemburu, akan tetapi ia tak sanggup membayangkan berapa detik lagi Gabriel akan melangsungkan niat memutus hubungan dengan Pricilla. Detak jantungnya pun mulai tidak karuan dan hal itu kian memperparah rasa mual yang menerpanya itu.

“Emm..gue mau permisi ke toilet!” Via tiba-tiba berdiri dan mengambil ancang-ancang beranjak dari tempat dimana dirinya berada. Akan tetapi, belum lagi sempat bergerak, Gabriel lekas menahan pergelangan tangannya. Pemuda itu juga menatapnya cukup lama. Entah apa itu artinya, yang jelas pandangan Gabriel tersebut berhasil membuat Pricilla tercenung sesaat. Seonggok rasa sesak menetap dalam dadanya ketika melihat tangan orang yang –masih- menjadi kekasihnya tersangkut di pergelangan gadis lain.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, Iel langsung beralih pandang ke arah Pricilla tanpa melepas genggamannya pada Via. “Pris, maksud gue ngajak lo kesini karena...I want us to be friends again..” Ujar Iel tenang, meskipun tatapan matanya serius. Pricilla mengarahkan kepalanya menunjuk Via, seperti hendak mengatakan ‘Karena dia?’. Gabriel mengangguk yakin. Jemarinya makin mantap menggenggam pergelangan tangan Via.

Sementara Pricilla diam seribu bahasa, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, bagaimana ia harus memberi tanggapan dan apa yang harus ia jawab. Hari yang ia pikir akan menjadi hari terbaiknya bersama Gabriel justru berbalik menjadi hari paling kelam bersama orang yang sangat dicintainya itu. Ia meremas ujung tasnya berharap kuatnya remasan itu dapat pula menguatkan dirinya, terutama hatinya.

Lama tak ada suara dan tentu saja tak ada perbincangan di meja Gabriel bersama gadis–pura-pura-nya dan –yang sebentar lagi menjadi- mantan gadisnya. Gabriel terus saja memandang Pricilla dan Pricilla pun meladeni apa yang pemuda itu lakukan terhadapnya. Sementara Via, ia merasa ingin pingsan tapi entah mengapa tingkat kesadarannya justru kian bertambah. Dalam hati ia bertekad, jika ‘urusan’nya bersama Gabriel sudah selesai, semeter pun tak akan pernah ia berdekatan dengan pemuda itu. Dasar gila! Cowok gila!! Hardiknya habis-habisan dalam hati.

“Okey, gak masalah.” Kata Pricilla akhirnya menyetujui, berikut dengan senyum manis terbaik disisa-sisa senyumnya yang ada. Cukup berhasil, karena rupa gadis itu sekarang terlihat begitu tenang seperti tidak ada sesuatu menyakitkan yang sedang menohok hati dan pikirannya. Ia menyeruput jus lemon milik Gabriel dan lantas menyeringai polos. “Hehe gue minta dikit ya, haus banget abis lari-larian tadi,”

Via melihat itu makin merasa bersalah. Ia melihat kemiripan antara Pricilla dan Ify. Ify selalu begitu, jika sesuatu yang buruk terjadi padanya maka gadis itu pasti akan berpura-pura baik-baik saja. Persis seperti apa yang Pricilla lakukan sekarang. Yah, meskipun tidak 100% sama. Ia lantas merasa kasihan, gadis sebaik Pricilla seharusnya tidak pernah menjalin kasih bersama Gabriel. Benar, Gabriel memang tidak akan pernah bisa serius. Tentu saja, karena pemuda itu tidak pernah sepaham pada teori percintaan sejati bahkan abadi.

Gabriel tersenyum senang sekaligus lega. Yang ia tahu, Pricilla sudah berlapang dada menerima keputusannya. Itu artinya, tidak ada dosa yang ditorehnya akibat gadis itu. setidaknya, ia tidak menyakiti Pricilla, menurutnya berdasarkan penglihatan terhadap respon gadis itu. “Gue tahu, lo pasti bakal bersikap dewasa kayak gini.” Puji Gabriel seraya menyungging senyum senang. Pricilla pun ikut-ikutan bahkan lebih dulu melakukannya dari Gabriel.
“Maafin gue karena belum bisa jadiin lo cewek terakhir gue, dan gue juga belum bisa jadi cowok terakhir lo. Terserah kalo kata orang ini basi, tapi gue yakin lo pasti bisa ketemu cowok yang lebih baik dari gue. Tapi misalnya dia macam-macam sama lo, hape gue gak pernah lowbatt kok buat lo hubungin, hehe.”

Gabriel akhirnya melepas genggamannya dari Via. Ia beralih menggenggam bahu Pricilla sekaligus menepuk-nepuknya pelan sebagai salam perpisahan. Tak ada satupun persetujuan dari Via selama Gabriel berbicara. Ia menyangsikan semua kata-kata yang dilontarkan pemuda itu. Omdo lo! Basi lo! Brengsek lo! Kalimat-kalimat itu pun menjadi biasa di kepala Via saat ini. Sementara Pricilla lagi-lagi menyungging senyum tenangnya. Tak ada niat baginya mengomentari atau bahkan sekedar berkata iya pada Gabriel. Dan sikapnya itulah yang makin membuat Via ingin cepat-cepat pingsan.
Gila! Semuanya gila!!

***

Piyem cantik, maapin gue yak, rencana berubah. Gabriel nyulik gue dan kayaknya gajadi ketemuan sama lo. Lo bisa pulang naik taksi sendirian kan? Ntar gue ganti deh duitnya. Sekali lagi maap ya Piyem, hehehe --v
Ify menatap ponselnya dengan mata melotot, kening mengerut dan mulut membuka begitu lebar. Tangannya memegang kuat ponselnya dan bergerak mendekatkan layar benda petak tersebut ke wajahnya. Sekali lagi ingin memastikan kalau penglihatannya belum terganggu dan ia tidak salah membaca. “What?!! Gue udah lo dandanin kayak orang gila gini trus tiba-tiba lo bilang rencananya gak jadi? VIAAAA!!! Gue marah! Gue marah! Pokoknya gu..”

Seketika aksi mencak-mencak dan kekesalan Ify berhenti. Tubuhnya terdiam melihat pandangan mata tak mengenakkan dari orang-orang di sekitarnya. Hampir dari semua yang berlalu-lalang maupun berdiam diri di tempatnya berada melihatnya dengan tatapan bingung serta beberapa diantaranya menertawakan aksinya. Dan pandangan mata yang paling membekukan Ify adalah dua pasang mata milik seorang pemuda dan seorang gadis di sebelahnya yang kini berdiri beberapa meter di depan Ify. Menatapnya sama seperti orang-orang lain di sekitarnya.

Ify menatap gadis yang menemani pemuda di depannya tak menentu. Dadanya bergemuruh hebat. Rasanya kayak seseorang gendong gue dan ngelempar gue tinggiiii banget ke udara. Tapi, tiba-tiba, orang itu pergi tanpa nunggu gue turun untuk nyambut gue lagi dan ngebiarin gue ngerasain gimana sakitnya kehempas di daratan. Dan yang lebih nyakitin, dia pergi buat gendong orang lain. Batin Ify lirih. Ia segera menurunkan topi yang ia pakai serta memperbaiki letak kacamata dan maskernya supaya tetap sempurna menutupi wajahnya. Ify lalu melenggang pergi melewati dua manusia yang memandangnya tadi serta orang-orang lain yang ada disana. Mario, lo jahat. Sumpah, deh. Batin Ify lagi.

***
Kalau saja cermin di depan Ify hidup, ia mungkin bosan karena satu-satunya objek yang menemaninya hanya diam membisu dan tak bergerak sedikitpun. Gadis itu terus-menerus mematut dirinya di cermin. Melihat pantulan bayangan badannya datar. Sudah lima belas menit lamanya Ify berkutat dalam kegiatannya tersebut. Tapi, pada akhirnya, doa sang cermin agar temannya itu bersuara terkabulkan. Ify menghela nafasnya berat. rasanya banyak sekali yang mengendap di tenggorokannya hingga agak sulit baginya menghunus udara maupun suara keluar.

Ia melepas semua peralatan yang melekat di bagian tubuh atasnya. Mulai dari topi, kacamata, masker serta menipiskan make-up yang menghiasi wajahnya. Begini lebih baik, pikirnya. Ia kemudian menyisir rambutnya dengan jari sambil memperhatikan lagi tampaknya di cermin. “Kalau diliat-liat, Via emang bener sih. Gue gak jelek, cantik malah, hehehe” Ia terkekeh kecil seraya melupakan sejenak hal-hal yang sedari tadi mengganggunya.

“Tapi, kenapa Rio gak pernah ‘liat’ ya? Apa matanya mines? Atau hatinya yang mines?” Akan tetapi, tetap saja, hal yang mengganggunya tidak bisa begitu saja terusir dari pikirannya. Bahkan, justru Ify sendiri yang menjadikan kepalanya sebagai tempat tinggal tetap hal yang jelas-jelas sangat mengganggunya tersebut. Ify menghela nafas lagi. “Kenapaaa cinta gue gak bisa ilang sama lo, Mario? Kenapa? Malah jadi lebay gini.”

Ketika dirinya sibuk berkeluh-kesah di depan cermin, tiba-tiba pintu toilet yang ia masuki di gedor-gedor cukup keras diikuti suara wanita yang menyuruhnya membuka pintu tersebut. “Mbak yang di dalem, masih lama gak sih? Kalo iya, pintunya jangan dikunci dong!” Ify mendengar itu gelagapan. Ia lekas memakai kembali peralatan-peralatan yang sempat dicopotnya, kecuali kacamata dan masker. Ia segera membuka pintu toilet yang ia kunci sedari tadi.

“Hhh mbak gimana sih, bukan mbak aja yang butuh toilet, saya juga, tau!” kesal wanita yang menggedor tadi dan langsung masuk ke dalam toilet. Ify hanya meringis kecil sambil garuk-garuk kepala. Ia lantas beranjak pergi meninggalkan tempat singgahnya beberapa saat lalu. Kakinya ia langkahkan tanpa tujuan. Ia tidak ingin pulang, tapi ia juga tidak tahu hendak kemana. Yang penting jalan sajalah. Pikirnya.

“Ngapain lama-lama di toilet?” Ify merasa ada seseorang yang mengajaknya bicara. Dari arah belakang. Tanpa curiga ia menoleh ke belakang dan matanya membulat lumayan besar. Ia langsung mengarahkan kembali wajahnya ke depan dan lebih merendahkan topinya. Rio, lo kenapa muncul dimana-mana sih?! Rutunya dalam hati. Tapi, kenapa sikap Rio seperti sudah akrab dengannya? Apa jangan-jangan, penyamarannya ketahuan pada pemuda itu? Omaigad, selalu ketahuan!

Jalan satu-satunya adalah cepat-cepat menghindar dari Rio, orang yang mengajaknya bicara tadi. Namun, geraknya tak kalah cepat dari Rio. Pemuda itu tiba-tiba saja sudah berdiri menghadang di depannya. Ia terpaksa berhenti. Diusahakan semaksimal mungkin agar lebih dari separuh wajahnya bisa tertutupi. “Emm..hush hush, saya gak ganggu, pergi sana! Hush hush!” kata Ify asal. Di depannya, Rio melotot tak terima. “Gue Rio, bukan setan!”

Ify menatap pemuda itu sebal. Ia tak lagi berusaha menutupi wajahnya dari penglihatan Rio. “Siapa suruh terus-terusan ganggu pikiran gue? Apa dong namanya kalo bukan setan?” Rio mendengus. Kalau sudah bicara masalah seperti ini, ujung-ujungnya pasti membuatnya terpojok.

“Lo...kenapa sih lo ga berenti ganggu gue? kenapa gue selalu ketahuan sama lo sementara gue gak tahu apa-apa tentang lo? Kenapa lo selalu mondar-mandir di kepala gue sementara nama gue aja entah masih ingat atau enggak di kepala lo? kenapa sih lo terus-terusan main-main sama gue? Dan bodohnya, kenapa gue selalu nganggep serius padahal lo sama sekali gak punya maksud? Dan..kenapa lagi kisah cinta gue kenapa jadi alay gini sih?”

Tuh, kan bener apa kata gue. Batin Rio malas. Tebakan pemuda hitam manis ini tampaknya benar. “Lo..lo kok jadi serius gini?” Sahut Rio tak enak hati sekaligus salah tingkah. Ify menatapnya garang bak harimau yang hendak memangsa. Namun, sejurus kemudian, pandangan matanya melunak atau lebih tepatnya berubah sendu. Entah sudah keberapa kalinya, Ify lalu menghela nafas. “Gak ada gunanya gue marah-marah..” ujarnya pelan dan tak dengan sempurna terdengar oleh Rio. “Apa?” tanyanya memastikan.

Ify menggeleng singkat tak berniat menjawab. “Cewek lo mana?” tanyanya balik. Nada suaranya terdengar ketus dan tersirat perasaan tidak suka. Rio menatapnya bingung. “Nih!” tunjuknya ringan dengan ujung dagu ke arah Ify. Sebelah alis Ify terangkat lalu kemudian balik menatap Rio bingung. “Gue serius, Mario.” Ify memberi sedikit penekanan ketika menyebutkan nama pemuda yang kini menatapnya lebih bingung dari sebelumnya itu. “Emang muka gue kurang serius?” Kata pemuda tersebut tak mau kalah.

Ify mendengus. Tangannya bergerak mencapai puncak topi yang ia pakai. Sesaat dirinya bertahan dalam posisi memegang kepala dan Rio pun hanya diam menatapnya. Namun, tiba-tiba saja Ify memukul-mukul ganas Rio dengan topinya tadi. Berikut dengan gerutuan-gerutuan yang spontan keluar dari mulutnya dan sekaligus menjadi suara pengiring pukulannya pada pemuda itu. “Dasar rese! Cowok stres! Cowok jahat! Cowok gak punya hati! Cowok plin-plan! Cowok egois! Sukanya mainin gue! Sukanya bikin gue ngefly! Sukanya suka-suka! Gak pernah mikirin gue! Gak pernah mikirin perasaan gue! Pengganggu! Pengganggu hati gue! Penghuni abadi hati gu...”

Ify terus memukul-mukulkan topinya sehingga mengharuskan Rio bergerak kesana-sini demi menghindari sentuhan gadis itu. Namun, sama seperti caranya memulai gerakannya, ia tiba-tiba berhenti dengan posisi tangan kanan melayang di atas kepala. Rio lantas ikut berhenti dan memperhatikan gerak-gerik gadis itu. “Abadi? Hah?! Noooooo! Pokoknya nooooo!!” Rio tanpa perintah langsung menutupi telinganya ketika Ify mendadak berteriak kencang.

Matanya beralih pada orang-orang yang berlalu lalang yang mulai memandang aneh ke arah mereka. Lebih-lebih karena Ify yang kini berteriak tidak jelas. Tak banyak menunda waktu, Rio langsung membekap mulut Ify dan membawa paksa gadis itu ke tempat yang jauh lebih sepi dibanding tempatnya berada saat ini. tak bisa dicegah Ify karena gerakan Rio begitu cepat. Meski ia meronta sekeras apapun, tenaga pemuda itu pasti akan jauh lebih besar darinya.

Rio kemudian membebaskan Ify ketika merasa tempatnya sekarang sudah cukup aman. Ia lantas menatap gadis yang dibekapnya tadi itu sebal. “Lo kenapa sih? Marah-marah gak jelas, mukul-mukul gak jelas, terus tiba-tiba teriak-teriak gak jelas. Lo lagi ada masalah? Sampe lo setengah gila kek gini?” katanya tak habis pikir. Apa mungkin gadis itu bertingkah aneh karena papanya? Tapi, tadi sewaktu dirinya ke rumah sakit, Ferdi terlihat baik-baik saja, bahkan kelihatan makin membaik dari sebelum-sebelumnya. Lalu, apalagi yang bisa dijadikan alasan untuk gadis itu? Apa mungkin karena Debo? Apa mungkin Ify sudah kepincut dengan pemuda itu?
Ah, kek nya gak mungkin. Ify gak akan bisa secepat itu move on dari gue. Tapi, kalo sampe iya penyebabnya Debo, awas aja! Gue...

“Masalahnya itu lo! Lo! Sumber masalah! Sumber masalaaah!!” kata Ify setengah geram setengah memekik. Tangannya mengepal seperti hendak meremas kepala Rio. Rio memundurkan badannya selangkah. Ia kaget karena Ify tiba-tiba berteriak lagi. Lama-lama ia tak hanya terkena resiko, tapi mengalami serangan jantung saat ini juga karena gadis itu. Ia kemudian mengusap-ngusap dadanya pelan seraya menormalkan kembali detak jantung yang sempat tergenjot kecepatan denyutnya.

“Lo udah makan?” ujar Rio sekaligus mengalihkan pembicaraan. Ify menatapnya sambil mendengus sebal. “Gak laper.” Kata gadis itu datar dan sekenanya. “Laper aja deh yuk sekalian nemenin gue makan.” Ia menurunkan tangannya ke depan perut dan menepuk-nepuk bagian itu pelan demi meyakinkan Ify. Ify memutar kedua bola matanya malas. “Makan sendiri sana! Gue gak laper, ngerti lo!” tolak Ify mentah-mentah. Meski begitu, bukan Rio namanya kalau tidak sampai berhasil membuat gadis di depannya itu menurut.

“Yaudah gue gak makan.” Balas Rio datar. Ify meninggikan sebelah alisnya dan melipat kedua tangan di dada. “Kenapa gitu?” Rio menatapnya sebentar lalu beralih pandang ke arah lain sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Karena lo gak makan.” Kata pemuda itu kembali datar. Kali ini, Ify meninggikan kedua alisnya sekaligus. “Hah? Hubungannya sama gue apaan? Kalo lo mau makan ya makan aja!”

“Kalo lo gak makan, gue juga gak bakal makan.” Kata Rio keukeh. Ify tersenyum miring. Ia tidak akan terbujuk. Tekadnya dalam hati. “Ntar kalo udah gak kuat lo makan juga.”

“Lo nantangin gue?” Rio ikut-ikutan menaikkan alis. Ify tersenyum lagi. “Lo artis kan? Udah biasa lah gak makan”
Rio tertawa sebentar lalu menoleh ke arah Ify lagi seraya tersenyum miring menantang balik gadis itu. “Sebagai fans berat gue, apa lo gak pernah denger berita gue pingsan waktu show dan gak sadar 2 hari?” Air muka Ify seketika berubah kesal sekaligus panik. Kebanyakan dipuji malah jadi kepedean nih orang! Tapi, kalo sampe dia pingsan gimana? Isss!

Belum selesai gerutuan dan kepanikan yang melanda Ify, Rio kembali berujar. Tentu saja yang pemuda itu ucapkan bukan kata-kata menenangkan, akan tetapi dapat membuat Ify lebih panik. “Oh iya, gue udah dari kemaren siang gak makan. Jadi kalo gue tiba-tiba jatuh pingsan, siap-siap gendong gue ya. sekedar info, badan gue..mm lumayan berat.” tambahnya kemudian. Ify membuka mulutnya lebar-lebar. Iya, begini kalau dirinya sudah berhadapan dengan Rio. Ujung-ujungnya, posisinya pasti tidak enak. Terpojok di paling pojok.

“Lo..errr yaudah gue temenin lo makan! Ayo cepetan!” Setelah berpikir panjang, dengan terpaksa Ify menuruti keinginan Rio. Ia meraih pergelangan tangan Rio dan segera menarik pemuda itu pergi menuju tempat makan. Sejenak Rio memperhatikan keberadaan tangan Ify di tangannya. Ia lantas tersenyum senang sekaligus menggoda Ify. Gadis ini! batinnya. “Kalo mau megang tangan gue bilang aja, gaperlu pura-pura marah,”

Ify tersadar dengan tangannya yang mengait di pergelangan tangan Rio. Ia melepas kaitannya kasar dan melepas topi yang ia pakai. Sekali lagi, ia memukulkan topinya tersebut pada Rio. “Lo tuh ya, gue udah nurut masih aja rese!” Rio mengembangkan senyumnya lebih lebar. Ia dengan tenang mengambil topi malang yang diremas kuat oleh Ify. Dikesampingkannya tubuh Ify sehingga tepat menghadapnya.

Ify hendak berontak akan tetapi hanya sebatas nganga-an mulut karena perlakuan Rio pada kepalanya. Rio sekejab saja memakaikannya topi yang ia gunakan untuk memukul pemuda itu. Rio terlihat memicingkan mata sambil memperhatikan letak topi yang dikenakannya pada Ify. “Eng..” erang Ify seraya beranjak mundur. Namun tangan Rio meraih lengan atasnya yang sekaligus menahan gerak mundur Ify. “Diem bentar, gue sedang melakukan pengamatan mengenai letak topi lo!”

Ify lantas hanya bisa diam mematung sambil menatap pemuda yang menyungging senyum manis sedari tadi itu tak menentu. Ia kerepotan memilih perasaan yang harus di rasakannya saat ini. Haruskah gue seneng? Batinnya dilema *halah*. Seandainya gue seneng sekarang, tapi kalo nanti dia jahat lagi gimana? Batinnya lagi. Sementara Rio sama sekali tidak menyadari perubahan yang terjadi pada Ify. Ia tetap saja fokus pada kegiatannya memasang topi.

Tak lama kemudian Rio telah selesai dan melepas genggaman tangannya di lengan atas Ify. “Nah, gini kan lebih bagus!” komentarnya kemudian. “Ah? Iya..” kata Ify sekenanya. Ia menghembus nafasnya kuat-kuat beberapa kali sembari mencoba menetralisir denyut jantungnya yang makin lama makin memburu. Tangannya spontan bergerak memegang topi yang sudah terpasang rapi di kepalanya. Akan tetapi, topi itu tak sampai tersentuh karena Rio yang langsung menahannya.

“Eh jangan dipegang, ntar malah berantakan. Susah payah tuh gue masangnya!” larang keras dari pemuda itu. Ify yang agak bingung kemudian hanya mengangguk kaku dan menurunkan tangannya. Rio memperhatikan Ify sekali lagi. Gadis itu kini tampak lebih pendiam. Tidak seperti tadi yang hiperaktif dan garang. Ia lalu tersenyum sekali lagi. Dan sepertinya, hari ini ia akan banyak tersenyum.

“Yuk!” Ujar Rio dan tiba-tiba meraih telapak tangan Ify sekaligus menautkan jemarinya ke jemari yang ada. Tak lupa senyum manis yang masih setia ia sunggingkan. Ify kala itu hendak berkomentar akan tetapi lidahnya seperti tidak bersahabat sehingga kurang membantunya untuk lancar berbicara. Alhasil ia kembali diam sama seperti ketika Rio sedang memasangkannya topi tadi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Kali ini ia tidak terlalu sulit memikirkan bagaimana perasaannya.

Senyum kecil di bibirnya sudah mewakili apa yang sedang dirasakannya sekarang. Ia perlahan membalas genggaman tangan Rio ditangannya. Sementara Rio, pemuda itu menyadari ada gerakan dalam tautannya. Ia lagi dan lagi tersenyum. Benar kan, pemuda itu akan terus tersenyum hari ini. Begitu pula dengan Ify, sepertinya.

***

Ify menyesap minumnya sambil menunggu Rio selesai makan. Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya mengikuti tempo lagu yang bergema di telinganya. Sejak mulai makan sampai sekarang, Rio hanya diam tanpa mengajaknya bicara. Pandangan mata pemuda itu pun hanya tertuju pada makanan di depannya. Ify diam-diam mengambil kesempatan untuk memperhatikan Rio sesaat. Jadi cara Rio makan kayak gitu? Katanya dalam hati. Lantas kemudian menyesap minumannya kembali.

Sementara itu, sang objek yang diperhatikan kini sedang kesusahan menelan makanan yang sudah ia kunyah. Kediamannya sedari tadi bukan sengaja atau karena kebiasaan makannya seperti itu, akan tetapi karena kebingungannya harus berbicara apa saja pada Ify. setelah berhasil menelan, ia mengambil gelas yang berisi minuman miliknya dan menyeruput sedikit dari minuman tersebut. Ia lalu menoleh pada Ify. Hampir seluruh unsur dalam hatinya mendesak agar ia segera membuka pembicaraan dengan Ify. Karena pasti Ify tidak akan mulai bersuara jika bukan dirinya yang memulai.

Ia meneliti setiap inci tampak luar Ify. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan omongan. Matanya pun tertumpu pada warna mencolok yang samar-samar terlihat di rambut Ify. Ah, ia baru sadar gadis itu hari ini agak berbeda. Apalagi jika dibandingkan ketika dirinya bertemu gadis itu saat bersama Dea. Penampilan gadis itu jauh lebih...emm ya berbeda. Tapi kalau dilihat-lihat, rambut baru Ify tersebut lumayan membuat gadis itu lebih baik. Lebih imut tepatnya.

“Rambut lo...” kata Rio menggantung seraya memicingkan mata seolah sedang mengamati lebih jeli perihal mahkota kepala Ify tersebut. Ify refleks memegang rambut dan seketika teringat lagi dengan ratapannya akan rambutnya itu. Rambut gueee! Ringisnya dalam hati. Apalagi dengan melihat Rio yang mengamati rambutnya sampai sebegitunya, makin membuatnya meringis dalam-dalam. Ia merasa tubuhnya makin lama menciut.

“Jangan diubah ya! Lo bagus kayak gitu!” Puji Rio tulus. Ify tercenung. Rio memujinya? Rio muji gue? Hehehe. Ia mengikik pelan dalam hati. Rasa senang tidak sepenuhnya bisa ia tutupi. Apalagi dengan adanya senyum malu-malu sekaligus antusias di wajah Ify. Ia meneguk segeluk minumannya lalu menyahut. “Bagus?” Rio mendahului jawabannya dengan anggukan. “Iya, bagus.” Katanya sekedar memperjelas. Ify tersenyum makin lebar. “Bagus apa bagus? Muji itu gak boleh tanggung-tanggung!”  

Rio lantas tertawa kecil. Ya ya ya, lo cantik! Hatinya lebih dulu menjawab, atau mungkin mengakui. “Yaaa...bagus. Terus apalagi?” tanya Rio balik dan terkesan mengelak, mengelak dari maksud yang sesungguhnya dalam hatinya. “Iyadeh, bagus kok bagus.” Sahut Ify seolah mengerti kegengsian Rio. Kalau yang itu, ia sudah paham betul. Gengsi pemuda itu mana pernah bisa berkurang apalagi hilang.

“Kak Rio!” Suatu ketika, mereka kedatangan tamu seorang gadis berambut sebahu yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja mereka. Dea. Gadis yang lebih dulu bersama Rio tadi. Ify yang kala itu sedang menyesap minumannya langsung tersedak dan terbatuk-batuk kecil. Mendadak perasaannya berubah tidak enak. Jangan yaAllah, jangan. Batinnya benar-benar memohon agar firasat buruknya tidak kejadian.

Sementara Rio, ia agak kaget sekaligus merasa tidak enak dengan Ify. Bagaimana caranya menjelaskan pada Ify kalau Dea tiba-tiba muncul begini? Ify pasti akan salah paham lagi. Hubungan mereka pasti akan dingin kembali. Aisssss!

“Kakak tuh aku cariin kemana-mana rupanya disini. Katanya tadi kalo aku udah selesai, aku disuruh nemuin kakak di bagian buku olahraga. Tapi pas aku kesana kakak udah gak ada.” Rutu Dea habis-habisan. Rio mengusap tengkuknya lalu menjawab canggung. “Oh emm itu.. tadi kakak ketemu kak Ify jadi..ya..gitu” jelas Rio sekenanya seraya mengarahkan tangannya menunjuk Ify. Dea langsung menoleh ke arah Ify dan sepertinya baru menyadari kalau ada Ify disana di antara dirinya dan Rio. Ia menepuk jidatnya pelan. “Yaampun, aku gak sadar ada kak Ify. Aduh kak maaf ya hehehe..” ujar Dea merasa bersalah.

Ify tersenyum canggung ke arah gadis itu sambil mengangguk pelan seperti ingin mengatakan ‘iya gakpapa kok’. Ia tak berani melihat ke arah Rio setelah itu. takut pemuda itu melihat ketidaknyamanan di matanya akan kedatangan Dea. Takut pemuda itu akan marah jika ia tidak menjamu baik adik tersayangnya itu. Iya. Tersayang. Batin Ify lirih.

***

Mobil Rio tak terasa hangat kali ini. Bukan karena AC yang menyala dengan suhu rendah saat ini, akan tetapi karena kecanggungan yang dirasa Rio apalagi Ify. Hanya Dea yang sedari tadi berkicau sekaligus mengurangi kadar dingin di antara mereka. “Kakak tadi ketemu kak Ify dimana?” tanya Dea pada Rio. Rio menoleh sejenak lalu kembali memperhatikan jalan mobilnya. “h-ah?” katanya kurang mengerti.

Dea menghela nafas ringan. “hh! Kenapa kakak gak hubungin aku? Kalo gitu kan tadi aku bisa ikut sama kakak dengan kak Ify. Kan asyik jalan bertiga gitu. Iya kan, kak?” Kali ini, Dea mengarah pada Ify. Ify yang baru tahu diajak bicara segera menyahut dan mengangguk mengiyakan. Dea melihat itu tersenyum senang. “Eh iya, kak besok aku ma...”

Cause all I need is a beauty and a beat who can make my life complete...

Terdengar nada dering dari ponsel Dea yang disimpannya di dalam tas. Ia membuka resleting tas dan merogoh ponsel yang sedang asyik mendendangkan lagu milik si ganteng Justin itu. tiba-tiba Dea bersorak heboh dengan mata berbinar. Rio dan Ify sekilas saling berpandangan bingung. Dea dengan cepat menyambut panggilan masuk yang bertamu ke ponselnya itu. Ia diam sebentar, menarik nafas dan bersuara dalam hitungan ketiga detik.

1...2...3...

“Kak ACHA!”

***

Kyaaaaaa selesai jugeee part 21 ini fiuuuh *mereskainlapbekaskeringat* Mimin gak bohong kaaan, masa-masa indah akan segera berlalu! *jengjengjeng*

Maap yaaa lama hehehe -,- Ini prosesnya membutuhkan kerja yang sangaaaat keras berlembur lembur (?) with no reread, no editing and surely there are many typo everywhere .---.v So gimana hasilnya kalo gak sesuai harapan mohon dimaklumi ._.v Eh btw, ada yang tau nama mimin gak sih? Hahaha

Kebanyakan ngeliat komen2 orang yang baca MM pada gatau siapa yang ngarang wkwkwk~ misterius banget kayaknya ya mimin hohoho u,u Nah kalo gitu, 5 orang pertama yang bisa jawab siapa nama lengkap mimin yang komen disini nanti hadiahnya mimin tag untuk part 22 :333

Sekian dulu yaaa rumpi-rumpinya, mimin mau berjuang lagi. Oh iya, jangan lupa DOAKAN SBMPTN MIMIN YAAAAAAA SEMOGA LANCAR SEMOGA LULUS DI UNAND AMIIIIIN!! *mesticapslocktandaseru* Makasih semuanyaaa rindukan mimin yaaa muah muah muah :****

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

2 komentar: