-->

Jumat, 04 Juli 2014

Matchmaking Part 29 (Siviel)

Siviel

I don’t wanna be the other girl, the one who never the only one the world, your mistress, your mattress, your selfish, your secret.

***

Via berjalan sendiri melewati koridor rumah sakit menuju kamar mamanya dirawat. Ia berbelok ketika sampai di penghujung. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti manakala melihat sesosok laki-laki cukup tinggi berjas hitam yang tengah berjalan tidak begitu jauh di depannya. Matanya sangat tidak asing akan laki-laki tersebut. Laki-laki yang ia pergoki beberapa hari lalu sedang hendak makan siang bersama perempuan lain yang tidak ia kenal. Laki-laki yang begitu melarangnya berdekatan dengan Gabriel. Siapa lagi kalau bukan Papanya.
Perlahan, kaki Via mulai melangkah kembali namun dengan lebih hati-hati. Ia ingin mencari tahu apa yang sedang papanya lakukan disini. Apa papanya ingin menjenguk mama? Atau ingin bertemu selingkuhannya lagi? Apa wanita yang kemarin itu keracunan atau terkena serangan jantung setelah mendengar ucapannya sehingga harus dilarikan ke rumah sakit? Amin deh kalo iya. Batinnya seraya tersenyum sinis.
Via lumayan kaget mengetahui papanya masuk ke dalam kamar inap mamanya. Itu artinya, papanya kemari bukan untuk bertemu selingkuhan, tapi benar-benar ingin menjenguk mamanya. Ia tanpa sadar menghela napas. Setelah pintu di tutup, Via berjalan cepat menyusul tapi tidak ikut masuk. Ia membuka pintu dengan sangat-sangat pelan agar tidak ada yang menyadari keberadaannya. Ia ingin tahu, apa yang orangtuanya bicarakan di dalam sana.

***

“Gimana kondisi kamu?” tanya Riza, papa Via. Nada suaranya datar sekali. Hampir tidak tertangkat sirat-sirat kepedulian di dalamnya. Hanya terdengar seperti basa-basi. Bahkan untuk sekedar basa-basi pun masih harus diuji kebenarannya.
Fira menghela napas lalu menoleh ke arah suaminya itu. “Apa ada masalah di rumah makanya mas sampe mau datang ke sini?”
Riza diam sesaat lalu menjawab dengan kembali bertanya. “Kapan kamu bisa keluar dari rumah sakit?”
“Mas gak perlu nanya hal yang mas gak pengen tau. Langsung aja bilang sama aku, apa yang ngebuat mas dateng ke sini?”
Riza diam lagi lalu mengalihkan pandangan seraya mendesah pelan. “Via udah ketemu sama Merry, dua hari yang lalu, di kantorku.”
Wajah Fira seketika menegang kaget dan panik. Ia tidak sanggup berkata apapun. Seperti ada yang baru saja memaku lidah dan mengunci bibirnya dengan sangat kuat. Riza lantas melanjutkan berbicara. “Kalian berdua ini...ck. Sejak dulu aku selalu bilang sama Via agar jangan pernah datang ke kantor. Tapi, dia tetap datang dan malah bikin kekacauan. Dia juga maki-maki Merry dan bilang yang enggak-enggak soal aku. Sampai-sampai Merry gak mau kutemui seminggu ini. Kalau saat itu sabarku habis, aku pasti akan..”
“Jangan coba-coba nyentuh anakku, atau aku akan membalas dua kali lipat dengan Merry dan anak kamu.” Sela Fira dengan nada dingin tanpa menatap Riza. Riza menatapnya aneh sambil menaikkan alis lalu mendesah. Keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Kamu yang menciptakan lembah kesakitan kamu sendiri. Jangan pernah menyalahkanku atas semua yang sudah terjadi. Kalau saja dulu—”
“Jika gak ada lagi hal penting yang mau kamu sampaikan, kamu bisa pergi. Aku perlu istirahat.” Fira kembali menyela. Riza sekali lagi mendesah lalu memasang tampang datarnya seperti biasa. Ia berbalik dan memutuskan pergi tanpa mengucapkan apapun. Karena memang begitulah yang biasanya ia lakukan ketika hanya ada mereka berdua. Tapi tiba-tiba ia teringat satu hal lagi yang belum ia sampaikan. Ia berhenti sebentar tanpa berbalik badan.
“Via udah dua hari gak pulang. Aku gatau dia dimana, hapenya gak aktif.”
***
Via berdiri terpekur memandang pintu kamar rumah sakit di hadapannya. Kamar yang di tempati mamanya hingga sembuh nanti. Rasanya ia ingin menangis tapi entah kenapa air mata itu tak kunjung menangis. Hanya dadanya saja yang sesak menahan segala perasaan yang berkecamuk di dalamnya. Baru dua hari lalu ia mengetahui papanya berselingkuh lalu sekarang ia kembali mendengar sesuatu yang mungkin coba disembunyikan oleh papa bahkan mamanya.
Jadi nama selingkuhan papa itu Merry? Dan mama udah tau? Kenapa mama gak pernah bilang apa-apa? Kenapa mama gak ngelakuin apa-apa? Terus, maksud mama bilang ‘merry dan anak kamu’ itu apa? Apa ‘anak kamu’ itu gue? Tapi, gak mungkin. Di awal mama juga nyebut ‘anakku’. Apa jangan-jangan itu anak papa sama si merry-merry itu? Ck..sebenernya ‘anakku’ dan ‘anak kamu’ itu siapa, sih?
Tuk..tuk..
Suara ketukan sepatu pada lantai sejenak merenggut Via dari lamunannya. Via terkesiap tahu Papanya berjalan mendekat ke arah pintu. Ia langsung berlari menjauh dan bersembunyi hingga raga papanya keluar dan pergi. Ia menatap lekat-lekat papanya hingga sosoknya menghilang di penghujung koridor. Ia lantas berjalan kembali ke depan pintu kamar inap mamanya dan berdiri bimbang. Pasti mamanya sekarang lelah sekali setelah bertemu papanya. Tidak ada gunanya kalau ia masuk. Mamanya pasti butuh istirahat yang banyak. Apalagi mamanya juga sedang sakit. Mana gue ga bawa apa-apa lagi. Besok aja kali ya gue jenguk mama? Pikirnya.
Via menggigit jarinya sambil menimang-nimang. Memikirkan ia pulang saja sekarang mendadak membuat hatinya tak tenang. Entah kenapa ia merasa mamanya membutuhkannya. Lagipula, saat mamanya stres begini, tidak mungkin ia meninggalkannya begitu saja, kan? Ia harusnya datang menenangkan bukan malah membiarkan mamanya seorang diri.
“Perasaan tiap gue dateng lo lagi bengooong mulu,”
Via yang agak merunduk menatap sepasang kaki berbalut jeans dan sepatu yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Hingga kemudian ia berjengkit kaget mengetahui wajah orang tersebut mirip dengan Gabriel alias memang itu adalah Gabriel. Matanya menjadi lebih lebar meski tidak lebar-lebar benar.
“Lo?!” katanya dengan suara tertahan. Kenapa harus bertemu dengan pemuda ini sekarang, sih? Via mendesah frustasi sambil memalingkan wajah. “Ngapain lo kesini?”
Gabriel mengeryit lalu mengangkat bungkusan plastik di tangannya. “Mau jenguk mama lo. Sekalian pengen ketemu sama lo. Hehe.”
“Mau apa lo jenguk mama gue? Naksir lo?” balas Via judes.
“Naksir? Naksir..kalo sama lo sih iya.”
Via langsung menoleh ke arah Gabriel seraya mendelik lalu mendengus. Kenapa ni orang masih berani gombalin gue? Makin jadi malah. Jelas-jelas kemaren dia udah ketauan jalan berdua sama prissy. Atau jangan-jangan dia beneran gak ngeliat gue?
Via merasa tubuhnya tertarik maju. Ia baru sadar kalau Gabriel sudah menggandengnya dan membawanya masuk ke dalam kamar inap mamanya. Ia lantas menyentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Gabriel dan menatap pemuda itu meminta penjelasan mengenai apa yang baru saja dilakukannya. Gabriel balas nyengir tanpa rasa takut ataupun bersalah. “Lo ngelamun mulu, sih. Yaudah, gue ajak masuk aja.”
“Via?” Via yang ingin membalas langsung mengatup mulutnya ketika mendengar suara Fira. Ia berjalan mendekati ranjang dan duduk di tepian sementara Gabriel berdiri sekitar satu meter di sampingnya.
“Mama apa kabar?” tanya Via sambil menepuk-nepuk kaki Fira yang terbungkus selimut. Bukannya menjawab, Fira malah menatapnya khawatir. “Papa bilang kamu udah gak pulang dua hari. Hape kamu juga mati pas coba di telfon. Kamu kemana aja, Via? Kamu gak pergi ke tempat yang ‘macem-macem’ kan? Atau jangan-jangan kamu diculik?!”
Via sontak tertawa geli melihat Fira yang panik setengah mati. “Via nginep di rumah Ify kok, Ma. Gak kemana-mana.”
Fira mendesah lega  mendengar jawabannya lalu kemudian mengelus-ngelus kepalanya dengan lembut. “Kamu tuh, bikin mama khawatir aja. Mama gak tenang mikirin kamu terus tau!”
“Yee..siapa suruh mikirin Via? Orang Via gak kenapa-kenapa.” cibir Via lalu tersenyum.
“Ini Gabriel yang pernah dateng ke rumah itu, kan?” alih Fira seraya memandang Gabriel. Gabriel tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Iya, Ma.”
“Iya, Tan.” Jawab Gabriel dan Via bersamaan. Keduanya, atau mungkin ketiganya sontak berpandangan. Via mendelik sementara Gabriel mengerutkan kening bingung.
“Kalian udah pacaran ya?” tanya Fira polos.
“Enggak, kok!” ujar Via dan Gabriel kembali. Fira lantas tertawa geli. “Belum aja sih sebenernya, Tan. Tapi Tante ngerestuin, kan?” Sambung Gabriel yang sukses membuat Via gondok. Apa-apaan berkata seperti itu di depan mamanya? Pikirnya.
“Dia tuh orang gila, Ma. Dia gak lagi nanya mama kok. Dia emang suka ngomong sendiri. Jangan diladenin.” Dumel Via asal sambil mengibas tangannya di depan wajahnya.
“Iel orangnya penyabar kok, Tan. Tenang aja.” balas Gabriel dengan santai. Via langsung melakukan gerakan seperti orang yang ingin muntah.
Fira tertawa lagi sambil geleng-geleng kepala. “Tante ngerestuin, kok. Asal kamu bisa jaga anak Tante aja.”
“Apaan, sih, Ma?! Lo juga!” sela Via galak. Ia kemudian turun dari ranjang dan duduk di kursi. “Nah! Sekarang waktunya mama tidur!”
“Tapi mama kan gak ngantuk, Vi?”
“Mama tuh lagi butuh banyak istirahat. Daripada ngomongnya makin ngaco gara-gara dia. Via nyanyiin lagu boyband jadul kesukaan mama, deh. Haha. Udah lama juga Via gak nyanyiin mama, kan? Terakhir kapan ya?”
Fira tersenyum hangat pada Via sambil mengelus kepalanya untuk terakhir kali sebelum ia menutup matanya untuk tidur sesuai permintaan anaknya itu. “Yaudah, mama tidur nih ya?”
“Nah, gitu dong!” seru Via semangat. Ia menarik napas lalu mulai bernyanyi sambil menggenggam tangan Fira dan tersenyum memandang wajah cantik yang belum termakan usia milik mamanya itu.

Hello, let me know if you hear me
Hello, if you want to be near
Let me now and I’ll never let you go
Hey love, when you ask what I feel I say love
When you ask how i know I say trust
And if that’s not enough
It’s every little thing you do
That makes me fall in love with you
There isn’t a way that I can show you
Ever since I’ve come to know you
It’s every little thing you say
That makes me wanna feel this way
There’s not a thing that I can point to
‘Cause it’s every little thing you do

(Westlife – Every Little Thing You Do) *miminnya jadul abissss! Tadinya mau masukin lagu ost zorro malah huahaha.-. Meski emang cocok kan kalo ceritanya lagu paporit emak2(?) Tapi dua lagu itu enak bgt suer deh. Liriknya itu looooh-.-*

***

Via berdiri diam sambil menunggu Gabriel menutup pintu lalu menatap pemuda itu. Gabriel ikut-ikutan diam menunggunya bicara. “Ngapain lo kesini?”
“Tadi kan udah gue bilang mau jenguk mama lo sama ketemu sama lo.”
“Buat apa ketemu sama gue?”
“Kangen.” Jawab Gabriel sambil tersenyum polos. Via melongo dengan mulut menganga. Ia terkesiap lalu segera mengatup mulutnya. “Lo serius sekali aja bisa gak?” serahnya seraya geleng-geleng kepala.
Gabriel tiba-tiba mendekatkan wajahnya sehingga Via harus berjengit mundur. “Emang mata gue gak bilang sama lo kalo gue serius?”
Via mengernyit lalu mendorong tubuh Gabriel menjauh darinya dengan kesal. “Ya mana gue tau. Mata kan buat ngeliat bukan buat ngomong.”
Gabriel mengelus-ngelus dagunya dengan telunjuk dengan tampang berpikir. “Tapi katanya ‘mata bisa bicara’? Berarti itu bohong ya?”
Via melongo sekali lagi lalu mencibir tak habis pikir. “Gak penting banget sih lo.” Ia hendak melengos pergi tapi kemudian Gabriel menahan tangannya. Ia lantas menyentak tangannya ia terlepas dari genggaman pemuda itu lalu menatapnya sebal. “Gak usah pake pegang-pegang.” Ujarnya tanpa menatap Gabriel.
Gabriel mengernyit heran kenapa Via seperti bersikap memusuhinya. “Lo kenapa, sih? Lagi dapet ya?”
Via diam berpikir. Masa harus gue bilang ‘gue kesel karena lo jalan berduaan sama Pricilla!’? Dia pasti nyangkanya gue cemburu. Padahal kan...iya. Aiss!!
“Kan, lo bengong lagi kan? Lo kenapa, Vi? Sakit? Gak enak badan?” tanya Gabriel yang sedikit cemas sambil meraba kening Via. Via berjengit lalu menangkis tangan Gabriel dari keningnya.
“Gak usah pegang-pegang kan gue bilang tadi?” ulang Via. Ia mendengus pelan lalu menatap Gabriel serius. Gabriel pun menatapnya sama seriusnya, lebih ke mencari tahu sesuatu dalam matanya, mencari tahu apa yang terjadi padanya dan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Via lantas memalingkan wajahnya takut. Pikiran dan perasaannya begitu kacau karena perdebatan orangtuanya. Dan ia tidak ingin Gabriel semakin mengacaukan hari ini untuknya. Ia lantas mendesah lelah lalu menunduk sambil menulis-nulis di lantai dengan satu kakinya mencari kegiatan agar ia tidak terlihat begitu gugup.
“Ini hari terakhir kita berdua kek gini..”
Gabriel diam sesaat lalu bertanya tak mengerti. “Maksud lo?”
Kaki Via berhenti lalu kembali bergerak ke kanan kiri. “Gue rasa kita ga perlu deh ketemu berdua lagi, ngobrol atau apapun yang dilakuin cuma berdua. Lo pasti ngerti maksud gue, kan? Jadi, kalo ada yang pengen lo omongin, omongin sekarang. Ada yang belum lo selesein, selesein sekarang. Gue juga berhenti jadi pacar pura-pura lo karena lo udah gabutuh itu lagi, iya kan? Dan mulai besok serta seterusnya, gue gak mau ada kontak apapun lagi antara kita berdua kalo emang ga dibutuhkan.” Via tanpa sadar menghela napas setelah selesai berbicara.
Rasanya sangat tidak rela membuat jarak antara dirinya dan Gabriel. Apalagi akhir-akhir ini sikap Gabriel mulai berubah padanya. Gabriel juga sudah menjadi orang yang benar-benar ia butuhkan di tengah permasalahannya dengan mama apalagi papanya. Tapi, memang ia harus melakukan apa yang ia lakukan saat ini. Melihat Gabriel dan Pricilla kemarin sudah sangat menjelaskan padanya kalau Gabriel tidak benar-benar berubah. Gabriel tetaplah Gabriel. Playboy, perayu ulung, tidak pernah serius, dan hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Dan ia tidak ingin menjadi bagian ‘kesenangan’ pemuda itu selagi perasaannya juga belum tumbuh-tumbuh benar.
Atau mungkin semua ini hanyalah kesalahannya. Kesalahannya menganggap semua perlakuan Gabriel itu berlebihan. Jelas-jelas Gabriel bilang kemarin kalau pemuda itu menganggapnya sebagai adiknya, kan? Ya, berarti memang salahnya. Bukan Gabriel.
“Alasannya?” tanya Gabriel setelah cukup lama diam dan membiarkan Via termenung memikirkannya. Via terkesiap kebingungan. Ini adalah pertanyaan yang paling ia benci karena ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Ya..hh..” Via mendesah frustasi. Apa ia bilang yang sejujurnya saja? Lagipula, setelah ini mereka kan tidak akan ‘bertemu’ dan berbicara seperti ini lagi. “Ga masalah kalo lo bakal ngetawain gue atau nganggep gue gimana. Tapi..”
Gabriel menatapnya lekat menanti kelanjutan bicaranya. Via lantas meringis. “Gue takut jatuh cinta sama lo. Gue...” gantungnya sambil menarik napas. Sementara Gabriel diam dengan pandangan menerka-nerka.
“Gue lagi banyak masalah akhir-akhir ini..it’s a bad big problem, you know? Dan gue gak mau..nambah masalah dengan perasaan gue nantinya sama lo. Biar gimanapun gue ini tetep cewek, Yel. Yang pastilah akan ngerasa tersanjung kalo lo terus-terusan baik dan ehm..perhatian sama gue. Meskipun lo udah bilang kalo elo cuma nganggep gue kayak adek lo sendiri. Gue tetep takut kalo sampe menyalah-artikan itu semua. Gue juga gamau bikin gak nyaman baik itu untuk lo ataupun gue sendiri. Gue gamau stres mikirin perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Udah terlalu banyak hal yang bikin gue stres dan....OMG, I’m just sixteen! Gue....gue gak mau gila, Yel! Gue gak mau gila! Hhh...” Via mendengus sambil memijat-mijat keningnya dengan satu tangan yang lagi memegang pinggangnya. Jangan-jangan ia bahkan sudah gila sekarang, ckck.
“Kalo gue bilang gue bisa bales perasaan lo, gimana?” tanya Gabriel tersenyum sambil menaikkan sebelah alisnya. Via meliriknya dengan pandangan ‘Pilih cobek atau blender?’.
“Gue bahkan baru ngeluh soal lo yang gak pernah serius, Yel. Ckck...seharusnya gue langsung pulang aja daritadi.” Balasnya seraya geleng-geleng kepala. Ia hendak melengos lagi namun Gabriel kembali menahannya dengan menghalau jalannya tanpa menyentuhnya. Yah, setidaknya pemuda itu mendengarkan ucapannya yang satu itu.
“Yang kemaren di lift itu lo ya? Lo kayak gini karena itu, kan?” tanya Gabriel yang kembali memandangnya serius.
“Iya...enggak..hah tuh kan, gue udah mulai ngaco..” ringis Via sambil menutup mukanya lalu mengusap kepalanya.
Gabriel menghela napas lalu kemudian memegang bahu Via. Via mendelik protes tapi ia seperti tidak peduli. Matanya mendesak Via untuk diam dan mendengarkannya saja dengan baik. “Jadi gini ya Vi, gue mohon lo jangan salah paham soal gue dan Pricilla. Gue cuma lagi punya urusan yang penting banget sama dia. Gue gak bisa cerita sekarang karena gue belum punya apa-apa buat diceritain. Gue juga yakin lo pun belum siap dengernya sekarang, apalagi ceritanya belum lengkap. Nanti kalo semuanya udah kebuka, gue pasti bakal bilang sejujurnya, selengkap-lengkapnya tanpa disingkat-singkat. Tapi percaya deh, nantinya lo bakal seneng.”
Tapi gue juga gatau Vi lo bakal seneng atau enggak. Tapi setidaknya...lo bakal tau apa yang sebenarnya terjadi.
“Kok gue?” tanya Via bingung. Gabriel diam lalu tersenyum miris. “Karena emang yang gue lakuin berkaitan sama lo.”

***

Setelah tiba-tiba muncul di depan rumah Ify untuk mengajaknya berangkat sekolah bersama, Gabriel juga menawarkan diri untuk mengantarkan Via pulang. Meski sudah mencoba menolak dengan alasan ingin menemani mamanya di rumah sakit, Gabriel tetap memaksa malah bilang ingin ikut menemani mamanya. Jadi mau tak mau Via pun akhirnya mengiyakan permintaan pemuda itu.
Tapi masalahnya sekarang, Gabriel bukan langsung mengantarnya pulang malah mengajaknya ke pantai. Katanya ia butuh refreshing makanya dibawanya kemari. Iya, sih, tapi bisa tidak jangan dengan pakaian seragam sekolah lengkap dengan kaos kaki dan sepatu seperti ini juga. Tahu tidak kalau di pantai itu panas. Kakinya bisa matang karena dibungkus dan dipanggang oleh sinar matahari.
“Ah, dimasukin pasir kan?!” pekik Via sambil memandang sepatu dan pasir yang diinjaknnya dengan kesal. Gabriel yang melihatnya hanya tertawa geli. Ia lalu berjongkok di depan Via sambil memegang sepatu gadis itu lalu menatapnya.
“Angkat!” katanya sambil menepuk kaki kanan Via. Via mengernyit bingung tapi tetap melakukan apa yang pemuda itu perintahkan. Gabriel lantas membuka sepatu Via berikut kaos kakinya setelah menggoyang-goyangkan sepatu tersebut agar pasirnya keluar. Via membelalak tak percaya tapi kemudian meringis sambil menggigit bibirnya. “Kaos kaki gue kan jorok, Yel. Bau lagi!”
Namun sepertinya, Gabriel tidak mendengarnya malah menyuruhnya diam. Pemuda itu juga memasukkan kaos kakinya ke dalam sepatunya tanpa ada tampang jijik sedikitpun. Tidak hanya satu, tapi juga untuk yang satunya lagi. Gabriel kemudian berdiri sambil menenteng kedua sepatunya.
“Kalo kek gini sepatu lo gabakal dimasukin pasir lagi. Nah, lo tunggu disini, gue mau narok ini di situ dulu. Sekalian sepatu gue juga.” Ujarnya sambil menunjuk pohon kelapa yang ada beberapa meter di belakang mereka. Tanpa menunggu Via menjawab bahkan sekedar mengangguk, Gabriel langsung pergi begitu saja menaruh sepatu. Via lantas tersenyum tanpa bisa ditahan lalu geleng-geleng kepala. Ia lantas memilih duduk sambil memandang lautan berombak di hadapannya tanpa peduli seragamnya akan kotor.
Gabriel tak lama kembali dan ikut duduk di sampingnya sambil menekuk dan memeluk lutut. Via tiba-tiba menengadahkan tangan ke arahnya. “Sini tangan lo!” pinta gadis itu tanpa memandang ke arahnya. Ia mengernyit bingung. Via lantas menoleh ke arahnya lalu meraih tangannya tanpa meminta izin lagi. Sesaat gadis itu mendekatkan tangannya ke wajahnya lalu mengendus-ngendus. Tapi kemudian Via berjengit dengan tampang jijik.
“Tuh, kan, kaos kaki gue bau.” Gumamnya. Via lalu mengelap telapak tangan Gabriel menggunakan sisi roknya yang terjuntai. Kebetulan ia memakai rok panjang. “Hah, hah!” Via menghembus uap mulutnya ke telapak Gabriel layaknya telapak tangan tersebut adalah kacamata lalu mengelapnya lagi. Gabriel untuk kedua kalinya tertawa.
“Napas lo emangnya gak bau?” tanyanya seraya tersenyum geli. Via berjengit seolah baru sadar. Ia lantas mengecek aroma napasnya lalu tersenyum ke arah Gabriel. “Enggak, kok.” Katanya lalu mengembalikan tangan Gabriel ke posisi semula setelah selesai dilap. Ia kemudian mendesah sambil memandang laut kembali. Gabriel meluruskan kakinya lalu menumpu tubuh dengan tangannya.
“Yel, orang yang dingin sama orang terdekatnya, misalnya keluarganya gitu, itu kenapa sih? Apa karena efek introver seseorang itu?”
“Gue gak terlalu tau juga. Tapi, menurut gue sih, antara bersikap dingin sama introver itu beda. Orang yang bersikap dingin biasanya punya semacam traumatik yang akhirnya ngebuat dia jadi dingin. Kalo introver itu gue rasa emang sifat alami orang. Bukan disebabkan ini itu, tapi emang dia nyamannya kayak gitu. Sama kayak selera. Cewek suka musik lembut sementara cowok suka musik keras. Gaada hal pasti yang bikin kita suka atau gak suka, tapi kita suka atau gak suka aja. Menurut pandangan gue loh ya!”
“Oh..gitu..” gumam Via sambil mengangguk-anggukkan kepala pelan. Gabriel lantas menoleh ke arahnya. “Is there something you want to share?” Gabriel menegakkan tubuhnya sambil menepuk-nepuk tangannya membersihkan dari pasir yang menempel lalu bersedekap.
“Lo pernah gak ngerasa pengen benci seseorang tapi gak bisa? Tapi pengen suka juga gak bisa?”
“Belum, sih. Emangnya lo gak bisa benci dan gak bisa suka sama siapa?”
“Papa gue.” Sesaat Gabriel terdiam, sedikit kaget lalu kemudian menetralisir ekspresi di wajahnya menjadi normal kembali. “I’ve been wondering how the feeling of having a father, the real father.” Sambung Via.
“Maksudnya?”
“Bokap benci sama gue, kayaknya. Makanya dingin. Bayangin, senyum yang bener-bener senyum aja ga pernah.”
Gabriel mengepal tangannya mengalirkan emosi yang hendak muncul di wajahnya. Dari sela-sela tangannya keluar pasir-pasir yang tak sengaja tergenggam. Ia menghela napas singkat lalu menatap lurus ke depan. “Lo pernah tau atau nanya alasan bokap lo bisa sampe kayak gitu?”
“Nanya? Sama papa? Gak, gue gak pernah berani. Kalo sama mama sih sering. Tapi mama selalu nyuruh gue sabar dan ngerti kalo papa emang kayak gitu sifatnya. Tapi, gue rasa bukan. Ada hal lain yang disembunyiin dari gue. Apalagi gue sekarang udah tau kalo papa udah lama selingkuh dan mama sebelumnya udah tau tapi gak ngasih tau gue tapi juga gak berbuat apa-apa. Hfff...gue bingung sama mama, papa dan semuanya!” Via mengacak-acak rambutnya lalu menumpu keningnya di atas lutut.
Gabriel merasa makin emosi sekaligus kasihan melihat Via seperti itu. dalam hatinya ingin sekali ia berteriak memberitahu semuanya pada Via. Tapi ia sadar sekarang bukanlah saat yang tepat.
Sabar ya, Vi. Kalo udah waktunya nanti gue bakal bilang semuanya sama lo dan semoga lo bakal lega.
“Mungkin mama lo gamau nyakitin elo dan gamau nyakitin dirinya sendiri makanya dia ga ngasih tau lo. Saran gue, lo jangan pernah nanya. Lo harus sabar nunggu dan ngerti sampe dia siap ngomong. Karena ngomong masalah penghianatan itu bukan hal gampang, Vi. Tau aja pasti udah sakit banget, apalagi ngomonginnya. Lo boleh brengsek, asal lo belum jadi laki orang. Kita menikah tandanya kita udah bener-bener memilih seseorang yang akan mendampingi kita seumur hidup dan gaboleh ada yang lain lagi. Kita berjanji di depan Tuhan. Karena itu, Tuhan juga bakal marah kalo kita ngejalaninnya asal-asalan. Termasuk mengisinya dengan perselingkuhan. Menurut gue, sih.” *jadikanakuistrimuyel(?????)*
Via menyimak baik-baik sambil menatap Gabriel tanpa berkedip. Aura Gabriel terlihat begitu tenang ketika berbicara, begitu dewasa, dan begitu bijaksana. Tetap terasa serius meskipun Gabriel berbicara dengan santai. Via lantas mendecak kagum sekaligus bingung di dalam hati.
“Jadi sekarang...lo brengsek dong, Yel?” tanyanya polos. Gabriel melongo takjub memandangnya. “Sepanjang itu gue ngomong lo cuma merhatiin yang itu, Vi?”
Via tertawa lalu mendadak terdiam. Ia menarik napas lalu menghembusnya pelan. “Lo jangan bikin gue benci laki-laki ya, Yel?” pintanya sambil menunduk dan menulis-nulis di atas pasir. Gabriel mengernyit tak mengerti. “Maksudnya?”
“Dengan lo yang kekeuh deket-deket sama gue, tandanya lo udah siap nerima dan ngebales perasaan gue kalo sampe gue jatuh cinta sama lo. Tapi, kalo kemaren itu lo cuma khilaf, yaudah gue ulang sekali lagi sama lo. Kalo lo ga siap, lo boleh tinggalin gue sekarang dan jangan pernah nolehin kepala lo lagi ke gue. Tapi, kalo lo tetep ga berubah pikiran, jangan nyesel. Dan inget ya, gue gak nerima penolakan.” Via menatap Gabriel sekilas lalu menatap pasir di dekat kakinya.
Gabriel tersenyum seraya terkekeh kecil. “Pertanyaan lo dari dulu itu mulu. Takut jatuh cinta sama gue mulu. Jangan-jangan lo udah jatuh cinta ya sama gue?” todong Gabriel seraya mendekatkan wajahnya ke samping wajah Via yang menunduk. Via hanya mendengus malas. Meski dalam hati ia menjawab dengan lantang. Daridulu kali, Yel! Modus doang gue mah hahaha!
“Serah lo, deh.”
Gabriel lalu mengacak-acak rambut Via pelan masih dengan senyum menawannya. “Tenang aja kali, Vi. Gue jamin lo gak akan pernah nangis karena gue. I’ll make you happy!”
Tangan Via berhenti sesaat. Ia mengernyit memikirkan kata-kata Gabriel itu. Itu maksudnya apa ya?

***

Via memandang isi di dalam rumah yang baru dimasukinya. Sebuah rumah bergaya jepang yang merupakan rumah kedua orangtua ibunya alias nenek dan kakeknya dulu, tapi sudah lama tidak ditempati meski tetap terawat dan sekarang akan ditempati olehnya dan mamanya, dan mungkin juga papanya. Ia berdiri bingung di depan pintu masih bertanya-tanya alasan kenapa mereka harus pindah kemari. Rumah mereka kan tidak terkena banjir ataupun gempa. Masih sangat-sangat bagus dan layak huni. Kenapa harus pindah?
Tiba-tiba ia merasakan sentuhan pada bahunya. Ia sontak menoleh dan mendapati Fira tengah tersenyum kepadanya. Wanita itu sehabis keluar dari rumah sakit keesokan harinya langsung membawanya kemari. Ia lantas mendengus sebal. “Senyum mama itu gak menjawab pertanyaan Via soal kenapa kita pindah kesini.”
Fira tertawa kecil lalu mengajak Via duduk di sofa. Via yang meski enggan namun pada akhirnya menurut. Mereka lantas duduk berhadapan satu sama lain.
“Jadi?” tanya Via sudah tidak sabar. Fira menarik napas singkat lalu menghembusnya cepat. “Kebetulan mama ada kerjaan di daerah sini. Jadi biar mama ga ribet bolak-balik, apalagi mama belum fit banget, makanya untuk sementara kita pindah ke sini. Kenapa mama ajak kamu? Karena mama ga tega tinggal di sini sendiri dan ninggalin kamu di sana sendiri juga. Mungkin kita di sini bakal lama. Papa gabisa ikut alasannya sama kayak mama. Dia di sana juga punya kerjaan. Tapi, seminggu sekali papa bakal nginep di sini.”
Mendengar kata ‘papa’ meluncur dari mulut Fira lantas membuat Via jengkel sendiri. Ia spontan menyeletuk. “Papa ada atau enggak juga gak ada bedanya.”
Fira sesaat tertegun tapi kemudian berusaha bersikap normal dan pura-pura tidak mendengar jelas apa yang baru saja anaknya itu katakan. “Kamu ngomong apa?”
Via terkesiap lalu cepat-cepat menggelengkan kepala. “Enggak, gak ada.” Elaknya. Setelah itu, mereka sama-sama diam. Entah berapa lama kemudian Via akhirnya buka suara kembali.
“Ma?” Fira memandangnya bingung sambil bertanya. “Kenapa, Sayang?”
Via mengulum bibir seraya menimang-nimang lalu kemudian memutuskan balik bertanya. “Apa selama ini ada yang mama atau papa atau mama-papa sembunyiin dari Via?”
Sekali lagi Fira tampak tertegun. Ia langsung memalingkan pandangan dan berubah menjadi agak gugup. “Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu? Ya jelas ga ada lah, Sayang. Emang keliatannya kayak ada yang disembunyiin?”
Via menatap Fira curiga. Ia ingin bertanya kenapa mamanya tidak juga memberitahu soal selingkuhan papanya. Tapi tiba-tiba, wajah dan ucapan Gabriel kemarin terngiang-ngiang di kepalanya. Membuatnya menjadi tidak tega untuk melanjutkan bertanya. Ia mendesah pelan sambil memandang Fira lama dan dibalas tatapan bingung atau mungkin was-was dari Fira padanya. Ia berdiri lalu berjalan hingga sampai dan duduk tepat di sebelah wanita itu. Ia lantas memeluk Fira erat.
“Kamu kenapa, Sayang? Ada masalah di sekolah? Nilai kamu turun? Ga usah khawatir, Via. Mama ga akan pernah marah soal itu.” ujar Fira dengan nada cemas sekali. Via menggeleng pelan di dalam lekukan leher dan bahunya.
“Ma...kita kayaknya udah sama-sama lupa deh...kalo kita masing-masing saling punya, mama punya aku, aku punya mama...” Ujar Via lembut seraya menutup mata. Jantung Fira mencelos dan hatinya nyilu mendengar apa yang barusan Via ucapkan. Dadanya terasa sesak dan ia mungkin sudah hampir tidak akan sanggup menahan air matanya agar tidak keluar sedikit apalagi banyak.
“Bagi sakitnya sama Via, Ma. Via mau kok. Gak cuma sakit, apapun yang kerasa di hati mama bagi semuanya sama Via. Kita udah telalu lama nutup mata, telinga, hati..semuanya. Berpura-pura ga tau apa yang terjadi padahal kita tau. Via udah capek Ma nyimpen semuanya sendiri. Dan Via tau kalo mama juga udah capek, kan? Toh masalahnya sama, kenapa ga kita coba atasin sama-sama.”
Lidah Fira terasa kelu. Hatinya semakin terasa disayat-sayat. Mungkin ini memang puncak kesabaran mereka berdua dan mereka sudah benar-benar sampai di titik paling akhir, yaitu titik lelah. Dan mereka harus mulai beranjak pergi jika mereka tidak ingin terus-terusan lelah hingga mati. Sudah saatnya mereka berpaling dan pergi meninggalkan hal-hal yang hanya akan membuat mereka makin sakit. Mencapai puncak lain, yakni kedamaian. Tidak perlu terburu-buru mencari bahagia. Bahagia itu masih muluk-muluk. Cukup damai saja. Seperti saat ini ketika mereka sedang mencoba berdamai dengan sikap masing-masing.
“Iya, Sayang. Makasih banyak ya. Mama sayang Via.” Balas Fira setelah cukup lama diam. Pipinya sudah lebih dulu kebanjiran tanpa bisa dibendung lagi. Dinding penghalang sudah benar-benar runtuh berikut dinding penahan perasaannya. Via meregangkan sedikit jarak antara dirinya dan Fira. Ia tersenyum geli.
“Mama cengengnya dari dulu gak pernah berubah. Langsung banjiiirrr...” ledeknya tanpa sadar diri kalau ia juga menitikkan air mata. Meski memang tidak sebanyak Fira.
Fira tersenyum kecut sambil memandang Via. “Mama gak tau apa jadinya kalo gaada kamu, Sayang.” Katanya seraya menangis lagi. Via mengusap kedua pipinya dari rembesan air mata lalu menciumnya kilat.
“Udah, ah! Liat tuh, kantong mata mama udah item-item karena celaknya keusep trus kena air mata!” Saat itu juga Fira terlonjak dan kembali menjadi ‘dirinya’ yang biasanya. Wanita itu terkesiap panik dan langsung mengambil kaca untuk memeriksa mukanya. Lalu kemudian, ia mengomel panik.
Melihat itu, Via lantas hanya geleng-geleng kepala heran. Selain cengeng, kebiasaan mamanya yang lain adalah paling heboh kalau make upnya berantakan. Bukan karena Fira tipe wanita centil atau terlalu peduli pada penampilan, tapi justru karena Fira tidak pandai merias wajah. Butuh waktu lama kalau ia yang mengerjakan sendiri hingga selesai. Makanya, ia selalu menjaga agar riasannya awet. Akan repot sekali kalau make upnya berantakan. Apalagi kalau dia harus bertemu banyak tamu penting. Dan itulah yang kini terjadi.
Via lagi-lagi tersenyum geli. Mungkin sedikit banyak, ia mirip dengan mamanya. Dan ia sangat mensyukuri hal itu. I love her.
***
Jadwal Gabriel hari ini adalah jadwal yang sangat ia benci. Dimana ia harus menghabiskan waktu bersama keluarga Pricilla, gadis yang menjabat entah sebagai siapanya itu. Mungkin bisa dibilang pacar pura-pura. Pricilla pasti merasa di atas angin karena dirinya yang beberapa hari lalu mengajak gadis itu untuk memulai hubungan kembali. Kalau saja bukan untuk Via, ia tidak akan mau mengemisi gadis sombong dan pendusta seperti Pricilla. Ya, memang sama persis lah seperti papanya.
Dan di sinilah ia sekarang. Terjebak di tengah-tengah Pricilla dan kedua orangtuanya. Ia makan dalam diam sambil sesekali memandangi keluarga tersebut dengan beribu-ribu rasa dongkol di dalam hati. Rasanya ia ingin meninju wajah tak tahu malu dari laki-laki yang duduk persis di depannya. Wajah Papa Pricilla..wajah Riza..wajah Papa Via.
Melihat Pricilla yang begitu bahagia bisa bermanja-manja dengan sang Papa tanpa tersirat sedikitpun bekas kesedihan dalam binar matanya, lalu melihat Riza dengan tatapan begitu mencintai dua sosok perempuan di kanan dan kirinya, semakin membuat hatinya panas. Mungkin kalau ada yang memanggang daging di atas dadanya maka daging itu akan langsung gosong. Bagaimana mungkin Riza bisa bersikap dingin pada Via sementara ia begitu hangat pada Pricilla? Bagaimana mungkin Riza bisa lebih menyayangi selingkuhan daripada keluarga sah nya sendiri? Ia benar-benar tidak habis pikir mengapa sampai Tuhan mau menciptakan laki-laki seperti ini.
Inilah yang dulu membuatnya selalu tidak percaya cinta. Semua perselingkuhan membutakan hati dan pikirannya kalau cinta sejati itu cuma salah satu kata-kata manis dalam puisi, novel ataupun karya tulis yang lain. Cuma sekedar hiburan dalam film. Karena memang menahan godaan itu teramat susah. Apalagi dengan fakta jumlah perempuan melebihi laki-laki. Semakin menanamkan prinsipnya itu dalam-dalam.
Tapi kemudian, seseorang berhasil menemukan kunci hatinya kembali dan akhirnya mampu membuatnya bisa percaya pada cinta lagi. Seorang gadis yang memotivasinya agar tidak ikut menjadi orang seperti Riza dan berubah menjadi laki-laki yang baik untuk bisa membuatnya bahagia. Perselingkuhan yang dilakukan Riza pun justru ikut melunturkan ketidakpercayaan dalam hatinya. Derita tertahan oleh wanita-wanita akibat perbuatan itu membuatnya terenyuh. Sekali lagi memotivasi dirinya agar tidak ikut menjadikannya sama dengan para ‘Shitty Man’ kalau ia menyebutnya.
“Kamu kok diem aja, Yel?” suara Merry tiba-tiba merasuki jaringan dalam kepala dan telinganya. Gabriel berjengit lalu berusaha bersikap sebiasa mungkin. “Gakpapa, Tante.” Jawabnya seraya memaksakan senyum.
“Pa, aku ditunangin sama Gabriel nya kapan, sih?” celetuk Pricilla.
Uhuk!
Gabriel menyedot minumannya sekali banyak. Pricilla benar-benar mengambil kesempatan. Baru saja balikan beberapa hari langsung menanyakan perihal pertunangan. Jangan sampai Riza membicarakan ini pada kedua orangtuanya apalagi Mamanya.
“Kalian kan masih sekolah, Sayang.” Jawab Riza. Gabriel langsung mencibir dalam hati. Cih! Lo bahkan ga pernah nyebut nama Via kalo lagi ngomong sama dia.
“Gapapa, dong. Kan cuma tunangan bukan lamaran. Untuk ngiket kita berdua aja biar ga ‘macem-macem’ di luar sana.” Balas Pricilla dengan nada menyindir. Gabriel diam-diam melengos.
“Ehm..ya, Om Riza bener, kita kan masih sekolah. Buat apa tunangan-tunangan segala. Lagian, ikatan itu ga penting. Karena udah banyak kok contohnya, orang yang udah nikah aja masih suka selingkuh..” gantung Gabriel sambil melirik Riza sekilas. Air muka Riza langsung berubah sinis meski berusaha laki-laki itu tutupi. Sementara Merry mendadak gugup mendengar Gabriel berbicara soal ‘selingkuh’. Berbeda dengan Pricilla yang memasang tampang biasa-biasa saja karena tidak tahu menahu perihal kedua orangtuanya. Gabriel tersenyum menang lalu memandang Prissy dengan manis yang dibuat-buat. “Tapi, aku setia kok sama kamu.”
“Awas aja kalo kamu kayak kemaren lagi! Aku gak akan ngampunin kamu kayak gini lagi.” rengek Pricilla. Gabriel tersenyum lagi sambil menjawil ujung hidung Pricilla.
Gue gak akan pernah rela kalian semua bahagia setelah ngebuat Via dan tante Fira sakit sekian lama. Just wait and see until the party started, my babies!

***

Semenjak ke pantai kemarin itu, Via merasa Gabriel berubah. Dia tidak setengil dan seflamboyan biasanya. Dia menjadi lebih perhatian, kalau ia tidak kepedean. Apalagi semenjak ia pindah rumah, setiap hari Gabriel bahkan datang untuk mengantar-jemputnya ke sekolah, kecuali jika Riza menginap. Tak jarang juga ikut sarapan ataupun makan siang. Dalam satu minggu, pasti ada satu hari Gabriel meneleponnya. Tak lupa setiap ingin menjemputnya, pemuda itu selalu memberikan pesan singkat sekaligus mengucapkan selamat pagi untuknya. Bahkan pernah sekali waktu malam minggu, Gabriel mengajaknya nonton berdua. Dan waktu itu, Gabriel tidak pernah absen menggandeng tangannya.
Cara Gabriel memperlakukannya juga terasa berbeda. Caranya berbicara tidak seculas dulu, meski tidak bisa dibilang lembut juga. Dalam menanggapi pun Gabriel sekarang jauh lebih bijaksana, lebih mengademkan hati, lebih...pokoknya lebih gentle, deh. Meski tidak selalu kemana-mana berdua, Gabriel selalu menyempatkan waktu untuk bersamanya di sekolah. Gabriel tidak pernah lagi mengganggunya dan membuatnya merasa dijadikan olok-olokan atau mainan. Gabriel begitu menjaga perasaannya dan memperlakukannya benar-benar seperti cewek pada umumnya. Meski memang Gabriel masih kerab menjahilinya, tapi tetap terasa berbeda. Yang sekarang terasa lebih tulus. Ia bahkan merasa seperti ehm..kekasih pemuda itu sungguhan.
Dan untuk sekarang, ia tidak takut berandai-andai yang tinggi terhadap pemuda itu. Toh, pemuda itu sudah bersedia kan menerima sekaligus membalas semua perasaannya. Pemuda itu juga berjanji akan membuatnya bahagia.
“Udah lama ya gue gak ketemu Zaza,” gumam Gabriel yang langsung menghempas benak Via kembali ke buminya berpijak. Via mengernyit curiga. Kenapa Gabriel tiba-tiba saja membahas Zaza?
“Gue kangen deh sama dia,” gumam Gabriel lagi sambil memandang ke arah Via lalu memilih memperhatikan pondok lesehan mereka dan yang lainnya di sekitar mereka. Malam minggu kali ini ceritanya Gabriel mengajak Via makan malam.
Via merasa ada yang memalu jantungnya. Ia terkejut setengah mati mendengar kata ‘kangen’ dalam ucapan Gabriel. Jangan bilang kalau Gabriel selama ini masih menyukai sosok penyamarannya itu. Lalu, yang selama ini ia dan Gabriel lakukan artinya apa? Semua perlakuan pemuda itu?
“Terus?” tanyanya tertahan. Ia menggenggam gelas minumannya begitu kuat. Tidak peduli hawa dingin yang terasa dipinggiran gelas yang bisa mengebaskan tangannya.
“Menurut lo, kapan waktu yang pas buat gue nembak dia?” tanya Gabriel seolah tidak menyadari atau mungkin tidak peduli pada perubahan sikapnya. Saat itu juga Via rasanya ingin muntah. Mana tadi kebetulan ia makan banyak. Beruntung emosinya masih cukup bisa dikendalikan sehingga ia tidak akan bereaksi yang diluar dugaan, terlebih memalukan.
“Apa?” Via tidak dapat berpikir lagi bagaimana ia harus menanggapi ucapan Gabriel. Dapat keluar sepatah kata saja pun sudah sangat bersyukur. Kalau tadi ia kaget sudah setengah mati, sekarang ia harus menyebutnya apa ya? Gabriel bilang apa, mau nembak?
“Iya, soalnya Zaza ga juga percaya sama gue, apalagi sama perasaan gue. Ya kayak lo lah. Nah makanya sekarang gue mau minta petuah dari lo, gimana gue bisa dia buat percaya sama kayak lo bisa percaya sama gue.” Gabriel menepuk karpet yang mengalas lantai pondok dan merubah duduknya menghadap Via serta menatapnya penuh harap.
Via hanya bisa terdiam tak tahu harus bicara apalagi. Minta petuah katanya?!! Dasar...dasar...hhh..sampe dalam hati gue juga speechless? Luar biasa!
Via menarik napas panjang lalu menghembusnya pelan. Setidaknya sekarang ia tidak sampai gila seperti yang pernah ia perkirakan. Ia sudah tidak dipusingkan soal papanya ataupun selingkuhannya. Yang penting ia bisa tenang bersama Mamanya dan itu sudah cukup. Mamanya juga sudah berangsur pulih dan menjadi sangat terbuka kepadanya, begitu pula sebaliknya. Tadinya ia pikir masalah percintaannya juga akan selesai seperti masalah keluarganya. Tapi, rupanya soal itu semuanya masih sama saja. Tidak pernah ada kemajuan. Gabriel tidak pernah punya perasaan spesial untuknya, seperti yang ia peruntukkan bagi pemuda itu. Gabriel tetap hanya menyukai Zaza. Orang yang merubah Gabriel bukan dirinya, tapi Zaza.
Tapi...bagaimana ya kalau Gabriel tahu, Zaza itu tidak pernah ada? Maksudnya, Zaza itu hanyalah sosok penyamaran dirinya? Zaza itu dirinya? Zaza itu..gue? Apa lo bakal berubah jadi cinta sama gue? Atau lo malah kecewa kalau yang ada dibalik Zaza itu gue? Tapi yang gue tau, lo pasti sedih banget. Zaza kan cinta pertama lo, yang pertama yang bener-bener lo cinta maksudnya.
“Trus misalnya nanti Zaza nerima lo, gue gimana dong, Yel?” tanya Via dengan pandangan nanar, tak ingin bertatapan langsung dengan Gabriel. Ia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja sebagai upaya menyabarkan dirinya. Heran, saat ini ia sangat ingin menangis. Tapi, kenapa matanya tidak panas-panas juga? Tapi bagus sih, jadi ia tidak akan terlihat merana-merana sekali.
Gabriel tampak terkejut dan pada akhirnya menyadari kalau sikapnya sudah berubah. Tapi pemuda itu tidak kunjung terdengar suaranya dan membuatnya gerah sendiri, meski angin malam berhembus di sekitarnya. Hingga tiba-tiba terasa sentuhan di wajahnya. Seseorang menggeser pandangannya ke arah samping, ke arah Gabriel. Ia melihat tangan Gabriel tengah memegang pipinya. Pemuda itu juga menatapnya tajam. Menilik matanya dalam-dalam seperti sedang mencari harta karun terpendam di sana.
“You love me?” tanya Gabriel polos. Nadanya berbicara seolah-olah ia baru saja mendengar kabar ayahnya hamil.
Dengan kesal Via langsung menangkis tangan Gabriel dari wajahnya sekaligus mendorong tubuhnya menjauh. “Enggak!”
“Kalo enggak kenapa lo malah marah-marah?”
Napas Via terasa naik turun dan membuatnya terlihat seperti ngos-ngosan. Ia melengos tanpa menjawab apapun. “’I’ll make you happy..cih, iya lo udah berhasil bikin gue happy. Apalagi sekarang. Berhasil banget!” ujar Via menggebu-gebu seraya tertawa hambar dan sesekali menggelengkan kepala. ia berbicara sekali lagi tanpa memandang ke arah Gabriel.
“Kenapa tiba-tiba bahas itu?”
“Apa maksudnya kemaren ngotot-ngototan mau stay kalo konsekuensinya gak dijalanin? Gue percaya aja, siiiih?! Bego gue! Bego banget!” ujar Via lagi tanpa menghiraukan Gabriel. Ia seperti sedang berbicara sendiri.
“Vi, lo lagi ngomongin siapa, sih?” tanya Gabriel tak mengerti.
Via menoleh pada Gabriel lalu mendengus keras. “Gue gak mau lagi kenal sama lo!”
Gabriel berjengit kaget lalu menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Via kenapa, sih?
“Gausah antar-jemput gue lagi, gak usah nelfon atau sms buat tujuan apapun lagi, di sekolah jangan negur apalagi ngajak ngomong gue lagi, kalo bisa hindari kegiatan apapun yang memungkinkan bertemunya lo sama gue. Kali ini gue gak ngasih choice buat lo. Sekarang murni permintaan gue. Gue mau jauh sejauh-jauhnya dari lo dan lo jauh sejauh-jauhnya dari gue. Dan..” Via berhenti sejenak untuk mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dompetnya lalu meletakkannya di atas meja.
“Buat makanan gue. Thanks udah nemenin gue makan. Gak perlu nganter gue pulang, gue bisa naik taksi.” Sambungnya. Ia hendak berdiri namun tangannya tiba-tiba ditahan Gabriel sehingga membuatnya tetap duduk.
“Kenapa sih, Vi? Kenapa lo selalu mau kita jauh-jauhan? Lo pikir semuanya bakal normal kalo kita jauh-jauhan? Lo pikir mudah bersikap gak kenal sama orang yang deket banget sama gue? Gue udah nyaman sama lo, Vi.”
“Nyaman..nyaman apaan sih! Lo pikir gue kasur? Mentang-mentang badan gue bulet gitu?”
Gabriel melengos. “Lo bilang gue gak serius taunya lo sendiri pun gak serius, Vi. Aishh..lo gak pernah ngerti gue.” Ia melepas genggamannya dengan kesal. Ia tiba-tiba berdiri dan Via lantas menatapnya bingung. “Yaudah, kalo emang itu mau lo. Gue gak akan ganggu lo lagi. Tapi biarin gue nganter lo pulang. Karena nanti gue gak bisa ngecek lo udah sampe dirumah dengan selamat atau belum kalo lo pulang sendiri naik taksi.”
Via mengernyit tak mengerti. “Kenapa gak bisa?” Gabriel menoleh dan mencibir ke arahnya. “Lo bilang jangan nelfon atau sms apalagi nemuin lo. Gimana gue bisa ngecek?” sewotnya. Via balas mencibir. “Yee..biasa aja lagi! Kenapa lo jadi marah-marah?”
“Peduli apa lo gue mau marah apa enggak?”
Via menggeram dalam hati. Lidahnya sudah gatal ingin membalas tapi segera ia tahan. Ia ingin cepat-cepat menyudahi masalahnya dengan Gabriel. “Yaudah, anterin gue pulang sekarang.” Katanya dan sebelum ia sempat berdiri, Gabriel sudah lebih dulu melangkah pergi meninggalkannya tanpa menunggunya lagi.
Seketika Via merasa miris di dalam hati. Kok perasaan gue gak enak ya? Apa gue nyesel? Secepat ini?

***

Terimakasih masih setia menunggu dan membaca :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar