-->

Jumat, 14 Desember 2012

Matchmaking Part 19 Special Rify Part A


hahaha gue lupa nge post yang ini disini maap maap x_x yowes, sok atuh dibaca dan semoga dinikmati :)

***

“Aku suka sama kakak, hehe..”

Krek!

Seperti bunyi sesuatu yang patah. Ya, ada yang patah, disini! Hati gue! Dan gue gak tahu harus pake lem yang mana.. lirih Ify dalam hati. Meski baru sebaris kalimat itu yang ia dengar, dan mungkin hanya sebaris itu yang sanggup ia dengar nantinya, akan tetapi kekuatan penghancurannya lebih-lebih dari bom atom nuklir di hirosima-nagasaki. Apa dengan itu tandanya...ia akan melepas Rio? secara selama ini, meski baru beberapa hari ini ia melakukan pengamatan dan penilaian, Dea jauh lebih baik darinya. Jauh lebih tahu siapa Rio, bagaimana Rio dan tentunya bagaimana hati Rio.

Tapi, apa ia sanggup melepas Rio? yang sudah berhasil ia ‘sentuh’ dengan susah payah? Apa benar ia sanggup? Mungkin...

***

ENGGAK! Siapa bilang dirinya yang harus melepas?! Rio sudah memberinya kebebasan dan harapan agar pemuda itu jatuh hati padanya. Bukan Dea. Sekali lagi, bukan Dea! Tapi Ify. Tapi gue! Dengan keyakinan yang berusaha dipenuhkan, Ify keluar dari persembunyian yang sudah ditempatinya beberapa menit lalu. Ia muncul dari balik rak buku menuju rak buku di depannya, tempat Dea dan Rio berada, -yang menurut Ify- tempat dimana Dea berusaha menyatakan cinta.

“Gak bisa!” Segera Ify menyahut. 2 orang di hadapannya kini sontak menoleh dan agak kaget juga akan kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Rio mengernyit tak mengerti. Gadis ini kembali berulah, pikirnya terhadap Ify. sementara Dea, air mukanya kelihatan shock dengan adanya Ify tersebut. Nafas Ify sengal. Sebagian keningnya dicucuri keringat. Entah kenapa, berbicara tegas di hadapan Rio dan Dea seolah membutuhkan energi besar hingga dirinya tampak seperti orang kelelahan saat ini. tapi, tidak masalah. Inilah yang namanya perjuangan, perjuangan cinta! #halaah

“Ka..kakFy?” ujar Dea terbata. Sepertinya ia agak takut. Ify tidak peduli. Justru ketakutan Dea yang ia butuhkan. Ketakutan yang dapat membantunya membuat Dea mengerti maksud dan tujuan dirinya muncul tiba-tiba di hadapan gadis itu. memperjuangkan Rio. “Rio gak suka sama kamu! Rio itu..” Belum sempurna ia berbicara, tiba-tiba Rio memotong. “Fy!” wajar pemuda hitam manis itu bersuara. Jika dibiarkan, mulut Ify dapat dengan terbuka mengatakan apa yang tidak tepat Ify ucapkan baginya. Ify bisa saja memberi tahu Dea hubungan sebenarnya antara dirinya dengan gadis itu. mereka dijodohkan.

Seolah diberi sinyal pemberitahuan, Ify lantas mengatup mulut. Namun, tekadnya muncul kembali. Perjuangannya akan Rio belum selesai. Dea harus segera dijauhkan! Tekadnya. “Rio ga suka sama kamu, meski dia pernah terlalu cinta sama kakak kamu, tapi itu bukan kamu, itu tetap kakak kamu. Gak ada yang namanya turun-temurun dalam suka-sukaan apalagi cinta-cintaan. Kak Rio sendiri udah ngaku kalau dia suka sama kakak, dia yang nyuruh kakak buat memperdalam rasa sukanya itu ke kakak. Dan sekali lagi, bukan kamu. Kamu gak bisa. Dan Rio juga gak bisa. Gak akan bisa.”

Telak. Dengan lancar Ify mengutarakan apa yang bahkan tidak ia pikirkan sama sekali. Ia sempat tertegun sebentar menekuri kehebatannya barusan. Kata-kata Ify -mungkin- menyadarkan Dea bahwa kata-kata itu terlalu kejam dan bahkan ikut menyadarkan Ify bahwa memang apa yang ia katakan adalah senjata mematikan bagi gadis –mungkin- lugu dan lembut seperti Dea. Terbukti dengan setetes air mata yang muncul ke permukaan pipi gadis itu. bibirnya pun bergetar. Ia menutup mulut dengan tangan sambil menoleh tidak percaya ke arah Rio maupun Ify.

“Permisi kak..” lirih Dea, suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ia pergi begitu saja dari hadapan Rio dan Ify. Melihat Dea yang pergi sambil menangis seperti itu, membuat Ify merasakan perasaan separuh-separuh. Separuh dari dirinya merasa lega, karena bisa dijamin Dea tidak akan punya minat lagi mengejar Rio. namun, separuh lagi merasa iba, merasa bersalah bahkan menyesal sekaligus. Menurut bagian itu, ia terlalu dini mengambil keputusan. Siapa tahu tadi Dea bukan berniat mengungkapkan rasa cinta. Melainkan hanya bergurau ringan dengan Rio disela-sela belajar.

Astaga! Benar juga! Kalo Dea sebenarnya cuma lagi becanda sama Rio gimana? Tadi kan gue lihat mereka berdua ketawa-ketawa? Ya Tuhaan!! Keringat Ify bercucuran lagi. Ketakutan itu berbalik kepadanya. Ia takut, ia telah salah langkah. Dan kesalahannya ini sepertinya akan menimbulkan efek yang tidak sembarangan. Tentu saja tidak baik dan sangat-sangat tidak baik untuk serta baginya. Semua itu terlihat jelas ketika ia bergeser pandangan ke arah Rio yang menatapnya dengan tajam, dingin, lebih dingin dan lebih menakutkan dari Rio yang biasanya. Lebih menyakitkan dari rasa sakit yang sudah biasa ditorehkan pemuda itu padanya.

Ify menegut lidah susah. Ia merasa tidak punya lidah lagi sekarang. Sementara Rio, sebelah tangannya mengepal dan lantas mendesah begitu kesal. “Lo!” umpat Rio. Badan Ify terdorong selangkah ke belakang. Ify benar-benar dibuat takut. Tangannya langsung memilin-milin bajunya dan jika disentuhkan keduanya terasa dingin sekali. “Apa lo....Maksud lo apa ngomong itu?! apa sedetik sebelum lo berbicara, gak ada peringatan dari diri lo bahwa kata-kata lo itu berbahaya? Lo terlalu kejam dengan cewek selembut Dea. Apa sih yang ada dipikiran lo? Apa gak ada kata-kata menyejukkan di kosakata dalam kepala lo? Hah?!”

Ify diam. takut? Bukan, bukan lagi. Ia kembali tertegun. Dari serangkaian kalimat maut yang dikeluarkan Rio, ada satu pernyataan yang membuatnya sulit berpikir apapun lagi. ‘lo terlalu kejam dengan cewek selembut Dea.’ Karena itu, Ify menatap Rio dalam dan lama. Rio bingung juga dengan Ify yang tidak bersuara setelah kejadian tadi. “Kenapa lo diem? Udah sadar dimana letak kesalahan lo?” katanya sarkatis. Ify tersenyum hambar dan menggeleng cepat. Ia pun tertawa kecil setelahnya.

“Enggak, hehe...gue cuma bingung aja...apa gue juga lembut di mata lo, Yo? Dan karena gue lembut, apa lo juga terlalu kejam dengan cewek selembut gue? Dan...” Ify menggaruk-garuk bagian samping kepalanya yang tak gatal. Air mukanya persis seperti anak kecil yang sedang kebingungan. Namun juga terlihat amat sedih. “Kalo gue kejam....lo apa?” Yang ini kedengaran lirih namun matanya menatap Rio yakin. Rio sendiri tak bisa berkata lagi setelah Ify menanyakan tentang itu padanya. Hmm masa-masa rumit akan dimulai.

***

Beberapa menit lalu, Shilla menyuruh Ify segera ke lapangan belakang. Anggota Cheers sedang berlatih disana dan karena Ify adalah kapten maka diharuskan untuk ikut serta dalam latihan tersebut sekaligus melatih para junior yang baru saja direkrut. 2 minggu lagi turnamen basket akan dilaksanakan. Cheers diwajibkan tampil sebagai pembuka. Dengan waktu yang begitu dekat jedanya itu, mau tidak mau 2 minggu ini dirinya harus meletihkan diri berlatih bersama anggota lain. Karena jika penampilan cheers tidak cukup meriah, wibawanya sebagai kapten dimata orang-orang akan sedikit menurun.

Sebenarnya dulu saat pemilihan dan pemutusan siapa regenerasi kapten, ia tidak berminat sama sekali. Dulu juga ia masuk cheers karena Shilla yang memaksanya. Gadis itu sangat berkeinginan besar dalam organisasi ini. lelah dengan rengekan Shilla yang mengiang kupingnya setiap hari, dengan agak terpaksa ia ikut. Meski pada akhirnya ia lumayan menyukai cheers. Tapi tetap saja, kesukaannya itu tidak membuatnya berkeinginan menjadi kapten. Saat itu, semua anggota menunjuknya, bahkan Shilla, orang yang memaksanya masuk dan yang menurutnya paling bersemangat di antara yang lain pun ikut menunjuknya. Gadis itu juga tampak lebih bersemangat menunjuknya sebagai kapten dibanding saat memaksanya masuk dalam cheers dahulu.

Ify sudah berada di lapangan belakang dan terlihat Shilla kini yang memandu latihan.  Jika dilihat dari kegiatan yang mereka lakukan, ia pasti sudah terlambat sekitar 15 menit lebih. Ia lantas berjalan ke arah agak pinggir dari tempat latihan untuk melakukan pemanasan sendiri. Tanpa berleha-leha lagi, Ify memulai gerakannya. Dimulai dari gerakan kepala ke atas, ke bawah, kanan dan kiri. Masing-masing dibatasi sampai hitungan 2x8.

“Permisi kak..” Ify tertegun, mendengar sekaligus melihat seseorang yang baru saja memanggilnya itu. seorang gadis. Tidak masalah itu gadis ataupun pemuda. Masalahnya adalah siapa gadis itu. gadis itu adalah Dea. Untuk apa Dea mendatanginya? Apa Dea ingin menuntutnya atas kejadian kemarin? Tapi, jika begitu, kurang kerjaan sekali gadis itu. masih banyak waktu-waktu kosong yang lain, yang tepat untuk Dea menemuinya.

Tapi, tunggu dulu. Shilla sempat mengatakan padanya bahwa akan ada anggota baru 1 orang, dari anak kelas sepuluh. Apa jangan-jangan...

“Kak?” Panggil Dea lagi dikarenakan melihat Ify yang hanya melamun. Ify bergeming dan dengan segera kembali ke masanya saat ini. “hah? Eh ya?” gagu Ify agak bingung. Dea menatapnya canggung. “Emm aku anggota baru disini, kak Shilla nyuruh aku ketemu kakak.” Ify diam sebentar lalu mengangguk. Tak sengaja mata Ify menangkap keberadaan Rio. pemuda itu juga tengah melihat ke arahnya dan Dea sambil memantul-mantulkan bola basket di tangan. Kelihatannya hari ini Club Cheers dan Club basket mengadakan latihan disaat yang bersamaan. Kenapa ia bisa tidak tahu begini? Ckck..

Seketika, terbersit hasrat ingin menunjukkan diri di depan Dea sekaligus Rio. sombong sesekali tidak masalah lah. Lagipula ini demi harga dirinya dimata kedua insan tersebut. Setelah kejadian kemarin, ia seolah kehilangan muka jika berhadapan dengan Dea dan Rio. Masalahnya Rio sama sekali tidak menunjukkan sikap mendukung terhadapnya. Pemuda itu malah menatap dingin dirinya setiap waktu mereka bertemu. Dengan itu, dimata Dea, dirinya seolah hanya seorang gadis yang terobsesi dengan Rio dan terlalu membanggakan diri atas Rio. Istilahnya, ia kepedean.

“Yaudah, kita pemanasan dulu setelah itu latih gerakan.” Ujar Ify, dibilang ramah tidak jutek juga tidak. Dengan semangat yang tiba-tiba menyeruak, Ify memimpin pemanasan antara dirinya dan Dea. Sesekali ia melirik ke arah Rio dan terlihat pemuda itu geleng-geleng kepala. kemungkinan merasa heran pada apa yang sedang ia kerjakan. Kenapa? tanya Ify dalam hati. Ah sudahlah, targetnya kan bukan Rio, tapi Dea.

Sekitar 15 menit kemudian, pemanasan selesai. Kemudian dilanjutkan dengan latihan gerakan. “Gerakannya ga terlalu susah. Ini cheers, bukan dance. Cheers ga butuh gerakan rumit, tapi tenaga. Perlu ketegasan setiap kali kita gerak. Dan juga, butuh kekompakan. Kalo kamu udah bisa gerakannya, kamu tinggal ngompakin dengan yang lain. Cheers bakal keliatan indah kalo semuanya kompak. Kamu ngerti kan?” jelas Ify sekaligus sebagai kata pengantar latihan privatenya bersama Dea. Dea mengangguk semangat.

Sekilas Ify memperhatikan gadis itu. dari wajahnya sih kelihatan dia anak baik-baik dan penurut. Semangatnya juga tinggi. Menghargai siapa saja yang dia temui, dia sopan. Hmm, kayaknya gue emang udah salah ngomong kemarin. Tapi... dia emang saingan berat gue sih..

“Kak?” Ify tersadar. Dilihatnya Dea sedang memandangnya bingung sekaligus canggung. Gadis itu masih terhanyut akan kejadian kemarin sepertinya, pikir Ify. “Gerakan pertama..” Ify mulai bergerak-gerak mendemonstrasikan gerakan. Tangannya bergerak menyilang dan kadang ke kanan-kiri. Kakinya juga ikut digerakkan sesuai hitungan. Dea memperhatikan itu begitu serius. Sesekali kepala, tangan dan kakinya ikut bergerak pelan meniru gerakan Ify.

“Seven eight!” Hitungan terakhir, Ify berhenti. Kemudian beralih pada Dea dan menyuruh gadis itu menirukan gerakannya perlahan-lahan. “Gausah takut salah, baru awal latihan juga.” Ujar Ify seolah menenangkan. Terbukti dengan senyum Dea yang jauh lebih tenang. “Five six seven eight!” Dea kemudian mulai bergerak. Gerakannya bagus, sangat bagus. Tak ada yang salah. Dugaan Ify bahwa gadis itu akan mengalami kesusahan salah besar. Dengan lancar meskipun belum terlihat pede, Dea menggerak-gerakkan tangan kepala sekaligus kakinya.

“One two three for...five.....six..” Lama-lama suara Ify menghilang. Mengingat hitungannya tidak lagi dibutuhkan. Dea bergerak dengan hitungannya sendiri tanpa perduli dengan komando Ify. Mendadak, nyali untuk menyombongkan diri pada diri Ify menciut. Dea junior yang cerdas. Ah, tapi, mungkin dikarenakan gerakan awal adalah gerakan yang sangat amat mudah, makanya Dea bisa selancar itu. jangan menyerah Ify! Batinnya berteriak menyemangati.

Tanpa sengaja, matanya melihat ke arah Rio. Pemuda itu tersenyum miring. Seperti mengejek seseorang atau bisa juga senyum bangga ketika melihat seseorang. Tapi, siapa? Sejenak ia mengikuti arah pandangan Rio yang tertuju pada gadis yang sedang ia latih. Dea. Ck, Dea lagi! Gerutunya membatin. Namun, tiba-tiba Rio beralih memandangnya. Masih dengan senyum yang tadi. Kali ini sambil mengangkat alis. Setelah itu, Rio kembali bergaul dengan bola basketnya.

Ify mengerti sekarang. Senyum Rio itu. senyum membanggakan Dea kepadanya, senyum mengejek ke arahnya seolah pemuda itu tahu ia sedang bertindak sombong. Tangan Ify kembali mengepal, namun sesaat kemudian melemas. “Salah gue juga sih.” Gumam Ify pelan, pelaan sekali. Bahkan tak mengganggu konsentrasi Dea melakukan gerakan. Sudahlah, tidak penting. Yang Ify butuhkan sekarang adalah tetap fokus.

“Okey, gerakan selanjutnya, agak cepet tapi mudah kok. Perhatikan!” Ify mulai bergerak lagi. Dan benar saja, tempo gerakannya kali ini 2 kali lebih cepat dari yang tadi. Dea makin serius memperhatikan. Tidak ingin kelewatan 1 milisekon pun gerakan yang dilakukan Ify. Ify tersenyum senang akan hal itu. Dea pasti akan mengalami kesulitan sekarang. Pikirnya. Tapi, entah dirinya yang terlalu senang sehingga tidak memperhatikan pola langkahnya sendiri, atau memang Tuhan tidak mengizinkan untuk ia menyombongkan diri, alhasil kakinya terselimpet. Pada saat berputar, kakinya seperti tersendat dan mengakibatkan Ify terjatuh dengan nyilu kaki yang...lumayan.

Ia terduduk diatas tanah berumput –untungnya- tebal sehingga tidak menambah kenyiluan tubuh. Dea yang melihat Ify ‘kecelakaan’ langsung menghampiri dan agak panik. Ify memegangi kakinya kuat. Nyilu sekali! Disela-sela kesakitannya itu, ia tak sengaja –lagi- melirik ke arah Rio. pemuda itu tertawa atau lebih tepat menertawainya. Kurang ajar! Umpat Ify kesal. Pipinya menggembung menahan amarah sekaligus sakit. Dilihatnya Dea mulai berusaha memegang kakinya yang keserimpet itu. cepat-cepat diusahakannya berdiri. Ia tidak mau berhutang budi. Yah, meski hanya sebatas meredakan nyeri di kakinya. Tapi, tetap saja itu hutang budi. Bagaimana kalau nanti gadis itu meminta balasan? Bagaimana kalau yang dimintanya adalah Rio? itu kan tidak boleh!

Aaah ify, kenapa pikiran lo ngelantur gini sih? Ngayalnya jauh banget, issh! Ify geram pada dirinya sendiri. Apa yang sedang ia pikirkan? Balas budi? Rio? come on! Ini bukan drama dalam telenovela, Fy. Sadar sadar! Ify membangun keyakinannya kembali. Ia menunduk memeriksa kakinya, memutar-mutar telapaknya beberapa kali, semoga saja kakinya akan membaik. Merasa sudah tidak apa-apa, ia pun mengulangi gerakan yang membuat kakinya tergelincir tadi. Agak kurang yakin sih, sebab kakinya yang masih terasa nyeri. Aneh.

“...seven eight!” Beruntung, kejadian keserimpetnya tadi tidak terulang. Gerakannya berakhir cantik. Dea bahkan bertepuk tangan kagum diikuti dengan senyum sumringah diwajahnya. Terselip lagi senyum bangga dibibir Ify, kali ini bukan sombong, tapi ia benar-benar bangga. Kalau reaksi Dea seperti itu, dirinya tidak perlu rendah diri dan merasa tidak pantas akan jabatannya. Ia memang pantas menjadi kapten. Meski sebetulnya, tanpa harus melihat reaksi Dea, hanya dengan melihat setiap gerakan yang ia lakukan dengan baik dan keren itu, ia memang sudah pantas.

Meski begitu, terselip juga senyum paksa di wajah Ify. Nyilu dikakinya belum menghilang malah semakin jadi. Ia menekan kakinya yang sakit itu, berharap dapat sekaligus menekan rasa sakit yang ada disana. tapi, hasilnya belum begitu membaik. Ify menunduk memeriksa kakinya kembali. Disaat itulah, Shilla datang. Sepertinya Shilla melihat aksi terjatuh Ify tadi. “Fy, lo gapapa? Kaki lo nyeri gak atau luka gitu?” tanyanya khawatir.

Ify segera mendongak dan menggeleng. Meyakinkan shilla bahwa ia dan kakinya baik-baik saja. “Bener gapapa?” tanya Shilla lagi. Ify pun mengangguk dan menyungging senyum. Mudah-mudahan. Sahut Ify dalam hati. “Yaudah, gue balik kesana dulu ya!” Pamit Shilla dan kembali memandu latihan junior yang lain. Ify pun kembali terfokus pada Dea. Melupakan sedikit tentang nyeri dikakinya itu. “KakFy beneran gapapa?” tanya Dea kali ini. gadis itu juga kelihatan khawatir. Ify tersenyum tulus seraya menggeleng. Setidaknya, Dea sudah bersikap baik padanya, pada dirinya yang sudah kurang baik pada gadis itu. Hmm..gue jadi merasa bersalah. Batin Ify lirih.

“Yaudah, sekarang giliran kamu. Kamu ingat kan gerakannya apa aja tadi?” Dea mengangguk cukup yakin. Hitungan ketiga, Dea mulai bergerak. Cepat sekali, lebih cepat dari Ify. Gerakannya pun sangat bagus. Bisa dibilang...keren! dan bisa dibilang...lebih keren dari Ify. Ify tertegun melihat itu. bahkan di gerakan yang cepat dan menyukitkan seperti itu Dea dapat dengan lancar melakukannya. Tanpa ada kesalahan, tanpa terjatuh atau keserimpet, tanpa ada keraguan dan yang terpenting....ini kan pertama kalinya gadis itu melakukan gerakan, melihat bagaimana gerakannya sendiri kan baru pertama kali. Bagaimana bisa?!

Dea emang cerdas. batinnya selirih mungkin. Entah mengapa, disaat Dea sedang melakukan gerakan, mata Ify selalu ingin melihat ke arah Rio, melihat bagaimana ekspresi pemuda itu. Dan saat ia menoleh, Rio tengah memperhatikan Dea begitu seksama. Bahkan sampai tidak menyadari bahwa Ify sedang memperhatikan dirinya. Rio mengernyit namun sejurus kemudian mengangguk-anggukkan kepala. seolah berpendapat ‘boleh juga’.

Ify menghela nafas sedih. Sedih akan sikap Rio yang sepertinya selalu mengagumi apa yang Dea lakukan, sekalipun tidak pernah mencerca bahkan memarahi Dea dengan kata-kata menyakitkan jika gadis itu bersalah. Tapi jika itu dirinya, sungguh jauuuuuuh berbeda. 720 kali lipat derajat berbeda. Contohnya tadi saat ia terjatuh. Bukannya menghampiri untuk membantunya atau setidaknya menanyakan bagaimana keadaannya apakah baik-baik saja atau tidak, Rio justru tertawa nikmat tanpa melakukan apapun. Coba saja kalo yang terjatuh itu Dea....ah gue gak berani nebak deh dia bakal ngapain!

Cepat-cepat Ify berpaling pandangan. Ia kembali memperhatikan Dea. Gadis itu telah selesai dan langsung menanyakan bagaimana gerakannya tadi pada Ify. Sekarang bagaimana? Apa ia harus jujur dan mengatakan dengan sumringah ‘Deaaa!! Ahh lo keren bangeet sumpaah lebih keren dari gue! Kok bisa sih? Lo kan baru pertama kali ngelakuinnya? Aaah bangga banget gue sama lo!’ Apa harus seperti itu? tapi kan...itu Dea! Aisshh..

Ify mendesah singkat. Lalu menatap Dea datar, membuat gadis itu yang tadi tersenyum antusias berubah menjadi agak ragu-ragu dan takut, mungkin. “Kamu kecepetan.” Nilai Ify. datar sekali. Tidak bohong memang, tapi juga bukan yang sebenarnya. Hati kecil Ify belum rela untuk jujur dan memuji Dea. Masih ada ego yang berkuasa di dalam sana dan menahan semua pengakuannya akan gadis itu. Dea tersenyum kecut.

“Kamu bisa gabung dengan yang lain.” Ujar Ify. Dea pun menurut dan segera berlari ke tempat anggota lain sedang latihan. Ify hanya memandangi lekat-lekat punggung Dea. Ia benar-benar kalah dari gadis itu. seketika ada rasa sesak di dada Ify. kata ‘kalah’ itulah penyebabnya. Bahkan rasa sesak itu menjalar sampai ke perut. Tangannya spontan meremas-remas perutnya, berharap rasa sesak itu segera menghilang. Namun, bukannya menghilang, perutnya malah bertambah sakit. Ify mencoba mengatur nafasnya benar-benar sekaligus mencoba menghilangkan pikiran-pikiran yang membuatnya terganggu. Ia menutup mata sejenak.

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Entah itu dari depan atau belakang. Tapi sepertinya dari depan. Karena kaget, kakinya terdorong selangkah ke belakang. Sial yang bergerak itu kakinya yang nyeri tadi dan sekarang bertambah nyeri. Ify segera membuka mata, ingin mengomeli habis-habisan orang yang mengangetkannya itu. namun, ketika membuka mata, ia justru jauh lebih kaget. Sampai-sampai tak hanya terdorong, Ify bahkan hampir terjatuh kembali. Beruntung sebelah kakinya yang baik-baik saja masih sanggup membuatnya tetap tegak. Namun tidak dengan yang satunya, nyeri dibagian sana makin makin makin bertambah.

“Rio?!” Ify mati-matian menahan mulutnya agar tidak mengeluarkan jeritan macam-macam akibat kakinya. Dengan itu, runtuhlah semua niatnya ingin mengomeli habis-habisan orang yang mengagetkannya itu. ia justru terdiam dan menutup mulut rapat-rapat. Yang ia lakukan hanya menunggu Rio mengeluarkan suara dan semoga saja...tidak menambah sakitnya. Semoga semoga..

“Lo punya dendam sama Dea?”

Tuh kan bener...mana pernah Rio nanya baik-baik sama gue. Ck! Ify menggeleng pelan sambil mengadu gerahamnya kuat-kuat. Rasa sakit di perut dan kakinya mulai tak terkendali. Sakit banget! Rintih Ify dalam hati. Dilihatnya Rio tersenyum miring. Dalam hati, Ify juga tersenyum, tersenyum pahit. Mau apalagi sih lo? Ga nyadar apa gue sakit? Mau nambah lagi, hah? Ify terus menggerutu hingga Rio kembali berbicara.

“lo lihat kan Dea tadi bagus? Kenapa lo gak jujur? Gengsi, heh?” ify tersenyum bukan dalam hati lagi. Ia tersenyum sarkatis. Lo mau gue jujur yo? Okey! Senyumnya kemudian menghilang, digantikan dengan anggukan singkat, mengiyakan perkataan Rio barusan. Gue udah jujur loh yo, dan gue harap lo pergi sekarang...daripada bikin gue tambah sakit!

Rio mengernyit, tak menyangka bahwa Ify akan mengiyakan perkataannya. Sulit mengerti apa-apa saja yang ada dalam kepala gadis itu. tangan Rio mengepal keras, wajahnya terlihat kesal. “Lo maunya apa sih?” Alis Ify terangkat sebelah. Pertanyaan bagus! Mau gue? Buat apa lo tanya? Apa lo mau ngabulin? Pikirnya, lagi-lagi sarkatis. Ify masih diam dan terkesan tak menanggapi. Ia justru memalingkan wajah ke arah lain, yang jelas tidak menatap Rio lagi.

Rio ikut-ikutan membuang muka dan ada desahan kesal keluar dari mulutnya. “Gue gak ngerti sama lo.” Ujarnya lalu berjalan melewati Ify dan meninggalkan gadis itu. membiarkan gadis itu tetap diam. “Haaah aaawww!!!” Bukannya diam, Ify justru mengerang kesakitan sekaligus lega. Meski yang dapat mendengar hanya dirinya sendiri. Ia ingin melakukan itu sedari tadi namun terhalang karena Rio menghampirinya. Ah, Rio...

Lo nanya apa mau gue? Mau gue gak banyak. Gue cuma mau, lo ‘ngakuin’ gue dihadapan Dea...itu aja sih...

***

Ntar sore, gue tunggu di taman deket rumah lo. Kalo lo mau tau siapa penggemar rahasia lo ini, silahkan dateng. Gue tunggu banget loh!! J

Bunyi bel kini sangat-sangat dinanti Ify. Dan kini, benda kecil berbunyi nyaring itu telah bernyanyi. Itu artinya sudah waktunya pulang. Ify tergesa-gesa memasukkan segala buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas dan kemudian keluar kelas. Tak dihiraukannya Via yang dengan keras memanggil-manggil namanya. Dalam pikiran Ify sekarang hanyalah isi surat dalam amplop yang entah sejak kapan ditaruh di laci mejanya.

Perjalanannya sedikit tersendat ketika bertemu dengan –yang baru-baru ini dijulukinya sebagai- si pasangan baru. Yodea. Entah mengapa kedua orang itu bisa bersamaan di jam-jam akhir seperti ini. tapi, sudahlah. Ify berusaha tidak peduli. Karena tidak ada juga yang ingin peduli padanya. Jalan lurus! Jangan liat kanan-kiri! Tekad Ify dalam hati. Ia terus mengulang-ngulang kalimat tersebut. Hingga pada akhirnya, ia berhenti. Atau lebih tepatnya ada yang membuatnya berhenti. Sang pemuda yang dijulukinya itu memanggilnya.

“Mau kemana?” Ify menolehkan kepalanya ke arah belakang, menghadap Rio, pemuda yang memanggilnya. “Mau pulang,” Dalam hati, ia mengutuki benar-benar apa yang dilakukan pemuda di depannya itu. Mana, katanya lo pinter? Juara umum? Nanyain yang ginian. Ya jelaslah gue mau pulang! Mau kemana lagi? Coba kek lo nanya ‘Mau gue anter?’ Ck..

“Oh,”

Oh my God! Cuma oh? Sabar..sabar..masih bagus dia mau negur kan? Pikir Ify, sekaligus mencoba menghibur dirinya sendiri. “Gue duluan ya, pasangan baru! Cepet-cepet jadian yaa! Daaah..” Ify melesat cepat hingga ke ujung koridor. Mulutnya bersenandung ria. Kaki mungilnya itu dengan cepat melarikan tubuhnya hingga ke gerbang sekolah. Namun, beberapa langkah terakhir agar benar-benar sampai, Ify berhenti. Dari beberapa langkah tersebut, di depannya berdiri seorang anak kecil yang berkemungkinan besar memperhatikannya sejak tadi.

Masih ingat Fify? Ya, anak kecil itu Fify. Ify maju selangkah. Akan tetapi Fify justru mundur, bersembunyi di balik tembok gerbang. Tiba-tiba sang kakak datang. Dengan wajah keheranan dipandangnya adik kecilnya itu. lalu ia beralih pada Ify, objek yang sedang ditatapi lekat-lekat oleh adiknya. Tersirat rasa ketakutan dalam mata Fify. Dengan segera ditariknya Fify dan membawanya pergi. Tak diperdulikannya Ify yang menatap dirinya dan adiknya dengan bingung.

Kembali pada Ify. gadis ini lantas tidak peduli –lagi- akan sang gadis sepatu pertama dan adiknya. Ia kembali melanjutkan langkah sampai keluar sekolah dan memilih jalan ke arah kiri, arah rumahnya, tepatnya ke sebuah halte tempat bus berhenti, yang akan mengantarnya sampai ke perempatan dekat rumahnya siang ini. hidup itu harus sesekali merakyat! Hahaha! kicau Ify dalam hati.

Kurang lebih, sudah 20 menit waktu dilewati Ify hanya menunggu sang bus datang. Dan tepat 20 menit, bus yang diharapkan tiba-tiba berganti dengan mobil hitam dengan kaca gelap total yang berhenti di depannya. Mobil itu tak asing sih, setidaknya ia pernah beberapa kali menaikinya. Mobil Rio, siapa lagi kan? Ify memalingkan wajah, pura-pura tidak tahu dan tidak melihat.  Si pemilik mobil menurunkan setengah kaca mobilnya. “Mama nyuruh lo mampir,” Katanya seraya menatap Ify canggung.

Ify masih berpura-pura, kali ini pura-pura tidak mendengar. Namun, dalam hati, makhluk mungil itu berulang kali berkomat-kamit agar bus segera datang. Hingga beberapa menit berjalan, Ify tetap diam. sedikitpun tidak diarahkannya pandangan ke arah Rio. Rio pun ikut diam di tempatnya. Sekilas mereka tampak tenang. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, sebenarnya keduanya kelihatan gelisah. Ify, banyak dari anggota tubuhnya bergerak liar. Ia tiba-tiba rutin menarik nafas. Sementara Rio, pemuda itu tampak bingung. Jemarinya sedari tadi meremas-remas stir sedang matanya bergantian menatap ke depan dan menatap Ify.

Hingga pada akhirnya, Rio keluar dari mobilnya dan duduk di sebelah Ify.  Kegiatan menarik nafas yang dilakukan Ify sepertinya menular pada Rio. “Papa lo apa kabar?” Ia sedikit menoleh ke arah Ify. Ify pun begitu, sedikit menoleh ke arahnya. “Belum tahu, ntar malem gue mau jenguk.” Rio mengangguk pelan. “Mau gue anter?” Seketika Ify tercenung. Itu..gak salah? Lo..ah palingan ntar gue di php-in lagi. Batin Ify.

“Becanda lo! Gausah lah, ngeribetin lo ntar haha..” Jawabnya sebiasa mungkin.  “Lagian, lo sama Dea aja sana, mumpung malam minggu hehe,”  katanya lagi. Rio langsung menghunuskan tatapan tajam. Mendadak, Ify jadi takut sendiri karena Rio sampai menatapnya seperti itu. adakah yang salah dari kata-katanya? Ah tapi..sepertinya tidak ada unsur menyakiti. Entahlah, pemuda di depannya ini memang suka bersikap yang tak diduga.

“Lo kenapa tiba-tiba ngomongin dia sih?!” Sungut Rio. Ify sampai harus berpegangan pada kursi karena kaget. “I..i..iyaa..biasa aja dong..gak perlu marah-marah..” Balas Ify pelan dan patah-patah (?). Rio seperti tersadar dan kemudian menghela nafas. Ify hanya geleng-geleng kepala melihat itu dan hanya berusaha menormalkan kembali jantungnya yang tadi secara tiba-tiba dibuat bergoncang hebat.

Dan mereka pun diam kembali. Bergumul pada pikiran masing-masing. Ada hasrat ingin berbicara namun keraguan melanda benak keduanya. Sampai kemudian Ify yang kembali buka suara. “Yo, gue punya kabar baik!” Seru Ify. Rio mengernyit dan memasang tampang bingung. “Gue bakal move on!!” Ify terlihat makin antusias sementara Rio makin bingung. Bertepatan dengan saat itu, sebuah bus berhenti. Ify dengan segera berdiri dan berjalan mendekati bus. “Gue gak mau ganggu lo lagi Rio! Kalo lo mau jadian sama Dea, gue ikhlas koook! Tapi jangan lupa traktir yaaa hehehe!” Ify berteriak di sela-sela jalannya menuju bus.

Sementara yang ditinggal, hanya bisa mengatup mulut rapat-rapat. Atau kalau bisa, tadi, ia ingin menutup telinga rapat-rapat agar dirinya tidak mendengar kata-kata terakhir gadis yang beberapa menit lalu duduk bersamanya.

***

 Sebuah motor ninja dengan warna hitam dan helm yang terkait disalah satu sisinya sudah terparkir manis di halaman depan rumah Ify. Ify yang baru saja sampai bahkan belum masuk melewati pagar sontak bingung. Seingatnya, ia tidak punya kendaraan berjenis itu. dan juga, jika pemilik motor tersebut ingin bertamu, kenapa hanya motornya saja yang terlihat disana? Kenapa sang pemilik tidak menampakkan diri? Apa orang tersebut sudah masuk ke dalam rumah? Atau jangan-jangan, maling yang bertamu ke rumahnya? Gawat!

Drrt..drrt..

Sebuah pesan masuk dan itu dari orang yang akan ditemuinya saat ini. pengagum rahasianya. Pengagum rahasianya itu hanya menginformasikan bahwa ia sudah menunggu di taman dan motor yang dilihatnya saat ini adalah milik pengagumnya tersebut. Ify mengangguk paham sekaligus lega. Karena dugaannya tentang maling salah besar. Lantas ia berlari masuk ke dalam rumah. Menaruh tas dan lekas berganti pakaian. Setelah selesai, ia keluar rumah kembali dan berjalan menuju taman.

5 langkah menuju taman, Ify mendadak jantungan. Ia dag dig dug sendiri karena akan bertemu sang pengagum rahasia. Tapi kalau dipikir-pikir, seorang seperti dirinya memiliki pengagum rahasia memang agak tidak disangka. Lucu aja gitu, jelek-jelek kek gue gini punya secad, hihihi..cengirnya dalam hati. Ia pun tersenyum malu. Lantas dipercepatnya langkah hingga benar-benar sampai di taman.

Sudah ada seseorang disana. berdiri membelakangi Ify. Ify berjalan pelan mendekati pemuda itu. “Halo..” Sapa Ify canggung. Pemuda tadi berbalik dan keduanya sama-sama terkejut. “IFY?” Seru pemuda itu. “IYA?” Refleks Ify. Jantungnya senang sekali meloncat hari ini. “Lo beneran dateng?!!” Bahu Ify diguncang cukup keras. Pemuda itu terlalu senang. “I..Iya..” Ujar Ify semampunya. Tiba-tiba keduanya diam. Namun, di hitungan ke 3, si pemuda itu berteriak heboh dan kembali menggungcang bahu Ify.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.......”

“WOOY BERISIIIIIK!!!” Ify berteriak tak kalah kencang demi membuat pemuda yang dengan lancang menggoncang-goncang bahunya itu berhenti. Dan untungnya, pemuda tersebut segera sadar dan langsung melepas pegangan di bahu Ify. “Eh sorry sorry, gue kelewat seneng hehehe,” katanya cengengesan. Ify merengut kesal. Ketertarikannya akan pertemuan saat ini menurun drastis. Astagaaaa, gue gak aneh-aneh amat koook, tapi kenapa kebagian secad yang kayak gini??!! Batinnya miris.

“Oh iya, gue Debo..” Kata Debo, pemuda tadi, si pengagum rahasia Ify, memperkenalkan diri. Ify melengos. “Udah tahu!” Ia kemudian duduk menghadap ke depan danau. “Lo anak ipa 1, pelaku pelemparan bola basket ke kepala gue dulu, sekaligus cowok yang nyabut surat cinta gue waktu kejadian mading. Itu kan yang mau lo bilang?” Debo menggangguk pelan dan masih cengengesan. Ia pun ikut duduk di samping Ify. “Gue gak nyangka lo mau dateng, Fy,” Debo tersenyum lebar dan menatap Ify penuh kagum. Ify mendadak salting ditatap seperti itu.

“Iya, biasa aja lagi natapnya..” Debo terkekeh geli dan menurut. Ia tidak lagi menatap sang gadis pujaan. “Gue lagi yang gak nyangka, cewek kayak gue ini punya secad. Tapi, ga luar biasa juga sih, toh yang naksir gue orang aneh kayak lo hahaha,” tawa Ify meledak. Debo hanya menggaruk-garuk kepalanya malu. “Gue gak aneh kok, Fy” Ify melirik menggoda ke arahnya. “Yakiin?” Debo mengangguk yakin. “Iya dong! Karena gue suka sama lo,” Balas Debo malu-malu.

Tawa Ify pun makin besar. “Mual! Gue mual! Hahahaha,” sekian lama, Debo tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan Ify sampai puas tertawa atau lebih tepatnya menertawainya. “Lo lucu! Sumpah, lucu banget!” Kata Ify disela-sela tawanya. “Gue kan jujur, Fy, hehe” sahut Debo, memandang Ify polos. Seketika itu pula Ify berhenti tertawa. Mimik wajahnya perlahan mulai menunjukkan keseriusan.

Ify menarik nafas dalam lalu menghembusnya pelan. “Jangan terlalu berharap sama gue, ntar lo malah kecewa.” Lirih Ify. Matanya nanar menekuri langit yang masih segar ditemani sang matahari. Debo tersenyum penuh arti. “Lo suka sama Rio, kan?” Godanya. Ify lantas menoleh dan kaget. Darimana Debo bisa tahu? Ah, iya, surat cinta gue waktu itu. “Aaah cuma cinta bertepuk sebelah tangan biasa, bentar lagi juga lupa, hahaha” Ify tertawa lagi. Tapi yang ini hambar rasanya. Dirinya tidak sedang merasakan senang atau mendengar sesuatu yang lucu.

Debo tersenyum lagi. “Lo gak bertepuk sebelah tangan kok.” Ujarnya tenang sekaligus menenangkan. Ify pun menoleh. “Maksud lo?” tanyanya langsung. Gantian, Debo yang menarik nafas. “Gue ini mr cupid yang lagi gak ada klien. Gue udah hafal gimana ciri-ciri orang yang bakal dapat cintanya atau enggak. Dan lo itu termasuk ke yang sangat berkemungkinan besar mendapatkan cinta yang lo kejar itu.” Ify melongo. Debo seorang mr cupid? Ciyus? Miapa? Aneh gini bisa jadi mr cupid?

“Ngaco lo! Jelas-jelas Rio gasuka sama gue, liat aja sikapnya, kasar, ketus, galak..tapi kadang-kadang baik sih..iya, dia suka baik tiba-tiba, jahat juga tiba-tiba. Kadang disaat gue butuhin, dia selalu datang tepat waktu. Tapi kalo udah mulai jahat lagi, dia bikin gue jadi bingung. Gue jadi ngerasa dia punya kepribadian ganda. Dia pernah bilang sih, katanya...katanya ya...dia suka sama gue. Dia nyuruh gue buat..buat bikin dia jatuh cinta sama dia. Sampe-sampe dia..dia..aaaah! kenapa gue jadi ngomongin tentang dia? Sama lo lagi, gue kan gak kenal lo. Aisssh move on Fy move on!”

Debo terkikik geli melihat gadis pujaannya itu. tak ada sedikitpun guratan sedih di wajah manisnya. Yang ada, ia malah tersenyum senang, senang sekali.  Memang sih, menyakitkan bila sang pujaan memuji pujaannya. Tapi bagi Debo, berada dan merasa sedekat ini dengan Ify adalah suatu hal yang teramat melampaui bahagia. Apalagi sang pujaan dengan sukarela berbagi cerita bersamanya. Ia merasa sangat beruntung. “Jahat banget sih, masa lo gak kenal sama gue? Kan tadi udah kenalan,” rengek Debo. “Maksud gue bukan kenal kayak gitu, tapi udah deket gitu looh! Masa lo ga ngerti? Katanya mr cupid.” Sungut Ify.

Debo cengengesan lagi. “Hehehe, iya iya, ngerti gue. Tapi, gue boleh kan jadi temen deket lo? Kayak Via, Agni sama Shilla gitu. Temen lo berbagi apapun yang bisa lo bagi. Sekedar temen aja, gue gak ngarep lebih kok. Boleh ya ya ya?” rengek Debo kembali. Ify menatapnya ragu. Aneh sih, tapi dia baik, lucu, polos dan terlalu jujur. Bisa gitu, dengan mudahnya dia ngungkapin apa yang dia rasa ke gue? Ah, secad gue gak buruk-buruk amat kayaknya, hehehe.

“Oke!” Ujar Ify mantap seraya tersenyum lepas. “Ciyus?! Enelan?! Miapa, Fy?!!!!” Ify mengangguk dan langsung menutup telinga. Dalam hitungan ketiga, secad nya itu pasti akan berteriak. 1...2...3!

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!”

***
Ify memasuki kamar tempat Papanya dirawat. Lelaki paruh baya itu sedang asyik membaca buku. Papa nya ini memang maniak membaca. Berbeda 180 derajat dengan Ify. Yang bahkan komik pun sangat jarang disentuh. Ify menuruni sifat dari mamanya, maniak memasak. Tapi ngomong-ngomong, Papanya sedang dalam keadaan sakit, tidak baik jika duduk membaca terlalu lama seperti itu. membutuhkan energi yang banyak sementara tubuhnya sedang kekurangan energi.

Ify berlari masuk dan tanpa permisi mengambil buku yang sedang dipegang serta dibaca oleh Ferdi. Ia pun melepas kacamata yang dikenakan Papanya tersebut. “Papaaaa! Papa kan lagi sakit, gak boleh banyak duduk dulu. Ini ngapain lagi baca-baca? Kalo papa capek trus kayak kemaren lagi gimana?” Gerutu Ify. Ia begitu khawatir jika kondisi ayahnya akan drop lagi seperti yang lalu. Ferdi tersenyum. Ia senang melihat wajah anaknya jika sedang menggerutu. Persis sekali seperti Ify saat masih kecil. Ekspresinya tidak pernah berubah.

“Hihihi, kamu kalo ngomel mukanya lucu, manyun-manyun kayak tikus lagi kelaperan hehehe,” kikik Ferdi. Ify tak membalas apa-apa, hanya merengut menatap Papanya itu. ia kemudian memaksa dan membantu Ferdi agar tidur kembali di kasurnya. Ferdi mengikuti saja apa yang Ify minta. Karena memang seharusnya begitu sedari tadi, berbaring bukan duduk. “Papa kapan sembuhnya sih?” ujar Ify lirih. Namun juga terlihat seperti menggerutu.

Ferdi terkikik lagi. “Tanya tuh sama Dokternya, kenapa Papa dikurung disini terus. Papa udah sehat kok, dokternya aja tuh yang ngeyel bilang papa belum sembuh.” Ify diam memandang ke arah Papanya. Muka pucat, mata merah. Tiduran sendiri aja gak sanggup. Sehat darimana Pa? Katanya dalam hati. “Kamu sama Rio gimana?” Tanya Ferdi tiba-tiba. Air mukanya tidak terlalu serius. Hanya matanya terfokus menatap Ify. Ify sendiri justru beralih pandang. “Kita tetep temen kok, Pa. Udah ah, gausah ngomongin Rio, Ify kan mau move on hehehe,” katanya

“Move on? Enak aja, gak boleh, papa ga setuju!” tolak Ferdi. Ify mengernyit heran. “Loh, kok gitu? Kan bagus Pa, jadinya kan Ify gak nyesek-nyesek terus idupnya hehe,” gurau Ify. Akan tetapi, sepertinya Papanya itu menganggap serius. “Pokoknya Papa ga setuju kamu sama yang lain.” Ify mengernyit lagi. Ada apa dengan Papannya? Tanyanya dalam hati. “Ih, kok Papa yang nentuin sih? Terserah Ify dong nanti mau sama siapa. Mau sama Rio kek, mau sama..”

“Debo?” Sela Ferdi. Mata Ify membelalak. Darimana papanya tahu soal Debo? “Kok Papa...” kata Ify menggantung. Papa punya indra keenam? Batinnya bingung. “Udahlah, kamu pulang aja sana. Rio udah nunggu di luar.” Mata Ify terbelalak lagi. Rio kesini??!! “Ma..maksudnya? Rio kesini? Kapan?” tanyanya beruntun. Ferdi memamerkan gigi-gigi putihnya. Ia kembali terkikik setelah sebelumnya serius sekali berbicara dengan Ify. “Kepo banget sih!” ledek Papanya. “Udah sana pulang! Hus hus!” Ify manyun. Jadi dirinya diusir? Pikirnya. “Iya-iya. Ify pulang. Tapi inget, Papa jangan macem-macem lagi!”

“Iyaaaa,” Ify kemudian pamit dan segera keluar dari kamar rawat Ferdi.

Ify hampir mencapai bagian luar Kenko. Hatinya sedikit penasaran akan kebenaran kata-kata Ferdi bahwa Rio sudah menunggunya di luar. Dan jika itu benar, bagaimana bisa? Kapan Rio datang? Apa Rio yang memberi tahu soal Debo pada Papanya? Tapi, tapi, Rio tau darimana soal Debo? Aaaah kenapa ribet banget sih? Ify mondar-mandir di depan pintu masuk dan keluar Kenko.

“Mau pulang sekarang?” Seseorang tiba-tiba muncul di depan Ify. Otomatis Ify berhenti mondar-mandir. Ia memperhatikan orang tersebut dari ujung kaki hingga kepala. ketika sampai pada bagian wajah, ia berhenti. Tanpa mengatakan apapun. Ia tetap diam. akan tetapi kepalanya bergerak pelan ke atas lalu ke bawah. Menjawab pertanyaan orang yang membuatnya diam itu. rio didepan gue. Sekarang. Oh my God..

“Mobil gue di sebelah sana!” kata Rio, orang tadi. Ia tersenyum ramah ke arah Ify. Dan Ify dibuat makin bisu. Andai sikap lo semanis senyum lo itu, Yo...

***

Tengkyuuuu yang udah bacaaa :3:3:3 <3<3

1 komentar: