Siviel
I
don’t wanna be the other girl, the one who never the only one the world, your
mistress, your mattress, your selfish, your secret.
***
Via
berjalan sendiri melewati koridor rumah sakit menuju kamar mamanya dirawat. Ia
berbelok ketika sampai di penghujung. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti
manakala melihat sesosok laki-laki cukup tinggi berjas hitam yang tengah
berjalan tidak begitu jauh di depannya. Matanya sangat tidak asing akan
laki-laki tersebut. Laki-laki yang ia pergoki beberapa hari lalu sedang hendak makan
siang bersama perempuan lain yang tidak ia kenal. Laki-laki yang begitu
melarangnya berdekatan dengan Gabriel. Siapa lagi kalau bukan Papanya.
Perlahan,
kaki Via mulai melangkah kembali namun dengan lebih hati-hati. Ia ingin mencari
tahu apa yang sedang papanya lakukan disini. Apa papanya ingin menjenguk mama?
Atau ingin bertemu selingkuhannya lagi? Apa wanita yang kemarin itu keracunan
atau terkena serangan jantung setelah mendengar ucapannya sehingga harus
dilarikan ke rumah sakit? Amin deh kalo iya. Batinnya seraya tersenyum sinis.
Via
lumayan kaget mengetahui papanya masuk ke dalam kamar inap mamanya. Itu
artinya, papanya kemari bukan untuk bertemu selingkuhan, tapi benar-benar ingin
menjenguk mamanya. Ia tanpa sadar menghela napas. Setelah pintu di tutup, Via
berjalan cepat menyusul tapi tidak ikut masuk. Ia membuka pintu dengan
sangat-sangat pelan agar tidak ada yang menyadari keberadaannya. Ia ingin tahu,
apa yang orangtuanya bicarakan di dalam sana.
***
“Gimana
kondisi kamu?” tanya Riza, papa Via. Nada suaranya datar sekali. Hampir tidak
tertangkat sirat-sirat kepedulian di dalamnya. Hanya terdengar seperti
basa-basi. Bahkan untuk sekedar basa-basi pun masih harus diuji kebenarannya.
Fira
menghela napas lalu menoleh ke arah suaminya itu. “Apa ada masalah di rumah
makanya mas sampe mau datang ke sini?”
Riza
diam sesaat lalu menjawab dengan kembali bertanya. “Kapan kamu bisa keluar dari
rumah sakit?”
“Mas
gak perlu nanya hal yang mas gak pengen tau. Langsung aja bilang sama aku, apa
yang ngebuat mas dateng ke sini?”
Riza
diam lagi lalu mengalihkan pandangan seraya mendesah pelan. “Via udah ketemu
sama Merry, dua hari yang lalu, di kantorku.”
Wajah
Fira seketika menegang kaget dan panik. Ia tidak sanggup berkata apapun.
Seperti ada yang baru saja memaku lidah dan mengunci bibirnya dengan sangat
kuat. Riza lantas melanjutkan berbicara. “Kalian berdua ini...ck. Sejak dulu
aku selalu bilang sama Via agar jangan pernah datang ke kantor. Tapi, dia tetap
datang dan malah bikin kekacauan. Dia juga maki-maki Merry dan bilang yang
enggak-enggak soal aku. Sampai-sampai Merry gak mau kutemui seminggu ini. Kalau
saat itu sabarku habis, aku pasti akan..”
“Jangan
coba-coba nyentuh anakku, atau aku akan membalas dua kali lipat dengan Merry
dan anak kamu.” Sela Fira dengan nada dingin tanpa menatap Riza. Riza
menatapnya aneh sambil menaikkan alis lalu mendesah. Keduanya sama-sama terdiam
dengan pikiran masing-masing.
“Kamu
yang menciptakan lembah kesakitan kamu sendiri. Jangan pernah menyalahkanku
atas semua yang sudah terjadi. Kalau saja dulu—”
“Jika
gak ada lagi hal penting yang mau kamu sampaikan, kamu bisa pergi. Aku perlu
istirahat.” Fira kembali menyela. Riza sekali lagi mendesah lalu memasang
tampang datarnya seperti biasa. Ia berbalik dan memutuskan pergi tanpa
mengucapkan apapun. Karena memang begitulah yang biasanya ia lakukan ketika
hanya ada mereka berdua. Tapi tiba-tiba ia teringat satu hal lagi yang belum ia
sampaikan. Ia berhenti sebentar tanpa berbalik badan.
“Via
udah dua hari gak pulang. Aku gatau dia dimana, hapenya gak aktif.”
***
Via
berdiri terpekur memandang pintu kamar rumah sakit di hadapannya. Kamar yang di
tempati mamanya hingga sembuh nanti. Rasanya ia ingin menangis tapi entah
kenapa air mata itu tak kunjung menangis. Hanya dadanya saja yang sesak menahan
segala perasaan yang berkecamuk di dalamnya. Baru dua hari lalu ia mengetahui
papanya berselingkuh lalu sekarang ia kembali mendengar sesuatu yang mungkin
coba disembunyikan oleh papa bahkan mamanya.
Jadi
nama selingkuhan papa itu Merry? Dan mama udah tau? Kenapa mama gak pernah
bilang apa-apa? Kenapa mama gak ngelakuin apa-apa? Terus, maksud mama bilang
‘merry dan anak kamu’ itu apa? Apa ‘anak kamu’ itu gue? Tapi, gak mungkin. Di
awal mama juga nyebut ‘anakku’. Apa jangan-jangan itu anak papa sama si
merry-merry itu? Ck..sebenernya ‘anakku’ dan ‘anak kamu’ itu siapa, sih?
Tuk..tuk..
Suara
ketukan sepatu pada lantai sejenak merenggut Via dari lamunannya. Via terkesiap
tahu Papanya berjalan mendekat ke arah pintu. Ia langsung berlari menjauh dan
bersembunyi hingga raga papanya keluar dan pergi. Ia menatap lekat-lekat
papanya hingga sosoknya menghilang di penghujung koridor. Ia lantas berjalan
kembali ke depan pintu kamar inap mamanya dan berdiri bimbang. Pasti mamanya
sekarang lelah sekali setelah bertemu papanya. Tidak ada gunanya kalau ia
masuk. Mamanya pasti butuh istirahat yang banyak. Apalagi mamanya juga sedang
sakit. Mana gue ga bawa apa-apa lagi. Besok aja kali ya gue jenguk mama?
Pikirnya.
Via
menggigit jarinya sambil menimang-nimang. Memikirkan ia pulang saja sekarang
mendadak membuat hatinya tak tenang. Entah kenapa ia merasa mamanya
membutuhkannya. Lagipula, saat mamanya stres begini, tidak mungkin ia
meninggalkannya begitu saja, kan? Ia harusnya datang menenangkan bukan malah
membiarkan mamanya seorang diri.
“Perasaan
tiap gue dateng lo lagi bengooong mulu,”
Via
yang agak merunduk menatap sepasang kaki berbalut jeans dan sepatu yang
tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Hingga kemudian ia berjengkit kaget
mengetahui wajah orang tersebut mirip dengan Gabriel alias memang itu adalah
Gabriel. Matanya menjadi lebih lebar meski tidak lebar-lebar benar.
“Lo?!”
katanya dengan suara tertahan. Kenapa harus bertemu dengan pemuda ini sekarang,
sih? Via mendesah frustasi sambil memalingkan wajah. “Ngapain lo kesini?”
Gabriel
mengeryit lalu mengangkat bungkusan plastik di tangannya. “Mau jenguk mama lo.
Sekalian pengen ketemu sama lo. Hehe.”
“Mau
apa lo jenguk mama gue? Naksir lo?” balas Via judes.
“Naksir?
Naksir..kalo sama lo sih iya.”
Via
langsung menoleh ke arah Gabriel seraya mendelik lalu mendengus. Kenapa ni
orang masih berani gombalin gue? Makin jadi malah. Jelas-jelas kemaren dia udah
ketauan jalan berdua sama prissy. Atau jangan-jangan dia beneran gak ngeliat
gue?
Via
merasa tubuhnya tertarik maju. Ia baru sadar kalau Gabriel sudah menggandengnya
dan membawanya masuk ke dalam kamar inap mamanya. Ia lantas menyentak tangannya
hingga terlepas dari genggaman Gabriel dan menatap pemuda itu meminta
penjelasan mengenai apa yang baru saja dilakukannya. Gabriel balas nyengir
tanpa rasa takut ataupun bersalah. “Lo ngelamun mulu, sih. Yaudah, gue ajak
masuk aja.”
“Via?”
Via yang ingin membalas langsung mengatup mulutnya ketika mendengar suara Fira.
Ia berjalan mendekati ranjang dan duduk di tepian sementara Gabriel berdiri
sekitar satu meter di sampingnya.
“Mama
apa kabar?” tanya Via sambil menepuk-nepuk kaki Fira yang terbungkus selimut.
Bukannya menjawab, Fira malah menatapnya khawatir. “Papa bilang kamu udah gak
pulang dua hari. Hape kamu juga mati pas coba di telfon. Kamu kemana aja, Via? Kamu
gak pergi ke tempat yang ‘macem-macem’ kan? Atau jangan-jangan kamu diculik?!”
Via
sontak tertawa geli melihat Fira yang panik setengah mati. “Via nginep di rumah
Ify kok, Ma. Gak kemana-mana.”
Fira
mendesah lega mendengar jawabannya lalu
kemudian mengelus-ngelus kepalanya dengan lembut. “Kamu tuh, bikin mama
khawatir aja. Mama gak tenang mikirin kamu terus tau!”
“Yee..siapa
suruh mikirin Via? Orang Via gak kenapa-kenapa.” cibir Via lalu tersenyum.
“Ini
Gabriel yang pernah dateng ke rumah itu, kan?” alih Fira seraya memandang
Gabriel. Gabriel tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Iya,
Ma.”
“Iya,
Tan.” Jawab Gabriel dan Via bersamaan. Keduanya, atau mungkin ketiganya sontak
berpandangan. Via mendelik sementara Gabriel mengerutkan kening bingung.
“Kalian
udah pacaran ya?” tanya Fira polos.
“Enggak,
kok!” ujar Via dan Gabriel kembali. Fira lantas tertawa geli. “Belum aja sih
sebenernya, Tan. Tapi Tante ngerestuin, kan?” Sambung Gabriel yang sukses
membuat Via gondok. Apa-apaan berkata seperti itu di depan mamanya? Pikirnya.
“Dia
tuh orang gila, Ma. Dia gak lagi nanya mama kok. Dia emang suka ngomong
sendiri. Jangan diladenin.” Dumel Via asal sambil mengibas tangannya di depan
wajahnya.
“Iel
orangnya penyabar kok, Tan. Tenang aja.” balas Gabriel dengan santai. Via
langsung melakukan gerakan seperti orang yang ingin muntah.
Fira
tertawa lagi sambil geleng-geleng kepala. “Tante ngerestuin, kok. Asal kamu
bisa jaga anak Tante aja.”
“Apaan,
sih, Ma?! Lo juga!” sela Via galak. Ia kemudian turun dari ranjang dan duduk di
kursi. “Nah! Sekarang waktunya mama tidur!”
“Tapi
mama kan gak ngantuk, Vi?”
“Mama
tuh lagi butuh banyak istirahat. Daripada ngomongnya makin ngaco gara-gara dia.
Via nyanyiin lagu boyband jadul kesukaan mama, deh. Haha. Udah lama juga Via
gak nyanyiin mama, kan? Terakhir kapan ya?”
Fira
tersenyum hangat pada Via sambil mengelus kepalanya untuk terakhir kali sebelum
ia menutup matanya untuk tidur sesuai permintaan anaknya itu. “Yaudah, mama
tidur nih ya?”
“Nah,
gitu dong!” seru Via semangat. Ia menarik napas lalu mulai bernyanyi sambil
menggenggam tangan Fira dan tersenyum memandang wajah cantik yang belum
termakan usia milik mamanya itu.
Hello, let me know if you hear me
Hello, if you want to be near
Let me now and I’ll never let you go
Hey love, when you ask what I feel I
say love
When you ask how i know I say trust
And
if that’s not enough
It’s every little thing you do
That makes me fall in love with you
There isn’t a way that I can show you
Ever
since I’ve come to know you
It’s every little thing you say
That makes me wanna feel this way
There’s not a thing that I can point
to
‘Cause it’s every little thing you do
(Westlife
– Every Little Thing You Do) *miminnya jadul abissss! Tadinya mau masukin lagu
ost zorro malah huahaha.-. Meski emang cocok kan kalo ceritanya lagu paporit
emak2(?) Tapi dua lagu itu enak bgt suer deh. Liriknya itu looooh-.-*
***
Via
berdiri diam sambil menunggu Gabriel menutup pintu lalu menatap pemuda itu.
Gabriel ikut-ikutan diam menunggunya bicara. “Ngapain lo kesini?”
“Tadi
kan udah gue bilang mau jenguk mama lo sama ketemu sama lo.”
“Buat
apa ketemu sama gue?”
“Kangen.”
Jawab Gabriel sambil tersenyum polos. Via melongo dengan mulut menganga. Ia
terkesiap lalu segera mengatup mulutnya. “Lo serius sekali aja bisa gak?”
serahnya seraya geleng-geleng kepala.
Gabriel
tiba-tiba mendekatkan wajahnya sehingga Via harus berjengit mundur. “Emang mata
gue gak bilang sama lo kalo gue serius?”
Via
mengernyit lalu mendorong tubuh Gabriel menjauh darinya dengan kesal. “Ya mana
gue tau. Mata kan buat ngeliat bukan buat ngomong.”
Gabriel
mengelus-ngelus dagunya dengan telunjuk dengan tampang berpikir. “Tapi katanya
‘mata bisa bicara’? Berarti itu bohong ya?”
Via
melongo sekali lagi lalu mencibir tak habis pikir. “Gak penting banget sih lo.”
Ia hendak melengos pergi tapi kemudian Gabriel menahan tangannya. Ia lantas
menyentak tangannya ia terlepas dari genggaman pemuda itu lalu menatapnya
sebal. “Gak usah pake pegang-pegang.” Ujarnya tanpa menatap Gabriel.
Gabriel
mengernyit heran kenapa Via seperti bersikap memusuhinya. “Lo kenapa, sih? Lagi
dapet ya?”
Via
diam berpikir. Masa harus gue bilang ‘gue kesel karena lo jalan berduaan sama
Pricilla!’? Dia pasti nyangkanya gue cemburu. Padahal kan...iya. Aiss!!
“Kan,
lo bengong lagi kan? Lo kenapa, Vi? Sakit? Gak enak badan?” tanya Gabriel yang
sedikit cemas sambil meraba kening Via. Via berjengit lalu menangkis tangan
Gabriel dari keningnya.
“Gak
usah pegang-pegang kan gue bilang tadi?” ulang Via. Ia mendengus pelan lalu
menatap Gabriel serius. Gabriel pun menatapnya sama seriusnya, lebih ke mencari
tahu sesuatu dalam matanya, mencari tahu apa yang terjadi padanya dan apa yang
sedang ia rasakan saat ini. Via lantas memalingkan wajahnya takut. Pikiran dan
perasaannya begitu kacau karena perdebatan orangtuanya. Dan ia tidak ingin
Gabriel semakin mengacaukan hari ini untuknya. Ia lantas mendesah lelah lalu
menunduk sambil menulis-nulis di lantai dengan satu kakinya mencari kegiatan
agar ia tidak terlihat begitu gugup.
“Ini
hari terakhir kita berdua kek gini..”
Gabriel
diam sesaat lalu bertanya tak mengerti. “Maksud lo?”
Kaki
Via berhenti lalu kembali bergerak ke kanan kiri. “Gue rasa kita ga perlu deh
ketemu berdua lagi, ngobrol atau apapun yang dilakuin cuma berdua. Lo pasti
ngerti maksud gue, kan? Jadi, kalo ada yang pengen lo omongin, omongin
sekarang. Ada yang belum lo selesein, selesein sekarang. Gue juga berhenti jadi
pacar pura-pura lo karena lo udah gabutuh itu lagi, iya kan? Dan mulai besok
serta seterusnya, gue gak mau ada kontak apapun lagi antara kita berdua kalo
emang ga dibutuhkan.” Via tanpa sadar menghela napas setelah selesai berbicara.
Rasanya
sangat tidak rela membuat jarak antara dirinya dan Gabriel. Apalagi akhir-akhir
ini sikap Gabriel mulai berubah padanya. Gabriel juga sudah menjadi orang yang
benar-benar ia butuhkan di tengah permasalahannya dengan mama apalagi papanya.
Tapi, memang ia harus melakukan apa yang ia lakukan saat ini. Melihat Gabriel
dan Pricilla kemarin sudah sangat menjelaskan padanya kalau Gabriel tidak
benar-benar berubah. Gabriel tetaplah Gabriel. Playboy, perayu ulung, tidak
pernah serius, dan hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Dan ia tidak ingin
menjadi bagian ‘kesenangan’ pemuda itu selagi perasaannya juga belum
tumbuh-tumbuh benar.
Atau
mungkin semua ini hanyalah kesalahannya. Kesalahannya menganggap semua
perlakuan Gabriel itu berlebihan. Jelas-jelas Gabriel bilang kemarin kalau
pemuda itu menganggapnya sebagai adiknya, kan? Ya, berarti memang salahnya. Bukan
Gabriel.
“Alasannya?”
tanya Gabriel setelah cukup lama diam dan membiarkan Via termenung
memikirkannya. Via terkesiap kebingungan. Ini adalah pertanyaan yang paling ia
benci karena ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Ya..hh..”
Via mendesah frustasi. Apa ia bilang yang sejujurnya saja? Lagipula, setelah
ini mereka kan tidak akan ‘bertemu’ dan berbicara seperti ini lagi. “Ga masalah
kalo lo bakal ngetawain gue atau nganggep gue gimana. Tapi..”
Gabriel
menatapnya lekat menanti kelanjutan bicaranya. Via lantas meringis. “Gue takut
jatuh cinta sama lo. Gue...” gantungnya sambil menarik napas. Sementara Gabriel
diam dengan pandangan menerka-nerka.
“Gue
lagi banyak masalah akhir-akhir ini..it’s a bad big problem, you know? Dan gue
gak mau..nambah masalah dengan perasaan gue nantinya sama lo. Biar gimanapun
gue ini tetep cewek, Yel. Yang pastilah akan ngerasa tersanjung kalo lo
terus-terusan baik dan ehm..perhatian sama gue. Meskipun lo udah bilang kalo
elo cuma nganggep gue kayak adek lo sendiri. Gue tetep takut kalo sampe
menyalah-artikan itu semua. Gue juga gamau bikin gak nyaman baik itu untuk lo
ataupun gue sendiri. Gue gamau stres mikirin perasaan yang bertepuk sebelah
tangan. Udah terlalu banyak hal yang bikin gue stres dan....OMG, I’m just
sixteen! Gue....gue gak mau gila, Yel! Gue gak mau gila! Hhh...” Via mendengus
sambil memijat-mijat keningnya dengan satu tangan yang lagi memegang
pinggangnya. Jangan-jangan ia bahkan sudah gila sekarang, ckck.
“Kalo
gue bilang gue bisa bales perasaan lo, gimana?” tanya Gabriel tersenyum sambil
menaikkan sebelah alisnya. Via meliriknya dengan pandangan ‘Pilih cobek atau
blender?’.
“Gue
bahkan baru ngeluh soal lo yang gak pernah serius, Yel. Ckck...seharusnya gue
langsung pulang aja daritadi.” Balasnya seraya geleng-geleng kepala. Ia hendak
melengos lagi namun Gabriel kembali menahannya dengan menghalau jalannya tanpa
menyentuhnya. Yah, setidaknya pemuda itu mendengarkan ucapannya yang satu itu.
“Yang
kemaren di lift itu lo ya? Lo kayak gini karena itu, kan?” tanya Gabriel yang
kembali memandangnya serius.
“Iya...enggak..hah
tuh kan, gue udah mulai ngaco..” ringis Via sambil menutup mukanya lalu
mengusap kepalanya.
Gabriel
menghela napas lalu kemudian memegang bahu Via. Via mendelik protes tapi ia
seperti tidak peduli. Matanya mendesak Via untuk diam dan mendengarkannya saja
dengan baik. “Jadi gini ya Vi, gue mohon lo jangan salah paham soal gue dan
Pricilla. Gue cuma lagi punya urusan yang penting banget sama dia. Gue gak bisa
cerita sekarang karena gue belum punya apa-apa buat diceritain. Gue juga yakin
lo pun belum siap dengernya sekarang, apalagi ceritanya belum lengkap. Nanti
kalo semuanya udah kebuka, gue pasti bakal bilang sejujurnya,
selengkap-lengkapnya tanpa disingkat-singkat. Tapi percaya deh, nantinya lo bakal
seneng.”
Tapi
gue juga gatau Vi lo bakal seneng atau enggak. Tapi setidaknya...lo bakal tau
apa yang sebenarnya terjadi.
“Kok
gue?” tanya Via bingung. Gabriel diam lalu tersenyum miris. “Karena emang yang
gue lakuin berkaitan sama lo.”
***
Setelah
tiba-tiba muncul di depan rumah Ify untuk mengajaknya berangkat sekolah
bersama, Gabriel juga menawarkan diri untuk mengantarkan Via pulang. Meski
sudah mencoba menolak dengan alasan ingin menemani mamanya di rumah sakit,
Gabriel tetap memaksa malah bilang ingin ikut menemani mamanya. Jadi mau tak
mau Via pun akhirnya mengiyakan permintaan pemuda itu.
Tapi
masalahnya sekarang, Gabriel bukan langsung mengantarnya pulang malah
mengajaknya ke pantai. Katanya ia butuh refreshing makanya dibawanya kemari.
Iya, sih, tapi bisa tidak jangan dengan pakaian seragam sekolah lengkap dengan
kaos kaki dan sepatu seperti ini juga. Tahu tidak kalau di pantai itu panas.
Kakinya bisa matang karena dibungkus dan dipanggang oleh sinar matahari.
“Ah,
dimasukin pasir kan?!” pekik Via sambil memandang sepatu dan pasir yang
diinjaknnya dengan kesal. Gabriel yang melihatnya hanya tertawa geli. Ia lalu
berjongkok di depan Via sambil memegang sepatu gadis itu lalu menatapnya.
“Angkat!”
katanya sambil menepuk kaki kanan Via. Via mengernyit bingung tapi tetap
melakukan apa yang pemuda itu perintahkan. Gabriel lantas membuka sepatu Via
berikut kaos kakinya setelah menggoyang-goyangkan sepatu tersebut agar pasirnya
keluar. Via membelalak tak percaya tapi kemudian meringis sambil menggigit bibirnya.
“Kaos kaki gue kan jorok, Yel. Bau lagi!”
Namun
sepertinya, Gabriel tidak mendengarnya malah menyuruhnya diam. Pemuda itu juga
memasukkan kaos kakinya ke dalam sepatunya tanpa ada tampang jijik sedikitpun.
Tidak hanya satu, tapi juga untuk yang satunya lagi. Gabriel kemudian berdiri
sambil menenteng kedua sepatunya.
“Kalo
kek gini sepatu lo gabakal dimasukin pasir lagi. Nah, lo tunggu disini, gue mau
narok ini di situ dulu. Sekalian sepatu gue juga.” Ujarnya sambil menunjuk
pohon kelapa yang ada beberapa meter di belakang mereka. Tanpa menunggu Via
menjawab bahkan sekedar mengangguk, Gabriel langsung pergi begitu saja menaruh
sepatu. Via lantas tersenyum tanpa bisa ditahan lalu geleng-geleng kepala. Ia
lantas memilih duduk sambil memandang lautan berombak di hadapannya tanpa
peduli seragamnya akan kotor.
Gabriel
tak lama kembali dan ikut duduk di sampingnya sambil menekuk dan memeluk lutut.
Via tiba-tiba menengadahkan tangan ke arahnya. “Sini tangan lo!” pinta gadis
itu tanpa memandang ke arahnya. Ia mengernyit bingung. Via lantas menoleh ke
arahnya lalu meraih tangannya tanpa meminta izin lagi. Sesaat gadis itu
mendekatkan tangannya ke wajahnya lalu mengendus-ngendus. Tapi kemudian Via
berjengit dengan tampang jijik.
“Tuh,
kan, kaos kaki gue bau.” Gumamnya. Via lalu mengelap telapak tangan Gabriel
menggunakan sisi roknya yang terjuntai. Kebetulan ia memakai rok panjang. “Hah,
hah!” Via menghembus uap mulutnya ke telapak Gabriel layaknya telapak tangan
tersebut adalah kacamata lalu mengelapnya lagi. Gabriel untuk kedua kalinya
tertawa.
“Napas
lo emangnya gak bau?” tanyanya seraya tersenyum geli. Via berjengit seolah baru
sadar. Ia lantas mengecek aroma napasnya lalu tersenyum ke arah Gabriel.
“Enggak, kok.” Katanya lalu mengembalikan tangan Gabriel ke posisi semula
setelah selesai dilap. Ia kemudian mendesah sambil memandang laut kembali.
Gabriel meluruskan kakinya lalu menumpu tubuh dengan tangannya.
“Yel,
orang yang dingin sama orang terdekatnya, misalnya keluarganya gitu, itu kenapa
sih? Apa karena efek introver seseorang itu?”
“Gue
gak terlalu tau juga. Tapi, menurut gue sih, antara bersikap dingin sama
introver itu beda. Orang yang bersikap dingin biasanya punya semacam traumatik
yang akhirnya ngebuat dia jadi dingin. Kalo introver itu gue rasa emang sifat
alami orang. Bukan disebabkan ini itu, tapi emang dia nyamannya kayak gitu.
Sama kayak selera. Cewek suka musik lembut sementara cowok suka musik keras.
Gaada hal pasti yang bikin kita suka atau gak suka, tapi kita suka atau gak
suka aja. Menurut pandangan gue loh ya!”
“Oh..gitu..”
gumam Via sambil mengangguk-anggukkan kepala pelan. Gabriel lantas menoleh ke
arahnya. “Is there something you want to share?” Gabriel menegakkan tubuhnya
sambil menepuk-nepuk tangannya membersihkan dari pasir yang menempel lalu
bersedekap.
“Lo
pernah gak ngerasa pengen benci seseorang tapi gak bisa? Tapi pengen suka juga
gak bisa?”
“Belum,
sih. Emangnya lo gak bisa benci dan gak bisa suka sama siapa?”
“Papa
gue.” Sesaat Gabriel terdiam, sedikit kaget lalu kemudian menetralisir ekspresi
di wajahnya menjadi normal kembali. “I’ve been wondering how the feeling of
having a father, the real father.” Sambung Via.
“Maksudnya?”
“Bokap
benci sama gue, kayaknya. Makanya dingin. Bayangin, senyum yang bener-bener
senyum aja ga pernah.”
Gabriel
mengepal tangannya mengalirkan emosi yang hendak muncul di wajahnya. Dari
sela-sela tangannya keluar pasir-pasir yang tak sengaja tergenggam. Ia menghela
napas singkat lalu menatap lurus ke depan. “Lo pernah tau atau nanya alasan
bokap lo bisa sampe kayak gitu?”
“Nanya?
Sama papa? Gak, gue gak pernah berani. Kalo sama mama sih sering. Tapi mama
selalu nyuruh gue sabar dan ngerti kalo papa emang kayak gitu sifatnya. Tapi,
gue rasa bukan. Ada hal lain yang disembunyiin dari gue. Apalagi gue sekarang udah
tau kalo papa udah lama selingkuh dan mama sebelumnya udah tau tapi gak ngasih
tau gue tapi juga gak berbuat apa-apa. Hfff...gue bingung sama mama, papa dan
semuanya!” Via mengacak-acak rambutnya lalu menumpu keningnya di atas lutut.
Gabriel
merasa makin emosi sekaligus kasihan melihat Via seperti itu. dalam hatinya
ingin sekali ia berteriak memberitahu semuanya pada Via. Tapi ia sadar sekarang
bukanlah saat yang tepat.
Sabar
ya, Vi. Kalo udah waktunya nanti gue bakal bilang semuanya sama lo dan semoga
lo bakal lega.
“Mungkin
mama lo gamau nyakitin elo dan gamau nyakitin dirinya sendiri makanya dia ga
ngasih tau lo. Saran gue, lo jangan pernah nanya. Lo harus sabar nunggu dan
ngerti sampe dia siap ngomong. Karena ngomong masalah penghianatan itu bukan hal
gampang, Vi. Tau aja pasti udah sakit banget, apalagi ngomonginnya. Lo boleh
brengsek, asal lo belum jadi laki orang. Kita menikah tandanya kita udah
bener-bener memilih seseorang yang akan mendampingi kita seumur hidup dan
gaboleh ada yang lain lagi. Kita berjanji di depan Tuhan. Karena itu, Tuhan
juga bakal marah kalo kita ngejalaninnya asal-asalan. Termasuk mengisinya
dengan perselingkuhan. Menurut gue, sih.” *jadikanakuistrimuyel(?????)*
Via
menyimak baik-baik sambil menatap Gabriel tanpa berkedip. Aura Gabriel terlihat
begitu tenang ketika berbicara, begitu dewasa, dan begitu bijaksana. Tetap
terasa serius meskipun Gabriel berbicara dengan santai. Via lantas mendecak
kagum sekaligus bingung di dalam hati.
“Jadi
sekarang...lo brengsek dong, Yel?” tanyanya polos. Gabriel melongo takjub
memandangnya. “Sepanjang itu gue ngomong lo cuma merhatiin yang itu, Vi?”
Via
tertawa lalu mendadak terdiam. Ia menarik napas lalu menghembusnya pelan. “Lo
jangan bikin gue benci laki-laki ya, Yel?” pintanya sambil menunduk dan
menulis-nulis di atas pasir. Gabriel mengernyit tak mengerti. “Maksudnya?”
“Dengan
lo yang kekeuh deket-deket sama gue, tandanya lo udah siap nerima dan ngebales
perasaan gue kalo sampe gue jatuh cinta sama lo. Tapi, kalo kemaren itu lo cuma
khilaf, yaudah gue ulang sekali lagi sama lo. Kalo lo ga siap, lo boleh
tinggalin gue sekarang dan jangan pernah nolehin kepala lo lagi ke gue. Tapi,
kalo lo tetep ga berubah pikiran, jangan nyesel. Dan inget ya, gue gak nerima
penolakan.” Via menatap Gabriel sekilas lalu menatap pasir di dekat kakinya.
Gabriel
tersenyum seraya terkekeh kecil. “Pertanyaan lo dari dulu itu mulu. Takut jatuh
cinta sama gue mulu. Jangan-jangan lo udah jatuh cinta ya sama gue?” todong
Gabriel seraya mendekatkan wajahnya ke samping wajah Via yang menunduk. Via
hanya mendengus malas. Meski dalam hati ia menjawab dengan lantang. Daridulu
kali, Yel! Modus doang gue mah hahaha!
“Serah
lo, deh.”
Gabriel
lalu mengacak-acak rambut Via pelan masih dengan senyum menawannya. “Tenang aja
kali, Vi. Gue jamin lo gak akan pernah nangis karena gue. I’ll make you happy!”
Tangan
Via berhenti sesaat. Ia mengernyit memikirkan kata-kata Gabriel itu. Itu
maksudnya apa ya?
***
Via
memandang isi di dalam rumah yang baru dimasukinya. Sebuah rumah bergaya jepang
yang merupakan rumah kedua orangtua ibunya alias nenek dan kakeknya dulu, tapi
sudah lama tidak ditempati meski tetap terawat dan sekarang akan ditempati
olehnya dan mamanya, dan mungkin juga papanya. Ia berdiri bingung di depan
pintu masih bertanya-tanya alasan kenapa mereka harus pindah kemari. Rumah
mereka kan tidak terkena banjir ataupun gempa. Masih sangat-sangat bagus dan
layak huni. Kenapa harus pindah?
Tiba-tiba
ia merasakan sentuhan pada bahunya. Ia sontak menoleh dan mendapati Fira tengah
tersenyum kepadanya. Wanita itu sehabis keluar dari rumah sakit keesokan
harinya langsung membawanya kemari. Ia lantas mendengus sebal. “Senyum mama itu
gak menjawab pertanyaan Via soal kenapa kita pindah kesini.”
Fira
tertawa kecil lalu mengajak Via duduk di sofa. Via yang meski enggan namun pada
akhirnya menurut. Mereka lantas duduk berhadapan satu sama lain.
“Jadi?”
tanya Via sudah tidak sabar. Fira menarik napas singkat lalu menghembusnya
cepat. “Kebetulan mama ada kerjaan di daerah sini. Jadi biar mama ga ribet
bolak-balik, apalagi mama belum fit banget, makanya untuk sementara kita pindah
ke sini. Kenapa mama ajak kamu? Karena mama ga tega tinggal di sini sendiri dan
ninggalin kamu di sana sendiri juga. Mungkin kita di sini bakal lama. Papa
gabisa ikut alasannya sama kayak mama. Dia di sana juga punya kerjaan. Tapi,
seminggu sekali papa bakal nginep di sini.”
Mendengar
kata ‘papa’ meluncur dari mulut Fira lantas membuat Via jengkel sendiri. Ia
spontan menyeletuk. “Papa ada atau enggak juga gak ada bedanya.”
Fira
sesaat tertegun tapi kemudian berusaha bersikap normal dan pura-pura tidak
mendengar jelas apa yang baru saja anaknya itu katakan. “Kamu ngomong apa?”
Via
terkesiap lalu cepat-cepat menggelengkan kepala. “Enggak, gak ada.” Elaknya.
Setelah itu, mereka sama-sama diam. Entah berapa lama kemudian Via akhirnya
buka suara kembali.
“Ma?”
Fira memandangnya bingung sambil bertanya. “Kenapa, Sayang?”
Via
mengulum bibir seraya menimang-nimang lalu kemudian memutuskan balik bertanya.
“Apa selama ini ada yang mama atau papa atau mama-papa sembunyiin dari Via?”
Sekali
lagi Fira tampak tertegun. Ia langsung memalingkan pandangan dan berubah
menjadi agak gugup. “Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu? Ya jelas ga ada lah,
Sayang. Emang keliatannya kayak ada yang disembunyiin?”
Via
menatap Fira curiga. Ia ingin bertanya kenapa mamanya tidak juga memberitahu
soal selingkuhan papanya. Tapi tiba-tiba, wajah dan ucapan Gabriel kemarin
terngiang-ngiang di kepalanya. Membuatnya menjadi tidak tega untuk melanjutkan
bertanya. Ia mendesah pelan sambil memandang Fira lama dan dibalas tatapan
bingung atau mungkin was-was dari Fira padanya. Ia berdiri lalu berjalan hingga
sampai dan duduk tepat di sebelah wanita itu. Ia lantas memeluk Fira erat.
“Kamu
kenapa, Sayang? Ada masalah di sekolah? Nilai kamu turun? Ga usah khawatir,
Via. Mama ga akan pernah marah soal itu.” ujar Fira dengan nada cemas sekali.
Via menggeleng pelan di dalam lekukan leher dan bahunya.
“Ma...kita
kayaknya udah sama-sama lupa deh...kalo kita masing-masing saling punya, mama
punya aku, aku punya mama...” Ujar Via lembut seraya menutup mata. Jantung Fira
mencelos dan hatinya nyilu mendengar apa yang barusan Via ucapkan. Dadanya
terasa sesak dan ia mungkin sudah hampir tidak akan sanggup menahan air matanya
agar tidak keluar sedikit apalagi banyak.
“Bagi
sakitnya sama Via, Ma. Via mau kok. Gak cuma sakit, apapun yang kerasa di hati
mama bagi semuanya sama Via. Kita udah telalu lama nutup mata, telinga,
hati..semuanya. Berpura-pura ga tau apa yang terjadi padahal kita tau. Via udah
capek Ma nyimpen semuanya sendiri. Dan Via tau kalo mama juga udah capek, kan?
Toh masalahnya sama, kenapa ga kita coba atasin sama-sama.”
Lidah
Fira terasa kelu. Hatinya semakin terasa disayat-sayat. Mungkin ini memang
puncak kesabaran mereka berdua dan mereka sudah benar-benar sampai di titik
paling akhir, yaitu titik lelah. Dan mereka harus mulai beranjak pergi jika
mereka tidak ingin terus-terusan lelah hingga mati. Sudah saatnya mereka
berpaling dan pergi meninggalkan hal-hal yang hanya akan membuat mereka makin
sakit. Mencapai puncak lain, yakni kedamaian. Tidak perlu terburu-buru mencari bahagia.
Bahagia itu masih muluk-muluk. Cukup damai saja. Seperti saat ini ketika mereka
sedang mencoba berdamai dengan sikap masing-masing.
“Iya,
Sayang. Makasih banyak ya. Mama sayang Via.” Balas Fira setelah cukup lama
diam. Pipinya sudah lebih dulu kebanjiran tanpa bisa dibendung lagi. Dinding
penghalang sudah benar-benar runtuh berikut dinding penahan perasaannya. Via
meregangkan sedikit jarak antara dirinya dan Fira. Ia tersenyum geli.
“Mama
cengengnya dari dulu gak pernah berubah. Langsung banjiiirrr...” ledeknya tanpa
sadar diri kalau ia juga menitikkan air mata. Meski memang tidak sebanyak Fira.
Fira
tersenyum kecut sambil memandang Via. “Mama gak tau apa jadinya kalo gaada
kamu, Sayang.” Katanya seraya menangis lagi. Via mengusap kedua pipinya dari
rembesan air mata lalu menciumnya kilat.
“Udah,
ah! Liat tuh, kantong mata mama udah item-item karena celaknya keusep trus kena
air mata!” Saat itu juga Fira terlonjak dan kembali menjadi ‘dirinya’ yang
biasanya. Wanita itu terkesiap panik dan langsung mengambil kaca untuk
memeriksa mukanya. Lalu kemudian, ia mengomel panik.
Melihat
itu, Via lantas hanya geleng-geleng kepala heran. Selain cengeng, kebiasaan
mamanya yang lain adalah paling heboh kalau make upnya berantakan. Bukan karena
Fira tipe wanita centil atau terlalu peduli pada penampilan, tapi justru karena
Fira tidak pandai merias wajah. Butuh waktu lama kalau ia yang mengerjakan
sendiri hingga selesai. Makanya, ia selalu menjaga agar riasannya awet. Akan
repot sekali kalau make upnya berantakan. Apalagi kalau dia harus bertemu
banyak tamu penting. Dan itulah yang kini terjadi.
Via
lagi-lagi tersenyum geli. Mungkin sedikit banyak, ia mirip dengan mamanya. Dan
ia sangat mensyukuri hal itu. I love her.
***
Jadwal
Gabriel hari ini adalah jadwal yang sangat ia benci. Dimana ia harus
menghabiskan waktu bersama keluarga Pricilla, gadis yang menjabat entah sebagai
siapanya itu. Mungkin bisa dibilang pacar pura-pura. Pricilla pasti merasa di
atas angin karena dirinya yang beberapa hari lalu mengajak gadis itu untuk
memulai hubungan kembali. Kalau saja bukan untuk Via, ia tidak akan mau
mengemisi gadis sombong dan pendusta seperti Pricilla. Ya, memang sama persis
lah seperti papanya.
Dan
di sinilah ia sekarang. Terjebak di tengah-tengah Pricilla dan kedua
orangtuanya. Ia makan dalam diam sambil sesekali memandangi keluarga tersebut
dengan beribu-ribu rasa dongkol di dalam hati. Rasanya ia ingin meninju wajah tak
tahu malu dari laki-laki yang duduk persis di depannya. Wajah Papa
Pricilla..wajah Riza..wajah Papa Via.
Melihat
Pricilla yang begitu bahagia bisa bermanja-manja dengan sang Papa tanpa
tersirat sedikitpun bekas kesedihan dalam binar matanya, lalu melihat Riza
dengan tatapan begitu mencintai dua sosok perempuan di kanan dan kirinya,
semakin membuat hatinya panas. Mungkin kalau ada yang memanggang daging di atas
dadanya maka daging itu akan langsung gosong. Bagaimana mungkin Riza bisa
bersikap dingin pada Via sementara ia begitu hangat pada Pricilla? Bagaimana
mungkin Riza bisa lebih menyayangi selingkuhan daripada keluarga sah nya
sendiri? Ia benar-benar tidak habis pikir mengapa sampai Tuhan mau menciptakan
laki-laki seperti ini.
Inilah
yang dulu membuatnya selalu tidak percaya cinta. Semua perselingkuhan
membutakan hati dan pikirannya kalau cinta sejati itu cuma salah satu kata-kata
manis dalam puisi, novel ataupun karya tulis yang lain. Cuma sekedar hiburan
dalam film. Karena memang menahan godaan itu teramat susah. Apalagi dengan
fakta jumlah perempuan melebihi laki-laki. Semakin menanamkan prinsipnya itu
dalam-dalam.
Tapi
kemudian, seseorang berhasil menemukan kunci hatinya kembali dan akhirnya mampu
membuatnya bisa percaya pada cinta lagi. Seorang gadis yang memotivasinya agar
tidak ikut menjadi orang seperti Riza dan berubah menjadi laki-laki yang baik
untuk bisa membuatnya bahagia. Perselingkuhan yang dilakukan Riza pun justru ikut
melunturkan ketidakpercayaan dalam hatinya. Derita tertahan oleh wanita-wanita
akibat perbuatan itu membuatnya terenyuh. Sekali lagi memotivasi dirinya agar
tidak ikut menjadikannya sama dengan para ‘Shitty Man’ kalau ia menyebutnya.
“Kamu
kok diem aja, Yel?” suara Merry tiba-tiba merasuki jaringan dalam kepala dan
telinganya. Gabriel berjengit lalu berusaha bersikap sebiasa mungkin. “Gakpapa,
Tante.” Jawabnya seraya memaksakan senyum.
“Pa,
aku ditunangin sama Gabriel nya kapan, sih?” celetuk Pricilla.
Uhuk!
Gabriel
menyedot minumannya sekali banyak. Pricilla benar-benar mengambil kesempatan.
Baru saja balikan beberapa hari langsung menanyakan perihal pertunangan. Jangan
sampai Riza membicarakan ini pada kedua orangtuanya apalagi Mamanya.
“Kalian
kan masih sekolah, Sayang.” Jawab Riza. Gabriel langsung mencibir dalam hati. Cih!
Lo bahkan ga pernah nyebut nama Via kalo lagi ngomong sama dia.
“Gapapa,
dong. Kan cuma tunangan bukan lamaran. Untuk ngiket kita berdua aja biar ga
‘macem-macem’ di luar sana.” Balas Pricilla dengan nada menyindir. Gabriel diam-diam
melengos.
“Ehm..ya,
Om Riza bener, kita kan masih sekolah. Buat apa tunangan-tunangan segala.
Lagian, ikatan itu ga penting. Karena udah banyak kok contohnya, orang yang
udah nikah aja masih suka selingkuh..” gantung Gabriel sambil melirik Riza
sekilas. Air muka Riza langsung berubah sinis meski berusaha laki-laki itu
tutupi. Sementara Merry mendadak gugup mendengar Gabriel berbicara soal
‘selingkuh’. Berbeda dengan Pricilla yang memasang tampang biasa-biasa saja
karena tidak tahu menahu perihal kedua orangtuanya. Gabriel tersenyum menang
lalu memandang Prissy dengan manis yang dibuat-buat. “Tapi, aku setia kok sama
kamu.”
“Awas
aja kalo kamu kayak kemaren lagi! Aku gak akan ngampunin kamu kayak gini lagi.”
rengek Pricilla. Gabriel tersenyum lagi sambil menjawil ujung hidung Pricilla.
Gue
gak akan pernah rela kalian semua bahagia setelah ngebuat Via dan tante Fira
sakit sekian lama. Just wait and see until the party started, my babies!
***
Semenjak
ke pantai kemarin itu, Via merasa Gabriel berubah. Dia tidak setengil dan seflamboyan
biasanya. Dia menjadi lebih perhatian, kalau ia tidak kepedean. Apalagi
semenjak ia pindah rumah, setiap hari Gabriel bahkan datang untuk
mengantar-jemputnya ke sekolah, kecuali jika Riza menginap. Tak jarang juga
ikut sarapan ataupun makan siang. Dalam satu minggu, pasti ada satu hari
Gabriel meneleponnya. Tak lupa setiap ingin menjemputnya, pemuda itu selalu
memberikan pesan singkat sekaligus mengucapkan selamat pagi untuknya. Bahkan pernah
sekali waktu malam minggu, Gabriel mengajaknya nonton berdua. Dan waktu itu,
Gabriel tidak pernah absen menggandeng tangannya.
Cara
Gabriel memperlakukannya juga terasa berbeda. Caranya berbicara tidak seculas
dulu, meski tidak bisa dibilang lembut juga. Dalam menanggapi pun Gabriel
sekarang jauh lebih bijaksana, lebih mengademkan hati, lebih...pokoknya lebih
gentle, deh. Meski tidak selalu kemana-mana berdua, Gabriel selalu menyempatkan
waktu untuk bersamanya di sekolah. Gabriel tidak pernah lagi mengganggunya dan
membuatnya merasa dijadikan olok-olokan atau mainan. Gabriel begitu menjaga
perasaannya dan memperlakukannya benar-benar seperti cewek pada umumnya. Meski
memang Gabriel masih kerab menjahilinya, tapi tetap terasa berbeda. Yang
sekarang terasa lebih tulus. Ia bahkan merasa seperti ehm..kekasih pemuda itu
sungguhan.
Dan
untuk sekarang, ia tidak takut berandai-andai yang tinggi terhadap pemuda itu.
Toh, pemuda itu sudah bersedia kan menerima sekaligus membalas semua
perasaannya. Pemuda itu juga berjanji akan membuatnya bahagia.
“Udah
lama ya gue gak ketemu Zaza,” gumam Gabriel yang langsung menghempas benak Via
kembali ke buminya berpijak. Via mengernyit curiga. Kenapa Gabriel tiba-tiba
saja membahas Zaza?
“Gue
kangen deh sama dia,” gumam Gabriel lagi sambil memandang ke arah Via lalu
memilih memperhatikan pondok lesehan mereka dan yang lainnya di sekitar mereka.
Malam minggu kali ini ceritanya Gabriel mengajak Via makan malam.
Via
merasa ada yang memalu jantungnya. Ia terkejut setengah mati mendengar kata
‘kangen’ dalam ucapan Gabriel. Jangan bilang kalau Gabriel selama ini masih
menyukai sosok penyamarannya itu. Lalu, yang selama ini ia dan Gabriel lakukan
artinya apa? Semua perlakuan pemuda itu?
“Terus?”
tanyanya tertahan. Ia menggenggam gelas minumannya begitu kuat. Tidak peduli
hawa dingin yang terasa dipinggiran gelas yang bisa mengebaskan tangannya.
“Menurut
lo, kapan waktu yang pas buat gue nembak dia?” tanya Gabriel seolah tidak
menyadari atau mungkin tidak peduli pada perubahan sikapnya. Saat itu juga Via
rasanya ingin muntah. Mana tadi kebetulan ia makan banyak. Beruntung emosinya
masih cukup bisa dikendalikan sehingga ia tidak akan bereaksi yang diluar
dugaan, terlebih memalukan.
“Apa?”
Via tidak dapat berpikir lagi bagaimana ia harus menanggapi ucapan Gabriel.
Dapat keluar sepatah kata saja pun sudah sangat bersyukur. Kalau tadi ia kaget
sudah setengah mati, sekarang ia harus menyebutnya apa ya? Gabriel bilang apa,
mau nembak?
“Iya,
soalnya Zaza ga juga percaya sama gue, apalagi sama perasaan gue. Ya kayak lo
lah. Nah makanya sekarang gue mau minta petuah dari lo, gimana gue bisa dia
buat percaya sama kayak lo bisa percaya sama gue.” Gabriel menepuk karpet yang
mengalas lantai pondok dan merubah duduknya menghadap Via serta menatapnya
penuh harap.
Via
hanya bisa terdiam tak tahu harus bicara apalagi. Minta petuah katanya?!!
Dasar...dasar...hhh..sampe dalam hati gue juga speechless? Luar biasa!
Via
menarik napas panjang lalu menghembusnya pelan. Setidaknya sekarang ia tidak
sampai gila seperti yang pernah ia perkirakan. Ia sudah tidak dipusingkan soal
papanya ataupun selingkuhannya. Yang penting ia bisa tenang bersama Mamanya dan
itu sudah cukup. Mamanya juga sudah berangsur pulih dan menjadi sangat terbuka
kepadanya, begitu pula sebaliknya. Tadinya ia pikir masalah percintaannya juga
akan selesai seperti masalah keluarganya. Tapi, rupanya soal itu semuanya masih
sama saja. Tidak pernah ada kemajuan. Gabriel tidak pernah punya perasaan
spesial untuknya, seperti yang ia peruntukkan bagi pemuda itu. Gabriel tetap
hanya menyukai Zaza. Orang yang merubah Gabriel bukan dirinya, tapi Zaza.
Tapi...bagaimana
ya kalau Gabriel tahu, Zaza itu tidak pernah ada? Maksudnya, Zaza itu hanyalah
sosok penyamaran dirinya? Zaza itu dirinya? Zaza itu..gue? Apa lo bakal berubah
jadi cinta sama gue? Atau lo malah kecewa kalau yang ada dibalik Zaza itu gue?
Tapi yang gue tau, lo pasti sedih banget. Zaza kan cinta pertama lo, yang
pertama yang bener-bener lo cinta maksudnya.
“Trus
misalnya nanti Zaza nerima lo, gue gimana dong, Yel?” tanya Via dengan
pandangan nanar, tak ingin bertatapan langsung dengan Gabriel. Ia mengetuk-ngetukkan
telunjuk ke meja sebagai upaya menyabarkan dirinya. Heran, saat ini ia sangat
ingin menangis. Tapi, kenapa matanya tidak panas-panas juga? Tapi bagus sih,
jadi ia tidak akan terlihat merana-merana sekali.
Gabriel
tampak terkejut dan pada akhirnya menyadari kalau sikapnya sudah berubah. Tapi
pemuda itu tidak kunjung terdengar suaranya dan membuatnya gerah sendiri, meski
angin malam berhembus di sekitarnya. Hingga tiba-tiba terasa sentuhan di wajahnya.
Seseorang menggeser pandangannya ke arah samping, ke arah Gabriel. Ia melihat
tangan Gabriel tengah memegang pipinya. Pemuda itu juga menatapnya tajam.
Menilik matanya dalam-dalam seperti sedang mencari harta karun terpendam di
sana.
“You
love me?” tanya Gabriel polos. Nadanya berbicara seolah-olah ia baru saja
mendengar kabar ayahnya hamil.
Dengan
kesal Via langsung menangkis tangan Gabriel dari wajahnya sekaligus mendorong
tubuhnya menjauh. “Enggak!”
“Kalo
enggak kenapa lo malah marah-marah?”
Napas
Via terasa naik turun dan membuatnya terlihat seperti ngos-ngosan. Ia melengos
tanpa menjawab apapun. “’I’ll make you happy..cih, iya lo udah berhasil bikin
gue happy. Apalagi sekarang. Berhasil banget!” ujar Via menggebu-gebu seraya
tertawa hambar dan sesekali menggelengkan kepala. ia berbicara sekali lagi
tanpa memandang ke arah Gabriel.
“Kenapa
tiba-tiba bahas itu?”
“Apa
maksudnya kemaren ngotot-ngototan mau stay kalo konsekuensinya gak dijalanin? Gue
percaya aja, siiiih?! Bego gue! Bego banget!” ujar Via lagi tanpa menghiraukan
Gabriel. Ia seperti sedang berbicara sendiri.
“Vi,
lo lagi ngomongin siapa, sih?” tanya Gabriel tak mengerti.
Via
menoleh pada Gabriel lalu mendengus keras. “Gue gak mau lagi kenal sama lo!”
Gabriel
berjengit kaget lalu menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Via kenapa, sih?
“Gausah
antar-jemput gue lagi, gak usah nelfon atau sms buat tujuan apapun lagi, di
sekolah jangan negur apalagi ngajak ngomong gue lagi, kalo bisa hindari
kegiatan apapun yang memungkinkan bertemunya lo sama gue. Kali ini gue gak ngasih
choice buat lo. Sekarang murni permintaan gue. Gue mau jauh sejauh-jauhnya dari
lo dan lo jauh sejauh-jauhnya dari gue. Dan..” Via berhenti sejenak untuk
mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dompetnya lalu meletakkannya di atas
meja.
“Buat
makanan gue. Thanks udah nemenin gue makan. Gak perlu nganter gue pulang, gue
bisa naik taksi.” Sambungnya. Ia hendak berdiri namun tangannya tiba-tiba
ditahan Gabriel sehingga membuatnya tetap duduk.
“Kenapa
sih, Vi? Kenapa lo selalu mau kita jauh-jauhan? Lo pikir semuanya bakal normal
kalo kita jauh-jauhan? Lo pikir mudah bersikap gak kenal sama orang yang deket
banget sama gue? Gue udah nyaman sama lo, Vi.”
“Nyaman..nyaman
apaan sih! Lo pikir gue kasur? Mentang-mentang badan gue bulet gitu?”
Gabriel
melengos. “Lo bilang gue gak serius taunya lo sendiri pun gak serius, Vi.
Aishh..lo gak pernah ngerti gue.” Ia melepas genggamannya dengan kesal. Ia
tiba-tiba berdiri dan Via lantas menatapnya bingung. “Yaudah, kalo emang itu
mau lo. Gue gak akan ganggu lo lagi. Tapi biarin gue nganter lo pulang. Karena
nanti gue gak bisa ngecek lo udah sampe dirumah dengan selamat atau belum kalo
lo pulang sendiri naik taksi.”
Via
mengernyit tak mengerti. “Kenapa gak bisa?” Gabriel menoleh dan mencibir ke arahnya.
“Lo bilang jangan nelfon atau sms apalagi nemuin lo. Gimana gue bisa ngecek?”
sewotnya. Via balas mencibir. “Yee..biasa aja lagi! Kenapa lo jadi
marah-marah?”
“Peduli
apa lo gue mau marah apa enggak?”
Via
menggeram dalam hati. Lidahnya sudah gatal ingin membalas tapi segera ia tahan.
Ia ingin cepat-cepat menyudahi masalahnya dengan Gabriel. “Yaudah, anterin gue
pulang sekarang.” Katanya dan sebelum ia sempat berdiri, Gabriel sudah lebih
dulu melangkah pergi meninggalkannya tanpa menunggunya lagi.
Seketika
Via merasa miris di dalam hati. Kok perasaan gue gak enak ya? Apa gue nyesel?
Secepat ini?
***
Terimakasih masih setia menunggu dan membaca :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar