Ini baru namanya kesempatan dalam kesempitan. Waspadalah! Waspadalah! Wkwkwk~
***
Sesosok
gadis kecil manis dengan dress merah muda melekat di tubuh mungilnya berdiri
sangat jauh dari Cakka. Cakka melangkah satu demi satu mendekat ke arah gadis
itu. Wajahnya cukup terlihat jelas sekarang dibanding ketika pertama kali sosok
itu muncul. Wajah itu tak asing. Ia merasa pernah melihat pandangan mata khas
milik gadis itu. Dan, entahlah, ia juga tidak tahu. Ia tiba-tiba saja merasakan
kerinduan yang tak bisa dibilang biasa –mengingat kemunculan rasa rindu itu
sendiri yang sudah tidak biasa- ketika gadis itu menyerukan namanya. Bahkan
kakinya tanpa perintah bergerak terburu-buru mendekat ke arah gadis itu.
Namun,
sebersit perasaan takut pun kemudian mengendap di hati Cakka. Bukan karena gadis
itu menakutkan, tapi karena dirinya merasa ini adalah hari terakhir untuk dapat
bertemu gadis itu. Ia merasa gadis itu akan pergi meninggalkannya. Dan yang
lebih menyakitkan, gadis itu melupakannya.
Ketika
jaraknya dengan gadis itu cukup dekat, gadis kecil itu melambaikan tangan dan
tersenyum tenang ke arahnya. Cakka terlonjak. Tak ada seorangpun yang bisa
tersenyum semenenangkan itu terhadapnya. Bahkan kekasihnya, Febby. Hanya gadis
ini. Dan itu mengingatkan Cakka pada seorang gadis dimasa lalu, gadis kecil
yang dulu menyelamatkannya dari dingin hujan dan kesendirian. Dan setelah itu
menjadi tanda keberadaan dirinya. Dimana gadis mungil itu, disitu pula lah dirinya,
Cakka, si Aga kecil. Ya! Gadis itu. Pasti dia! Gadis itu, teman tersayangnya,
Nia.
“Cari
aku ya!” Sedikit lagi tangan Cakka bisa meraih Nia, Nia lebih dulu berlari
menjauh darinya, lebih tepatnya bersembunyi. Dan dalam satu jentikan jari, Nia
sudah menghilang dari pandangan. Sekeliling Cakka mendadak kosong. Tidak ada
orang, tidak ada barang, hanya dirinya sendiri. Tidak! Ia tidak ingin itu
terjadi. Ia tidak ingin saat ini menjadi saat terakhirnya berjumpa dengan Nia.
Tidak! Tidak boleh!
“Niaaaa!
Niaaaaaa!!” Cakka merunduk sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Sejurus kemudian ia kembali berdiri dan melihat sekeliling. Seketika, ia merasa
pandangannya berputar-putar seperti sedang berdiri pada suatu lingkarang yang
berputar. Namun, tak sampai hitungan ke sepuluh, tiba-tiba cahaya di tempatnya
berada lenyap dan yang ia lihat hanyalah....
JDUK!
(?)
Cakka
refleks membuka mata ketika sebuah bola basket mengenai kepalanya di bagian
samping. Bola itu bukan secara sengaja di arahkan kepadanya, melainkan akibat
pantulan dari papan ketika Agni berniat memasukkannya ke ring. Rekan-rekan Agni
yang lain yang juga sedang bermain disana melihat dan mengakak geli.
Bisa-bisanya Cakka tertidur ketika sedang duduk dan bangun secara terpaksa
karena dibangunkan dengan tidak normal. Anehnya, bukan Cakka, akan tetapi
justru Agni yang meringis. Antara merasa bersalah dan ingin ikut tergelak
bersama dua rekannya tadi.
Cakka
menggerak-gerakkan kepalanya cepat ke kanan-kiri. Mencoba memperdalam
kesadarannya. Separuh isi dalam botol air mineral di sampingnya di tumpahkan ke
kepala dan seluruh bagian wajah. Lumayan menyegarkan. Ia membuang botol mineral
yang sudah kosong itu asal lalu berjalan mendekati Agni beserta rekan-rekan
lain setelah mengambil bola yang menciumnya tadi.
Bukannya
membagi bola, Cakka hanya memainkan benda bundar itu sendiri. Ditambah lagi, sejak
berkonsentrasi bermain sendirian, pemuda itu tidak bicara sama sekali. tidak
bisa dibilang berkonsentrasi juga, karena Cakka hanya asal melempar bola.
Alhasil, bola itu melayang tanpa arah dan lumayan merepotkan dirinya karena
harus berlari mengejar, menangkap lalu melemparnya kembali, mengejar lagi,
menangkap lagi serta begitulah seterusnya.
Rekan-rekannya
yang lain saling berpandangan bingung. Sementara itu, Agni yang kelihatan
paling cemas. Apa Cakka seperti itu karena lemparan bolanya? Apa lemparan
bolanya terlalu keras hingga terdapat pergeseran di otak Cakka alias geger
otak? Atau, Cakka marah padanya karena telah melempar bola sembarangan dan
menganggu tidurnya? Apa tadi Cakka sedang bermimpi indah sehingga sampai begitu
marahnya? Atau justru mimpi buruk? Tapi kalau mimpi buruk, harusnya Cakka
berterimakasih padanya, dong?
Agni
mendesah berat. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang kompak mengeroyoknya
saat ini. Ia lantas garuk-garuk kepala tak mengerti. Cakka kenapa sih?
Pertanyaan itu akhirnya muncul sebagai penutup dan sekaligus menghentikan
keroyokan pertanyaan yang terjadi dalam benaknya. “Helooo kita tembus pandang
ya? lo gak niat ngajak kita-kita?” celetuk Agni kemudian. Yang terpikir di
kepalanya hanyalah mengajak Cakka bercanda. Meski ia tahu ia bukan seorang yang
pandai berguyon, tapi setidaknya, mencoba itu lebih baik. Pikirnya. Terbukti,
candaannya memang tidak seperti candaan sesungguhnya. Lebih tepat kalau itu
disebut keluhan.
Cakka
yang ketika itu posisinya hendak melompat seketika menghentikan geraknya dan
mengurung niat untuk melempar bola ke ring. Ia menoleh ke arah Agni sembali
memantul-mantulkan bola ke lantai semen lapangan basket. Sorotan mata Cakka
kali ini tak bersahabat, jauh dari biasanya. Agni mendadak merinding. Jika tebakannya
benar, pasti sekarang Cakka akan marah-marah dan bilang ‘becandaan lo garing’.
Cakka
menatap Agni lama, lalu tiba-tiba saja mengoper bola basket di tangannya pada
gadis itu. Agni yang kaget lantas menangkap bola semrawutan (?) meskipun bola
tersebut berhasil ia raih. Ia diam menunggu Cakka bicara. Tapi, pemuda itu
justru berlalu begitu saja tanpa menjelaskan maksud pemberian bola ini padanya.
Sekaligus meninggalkan dugaan kebenaran atas beberapa pertanyaan yang
mengeroyok Agni sebelumnya. Cakka kenapa sih? Tanyanya untuk yang kedua kali,
dalam hati.
***
“Cakka!
Woy! Cakka!” Entah sudah berapa kali Agni menyerukan nama Cakka namun tak
kunjung pemuda itu berhenti dan berbalik badan merespon panggilannya. Jangankan
berbalik badan, menoleh saja tidak. Apa mungkin suara Agni yang sudah menggema
di sepanjang koridor masih belum menggetarkan gendang telinga Cakka? Agni harus
menarik nafas beberapa kali. Tenaganya lumayan terkuras karena berlari sambil
berteriak.
“Cakka!
Berenti kenapa sih?!” kata Agni akhirnya, setelah lelah mengejar Cakka yang tak
kunjung -mencoba- menyahut panggilannya. Alhasil, Cakka pun mau tak mau
berhenti dan menoleh ke gadis yang kini sedang kerepotan mengatur nafasnya.
Agni melangkah mendekati Cakka. Ia harus menengadahkan kepalanya agak dalam dikarenakan
tinggi badan Cakka yang melebihi puncak kepalanya. “Lo pura-pura budek ya?”
rutunya langsung.
Bukannya
menjawab, Cakka hanya memandanginya sejenak lalu kembali berjalan. Agni melongo
seketika namun tak lama karena setelah itu ia langsung menyusul Cakka sebelum
sempat melangkah lebih jauh. “Cakka! Woy! Lo beneran budek ya, hah?” rutu Agni
kembali. Cakka tetap bergeming. Ia melangkah seakan tak ada seseorang di
sebelahnya, menemaninya atau bahkan mengajaknya bicara. “Cakka!” kata Agni
belum menyerah. Ia yakin kali ini pemuda itu pasti menyahut.
Benar
saja, Cakka lekas berhenti dan menoleh ke arahnya. “Apa?” Sahut Cakka tak
bersemangat. Ia merasa kepalanya agak berdenyut. Mungkin karena lemparan bola basket
yang mengenai kepalanya tadi. Atau, jangan-jangan karena..
“Lo
kenapa sih? Lo marah sama gue?” kata Agni langsung. Ia takut jika ia
mendahulukan basa-basi, maka hanya akan dianggap basi dan Cakka akan tetap tak
mengacuhkannya. “Enggak.” Balas Cakka singkat. Pemuda itu lagi-lagi melanjutkan
berjalan sebelum Agni memuaskan diri berbicara dengannya. Agni kembali harus
mengalah dan menyusul pemuda itu. “Gue belom selesai ngomong kali! Main tinggal
aja.”
Cakka
diam tak membalas. Agni menatapnya bingung. Tak biasanya makhluk di sampingnya
ini tenang dalam diam dan sulit diajak berbincang. Apa Cakka benar-benar geger
otak? Apa efek lemparannya sampai separah itu? Batinnya bertanya-tanya. “Atau
jangan-jangan kepala lo kenapa-kenapa gara-gara bola tadi? Sini gue..” Cakka
menghindar dari sentuhan tangan Agni. Ia menatap Agni seakan hendak berkata
‘Gue baik-baik aja dan gaperlu sepanik itu!’
“Iyadeh,
iya,” sahut Agni melunak. Mereka lalu berjalan bersama keheningan beberapa
saat. Karena setelahnya, Agni mengulang kicauannya. “Diem mulu lo! Lo kerasukan
ya? Ayo, ngaku! Siapa lo? Siapa? Pasti bukan Cakka kan? Ngaku lo! Ngaku!” Tuduh
Agni seraya menyenggol lengan Cakka beberapa kali. Siapa tahu dengan cara ini,
Cakka akan tergugah dan pemuda itu yang sesungguhnya dapat muncul kembali ke
permukaan.
Tapi
sepertinya, perkiraan Agni agak meleset. Cakka kelihatan tetap tidak tertarik
bahkan seperti terganggu oleh sikap Agni. Ia berhenti dan memandang Agni cukup
sebal. “Gue. Cakka.” Katanya datar namun tegas. Ada sedikit penekanan yang
menandakan ia mulai kesal. Ia lalu berjalan lagi dan begitupun Agni. Agni
menghela nafas. Ia habis ide untuk ‘menghidupkan’ Cakka. Cakka lo kenapa sih?
Pertanyaan itu tak habis-habisnya mengobrak-abrik isi kepala Agni.
“Ni..”
Ya! Sebuah keajaiban terjadi. Hal yang ditunggu-tunggu Agni sejak tadi. Cakka
mengajaknya bicara. Gini kek daritadi! Elaah! Ujarnya dalam hati. Ia menoleh
dan menatap pemuda di sampingnya. Menunggu pemuda itu melanjutkan bicara, meski
tanpa balik menatap ke arahnya. “Gue lagi pengen sendiri..” Ujarnya lemah.
Sedikit banyak Cakka menyadari Agni bisa saja tersinggung karena ucapannya
barusan jika penyampaiannya salah. Maka dari itu, ia agak mengecilkan volume
suaranya.
Agni
tak langsung menjawab. Ia cukup lama hanya diam menatap Cakka. Karena tak
kunjung direspon, Cakka mulai bergerak untuk melanjutkan jalannya. Namun, tak
sampai satu langkah itu sukses, Agni menyahut. “Jadi, lo beneran marah sama
gue?”
Dua
kali. Batin Cakka. Ia mulai bosan dengan pertanyaan Agni yang satu ini. Okey,
mungkin caranya menjawab sebelumnya belum bisa dipercaya gadis itu. Ya, mungkin
begitu. “Enggak..sama sekali enggak.” Jawab Cakka. Agni diam dan memperhatikan
lagi. Cakka tak lantas melanjutkan berjalan. Ia tahu, gadis di belakangkan
belum selesai bicara. Karena itu, percuma jika ia tetap melanjutkan berjalan.
Agni pasti akan menahannya.
“Lo
kenapa?”
“Gak kenapa-kenapa.” Cakka masih menjawab tanpa balas memandang Agni. Dan di belakang sana, Agni masih belum menyerah. “Lagi ada masalah?” tanyanya kembali.
Kali ini, Cakka berhasil dibuat Agni menoleh. Hanya sedikit dan itupun sekilas. Ia lantas berkata datar. “Bukan urusan lo.”
Iya, bukan urusan gue. batin Agni membeo. Ia tak lama menjeda waktu, karena Cakka juga pasti tak ingin berlama-lama bersamanya. Seperti yang pemuda itu bilang, dirinya ingin sendirian. “Oh, okey. Gue juga cuma mau minta maaf doang. Sorry ya, soal bola, gue gak sengaja.” Kata Agni tenang. Cakka tak menjawab. Oke, diam artinya iya. Pikir Agni. “Gue duluan kalo gitu.” Tanpa peduli Cakka menyahut atau tidak, Agni lekas berlalu.
Ada
seberkas goresan dirasa Agni dalam dirinya. Hatinya dikecewakan oleh satu
kalimat yang baru saja keluar dari mulut Cakka untuknya. ‘Bukan urusan lo.’.
Ternyata Cakka belum nganggap gue siapa-siapa. Gue kira dengan sikap dia yang
gak jarang nyamperin gue, kepo soal kehidupan gue belum bisa buat dia nganggep
gue temen dia. Ya, gue bukan siapa-siapa. Dan mungkin emang dia bukan Aga-nya
Nia, Aga gue yang gue cari selama ini. Kecurigaan gue Cuma kebetulan. Agni,
Agni! Kalung kayak gitu pasti di produksi lebih dari seratus, dan ada lebih
dari seratus kalung imitasi kayak gitu. Yaampuuun! Betapa bodohnya gueeee!
Sementara
itu, Cakka memandangi punggung Agni lekat. Ia menggeleng pelan. Akhirnya gadis
itu melenggang pergi juga. Pikirnya. Dasar gadis kalung! Ia lantas kembali
berjalan setelah raga Agni tak lagi bisa ia perhatikan.
Satu...Dua...Tiga...
Tepat
di langkah ketiga, pemuda itu berhenti. Berdiri diam sambil memikirkan sesuatu
yang baru saja dipikirkannya. “Kalung?”
***
Masih dan selalu sama, sorry yak kalo gak sesuai -,-v
lanjuut segeraa :D
BalasHapuswes dilanjut yaaa u,u
Hapus