Alshill
Trying to resist but I can’t refuse. I’m feeling
feeling that I never knew.
***
“Gak. Alvin gak setuju dia tinggal di rumah
kita. Mama gak takut bawa orang asing ke rumah? Kalo dia ntar niat jahat sama
kita gimana?” tolak Alvin mentah-mentah. Ia bersikeras menolak permintaan gila Fara,
Mamanya, dengan mengajak Febby tinggal di rumah. Tapi, sepertinya, Mamanya itu
tidak peduli pada apapun yang ia katakan dan lebih memilih mendengar pendapat
Febby ketimbang protesnya.
Febby mendelik kesal pada Alvin. Emangnya gue
maling?! Batinnya agak tak terima. Ia lalu memandang Fara dengan tak enak hati.
“Emm..sebelumnya makasih banget karena Tante udah berbaik hati nawarin Febby
tinggal di rumah tante. Tapi, kayaknya untuk saat ini Febby gabisa, Tante.”
Katanya pelan. Hatinya mencelos manakala melihat air muka Fara yang begitu
sedih mendengar penolakannya.
“Kenapa gabisa?” tanya Fara kecewa. Febby
menggaruk-garuk pelipisnya. Ia bingung kalau sudah begini. “Gimana ya..rasanya
gabaik aja kalo Febby pergi gitu aja dari rumah. Febby juga gamau nimbulin
masalah baru di keluarga Tante.” Ia melirik Alvin sekilas lalu tersenyum miris
pada Fara. Alvin mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu.
“Mungkin kamu perlu waktu buat mikir. Kamu
gaperlu jawab sekarang. Tapi, Tante akan nunggu kamu sampe kamu mau tinggal
sama Tante, di rumah Tante.” Ujar Fara sungguh-sungguh. Ia menggenggam salah
satu tangan Febby lalu menepuknya pelan. Febby lagi-lagi hanya tersenyum miris.
Bisa gitu ya, nyokapnya baik minta ampun tapi anaknya nyebelin parah. Moga aja
gak tujuh turunan. Ckckck.
“Emm..kalo gitu, Febby kayaknya mesti pamit
dulu. Udah kesorean.”
“Mau Tante anter?” tawar Fara semangat. Febby
tersenyum seraya menggeleng pelan. “Gak usah, Tante. Ntar malah ngerepotin.
Lagian, Alvin gaada yang jagain, kan?”
Fara tidak bisa berkata lagi dan dengan berat
hati membiarkan Febby pulang sendiri.
“Alvin pokoknya tetep ga setuju Febby tinggal di
rumah kita.” Ujar Alvin tegas setelah Febby keluar dari kamar inapnya. Mamanya
menoleh sesaat padanya.
“Kalo kamu memang bener-bener ngerasa bersalah
dengan perginya Vina, Mama mohon kamu gak nolak. Mama ga bermaksud menghakimi
kamu soal Vina, tapi kali ini Mama bener-bener mohon sama kamu. Tolong ngertiin
perasaan Mama.” Lirih Fara. Wanita itu ikut-ikutan pamit dan beranjak keluar
dari kamarnya meninggalkannya kembali. Sehingga ia benar-benar sendirian di
kamar itu. Ucapan terakhir Mamanya membuatnya tidak bisa membantah lagi. Ia
lantas mendesah pelan.
***
Febby banyak merenung selama perjalannya pulang
ke rumah. Entah kenapa ada perasaan menyesal dalam hatinya sudah menolak
tawaran Fara padanya. Setidaknya kalau di rumah Alvin, hidupnya akan sedikit
lebih baik. Tanggungan hidupnya soal ayah tirinya dan makan akan hilang. Ia
tidak harus bekerja hingga larut malam lagi karena ia hanya harus membiayai
sekolahnya saja. Tapi, ia tetap merasa khawatir.
Kalau saja Alvin tidak menolak sekeras itu, ia
mungkin akan setuju. Tapi, Alvin saja seperti itu apalagi ayah pemuda itu
nanti. Jangan-jangan malah lebih kejam dari ayah tirinya. Ia sudah parno dengan
yang namanya laki-laki karena laki-laki di sekelilingnya semuanya membuatnya
kecewa. Bahkan Goldi juga sama mengecewakan. Bahkan paling mengecewakan
menurutnya. Ia sudah terlanjur menganggap Goldi sebagai malaikatnya dan percaya
kalau pemuda itu sekalipun tidak akan pernah menyakitinya tapi akan selalu
melindunginya. Dan kenyataan rupanya berkata lain.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Febby tersadar dan
langsung memeriksa apa yang membuat benda itu bergetar. Ia memainkan ponselnya
sembari berjalan kaki memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Langkahnya
tiba-tiba berhenti manakala ia sudah mengetahui penyebab getaran di ponselnya
itu. Ada sebuah misscall dan satu pesan masuk. Dan dua-duanya berasal dari
orang yang sama. Goldi. Goldi?
Ia berjengit heran. Ia membaca isi pesan Goldi
tersebut lalu mendesah malas. “’Lo dimana?’ Ih, basi banget, sih.” gumamnya
datar. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya tanpa membalas terlebih
dahulu pesan Goldi padanya. Untuk saat ini, ia sedang tidak ingin berurusan
atau mengungkit-ungkit urusan di antara mereka berdua. Bertemu pun rasanya
malas. Ia tahu bagaimanapun ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Goldi,
mengenai hubungannya dengan pemuda itu yang sekarang menjadi tidak jelas
statusnya. Tapi, nanti-nanti sajalah ia selesaikan. Kalau tidak sengaja bertemu
saja.
Febby berhenti setelah beberapa langkah masuk ke
halaman rumahnya. Ia dibuat bingung dengan adanya mobil tambahan yang
bertengger di sana selain mobil Oik. Rasanya ia pernah melihat mobil itu. Ah,
tapi kan mobil seperti itu diproduksi banyak tentu saja ia merasa tidak asing.
Ia mengedikkan bahu tak begitu peduli lalu melanjutkan langkahnya masuk ke
dalam rumah. Langkahnya kembali terhenti ketika ia berpapasan dengan seseorang
di depan pintu. Untung ia berhenti di saat yang tepat. Kalau tidak ia pasti
akan menabrak orang itu.
Febby yang tengah menunduk lalu mendongak dan
sontak berjengit kaget mengetahui sesosok pemuda di depannya. Yang baru saja ia
bilang tidak ingin ia temui tapi malah langsung dipertemukan seperti ini.
Jantungnya tiba-tiba saja berdetak begitu cepat. Goldi? Batinnya. Aneh, kenapa
ia jadi degdegan sekarang? Rasanya tadi ia sudah berikrar untuk melupakan
segala hal tentang pemuda itu. Melupakan sakit hatinya atas perbuatan pemuda
itu. Dan terutama, ia sudah melepaskan semua perasaannya untuk pemuda itu. Tapi
sekarang, kenapa reaksi tubuhnya sangat berbeda? Malah menunjukkan yang sebaliknya.
Oh, ini tidak boleh terjadi!
Goldi sesaat juga terlihat kaget lalu kemudian
air mukanya berubah cemas. “Lo darimana? Kenapa telfon gue gak diangkat? Sms
juga gak lo bales. Dari semalam lo gaada kabar. Lo tau seberapa cemasnya gue?”
cerocosnya panjang lebar. Persis seperti ibu yang baru menemukan anaknya yang
sudah hilang 3 hari. Sementara Febby hanya melongo mendengar pemuda itu
berceloteh. Ia heran, bagaimana bisa Goldi masih bersikap biasa seperti ini?
Apa pemuda itu tidak sadar sudah melakukan apa padanya? Ah, atau Goldi tidak
tahu kalau ia masuk sekolah tadi pagi dan ia sudah tahu apa yang pemuda itu
lakukan di belakangnya?
“Dari sekolah.” Balas Febby singkat. Saat itu
juga mata Goldi melebar dan kelihatan sangat terkejut sekali. Ada sedikit kepanikan
juga. Febby berusaha memasang tampang sedatar mungkin lalu melangkah ke samping
pemuda itu, tidak berniat ingin berlama-lama mengobrol. Ia ingin segera masuk
ke kamarnya, mengunci pintu lalu tidur dengan nyaman dan melupakan semua hal
yang terjadi pada hari ini.
Goldi langsung tersadar kembali saat Febby
beranjak pergi dari hadapannya. Ia mundur dengan cepat dan langsung menghalau
jalan Febby. “Lo—tadi—sekolah?” tanyanya terbata-bata. Ia terlihat gugup.
Ditambah dengan tatapan datar Febby padanya. Sangat tidak biasa dibanding
tatapan gadis itu biasanya. Ia tidak melihat sorot matanya yang selalu
tersenyum pada dirinya apapun yang terjadi, apalagi saat bibirnya sedang tidak
dapat melakukan itu. Ia justru hanya melihat rasa marah yang terpancar di dalam
sana.
Febby hanya berdehem singkat lalu hendak
melangkah lagi. Akan tetapi, Goldi tidak juga membiarkannya pergi dengan terus
menghalau kemanapun arah tujuannya berjalan. “Gue capek. Plis, gue butuh
istirahat.” Ujar Febby tegas seraya mendengus pelan. Goldi mendesah lesu sambil
menatapnya memelas. Memohonnya untuk berbicara sebentar saja dengan pemuda itu.
Ck, tatapan yang berbahaya. Sangat berbahaya. Karena ia hampir tidak bisa
menolak setiap kali pemuda itu menatapnya seperti itu. Ia harus cepat-cepat pergi.
Febby mengalihkan pandangannya bersikap seolah
tak peduli. “Kalo emang ada yang pengen lo omongin sama gue, besok aja. Gue
lagi ga pengen ngomongin apapun sekarang. Apalagi sama lo.” Ia kembali menoleh
pada Goldi. “Jadi, bisa gak jangan halangin jalan gue lagi?”
Goldi mendesah lagi. “Apapun yang lo mau.”
Katanya pasrah. Ia menggeser tubuhnya mempersilahkan Febby lewat. Namun belum
jauh Febby berjalan, Goldi kembali berbicara. “Sebelum tidur, jangan lupa
makan. Abis makan jangan langsung tidur supaya pencernaan lo lancar. Abis itu
jangan lupa solat. Jangan lupa doa sebelum tidur dan doa buat semua orang yang
lo sayang. Gue berharap salah satunya gue. Karena gue selalu berdoa buat lo. Lo
tau kenapa, kan?”
Febby meremas tas sekolahnya kuat-kuat. Matanya
sudah memerah menahan bulir-bulir air mata yang ingin segera keluar. Ia marah
tapi juga sedih sekaligus bahagia. Meski rasa bahagianya mungkin tak lebih dari
satu detik. Can’t he just leave and ignore me? Akan lebih mudah rasanya jika
pemuda itu mencampakkannya saja dan tidak usah memedulikannyanya apalagi
menemuinya lagi daripada seperti ini. Sudahlah, dia sudah punya Oik, untuk apa
lagi sok-sok memperhatikannya?
Sudah tahu benar kalau selama ini ia menganggap hanya
punya pemuda itu di dunia ini dan sekarang
dia ingin memanfaatkan itu sebagai senjata untuk menyakitinya? Kenapa? Untuk
apa? Apa salahnya? Oke, sudah, pemuda itu sudah berhasil meremukkan hatinya
tadi pagi. Tapi, apa itu belum cukup? Apa pemuda itu belum puas dan tidak akan
berhenti sebelum melihatnya berurai air mata sambil mengemis-ngemis padanya?
Ck, sorry-sorry aja!
Febby berjalan cepat meninggalkan Goldi begitu
saja tanpa berkata apapun. Kalau ia tidak pandai menahan dirinya, tadi pasti ia
sudah berbalik badan dan memeluk pemuda itu. Tapi, untunglah sinyal otaknya
masih waras dan segera menyuruhnya cepat-cepat angkat kaki. Ia tidak ingin
pemuda itu merasa di atas angin mengetahui dirinya menangis. Ia tidak ingin
terlihat seperti anak kucing kecil yang lemah dan begitu hampa karena ditinggal
sang induk sesaat setelah ia baru dilahirkan ke dunia.
Febby menutup pintu kamarnya dan langsung
mengunci diri di sana. Napasnya berhembus tidak beraturan karena habis berlari.
Apalagi ia juga menangis tadi dan sekarang pun masih. Ia melepas tali tasnya lalu
meletakkannya asal. Tubuhnya lalu merosot perlahan ke lantai sambil tangannya
memegang dada.
Ia tidak boleh seperti ini. Ia tidak boleh terus
menangisi orang yang tidak pantas ia tangisi itu. Ia menelan ludahnya lalu
menarik napas dalam beberapa kali. Berusaha meredam tangis dan menenangkan
diri. Ia menghapus bias-bias air mata di pipinya lalu berdiri dan beranjak
mendekati lemari pakaian untuk berganti baju. Setelah itu ia memilih merebahkan
tubuhnya di kasur dan langsung tidur. Ia benar-benar butuh istirahat.
***
Febby terbangun sebelum magrib. Ia lekas
beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Seberat apapun yang terjadi padanya
beberapa jam lalu, ia tidak bisa tetap melanjutkan tidur meskipun ia sangat
menginginkan itu. Malam ini ia mesti pergi bekerja. Tidak mungkin ia bolos. Ia
sudah beberapa kali libur dan akibatnya gajinya dipotong. Ia tidak ingin jumlah
gajinya terus berkurang karena aksi bolosnya.
Sejam kemudian, Febby telah selesai
bersiap-siap. Ia memakai baju seragam kerjanya dan sementara memakai celana
karena bawahan seragamnya berupa rok yang lumayan pendek. Akan berbahaya jika
ia berpakaian seperti itu dari rumah. Ia juga memakai jaket menghindari
kedinginan yang akan menempa akibat angin malam. Setelah menguncir kuda
rambutnya, ia lalu beranjak keluar kamar.
Ketika sampai di ruang tamu, ia tak sengaja
bertemu dengan ayah tirinya yang berjalan sempoyongan dari pintu depan.
Sepertinya ayahnya itu baru pulang dari minum-minum. Ayahnya mengangkat
wajahnya dan berseru menatapnya. “Hah, kamu! Minta duit dong?! Malam ini si
Seli mau dateng. Papa gaada duit buat bayar. Duit Papa udah abiiiis,” katanya
sambil menirukan gerakan memotong leher di akhir ucapannya.
Febby mengernyit lalu memutar kedua bola matanya
malas. “Ga bisa satu-satu aja gitu ya? Kan tadi udah puas mabuk-mabukan. Hari
ini cukup itu aja dong! Aku gamau ngasih duit buat bayar pel4cu12. Minta sama
Oik aja sana!” tolak Febby. Kening Papanya mengerut lalu memberengut sebal.
“Dasar pelit!” rutunya lalu kembali berjalan dengan masih sempoyongan. Sesaat
ia berhenti lalu kembali menatap Febby. “Kamu mau kemana?” tanyanya dengan
sebelah alis terangkat.
Febby memutar kedua bola matanya lagi. “Ya
kerjalah, kayak gatau aja.” Ia langsung kembali berjalan sebelum ayahnya
mengajak bicara lagi.
“Tunggu!” sela ayahnya. Febby mau tak mau
berhenti lalu berbalik badan memandang ayahnya. Ia menunggu ayahnya bicara tapi
tak kunjung keluar sepatah katapun. “Apa lagi?” tanyanya geram. Ayahnya tak
menjawab. Laki-laki itu malah menatapnya lamat-lamat dari ujung kepala sampai
kaki lalu kembali memandang wajahnya. Tiba-tiba sebuah firasat buruk merasuki
hatinya. Apalagi ketika pandangan mata ayahnya berubah aneh. Tatapan
‘menginginkan’ dan ‘kelaparan’. Persis seperti ketika laki-laki itu melihat
wanita-wanita panggilannya.
Febby seketika memucat. Ia mundur selangkah demi
selangkah saat ayahnya mulai melangkahkan kaki ke arahnya. “A—ada apa, sih, Pa?
A—aku udah telat kerja!” katanya dengan ekspresi senormal yang ia bisa. Ia
menelan ludah panik saat ayahnya tetap diam lalu tiba-tiba tersenyum
mengerikan. “Gaada apa-apa. Papa baru sadar aja kalo sekarang kamu udah..gede!”
katanya tak kalah mengerikan. Entah bagaimana bisa, tubuh laki-laki itu sudah
normal dan tidak sempoyongan seperti tadi.
Febby tak mau berlama-lama lagi dan memilih lari
ke arah pintu. Namun sial, Papanya lebih dulu meraih tangannya dan mendorong
tubuhnya hingga ambruk ke lantai. “Papa jangan macem-macem! Sadar Pa, aku ini
anak Papa!” pekik Febby berusaha menyadarkan. Tapi, Papanya justru tertawa mendengar
ucapannya. “Papa itu cuma status. Setetes pun gaada darah yang sama yang
mengalir di tubuh kita berdua. Kamu bahkan bisa jadi istri Papa, Sayang.” Kata
ayahnya dengan nada menggoda.
Febby langsung menendang bagian tengah antara
kedua paha ayahnya ketika laki-laki itu hendak menindih tubuhnya. Laki-laki itu
mengaduh begitu kesakitan dan menatapnya garang. Febby langsung berdiri dan
lekas berlari kembali. Ia berhasil keluar dari rumahnya lalu meneruskan lari
sejauh mungkin hingga Papanya tidak bisa mengejarnya. Ia sampai keluar komplek
lalu langsung menyetop taksi. Tidak papalah ia berongkos banyak malam ini yang
penting ia bisa selamat dari ayahnya yang mendadak gila seperti itu.
Astaga, bertambah lagi satu kejadian mengerikan
yang terjadi padanya. Ini paling mengerikan! Untung saja tadi ayah tirinya
tidak sepenuhnya sadar dan masih dalam kondisi mabuk jadi bisa cepat
dilumpuhkan dan ia bisa kabur. Saat itu juga ia teringat akan tawaran Fara. Dan
dengan adanya kejadian tadi..aduuuh, kenapa rasanya pas banget gini? Apa ini
kebetulan semata atau memang benar-benar takdir dari Tuhan? Apa sekarang ia
harus menerima tawaran itu?
***
Febby menarik napas lalu menghembuskannya
berkali-kali. Ia memutuskan kembali ke rumahnya. Ia berusaha menganggap
kejadian sebelum pergi kerja tadi adalah hanya karena ayahnya sedang mabuk jadi
tidak sadar akan apa yang ia lakukan. Ia lalu berjalan mengendap-ngendap menuju
bagian belakang rumahnya tanpa melepas sepatu kets yang ia pakai. Meski ia
sudah mencoba berpikiran positif, tapi antisipasi tetap harus ada. Jaga-jaga
kalau-kalau—meskipun jangan sampai—kembali berulah seperti tadi, ia bisa
langsung kabur.
Ada pintu masuk yang biasanya tidak dikunci jam
segini karena ia yang selalu menguncinya. Semoga saja tidak ada yang kebetulan
lewat dan tergerak hatinya untuk mengunci. Sesuai dengan harapannya, pintu
belakang bisa dibuka karena tidak terkunci. Ia melangkah masuk dengan tetap
mengendap-ngendap setelah menutup pintu dengan sangat pelan. Ia mengintip
keadaan di ruang tengah dari balik dinding dapur. Lampunya masih hidup tapi
tidak ada siapapun di sana. Ia menghela napas lega lalu perlahan keluar dari
persembunyian dan mulai melangkah kembali menuju kamarnya.
“Akh!” pekik Febby kaget ketika merasakan ada
seseorang yang menangkap dan memeluk tubuhnya dari belakang. Orang itu juga
berbicara tepat di telinganya sambil mengendus-endus lehernya. “Akhirnya kamu
pulang juga!” desis orang itu yang tak lain dan tak bukan pasti masih pelaku
yang sama. Ayah tirinya.
Febby langsung merinding ngeri.
Mukanya langsung memucat dan berkeringat dingin karena panik. Sudah jelas
sekarang, ayahnya memang sudah benar-benar gila! Yang terjadi saat ia hendak
pergi bekerja tadi ternyata bukan karena efek mabuk. Tapi, laki-laki itu memang
berniat melakukannya. Ya ampun! Bagaimana kalau sekarang? Sekarang ayahnya
sudah lepas dari pengaruh minuman tidak seperti tadi. Tenaga ayahnya lebih
besar dari yang ia punya. Bagaimana ia bisa melumpuhkan laki-laki itu?
Bagaimana ia bisa menyelamatkan diri?
My greatest God, save me! Batin
Febby. Ia mulai meronta dan berusaha melepas cengkraman pada tubuhnya. Namun,
belum berhasil. Tenaga ayahnya masih cukup besar untuk menahan. “Sst..sst! Kalo
kamu agresif gini Papa jadi lebih ‘gasabar’, deh!” ujar laki-laki itu dengan
nada menggoda. Febby rasanya ingin muntah saat itu juga. Tanpa pikir panjang ia
langsung menginjak satu per satu kedua kaki ayahnya dengan tenaga penuh lalu
menyikut perut ayahnya dengan kedua siku tangannya.
Berhasil! Ayahnya langsung mengaduh kesakitan
dan dekapan di tubuhnya langsung terlepas. Ia berlari ke arah dapur mengambil
kukuran kelapa lalu menghantam balok kayunya ke tubuh ayahnya. Saat itu juga
tubuh ayahnya limbung dan tersungkur ke lantai. Tidak sampai pingsan. Ayahnya
masih bergerak-gerak dengan air muka seperti menahan sakit.
Febby meletakkan kembali kukuran kelapa tadi
lalu segera berlari menuju pintu belakang. Ia mengambil kunci lalu mengunci
pintu tersebut dari luar. Ia lekas berlari kembali menjauh sejauh-jauhnya dari
rumahnya. Untungnya kawasan sekitar komplek perumahannya adalah kawasan bebas
dari para preman. Kalau tidak, lepas dari ayahnya, ia malah terperangkap oleh
preman-preman itu.
Lalu, sekarang bagaimana? Ia harus kemana? Ia
harus tidur di mana malam ini? di rumahnya? Jangan harap! Ia bersumpah tidak
akan pernah mendatangi neraka itu lagi. Ia sudah mengambil banyak-banyak
pelajaran dari dua kejadian yang menimpanya.
Tapi, ia tidak punya tempat lain selain
rumahnya. Ia tidak punya teman dekat yang rumahnya bisa ia tumpangi menginap setidaknya
malam ini saja. Ia memang tidak pernah mengenal terlalu dekat teman-teman di
sekolahnya. Ia terlalu takut untuk percaya pada mereka. Sikap ayahnya dan Oik
membuatnya trauma untuk percaya pada orang lain. Ia takut mereka bersikap baik
di awal namun pada akhirnya menyakitinya saja. Baru Goldi yang bisa membuatnya
percaya lagi. Namun, setelah apa yang ia ketahui sekarang, Goldi ternyata sama
mengecewakannya dengan Oik dan ayahnya. Rasanya bahkan jauh lebih menyakitkan.
Aissh..sudahlah jangan bahas-bahas lagi soal
pemuda itu. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Yang harus ia pikirkan adalah
dimana ia bisa numpang menginap malam ini. Di saat ia sedang berpikir,
tiba-tiba muncul sebuah nama dalam kepalanya yang langsung memberikan jalan
keluar untuk masalahnya sekarang.
Alvin!
***
Alvin meletakkan ponselnya dengan perasaan
bahagia di atas nakas. Shilla berhasil membuat moodnya kembali baik malam ini
setelah kejadian tadi siang. Ah, ia jadi rindu pada kekasihnya itu. Rasanya ia
ingin kakinya cepat-cepat sembuh dan bisa digunakan berjalan lagi supaya ia
bisa segera menemui gadis itu di Jakarta.
Alvin memejamkan mata mulai mencoba tidur. Ia
tidak bohong. Ia memang benar-benar sudah mengantuk. Tak perlu banyak
menghitung, Alvin kemudian sudah terlelap. Namun, entah mimpi atau tidak, ia
merasa melihat Febby ada bersamanya. Ia mengernyit tak suka. Tapi, kemudian,
wajahnya kembali rileks. Mungkin sekarang ia sedang bermimpi. Meski agak kurang
suka juga mimpinya didatangi gadis itu. Kenapa bukan Shilla saja, kan? Ia kan
sedang merindukan Shilla bukan Febby. Alvin kemudian benar-benar terlelap tanpa
memikirkan masalah mimpinya itu benar-benar mimpi atau tidak.
Karena nyatanya, apa yang dilihatnya itu
bukanlah sebuah bunga tidur melainkan suatu kejadian nyata. Febby benar-benar
ada di kamar inapnya. Febby membuka pintu dan menutupnya begitu pelan karena
melihat Alvin yang sedang tidur. Ia berjalan sama pelannya agar tidak
menimbulkan suara apapun yang bisa membangunkan Alvin. Karena jika Alvin bangun
dan tahu dirinya ada di sini, pemuda itu bisa mengamuk dan mengusirnya. Ia bisa
membuat gaduh rumah sakit dan dikira ingin macam-macam.
Febby melihat mata Alvin terbuka sedikit
melihatnya lalu pemuda itu mengigaukan namanya. Sepertinya Alvin sekarang masih
berada di awang batas antara menuju terlelap dan sudah terlelap. Antara sadar
dengan tidak sadar. Ia tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala geli. Ia
lantas memilih tidak memedulikannya lagi dan kembali memedulikan dirinya
sendiri. Ia juga butuh tidur seperti Alvin. Setelah dua kali kejadian berbahaya
yang ia alami karena ulah ayah tirinya, ia tentu butuh istirahat untuk
menenangkan seluruh fisik dan psikisnya.
Febby berbaring di sofa sambil mencari posisi
tidur yang nyaman. Setelah itu ia langsung menutup matanya mencoba terlelap
seperti Alvin. Dan masih sama seperti Alvin, ia juga tidak butuh banyak
menghitung untuk bisa tertidur pulas. Mereka dalam sekejab langsung disibukkan
oleh mimpi masing-masing.
***
Cklek..
Shilla keluar dari kamar mandi dengan berseragam
lengkap. Ia beranjak menuju meja riasnya lalu melepas gulungan handuk yang
membungkus rambutnya. Ia mengeringkan rambutnya sekali lagi lalu melempar
handuk tersebut asal ke atas tempat tidur. Ponselnya kemudian tiba-tiba
berbunyi ketika ia hendak mencari sisir. Ia mengambil sisir lalu berjalan
mendekati nakas di samping tempat tidurnya. Wajahnya seketika berseri sesaat
setelah ia sudah mengambil ponselnya itu.
“Halo?”
“Morning, Cantik!” sahut sebuah suara serak di
seberang sana. Pipi Shilla langsung bersemu mendengar itu. Ia lalu berdiri dan
berjalan kembali ke meja rias sambil menyisir rambutnya. “Morning, Sipit! Cie
yang gak lupa nelfon!”
Alvin terkekeh pelan. “Hehe. Hebat kan gue?
Sorry ya telat, gue baru bangun soalnya. Haha.”
“Yaelah, pagi-pagi udah minta maaf aja, sih.
Iss..semalam lo begadang? Lo bohong sama gue ya?” Shilla menyipitkan mata
curiga sambil menunjuk bayangannya sendiri di cermin.
“Enggak, abis gue nelfon lo gue langsung tidur,
kok. Beneran deh!”
“Sumpe lo?!” ujar Shilla dengan intonasi ala-ala
fitri tropica.
“Pinky swear kitty swear banana cherry
strawberry swear!” balas Alvin. Mereka lalu serentak tertawa.
“Terus kenapa lo telat bangun?” tanya Shilla
setelah tawanya reda. “Kan lagi sakit. Gapapa dong bangunnya telat.”
“Lah bukannya hari ini lo keluar dari rumah
sakit? Berarti harusnya udah gasakit dong?”
“Ya kan sekarang belum keluar. Jam 8 ntar
pulangnya. Berarti gue masih sakit.”
Shilla memutar kedua bola matanya seraya
mendesah gemas. “Ya ya ya! Yang waras ngalah,”
“Cie yang waras!” ledek Alvin.
“Cie yang gak waras!” Shilla mengaktifkan
loadspeaker ponselnya dan meletakkan benda tersebut di meja rias sementara ia
mulai menguncir rambutnya.
“Cie yang mau-maunya pacaran sama orang gak
waras!”
“Cie biarin!”
“Cie cinta banget ya sama gue? Walaupun gak
waras gini tetep aja mau,”
“Enggak tuh.”
“Kok gitu?!” Pekik Alvin tak terima. Shilla
terkikik pelan lalu berdiri dari kursi dan berjalan ke samping tempat tidur
mengambil tas sekolahnya. Ia berhenti sebentar lalu berbicara keras agar
suaranya sampai ke speaker ponsel. “Karena gue cinta pake double bangetnya!
Hahaha!”
Tawa renyah Alvin kembali terdengar. “Iss..bikin
gue panik aja, deh. Awas aja ntar kalo ketemu, gue bawa pulang!”
“Emang gue oleh-oleh?” Shilla mengambil
ponselnya lalu menonaktifkan loadspeaker ponselnya seperti semula. “Kalo aja
ada yang jual dipinggir jalan pasti udah gue borong semuanya.”
“Segitu kangennya sama gue ya?” Shilla melangkah
ke arah pintu dan beranjak keluar kamar. “Just imagine it, Sayang! Kita udah
gak ketemu berapa minggu coba? Kangen gue sama lo itu udah numpuk semua. Tinggi
banget sampe gue gak bisa ngegapainya lagi.”
“Lebay, deh!” ujar Shilla pelan karena malu.
Untung saja Alvin tidak melihat rona pipinya yang sudah seperti tomat. “Ih gak
asik ah gak percaya!”
“Haha. Iya, iya. Tapi, sabar ya, bentar lagi
kita pasti ketemu, kok. Pokoknya lo jangan nekat nemuin gue. Kaki lo belum
sembuh. Gue gak mau kaki lo makin parah. Tunggu aja kedatangan gue ke sana.
Oke?”
“Iya, iya, Cantik punya gue seorang. Duh, tambah
cinta deh aku sama kamu.”
“Ih tambah gombal deh kamu!” cibir Shilla.
“Yaudah gue mau sarapan dulu ya, Sipit. Lo juga ntar jangan lupa sarapan, yang
banyak biar makin cepet sembuh kakinya.”
“Iya, Cantik. Happy breakfast! Wish you a great
day! Ntar gue telfon lagi ya. Byeee!”
“You too. Bye, Sipit!”
Shilla memandang layar ponselnya dengan senyum
cerah sambil menuruni tangga. Ia memasukkan ponsel tersebut ke saku rok lalu
berjalan menuju meja makan dan duduk. Sudah ada Papa dan Mamanya serta adik
satu-satunya, Shanin.
“Muka kamu kayaknya ceria banget,” gumam
Papanya. “Biasa, abis telfonan sama pacar.” Sahut Shanin. Shilla menoleh ke
arah adiknya itu sesaat lalu mengambil segelas air minum di depannya.“Kamu tau
aja. Pasti tadi kamu nguping, kan?” ujarnya seraya meneguk seteguk air dalam
gelas yang ia pegang.
Shanin hanya nyengir tanpa menjawab. Sementara
itu, Wiwit tersenyum seraya geleng-geleng kepala melihatnya. “Masih aja kamu
sama Alvin,” gumamnya.
Shilla ikut-ikutan nyengir seperti Shanin.
Tepatnya karena ia tidak tahu harus menjawab apa. Agak takut juga melihat
reaksi mamanya itu nanti. Mengingat beberapa hari yang lalu, wanita itu
menampakkan sikap yang kurang bersahabat untuk Alvin. Tapi kemudian, ia
diam-diam bisa bernapas lega melihat mamanya tersenyum dan tidak menunjukkan
keberatan akan Alvin lagi.
“Mama gak tanggung jawab kalo kamu mewek lagi
ntar ya!” ujar Wiwit seraya tertawa kecil. Diikuti Papa dan adiknya. Ia sendiri
hanya pura-pura merengut.
Dengan hilangnya sikap keberatan Wiwit, itu
artinya masalahnya dengan Alvin sudah benar-benar selesai. Ia sekarang dan
seterusnya hanya akan menjalani hari-hari menyenangkan tanpa ada apapun yang
mengganjal. Sekali lagi ia bisa bernapas lega sekarang.
***
Sesuai perkataan dokter kemarin, hari ini Alvin
sudah bisa keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumahnya. Ia pulang ditemani
Mamanya yang kelihatan begitu ceria saat itu. Ia sendiri terheran-heran kenapa
Mamanya ceria sekali pagi ini. Wanita itu senang karena dirinya keluar dari
rumah sakit atau ada alasan lain, sih? Awas saja kalau sampai ada alasan lain.
Benar-benar tega!
“Mama kok seneng banget gitu? Pake cengar-cengir
sana-sini lagi! Gak biasanya deh,”
Fara menoleh padanya lalu tersenyum sumringah.
“Ya seneng aja. Masa gaboleh? Kamu ga seneng liat mama seneng?”
“Kalo senengnya bukan karena Alvin ya Alvin ga
seneng lah,” Fara tertawa sesaat dan membuat Alvin makin heran. Apa gitu yang
lucu?
“Ya tentunya salah satunya karena kamu lah,
Sayang. Kamu kan udah bisa pulang ke rumah lagi. Tandanya kamu udah sembuh.
Tentu mama seneng banget!”
“Terus, alasan lain yang bikin Mama seneng apa?”
“Karena...anak gadis yang kemaren. Siapa..Febby
kan namanya?”
Alvin berjengit lalu mengernyit tak suka.
Mamanya senang bukan karena dirinya saja itu sudah membuatnya tidak suka
apalagi kalau alasannya karena Febby!
“Tau’ deh! Ngapain juga Mama seneng karena dia?”
Alvin melengos kesal.
“Karena dia bakal tinggal di rumah kita.”
Alvin mengernyit kembali. “Darimana asalnya?
Mama gadenger kemaren dia bilang apa? Dia udah bilang gamau.”
“Mama yakin aja dia bakal mau tinggal di rumah
kita.”
“Kenapa Mama bisa yakin? Dapet wangsit semalem?
Dari gunung mana?” tanya Alvin sarkastis. Ia tertawa sambil geleng-geleng
kepala. Mamanya tampak tidak peduli. Sedikitpun senyum di wajah Mamanya tidak
berkurang.
“Yaudah, kamu udah siap? Bisa jalan sendiri pake
tongkat atau mau Mama ‘papah?” alih Fara. Alvin mengambil tongkatnya lalu
berdiri. Ia mencoba melangkah sekali lalu memandang Fara. “Pake tongkat aja
kayaknya.” Jawabnya. Fara mengangguk lalu mengajaknya berjalan keluar
pelan-pelan. Berhubung ia belum benar-benar terbiasa menggunakan tongkat untuk
membantunya berjalan.
Alvin nyaris saja menjatuhkan tongkatnya ketika
melihat seseorang yang paling tidak ia nantikan kehadirannya di rumah sakit
ini, kini tengah berdiri menghadapnya dan Mamanya ketika di depan pintu. Dengan
sekoper besar di sampinya dan ransel berukuran sedang yang tampak berisi penuh.
Orang itu tersenyum atau lebih tepat meringis memandangnya dan Mamanya sambil
menggaruk-garuk leher canggung.
Alvin menoleh ke arah Fara dan melihat wanita
itu setia memajang senyumnya. Namun, kali ini senyumnya lebih bermakna sebagai
senyum kepuasan. Seperti baru saja menang undian atau semalam bermain togel dan
nomor yang ia pasang keluar. *jamanbatukalimaintogel* *yakalimasihada(?)hahaha*
Muka Alvin langsung berubah panik. Ia menatap tajam ke arah Febby menuntut
‘kenapa lo disini? Bawa koper segala lagi!’. Ia lantas mendengus mengetahui Fara
mendekati gadis itu.
“Emm—tawaran Tante kemaren..ma—masih berlaku nggak?”
cicit Febby seraya menatapnya dengan tatapan diberani-beranikan. Saat itu,
Alvin merasa dunianya jungkir balik sehingga ia terjatuh dan kepalanya
terbentur dek rumah sakit. Dan ia tidak sadarkan diri, mungkin.
***
Febby terbangun pagi-pagi sekali sekitar jam 5
lebih. Padahal ia tidak memasang alarm tadi malam dan ia tidak tidur terlalu
cepat. Yah mungkin karena memang ia sudah terbiasa terbangun jam segini.
Baguslah, lebih bagus memang ia terbangun sebelum Alvin bangun bukan malah
sebaliknya.
Febby merapikan bajunya yang sedikit amburadul
lalu mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Ia berhenti untuk mengamati
Alvin sebentar. Muka polos pemuda itu saat tidur. Dengan rambut yang sedikit
acak-acakan tapi justru membuatnya terlihat..seksi. Seketika itu juga Febby
menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu bergidik. Mikir apa sih gue? Batinnya
heran. Ia lantas kembali melanjutkan tujuannya sebelum ia berpikiran
macam-macam lagi.
Untuk kali ini Febby harus melanggar sumpahnya
semalam kalau ia tidak akan kembali ke rumahnya. Nyatanya ia diharuskan
menginjak nerakanya itu lagi meski tidak sedikitpun berniatan untuk kembali
menetap. Ia hanya ingin membereskan barang-barangnya yang ada di rumah. Ia
benar-benar sudah memantapkan diri untuk keluar dari sana. Alasannya? Banyak
alasan yang mendorongnya melakukan itu. Yang paling berpengaruh tentu ayah tiri
dan saudara tirinya. Beruntung saat ia datang kembali, kedua orang tersebut
masih terlelap di kamar masing-masing.
Menetap di rumah ayahnya itu sama saja melakukan
bunuh diri. Selama ini ia bersabar kerab dijadikan bank uang oleh ayah tirinya
dan budak oleh Oik. Tapi, ia tidak pernah sepakat untuk menerima perlakuan
‘mengerikan’ yang hampir saja terjadi tadi malam oleh ayahnya. Bayangkan,
ayahnya hampir saja memperkosanya! Ayahnya, loh, ayahnya! Bahkan sampai bilang
mau menjadikannya istri. Dasar gila! Sampai mati pun ia tidak akan pernah rela!
Ayah macam apa itu? Ah, memang laki-laki itu tidak sekalipun bersikap layaknya
seorang ayah padanya, sih.
Febby memasukkan semua bajunya yang tidak banyak
jumlahnya dan semua buku-buku pelajarannya serta apapun yang harus ia bawa.
Setelah semua terkunci rapi, ia menarik pelan-pelan kopernya dan menggendong
ransel keluar kamarnya. Ia mengintip keadaan di luar terlebih dahulu sebelum
beranjak dari kamarnya itu. Keadaannya masih sama seperti saat ia baru datang.
Demi mempercepat tanpa menimbulkan keributan, ia mengangkat kopernya yang tidak
terlalu berat hingga berhasil keluar dari rumah. Ia menghembus napas lega
sesaat setelah sudah berada di luar. Ia menyerahkan barang-barangnya pada sopir
taksi yang ia suruh menunggu untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Setelahnya, ia
sudah berada di dalam taksi dan sopir mulai menjalankan mobil meninggalkan
komplek perumahan tempat tinggalnya itu.
Untuk yang terakhir kali, Febby menoleh ke
belakang melihat kembali rumah ayah tirinya. Karena setelahnya, ia yakin tidak
akan pernah melihat tempat itu lagi.
***
Rasanya semalam Alvin tidak bermimpi buruk. Tapi
kenapa pagi harinya ia langsung ketiban sial begini? Febby yang tiba-tiba
muncul di rumah sakit dan mendadak pula menyetujui ajakan mamanya untuk tinggal
di rumahnya. Kenapa sih dengan gadis itu? Kenapa semua hal yang gadis itu
katakan selalu berlainan akhirnya? Mulai dari dia yang ngotot ingin jadi
pacarnya lalu ternyata dia sudah punya pacar. Lah sekarang, kemarin bilang
tidak mau sekarang tau-tau sudah muncul dan bilang setuju. Selanjutnya apalagi?
Dan yang lebih membuatnya kesal, karena
kehadiran Febby, Mamanya jadi mengabaikan keberadaannya. Kan harusnya dirinya
yang lebih diperhatikan karena baru saja pulang dari rumah sakit. Ini malah
Febby. “Heran deh, Mama lebih bahagia kedatangan anak orang dibanding
kepulangan anak sendiri!” omelnya.
Fara menoleh lalu tersenyum geli. “Kamu tuh
bawaannya ngomeeel mulu daritadi. Kayak ibu-ibu!” ledeknya. Alvin hanya
melengos tanpa membalas.
“Nah, kamar ini akan jadi kamar kamu sekarang!”
seru Fara kemudian. Alvin terbelalak tak percaya melihat kamar tersebut. Itu dulunya
merupakan salah satu dari tiga ruangan kosong di rumahnya yang kini sudah
disulap menjadi sebuah kamar untuk anak perempuan. Dengan walpaper berwarna
putih susu bercorakkan bunga-bunga kecil nan lucu berwarna pink. Perabotan yang
ada di dalamnya semuanya berwarna yang sesuai dan saling melengkapi
masing-masing. Benar-benar cantik dan...dan kapan Mamanya menyiapkan ini semua?
Fara tersenyum sumringah menunjukkan kamar untuk
Febby. Febby terdiam di tempatnya mengagumi ruangan yang katanya akan menjadi
miliknya itu. Ini terlalu bagus. Terlalu bagus untuk dirinya yang bahkan bukan
siapa-siapa di keluarga Alvin, untuk seseorang yang hanya ingin menumpang
tinggal. Ia bahkan berpikir kalau ia akan tidur di kamar pembantu. Ia sama
sekali tidak berharap diberikan kamar sendiri. Dikasi numpang aja udah sukur!
Kalo jadinya dikasi kamar yang bagus banget kek gini, gede lagi, ini mah gue
harus motong kambing bikin sukuran!
“Kamu kok diem? Kamarnya gak bagus ya? Maaf ya
soalnya nyiapinnya buru-buru banget, cuma sehari doang. Tapi, tenang aja. Nanti
kamu boleh dekor ulang sesuai yang kamu mau!” ujar Fara dengan nada kecewa di
awal namun kemudian kembali berubah ceria. Febby langsung menggeleng keras.
Gila! Secantik ini dibilang ga bagus? Ga mungkin lah. Batinnya.
“Enggak! Enggak sama sekali kok! Ini malah kelewat
bagus. Febby tadi cuma terpesona aja dan...kaget.”
“Kaget kenapa?”
“Tante—“ Fara memotong sambil menegakkan dan
menggerak-gerakkan telunjuk ke kanan kiri. “No Tante-tante! Emangnya Tante
girang?” selanya seraya tertawa kecil. “Mulai sekarang kamu manggilnya Ma—ma!”
sambungnya kemudian.
“H-ah?” Febby menyahut bingung sekaligus kaget.
“No Mama! Masa Alvin sama dia sama-sama manggil
Mama? No pokoknya no!” giliran Alvin yang menyela protes. Fara langsung
memandangnya merengut dan memelas. Membuat Alvin langsung melengos kesal. Kalau
sudah seperti itu, ia mana bisa menolak. “Ya masa panggilannya sama? Bedain
dong! Dia manggil nyonya kek atau apa yang penting jangan ‘mama’.”
Fara langsung mencubit pelan pinggangnya. “Kamu
ini, masa nyuruh manggil nyonya? Emang kamu pikir dia pembantu?”
“Ya kan harusnya gitu,” sahut Alvin asal yang
sekali lagi membuatnya harus menerima cubitan dari sang mama.
“Pokoknya mulai sekarang kamu harus manggil
Mama! Kamu mau kan, Sayang?” Fara beralih pada Febby. Febby yang masih dalam
suasana kaget langsung mengangguk kaku. “I—iya..Ma.” jawabnya belum terbiasa.
Meski begitu, Fara tetap tersenyum puas mendengarnya. Ia lalu mengajak Febby
masuk ke dalam kamar untuk melihat lebih dekat.
Sementara itu, Alvin yang merasa terabaikan di belakang
tak henti-hentinya mencibir. Ia lantas memilih kembali ke kamarnya sendiri
karena sudah sangat-sangat bosan menunggu. Melihat Mamanya begitu bahagia
berbicara bersama Febby malah menambah kesalnya saja. Meski sebenarnya ia juga
bersyukur karena kehadiran Febby, Mamanya bisa melepas kesedihannya akan
kepergian Vina. Mamanya seperti telah menemukan Vina yang baru, bukan pengganti
Vina tapi memang benar-benar Vina.
Berbicara tentang Vina lantas menarik hati Alvin
untuk berhenti dan kembali berdiri mengamati dua manusia yang ada di dalam
kamar. Ia kembali bersandar di kusen pintu sambil memandang lamat-lamat wajah
Febby yang terlihat dari samping. Mencari tahu kenapa Mamanya sampai bilang
kalau dia mirip dengan Vina bahkan sampai ngotot mengajak tinggal bersama.
Kalau dilihat-lihat, bentuk matanya memang mirip, sih. Ia sangat ingat betul
bagaimana bentuk mata Vina dulu, apalagi disaat mata itu menatapnya untuk yang
terakhir kali.
Lalu..apalagi ya? Ah, mungkin dagunya juga.
Bentuk dagunya mirip dengan miliknya atau boleh dikatakan sama. Itu juga yang
membuat orang-orang dahulu bilang kalau ia memiliki kemiripan wajah dengan
Vina. Yang membuat mereka percaya kalau mereka...
Singg...*adasuaraanginbunyinyasing?.-.*
Entah hanya hati Alvin yang merasa dihembusi angin
atau memang ada angin yang berhembus melewatinya ketika menatap wajah Febby, ia
kurang begitu paham. Yang pasti, akibat angin sialan itu, ia mendadak merasa
berdebar apalagi ketika manik mata itu memancarkan sorot bahagia kala melihat
mamanya. Saat itu juga, tak sengaja Febby mengalihkan pandangannya yang
mengakibatkan pertemuan antara matanya dengan mata Alvin. Sesaat mereka
sama-sama terdiam dengan gemuruh aneh di dada masing-masing hingga akhirnya
Alvin memilih memalingkan wajahnya dan beranjak pergi.
Beruntung Fara tadi tidak menyadari apa yang
baru saja terjadi antara dirinya dan Alvin. Ia diam-diam menarik napas
menenangkan dirinya sambil mencoba tetap menyimak apa yang diucapkan wanita
itu.
Ada apa dengan dirinya? Kenapa perasaannya
tiba-tiba aneh begini ketika melihat Alvin? Dan kalau ia tidak salah dan kalau
ia tidak kepedean, tadi Alvin juga memunculkan gerak-gerik yang sama-sama aneh
sepertinya. Itu cukup terbukti karena Alvin tiumben-tumbennya mau bersitatap
seperti itu dengannya. Kalau biasanya kan melihatnya saja langsung melengos.
Aiss..ia berpikir macam-macam lagi, kan! Kalo gitu ada bagusnya kalo lo stop
mikir sekarang, Febby! Stop mikir, apapun itu! Hhhh!
Di tempat lain, Alvin merebahkan tubuhnya di
kasur setelah sampai di kamarnya. Ia memegang dadanya sambil melongo heran dan
tak percaya. Tadi gue kenapa sih? Gue tadi degdegan bukan karena Febby, kan? Ah
pasti bukan lah, kan? Pikirnya berulang-ulang. Ia menggeleng takjub lalu
mengangkat bahu seraya mencoba melupakan saja apa yang barusan terjadi antara
dirinya dan Febby.
***
Empat sekawan itu sekarang hanya bertiga karena
yang satu sedang dalam ‘masa siaga’. Intinya yang satu sedang tidak bisa
bersama-sama dengan tiga yang lain. Agni, Shilla dan Via memutuskan untuk
menghabiskan jam istirahat kedua di kantin. Masing-masing pun sudah menyantap
makanannya sendiri di depan meja masing-masing.
“Lo yakin Ify ‘aman’ sama Rio?” tanya Shilla
lalu menyesap jus jeruknya. Agni menelan bakso dalam mulutnya lalu berbicara.
“Fans-fansnya Rio ga mungkin anarkis depan Rio sendiri, kan? Mereka pasti jaim
lah. Jadi, Ify pasti aman.”
“Ntar kalo tiba-tiba mereka dateng keroyokan
trus ngerubungin Rio pura-pura pengen wawancara trus Ify diem-diem dibawa kabur
dan Rio galiat itu gimana?” tanya Shilla lagi. Agni mendengus keras. “Gue
kulitin si Rio kalo sampe kejadian.”
Shilla menganggukkan kepalanya dan tidak
bertanya lagi. Ia memperhatikan sekelilingnya lalu tiba-tiba saja ia tersedak
bakso dalam mulutnya ketika melihat beberapa pemuda yang baru saja masuk ke dalam
kantin. Agni dan Via sama-sama menyernyit tak mengerti. Ia langsung meneguk
banyak-banyak jus jeruk miliknya hingga tenggorokannya terasa lega. Ia melirik
ke arah yang membuatnya tersedak tadi sekali lagi guna memastikan lalu segera
mengalihkan pandangan.
“Lo kenapa, sih?” tanya Agni heran. Shilla
menghela napas. “Arah jam sembilan.” Ujarnya. Agni dan Via serentak menoleh ke
arah yang Shilla tunjuk. Agni berjengit kaget sambil menaikkan sebelah alisnya
sementara Via menahan napas sambil menutup mulutnya.
“Itu—“
“Kak Chris...dan teman-temannya.” Potong Shilla
acuh tak acuh.
“Cinta bertepuk sebelah tangan lo itu, kan?”
sahut Via yang akhirnya berbicara setelah hanya menyimak daritadi. Shilla
langsung mendelik ke arahnya. “Lo kenapa ingetnya bagian itu doang, sih?”
gerutunya kesal. Via hanya nyengir sambil menyembulkan simbol peace dengan
jarinya.
“Lo gak clbk sama cowok sok kegantengan itu,
kan?” tanya Agni sambil memandang sesosok pemuda lumayan tinggi berkulit putih
dan berwajah indo, yang mereka sebut dengan Chris itu, sinis. Shilla
ikut-ikutan memperhatikan pemuda itu dengan mata menyipit.
***
Hari ini adalah hari terakhir MOS dan sekarang
sudah masuk jam pulang untuk para murid baru. Suasana sekolah pun sudah lumayan
sepi. Shilla berjalan mengendap-endap menuju tempat loker salah satu kakak
kelasnya berada. Senior yang sudah memikat hatinya sejak pertama kali ia
menginjakkan kaki di sekolah barunya ini, Parfait SHS. Seniornya yang telah ia
ketahui bernama Chris itu yang kini sudah ia temukan dimana letak lokernya.
Shilla tersenyum senang melihat salah satu loker
di hadapannya lalu sebuah surat berwarna pink lucu dan wangi yang ia pegang. Poni
yang menutupi seluruh dahinya bahkan sampai bergoyang-goyang. Ia menutup mata
sejenak berdoa supaya Chris membaca surat darinya ini yang ia tulis sepenuh
hati sampai begadang tiga hari demi menemukan kata-kata yang pas untuk
dituliskan. Ia membuka matanya dan tersenyum yakin. Setelah melihat keadaan
sekitar yang kosong ia langsung menyelipkan surat cintanya itu ke dalam loker
milik Chris. Ia tersenyum puas lalu memilih cepat-cepat pergi sebelum ada yang
melihatnya disini.
Esok harinya saat upacara bendera sudah selesai
dan yang lain sudah pada berhamburan bubar, Shilla masih diam di tempat sambil
celingak-celinguk sana-sini. Agni yang sudah menjadi temannya sejak SMP ini
*ehbenergasih?hahalupadeheke* menatapnya bingung sekaligus kesal. “Lo nyari
siapa, sih? Balik ke kelas yok, panas tau disini!” gerutunya. Shilla menggigit
bibirnya sambil memperbaiki letak kacamatanya lalu memandang Agni sama
bingungnya. “Gue lagi nyari Kak Chris. Temenin gue yuk nemuin dia?”
Agni berjengit lalu membelalakkan mata kaget.
“Lo jadi ngirimin dia surat cinta?!” katanya berbisik histeris. Shilla hanya
nyengir menunjukkan barisan giginya yang dilapisi kawat. Agni langsung menepuk
dahinya lalu mendesah keras. “Lo kok ngeyel banget, sih?! Kan gue udah bilang
jangan.”
“Udah terlanjur, gimana dong?” jawab Shilla
polos. Agni langsung mencibir geram ke arahnya. “Terserah lo deh, tanggung
sendiri akibatnya. Gue gak mau lo repotin!”
“Iya, iya. Yaudah, ayok cepetan! Bentar lagi
masuk,” ujar Shilla dan langsung menarik Agni pergi. Agni memutar kedua bola
matanya pasrah.
Shilla tersenyum antusias kala melihat Chris
sedang berdiri di depan lokernya bersama beberapa temannya yang lain dan
seorang gadis cantik yang juga seniornya. Kalau tidak salah namanya Lareina,
tapi seringnya dipanggil Lala. Gadis itu memang luar biasa cantik. Kulitnya
putih dengan wajah indo arab-portugal. *bisadibayanginkanmancungnyakayakapa(?)*
Dan berdasarkan gosip yang beredar, Lala adalah gebetan Chris dibuktikan dengan
selalu hadirnya ia dimanapun Chris berada.
Hati Shilla sedikit ciut melihat banyak orang
disana apalagi melihat Lala. Agni sudah berusaha menahannya sedaritadi tapi
keyakinan dalam hatinya tetap menyuruhnya untuk singgah kesana menemui Chris.
Ia lalu menyuruh Agni menunggu sementara ia pergi menemui Chris seorang diri.
Ia berjalan sambil mengepalkan tangan menguatkan tekad. Hingga ia benar-benar
sampai di depan Chris serta teman-temannya. Serta Lala.
“Kak..Chris?” cicitnya. Chris menoleh ke arahnya
dan tersenyum. Shilla merasa ada angin yang berhembus ke arah wajahnya sesaat.
“Ya?”
“Kemaren aku ngirim surat buat kakak. Udah kakak
baca?”
“Surat? Ah iya!” Chris tiba-tiba berseru senang.
“Kamu ngirim pake nama siapa?” tanyanya kemudian. “A—Ashilla.” Shilla melirik
teman-teman Chris yang ikut-ikutan tersenyum. Tapi, entah kenapa senyum itu
kelihatan aneh dimatanya.
“Oh kalo gitu, Ashilla, thanks ya karena kamu
dan beberapa teman kamu yang juga ngirimin Kakak surat, udah ngebantu Kakak dan
temen-temen Kakak disini nyelesein tugas bahasa Indonesia. Tolong sampein rasa
terimakasih Kakak sama yang lain juga ya.”
Shilla melongo tak percaya. Hatinya sakit tapi
ia lebih merasa jengkel pada pemuda di hadapannya itu yang dengan tanpa izin
mengacak-acak rambutnya. Ia menahan Chris yang hendak berjalan pergi. “Tunggu,
Kak!”
Chris berhenti dan menoleh kembali padanya
dengan pandangan bertanya. Shilla menghela napas lalu menatapnya datar. “Boleh
aku minta surat aku balik?”
Chris mengernyit bingung. “Ambil aja di loker
kalo masih ada, gak dikunci kok. Kakak lupa udah narok di situ lagi atau
enggak.”
“Boleh tolong Kakak aja gak yang ngambil? Aku
gamau ntar dituduh maling kalo-kalo ada barang yang ilang.” Ujar Shilla masih
datar. Chris mengernyit lagi namun kelihatannya mulai agak kesal. Ia mau tak
mau berjalan kembali ke lokernya dan mencari surat yang bernamakan Ashilla.
Untungnya surat itu ada di sana. Ia lalu memberikannya pada Shilla.
Shilla melirik sekilas surat yang disodorkan
padanya, suratnya sendiri, lalu menatap Chris kembali. Ia mengambil surat
tersebut lalu dengan gerakan cepat meraih tangan Chris dan memelintirnya hingga
badan pemuda itu ikut berputar dan jatuh menghantam lantai. Chris langsung
mengeluh kesakitan sementara orang-orang di sekitarnya terdiam memandangnya.
Shilla tersenyum sinis sekaligus puas.
“Itu bayaran buat surat gue dan temen-temen yang
lain. Tau gak seberapa susah kita-kita bikinnya? Enak aja make karya orang
gratisan!” dumelnya kesal. “Dan satu lagi, jangan sembarangan megang-megang
anak orang!” tambahnya sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti sedang
membersihkan sesuatu dari sana. Ia lalu berbalik dan berjalan kembali ke arah
Agni melewati teman-teman Chris yang masih melongo memandangnya.
Berbeda dengan Agni yang tidak kaget sama
sekali. Ia justru kelihatan menahan tawa. “Yoa da man, Shil!” gumamnya lalu
benar-benar tertawa. Tidak sia-sia ia mengajari salah satu jurus andalannya
pada Shilla. Tanpa sengaja ia melirik ke sebelahnya dan ia dibuat kaget karena
tau-tau sudah ada seorang pemuda berdiri menemaninya. Muka pemuda itu juga
tampak sangat-sangat takjub pada apa yang terjadi di depan mereka. Agni tertawa
lagi melihat itu. “Baru pertama kali liat cewek cupu ngehajar cowok kece—ehm
cowok ‘sok’ kece maksudnya?”
Pemuda di sebelahnya menoleh padanya dengan
mulut menganga lalu menggeleng dan kemudian mengangguk. Agni mengernyit tak
mengerti lalu geleng-geleng kepala heran. Shilla kemudian datang menghampirinya
dengan muka puas. Gadis itu lalu menaikkan alisnya bingung melihat seorang
pemuda asing yang berdiri di sebelah Agni. Agni menggaruk lehernya sambil
memandang pemuda di sebelahnya bingung. “Gue juga gatau, sih. Tiba-tiba udah
nongol di sebelah gue.”
Pemuda itu sudah bisa mengembalikan ekspresinya
menjadi normal seperti biasa. Ia lalu tersenyum miring. “Keknya gue baru nemu
lo berdua yang gak tau siapa gue. Ternyata gue ga seterkenal itu di sekolah.”
Agni dan Shilla hanya diam sambil mengerutkan
kening menatapnya aneh. Berani-beraninya pemuda ini bertingkah narsis di
hadapan mereka berdua setelah kejadian tadi. Ckckck. Mau cari mati?
Pemuda tadi kemudian sadar kalau ia sudah salah
bicara. Ia langsung berdehem menghilangkan kegugupannya yang mendadak muncul.
“Gue Alvin. Kalo ga salah kita sekelas. Gue liat lo berdua ada di barisan gue tadi
pas upacara.”
“Gue Agni,” sahut Agni lalu kemudian Shilla
menyusul. “Gue Shilla. Salam kenal.” Ujarnya memaksakan senyum lalu langsung
mengajak Agni pergi dari sana. Ia sudah gerah lama-lama berada di dekat Chris
dan teman-temannya yang sok kegantengan itu. Hilang sudah rasa kagumnya pada
pemuda itu. Ia justru menyesal kenapa sempat kagum pada orang seperti Chris.
“Eh lo berdua mau ke kelas, kan? Barengan aja!”
ujar Alvin sambil berlari menyusul.
***
“HAHAHAHA! Gue gak ngebayangin itu si Chris sama
temen-temennya ekspresinya kek gimana!” komentar Via. Diikuti tawa Agni
sementara Shilla sedaritadi senyum-senyum sendiri manakala mengingat kejadian
surat cinta tersebut yang sekaligus menjadi awal perkenalan pertamanya dengan
Alvin.
“Heh, lo senyam-senyum karena Chris atau Alvin?
Awas aja lo macem-macem!” kata Agni sinis. Shilla langsung mencibir ke arahnya.
“Yaelah, gue udah ga demen bule kali! Gue mah udah cinta mati sama asia,”
katanya lalu menangkup wajahnya ala cibi-cibian dengan wajah berseri.
“Habis lo dulu culun, sih. Lah si Chris keren
kek gitu, bule lagi, mana fansnya di semua penjuru sekolah ada. Pasti gamau lah
sama lo.” Komentar Via kembali. Agni tertawa lagi mengingat bagaimana
penampilan Shilla dulu yang dijulukinya sebagai another betty.
“Yee..dasar dia nya aja yang sok kegantengan.
Alvin mau aja tuh sama gue, seculun-culunnya gue dulu. Waktu itu kan Alvin juga
gak kalah terkenal sama Kak Chris.” Ujar Shilla membela diri lalu tersenyum
lagi kala membicarakan tentang Alvin.
“Kalo lagi edisi baikan begini nih. Alvin
disebut-sebut plus dipuji-puji mulu. Coba kalo edisi berantem, hmm...ada yang
nyebut Alvin aja, pasti langsung muntah.” Sahut Agni.
“Gak sampe muntah juga kali!” Shilla membalas
tak terima. Agni tersenyum miring memandangnya. “Iya, tapi cuma ngamuk
sampe-sampe hampir ngebunuh orang.”
Shilla baru saja buka mulut ingin membalas lagi
tapi kemudian ucapannya terpotong sebuah suara asing tapi tidak begitu asing
yang tiba-tiba muncul sambil menyebut namanya. Shilla menoleh sebentar lalu
langsung membuang muka mengetahui siapa yang memanggilnya. Chris.
“Shilla? Kamu Shilla, kan?” sapa Chris antusias
sambil menunjuk ke arah wajah Shilla. Shilla berdehem cuek. “Iya, lo siapa ya?”
tanyanya pura-pura tidak kenal.
“Dia Shilla yang dulu ngirim surat cinta sama lo
itu, kan? Yang culun itu? Kok sekarang...cantik banget?” salah satu teman Chris
berbicara nyaris berbisik dengan pandangan kaget sekaligus terpesona meski masih
bisa didengar jelas oleh Agni, Via dan Shilla.
“Yang dulu nge-jungkir-balik-in lo itu, kan?
Haha,” sahut temannya yang lain yang mau tak mau membuat yang lain tertawa
meski hanya sebentar. Rasanya Shilla juga ingin ikut tertawa. Tapi, ia sudah
terlanjur bersikap pura-pura tidak mengenal Chris jadi akan aneh jika ia ikut
tertawa bersama mereka.
“Ck, sial banget sih lo, Chris! Udah kehilangan
kesempatan dapetin cewek cantik begini eh malah dapet si Lala yang—“
“Lo lanjutin, gue potong lidah lo!” potong Chris
dengan nada mengancam. Temannya itu langsung diam sambil melengos.
“Boleh gue minta nomor hape lo?”
Shilla menaikkan alisnya bingung. “Hah?”
***
Tararadadamtamtadamtam~ hiyahahaha part ini
adalah ide tak terduga. Entah kenapa si Chris tiba-tiba menggentayangi mimin
minta peran(?) Yowes lah, rasanya juga gaadil cuma Alvin doang yang punya orang
ketiga. Shilla juga harus punya dong!(?) Sebenernya mau di tambah scene Fevin
pas serumah sih tapi ini aja udah panjaaaaaaang beeeeuuuudhhhh. Ntar ribet
nguploadnya. Jadi segini aja ya. Maaf kalo Alshillnya dikit, maklum tuntutan
cerita-.-
Btw, mimin baru liat coveran Gab sm Rio. Dan
seketika mimin galau kangen icil diadain lagi:’) Enggak sih, lebih pengen
ngeliat icil reuni sebenernya:’) Denger dealova nya Sion sm Via aja sampe mau
nangis yaampun-.- Ayo dong, kan udah banyak yg pada di pulau jawa kan, yang
sering aktif di media sosial dan sering muncul di tipi(?) Ngumpul dong cover
lagu sama-sama-.- Angel, Ify, Shilla, Via, Irva, Agni, Gab, Rio, Kiki, Ray,
Alvin, Cakka, Dayat, Sion, duh siapa lagi ya. Atau setidak-tidaknya yang paling
deketan skrg aja. Ify, Via, Rio, Gab gitu cover lagu bareng *modus ini mah
hahahahaxD* mumpung sama-sama jomblo juga kan *gaada hubungan* *bodo amat hajar
terooos(?)* Kan pas tuh, Ify piano, Rio bass, Gab gitar dan Via
krenceng-krencengan(?)
Yah sudahlah, semoga mereka semua membaca
curhatan mimin ini lah. Seriusan ih, mimin bener-bener kangen asli
banget-bangetan~ So see you babay muah muah :*
***
Cagni
Bila rindu ini masih milikmu kuhadirkan sebuah
tanya untukmu. Harus berapa lama aku menunggumu? Aku menunggumu.
***
“Mau nonton lagi?” tanya Cakka seraya menahan
tawa. Agni langsung mendelik ke arahnya. “Enggak!” katanya galak. Mereka baru
saja keluar dari theater bioskop dan kini sudah turun menggunakan eskalator
menuju lantai bawah.
“Kok gue gak digandeng lagi?” tanya Cakka pelan
sambil memandang Agni dengan tatapan yang hampir sukses membuat Agni salah
tingkah. Agni harus mati-matian berusaha bersikap normal dan menjaga-jaga agar
pipinya tidak merona. Ampun deh, jadi gini rasanya jalan sama cowok cakep?
Ckckck, kenapa jiwa maskulin gue gak keluar disaat kek gini? Sialan. Batinnya.
“Jangan geer ya! Gue itu udah kebiasaan gandeng
siapa aja yang duduk di sebelah gue kalo lagi nonton film horror. Bukan karena
gue emang niat gandeng lo.”
Cakka mengedikkan bahunya. “Yah..gue udah
terlanjur geer, gimana dong?” ujarnya dengan senyum kecewa. Agni merasa di
sekelilingnya berputar-putar. Ia memegang pegangan eskalator kuat-kuat menjaga
tubuhnya agar tidak jatuh. Itu dia gak serius kan? Batinnya lagi.
“Ya..gak gimana-gimana. Ngomong apa sih lo?”
elak Agni sambil mengibas-kibaskan tangannya. Cakka hanya balas tersenyum lalu
mengedikkan bahu lagi. “Lo mau gue anter pulang atau mau ikut gue dulu?”
Agni melihat jam tangannya. Belum terlalu malam.
“Ikut lo kemana? Kalo tempatnya serem mending gue pulang aja.”
“Hehe, takut banget lo gue kerjain. Gak kok, gue
mau liat temen-temen freestyle gue. Katanya sih anak-anak biker lagi maen. Lo
mau ikut liat?”
Agni mengernyit berpikir sebentar lalu
mengangguk setuju. “Awas aja kalo lo
malah bawa gue ke kuburan!”
Cakka tertawa kecil. “Iya, iya, gue janji, deh.”
***
“Aaah..”
Orang-orang serentak berseru kecewa saat salah
satu bikers gagal mendarat. Ada juga yang tertawa termasuk dia yang gagal
mendarat tersebut. Pemuda itu mengambil sepedanya lalu menggiringnya kembali ke
belakang untuk kembali mencoba melakukan atraksi. Sementara itu, pemuda lain
kini tengah melambung di udara sambil menggoyang-goyang sepedanya lalu kemudian
mendarat mulus. Sekali lagi membuat seluruh orang yang ada di sana berseru.
Namun kali ini mereka semua berseru kagum akan atraksinya.
Agni ikut bertepuk tangan sambil menggelengkan
kepala berdecak tak kalah kagum. Cakka yang berdiri di sebelahnya hanya
tersenyum sambil berkacak pinggang. “Mereka semua pernah ada yang patah kaki
gak, sih? Ini kan maenan yang ekstrim banget.” Tanya Agni tanpa melepas
pandangan pada atraksi yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Ada sih beberapa, pas awal-awal belajar. Tapi
yang paling sering sih luka lecet kegesek aspal doang.” Jawab Cakka santai
sementara Agni mendelik ke arahnya. “Kalo kegesek aspal itu bukan lecet doang
kali! Ckck, gak pada kapok tuh?”
Cakka tertawa lalu menoleh pada Agni. “Selagi
mereka masih punya kaki sih mana ada kata kapok.”
“Pada gila!” sahut Agni sambil geleng-geleng
kepala lalu kemudian berdecak kagum lagi ketika salah satu bikers berhasil
melakukan atraksi.
“Namanya juga udah hobby.”
“Lo sendiri ikut maen beginian?”
“Ikut tapi gak terlalu sering, sih. Gue lebih
suka basket kalo gak skateboard.”
“Jadi lo bisa maen beginian juga dong? Serius?”
Agni menyahut kaget. Cakka tersenyum miring memandangnya. “Lo nantangin? Gue
lumayan jago loh!” Belum sempat Agni menjawab, Cakka lebih dulu berbicara
kembali. “Lo tunggu di sini. Gue akan buktiin sama lo. Keep your eyes on me,
okay?!” ujarnya sambil menunjuk kedua bola mata Agni dan bola matanya
bergantian lalu langsung pergi meninggalkan gadis itu.
“Cakka! Lo mau ngapain? Jangan macem-macem ya!
Cakka!” katanya nyarik berteriak. Ia seketika panik karena Cakka pergi begitu
saja tanpa menghiraukan panggilannya lagi. Apa yang akan pemuda itu lakukan?
Pikirnya.
Agni menggigit jari dan sebelah tangannya
memegang pinggang kembali menonton atraksi sepeda di depannya dengan perasaan
cemas. Ini hampir sepuluh menit dan Cakka tak tahu ada di mana. Hingga
tiba-tiba ia melihat Cakka berjalan menenteng sepeda ke beberapa meter di
belakang tanjakan tempat para bikers tadi melambung ria. Agni langsung membelalakkan
matanya tak percaya. Mau apa Cakka disana?
Cakka lalu menoleh pada Agni dan tersenyum lagi.
Ia menaiki dan dengan yakin mengayuh sepedanya. Agni sampai menahan napas
sambil berdoa dalam hati semoga Cakka tidak berniat mengayuh menaiki tanjakan.
Tapi, sepertinya doanya tersebut sudah terlambat karena sekarang Cakka malah
sudah melambung di udara. Cakka melompatkan tubuhnya ke samping kanan dan kiri
dengan cepat lalu kembali ke posisi semula. Agni menggigit bibirnya hingga ban
sepeda Cakka benar-benar menyentuh lantai dan mendarat dengan cukup baik. Tak
ayal ia langsung menghela napas lega diikuti tepukan serta teriakan riuh dari
orang sekitarnya.
Cakka tersenyum puas sambil menenteng sepeda dan
mengembalikannya pada sang pemilik. Setelah itu ia berlari kembali menghampiri
Agni yang masih kelihatan shock di tempatnya.
“Gimana? Gue jago, kan?” katanya bangga.
Sementara Agni langsung mencibir dan meninju lengannya pelan. “Gila iya lo
mah!” gerutu gadis itu. Ia lantas tertawa sambil memegang lengannya.
“Kenapa? Lo khawatir gue kenapa-kenapa?”
tanyanya menggoda sambil bersedekap dan mendekatkan wajahnya ke wajah Agni.
Agni spontan berjengit dan langsung memalingkan wajahnya. “Ya—iya, lo kan temen
gue. Ya gamasalah dong gue khawatir temen gue kenapa-kenapa! Lagian, ga aneh
juga kalo gue khawatir. Lo liat aja sendiri lo ngapain barusan. Maenan lo itu
bahaya banget tau gak, sih? Siapapun juga bakal khawatir lah sama lo.”
Sekali lagi Cakka tertawa lalu menjauhkan
kembali wajahnya. “Ternyata lo cerewet gak pas lagi kesel doang, tapi kalo lagi
nervous juga.”
“Si—siapa yang nervous? Gue gak nervous tuh!”
elak Agni sambil bersedekap.
“Trus kenapa lo mendadak gagap kek gitu?”
“Hah? Enggak, gue gak ga—gagap..” Agni seketika
meringis mendengar ucapannya sendiri. Kenapa juga ia harus gagap ketika
menyebut kata gagap? Malu-maluin banget, sih, gue malem ini! Ampun, deh.
Cakka kali ini hanya tersenyum geli dan tidak
memilih melanjutkan menggoda Agni. Takut-takut gadis itu malah jadi kesal
karena malu. “Yaudah, balik yuk. Udah hampir jam sepuluh. Bokap lo ntar marah
lagi sama gue dan bisa-bisa dipenggal kepala gue ntar sama Kiki kalo mulangin
lo telat.”
Agni mendesah lega lalu tersenyum senang. Ia
langsung mengangguk setuju. Daripada disini terus-terusan dan ia juga
terus-terusan salting karena Cakka, lebih baik sekarang ia pulang, kan?
***
Mobil Cakka akhirnya sampai di depan rumah Agni.
Agni segera turun dan berjalan mengitari mobil dan berhenti tepat di depan
pagarnya sambil menunggu mobil Cakka pergi.
“Lo gak kapok kan jalan sama gue?” tanya Cakka
sambil tersenyum ke arah Agni. Agni balas tersenyum sambil memutar kedua bola
matanya. “Yah maybe yes maybe no lah.” Mereka lalu sama-sama tertawa.
“Thanks buat hari ini. Honestly, gue seneng
banget.”
“Peres lo ah! Yaudah, sama-sama. Gue juga
seneng.” Agni bersyukur lampu jalan di dekat rumahnya tidak terlalu terang
sehingga mukanya yang memerah dapat tersamarkan. Cakka mengerling jahil. “Lo
gak peres dong ya?”
“Damn it.” Umpat Agni melengos seraya tersenyum
tipis. “Ntar jangan nolak kalo gue ajak pergi lagi, oke?”
“Kita liat aja nanti,” balas Agni.
“Yadeh, terserah lo. Kalo gitu, gue pulang ya. Goodnight,
Agni!” pamit Cakka sambil mengedipkan mata jahil ke arah Agni. Agni langsung
mendesis dan merinding geli. Mobil Cakka kemudian melaju pergi meninggalkan
rumahnya. Agni lantas tersenyum tipis. “Goodnight, Cakka.” Gumamnya lalu
tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ia membuka pagar dan melangkah masuk ke halaman
rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam rumah karena garasi yang belum di kunci.
Ketika baru saja menginjakkan kaki ke ruang tengah, mamanya langsung menariknya
duduk di sofa dan ada papanya juga di sana. Ia menatap kedua orangtua angkatnya
itu dengan bingung.
“Ayo, ngaku sama Mama, Cakka itu pacar kamu,
kan?” tanya Mamanya antusias. Ia menoleh ke arah Papanya dan laki-laki itu
memandangnya sama antusias dengan Mamanya. “Apa, sih, Ma! Bukan, kok. Cakka itu
temen satu sekolah aku. Bukan pacar. Ngaco deh!” bantahnya sambil
mengibas-kibaskan tangan di depan wajah.
“Lagi pedekate nih mungkin, Ma.” Sahut Papanya
sok serius pada sang Mama. Mamanya langsung tersenyum senang lalu memegang
wajahnya.
“Akhirnya anak Mama bisa ada yang suka juga!”
Agni langsung mengernyit tak suka. “Emangnya aku
sejelek itu apa sampe ada yang suka Mama langsung takjub kek gitu?”
“Hehe, abis kamu dandannya kek gitu, sih. Mama
kan jadi agak khawatir. Harusnya kamu dengerin kata-kata Mama dong, Sayang!
Gaya pakaian kamu tuh laki banget! Coba deh mulai besok kamu dandan jadi
sedikit feminim. Dikiiiit aja,”
“Yang penting kan aku masih pake anting, Ma.”
Balas Agni cuek. Sementara Mamanya merengut. “Yaudah, Agni ke kamar dulu ya,
Ma, Pa. Pengen tidur. Udah malem kan, takutnya besok telat bangun.”
“Yaudah, tapi jangan lupa cuci muka dulu sebelum
tidur. Belum solat juga, kan?”
“Iya Mamaku sayang, muah!” katanya sambil mengecup
bibir Mama dan Papanya sekilas. Ia kemudian langsung berlari menuju kamarnya.
***
Baru saja hendak menutup mata, tiba-tiba pintu
kamar Agni terbuka. Ia menoleh dengan mata menyipit.
“Lo udah tidur?” tanya Kiki yang kepalanya
menyembul dari balik pintu. Ia lantas masuk setelah menutup pintu tanpa di
persilahkan. Agni mencibir kedatangannya. Pura-pura kesal pada pemuda itu
karena tadi siang tidak menjemputnya. “Harusnya sih udah, kalo lo gak tiba-tiba
dateng.”
Kiki tersenyum lalu duduk di atas kasur di
samping Agni berbaring. “Lo masih marah ya?”
“Menurut lo? Gue udah kayak ikan asin dijemur
karena nungguin lo tau nggak? Emang tadi lo kemana sih? Mana gak ngasih kabar!
Hape lo pake mati segala lagi! Iss kesel gue sama lo! Kesel kesel kesel!”
Kiki tertawa geli. Agni masih sama seperti
terakhir ia tinggalkan. Sama sekali tidak berubah cerewetnya jika sedang kesal
atau marah. “Tadi abis reunian gue tiba-tiba ada latian basket dadakan. Hape
gue low gak sempet gue cas. Dan gue lupa harus jemput lo. Hehe.Sorry ya.”
“Ya lupain aja adek lo ini terus. Lupain aja.
Akurapopo!”
“Ck, sensitif banget, siiiih adekku ini?” Kiki
menjawil hidung Agni pelan. Agni langsung menampik tangannya kesal.
“Trus lo pulang sama siapa tadi? Gak
kenapa-kenapa kan di jalan? Gak ada yang mau nyulik lo atau macem-macem sama
lo, kan?”
“Gue nebeng sama Cakka. Alhamdulillah enggak,
gue pulang dengan badan utuh kok.”
“Lo pulang bareng Cakka? Pake motor apa mobil?”
Kiki menyahut kaget. Agni lantas mengernyit bingung. “Iya, kan udah gue bilang
tadi! Pake motor. Emang penting banget pake apa? Yang penting kan gue bisa
sampe di rumah dengan selamat.”
“Berarti pas di jalan lo meluk dia dong?” Kiki
mencibir sinis. “Ya gak meluk juga kali, Kak. Ih, lo kenapa sih nanyanya kek
begitu?”
“Dan tadi lo habis jalan sama dia juga?” tanya
Kiki lagi. Nada suaranya masih terdengar sinis. “I—ya..” balas Agni tak yakin.
“Ih lo belum jawab pertanyaan gue!”
“Ck..udah ambil start aja tuh anak! Kecolongan
deh gue!” gumam Kiki sambil mengepalkan tangan kanannya dan meninjukannya ke
telapak kiri.
“Hah? Maksudnya?” Agni memandang Kiki makin
tidak mengerti. Kiki lantas menyingkap selimut seraya berbaring di samping
Agni. “Malem ini gue tidur sama lo ya!” pintanya sambil tersenyum lebar hingga
menampakkan gigi.
Agni yang awalnya bingung lantas hanya
mengedikkan bahu. “Yaudah, gue juga kangen tidur bareng sama lo. Udah lama
banget kan ya?”
“Lo gak pernah tidur sama cowok lain selain gue,
kan?” tanya Kiki sambil menyipit curiga dan menunjuk tepat di hidung Agni
menggunakan telunjuk. Sekali lagi Agni menampik tangannya. “Emang lo pikir gue
cewek apaan sembarangan tidur sama cowok?”
Kiki kembali tersenyum meski tidak selebar tadi.
Ia baru hendak membuka mulut sebelum Agni tiba-tiba mengecup bibirnya sekilas.
Ia lantas termangu seraya memandang Agni dalam. “Udah ya, Kak. Jangan ngajak
gue ngomong lagi. Gue udah ngantuk banget. Goodnight ya, Kak.” ujar Agni sambil
menguap menunjukkan kalau ia benar-benar mengantuk. Ia menepuk pelan pipi Kiki
sebentar lalu membalikkan badan dan tidur membelakangi Kiki. Tak butuh waktu
lama untuknya agar bisa terlelap.
Sementara itu, Kiki masih membeku menatapnya.
Lalu kemudian ia tersenyum tipis dan menarik Agni ke dalam pelukannya. Bagaimana
bisa ia melupakan kebiasaan sejak kecil mereka sebelum tidur itu? Bahkan tidak
hanya sebelum tidur, kapan ketika hendak pamit atau baru saja bertemu mereka
pasti melakukan itu. Termasuk pada papa dan mama mereka. Ckckck, tubuhnya
benar-benar bereaksi berlebihan, terutama jantungnya. Jantungnya tadi langsung
berdetak sebegitu cepatnya. Beruntunglah sekarang semuanya bisa sedikit
menormal.
“Ni, lo beneran tidur ya?” Agni berdehem pelan.
Sepertinya gadis itu masih setengah sadar. Kiki tersenyum tipis. “Kita bisa kek
gini terus gak ya?” tanyanya lagi dan masih dijawab dengan cara yang sama oleh
Agni. Suara gadis itu bahkan lebih pelan dari sebelumnya.
Kiki terdiam dengan pandangan mata menerawang.
Ia lalu bertanya kembali dengan nada suara yang pelan sekali. “Lo gak suka sama
Cakka kan, Ni?” Pertanyaan terakhirnya itu sepertinya sudah tidak terdengar
lagi oleh Agni. Gadis itu sudah benar-benar tidur. Ia lantas menutup mata
mencoba terlelap seperti Agni dengan tetap mendekap tubuh gadis itu.
Andai aja lo tau perasaan gue sama lo, Ni. Kapan
ya gue bisa ngasih tau sama lo? Salah gak sih perasaan gue ini? Apa lo juga
ngerasain hal yang sama ke gue? Karena kalo enggak, gue takut malah bakal
ngerusak semuanya. Gue takut bakal ngebuat jarak di antara kita. Lebih-lebih,
gue takut kehilangan lo, Ni.
***
Cakka memarkir motornya di halaman rumah Agni.
Rencananya sih ia ingin pergi ke sekolah bareng. Ia tidak sempat memberi tahu
gadis itu semalam. Atau mungkin lebih tepatnya ia lupa. Jelas saja karena
niatnya saja baru muncul tadi pagi. Ia sedikit merasa cemas kalau-kalau
rencananya ini gagal. Ada Kiki di dalam sana yang bisa dengan mudah
menghalanginya untuk pergi bersama Agni. Tapi, yah, nekat sajalah. Lagian,
sudah sampai di sini juga, kan? Kalau pun memang tidak bisa pergi bersama, toh
ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Agni di sekolah.
Cakka melangkahkan kaki menuju pintu depan rumah
Agni dan langsung memencet bel. Butuh sekitar beberapa menit untuknya menunggu
hingga pintu di buka. Terlihat seorang wanita paruh baya yang bisa dibilang
seumuran dengan Mamanya berdiri menyambutnya dengan senyum merekah. Wanita yang
sudah ia ketahui adalah Mama Agni karena semalam saat meminta izin pergi mereka
sempat berkenalan.
“Pagi, Tante.” Sapanya sopan. Mama Agni langsung
berseru senang sambil memegang kedua lengannya. “Aaah Cakka, kan? Pasti mau
ngajak Agni pergi ke sekolah bareng, kan?”
Cakka meringis pelan. “Hehe, iya, Tante. Kalo
boleh,”
“Tentu aja boleh!” Mama Agni langsung menyahut.
“Yaudah, kalo gitu kamu tunggu di sini bentar ya!”
Cakka tersenyum tipis sambil mengangguk pelan.
Mama Agni kemudian masuk ke dalam meninggalkannya sendiri di depan pintu.
Selang beberapa menit, wanita itu datang kembali bersama dengan Papa Agni dan
Agni sendiri. Terakhir, orang yang ia khawatirkan menyusul, yakni, Kiki. Air
muka pemuda itu langsung berubah datar ketika melihatnya. Ia hanya mengalihkan
pandangan pura-pura mengabaikan pemuda itu. Ia tidak ingin menimbulkan masalah
saat ini. Ia hanya ingin pergi bersama Agni. Sudah, itu saja.
“Lo..kok..?” ujar Agni terbata-bata kebingungan
sambil menunjuk ke arah Cakka. Sementara tubuhnya terus di dorong-dorong oleh
Mamanya ke dekat Cakka.
“Cakka mau ngajak kamu ke sekolah bareng,
Sayang.” Mamanya menjawab pertanyaan tersiratnya mewakili Cakka. “Yaudah, sana
berangkat! Ntar telat lo!” ujar wanita itu lagi.
Agni lantas mengedikkan bahu pasrah. Yang
penting ia bisa sampai di sekolah. Ia lumayan kaget, sih sebenarnya dengan
Cakka yang tiba-tiba sudah muncul di depan rumahnya. Tapi, tidak dapat ia
pungkiri kalau hatinya merasa senang dan ehm..berbunga. Haha.
“Kalo gitu Agni berangkat dulu ya Ma, Pa, Kak!”
ujarnya sambil menyalami serta mencium Mama dan Papanya serta Kiki bergantian.
Ada suasana berbeda yang tercipta ketika ia mencium Kiki meski ia tidak
menyadari itu. Tepatnya, hanya Kiki dan Cakka saja yang merasakan atmosfir aneh
tersebut.
Kiki diam-diam melirik ke arah Cakka sambil
tersenyum menang setelah Agni menciumnya. Cakka sendiri terdiam melihat adegan
itu. Letupan-letupan aneh seketika terjadi dalam dadanya. Ia tahu Agni
melakukan itu murni atas rasa sayang antara kakak dan adik. Tapi, tidak dengan
Kiki. Ada yang lain yang terpancar di matanya saat bahkan hanya sekedar
memandang Agni. Sesuatu yang lain yang kini juga tengah ia rasakan. Ck, jadi,
kata-kata tuh orang waktu itu beneran? Dia bener-bener suka sama Agni? Ralat.
Dia cinta sama Agni. Adeknya sendiri. Adek angkat, sih, emang.
***
Cakka dan Agni kemudian sampai di sekolah.
Perjalanan dari rumah Agni hingga ke sekolah lebih banyak diisi oleh hembusan
angin dan hiruk pikuk jalan raya. Bahkan bisa dibilang mereka tidak berbicara
sama sekali. Mungkin karena mereka berangkat menggunakan motor jadi kalau
berbicara pun pasti akan sulit terdengar. Sekaligus mood Cakka yang mendadak
tidak enak. Entah kenapa ada rasa kesal yang terus mengendap di hatinya sejak
tadi Agni mencium Kiki di rumahnya. Ia sendiri bingung ia kesal pada Agni atau
Kiki atau malah dua-duanya. Tapi yang pasti, ia memang kesal pada Kiki.
“Thanks, Cakka.” Ujar Agni seraya tersenyum
miring lalu mengembalikan helm pada Cakka. Cakka hanya balas tersenyum tipis
sambil menggangguk pelan tanpa mengucapkan apapun. Kening Agni mengerut dengan
wajahnya yang tampak bingung memandang ke arah Cakka. Ini perasaannya saja atau
memang ada yang aneh dengan pemuda itu? Pikirnya.
Mereka lalu berjalan bersisian memasuki koridor
sekolah. Agni melirik manusia yang mendadak bisu di sampingnya itu. Ia
menggaruk pelipisnya heran. Cakka kenapa, sih?
“Gue tadi ada salah ngomong ya?” tanyanya sudah
tak tahan. “Hm?” Cakka menoleh ke arahnya seperti baru sadar kalau ia sedang
tidak berjalan sendirian.
“Gue nanya, tadi gue ada salah ngomong ya sama
lo?” ulang Agni seraya mendesah pelan. Gantian, sekarang Cakka yang
menggaruk-garuk pelipisnya kebingungan dan menjawab dengan canggung.
“Eng—engak, sih. Kenapa?”
“Lo aneh, deh.”
“A—aneh gimana?” Cakka bertanya pura-pura tidak
mengerti.
“Daritadi lo belum ada ngajak gue ngomong. Lo
jadi lebih pendiem, deh. Kenapa?”
“H—ah? Masa, sih? Gak, gue gakpapa, kok.” Cakka memaksakan
senyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Agni diam memperhatikan
pemuda itu sambil menyipit curiga. Pasti ada sesuatu yang tengah disembunyikan
pemuda itu. Ia lantas mengedikkan bahu. Kalau memang Cakka tidak ingin
bercerita ya sebaiknya ia tidak usah bertanya. Takut-takut nanti ia dikira ikut
campur dan sok dekat dengan pemuda itu. Ya meskipun semalam mereka sudah
ehm..jalan berdua tapi tetap saja ia tidak bisa menyimpulkan apapun mengenai
hubungan mereka berdua. Cakka kan tidak pernah bilang apapun padanya. Eh pernah
sih, baru saja semalam. Saat Cakka bilang kalau dia senang digandeng olehnya.
Dan terakhir, pemuda itu bilang kalau dia senang pergi bersamanya. Ah tapi yang
terakhir itu paling cuma basa-basi, kan?
“Lo sama Kiki sering ya kek gitu?” tanya Cakka
tiba-tiba. Agni sampai berjengit karena kaget. Maklum, tadi ia sedang melamun.
Melamunkan pemuda itu juga sebenarnya. “Kek gitu gimana?”
“Ya—kek yang lo lakuin tadi pagi sebelum
berangkat..” jawab Cakka pelan. Lidahnya agak kelu mengutarakan maksud
ucapannya pada Agni. Untungnya tanpa harus ia sebutkan jelas, Agni sudah
mengerti ucapannya. “Oh, itu. Udah kebiasaan,” Agni tersenyum tipis sambil
memandang sekitarnya.
“Keb—kebiasaan?!” Cakka bertanya shock. Agni
langsung menoleh ke arahnya dengan bingung kembali. “Iya, emang kenapa, sih?
Kok kek nya lo kaget gitu?”
“Ya gue ngerasa aneh aja..”
“Kok gitu?” Cakka menoleh pada Agni dan
memperhatikan ada yang agak berubah dalam ekspresi gadis itu. “Ya..aneh aja.”
jawabnya sekenanya. Berharap pembahasan ini segera dihentikan. Tapi, sepertinya
Agni tidak sependapat dengannya. Salahnya sendiri yang mengangkat topik ini
tadi, kan?
“Emang apa anehnya nyium kakak sendiri?” tanya
Agni sambil menaikkan alis.
“Ya..lo sama Kiki kan bukan..saudara kandung.
Bukan apa-apa sih, tapi gue aneh aja ngeliatnya.” Cakka menjawab pelan dan
sangat hati-hati.
Tiba-tiba saja Agni berhenti dan berdiri
menghadapnya. Memandangnya dengan pandangan yang sangat tidak ia harapkan.
Gadis itu seperti sedang menahan kesal.
“Emangnya salah kalo gue memperlakukan dia kayak
kakak kandung gue? Salah kalo gue memperlakukan mereka kayak keluarga gue
beneran sama seperti yang mereka lakuin ke gue?”
Cakka menelan ludah bingung harus menjawab apa.
Nanti kalau ia malah salah bicara lagi, bisa gawat. “Gue gak—“
“Bisa gak sih lo gak usah bawa-bawa status? Oh,
gue tau maksud lo. Tenang aja kali, gue sadar diri kok siapa gue di keluarga
Kak Kiki. Sampe kapan pun gue tetep orang asing. Thanks udah ngingetin gue soal
itu. Bakal gue inget-inget terus kok. Puas, kan?”
Agni langsung pergi begitu saja meninggalkan
Cakka yang terdiam di tempatnya. Dan Cakka langsung mengutuki kebodohannya
tersebut. Kenapa disaat seperti ini ia malah melongo? Bukannya mengejar Agni
yang sekarang sudah percuma kalau ia susul pun tidak akan bisa. Raga gadis itu
menghilang secepat kilat. Ia mendecak kesal bertepatan dengan bel masuk yang
berbunyi. Ia lantas memilih pergi menuju kelasnya. Ia tidak ingin menciptakan
masalah lagi untuk dirinya sendiri. Setelah membuat Agni marah, ia tidak mau
terlambat masuk ke kelas dan membuat gurunya marah juga padanya.
***
Agni melangkah cepat hingga sampai di depan
kelasnya. Ada seseorang yang tidak sengaja ia tabrak dan ia hanya meminta maaf
cuek tanpa menoleh. Ia langsung masuk begitu saja dan duduk dengan kasar di
kursinya. Shilla yang berada di sebelahnya dan Via di depannya saling
berpandangan bingung lalu memandangnya kembali. Via mengambil botol minumnya
dan langsung menyerahkannya pada Agni.
“Minum dulu, minum!” bujuknya berusaha
menenangkan. Agni meraih botol minumannya itu dan minum tanpa semangat lalu
menyerahkannya kembali padanya. “Lo kenapa, sih? Pagi-pagi udah kesetanan
gini?” tanyanya kemudian.
“Tau, tuh orang bikin bete aja!”
“Tuh orang siapa?”
“Auk deh siapa!”
Via menggaruk-garuk pelipisnya tidak mengerti.
Ia menoleh ke arah Shilla dan gadis itu hanya mengedikkan bahu ke arahnya. Ify
yang baru saja datang pun lantas memandang mereka dengan pandangan
bertanya-tanya. Ia dan Shilla kompak mengedikkan bahu menjawab bahwa mereka
juga tidak tahu.
Agni tampaknya tidak terlalu menghiraukan
keheranan dari ketiga sahabatnya. Perasaannya masih kesal karena Cakka. Kenapa
juga pemuda itu tiba-tiba membahas soal statusnya? Jadinya kan ia juga baru
kepikiran kalau ia dan Kiki itu bagaimanapun tetap dua orang asing. Dan semalam
mereka malah tidur bersama. Memang hanya tidur ya, tidak melakukan apa-apa
selain itu. Itu juga karena mereka sudah terbiasa sejak kecil. Mana ia juga
mencium Kiki sebelum tidur. Astaga! Cakka! Lo udah ngerusak pikiran gue!
Etapi, tunggu dulu! Darimana Cakka tau kalau ia
dan Kiki bukan saudara kandung? Atau tadi Cakka bukan bermaksud membahas soal
statusnya dan Cakka sebenarnya tidak tahu perkara hubungannya dan Kiki? Atau
Cakka memang tahu? Astaga, kalo Cakka emang tau...aiss! Harus sampe kapan sih
lo nyimpen obsesi lo itu, Ni? You’ve already known the truth, right?
***
Bel istirahat sudah beberapa menit lalu
berbunyi. Lapangan tengah juga sudah mulai di penuhi para siswa yang ingin
bermain basket. Berbeda dengan biasanya, Cakka memilih berdiri menonton di
pinggir lapangan. Ia sedang tidak berhasrat ikut main tapi ia juga tidak tahu
kemana selain tempat ini. Ia juga tumben-tumbennya malas berkumpul bersama Rio
dan Gabriel. Jadilah ia hanya diam di sini. Kebetulan juga ia sedang menunggu
Agni kembali dari kantin. Tadi saat ia cari di kelasnya, gadis itu sudah tidak
ada.
Entah sudah berapa lama Cakka berdiri, orang
yang sedaritadi ditunggunya kemudian muncul bersama dengan dua temannya lain.
Siapa lagi kalau bukan Shilla dan Via. Gadis itu tampak sedang tertawa senang
yang secara otomatis menambah manis wajahnya di mata Cakka. Untuk beberapa
saat, Cakka masih diam di tempatnya memperhatikan setiap tingkah Agni.
Ada sesuatu yang tiba-tiba teringat di
memorinya. Kenangan akan masa kecilnya bersama Nia. Ia teringat akan saat
pertama kali ia terpesona pada gelak tawa gadis kecil itu. Rambut seginya yang
sepanjang setengah pinggang yang selalu tergerai dan poni panjangnya
bergoyang-goyang indah. Ditambah barisan gigi yang rapi meski saat itu ada satu
yang ompong, tapi tetap saja terlihat manis.
Itu adalah saat ia bersama anak-anak minuet
pergi memancing dan ia berhasil menangkap satu ikan. Ia tidak akan lupa
bagaimana senangnya dan betapa bangganya Nia saat itu padanya. Dan mau tak mau
ia ikut-ikutan bangga akan dirinya sendiri. Mungkin saat itu ia masih tidak
mengerti perasaan seperti apa yang ia rasakan berhubung karena mereka masih
sama-sama kecil. Yang ia tahu, ia selalu senang kalau bersama Nia. Ia sangat
suka memandangi wajah gadis itu dan apapun ekspresi yang tercipta disana. Ya
kecuali menangis. Meski Nia memang tidak pernah menangis. Kecuali saat ia
diambil kedua orangtuanya kembali.
Kalau diperhatikan, Agni dan Nia memang berbeda.
Tapi sepintas mereka terlihat seperti orang yang sama. Dari cara bicaranya,
cara jalannya serta mimik wajah yang ditunjukkan, semuanya hampir sama. Yang
berbeda hanyalah Nia adalah anak kecil yang agak feminim secara penampilan
meski sikapnya tidak sementara Agni sangat jauh dari feminim. Nia rambutnya
selalu digerai sementara Agni, ia belum pernah melihat gadis itu melepas
kunciran pada rambutnya. Tapi, itu menjadi tidak terlalu penting sekarang. Toh,
Agni punya kalung yang sama dengan yang Nia punya. Bukankah itu sudah jelas?
Bibir Cakka tertarik dan ia tersenyum kecil.
Kakinya kemudian melangkah tanpa diperintah menuju dimana Agni berada.
Sesampainya di depan Agni, senyum gadis itu sedikit mengendur kala melihatnya. Tapi,
gadis itu tidak menunjukkan rasa tidak senang juga. Shilla dan Via yang tahu
diri pun langsung meninggalkan mereka berdua.
“Kalo mau ngomong, sambil jalan aja.” ujar Agni.
Ia menoleh pada gadis itu yang memilih tidak memandangnya. Gadis itu tampak
memperhatikan sekeliling.
“Ni?” panggilnya pelan. Agni menoleh ragu-ragu
padanya dengan pandangan bertanya tanpa mengucapkan apapun. Ia lalu menghela
napas pelan. “Sorry ya?”
“Hm?”
“Sorry ya kalo gue udah bikin lo kesinggung. Gue
gak ada maksud kek gitu, sama sekali gak ada.”
Agni mengeryitkan kening lalu kemudian tersenyum
canggung lalu menganggukkan kepala. “Ya—udah gak ada masalah kok buat gue. Gue
aja yang kelewat sensitif. Ya biasalah cewek, kan?” katanya seraya tertawa
kecil.
Cakka mau tak mau sedikit banyak menghembuskan
napas lega dan ikut tersenyum senang. Setidaknya hal ini tidak akan menjadi
masalah berkepanjangan untuk mereka seperti waktu itu.
“Tadi itu gue—“
“Udalah, lupain aja yang tadi. Gue males bahas
itu.” potong Agni seraya tersenyum tipis ke arahnya lalu mengalihkan pandangan
kembali. Cakka yang baru buka mulut langsung mengurungkan niat melihat sikap
Agni yang seperti itu. Beberapa langkah berjalan mereka sama-sama diam dan
sama-sama bingung mau bicara apa.
“Gue tadi bilang aneh karena gue gak suka
ngeliatnya, Ni.” Ujar Cakka cepat tanpa bisa ditahan lagi seraya memandang Agni
lekat.
“Gak s—suka?” jawab Agni gelagapan.
“Iya.”
Agni menarik napas sedalam yang ia bisa.
Mendadak asupan oksigen dalam tubuhnya meningkat drastis. Duh, bisa gak sih gak
main kembang api di jantung gue? Lo kenapa jadi alay gini sih, Ni?!
“Kenapa?” tanyanya sekenanya. Cakka berjengit
dan seketika gelagapan sendiri ditanya seperti itu. “Eng..itu karena..” Ia
menggaruk-garuk kepala sembari berpikir harus menjawab apa pada Agni. Mesti
jujur atau bohong nih? Batinnya.
“Itu...gue pikir lo tau lah kenapa kalo misalnya
ada cowok yang gak suka ngeliat cewek disentuh sama cowok lain. Jangankan
disentuh, sekedar diliatin doang pun tetep ga rela.”
Itu maksudnya apa lagi? Ck, tau gak sih gue gak
ngerti kode-kode-an, isyarat-isyarat-an, umpama-umpamaan atau apalah terserah?!
Mana kata-katanya gitu banget lagi. Ntar kalo gue salah translate gimana? Kan
bahaya! Batin Agni bergejolak.
“Lo harus tau kalo gue paling payah dalam
pelajaran mengartikan pribahasa. Jadi seratus persen gue gabakal ngerti lo
ngomong apa barusan.” Ujarnya berusaha jujur seraya mengangkat kedua tangannya.
Teeeet...
*Gakusahprotesdengansuarabelnya*daripadamiminbuatlaguninabobokan(?)*
Agni dan Cakka serentak berhenti sambil
berpandangan satu sama lain. Sedetik kemudian mereka tertawa bersamaan. “Pas
banget bel bunyi pas gue sampe di depan kelas.” Ujar Agni seraya geleng-geleng
kepala.
“Kebetulan gitu ya, dua kali kita ngobrol pasti
selalu disalip sama bel.” Cakka ikut-ikutan geleng-geleng kepala. “Yaudah, gue
balik ke kelas ya, Ni.” Pamitnya kemudian yang dibalas anggukan senyum dari
Agni. Baru beberapa langkah berjalan ia berhenti dan berbalik badan lalu
berjalan mundur.
“Pulang bareng?” tawarnya penuh harap. Agni diam
sebentar lalu kemudian tersenyum lagi sambil mengedikkan kepalanya. “Okelah.”
Cakka menyeringai senang. “Ntar gue tunggu di
parkiran!” katanya lalu membalikkan badannya dan berjalan normal kembali.
Agni masih diam di depan pintu memperhatikan
punggung Cakka yang makin menjauh. Ia lalu menghela napas beberapa kali. “No,
I’m not blushing, I’m not blushing!” Ia berkomat-kamit panik. Ia kemudian
menyentuh kedua pipinya pelan lalu menghela napas lagi. “Yes, I’m blushing.”
Katanya pasrah. Ia melengos masuk ke kelasnya. Tapi kemudian ia berhenti dan
berjalan keluar kelas kembali.
“Ca..kka.” Ia berniat berteriak memanggil Cakka
kembali namun lekas ia urungkan karena raga Cakka yang sudah tak terlihat lagi.
“Gue lupa kan nanya dia tau status gue darimana, ckckck.” Ia menghela napas
untuk yang terakhir kali lalu memilih masuk kembali ke dalam kelasnya.
***
Agni turun dari motor Cakka lalu berdiri sekitar
semeter di samping pemuda itu sambil mencoba melepas helmnya. Cakka menoleh
padanya lalu membuka kaca penutup helmnya. “Lo kancingin ya klep nya?” tanyanya
yang terdengar kaget. Agni hanya meringis lalu mengangguk lemah. Ia lupa kalau
helm Cakka yang dipakainya itu bermasalah di bagian klepnya.
*taukan?mimingataunamaspesifiknya* Dan ketika sampai di rumah, ia baru ingat
kalau klep itu akan susah dibuka kalau sudah dikancingkan. Cakka lantas melepas
helem dan meletakkannya di atas jok. Ia berjalan mendekati Agni untuk membantu
gadis itu melepaskan helmnya.
Sementara itu, dari dalam rumah, Kiki yang
sedang menonton tv mendengar ada suara motor yang masuk ke dalam pekarangan
rumahnya. Ia mengintip jam dan seketika menepuk keningnya. Ia lupa harus
menjemput Agni sekarang. Ia langsung berdiri dari sofa mengambil kunci mobilnya
lalu kemudian berlari ke arah pintu. Namun, baru ketika sampai di teras, ia
dikejutkan oleh pemandangan yang ada di depannya. Ia kaget karena melihat Agni
sudah pulang, apalagi ada Cakka juga di sana. Dari sisinya berdiri, yang juga
paling membuatnya kaget setengah mati, ia melihat Cakka dan Agni berdiri
berhadapan dengan kepala Cakka yang sedikit menunduk dan mendekat ke wajah
Agni. Mana tangannya juga menyentuh wajah gadis itu. Kurang ajar! Pikirnya.
Kiki langsung berlari mendekat dan menarik tubuh
Cakka menjauh sekaligus menghadiahi tinjuan keras ke wajah pemuda itu. Tubuh
Cakka terhuyung beberapa langkah ke belakang dan ada bercak darah terlihat di
sudut bibirnya. Ia meraba bibirnya yang mulai terasa nyeri lalu menatap tajam
Kiki. Bingung kenapa pemuda itu tiba-tiba memukulnya.
Sementara Agni langsung berteriak histeris
melihat Kiki meninju Cakka dengan keras. Ketika Kiki hendak menghuyung tinjunya
sekali lagi, ia langsung berlari dan berdiri menghalau di depan Cakka sambil
merentangkan tangan. “Kak! Apaan sih lo?! Cakka, lo gakpapa, huh?!” teriaknya
panik. Cakka menggeleng pelan padanya. Sementara Kiki mengepalkan tangan masih
tetap ingin menghuyungkan tinjunya. Ia langsung mendorong tubuh kakaknya itu
menjauh.
“Kak! Stop!” teriaknya lagi. Kiki lalu
menurunkan tangannya sambil mendengus keras. “Mau ngapain lo, hah?
Berani-beraninya lo nyentuh adek gue!”
“Lo pikir gue mau ngapain, hah? Nyentuh apaan?”
Cakka tertawa sarkastis. “Jangan belaga bego lo! Lo tau maksud gue apa. Lo mau
ngambil kesempatan, kan? Kalo tadi gue gak cepet datang, lo pasti udah—“
“Segitu takutnya lo? Lo gak punya kaca? Lo
sendiri, tadi pagi lo ngapain, hah? Siapa yang nyuri kesempatan? Gue atau elo?”
“Woy woy stop! Lo pada ngomongin apaan, sih?”
Agni kembali berteriak. Namun, kali ini ia kesal karena meresa diabaikan
sementara dua pemuda di hadapannya ini asyik sendiri membicarakan hal yang tidak
ia mengerti. Kesempatan? Kesempatan apaan, sih? Emang mereka menang undian?
Pikirnya. Namun hatinya makin gondok saat ucapannya pun juga tidak diacuhkan.
“Itu beda.” Jawab Kiki pelan dan tegas. Cakka
tersenyum sinis. “Yakin beda? No hard feeling? Oh no, Man. It shows in your
eyes.”
Kiki lantas ikut tersenyum sinis. “Oke, emang,
gue akuin yang itu. Dan tadi lo pengen balas dendam, kan?”
Cakka kembali tertawa sarkastis. “You think? Gak
lah, gila lo. Gue gak kayak lo. Gak sekalipun terlintas di pikiran gue apa yang
terlintas di pikiran lo.”
Kiki berjengit kaget sambil memandang Cakka
tidak percaya. “Klep helmnya nyangkut, gue cuma mau bantuin bukain. Gak—lebih.”
Ujar Cakka lagi, dengan penekanan di akhir ucapannya.
“Emang klep helm lo nyangkut, Ni?” tanya Kiki
mengalihkan pandangannya pada Agni. Agni hanya berdehem cuek. Ia masih kesal
karena diabaikan. Kiki menoleh lagi pada Cakka.
“Apa gue tadi keliatannya mau nyium lo, Ni?”
Kali ini Cakka yang bertanya pada Agni. Agni seketika gelagapan kaget sekaligus
bingung. Kenapa Cakka bertanya seperti itu? Dan kenapa lagi mereka berdua
melihatnya segitunya seperti itu? Gue berasa jadi bella swan deh, direbutin
Edward sama Jacob. Etapi, emang mereka ngerebutin gue? Pede banget gue. Lagian,
masa Kak Kiki yang jadi lawannya? Kak Kiki mana mungkin suka sama adeknya
sendiri.
“Apaan, sih? Lo mikirnya gitu, Kak? Ya ampun,
tadi itu Cakka pure ngebantu ngebuka ini doang!” jawab Agni sambil menunjuk
klep di lehernya sebagai bukti.
“Oke, gue percaya. Tapi, awas kalo lo coba-coba
macem-macem sama Agni. Abis lo!” Ujar Kiki seraya menatap Cakka tajam yang
dibalas sama tajamnya dengan pemuda itu. “Harusnya lo bilang itu ke diri lo
sendiri! Disini, lo lah yang paling berpotensi macem-macem sama Agni. Lo yang
udah ngambil kesempatan. Lo itu ancaman sebenernya. Bukan gue.”
Agni mengernyit makin tak mengerti. Mereka
sebenarnya membahas apa, sih? Kenapa sampai berperat urat begitu? Kenapa serius
sekali? Mereka sedang membicarakan dirinya bukan? Atau sedang membicarakan
permasalahan yang belum selesai di antara mereka berdua? Mereka sedang
membicarakan Febby? Tadi, daritadi ia tidak mendengar nama itu disebut. Justru
namanya yang eksis. Jadi, mereka lagi ngomongin gue nih?
“Lo berdua lagi ngomongin gue ya?” tanyanya yang
sekali lagi mendapat pengabaian dari Kiki dan Cakka. Benar-benar menyebalkan.
Mana helm di kepalanya sudah membuat pengap, sekarang ia merasa makin pengap
menahan emosi karena diabaikan begini.
“Gue tau apa yang gue lakuin. Gue gak akan
mungkin nyakitin apalagi sampe ngerusak dia. Gue bakal selalu jadi pelindung
buat dia. Terutama dari lo. Untuk yang satu ini, gue gak akan ngebiarin dia
buat lo. Gak akan gue biarin dia jadi mainan lo selanjutnya.”
“Yang lo harus tau dan harus lo cam kan dalam
kepala lo, gue gak pernah mainin siapapun. Lo juga harusnya udah tau, dulu kita
bedua yang udah dimainin, bukan salah satu di antara kita mainin yang lain.”
“Bullshit, lo!” umpat Kiki sambil melengos.
Cakka tersenyum miring. “Lo tuh cuma gengsi buat ngakuinnya.”
“Hh, sok tau banget lo? What you have to do is
just stay away from her.” Ujar Kiki sambil bersedekap.
“Sorry, gue gak bisa. Gue udah jatuh cinta sama
dia.”
“Cinta? Secepat itu lo jatuh cinta? Yang lama lo
kemanain? Lo masukin museum koleksi lo?”
“Emangnya lo enggak?”
“Jelas enggak. Gue lebih lama kenal dia daripada
lo.” Kali ini Kiki balas tersenyum sinis. Namun, Cakka kelihatan tak gentar.
Sedikitpun senyum di wajahnya tidak memudar. “Gue yang duluan jatuh cinta sama
dia. Gue juga yang duluan kenal sama dia.”
Saat itu juga Kiki terdiam kaku.
“Jadi..lo..udah—“
“Lo berdua, gue tau lo berdua keknya lagi kangen
banget ngobrol. Tapi, bisa gak ngobrolnya abis ngelepasin nih helm aja? Taukah
seberapa pengapnya gue sekarang? Gak ada kasian apa sama gue?” potong Agni yang
sudah habis kesabaran baik dengan helm maupun dengan Kiki dan Cakka. Kepalanya
terasa sudah sangat panas dan gatal karena berkeringat. Kalau saja helmnya ini
bukan milik Cakka, dan kalau saja yang terkurung di dalamnya bukan kepalanya,
pasti sudah ia benturkan ke dinding sampai pecah.
***
Akhirrrrrnya rampung juga part 28. Dari
aroma-aromanya, Via yang ngenes sendiri yak wkwkwk-.- Gapapalah, sabar aja ya
Vi, semua akan indah pada waktunya(?)
Okelah,
tengkyu yang udah mau baca, see you in the next part muah muah:*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar