-->

Selasa, 14 Mei 2013

Matchmaking Part 21 (Cagni)


Ini baru namanya kesempatan dalam kesempitan. Waspadalah! Waspadalah! Wkwkwk~

***

Sesosok gadis kecil manis dengan dress merah muda melekat di tubuh mungilnya berdiri sangat jauh dari Cakka. Cakka melangkah satu demi satu mendekat ke arah gadis itu. Wajahnya cukup terlihat jelas sekarang dibanding ketika pertama kali sosok itu muncul. Wajah itu tak asing. Ia merasa pernah melihat pandangan mata khas milik gadis itu. Dan, entahlah, ia juga tidak tahu. Ia tiba-tiba saja merasakan kerinduan yang tak bisa dibilang biasa –mengingat kemunculan rasa rindu itu sendiri yang sudah tidak biasa- ketika gadis itu menyerukan namanya. Bahkan kakinya tanpa perintah bergerak terburu-buru mendekat ke arah gadis itu. 
Namun, sebersit perasaan takut pun kemudian mengendap di hati Cakka. Bukan karena gadis itu menakutkan, tapi karena dirinya merasa ini adalah hari terakhir untuk dapat bertemu gadis itu. Ia merasa gadis itu akan pergi meninggalkannya. Dan yang lebih menyakitkan, gadis itu melupakannya.
Ketika jaraknya dengan gadis itu cukup dekat, gadis kecil itu melambaikan tangan dan tersenyum tenang ke arahnya. Cakka terlonjak. Tak ada seorangpun yang bisa tersenyum semenenangkan itu terhadapnya. Bahkan kekasihnya, Febby. Hanya gadis ini. Dan itu mengingatkan Cakka pada seorang gadis dimasa lalu, gadis kecil yang dulu menyelamatkannya dari dingin hujan dan kesendirian. Dan setelah itu menjadi tanda keberadaan dirinya. Dimana gadis mungil itu, disitu pula lah dirinya, Cakka, si Aga kecil. Ya! Gadis itu. Pasti dia! Gadis itu, teman tersayangnya, Nia. 
“Cari aku ya!” Sedikit lagi tangan Cakka bisa meraih Nia, Nia lebih dulu berlari menjauh darinya, lebih tepatnya bersembunyi. Dan dalam satu jentikan jari, Nia sudah menghilang dari pandangan. Sekeliling Cakka mendadak kosong. Tidak ada orang, tidak ada barang, hanya dirinya sendiri. Tidak! Ia tidak ingin itu terjadi. Ia tidak ingin saat ini menjadi saat terakhirnya berjumpa dengan Nia. Tidak! Tidak boleh!
“Niaaaa! Niaaaaaa!!” Cakka merunduk sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah. Sejurus kemudian ia kembali berdiri dan melihat sekeliling. Seketika, ia merasa pandangannya berputar-putar seperti sedang berdiri pada suatu lingkarang yang berputar. Namun, tak sampai hitungan ke sepuluh, tiba-tiba cahaya di tempatnya berada lenyap dan yang ia lihat hanyalah....
JDUK! (?)
Cakka refleks membuka mata ketika sebuah bola basket mengenai kepalanya di bagian samping. Bola itu bukan secara sengaja di arahkan kepadanya, melainkan akibat pantulan dari papan ketika Agni berniat memasukkannya ke ring. Rekan-rekan Agni yang lain yang juga sedang bermain disana melihat dan mengakak geli. Bisa-bisanya Cakka tertidur ketika sedang duduk dan bangun secara terpaksa karena dibangunkan dengan tidak normal. Anehnya, bukan Cakka, akan tetapi justru Agni yang meringis. Antara merasa bersalah dan ingin ikut tergelak bersama dua rekannya tadi.
Cakka menggerak-gerakkan kepalanya cepat ke kanan-kiri. Mencoba memperdalam kesadarannya. Separuh isi dalam botol air mineral di sampingnya di tumpahkan ke kepala dan seluruh bagian wajah. Lumayan menyegarkan. Ia membuang botol mineral yang sudah kosong itu asal lalu berjalan mendekati Agni beserta rekan-rekan lain setelah mengambil bola yang menciumnya tadi.
Bukannya membagi bola, Cakka hanya memainkan benda bundar itu sendiri. Ditambah lagi, sejak berkonsentrasi bermain sendirian, pemuda itu tidak bicara sama sekali. tidak bisa dibilang berkonsentrasi juga, karena Cakka hanya asal melempar bola. Alhasil, bola itu melayang tanpa arah dan lumayan merepotkan dirinya karena harus berlari mengejar, menangkap lalu melemparnya kembali, mengejar lagi, menangkap lagi serta begitulah seterusnya. 
Rekan-rekannya yang lain saling berpandangan bingung. Sementara itu, Agni yang kelihatan paling cemas. Apa Cakka seperti itu karena lemparan bolanya? Apa lemparan bolanya terlalu keras hingga terdapat pergeseran di otak Cakka alias geger otak? Atau, Cakka marah padanya karena telah melempar bola sembarangan dan menganggu tidurnya? Apa tadi Cakka sedang bermimpi indah sehingga sampai begitu marahnya? Atau justru mimpi buruk? Tapi kalau mimpi buruk, harusnya Cakka berterimakasih padanya, dong?
Agni mendesah berat. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang kompak mengeroyoknya saat ini. Ia lantas garuk-garuk kepala tak mengerti. Cakka kenapa sih? Pertanyaan itu akhirnya muncul sebagai penutup dan sekaligus menghentikan keroyokan pertanyaan yang terjadi dalam benaknya. “Helooo kita tembus pandang ya? lo gak niat ngajak kita-kita?” celetuk Agni kemudian. Yang terpikir di kepalanya hanyalah mengajak Cakka bercanda. Meski ia tahu ia bukan seorang yang pandai berguyon, tapi setidaknya, mencoba itu lebih baik. Pikirnya. Terbukti, candaannya memang tidak seperti candaan sesungguhnya. Lebih tepat kalau itu disebut keluhan.
Cakka yang ketika itu posisinya hendak melompat seketika menghentikan geraknya dan mengurung niat untuk melempar bola ke ring. Ia menoleh ke arah Agni sembali memantul-mantulkan bola ke lantai semen lapangan basket. Sorotan mata Cakka kali ini tak bersahabat, jauh dari biasanya. Agni mendadak merinding. Jika tebakannya benar, pasti sekarang Cakka akan marah-marah dan bilang ‘becandaan lo garing’. 
Cakka menatap Agni lama, lalu tiba-tiba saja mengoper bola basket di tangannya pada gadis itu. Agni yang kaget lantas menangkap bola semrawutan (?) meskipun bola tersebut berhasil ia raih. Ia diam menunggu Cakka bicara. Tapi, pemuda itu justru berlalu begitu saja tanpa menjelaskan maksud pemberian bola ini padanya. Sekaligus meninggalkan dugaan kebenaran atas beberapa pertanyaan yang mengeroyok Agni sebelumnya. Cakka kenapa sih? Tanyanya untuk yang kedua kali, dalam hati.
***
“Cakka! Woy! Cakka!” Entah sudah berapa kali Agni menyerukan nama Cakka namun tak kunjung pemuda itu berhenti dan berbalik badan merespon panggilannya. Jangankan berbalik badan, menoleh saja tidak. Apa mungkin suara Agni yang sudah menggema di sepanjang koridor masih belum menggetarkan gendang telinga Cakka? Agni harus menarik nafas beberapa kali. Tenaganya lumayan terkuras karena berlari sambil berteriak.
“Cakka! Berenti kenapa sih?!” kata Agni akhirnya, setelah lelah mengejar Cakka yang tak kunjung -mencoba- menyahut panggilannya. Alhasil, Cakka pun mau tak mau berhenti dan menoleh ke gadis yang kini sedang kerepotan mengatur nafasnya. Agni melangkah mendekati Cakka. Ia harus menengadahkan kepalanya agak dalam dikarenakan tinggi badan Cakka yang melebihi puncak kepalanya. “Lo pura-pura budek ya?” rutunya langsung.
Bukannya menjawab, Cakka hanya memandanginya sejenak lalu kembali berjalan. Agni melongo seketika namun tak lama karena setelah itu ia langsung menyusul Cakka sebelum sempat melangkah lebih jauh. “Cakka! Woy! Lo beneran budek ya, hah?” rutu Agni kembali. Cakka tetap bergeming. Ia melangkah seakan tak ada seseorang di sebelahnya, menemaninya atau bahkan mengajaknya bicara. “Cakka!” kata Agni belum menyerah. Ia yakin kali ini pemuda itu pasti menyahut.
Benar saja, Cakka lekas berhenti dan menoleh ke arahnya. “Apa?” Sahut Cakka tak bersemangat. Ia merasa kepalanya agak berdenyut. Mungkin karena lemparan bola basket yang mengenai kepalanya tadi. Atau, jangan-jangan karena..
“Lo kenapa sih? Lo marah sama gue?” kata Agni langsung. Ia takut jika ia mendahulukan basa-basi, maka hanya akan dianggap basi dan Cakka akan tetap tak mengacuhkannya. “Enggak.” Balas Cakka singkat. Pemuda itu lagi-lagi melanjutkan berjalan sebelum Agni memuaskan diri berbicara dengannya. Agni kembali harus mengalah dan menyusul pemuda itu. “Gue belom selesai ngomong kali! Main tinggal aja.”
Cakka diam tak membalas. Agni menatapnya bingung. Tak biasanya makhluk di sampingnya ini tenang dalam diam dan sulit diajak berbincang. Apa Cakka benar-benar geger otak? Apa efek lemparannya sampai separah itu? Batinnya bertanya-tanya. “Atau jangan-jangan kepala lo kenapa-kenapa gara-gara bola tadi? Sini gue..” Cakka menghindar dari sentuhan tangan Agni. Ia menatap Agni seakan hendak berkata ‘Gue baik-baik aja dan gaperlu sepanik itu!’
“Iyadeh, iya,” sahut Agni melunak. Mereka lalu berjalan bersama keheningan beberapa saat. Karena setelahnya, Agni mengulang kicauannya. “Diem mulu lo! Lo kerasukan ya? Ayo, ngaku! Siapa lo? Siapa? Pasti bukan Cakka kan? Ngaku lo! Ngaku!” Tuduh Agni seraya menyenggol lengan Cakka beberapa kali. Siapa tahu dengan cara ini, Cakka akan tergugah dan pemuda itu yang sesungguhnya dapat muncul kembali ke permukaan. 
Tapi sepertinya, perkiraan Agni agak meleset. Cakka kelihatan tetap tidak tertarik bahkan seperti terganggu oleh sikap Agni. Ia berhenti dan memandang Agni cukup sebal. “Gue. Cakka.” Katanya datar namun tegas. Ada sedikit penekanan yang menandakan ia mulai kesal. Ia lalu berjalan lagi dan begitupun Agni. Agni menghela nafas. Ia habis ide untuk ‘menghidupkan’ Cakka. Cakka lo kenapa sih? Pertanyaan itu tak habis-habisnya mengobrak-abrik isi kepala Agni. 
“Ni..” Ya! Sebuah keajaiban terjadi. Hal yang ditunggu-tunggu Agni sejak tadi. Cakka mengajaknya bicara. Gini kek daritadi! Elaah! Ujarnya dalam hati. Ia menoleh dan menatap pemuda di sampingnya. Menunggu pemuda itu melanjutkan bicara, meski tanpa balik menatap ke arahnya. “Gue lagi pengen sendiri..” Ujarnya lemah. Sedikit banyak Cakka menyadari Agni bisa saja tersinggung karena ucapannya barusan jika penyampaiannya salah. Maka dari itu, ia agak mengecilkan volume suaranya. 
Agni tak langsung menjawab. Ia cukup lama hanya diam menatap Cakka. Karena tak kunjung direspon, Cakka mulai bergerak untuk melanjutkan jalannya. Namun, tak sampai satu langkah itu sukses, Agni menyahut. “Jadi, lo beneran marah sama gue?”
Dua kali. Batin Cakka. Ia mulai bosan dengan pertanyaan Agni yang satu ini. Okey, mungkin caranya menjawab sebelumnya belum bisa dipercaya gadis itu. Ya, mungkin begitu. “Enggak..sama sekali enggak.” Jawab Cakka. Agni diam dan memperhatikan lagi. Cakka tak lantas melanjutkan berjalan. Ia tahu, gadis di belakangkan belum selesai bicara. Karena itu, percuma jika ia tetap melanjutkan berjalan. Agni pasti akan menahannya. 
“Lo kenapa?”

“Gak kenapa-kenapa.” Cakka masih menjawab tanpa balas memandang Agni. Dan di belakang sana, Agni masih belum menyerah. “Lagi ada masalah?” tanyanya kembali.

Kali ini, Cakka berhasil dibuat Agni menoleh. Hanya sedikit dan itupun sekilas. Ia lantas berkata datar. “Bukan urusan lo.”

Iya, bukan urusan gue. batin Agni membeo. Ia tak lama menjeda waktu, karena Cakka juga pasti tak ingin berlama-lama bersamanya. Seperti yang pemuda itu bilang, dirinya ingin sendirian. “Oh, okey. Gue juga cuma mau minta maaf doang. Sorry ya, soal bola, gue gak sengaja.” Kata Agni tenang. Cakka tak menjawab. Oke, diam artinya iya. Pikir Agni. “Gue duluan kalo gitu.” Tanpa peduli Cakka menyahut atau tidak, Agni lekas berlalu. 
Ada seberkas goresan dirasa Agni dalam dirinya. Hatinya dikecewakan oleh satu kalimat yang baru saja keluar dari mulut Cakka untuknya. ‘Bukan urusan lo.’. Ternyata Cakka belum nganggap gue siapa-siapa. Gue kira dengan sikap dia yang gak jarang nyamperin gue, kepo soal kehidupan gue belum bisa buat dia nganggep gue temen dia. Ya, gue bukan siapa-siapa. Dan mungkin emang dia bukan Aga-nya Nia, Aga gue yang gue cari selama ini. Kecurigaan gue Cuma kebetulan. Agni, Agni! Kalung kayak gitu pasti di produksi lebih dari seratus, dan ada lebih dari seratus kalung imitasi kayak gitu. Yaampuuun! Betapa bodohnya gueeee!
Sementara itu, Cakka memandangi punggung Agni lekat. Ia menggeleng pelan. Akhirnya gadis itu melenggang pergi juga. Pikirnya. Dasar gadis kalung! Ia lantas kembali berjalan setelah raga Agni tak lagi bisa ia perhatikan. 
Satu...Dua...Tiga...
Tepat di langkah ketiga, pemuda itu berhenti. Berdiri diam sambil memikirkan sesuatu yang baru saja dipikirkannya. “Kalung?”
***

Masih dan selalu sama, sorry yak kalo gak sesuai -,-v

2 komentar: