Alshill
Shilla
terbangun karena mendengar bunyi bel. Matanya terbuka dengan tidak rela. Ia
melirik teman-temannya yang sudah tertidur nyenyak dan sepertinya hanya ia sendiri
yang terganggu akan bunyi bel tersebut. Ia mendecak kesal. Ini sudah tengah
malam, siapa sih yang masih mau bertamu? Mana pakai memencet bel tanpa henti
lagi. Kalau sekali dua kali tidak ada yang datang melihat harusnya dia tahu
diri kalau kehadirannya tidak diharapkan pun sangat-sangat mengganggu.
Meski
enggan dan harus banyak merutu lebih dulu, Shilla tetap bangun dari tidurnya
dan turun dari kasur. Ia mengambil pita di atas nakas dan mengikat rambutnya
seadanya. Ia berjalan keluar dari kamar menuruni tangga hingga akhirnya sampai
di depan pintu. Ia mendesah ketika sudah sampai di depan pintu, si tamu masih
saja membunyikan bel. Dikiranya mainan apa dipencet-pencet terus? Gak bakal
keluar duit juga kali! Batinnya.
Shilla
baru hendak memegang kunci tapi kemudian ia menarik tangannya kembali. Tengah
malam begini, jangan-jangan yang bertamu sekarang itu maling! Air muka Shilla
sesaat berubah menjadi agak panik. Ia mendekati jendela dan mencoba mengintip
tamunya itu. Saat itu juga, matanya melotot tak percaya. Lalu kemudian berubah
bingung. Ia sedikit berlari mendekat ke arah pintu dan buru-buru memutar kunci
serta membuka pintu depan rumah Ify. Ia di sambut dengan senyum si tamu yang
merupakan seorang pemuda yang berdiri tegak di hadapannya. Ia berkedip cepat
beberapa kali masih tidak percaya.
“Alvin?”
gumamnya. Alvin, sang tamu, tersenyum sambil merentangkan tangan mempersiapkan
diri menerima pelukan dari Shilla, yang hampir sebulan tidak ia temui ini. Akan
tetapi tidak seperti dugaannya, Shilla hanya diam terpaku bengong memandangnya.
Ia lantas menaikkan alis heran. “Not missing me? Gak ada niatan meluk gue
gitu?”
Shilla
terkesiap dan keluar dari rasa kagetnya. Ia lantas tersenyum lalu mendekati dan
langsung memeluk pemuda di hadapannya erat. Menyerukan kerinduan mereka satu
sama lain. Shilla menarik tubuhnya sedikit menjauh agar bisa bertemupandang
dengan Alvin. “Gue kan udah bilang tunggu gue aja, kenapa lo nakal, sih?”
Alvin
memberengut pura-pura kecewa. “Jadi sekarang lo pengen gue balik lagi?” Shilla
mencibir lalu memeluk Alvin kembali seraya merengek manja. “I miss you so much,
Vin. Gue malah pengennya lo gak balik-balik lagi. Sini aja temenin gue..”
Alvin
tersenyum sambil mengelus kepala Shilla dengan lembut. “I’m with you now,
Pretty.”
Beberapa
saat kemudian, Shilla menarik tubuhnya kembali. Ia menarik tangan Alvin
mengajaknya masuk. Tapi kemudian sebuah suara aneh memanggilnya. Suara yang
sepertinya pernah ia dengar. Dan anehnya lagi, suara tersebut seperti datang
tepat dari arah belakangnya. Dari tempat Alvin berada. Tapi, kan, suara Alvin
tidak seperti itu.
Shilla
menoleh ke belakang dan membalikkan tubuhnya sepenuhnya. Ia langsung menganga
tak percaya melihat orang yang berdiri di hadapannya yang masih ia genggam
tangannya itu bukanlah Alvin lagi. Tapi, sosok pemuda yang sudah menjadi
kenangan menyebalkan di masa lalunya. Pemeran utama dalam kejadian surat
cintanya. Chris.
“E—elo?”
katanya terbata-bata sambil mengacungkan telunjuk ke arah pemuda itu. Chris
tersenyum semangat ke arahnya. Tapi kemudian senyumnya berubah sinis dan
tiba-tiba saja menarik tangannya lalu memutar tubuhnya hingga jatuh ke lantai.
Pemuda itu seperti membalas perlakuannya waktu dulu. Benar-benar persis seperti
yang pernah ia lakukan padanya.
Bug.....
“AWW!
SHILLA IDUNG GUE!”
Shilla
langsung membuka matanya mendengar Agni berteriak. Ia melirik sekelilingnya dan
mengetahui kalau ia ada di dalam kamar Ify. Otaknya masih belum bisa mencerna
dengan baik apa yang terjadi padanya. Rasanya tadi ia sedang berada di ruang
tamu dan bukan di kamar Ify. Dan seharusnya sekarang masih malam hari, langit
masih sangat gelap, tapi kenapa tiba-tiba sudah berubah terang begini? Tidak
terlalu terang memang. Tapi, apa artinya sekarang sudah pagi? Apa ia tertidur
di pelukan Alvin dan Alvin membopongnya kemari? Atau, Chris yang membopongnya
setelah menjungkirbalikkannya ke lantai? Ah! Jangan-jangan ia sedang bermimpi?
“Yang
tadi cuma mimpi?” gumamnya pada dirinya sendiri. Tidak sadar kalau Agni hampir
mati dihimpit olehnya hingga sekarang. “Bodo amat lo mimpi atau enggak, tapi
bisa stop ngimpit gue?!” sungut Agni. Via yang berada di sebelahnya menggeliat
dan mengerang kesal mendengar keributan yang diakibatnya olehnya dan Shilla.
“Jan
berisik woy!” pekik Via. Shilla seolah tersadar kembali dan langsung berguling menyingkirkan
diri dari atas badan Agni. Agni lantas mendesah lega sambil mencoba menghirup
napas sebanyak-banyaknya. Namun, perkara Shilla tidak selesai sampai di sana.
Sehabis menghimpit Agni, ia juga tanpa sengaja menghimpit tubuh Via karena
gadis itu berbaring tepat di samping Agni. Via menampik kasar tubuh Shilla
hingga Shilla berguling dan benar-benar jatuh ke lantai. Untungnya tidak terasa
sakit karena jaraknya tidak tinggi.
Shilla
bagun terduduk lalu melihat ke arah teman-temannya. Ia akhirnya benar-benar
menyadari kalau Alvin yang tiba-tiba datang itu hanyalah mimpi. Ia mendesah
kecewa. Segitu kangennya gue sampe kebawa mimpi? Batinnya miris. Ia lalu
mengernyit kesal. Tapi, kenapa si Chris harus ikut-ikutan muncul, sih? Mana
pake ngejungkirbalikin gue segala! Jangan-jangan, dia dateng lagi kemaren itu
buat bales dendam sama gue.
Shilla
menggelengkan kepalanya menghilangkan segala pemikiran buruk di dalam sana. Ia
melirik jam sudah menunjukkan jam 6 pagi lebih beberapa menit. Ia lalu membangunkan
Via dan Agni dengan memukul pantat mereka dengan sangat keras. Tak ayal, Via
dan Agni langsung mengaduh kesakitan dan sama-sama membuka mata menatapnya
kesal setengah mati.
“SAKIT
TAU!” pekik mereka berdua. Shilla yang sudah berdiri bertepuk tangan dan
tertawa puas. “Goodmorning!” cengirnya tanpa dosa.
***
Meja
makan rumah Alvin kini kembali dihuni oleh penghuni yang lengkap. Ada Alvin dan
kedua keluarganya. Bahkan bertambah satu orang lagi. Febby yang datang paling
akhir kemudian duduk di kursi di sebelah Alvin. Alvin meliriknya sebentar lalu
memalingkan pandangannya tak peduli. Ia sudah mencoba berdamai dengan hatinya
untuk bisa menerima gadis itu di rumahnya. Kasihan juga sebenarnya. Gadis itu
sebatang kara, terjebak dalam lingkaran setan cukup lama bahkan hampir saja
terjerumus. Hitung-hitung, berpahala sekaligus bisa meredam rasa bersalahnya
pada Mama juga Papanya. Karena dari kelihatannya, Papanya itu juga tak kalah
senang dengan Mamanya dengan keberadaan Febby di tengah-tengah mereka. Padahal
mereka baru saja bertemu karena Papanya pulang dari luar kota malam hari dan
Febby sudah tidur di kamarnya. Benar-benar sehati.
“Kamu
Febby?” ujar Papanya dengan mata berbinar. Febby tersenyum canggung sambil
menganggukkan kepalanya lemah. “I-ya..Om.”
Papanya
sejenak diam sambil terus memperhatikan wajah Febby. Alvin berdecak heran dalam
hati. Baru kali ini Papanya itu melihat seorang perempuan sebegitunya, selain
pada Mamanya tentunya. Perasaan ni cewek..ya emang cantik sih. Boleh lah. Tapi
masa sampe harus diliatin gitu banget? Cantikan juga Mama. Ckckck. Pasti efek
sering di luar kota, nih.
Papanya
tersenyum dan mendesah pelan. “Saya ga pernah nerima orang asing di rumah ini.”
Saat
itu juga, tenggorokan Febby tercekat. Ma—maksudnya? Batinnya panik.
Melihat
kebingungan di wajah Febby, Papa Alvin lalu berbicara kembali. “Kalo kamu masih
manggil saya, Om, tandanya kamu itu masih orang asing.”
Febby
mengernyit antara mengerti dan tidak mengerti. Yang bisa ia simpulkan adalah
Papa Alvin tidak suka dipanggil Om.
“Kalo
kamu diizinkan tinggal di sini, artinya kamu udah jadi bagian dalam keluarga
kami.”
“Matanya
Febby bentar lagi tinggal putihnya doang karena Papa ngomongnya muter-muter
terus. Intinya itu, Om ini pengen dipanggil Papa.” Sela Fara yang gemas memperhatikan
suaminya. Papa Alvin tertawa kecil sambil menganggukkan kepala. “Mama tau aja
deh apa yang Papa mau.” Balasnya seraya mengerling genit ke arahnya.
Alvin
menepuk keningnya sambil geleng-geleng kepala. “Masih pagi, Pa!” sindirnya.
Sekali lagi, papanya hanya tertawa tanpa membalas ucapannya.
“Kamu
satu kelas sama Alvin?”
“Enggak.”
Sela Alvin. Papanya lantas menyipit ke arahnya. “Papa kan nanya Febby, Vin.”
“Oh,
gitu.” Balas Alvin datar.
“Orangtua
kamu gimana? Ga masalah kalo kamu tinggal di sini?”
Febby
menelan roti yang tengah ia kunyah dalam mulutnya lumayan susah. Pertanyaan ini
agaknya susah untuk dijawab. “Febby...gak punya orangtua.” Cicitnya seraya
meringis miris.
Papa
Alvin tampak kaget sambil berpandangan aneh dengan Fara. Lalu menatap Febby
kembali. “Jadi selama ini kamu tinggal sama siapa?”
“Di
rumah Ayah tiri, Om eh..Pa.”
“Itu
artinya kamu punya orangtua, dong?”
Febby
menggeleng pelan dan menunduk. Ia bingung harus menjelaskannya bagaimana. Papa
Alvin mengernyit tak mengerti. Fara kemudian meliriknya dan membisikkan sesuatu
padanya yang membuatnya membulatkan mulut sambil menganggukkan kepala mengerti.
“Yaudah
lah, gausah dibahas. Yang penting, kamu udah di tempat yang tepat dan aman.”
Febby
menganggukkan kepala seraya tersenyum lega dan sedikit terharu. Baru kali ini
ia merasakan seperti benar-benar punya orangtua. Diterima dan dikasihi dengan
tulus dan sepenuh hati.
“Makasih
banyak...Pa, Ma.”
***
“SHILLA!”
Agni,
Via dan terutama Shilla menghentikan lari mereka dan menoleh ke sumber suara
yang menyebutkan salah satu nama mereka. Ketiganya tampak sama-sama kaget
apalagi Shilla. Agni dan Via berpandangan sesaat lalu memandang Shilla curiga.
“Itu
Chris, kan?” tanya Via. Air muka Shilla langsung berubah masam. “Yaiyalah, masa
Alvin!” katanya sewot.
“Lo
berdua bukan sengaja janjian, kan?” Tanya Agni dengan nada mengintimidasi.
Shilla menoleh ke arahnya sambil menaikkan alis, sama sekali tak takut akan
intimidasinya. “Enggaklah, ngapain? Males banget. Udah yuk, lari lagi sebelum
dia dateng ke sini!”
Shilla
langsung berlari tanpa menunggu Agni dan Via mengiyakan ucapannya. Yang ada di
pikirannya adalah ia harus segera menjauh dari Chris. Kemunculan pemuda itu di
dekatnya saat ini langsung mengingatkannya pada mimpi semalam yang juga
didatangi pemuda itu. Ia mendadak merasa takut kalau-kalau mimpi itu merupakan
petunjuk untuknya dan benar adanya. Benar kalau pemuda itu ingin membalas
dendam dengan menjungkirbalikkan dirinya seperti yang ia lakukan pada pemuda
itu dulu.
Shilla
menggelengkan kepalanya cepat sambil bergidik ngeri. “Kok lo lari, sih? Lo gak
denger kalo gue manggil lo tadi? Suara gue kurang kenceng emangnya?”
Shilla
menoleh ke sebelahnya lantas berjengit kaget dan berhenti. Ia menatap Chris
yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya, shock sekaligus panik. Ia spontan
mundur beberapa langkah sambil matanya berkeliling mencari kedua sahabatnya.
Dua orang tersebut tampak jauh di belakang. Apa tadi ia lari begitu kencang
sampai-sampai mereka ketinggalan jauh? Pikirnya.
Shilla
menoleh kembali ke arah Chris yang hendak maju ke arahnya. Ia langsung
menghalau dengan tangannya menyuruh pemuda itu berhenti. “Stop! Jangan
deket-deket sama gue kurang dari satu meter!”
Chris
memasang tampang tak mengerti sambil mengecek aroma tubuhnya. “Emangnya kenapa?
Badan gue gak bau, kok?”
“Gak
usah banyak tanya!” balas Shilla seraya melangkahkan kakinya, berjalan santai.
Rasanya ia ingin berlari kencang. Tapi, percuma saja, pemuda di sebelahnya itu
pasti akan mengejarnya.
Meski
masih tidak mengerti, Chris lantas mengedikkan bahu tak begitu peduli. Ia lalu
menatap Shilla sambil tersenyum senang. “Lo ngapain di sini?”
Shilla
melirik ke arahnya dengan sinis. Menurut lo? Batinnya heran. “Ngaspal jalan.”
Jawabnya asal lalu melengos. Chris lantas meringis seraya garuk-garuk kepala,
sadar kalau pertanyaannya salah. Ia kemudian menggantinya dengan pertanyaan
lain. “Lo sama siapa ke sini?”
“Harus
gitu lo tau?”
Chris
menggaruk kepalanya kembali. “Gak juga, sih.”
Shilla
melengos tak peduli dan berjalan dalam diam seolah-olah tidak ada yang menemani
di sebelahnya. Dalam hati ia berdoa supaya Chris cepat-cepat angkat kaki dari
sisi sampingnya. Ia benar-benar sudah tidak tahan. Selain takut, rasa kesalnya
akan kejadian surat cinta dulu masih bercokol di hatinya sampai sekarang dan
itu yang membuatnya keki setengah mati setiap bertemu pemuda ini. Padahal kalau
dipikir-pikir, kesalahan Chris tidaklah begitu besar. Tapi entah kenapa, ia
tetap merasa kesal teramat dalam.
“Lo
masih marah soal...su—surat cinta itu?” tanya Chris ragu-ragu. Cemas
kalau-kalau Shilla akan mengamuk dan menjungkirbalikkan dirinya lagi. Shilla
berhenti lalu menoleh ke arahnya dengan kesal. “Penting banget lo tau?”
“Banget!
Banget-banget-banget, Shill! Itu adalah hidup dan mati gue.” jawab Chris
cepat-cepat dengan sungguh-sungguh. Shilla berjengkit heran. Hidup dan mati?
Lebay, deh. Batinnya. Ia lantas geleng-geleng kepala lalu berjalan lagi tanpa
menanggapi.
“Gue
mau minta maaf sama lo, Shill. Gue bener-bener minta maaf sama lo.”
Shilla
kembali berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menghembusnya perlahan.
Rasa-rasanya, ubun-ubunnya ini sudah bengkak dan ingin meledak. “Gue udah
maafin lo. Puas, kan? Dan dari sekarang, jangan ganggu gue lagi.”
“Lo
gak keliatan udah maafin gue.” balas Chris sambil bersedekap dan
memperhatikannya dengan pandangan tidak percaya akan ucapannya. Shilla memutar
kedua bola matanya malas. “Emang keliatannya harus kek gimana, hah?”
“Lo
bilang ‘Iya, udah gue maafin, kok!’ pakek senyum kek gue. Kek gini nih..” Chris
tiba-tiba maju ke arahnya dan mengarahkan tangannya ke wajahnya lalu menekan
sudut-sudut bibirnya agar naik ke atas. Shilla melotot kaget dan langsung
mendorong tubuh pemuda itu hingga kembali berjarak satu meter dengannya.
“LO!
Beraninya...RRHH!” pekiknya kesal. Ia menaikkan lengan bajunya asal sambil
berkacak pinggang. Chris sontak memucat melihatnya seperti itu. Seperti
diingatkan akan kejadian terdahulu. Ia lalu meringis bersalah padanya.
“Gak
inget apa yang gue bilang dulu? Jangan sembarangan nyentuh gue! Apa pantat lo ga
puas nyium lantai dan sekarang pengen nyium aspal, hah?!!”
“Hehe.
Gue lupa. Sorry ya. Emm..gue keknya ada urusan, deh. Gue duluan ya. Dah,
Shilla!” Tanpa menunggu lagi, Chris langsung mengegas kakinya dan berlari
meninggalkan Shilla yang hendak mengamuk.
Shilla
lantas berteriak sambil mengumpat ke arahnya tanpa peduli dengan tatapan
orang-orang di sekitarnya. Biar saja ia dikatai cewek gila, yang penting
hatinya puas. Ketika baru saja selesai, ada seseorang yang tiba-tiba menyentuh
bahunya.
“SIAPA
LAG—“ Ia seketika tidak jadi mengumpat karena melihat kedua sahabatnya berada
tepat di belakangnya dan Agni lah yang baru saja menyentuh bahunya. Ia
mendengus keras. Kesal tapi juga lega. Kalo tuh orang terus-terusan gangguin
gue, yang ada gue bisa cepat tua. Bahkan bisa-bisa mati muda. Jangan pertemukan
aku dengan dia lagi Tuhan, please!!
***
Febby
meremas-remas jemarinya dan berdiri bimbang di depan pintu kamar Alvin. Ia
tidak ingin masuk tapi juga ingin masuk. Ia takut untuk masuk tapi ia harus
masuk. Hingga akhirnya ia mengepal tangannya dan memutuskan masuk sambil terus
meyakinkan diri. Ia lalu mencoba mengetuk pintu. Bagaimanapun, ia tetap harus
menjaga sopan santun. Apalagi yang didatanginya ini kamar Alvin.
Ketukan
yang pertama tidak dijawab. Ia kembali mengetuk pintu dan barulah ada jawaban
dari dalam. “Masuk aja, Ma. Biasa juga ga pake ngetok. Alvin ribet mau bukain.”
Teriak Alvin dari dalam. Febby menarik napas dalam-dalam sebagai upaya
terakhirnya meyakinkan diri. Ia memutar gagang dan perlahan membuka pintu.
Alvin tampaknya tidak mengetahui kalau ia yang baru saja masuk ke dalam
kamarnya karena pemuda itu tampak serius membaca buku. Buku catatannya! Febby
tanpa sadar tersenyum tipis. Entah kenapa ia merasa senang. Namun, sedetik
kemudian, ia langsung menggerus senyumnya itu dari wajahnya. Ia tidak
seharusnya bersikap aneh begitu, kan?
“Vin?”
Alvin
melirik sekilas lalu benar-benar menoleh ke arahnya, memandangnya kaget dan
bingung. “Gue ngizinin lo tinggal di rumah gue bukan berarti gue juga ngizinin
lo buat bisa sembarangan masuk ke kamar gue.”
“Gue
tadi udah ngetok,” cicit Febby. Alvin hendak membuka mulut namun tidak jadi
berbicara. Febby memang mengetuk pintu dan ia dengar tadi. Tapi, kemudian, ia
kembali membuka mulutnya membalas. “Tapi, kan gue ngiranya lo itu Mama.”
Febby
mendesah pelan. Ia berbalik badan melangkah mendekati pintu lalu berbalik lagi
menghadap Alvin. “Gue boleh masuk?” tanyanya mengalah.
Alvin
memalingkan wajahnya lalu berdehem singkat. Febby tak ayal mencibir melihat
itu. Ujung-ujungnya diizinin juga, kan? Iss..dasar! Sabar, Feb, sabar.
Batinnya.
“Ini
perjanjian antara lo sama gue. Kalo lo masih pengen tinggal di sini, jangan
ganggu gue. Ngerti?”
Febby
mengangguk pelan. Alvin ikut mengangguk puas. “Sekarang, lo mau ngapain ke
sini?”
Febby
sekali lagi menarik napasnya. Tak lupa ia mempertunjukkan senyum terbaiknya
pada malaikat penolongnya ini. “Gue cuma mau bilang makasih karena lo udah
ngizinin gue tinggal di rumah lo. Makasih karena lo gak nahan keinginan Mama
lo. Itu berarti banget buat gue. Makasih ya, sekali lagi.”
Alvin
memandangnya heran. Ia ingin berkomentar ini dan itu tapi lekas ia urungkan. Ia
tidak ingin pembicaraan ini semakin panjang dan durasinya bersama gadis itu
semakin lama.
“Iya.
Thanks juga udah ngasih catetan ini ke gue. Yah..lumayan berguna lah.” Balasnya
datar. Febby mengangguk lagi. Ia hendak mengucap pamit tapi terpotong oleh
Alvin. “Hari senin, lo sama gue gausah ikut upacara. Kita mulai ngerjain
praktek. Jadi ga perlu repot-repot make jam abis pulang sekolah.”
“Boleh,
sih. Tapi, emang bakal diizinin?”
“Dengan
keadaan kaki gue yang kek gini, pasti diizinin. Gue juga udah nelpon Bu Rita
buat ngedampingin kita praktek.”
Febby
membulatkan mulutnya tanda mengerti. “Oh, bagus kalo gitu.” Katanya seraya
menganggukkan kepala. “Yaudah, gue balik ke kamar dulu.”
Febby
hendak berbalik badan tapi tiba-tiba baru teringat sesuatu. “Oh iya, kan lo
udah baik banget sama gue, jadi sebagai imbalannya, kalo lo butuh apa-apa, lo
silahkan bilang sama gue dan gue akan ngelakuin apapun yang lo minta.”
“Apapun?”
ulang Alvin. Febby lagi-lagi mengangguk. Alvin memperhatikan sejenak memastikan
kesungguhan gadis itu. Sekaligus memikirkan hal apa yang bisa ia minta sebagai
uji coba kalau gadis itu bersungguh-sungguh atau hanya main-main.
“Putusin
Goldi.” Katanya asal. Sejurus kemudian ia merutuki permintaannya itu. Kenapa ia
malah tiba-tiba meminta Febby putus dengan Goldi? Gaada yang lebih penting apa?
Air
muka Febby sontak berubah aneh. Padahal hari ini ia hampir saja lupa dengan
pemuda itu. Tapi, kembali diingatkan begini. Ia lalu berusaha mengontrol
ekspresinya meski tidak terlalu berhasil. Ia malah kelihatan gugup. “Iya..besok
gue bakal mutusin dia.” Katanya lalu cepat-cepat berbalik dan pergi
meninggalkan kamar Alvin. Alvin memperhatikannya sambil mengernyit heran.
Orang-orang mungkin akan mengira kalau nama Goldi itu adalah nama setan kalau
melihat Febby yang langsung ketakutan seperti itu. Pikirnya.
***
Shilla
beserta kedua sahabatnya baru saja sampai di rumah dan duduk asal-asalan di
sofa karena lelah. Agni yang masih punya sisa tenaga paling banyak meskipun
tidak banyak sempat berjalan ke dapur mengambil soft drink yang sudah di
persiapkan mereka sebelum pergi jogging. Ia lalu kembali ke sofa dan
menyerahkan dua yang lain pada Shilla dan Via. Masing-masing dari mereka
langsung meneguk ganas soft drink milik masing-masing baru setelah itu
sama-sama menghela napas lega.
“Ify
masih tidur?” tanya Shilla yang heran dengan keadaan rumah yang begitu sepi.
“Mana gue tau, orang gue sama kalian bukan sama dia.” Sewot Agni.
“Yee..biasa
aja dong!” balas Shilla. Ia memutar kepalanya memandang pintu kamar Ify yang
tertutup. “Rio gak ngapa-ngapain dia, kan?” tanyanya kembali dengan nada panik.
Tak ayal, Via dan Agni langsung memandangnya dengan tatapan yang sama. Agni
berdiri dan lebih dulu berinisiatif pergi memeriksa ke kamar Ify sementara
kedua temannya menunggu di bawah. Ia hanya mendapati kamar Ify yang sudah rapi
tanpa ada penghuni di dalamnya. Ia lantas mendesah lega lalu turun dan kembali duduk
di sofa.
“Ga
ada orang. Kek nya di ajak pergi sama Rio, deh.” Ujarnya ketika sudah sampai di
bawah. Shilla dan Via serentak mengangguk dan menghela napas lega. “Asik banget
yang baru pacaran,” gumam Via datar sambil meminum soft drink nya lagi. Mendengar
itu, Shilla tiba-tiba saja teringat Alvin. Ia baru ingat kalau hapenya
sedaritadi ditinggal di kamar Ify karena ia lebih memilih membawa ipod. Ia yang
tadinya lemas setengah mati mendadak mendapat suntikan tenaga dan langsung
berlari naik ke atas menuju kamar Ify. Via dan Agni berjengit heran lalu hanya
geleng-geleng kepala.
“Nah!”
seru Shilla saat menemukan ponselnya di atas nakas. Ia langsung mengecek
keadaan benda berbentuk petak tersebut berharap kalau sudah ada pesan dari
Alvin. Tapi, seketika, ia mengerucut sebal karena keadaan ponsel tersebut masih
sama seperti terakhir ia tinggalkan. Bahkan pesannya untuk Alvin juga belum
dibalas. Ia mendial nomor kekasihnya itu dan menunggu hingga dijawab. Butuh
waktu agak lama hingga kemudian suara Alvin tertangkap daun telinganya.
“Morning
cantik! Hehe, sorry ya gue lupa nelfon. Gue gak megang hape daritadi,” ujar
Alvin mendahului omelan yang tadinya hendak keluar dari mulut Shilla. Shilla
mendesis sebal. “Lo tuh ya, ingetnya cuma sehari doang. Abis itu lupa lagi.
Lupain aja terus, lupain!”
“I’m
so sorry, Pretty. Tadi gue dibangunin Mama trus disuruh langsung sarapan. Dan
pas selesai, gue langsung belajar buat ulangan dan praktek susulan besok.
Bener-bener lupa.”
Shilla
yang tadinya ingin mengomel lagi mendadak merasa tak enak. Ia baru ingat Alvin
sudah tidak masuk sekolah beberapa hari dan ketinggalan pelajaran cukup banyak.
Mana katanya besok akan ada ulangan dan praktek susulan. Wajar saja kalau
pemuda itu lupa. Pasti Alvin sekarang stres dan ia dengan tidak tahu dirinya
menambah beban pemuda itu. “Oh, jadi besok lo ulangan sama praktek?” tanyanya
memastikan.
“Hmm.”
“Emm-gue
yang ganggu berarti. Sorry ya?” Alvin terkekeh pelan. “Apaan sih kok jadi pada
minta maaf?”
Shilla
hanya tersenyum tipis tak ingat kalau Alvin tidak bisa melihatnya. “Yaudah, lo
belajar aja dulu. Kasian, lo kan mesti ngapal sama belajar banyak banget.”
Katanya masih merasa tak enak. Gantian Alvin yang tersenyum. “Gakpapa kok,
Cantik. Lagian ini masih pagi, masih banyak waktu buat belajar. Ulangannya juga
jam terakhir.”
“Yakin
gakpapa? Gue gak mungkin marah kok, tenang aja.” tanya Shilla lagi sambil
menggigit bibir. Alvin tersenyum lagi. “Surely, Pretty.”
Shilla
mendesah menyerah. Meski masih merasa tak enak. “Gimana kaki lo? Gak lo gunain
macem-macem, kan?”
“Enggak,
kok, gak macem-macem. Lagi pegel-pegel aja. Kemaren baru abis main bola.”
“Apa?!”
seru Shilla. Kepalanya mendadak seperti ditusuk-tusuk mendengar hal tersebut. Alvin
terkekeh kembali. “Hehe..becanda, becanda!”
Shilla
mendesah lega sekaligus kesal karena Alvin berusaha mengerjainya. “Lo tuh ya,
ckckck.”
“Lo
abis ngapain?”
“Kan
tadi gue udah sms gue kemana dan ngapain!” Sahut Shilla yang mendadak sewot.
“Gue kan ga megang hape daritadi, Cantik. Gue juga udah bilang tadi, kan?” jawab
Alvin dengan penuh kesabaran.
“Uh?
Oh iya ya..sorry deh.” Balas Shilla lemah. Ia duduk dengan menghantam pantatnya
ke kasur.
“Lo
kenapa? Ada masalah ya?” tanya Alvin lembut. Shilla mengedikkan bahunya. “Yes,
ugly big problem!” sahut Shilla menggebu-gebu sambil mengepalkan tangannya lalu
melengos.
“Okey,
I’m listening.”
Shilla
menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. “Salah satunya mungkin gue kangen
sama lo.” Ujarnya tak yakin dengan pandangan menerawang mengamati langit-langit
kamar Ify.
“I
know it. Trus, yang satunya lagi?”
“Yang
satunya lagi...ISH! Ini yang paling-paling-paling bikin gue kesel! Lo masih
inget Chris gak?”
“Chris?
Chris...” gumam Alvin seraya mengingat-ngingat. “Chris yang kakak kelas kita
dulu itu?”
“Iya!
Dia tuh udah kayak tuyul deh ngikutin kemana-mana sampe ke mimpi gue segala.
Padahal gue udah bagus-bagus mimpiin lo eh tiba-tiba dia ikutan muncul juga.
Nyebelin, kan?!”
“Kok
bisa gitu?”
“Gue
juga gak tau. Kemaren dia tiba-tiba dateng ke sekolah. Entah sengaja atau
enggak, dia liat gue trus nyamperin gue sampe ‘maksa’ minta nomor hape. Trus
pas gue lagi mimpi ketemu sama lo, tiba-tiba lo berubah jadi dia. Ih amit-amit!
Dan tadi nih, pas jogging, gue juga ketemu lagi sama dia. Iiiyyy...pengen gue
tonjok-tonjok mukanya!”
Alvin
tertawa mendengar Shilla berceloteh panjang lebar dengan intonasi-intonasi yang
lucu sekali menurutnya. “Kok lo malah ketawa, sih?” dumel Shilla.
“I
really love your quarrelsome voice.” Shilla yang semula menggebu-gebu langsung
menciut malu mendengar Alvin meledeknya atau bisa jadi memujinya. Ia merengut
sekaligus tersenyum. “Iss..lo malah merhatiin itunya..”
“Jangan
coba-coba clbk ya! Awas aja!” Ujar Alvin mengancam.
“Ga
mungkin banget lah, Sipit! Gue udah ilfeel tujuh turunan.”
“Bagus,
bagus!”
“Ya
kan kalo clbk pilih-pilih juga kali.” Gumam Shilla asal. Alvin lantas bertanya
sinis. “Maksud lo?” Shilla hanya tertawa kecil.
“Yaudah,
lo lanjutin belajar gih. Gue juga mau mandi. Bau banget badan gue,
lengket-lengket abis keringetan banyak banget.”
“Yaudah
kalo gitu. Ntar jangan lupa sarapan. Gue belajar dulu ya, Cantik. Byeeee!”
“Iya,
semangat belajar, Sipit! Byeeee!”
***
Febby
berlari masuk ke dalam kamar barunya dan bersandar di badan pintu setelah
menutupnya dengan sangat pelan. Ia diam sejenak mengatur napasnya lalu beranjak
ke atas tempat tidur dan terduduk di atasnya. Ia mengambil ponsel dan
meletakkannya di depannya. Matanya tak henti-henti menatap benda tersebut.
Hatinya kacau balau saat ini. Semua itu tak lain karena permintaan Alvin untuk
memutuskan Goldi.
Tadi
memang ia bilang pada Alvin akan melakukannya besok. Tapi, membayangkan ia akan
bertemu muka langsung dengan Goldi seketika membuat hatinya ciut. Ia takut
kalau kejadiannya sama seperti beberapa hari lalu. Ia yang mengira baik-baik
saja ternyata begitu tidak baik-baik saja ketika bertemu dengan pemuda itu. Ia
sadar kalau perasaannya tidak hilang secepat yang ia kira dan inginkan. Jadi,
mana mungkin ia sanggup mengucapkan kata pisah ketika berhadapan dengannya.
Yang ada nanti ia malah memeluk pemuda itu.
Dan
sekarang, ia mendapat ide untuk melakukannya melalui pesan singkat saja. Tapi
ketika ia hendak melaksanakan, hatinya buru-buru menyuruhnya berhenti.
Sepertinya sebagian besar hatinya belum rela kalau dirinya harus melepas Goldi.
Ia lantas menjatuhkan badannya hingga membentur kasur lalu kemudian beralih
memandang langit-langit kamarnya.
“Lo
gak harus sebingung ini kali, Feb. Bahkan harusnya lo udah mutusin dia pas
kemaren ketemu. Hhh...” racaunya. Ia diam dan memperhatikan langit-langit untuk
yang terakhir kali sebelum kembali duduk dan berancang-ancang menyentuh ponsel.
Ia langsung menyambar ponselnya tersebut sebelum keyakinannya kembali susut.
Jemarinya bergerak cepat mengetikkan sebuah pesan untuk Goldi.
To
: Goldi
Gue
pikir udah gak ada lagi yang mesti kita omongin. Sama kayak hubungan kita yang
udah gak ada alasan lagi buat dilanjutin. Jangan temuin gue lagi dan gue juga
gak akan nemuin lo lagi. Makasih.
Jempolnya
kemudian dengan mantap menekan tombol send tak lama setelah ia selesai mengetik.
Dalam hitungan detik, muncul laporan pengiriman pesannya berhasil. Ia lantas
menaruh ponselnya di atas nakas. Ia kembali merebahkan tubuhnya dan berbaring
sembari menjaga jarak dengan benda tersebut. Layaknya ponsel tersebut adalah
bom yang beberapa detik lagi akan meledak. Ckck, mungkin kalau Alvin melihat
tingkahnya saat ini, pemuda itu akan tertawa puas sekali.
Febby
terkesiap kaget manakala ponselnya bergetar dan berbunyi tanpa henti.
Sepertinya ada yang menelepon. Apa itu Goldi? Pikirnya was-was. Ia sedikitpun
tidak bergerak bahkan bergeser dan membiarkan saja ponselnya berbunyi sesuka
hati. Paling juga hanya dua-tiga kali
lalu pasti tidak akan berdering lagi. Ia lalu membalikkan tubuhnya hingga
membelakangi nakas tempat ia menaruh ponselnya dan menutup mata berusaha tidur.
Meski saat ini bukan waktu yang tepat untuk tidur karena ini masih pagi.
Akan
tetapi, sepertinya dugaannya salah total. Ini sudah masuk yang ke enam kali
benda tersebut berbunyi. Ia lantas menggulingkan tubuhnya hingga ke samping nakas
dan memeriksa ponselnya. Untuk yang satu ini, dugaannya benar. Memang Goldi lah
yang menghubunginya. Tanpa menunggu lagi, ia mereject panggilan pemuda itu dan
langsung menonaktifkan ponselnya lalu mengembalikannya kembali ke atas nakas.
Dan hal paling menyebalkan adalah dadanya langsung bergemuruh sesak sesaat
setelah ia menolak panggilan Goldi di ponselnya. Ia lantas geleng-geleng
kepala.
I
really need sleep!
***
Shilla
sampai di meja makan bersamaan dengan Papanya dan Shanin yang juga tengah
berjalan menuju tempatnya berada. Sementara mamanya sudah menunggu seraya
menyiapkan sarapan. Ketika ia tengah meminum seteguk susunya, bel rumahnya
berbunyi. Semua orang di sekelilingnya langsung berpandangan berdiskusi siapa
yang harus membuka pintu dalam tatapan mata. Hingga akhirnya Shanin yang
mengalah dan berdiri lalu berjalan ke arah pintu serta membukanya. Gadis itu
tampak terdiam sambil memandang lamat-lamat sesosok makhluk yang berdiri di
hadapannya dari atas hingga ke bawah dan kembali ke atas.
Shanin
merasa tubuhnya melayang dan ia tanpa bisa dicegah tersenyum penuh kekaguman.
“Kakak bidadari ya?” gumamnya. Orang yang ada di hadapannya berjengit lalu
menggaruk-garuk pelipis. “Eng..kakak kan cowok. Masa bidadari?” katanya seraya
tersenyum sekaligus terkekeh. Shanin tampak makin melayang melihatnya tersenyum
seperti itu. Hatinya terus saja mengumbar pujian untuk ‘cowok’ di hadapannya
itu. Hingga kemudian, pujiannya terinterupsi oleh panggilan Mamanya karena ia
mungkin sudah terlalu lama tidak kembali-kembali. Ia seketika sadar kalau ia
belum bertanya siapakah gerangan tamunya ini dan ada perlu apa datang ke
rumahnya pagi-pagi. Menjemputnya? Amin. Pikirnya.
“Kakak
ini siapa ya? Trus, ada perlu apa dateng pagi-pagi gini?”
Pemuda
di hadapannya mengulurkan tangan mengajak berjabat. Shanin mengangkat dan
melihat tangannya lalu mengelap telapaknya ke bajunya. Seolah-olah ada banyak
kotoran di tangannya itu padahal tidak. Ia lalu menyeringai polos sambil
mendekatkan tangannya dan menjabat tangan si tamu. Si tamu baru hendak buku
mulut namun lagi-lagi diinterupsi. Bukan suara Mamanya lagi, melainkan suara
Shilla yang tahu-tahu sudah ada di belakangnya menyusulnya dari ruang makan.
Baik ia maupun si tamu langsung menoleh pada gadis itu. Shilla membelalakkan
mata kaget saat si tamu tersenyum padanya sementara ia memandang dengan
bingung.
Shilla
berlari ke arah Shanin lalu menyentak dan menarik paksa tangan Shanin dan
kemudian berdiri menghalau di depan Shanin. “Ngapain lo megang tangan adek gue?
Beraninya lo...setelah kemaren lo dengan kurang ajar nyentuh muka gue! Lo
pedofil ya, hah?!” tanyanya galak seraya mengacungkan telunjuknya. Dari
belakang, Shanin memandangnya penuh ingin tahu. “Kakak kenal sama kakak ganteng
ini? Siapa namanya?” tanyanya polos dengan berbisik.
“Chris.”
Jawab Shilla singkat. Namun, sedetik kemudian, ia mengernyit lalu melirik
adiknya. “Tadi lo bilang kakak ini apa?”
“Ganteng.
Pake banget. Hehe.” Cengir Shanin lalu memberikan senyum terbaiknya pada Chris.
“Lo kan udah punya Alvin ya, Kak. Nah, yang ini kenalin dong ke gue?”
“Heh!
Difa mau lo kemanain?” *mimin gatau pacar shanin siapa-.-v*
Muka
Shanin sontak berubah datar cenderung murung. Ia memandang Shilla tanpa
ekspresi dan berbicara dengan nada jutek. Kening Shilla langsung mengerut
bingung. “Difa siapa? Gue gak kenal.” Katanya dan langsung pergi begitu saja
tanpa mengucap pamit ataupun permisi. Baik Shilla maupun Chris sama-sama
melongo tak mengerti. Namun, Shilla lebih dulu sadar dan kembali mendelik pada
Chris.
“Pergi
lo!” usirnya mentah-mentah. “Yaudah, ayok!” jawab Chris yang tanpa izin menarik
tangan Shilla. Shilla langsung memekik dan memukul tangan pemuda kurang ajar
itu. “Lo tuh ya! Udah berapa kali gue bilang jangan sembarangan nyentuh anak
orang apalagi gue!!” pekiknya.
Chris
berjengkit lalu meringis memohon maaf. “Gak sengaja,” ringisnya.
“Shilla?
Kok teriak-teriak? Siapa yang datang?”
Amarah
Shilla terpaksa tertahan di tenggorokan begitu Mamanya datang sambil bertanya
bingung padanya. “Orang gila, Ma.” Jawabnya asal.
Wiwid
berdiri di sampingnya lalu memperhatikan Chris dari atas ke bawah. Chris
mengambil kesempatan tersebut untuk memperkenalkan diri. “Saya Chris, Tante.
Kakak kelasnya Shilla dulu.” Katanya sopan. Wiwid diam memperhatikannya lalu
berbisik pada Shilla. “Ganteng begini kok kamu bilang gila?” Mata Shilla
langsung melebar. Ada apa dengan wanita-wanita di keluarganya? Kenapa semua
malah memuji pemuda kurang ajar itu? Em..tapi, ia juga dulu seperti itu, sih.
Meski sekarang sudah tobat.
“Mau
ketemu Shilla ya?” tanya Wiwid ramah. Chris tersenyum senang mendapati sikap
bersahabat oleh mama Shilla itu. Setidaknya nanti kalau Shilla ‘kumat’, akan
ada orang yang melindunginya. “Chris pengen minta izin nganterin Shilla ke
sekolah, Tante. Kalo boleh, gak boleh juga gakpapa.”
“Tentu
aj—“
“Boleh!
Boleh banget, kok!” potong Wiwid dengan wajah berseri-seri. Shilla mendelik tak
setuju. “Mama!”
“Yaudah,
masuk dulu, yuk. Ikut sarapan sama kita.” Ujar Wiwid tanpa mengacuhkan Shilla.
Begitu pula Chris. Tanpa menoleh ke arah Shilla, pemuda itu langsung masuk dan
berjalan di samping Wiwid mendahuluinya. Melihat itu, Shilla rasanya ingin
terjun ke niagara saja atau meledakkan diri dengan bom nuklir.
***
Kembali
pada Alvin dan Febby. Suasana mobil terasa lebih sunyi dari kesunyian biasanya
yang terjadi ketika hanya ada Alvin dan supir. Tapi, entah kenapa, dengan
bertambahnya Febby, kesunyian itu rasanya semakin terasa saja. Hingga kemudian
mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah. Febby turun bersama dengan sang
supir sambil membawa keluar tongkat Alvin dan menunggu Alvin sendiri keluar.
Alvin
turun dari mobil dengan satu kaki diangkat. Febby langsung menyerahkan
tongkatnya padanya dan ia berusaha menerimanya dengan ‘tenang’. Sejak Febby
tinggal di rumahnya, ia sudah berikrar akan mencoba bersikap baik pada gadis
itu. Bagaimanapun, dia sudah berjasa padanya. Dan sudah menjadi kebiasaannya
dari orangtuanya untuk menganggap semua yang tinggal di rumahnya sebagai
saudara. Dan ia akan mulai berusaha menganggap gadis itu sebagai adiknya
meskipun ia tidak tahu di antara mereka berdua siapa yang lebih tua.
Alvin
dan Febby kemudian berjalan bersebelahan menyusuri koridor dengan tatapan dan
bisikan dari orang-orang di sekitar mereka. Entah apa penyebabnya yang jelas
itu benar-benar mengganggu. Ingin rasanya Alvin berlari agar cepat-cepat masuk
ke kelasnya. Tapi, sayangnya, kakinya masih belum bisa untuk melakukan itu. Sama
hal nya dengan Febby. Ia risih dipandang selekat itu oleh orang-orang. Ia juga
ingin berlari tapi ia tidak bisa meninggalkan Alvin begitu saja. Meskipun Alvin
tidak menyuruhnya mendampinginya, tapi ia tetap tidak bisa pergi meninggalkan
pemuda itu. Alvin seperti itu karena ulahnya dan Alvin juga sudah sangat
membantu kelangsungan hidupnya. Meski juga pernah menyusahkan walah secara
tidak langsung.
“Gue
bersumpah gak mau jadi artis..” gumamnya tanpa sadar dan sampai ke telinga
Alvin yang berjalan tepat di sebelahnya. Ia tampak tertawa kecil. “Baru tau rasanya
jalan di sebelah artis?”
“Hih..sok
deh lo.” Cibir Febby lalu memperhatikan sekelilingnya. “Taudeh, lo mah enak,
mereka ngeliatin lo karena terpesona. Lah gue? Liat aja tuh, udah kayak mau
ngerajam gue aja. Ckckck.”
Alvin
yang hendak membuka mulut menggulung niatnya seketika karena mendadak muncul
sebuah suara berat dan lantang yang menyerukan nama Febby dari arah belakang.
Baik ia maupun Febby sama-sama menoleh spontan. Napas Febby tercekat dengan
mata membelalak melihat sosok ayah tirinya yang kini berjalan menuju ke
arahnya.
“Papa?!”
katanya dengan suara tertahan. Matanya tak berkedip memandang sosok gempal yang
makin lama makin jelas di matanya. Alvin melirik ke arahnya dan papanya
bergantian sambil menaikkan alis. Bodohnya, masing-masing dari mereka tak ada
yang beranjak bahkan hingga ayah tiri Febby sudah benar-benar berdiri di hadapan
mereka sambil berkacak pinggang dan menatapnya garang.
“Kenapa
kamu pergi dari rumah?! Kamu pikir bisa tinggal dan pergi seenaknya aja, hah?!”
Febby
diam tidak ingin menjawab apapun. Takut-takut ia keceplosan soal Alvin. Ia
tidak ingin ayahnya tahu mengenai kepindahannya ke rumah Alvin. Ia tidak ingin
laki-laki itu membuat kekacauan di keluarga malaikatnya itu. Kediamannya itu
lantas digunakan ayahnya untuk meraih tangannya dan menggenggamnya dengan kuat
sekali hingga ia sampai meringis perih. Ayahnya lalu mencoba menariknya dengan
paksa. Ia langsung meronta dan seketika ia, ayahnya dan Alvin menjadi pusat
perhatian orang-orang di sekitar, dimana sebelumnya ia juga sudah mendapat
banyak perhatian dari orang-orang.
“Ayo
pulang!”
“Lepasin,
Pa! Febby gamau pulang!” ronta Febby sambil berusaha menarik tangannya dari
genggaman ayahnya. Alvin tiba-tiba baru teringat soal semua cerita Febby
tentang ayahnya termasuk yang paling aktual *tajam dan terpercaya!(?)* ketika
laki-laki itu hampir melecehkannya. Ia tanpa pikir panjang lagi langsung
mengangkat tongkatnya dan menghantam dengan sekuat tenaga pada tangan ayah
Febby sehingga laki-laki itu otomatis membebaskan tangan Febby.
“Masuk
ke kelas itu trus kunci dari dalem!” perintah Alvin. Febby langsung mengangguk dan
berlari tanpa banyak protes. Ia masuk ke dalam sebuah kelas di dekatnya dan
langsung mengunci pintu. Alvin mengayunkan tongkatnya lagi ke ayah Febby yang
hendak mengejar Febby ke dalam kelas hingga laki-laki itu ambruk ke lantai. Ia
kemudian berteriak memanggil satpam di sekolahnya. Tak sampai sepuluh detik,
satpam pun datang dan langsung menarik paksa ayah Febby agar keluar dari
sekolahnya.
“Kamu...saya
akan bikin perhitungan sama kamu!” ancam ayah Febby sambil menunjuk ke arah
Alvin dengan tatapan sangar selaras dengan wajahnya yang sudah sangar. Alvin
hanya diam dan membalas tatapan laki-laki itu dengan datar tanpa takut.
Masalah
kecil lain langsung datang selepas kepergian ayah tiri Febby. Kini ia yang
malah di kerubungi para siswi yang kelihatan mengkhawatirkannya. Ada juga yang
cuma curi-curi kesempatan untuk berfoto. Ia mencoba tetap tersenyum meski ia
hanya terlihat seperti meringis.
“Permisi,
permisi! Maaf ya, tapi Alvinnya harus segera sampe di kelas. Belum boleh banyak
berdiri.” Ujar Febby yang tiba-tiba menyelip masuk ke dalam kerumunan hingga ke
sebelah Alvin. Alvin bernapas lega melihat kedatangannya dan langsung tersenyum
senang pada gadis-gadis di sekitarnya. Meski enggan, tapi orang-orang yang
berkerumun tetap memberi jalan pada mereka berdua karena iba pada Alvin.
Sekali
lagi, Alvin mendesah lega setelah benar-benar terbebas dari kerumunan dan tiba
di koridor yang sepi. Ia melirik ke arah Febby yang juga meliriknya di saat
yang bersamaan.
“Thanks
ya!” Ujar mereka kompak. Sesaat mereka terdiam dan sama-sama menaikkan alis
lalu menurunkannya di saat yang sama. Sedetik kemudian mereka langsung tertawa
geli. Bagaimana tidak, mereka telah melakukan tiga hal yang sama dalam waktu
yang sama. Melirik, berbicara dan memainkan alis. Atau mungkin tertawa juga
termasuk. Tapi tawa mereka tidak bertahan lama karena sang empunya masalah
kembali memberikannya pada mereka.
“Febby!”
Febby dan Alvin spontan menoleh dan mendapati Goldi sudah berdiri tegap di
depan mereka dengan air muka tidak begitu bagus. “Apaan lagi nih?” gumam Febby
pelan. Ini adalah tamu kedua untuknya hari ini. Dan keduanya adalah orang-orang
yang sangat-sangat tidak ingin ia temui. Kenapa ya, doanya akhir-akhir ini
selalu menghasilkan hal yang berlawanan?
Sementara
Alvin bersedekap sambil melihat kedua orang di hadapannya ini dengan antusias.
Menunggu Febby melaksanakan permintaannya. Apa benar kali ini kata-kata gadis
itu bisa dipercaya? Apa Febby benar-benar mau memutus hubungan dengan Goldi?
“I
need to talk to you.” Ujar Goldi tegas mengisyaratkan ia tidak menerima
penolakan. Febby langsung memalingkan wajahnya sambil meremas tali tas
sekolahnya. “Tapi gue gak butuh. Apa kalimat ‘jangan temuin gue lagi’ gak
kebaca sama lo?” Alvin menoleh dengan kaget ke arahnya. Jadi, mereka bahkan udah
putus dari kemaren? Wih! Batinnya.
Goldi
mendesah singkat. “Gue butuh penjelasan soal sms lo. Kenapa lo gak ngangkat
telfon gue?” tanyanya mencoba melunak. “Setau gue mata lo gak rabun dan lo
lulus sd, pasti bisa baca dengan jelas sms gue. Kecuali kalo tulisan di hape lo
kecil-kecil banget. Dan lo anak beasiswa, kan? Pasti pinter, pasti bisa lah ngerti
maksudnya apa.”
Goldi
diam tak langsung menjawab. Ia menatap Febby tajam berusaha membuat Febby
menatapnya balik. “Kenapa?”
“Bosen.”
Sorot
mata Goldi seketika berubah pilu dan ada sedikit percikan kemarahan di dalamnya.
Tampak begitu sedih dan tidak rela menatap mantan kekasihnya itu. Alvin menatap
lekat ke dalam mata Goldi. Saat itu juga ia merasa bingung. Kalau dari
pengamatannya sih, Goldi sepertinya terlihat begitu mencintai Febby. Tapi,
kenapa dia malah selingkuh dengan Oik? Atau mungkin pengamatannya yang salah?
“Bosen?
Semudah itu lo bilang bosen? Feb, susah-seneng kita udah lewatin sama-sama. Apa
lo ga inget? Jadi, semuanya gaada artinya lagi buat lo? Secepat itu?” Goldi
mengepal tangannya menahan emosi. Begitu juga dengan Febby. Remasan pada tali
tasnya semakin kuat. Matanya pun sudah terasa memanas. Rasanya ia ingin
mengungkapkan segalanya pada pemuda ini. Bagaimana kekecewaannya pada pemuda
ini karena menghianatinya. Bagaimana sedih dan beratnya ia harus melepas semua
perasaannya pada Goldi apalagi harus merelakannya untuk Oik, orang yang paling
dibencinya di dunia ini.
Tapi,
kenapa sih Goldi membuat semuanya jadi sangat rumit? Kenapa Goldi bersikap
seakan-akan tidak rela melepaskannya pergi? Jelas sekali telinganya kemarin
mendengar hubungan spesial antara dia dan Oik. Bahkan ia sampai bertanya tiga
kali. Lalu kenapa sekarang sampai seheboh ini mencari penjelasan? Dia sakit
atau bagaimana? Mana menuduhnya yang tidak-tidak lagi. Dia pikir semudah itu
bisa berdiri dan berbicara seperti ini dihadapannya?
Febby
menarik napas dalam-dalam dan menghembusnya dalam satu hentakan. Biarkan
sajalah Goldi menganggapnya seperti apa. Biar saja pemuda itu berpikir kalau ia
tipe cewek pembosan yang dengan mudah mengakhiri sebuah hubungan seenaknya.
Seumur hidup pun tidak masalah. Biar saja kebencian padanya tertanam di benak
dan nurani pemuda itu. Bagus juga untuknya. Jadi, pemuda itu tidak akan sudi
lagi menemuinya. Ia bisa tenang. Hatinya bisa tenang meski bukan suatu
ketenangan yang ia harapkan. Tapi, memang sedang ia butuhkan.
“Iya,
semudah itu. Gak, gue gak inget. Iya, gaada artinya lagi. Iya, secepat itu.
Mulai sekarang, kita balik jadi dua orang yang gak pernah kenal. Deal?” Ujar
Febby menjawab satu-persatu pertanyaan beruntun yang diajukan Goldi. Membuat
Goldi terdiam membisu di tempatnya. Menatapnya dengan tatapan tidak percaya dan
merasa saat ini hanyalah bagian dari bunga tidurnya. Febby menggunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri sejauh-jauhnya bahkan sampai lupa dengan
Alvin.
Alvin
sendiri masih melongo kebingungan bersama Goldi. Ia melihat Febby yang berjalan
cepat meninggalkannya dan ia tidak mungkin bisa mengejar gadis itu. Ia lantas
mengedikkan bahu tak mau ikut campur. Ia memilih berjalan kembali. Bukan untuk
mengejar Febby, tapi agar ia segera sampai di kelasnya. Ia sudah lelah berdiri
dengan satu kaki dari tadi.
“Sejak
kapan kalian jadi akur?” Goldi tiba-tiba bertanya dengan nada bicara sinis tapi
sangat ingin tahu. Alvin berhenti tapi kemudian melangkah kembali tanpa
menggubrisnya. Goldi yang tentu saja tidak terima langsung berjalan dan
menghadang pemuda itu. Membuat Alvin terpaksa berhenti dan memandangnya jengah.
“Kenapa
kalian bisa datang bareng dengan dan di dalam mobil yang sama? Apa sekarang lo
jadi supirnya? Gue denger dari Oik, Febby ngilang dari rumah. Apa ada
hubungannya sama lo?”
Alvin
berjengit sambil menatapi Goldi tidak suka. Apasih ni orang? Gajelas banget.
Dia mau sama Febby tapi dengan gak tau malu nyebut-nyebut nama Oik. Batinnya
kesal.
“Lo
deket banget ya sama Oik.” balas Alvin sarkastis sambil geleng-geleng kepala.
Ia mengangkat tongkatnya dan berjalan lagi. Syukurlah kali ini Goldi tidak
menghadangnya lagi. Ia tidak peduli kenapa pemuda itu membiarkannya pergi. Ia
juga tidak peduli kenapa ia tidak mendengar suaranya lagi. Mungkin sedang
memikirkan kata-katanya. Baguslah kalau begitu.
Tapi,
kenapa ya ia begitu kesal akan sikap Goldi pada Febby? Plis, jangan mikir-mikir
yang enggak-enggak lagi. Ya...mungkin karena gue punya cewek dan gue ngerti
gimana perasaan cewek kalo cowoknya brengsek. Makanya gue kesel. Iya, pasti
karena itu. Percaya...deh.
***
“Tunggu!”
Febby
yang sedang ingin-inginnya berjalan mendengus kesal karena ada yang membuatnya
terpaksa berhenti. Padahal semeter lagi ia sudah bisa sampai di depan kelasnya.
Ia menegakkan kepala siap untuk mengomel tapi seketika omelannya itu tertelan
masuk dalam perutnya. Sekali lagi, ia dipertemukan dengan orang yang tidak
ingin ia temui. Doa gue bener-bener pending deh kayaknya. Apa sinyal ke surga
semalem ngadat? Ck, pasti pengelolanya lupa bayar biaya bulanan.
“Pergi
kemana lo? Papa sibuk nyariin lo.”
Febby
memandang datar Oik yang bersedekap di hadapannya dengan tampang tak kalah
datar. “I never have a father.”
Oik
mendesah tak malas. “Ya ya terserah lah siapa dia bagi lo. Intinya, gue gak mau
tau hari ini lo mesti pulang. Gue pusing ditanyain terus sama dia. Rrr..emang
gue siapa lo gitu sampe-sampe dia mikir gue tau lo dimana.” Ujarnya sambil
bergidik. Febby mengernyit heran lalu tertawa. “Nah, itu! Emang lo siapa gue
sampe gue mesti ngikutin semua kata-kata lo?”
Oik
menaikkan sebelah alisnya. Ada gerangan apalagi sehingga Febby sudah berani
melawannya? “Lo masih inget apa yang bisa gue lakuin sama Goldi, juga elo?” Febby
ikut-ikutan menaikkan alis seolah-olah ia begitu penasaran. “Oh ya? Apa ya? Gue
gak inget deh kayaknya.”
Oik
tersenyum sinis. “Lo mau beasiswa Goldi dicabut dan lo berdua kena skors? Lo
gak takut aib lo berdua kesebar seantero sekolah? Mungkin juga seantero negara.
Ya gue sih tinggal upload doang.”
Febby
balas tersenyum sinis. “Lo kayaknya mesti sadar, deh. You don’t have anything
to threaten me anymore. Lo mau nyebarin video itu? Up to you, I—don’t—care. Bukan
masalah gue kalo beasiswa Goldi dicabut. Kalo kena skors, paling cuma 3 hari,
seminggu paling lama. Bukan masalah buat gue juga. Those have been the problems
of you. Lo pikir lo ga bakal kena imbas? Lo pikir orang-orang gak bakal
ngehujat lo atas perbuatan lo? Orang-orang ga bakal ikut ngomentarin status lo?
Ga puas jadi selingkuhan lalu buka aib pacar?”
Oik
menarik napasnya sambil menatap Febby tak percaya. Febby lantas melanjutkan
omongannya kembali. “Lo pikir lo yang akan tertawa di atas penderitaan gue? Salah
besar. Gue liat Goldi udah gamake motor bututnya lagi, dia udah mau make mobil
yang gue tebak pasti pemberian papanya. Berarti hubungan mereka udah baik. Asal
lo tau ya, Goldi itu anak kesayangan papanya. Dan lo harus tau kalo papa Goldi
bukan orang sembarangan. Dia pasti bakal menindak orang-orang yang mencoba mengganggu
apalagi mempermalukan anaknya. Gue saranin lo jangan ngelakuin apapun yang lo
pikir bakal ngerugiin gue tapi nyatanya justru bakal ngerugiin lo sendiri. Stop
deh semua hal-hal gila di otak lo. Hidup yang damai-damai aja kenapa, sih?
Aneh!”
Selesai
berujar, Febby melengos begitu saja tanpa menunggu tanggapan Oik. Hatinya
benar-benar puas sekali. Mudah-mudahan Oik benar-benar memikirkan ucapannya dan
tidak mencoba mengganggu hidupnya lagi.
***
Febby
meneteskan larutan NaOH dengan sangat hati-hati menggunakan pipet tetes di
tangannya. Sesekali ia menggoyangkan tabung melihat apakah cairan di dalamnya
sudah berubah warna. Alvin di sebelahnya duduk sambil ikut memperhatikan
pekerjaan Febby. Tak jarang fokus matanya terganggu dan bimbang antara
memandang tangan Febby beserta tabung reaksi atau wajah gadis itu yang saling
berhadapan. Hingga ujung-ujungnya fokusnya benar-benar tertuju pada wajah
Febby.
Febby
sendiri tampaknya tidak menyadari kalau ia sedang diperhatikan oleh manusia
yang duduk di sebelahnya. Ia benar-benar fokus pada tabung di depannya. Ia
kemudian menoleh pada Alvin ketika larutan di dalam tabung sudah tidak berubah
warna lagi. Barulah saat itu ia sadar kalau Alvin tengah memandang ke arahnya.
“Vin?”
panggilnya dengan kening mengerut. Alvin terkesiap dan langsung mengalihkan
pandangannya pada kertas laporan di hadapannya. Mencoba tetap bersikap biasa
seolah tadi itu ia hanya tak sengaja memandang Febby. Meski begitu, Febby tetap
merasa ada yang aneh dalam sikap Alvin. Tapi kemudian ia hanya mengedikkan bahu
tidak mau terlalu mencari tahu.
“Berapa
tetes?” tanya Alvin buka suara sambil menoleh ke arah Febby kembali. “25.”
Jawab Febby lalu meletakkan tabung di rak. Alvin langsung menuliskannya dalam
laporan sekaligus menuliskan mol akhir larutan asam yang baru di tirtrasi itu.
Sambil menunggu, Febby memilih mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan
untuk praktek selanjutnya dan menjauhkan alat-alat yang sudah ia gunakan dan
tidak akan digunakan lagi. *haaahseketikakangensma*
Gantian
sekarang Febby yang kebagian jatah mengamati Alvin yeng belum selesai menulis
sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke meja. Orang-orang memang benar. Pemuda
di sampingnya ini memang tampan. Juga..dia baik. Alvin benar-benar baik.
Seberapapun ketidaksukaannya padanya, tapi pemuda itu tetap mau menolongnya. Selain
pribadi yang baik, sebagai seorang cowok, Alvin juga termasuk dalam kategori
baik. Buktinya, Alvin tetap setia pada Shilla dan tidak sedikitpun tergoda
olehnya ketika ia dulu berusaha membuatnya jatuh cinta padanya. Padahal mereka
itu pacaran jarak jauh. Goldi aja selingkuh, udah sedekat-dekatnya padahal.
Mana udah ketemu tiap hari juga tapi tetep aja. Ckckck, Alvin bener-bener cowok
idaman. Stok cowok kek dia masih ada gak, sih?
“Woy!”
Panggilan Alvin langsung menyadarkannya kembali. Alvin lantas mengernyit ke
arahnya. Febby dengan segera mengambil pena dan kertas laporan dari tangan
Alvin. Alvin yang tadinya ingin bertanya pun akhirnya tidak jadi dan memilih
menggeser peralatan praktikum ke depannya. Mereka lantas melakukan tugas
masing-masing dalam diam.
“Lo
lagi ada masalah ya?” tanya Febby yang lebih dulu bosan bersama keheningan.
Alvin meliriknya sekilas. “Kenapa emangnya?”
“Tadi
lo keknya ngelamun, kayak lagi mikirin sesuatu. Kan gak mungkin lo bengong
karena ngeliatin gue.” Febby tertawa kecil sambil melihat larutan-larutan di
depan Alvin. Alvin tertawa gugup. Untung Febby tidak benar-benar berpikir kalau
tadi ia memang sedang memperhatikannya. “Ya..ya biasalah, gue lagi kangen
Shilla aja.”
Febby
hanya tersenyum tanpa berkomentar. Tuh kan, Alvin emang bener-bener cowok
idaman. Batinnya memuji. “Lo sendiri, tadi ngelamunin apaan? Ada masalah?”
“Masalah..”
gumam Febby menggantung seraya berpikir sejenak lalu menoleh pada Alvin.
“Keknya lo udah tau deh semua masalah gue.” katanya dan kembali tertawa.
“Berarti
lo merhatiin gue, dong?” balas Alvin seraya menaikkan alis dan juga diikuti
oleh Febby. Febby lalu mengedikkan kepala mengaku. “Ya, emang, sih. Tadi gue
emang lagi ngeliatin lo.”
Sekali
lagi Alvin tertawa gugup. Pengakuan Febby itu sukses menggetarkan serat-serat
dalam jantungnya. Dan ia merasa aneh pada reaksi organ tubuhnya itu. Padahal
dulu saat Febby menembaknya ia tidak merasakan apa-apa pada jantungnya.
“Kenapa? Lo beneran naksir sama gue ya?”
Febby
menghela napas sambil mengedikkan bahu. “Naksir sih enggak. Tapi, gue pengen
aja punya cowok kayak lo.”
“Kenapa
gitu? Tapi wajar sih, siapa gitu yang gamau punya cowok cakep dan baik kek gue.”
Febby
mendesis meski tetap tersenyum juga. “Which is..gak gue sangkal kalo lo emang
cowok yang baik.” Febby diam sebentar lalu berbicara kembali. “Yang paling
penting itu, lo selalu setia sama pacar lo, dimanapun lo berada, sejauh apapun
jaraknya, segimanapun keadaannya.”
Alvin
sejenak memperhatikan Febby lalu tersenyum hangat. Tangannya spontan terangkat
lalu mendekat ke kepala Febby serta mengacak rambutnya pelan. “I know, you’re a
good girl. You’ll find a better man.”
Febby
menoleh ke arahnya sehingga mereka saling berpandangan. Ia tersenyum dan gadis
itu pun tersenyum. Rasanya seperti ada yang memutar lagu brahms lullaby milik
johannes brahms di ruangan tempat mereka berada. Berikut angin sepoi-sepoi yang
berhembus di sekitar mereka. Hingga tiba-tiba mereka sama-sama tersadar apa
yang sedang mereka lakukan. Alvin cepat-cepat menarik tangannya dan kembali
mengerjakan praktikum sementara Febby pura-pura membaca instruksi praktikum
yang ada di kertas laporan. Pengawas dalam laboratorium tersenyum sambil
geleng-geleng kepala.
***
But
dig the truth. Baby, dig the truth. I can’t hide my feelings. Especially when
the whole world can see that my heart is in two different places.
***
Ini
part gajelas banget-_- Haha menanti-nanti konflik emang gajelas, sabar yak-.-v
Oh
iya kemaren mimin diserang ya(?) Banyak banget yang nanya sama nebak kalo ini
bukan Alshill. Alshill gak yaaaa? Kasih tau gak yaaaaaa?
*dilemparkerelkereta*Sebenernya ga mau ngasih tau sampe cerita ini selese, tapi
karena banyak banget yang protes jadi ya mau ga mau.-. Ini tuh Alshill tau. Kok
pada ga percaya sih?-.- Mungkin karena di part2 sekarang jarang Alshill ya?
Sabar yaaa, namanya juga dalam cerita mereka itu ldr mana Alvinnya lagi atit.
Dan karena lagi menuju ke konflik nya makanya jarang yang part Alshillnya.
Bentar lagi part mereka berdua juga bakal banyak. Berhubung mau tamat kan. Jadi
ya sekali lagi harap dimaklumi. Mohon maaf kalo gak sesuai sama keinginan
kalian. Thanks yang udah baca dan masih mau baca muah muah:*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar