-->

Selasa, 20 Mei 2014

Matchmaking Part 29 (Rify)

Rify

How do I breathe without you here by my side? How will I see when your love brought me to the light? Where do I go when your heart’s where I lay my head? When you’re not with me, how do I breathe?

***

Rio tersenyum kecil memandang layar ponselnya sambil berbaring di sebelah Ify yang masih tertidur. Sekarang sudah hampir jam 8 pagi tapi gadis itu belum juga bangun. Ia juga tidak tega membangunkan karena ia tahu semalam gadis itu susah tidur. Di hadapannya terpampang sebuah foto yang entah ke berapa dari beberapa foto yang ia ambil. Tapi foto yang satu inilah yang paling memikat hatinya. Sebuah foto dirinya bersama Ify yang sedang tidur dengan pose wajah mereka begitu dekat dan hidungnya menyentuh pipi gadis itu. Wajah Ify terlihat lucu sekali meski tetap manis.
Ify menggeliat kecil serta mengerang pelan. Ia mencoba membuka mata perlahan dan refleks melihat ke sebelahnya. Ia berkedip bingung beberapa kali. “Rio?” gumamnya dengan suara serak. Sesaat ia berpikir ia sedang bermimpi saat ini karena melihat Rio di sampingnya.
Rio akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponsel lalu tersenyum pada Ify. Meskipun hanya sesaat. “Morning, putri tidur.” Ify tak menjawab. Matanya terus berkedip sambil memandang wajah Rio. “Gue pasti lagi mimpi,” gumamnya lagi.
Rio kembali mengalihkan pandangannya lalu mengernyit. “Lo gak mimpi kok,” jawabnya dengan nada bingung. Sesaat mereka diam dengan saling berpandangan. “Beneran gak mimpi?” tanya Ify kemudian. Rio berdehem menyahut.
“Berarti beneran lo yang tidur di samping gue sekarang?” Rio berdehem lagi. Ify diam kembali selama beberapa detik hingga kemudian ia tiba-tiba terlonjak kaget. Rio berjengit ikut-ikutan kaget. “Kok..elo?! Semalem lo balikin gue ke kamar gue kan? Via, Shilla sama Agni mana? Kok malah elo yang tidur di sebelah gue?” tanyanya panik.
Rio membangunkan tubuhnya lalu duduk menghadap Ify. “Iya, gue balikin lo ke kamar lo kok. Mereka pergi jogging. Mau ngajak lo tapi lo nya masih tidur.”
“Kenapa gak dibangunin?”
“Gue bilang gausah. Lo kan semalam susah tidur.”
“Terus, lo kenapa bisa tidur di samping gue?” Ify menarik selimut menutupi tubuhnya hingga leher. “Nungguin lo bangun.” Jawab Rio polos. Ia menghela napas lega tanpa sadar.
“Lo pasti mikir jorok ya?” tanya Rio dengan mata menyipit curiga. Ify terkesiap lalu memalingkan wajahnya. “Eng..gak!”
Rio memperhatikan Ify sesaat lalu tersenyum tanpa bertanya lagi. “Yaudah, lo mandi gih. Abis itu sarapan. Gue udah kelaperan daritadi tau gak? Oh iya, pake baju bagus ya! Gue tunggu di bawah. Gak pake lama!” pinta atau mungkin perintahnya kemudian. Ia beranjak turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu tanpa menunggu jawaban dari Ify.
Sementara Ify melongo menatap Rio tanpa berkedip. Sepertinya kepalanya kepentok saat tidur tadi. Atau mungkin kepala Rio yang kepentok. Perasaan semalam pemuda itu begitu manis. Kenapa sekarang kembali seenaknya begitu? Apa semalam ia juga cuma bermimpi? Ck, ini sulit dipercaya.
Ify menyingkap selimut sambil turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Rio yang sudah sampai di depan pintu tiba-tiba berhenti lalu membalikkan badan. “Fy?” panggilnya pelan. Ify ikut berhenti sambil menoleh ke arah pemuda itu.
“Gaada morning kiss?” tanya Rio dengan tampang polos memaksa. Mata Ify melotot lebar dan kemudian mendelik. “Gak!” katanya galak. Rio menyengir ria dan segera angkat kaki.

***

Hati Ify rasanya gondok setengah mati. Ia duduk di kursi, memakan gulali sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang serta orang-orang yang tengah bermain, tanpa niat. Ia pikir ia akan benar-benar menghabiskan waktu bersama Rio hari ini. Ia sudah terlanjur membayangkan kencan romantis nan menyenangkan yang akan ia jalani bersama pemuda itu. Tapi yang malah terjadi bukan kencan sama sekali. Jangankan kencan, berbincang dengan pemuda itu saja tidak bisa. Rio dengan mudah direbut begitu saja darinya. Tahu siapa yang merebut? Dea.
Dan hal yang paling membuat hatinya gondok adalah Rio hanya pasrah tidak menolak. Malah menatapnya dengan memohon agar ia yang mengerti. Sebenarnya tadi mereka memang jalan bertiga, sih. Hanya saja tadi ia sudah tidak tahan melihat Dea yang terus saja menempel layaknya perangko pada Rio. Jadinya ia diam-diam kabur dan memilih menunggu di sini. Entah apa juga yang ia tunggu. Menunggu Rio mungkin.
Ify sedikit banyak merasa kecewa. Kenapa Rio malah lebih memilih bermain bersama Dea? Dan kenapa Rio membiarkan saja Dea menggelayuti lengannya? Bukannya itu harusnya tempat untuk tangannya? Kenapa ia yang harus mengerti? Memangnya pacarnya itu siapa? Dirinya atau Dea? Kenapa pemuda itu malah lebih menjaga perasaan Dea daripada dirinya?
Ngomong-ngomong, Rio sadar tidak ya kalau ia menghilang? Apa pemuda itu sedang mencarinya sekarang? Atau justru asyik bermain sehingga lupa akan dirinya? Ck, seharusnya kemarin ia tidak secepat itu percaya kalau pemuda itu benar-benar mencintainya. Lihat saja sekarang, antara Dea dan dirinya saja Rio lebih memilih Dea. Apalagi kalau antara dirinya dan Acha. Sialan. Kenapa lagi nama itu teringat-ingat disaat-saat sekarang!
Ify menarik napas dalam beberapa kali sambil menghembusnya perlahan. Dadanya langsung berdenyut nyeri. Entah bagian apa yang berkontraksi yang pasti Ify merasakan nyeri sesaat dalam dadanya. Ia melirik jam digital di layar ponselnya lalu mendesah pelan. Kalau dalam lima belas menit ke depan Rio tidak juga datang menemuinya, ia akan...
“Loh? Ify?”
Ify terpaksa menghentikan sumpah yang hendak ia ucapkan dalam benaknya. Ia mengangkat wajahnya melihat orang yang baru saja menyebut namanya sekaligus menggagalkan sumpahnya itu. Ia seketika mengernyit bingung. Lumayan kaget juga meski tidak kaget-kaget benar.
“Debo?” sahutnya dengan nada ragu. Debo yang awalnya menatapnya terkejut langsung berubah ceria. “Gue seneng ketemu lo di sini.” Ujarnya dengan tatapan menggebu. Ify hanya tersenyum tipis lalu menggeser duduknya, mempersilahkan kalau-kalau Debo mau duduk. Dan persis seperti dugaannya, Debo langsung mengambil tempat yang dipersilahkannya untuknya.
“Lo sama siapa kesini?” tanya pemuda itu.
Ify menoleh sebentar lalu mengalihkan pandangannya dan menatap gulali tanpa semangat. “Rio.” jawabnya tak kalah lesu. Debo mengernyit lalu menoleh ke kanan-kiri sebelum memandangnya kembali. “Trus, Rio nya mana? Kok lo malah sendirian di sini?”
“Pergi.” Ify memakan gulalinya kembali dengan pandangan tak fokus. “Pergi? Udah lama perginya? Pergi kemana emangnya?”
“Gatau.”
“Kok gatau?” Ify mengedikkan bahu tanpa menjawab. Debo memandangnya penuh tanda tanya. “Lo kesini berdua doang?” Ify menoleh ke arah Debo lalu menggelengkan kepala. “Bertiga.”
“Sama siapa lagi?”
“Sama Dea.” Muka kebingungan Debo langsung berubah serius. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. “Jangan bilang kalo Rio lagi pergi sama Dea dan lo ditinggal sendirian di sini?”
Ify mengangguk lalu menggeleng. “Gue tadi yang kabur.”
“Kenapa kabur?”
“Udah hampir sejam gue di sini. Gaada yang dateng nyariin gue. Toh mereka emang ga butuh-butuh gue banget juga kayaknya.”
“Itu masalahnya!” Debo berseru sambil menjentikkan jari. Seolah-olah baru saja mendapat ide. Ify mengerutkan dahi bingung. “Masalah maksudnya?”
“Harusnya tadi lo tetep sama mereka aja. Ngapain juga lo pake kabur-kaburan? Rugi sendiri, kan?”
Ify makin tidak mengerti. Kenapa jadi Debo yang marah-marah? “Kok lo malah nyalahin gue, sih? Gue tuh capek jadi obat nyamuk. Mending kalo asepnya ke mereka, ini asepnya ke gue juga. Sesek tau! Seseknya tuh disini.. *apadeeeeh*” Di akhir ucapannya Ify memegang dada dengan pandangan nanar menerawang.
“Ini kencan pertama lo ya semenjak jadian?” tanya Debo seraya mengerling jahil. Ify terkesiap kaget sekaligus panik. Kenapa Debo bisa tau? “Ja—jadian? Kok...kok lo bisa tau?”
Debo berjengit memandangnya aneh. Lalu tersenyum. “Kabar Rio sama lo jadian di twitter sama instagram lagi heboh, kali. Lo gatau?” tanyanya kaget. Ify menggeleng dengan mulut menganga. Debo mengambil ponselnya dari saku, memainkannya sebentar lalu menunjukkannya pada Ify. Mulut Ify langsung menganga lebih lebar. Di hadapannya terpampang fotonya dengan Rio saat tidur tadi. Entah kapan foto itu diambil. Yang pasti tanpa sepengetahuannya.
“Gue jadi makin yakin Rio sekarang lagi nangis-nangis nyariin lo tapi gak ketemu-ketemu,” Ujar Debo seraya terkekeh. Ify mengatup mulut lalu mendesah pelan. “Kalo emang nyari pasti daritadi udah ketemu lah.”
“Lo kan gatau dia lagi ngapain sekarang. Ancol gede kali, Fy. Penuh lagi. Ga semudah itu buat nemuin orang. Mana badan lo kecil banget kek semut. Makanya jangan kecentilan kabur!” Debo terkekeh lagi sementara Ify mencibir ke arahnya.
“Yang ngajakin lo ke sini Rio, kan?” Ify hanya berdehem menyahut. “Dia ngajak Dea juga?”
“Enggak. Tuh anak tau-tau dateng ke rumah. Trus minta ikut pas tau gue sama Rio mau pergi. Dan Rio setuju gitu aja. Mana abis itu mereka lengket banget udah kayak kembar siam. Yah dari situ aja udah keliatan kalo ada atau enggaknya gue gak akan jadi masalah buat mereka. Mereka pasti lupa deh sama gue, yakin gue.”
Debo tiba-tiba menyentil telinga Ify. Tidak terlalu keras sih tapi cukup membuat Ify mengaduh sakit. Ify langsung menggosok-gosok daun telinganya yang malang dan menatap Debo kesal. “Apaan sih nyentil-nyentil? Emang gue anak sd!” dumelnya.
“Abis lo ngeyel banget lebih-lebih dari anak sd.”
“Gue kan cuma gak mau meyakini hal yang bakal bikin gue makan hati kalo misalnya itu gak terjadi. Apa salahnya?” Ify memberengut sebal.
Debo memutar kedua bola matanya jengah sambil mengerang pelan dan geleng-geleng kepala. Makhluk cantik di sebelahnya ini benar-benar keras kepala. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku lalu menoleh ke arah Ify. “Lo itu sekarang udah ada di posisi yang harus selalu percaya sama Rio, Fy. Fy, lo sama Rio tuh udah pacaran! Pacaran, Fy, pacaran! Itu yang lo pengenin selama ini, kan?”
“Paling pulang ntar dia minta putus.” Sahut Ify asal sambil kembali memakan gulalinya yang sempat terabaikan beberapa saat. “Lo jadi orang pesimis banget, sih?” Sekali lagi Debo menggelengkan kepalanya.
“Buat apa dia, walau secara gak langsung sih, ngasih tau ke orang-orang soal hubungan kalian kalo sehari setelah itu ngajakin lo putus? Gini ya, secara keartisan aja, itu bakal ngerusak image dia. Rio kan udah jadi public figur pasti jaim lah. And one you should know nih, kalo ada cowok majang foto ceweknya apalagi sampe mamerin di depan banyak orang, dia pasti cinta banget sama ceweknya itu. Gue gak bela Rio, tapi gue kan juga cowok, Fy. Lo bisa percaya sama kata-kata gue.”
“Trus, kalo emang bener, kenapa Rio diem aja pas di gandeng sama Dea?”
“Ya mungkin Rio tuh cuma kaget dan gatau harus gimana. Tadi lo bilang Dea dateng tiba-tiba, kan? Rio belum nemuin cara ngasih tau Dea soal lo dengan cara yang gak menyakiti lo berdua, makanya dia diem aja. Diem kan banyak artinya, Fy. Bisa aja dia lagi bingung. Apalagi yang pengen lo tanya?” Debo menatap Ify bosan sementara Ify masih memberengut. Tapi ia juga tampak memikirkan kata-katanya.
“Lo kenal Rio sama Dea udah lama ya?”
“Emang ke..napa?” tanya Debo ragu-ragu. Heran kenapa Ify tiba-tiba bertanya soal itu. “Seingat gue sih gue gak pernah ngasih tau soal mereka, soal seberapa deketnya mereka. Kok lo bisa tau banyak gitu?”
“Ya..lo kan tau gue suka sama lo. Gue pasti cari tau sendiri tentang siapa aja orang-orang di sekitar lo. Tanpa harus lo kasih tau, gue udah harus tau.”
Ify tertegun mendengar ucapan Debo barusan. Jadi pemuda itu masih suka padanya? Lalu, kenapa ekspresinya setenang dan seceria itu? Terkesan biasa-biasa saja. Padahal Debo sudah tahu kalau ia dan Rio kini resmi berpacaran. Dan anehnya, kenapa pemuda itu malah berusaha membuatnya percaya pada Rio? Berusaha memperbaiki hubungannya yang bahkan belum genap satu hari? Kok dia gak ngompor-ngomporin gue soal Rio? Hebat gitu ya nih orang.
“Lo kok gak sedih sih tau gue pacaran sama Rio? Mana sekarang lo malah belain Rio di depan gue? Ada kesempatan buat ngerusak tapi kok lo malah berusaha nyatuin gue sama Rio? Gue aja ya, contohnya sekarang, ngeliat Dea ngegandeng Rio aja udah uring-uringan kek gini.”
“Lo mau gue kek gitu? Manfaatin situasi sekarang buat dapetin lo?” tanya Debo balik seraya mengerling jahil lalu tertawa. Ify meringis pelan. “Ya enggak juga, sih. Cuma tetep aja gue heran..”
“Gue orangnya fair-fairan aja, Fy. Gue bakal berusaha ngejer lo kalo lo belum jadi milik siapa-siapa. Kalo sekarang, Rio udah menang, jadi ya gue harus terima lapang dada. Gue gak mau jadi garam di api unggun. Gue gak boleh manfaatin kesempatan apapun buat bisa ngerebut lo, contohnya disaat ada masalah gini, apalagi cuma masalah sepele. Gaada gunanya juga, toh lo cintanya sama Rio bukan sama gue. Gue kan pengen dapet cinta lo bukan cuma lo nya doang. Ntar kalo misalnya lo udah putus baru deh gue mau ngejer lo lagi.”
Ify memperhatikan baik-baik bagaimana ekspresi Debo saat berbicara. Benar-benar seperti tidak ada beban. Senyumnya benar-benar terlihat tulus. Entah itu karena ia yang tidak pintar membaca raut wajah seseorang atau Debo memang seperti itu. Ia spontan ikut tersenyum senang.
“Gue seneng deh punya secad kayak lo, hehe.”

***

“Kak, kita main niagara gara ya ya ya?” pinta Dea dengan muka memelas. Rio meringis lemah sambil menggelengkan kepala. “Gak ah, ntar basah, De.” Tolaknya halus. Dea langsung memberengut kecewa. “Ah! KakFy! KakFy mau kan ma—loh KakFy mana?” Ia berseru semangat hendak membujuk Ify namun seketika lenyap dan wajahnya langsung berubah bingung ketika tahu orang yang ia ajak bicara sudah tidak ada.
Rio kaget dan langsung menoleh ke arah belakangnya. Ia menjadi lebih kaget lagi karena tidak menemukan sosok Ify di sana. “Ify?” panggilnya dengan panik. Ia melihat kesana-kemari tapi tidak satupun orang-orang yang ia lihat mirip dengan Ify. Artinya, Ify benar-benar tidak ada bersamanya. Gadis itu menghilang. Atau jangan-jangan Ify diam-diam pergi? Memang sih, daritadi ia sering curi-curi pandang pada gadis itu dan raut wajah gadis itu selalu murung dan tampak menahan kesal. Tidak salah lagi, Ify pasti memang sengaja kabur.
Tanpa babibu, Rio langsung melangkahkan kaki pergi hendak mencari Ify. Dea yang kebingungan lantas menyusulnya. “KakYo mau kemana? Kok malah pergi, sih? Kita mainnya kan di situ, kok KakYo malah jalan ke sini?”
Rio menghela napas lalu menghentikan langkahnya sebentar. “Kakak mau nyari Kak Ify. Kalo kamu emang pengen banget main, kamu main sendiri aja ya. Kakak gabisa nemenin kamu sebelum Kak Ify ketemu.” Ujarnya dan melanjutkan jalannya kembali tanpa menunggu Dea menjawab lebih dulu. Melihat itu Dea lantas memberengut lagi. Kesal melihat Rio sebegitu paniknya ketika kehilangan Ify.
“KakFy paling lagi main di wahana apa gitu. KakYo gaperlu secemas itu lah sampe mau nyari segala. Mending kita main!”
Rio diam tidak berkomentar. Tampaknya ia sudah tidak menghiraukan apapun yang dilakukan Dea. Yang ada di kepalanya sekarang hanya bagaimana dan dimana ia bisa menemukan Ify. Sejujurnya ia benar-benar merasa bersalah dengan gadis itu. Ia sudah berjanji untuk pergi menghabiskan waktu berdua tapi yang ada ia malah mengabaikan gadis itu karena juga merasa tidak enak dengan Dea. Wajar kalau Ify kesal. Mana ini merupakan kali pertama mereka bisa pergi berdua setelah jadian. Tidak masalah kalau Ify akan memaki atau memukulinya, yang penting ia bisa menemukan gadis itu.
Entah sudah berapa menit ia berkeliling tapi tidak juga menemukan Ify. Ck, kenapa lagi tempat ini begitu luas? Jadinya kan susah kalo nyari orang ilang! Gerutunya dalam hati.
“Telfon aja kali Kak, KakFy nya! Aku udah capek nih muter-muter!”
Ting! Seperti ada yang membunyikan lonceng dalam kepalanya. Rio langsung mengambil ponselnya di saku dan mendial nomor Ify. Ia mengerang kesal karena ponsel Ify mati. Kemungkinan besar Ify sengaja menonaktifkan ponsel atau bisa juga ponsel gadis itu lowbatt. Tapi kalau benar Ify sengaja, itu tandanya gadis itu benar-benar kesal. Atau bahkan marah padanya.
“Gimana Kak, KakFy bilang apa?” tanya Dea tak kalah kesal. “Hapenya mati.” Balas Rio jutek. Dea mengernyit heran. “Kok KakYo jadi jutek sih sama aku? Ck, karena KakFy, aku jadi kena imbasnya. Iss..pokoknya aku gak suka sama KakFy!”
“De, udah ya, Kakak lagi pusing. Jangan bikin tambah pusing.” Ujar Rio lemah. Ia kembali melanjutkan langkahnya sambil menatap kesana-kemari. “Yang bikin pusing kan KakFy, kok KakYo malah marah-marahin aku terus, sih?” dumel Dea belum puas. Rio hanya mendesah tanpa berniat membalas lagi.
Rio terus berkeliling mencari Ify ditemani Dea yang tak henti-hentinya mengomel. Padahal ia sudah mencoba mengabaikan supaya gadis itu berhenti, tapi tetap saja Dea berceloteh ini dan itu. Dan keseluruhan isi celotehannya hanyalah ungkapan kekesalan untuk Ify. Membuat Rio makin merasa bersalah dalam hati dan menyesal sedalam-dalamnya karena tidak menolak keinginan Dea untuk ikut. Ify pasti sudah berpikiran tidak-tidak tentangnya sekarang.
“KakFy? Nah, iya, itu KakFy!” Dea memekik senang sambil menunjuk ke suatu sudut. Rio langsung menjatuhkan pandangan ke arah yang Dea tunjuk. Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya karena sudah bisa melihat Ify. Apalagi melihat Ify tengah tersenyum senang bersama Debo di sampingnya. Eh eh tunggu, ia tidak salah kan, itu benar-benar Debo kan? Yang sedang duduk di samping Ify? Yang telah membuat Ify-nya tersenyum? Apa, Ify tersenyum karena Debo?!
Rio merasa perputaran dunianya berhenti hingga ia sadar kalau tubuhnya ditarik Dea dan berjalan menghampiri Ify. Dan ia baru tersadar kembali ketika mendengar Dea lagi-lagi menggerutu.
“KakFy! Kakak tuh kenapa sih suka banget nyusahin KakYo? Kakak tuh selain udah bikin kita pusing, Kakak juga bikin kita capek muter-muter nyariin kakak, tau gak?!”
Rio diam terkaget-kaget mendengar Dea bukan lagi menggerutu tapi lebih kentara memarahi Ify. Ini semua salahnya sehingga membuat Dea dan Ify sama-sama kesal. Ify sendiri tampak tak kalah kaget tiba-tiba didatangi dan langsung dilabrak seperti itu. Rasanya sudah seperti ia ketahuan membawa ganja di dalam tasnya.
“Kamu bisa gak sih dateng dan ngomong baik-baik?” ujar Ify mencoba tetap tenang dan mengatur emosinya.
“Gimana bisa baik kalo udah kayak gini. Kakak tuh gatau apa yang udah kakak lakuin ya? Rasanya aku pengen nyubitin Kakak deh. KakFy ngeselin, tau gak?”
“Emangnya Kakak ngelakuin apa? Kamu kira disini cuma kamu yang kesel?” balas Ify tak mau kalah. Dari tampangnya, sepertinya Ify juga sudah mulai kehilangan kesabaran. Dirinya yang jadi korban tapi kenapa dirinya juga yang dihakimi? Ia pikir Rio akan datang dan langsung meminta maaf padanya. Tapi, ia malah dimarahi seperti ini. Dan pemuda itu hanya diam sambil garuk-garuk kepala!
“Karena KakFy udah ganggu waktu aku sama KakYo. Harusnya sekarang kita lagi main tapi malah ngabisin waktu nyariin KakFy. Eh taunya KakFy malah pacaran sama Kakak yang aku gak tau namanya ini, di sini.”
Ify seketika tertawa sarkastis. “Kakak? Ganggu kamu sama Rio? Kamu sadar gak sih kamu yang udah ngerusak rencana kakak sama kak Rio?”
“A—aku? Loh, loh, kok aku? KakYo, emangnya KakYo bikin rencana apa sama KakFy?” Dea lantas bertanya bingung pada Rio. Rio memandangnya serba salah. “Itu..Kakak tadinya—“
“Kakak sama Kak Rio harusnya mau jalan berdua, tadinya..sebelum kamu tiba-tiba dateng dan maksa buat ikut.” Potong Ify yang langsung membuat Rio mendesah frustasi. Sementara Ify seketika menatapnya dengan pandangan ‘Kenapa? Ada yang salah emangnya?’.
Dea terkesiap kaget. Wajahnya langsung berubah panik. “Ja—jalan berdua? Kenapa harus jalan berdua? Emangnya kakak ada urusan apa sampe harus jalan berdua?” Dea memandang Rio penuh harap agar pemuda itu memberikan penjelasan. Ify pun ikut memandang Rio, menuntut agar pemuda itu segera mengeluarkan penjelasan. Awas saja kalau tidak, ia akan benar-benar marah.
Rio kebingungan sendiri didesak seperti ini. Ia bingung harus menjelaskan yang sebenarnya atau tidak. Ck, kenapa ia yang harus menjelaskan di depan Dea? Dan kenapa situasinya memang mengharuskannya menjelaskan?
“Karena hari ini hari pertama setelah mereka jadian.” Sela Debo tiba-tiba. Ia sendiri sudah bosan melihat perdebatan di hadapannya. Gemas menunggu Rio yang tidak kunjung bicara. Tak ayal semua orang langsung memandangnya walau hanya sebentar. Ia hanya balas nyengir.
“Pacaran? KakYo pacaran sama KakFy? Iya, Kak?” lirih Dea. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Ck, inilah yang dikhawatirkan Rio sejak tadi dan sekarang terjadi. Ia hanya bisa mengangguk lemah. Dea mengepal tangannya kuat. Sedetik kemudian ia berlari meninggalkan ketiga orang di hadapannya itu. Tidak peduli dengan teriakan Rio yang memanggilnya untuk kembali.
Rio hendak mengejar namun Debo tanpa disangka-sangka menahannya. Ia langsung memandang pemuda itu sinis sementara Debo hanya memutar kedua bola matanya dan menghela napas jengah. “Lo sebaiknya selesein masalah lo berdua. Biar gue yang kejer dia.”
Rio tampak diam berpikir lalu kemudian terpaksa setuju. Kata-kata Debo memang ada benarnya, sih. Kalau sekarang ia pergi, Ify pasti akan makin marah padanya. Dan ia lebih tidak menginginkan itu terjadi. “Pastiin dia sampe di rumah.” Pintanya sunggug-sungguh. “Count on me!” Balas Debo seraya mengedikkan kepalanya dan tersenyum tipis. Dan ia pun langsung angkat kaki setelah itu.
Sekarang hanya tinggal Rio dan Ify saja. Rio mengalihkan pandangannya dari Debo ke Ify yang kemungkinan sedaritadi tak berhenti menatapnya. Ify terus diam seperti menunggunya melakukan sesuatu. Ia jadi bingung kalau ditatap seperti itu. Ia belum berpengalaman menghadapi Ify yang sedang marah. Maklum aja, pacaran juga baru sehari.
Ify mendesah pelan. Daripada hari ini berjalan semakin buruk, lebih baik ia mengalah saja, lagi. Meski memang rasanya agak kurang rela. “Mau nemenin gue main?” tanyanya pelan.
Rio sesaat terlihat kaget. Reaksi Ify sedikit melenceng dari perkiraannya. Tapi, syukurlah Ify justru bersikap begitu. Ia lantas mengangguk. Ify tersenyum ke arahnya dan berbalik badan beranjak pergi. Mereka lalu berjalan berdampingan tanpa suara.

***

“AAAAA!!!”
Hampir semua orang di sekitar Ify berteriak kencang saat kursi berjalan halilintar *iturealnamenyaapasih?wkwk* mulai bergerak turun, berputar-putar sampai akhirnya berhenti dan pengaman kursi terbuka sehingga semua orang yang berteriak tadi turun. Termasuk Ify dan Rio. Ify berseru senang ketika sudah keluar dari area wahana. Ia melirik orang di sebelahnya yang hanya diam dengan raut wajah seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Ini sudah ketiga kalinya Rio seperti itu. Sudah ada 3 wahana yang ia naiki bersama pemuda itu tapi reaksi pemuda itu tetap sama. Padahal ia sudah berusaha membuat agar Rio terlihat bersemangat. Ia sengaja mengajaknya bermain tornado, histeria dan terakhir halilintar. Tapi Rio tetap saja membisu seperti itu. Paling-paling hanya tersenyum, itupun dipaksa.
Ify sudah benar-benar hilang akal. Kencan pertamanya benar-benar sudah berantakan, tidak bisa diperbaiki lagi bagaimanapun caranya. Tidak akan ada gunanya lagi kalau ia terus memaksa Rio untuk tetap bersamanya, memaksa pemuda itu merasa senang. Karena ia tahu, pikiran Rio sudah tidak untuknya, untuk saat ini. Yah, setidaknya ia sudah mencoba dan setidaknya juga Rio sudah mau berusaha menemaninya. Ia sudah..cukup senang.
“Pulang yuk?” tawar Ify. Rio terkesiap lalu mengangguk ragu. Sepertinya pemuda itu tadi sedang melamun. Ck, benar, kan?
“Tapi, temenin gue ke rumah sakit dulu ya. Trus ke suatu tempat. Bentar doang kok,” Sekali lagi Rio mengangguk sambil tersenyum lega. Apa Rio lega karena gue ajak pulang? Segitu tersiksanya?
***
“Kita mau kemana, Fy?” Rio kembali bertanya hal yang sama. Beberapa saat lalu, setelah Ify selesai menjenguk papanya, gadis itu lalu mengajaknya pergi. Dia bilang mau ke suatu tempat dan tidak mau bilang persis kemana. Sebegitu rahasia sampai-sampai Ify meminta dia yang menyetir. Setiap ditanya, jawabannya selalu sama. Termasuk untuk pertanyaannya kali ini.
“Lo pasti bakalan seneng banget kesana, tenang aja.”
Rio menggaruk pelipisnya tak tahu lagi harus bertanya bagaimana agar Ify mau memberitahunya. Alhasil, ia pun memilih tidak bertanya lagi dan menunggu saja hingga nanti mobil berhenti. Selanjutnya, perjalanan hanya diisi oleh alunan musik dari mp3 player dalam mobilnya. Ify tidak mengajaknya bicara dan ia pun bingung kalau disuruh mengajak bicara.
Hingga kemudian ia sadar kalau Ify membawanya ke suatu kawasan yang sangat-sangat tidak asing baginya. Ia memperhatikan baik-baik jalanan yang mereka lewati untuk lebih memastikan. Ia masih menyimpan dugaannya perihal kemana Ify akan membawanya dan sekali lagi memilih menunggu. Ia takut kalau bertanya sekarang dan misalnya dugaannya salah, ia hanya akan menyinggung perasaan Ify. Ia tidak ingin lagi itu terjadi. Mengingat apa saja yang sudah ia lakukan sebelumnya.
Mobil Rio yang disetiri Ify berhenti di depan halaman sebuah rumah. Persis seperti dugaan Rio. Ify benar-benar membawanya kemari. Ke rumah Dea. Ia masih larut dalam keterkejutan sehingga tidak sempat berkata apapun. Ia hanya memandang Ify dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Gue tau penghuni rumah ini yang ada di kepala lo daritadi.”  Gumam Ify datar sambil memandang rupa terdepan rumah Dea, tanpa menatap Rio. Rio merasa ada yang menyumbat tenggorokannya. Perasaan tidak enak menyergap hatinya menghadapi Ify yang begitu dingin. Tapi kemudian, ia merasa ada yang menyiram dadanya dengan air es. Ada yang berhasil mengeluarkan sumbatan dalam tenggorokannya kala Ify tiba-tiba tersenyum lebar sampai-sampai mempertontonkan barisan gigi berpagarnya. Ekspresi Ify tampak benar-benar tulus seperti anak kecil. Disatu sisi ia senang tapi disisi lain ia menjadi makin merasa bersalah.
“Temuin gih!”
“Lo gakpapa?” tanya Rio tak yakin. Ify mengedipkan mata bingung lalu menggelengkan kepala. “Gak, gue sehat-sehat aja. Jidat gue juga gak panas.” Jawabnya sambil memegang dahi. Rio mendesah pelan dan tak bisa menahan senyum gemas. “Bukan itu, Ify. Maksud gue, gapapa kalo gue nemuin Dea? Lo ga bakal marah atau ngambek atau ngediemin gue, kan?”
“Lah, orang tujuan gue bawa lo kesini biar lo gak ngediemin gue, lagi.” Ify menyahut pelan sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. “Yaudah, sana masuk! Gak usah buru-buru. Gue gak akan bawa kabur mobil lo kok.” Katanya lagi karena Rio yang tidak kunjung bereaksi.
“Gue maunya lo temenin,” Ify buru-buru menggelengkan kepala menolak mentah-mentah. Ia bisa membayangkan akan terjadi pertumpahan darah jika ia ikut masuk ke dalam sana menemui Dea.
“Kalo lo gak mau ikut, gue gak mau masuk.” Ancam Rio sambil bersedekap. Ify memberengut heran. “Di sini yang butuh ketemu siapa, siapa, sih? Perasaan bukan gue, deh. Tapi kenapa malah gue yang diintimidasi?”
“Yaudah, daripada lo bingung mikirinnya, mending temenin gue masuk.” Rio berkata sambil tersenyum. Ify menggelengkan kepalanya lagi. Rio lantas mendecak kesal. “Fy, gue gak mau lo diem disini, penasaran sendiri dan akhirnya mikir enggak-enggak tentang gue. Gue gak mau ya lo kabur lagi kek tadi.”
“Aduh Yo, gue tuh cuma gak mau bikin keributan di rumah orang. Makanya, lo masuk sendirian aja ya? Gue janji deh gak akan kabur!” Ify membentuk tanda peace dengan jarinya bersumpah dengan wajah memelas. Rio berdecak sambil menyipitkan matanya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ify.  Ify spontan memundurkan tubuhnya menjauh dari Rio. “Ikut atau gue cium?” Rio kembali mengancam dengan tatapan yang mengerikan bagi Ify. Bulu kuduknya bahkan ada yang sampai berdiri.
Ify menggelengkan kepala, masih berusaha menolak. Rio tersenyum menggoda. “Jadi lo milih gue cium, nih?” Ia kembali mendekatkan wajahnya. Sehingga Ify mau tidak mau buru-buru membuka pintu dan keluar dari mobil. “I—iya! Iya, gue ikut!” katanya memekik panik. Rio yang masih di dalam mobil tertawa geli. Ia mencabut kunci mobil lalu kemudian menyusul keluar. Ia mengedikkan kepala mengajak Ify masuk. Ify mendecak dan mencibir kesal sambil berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki.
Rio berdiri memencet bel di depan pintu dan Ify berdiri dengan gelisah dalam hati di balik punggungnya. Pintu kemudian dibuka dan muncul seorang wanita paruh baya yang menyambut mereka, yang kemungkinan besar adalah mama Dea. Mama Dea tersenyum ketika melihat Rio dan mempersilahkan mereka masuk. “Dea! Turun, Sayang! Ada Kak Rio datang, nyariin kamu nih!” pekiknya berusaha memanggil Dea keluar dari kamarnya di lantai atas. Tak sampai sepuluh detik, pintu kamar Dea terbuka dan gadis itu berjalan cepat keluar.
Namun, baru beberapa anak tangga yang dituruni, Dea berhenti. Wajahnya yang semula tampak senang langsung berubah marah. Ia juga berbalik badan dan berlari kembali untuk masuk ke kamarnya. Mamanya memandangnya bingung sambil mencoba memanggilnya lagi. Namun, panggilannya itu tidak digubris karena Dea tetap berlari masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu keras-keras.
“Tante, boleh Rio yang ke kamar Deanya aja? Gak ngapa-ngapain, kok. Rio cuma mau ngajak ngomong.” Mama Dea diam sebentar lalu mengangguk pasrah. Sepertinya anaknya itu dan Rio sedang ada masalah. Rio juga sepertinya memang tidak akan berbuat macam-macam. Pikirnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Rio yang juga kembali mengajak paksa Ify dengan cara menggandeng tangan gadis itu, pergi menaiki tangga menuju kamar Dea. Ify berusaha menahan Rio sekali lagi namun Rio malah menguatkan genggamannya menyuruh sebaliknya. Ify lantas mendesah pasrah. Terserahlah, ia tidak tanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa. Ia sudah berusaha mencegah tapi Rio sendiri yang keras kepala.
Rio membuka pintu kamar Dea dengan pelan lalu berjalan masuk ke dalam. Dilihatnya Dea sedang berbaring telungkup memeluk boneka hiu besarnya di atas kasur. “Aku gak ada bilang ngizinin siapapun itu masuk ya!” ujar Dea menggebu-gebu.
“Ini Kak Rio, De.” Gumam Rio sambil mendesah pelan. Dea mendecak kesal lalu beranjak duduk dengan kasar. Ia baru hendak buka mulut namun ketika melihat Ify yang juga ikut masuk dan kini berdiri di samping Rio dengan jemari saling bertautan seketika menyulut emosinya. Ia berdiri dari tempat tidur lalu berjalan cepat ke arah Ify. Ia menyentak tangan Ify dengan keras hingga membuat tautan itu terlepas dan memunculkan guratan merah di tangan gadis itu.
Inilah yang Ify khawatirkan sejak tadi. Padahal, tidak perlu harus sekasar itu. Diminta dengan baik-baik saja ia pasti mau melepaskan tautan jarinya dengan Rio. Ia mencoba tetap tenang dan tidak ikut terpancing. Bagaimanapun, ia sekarang sedang bertamu di rumah gadis itu. Meski seharusnya sebagai tamu ia tetap tidak pantas diperlakukan begini.
Rio langsung menyelip di antara Dea dan Ify ketika melihat Dea mengangkat tangannya hendak mendorong Ify. Ia berhasil menangkap kedua tangan gadis itu sehingga gadis itu langsung menyentak tangannya agar melepas genggamannya. Dea mundur selangkah menjauh lalu membalikkan badannya membuang muka. “De, kamu gak boleh dong kayak gini. Kita bisa ngomonginnya baik-baik tanpa harus main fisik.” Bujuk Rio. Ia menoleh pada Ify sebentar menanyakan keadaan gadis itu. Ify menggelengkan kepalanya menjawab ia baik-baik saja.
“KakYo beneran pacaran sama KakFy?” tanya Dea sinis. “Iya, De.” Rio menjawab singkat karena takut salah bicara. Efeknya akan luar biasa buruk jika itu sampai terjadi. “Kenapa?” Suara Dea mendadak berubah lirih. Rio mendesah lagi. “Kalo pacaran ya pasti karena cinta, De.”
“Jadi, KakYo cinta sama KakFy? Atau jangan-jangan KakYo terpaksa karena Papanya KakFy? Iya, kan? KakYo cuma kepaksa aja, kan? KakYo gak beneran cinta kan sama KakFy?” Nada suara Dea mendadak berubah lagi menjadi senang. Namun, rasa senangnya itu dalam sekejab menguap ketika mendengar jawaban dari Rio. “Enggak, De. Kakak emang cinta sama KakFy. Ga ada paksaan dari siapapun atau apapun.”
Mata Dea langsung berkaca-kaca. Ia berlari naik ke kasur dan duduk terisak sambil memeluk boneka hiunya. Rio lantas berjalan perlahan menghampiri gadis itu dan duduk berhadapan. Berhadapan dengan Dea sekaligus Ify. “KakYo jahat!” umpat Dea sambil sesenggukan. Rio hanya diam tanpa berkomentar, membiarkan Dea lebih dulu mengeluarkan unek-uneknya *uyakayukali*. “KakYo harusnya cinta sama KakCha bukan KakFy! Aku maunya KakYo sama KakCha, bukan sama KakFy! Atau KakYo harusnya kalo bukan sama KakCha, ya sama aku, bukan sama KakFy.”
“Dea sayang, kita berdua dari dulu harusnya udah sama-sama tau. Kakak sama Kak Acha itu emang udah gaada harapan. Kita emang ga jodohnya jadi pasangan.”
Ify yang kini berdiri sebagai penonton merasa hatinya mencelos mendengar Rio memanggil Dea dengan sebutan ‘Sayang’. Ia tidak bisa menampik rasa cemburu yang tiba-tiba muncul di hatinya. Meski ia percaya panggilan itu tidaklah berarti apa-apa tapi tetap saja rasa itu ada. Ck, lo gak seharusnya cemburu, Fy. Batinnya berusaha menenangkan diri. Tapi kemudian, pertahanan hatinya itu retak ketika Dea tiba-tiba memeluk Rio dan Rio membalas pelukan tersebut. Bahkan sampai mengelus-ngelus kepala.
Ify langsung mengalihkan pandangan agar ia masih bisa tetap menyaksikan drama yang terjadi di hadapannya sampai akhir. Pacaran baru sehari tapi kenapa gue udah secemburu ini, sih? Ini hari cobaan gue berasa gak abis-abis. Batinnya lagi.
“Dea sayang banget sama KakYo.” Isak Dea sambil menguatkan pelukannya. “Kakak juga sayang sama kamu, De.”
Ify mengulum dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kenapa lagi Rio harus bilang sayang-sayang segala? Haiss..rasanya kali ini ia sudah tidak tahan. Ia menoleh ke arah pintu yang seolah memanggilnya lalu memilih pergi keluar saja. Ia mendesah lega karena Mama Dea sudah tidak ada di ruang tamu. Ia menuruni tangga lalu berjalan keluar rumah. Dan sekarang ia bingung harus melakukan apa. Mobil Rio terkunci dan ia tidak memegang kuncinya. Mana tasnya juga ada di sana. Ia menoleh ke kanan-kiri lalu memutuskan duduk di batu pinggiran kolam ikan yang ada di ujung halaman. Lumayan, setidaknya masih ada ikan-ikan yang bisa ia lihat sebagai hiburan.
Sementara itu, di dalam kamar, Dea masih terisak sambil memeluk Rio. Sementara Rio duduk dengan perasaan tidak tenang. Ia sempat melihat Ify yang berjalan keluar. Rasanya tadi ia ingin segera melompat dan menahan gadis itu. Tapi, masalahnya ia sedang menenangkan Dea. Ia menjadi serba salah kalau sudah begini. Aduh Ifyyy! Kenapa kabur lagi siiiih?
“Makanya, KakYo sama aku aja. Kan KakYo sayangnya sama aku, bukan sama KakFy.”
“Sayangnya kakak ke kamu itu sama kayak sayangnya kakak ke Ray, De.”
“Trus, kalo ke KakFy? Emangnya gasama kayak aku?”
“Perasaan kakak ke kak Ify sama kayak perasaan kakak ke kak Acha.”
Dea tiba-tiba menarik dan menegakkan tubuhnya sambil memandang Rio dengan tatapan kaget. “Berarti kakak mau dua-duanya? KakFy sama KakCha sekaligus?”
“Enggak, De. Kakak emang cinta sama Kak Acha, tapi itu dulu. Kakak jatuh cinta sama Kak Ify. Dia udah berhasil bikin Kakak move on.” Rio tersenyum tipis. Tapi kemudian tatapan matanya berubah serius. Ia menatap Dea sungguh-sungguh. “Kakak harap kamu ngerti, De. Kakak pengen kamu bisa nerima Kak Ify. Dia orangnya baik, gak bakal gigit kamu, kok.”
Dea memberengut meski mau tidak mau ia tersenyum juga mendengar ucapan Rio barusan. “Emangnya Kak Ify kucing apa gigit-gigit?” dumelnya. Rio lantas tersenyum lega melihat Dea sepertinya sudah melunak dan mengerti. Tumben-tumbennya Dea bisa ditenangkan secepat ini. Ia bahkan bisa mendapat rekor muri. Tapi, sudahlah, yang penting sudah tidak ada masalah lagi dengan gadis itu.  
“Yaudah, aku restuin. Tapi, awas aja ya kalo KakFy macem-macem! Aku gak akan bolehin dia deket-deket lagi sama Kakak!” Rio tertawa geli sambil mengacak-acak rambut anak gadis di hadapannya. “Iya, iya. Kakak berani jamin Ify gabakal macem-macem. Justru kakak yang mesti kamu khawatirin.” Katanya seraya mengerling jahil. Dea mencibir ke arahnya. “Itu juga berlaku buat KakYo. Kalo KakYo macem-macem, aku bakal ngasih hukuman berat buat KakYo.”
“Iya, deh, iya. Akhirnya! Coba kamu kek gini daritadi. Yaudah, kalogitu sekarang Kakak pamit pulang dulu ya. Kasian Kak Ify nunggu lama. Makasih juga, kamu udah mau ngertiin Kakak.” Pamit Rio. Ia mulai beranjak turun dari tempat tidur dan berjalan keluar setelah Dea mengangguk.
“KakYo!” panggil Dea ketika ia hendak menutup pintu. “Salam buat KakFy, ya! Bilangin juga kalo aku minta maaf soal tadi.” Rio tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya. Sementara Dea melengos jengah. “Perintah segera dilaksanakan.”

***

“Ngeliatin ikan mulu. Emang ikannya banyak yang ganteng?”
Ify berjengit kaget dan langsung menoleh ke belakang. Ada Rio berdiri bersedekap sambil memperhatikan isi dari kolam. Sejak kapan pemuda itu di situ? Ck, ia melamun sampai-sampai tidak menyadari pemuda itu datang.
Ify berdiri tanpa menggubris kata-kata Rio barusan. “Udah selesai?” Rio mengernyit lalu menaikkan sebelah alisnya. “Lo bilang gak bakal kabur?”
“Gue tadi capek bediri,” Ify menatap Rio menunggu pemuda itu bicara. Tapi, pemuda itu hanya diam dengan terus menatapnya. Ia menggaruk pelipisnya tak mengerti. “Kenapa?”
“Kenapa tadi lo kabur? Lo tau secemas apa gue nyariin lo gak ketemu-ketemu? Dan lo ternyata malah berduaan sama Debo?” Ify merasakan dadanya seperti ditusuk-tusuk oleh tatapan mata Rio. Ada sorot kekhawatiran sekaligus rasa marah yang ditunjukkan pemuda itu kepadanya. Ify bertanya-tanya dalam hati. Apa ia harus jujur soal kenapa ia kabur? Nanti kalau pemuda itu malah meledeknya bagaimana? Ck, lagian, masa pemuda itu tidak tahu alasannya kabur?
“Tadi cuma gak sengaja ketemu Debo, ngobrol trus lo dateng. Udah, itu aja.”
“Dan, kenapa lo kabur?”
Ify menaikkan sebelah alisnya. “Lo masih harus nanya?” Rio bergeming seakan menjawab iya. Ify membuka mulutnya hendak berbicara namun lekas ia urungkan. Percuma rasanya kalau ia katakan yang sebenarnya. Toh, Rio tidak benar-benar peduli. Sedaritadi Rio hanya memikirkan Dea, bahkan saat sedang bersama dirinya pun. Wajar saja kalau pemuda itu masih harus bertanya kenapa ia sampai kabur. Kalau masih satu kali sih masih bisa ditolerir. Tapi, ia kabur sudah dua kali. Dan dua-duanya ia lakukan ketika pemuda itu sedang bersama Dea. Masa masih tidak sadar juga?
Ck, lagian, kurang pantas juga kalau ia cemburu. Ia sudah terlalu banyak cemburu selama ini ketika mereka belum berstatus apapun. Dari awal ia juga sudah tahu seberapa dekatnya Rio dan Dea. Jadi, yah, memang tidak dapat ia pungkiri kalau Dea lebih berhak atas Rio dan Rio lebih peduli pada gadis itu ketimbang dirinya. Siapalah dirinya. Orang yang sedari dulu mengemis-ngemis cintanya. Tidak persis mengemis-ngemis memang. Dan hanya beruntung menjadi pacarnya kemarin malam. Hubungan mereka bahkan belum genap satu hari. Mungkin waktu itu otak Rio lagi konslet dan gak sengaja nembak gue.
“Lupain ajalah..” serah Ify sambil mengibaskan tangannya. Ia lalu memandang Rio kembali yang kelihatan kaget. “Lo udah selesai, kan? Kita bisa pulang sekarang?”
Bukannya menjawab, Rio malah senyum-senyum sendiri tanpa jelas apa maksudnya di mata Ify. Pemuda itu gila ya? Apa otaknya benar-benar konslet? “Lo cantik banget, sih, hari ini.”
Tuh, ngomong apaan lagi ni orang? Batin Ify terheran-heran. Ia baru saja mau buka mulut sebelum Rio tiba-tiba mendekat ke arahnya dan memeluknya serta mencium pelipisnya sesaat. Ia merasa jantungnya bocor dan terbang kemana-mana seperti balon. Duh, ni anak ganteng-ganteng tapi tukang nyosor ya! Ckck. Senang sih tapi coba deh lihat-lihat tempat. Ini kan di depan rumah orang. Kalau ada yang melihat bagaimana? Kan bisa malu! Meski memang tidak separah waktu pemuda itu mencium pipinya di sekolah.
Ify mendorong pelan tubuh Rio sambil menatapnya kesal sementara Rio membalasnya dengan tatapan tidak rela. “Lo tuh ya! Kalo diliat sama mamanya Dea gimana?!” dumelnya. Meski begitu, Rio tampaknya tidak peduli dan malah memeluknya lagi. Bahkan pelukannya lebih erat sampai tindakan merontanya pun tidak mempan. Pada akhirnya ia hanya berdiri pasrah. Lagipula, pintu rumah Dea sudah ditutup. Jadi, kemungkinan besar tidak akan ada yang datang dan melihat mereka.
“Tadi Dea titip salam trus katanya dia minta maaf sama lo soal tadi,”
“Lo..gak minta maaf?” Rio menarik tubuhnya demi bertemu pandang dengan Ify. Meski tangannya tetap mengalung di leher Ify. “Lo kan gak marah.” Sahut Rio polos. Ify lantas mendesis sebal dan mendorong keras tubuhnya. Mau tak mau ia terkekeh geli melihat itu.
“Peace, hehe..” Ia menyembulkan jari tengah dan telunjuknya. “Thanks ya..” katanya kemudian. Kening Ify berkedut-kedut sambil menatap Rio bingung. Disuruh minta maaf kenapa pemuda itu malah berterimakasih?
“Karena lo gak marah sama gue apalagi Dea. Lo mau ngerti, ngalah dan rela makan hati. Dan itu semua lo lakuin cuma biar gue gak ngediemin lo lagi. Lo itu bener-bener ya...gue gatau harus ngomong apalagi.” Rio menatap Ify dengan rasa haru bercampur kagum juga bahagia. Sementara Ify tetap bergeming tanpa membalas ucapannya. Rio lantas mengernyit bingung. “Kok lo diem aja? Atau gue ada salah ngomong ya?”
Ify menggeleng pelan. “Gue daritadi nungguin lo minta maaf. Tadikan gue mintanya itu doang. Lo malah bilang makasih.”
Rio membuka mulutnya tapi kemudian tidak tahu harus bilang apalagi. Untung tidak sampai speechless. Ia tersenyum hangat pada Ify dengan tatapan sedikit memohon tapi lebih tepat memaksa. “Sorry ya? Mau maafin gue, kan?”
Ify mengulum bibirnya sambil menyipitkan mata tampak menimang-nimang. Tak lama kemudian, matanya kembali normal. Ia berjinjit sambil menumpu tangannya di kedua bahu Rio dan mengecup pipi pemuda itu singkat. Ia memandang pemuda itu dan tersenyum dengan sedikit tersipu. Senyumnya tak ayal menular pada Rio.
“Mau langsung pulang?” tanya Rio kemudian. Ify mengangguk cepat. Ia lalu berjalan menuju mobilnya sambil menggandeng tangan gadis itu. Mesin mobil menyala dan kemudian beranjak pergi dari halaman rumah Dea.

***

Ify menggaruk-garuk kepalanya kesal memandang buku kimia di hadapannya. Ia yang semula berbaring telungkup lalu kemudian duduk hendak meminta bantuan pada ketiga temannya. Namun, urung ia laksanakan melihat Via, Agni dan Shilla begitu seriusnya menonton dvd film yang mereka beli tadi siang. Kalau sudah begitu, mereka mana bisa diganggu barang semenit pun. Lalu kemudian, wajah Rio muncul di benaknya. Seolah-olah menjawab kebingungannya saat ini. Ia tersenyum lebar lalu dengan segera beranjak turun dari kasur dan berlari keluar kamarnya dengan membawa serta buku serta setangkai pensil(?).
Dari lantai atas ia dapat melihat Rio sedang duduk menonton siaran pertandingan sepak bola di ruang tengah. Pemuda itu kelihatan tak kalah serius dari ketiga temannya. Ify sempat berhenti menuruni anak tangga karena ragu untuk meminta bantuan pemuda itu atau tidak. Tapi kemudian, ia melanjutkan langkahnya kembali untuk tetap melaksanakan niatnya. Ia kan belum tahu bagaimana respon Rio kalau diganggu saat sedang serius menonton. Apalagi menonton pertandingan bola. Tak ada salahnya sekaligus ia cari tahu. *anggep aja ya ada siaran bola yang tayang jam 8 malem wkwk*etapi kadang-kadang ada kan ya*
“Yo?” panggil Ify yang tidak digubris Rio sama sekali. Bahkan pemuda itu mendengar saja perlu diragukan. Ify menggigit bibirnya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rio. Tiba-tiba saja Rio berseru kecewa sambil memukul dengkulnya. Sejurus kemudian, pemuda itu kembali ke posisinya semula, duduk bersila sambil bertumpu dagu.
“Yo?” Ify mencoba memanggil sekali lagi. Suaranya agak dikeraskan. Untungnya ada sedikit kemajuan. Rio berdehem pelan. Meskipun tidak sedikitpun memalingkan wajahnya dari televisi, tapi pemuda itu setidaknya masih menunjukkan tanda bahwa pemuda itu juga memperhatikannya. Ify tersenyum senang dan langsung menyodorkan bukunya. “Ajarin gue dong?” pintanya dengan sangat. Rio menoleh ke arahnya lalu bukunya lalu kembali pada televisi. Senyumnya langsung berubah kecut.
“Minta ajarin Via, Agni sama Shilla aja sana!” ujar Rio tak peduli.
Jutek banget! Apa Rio selalu kek gitu kalo lagi nonton bola? Atau karena gue yang minta ajarin? Selama ini kan dia paling ogah ngajarin gue. Batin Ify. Meski begitu, ia masih belum kapok dan tetap berusaha agar Rio mau mengajarinya. “Apa gue mesti jadi Dea dulu biar lo mau ngajarin gue?” Rio langsung menoleh lagi ke arahnya. Ia langsung berteriak puas dalam hati. Berhasil!
“Lo pernah denger gak ada pepatah bilang kalo bola itu istri ke setengah nya para lelaki?” Rio menatapnya sedikit kesal lalu langsung mengalihkan pandangan ke televisi kembali. Ify mencibir tak terima sambil menirukan gerakan mencakar dan ditujukan ke arah Rio. Ia membanting tubuhnya ke badan sofa sambil bersedekap dengan wajah kesal. Ia melirik tv lalu Rio lalu tv lalu buku kimianya. Ia harus mencari cara lain yang benar-benar ampuh membuat Rio mau mengajarinya. Dan tak butuh waktu lama, sebuah ide begitu saja terpintas di otaknya.
“Lo pernah denger pepatah bilang kalo ada cowok yang rela gak nonton tim bola kesayangannya demi ngajarin ceweknya, nikahin tuh cowok! Pernah denger?” tanya Ify memancing. Ia melihat Rio tersenyum meremehkan. “Cewek yang nyari cowok kek gitu pasti bakal jadi perawan tua.” sahutnya. Ify menyipitkan matanya lalu tersenyum menantang. “Let’s see..” desisnya sambil meraih ponsel di atas meja. “Kalo gak salah Kak Tristan suka MU, deh..” gumam Ify pelan. Telunjuknya menari-nari mencari sebuah kontak. Dan ketika ketemu, ia langsung berseru senang. Rio yang awalnya tenang-tenang saja mau tidak mau menjadi harap-harap cemas juga.
Ify mendial nomor Tristan dan menunggu beberapa detik hingga panggilannya dijawab. “Ah, diangkat!” serunya tanpa sadar. Atau mungkin bisa juga disengaja. “Halo Ka—“
Akan tetapi, belum sempat Ify menyapa, Rio tiba-tiba merebut ponselnya dan langsung mematikan sambungan telepon dengan Tristan. Pemuda itu meletakkan ponselnya kasar lalu menatap sebal ke arahnya. Ia hanya membalas senyum tanpa dosa sambil menyerahkan buku kimianya. Akhirnya usahanya berhasil. Walau dengan sedikit menipu karena sebenarnya ia juga tidak tahu Tristan menyukai klub sepakbola yang mana. Meski harus bersungut-sungut, tapi Rio tetap mengambil bukunya dan menanyakan perihal apa yang menjadi masalah di sana.
Ify yang awalnya senang kemudian berubah menjadi tak tega. Kasihan juga melihat Rio begitu tersiksa harus mengajarinya sementara di hadapannya sedang berlangsung pertandingan bola tim favoritnya. Setaunya kan pertandingan itu tidak hadir setiap hari. Rio pasti sudah begitu menunggu dari jauh-jauh hari. Lagian, kan besok masih libur. Masih banyak waktu dan tidak harus sekarang. Lantas, ia mengambil pensil yang tengah Rio gunakan menulis. Sekaligus juga bukunya. Rio menatap jengah ke arahnya seakan berkata ‘Kenapa lagi?’ dengan raut wajah begitu menggugah hati. Khususnya Ify.
“Hehe, lo nonton aja dulu, deh.” Ujarnya sambil nyengir bersalah. Rio mengernyit aneh ke arahnya lalu menatapnya tajam. “Lo gak ada niatan hunting cowok buat dinikahin lagi, kan?” Ify tak ayal tertawa lalu segera menggelengkan kepala. Benarkah Rio sampai setakut itu?
Tiba-tiba Rio tersenyum girang. “Tunggu sampe babak pertama selesai. Ntar baru gue ngajarin lo.” Ify hanya menganggukkan kepalanya. Dalam sekejab Rio tenggelam bersama televisi. Ify beranjak dari sofa dan berjalan naik ke atas menuju kamarnya untuk mengambil cemilan. Keadaan di kamarnya masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Ia lalu berjalan turun dan kembali duduk di sofa di samping Rio sambil ikut menonton.
Ify melirik ke arah Rio. Kalau begini ia jadi teringat kejadian tadi pagi. Bagaimana mendungnya wajah pemuda itu ketika Dea berlari pergi setelah mengetahui status terbaru mereka. Tapi, kenapa Rio sampai harus sepanik itu? Ia bukan ingin mengungkit-ungkit masalah yang sudah dianggap selesai itu. Tapi, ia hanya penasaran saja.
“Yo?” panggilnya kemudian. Rio berdehem menyahut sama seperti tadi. Ify menelan cemilan yang ada dalam mulutnya lalu berbicara. “Gue cuma penasaran aja, sih. Kok lo sampe panik banget gitu pas Dea pergi gitu aja?” tanyanya lalu memasukkan cemilan lagi ke dalam mulutnya dan menatap ke arah televisi.
“Dia itu orangnya suka nekat kalo ada hal yang ga sesuai sama jalan pikiran dia. Dia pernah hampir mati bunuh diri gara-gara abis putus sama pacarnya. Dan itu gak cuma sekali. Makanya gue takut banget tadi. Gak enak sama orangtuanya kalo sampe dia kenapa-kenapa, pas sama gue lagi. Yah, taulah kan gue udah lumayan deket sama mereka.” Rio menjeda bicaranya untuk mengambil snack yang dibawa Ify lalu memakannya. “Dia sebenernya baik. Cuma ya, mungkin bisa dibilang punya kelainan emosi. Terlalu meledak-ledak.”
“Hmm..gitu.” Ify mengangguk mengerti. Lumayan masuk akal. Setelah itu, tidak ada pembicaraan lagi. Rio fokus pada siaran sementara Ify tidak tahu harus bertanya apalagi. Hingga kemudian, tubuh mereka mendadak sama-sama tak bergerak dengan mata menatap tajam tanpa berkedip. Tangan Ify yang hendak memasukkan snack ke dalam mulut bahkan sampai berhenti membuat snack tersebut terkatung-katung di udara.
“Ball’s on Gigs. Given to Rooney. Oww! Can it be..Rooney..Rooney..YEAY WAYNE ROONEEEEY! Wayne Rooney scores at the last minutes of this first half and succed keeping their chances in....” *buahaha sumpah ini ngarang banget*
Selanjutnya Rio sudah tidak memedulikan lagi kata-kata selebrasi sang komentator karena aksi selebrasinya sendiri. Ia berteriak sambil bertepuk tangan keras dan spontan memeluk manusia di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah Ify. Ia juga sempat-sempatnya mendaratkan kecupan pada pipi gadis itu lalu kembali berjingkrakan tak jelas. Ify yang tadinya ikut merasa senang mendadak kesal karena Rio kembali mengulangi kebiasaan nyosor sembarangannya itu. Ia langsung mencubit keras pinggang pemuda itu yang seketika membuatnya mengaduh kesakitan.
“Kok gue dicubit?” keluh Rio di penghujung selebrasinya. “Abis lo sembarangan pake nyium-nyium segala. Kalo temen-temen gue liat gimana?!” balasnya galak. Rio lantas nyengir tanpa dosa tanpa sedikitpun kehilangan corak kebahagiaan di wajahnya. Ia lalu kembali duduk normal sambil bersandar ke badan sofa. “Yaudah, mana yang mau gue ajarin tadi?” tanyanya dengan semangat.
Ify menyerahkan pensil dan buku kimianya pada Rio. Rio menepuk sisi paling di sampingnya menyuruh Ify mendekat. Ify pun menurut tanpa banyak protes. Ia duduk bertumpu dagu melihat dan mendengarkan Rio yang mulai menjelaskan sambil menulis di buku kimianya. Sesekali ia mengangguk, tapi ia lebih sering menyela karena Rio berbicara terlalu cepat dan ia juga agak lamban mengerti apa yang pemuda itu ajarkan. Tak ayal, beberapa hadiah pukulan di kening menggunakan pensil diberikan Rio padanya.
“Oooh..gitu doang. Ck, bilang dong daritadi..AW! Kok gue digetok lagi, sih?!” Rio menatap Ify kesal. “Gue emang udah bilang daritadi kali. Lo nya aja yang baru ngerti.” Sungutnya. Gantian Ify yang memajang cengiran tanpa dosa sambil melihat kembali tulisan penjelasan Rio di bukunya. Ia tak henti-hentinya memajang senyum di bibir. Ia bisa pintar kalau begini terus. Ia benar-benar beruntung. Punya pacar ganteng sekaligus pintar. Bisa dijadikan sebagai guru private gratis. Meskipun ngajarinnya galak.
Ify menutup bukunya dengan perasaan puas lalu meletakkannya di meja. Ia menoleh ke arah Rio dan pemuda itu sudah kembali tenggelam dalam siaran televisi. Ia tersenyum lagi melihat itu. Ia cepat-cepat mengambil ponsel dan mengambil kesempatan mengabadikan ekspresi Rio yang begitu serius saat ini. Belum puas ia memandangi hasil bidikannya, ponselnya sudah berubah tangan. Rio tiba-tiba saja merebut ponselnya, lagi.
“Curang!” Ify mengernyit bingung. Yang dibilang curang dirinya atau wasit dalam pertandingan bola?
“Kalo foto ya berdua, dong!” ujar Rio sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya ke atas ke bawah. Ify terkekeh geli dan langsung merapatkan tubuhnya kembali dengan Rio. Rio kemudian menjadi juru kamera dengan salah satu tangan merangkul Ify. Ada sekitar 4 foto yang diambil yang pose terakhirnya ia, sekali lagi, mencuri kesempatan mencium pipi kekasihnya itu. Ify kali ini tidak protes. Karena sepertinya percuma juga, Rio tidak akan menggubris.
Rio langsung menjadikan foto terakhir tersebut sebagai walpaper hape Ify tanpa lebih dulu menanyakan persetujuan gadis itu. “Ntar kirim ke gue ya!” ujarnya sambil mengembalikan ponsel di tangannya pada pemiliknya.
“Enggak, ah. Ntar lo upload lagi.” Rio menaikkan sebelah alisnya dan bertanya bingung. “Emangnya kenapa kalo gue upload?”
“Ya ntar pada heboh, Yo. Yang tadi pagi aja masih rame sampe sekarang.”
“Gue kan cuma mau mamerin pacar gue. Masa gaboleh?”
“Emangnya gue lukisan dipamerin?”
“Ck, bukan gitu, Ify-ku-sayang! Itu kan sebagai tanda kalo gue bangga punya pacar kayak lo. Lo emangnya gak bangga punya pacar kayak gue?”
Ify tertawa kecil lalu tersenyum miring dan bersandar di tubuh Rio. Sekaligus menikmati elusan pemuda itu pada kepalanya. “Siapa, sih, yang gak bangga jadi pacar lo..” gumamnya pelan. Rio menganggukkan kepala. “Nah, makanya, kan..”
Beberapa saat mereka saling diam. Lalu kemudian Ify bersuara lagi. “Yo, kita bakal kek gini terus, kan?”
“Emangnya lo mau bubaran kapan?” sahut Rio asal. Ify lantas memukul pahanya lumayan keras dan ia hanya terkekeh singkat. “Apapun yang terjadi, lo tetep ada di belakang gue, kan?”
“Iya, iya!”
“Ngedukung gue?”
“Selalu.”
“Ngebela gue?”
“Pasti.”
“Ngelindungin gue?”
“Wajib.”
“Dan gak ninggalin gue?”
“Gak akan.”
Ify tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Bagus-bagus,” gumamnya.
“Fy, lo pernah liat peri bunga gak?” tanya Rio tiba-tiba. Ify hanya berdehem mengiyakan. “Nah, ntar pas prom, rambut lo di bikin kek gitu ya? Gak usah diiket atau dimacem-macem. Digerai aja, trus di atasnya ada yang dijalin melingkar kek gini sama ada bunga-bunganya. Pas prom aja tapi, biar gue penasaran.” Rio berkata sambil menunjuk-nunjuk bagian atas kepalanya dengan antusias. Ify tertawa lagi lalu menganggukkan kepalanya.
“Iya, iya. Your wish is my command, deh.” Serah Ify. Awalnya ia ingin bertanya kenapa pemuda itu tiba-tiba mengatakan itu. Padahal acara promnight sekolah masih lama. Tidak terlalu lama juga, sih. Tapi, yasudahlah. Tidak terlalu penting. Ia pun jadi tidak pusing-pusing memikirkan harus bagaimana nanti ketika menghadiri acara tersebut. Rio, Rio. Baru sehari pacaran sama lo tapi lo udah ngasih kenangan banyak banget. Haaah...rasanya ia tidak ingin hari ini cepat-cepat berlalu.

***

Rio kembali harus mengikuti rapat mengenai promnight. Dan dengan sangat terpaksa meninggalkan Ify dan menitipkan gadis itu pada ketiga temannya. Pemuda itu sempat mengajaknya untuk ikut izin rapat bersamanya tapi ia menolak. Untuk apa ia ikut, toh, ia tidak punya jabatan apapun. Menjadi anggota osis pun tidak. Tidak baik dipandang murid yang lain. Alhasil jam istirahat ini, ia hanya menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatnya di dalam kelas. Beruntungnya, ketiga sahabatnya itu juga sedang malas kemana-mana.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Rio. Jemarinya bergerak cepat membuka pesan tersebut.
‘Gue punya sesuatu buat lo. Gue tunggu di perpus ya! Di rak paling ujung:*’
Ify mengerutkan dahi bingung. Merasa asing dengan pesan Rio ini. Jujur saja, ini adalah text pertama mereka berdua setelah berpacaran. Ia lantas geleng-geleng kepala. Itu orang hobby banget nyium ya? Sampe emot yang dipake itu juga? Ckck. Batinnya.
“Temenin gue ke perpus yok?” pinta Ify. Agni menoleh ke arahnya sambil menaikkan alis. “Mau ngapain?”
“Ketemu Rio, hehe.” katanya dengan agak tersipu. Sementara ketiga temannya menahan senyum geli. “Paham, deh, paham. Yaudah. Tapi, ini karena lo baru jadian aja ya makanya kita-kita mau.” Ujar Agni lagi.
“Iya, iya.”

***

Drrt..drrt..
Ponsel Rio bergetar. Ia mendapati sebuah pesan misterius dari nomor asing. Ia tidak tahu itu siapa karena nomornya tidak terdaftar dalam kontaknya. Ia menatap ponselnya bingung sekaligus penasaran setelah membaca pesan yang baru saja masuk itu.
‘Kalo lo mau tau siapa cewek lo sebenernya, ke perpus sekarang juga. Dia ada di rak paling belakang.’
Rio bimbang. Haruskah ia ke perpus sekarang ini? Kalau orang ini hanya mengerjainya bagaimana? Atau...astaga! Jangan-jangan orang ini justru berbuat macam-macam pada Ify. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus pergi ke sana.

***

Ify bersama ketiga sahabatnya tersebut langsung beranjak dari kelas menuju perpus. Hampir setiap orang melihat ke arah mereka, terutama ke arah Ify. Ify merasa seperti lauk pauk yang sangat amat lezat karena ditatap setajam itu. Tapi, untunglah ada Agni yang menemaninya jadi mereka sedikit banyak takut mau berbuat macam-macam. Selain karena Agni jago bela diri, Agni juga sudah mengancam mereka semua akan melapor ke guru BP bahkan polisi kalau sampai berbuat anarkis lagi.
Ify berseru senang saat sudah menginjakkan kaki di dalam perpus. Ia menyuruh ketiga temannya untuk membiarkannya pergi sendiri ke rak yang Rio maksud sementara mereka ke rak yang lain. Ia mendapati rak tersebut kosong. Sepertinya Rio belum selesai rapat. Tak apa-apa kalau ia harus menunggu, daripada ia yang ditunggu.
Ify memilih melihat buku-buku yang berjejer di depannya. Siapa tahu ada yang menarik dibaca sembari menunggu Rio datang. Ia baru saja menjulurkan tangan hendak mengambil salah satunya tapi kemudian ada sepasang tangan yang memeluknya dari belakang. Pasti itu Rio! Pikirnya. Pemuda itu kan kebiasaan memeluknya sembarangan. Untung saja sisi tempatnya berada ini adalah sisi yang paling sepi bahkan hampir tidak terjangkau orang-orang.
Ia mendengus pelan tapi tetap tersenyum juga. “Rio! Kan gue udah pernah bilang ja—“ Ia tidak sempat menyelesaikan kata-katanya dan hanya sempat berbalik badan menghadap orang yang memeluknya. Karena orang tersebut dengan gerakan cepat dan tiba-tiba mengunci mulutnya. Ia membelalakkan mata kaget. Orang tersebut menciumnya! Tepat di bibir! Dan entah kenapa ia yakin ini bukan Rio. Ya, ini memang bukan Rio. Ini..
“Brengsek!!”
Bug..bug..

***

Hueheeei part 29 selesai-.- Hayolooo siapa yang nyium Ify? Ayo tebak! Yang bener ntar mimin kasih selamat! *Ganiatbangetsihminhahaha*

Untuk couple lain sabar yaaa, mimin mau istirahat dulu. Udah begadang berapa hari ini-.- Mimin kan udah adil. Semuanya dibikin panjang-panjang. Gabakal lama-lama juga kok, tenang aja. Jadi, harap sabar menunggu. Makasih juga yang masih setia baca, ngelike, ngoment, ngadvice dan nagih haha. Muah buat kalian semuah:*

4 komentar:

  1. aaaaa keren! Suka bgt sama pasangan RiFy ini:3 dilanjut secepatnya yaaa, penasaran!

    BalasHapus
  2. Kak, kapan dilanjutnya ?.-.

    BalasHapus
  3. Udah lama nunggu part selanjutnya ditunggu part 30nya kakak. Cerbung kakak keren feelnya dapet Good Job!��

    BalasHapus