Rify
Percayalah
padaku meski di gelap malam, kamu tak sendirian. Dan semua bintang yang
kutinggalkan, temani kau sampai akhir malam. *berasanostalgiasd*
***
“Brengsek!!”
Bug..bug..
Ify
terpaku diam di tempatnya mendapati dua orang pemuda yang amat ia kenal sedang
bergulat di lantai. Sesaat kemudian ia tersadar akan keberadaan mereka
sekarang. Adalah tempat yang tidak tepat untuk melakukan adu jotos semacam itu.
Mereka pasti akan terlibat masalah lain. Ia lantas menarik Rio yang tengah
berada di atas Debo sambil menarik kerah bajunya.
“Rio
stop! Kalian bisa kena skors!” jeritnya tertahan. Jika ia berteriak maka seisi
perpustakaan akan tahu kalau sedang terjadi perkelahian di tempatnya. Ia
menatap Rio dengan ekspresi campur aduk. Antara kaget, panik, takut sekaligus
kecewa. Ia benar-benar tidak bisa percaya pada apa yang baru saja terjadi
padanya. Ia tidak percaya kalau tadi Debo menciumnya. Ia tidak percaya kalau orang
itu Debo. Beberapa hari lalu ia baru saja bertemu dengan pemuda itu dan tertawa
bersama pemuda itu. Beberapa hari lalu Debo meyakinkannya kalau dia tidak akan
macam-macam selama ia masih menjalin hubungan dengan Rio. Pemuda itu bersikap
seolah-olah mendukung hubungannya dengan Rio. Tapi, apa yang terjadi saat ini?
Rio
tersadar dari amarahnya ketika mendengar suara Ify dan melihat wajah pucat pasi
gadisnya itu. Ia langsung menarik gadis itu pergi tanpa memedulikan Debo yang
masih terbaring menahan sakit di lantai. Napasnya naik turun seiring emosinya
yang makin meninggi. Ia kemudian berhenti di depan toilet belakang sekolah yang
jarang didatangi. Salah satu tempat sepi di sekolahnya. Ia menghempas tangan
Ify yang sempat ia genggam. Ia berjalan mondar-mandir sambil meremas-remas
kepalanya.
Ingin
sekali ia membelah dadanya supaya semua sesak yang ada hilang. Masih kentara di
benaknya bagaimana pemandangan Debo dan Ify tadi. Rasanya begitu menyakitkan
melihat ada orang lain yang menyentuh gadisnya. Di tempat sepi seperti itu
lagi. Diperparah dengan pesan misterius yang ia dapatkan. Ia marah. Marah
sekali. Masalahnya ia bingung harus marah pada siapa. Pada Ify? Haruskah ia
marah padanya? Apa Ify datang ke sana karena Debo? Apa mereka hanya tidak
sengaja bertemu lagi seperti kemarin? Atau memang ada sesuatu di antara mereka?
Apa si pengirim pesan misterius ingin memberitahunya soal itu?
“Arrggh!!”
Rio mengerang kesal karena pemikirannya. Ia lalu beralih pada Ify yang hanya
membisu sedaritadi. Gadis itu hanya diam dengan pandangan kosong. Seketika itu
juga hasrat ingin marahnya hilang, berubah menjadi rasa cemas pada Ify. Ify
pasti shock. Bodoh sekali jika ia berpikiran Ify selingkuh. Ify tidak mungkin
bisa mencintai orang lain selain dirinya. Selama ini satu-satunya pemuda yang
selalu dikejarnya hanya dirinya. Tidak mungkin Ify bisa secepat itu
melupakannya dan beralih pada orang lain. Pasti ada sesuatu yang salah yang
sudah terjadi.
Rio
perlahan mendekat pada Ify. Ia menyentuh bahu gadis itu berniat menenangkan.
Tapi tiba-tiba, Ify menepis tangannya dan langsung memeluk tubuhnya sendiri.
Wajah Ify terlihat ketakutan. Kecemasannya semakin menjadi melihat Ify seperti
itu. Ini pasti karena kejadian tadi. Ify benar-benar shock berat.
“Fy,
lo gakpapa?” tanyanya khawatir. Ia hendak memegang kedua bahu Ify tapi Ify
kembali menepis tangannya. “Jangan sentuh gue!” pekik Ify. Ia terisak sambil
menundukkan wajahnya.
“Fy,
ini gue, Fy! Ini gue!” kata Rio berusaha membuat Ify sadar. Namun sepertinya
Ify masih kalut dalam pikirannya. Gadis itu masih meringkuk dan berusaha
menjauhkan diri darinya. Bahkan kini Ify menyeka-nyeka bibirnya dengan kasar.
Rio panik setengah mati. Ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Debo
nanti.
Rio
meraih lengan Ify dan menggoncang tubuh gadis itu. “Fy, tenang! Ada gue, Fy!
Ini gue Rio!” Ia menangkup wajah Ify agar Ify bisa melihatnya. Siapa tahu Ify
bisa sadar dari ketakutannya.
“Gue
mau pulang..gue takut..gue mau pulang..” racau gadis itu. Rio setidaknya bisa
sedikit bernapas lega karena Ify tidak
lagi meronta padanya. “Iya, kita pulang, Fy.” Katanya dan langsung membawa
gadis itu kembali ke kelas. Ia meletakkan surat izin untuk mereka berdua lalu
kemudian beranjak pergi menuju rumah Ify. Ify saat ini butuh ketenangan dan
rumah Ify sepertinya lebih tepat. Ia takut papa dan mamanya ada di rumah dan
akan panik melihat Ify nanti. Makanya lebih baik ia membawa Ify pulang ke
rumahnya saja.
***
Rio
membopong Ify dan membaringkannya di kasur kamar gadis itu. Ify tidur saat
dalam perjalanan pulang tadi. Wajahnya benar-benar kelihatan lelah. Ini adalah
hari yang berat untuk Ify.
Rio
mengamati air muka Ify yang sudah tampak lebih tenang. Napasnya juga teratur
tidak lagi sesenggukan. Ia membelai kepala gadis itu dengan lembut. Berharap
belaiannya bisa membuat Ify semakin tenang dan tidak ketakutan lagi. Dua kali
ia meninggalkan Ify dan dua-duanya sama-sama membuat Ify celaka. Nanti ia pasti
akan berpikir ulang jika ada kesempatan untuknya meninggalkan kekasihnya itu
lagi.
Rio
baru hendak meraih tangan Ify ketika Ify tiba-tiba menggeliat dan mengigau gelisah.
Ia langsung mengusap wajah Ify dan berusaha menenangkan gadis itu. Mata Ify
terbuka dengan pandangan ketakutan lagi. Ia terduduk lalu menoleh ke kanan-kiri
masih dalam ekspresi takut. Rio menangkup wajahnya lagi menyadarkannya dari
mimpi buruk yang mungkin baru ia alami.
“Rio?”
gumamnya dengan napas tersengal. Rio menghela napas lega lalu menganggukkan
kepala sambil tersenyum. “Iya, ini gue.”
Ify
lalu mendesah lega sama sepertinya. “Gue dimana?” tanyanya dengan suara sengau
dan serak. “Kita sekarang di rumah lo.”
“Tadi
gue pingsan ya?” tanya Ify lagi. “Emangnya lo terakhir inget lo lagi ngapain?”
Ify
mengernyit seraya mengingat-ingat. “Gue keluar perpus trus..gue gatau lagi.”
ringisnya kemudian.
“Tadi
lo cuma ketiduran pas di jalan pulang.”
“Pulang?”
beo Ify. Ia spontan memeriksa jam tangannya dan mendapati sekarang belum masuk
jam pulang sekolah. “Lo pasti bolos gara-gara gue ya?” tanyanya dengan tatapan
tak enak hati.
“Itu
gak penting. Sekali bolos gak akan bikin gue bego juga.” Jawab Rio santai
seraya terkekeh pelan. Ify spontan mencibir ke arahnya. Masih sempat-sempatnya
Rio menyombongkan diri di depannya kala ia tengah sakit begini. Eh, tapi ia
tidak benar-benar sakit, sih.
“Sekarang,
apa yang lo rasain?” tanya Rio kembali. Ify menatap Rio dan spontan menjawab.
“Laper..”
Rio
sesaat diam lalu tersenyum geli. Tapi melihat wajah linglung Ify ia jadi cemas
sendiri. Sepertinya kejadian di perpus itu masih menimbulkan efek sampai
sekarang. “Lo tunggu di sini. Gue mau ngambil makan lo dulu.” Pintanya. Ia
hendak berdiri namun tiba-tiba Ify memegang tangannya.
“Lo
mau ninggalin gue sendirian?” Ify menoleh ke kanan-kiri sesaat lalu kembali
pada Rio. “Gue takut..” cicitnya kemudian.
Rio
mengernyit lalu duduk kembali. Ia memegang puncak kepala Ify dan mengacak
rambutnya pelan. “Kita kan di rumah lo, Fy. Gak akan ada yang gangguin lo. Jadi
lo gak perlu takut.” Sekali lagi Ify melihat ke kanan-kirinya memastikan apakah
kata-katanya benar. “Sekarang lo tiduran
dan tutup mata. Biar lo gak takut.”
Ify
menurut tanpa banyak komentar. Ia merebahkan dirinya ke kasur dan menutupi
dirinya dengan selimut sampai ke leher. “Gue tinggal bentar ya!” ujar Rio. Ify
hanya menganggukkan kepala.
Rio
berjalan keluar kamar. Ia berhenti ketika hendak menutup pintu untuk melihat
keadaan Ify sebentar. Gadis itu masih celingak-celinguk seperti orang linglung.
Ia menghela napas berat. Semoga Ify tidak akan lama-lama seperti itu.
***
* Coba
puter lagu sweet love atau wait for you chris brown. Atau juga wherever you go
nya a rocket to the moon. Tapi jangan perhatiin liriknya kalo yang sweet love,
kalian bisa gila nanti wkwkwk(?)*
Rio
meletakkan piring di atas nakas dan mengambil segelas air putih lalu
memberikannya pada Ify. Ify meneguk habis air dalam gelas tersebut dan kemudian
menaruhnya kembali. Rio melihatnya lalu tersenyum. Ia merasa seperti sedang
mengurusi anak bayi.
Ada
sisa makanan di sudut bibir Ify. Rio baru mengangkat tangan hendak membersihkan
tapi tiba-tiba Ify menepis tangannya dengan kasar. Wajahnya juga seketika
berubah ketakutan. Astaga...apa sampai sekarang pun efek kejadian di perpus
masih ada? Pikirnya.
Mata
Ify menangkap siluet wajah Rio dan seketika tersadar dari ketakutannya. Ia
menghela napas lega lalu memandang Rio dengan tatapan bersalah. “Sorry, tadi
gue..parno..” lirihnya sambil menunduk. Saat ketika Debo tiba-tiba menciumnya
itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Membuatnya takut pada siapa saja yang
mencoba menyentuhnya. Ia terus merutuki diri karena tidak bisa menjaga dirinya
dengan baik. Kalau Rio sampai terlambat datang, mungkin Debo akan melakukan hal
yang lebih parah dari sekedar menciumnya.
Rio
menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Ify. Ify mengangkat wajahnya dan
mendapati Rio sedang menatapnya begitu intens. Hingga kemudian Rio menarik
tubuhnya dan memeluknya. Pemuda itu juga mengelus-ngelus punggungnya. Ia
memejamkan mata sambil menenggelamkan wajahnya di leher pemuda itu. Kalau bisa
ia ingin setiap saat seperti ini. Ini cukup untuk menenangkan perasaannya.
“Apa
lo udah siap cerita soal tadi?” tanya Rio lembut. Ia tidak ingin terdengar
seperti memaksa Ify. Tapi, ia juga ingin Ify berbicara dan bercerita supaya
hatinya lega. Tidak ada lagi yang mengganggu hati dan pikirannya.
Ify
mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang dan menghembusnya perlahan. “Tadi
gue dapet sms dari lo, lo nyuruh gue ke perpus. Lo bilang lo nunggu gue di
sana.” Ify berhenti dan menarik napas lagi lalu melanjutkan bicaranya.
“Trus..pas gue udah di perpus, lo gak ada. Gue mutusin nunggu lo sambil baca
buku. Pas gue lagi nyari buku tiba-tiba..tiba-tiba..” Ify kembali berhenti
untuk menarik napas. Dadanya langsung terasa sesak. Ia mencengkram baju seragam
Rio kuat-kuat. “Ada orang yang meluk gue dari belakang. Gue pikir itu elo. Tapi
pas gue balik, tiba-tiba dia langsung nyium gue. Dan gue sadar itu bukan lo.
Dan..dan gue takut, Yo. Gue takut..”
Rio
mengusap punggung Ify lebih keras berusaha mengurangi tekanan yang
dirasakannya. “Tapi..gue gak ada ngirim sms atau apapun sama lo, Fy.” Gumam
Rio. Badan Ify terasa kaku sesaat. Sepertinya gadis itu kaget mendengar ucapan
orang yang tengah memeluknya itu. Ia menarik tubuhnya memandang Rio dengan
kaget, bingung sekaligus masih tidak percaya. Ia mengeluarkan ponselnya yang
ada di sakunya dan mencoba mengecek kembali pesan dari ‘Rio’ tersebut. Mengecek
siapa tahu ia tadi salah baca atau bagaimana.
Tapi
kenyataannya, matanya tidak salah membaca siapa pengirim pesan tersebut. Pesan
tersebut benar-benar dikirim dari nomor Rio. Benar-benar nomor Rio. Ia lantas
menunjukkannya pada Rio untuk membuktikan ucapannya tidak salah. Rio mengernyit
tak mengerti pada apa yang sedang terjadi. Bagaimana mungkin nomornya bisa
mengirimkan pesan sementara selama di ruang rapat tadi ia tidak sekalipun
memainkan ponselnya. Kecuali....hhh, udah gue duga. Gak mungkin bisa secepat
itu Ify diterima. Batinnya.
“Terus,
kenapa lo bisa dateng ke perpus? Waktunya pas banget lagi.”
“Gue
dapet sms juga gatau dari siapa. Dia nyuruh gue kesana buat ngasih tau gue
siapa lo yang sebenernya, katanya.”
Ify
diam sambil memandang Rio lama. Rio membalasnya dengan tatapan bertanya. “Apa
lo ke sana karena lo berpikiran buruk tentang gue gara-gara sms itu?”
Rio
cepat-cepat menggelengkan kepala sebelum Ify salah paham. “Enggak, Sayang. Gue
kesana justru karena gue khawatir sesuatu yang buruk terjadi sama lo.
Dan...ternyata bener, kan?” Nada suara Rio terdengar sedikit ketus di akhir
ucapannya. Ia benar-benar masih tidak rela Debo telah berhasil mencuri
kesempatan mencium Ify-nya.
Mata
Ify kembali memerah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Maaf ya...gue udah
bikin lo malu dan susah. Gue gak bisa jaga diri gue baik-baik. Gue emang be—”
“Jangan
sekali-kali lo ngerendahin diri lo sendiri. Gue gak suka.” Sela Rio tajam. Tapi
kemudian ia menghela napas merasa bersalah. Semua ini terjadi juga karena
dirinya. Kalau saja ia tidak ceroboh, maka Ify tidak akan pernah datang ke
perpustakaan dan bertemu dengan Debo.
Sementara
Ify, ia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika mendapati sikap dingin Rio
itu. Ia merasa Rio marah padanya dan ia juga merasa benar-benar tidak pantas
mendapat pengampunan dari kekasihnya itu. Ia tidak akan menyalahkan Rio jika
Rio membencinya ataupun menghinanya saat ini. Cercaan itu memang pantas
untuknya. Untuk dirinya yang terlalu bodoh. Ia tidak pernah mengambil pelajaran
dari semua hal yang sudah terjadi padanya.
Dahulu
hanya karena nama ‘Rio’ tercantum dalam pesan, ia langsung percaya kalau itu
Rio. Dan yang akhirnya terjadi, ia terkurung di dalam ruang musik dan membuat
semua orang pusing mencarinya. Terutama Rio yang sudah repot-repot berkeliling
sekolah malam-malam untuk mencarinya. Sekarang modus yang sama terjadi lagi dan
ia masih juga percaya begitu saja. Bagaimana ia bisa jatuh ke lubang yang sama
untuk yang kedua kali? Kalau ada peringkat yang lebih rendah daripada bodoh,
itulah dirinya.
“Gue
yang harusnya minta maaf karena gue teledor jagain lo. Pelakunya pasti orang
yang gak suka atau mungkin juga suka sama gue. Semuanya terjadi pasti ada
sangkut pautnya sama gue.” Rio mendesah pelan sambil mengelus-ngelus punggung
tangan Ify. “Mau maafin gue, kan?” tanyanya kemudian seraya tersenyum hangat.
“Lo
juga gak marah sama gue, kan?” tanya Ify balik. Rio tersenyum makin lebar lalu
menggelengkan kepala. Ia menyeka pipi Ify dari bias air mata yang sempat turun
beberapa. Ify tak ayal merasa lega dalam hati. Tadinya ia pikir ini akan
menjadi akhir kisahnya dengan Rio. Tapi yang sebaliknya terjadi, ini merupakan
peristiwa yang justru menguatkan rajutan cinta mereka berdua. Ia tidak
menyesali ia sudah datang ke perpustakaan. Meski ia tetap tidak bisa menerima
perlakukan lancang Debo kepadanya.
“Mulai
sekarang, jangan percaya pesan apapun yang mengatasnamakan gue, sekalipun itu
dari nomer gue sendiri. Karena gue gak akan pernah lagi ngirim lo sms atau
sejenisnya. Gue bakal ngehubungin lo cuma dengan cara nelfon. Selain itu,
berarti bukan gue. Begitu juga elo. Deal?” Rio memiringkan kepalanya meminta
persetujuan sambil menaikkan alis. Ify hanya menganggukkan kepala. Rio kembali
tersenyum.
***
Rio
meremas kemudinya sambil memandang bangunan rumah bertingkat yang ada di
depannya. Ia mengatur napasnya berkali-kali sekaligus mengontrol emosinya agar
tidak meninggi. Ia lalu turun dari mobilnya dan berjalan menuju pintu depan rumah
tersebut. Sesampainya, ia lantas memencet bel dan menunggu hingga pintu di buka
oleh seorang wanita yang sudah tak asing lagi di matanya. Mama Dea.
“Eh,
Rio? Ayok masuk!” sapa wanita itu. Rio tersenyum sopan seraya mengangguk.
“Siang, Tante.” Ia bersama Mama Dea kemudian duduk di sofa.
“Kamu
mau Tante buatin minum atau nanti kamu yang buat sendiri?” tanya Mama Dea lagi
dengan tersenyum ramah. “Gak usah repot-repot, Tante. Kayak Rio baru sekali ke
sini aja!” jawabnya seraya terkekeh kecil. Mama Dea hanya mengedikkan bahu.
“Yaudah
kalo gitu. Tante tinggal ya, Dea nya ada di atas.”
“Iya,
Tante.” Mama Dea berlalu pergi meninggalkan Rio sendiri di ruang tamu. Rio
lantas berdiri dan beranjak naik ke lantai atas menuju kamar Dea. Ia mengetuk
pintu dan langsung disahut oleh suara Dea dari dalam.
“Masuk!”
katanya. Rio menekan kenop dan membuka pintu. Tampak Dea sedang merebahkan
diri, bertelungkup dengan laptop yang menyala di hadapannya. “Siapa?” tanya
gadis itu tanpa menoleh ke arahnya.
Rio
mendesah pelan. “Kak Rio.” jawabnya singkat. Mendengar namanya, Dea langsung
memutar kepalanya untuk melihatnya. Ia kemudian bangun dari posisinya menjadi
duduk menghadap ke arahnya.
“Kak
Rio? Mau ngapain ke sini? Pasti kangen sama aku, iya kan?” Ia berseru sambil
mengacungkan telunjuk pada Rio. Rio berjalan mendekati kasur namun tidak
memilih duduk di atasnya. Ia berdiri menatap Dea seraya bersedekap. Dea
mengernyit melihat sikap Rio itu.
“Kamu,
kan, pelakunya?” tembak Rio langsung. Dea mengernyit lagi tak mengerti. “Pelaku
apa?”
“Kamu
tadi minjem hape kakak trus sms Kak Ify dan nyuruh dia dateng ke perpus, iya
kan?” Rio mati-matian menahan agar suaranya tidak meninggi. Rasanya ia ingin
memaki habis-habisan gadis yang ada di hadapannya ini. Gadis yang tega-teganya
menjebak Ifynya ke tangan Debo. Tapi, ia tidak bisa. Ia tidak ingin ketakutan
Ify malah akan menular pada Dea kalau ia melabrak dengan keras. Kalau pada Dea,
efeknya pasti akan jauh lebih parah. Dea bisa-bisa frustasi karena ia marahi
dan bisa-bisa dia berbuat nekat seperti yang sudah-sudah.
Dea
terdiam terpaku tak menjawab. Gadis itu membalikkan badannya sehingga duduk
membelakangi dirinya. Rio menebak kalau tuduhannya pasti tidak salah, jika
melihat reaksinya seperti itu. “Kenapa harus ke Kak Ify, De? Kalo kamu marah
sama Kakak, kamu gak boleh ngelampiasinnya ke Kak Ify.”
Dea
masih saja diam tanpa membalas ucapannya. Membuat lidahnya gatal untuk kembali
berbicara. “Untuk kali ini, Kakak bener-bener kecewa sama kamu. Tindakan kamu udah
sangat keluar jalur. Gak seharusnya anak sma kayak kamu ngerencanain hal buruk
ke orang lain kayak gitu. Kamu tau? Kak Ify hampir jadi orang gila gara-gara
ketakutan. Apa kamu seneng ngeliat Kak Ify kayak gitu? Itu yang kamu mau? Itu
bikin hati kamu puas?”
Dea
menggeleng pelan lalu menundukkan wajahnya. Bahunya mulai bergetar, tanda kalau
gadis itu mulai terisak. Sekali lagi Rio mendesah. Kalau begini, ia juga merasa
bersalah. Lagi-lagi ia harus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak ada yang
lebih pantas disalahkan selain dirinya. “Kakak harus apa supaya kamu gak ganggu
Kak Ify lagi?”
“Aku
mau KakYo..” rajuk Dea. Rasanya Rio ingin sekali membenturkan kepalanya ke
dinding sampai pecah. “De, kamu ngertiin Kakak, doooong? Jangan bikin Kakak
serba salah..” katanya pasrah.
Dea
kembali diam. Rio mengerang pelan sambil mengacak-ngacak rambutnya. Ia berkacak
pinggang memandang Dea kesal. “Kakak udah gatau lagi gimana caranya buat kamu
ngerti. Kamu gatau kan seberapa marahnya Kakak ngeliat pacar Kakak sembarangan
dicium cowok lain? Kamu anggap Kak Ify itu apa, De? Sampe sekarang hati Kakak
rasanya belum ikhlas, gak akan pernah ikhlas. Kalo aja Kakak gak mandang kamu
itu adek Kakak, Kakak pasti udah maki-maki kamu atau bahkan nampar kamu. Kamu
nyakitin Kak Ify sama aja kayak kamu nyakitin Kakak, De.”
Rio
menghembus napasnya keras-keras lalu melanjutkan berbicara. “Kakak rasa Kak Ify
gak pernah ganggu kamu separah yang kamu ganggu dia. Kamu inget gak, waktu kamu
bersikap gak hormat sama dia pas Kakak dateng ngajarin kamu? Ada gak Kak Ify
ngebales sikap kamu? Dan kejadian yang baru banget kemaren waktu kita ke ancol.
Kakak nyuekin bahkan ngelupain dia demi kamu. Apa Kak Ify juga ada ngebalesnya
sama kamu? Enggak, kan?”
Dea
menggelengkan kepalanya namun masih tetap bergeming. Seakan-akan ada semen yang
mengeratkan kedua bibirnya menjadi sangat kaku. Untuk kesekian kalinya Rio
menghela napasnya. “Kakak mau kamu jangan ngomong apa-apa soal ini sama Kak
Ify. Kakak gamau dia tau kalo pelakunya kamu. Kak Ify pasti ga bakal terima
lagi sikap kamu yang satu ini. Kakak gak mau hubungan kalian makin kacau. Kakak
gamau kebencian antara kalian jadi timbal balik. Cukup kamu aja yang dendam
sama Kak Ify, Kak Ify jangan sampe ikut dendam sama kamu. Kakak bisa mati gila,
De! Kakak harap kamu bisa berhenti ganggu Kak Ify. Kakak gak akan maafin kamu
dan mau kenal kamu lagi kalo sampe kejadian kayak gini terulang. Kakak serius.”
Rio
berbalik badan dan berjalan keluar tanpa mengucap pamit lebih dulu. Semakin
lama berada di sana semakin mengepul emosinya. Ia ingin marah tapi tidak bisa
marah. Semuanya harus tertahan dan pada akhirnya membuatnya sesak sendiri. Tapi
setidaknya hatinya bisa sedikit lega karena sudah memberi Dea peringatan keras.
Hanya tinggal satu orang lagi yang ingin ia minta tanggung jawab. Pemuda kurang
ajar yang sudah mencium kekasihnya tercinta. Si beruang berkulit penguin itu.
Siapa lagi kalau bukan Debo.
***
Ify
keluar dari kamar mandi sambil menyisir-nyisir rambutnya dengan jari. Ia
berjalan ke dekat kaca di atas nakas. Maklum, ini kamar laki-laki jadi tidak
mungkin ada meja rias, kan? Ia dan Rio sudah kembali ke rumah pemuda itu
sehabis makan tadi. Ia kembali tertidur dan terbangun sudah ada di dalam kamar
Rio. Pemuda itu sendiri tak tahu rimbanya ke mana. Saat terbangun tadi ia hanya
menemukan dirinya sendiri. Ia mencari ke kamar sebelah dan terakhir bertanya
pada Amanda, wanita itu bilang Rio pergi tapi tidak bilang mau kemana.
Ify
ingin menghubungi pemuda itu tapi tidak jadi. Ia takut Rio menganggapnya
posesif. Mereka kan selalu bertemu setiap hari, baik di rumah maupun di
sekolah. Bahkan baru saja bertemu beberapa saat lalu. Apalagi Rio sampai harus
repot mengurusinya saat ia masih shock. Membopongnya dua kali, menyuapinya
makan, menenangkan ia yang kalut sampai-sampai harus ikut bolos. Tidak ada salahnya
kalau ia ditinggal sebentar. Rio kan juga punya urusannya sendiri bukan cuma
mengurusinya. Toh, sekarang ia sudah ada di rumah Rio dan tidak akan ada hal
buruk yang bakal terjadi lagi.
Ify
menaburkan bedak bayi miliknya dan menggosok kedua tangannya. Ia lantas
menepukkan telapak tangannya ke wajahnya. Setelah itu, ia mengambil lotion yang
juga miliknya dan mengolesnya ke leher, tangan dan kakinya. Ia lalu menciumi
aroma tubuhnya dan tersenyum puas karena tubuhnya tecium sudah wangi. Tanpa
sengaja matanya menangkap refleksi wajahnya di cermin. Seketika itu juga
senyumnya luntur, terlebih ketika menatap bibir mungilnya. Ia benar-benar tidak
bisa terima kalau Debo telah dengan lancang menciumnya. Dengan kesal ia
menggosok-gosok bibirnya dengan punggung tangannya. Ia merasa banyak sekali
kotoran yang menempel di sana.
Karena
terlalu terbawa kesal dan menjadikannya fokus pada kegiatan menggosoknya, ia
sampai tidak sadar kalau Rio baru saja membuka pintu dan berjalan mendekatinya.
Rio tersenyum geli melihat tingkahnya. Ify kemudian merasa ada aroma lain di
indra penciumannya. Aroma yang tak mungkin tidak ia kenali. Aroma tubuh Rio.
Tangannya spontan berhenti lalu kepalanya menoleh ke samping, tempat di mana
Rio berdiri sambil bersandar di dinding dan bersedekap.
“Lo
kapan datangnya?” tanyanya polos. Rio terkekeh pelan. Ia lantas mengerling pada
Ify. “Mau gue bantu bersihin?” tanyanya menggoda. Ify mengerutkan kening
bingung, namun sejurus kemudian ia memberengut.
“Enggak!”
tolaknya. Meski begitu ia merasa pipinya merona dan jantungnya berdebar. Ia
langsung menurunkan tangannya dari wajahnya sebelum Rio kembali menggodanya
karena itu.
Tiba-tiba
Ify teringat pada perkataan Rio tentang pesan misterius. Ia menoleh lagi pada
pemuda itu. “Pinjem hape lo, dong?”
Rio
memasang tampang bingung meski tetap memberikan ponselnya pada Ify. Ify lalu
duduk di atas kasur setelah mengambil ponsel Rio dan ponselnya sendiri. Ia
membuka kotak masuk pesan Rio mencari sms misterius yang Rio maksud. Ia
menyalin nomor pengirim pesan tersebut ke dalam ponselnya. Ia belum sempat
menekan tombol save karena tiba-tiba merasa ada sesuatu yang berhembus di
lehernya dan membuatnya geli. Ia refleks menoleh ke samping dan kaget melihat
wajah Rio yang begitu dekat. Pemuda itu sedang menyandarkan dagunya di bahunya
sambil menutup mata.
“Lo
abis mandi ya?” tanya Rio. Ify mengangguk pelan dan sedikit gugup.
“Iya..kenapa? Badan gue masih bau ya?”
Rio
tersenyum dan membuka matanya. “Enggak, kok. Lo wangi, wangi banget.” Ia
menegakkan badannya dan merangkul leher Ify seraya mencium pelipis gadis itu
cukup lama. Terakhir ia menumpu dagunya di atas kepala Ify dan menghela napas.
“Hhh..kenapa
gue pengen meluk lo terus ya?” tanya Rio seperti bergumam pada dirinya sendiri.
Hati Ify rasanya berbunga-bunga. Ia tak bisa tidak tersenyum karena itu. Namun,
helaan napas Rio sedikit mengusik hatinya. Rio terdengar seperti lelah sekali.
Pasti karena mengurusinya tadi.
“Lo
capek ya?” tanya Ify pelan. Rio hanya berdehem sambil memejamkan mata lagi.
Entah kenapa saat ini ia merasa Ify akan pergi jauh darinya sehingga membuatnya
tak ingin sedetik pun melepaskan gadis itu dari dekapannya. Ia baru sadar kalau
ia benar-benar jatuh cinta pada Ify. Sampai-sampai membayangkan gadis itu
menghilang saja tidak sanggup.
Ify
menggeliat dan sedikit mendorong badan Rio. Rio merenggangkan tangannya dan
merajuk menatapnya. “Kenapa?” protesnya pelan. Ify terlebih dulu meletakkan
ponsel mereka di sampingnya lalu menoleh pada Rio. Ia menepuk pahanya sendiri
menyuruh Rio menyandarkan kepalanya di sana. Rio memandang tangannya lalu
kembali ke wajahnya. Pemuda itu tersenyum seraya menaikkan alis.
“Paha
lo kan kurus, Fy, minim daging. Ntar kepala gue malah sakit nidurin tulang
doang.”
Wajah
damai Ify langsung berubah kesal. “Gue udah manis-manis nawarinnya, lo malah
ngeledek. Yaudah kalo gamau!”
Rio
tertawa tanpa dosa tak peduli Ify makin keki melihatnya. Ia kemudian berbaring
dengan paha Ify sebagai bantal. Ia memiringkan tubuhnya supaya ia tetap bisa
memeluk gadis itu. Ify tak ayal mencibir meski akhirnya tersenyum juga.
“Perut
lo mau gue bikin berisi gak?” tanyanya jahil. Ify langsung menjewer kupingnya
meski tidak kuat. “Dasar mesum!” gumam gadis itu.
“Gue
booking buat anak gue nanti ya, Fy.” Sekali lagi Ify menjewer kupingnya. “Rio!”
balas Ify memperingati. Mereka lantas sama-sama tertawa.
“Yaudah,
gue numpang tidur bentar ya..” ujar Rio yang langsung menutup matanya sambil
menepuk-nepuk punggung Ify pelan. Sepertinya ia memang butuh istirahat.
Ify
hanya balas berdehem. Ia lebih memilih mengelus-ngelus kepala Rio membantu
pemuda itu tidur lebih cepat. Perlahan-lahan tepukan di punggungnya terasa
makin pelan hingga akhirnya benar-benar hilang. Rio sudah terlelap. Ia
tersenyum senang. Ia benar-benar bersyukur akan kejadian hari ini. Tapi ya tetap
sekali lagi, ia tidak akan bisa menerima apa yang sudah Debo lakukan padanya. Ia
sudah tidak percaya lagi pada pemuda itu. Ia menarik kata-katanya beberapa hari
lalu kalau ia senang punya secad seperti pemuda itu. Ia benar-benar menyesal bisa
disukai olehnya. Sangat-sangat menyesal.
***
Ify
berjalan melewati koridor sekolahnya dengan menunduk sedalam-dalamnya. Entah
kenapa tatapan orang-orang kali ini begitu menusuk hatinya. Tatapan orang-orang
saat ini terasa berbeda dan janggal. Ia sudah biasa merasakan tatapan iri
ketika ia berjalan dengan Rio di sampingnya, tapi kali ini berbeda. Mereka
semua seperti sedang menertawakannya. Ia seperti baru saja ketahuan mencuri
sehingga ditatap seperti itu. Dan itu membuat hatinya ciut dan tidak berani
menegakkan wajahnya dan berjalan biasa. Untung saja Rio ada di sampingnya
menemaninya. Kalau tidak, ia pasti lebih memilih pulang ke rumah daripadanya
disuruh melangkah di depan mereka.
Rio
mengetahui benar ketidakpedean Ify saat ini. Ia mengeratkan tautan jemarinya
bersama gadis itu. Seolah memberi tahu gadisnya tersebut kalau akan selalu ada
dirinya mendampingi di sampingnya sehingga ia tidak perlu takut. Memberi
sedikit kekuatan pada Ify.
“Perasaan
gue gak enak, Yo. Cara mereka ngeliat gue itu loh..” cicit Ify. Ia tersenyum
hangat pada gadis itu. “Lo cuma grogi. Gak ada apa-apa kok. Kan gue udah
bilang, lo harus biasa diliatin banyak orang kalo mau jadi pacar gue.” katanya
seraya terkekeh kecil.
Namun,
tampaknya hati Ify masih saja gelisah. Gadis itu memberengut dan mendesah
pelan. “Tapi, cara mereka ngeliatin gue yang kali ini itu beda, Yo. Kayak—”
Rio
lekas memotong ucapan Ify, mencegah gadis itu berpikiran yang tidak-tidak.
“Jangan nethink gitu, Fy. Semuanya baik-baik aja. Gak usah peduliin apa yang
mereka lakuin atau pikirin tentang lo.”
Ify
menggigit bibirnya menimang-nimang apa ia bisa percaya pada kata-katanya. “Gitu
ya?” gumam Ify pelan.
“Iyaa..”
balas Rio seraya melepas sesaat genggaman mereka untuk mengelus kepala Ify lalu
kembali berjalan bergandengan.
***
Ify
duduk dengan gelisah di dalam hati sambil memelintir seragamnya. Ini pertama
kalinya ia masuk ke dalam ruangan ini. Ruangan yang menjadi aib bagi semua
siswa. Ruang BK. Tidak juga, sih, sebenarnya. Ruangan ini banyak juga didatangi
murid untuk curhat. Tapi memang, kalau sudah masuk ke ruangan ini, selalu ada
kesan ‘murid bermasalah’ yang akan dibawa keluar. Seperti sebuah stempel yang
langsung tertancap di dahi dan permanen. Di sanalah ia sekarang.
“A—ada
apa ya, Bu, sampai saya dipanggil? Pagi ini saya gak telat, kok.” Tanyanya
panik.
Bu
Anne tersenyum melihatnya. “Tenang, Ify. Ibu hanya ingin ngobrol sama kamu.”
Jawabnya lembut. Ia mengambil sebuah amplop kuning di sebelahnya dan
menyodorkannya ke depan Ify. Ify memandangnya dan amplop tersebut bergantian
dengan bingung. “Ibu hanya ingin denger penjelasan kamu soal ini. Silahkan,
boleh kamu buka.” Lanjutnya.
Ify
mengambil amplop tersebut dan membukanya dengan ragu-ragu. Matanya melotot dan
jantungnya serasa meledak manakala ia mengetahui apa isi dari amplop itu. Dua
buah foto yang pasti diambil saat ia berada di perpustakaan. Saat ia bersama
Debo. Saat Debo sedang memeluknya dan saat Debo sedang...
“Kenapa...”
Ify sudah tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia ingin pingsan saja. Ia tidak
kuat memikirkan nasibnya nanti di tangan Bu Anne. Ia pasti akan kena hukuman.
Selama ini ia mati-matian menjaga citranya sebagai anak baik-baik. Ia tahu diri
kalau ia tidak bisa berprestasi di bidang akademik. Untuk itu, setidak-tidaknya
perilakunya di mata guru-guru dan semuanya selalu terjaga. Tapi kini, upayanya
itu benar-benar sia-sia. Namanya sudah tercoreng. Semoga saja foto ini tidak
tersebar kemana-mana.
“Ada
yang menempel foto itu tadi pagi di mading. Untung Ibu cepat dateng jadi bisa
mencabutnya dari sana. Ibu harap anak-anak yang udah liat gak bakal ngomongin
ini ke yang lain, ke yang belum liat.” Bu Anne mendesah berat. Doanya sedikit
susah untuk terkabul.
Tadi
jantungnya, sekarang kepala Ify yang terasa ingin meledak. Pupus sudah
harapannya. Mana mungkin siswa yang sudah melihat tidak membicarakan ini. Foto
ini pasti sudah tersebar luas. Hancur sudah reputasinya.
Ify
menelan ludah menahan air mata yang tak sabar menghujani pipinya. “Tapi, saya
gak pernah minta Debo nyium saya, Bu. Saya bahkan gaada hubungan apa-apa sama
dia. Dia tiba-tiba nyamperin saya dan melakukan apa yang tercetak di foto ini.”
Kalau membicarakan Debo, rasanya hatinya makin panas. Ia sangat-sangat kecewa
pada pemuda itu. Ia tidak menyangka Debo akan sampai hati padanya seperti ini.
Dan juga pengirim sms misterius itu. Entah kenapa ia merasa pelakunya sama
dengan orang yang menculiknya dulu.
“Sudah
Ibu duga! Kamu gak mungkin sengaja melakukan ini. Pasti ada orang yang mau
ngerjain kamu dan mempermalukan kamu. Ckck, dasar anak-anak!” Bu Anne tiba-tiba
berseru. Mukanya tampak begitu bersemangat membelanya. Begitu tidak suka pada
orang yang sudah mengerjainya. Sedikitnya, Ify bisa merasa lega. Kalau Bu Anne
membelanya, itu tandanya ada kemungkinan ia akan bebas dari hukuman. Satu
masalah terlewati.
“Kalau
Ibu bertanya pada saya, saya ga akan bisa jawab apa-apa, Bu. Karena saya juga
gak ngerti kenapa ini bisa terjadi. Ibu lebih baik langsung tanya sama Debo.
Dia kunci semua kejadian ini. Tapi, kalau dia sampai bilang ini kesengajaan
saya sama dia, saya berani bersumpah kalau dia bohong.” Ify mencoba
memberanikan diri dan berkata dengan yakin pada Bu Anne. Bu Anne menganggukkan
kepalanya mengerti.
“Mulai
sekarang kamu harus lebih hati-hati. Di dunia ini, gak semua yang suka kamu,
apalagi yang gak suka sama kamu, bakal bersikap pasif sama kamu. Dunia udah
dipenuhi sama orang-orang nekat. Kamu dituntut untuk selalu waspada dan gak
gampang percaya sama orang yang mendekati kamu. Tapi kamu juga gak boleh mudah
berpikiran negatif sama mereka. Haah..kedengarannya aja susah ya,
membingungkan. Tapi itu yang harus kamu lakukan. Ibu cuma bisa bilang itu sama
kamu, Fy.”
Ify
mengangguk dengan tatapan penuh berterimakasih. Ia tidak sanggup membayangkan
kalau ia dihukum. Ia tidak tega melihat betapa kecewa Papanya, apalagi
laki-laki itu sedang terbaring di rumah sakit dengan penyakit yang tidak
ringan. Lalu, kedua orang tua Rio juga Ray, mereka pasti tak kalah kecewanya
kalau sampai mendengar hal ini. Meskipun ini bukan murni kesalahannya, ia tetap
merasa malu dan ikut kecewa pada dirinya sendiri.
“Yaudah,
sekarang kamu boleh kembali ke kelas.” Ujar Bu Anne ramah. Ify mengangguk lagi
seraya tersenyum. “Makasih, Bu. Makasih sudah percaya sama saya.” Ucap Ify
tulus. Bu Anne hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
***
Rio
mengajak Ify duduk di rerumputan taman Parfait setelah Ify keluar dari ruang
BK. Ditangannya terdapat dua mangkok pop mie untuk mereka berdua sementara Ify
memegang dua botol air minum. Ia meletakkan salah satu pop mie di depan Ify.
Ify melihat itu tanpa semangat dan memilih memandang pemandangan di depannya.
Atau lebih tepatnya melamun.
Rio
menyeruput mienya dengan lahap sementara Ify hanya diam di tempatnya. Rio
melihat itu lantas menghembus mienya dan menyuapkannya pada Ify. Ify berjengit
menghindar. “Gue gak laper.” Bukan Rio namanya kalau ditolak sekali langsung
menyerah. Ia mengurung Ify dengan tangannya, mengalungkan tangannya sehingga
gadis itu tidak bisa bergerak kemana-mana.
“Buka
mulut!” perintahnya. Ify memberengut. “Riooo..” rengeknya. Rio menaikkan alis
tetap memaksa Ify agar mau menerima suapannya. Mau tidak mau Ify terpaksa
membuka mulutnya. Rio langsung tersenyum puas dan menarik tangannya membebaskan
ruang gerak Ify lagi.
Ia
baru hendak menyuap untuk dirinya sendiri kembali sebelum ia mendengar
isakan-isakan kecil dari sampingnya. Ia menoleh dan mendapati Ify sedang
menangis tanpa suara. Ia meletakkan pop mienya di depannya dan meminum air
minum yang mereka beli di kantin. Setelah itu ia kembali pada Ify. Ia menyeka
air mata Ify di pipinya dan menyelipkan beberapa helai rambut yang menghalangi
wajahnya dari samping.
Ify
meraih tangan Rio dan menjauhkannya pelan. “Ntar tangan lo kotor..” katanya
dengan suara bindeng. “Emangnya air mata lo asalnya dari got bisa bikin tangan
gue kotor?” balas Rio berusaha membuat Ify ceria lagi. Tapi, sepertinya belum
berhasil.
“Gue
bikin lo nangis mulu. Lo gak bahagia ya sama gue?” ujarnya pura-pura sedih. Ify
langsung menggelengkan kepalanya dan memegang lengannya. “Bukan itu!” rengeknya
lagi. Rio lantas tersenyum. Kali ini usahanya sedikit membuahkan hasil.
“Kalo
gitu senyum dong, jangan nangis lagi. Ntar idung lo pesek kek gue, loh, ngelap
ingus mulu.” Ify memukul tangannya merengut namun kemudian tersenyum. “Udah
cetakannya idung gue begini, mana bisa gitu aja berubah gara-gara ngelap
ingus!” Rio tersenyum senang sambil mengacak-ngacak rambut Ify. Ify mengambil
botol air minum yang sudah dibuka Rio lalu meminumnya beberapa teguk.
“Kira-kira
siapa ya..orang yang udah ngerjain gue?” tanya Ify dengan pandangan menerawang.
Rio
sesaat terdiam. Cepat atau lambat Ify pasti ingin tahu siapa pelaku dibalik ini
semua. Dan ia tidak menginginkan itu terjadi. Ia tidak ingin Ify tahu kalau
pelakunya Dea. Sekali lagi, ia tidak ingin mereka berdua bermusuhan. Satu alasan
lagi. Ia tidak ingin Ify terus mengingat kejadian ini karena ia sendiri tidak
ingin diingatkan oleh kejadian itu. Ia tidak ingin lagi mengingat bagaimana
Debo dengan lancang mencium Ify di depan matanya. Ia tidak bisa menghilangkan
amarahnya kalau terus mengingat itu. Ia tidak ingin memperpanjang masalah jika
ia tiba-tiba kalap. Ia sudah memutuskan untuk berusaha memaafkan pemuda itu.
Jadi upayanya akan sia-sia jika masalah ini terus saja dibahas.
“Lo
gak perlu mikirin itu. Gue pengen lo gak usah inget-inget lagi apa yang sudah
terjadi sebelumnya.” Gumamnya sambil kembali memakan pop mie.
Ify
menoleh ke arahnya lalu kembali memandang nanar ke depan. “Mana bisa gue lupain
gitu aja, Yo. Gue udah dijebak dan dilecehakan, terakhir gue juga dipermalukan.
Ini tuh peristiwa berat buat gue. Mungkin seumur hidup gue bakal tetep inget.”
“Makanya
sekarang lo coba untuk lupa. Jangan lo bahas-bahas lagi. Hilangin semua rasa
penasaran lo soal si pelaku. Itu cuma bikin lo capek sendiri kalo terus lo cari
tau, Fy.”
“Gue
punya 3 sahabat yang bisa bantu gue dan..gue juga punya lo..berikut Iel sama
Cakka. Iya, kan?”
Rio
mengerang dalam hati. “Gue mau lo lupain semuanya, Fy.” Balasnya dingin dan
tajam. Berharap Ify akan tunduk pada kata-katanya. Tapi, sepertinya Ify tidak
menyadari sama sekali kalau ia sedang menekan gadis itu. Gadis itu masih santai
memandang ke depan.
“Gue
gak bisa, Yo.” Sahutnya ringan. Rio tiba-tiba meletakkan pop mie nya dengan
kasar yang membuat air di dalamnya sedikit memercik dan juga membuat Ify kaget.
Ify menoleh ke arahnya dengan bingung dan sedikit takut. “Gue gak mau lo terus
nginget itu, Fy. Kenapa sih lo gamau dengerin kata gue? Gue tau emang gak
mudah, tapi kalo niat pasti lo bisa. Pelan-pelan pasti lo bisa, kan?”
Ify
mengernyit memandang Rio. “Lo kenapa jadi marah-marah, sih?” tanyanya mencoba
tenang. “Karena lo gamau denger omongan gue. Gue gak mau pelakunya malah makin
dendam sama lo kalo sampe lo ngebongkar kesalahan dia.”
“Lo
kayak tau pelakunya aja!” balas Ify asal. Rio hampir saja terpancing akan
kata-kata gadis itu. Ia mendesah pelan. “Gue mohon, Fy?” lirihnya dengan
tatapan memelas. Ify balas menatap sama memelasnya. “Hati gue rasanya gak puas,
Yo.”
“Fy,
please!” Nada suara Rio meninggi. Ify berjengit kaget. “Lo kenapa sih, Yo? Apa
yang salah kalo gue tetep nyari tau? Kalo ketemu pun gue gak bakal sampe
nyakar-nyakar dia. Gue cuma mau ngomong dari hati ke hati. Gue mau berdamai
sama dia sekaligus hati gue sendiri.”
“Karena
gue gak mau terus inget kalo gue pernah liat dengan mata kepala gue sendiri ada
cowok lain nyentuh cewek gue! Gue gak mau inget-inget lagi gimana Debo nyium
lo! Gue gak mau naruh jejak tangan gue di muka dia lagi! Hah!” Rio mendengus
sambil melengos.
Kali
ini Ify baru mengerti kenapa Rio keras melarangnya mencari tahu. Ify baru
mengerti bagaimana perasaan Rio. Ia merasa ingin menangis karena terharu. Ia
baru tahu kalau Rio begitu berjiwa besar seperti ini. Ia baru sadar kalau ia sudah
egois beberapa saat lalu. Kejadian perpus tidak hanya menyakitinya, tapi juga
menyakiti Rio. Kalau saja ia tahu, memang Rio yang sebenarnya banyak memendam
sakit. Ia harus menahan untuk tidak balas dendam pada Debo. Ia juga harus
merasa bersalah sedalam-dalamnya karena tidak bisa menjaganya. Terlebih ia
harus menyaksikan orang lain menyentuhnya sembarangan. Ia juga harus bisa
menahan rasa marah pada Dea.
Ify
lantas mencabut selembar tisu dari sebungkus tisu yang ia beli di kantin
sebelum datang kemari. Ia meraih tangan Rio lalu membersihkan tangan pemuda itu
dari air mie yang memercik ke sana. Rio menoleh pada tangannya lalu hanya diam
sambil memandang Ify. Ify mengangkat wajahnya karena menyadari Rio sedang
menatapnya.
“I
love you!” ujar Ify seraya tersenyum manja. Emosi Rio seketika luntur. Ia
mendesis sebal meski tidak dapat menahan senyumnya juga. “Emangnya dengan lo
bilang gitu gue bakal maafin lo?” sahutnya pura-pura galak.
Ify
merengut dan lantas bersandar sambil memeluk lengan Rio. “Gue lagi gak punya
permen buat nyogok lo. Jadi langsung maafin gue aja ya?”
Rio
tertawa lalu kemudian mendecak sambil geleng-geleng kepala. “Janji ya, lo gak
akan inget-inget itu lagi?” tanyanya sambil menyembulkan kelingkingnya. Ify
tersenyum sambil menyambut uluran kelingking(?)nya.
“Iya.”
Rio akhirnya dapat bernapas lega. Ia lantas membalikkan tangannya dan
menggenggam tangan Ify.
***
Rio
mengeratkan genggamannya pada tangan Ify. Ia gugup. Hari ini ia berencana untuk
mempertemukan Ify dan Dea. Ia ingin mereka berdua bisa akrab. Mungkin dengan
cara ini Dea bisa mendekatkan diri pada Ify terlebih menyukai Ify sehingga
gadis itu tidak lagi mengganggu kekasihnya itu. Semoga saja semuanya berjalan
seperti yang ia harapkan. Ify sendiri hanya berjalan santai sambil
memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya.
Mereka
kini mulai menaiki eskalator. Mall tampaknya ramai dipadati pengunjung.
Sampai-sampai eskalator pun penuh. Rio melepas genggamannya dan memilih memeluk
pinggang Ify. Merapatkan gadis itu padanya supaya tidak hilang di kerumunan.
Ataupun supaya tidak ada orang yang berani mengganggu gadis itu. Ify sedikit
kaget karena Rio tiba-tiba memeluk pinggangnya, di keramaian seperti ini lagi.
Ify melihat sekitarnya lalu melihat Rio lalu kemudian tersenyum tipis seraya
menunduk.
“Fy,
kalo kita nanti nontonnya gak berdua gakpapa, kan?” tanya Rio tiba-tiba. Air mukanya
terlihat seperti tidak enak hati. Takut-takut kalau Ify malah tidak suka. Namun
untungnya, Ify tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Gakpapa, as long as I’m
with you, Yo. Hehe..” Rio tertawa kecil mendengar itu lantas mengelus sesaat
kepala Ify sambil merangkul lehernya.
Ify tak bisa melepas senyum dari wajahnya. Hingga
kemudian senyumnya sedikit pudar manakala mengetahui siapa orang yang akan
menemaninya dan Rio nonton. Seorang gadis yang sudah menempati meja yang akan
mereka tempati lebih dulu. Gadis berambut sebahu lebih yang kini tengah
tersenyum menyambut kedatangannya dengan Rio. Dea. Ia menoleh pada Rio seolah
bertanya apa Dea yang benar-benar akan ikut bersama mereka. Dan senyum Rio pun
seolah menjawab pertanyaan tersiratnya.
“Kamu
udah lama nunggunya?” tanya Rio setelah duduk di kursi di depan Dea diikuti Ify
yang memilih duduk di sebelahnya yang otomatis di sebelah Dea juga. Dea
menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Enggak kok, KakYo.” Ujarnya. Ia
menoleh pada Ify yang hanya diam. “KakFy..gaksuka ya aku ikut? KakYo tadi minta
banget sama aku buat ikut jadinya aku ikut. Aku gakpapa kok kalo KakFy nyuruh
aku pulang. Aku juga ga enak gangguin acara KakFy sama KakYo terus.”
Ify
tak ayal langsung menoleh pada Rio dan bertanya ‘maksudnya minta banget?’
melalui tatapannya. Rio terkesiap dan langsung menjawab atau mungkin meralat
ucapan Dea. “Lo jangan salah paham dulu. Gue itu mau memperbaiki hubungan kita
bertiga yang sedikit kacau akhir-akhir ini makanya gue ngajak Dea ikut sama
kita.” Jelasnya.
Ify
diam mencermati apa yang Rio katakan. Berhubung ia sedang tidak ingin berpikir
yang berat-berat, ia lantas hanya menjawab ‘Oh’ sambil menganggukkan kepala
beberapa kali. Ia juga tidak ingin membuatnya menjadi masalah besar yang harus
diributkan dan diperdebatkan. Ia tidak ingin merusak harinya yang sudah
berangsur damai.
“Jadi
aku boleh ikut?” tanya Dea dengan mata berbinar. Ify tersenyum tipis.
“Boleh..boleh, kok.” Jawabnya sekenanya. Dea berseru senang sambil memeluk
lengannya. “KakFy cantik, deh!”
Sekali
lagi Ify hanya diam dan balas tersenyum. Entahlah, ada yang aneh dengan
perasaannya. Ia masih kaget setiap melihat sikap Dea yang berubah-ubah. Ia
belum bisa percaya padanya. Mungkin juga ini karena Debo yang sudah
‘mengkhianati’nya. Meski begitu, ia tidak akan menutup hatinya untuk menghargai
sikap baik Dea. Semoga saja gadis itu benar-benar berubah.
***
Hari
ke hari, hati Ify sepertinya sedikit demi sedikit mulai terbuka untuk menerima
Dea. Rasanya Dea benar-benar sudah berubah. Gadis itu ramah sekali. Selalu
menegurnya dengan ceria setiap bertemu. Kalau sedang bersamanya dan Rio, Dea
malah lebih lengket padanya daripada Rio sendiri. Sampa-sampai Rio pernah
berkata ‘cemburu’. Tak jarang ketika istirahat sekolah mereka makan di kantin
bersama. Seperti saat ini. Mereka berjalan menuju kantin dengan Dea yang
memeluk lengannya.
Sekarang
adalah gilirannya untuk memesan makanan. Ya, karena Dea, mereka jadi punya
jadwal giliran untuk memesan makanan. Gadis itu bilang ‘biar seru aja’ waktu
itu. Sebenarnya Dea memang gadis yang lucu dan hangat. Sikapnya bahkan boleh
dikatakan belum cocok untuk disebut anak sma. Ia dibuat merasa seperti punya
adik yang masih sd.
“Pesenannya
masih sama, kan?” tanyanya sesaat sebelum melangkah pergi. Rio dan Dea
mengiyakan bersamaan. Mereka tak ayal serentak tertawa.
Tapi
sepertinya, prahara untuk Ify belum habis. Hari Ify belum benar-benar damai
seperti yang ia kira. Masalah itu rupanya belum kapok mendatanginya. Ketika ia
baru hendak membalikkan badan, di saat yang bersamaan seseorang hendak berjalan
melewatinya. Mereka sama-sama tidak melihat keberadaan satu sama lain. Alhasil
tabrakan tak dapat terelakkan. Sialnya, baju Ify terkena tumpahan kuah bakso
rekan tabrakannya tersebut. Tapi Ify lega, setidaknya bajunya yang kena bukan
baju sang rekan.
“Maaf
gue gak hati-hati..” kata Ify langsung sambil mengangkat wajahnya. Ia berjengit
kaget mengetahui siapa gerangan yang sudah ditabraknya tadi. Gadis yang
ditemuinya di toilet yang memohon-mohon padanya untuk menjauhi Rio waktu itu.
Ya, gadis itu adalah Angel. Angel menatapnya datar bahkan bisa dibilang agak
sinis.
“Ya,
lo pantes dapet siraman kuah bakso di baju lo akibat ke-gak-hati-hati-an lo
itu.”
Ify
terpana beberapa saat. Angel sudah 180 derajat berubah. Gadis itu benar-benar
bersikap memusuhinya. Ia sangat tidak mengerti mengapa dia sampai sebegitunya
membencinya. Tapi entah kenapa, sejahat apapun gadis itu, ia tidak bisa
membalas membenci Angel. Sama seperti ia tidak pernah membenci Rio ketika
pemuda itu menyakitinya. Tapi kalau Rio kan ia tahu alasannya, karena ia
mencintai pemuda itu. Nah, kalau Angel? Kan gak mungkin gue jatuh cinta sama
Angel.
“Sekali
lagi gue minta maaf ya, Kak.” Ujarnya berusaha tetap sopan. Tak peduli pada
ketidakramahan Angel padanya.
“Trus
lo pikir, maaf lo bisa gantiin bakso gue yang udah dimakan sama baju lo?”
Bentak Angel tiba-tiba. Ify sampai mundur karena kaget. Sontak hal itu membuat mereka
benar-benar menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Rio hendak
berdiri tapi didahului Dea. Dea maju ke depan Ify seolah ingin melindungi gadis
itu dari Angel. Angel hanya menaikkan alis dengan ekspresi yang kembali datar.
Dea
baru membuka mulut ketika Angel menyentaknya. Tidak cukup keras tapi cukup
membuatnya takut dan mundur. Mau tidak mau Rio akhirnya berdiri juga dan
menggantikan Dea berdiri di depan Ify. “Bakso lo harganya berapa, sih? Masih
lebih mahal seragam Ify yang udah kotor karena bakso lo. Dia juga udah minta
maaf, kan? Kenapa harus marah-marah?” Rio menekan semua emosinya dan mencoba
berbicara tenang sambil menyembunyikan tangannya yang terkepal di saku.
Angel
hanya diam memandang Rio. Ia kemudian meletakkan mangkok baksonya ke meja
asal-asalan lalu melengos pergi tanpa mengatakan apapun. Rio mengernyit
menatapnya tak terima diabaikan. Ia hendak menahan gadis itu tapi tangannya
lebih dulu ditahan Ify. Ify menggelengkan kepalanya mengisyaratkan agar ia
membiarkan Angel pergi. Ia lantas mendengus pelan.
“Kakak
itu siapa, sih? Galak banget!” celetuk Dea. Namun, satupun dari Rio dan Ify
tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Ia lantas hanya mengedikkan bahu. Ia kemudian
mengikuti Rio dan Ify yang hendak pergi ke uks meminta baju ganti.
***
Ify
keluar dari uks dengan menenteng seragamnya yang kotor. Ia hanya menemukan Rio
seorang diri. Ia menoleh mencari Dea dan bertanya melalui tatapan matanya pada
Rio.
“Lo
gak seneng gue yang nungguin lo? Lo udah mulai selingkuh sama Dea?” tanya Rio
yang langsung membuatnya mencubit pinggang pemuda itu. Mereka lantas tertawa.
“Dia udah balik ke kelas. Ada tugas kelompok katanya.” Jawab Rio setelah
tawanya meredam.
Ify
hanya menganggukkan kepala. Rio diam menatapnya lalu menghela napas. Ia lantas
mengernyit bingung. “Kenapa?”
“Bahkan
waktu gue ada pun lo tetep kena masalah. Apa mungkin gue pembawa sial untuk lo
ya?”
Sekali
lagi Ify mencubit pinggang Rio, bahkan lebih keras hingga Rio sampai mengaduh
sakit. “Ini udah 2014 lo masih aja percaya gituan, ckckck!”
Meski
begitu, Rio tetap memberengut. “Gue beneran sedih loh, Fy.”
“I’m
okay, Rio! Lagian kejadian tadi itu murni musibah. Gak ada unsur kesengajaan
dari Angel buat nyiram gue pake kuah bakso.” sahut Ify gemas. Rio menghela
napas. “Gitu ya?” serahnya. Ify mengangguk cepat dengan semangat. Rio diam
tidak menjawab lagi.
Ify
kemudian mengangkat tangannya dan melentik-lentikkan jari di depan wajah Rio.
Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang membaca mantra. Rio melihat itu sambil
mengerutkan kening.
“Wahai
Tuhan, dengarlah beberapa permintaan kecil dari gadis lemah tak berdaya seperti
hambamu ini. Jagalah selalu pemuda ini, jangan pudarkan senyum di wajah pemuda
ini, jangan lunturkan kebahagiaan di hati pemuda ini. Semikan selalu cintanya
untuk hambamu ini. Satukan selalu kami ketika masalah datang memisahkan kami.
Hadirkan kepercayaan selalu di hati kami ketika salah paham terjadi memecah
kami....amin. Sshhh! Sshhh!” Ify menjentikkan jarinya seperti sedang
menyipratkan air ke wajah Rio lalu menurunkan tangannya kembali.
Rio
hanya tersenyum geli menatap Ify yang juga tersenyum padanya sambil
menepuk-nepuk kepala gadis itu.
***
Malam
ini Rio kembali harus mengajari Dea. Berbeda dengan sebelumnya, sekarang Dea
yang bertandang ke rumah Rio. Lantas ruang tengah pun diisi oleh Rio, Dea dan
juga Ify. Sebenarnya Ify ingin berdiam diri di kamar. Akan tetapi, Rio yang
menyuruhnya menemaninya. Hitung-hitung Ify bisa ikut sekalian mengulang
pelajaran, katanya. Meski sebenarnya ia tahu kenapa pemuda itu memaksanya. Rio
tidak ingin ia berpikir yang tidak-tidak. Padahal ia sudah tidak lagi
berpikiran macam-macam tentang Rio dan Dea. Mereka kan sudah berbaikan jadi apa
yang harus ia khawatirkan, kan?
Karena
bosan hanya menjadi penonton Rio dan Dea, ia lantas memilih memainkan
ponselnya. Sekedar iseng mencari berita tentang Rio. Ia mengetik ‘Rio Real
2014’ di mesin pencari sebagai kata kunci. Dan berbagai artikel tentang Rio pun
langsung bermunculan. Dari sekian banyak tersebut, ada satu yang menarik
perhatian Ify, yaitu artikel yang berjudulkan ‘Rio Punya Pacar, Anda Patah
Hati?’. Ia langsung menekan judul artikel tersebut dan kemudian membaca apa
yang tertulis di dalamnya.
‘Beberapa
saat lalu, media sosial instagram sempat dihebohkan dengan foto yang diupload
Rio Real diakunnya. Foto tersebut menunjukkan dirinya dan seorang gadis di
sampingnya dengan mata tertutup. Berdasarkan info yang didapat, gadis manis itu
bernama Alyssa Saufika Umari atau Ify yang juga merupakan teman sekelas Rio di
sekolah. Dari foto tersebut, banyak orang yang menyimpulkan ada hubungan
spesial yang terjalin di antara mereka berdua. Beragam reaksi yang dikeluarkan
para penggemarnya terutama para wanita. Cukup banyak yang mendukung hubungan
antara Rio dan Ify ini sampai-sampai terbentuk sebuah grup penggemar mereka
berdua yang menamakan diri sebagai RFM (RiFy Maniacs) *eaaag*. Namun jumlahnya
mungkin belum sebanyak para remaja putri yang mengaku patah hati setelah
mendengar kabar ini. Lalu, masuk di bagian manakah anda? Apakah anda juga patah
hati?’
Ify
terlihat beberapa kali tersenyum saat membaca isi dari artikel itu. Terutama
saat membaca baris kalimat yang menyebutnya ‘manis’, juga tentang grup
penggemar dirinya dan Rio. Ia menggerakkan jempolnya ke atas untuk menggeser
laman ke bawah dimana merupakan tempat orang-orang berkomentar.
‘AQo3h
mao m4ti3e aj4chhhhh!!’
Ify
terkekeh geli membaca komentar yang satu itu. “Untung Rio alaynya gak separah
ini..”
‘I
love them<3<3 Jangan sampe putus yaaaa!’
Ify
tersenyum senang seraya menyahut pelan. “I love you too!”
‘Kenapa
kenyataan hidup harus sesakit ini? :’’)’
Ify
kembali tersenyum. Tapi kemudian, senyumnya tiba-tiba lenyap.
‘Itu
ceweknya abis ditidurin? Ewh..’
“Sembarangan!”
Ify spontan menyeru tak terima. Hal itu lantas membuat Rio dan Dea memandangnya
bingung dan heran.
“Lo
kenapa?” tanya Rio dengan pandangan aneh. Ify balas nyengir. “Gak..gakpapa,
hehe..”
Rio
menatapnya sebentar lalu mengedikkan bahu. “Lo bikinin minum gih!” katanya
tanpa menoleh.
“O—oh
iya, bentar..” Ify meletakkan ponselnya di meja dan langsung beranjak ke dapur.
Satu alasan lagi kenapa Rio memaksanya menemaninya, yaitu agar pemuda itu bisa
menyuruhnya seenaknya. Ckck, untung gue cinta sama lo, Yo, Yo.
Ify
kembali dengan membawa tiga gelas orange syrup dingin di tangannya. Ia
meletakkan masing-masing di depan Dea, Rio dan dirinya sendiri. Rio dan Dea
sepertinya sudah selesai belajar.
“Kamu
ke sini sendiri, De?” tanya Ify sambil menyesap orange syrupnya. Dea mengangguk
seraya tersenyum. “Pake apa? Gak takut?” tanya Ify lagi.
Dea
kali ini menggeleng. “Mobil. Jam segini jalanan masih rame, jadi aku gak
terlalu takut.”
“Sejak
kapan kamu bisa nyetir mobil?” celetuk Rio yang nampak kaget. Ify bergantian
memandang Rio dan Dea. “Baru sih, KakYo. Belajar sama Pak Anto.”
“Pak
Anto siapa?” kembali Ify yang bertanya. “Supir aku, KakFy.” Ify mengangguk dan
hanya menjawab ‘Oh’.
Mereka
sesaat sama-sama diam. Ify kembali memainkan ponselnya, Rio bersandar pada sofa
seraya melepas penat sementara Dea diam dengan terus menatap Ify. “KakFy?”
panggilnya kemudian.
Ify
berdehem menyahut tanpa melepas pandangannya ke layar ponsel. “Kalo misalnya
aku minta maaf, apa KakFy mau maafin aku?” tanyanya dengan nada serius.
Ify
memalingkan wajahnya menatap Dea sambil mengernyit. Rio pun langsung menegapkan
badannya mendengar ucapan gadis itu. Ify melihat ke arah Rio yang menatap Dea
aneh.
“Emang
kamu kenapa?” tanyanya. “Aku tau KakYo gak ngebolehin aku ngomong soal
ini sama KakFy, tapi—“
“De!”
sela Rio tiba-tiba. Dea hanya meliriknya sekilas dan kembali bicara tanpa
memedulikan ‘alarm’ darinya. “Aku gak bisa nyimpen ini terus-terusan. Aku
selalu dihantui rasa berdosa dan bersalah sama KakFy. Makanya sekarang aku mau
jujur sama KakFy. Aku mau jujur soal perpus.”
“Fy,
sebaiknya lo balik ke kamar. Sekarang.” Perintah Rio tegas. Ify menoleh ke
arahnya makin tidak mengerti. “KakFy jangan pergi! Aku mohon dengerin apa yang
mau aku bilang ke KakFy!” tahan Dea cepat.
“Fy,
lo gak denger gue bilang apa?!” kata Rio dengan nada suara meninggi. “KakYo,
please?!”
“Kalian
kenapa, sih? Kamu sebenernya mau ngomong apa, De? Jangan bikin Kakak pusing.”
Dea
meraih kedua tangannya dan menatapnya penuh rasa bersalah. Bahkan hampir
menangis. “Aku..aku yang udah sms KakFy waktu itu. Aku yang udah minjem hape
KakYo waktu itu dan nyuruh KakFy datang ke perpus.”
Saat
itu juga rasanya seperti ada petir yang menyambar jantungnya. Ia merasa sedang
bermimpi buruk.
“De,
udah!” Rio kembali menyuruh Dea berhenti melihat Ify bergeming. Namun kemudian,
Ify bersuara yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa
menghela napas dan berdoa semoga saja hal ini tidak berakhir buruk.
“Lanjutin..”
lirih Ify. Dea menarik napas dalam lalu melanjutkan ucapannya seperti yang Ify
minta. “Kak Debo yang sms KakYo buat dateng ke perpus. Aku dan Kak Debo
pelakunya. Termasuk yang nempel foto di mading.”
Ify
termangu tanpa bisa berkata apa-apa. Disaat ia sudah mulai percaya, dalam
sekejab kepercayaannya tersebut kembali terbuang sia-sia. Dan yang lebih
menyakitkan, Rio juga tega menyembunyikan kebenaran ini darinya. Jadi inikah
alasan sebenarnya Rio melarangnya mencari tahu? Pemuda itu hanya ingin
melindungi Dea?
“Aku
minta maaf, KakFy. Aku bener-bener minta maaf. Aku nyesel udah melakukan itu
semua sama KakFy.”
Ify
masih diam menatap Dea tak percaya. Air matanya satu persatu mulai turun. Lalu
kemudian pandangannya beralih pada Rio. Ia benar-benar kecewa pada pemuda itu.
Ia tidak habis pikir kenapa pemuda itu tega membohonginya. Ia menarik tangannya
dari genggaman Dea. Ia berdiri dan berlari pergi masuk ke dalam kamar tanpa
mengatakan apapun.
Rio
mendengus frustasi. Ia membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi tidak
jadi dan terulang sampai dua kali. Hingga akhirnya ia mengerang kesal sendiri.
“KakYo,
aku minta maaf. Aku gak maksud bikin kakak sama Kakfy—“
“Pulang..kamu
pulang sekarang..pulang!” potong Rio sambil menutup mata.
“Tapi—“
“Kamu
gak mau kan Kakak makin marah sama kamu?”
Dea
terdiam tak bisa apa-apa lagi. Mau tidak mau ia menuruti kata-kata Rio untuk
pulang saat ini juga. Ia membereskan buku-bukunya yang ada di meja dan berdiri
mengucap pamit sekaligus memohon maaf kembali untuk yang terakhir kali.
“Sekali
lagi aku minta maaf, KakYo. Aku pulang dulu.”
Rio
memalingkan wajahnya dan hanya diam. Ia membiarkan Dea pergi hingga kemudian
terdengar suara pintu di tutup. Ia menghela napas berat. Matanya beralih pada
pintu kamarnya yang tertutup rapat. Lalu sekarang bagaimana?
***
Ify
duduk menekuk lutut dengan menyangga dagunya sambil terus menatap lekat-lekat
pintu kamar Rio. Menunggu seseorang segera membukanya dari luar. Hatinya
sedaritadi memanggil-manggil nama orang tersebut dan berharap suara hatinya itu
bisa terdengar. Tapi rupanya, sampai sekarang pintu itu masih bergeming tak
bergerak sedikitpun. Ia masih saja meringkuk sendiri di dalam kamar tanpa ada
seseorang yang datang menenangkan atau bahkan sekedar menemani.
Saat
ini Ify hanya berharap Rio segera datang dan memberinya penjelasan. Ia sendiri
tidak tahu kenapa ia malah menginginkan kehadiran pemuda itu setelah kebohongan
pemuda itu terbongkar. Padahal ia tahu kalau ia sudah begitu kecewa padanya.
Tapi memikirkan Rio yang tidak salah paham padanya ketika melihat ia dan Debo
di perpustakaan, hatinya langsung melunak. Mungkin tak ada salahnya juga kalau
ia terlebih dahulu mendengar penjelasan pemuda itu baru memutuskan sikap mana
yang harus ia ambil.
Yang
jadi masalah sekarang, kenapa Rio tidak juga menampakkan batang hidungnya di
hadapannya? Ini bahkan sudah lebih dari satu jam setelah ia meninggalkannya
dengan Dea di ruang tengah. Apa pemuda itu benar-benar menginginkan
kemarahannya?
Sementara
itu, di luar Rio berdiri dengan bimbang apa ia harus masuk menemui Ify atau
tidak. Ada dua kemungkinan yang ada dalam benaknya. Yang pertama, saat ini Ify
sedang menenangkan diri setelah mengetahui fakta yang berusaha ia sembunyikan.
Karena itu, Ify mungkin tidak akan menerima kehadirannya dan tidak akan mengacuhkannya.
Bahkan bisa saja gadis itu malah memaki-makinya habis-habisan karena merasa
sudah dibohongi. Yang kedua, Ify ingin ia masuk dan menjelaskan semuanya, apa
yang sudah terjadi sekarang. Tapi, ia tidak yakin akan kemungkinan kedua ini.
Yang ia tahu, saat ini Ify begitu kecewa padanya.
Rio
mendesah pelan sambil memijit-mijit keningnya yang terasa merenyut-renyut. Ia
menyandarkan lengan dan kepalanya pada dinding sambil memandang nanar pintu
kamarnya. Ia menyentuh permukaan benda tersebut dan mengusapnya pelan.
Seolah-olah sekarang ia sedang mengusap kepala dan punggung Ify.
“Jangan
marah sama gue ya, Fy.”
***
Haaaaaaaaaiiiii! *cling*ceritanyangilang*
lagu sweet love ngeres banget....
BalasHapus