Siviel
I just had to know if you still miss her cause
you feel far away when I kiss you. And every word you say sounds so confused.
***
Via keluar kamarnya dan melangkah menuruni
tangga. Ia berjalan ke ruang makan untuk sarapan. Langkahnya terhenti ketika
melihat sudah ada manusia lain yang lebih dulu berada di sana. Papa? Batinnya
kaget sekaligus heran. Kapan Papanya sampai di rumah?
Via melangkah tersendat-sendat hingga duduk di
kursi tepat di depan Papanya. Matanya tak lepas menatap wajah laki-laki itu.
Pandangannya penuh dengan tanda tanya tapi ia tidak berani bertanya.
Mengucapkan hai pun ia tidak berani. Ckck, sampai sebegini kakunya hubungannya
dengan papanya itu.
“Kenapa ngeliatin Papa gitu?” tiba-tiba Papanya
yang setengah menunduk meliriknya. Via berjengit kaget lalu lekas menggeleng.
“Ayo, cepet sarapan. Nanti kamu telat ke sekolah.” Ujar Papanya seraya
tersenyum tipis. Entah itu senyum tulus atau terpaksa. Via tidak tahu. Ia tidak
terlalu ‘mengenal’ laki-laki itu. Yah, anggap saja itu tulus. Masa senyum sama
anaknya sendiri gak tulus, kan?
Via mengangguk dan kemudian mengambil selembar
roti lalu mengolesinya dengan mentega, melumuri dengan susu kental rasa coklat
dan terakhir menaburkan parutan keju. Ia mengambil selembar roti lagi lalu
menyatukan keduanya. Ia memandang papanya sebelum memberikan gigitan pertama
pada rotinya. “Papa udah jenguk Mama?” tanyanya dengan segenap keberanian.
Papanya mengangkat wajah menatapnya lalu
berdehem mengiyakan. Hanya itu. Via mau tak mau mengangguk dan tidak bertanya
lagi. Sudahlah, pilihan jawaban pertanyaannya kan juga hanya ada dua. Kalau
bukan ya, ya berarti tidak.
“Kapan kamu ujian semester?” tanya papanya
tiba-tiba.
Wow. Akhirnya Papanya ada mengajaknya bicara
hari ini. Batin Via cukup senang. “Dua bulan lagi, Pa.” Jawabnya dengan nada
bicara yang sangat-sangat sopan. You know why.
Papanya mengangguk pelan lalu melanjutkan makan.
Via diam-diam menghela napas. Ada satu hal kecil tapi begitu penting yang
dilupakan Papanya ketika bertanya. Setidaknya, sebutlah namanya ketika bicara.
Meskipun hanya satu kali.
Selanjutnya, sarapan berlangsung hingga selesai
dalam kesunyian. Jangankan mengajaknya bicara, menatap ke arah Via pun tidak. Mereka
lalu beranjak keluar rumah bersama tapi tidak bersama. Via yang mengikuti
papanya sementara papanya cuek dengan jalannya sendiri.
Mata Via membelalak melihat seseorang yang
tengah duduk di atas motornya di halaman rumahnya. Gabriel?! Batinnya menjerit.
Jadi pemuda itu benar-benar datang? Sesaat ia merasa tersanjung tapi sesaat
kemudian ia panik. Ia teringat kalau saat ini ia sedang bersama Papanya. Apa
laki-laki itu tidak ada masalah jika melihat Gabriel? Terlebih lagi, apa
laki-laki itu tidak masalah kalau ia meminta izin untuk berangkat bersama Gabriel?
Ck, memikirkannya saja sudah membuatnya sesak napas.
Gabriel tersenyum senang melihat Via keluar dari
rumah. Tapi senyumnya sedikit mengendor ketika melihat ada orang lain di
samping Via. Via tersenyum kikuk pada Gabriel. Kemudian ia melihat ekspresi Gabriel
berubah aneh ketika melihat Papanya. Refleks ia melihat ke arah Gabriel melihat
dan didapatinya Papanya menatap balik Gabriel dengan pandangan kaget lalu
berubah menjadi...emm tidak suka?
Via menggaruk pelipisnya kebingungan. Dua
laki-laki di sekitarnya ini kenapa malah diam di tempat dengan bersitatap
seperti itu? Mereka sama-sama aneh. “Emm—Pa?” panggil Via yang langsung
menyadarkan dua laki-laki itu sekaligus. Papanya berdehem singkat seraya
menujukan pandangannya ke arah Gabriel. Menunggu Via memperkenalkan pemuda itu
padanya.
Via menelan ludah grogi. “Pa, ini Gabriel. Temen
sekelas Via.” Via melirik Gabriel yang sudah berada di sebelahnya. Pemuda itu
tampak kaget lalu selanjutnya ia tidak tahu pemuda itu kenapa. Ekspresinya
benar-benar aneh. Sama anehnya dengan Papanya.
“Halo, Om. Saya kesini mau berangkat bareng Via.
Boleh, Om?” ujar Gabriel seketika setelah menormalkan ekspresinya.
“Sebaiknya kamu menjauh dari Via. Ayo, Vi! Kita
udah hampir telat.” Papa Via berkata tegas dan dingin. Tanpa basa-basi.
Laki-laki itu langsung menarik tangan Via hingga masuk ke dalam mobil. Via
meringis memohon maaf pada Gabriel dan dibalas senyum maklum dari Gabriel.
Hati Via mencelos. Di satu sisi ia senang karena
Papanya peduli pada siapa saja orang-orang di dekatnya. Itu artinya Papanya
peduli pada kehidupannya. Tapi di sisi lain ia sedih karena Papanya sepertinya
tidak menyukai Gabriel. Entahlah, ia bahkan tidak atau mungkin belum ada
hubungan apa-apa dengan pemuda itu tapi tetap saja ia merasa sedih. Setidaknya,
Gabriel itu kan teman baiknya. Kenapa Papanya bersikap seperti itu?
“Kamu ga boleh deket-deket sama anak itu.” ucap
Papa Via otoriter. Via mengerutkan kening bingung. “K—kenapa?”
Papanya mendengus. “Pokoknya jauh-jauh aja sama
dia.” Titik. Kalau nada suara Papanya sudah seperti itu, tandanya Via sudah
tidak boleh bertanya.
Via digerogoti banyak pertanyaan dalam hatinya. Papanya
melarangnya dekat dengan Gabriel memang karena khawatir padanya atau ada alasan
lain? Ck, ini benar-benar membuat bingung.
***
Gabriel lebih dulu sampai di sekolah. Ia duduk
menunggu Via di salah satu koridor yang paling dekat dengan pagar sekolah. Ada
sesuatu yang sangat ingin ia tanyakan. Matanya kemudian berbinar cerah melihat
sosok Via yang baru saja keluar dari mobil. Gadis itu berjalan melewati pagar
hingga ke tempatnya berada dengan raut wajah takut. Ia seperti seseorang yang
sedang diawasi ketat. Gabriel melirik ke belakang gadis itu. Papa Via masih
berada di sana memandang lekat Via.
“Vi?” panggil Gabriel dengan suara pelan ketika
gadis itu berjalan di depannya. Via menoleh padanya dan membelalakkan matanya.
Kenapa sekaget itu? pikir Gabriel bingung.
Via mendorong tubuh Gabriel yang hendak berdiri
agar tetap duduk. Ia melirik ke belakangnya dan melihat papanya masih ada di
sana. Beruntung badan Gabriel terhalang dinding jadi pemuda itu tidak akan
terlihat. Ia menatap Gabriel dengan tatapan memohon agar tidak banyak bertanya
dulu dan menurut saja pada apa yang dilakukannya. Sesuai permintaan, Gabriel
diam dan menurut sambil memandangnya dengan penuh tanda tanya. Menanti-nanti
kapan Via akan menjelaskan maksudnya padanya.
Via menghela napas lega saat mobil papanya sudah
melaju pergi meninggalkan sekolahnya. Lalu tanpa sengaja menoleh ke arah
Gabriel yang juga balik menatapnya. “Gue udah boleh ‘diri?” tanya Gabriel asal.
Via meringis seraya menganggukkan kepala. Mereka kemudian berjalan beriringan.
“Lo kenapa, sih?” tanya Gabriel lagi memandang Via penasaran.
Via menoleh sesaat lalu menatap ke arah depan.
“Papa bilang gue gak boleh deket-deket sama lo..” cicit Via seraya mengusap
lehernya. Ia merasa tidak enak sekaligus takut.
Gabriel mengernyit heran. “Kenapa?” Via
mengangkat bahu tak tahu.
“Lo sama Papa lo emang eng..kaku gitu ya?”
Gabriel kembali bertanya. Kali ini agak tak enak hati. Via menoleh padanya
tersenyum miring lalu mengangkat bahunya lagi. Gabriel mengernyit memandang
gadis itu lalu menghela napas. Nanti sajalah ia tanyakan. Lagipula tanggung
kalau ia tanyakan sekarang. Alih-alih dijawab, omongan mereka pasti akan
terpotong bel masuk.
“I have two ears for listening kok, Vi.” Katanya
tersenyum seraya mengacak-ngacak pelan rambut Via. Via menangkis pelan
tangannya lalu tertawa ringan. “Apaan, sih! Apa yang harus diceritain? Orang
gue lagi gaada masalah apa-apa.” Katanya sembari merapikan rambutnya.
Gantian sekarang Gabriel yang mengedikkan
bahunya. Iya, sih. Bukan Via yang seharusnya bercerita, melainkan dirinya. Tapi,
apa tidak apa-apa kalau ia ceritakan?
***
Via menutup mukanya frustasi. Menyuruh Gabriel
menjauh darinya itu sama susahnya dengan menggeser gunung. Artinya..tidak bisa!
Gabriel benar-benar keras kepala. Kalau saat jam sekolah tadi sih ia tidak
masalah. Tapi, sekarang sudah jam pulang dan pemuda itu bukannya segera saja
pulang malah bersikeras menemaninya hingga jemputannya datang. Kalau ia
dijemput supir sih tidak masalah. Tapi yang jadi persoalan sekarang, orang yang
akan menjemputnya adalah Papanya. Ia ingat sekali mandat Papanya untuk
berjauhan dengan Gabriel. Tapi, ia malah bersama pemuda itu sepanjang hari,
terutama saat ini.
“Yel. Lo. Pulang. Aja. Please?” pinta Via geram
sekaligus memohon. Ia tidak ingin menyulut kemarahan Papanya padanya apalagi
pada Gabriel.
“Emang apa salahnya, sih? Gue kan nemenin lo
doang. Sekarang sepi loh, Vi. Kalo ada apa-apa gimana? Jamin deh! Bokap lo ga
bakal marah. Dia justru bakal berterimakasih sama gue karena gue udah jagain
anaknya.” Gabriel keukeh.
“You haven’t known my father yet, Yel.” Cicit
Via. Tuhan, tolonglah aku..
“Just wait and see.” balas Gabriel tenang tak
peduli. Ia memasukkan tangannya ke kantong celana. “Kalo lo yang bener, gue
bakal ngejauhin lo.” Katanya lagi mendadak serius.
Via tercenung mendengar ucapannya. Apakah
Gabriel serius akan menjauhinya? Ia mendadak merasa sedih sekaligus panik.
Sudah pasti ia yang akan benar. Tapi, ia tidak ingin itu terjadi. Ia sudah
terlanjur nyaman dengan Gabriel selalu ada di sampingnya. Meski ia hanya
dianggap adik.
“Jangan!” selanya spontan. Sesaat kemudian ia
langsung memalingkan wajah dan meringis malu. Aiss! Mulutnya ini benar-benar merepotkan!
Gabriel awalnya kaget lalu kemudian tersenyum
senang sekaligus geli. Ia mengacak pelan rambut gadis itu. Sama seperti yang ia
lakukan tadi pagi. “Tapi, kalo gue bener lo harus mau pergi kencan sama gue.
Hehehe.” katanya seraya mengerling jahil pada Via.
Via terperangah sesaat lalu menggelengkan
kepala. Gabriel masih saja mencari kesempatan. Tapi, tetap saja ia merasa
khawatir. Ia yakin seratus persen Papanya akan memarahinya serta Gabriel.
“Trust me, Vi.” Ujar Gabriel sambil tersenyum
menenangkan Via. Seolah tahu kekalutan yang melanda pikiran gadis itu. Via
melengos kesal lalu bersedekap. Awas saja kalau ia benar! Ia akan...ia
akan...ah ia juga bingung akan melakukan apa. Semoga saja ia salah, deh.
“Gue boleh nanya gak, Vi?” Gabriel memandang Via
hati-hati. Sementara Via menoleh bingung sekaligus penasaran padanya. Gadis itu
mengangguk ragu tanpa melepas pandangannya padanya. “Bokap sama nyokap lo udah
berapa taun nikah?”
Via mengernyit makin bingung. Kenapa tiba-tiba
bertanya soal pernikahan Papa-Mama nya?
“Eng..16 taunan..mungkin. Kenapa emang?”
“16 taun?!” Gabriel membeo dengan agak histeris.
Via mengangguk lagi. Bukannya menjawab, Gabriel malah terdiam sambil terus
memandangnya dengan tatapan yang tidak ia mengerti. Ada apa, sih? Pikirnya.
“Via!” Tiba-tiba sebuah suara lantang menyela
perbincangannya dengan Gabriel. Membuatnya harus mengubur sesaat rasa
penasarannya pada pemuda itu.
“Apa kamu lupa apa yang Papa bilang tadi pagi?”
Suara lantang tadi berubah dingin dan mengerikan, khususnya bagi Via. Ia
menelan ludah dan memandang takut pada sosok laki-laki dewasa di hadapannya.
Papanya.
“Masuk ke mobil!” perintah Papanya. Laki-laki
itu berbalik badan hendak melangkah pergi.
“Emangnya kenapa Via gaboleh deket-deket sama
saya? Saya gak hepatitis-an kok, Om.” Sahut Gabriel tiba-tiba tanpa diduga. Via
menoleh shock ke arahnya lalu meringis pelan. Kata-katanya sih seperti
bercanda, namun dari nada suara hingga ekspresi wajahnya, Gabriel sungguh jauh
dari kata bercanda.
Papa Via berbalik badan dan menatap Gabriel
dengan alis menyatu. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal kuat. Keduanya
saling beradu tatap menantang tanpa ada satu pun yang berniat mengalihkan
pandangan. Via sampai keringat dingin berdiri di tengah-tengah menyaksikan
mereka berdua. Aduh, ada apa ini sebenarnya? Ia tidak pernah melihat Papanya
bersikap seperti itu, begitu pula Gabriel. Ia tidak pernah melihat Gabriel
sesinis itu. Apalagi...pada Papanya!
“E—ehm. Yel, gue pulang dulu—ya! Pa, ayok!” sela
Via karena sudah tak tahan dan takut sampai terjadi hal-hal yang tidak ia duga
pun inginkan. Ia menggamit lengan Papanya dan menariknya untuk pergi dengan
sedikit memaksa.
Papa Via terkesiap dan langsung merubah ekspresi
wajahnya menjadi tenang. “Jauhi saja anak saya.” Katanya tenang namun otoriter.
Gabriel tidak bereaksi apa-apa, hanya menatap datar laki-laki di depannya yang
mulai melangkah menjauh. Ia menghela napas ketika mobil Papa Via sudah
melenggang dari gerbang sekolahnya.
***
Gabriel baru saja sampai dan berjalan masuk ke
dalam rumah. Moodnya bisa dibilang berantakan. Kepalanya lumayan mumet
memikirkan Via dan Papanya. Bukan karena larangan Papa Via terhadapnya, tapi
lebih kepada diri laki-laki itu sendiri. Sesuatu yang tidak beres yang
diketahuinya tentang laki-laki itu.
“Abang sudah pulang?” Mamanya tiba-tiba muncul
dari ruang ke tengah dan berjalan mendekat ke arahnya dengan senyum sumringah. “Eh,
kenapalah muka’ mu tu? Macam abis dikejar begu,” kata mamanya lagi dengan logat
batak kental. Ia hanya tersenyum tipis lalu mengangkat bahu.
“Ha! Pasti karena Prissy, kan? Udalah, kelen s-top
lah marah-marahnya. Sana, selesaikan masalahmu berdua!” Mamanya mengusap
bahunya sesaat lalu mengacungkan dagunya ke arah ruang tamu. Tepatnya salah
satu sofa yang diduduki seorang gadis yang menatapnya kikuk. Pricilla.
Gabriel berjengit kaget lalu mendengus kesal.
Untuk apa Pricilla datang lagi ke rumahnya? Bukannya kemarin mereka sudah
sepakat tidak berhubungan lagi? Jadi sekarang ceritanya mau manfaatin Mama?
Tapi...kayaknya dia juga ada manfaatnya, deh.
Gabriel langsung memajang senyum manis di
wajahnya. Baru selangkah berjalan, ia kemudian berhenti dan berbalik menatap
mamanya. “Mama masuk kamar sana! No ligi-ligi, no bege-bege!” *ligi=lihat
*bege=denger
Mamanya merengut enggan tapi mau tak mau
akhirnya pergi meninggalkan Gabriel dan Pricilla. Gabriel lalu berjalan kembali
menuju dimana Pricilla berada. Gadis itu tersenyum manis padanya ketika mereka
sudah duduk berhadapan.
“Hai!”
***
“Kamu mau diantar ke rumah atau ke rumah sakit?”
Via menoleh ke arah Papanya yang menyetir di
sebelahnya. Laki-laki itu mengajaknya bicara tapi sedetik pun tidak pernah
menoleh ke arahnya. Via menghela napas pelan. “Ke rumah sakit aja, Pa.”
Jawabnya.
Ia mencuri-curi pandang lagi pada Papanya. Ada
apa sebenarnya antara Gabriel dan Papanya? Kenapa mereka berdua langsung tak
akur begitu padahal baru satu kali bertemu? Atau jangan-jangan mereka malah
sudah saling mengenal? Ah, tapi, tidak mungkin. Darimana mereka bisa kenal?
Atau mungkin, Papanya bersikap begitu karena sedang ada masalah? Ah, apa
mungkin masalah itu berkaitan dengan Mama? Nah, dan itu sebabnya Mama sampai
harus dilarikan ke rumah sakit?
“Papa...lagi ada masalah ya...sama Mama?” Via
akhirnya memberanikan diri bertanya. Rasa penasarannya sudah tidak bisa
ditahan. Di hati kecilnya, ia berharap sikap tidak suka Papanya terhadap
Gabriel itu memanglah hanya pelampiasan akan masalahnya, bukan karena hal lain.
Artinya, rasa tidak suka itu hanya sesaat. Di kemudian hari Papanya akan bisa bersikap
bersahabat dengan Gabriel.
Via memperhatikan kalau-kalau ada sedikit saja
perubahan ekspresi di wajah Papanya. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak
terjadi. Air muka Papanya tetap begitu-begitu saja. Datar seperti biasanya.
“Enggak. Kenapa?”
“Eng—enggak. Via nanya aja.” Via menggeleng
cepat lalu kemudian memalingkan wajahnya menatap ke arah jendela di sampingnya.
Ia langsung menghela napas kecewa. Ekspresi Papanya membuatnya putus asa dan
memutuskan lebih baik ia tidak bertanya lagi. Karena percuma, Papanya mana
mungkin mau berkata jujur apalagi berbagi padanya. Papanya terlalu introvert
dan sulit dibaca apalagi dimengerti.
Mereka kemudian saling diam. Beberapa menit waktu
berjalan hanya diisi kebisingan di jalan raya yang samar-samar terdengar dari
dalam mobil. Hingga kemudian Papa Via kembali angkat bicara. “Papa serius soal
Gabriel. Kamu jangan lagi deket-deket sama dia.” Katanya. Lagi-lagi nada
suaranya langsung berubah dingin kalau sudah berhubungan dengan Gabriel.
Via mengernyit heran. “Via sama Gabriel cuma
temenan, Pa. Temen sekelas. Susah kalo harus jauhan.”
“Kamu...jangan sampai punya hubungan khusus sama
dia. Papa ga akan ngebolehin kamu sama dia.”
Via mendesah frustasi. Benar-benar tak mendapat
ide ada apa sebenarnya antara Gabriel dan Papanya. “Memangnya kenapa sih, Pa?!
Kenapa Via gaboleh deket-deket sama dia? Selama ini dia selalu baik sama Via.
Gaada yang keliatannya gak beres sama sikapnya. Kalo itu Papa gaperlu
khawatir.” Suaranya sempat meninggi karena kesal. Namun, kemudian menormal
dengan sendirinya.
“Papa lebih tau dia daripada kamu, Vi! Jadi
ikuti aja apa yang udah Papa perintahkan sama kamu. Ini demi kebaikan kamu!”
balas Papanya yang ikut-ikutan meninggikan suara.
Via sampai harus menarik napas melihat Papanya
hampir membentaknya seperti itu. “Kebaikan apa, Pa? Ya ampun, Via belum mau
nikah loh, Pa. Via masih sma!”
“Kalo kamu deket sama cowok lain Papa ga peduli
tapi kalo sama dia Papa gak akan ngasih lampu hijau buat kalian.” Papa Via
meremas stir dengan wajah menegang.
Via sendiri termangu mendengar ucapan Papanya
barusan. Apa ia tidak salah dengar? Papanya bilang tidak akan peduli?
Maksudnya?
“Jadi selama ini siapapun orang di sekitar Via
Papa gak peduli?” tanyanya seraya tertawa sarkastis lalu menggelengkan kepala
melihat Papanya diam tanpa menjawab. “Emangnya apa sih yang salah sama Gabriel?”
Gumamnya terheran-heran, lebih kepada dirinya sendiri.
Mobil Papanya tiba-tiba berhenti. Papanya
berkata untuk terakhir kali sebelum ia keluar dari mobil. Dan sampai selesai
berucap pun Papanya tidak menoleh ke arahnya. “Kita udah sampe di rumah sakit.
Dan inget apa yang Papa perintahkan ke kamu soal Gabriel. Rasanya bukan masalah
besar buat kamu.”
Via mendengus seusai mobil Papanya melesat
pergi. Masalahnya adalah...aku tuh udah terlanjur jatuh cinta sama Gabriel, Pa!
Terserah lah, Via gak peduli, Pa. Sama kek Papa yang ga pernah peduli sama Via...juga
Mama. Via cuma bisa berharap jangan sampe Via benci sama Papa. Jangan sampe.
***
Via
menutup pintu begitu pelan, takut-takut mengganggu Mamanya yang sedang
istirahat.
“Via? Yang datang kamu ya, Sayang?” suara lirih
Mamanya tiba-tiba menyambutnya. Via jadi merasa gundah. Apa suara pintu masih
terlalu keras sehingga Mamanya terbangun? Pikirnya.
“Iya, Ma..” balasnya seraya berjalan cepat mendekati
ranjang Mamanya. Ia merengut merasa bersalah. “Mama kebangun gara-gara Via?”
Mamanya tersenyum dan menggeleng lemah. Wajah
wanita itu masih terlihat pucat meski tidak sepucat saat hari pertama dirawat
ke rumah sakit. Ia mendesah lega. Setidaknya, keadaan Mamanya mulai membaik. Ia
kemudian duduk, menyedekap tangannya di atas kasur lalu menumpu dagu. “Mama
sembuh dong! Via kan gaada temen,” Ia menggerutu kecil.
Fira tersenyum geli lalu mengusap-usap kepala
anaknya itu. “Gimana sekolah kamu akhir-akhir ini?”
Via mendesah. “Yang jelas Mama ga perlu
khawatir.” Fira tersenyum lagi. “Iya, sih. Kamu kan belum pernah ngecewain Mama
kalo soal itu.”
Sejenak hening menyelinap di antara mereka
berdua. Via ingin sejenak menenangkan pikirannya melalui belaian Mamanya.
Begitu pula Fira. Ia ingin melampiaskan kerisauan dalam hatinya dengan hanya
membelai sayang anak gadis satu-satunya yang paling ia cintai itu. Yang tanpa
mereka ketahui, hal yang sama lah yang mengganggu mereka berdua.
“Ma?” gumam Via. Fira berdehem menjawab. Via
menghela napas singkat. “Salah gak sih Via pengen punya Papa kayak Om Ferdi?”
Selang beberapa detik, Fira mematung. Gerakan
tangannya sempat berhenti lalu kemudian ia tersadar. Ini pertama kalinya Via
mengeluh soal Papanya. Memang selama ini ia tahu kalau Via tak jarang merasa
sedih mendapat perlakuan kaku bahkan dingin dari Papanya. Tapi, anaknya itu
tidak pernah sepatah kata pun menyuarakannya padanya. Dirinya juga begitu.
Sekian tahun menghadapi suaminya yang seperti itu. Kadang ia merasa ia dan Via
sama-sama ingin bicara tapi mereka tidak bisa. Mereka enggan saling berbagi
karena takut hanya akan menambah kesedihan satu sama lain. Alhasil mereka hanya
saling bicara dan mengerti dalam diam. Saling menumpahkan kesedihan dalam diam.
Saling menguatkan dalam diam seperti beberapa saat lalu.
Lalu...ia harus jawab apa sekarang? Haruskah ia
bilang ‘Iya, Mama juga pengen punya suami kayak Papanya Ify’? Atau ia harus
menginkari kebenaran yang ada dengan membela suaminya di depan Via?
Mengarang-ngarang kebaikan tentang suaminya untuk menghibur Via? Hiburan yang
lebih seperti khayalan bagi Via.
“Kamu...”
“Aiss..lupain aja ya, Ma. Hehe..” Via menyahut
cepat seraya terkekeh pelan memotong ucapan Fira. Fira merasa antara lega dan
tidak lega. Ia lega karena tidak harus kebingungan menanggapi ucapan Via nanti.
Namun, ia juga tidak lega karena membiarkan Via lagi-lagi mendera batin seorang
diri. Ia tersenyum lirih.
“M—Papa udah jenguk Mama belom?” tanya Via
kemudian. Fira menggeleng ragu. “Belum..emangnya Papa udah pulang ke rumah?” Ia
lalu balik bertanya dan agak kaget. Via sedikit mengangkat kepalanya lalu
terdiam.
“Be—belum? O—oh...ya..Papa juga belum
pulang..kok.” gumamnya tersendat-sendat. Sekilas Fira menatapnya bingung tapi
kemudian berubah biasa dan memilih terus mengusap kepalanya.
Via rasanya hampir gila dengan pikirannya.
Kenapa Papanya berbohong? Mana setelah itu laki-laki itu bilang tidak peduli
padanya? Uhuh...I just started hating you..Dad!
***
Via meremas tali tas sekolahnya sambil memandang
gedung tinggi menjulang di depannya. Setelah sekian lama akhirnya ia
menginjakkan kaki lagi di tempat ini. Di perusahaan Papanya. Ia melangkah masuk
ke dalam lift. Ruang kerja Papanya
berada di 2 lantai paling atas. Ia mendadak merasakan degdegan karena akan
bertemu Papanya. Ia sebenarnya tidak tahu kenapa ia tiba-tiba ingin berkunjung
ke sini. Ia juga tidak tahu apa yang akan ia ucapkan nanti pada Papanya itu.
Tapi, sudah kepalang tanggung kalau ingin pulang.
Ting!
Pintu lift terbuka dan Via langsung melangkah
keluar. Ia berhenti sejenak memperhatikan sekitarnya. Tidak banyak yang
berubah. Matanya langsung berhenti pada sebuah ruangan yang bertuliskan
‘General Manajer’ di badan pintunya. Via menelan ludahnya seraya meyakinkan
diri. Rasanya seperti akan ikut tes polisi saja gugupnya. Perlahan kakinya
melangkah mendekat hingga sampai di depan pintu. Ia baru akan memutar gagangnya
ketika mendengar percakapan dari dalam. Percakapan yang langsung membuatnya
membeku. Terutama saat ia mendengar Papanya...tertawa.
“Udah Mama tebak Papa pasti belum makan. Kenapa
sih Papa masih bandel aja? Gak mau panjang umur?” terdengar suara wanita yang
menyebut ‘Papa’. Semoga saja itu bukan untuk...
“Haha. Mama takut banget kehilangan Papa
emangnya?”
...Papanya. Sialan. Itu memang untuk Papanya.
Lalu, siapa yang dipanggil Papanya dengan sebutan ‘Mama’ itu? Mamanya kan
sedang terbaring di rumah sakit. Apa ruh Mamanya berkelana kemari? Tidak
mungkin. So, you’re cheating, Dad? Apa itu juga yang bikin Mama masuk rumah
sakit? Brengsek. Setelah lama sabar ngadepin sikap dia selama ini sama gue,
sama Mama, dia bales gini? Bahkan dia gak pernah senyum sama gue. Sekarang dia
bahagia banget ketawa sama selingkuhan.
Via mengerang geram dalam hati. Ia menarik napas
lalu menghembusnya perlahan berusaha menahan emosinya. Ia memutar pelan kenop
di tangannya dan membuka pintu lebar-lebar. Ia dapat melihat Papanya yang
awalnya bingung langsung berubah kaget lalu kemudian memandangnya tajam. Ia
tersenyum miring apalagi setelah melihat perempuan paruh baya seumuran Mamanya
yang duduk di depan Papanya menoleh ke belakang melihatnya. Perempuan itu
tampak lebih kaget dari Papanya. Perempuan yang menurutnya bahkan tidak lebih
cantik dari Mamanya berani-beraninya mencoba menyakiti Mamanya. Lihat saja, ia
tidak akan diam. Setidaknya saat ini ia harus sedikit membalas.
“Tante selingkuhan Papa nomer berapa?” tanyanya
sarkastis. Perempuan itu menatapnya bingung dan lagi-lagi kaget. “Ma—maksud
kamu?”
Ia melirik Papanya yang mengepal tangan menahan
amarah. Ia tersenyum senang melihat itu. “Kasian banget sih, Tan. Pasti kena
bohongin Papa juga ya? Asal Tante tau ya, Tante bukan orang pertama yang di
panggil Mama sama Papa. Bahkan kemaren ada yang Papa panggil honey. Dan dia
hampir seumuran sama aku. Lebih tua beberapa taun lah. Cewek-cewek di kantor
ini jangan Tante kira gak pernah main-main sama Papa. Malah kemaren ada yang
minta tanggung jawab sama Papa karena dihamilin. Minta dikawinin tapi—”
“Via, CUKUP!” bentak Papanya. Via tertawa sinis
melihat wajah Papanya yang merah padam. Sementara perempuan paruh baya itu
terlihat shock dan sedih menatap Papanya.
“Itu bener, Pa?” tanya perempuan paruh baya itu
dengan suara bergetar.
“Sebaiknya kamu pulang sekarang.” Usir Papanya
tanpa memedulikan perempuan yang hampir menangis di depannya.
“Makanya Tante jadi selingkuhan jangan bego-bego
amat. Jadi selingkuhan orang yang setia sama selingkuhannya dong. Selingkuhan
diselingkuhin. Lucu banget.” Sementara Via terus berkata tanpa memedulikan
Papanya.
“VIA!” Papanya membentak lagi. Via yang biasanya
takut kini berubah menjadi sangat berani. Ia balas menatap Papanya tajam dan
penuh kebencian. Jika memang sudah tidak menginginkan Mamanya kenapa tidak
langsung melepas Mamanya saja? Kenapa harus membiarkan ia dan Mamanya menderita
lama-lama? Memang benar-benar tidak punya perasaan.
“Papa akan suruh supir buat nganter kamu
pulang.” Ujar Papanya kemudian sambil membuang muka. Via melengos sinis. “Gak
perlu. Gak sudi naik mobil yang sering dinaikin selingkuhan Papa.” Ujarnya lalu
berbalik badan segera. Ia menutup pintu dengan keras lalu segera pergi dari
tempat yang menurutnya hina ini. Rasanya hari ini ia sudah puas. Tapi bukan
berarti ia cukup puas sampai disini. Ia tidak akan diam pada orang-orang yang
sudah menyakiti dirinya dan Mamanya. Ia lantas masuk ke dalam lift.
Ting!
Pintu lift terbuka lagi. Via yang hendak
melangkah tiba-tiba mematung melihat pemandangan di depannya. Dua orang
muda-mudi yang terlihat seperti sepasang kekasih karena sang gadis menggamit
lengan sang pemuda. Pricilla dan Gabriel. Via mengingat-ngingat lagi hari apa
ini. Kenapa rasanya ia benar-benar sial? Dosa apa yang telah ia lakukan hari
ini sampai-sampai mendapat kesialan beruntun?
Gabriel tampak sibuk dengan gadgetnya sehingga
tidak melihat dirinya yang berdiri dalam lift. Ia melangkah satu-satu keluar
dari lift ketika Pricilla dan Gabriel berjalan masuk ke dalam. Pricilla
tersenyum menang ke arahnya. Ia diam sesaat memperhatikan hingga pintu lift
tertutup. Saat pintu sedikit lagi hendak tertutup Gabriel mengangkat wajahnya
dan entahlah apa pemuda itu sempat melihatnya. Ia tidak ingin tahu. Ia langsung
berlari pergi menuju parkiran dan Tuhan menolongnya karena tiba-tiba ada taksi
kosong berhenti di depan sana. Tanpa pikir panjang ia langsung menaiki taksi tersebut.
Di dalam taksi ia hanya diam termenung menatap
jendela. Supir taksi sampai kebingungan karena tidak tahu Via ingin diantar
kemana. Via sudah tidak tahu lagi ia ingin apa sekarang. Marah mengetahui kalau
Papanya selama ini selingkuh atau tertawa karena sudah setidaknya merusak
hubungan mereka berdua atau ia harus menangis karena baru saja mengetahui kalau
Gabriel selama ini membohonginya. Bilang kalau sudah putus dengan Pricilla tapi
malah jalan bergandengan berdua ke perusahaan Papanya. Eh tapi, untuk apa
mereka kesana? Ah sudahlah, ia sudah tidak sanggup memikirkan itu lagi.
Ia meraih ponselnya lalu mencari sebuah nama di
ponselnya lalu menempelkan benda itu ke telinganya. “Halo, Fy, lo di mana?...Lo
malem ini pulang ke rumah lo ya, gue pengen nginep. Agni sama Shilla juga bakal
gue suruh nginep...Gue gak mau tau pokoknya lo harus pulang!” Via memekik cukup
keras dan langsung mematikan sambungan telepon. Ia memasukkan ponselnya ke saku
roknya. Namun baru beberapa saat ponselnya kembali berbunyi. Ia merogoh benda
itu kembali dan seketika terdiam.
Gabriel’s calling...
Sebagian hati kecilnya menyuruhnya mengangkat
tapi sebagian lagi menyuruhnya mengabaikannya saja. Sempat berperang batin
akhirnya ia mematikan ponselnya dan mencabut baterai yang terpasang. Ia lalu
memasukkan semuanya ke dalam tas asal-asalan. Ada bagusnya ia tidak berhubungan
dengan pemuda itu dua harian ini. Untunglah besok dan lusa hari libur jadi ia
juga tidak harus bertemu dengan Gabriel di sekolah. Lagian, ia pasti akan
ditertawai kalau sampai pemuda itu tahu jika ia amat sangat marah melihatnya
jalan dengan orang lain. Siapa dirinya? Ia tidak berhak marah meski ia tidak
dilarang untuk marah. Gabriel kan bilang cintanya sama Zaza, bukan sama gue.
Gue kan cuma...dianggap adek. Haha.
***
Via tersenyum senang ketika melihat Ify sudah
tiba di rumahnya, bersamaan dengan itu datang pula Agni dan Shilla. Tapi ia
agak bingung kenapa Rio ikut-ikutan datang dan menginap pula. Ia sedikit banyak
kesal karena pemuda itu mengingatkannya pada Gabriel. Tujuannya kemari kan
untuk melupakan pemuda itu tapi malah sejak awal diingatkan begini.
“Awas aja kalo ntar lo cerita soal gak penting!
Ini gue bela-belain naik motor sendirian, malem-malem lagi, mana tadi nyokap
masak enak dan gue ga sempet makan banyak. Demi lo nih, Vi!” sewot Agni ketika menghempas
tubuhnya di kamar Ify. Via hanya nyengir dimarahi seperti itu.
“Yaudah, lo minum dulu nih. Biar hati lo dingin
kayak minumannya.” Ujar Ify ketika Bi Siti datang membawa beberapa gelas jus
jeruk untuk mereka. Mata Agni langsung berbinar cerah. “Nah ini yang gue mau!”
serunya dan langsung meneguk habis segelas jus yang dibawa Bi Siti itu. Ia
lantas mendesah lega. Via dan yang lain hanya geleng-geleng kepala.
“Kalo Rio nginep disini juga, kita tidurnya
gimana, Fy? Masa satu kasur berempat sempit-sempitan?” Shilla yang daritadi
diam akhirnya bicara.
“Lo pada ngomongin gue?” Rio tiba-tiba sudah
berdiri di depan pintu. Ia berjalan mendekati Ify yang sedang bersandar di
badan lemari dan tersenyum sekilas pada gadis itu. Ify hanya membalas dengan
senyum malu-malu. Via mengerutkan keningnya. Hanya perasaannya saja atau memang
ada yang aneh dengan mereka berdua? Ia mengalihkan pandangannya dan tak sengaja
bertatapan dengan Agni yang memasang tampang curiga sama seperti dirinya. Tuh
kan, pasti Agni juga merasakan keanehan seperti yang ia rasakan.
“Lagian lo deh, Yo! Kenapa pake ngikut segala,
sih?!” sewot Via beralih sejenak dari spekulasinya tentang Rio dan Ify.
“Gue tuh disini jagain lo pada. Lo kan cewek
semua jadi harus ada cowok yang jagain.” Jawab Rio cuek.
“Lo gak niat macem-macem sama kita, kan?” Agni
bertanya sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Rio.
“Ya enggaklah! Tapi kalo lo semua yang minta sih
gue hayuk-hayuk aja.” sahut Rio asal. Ify yang berdiri di sebelahnya lantas
mencubit pelan pinggangnya. Ia lantas menyengir ria.
Via dan Agni langsung bertatapan lagi.
Kecurigaan mereka terasa semakin kuat.
“Becanda, Sayang!” ujar Rio sambil terkekeh
pelan.
Seketika Agni, Shilla dan Via berteriak kaget.
“HAH?!” Mereka lalu bertatapan satu sama lain lalu kembali memandang Rio dan
Ify. Rio memasang tampang heran sementara Ify meringis sambil menggaruk-garuk
pelipisnya. “Kan udah gue bilang manggilnya Ify aja, Yo!” Ify berbisik pelan
meski tetap bisa terdengar oleh ketiga sahabatnya yang sedang shock di
depannya.
“Lo berdua..udah..lo berdua pacaran?!” tanya
Agni dengan nada tak percaya.
“I—ya?” Rio menjawab dengan nada bertanya.
Agni, Via dan Shilla berpandangan lagi dan
kemudian serentak bertatapan misterius. Mereka menganggukkan kepala bersamaan
lalu tiba-tiba berlari ke arah Rio dan Ify. Agni dan Via memegang Rio sementara
Shilla menarik Ify keluar kamar lalu menutup pintu serta menguncinya dari dalam
agar Ify tidak bisa masuk. Mereka kemudian mendudukkan Rio di atas tempat tidur
dengan sedikit pemaksaan karena pemuda itu beberapa kali berontak. Sementara
mereka berdiri berjajar di depan pemuda itu, memandangnya dengan tatapan
mengintimidasi.
“Lo bertiga apaan, sih?” Rio menggerutu tak
terima.
“Kita cuma mau nanya beberapa hal sama lo.”
Balas Agni datar.
“Iya! Kita cuma mau memastikan Ify berada di
tangan orang yang tepat atau enggak.” Tambah Via. Sementara Shilla hanya
mengangguk-anggukkan kepala setuju.
“Pake cara yang lebih manusiawi dikit bisa kali,
kan? Gak perlu tarik-tarik dorong-dorong kek gini. Ini namanya pemaksaan dan
penganiayaan!”
“Hzz..terserah lo deh ya! Gausah banyak protes!
Sekarang gue tanya, lo beneran pacaran sama Ify?” Tanya Agni langsung. Rio
menghela napas. “Kan udah gue bilang tadi, iya, gue pacaran sama Ify.”
“Sejak kapan?” tanya Agni kembali. “Tadi sore.”
“Kenapa lo sama Ify bisa pacaran?” Kali ini Via.
Rio mencibir mendengar pertanyaan itu. “Harus itu gue jawab? Lo gak bisa jawab
sendiri? Apalagi alasan orang buat pacaran kalo gak saling cinta?”
Shilla lalu ikut-ikutan menimpali. “Bukannya lo
masih cinta sama si Acha-Acha itu?”
“Udah enggak. Sekarang gue cintanya sama Ify.” jawab
Rio lagi sambil tersenyum kecil. Agni mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk
sambil memperhatikan Rio lamat-lamat. “Bener..lo cinta sama Ify? Lo gak lagi
mainin dia kan?”
Rio kembali mencibir. “Lo semua sama Ify sama
ya, sama-sama ngeyel. Kan udah gue bilang iya tadi. Kenapa sih? Emang sesusah
itu percaya kalo gue cinta sama Ify?”
“Salahin sikap lo selama ini ke Ify yang ngebuat
kita jadinya susah percaya. Lo kan jahatnya minta ampun. Baru sekarang-sekarang
aja keliatannya mulai insap. Masih keliatannya ya, lo jangan seneng dulu!” Via
menyahut jengkel.
“Yaudah, sorry deh. Gue akuin emang semua salah
gue. Tapi yang terpenting yang perlu lo tau dan harus lo pada percaya adalah
gue bener-bener cinta sama Ify.” ujar Rio sungguh-sungguh.
Agni, Shilla dan Via berpandangan kembali. Agni
menggerakkan dagunya seakan bertanya ‘gimana?’. Via melirik Rio dan
memperhatikan pemuda itu sekali lagi. Shilla berbisik pada Agni. “Kayaknya dia
beneran sih..” Via lantas hanya mengedikkan kepala. semoga saja Rio memang
bersungguh-sungguh. Awas saja kalau berani menyakiti sahabat tersayangnya itu.
Lo bakal gue cincang-cincang trus gue campur boraks abis itu gue goreng dan gue
jual ke orang-orang ntar, Yo! Batinnya.
“Yaudah, kita percaya sama lo. Tapi, awas aja
kalo lo berani buat Ify nangis! Semili aja, lo bakal...” Agni berhenti
berbicara dan memandang kedua temannya lalu kembali pada Rio. Ia, Via dan
Shilla melakukan gerakan memotong leher bersamaan sambil menghunuskan tatapan
ganas yang membuat Rio berjengit ngeri.
“Iya, lo semua tenang aja. I’ll always treat her
right. Oke?”
***
Rio sudah selesai di introgasi dan sudah
berhasil dipisahkan dari Ify. Awalnya Rio ingin ikut bergabung mengobrol tapi
pemuda itu langsung diusir oleh Agni, Via dan Shilla. Ify sendiri pasrah dan
memilih golput saja(?) karena bingung harus memilih siapa.
Shilla berbaring terkurap di atas kasur sambil
membaca majalah sekaligus mendengarkan Via curhat. Agni bergumul dengan psp
sementara Ify asyik memakan snack-snack yang dibawa Shilla. Suasana di antara
mereka awalnya tenang-tenang saja. Lalu kemudian Via mengatakan sesuatu yang
membuat mereka amat sangat terkejut.
“WHAT?! Papa lo selingkuh?!” ujar mereka kompak.
“Lo tau darimana?” tanya Shilla antusias,
sekilas mengalihkan fokus dari majalahnya. Via mendengus sinis. “Tadi sore gue
datengin kantornya. Ketemu deh sama mereka yang lagi asyik duduk sambil lunch
bareng. Pantesan aja Mama masuk rumah sakit. Dan lo tau gak, mereka manggil
‘Papa-Mama’! Pfft..berasa abg aja. Gak sadar udah pada keriput.”
“Lo kenal sama selingkuhan Papa lo itu?” Kali
ini Ify bertanya sambil memasukkan sebiji ball snack rasa coklat yang dibawa
Shilla, ke dalam mulutnya. Via menggeleng. “Dia beruntung karena udah ibu-ibu.
Kalo sempat masih muda, udah gue jambak-jambak rambutnya!” ujarnya
menggebu-gebu sambil menirukan gerakan mencakar. Namun kemudian ia terdiam dan
ekspresinya langsung berubah lesu. Ia ingat kalau setelah bertemu Papanya dan
selingkuhannya, ia bertemu Gabriel..dan juga Pricilla.
“Udah, Vi, gausah sedih gitu deh! Biasanya lo
gak pernah mellow-mellowan juga. Selama ini kan lo udah terbiasa sama sikap
Papa lo. Gue yakin Tuhan udah gamau liat lo sama Mama lo sakit hati lama-lama makanya
dia nunjukin itu semua sama lo.” Agni menyahut ketus meski sebenarnya bermaksud
baik. Ia kembali memusatkan pikiran pada pspnya. Ia memang jarang berkata lemah
lembut dalam hal ‘menghibur’. Apalagi dengan Via yang sama-sama nyolot
sepertinya. Ia paling anti melankolis, tidak suka mewek-mewekan, sedih-sedihan
atau apalah. Ia lebih senang mengejek atau marah-marah. Niatnya sih memotivasi
supaya mereka tidak sedih lagi. Kata-katanya selalu ceplas-ceplos. Meski terkadang
membuat kesal, tapi memang kebanyakan membantu.
“Ih, males banget! Gue sedih bukan karena Papa
keles!” bantah Via mentah-mentah.
“Oh, bagus kalo gitu. Trus lo sedih karena apa?”
“Abis gue ketemu Papa, tiba-tiba pas di lift gue
ketemu Gabriel juga disana. Dan dia gak sendirian. Dia jalan berdua sama yang
kata dia mantannya. Bilangnya mantan, bilangnya ga suka tapi gandengan. Cih!”
“Gabriel liat lo juga?” tanya Shilla. Via
mengedikkan bahu. “Waktu itu dia lagi nunduk, sibuk sama hape. Pas pintu udah
mau ketutup baru dia ngangkat kepala. Tau deh dia liat gue atau enggak. Moga
aja enggak deh, jadi gue bisa lebih mudah ngejauhin tuh orang. Tapi gak lama
setelah itu dia nelpon gue, sih.”
“Lo angkat?” Kembali Agni. Via menggeleng pelan.
“Sampe sekarang dia masih nelpon lo atau sms atau apa kek gitu?” sahut Shilla.
Via kembali menggeleng dan meringis. “Gue langsung matiin hape waktu dia
pertama kali nelpon. Hehe.” Ujarnya seraya garuk-garuk kepala.
“Yah! Coba gak lo matiin kan kita bisa mastiin.”
Sahut Shilla lagi.
“Gue rasa sih dia ngeliat lo. Tapi, yang jadi
pertanyaan sekarang itu kenapa Gabriel datang ke kantor bokap lo. Dia pernah
cerita gak sama lo misalnya dia kenal Papa lo gitu? Atau dia udah pernah ketemu
Papa lo belom?” Kembali ke Agni.
“Dia sih gak pernah cerita apa-apa. Dia emang
udah pernah ketemu Papa gue. Trus..mereka aneh gitu. Gue gak ngerti kenapa.
Papa, gue tanya gamau jawab. Gabriel, gue malah belum sempet nanya. Dan
kayaknya gue gabakal bisa nanya karena kejadian di kantor tadi.”
“Aneh gimana?” Ify yang daritadi diam lalu
menyahut. “Ya..aneh. Pas ketemu, mereka langsung dingin gitu. Kayak langsung
sama-sama ga suka. Dan...Papa nyuruh gue ngejauhin Gabriel. Aneh banget, kan?”
“Saran gue sih, kalo bisa lo tetep jaga hubungan
baik sama Papa lo. Gue tau gak mudah apalagi setelah lo tau buruknya dia. Tapi,
yah, dia tetep orangtua lo. Dia tetep harta berharga lo. Ibarat berlian,
sejelek apapun bentuknya, mau abis dijilat anjing kek, kecebur septic tank kek,
kesirem lumpur lapindo mungkin, sekotor-kotornya dia tetep aja berharga. Gak
perlu muluk-muluk, saling tukar senyum doang udah cukup. Selanjutnya urus
urusan masing-masing.” Ify berkata panjang lebar dengan mata menerawang sambil
terus memakan ball snack di tangannya. Berbicara tentang Papa mengingatkannya
pada Ferdi.
Via hanya diam tanpa menjawab dan ikut-ikutan
menerawang. Memikirkan ucapan Ify baik-baik.
“Kalo gue coba tebak, Gabriel sama Papa lo
kayaknya udah saling kenal. Ditinjau dari cerita lo. Kalo lo gamau penasaran ya
lo mesti tanya sama dia. Jangan ngarep buat nanya sama Papa lo. Lo udah tau
Papa lo pasti ga bakal buka mulut.” Agni menyahut dengan muka serius.
Via memberengut lalu menekuk lututnya. Ia
merebut snack yang tengah di makan Ify dan memakannya asal-asalan. Ify hanya
mengedikkan bahu lalu memilih mengambil snack yang lain. “Gue lagi males ketemu
sama dia untuk beberapa saat ke depan. Gue pasti bawaannya bakal kesel mulu dan
dia pasti bakal nanya kenapa. Nah, gue gamau dia nanya karena gue gatau harus
jawab apa.”
Baik Agni, Shilla maupun Ify tidak ada yang
menjawab. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Via kemudian berbicara
kembali. “Maka dari itu, lo semua jangan bilang sama siapa-siapa ya soal
Gabriel! Lo, Shilla, jangan bilang sama Alvin, mentang-mentang baru baikan. Fy,
jangan bilang sama Rio, mentang-mentang baru jadian.”
Ify terlihat tersipu saat Via menunjuk ke
arahnya dan mengungkit masalah jadiannya dengan Rio. Terakhir Via menunjuk ke
arah Agni dan langsung membuat gadis itu salah tingkah. “Dan lo, jangan bilang
sama Cakka. Mentang-mentang lagi pedekate.”
“A—apa sih! Siapa lagi yang pedekate!” Agni
dengan gelagapan membantah. “Ya ya ya bilangnya enggak tau-tau seminggu lagi
jadian. Terserah deh pokoknya jangan bilang sama siapa-siapa. Kalo Gabriel
nanya gue dimana bilang aja gatau. Kalo-kalo, sih.” Balas Via cuek.
“Iya, iya.” Ify, Shilla dan Agni menjawab
kompak. Mereka langsung menatap satu sama lain dengan bingung lalu kemudian
serempak tertawa. “Lo pada sadar gak sih, udah lama ya kita gak ngumpul trus
curhat-curhat bareng kek gini? Kangen deh gue.” ujar Shilla.
“Pada sibuk sama cowok masing-masing, sih.” Ify
menyeletuk spontan. Ketiga sahabatnya langsung menatapnya geli. “Cieh! Tau deh
yang sekarang udah punya cowok! Haha!” ledek Agni diikuti tawa renyah Via dan
Shilla. Ify merengut malu dan seketika menyesali ucapannya barusan. “Kayak lo
enggak aja!” balasnya.
“Emang gue enggak tuh!”
“Apaan yang enggak! Jelas-jelas kemaren lo pergi
nonton sama Cakka. Berdua doang!”
“Mm—itu..karena ditraktir! Lagian cuman upah
karena dia udah nganterin gue pulang, kok.”
“Cie yang dianterin pulang!” Shilla angkat
bicara dan berbalik meledek Agni. Agni langsung salah tingkah. “Heh, heh!
Jangan ngomongin soal cowok di depan gue deh! Panas nih panas.” Sewot Via.
Shilla langsung menepuk-nepuk punggung Via sambil memasang wajah simpati palsu
lalu tertawa. “Duh kasian temen gue yang kena friendzone. Jodoh pasti bertemu
kok, nak. Masih banyak ikan di laut. Tiang jemuran juga masih banyak. Hahaha!”
Via mencibir sinis. “Menang banyak ya lo, Shill.
Udah nelpon Alvin belom? Periksa gih, pastiin dia tidur di kamarnya bukan di
kamar Febby.”
Tawa Shilla dalam sekejab surut dan wajahnya
langsung merengut. “Lo mah tega..” rengeknya. Agni, Via dan Ify langsung bertos
ria dan tertawa puas melihat Shilla cemberut.
“Tapi gue bahagia karena punya sahabat-sahabat
kayak lo semua.” Ujar Via setelah tawanya redam. Agni memutar kedua bola matanya
malas. “Plis deh, Vi!”
Via langsung memasang tampang semenyedihkan
mungkin. “Lo gak bahagia punya sahabat kayak gue?” Agni mendengus keras sambil
menghempas pspnya di atas kasur. Ia menegakkan tubuhnya dan duduk menghadap
Via.
“Gue bahagia kok, Via. Bahagia banget punya
sahabat cerewet bin nyablak bin nyolot sekaligus sering nyusahin kayak lo!”
katanya mengharu biru. Mereka berpelukan sesaat sambil pura-pura sesenggukan
lalu kemudian tertawa lagi.
Via dalam hati bernyukur ia bisa bertemu dengan
makhluk-makhluk nan ajaib yang berstatus sebagai sahabatnya ini. Dengan cerita
hidup dan pengalaman pahit masing-masing. Dengan karakter yang sangat jauh
berbeda tapi saling melengkapi dengan sendirinya. Hah..rasanya hatinya sudah
sedikit membaik saat ini.
***
Rify
Just let the past just be the past and focus on
things that gonna make us laugh. Take me as I am, not who I was. I promise I’ll
be the one that you can trust.
***
Ify memandang pintu kamar Rio di depannya sambil
menghela napas berkali-kali. Ia benar-benar harus memeriksakan jantungnya ke
dokter. Sejak semalam, setiap bertemu dengan Rio jantungnya akan selalu berdebar
kencang. Apalagi sikap Rio mendadak berubah drastis. Menjadi lebih...manis. Ia
jadi sering salah tingkah. Dan ia jadi lebih sering mempermalukan diri sendiri
di depan Rio. Seperti tadi pagi saat ia baru bangun, Rio tiba-tiba masuk ke
kamar hanya untuk mengucapkan selamat pagi. Apa tidak gila? Apa gue gak gila,
ya kan?! Dan bodohnya, gue malah jatoh dari kasur.
Sekarang, ia disuruh Amanda memanggil Rio di
kamarnya. Ia menggigit bibirnya ragu. Bukan ragu tapi grogi. Apa yang harus ia
ucapkan pada Rio? Haruskah ia mengetuk pintu dulu? Atau langsung masuk begitu
saja? Lalu setelah itu ia harus mengucapkan apa? Astaga, ia benar-benar bingung
padahal ia hanya harus mengajak Rio sarapan.
Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan sosok
Rio yang lebih tinggi darinya. Ia berjengit seraya setengah memekik karena
kaget. “Rio?!” serunya spontan. Rio mengedipkan matanya beberapa kali, bingung
melihat Ify histeris. “Kenapa, Fy?” tanyanya lembut.
Kampret! Umpat Ify membatin. Kenapa Rio harus
bertanya lembut seperti itu? Aisss!
“Ma—Mama ng—ngajak sarapan!” katanya terbata-bata.
Rio mengangguk. “Gue baru aja mau turun.” Balasnya dengan senyum merekah. Ify
menyampirkan anak rambutnya yang mencuat ke luar sambil menunduk. “O—oh b—bagus
kalo gitu,” Ia berbalik badan dan berjalan duluan setelah itu. Dari belakang
Rio hanya tersenyum geli. Dengan cepat ia berlari ke sebelah Ify dan meraih
tangan gadis itu.
Ify langsung berhenti dan mendelik padanya,
menuntut Rio melepas tautan di jarinya. Tapi, Rio sepertinya tidak peduli. “Di
sini gak bakal ada yang ngamuk sama lo, jadi tenang aja!” katanya seraya
terkekeh kecil. Ia menarik Ify sebelum gadis itu protes lagi. Ify hanya bisa
pasrah. Kalau Rio sudah berbuat mana bisa dilarang.
***
Mobil Rio akan sampai di sekolah beberapa meter lagi.
Ify memelintir roknya cemas. Masih sangat segar di ingatannya apa yang sudah
terjadi padanya kemarin. Berbagai orang mencarinya dan hampir saja melakukan
tindakan anarkis padanya karena Rio. Lalu, sekarang, bukankah bahaya jika ia
malah datang bersama Rio ke sekolah? Terlihat bersama dengan pemuda itu lagi?
Orang-orang itu pasti akan lebih gila dan lebih benci padanya. Mereka bisa
berbuat yang lebih ekstrim.
“Yo, gue jalan aja deh, turunin gue di sini ya?”
pinta Ify dengan muka amat memelas. Rio menoleh bingung. “Kok gitu? Parfait kan
masih jauh, Fy.”
Ify mendesah lesu. “Gue takut ntar cewek-cewek
kemaren bakal makin dendam sama gue karena gue datang bareng lo..”
Seketika itu juga Rio kembali merasa bersalah.
“Maafin gue ya, gara-gara gue..lo..”
Ify menutup mata lalu mendengus pelan. “Hh..udah.
Lo gak harus minta maaf kali, Yo. Kita kan sama-sama gak tau kalo bakal
kejadian kek kemaren..” ujarnya. Ia diam sebentar lalu bicara kembali. “Nah,
makanya, lo turunin gue disini aja!” lanjutnya penuh semangat.
Rio menggeleng keras. “Gak.” tolaknya tegas.
Enak saja! Ia tidak akan membiarkan Ify sendirian dan orang-orang akan bebas
melakukan apa saja pada gadis itu.
Ify merengut sebal. “Lo gak kasian sama gue?!”
rutunya.
“Gue lebih dari kasian sama lo, Fy. Gue khawatir
lo kenapa-kenapa lagi kalo gue gaada di samping lo, seenggaknya di sekitar lo
lah. Bukannya bakal lebih bahaya kalo lo jalan kaki sendirian? Lo gak takut
tiba-tiba ada yang nyegat lo? Nyulik lo bahkan? Kemaren untung masih ada Agni,
Via sama Shilla. Sekarang, siapa yang bakal tau lo ada disini? Gaada kan? Lo
mau minta tolong sama siapa? Atau, siapa yang bakal nolong lo?” jelas Rio
panjang lebar. Ia menatap Ify setengah kesal, setengah panik.
Ify terdiam dan tidak bisa membantah lagi. Ia
menggigit bibirnya gelisah. Ucapan Rio ada benarnya, sih. Ia justru bodoh malah
mau membiarkan dirinya sendirian. Ibarat tetesan madu yang dalam sekejab bisa
langsung dikerubungi semut. Orang-orang justru akan lebih mudah membullynya. Tapi,
ia juga tidak ingin semakin banyak orang membencinya. Tau kan, nyari temen tuh
susah. Apalagi sekarang hampir semua cewek kayaknya gak suka sama gue. Apa gak
makin susah? Aiss..harusnya gue bawa mobil sendiri aja tadi.
“Nurut aja ya sama gue. Lo gak boleh jauh-jauh
dari gue. Gue kan udah janji mau jagain lo.” Kata Rio lagi. Tatapan matanya
berubah lembut selaras dengan nada suaranya. Tak ayal membuat jantung Ify
langsung berdebar kencang. Ia mati kutu dan mengangguk dengan sukarela. Rio lantas
tersenyum ke arahnya. Yang sekali lagi sukses menggoncang jantungnya. Ngomong-ngomong,
sudah berapa kali Rio tersenyum padanya hari ini? Bahkan ini masih pagi. Rio,
Rio. Lo kepentok dimana lah ya sampe jadi aneh gini?
***
Ify mendesah lega setelah sampai di depan
kelasnya. Perjalanan dari parkiran ke kelasnya ini benar-benar mengerikan. Persis
seperti uji nyali. Tak satu dua tatapan menusuk ditujukan orang-orang
kepadanya. Tulang-tulangnya seperti ikut tercincang-cincang. Tatapan mereka
jauh lebih menakutkan daripada kemarin. Untung saja Rio tidak mengizinkannya
berjalan sendiri tadi. Kalau tidak, ia tidak bisa membayangkan bagaimana
nasibnya nanti. Biarlah orang-orang semakin membencinya. Yang penting itu, Rio
akan selalu ada di sampingnya. Hehehe.
“Lo harus bisa terbiasa dipelototin banyak orang
kek tadi.” Rio tiba-tiba bicara. Ify menaikkan sebelah alisnya bingung.
“Kenapa?”
Rio terkekeh geli. “Ntar kalo lo udah resmi jadi
pacar gue, yang melototin lo bakal tambah banyak. Haha.”
“Ha?” Ify bengong, antara mengerti dan tidak
mengerti. Juga antara yakin dengan tidak yakin akan apa yang terdengar di
telinganya. Sekali lagi, Rio terkekeh geli. Ia mengacak-ngacak puncak kepala
Ify.
“Gak ada siaran ulang!” katanya lalu beranjak
masuk ke kelas meninggalkan Ify yang menggerutu kesal padanya.
“Rio rambut gue kusut, iss!”
***
“Lo yakin gak mau gue temenin ke dalem?” tanya
Rio menggoda. Ify memutar kedua bola matanya kesal. “Gak!” katanya galak. Ia
langsung masuk ke dalam toilet meninggalkan Rio yang berdiri terkikik sambil menunggunya
di luar.
Pintu salah satu bilik tiba-tiba terbuka dan
keluar seorang gadis dari dalam sana. Gadis itu berjalan menunduk membenarkan
pakaiannya lalu mendongak. Baik Ify maupun gadis itu tampak sama-sama terkejut
melihat satu sama lain. Suasana canggung sontak tercipta di antara mereka. Ify
langsung tersenyum kaku sementara gadis itu hanya menatapnya datar.
“Kak—Angel?” cicitnya.
Angel, gadis itu, mendadak menatap Ify tajam. Ia
melangkah cepat mendekati gadis itu yang menatapnya ngeri. “Jauhin Rio!”
katanya tegas.
Ify memandang Angel dari ngeri menjadi tidak
mengerti. “M—maksudnya?” tanyanya gugup. Ia menelan ludah takut. Angel
mendengus pelan. “Lo pasti ngerti maksud gue.” katanya lagi, sangat misterius.
Ify masih tidak mengerti. Ngerti apa, sih?
Tanyanya membatin. Ia kembali memandang Angel dengan penuh harap. “Gue
bener-bener gak ngerti, Kak. Lo kenapa mendadak jadi dingin gini sih sama gue?
Apa gue udah bikin salah sama lo? Kak, kalo lo butuh temen cerita, gue bisa
kok.”
Angel menghela napasnya sambil menutup mata. Air
mukanya tiba-tiba berubah sendu. Kelihatan lelah. Ada sesuatu yang
disembunyikan dan hal itu sepertinya sangat membuatnya tertekan. Entah kenapa
Ify merasa Angel sedang ada masalah. Apa ini berkaitan dengan kehamilan gadis
itu?
“Jauhin Rio..” kata-katanya masih sama, tapi
cara penyampaiannya berbeda. Kalau tadi terdengar seperti perintah, tapi kali
ini terdengar seperti sebuah permohonan. Angel menatap Ify dalam dan memohon
dengan sangat. “Tolong gue, Fy. Cuma lo yang bisa nolong gue..gue mohon sama
lo..” lirihnya kemudian.
Ify terdiam tidak tahu harus menjawab apa.
Pikirannya langsung kacau mendengar Angel meminta tolong padanya. Kenapa? Ada
apa sebenarnya dengan Angel? Dan..kenapa Rio sampe dibawa-bawa? Memangnya
kenapa gue harus jauhin Rio? Dan..dan kenapa Rio?! Astaga...ini emang soal
kehamilan Kak Angel! Dan itu alasannya kenapa harus bawa-bawa Rio...for God’s
sake! Y’all must be kidding!
***
Rio mondar-mandir di depan pintu toilet. Ify
sudah terlalu lama di dalam dan tak kunjung keluar. Ia merasa khawatir. Apa ada
sesuatu yang terjadi pada Ify? Ia tidak sedang berada di samping gadis itu. Ia
tidak tahu apa yang terjadi dan apapun bisa terjadi. Bisa saja di dalam ada
orang lain dan orang lain itu bisa saja merupakan satu dari sekian banyak orang
gila kemarin. Ingin sekali rasanya ia masuk ke dalam. Tapi, ia takut malah akan
menimbulkan spekulasi lain. Orang-orang bisa saja menganggapnya cowok mesum
yang hobby ngintipin anak cewek di toilet.
“Fy, keluar dong! Jangan bikin gue cemas
kenapa?!” gumamnya tak sabar.
Lalu tiba-tiba pintu terbuka. Rio seketika
tersenyum gembira. Tapi kemudian senyumnya memudar melihat siapa yang baru saja
keluar. Bukan Ify, tapi Angel. Ia mendesah kesal. Kenapa bukan Ify aja, sih?
“Hai, Yo!” sapa Angel seraya tersenyum manis ke
arah Rio. Rio mengernyit bingung kenapa Angel bersikap seperti itu padanya.
Sejak kapan? Aneh.
“Hai.” Balasnya datar. Ia mencuri-curi pandang
ke dalam toilet tapi tidak bisa melihat apapun karena pintu hanya terbuka
sedikit dan ditutup kembali oleh Angel. Angel tersenyum lagi padanya lalu
melangkah pergi. Senyum yang benar-benar aneh. Mendadak ia teringat akan
pertemuan Ify dengan gadis itu kemarin. Saat itu juga ia kembali merasa
khawatir. Kehadiran Angel berhasil menambah kekhawatirnya.
Rio kembali mondar-mandir sampai akhirnya pintu
terbuka lagi dan akhirnya Ify memunculkan diri dari balik pintu. Sontak Rio
berhenti dan menghela napas sangat lega. Ia menghampiri gadis itu, memegang
bahunya serta menanyakannya. “Lo gakpapa kan?” tanyanya panik.
Ify hanya diam menatapnya. Gadis itu tampak
tidak mendengarnya. Seperti sedang melamunkan sesuatu. Hal itu lagi-lagi
membuatnya semakin khawatir. “Fy? Lo kenapa? Lo gakpapa? Lo gak diapa-apain kan
sama Angel?” tanyanya kembali. Ia menggoyangkan bahu Ify sedikit berusaha
menyadarkan gadis itu. Dan..berhasil. Ify langsung terkesiap.
“Hah?” gumamnya. Rio mendesah pelan dan menatap
Ify dengan sabar. “Gue tadi nanya, lo
gakpapa kan, Fy?” tanyanya melembut, untuk yang ketiga kali. Ify meringis lalu
menggelengkan kepala. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya. Perasaannya saja
atau Ify memang berusaha menghindari kontak mata dengannya? Yasudahlah, mungkin
hanya perasaannya saja. Lagipula, Ify kelihatan memang baik-baik saja.
Setidaknya tidak ada memar atau bahkan luka di tubuh gadis itu.
“Lo laper? Mau makan di kantin?”
Ify lagi-lagi hanya menoleh sekilas padanya dan
memalingkan wajah setelah menganggukkan kepala. Rio berusaha menampik firasat
buruk dalam hatinya. All is well! Ify is well!
***
Rio meremas kemudi di tangannya. Ia mengerang
dalam hati. Sejak dari toilet lalu makan di kantin hingga sekarang ketika
mereka dalam perjalanan pulang, Ify mendadak berubah menjadi pendiam. Bahkan
hampir tidak pernah mengeluarkan suara dari mulutnya. Kalau ditanya paling cuma ngangguk-ngangguk doang atau geleng-geleng.
Paling banter dehem. Itupun cuma sekali! Lo kenapa, sih, Fy?!
“Fy? Ngomong dong!” panggilnya. Ia melirik Ify
yang hanya diam menatap jendela. “Fy? Kenapa diem, sih? Lo gakpapa kan?”
panggilnya lagi. Masih sama. Ify bergeming bahkan mungkin tidak mendengar. Ngelamun
lagi? Pikirnya.
Rio menahan diri untuk bertanya hingga mereka
sampai di rumah. Ify keluar dari mobil dan masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan
sepatah katapun padanya, menatapnya pun tidak. Benar-benar. Ini sudah tidak
bisa dibiarkan. Rio berlari masuk ke rumah dan bergerak menuju kamar Ray
menaruh tas serta mengganti pakaian dengan terburu-buru. Setelah selesai ia
lalu beranjak ke kamarnya, yang saat ini menjadi kamar Ify.
Gadis itu juga sudah berganti pakaian dan tengah
duduk di atas kasur sambil menekuk lutut. Pandangan matanya tak fokus. Untuk
kesekian kalinya sepertinya Ify melamun Iagi. Rio mendecak kesal sekaligus
khawatir. Kenapa dengan Ify? Gadis itu berubah aneh sejak keluar dari toilet.
Tidak salah lagi. Pasti karena Angel.
“Fy?” panggilnya yang sudah berdiri di samping
kasur. Ify tetap bergeming. Rio lalu naik ke atas tempat tidur dan duduk
bersila tepat di depan gadis itu. Ia menjetikkan jari di depan wajah Ify
berusaha menyelamatkan Ify dari lamunannya.
***
Tolong gue, Fy...tolong gue...
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Ify
bahkan ketika ia sudah sampai di rumah Rio. Kata-kata itu berputar-putar
seperti kaset rusak. Itu juga yang membuatnya mengabaikan Rio. Ia mendiamkan
pemuda itu dan sebisa mungkin menghindar dari pemuda itu. Jangankan mata ke
mata, mulut ke mulut pun ia jadi kurang
berani. Setiap kali ia ingin memandang wajah Rio, kata-kata dan raut menderita Angel
selalu muncul di benaknya. Membuatnya langsung mengurungkan niat dan terus saja
memalingkan wajahnya.
Haisss..rasanya kepala Ify mau pecah. Baru saja
kemarin ia bermimpi aneh soal papanya, sekarang sudah ada lagi masalah baru
mengenai Angel dan juga Rio. Bukan baru juga, sih. Tapi, satu perkembangan baru
tentang masalah itu. Angel yang menyuruhnya menjauhi Rio tanpa memberi tahu
pasti apa alasannya membuatnya frustasi bertanya-tanya pada diri sendiri apa
sebabnya dan ia tidak bisa menjawab. Ia selalu berusaha menampik semua dugaan
yang semakin meyakinkan saja dari pikirannya. Tapi semakin ia tolak semakin ia
tertohok. Semakin didesak agar ia membenarkan dugaannya itu. Dugaan kalau
benar-benar ada sesuatu antara Rio dan Angel. Kalau mereka berdua sudah...Astaga!
Ify ingin menangis saat ini juga. Kenapa disaat
Rio sudah berubah, malah timbul masalah seperti ini?! Tahukah seberapa besar
kesabarannya menghadapi masa-masa menyakitkan saat Rio masih membencinya?
Menghadapi sikap seenaknya pemuda itu? Berapa lama ia menunggu sampai Rio bisa
membuka hati untuknya? Melupakan seseorang yang begitu dicintainya? Melupakan
Acha?
Tapi, tapi..kalau memang ada sesuatu antara Rio
dan Angel, bagaimana mungkin? Bagaimana itu bisa terjadi? Sedangkan selama ini
yang ia tahu, Rio selalu menutup rapat-rapat hatinya untuk orang lain kecuali
Acha? Dan..ehm dirinya yang berhasil membuka celah dalam hati pemuda itu.
Harusnya kan yang hamil dirinya bukan Angel...emm bukan! Maksudnya...ya
pokoknya katakanlah Rio dan Angel berpacaran, itu saja sudah aneh apalagi kalau
mereka sampai melakukan ‘itu’ yang menyebabkan Angel hamil. Hamil loh, hamil!
Ck, ini benar-benar memusingkan. Apa mungkin ia
saja yang tidak tahu kalau selama ini Rio diam-diam berhubungan khusus dengan
Angel? Mereka hanya berpura-pura tidak saling mengenal kalau di sekolah? Jika
benar, itu artinya Rio sudah membohonginya? Kata-kata bahwa pemuda itu sudah
membuka hati untuknya itu hanya omong kosong saja? Ah tapi...
Tk!
Sebuah jentikan jari di depan wajahnya sontak menyadarkan
Ify. Ia mengerjap lalu berjengit kaget ketika tahu-tahu Rio sudah ada di depannya.
“Lo—sejak kapan disitu?!” Ify setengah memekik histeris.
Rio mendengus keras. Lalu menatap Ify serius. “Lo
kenapa ngelamun?” tanyanya langsung tanpa menghiraukan kekagetan Ify. Ify
mengedipkan matanya beberapa kali lalu melengos. Ia ingin sekali bercerita tapi
ia tidak bisa. Memandang wajah Rio saja masih belum berani. Membuatnya semakin
takut dan terbayang-bayang soal Angel.
“Fy, please?!” Rio berkata dengan nada memohon.
Ia menatap Ify putus asa. Sama, Ify juga putus asa. Kalau ia bertanya pada Rio
tidak mungkin. Yah meskipun kemungkinannya kecil, tapi bisa saja Rio tidak ada
hubungannya dengan Angel. Ntar gue malah buka aib orang. Trus..gimana dong?!!
Rio menyentuh dagu Ify dan menggerakkan wajah
gadis itu agar menghadapnya. Tapi Ify masih tidak mau menatapnya. “Fy, gue
bikin salah ya?”
Ify hanya menggelengkan kepalanya.
“Apa gue semenjijikkan itu sampe-sampe ngeliat
gue aja lo gak mau, hah?” Nada suara Rio berubah dingin. Membuat bulu kuduk Ify
merinding. Ia langsung mengangkat wajahnya dan menggeleng lagi. Lebih keras.
Lalu kemudian ia menutup matanya dan mendesah frustasi. Matanya mulai terasa
memanas. Tidak. Ia tidak boleh menangis. Tahan, Fy. Tahan. Batinnya.
“Gue..capek, Yo. Pengen tidur..” lirih Ify
seraya tersenyum tipis, itu pun dipaksakan.
Rio mendesah lemah. Yah, mungkin Ify memang
butuh istirahat sejenak untuk menjernihkan pikiran. “Yaudah kalo gitu..”
ujarnya seraya turun dan berdiri di samping tempat tidur.
Ify diam-diam menghela napas lega. Ia bersyukur
Rio tidak mendesaknya lagi. Apalagi, Rio juga tidak tersinggung dengan
ucapannya. Ia berbaring perlahan di kasur. Baru hendak menarik selimut tapi Rio
lebih dulu melakukannya, menutupi tubuhnya hingga ke leher. Pemuda itu juga
tersenyum padanya. Ia hanya balas tersenyum tipis lalu menutup mata. Lagi-lagi
berusaha mengusir Rio dari kamar meski dengan cara halus.
Tiba-tiba saja ia merasa ada sesuatu yang
menyentuh dahinya. Sekilas tapi sukses membuat jantungnya hampir melompat
keluar. Tubuhnya menegang beberapa saat. Ia tidak berani membuka matanya
memastikan. Tapi, satu yang ia yakini. Rio mencium keningnya. Terbukti karena
setelah itu pemuda itu berbicara padanya.
“Nice sleep, nice dream. Gue gak mau tau
pokoknya pas lo bangun lo harus cerita sama gue.” Ujar Rio sambil mengelus
kepala Ify sebentar. Ia kemudian beranjak pergi dari kamarnya.
Setelah pintu terdengar tertutup, Ify membuka
mata lalu memegang keningnya dan tersenyum kecil. Ia menutup mata kembali.
Entahlah, perasaannya mendadak berubah berbunga-bunga. Padahal tadi stresnya
minta ampun. Bagaikan terkena sihir. Siiing...galau gundah gelisah hilanglah...
***
Ify duduk tak tenang di kursinya ditemani Rio
yang menyetir di sebelahnya. Ia menggigit jari lalu memuntir baju lalu
menggigit jari kembali. Benar-benar tak tenang. Ia amat sangat panik. Beberapa
saat lalu Ify terbangun karena telepon dari rumah sakit. Mereka memberitahukan
kalau kondisi Papanya kritis. Detak jantungnya tiba-tiba menghilang. Saat itu
rasanya jantung Ify ikut-ikutan hilang berikut ruh dalam tubuhnya. Beruntung
Rio datang ke kamarnya dan langsung menyadarkannya kembali. Tanpa banyak
basa-basi, ia bersama Rio langsung pergi menuju rumah sakit.
“Yo, cepetan dikit dong!” gusar Ify. Rio
mendesah pelan. “Ini gue juga udah ngebut, Fy.” Katanya lembut menenangkan. Sejujurnya
ia juga panik. Ya bayangin aja. Detak jantung ilang, man! Detak jantung! Meski
sepanik-paniknya dirinya, masih lebih panik Ify.
“Lo lebih baik berdoa buat Papa lo, Fy. Doain
semoga Papa lo baik-baik aja.”
“Detak jantung Papa gue ilang, Yo! Gimana bisa
baik-baik aja?!” Ify menyahut hampir menangis.
“Iya, makanya gue nyuruh lo berdoa, Fy. Biar
Papa lo baik-baik aja lagi kayak biasanya. Kalo lo panik trus mikir yang
enggak-enggak, sama aja lo doain Papa lo yang enggak-enggak juga kan?”
Ify membanting tubuhnya ke badan jok. Ia hanya
diam tidak menjawab lagi. Kepalanya mumet sekali. Ia sudah tidak bisa berpikir
apa-apa lagi.
Sesampainya di rumah sakit, Ify langsung berlari
masuk dan beranjak menuju ruang operasi tempat Papanya sedang ditangani. Namun,
karena panik, ia jadi lupa tata letak rumah sakit yang dimasukinya ini. Ia
hanya berdiri kebingungan sambil menoleh ke kanan-kiri tanpa tahu harus kemana
dan melakukan apa.
Rio lekas menyusul setelah benar-benar memarkir
mobilnya. Ia melihat Ify diam berdiri seperti orang linglung. Ia berlari
menghampiri gadis itu dan menyentuh bahunya. “Fy, kenapa diem disini?”
tanyanya. Ify memandang Rio dengan mata memerah. “Gue gak tau ruang operasinya
dimana..”
Rio untuk kesekian kalinya mendesah. “Yaampun,
Fy..” Ia langsung meraih tangan Ify dan menariknya berjalan kembali menuju
ruang operasi.
Senyum Ify mengembang ketika melihat plang
bertuliskan ‘Operating Theater’ yang berada dua meter di depannya. Namun,
senyumnya seketika hilang manakala dokter Obiet keluar bersama beberapa perawat
yang mendorong ranjang dengan sesosok tubuh yang seluruh badannya diselimuti
kain putih. Ify dan Rio sama-sama terpana dan terpaku di tempat melihat itu.
Ify lebih dulu sadar kembali dan berjalan pelan mendekati jenazah tersebut.
“Ini...Papa?” lirih Ify ketika sudah berada
tepat di samping jenazah tadi. Obiet mengangguk lemah seraya memandang sedih
dan bersalah padanya. Merasa sangat menyesal karena tidak dapat menolong
Papanya. Setetes air mata Ify jatuh dan tetesan lain langsung bersusulan turun.
Ia dengan gemetar mengangkat kain putih yang menutupi wajah Papanya. Dalam hati
ia berharap Obiet salah orang dan hanya mengira ini Papanya.
Tapi, Obiet memang benar. Wajah Papanya lah yang
kemudian ia lihat, sudah tampak memucat. Matanya tertutup dan bibirnya
tersenyum tipis. Seolah-olah Papanya pergi meninggalkannya dengan senang hati.
Ify menutup mulutnya menahan tangis meski ia tetap saja menitikkan air mata. Ia
tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Berpijak pun rasanya sudah tidak bisa.
Ify hampir ambruk ke lantai kalau Rio tidak
segera menangkup dan menahan tubuhnya. Rio lekas memeluknya erat dan ia
menangis sejadi-jadinya di pelukan pemuda itu.
“Yo..Papa mati, Yo..” isaknya lemah sambil terus
memandang wajah biru Papanya. Rio mengelus kepalanya lembut dan menggeser
tubuhnya menghalau pandangannya. “Udah, kalo nyakitin gak usah diliat lagi..”
katanya dengan suara serak. Ia juga tak kuasa menahan air mata meski kemudian
ia bisa menguasai diri.
“Kenapa Papa pergi ga bilang-bilang, sih, Yo?
Baru sekali kritis langsung mati. Dia lupa ya kalo masih punya anak?”
Rio diam tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya
mengeratkan pelukannya dan terus mengusapi kepala gadis itu. Membiarkannya
mengeluarkan semua kesedihannya saat ini.
“Gue kan belum sempet minta maaf. Dia juga belum
minta maaf ke gue! Lupa apa dia banyak salah sama gue? Dan...dia gak sempet
pamit. Papa pergi gitu aja.”
“Fy?” Suara Rio memanggilnya lembut. Ify diam
tidak menyahut. Lalu kemudian muncul suara-suara lain yang semakin lama semakin
banyak dan terus menerus memanggil namanya.
“Yo, kenapa berisik banget? Gue pusing..”
lirihnya. Namun, Rio seperti tidak mendengar suaranya lagi. Ia juga sudah tidak
mendengar suara Rio. Hanya suara-suara lain yang terus memanggilnya yang ia
dengar. Semakin lama Ify makin tidak kuat. Ia menutup mata dan telinganya
kuat-kuat. Tapi, sepertinya itu tidak berpengaruh. Suara-suara itu tidak
berkurang malah makin menjadi-jadi banyaknya.
“Ify...Ify...Ify...”
***
“Fy? Fy? Bangun Fy!”
Rio menggoncang tubuh Ify yang sudah mandi
keringat. Ia mengusap wajah gadis itu sesaat lalu mencoba membangunkannya
kembali. Tiba-tiba saja Ify terbangun dan langsung duduk seraya berteriak
histeris. Air mukanya tampak ketakutan dan pandangan matanya kosong. Rio
memegang wajah Ify dan berusaha menyadarkan. Gadis itu pasti mimpi buruk. Mimpi
yang sangat-sangat buruk sampai-sampai terbangun seperti ini.
“Fy, lo cuma mimpi. Lo cuma mimpi.” Ujar Rio
lembut seraya mengusap wajah Ify. Deru napas Ify yang tadinya tidak beraturan
langsung berubah teratur ketika mendengar suaranya.
“Gu—gue mimpi? Yang—yang tadi cuma mimpi?” sahut
Ify dengan suara serak dan bergetar. Rio mengangguk cepat.
“Cuma mimpi hh..” desah Ify. Ia lalu tersenyum
lega. “Hp gue..mana hp gue?!” ia berseru tiba-tiba. Rio langsung mengambil
ponsel Ify dari nakas dan memberikannya pada gadis itu. Ify langsung mendial
nomor Papanya dan menunggu hingga teleponnya diangkat.
“Papa! Papa baik-baik aja, kan?” serunya
langsung ketika suara Papanya terdengar menyapa. Ia menghela napas lega ketika
Papanya mengiyakan. “Gak..Ify gakpapa, kok. Yaudah—Papa istirahat lagi aja.
Besok Ify kesana...Iya, Pa. Daah..”
Tangan Ify jatuh lunglai setelah pembicaraan
ditelepon dengan Papanya selesai. Ia termenung di tempatnya masih memikirkan
tentang mimpi buruk yang paling buruk yang terasa begitu nyata. Mimpi-mimpinya ibarat
kepingan puzzle yang akhirnya tersusun lengkap. Mulai dari bertemu Mamanya yang
mengatakan hal aneh mengenai Papanya, lalu bertemu Papanya yang memeluknya
dengan pelukan menakutkan hingga akhirnya ia bermimpi Papanya meninggal.
Tapi..itu semua hanya mimpi, kan? Papanya tidak mungkin meninggalkannya.
Atau..semoga saja tidak.
Ify tersadar ketika merasakan sebuah sentuhan
dan usapan lembut di sekitar kelopak bawah matanya. Ia juga baru sadar kalau ia
menangis berkat sentuhan tersebut.
“What’s wrong with you, babe? I’m gonna help
you, pleasurely.”
Babe? Batin Ify membeo. Ia tahu benar bagaimana
Rio menyebutnya. Yang jelas bukan asal-asalan atau main-main. He was seriously
serious. But..why so serious? *apadeh*
“Gue..Gue bingung mau cerita yang mana..” Ia
lantas mendesah lesu. Ya memang ia bingung. Harus berbicara mimpinya kemarin
atau soal Angel atau mimpinya tadi atau bahkan soal ‘babe’ barusan.
“Kenapa seharian ini lo nyuekin gue? Sengaja
atau karena lo lagi kepikiran sesuatu?”
“Gue tadi mimpi buruk..lagi. Kemaren-kemaren
juga gue mimpi buruk. Dan yang gue mimpiin selalu soal Papa. Yang tadi kayaknya
paling parah.”
“Emang tadi lo mimpi apa?”
“Gue mimpi Papa meninggal,”
Rio sesaat terdiam lalu berbicara kembali. “Lo
jangan mikir macem-macem, itu cuma mimpi. Buktinya Papa lo baik-baik aja, kan?”
Ify menunduk lalu menghela napas. “Soal gue yang lo bilang nyuekin lo, itu karena...Kak
Angel.”
“Kan! Udah gue duga dia pasti macem-macem sama
lo. Dia ngapain lo?”
“Dia nyuruh gue jauhin lo—em bukan sih, dia
minta tolong.”
“Lo mau aja disuruh-suruh gitu?” Rio menyahut
tak suka.
“Ya abis mau gimana..” cicit Ify. Rio memutar
kedua bola matanya kesal. “Ya gausah dilakuin lah, Fy. Atau lo emang seneng
jauh-jauh dari gue?”
“Bukan gitu, Rio. Ih! Lo gatau masalahnya, sih.”
“Ya kasi tau masalahnya kalo gitu!”
Ify mendengus kesal lalu kemudian memandang Rio
lekat sambil menimbang-nimbang. “Sebelumnya gue mau tanya sama lo...dan lo
harus jawab jujur!” katanya seraya mengacungkan telunjuk ke arah Rio. “Apa?”
“Lo sama Angel lagi atau pernah ada sesuatu gak?
P—pacaran misalnya?” Ify menggigit bibirnya was-was. Jantungnya mendadak berdebar
kencang. Ditambah ia memang sudah degdegan karena duduk berdekatan seperti ini
dengan Rio. “Kalo gak salah kemaren lo udah pernah nanyain ini deh sama gue?
Masih belum percaya juga? Demi Tuhan, Fy, kalo bukan karena lo, gue gabakal
pernah kenal bahkan tau kalo ada dia juga di sekolah. Gue pun ga minat kenal
lebih dekat sama itu orang apalagi ngajakin pacaran.”
“Bener?” Ify bertanya lebih memastikan. “Iya,
Ify.” Jawab Rio meyakinkan. Ify setia menggigit bibirnya karena masih ragu
untuk percaya. Rio menatapnya gemas. “Lo susah banget sih percaya sama gue?!
Fy, gue bener-bener ga pernah ada apa-apa sama Angel-Angel itu. Kenapa sih lo
sampe ngira gue ada apa-apa sama dia?”
“Karena..gue ga bisa bilang alasannya, Yo.”
“Kenapa gabisa?”
“Karena ini menyangkut rahasia pribadi orang,
mungkin juga bisa dibilang aib.”
“Lo masih nganggep gue orang lain?” nada suara
Rio terdengar kecewa. Ify terkesiap dan langsung menggeleng. “Gak gitu maksud
gue, Rio. Gue gak mungkin nganggep lo sama keluarga lo orang lain. Terutama
elo. Lo ga mungkin jadi orang lain buat gue. Iss! Lo kan harusnya udah tau!”
“Jadi kenapa lo gamau cerita sama gue?”
“Yaampun, bukannya gue gamau. Gue cuma takut
kesannya ngumbar aib orang. Gue takut..ya kita kan gatau kita bisa khilaf kapan
aja. Nah kalo lo sampe keceplosan soal ini, gue bakal merasa bersalah banget,
banget, banget. Ini bukan sembarang aib, Yo. Bener-bener hal penting dalam
hidup orang. Gue sendiri pun takut dengan taunya gue karena gue juga seharusnya
gatau.”
“Lo tuh harus percaya sama gue, Fy. Itu
intinya.”
Ify menghela napas berkali-kali. Berkali-kali
memikir ulang haruskah ia memberitahu soal Angel pada Rio atau tidak.
Sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi dengan pemuda itu. Setidaknya ia sudah
percaya kalau Rio tidak pernah ada hubungan apapun dengan Angel. “Yaudah..tapi
janji ya, lo bener-bener gaboleh bilang ini ke siapapun apalagi sampe
keceplosan?”
“Iya, Ify.”
Ify menarik napas dalam. “Kak Angel itu...hamil,
Yo.” ujarnya hampir berbisik. Rio menganga shock. Ify kemudian menjelaskan semua
yang ia ketahui soal Angel, dari bagaimana ia bisa bertemu, mengetahui gadis
itu hamil sampai bagaimana ia bisa mengira Rio yang menghamilinya. Rio masih
tercengang-cengang ketika penjelasannya selesai.
“Udah gue bilang kan, ini bukan sembarang aib.”
Ify mendumel pada Rio yang diam tidak menanggapinya. Rio lantas mengatup mulutnya.
“Gue janji bakal tutup mulut soal ini.”
Ify diam dan hanya berdoa dalam hati semoga Rio
benar-benar menepati janjinya. Kalau sampai rahasia ini terbongkar, ia tidak
bisa membayangkan bagaimana jadinya Angel. Angel sudah banyak menderita. Meski
mereka sama-sama tidak punya ibu, tapi Angel lebih menyedihkan. Karena dilihat
dari perlakuan ayahnya pada adiknya, perlakuan laki-laki itu padanya mungkin
tidak jauh berbeda. Ia beruntung karena punya ayah yang amat menyayanginya.
Meski saat ini tengah terbaring di rumah sakit. Jangan lupa kalau ia juga punya
Amanda dan Zeth yang membuatnya seperti tidak pernah kehilangan kasih sayang
kedua orangtuanya.
“Tapi, lo udah bener-bener percaya kan kalo gue
ga ada apa-apa sama Angel? Gue ga mungkin sembarangan macarin anak orang, Fy,
apalagi sampe nge-tekdung-in(?). Kalo pun sampe, pasti lo yang tekdung bukan
malah si Angel.”
Ify langsung memukul keras lengan Rio hingga
membuat pemuda itu mengaduh sakit. Ia berkacak pinggang senang. “Rasain! Enak
aja, lo kira gue bisa sembarangan di-tekdung-in hah?!” katanya galak. Ia kesal,
tapi juga senang, tapi juga bingung. Kenapa lagi Rio sampai berkata seperti
itu? Bikin gue geer aja.
“Gue kan becanda, Fy. Lo mukulnya niat banget,
sih.” rutu Rio seraya menggosok-gosok lengannya. “Ya—sorry..salah lo sendiri
lagian ngomong sembarangan!” ujar Ify sedikit merasa bersalah.
“Emang apa yang salah dari omongan gue, sih?”
“Ya—salah, pokoknya salah! Kenapa harus gue yang
tekdung, kan?” *bisagaksihtekdungnyadiganti?-_-*
“Ya kalo bukan lo siapa lagi? Kan gue cintanya
sama lo ya gue begitu-begituannya pasti sama lo juga. Nah kalo ngelakuinnya
sama lo pasti lo yang tekdung, masa orang lain? Kan gak mungkin.”
Ify merasa pipinya menghangat. Kalau begini
terus, ia bisa-bisa terbawa perasaan dan menganggap ucapan asal-asalan Rio itu
benar adanya. “Cinta-cinta apaan, sih! Udah deh jangan ngomong yang aneh-aneh
lagi. Stop becandain gue.” Ia menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya lalu
beranjak turun dari tempat tidur. Namun Rio menahannya dan menekan bahunya agar
tetap duduk.
“Apalagi sih, Yo? Gue males dengerin lanjutan
becandaan lo. Gak lucu.”
Rio tersenyum geli. “Kalo yang barusan gue ga
becanda kali, Fy. Percaya deh,”
“Justru gue paling gak bisa percaya yang
barusan.” Cibir Ify.
“Beneran, Fy.”
“Iya, Yo, gue gak percaya kok.”
“Ck. Apa perlu gue nembak lo sekarang biar lo
percaya?”
“A—apa sih! Makin ngaco deh lo!”
“Astagaaa!” Rio memutar kedua bola matanya dan
mengerang gemas. Dan Ify ikut-ikutan melakukan hal yang sama. “Udah ya udah becandanya.
Gue mau mandi.” Ia kemudian berhasil turun dari tempat tidur tanpa ada halauan
dari Rio.
“Lo bilang tadi lo udah percaya sama gue.”
Ify berhenti lalu membalikkan badannya dan
mendapati Rio sudah berdiri tepat di hadapannya. “Pengecualian untuk yang tadi.”
“Jadi lo bener-bener mau gue tembak sekarang
nih?” tanya Rio dengan matanya menyipit. Ify mengernyit sambil gelagapan
sendiri. “Si—siapa bilang? Gue gak ada bilang gitu!”
“Jadi lo percaya dong?” Rio bertanya dengan
sedikit menurunkan badan dan mendekatkan wajahnya ke wajah Ify. “Ya—ya gak
juga!”
Rio tertawa melihat Ify yang kebingungan.
“Jadi?”
“Ja—jadi apa?” Ify berhenti sesaat karena Rio tertawa.
Matanya lantas menyipit curiga. “Lo ngerjain gue ya?” tanyanya kemudian.
“Enggak.” Rio menyahut santai. Ify masih
memasang tampang curiga. “Iya, lo pasti lagi ngerjain gue, kan?”
“Enggak, Fy. Emang tampang gue keliatannya kayak
lagi ngerjain lo?” Rio mengernyit heran. “Buktinya lo ketawa.”
“Gue ketawa gak berarti lagi ngerjain lo juga
kali.”
“Udah deh ngaku aja, lo sebenernya daritadi
emang niat mau ngerjain gue kan? Pengen bikin gue geer?” ujar Ify keukeh.
Ekspresi Rio mulai tak sabar. “Harus gue ulang berapa kali sih biar lo percaya?
Gue gak lagi ngerjain lo, Fy.”
“Gue tetep gak percaya. Pokoknya lo ngerjain
gue.”
“Lo ngeyel banget sumpah! Gak, gue gak ngerjain
lo!”
“Iya, lo ngerjain gue!”
“Enggak. Ify.”
“Iya. Rio.”
“Enggak gue bilang.”
“Iya kata gue.”
Ify tiba-tiba merasa seluruh badannya terhuyung
ke depan. Ia hampir tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya kalau tidak ada sebuah
tangan yang merangkul pinggangnya. Ia juga merasa ada yang menekan maju
tengkuknya. Ia mengangkat wajahnya dan membelalak mata kaget melihat wajah Rio
yang hanya beberapa centi saja dari wajahnya. Wajah tampan pemuda itu terlihat
jelas sekali di matanya. Membuatnya tak berkedip. Lalu ia melihat Rio sedikit
memiringkan kepalanya dan semakin lama wajah mereka semakin berdekatan.
Rio mau ngapain?! Batinnya berteriak histeris.
Jantungnya terpacu secara otomatis. Napasnya tertahan dan ia refleks menutup
matanya.
Cup!
Oh my God. Ia merasakan sebuah sentuhan di
wajahnya. Rio baru saja mengecup...ujung bibirnya. *yaaahpenontonkecewa(?)* Ify
entah kenapa mendesah lega. Cuma diujung. Batinnya. Ia perlahan membuka matanya
dan melihat mata Rio menatapnya tajam. “Sekali lagi lo bilang gue ngerjain
lo...” Rio berhenti berbicara sambil menurunkan pandangannya ke bibir Ify lalu
kembali menatap mata gadis itu. “You know what I mean..” sambungnya.
Ify merasa jutaan kembang api meledak tak karuan
dalam dada dan perutnya. Tubuhnya seperti tersengat listrik manakala Rio
menatap tajam ke arah bibirnya. Beruntung karena Rio tidak benar-benar mencium
bibirnya itu. Bisa-bisa ia langsung pingsan. Padahal Rio sudah pernah
melakukannya dulu. Tapi memang keadaannya berbeda. Kalau dulu Rio melakukannya
agar ia mau membuat pemuda itu jatuh cinta padanya. Kalau sekarang Rio akan
melakukannya jika ia tidak percaya kalau pemuda itu jatuh cinta padanya.
“Jadi..lo..beneran?” tanya Ify terbata-bata. Ia
gugup dengan posisinya dengan Rio saat ini. bertemu pandang dengan Rio dengan
jarak sedekat ini. Pandangan mata Rio langsung berubah hangat. Berikut senyum
kecil di bibirnya. “Hmm. Gue emang udah jatuh cinta sama lo, Fy.”
Ify terpana dan tak bisa berbicara apa-apa. Lidahnya
seperti dicabut dan ditaruh di suatu tempat. Melihatnya hanya diam, Rio
kemudian berbicara kembali. “Do my eyes still tell that I’m joking? If that so,
then they’re lying.” Katanya sungguh-sungguh.
Ify sudah berani menggelengkan kepalanya. Ia
mulai bisa menguasai dirinya kembali. “Kayaknya lo serius, sih..” Ia menjawab
dengan suara pelan sekali. Lagian, ia juga tidak harus berbicara kencang agar
Rio bisa mendengarnya mengingat jarak mereka yang sudah sangat dekat ini.
“Jadi lo percaya, kan?” Rio bertanya antusias.
Ify hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Pandangan mata Rio kini berbinar. Ia tersenyum
senang sampai-sampai barisan giginya terlihat. Namun ia mendadak terdiam saat matanya
lama memperhatikan wajah Ify hingga tak sengaja mengarah ke bibir gadis itu.
Seperti senjata makan tuan. Ia yang awalnya menggunakan itu untuk mengancam Ify
tapi kini malah berbalik menjadi ancaman untuknya. Posisinya dengan Ify saat
ini sudah terlalu mendukung dan amat sangat menggoda. Ia lantas menelan ludah
getir. Ia tiba-tiba saja merasa ‘lapar’. Aiss..kenapa gue mendadak jadi mesum
gini?!
Sama halnya dengan Rio. Ify yang mengerti arti
perubahan ekspresi Rio menjadi bertambah gugup. Mana sebelumnya ia memang sudah
gugup kan. Sekarang makin parah. Ia mulai sulit berpijak. Dan sepertinya Rio
mengetahui hal itu. Pemuda itu mempererat rangkulan pada pinggangnya.
Rio tak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir
Ify. Dan sepertinya ia sudah tidak bisa menahan diri. Ia menyerah. “Fy..” gumam
Rio begitu pasrah pada Ify tanpa melepas pandangannya dari hal yang begitu menggodanya
itu. Hingga belum sempat Ify menjawab ia sudah lebih dulu nekat membungkam bibir
gadis itu dengan bibirnya. *yeaypenontontepuktangan*
Ify melotot kaget ketika merasakan bibir lembut
milik Rio bersentuhan dengan bibirnya. Sesaat tubuhnya terasa seperti melayang
dan ia tidak bisa merasakan ada sesuatu yang bisa ia jadikan tempat berpijak.
Atau mungkin kakinya yang tidak sanggup menegakkan diri. Astaga. Rio
benar-benar melakukannya. Dan reaksi tubuhnya sama seperti yang ia perkirakan.
Hanya saja badannya tidak ambruk karena Rio yang memeluknya erat. Tangannya
meremas kuat bagian baju di depan dada pemuda itu sebagai upaya dirinya sendiri
untuk tetap berdiri.
Ify sudah tidak bisa berpikir saat ini. Matanya
perlahan tertutup secara otomatis. Menerima dengan pasrah pagutan Rio pada
bibirnya. Membalas setiap lumatan Rio sebisanya. Ia merasa seperti sedang
memakan strawberry. Terkadang terasa asam namun lama kelamaan terasa manis.
Tangan Rio yang semula memegang tengkuknya kemudian turun melalui lengannya dan
berhenti di atas tangannya yang masih meremas baju pemuda itu lalu
menggenggamnya lembut. Entah ini efek dari Rio menciumnya sehingga ia jadi
berpikir berlebihan atau tidak, tapi genggaman pada tangannya seakan-akan
mewakili mulut Rio—yang kini sedang melakukan fungsi yang lain—untuk mengatakan
sekali lagi kalau pemuda itu mencintainya. Menyuruhnya percaya.
Beberapa saat Ify lupa saat ini ia sedang
melakukan apa dengan Rio. Ia tengah dibuat melayang oleh hal lain yang juga
sedang dilakukan pemuda itu padanya. Namun kemudian, ia tersadar kalau ada hal
lain yang juga ia lupakan. Hal lain yang lebih vital. Ia lupa bernapas!
“Engh..” lenguh mereka berdua saat Ify tiba-tiba
menarik wajahnya dari Rio. Rio memandangnya bingung dan sedikit...kecewa.
“Why?” tanyanya dengan suara serak. Ify menarik napas beberapa kali lalu
berbicara. “We need breath..” katanya berbisik. Ify melihat Rio terengah-engah.
Sepertinya Rio juga baru sadar kalau dia sudah kehabisan napas sama seperti dirinya.
Rio tiba-tiba tersenyum yang entah kenapa membuatnya ikut tersenyum pula.
Pemuda itu kembali memegang tengkuknya dan mengelus pipinya dengan ibu jari.
“I love you, Ify.” *asek*gumam Rio dengan senyum
lembut yang menular pada Ify. “Me too.”
“I’m yours.”
“That’s what I am, too.”
***
Setelah mendapat telepon dari Via, Ify kemudian
meminta izin pada Amanda dan Zeth untuk kembali ke rumahnya beberapa hari. Awalnya
Amanda juga ingin ikut karena Rio memaksa untuk ikut. Tapi tidak jadi karena
Ify tidak enak hati merepotkan Amanda. Lagipula, Bi Siti sudah kembali bekerja
hari ini sekaligus mau disuruh menginap di rumahnya. Itung-itung, mengganti
hari-hari liburnya.
“Cuma bawa baju segitu doang?” tanya Rio ketika
ia masuk ke dalam mobil. “Di rumah gue masih ninggalin baju. Atau lo pengen gue
balik ke rumah beneran? Biar gue bawa semua barang-barang gue di rumah lo.”
“Eis ga mungkin lah gue nyuruh lo pulang,
Sayang. Baru juga jadian.”
Ify merasa pipinya memanas. Seluruh tubuhnya
belum bisa bersikap normal menerima perlakuan Rio apalagi sejak sore hari tadi.
Sore yang bukan sekedar sore. Seketika pipinya memanas lagi mengingat itu.
“Panggil Ify aja kali..” Ify merutu malu-malu.
Suaranya nyaris saja tidak terdengar. Rio tersenyum geli melihat itu lalu
mengelus kepalanya sebentar.
Sesampainya di rumah, Rio mendapat introgasi
paksa dari Agni, Via dan Shilla. Mereka menyekap Rio di dalam kamarnya dan
membiarkannya di luar. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Ia sempat
mondar-mandir karena penasaran hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka dan raga
Rio berdiri tepat di depannya. Berikut Agni, Via dan Shilla. Ia mendesah lega
dan tidak sabar bertanya. Akan tetapi, ketiga sahabatnya lebih dulu menariknya
ke dalam kamar dan mengusir Rio. Ia tidak tega tapi ia juga tidak tahu harus
apa. Alhasil ia hanya mengalah pasrah.
Ify merasa seperti berulangtahun hari ini.
kejutan-kejutan tak berhenti mendatanginya. Dari pagi hingga malam. Ditutup dengan
kejutan akan berita perselingkuhan Papa Via yang keluar dari mulut Via sendiri.
Yang juga menjadi alasan kuat kenapa gadis itu memaksa mereka semua menginap.
Masalahnya sekarang, ia tidak bisa tidur. Via sudah
terlelap di sampingnya. Agni dan Shilla juga langsung ngorok ketika Bi Siti
membawa kasur tambahan ke dalam kamarnya. Hanya ia sendiri yang tetap terjaga
dalam gelisah. Ia bukan tidak bisa tidur, sih. Tapi, ia takut untuk segera
tidur. Takut bermimpi buruk lagi. Sedangkan mimpinya tadi sore rasanya sudah
benar-benar buruk. Tidak. Ia benar-benar tidak mau tidur.
Ify menyingkap selimutnya lalu pelan-pelan turun
dari tempat tidur. Ia berjalan mengendap-ngendap keluar dari kamarnya. Ia kemudian
berjalan menuju gazebo di halaman belakang rumahnya setelah selesai membuat
kopi di dapur. Ia sedang menghembus-hembus kopinya yang panas lalu kemudian ia
terdiam kaget melihat sudah ada yang lebih dulu duduk di gazebonya. Seseorang yang
terus saja membuat pipinya merona termasuk saat ini, bahkan hanya karena
melihat orang itu. tak lain tak bukan, sudah pasti Rio.
Mata Rio melebar dan ia langsung berseru senang
ketika melihatnya. Seperti sudah menungguinya sedaritadi. Apa iya? Pikirnya.
“Hai!” Rio menepuk tempat di sampingnya,
menyuruh Ify duduk di sana. Ify hanya menurut dan langsung duduk di sebelahnya.
Gadis itu menoleh dan menatapnya bingung. “Lo..kok di sini?” Rio tersenyum lalu
mengelus kepala Ify. “Gue nungguin lo keluar. Tapi gak keluar-keluar. Gue malah
ngira lo ga bakal keluar. Taunya akhirnya dateng juga.”
Lagi, Ify merona malu sekaligus bahagia. Rasanya
ia bermimpi karena sudah resmi...ehm berpacaran dengan Rio dan menerima
perhatian dari pemuda itu seperti ini. “Soal temen-temen gue, maaf banget ya.
mereka emang kadang-kadang suka..gitu.” Ify menundukkan kepalanya tak enak
hati.
“Mereka temen-temen yang baik. Gue bersyukur lo
punya temen kayak mereka.” Ify tersenyum lega sekaligus senang ketika mengingat
teman-temannya. Ya, ia juga sangat-sangat bersyukur ada di antara mereka.
“Gue udah daritadi loh nungguin lo di sini. Lo lupa
sama gue ya?” Rio bertanya dengan nada—pura-pura—kesal. Ify meringis sambil
menundukkan kepalanya lagi. “Sorry..” cicitnya.
Rio kemudian tertawa sambil tetap mengelus
kepala Ify. “Lo kenapa belum tidur?” tanyanya lembut. Ify memberanikan diri
mengangkat wajahnya dan menatap Rio. “Kan mau nemuin lo.” Katanya meledek.
Rio menaikkan alisnya. “Ah masa?” Ify terkekeh
pelan. “Gue gak bisa tidur, sih.”
“Lo minum kopi?”
Ify mengangguk pelan seraya hendak menyeruput
kopinya. Namun baru setetes mungkin yang masuk ke mulutnya, Rio lebih dulu merebut
kopinya. “Udah tau ga bisa tidur kenapa minum kopi?” tanyanya agak galak.
“Gue gak bisa tidurnya karena..gue gak mau
tidur.”
“Kenapa?”
“Gue..takut. Ntar mimpi buruk lagi,” kata Ify
lesu seraya mengerucutkan bibirnya. Rio mendesah pelan. Ia lalu berdiri dan
menghadap Ify sejenak. “Tunggu di sini bentar!” katanya dan langsung berjalan
masuk ke dalam sambil membawa kopi Ify.
“Ko..pi gue...” lirih Ify yang tak jadi
berteriak karena Rio sudah masuk ke rumahnya. Ia lalu memutuskan untuk menunggu
seperti yang Rio minta. Ia menggosok-gosokkan tangannya karena sayup-sayup
hembusan angin malam terasa di tubuhnya. Bajunya hanya berlengan pendek dan
celananya hanya sepanjang lutut. Membuatnya cukup untuk merasa kedinginan. Ia termenung
menatap langit dengan banyak bintang mengerlip di atas sana. Benar-benar
suasana yang sangat pas.
Ify sempat mengira ia sedang melamunkan Rio karena
tiba-tiba muncul wajah tampan Rio yang tengah tersenyum di matanya. Lalu kemudian
ia tersadar kalau itu benar-benar adalah Rio karena pemuda itu mengajaknya
bicara. “Dingin?” Ify hanya mengangguk pelan. Rio naik kembali ke atas gazebo
lalu duduk bersila tepat di belakang Ify. Ia membentang selimut dan menyelimuti
tubuh mereka berdua. Terakhir ia memeluk gadis itu erat namun tidak
menyesakkan. Pelukan pertama setelah mereka resmi jadian.
“Lo juga kedinginan?” Ify bertanya pelan. Tanpa sadar
ia memundurkan tubuhnya agar lebih dekat pada Rio dan menyandarkan kepala
sekaligus tubuhnya. Ia merasakan pelukan Rio mengerat. Ia lantas tersenyum
tipis. Nyaman sekali.
“Hmm,” Rio berdehm pelan. “Lo gausah takut. Gue ada
nemenin lo di sini, jagain lo. Tidur aja kalo ngantuk, jangan dilawan. Ntar gue
yang angkat lo ke kamar lo. Tenang aja, gue gak akan mungkin macem-macem. Lo percaya
kan sama gue?”
Ify menggangguk pelan. “Ternyata gue bisa mimpi
indah juga.”
“Mimpi apa? Gue?”
Ify tertawa kecil lalu berdehem. “Gue masih
susah bedain sekarang gue lagi mimpi atau enggak.”
“You aren’t dreaming, babe. This is real. We are
real.”
“Kita tuh rify, Yo, real kan lo sama Alvin.” Ujar
Ify sambil tertawa lagi. Rio ikut-ikutan tertawa. “Plis deh, Fy.”
“Gue bahkan gatau udah ngelakuin apa sehingga lo
bisa cinta sama gue.”
“Gue juga gatau. Kapan tepatnya gue mulai jatuh
cinta sama lo. Semuanya ngalir gitu aja. Akhir-akhir ini gue ngerasa gabisa aja
jauh dari lo. Mungkin seringnya kita sama-sama gak dirumah gak di sekolah
ngebikinnya jadi kebiasaan buat gue. Dan rasanya bakal aneh kalo kebiasaan itu
mendadak gak gue lakuin lagi. Mungkin itu juga yang ngebuat gue cinta sama lo.”
“Thanks ya..gue gatau harus ngomong apa. Gue bener-bener...bahagia.”
“Don’t ever mention it, babe. Lo masih nganggep
gue orang lain kalo kek gitu,”
Ify tersenyum kecil mendengar Rio selalu
memanggilnya dengan sebutan ‘babe’. “Babe?” gumamnya tanpa sadar.
“Kenapa? Lo seneng gue panggil itu?”
Ify terkesiap lalu menjawab gugup. “I—iya.” Rio
tertawa geli. “Gue panggil sayang gamau,”
“Gue lebih suka dipanggil anak bayi daripada
sayang. Berasa tua. Hehe,”
Mereka tertawa lagi lalu diam beberapa saat. “Yaudah
sekarang lo tidur ya?” Ify menggeleng pelan. Ia masih parno akan bermimpi
buruk. Rio lantas mendengus. “Tadi kan kita udah deal? Kenapa? Masih takut?” Kali
ini Ify mengangguk. “Gue takut, Rio.”
“Kan ada gue, Fy. Lo gaperlu takut. Ketakutan lo
itu yang bikin lo mimpi buruk.” bujuk Rio. “Sekarang lo tutup mata, pikirin
hal-hal yang bahagia. Jangan lupa baca doa tidur sekaligus doa tambahan minta
Tuhan ngasih lo mimpi indah.”
Ify hanya menurut dan melakukan apa yang Rio
bilang padanya. Hal membahagiakan? Hal yang paling membahagiakannya di dunia
ini adalah saat ia bersama orang-orang di sekelilingnya yang begitu ia sayangi
yang juga membuatnya merasa teramat disayangi. Dan salah satu dari sekian
kebersamaan tersebut adalah saat ini. Saat ia bersama Rio. Berada dalam pelukan
nyaman milik pemuda itu. Merasakan bagaimana rasanya dicintai seorang Mario.
Ah...jadi, apa ia membayangkan Rio saja?
“Sweetheart..and the sunlight’s on your face
now, hope that fate can have it’s way today..”
Ify mendengar suara lembut Rio mengalun di telinganya
ketika ia sedang melamun. Melamunkan pemuda itu juga. Rio bernyanyi untuknya. Dan
bibirnya kembali melengkung membentuk senyum. Sepertinya ia tidak akan pesimis
tidak bermimpi indah hari ini.
Sweetheart..it’s like i’m drifting on the stars
Know you’re in a rush and my love’s on the way
And I love that you are everything I want
And if you need everyhting from me you can just ask me
‘cause your touch does something to me
‘cause you’re my greatest gift, I seal it with a
kiss
And I just wanna tell you that you are
Sweetheart, is what you are
I said a sweetheart is what you are
*youarewonderful*miminsenengbagianini*
Sweetheart is what you are
Sweetheart!
Band in your hair with scent of your perfume, girl
Nothing compares to you
Now I'm in paradise, you look so good in my eyes
And I have her eyes right in front of me
You are the real thing!
***
Oh my to the God! Pinky swear kitty swear banana
cherry strawberry swear! Demi terowongan casablanca melintasi jembatan katulistiwa
terpampang nyata dimata anak bangsa! Jebret ulala! *duhmiminlebay-_-* Akhirrrrrrrnyaaaaa
akhirrrrnya pemirsaaaaaah akhirrrrrnya dua sejoli ini officially juga! Akhirnya
ify gak jones lagi! Setelah empat tahun RiFy bisa taken juga! *abaikan* Setelah
berpuluh-puluh part maksudnya akhirnya di 28 jadi u,u Harusnya sih part 24 yak
hoho tapi gapapalah yang penting taken huahahaha(?)
Sorry dorry morry kalo scene nya gak sesuai
harapan muehehe-.-v Udah nungguinnya lama, bela-belain ngisi kuota, eh
lanjutannya kayak gini doang! Standart banget! Udah terlalu banyak yang kayak
gini! Gak ngena! Gak ada romantis-romantisnya! Garing abis! Padahal gorengan
udah abis!*apasih*okeabaikan(?)* Mimin mohon maaf sekiranya itu semua terjadi
pada kalian semua. Kesalahan terjadi bukan pada layar gadget ataupun laman
facebook ataupun blog anda. Maafkan mimin yang tak berdaya yang tak bisa
sempurna menjadi apa yang kalian inginkan. Namun selama napas berhembus mimin
kan mencoba...*okeminstop!(?)*
Bat byut byat, don be hepi por e long taim n be
ewer kos dis stori wil hep mach sednes n nyeseknes in de nex master eh capter. Karena
cerita ini mau tamat ~(‘o’~)(~‘o’)~ hahah~
Btw mimin lagi galau mau masukin lagu apa ntar
pas promnight karena terlalu banyak lagu bagus yang rasanya pengen dimasukin
semua tapi gak mungkin dimasukin semua karena ntar satu part malah isinya lirik
lagu semua hahaha-.- ntar mimin minta pilihin deh yak kalo udah nemu
pilihannya.*gajelasbangetsihmin!*
So see you and prepare ourself for reading
later! *ohmiminlebaylagi* Maacih cemua yang udah mau baca muah muah muah! :*
Waaahhhh, baru sempat buka ternyata udah ada dari part 26, nunggunya lumayan lama, mudah- mudahan penantiannya gak kecewa nih
BalasHapusKetje banget. Ditunggu kelanjutannya! :3
BalasHapuskeren paraaah! Ditunggu kelanjutannya as soon as possible;3 banyakin part RiFy u,u
BalasHapus