-->

Jumat, 04 Juli 2014

Matchmaking Part 29 (Alshill)

Alshill

Shilla terbangun karena mendengar bunyi bel. Matanya terbuka dengan tidak rela. Ia melirik teman-temannya yang sudah tertidur nyenyak dan sepertinya hanya ia sendiri yang terganggu akan bunyi bel tersebut. Ia mendecak kesal. Ini sudah tengah malam, siapa sih yang masih mau bertamu? Mana pakai memencet bel tanpa henti lagi. Kalau sekali dua kali tidak ada yang datang melihat harusnya dia tahu diri kalau kehadirannya tidak diharapkan pun sangat-sangat mengganggu.
Meski enggan dan harus banyak merutu lebih dulu, Shilla tetap bangun dari tidurnya dan turun dari kasur. Ia mengambil pita di atas nakas dan mengikat rambutnya seadanya. Ia berjalan keluar dari kamar menuruni tangga hingga akhirnya sampai di depan pintu. Ia mendesah ketika sudah sampai di depan pintu, si tamu masih saja membunyikan bel. Dikiranya mainan apa dipencet-pencet terus? Gak bakal keluar duit juga kali! Batinnya.
Shilla baru hendak memegang kunci tapi kemudian ia menarik tangannya kembali. Tengah malam begini, jangan-jangan yang bertamu sekarang itu maling! Air muka Shilla sesaat berubah menjadi agak panik. Ia mendekati jendela dan mencoba mengintip tamunya itu. Saat itu juga, matanya melotot tak percaya. Lalu kemudian berubah bingung. Ia sedikit berlari mendekat ke arah pintu dan buru-buru memutar kunci serta membuka pintu depan rumah Ify. Ia di sambut dengan senyum si tamu yang merupakan seorang pemuda yang berdiri tegak di hadapannya. Ia berkedip cepat beberapa kali masih tidak percaya.
“Alvin?” gumamnya. Alvin, sang tamu, tersenyum sambil merentangkan tangan mempersiapkan diri menerima pelukan dari Shilla, yang hampir sebulan tidak ia temui ini. Akan tetapi tidak seperti dugaannya, Shilla hanya diam terpaku bengong memandangnya. Ia lantas menaikkan alis heran. “Not missing me? Gak ada niatan meluk gue gitu?”
Shilla terkesiap dan keluar dari rasa kagetnya. Ia lantas tersenyum lalu mendekati dan langsung memeluk pemuda di hadapannya erat. Menyerukan kerinduan mereka satu sama lain. Shilla menarik tubuhnya sedikit menjauh agar bisa bertemupandang dengan Alvin. “Gue kan udah bilang tunggu gue aja, kenapa lo nakal, sih?”
Alvin memberengut pura-pura kecewa. “Jadi sekarang lo pengen gue balik lagi?” Shilla mencibir lalu memeluk Alvin kembali seraya merengek manja. “I miss you so much, Vin. Gue malah pengennya lo gak balik-balik lagi. Sini aja temenin gue..”
Alvin tersenyum sambil mengelus kepala Shilla dengan lembut. “I’m with you now, Pretty.”
Beberapa saat kemudian, Shilla menarik tubuhnya kembali. Ia menarik tangan Alvin mengajaknya masuk. Tapi kemudian sebuah suara aneh memanggilnya. Suara yang sepertinya pernah ia dengar. Dan anehnya lagi, suara tersebut seperti datang tepat dari arah belakangnya. Dari tempat Alvin berada. Tapi, kan, suara Alvin tidak seperti itu.
Shilla menoleh ke belakang dan membalikkan tubuhnya sepenuhnya. Ia langsung menganga tak percaya melihat orang yang berdiri di hadapannya yang masih ia genggam tangannya itu bukanlah Alvin lagi. Tapi, sosok pemuda yang sudah menjadi kenangan menyebalkan di masa lalunya. Pemeran utama dalam kejadian surat cintanya. Chris.
“E—elo?” katanya terbata-bata sambil mengacungkan telunjuk ke arah pemuda itu. Chris tersenyum semangat ke arahnya. Tapi kemudian senyumnya berubah sinis dan tiba-tiba saja menarik tangannya lalu memutar tubuhnya hingga jatuh ke lantai. Pemuda itu seperti membalas perlakuannya waktu dulu. Benar-benar persis seperti yang pernah ia lakukan padanya.
Bug.....
“AWW! SHILLA IDUNG GUE!”
Shilla langsung membuka matanya mendengar Agni berteriak. Ia melirik sekelilingnya dan mengetahui kalau ia ada di dalam kamar Ify. Otaknya masih belum bisa mencerna dengan baik apa yang terjadi padanya. Rasanya tadi ia sedang berada di ruang tamu dan bukan di kamar Ify. Dan seharusnya sekarang masih malam hari, langit masih sangat gelap, tapi kenapa tiba-tiba sudah berubah terang begini? Tidak terlalu terang memang. Tapi, apa artinya sekarang sudah pagi? Apa ia tertidur di pelukan Alvin dan Alvin membopongnya kemari? Atau, Chris yang membopongnya setelah menjungkirbalikkannya ke lantai? Ah! Jangan-jangan ia sedang bermimpi?
“Yang tadi cuma mimpi?” gumamnya pada dirinya sendiri. Tidak sadar kalau Agni hampir mati dihimpit olehnya hingga sekarang. “Bodo amat lo mimpi atau enggak, tapi bisa stop ngimpit gue?!” sungut Agni. Via yang berada di sebelahnya menggeliat dan mengerang kesal mendengar keributan yang diakibatnya olehnya dan Shilla.
“Jan berisik woy!” pekik Via. Shilla seolah tersadar kembali dan langsung berguling menyingkirkan diri dari atas badan Agni. Agni lantas mendesah lega sambil mencoba menghirup napas sebanyak-banyaknya. Namun, perkara Shilla tidak selesai sampai di sana. Sehabis menghimpit Agni, ia juga tanpa sengaja menghimpit tubuh Via karena gadis itu berbaring tepat di samping Agni. Via menampik kasar tubuh Shilla hingga Shilla berguling dan benar-benar jatuh ke lantai. Untungnya tidak terasa sakit karena jaraknya tidak tinggi.
Shilla bagun terduduk lalu melihat ke arah teman-temannya. Ia akhirnya benar-benar menyadari kalau Alvin yang tiba-tiba datang itu hanyalah mimpi. Ia mendesah kecewa. Segitu kangennya gue sampe kebawa mimpi? Batinnya miris. Ia lalu mengernyit kesal. Tapi, kenapa si Chris harus ikut-ikutan muncul, sih? Mana pake ngejungkirbalikin gue segala! Jangan-jangan, dia dateng lagi kemaren itu buat bales dendam sama gue.
Shilla menggelengkan kepalanya menghilangkan segala pemikiran buruk di dalam sana. Ia melirik jam sudah menunjukkan jam 6 pagi lebih beberapa menit. Ia lalu membangunkan Via dan Agni dengan memukul pantat mereka dengan sangat keras. Tak ayal, Via dan Agni langsung mengaduh kesakitan dan sama-sama membuka mata menatapnya kesal setengah mati.
“SAKIT TAU!” pekik mereka berdua. Shilla yang sudah berdiri bertepuk tangan dan tertawa puas. “Goodmorning!” cengirnya tanpa dosa.

***

Meja makan rumah Alvin kini kembali dihuni oleh penghuni yang lengkap. Ada Alvin dan kedua keluarganya. Bahkan bertambah satu orang lagi. Febby yang datang paling akhir kemudian duduk di kursi di sebelah Alvin. Alvin meliriknya sebentar lalu memalingkan pandangannya tak peduli. Ia sudah mencoba berdamai dengan hatinya untuk bisa menerima gadis itu di rumahnya. Kasihan juga sebenarnya. Gadis itu sebatang kara, terjebak dalam lingkaran setan cukup lama bahkan hampir saja terjerumus. Hitung-hitung, berpahala sekaligus bisa meredam rasa bersalahnya pada Mama juga Papanya. Karena dari kelihatannya, Papanya itu juga tak kalah senang dengan Mamanya dengan keberadaan Febby di tengah-tengah mereka. Padahal mereka baru saja bertemu karena Papanya pulang dari luar kota malam hari dan Febby sudah tidur di kamarnya. Benar-benar sehati.
“Kamu Febby?” ujar Papanya dengan mata berbinar. Febby tersenyum canggung sambil menganggukkan kepalanya lemah. “I-ya..Om.”
Papanya sejenak diam sambil terus memperhatikan wajah Febby. Alvin berdecak heran dalam hati. Baru kali ini Papanya itu melihat seorang perempuan sebegitunya, selain pada Mamanya tentunya. Perasaan ni cewek..ya emang cantik sih. Boleh lah. Tapi masa sampe harus diliatin gitu banget? Cantikan juga Mama. Ckckck. Pasti efek sering di luar kota, nih.
Papanya tersenyum dan mendesah pelan. “Saya ga pernah nerima orang asing di rumah ini.”
Saat itu juga, tenggorokan Febby tercekat. Ma—maksudnya? Batinnya panik.
Melihat kebingungan di wajah Febby, Papa Alvin lalu berbicara kembali. “Kalo kamu masih manggil saya, Om, tandanya kamu itu masih orang asing.”
Febby mengernyit antara mengerti dan tidak mengerti. Yang bisa ia simpulkan adalah Papa Alvin tidak suka dipanggil Om.
“Kalo kamu diizinkan tinggal di sini, artinya kamu udah jadi bagian dalam keluarga kami.”
“Matanya Febby bentar lagi tinggal putihnya doang karena Papa ngomongnya muter-muter terus. Intinya itu, Om ini pengen dipanggil Papa.” Sela Fara yang gemas memperhatikan suaminya. Papa Alvin tertawa kecil sambil menganggukkan kepala. “Mama tau aja deh apa yang Papa mau.” Balasnya seraya mengerling genit ke arahnya.
Alvin menepuk keningnya sambil geleng-geleng kepala. “Masih pagi, Pa!” sindirnya. Sekali lagi, papanya hanya tertawa tanpa membalas ucapannya.
“Kamu satu kelas sama Alvin?”
“Enggak.” Sela Alvin. Papanya lantas menyipit ke arahnya. “Papa kan nanya Febby, Vin.”
“Oh, gitu.” Balas Alvin datar.
“Orangtua kamu gimana? Ga masalah kalo kamu tinggal di sini?”
Febby menelan roti yang tengah ia kunyah dalam mulutnya lumayan susah. Pertanyaan ini agaknya susah untuk dijawab. “Febby...gak punya orangtua.” Cicitnya seraya meringis miris.
Papa Alvin tampak kaget sambil berpandangan aneh dengan Fara. Lalu menatap Febby kembali. “Jadi selama ini kamu tinggal sama siapa?”
“Di rumah Ayah tiri, Om eh..Pa.”
“Itu artinya kamu punya orangtua, dong?”
Febby menggeleng pelan dan menunduk. Ia bingung harus menjelaskannya bagaimana. Papa Alvin mengernyit tak mengerti. Fara kemudian meliriknya dan membisikkan sesuatu padanya yang membuatnya membulatkan mulut sambil menganggukkan kepala mengerti.
“Yaudah lah, gausah dibahas. Yang penting, kamu udah di tempat yang tepat dan aman.”
Febby menganggukkan kepala seraya tersenyum lega dan sedikit terharu. Baru kali ini ia merasakan seperti benar-benar punya orangtua. Diterima dan dikasihi dengan tulus dan sepenuh hati.
“Makasih banyak...Pa, Ma.”

***

“SHILLA!”
Agni, Via dan terutama Shilla menghentikan lari mereka dan menoleh ke sumber suara yang menyebutkan salah satu nama mereka. Ketiganya tampak sama-sama kaget apalagi Shilla. Agni dan Via berpandangan sesaat lalu memandang Shilla curiga.
“Itu Chris, kan?” tanya Via. Air muka Shilla langsung berubah masam. “Yaiyalah, masa Alvin!” katanya sewot.
“Lo berdua bukan sengaja janjian, kan?” Tanya Agni dengan nada mengintimidasi. Shilla menoleh ke arahnya sambil menaikkan alis, sama sekali tak takut akan intimidasinya. “Enggaklah, ngapain? Males banget. Udah yuk, lari lagi sebelum dia dateng ke sini!”
Shilla langsung berlari tanpa menunggu Agni dan Via mengiyakan ucapannya. Yang ada di pikirannya adalah ia harus segera menjauh dari Chris. Kemunculan pemuda itu di dekatnya saat ini langsung mengingatkannya pada mimpi semalam yang juga didatangi pemuda itu. Ia mendadak merasa takut kalau-kalau mimpi itu merupakan petunjuk untuknya dan benar adanya. Benar kalau pemuda itu ingin membalas dendam dengan menjungkirbalikkan dirinya seperti yang ia lakukan pada pemuda itu dulu.
Shilla menggelengkan kepalanya cepat sambil bergidik ngeri. “Kok lo lari, sih? Lo gak denger kalo gue manggil lo tadi? Suara gue kurang kenceng emangnya?”
Shilla menoleh ke sebelahnya lantas berjengit kaget dan berhenti. Ia menatap Chris yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya, shock sekaligus panik. Ia spontan mundur beberapa langkah sambil matanya berkeliling mencari kedua sahabatnya. Dua orang tersebut tampak jauh di belakang. Apa tadi ia lari begitu kencang sampai-sampai mereka ketinggalan jauh? Pikirnya.
Shilla menoleh kembali ke arah Chris yang hendak maju ke arahnya. Ia langsung menghalau dengan tangannya menyuruh pemuda itu berhenti. “Stop! Jangan deket-deket sama gue kurang dari satu meter!”
Chris memasang tampang tak mengerti sambil mengecek aroma tubuhnya. “Emangnya kenapa? Badan gue gak bau, kok?”
“Gak usah banyak tanya!” balas Shilla seraya melangkahkan kakinya, berjalan santai. Rasanya ia ingin berlari kencang. Tapi, percuma saja, pemuda di sebelahnya itu pasti akan mengejarnya.
Meski masih tidak mengerti, Chris lantas mengedikkan bahu tak begitu peduli. Ia lalu menatap Shilla sambil tersenyum senang. “Lo ngapain di sini?”
Shilla melirik ke arahnya dengan sinis. Menurut lo? Batinnya heran. “Ngaspal jalan.” Jawabnya asal lalu melengos. Chris lantas meringis seraya garuk-garuk kepala, sadar kalau pertanyaannya salah. Ia kemudian menggantinya dengan pertanyaan lain. “Lo sama siapa ke sini?”
“Harus gitu lo tau?”
Chris menggaruk kepalanya kembali. “Gak juga, sih.”
Shilla melengos tak peduli dan berjalan dalam diam seolah-olah tidak ada yang menemani di sebelahnya. Dalam hati ia berdoa supaya Chris cepat-cepat angkat kaki dari sisi sampingnya. Ia benar-benar sudah tidak tahan. Selain takut, rasa kesalnya akan kejadian surat cinta dulu masih bercokol di hatinya sampai sekarang dan itu yang membuatnya keki setengah mati setiap bertemu pemuda ini. Padahal kalau dipikir-pikir, kesalahan Chris tidaklah begitu besar. Tapi entah kenapa, ia tetap merasa kesal teramat dalam.
“Lo masih marah soal...su—surat cinta itu?” tanya Chris ragu-ragu. Cemas kalau-kalau Shilla akan mengamuk dan menjungkirbalikkan dirinya lagi. Shilla berhenti lalu menoleh ke arahnya dengan kesal. “Penting banget lo tau?”
“Banget! Banget-banget-banget, Shill! Itu adalah hidup dan mati gue.” jawab Chris cepat-cepat dengan sungguh-sungguh. Shilla berjengkit heran. Hidup dan mati? Lebay, deh. Batinnya. Ia lantas geleng-geleng kepala lalu berjalan lagi tanpa menanggapi.
“Gue mau minta maaf sama lo, Shill. Gue bener-bener minta maaf sama lo.”
Shilla kembali berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menghembusnya perlahan. Rasa-rasanya, ubun-ubunnya ini sudah bengkak dan ingin meledak. “Gue udah maafin lo. Puas, kan? Dan dari sekarang, jangan ganggu gue lagi.”
“Lo gak keliatan udah maafin gue.” balas Chris sambil bersedekap dan memperhatikannya dengan pandangan tidak percaya akan ucapannya. Shilla memutar kedua bola matanya malas. “Emang keliatannya harus kek gimana, hah?”
“Lo bilang ‘Iya, udah gue maafin, kok!’ pakek senyum kek gue. Kek gini nih..” Chris tiba-tiba maju ke arahnya dan mengarahkan tangannya ke wajahnya lalu menekan sudut-sudut bibirnya agar naik ke atas. Shilla melotot kaget dan langsung mendorong tubuh pemuda itu hingga kembali berjarak satu meter dengannya.
“LO! Beraninya...RRHH!” pekiknya kesal. Ia menaikkan lengan bajunya asal sambil berkacak pinggang. Chris sontak memucat melihatnya seperti itu. Seperti diingatkan akan kejadian terdahulu. Ia lalu meringis bersalah padanya.
“Gak inget apa yang gue bilang dulu? Jangan sembarangan nyentuh gue! Apa pantat lo ga puas nyium lantai dan sekarang pengen nyium aspal, hah?!!”
“Hehe. Gue lupa. Sorry ya. Emm..gue keknya ada urusan, deh. Gue duluan ya. Dah, Shilla!” Tanpa menunggu lagi, Chris langsung mengegas kakinya dan berlari meninggalkan Shilla yang hendak mengamuk.
Shilla lantas berteriak sambil mengumpat ke arahnya tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Biar saja ia dikatai cewek gila, yang penting hatinya puas. Ketika baru saja selesai, ada seseorang yang tiba-tiba menyentuh bahunya.
“SIAPA LAG—“ Ia seketika tidak jadi mengumpat karena melihat kedua sahabatnya berada tepat di belakangnya dan Agni lah yang baru saja menyentuh bahunya. Ia mendengus keras. Kesal tapi juga lega. Kalo tuh orang terus-terusan gangguin gue, yang ada gue bisa cepat tua. Bahkan bisa-bisa mati muda. Jangan pertemukan aku dengan dia lagi Tuhan, please!!

***

Febby meremas-remas jemarinya dan berdiri bimbang di depan pintu kamar Alvin. Ia tidak ingin masuk tapi juga ingin masuk. Ia takut untuk masuk tapi ia harus masuk. Hingga akhirnya ia mengepal tangannya dan memutuskan masuk sambil terus meyakinkan diri. Ia lalu mencoba mengetuk pintu. Bagaimanapun, ia tetap harus menjaga sopan santun. Apalagi yang didatanginya ini kamar Alvin.
Ketukan yang pertama tidak dijawab. Ia kembali mengetuk pintu dan barulah ada jawaban dari dalam. “Masuk aja, Ma. Biasa juga ga pake ngetok. Alvin ribet mau bukain.” Teriak Alvin dari dalam. Febby menarik napas dalam-dalam sebagai upaya terakhirnya meyakinkan diri. Ia memutar gagang dan perlahan membuka pintu. Alvin tampaknya tidak mengetahui kalau ia yang baru saja masuk ke dalam kamarnya karena pemuda itu tampak serius membaca buku. Buku catatannya! Febby tanpa sadar tersenyum tipis. Entah kenapa ia merasa senang. Namun, sedetik kemudian, ia langsung menggerus senyumnya itu dari wajahnya. Ia tidak seharusnya bersikap aneh begitu, kan?
“Vin?”
Alvin melirik sekilas lalu benar-benar menoleh ke arahnya, memandangnya kaget dan bingung. “Gue ngizinin lo tinggal di rumah gue bukan berarti gue juga ngizinin lo buat bisa sembarangan masuk ke kamar gue.”
“Gue tadi udah ngetok,” cicit Febby. Alvin hendak membuka mulut namun tidak jadi berbicara. Febby memang mengetuk pintu dan ia dengar tadi. Tapi, kemudian, ia kembali membuka mulutnya membalas. “Tapi, kan gue ngiranya lo itu Mama.”
Febby mendesah pelan. Ia berbalik badan melangkah mendekati pintu lalu berbalik lagi menghadap Alvin. “Gue boleh masuk?” tanyanya mengalah.
Alvin memalingkan wajahnya lalu berdehem singkat. Febby tak ayal mencibir melihat itu. Ujung-ujungnya diizinin juga, kan? Iss..dasar! Sabar, Feb, sabar. Batinnya.
“Ini perjanjian antara lo sama gue. Kalo lo masih pengen tinggal di sini, jangan ganggu gue. Ngerti?”
Febby mengangguk pelan. Alvin ikut mengangguk puas. “Sekarang, lo mau ngapain ke sini?”
Febby sekali lagi menarik napasnya. Tak lupa ia mempertunjukkan senyum terbaiknya pada malaikat penolongnya ini. “Gue cuma mau bilang makasih karena lo udah ngizinin gue tinggal di rumah lo. Makasih karena lo gak nahan keinginan Mama lo. Itu berarti banget buat gue. Makasih ya, sekali lagi.”
Alvin memandangnya heran. Ia ingin berkomentar ini dan itu tapi lekas ia urungkan. Ia tidak ingin pembicaraan ini semakin panjang dan durasinya bersama gadis itu semakin lama.
“Iya. Thanks juga udah ngasih catetan ini ke gue. Yah..lumayan berguna lah.” Balasnya datar. Febby mengangguk lagi. Ia hendak mengucap pamit tapi terpotong oleh Alvin. “Hari senin, lo sama gue gausah ikut upacara. Kita mulai ngerjain praktek. Jadi ga perlu repot-repot make jam abis pulang sekolah.”
“Boleh, sih. Tapi, emang bakal diizinin?”
“Dengan keadaan kaki gue yang kek gini, pasti diizinin. Gue juga udah nelpon Bu Rita buat ngedampingin kita praktek.”
Febby membulatkan mulutnya tanda mengerti. “Oh, bagus kalo gitu.” Katanya seraya menganggukkan kepala. “Yaudah, gue balik ke kamar dulu.”
Febby hendak berbalik badan tapi tiba-tiba baru teringat sesuatu. “Oh iya, kan lo udah baik banget sama gue, jadi sebagai imbalannya, kalo lo butuh apa-apa, lo silahkan bilang sama gue dan gue akan ngelakuin apapun yang lo minta.”
“Apapun?” ulang Alvin. Febby lagi-lagi mengangguk. Alvin memperhatikan sejenak memastikan kesungguhan gadis itu. Sekaligus memikirkan hal apa yang bisa ia minta sebagai uji coba kalau gadis itu bersungguh-sungguh atau hanya main-main.
“Putusin Goldi.” Katanya asal. Sejurus kemudian ia merutuki permintaannya itu. Kenapa ia malah tiba-tiba meminta Febby putus dengan Goldi? Gaada yang lebih penting apa?
Air muka Febby sontak berubah aneh. Padahal hari ini ia hampir saja lupa dengan pemuda itu. Tapi, kembali diingatkan begini. Ia lalu berusaha mengontrol ekspresinya meski tidak terlalu berhasil. Ia malah kelihatan gugup. “Iya..besok gue bakal mutusin dia.” Katanya lalu cepat-cepat berbalik dan pergi meninggalkan kamar Alvin. Alvin memperhatikannya sambil mengernyit heran. Orang-orang mungkin akan mengira kalau nama Goldi itu adalah nama setan kalau melihat Febby yang langsung ketakutan seperti itu. Pikirnya.

***

Shilla beserta kedua sahabatnya baru saja sampai di rumah dan duduk asal-asalan di sofa karena lelah. Agni yang masih punya sisa tenaga paling banyak meskipun tidak banyak sempat berjalan ke dapur mengambil soft drink yang sudah di persiapkan mereka sebelum pergi jogging. Ia lalu kembali ke sofa dan menyerahkan dua yang lain pada Shilla dan Via. Masing-masing dari mereka langsung meneguk ganas soft drink milik masing-masing baru setelah itu sama-sama menghela napas lega.
“Ify masih tidur?” tanya Shilla yang heran dengan keadaan rumah yang begitu sepi. “Mana gue tau, orang gue sama kalian bukan sama dia.” Sewot Agni.
“Yee..biasa aja dong!” balas Shilla. Ia memutar kepalanya memandang pintu kamar Ify yang tertutup. “Rio gak ngapa-ngapain dia, kan?” tanyanya kembali dengan nada panik. Tak ayal, Via dan Agni langsung memandangnya dengan tatapan yang sama. Agni berdiri dan lebih dulu berinisiatif pergi memeriksa ke kamar Ify sementara kedua temannya menunggu di bawah. Ia hanya mendapati kamar Ify yang sudah rapi tanpa ada penghuni di dalamnya. Ia lantas mendesah lega lalu turun dan kembali duduk di sofa.
“Ga ada orang. Kek nya di ajak pergi sama Rio, deh.” Ujarnya ketika sudah sampai di bawah. Shilla dan Via serentak mengangguk dan menghela napas lega. “Asik banget yang baru pacaran,” gumam Via datar sambil meminum soft drink nya lagi. Mendengar itu, Shilla tiba-tiba saja teringat Alvin. Ia baru ingat kalau hapenya sedaritadi ditinggal di kamar Ify karena ia lebih memilih membawa ipod. Ia yang tadinya lemas setengah mati mendadak mendapat suntikan tenaga dan langsung berlari naik ke atas menuju kamar Ify. Via dan Agni berjengit heran lalu hanya geleng-geleng kepala.
“Nah!” seru Shilla saat menemukan ponselnya di atas nakas. Ia langsung mengecek keadaan benda berbentuk petak tersebut berharap kalau sudah ada pesan dari Alvin. Tapi, seketika, ia mengerucut sebal karena keadaan ponsel tersebut masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Bahkan pesannya untuk Alvin juga belum dibalas. Ia mendial nomor kekasihnya itu dan menunggu hingga dijawab. Butuh waktu agak lama hingga kemudian suara Alvin tertangkap daun telinganya.
“Morning cantik! Hehe, sorry ya gue lupa nelfon. Gue gak megang hape daritadi,” ujar Alvin mendahului omelan yang tadinya hendak keluar dari mulut Shilla. Shilla mendesis sebal. “Lo tuh ya, ingetnya cuma sehari doang. Abis itu lupa lagi. Lupain aja terus, lupain!”
“I’m so sorry, Pretty. Tadi gue dibangunin Mama trus disuruh langsung sarapan. Dan pas selesai, gue langsung belajar buat ulangan dan praktek susulan besok. Bener-bener lupa.”
Shilla yang tadinya ingin mengomel lagi mendadak merasa tak enak. Ia baru ingat Alvin sudah tidak masuk sekolah beberapa hari dan ketinggalan pelajaran cukup banyak. Mana katanya besok akan ada ulangan dan praktek susulan. Wajar saja kalau pemuda itu lupa. Pasti Alvin sekarang stres dan ia dengan tidak tahu dirinya menambah beban pemuda itu. “Oh, jadi besok lo ulangan sama praktek?” tanyanya memastikan.
“Hmm.”
“Emm-gue yang ganggu berarti. Sorry ya?” Alvin terkekeh pelan. “Apaan sih kok jadi pada minta maaf?”
Shilla hanya tersenyum tipis tak ingat kalau Alvin tidak bisa melihatnya. “Yaudah, lo belajar aja dulu. Kasian, lo kan mesti ngapal sama belajar banyak banget.” Katanya masih merasa tak enak. Gantian Alvin yang tersenyum. “Gakpapa kok, Cantik. Lagian ini masih pagi, masih banyak waktu buat belajar. Ulangannya juga jam terakhir.”
“Yakin gakpapa? Gue gak mungkin marah kok, tenang aja.” tanya Shilla lagi sambil menggigit bibir. Alvin tersenyum lagi. “Surely, Pretty.”
Shilla mendesah menyerah. Meski masih merasa tak enak. “Gimana kaki lo? Gak lo gunain macem-macem, kan?”
“Enggak, kok, gak macem-macem. Lagi pegel-pegel aja. Kemaren baru abis main bola.”
“Apa?!” seru Shilla. Kepalanya mendadak seperti ditusuk-tusuk mendengar hal tersebut. Alvin terkekeh kembali. “Hehe..becanda, becanda!”
Shilla mendesah lega sekaligus kesal karena Alvin berusaha mengerjainya. “Lo tuh ya, ckckck.”
“Lo abis ngapain?”
“Kan tadi gue udah sms gue kemana dan ngapain!” Sahut Shilla yang mendadak sewot. “Gue kan ga megang hape daritadi, Cantik. Gue juga udah bilang tadi, kan?” jawab Alvin dengan penuh kesabaran.
“Uh? Oh iya ya..sorry deh.” Balas Shilla lemah. Ia duduk dengan menghantam pantatnya ke kasur.
“Lo kenapa? Ada masalah ya?” tanya Alvin lembut. Shilla mengedikkan bahunya. “Yes, ugly big problem!” sahut Shilla menggebu-gebu sambil mengepalkan tangannya lalu melengos.
“Okey, I’m listening.”
Shilla menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. “Salah satunya mungkin gue kangen sama lo.” Ujarnya tak yakin dengan pandangan menerawang mengamati langit-langit kamar Ify.
“I know it. Trus, yang satunya lagi?”
“Yang satunya lagi...ISH! Ini yang paling-paling-paling bikin gue kesel! Lo masih inget Chris gak?”
“Chris? Chris...” gumam Alvin seraya mengingat-ngingat. “Chris yang kakak kelas kita dulu itu?”
“Iya! Dia tuh udah kayak tuyul deh ngikutin kemana-mana sampe ke mimpi gue segala. Padahal gue udah bagus-bagus mimpiin lo eh tiba-tiba dia ikutan muncul juga. Nyebelin, kan?!”
“Kok bisa gitu?”
“Gue juga gak tau. Kemaren dia tiba-tiba dateng ke sekolah. Entah sengaja atau enggak, dia liat gue trus nyamperin gue sampe ‘maksa’ minta nomor hape. Trus pas gue lagi mimpi ketemu sama lo, tiba-tiba lo berubah jadi dia. Ih amit-amit! Dan tadi nih, pas jogging, gue juga ketemu lagi sama dia. Iiiyyy...pengen gue tonjok-tonjok mukanya!”
Alvin tertawa mendengar Shilla berceloteh panjang lebar dengan intonasi-intonasi yang lucu sekali menurutnya. “Kok lo malah ketawa, sih?” dumel Shilla.
“I really love your quarrelsome voice.” Shilla yang semula menggebu-gebu langsung menciut malu mendengar Alvin meledeknya atau bisa jadi memujinya. Ia merengut sekaligus tersenyum. “Iss..lo malah merhatiin itunya..”
“Jangan coba-coba clbk ya! Awas aja!” Ujar Alvin mengancam.
“Ga mungkin banget lah, Sipit! Gue udah ilfeel tujuh turunan.”
“Bagus, bagus!”
“Ya kan kalo clbk pilih-pilih juga kali.” Gumam Shilla asal. Alvin lantas bertanya sinis. “Maksud lo?” Shilla hanya tertawa kecil.
“Yaudah, lo lanjutin belajar gih. Gue juga mau mandi. Bau banget badan gue, lengket-lengket abis keringetan banyak banget.”
“Yaudah kalo gitu. Ntar jangan lupa sarapan. Gue belajar dulu ya, Cantik. Byeeee!”
“Iya, semangat belajar, Sipit! Byeeee!”

***

Febby berlari masuk ke dalam kamar barunya dan bersandar di badan pintu setelah menutupnya dengan sangat pelan. Ia diam sejenak mengatur napasnya lalu beranjak ke atas tempat tidur dan terduduk di atasnya. Ia mengambil ponsel dan meletakkannya di depannya. Matanya tak henti-henti menatap benda tersebut. Hatinya kacau balau saat ini. Semua itu tak lain karena permintaan Alvin untuk memutuskan Goldi.
Tadi memang ia bilang pada Alvin akan melakukannya besok. Tapi, membayangkan ia akan bertemu muka langsung dengan Goldi seketika membuat hatinya ciut. Ia takut kalau kejadiannya sama seperti beberapa hari lalu. Ia yang mengira baik-baik saja ternyata begitu tidak baik-baik saja ketika bertemu dengan pemuda itu. Ia sadar kalau perasaannya tidak hilang secepat yang ia kira dan inginkan. Jadi, mana mungkin ia sanggup mengucapkan kata pisah ketika berhadapan dengannya. Yang ada nanti ia malah memeluk pemuda itu.
Dan sekarang, ia mendapat ide untuk melakukannya melalui pesan singkat saja. Tapi ketika ia hendak melaksanakan, hatinya buru-buru menyuruhnya berhenti. Sepertinya sebagian besar hatinya belum rela kalau dirinya harus melepas Goldi. Ia lantas menjatuhkan badannya hingga membentur kasur lalu kemudian beralih memandang langit-langit kamarnya.
“Lo gak harus sebingung ini kali, Feb. Bahkan harusnya lo udah mutusin dia pas kemaren ketemu. Hhh...” racaunya. Ia diam dan memperhatikan langit-langit untuk yang terakhir kali sebelum kembali duduk dan berancang-ancang menyentuh ponsel. Ia langsung menyambar ponselnya tersebut sebelum keyakinannya kembali susut. Jemarinya bergerak cepat mengetikkan sebuah pesan untuk Goldi.
To : Goldi
Gue pikir udah gak ada lagi yang mesti kita omongin. Sama kayak hubungan kita yang udah gak ada alasan lagi buat dilanjutin. Jangan temuin gue lagi dan gue juga gak akan nemuin lo lagi. Makasih.
Jempolnya kemudian dengan mantap menekan tombol send tak lama setelah ia selesai mengetik. Dalam hitungan detik, muncul laporan pengiriman pesannya berhasil. Ia lantas menaruh ponselnya di atas nakas. Ia kembali merebahkan tubuhnya dan berbaring sembari menjaga jarak dengan benda tersebut. Layaknya ponsel tersebut adalah bom yang beberapa detik lagi akan meledak. Ckck, mungkin kalau Alvin melihat tingkahnya saat ini, pemuda itu akan tertawa puas sekali.
Febby terkesiap kaget manakala ponselnya bergetar dan berbunyi tanpa henti. Sepertinya ada yang menelepon. Apa itu Goldi? Pikirnya was-was. Ia sedikitpun tidak bergerak bahkan bergeser dan membiarkan saja ponselnya berbunyi sesuka hati.  Paling juga hanya dua-tiga kali lalu pasti tidak akan berdering lagi. Ia lalu membalikkan tubuhnya hingga membelakangi nakas tempat ia menaruh ponselnya dan menutup mata berusaha tidur. Meski saat ini bukan waktu yang tepat untuk tidur karena ini masih pagi.
Akan tetapi, sepertinya dugaannya salah total. Ini sudah masuk yang ke enam kali benda tersebut berbunyi. Ia lantas menggulingkan tubuhnya hingga ke samping nakas dan memeriksa ponselnya. Untuk yang satu ini, dugaannya benar. Memang Goldi lah yang menghubunginya. Tanpa menunggu lagi, ia mereject panggilan pemuda itu dan langsung menonaktifkan ponselnya lalu mengembalikannya kembali ke atas nakas. Dan hal paling menyebalkan adalah dadanya langsung bergemuruh sesak sesaat setelah ia menolak panggilan Goldi di ponselnya. Ia lantas geleng-geleng kepala.
I really need sleep!

***

Shilla sampai di meja makan bersamaan dengan Papanya dan Shanin yang juga tengah berjalan menuju tempatnya berada. Sementara mamanya sudah menunggu seraya menyiapkan sarapan. Ketika ia tengah meminum seteguk susunya, bel rumahnya berbunyi. Semua orang di sekelilingnya langsung berpandangan berdiskusi siapa yang harus membuka pintu dalam tatapan mata. Hingga akhirnya Shanin yang mengalah dan berdiri lalu berjalan ke arah pintu serta membukanya. Gadis itu tampak terdiam sambil memandang lamat-lamat sesosok makhluk yang berdiri di hadapannya dari atas hingga ke bawah dan kembali ke atas.
Shanin merasa tubuhnya melayang dan ia tanpa bisa dicegah tersenyum penuh kekaguman. “Kakak bidadari ya?” gumamnya. Orang yang ada di hadapannya berjengit lalu menggaruk-garuk pelipis. “Eng..kakak kan cowok. Masa bidadari?” katanya seraya tersenyum sekaligus terkekeh. Shanin tampak makin melayang melihatnya tersenyum seperti itu. Hatinya terus saja mengumbar pujian untuk ‘cowok’ di hadapannya itu. Hingga kemudian, pujiannya terinterupsi oleh panggilan Mamanya karena ia mungkin sudah terlalu lama tidak kembali-kembali. Ia seketika sadar kalau ia belum bertanya siapakah gerangan tamunya ini dan ada perlu apa datang ke rumahnya pagi-pagi. Menjemputnya? Amin. Pikirnya.
“Kakak ini siapa ya? Trus, ada perlu apa dateng pagi-pagi gini?”
Pemuda di hadapannya mengulurkan tangan mengajak berjabat. Shanin mengangkat dan melihat tangannya lalu mengelap telapaknya ke bajunya. Seolah-olah ada banyak kotoran di tangannya itu padahal tidak. Ia lalu menyeringai polos sambil mendekatkan tangannya dan menjabat tangan si tamu. Si tamu baru hendak buku mulut namun lagi-lagi diinterupsi. Bukan suara Mamanya lagi, melainkan suara Shilla yang tahu-tahu sudah ada di belakangnya menyusulnya dari ruang makan. Baik ia maupun si tamu langsung menoleh pada gadis itu. Shilla membelalakkan mata kaget saat si tamu tersenyum padanya sementara ia memandang dengan bingung.
Shilla berlari ke arah Shanin lalu menyentak dan menarik paksa tangan Shanin dan kemudian berdiri menghalau di depan Shanin. “Ngapain lo megang tangan adek gue? Beraninya lo...setelah kemaren lo dengan kurang ajar nyentuh muka gue! Lo pedofil ya, hah?!” tanyanya galak seraya mengacungkan telunjuknya. Dari belakang, Shanin memandangnya penuh ingin tahu. “Kakak kenal sama kakak ganteng ini? Siapa namanya?” tanyanya polos dengan berbisik.
“Chris.” Jawab Shilla singkat. Namun, sedetik kemudian, ia mengernyit lalu melirik adiknya. “Tadi lo bilang kakak ini apa?”
“Ganteng. Pake banget. Hehe.” Cengir Shanin lalu memberikan senyum terbaiknya pada Chris. “Lo kan udah punya Alvin ya, Kak. Nah, yang ini kenalin dong ke gue?”
“Heh! Difa mau lo kemanain?” *mimin gatau pacar shanin siapa-.-v*
Muka Shanin sontak berubah datar cenderung murung. Ia memandang Shilla tanpa ekspresi dan berbicara dengan nada jutek. Kening Shilla langsung mengerut bingung. “Difa siapa? Gue gak kenal.” Katanya dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucap pamit ataupun permisi. Baik Shilla maupun Chris sama-sama melongo tak mengerti. Namun, Shilla lebih dulu sadar dan kembali mendelik pada Chris.
“Pergi lo!” usirnya mentah-mentah. “Yaudah, ayok!” jawab Chris yang tanpa izin menarik tangan Shilla. Shilla langsung memekik dan memukul tangan pemuda kurang ajar itu. “Lo tuh ya! Udah berapa kali gue bilang jangan sembarangan nyentuh anak orang apalagi gue!!” pekiknya.
Chris berjengkit lalu meringis memohon maaf. “Gak sengaja,” ringisnya.
“Shilla? Kok teriak-teriak? Siapa yang datang?”
Amarah Shilla terpaksa tertahan di tenggorokan begitu Mamanya datang sambil bertanya bingung padanya. “Orang gila, Ma.” Jawabnya asal.
Wiwid berdiri di sampingnya lalu memperhatikan Chris dari atas ke bawah. Chris mengambil kesempatan tersebut untuk memperkenalkan diri. “Saya Chris, Tante. Kakak kelasnya Shilla dulu.” Katanya sopan. Wiwid diam memperhatikannya lalu berbisik pada Shilla. “Ganteng begini kok kamu bilang gila?” Mata Shilla langsung melebar. Ada apa dengan wanita-wanita di keluarganya? Kenapa semua malah memuji pemuda kurang ajar itu? Em..tapi, ia juga dulu seperti itu, sih. Meski sekarang sudah tobat.
“Mau ketemu Shilla ya?” tanya Wiwid ramah. Chris tersenyum senang mendapati sikap bersahabat oleh mama Shilla itu. Setidaknya nanti kalau Shilla ‘kumat’, akan ada orang yang melindunginya. “Chris pengen minta izin nganterin Shilla ke sekolah, Tante. Kalo boleh, gak boleh juga gakpapa.”
“Tentu aj—“
“Boleh! Boleh banget, kok!” potong Wiwid dengan wajah berseri-seri. Shilla mendelik tak setuju. “Mama!”
“Yaudah, masuk dulu, yuk. Ikut sarapan sama kita.” Ujar Wiwid tanpa mengacuhkan Shilla. Begitu pula Chris. Tanpa menoleh ke arah Shilla, pemuda itu langsung masuk dan berjalan di samping Wiwid mendahuluinya. Melihat itu, Shilla rasanya ingin terjun ke niagara saja atau meledakkan diri dengan bom nuklir.

***

Kembali pada Alvin dan Febby. Suasana mobil terasa lebih sunyi dari kesunyian biasanya yang terjadi ketika hanya ada Alvin dan supir. Tapi, entah kenapa, dengan bertambahnya Febby, kesunyian itu rasanya semakin terasa saja. Hingga kemudian mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah. Febby turun bersama dengan sang supir sambil membawa keluar tongkat Alvin dan menunggu Alvin sendiri keluar.
Alvin turun dari mobil dengan satu kaki diangkat. Febby langsung menyerahkan tongkatnya padanya dan ia berusaha menerimanya dengan ‘tenang’. Sejak Febby tinggal di rumahnya, ia sudah berikrar akan mencoba bersikap baik pada gadis itu. Bagaimanapun, dia sudah berjasa padanya. Dan sudah menjadi kebiasaannya dari orangtuanya untuk menganggap semua yang tinggal di rumahnya sebagai saudara. Dan ia akan mulai berusaha menganggap gadis itu sebagai adiknya meskipun ia tidak tahu di antara mereka berdua siapa yang lebih tua.
Alvin dan Febby kemudian berjalan bersebelahan menyusuri koridor dengan tatapan dan bisikan dari orang-orang di sekitar mereka. Entah apa penyebabnya yang jelas itu benar-benar mengganggu. Ingin rasanya Alvin berlari agar cepat-cepat masuk ke kelasnya. Tapi, sayangnya, kakinya masih belum bisa untuk melakukan itu. Sama hal nya dengan Febby. Ia risih dipandang selekat itu oleh orang-orang. Ia juga ingin berlari tapi ia tidak bisa meninggalkan Alvin begitu saja. Meskipun Alvin tidak menyuruhnya mendampinginya, tapi ia tetap tidak bisa pergi meninggalkan pemuda itu. Alvin seperti itu karena ulahnya dan Alvin juga sudah sangat membantu kelangsungan hidupnya. Meski juga pernah menyusahkan walah secara tidak langsung.
“Gue bersumpah gak mau jadi artis..” gumamnya tanpa sadar dan sampai ke telinga Alvin yang berjalan tepat di sebelahnya. Ia tampak tertawa kecil. “Baru tau rasanya jalan di sebelah artis?”
“Hih..sok deh lo.” Cibir Febby lalu memperhatikan sekelilingnya. “Taudeh, lo mah enak, mereka ngeliatin lo karena terpesona. Lah gue? Liat aja tuh, udah kayak mau ngerajam gue aja. Ckckck.”
Alvin yang hendak membuka mulut menggulung niatnya seketika karena mendadak muncul sebuah suara berat dan lantang yang menyerukan nama Febby dari arah belakang. Baik ia maupun Febby sama-sama menoleh spontan. Napas Febby tercekat dengan mata membelalak melihat sosok ayah tirinya yang kini berjalan menuju ke arahnya.
“Papa?!” katanya dengan suara tertahan. Matanya tak berkedip memandang sosok gempal yang makin lama makin jelas di matanya. Alvin melirik ke arahnya dan papanya bergantian sambil menaikkan alis. Bodohnya, masing-masing dari mereka tak ada yang beranjak bahkan hingga ayah tiri Febby sudah benar-benar berdiri di hadapan mereka sambil berkacak pinggang dan menatapnya garang.
“Kenapa kamu pergi dari rumah?! Kamu pikir bisa tinggal dan pergi seenaknya aja, hah?!”
Febby diam tidak ingin menjawab apapun. Takut-takut ia keceplosan soal Alvin. Ia tidak ingin ayahnya tahu mengenai kepindahannya ke rumah Alvin. Ia tidak ingin laki-laki itu membuat kekacauan di keluarga malaikatnya itu. Kediamannya itu lantas digunakan ayahnya untuk meraih tangannya dan menggenggamnya dengan kuat sekali hingga ia sampai meringis perih. Ayahnya lalu mencoba menariknya dengan paksa. Ia langsung meronta dan seketika ia, ayahnya dan Alvin menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar, dimana sebelumnya ia juga sudah mendapat banyak perhatian dari orang-orang.
“Ayo pulang!”
“Lepasin, Pa! Febby gamau pulang!” ronta Febby sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman ayahnya. Alvin tiba-tiba baru teringat soal semua cerita Febby tentang ayahnya termasuk yang paling aktual *tajam dan terpercaya!(?)* ketika laki-laki itu hampir melecehkannya. Ia tanpa pikir panjang lagi langsung mengangkat tongkatnya dan menghantam dengan sekuat tenaga pada tangan ayah Febby sehingga laki-laki itu otomatis membebaskan tangan Febby.
“Masuk ke kelas itu trus kunci dari dalem!” perintah Alvin. Febby langsung mengangguk dan berlari tanpa banyak protes. Ia masuk ke dalam sebuah kelas di dekatnya dan langsung mengunci pintu. Alvin mengayunkan tongkatnya lagi ke ayah Febby yang hendak mengejar Febby ke dalam kelas hingga laki-laki itu ambruk ke lantai. Ia kemudian berteriak memanggil satpam di sekolahnya. Tak sampai sepuluh detik, satpam pun datang dan langsung menarik paksa ayah Febby agar keluar dari sekolahnya.
“Kamu...saya akan bikin perhitungan sama kamu!” ancam ayah Febby sambil menunjuk ke arah Alvin dengan tatapan sangar selaras dengan wajahnya yang sudah sangar. Alvin hanya diam dan membalas tatapan laki-laki itu dengan datar tanpa takut.
Masalah kecil lain langsung datang selepas kepergian ayah tiri Febby. Kini ia yang malah di kerubungi para siswi yang kelihatan mengkhawatirkannya. Ada juga yang cuma curi-curi kesempatan untuk berfoto. Ia mencoba tetap tersenyum meski ia hanya terlihat seperti meringis.
“Permisi, permisi! Maaf ya, tapi Alvinnya harus segera sampe di kelas. Belum boleh banyak berdiri.” Ujar Febby yang tiba-tiba menyelip masuk ke dalam kerumunan hingga ke sebelah Alvin. Alvin bernapas lega melihat kedatangannya dan langsung tersenyum senang pada gadis-gadis di sekitarnya. Meski enggan, tapi orang-orang yang berkerumun tetap memberi jalan pada mereka berdua karena iba pada Alvin.
Sekali lagi, Alvin mendesah lega setelah benar-benar terbebas dari kerumunan dan tiba di koridor yang sepi. Ia melirik ke arah Febby yang juga meliriknya di saat yang bersamaan.
“Thanks ya!” Ujar mereka kompak. Sesaat mereka terdiam dan sama-sama menaikkan alis lalu menurunkannya di saat yang sama. Sedetik kemudian mereka langsung tertawa geli. Bagaimana tidak, mereka telah melakukan tiga hal yang sama dalam waktu yang sama. Melirik, berbicara dan memainkan alis. Atau mungkin tertawa juga termasuk. Tapi tawa mereka tidak bertahan lama karena sang empunya masalah kembali memberikannya pada mereka.
“Febby!” Febby dan Alvin spontan menoleh dan mendapati Goldi sudah berdiri tegap di depan mereka dengan air muka tidak begitu bagus. “Apaan lagi nih?” gumam Febby pelan. Ini adalah tamu kedua untuknya hari ini. Dan keduanya adalah orang-orang yang sangat-sangat tidak ingin ia temui. Kenapa ya, doanya akhir-akhir ini selalu menghasilkan hal yang berlawanan?
Sementara Alvin bersedekap sambil melihat kedua orang di hadapannya ini dengan antusias. Menunggu Febby melaksanakan permintaannya. Apa benar kali ini kata-kata gadis itu bisa dipercaya? Apa Febby benar-benar mau memutus hubungan dengan Goldi?
“I need to talk to you.” Ujar Goldi tegas mengisyaratkan ia tidak menerima penolakan. Febby langsung memalingkan wajahnya sambil meremas tali tas sekolahnya. “Tapi gue gak butuh. Apa kalimat ‘jangan temuin gue lagi’ gak kebaca sama lo?” Alvin menoleh dengan kaget ke arahnya. Jadi, mereka bahkan udah putus dari kemaren? Wih! Batinnya.
Goldi mendesah singkat. “Gue butuh penjelasan soal sms lo. Kenapa lo gak ngangkat telfon gue?” tanyanya mencoba melunak. “Setau gue mata lo gak rabun dan lo lulus sd, pasti bisa baca dengan jelas sms gue. Kecuali kalo tulisan di hape lo kecil-kecil banget. Dan lo anak beasiswa, kan? Pasti pinter, pasti bisa lah ngerti maksudnya apa.”
Goldi diam tak langsung menjawab. Ia menatap Febby tajam berusaha membuat Febby menatapnya balik. “Kenapa?”
“Bosen.”
Sorot mata Goldi seketika berubah pilu dan ada sedikit percikan kemarahan di dalamnya. Tampak begitu sedih dan tidak rela menatap mantan kekasihnya itu. Alvin menatap lekat ke dalam mata Goldi. Saat itu juga ia merasa bingung. Kalau dari pengamatannya sih, Goldi sepertinya terlihat begitu mencintai Febby. Tapi, kenapa dia malah selingkuh dengan Oik? Atau mungkin pengamatannya yang salah?
“Bosen? Semudah itu lo bilang bosen? Feb, susah-seneng kita udah lewatin sama-sama. Apa lo ga inget? Jadi, semuanya gaada artinya lagi buat lo? Secepat itu?” Goldi mengepal tangannya menahan emosi. Begitu juga dengan Febby. Remasan pada tali tasnya semakin kuat. Matanya pun sudah terasa memanas. Rasanya ia ingin mengungkapkan segalanya pada pemuda ini. Bagaimana kekecewaannya pada pemuda ini karena menghianatinya. Bagaimana sedih dan beratnya ia harus melepas semua perasaannya pada Goldi apalagi harus merelakannya untuk Oik, orang yang paling dibencinya di dunia ini.
Tapi, kenapa sih Goldi membuat semuanya jadi sangat rumit? Kenapa Goldi bersikap seakan-akan tidak rela melepaskannya pergi? Jelas sekali telinganya kemarin mendengar hubungan spesial antara dia dan Oik. Bahkan ia sampai bertanya tiga kali. Lalu kenapa sekarang sampai seheboh ini mencari penjelasan? Dia sakit atau bagaimana? Mana menuduhnya yang tidak-tidak lagi. Dia pikir semudah itu bisa berdiri dan berbicara seperti ini dihadapannya?
Febby menarik napas dalam-dalam dan menghembusnya dalam satu hentakan. Biarkan sajalah Goldi menganggapnya seperti apa. Biar saja pemuda itu berpikir kalau ia tipe cewek pembosan yang dengan mudah mengakhiri sebuah hubungan seenaknya. Seumur hidup pun tidak masalah. Biar saja kebencian padanya tertanam di benak dan nurani pemuda itu. Bagus juga untuknya. Jadi, pemuda itu tidak akan sudi lagi menemuinya. Ia bisa tenang. Hatinya bisa tenang meski bukan suatu ketenangan yang ia harapkan. Tapi, memang sedang ia butuhkan.
“Iya, semudah itu. Gak, gue gak inget. Iya, gaada artinya lagi. Iya, secepat itu. Mulai sekarang, kita balik jadi dua orang yang gak pernah kenal. Deal?” Ujar Febby menjawab satu-persatu pertanyaan beruntun yang diajukan Goldi. Membuat Goldi terdiam membisu di tempatnya. Menatapnya dengan tatapan tidak percaya dan merasa saat ini hanyalah bagian dari bunga tidurnya. Febby menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri sejauh-jauhnya bahkan sampai lupa dengan Alvin.
Alvin sendiri masih melongo kebingungan bersama Goldi. Ia melihat Febby yang berjalan cepat meninggalkannya dan ia tidak mungkin bisa mengejar gadis itu. Ia lantas mengedikkan bahu tak mau ikut campur. Ia memilih berjalan kembali. Bukan untuk mengejar Febby, tapi agar ia segera sampai di kelasnya. Ia sudah lelah berdiri dengan satu kaki dari tadi.
“Sejak kapan kalian jadi akur?” Goldi tiba-tiba bertanya dengan nada bicara sinis tapi sangat ingin tahu. Alvin berhenti tapi kemudian melangkah kembali tanpa menggubrisnya. Goldi yang tentu saja tidak terima langsung berjalan dan menghadang pemuda itu. Membuat Alvin terpaksa berhenti dan memandangnya jengah.
“Kenapa kalian bisa datang bareng dengan dan di dalam mobil yang sama? Apa sekarang lo jadi supirnya? Gue denger dari Oik, Febby ngilang dari rumah. Apa ada hubungannya sama lo?”
Alvin berjengit sambil menatapi Goldi tidak suka. Apasih ni orang? Gajelas banget. Dia mau sama Febby tapi dengan gak tau malu nyebut-nyebut nama Oik. Batinnya kesal.
“Lo deket banget ya sama Oik.” balas Alvin sarkastis sambil geleng-geleng kepala. Ia mengangkat tongkatnya dan berjalan lagi. Syukurlah kali ini Goldi tidak menghadangnya lagi. Ia tidak peduli kenapa pemuda itu membiarkannya pergi. Ia juga tidak peduli kenapa ia tidak mendengar suaranya lagi. Mungkin sedang memikirkan kata-katanya. Baguslah kalau begitu.
Tapi, kenapa ya ia begitu kesal akan sikap Goldi pada Febby? Plis, jangan mikir-mikir yang enggak-enggak lagi. Ya...mungkin karena gue punya cewek dan gue ngerti gimana perasaan cewek kalo cowoknya brengsek. Makanya gue kesel. Iya, pasti karena itu. Percaya...deh.

***

“Tunggu!”
Febby yang sedang ingin-inginnya berjalan mendengus kesal karena ada yang membuatnya terpaksa berhenti. Padahal semeter lagi ia sudah bisa sampai di depan kelasnya. Ia menegakkan kepala siap untuk mengomel tapi seketika omelannya itu tertelan masuk dalam perutnya. Sekali lagi, ia dipertemukan dengan orang yang tidak ingin ia temui. Doa gue bener-bener pending deh kayaknya. Apa sinyal ke surga semalem ngadat? Ck, pasti pengelolanya lupa bayar biaya bulanan.
“Pergi kemana lo? Papa sibuk nyariin lo.”
Febby memandang datar Oik yang bersedekap di hadapannya dengan tampang tak kalah datar. “I never have a father.”
Oik mendesah tak malas. “Ya ya terserah lah siapa dia bagi lo. Intinya, gue gak mau tau hari ini lo mesti pulang. Gue pusing ditanyain terus sama dia. Rrr..emang gue siapa lo gitu sampe-sampe dia mikir gue tau lo dimana.” Ujarnya sambil bergidik. Febby mengernyit heran lalu tertawa. “Nah, itu! Emang lo siapa gue sampe gue mesti ngikutin semua kata-kata lo?”
Oik menaikkan sebelah alisnya. Ada gerangan apalagi sehingga Febby sudah berani melawannya? “Lo masih inget apa yang bisa gue lakuin sama Goldi, juga elo?” Febby ikut-ikutan menaikkan alis seolah-olah ia begitu penasaran. “Oh ya? Apa ya? Gue gak inget deh kayaknya.”
Oik tersenyum sinis. “Lo mau beasiswa Goldi dicabut dan lo berdua kena skors? Lo gak takut aib lo berdua kesebar seantero sekolah? Mungkin juga seantero negara. Ya gue sih tinggal upload doang.”
Febby balas tersenyum sinis. “Lo kayaknya mesti sadar, deh. You don’t have anything to threaten me anymore. Lo mau nyebarin video itu? Up to you, I—don’t—care. Bukan masalah gue kalo beasiswa Goldi dicabut. Kalo kena skors, paling cuma 3 hari, seminggu paling lama. Bukan masalah buat gue juga. Those have been the problems of you. Lo pikir lo ga bakal kena imbas? Lo pikir orang-orang gak bakal ngehujat lo atas perbuatan lo? Orang-orang ga bakal ikut ngomentarin status lo? Ga puas jadi selingkuhan lalu buka aib pacar?”
Oik menarik napasnya sambil menatap Febby tak percaya. Febby lantas melanjutkan omongannya kembali. “Lo pikir lo yang akan tertawa di atas penderitaan gue? Salah besar. Gue liat Goldi udah gamake motor bututnya lagi, dia udah mau make mobil yang gue tebak pasti pemberian papanya. Berarti hubungan mereka udah baik. Asal lo tau ya, Goldi itu anak kesayangan papanya. Dan lo harus tau kalo papa Goldi bukan orang sembarangan. Dia pasti bakal menindak orang-orang yang mencoba mengganggu apalagi mempermalukan anaknya. Gue saranin lo jangan ngelakuin apapun yang lo pikir bakal ngerugiin gue tapi nyatanya justru bakal ngerugiin lo sendiri. Stop deh semua hal-hal gila di otak lo. Hidup yang damai-damai aja kenapa, sih? Aneh!”
Selesai berujar, Febby melengos begitu saja tanpa menunggu tanggapan Oik. Hatinya benar-benar puas sekali. Mudah-mudahan Oik benar-benar memikirkan ucapannya dan tidak mencoba mengganggu hidupnya lagi.

***

Febby meneteskan larutan NaOH dengan sangat hati-hati menggunakan pipet tetes di tangannya. Sesekali ia menggoyangkan tabung melihat apakah cairan di dalamnya sudah berubah warna. Alvin di sebelahnya duduk sambil ikut memperhatikan pekerjaan Febby. Tak jarang fokus matanya terganggu dan bimbang antara memandang tangan Febby beserta tabung reaksi atau wajah gadis itu yang saling berhadapan. Hingga ujung-ujungnya fokusnya benar-benar tertuju pada wajah Febby.
Febby sendiri tampaknya tidak menyadari kalau ia sedang diperhatikan oleh manusia yang duduk di sebelahnya. Ia benar-benar fokus pada tabung di depannya. Ia kemudian menoleh pada Alvin ketika larutan di dalam tabung sudah tidak berubah warna lagi. Barulah saat itu ia sadar kalau Alvin tengah memandang ke arahnya.
“Vin?” panggilnya dengan kening mengerut. Alvin terkesiap dan langsung mengalihkan pandangannya pada kertas laporan di hadapannya. Mencoba tetap bersikap biasa seolah tadi itu ia hanya tak sengaja memandang Febby. Meski begitu, Febby tetap merasa ada yang aneh dalam sikap Alvin. Tapi kemudian ia hanya mengedikkan bahu tidak mau terlalu mencari tahu.
“Berapa tetes?” tanya Alvin buka suara sambil menoleh ke arah Febby kembali. “25.” Jawab Febby lalu meletakkan tabung di rak. Alvin langsung menuliskannya dalam laporan sekaligus menuliskan mol akhir larutan asam yang baru di tirtrasi itu. Sambil menunggu, Febby memilih mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk praktek selanjutnya dan menjauhkan alat-alat yang sudah ia gunakan dan tidak akan digunakan lagi. *haaahseketikakangensma*
Gantian sekarang Febby yang kebagian jatah mengamati Alvin yeng belum selesai menulis sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke meja. Orang-orang memang benar. Pemuda di sampingnya ini memang tampan. Juga..dia baik. Alvin benar-benar baik. Seberapapun ketidaksukaannya padanya, tapi pemuda itu tetap mau menolongnya. Selain pribadi yang baik, sebagai seorang cowok, Alvin juga termasuk dalam kategori baik. Buktinya, Alvin tetap setia pada Shilla dan tidak sedikitpun tergoda olehnya ketika ia dulu berusaha membuatnya jatuh cinta padanya. Padahal mereka itu pacaran jarak jauh. Goldi aja selingkuh, udah sedekat-dekatnya padahal. Mana udah ketemu tiap hari juga tapi tetep aja. Ckckck, Alvin bener-bener cowok idaman. Stok cowok kek dia masih ada gak, sih?
“Woy!” Panggilan Alvin langsung menyadarkannya kembali. Alvin lantas mengernyit ke arahnya. Febby dengan segera mengambil pena dan kertas laporan dari tangan Alvin. Alvin yang tadinya ingin bertanya pun akhirnya tidak jadi dan memilih menggeser peralatan praktikum ke depannya. Mereka lantas melakukan tugas masing-masing dalam diam.
“Lo lagi ada masalah ya?” tanya Febby yang lebih dulu bosan bersama keheningan. Alvin meliriknya sekilas. “Kenapa emangnya?”
“Tadi lo keknya ngelamun, kayak lagi mikirin sesuatu. Kan gak mungkin lo bengong karena ngeliatin gue.” Febby tertawa kecil sambil melihat larutan-larutan di depan Alvin. Alvin tertawa gugup. Untung Febby tidak benar-benar berpikir kalau tadi ia memang sedang memperhatikannya. “Ya..ya biasalah, gue lagi kangen Shilla aja.”
Febby hanya tersenyum tanpa berkomentar. Tuh kan, Alvin emang bener-bener cowok idaman. Batinnya memuji. “Lo sendiri, tadi ngelamunin apaan? Ada masalah?”
“Masalah..” gumam Febby menggantung seraya berpikir sejenak lalu menoleh pada Alvin. “Keknya lo udah tau deh semua masalah gue.” katanya dan kembali tertawa.
“Berarti lo merhatiin gue, dong?” balas Alvin seraya menaikkan alis dan juga diikuti oleh Febby. Febby lalu mengedikkan kepala mengaku. “Ya, emang, sih. Tadi gue emang lagi ngeliatin lo.”
Sekali lagi Alvin tertawa gugup. Pengakuan Febby itu sukses menggetarkan serat-serat dalam jantungnya. Dan ia merasa aneh pada reaksi organ tubuhnya itu. Padahal dulu saat Febby menembaknya ia tidak merasakan apa-apa pada jantungnya. “Kenapa? Lo beneran naksir sama gue ya?”
Febby menghela napas sambil mengedikkan bahu. “Naksir sih enggak. Tapi, gue pengen aja punya cowok kayak lo.”
“Kenapa gitu? Tapi wajar sih, siapa gitu yang gamau punya cowok cakep dan baik kek gue.”
Febby mendesis meski tetap tersenyum juga. “Which is..gak gue sangkal kalo lo emang cowok yang baik.” Febby diam sebentar lalu berbicara kembali. “Yang paling penting itu, lo selalu setia sama pacar lo, dimanapun lo berada, sejauh apapun jaraknya, segimanapun keadaannya.”
Alvin sejenak memperhatikan Febby lalu tersenyum hangat. Tangannya spontan terangkat lalu mendekat ke kepala Febby serta mengacak rambutnya pelan. “I know, you’re a good girl. You’ll find a better man.”
Febby menoleh ke arahnya sehingga mereka saling berpandangan. Ia tersenyum dan gadis itu pun tersenyum. Rasanya seperti ada yang memutar lagu brahms lullaby milik johannes brahms di ruangan tempat mereka berada. Berikut angin sepoi-sepoi yang berhembus di sekitar mereka. Hingga tiba-tiba mereka sama-sama tersadar apa yang sedang mereka lakukan. Alvin cepat-cepat menarik tangannya dan kembali mengerjakan praktikum sementara Febby pura-pura membaca instruksi praktikum yang ada di kertas laporan. Pengawas dalam laboratorium tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

***

But dig the truth. Baby, dig the truth. I can’t hide my feelings. Especially when the whole world can see that my heart is in two different places.

***

Ini part gajelas banget-_- Haha menanti-nanti konflik emang gajelas, sabar yak-.-v
Oh iya kemaren mimin diserang ya(?) Banyak banget yang nanya sama nebak kalo ini bukan Alshill. Alshill gak yaaaa? Kasih tau gak yaaaaaa? *dilemparkerelkereta*Sebenernya ga mau ngasih tau sampe cerita ini selese, tapi karena banyak banget yang protes jadi ya mau ga mau.-. Ini tuh Alshill tau. Kok pada ga percaya sih?-.- Mungkin karena di part2 sekarang jarang Alshill ya? Sabar yaaa, namanya juga dalam cerita mereka itu ldr mana Alvinnya lagi atit. Dan karena lagi menuju ke konflik nya makanya jarang yang part Alshillnya. Bentar lagi part mereka berdua juga bakal banyak. Berhubung mau tamat kan. Jadi ya sekali lagi harap dimaklumi. Mohon maaf kalo gak sesuai sama keinginan kalian. Thanks yang udah baca dan masih mau baca muah muah:*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar