-->

Jumat, 03 Mei 2013

Matchmaking Part 20


Karena udah tengah malem, tek mengetek nya besok aja ya -_-vvvv

***

“Viaaa, ngantin yok?”
Gabriel sembari menggelayuti lengan Via manja. Baru kali ini ia seperti itu. Via mengernyit heran. Kerasukan lagi? Setan dalam tubuh tuh cowok ada berapa sih? Batinnya seraya garuk-garuk kepala. Gabriel pun berjalan ke meja Via dan Ify. Ify tampak termenung di sebelah Via, sementara Via masih sibuk mencatat beberapa meteri yang belum sempurna tersalin di catatannya.

Set!

Gabriel merebut pena yang Via gunakan. Kejadian ini terulang. Gabriel mengambil barang-barangnya, membawa kabur lalu mengembalikannya kembali dan seketika mengabaikannya, dirinya dan barang-barangnya. Sssst, tidak usah diingat lagi Via! Sangkal Via dalam hati. Ia menutup buku dan beralih ke Ify. Hari ini gadis itu sedikit aneh, sepanjang pelajaran tidak berbicara. Antara serius memperhatikan atau malah melamun. Hmm, sepertinya kemungkinan kedua lebih berkemungkinan benar.

“Hoi pi! Ngantin gak?” sentak Via dengan menyenggol dikit lengan gadis itu. Ify terkejut. Seperti baru bangun dari fantasi yang ia jalani beberapa jam ini. “Hah? Ee..” Ia melihat sekeliling kelas dan kosong. Hanya tinggal mereka bertiga. Ia mencuri pandang ke arah bangku Rio. Pemuda itu juga tidak ada disana, hanya bangku kosong dan sebuah buku tulis yang tergeletak begitu saja di meja. Ify menghela nafas panjang.

“Kayaknya gue ke perpus aja deh, pengen nenangin diri. Gue cabut dulu!” kata Ify lesu. Lantas beranjak dari tempatnya dan keluar kelas. Via memandangi lekat-lekat punggung Ify yang menghilang dibalik pintu. Fy, fy, idup lu madesu amat. Batinnya miris. Kepalanya bergerak pelan ke kanan-kiri seirama dengan decakan ringan dari mulutnya.

Seeet!

Tiba-tiba ada yang menggeser arah pandangnya ke arah lain. Ke arah pelaku penggeseran. Iel! “Astapiruloh!” Latah Via. Ia kaget. Jantungnya seperti baru saja melakukan lompat indah mendadak dan malangnya tidak mendarat dengan mulus, yakni membentur bibir tulang rusuk. Sehingga mengakibatkan debaran dahsyat dalam ruang jantungnya itu. Dan hal itu cukup membuatnya sesak sesaat. Ditambah lagi saat ini, wajahnya hanya sekitar 5 centi dari wajah Gabriel.

Gabriel seketika manyun. “Lo ngira gue setan?” katanya protes. Via hanya nyengir seraya garuk-garuk kepala. Walau sebenarnya dalam hati, ia masih deg degan luar biasa. Malah semakin jadi. “Hehe maap, kelepasan dan...mirip sih,”

Gabriel menoleh cepat. “Maksud lo?!”

“Hehe...piss,”

Sekali lagi, Via hanya nyengir. Kali ini dibarengi dengan sembulan 2 jemarinya yang membentuk huruf V. “Via jahat! Iel ngambek ah!” Nada suara Gabriel berubah manja, lagi. Alis Via terangkat satu. Pipinya langsung mengembung semaksimal mungkin menahan tawa yang ingin segera meledak itu. Akan tetapi, usahanya tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik. Tawanya itu dengan lancar meluncur keluar. “Dih, ada gitu ngambek bilang-bilang?” Gabriel merengut. Sejurus kemudian, ia memasang tampang ngambek seperti yang ia bilang tanpa membalas ledekan Via dan memalingkan wajahnya dari gadis itu.

Via tersenyum tipis. “Heeh, beneran ngambek?” goda Via kembali. Ia menoel dagu Gabriel beberapa kali. Gabriel mengelak dan menjauhkan lebih jauh wajahnya dari jangkauan Via. “Lo harus mewujudkan beberapa permintaan gue, baru ngambek gue reda.” Mata Via membelalak lalu kemudian tersenyum geli. “Hujan kali pake reda! Dimana-mana, jin mana aja pasti nawarin permintaan, gak ada tuan yang minta duluan. Dan, belum tentu juga gue mau!” Gabriel menoleh datar ke arahnya. Sontak senyum Via agak meredup. Sepertinya Gabriel serius.

Gabriel terus-menerus menatap Via tanpa ada ucapan apapun yang keluar dari mulutnya. Bagi Via, tatapan Gabriel begitu merisihkan. Atau lebih tepatnya, mengganggu. Ia bisa mati salting jika terus-terusan menjadi pusat perhatian Gabriel yang telah lancang ia jadikan sebagai orang yang mendapat perhatian paling pusat darinya. Ada permintaan terakhir? Hati kecil Via menyahut tak sedap. Refleks, tangannya mengepal lemah dan memukul pelan bagian yang menyahut itu agar tak lagi berbicara yang macam-macam. “Lo ga ada objek lain gitu buat diliat? Gue mulu...kkka..kalo gue geer bisa bahaya..”

Gabriel mendekatkan wajahnya –yang sebelumnya memang sudah dekat– ke wajah Via. Via mundur sebanyak centi jarak yang ditempuh wajah Gabriel ketika mendekat. Via tercenung sejenak. Dejavu! Ia merasa pernah mengalami saat-saat seperti ini tapi tak tahu kapan. Perasaan gue aja mungkin. Batinnya, mencoba menenangkan diri sendiri.

“NAH!” Gabriel menyeru dikala keheningan sesaat di antara mereka. Telunjuknya mengarah ke wajah Via. Sudut-sudut bibirnya tertarik melengkung membentuk sebuah senyuman. Ia lalu meloncat dari kursi yang ia duduki. Mengitari meja hingga sampai di depan Via. Kening Via mengerut-ngerut melihat tingkah Gabriel yang makin aneh. Sebentar manja, sebentar ngambek dan sekarang tiba-tiba girang.

Gabriel mengerlingkan mata padanya dan tersenyum misterius. “Karena lo udah bikin gue ngambek, maka lo harus dan wajib memenuhi 3 permintaan gue!” ujarnya tanpa berunding. “3? Banyak amat!” Via mencoba protes akan tetapi mendadak ia disoroti dengan mata Gabriel yang kumayan menyeramkan. Sehingga ia pun –terpaksa– menurut. “I..i..iya iya idem gue idem.” katanya pasrah. Senyum Gabriel makin mengembang. Ia kemudian mulai menyebutkan permintaannya satu-persatu.

“Pertama. Berdiri lo!” Ujar Gabriel sebagai awal. Ehm, maksudnya mungkin memerintah. Via mau tak mau berdiri tanpa protes lagi. “Kedua. Dalam hitungan ketiga, lo jawab pertanyaan gue dengan cepat! Jangan lupa seyum. Supaya membuktikan gak ada paksaan saat lo menjalankan apa yang gue minta.”

Lo emang maksa gue, Nyet! Protes keras hanya mampu terlontarkan dalam hati. Karena pada kenyataannya, Via hanya bisa menurut dan menurut pada apa yang Gabriel perintahkan. Ia pun kemudian tersenyum. Iya, memang cuma itu yang bisa ia lakukan sekarang. Selain menjalankan permintaan Gabriel tentunya.

“Gue belum ngitung!” sungut Gabriel melihat Via tersenyum tanpa aba-aba. Kepala Via tak luput dari pentungan Sekali lagi, Via hanya pamer gigi dan nyengir tak bersalah.

“Siapaaaaa...” Gabriel menjeda sebentar bicaranya. “Siapaaa..orangyanglosuka? 123!” lanjut Gabriel dengan sedikit mempercepat dibagian akhir.

“Hmm Gab...” Via dengan cepat pula tersenyum dan dengan tenang hampir menjawab secara keseluruhan. Akan tetapi refleks lidah dan otaknya cukup tanggap sehingga beruntung nama sakral itu hanya sepertiga suku kata yang terucapkan. Sekaligus menyelamatkan ‘mukanya’ dari Gabriel. Mata pemuda mancung di depannya itu memicing dengan bibir menyungging senyum ‘aneh’. Tak ada yang tahu apa arti senyumnya tersebut. Sementara itu, Via kebingungan mencari-cari jawaban lain dari jawaban sebenarnya tadi. “Gab...Gab...Gab! Iya, Gab!” Ujar Via

“Siapa?” tanya Gabriel memastikan, masih dengan senyum ‘aneh’nya itu. Via tersenyum senang kemudian menjawab kembali dengan tenang. “Gab, namanya Gab. Dia..”

Cup!

Pipi bulat penuh milik Via terlihat bergoyang sekilas. Tak lama kemudian muncul rona kemerahan di tengah-tengahnya. Bagaimana tidak?! Iel dengan santai dan tanpa izin mengecup pipi bulat penuhnya. Pipi kesayangan Via yang belum pernah seorang pemuda pun diizinkan ‘mengecup’nya. Pipinya itu hanya boleh di’rasakan’ oleh orangtua, ketiga sahabatnya dan orang yang benar-benar ia cintai serta memiliki status sebagai pacar atau bahkan suaminya. Tapi sekarang malah..Gabriel? APA?!!

“YAAAAAAAAA GABRIEEEEEEEL KAMBIIIIING SINI LOOOOOO!!!!” melihat Via mengamuk, Gabriel dengan kecepatan 1000 meter per 0,000000001 sekon menghilang dari pandangan gadis itu alias kabur. “Itu permintaan ketiga gue, hehehe.” Gabriel membawa serta cengengesannya dalam aksi menghindar dari Via. Via lantas ikut berlari menyusul pemuda kurang ajar yang satu itu. GABRIEL GILAAAA!!! HIHIHI!!

Meski memendam sebal yang teramat sangat pada Gabriel, dalam pelariannya Via diam-diam mengikik. Ia tak luput merasakan senang juga. Gabriel nyium pipi gue!! Pekiknya dalam hati. Ia geli sendiri mengingat ketika bibir Iel menempel di pipinya. Setidaknya, ia mencintai Gabriel dan pemuda itu cukup berhak melakukan’nya’ padanya.

Bunga-bunga kemudian tumbuh serentak melengkapi moodnya yang mendadak meningkat baik sekarang. Ratusan kupu-kupu berterbangan mengepakkan sayap, menyibakkan angin dalam perutnya. Merebah dan merambat ke rongga dada. Sedikit-demi sedikit menyelinap ke dalam. Menyentuh bagian paling sensitif, membangunkan bahkan membuatnya berdesir untuk kesekian kalinya. Hatinya. Bagaimanapun akhir dari sikap Gabriel hari ini, Via tidak peduli. Akankah ia hanya dipermainkan, ia pun turut tak peduli. Sikap manja Gabriel hari ini sudah berhasil membuatnya melupakan hal-hal menyesakkan dada seperti itu.

***

Seperti sepasang anak kecil yang sedang bermain, Via dan Gabriel berkejaran ria melewati koridor Parfait yang tidak sedang sepi ketika itu. Berulang kali Iel menabrak orang-orang yang sedang berdomisili disana. Ia tidak terlalu ambil pusing. Ia lebih mengkhawatirkan jika yang ia tabrak itu Via. Bisa gawat kalau ia lebih dahulu tertangkap. Rencananya akan sedikit melenceng.

Dari radius 5 meter, terlihat seorang gadis berambut sebahu, berpostur agak gemuk dan berpipi bulat penuh yang menjadi penyebab Gabriel menabraki orang-orang tak bersalah di sekitar koridor yang dilewati. Suara cempreng dan cablak dari gadis itu membahana menyamai hiruk pikuk suara yang memang sudah tercipta lebih dulu. Beragam tanggapan muncul mengiringi aksi kerjar-kejaran antara Via dan Gabriel. Ada yang mencibir, ada yang bingung, ada yang tersenyum ‘aneh’ dan tentu saja masih ada yang tidak peduli. Beruntungnya adalah tidak ada dari mereka yang ikut berkejar-kejaran.

Kedua pelangkah Via makin diburu demi menangkap pemuda gila yang juga dipendaminya rasa spesial itu. GABRIEL! GUE JADIIN SUP LO!! Teriaknya menggebu-gebu dalam hati. Meski begitu, sedikitpun air muka kesal tak tampak di wajahnya. Ia justru sejak dari pertama menyeringai mengejar Iel disertai cekikikan kecil yang sesekali terdengar. Gabriel juga tak jauh beda. Hanya saja, pemuda ini lebih banyak mengolok-ngolok Via dibanding ikut tertawa bersama gadis itu.

Raga Gabriel kemudian lenyap di penghujung koridor. Apakah pemuda itu masih tetap berlari menghindarinya atau justru bersembunyi di suatu sisi, Via tidak tahu. Yang jelas, ia tidak dapat menemukan pemuda itu lagi. Ia mempercepat –lagi– langkahnya sampai di tempat terakhir Gabriel terlihat. Nihil. Tak terlihat pemuda itu disana. Ia berjalan beberapa langkah lagi.

Dan ketika kepalanya tertoleh ke kanan, tampaklah seorang pemuda yang ingin sekali ditangkapnya itu sedang berdiri manis sambil tersenyum manis pula, di salah satu meja batu yang bertebaran di setiap halaman Parfait. Di tempat pertama kali Gabriel membuatnya berkejaran dengan pemuda itu. Tempat ketika Gabriel mengambil paksa tas beserta alat tulis yang saat itu sedang ia gunakan. Via stuck di tempat, masih terpesona akan tempat kenangan yang kini dihuni Gabriel. Gabriel melambaikan tangan menyuruhnya mendekat. Entah disadari atau tidak, kaki Via mulai melangkah lagi satu-satu meski tidak begitu cepat, justru sangat lambat, maju sedikit demi sedikit ke arah dimana Gabriel berada.

Cukup lama jika dihitung menurut satuan waktu *efekujian*, Gabriel masih setia menunggu Via tanpa menghilangkan senyum manis dibibir yang sejak awal tadi di sunggingnya. Terdapat dua kotak tipis dan 2 kaleng minuman yang masing-masing terletak manis satu sama lain berhadapan. Di tengah-tengahnya diletakkan sebuah vas bunga tanpa bunga alias vas kosong. Meja yang ditempatinya pun tidak lagi polos, melainkan terbentang sebuah taplak yang motifnya sangat lucu -apabila yang menilai itu seorang perempuan-. Yang jadi pertanyaan sekarang, siapa yang menyiapkan semua itu? Gabriel? Tapi jika benar Gabriel yang menyiapkan, lalu untuk apa?  

“Akhirnyaaa sampe juga lo!” Gabriel berjalan mendekati Via. Dihadapannya Via bergeming berikut dengan tatapan bingung gadis itu. Ia lalu menuntun Via duduk di kursi di depannya. Via menurut meski masih tetap bingung. Gabriel kemudian menduduki kursi yang tersisa tepat berhadapan dengan Via. Ia mulai membuka satu dari dua kotak berisi makanan yang ada disana. Ia tersenyum melihat isi dari kotak tersebut. Makanan kesukaannya. Pizza timeee!

Sementara itu, Via tak melakukan apa-apa, masih tetap bergeming. Hanya menatapi kotak pizza dan minuman kaleng yang sepertinya disediakan khusus untuknya. Khusus? Masa sih?

“Ah!” Seru Gabriel. Ia melupakan sesuatu. Ia lupa bahwa vas bunga yang terletak disitu masih kosong. “Kenapa?” tanya Via bingung, lagi. Gabriel tidak menjawab. Hanya tangannya yang bergerak mendekati lubang vas. Jemarinya mengepal dan terangkat ke atas sambil membuka perlahan. Ketika tangannya diangkat, secara ajaib muncul setangkai mawar dari kepalan tangannya itu. Mawar putih. Sahut Via dalam hati.

“Woaah!” kata Via histeris sambil bertepuk tangan heboh. Didepannya Gabriel tersenyum bangga karena uji coba hasil belajarnya selama tiga hari berhasil. “Kok lo bisa romantis?” tanya Via polos. Atau mungkin itu bukan sebuah pertanyaan. Hanya pernyataan kekaguman terhadap apa yang dilakukan Gabriel. Ia menumpu dagu dengan kedua telapak tangan dengan sedikit memiringkan kepala. Lalu tersenyum seimut-imutnya pada Gabriel. Kemudian kedua matanya mengerling ke arah pemuda itu.

Gabriel sendiri merasa agak aneh. Asing baginya jika Via bertingkah ke-cewek-an begitu. Apalagi dengan sikap sehari-hari Via yang cablak, cuek dan anti dengan kelemah-lembutan apalagi keimut-imutan. Kalau saat ini sih disebut kecibi-cibian. Kerasukan juga nih anak! Pikrinya. Gabriel lagi-lagi cengengesan karena terlanjur salting. Ia juga tidak tahu apa yang harus ia katakan. Sesaat senyum Via berubah menjadi senyum yang lain. Senyum menyelidik. “Gue mencium bau-bau....” katanya menggantung, layaknya detektif yang sedang mencurigai sesuatu dan berusaha membuat sasarannya mati kutu.

“PIZZAAA!” teriaknya mendadak. Bukan mati kutu, sasaran Via, Gabriel, sepertinya mati gondok. Ia spontan menatap Via bengis seraya menggeleng-gelengkan kepala. Tak cukup untuk dijadikan bahan pikiran, Gabriel beralih pada pizzanya. Ketika sepotong pizza hendak dimakan, Via dengan cekatan merebut pizza tersebut dari tangannya. Iel menatap kembali gadis yang sedang bersamanya sekarang. “Gue tebak, pasti gak menguntungkan buat gue.” Kata Via sok tahu. Ia menggigit segigit potongan pizza yang direbutnya tadi.

“Pasti ada!” sungut Gabriel dengan tangan bersiap memasukkan pizza baru ke mulut. Namun, Via dengan cepat merebut pizzanya untuk yang kedua kali. Via lekas melahap pizza rebutan barunya itu sekaligus. “Hmm..yawkyin lwo? Ciwyius? Mwiwapwah?” balas Via dengan mulut dipenuhi pizza. Gabriel melakukan aktivitas baru yakni garuk-garuk kepala sambil berdecak heran melihat gadis yang pipinya terlihat lebih tembem sekarang. “Emang gue ada tampang-tampang modus-an gitu?” Via memperhatikan sebentar wajah Gabriel sekaligus berusaha menelan pizza yang sedang memenuhi rongga mulutnya.

“Lo mirip kambing -,-” kata Via polos bin tulus (?). Kelewat polos dan tentunya kelewat tulus. Gabriel baru saja hendak memasukkan sepotong pizza ke dalam mulut. Namun gerakannya terhenti seketika mendengar kesimpulan pengamatan Via akan wajahnya. Dengan lebih dari sangat polos, Via merebut pizza Gabriel, lagi. Bukan hanya merebut, ia turut pula melahap ‘curian’ itu sekaligus. Gabriel menatapnya bengis sebengis-bengisnya. Yang ditatap hanya nyengir dan tetap melanjutkan makan.

“Gue mau minta bantuan lo nemenin gue nemuin Pricilla besok siang,” Gabriel akhirnya jujur.

“Uhuk!”

Mendengar Gabriel menyebutkan nama ‘Pricilla’, tenggorokan Via langsung terasa penuh dan memaksa untuk dikeluarkan sebagian. Gabriel segera menyodorkannya minum. Minuman kaleng yang diberikan Gabriel tersebut dalam 3 kali teguk langsung berkurang isinya menjadi setengah bahkan hampir habis. Via mengumpati habis-habisan dalam hati baik Pricilla maupun Gabriel. Ia tidak habis pikir bahwa dirinya lagi-lagi hanya sekedar dimanfaatkan, oleh pemuda yang sempat membuatnya tercenung hari ini, Gabriel.

Tapi, salahnya juga sih. Siapa suruh menerima permintaan Gabriel untuk menjadi pacar pura-pura? Karena sudah menerima, dimanfaatkan itu termasuk ke dalam yang namanya ‘resiko ditanggung pembeli’, kan? Yaudah deh.
“Gue mau lo apain?” serah Via tanpa menatap pemuda yang ia ajak bicara. Gabriel mengadu dan menggosokkan kedua telapak tangannya –seperti orang ketika kedinginan- dengan air muka semangat maksimal. Mengambil ancang-ancang untuk mengutarakan apa yang ingin ia lakukan hari ini dan tentu saja harus melibatkan Via dalam prosesnya.

“Gue mau mutusin dia dan..” Belum lagi kalimat Gabriel selesai, Via sudah lebih dulu memotong. “Mutusin? Kok lo mudah banget sih nyebutnya?” rutu Via. Yah, meskipun ia merasa senang karena akhirnya Iel akan bergelar single, tapi ia juga perempuan sama seperti Pricilla. Perasaan Pricilla turut pula bisa ia rasakan. Diputusin, apalagi bagi seorang wanita yang mencintai, adalah hal memalukan sekaligus menyakitkan. Terlebih sakit yang diterima setara dengan sakit ketika menghadapi proses melahirkan (?) dan membekas tanpa pernah bisa disamarkan ataupun dipulihkan seperti semula. Meski satupun dari hal tersebut belum pernah dialaminya.

Gabriel hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Tatapan heran Via pun langsung terhunus padanya. “Kapan sih lo serius?” gumam Via sambil melahap pizzanya lagi. Gabriel melirik sekilas. “Sama lo gue serius kok, Vi.” katanya seraya tersenyum malu. Mata Via membuka lebih lebar dan seketika tertawa. Ketika tawanya senyap, ia menatap Gabriel datar. “Kambing lo!” Via meneguk minuman kaleng yang hanya tinggal setengah isinya tadi. Sementara Gabriel garuk-garuk kepala. Ada yang salah? Pikirnya, serius. Ulangi, serius.

“Gue serius Vi.” katanya lagi mencoba membuat Via percaya. Via tak terlalu mengambil hati. Ia segera mengembalikan topik perbincangan yang sedikit menyimpang beberapa derajat saat ini, ke topik awal. “Jadi, gue mesti ngapain?” Gabriel kembali bersemangat. Ia melirik ke arah Via seraya tersenyum penuh arti.

***

“ALVIIIIIIIIIIIN!!!!!!!!!!!!!!!”

Lengkingan suara Shilla terdengar jelas di telinga Alvin bahkan teramat jelas sehingga ia harus menjauhkan bbnya beberapa centi dari telinga. Ia mengorek-ngorek telinganya yang bernasib sial mendadak itu. Alvin lalu menghela nafas. Shilla pasti marah besar. Pikirnya. “I..i..iya, kenapa Cantik?” Ia menyempatkan diri mencoba meredam amarah Shilla melalui panggilan kesayangan pada kekasihnya itu.

Namun, bukannya redam, api dalam tubuh Shilla malah semakin meluap. “Cantik cantik, gue cekik lo! Bisa gitu lo bilang gue cantik sementara lo lagi dua-duaan sama cewek lain! Satu ruangan lagi! Alviiiiin cina tanggung jahat banget sih looo!!” teriak Shilla lebih keras. Alvin terpaksa menjauhkan bbnya lebih jauh lagi. Bahkan sampai mengurangi sampai setengah volume suara bbnya. Cewek gue belajar dari kenek mana bisa teriak sekeras ini, astagaa..

“Shilla sayang cantiknya Alvin, dengerin gue dulu dan...plis..plis banget, jangan teriak...gue..”

“ALVIIIIIN!!!!!” Ternyata pepatah itu benar adanya, bahwa sesuatu semakin dilarang maka akan semakin dilakukan. Alvin menghela nafas jauh ke dalam.

“Shillaaaa...pliiiss..” pasrah Alvin. Biasanya, jika Shilla sudah mengamuk, ia kehilangan ide bagaimana cara membuat gadis itu cepat tenang. Seperti saat ini misalnya. Tapi, untunglah Shilla langsung diam ketika Alvin bilang seperti itu. Ia benar-benar diam. tapi beberapa saat setelah itu, terdengar isakan-isakan kecil dari speaker bb Alvin. Alvin seketika panik. Ia tahu, Shilla pasti sedang menangis.

Mendengar itu, kepala Alvin terasa merenyut-renyut. Ia kebingungan bagaimana menghadapi kekasihnya. Hingga beberapa bulan berpacaran, memang Alvin belum juga bisa menemukan cara membujuk Shilla ketika gadis itu marah ataupun ngambek apalagi menangis. Ia paling takut jika Shilla menangis. Akan jauh lebih susah menenangkan Shilla ketika menangis dibanding kemarahan gadis itu. Shilla akan sulit mendengar apa yang ia katakan nanti. Ia mengulangi gelengan kepalanya. Alvin..Alvin, lo gimanasih jadi cowok?

“Shilla jangan nangis dooong, gue bingung kalo lo nangis gini...” Shilla tak menyaut, hanya isakan-isakannya saja yang memberi tanda pada Alvin bahwa gadis itu masih menyimak perkataannya. “Shillaa, udah dooong nangisnya, ntar gue nangis nih,” Bujuk Alvin, lagi. Bukannya mereda, tangisan Shilla justru meledak. “HUAAAA ALVIIIN!!!” teriak Shilla kencang. Alvin kemudian harus kembali menjauhkan ponsel dari pendengarnya.

“Haduuh nangis beneran deh gue kalo gini ceritanya,” ringis Alvin. Pelan-pelan didekatkannya kembali ponselnya itu. Setelah menarik nafas dalam, ia kembali berusaha membujuk Shilla. “Shilla sayaang..gue..gue sendirian kok sekarang, ga ada cewek lain yang nemenin gue.. Cuma lo seorang kok..”

“Be..bener? Lo sendi..sendirian?” tanya Shilla patah-patah karena habis menangis.

Berhasil! Bujukan Alvin kali ini dapat meredakan tangisan Shilla walau sedikit. Alvin pun dapat sedikit bernafas lega. Alvin mengangguk tanpa sadar bahwa Shilla tidak mungkin bisa melihat anggukannya itu. “Iyaa cantiiik, cuma lo kok yang nemenin gue sekarang! Iya, cuma lo!” ujar Alvin dengan senyum mengembang. Di seberang sana Shilla ikut tersenyum dan juga tak menyadari Alvin takkan bisa melihat senyum manisnya itu. Tersenyum dan terisak disaat yang bersamaan. Cuma cewek yang bisa! Kadang-kadang cowok juga sih..

“Awas aja lo bohong!” ancam Shilla. Keduanya kemudian tertawa kecil, menertawai tingkah ke-anak-kecil-an mereka berdua.

Sementara itu, Febby yang sedang duduk disofa depan tempat tidur Alvin hanya ikut geleng-geleng kepala. Ia mau tak mau harus menyaksikan drama percintaan remaja yang agak lebay sekarang-sekarang ini, tepatnya pada saat ini, seperti yang diceritakan dalam televisi ataupun novel-novel romance. Haruskah gue memiripkan diri dengan Shilla? Tanda tanya besar yang baru saja muncul dibenaknya dan seketika itu dibencinya pula. Febby lantas beranjak dari sofa dan berjalan mendekati pintu kamar tempat Alvin dirawat. Lama-lama menyaksikan pertunjukkan yang masih berlangsung di hadapannya itu membuatnya bosan. Akhirnya udah ketebak! Pikirnya.
Ketika pintu dibuka, seketika muncul banyak orang yang berebutan ingin masuk.

“Wooaaa!”

Febby yang kaget dengan segera serta beruntung dapat langsung menutup kembali pintu yang ia buka. Ia berdiri dan menahan agar pintu tersebut tetap tertutup dan tak ada satupun dari orang-orang diluar sana yang berhasil masuk. Dapat dipastikan orang-orang tadi ialah para wartawan yang ingin meliput kondisi Alvin yang dikabarkan sedang jatuh sakit dan dirawat dirumah sakit. Ia lantas panik dan berteriak pada Alvin sekaligus meminta solusi dari pemuda tersebut. “Viiiin!! Diluar banyak wartawan. Gimana nih? Gue harus ngapain? Kalo mereka tau gue disini bisa muncul yang aneh-aneh ntar!”

Pusing yang beberapa saat tadi menghilang dari kepala Alvin tiba-tiba berbondong-bondong hinggap kembali di kepalanya. Ditambah dengan kehadiran para wartawan diluar ruang inap serta yang lebih parah adalah teriakan kepanikan Febby. Bukan masalah ia ikut panik juga karena kepanikan gadis itu, akan tetapi suara melengking Febby pasti dapat didengar jelas oleh Shilla yang secara sekaligus merontokkan usaha-usahanya dalam membujuk Shilla beberapa saat lalu. Shilla akan tahu bahwa kini dirinya tidak sedang sendirian, melainkan sedang bersama Febby, orang yang menabraknya sekaligus orang yang sangat tidak disukai kekasihnya.

Jika tingkah mereka dikartunkan, muka Alvin pasti sudah merah padam dengan asap-asap putih terpancar dari setiap lubang di kepalanya berikut dengan sirine tanda bahaya yang menjadi latar belakang suara setiap gerakan Alvin. Ia juga akan ditimpa piano besar yang entah muncul dari mana.

“HUAAAAAAA!!!” ringis Alvin keras. Sementara dibalik ponselnya terdengar suara seorang gadis berteriak meneriaki namanya pula dan lantas ikut meringis.

Febby garuk-garuk kepala heran melihat pasangan muda di hadapannya. Sama-sama lebay! Pikirnya. “Terserah lo deh mau ngapain! Lo yang ngurus deh, gue stres!!” Ujar Alvin. Kening Febby mengerut bingung. Bagaimana pula caranya menghadapi wartawan? Yang sering bersinggungan dengan mereka kan Alvin, bukan gue! Aiss!
Suatu ketika Febby teringat dengan misinya. Ia terdiam sebentar. Sejurus kemudian ia tersenyum. “Oke!” katanya mantap. Ia membenarkan posisi berdirinya dan merapikan penampilannya. Dipasangnya senyum seramah dan seanggun mungkin agar tampaknya dikamera akan bagus. Ia membuka perlahan pintu ruang rawat inap Alvin dan tanpa gerakan tergesa-gesa kemudian menutupnya kembali.

Berbagai flash kamera bersilauan dimata Febby. Wartawan-wartawan tersebut langsung mengambil gambar wajahnya untuk dijadikan bahan liputan masing-masing. Febby makin mengembangkan senyum di wajahnya. Sedikit rasa bersalah terbersit di hatinya. Tapi dengan segera rasa itu menghilang. Rasa bersalah gak bisa menyelamatkan sekaligus mengeluarkan gue dari kondisi gue sekarang. Sorry..

***

“Daaah cantiik!”

Kata-kata itu menjadi nada intro masuknya Febby ke ruang inap Alvin setelah beberapa saat menghadapi wartawan yang haus informasi mengenai pemuda sipit itu. febby meliriknya sekilas dan mendesah ringan. Sekaligus lega juga, karena ia tak harus mendengarkan dialog menjijikkan dari Alvin dan seseorang yang malas ia sebut namanya. Yang sampai saat ini masih berstatus sebagai kekasih pemuda itu. Febby kembali menempati tempat awal dirinya tadi. Sofa di depan ranjang yang Alvin tiduri.

“Lo gak geli ngeliat cewek lo?” Diantara sunyi senyap Febby tiba-tiba bersuara. Tanpa memangdang Alvin karena perhatian Febby kini tertuju pada majalah ditangannya. Alvin melirik sekilas ke arahnya namun secepat kilat fokusnya kembali pada ponselnya. “Ngomong sama gue?” datar Alvin. Ia masih kepalang kesal mengingat kelakuan Febby beberapa saat lalu. Suara cempreng gadis itu yang meluluhlantahkan segala upayanya dalam sekejab. Seperti terjatuh dari atas tebing yang hanya tinggal selangkah lagi mencapai puncak.

Febby memalingkan perhatiannya sebentar dari majalah yang ia baca, akan tetapi bukan ke arah Alvin. Hanya sebentar karena kedipan mata berikutnya, Febby kembali pada majalahnya. “Bukan. Gue ngomong sama Alvin Jonathan.” Balas Febby cuek. Entah bagaimana ekspresi yang ditunjukkan Alvin, Febby tidak tahu. Tapi yang pasti, pemuda itu masih menanggapi omongannya. Terbukti beberapa detik setelah ia bicara, Alvin menyahut. “Dia cantik.”

Perhatian Febby sekali lagi berpaling. Kali ini ia bersedia memangdang Alvin. Ia memperhatikan sebentar lekuk wajah yang sebagian terhalang punggung ponsel itu. “Gue gak minta lo muji dia.” Febby tertawa sarkastis. Ia menutup majalah yang sempat dibacanya tadi dan meletakkannya di meja tepat di sebelahnya. Ia beranjak dari sofa dan berjalan mendekati jendela yang tirainya langsung ia buka. Ia baru saja menyadari kalau sejak pagi tirai itu masih tertutup. Ia juga baru sadar belum ada suster yang masuk ke ruang inap alvin. Apa merek lupa disini ada pasien? Pikirnya.

“Sampe kapan lo disini?” sekarang giliran Alvin yang bertanya. Pemuda itu ternyata masih belum bisa move on dari kemulusan layar ponselnya. Febby mengintip Alvin sekilas lalu menghadap ke depan. Pandangannya masih saja datar. “Makanya lo cepet sembuh..” Nada suaranya tidak menunjukkan bahwa ia sudah mengakhiri bicaranya. Dan memang benar, tak lama setelah itu ia bergumam. “Biaya rumah sakit mahal.” Antara mengeluh, menyindir atau hanya gumaman semata.

“Biaya gue yang tanggung jadi gu..”

“Gak bisa gitu..” Febby menyalip omongan Alvin sebelum pemuda itu sempat menyelesaikan. Ia menoleh agak ke arah belakang, ke arah Alvin. Alvin mengernyit dan akhirnya mau menatap lawan bicaranya. “Gue yang nabrak lo, gue juga yang mesti tanggung jawab, ‘semuanya’” ujar Febby dengan penekanan diakhir kata. Alvin tak membalas. Ia diam sambil menatap gadis itu lama. Sementara Febby kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Melihat beberapa kendaraan keluar masuk parkiran rumah sakit.

Ruang inap Alvin memang tepat berada dengan muka rumah sakit. Sehingga pemandangan yang terlihat pasti berkaitan dengan lapangan parkir, kendaraan, jalan raya dan bangunan-bangunan yang berdiri berdampingan dengan jalan raya. “Gue seneng disini. Ini tempat dimana gue lahir.” Kata Alvin, entah tujuannya untuk apa. Namun, dari nada suaranya, lebih menandakan bahwa dirinya sedang bercerita. Pada Febby. Hah?

“Kenapa gue jadi curhat sama lo?” katanya, lebih tepat pada dirinya sendiri. Febby tersenyum miring. “Gini-gini, gue enak diajak cerita loh!” Alvin mendengar itu lantas mendengus kesal. Bertambah kesal. Bisa-bisanya...bahkan Shilla saja belum tahu kalau tempat kelahirannya di rumah sakit ini. Rumah sakit Cipta Kasih. Kedengarannya memang hanya masalah kecil. Tapi, Alvin tidak pernah bercerita banyak bahkan sedikit pada orang yang tidak benar-benar dekatnya. Lebih parah pada orang yang tidak ia suka.

Alvin meletakkan ponselnya asal dan menghela nafas sejenak menenangkan pikiran. Cukup lama ia diam tanpa melakukan apapun dan mengucapkan sepatah kata pun. Febby sepertinya ikut-ikutan. Ia asyik memandangi pemandangan luar yang sepertinya begitu indah baginya. Keduanya sama-sama terhipnotis kegiatan masing-masing.

“Sampe kapan lo betah sama...cewek lebay itu?” Febby masih mempertahankan prinsip untuk tidak menyebut nama gadis itu, kekasih Alvin. Alvin menoleh padanya dengan alis terangkat satu. “Siapa?” tanya Alvin balik, bertingkah seolah tidak mengerti apa yang Febby maksud. Kedua bola mata Febby berputar bersamaan. “Pacar lo!” katanya memperjelas. Alvin tersenyum lebar mengetahui dirinya akan membahas mengenai Shilla. Entahlah, setiap orang pasti berpikir bahwa Shilla menyebalkan, tapi baginya, gadis itu sangat menyenangkan. Menggemaskan apalagi.

“Sampe gue capek.” Katanya tenang. Perhatiannya terpusat kembali pada ponsel yang sempat diletakkan asal tadi. Ia tebak, kurang lebih pasti sudah ada 2 atau 3 pesan dari Shilla yang berisi gerutuan karena dirinya tidak kunjung membalas. Ia tersenyum geli membayangkan itu. Di samping Alvin, Febby mengerang ngeri melihat sikapnya yang begitu memprihatinkan. Menurut’nya’.

“Kapan lo capek?” tanya Febby lagi. Alvin tidak menoleh padanya. Jemari pemuda itu menari lincah diatas keypad ponsel. “Mungkin ga akan pernah.” Febby mengernyit. Ia diam menunggu kata-kata Alvin berikutnya. “Shilla, dia buat gue ngerasa kayak main virtual game. Ada aja rintangannya. Dan gue gak pernah bisa nebak apa yang akan terjadi ke depan.” Febby melongo. Namun sesaat kemudian ia tertawa sarkastis. Game? Pikirnya. “Shilla mainan lo dong?”

Alvin diam sebentar lalu mengangguk-ngangguk. “Mungkin,” Alvin menarik nafas dan menghembusnya santai. “Mainan dalam ‘kepala’ lo sama ‘kepala’ gue beda.” Katanya seakan tahu apa yang Febby pikirkan saat ini. Apa bedanya? Tanya Febby dalam hati. Ia tidak berniat bertanya langsung. Biar Alvin yang bercerita sendiri. Dan benar saja, tanpa susah-susah bertanya, toh Alvin langsung menjelaskannya sendiri. Mereka seperti punya ikatan batin. Ikatan batin?

“Gue maniak game dan mainan. Gue rela ngelakuin apa aja supaya bisa ngedapetin mainan yang gue suka. Sama kayak Shilla, gue rela ngelakuin apa aja supaya dia bisa jadi milik gue..”

“Tapi mainan yang lo suka banyak. Artinya, kerelaan lo bukan cuma buat Shilla. Tapi juga buat cewek-cewek yang lain.” Febby menyerobot sebelum ucapan Alvin mencapai garis finish. Alvin tersenyum miring. “Gue emang suka banyak mainan. Tapi dari sekian banyak itu, pasti ada satu mainan yang paling gue suka. Yang selalu gue mainin setiap hari setidaknya sekali. Yang gue bakal nangis darah kalo sampe dia hilang. Itulah Shilla.” Febby kelihatan belum menyerah. Badannya berbalik menghadap Alvin. “Lo pasti bakal bosan. Dan ketika ada mainan yang lebih bagus dari mainan lo itu, lo bakal terpikat dengan itu. Dan lo bakal ngebuang mainan yang dulu jadi favorit lo itu.”

Alvin menatapnya sebal. “Gak secepat itu gue bosan. Gak semudah itu juga gue move on. Dan gue gak bakal rela ngebuang gitu aja mainan yang gue dapetin denga susah payah. Meskipun ada yang lebih bagus, tapi tetep aja itu bukan mainan gue. Sensasinya beda! Kecuali, gue lebih dulu ketemu mainan yang lebih bagus itu.” jelasnya panjang lebar dan cukup membuat Febby miskin kata-kata. Ia mendengus. Matanya menatap Alvin kesal. “Tapi tetep aja, kosakata mainan itu gak baik!” Mungkin ini menjadi sanggahan terakhirnya untuk Alvin.

“Kepala lo itu udah terlanjur mengartikan gak baik, makanya penjelasan gue gak bakal bisa bersahabat dengan pemikiran lo.” Alvin tersenyum menang. Febby mendengus lagi dan selanjutnya ia tidak peduli apa yang dikatakan Alvin. Pemuda itu tidak akan ada habisnya menyahut sanggahan yang ia lontarkan nanti. Seketika suasana ruang inap Alvin kembali tenang. Hanya ada terdengar suara-suara dari luar kamar dan luar rumah sakit. Alvin dan Febby masing-masing menutup diri untuk mengajak berbicara lagi.

Namun, belum sepenuhnya menutup diri. Alvin kembali berujar. “Lo ngomong apa sama wartawan?” Ia meletakkan ponselnya sebentar dan menatap Febby serius. Febby mengembangkan senyum senang membalas tatapan Alvin.

“Lihat aja besok!”  

***

Rio memilih sendiri siang ini. Ia tahu saat ini Dea pasti mencarinya di kelas. Karena itu, tepat 5 menit sebelum bel berbunyi ia sudah berada di luar kelas. Ia ingin sejenak mencari ketenangan. Menghindari gadis-gadis yang akhir-akhir membuatnya susah tidur. Dea sekaligus Ify. Yang paling berpengaruh memang Ify. Tapi ia sedikit terbantu dengan sikap menjauh yang dilakukan gadis itu. Sekarang Dea lah yang justru sering menganggunya. Entah kenapa gadis itu menjadi rutin menemuinya di kelas dan mengajaknya pergi ketika istirahat atau pun pulang sekolah.

Rio tidak sendirian. Beberapa murid lain juga sama seperti dirinya. Ada yang sudah keluar sebelum waktu mereka keluar kelas. Rio berjalan dengan kedua tangan menyelinap di saku celana abu-abunya. Matanya memperhatikan sekeliling. Mulai dari siswa yang bermain basket di lapangan tengah, siswa yang hanya sekedar duduk dan berbincang-bincang dengan sesama karibnya bahkan ada sepasang siswa dan siswi yang mengambil posisi pojok dan bercengkrama disana.

Rio menaruh perhatian yang agak lebih lama pada sepasang siswa siswi tersebut. Ia tersenyum tanpa sadar. Gue sama Ify kapan kek gitu? Tanpa sadar pula batinnya bertanya seperti itu. akan tetapi, kerja sistem sarafnya cukup cepat sehingga memperkenankannya untuk segera menyadari keanehan yang baru saja terjadi padanya. Keningnya mengerut disusul dengan gelengan kepala singkat tanda ketidaksetujuannya pada apa yang terlintas dipikirannya.

Tak terasa ia sudah berkeliling hampir ke semua bagian Parfait. Ia sampai pada daerah yang agak jauh dari kantin dan terlihat kurang menjadi tempat favorit siswa di sekolahnya. Terbukti keadaan sekelilingnya sepi. Mungkin bisa dipastikan hanya dirinya yang menginjakkan kaki disana. Tapi tunggu. Sepertinya Rio tidak sendiri. Seorang gadis baru saja keluar dari toilet di sekitar keberadaannya. Gadis itu, gadis yang waktu itu membuat Ify terduduk di lantai.

Tujuan perjalanan Rio seketika berubah. Ia sekarang menjadi pengikut gadis yang menjadi satu-satunya teman huninya disana. Ia berjalan sekitar tiga setengah meter di belakang gadis itu. Gadis itu pada awalnya tidak curiga. Namun, beberapa saat berikutnya gadis  itu mulai menampakkan gerak-gerik tidak nyaman. Oleh karenanya, gadis itu berhenti dan seperti menunggu Rio datang. Rio tersenyum. Ia berjalan dengan tenang. Memang seperti itu yang ia inginkan. Ia lebih suka jika gadis itulah yang mengajaknya bicara. Bukan dirinya.

Tebakan Rio menyimpang maksimum. Ketika Rio berada cukup dekat, gadis itu menepi dan memberi jalan pada Rio agar ia yang berjalan di depannya. Rio cukup dibuat bingung. Ia lantas tersenyum miring. Gadis pintar. Pikirnya. Setelah dirasa cukup jauh, gadis itu melanjutkan kembali langkahnya. Akan tetapi baru beberapa langkah menyusul, Rio berhenti dan otomatis membuatnya berhenti pula. Melihat Rio yang hanya diam, lantas ia melanjutkan jalannya untuk yang kedua kali.

“Jangan ganggu Ify.” ujar Rio tepat ketika gadis itu berada di sampingnya. Langkah gadis itu terhenti kembali dan

***

Seharian ini Ify tidak bertemu Debo. Biasanya makhluk ajaib itu yang memunculkan diri dengan sendirinya di hadapan Ify. Ify juga tidak bertegur sapa dengan Rio hari ini. Pemuda itu tidak muncul tiba-tiba menjemputnya di rumah lagi. Hari ini ia untuk pertama kalinya berangkat dengan whity, jazz putih kesayangannya, setelah sekian lama dilarang Ferdi, ayahnya. *benergaksihwarnaputihdulu?* Ah sudahlah, pemuda itu tak perlu diingat terlalu banyak. Harus ia lupakan sangat banyak tepatnya.

Meski begitu, ia bersyukur dengan ketidakbertemuannya dengan pemuda-pemuda tersebut. Ify juga kebetulan sedang ingin sendirian hari ini. Ia sedang ada misi. Menyelidiki Angel, sigadis sepatu pertama, yang beberapa hari lalu tak sengaja bertemu dengannya dirumah sakit. Sebelum itu, ngomong-ngomong tentang Rio, waktu itu Angel sempat melemparkan tatapan aneh pada Rio. Ia jadi teringat kata-kata Obiet, dokter yang menangani papanya sekaligus dokter pribadi Angel. Bukan dokter pribadi, dokter curhat pribadi tepatnya.

“Angel itu sebenarnya sedang...hamil..” Ujar Obiet jujur. Nada suaranya berat dan sedih. Ify kaget ketika pertama kali mendengar itu. Ia mati-matian menyembunyikan hasrat ingin mengumpati Angel meski agak tak menyangka juga jika Angel sedang hamil. Hamil? Gimana bisa masih SMA udah hamil? Hih, udah galak, gak bener lagi! Pantesan! Gue yakin, pasti dia orang yang ngurung gue waktu itu! Tapi...agak aneh juga sih.. pikirnya. Sedikit banyak ia merasa bersalah telah mengumpati Angel seperti itu walaupun tidak tersampaikan secara terang-terangan.

“Saya kenal dia sejak kecil karena saya sahabat ibu dan ayahnya. Pertama kali saya mengenal Angel, dia anak yang cantik, baik, hangat, aktif, susah marah dan suka sekali tersenyum. Sekalipun belum pernah saya lihat dia ngambek ataupun menangis bahkan ketika ayahnya meninggal. Meski saya tahu dia sangat sedih waktu itu. Tapi, beberapa tahun setelah itu, ibunya menikah lagi. Saya tidak begitu tahu tentang ayah tirinya. Mereka juga langsung pindah ke tempat dimana ayahnya tinggal dan bekerja, di jakarta. Waktu itu saya masih di Surabaya. Dan sekarang, di rumah sakit ini, saya tak sengaja menemukan Angel ketika itu terjatuh di depan pintu toilet. Tangannya memegang test pack *benerga?* yang hasilnya positif. Awalnya saya hanya samar-samar seperti pernah bertemu. Saya membawa dia ke ruang perawatan. Dia mengenali saya dan akhirnya saya tau siapa dia. Dia sangat jauh berbeda dari yang saya temui bertahun-tahun yang lalu. Angel yang sekarang lebih pendiam dan pemurung. Saya terkejut ketika dia bilang bahwa ibunya meninggal saat melahirkan adiknya. Dan yang lebih membuat saya terkejut adalah ketika dia mengatakan bahwa dia....yaah begitulah. Dia tidak pernah mau memberi tahu saya siapa ayah dari bayi yang sedang dikandungnya itu. Ketika saya tanya, dia cuma senyum, senyum yang teramat pahit bagi saya dan apalagi bagi dia..”

Ify mengangguk-ngangguk dengan sesekali kaget mendengar cerita dari Dokter Obiet. Rasa bersalahnya telah mengumpat Angel tadi semakin besar. Aduuh dosa besar nih guee! Kak Angel, maafin gue yaaak! Khilaf kak, khilaf! Ampunnya dalam hati. Obiet lalu meminta bantuannya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Angel, dimana Angel tinggal, bagaimana Angel bisa...dan terutama, siapa laki-laki hina yang telah membuat Angel mengandung pada saat yang tidak seharusnya itu.

“Terus sekarang gue harus ngapain?”  tanya Ify pada dirinya sendiri setelah Flashback panjang pertemuan dirinya dengan Obiet selesai. Sebelumnya, ia tidak pernah menyelidiki apapun. Atau mungkin pernah satu kali tentang si Gadis Sepatu. Itu juga belum menampakkan bibit-bibit keberhasilan sampai saat ini. Sifatnya sendiri sebenarnya sangat mendukung apa yang ia lakukan. Rasa curiga dan keingintahuannya cukup besar. Akan tetapi, ia seringkali salah dalam menentukan simpulan penyelidikannya. Dan bagian yang paling sulit adalah menentukan langkah pertama yang harus ia lakukan.

Kakinya terus melangkah melewati beberapa koridor tanpa komando. Ia baru sadar dirinya berada di salah satu koridor Parfait yang sepi. Ia menoleh ke kanan-kiri dan tak ada satupun orang yang berseragam sepertinya yang berkeliaran disana. Ketika sampai di penghujung koridor, matanya tak sengaja menangkap 2 manusia yang cukup ia hafal gerak-geriknya. Salah satunya ialah orang yang sedang dalam penyelidikannya sekarang. Sementara yang satu lagi ialah pemuda yang baru-baru ini ia coba lenyapkan dari pikirannya.

Rio berjalan di depannya dan Angel ada di depan Rio. Mereka berjalan membentuk satu barisan berbanjar tanpa mengetahui keberadaan masing-masing. Atau lebih tepat jika Rio dan Angel sama-sama tidak menyadari ada Ify di belakang mereka. Sela diantara mereka jauhnya bisa dibilang hampir sama. Masing-masing kelihatan saling menjaga jarak satu sama lain. Dan dari pandangan Ify, ada yang aneh dengan Rio maupun Angel.

Entah bagaimana bisa bayangan senyum misterius Angel pada Rio waktu itu muncul di benak Ify. Seperti sebuah kode dari entah siapa. Ia agak kurang mengerti maksud dari pemberian kode dan kode itu sendiri. Tapi jika dipikir-pikir, keberadaan Rio dan Angel saat ini dengan kode yang Ify terima lumayan berkaitan. Setidaknya, pelaku dalam rekaan di benak Ify adalah orang yang sama. Rio, Ify dan Angel. Yang agak menonjol disana hanya senyuman Angel pada Rio. Senyuman misterius yang hanya dirinya yang tahu apa maksudnya.

Pada Rio? ulang Ify dalam hati. Langkahnya terhambat sedikit karena otaknya sedang difokuskan berfikir. Angel...Rio...Angel...hamil...Rio...Rio...

Deg..

Sisi sebelah kiri dada Ify tiba-tiba bergetar hebat. Pelangkahnya berhenti tepat saat getaran itu pertama kali muncul. Ify tercenung. Matanya mengarah pada lantai koridor dengan pandangan kosong. Lalu pelan-pelan kepalanya terangkat melihat dua orang, atau tepatnya hanya Rio, yang perlahan melebihkan jarak dengannya itu. Rio.. Ify kembali mengeja nama pemuda tersebut dalam hati. Ia tercenung lagi.

“Rio...apa sejahat itu?” mulutnya mengucap pelan dan lirih. “Gak mungkin..” mulutnya mengucap lagi tak yakin. Kedua kakinya kemudian mulai melangkah kembali. Batinnya terus menggumamkan hal yang sama hingga beberapa kali. Gak mungkin.

Angel dan Rio sempat berhenti beberapa kali. Hal itu tak luput membuat Ify panik setengah mati. Beruntung dinding-dinding disekitar koridor bisa membatu menyembunyikan raganya tanpa ketahuan oleh Angel dan Rio. Dan di tempat persembunyian terakhirnya ini, ia mendengar suatu hal yang lumayan membuatnya kaget. Cukup untuk dijadikan bahan bakar bom dalam dadanya. “Jangan ganggu Ify.” Ify? Gue kan? Batinnya terperangah tak percaya. Rio meminta Angel agar tidak mengganggunya. Itu bearti pemuda itu khawatir akan apa yang bisa dilakukan Angel padanya. Bisa jadi, kecurigaan mengenai gadis sepatu juga turut dirasakan Rio.

Tapi, hal itu sekaligus memperkuat hipotesis pertamanya mengenai Rio dan Angel. Angel mungkin mengetahui bahwa dirinya memendam sesuatu yang istimewa terhadap Rio. Maka dari itu, Rio memintanya agar tidak menganggunya.

“Rio..” lirih Ify. Hatinya mencelos menyebut nama pemuda yang satu itu.

***

Jam dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang. Gadis berambut pendek yang satu ini masih setia melakukan kegiatan yang bisa dipastikan sebagai kegiatan terbesarnya hari ini, mondar-mandir tanpa tahu kapan ia akan berhenti. Suatu ketika pintu kamarnya terbuka dan menyembul kepala seorang gadis lain dari balik benda tersebut. “Hai, Vi!” cengirnya pada Via, si gadis berambut pendek yang sedang resah gelisah tadi, tanpa rasa bersalah. Gadis itu sendiri tak lain dan tak bukan adalah Ify.

Via menghela nafas melihat temannya yang satu itu. Ia lantas berhenti mondar-mandir dan duduk di atas kasur. Tangannya mengetuk-ngetuk bagian atas ponsel yang ia pegang sambil memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya, mencemaskan sesuatu. Ify masuk tanpa dipersilahkan. Ia kemudian ikut duduk di samping Via. Tumben temannya itu hanya diam tanpa berkicau seperti biasa jika ia datang tiba-tiba. Pasti ada sesuatu! Ify mulai menebak-nebak bak detektif, cita-cita yang sempat diingininya sewaktu masih kecil dulu. Dan beberapa waktu kedepan akan dijalaninya. Orang yang biasanya ramai dan mendadak menjadi pendiam itu ada 2 kemungkinan penyebabnya. Dia sedang jatuh cinta atau..dia sedang patah hati. *halah*

“Hoy!” Ify bertepuk tangan sekali tepat di depan wajah Via. Via lantas menoleh dan menatap Ify lama, entah mengapa. Kening Ify mengerut ketika dirinya diperhatikan. Mendadak rambut-rambut halus yang menumbuhi permukaan lengannya berdiri. Ia merinding. Tatapan Via yang agak aneh membuat pikiran-pikiran aneh darinya pun bermunculan. Wah, bad feeling nih...Via..lo masih setia jadi temen gue kan? Ga ada niatan move on jadi penyuka gue kan? Tanyanya dalam hati tanpa berani mengungkapkannya secara langsung pada Via.
Lain dengan Via. Seketika, sebuah ide yang bisa dikatakan aneh muncul yang sekaligus mengakhiri kekhawatiran Ify akan dirinya. Dan mungkin jika Ify tahu, dirinya akan benar-benar aneh total dimata gadis itu.

***

“AAAAA ITU SIAPAA!!” 

Seorang pemuda transisi (?) yang merupakan salah satu dari pegawai salon langganan Via, tepatnya mama Via, baru saja selesai melakukan make over terhadap Ify.

“tengkis ya, ciiin!” ujar Via sambil memberikan tip pada pemuda tadi. Pemuda transisi itu mengedipkan mata sambil tersenyum girang dan mengambil tip dari Via. “Kalo job ginian, panggil eyke ajyaa, okeeey!” katanya lagi sambil mengedipkan mata sekali lagi. Ia lantas beranjak keluar dari kamar Via.

Sementara itu, Ify masih berkutat pada kepanikan melihat sosok yang muncul dicermin dihadapannya. Seorang gadis manis dengan rambut yang sebagiannya berwarna kuning kecoklatan. Warna tersebut terlihat jelas terutama dihelaian rambut bagian depan. Gadis itu ialah dirinya sendiri yang ia sendiri tidak percaya bahwa itu dirinya. Via terheran-heran melihat tingkah teman karibnya itu. Ia tidak menyangka bahwa Ify akan sepanik ini.

“Lo gausah lebay bisa gak sih?” Ify tak merespon. Ia fokus meratapi nasib rambut hitamnya yang kini sudah terkontaminasi sebagian menjadi kuning kecoklatan. “Viaaa rambut gue lo apain?!!” Ify balas menggerutu. “kecelup urine!” jawab Via asal. Diameter mata Ify sontak melebar. “Hah?!”

Via mendesah kesal. Ia lebih tidak menyangka lagi bahwa Ify akan menjadi setulalit ini ketika panik. “Ya enggaklah Piyeem! Tadi gue suruh Mince warnain rambut lo. Lo kan udah tau sebelumnya gue bakal ngapain aja, termasuk warna rambut lo.” Ify meringis mendengar kata-kata Via barusan. Benar juga sih, Via memang sudah memberitahunya sejak awal dan bodohnya ia hanya menganggung-ngangguk tanpa benar-benar memahami apa saja yang Via rencanakan. Karena pada waktu itu ia masih curiga dengan senyuman Via yang terlihat ‘mengerikan’ kepadanya.

“Tapi kan...rambut gue...” ujarnya putus asa. Via tidak peduli. Ia berjalan mendekati laci kecil yang terletak di sudut kanan lemari kamarnya. Disana tersimpan segala pernak-pernik tak terduganya dulu dan mungkin sekarang akan sering ia gunakan. Ia mengambil kacamata hitam besar dan sebuah masker. Lalu kemudian kedua barang tersebut diberikannya pada Ify untuk dikenakan. “Nih pake!” Ify menilik satu-persatu barang yang disodorkan Via. Seketika ia dibuat berfikir, jika ia diharuskan memakai kacamata hitam dan masker, lalu untuk apa softlens biru di matanya dan riasan di wajahnya? Tidak ada yang bisa melihat juga kan?

“Buat apa lo dandanin gue kalo ujung-ujung mesti ditutupin?” Mendengar itu Via lantas ikutan berfikir. Sejurus kemudian ia pun meyadari bahwa....Ify lebih pintar darinya, hari ini. “Hehehe kok lo tumben pinter sih, Yem? Sorry deh Yem, khilaf gue.” kalau begini jadinya, Via hanya bisa nyengir dan Ify benci hal itu. Ify langsung menatapnya sinis. Namun sejurus kemudian ia kembali menatap cermin dan kembali meratapi nasib rambutnya.
“Kita pergi sekarang!” Via langsung menarik Ify keluar kamar bersamanya sebelum gadis itu mulai mengoceh. Mereka lalu menempuh perjalanan menuju tempat pertemuan Via dengan... Gabriel!

***

Hiahahahaha apa kabar pemirsaaaah?!!!!!!!! Masih ingat saya? Masih ingat cerita saya? Wkwkwkwk~ Well firstly secondly finally saya kembali lagi ke dunia percerbungan. Jangan sedih duluuu, karena beberapa waktu kedepan saya akan hibernasi kembali. Saya mau UN pemirsaaaah! dan saya stres -__- mohon atuh doaken saya semoga bisa menjalankan UN dengan tenang, lancar dan hasilnya nanti sangat baik *semuabilangAMIN!* Nah, dengan hibernasinya saya maka pemirsa sekalian dapat bergembira hati kembali karena tidak akan berjumpa dengan author gagal seperti saya ini hahahaha .-.v 

Oh iya, ini sebenernya mau lanjutin special part, cuma kasian dengan penggemar couple lain apalagi dengan kenihilan saya melanjutkan cerita -..-v jadi campur aduk lagi deeeh ._. dan sangat sangat meminta maaf kepada yg suka Cagni karena mereka ga muncul disini. saya ga dapat ide haha ._____.v
Pesan-pesan terakhir saya sebelum hibernasi, semoga cerita ini dapat mengenyangkan pemirsa-pemirsa yang selama ini mengaku kelaparan kepada saya -_-v Dan, jangan nantikan saya kwkwkwkwkw~
Wassalam :D:D:D

Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)


1 komentar:

  1. AKHIRNYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!! ayoooo lanjutkan lagi secepatnya pleaseeeee :"""""

    BalasHapus